Anda di halaman 1dari 34

KAJIAN KOMPOSISI JALUR HIJAU JALAN TERHADAP

PENYERAPAN POLUTAN CO DI KAB. BIREUEN, NAD

SKRIPSI

Oleh :
Nurul Farah
20130210161
Program Studi Agroteknologi

FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
YOGYAKARTA
2018
Skripsi yang berjudul
KAJIAN KOMPOSISI JALUR HIJAU JALAN TERHADAP PENYERAPAN
POLUTAN CO DI KAB. BIREUEN, ACEH

Yang dipersiapkan dan disusun oleh :

Nurul Farah
20130210161
Program Studi Agroteknologi

Telah disetujui/disahkan oleh:

Pembimbing Utama:

Lis Noer Aini, S.P, M. Si.


NIK. 19730724200004133051 Tanggal......................

Pembimbing Pendamping:

Ir. Bambang Heri Isnawan, M.P.


NIK. 19650814199409133021 Tanggal.......................

Mengetahui:
Ketua Program Studi Agroteknologi

Dr. Innaka Ageng Rineksane, S.P., M. P.


NIK : 19721012200004133 050 Tanggal.......................

DAFTAR ISI

ii
I. PENDAHULUAN............................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Perumusan Masalah......................................................................................3
C. Tujuan Penelitian..........................................................................................3
D. Manfaat Penelitian........................................................................................3
E. Batas Studi....................................................................................................3
F. Kerangka Pikir..............................................................................................4
II. TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................6
A. Ruang Terbuka Hijau Perkotaan...................................................................6
B. Jalur Hijau Jalan............................................................................................7
C. Pencemaran Udara........................................................................................9
D. Sumber Pencemaran Udara.........................................................................10
E. Sumber Pencemaran Dari Sektor Transportasi...........................................11
F. Baku Mutu Kualitas Udara Ambien............................................................11
G. Tumbuhan Sebagai Penyerapan dan Penjerapan Polutan...........................13
III. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI....................................................15
A. Gambaran Umum Kota Bireuen.................................................................15
1. Letak Administratif.................................................................................15
2. Iklim........................................................................................................16
3. Tipe Tanah...............................................................................................16
4. Demografi................................................................................................17
B. Gambaran eksisting transportasi Kota Bireuen...........................................17
IV. TATA CARA PENELITIA........................................................................19
A. Tempat dan Waktu Penelitian.....................................................................19
B. Bahan dan Alat............................................................................................19
C. Metode Penelitian dan Analisis Data..........................................................19
D. Jenis Data....................................................................................................21
E. Luaran Penelitian........................................................................................21
F. Jadwal Penelitian.........................................................................................22

iii
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kota merupakan ekosistem buatan yang terjadi karena campur tangan
manusia dengan merubah struktur di dalam ekosistem alam sesuai dengan yang
dikehendaki. Kualitas lingkungan hidup di perkotaan semakin lama menunjukkan
kecenderungan menurun. Perkembangan kota membutuhkan transportasi yang
cenderung naik karena jumlah kendaraan dari tahun ketahun meningkat dengan
tajam.
Pencemaran akan terjadi apabila dalam lingkungan hidup manusia (baik
lingkungan fisik, biologi dan lingkungan sosialnya) terdapat suatu bahan
pencemar dalam konsentrasi sedemikian besar, yang dihasilkan oleh proses
aktivitas manusia sendiri yang akhirnya merugikan manusia juga (Amsyari,
1986). Salah satu bentuk pencemaran yang terjadi akibat adanya pembangunan
fisik kota adalah pencemaran udara.
Studi yang dilakukan oleh tim peneliti Universitas Michigan dan
Universitas Washington, yang dimuat pada majalah tempo tahun 2013,
menyebutkan bahwa partikel polusi udara yang berasal dari lalu lintas dalam
jangka panjang bisa mempercepat penebalan dua lapisan bagian dalam arteri
karotis yang merupakan pembuluh darah yang mengalirkan darah ke kepala, leher
dan otak, Konsentrat polutan yang dihasilkan dari proses pembakaran bahan bakar
dalam mesin kendaraan bermotor diantaranya adalah CO, SOx, NOx, HC dan
partikula yang jika tidak dikendalikan akan mengganggu kesehatann manusia,
hewan, tumbuhan, bangunan dan dapat menyebabkan hujan asam seperti
konsentrat Sox.
Kebutuhan akan adanya ruang terbuka hijau yang memiliki berbagai
macam fungsi di kawasan perkotaan dinilai sangat penting dalam memperbaiki
kualitas lingkungan dan kualitas hidup masyarakat. Salah satu bentuk ruang
terbuka hijau yang diperlukan adalah koridor jalan yang berupa jalur hijau. Pada
saat terjadi kerusakan akibat pembakaran energi fosil menyebabkan pelepasan
karbon ke atmosfer. Emisi karbon berikut dengan emisi polutan yang ada di
atmosfer ini dapat diserap oleh tumbuh-tumbuhan melalui proses fotosintesis dan

1
2

diubah menjadi materi organik seperti penyusun biomassa pohon. Melalui proses
ini, jalur hijau dapat menstabilkan kadar karbon di atmosfer selama beberapa
decade sesuai dengan daur hidup pohon-pohon penyusun hutan tersebut.
Kapasitas penyerapannya sangat dipengaruhi oleh daur (umur) tumbuhan, jenis,
dan tingkat pertumbuhan tanaman (Dahlan, 2004).
Kontribusi pohon sebagai penyerap polutan menyebabkan banyak
pembangunan Ruang Terbuka Hijau (RTH) terutama di daerah perkotaan yang
tingkat pencemarannya tergolong tinggi. Dibutuhkan sejumlah RTH, minimal
10% dari luas kota untuk mengimbangi pencemaran yang ada (Fandeli, 2009).
Aceh merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang mengalami
perkembangan secara cepat dengan tingginya kunjungan ke daerah aceh dan
diiringi dengan perkembangan pembangunan fisik yang pesat seperti gedung–
gedung perkantoran dan lainnya. Kepala dinas pendapatan dan kekayaan Aceh
menyebutkan jumlah kendaraan baru yang bertambah di Aceh selama 2015
mencapai 113.206 unit, jumlah ini lebih banyak dibandingkan tahun sebelumnya
yaitu 109.064 unit (Muhammad, 2016). Pertambahan jaringan jalan tidak sesuai
dengan volume kendaraan, sementara itu transportasi sangat penting dan sangat
dibutuhkan manusia, tetapi disisi lain juga menimbulkan dampak yang tidak kecil
terhadap lingkungan hidup dan dapat mengakibatkan kota menjadi tercemar dan
kotor.
Hal ini menyebabkan perlunya dilakukan peningkatan kualitas dan
kuantitas ruang terbuka hijau. Salah satu komponen yang penting dalam konsep
tata ruang adalah menetapkan dan mengaktifkan jalur hijau dan hutan kota, baik
yang akan direncanakan maupun yang sudah ada namun kurang berfungsi. Selain
itu jenis pohon yang ditanam perlu menjadi pertimbangan dan dipilih berdasarkan
beberapa pertimbangan dengan tujuan agar tanaman dapat tumbuh dengan baik
dan tanaman tersebut dapat menanggulangi masalah lingkungan yang muncul di
tempat itu dengan baik pula. Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, agar
tanaman yang diperuntukkan dapat benar-benar berfungsi dan tidak menambah
permasalahan yang tidak diinginkan. Pemilihan tanaman sebagai upaya pereduksi
polutan perlu didasarkan pada ketahanan tanaman akan partikel polutan maupun
3

kemampuan tanaman dalam menyerap polutan serta lingkungan dimana tanaman


tersebut ditanam. Selain itu komposisi baik jumlah, jenis dan fungsi tanaman
sangat berpengaruh terhadap penyerapan konsentrat polutan.
B. Perumusan Masalah
Jumlah kendaraan yang semakin mengalami peningkatan dari waktu ke
waktu, menjadi salah satu penyebab utama penurunan kualitas udara di kota
Bireuen. Di lain pihak, tidak merata dan rendahnya distribusi ruang terbuka hijau
(RTH) khususnya pada jalur hijau jalan mendukung terjadinya hal tersebut. Oleh
karena itu, pengendalian pencemaran udara dengan bioreduktor, yaitu dengan cara
memanfaatkan tanaman sebagai pereduksi polutan menjadi salahsatu solusi yang
diharapkan dapat mengatasi permasalahan pencemaran udara yang terjadi di kota
bireuen. Dengan demikian penulis akan meninjau mengenai :
1. Berapa banyak ketersediaan (komposisi) jalur hijau baik jenis, fungsi, dan
sebaran tanaman yang berpengaruh dalam mengatasi pencemaran udara
dan mengevaluasi komposisi jalur hijau di kota Bireuen ?
2. Berapa kemampuan jalur hijau jalan dalam menyerap konsentrat polutan
yang ada ?
3. Berapa jumlah polutan CO pada udara yang dihasilkan akibat lalu lintas
kendaraan bermotor di kota Bireuen ?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji komposisi Jalur Hijau Jalan dan
kemampuannya dalam penyerapan Polutan Karbon (CO), mengetahui jumlah
Polutan CO pada udara yang dihasilkan akibat dari lalu lintas kendaraan bermotor
dan mengevaluasi komposisi jalur hijau pada beberapa ruas jalan di kota Bireuen.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan akan bermanfaat menjadi acuan bagi pemerintah
dan bahan masukan bagi pengelola kawasan jalur hijau jalan Kota Bireuen.
E. Batas Studi
Penelitian ini difokuskan pada kondisi Jalur Hijau Jalan yaitu: Tanaman
Tepi Jalan dan Tanaman Median Jalan yang tersebar pada beberapa ruas jalan di
kota Bireuen seperti pada jalan Medan-Banda Aceh dan Bireuen-Takengon Kota
4

Bireuen yang merupakan jalan lintas antar kota sehingga dianggap mempunyai
potensi pencemaran udara paling tinggi.
F. Kerangka Pikir
Aktivitas lalulintas dan jumlah kendaraan bermotor di kota Bireuen
mengalami pertumbuhan yang cukup pesat ditandai dengan kepadatan dan
kemacatan lalu lintas pada beberapa ruas jalan. Fenomena ini tentu menjadi
dilema bagi masyarakat dan pemerintah kota Bireuen khususnya dalam
menghadapi serta mengatasi polusi udara. Berbagai cara telah ditempuh
diantaranya adalah membangun ruang terbuka hijau (RTH) kota berupa
penanaman tanaman pereduksi polutan pada tepian jalan atau median jalan yang
sering disebut sebagai Jalur Hijau Jalan. Namun peranan jalur hijau jalan dalam
mereduksi polutan dirasakan kurang maksimal. Kemungkinan faktor penyebabnya
adalah komposisi baik jumlah, jenis, dan fungsi tanaman yang digunakan belum
memenuhi syarat dalam mengatasi pencemaran udara. Maka dari itu perlu
dilakukan penelitian pengkajian komposisi RTH berupa Jalur Hijau Jalan.
Untuk mencapai peranan aktif RTH khususnya Jalur Hijau Jalan terhadap
penyerapan CO perlu dilakukan beberapa pendekatan antara lain kondisi fisik dan
wilayah, ekologis dan sosial. Pendekatan kondisi fisik dan wilayah meliputi jenis
tanah, ketersediaan air, dan iklim serta kondisi jalan. Pendekatan ini berpengaruh
terhadap jenis vegetasi yang cocok ditanam serta jumlah polutan CO yang
dihasilkan pada kawasan tersebut. Pendekatan ekologis bertujuan untuk
mengetahui komposisi jalur hijau jalan baik jumlah, jenis, fungsi tanaman berikut
jarak tanaman. Sedangkan pendekatan sosial bertujuan untuk mencapai
pendekatan, sebagai bahan perbandingan antara literatur dan hasil analisis akhir
penelitian. Berikut kerangka pikir penelitian:
5

Gambar 1 : Kerangka Pikir Penelitian

Kota Bireuen

Kondisi Fisik :
Jenis Tanah,
Ketersediaan Air Ekologis : Sosial :
,
dan RTH Pengguna Jalan
Iklim/Eksisting
Jalan

Jalur Hijau Jalan : Kemampuan


Polutan Karbon Tanaman Tepi Jalan Tanaman dalam
monoksida (CO) Menyerap CO
Tanaman Median Jalan

Identifikasi

Evaluasi

Model
Tata Hijau
Jalur Jalan
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Ruang Terbuka Hijau Perkotaan
Ruang Terbuka Hijau (RTH) merupakan area atau kawasan permukaan
tanah yang didominasi oleh tumbuhan yang dibina untuk fungsi perlindungan
habitat tertentu, maupun sarana lingkungan / kota, pengamanan jaringan prasarana
dan budidaya pertanian. Selain untuk menunjang kelestarian air dan tanah serta
meningkatkan kualitas atmosfer, ruang terbuka hijau ditengah-tengah ekosistem
perkotaan juga berfungsi untuk meningkatkan kualitas lanskap kota
Menurut Hakim dan Utomo (2003) ruang terbuka hijau adalah area atau
ruang kota yang tidak dibangun dan permukaannya dipenuhi oleh tanaman yang
berguna untuk melindungi habitat, sarana lingkungan, pengaman jaringan
prasarana, kualitas atmosfir, menunjang kelestarian air dan tanah, serta sumber
pertanian. Ditengah – tengah ekosistem kota ruang terbuka hijau juga berfungsi
untuk meningkatkan kualitas lanskap kota, untuk kenyamanan dan keindahan,
meningkatkan kualitas lingkungan dan pelestarian alam yang terdiri dari ruang
linier atau koridor, ruang pulau atau oasis sebagai tempat perhentian.
Istilah Ruang Terbuka Hijau dikemukakan dalam inmendagri (Instruksi
Mentri Dalam Negri) Nomor 14 Tahun 1998 tentang penataan ruang terbuka hijau
diwilayah perkotaan, dijelaskan bahwa ruang terbuka hijau merupakan ruang
dalam kota atau wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk area atau kawasan
maupun dalam bentuk memanjang atau jalur yang penggunaannya lebih bersifat
terbuka dan pada dasarnya tanpa bangunan. RTH sendiri merupakan ruang
terbuka yang dalam pemanfaatannya didominasi oleh pengisian tanaman atau
tumbuhan secara alami maupun budidaya tanaman seperti lahan pertanian,
pertamanan, perkebunan dan lainnya.
Ruang Terbuka hijau merupakan aspek utama dalam ekosistem kota yang
terdiri dari taman, area pertanian dan hutan, serta memiliki fungsi ekologis,
ekonomi dan sosial. Dalam fungsi ekologis area hijau berfungsi untuk
menyediakan udara segar, sebagai penyaring pencemaran, menjaga kualitas air,
menyerap kebisingan, mengatur mikroklimat dan menjaga keanekaragaman

6
7

kehidupan. Dalam fungsi ekonomi ruang terbuka hijau berpengaruh terhadap


biaya tanah dan rumah. Sedangkan dalam fungsi sosial area hijau berfungsi untuk
menyediakan area istirahat, olah raga dan rekreasi kepada penduduk kota baik
secara langsung maupun tidak (Hakim dan Utomo, 2003).
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang
mengisyaratkan tentang pembangunan kota berwawasan lingkungan dengan
amanat proporsi ruang terbuka dan ruang terbangun, dimana luas ruang terbuka
hijau minimal 30% dari total keseluruhan ruang kota, terdiri dari minimal 20%
ruang terbuka hijau publik dan 10% merupakan ruang terbuka hijau privat. 30%
merupakan proporsi ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem
kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan sistem mikroklimat, maupun sistem
ekologis lain.

B. Jalur Hijau Jalan


Jalur hijau adalah kawasan ruang terbuka koridor linier yang
menghubungkan ruang – ruang terbuka kota. Menurut Rahman dan Khadiyanto
(2013) jalur hijau jalan yaitu pepohonan, rerumputan dan tanaman perdu yang
ditanam di pinggiran jalur pergerakan disamping kiri kanan jalan dan media jalan.
Jalur hijau jalan adalah jalur penempatan tanaman dan elemen lanskap
lainnya yang terletak didalam daerah milik jalan (Damija) maupun daerah
pengawasan jalan (Dawasja). Disebut jalur hijau karena dominasi elemen
lanskapnya yaitu tanaman yang pada umumnya berwarna hijau. Jalur hijau jalan
bedasarkan letak penanamannya dibedakan menjadi empat yaitu : jalur tanaman
tepi, daerah tikungan, media jalan, lapangan dan persimpangan. Media jalan ialah
jalan yang memisahkan dua jalan yang berlawanan, dapat digunakan sebagai
pendukung keselamatan pengendara, peletakan rambu rambu lalu lintas, ataupun
sebagai jalur hijau dengan persyaratan tertentu. Daerah tepi jalan ialah daerah
yang berfungsi untuk kenyamanan dan keselamatan pengguna jalan, kawasan
penyangga, lahan untuk pengembangan jalan, jalur hijau, melindungi bentukan
alam, dan tempat pembangunan fasilitas pelayanan (Nurfaida, Tigin, & Yanti,
2011)
8

Ketersediaan RTH pada jalur hijau jalan ditempatkan pada sempadan jalan
dan dalam sempadan tersebut ditempatkan pohon pohon yang berfungsi sebagai
RTH jalur jalan. Menurut ketentuan DPU tahun 2007 untul lebar sepadan jalan
adalah 1,5m dan sempadan jalan tersebut dimanfaatkan untuk RTH dengan
keberadaan sempadan jallan dikanan dan kiri jalan. RTH jalur pengaman jalan
terdiri dari RTH jalur pejalan kaki, taman pulau jalan yang terletak ditengah
persimpangan jalan, dan taman sudut jalan yang terletak disisi persimpangan
jalan. Median jalan yaitu ruang yang disediakan pada bagian tengah dari jalan
untuk membagi jalan pada masing masing arah yang berfungsi untuk
mengamankan ruang bebas samping jalur lalu lintas. Jalur hijau jalan memiliki
beberapa fungsi yaitu sebagai penyegar udara, mengurangi pencemaran polusi
kendaraan, peredam kebisingan, menjadi perlindungan bagi pejalan kaki dari
sengatan matahari dan hujan, mengurangi pengikatan suhu udara dan pembentuk
citra kota. Selain itu, akar pepohonan dapat menyerap air hujan sebagai cadangan
air tanah dan dapat menetralisir limbah yang dihasilkan dari aktivitas perkotaan
(Rahman dan Khadiyanto, 2013).
Tanaman jalan adalah tanaman yang berguna dalam perencanaanlanskap
jalan yang memiliki sistem perakaran yang tidak merusak konstruksi jalan,
percabangan yang tidak mudah patah dan mudah dalam pemeliharaannya
(Direktorat Bina Marga, 1996). Tanaman yang terdapat di jalur hijau jalan
digolongkan menjadi 3 bagian yaitu : 1) Semak / perdu, yang berfungsi debagai
pembatas visual, memberikan nilai estetika, sebagai penahan kecelakaan,
menahan sinar lampu kendaraan dan pembatas jalur median. 2) Pohon, berfungsi
sebagai penunjuk arah dan pengaman jalan, penghalang sinar matahari dan angin,
menutupi pemandaangan yang kurang baik, dapat menyediakan cadangan air
tanah, mengatur iklim makro, mempertegas ruang dan memberi kesan psikologis
kepada pengguna jalan. 3) Rumput atau penutup tanah, memiliki fungsi sebagai
penahan air hujan agar tidak mengalir langsung kejalan bebas hambatan.
Ada beberapa kriteria dalam pemilihan jenis – jenis tanaman yang akan
digunakan terutama untuk tanaman yang didatangkan dari luar tapak yaitu : 1)
Pohon peneduh dengan ketinggian sedang atau tinggi kurang dari 15 meter. 2)
9

Tinggi cabang pohon pertama dari bawah tidak kurang dari 5 meter. 3) Bentuk
tajuk pohon bulat atau kolumnar dengan lebar tajuk tidak menutupi bahu jalan. 4)
Perakarannya tidak merusak saluran drainase dan trotoar. 5) Berdaun kecil sampai
sedang dan tidak menggugurkan daun secara serempak. 6) Tidak membahayakan
pengguna jalan, yaitu tanaman yang tidak menghasilkan duri, buah yang besar dan
keras, memiliki batang dan cabang yang kuat serta tidak menghasilkan zat
berbahaya. 7) Tidak mudah terserang hama dan penyakit serta tahan terhadap
polusi dan kekeringan. 8) Pohon dan semak memiliki karakter fisik (bentuk,
warna, daun, dan bunga) yang menarik. 9) Tanaman penutup tanah yang tidak
memerlukan pemeliharaan intensif. 10) Mampu bertahan hidup pada kondisi yang
kurang baik dan dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah. 11) Semak yang tumbuh
berumpun, rapat dan mudah diperbanyak. 12) Mudah dalam pemeliharaan
(Nurfaida et al., 2011)
C. Pencemaran Udara
Permasalahan yang sering melanda kota-kota besar adalah semakin
memburuknya kualitas udara yang tidak terpisah dari kehidupan perkotaan.
Pencemaran udara diartikan deengan bahan-bahan atau zat-zat asing didalam
udara yang menyebabkan perubahan susunan (komposisi) udara dari keadaan
normalnya (Wardhana, 2001). Udara dikatakan telah tercemar apabila adanya zat
atau bahan asing didalam udara dalam jumlah tertentu dan berada dan berada di
udara dalam waktu cukup lama dapat mengganggu kehidupan makhlluk hidup
yaitu manusia, hewan, dan tumbuhan.
Udara merupakan campuran dari beberapa macam gas yang perbandingan
yang tidak tetap, bergantung dengan tekanan udara, keadaan suhu udara dan
lingkungan sekitar. Kandungan yang terdapat didalam udara adalah oksigen (O₂)
untuk bernafas, karbondioksida untuk proses fotosintesis oleh khlorofil daun dan
ozon (O₃) untuk menahan sinar ultra violet. Udara bersih daqn kering tersusun
dari Nitrogen (N₂) 78,09 %, Oksigen (O₂) 21,94 %, Argon (Ar) 0,93 %, dan
Karbon dioksida (CO₂) 0,032 %. Gas-gas lain yang terdapat dalam udara antrara
lain gas-gas mulia, nitrogen oksida, hidrogen, methana, belerang oksida, amonia,
dan lain-lain. Apabila susunan udara mengalami perubahan dari susunan keadaan
10

normal, kemudian mengganggu kehidupan manusia, hewan, dan tumbuhan maka


udara tersebut telah tercemar (Wardhana, 2001).
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 41 tahun 1999
tentang Pengendalian Pencemaran Udara, pencemaran udara adalah masuknya
atau dimasukkannya zat, energi, dari komponen lain kedalam udara ambien oleh
kegiatan manusia, sehingga mutu udara turun sampai pada tingkat tertentu yang
menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya.
D. Sumber Pencemaran Udara
Perubahan lingkungan udara pada umumnya disebabkan pencemaran
udara yaitu masuknya zat pencemar yang berbentuk gas-gas dan partikel kecil /
aerosol ke dalam udara. Pencemaran udara dapat didefinisikan sebagai hadirnya
substansi di udara dalam konsentrasi yang cukup untuk menyebabkan gangguan
pada manusia, hewan, tanaman maupun material . substansi ini bisa berupa ga,
cair maupun padat. Pencemaran udara terjadi akibat dilepaskannya zat pencemar
dari berbagai sumber ke udara. Masuknya zat pencemar kedalam udara dapat
secara alamiah seperti asap kebakaran hutan, gunung berapi, debu meteorit dan
pancaran garam dari laut. Sebagian besar masuknya zat pencemar juga disebabkan
oleh kegiatan manusia misalnya akibat aktivitas transportasi, industri,
pembuangan sampah (proses dekomposisi atau pembakaran), dan kegiatn rumah
tangga (Sastrawijaya, 2000).
Berdasarkan ciri fisik, bahan pencemaran udara berupa (1) partikel (debu,
aerosol, timah hitam), (2) gas (CO, NO×, SO×, H₂S, hidrokarbon), dan (3) energi
(suhu dan kebisingan), sedangkan berdasarkan dari kejadian, terbentuknya
pencemaran terdiri dari (1) pencemaran primer yaitu pencemaran yang diemisikan
langsung, dan (2) pencemaran sekunder yaitu pencemaran yang terbentuk karena
reaksi yang terjadi di udara antara berbagai senyawa(Fardiaz, 1992).
Sumber pencemar dibagi menjadi 3, yaitu sumber titik, mobile, dan area.
Sumber titik adalah sumber yang diam berupa cerobong asap, sumber mobile
adalah sumber yang bergerak yang berasal dari kendaraan bermotor, dan sumber
area adalah sumber yang berasal dari pembakaran terbuka di daerah pemukiman,
pedesaan, dan lain-lain (Afandi dan Hidayat, 2010).
11

E. Sumber Pencemaran Dari Sektor Transportasi


Menurut Badan Pengelola Lingkungan Hidup Jawa Barat (BPLHD, 2009),
dari berbagai sektor nyang potensial dalam mencemari udara, pada umumnya
yang memegang peran sangat besar dibandingkan dengan sektor lainnya adalah
sektor transportasi. Jumlah kontribusi gas buang kendaraan bermotor sebagai
sumber polusi udara di kota – kota besar mencapai 60-70%, sedangkan kontribusi
gas buang dari cerebong asap industri hanya berkisar 10-15%. Dan selebihnya
berasal dari sumber pembakaran lain, seperti pembakaran sampah, kebakaran
hutan .
Dalam konteks pencemaran udara kendaraan bermotor yang menjadi alat
transportasi dikelompokkan sebagai sumber yang bergerak. Karakteristik yang
demikian menjadikan penyebaran pencemaran yang diemisikan dari sumber –
sumber kendaraan bermotor ini akan mempunyai suatu pola penyebaran spasial
yang meluas. Penyebaran pencemaran yang di emisikan sangat dipengaruhi oleh
faktor perencanaan sistem transformasi, mengikuti jalur-jalur transportasi yang
direncanakan. Menurut Badan Pengelola Lingkungan Hidup Jawa Barat (BPLHD,
2009) faktor penting yang menyebabkan dominannya pengaruh seektor
transportasi terhadap perencanaan udara perkotaan di Indonesia adalah sebagai
berikut : 1) Perkembangan jumlah kendaraan yang cepat (eksponensial). 2) Tidak
seimbangnya prasarana transportasi dengan jumlah kendaraan yang ada. 3) Pola
lalu lintas perkotaan yang berorientasi memusat, akibat terpusatnya kegiatan-
kegiatan perekonomian dan perkantoran di pusat kota. 4) Masalah turunan akibat
pelaksanaan kebijakan pengembangan kota yang ada, misalnya daerah
pemukiman penduduk yang semakin menjauhi pusat kota. 5) Kesamaan waktu
aliran lalu lintas. 6) Jenis, umur dan karakteristik kendaraan bermotor. 7) Faktor
perawatan kendaraan. 8) jenis bahan bakar yang digunakan. 9) jenis permukaan
jalan. 10) Siklus dan pola mengemudi (driving pattern).

F. Baku Mutu Kualitas Udara Ambien


Pengendalian pencemaran udara meliputi pengendalian dari usaha atau
kegiatan sumber bergerak, sumber bergerak spesifik, sumber tidak bergerak, dan
sumber tidak bergerak spesifik yang dilakukan dengan upaya pengendalian
12

sumber emisi atau sumber gangguan yang bertujuan untuk mencegah turunnya
mutu udara ambien. Baku mutu udara ambien adalah batas maksimum mutu udara
ambien untuk mencegah pencemaran yang standartnya berpedoman pada
ketentuan yang telah ditetapkan. Untuk menjaga kualitas udara perkotaan
Pemerintah Republik Indonesia menetapkan Baku Mutu Nasional melalui
peraturan pemerintah republik indonesia nomor 41 tahun 1999 tentang
pengendalian pencemaran udara sebagai berikut :
Tabel 1. Baku Mutu Udara Ambien Nasional

No Parameter Waktu Baku Mutu Metode Peralatan


Pengukuran Analisis
1. SO₂ 1 jam 900
(Sulfur 24 jam ug/Nm3 Pararosanilin Spektrofoto
Dioksida ) 1 tahun 365 meter
ug/Nm3
60 ug/Nm3
2. CO 1 jam 30.000
(Karbon ug/Nm3 NDIR NDIR
Monoksida) 24 jam 10.000 Analyzer
ug/Nm3
1 tahun -
3. NO₂ 1 jam 400 Spektrofoto
(Nitrogen 24 jam ug/Nm3 Saltzman meter
Dioksida) 1 tahun 150
ug/Nm3
100
ug/Nm3
4. Pb 1 jam - Gravimetric Hi – Vol
(Timah 24 jam 2 ug/Nm3 Ekstraktif
Hitam) 1 tahun 1 ug/Nm3 Pengabuan AAS
Sumber : Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 41 tahun 1999 tentang
Pengendalian Pencemaran Udara.
Udara ambien adalah udara merupakan udara bebas yang ada di
permukaan bumi pada lapisan troposfir yang dibutuhkan dan mempengaruhi
kesehatan, makhluk hidup dan unsur lingkungan hidup lainnya. Kualitas udara
ambien adalah kadar zat atau energi dan komponen lain yang ada di udara bebas.
Sedangkan mutu udara ambien merupakan keadaan mutu udara disuatu tempat
pada saat dilakukan inventarisasi. Berdasarkan baku mutu kualitas udara ambien
13

ditentukan baku mutu emisi,berdasarkan antisipasi bahwa dengan emisi cemaran


dibawah baku mutu dan adanya proses transportasi, konversi dan penghilangan
cemaran maka kualitas udara ambien tidak akan melampaui baku mutunya.
G. Tumbuhan Sebagai Penyerapan dan Penjerapan Polutan

Banyak sekali manfaat yang dapat diambil dari tanaman sehingga


penghijauan menggunakan tanaman sebagai materi pokok merupakan suatu usaha
penataan lingkungan dan upaya untuk menanggulangi berbagai penurunan
kualitas lingkungan, terutama pada daerah industri dan daerah padat lalu lintas.
Untuk menjaga kualitas udara perkotaan pohon pelindung disepanjang jalur hijau
sangat penting, selain itu pohon pelindung disepanjang jalur hijau juga mampu
mengurangi kadar bahan pencemaran yang berasal dari buangan kendaraan
bermotor (Patra, 2002)
Tanaman mampu mengurangi masalah polusi udara sekitar jalan melalui
penyerapan polutan gas dan penjerapan partikel pada permukaan daun. Vegetasi
tanaman mampu mengurangi konsentrasi polutan disekitar jalan melalui
pengenceran polutan oleh vegetasi tepi jalan yang terhembus oleh angin dan
terangkat ke puncak tanaman, sehingga polutan terencerkan pada atmosfir yang
lebih luas (Patra, 2002). Menurut (Hakim dan Utomo, 2003) Keunggulan sifat
vegetasi di dalam ruang terbuka hijau adalah mampu melakukan aktivitas
fotosintesis, yaitu proses metabolisme didalam vegetasi dengan menyerap gas
CO₂, kemudian membentuk gas oksigen. Beberapa cara vegetasi mengurangi
pencemaran udara antara lain melalui morfologi permukaan daun, cabang yang
spesifik, dengan lapisan bulu bulu pada daun, proses transpirasi, dan menjebak
butiran padat yang kemudian tercuci oleh air hujan atau dengan pencucian udara.
Selain itu tanaman juga dapat mengabsorpsi dan menyelubungi dari asap dan bau
busuk. Secara singkat penyusunan jalur hijau jalan memiliki fungsi sebagai
pembersih udara, perlindungan, estetika, konservasi dan produksi (Kementrian
Lingkungan Hidup, 2011)
Menurut (Nurfaida et al., 2011), ada 4 mekanisme atau cara tanaman
dalam mengurangi polusi udara yaitu : 1) menjerap (adsorpsi), hinggap di
permukaan daun (menempel), antara lain untuk polutan padat, partikel debu,
14

logam-logam (Pb, Zn, Fe, dsb), 2) menyerap (absorpsi), diasimilasi oleh jaringan
tanaman dalam daun, antara lain, untuk gas Nox (NO₂, NO₃), Sox (SO ₂, SO ₃)
CO₂, CO, HC, PAN (Peroxy Acetic Nitrat), 3) Mendifusi, yaitu mengencerkan
konsentrasi polutan, dan 4) mendeposisi, yaitu menjatuhkan polutan ke tanah.
Dengan adanya mekanisme ini jumlah debu yang melayang diudara akan
menurun. Partikel yang melayang-layang dipermukaan bumi sebagian akan
terjerap (menempel) pada permukaan daun, khususnya daun yang berbulu dan
memiliki permukaan kasar, sebagian lagi masuk kedalam ruang stomata daun.
Dan ada yang menempel pada kulit pohon, cabang, dan ranting.
Efektifnya mekanisme penjerapan ditentukan oleh ukuran, kerapatan dan
bentuk trikoma. Jenis tanaman yang digunakan untuk menyerap gas adalah
tanaman yang mempunyai ciri : memiliki stomata yang banyak, memiliki
ketahanan tertentu terhadap gas tertentu, dan memiliki tingkat pertumbuhan yang
cepat (Nurfaida et al., 2011)
Menurut (Basri, 2009), Kemampuan vegetasi dalam menangkap dan
menyerap zat-zat pencemar yang terdapat di udara juga dipengaruhi oleh jenis,
umur, lebar dan karakteristik daun vegetasi tersebut. Zat pencemar di udara yang
berupa gas buang akan diserap oleh vegetasi melalui stomata dan akan mengikat
butir-butir partikel di daun (scott et al). Tanaman dengan spesies sensitifitas tinggi
berguna untuk peningkatan awal indikasi adanya bahan pencemar di udara,
sedangkan untuk spesies tanaman yang tingkat toleransi tinggi akan mengurangi
tingkat polusi di udara secara menyeluruh. Hal ini menjelaskan bahwa jalur hijau
merupakan faktor pengontrol tingkat polusi. (Hakim dan Utomo, 2003),
mengemukakan bahwa 1 hektar ruang terbuka hijau yang didominasi oleh
beragam jenis tanaman mampu menghasilkan 0,6 ton oksigen untuk dikonsumsi
oleh 1.500 orang perhari.
Hasil hasil tersebut membuktikan bahwa tanaman efektif dalam
membersihkan polutan dari udara. Hasil penelitian Puslitbang Nasional
mengatakan bahwa tanaman-tanaman yang terdapat di RTH mampu mereduksi
polusi udara sekitar 5 hingga 45%. Selain itu RTH juga efektif dalam mengurangi
efek-efek climatological heath pada lokasi pemusatan bangunan tinggi yang
15

dapat berakibat pada timbulnya anomali-anomali pergerakan zat pencemar udara


yang berdampak destruktif baik terhadap fisik bangunan dan makhluk hidup
(Suparwoko dan Firdaus, 2007)
III. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI
A. Gambaran Umum Kota Bireuen
1. Letak Administratif
Kabupaten Bireuen merupakan salah satu Kabupaten dalam Provinsi
Aceh yang letaknya sangat strategis dan dilintasi oleh Jalan Nasional serta
diapit oleh beberapa Kabupaten dan merupakan pusat perdagangan di
wilayahnya. Secara geografis, Kabupaten Bireuen terletak pada posisi 4 0 54’ -
50 21’ Lintang Utara (LU) dan 960 20’ - 970 21’ Bujur Timur (BT) dengan
luas wilayahnya 1796,32 Km2 atau (179.632 Ha) dan berada pada ketinggian
0-2637m Dari Permukaan Laut (DPL). Sepanjang tahun 2016, Kabupaten
Bireuen memiliki rata-rata curah hujan sekitar 124 mm³.
Sejak tahun 2004, secara administratif Kabupaten Bireuen memiliki 17
kecamatan terdiri dari 609 desa dan 75 kemukiman. Kecamatan Peudada
merupakan kecamatan terluas dengan dengan luas wilayah sekitar 312,8 km²,
sedangkan Kecamatan Kota Juang merupakan Kecamatan dengan luas
wilayah terkecil sekitar 16,91 km². kecamatan Samalanga merupakan
Kecamatan yang memiliki jarak terjauh dari Kecamatan ke Ibukota Kabupaten
yaitu berjarak 36 km dan Kecamatan Kota Juang memiliki jarak terdekat dari
Kecamatan menuju Ibukota Kabupaten yaitu 0 km dan Kabupaten Bireuen
memiliki batas wilayah sebagai berikut:
a. Utara : Selat Malaka
b. Tenggara : Kabupaten Bener Meriah
c. Selatan : Kabupaten Aceh Tengah
d. Barat : Kabupaten Pidie Jaya
e. Barat Daya : Kabupaten Pidie
f. Timur : Kabupaten Aceh Utara
Kabupaten Bireuen terdiri dari 1 lembah, 53 lereng, 555 dataran dan
memiliki daerah yang datar dan bergelombang ( 0-8%) terutama pada wilayah
pesisir utara sedangkan pada daerah bagian Selatan memiliki topografi
berbukit dengan kemiringan 15% sampai dengan 30%. Morfologi daerah di
kabupaten Bireuen dapat di bagi tiga, yaitu: daerah pesisir (Utara),
15
kenampakan yang ada adalah di daerah pantai struktur tanahnya berupa
pasir,banyak di tumbuhi pohon kelapa , tambak – tambak rakyat, pemukiman
penduduk desa pantai dan desa tambak, tempat pembenihan, di daerah muara
umumnya dipakai tempat TPI dan PPI dan beberapa kota – kota kecamatan
berada di wilayah ini . Daerah tengah kenampakan yang ada adalah di
dominasi persawahan , kebun- kebun penduduk , pemukiman penduduk dan
ibu kota Kabupaten berada juga di wilayah ini yang di lewati jalan Nasional
Banda Aceh – Medan. Daerah Selatan kenampakan yang ada adalah daerah
berbukit atau dataran tinggi yang umumnya merupakan kawasan hutan,
meliputi hutan lindung, konservasi dan termasuk juga kawasan budidaya.
Kabupaten Bireuen juga dilalui oleh 17 sungai, yaitu krueng
samalanga, krueng inong, krueng agam, krueng pandrah, krueng jeunib,
krueng sunyoh, krueng nalan, krueng peudada, krueng uneun, krueng wie,
krueng bugeng, krueng simpo, krueng meuh, krueng gunci, krueng pineueng,
krueng mane, dan krueng peusangan yang seluruhnya bermuara ke selat
malaka.

16
Tabel : Luas wilayah menurut kecamatan di Kabupaten Bireuen.

No Kecamatan Luas Wilayah Persentase


(Km²)
1 Samalanga 140,87 7,84
2 Sp. Mamplam 157,72 8,78
3 Pandrah 113,97 6,34
4 Jeunieb 112,37 6,26
5 Peulimbang 127,75 7,11
6 Peudada 312,84 17,42
7 Juli 231,18 12,87
8 Jeumpa 108,86 6,06
9 Kota Juang 16,91 0,94
10 Kuala 17,25 0,96
11 Jangka 37,49 2,09
12 Peusangan 59,08 3,29
13 Peusangan Selatan 94,15 5,24
14 Peusangan Siblah 112,05 6,24
Krueng
15 Makmur 68,57 3,82
16 Gandapura 46,56 2,59
17 Kuta Blang 38,70 2,15
Jumlah / Total 1 796,32 100,00
Tahun 2015 1 796,32 100,00

17
16

2. Iklim
Iklim di Kabupaten Bireuen sebagaimana pada umumnya di
Indonesia, Kabupaten Bireuen merupakan daerah tropis dengan tipe iklim
muson , dengan klasifikasi menurut sistem mohr,schimidt dan ferguson
termasuk dalam tipe C. Kondisi iklim di wilayah kabupaten Bireuen relatip
lebih kering di banding dengan bagian lain di Provinsi Aceh. Hal ini di
pengaruhi oleh adanya pegunungan Bukit Barisan, yang mana secara umum
wilayah Timur dan Utara merupakan wilayah yang lebih kering di bandingkan
dengan wilayah sebelah Barat dan Selatan.
Keadaan iklim secara umum di wilayah Kabupaten Bireuen dengan
suhu rata-rata 30 0C dan kelembaban udara berkisar 84 – 89 %, bila di rata –
rata dalam sepuluh tahun berkisar 86,6 %.
Curah hujan rata – rata tahunan di wilayah Kabupaten Bireuen
berdasarkan pantauan dari 4 (empat) BPP adalah berkisar 1.447 mm pertahun,
dengan rata-rata hari hujan adalah sebesar 92 hari pertahun. Pada bulan
Agustus sampai Desember, curah hujan bulanan mencapai maksimal dengan
rata-rata berkisar antara 10 – 13 hari dalam satu bulan. Pada bulan Juni curah
hujan paling rendah dengan rata-rata curah hujan berkisar 54 mm dengan hari
hujan sebanyak empat hari.

Bulan Hari Hujan Curah Hujan (mm)


Januari 10 221
Februari 7 207
Maret 4 79
April 7 64
Mei 8 116
Juni 9 152
Juli 7 95
Agustus 7 69
September 5 43
Oktober 9 68
17

November 12 201
Desember 11 177
Rata-Rata 8 124
Tahun 2015 8 147
Tahun 2014 7 122

3. Tipe Tanah
Jenis Tanah di Kabupaten Bireuen terdiri dari tanah Aluvial,
Hidromorf kelabu, Podsolik Merah Kuning, Latosol, Komplek PMK Latosol
dan Litosol serta Komplek Renzina dan Litosol. Di bagian utara wilayah ini di
dominasi oleh jenis tanah Aluvial dan Hidromorf Kelabu, sedangkan pada
bagian selatan wilayah ini di dominasi oleh jenis tanah Latosol, Komplek
PMK Latosol dan Litosol serta Komplek Renzina dan Litosol. Jenis tanah ini
mempunyai pengaruh yang cukup kuat terhadap kesesuaian tanaman yang
dapat dikembangkan. Jenis tanah Aluvial dan Latosol umumnya relatif subur
dan pada tanah tersebut sesuai untuk pengernbangan pertanian, jenis tanah
Podsolik Merah Kuning sesuai untuk tanaman perkebunan atau tahunan.
Sedangkan jenis tanah Litosol mempunyai sifat yang mudah tererosi dan
mempunyai kedalaman efektif yang dangkal sehingga mempunyai resiko erosi
yang tinggi.
4. Demografi
Berdasarkan Proyeksi penduduk Kabupaten Bireuen tahun 2016
terdapat jumlah penduduk sebanyak 443.627 jiwa yang terdiri atas 217.105
jiwa penduduk laki-laki dan 226.522 jiwa penduduk perempuan.
Dibandingkan dengan proyeksi jumlah penduduk tahun 2015, penduduk
Bireuen mengalami pertumbuhan sebesar 1,91 persen dengan masing-
Penduduk Kabupaten bireuen berjumlah 359,032 jiwa yang tersebar di
17 Kecamatan dan 609 desa dengan penduduk paling terbanyak terdapat di
Kecamatan Peusangan yaitu 44,148 jiwa dan Kecamatan Kota Juang yaitu
18

42,783 jiwa dan penduduk yang paling sedikit terdapat di Kecamatan Pandrah
yaitu 7,509 jiwa.
Jumlah penduduk dan kepadatan kecamatan di Bireuen ditunjukkan
pada tabel berikut :
Tabel 1. Kepadatan penduduk perkecamatan di Kab. Bireuen
No Kecamatan Luas Jumlah Kepadatan
Wilayah Penduduk Penduduk per
(Km2) (jiwa) Km2
1. Samalanga 156,22 24.034 154
2. Simpang Mamplam 218,49 21.093 97
3. Pandrah 89,33 7.509 84
4. Jeunieb 114,52 18.764 164
5. Peulimbang 64,15 9.330 145
6. Peudada 391,33 22.148 57
7. Juli 212,08 25.416 120
8. Jeumpa 69,42 28.390 409
9. Kota Juang 31,56 42.783 1,356
10. Kuala 23,72 15.100 637
11. Jangka 81,18 25.300 312
12. Peusangan 122,48 44.148 360
13. Psg. Selatan 106,33 11.971 113
14. Psg.Siblah Krueng 76,62 9.320 122
15. Makmur 66,53 13.295 200
16. Gandapura 36,15 20.857 577
17. Kuta Blang 41,1 19.574 476
Total 1901,21 359.032 4028,36

B. Gambaran eksisting transportasi Kota Bireuen

Emisi kendaraan bermotor dan kualitas udara ambien di wilayah


perkotaan Bireuen lebih banyak dipengaruhi oleh kegiatan transportasi, dalam
arti bahwa sumber pencemaran udara lebih banyak disebabkan dari sumber
pencemaran bergerak (saranan transportasi). Emisi gas buang kendaraan
bermotor merupakan penyebab utama buruknya kualitas udara di Bireuen saat
ini. Kendaraan pribadi merupakan penyumbang pencemaran udara paling
banyak dari sumber bergerak karena jumlahnya yang jauh lebih besar
dibanding kan dengan kendaraan lain.
IV. TATA CARA PENELITIA
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian akan dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juli 2018 di
dua ruas jalan yaitu: Jl. Medan-Banda Aceh, dan Jl. Bireuen-Takengon, Kota
Bireuen. Secara administratif Jl. Medan-Banda Aceh dan jl. Bireuen-Takengon
masuk ke dalam kecamatan Kota Juang, Bireuen, Aceh.
B. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa kondisi
eksisting jalur hijau dan peta jalan kota Bireuen baik hasil survei langsung dan
berupa data dari instansi terkait. Alat yang digunakan meliputi: alat tulis, kamera
dan perangkat komputer. Selanjutnya data dikumpulkan untuk dianalisis.
C. Metode Penelitian dan Analisis Data
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode survey. Metode survey adalah
metode pengambilan sampel dari suatu populasi dengan menggunakan
kusioner sebagai alat pengumpulan data (Singarimbun, 2012). Dalam
penelitian ini ada dua jenis data yang digunakan yaitu data primer dan
sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari survei, dengan cara
pengamatan langsung kondisi eksisting objek penelitian meliputi jenis, fungsi
dan sebaran tanaman jalur hijau jalan dan kondisi sosial berupa pengguna
jalan. Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi pustaka,
dokumen-dokumen dan instansi terkait dan internet research meliputi kondisi
fisik wilayah, kualitas udara menurut lokasi, dimensi jalan, fungsi ekologis
tanaman jalur hijau jalan sebagai pendukung keseluruhan penelitian yang
dilakukan serta untuk memperkuat dan melandasi data primer yang didapat
2. Pemilihan Lokasi
Pemilihan lokasi dilakukan dengan cara purposive, yaitu sengaja dipilih
sesuai dengan tujuan penelitian. Lokasi yang dipilih didasarkan pada kondisi
eksisting, kepadatan lalu lintas yang terjadi dan didasarkan pada kualitas udara
ambien. Berdasarkan data Status Lingkungan Hidup Daerah Aceh (2014) Kualitas
udara ambien berdasarkan lokasi menunjukkan pada dua ruas jalan yang dipilih

19
20

meliputi Jalan Medan-Banda Aceh, dan Jalan Bireuen-Takengon, Kota Bireuen.


merupakan jalur jalan yang mempunyai tingkat polusi udara paling tinggi
dibandingkan dengan ruas jalan lainnya di kota Bireuen dan kedua ruas jalan ini
merupakan jalan antar kota yang sering dilewati oleh banyak kendaraan bermotor.
Data polutan dapat dilihat pada tabel sebagai berikut :
Tabel 2. Kualitas udara ambien menurut lokasi
Lokasi
No Parameter Satuan Lama Pengukuran
1 2
1 SO2 µg/Nm 3
24 Jam 49,420 39,210
2 CO µg/Nm3 24 Jam 4.581,000 5.199,000
3 NO2 µg/Nm3 24 Jam 93,390 77,430
4 HC µg/Nm 3
24 Jam 87,800 45,000
5 Pb µg/Nm3 24 Jam 0,000 0,000
Keterangan : 1. Jalan Bireuen-Takengon, 2. Jalan Medan-Banda Aceh

3. Pemilihan Sampel
Pengambilan sampel menggunakan teknik non-probability sampling.
Yaitu tidak semua populasi diberi kesempatan untuk dijadikan sample. Pengabilan
sample dilakukan dengan purposive sampling (Purposif sampel). Purposif sampel
yaitu metode pengambilan sampel dengan pertimbangan tertntu yang dianggap
relevan atau dapat mewakili objek penelitian. Masyarakat yang dijadikan sampel
yaitu yang secara tiba tiba dijumpai dan tidak direncanakan sebelumnya.
Misalnya, pengguna jalan yang sedang melintas atau pernah melintas pada ruas
ruas jalan yang menjadi objek pnelitian.
Sampel yang digunakan tidak didasarkan pada jumlah populasi manusia
maupun populasi kendaraan bermotor pada suatu kawasan, tetapi didasarkan pada
pendugaan kepadatan lalu lintas kendaraan bermotor. Penggunaan sampel ≥ 30
(sampel besar) diharapkan dapat mewakili sifat populasi secara keseluruhan.
Dalam penelitian ini, pendugaan kepadatan lalu lintas adalah 50 kendaraan
bermotor yang melintas pada tiap-tiap ruas jalan pada objek penelitian yang akan
dijadikan sampel/responden. Jadi, jumlah total sampel/responden yang digunakan
yaitu sebanyak 100 orang. Pertanyaan yang akan diberikan kepada responden
yaitu pertanyaan yang berhubungan dengan lingkungan, kondisi eksisting dan
pola pemikiran masyarakat terhadap pencemaran udara pada lokasi penelitian.
21

4. Analisis Data
Data-data yang terkumpul dilakukan analisis deskriptif. Tujuan penelitian
deskriptif ini ialah untuk deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis,
faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan fenomena yang
diselidiki. Analisis deskriptif digunakan untuk memberikan gambaran, penjelasan,
dan uraian hubungan antara faktor dengan faktor lain berdasarkan fakta, data dan
informasi kemudian dibuat dalam bentuk tabel atau gambar (Singarimbun, 2012).
D. Jenis Data
Dalam penelitian ini, jenis data yang akan digunakan berupa data primer
dan data sekunder. Adapun data – data yang diperlukan adalah sebagai berikut :
Tabel 3. Jenis data dan sumber data penelitian

No Jenis Data Bentuk Data Sumber


1 Peta kota Bireuen dan peta jalan Sekunder BAPPEDA
Kondisi fisik wilayah (jenis tanah,
Primer dan Survei lokasi
2 topografi, ketersedian air, iklim, jalur
Sekunder BAPPEDA
hijau jalan dan ruang terbangun)
Kualitas udara menurut lokasi/jumlah
3 Sekunder DLLAJ
emisi karbon total menurut lokasi
Dimensi jalan (lebar jalan, daerah milik
4 Sekunder DEP. PU
jalan, lebar trotoar)
Komposisi dan kondisi eksisting jalur
5 Primer Survei lokasi
hijau jalan
Persepsi masyarakat (fungsi, jenis dan
6 Primer Responden
sebaran tanaman yang ada di lapangan

Jika tidak ditemui data dari dinas terkait, maka akan digunakan rumus
Indeks polutan CO untuk mengetahui jumlah polutan CO pada udara yang
dihasilkan akibat lalu lintas kendaraan bermotor di Kota Bireuen.
Indeks polutan CO dihitung berdasarkan persamaan berikut :

Keterangan :
Cc₈ = Konsentrasi maksimum CO dalam pengukuran 8 jam.
22

Cc₁ = Konsentrasi maksimum CO dalam pengukuran 1 jam.


Sc₈ = Konsentrasi standar sekunder CO dalam pengukuran 8 jam (9 ppm)
Sc₁ = Konsentrasi standar sekunder CO dalam pengukuran 1 jam (35 ppm)
S = S=1 jika Sc₁< Cc₁ dan S=0 jika Sc₁ ≥ Cc₁
E. Luaran Penelitian
Penelitian ini akan menghasilkan suatu model evaluasi komposisi RTH
pada Jalur Hijau Jalan kota Bireuen yang sesuai dengan karakteristik kawasan
yang dapat menjadi masukan atau bahan pertimbangan bagi pemerintah
setempat.

F. Jadwal Penelitian
Tabel 4. Aktivitas dan Jadwal Penelitian
Juni Juni-Juli Juli-Agustus
Aktivitas
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2
Persiapan dan perijinan
Survei lokasi (observasi)

Pengambilan data sekunder

Analisis
Penyusunan laporan
23

V. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Kondisi Fisik
Penelitian dilakukan pada dua ruas jalan yaitu Jalan Medan-Banda
Aceh dan Jalan Bireuen-Takengon yang secara administratif terdapat pada
satu kecamatan, yaitu Kecamatan Kota juang Kabupaten Bireuen.

Kecamatan kota juang merupakan kecamatan yang memiliki luas


wilayah terkecil dan jumlah penduduk tertinggi dari 17 kecamatan di kota
Bireuen. Adapun luas wilayah Kecamatan Kota Juang adalah 16,91 km² atau
sebesar 0, 94% dari total luas wilayah Kota Bireuen dan berada pada
ketinggian 0-197 mdpl. Kecamatan Kota Juang terletak tepat di jantung Kota
Bireuen berdampingan dengan Kecamatan Kuala (Masukkan Lampiran Peta
Bireuen). Secara garis besar wilayah Kecamatan Kota Juang termasuk wilayah
yang menjadi pusat aktifitas penduduk (civic center)menurut kostof (1992) cit.
Dewanti (2012) civic center merupakan bagian dari kota yang secara spasial
menjadi pusat berbagai macam kegiatan kegiatan politik, spiritual, ekonomi,
pertahanan dan rekreasi).

Penggunaan lahan di kecamatan Kota Juang untuk perumahan, dapat


diasumsikan bahwa hamper seluruh wilayah Kota Juang merupakan Kawasan
yang padat bangunan dengan segala aspek kehidupan masyarakat didalamnya
terkhusus lalu lintas kendaraan bermotor. Secara administratif kecamatan kota
juang merupakan wilayah kecamatan terkecil dengan jumlah penduduk
terbesar di Kabupaten Bireuen. Luas kecamatan kota juang adalah 16,91 km²
atau sebesar 0, 94 % dari luas wilayah kota bireuen yang berada pada
ketinggian 0-197 mdpl. Secara administratif kecamatan kota juang berada di
pusat kota Bireuen, hal ini mengakibatkan beberapa jalan d kecamatan kota
juang menjadi jalan lintas yang sering dilalui, Penggunaan lahan di kecamatan
Kota juang. Bias diasumsikan penggunaan lahan di kecamatan kota juang
lebih mengarah kepada ruag terbangun yang didominasi oleh perumahan.

Ketersediaan RTH khusus jalur hijau sangat terpengaruh oleh luas


ruas jalan di masing-masing kecamatan.
24

B. Pencemaran CO (Karbon Monoksida)


Menurut Lutfi (2009) ada berbagai jenis polutan yang berbahaya bagi
kehidupan manusia, diantaranya adalah Karbon Monoksida (CO),sulfur
dioksida (SO2), benzene, nitrogen dioksida (NO2), formaldehid,
trichloroetilen, mangan (Mn), seng (Zn) dan tebaga (Cu). Pencemaran yang
paling sering dijumpai dari kegiatan sehari-hari manusia adalah berasal dari
kendaraan bermotor atau aktivitas transportasi yang memicu munculnya
beberapa emisi gas berupa Sox, NOx dan yang paling penting CO.

Meningkatnya jumlah serta kepadatan lalu lintas kendaraan bermotor


akan berdampak buruk terhadap kualitas udara di Kota Bireuen. Semakin
tinggi jumlah kendaraan bermotor, maka bertambah pula emisi karbon yang
dihasilkan dari sumber emisi. Jumlah kendaraan bermotor yang terdaftar di
polres Kabupaten Bireuen pada tahun 2016 adalah sebanyak 11. 649 dan
9.778 pada tahun 2014 (KBDA, 2017). Dari data tersbebut dapat diasumsikan
bahwa pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor dalam angka tahun 2014
sampai dengan 2016 adalah sebanyak 1.871 unit kendaraan bermotor yang
terdaftar di polres bireuen, belum terhitung lagi yang melintas antar kota
ataupun kendaraan luar kota yang belum terdaftar.

Meningkatnya jumlah kendaraan bermotor tentu hasilnya akan


berdampak terhadap lalu lintas, meningkatnya angka kecelakaan lalu lintas,
kepadatan dan kemacetan di setiap ruas jalan. Tidak hanya sebatas kepadatan
saja akan tetapi juga berpengaruh pada peningkatan jumlah pencemaran udara
khususnya polutan CO yang dihasilkan melalui aktifitas tersebut. Hasil
pengujian kualitas udara di titik lokasi pengamatan yang berada pada jalan
Medan-Banda Aceh dan Bireuen-Takengon menunjukkan bahwa konsentrat
karbon monoksida pada setiap lokasi pengamatan yang telah di pilih adalah
sebagai berikut :

Masukkan Tabel pengujian Emisi


25

C. Komposisi Jalur Hijau Jalan


Kota Bireuen merupakan kota yang sedang berkembang dan tidak
mustahil 63% RTH yang merupakan lahan privat yang didominasi oleh sawah
dan perkebunan/tegalan, akan terus berkurang seiring dengan perkembangan
kota dalarn memenuhi kebutuhan perumahan, perkantoran atau kebutuhan
sosoial lain-nya, sedangkan 0,18% RTH yang berfungi sebagai jalur hijau juga
masih akan terus berkurang dengan adanya peningkatan pelebaran jalan
sehingga RTH yang tidak di rencanakan dalam RTRW Perkotaan Bireuen,
sedangkan RTH publik yang bisa dijadikan kawasan penghijuan pusat kota
belum ada dan hanya berupa jalur hijau dimedian jalan utama. Dari hasil
identifikasi eksisting jalur hijau jalan yang dilakukan sepanjang sepadan Jl.
Medan-Banda Aceh dan Jl. Bireuen-Takengon hanya terdapat beberapa jenis
tanaman pohon dan semak. Dalam penelitian ini, jenis tanaman difokuskan
pada tanaman jenis pohon. Adapun jenis dan jumlah pohon yang mengisi jalur
hijau di tiga ruas jalan adalah sebagai berikut :
1. Jl. Medan-Banda Aceh
Jalan Medan-Banda Aceh memiliki luas jalan sebesar … m². Jalan
ini menerapkan system jalur dua arah dan hanya memiliki jalur hijau di
median jalan dalam bentuk menjalur 1 baris. Jenis tanaman yang mengisi
jalur hijau Jl. Medan-Banda Aceh hanya ada satu yaitu
D. Komposisi Jalur Hijau Jalan Terhadap Penyerapan CO
Tanaman merupakan elemen lanskap yang dalam fungsi ekologinya
mampu mengurangi tingkat pencemaran udara. Akan tetapi tidak semua
tanaman mempunyai karakteristik yang dapat menyesuaikan karena setiap
tanaman mempunyai tingkat toleransi yang berbeda-beda dalam merespon
polutan. Ada tanaman yang mampu bertahan terhadap poolutan, begitu juga
sebaliknnya, sebagian tanaman kurang bahkan tidak mampu bertahan dengan
adanya polutan baik dalam jumlah banyak ataupun sedikit apalagi secara terus
menerus.
Tanaman memerlukan karbon dioksida (CO2) sebagai sumber energi
untuk pertumbuhannya dalam proses fotosintesis. Peningkatan pertumbuhan
dan rangsangan proses fotosintesis serta produksinya dipengaruhi oleh
peningkatan konsentrasi CO2 tidak diikuti oleh peningkatan transpirasi.
Konsentrasi karbon monoksida di atmosfer memiliki jangka waktu yang
pendek. Gas Karbon Monoksida (CO) akan teroksidasi secara alamiah di
26

atmosfer hingga menjadi CO2. Oksidasi karbon mnoksida dalam siklus karbon
secara tidak langsung juga mampu mempengaruhi energi radiasi yang
berkaitan dengan terbentuknya karbon dioksida dan ozon troposper hingga
berujung pada penebalan ozon yang terjadi efek rumah kaca. Oleh sebab itu,
daya serap vegetasi terhadap polutan akan disesuaikan juga dengan
kemampuan vegetasi dalam menyerap karbon dioksida disamping penyerapan
terhadap karbon monoksida.
Bagian morfologi tanaman yang berperan penting dalam penyerapan
polutan salah satunya adalah daun. Jumlah daun dan ketebalannya sangat
mempengaruhi tingkat penyerapan. Jadi, semakin banyak jumlah daun
tanaman tersebut maka semakin bagus responnya dalam menyerap zat
pencemar. Dan jenis daun harus tebal karena jenis daun yang tipis akan
mempermudah zat pencemar dalam menembus jaringan daun. Sedangkan
daun yang tebal lebih mempersulit proses reduksi atau penyerapan suatu
polutan.
Di Kota Bireuen pohon glodong tiang merupakan jenis tanaman pohon
yang sering ditemukan di tiap ruas jalan kota terutama dikawasan jalan
medan-banda aceh dan bireuen-takengon
DAFTAR PUSTAKA
Afandi, A., & Hidayat, T. (2010). Kajian Kualitas Udara Dan Kemampuan Ruang
Terbuka Hijau (Rth) Dalam Menyerap Emisi Karbon Akibat Lalu Lintasdi
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Kerjasama Kementrian Pekerjaan
Umum Dan Universitas Katolik Parahyangan. Retrieved from
https://www.scribd.com/document/335260900/59328013-Kajian-Kualitas-
Udara-Dan-Kemampuan-Ruang-Terbuka-Hijau-Rth-Dalam-Menyerap-
Emisi-Karbon-Akibat-Lalu-Lintas
Amsyari, F. (1986). Prinsip-Prinsip Masalah Pencemaran Lingkungan. Jakarta:
Ghalia Indonesia.
Basri, I. S. (2009). Jalur hijau ( green belt ) sebagai kontrol polusi udara
hubungannya dengan kualitas hidup di perkotaan. SMARTek, 7(2), 113–120.
BPLHD, J. B. (2009). Pencemaran Udara dari Sektor Transportasi. Bandung.
Retrieved from http://www.bplhdjabar.go.id/index.php/bidang-
pengendalian/subid-pemantauan-pencemaran/94-pencemaran-udara-dari-
sektor-transportasi
Dahlan, E. N. (2004). Membangun Kota Kebun (Garden City) Bernuansa Hutan
Kota. Bogor: IPB Press.
Direktorat Bina Marga. (1996). Tata Cara Perencanaan Teknik Lansap Jalan.
Departemen Pekerjaan Umum.
Fandeli, C. (2009). Prinsip-Prinsip Dasar Mengkonversi Lanskap (1st ed.).
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Fardiaz, S. (1992). Polusi Air dan Udara. Yogyakarta: Kanisius.
Hakim, R., & Utomo, H. (2003). Komponen Perancangan Arsitektur Lansekap:
Prinsip-Unsur dan Aplikasi Desain. Jakarta: Bumi Aksara.
Kementrian Lingkungan Hidup. (2011). Laporan Kegiatan Pengkajian Baku Mutu
Kualitas Udara Ambien Lampiran PP No. 41 Tahun 1999. Pusat Sarana
Pengendalian dampak Lingkungan.
Muhammad. (2016). 113.206 Kendaraan di Aceh Bertambah. Serambi News.Com.
Retrieved from http://aceh.tribunnews.com/2016/01/19/113206-kendaraan-
di-aceh-bertambah
Nurfaida, Tigin, D., & Yanti, C. W. B. (2011). Bahan Ajar Ilmu Tanaman
Lanskap. Makassar: Universitas Hasanuddin.
Patra, A. D. (2002). Faktor Tanaman dan faktor Lingkungan Yang Mempengaruhi
Kemampuan Tanaman Dalam Menyerap Polutan Gas NO. Institut Pertanian
Bogor.
Rahman, A., & Khadiyanto, P. (2013). Kecukupan Vegetasi Di Jalan Mt .
Haryono Kota Semarang Berdasarkan Opini Pengguna Jalan. Teknik PWK,
2(26), 124–132. Retrieved from http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/pwk
Sastrawijaya. (2000). Perencanaan Lingkungan. Jakarta: Rineka Cipta.
Singarimbun. (2012). Metode Penelitian Survai. Jakarta: Pustaka LP3ES.
Suparwoko, & Firdaus, F. (2007). Profil Pencemaran Udara Kawasan Perkotaan
Yogyakarta: Studi Kasus di Kawasan Malioboro, Kridosono, dan UGM
Yogyakarta. PPST DPPM Universitas Islam Indonesia, 4.

23
24

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang (2007).


Wardhana, W. A. (2001). Dampak Pecemaran Lingkungan. A. Offset.
Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai