Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

Dasar Pernikahan dan Kafa’ah

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Keluarga

Dosen Pengampu: Abdul Kodir Alhamdani,M.H

Disusun Oleh:

Alrizal Rahmatusyam 2201010005

Saepulloh 2201010018

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH (HES)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)

AL BADAR CIPULUS – PURWAKARTA

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT yang sampai saat ini telah
memberikan nikmat sehat, sehingga penulis bisa menyelesaikan tugas makalah ini
dengan baik dan tepat waktu.

Tujuan dan maksud penulis menyusun makalah ini yaitu untuk memenuhi
tugas mata kuliah hokum keluarga Maka dari itu, penulis mengucapkan
terimakasih kepada dosen pengampu Bapak Abdul Kodir Alhamdani,M.H yang
telah membimbing penulis.

Sebagai mahasiswa, penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam


pembuatan makalah ini. Oleh karena itu, penulis secara pribadi memohon maaf
atas kesalahan yang mungkin ada pada isi makalah ini.

Penulis harap isi makalah yang berjudul “dasar dasar pernikahan dan
kafaah” bisa bermanfaat bagi pembaca. Mohon untuk memaklumi jika terdapat
penjelasan yang sulit untuk dimengerti. Untuk itu penulis mengharapkan kritik
maupun saran, sehingga penulis bisa memperbaikinya dikemudian hari.

Purwakarta, 20 Oktober 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................iii

A. Latar Belakang........................................................................................................iii

B. Rumusan Masalah...................................................................................................iii

C. Tujuan Penulisan....................................................................................................iii

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................1

A. Dasar dasar pernikahan............................................................................................1

B. Kafaah dalam perkawinan........................................................................................4

1. Pengertian.............................................................................................................4

2. Dasar Hukum Kafa’ah.........................................................................................6

a. Al-Qur’an.............................................................................................................6

b. Al-Hadist..............................................................................................................7

C. Kriteria Kafaah Menurut Para Ulama......................................................................8

BAB III PENUTUP...............................................................................................13

A. Kesimpulan............................................................................................................13

B. Saran.......................................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................14

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pernikahan adalah salah satu institusi sosial yang paling penting dalam
kehidupan manusia. Ia bukan hanya sebuah ikatan cinta antara dua individu, tetapi
juga sebuah kontrak sosial yang memiliki dampak besar terhadap masyarakat dan
individu yang terlibat di dalamnya.
Dalam pandangan Islam, perkawinan di samping sebagai perbuatan
ibadah, ia juga merupakan sunnah Allah dan sunnah Rasul-Nya. Sebagai sunnah
Allah, perkawinan merupakan qudrat dan irodat Allah dalam penciptaan alam
semesta. Hal ini dapat kita lihat dari rangkaian ayat-ayat berikut :
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan
kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya dan dari pada
keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.
dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu
saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim.
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”. (Q.S. An-Nisaa’ : 1).
Istilah kafa’ah dalam islam diartikan dengan keselerasan,sebanding,atau
kelayakan. Kafa’ah dianjurkan oleh Islam dalam memilih calon pendamping
hidup bukan tanpa sebab. Kafa’ah dalam perkawinan merupakan faktor
mendorong terciptanya kebahagiaan suami istri dan lebih menjamin keselamatan
dalam melewati bahtera rumah tangga perkawinan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja dasar-dasar pernikahan?
2. Bagaimana penjelasan tentang kafaah?
3. Bagaimana kriterian kafaah menurut para ulama?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui dasar dasar pernikahan
2. Untuk mengathui pengertian tentang kafaah
3. Untuk mengetahui kriteria kafaah menurut para ulama

iii
BAB II
PEMBAHASAN

A. Dasar dasar pernikahan


Dalam pandangan Islam, perkawinan di samping sebagai perbuatan ibadah, ia
juga merupakan sunnah Rasul-Nya. perkawinan merupakan qudrat dan irodat
Allah dalam penciptaan dan keberlangsungan kehidupan di dunia. Beberapa ayat
dalam al-quran menganjurkan umat islam untuk melaksanakan pernikahan.
Pernikahan juga sering di artikan dengan penyempurna islam, karena bnyak nya
ibadah dalam perjalanan nya. Alasan kenapa pernikahan diartikan dengan
penyempurna islam karena orang yang tidak menikah tidak akan bisa menjalani
ibadah yg begitu sangat banyak di dalam bahtera rumah tangga.

Berikut penulis coba paparkan beberapa ayat dalam Al-Qur’an yang


membahas tentang pernikahan.

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan


kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya, dan dari
pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang
banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya
kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahmi.
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”. (Q.S. An-Nisaa’ : 1).

“ Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-
wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut
tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak
yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya.”( Q.S. An-Nisaa’ : 3).

”Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang


yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-
hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan
mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberianNya) lagi Maha
mengetahui” .(Q.S. An-Nuur : 32).

1
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-
isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berfikir”. (Q.S. Ar-Ruum : 21).

Sedangkan perkawinan sebagai sunnah rosul dapat dilihat dari beberapa


hadits berikut :

Artinya :”Wahai para pemuda, siapa saja diantara kalian yang telah memiliki
kemampuan untuk menikah, hendaklah dia menikah; karena menikah lebih
menundukkan pandangan dan lebih menjaga diri(dari bertindak maksiat). Adapun
bagi siapa saja yang belum mampu menikah, hendaklah ia berpuasa, karena
berpuasa itu merupakan peredam (syahwat)nya”.

Ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits di atas inilah yang dijadikan sebagai dasar
di dalam melaksanakan perkawinan. Dari dasar dasar di atas, golongan ulama
jumhur (mayoritas ulama) berpendapat bahwa kawin itu hukumnya sunnah. Para
ulama Malikiyah Muta’akhirin berpendapat bahwa kawin itu wajib untuk
sebagian orang, sunnat untuk sebagian lainnya dan mubah untuk segolongan yang
lainnya. Hal ini ditinjau berdasarkan atas kekhawatiran (kesusahan) dirinya.
Sedangkan ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa hukum asal melakukan
perkawinan adalah mubah, disamping ada yang sunnat, wajib, haram dan
makruh.1

Berkaitan dengan hal diatas, penuis mencoba menjelaskan beberapa hukum


perkawinan atau pernikahan yaitu :

a) Wajib

Perkawinan menjadi wajib bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan
kemampuan untuk kawin dan dikhawatirkan akan tergelincir pada perbuatan zina
seandainya tidak dinikahkan. Hal ini didasarkan pada pemikiran hukum bahwa
setiap muslim muslimat wajib menjaga diri untuk tidak berbuat yang dilarang oleh

1
Abd. Rahman Ghozaly ,Fiqh Munakahat, (Jakarta; Prenada Media, 2003), hal,16

2
syariat, sedang menjaga diri itu wajib, maka hukum melakukan perkawinan juga
wajib

b) Sunnat

Perkawinan itu hukumnya sunnat menurut pendapat jumhur ulama. Yaitu bagi
orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk melangsungkan
perkawinan dengan syarat walau tidak melaksanakan pernikahan, hal tersebut
tidak akan mengakibatkan perbuatan zina.

c) Haram

Bagi orang yang tidak mempunyai keinginan dan tidak mempunyai


kemampuan serta tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban
dalam rumah tangga, sehingga apabila dalam melangsungkan perkawinan akan
terlantarlah diri dan istrinya serta anaknya atau jika seseorang kawin dengan
maksud untuk menelantarkan orang lain, atau bertujuan untuk menghancurkan
kehidupan seseorang.. hal tersebut berlandaskan Al – Qur’an yang artinya “Dan
orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan tanpa
kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul
kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS: al-Ahzab[33]:58).

d) Makruh

Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan perkawinan juga


cukup mempunyai kemampuan untuk menahan diri sehingga tidak
memungkinkan dirinya tergelincir berbuat zina sekiranya tidak kawin. Hanya saja
orang ini tidak mempunyai keinginan yang kuat untuk dapat memenuhi kewajiban
sebagai suami istri yang baik yang bisa menjamin kebahagian dunia serta akhirat
keluarga kecilnya.

e) Mubah

Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya, tetapi apabila


tidak melakukannya tidak khawatir akan berbuat zina dan apabila melakukannya
juga tidak akan menelantarkan istri. Perkawinan orang tersebut hanya didasarkan

3
untuk memenuhi rasa cinta bukan dengan tujuan menjaga kehormatan agamanya
pada awalnya namun membina keluarga yang sejahtera (mengikuti alur).2

B. Kafaah dalam perkawinan


1. Pengertian
Secara etimologi kafa’ah berarti sebanding, setara, serasi, dan sesuai. Kata
kufu atau kafa’ah dalam perkawinan adalah menganjurkan sama atau seimbang
antara calon suami dengan calon istri sehingga masing-masing tidak merasa berat
jika akan melangsungkan perkawinan. Sebanding disini diartikan sama
kedudukannya, sebanding dalam tingkat sosial dan sederajat dalam hal akhlak
serta harta kekayaan.3

Sedangkan secara terminologi terdapat perbedaan pendapat ulama tentang


pengertian kafa’ah dalam perkawinan. Penulis rangkum sebagai berikut :

a) Menurut Ulama Hanafiyah, kafa’ah adalah persamaan laki-laki dan


perempuan dalam perkara-perkara tertentu, yaitu nasab, islam, pekerjaan,
merdeka, nilai ketakwaan dan harta.

b) Menurut Ulama Malikiyah mengartikan kafa’ah adalah kesamaan dalam


dua perkara yaitu : ketakwaan dan selamat dari cacat yang memperbolehkan
seorang perempuan untuk melakukan khiyar terhadap suami.

c) Menurut Ulama Syafi‟iyah mengartikan kafa’ah adalah persamaan suami


dengan istri dengan kesempurnaan atau kekurangannya (selain perkara yang
selamat dari cacat). Kemudian hal yang perlu dipertimbangkan adalah nasab,
islam, merdeka dan pekerjaan.

d) Menurut Ulama Hanabilah mengartikan kafa’ah adalaah persamaan dalam


lima perkara yakni islam, status pekerjaan, harta, merdeka dan nasab.

Makna kafa’ah menekankan arti keseimbangan, keharmonisan dan


keserasian terutama dalam hal agama yaitu dalam hal akhlak dan ibadah. Kafa’ah
jika diartikan persamaan dalam hal harta kekayaan atau status sosial
kebangsawanan maka akan sama dengan sistem kasta. Dalam Islam tidak
2
Al-Mawardi, Hukum Perkawinan dalam Islam, (Yogyakarta: BPFE, 1998) hal 1
3
M. A. Tihami, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap (Depok: PT Rajagrafindo Persada,
2009), hal. 56

4
dibenarkan sistem kasta karena semua manusia sama disisi Allah SWT kecuali
dalam hal ketakwaannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat Al-
Hujurat Ayat 13 yang berbunyi:

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu.

Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.( AlHujurat Ayat


13)

Kafa’ah dalam perkawinan adalah tuntutan tentang kesetaraan sepasang


suami istri untuk menghindari timbulnya aib dalam hal tertentu. Menurut ulama
malikiyah kesetaraan disini yang dimaksud adalah kesetaraan dalam hal agama
dan kondisi. Sedangkan Jumhur Ulama mengartikan kesetaraan dalam hal agama,
nasab, kebebasan, dan pekerjaan. Kemudian Ulama Hanafiyah dan Hanabilah
menambahkan aspek kesetaraan dalam harta kekayaan.

Di dalam Al-quran tidak diterangkan secara jelas mengenai konsep


kafa’ah. Sehingga hal ini menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Ulama empat mazhab yakni Ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan
Hanabilah menganggap penting mengenai konsep kafa’ah. Sedangkan Ibnu Hazm
mempunyai pendapat bahwa konsep kafa’ah itu tidak penting dalam sebuah
perkawinan. Menurut beliau asalkan orang islam tidak melakukan zina maka dia
berhak menikah dengan wanita yang tidak berzina.

Kafa’ah dianjurkan oleh Islam dalam memilih calon pendamping hidup


bukan tanpa sebab. Kafa’ah dalam perkawinan merupakan faktor mendorong
terciptanya kebahagiaan suami istri dan lebih menjamin keselamatan dalam
melewati bahtera rumah tangga perkawinan. 4

Hadist yang diriwayatkan oleh Al-Hakim, Ibnu Majah, AlBaihaqi dan Ad-
Daruqutni, dari Aisyah RA bersabda bahwa Rasulullah :

4
Misbachul Musthofa, “Analisis Hukum Islam Terhadap Pandangan Kafa’ah Dalam Perkawinan
Menurut Mahasiswa Fakultas Syari‟ah IAIN Surabaya”, Tesis, ( Surabaya: UIN Sunan Ampel
Surabaya, 2010), hal. 23-24

5
“Dari Aisyah RA berkata : Rasulullah bersabda : Pilihlah wanita sebagai wadah
untuk menumpahkan nutfahmu, carilah mereka yang sekufu denganmu dan
kawinilah mereka.”

Hadits riwayat Jabir : Para wanita jangan dinikahan kecuali dengan orang
yang setara, dan mereka tidak dinikahkan kecuali oleh para wali dan tidak ada
mahar yang kurang dari sepuluh dirham.

Dari beberapa keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa Hadist Nabi


Muhammad SAW yang berbunyi :

,‫ ِلَم اِلَها‬:‫ ( ُتْنَك ُح اْلَم ْر َأُة َألْر َبٍع‬: ‫َو َع ْن َأِبي ُهَر ْيَر َة َرِض َي ُهَّللا َتَع اَلى َع ْنُه َع ِن الَّنِبِّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َقاَل‬
)‫ (ُم َّتَفٌق َع َلْيِه‬.) ‫ َفاْظَفْر ِبَذ اِت الِّديِن َتِرَبْت َيَداَك‬، ‫ َو َج َم اِلَها َوِلِد يِنَها‬,‫َو ِلَح َس ِبَها‬

Dari Abu Hurairah RA berkata: bahwa Rasulullah SAW bersabda :Wanita


dinikahi karena empat hal; hartanya, nasabnya, kecantikannya dan agamanya,
Maka pilihlah karena faktor agama niscaya engkau beruntung. (Muttafaq Alaih)

2. Dasar Hukum Kafa’ah


a. Al-Qur’an
1) QS. Al-Maidah ayat 5

“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan)


orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal
(pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita yang menjaga
kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang
menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu,
bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak
dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.
Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam)
maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.
(QS. Al-Maidah ayat 5 ).

Ayat diatas menerangkan bahwasanya dihalalkannya untuk menikahi


wanita-wanita yang merdeka yang memelihara kehormatannya. Menurut Ibnu jarir
istilah muhsanat dari lafad diatas adalah wanita-wanita yang merdeka dengan
demikian bisa diartikan dengan al-hurrah artinya wanita yang merdeka.

6
2) QS. An-Nur ayat 26

Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki
yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik
adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-
wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang
dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezeki
yang mulia (surga). (QS. An-Nur ayat 26)

3) QS. Al-Baqarah ayat 221

Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka


beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-
orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia
menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga
dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
(perintahperintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.
(QS. Al-Baqarah ayat 221)

b. Al-Hadist
Dari Abu Hurairah R.A dari Rasulullah SAW bersabda :

‫ ( ُتْنَك ُح اْلَم ْر َأُة َأَلْر َبِع‬: ‫َو َع ْن َأِبي ُهَر ْيَر َة َرِض َي ُهَّللا َتَع اَلى َع ْنُه َع ِن الَّنِبِّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َقاَل‬
)‫ (ُم َّتَفٌق َع َلْيِه‬.) ‫ َفاْظَفْر ِبَذ اِت الديِن َتِرَبْت َيَداَك‬، ‫ َو ِلَحَس ِبَها َو َج َم اِلَها َو ِلِد يِنَها‬,‫ِلَم اِلَها‬

“perempuan dikawini karena empat hal, yaitu karena hartanya, karena


kedudukannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Hendaklah engkau
memilih yang beragama. Pastilah engkau bahagia. (HR. Bukhari Muslim)

C. Kriteria Kafaah Menurut Para Ulama


Dalam ukuran kafa’ah ini terdapat perbedaan pendapat diantara fuqoha. Hal
yang dipertimbangkan dalam kafa’ah antara lain :

a) Nasab (Keturunan)

7
Menurut Jumhur Ulama selain Malikiyah berpendapat bahwa nasab
merupakan suatu hal yang paling penting dan masuk dalam kafa’ah. Hal ini
mendasar pada hadist Nabi Muhammad SAW yang berbunyi :

“Dari Ibnu Umar berkata : Orang Arab itu sekufu sesamanya, dan orang mawaly
itu sekufu dengan sesamanya, kecuali tukang jahit dan tukang bekam.” (HR. Al-
Hakim)

Bahwa, Orang Arab sepadan dengan Orang Arab, Orang Arab tidak
sepadan dengan orang selain orang Arab. Kabilah satu dengan kabilah lainnya
tidak sepadan. Menurut Ulama Hanafiyah, nasab dalam kafa’ah perkawinan hanya
dikhususkan orang-orang Arab. Maka dari itu, suami istri harus sama kabilahnya.
Sedangkan menurut Syafi‟iyah orang Quraish sebanding dengan orang Quraish
kecuali dari Bani Hasyim dan Bani Muthalib. Jika ditelaah dari pendapat ini yang
menjadi pertimbangan nasab hanya nasab dari bapak. Sedangkan Hanafiyah
berpendapat bahwa golongan Quraish sebanding dengan Bani Hasyim.

Adapun dalil dalam Al-qur‟an terdapat pada Surat Al-Furqan ayat 54 yang
artinya:

“Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu dia jadikan manusia itu
(punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa. “( QS. Al-
Furqan ayat 54)

Imam Bukhari menjelaskan ayat ini merupakan dalil dalam bab kafa’ah.
Yang dimaksudkan adalah nasab dan hubungan kekeluargaan yang berasal dari
perkawinan.

b) Diyanah (Agama)

Jumhur ulama sepakat bahwa agama dimasukkan dalam kafa’ah agama.


Mengingat sangat pentingnya aspek ini dalam kufu. Sebagaimana firman Allah
SWT dalam QS. A-Sajdah Ayat 18.

Dalam QS. A-Sajdah Ayat 18 yang artinya:

“Orang-orang yang beriman tidaklah seperti orang-orang yang fasik mereka


tidaklah sama.” (QS. As-Sajdah Ayat 18)

8
Dalam ayat tersebut menjelaskan bahwa seorang muslim yang sholih
sekufu dengan perempuan yang sholihah dan tidak sekufu dengan orang yang
fasik. Ayat menjelaskan bahwa seorang muslin satu dengan lainnya adalah sama.
Yang membedakan dari keduanya adalah tingkat ketakwaannya.

c) Merdeka

Merdeka dalam kafa’ah perkawinan adalah seseorang tersebut bukan


seorang budak. Jumhur ulama sepakat unsur ini dimasukkan dalam kafa’ah selain
Ulama Malikiyah

d) Pekerjaan (Profesi)

Pekerjaan atau profesi diartikan sebagai mata pencahariannya seorang


laki-laki yang dapat menjamin nafkah keluarganya. Jumhur ulama selain Ulama
Malikiyah sepakat memasukkan pekerjaan dalam kafa’ah. Untuk kriteria kafa’ah
tentang profesi atau kedudukan usaha sebagai syarat kafa’ah juga mengalami
perbedaan pendapat dikalangan ulama. Ulama yang menjadikan profesi sebagai
salah satu kriteria kafa’ah berdalil dengan hadist yang kebanyakan ulama tidak
menilainya sebagai hadist shahih yang bunyinya :

“Orang Arab itu sekufu sesamanya, dan orang mawaly itu sekufu dengan
sesamanya, kecuali tukang jahit dan tukang bekam.” (HR. Al-Hakim)

e) Harta Kekayaan

Harta kekayaan disini dimaksudkan adalah harta kekayaan suami untuk


memberikan nafkah kepada keluargannya. Menurut sebagian Ulama Syafi‟iyah
tidak menganggap harta kekayaan sebagai suatu hal yang penting. Mengingat
harta itu bisa datang dan pergi sewaktu-waktu. kemudian tidak pula dijadikan
dasar kebanggaan bagi orang yang berkrepibadian yang tinggi. Sedangkan,
Menurut Ulama Hanafiyah, Ulama Hanabilah dan sebagian Ulama Syafi’iyah
harta merupakan sesuatu yang penting dalam kafa’ah Berdasarkan hadist Nabi
Muhammad SAW yang berbunyi :

“Dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya berkata : Rasulullah bersabda :


kebangsawanan seseorang di dunia adalah mereka yang mempunyai harta”.

9
Demikian juga kekayaan adanya perbedaan pendapat. Menurut Imam Ahmad,
kekayaan itu merupakan salah satu syarat kafa’ah. Hendaknya seorang laki-laki
yang ingin mengawini wanita memiliki harta yang dapat mencukupi kebutuhan
perempuan tersebut. Adapun dalil yang digunakan adalah hadist Nabi
Muhammad SAW dari Samrah yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad yang
berbunyi

“Dari Samrah sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : kebangsawanan adalah


pada kekayaan dan kemuliaan pada takwa.” (HR. At-Tirmidzi)

f) Tidak Cacat

Menurut Ulama Mazhab Syafi‟i juga menganggap kesempurnaan anggota


tubuh sebagai bagian dari kafa’ah. Seorang laki-laki yang memiliki cacat tubuh
yang menikah dengan perempuan yang sempurna anggota tubuhnya dan sehat itu
membenarkan dibatalkannya suatu perkawinan karena tidak kufu. Sedangkan
menurut Ulama Mazhab Hanafi dan hanbali berpendapat bahwa meskipun cacat
tubuh tersebut tidak menjadikan suatu perkawinan menjadi batal, akan tetapi
memberikan kesempatan bagi seorang istri untuk tetap menerima kekurangan
suaminya atau menolaknya.

g) Akhlak dan perangai yang baik

Tidak sekufu pernikahannya seorang yang berakhlak baik menikah dengan


seorang yang tidak baik. Berdasarkan firman Allah dalam QS. An-Nur : 26 yang
berbunyi :

“Wanita –wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji
adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah
untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita wanita
yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh
mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia (surga).
(QS. An-Nur : 26)

h) Ilmu pengetahuan

10
Tidak juga sekufu pernikahannya seorang yang pandai dan alim dalam agama
dengan seorang yang kurang paham dalam hal agama. Dan pernikahannya seorang
yang berwawasan luas dengan seorang yang buta huruf.

i) Umur

Sepadan dalam segi usia disini adalah seorang laki-laki lebih tua sedikit
dengan perempuan bukan sebaliknya, yaitu perempuan yang lebih tua dari laki-
laki. Kemudian tidak juga sekufu seorang laki-laki yang sudah berusia lebih dari
40 tahun menikahi gadis yang masih berusia 17 tahun.

Dalam hadist Nabi Muhammad SAW yang berbunyi : Dari Buraidah R.A berkata,
Abu Bakar dan Umar r.a pernah meminang Siti Fatimah maka berkata Rasulullah
SAW “

Sesungguhnya ia masih kecil”, kemudian dipinang oleh Ali r.a maka beliau
menikahkannya dengan Ali.5

Dari kriteria yang telah dipaparkan oleh beberapa ulama di atas, penulis
lebih sepakat dengan pendapat ibnu hazm yang menyatakan bahwa kafa’ah itu
tidak penting berikut penulis coba paparkan sebagian alasan mengapa penulis
lebih sepakat dengan pendapat ibnu hazm dari pada imam mahzab dan akan
penulis jelaskan disaat presentasi nanti.

Ibnu Hazm berpendapat bahwa kafa'ah' tidak penting dalam sebuah


perkawinan, menurutnya antara orang Islam yang satu dengan orang Islam yang
lainnya adalah sama (sekufu'). Semua orang Islam asalkan dia tidak pernah
berzina, maka ia berhak kawin dengan semua wanita muslimah yang tidak pernah
berzina. Berdasarkan firman Allah SWT QS. Al-Hujurat: 10:

‫ِإَّنَم ا اْلُم ْؤ ِم ُنوَن ِإْح َو ٌة‬

Artinya: "Sesungguhnya orang-orang mu'min adalah bersaudara ....". (QS. Al-


Hujurat 10).'

Begitu juga dengan al-Hasan al-Basri, as-Sauri, dan al-Karkhi berpendapat


bahwa kafa'ah' bukanlah faktor penting dalam perkawinan dan tidak termasuk
5
Ibid,, 37-39

11
syarat sah atau syarat lazim perkawinan. Menurut mereka, ketidakkufu'an calon
suami dan calon isteri tidak menjadikan penghalang kelangsungan perkawinan
tersebut. Alasan-alasan mereka berdasarkan firmanAllah SWT.:

‫ِإَّن َأْك َر َم ُك ْم ِع ْنَد ِهللا َأْتَقاُك ْم‬

Artinya". Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. ....”. (QS. Al-Hujurat: 13).

Dari ayat-ayat di atas dapat disimpulkan bahwa semua manusia sama


dalam hak dan kewajiban, tidak ada keistimewaan antara yang satu dengan
lainnya kecuali dengan takwa. Dan mereka juga menyatakan bahwa
penghormatan dan penghargaan terhadap darah seseorang dalam hukum pidana
ialah sama saja. Jika yang membunuh adalah orang yang terhormat dan yang
dibunuh adalah orang jelata, maka hukuman qishash tetap dijalankan. Jika
kekufu’an tidak diterapkan dalam hukum pidana Islam, maka begitu pula
ketentuan dalam perkawinan seharusnya tidak diterapkan.

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Secara etimologi kafa’ah berarti sebanding, setara, serasi, dan
sesuai. Kata kufu atau kafa’ah dalam perkawinan adalah menganjurkan
sama atau seimbang antara calon suami dengan calon istri sehingga
masing-masing tidak merasa berat jika akan melangsungkan perkawinan.
Sebanding disini diartikan sama kedudukannya, sebanding dalam tingkat
sosial dan sederajat dalam hal akhlak serta harta kekayaan.
Ulama berbeda bendapat dalam pengertian kafa’ah secara lebih
rinci.
Dasar hokum kafaah berdasarkan quran dan hadist
Kafah ukan termasuk kedalam syarat saah nikah, hanya saja untuk
menjadi perimbangan dan pertimbangan untuk mlakuni pernikahan.
Penulis lebi sepakat dengan pendapat ibnu hazm yang berpendapat
Ibnu Hazm berpendapat bahwa kafa'ah' tidak penting dalam sebuah
perkawinan, menurutnya antara orang Islam yang satu dengan orang Islam
yang lainnya adalah sama (sekufu'). Semua orang Islam asalkan dia tidak
pernah berzina, maka ia berhak kawin dengan semua wanita muslimah
yang tidak pernah berzina.

B. Saran
Kritik yang membangun kami harapkan demi kemajuan karya tulis ilmiah
dimasa yang akan datang

13
DAFTAR PUSTAKA

Ghozaly Abd. Rahman,Fiqh Munakahat, (Jakarta; Prenada Media, 2003)

Al-Mawardi, Hukum Perkawinan dalam Islam, (Yogyakarta: BPFE, 1998)

M. A. Tihami M. A., Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap (Depok: PT


Rajagrafindo Persada, 2009)
Musthofa Misbachul “Analisis Hukum Islam Terhadap Pandangan Kafa’ah
Dalam Perkawinan Menurut Mahasiswa Fakultas Syari‟ah IAIN Surabaya”,
Tesis, ( Surabaya: UIN Sunan Ampel Surabaya, 2010)

14

Anda mungkin juga menyukai