Anda di halaman 1dari 14

IMUNOLOGI DASAR

PERAN KOMPLEMEN DAN SITOKIN PADA

PENYAKIT INFEKSI MALARIA

Dosen Pengampu :

Putra Rahmadea Utami M. Biomed

Disusun oleh :

NADIRA ANANDA FASYA

PROGRAM STUDI D-IV TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIK

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS PERINTIS INDONESIA

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan makalah tentang “Peran
komplemen dan sitokin pada penyakit infeksi malaria”.

Sebagai penyusun,penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan, baik dari


penyusunan maupun tata bahasa penyampaian dalam karya ilmiah ini. Oleh karena itu,
penulis dengan rendah hati menerima saran dan kritik dari pembaca agar penulis dapat
memperbaiki karya ilmiah ini. Penulis berharap semoga karya ilmiah yang penulis susun ini
memberikan manfaat dan juga inspirasi untuk pembaca.

Padang, Desember 2023

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Malaria adalah penyakit infeksi disebabkan oleh parasit dari genus Plasmodium yang
menyerang sel eritrosit ditandai dengan gejala berupa demam, menggigil, anemia, dan
splenomegali dalam kondisi akut ataupun kronis yang ditularkan ke manusia melalui
gigitan. nyamuk Anopheles betina yang terinfeksi. Ada lima spesies Plasmodium yang
dapat menyebabkan malaria pada manusia diantaranya P. falciparum dan P. vivax yang
umumnya dijumpai pada semua negara dengan malaria. Dua spesies ini paling sering
dijumpai di Indonesia. Spesies lainnya yaitu P. ovale dan P. malariae banyak dijumpai di
Indonesia Timur. Perkembangan terbaru ditemukan satu spesies lain yang dapat
menyebabkan malaria yaitu P. knowlesi di Malaysia yang sebelumnya hanya menyerang
primata. P. knowlesi juga ditemukan menyebabkan malaria di Indonesia tepatnya di
Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan.

Malaria masih menjadi masalah kesehatan global terutama di kawasan tropis dan
subtropis negara berkembang sampai saat ini. World Malaria Report 2015 menyatakan
bahwa penyakit malaria telah menyerang 106 negara di dunia. Tahun 2016 ditemukan
216 juta kasus baru malaria dan 445.000 kematian. Wilayah Afrika menyumbang
sebagian besar kasus malaria global (90%), diikuti oleh wilayah Asia Tenggara (7%), dan
Mediterania Timur (2%). Angka kematian akibat malaria tahun 2015 di wilayah Asia
paling tinggi berada di India dengan jumlah 384 jiwa, sedangkan Indonesia berada pada
posisi kedua dengan jumlah 157 jiwa. Menurut WHO, angka morbiditas dan mortalitas
akibat malaria cenderung menurun pada periode 2005 2015. Meskipun demikian, masih
ada lebih kurang 3,2 milyar jiwa atau hampir separuh

Perubahan hematologi merupakan komplikasi yang paling umum terjadi pada infeksi
malaria. Kelainan hematologi pada malaria yang telah dilaporkan adalah anemia,
trombositopenia, dan leukopenia hingga leukositosis. Anemia didefinisikan sebagai
penurunan jumlah massa eritrosit yang mengakibatkan kadar hemoglobin menurun
sehingga jumlah oksigen yang dibawa tidak cukup di jaringan perifer. Beberapa
mekanisme terjadinya anemia pada penyakit malaria yaitu penghancuran eritrosit yang
mengandung parasit, diseritropoesis (gangguan dalam pembentukan eritrosit karena
depresi eritropoesis dalam sumsum tulang), hemolisis oleh karena proses kompleks imun
yang dimediasi komplemen pada eritrosit yang tidak terinfeksi, dan pengaruh sitokin.
Anemia terutama tampak jelas pada malaria falciparum dan malaria kronis dengan
penghancuran eritrosit yang cepat dan hebat.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian malaria

n psoriasis plak yang kronik (Bachelez, 2005). Bahcetepe et al., 2013 melakukan penelitian
dengan menggunakan metode molekular dan serologikal pada populasi, ras dan
etnik yang berbeda untuk mendapatkan gen HLA. Shankarkumar (2012), melaporkan
bahwa terdapat perbedaan hasil antara pasien psoriasis dan gen HLA pada
perbedaan ras, dan latar belakang etnik (Bahcetepe et al., 2013). Human leucocyte
antigen-Cw6 atau HLA-Cw7 berikatan dengan antigen, dan berinteraksi dengan
reseptor sel T. Human leucocyte antigen-Cw6 aktif atau HLA- Cw7 aktif ini akan
mengekspresikan peptida pada permukaan sel dendritik, sehingga terjadi aktivasi
dan ekspansi sel T CD8+ spesifik-antigen. Selanjutnya sel T CD8+ bermigrasi ke
epidemis dan berikatan dengan alel HLA-Cw6 atau HLA-Cw7 dimana permukaan
keratinositnya mempresentasikan peptida pada sel T CD8 teraktivasi yang sudah
mengenal peptida yang dipresentasikan oleh alel HLA-Cw6 atau HLA-Cw7. Sel T CD8
teraktivasi ini merangsang pelepasan IL-17, IL-22 dan IFN-ɣ yang menyebabkan
terjadi peningkatan inflamasi lokal dan merangsang proliferasi keratinosit.
Keratinosit ini melepaskan faktor-faktor pertumbuhan seperti TGF-α dan AREG
(amphiregulin), sehingga menyebabkan inflamasi dan proliferasi keratinosit. Sel T
CD8+ memberikan respons terhadap antigen pada HLA-Cw6 atau HLA-Cw7 yang
berada pada keratinosit sehingga bekerja sebagai sel efektor utama dalam
mempertahankan proses patogenik (Shankarkumar et al., 2011; Shankarkumar et al.,
2012). Sel dendritik di dermis dipengaruhi oleh HLA-Cw6 atau HLA-Cw7 sehingga
dapat memproses antigen dan menghasilkan IL-23. Selanjutnya IL-23 ini merangsang
5 subset sel T menghasilkan IL-17. Pada psoriasis, IL-23 bekerja sebagai regulator IL-
17. Sel T CD8+ di epidermis psoriatik menghasilkan IL-17, yang secara normal sel ini
tidak dijumpai pada epidermis normal. Pada lesi psoriatik, sel T CD4+ ditemukan
terutama di dermis bagian atas dan sel T CD8+ terutama di epidermis. (Elder et al.,
2010). Pada lesi psoriatik terdapat peningkatan kadar sitokin proinflamasi yang
dihasilkan oleh limfosit Th1 yaitu IFN-γ. Sitokin yang bertanggungjawab terhadap
aktivasi limfosit T ini masih belum diketahui. Beberapa hipotesis menyatakan bahwa
aktivasi limfosit T diperantarai oleh keratinosit dan sel Langerhans (Bachelez, 2005).
Terlibatnya limfosit T, sel Langerhans dan berbagai macam sitokin semakin
memperkuat bahwa psoriasis merupakan suatu penyakit imunologis (Shaker et al.,
2006). Dendritic cells sangat banyak jumlahnya pada lesi psoriatik dan menghasilkan
banyak tumor nerosis factor (TNF)-α. Tumor nerosis factor-α ini mempunyai fungsi
pro-inflamatori multipel termasuk dalam peningkatan regulasi ekspresi MHC kelas I,
yang merangsang presentasi self-Ag kepada sel T CD8+ dan mengaktivasi sel T (Elder
et al.,2010). Sel Th1 CD4+ menghasilkan IFN-ɣ yang kemudian merangsang sel
dendritik menghasilkan IL-23. Sel dendritik menghasilkan TNF-α dan merangsang DC
kembali untuk menghasilkan IL-23. Tumor nerosis factor-α ini akan merangsang
keratinosit untuk menghasilkan IL-18 dan IL-18 ini akan merangsang DC
menghasilkan IL-23. Selanjutnya IL-23 ini merangsang sel Th-17/ sel Th-22
menghasilkan IL-17 dan IL- 22. Interleukin-17 dan IL-22 ini menyebabkan proliferasi
keratinosit. Sel dendritik di 6 dermis menghasilkan IL-12 yang akan merangsang DC
dan sel Th-1 CD4+ untuk menghasilkan IFN-ɣ. Interferon- ɣ menyebabkan proliferasi
keratinosit (Gudjonsson, Elder, 2012). Berdasarkan latar belakang genetik (poligenik)
adanya perbedaan faktor etnik dan geografikal yang menyebabkan perbedaan
persentase terdapatnya alel HLA-Cw6 dan alel HLA-Cw7, keterlibatan sitokin IL-23
yang merupakan sitokin utama dalam kejadian psoriasis, masih belum adanya
penelitian alel HLA-Cw6 dan alel HLA-Cw7 di Indonesia, serta sulitnya pengobatan
karena penyakit yang bersifat kronik residif, maka peneliti berminat meneliti
hubungan alel HLA-Cw6 dan alel HLA-Cw7 dengan psoriasis vulgaris melalui kadar IL-
23.

.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang, maka disusunlah rumusan masalah yang akan diteliti
sebagai berikut:
1. Apakah ada perbedaan alel HLA-Cw6 yang terdapat pada psoriasis vulgaris dengan non-
psoriasis vulgaris?
2. Apakah ada perbedaan alel HLA-Cw7 yang terdapat pada psoriasis vulgaris dengan non-
psoriasis vulgaris?
3. Apakah terdapat perbedaan kadar IL-23 antara psoriasis vulgaris dengan non- psoriasis
vulgaris?
4. Apakah ada hubungan antara alel HLA-Cw6 dengan kadar IL-23 pada psoriasis vulgaris?
5. Apakah ada hubungan antara alel HLA-Cw7 dengan kadar IL-23 pada psoriasis vulgaris?
6. Alel manakah yang paling berhubungan dalam menimbulkan lesi psoriasis vulgaris melalui
kadar IL-23?

Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui pengertian psoriasis dan fungsinya
2. Untuk mengetahui jenis penyakit autoimun dan bakteri penyebabnya
3. Untuk mengetahui cara pemeriksaan laboratorium pada infeksi kulit

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Sporiasis


A. Sporiasis

Psoriasis adalah penyakit autoimun yang terjadi karena ada peradangan pada kulit.
Peradangan kemudian menyebabkan kulit bersisik, menebal, terasa gatal, serta
mudah terkelupas.

Kondisi ini bisa terjadi pada siapa saja, bahkan bisa menyerang bayi yang
umumnya disebabkan karena faktor genetik. Peradangan biasanya muncul pada
kulit di bagian lulut, siku, punggung bawah, serta kulit kepala.

Psoriasis sendiri memiliki banyak jenis, tetapi psoriasis plak merupakan jenis
yang sering terjadi, dengan ciri khas berupa adanya bercak kemerahan pada
kulit yang sedikit menonjol.

Kondisi ini sering diawali dengan terbentuknya sebuah benjolan kecil yang terus
memburuk dan akhirnya dilapisi oleh sisik-sisik putih, yang membuat kulit
tampak bersisik dan mengelupas.

B. Penyebab terjadinya penyakit autoimun

Psoriasis diduga disebabkan karena autoimun tubuh menyerang sel-sel kulit yang sehat.
Penyakit ini tidak menular, sehingga kontak langsung tidak bukanlah hal yang berbahaya.

Meski penyebab pastinya masih belum diketahui, ada beberapa faktor yang diduga bisa
meningkatkan risiko penyakit ini, antara lain:

 Adanya pengaruh lingkungan dan faktor gen.


 Faktor keturunan.
 Adanya infeksi tenggorokan.
 Cedera pada kulit.
 Terlalu banyak mengonsumsi minuman beralkohol.
 Mengonsumsi obat-obatan tekanan darah tinggi serta obat antimalaria.
Terdapat faktor pemicu lainnya yang dapat meningkatkan risiko penyakit Psoriasis, seperti:

1. Stres
2. Faktor keturunan
3. Cedera pada kulit
4. Lingkungan
5. Mengonsumsi minuman beralkohol
6. Obesitas
7. Infeksi bakteri/virus (streptokokus, HIV)
8. Merokok
9. Mengonsumsi obat-obatan tekanan darah tinggi dan obat antimalaria
10. Infeksi tenggorokan

C. Gejala Psoriasis
Setiap pengidapnya bisa mengalami gejala yang berbeda-beda. Ada yang mengalami gejala
ringan atau tidak ada gejala sama sekali dalam kurun waktu tertentu.

Namun, kondisi ini umumnya menimbulkan:

 Kulit yang memerah akan terasa tebal kering dan bersisik.


 Kuku menebal dengan tekstur yang tidak rata.
 Kulit pecah-pecah dan terkadang berdarah.
 Sendi terasa bengkak dan kaku.

Kebiasaan Merokok Pun Bisa Memperparah Gejala Psoriasis.

Perbedaan gejala yang timbul akan terjadi tergantung jenis penyakit yang diidap oleh
pengidap psoriasis, seperti:

 Plak. Gejala yang muncul pada jenis ini adalah timbulnya ruam kulit merah dan kulit menjadi bersisik
yang disebut dengan plak yang muncul di bagian tubuh manapun.
 Kuku. Jika psoriasis terjadi pada kuku, maka gejalanya meliputi perubahan warna kuku, cekungan
kecil yang muncul pada kuku, pertumbuhan kuku.
 Kepala. Jenis kulit kepala ini akan timbul gejala seperti munculnya sisik tebal dan terasa gatal di
seluruh kulit kepala, bahkan terdapat ruam yang melebar hingga melewati garis rambut.
 Inversi. Gejala yang ditimbulkan oleh jenis inversi adalah ruam merah yang terasa halus pada daerah
tubuh yang memiliki lipatan. Ruam tersebut biasanya terjadi pada ketiak.
 Gutata. Gejala pada jenis gutata menyerupai bintik ruam seperti tetesan air dan biasanya muncul
pada tubuh bagian atas, lengan, kaki dan kulit.
 Pustular. Psoriasis pustulat mengeluarkan gejala seperti ruam merah yang perih sebelum akhirnya
melepuh dan berisi nanah.
 Eritrodermik. Gejala jenis eritrodermik adalah timmbulnya ruam yang mengelupas dan sangat gatal.
Ruam tersebut juga disertai dengan sensasi terbakar di seluruh tubuh.
 Artritis. Gejala jenis terakhir ini akan menimbulkan kulit yang teriritasi dan bersisik serta adanya
perubahan warna kuku.

D. Pengobatan Psoriasis
Psoriasis dapat disembuhkan dengan melalui langkah pengobatan sesuai dengan jenis dan
tingkat keparahannya.

Pengobatan yang dilakukan, seperti:

1. Perawatan topikal

Pemakaian obat krim atau salep yang mengandung mengandung bahan aktif. Misalnya,
seperti kortikosteroid, salisilat, atau vitamin D analog.

Fungsinya untuk mengurangi peradangan dan mengontrol gejala kondisi ini.

2. Keratolitik

Keratolitik adalah jenis obat yang digunakan dalam pengobatan psoriasis untuk membantu
mengatasi masalah penumpukan sel-sel kulit mati yang berlebihan pada pengidapnya.

3. Terapi Cahaya (Phototherapy)

Dokter juga bisa merekomendasikan terapi cahaya UVB (ultraviolet B) atau PUVA (psoralen
dan ultraviolet A).

Tujuannya untuk membantu mengendalikan gejalanya dengan menargetkan area kulit yang
terkena.

4. Obat-obatan Sistemik

Dokter juga bisa meredakan psoriasis dengan memberikan obat sistemik, seperti

 Methotrexate untuk meredakan peradangan dan menghambat pertumbuhan sel-sel kulit berlebihan.
Sering dokter resepkan untuk kasus yang parah.
 Cyclosporine yang berfungsi menghambat sistem kekebalan tubuh dan sering dokter berikan dalam
kasus yang parah dan resisten terhadap pengobatan lain.
 Agen biologis yang umumnya diberikan melalui suntik atau infus. Fungsinya mengganggu proses
peradangan pada tingkat sel. Beberapa contohnya adalah adalimumab, etanercept, infliximab,
ustekinumab, dan lain-lain.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa penyakit psoriasis
merupakan salah satu penyakit/gangguan sistem integumen dimana kulit mengalami
peradangan kronis (sering kambuh) yang disebabkan oleh Genetik,Imunologik ,Stres
Psikik ,Infeksi fokal, Faktor Endokrin, Gangguan Metabolik, Obat-obatan, Alkohol
dan merokok.
Penyakit ini terjadi pada setiap usia. Pada psoriasis ditunjukan adanya
penebalanepidermis dan stratum korneum dan pelebaran pembuluh-pembuluh darah
dermis bagian atas. Selain itu jumlah sel-sel basal yang bermitosis juga meningkat.
Penderita biasanya mengeluh adanya gatal ringan pada tempat-tempat
predileksi,yakni pada kulit kepala, perbatasan daerah tersebut dengan muka,
ekstremitas bagianekstensor terutama siku serta lutut, dan daerah lumbosakral.
Kelainan kulit terdiri atas bercak-bercak eritema yang meninggi (plak)
denganskuama diatasnya.Skuama berlapis-lapis, kasar, dan berwarna putih serta
transparan.Pada psoriasis terdapat fenomena tetesan lilin, Auspitz dan Kobner.
Ada dua tipe pengobatan pada penderita psoriasis yaitu pengobatan sistemik dan
pengobatan topikal dimana pengobatan sistemik lebih banyak memberikan efek
samping.
3.2 Saran
A. Pentingnya gaya hidup sehat
Menerapkan gaya hidup sehat, termasuk pola makan seimbang, olahraga
teratur, istirahat yang cukup, dan mengurangi stres, dapat membantu menjaga
sistem kekebalan tubuh tetap kuat.

B. Vaksinasi
Penting untuk mengikuti jadwal vaksinasi yang direkomendasikan oleh
otoritas kesehatan untuk melindungi diri dari penyakit infeksi tertentu. Vaksin
membantu tubuh membangun respons imun terhadap patogen sehingga dapat
melawan infeksi dengan lebih efektif.

C. Perhatikan kebersihan
Menjaga kebersihan diri, termasuk mencuci tangan secara teratur, merupakan
langkah sederhana namun penting dalam mencegah penyebaran infeksi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Delire M. Immunoglobulins. Rationale for the clinical use of polyvalent intravenous


immunoglobulins. Petersfield: Wrightson Biomedical Publishing Ltd, 1995. h.
29-65.

2. Parslow TG. The immune response. In: Stites DP, Terr Al, Parslow TG. Ed. Medical
immunology. 9th. Ed. Connecticut: Appleton & Lange, 1977. h. 63-73.

3. Kalbhein HJ. Therapy of sepsis with 5S-immunoglobulin. In: Dammaco F, ed.


Immunoglobulins in therapy. International Symposium Immunoglobulins in
therapy Vienna, November 1993. Maburg: Die Medizinische Verlagsgeseeschaft,
1995. h. 28-32.

4. Bellanti JA, Rocklin RE. Cell mediated immune reactions. In: Bellanti JA. Immunology
III. Philadelphia: WB Saunders Company 1985. h. 181.

5. Abbas KA, Lichman AH, Rober JS. Cellular and molecular immunology. Philadelphia:
WB Saunders Company 1991. h. 302-9.

Anda mungkin juga menyukai