Anda di halaman 1dari 65

LAPORAN KASUS

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


TUMOR ADRENAL

Disusun Oleh:
Brandon 01073190033
Cindy Permata Sari 01073190040
Gerald Reinaldi Tanardi 01073190032
Jessica T. D. Simanjuntak 01073190148
Jesslyn Natalie Hariyanto 01073190092
Rachel Adelia Putri 01073190038
Yonesha R. Prasetya 01073190080

Pembimbing:

Dr. dr. Edwin R. P. L. Tobing, Sp.U

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
RUMAH SAKIT UMUM SILOAM KARAWACI
PERIODE JUNI – AGUSTUS 2021
TANGERANG
DAFTAR PUSTAKA

BAB I 5

PENDAHULUAN 5

BAB II 6

TINJAUAN PUSTAKA 6
2.1. Anatomi Kelenjar Adrenal 6
2.2. Fisiologi Kelenjar Adrenal 9
2.2.1. Korteks Adrenal 9
2.2.2. Medulla Adrenal 14
2.3. Definisi 14
2.4. Epidemiologi 15

2.5. Etiologi 15
2.6. Patogenesis dan Patofisiologi 16
2.7. Klasifikasi 19
2.8. Manifestasi Klinis 24
2.8.1 Adrenocortical adenoma dan adrenocortical carcinoma 25
2.8.2 Pheochromocytoma 26
2.8.3 Neuroblastoma 26
2.8.4 Ganglioneuroma 27
2.9. Diagnosis 27
2.9.1. Tumor Cortex Adrenal 27
2.9.1.1 Anamnesis 27
2.9.1.1.1 Adrenocortical adenoma 27
2.9.1.1.2 Adrenocortical carcinoma 27
2.9.1.1.3 Cushing's Syndrome 28

2
2.9.1.2 Pemeriksaan Fisik 28
2.9.1.2.1 Adrenocortical adenoma 28
2.9.1.2.2 Adrenocortical carcinoma 28
2.9.1.2.3 Cushing's Syndrome 29
2.9.1.3 Pemeriksaan Penunjang 29
2.9.1.3.1 Complete Blood Count 29
2.9.1.3.2 Low Dose Dexamethasone Supression Test 30
2.9.1.3.3 Late Night Salivary Cortisol 31
2.9.1.3.4 24 Hour Urine Free Cortisol 31
2.9.1.3.5 Plasma ACTH Level 31
2.9.1.3.6 Plasma Androgen Levels 32
2.9.1.3.7 Computed Tomography (CT) 32
2.9.1.3.7.1 Adrenocortical adenoma 33
2.9.1.3.7.2 Adrenocortical carcinoma 33
2.9.1.3.8 Magnetic Resonance Imaging (MRI) 34
2.9.1.3.9 Biopsi Adrenal 35
2.9.1.3.10 Adrenal Scintigraphy 35
2.9.2 Primary Aldosteronism (Conn's Syndrome) 36
2.9.2.1 Anamnesis 36
2.9.2.2 Pemeriksaan Fisik 36
2.9.2.3 Pemeriksaan Penunjang 36
2.9.2.3.1 Skrining 37
2.9.2.3.2 Confirmatory Testing 38
2.9.2.3.2.1 Fludrocortisone Suppresion Test 38
2.9.2.3.2.2 Oral Sodium Loading Test 39
2.9.2.3.2.3 Intravenous Saline Infusion Test 39
2.9.2.3.2.3 Captopril Supression Test 39

3
2.9.2.3.3 Diferensiasi suptipe 39
2.9.2.3.3.1 Computed Tomography (CT) 40
2.9.2.3.3.2 Sampling Vena Adrenal 40
2.9.2.3.3.3 Posture Stimulation 42
2.9.3 Pheochromocytoma 42
2.9.3.1 Anamnesis 42
2.9.3.2 Pemeriksaan Fisik 43
2.9.3.3 Pemeriksaan Penunjang 43
2.9.3.3.1 Pemeriksaan Urin 43
2.9.3.3.2 Katekolamin Plasma 44
2.9.4 Adrenal Incidentaloma 45
2.9.1.1 Massa dengan Pencitraan Jinak 46
2.9.1.2 Massa Berukuran ≥1-<4 cm 46
2.9.1.2 Massa Berukuran ≥4 cm 47
2.9.5 Neuroblastoma 47
2.10. Tatalaksana 48
2.10.1. Adrenalektomi terbuka 51
2.10.2. Adrenalektomi laparaskopi 54
2.10.3. Tantangan intraoperatif 54
2.10.4. Komplikasi 55
2.11. Komplikasi 56
2.12. Prognosis 57

BAB III. KESIMPULAN 59

4
BAB I
PENDAHULUAN

Tumor adrenal menurut John Hopkins Medicine didefinisikan sebagai pertumbuhan


abnormal pada satu atau kedua kelenjar adrenal. Pertumbuhan dapat bersifat jinak (non-cancerous)
atau ganas (cancerous). Klasifikasi tumor berdasarkan dapat diklasifikasikan berdasarkan tumor
yang memproduksi hormon atau tidak, functioning dan non-functioning dan berdasarkan lokasi
yaitu tumor pada korteks adrenal, tumor pada medula adrenal, dan ekstra-adrenal yang akan kami
bahas secara detail pada bab selanjutnya.
Berdasarkan data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2018, prevalensi
tumor di Indonesia menunjukkan adanya peningkatan dari 1,4 per 1,000 penduduk di tahun 2013
menjadi 1,79 per 1,000 penduduk pada tahun 2018. Tumor adrenal merupakan kasus yang jarang,
yang memiliki insidensi sekitar 0,6 – 1,67 kasus per 1 juta penduduk per tahun. Rasio antara
perempuan dan laki – laki untuk terkena tumor adrenal adalah 2,5 – 3: 1. Tumor adrenal terjadi di
2 puncak utama, yaitu pada dekade pertama kehidupan dan pada dekade keempat hingga kelima.
Tumor fungsional sering terjadi pada anak – anak dan tumor nonfungsional sering terjadi pada
orang dewasa.
Penulisan dari referat ini adalah untuk mengetahui etiologi dari tumor adrenal, klasifikasi-
klasifikasi tumor adrenal, patogenesis dan patofisiologi dari tumor adrenal sehingga dapat
menentukan tatalaksana baik secara medikamentosa maupun non-medikamentosa yang dapat
memperbaiki klinis dan patofisiologis yang ada pada pasien dengan tumor adrenal ini.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Kelenjar Adrenal

Kelenjar Adrenal atau disebut juga kelenjar suprarenal merupakan kelenjar yang

terletak di bagian superior dan medial dari masing-masing ginjal, terletak di ruang

retroperitoneal, dan berada pada level tulang iga ke 11. Pada orang dewasa, setiap kelenjar

adrenal memiliki ukuran dengan panjang 3-5 cm , lebar 2-3 cm, dan dengan ketebalan

kurang dari 1 cm, dengan berat sekitar 4-5 g.1 Kelenjar adrenal kanan berbentuk triangular

atau piramidal, dan terletak dekat dengan hemidiafragma kanan, liver dan vena cava

inferior. Kelenjar adrenal kiri cenderung berbentuk bulat dan seperti bulan sabit, dimana

terletak dekat dengan struktur aorta, di bagian permukaan bawah terdapat bagian ekor

pankreas, dan terletak limpa di bagian superior dan lateral.1,2 Ginjal dan kelenjar adrenal

tertutup oleh fascia gerota (perirenal).3

Gambar 1.1. Anatomi Kelenjar Adrenal dan Organ Gastrointestinal

6
Vaskularisasi dari masing-masing Kelenjar Adrenal didapatkan dari tiga arteri;

yaitu arteri adrenal superior yang berasal dari arteri phrenica inferior, arteri adrenal media

yang berasal dari aorta, dan arteri adrenal inferior yang berasal dari arteri renalis. Beberapa

arteri yang berasal dari arteri interkostal dan gonadal juga memberikan suplai pada kelenjar

adrenal. Untuk aliran vena, sangat berbeda dengan suplai arteri dimana kelenjar adrenal

mengalirkan darah hanya ke satu vena besar tiap sisinya. Vena pada kelenjar adrenal kanan

biasanya pendek dan mengalirkan langsung ke vena cava inferior. Untuk bagian kelenjar

adrenal kiri, biasanya lebih panjang, dan mengalirkan darah ke vena renalis kiri setelah

bersatu dengan vena phrenica inferior.1,2 Pada 5-10% kasus, terdapat vena aksesoris pada

kelenjar adrenal, dimana pada sisi kanan, vena aksesoris akan mengalir ke vena hepatika

kanan atau ke vena renalis kanan, dan untuk vena aksesoris pada sisi kiri, akan secara

langsung mengalirkan darah ke vena renalis kiri.1

Gambar 1.2. Vaskularisasi Kelenjar Adrenal1

Saat perkembangan embrionik, kelenjar adrenal terbagi menjadi dua bagian baik

secara struktural maupun fungsional, yaitu bagian adrenal korteks dan adrenal medulla.

Adrenal korteks merupakan struktur yang berada di bagian perifer, dimana tampak

7
berwarna kuning karena kandungan tinggi lipid dan membentuk 80-90% dari volume

kelenjar. Adrenal medulla berada di bagian sentral, membentuk 10-20% volume kelenjar

adrenal dan tampak berwarna merah kecoklatan.1,2

Secara Histologi, bagian korteks adrenal terbagi lagi menjadi tiga zona sesuai

hormon yang disekresikan, yaitu zona glomerulosa, zona fasciculata dan zona reticularis.

Zona Glomerulosa merupakan zona terluar dari korteks adrenal, dan terdiri dari sel-sel

yang tersusun secara rapat, berbentuk kelompok bulat atau kolom melengkung, dan

merupakan tempat produksi dari hormon mineralocorticoid, yaitu aldosterone. Zona

fasciculata, terbentuk dari sel-sel tersusun dalam kolom-kolom panjang dan lurus,

merupakan zona paling besar pada korteks adrenal, dan tempat hormon glucocorticoids

dihasilkan. Bagian terdalam, yaitu zona reticularis, terbentuk dari sel-sel tersusun

bercabang, dan menghasilkan hormon androgen.1,2,3 Setelah zona reticularis di bagian lebih

dalam terdapat bagian adrenal medulla yang memproduksi hormon katekolamin, yaitu

epinefrin dan norepinefrin. Sel-sel pada adrenal medulla tersusun teratur seperti tali dan

berbentuk polihedral. Sel-sel tersebut dikenal juga dengan nama sel chromaffin,

dikarenakan sel tersebut di stain secara spesifik oleh chromium salts.1

8
Gambar 1.3. Histologi Kelenjar Adrenal2

2.2. Fisiologi Kelenjar Adrenal


2.2.1. Korteks Adrenal
a. Zona Glomerulosa
Sel-sel pada zona glomerulosa akan menghasilkan hormon
mineralokortikoid. Aldosterone adalah mineralokortikoid yang utama. Aldosterone
berfungsi untuk mengatur homeostasis dari dua ion mineral yaitu ion Natrium
(Na+) dan ion kalium (K+) serta membantu menyesuaikan tekanan dan volume
darah . Selain itu aldosterone juga membantu sekresi ion H+ dalam urin untuk
mencegah terjadinya asidosis (pH < 7.35). Yang mengatur sekresi dari aldosterone
sendiri adalah jalur renin-angiotensin-aldosterone:1,2
- Stimulus yang menginisiasi jalur RAA: dehidrasi, defisiensi Na+,
perdarahan
- Ketiga kondisi tersebut dapat menurunkan volume darah yang akhirnya
akan menurunkan tekanan darah
- Penurunan tekanan darah akan menstimulasi sel juxtaglomerular yang ada
di ginjal untuk mensekresikan hormon renin

9
- Kadar renin dalam darah akan meningkat
- Renin yang disekresikan tadi akan mengonversi angiotensinogen (protein
plasma yang diproduksi liver) menjadi angiotensin I
- Kadar angiotensin I dalam darah akan meningkat
- Saat darah mengalir di kapiler terutama di paru-paru, Angiotensin-
Converting Enzyme (ACE) akan mengonversi Angiotensin I menjadi
Angiotensin II
- Kadar angiotensin II dalam darah akan meningkat
- Angiotensin II akan menstimulasi tersekresinya hormon aldosterone dari
korteks adrenal & merangsang kontraksi otot polos di dinding arteriol
sehingga akan terjadi vasokonstriksi dari arteriol yang akan meningkatkan
tekanan darah menjadi normal
- Kadar aldosterone meningkat dalam darah dan bersirkulasi di ginjal
- Kerja aldosterone di ginjal: meningkatkan reabsorbsi natrium (Na+) dan air
sehingga volume urin akan menurun.
- Aldosterone juga menstimulasi ginjal untuk meningkatkan sekresi K+ dan
H+ ke dalam urin
- Peningkatan absorbsi air di ginjal → volume darah dapat meningkat
- Volume darah meningkat → tekanan darah akan meningkat ke normal
- Aldosterone juga akan tersekresi apabila ada peningkatan konsentrasi K+ di
dalam darah

10
Gambar 1.4. Jalur Renin-Angiotensin-Aldosterone1

b. Zona Fasikulata
Zona tengah dan terluas dari korteks adrenal yang memproduksi hormon
glukokortikoid. Glukokortikoid berfungsi dalam pengaturan metabolisme dan
pertahanan terhadap stres. Yang termasuk dalam glukokortikoid yaitu hormon
kortisol (hydrocortisone), kortikosteron, dan kortison. Dari ketiga hormon yang
dihasilkan, kortisol merupakan hormon yang paling banyak tersekresi, yaitu sekitar
95% dari aktivitas glukokortikoid. Sekresi glukokortikoid diatur melalui sistem
negative feedback.1
Apabila kadar glukokortikoid dalam darah rendah (terutama kortisol), maka
akan menstimulasi sel-sel neurosekretori di hipotalamus untuk sekresi
corticotropin-releasing hormone (CRH). CRH bersama dengan kadar kortisol yang
rendah juga akan membantu pelepasan adrenocorticotropic hormone (ACTH) dari
hipofisis anterior. ACTH yang ada di dalam sirkulasi, akan dibawa ke korteks
adrenal. Di korteks adrenal, ACTH akan merangsang sekresi glukokortikoid. Selain
itu, tekanan fisik dan emosional juga akan meningkatkan pelepasan CRH di
hipotalamus.2

11
Gambar 1.5. Negative Feedback Glukokortikoid

Efek-efek dari glukokortikoid:


1. Pemecahan protein
Glukokortikoid akan meningkatkan tingkat pemecahan protein di otot dan
meningkatkan pelepasan asam amino ke dalam darah yang akan digunakan
untuk sintesis protein baru dan produksi ATP.
2. Lipolisis
Pemecahan trigliserida dan pelepasan asam lemak dari jaringan adiposa ke
dalam darah
3. Glukoneogenesis

12
Glukokortikoid akan merangsal hepatosit untuk mengonversi asam amino
atau asam laktat menjadi glukosa yang akan digunakan untuk produksi
ATP. Glukoneogenesis adalah proses pengubahan zat selain glikogen dan
monosakarida lainnya menjadi glukosa.
4. Ketahanan terhadap stres
Glukosa tambahan yang diproduksi oleh hepatosit akan menyediakan
jaringan sebagai sumber ATP yang siap melawan berbagai tekanan.
Glukokortikoid juga akan membuat pembuluh darha menjadi lebih sensitif
terhadap hormon lain yang menyebabkan vasokonstriksi sehingga akhirnya
dapat meningkatkan tekanan darah.
5. Efek anti-inflamasi
Glukokortikoid mnghambat leukosit yang memberikan respon terhadap
inflamasi sehingga glukokortikoid juga sangat berguna sebagai terapi dari
penyakit inflamasi kronik seperti artritis reumatik
6. Immonosupresi
Glukokortikoid dosis tinggi akan menekan sistem imun sehingga sering
diberikan kepada pasien yang baru menerima transplantasi organ untuk
memperlambat penolakan jaringan oleh sistem kekebalan.

c. Zona Retikularis
Zona teradalam dari korteks adrenal yang menghasilkan sejumlah kecil
hormon androgen lemah. Androgen utama yang disekresikan adalah
dehydroepiandosterone (DHEA).
Pada pria, setelah masa pubertas, sebuah androgen yaitu testosterone akan
dilepaskan dalam jumlah besar oleh testis sehingga jumlah androgen yang
disekresikan oleh kelenjar adrenal apda laki-laki terbilang sangat rendah dan tidak
signifikan.
Sementara pada wanita, androgen yang dihasilkan oleh kelenjar adrenal
memiliki peranan penting untuk meningkatkan libido dan diubah menjadi estrogen.
Saat wanita sudah menopause, sekresi estrogen oleh ovarium akan berhenti
sehingga semua estrogen wanita hanya berasal dari konversi androgen adrenal.

13
Androgen adrenal juga akan merangsang pertumbuhan rambut ketiak dan kemaluan
pada anak laki-laki dan perempuan, serta berkontribusi pada percepatan
pertumbuhan pra-pubertas. Adrenocorticotropic Hormone (ACTH) adalah hormon
utama yang merangsang sekresi hormon di adrenal.1

2.2.2. Medulla Adrenal

Bagian dalam dari kelenjar adrenal yang merupakan ganglion simpatis yang
dimodifikasi dari sistem saraf otonom. Sel-sel medula adrenal yang mengeluarkan hormon
disebut dengan sel kromafin. Dua hormon utama yang disintesis di medula adrenal adalah
Epinefrin (Adrenalin) dan Norepinefrin (Noradrenalin). Sel-sel kromafin akan
mengeluarkan hormon-hormon ini dalam jumlah yang tidak seimbang yaitu sekitar 80%
epinefrin dan 20% norepinefrin. Hormon pada medula adrenal hanya meningkatkan
respons simpatik di bagian tubuh lain.1
Kedua hormon yang dihasilkan di medula adrenal ini sangat penting dalam
meningkatkan respons “fight or flight”. Hormon ini akan meningkatkan meningkatkan
detak jantung dan kekuatan kontraksi sehingga akhirnya akan menignkatkan curah jantung
dan tekanan darah. Selain itu, epinephrine dan norepinefrin juga akan meningkatkan aliran
darah ke jantung, hati, otot rangka, dan jaringan adiposa; melakukan dilatasi saluran udara
ke paru-paru, dan meningkatkan kadar glukosa serta asam lemak di dalam darah.1

2.3. Definisi

Tumor didefinisikan sebagai massa jaringan abnormal yang terbentuk karena


kelainan dari pertumbuhan sel, dimana memiliki karakteristik yaitu proliferasi sel yang
abnormal dan berlebih. Tumor sendiri terbagi menjadi 2, yaitu tumor jinak (benign) dan
tumor ganas (malignant / cancerous). Tumor Jinak merupakan sel tumor yang
pertumbuhannya terbatas pada tempat asal, struktur sel tetap normal, dan tidak invasif
terhadap jaringan sekitar serta tidak mengalami metastasis. Untuk Tumor Ganas, struktur
sel abnormal, pertumbuhan sel terjadi secara berlebih, bersifat invasif terhadap jaringan
sekitar, dan dapat mengalami metastasis.4
Tumor kelenjar adrenal merupakan pertumbuhan abnormal jaringan pada kelenjar
adrenal, baik menjadi tumor jinak dan tumor ganas. Karena kelenjar adrenal secara

14
fisiologi menghasilkan berbagai jenis hormon, sehingga pada beberapa jenis tumor
kelenjar adrenal dapat terjadi sekresi berlebih dari hormon tersebut. Oleh karena hal
tersebut, selain dikenal terbagi berdasarkan tumor jinak dan ganas, tumor kelenjar adrenal
juga terbagi menjadi tumor functioning dan non-functioning.5

2.4. Epidemiologi

Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2018, prevalensi


tumor/kanker di Indonesia menunjukkan adanya peningkatan dari 1,4 per 1,000 penduduk
di tahun 2013 menjadi 1,79 per 1,000 penduduk pada tahun 2018. Prevalensi kanker
tertinggi adalah di provinsi DI Yogyakarta sebanyak 4,86 per 1,000 penduduk, diikuti
Sumatera Barat 2,47 per 1,000 penduduk dan Gorontalo 2,44 per 1,000 penduduk
(Kemenkes RI, 2019).
Tumor adrenal sendiri adalah kasus yang jarang dijumpai, dengan insidensi sekitar
0,6 – 1,67 kasus per 1 juta penduduk per tahun. Rasio antara perempuan dan laki – laki
untuk terkena tumor adrenal adalah 2,5 – 3: 1. Akumulasi data, terutama dalam register
internasional mengungkapkan kejadian tumor adrenal lebih tinggi pada perempuan,
terutama pada usia 0 – 3 tahun dan di atas 13 tahun. Dibuktikan oleh data dari The
International Pediatric Adrenocortical Tumor Registry, median usia di mana anak – anak
mengalami karsinoma adrenal adalah 3,2 tahun; 60% kasus lebih muda dari usia 4 tahun
dan 14% lebih tua dari 13 tahun. Tumor adrenal terjadi di 2 puncak utama, yaitu pada
dekade pertama kehidupan dan pada dekade keempat hingga kelima. Tumor fungsional
sering terjadi pada anak – anak dan tumor nonfungsional sering terjadi pada orang dewasa.6

2.5. Etiologi

Beberapa hal bisa membuat tumorigenesis adrenokortikal terjadi, salah satunya


adalah aktivasi berbagai proto-onkogen seperti Ras, PKC, C myc, C fos, protein G, hormon
luteinisasi, dan katekolamin. Inaktivasi gen supresor tumor (antionkogen) seperti TP53,
TP57, TP16, H19, gen retinoblastoma dapat juga membuat hal ini terjadi. Penghambatan
apoptosis melalui mutasi gen telomerase atau BCL-2. Hiperplasia adrenal juga dikatakan

15
berhubungan dengan adenoma adrenokortikal fungsional. Beberapa kasus karsinoma
Adrenal juga berhubungan dengan hiperaldosteronisme primer.
Sebagian besar kanker korteks adrenal tidak diturunkan (sporadik), tetapi beberapa
(hingga 15%) disebabkan oleh genetik. Sindrom Li-Fraumeni adalah kondisi langka yang
paling sering disebabkan oleh cacat pada gen TP53. Orang dengan sindrom ini memiliki
risiko tinggi terkena beberapa jenis kanker, termasuk kanker payudara, kanker tulang,
kanker otak, dan kanker korteks adrenal. Orang dengan sindrom Beckwith-Wiedemann
juga memiliki peningkatan risiko terkena kanker ginjal, hati, dan korteks adrenal.7
Pasien dengan Multiple endokrin neoplasia memiliki risiko yang sangat tinggi
untuk mengembangkan tumor dari 3 kelenjar: hipofisis, paratiroid, dan pankreas. Sekitar
sepertiga hingga setengah orang dengan kondisi ini juga mengembangkan adenoma adrenal
(tumor jinak) atau kelenjar adrenal yang membesar. Sindrom ini disebabkan oleh cacat
pada gen MEN1. Orang yang memiliki riwayat keluarga MEN1 atau kanker hipofisis,
paratiroid, pankreas, atau adrenal harus datang ke konseling genetik.
Pasien dengan polip adenomatosa familial memiliki risiko kanker adrenal yang
lebih tinggi. Namun, sebagian besar tumor adrenal pada pasien dengan FAP adalah
adenoma jinak. Sindrom ini disebabkan oleh kesalahan pada gen yang disebut APC.
Sindrom Lynch atau kanker kolorektal nonpolyposis herediter adalah kelainan genetik
bawaan yang meningkatkan risiko kanker kolorektal, kanker perut, dan beberapa kanker
lainnya, termasuk kanker korteks adrenal. Dalam kebanyakan kasus, kelainan ini
disebabkan oleh cacat pada gen MLH1 atau MSH2, tetapi gen lain dapat menyebabkan
sindrom Lynch, termasuk MLH3, MSH6, TGFBR2, PMS1, dan PMS2.
Faktor risiko seperti berat badan yang berlebihan, merokok, gaya hidup sedenter,
dan jika seseorang terpapar zat penyebab kanker di lingkungan dapat mempengaruhi resiko
seseorang terkena berbagai jenis kanker. Meskipun tidak satu pun dari faktor-faktor ini
ditemukan secara pasti mempengaruhi risiko seseorang terkena kanker adrenal, merokok
telah disarankan sebagai faktor risiko utama oleh beberapa penelitian.8

2.6. Patogenesis dan Patofisiologi

Patogenesis dari tumor adrenal sama dengan patogenesis tumor lainnya, yaitu
dimana akan terjadinya tiga tahap: inisiasi, promosi, dan progresi. Pada tahap inisiasi,

16
terjadi aktivasi dari oncogene (gen yang pada sel normal menyebabkan pertumbuhan yang
abnormal/tumor), terhambat atau hilangnya kemampuan tumor supressor genes. Tahap
inisiasi dapat dimulai dengan satu sel, atau dapat melibatkan sekumpulan sel pada organ
target yang disebut sebagai field effect. Tahap promosi hanya terjadi apabila sel atau
jaringan target telah melalui tahap inisiasi, pada tahap ini sel tersebut berproliferasi dan
menghasilkan banyak sel turunan yang memiliki inti sel yang berbeda dari sel yang normal.
Tahap promosi disebabkan oleh promoter, yaitu suatu senyawa yang memiliki efek
proliferasi terhadap sel.9
Secara garis besar promoter dibagi menjadi dua kategori, yaitu promoter spesifik
yang bekerja pada reseptor sel atau jaringan target, dan promoter non-spesifik yang bekerja
dengan mengubah pola ekspresi gen terhadap proliferasi tanpa diketahuinya reseptor
spesifik. Tahap progresi adalah tahap di mana tumor yang semula jinak berkembang
menjadi lebih agresif secara bertahap hingga menjadi kanker yang invasif. Progresi dapat
terjadi akibat proses mutasi dan proliferasi yang berulang-ulang, setidaknya diperlukan
empat hingga lima mutasi pada gen agar tumor dapat berprogresi menjadi tumor ganas,
sementara tumor jinak hanya memerlukan lebih sedikit mutasi pada gen.9
Karakteristik biologis tumor ditentukan oleh seberapa banyak perubahan pada kode
genetik pada masing-masing inti sel tumor. tergantung pada pertumbuhan tumor baik jinak
atau ganas di zona tertentu. Tumor pada korteks adrenal dapat menimbulkan salah satu dari
tiga sindrom hipersekresi yang terdiri dari Sindrom Conn, Sindrom Cushing dan Sindrom
Androgenital. Sindrom Conn atau dikenal juga dengan Hiperaldosteronisme terjadi akibat
produksi aldosteron yang berlebihan oleh sel-sel pada zona glomerulosa. Hal tersebut
sering terjadi pada pasien dewasa, dengan prevalensi cenderung lebih tinggi pada wanita.
Pada sekitar 80% kasus, penyebabnya adalah Adenoma Adrenokortikal dan pada 20%
kasus terjadi karena Hiperplasia Bilateral korteks adrenal. Gejala yang muncul berupa
kelemahan otot, sakit kepala, hipertensi arteri, hipokalemia, alkalosis metabolik dan kadar
renin plasma yang rendah.9
Sindrom Cushing disebabkan oleh hipersekresi dari kortisol. Beberapa gejala khas
dari sindrom cushing meliputi obesitas, wajah moon-shaped, munculnya striae pada perut,
payudara dan paha, hirsutisme, jerawat, hipertensi, dan osteoporosis. Sekitar 20-30% dari
semua kasus sindrom Cushing disebabkan oleh tumor jinak atau ganas dari korteks adrenal.

17
Pada anak perempuan pubertas, sindrom Cushing biasanya merupakan konsekuensi dari
bentuk tumor ini.9
Sindrom adrenogenital hampir selalu disebabkan oleh tumor di dalam zona
reticularis, yang menghasilkan androgen atau estrogen dalam jumlah berlebihan dan
kadang-kadang juga kortisol. Sekitar 50% kasus terjadi pada anak-anak dan remaja. Pada
usia pra pubertas, sindrom adrenogenital jauh lebih sering terjadi pada wanita daripada
pria. Overproduksi androgen pada wanita menyebabkan virilisasi yang memanifestasikan
dirinya melalui hirsutisme, atrofi payudara, dan oligomenorea. Pada anak laki-laki,
kelebihan produksi androgen menyebabkan pubertas yang lebih cepat, sedangkan pada pria
dewasa sindrom adrenogenital hampir tidak dapat dideteksi.9
Produksi estrogen yang berlebihan menyebabkan feminisasi pria dewasa, yang
dapat memanifestasikan dirinya melalui ginekomastia, atrofi testis dan penurunan libido.
Pada anak perempuan prapubertas, akibat kelebihan produksi estrogen oleh tumor kelenjar
adrenal adalah pubertas dini. Gejala subjektif pertama dari karsinoma adrenokortikal
adalah nyeri tumpul yang persisten yang disebabkan oleh tekanan tumor pada organ yang
berada di sebelahnya atau oleh infiltrasi ke dalam berkas saraf. Nyeri perut hebat dapat
muncul jika terjadi perdarahan akut ke dalam tumor atau terjadinya ruptur karsinoma
adrenokortikal.9
Sel-sel medula adrenal menghasilkan katekolamin, yang utama adalah adrenalin
dan noradrenalin, yang mempengaruhi pengaturan berbagai fungsi fisiologis dan
metabolisme. Penyakit medula adrenal yang paling signifikan adalah pheochromocytoma.
Dalam 80-90% kasus, pheochromocytoma terjadi karena tumor soliter. Tanda
patognomonik dari pheochromocytoma adalah hipertensi paroksismal yang muncul pada
sekitar 50% pasien.9
Efek biologis katekolamin bisa berupa stimulasi reseptor alfa-adrenergik yang
menyebabkan peningkatan tekanan darah, peningkatan kontraktilitas jantung,
glikogenolisis, glukoneogenesis, dan relaksasi usus ataupun stimulasi reseptor beta-
adrenergik yang menghasilkan peningkatan denyut jantung dan kontraktilitas. Tingkat
katekolamin relatif juga berbeda pada pheochromocytomas. Kebanyakan
pheochromocytomas mensekresi norepinefrin secara dominan, sedangkan sekresi dari
medula adrenal normal kira-kira 85% epinefrin.9

18
2.7. Klasifikasi

WHO 2017 membagi klasifikasi tumor adrenal secara garis besar menjadi
tumor korteks adrenal dan tumor medula adrenal. Pada pembagian tumor korteks
adrenal, terdiri dari adrenalcortical carcinoma, adrenal cortical adenoma, sex cord
stromal tumor, dan adenomatoid tumor. Untuk klasifikasi tumor medula adrenal
terdiri atas pheochromocytoma, neuroblastoma, dan ganglioneuroma. 10,11

Tabel 1 Klasifikasi Tumor Adrenal berdarsarkan WHO 201710

2.7.1 Adrenalcortical Carcinoma


Adrenal carcinoma (ACC) merupakan jenis tumor adrenal yang termasuk
kasus jarang, insidensi 0,5 hingga 2 kasus per juta penduduk per tahun di Amerika.
ACC harus dipikirkan sebagai diagnosis banding ketika dicurigai tumor adrenal
lebih dari 6 cm.12,13
Pada jenis tumor adrenal ini, tidak ada kecenderungan terhadap jenis
kelamin. Penelitian menyatakan puncak pertama dapat terjadi pada masa kanak-
kanak, lalu puncak kedua pada dekade ke 4 dan 5 kehidupan. Adrenalcortical
carcinoma diasosikan dengan beberapa penyakit seperti Li Fraume Syndrome

19
(mutasi pada TP53) Beckwith-Wiedemann syndrome, dan hiperplasia adrenal
korteks.12
Pasien dengan ACC melaporkan penurunan berat badan. Virilasi dilaporkan
pada wanita (untuk tumor yang mensekresi androgen), dan feminisasi pada pria
(untuk tumor yang mensekresi estrogen). Pasien dengan ACC yang tidak aktif
secara hormon biasanya datang dengan keluhan gastrointesinal atau nyeri pinggang
belakang yang disebabka oleh efek massa yang mendesak. Tumor yang bersifat
highly necrotic dapat menyebabkan demam dan dapat menstimulasi proses infeksi.
Tumor ini cenderung dapat mengivasi vena adrenal, vena cava, daerah ginjal dan
retroperineum sehingga dapat menyebabkan tromboemboli. Metastasis terjadi ke
liver hingga 60%, nodus limfa 40%, paru-paru 40%.
Untuk membantu diagnosis, pada pasien ACC akan ditemukan
dehydroepiandrosterone sulfate (DHEAS) yang meningkat. Pada CT scan akan
didapatkan batas tidak teratur, peningkatan teratur, kalsifikasi, area nekrotik dengan
degenerasi kistik dengan Unit Houncefield tinggi (+/- 39 HU). Pada pemeriksaan
histologi akan ditemukan invasi kapsul, aktivitas mitosis yang ditandai dengan
bentuk atipikal, berbagai pola pertumbuhan yang terdiferensiasi dengan baik
menjadi sel anaplastic dan banyak neurofril, giant cell, dengan ciri sarkomatoid
serta inklusi globular eosinofilik dan nekrosis. Pada pemeriksaan sitologi akan
ditemukan sel tunggal, sel kohesif yang buruk dengan latar belakang nekrotik,
sitoplasma tervakuolasi menjadi esofinofilik padat dan sering ditandai atipia nuklir
dan aktivitas mitosis. Selain itu menilai stratifikasi rasio dan membuktikan bahwa
ini adalah ACC, dapat digunakan Skor Weiss dan apabila nilai diatas yang terdiri
parameter dari sebagai berikut:14

20
Tabel 2. Weiss System

2.7.2 Adrenalcortical adenoma

Addrenalcortical adenoma (ACA) adalah proliferasi neoplastik yang berasal dari


sel kortikal adrenal dan sering terjadi pada wanita dibandingkan laki – laki, dan
pada dekade kelima dan ketujuh dari kehidupan. Predileksi terjadi pada kelenjar
adrenal kanan dan kiri sama. Tumor ini dapat muncul dari tiga lapisan, zona
fasikulata merupakan salah satunya yang paling umum.14

ACA berasosiasi dengan sejumlah faktor predisposisi genetik seperti


MEN2, BWS, LFS, sindrom adrenogenital yaitu hiperplasia kelenjar adrenal
kongenital, dan Carney complex yang mengekspresikan trias Carney, yaitu
malignant gastrointestinal stromal tumor, pulmonary chondroma, extra-adrenal
paraganglioma, dan ACA. ACA juga terjadi pada 20-55% kasus mutasi MEN114

Sekitar 90% ACA bersifat non-fungsional, dengan 10% bersifat fungsional


yang mensekresikan satu atau lebih dari 3 kelas utama steroid adrenal, yaitu zona
glomerulosa dengan mineralkortikoid (aldosterone), zona fasikulata dengan
glukokortikoid (kortisol) dan zona retikularis dengan androgen (testosteron,
dihidrotestosteron, androstenedion dan DHEA).15

ACA dapat menimbulkan gejala endokrin murni atau campuran. Yang paling
sering ditemukan adalah hiperaldosteronisme (Conn’s Syndrome) dimana
bermanifestasi sebagai hipertensi, kelemahan otot proksimal, sakit kepala, poliuria,

21
takikardia, hipokalemi dan hipokalsemia karena akibat peningkatan retensi air dan
natrium pada tubulus distal nefron. Feminisasi, karena peningkatan dari androgen
dan proses aromatisasi sehingga ada peningkatan estrogen dengan tanda
ginekomastia. Selain itu ada hiperkotikolism atau sindrom Cushing yang memiliki
gejala dan tanda obesitas, moon facies, striae, kulit tipis yang mudah memar,
hirsutism, telangiectasia dan hiperhidrosis. Virilisasi dapat ditemukan, pada wanita
ada peningkatan massa otot (Herculean habitus), klitoromegali dan pada laki – laki
ada pembesaran penis. 15

Pemeriksaan penunjang meliputi laboratorium. Parameter endokrin yang


dapat diperiksakan meliputi dexamethasone supression test, dan kadar ACTH.
Dapat juga diperiksakan kadar DHEA, testoesterone, estrogen, dan juga elektrolit
sebagai penunjang. Biopsi aspirasi dapat dilakukan sebagai diagnostik, namun
dinyatakan sulit untuk membedakan ACA dibandingkan korteks adrenal yang
normal. Pada pemeriksaan radiologi, dapat ditemukan perbatasan yang bulat yang
tervisualisasi dengan baik, homogen, pemisahan yang jelas dan tidak ada ekstensi
ke dalam struktur sekitarnya.15

2.7.3 Phaechromocytoma

WHO membagi klasifikasi histologi Phaechromocytoma termasuk dalam


tumor medula adrenal (75-90% kasus). Pheochromocytoma adalah tumor sel
penghasil katekolamin yang terjadi sekitar 1 hingga 2 per 100,000 individu setiap
tahunnya. Tumor ini juga dapat terjadi pada ekstra adrenal (10-25%) yang
disebut sebagai paraganglioma. Paraganglioma ini dapat timbul pada kepala, leher,
toraks, abdomen dan pelvis yang memiliki ciri khas chromaffin-producing neural
crest.16,17

Pheochromocytoma herediter/familial memiliki masalah pada gen


rearranged transfection proto- oncogene (RET), von Hippel-Lindau gene (VHL),
neurofibromatosis type 1 gene (NF1) dan mitochondrial succinate dehydrogenase
subunits D dan B genes (SDHD, SDHB). Malignant pheochromocytoma dapat
dinyatakan apabila ada tanda dan bukti metastasis. Pheochromocytoma terdiri 10%

22
ekstra adrenal, 10% familial, 10% bilateral, 10% pediatrik dan 10% ganas.13
Pheochromocytoma memiliki gejala trias yang terdiri dari sakit kepala bersifat
episodik, keringatan, takikardia pada 30% kasus. Gejala lainnya termasuk palpitasi,
ansietas, hipotensi postural dan paroksismal hipertensi. Diagnostik
phaechromocytoma jarang menggunakan biopsi aspirasi karena gambaran
histologinya sering tumpang tindih dengan gambaran medula adrenal yang normal.
Pada gambaran potong lintang, adrenal pheochromocytoma ditemukan lesi yang
vaskularitas yang kaya dan konten lipid rendah dengan > 10 HU pada CT scan tanpa
kontras.18,19,20

2.7.4 Neuroblastoma

Neuroblastoma tersusun atas sel neuroblast yang bersifat imatur, dan


menjadi tumor ekstra-adrenal yang paling sering terjadi pada anak-anak. Lebih
sering terjadi pada laki-laki, presentasi gejala muncul pada umur 23 bulan dengan
puncak insidensi pada usia 0-4 tahun. Neuroblastoma merupakan keganasan yang
berasal dari sel-sel neural crest yang menimbulkan medula adrenal dan ganglia
simpatis.21

Neuroblastoma berasal dari medula adrenal dan daerah paraspinal atau


periaorta. Presentasi bervariasi menurut tempat asalnya, namun 65%
neuroblastoma primer terjadi pada abdomen, 40% pada kelenjar adrenal, sehingga
banyak anak – anak datang dengan gejala berhubungan dengan abdomen seperti
rasa mudah penuh atau distensi akibat efek massa. Sebanyak 6% kasus datang
dengan gejala diare. Ada pun gejala neurologis yang dapat menyertai adanya
perubahan gerakan mata yang cepat, ataksia, dan pergerakan otot secara ireguler.22

2.7.5 Adrenal Incidentaloma

Adrenal Incidentaloma (AI) merupakan massa adrenal yang ditemukan secara


kebetulan, biasanya setelah prosedur pencitraan rutin yang tidak berhubungan
dengan kelenjar adrenal. Pada umumnya, pasien tidak menunjukkan tanda – tanda

23
kelebihan hormon atau keganasan yang jelas terlihat. Teknik pencitraan telah
meningkat dan lebih umum digunakan, sehingga semakin banyak insidentaloma
adrenal yang dapat ditemukan. Kemungkinan mengalami insidentaloma adrenal
meningkat dengan bertambahnya usia. Pada usia 50 tahun, ada risiko 3%
mengalami insidentaloma adrenal dan meningkat hingga 7% pada usia 70 tahun.
Meskipun sebagian besar insidentaloma adrenal tidak menyebabkan keluhan
ataupun masalah, namun harus dievaluasi dan investigasi awal pilihan adalah CT
scan tanpa kontras.23

2.7.6 Ganglioneuroma

Ganglioneuroma merupakan neoplasma jinak matur yang berasal dari sel neural
crest dari simpatetik ganglia ataupun medulla adrenal. Ganglioneuroma termasuk
salah satu jenis tumor yang paling ter diferensiasi. Sering terjadi pada anak-anak
diatas 7 tahun. Kasus adrenal ganglioneuroma cenderung terjadi pada orang muda,
20% kasus terjadi pada dekade ke 4 dan 5 dan sekitar 50% terjadi pada usia 10-29
tahun. Tumor ini diasosiasikan dengan predisposisi familial Turner Syndrome.24

Ganglioneuroma dapat tumbuh besar dan memiliki kecenderungan untuk


membungkus pembuluh darah tanpa mengenai lumen pembuluh darah. Pada pasien
biasanya tidak menimbulkan gejala hingga gejala non spesifik berupa nyeri perut,
massa abdomen yang terpalpasi. Hipertensi yang disebabkan oleh sekresi
katekolamine dapat terjadi namun sangat jarang. Diagnosis sebagian besar bersifat
patologis, selalu harus dilakukan reseksi untuk menegakkan diagnosa. Meskipun
demikian, ahli urologi harus menyadari bahwa tumor dapat terus tumbuh besar dan
dapat mengelilingi struktur penting seperti pembuluh darah retroperitoneal.25

2.8. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis yang dialami oleh pasien dengan tumor adrenal bergantung pada
jenis dari tumor.

24
2.8.1 Adrenocortical adenoma dan adrenocortical carcinoma

25% pasien dengan Cushing's Syndrome tanpa adanya tanda produksi


hormon ektopik, memiliki tumor adrenal. 30% diantaranya merupakan
keganasan, sedangkan sisanya berupa adenoma jinak. Adanya tumor ini dapat
membuat pasien memiliki beberapa gejala yang pada umumnya timbul 6-12
bulan sebelum terdiagnosis, gejala-gejala tersebut berupa: kadar glukokortikoid
tinggi (45%), kadar androgen tinggi (15%), kadar androgen dan glukokortikoid
tinggi (35%) dan kadar mineralokortikoid atau estrogen tinggi (5%). Gejala lain
dapat berupa perut yang terasa nyeri/tidak nyaman, penurunan berat badan,
kelelahan yang ekstrim dan kelemahan yang ekstrim. Pasien juga dapat
mengalami diabetes.26

Gejala pada hormon glukokortikoid tinggi: Moonface (wajah yang bulat,
merah, dan lebih penuh), peningkatan berat badan yang dapat menyebabkan
ciri buffalo hump (adanya kumpulan lemak di SKDntara bahu) dan obesitas
sentral (abdomen yang besar namun ekstremitas yang terlihat kurus),
perubahan kulit (penipisan kulit, lebih mudah luka, jerawat, striae berwarna
ungu pada bagian abdomen, paha, dan dada), tekanan darah tinggi,
kelemahan, nyeri punggung, nyeri kepala, rasa haus, peningkatan frekuensi
BAK, gangguan mental, perubahan periode menstruasi pada wanita, dan
perkembangan payudara serta impotensi pada pria. 27
● Gejala hormon androgen tinggi pada wanita: gejala virilisme yaitu
hirsutism, tumbuhnya jerawat, dan alopesia androgenik. 28
● Gejala hormon estrogen tinggi pada pria: gejala feminisme yang ditandai
dengan adanya disfungsi ereksi, pembesaran payudara (ginekomastia) dan
infertilitas.49
● Gejala hormon mineralokortikoid tinggi: Hormon aldosteron merupakan
jenis hormon mineralokortikoid yang paling penting. Akibat dari tingginya
kadar aldosteron, tanda yang paling sering muncul adalah adanya hipertensi
yang bersifat resisten walaupun sudah diberikan beberapa jenis obat
penurun tekanan darah. Gejala yang dapat ditimbulkan karena hipertensi
berupa sakit kepala, penurunan penglihatan dan pusing. Selain hipertensi,

25
pasien dengan kadar aldosteron yang tinggi dapat memiliki tingkat kalium
yang rendah, hal ini dapat menyebabkan beberapa keluhan antara lain
kelelahan, buang air kecil berlebihan, peningkatan rasa haus, kram otot, dan
kelemahan pada otot. 29

2.8.2 Pheochromocytoma

Pasien dengan tumor jenis ini pada umumnya terdiagnosis setelah adanya
investigasi terhadap hipertensi yang bersifat persisten. Triad dari gejala yang
dialami pasien dengan pheochromocytoma adalah sakit kepala, palpitasi dan
diaforesis. Gejala yang dapat ditimbulkan pada kasus jinak atau ganas adalah
sebagai berikut; 26
● Kulit: berkeringat, kemerahan, atau memucat
● Kardiovaskular: hipertensi, takikardi, perubahan ritme yang paroksismal,
nyeri dada, hipotensi postural
● Sistem saraf pusat: sakit kepala, tremor, mudah marah, perubahaan mood,
psikosis dan anoreksia
● Metabolik: penurunan berat badan, peningkatan metabolic rate, dan
glikosuria

2.8.3 Neuroblastoma

Tumor jenis ini juga berasal dari sel krista saraf, namun sifat sel nya yang
lebih imatur dan tidak terdiferensiasi dengan baik membuat tumor jenis ini
cenderung lebih ganas dibanding ganglioneuroma. Gejala yang ditimbulkan
bervariasi. Gejala berupa massa abdomen merupakan tanda yang paling sering
muncul. Massa bersifat tidak nyeri namun dapat disertai nyeri abdomen yang
bersifat ringan. Gejala lain yang dapat terjadi berupa demam, kelelahan, penurunan
berat badan dan anemia. Apabila sudah bermetastase, akan menimbulkan gejala
lain tergantung dari organ yang terkena dampak dari tumor.26,30

26
2.8.4 Ganglioneuroma

Gejala yang ditimbulkan bersifat tidak spesifik, pada umumnya tidak


terdeteksi dari kadar hormon dan gejala bergantung terhadap lokasi dan ukuran.
Sekitar 30% pasien memiliki peningkatan katekolamin plasma dan urin namun
sangat jarang yang memiliki gejala peningkatan vasoaktif amino.31

2.9. Diagnosis

Pasien dengan massa adrenal memerlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik lengkap,
pemeriksaan hormonal, serta pemeriksaan imaging untuk evaluasi massa. Umumnya pasien
terdiagnosis dengan massa adrenal memiliki keluhan extra-adrenal sebelumnya, seperti nyeri
abdomen yang tidak spesifik, nyeri lumbar, nefropati, atau gangguan liver/bilier. Keluhan karena
produksi hormon berlebih juga seringkali menjadi keluhan pada pasien dengan massa adrenal,
seperti hipertensi, obesitas generalized, dan toleransi glukosa abnormal, serta beberapa temuan
seperti hirsutism, striae, dan ginekomastia.1,2

2.9.1. Tumor Cortex Adrenal


2.9.1.1 Anamnesis
2.9.1.1.1 Adrenocortical adenoma
Pada adenoma yang bersifat tidak fungsional atau pada massa yang memproduksi hormon
dengan jumlah kecil, pada umumnya bersifat asimtomatik. Pada massa jinak yang bersifat produktif
akan terdapat gejala Cushing's Syndrome. 31

2.9.1.1.2 Adrenocortical carcinoma


Pada pasien dengan ACC, sebagian besar pasien akan datang dengan gejala yang sudah
lanjut, dimana sudah terdapat massa abdomen multipel bahkan massa ekstra-abdomen yang
merupakan metastasis (stage IV). Gejala pada ACC terbagi menjadi gejala pada tumor yang yang
bersifat tidak fungsional (silent tumor) dan gejala pada tumor yang aktif secara hormonal. Silent
tumor terdapat pada 40% kasus ACC. Gejala yang dapat dialami pada penderita ACC yang tidak
fungsional adalah demam, penurunan berat badan, nyeri pada bagian abdomen, nyeri punggung,
rasa penuh pada abdomen, dan gejala yang berhubungan dengan metastasis. Pada ACC, 30-40%
akan mengalami gejala Cushing's Syndrome, sedangkan 20-30% memiliki sindroma virilisasi.32

27
2.9.1.1.3 Cushing's Syndrome
Pada anamnesis Cushing's syndrome, dapat ditemukan minimal 3 dari gejala berikut ini;33
1. Obesitas (kecuali pada bagian ekstrimitas), moon face, bantalan lemak pada bagian
supraklavikular dan dorsoservikal (buffalo hump)
2. Striae pada bagian abdomen dan paha
3. Hipertensi
4. Miopati pada bagian proksimal dengan adanya kelemahan terutama pada kuadrisep
femoris (kesulitan bangun dari kursi)
5. Gangguan emosional berupa perasaan labil, sifat lekas marah, sulit tidur, dan
kepribadian psikotik
6. Osteoporosis dengan nyeri punggung karena ada fraktur kompresi dari vertebrae lumbar
dan fraktur iga
7. Pada 80% kasus terdapat hiperglikemia postprandial, dan terdapat peningkatan gula
darah puasa pada 20% kasus
8. Gejala androgen tinggi pada wanita dengan Cushing's syndrome yang hanya terjadi
pada kasus karsinoma (hirsutism, pengunduran batas rambut, payudara mengecil,
pembentukan otot yang berlebihan, dan suara yang semakin berat)

2.9.1.2 Pemeriksaan Fisik

2.9.1.2.1 Adrenocortical adenoma


Pada pemeriksaan fisik, adenoma yang bersifat tidak fungsional atau pada massa
yang memproduksi hormon dengan jumlah kecil, pada umumnya tidak terdapat
abnormalitas pada pemeriksaan fisik. Pada massa jinak yang bersifat produktif akan
terdapat tanda-tanda Cushing's Syndrome pada pemeriksaan fisik.33

2.9.1.2.2 Adrenocortical carcinoma


Pada pemeriksaan fisik, karena ukuran carcinoma yang pada umumnya memiliki
ukuran lebih besar (>4 cm) maka dapat palpasi massa pada saat melakukan palpasi
abdomen. Pada pemeriksaan fisik, juga terdapat tanda-tanda yang sesuai dengan produksi
hormon yang meningkat. Hormon androgen yang meningkat pada wanita dapat
menimbulkan tanda virilisasi berupa hipertrofi klitoris, jerawat, dan pertumbuhan rambut
kelamin dan ketiak yang meningkat. Pada kasus yang lebih langka, dapat terjadi

28
peningkatan hormon estrogen yang meningkat pada pria dengan tanda berupa ginekomastia
dan hipertensi. Apabila hormon kortisol yang meningkat karena adanya karsinoma, maka
dapat terdapat tanda-tanda Cushing's syndrome.32

2.9.1.2.3 Cushing's Syndrome


Pada pasien dengan Cushing's syndrome, akan terdapat tanda-tanda pada
pemeriksaan fisik berupa obesitas (kecuali pada bagian ekstrimitas), moon face, bantalan
lemak pada bagian supraklavikular dan dorsoservikal (buffalo hump), dan striae pada
bagian abdomen dan paha.34

Gambar 1.6. Gejala pada Cushing’s Syndrome

2.9.1.3 Pemeriksaan Penunjang

2.9.1.3.1 Complete Blood Count


Pada pemeriksaan darah lengkap, dapat ditemukan peningkatan leukosit dan
neutrofil. Selain itu juga dapat ditemukan peningkatan gula darah dan hipokalemia.35

29
Gambar 1.7. Bagan Pemeriksaan Penunjang Massa Adrenokortical

2.9.1.3.2 Low Dose Dexamethasone Supression Test


Low-dose dexamethasone suppression test dilakukan dengan cara mengonsumsi 1
mg dexamethasone pada malam hari (sebelum pukul 23:00), kemudian sampel darah puasa
akan diambil pada pagi hari keesokan harinya pada pukul 08:00. Interpretasi hasil berupa:
36

o <5 mikrogram/dL = normal


o 5-10 mikrogram/dL = tes harus diulang atau dapat dilakukan pemeriksaan urin kortisol
o >10 mikrogram/dL= Cushing's syndrome
Hasil positif palsu dapat terjadi pada wanita hamil, penyakit akut, depresi dan
alkoholisme. Pada 15% pasien obese, kortisol tidak akan menurun pada tes ini.

30
2.9.1.3.3 Late Night Salivary Cortisol
Pemeriksaan late night salivary cortisol merupakan salah satu pemeriksaan yang
paling sensitif untuk mendeteksi adanya Cushing's syndrome. Kortisol yang meningkat
pada pukul 11.00 malam sampai pada tengah malam merupakan tanda abnormalitas pada
pasien dengan Cushing's syndrome. Pada umumnya, sekresi kortisol sangat rendah pada
waktu tersebut, namun pada pasien dengan cushing's syndrome jumlahnya akan meningkat.
Nilai normal untuk kadar kortisol pada saliva adalah 3-4 nmol/L. Pengambilan sampel
saliva menggunakan sampling tube dan dapat disimpan dalam suhu ruangan.37

2.9.1.3.4 24 Hour Urine Free Cortisol


Pada pemeriksaan ini, sampel urin akan diambil sebanyak beberapa kali dalam 24
jam dan akan diperiksa kadar kortisolnya. Kadar kortisol yang normal pada urin selama 24
jam adalah 10-50 mikrogram. Kadar kortisol yang meningkat 2 kali lipat menandakan
adanya Cushing's syndrome. Dapat terjadi positif palsu apabila pada penyakit akut, depresi
dan alkoholisme.33

2.9.1.3.5 Plasma ACTH Level


Apabila diagnosis Cushing's syndrome sudah ditegakkan, maka dapat dilakukan
pemeriksaan kadar plasma ACTH untuk membedakan penyebab Cushing's syndrome yaitu
ACTH-dependant causes (Cushing's disease atau sindrom ektopik ACTH) atau karena
tumor adrenal. Angka normal dari pemeriksaan ini adalah 10-50 pg/mL. Pasien dengan
Cushing's disease memiliki nilai ACTH mulai dari 10-200 pg/mL, pada pasien dengan
sindrom ektopik ACTH dapat ditemukan nilai lebih dari 200 pg/mL. Pasien dengan tumor
adrenal akan memiliki kadar ACTH yang rendah yaitu kurang dari 5 pg/mL. Pada pasien
dengan kadar plasma ACTH yang meningkat, dapat dilakukan pemeriksaan imaging untuk
menentukan letak asal dari peningkatan ACTH. MRI pituitari merupakan tahap pertama.
Sebanyak 50-60% pasien dengan Cushing's disease akan mendapatkan hasil positif,
sisanya akan mendapatkan hasil positif pada pengambilan sampel ACTH melalui drainase
vena dari pituitari anterior yaitu melalui sinus cavernosa dan sinus petrosal inferior.

31
Apabila MRI dan drainase vena tidak dapat menentukan diagnosis maka selanjutnya
dilakukan pemeriksaan CT scan abdomen dan dada untuk melokalisir tumor ektopik. 33

2.9.1.3.6 Plasma Androgen Levels


Pada pasien dengan adenoma adrenal, kadar androgen dapat normal atau menurun,
sedangkan pada pasien dengan ACC, kadar androgen seringkali meningkat. Pasien dengan
gejala virilisme ataupun hirsutism, dapat melakukan pemeriksaan kadar plasma DHEA-S.
Pemeriksaan kadar plasma DHEA-S merupakan pemeriksaan paling umum digunakan,
namun pemeriksaan lain dapat dilakukan yaitu pemeriksaan androstenedion, testosteron,
17-OH-progesteron dan 17-B-estradiol.53,54

2.9.1.3.7 Computed Tomography (CT)


CT merupakan pilihan paling efektif untuk melakukan pemeriksaan pada kelenjar
adrenal. CT dapat melakukan identifikasi ukuran, lokasi, karakteristik, adanya invasi
lokal/vaskular, keterlibatan kelenjar getah bening, dan adanya metastase. Pada pasien
dengan lesi adrenal, kelenjar adrenal kontralateral juga harus dievaluasi untuk menentukan
apakah tumor bersifat unilateral/bilateral. Kontras yang diberikan lewat intravena pada
umumnya tidak diperlukan untuk melihat keberadaan massa adrenal, namun kontras
diperlukan untuk melihat keterlibatan vaskular. CT non-kontras dapat menunjukan
karakteristik massa dengan menggunakan Hounsfield Unit (HU). 34
Pasien dengan Cushing's syndrome dengan kecurigaan tumor adrenal dan terdapat
kadar ACTH yang menurun harus melakukan CT scan dari abdomen dengan bagian-bagian
berukuran 3 mm pada bagian adrenal. Tumor adrenal yang dapat menyebabkan Cushing's
syndrome pada umumnya memiliki diameter berukuran > 3 cm.33

32
2.9.1.3.7.1 Adrenocortical adenoma

Gambar 1.8. CT Non-contrast Adenoma Adrenal Kanan HU <1033

Pasien dengan adenoma adrenal pada umumnya memiliki adenoma dengan ukuran
diameter 3-6 cm. Dengan karakteristik kontur halus, marginasi jelas, <10 HU (unenhanced
attenuation yang rendah), dan washout kontras yang cepat (>50% dalam 10 menit). Adanya
pembesaran adrenal yang bilateral pada umumnya mengindikasikan Cushing's disease atau
sindroma ACTH ektopik. 33

33
2.9.1.3.7.2 Adrenocortical carcinoma

Gambar 1.9. CT Non-contrast Adrenocortical Carcinoma Kiri (Terdapat Batas Iregular dan Massa
Satelit Kecil dibagian Medial)
Karsinoma umumnya memiliki diameter > 5 cm dan seringkali bersifat invasif
secara lokal atau terdapat metastasis ke hati atau paru-paru. Umumnya adrenal
kontralateral akan tertekan sehingga akan terlihat atrofi atau berukuran normal.
Karakteristik yang tampak pada CT scan adalah massa besar, heterogen dengan atenuasi
dibagian central yang rendah karena adanya nekrosis tumor, ukuran yang iregular,
kalsifikasi, unilateral, washout yang lambat (<50% dalam 10 menit), dan adanya tanda
invasi lokal.

2.9.1.3.8 Magnetic Resonance Imaging (MRI)


Pemeriksaan MRI bukan hanya melihat sisi detail anatomis namun juga
karakteristik jaringan dan ekstensi kepada struktur yang berdekatan dan menunjukan
hubungan antara tumor adrenal dengan pembuluh yang besar. 36

Tipe Tumor MRI

Adenoma jinak ● Iso Intensitas dengan liver pada T1 dan T2


● Bukti pergeseran lipid

34
Adrenocortical carcinoma ● Hipo intensitas pada liver di T1
● Intensitas sedang sampai dengan tinggi pada T2
● Adanya bukti invasi lokal

Tabel 3. MRI Massa Adrenal

2.9.1.3.9 Biopsi Adrenal


Fine-Needle Aspiration Biopsy (FNAB) perkutan dengan guide CT atau USG
dapat menjadi pilihan untuk melakukan biopsi adrenal dengan syarat sebagai berikut: 36
· Massa terbukti tidak aktif secara hormonal
· Massa tidak dapat ditentukan melalui imaging
· Tindakan yang dilakukan pada pasien akan berubah sesuai dengan hasil histologi
Pada umumnya pemeriksaan FNAB dilakukan pada kasus keganasan yang diawali
dari organ lain dengan ditemukannya massa adrenal baru. FNAB bersifat invasif dan
memiliki resiko morbiditas yang tinggi. Resiko yang dapat terjadi pada biopsi adrenal adalah
hematoma (pada adrenal, ginjal dan hati), pankreatitis, nyeri abdomen, pneumothorax,
hematuria, dan pembentukan abses. 53,54

2.9.1.3.10 Adrenal Scintigraphy


Pemeriksaan ini terbatas karena kurangnya pusat kesehatan dengan fasilitas nuklir
yang berpengalaman. Pemeriksaan ini dapat menentukan lokasi anatomis, karakteristik
adrenal berdasarkan uptake dan akumulasi radiotracer pada jaringan adrenokortical yang
berfungsi.53 131I-6B-iodomethyl-norcholesterol (NP59) adalah analog kortisol yang bisa
menandakan sel kortikal adrenal untuk mengevaluasi hipersekresi. Sebelum melakukan
injeksi dari radiotracer, potassium iodine tersaturasi (lugol) dimasukkan untuk melindungi
tiroid. Supresi ACTH dengan deksametason (1 mg setiap 6 jam selama 7 hari) dibutuhkan.
Evaluasi dari uptake radiotracer dimulai pada 4 hari setelah injeksi NP59 dan dapat
berlangsung sampai hari ke 10. Terdapat adanya uptake radiotracer kurang dari 5 hari
setelah injeksi pada unilateral menandakan adanya adenoma, sedangkan uptake bilateral
menandakan adanya hiperplasia idiopatik. Pemeriksaan ini tidak dapat dilakukan pada lesi
kurang dari 1,5 cm.35

35
2.9.2 Primary Aldosteronism (Conn's Syndrome)

2.9.2.1 Anamnesis
Diagnosis adanya hiperaldosteronism primer pada umunya didapatkan pada dekade ketiga
hingga keenam pada kehidupan pada saat dilakukan evaluasi hipertensi. Pasien dapat mengalami
gejala sakit kepala, polidipsi, palpitasi, poliuria, nokturia dan kelemahan otot karena adanya
hipokalemia. Selain itu pasien juga dapat mengalami kebas dan kesemutan pada bagian
ekstremitas.36,37

2.9.2.2 Pemeriksaan Fisik


Rata-rata tekanan darah yang ditemukan pada pasien aldosteronism primer adalah 184/112.
Pasien dengan aldosteronism primer dapat mengalami gangguan organ kardiovaskular dan
gangguan ginjal. Pasien dengan aldosteronism primer dapat meningkatkan resiko stroke sebanyak
4 kali, resiko infark miokard sebanyak 6.5 kali dan resiko fibrilasi atrium sebanyak 12 kali.36.32

2.9.2.3 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan pada aldosteronism primer dapat dibagi menjadi 3 tahap yang sistematis yaitu
skrining, confirmatory testing, dan diferensiasi subtipe. 36,33

36
Gambar 1.10 Bagan Pemeriksaan Penunjang pada Hiperaldosteronism Primer

2.9.2.3.1 Skrining
Indikasi untuk melakukan skrining adalah adanya hipertensi dengan hipokalemia,
hipertensi resisten (konsumsi 3 atau lebih jenis obat namun tekanan darah tidak terkontrol
dengan baik), AI dengan hipertensi, hipertensi dengan early-onset (dibawah 20 tahun) atau
stroke dengan early-onset (dibawah 50 tahun), hipertensi berat (≥160/≥110),
pertimbangan adanya penyebab hipertensi sekunder (pheochromacytoma atau

37
penyakit renovaskular), hipokalemia yang tidak dapat dijelaskan (spontan atau diinduksi
diuretik), dan adanya bukti kerusakan pada target organ yang tidak sesuai dengan derajat
hipertensi.
Sebelum melakukan skrining, hipokalemia harus dikoreksi dan obat yang bersifat
kontraindikasi harus dihentikan yaitu antagonis reseptor mineralokortikoid (diberhentikan
6 minggu sebelum dilakukan tes) dan dapat diganti menjadi alpha 1 receptor blocker atau
long acting calcium channel blocker. 38
Skrining dilakukan dengan cara mengambil sampel darah pada pagi hari (pukul
08.00-10.00) untuk menilai plasma aldosterone concentration (PAC) dan plasma renin
activity (PRA). Hasil yang menandakan adanya hiperaldosteronisme primer adalah: 53,54
○ PAC= >20 ng/dL
○ Rasio PAC: PRA = >30 ng/dL
○ PRA= <1 ng/mL per jam

2.9.2.3.2 Confirmatory Testing


Apabila hasil skrining positif, maka dilakukan confimatory testing sebelum
menegakkan diagnosis aldosteronism primer. Sama seperti skrining, pasien harus terlebih
dahulu melakukan koreksi hipokalemia dan tidak meminum antagonis reseptor
mineralokortikoid selama 6 minggu. Dalam confirmatory testing, 3 jenis tes akan
mengevaluasi penekanan kadar aldosterone setelah adanya loading natrium dan 1 jenis tes
untuk mengevaluasi penekanan rasio aldosteron dengan reni setelah pemberian ACE
inhibitor. Pemeriksaan loading natrium memiliki teori bahwa pemberian natrium akan
menurunkan kadar produksi renin dan aldosteron plasma. Pemilihan tes tergantung kepada
karakteristik dan keadaan fisik pasien. Pada saat melakukan tes, tekanan darah harus selalu
dimonitor. 38

2.9.2.3.2.1 Fludrocortisone Suppresion Test


Pemeriksaan ini diawali dengan memberikan mineralokortikoid fludrocortisone
sintesis (0.1 mg setiap 6 jam) dan natrium klorida atau NaCl (2 gram setiap 8 jam) selama
4 hari. Setelah 4 hari, kadar aldosteron akan diukur pada posisi duduk. Hasil plasma
aldosteron yang melebihi 6 ng/dL menandakan adanya aldosteronism primer. 32,38

38
2.9.2.3.2.2 Oral Sodium Loading Test
Diet natrium sodium selama 3 hari merupakan tahap untuk melakukan
pemeriksaan ini. Setelah itu, kadar urin untuk aldosteron, natrium dan kreatinin akan
diukur. Tambahan NaCl dapat diberikan untuk memastikan intake natrium per hari
minimal 12.8 gram per hari. Diagnosis aldosteronism primer dapat ditegakkan apabila
kadar aldosteron 24 jam melebihi 12 mikrogram per hari. 32.38

2.9.2.3.2.3 Intravenous Saline Infusion Test


Pemeriksaan ini dapat menjadi pilihan karena pasien tidak diharuskan untuk
melakukan loading natrium selama beberapa hari. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara
pemberian NaCl 0.9% IV sebanyak 2 liter selama 4 jam dalam posisi supine. Infus
dilakukan setelah puasa selama 1 malam. Setelah dilakukan pemberian NaCl, kadar
aldosteron akan diukur, nilai diatas 5 ng/dL menegakkan diagnosis aldosteronism primer,
dan kadar di atas 10 ng/dL menandakan adanya adenoma yang memproduksi aldosteron.
32.38

2.9.2.3.2.3 Captopril Supression Test


Pasien akan diberikan ACE Inhibitor yaitu Captopril sebanyak 25-50 mg. Setelah
itu kadar aldosteron akan diperiksa. Penekanan sistem RAAS seharusnya terjadi pada
pasien tanpa aldosteronism primer. Sedangkan pasien dengan kadar aldosteron lebih dari
15 ng/dL mengindikasikan adanya aldosteronism primer. 32,38

2.9.2.3.3 Diferensiasi suptipe


Setelah menegakkan adanya aldosteronism primer, maka dilakuka diferensiasi
subtipe. Diferensiasi subtipe sangat penting karena berhubungan dengan manajemen yang
akan dilakukan selanjutnya. Terapi bedah hanya sukses pada pasien dengan subtipe
tertentu. Familial Hyperaldosteronism tipe 1 merupakan penyakit yang sangat langka,
maka pemeriksaan genetik tidak dilakukan pada seluruh pasien. Pasien dengan adanya
riwayat keluarga aldosteronism primer, onset yang sangat awal (<20 tahun) atau pasien
dengan riwayat keluarga dengan kejadian vaskuler serebral pada usia muda harus
dipertimbangkan melalui pemeriksaan genetik. 32,38

39
Gambar 1.11 Subtipe hiperaldosteronism primer

2.9.2.3.3.1 Computed Tomography (CT)


CT scan digunakan untuk mengevaluasi adanya nodul adrenal. Karakteristik untuk
adenoma yang memproduksi aldosteron adalah adanya lesi densitas rendah dengan HU
<10, ukuran 1.6-1.8 cm, dengan keadaan adrenal kontralateral bersifat normal. Namun
karena ukuran 20% adenoma <1 cm, maka lateralisasi tidak berdasarkan pemeriksaan CT
saja. Karakteristik radiografi untuk hiperplasia idiopatik adalah adanya nodul multipel
pada adrenal unilateral atau bilateral, atau pembesaran adrenal bilateral dengan
peningkatakan ukuran limb, atau ukuran kelenjar yang normal. 37

2.9.2.3.3.2 Sampling Vena Adrenal


Untuk menentukan lateralisasi dari sekresi aldosteron, maka dilakukan adrenal
vein sampling. Pemeriksaan ini dilakukan pada pagi hari setelah pasien melakukan puasa
selama 1 malam. Akses perkutan akan didapatkan melalui vena femoralis dan kateter akan

40
diposisikan untuk mendapatkan sampel dari 3 sisi: vena adrenal kanan, vena adrenal kiri,
dan vena cava inferior. Kadar aldosteron dan kortisol kemudian akan di evaluasi. 36,37,38

Gambar 1.12 Sampling Vena Adrenal

Konsentrasi kortisol dari sampel vena adrenal akan dibandingkan dengan


konsentrasi kortisol dari sampel vena cava inferior. Rasio seharusnya di atas 1.1:1 sampai
5:1 tergantung dari stimulasi ACTH. Untuk pemeriksaan lateralisasi sekresi aldosteron,
dapat dibandingkan dengan cara membandingkan aldosteron dengan rasio kortisol dari sisi
dominan ke sisi non-dominan. Sekresi aldosteron dinyatakan terlateralisasi apabila rasio
sisi dominan dibandingkan non-dominan adalah melebihi 2-4:1. 32,38

41
Gambar 1.13 Bagan Sampling Vena Adrenal

2.9.2.3.3.3 Posture Stimulation


Pemeriksaan tambahan ini dilakukan untuk membedakan antara adenoma yang
memproduksi aldosteron dengan hiperplasia idiopatik berdasarkan perubahan kadar
konsentrasi aldosteron yang merupakan respon dari perubahan posisi. Tes ini dilakukan
dengan membandingkan konsentrasi aldosteron plasma setelah pasien berbaring selama
semalaman dengan setelah bangun selama 4 jam. Pada teorinya, peningkatan angiotensin
yang terjadi karena posisi bangun akan meningkatkan aldosteron plasma pada pasien
normal sebanyak 2-4 kali lipat dibandingkan pada posisi berbaring. Pasien dengan
hiperplasia idiopatik akan meningkat sebanyak 33% dari baseline, sedangkan pasien
dengan adenoma tidak akan terjadi peningkatan pada perubahan postur tubuh. 37

2.9.3 Pheochromocytoma

2.9.3.1 Anamnesis
Trias dari gejala yang dialami pasien dengan pheochromocytoma adalah sakit kepala,
palpitasi dan diaforesis. Pasien akan mengeluhkan adanya sakit kepala yang sesuai dengan tingkat

42
keparahan tekanan darah tinggi. Terdapat peningkatan kadar berkeringat tanpa ada penyebab
seperti aktivitas fisik dan lingkungan yang panas, flushing, berdebar-debar, kelemahan, penurunan
berat badan, penurunan mortalitas pencernaan, ansietas, dan ketidakstabilan psikis. 39

2.9.3.2 Pemeriksaan Fisik


Pada saat melakukan pemeriksaan fisik, akan terdapat takikardia dan hipertensi pada sistol
dan diastol. Selain itu terdapat artimia, tanda-tanda infark miokard, tanda-tanda gagal jantung
kongestif dan tremor. 39,40

2.9.3.3 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan biokimia untuk mengukur plasma dan urin memiliki prinsip sebagai berikut:
· Skrining pada populasi hipertensi tidak direkomendasikan karena rendahnya kejadian
pheochromocytoma (0.1%)
· Pasien dengan pheochromocytoma dengan hipertensi yang bersifat menetap, pada
umunya memiliki peningkatan kadar katekolamin dan metabolitnya pada pemeriksaan urin
dan plasma. Lebih dari 80% pasien memiliki kadar urin 2 kali lebih besar dari normal dan
kadar plasma katekolamin (epinefrin dan norepinefrin) lebih dari 2000 ng/L
· Pasien dengan hipertensi episodik dapat memiliki kadar katekolamin plasma yang
normal dan kadar urin 24 jam yang normal. Evaluasi pada pasien-pasien ini dapat
dilakukan dengan cara mengambil sampel pada saat adanya hipertensi atau 2-4 jam setelah
adanya onset hipertensi
· Tes supresi atau stimulasi tidak direkomendasikan kecuali ketika diagnosis tidak bisa
ditegakkan pada saat menggunakan pemeriksaan rutin 33

2.9.3.3.1 Pemeriksaan Urin


Pemeriksaan urin 24 jam merupakan pemeriksaan paling sederhana yang dapat
dilakukan. Kadar normal dari katekolamin dan metabolitnya adalah sebagai berikut:39
· Norepinefrin: 10-100 mikrogram/24 jam
· Epinefrin: 0-20 mikrogram/24 jam
· Normetanefrin dan metanefrin: <1.5 mg/24 jam
· Vanillylmandelic Acid (VMA): 2-9 mg/24 jam

43
2.9.3.3.2 Katekolamin Plasma
Peningkatan kadar katekolamin dapat terdeteksi pada plasma di hampir seluruh
penderita pheochromocytoma, namun frekuensi positif palsu masih sering terjadi.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara mengambil darah vena pada posisi supine tanpa
adanya riwayat pemakaian IV line dalam 30 menit terakhir, kadar normal dari katekolamin
plasma adalah: 39
· Norepinefrin: 100-200 pg/mL
· Epinefrin: 30-50 pg/mL

2.9.3.3.3 Imaging
Pheochromocytoma bersifat intra abdomen pada 98%, dan 90% merupakan intra-adrenal.
Pheochromocytoma yang berada di ekstra abdomen berasal dari mediastinum posterior, jantung
atau perikardium dan di leher. Sedangkan pheochromocytoma extra adrenal berada di symphatetic
chain, area periaorta, dan bifurkasio aorta.
Pasien dengan kadar katekolamin urin yang meningkat 2 kali lipat harus melakukan CT
scan. Jika pada CT scan terdapat tumor unilateral dan adrenal kontralateral normal, makan
diagnosis dapat ditegakkan. Pasien dengan sindroma keturunan dan pasien dengan kecurigaan
keganasan harus melakukan MIBG. Apabila hasil CT menunjukan keadaan normal, maka
dilakukan MRI atau MIBG untuk abdomen dan dada untuk melokalisir tumor. 39
2.9.3.3.3.1 Computed Tomography (CT)
Hasil pemeriksaan CT pada pasien dengan pheochromocytoma adalah vaskular
tinggi, HU >20 (unenhanced attenuation yang meningkat), washout yang lambat (<50%
dalam 10 menit), perubahan kista, perdarahan, dan ukuran yang bervariasi dengan
kemungkinan massa bilateral39

2.9.3.3.3.2 Magnetic Resonance Imaging (MRI)


Ketepatan pemeriksaan menggunakan MRI sama baiknya dengan pemeriksaan
menggunakan CT, namun memiliki biaya yang lebih mahal. Hasil MRI pada pasien dengan
pheochromocytoma adalah intensitas tinggi pada T2.39

2.9.3.3.3.3 Metaiodobenzylguanidine (MIBG) Scintigraphy


MIBG merupakan analog untuk norepinefrin. Pemeriksaan ini dapat menggunakan
131 123
I atau I. Komponen ini dapat mendeteksi pheochromocytoma, neuroblasotma dan

44
tumor yang berasal dari krista neural lainnya. Pemeriksaan ini baik untuk melokalisir lesi
kecil, lesi ekstra adrenal, lesi bilateral dan deposit metastatik pada tumor ganas.39

2.9.4 Adrenal Incidentaloma


AI merupakan massa adrenal yang bersifat silent secara klinis yang ditemukan pada saat
pemeriksaan pengobatan, atau follow up yang tidak berhubungan dengan adrenal itu sendiri. Lesi
adrenal ditemukan pada 4-5% pemeriksaan CT scan untuk pemeriksaan yang tidak berhubungan
dengan adrenal. 70% AI merupakan adenoma yang non-fungsional, 5-16% merupakan adenoma
fungsional, 6% merupakan pheochromocytoma, 5% merupakan ACC, dan 2% merupakan
carcinoma metastasis. Sisanya merupakan jenis lesi yang lain (myelolipoma, hematoma, kista, atau
limfoma). Pada saat menemukan adrenal incidentaloma, permasalahan utama adalah apakah lesi
bersifat fungsional secara hormonal atau tidak, dan apakah lesi bersifat jinak atau ganas. Hasil
pemeriksaan tersebut akan menentukan pilihan tindakan kedepannya.40

45
Gambar 2.19 Bagan Adrenal Incidentaloma
Prinsip utama dari pemeriksaan radiologis setelah ditemukan adanya adrenal
incidentaloma adalah:41
1. Massa berukuran <1 cm tidak membutuhkan investigasi lebih jauh
2. Massa incidental harus dikategorikan berdasarkan fitur pencitraan radiologi, ukuran
massa, pertumbuhan massa (jika ada pemeriksaan imaging sebelumnya), dan riwayat
kanker
3. Adrenal CT pada massa 1-4 cm dengan densitas <10 HU merupakan adenoma jinak
4. Stabilitas dari lesi harus diperiksa dengan modalitas dari imaging adrenal
sebelumnya (CT dada, PET-CT, USG abdomen, MRI lumbar)
5. Pertimbangkan morbiditas pasien, ekspektasi kehidupan dan kemampuan pasien
untuk menerima pengobatan sebelum dilakukan pemeriksaan lebih lanjut

Gambar 1.14 Imaging Adrenal Incidentaloma

2.9.1.1 Massa dengan Pencitraan Jinak


Jika massa memiliki karakteristik pencitraan jinak seperti myelolipoma (adanya makroskopik
lemak), kista, atau perdarahan (massa tanpa enhancement, dengan HU <10), hematoma lama, dan
kalsifikasi karena infeksi granulomatosa tidak dibutuhkan pemeriksaan lebih lanjut.

2.9.1.2 Massa Berukuran ≥1-<4 cm


Apabila tidak memiliki karakteristik jinak namun massa masih stabil selama 1 tahun atau lebih,
maka kemungkinan besar massa tersebut adalah massa jinak, sehingga tidak dibutuhkan pemeriksaan lebih
lanjut.

46
Massa yang baru muncul ataupun menjadi lebih besar memberikan kecurigaan adanya keganasan.
Pasien dengan riwayat kanker dan massa adrenal yang membesar bisa di lakukan PET/CT atau biopsi.
Pasien tanpa riwayat kanker dengan massa yang membesar, dapat melakukan pemeriksaan biokimia dan
tergantung dari pertumbuhan massa, dapat dilakukan reseksi operatif untuk menyembuhkan kemungkinan
ACC.
Apabila pasien tidak memiliki riwayat kanker, walaupun tidak memiliki karakteristik jinak
ataupun tidak memiliki hasil imaging sebelumnya, masih dapat dianggap bahwa tumor bersifat jinak.
Apabila ukuran tumor 1-2 cm, maka dapat dilakukan CT adrenal protokol pada 12 bulan kemudian,
sedangkan apabila ukuran tumor 2-4 cm maka dilakukan CT adrenal protokol pada saat yang sama.
Jika pasien tidak memiliki riwayat imaging sebelumnya, memiliki riwayat kanker, namun massa
adrenal bersifat terisolasi, maka dapat dilakukan CT adrenal protokol. Apabila massa adrenal memiliki
nekrosis sentral, maka kemungkinan besar lesi bersifat metastatis dan membutuhkan biopsi adrenal atau
PET/CT.

2.9.1.2 Massa Berukuran ≥4 cm


Pada massa adrenal yang berukuran 4 cm atau lebih, jika tidak ada karakteristik jinak, atau pasien
tidak memiliki riwayat kanker, maka reseksi bedah (tanpa biopsi) dapat direkomendasikan untuk adanya
kemungkinan ACC.

2.9.5 Neuroblastoma
Sekitar 65-70% pasien neuroblastoma karena tumor abdomen merupakan tumor pada
bagian medulla adrenal. Neuroblastoma adrenal lebih umum terjadi pada adrenal kanan dengan
persentase kasus yaitu 49%, adrenal kiri lebih jarang terjadi dengan persentase 24%, sedangkan
neuroblastoma pada kedua adrenal hanya terjadi pada 2% kasus. Pada anamnesis, pasien dapat
datang tanpa gejala, namun pasien dapat mengeluhkan rasa penuh pada perut, demam, penurunan
berat badan, anoreksia, failure to thrive, kelemahan, mudah marah dan nyeri tulang. Pada
pemeriksaan fisik akan ditemukan massa abdomen berbentuk ireguler yang melewati batas midline,
padat, dan tidak nyeri.38
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan sampel urin untuk
mengukur kadar katekolamin. Sebanyak 90% dari seluruh kasus neuroblastoma, terdapat
peningkatan homovanillic acid (HVA) atau vanillylmandelic acid (VMA) pada urin. Selain itu,
pemeriksaan pencitraan juga dapat dilakukan. Pada prenatal neuroblastoma, tumor akan terdeteksi

47
pada pemeriksaan USG pada usia 19 minggu kehamilan. Pada anak yang datang dengan massa
abdomen, hasil USG akan menunjukan adanya massa padat heterogen dengan kalsifikasi, jika letak
neuroblastoma ada di kelenjar adrenal, akan ada perubahan posisi dari ginjal terdekat. Pada
pemeriksaan CT scan dan MRI, keduanya menunjukkan adanya massa padat heterogen yang
melewati midline. Pada pemeriksaan histologi setelah melakukan biopsi insisi pada lokasi tumor,
neuroblastoma masuk kepada kategori sel tumor ganas yang berbentuk bulat kecil. Neuroblastoma
kadang disebut sebagai “biru” karena memiliki nukleus besar yang hiperkromatik dengan
sitoplasma yang tipis. Pemeriksaan MIBG menggunakan iodine 123 dan 131 sebagai analog
norepinefrin juga dapat dilakukan.39

2.9.6 Ganglioneuroma
Pasien pada umumnya tidak mengeluhkan adanya gejala, walaupun 30% pasien dengan
ganglioneuroma memiliki peningkatan kadar katekolamin pada urin dan plasma, pada umumnya
tetap tidak menimbulkan gejala. Ganglioneuroma terdapat pada 0.3-2% dari seluruh kasus kasus
AI. Pada pemeriksaan USG, ganglioneuroma berbentuk lesi dengan batas jelas, homogen, dan
hypo-echogenic. Pada pemeriksaan CT scan, ganglioneuroma ditemukan sebagai massa dengan
batas jelas, berbentuk lobural, dan padat. Seringkali, massa membungkus pembuluh darah namun
tidak menekan atau menyebabkan adanya oklusi. Pada pemeriksaan MRI, gambar T1 menunjukan
sinyal rendah/menengah secara homogen, sedangkan gambar T2 menunjukan sinyal
menengah/tinggi secara heterogen. Pada pemeriksaan histologi, ganglioneuroma memiliki 2 jenis
karakteristik yaitu tipe “mature” dan tipe “maturing”. Tipe mature menunjukan adanya sel
schwann, sel ganglion, dan sel perineural dewasa di dalam fibrosa stroma tanpa neuroblast dan
mitosis. Sedangkan tipe maturing menunjukkan adanya populasi sel yang sama namun memiliki
derajat kematangan sel yang beragam. 34,33

2.10. Tatalaksana

Pada umumnya, adrenalektomi diindikasikan untuk sindrom hiperfungsi


korteks adrenal atau medula yang disebabkan oleh tumor atau hipertrofi kortikal
(kecuali hiperplasia adrenal kongenital) atau untuk tumor adrenal dengan diameter
>3 cm tanpa aktivitas hormonal yang dicurigai keganasan. Terlepas dari ukuran
tumor fungsional, mereka memiliki indikasi bedah. Tumor adrenal yang
mensekresi hormon di mana adrenalektomi diindikasikan adalah sebagai berikut:

48
Sindrom Cushing, muncul dari hipersekresi glukokortikoid yang diproduksi di
korteks adrenal fasciculata, sindrom Conn, muncul dari hipersekresi aldosteron
yang dihasilkan oleh korteks adrenal glomerulosa, dan Feokromositoma yang
muncul dari adrenal medula dan menghasilkan katekolamin.
Diagnosis pra-operasi yang benar sangat penting, dengan konfirmasi bentuk
yang tepat dari hipersekresi dan lateralisasinya. Jika tidak terdapat perubahan
makroskopik yang terlalu signifikan pada kelenjar adrenal, ahli bedah harus bekerja
dengan lapangan operasi dengan visibilitas tinggi dan hemostasis harus optimal
untuk membedakan penyimpangan kecil dalam hubungan anatomis dan fisiologis.
Selain itu, perawatan pra dan pasca operasi harus memungkinkan penghindaran
atau tindakan cepat yang harus diambil dalam kasus keadaan kritis karena
penghilangan hiperfungsi hormonal.
Adrenalektomi adalah pengobatan pilihan untuk pasien dengan
pheochromocytoma. Tujuan utama pembedahan adalah untuk mereseksi tumor
sepenuhnya dengan manipulasi tumor seminimal mungkin tanpa memecahkan
kapsul tumor. Pendekatan yang bersifat invasif secara minimal pada kelenjar
adrenal adalah prosedur pilihan untuk pasien dengan pheochromocytoma
intraadrenal soliter kecil yang tidak memiliki gambaran radiologis yang mengarah
ke keganasan. Pendekatan laparoskopi atau robotik transabdominal dan
retroperitoneal telah berhasil digunakan, meskipun ada beberapa bukti bahwa
pendekatan retroperitoneal lebih disukai. Kunci keberhasilannya adalah ahli bedah
endokrin dengan keahlian dalam teknik robotik atau laparoskopi dan operasi pada
pheochromocytomas. Kurangnya pengalaman dapat menyebabkan kesalahan kritis
dalam manajemen; misalnya, kapsul tumor intraoperatif pecah dengan penyemaian
retroperitoneum dan menciptakan situasi yang tidak dapat disembuhkan.
Tumor unilateral yang memproduksi aldosteron paling baik ditatalaksana
dengan adrenalektomi, yang dapat dilakukan melalui laparoskopi atau pendekatan
terbuka. Adrenalektomi laparoskopi adalah pengobatan pilihan untuk pasien
dengan adenoma adrenal. Adrenalektomi biasanya dilakukan melalui pendekatan
anterior terbuka (open) untuk memfasilitasi deteksi tumor bilateral, lesi
ekstraadrenal atau lesi metastasis. Namun, sebagian besar pheochromocytoma

49
dengan diameter < 5 cm dapat direseksi dengan aman secara laparoskopi.
Adrenalektomi biasanya dilakukan untuk tumor besar (≥ 6 cm) atau yang dicurigai
sebagai kanker adrenokortikal.
Dalam adrenalektomi terbuka atau laparoskopi, kelenjar dapat dicapai
secara anterior, lateral atau posterior melalui retroperitoneum. Pilihan pendekatan
tergantung pada ukuran dan sifat lesi dan keahlian ahli bedah. Adrenalektomi
laparoskopi telah menjadi prosedur standar pilihan untuk eksisi sebagian besar lesi
adrenal yang tampak jinak dengan diameter < 6 cm. Pertimbangan teknis dan
pengalaman ahli bedah, daripada ukuran tumor absolut, biasanya menentukan
ambang ukuran untuk reseksi laparoskopi. Adrenalektomi laparoskopi yang hand-
assisted dapat menjadi jembatan antara adrenalektomi laparoskopi dan konversi ke
prosedur terbuka. Belum ada randomised trial yang membandingkan
adrenalektomi terbuka dan laparoskopi secara langsung. Namun, penelitian telah
menunjukkan gambaran bahwa adrenalektomi laparoskopi terkait dengan
perdarahan yang lebih sedikit, nyeri pasca operasi yang berkurang, penggunaan
narkotika yang lebih sedikit, pengurangan durasi perawatan di rumah sakit dan
pasien lebih cepat kembali bekerja setelah operasi.
Adrenalektomi adalah prosedur bedah yang berisiko tinggi dan
membutuhkan tim ahli bedah dan anestesi yang berpengalaman. Variabel
kardiovaskular dan hemodinamik harus dipantau secara ketat. Pengukuran tekanan
intraarterial dan irama jantung secara terus menerus diperlukan. Dalam pengaturan
gagal jantung kongestif atau penurunan cadangan jantung, pemantauan tekanan baji
kapiler paru diindikasikan. Terapi medis persiapan praoperasi ditujukan untuk
mengontrol hipertensi yang termasuk mencegah krisis hipertensi selama operasi,
takikardia dan ekspansi volume.
Stres harus dihindari selama induksi anestesi dan penggunaan agen inhalasi
seperti isofluran dan enfluran lebih disukai karena efek depresan jantung yang
minimal. Fentanil, ketamin, dan morfin harus dihindari karena berpotensi
merangsang pelepasan katekolamin dari tumor. Obat-obatan yang digunakan untuk
kontrol tekanan darah intraoperatif termasuk nitroprusside, nitrogliserin,
phentolamine, dan nicardipine. Aritmia intraoperatif paling baik ditangani dengan

50
beta blocker kerja pendek seperti esmolol. Pasca operasi, pasien berisiko
mengalami hipotensi karena hilangnya stimulasi adrenergik dan vasodilatasi
konsekuen dan karena itu membutuhkan resusitasi volume besar.34,37,39

2.10.1. Adrenalektomi terbuka

Adrenalektomi terbuka dapat dilakukan melalui empat pendekatan, masing-masing


dengan kelebihan dan kekurangan tertentu:
1. Pendekatan anterior memungkinkan pemeriksaan rongga perut dan reseksi
tumor bilateral melalui insisi tunggal.
2. Pendekatan posterior menghindari morbiditas insisi laparotomi, terutama pada
pasien dengan penyakit kardiopulmoner dan mereka yang rentan terhadap
komplikasi luka (sindrom Cushing) dan menghindari perlengketan perut pada
pasien yang telah menjalani operasi perut sebelumnya. Waktu pemulihan juga
lebih cepat dan durasi rawat inap lebih singkat. Namun, pendekatan
retroperitoneal sulit pada pasien obesitas dan ruang kerja yang kecil
membuatnya tidak cocok untuk tumor dengan diameter > 6 cm.
3. Pendekatan lateral paling baik untuk pasien obesitas dan tumor besar karena
menyediakan ruang kerja yang lebih besar.
4. Pendekatan thoracoabdominal paling berguna untuk reseksi en bloc dari lesi
ganas yang besar (>10 cm). Namun, ini terkait dengan morbiditas yang
signifikan dan harus digunakan secara selektif.

Adrenalektomi dilakukan melalui insisi garis tengah (midline) atas atau


subkostal, tergantung pada preferensi ahli bedah. Insisi garis tengah atau subkostal
diperpanjang lebih disukai untuk reseksi adrenal bilateral, diseksi dan eksplorasi
retroperitoneal dan ketika prosedur yang tidak terkait adrenal harus dilakukan pada
saat yang sama.
Untuk pendekatan secara anterior, kelenjar adrenal dapat dicapai melalui
insisi garis tengah (midline) atau insisi subkostal bilateral. Insisi midline
memungkinkan paparan infraumbilikal yang memadai untuk pemeriksaan tumor
ekstra-adrenal, sedangkan insisi subkostal bilateral memberikan eksposur superior

51
dan lateral yang lebih baik.
Untuk sisi kanan, fleksura hepatika dari kolon dimobilisasi ke inferior dan
triangular ligament diinsisi untuk menarik hepar ke medial dan superior. Manuver
Kocher dilakukan digunakan untuk memobilisasi duodenum ke anterior dan
mengekspos lemak retroperitoneal dan vena cava inferior (IVC) Fasia Gerota
diinsisi dan kelenjar dibebaskan dari jaringan fibro-fatty di sekitarnya dan dari
ginjal di bagian inferior. Permukaan lateral dan superior biasanya dimobilisasi
terlebih dahulu. Kemudian, vena adrenal kanan yang pendek dibedah, diikat, dan
dibagi, dengan hati-hati agar tidak melukai vena hepatik dan IVC.
Di sisi kiri, adrenal terletak cephalad ke ekor pankreas dan lateral dari aorta.
Untuk tumor besar, adrenal paling baik didekati dengan rotasi viseral secara medial
untuk memobilisasi limpa, kolon, dan pankreas ke arah garis tengah. Pendekatan
alternatif adalah memasuki kantung yang lebih rendah dengan membagi ligamen
gastrokolik. Pankreas dimobilisasi ke superior dengan insisi perlekatan peritoneum
inferiornya, sehingga memperlihatkan ginjal kiri dan adrenal. Kelenjar tersebut
kemudian dimobilisasi seperti pada sisi kanan.
Untuk adrenalektomi unilateral, pasien diposisikan terlentang dengan
panggul ipsilateral ditinggikan dengan bantalan lembut yang memungkinkan
eksposur yang memadai dan fleksibilitas operasi jika ada kebutuhan untuk lebih
banyak eksposur atau perluasan ruang lingkup operasi. Untuk adrenalektomi
bilateral, panggul tidak ditinggikan. Selain itu, operasi terbuka memungkinkan
reseksi struktur yang berdekatan bila diperlukan seperti reseksi IVC.
Adrenalektomi transabdominal terbuka dapat dilakukan melalui pendekatan
anterior atau thoracoabdominal. Adrenalektomi transabdominal terbuka biasanya
dilakukan dalam keadaan klinis berikut untuk menghindari ruptur dan tumpahan
tumor ganas atau besar:
● Keganasan adrenal primer dalam berbagai ukuran (misalnya, karsinoma
kortikal adrenal, pheochromocytoma ganas)
● Massa adrenal menyerang struktur sekitarnya (misalnya, hati, ginjal, vena cava
inferior)
● Massa adrenal yang mencurigakan tetapi tidak dikonfirmasi sebagai keganasan

52
adrenal primer (misalnya, > 6 cm, tepi tidak teratur, perdarahan atau nekrosis
sentral, hipervaskular)
● Massa adrenal jinak bilateral tidak dapat diakses dengan pendekatan
laparoskopi
● Prosedur ekstensif perut bagian atas atau retroperitoneal sebelumnya yang
menghalangi pendekatan minimally-invasive surgery (MIS)
● Prosedur yang dilakukan secara bersamaan (misalnya, reseksi hati) tidak dapat
dilakukan dengan pendekatan laparoskopi.
Pendekatan secara posterior melibatkan pasien ditempatkan secara
tengkurap di meja operasi yang diketahui mirip dengan pendekatan laparoskopi.
Insisi hockey stick atau curvilinear dapat digunakan dan dilanjutkan hingga melalui
latisimus dorsi dan fasia sakrospinosa. Tulang costae kedua belas umumnya
dipotong pada dasarnya, dan costae kesebelas ditarik ke superior untuk
mengungkapkan pleura dan ligamen arkuata lateral hati di sisi kanan. Pleura juga
dimobilisasi ke arah cephalad dan adrenal dan ginjal diidentifikasi. Aspek superior
kelenjar dibedah terlebih dahulu dan pembuluh darah superior diidentifikasi dan
diikat dengan tujuan mencegah retraksi superior kelenjar adrenal. Sisa kelenjar
kemudian dibedah dan kelenjar adrenal serta tumor diangkat. Ruang yang
dihasilkan umumnya diisi dengan lemak perinefrik dan ditutup berlapis-lapis.
Pemeriksaan x-ray toraks diperoleh pasca operasi untuk menyingkirkan
kemungkinan terjadinya pneumotoraks.33,35
Untuk pendekatan lateral, pasien ditempatkan dalam posisi lateral dengan
meja tertekuk, dan insisi dibuat antara ruang interkostal kesebelas dan kedua belas
atau secara subkostal. Pembedahan kemudian dilakukan dengan langkah-langkah
yang sama dengan pendekatan anterior. 33,35
Penempatan drain rutin setelah operasi adrenal jarang diperlukan namun,
drainase dapat membantu jika ada kekhawatiran mengenai kebocoran limfatik
retroperitoneal, pankreas, atau urin. Jika kelenjar adrenal sangat besar, diseksi luas,
atau jika ada struktur yang terus-menerus mengalir, dapat ditempatkan closed-
suction drain untuk mencegah pengumpulan cairan. Drain dapat dilepas dengan
aman ketika keluaran dari drain bersifat serous dan volumenya berkurang. 33,35

53
2.10.2. Adrenalektomi laparaskopi

Atas dasar waktu operasi yang lebih pendek, pengurangan komplikasi dan
pemulihan, dan hasil bedah yang setara dibandingkan dengan operasi terbuka,
adrenalektomi laparoskopi adalah pendekatan standar untuk sebagian besar lesi adrenal
yang membutuhkan pembedahan seperti termasuk aldosteronoma, pheochromocytoma,
adenoma Cushing, insidentaloma, lesi metastatik, myelolipoma simptomatik, dan tumor
feminisasi/virilisasi. Operator yang berpengalaman telah melaporkan adrenalektomi
laparoskopi yang berhasil untuk insisi ≤ 15 cm. Pendekatan laparoskopi transperitoneal
(anterior atau lateral), retroperitoneal (posterior atau lateral), hand-assisted dan
transtorakal telah dilaporkan. Adrenalektomi bilateral dan adrenalektomi parsial telah
dilakukan.37,39
Pendekatan laparoskopi untuk kelenjar adrenal mirip dengan pendekatan yang
untuk nefrektomi laparoskopi transperitoneal, meskipun port ditempatkan di lokasi
subkostal. Pembedahan dapat dibandingkan dengan membuka buku. Untuk lesi sisi kiri,
limpa dimobilisasi ke medial, sedangkan jaringan adrenal dengan warna kuning yang khas
dimobilisasi ke kanan. Diseksi berlanjut ke arah berlawanan arah jarum jam. Vena adrenal
utama memasuki vena renalis. Tindakan dilanjutkan dengan perhatian khsusus pada aspek
superomedial karena vena adrenal superior (dari vena frenikus inferior) dapat substansial.
Setelah mengontrol vena adrenal, diseksi tumpul dan tajam digunakan untuk memobilisasi
kelenjar adrenal dari otot psoas dan aspek superior ginjal. Di sisi kanan, pendekatan
pembedahan juga dapat dianalogikan dengan membuka buku, dan pembedahan
berlangsung searah jarum jam. Ligamentum triangular diinsisi dengan peritoneum
posterior, memungkinkan retraksi medial hati dan kolon. Ini akan mengekspos vena cava
inferior, dan kelenjar adrenal dimobilisasi dengan lembut ke lateral. Vena adrenal yang
bersambung dengan vena cava inferior diikat dan ditranseksi. 37,39

2.10.3. Tantangan intraoperatif

Berdasarkan jenis tumor spesifik dan/atau luasnya penyakit, manajemen dan


tantangan teknis dapat dihadapi selama reseksi, diantara lain:
1. Labilitas hemodinamik - Pasien dengan pheochromocytoma dapat mengalami
labilitas hemodinamik selama adrenalektomi

54
2. Insufisiensi adrenal - Berbeda dengan pasien dengan pheochromocytoma, pasien
dengan tumor aldosteron (sindrom Conn) atau yang mensekresi kortisol (sindrom
Cushing) biasanya tidak mengalami ketidakstabilan hemodinamik intraoperatif.
Namun, untuk mencegah hipotensi akibat insufisiensi adrenal segera setelah
adrenalektomi unilateral atau bilateral untuk pasien dengan sindrom Cushing,
hidrokortison intravena (50 hingga 100 mg) diberikan setelah pengangkatan
kelenjar adrenal. Ini dapat dengan cepat dialihkan ke hidrokortison oral ketika
pasien melanjutkan asupan oral, biasanya pada hari operasi.
3. Keterlibatan vaskular – Tumor yang berbatasan atau menginvasi IVC dapat
mengakibatkan perdarahan intraoperatif dan/atau pascaoperasi yang berpotensi
fatal. Hiperkortisolisme dapat dikaitkan dengan jaringan yang rapuh yang juga
termasuk IVC, dengan risiko cedera yang lebih tinggi.
4. Ruptur kapsul tumor – Kanker, seperti karsinoma adrenokortikal, berisiko pecah
dengan manipulasi kapsul tumor. Kapsul tumor harus tetap utuh selama reseksi
untuk mencegah tumpahan sel tumor. Oleh karena itu, paparan yang luas dan
diseksi yang teliti dari struktur sekitarnya jauh dari tumor merupakan strategi
terbaik untuk reseksi. Reseksi lengkap sering membutuhkan eksisi en bloc dari
struktur sekitarnya, termasuk selubung lemak perinefrik, kelenjar getah bening
retroperitoneal, IVC, limpa, atau pankreas. Reseksi semacam itu paling baik
dilakukan melalui pendekatan terbuka.41

2.10.4. Komplikasi

Pasien dengan sindrom Cushing lebih rentan terhadap infeksi (abses insisional dan
intra-abdominal) dan komplikasi trombotik. Penciptaan pneumoperitoneum dapat
mengakibatkan cedera pada berbagai organ dari jarum Veress dan dari memasukkan trocar,
emfisema subkutan, pneumotoraks, dan perburukan hemodinamik. Retraksi dan diseksi
yang berlebihan dapat menyebabkan perdarahan akibat cedera pada IVC dan pembuluh
darah ginjal atau dari cedera pada organ di sekitarnya seperti hati, pankreas, limpa, dan
lambung. Ketidakstabilan hemodinamik pascaoperasi dapat terlihat pada pasien
dengan pheochromocytoma dan pasien berisiko mengalami insufisiensi adrenal setelah
adrenalektomi bilateral dan terkadang setelah adrenalektomi unilateral (sindrom Cushing

55
yang tidak diketahui atau, sangat jarang, sindrom Conn). Morbiditas jangka panjang
terutama disebabkan oleh cedera pada nerve root (radiks) selama insersi trokar, yang dapat
menyebabkan sindrom nyeri kronis atau kelemahan otot, khususnya dalam kasus
pembedahan terbuka.

2.11. Komplikasi

Komplikasi dari tumor adrenal sangat bergantung pada jenis tumor yang
diderita pasien. Komplikasi paling sering terjadi karena produksi hormon berlebih
yang terjadi pada 40-60% pasien Karsinoma Adrenokortikal. Kondisi ini disebut
hiperkortisolisme yang memunculkan gejala-gejala klasik seperti diabetes melitus,
kelelahan, hipertensi, obesitas sentral, kelemahan otot, dan osteoporosis42

Pada tumor adrenal berjenis pheochromocytoma, sebuah studi


menunjukkan bahwa pasien memiliki resiko tinggi untuk menderita gagal jantung
kongestif, penyakit paru kronik, dan hipertensi maligna. Hipertensi diderita oleh
>60% pasien, dimana trias sakit kepala, palpitasi, dan diaphoresis hanya dialami
oleh 4% pasien.43

Diagnosis definitive Pheochromocytoma juga didasarkan pada kehadiran


dari metastasis, namun metastasis ini baru akan muncul dalam 20 tahun setelah
diagnosis pheochromocytoma. Sehingga dapat dikatakan bahwa komplikasi dari
pheochromocytoma adalah metastasis yang akan muncul belakangan.43

Komplikasi lain yang sangat mungkin terjadi adalah metastasis tumor, pada
kasus Karsinoma Adrenokortikal, >50% pasien biasanya sudah muncul dengan
metastasis ke liver (48-85%), paru-paru (30-60%), kelenjar limfe (7-20%), dan
tulang (7-13%).44

Komplikasi lain yang patut dicurigai antara lain adalah komplikasi post-
reseksi tumor, sebuah studi menunjukkan bahwa komplikasi pasca-operasi yang
paling sering terjadi adalah Insufisiensi adrenal (20.8%), gangguan paru (10.6%),
ganggian kardiovaskular (7.2%), Infeksi (6.4%), gangguan urogenital (5.3%), dan
gangguan gastrointestinal (4.5%).45

56
2.12. Prognosis

Sama seperti komplikasi, prognosis pada pasien tumor adenal juga sangat
bergantung pada jenis tumornya. Ada beberapa faktor yang dapat menentukan prognosis
dari tumor adrenal, diantara adalah stage tumor, indeks mitotik/Ki67, dan status reseksi
tumor.45
Adenoma Adrenokortikal memiliki prognosis yang baik dengan survival 7 tahun
5
100%. Adrenocortical adenoma memiliki risiko kecil untuk menjadi ACC. Komplikasi
umumnya berupa hiperaldosteronisme yang disebabkan oleh tumor yang aktif
memproduksi hormon. Tumor non aktif memiliki risiko 17%, 29%, dan 47% untuk menjadi
aktif dalam 1, 2, dan 5 tahun.46,47
Pada varian pheochromocytoma, pengobatan yang cepat dapat menurunkan
morbiditas dan mortalitas pasien secara signifikan.3 Reseksi tumor dapat memperbaiki
kondisi kardiomiopati pasien hingga 96%. Namun, bila tidak dilakukan reseksi, pasien
memiliki resiko kematian atau harus melakukan transplantasi jantung hingga 44%.
Penelitian yang sama juga menyatakan bahwa pasien pheochromocytoma dengan
metastasis memiliki peluang bertahan hidup selama 5 tahun kedepan hinga 63%.48
Pasien dengan Karsinoma Adrenokortikal memiliki resiko rekurensi tumor secara
lokal sebesar 19-34% setelah reseksi tumor total.1 European Network Staging Study for
Adrenal Tumors (ENSAT) telah membuat sistem klasifikasi untuk menentukan peluang
hidup pasien dalam 5 tahun kedepan, yaitu 66-82% untuk pasien kategori I, 58-64% untuk
pasien kategori II, 24-50% untuk pasien kategori III, dan 0-17% untuk pasien kategori IV.1
Selain itu, tindakan reseksi tumor meningkatkan keberlangsungan hidup pasien, yaitu 76.1
bulan untuk pasien yang direseksi dibandingkan dengan 10.1 bulan bagi pasien yang tidak
melakukan reseksi tumor.49
Selain itu, prognosis dari tumor adrenal juga berhubungan erat dengan komplikasi
post-operatif. Kehadiran komplikasi pasca-operasi ini meningkatkan resiko jangka-
panjang yang buruk, dimana infeksi pasca-operasi menjadi prediktor utama yang
menurunkan peluang kesembuhan total.50
Sedangkan Neuroblastoma memiliki prognosis yang bervariasi. Secara
umum, pasien dengan neuroblastoma terlokalisir dan anak berusia < 1 tahun
memiliki prognosis yang baik dengan angka disease-free survival yang tinggi.49
Neuroblastoma stage 1 memiliki angka disease-free survival 93% dan overall
survival 99%. Neuroblastoma stage 2 memiliki angka disease-free survival 81%

57
dan overall survival 98%.66 Sebaliknya, neuroblastoma pada anak-anak yang lebih
tua dengan stadium lanjut memiliki prognosis yang lebih buruk dengan
kemungkinan sembuh dan survival rate yang lebih kecil. Neuroblastoma stage 3 &
4 memiliki angka disease-free survival 19-30% dan overall survival 56%.50

58
BAB III

KESIMPULAN

Tumor kelenjar adrenal merupakan pertumbuhan abnormal jaringan pada kelenjar adrenal,
baik menjadi tumor jinak dan tumor ganas. Tumor adrenal dapat diklasifikasikan berdasarkan
hormon yang diproduksi dan lokasi tumor. Berdasarkan hormon, terbagi menjadi dua, yaitu
functioning yang berarti tumor adrenal memproduksi hormon yang meningkatkan risiko untuk
penyakit dan non-functioning yang berarti tumor adrenal tidak memproduksi hormon. Sementara
berdasarkan lokasi tumor, yaitu terbagi menjadi tumor pada adrenal korteks dan tumor dari adrenal
medula serta ekstra-adrenal paraganglia.
Prevalensi ACC dan ACA pada tumor korteks adrenal lebih tinggi dibanding lainnya.
Diagnosis ACC harus dipikirkan apabila ukuran tumor> 6cm dan ACA lebih sering terjadi pada
wanita dan pada dekade kelima hingga ketujuh dari kehidupan. Untuk membuktikan suatu kasus
adalah ACC, dapat digunakan Skor Weiss. Pada ACA akan sering ditemukan sindrom Conn’s atau
hiperaldosteronisme primer, sindrom Cushing atau hiperkortisolisme, virilisme pada wanita dan
feminisme pada pria.
Prevalensi pheochromocytoma, neuroblastoma dan ganglioneuroma pada tumor adrenal
medula dan ekstra-adrenal, lebih tinggi dibanding lainnya. Pheochromocytoma merupakan tumor
sel penghasil katekolamin dari medula adrenal. TRIAS pheochromocytoma yaitu dari sakit kepala
yang bersifat episodik, diaforesis dan takikardia. Neuroblastoma didefinisikan sebagai keganasan
yang berasal dari sel – sel neural crest yang menimbulkan medulla adrenal dan ganglia simpatis.
Neuroblastoma adalah tumor ekstrakranial padat dengan prevalensi tertinggi pada masa kanak –
kanak. Neuoblastoma biasanya bermanifestasi sebagai massa pada abdomen disertai gejala
sistemik. Ganglioneuroma merupakan neoplasma neuroektodermal jinak yang terdiri dari sel
ganglion dan schwann. Ganglioneuroma sangat jarang dan memiliki gejala yang tidak spesifik,
namun diagnosis tetap harus dipertimbangkan selama evaluasi ketika ketemu massa adrenal.
Adrenal incidentaloma yaitu massa adrenal yang sering ditemukan secara kebetulan setelah
prosedur pencitraan yang dilakukan yang tidak berhubungan dengan kelenjar adrenal dan tidak
menunjukkan tanda dari kelebihan hormon.
Meskipun tumor adrenal merupakan kasus yang jarang, tumor ini sering ditemukan pada
dekade pertama kehidupan dan pada dekade keempat hingga kelima. Sampai sekarang, belum ada

59
yang dapat secara pasti menjelaskan etiologi dari tumor, namun terdapat beberapa bukti yang
menunjukkan bahwa ada sekumpulan faktor risiko yang tidak dapat diubah dan dapat
memengaruhi secara tidak langsung yaitu seperti usia dan mutasi genetik. Beberapa kondisi
genetik yang berhubungan dengan meningkatnya risiko tumor adrenal adalah MEN2, LFS, VHL,
NF1, BWS dan Carney complex. Proses pembentukan tumor adrenal sama dengan patogenesis
tumor pada jaringan lain dalam tubuh pada umumnya.
Diagnosis tumor adrenal dapat ditegakkan melalui status fungsional yang akan dinilai
berdasarkan riwayat medis dan pemeriksaan fisik termasuk gejala sesuai dengan lokasi tumor dan
pemeriksaan hormon (kortisol, aldosterone, katekolamin, DHEA, dll) dan potensi keganasan yang
dapat ditentukan berdasarkan pemeriksaan fenotipe pada pencitraan dan ukuran massa. Pada
pemeriksaan fisik perlu diperhatikan tekanan darah dan denyut jantung pasien. Massa adrenal
dapat dilihat dengan pencitraan berupa CT scan, MRI, FNAB, Adrenal Scintigraphy, PET maupun
angiografi. Staging pada tumor adrenal menggunakan sistem staging McFarlane-Sullivan
berdasarkan hasil CT scan dan MRI.
Tatalaksana tumor adrenal berbeda-beda dan tergantung dari ukuran dan lokasi tumor
untuk menentukan pemilihan terapi yang sesuai. Pilihat terapi mulai dari radiasi, terapi konservatif
dengan skrining, hingga adrenalektomi dengan atau tanpa terapi adjuvan.

60
DAFTAR PUSTAKA

1. Brunicardi F C, Anderson D, Dunn DL. Schwartz’s Principles of surgery. 10th ed. New
York: McGraw-Hill Medical Publishing. 2010
2. Tortora, GJ, Derrickson, B. Principles of Anatomy & Physiology 13th Edition. United
States of America: John Wiley & Sons, Inc. 2012
3. Tanagho EA. General Urology. 18th ed. San Fransisco. McGraw-Hill. 2013
4. Tarini Sinha. Tumors: Benign and Malignant. Canc Therapy & Oncol Int J. 2018; 10(3):
555790. DOI:10.19080/CTOIJ.2018.10.555790.
5. 7. Jarolim, L., Breza, J., & Wunderlich, H. Adrenal Tumours. European Urology. 2003;
43(1), I–X. doi:10.1016/s0302-2838(02)00365-2
6. Michalkiewicz E, Sandrini R, Figueiredo B, Miranda EC, Caran E, Oliveira-Filho AG, et
al. Clinical and outcome characteristics of children with adrenocortical tumors: a report
from the International Pediatric Adrenocortical Tumor Registry. J Clin Oncol. 2004 Mar
1. 22(5):838-45
7. Libé, R.. Adrenocortical carcinoma (ACC): diagnosis, prognosis, and treatment. Frontiers
in Cell and Developmental Biology. 2015; Vol 3 doi:10.3389/fcell.2015.00045
8. Anne W H, JM N, HT C, JK M, JF F. Risk factors for adrenal cancer: an exploratory study
[Internet]. PubMed. 2015 [cited 14 July 2021]. Available from:
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/8621222/
9. Jarolim, L., Breza, J., & Wunderlich, H. Adrenal Tumours. European Urology. 2003; 43(1),
I–X. doi:10.1016/s0302-2838(02)00365-2
10. WHO Classification of Tumours of Endocrine Organs (IARC WHO Classification of
Tumours), Fourth Edition, 2017
11. Biopsy Interpretation of the Kidney and Adrenal Gland; Andrey Bychkov, M.D., Ph.D., 1
July 2018
12. Else T, Kim AC, Sabolch A, et al. Adrenocortical carcinoma. Endocr Rev. 2014;35(2):282-
326; Libe R, Arlt W, Louiset E, et al. A feminizing adrenocortical carcinoma in the context
of a late onset 21-hydroxylase deficiency. J Clin Endocrinol Metab. 2014;99(6):1943-
1944;

61
13. Varma T, Panchani R, Goyal A, Maskey R. A case of androgen-secreting adrenal
carcinoma with non-classical congenital adrenal hyperplasia. Indian J Endocrinol Metab.
2013;17(Suppl 1):S243-S24
14. Weiss LM, Medeiros LJ and Vickery LA Jr. Pathologic features of prognostic significance
in adrenocortical carcinoma. American J Surg Pathol. 1989;13(3):202- 206.
15. Sundin A. Imaging of adrenal masses with emphasis on adrenocortical tumors.
Theranostics. 2012;2(5):516-522.
16. Rikjen JA, Neimeijer ND, Jonker MA, et al. The penetrance of paraganglioma and
pheochromocytoma in SDHB germline mutation carriers. Clin Genet. 2017.
17. Dluhy RG. Pheochromocytoma – death of an axiom. N Engl J Med. 2005)
18. Baguet JP, Hammer L, Mazzuco TL, Chabre O, Mallion JM, Sturm N, Chaffanjon P.
Circumstances of discovery of phaeochromocytoma: a retrospective study of 41
consecutive patients. Eur J Endocrinol. 2004 May;150(5):681-6.
19. Baguet JP, Hammer L, Mazzuco TL, Chabre O, Mallion JM, Sturm N, Chaffanjon P.
Circumstances of discovery of phaeochromocytoma: a retrospective study of 41
consecutive patients. Eur J Endocrinol. 2004 May;150(5):681-6.
20. Motta-Ramirez GA, Remer EM, Herts BR et al. Comparison of CT findings in
symptomatic and incidentally discovered pheochromocytomas. AJR Am J Roentgenol.
2005
21. Park JR, Eggert A, Caron H. Neuroblastoma: biolgy, prognosis, and treatment. Pediatr
Clin North Am. 2008).
22. (PDQ Pediatric Treatment Editorial Board. Neuroblastoma Treatment (PDQ®): Health
Professional Version. 2017 June 21.
23. Sherlock M, Scarsbrook A, Abbas A, Fraser S, Limumpornpetch P. Adrenal Incidentaloma.
Endocrine Reviews. 2020;41(6)
24. Tahseen Al-Saleem, MD, Department of Pathology, Fox Chase Cancer Cennter,
Philadelphia, PA and Dr. Thomas J. Sebo, Department of Laboratory Medicine and
Pathology, Mayo Clinic, Rochester, MN.
25. Radin R, David CL, Goldfarb H, et al. Adrenal and extra-adrenal retroperitoneal
ganglioneuroma: imaging findings in 13 adults. Radiology. 1997;202(3):703-707.

62
26. Tobias J, Hochhauser D. Cancer and its management. 6th ed. London, United Kingdom:
John Wiley & Sons, Inc.; 2010.
27. Adrenal Cushing's Syndrome [Internet]. [cited 2020Nov17]. Available from:
https://www.uclahealth.org/endocrine-center/adrenal-cushings-syndrome
28. Lizneva D, Gavrilova-Jordan L, Walker W, Azziz R. Androgen excess: Investigations and
management. Best Practice & Research Clinical Obstetrics & Gynaecology. 2016;37:98–
118.
29. Heyk A. Primary Hyperaldosteronism-Conn's Syndrome. 2018Dec;:1–3.
30. Sucandy I, Akmal Y, Sheldon D. Ganglioneuroma of the adrenal gland and
retroperitoneum: A case report. North American Journal of Medical Sciences. 2011;:336–
8.
31. Lonergan GJ, Schwab CM, Suarez ES, Carlson CL. Neuroblastoma,
ganglioneuroblastoma, and ganglioneuroma: radiologic-pathologic correlation.
Radiographics. 2002 Jul-Aug;22(4):911-34. doi: 10.1148/radiographics.22.4.g02jl15911.
PMID: 12110723.
32. Mahmood E, Anastasopoulou C. Adrenal Adenoma. [Updated 2020 Jul 6]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan- . Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK539906/
33. Smith DR, Tanagho EA, McAninch JW, Lue TF. In: Smith and Tanagho's general urology.
17th ed. New York: McGraw-Hill medical; 2013. p. 490–505.
34. Bagi RP Jana MD. [Internet]. Adrenal Carcinoma Clinical Presentation: History, Physical
Examination. Medscape; 2020 [cited 2020Nov26]. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/276264-clinical
35. Campbell-Walsh-Wein Urology. 12 ed. Philadelphia, PA: Elsevier; 2020.
36. Jason DS, Oltmann SC. Evaluation of an Adrenal Incidentaloma. Surgical Clinics of North
America. 2019;99(4):721–9.
37. Corssmit EP, Dekkers OM. Screening in adrenal tumors. Current Opinion in Oncology.
2019;31(3):243–6.
38. Hamidi O, Young WF, Jr., Gruber L, Smestad J, Yan Q, Ponce OJ, et al. Outcomes of
patients with metastatic phaeochromocytoma and paraganglioma: A systematic review and
meta-analysis. Clin Endocrinol (Oxf). 2017;87(5):440-50.

63
39. Ritchey ML, Cost NG, Shamberger RC. Pathophysiology, Evaluation, and Medical
Management of Adrenal Disorders. In: Kutikov A, Crispen PL, Uzzo RG, editors.
Campbell-Walsh-Wein Urology. 12 ed. Philadelphia, PA: Elsevier; 2020.
40. Tobias J, Hochhauser D. Cancer and its management. 6th ed. London, United Kingdom:
John Wiley & Sons, Inc.; 2010.
41. Mayo-Smith WW, Song JH, Boland GL, et al. Management of Incidental Adrenal
Masses:A White Paper of the ACR Incidental Findings Committee.J Am Coll Radiol.
2017;14(8):1038-1044. doi:10.1016/j.jacr.2017.05.001
42. Torti JF, Correa R. Adrenal Cancer.; 2020.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK546580/
43. Crona J, Beuschlein F, Pacak K, Skogseid B. Advances in adrenal tumors 2018. Endocr
Relat Cancer. 2018;25(7):R405-R420. doi:10.1530/ERC-18-0138
44. Parham DM, Khoury JD, Beth McCarville M. Tumors of the Adrenal Gland.; 2015.
doi:10.1007/978-1-4939-1729-7
45. Margonis GA, Amini N, Kim Y, et al. Incidence of Perioperative Complications Following
Resection of Adrenocortical Carcinoma and Its Association with Long-Term Survival.
World J Surg. 2016;40(3):706-714. doi:10.1007/s00268-015-3307-y.Incidence
46. Else T, Kim AC, Sabolch A, et al. Adrenocortical carcinoma. Endocr Rev. 2014;35(2):282-
326; Libe R, Arlt W, Louiset E, et al. A feminizing adrenocortical carcinoma in the context
of a late onset 21-hydroxylase deficiency. J Clin Endocrinol Metab. 2014;99(6):1943-
1944;
47. Mahmood E, Anastasopoulou C. Adrenal Adenoma. In: Leslie S, Hamawy K, editors.
StatPearls. Treasure Island, Florida: StatPearls Publishing; 2020
48. Thakker RV. Multiple Endocrine Neoplasia. In: Jameson JL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser
SL, Longo DL, Loscalzo J, editors. Harrison's Principles of Internal Medicine. 20 ed. New
York, NY: McGraw-Hill Education; 2018.
49. Hackam DJ, Upperman J, Grikscheit T, Wang K, Ford HR. Pediatric Surgery. In:
Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Kao LS, Hunter JG, et al., editors.
Schwartz's Principles of Surgery. 11 ed. New York, NY: McGraw-Hill Education; 2019.

64
50. Ritchey ML, Cost NG, Shamberger RC. Pediatric Urologic Oncology: Renal and Adrenal.
In: Partin AW, Dmochowski RR, Kavoussi LR, Peters CA, editors. Campbell-Walsh-Wein
Urology. 12 ed. Philadelphia, PA: Elsevier; 2020.

65

Anda mungkin juga menyukai