Disusun Oleh:
Saepulloh 2201010018
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT yang sampai saat ini telah
memberikan nikmat sehat, sehingga penulis bisa menyelesaikan tugas makalah ini
dengan baik dan tepat waktu.
Tujuan dan maksud penulis menyusun makalah ini yaitu untuk memenuhi
tugas mata kuliah hokum keluarga Maka dari itu, penulis mengucapkan
terimakasih kepada dosen pengampu Bapak Abdul Kodir Alhamdani,M.H yang
telah membimbing penulis.
Penulis harap isi makalah yang berjudul “dasar dasar pernikahan dan
kafaah” bisa bermanfaat bagi pembaca. Mohon untuk memaklumi jika terdapat
penjelasan yang sulit untuk dimengerti. Untuk itu penulis mengharapkan kritik
maupun saran, sehingga penulis bisa memperbaikinya dikemudian hari.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................iii
A. Latar Belakang........................................................................................................iii
B. Rumusan Masalah...................................................................................................iii
C. Tujuan Penulisan....................................................................................................iii
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................1
1. Pengertian.............................................................................................................4
a. Al-Qur’an.............................................................................................................6
b. Al-Hadist..............................................................................................................7
A. Kesimpulan............................................................................................................13
B. Saran.......................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................14
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pernikahan adalah salah satu institusi sosial yang paling penting dalam
kehidupan manusia. Ia bukan hanya sebuah ikatan cinta antara dua individu, tetapi
juga sebuah kontrak sosial yang memiliki dampak besar terhadap masyarakat dan
individu yang terlibat di dalamnya.
Dalam pandangan Islam, perkawinan di samping sebagai perbuatan
ibadah, ia juga merupakan sunnah Allah dan sunnah Rasul-Nya. Sebagai sunnah
Allah, perkawinan merupakan qudrat dan irodat Allah dalam penciptaan alam
semesta. Hal ini dapat kita lihat dari rangkaian ayat-ayat berikut :
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan
kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya dan dari pada
keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.
dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu
saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim.
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”. (Q.S. An-Nisaa’ : 1).
Istilah kafa’ah dalam islam diartikan dengan keselerasan,sebanding,atau
kelayakan. Kafa’ah dianjurkan oleh Islam dalam memilih calon pendamping
hidup bukan tanpa sebab. Kafa’ah dalam perkawinan merupakan faktor
mendorong terciptanya kebahagiaan suami istri dan lebih menjamin keselamatan
dalam melewati bahtera rumah tangga perkawinan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja dasar-dasar pernikahan?
2. Bagaimana penjelasan tentang kafaah?
3. Bagaimana kriterian kafaah menurut para ulama?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui dasar dasar pernikahan
2. Untuk mengathui pengertian tentang kafaah
3. Untuk mengetahui kriteria kafaah menurut para ulama
iii
BAB II
PEMBAHASAN
“ Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-
wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut
tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak
yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya.”( Q.S. An-Nisaa’ : 3).
1
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-
isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berfikir”. (Q.S. Ar-Ruum : 21).
Artinya :”Wahai para pemuda, siapa saja diantara kalian yang telah memiliki
kemampuan untuk menikah, hendaklah dia menikah; karena menikah lebih
menundukkan pandangan dan lebih menjaga diri(dari bertindak maksiat). Adapun
bagi siapa saja yang belum mampu menikah, hendaklah ia berpuasa, karena
berpuasa itu merupakan peredam (syahwat)nya”.
Ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits di atas inilah yang dijadikan sebagai dasar
di dalam melaksanakan perkawinan. Dari dasar dasar di atas, golongan ulama
jumhur (mayoritas ulama) berpendapat bahwa kawin itu hukumnya sunnah. Para
ulama Malikiyah Muta’akhirin berpendapat bahwa kawin itu wajib untuk
sebagian orang, sunnat untuk sebagian lainnya dan mubah untuk segolongan yang
lainnya. Hal ini ditinjau berdasarkan atas kekhawatiran (kesusahan) dirinya.
Sedangkan ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa hukum asal melakukan
perkawinan adalah mubah, disamping ada yang sunnat, wajib, haram dan
makruh.1
a) Wajib
Perkawinan menjadi wajib bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan
kemampuan untuk kawin dan dikhawatirkan akan tergelincir pada perbuatan zina
seandainya tidak dinikahkan. Hal ini didasarkan pada pemikiran hukum bahwa
setiap muslim muslimat wajib menjaga diri untuk tidak berbuat yang dilarang oleh
1
Abd. Rahman Ghozaly ,Fiqh Munakahat, (Jakarta; Prenada Media, 2003), hal,16
2
syariat, sedang menjaga diri itu wajib, maka hukum melakukan perkawinan juga
wajib
b) Sunnat
Perkawinan itu hukumnya sunnat menurut pendapat jumhur ulama. Yaitu bagi
orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk melangsungkan
perkawinan dengan syarat walau tidak melaksanakan pernikahan, hal tersebut
tidak akan mengakibatkan perbuatan zina.
c) Haram
d) Makruh
e) Mubah
3
untuk memenuhi rasa cinta bukan dengan tujuan menjaga kehormatan agamanya
pada awalnya namun membina keluarga yang sejahtera (mengikuti alur).2
4
dibenarkan sistem kasta karena semua manusia sama disisi Allah SWT kecuali
dalam hal ketakwaannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat Al-
Hujurat Ayat 13 yang berbunyi:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu.
Hadist yang diriwayatkan oleh Al-Hakim, Ibnu Majah, AlBaihaqi dan Ad-
Daruqutni, dari Aisyah RA bersabda bahwa Rasulullah :
4
Misbachul Musthofa, “Analisis Hukum Islam Terhadap Pandangan Kafa’ah Dalam Perkawinan
Menurut Mahasiswa Fakultas Syari‟ah IAIN Surabaya”, Tesis, ( Surabaya: UIN Sunan Ampel
Surabaya, 2010), hal. 23-24
5
“Dari Aisyah RA berkata : Rasulullah bersabda : Pilihlah wanita sebagai wadah
untuk menumpahkan nutfahmu, carilah mereka yang sekufu denganmu dan
kawinilah mereka.”
Hadits riwayat Jabir : Para wanita jangan dinikahan kecuali dengan orang
yang setara, dan mereka tidak dinikahkan kecuali oleh para wali dan tidak ada
mahar yang kurang dari sepuluh dirham.
, ِلَم اِلَها: ( ُتْنَك ُح اْلَم ْر َأُة َألْر َبٍع: َو َع ْن َأِبي ُهَر ْيَر َة َرِض َي ُهَّللا َتَع اَلى َع ْنُه َع ِن الَّنِبِّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َقاَل
) (ُم َّتَفٌق َع َلْيِه.) َفاْظَفْر ِبَذ اِت الِّديِن َتِرَبْت َيَداَك، َو َج َم اِلَها َوِلِد يِنَها,َو ِلَح َس ِبَها
6
2) QS. An-Nur ayat 26
Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki
yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik
adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-
wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang
dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezeki
yang mulia (surga). (QS. An-Nur ayat 26)
b. Al-Hadist
Dari Abu Hurairah R.A dari Rasulullah SAW bersabda :
( ُتْنَك ُح اْلَم ْر َأُة َأَلْر َبِع: َو َع ْن َأِبي ُهَر ْيَر َة َرِض َي ُهَّللا َتَع اَلى َع ْنُه َع ِن الَّنِبِّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َقاَل
) (ُم َّتَفٌق َع َلْيِه.) َفاْظَفْر ِبَذ اِت الديِن َتِرَبْت َيَداَك، َو ِلَحَس ِبَها َو َج َم اِلَها َو ِلِد يِنَها,ِلَم اِلَها
a) Nasab (Keturunan)
7
Menurut Jumhur Ulama selain Malikiyah berpendapat bahwa nasab
merupakan suatu hal yang paling penting dan masuk dalam kafa’ah. Hal ini
mendasar pada hadist Nabi Muhammad SAW yang berbunyi :
“Dari Ibnu Umar berkata : Orang Arab itu sekufu sesamanya, dan orang mawaly
itu sekufu dengan sesamanya, kecuali tukang jahit dan tukang bekam.” (HR. Al-
Hakim)
Bahwa, Orang Arab sepadan dengan Orang Arab, Orang Arab tidak
sepadan dengan orang selain orang Arab. Kabilah satu dengan kabilah lainnya
tidak sepadan. Menurut Ulama Hanafiyah, nasab dalam kafa’ah perkawinan hanya
dikhususkan orang-orang Arab. Maka dari itu, suami istri harus sama kabilahnya.
Sedangkan menurut Syafi‟iyah orang Quraish sebanding dengan orang Quraish
kecuali dari Bani Hasyim dan Bani Muthalib. Jika ditelaah dari pendapat ini yang
menjadi pertimbangan nasab hanya nasab dari bapak. Sedangkan Hanafiyah
berpendapat bahwa golongan Quraish sebanding dengan Bani Hasyim.
Adapun dalil dalam Al-qur‟an terdapat pada Surat Al-Furqan ayat 54 yang
artinya:
“Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu dia jadikan manusia itu
(punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa. “( QS. Al-
Furqan ayat 54)
Imam Bukhari menjelaskan ayat ini merupakan dalil dalam bab kafa’ah.
Yang dimaksudkan adalah nasab dan hubungan kekeluargaan yang berasal dari
perkawinan.
b) Diyanah (Agama)
8
Dalam ayat tersebut menjelaskan bahwa seorang muslim yang sholih
sekufu dengan perempuan yang sholihah dan tidak sekufu dengan orang yang
fasik. Ayat menjelaskan bahwa seorang muslin satu dengan lainnya adalah sama.
Yang membedakan dari keduanya adalah tingkat ketakwaannya.
c) Merdeka
d) Pekerjaan (Profesi)
“Orang Arab itu sekufu sesamanya, dan orang mawaly itu sekufu dengan
sesamanya, kecuali tukang jahit dan tukang bekam.” (HR. Al-Hakim)
e) Harta Kekayaan
9
Demikian juga kekayaan adanya perbedaan pendapat. Menurut Imam Ahmad,
kekayaan itu merupakan salah satu syarat kafa’ah. Hendaknya seorang laki-laki
yang ingin mengawini wanita memiliki harta yang dapat mencukupi kebutuhan
perempuan tersebut. Adapun dalil yang digunakan adalah hadist Nabi
Muhammad SAW dari Samrah yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad yang
berbunyi
f) Tidak Cacat
“Wanita –wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji
adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah
untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita wanita
yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh
mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia (surga).
(QS. An-Nur : 26)
h) Ilmu pengetahuan
10
Tidak juga sekufu pernikahannya seorang yang pandai dan alim dalam agama
dengan seorang yang kurang paham dalam hal agama. Dan pernikahannya seorang
yang berwawasan luas dengan seorang yang buta huruf.
i) Umur
Sepadan dalam segi usia disini adalah seorang laki-laki lebih tua sedikit
dengan perempuan bukan sebaliknya, yaitu perempuan yang lebih tua dari laki-
laki. Kemudian tidak juga sekufu seorang laki-laki yang sudah berusia lebih dari
40 tahun menikahi gadis yang masih berusia 17 tahun.
Dalam hadist Nabi Muhammad SAW yang berbunyi : Dari Buraidah R.A berkata,
Abu Bakar dan Umar r.a pernah meminang Siti Fatimah maka berkata Rasulullah
SAW “
Sesungguhnya ia masih kecil”, kemudian dipinang oleh Ali r.a maka beliau
menikahkannya dengan Ali.5
Dari kriteria yang telah dipaparkan oleh beberapa ulama di atas, penulis
lebih sepakat dengan pendapat ibnu hazm yang menyatakan bahwa kafa’ah itu
tidak penting berikut penulis coba paparkan sebagian alasan mengapa penulis
lebih sepakat dengan pendapat ibnu hazm dari pada imam mahzab dan akan
penulis jelaskan disaat presentasi nanti.
11
syarat sah atau syarat lazim perkawinan. Menurut mereka, ketidakkufu'an calon
suami dan calon isteri tidak menjadikan penghalang kelangsungan perkawinan
tersebut. Alasan-alasan mereka berdasarkan firmanAllah SWT.:
Artinya". Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. ....”. (QS. Al-Hujurat: 13).
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara etimologi kafa’ah berarti sebanding, setara, serasi, dan
sesuai. Kata kufu atau kafa’ah dalam perkawinan adalah menganjurkan
sama atau seimbang antara calon suami dengan calon istri sehingga
masing-masing tidak merasa berat jika akan melangsungkan perkawinan.
Sebanding disini diartikan sama kedudukannya, sebanding dalam tingkat
sosial dan sederajat dalam hal akhlak serta harta kekayaan.
Ulama berbeda bendapat dalam pengertian kafa’ah secara lebih
rinci.
Dasar hokum kafaah berdasarkan quran dan hadist
Kafah ukan termasuk kedalam syarat saah nikah, hanya saja untuk
menjadi perimbangan dan pertimbangan untuk mlakuni pernikahan.
Penulis lebi sepakat dengan pendapat ibnu hazm yang berpendapat
Ibnu Hazm berpendapat bahwa kafa'ah' tidak penting dalam sebuah
perkawinan, menurutnya antara orang Islam yang satu dengan orang Islam
yang lainnya adalah sama (sekufu'). Semua orang Islam asalkan dia tidak
pernah berzina, maka ia berhak kawin dengan semua wanita muslimah
yang tidak pernah berzina.
B. Saran
Kritik yang membangun kami harapkan demi kemajuan karya tulis ilmiah
dimasa yang akan datang
13
DAFTAR PUSTAKA
14