BALANCE SCORECARD
Disusun Oleh:
Kelompok 10 :
Arfandy Ilyas 202010034
Kamilatul Insia 202010189
Mutiara Nirmalasari 202010190
Renaldy Jumantara 202010305
Deliatri Rosmayana 202010310
Ignasius Yusran 202010323
2023/2024
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh
karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari
Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang ini dapat memberikan
ii
DAFTAR ISI
BAB I ............................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ............................................................................................................................. 1
C. Tujuan ..................................................................................................................................... 4
BAB II .............................................................................................................................................. 5
PEMBAHASAN ............................................................................................................................... 5
iii
PENENTUAN SCORECARD .................................................................................................... 20
PENUTUP ..................................................................................................................................... 31
A. Kesimpulan ........................................................................................................................... 31
B. Saran ..................................................................................................................................... 31
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bisnis dalam suatu organisasi sektor publik dapat dipahami sebagai satu
sistem, dimana hasil yang diperoleh merupakan outcome dari tindakan organisasi
yang disusun, dan dilakukan secara terencana. Selain itu pada orgnanisasi bisnis
diakui adanya hubungan sebab dan akibat dimana hasil yang diperoleh
merupakan akibat dari dilakukannya suatu tindakan oleh perusahaan harus
diakaui bahwa akan ada konsep win fail yang menunjukkan bahwa satu
organisasi bisa mendapat keuntungan di luar strategi yang dirancang oleh
organisasi itu sendiri. Sejalan dengan kondisi tersebut, dalam model pengajaran
bisnis yang modern salah satu tahapan yang dikenal adalah konsep mengenai
pengukuran imbal hasil, Wilson Hagarty & Gauthier 2003 menyebutkan bahwa
return on investmen merupakan alat ukur imbal hasil sangat disukai karena dinilai
cukup sederhana dan ukur imbal hasil yang sangat disukai karena sangat
dipengaruhi oleh adanya kebijakan yang memperhitungkan penyusutan,
sensivitas ROI terhadap nilai buku, adanya praktik transfer pricing, dalam ROI,
terhadap nilai buku, kepada target jangka pendek, nilai ROI tidak bisa
dibandingkan antar kepada target jangka pendek, nilai ROI tidak bisa
dibandingkan antar perusahaan yang berbeda, rasio ROI sangat dipengaruhi oleh
keadaan perekonomian secara umum, ROI turun dipengaruhi oleh strategi
pengelolaan persediaan (Last In First Out, LIFO dan First in First Out, FIFO).
1
sudut pandang ROI yang tinggi organisasi juga diharapkan dapat menerapkan
prinsip perbaikan mutu.
Esensi alat ukur tidak hanya ditujukan dan dimaksudkan untuk mengukur
kinerja saja, tapi juga dimaksudkan untuk memastikan bahwa alat ukur yang
digunakan oleh organisasi sudah mengadopsi suatu sistem strategi yang tepat.
Akibatnya, apa yang disebut oleh Kaplan bahwa kinerja akan menjadi faktor
penentu strategi yang digunakan memang benar-benar terwujud. Pengalaman
FMC Corporation yang menerapkan konsep strategi pengukuran BSC dapat
2
dicatat sebagai solusi dalam penerapan BSC. FMC Corporation adalah
perusahaan manufaktur yang beroperasi dengan memproduksi sebanyak lebih
dari 300 varian produk di Philadelphia, Amerika Serikat.
B. Rumusan Masalah
3
C. Tujuan
4
BAB II
PEMBAHASAN
5
1. Pengukuran kinerja didasarkan pada masing-masing aktivitas pada
karakteristik organisasi itu sendiri dan sesuaikan dengan perspektif
pelanggan.
2. Dilakukannya evaluasi pada berbagai aktivitas, yaitu dengan menggunakan
ukuran-ukuran kinerja yang costumer-validated
3. Adanya kesesuaian dengan seluruh aspek kinerja yang mempengaruhi
pelanggan, sehingga dapat menghasilkan penilaian yang komprehensif
4. Adanya peluang untuk menghasilakn umpan balik agar dapat membantu
seluruh anggota organisasi dalam mengenali masalah- masalah dapat
diperbaiki segera.
Pada tahun 1990, Nolan Norton Insitute yang dipimpin oleh David P.
Norton mensponsori suatu studi tentang pengkuran kinerja dalam organisasi
masa depan. Riset tersebut dilakukan oleh Norton bersama dengan Robert
Kaplan, dan kemudian hasil itu dipublikasikan dalam Jurnal Harvard Review
1992 dengan judul “Balanced Scorecard-Measures that Drive Performance”.
1. Komp rehensif
Balanced ScoreCard menambahkan perspektif yang ada dalam
perencanaan strategis, terutama yang pada awalnya hanya ada perpektif
keuangan, namun kini ketiga perpektif yang lain seperti pelanggan, proses
bisnis internal, dan pembelajaran dan pertumbuhan. Perluasan perspektif
8
rencana strategis ke perspektif nonkeuangan tersebut menghasilkan
sejumlah manfaat sebagai berikut :
a. Menjanjikan kinerja keungan yang berlipat ganda dalam jangka
panjang
b. Membuat perusahaan atau organisasi mampu untuk memasuki
lingkungan bisnis dengna tingkat kompleksitas yang tinggi.
2. Koheren
Balanced ScoreCard mewajibkan untuk membangun suatu hubungan
sebab akibat di antara berbagai sasaran strategi terutama yang dihasilkan
dalam proses perencanaan strategis masing-masing sasaran strategis yang
ditetapkan dalam perpektif non-keuangan harus memiliki hubungan kausal
dengan sasaran bertanggung jawab dalam mencari inisiatif yang
bermanfaat dalam menghasilakn sasaran strategis secara koheren ini akan
menjanjikan potensial yang diperoleh dalam jangka waktu yang panjang.
3. Seimbang
Keseimbangan sasaran strategis yang dihasilkan oleh sistem
perencanaaan strategis menjadi komponen penting untuk menghasilkan
kinerja keunagnan. Dengan demikian perlu diperlihatkan pola garis
keseimbangan yang harus diusahakan organisasi dalam mentapkan
sasaran-sasaran pada keempat perspektif yang terkandung dalam
balanced scorecard.
4. Terukur
Ketekuran sasaran strategis juga tercapainya berbagai macam
strategis yang dihasilkan oleh sistem perencanaan. Seluruh sasaran dapat
ditentukan oleh ukurannya, baik untuk sasaran strategis pada perspektif
keuangan, maupun sasaran strategis pada perspektif nonkeuangan.
Dengan diberlakukannya pengukurang kinerja berkonsep Balanced
ScoreCard, sejumlah sasaran strategis yang sulit diukur seperti saran-
sasaranperpektif nonkeuangan dapat ditentukan dengan demikian,
ketekuran sasaran-sasaran strategis pada perspektif nonkeuangan turut
menjanjikan perwujudan berbagai sasaran strategis nonkeuangan,
sehingga kinerja keuangan dapat berlipat ganda dalam kurun waktu yang
panjang.
9
Selain keunggulan mengenai BSC yang diungkapkan oleh Mulyadi,
(2001) di atas, Mwijuma, Omido, Garashi, Odera & Akerele, (2013) juga
meneliti efektivitas implementasi strategi dengan menggunakan balanced
scorecard Efektivitas BSC sangat tergantung pada bagaimana proses
penilaian dan pengukurannya dilakukan. Pada saat pemerintah daerah
melakukan aktivitas evaluasi dan penilaian kinerja untuk kemudian
diselaraskan hasilnya dengan tujuan organisasi, maka hal tersebut akan
menjadi kunci utama dalam mempersiapkan keberhasilan organisasi agar
dapat menjalankan aktivitasnya. Dalam hal ini, setiap sudut pandang yang
terkandung dalam balanced scorecard memiliki bobot yang saling
mendukung satu sama lain. Konsep balance scorecard yang diterapkan pada
penilaian kinerja pemerintah daerah cenderung akan menggambarkan
sejauh apa pemerintah daerah mampu menunjukkan kinerja terbaiknya
dalam mencapai tujuan organisasi.
1. Perspektif Keuangan
Balanced ScoreCard menjadi tolok ukur kinerja keuangan yang
menggunakan oleh banyak perusahaan pada umumnya, yaitu laba bersih
dan ROI. Alasannya adalah karena tolak ukur tersebut sudah digunakan oleh
banyak perusahaan, terutama untuk mengetahui tingkat laba yang dihasilkan.
10
Akan tetapi tolak ukur keunagna saja tidak dapat mencerminkan penyebab
yang memicu terjadinya perubahan kekayaan yang diperoleh perusahaan
atau organisasi (Mulyadi dan Setyawan, 2000).
Menurut Kaplan & Norton 2000, siklus apa yang terjadi dalam suatu
kegiatan bisnis terbagi ke dalam 3 tahap yaitu tahap bertumbuh (growth)
bertahan (sustain) dan tahap manual (harvest) masing masing tahapan dalam
11
siklus bisnis tersebut memiliki tujuan finansial yang berbeda beda. Tahap
bertumbuh (growth) merupakan awal atau titik start yang dimulai organisasi
dalam suatu siklus bisnis. Pada tahap ini organisasi tersebut diharapkan dapat
memiliki produk baru yang dianggap potensial bagi bisnis tersebut. Oleh karena
itu, pada tahap growth perlu diperhatikan sumber day apa saja yang dapat
dimanfaatkan untuk melakukan pengembangan produk baru, meningkatkan
kinerja layanan, mengembangkan fasilitas yang dapat menunjang produksi,
investasi pada sisi yang ada, serta mengembangkan infrastruktur dan jaringan
distribusi dapat menunjang terbentuknya hubungan kerja yang baik dengan
pelanggan. Secara keseluruhan, tujuan finansial dalam tahap ini adalah
megnukur presentase tingkat pertumbuhan pendapatan dan tingkat
perumbuhan penjualan di pasar sasaran.
1. Growth (Berkembang).
12
membangun dan mengembangkan fasilitas produksi, menambah
kemampuan operasional perusahaan, mengembangkan sistem yang ada,
memperluas jaringan distribusi yang akan mendukung hubungan global,
serta mempertahankan dan mengembangkan hubungan yang baik
dengan pelanggan.
3. Harvest (Panen)
Tahap ketiga ini adalah tahap kematangan (mature), yaitu suatu tahap
dimana perusahaan melakukan panen atas investasi yang mereka miliki.
Perusahaan memutuskan untuk tidak lagi melakukan investasi kecuali
hanya untuk memelihara dan melakukan perbaikan fasilitas, dan bukan
bertujuan untuk melakukan ekspansi usaha. Tujuan utama dalam tahap
ini adalah untuk memaksimumkan jumlah arus kas yang masuk ke
organisasi. Selain itu, yang menjadi sasaran keuangan dalam tahap
harvest ini adalah memaksimumkan nilai arus kas atas investasi yang
dilakukan di masa lalu.
13
2. Perspektif Pelanggan
Pada perspektif pelanggan, organisasi dipandang perlu untuk
menentukan segmen pasar dan pelanggan yang menjadi target sasarannya.
Hal ini mengharuskan manajer harus dapat menentukan alat ukur terbaik
agar dapat mengukur kinerja individual dari masing-masing unit operasi.
Tujuannya adalah sebagai upaya untuk mencapai target finansial yang telah
direncanakan sebelumnya. Selanjutnya, apabila suatu unit bisnis
menargetkan untuk mencapai kinerja keuangan yang superior dalam jangka
panjang, maka organisasi harus dapat menciptakan dan menyajikan
sejumlah produk atau jasa baru yang memiliki nilai lebih untuk pelanggannya
(Kaplan & Norton, 1996). Dalam konteks ini, produk dapat dikatakan bernilai
jika manfaat yang diterima dari produk lebih tinggi daripada biaya perolehan
yang harus dikeluarkan. Kemampuan perusahaan untuk memenuhi kondisi
tersebut cenderung terbatas, terutama untuk memuaskan pelanggan
potensial. Dengan demikian, organisasi perlu memutuskan untuk mengkaji
segmentasi pasar agar dapat melayani pelanggan sasaran dengan optimal.
Secara umum, terdapat 2 kelompok pengukuran yang lazim digunakan
dalam mengukur perspektif pelanggan, yaitu:
14
b. Akuisisi Pelanggan
Akuisisi pelanggan adalah bentuk motivasi yang lazim
digunakan dalam mengukur seberapa besar kemampuan perusahaan
untuk menarik pelanggan baru. Akuisisi ini diukur dengan
membandingkan jumlah perolehan pelanggan dari tahun ke tahun.
c. Retensi Pelanggan
Retensi pelanggan dimaksudkan untuk mengukur seberapa
banyak perusahaan berhasil mempertahankan pelanggan lamanya.
Pengukurannya dapat dilakukan dengan menghitung besarnya
persentase pertumbuhan bisnis dengan jumlah pelanggan yang ada
saat ini, untuk selanjutnya dihitung dengan cara membandingkan
jumlah pelanggan pada tahun berjalan dengan jumlah pelanggan
pada tahun sebelumnya.
d. Tingkat Kepuasan Pelanggan
Tolak ukur tentang kepuasan pelanggan dapat diketahui jika
pelanggan merasa puas terhadap layanan perusahaan. Indikasinya
adalah apakah pelanggan memberikan informasi sebagai umpan
balik (feedback) mengenai seberapa baik perusahaan
melaksanakan bisnisnya.
15
a. Atribut produk atau jasa, yang meliputi sejumlah aspek seperti
tingkat harga eceran relatif, yaitu tingkat harga yang
dibandingkan dengan tingkat harga produk pesaing. Tingkat daya
guna produk, yaitu seberapa jauh produk yang telah dibeli
berdaya guna bagi pelanggan. Tingkat pengembalian produk
yang dilakukan oleh pelanggan sebagai dampak dari cacat
produk, produk rusak, atau produk yang tidak lengkap, mutu
peralatan dan fasilitas proses produksi yang digunakan,
kemampuan SDM, dan tingkat efisiensi produksi.
b. Hubungan dengan pelanggan, meliputi distribusi produk kepada
pelanggan, termasuk tanggapan dari perusahaan, waktu yang
dibutuhkan untuk melakukan pengiriman barang, tingkat
fleksibilitas perusahaan dapat memenuhi keinginan dan
kebutuhan pelanggannya, tampilan fisik dan mutu layanan yang
ditawarkan. oleh tenaga penjual, fasilitas penjualan, serta
bagaimana perasaan pelanggan setelah melakukan pembelian
produk atau jasa dari perusahaan bersangkutan.
c. Citra dan reputasi, meliputi faktor-faktor tak kasat mata
(intangible) yang dimiliki perusahaan untuk menarik pelanggan.
Hal ini menjadi penting karena minat pelanggan sangat erat
kaitannya dengan perusahaan, atau bahkan dengan adanya
minat akan merangsang pelanggan untuk melakukan pembelian
produk.
16
keuangan yang memadai. Setiap tahapan mempunyai seperangkat proses
penciptaan nilai yang unik bagi pelanggannya. Dengan demikian, Kaplan &
Norton (1996) membagi proses bisnis internal ke dalam tiga prinsip dasar
yang terdiri atas :
1. Proses inovasi
Proses inovasi merupakan bagian terpenting dalam proses
produksi. Namun, adapun perusahaan yang memposisikan proses
inovasi di luar aktivitas produksi. Proses inovasi terdiri atas dua
komponen, yaitu identifikasi keinginan pelanggan, dan melaksanakan
aktivitas perancangan produk yang disesuaikan dengan keinginan
pelanggan. Jika output inovasi dari perusahaan tidak dapat
memenuhi keinginan pelanggan, maka produk tidak akan mendapat
tanggapan positif. Hal ini berakibat pada semakin berkurangnya
tambahan pendapatan organisasi. Bahkan, dalam kondisi sulit seperti
ini organisasi masih harus mengeluarkan biaya investasi pada proses
penelitian dan pengembangan.
2. Proses operasi
Aktivitas pada proses operasi merupakan kegiatan yang
dilakukan organisasi mulai saat diterimanya penerimaan pesanan
pelanggan, sampai pada dilakukannya pengiriman produk ke
pelanggan. Proses operasi fokus pada penyampaian produk kepada
pelanggan dengan seefisien mungkin, dan tepat waktu. Proses ini
juga menjadi konsentrasi utama sistem pengukuran kinerja yang
dilakukan pada sebagian besar organisasi. Selain itu, tahapan ini juga
merupakan proses di mana perusahaan berusaha untuk memberikan
solusi kepada para pelanggan, terutama untuk memenuhi kebutuhan
dan keinginan pelanggan. Tolak ukur yang sering digunakan antara
lain yaitu, Manufacturing Cycle Effectiveness (MCE), tingkat
kerusakan produk pra penjualan, banyaknya bahan baku yang
terbuang secara percuma, frekuensi pengerjaan ulang produk
sebagai akibat terjadinya kerusakan barang, banyaknya permintaan
pelanggan yang tidak terpenuhi, penyimpangan biaya produksi aktual
17
terhadap biaya anggaran produksi, serta tingkat efisiensi per kegiatan
produksi.
3. Proses Penyampaian Produk atau Jasa pada Pelanggan
Proses penyampaian produk atau jasa pada pelanggan
meliputi aktivitas pengumpulan, penyimpanan, pendistribusian,
layanan purna jual, yang bertujuan untuk memberikan manfaat
tambahan kepada pelanggan yang telah membeli produk.
18
dapat diukur dalam kepuasan pekerja adalah keterlibatan pekerja
untuk melakukan pengambilan keputusan, pengakuan, akses
terhadap informasi, dorongan bekerja secara kreatif, berinisiatif,
serta dukungan yang diperoleh dari atasan. Hal yang perlu
diperhatikan dan dikaji adalah hubungan antara kepuasan
karyawan dan produktivitas kerja karyawan. Sebagai upaya untuk
dapat mengetahui tingkat kepuasan karyawan, organisasi perlu
melakukan survei secara berkala. Lebih lanjut, produktivitas kerja
akan menjadi hasil dari pengaruh peningkatan keahlian moral,
inovasi, perbaikan proses internal, dan tingkat kepuasan
konsumen.
b) Retensi pekerja
Retensi pekerja adalah kemampuan organisasi untuk
memper-tahankan sumber daya manusia terbaik yang ada dalam
organisasi. Organisasi menyadari bahwa investasi pada SDM
merupakan aktivitas investasi jangka panjang yang sangat
diperlukan bagi organisasi. Oleh karenanya, keluarnya seorang
pekerja yang tidak dilatarbelakangi oleh keinginan organisasi
menjadi suatu kerugian. Retensi pekerja ini pada umumnya sering
diukur dengan menggunakan persentase rasio turnover karyawan
pada suatu organisasi.
c) Produktivitas pekerja
Produktivitas pekerja adalah output dari pengaruh yang terjadi
sebagai akumulasi peningkatan keahlian dan moral, inovasi,
proses internal, dan kepuasan pelanggan. Tujuannya adalah
untuk menghubungkan output yang dihasilkan oleh pekerja
dengan jumlah pekerjaan yang seharusnya dapat dilakukan untuk
menghasilkan output tersebut.
19
diperlukan untuk memperoleh informasi yang relevan. Organisasi harus
memiliki prosedur pelayanan dan distribusi informasi yang mudah
dipahami dan mudah dijalankan. Tolok ukur yang sering digunakan
adalah seberapa mudah suatu informasi yang diperlukan dapat dengan
mudah diakses, seberapa valid informasi tersebut, serta seberapa lama
waktu yang diperlukan untuk mendapatkan informasi yang dimaksud.
G. PENENTUAN SCORECARD
20
diantaranya yaitu (i) sedikitnya frekuensi pemeriksaan mengenai faktor-faktor
yang berhubungan dengan pengadopsian BSC, dan (ii) masih dipelukannya
bahwa penerapan BSC akan berpengaruh secara langsung pada perubahan
kinerja keuangan. Lebih jauh, hasil studi Hendricks (2004) juga menyebutkan
bahwa kunci utama dalam implementasi BSC adalah sebagai berikut:
21
mengenai masalah sistematis yang ditemui dalam birokrasi pemerintahan
Indonesia sebelum tahun 2006.
Sumber: Toha, (1987); Yudhiatara, (1997); McLeod, (2006); Turner, Imbaruddin &
Sutiyono, (2009); Prasojo, (2012); Budiarso, (2014).
22
langsung. Penentuan sasaran dan target merupakan suatu pekerjaan yang
cukup rumit dan memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi oleh karenanya hal
tersebut harus termuat dalam satu perencaaan yang disusun secara matang
dan sistematis baik untuk jangka panjang maupun jangka pendek. Dengan
demikian penetapan untuk mengimplementasikan BSC harus disertai dengan
berbagai macam pertimbangan dan penyesuaian. Penyesuaian dalam
konstek ini adalah mengalokasikan sumber daya yang ada sebagai upaya
mencapai tujuan. Tanpa adanya proses pangalokasian sumber daya tidak
ada jaminan bahwa organisasi akan mendapat manfaat dari diterapkannya
BSC.
SKOR NILAI
-1 KURANG
0 CUKUP
1 BAIK
23
Tabel 10.3 Ukuran Kinerja Dalam Model Balanced Scorecard
Ukuran
Pendapatan
Cycle E
Peningkatan
Effectiveness
efisiensi keuangan
Depth of realtionship
Retensi pelanggan
Berkurangnya
Kepuasan
keluhan
pelanggan
Karyawan keluar
berkurang
Karyawan mengikuti
latihan
Total
24
Contoh Kasus 1
Organisasi pemerintah sebagai institusi publik ditantang untuk memenuhi harapan sebagai
kelompok stakeholders agar dapat bertindak profesional sebagaimana telah dilakukan oleh
organisasi swasta. Hal ini kemudian mendorong kementerian keuangan sebagai inisiator
reformasi birokrasi institusi publik untuk menerapkan Balanced Scorecard (BSC) dalam
mengukur kinerjanya.
Banyak metode yang bisa digunakan guna mengukur kinerja suatu organisasi, diantaranya
dengan metode Malcolm Baldridge National Quality Award (MBNQA), Balanced Scorecard,
Six Sigma dan sebagainya. Dari sekian banyak metode pengukuran kinerja, Balanced
Scorecard (BSC) merupakan salah satu yang banyak digunakan di sejumlah organisasi
terkemuka di dunia.
Umumnya, metode BSC digunakan di sektor swasta. Namun, paradigma baru menuntut
institusi publik meningkatkan orientasinya pada stakeholder. Organisasi pemerintah sebagai
institusi publik juga ditantang untuk memenuhi harapan berbagai kelompok stakeholders
(yaitu penerima layanan, karyawan, lembaga pemberi pinjaman/hibah, masyarakat, dan
pembayaran pajak). Tuntutan ini mengharuskan organisasi pemerintah untuk bertindak
secara profesional sebagaimana yang dilakukan oleh organisasi swasta. Dengan begitu,
diharapkan institusi publik menjadi akuntabel, kompetitif, ramah rakyat, dan berfokus pada
kinerja.
25
Agar organisasi pemerintah dapat berfokus pada strategi yang sudah dirumuskan maka
organisasi pemerintah juga harus menerjemahkan strategi ke dalam terminologi operasional,
menyelaraskan organisasi dengan strategi, memotivasi staf sehingga membuat strategi
merupakan tugas setiap orang, menggerakkan perubahan melalui kepemimpinan eksekutif
dan membuat strategi sebagai suatu proses yang berkesinambungan.
Penerapan BSC bagi Kemenkeu ini relatif baru apabila dibandingkan secara beberapa
instansi pemerintah lainnya yang telah mengadopsi metode BSC seperti Bank Indonesia
(tahun 2003), Badan Pemeriksa Keuangan (2006), Komisi Pemberantas Korupsi (2006) dan
intitusi publik lainnya. Pengelolaan kinerja berbasis BSC di lingkungan Kementerian
Keuangan (Kemenkeu) didasarkan pada Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor
12/KMK.01/2010 tentang Pengelolaan Kinerja Dilingkungan Departemen Keuangan.
Keputusan tersebut mengatur tentang penerapan pengelola kinerja, kontrak kinerja,
penyusunan dan perubahan peta strategi Indikator Kinerja Utama (IKU) dan target serta
pelaporan capaian kinerja triwulan kepada Menteri Keuangan.
Keputusan menggunakan BSC ini dihasilkan berdasarkan pertemuan selama dua hari pada
bulan oktober 2007 yang dilakukan Menteri Keuangan, dan seluruh pejabat Eselon I dari
beberapa pejabat Eselon II di lingkungan Kementerian Keuangan, dibantu oleh konsultan
dari GML Performance Consulting. Pertemuan ini menghasilkan lima peta yang berisi lima
tema yaitu tema pendapatan, tema belanja, pembiayaan, kekayaan negara, dan pasar
modal. Pada 12 desember 2007 dalam Rapat Pimpinan di Denpasar diputuskan bahwa
Depkeu akan mengukur kinerja dengan Balanced Scorecard dengan lima tema sebagai
dasarnya. Dan di pertengahan 2008 sampai 2009 Kemenkeu menurunkan (cascade) sampai
ke eselon II.
26
Refinement Depkeu Wide
Pada awal pengembangannya, peta strategi Kemenkeu terdiri atas lima peta yang
menggambarkan tema pendapatan negara, belanja negara, pembiayaan APBN, kekayaan
negara, serta pengawasan pasar modal dan lembaga keuangan. Lima tema tersebut
menghasilkan 86 sasaran strategis (SS) dengan 206 IKU.
Kepala Bagian Perencanaan dan Evaluasi Indikator Kinerja Utama (PEIKU) Pusat
Harmonisasi Kebijakan (Pushaka) Kementerian Keuangan, Supendi menjelaskan bahwa
Depkeu Wide mengalami refinement atau perbaikan. Lima peta yang digunakan Kemenkeu
ketika itu, di awal tahun 2009 diperbaiki menjadi satu peta strategi yang terdiri atas empat
perspektif BSC. "Hal ini dilakukan, karena terlalu banyak dan rumitnya monitoring atas IKU
dari lima peta tersebut. Executive summary dari lima tema menjadi satu tema terjadi setelah
kami press karena sebelumnya ada pekerjaan level bawah yang naik ke atas. Dalam satu
tema tersebut terdapat 20 SS dengan jumlah IKU 26," jelas Supendi.
4. Menentukan IKU strategis dari tiap unit eselon I sebagai IKU Menkeu.
Setelah terbentuknya Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II yang memiliki rencana pembangunan
jangka menengah yang harus di-breakdown dalam renstra lima tahunan (2010-2014), maka
Depkeu-Wide pun harus disesuaikan. "Depkeu-Wide harus menyesuaikan dengan Renstra
tersebut karena BSC merupakan alat manajemen strategi yang menerjemahkan visi, misi
dan strategi yang tertuang dalam Renstra ke dalam suatu peta strategi," papar Supendi.
Setelah terbentuknya Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II yang memiliki rencana pembangunan
jangka menengah yang harus di-breakdown dalam renstra lima tahunan (2010-2014), maka
Depkeu-Wide pun harus disesuaikan. "Depkeu-Wide harus menyesuaikan dengan Renstra
tersebut karena BSC merupakan alat manajemen strategi yang menerjemahkan visi, misi
dan strategi yang tertuang dalam Renstra ke dalam suatu peta strategi," papar Supendi.
Di bulan Februari 2010, dalam Rapat Pimpinan antara Menteri dengan pejabat eselon I
disetujui Depkeu-Wide hasil refinement mencakup 16 SS dan 39 IKU. Menurut Supendi,
27
perbedaan utama antara executive summary dengan yang baru adalah pertama, dalam
costumer perspective dulu ada 6 SS sekarang dijadikan 2 SS. "Karena ada 5 SS di-executive
summary yang ternyata ukurannya cuma satu yaitu indeks kepuasan stakeholder yang
surveinya dilaksanakan oleh pihak independen dalam hal ini adalah Universitas Indonesia,"
jelas Supendi. Kedua, perubahan di learning and growth, dimana ada kalimat yang
menyebutkan "mewujudkan good governance" diganti dengan kata "anggaran". Perubahan
ketiga yakni sebagian sasaran strategi di stakeholder perspective yang lama lebih tepat
dimasukkan di internal proses. "Misalnya seperti tingkat pendapatan yang optimal. Diganti
dengan utilisasi kekayaan negara yang optimal," lanjut Supendi.
Pengukuran Berjenjang
Balanced Scorecard Kemenkeu yang sudah ditetapkan dalam sasaran strategi harus
diturunkan (cascaded) ke seluruh unit organisasi yang ada di bawahnya. Balanced
Scorecard Kemenkeu ini disebut Depkeu-Wide sedangkan setelah di-cascade ke unit
organisasi di bawahnya yaitu ke eselon I disebut Depkeu-One dan ke eselon II disebut
Depkeu-Two. Sampai dengan tahun 2009, BSC baru diimplementasikan sampai dengan
tingkat eselon II. Direncanakan pada pertengahan tahun 2010 akan dilaksanakan cascading
BSC ke level Eselon III (Depkeu-Three). Proses cascading hingga ke level Depkeu-Five,
seluruhnya ditargetkan akan selesai disusun di tahun 2011.
Sebagai pilot project, Kemenkeu harus terus meningkatkan kualitas kinerja secara kontinu
dan memperbaiki kualitas layanan kepada stakeholder. Untuk itu diperlukan sebuah pakem
atau ukuran-ukuran strategis untuk bisa menunjukkan adanya kemajuan, yakni dengan Key
Performance Indicator (KPI) atau biasa disebut Indikator Kinerja Utama (IKU).
IKU adalah tolak ukur capaian kinerja yang ditetapkan secara strategis yang
menggambarkan hasil capaian unit dalam suatu periode waktu. Dengan berbagai indikator,
IKU dapat menjadi alat untuk menggambarkan keberhasilan capaian kinerja unit dalam
jangka waktu yang ditetapkan. Hasil-hasil yang telah dicapai dalam penerapan ini selalu
dimonitor dan dilaporkan untuk menjadi umpan balik terhadap strategi yang telah dirumuskan
sebelumnya.
Pengukuran IKU, yang merupakan bagian dari pilar reformasi mencakup beberapa indikator,
yakni learning and growth, strategic outcomes (stakeholder & customer), internal business
process. Indikator ini terangkum dalam strategy map yang merupakan peta strategis
cerminan hubungan sebab akibat. Setiap IKU akan mengacu kepada peta strategi (strategy
map) lima tema Depkeu, seperti yang telah disebut sebelumnya, yakni pendapatan negara,
pembiayaan negara, belanja negara, pembiayaan APBN serta pasar modal dan Lembaga
28
Keuangan Non Bank (LKNB). Menurut Supendi, dalam menentukan suatu IKU, harus
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
Setelah menentukan IKU untuk setiap SS, organisasi perlu menetapkan target untuk setiap
IKU. Target adalah suatu ukuran yang ingin dicapai dalam jangka waktu tertentu. Berkaitan
dengan penerapan BSC, target umumnya ditetapkan untuk masa 1 tahun. Penentuan
besarnya target dapat didasarkan pada beberapa hal seperti pencapaian tahun lalu
(baseline), keinginan stakeholder, atau melihat kepada kondisi internal dan eksternal
organisasi.
Ditahun 2009, IKU-IKU Depkeu One yang merupakan turunan dari Depkeu Wide Kemenkeu
yakni untuk Sekretariat Jenderal adalah 11 Sasaran Strategis dan 32 IKU, IKU Pilihan adalah
Persentase pejabat yang telah memenuhi standar kompetensi jabatannya. Untuk Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) yaitu 13 Sasaran Strategis dan 33 IKU, IKU Pilihan adalah
Jumlah Penerimaan bea dan cukai.
Sedangkan untuk Ditjen Perbendaharaan yaitu 19 Sasaran Strategis dan 39 IKU, IKU Pilihan
adalah Persentase ketepatan penyerapan DIPA K/L. Untuk Ditjen Kekayaan Negara yakni 12
Sasaran Strategis dan 28 IKU, IKU Pilihan adalah Nilai Kekayaan negara yang diutilisasi.
Untuk Ditjen Pengelolaan Utang yakni 12 Sasaran Strategis dan 22 IKU, IKU Pilihan adalah
pemenuhan target pembiayaan melalui utang.
Kemudian untuk Inspektur Jenderal, ada 14 Sasaran Strategis dan 26 IKU, IKU Pilihan
adalah indeks opini BPK atas Laporan Keuangan BA 15 BUN dan BA 999. Untuk Bappepam
LK yakni 16 Sasaran Strategis dan 34 IKU, IKU Pilihan adalah rata-rata persentase
pertumbuhan nilai transaksi saham harian. Untuk Badan Kebijakan Fiskal (BKF) yakni 12
29
Sasaran Strategis dan 23 IKU, IKU Pilihan adalah tingkat akurasi proyeksi kebijakan fiskal.
Untuk Ditjen Anggaran yakni 13 Sasaran Strategis dan 22 IKU, IKU Pilihan adalah tingkat
akurasi exercise I-account.
Untuk Ditjen Perimbangan Keuangan yakni 12 Sasaran Strategis dan 39 IKU, IKU Pilihan
adalah Persentase ketepatan jumlah penyaluran dana transfer ke daerah. Terakhir untuk,
Ditjen Pajak, adalah 15 Sasaran Strategis dan 29 IKU, IKU pilihannya adalah jumlah
penerimaan pajak. Sementara itu untuk BPPK juga memiliki kontrak kinerja dengan 11
Sasaran Strategis dan 22 IKU, IKU Pilihan adalah Rasio jam pelatihan pegawai terhadap jam
kerja Kementerian Keuangan.
Dalam mengelola manajemen kinerja berbasis BSC ini, masing-masing level telah menunjuk
salah satu bidang sebagai Strategy Management Office (SMO). Di level Depkeu Wide,
Menkeu telah menunjuk Kepala Pusat Harmonisasi Kebijakan (Pushaka) sebagai SMO
Kementerian Keuangan untuk mengelola kinerja di tingkat Kementerian Keuangan. Begitu
juga di masing-masing unit eselon I telah ditunjuk manajer kinerjanya. DJBC sendiri melalui
Keputusan Dirjen Bea dan Cukai no. Kep-19/BC/2010 telah menunjuk Bidang Evaluasi
Kinerja Pusat Kepatuhan Internal (Puski) Kepabeanan dan Cukai sebagai SMO DJBC.
Agar dapat memudahkan dalam proses input data, monitoring, dan evaluasi dalam
mendukung peningkatan kinerja Kemenkeu, telah dibangun suatu sistem aplikasi yang
disebut Actuate Performancesoft Views. Perangkat lunak (Software) BSC ini menggunakan
aplikasi berbasis web dengan alamat http://iku.depkeu.go.id/views yang dapat diakses
mengguna- Kemenkeu ini dikelola oleh administrator pusat (Pushaka) pada level Depkeu
Wide dan kan jaringan intranet oleh pegawai Kemkeu yang mempunyai user account.
Aplikasi BSC administrator unit (unit eselon I) pada level Depkeu Wide.
30
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jadi, hal yang dapat kita petik atau tangkap dari materi Balance ScoreCard
adalah bahwa metode ini merupakan alat yang efektif untuk mengukur kinerja dan
mencapai tujuan strategis perusahaan. Metode ini menekankan pada aspek
keuangan dan non-keuangan dari perusahaan, seperti pelanggan, proses intern,
dan pembelajaran serta pertumbuhan.
B. Saran
31
DAFTAR PUSTAKA
Berto Usman, S.E., M.Sc., Ph.D & Prof. Dr. Ridwan Nurazi, SE, M.SC., Ak., CA.
“Manajemen Keuangan Sektor Publik” (2015): 32-73 (hal.323-347)
Budiarso, A (2014). Improving Government Performance In Indonesia: The
Experience of The Balanced Scorecard In The Ministry of Finance. A
thesis submitted for the degree of Professional Doctorate in Business
Administration. The University of Canberra. Australia.
Hendricks, K. et.all. (2004). The Balance Scorecard: To adopt or not to adopt, Invey
Business Journal. www.iveybusinessjournal.com
Ho, S. J. K., Chan, S. J. L. (2002) Performance measurement and the on
implementation of Balanced Scorecards in municipal governments.
Journal of Government Financial Management. Vol. 51 No. 4. Pp. 8-19.
Johanes. (2008). Balanced Scorecard Konsep dan Implementasi: Sebagai Strategi
Perusahaan. Indonesia.
Kaplan, R. S. & Norton, D. P. (1992). The Balanced Scorecard - Measures that Drive
Performance. Harvard Business Review. Vol. 70. No. 1. Pp. 71-79.
Kaplan, R. S. & Norton, D. P. (1996a). Using the Balanced Scorecard as a Strategic
Management System. Harvard Business Review. Vol. 74. No. 1. Pp. 75-
85.
Kaplan, R. S. & Norton, D. P. (1996b). The Balanced Scorecard: Translating
Strategy into Action. Boston, Harvard Business School Press.
Mulyadi. (2001). Balanced Scorecard: Alat Manajemen Kontemporer untuk
Pelipatganda Kinerja Keuangan Perusahaan (Edisi ke-2). Penerbit
Salemba Empat. Jakarta. Indonesia.
Mulyadi. (2005). Sistem Manajemen Strategic Berbasis Balance Scorecard. Penerbit
UPP AMP YKPN. Yogyakarta. Indonesia
32