Anda di halaman 1dari 41

MAKALAH

PENGANTAR HUKUM INDONESIA

PERKEMBANGAN DAN KEADAAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA

Dosen Pengampu: Muhsin Lambok livira,S.H,M.Kn

Disusun Oleh:

Christine Sitio (2261000013)

Fakhriansyah Ramadhan (2261000003)

Donna Wiranda Yuniar (2261000001)

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS POTENSI UTAMA

SUMATERA UTARA

MEDAN

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Perkembangan dan Keadaan Hukum
Positif Indonesia ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Bapak Muhsin
Lambok Iivira S.H,M.kn pada mata kuliah Pengantar Hukum Indonesia Selain itu, makalah
ini juga bertujuan untuk menambah wawasan bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Muhsin Lambok Iivira,S.H,M.kn,selaku


Dosen mata kuliah Pengantar Hukum Indonesia yang telah memberikan tugas ini sehingga
dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Medan, 23 November 2022

Kelompok 5

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ ii

DAFTAR ISI ……... .......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................. 1

A. Latar Belakang .............................................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah .......................................................................................................... 2

C. Tujuan Penelitian ........................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................... 3

2.1 Apa Pengertian Hukum Positif ................................................................................... 3


2.2 Apa Yang Kita Artikan Dengan Hukum Yang Berlaku Saat Ini ................................ 12
2.3 Jenis atau Macam Hukum Positif ..................................................................................... 13
2.4 Problematik Penerapan Hukum Positif Dan Penyelesaian Teoritiknya ..................... 28

BAB III PENUTUP ........................................................................................................... 36

A. Kesimpulan .................................................................................................................... 36

B. Saran .............................................................................................................................. 37

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pemilihan judul tulisan ini didasari oleh keinginan untuk memberikan sumbangsih
pemikiran bagi para pemula yang ingin memahami ilmu hukum dogmatik. Namun sebelum
memahami problematik penerapan hukum positif, perlu lebih dulu dipaparkan tentang
pengertian hukum positif. Sebab termninologi hukum positif sering dipahami secara berbeda
diantara para teoritisi maupun para praktisi hukum. Perbedaan itu dapat disebabkan oleh
adanya pemahaman yang kurang lengkap terhadap pengertian terminologi hukum positif.
Ketika mendengar terminologi hukum positif, diantara penstudi ilmu hukum lazim-nya tanpa
berpikir panjang dan akan tertuju pada sebuah pengertian, yaitu hukum yang berlaku pada
saat ini. Pengertian demikian ini memang tidak salah, namun juga tidak benar, hanya
mungkin kurang tepat. Pengertian ini secara teoritik serta merta dapat dibenarkan dan juga
disalahkan, dengan meminjam istilah lain, bahwa pendapat ini setengah benar dan setengan
salah, benarnya tidak mutlak salahnya juga tidak total. Terlepas dari bobot kebenaran atau
kesalahan terhadap pengertian hukum positif. Kesalahpahaman pengertian ini berawal dari
pendapat pendapat Algra K dan van Duijven-dik, yang menyamakan terminologi
positiverecht dengan gelding van recht hukum yang berlaku saat ini. Dalam hal ini,
Positive recht dartikan sebagai hukum positif, sedangkan gelding van recht diberi pengertian
sebagai hukum yang berlaku saat ini. Pengertian inilah yang kemudian diikuti secara turun
temurun tanpa melakukan klarifikasi lebih jauh terhadap pengertian masing-masing termi-
nologi. Oleh karena itu, tulisan ini diharapkan dapat sekedar membantu memberikan pence-
rahan terhadap pengertian dua terminologi dalam ilmu hukum tersebut. 1

1 Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surbaya, Jalan Semolowaru Nomor 45, Surabaya 60118,
Indonesia | 081330627382 | suhartonoslamet61@gmail.com.

1
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa Pengertian Hukum Positif ?
2. Apa Yang Kita Artikan Dengan Hukum Yang Berlaku Saat Ini?
3. Jenis atau Macam Hukum Positif ?
4. Problematik Penerapan Hukum Positif dan Penyelesaian Teoritiknya ?

C. TUJUAN PENELITIAN

1. Agar pembaca mengetahui dan memahami hukum positif sehingga pembaca dapat
melestarikan hukum positif di Indonesia ini.
2. Agar pembaca memahami bagaimana perkembangan dan keadaan hukum positif di
Indonesia.
3. Agar pembaca mengetahui jenis atau macam hukum positif di indonesia.
4. Agar pembaca mengetahui problematik dan penyelesaian teoritiknya hukum positif.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN HUKUM POSITIF

Hukum positif disebut juga ius constitutum yang berarti kumpulan asas dan kaidah
hukum tertulis yang pada saat ini sedang berlaku dan mengikat. secara umum atau khusus
dan ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadian dalam Negara
Indonesia2.Selanjutnya secara terperinci dijelaskan oleh situs resmi Mahkamah agung
Republik Indonesia. Hukum positif adalah kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis yang
ada pada saat ini sedang berlaku dan mengikat secara umum atau khusus dan ditegakkan oleh
atau melalui pemerintah atau pengadilan dalam Negara Indonesia. Hukum positif dapat
diklasifikasi kedalam berbagai macam pengelompokan, yaitu antara lain dilihat dari
sumbernya, bentuknya, isi materinya dan lain sebagainya3.

1. Sumber Hukum Positif

Berhukum dapat diartikan sebagai-bahan yang digunakan sebagai dasar oleh


pengadilan dalam memutus perkara4. Menurut Sudikno, kata sumber hukum sering
digunakan dalam beberapa arti, yaitu 5:

a. Sebagai asas hukum, sebagai sesuatu yang merupakan permulaan hukum,


misalnya kehendak Tuhan, akal manusia jiwa bangsa dan sebagainya.
b. Menunjukkan hukum terdahulu yang memberi bahan kepada hukum
sekarang yang berlaku, seperti hukum Perancis, hukum Romawi.
c. Sebagai sumber berlakunya, yang memberi kekuatan berlaku secara formal
kepada peraturan hukum (penguasa, masyarakat).
d. Sebagai sumber darimana kita dapat mengenal hukum, misalnya dokumen,
undan-undang, lontar, batu bertulis, dan sebagainya.

2 I. Gede Pantja Astawa, Dinamika Hukum dan ilmu Perundang-Undangan di Indonesia.(Bandung: PT. Alumni,
2008), hal. 56
3 http://perpustakaan.mahkamah.agung.go.id/ ,diakses pada tanggal 14 Nov 2022 , pukul 11.30 wib.
4 Peter Mahmud Marzuku, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group)
5 Budi Ruhiatudin, Pengantar Ilmu Hukum, (Yogyakarta: Teras), 2009, hal. 29-30.

3
e. Sebagai sumber hukum, Sumber yang menimbulkan aturan hukum. Sumber
hukum sendiri diklasifikasikan kedalam dua bentuk yaitu sumber hukum
formil dan sumber hukum materiil.

Sumber hukum formil menjadi determain formil membentuk hukum (formele


determinanten van de rechtsvorming), menentukan berlakunya hukum. Sedangkan
sumber-sumber hukum materiil membentuk hukum (materiele determinanten van de
rechtsvorming), menentukan isi dari hukum.

A. Sumber Hukum Formiil

1. Undang-undang

Undang-undang adalah suatu peraturan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat


yang dipelihara oleh penguasa negara. Contohnya Undang-undang, Peraturan Pemerintah,
Peraturan perundangundangan dan sebagainya6. Undang-undang sering digunakan dalam 2
pengertian, yaitu Undang-undang dalam arti formal dan Undang-undang dalam arti material.
Undang-undang dalam arti formal adalah keputusan atau ketetapan yang dilihat dari bentuk
dan cara pembuatannya disebut Undang-undang. Dilihat dari bentuknya, Undang-undang
berisi konsideran dan dictum (amar putusan). Sementara dari cara pembuatannya, Undang-
undang adalah keputusan atau ketetapan produk lembaga yang berwenang adalah Presiden
dan DPR (UUDS 1950 pasal 89 UUD 1945 pasal 5 ayat [1] jo. Pasal 20 ayat [1]).
Undang-undang dalam arti material adalah keputusan atau ketetapan yang dilihat dari isinya
disebut Undang-undang dan mengikat setiap orang secara umum. Dalam pengertian ini yang
menjadi perhatian adalah isi peraturan yang sifatnya mengikat tanpa mempersoalkan segi
bentuk atau siapa pembentuknya. Undang-undang dalam arti material sering juga disebut
dengan peraturan (regeling) dalam arti luas. Undang undang dalam arti formal tidak dengan
sendirinya sebagai Undangundang dalam arti material. Demikian sebaliknya7.

6 http://My-Blog-Sumber-Hukum//.com. diakses pada tanggal 9 april 2016, pukul 12. 56 wib


7 http://Sumber-sumber-hukum/pustaka-sekolah//.com. Diakses pada tanggal 14 Nov 2022, pukul 12.10 wib.

4
Sumber hukum ini, demikian pula ketentuan hukumnya dibuat oleh pemerintah
dengan persetujuan para wakil masyarakat dengan mengingat kepentingan hidup bersama
bagi seluruh anggotanya dalam lebensraum atau ruang kehidupan yang tertib, aman dan
penuh kedamaian. Sama halnya dengan sumbernya, kaidah hukum yang bersumber pada
perundang-undangan ini harus berfungsi, yang dalam hal ini terdapat beberapa syarat yang
dipenuhi, yaitu 8:

1) Ketentuan atau peraturan mengenai bidang-bidang tertentu harus cukup sistematis yang
artinya tidak terdapat kesimpang siuran ketentuan/peraturan hukum dalam bidang yang sama.

2) Ketentuan atau peraturan hukum itu harus memiliki keselarasan, artinya baik secara
hirarkis maupun secara horizontal tidak terdapat pertentangan.

3) Adanya relevansi suatu ketentuan atau peraturan dengan dinamika sosial secara kualitatif
dan kuantitatif peraturan atau ketentuan yang mengatur masalahnya yang tertentu itu memang
benar-benar terpenuhi.

4) Penerbitan ketentuan atau peraturan-peraturannya harus sesuai dengan persyaratan yuridis


yang ada atau yang telah ditetapkan.

5) Hukum atau ketentuan/peraturan hukum harus merupakan penjelmaan dari jiwa dan cara
berfikir masyarakat, atau ketentuan/peraturan hukum tersebut harus merupakan struktur
rohaniyah suatu masyarakat, dimana setiap anggota harus benar-benar mematuhinya.

2. Adat dan kebiasaan

Peranan kebiasaan dalam kehidupan hukum pada masa sekarang ini memang sudah
banyak merosot. Sebagaimana telah diketahui, kebiasaan merupakan tidak lagi sumber yang
penting sejak ia didesak oleh perundang-undangan dan sejak sistem hukum semakin
didasarkan pada hukum perundang-undangan atau jus scriptum9. Kebiasaan dan adat
merupakan sumber kaidah. Bagi orang Indonesia, kebiasaan dan adat tidak sama10. Untuk itu
selanjutnya dijelaskan di bawah ini mengenai perbedaan kebiasaan dan adat.

8 Rien G. Kartasapoetra, Pengantar Ilmu Hukum Lengkap, (Bandung: Bina Aksara, 2007),hal. 18
9 SatjiptoRahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 108
10 E. Utrech, Pengantar Dalam Hukum Indonesia.., hal. 133

5
Dalam buku Mengenal Hukum yang menguraikan mengenai perbedaan kebiasaan dan
adat sebagaimana yang dikutip oleh Sudikno: “kebiasaan merupakan pola tingkah laku yang
ajeg, tetap, normal atau adat dalam masyarakat atau pergaulan tertentu. Pergaulan hidup ini
merupakan lingkungan yang sempit seperti desa, tetapi dapat luas juga yakni meliputi
masyarakat Negara yang berdaulat. Perilaku yang tetap atau ajeg berarti merupakan perilaku
manusia yang diulang. Perilaku yang diulang itu mempunyai kekuatan normative,
mempunyai kekuatan mengikat. Karena diulang oleh banyak orang maka mengikat orang lain
untuk melakukan hal yang sama, karenanya menimbulkan keyakinan atau kesadaran, bahwa
hal itu memang patut dilaksanakan, bahwa itulah adat.” Sedangkan adat-istiadat adalah
peraturan-peraturan kebiasaan sosial yang sejak lama ada dalam masyarakat dengan maksud
mengatur tata tertib.

Pada umumnya adat istiadat itu bersifat sakral (sesuatu yang suci) serta merupakan
tradisi11. Sementara itu Utrecht membedakan hukum adat dan kebiasaan sebagai berikut 12:

(1) Hukum adat asal usulnya bersifat sakral. Hukum adat berasal dari kehendak nenek
moyang, agama, dan tradisi rakyat, seperti dipertahankan dalam keputusan para
penguasa adat. Sedangkan kebiasaan yang dipertahankan para penguasa yang tidak
termasuk lingkungan perundang-undangan, bagian besarnya dalah kontra antara
bagian barat dan timur. Tetapi hukum kebiasaan ini dapat diresepsi dalam hukum
Indonesia nasional yang asli.

(2) Hukum adat bagian besarnya terdiri atas kaidah-kaidah yang tidak tertulis, tetapi ada
juga hukum adat yang tertulis. Sedangkan kebiasaan semuanya terdiri dari kaidah
yang tidak tertulis.

11 Ibid., hal. 157


12 Ibid., hal. 110

6
3. Traktat

Merupakan perjanjian yang diadakan dua negara atau lebih. Biasanya memuat peraturan-
peraturan hukum.

Jenis-jenis traktat di antaranya yaitu 13:

1) Traktat Bilateral, yaitu traktat yang terjadi antara dua negara saja.
2) Traktat Multirateral yaitu traktat yang dibuat oleh lebih dari dua negara.
3) Traktat Kolektif, yaitu traktat multirateral yang membuka kesempatan bagi mereka
yang tidak ikut dalam perjanjian itu untuk menjadi anggotanya.
Menurut pendapat klasik ada empat tingkatan untuk terjadinya suatu traktat, yaitu:
a) Penetapan
b) Persetujuan DPR
c) Ratifikasi kepala negara
d) Pengumuman

Melalui penetapan dimaksudkan sebagai konsep persetujuan yang telah dicapai


bersama-sama oleh masing-masing utusan. Lalu konsep itu diserahkan kepada DPR untuk
memperoleh persetujuan. Jika dewan telah menyetujui maka dimintakanlah pengesahan
(ratifikasi) kepala negara, yang jika itu sudah diberikan, lalu diumumkanlah berlakunya
perjanjian tersebut.Akibat dari perjanjian tersebut adalah apa yang disebut dengan “Pakta
Servanda” artinya bahwa perjanjian mengikat para pihak yang mengadakan perjanjian.
Disamping itu para pihak harus mentaati serta menepati perjanjian yang mereka buat14.

4. Yurisprudensi

Yurisprudensi berasal dari kata yurisprudentia (bahasa Latin) yang berarti


pengetahuan hukum (rechgeleerdeid). Kata yurisprudensi sebagai istilah teknis Indonesia
sama artinya dengan kata ”yurisprudentia” dalam bahasa Perancis, yaitu peradilan tetap
ataupun bukan peradilan.Kata yurisprudensi dalam bahasa Inggris berarti teory ilmu hukum
(algemeeme rechtsleer: General theory of law), sedangkam untuk pengertian yurisprudensi
dipergunakan istilah-istilah case law atau judge Made Law.Kata yurisprudensi dalam bahasa

13 Ibid., hal. 110-111


14 R. Soeroso S. H., Pengantar Ilmu Hukum., hal. 171

7
Jerman berarti ilmu hukum dalam arti adalah keputusan hakim yang selalu dijadikan
pedoman hakim lain dalam menuntaskan kasus-kasus yang sama15.Terdapat suatu sebab
dimana seorang hakim mempergunakan putusan lain, sebab-sebabnya ialah:
1) Pertimbangan Psikologis Karena keputusan hakim mempunyai kekuatan/kekuasaan
hukum,terutama keputusan pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung,maka biasanya hakim
bawahan segan untuk tiddak mengikuti putusan tersebut.

2) Pertimbangan praktis Karena dalam kasus yang sama sudah pernah di jatuhkan putusan
oleh hakim terdahulu,lebih-lebih apabila putusan itu sudah di benarkan atai di kuatkan oleh
Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung (MA) maka lebih praktis apabila hakim berikutnya
memberikan putusan yang sama.

3) Pendapat yang sama karena hakim yang bersangkutan sependapat dengan keputusan hakim
yang lebih dulu,terutama apabila isi dan tujuan undang-undang sudah tidak sesuai lagi
dengan keadaan sosial yang nyata pada waktu kemudian, maka wajar apabila keputusan
hakim lain tersebut dipergunakan. Sedangkan dasar hukum yurisprudensi ialah:

a.) Dasar historis, yaitu secara historis diikutinya oleh umum.

b.) Adanya kekurangan daripada hukum yang ada,karena pembuat Undang undang
tidak dapat mewujudkan segala sesuatu dalam undang-undang, maka yurisprudensi di
gunakan untuk mengisi kekurangan dari undang-undang16.

5. Doktrina

Doktrin adalah pendapat ahli hukum yang terkenal. Sebagaimana yang dikutip dari
pernyataan Sudikno, yaitu: “Doktrin adalah pendapat para sarjana hukum yang merupakn
sumber hukum tempat hakim dapat menemukan hukumnya. Seringkali terjadi bahwa hakim
dalam keputusannya menyebut sarjana hukum. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
hakim menemukan hukumnya dalam doktrin itu. Doktrin yang demikian itu adalah sumber
hukum formil”.17

15 Ibid., hal. 159-160


16 Ibid., hal. 161-164
17 E. Utrech, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, . . . hal. 115

8
Doktrin yang belum digunakan hakim dalam mempertimbangkan kekuasaanya belum
merupakan sumber hukum formil. Jadi untuk dapat menjadi sumber hukum formil, doktrin
harus memenuhi syarat tertentu yaitu doktrin yang telah menjelma menjadi putusan hakim.

B. Sumber Hukum Materiil adalah terdiri dari:


(a) Perasaan hukum masyarakat atau pendapat umum
(b) Agama ,tradisi,moral
(c) Perkembangan internasional
(d) Hasil penelitian ilmiah
(e) Geografis dan politik hukum
(f) Kondisi sosial ekonomi 18

2. Unsur, Ciri-Ciri dan Sifat Hukum Positif

Setelah melihat definisi-definisi hukum, dapat diambil kesimpulan bahwa hukum


positif meliputi beberapa unsur, yaitu:

a. Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat

b. Peraturan diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib.

c. Peraturan bersifat memaksa.

d. Sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas.19

18 B. S. Pramono, Pokok-Pokok Pengantar Ilmu Hukum, (Surabaya: Usaha Nasional, 2006), hal. 101
19 Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,1989), hal. 39

9
Kemudian, agar hukum dapat dikenal dengan baik, haruslah diketahui ciri-ciri hukum.
Ciri-ciri hukum dapat disimpulkan sebagai berikut:

a. Terdapat perintah/larangan.

b. Perintah dan/larangan tersebut harus dipatuhi setiap orang.

Setiap orang berkewajiban untuk bertindak sedemikian rupa dalam masyarakat,


sehingga tata tertib dalam masyarakat itu tetap terpelihara dengan sebaik-baiknya. Oleh
karena itu, hukum meliputi pelbagai peraturan yang menentukan dan mengatur perhubungan
orang yang satu dengan yang lainnya, yakni peraturan-peraturan hidup bermasyarakat yang
dinamakan dengan “kaedah hukum”.20

Barangsiapa yang sengaja melanggar suatu kaedah hukum akan dikenakan sanksi
(sebagai akibat pelanggaran kaedah hukum) yang berupa hukuman21. Sanksi hukum atau
pidana memiliki beragam jenis bentuk. Namun, sesuai dengan Bab II (PIDANA), Pasal 10
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) adalah:

a. Pidana pokok, meliputi:

1) Pidana mati

2) Pidana penjara

3) Pidana Kurungan

4) Pidana denda

5) Pidana tutupan

b. Pidana tambahan, meliputi:


1) Pencabutan hak-hak tertentu
2) Perampasan barang-barang tertentu
3) Pengumuman putusan Hakim

Sedangkan sifat hukum adalah mengatur dan memaksa. Hukum positif merupakan
peraturan-peraturan hidup kemasyarakatan yang dapat memaksa orang (person) agar mentaati
tata-tertib dalam masyarakat serta memberikan sanksi yang tegas berupa hukuman terhadap
siapa saja yang tidak mematuhinya. Sanksi harus diadakan bagi sebuah hukum agar kaedah-

20 Ibid, hal. 40
21 Ibid, hal. 41

10
kaedah hukum dapat ditaati. Karena tidak setiap orang hendak mentaati kaedah-kaedah
hukum tersebut22.

3. Fungsi dan Tujuan Hukum Positif

Menurut keterangan yang telah dikemukakan para ahli hukum, kemudian dapat
dinyatakan bahwa hukum akan selalu melekat pada manusia bermasyarakat. Dengan berbagai
peran hukum, Hukum memiliki fungsi untuk menertibkan dan mengatur pergaulan dalam
masyarakat serta menyelesaikan masalah-masalah yang timbul. Lebih terperinci, fungsi
hukum dalam perkembangan masyarakat terdiri dari 23:

a. Sebagai alat pengatur tata tertib hubungan masyarakat dalam arti, hukum berfungsi
menunjukkan manusia mana yang baik, dan mana yang buruk, sehingga segala
sesuatu dapat berjalan tertib dan teratur.
b. Sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir dan batin. Dengan sifat dan
ciri-ciri hukum yang telah disebutkan, maka hukum diharapkan dapat memberi
keadilan, dalam arti dapat menentukan siapa yang salah dan siapa yang benar, dapat
memaksa agar peraturan dapat ditaati dengan ancaman sanksi bagi pelanggarnya.
c. Sebagai sarana penggerak pembangunan. Daya mengikat dan memaksa dari hukum
dapat digunakan untuk menggerakkan pembangunan. Di sini hukum dijadikan sebagai
alat untuk membawa masyarakat kearah yang lebih maju.
d. Sebagai penentuan alokasi wewenang acara terperinci siapa yang berwenang
melakukan pelaksanaan (penegak) hukum, siapa yang harus mentaatinya, siapa yang
memilih sanksi yang tepat dan adil seperti konsep hukum konstitusi Negara.
e. Sebagai alat penyelesaian sengketa. Contohnya dalam persengketaan harta waris
dapat segera selesai dengan ketetapan hukum waris yang sudah diatur dalam hukum
perdata.
f. Memelihara kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan kondisi
kehidupan yang berubah, yaitu dengan cara merumuskan kembali huungan-hubungan
esensial antara anggota-anggota masyarakat.

22 Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia.., hal. 40


23 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal. 53

11
Soleman B. Taneko, seorang pakar hukum mengemukakan bahwa fungsi hukum
mencakup lebih dari tiga jenis. Adapun fungi hukum yang dimaksudkan adalah meliputi 24:

a. Memberikan pedoman/pengarahan pada warga masyarakat untuk berperilaku.


b. Pengawasan/pengendalian sosial (sosial control).
c. Penyelesaian sengketa (dispute settlement).
d. Rekayasa sosial (sosial engineering).

2.2 Apa Yang Kita Artikan Dengan Hukum Yang Berlaku Saat Ini

Diskusi berikutnya menyangkut pemahaman terhadap apa yang dimaksud dengan


terminologi hukum yang berlaku saat ini (gelding van recht). Pemahaman terhadap termi-
nologi secara benar, akan memberikan pengalaman baru bagi sebagian orang yang selama ini
mempersepsikan sama antara hukum positif dan hukum yang berlaku saat ini. Pendapat yang
menyama-artikan terminologi hukum yang berlaku saat ini dengan terminologi hukum
positif, merupakan pendapat yang kurang tepat, sebab hukum positif tidak selalu berlaku pada
saat ini, namun sebaliknya hukum yang berlaku saat ini di dalamnya tidak hanya terdiri dari
hukum positif (hukum yang ditetapkan oleh kekuasaan yang berwenang), melainkan juga
termasuk hukum yang tidak dipositifkan (ditetapkan oleh kekuasaan yang berwenang),
misalnya hukum adat (adat recht), hukum kebiasaan (customery law). Untuk jenis norma
hukum yang terakhir ini dalam perkem-bangannya dapat ditingkatkan statusnya sebagai
hukum positif. Perubahan status demikian dilakukan melalui upaya pemositipan oleh
lembaga yang berwenang, yang dalam hal ini digunakan hakim sebagai dasar hukum
pengambilan keputusan oleh hakim terhadap kasus-kasus konkrit yang terkait dengan hukum
adat atau hukum kebiasaan tersebut .Dalam hal demikian pemositipan hukum adat dan atau
hukum kebiasaan tersebut dilakukan melalui penemuan hukum oleh hakim (rechtvinding atau
law finding), dan hukum demikian menjadi hukum hasil penemuan hakim (judge made law).

Pemositifan hukum tidak tertulis diawali oleh hakim melalui penemuan hukum
(rechtsvinding/law finding), yaitu proses menemukan asas-asas atau prinsip hukum yang
hidup dan berlaku di dalam masyarakat, kemudian dirumuskan menjadi dasar bagi

24
http://www.referensimakalah.com/2012/08/fungsi-hukum-menurut-pakar.html . Diakses pada tanggal 15
Nov 2022. Pukul 00.29 wib

12
pengambilan keputusan oleh hakim. Hukum hasil penemuan hukum (rechtsvinding/law
finding), yang dikonkritkan melalui putusan hakim inilah yang selanjutnya menjadi
yurisprudensi, karena diikuti oleh hakim-hakim berikutnya dalam memeriksa, mengadili,
dana memutus perkara-perkara yang sama. Putusan hakim inilah yang kemudian menjadi
precedent bagi hakim-hakim berikutnya dalam mengambil keputusannya.

Putusan-putusan hakim yang telah menjadi yurisprudensi dan berlaku umum, maka
keputusan hakim tersebut mengikat sebagaimana layaknya produk-produk hukum yang
bersifat umum, seperti undang-undang, sebab putusan hakim itu mengandung asas-asas
hukum yang dirumuskan dalam peristiwa konkrit 25. Putusan hakim yang menjadi yuris-
prudensi, sekaligus memiliki dua fungsi, di samping menyelesaikan peristiwa hukum konkrit
dalam masyarakat, juga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan hukum mayarakat,
serta merupakan petunjuk sejauh mana hukum telah berkembang. Sehubungan dengan
fungsinya yang demikian, maka hakim pun dalam perkembagannya juga memposisikan diri
sebagai pembentuk hukum.

2.3 Jenis Dan Macam Hukum Positif

Hukum positif dapat dikelompokkan ke dalam hukum positif tertulis dan hukum positif
tidak tertulis.

1. Hukum Positif Tertulis, dapat dibedakan antara hukum positif tertulis yang berlaku umum
dan hukum positif tertulis yang berlaku khusus.

1.1 Hukum positif tertulis yang berlaku umum, terdiri dari:

(a) Peraturan perundang-undangan; yaitu hukum positif tertulis yang dibuat, ditetapkan, atau
dibentuk pejabat atau lingkungan jabatan yang berwenang menurut atau berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan tertentu dalam bentuk tertulis yang berisi aturan
tingkah laku yang berlaku atau mengikat (secara) umum.Termasuk dalam kategori peraturan
perundang¬undangan adalah aturan hukum sebagaimana disebutkan dalam Tap. No.
III/MPR/2000." Ditinjau dari wewenang pembentukannya, peraturanperundang-undangan
dapat dibedakan antarayang bersifat kenegaraan dan yang bersifat administrasi negara.
Selanjutnya ditinjau dari daya ikatrlya ada yang bersifat ketatanegaraan (staatsrechtelijk) dan
ada yang bersifat administrasi negara (admfnistratiefrechttelijk).

25 H.A.Sodiki, Teori Hukum Dan Filsafat Hukum (Malang, 2006 )

13
Ditinjau dari lingkungan tempat berlaku, dapat dibedakan antara peraturan perundang-
undangan tingkat nasional dan daerah.

(b) Peraturan kebijakan (beleidsregels, pseudowetgeuing, policy rides), yaitu peraturan yang
dibuat baik kewenangan atau materi muatannya tidak berdasar pada peraturan perundang-
undangan, delegasi, atau mandat, melainkan berdasarkan wewenang yang timbul dari Freis
Ermessen yang dilekatkan pada administrasi negara untuk mewujudkan suatu tujuan tertentu
yang dibenarkan oleh hukum. Aturan kebijakan hanya didapati dalam lapangan administrasi
negara, karena itu keientuan aturan kebijakan hanya dalam lapangan hukum administrasi
negara. Termasuk kedalam kategori ini adalah "surat edaran, juklak, juknis." Pada saat ini
didapati juga semacam aturan kebijakan yang dikeluarkan oleh badan yang bukan
administrasi negara seperti Surat Edaran Mahkamah Agung26. Meskipun dari segi bentuk,
menyerupai salah satu aturan kebijakan, Surat Edaran Mahkamah Agung tidak perlu
dikategorikan sebagai aturan kebijakan 27.

Pertama : Mahkamah Agung bukan administrasi negara.

Kedua : Wewenang Mahkamah Agung membuat surat edaran tidak didasarkan pada
kebebasan bertindak, tetapi atas petunjuk undang-undang.

Ketiga : Surat Edaran Mahkamah Agung berada dalam cakupan yang terbatas yaitu sebagai
pedoman yang berisi petunjuk bagi badan peradilan tingkat rendah yang mandiri dalam
menjalankan fungsi peradilan.

26 "Hukum Positif Indonesia". ZONA DAKWAH, 2022, https://www.zonadakwah.com/2016/12/hukum-positif-


indonesia.html . diakses pada tanggal 15 Nov 2022.

27 "Hukum Positif Indonesia". ZONA DAKWAH, 2022, https://www.zonadakwah.com/2016/12/hukum-positif-


indonesia.html . Diakses pada tanggal 15 Nov 2022.

14
Perlu ditiadakan kesan, seolah-olah peraturan kebijakan atas dasar Freis Ermessen,
atau beleidsvrijheid, adalah peraturan yang semata-mata berkaitan dengan doelmatigheid
sehingga tidak terkait dengan unsur rechtmatigheid, bahkan dapat menyimpangi
rechtmatigheid. Kesan semacam ini tidak benar (keliru). Unsur doelmatiglet'd sebagai alas
Freis Ennesseri haruslah suatu tujuan atau manfaat yang dibenarkan hukum. Kebebasan
bertindak adalah kebebasan dalam lingkup wewenangyang telah ditentukan berdasarkan
hukum. Setiap tindakan administrasi negara diluar wewenang Yang telah ditetapkan
berdasarkan hukum termasuk tindakan berdasarkan Freis Errnesseri, adalah tindakan
melampaui wewenang (detournemeit de pouvair), bahkan dapat melawan hukum
(ortrechtmatigouer-heidsdaad), atau penyalahgunaan wewenang (misbruik van recht).

1.2 Hukum positif tertulis yang berlaku khusus

Hukum positif tertulis yang berlaku khusus dapat dibedakan antara yang ditetapkan
administrasi negara dan yang ditetapkan badan kenegaraan bukan administrasi negara.
Disebut berlaku khusus karena hanya berlaku untuk subyek atau subyek-subyek tertentu dan
atau obyek atau obyek-objek tertentu yang bersifat konkrit. Berbagai hukum positif tertulis
yang berlaku khusus, adalah 28:

(1) Ketetapan atau keputusan administrasi negara yang bersifat konkrit. Dalam dunia ilmu
hukum di Negeri Belanda dan Indonesia ketetapan atau keputusan semacam ini lazim disebut
atau dinamakan beschikking. Pada negara-negara berbahasa Inggris disebut decree. Bentuk
hukum yang dipergunakan adalah keputusan, seperti Keputusan Presiden, Keputusan
Menteri, dan lain-lain. Termasuk kedalam kategori ini keputusan administrasi negara
mengenai pengangkatan atau pemberhentian pejabat dalam lingkungan administrasi negara,
pemberian atau pencabutan hak atau izin atas obyek tertentu dan lain-lain yang bersifat
konkrit dan tertentu subyek dan atau obyeknya. Ketetapan atau keputusan konkrit badan-
badan kenegaraan yang bertindak untuk dan atas nama negara bukan atas nama pemerintah
(administrasi negara). Termasuk kedalam kategori ini. Ketetapan atau keputusan Kepala
Negara berdasarkan wewenang yang mempribadi (melekat pada jabatan) yang diberikan
konstitusi atau bersifat prerogatif. Termasuk kategori ini, wewenang Presiden mengangkat

15
Menteri, menetapkan Hakim Agung, Anggota DPA, Anggota BPK, Pimpinan Mahkamah
Agung, Pimpinan DPA dan Pimpinan BPK. Wewenang mengangkat atau menetapkan pejabat
di atas, bukan beschikking karena wewenang Presiden tidak dalam kedudukan administrasi
negara dan pejabat yang diangkat atau ditetapkan bukan pejabat administrasi negara. Berbeda
dengan pengangkatan Direktur Jenderal, Sekretaris Jenderal, Gubernur atau jabatan lain
semacam itu. Dalam hal ini Presiden bertindak selaku pejabat administrasi negara dan yang
diangkat adalah pejabat administrasi negara. Perbedaan ini sangat penting kalau terjadi
"sengketa." Dalam hal pertama, tidak akan ada "sengketa hukum," karena itu tidak mungkin
menjadi obyek gugatan di pengadilan. Kalau ada sengketa, adalah sengketa "yang bersifat
ketatanegaraan" dan hanya dapat diselesaikan melalui mekanisme penyelesaian
ketatanegaraan atau politik. Berbeda dengan Keputusan Presiden mengangkat Sekretaris
Jenderal, Direktur Jenderal atau pejabat lain dalam lingkungan administrasi negara.
Keputusan Presiden tersebut dalam kedudukan dan dalam lingkungan administrasi, karena itu
dapat menjadi obyek sengketa dipengadilan (Pengadilan Tata Usaha Negara).

(2) Ketetapan atau keputusan suatu lembaga negara yang berwenang mengangkat atau
memberhentixan pejabat lembaga negara lainnya. Misalnya Ketetapan MPR yang
mengangkat dan memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden. Ketetapan MPR mengangkat
Presiden dan Wakil Presiden tidak mempunyai arti hukum yang bersifat konstitutif.
Seorang menjadi Presiden atau Wakil Presiden bukan karena ada Ketetapan melainkan
karena dipilih MPR 29. Presiden dan Wakil Presiden terpilih akan mulai berwenang
menjalankan jabatan sejak mengucapkan sumpah bukan karena ada Ketetatapan MPR.
Praktek ketatanegaraan semacam ini tidak akan didapati lagi karena dimasa depan, Presiden
dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat." Walaupun ketetapan atau keputusan dalam
kategori b (1 dan 2), bersifat konkrit, tetapi dibedakan dengan beschikking. Di atas telah
dikemukakan, beschikking adalah keputusan administrasi negara. Sedangkan, keputusan
dalam kategori b (1 dan 2) bukan oleh pejabat administrasi negara dan tidak dalam bidang
administrasi negara. Perlu pula dicatat suatu keputusan atau ketetapan konkrit yang
dikeluarkan badan atau pejabat administrasi negara tidak selalu dalam bentuk tertulis. Suatu
perintah konkrit dapat terjadi secara lisan.

29 "Hukum Positif Indonesia". ZONA DAKWAH, 2022, https://www.zonadakwah.com/2016/12/hukum-positif-


indonesia.html . Diakses pada tanggal 15 Nov 2022.

16
2. Hukum Positif Tidak Tertulis,

Hukum positif tidak tertulis dapat dibedakan atau terdiri dari; Hukum Adat, Hukum
Keagamaan, Hukum Yurisprudensi, Hukum Tidak Tertulis lainnya.

2.1. Hukum Adat,

Hukum adat, yaitu hukum ash bangsa Indonesia yang hidup dan berlaku secara turun
temurun atau diakui atau dinyatakan sebagai hukum yang berlaku berdasarkan peraturan
perundang-undangan dan atau putusan hakim. Hukum adat mungkin didapati atau diketahui
dalam atau melalui tulisan (dituliskan). Walaupun demikian, hukum adat adalah hukum tidak
tertulis, karena tidak pernah dengan sengaja dibentuk secara tertulis oleh pejabat yang
berwenang melalui tata cara tertentu. Hukum adat menjadi hukum positif atas dasar
kenyataan sebagai hukum yang hidup dan ditaati, pengakuan, dibiarkan berlaku, atau
ditetapkan oleh pengadilan. Lingkup hukum adat sebagai hukum positif makin terbatas akibat
kehadiran hukum positif tertulis atau karena yurisprudensi. Sampai tahun 1999 hampir semua
hukum adat ketatanegaraan tidak berlaku lagi. Sisa hukum adat ketatanegaraan yang masih
berlaku adalah untuk pemerintahan desa atau yang dipersamakan dengan desa berdasarkan
ketentuan IGO dan IGOB. Ketentuan tersebut tidak berlaku lagi sejak ada UU No. 5 Tahun
1979 tentang Desa, kecuali mengenai sistem dan isi urusan rumah tangga desa. Otonomi desa
tetap didasarkan pada kelaziman pemerintahan desa tradisional. Tanpa perubahan sistem dan
isi rumah tangga, pembaharuan organisasi pemerintahan tingkat desa tidak cukup berarti
untuk pembaharuan desa.

Bahkan unifikasi pemerintahan tingkat desa dengan meniadakan segala karakteristik


yang sesuai dengan lingkungan masyarakat hukum yang berbeda-beda telah merusak sendi-
sendi pemerintahan tingkat desa 30. Dengan demikian, walaupun Penjelasan UUD 1945
Pasa118 menyebut satuan-satuan masyarakat hukum asli (desa, nagari, dan lain-lain), sejak
1979 hal tersebut tidak berlaku lagi. Tetapi sejak ditetapkan UU No. 22 Tahun 1999 keadaan

30 "Hukum Positif Indonesia". ZONA DAKWAH, 2022, https://www.zonadakwah.com/2016/12/hukum-positif-


indonesia.html . Diakses pada tanggal 15 Nov 2022.

17
berubah kembali. Undang-Undang tersebut membolehkan kembali pemakaian nama-nama
seperti gampong, marga dan lain-lain dengan segala konsekuensi hukumnya.

Hal ini kemudian lebih dipertegas berdasarkan perubahan Pasal 18 UUD 1945 yang
antara lain menyebut: "Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam
undang-undang (UUD 1945, Pasal 18 B).

Demikian pula di bidang hukum administrasi.Tidak ada lagi hukum administrasi adat
yang berlaku, kecuali misalnya di Daerah Istimewa Yogyakarta untuk hal-hal yang berkaitan
dengan administrasi di lingkungan rumah tangga pemerintahan Kesultanan atau Pakualaman
(bukan untuk pemerintahan Daerah Istimewa sebagai daerah otonom). Di bidang hukum
pidana sangat dibatasi. Hukum adat hanya berlaku sepanjang diakui hukum pidana tertulis. Di
bidang hukum keperdataan, hukum adat berangsur-angsur menyempit, yaitu di bidang hukum
kekeluargaan, hukum harta kekayaan tertentu. Di bidang inipun makin terbatas, mengingat
berbagai peraturan perundang-undangan baru yang bersifat uniformitas seperti hukum
keagrariaan baru yang diatur UU No. 5 Tahun 1960. Meskipun UU No. 5 Tahun 1960
sebagai dasar politik dan pengaturan keagrariaan baru (nasional) menyebutkan: "hukum
agraria ialah hukum adat" (Pasal 5), tidak berarti hukum adat sebagai hukum positif berlaku
penuh disamping (berjalan paralel dengan) ketentuan keagrariaan yang telah diatur dalam
atau berdasarkan UU No. 5 Tahun 1960. Hukum agraria ialah hukum adat, harus diartikan
atau dipahami sebagai:

Pertama : UU No.5 Tahun 1960 disusun menurut asas-asas hukum adat, dimaksudkan sebagai
penggunaan hukum adat yang dipertentangkan dengan asas hukum keagrariaan yang pernah
diatur dalam BW, agrarischewet, atau agrarischbesluit. Pengertian dan asas seperti eigendom,
zakelijkrecht, domein, yang merupakan asas hukum pertanahan masa kolonial tidak
diteruskan karena bertentangan dengan pengertian dan asas kepemilikan, kedudukan clan
fungsi tanah menurut hukum adat. 31

31 "Hukum Positif Indonesia". ZONA DAKWAH, 2022, https://www.zonadakwah.com/2016/12/hukum-positif-


indonesia.html . diakses pada tanggal 15 Nov 2022.

18
Kedua : ketentuan hukum adat yang tidak sesuai atau bertentangan dengan asas dan ketentuan
keagrariaan baru (UU No. 5 Tahun 1960, dan berbagai peraturan perundang-undangan lain),
harus dianggap tidak berlaku, karena itu tidak boleh diterapkan lagi.Terhadap ketentuan
hukum adat yang sekalipun sesuai dengan ketentuan agraria baru juga tidak boleh diterapkan
lagi apabila telah diatur baru. Ketentuan keagrariaan baru, berlaku primaat atau prevail,
terhadap ketentuan hukum adat. Kalau tidak ditentukan demikian, berarti hukum keagrariaan,
khususnya hukum pertanahan tetap bersifat dualisme. Di masa kolonial dualisme didapati
antara hukum pertanahan adat dan hukum pertanahan menurut BW dan agrarischewet. Di
masa sekarang, dualisme antara hukum pertanahan menurut UU No. 5 Tahun 1960 dan
hukum adat. Dualisme sekarang terjadi karena pemahaman yang kurang tepat atas prinsip UU
No.5 Tahun 1960 yaitu prinsip hukum agraria ialah hukum adat diartikan seolah-olah di
samping UU No. 5 Tahun 1960 berlaku juga hukum adat. Hal ini akan lebih mengakibatkan
ketidakpastian hukum dibandingkan pada masa kolonial.Di masa kolonial ada batas-batas
yang jelas antara yang tunduk pada hukum pertanahan adat dan yang tunduk pada ketentuan
BW. Sekarang tidak, sehingga "pilihan hukum" dapat diterapkan sekehendak hati, tergantung
pada kemauan atau kepentingan yang bersangkutan atau hakim.

Ketiga : ketentuan hukum adat masih dapat diterapkan dalam hal didapati kekosongan dalam
ketentuan keagrariaanbaru, atau apabila penerapan ketentuan keagrariaan baru akan secara
mendasar bertentangan dengan kepatutan (rechtvaardigheid), keadilan (billijkheid),
kepentingan umum (algemeen belang) atau ketertiban umum (openbare orde).
Memperhatikan makin menyempitnya hukum adat sebagai hukum positif, beberapa obyek
pengajaran hukum adat tidak relevan lagi sebagai kajian ilmu hukum positif
(positiefrechtswetenschap). Namun tidak berarti kajian keilmuan hukum adat menjadi kurang
penting. Tetap periting. Tetapi harus bergeser dan ditempatkan dalam kajian sejarah hukum
(rechthistorie) dan atau teori hukum (rechthistorie) atau filsafat hukum32.

32 "Hukum Positif Indonesia". ZONA DAKWAH, 2022, https://www.zonadakwah.com/2016/12/hukum-positif-


indonesia.html . diakses pada tanggal 15 Nov 2022.

19
Kajian terakhir ini (teori hukum atau filsafat hukum) beberapa puluh tahun yang lalu
telah dirintis oleh almarhum Prof. Mr. Sudiman Kartohadiprodjo (guru besar filsafat hukum
FH. UNPAD dan Parahiyangan) yang mencoba secara keilmuan mengkaji Pancasila dari
sudut pemikiran anak bangsa Indonesia. Kajian ini dalam rangka pengajaran filsafat hukum
yang berdasarkan Pancasila sebagai sesuatu yang digali dari bumi Indonesia sendiri. Sayang,
rintisan ini tidak dilanjutkan. Bahkan ada semacam mengucilkan, sehingga dilupakan. Salah
satu kelemahan pendekatan almarhum, karena terlalu kuat bertolak dari Pancasila, sehingga
oleh sebagian dianggap menjadi begitu ideologis dibandingkan sebagai suatu kajian keilmuan
dan menjadi sempit karena "berputar-putar" pada fenomena Pancasila. Secara obyektif
rintisan ini harus dihargai dan sedapat mungkin ada yang meneruskan. Salah satu kelemahan
pengajaran ilmu hukum di Indonesia karena tidak berkembangnya kajian teori hukum dan
filsafat hukum yang bersifat ke Indonesiaan. Hal ini bukan mengada-ada atau chauvinisme.
Teori hukum jurisprudence, sangat erat dengan ketentuan hukum positif. Teori hukum disatu
pihak merupakan nbstraksi teoritik hukum positif sehingga dapat disebut bersumber dari
hukum positif. Dilain pihak, teori hukum dapat menjadi asas dan landasan hukum positif.

Hukum positif dimanapun bersifat "nasional," karena itu bukanlah sesuatu yang aneh
kalau berkembang teori hukum yang bersifat nasional seperti kajian "American legal system,
France legal system" dan lain-lain. Kita harus membangun pula teori hukum Indonesia seperti
kajian "the Indonesian legal system." Begitu pula kajian filsafat hukum.Meskipun ada yang
berpendapat filsafat hukum lebih universal dibanding teori hukum, tetapi tidak menutup
kajian "the Indonesian philosophy of law." Sebab berbagai kebangkitan suatu ajaran atau
filsafat hampir semuanya tidak terlepas dari kenyataan atau pandangan umum yang ada
disekitarnya. Ajaran philospher kirtg Plato, lahir karena dihadapkan pada kenyataan perang
terus menerus antara negara kota di Yunani yang antara lain menghar,curkan atau
menyebabkan kemunduran negara kota Atena, karena dikalahkan Sparta.Pandangan hukum
marxisme yang begitu keras, (hukum dianggap sebagai alat penindas belaka), timbul karena
kenyataan bahwa hukum pada saat itu tidak secara nyata memberikan perlindungan kepada
kaum buruh yang tertindas oleh kaum kapitalis 33.

33 "Hukum Positif Indonesia". ZONA DAKWAH, 2022, https://www.zonadakwah.com/2016/12/hukum-positif-


indonesia.html . diakses pada tanggal 15 Nov 2022.

20
Ajaran pemisahan kekuasaan Montesquieu, merupakan reaksi terhadap kekuasaan
absolut yang sewenang-wenang di Perancis. Ajaran atau mazhab sejarah von Savigny
merupakan refleksi nasionalisme menghadapi ekspansi sistem hukum Perancis melalui model
kodifikasi hukum. Demikian pula ajaran hukum Bentham command of the souvereign,
merupakan "reaksi" terhadap hukum Inggris yang beraneka ragam dan berbagai faktor
kelemahan dari sistem common law. Beberapa ilustrasi di atas, menunjukkan pekembangan
ajaran filsafat hukum atau kenegaraan yang kemudian diterima secara "universal," lahir dari
kenyataan setempat atau kondisi nasional yang dihadapi.

Van Vollenhoven telah berjasa menemukan hukum adat sebagai sebuah sistem.
Sayangnya penemuan ini demikian pula penulis atau peneliti lain dibidang hukum adat lebih
memusatkan perhatian menemukan hukum adat sebagai sistem hukum positif dan belum
sampai pada pengembangan teori hukum atau filsafat hukumnya. Tentu saja ada bagian-
bagian dari temuan tersebut yang telah diangkat pada tingkat teori hukum tetapi belum
komprehensif. Holleman misalnya menemukan cara berpikir menurut hukum adat, sehingga
dapat dipahami sistem hukum perolehan hak, sistem hak ulayat, dan lain-lain. Setelah
merdeka rintisan ini mandek. Sistem pengajaran pada pendidikan tinggi hukum berangsur-
angsur lebih menekankan kajian hukum positif.

Kajian-kajian teori hukum mengalami pendangkalan. Ahli hukum Indonesia lebih


tertarik mendalami berbagai aspek hukum yang bersumber dari luar. Sebagai contoh,
pengajaran mengenai "sumber hukum." Masih ada tulisan atau pengajaran yang antara lain
menyebutkan traktat sebagai sumber hukum.Traktat dalam sistem perundang-undangan
Indonesia bukan merupakan bentuk hukum mandiri. Bentuk hukum traktat adalah undang-
undang atau Keputusan Presiden. Karena itu dalam sistematik sumber hukum mestinya
masuk ke dalam kelompok "undang-undang dalam arti materiil." Sudah saatnya di fakultas
hukum dibangun pusat kajian teori hukum dan filsafat hukum, tidak sekedar pusat kajian
hukum positif. Diakui, membangun pusat semacam ini tidak mudah. Pada saat hukum
mempunyai "nilai ekonomis" yang begitu tinggi dan sarjana hukum dibutuhkan untuk
berbagai lapangan praktis, sulit menemukan tenaga yang mau bertekun untuk hal abstrak
ini34.

34 "Hukum Positif Indonesia". ZONA DAKWAH, 2022, https://www.zonadakwah.com/2016/12/hukum-positif-


indonesia.html. Diakses pada tanggal 15 Nov 2022.

21
Rintisan Prof. Mochtar Kusumaatmadja mengenai ajaran tentang peranan hukum dan
pembaharuan hukum dan peranan hukum dalam pembangunan hukum nasional kurang
berkembang sebagai bangunan teori yang komprehensif. Memang banyak yang kemudian
menulis atau membicarakan keterkaitan hukum dengan perubahan sosial, pembangunan, dan
lain-lain. Tetapi ilmu hukumnya sendiri tidak berkembang. Selain berputar pada teori yang
sudah ada seperti sociological jurisprudence, berbagai kajian tersebut lebih nampak sebagai
kajian kebijakan dari pada untuk perkembangan ilmu hukum. Prof. Mochtar Kusumaatmadja
sendiri tidak lagi berkesempatan mengembangkan lebih jauh pemikiran-pemikiran baru
mengenai hukum, karena berbagai pekerjaan lain yang dipikulkan kepadanya. Mereka yang
mentransformasikan pikiran-pikiran hukum Prof. Mochtar Kusumaatmadja, terbztas pada
menjelaskan dan kadang-kadang rnengidiologikafi-nya sehingga tidak berkembang lebih
komprehensif.Mestinya mereka yang "mengambil alih" tugas beliau dengan mengembangkan
lebih jauh pandangan hukum tersebut sehingga terbentuk satu pendekatan teoritik yang
komprehensief.

Akibat kurang berkembangnya teori hukum, pengajaran hukum Indonesia lebih


berorientasi pada telaahan terhadap hukum positif. Hal ini nampak antara lain dalam sistem
pendidikan hukum yang dibagi dalam strata I, II, dan III. Strata I sebagai pendidikan untuk
memperoleh gelar sarjana hukum. Pada tingkat strata I, pengajaran lebih diarahkan pada
penguasaan hukum positif belaka. Kupasan teoritik, baik yang umum maupun khusus sangat
terbatas. Sebagai salah satu akibatnya, sarjana hukum acap kali kurang mengenali dengan
baik kerangka hukum sebagai sebuah sistem atau tertib legal system, legal order. Hal ini
nampak pada kemampuan berargumentasi atau menerangkan pikiran hukum secara
sistematik, logis, dan ilmiah (legal reasonirrgs). Argumentasi pragmatiklah yang
mendominasi pemikiran hukum. Sadar atau tidak sadar, ciri-cir.i ini merupakan pendangkalan
terhadap ilinu hukum dan pendidikan hukum35.

35 "Hukum Positif Indonesia". ZONA DAKWAH, 2022, https://www.zonadakwah.com/2016/12/hukum-positif-


indonesia.html . Diakses pada tanggal 15 Nov 2022.

22
2.2 Hukum Keagamaan

Hukum keagamaan sebagai hukum positif, adalah hukum dari agama yang diakui
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku atau berdasarkan suatu kebijakan
Pemerintah yang mengakui semua sistem keyakinan atau sistem kepercayaan yang oleh
pengikutnya dipandang sebagai agama. Pada saat ini, didapati berbagai hukum keagamaan
yang dinyatakan melalui undang-undang- sebagai hukum positif. Berdasarkan UU No. 1
Tahun 1974, ketentuan-ketentuan semua agama mengenai perkawinan dinyatakan sebagai
hukum positif. Khusus bagi yang beragama Islam, pengakuan hukum perkawinan Islam telah
ada sejak masa Hindia Belanda dengan dipertahankannya peradilan agama untuk
menyelesaikan sengketa nikah, talak, dan rujuk (seperti Mahkamah Syariah di Jawa dan Qadi
Besar di Kalimantan) berdasarkan hukum Islam. Berdasarkan UU No. 7 Tahun 1989 - bagi
pemeluk agama Islam-ketentuan hukum positif berdasarkan syariah (hukum Islam) diperluas
ke bidang-bidang lain seperti wakaf, pemeliharaan anak, pewarisan, hubungan nasab dalam
pengangkatan anak. Memperhatikan berbagai ketentuan undang-undang antara lain seperti
disebut di atas ada beberapa cara menyatakan hukum agama menjadi hukum positif :

Pertama ; mengakui bahwa untuk hubungan atau peristiwa hukum tertentu berlaku hukum
agama, seperti pernyataan bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut agama masinb
masing (UU No. 1 Tahun 1974).

Kedua : memasukkan atau mentransformasikan asas dan ketentuan hukum agama tertentu
kedalam ketentuan undang-undang. Misalnya, dalam penjelasan Undang-Undang
Kesejahteraan Anak dinyatakan pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan nasab.
Ketiga : membiarkan hukum agama tertentu berlaku sebagai hukum positif. Hal ini nampak
antara lain dalam ketentuan perbankan mengenai sistem bank syariah atau berlakunya Syariat
Islam di Nanggroe Aceh Darussalam. 36

36 "Hukum Positif Indonesia". ZONA DAKWAH, 2022, https://www.zonadakwah.com/2016/12/hukum-positif-


indonesia.html . diakses pada tanggal 15 Nov 2022.

23
Memasukkan hukum agama menjadi hukum positif terjadi juga melalui putusan
hakim. Di lingkungan peradilan agama, telah diadakan pedoman penerapan hukum agama
bagi mereka yang beragama Islam seperti "kompilasi Hukum Islam" yang ditetapkan dalam
Instruksi Presiden No. l Tahun 1991 jo Keputusan Menteri Agama No.154 Tahun 1991. Hal
yang sama dapat juga dilakukan atau terjadi pada lingkungan peradilan lain, khususnya
peradilan umum. Hakim dapat menggunakan asas atau ketentuan agama apabila penerapan
suatu peraturan perundang-undangan sungguh-sungguh melukai rasa kepatutan, atau rasa
keadilan, atau pandangan kesusilaan menurut dasar keagamaan pencari keadilan.

2.3 Hukum Yurisprudensi

Hukum Yurisprudensi adalah hukum positif yang berlaku secara umum yang lahir
atau berasal dari putusan hakim. Disinilah letak perbedaaan sifat hukum antara putusan
hakim dengan yurisprudensi. Putusan hakim adalah hukum yang bersifat konkrit dan khusus
berlaku pada subyek yang terkena atau terkait langsung dengan bunyi putusan. Pada saat
suatu putusan hakim diterima sebagai yurisprudensi, maka asas atau kaidahnya menjadi
bersifat umum dan dapat dipergunakan sebagai dasar pertimbangan hukum bagi siapa saja.
Hingga saat ini, peranan hukum yurisprudensi belum mendapat perhatian yang cukup, baik
dalam pengajaran hukum maupun praktek hukum.

Pertama : sistem pengajaran hukum terkecuali untuk kajian hukum internasional karena ada
case study- kurang sekali menggunakan putusan hakim atau yurisprudensi sebagai bahan
bahasan. Hal ini terjadi karena antara lain :

1) Pengajaran hukum masih terbelenggu oleh sistem yang menekankan penguasaan


pengertian umum hukum sebagai suatu standar kajian hukum dalam ilmu hukum
rechtwetenschap, legal science. Pengajaran hukum ini bersifat abstrak dalam bentuk
generalisasi teoritik belaka.Itupun seperti diutarakan dimuka mengalami
pendangkalan karena pengajaran lebih ditekankan pada hukum positif. 37
2) Sistem hukum yang berlaku menempatkan asas dan kaidah hukum yang bersumber
pada peraturan perundang-undangan sebagai sendi utama hukum yang berlaku.

37 "Hukum Positif Indonesia". ZONA DAKWAH, 2022, https://www.zonadakwah.com/2016/12/hukum-positif-


indonesia.html . diakses pada tanggal 15 Nov 2022.

24
Akibatnya, orientasi pengajaran hukum diutamakan pada penguasaan terhadap 34
ketentuan hukum yang didapati dalamperaturan perundang-undangan. Sistem
pengajaran ini sangat berbahaya, karena tidak tertutup kemungkinan, bunyi atau
pengertian yang didapati dalam peraturan perundang-undangan telah diberi
pengertian atau tafsiran baru oleh putusan hakim atau yurisprudensi. Sekedar
beberapa contoh:
1) Pengertian "barang" dalam pidana pencurian termasuk pencurian listrik.
2) Pengertian onrechtmatigedaad, hanya dapat dipahami setelah mempelajari
yurisprudensi (Arrest H.R,1919).
3) Makin banyak putusan Mahkamah Agung yang menerima permohonan
kasasipraperadilan,berhadapan dengan ketentuan hukum positif yang menyatakan
tidak ada kasasi untuk, praperadilan.
4) Ketentuan "jual beli tidak memutuskan hubungan sewa menyewa" oleh
yurisprudensi diperluas menjadi asas pengasingan (vervreemding) tidak memutuskan
sewa menyewa, sehingga termasuk hibah, pewarisan, dan lain-lain bentuk
pengasingan.

Publikasi putusan hakim atau yurisprudensi sangat terbatas sehingga tidak mudah
didapat untuk dipelajari atau dibahas. Bahkan ada yang berpendapat, publik tidak berhak
memperoleh suatu salinan putusan karena dalam HIR ada ketentuan yang membatasi hanya
untuk terpidana atau pihak yang berperkara, kecuali melalui tata cara tertentu. Ketentuan ini
tidak sejalan dengan asas bahwa putusan hakim harus diucapkan dalam sidang terbuka dan
dinyatakan terbuka untuk umum. Karena terbuka untuk umum, maka putusan hakim tidak
lagi sebagai domain pribadi melainkan domein publik38.

Kebijakan penelitian hukum yang tidak memberi kelapangan fasilitas untuk penelitian
putusan hakim atau yurisprudensi. Lebih lebih lagi kalau sumber dana dari pemerintah yang
tidak memahami peranan putusan hakim atau yurisprudensi, baik untuk pengembangan ilmu
hukum maupun praktek hukum.

38 "Hukum Positif Indonesia". ZONA DAKWAH, 2022, https://www.zonadakwah.com/2016/12/hukum-positif-


indonesia.html . diakses pada tanggal 15 Nov 2022.

25
Dari segi pengembangan teoritik, putusan hakim atau yurisprudensi sangat
memperkaya pendapat-pendapat atau pengertian-pengertian baru tentang hukum. Begitu pula
praktek hukum. Salah satu keluhan banyak pihak (dalam dan luar negeri), putusan hakim
acapkali menimbulkan ketidakpastian hukum karena -antara lain- tidak ada konsistensi.
Penelitian sistematik dan keilmuan mengenai hal ini akan memberikan sumbangan penting
dalam upaya membangun ketertiban dalam penerapan hukum. Selain itu, penelitian
yurisprudensi sangat penting untuk mengidentifikasi kemungkinan kesenjangan antara law in
books dan law in action.

Kedua; dari segi praktek hukum, putusan hakim atau yurisprudensi legally uou binding,
karena Indonesia Hdak menjalankan sistem precedetrt. Putusan hakim atau yurisprudensi
hanya mempunyai kekuatanyang bersifat persuasif bagi hakim. Ada kelebihan dan
kekurangan sistem non precedent yang kita jalankan. Kelebihannya, hakim tidak terbelenggu
oleh putusan masa lalu yang mungkin tidak sesuai lagi. Pertumbuhan hukum akan lebih
dinamis karena hakim bebas menemukan hukum sesuai perkembangan dan kenyataan yang
dihadapi. Kekurangan atau kelemahannya -seperti sepintas diuraikan di atas- putusan hakim
atau yurisprudensi tidak dapat diandalkan sebagai sumber nyata kepas6an dan konsistensi
penerapan hukum.

Baik ditinjau dari pengertian maupun kenyataan, kepastian hukum didapati dalam
penerapan hukum bukan dalam suatu peraturan perundang-undangan yang hanya
merupakanbayang-bayang dari kepastian hukum. Selanjutnya sistem non precedent, mudah
mengundang penyalahgunaan dan kesewenang-wenangan hakim. Atas nama kebebasan,
hakim dapat memutus sesuai kepentingan tertentu 39.

39 "Hukum Positif Indonesia". ZONA DAKWAH, 2022, https://www.zonadakwah.com/2016/12/hukum-positif-


indonesia.html . diakses pada tanggal 15 Nov 2022.

26
2.4 Hukum Kebiasaan

Hukum kebiasaan yaitu hukum yang tumbuh dan dijalankan dalam praktek
penyelenggaraan negara atau pemerintahan, dan hukum yang tumbuh dan dijalankan dalam
praktek komunitas perniagaan, dan lain-lain. Hukum-hukum ini sebenarnya merupakan
(hukum) adat istiadat. Secara singkat dapat disebut hukum adat. Tapi disini sengaja tidak
dimasukkan kedalam kelompok Hukum Adat (huruf besar), karena selama ini telah diterima
pengertian bahwa Hukum Adat adalah hukum asli yang tumbuh, berkembang, dan hidup
dalam lingkungan masyarakat ash Indonesia. Yang cukup intensif diajarkan di Fakultas
Hukum adalah hukum kebiasaan di bidang ketatanegaraan, atau lazim disebut konvensi.
Tetapi karena hukum kebiasaan ketatanegaraan ini sangat menonjol pada sistem
ketatanegaraan Inggris, maka referensi utama biasanya adalah kebiasaan ketatanegaraan
Inggris. Termasuk kedudukan hukum dari kebiasaan ketatanegaraan. Di Inggris kebiasaan
ketatanegaraan tidak digolongkan sebagai hukum melainkan sebagai etika, alasannya karena
tidak dapat ditegakkan melalui pengadilan.

Pendirian ini perlu mendapat peninjauan kembali:

(1) Tidak banyak kaidah hukum ketatanegaraan yang ditegakkan atau dipertahankan melalui
proses peradilan. Hukum ketatanegaraan umumnya tegak melalui proses politik atau proses
hukum di luar pengadilan seperti impeachment. Kaidah hukum tata negara yang ditegakkan
melalui proses peradilan hanya beberapa seperti mengenai pengujian terhadap undang-
undang (tidak semua negara menjalankan praktek semacam itu), perkara pelanggaran hak
asasi manusia oleh negara, alat kelembagaan negara, atau pemerintah. Dengan demikian,
tidak relevan menentukan dasar perbedaan pada dapat atau tidak dapat ditegakkan melalui
proses peradilan. Lebih-lebih lagi makin berkembangnya pranata yang lazim disebut quasi
admirtistratiefsrechtspraak sebagai forum menyelesaikan sengketa tanpa melalui pengadilan.
Demikianpula lembaga penyelesaian sengketa dalam lingkungan administrasi seperti
"banding administrasi." Pada saat ini makin berkembang pula lembaga penyelesaian sengketa
yang tidak sepenuhnya melalui proses peradilan seperti court cottttected mediatiott atau yang
sama sekali diluar proses peradilan seperti mediasi. Dalam mediasi yang diutamakan adalah
menemukan penyelesaian bukan mengenai hukum yang akan diterapkan.

27
(2) Sistem hukum Indonesia -yang diwarisi dari sistem kolonial adalah sistem kontinental
yang menerima kaidah kebiasaan sebagai hukum, bukan kaidah etika 40.

2.4 Problematik Penerapan Hukum Positif Dan Penyelesaian Teoritknya

Setelah memahami pengertian paradigma hukum positif dan hukum yang berlaku saat ini,
maka selanjutnya kita diskusikan tentang problematik penerapan hukum positif. Hukum
positif lebih banyak dibentuk secara formal melalui badan/lembaga resmi kenegaraan, seperti
lembaga legislatif dalam ruang hampa di gedung-gedung parlemen. Pembentukan hukum
lebih banyak didasarkan pada logika positif yang dibalut dengan argumentasi dan nalar
hukum, yang kemungkinan terlepas dari konteks sosiologisnya. Asumsi ini didasarkan atas
fakta seringnya hukum positif tidak mampu diterapkan secara efektif, dan seringnya
dilakukan bongkar pasang terhadap hukum positif untuk disesuaikan dengan kebutuhan
masyarakat.

Problematika penerapan hukum positif pada umumnya dijumpai dalam beberapa macam,
yaitu kekosongan norma hukum positif; norma hukum positif yang terumus secara samar;
konflik norma hukum positif; dan norma-norma hukum positif yang sudah usang. Secara
teoritik problem penerapan hukum positif ini telah memiliki metode atau cara
penyelesaiannya masing-masing. Namun bagi pengambil keputusan harus hati-hati dalam
menggunakan teori-teori tersebut, mengingat teori adalah pilihan mana yang akan
dipergunakan oleh pengambil keputusan.

Kekosongan Norma Hukum Positif

Penggunaan terminologi “kekosongan norma hukum positif (wet vacuum)”, dan tidak
menggunakan terminologi kekosongan hukum (rechts vacuum) dimaksudkan untuk
mempertegas pandangan bahwa hukum tidak pernah kosong, sebab dalam hukum tidak hanya
yang tertulis dalam undang-undang (the written law), tetapi juga apa yang secara nyata
berlaku dalam kehidupan masyarakat. Sehingga penggunaan terminologi kekosongan hukum

40 "Hukum Positif Indonesia". ZONA DAKWAH, 2022, https://www.zonadakwah.com/2016/12/hukum-positif-


indonesia.html . diakses pada tanggal 15 Nov 2022.

28
mengingkari kenyataan yang ada, yang mungkin terjadi adalah kekosongan norma hukum
positif. Kekosongan norma hukum positif terjadi oleh adanya ketidak seimbangan antara
kebutuhan praktek dengan ketersediaan hukum positif. Beberapa ahli berpendapat, jika terjadi
kekosongan norma hukum positif penyelesaiannya dilakukan dengan penemuan hukum
(rechtsvinding/law fiding”). 41
Penemuan hukum dilakukan untuk menemukan asas-asas atau
nilai-nilai hukum yang berlaku di dalam masyarakat (bukan menemukan norma hukum),
untuk memperoleh dasar atau landasan legalitas keputusan hakim.

Dalam perkembangannya, kegiatan penemuan hukum tidak hanya menjadi milik


kekuasan yudisial semata, namun dapat dilakukan oleh banyak pihak, sebagaimana
diungkapkan Jazim Hamidi: ”penemuan hukum (rechtsvinding) pada dasarnya merupakan
wilayah kerja hukum yang sangat luas cakupannya. Ia dapat dilakukan oleh orang perorang
(individu), ilmuwan/peneliti hukum, para penegak hukum (hakim, jaksa, polisi, dan
pengacara/advokat), direktur Badan Usaha Milik Swasta (BUMS), dan Badan Usaha Milik
Negara/Badan Usaha Milik Daerah (BUMN/BUMD) sekalipun.

Menurut Yudha Bhakti Ardhiwisastra, penemuan hukum pada umumnya dilakukan


menggunakan metode penafsiran hukum dan konstruksi hukum, sehingga terminologi teori
konstruksi hukum sesungguhnya merupakan teori tentang menemukan hukum42, yang
disebabkan belum atau tidak adanya peraturan hukum yang akan diterapkan dalam peristiwa
hukum konkrit. Terdapat kerancuan dan silang pendapat antara konstruksi hukum dengan
penafsiran hukum/interpretasi hukum sebagai metode untuk mengisi kekosongan norma hukum
undang-undang.Terkait dengan hal ini, Achmad Ali, menyatakan bahwa: ”terdapat perbedaan
metode dan cara penemuan hukum oleh hakim antara sistem Eropa Kontinental yang tidak
memisahkan antara interpretasi hukum dan konstruksi hukum dengan Anglo Saxon, yang
memisahkan antara interpretasi dengan konstruksi hukum43.
Namun menurut Jazim Hamidi, antara penemuan hukum dan konstruksi hukum
merupakan dua cara yang berbeda yang muaranya pada asas tidak boleh membiarkan terjadinya
kekosongan hukum, terutama terkait dengan asas tidak boleh menolak perkara. Pemisahan
antara interpretasi hukum dengan konstruksi hukum, kiranya sangat tepat, karena keduanya
bertolak pada kenyataan yang berbeda. Pada konstruksi hukum lebih pada penyusunan norma

41 Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum:Teori Penemuan Hukum Baru Dengan Interpretasi Teks (Yogyakarta: UII
Press, 2005). 8 Yudha Bhakti Adh
42 Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran Dan Konstruksi Hukum (Bandung: Alumni, 2002).
43 Hamidi.

29
hukum baru, yang belum ada sebelumnya. Pada konstruksi hukum merupakan metode yang
digunakan dalam hal hukumnya belum atau tidak mengatur sama sekali (recht vacuum/leemten
in het recht), yang lazim disebut kekosongan hukum, dalam hal ini secara tekstual hukum
tertulis sama sekali tidak mengatur.
Sedangkan interpretasi hukum digunakan untuk menafsirkan norma hukum positif
yang sudah ada, tetapi tidak jelas perumusannya atau dirumuskan secara samar, seperti
kesusilaan, perbuatan tercela, dan lain sebagainya. Hukum positif merupakan rangkaian
konsep yang abstrak yang tidak jarang hanya dipahami oleh legislator, tetapi tidak bagi para
praktisi hukum maupun masyarakat. Oleh karena itu harus dicari maknanya dalam
penerapannya terhadap kasus hukum konkrit, agar benar-benar sesuai dengan rasa keadilan
masyarakat.

Norma Samar

Problematik penerapan hukum positif juga sering diwarnai oleh adanya norma samar
(vage normen). Sebagaimana disinggung pada uraian butir a di atas, bahwa dalam hal norma
hukumnya tidak atau kurang jelas (samar) terdapat beberapa pendapat yang berbeda mengenai
alternatif solusi penyelesaian yang ditawarkan. Keberadaan norma samar sendiri bersifat
dilematis, jika norma hukum positif dirumuskan secara kaku, dapat menyebabkan pengambil
keputusan tidak dapat menggunakan kebijaksanaannya. Di samping itu, perumusan norma
samar juga dapat disebabkan oleh keterbatasan perumusnya dalam memberikan makna konsep
yang digunakan dalam norma hukum tersebut. Sehingga keterbatasan tersebut memaksa
perumus norma hukum memberikan rumusan yang tidak atau kurang jelas.

Mengenai hal ini Sudikno Mertokusumo berpendapat, bahwa ”dalam hal peraturan
perundangan-undangannya tidak jelas, maka tersedialah metode interpretasi atau metode
penafsiran hukum, metode ini yang lazim disebut hermeneutic yuridis”. 44
Penafsiran hukum,
menurut Emilio Betti merupakan upaya menjernihkan persoalan dengan cara menyelidiki
secara detail proses penafsiran untuk mencari makna dari sebuah aturan atau norma hukum.
Senada dengan pendapat di atas, menurut Von Savigny, penafsiran hukum merupakan
rekonstruksi pikiran yang tersimpul dalam undang-undang.

44 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, IV (Yogyakarta: Liberty, 2006).

30
Pendapat berbeda dikemukakan oleh H.L.A.Hart, yang menyatakan bahwa: ”dalam
hal terjadi ketidakjelasan norma hukum, penerap hukum dapat secara langsung menggunakan
metode penemuan hukum tanpa melalui metode penafsiran hukum, penerap hukum
menggunakan diskresi yang kuat/diskresi yang luas untuk menciptakan hukum. Namun
Ronald Dworkin tidak sependapat dengan Hart, dengan menyatakan bahwa, ”dalam hal
terjadi ketidakjelasan norma hukum, penerap hukum menggunakan diskresi yang lemah (a
weak discretion), yaitu menggunakan interpretasi dengan merujuk pada prinsip-prinsip atau
asas-asas hukum terkait, setelah itu baru merumuskan norma hukumnya.

Konflik Norma

Konflik norma, yang dalam bahasa Inggris disebut conflict of norm, merupakan salah
satu permasalahan yang terjadi dalam penerapan norma hukum positif. Sebagaimana
dikatakan Philipus M Hadjon, bahwa dalam penerapan hukum selalu dihadapkan pada
persoalan-persoalan klasik, yaitu kekosongan undang-undang (wet vacuum), conflict of norm
atau disebut konflik norma hukum45. Selanjutnya Philipus M. Hadjon menyatakan: ”Langkah
penerapan hukum yang diawali dengan identifikasi aturan hukum dalam bidang pertanahan
seringkali dijumpai adanya antinomi atau konflik norma hukum”. 46
Konflik norma hukum juga terjadi di Indonesia dan hal semacam itu tidak mungkin dapat
dihindari dan biasanya konflik norma hukum terjadi pada saat dilakukan penerapan hukum.

Konflik norma hukum positif dapat bersifat vertikal maupun bersifat horizontal.
Konflik norma vertikal terjadi manakala terdapat pertentangan antara norma yang hirarkinya
lebih tinggi dengan norma yang hirarkinya lebih rendah, konflik norma ini juga disebut
dengan istilah disharmonisasi peraturan perundangan. Sedangkan konflik norma horizontal
terjadi manakala terjadi pertentangan antara norma yang kedudukannya sederajat, yang juga
disebut sinkronisasi peraturan perundang-undangan. Sedangkan menurut Bruggink, konflik
norma hukum dapat berbentuk antara norma perintah dengan norma larangan, yang disebut
konflik norma hukum yang bersifat kontraris; antara norma perintah dengan norma yang
membolehkan atau norma izin, dan antara norma larangan dengan norma dispensasi yang
disebut subalternasi; antara norma yang membolehkan atau norma izin dengan dispensasi,

45 Philipus M Hadjon, ‘Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik’, Majalah Yuridika, 1994, p.13.
46 Philipus M Hadjon.

31
yang disebut sub kontraris; dan antara norma perintah dengan dispensasi, dan antara norma
larangan dengan norma yang membolehkan atau norma izin, yang disebut kontradiksi 47.
Untuk menyelesaikan konflik norma, menurut Gert Frederick Malt dapat menggunakan
beberapa metode, yaitu prinsip atau asas preferensi, dan metode atau beberapa cara lain, yang
selanjutnya dinyatakan sebagai berikut:
“Traditionally, three general principles of preference, to be used in solving some hard
conflicts between rules, are presented. They are, in their most Common formulations,
a). the lex posterior principle: lex posterior derogat legi priori, i.e: a later provision
overrules an earlier one;
b). the lex specialis principles: lex spesialis derogate legi generali, i.e.: a more special
provision overrules a general one;
c). the lex superior principle: lex superior derogat legi inferior, i.e.: provision with
higher rank overrules a provision with lower rank 48”.

Pertama, lex specialis derogat legi generali, mengandung pengertian bahwa peraturan yang
khusus mengesampingkan peraturan yang bersifat umum. Sebagai contoh pertentangan antara
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dengan norma dalam Kitab UndangUndang Hukum
Pidana, maka norma Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi mengesampingkan norma yang
bersifat umum. tersebut mengesampingkan norma dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana;
Kedua, the lex superior principle: lex superior derogat legi inferior, prinsip ini mengandung
pengertian bahwa, peraturan yang kedudukan hirarkinya lebih tinggi mengesampingkan
(bukan mengalahkan) peraturan yang hirarkinya lebih rendah. Sebagai contoh, jika norma
undang-undang bertentangan dengan norma dalam peraturan pemerintah, maka norma
undang-undang akan mengesampingkan norma dalam peraturan pemerintah;

47 Bruggink.
48 Greg Fredrik Malt.

32
Ketiga, the lex posterior principle: lex posterior derogat legi priori, prinsip ini bermakna
bahwa norma peraturan yang baru mengesampingkan norma yang lama. Sebagai contoh
norma Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, terkait
wewenang pemberian izin pertambangan mineral batubara mengesampingkan Undang-Undan
Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Sehingga wewenang
pemberian izin pertambangan mineral batubara yang semula berada pada Pemerintah
Kabupaten/Kota berpindah menjadi wewenang Provinsi berdasarkan Undang-Undang
Pemerintahan Daerah tersebut.

Di samping menggunakan asas preferensi, penyelesaian konflik norma juga dilakukan


dengan cara lain, yaitu dengan disavowal atau pengingkaran konflik norma. Metode ini
menganggap tidak ada konflik norma, sehingga pengambil keputusan menganggap yang
berlaku adalah norma yang dikehendaki berlaku. Metode lain adalah dengan melakukan
reinterpretasi, yaitu dengan menafsir ulang norma-norma yang dianggap saling bertentangan,
dan hasil penafsiran mana yang dianggap benar yang diberlakukan. Invalidation ,metode ini
dibagi ke dalam dua macam, yaitu49: pertama, abstract and formal, metode ini dilakukan
dengan cara menguji norma yang saling bertentangan, dan jika berdasarkan pengujian
diketahui salah satu dari kedua norma yang bertentangan terbukti invalid, maka norma
tersebut dibatalkan.Jadi, dalam hal ini harus ada tindakan pembatalan dan memerintahkannya
untuk dicabut.

Pencabutan dilakukan sesuai dengan asas contrarius actus, yaitu pembatalan


dilakukan oleh pejabat yang berwenang membuat peraturan; kedua non application dalam hal
terjadi konflik norma, maka norma tersebut diuji dan jika berdasarkan pengujian dinyatakan
invalid, maka norma tersebut tidak diterapkan tanpa harus melakukan tindakan pembatalan.
Terakhir adalah dengan menggunakan remedy, cara ini dilakukan dengan pembetulan
terhadap norma-norma yang dianggap invalid tersebut.

49 Greg Fredrik Malt.

33
Norma Usang

Norma usang disebut juga dengan istilah out of date norm. Dikatakan demikian
karena norma-norma ini sudah dianggap ketinggalan jaman, dalam arti sudah tidak sesuai
dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat. Norma-norma yang demikian dapat
saja dikesampingkan atau disimpangi atau dilakukan rekonstruksi disesuaikan dengan
perkembangan kebutuhan hukum yang berkembang. Secara teoritik terdapat kerancuan dan
silang pendapat antara konstruksi hukum dengan penafsiran hukum/interpretasi hukum
sebagai metode untuk mengisi kekosongan undang-undang, terutama antara penganut Anglo
Saxon dan Eropa Kontinental. Terkait dengan hal ini, Achmad Ali, menyatakan bahwa
terdapat perbedaan metode dan cara penemuan hukum oleh hakim antara sistem Eropa
Kontinental yang tidak memisahkan antara interpretasi hukum dan konstruksi hukum dengan
Anglo Saxon, yang memisahkan antara interpretasi dengan konstruksi hukum. 50

Berbeda dengan pendapat di atas, Jazim Hamidi berpendapat bahwa antara penemuan
hukum dan konstruksi hukum merupakan dua cara yang berbeda yang muaranya pada asas
tidak boleh membiarkan terjadinya kekosongan hukum, terutama terkait dengan asas tidak
boleh menolak perkara. Selanjutnya dikatakan: Penemuan hukum, selalu berkonotasi hukum
sudah ada, jadi hakim atau petugas hukum lainnya hanya menerapkan dalam peristiwa
konkrit; Pembentukan hukum, berkonotasi hukumnya belum ada, sehingga hakim
berkewajiban membentuk hukum yang dibutuhkan masyarakat itu, supaya tidak terjadi
kekosongan hukum (rechts vacuum) atau lebih tepat disebut dengan kekosongan undang-
undang; Sedangkan Penciptaan hukum, berkonotasi hukumnya sudah ada tetapi tidak jelas
atau kurang lengkap, sehingga hakim harus menciptakan hukum yang baru sebagai
penyempurnaan dan/atau pengganti hukum yang sudah ada.

50 Hamidi.

34
Terkait dengan perbedaan pandangan mengenai konstruksi hukum dan penemuan
hukum, menurut hemat penulis dengan menggunakan merekonstruksi norma hukum,
dimaksudkan sebagai upaya menyusun ulang dengan tujuan memperbaiki norma-norma yang
sudah ketinggalan jaman, untuk disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan hukum yang
berkembang. Sebagai contoh mengenai radius kerusakan/gangguan dalam Hinder Ordonantie
Nomor 226 Tahun 1926, yang dulu hanya berjarak 200 meter dari pusat kegiatan usaha. Jarak
200 meter tersebut saat ini sudah tidak rasional, sebab pencemaran sudah menjangkau ribuan
meter, lintas kabupaten/kota, bahkan lintas Provinsi. Sehingga norma demikian harus
direkonstruksi disesuaikan dengan perkembangan radius gangguan/kerusakan tersebut 51.

51 Hamidi.

35
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan permasalahan sebagaimana terurai di atas, maka dapat


disimpulkan bahwa hukum positif menurut ajaran positivisme hukum adalah norma hukum
yang dihasilkan oleh lembaga/organ/badan yang memiliki otoritas membentuk hukum.
Dengan demikian berhubungan dengan hal ditetapkannya aturan hukum oleh Lembaga yang
memiliki kewenangan membentuk hukum. Sedangkan hukum yang berlaku saat ini, terdiri
atas hukum positif dan juga hukum yang tidak dipositifkan, seperti hukum adat, hukum
kebiasaan. Dengan demikian hukum positif berbeda dengan dengan hukum yang berlaku saat
ini. Hukum positif lebih luas dibandingkan dengan hukum yang berlaku saat ini.

Dalam penerapan hukum positif sering ditemukan beberapa probematika, yaitu kekosongan
norma, norma-norma yang terumus secara samar, yaitu norma yang terumus tidak/kurang
jelas, konflik atau pertentangan norma, dan juga norma-norma hukum positif yang sudah
usang. Untuk memperoleh pemahaman yang lengkap terhadap pengertian hukum positif
Dalam memahami hukum positif hendaknya memperhatikan dan memahami pengertian
hukum yang berlaku saat ini. Sehingga tidak terjebak pada pemahaman yang keliru tentang
pengertian hukum positif dan hukum yang berlaku saat ini. Jika dalam penerapan hukum
ditemukan problematik sebagaimana diuraikan dalam paparan di atas, maka pengambil
keputusan harus jeli memilih dan menggunakan teori-teori mana yang telah disediakan oleh
para teoritikus hukum yang ada dengan tetap menjaga objektivitasnya.

36
B. SARAN

Kami berharap kepada pembaca khususnya mahasiswa Fakultas Hukum bahwa kita harus
melihat Hukum Positif Sebagai latar belakang Historis dari kelahiran Hukum itu sendiri dari
aspek psikologis Hukum Positif tidak bisa dihilangkan dan dipisahkan dengan hukum yang
ada sekarang ini. Dan diadakannya studi khususnya mahasiswa Hukum untuk langsung turun
ke lapangan Hukum Adat yang ada dalam masyarakat agar pendatailan data dan esensi
Hukum Positif sendiri lebih nyata.

37
DAFTAR PUSTAKA

Adhiwisastra, Yudha Bakti, Penafsiran Dan Konstruksi Hukum (Bandung: Alumni, 2002)

Bruggink, .J.H., Refleksi Tentang Hukum, ed. by Alih Bahasa Arief Sidarta (Bandung: Citra
Aditya Bhakti, Bandung, 1998)

Brugink, J.J.H, Refleksi Tentang Hukum, ed. by Alih Bahasa Arif Sidarta (Citra Aditya
Bhakti,Bandung, 1998)

Greg Fredrik Malt, Methods For The Solution Of Conflict Between Rules In A System Of
Positive Law, (Amsterdam: Kluwer Law and Taxation Publisher Deventer/Bostom, 1992)

H. A. Sodiki, Teori Hukum Dan Filsafat Hukum (Malang, 2006)

Hamidi, Jazim, Hermeneutika Hukum:Teori Penemuan Hukum Baru Dengan Interpretasi


Teks (Yogyakarta: UII Press, 2005)

Mertokusumo, Sudikno, Penemuan Hukum, IV (Yogyakarta: Liberty, 2006)

Meuwissen, D.H.M., and Slamet Suhartono, ‘Norma Samar Sebagai Dasar Hukum Tindakan
Tata Usaha Negara’, 2009, 79

Philipus M Hadjon, ‘Pengkajian Ilmu Hukum Dogamatik’, Majalah Yuridika, 1994, p.13
Stone, Yulius, and Esmi Warasih, Pranata Hukum Sebagai Telaah Sosiologi (Semarang:
Suryan-daru Utama, 2005)

Zafeer, Jurisprudenze: An Outline (International Law Book Services, 1994)

Anda mungkin juga menyukai