Anda di halaman 1dari 36

ORCHIDECTOMY REGIONAL

TINJAUAN PUSTAKA

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Program Pendidikan Dokter Spesialis-1


(PPDS-1) Anestesiologi dan Terapi Intensif

Oleh:
dr.
NIM

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER ANESTESIOLOGI DAN TERAPI


INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2022
LEMBAR PENGESAHAN TINJAUAN PUSTAKA
ORCHIDECTOMY REGIONAL

Disusun Oleh
dr.
NIM

Telah disetujui
Semarang, Juni 2022

Pembimbing

Dr. dr.
NIP.
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................ii

DAFTAR ISI..........................................................................................................iii

DAFTAR TABEL...................................................................................................iv

DAFTAR GAMBAR...............................................................................................v

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................3

2.1 Definisi..................................................................................................2

2.2 Anatomi dan Fisiologi ..........................................................................3

2.3 Epidemiologi .........................................................................................4

2.4 Etiologi .................................................................................................4

2.5 Patogenesis dan Patofisiologis ..............................................................5

2.6 Diagnosis ..............................................................................................6

2.6 Manajemen Anestesi..............................................................................8

2.7 Tatalaksana .........................................................................................14

BAB III KESIMPULAN........................................................................................27

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................29
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Anatomi Sistem Urogenital.....................................................................6

Gambar 2 Korda Spermatika dan Struktur yang Berdekatan…………………….. 7


Gambar 3 Anatomi Sistem Urogenital...................................................................15
Gambar 4 Klasifikasi Malampati...........................................................................20
BAB I
PENDAHULUAN

Pada praktek anestesi, prosedur bedah urologi mencakup 10-20%. Pasien yang
menjalani prosedur genitourinari berasal dari segala usia, tetapi kebanyakan
berasal dari kalangan lansia yang memiliki riwayat medis seperti gangguan
ginjal. Beberapa posisi operasi seperti litotomi, Trendelenburg, pendekatan
transurethral, dan litotripsi mempersulit tak hanya anestesi tapi juga teknik
bedah.

Kanker prostat adalah neoplasma ganas kedua yang paling umum pada pria
setelah kanker kulit. Kanker prostat menyumbang 28% dari semua kanker pada pria.
Meskipun pengenalan tes antigen spesifik prostat (PSA) pada tahun 1960 telah
memfasilitasi dalam melakukan diagnosis kanker prostat, tetapi 510% dari pasien
kanker prostat didiagnosis sudah dengan metastasis jauh.

Orchidectomy merupakan prosedur pengangkatan testis baik salah satu


maupun kedua testis. Prosedur ini telah lama dikenal, meski sekarang hanya
dilakukan berdasarkan indikasi medis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Orkidektomi merupakan prosedur bedah untuk pengangkatan jaringan


testis.1 Secara umum dibagi menjadi dua yaitu orkiektomi sederhana dan
okiektomi radikal/inguinal. Hal yang membedakan keduanya adalah letak dari
level spermatic cord yang diangkat serta tujuan yang dicapai. Simpel
orkidektomi dilakukan pengangkatan spermatic cord tidak setinggi orkidektomi
radikal/inguinal. Simpel orkiektomi biasa dilakukan pada pengangkatan jaringan
non vital/nekrosis testis yang diakibatkan oleh torsio testis, epididimoorkitis
berat yang refrakter terhadap terapi antimikroba, serta pada kanker prostat yang
membutuhkan ablasi hormonal.

Gambar 1. Anatomi Sistem Urogenital


2.2 Anatomi dan Fisiologi Testis
Testis secara embriologis berasal dari tingkat yang sama dengan ginjal dan,
oleh karena itu, memiliki tingkat persarafan yang sama, yaitu tingkat T10-L1 untuk
konduksi nyeri dan T10-L2 untuk persarafan simpatis. Saat janin matang, testis turun
ke dalam skrotum. Skrotum disarafi di bagian anterior oleh nervus ilioinguinal dan
nervus genitofemoralis, sedangkan bagian posterior skrotum dipersarafi oleh cabang
perineum nervus pudendus.

Serabut aferen untuk isi internal skrotum berjalan di dalam korda spermatika.
Di lokasi inilah blokade saraf anestesi paling baik dilakukan, karena saraf relatif
superfisial terhadap kulit saat berjalan melalui korda spermatika.

Gambar 2. Korda Spermatika dan Struktur yang berdekatan

Saraf yang terlibat dengan persarafan kantung skrotum termasuk saraf


iliohypogastric dan ilioinguinal dan saraf genitofemoral, bersama dengan cabang
saraf pudendal pada permukaan posterior kantung skrotum. Oleh karena itu,
pemberian anestesi lokal pada korda spermatika itu sendiri, sementara membuat
anestesi pada testis dan epididimis, tidak menyebabkan anestesi pada kulit di
atasnya.2
2.3 Epidemiologi

Keganasan pada testis merupakan kasus yang jarang dimana insiden dari
penyakit ini 9 kasus per 100.000 pria dalam satu tahun. 90-95% tumor testis primer
merupakan germ cell tumor (seminoma dan non seminoma).

Kanker testis merupakan neoplasma yang paling dapat disembuhkan


dibandingkan kanker lainnya. Mortalitas pasien menjadi turun akibat peningkatan
pada teknik diagnosis yang efektif, peningkatan pada tumor marker, kemoterapi yang
efektif serta modifikasi dari teknik operasi.1

2.4 Etiologi

Etiologi dari tumor testis tidak diketahui, tetapi cryptorchidism mempunyai


peranan yang kuat dalam terbentuknya tumor testis. Resiko relatif terjadinya
keganasa pada testis lebih tinggi pada intra-abdominal testis dibandingkan dengan
inguinal testis. Selain dari cryptorchidism, pemberian estrogen pada saat hamil
meningkatkan risiko tumor testis pada fetus.Keganasan testis sedikit lebih sering
terjadi pada testis kanan dibandingkan dengan testis kiri, ini sejalan dengan
banyaknya cryptorchidism pada testis kanan dibandingkan testis kiri.2
2.5 Patogenesis dan Patofisiologis

Tumor testis pada mulanya berupa lesi intratestikuler yang akhirnya mengenai
seluruh parenkim testis. Sel-sel tumor kemudian menyebar ke rete testis, epididimis,
funikulus spermatikus, atau bahkan ke kulit skrotum. Tunika albuginea merupakan
barier yang sangat kuat bagi penjalaran tumor testis ke organ sekitarnya, sehingga
kerusakan
tunika albuginea oleh invasi tumor membuka peluang sel-sel tumor untuk menyebar
keluar testis. Kecuali korio karsinoma, tumor testis menyebar melalui pembuluh limfe
menuju ke kelenjar limfe retroperitoneal (para aorta) sebagai stasiun pertama,
kemudian menuju ke kelenjar limfe mediastinal dan
supraklavikula, sedangkan korio karsinoma menyebar secara hematogen ke
paru, hepar, dan otak.

Metastasis ke kelenjar inguinal hanya terjadi setelah penyusupan tumor ke


dalam kulit skrotum atau setelah dilakukan pembedahan pada funikulus spermatikus,
seperti pada hernia inguinalis lateralis yang menyebabkan gangguan aliran arus limfe
didalamnya. Penyebaran hematogen luas pada tahap dini mer upakan tanda
koriokarsinoma.2
2.6 Diagnosis dan Skoring

Staging tumor testis


Gambaran khas tumor testis ialah benjolan di dalam skrotum yang tidak nyeri.
Biasanya tumor terbatas dalam testis sehingga mudah dibedakan dari epididimis pada
palpasi yang dilakukan dengan telunjuk dan ibu jari. Gejala dan tanda lain, seperti
nyeri pinggang, kembung perut, dispnea atau batuk, dan ginekomastia menunjukkan
adanya metastasis yang luas. Metastasis paraaorta yang luas menyebabkan perut
kembung dan besar sekali. Metastasis ke paru menyebabkan sesak napas.
Gonadotropin yang mungkin disekresi oleh sel tumor dapat menyebabkan
ginekomastia. Transiluminasi, ultrasonografi, dan pemeriksaan endapan kemih sangat
berguna untuk membedakan tumor dari kelainan lain, seperti hidrokel.3
Pemeriksaan petanda tumor sangat berguna, yaitu beta-human chorionic gonadotropin
(beta-HCG), alfa- fetoprotein (AFP), dan laktat dehidrogenase (LDH). Diagnosis
ditentukan dengan pemeriksaan histologik sediaan biopsi dari hasil operasi. Setiap
benjolan testis yang tidak menyurut dan hilang setelah pengobatan adekuat dalam
waktu dua minggu harus dicurigai suatu keganasan. Biopsi (operasi) dilakukan
melalui sayatan inguinal dan bukan melalui kulit skrotum untuk menghindari
pencemaran luka bedah dengan sel tumor. Biopsi testis dikerjakan setelah funiculus
spermatikus ditutup dengan jepitan klem untuk mencegah penyebaran limfogen dan
hematogen. Pemeriksaan selanjutnya adalah patologi anatomi untuk menentukan,
sifat tumor, jenis tumor, derajat keganasan (grading), dan luasnya penyebaran. Bila
ternyata telah menyebar ke kelenjar getah bening regional maka dilakukan
limfadenectomy inguinal atau bila telah menyebar ke kelenjar getah bening di
paraaorta maka dilakukan diseksi kelenjar limfe retroperitoneal secara
transabdomen.5

Penanda tumor pada karsinoma testis germinal bermanfaat untuk membantu


diagnosis, penentuan stadium tumor, monitoring respons pengobatan, dan sebagai
indikator prognosis tumor testis. Penanda tumor yang paling sering diperiksa pada
tumor testis adalah: 1) alfa FP (Alfa Feto Protein) adalah suatu glikoprotein yang
diproduksi oleh karsinoma embrional, teratokarsinoma, atau tumor yolk sac, tetapi
tidak diproduksi oleh koriokarsinoma murni dan seminoma murni. Penanda tumor ini
mempunyai masa paruh 5-7 hari, 2) ²HCG (Beta Human Chorionic Gonadotropin)
adalah suatu glikoprotein yang pada keadaan normal diproduksi oleh jaringan
trofoblas. Penanda tumor ini meningkat pada semua pasien
koriokarsinoma, pada 40%-60% pasien karsinoma embrional, dan 5%-10% pasien
seminoma murni. HCG mempunyai waktu paruh 24-36 jam.4

2.7 Manajemen Anestesi


a. Anestesi umum
Jika operasi diindikasikan pada testis atau epididimis, maka anestesi umum
selalu menjadi pilihan. Jelas, ini mungkin satu-satunya pilihan yang layak jika
pasien menolak untuk menjalani teknik regional untuk intervensi bedah.
Penolakan pasien untuk menjalani anestesi regional untuk prosedur bedah
testis dan epididimis mungkin sering kali berakar pada keyakinan bahwa ia
akan terjaga selama prosedur dan lebih suka "tertidur" untuk operasi di
wilayah sensitif ini. Ini biasanya dapat diatasi dengan beberapa diskusi
tentang blok dan jaminan bahwa setiap upaya akan dilakukan untuk membuat
pasien nyaman, umumnya termasuk perawatan anestesi yang dipantau atau
sedasi sadar. Penolakan pasien adalah salah satu dari sedikit kontraindikasi
absolut untuk melakukan teknik anestesi regional.

b. Anestesi spinal atau epidural


Anestesi untuk pembedahan pada testis dan epididimis dapat dengan mudah
diperoleh dengan melakukan anestesi spinal (dengan tingkat insensate
setidaknya tingkat 10 toraks) atau anestesi epidural.
Seringkali, anestesi spinal dipilih karena durasi pendek dari sebagian besar
prosedur bedah yang melibatkan struktur anatomi ini, tingkat kegagalan yang
rendah dari blokade saraf, dan penghindaran akar saraf sakral yang terkait
dengan blokade epidural. Poin terakhir ini relatif penting karena elemen
posterior skrotum dipersarafi oleh cabang perineum nervus pudendus, yang
diturunkan dari level S2-S4.
Pada pasien dewasa, anestesi caudal umumnya tidak dilakukan karena tingkat
kegagalan yang tinggi pada populasi ini. Namun, anestesi kaudal adalah
pilihan yang layak dan sering digunakan pada populasi pediatrik untuk kontrol
nyeri pasca operasi.

c. Blok korda spematika


Blok korda spermatika adalah prosedur yang relatif sederhana yang dapat
dilakukan untuk memberikan anestesi pada testis dan epididimis. Posisi yang
relatif superfisial dari korda spermatika dekat canalis inguinalis eksterna,
membuat posisi ini ideal untuk penempatan anestesi lokal dan anestesi testis
dan epididimis. Perhatikan bahwa blok korda spermatika memberikan anestesi
hanya pada testis dan epididimis dan bukan pada kulit di atasnya, termasuk
skrotum dan daerah suprapubik.
Blok korda spermatika dapat diulang seperlunya untuk orchialgia.
Ilioinguinal, iliohypogastric, cabang genital blok saraf genitofemoralis.
Anestesi pada kulit di atasnya, skrotum, dan daerah suprapubik dicapai
dengan blok saraf ilioinguinal dan iliohypogastric.

Pasien yang tidak respon terhadap blok korda spermatika dapat mengambil
manfaat dari anestesi blok berikut:
1. Blok saraf periprostatik (pleksus pelvic): Pleksus terletak di anterior
rektum pada sambungan prostatovesikal. Panduan ultrasonografi
transrektal membantu dalam lokalisasi saraf. Input eferen simpatis dan
parasimpatis utama ke testis disediakan oleh pleksus pelvic.
2. Blok pleksus hipogastrik superior: Pereda nyeri jangka panjang diperoleh
dengan neurolisis pleksus ini pada pasien dengan nyeri kanker testis.

Peralatan
Prosedur ini relatif mudah dan membutuhkan sedikit peralatan untuk
dilakukan.
- Jarum suntik 10 mL steril
- Jarum pengukur kecil (25 ga) yang panjangnya 1,5 hingga 2 inci
- Larutan untuk sediaan steril (misalnya, klorheksidin [Hibiclens], povidone-
iodine [Betadine])
- Sepasang sarung tangan steril
- Doek steril untuk menyiapkan lapangan
- Anestesi lokal pilihan, 10 mL

Pemosisian
Pasien harus diposisikan dengan nyaman dalam posisi terlentang.
Menempatkan papan atau penyangga yang kokoh di bawah bokong selama
periode blok dapat membantu. Ini menonjolkan area dan memfasilitasi palpasi
korda spermatika, terutama pada pasien yang mengalami obesitas.

Teknik
Blok korda spermatika
 Persiapkan dan gantung pasien dalam keadaan steril.
 Palpasi tuberkulum pubis pada sisi yang akan diblokir.
 Pada titik yang terletak 1 cm di bawah dan 1 cm medial dari tuberkulum
pubis, buat tusukan jarum dengan spuit yang terpasang dan larutan anestesi
lokal. (Sementara benjolan kulit di atasnya dari anestesi lokal dapat dinaikkan,
dengan jarum pengukur kecil dan injeksi infiltrat yang lambat, injeksi yang
relatif bebas rasa sakit dapat dilakukan.
 Pada kebanyakan pasien, korda spermatika dapat dipalpasi. Imobilisasi tali
pusat selama blok dengan tangan yang tidak dominan, di antara ibu jari dan
jari telunjuk, dapat bermanfaat.
 Masukkan jarum langsung ke bawah secara vertikal, yang membawanya ke
dalam korda spermatika.
 Setelah aspirasi darah negatif, injeksikan kira-kira 3 mL larutan ke dalam tali
pusat. Ulangi langkah ini dengan beberapa sudut kranial dan kemudian caudal
dari jarum untuk menyebarkan obat di dalam tali pusat itu sendiri. Aspirasi
sebelum setiap injeksi berturut-turut.

Blok saraf ilioinguinal


 Tempatkan pasien terlentang dengan bantal di bawah lutut.
 Palpasi spina iliaka anterior superior (ASIS).
 Siapkan kulit dengan larutan antiseptik.
 Infiltrasi kulit dengan lidokain 1% 0,5 mL pada titik 2 inci medial dan kaudal
ke ASIS. Kemudian masukkan jarum 25-gauge 1,5-in pada titik itu dan
majukan pada sudut miring ke arah simfisis pubis. Berhati-hatilah untuk tidak
memasukkan jarum terlalu dalam, ke dalam rongga peritoneum. Gambar di
bawah menunjukkan posisi.
 Setelah aspirasi negatif, injeksikan 5-7 mL lidokain 1% dengan cara seperti
kipas saat jarum menembus fasia otot oblik eksternal.

Gambar 3. Lokasi blok saraf

Blok Saraf iliohipogastric


Prosedur ini sama dengan prosedur untuk blok saraf ilioinguinal kecuali titik
masuk jarum 1 inci medial dan kaudal ke ASIS. Gambar di bawah
menunjukkan posisi.

 Identifikasi tuberkulum pubis dan ligamen inguinalis.


 Titik masuk jarum tepat di lateral tuberkulum pubis dan tepat di bawah
ligamentum inguinalis. Berhati-hatilah untuk tidak memasukkan jarum terlalu
dalam, ke dalam rongga peritoneum. Gambar di bawah menunjukkan posisi.
 Setelah aspirasi negatif, injeksikan 5-7 mL lidokain 1%.

d. Komplikasi
- Berdarah
- Infeksi
- Injeksi intravascular
- Kegagalan blok
- Reaksi vasovagal selama blok atau prosedur itu sendiri: Ini
mengharuskan akses intravena sebelumnya sebelum prosedur
dilakukan.
- Tusukan struktur sekitarnya mungkin terjadi, termasuk duktus
deferens dan pembuluh darah di korda spermatika dan kemungkinan
tusukan kandung kemih, usus, dan pembuluh femoralis.
- Sebuah neurapraksia sementara atau berkelanjutan adalah suatu
kemungkinan, seperti hampir semua prosedur yang melibatkan teknik
anestesi regional.
Menurut Schmittner dkk, anestesi spinal dengan dosis rendah anestetik lokal
hiperbarik lebih baik daripada anestesi umum untuk prosedur kolorektal
dalam hal konsumsi analgesik pascaoperasi, waktu pemulihan, tingkat
komplikasi pasca operasi dan kepuasan pasien.4 Meskipun demikian terdapat
beberapa efek samping dari penggunaan anestesi spinal, yaitu:

a. Efek kardiovaskular
Blok simpatis mengakibatkan vasodilatasi arteri dan vena sehingga terjadi
hipotensi. Pencegahan dilakukan dengan pemberian cairan (preloading)
untuk mengurangi hipovolemi relatif akibat vasodilatasi sebelum
dilakukan spinal/epidural anastesi.

b. Efek respirasi
Pusat nafas di batang otak mengalami hipoperfusi sehingga dapat terjadi
respiratory arrest. Bisa juga terjadi blok pada nervus Phrenicus sehingga
mengganggu gerakan diafragma dan otot perut yang dibutuhkan untuk
inspirasi dan ekspirasi.
c. Efek gastrointestinal
Mual dan muntah akibat blok neuroaksial sebesar 20% terjadi karena
hiperperistaltik gastrointestinal oleh aktivitas parasimpatik vagal.
d. PDPH (Post Dural Puncture Headache)
Disebabkan karena kebocoran cairan serebrospinal akibat tindakan
perusakan jaringan spinal yang menyebabkan penurunan tekanan LCS
(Liquor Cerebrospinalis) . Kondisi ini akan menyebabkan tarikan pada
struktur intrakranial yang sangat peka terhadap nyeri yaitu pembuluh
darah, saraf, falk serebri, dan meninges, dimana nyeri akan timbul setelah
kehilangan LCS 20ml. PDPH ditandai dengan nyeri kepala yang hebat,
pandangan kabur dan diplopia,mual dan penurunan tekanan darah.4,5,6
Sebuah anestesi spinal selektif standar dengan dosis rendah dari
bupivakain hiperbarik untuk operasi organ genital eksterna dan anorektal
menghasilkan tingkat sensorik dan motoric pulih dengan baik lebih cepat
dengan durasi yang lebih pendek daripada anestesi umum atau anestesi
spinal konvensional.7
2.8 Tatalaksana

2.8 Evaluasi

2.8.1 Penilaian Status Present

Penilaian status present pada pembedahan organ genitalia eksterna dan


organ anorektal sebagian besar sama dengan penilaian status present untuk
prosedur pembedahan pada umumnya. Penilaian ini diawali anamnesis pasien
secara menyeluruh untuk menggali informasi terkait :5,9,10
a. Identifikasi pasien yang terdiri dari nama, umur, alamat, dll.

b. Keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan dihadapi.

c. Riwayat penyakit yang sedang/pernah diderita yang dapat menjadi


penyulit anestesi seperti alergi, diabetes melitus, penyakit paru kronis
(asma bronkial, pneumonia, bronkitis), penyakit jantung, hipertensi,
dan penyakit ginjal.
d. Riwayat obat-obatan yang meliputi alergi obat, intoleransi obat, dan
obat yang sedang digunakan dan dapat menimbulkan interaksi
dengan obat anestetik seperti kortikosteroid, obat antihipertensi,
antidiabetik, antibiotik, golongan aminoglikosid, dll.
e. Riwayat anestesi dan operasi sebelumnya yang terdiri dari tanggal,
jenis pembedahan dan anestesi, komplikasi dan perawatan intensif
pasca operasi.
f. Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempengaruhi tindakan
anestesi seperti merokok, minum alkohol, obat penenang, narkotik,
dan muntah.
g. Riwayat keluarga yang menderita kelainan seperti hipertensi maligna.

h. Makanan yang terakhir dimakan.

Selanjutnya dilakukan pemeriksaan fisik untuk mengevaluasi keadaan


umum dan tanda vital pasien. Keadaan umum dinilai melalui pemeriksaan
kesadaran dengan Glassgow Coma Scale (GCS) serta status gizi (body
mass index/BMI) dengan mengukur berat dan tinggi badan bertujuan untuk
memperkirakan dosis obat, terapi cairan yang diperlukan, serta jumlah urin
selama dan sesudah pembedahan. Tanda vital pasien diperoleh melalui
pemeriksaan tekanan darah, denyut nadi, frekuensi pernafasan, dan suhu
tubuh.6,7

Khusus pasien yang akan menjalani prosedur pembedahan onkologi


pada regio genitalia seperti pada penderita kanker testis yang akan menjalani
prosedur orchidektomy radikal dan diseksi limfo nodi retroperitoneal
(retroperitoneal lymph node dissection/RPLND), perlu dilakukan evaluasi
terkait status nutrisi, status fungsional dan kontrol gejala (khususnya tentang
nyeri yang berhubungan dengan kanker) sebagai tambahan pemeriksaan selain
pemeriksaan medis umum. Selain itu, perlu diketahui riwayat perjalanan
penyakit kanker dan efek dari kemoterapi ataupun terapi radiasi sebelumnya.8

2.8.2 Evaluasi Status Generalis

Setelah menilai status present pasien, selanjutnya dilakukan evaluasi


status generalis dengan melakukan pemeriksaan fisik dan penunjang yang
lain. Pemeriksaan fisik umum yang dilakukan antara lain :6,9,10

a. Jalan napas (airway) untuk mengetahui adanya trismus, keadaan gigi


geligi, adanya gigi palsu, gangguan fleksi ekstensi leher, deviasi
ortopedi dan dermatologi. Ada pula pemeriksaan mallampati, yang
dinilai dari visualisasi pembukaan mulut maksimal dan posisi protusi
lidah. Pemeriksaan mallampati sangat penting untuk menentukan
kesulitan atau tidaknya dalam melakukan intubasi. Penilaiannya
yaitu:
1) Mallampati I : palatum molle, uvula, dinding posterior
orofaring, tonsilla palatina dan tonsilla
faringeal
2) Mallampati II : palatum molle, sebagian uvula, dinding
posterior

3) Mallampati III : palatum molle, dasar uvula

4) Mallampati IV : palatum durum saja

Cara menilai mallampati :

 Pasien dalam keadaan sadar baik dan kooperatif.

 Pasien dalam posisi duduk dan mengekstensikan kepala

 Buka mulut, julurkan lidah, dan katakan “aaa”

 Nilai lidah, palatum durum, palatum molle, uvula, dan pilar


tonsil.
Gambar 4. Klasifikasi Mallampati10

b. Jantung, untuk mengevaluasi kondisi jantung.

c. Paru-paru, untuk melihat adanya dispneu, ronki dan mengi.

d. Abdomen, untuk melihat adanya distensi, massa, asites, hernia, atau tanda
regurgitasi.

e. Ekstrimitas, terutama untuk melihat adanya perfusi distal, sianosis,


adanya jari tabuh, infeksi kulit, untuk melihat di tempat-tempat pungsi
vena atau daerah blok saraf regional.
Pemeriksaan penunjang lain yang umumnya dilakukan adalah
pemeriksaan laboratorium darah lengkap (Hb, Ht, eritrosit, leukosit dan
trombosit), gula darah sewaktu, fungsi ginjal (ureum), serta fungsi hati (SGPT
dan SGOT). Pemeriksaan urinalisis dilakukan bila dicurigai terjadi infeksi
saluran kemih. Elektrokardiografi merupakan salah satu pemeriksaan yang
sering dilakukan bila dicurigai terdapat kelainan kardiovaskular terutama
seiring bertambahnya usia.6,7

Berdasarkan kondisi medis preoperative pasien yang tergambar dari


hasil penilaian status present, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang
tersebut, dapat ditentukan klasifikasi American Society of Anesthesiologists
(ASA) pada pasien, dimana klasifikasi ini dapat dijadikan pertimbangan risiko
pasien yang berhubungan dengan anestesia dan pembedahan.6,7

2.2 Persiapan Preoperatif

Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan (elektif/darurat)


harus dipersiapkan dengan baik melalui pemeriksaan preoperatif.9

2.8.1 Persiapan Rutin


Mencari riwayat medis keseluruhan, melaksanakan pemeriksaan fisik
dan investigasi kembali diperlukan pada tahap ini. Pasien perlu dijelaskan
mengenai puasa preoperatif, rencanakan waktu terakhir makan dan minum
karena salah satu penyebab yang paling sering menyebabkan mortalitas dan
morbiditas akibat anestesi adalah aspirasi isi lambung. Selain itu, perlu
diberikan informasi ke pasien dan memperoleh persetujuan untuk
dilakukannya tindakan operasi. Agar persetujuan tersebut menjadi valid,
pasien harus mengetahui terapi apa yang akan diberikan, menerima informasi
yang cukup untuk membuat keputusan, serta persetujuan yang harus dilakukan
secara sadar.9,10

2.8.2 Persiapan Khusus

Pada prosedur pembedahan genitalia eksterna dan anorektal umumnya


pasien diposisikan litotomi dimana kedua kaki pasien diabduksi terhadap garis
tengah, selanjutnya panggul dan lutut difleksikan sehingga ekstremitas bawah
paralel terhadap lantai. Kedua ekstremitas harus diangkat dan diturunkan
bersamaan untuk menghindari stress rotasional pada tulang belakang lumbal.
Untuk menghindari patofisiologi yang mungkin terjadi akibat posisi litotomi
ini maka perlu untuk melakukan evaluasi dengan ASA Task Force Concencus
on Preventionof Perioperative Peripheral Neuropathies.9,11

Teknik anestesi spinal umumnya digunakan pada prosedur pembedahan


genitalia dan anorektal kecuali bila ada kontraindikasi absolut. Perlu
diperhatikan faktor-faktor yang nantinya dapat mempengaruhi tinggi spinal
blok, seperti karakteristik pasien (tinggi, berat, umur, jenis kelamin), variasi
teknik (posisi pasien, tempat injeksi), karakteristik cairan serebrospinal, serta
karakteristik dari anestesi local yang digunakan.7,9

2.3 Premedikasi

Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum tindakan anestesi.


Adapun tujuan dari premedikasi ini antara lain :6
a. Memberikan rasa nyaman bagi pasien, misalnya : diazepam.

b. Menghilangkan rasa khawatir, misalnya : diazepam.

c. Membuat amnesia, misalnya : diazepam, midazolam.

d. Memberikan analgesia, misalnya : pethidin.

e. Mencegah muntah, misalnya : droperidol, metoklopropamid.

f. Memperlancar induksi, misalnya : pethidin.

g. Mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misalnya : pethidin.

h. Menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misalnya : sulfas atropin.

i. Mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misalnya: sulfas atropin dan


hiosin.

Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan fisiologis pasien


yang ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah.6 Apabila akan
dilakukan prosedur yang menyakitkan ketika pasien tetap tersadar seperti blok
regional, maka opioid dosis kecil seperti fentanyl akan diberikan.10

2.4 Pilihan Anestesi

2.8.1 Pada Pasien Dewasa

Anestesi regional adalah tindakan analgesia yang dilakukan dengan cara


menyuntikkan obat anestetika lokal pada lokasi serat saraf yang menginervasi
regio tertentu, yang menyebabkan hambatan konduksi impuls aferen yang
bersifat temporer.3 Anestesi spinal/subarachnoid block adalah teknik anestesi
regional dengan menyuntikkan obat analgetik lokal ke dalam ruang
subarachnoid di daerah antara vertebrae L2-L3 / L3-4 (obat lebih mudah
menyebar ke kranial) atau L4-5 (obat lebih cenderung berkumpul di kaudal).
Faktor yang mempengaruhi ketinggian spinal blok antara lain, karakteristik
pasien (tinggi, berat, umur, jenis kelamin), variasi teknik (posisi pasien,
tempat injeksi), karakteristik cairan srebrospinal, karakteristik dari anestesi
lokal yang digunakan.
Kontraindikasi anastesi spinal dibagi menjadi 2 :

1. Kontraindikasi
Absolut

 Pasien menolak

 Infeksi pada tempat suntikan

 Hypovolemia berat, syok

 Koagulapati atau mendapat terapi koagulan

 Tekanan intrakranial meningkat

 Fasilitas resusitasi minim

 Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anastesi

2. Kontraindikasi Relatif

 Infeksi sistemik

 Kelainan neurologis

 Kelainan psikis

 Bedah lama

 Penyakit jantung

 Hipovolemia ringan

 Nyeri punggung kronik

Indikasi penggunaan teknik anestesi spinal adalah untuk pembedahan


pada daerah abdominal bawah dan inguinal, anorektal dan genitalia eksterna,
serta ekstremitas inferior.6,9 Teknik anestesi spinal menggunakan bupivacain
10-12 mg. Untuk operasi berdurasi pendek gunakan bupivacaine dosis rendah
(0.075%, 7.5mg), mepivacaine (1.5%, 45mg) atau procaine (10%, 100-
150mg). Suplementasi sedasi intravena juga diperlukan khususnya pada
pasien wanita.10
Bila terjadi bradikardi berlebih atau simptomatik, harus segera diberikan
atropine dan keadaan hipotensi diobati dengan vasopressor. Kontraindikasi
utama untuk anestesi neuraksial adalah penolakan pasien, perdarahan
diathesis, hipovolemia berat, peningkatan tekanan intrakranial, dan adanya
infeksi di tempat suntikan. Pada anestesi spinal, setelah jarum menembus
ligamentum flavum dan masuk ke ruang epidural, jarum tersebut melewati
membrane dura-subaraknoid yang ditandai dengan mengalirnya cairan
serebrospinal. Volume dan konsentrasi anestesi lokal yang dibutuhkan untuk
anestesi epidural lebih besar dibandingkan anestesi spinal. Selain itu, anestesi
epidural memiliki awitan yang lebih lambat (10 - 20 menit) dibandingkan
anestesi spinal.10 Namun, anestesi spinal dikatakan memiliki durasi analgesia
pasca operasi yang terbatas sehingga beberapa adjuvant dicoba bersama
anestesi lokal untuk memperpanjang durasi analgesia tersebut, salah
satunya dengan

penggunaan midazolam sebagai adjuvant bersama dengan anestesi lokal


dikatakan dapat meningkatkan durasi analgesia dan blok motor serta
menurunkan insiden postoperative nausea-vomiting (PONV).12
Pada prosedur orchidektomy radikal, teknik anestesi yang umumnya
dipilih adalah anestesi neuraksial dengan memblok level sensoris Th10 dan
meminimalisir trauma psikiatri dengan penambahan sedasi. Sedangkan untuk
prosedur RPLND dipilih anestesi umum. Bila terdapat kontraindikasi anestesi
umum, dilakukan blok sensoris high-level (Th4) dengan sedasi.8,10

2.8.2 Pada Bayi/Anak

Pasien pediatri memiliki keunikan dalam hal anatomi, fisiologi, dan


farmakologi dibandingkan dengan pasien dewasa. Umumnya teknik anestesi
yang dipilih adalah anestesi umum dengan pipa endotrakeal. Akan tetapi,
terdapat pula pilihan anestesi epidural kaudal untuk kasus tertentu.7,10 Untuk
induksi anak >3 tahun gunakan propofol 2.5 mg/kgBB IV secara bertahap.
Rasa nyeri pada injeksi akan berkurang dengan terlebih dahulu memasukkan
lidocaine 1% 5-10 mL via oklusi vena. Apabila kadar kalium plasma pasien
normal, berikan suksinil kolin (dosis 1-2 mg/kgBB IV) untuck memfasilitasi
intubasi, sedangkan apabila kadar kalium plasma pasien tinggi gunakan
atrakurium Kemudian lanjutkan dengan intubasi endotrakeal dengan ukuran
pipa yang sesuai. Setelah selesai, atur posisi lateral ekstensi sesuai kebutuhan
operator.6,10,13
Oksigen 100% diberikan sebelum intubasi untuk meningkatkan
keamanan pasien selama periode apneu sebelum dan selama intubasi.
Ventilasi selama anestesi pada bayi dan anak dikontrol dengan system
lingkaran semi tertutup konvensional. Karena tahanan sirkuit napas yang
mudah diatasi dengan ventilasi tekanan positif, maka sistem lingkaran dapat
digunakan dengan aman pada seluruh usia bila ventilasi terkontrol. Monitoring
tekanan jalan napas dapat membuktikan secara dini bila terjadi obstruksi
akibat pipa endotrakeal kink ataupun kecelakaan masuknya pipa ke cabang
utama bronkus.7

2.8.3 Pasien Rawat Jalan

Operasi rawat jalan dilakukan dengan asumsi bahwa pasien dapat pulih
dengan cepat. Faktor yang dipertimbangkan dalam pemilihaan pasien untuk
prosedur operasi rawat jalan meliputi : penyakit sistemik dan terapinya saat
ini, masalah manajemen jalan napas, sleep

apnea, obesitas morbid, riwayat anestesi sebelumnya (hipertermia ganas),


alergi, serta jaringan sosial pasien (ketersediaan seseorang untuk bersikap
responsif selama 24 jam kepada pasien). Penggunaan agen anestesi kerja
cepat (propofol, desflurane, dan rocuronium) berkontribusi mempermudah
operasi rawat jalan. Akan tetapi, agen inhalasi (sevoflurane dan desflurane)
dapat menyebabkan mual dan muntah pasca operasi (PONV) sedangkan
propofol memiliki efek antiemetik yang merupakan bagian dari total anestesi
intravena (TIVA). Saat ini popular dilakukan teknik anestesi regional dan
lokal. Penggunaan teknik anestesi regional mengurangi kebutuhan opioid
pasca operasi sehingga menurunkan kemungkinan PONV.7 Anestesi lokal
dengan sedasi intravena untuk prosedur hemoroidektomi dikatakan sebagai
teknik yang aman dan dapat dipertimbangkan sebagai alternatif anestesi
regional karena memberikan analgesia pascaoperasi dengan skor nyeri lebih
rendah, tanpa sakit kepala hipotensi ataupun retensi urin.11

2.5 Pemantauan Selama Anestesia


Pemantauan yang perlu dilakukan pada kondisi pasien anestesia adalah
jalan nafas, oksigenasi, ventilasi, dan sirkulasi pasien harus dievaluasi teratur.
Pemantauan jalan nafas digunakan untuk mempertahankan jalan nafas.
Oksigenasi dipantau untuk memastikan kadar zat asam di dalam udara
inspirasi dan didalam darah. Ventilasi dipantau untuk keadekuatan
ventilasinya. Sirkulasi juga harus adekuat. Serta suhu tubuh pasien harus
dipantau.6

Pada prosedur pembedahan kanker testis ataupun varikokelektomi,


terkadang terdapat reflex vagal dan bradikardi selama operasi akibat
peregangan korda spermatik dan pasien dapat merasakan sakit. Bila terjadi
bradikardi, operator harus waspada dan mengurangi peregangan korda
spermatik. Bila tidak ada perbaikan, dapat diberikan atropine 1 mg.8

2.6 Terapi cairan

Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus mendekati
jumlah dan komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan perioperatif bertujuan
untuk memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama
operasi. Selain itu, mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena
terapi yang diberikan.6,9,10
Pemberian cairan operasi dibagi : 10

a. Preoperative

Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah,


penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga,
perdarahan, dan lain-lain. Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24
jam adalah 2 ml/kgBB/jam. Setiap kenaikan suhu 1o Celcius
kebutuhan cairan bertambah 10-15 %.
b. Selama operasi

Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan


cairan pada dewasa untuk operasi :
1) Ringan = 2-4 ml/kgBB/jam.

2) Sedang = 4- 6 ml/kgBB/jam.

3) Berat = 6-8 ml/kgBB/jam.

Bila terjadi perdarahan selama operasi, dimana perdarahan kurang


dari 10% EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid
sebanyak 3 kali volume darah yang hilang. Apabila perdarahan lebih
dari 10% EBV maka dapat dipertimbangkan pemberian plasma /
koloid / dekstran dengan dosis 1-2 kali darah yang hilang.
c. Setelah operasi

Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan


selama operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien.

2.7 Pemulihan Anestesia

Pemulihan anesthesia sangat tergantung dari pilihan teknik anestesi.


Pasien hanya dapat meninggalkan ruang operasi bila jalan napasnya paten,
ventilasi dan oksigen memadai, dan hemodinamik stabil. Masalah sistemik
serius (misalnya hipoksemia, asidosis metabolik atau respiratorik, hipotensi),
distensi kandung kemih, atau komplikasi bedah (misalnya perdarahan
intraabdominal okultisme) dapat dipertimbangkan sebagai diferensial
diagnosis pada kasus agitasi pascaoperasi. Untuk pasien sedasi berat dan
hemodinamiknya tidak stabil akibat anestesi regional harus mendapat
suplementasi oksigen di ruang pemulihan. Perlu dilakukan pencatatan regresi
blockade sensorik dan motorik. Tekanan darah harus dimonitor pada anestesi
spinal dan epidural. Jalan nafas dibersihkan dengan kateter suction. Setelah
pasien nafas spontan dan adekuat, lakukan ekstubasi.6,10

2.8 Pasca Anestesia

2.8.1 Pasien dirawat di ruang pemulihan

Pemulihan dan perawatan pasca operasi dan anestesi biasanya dilakukan


di ruang pemulihan atau recovery room. Ruang pemulihan merupakan
ruangan untuk observasi sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih
memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan demikian pasien pasca
operasi atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena
operasi atau pengaruh anestesinya.6,9

2.8.2 Pasien dikirim kembali ke ruangan setelah memenuhi kriteria pemulihan

Untuk memindahkan pasien dari ruang pemulihan ke ruang perawatan,


perlu dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi dan
pembedahan. Maka dilakukan penilaian dengan skor Aldrete.6
Aldrete Scoring System

Aldrete Score Jam ke Jam ke Jam ke Jam ke


1/ 15’ 2/15’ 3/15’ 4/15’

Aktivitas
Gerak ke 4 extremitas atas perintah 2

Gerak ke 2 extremitas atas perintah 1

Tidak respon 0

Respirasi

Bisa bernafas dalam dan batuk 2

Dispnoe, hipoventilasi 1

Apnoe 0

Sirkulasi

Perubahan sirkulasi <20% dari TD PreOP 2

Perubahan sirkulasi 20-50% dari TD PreOP 1

Perubahan sirkulasi > 50% dari TD PreOP 0

Kesadaran

Sadar Penuh 2

Dapat dibangunkan 1

Tidak respon 0

Warna kulit

Merah 2

Pucat 1

Sianotik 0

Bila nilai skor Aldrete >7, maka pasien diperbolehkan pindah ke ruang
perawatan.

2.8.3 Penanggulangan nyeri di ruangan


Usaha penanggulangan nyeri ringan sampai sedang dapat diterapi secara
oral dengan acetaminophen, ibuprofen, hidrokortison, dan oksikodon. Selain
itu, acetaminophen (15 mg/kg, atau 1g jika pasien >50 kg) dapat di
masukkan secara intravena. Nyeri sedang sampai berat pasca operasi lebih
sering di terapi dengan opioid lewat oral atau parenteral. Pasien dikirim
kembali ke ruangan setelah memenuhi kriteria pemulihan. Pasien dianalisis
segera pasca bedah sesuai standar ASA untuk perawatan post anestesi yaitu
monitor parameter ganda selama fase pemulihan termasuk respirasi dan fungsi
jantung, fungsi neuromuskular, status mental, suhu tubuh, nyeri, mual dan
muntah, drainase dan pendarahan, dan output urin. Frekuensi dan durasi
monitoring tergantung status klinis pasien.16,17
BAB III
KESIMPULAN

Masalah yang timbul pada operasi orchidectomy paling sering disebabkan karena
faktor usia dan gangguan fungsi ginjal akibat obstruksi serta masalah khusus berupa
masalah-masalah yang dihadapi oleh dokter bedah maupun anestesi saat operasi.

a. Usia tua dengan segala permasalahannya

Kebanyakan pasien yang akan menerima operasi reseksi hipertropi kelenjar prostat
adalah pasien geriatri yang disertai dengan berbagai penyakit penyerta. Insiden-
insiden penyakit seperti gangguan jantung dan penyakit kardiovaskular,
kardiovaskular, elektrokardiogram abnormal (EKG), penyakit paru obstruktif kronik,
dan diabetes mellitus. Kemungkinan pasien juga memiliki riwayat gangguan ginjal
secondary karena uropati obstruktif. Pasien pasien ini terkadang mengalami dehidrasi
karena terapi diuretik jangka panjang dan pembatasan asupan cairan sehingga
menyebabkan kehilangan elektrolit.3 Perhatian lebih harus diberikan pada pasien
dengan gangguang sirkulasi seperti sindrom koroner tidak stabil, gagal jantung
kongestif, aritmia, atau penyakit katup jantung.14,17

b. Gangguan fungsi ginjal dan kadar air tubuh

Pasien tua berada pada resiko lebih tinggi dari efek samping untuk obat-obatan
karena berbagai alasan farmakokinetik. Seseorang yang berumur 40 tahun yang sehat
memiliki kadar air tubuh total sebesar 55% pada wanita dan 60% pada laki-laki.
Semakin tua, kadar air akan semakin menurun bahkan sampai 50%. Akibatnya, dosis
yang sama dari obat yang diberikan untuk orang dewasa yang sehat apabila diberikan
pada orang yang tua konsentrasinya berbeda. Konsentrasi yang lebih tinggi
meningkatkan risiko efek samping dan metabolisme pada pembuangan obat larut air
melalui ginjal lebih besar. Faktor yang berpengaruh pada pembuangan di pasien
geriatri adalah penurunan massa ginjal, aliran darah kortikal dan laju filtrasi
glomerulus.

Persiapan preoperasi menjadi sangat penting untuk dikerjakan dengan sangat detail
agar kejadian-kejadian yang tidak diinginkan selama durante operasi dapat
diminimalkan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Yıkılmaz TN, Öztürk E, Hamidi N, Başar H. Comparison of Subcapsular and


Total Orchiectomy in Patients with Prostate Cancer. Üroonkoloji Bülteni.
2018;17(1):5–8.

2. Raghavendra M. Testicle and Epididymis Anesthesia. Medscape. 2022;1–8.

3. FPO. Anatomy and Physiology of Reproductive System : Women Health


Troughout Life Span. 2010.
4. Open Stax College. Anatomy and Physiology of the Female Reproductive
System. VOL. 1.5 : 16 Juli 2014.
5. Mangku G, Senapathi TG. Buku ajar ilmu anestesia dan reanimasi. Jakarta:
Indeks. 2010.
6. Borodicene, et al. Lithotomy versus jack-knife position on haemodynamic
parameters assessed by impedance cardiography during anorectal surgery under
low dose spinal naesthesia: a randomized controlled trial. BMC Anesthesiology
DOI 10.1186/s12871- 015-0055-3. p15:7. 2015.

7. Tekgul. et al. Anesthesia for Urological Surgery. INTECH. 2017.


http://dx.doi.org/10.5772/66196 diakses pada 17 Mei 2017.
8. Longnecker DE, Brown DL, Newman MF, Zapol WM. Anesthesiology. New
York: The McGraw-Hill Compaies; 2008.
9. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Morgan & Mikhail’s Clinical
Anesthesiology. 5th ed. New York: McGraw-Hill Companies; 2013.
10. Warner MA, Warner DO, Harper CM, et al. Lower Extremity Neuropathies
Associated with Lithotomy Positions. Anesthesiology. 2000. 93:938-42.
11. Chattopadhyay A, Maitra S, Sen S, et al. A Study to Compare the Analgesic
Efficacy of Intrathecal Bupivacaine Alone with Intrathecal Bupivacaine
Midazolam Combination in Patients Undergoing Elective Infraumbilical
Surgery. Anesthesiology Research and Practice. Vol. 2013. 2013.
12. Bansal T, Sarla H. Anesthetic Considerations in Paediatric Patients. JIMSA.
Vol. 26 No. 2; 2013. p127-31.
13. Younes HEA, Metwally YH, El-Hussainy AF, et al. Local Anesthesia Versus
Spinal Anesthesia for Hemorrhoidectomy. AAMJ, Vol (12), No (4); 2014.
p258-69.
14. Cesim I, Arzu AY, Firdevs O. Caudal Block with General Anesthesia for
Outpatient Pediatric Surgery Procedures. Journal of Anesthesia & Critical Care.
Vol 7(1); 2017. p1- 4.

Anda mungkin juga menyukai