Laporan Pendahuluan Tumor Sinonasal
Laporan Pendahuluan Tumor Sinonasal
1.2 Etiologi
Perubahan dari sel normal menjadi sel kanker dipengaruhi oleh banyak
faktor (multifaktor) dan bersifat individual atau tidak sama pada setiap
orang. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan resiko terjadinya tumor
sinonasal antara lain :
1. Penggunaan tembakau
Penggunaan tembakau (termasuk di dalamnya adalah rokok, cerutu,
rokok pipa, mengunyah tembakau, menghirup tembakau) adalah
faktor resiko terbesar penyebab kanker pada kepala dan leher.
2. Alkohol
Peminum alkohol berat dengan frekuensi rutin merupakan faktor
resiko kanker kepala dan leher.7
3. Inhalan spesifik
Menghirup substansi tertentu, terutama pada lingkungan kerja,
mungkin dapat meningkatkan resiko terjadinya kanker kavum nasi
dan sinus paranasal, termasuk diantaranya adalah :
a. Debu yang berasal dari industri kayu, tekstil, pengolahan
kulit/kulit sintetis, dan tepung.
b. Debu logam berat : kromium, asbes
c. Uap isoprofil alkohol, pembuatan lem, formaldehyde, radium
d. Uap pelarut yang digunakan dalam memproduksi furniture dan
sepatu.
3. Gejala oral
Perluasan tumor ke rongga mulut menyebabkan penonjolan atau
ulkus di palatum atau di prosesus alveolaris. Pasien mengeluh gigi
palsunya tidak pas lagi atau gigi geligi goyah. Seringkali pasien
datang ke dokter gigi karena nyeri di gigi, tetapi tidak sembuh
meskipun gigi yang sakit telah dicabut.
4. Gejala fasial
Perluasan tumor akan menyebabkan penonjolan pipi,disertai nyeri,
anesthesia atau parestesia muka jika sudah mengenai nervus
trigeminus.
5. Gejala intrakranial
Perluasan tumor ke intrakranial dapat menyebabkan sakit kepala
hebat, oftalmoplegia dan gangguan visus. Dapat disertai likuorea,
yaitu cairan otak yang keluar melalui hidung ini terjadi apabila
tumor sudah menginvasi atau menembus basis cranii. Jika perluasan
sampai ke fossa kranii media maka saraf otak lainnya bisa terkena.
Jika tumor meluas ke belakang, terjadi trismus akibat terkenanya
muskulus pterigoideus disertai anestesia dan parestesia daerah yang
dipersarafi nervus maksilaris dan mandibularis.
1.4 Patofisiologi
Perubahan dari sel normal menjadi sel kanker dipengaruhi oleh
multifaktor seperti yang sudah dipaparkan diatas dan bersifat
individual. Faktor resiko terjadinya tumor sinonasal semisal bahan
karsinogen seperti bahan kimia inhalan, debu industri, sinar ionisasi dan
lainnya dapat menimbulkan kerusakan ataupun mutasi pada gen yang
mengatur pertumbuhan tubuh yaitu gen proliferasi dan diferensiasi.
Dalam proses diferensiasi ada dua kelompok gen yang memegang
peranan penting, yaitu gen yang memacu diferensiasi (proto-onkogen)
dan yang menghambat diferensiasi (anti-onkogen). Untuk terjadinya
transformasi dari satu sel normal menjadi sel kanker oleh karsinogen
harus melalui beberapa fase yaitu fase inisiasi dan fase promosi serta
progresi. Pada fase inisiasi terjadi perubahan dalam bahan genetik sel
yang memancing sel menjadi ganas akibat suatu onkogen, sedangkan
pada fase promosi sel yang telah mengalami inisiasi akan berubah
menjadi ganas akibat terjadinya kerusakan gen. Sel yang tidak melewati
tahap inisiasi tidak akan terpengaruh promosi sehingga tidak berubah
menjadi sel kanker. Inisiasi dan promosi dapat dilakukan oleh
karsinogen yang sama atau diperlukan karsinogen yang berbeda.
Sejak terjadinya kontak dengan karsinogen hingga timbulnya sel kanker
memerlukan waktu induksi yang cukup lama yaitu sekitar 15-30 tahun.
Pada fase induksi ini belum timbul kanker namun telah terdapat
perubahan pada sel seperti displasia. Fase selanjutnya adalah fase in situ
dimana pada fase ini kanker mulai timbul namun pertumbuhannya
masih terbatas jaringan tempat asalnya tumbuh dan belum menembus
membran basalis. Fase in situ ini berlangsung sekitar 5-10 tahun. Sel
kanker yang bertumbuh ini nantinya akan menembus membrane basalis
dan masuk ke jaringan atau organ sekitarnya yang berdekatan atau
disebut juga dengan fase invasif yang berlangsung sekitar 1-5 tahun.
Pada fase diseminasi (penyebaran) sel-sel kanker menyebar ke organ
lain seperti kelenjar limfe regional dan atau ke organ-organ jauh dalam
kurun waktu 1-5 tahun. Sel-sel kanker ini akan tumbuh terus tanpa batas
sehingga menimbulkan kelainan dan gangguan. Sel kanker ini akan
mendesak (ekspansi) ke selsel normal sekitarnya, mengadakan infiltrasi,
invasi, serta metastasis bila tidak didiagnosis sejak dini dan di berikan
terapi.
1.6 Komplikasi
Komplikasi keganasan sinus terkait dengan pembedahan dan
rekonstruksi. Beberapa komplikasi yang dapat terjadi yaitu :
1. Perdarahan : untuk menghindari perdarahan arteri etmoid anterior
dan posterior dan arteri sfenopalatina dapat dikauter atau diligasi.
2. Kebocoran cairan otak : cairan otak dapat bocor dekat dengan basis
cranii. Tanda dan gejala yang terjadi termasuk rinorhea yang jernih,
rasa asin dimulut, dan tanda halo. Perawatan konservatif dengan tirah
baring dan drainase lumbal dapat dilakukan selama 5 hari bersama
antibiotik. Jika gagal, harus dilakukan intervensi pembedahan.
3. Epifora : hal ini sering terjadi saat pembedahan disebabkan oleh
obstruksi pada aliran traktus lakrimalis. Endoskopik lanjutan dan
tindakan dakriosisto rhinostomi mungkin perlu dilakukan.
4. Diplopia : perbaikan dasar orbita yang tepat adalah kunci untuk
menghindari komplikasi ini. Jika terjadi diplopia, penggunaan
kacamata prisma merupakan terapi yang paling sederhana.
1.7 Penatalaksanaan
Pasien dengan kanker sinus paranasal biasanya dirawat oleh tim
spesialis menggunakan pendekatan holistik multidisiplin ilmu. Setiap
pasien menerima rencana pengobatan yang disesuaikan untuk
memenuhi kebutuhannya. Pilihan pengobatan utama untuk tumor sinus
paranasal meliputi:
1. Pembedahan
Terapi bedah yang dilakukan biasanya adalah terapi kuratif dengan
reseksi bedah. Pengobatan terapi bedah ini umumnya berdasarkan
staging dari masing-masing tumor. Secara umum, terapi bedah
dilakukan pada lesi jinak atau lesi dini (T1-T2). Terkadang,
pembedahan dengan margin/batas yang luas tidak dapat dilakukan
karena dekatnya lokasi tumor dengan struktur-struktur penting pada
daerah kepala, serta batas tumor yang tidak jelas. Radiasi post
operatif sangat dianjurkan untuk mengurangi insiden kekambuhan
lokal. Pada beberapa kasus eksisi paliatif ataupun debulking perlu
dilakukan untuk mengurangi nyeri yang hebat, ataupun untuk
membebaskan dekompresi saraf optik dan rongga orbita, serta untuk
drainase sinus paranasalis yang mengalami obstruksi. Jenis reseksi
dan pendekatan bedah yang akan dilakukan bergantung pada ukuran
tumor dan letaknya/ekstensinya.
Tumor yang berlokasi di kavum nasi dapat dilakukan berbagai
pendekatan bedah seperti reseksi endoskopi nasal, transnasal,
sublabial, sinus paranasalis, lateral rhinotomy atau kombinasi dari
bedah endoskopi dan bedah terbuka (open surgery). Tumor tahap
lanjut mungkin membutuhkan tindakan eksenterasi orbita, total
ataupun parsial maksilektomi ataupun reseksi anterior cranial base,
dan kraniotomi. Maksilektomi kadang-kadang direkomendasikan
untuk tatalaksana kanker sinus paranasal, dan umumnya dapat
menyelamatkan organ vital seperti mata yang berada dekat dengan
kanker sedangkan reseksi kraniofasial atau skull base surgery sering
direkomendasikan untuk keganasan pada sinus paranasal. Terapi ini
mengharuskan untuk membebaskan beberapa jaringan tambahan
disamping dilakukannya maksilektomi.
Kontraindikasi absolut untuk terapi pembedahan adalah pasien
dengan gangguan nutrsi, adanya metastasis jauh, invasi tumor ganas
ke fascia prevertebral, ke sinus kavernosus, dan keterlibatan arteri
karotis pada pasien-pasien dengan resiko tinggi, serta adanya invasi
bilateral tumor ke nervus optik dan chiasma optikum. Keuntungan
dari pendekatan bedah endoskopik adalah mencegah insisi pada
daerah wajah, angka morbiditas rendah, dan lamanya perawatan di
rumah sakit lebih singkat.
Reseksi luas dari tumor kavum nasi dan sinus paranasalis dapat
menyebabkan kecacatan/kerusakan bentuk wajah, gangguan
berbicara dan kesulit an menelan. Tujuan utama dari rehabilitasi post
pembedahan adalah penyembuhan luka, penyelamatan/preservasi
dan rekonstruksi dari bentuk wajah, restorasi pemisahan oronasal,
hingga memfasilitasi kemampuan berbicara, menelan, dan
pemisahan kavum nasi dan kavum cranii.
2. Radioterapi
Terapi radiasi juga disebut radioterapi kadang-kadang digunakan
sendiri pada stadium I dan II, atau dalam kombinasi dengan operasi
dalam setiap tahap penyakit sebagai adjuvant radioterapi (terapi
radiasi yang diberikan setelah dilakukannya terapi utama seperti
pembedahan). Pada tahap awal kanker sinus paranasal, radioterapi
dianggap sebagai terapi lokal alternatif untuk operasi. Radioterapi
melibatkan penggunaan energi tinggi, penetrasi sinar untuk
menghancurkan sel-sel kanker di zona yang akan diobati. Terapi
radiasi juga digunakan untuk terapi paliatif pada pasien dengan
kanker tingkat lanjut. Jenis terapi radiasi yang diberikan dapat
berupa teleterapi (radiasi eksternal) maupun brachyterapi (radiasi
internal).
3. Kemoterapi
Kemoterapi biasanya diperuntukkan untuk terapi tumor stadium
lanjut. Selain terapi lokal, upaya terbaik untuk mengendalikan sel-sel
kanker beredar dalam tubuh adalah dengan menggunakan terapi
sistemik (terapi yang mempengaruhi seluruh tubuh) dalam bentuk
suntikan atau obat oral. Bentuk pengobatan ini disebut kemoterapi
dan diberikan dalam siklus (setiap obat atau kombinasi obat-obatan
biasanya diberikan setiap tiga sampai empat minggu). Tujuan
kemoterapi untuk terapi tumor sinonasal adalah sebagai terapi
tambahan (baik sebagai adjuvant maupun neoadjuvant), kombinasi
dengan radioterapi (concomitant), ataupun sebagai terapi paliatif.
Kemoterapi dapat mengurangi rasa nyeri akibat tumor, mengurangi
obstruksi, ataupun untuk debulking pada lesi-lesi masif eksternal.
Pemberian kemoterapi dengan radiasi diberikan pada pasien-pasien
dengan resiko tinggi untuk rekurensi seperti pasien dengan hasil PA
margin tumor positif setelah dilakukan reseksi, penyebaran
perineural, ataupun penyebaran ekstrakapsular pada metastasis
regional.
1.8 Pathway
II. Rencana asuhan klien dengan tumor nasal
2.1 Pengkajian
Objektif
Posisi untuk menghindari nyeri
Perubahan tonus otot
Respon autonomik
Perubahan selera makan
Perilaku ekspresif
Gangguan tidur
2.2.3 Faktor yang berhubungan
Agens-agens penyebab cedera (misalnya, biologis, fisik, kimia
dan psikologis)
Subjektif
Kram abdomen
Nyeri abdomen
Menolak makan
Melaporkan perubahan sensasi rasa
Merasa cepat kenyang setelah mengonsumsi makanan
Objektif
Pembuluh kapiler rapuh
Diare
Kehilangan rambut yang berlebihan
Bising usus hiperaktif
Membran mukosa pucat
Kelemahan otot yang berfungsi untuk menelan atau mengunyah
2.2.6 Faktor yang berhubungan
Penyakit kronis
Kesulitan mengunyah atau menelan
Faktor ekonomi
Intoleransi makanan
Hilang nafsu makan
Mual dan muntah
Gangguan psikologis
2.3 Perencanaan
Diagnosa 1 : Nyeri akut
2.3.1 Tujuan dan kriteria hasil :
Tujuan :
- Klien akan melaporkan nyeri berkurang/terkontrol/hilang
Kriteria hasil :
- Mengungkapkan metode yang memberikan penghilangan
- Mendemonstrasikan penggunaan keterampilan relaksasi dan
aktivitas hiburan.
Hilger PA, Adam GL. Buku Ajar Penyakit THT : edisi 6. Jakarta : EGC.
Roezin A, Armiyanto. (2007). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorokan Kepala & Leher: edisi 6. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Salim, Agus. (2006). Tumor Sinonasal. Universitas Sumatera Utara. Termuat
dalam:http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/24571/.../Chap
ter%20II.pdf
Walkinson, Judith M. (2012). Buku Saku Diagnosis Keperawatan: diagnosis
NANDA, intervensi NIC, kriteria hasil NOC. Ed.9. Jakarta: EGC
(..................................................) (..................................................)