Anda di halaman 1dari 36

MAKALAH

MANAJEMEN KEUANGAN SEKTOR PUBLIK

BALANCE SCORECARD

Disusun Oleh:

Kelompok 10 :
Arfandy Ilyas 202010034
Kamilatul Insia 202010189
Mutiara Nirmalasari 202010190
Renaldy Jumantara 202010305
Deliatri Rosmayana 202010310
Ignasius Yusran 202010323

Dosen Pengampu : Dahniar Daud, S.E., M.Ak

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI MAKASSAR

2023/2024
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha

Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang

telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga

kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan

dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini.

Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang

telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada

kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh

karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari

pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang ini dapat memberikan

manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.

Makassar, 25 Oktober 2023

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................................ii

DAFTAR ISI..................................................................................................................................... iii

BAB I ............................................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN ............................................................................................................................. 1

A. Latar Belakang ........................................................................................................................ 1

B. Rumusan Masalah .................................................................................................................. 3

C. Tujuan ..................................................................................................................................... 4

BAB II .............................................................................................................................................. 5

PEMBAHASAN ............................................................................................................................... 5

TUJUAN DAN MANFAAT PENGUKURAN KERJA.................................................................... 5

KARAKTERISTIK SISTEM PENGUKURAN KINERJA .............................................................. 5

SEJARAH BALANCE SCORECARD.......................................................................................... 6

DEFINISI BALANCED SCORECARD ........................................................................................ 7

KEUNGGULAN BALANCED SCORECARD .............................................................................. 8

PERSPEKTIF DALAM BALANCED SCORECARD ................................................................. 10

1. Perspektif Keuangan ...................................................................................................... 10

2. Perspektif Pelanggan ..................................................................................................... 14

3. Perspektif Proses Bisnis Internal ................................................................................... 16

4. Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan .................................................................. 18

iii
PENENTUAN SCORECARD .................................................................................................... 20

PENGUKURAN BALANCE SCORECARD (BSC) .................................................................... 23

Contoh Kasus 1 ......................................................................................................................... 25

BAB III ........................................................................................................................................... 31

PENUTUP ..................................................................................................................................... 31

A. Kesimpulan ........................................................................................................................... 31

B. Saran ..................................................................................................................................... 31

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................................... 32

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bisnis dalam suatu organisasi sektor publik dapat dipahami sebagai satu
sistem, dimana hasil yang diperoleh merupakan outcome dari tindakan organisasi
yang disusun, dan dilakukan secara terencana. Selain itu pada orgnanisasi bisnis
diakui adanya hubungan sebab dan akibat dimana hasil yang diperoleh
merupakan akibat dari dilakukannya suatu tindakan oleh perusahaan harus
diakaui bahwa akan ada konsep win fail yang menunjukkan bahwa satu
organisasi bisa mendapat keuntungan di luar strategi yang dirancang oleh
organisasi itu sendiri. Sejalan dengan kondisi tersebut, dalam model pengajaran
bisnis yang modern salah satu tahapan yang dikenal adalah konsep mengenai
pengukuran imbal hasil, Wilson Hagarty & Gauthier 2003 menyebutkan bahwa
return on investmen merupakan alat ukur imbal hasil sangat disukai karena dinilai
cukup sederhana dan ukur imbal hasil yang sangat disukai karena sangat
dipengaruhi oleh adanya kebijakan yang memperhitungkan penyusutan,
sensivitas ROI terhadap nilai buku, adanya praktik transfer pricing, dalam ROI,
terhadap nilai buku, kepada target jangka pendek, nilai ROI tidak bisa
dibandingkan antar kepada target jangka pendek, nilai ROI tidak bisa
dibandingkan antar perusahaan yang berbeda, rasio ROI sangat dipengaruhi oleh
keadaan perekonomian secara umum, ROI turun dipengaruhi oleh strategi
pengelolaan persediaan (Last In First Out, LIFO dan First in First Out, FIFO).

Johanes (2008) menyebutkan bahwa kelemahan-kelemahan yang ada


pada metode perhitungan raiso ROI memaksa para praktisi bisnis dan akademisi
untuk memformulasikan suatu pengukuran kinerja yang dapat digunakan dlaam
hal ini patut digaris bawahi misalnya konsep total quality management (TQM)
yang berfokus pada ketersediaan komitmen terhadap perbaikan mutu. Mutu atau
kualitas adlam kaitan diakui sebagai jiwa atau ruh dari organisasi. Organisasi
yang tidak mempunyai mutu, bagaimanapun juga akan dengan cepat
menghadapi keruntuhan oleh sebab itu di samping memperoleh keuntungan dari

1
sudut pandang ROI yang tinggi organisasi juga diharapkan dapat menerapkan
prinsip perbaikan mutu.

Alat ukur yang dapat mengukur secara komprehensif sangat diperlukan


untuk menilai kinerja suatu investasi terutama disektor politis selain itu alat ukur
yang tepat juga dapat dipertimbangkan sebagai strategi yang mampu mendukung
kinerja organisasi ke arah yang positif, Noble (1999) menekankan bahwa suatu
alat ukur yang baik, sudah sepatutnya tidak mempertentatangkan satu ukuran
dengan alat ukurang yang baik lainnya. Sebagai contoh orientasi sebagai
pelanggan dapat mengakibatkan tersitanya perhatian organiassi terhadap
penerimaan. Hal seperti ini harus dicatat karena berbagai aliran dalam
manajemen seperti konsep total quality, pendekatan tim dan lain sebagainya
menggunakan oraientasi pelanggan sebelum munculnya konsep balance
scorecard yang dianggap sebagai alat ukur yang lebih komprehensif. Hal ini juga
berarti alat ukur menjadi kebutuhan bukan saja sebagai alat evaluasi tetapi juga
sebagai bagian dari strategi organisasi ukur adalah apa yang didapatkan oleh
organisasi dan hal tersebut akan menjadi pertanda yang akan dicapai oleh bisnis
tersebut. Jika demikian maka strategi mempunyai posisi yang strategis untuk
mencapai ukuran kinerja. Pada umumnya setiap ukuran yang hendak dicapai
organisasi paling tidak harus memenuhi kirteria sebagai berikut :

1. Mewakili visi dan misi organisasi secara jelas


2. Menjawab kebutuhan stakeholder (pemangku kepentingan). Sehingga
ukuran yang digunakan harus fleksibel
3. Dapat terukur dengan baik tanpa harus menghabiskan waktu yang panjang
4. Menjawab kebutuhan perusahaan ditengah hiruk pikuknya persaingan
industri.

Esensi alat ukur tidak hanya ditujukan dan dimaksudkan untuk mengukur
kinerja saja, tapi juga dimaksudkan untuk memastikan bahwa alat ukur yang
digunakan oleh organisasi sudah mengadopsi suatu sistem strategi yang tepat.
Akibatnya, apa yang disebut oleh Kaplan bahwa kinerja akan menjadi faktor
penentu strategi yang digunakan memang benar-benar terwujud. Pengalaman
FMC Corporation yang menerapkan konsep strategi pengukuran BSC dapat

2
dicatat sebagai solusi dalam penerapan BSC. FMC Corporation adalah
perusahaan manufaktur yang beroperasi dengan memproduksi sebanyak lebih
dari 300 varian produk di Philadelphia, Amerika Serikat.

Informasi ini menunjukkan bahwa kondisinya sangat-kompleks karena


adanya fenomena konflik yang terjadi antar divisi. Perusahaan dengan divisi
yang intensif mengambil inisiasi yang dihadapkan pada beberapa masalah.
Slogan yang digunakan oleh berbagai inisiasi cenderung membuat pusing, dan
disertai dengan tanda-tanda masalah yang sangat beragam. Beberapa hal yang
digarisbawahi Kaplan tentang perusahaan ini adalah bahwa dengan
diberlakukannya BSC, perusahaan tidak lagi menghadapi kebingungan yang
terjadi antara divisi satu dengan divisi lainnya, akan tetapi masing-masing divisi
dapat menggunakan inisiasi untuk merealisasikan sasaran atau kinerja yang
telah ditentukan secara bersama-sama. Bagi perusahaan, kegiatan
memformulasikan kinerja dan target telah bertransformasi menjadi suatu strategi
yang harus diterapkan perusahaan secara integratif. Ini berarti implementasi
BSC telah berubah menjadi sebuah bagian dari strategi organisasi. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa dampak dari penerapan BSC diantaranya
adalah ditemukannya perubahan yang terjadi pada sistem manajemen secara
komprehensif.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Sejarah Balance ScoreCard?


2. Denifisi dibalik Balance ScoreCard?
3. Jelaskan Karakteristik Pengukuran Kinerja!
4. Sebutkan Tujuan dan Manfaat yang terangkum dalam (BSC)?
5. Apa saja Keunggulan penggunaan (BSC)?
6. Apa Perspektif dalam (BSC)?
7. Bagaimana Penentuan ScoreCard?
8. Bagaimana Pengukuran BSC?

3
C. Tujuan

1. Untuk mengetahui sejarah Balance Scorecard


2. Menjelaskan apa itu Balance Scorecard
3. Untuk mengetahui keunggulan Balance Scorecard
4. Mengetahui penentuan dan pengukuran Balance Scorecard
5. Mengetahui tujuan serta manfaat Balance Scorecard

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. TUJUAN DAN MANFAAT PENGUKURAN KERJA

Pengukuran kinerja bertujuan untuk memotivasi karyawan agar


dapat mencapai sasaran organisasi dan memenuhi standar perilaku yang
telah ditetapkan sebelumnya. Output yang diharapkan adalah diperolehnya
suatu tindakan dan hasil yang diinginkan oleh organisasi. Menurut Mulyadi
(2001) beberapa manfaat dari digunakannya sistem pengukuran kinerja
dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Pengkuruan kinerja dapat membantu pengambilan keputusan untuk


mengelola kegiatan organisasi secara efektif dan efisien, terutama melalui
permotivasian karyawan secara maksimal
2. Membantu dilakukannya proses pengambilan keputusan yang berkaitan
dengan karyawan seperti promosi, pemberhentian, dan mutasi
3. Mengidentiikasi kebutuhan pelatihan dan pengembangan karyawan serta
untuk menyediaakan kriteria seleksi dan evaluasi program pelatihan
karyawan
4. Menyediakan umpan balik (pendapat karyawan mengenai atasan mereka
dalam menilai mereka secara keseluruhan)
5. Menyediakan suatu dasar dalam hal distribusi penghargaan.

B. KARAKTERISTIK SISTEM PENGUKURAN KINERJA

Kemunculan berbagai macam paradigma baru membuat bisnis


berubah orientasi dari product-focus ke costumer-focused. Oleh sebab itu,
suatu sistem pengukuran kinerja yang efektif paling tidak harus memenuhi
beberapa syarat yaitu :

5
1. Pengukuran kinerja didasarkan pada masing-masing aktivitas pada
karakteristik organisasi itu sendiri dan sesuaikan dengan perspektif
pelanggan.
2. Dilakukannya evaluasi pada berbagai aktivitas, yaitu dengan menggunakan
ukuran-ukuran kinerja yang costumer-validated
3. Adanya kesesuaian dengan seluruh aspek kinerja yang mempengaruhi
pelanggan, sehingga dapat menghasilkan penilaian yang komprehensif
4. Adanya peluang untuk menghasilakn umpan balik agar dapat membantu
seluruh anggota organisasi dalam mengenali masalah- masalah dapat
diperbaiki segera.

C. SEJARAH BALANCE SCORECARD

Pada tahun 1990, Nolan Norton Insitute yang dipimpin oleh David P.
Norton mensponsori suatu studi tentang pengkuran kinerja dalam organisasi
masa depan. Riset tersebut dilakukan oleh Norton bersama dengan Robert
Kaplan, dan kemudian hasil itu dipublikasikan dalam Jurnal Harvard Review
1992 dengan judul “Balanced Scorecard-Measures that Drive Performance”.

Temuan-temuan yang didapat dari hasil studi tersebut menyebutkan


bahwa untuk mengukur kinerja dialam organisasi masa depan diperlukan
ukuran kinerja yang komprehensif yang meliputi 4 sudut pandang (perspektif)
yaitu perspektif keuangan (finance), pelanggan (costumer), proses
bisnis/intern (internal business), perspektif inovasi dan pembelajaran
(learning and innovation).

Penilaian pada perspektif keuangan dan pelanggan merupakan


penilaian yang dilakukan pada faktor eksternal, sedangkan proses
bisnis/intern, inovasi dan pembelajaran merupakan penilaian yang dilakukan
pada faktor internal. Secara sederhana, BSC dapat digambarkan sebagai
kartu skor (scorecard) yang sering digunakan untuk mengukur kinerja
dengan memperhatikan sejauh apa tingkat keseimbangan (balance) dari
perspektif keuangan dan non keuangan, dengan turut melibatkan faktor
internal dan eksternal perusahaan yang berada di luar organisasi.
6
Secara umum, BSC dapat diartikan sebagai alat pengukuran kinerja
yang menekankan pada penilaian keseimbangan antara ukuran-ukuran
strategis yang cenderung berlainan satu sama lain. Harapannya adalah
untuk mencapai keselarasan tujuan, sehingga dapat mendorong karyawan
untuk bergerak dan bertindak dalam melakukan hal terbaik bagi kepentingan
perusahaan. Oleh sebab itu, ada empat pertanyaan pokok yang harus
dijawab dalam penerapan pendekatan BSC, di antaranya yaitu:

1. Perspektif keuangan: Bagaimana pandangan organisasi menurut para


pemegang saham?
2. Perspektif bisnis internal: Apa yang menjadi keunggulan organisasi?
3. Perspektif customer (palanggan): Bagaimana pandangan pelanggan
terhadap organisasi?
4. Perspektif inovasi dan pembelajaran: Apakah organisasi terus melakukan
pembelajaran dan melakukan inovasi terus-menerus sesuai dengan
tuntutan eksternal?

D. DEFINISI BALANCED SCORECARD

Konsep pengukuran Balanced Scorecard yang selanjutnya disingkat


BSC adalah pendekatan yang berfokus pada strategi manajemen yang
dikembangkan oleh Robert Kaplan dan David Norton pada awal tahun 1990.
Terminologi BSC berasal dari dua kata yaitu balanced (berimbang), dan
scorecard (kartu skor). Balanced (berimbang) berarti adanya keseimbangan
antara performa keuangan dan non-keuangan, performa jangka pendek dan
performa jangka panjang, serta keseimbangan antara performa yang bersifat
internal dan performa yang bersifat eksternal. Sedangkan scorecard (kartu
skor) adalah kartu yang dimanfaatkan untuk mencatat skor mengenai
performa seseorang. Kartu skor tersebut juga dapat digunakan sebagai
pertimbangan dalam merencanakan skor yang hendak diwujudkan oleh
seseorang di masa yang akan datang.

Pada awalnya BSC digunakan untuk memperbaiki sistem pengukuran


kinerja eksekutif saat itu kinerja eksekutif hanya diukur danri sudut pandang
7
aspek keuangan. Kemudian pengkurannya berkembang menjadi lebih luas
yaitu dengan menggunakan empat sudut pandang yang kemudian diteraplan
untuk mengukur kinerja organisasi secara utuh. Empat perspektif itu terdiri
atas keuangan, pelanggan, proses bisnis internal serta pembelajaran, dan
perspektif pertumbuhan. Secara umum BSC juga dapat diartikan sebagai
suatu mekanisme sistem manajemen yang mampu menerjemahkan visi dan
strategi organisasi ke dalam tindakan nyata di lapangan. Dalam kontek ini
BSC menjadi salah satu alat manajemen yang telah lama terbukti membantu
banyak orngaisasi swasta, maupun sektor publik untuk
mengimplementasikan strategi bisnisnya

E. KEUNGGULAN BALANCED SCORECARD

Ada beberapa keungguklan yang merupakan Balanced ScoredCard


sebagi sistem manajemen strategis yang berbeda dengan sistem
manajemen tradisional lainnya. (Mulyadi, 2005). Sistem manajemen strategis
tradisional hanya berkonsentrasi pada sasaran-sasaran yang bersifat
keuangan, sedangkan sistem manajemen strategis kontemporer mencakup
persepetif yang lebih luas yaitu keungan,pelanggan, proses bisnis internal,
serta pembelajaran dan pertumbuhan. (Allio, 2005) menyebutkan bahwa
strategis tradisional cenderung tidak koheren satu sama dengan yang
lainnya, sedangkan berbagai sasaran strategis dalam sistem manajemen
strategis kontemporer dirumuskan secara kohoren. Menurut Mulyadi (2001);
keunggulan pendekatan Balanced ScoreCard yang ditemui dalam sistem
perencanaan strategis mampu menghasilkan rencana strategis yang memiliki
ciri-ciri sebagai berikut :

1. Komp rehensif
Balanced ScoreCard menambahkan perspektif yang ada dalam
perencanaan strategis, terutama yang pada awalnya hanya ada perpektif
keuangan, namun kini ketiga perpektif yang lain seperti pelanggan, proses
bisnis internal, dan pembelajaran dan pertumbuhan. Perluasan perspektif

8
rencana strategis ke perspektif nonkeuangan tersebut menghasilkan
sejumlah manfaat sebagai berikut :
a. Menjanjikan kinerja keungan yang berlipat ganda dalam jangka
panjang
b. Membuat perusahaan atau organisasi mampu untuk memasuki
lingkungan bisnis dengna tingkat kompleksitas yang tinggi.
2. Koheren
Balanced ScoreCard mewajibkan untuk membangun suatu hubungan
sebab akibat di antara berbagai sasaran strategi terutama yang dihasilkan
dalam proses perencanaan strategis masing-masing sasaran strategis yang
ditetapkan dalam perpektif non-keuangan harus memiliki hubungan kausal
dengan sasaran bertanggung jawab dalam mencari inisiatif yang
bermanfaat dalam menghasilakn sasaran strategis secara koheren ini akan
menjanjikan potensial yang diperoleh dalam jangka waktu yang panjang.
3. Seimbang
Keseimbangan sasaran strategis yang dihasilkan oleh sistem
perencanaaan strategis menjadi komponen penting untuk menghasilkan
kinerja keunagnan. Dengan demikian perlu diperlihatkan pola garis
keseimbangan yang harus diusahakan organisasi dalam mentapkan
sasaran-sasaran pada keempat perspektif yang terkandung dalam
balanced scorecard.
4. Terukur
Ketekuran sasaran strategis juga tercapainya berbagai macam
strategis yang dihasilkan oleh sistem perencanaan. Seluruh sasaran dapat
ditentukan oleh ukurannya, baik untuk sasaran strategis pada perspektif
keuangan, maupun sasaran strategis pada perspektif nonkeuangan.
Dengan diberlakukannya pengukurang kinerja berkonsep Balanced
ScoreCard, sejumlah sasaran strategis yang sulit diukur seperti saran-
sasaranperpektif nonkeuangan dapat ditentukan dengan demikian,
ketekuran sasaran-sasaran strategis pada perspektif nonkeuangan turut
menjanjikan perwujudan berbagai sasaran strategis nonkeuangan,
sehingga kinerja keuangan dapat berlipat ganda dalam kurun waktu yang
panjang.

9
Selain keunggulan mengenai BSC yang diungkapkan oleh Mulyadi,
(2001) di atas, Mwijuma, Omido, Garashi, Odera & Akerele, (2013) juga
meneliti efektivitas implementasi strategi dengan menggunakan balanced
scorecard Efektivitas BSC sangat tergantung pada bagaimana proses
penilaian dan pengukurannya dilakukan. Pada saat pemerintah daerah
melakukan aktivitas evaluasi dan penilaian kinerja untuk kemudian
diselaraskan hasilnya dengan tujuan organisasi, maka hal tersebut akan
menjadi kunci utama dalam mempersiapkan keberhasilan organisasi agar
dapat menjalankan aktivitasnya. Dalam hal ini, setiap sudut pandang yang
terkandung dalam balanced scorecard memiliki bobot yang saling
mendukung satu sama lain. Konsep balance scorecard yang diterapkan pada
penilaian kinerja pemerintah daerah cenderung akan menggambarkan
sejauh apa pemerintah daerah mampu menunjukkan kinerja terbaiknya
dalam mencapai tujuan organisasi.

F. PERSPEKTIF DALAM BALANCED SCORECARD

Suatu sistem pengukuran yang dilakukan secara menyeluruh dan


meliputi aspek keuangan serta aspek non keuangan telah dirancang oleh
Robert. S dan David P. Norton. Pengukuran yang dimaksud disebut dengan
balanced scorecard. Pengkuran balanced scorecard ini secara khusus
mendidik manajemen dan organisasi agar dapat memandang suatu
perusahaan dari berbagai macam sudut pandang yang komprehensif dan
holistik dimana perspektif yang dimaksud terdapat perpektif pandangan
keuangan,penlanggan,bisnis internal, dan pembelajaran dan pertumbuhan.
Berikut empat perspektif yang secara umum ada di dalam konsep pengkuran
Balanced Scorecard.

1. Perspektif Keuangan
Balanced ScoreCard menjadi tolok ukur kinerja keuangan yang
menggunakan oleh banyak perusahaan pada umumnya, yaitu laba bersih
dan ROI. Alasannya adalah karena tolak ukur tersebut sudah digunakan oleh
banyak perusahaan, terutama untuk mengetahui tingkat laba yang dihasilkan.

10
Akan tetapi tolak ukur keunagna saja tidak dapat mencerminkan penyebab
yang memicu terjadinya perubahan kekayaan yang diperoleh perusahaan
atau organisasi (Mulyadi dan Setyawan, 2000).

Keseimbangan yang ada di dalam metode pengukuran Balanced


ScoreCard ini muncul karena adanya upaya untuk menyelaraskan kinerja
antara aspek keuangan dengan non keuangan. Pengukuran ini dimaksudkan
untuk mengarahkan kinerja perusahaan pada orientasi pencapaian bahwa
BSC secara khusus dapat menjelaskan pencapaiannnya visi yang berperan
penting dalam mewujudkan peningkatan kekayaan organisasi yaitu dengan
menitik beratkan beberapa hal sebagai berikut :

1. Peningkataan jumlah pelanggan yang puas terhadap kinerja


organisasi, sehigngga dapat meningkatkan laba perusahaan melalui
peningkatan penerimaan.
2. Pentingkatan produktivitas dan komitmen kerja karyawan yang
diperlukan untuk meningkatkan laba, yaitu melalui peningkatan
efektivitas dan efesiensi biaya.
3. Peningkatan kemampuan perusahaan yang dimaskud menghasilkan
pengembalian keuangan. Caranya adalah dengan mengurangi modal
yang digunakan, atau melakukan investasi yang proyek
menghasilakan tingkat imbal hasil tinggi.

Ho dan Chan mengungkapkan bahwa di dalam Balanced Scorecard


pengukuran yang dilakukan secara finansial memiliki dua peran penting.
Peran pertama yaitu semua perspektif cenderung tergantung pada
pengukuran finansial yang menunjukkan efektivitas implementasi yang sudah
direncanakan sebelumnya. Peran kedua dengan diberlakukannya balance
scorecard adalah untuk memberi dorongan kepada 3 lainnya tentang target
yang harus diraih organisasi agar dapat mencapai tujuan organisasi dengan
optimal.

Menurut Kaplan & Norton 2000, siklus apa yang terjadi dalam suatu
kegiatan bisnis terbagi ke dalam 3 tahap yaitu tahap bertumbuh (growth)
bertahan (sustain) dan tahap manual (harvest) masing masing tahapan dalam

11
siklus bisnis tersebut memiliki tujuan finansial yang berbeda beda. Tahap
bertumbuh (growth) merupakan awal atau titik start yang dimulai organisasi
dalam suatu siklus bisnis. Pada tahap ini organisasi tersebut diharapkan dapat
memiliki produk baru yang dianggap potensial bagi bisnis tersebut. Oleh karena
itu, pada tahap growth perlu diperhatikan sumber day apa saja yang dapat
dimanfaatkan untuk melakukan pengembangan produk baru, meningkatkan
kinerja layanan, mengembangkan fasilitas yang dapat menunjang produksi,
investasi pada sisi yang ada, serta mengembangkan infrastruktur dan jaringan
distribusi dapat menunjang terbentuknya hubungan kerja yang baik dengan
pelanggan. Secara keseluruhan, tujuan finansial dalam tahap ini adalah
megnukur presentase tingkat pertumbuhan pendapatan dan tingkat
perumbuhan penjualan di pasar sasaran.

Siklus selanjutnya adalah tahap bertahan (sustain). Pada tahap ini


muncul pertanyaan mengenai dilema apakah perusahaan akan memutuskan
untuk menarik investasi, atau bahkan melakukan tambahan investasi dengan
memperhatikan seberapa besar tingkat pengembalian potensial dari investasi
yang dilakukan perusahaan. Tujuan finansial yang hendak dicapai pada tahapan
ini adalah untuk memperoleh keuntungan. Selanjutnya, bisnis akan memasuki
tahapan yang disebut dengan tahap menuai (harvest). Suatu organisasi atau
badan usaha akan berusaha untuk selalu dapat mempertahankan posisi bisnis
dalam industri yang digelutinya. Tujuan finansial dari tahap menuai ini adalah
untuk meningkatkan aliran arus kas masuk, dan mengurangi aliran kas keluar.
Secara spesifik, penjelasan mengenai sasaran-sasaran pada perspektif
keuangan dapat dibedakan ke dalam masing-masing tahapan siklus bisnis
seperti yang diungkapkan oleh Kaplan & Norton (2000):

1. Growth (Berkembang).

Tahap berkembang merupakan siklus awal dimulainya siklus kehidupan


bisnis. Pada tahap ini, organisasi memiliki tingkat pertumbuhan yang
berpotensi untuk berkembang. Agar dapat menciptakan potensi tersebut,
besar kemungkinan seorang manajer keuangan untuk memiliki komitmen
yang tinggi dalam mengembang- kan suatu produk atau jasa baru,

12
membangun dan mengembangkan fasilitas produksi, menambah
kemampuan operasional perusahaan, mengembangkan sistem yang ada,
memperluas jaringan distribusi yang akan mendukung hubungan global,
serta mempertahankan dan mengembangkan hubungan yang baik
dengan pelanggan.

2. Sustain Stage (Bertahan)

Tahapan bertahan merupakan siklus kedua dimana perusahaan masih


melakukan investasi dan reinvestasi, terutama dengan opsi untuk
mendapatkan tingkat pengembalian terbaik. Pada tahap ini, perusahaan
berusaha untuk mempertahankan pangsa pasar yang ada dan
mengembangkannya sebaik mungkin. Investasi yang dilakukan pada
umumnya dimaksudkan guna menghilangkan kemacetan,
mengembangkan kapasitas produksi, dan meningkatkan perbaikan
operasional secara konsisten. Selain itu, pada tahap ini organisasi tidak
lagi bergantung pada strategi-strategi jangka panjang. Sasaran keuangan
pada tahap ini juga lebih difokuskan pada besarnya tingkat pengembalian
atas investasi yang dilakukan perusahaan.

3. Harvest (Panen)

Tahap ketiga ini adalah tahap kematangan (mature), yaitu suatu tahap
dimana perusahaan melakukan panen atas investasi yang mereka miliki.
Perusahaan memutuskan untuk tidak lagi melakukan investasi kecuali
hanya untuk memelihara dan melakukan perbaikan fasilitas, dan bukan
bertujuan untuk melakukan ekspansi usaha. Tujuan utama dalam tahap
ini adalah untuk memaksimumkan jumlah arus kas yang masuk ke
organisasi. Selain itu, yang menjadi sasaran keuangan dalam tahap
harvest ini adalah memaksimumkan nilai arus kas atas investasi yang
dilakukan di masa lalu.

13
2. Perspektif Pelanggan
Pada perspektif pelanggan, organisasi dipandang perlu untuk
menentukan segmen pasar dan pelanggan yang menjadi target sasarannya.
Hal ini mengharuskan manajer harus dapat menentukan alat ukur terbaik
agar dapat mengukur kinerja individual dari masing-masing unit operasi.
Tujuannya adalah sebagai upaya untuk mencapai target finansial yang telah
direncanakan sebelumnya. Selanjutnya, apabila suatu unit bisnis
menargetkan untuk mencapai kinerja keuangan yang superior dalam jangka
panjang, maka organisasi harus dapat menciptakan dan menyajikan
sejumlah produk atau jasa baru yang memiliki nilai lebih untuk pelanggannya
(Kaplan & Norton, 1996). Dalam konteks ini, produk dapat dikatakan bernilai
jika manfaat yang diterima dari produk lebih tinggi daripada biaya perolehan
yang harus dikeluarkan. Kemampuan perusahaan untuk memenuhi kondisi
tersebut cenderung terbatas, terutama untuk memuaskan pelanggan
potensial. Dengan demikian, organisasi perlu memutuskan untuk mengkaji
segmentasi pasar agar dapat melayani pelanggan sasaran dengan optimal.
Secara umum, terdapat 2 kelompok pengukuran yang lazim digunakan
dalam mengukur perspektif pelanggan, yaitu:

1. Kelompok Pengukuran Inti (Core Measurement Group)


Kelompok pengukuran ini diperlukan untuk menilai sejauh apa organisasi
dapat memenuhi kebutuhan pelanggannya, terutama untuk mencapai
aspek-aspek kepuasan dan mempertahanakan, memperoleh, merebut
pangsa pasar yang telah ditargetkan. Pada kelompok pengukuran inti
dikenal dengan lima tolok ukur, yaitu pansar pasar, akuisisi pelanggan,
retensi pelanggan, dan profitabilitas pelanggan.
a. Pangsa Pasar
Pangsa Pasar adalah situasi yang menggambarkan proporsi
bisnis yang dijual oleh sebuah unit bisnis pada pasar tertentu. Hal
tersebut dinyatakan dalam bentuk jumlah pelanggan, uang yang
dibelanjakan, atau volume satuan yang terjual atas suatu produk
barang atau jasa.

14
b. Akuisisi Pelanggan
Akuisisi pelanggan adalah bentuk motivasi yang lazim
digunakan dalam mengukur seberapa besar kemampuan perusahaan
untuk menarik pelanggan baru. Akuisisi ini diukur dengan
membandingkan jumlah perolehan pelanggan dari tahun ke tahun.
c. Retensi Pelanggan
Retensi pelanggan dimaksudkan untuk mengukur seberapa
banyak perusahaan berhasil mempertahankan pelanggan lamanya.
Pengukurannya dapat dilakukan dengan menghitung besarnya
persentase pertumbuhan bisnis dengan jumlah pelanggan yang ada
saat ini, untuk selanjutnya dihitung dengan cara membandingkan
jumlah pelanggan pada tahun berjalan dengan jumlah pelanggan
pada tahun sebelumnya.
d. Tingkat Kepuasan Pelanggan
Tolak ukur tentang kepuasan pelanggan dapat diketahui jika
pelanggan merasa puas terhadap layanan perusahaan. Indikasinya
adalah apakah pelanggan memberikan informasi sebagai umpan
balik (feedback) mengenai seberapa baik perusahaan
melaksanakan bisnisnya.

2. Kelompok Pengukuran nilai pelanggan(customer value proposition)


Kelompok pengukuran ini digunakan untuk mencari tahum
bagaimana organisasi mengukur nilai pasar yang dikuasainya dan pasar
potensial yang barangkali berpotensi untuk dimasuki. Kelompok
pengukuran ini secara khusus menjadi pemancu motivasi yang
berkaitan dengan langkah dan strategi apa yang harus diterapkan
organisasi untuk mencapai tingkat kepuasaan, loyalitas, retensi dan
akuisisi pelanggan yang tinggi. Pengukuran nilai pelanggan ini turut
mencerminkan atribut yang disajikan perusahaan pada suatu produk
atau jasa yang dijual, yaitu dengan tujuan menciptakan loyalitas dan
kepuasan pelanggan. Kelompok pengukuran nilai pelanggan di
antaranya terdiri atas:

15
a. Atribut produk atau jasa, yang meliputi sejumlah aspek seperti
tingkat harga eceran relatif, yaitu tingkat harga yang
dibandingkan dengan tingkat harga produk pesaing. Tingkat daya
guna produk, yaitu seberapa jauh produk yang telah dibeli
berdaya guna bagi pelanggan. Tingkat pengembalian produk
yang dilakukan oleh pelanggan sebagai dampak dari cacat
produk, produk rusak, atau produk yang tidak lengkap, mutu
peralatan dan fasilitas proses produksi yang digunakan,
kemampuan SDM, dan tingkat efisiensi produksi.
b. Hubungan dengan pelanggan, meliputi distribusi produk kepada
pelanggan, termasuk tanggapan dari perusahaan, waktu yang
dibutuhkan untuk melakukan pengiriman barang, tingkat
fleksibilitas perusahaan dapat memenuhi keinginan dan
kebutuhan pelanggannya, tampilan fisik dan mutu layanan yang
ditawarkan. oleh tenaga penjual, fasilitas penjualan, serta
bagaimana perasaan pelanggan setelah melakukan pembelian
produk atau jasa dari perusahaan bersangkutan.
c. Citra dan reputasi, meliputi faktor-faktor tak kasat mata
(intangible) yang dimiliki perusahaan untuk menarik pelanggan.
Hal ini menjadi penting karena minat pelanggan sangat erat
kaitannya dengan perusahaan, atau bahkan dengan adanya
minat akan merangsang pelanggan untuk melakukan pembelian
produk.

3. Perspektif Proses Bisnis Internal


Perspektif proses bisnis internal menggambarkan rangkaian proses
kritis yang memungkinkan unit bisnis untuk memberikan nilai, terutama
menarik dan mempertahankan pelanggannya. Selain itu, proses bisnis
internal juga dimaksudkan untuk memuaskan harapan para pemegang
saham melalui seperangkat proses penciptaan nilai yang unik, bagi
pelanggannya. Selain itu, proses bisnis internal juga dimaksudkan untuk
memuaskan harapan para pemegang saham melalui tingkat pengembalian

16
keuangan yang memadai. Setiap tahapan mempunyai seperangkat proses
penciptaan nilai yang unik bagi pelanggannya. Dengan demikian, Kaplan &
Norton (1996) membagi proses bisnis internal ke dalam tiga prinsip dasar
yang terdiri atas :

1. Proses inovasi
Proses inovasi merupakan bagian terpenting dalam proses
produksi. Namun, adapun perusahaan yang memposisikan proses
inovasi di luar aktivitas produksi. Proses inovasi terdiri atas dua
komponen, yaitu identifikasi keinginan pelanggan, dan melaksanakan
aktivitas perancangan produk yang disesuaikan dengan keinginan
pelanggan. Jika output inovasi dari perusahaan tidak dapat
memenuhi keinginan pelanggan, maka produk tidak akan mendapat
tanggapan positif. Hal ini berakibat pada semakin berkurangnya
tambahan pendapatan organisasi. Bahkan, dalam kondisi sulit seperti
ini organisasi masih harus mengeluarkan biaya investasi pada proses
penelitian dan pengembangan.
2. Proses operasi
Aktivitas pada proses operasi merupakan kegiatan yang
dilakukan organisasi mulai saat diterimanya penerimaan pesanan
pelanggan, sampai pada dilakukannya pengiriman produk ke
pelanggan. Proses operasi fokus pada penyampaian produk kepada
pelanggan dengan seefisien mungkin, dan tepat waktu. Proses ini
juga menjadi konsentrasi utama sistem pengukuran kinerja yang
dilakukan pada sebagian besar organisasi. Selain itu, tahapan ini juga
merupakan proses di mana perusahaan berusaha untuk memberikan
solusi kepada para pelanggan, terutama untuk memenuhi kebutuhan
dan keinginan pelanggan. Tolak ukur yang sering digunakan antara
lain yaitu, Manufacturing Cycle Effectiveness (MCE), tingkat
kerusakan produk pra penjualan, banyaknya bahan baku yang
terbuang secara percuma, frekuensi pengerjaan ulang produk
sebagai akibat terjadinya kerusakan barang, banyaknya permintaan
pelanggan yang tidak terpenuhi, penyimpangan biaya produksi aktual

17
terhadap biaya anggaran produksi, serta tingkat efisiensi per kegiatan
produksi.
3. Proses Penyampaian Produk atau Jasa pada Pelanggan
Proses penyampaian produk atau jasa pada pelanggan
meliputi aktivitas pengumpulan, penyimpanan, pendistribusian,
layanan purna jual, yang bertujuan untuk memberikan manfaat
tambahan kepada pelanggan yang telah membeli produk.

4. Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan


Perspektif pembelajaran dan pertumbuhan menyediakan infrastruktur
bagi tercapainya ketiga perspektif sebelumnya. Selain itu, tujuannya adalah
untuk menghasilkan pertumbuhan serta perbaikan jangka panjang. Sangat
penting bagi badan usaha agar tidak hanya berinvestasi pada pos peralatan
saja, namun perusahaan atau organisasi juga harus melakukan investasi
pada infrastruktur, yaitu dalam bentuk perbaikan mutu sumber daya manusia
(SDM), serta sistem dan prosedurnya. Tolak ukur kinerja keuangan,
pelanggan, dan proses bisnis internal dapat menggambarkan perbedaan
yang terjadi antara kemampuan yang diperoleh dari manusia, sistem, dan
prosedur yang tersedia. Agar dapat memperkecil kesenjangan tersebut,
suatu badan usaha harus melakukan investasi dalam bentuk peningkatan
keterampilan karyawan. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kemampuan
sistem dan teknologi informasi, serta menata ulang prosedur yang ada.
Secara umum, perspektif pembelajaran dan pertumbuhan mencakup 3
prinsip kapabilitas yang berhubungan langsung dengan kondisi internal
perusahaan yaitu:

1. Kapabilitas pekerja adalah kontribusi yang dapat diberikan pekerja pada


organisasi. Dengan adanya pertimbangan terhadap kapabilitas pekerja,
maka terdapat 3 hal yang harus diperhatikan oleh manajemen:
a) Kepuasan pekerja
Kepuasan pekerja adalah syarat utama yang perlu
dipertimbang-kan untuk meningkatkan produktivitas, tanggung
jawab, kualitas, dan pelayanan kepada pelanggan. Unsur yang

18
dapat diukur dalam kepuasan pekerja adalah keterlibatan pekerja
untuk melakukan pengambilan keputusan, pengakuan, akses
terhadap informasi, dorongan bekerja secara kreatif, berinisiatif,
serta dukungan yang diperoleh dari atasan. Hal yang perlu
diperhatikan dan dikaji adalah hubungan antara kepuasan
karyawan dan produktivitas kerja karyawan. Sebagai upaya untuk
dapat mengetahui tingkat kepuasan karyawan, organisasi perlu
melakukan survei secara berkala. Lebih lanjut, produktivitas kerja
akan menjadi hasil dari pengaruh peningkatan keahlian moral,
inovasi, perbaikan proses internal, dan tingkat kepuasan
konsumen.
b) Retensi pekerja
Retensi pekerja adalah kemampuan organisasi untuk
memper-tahankan sumber daya manusia terbaik yang ada dalam
organisasi. Organisasi menyadari bahwa investasi pada SDM
merupakan aktivitas investasi jangka panjang yang sangat
diperlukan bagi organisasi. Oleh karenanya, keluarnya seorang
pekerja yang tidak dilatarbelakangi oleh keinginan organisasi
menjadi suatu kerugian. Retensi pekerja ini pada umumnya sering
diukur dengan menggunakan persentase rasio turnover karyawan
pada suatu organisasi.
c) Produktivitas pekerja
Produktivitas pekerja adalah output dari pengaruh yang terjadi
sebagai akumulasi peningkatan keahlian dan moral, inovasi,
proses internal, dan kepuasan pelanggan. Tujuannya adalah
untuk menghubungkan output yang dihasilkan oleh pekerja
dengan jumlah pekerjaan yang seharusnya dapat dilakukan untuk
menghasilkan output tersebut.

2. Kapabilitas sistem informasi.


Beberapa aspek yang menjadi tolok ukur dalam menetapkan besaran
kapabilitas sistem informasi di antaranya seperti tingkat ketersediaan
informasi, tingkat ketepatan informasi yang ada, dan jangka waktu yang

19
diperlukan untuk memperoleh informasi yang relevan. Organisasi harus
memiliki prosedur pelayanan dan distribusi informasi yang mudah
dipahami dan mudah dijalankan. Tolok ukur yang sering digunakan
adalah seberapa mudah suatu informasi yang diperlukan dapat dengan
mudah diakses, seberapa valid informasi tersebut, serta seberapa lama
waktu yang diperlukan untuk mendapatkan informasi yang dimaksud.

3. Iklim organisasi adalah satu di antara banyak faktor yang dapat


mendorong timbulnya motivasi. Selain itu, iklim organisasi juga dapat
memicu peningkatan pemberdayaan yang dibutuhkan untuk
menciptakan pekerja yang berinisiatif tinggi. Tolok ukur dari aspek ini
dapat dilihat dari seberapa banyak jumlah saran yang diberikan pekerja
terhadap perusahaan. Pegawai yang memiliki informasi berlimpah
cenderung akan berkontribusi pada keberhasilan usaha jika mereka tidak
memiliki motivasi untuk bertindak selaras dengan tujuan organisasi.
Selain itu, kebebasan dalam pengambilan keputusan turut menjadi
indikator yang menentukan seberapa tinggi inisiatif yang
dimiliki karyawan.

G. PENENTUAN SCORECARD

Pada umumnya bukanlah hal yang mudah untuk menyepakati ukuran


seperti apa yang dijadikan pedoman dan tolok ukur keberhasilan satu
organisasi dalam menjalankan usahanya. Hal ini dikarenakan selalu ada
untur konflik antar bagian dan yang dapat dengan mudah ditermui dpada
saat organisasi menjalankan usahanya. Keempat perspektif yang
dikemukakan Kaplan sudah selayaknya dapat diimplementasikan dengan
pemahaman yang mendalam saat pengambil kebijakan memutuskan untuk
memulai melakukan apa yang menjadi tujuan organisasi, kegiatan serta
ukuran apa yang diharapkan.

Hendricks, (2004) menunjukkan sejumlah kendala yang lazim


dihadapi pada saat penyusun strategi melakukan proses penerapan BSC,

20
diantaranya yaitu (i) sedikitnya frekuensi pemeriksaan mengenai faktor-faktor
yang berhubungan dengan pengadopsian BSC, dan (ii) masih dipelukannya
bahwa penerapan BSC akan berpengaruh secara langsung pada perubahan
kinerja keuangan. Lebih jauh, hasil studi Hendricks (2004) juga menyebutkan
bahwa kunci utama dalam implementasi BSC adalah sebagai berikut:

1. Adanya keterlibatan kepemimpinan senior


2. Organ dalam suatu institusi atau lembaga mengatikulasikan visi dan
strategi perusahaan secara bersama-sama.
3. Adanya kegiatan indentifikasi terhadap kategori kinerja yang
menghubungkan visi dan strategi terhadap hasil.
4. Diterjemahkannya papan nilai pada setiap tim, divisi dan tingakatan
fungsional dalam organisasi.
5. Dikembangkannya pengukuran efektif dengan strandar yang terukur,
terutama jangka waktu yang pendek dan panjang.
6. Diberlakukannya sistem penganggaran yang tepat, teknologi
informasi komunikasi (TIK) dan sistem jasa dalam penerapan BSC.
7. Organisasi melihat BSC sebagai proses yang berkelanjutan dan
berkesinambungan. BSC juga membutuhkan perbaikan dan evaluasi
yang dilakukan secara berkala, terutama penilaian ulang dan
pemutakhiran sebagai penyempurnaan dari waktu ke waktu.
8. Organisasi percaya bahwa BSC dapat digunakan sebagai faktor
dalam memicu terjadinya dinamisasi perubahan budaya dalam
organiasasi.

Selain kendala yang lazim ditemui pada saat menyusun strategi,


penerapan BSC pada pemerintahan terutama dibidang sektor publik di
indonesia cenderung banyak menemui kendala pada aspek birokrasi. Dalam
pelayanan sektor publik di indonesia, pemerintahana memiliki permasalah
sistemik yang berujung pada tidak optimalnya pengelolaan sektor publik,
rendahnya penerapan strategi sumber daya manusia, rendahnya
akuntabilitas kinerja organisasi dan rendahnya konsentrasi pemerintah
terhadap pelayanan pada masyarakatnya. Berikut gambaran umum

21
mengenai masalah sistematis yang ditemui dalam birokrasi pemerintahan
Indonesia sebelum tahun 2006.

Tabel 10.1 sistematika masalah utama dalam birokrasi pemerintahan di Indonesia


sebelum 2006

No. Permasalahan Deksripsi Dampak

1 Rendahnya kemampuan berpikir Terlalu banyak Inefiensi dan


strategis pengaruh politik ketidakefektifan
dalam pembuatan administrasi publik
keputusan di bidang dan proses
manajemen sektor pembuatan
publik keputusanya ng tidak
optimal
2 Rendahnya strategi dan praktik Problematika dalam
manajemen sumber daya strategi dan
manusia penerapan praktik
Rendahnya kinerja
manajemen sumber
sektor publik dalam
daya manusia yang
konteks
pelik
organisasional dan
3 Lemahnya akuntabilitas kinerja Rendahnya individual
organisasi keberlanjutan sistem
manajemen kinerja
Rendahnya integritas
4 Rendahnya konsentrasi Rendahnya kualitas
dan cenderung tidak
pemerintah terhadap pelayanan pelayanan pada
adanya perbaikan
pada masyarakatnya sektor publik

Sumber: Toha, (1987); Yudhiatara, (1997); McLeod, (2006); Turner, Imbaruddin &
Sutiyono, (2009); Prasojo, (2012); Budiarso, (2014).

Komitmen pimpinan puncak (top manager) tentu tetap menjadi kata


kunci karena hanya dengan adanya komitmen pimpinan suatu organisasi
dapat bergerak. Langkah yang harus ditempuh pihak manajemen adalah
dengan mengakomodasi hal-hal umum dalam satu industri dalam kaitan ini
perlu diapahami bahwa 4 perspektif yang dikemukakan oleh kaplan tidak
serta merta memposisikan organisasi untuk dapat mengadopsinya secara

22
langsung. Penentuan sasaran dan target merupakan suatu pekerjaan yang
cukup rumit dan memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi oleh karenanya hal
tersebut harus termuat dalam satu perencaaan yang disusun secara matang
dan sistematis baik untuk jangka panjang maupun jangka pendek. Dengan
demikian penetapan untuk mengimplementasikan BSC harus disertai dengan
berbagai macam pertimbangan dan penyesuaian. Penyesuaian dalam
konstek ini adalah mengalokasikan sumber daya yang ada sebagai upaya
mencapai tujuan. Tanpa adanya proses pangalokasian sumber daya tidak
ada jaminan bahwa organisasi akan mendapat manfaat dari diterapkannya
BSC.

H. PENGUKURAN BALANCE SCORECARD (BSC)

Penerapan BSC harus dilakukan dengan bobot penilaian yang jelas.


Oleh sebab itu, kriteria pengukuran yang seimbang menurut, Mulyadi (2001)
adalah sejauh mana sasaran strategis organisasi dapat dicapai secara
seimbang skor dari masing-masing kinerja diberikan berdasarkan rating scale
sebagai berikut :

Tabel 10.2 Skala Pemeringkatan dalam BSC

SKOR NILAI

-1 KURANG

0 CUKUP

1 BAIK

Sumber: Mulyadi (2001)

Setelah menentukan rating scale yang akan digunakan untuk


mengukur kinerja organisasi berdasarkan konsep BSC, langkah selanjutnya
yang harus dilakukan pengambilan kebijakan adalah membuat ukuran kinerja
yang berisikan indikator-indikator yang akan digunakan sebagai pemberian
skor.

23
Tabel 10.3 Ukuran Kinerja Dalam Model Balanced Scorecard

Ukuran

Perspektif Sasaran Hasil Pemacu kinerja Skor


strategik

Penurunan biaya Revenue mix


pertumbuhan

Pendapatan
Cycle E

Peningkatan
Effectiveness
efisiensi keuangan

Akusisi pelanggan Bertambahnya


costumer baru

Depth of realtionship
Retensi pelanggan

Berkurangnya
Kepuasan
keluhan
pelanggan

Inovasi tingkat Efisiensi pelayanan


pelayanan

Karyawan keluar
berkurang

Karyawan mengikuti
latihan

Total

Sumber: Mulyadi (2001)

24
Contoh Kasus 1

KEMENTERIAN KEUANGAN ADOPSI BALANCED SCORECARD

UNTUK MENGUKUR KINERJA

Organisasi pemerintah sebagai institusi publik ditantang untuk memenuhi harapan sebagai
kelompok stakeholders agar dapat bertindak profesional sebagaimana telah dilakukan oleh
organisasi swasta. Hal ini kemudian mendorong kementerian keuangan sebagai inisiator
reformasi birokrasi institusi publik untuk menerapkan Balanced Scorecard (BSC) dalam
mengukur kinerjanya.

Di sektor swasta perkembangan dunia bisnis yang semakin kompetitif menyebabkan


terjadinya perubahan yang luar biasa dalam persaingan produksi permasaran pengelolaan
sumber daya manusia dan penganganan transaksi antara perusahaan dengan pelanggan
serta perusahaan dengan perusaahaan lain. Agar teteap eksis suatu organisasi dituntut
selalu mengembangkan diri agar dapat diterima di lingkungan global salah satunya adalah
dengan selalu mengukur kinerjanya.

Banyak metode yang bisa digunakan guna mengukur kinerja suatu organisasi, diantaranya
dengan metode Malcolm Baldridge National Quality Award (MBNQA), Balanced Scorecard,
Six Sigma dan sebagainya. Dari sekian banyak metode pengukuran kinerja, Balanced
Scorecard (BSC) merupakan salah satu yang banyak digunakan di sejumlah organisasi
terkemuka di dunia.

KEMENTERIAN KEUANGAN GUNAKAN BSC

Umumnya, metode BSC digunakan di sektor swasta. Namun, paradigma baru menuntut
institusi publik meningkatkan orientasinya pada stakeholder. Organisasi pemerintah sebagai
institusi publik juga ditantang untuk memenuhi harapan berbagai kelompok stakeholders
(yaitu penerima layanan, karyawan, lembaga pemberi pinjaman/hibah, masyarakat, dan
pembayaran pajak). Tuntutan ini mengharuskan organisasi pemerintah untuk bertindak
secara profesional sebagaimana yang dilakukan oleh organisasi swasta. Dengan begitu,
diharapkan institusi publik menjadi akuntabel, kompetitif, ramah rakyat, dan berfokus pada
kinerja.

25
Agar organisasi pemerintah dapat berfokus pada strategi yang sudah dirumuskan maka
organisasi pemerintah juga harus menerjemahkan strategi ke dalam terminologi operasional,
menyelaraskan organisasi dengan strategi, memotivasi staf sehingga membuat strategi
merupakan tugas setiap orang, menggerakkan perubahan melalui kepemimpinan eksekutif
dan membuat strategi sebagai suatu proses yang berkesinambungan.

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebagai inisiator reformasi birokrasi institusi publik,


telah menerapkan BSC sebagai alat pengukuran kinerja sejak akhir tahun 2007.
Dilatarbelakangi peningkatan kinerja sebagai salah satu tujuan reformasi birokrasi
Kementerian Keuangan yakni public services, performance improvement, and good
governance, seperti yang terbang dalam KMK No. 30/KMK.01/2007 sebagai landasan
reformasi birokrasi Kemenkeu, maka Kementerian Keuangan berupaya menata organisasi
menyempurnakan proses bisnis meningkatkan manajemen SDM dan mengukur kinerjanya,
komunikasi publik, serta monitoring melalui program reformasi birokrasi di tahun 2008. Hal
tersebut mendorong kementerian keuangan menggunakan metode BSC untuk mengelola
kinerjanya.

Penerapan BSC bagi Kemenkeu ini relatif baru apabila dibandingkan secara beberapa
instansi pemerintah lainnya yang telah mengadopsi metode BSC seperti Bank Indonesia
(tahun 2003), Badan Pemeriksa Keuangan (2006), Komisi Pemberantas Korupsi (2006) dan
intitusi publik lainnya. Pengelolaan kinerja berbasis BSC di lingkungan Kementerian
Keuangan (Kemenkeu) didasarkan pada Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor
12/KMK.01/2010 tentang Pengelolaan Kinerja Dilingkungan Departemen Keuangan.
Keputusan tersebut mengatur tentang penerapan pengelola kinerja, kontrak kinerja,
penyusunan dan perubahan peta strategi Indikator Kinerja Utama (IKU) dan target serta
pelaporan capaian kinerja triwulan kepada Menteri Keuangan.

Keputusan menggunakan BSC ini dihasilkan berdasarkan pertemuan selama dua hari pada
bulan oktober 2007 yang dilakukan Menteri Keuangan, dan seluruh pejabat Eselon I dari
beberapa pejabat Eselon II di lingkungan Kementerian Keuangan, dibantu oleh konsultan
dari GML Performance Consulting. Pertemuan ini menghasilkan lima peta yang berisi lima
tema yaitu tema pendapatan, tema belanja, pembiayaan, kekayaan negara, dan pasar
modal. Pada 12 desember 2007 dalam Rapat Pimpinan di Denpasar diputuskan bahwa
Depkeu akan mengukur kinerja dengan Balanced Scorecard dengan lima tema sebagai
dasarnya. Dan di pertengahan 2008 sampai 2009 Kemenkeu menurunkan (cascade) sampai
ke eselon II.

26
Refinement Depkeu Wide

Pada awal pengembangannya, peta strategi Kemenkeu terdiri atas lima peta yang
menggambarkan tema pendapatan negara, belanja negara, pembiayaan APBN, kekayaan
negara, serta pengawasan pasar modal dan lembaga keuangan. Lima tema tersebut
menghasilkan 86 sasaran strategis (SS) dengan 206 IKU.

Kepala Bagian Perencanaan dan Evaluasi Indikator Kinerja Utama (PEIKU) Pusat
Harmonisasi Kebijakan (Pushaka) Kementerian Keuangan, Supendi menjelaskan bahwa
Depkeu Wide mengalami refinement atau perbaikan. Lima peta yang digunakan Kemenkeu
ketika itu, di awal tahun 2009 diperbaiki menjadi satu peta strategi yang terdiri atas empat
perspektif BSC. "Hal ini dilakukan, karena terlalu banyak dan rumitnya monitoring atas IKU
dari lima peta tersebut. Executive summary dari lima tema menjadi satu tema terjadi setelah
kami press karena sebelumnya ada pekerjaan level bawah yang naik ke atas. Dalam satu
tema tersebut terdapat 20 SS dengan jumlah IKU 26," jelas Supendi.

Penyempurnaan peta strategi Depkeu-Wide dilakukan dengan mengintegrasikan lima peta


strategi menjadi satu peta strategi. Metode pengintegrasian yang telah dilaksanakan adalah:

1. Brainstorming untuk penyusunan satu peta

2. Penggabungan SS sejenis yang berasal dari lima peta strategi Depkeu-Wide;

3. Keterwakilan seluruh unit eselon I sebagai Person In Charge (PIC);

4. Menentukan IKU strategis dari tiap unit eselon I sebagai IKU Menkeu.

Setelah terbentuknya Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II yang memiliki rencana pembangunan
jangka menengah yang harus di-breakdown dalam renstra lima tahunan (2010-2014), maka
Depkeu-Wide pun harus disesuaikan. "Depkeu-Wide harus menyesuaikan dengan Renstra
tersebut karena BSC merupakan alat manajemen strategi yang menerjemahkan visi, misi
dan strategi yang tertuang dalam Renstra ke dalam suatu peta strategi," papar Supendi.

Setelah terbentuknya Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II yang memiliki rencana pembangunan
jangka menengah yang harus di-breakdown dalam renstra lima tahunan (2010-2014), maka
Depkeu-Wide pun harus disesuaikan. "Depkeu-Wide harus menyesuaikan dengan Renstra
tersebut karena BSC merupakan alat manajemen strategi yang menerjemahkan visi, misi
dan strategi yang tertuang dalam Renstra ke dalam suatu peta strategi," papar Supendi.

Di bulan Februari 2010, dalam Rapat Pimpinan antara Menteri dengan pejabat eselon I
disetujui Depkeu-Wide hasil refinement mencakup 16 SS dan 39 IKU. Menurut Supendi,

27
perbedaan utama antara executive summary dengan yang baru adalah pertama, dalam
costumer perspective dulu ada 6 SS sekarang dijadikan 2 SS. "Karena ada 5 SS di-executive
summary yang ternyata ukurannya cuma satu yaitu indeks kepuasan stakeholder yang
surveinya dilaksanakan oleh pihak independen dalam hal ini adalah Universitas Indonesia,"
jelas Supendi. Kedua, perubahan di learning and growth, dimana ada kalimat yang
menyebutkan "mewujudkan good governance" diganti dengan kata "anggaran". Perubahan
ketiga yakni sebagian sasaran strategi di stakeholder perspective yang lama lebih tepat
dimasukkan di internal proses. "Misalnya seperti tingkat pendapatan yang optimal. Diganti
dengan utilisasi kekayaan negara yang optimal," lanjut Supendi.

Pengukuran Berjenjang

Balanced Scorecard Kemenkeu yang sudah ditetapkan dalam sasaran strategi harus
diturunkan (cascaded) ke seluruh unit organisasi yang ada di bawahnya. Balanced
Scorecard Kemenkeu ini disebut Depkeu-Wide sedangkan setelah di-cascade ke unit
organisasi di bawahnya yaitu ke eselon I disebut Depkeu-One dan ke eselon II disebut
Depkeu-Two. Sampai dengan tahun 2009, BSC baru diimplementasikan sampai dengan
tingkat eselon II. Direncanakan pada pertengahan tahun 2010 akan dilaksanakan cascading
BSC ke level Eselon III (Depkeu-Three). Proses cascading hingga ke level Depkeu-Five,
seluruhnya ditargetkan akan selesai disusun di tahun 2011.

Sebagai pilot project, Kemenkeu harus terus meningkatkan kualitas kinerja secara kontinu
dan memperbaiki kualitas layanan kepada stakeholder. Untuk itu diperlukan sebuah pakem
atau ukuran-ukuran strategis untuk bisa menunjukkan adanya kemajuan, yakni dengan Key
Performance Indicator (KPI) atau biasa disebut Indikator Kinerja Utama (IKU).

IKU adalah tolak ukur capaian kinerja yang ditetapkan secara strategis yang
menggambarkan hasil capaian unit dalam suatu periode waktu. Dengan berbagai indikator,
IKU dapat menjadi alat untuk menggambarkan keberhasilan capaian kinerja unit dalam
jangka waktu yang ditetapkan. Hasil-hasil yang telah dicapai dalam penerapan ini selalu
dimonitor dan dilaporkan untuk menjadi umpan balik terhadap strategi yang telah dirumuskan
sebelumnya.

Pengukuran IKU, yang merupakan bagian dari pilar reformasi mencakup beberapa indikator,
yakni learning and growth, strategic outcomes (stakeholder & customer), internal business
process. Indikator ini terangkum dalam strategy map yang merupakan peta strategis
cerminan hubungan sebab akibat. Setiap IKU akan mengacu kepada peta strategi (strategy
map) lima tema Depkeu, seperti yang telah disebut sebelumnya, yakni pendapatan negara,
pembiayaan negara, belanja negara, pembiayaan APBN serta pasar modal dan Lembaga

28
Keuangan Non Bank (LKNB). Menurut Supendi, dalam menentukan suatu IKU, harus
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a. Menganut prinsip SMART-C (Spesific, Measurable, Achievable, Relevant, Time-


Bounded, dan Continuously improve).
b. Memiliki relevansi yang sangat kuat dengan sasaran strategisnya (SS-nya).
c. Kalimat yang disusun bersifat definitif bukan normatif.
d. Memiliki penanggung jawab yang jelas.
e. Mencerminkan keseluruhan tugas dan fungsi organisasi atau individu.
f. Dalam satu SS hendaknya terdiri atas 1-2 IKU.
g. Suatu organisasi yang memiliki peta strategi hendaknya memiliki tidak lebih dari 25
IKU, kecuali memiliki "core business" yang sangat heterogen dan menjadi fokus
suatu unit.
h. Suatu organisasi atau individu yang tidak memiliki peta strategi hendaknya memiliki
tidak lebih dari 10 IKU.

Setelah menentukan IKU untuk setiap SS, organisasi perlu menetapkan target untuk setiap
IKU. Target adalah suatu ukuran yang ingin dicapai dalam jangka waktu tertentu. Berkaitan
dengan penerapan BSC, target umumnya ditetapkan untuk masa 1 tahun. Penentuan
besarnya target dapat didasarkan pada beberapa hal seperti pencapaian tahun lalu
(baseline), keinginan stakeholder, atau melihat kepada kondisi internal dan eksternal
organisasi.

Ditahun 2009, IKU-IKU Depkeu One yang merupakan turunan dari Depkeu Wide Kemenkeu
yakni untuk Sekretariat Jenderal adalah 11 Sasaran Strategis dan 32 IKU, IKU Pilihan adalah
Persentase pejabat yang telah memenuhi standar kompetensi jabatannya. Untuk Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) yaitu 13 Sasaran Strategis dan 33 IKU, IKU Pilihan adalah
Jumlah Penerimaan bea dan cukai.

Sedangkan untuk Ditjen Perbendaharaan yaitu 19 Sasaran Strategis dan 39 IKU, IKU Pilihan
adalah Persentase ketepatan penyerapan DIPA K/L. Untuk Ditjen Kekayaan Negara yakni 12
Sasaran Strategis dan 28 IKU, IKU Pilihan adalah Nilai Kekayaan negara yang diutilisasi.
Untuk Ditjen Pengelolaan Utang yakni 12 Sasaran Strategis dan 22 IKU, IKU Pilihan adalah
pemenuhan target pembiayaan melalui utang.

Kemudian untuk Inspektur Jenderal, ada 14 Sasaran Strategis dan 26 IKU, IKU Pilihan
adalah indeks opini BPK atas Laporan Keuangan BA 15 BUN dan BA 999. Untuk Bappepam
LK yakni 16 Sasaran Strategis dan 34 IKU, IKU Pilihan adalah rata-rata persentase
pertumbuhan nilai transaksi saham harian. Untuk Badan Kebijakan Fiskal (BKF) yakni 12

29
Sasaran Strategis dan 23 IKU, IKU Pilihan adalah tingkat akurasi proyeksi kebijakan fiskal.
Untuk Ditjen Anggaran yakni 13 Sasaran Strategis dan 22 IKU, IKU Pilihan adalah tingkat
akurasi exercise I-account.

Untuk Ditjen Perimbangan Keuangan yakni 12 Sasaran Strategis dan 39 IKU, IKU Pilihan
adalah Persentase ketepatan jumlah penyaluran dana transfer ke daerah. Terakhir untuk,
Ditjen Pajak, adalah 15 Sasaran Strategis dan 29 IKU, IKU pilihannya adalah jumlah
penerimaan pajak. Sementara itu untuk BPPK juga memiliki kontrak kinerja dengan 11
Sasaran Strategis dan 22 IKU, IKU Pilihan adalah Rasio jam pelatihan pegawai terhadap jam
kerja Kementerian Keuangan.

Dalam mengelola manajemen kinerja berbasis BSC ini, masing-masing level telah menunjuk
salah satu bidang sebagai Strategy Management Office (SMO). Di level Depkeu Wide,
Menkeu telah menunjuk Kepala Pusat Harmonisasi Kebijakan (Pushaka) sebagai SMO
Kementerian Keuangan untuk mengelola kinerja di tingkat Kementerian Keuangan. Begitu
juga di masing-masing unit eselon I telah ditunjuk manajer kinerjanya. DJBC sendiri melalui
Keputusan Dirjen Bea dan Cukai no. Kep-19/BC/2010 telah menunjuk Bidang Evaluasi
Kinerja Pusat Kepatuhan Internal (Puski) Kepabeanan dan Cukai sebagai SMO DJBC.

Agar dapat memudahkan dalam proses input data, monitoring, dan evaluasi dalam
mendukung peningkatan kinerja Kemenkeu, telah dibangun suatu sistem aplikasi yang
disebut Actuate Performancesoft Views. Perangkat lunak (Software) BSC ini menggunakan
aplikasi berbasis web dengan alamat http://iku.depkeu.go.id/views yang dapat diakses
mengguna- Kemenkeu ini dikelola oleh administrator pusat (Pushaka) pada level Depkeu
Wide dan kan jaringan intranet oleh pegawai Kemkeu yang mempunyai user account.
Aplikasi BSC administrator unit (unit eselon I) pada level Depkeu Wide.

Sumber: Majalah Warta Bea Cukai Edisi - 427

30
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Jadi, hal yang dapat kita petik atau tangkap dari materi Balance ScoreCard
adalah bahwa metode ini merupakan alat yang efektif untuk mengukur kinerja dan
mencapai tujuan strategis perusahaan. Metode ini menekankan pada aspek
keuangan dan non-keuangan dari perusahaan, seperti pelanggan, proses intern,
dan pembelajaran serta pertumbuhan.

Sebagai suatu sistem, dimana hasil yang diperoleh merupakan outcome


dari tindakan organisasi yang disusun dan dilakukan secara terencana. Selain itu,
pada organisasi bisnis diakui adanya hubungan sebab dan akibat, dimana hasil
yang diperoleh merupakan akibat dari dilakukannya suatu tindakan oleh
perusahaan.

B. Saran

Demikianlah makalah yang kami buat ini, semoga bermanfaat dan


menambah pengetahuan para pembaca. Kami mohon maaf apabila ada
kesalahan ejaan dalam penulisan kata dan kalimat yang kurang jelas, dimengerti,
dan lugas. Karena kami hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan
dan kami juga sangat mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca demi
kesempurnaan makalah ini. Sekian penutup dari kami semoga dapat diterima di
hati dan kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

31
DAFTAR PUSTAKA

Berto Usman, S.E., M.Sc., Ph.D & Prof. Dr. Ridwan Nurazi, SE, M.SC., Ak., CA.
“Manajemen Keuangan Sektor Publik” (2015): 32-73 (hal.323-347)
Budiarso, A (2014). Improving Government Performance In Indonesia: The
Experience of The Balanced Scorecard In The Ministry of Finance. A
thesis submitted for the degree of Professional Doctorate in Business
Administration. The University of Canberra. Australia.
Hendricks, K. et.all. (2004). The Balance Scorecard: To adopt or not to adopt, Invey
Business Journal. www.iveybusinessjournal.com
Ho, S. J. K., Chan, S. J. L. (2002) Performance measurement and the on
implementation of Balanced Scorecards in municipal governments.
Journal of Government Financial Management. Vol. 51 No. 4. Pp. 8-19.
Johanes. (2008). Balanced Scorecard Konsep dan Implementasi: Sebagai Strategi
Perusahaan. Indonesia.
Kaplan, R. S. & Norton, D. P. (1992). The Balanced Scorecard - Measures that Drive
Performance. Harvard Business Review. Vol. 70. No. 1. Pp. 71-79.
Kaplan, R. S. & Norton, D. P. (1996a). Using the Balanced Scorecard as a Strategic
Management System. Harvard Business Review. Vol. 74. No. 1. Pp. 75-
85.
Kaplan, R. S. & Norton, D. P. (1996b). The Balanced Scorecard: Translating
Strategy into Action. Boston, Harvard Business School Press.
Mulyadi. (2001). Balanced Scorecard: Alat Manajemen Kontemporer untuk
Pelipatganda Kinerja Keuangan Perusahaan (Edisi ke-2). Penerbit
Salemba Empat. Jakarta. Indonesia.
Mulyadi. (2005). Sistem Manajemen Strategic Berbasis Balance Scorecard. Penerbit
UPP AMP YKPN. Yogyakarta. Indonesia

32

Anda mungkin juga menyukai