Anda di halaman 1dari 54

KLINIK TANTYA

SUDHIRAJATI POLRES TUAL


Jl. Dihir No 1 Kota Tual

PEDOMAN PMKP
KLINIK TANTYA SUDHIRAJATI POLRES TUAL
TAHUN 2023

KLINIK TANTYA SUDHIRAJATI POLRES TUAL


Jl. Dihir No 1, Kota Tual
KLINIK TANTYA
SUDHIRAJATI POLRES TUAL
Jl. Dihir No 1 Kota Tual

KEPUTUSAN KEPALA KLINIK TANTYA SUDHIRAJATI POLRES TUAL


NOMOR : Kep/ /PMKP/I/2023

TENTANG
PEDOMAN PMKP KLINIK TANTYA SUDHIRAJATI POLRES TUAL

KEPALA KLINIK TANTYA SUDHIRAJATI POLRES TUAL

Menimbang : a. Bahwa agar pelaksanaan peningkatan mutu pelayanan klinis

dan keselamatan pasien dapat dilakukan secara efektif dan

efisien, maka perlu perencanaan yang matang berdasarkan data

monitoring mutu yang ada di FKTP klinik Tantya Sudhirajati

Polres Tual dalam melaksanakan kegiatan perbaikan;

b. Bahwa agar pelaksanaan kegiatan perbaikan mutu pelayanan

klinis dapat berjalan dengan optimal, maka perlu adanya

kejelasan penanggung jawab pelaksanaan kegiatan perbaikan

mutu layanan klinis;

c. Bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a dan b, perlu

menetapkan Keputusan Pimpinan Klinik Tantya Sudhirajati

Polres Tual tentang Penanggung Jawab dan tim mutu;

Mengingat : 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004


tentang Praktik Kedokteran;
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009

tentang Kesehatan;

3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014


tentang Tenaga Kesehatan;

4. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 71

Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan Pada Jaminan

Kesehatan Nasional;

5. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2014 tentang

Klinik;

6. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 11

Tahun 2017 tentang Keselamatan Pasien;

7. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 27 Tahun 2017 tentang


Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan;
8. Buku pedoman audit internal dan tinjauan manajemen,
Kemenkes, 2018;
9. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 25 Tahun 2019 Tentang Penerapan Manajemen
Risiko Terintegrasi Di Lingkungan Kementerian
Kesehatan;
10. Peraturan Menteri Kesehatan No 30 Tahun 2022 tentang

Indikator Nasional Mutu Pelayanan Kesehatan Tempat Praktik

Mandiri Dokter dan Dokter Gigi, Klinik, Pusat Kesehatan,

Masyarakat, Rumah Sakit, Laboratorium Kesehatan, dan Unit

Transfusi Darah.

MEMUTUSKAN

Menetapkan : KEPUTUSAN PIMPINAN KLINIK TERATAI SATBRIMOB POLDA

MALUKU TENTANG PEDOMAN PMKP

Kesatu : Menunjuk nama penanggung jawab pedoman PMKP sebagaimana


tercantum dalam lampiran keputusan ini untuk melaksanakan
pedoman PMKP yang ada di Klinik Tantya Sudhirajati Polres Tual
Kedua : Surat keputusan ini berlaku sejak tanggal di tetapkan dengan
ketentuan apabila dikemudian hari terdapat kekeliruan akan
diadakan perbaikan/perubahan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Tual
Pada Tanggal : Agustus 2023
KEPALA KLINIK TANTYA SUDHIRAJATI POLRES TUAL

dr. NABILA N OHOIRAT


INSPEKTUR POLISI DUA NRP : 97010975
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karuniaNya sehingga Pedoman Indikator Mutu dan Keselamatan
Pasien dapat diselesaikan.

Pedoman ini memberikan petunjuk tentang Peningkatan Mutu dan


Keselamatan Pasien di lingkungan Klinik Tantya Sudhirajati Polres Tual.

Semoga pedoman ini dapat memberikan manfaat khususnya bagi Komite


Mutu dan Keselamatan Pasien dalam melaksanakan tugasnya dalam melakukan
pembinaan, pemeliharaan mutu pelayanan dan keselamatan pasien di Klinik .

Tual, 23 Agustus 2023


TIM PENYUSUN
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pelayanan kesehatan yang baik dan bermutu merupakan salah satu
kebutuhan dasar yang diperlukan setiap orang, termasuk pelayanan di Klinik .
Pendekatan mutu yang ada saat ini berorientasi pada kepuasan pelanggan
atau pasien. Salah satu faktor kunci sukses pelayanan kesehatan di Klinik
adalah dengan mengembangkan mutu pelayanan klinis sebagai inti pelayanan.

Sejalan dengan perubahan sosial budaya masyarakat dan perkembangan


ilmu pengetahuan dan teknologi, peningkatan pengetahuan masyarakat
tentang kesehatan dan perkembangan informasi yang demikian cepat serta
diikuti oleh tuntutan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang lebih baik,
mengharuskan sarana pelayanan kesehatan untuk mengembangkan diri
secara terus menerus seiring dengan perkembangan yang ada pada
masyarakat tersebut.

Dengan peningkatan pembangunan di segala bidang maka perubahan


sistem nilai di masyarakat semakin berkembang. Pengetahuan, pendidikan
dan keadaan sosial ekonomi masyarakat yang meningkat menyebabkan
tuntutan masyarakat terhadap pelayanan yang bermutu juga meningkat.
Masyarakat cenderung menuntut pelayanan kesehatan yang lebih baik, lebih
ramah dan lebih bermutu. Untuk itu di setiap. tempat pelayanan kesehatan
seperti di Klinik diperlukan upaya peningkatan mutu.

Untuk meningkatkan mutu pelayanannya secara terencana sesuai


dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat maka dibentuklah Komite Mutu
dan Keselamatan Pasien Klinik . Kegiatan utama dalam komite mutu adalah
setiap anggota dalam organisasi berpartisipasi dalam peningkatan mutu Klinik
yang dilaksanakan dengan menggunakan metode ilmiah, yaitu dengan
menggunakan data dan metode statistik serta keterlibatan setiap anggota yang
terkait.

Klinik Tantya Sudhirajati Polres Tual mempunyai Visi "Mewujudkan


Pelayanan Kesehatan Prima bagi Anggota/PNS Polri dan Keluarga di
Lingkungan Satbrimob Polda Maluku”. Upaya mencapai Visi dengan nilai-nilai
yang dijalani dalam rangka meningkatan mutu pelayanan dan menjamin
keselamatan pasien di Klinik harus dapat dilaksanakan secara efektif, efisien
yang menjangkau ke seluruh unit kerja di Klinik , maka disusunlah Pedoman
Komite Mutu dan Keselamatan Pasien yang dapat menjadi pedoman dalam
melaksanakan kegiatan Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien Klinik
Teratai Satbrimob Polda Maluku. Upaya Peningkatan Mutu dan Keselamatan
Pasien Klinik yang dilaksanakan Klinik Tantya Sudhirajati Polres Tual
berorientasi pada,Visi, Misi, dan Moto Klinik Tantya Sudhirajati Polres Tual
Polda Maluku yang merupakan bagian dari Renstra Klinik , hal ini tertuang
dalam program kegiatan PMKP.

B. TUJUAN
1. Tujuan Umum:
Sebagai acuan dalam melaksanakan kegiatan peningkatan mutu dan
keselamatan pasien.

2. Tujuan Khusus:
a. Meningkatkan mutu pelayanan di unit kerja;
b. Meningkatkan mutu keselamatan pasien;
c. Meningkatkan mutu dan keselamatan pasien di Klinik Tantya
Sudhirajati Polres Tual.

C. RUANG LINGKUP
Peningkatan mutu dan keselamatan pasien dalam pedoman ini terdiri dari:
1. Pelatihan PMKP
2. Pemilihan indikator mutu prioritas
3. Pemilihan indikator mutu unit kerja
4. Mutu pelayanan yang dikontrakkan
5. Evaluasi panduan paraktek klinik (ppk)
6. Sistem manajemen data
7. Perbaikan indikator mutu
8. Insiden keselamatan pasien
9. Sistem pelaporan insiden keselamatan pasien
10. Budaya keselamatan
11. Manajemen risiko

D. DEFINISI
1. Analisis Akar Masalah/Root Cause Analysis (RCA), adalah suatu
proses berulang yang sistematik dimana faktor-faktor yang berkontribusi
dalam suatu insiden diidentifikasi dengan merekontruksi kronologis
kejadian menggunakan pertanyaan “kenapa‟ yang diulang hingga
menemukan akar penyebab;

2. Budaya keselamatan di Klinik adalah sebuah lingkungan yang


kolaboratif karena staf klinis memperlakukan satu sama lain secara
hormat dengan melibatkan serta memberdayakan pasien dan keluarga;

3. Clinical Pathways adalah suatu konsep perencanaan pelayanan


terpadu yang merangkum setiap langkah yang diberikan kepada pasien
berdasarkan standar pelayanan medis dan asuhan keperawatan yang
berbasis bukti dengan hasil yang terukur dan dalam jangka waktu tertentu
selama di Klinik ;

4. Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) adalah metode perbaikan


kinerja dengan mengidentifikasi dan mencegah potensi kegagalan
sebelum terjadi. Merupakan proses proaktif, dimana kesalahan dapat
dicegah dan diprediksi. Mengantisipasi kesalahan akan meminimalkan
dampak buruk;

5. Indikator adalah suatu cara untuk menilai penampilan dari suatu


kegiatan. Indikator merupakan variabel yg digunakan untuk menilai
perubahan;

6. Indikator klinis adalah suatu cara untuk mengukur pelayanan klinik.


Merupakan ukuran obyektif dalam bentuk kuantitatif terhadap proses
manajemen atau dampak dari asuhan pasien;

7. Indikator Manajemen adalah suatu cara untuk menilai penampilan dari


suatu kegiatan manajemen. Indikator merupakan variabel yg digunakan
untuk menilai perubahan dalam manajemen;

8. Indikator Sasaran Keselamatan Pasien (SKP) adalah suatu cara untuk


menilai penampilan dari kegiatan 6 (enam) Sasaran Keselamatan Pasien
(SKP) yaitu ketepatan identifikasi pasien, peningkatan komunikasi yang
efektif, peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai, Kepastian
tepat lokasi, tepat prosedur, tepat pasien operasi, pengurangan risiko
infeksi terkait pelayanan kesehatan, pengurangan risiko pasien jatuh;

9. Insiden keselamatan pasien yang selanjutnya disebut insiden ialah


setiap kejadian yang tidak disengaja dan kondisi yang mengakibatkan
atau berpotensi mengakibatkan cedera yang dapat dicegah pada pasien;

10. Manajemen Risiko adalah pendekatan proaktif untuk mengidentifikasi,


menilai dan menyusun prioritas risiko, dengan tujuan untuk
menghilangkan atau meminimalkan dampaknya;

11. Peningkatan mutu dalam akreditasi Klinik adalah merupakan suatu


pendekatan pembelajaran dan perbaikan terus menerus pada proses
pemberian pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan pasien dan pihak-
pihak yang berkepentingan lainnya. Upaya Peningkatan mutu adalah
upaya perbaikan kualitas secara terus menerus, perbaikan yang secara
terus menerus, perbaikan kinerja di tingkat Klinik dan manajemen total;

12. Keselamatan Pasien adalah suatu sistem yang membuat asuhan pasien
lebih aman, meliputi asesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan risiko
pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden
dan tindak lanjutnya, serta implementasi solusi untuk meminimalkan
timbulnya risiko dan mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh
kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil
tindakan yang seharusnya diambil.

E. DASAR HUKUM
1. Undang-Undang RI Nomor 29 Tahun 2004 Praktik Kedokteran (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3441);

2. Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran


Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144;

3. Undang-Undang RI Nomor 44 Tahun 2009 tentang Klinik (Lembaran


Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5072);

4. Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 298,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5607);

5. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1438/MENKES/PER/X/2010


tentang Standar Pelayanan Kedokteran (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 464);

6. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 12 Tahun 2012 tentang Akreditasi


Klinik (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 413);

7. Permenkes Nomor 11 Tahun 2017 tentang Keselamatan Pasien Klinik ;

8. Kepmenkes Nomor 129 Tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Minimal


Klinik Permenkes Nomor 34 Tahun 2017 tentang Akreditasi Klinik ;

9. Peraturan Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian


Kesehatan RI Nomor : HK.02.03/I/3959/2019 tentang Pedoman Teknis
Penilaian Kinerja Individu Direktur Utama Klinik Umum/ Khusus dan
Kepala Balai dilingkungan Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI
BAB II
VISI, MISI, DAN MOTO KLINIK TANTYA SUDHIRAJATI POLRES TUAL

A. VISI KLINIK TANTYA SUDHIRAJATI POLRES TUAL


“Mewujudkan Pelayanan Kesehatan Prima bagi Anggota/PNS Polri dan
keluarga di lingkungan Polres Tual”.

B. MISI KLINIK TANTYA SUDHIRAJATI POLRES TUAL


1. Menyelenggarakan fungsi kesehatan bagi Anggota/PNS Polri dan
Keluarga yang bersifat promotif, preventif dan kuratif dalam rangka
mendukung tugas Kepolisian.
2. Memberikan pelayanan Kesehatan bagi Anggota/PNS Polri dan
Keluarga yang berorientasi pada ketepatan dan kecepatan serta
keselamatan berdasarkan etika dan profesionalitas.

C. MOTO KLINIK TANTYA SUDHIRAJATI POLRES TUAL


“Peduli adalah panggilanku”
BAB III KEBIJAKAN
PENINGKATAN MUTU DAN KESELAMATAN PASIEN

Kebijakan peningkatan mutu dan keselamatan pasien dilingkungan Klinik Teratai


Satbrimob Polda Malukuadalah sebagai berikut :

a. Karumkit menetapkan komite peningkatan mutu dan keselamatan pasien yang


mempunyai tugas mengarahkan, mengatur dan mengkoordinasikan
pelaksanaan program mutu dan keselamatan pasien;

b. Pimpinan Klinik dan para Kabag/Kabid berperan dalam merencanakan dan


mengembangkan program peningkatan mutu dan keselamatan pasien;

c. Pimpinan Klinik dan para Kabag/Kabid berperan dalam pemilihan indikator


mutu prioritas tingkat klinik (indikator area kinik, area manajemen dan sasaran
keselamatan pasien) serta menindak lanjuti capaian indikator yang masih
rendah;

d. Karumkit/Wakarumkit dan para Kabag/Kabid berperan dalam memilih area


prioritas sebagai area fokus untuk perbaikan;

e. Komite PMKP melakukan monitoring pelaksanaan program peningkatan mutu


dan keselamatan pasien yang dilaksanakan setiap bulan sekali dengan cara
memantau laporan pengumpulan data dari setiap unit kerja;

f. Komite PMKP melakukan pengumpulan data, menganalisis, feedback dan


memberikan informasi ke unit kerja;

g. Alur pelaporan pelaksanaan mutu adalah sebagai berikut :

1) Pelaporan unit kerja dilakukan setiap bulan sekali kepada Komite Mutu
dan Keselamatan Pasien;

2) Laporan indikator mutu dari unit kerja diserahkan setiap bulan


kepada Komite PMKP;

3) Komite PMKP melakukan analisa data indikator mutu dari unit kerja;

4) Komite PMKP membuat laporan kepada Pimpinan Klinik, Kabag/Kabid,


dan Dewas, setiap 3 bulan sekali;

5) Setiap 6 (enam) bulan Penanggung Jawab Klinik melaporkan insiden


keselamatan pasien kepada Kabiddokes;

6) Kejadian sentinel dilaporkan kepada Karumkit dan Kabiddokes (melalui


Karumkit) sesuai dengan kejadian dan laporan ulang setelah kejadian
sentinel selesai dilakukan analisa dengan menggunakan metrode Root
Cause Analysis (RCA)

h. Karumkit berperan dalam memberikan bantuan teknologi/sistem infomasi


Klinik yang akan diterapkan untuk pengumpulan dan analisis data mutu,
keselamatan pasien dan surveilance infeksi.
BAB IV

TATA LAKSANA

A. PENERAPAN SASARAN KESELAMATAN PASIEN


Penerapan Sasaran Keselamatan Pasien meliputi ;
1. Mengidentifikasi Pasien dengan benar,
2. Meningkatkan komunikasi yang efektif,
3. Meningkatkatkan keamanan obat-obatan yang harus diwaspadai,
4. Memastikan lokasi pembedahan yang benar, prosedur yang benar,
pembedahan pada pasien yang benar,
5. Mengurangi risiko infeksi akibat perawatan Kesehatan,
6. Mengurangi risiko cedera pasien akibat terjatuh.

B. PENERAPAN 12 DIMENSI BUDAYA KESELAMATAN PASIEN Dimensi


dalam budaya keselamatan pasien yaoitu (Sorra et al.,2016) ;
1. Keterbukaan komunikasi
2. Feedback dan komunikasi tentang kesalahan yang terjadi
3. Frekuensi pelaporan kejadian.
4. Handoff dan transisi
5. Dukungan organisasi untuk keselamatan pasien
6. Nonpunitive respon to error/respon tidak menghakimi pada kesalahan
yang dilakukan

7. Organizational learning – pembelajaran berkelanjjutan.

8. Persepsi keseluruhan mengenai keselamatan pasien.

9. Staf yang cukup.

10. Supervisor /harapan manajer dan Tindakan yang dilakukan untuk


meningkatkan keselamatan pasien.

11. Kerjasama lintas unit

12. Kerjasama antar unit/dalam unit


C. MELAKUKAN MONITORING DAN EVALUASI BUDAYA
KESELAMATAN PASIEN
1. MONITORING DAN EVALUASI DILAKUKAN OLEH KOMITE MUTU
DAN KESELAMATAN PASIEN
a. Monitoring 6 sasaran keselamatan pasien menggunakan indicator
mutu, yang mana pengambilan data dilakukan oleh petugas
pengambil data mutu unit, yang kemudian dimasukkan dalam
MUTU FASYANKES.
b. Monitoring tujuh Langkah menuju keselamatan pasien dan 12
dimensi keselamatan pasien dengan menggunakan survey pada
seluruh ruang lingkup penerapan budaya keselamatan pasien.
c. Petugas penyiapan kebutuhan survey adalah Komite Mutu dan
Keselamatan Pasien.
d. Petugas monitoring/survey adalah penanggung jawab pengambil
data di setiap unit.
e. Petugas Analisa data adalah komite mutu dan keselamatan pasien.
f. Petugas pembuat laporan pelaksanaan kegiatan komite mutu dan
keselamatan pasien
g. Survey budaya keselamatan pasien menggunakan Kuesioner dari
HSOPC (Hospital Survey on Patient Safety Culture) yang
dikembangkan oleh AHRQ (Agency for Healthcare Research and
Quality) 2016 dan disesuaikan dengan kondisi Klinik Teratai
Satbrimob Polda Maluku.

2. WAKTU PELAKSANAAN

a. Pelaksanaan monitoring 6 sasaran keselamatan pasien dilakukan


setiap hari (data dimasukkan ke MUTU FASYANKES) dan data
direkap setiap bulan.
b. Pelaksanaan monitoring 7 langkah dan 12 dimensi budaya
keselamatan pasien menggunakan survey dilakukan 1 tahun sekali,

c. Sebelum dilakukan rurvey dilakukan sosialisasi pelaksanaan survey

d. Waktu pelaksanaan survey dilakukan dalam waktu 2 minggu.

e. Pembuatan laporan pelaksanaan survey dalam waktu 1 minggu.

D. MELAKUKAN ANALISA
1. Analisa 6 sasaran keselamatan pasien dilakukan setiap 3 bulan

2. Analisa 12 dimensi budaya keselamatan pasien dilakukan setiap dimensi


budaya keselamatan pasien.

3. Analisa dibuat menggunakan grafik

4. Analisa mencakup Analisa pencapaian dan permasalahan

5. Hasil pengumpalan data dan Analisa dilaporakn pada pimpinan/direktur


klinik.

E. MELAKUKAN TINDAK LANJUT PERBAIKAN


Data yang telah dianalisa, apabila sudah baik dipertahankan atau
ditingkatkan, namun apabila masih kurang dilakukan upaya perbaikan.

F. PELATIHAN PMKP
1. Staf yang berada di unit kerja (PIC) yang saat ini di pegang oleh
Kepala Unit maupun di Komite Mutu dan Keselamatan Pasien yang
bertugas dalam mengumpulkan data akan menentukan jenis data,
validasi, serta analisis data memerlukan peningkatan pengetahuan dan
ketrampilan. Pelatihan staf perlu direncanakan dan dilaksanakan sesuai
dengan peran staf dalam program PMKP. Klinik mengidentifikasi dan
menyediakan pelatih yang kompeten untuk pendidikan dan pelatihan
ini. Kompeten di sini, yaitu pelatih tersebut pernah mengikuti
pelatihan/workshop peningkatan mutu serta keselamatan pasien dan
atau telah mendapat pendidikan tentang peningkatan mutu dan
keselamatan pasien.
2. Program Pelatihan PMKP

Pelatihan internal dilaksanakan di Klinik Teratai Satbrimob Polda


dengan narasumber internal yang sudah mengikuti pelatihan PMKP.
Pelatihan ini dilaksanakan oleh Bagian Binfung cq Subbag Diklit. Setiap
pelaksanaan pelatihan PMKP diterbitkan sertifikat pelatihan,
didokumentasikan dan dibuat laporan yang disampaikan kepada
Kepala Klinik. Pelatihan diadakan secara berkala agar tercipta budaya
peningkatan mutu dan keselamatan pasien di semua unit kerja.

Pelaksanaan pelatihan peningkatan mutu dan keselamatan pasien juga


merupakan bagian dari kegiatan orientasi karyawan baru dan
mahasiswa yang praktik di Klinik Teratai Satbrimob Polda Maluku.
Kegiatan orientasi dilaksanakan oleh Bagian Binfung cq Subbag Diklit
dengan tujuan agar karyawan baru dapat mengenal dan memahami
upaya peningkatan mutu pelayanan di Klinik Teratai Satbrimob Polda
Maluku. Sebagai narasumber dalam kegiatan orientasi adalah personel
PMKP yang sudah mendapat pelatihan baik internal maupun eksternal.

G. PEMILIHAN INDIKATOR MUTU PRIORITAS


Peningkatan mutu dan keselamatan pasien dilakukan berdasar atas
tersedianya data. Penggunaan data secara efektif dapat dilakukan berdasar
atas evidence-based praktik klinik dan evidence based praktik manajemen.
Setiap tahun Klinik harus memilih fokus perbaikan, proses serta hasil praktik
klinis dan manajemen mengacu pada misi klinik, kebutuhan pasien, dan jenis
pelayanan. Pemilihan ini didasarkan atas proses yang berimplikasi risiko tinggi,
diberikan dalam volume besar, atau cenderung menimbulkan perbaikan praktik
klinis melibatkan komite medis dan kelompok staf medis terkait masalah.

Karena terdapat keterbatasan staf dan sumber daya, tidak semua proses
di Klinik dapat diukur dan diperbaiki pada saat yang bersamaan. Oleh karena
itu, tanggungnjawab utama Kepala Klinik adalah menetapkan prioritas
pengukuran dan perbaikan di seluruh Klinik . Prioritas ini meliputi upaya
pengukuran dan perbaikan yang memengaruhi atau mencerminkan aktivitas
yang terdapat di berbagai unit pelayanan.
Kepala Klinik dengan para Kabag/Kabid merancang upaya peningkatan
mutu pelayanan prioritas Klinik dengan memperhatikan:
1. Misi Klinik ;
2. Data-data permasalahan yang ada;
3. Sistem dan proses yang memperlihatkan variasi penerapan dan
hasil yang paling banyak;
4. Perbaikan yang berdampak pada efesiensi;
5. Dampak pada perbaikan sistem sehingga efek dari perbaikan
dapat terjadi diseluruh Klinik ;
6. Riset klinis dan program pendidikan profesi kesehatan.

Kepala Klinik bersama-sama dengan para Kabag/Kabid menetapkan


pengukuran mutu pelayanan klinis yang prioritas untuk dilakukan evaluasi.
Pengukuran mutu prioritas tersebut dilakukan menggunakan indikator-indikator
mutu sebagai berikut:
1. Indikator mutu area klinis (IAK) yaitu indikator mutu yang
bersumber dari area pelayanan;

2. Indikator mutu area manajemen (IAM) yaitu indikator mutu yang


bersumber dari area manajemen;
3. Indikator mutu Sasaran Keselamatan pasien yaitu indikator mutu
yang mengukur kepatuhan staf dalam penerapan sasaran
keselamatan pasien dan budaya keselamatan.

Setiap indikator agar dibuat profilnya atau gambaran singkat tentang


indikator tersebut namun tidak terbatas meliputi
1. Judul indikator;
2. Dasar Pemikiran
3. Dimensi Mutu
4. Tujuan
5. Definisi Operasional
6. Jenis Indikator
7. Satuan Pengukuran
8. Numerator
9. Denominator
10. Target Pencapaian
11. Kriteria
12. Formula
13. Desain pengumpulan data
14. Sumber Data
15. Instrumen Pengambilan Data
16. Besar Sample
17. Frekuensi PengumpulanData
18. Periode Pelaporan Data
19. Periode Analisa Data
20. Penyajian Data
21. Penanggung Jawab
Karumkit dan Komite PMKP melakukan supervisi terhadap proses
pengumpulan data indikator mutu prioritas.

H. PEMILIHAN INDIKATOR UNIT KERJA


Kepala unit kerja bertanggung jawab menjamin bahwa kegiatan
pengukuran memberikan kesempatan untuk mengevaluasi staf maupun proses
pelayanannya. Dengan demikian, dari waktu ke waktu pengukuran meliputi
semua pelayanan yang diberikan. Data dan informasi yang dihasilkan tidak
hanya penting untuk upaya peningkatan mutu unit pelayanannya, tetapi juga
penting untuk program peningkatan mutu dan keselamatan pasien Klinik

Semua unit pelayanan baik klinis dan manajerial memilih indikator yang
terkait dengan prioritas mereka. Diantisipasi kemungkinan indikator yang
serupa dipilih oleh beberapa unit pelayanan. Indikator mutu di unit
pelayanan/kerja dipergunakan untuk menilai mutu unit pelayanan/kerja. Komite
Mutu dan Keselamatan Pasien melakukan koordinasi dan mengorganisasi
pemilihan indikator mutu di unit kerja tersebut sehingga indikator yang dipilih
tersebut valid, reliable, sensitive, dan spesifik. Pengukuran mutu perlu juga
memperhatikan dimensi mutu dari WHO, yaitu effective, efficient, accessible,
accepted (patientcentred), equity, and safe.
Pimpinan unit kerja terlibat langsung dalam pemilihan dan penetapan
yang ingin diukur di unit kerja. Indikator mutu unit kerja dapat menggunakan
indikator mutu yang tercantum di dalam standar pelayanan minimal. Indikator
mutu di unit pelayanan dapat meliputi indikator mutu area klinis, indikator mutu
area manajemen, indikator mutu penerapan sasaran keselamatan pasien, dan
indikator mutu unit kerja (nonpelayanan), minimal meliputi indikator area
manajemen.

Dalam memilih indikator mutu maka kepala unit kerja dan unit pelayanan
agar memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Fokus mengukur hal-hal yang ingin diperbaiki;
2. Prioritas pengukuran mutu pelayanan klinis di Klinik . Indikator
mutu yang dipergunakan untuk mengukur mutu diprioritas
pengukuran mutu Klinik , sumber data pasti dari unit, dan menjadi
indikator mutu unit;
3. Pengukuran mutu nasional;
4. Melakukan koordinasi dengan komite medis bila evaluasi
penerapan panduan praktik klinis dan evaluasi kinerja dokter
menggunakan indikator mutu;
5. Bila di unit kerja ada KSO alat medis, outsourching pelayanan,
maka perlu ada indikator yang memonitor mutu alat / outsourching
tersebut, selanjutnya unit kerja harus mengumpulkan data mutu
dan mengukur indikatornya.

Kepala unit kerja bertanggung jawab untuk memastikan bahwa kegiatan


pengukuran tentang cakupan layanan yang diberikan oleh unit pelayanan
berguna untuk melakukan evaluasi terhadap staf termasuk evaluasi terhadap
proses asuhan klinik. Dalam beberapa hal, pengukuran mutu di dalam Unit
pelayanan dibandingkan juga dengan organisasi lain.

Kepala unit pelayanan meningkatkan mutu dan keselamatan pasien


dengan berpartisipasi dalam program peningkatan mutu dan keselamatan
pasien Klinik , melakukan monitoring, meningkatkan asuhan pasien yang
spesifik berlaku di unitnya. Selanjutnya Kepala unit pelayanan menerapkan
pemilihan dan pengawasan penilaian secara spesifik terhadap unit pelayanan
yang mencakup hal-hal sebagai berikut :
1. Penilaian Klinik secara menyeluruh dan perbaikan prioritas yang
ditetapkan oleh Karumkit, yang terkait secara spesifik dengan unit
layanannya;
2. Penilaian yang terkiat dengan prioritas unit layanan secara spesifik
untuk mengurangi variasi, meningkatkan keselamatan untuk
tindakan/tata laksana berisiko tinggi, meningkatkan tingkat
kepuasan pasien dan meningkatkan efisiensi;

3. Penilaian spesifik di unit pelayanan ini juga diharapkan ini juga


diharapkan dapat dipergunakan untuk melakukan evaluasi praktik
profesional berkelanjutan dari para Profesional Pemberi Asuhan
(PPA).

Pemilihan indikator di unit pelayanan klinis maupun manajemen dipilih


berdasar atas prioritasnya. Jika prioritas indikator yang dipilih pelayanan sama
oleh beberapa unit pelayanan maka diperlukan koordinasi dan integrasi dalam
pengumpulan data. Integrasi semua sistem ukuran akan memberikan
kesempatan penyelesaian dan perbaikan terintegrasi. Integrasi indikator oleh
beberapa unit pelayanan dapat dilaksanakan di Klinik .

Setiap indikator yang sudah dipilih agar dilengkapi dengan profil


indikator. Pengumpulan data dan pelaporan data dilakukan oleh PIC
menggunakan sensus yang disepakati yang selanjutnya di input ke dalam web
MUTU FASYANKES. Supervisi proses pengumpulan data serta pelaporannya
dilakukan oleh Kepala Unit Kerja.

Selanjutnya Komite Mutu dan Keselamatan Pasien melakukan koordinasi


dan integrasi kegiatan pengukuran mutu di unit pelayanan dan pelaporannya.

Kepala unit kerja melakukan perbaikan mutu berdasarkan capaian


indikator mutu unit kerja.

Indikator mutu yang sudah dipilih bila sudah tercapai terus menerus
selama setahun tidak bermanfaat untuk melakukan perbaikan karena sudah
tidak ada lagi yang perlu diperbaiki, dengan demikian sebaiknya diganti dengan
indikator mutu baru.
I. MUTU PELAYANAN YANG DIKONTRAKKAN
Klinik perlu melakukan evaluasi mutu pelayanan dan keselamatan
pasien pada semua pelayanan di Klinik , baik yang secara langsung
disediakan sendiri oleh Klinik maupun yang disediakan berdasar atas kontrak
atau perjanjian lainnya. Klinik perlu mendapat informasi mutu dari pelayanan
yang disediakan berdasar atas kontrak atau perjanjian lainnya, lalu
menganalisis informasi tersebiut, kemudian mengambil tindakan berdasar atas
data dan informasi tersebut. Pelayanan yang disediakan berdasar atas kontrak
dan perjanjian lainnya perlu mencantumkan indikator mutu yang dapat
dipergunakan untuk mengukur mutu pelayanan yang disediakan berdasar atas
kontrak tersebut.

Kepala unit layanan menerima laporan mutu dari penyedia kontrak yang
kemudian ditindaklanjuti dan memastikan bahwa laporan-laporan tersebut
diintegrasikan kedalam proses penilaian mutu Klinik .

J. EVALUASI PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


Koordinator (Kelompok Medis Fungsional) KMF menetapkan paling
sedikit 5 (lima) prioritas panduan praktik klinis-alur klinis dan/atau protokol klinis
dan atau prosedur dan/atau standing order sebagai panduan standardisasi
proses asuhan klinik yang dimonitor oleh Komite Medik dengan tujuan sebagai
berikut:
1. Melakukan standardisasi proses asuhan klinik;
2. Mengurangi risiko dalam proses asuhan terutama yang berkaitan
asuhan kritis;
3. Memanfaatkan sumber daya yang tersedia dengan efisien dalam
memberikan asuhan klinik tepat waktu dan efektif;
4. Memanfaatkan indikator prioritas sebagai indikator dalam penilaian
kepatuhan penerapan alur klinis di area yang akan diperbaiki di
tingkat Klinik ;
5. Secara konsisten menggunakan praktik berbasis bukti (“evidence
based practices”) dalam memberikan asuhan bermutu tinggi.

Penerapan panduan praktik klinis-clinical pathway dipilih oleh tiap-tiap


kelompok staf medis adalah di unit-unit pelayanan di tempat DPJP memberikan
asuhan. Mengacu pada prioritas pengukuran mutu pelayanan klinis yang akan
dievaluasi maka selain ditetapkan indikator mutu, juga diperlukan
standardisasi proses asuhan klinis pada prioritas pengukuran mutu di Klinik .

Karena itu, Kabidyanmedwat bersama-sama dengan Komite Medis dan


Kelompok Staf Medis memilih dan menetapkan 5 (lima) panduan praktik klinis,
alur klinis (clinical pathway), dan/atau protokol klinis, dan/atau prosedur,
dan/atau standing order yang dipergunakan untuk pengukuran mutu prioritas
Klinik dengan mengacu pada panduan praktik klinis dan alur klinis yang sudah
diterapkan oleh kelompok staf medis di unit-unit pelayanan.

Evaluasi dapat dilakukan melalui audit medis dan atau audit klinis untuk
menilai efektivitas penerapan panduan praktik klinik dan alur klinis sehingga
dapat dibuktikan bahwa penggunaan panduan praktik klinis serta alur klinis
telah mengurangi variasi proses dan hasil. Indikator area klinis (IAK), indikator
area manajemen (IAK), dan indikator sasaran keselamatan pasien (ISKP) dapat
digunakan sebagai indikator audit medis dan atau audit klinis sesuai dengan
dimensi mutu WHO.

Sesuai peraturan perundangan Panduan Praktik Klinis (PPK) adalah


istilah teknis sebagai pengganti Standar Prosedur Operasional (SPO) yang
merupakan istilah administratif. Penggantian ini perlu untuk menghindarkan
kesalahpahaman yang mungkin terjadi bahwa “standar” merupakan hal yang
harus dilakukan pada semua keadaan. Jadi secara teknis SPO dibuat berupa
PPK yang dapat berupa atau disertai dengan salah satu atau lebih: clinical
pathway (alur klinis), protokol, prosedur, algoritme, dan standing order. Dalam
PPK mungkin terdapat hal-hal yang memerlukan rincian langkah demi langkah.
Untuk ini, sesuai dengan karakteristik permasalahan serta kebutuhan dapat
dibuat clinical pathway (alur klinis), algoritme, protokol, prosedur, maupun
standing order.

K. SISTEM MANAJEMEN DATA


Pengukuran fungsi klinis dan fungsi manajemen di Klinik akan
menghasilkan akumulasi data serta informasi. Untuk memahami seberapa baik
kemampuan Klinik bergantung pada hasil analisis data dan informasi yang
terkumpul dibanding dengan Klinik lain. Klinik memahami prioritas pengukuran
dan perbaikan sebagai dukungan yang penting. Mereka memberikan dukungan
secara konsisten sesuai dengan sumber daya Klinik dan peningkatan mutu.

Sistem manajemen data Klinik Teratai Satbrimob Polda Malukuadalah


sebagai berikut :

1) Didukung dengan teknologi informasi (MUTU FASYANKES)

2) Manajemen data meliputi pengumpulan, pelaporan, analisis, validasi, serta


publikasi data untuk internal Klinik dan eksternal Klinik . Publikasi data
tetap harus memperhatikan kerahasiaan pasien sesuai dengan peraturan
perundang- undangan;

3) Data yang dimaksud meliputi data dari indikator mutu unit, indikator mutu
prioritas Klinik dan indikator nasional;

4) Data dari pelaporan insiden keselamatan pasien;

5) Data hasil pengukuran budaya keselamatan;

6) Data hasil monitoring kinerja staf klinis (bila monitoring menggunakan


indikator mutu);

7) Integrasi seluruh data diatas baik ditingkat Klinik meliputi pengumpulan,


pelaporan, analisa, validasi dan publikasi indikator mutu.

Klinik Teratai Satbrimob Polda Malukumempunyai sistem manajemen


data secara elektronik yaitu web MUTU FASYANKES sehingga memudahkan
Komite Mutu dan Keselamatan Pasien dalam mengelola data yang meliputi :

1. Pengumpulan Data
a. Pencatatan data dilakukan oleh PIC dengan menggunakan format
(sensus) pengumpulan data yang ada di unit kerja. Selanjutnya data
tersebut setiap harinya diinput oleh PIC kedalam web MUTU
FASYANKES. Proses pengumpulan data dari unit kerja di web MUTU
FASYANKES. Sub Komite Mutu melakukan evaluasi data yang diinput
oleh PIC setiap harinya. Sub Komite Mutu akan melakukan konfirmasi
kepada PIC jika dalam penginputan data ada yang kurang / tidak tepat
atau data tidak diinput oleh PIC;

b. Pelaporan indikator mutu unit kerja yang tidak terdapat di aplikasi


MUTU FASYANKES dilaporkan setiap bulan sekali kepada Komite
Mutu dan Keselamatan Pasien;

c. Proses pengumpulan data di unit kerja disupervisi oleh Ka. Instalasi/unit


kerja dengan menggunakan formulir supervisi;

d. Kepala Klinik /Kabid Yanmedwat dan Komite PMKP melakukan


supervisi terhadap proses pengumpulan data mutu prioritas.

2. Pelaporan
Laporan Komite Mutu dan Keselamatan Pasien kepada Kabag/Kabid,
Wakarumkit, Kepala Klinik dilakukan 3 bulan sekali.

Kepala Klinik melaporkan pelaksanaan program peningkatan mutu dan


keselamatan pasien sebagai berikut:
a. Setiap 3 (tiga) bulan yang meliputi capaian dan analisis indikator mutu
kepada Dewas.
b. Setiap 6 (enam) bulan Kepala Klinik melaporkan insiden keselamatan
pasien kepada Dewas dan Komite Nasional Keselamatan Pasien;
c. Khusus untuk kejadian sentinel, Karumkit Klinik wajib melaporkan
kejadian kepada Kabiddokes dan Komite Nasional Keselamatan
Pasien paling lambat 2 x 24 jam setelah kejadian dan melaporkan
ulang hasil analisis akar masalah setelah 45 hari.

3. Analisa Data
a. Data harus digabungkan, dianalisis, dan diubah menjadi informasi yang
berguna. Hasil analisis data harus dilaporkan kepada Karumkit sebagai
dasar untuk melakukan perbaikan proses klinis dan manajerial secara
terus menerus;

b. Dalam melakukan analisa data menggunakan metode statistik Run


charts, Control Chart, Paret, Diagram Batang;

c. Melakukan analisa dan benchmark data dengan cara :

1) Membandingkan data di Klinik dari waktu ke waktu, (analisis


trend) misalnya dari bulan ke bulan atau dari tahun ke tahun;

2) Membandingkan dengan Klinik lain bila mungkin dengan Klinik


yang sejenis seperti melalui database eksternal baik nasional
maupun internasional;

3) Membandingkan dengan standar-standar seperti yang ditentukan


oleh badan akreditasi atau organisasi profesional ataupun
standar-standar yang ditentukan oleh peraturan perundang-
undangan;

4) Membandingkan dengan praktik-praktik yang diinginkan yang


dalam literatur digolongkan sebagai best practice (praktik terbaik)
atau better practice (praktik yang lebih baik) atau practice
guidelines (panduan praktik klinik).

d. Dalam melakukan analisis tersebut Komite Mutu dan Keselamatan


Pasien berkoordinasi dengan Komite Medik karena terkait dengan audit
medis, bagian keuangan Klinik , dan teknologi informasi (information
technology) Klinik khususnya untuk billing system sehingga dapat
diketahui telah terjadi kendali biaya;

e. Analisis program prioritas harus mempunyai dampak terhadap


peningkatan mutu dan efesiensi biaya, untuk mengukur keberhasilan
program prioritas dilakukan melalui :
1) Pengukuran capaian-capaian indikator area klinik dan area
manajemen;
2) Pengukuran kepatuhan penerapan sasaran keselamatan pasien;
3) Pengukuran kepatuhan pelaksanaan PPK-CP sehingga
mengurangi variasi dalam pemberian pelayanan;
4) Pengukuran penggunaan sumber daya termasuk biaya yang
dipergunakan untuk perbaikan di program prioritas Klinik tersebut

4. Validasi dan Publikasi


a. Validasi data adalah alat penting untuk memahami mutu data dan untuk
menetapkan tingkat kepercayaan (confidence level) para pengambil
keputusan terhadap data itu sendiri. Validasi data menjadi salah satu
langkah dalam proses menetapkan prioritas penilaian, memilih apa
yang harus dinilai, memilih dan mengetes indikator, mengumpulkan
data, validasi data, serta menggunakan data untuk peningkatan;

b. Kebijakan validasi data meliputi :

1) Data yang harus divalidasi, yaitu


a) Merupakan pengukuran area klinik baru;

b) Bila ada perubahan sistem pencatatan pasien dari manual ke


elektronik sehingga sumber data berubah;

c) Bila data dipublikasi ke masyarakat baik melalui web site Klinik


atau media lain;

d) Bila ada perubahan pengukuran;

e) Bila ada perubahan data pengukuran tanpa diketahui sebabnya;

f) Bila ada perubahan subjek data seperti perubahan umur rata-


rata pasien, protokol riset diubah, panduan praktik klinik baru
diberlakukan, serta terdapat teknologi dan metodologi
pengobatan baru.

2) Proses validasi data mencakup, namun tidak terbatas sebagai


berikut :
a) Mengumpulkan ulang data oleh orang kedua yang tidak
terlibat dalam proses pengumpulan data sebelumnya (data
asli);
b) Menggunakan sampel tercatat, kasus, dan data lainnya yang
sahih secara statistik. Sampel 100% hanya dibutuhkan jika
jumlah pencatatan, kasus, atau data lainnya sangat kecil
jumlahnya;
c) Membandingkan data asli dengan data yang dikumpulkan
ulang;
d) Menghitung keakuratan dengan membagi jumlah elemen data
yang ditemukan dengan total jumlah data elemen dikalikan
dengan 100. Tingkat akurasi 90% adalah patokan yang baik;
e) Jika elemen data yang diketemukan ternyata tidak sama
dengan catatan alasannya (misalnya data tidak jelas
definisinya) dan dilakukan tindakan koreksi;
f) koleksi sampel baru setelah semua tindakan koreksi
dilakukan untuk memastikan tindakan menghasilkan tingkat
akurasi yang diharapkan.

c. Publikasi data tetap harus memperhatikan kerahasiaan pasien sesuai


dengan peraturan perundang-undangan;
5. Monitoring pelaksanaan program peningkatan mutu dan
keselamatan pasien dilaksanakan oleh Ketua Peningkatan Mutu dan
Keselamatan pasien, dilaksanakan setiap bulan sekali dengan cara
memantau laporan pengumpulan data dari setiap unit kerja.

6. Data indikator mutu dan keselamatan pasien harus dijamin


keamanan dan kerahasian data baik internal maupun eksternal;
Bagan. Alur Sistem Manajemen Data

Komite Mutu dan Keselamatan Pasien

PIMPINAN KLINIK :

1. Menerima laporan
2. Memberi arahan

PJ KLINIK :

1. Menerima laporan
2. Memberi arahan
atau masukan

Sekretariat :
Ketua TIM Mutu dan
Keselamatan Pasien: 1. Kompulir data
2. Pelaporan data
1. Analisa Data
3. Penerbitan surat
2. Pelaporan data laporan internal
Bulanan dan Triwulan

Sub Komite Sub Komite


Keselamatan Pasien
Mutu : :
Sub Komite
1. Kompulir 1. Kompulir data Manajemen Risiko
data 2. Analisa data
2. Analisa data
PIC Unit Kerja : PIC Unit Kerja :
1. Mengumpulka 1. Mengumpulkan
n data data
2. Pelaporan 2. Pelaporan Data

a. Hasil indikator mutu prioritas dan mutu unit kerja setelah


dilakukan analisis disampaikan kepada unit kerja setiap 3 (tiga)
bulan sekali melalui pertemuan dengan unit kerja yang dihadiri
oleh Pimpinan Klinik, Para Kabag/Kabid, Komite Medik/Komite
Keperawatan;
b. Hasil indikator mutu yang belum memenuhi standar dilakukan
analisa oleh unit kerja untuk dilakukan perbaikan atas hasil
capaian indikator mutu.

7. Publikasi Data
a. Publikasi adalah proses penerbitan laporan dengan media ke
luar Klinik setelah mendapatkan persetujuan dari Karumkit,
dengan tujuan memberikan kepercayaan publik mengenai mutu
pelayanan yang diberikan di Klinik Bhayangkara Tingkat III
Ambon;
b. Data yang akan dipublikasikan terlebih dahulu harus melalui
proses validasi untuk menjamin keakuratan data dan harus
menjamin kerahasiaan pasien.

L. INSIDEN KESELAMATAN PASIEN


1. Keselamatan Pasien adalah suatu sistem yang membuat asuhan
pasien lebih aman, meliputi asesmen risiko, identifikasi dan
pengelolaan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden,
kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya, serta
implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko dan
mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat
melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang
seharusnya diambil;

2. Insiden keselamatan pasien yang selanjutnya disebut insiden ialah


setiap kejadian yang tidak disengaja dan kondisi yang mengakibatkan
atau berpotensi mengakibatkan cedera yang dapat dicegah pada
pasien.
Insiden keselamatan pasien meliputi :
a. Kejadian Potensial Cedera (KPC)
Kondisi yang sangat berpotensi untuk menimbulkan cedera, tetapi
belum terjadi insiden. Contoh : ICU sangat sibut tetapi
jumlah staf terlalu kurang, Penempatan defibrilator stanby di IGD
ternyata tidak diketahui bahwa alatnya rusak;

b. Kejadian Nyaris Cedera (KNC)


Suatu Insiden yang belum sampai terpapar ke pasien sehingga
tidak menyebabkan cedera pada pasien. KNC lebih sering terjadi
dibandingkan dengan kejadian tidak diharapkan, frekuensi kejadian
ini tujuh sampai seratus kali lebih sering terjadi. Data KNC harus
dianalisis agar pencegahan dana pembentukan sistem dapat dibuat
sehingga cedera aktual tidak terjadi. Sebagian besar kasus KNC
memberi dampak pada pada penyebab insiden atau proses hingga
kejadian nyaris cedera itu terjadi. Contoh :
1) Keberuntungan : kesalahan pemberian makanan diit DM
kepada pasien DM yang mengakibatkan peningkatan Gula
Darah Sewaktu namun tidak berpengaruh secara langsung
pada kondisi fisik pasien;
2) Pencegahan : salah pemberian obat pada pasien lain,
dideteksi secara dini serta dipantau perkembangannya
sehingga tidak menimbulkan reaksi yang tidak diinginkan.
Peringanan : suatu obat dengan overdosis lethal diberikan, tetapi
diketahui secara dini lalu diberikan antidotenya

c. Kejadian Tidak Cedera (KTC)


Insiden yang sudah terpapar ke pasien, tetapi tidak
menimbulkan cedera, dapat terjadi karena "keberuntungan"
(misal; pasien terima suatu obat kontra indikasi tetapi tidak
timbul reaksi obat), atau "peringanan" (suatu obat dengan reaksi
alergi diberikan, diketahui secara dini lalu diberikan
antidotumnya).

d. Kejadian Tidak Diharapkan (KTD)


KTD adalah singkatan dari kejadian yang tidak diharapkan,
disebut juga adverse event. KTD merupakan kejadian yang tidak
diantisipasi, tidak diharapkan yang terjadi di Klinik . Ketika Klinik
mendeteksi atau mencurigai perubahan yang tidak diinginkan
atau tidak sesuai dengan harapan maka Klinik memulai analisis
mendalam untuk menentukan perbaikan paling baik difokuskan
di area mana.
Selain insiden tersebut terdapat KTD yang mengakibatkan
kematian atau cedera permanen atau cedera berat yang
temporer dan membutuhkan intervensi untuk
mempetahankan kehidupan, baik fisik maupun psikis, yang tidak
terkait dengan perjalanan penyakit atau keadaan pasien yang
dikenal dengan kejadian sentinel.
Kejadian sentinel antara lain :
1) Tindakan invasif/pembedahan pada pasien yang salah;
2) Tindakan invasif/ pembedahan pada bagian tubuh yang
keliru ;
3) Ketinggalan instrumen/alat/ benda-benda lain di dalam
tubuh pasien sesudah tindakan pembedahan;
4) Bunuh diri pada pasien rawat inap;
5) Embolisme gas intravaskuler yang mengakibatkan
kematian/kerusakan neurologis;
6) Reaksi Haemolitis transfusi darah akibat inkompatibilitas
ABO;
7) Kematian ibu melahirkan;
8) Kematian bayi “Full-Term” yang tidak di antipasti;
9) Penculikan bayi;
10) Bayi tertukar;
11) Perkosaan /tindakan kekerasan terhadap pasien, staf,
maupun pengunjung.

a. Klinik harus melakukan analisis data KTD dan mengambil


langkah tindak lanjut untuk semua hal sebagai berikut :
1) Semua reaksi transfusi yang sudah dikonfirmasi jika sesuai
untuk Klinik .
Proses kendali mutu dari semua jenis pelayanan transfusi
dilaksanakan dan terdokumentasi untuk memastikan
terselenggaranya pelayanan darah dan atau transfusi yang
aman. Donor darah dan pelayanan transfusi dilaksanakan
sesuai peraturan perundangan dan standar praktek yang
diakui. Sebelum dilakukan pemberian darah harus ada
penjelasan dari DPJPnya dan persetujuan dari pasien atau
keluarga. Selama pemberian transfusi darah harus dilakukan
monitoring dan evaluasi, dan dilaporkan bila ada reaksi
transfusi;
2) Semua kejadian serius akibat efek samping obat (adverse
drug event) jika sesuai dan sebagaimana yang didefinisikan
oleh Klinik .
Apabila timbul efek samping obat dapat dilaporkan oleh
profesional pemberi asuhan (PPA) kepada tim farmasi dan
terapi yang selanjutnya dilaporkan pada Pusat Meso
Nasional. Apoteker mengevaluasi efek obat untuk memantau
secara ketat respons pasien dengan melakukan
pemantauan terapi obat (PTO). Apoteker bekerjasama
dengan pasien, dokter, perawat, dan tenaga kesehatan
lainnya untuk memantau pasien yang diberi obat. Klinik
menetapkan regulasi untuk efek samping obat yang harus
dicatat dan dilaporkan.
3) Semua kesalahan pengobatan (medication error) yang
signifikan jika sesuai dan sebagaimana yang didefinisikan
oleh Klinik

Regulasi medication safety yang bertujuan mengarahkan


penggunaan obat yang aman dan meminimalisasi
kemungkinan terjadi kesalahan penggunaan obat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Instalasi farmasi
mengirimkan laporan kesalahan penggunaan obat kepada
Komite Mutu dan Keselamatan Pasien sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang selanjutnya akan
ditindak lanjuti untuk memperbaiki sistem manajemen dan
penggunaan obat
4) Semua perbedaan besar (discrepancy) antara diagnosis
praoperasi dan diagnosis pascaoperasi
Diagnosis praoperasi dan rencana operasi dicatat di rekam
medik pasien oleh dokter penanggung jawab pelayanan
(DPJP) sebelum operasi dimulai
5) Efek samping atau pola efek samping selama sedasi
moderat atau mendalam dan pemakaian anestesi Pelayanan
anestesi, serta sedasi moderat dan dalam berada di bawah
tanggung jawab seorang dokter anestesi yang memenuhi
peraturan perundang-undangan. Rumkit Bhayangkara
mempunyai regulasi suatu sistem untuk pelayanan
anestesi, serta sedasi moderat dan dalam yang adekuat,
regular, dan nyaman untuk melayani kebutuhan pasien,
kebutuhan pelayanan klinis yang ditawarkan, serta
kebutuhan para profesional pemberi asuhan (PPA) yang
memenuhi peraturan perundangundangan dan standar
profesi. Pelayanan anestesi, serta sedasi moderat dan
dalam (termasuk layanan yang diperlukan untuk
kegawat daruratan) tersedia 24 jam.
Prosedur pemberian sedasi dilakukan seragam di tempat
pelayanan di dalam Klinik termasuk unit di luar kamar
operasi oleh karena prosedur pemberian sedasi seperti
layaknya anestesi mengandung risiko potensial pada
pasien. Pemberian sedasi pada pasien harus dilakukan
seragam dan sama di semua tempat di Klinik . Pelayanan
sedasi yang seragam meliputi :
a) Kualifikasi staf yang memberikan sedasi;
b) Peralatan medis yang digunakan;
c) Bahan yang dipakai; dan
d) Cara monitoring di Klinik .

Pelayanan anestesi, serta sedasi moderat dan dalam


merupakan tindakan yang berisiko, oleh karena itu
perencanaan dan pelaksanaannya membutuhkan tingkat
kehati-hatian dan akurasi tinggi. Berhubungan dengan hal itu
maka Klinik menetapkan program mutu dan keselamatan
pasien pada pelayanan anestesi, serta sedasi moderat dan
dalam merupakan bagian dari program mutu dan
keselamatan pasien, tetapi tidak terbatas pada :
a) Pelaksanaan asesmen prasedasi dan pra-anestesi;
b) Proses monitoring status fisiologis selama anestesi;
c) Proses monitoring proses pemulihan anestesi dan
sedasi dalam;
d) Evaluasi ulang bila terjadi konversi tindakan dari
lokal/regional ke general.

1) Kejadian-kejadian lain, misalnya :


a) Infeksi yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan
atau wabah penyakit menular;
b) Pasien jiwa yang melarikan diri dari ruang perawatan
keluar lingkungan Klinik yang tidak meninggal/tidak
cedera serius;

3. Penanganan insiden
a. Setiap Insiden harus dilaporkan secara internal kepada tim
Keselamatan Pasien dalam waktu paling lambat 2x24 (dua kali
dua puluh empat) jam;
b. Laporan insiden diverifikasi oleh Sub Komite Keselamatan
Pasien untuk memastikan kebenaran adanya insiden;
c. Setelah melakukan verifikasi Sub Komite Keselamatan Pasien
melakukan investigasi dalam bentuk wawancara dan
pemeriksaan dokumen;
d. Berdasarkan hasil investigasi Sub Komite Keselamatan Pasien
menentukan derajat insiden (grading) dan melakukan Root
Cause Analysis (RCA) dengan metode baku untuk menemukan
akar masalah;
e. Sub Komite Keselamatan pasien harus memberikan
rekomendasi keselamatan pasien kepada Kepala Klinik
berdasarkan hasil Root Cause Analysis (RCA);
f. RCA diterapkan pada kejadian resiko tinggi, berdampak luas
yaitu semua KTD dan Sentinel;
g. Langkah-langkah Root Cause Analysis (RCA)
1) Identifikasi insiden yang akan di investigasi (lampiran form
lihat di buku panduan RCA dan FMEA)
2) Tentukan tim investigator
3) Kumpulan data dan informasi (lampiran form lihat di buku
panduan RCA dan FMEA)
a) Observasi;
b) Dokumentasi;
c) Interview.
4) Petakan kronologi kejadian
a) Narrative Chronology;
b) Timeline;
c) Tabular Timeline;
d) Time Person Grid.
5) Identifikasi CMP (Care Management Problem)
(lampiran form lihat di buku panduan RCA dan FMEA)
a) Brainstroming;
b) Bainwriting.
6) Analisis Informasi
a) 5 Why‟s;
b) Analisis Perubahan;
c) Analisis penghalang;
d) Fisbone/Analisis Tulang Ikan;
e) Rekomendasi dan Rencana Kerja untuk
Improvement.
7) Alur Pelaksanaan RCA
a) Input : UKPRS menerima laporan insiden;
b) Langkah 1 UKPRS menunjuk fasilitator;
c) Langkah 2 Fasilitator mengumpulkan data dan
menyusun tim pembahas;
d) Langkah 3. Pembahasan insiden;
e) Output : Pelaporan dan Saran.
8) RCA dilaksanakan apabila ada laporan insiden yang
berasal dari semua pihak (input) :
a) Laporan Dokter / perawat / petugas Klinik /
penggerak UKPRS;
b) Kesalahan medis;
c) Komplain / keluhan pasien dan keluarganya.
d) Komplain / keluhan manajemen RS.
9) Sub Komite Keselamatan Pasien menunjuk satu orang
fasilitator sebagai pelaksana RCA, dengan syarat :
a) Tidak terlibat langsung dalam insiden;
b) Tidak memiliki kepentingan dengan akar masalah;
c) Memahami RCA;
d) Memiliki kredibilitas di RS;
e) Terlatih dengan penjaminan mutu.
10) Tim Pembahas adalah multi-disiplin yang meliputi :
a) Personil yang terlibat dalam insiden;
b) Narasumber yang terkait dari dokter;
c) Narasumber yang terkait dari keperawatan;
d) Narasumber yang terkait dari penunjang
umum/medis;
e) Pendukung Administrasi;
f) Setiap peserta mempunyai kedudukan yang sama
11) Kegiatan pengumpulan fakta meliputi :
a) Risalah perjalanan penyakit yang terkait dengan
insiden : catatan medik, laporan insiden;
b) Hasil wawancara dengan petugas yang terlibat;
c) Hasil wawancara dengan narasumber;
d) Standar pelayanan dan SPO yang berlaku terkait
insiden;
e) Pengamatan prosedur khusus.
12) Wawancara oleh fasilitator :
a) Didasarkan atas rasa percaya pada semua yang
terlibat dalam kejadian;
b) Membantu memilah data yang penting untuk
pembahasan;
c) Mencegah gosip, spekulasi dan perselisihan bila
dilakukan segera setelah terjadinya insiden;
13) Pelaksanaan pembahasan pada RCA harus mengikuti
hal-hal mendasar :
a) Fokus pada sistem dan bukan pada
personal/petugas;
b) Membahas dari penyebab khusus ke hal-hal
penyebab umum;
c) Lebih sering mempertanyakan : Mengapa?
Mengapa? Mengapa?

d) Mengenali perubahan dan memperbaiki serta


menerapkan SPO yang baru untuk meminimalisir
risiko terjadinya KTD atau cedera pada pasien;
e) Setiap orang adalah profesional, setara kedudukan
dan saling menghargai;
f) Menggunakan banyak masukan untuk perbaikan,
namun tetap berpegang pada acuan/standar;
g) Berusaha selalu terbuka, terus terang, jujur dan
ikhlas / sukarela;
h) Konfidensial: apa yang dibicarakan tentang siapa
dan yang dikerjakan, cukup sampai dalam ruangan
itu saja.
14) Hal-hal yang sering menjadi akar masalah :
a) Problem komunikasi;
b) Minim nya sumber informasi;
c) Human problem;
d) Patient-related issues;
e) Organizational transfer of knowledge;
f) Staffing patterns/work flow;
g) Technical failures;
h) Inadequate policies and procedures.
15) Pelaporan kepada Karumkit dilaksanakan setelah
pembahasan insiden dengan memberikan rekomendasi
serta solusi atas insiden yang terjadi.

M. SISTEM PELAPORAN INSIDEN KESELAMATAN PASIEN

1. Pelaporan insiden keselamatan pasien yang selanjutnya disebut


pelaporan insiden ialah suatu sistem untuk mendokumentasikan
laporan insiden keselamatan pasien, analisis, dan solusi untuk
pembelajaran. Sistem pelaporan diharapkan dapat mendorong
individu di dalam Klinik untuk peduli akan bahaya atau potensi bahaya
yang dapat terjadi pada pasien. Pelaporan juga penting digunakan
untuk memonitor upaya pencegahan kesalahan (error) sehingga
dapat mendorong dilakukan investigasi. Di sisi lain, pelaporan akan
menjadi awal proses pembelajaran untuk mencegah kejadian yang
sama terulang kembali.
Sistem pelaporan insiden antara lain meliputi :
a. Kebijakan;
b. Alur pelaporan;
c. Formulir pelaporan;
d. Prosedur pelaporan;
e. Insiden yang harus dilaporkan, yaitu kejadian yang sudah
terjadi, potensial terjadi, ataupun yang nyaris terjadi;
f. Siapa saja yang membuat laporan;
g. Batas waktu pelaporan.
2. Klinik Teratai Satbrimob Polda Malukuharus melakukan pelaporan
Insiden, secara online atau tertulis kepada Komite Nasional
Keselamatan Pasien;
3. Pelaporan insiden harus dijamin keamanannya, bersifat rahasia,
anonim (tanpa identitas), dan tidak mudah diakses oleh orang yang
tidak berhak;
4. Pelaporan insiden sebagaimana ditujukan untuk menurunkan insiden
dan mengoreksi sistem dalam rangka meningkatkan Keselamatan
Pasien dan tidak untuk menyalahkan orang (non blaming);
5. Dengan pelaporan ekternal tersebut maka Klinik ikut berpartisipasi
dalam penyediaan data nasional angka insiden keselamatan pasien,
sehingga dapat ditetapkan langkah-langkah untuk meningkatkan
keselamatan pasien Klinik di Indonesia;
6. Alur Insiden Keselamatan Pasien (Internal).

a. Apabila terjadi suatu insiden (KNC/KTD/KTC/KPC) di Klinik ,


wajib segera ditindaklanjuti (dicegah / ditangani) untuk
mengurangi dampak / akibat yang tidak diharapkan;
b. Setelah ditindaklanjuti, segera membuat laporan insidennya
dengan mengisi Formulir Laporan Insiden pada akhir jam
kerja/shift kepada atasan langsung. (Paling lambat 2 x 24 jam
); diharapkan jangan menunda laporan;
c. Setelah selesai mengisi laporan, segera menyerahkan
kepada atasan langsung pelapor;
d. Atasan langsung akan memeriksa laporan dan melakukan
grading risiko terhadap insiden yang dilaporkan;
e. Hasil grading akan menentukan bentuk investigasi dan
analisa yang akan dilakukan
1) Grade biru : Investigasi sederhana oleh Atasan langsung,
waktu maksimal 1 minggu;
2) Grade hijau : Investigasi sederhana oleh Atasan
langsung, waktu maksimal 2 minggu;
3) Grade kuning : Investigasi komprehensif/Analisis akar
masalah/RCA oleh Sub Komite Keselamatan Pasien di
RS, waktu maksimal 45 hari;
4) Grade merah : Investigasi komprehensif/Analisis akar
masalah / RCA oleh Sub Komite Keselamatan Pasien di
RS, waktu maksimal 45 hari.
f. Setelah selesai melakukan investigasi sederhana, laporan
hasil investigasi dan laporan insiden dilaporkan ke Sub
Komite Keselamatan Pasien di RS;
g. Sub Komite Keselamatan Pasien di RS akan menganalisa
kembali hasil Investigasi dan Laporan insiden untuk
menentukan apakah perlu dilakukan investigasi lanjutan
(RCA) dengan melakukan Regrading;

h. Untuk grade Kuning / Merah, Sub Komite Keselamatan


Pasien di RS akan melakukan Analisis akar masalah / Root
Cause Analysis (RCA);
i. Setelah melakukan RCA, Sub Komite Keselamatan Pasien di
RS akan membuat laporan dan Rekomendasi untuk
perbaikan serta "Pembelajaran" berupa : Petunjuk / "Safety
alert" untuk mencegah kejadian yang sama terulang kembali;
j. Hasil RCA, rekomendasi dan rencana kerja dilaporkan
kepada Kepala Klinik /Wakarumkit/Kabag/Kabid;
k. Rekomendasi untuk "Perbaikan dan Pembelajaran diberikan
umpan balik kepada unit kerja terkait serta sosialisasi kepada
seluruh unit di Klinik ;
l. Unit Kerja membuat analisa kejadian di satuan kerjanya
masing – masing;
m. Monitoring dan Evaluasi Perbaikan oleh Sub Komite
Keselamatan Pasien di RS.

7. Alur Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien (external)


a. Setiap 6 (enam) bulan Kepala Klinik melaporkan penerapan
keselamatan pasien kepada Dewas,
1) Jumlah dan jenis kejadian tidak diharapkan/insiden
keselamatan pasien serta analisis akar masalahnya;
2) Apakah pasien dan keluarga telah mendapatkan
informasi tentang kejadian tersebut;
3) Tindakan yang telah diambil untuk meningkatkan
keselamatan sebagai respons terhadap kejadian
tersebut
4) Apakah tindakan perbaikan tersebut dipertahankan.
b. Khusus untuk kejadian sentinel, Karumkit Klinik wajib
melaporkan kejadian kepada Dewas, Komite Nasional
Keselamatan Pasien (dengan melakukan entry data (e-
reporting) melalui website resmi Komite Nasional
Keselamatan Pasien : www.buk.depkes.go.id) dan KKPRS
PERSI melalui http://www.inapat-safety.or.id paling lambat
2 x 24 jam setelah kejadian dan melaporkan ulang hasil
analisis akar masalah setelah 45 hari ;
c. Pelaporan bersifat rahasia tanpa menyebutkan identitas
pasien dan tenaga kesehatan pemberi pelayanan kesehatan,
dengan paling sedikit memuat :
1) lokasi kejadian;
2) kronologis kejadian;
3) waktu kejadian;
4) akibat kejadian;
5) jumlah pasien yang mengalami kematian atau cedera
berat akibat kejadian sentinel

Alur pelaporan insiden keselamatan pasien


I. BUDAYA KESELAMATAN

Kepala Klinik menciptakan dan mendukung budaya keselamatan


diseluruh area Klinik sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pengukuran budaya keselamatan juga perlu dilakukan oleh Klinik .
Budaya keselamatan juga dikenal sebagai budaya yang aman, yakni
sebuah budaya organisasi yang mendorong setiap individu anggota staf
(klinis atau administratif) melaporkan hal- hal yang menghawatirkan
tentang keselamatan atau mutu pelayanan tanpa imbal jasa dari Klinik .
Budaya keselamatan dapat diartikan sebagai berikut: “Budaya
keselamatan di Klinik adalah sebuah lingkungan yang kolaboratif
karena staf klinis memperlakukan satu sama lain secara hormat dengan
melibatkan serta memberdayakan pasien dan keluarga. Pimpinan
mendorong staf klinis pemberi asuhan bekerja sama dalam tim yang
efektif dan mendukung proses kolaborasi interprofesional dalam asuhan
berfokus pada pasien.
Budaya keselamatan juga merupakan hasil dari nilai-nilai, sikap,
persepsi, kompetensi, dan pola perilaku individu maupun kelompok yang
menentukan komitmen terhadap, serta kemampuan manajemen
pelayanan kesehatan maupun keselamatan. Budaya keselamatan
dicirikan dengan komunikasi yang berdasar atas rasa saling percaya
dengan persepsi yang sama tentang pentingnya keselamatan dan
dengan keyakinan akan manfaat langkah-langkah pencegahan. Tim
belajar dari kejadian tidak diharapkan dan kejadian nyaris cedera. Staf
klinis pemberi asuhan menyadari keterbatasan kinerja manusia dalam
sistem yang kompleks dan ada proses yang terlihat dari belajar serta
menjalankan perbaikan melalui brifing.
Keselamatan dan mutu berkembang dalam suatu lingkungan yang
mendukung kerjasama dan rasa hormat terhadap sesama tanpa melihat
jabatan mereka dalam Klinik . Kepala Klinik menunjukkan komitmennya
tentang budaya keselamatan dan medorong budaya keselamatan untuk
seluruh staf Klinik . Perilaku yang tidak mendukung budaya keselamatan
adalah :
1. Perilaku yang tidak layak (inappropriate) seperti kata-kata atau
bahasa tubuh yang merendahkan atau menyinggung perasaan
sesama staf, misalnya mengumpat dan memaki;
2. Perilaku yang mengganggu (disruptive) antara lain perilaku tidak
layak yang dilakukan secara berulang, bentuk tindakan verbal atau
nonverbal yang membahayakan atau mengintimidasi staf lain, dan
“celetukan maut” adalah komentar sembrono di depan pasien yang
berdampak menurunkan kredibilitas staf klinis lain. Contoh
mengomentari negatif hasil tindakan atau pengobatan staf lain di
depan pasien, misalnya “obatnya ini salah, tamatan mana dia...?”,
melarang perawat untuk membuat laporan tentang kejadian tidak
diharapkan, memarahi staf klinis lainnya di depan pasien,
kemarahan yang ditunjukkan dengan melempar alat bedah di
kamar operasi, serta membuang rekam medis di ruang rawat;
3. Perilaku yang melecehkan (harassment) terkait dengan ras, agama,
dan suku termasuk gender;
4. Pelecehan seksual.
Tenaga kesehatan tidak dapat dikenakan sangsi jika berperilaku
sebagaimana contoh-contoh berikut ini:

1. Menyampaikan pendapat pribadi atau profesional pada saat diskusi,


seminar atau pada situasi lain:
a. Menyampaikan pendapat untuk kepentingan pasien kepada
pihak lain, (dokter, perawat atau petugas lain) dengan cara yang
sopan dan pantas
b. Pandangan profesional
c. menyampaian pendapat pada saat diskusi kasus
2. menyampaikan ketidak setujuan atau ketidak puasan atas kebijakan
melalui tata cara yang berlaku di Klinik

3. menyampaikan kritik konstuktif atau kesalahan pihak lain dengan


cara yang tepat, tidak bertujuan untuk menjatuhkan atau
menyalahkan pihak tersebut

Tenaga kesehatan dapat dikenakan sangsi jika berperilaku tidak pantas


misalnya:
1. Merendahkan atau mengeluarkan perkataan tidak pantas keapda
pasien dan atau keluarganya
2. Dengan sengaja menyampaikan rahasia, aib, atau keburukan
orang lain
3. Menggunakan bahasa yang mengancam, menyerang,
merendahkan, atau menghina
4. Membuat komentar yang tidak pantas tentang tenaga medis di
depan pasien atau didalam rekam medis
5. Tidak peduli, tidak tanggap terhadap permintaan pasien atau
tenaga kesehatan lainnya
6. Tidak mampu bekerjasama dengan anggota tim asuhan pasien
atau pihak lain tanpa alasan yang jelas
7. Perilaku yang dapat diartikan sebagai menghina, mengancam,
melecehkan, atau tidak bersahabat kepada pasien dan atau
keluarganya
8. Melakukan pelecehan seksual baik melalui perkataan ataupun
perbuatan kepada pasien

Hal-hal penting menuju budaya keselamatan :


1. Staf Klinik mengetahui bahwa kegiatan operasional Klinik berisiko
tinggi dan bertekad untuk melaksanakan tugas dengan konsisten
serta aman;
2. Regulasi serta lingkungan kerja mendorong staf tidak takut
mendapat hukuman bila membuat laporan tentang kejadian tidak
diharapkan dan kejadian nyaris cedera;

3. Kepala Klinik mendorong Sub Komite keselamatan pasien


melaporkan insiden keselamatan pasien ke tingkat nasional sesuai
dengan peraturan perundang-undangan;
4. Mendorong kolaborasi antarstaf klinis dengan pimpinan untuk
mencari penyelesaian masalah keselamatan pasien.

Budaya keselamatan mencakup mengenali dan menujukan


masalah yang terkait dengan sistem yang mengarah pada perilaku yang
tidak aman. Pada saat yang sama, Klinik harus memelihara
pertanggungjawaban dengan tidak mentoleransi perilaku sembrono.
Pertanggungjawaban membedakan kesalahan unsur manusia (seperti
kekeliruan), perilaku yang berisiko (contohnya mengambil jalan pintas),
dan perilaku sembrono (seperti mengabaikan langkah-langkah
keselamatan yang sudah ditetapkan).

M. MANAJEMEN RISIKO
Setiap organisasi akan menghadapi risiko yang dapat
menghalangi pencapaian sasaran maupun tujuannya. Mengingat
kegiatan pelayanan di Klinik yang sangat kompleks, padat modal, padat
karya, padat teknologi, dan banyak permasalahan yang terjadi dalam
proses pelayanan maka perlu ada manajemen risiko yang dilaksanakan
dengan baik untuk mengantisipasi seluruh kemungkinan risiko yang
mungkin terjadi

Kebijakan manajemen risiko Klinik yaitu:

a. Risiko menjadi bagian dari kehidupan dan dinamika organisasi di


lingkungan Klinik yang harus dikelola sebagai usaha
memaksimalkan nilai dan memenuhi harapan para pemangku
kepentingan lainnya (stakeholders).
b. Penerapan manajemen risiko bukan semata-mata untuk mengurangi
kerugian, tetapi sekaligus menjadi sumber keunggulan bersaing dan
keunggulan kinerja Klinik

c. Menyatukan manajemen risiko ke dalam budaya Klinik sehingga


menjadi bagian yang integral dari kegiatan Klinik dan proses
pengambilan keputusan.
d. Daftar risiko diperbaharui setiap tahun.
e. Perencanaan Manajemen Risiko dilakukan setiap tahun oleh
Manajemen dan berlaku apabila sudah mendapat persetujuan
Direktur Klinik
f. Program manajemen risiko dibuat secara rinci khusus dalam
dokumen manajemen risiko Klinik yang terpisah.

Risiko yang dikelola di Klinik terdiri dari:


1. Risiko Strategis
Risiko strategis merupakan risiko yang disebabkan oleh karena
adanya perubahan kebijakan, baik dari lingkungan eksternal maupun
internal yang dapat mempengaruhi proses pelayanan dan bisnis
sebagai akibat keputusan strategis yang tidak sesuai dengan
lingkungan eksternal dan internal Klinik . Selain itu yang termasuk
dalam risiko strategis adalah adanya persaingan usaha dari
organisasi sejenis dan hal –hal yang mempengaruhi citra Klinik
sebagai pemberi pelayanan kesehatan dengan kualitas yang baik.
Risiko-risiko strategis mendorong Klinik untuk terus melakukan
inovasi pada pelayanan, proses bisnis dan kepemimpinan agar
dapat mengubah risiko-risiko tersebut menjadi kesempatan.
Perubahan tersebut akan membuat semakin berKlinik kembang dan
menjadi organisasi pelayanan kesehatan yang mengutamakan mutu
dan keselamatan pasien yang mapan .

2. Risiko Hazard
Bahaya (Hazard) adalah suatu kondisi tempat kerja yang terdapat
kombinasi berbagai variabel yang ada dan berpontensi

menimbulkan kecelakaan, luka yang serius, penyakit, kejadian yang


tidak diinginkan dan atau disertai kerusakan peralatan kerja (David A
Coolong, 1990).
Dalam melakukan berbagai kegiatannya Klinik telah
mengidentifikasi risiko-risiko yang timbul. Analisa risiko bahaya
meliputi risiko-risiko yang disebabkan faktor alam maupun risiko
yang disebabkan faktor manusia. Misalnya risiko bangunan, risiko
kecelakaan kerja, sampai dengan risiko bencana alam.

3. Risiko Keuangan
Regulasi pemerintah, ketidakpastian ekonomi, risiko pasar, tingginya
target dan tuntutan akuntabilitas menyebabkan risiko meningkat.
Risiko keuangan timbul akibat transaksi-transaksi keuangan, seperti
proses pelayanan , penggunaan peralatan, piutang perusahaan ,
piutang asuransi , piutang pelanggan individu , dll. Risiko ini tidak
dapat dihindari, namun dapat dikelola. Analisa risiko finansial
mengharuskan Klinik memikirkan strategi yang paling efektif untuk
mengurangi risiko.

4. Risiko Operasional

Risiko operasional muncul akibat adanya proses operasional yang


tidak adekuat, seperti proses pelayanan pasien , proses
pemeliharaan fasilitas dan peralatan, SDM, sistem dan sebagainya.
Risiko ini mengenali hambatan-hambatan yang mungkin terjadi pada
pelaksanaan operasional organisasi Klinik . Analisa terhadap risiko
operasional membuat Klinik dapat mengenali risiko-risiko yang
dapat menggganggu pencapaian sasaran

5. Penilaian Tingkat Risiko


Penilaian tingkat risiko Klinik dilakukan dengan mengalikan
antara Kriteria Peluang dan kriteria dampak, sebagimana tabel
berikut ini:
KriteriaPeluang (P)

Kriteria Probabilitas Frekuensi/Tahun Nilai

Besar Hampir pasti Terus menerus; terjadi 3


/Sangat mungkin 1 x setahun
akan terjadi

Menengah Mungkin terjadi (50 Jarang; terjadi dalam 5 2


– 50 kesempatan) tahun

Kecil Tidak biasa namun Hampir tidak pernah ; 1


dapat terjadi; belum terjadi dalam 5
tahun

Kriteria Dampak (A)


Aspek Ringan Sedang Berat

(Nilai) (1) (2 ) (3)

Keuangan >Rp 10 Juta sd >Rp 50 Juta >Rp 1 Milyar


Rp 50 Juta sd Rp 100
Juta

Keselamatan Ketidaknyamaan Kecelakaan Kecelakaan


& Kesehatan dalam bekerja kerja yang kerja yang
dan terjadinya berakibat mengakibatkan
kecelakaan kerja cacat ringan kematian (fatal
yang dapat dan accident)
diatasi dengan memerlukan
berobat jalan rawat inap

di Klinik

Reputasi Publisitas Jelek Publisitas Publisitas


di lingkungan Jelek di Jelek di dalam
institusi dalam maupun diluar
Kesehatan negeri negeri

Peta Risiko

Peluang Hampir pasti 3 3 6 9


/Sangat
mungkin akan
terjadi

Mungkin 2 2 4 6
terjadi (50

50
kesempatan)
Kecil 1 1 2 3
kemungkinann
ya untuk
terjadi

1 2 3
Dampak Ringa Sedan Sanga
n g t berat

6. RENCANA MITIGASI RISIKO


a. TUJUAN MANAJEMEN RISIKO
1) Memahami kemungkinan pencapaian sasaran dapat gagal.
2) Melindungi aset (harta dan manusia) dan pencitraan
organisasi Klinik
3) Memahami peluang dan ancaman dengan lebih baik
sebagai dasar pengambilan keputusan dan perencanaan
organisasi.
4) Mitigasi risiko (upaya mengurangi terjadinya risiko dan
mengurangi dampak risiko).
5) Efisiensi sumber daya, baik manusia maupun keuangan
Klinik

b. KERANGKA ACUAN PELAKSANAAN MANAJEMEN RISIKO


Dalam pelaksanaan manajemen risiko, ada beberapa kata kunci
yang sering digunakan, yaitu :
1) Risiko adalah dampak dari ketidakpastian terhadap
sasaran.
2) Dampak adalah suatu penyimpangan (dapat positif atau
negatif) dari yang diharapkan.
3) Sasaran dapat mempunyai berbagai macam aspek (Proses,
Keuangan, Lingkungan, dll) dan dapat diterapkan pada
berbagai tingkatan organisasi (strategis, operasional, produk,
proses, dll).
4) Manajemen Risiko adalah semua aktivitas organisasi yang
terkoordinasi dan diarahkan serta dikendalikan terkait
dengan pengelolaan risiko
c. TAHAPAN MANEJEMEN RISIKO
Tahapan manajemen risiko yang dilakukan Klinik adalah:
1) Identifikasi Risiko
Seluruh staf harus menyadari dan mengenali risiko apa saja
yang mungkin terjadi.
2) Menetapkan Prioritas Risiko
Menetapkan prioritas risiko, dengan tujuan membantu
proses pengambilan keputusan berdasarkan hasil analisis
risiko. Menentukan prioritas risiko dengan menggunakan
rumus:

TINGKAT RISIKO = PELUANG (P) X AKIBAT (A)

3) Mengevaluasi Risiko
Langkah-langkah yang diambil manajemen untuk
mengendalikan risiko adalah :
a) Mencari jalan untuk menghilangkan risiko ,
b) Mengurangi risiko (control solution) baik terhadap
probabilitasnya maupun terhadap derajat keparahannya,
c) Mengurangi dampaknya, dan
d) Melakukan Risk transfer. Akhirnya apabila risiko itu
akhirnya terjadi juga dan menimbulkan kerugian, maka
diperlukan pengalihan penanganan risiko tersebut
kepada pihak yang sesuai, misalnya menyerahkannya
kepada sistem asuransi.
e) Menyusun Risk Action Plan (Rencana penanganan
risiko), yaitu Perencanaan tindakan yang dilakukan
apabila terjadi risiko , misalnya apa yang dilakukan
apabila terjadi kebakaran. Risk Action Plan ditinjau ulang
minimal 2 tahun 1 kali atau apabila diperlukan.
f) Pelaporan risiko.
Rumah sakit perlu memakai pendekatan proaktif untuk
manajemen risiko. Salah satu caranya adalah dengan program
manajemen risiko formal yang komponen-komponen pentingnya
meliputi:

1. Identifikasi risiko;
2. Prioritas risiko;
3. Pelaporan risiko;
4. Manajemen risiko;
5. Invesigasi kejadian yang tidak diharapkan (KTD);

6. Manajemen terkait tuntutan (klaim).

Elemen penting manajemen risiko adalah analisis risiko, misalnya


proses untuk mengevaluasi near miss (KNC) dan proses berisiko tinggi
lainnya karena kegagalan proses tersebut dapat menyebabkan kejadian
sentinel. Satu alat/metode yang dapat menyediakan analisis proaktif
semacam itu terhadap proses kritis dan berisiko tinggi adalah failure
mode effect analysis (analisis efek modus kegagalan). Klinik dapat
pula mengidentifikasi dan menggunakan alat-alat serupa untuk
mengidentifikasi dan mengurangi risiko, seperti hazard vulnerability
analysis (analisis kerentanan terhadap bahaya).

Untuk menggunakan alat ini atau alat-alat lainnya yang serupa


secara efektif maka direktur Klinik harus mengetahui dan mempelajari
pendekatan tersebut, menyepakati daftar proses yang berisiko tinggi
dari segi keselamatan pasien dan staf, kemudian menerapkan alat
tersebut pada proses prioritas risiko. Setelah analisis hasil maka
pimpinan Klinik mengambil tindakan untuk mendesain ulang
prosesproses yang ada atau mengambil tindakan serupa untuk
mengurangi risiko dalam proses-proses yang ada. Proses pengurangan
risiko ini dilaksanakan minimal sekali dalam setahun dan
didokumentasikan pelaksanaannya.
Dalam menerapkan manajemen risiko Klinik perlu
memperhatikan proses proses berisiko yang dapat terjadi pada pasien,
antara lain meliputi:

1. Manajemen pengobatan;
2. Risiko jatuh;
3. Pengendalian infeksi;
4. Gizi;
5. Risiko peralatan; dan
6. Risiko sebagai akibat kondisi yang sudah lama berlangsung.

Dalam menyusun daftar risiko diharapkan Klinik agar


memperhatikan ruang lingkup manajemen risiko Klinik yang meliputi
beberapa hal, namun tidak terbatas pada:

1. Pasien;
2. Staf medis;
3. Tenaga kesehatan dan tenaga lainnya yang bekerja di Klinik;
4. Fasilitas Klinik ;
5. Lingkungan Klinik ; dan
6. Bisnis Klinik
BAB V

DOKUMENTASI

A. PENCATATAN
1. Kegiatan Survey Budaya Keselamatan Pasien
Kegiatan survey budaya keselamatan pasien menggunakan
kuisioner 12 dimensi budaya keselamatan, yang mana form untuk
kuisioner terdapat dalam lampiran.
2. Pencatatan Capaian Indikator Sasaran Keselamatan Pasien
Formulir pengumpulan data indicator keselamatan pasien
terdapat dalam lampiran dan data dimasukkan dalam MUTU
FASYANKES.
3. Pencatatan Laporan Insiden Keselamatan Pasien
Pencatatan laporan insiden keselamatan pasien menggunakan
formular yang terdapat dalam panduan pelaporan insiden
keselamatan pasien.

B. PELAPORAN
1. Pelaporan kegiatan survey budaya keselamatan pasien dilaporkan
pada Kepala Klinik Teratai Satbrimob Polda Maluku untuk
ditindaklanjuti.
2. Pelaporan digunakan untuk mengevaluasi sejauh mana budaya
keselamatan pasien diterapkan di Klinik Teratai Satbrimob Polda
Maluku.
Ditetapkan di : Tual
Pada Tanggal : Agustus 2023
KEPALA KLINIK TANTYA SUDHIRAJATI POLRES TUAL

dr. NABILA N, OHOIRAT


INSPEKTUR POLISI DUA NRP : 97010975

Anda mungkin juga menyukai