Penafsiran Dan Penemuan Hukum Kel.4
Penafsiran Dan Penemuan Hukum Kel.4
Disusun Oleh:
Pembimbing:
Hesti Septianita
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah Swt. yang telah memberikan rahmat dan
hidayahNya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Penafsiran
Interpretasi Restriktif, Authentik, dan Futuristik dalam putusan 908_PID_2006 ” ini tepat
pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas pada mata
kuliah Hukum Kepailitan Fakultas Hukum Universitas Pasundan . Selain itu, makalah ini
juga bertujuan untuk menambah wawasan bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Untuk itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada Hesti Septianita, S.H., M.H.
selaku Dosen Pembimbing, atas segala kritik, saran, dan bimbingan yang diberikan dalam
menyelesaikan tugas ini.
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penafsiran hukum (legal interpretation) senantiasa diperlukan dalam penerapan hukum tertulis
untuk menemukan dan membentuk hukum. Penemuan hukum merupakan kegiatan untuk
memperjelas tentang ketentuan-ketentuan hukum tertulis yang sudah ada, yang dapat
diberlakukan bagi suatu aspek kehidupan tertentu. Pembentukan hukum bertujuan untuk
membentuk, menyusun atau membangun hukum bagi aspek kehidupan tertentu yang belum
ada hukumnya. Penafsiran hukum hendaknya diikuti dengan penalaran hukum {legal
reasoning), yaitu upaya yang dilakukan untuk memberi alasan dan penjelasan hukum agar
hasil penafsiran hukum masuk akal dan dapat dipahami secara logik.
2. Apa teori untuk menyatakan pernyataan ketiga penafsiran pada point 1 dalam
putusan tersebut?
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
Interpretasi autentik dalam bahasa Belanda disebut sebagai volledig bewijs opleverend,
yang berarti bahwa interpretasi autentik ini “...memberikan keterangan atau
pembuktian yang sempurna, yang sah atau yang resmi”.
Penafsiran autentik ini dilakukan oleh pembuat undang-undang itu sendiri, jadi hakim
tidak diperkenankan untuk melakukan penafsiran dengan cara lain selain dari apa yang
telah ditentukan dalam pengertiannya dalam undang-undang itu sendiri.
Dalam pertimbangan hakim tentang unsur ketiga dakwaan kesatu, hakim telah
menggunakan interpretasi restriktif karena telah membatasi atau mengerucutkan suatu
makna dalam peraturan. Pasal 1 ayat (1) UU Darurat No. 12 Tahun 1951 disebutkan :
“Barangsiapa, yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima,
mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai,
membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya,
3
menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan atau mengeluarkan dari
Indonesia sesuatu senjata api, munisi atau sesuatu bahan peledak, dihukum dengan
hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara
setinggi-tingginya dua puluh tahun.” Unsur ketiga dakwaan kesatu ini berbunyi
“memasukan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba, memperoleh, menyerahkan,
menguasai, membawa, mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut,
menyembunyikan, mempergunakan atau mengeluarkan dari Indonesia;”. Hakim
mengerucutkan makna dari unsur ke-3 dakwaan kesatu kedalam hal penguasaan
senjata api. Hakim menjelaskan bahwa penguasaan senjata api oleh Terdakwa tanpa
didukung dokumen/surat ijin dari yang berwenang merupakan sebuah perbuatan tanpa
hak dalam hal menguasai senjata api, karena Surat Perintah Pengamanan bukan
merupakan ijin untuk menguasai senjata api. demikian unsur ketiga dari dakwaan
kesatu telah terpenuhi sehingga dakwaan kesatu tersebut telah terbukti.
Dalam pertimbangan hakim tentang unsur kedua dakwaan kedua, hakim telah
menggunakan interpretasi authentik karena penafsirannya melihat arti dari istilah yang
dimuat alam Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata bunuh, yang artinya
mematikan dengan sengaja. Dalam hukum pidana, pembunuhan disebut dengan
kejahatan terhadap jiwa seseorang yang diatur dalam BAB XIX Buku II Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Bentuk pokok dari kejahatan ini adalah
pembunuhan (doodslage), yaitu menghilangkan jiwa seseorang. Pasal 338 KUHP yang
berbunyi “Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana lebih dulu merampas
orang lain diancam, karena pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.”
Hakim menafsirkan bahwa dengan ditembaknya saksi korban pada bagian badan yang
membahayakan, yaitu paru-paru kiri dan kanan, maka perbuatan Terdakwa dapat
dikualifikasikan sebagai kesengajaan untuk menghilangkan nyawa orang lain (putusan
Hoge Raad tanggal 23 Juli 1937), dengan demikian unsur tersebut telah terpenuhi.
4
2.4 Interpretasi dalam Futuristik Putusan
5
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang
memberi penjelasan yang gamblang mengenai teks Undang-Undang agar ruang
lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Penafsiran
oleh hakim merupakan penjelasan yang harus menuju kepada pelaksanaan yang dapat
diterima oleh masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa konkrit.
Metode interpretasi ini adalah sarana atau alat untuk mengetahui makna Undang-
Undang. Pembenarannya terletak pada kegunaan untuk melaksanakan ketentuan yang
konkrit dan bukan untuk kepentingan metode itu sendiri. Macam-macam penafsiran
bukanlah merupakan suatu metode yang diperintahkan kepada hakim agar digunakan
dalam penemuan hukum, akan tetapi merupakan penjabaran dari putusan-putusan
hakim. Dari alasan-alasan atau pertimbangan-pertimbangan yang sering digunakan
oleh hakim dalam menemukan hukumnya, dapat diidentifikasikan beberapa metode
interpretasi. Dalam praktik peradilan, metode interpretasi konstitusi yang satu dapat
digunakan oleh hakaim bersama-sama dengan metode penafsiran konstitusi yang
lainnya. Tidak ada keharusan bagi hakim hanya boleh memilih dan menggunakan satu
metode interpretasi konstitusi tertentu saja. Hakim dapat menggunakan beberapa
metode interpretasi konstitusi itu secara bersamaan. Jadi, terkait dengan prinsip
independensi dan kebebasan hakim, hingga kini tidak ada ketentuan atau aturan yang
mengharuskan hakim hanya menggunakan salah satu metode penafsiran tertentu saja.
Pemilihan dan penggunaan metode interpretasi merupakan otonomi atau kemerdekaan
hakim dalam penemuan hukum. Pemanfaatan metode-metode interpretasi yang
beragam dalam praktik peradilan, dan tidak adanya tatanan yang hierarkis di antara
metode-metode itu mengimplikasikan kebebasan hakim yang luas untuk mengambil
keputusan.
6
DAFTAR PUSTAKA
https://bphn.go.id/data/documents/draft_ruu_kuhp_final.pdf
https://doc-0k-9g-apps-
viewer.googleusercontent.com/viewer/secure/pdf/aloc75o4iap75c5bbjesp9t01i9g
kv14/5b586s8unbr9rn0tghrtmhhvu5m3m3u1/1701570825000/lantern/11319147
644132670851/ACFrOgCua5N981sROcE7Gm6f6H3Ha92Dawwe7NJVQzc9NC
6imaGIdSH1-
cZH7w_EDocqhido4BCvXlHAMwbm96cPbdOMlTSn7bhgh4Pqmh3vV8tz2iTv
OP02HN_JVcruiy5co6o4pWxAZ7oBoSz2?print=true&nonce=310i969rpo75i&
user=11319147644132670851&hash=3l8vpgo3m3j1q0vuhpibuva9g76ojhf0
https://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/17028/2/T1_312014712_BAB
%20II.pdf
http://safaat.lecture.ub.ac.id/files/2011/11/Penafsiran-Konstitusi.pdf