Anda di halaman 1dari 21

CIRI CIRI ISLAM WASATHIYAH (MODERAT)

Disusun Oleh:
Alif Syahreza (00862135559)
Muhammad Aisar Ramadhan (0086782529)
X-11

MADRASAH ALIYAH NEGERI 1 BOGOR

Jl.Lingkungan Kayu Manis No. 30, Desa Cirimekar, Kecamatan


Cibinong, Kabupaten Bogor, Kode Pos 16917

Email : man1bogor.sch.id
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah
tentang "Ciri Ciri Islam Wasathyah (Moderat)".

Tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah turut memberikan kontribusi dalam penyusunan karya ilmiah
ini. Tentunya, tidak akan bisa maksimal jika tidak mendapat dukungan
dari berbagai pihak.

Sebagai penyusun, kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan,


baik dari penyusunan maupun tata bahasa penyampaian dalam karya
ilmiah ini. Oleh karena itu, kami dengan rendah hati menerima saran dan
kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki karya ilmiah ini.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah


pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih
jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca praktikkan dalam kehidupan
sehari-hari.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan


dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan
pengalaman kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran
yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Kami berharap semoga karya ilmiah yang kami susun ini memberikan
manfaat dan juga inspirasi untuk pembaca.

Wassalamualaikum Wr.Wb

2
Daftar Isi

Contents
KATA PENGANTAR...................................................................................................................................ii
Daftar Isi.................................................................................................................................................iii
BAB I........................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.......................................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.........................................................................................................................2
1.3 Sistematika Penyusunan................................................................................................................3
1.4 Manfaat Penulisan.........................................................................................................................4
1.5 Tujuan Penelitian...........................................................................................................................5
BAB II.......................................................................................................................................................6
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................6
1.6 Pengertian Islam Wasathiyah........................................................................................................6
1.7 Pengertian Islam Wasathiyah Menurut Para Ulama......................................................................7
1.8 Ciri Ciri Islam Wasathiyah..............................................................................................................9
1.9 Contoh Amalan Konsep Islam Wasathiyah..................................................................................13
2.0 Langkah-Langkah Mewujudkan Islam Wasathiyah......................................................................16
BAB III....................................................................................................................................................17
PENUTUP...............................................................................................................................................17
2.1 Kesimpulan..................................................................................................................................17
2.2 Saran-Saran.................................................................................................................................17
Daftar Pustaka.......................................................................................................................................18

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Wasathiyah memiliki pengartian yang moderat wasathiyah diambil dari kata


wasath yang artinya adalah apa yang terdapat di antara kedua ujungnnya dan ia adalah
bagian darinya atau juga diartikan pertengahan dari segala sesuatu.

Dalam memahami konteks wasthiyah dalam berbagai aspek kita harus


memperhatikan oleh apa yang di ungkapkan oleh para pakar yakni adanya hubungan
Tarik menarik antara yang ditengah dan kedua ujungnya, dan bukan hanya sekedar
menuntut kesabaran dalam menghadapinya, melainkan juga membutuhkan
pengetahuan serta pahaman yang mencukupi, sehingga tidak terseret oleh salah satu
ujungnya dari kedua ujung itu dapat ditarik apa yang dibutuhkan untuk mencapai
keadilan dan kebaikan yang merupakan syarat mutlak untuk melahirkan hakikat
wasathiyah.

Demikian para pakar menyatakan bahwa pada beberapa ayat Al-Quran kata
wasath yang bermakna bagian dari dua ujung, Allah SWT menyifati umat ini dengan
sifat tersebut karena manusia semuanya tidak sama seperti kaum Nasrani yang
melampaui batas dalam beribadah serta dalam keyakinan mereka tentang Isa As, dan
tidak juga seperti orang yahudi yang mengubah kitab suci, membunuh nabinabi serta
berbohong atas nama tuhan dan mengkufurinya, umat islam adalah pertengahan
antara keduanya, karena itu mereka dilekati dengan sifat tersebut.1 Lebih jauh Ath-
Thabari berpendapat bahwa dari segi penakwilan ayat, kata wasath berarti adil karena
itulah apa yang dimaksud dengan kata baik, sebab manusia yang dikatakan baik
adalah yang bersikap adil (adil/dapat dipercaya).

AtThabari kemudian mengatakan bahwa nama-nama pakar yang juga menganut


pendapat sama yang dikemukakan. Penciptaan manusiapun dikisahkan diciptakannya
manusia secara seimbang sejak sebelum terciptanya Allah SWT telah menyampaikan
kepada malaikat bahwa ciptaannya itu akan ditugaskan menjadi khalifah di muka
bumi yang antara lain berfungsi memelihara keseimbangan yang mestinya mereka
lakukan dengan mengindahkan tuntunan-tuntunannya.

4
1.2 Rumusan Masalah

Islam wasathiyah merupakan ajaran Islam yang memiliki prinsip keseimbangan,


lurus dan tegas, toleransi, mengedepankan musyawarah, mendahulukan prioritas, dan
berkeadaban. Ada banyak umat Muslim yang mengikuti ajaran Islam wasathiyah,
bahkan dalam Al-Qur’an juga dijelaskan ciri-ciri umat yang menganut Islam
wasathiyah ini.

1. Apa yang menjadi ciri-ciri utama dari pemikiran Islam wasathiyah?


2. Bagaimana aspek dakwah yang diterapkan dalam Islam wasathiyah?
3. Bagaimana karakteristik Islam wasathiyah?

Nabi Muhammad pernah menampilkan sikap wasathiyah ketika berdialog dengan


para sahabat. Kisah yang direkam Aisyah ini menceritakan tiga orang sahabat yang
mengaku menjalankan agamanya dengan baik. Masing-masing dari ketiga sahabat itu
mengaku rajin berpuasa dan tidak berbuka; selalu salat malam dan tidak pernah tidur;
dan tidak menikah lantaran takut mengganggu ibadah. Rasulullah saat itu menegaskan
bahwa ‘aku yang terbaik di antara kalian’. Karena Nabi berpuasa dan berbuka, salat
malam dan tidur, dan menikah.

Pada dasarnya, wasathiyyah merupakan sebuah sikap tengah yang jauh dari sikap
pragmatis dengan hanya berpihak pada salah satu kutub. Sebab Yusuf Qardlawi
mengungkapkan bahwa perilaku wasath ialah sebagai sikap yang mengandung arti
adil dan proporsional. Di samping itu, ulama lulusan al-Azhar ini melihat wasathiyah
sebagai perilaku yang penuh keseimbangan antara dunia dan akhirat, kebutuhan fisik
dan jiwa, keseimbangan akal dan hati, serta berada di posisi tengah antara neo-
liberalisme (al-mu’aththilah al-judud) dan neo-literalisme (al-zhahiriyyah al-judud).

Apa yang dilakukan Nabi sejalan dengan perintah Allah yang mengecam sikap
ekstrem di semua dimensi hidup: dalam ibadah ritual, dilarang untuk ghuluw (QS.
An-Nisa: 171), dalam muamalah dilarang keras untuk israf (QS. Al-A’raf :31),
bahkan dalam perang sekalipun tidak membolehkan melakukan tindakan-tindakan di
luar batas (QS. Al-Baqarah: 190). Konsep-konsep dasar ini menjadi pijakan oleh para
ulama sehingga ideologi-ideologi ekstrem selalu marginal dan tertolak dalam Islam.

Moderat atau Wasathiyah sebagai sikap dasar keagamaan memiliki pijakan kuat
pada ayat Al-Quran tentang ummatan wasatha dalam QS al-Baqarah ayat 143. Para
mufassir generasi pertama menyebut bahwa Islam sebagai ummatan wasatha antara
spiritualisme Nashrani dan materialisme Yahudi. Sementara Ibnu Katsir menyebut
bahwa ummatan wasatha merupakan citra ideal umat terbaik (khair al-ummah)
sebagaimana yang termaktub dalam QS Ali Imran ayat 110.

5
1.3 Sistematika Penyusunan

BAB I Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


1.2 Rumusan Masalah
1.3 Sistematika Penyusunan
1.4 ManfaatPenulisan
1.5 Tujuan Penulisan

BAB II Pembahasan

1.6 Pengertian Islam Wasathiyah


1.7 Pengertian Islam Wasathiyah Menurut Para Ulama
1.8 Ciri-Ciri Islam Wasathiyah
1.9 Contoh Amalan Konsep Islam Wasathiyah
2.0 Langkah-Langkah Menuju Islam Wasathiyah

BAB III Penutup

2.1 Kesimpulan
2.2 Sran-Saran

6
1.4 Manfaat Penulisan

Pemahaman Islam wasathiyah sangat penting untuk menjaga keutuhan bangsa


Indonesia. Karena, menurut dia, salah satu ciri dari Islam Wasathiyah itu sendiri
adalah toleransi. "Cirinya Islam wasathiyah itu toleran, bahwa perbedaan di kalangan
umat Islam itu niscaya," ujar Kiai Ma'ruf saat memberikan tausyiah.

Karena itu, menurut dia, jika pun ada perbedaan pandangan dalam sesuatu yang
masih dipersilakan oleh para ulama, tidak perlu dibesar-besarkan. Apalagi, sampai
harus berpecah belah.

Sementara itu, agar memiliki sikap wasathiyah atau sikap moderat dan toleran,
Prof Said Agil Husin Al-Munawwar menjelaskan bahwa seseorang harus mempunyai
keluasan ilmu. Hal itu, menurutnya, tidak beda dengan seseorang yang ingin
memahami Al-Qur’an, maka harus memiliki banyak ilmu, khususnya yang terkait
dengan Al-Qur’an.

Setelah penelitian ini dilakukan, maka diharapkan dapat memberi manfaat yang
berguna antara lain sebagai berikut :

a. Manfaat Teoristis Manfaat teoritis ini diharapkan sebagai tambahan acuan atau
bahan referensi bagi peneliti selanjutnya untuk mengkaji lebih dalam lagi atau
sebagai bahan bagi penelitian kualitatif. Hasil penelitian ini dapat digunakan atau
dijadikan bahan untuk menambah ilmu pengetahuan mengenai pahaman islam
wasathiyah dan konsep komunikasi yang digunakan dalam dakwah di media
social

b. Manfaat Praktis Manfaat praktis peneliti ini guna melatih cara naluri peneliti
untuk berfikir logis, realistis dan sistematis dalam mengkaji masalah yang di teliti
guna mencapai gelar sarjana S-1 pada Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Hasil dari penelitian ini dapat memberikan suatu
pemikiran dan informasi mengenai islam wasathiyah dan pola komunikasi
dakwah yang baik di media sosial di Indonesia

c. Bagi tokoh agama dan masyarakat Diharapkan penelitian ini dapat menjadi
wawasan dan pengetahuan bagi masyarakat umum tentang konsep ajaran Islam
wasathiyah dan hubungan Islam wasathiyah dengan tujuan pendidikan Islam yang
serta dijadikan bahan acuan dan pertimbangan bagi para guru-guru agama Islam,
da‟i/da‟iyah, untuk menyebarkan ilmu yang menyejukan ini berlandaskan agama
Islam yang rahmatan lil alamin.

7
1.5 Tujuan Penelitian

Seperti yang telah diungkapkan oleh Sutrisno Hadi bahwa research adalah suatu
metode penelitian yang bertujuan untuk menguji, menemukan, dan mengembangkan
suatu pengetahuan. Berdasarkan pada suatu rumusan masalah di atas penelitian ini
mempunyai tujuan untuk mengetahui bagaimana relevansi Islam wasathiyah dengan
tujuan pendidikan Islam.

Adapun manfaat wasathiyyah sangat banyak, islam wasathiyyah bisa dijadikan


salah satu sikap untuk saling menghargai satu sama lainnya sikap tidak saling
menjatuhkan umat beragam maksdunya tidak mencela karena islam wasathiyyah
berpegang teguh di pertengahan tidak membela sisi kanan dan juga sisi kiri.

1. Menjaga keutuhan antar bangsa


2. Terjalinnya toleransi perbedaan di kalangan umat Islam niscaya
3. Terjalinnya sikap kemanusiaan Jadi, inti dari wasathiyyah yaitu pandai
menempatkan dua situasi yang bertolak belakang(bertentangan), selalu berada
ditengah dengan apa yang terjadi didalam kehidupan.

Ada beberapa manfaat ataupun keistimewaan dari washatiyyah antara lain:

a) Washatiyyah bisa menjadi sebagai penggerak dari berbagai jalur yang ada asalkan
kedudukannya seimbang
b) Menjadi sebabnya ialah mereka harus mampu dalam bertindak yang adil atau
seimbang sehingga mereka boleh menjadi saksi dan hakim.
c) Menjadi perbedaannya yaitu terdapat kelompok etis(seseorang yang tidak percaya
kepada tuhan) dan kelompok polities(seseorang yang percaya dengan tuhan yang
banyak).
d) Bagian yang penting dalam membentuk karakter individu maupun bermasyarakat
dan berguna untuk membentuk keharmonisan negara.
e) Mengetahui dan berinteraksi satu sama lain diantara meraka, dan berkarakteristik
pengajaran islam.

Islam wasathiyyah bisa juga untuk mengurangi dan menghilangkan terorisme


yang ada didunia khusunya diindonesia, dizaman sekarang banyak terjadi kejadian
terorisme tersebut dengan cara inilah dengan sikap islam wasathiyyah bisa
menghentikan pergerakan terorisme tersebut.

8
BAB II
PEMBAHASAN
1.6 Pengertian Islam Wasathiyah

Perkataan wasathiyah dalam beberapa tahun belakangan cukup sering


disampaikan dalam pelbagai ceramah ataupun forum akademik. Terminologi itu
biasanya disandingkan dengan Islam sehingga muncul “Islam Wasathiyah” atau
“Wasathiyah Islam.”Secara kebahasaan, menurut Ibnu Faris, wasathiyah berasal dari
bentuk wasatha. Itu terdiri dari atas huruf waw, shin, dan tha’. Maknanya adalah
“bangunan yang benar dan menunjukkan ciri-ciri keadilan dan pertengahan.” “Sesuatu
yang paling adil ada pada pertengahan,” ujarnya.

Dalam Alquran surah al-Baqarah ayat ke-143, Allah berfirman.

‫َو َك ٰذ ِلَك َجَع ۡل ٰن ُك ۡم ُاَّم ًة َّوَس ًطا ِّلَتُک ۡو ُنۡو ا ُش َهَدٓاَء َع َلى الَّناِس َو َيُك ۡو َن الَّرُس ۡو ُل َع َلۡي ُك ۡم َش ِهۡي ًدا‬

Artinya, "Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) 'umat
pertengahan' agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu."

Terminologi wasatiyah yang didiskusikan dalam tulisan ini berakar dari bahasa
Arab wasat}, memiliki arti leksikal “pertengahan”. Dalam penggunaan sehari-hari,
wasath merujuk pada sikap yang berada di tengah-tengah antara berlebihan (guluw)
dan kurang (qasr). Parameter berlebihan dan kurang dalam konteks sikap tersebut
adalah batas-batas aturan yang ditetapkan agama 1 , adapun rumusan definisi
wasatiyah sebagai berikut:

‫ فالوسطية‬،‫ وهي حتر متواصل للصواب يف التوجهات واالختيارات‬،‫االعتدال يف كل أمور احلياة من تصورات ومناهج ومواقف‬
‫ليست جمرد موقف بني التشدد واالحنالل؛ بل هي منهج فكري وموقف أخالقي وسلوكي‬

Dari definisi di atas wasatiyah tidak sekedar sikap mengambil posisi tengah di
antara dua sisi radikal dan liberal. Ia merupakan metode berfikir yang berimplikasi
secara etik untuk diterapkan sebagai kerangka perbuatan tertentu. Wasathiyah adalah
ajaran Islam yang mengarahkan umatnya agar adil, seimbang, bermaslahat dan
proporsional, atau sering disebut dengan kata ‘moderat’ dalam semua dimensi
kehidupan. Umat Islam adalah khiyarunnas (umat pilihan), yang harus mampu
menjadi penengah (Wasath). Menurutnya, salah satu permasalahan umat Islam saat ini
adalah tidak mau menghargai perbedaan pendapat. “Dan ini yang harus
kita perbaiki,” paparnya.

9
1.7 Pengertian Islam Wasathiyah Menurut Para Ulama

Pertama, Allah menggunakan kata al-wasath karena Allah akan menjadikan umat
Islam sebagai saksi atas (perbuatan) umat lain. Sedangkan posisi saksi semestinya
harus berada di tengah-tengah agar dapat melihat dari dua sisi secara berimbang
(proporsional). Lain halnya jika ia hanya berada pada satu sisi, maka ia tidak bisa
memberikan penilaian dengan baik.

Kedua, penggunaan kata al-wasath terdapat indikasi yang menunjukkan jati diri
umat Islam yang sesungguhnya, yaitu bahwa mereka menjadi yang terbaik, karena
mereka berada di tengah-tengah, tidak berlebih-lebihan dan tidak mengurangi baik
dalam hal akidah, ibadah, maupun muamalah.

Berdasarkan pengertian dari para pakar tersebut, dapat disimpulkan beberapa inti
makna yang terkandung di dalamnya, yaitu: sesuatu yang ada di tengah, menjaga dari
sikap melampaui batas (ifrath) dan dari sikap mengurangi ajaran agama (tafrith),
terpilih, adil dan seimbang.

Kata wasatha di sana bermakna 'adil' atau 'tengah.'. Berikut ini terdapat beberapa
pendapat dari para ulama mengenai pengertian Islam wasathiyah adalah:

Al-Asfahany
Menurut al-Asfahany, kata wasathan berarti tengah-tengah di antara dua batas (a’un)
atau bisa berarti yang standar. Kata tersebut juga bermakna menjaga dari sikap
melampaui batas (ifrath) dan ekstrem (tafrith).

Raghib al-Ashfahani
Menurut Raghib al-Ashfahani dalam Mu’jam Mufradat al-Fadzil Qur’an, kata
wasathiyah berasal dari wasatha yang berarti 'pertengahan sesuatu bila sesuatu itu
setiap sisinya sama.'. Lantas, apakah wasathiyah dapat dimaknai sebagai moderasi
atau moderat? Ataukah, istilah ini memiliki makna yang lebih luas dari itu?

Syafi’iyah Situbondo KH Afifuddin Muhajir


Tokoh dari Pondok Pesantren Salfiyah Syafi’iyah Situbondo KH Afifuddin Muhajir
menjelaskan, wasathiyah ternyata mengandung pengertian yang lebih luas daripada
kata moderat, umpamanya.

Kiai Afifuddin
Menurut Kiai Afifuddin, wasahiyah bisa berarti sikap atau cara pandang yang
realistis. Dengan perkataan lain, Islam wasathiyah atau wasathiyah Islam, dapat
dimaknaii bahwa Islam berada di antara realistis dan idealitas. Islam memiliki cita-
cita tinggi dan ideal untuk menyejahterakan umat di dunia dan akhirat.

10
Ibnu Asyur
Ibnu Asyur (1879-1973) mendefinisikan bahwa wasathiyah adalah sikap antara dua
kutub atau pemikiran yang ekstrem, yakni yang mengurangi dan menyempitkan (at-
tafrith). Wasathiyah pun merupakan sikap sempurna, sebagaimana firman Allah SWT
dalam surah al-Baqarah ayat ke-143. Organisasi Al-Ittihad Al-Alamiy lii Ulamail
Muslimin mendefinisikan wasathiyah sebagai manhaj pemikiran Islam yang dibangun
atas dasar keseimbangan, keadilan, proporsional. Cara pandang ini melihat semua
urusan agama dan dunia, tanpa ekstrem kanan dan ekstrem kiri, tidak ada kezaliman
di dalamnya, serta tidak mengurangi keseimbangan dan keadilan.

Dari semua pendapat para ulama dapat disimpulkan bahwa Ini merujuk pada firman
Allah SWT dalam surah ar-Rahman ayat kedelapan dan kesembilan.

‫َااَّل َتۡط َغۡو ا ِفى اۡل ِم ۡي َزاِنَو َاِقۡي ُم وا اۡل َو ۡز َن ِباۡل ِقۡس ِط َو اَل ُتۡخ ِس ُروا اۡل ِم ۡي َز اَن‬

Artinya, "Agar kamu jangan merusak keseimbangan itu, dan tegakkanlah


keseimbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi keseimbangan itu."

Seorang ulama terkenal dari Mesir, Yusuf al-Qardhawi mendefinisikan istilah


wasathiyah sebagai “keseimbangan, pertengahan, dan keadilan antara dua kutub yang
saling berbeda dan bertentangan." Posisi seimbang itu terjadi ketika salah satu kutub
tidak mendominasi yang lain atau satu kutub tidak mengambil hak kutub lainnya.

Menurut dia, contoh kutub-kutub yang saling bertentangan ini yaitu antara spiritual
dan materi, antara individualistik dan kolektif, antara idealisme dan pragmatisme,
antara konstan dan fleksibilitas, dan sebagainya.

Zaid Abdul Kaim Zaid dalam bukunya, Al-Wasathiyah fi Al-Islam menerangkan,


wasathiyah adalah sikap seimbang dan adil dalam segala sesuatu. Wasathiyah
bukanlah sekadar berada pada posisi antara dua kutub yang berbeda atau pertengahan
yang parsial.

Misalnya, si fulan pertengahan dalam kedermawanan dan ilmunya. Atau, yang


dimaksud adalah pertengahan antara baik dan buruk. Maka, menurut Zaid, ini adalah
paham yang keliru tentang wasathiyah.

Farid Abdul Qadir menyimpulkan wasathiyah dalam tesis magisternya pada


Universitas Ibnu Saud. Menurut dia, wasahtiyah adalah karakteristik umat Islam yang
dikenal dengan keadilannya, cirinya yang terbaik, untuk mengemban misi menjadi
saksi bagi manusia dan menegakkan bukti-bukti kebenaran Islam.

11
1.8 Ciri Ciri Islam Wasathiyah

Islam Wasathiyah harus dipahami secara detail oleh umat Islam agar cara
memandang bangsa ini dapat dilakukan secara integral, sehingga tidak terjebak pada
pada pemahaman kalau negara ini belum negara Islam belum sempurna. Islam tidak
mewajibkan satu bentuk pemerintahan, tetapi umat Islam diberikan kelonggaran untuk
membentuk organisasi negaranya berdasarkan kemaslahatan di wilyahnya masing-
masing, juga atas keputusan bersama.

Adapun ciri-ciri dari Islam Waasathiyah sebagaimana dalam Taujihat Islam


wasathiyah, memiliki 10 karakteristik, yaitu: tawasut (pertengahan/jalan tengan),
tawazun (seimbang), adalah (adil, lurus), syura (musyawarah), musawah (persamaan
dearajat kemanusiaan), tasamuh (toleransi), aulawiyah (prioritas), islahiyah
(memperbaiki), tathowwur wa ibtikar (dinamis dan inovatif), tahadur (berkeadaban).

- Tawasut adalah sikap netral yang berintikan pada prinsip hidup menjunjung
tinggi nilai keadilan di tengah-tengah kehidupan bersama, tidak ekstrim kiri
ataupun ekstrim kanan. Sikap ini dikenal juga dengan sebutan moderat (al-
wasathiyyah).
- Tawazun adalah sikap menyeimbangkan segala aspek dalam kehidupan, tidak
condong kepada salah satu perkara saja. Sikap ini sebaiknya ada dalam diri
setiap Muslim dan diperintahkan secara langsung oleh Allah SWT dalam
firman-Nya. Salah satunya telah dijelaskan dalam Surat Al-Qasas ayat 77:

‫َو ٱْبَتِغ ِفيَم ٓا َء اَتٰى َك ٱُهَّلل ٱلَّد اَر ٱْل َء اِخَر َةۖ َو اَل َتنَس َنِص يَبَك ِم َن ٱلُّد ْنَياۖ َو َأْح ِس ن َك َم ٓا َأْح َس َن ٱُهَّلل ِإَلْيَك ۖ َو اَل َتْبِغ‬
‫ٱْلَفَس اَد ِفى ٱَأْلْر ِضۖ ِإَّن ٱَهَّلل اَل ُيِح ُّب ٱْلُم ْفِسِد يَن‬

Artinya: "Dan, carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(pahala) negeri akhirat, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia.
Berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik
kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
- Secara harfiah, Adalah merupakan ajaran Islam yang mengarahkan umatnya
agar adil, seimbang, bermaslahat dan proporsional, atau sering disebut dengan
kata “moderat” dalam semua dimensi kehidupan.
- Menurut Ibnu Al Arabi al Maliki, Syura adalah dengan berkumpul untuk
meminta pendapat (dalam suatu permasalahan) dimana peserta syura saling
mengeluarkan pendapat yang dimiliki. Sedangkan secara istilah, beberapa
ulama terdahulu telah memberikan definisi syura, diantara mereka adalah Ar
Raghib al-Ashfahani yang mendefinisikan syura sebagai proses
mengemukakan pendapat dengan saling merevisi antara peserta syura

12
- Musawah adalah persamaan hak bagi setiap Muslim. Sebagaimana dibahas
dalam surat An-Nisa ayat 58 berikut:
‫ٰٓل‬
‫ِاَّن َهّٰللا َيْأُم ُر ُك ْم َاْن ُتَؤ ُّد وا اَاْلٰم ٰن ِت ِا ى َاْهِلَهۙا َو ِاَذ ا َح َك ْم ُتْم َبْيَن الَّناِس َاْن َتْح ُك ُم ْو ا ِباْلَع ْد ِل‬
‫ۗ ِاَّن َهّٰللا ِنِعَّم ا َيِع ُظُك ْم ِبٖه ۗ ِاَّن َهّٰللا َك اَن َسِم ْيًع ۢا َبِص ْيًرا‬
“Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia
hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik
yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar,
Maha Melihat.”

Inti sari ayat ini menekankan bahwa semua orang di depan hukum harus
diperlakukan sama. Para hakim harus menetapkan pihak yang kalah atau
menang berdasarkan bukti-bukti yang kuat, bukan berdasarkan kekuasaan
atapun uang.
- Tasamuh adalah saling menghormati dan menghargai antar manusia dengan
manusia lainnya. Dapat disimpulkan, tasamuh ialah akhlak terpuji dalam
pergaulan di mana ada rasa saling menghormati dan menghargai antara satu
dengan lainnya tetapi masih dalam batas-batas yang digariskan oleh ajaran
agama Islam. Oleh sebab itu, penerapan sikap tasamuh adalah kunci untuk
menghindari pertentangan besar di kemudian hari. Dengan menerapkan sikap
tasamuh, seseorang akan dapat menyelesaikan permasalahan dengan tenang
dan kepala dingin.

Adanya akhlak tasamuh ini dapat memberikan kemudahan hati terutama


ketika menjalani hidup yang berdampingan dengan individu lain, dengan
mengenyampingkan perbedaan yang ada ketika menjalin hubungan timbal
balik demi mencapai kedamaian, keadilan, dan kebajikan. Tidak hanya itu
saja, keberadaan akhlak tasamuh ini justru dapat memberikan kesempatan dan
tempat bagi setiap orang tanpa memandang status apapun dari mereka.
Perbedaan agama, ras, suku, etnis, bukanlah halangan untuk hidup bersama
dalam masyarakat multikultural ini. Dengan kata lain, dalam menjalankan
akhlak tasamuh ini harus memiliki hati yang besar untuk menerima kebaikan
dan kebenaran dari orang lain.

‫ٰٓيَاُّيَها الَّناُس ِاَّنا َخ َلْقٰن ُك ْم ِّم ْن َذ َك ٍر َّو ُاْنٰث ى َو َج َعْلٰن ُك ْم ُش ُعْو ًبا َّو َقَبۤا ِٕىَل ِلَتَعاَر ُفْو اۚ ِاَّن َاْك َر َم ُك ْم ِع ْنَد ِهّٰللا َاْتٰق ىُك ْم ۗ ِاَّن‬
‫َهّٰللا َعِلْيٌم َخ ِبْيٌر‬
Artinya: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.”

13
- Ciri selanjutnya adalah aulawiyah (mendahulukan yang prioritas), yaitu
kemampuan mengidentifikasikan hal ihwal yang lebih penting harus
diutamakan untuk diimplementasikan dibandingkan dengan kepentingan yang
lebih rendah. Ia menambahkan ciri yang kesembilan, yakni tathawwur wa
ibtikar (dinamis dan inovatif). “Seorang guru yang memiliki sikap moderat,
dia selalu dinamis. Nilai kepentingan dinamis itu adalah untuk melihat
keterbukaan terjadinya perbedaan pendapat,” tuturnya. “Bahwa apa yang kita
pahami hari ini, bisa saja besok atau lusa tidak akan sama nilai kebenarannya,
maka harus lahir sebuah nilai, yaitu inovatif, yaitu gagasan-gagasan baru,”
imbuhnya.

Mengutip pada firman Allah Swt. dalam Qur’an Surat Ar-Rahman ayat 7-9
yang berbunyi:
‫ َو َأِقيُم وا اْلَو ْز َن ِباْلِقْسِط َو اَل ُتْخ ِس ُر وا اْلِم يَز ا‬، ‫ َأاَّل َتْطَغْو ا ِفي اْلِم يَز اِن‬، ‫َو الَّس َم اَء َر َفَعَها َوَو َضَع اْلِم يَز اَن‬
“Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan),
agar kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah
timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.”
- Islahiyah membela kebenaran dan sangat berani. Ia elegan sekaligus penuh
gaya. Orang seperti ini cocok berkarir dalam tata busana dan bidang kreatif
lainnya.
- Tathawwur wa Ibtikar berarti dinamis dan inovatif merupakan sikap selalu
terbuka untuk melakukan dan menciptakan perubahan-perubahan yang lebih
baik sesuai dengan perkembangan zaman yang bertujuan untuk kemaslahatan
umat. Lambat laun, perubahan dalam segala aspek kehidupan masyarakat
menjadi hal yang mutlak terjadi, sebab perubahan dan pengembangan era
modern di tengah masyarakat tidak dapat dibendung. Humaidi menambahkan,
pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam tertua tidak dapat
menghindari arus perkembangan zaman.
Dalam sejarah awal berdirinya pesantren, kita mengenalnya sebagai pesantren
salafiyah dengan menggunakan sistem pembelajaran yang bersifat tradisional
dengan fokus pendalaman agama saja. Namun seiring berjalannya waktu,
pesantren mulai membuka diri dan bertransformasi dalam berbagai macam
aspeknya dengan menerapkan sistem pembelajaran modern dan terpadu.
Tathawwur wa Ibtikar (dinamis dan inovatif), yaitu selalu terbuka untuk
melakukan perubahan-perubahan kearah yang lebih baik.
Dari bentuk-bentuk moderasi beragama tersebut seyogyanya dapat kita
pahami, terapkan dan sampaikan kepada para sanak keluarga serta kerabat kita
untuk bisa memahami makna moderasi beragama yang sebenarnya. Sehingga
akan tercipta keindahan hidup bermasyarakat dengan adanya sikap saling
menghargai dan menghormati antar satu sama lainnya.

14
- Arti Tadabbur ialah melihat dan memperhatikan kesudahan segala urusan dan
bagaimana akhirnya. Tadabbur ini dekat dengan pengertian tafakkur
(memikirkan). Hanya saya tafakkur ini lebih diartikan pemusatan hati atau
pikiran ke dalil. Sementara tadabbur memusatkan perhatian ke kesudahan.
Allah yang menurunkan Al-Qur’an telah menjelaskan kepada kita, bahwa Dia
tidak menurunkannya melainkan agar ayat-ayatnya diperhatikan dan makna-
maknanya dipahami. Firman-Nya,

“Ini adalah sebuah Kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan
berkah, supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat
pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.” (Shad : 29)

“Mau apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an? Kalau kiranya Al-


Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang
banyak di dalamnya.” (An-Nisa’ : 82)

Ibnu Abdil Barr meriwayatkan di dalam Jami’ul-Ilm, dari Ali Radhiyallahu


Anhu, dia berkata, “Ketahuilah, tidak ada kebaikan dalam ibadah yang di
dalamnya tidak ada pendalaman ilmu. Tidak ada kebaikan dalam ilmu yang di
dalamnya tidak ada pemahaman. Tidak ada kebaikan di dalam bacaan yang di
dalamnya tidak ada perhatian.”

Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma berkata, “Aku lebih suka membaca idza
zulzilat dan al-qari’ah sembari memperhatikan dua surat ini, daripada
membaca Al-Baqarah dan Ali Imran secara serampangan.”

Dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu Anhu, dia berkata,

“Aku lebih suka membaca Al-Qur’an selama satu bulan daripada setengah
bulan. Aku lebih suka membacanya setengah bulan daripada membacanya
selama sepuluh hari. Aku lebih suka membacanya selama sepuluh hari
daripada membacanya selama seminggu, selagi aku bisa berhenti dan
memanjatkan doa. Sebab membaca secara berlahan-lahan lebih membuka
kesempatan untuk memperhatikan, dan memperhatikan ini merupakan tujuan
yang diinginkan dari membaca.

Sebagaimana yang dikatakan seorang sastrawan Arab dan Islam, Musthafa


Shadiq Ar-Rafi’y, bahwa Al-Qur’an adalah kalam yang berasal dari cahaya,
atau cahaya dari kalam. Hal ini seperti yang digambarkan Allah sendiri.

15
1.9 Contoh Amalan Konsep Islam Wasathiyah

Contoh bahwa Islam Washatiyah berperan sebagai penengah antara faham


liberalisme dan radikalisme: Islam washatiyah damai dan mendamaikan. Islam
Wasthatiyah bersikap adil dan tidak memihak. Islam Wasthatiyah bersikap terbuka
bijak kepada sesama.

Islam Washatiyah berarti agama islam ialah sesuatu yang berada di tengah-
tengah atau perbuatan yang terpuji, seperti pemberani adalah pertengahan di antara
dua ujung. Islam wasathiyah adalah model dakwah yang diajarkan Nabi Muhammad
SAW dalam menyebarkan nilai Islam yang rahmatan lil 'alamin.

Umat yang mengamalkan konsep Islam Wasathiyah, atau Islam yang moderat
dan berkeadilan, umumnya akan menunjukkan ciri-ciri berikut:

1. Keseimbangan dalam Ibadah

Mereka menjalankan ibadah dengan keseimbangan dan tidak berlebihan. Mereka


mematuhi kewajiban agama seperti shalat, puasa, dan zakat, tetapi juga tidak
mengabaikan tanggung jawab sosial dan keluarga. Umat Islam wasathiyah seimbang
dalam menjalankan perkara dunia dan akhirat. Firman Allah dalam Surat An-Nur ayat
37 menyebutkan:

“Laki - laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari
mengingat Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat.
Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi
goncang.”

2. Toleransi dan Penghormatan

Mereka menghargai keberagaman dan berinteraksi dengan berbagai kelompok


masyarakat tanpa diskriminasi. Mereka menghormati keyakinan dan pandangan orang
lain, bahkan jika berbeda.

3. Keadilan dan Kebijaksanaan

Mereka berusaha untuk bersikap adil dalam segala hal, baik dalam memutuskan
perkara pribadi maupun dalam urusan masyarakat. Mereka mengutamakan
kebijaksanaan dalam mengambil keputusan. Sebagai jawaban atas berkembangnya
paham dan gerakan kelompok yang intoleran dan mudah mengkafirkan (takfiri), maka
perlu dirumuskan ciri-ciri Ummatan Wasathan untuk memperjuangkan nilai-nilai
ajaran Islam.
Sikap moderat diperlukan sebagai bentuk manifestasi ajaran Islam yang rahmatan
lil'alamin.

16
4. Menjaga Akhlak Mulia

Mereka menjunjung tinggi akhlak yang baik, seperti kejujuran, kesopanan,


keramahan, dan kemurahan hati. Mereka menghindari perilaku kasar, ekstremisme,
dan tindakan yang merugikan orang lain.

5. Pendidikan dan Pengetahuan

Mereka menghargai pentingnya pendidikan dan pengetahuan dalam kehidupan


mereka. Mereka berusaha untuk terus belajar dan berkembang.

6. Berperan Aktif dalam Masyarakat

Mereka terlibat dalam kegiatan sosial dan masyarakat, berkontribusi positif untuk
kesejahteraan umum, dan berusaha memecahkan masalah sosial.

7. Berdialog dan Berdiskusi

Mereka cenderung mencari pemahaman melalui dialog dan diskusi yang terbuka,
daripada mengadopsi pandangan sempit atau dogmatik.

8. Menghindari Ekstremisme

Mereka menjauhi sikap ekstrem dalam segala bentuknya, baik dalam keagamaan
maupun dalam pandangan politik atau sosial.

9. Mengutamakan Keadilan Gender

Mereka mengakui dan mempromosikan kesetaraan gender, menghormati hak-hak


perempuan, dan menjaga keseimbangan dalam peran keluarga dan masyarakat.

10. Mengedepankan Kesejahteraan Sosial

Mereka peduli terhadap kesejahteraan dan keadilan sosial, berusaha untuk mengatasi
kesenjangan ekonomi dan sosial dalam masyarakat.

11. Berempati dan Peduli

Mereka menunjukkan empati terhadap penderitaan orang lain, memberikan bantuan


kepada yang membutuhkan, dan berusaha untuk meredakan penderitaan di sekitar
mereka.

17
12. Berperilaku Moderat dalam Konflik

Mereka berusaha menyelesaikan konflik dengan cara yang damai dan berkeadilan,
tanpa mengambil tindakan ekstrem atau merugikan pihak lain. Ciri-ciri ini menjadi
salah satu keutamaan bagi umat Islam wasathiyah. Di mana mereka menyerukan
kepada manusia apa yang diperintahkan dan dilarang oleh Allah SWT beserta rasul-
Nya. Ini sesuai dengan firman Allah dalam surah Ali Imran ayat 110 yang
menyatakan:
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada
yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya
ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang
beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”

13. Tidak Boros Dan Tidak Pelit

Ciri-ciri umat Islam wasathiyah selanjutnya adalah tidak boros dan tidak pelit
membelanjakan harta. Firman Allah dalam Surat Al-Furqan ayat 67 menyebutkan:
“Dan di antara sifat hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih adalah orang-orang
yang apabila menginfakkan harta, mereka tidak berlebihan dengan menghambur-
hamburkannya karena perilaku seperti inilah yang dikehendaki setan, dan tidak pula
kikir yang menyebabkan dibenci oleh masyarakat."

Meyakini bahwasannya Islam ialah moderasi dan seluruh ajarannya memiliki sifat
moderat, serta mampu mempelajari ajaran Islam dengan semaksimal, maka akan
menemukan gamabaran hakikat mederasi. Tiga rangkuman hal pokok ajaran Islam
sebagai berikut:
a. Akidah/iman/kepercayaan
b. Syariah/pengalaman ketetapan hukum yang mencakup ibadah ritual dan nonritual.
c. Budi pekerti.
Quraish Shihab mengungkapkan pada pembagian diatas pada hakikatnya yakni
sebagai pembagi teoretis untuk konteks keilmuan dan kebutuhan pengajar, bukannya
untuk kontek pengamalan ajaran Islam.

Dari pembagian teknis keilmuan ini harus memahami dengan jelas tujuannya karena
dapat menimbulkam kesalahpahaman dalam pemilihannya serta pengamalannya. Di
dalam pengamalannya ketiga; akidah, syariah dan akhlak harus menyatu. Pada saat
mengamalkannya tidaklah boleh terlepas dari iman; amalan tidak sah tanpa adanya
iman; sedangkan iman menuntut akan pengamalan.

Begitupun denga akhlak, dikarenakan akhlak tidak hanya memiliki hubungan antar
manusia namun dengan seluruh wujud. Ketika mempercayai akan wujud Tuhan
merupaka akhlak terhadap-Nya. Baik dalam shalat, puasa serta yang lainnya harus
disertai juga dengan akhlak.

18
2.0 Langkah-Langkah Mewujudkan Islam Wasathiyah

Beberapa langkah penting yang perlu di pehartikan dalam tegaknya wasathiyah,


sebagai berikut:

a. Pengetahuan yang benar akan teks-teks Al-Qur’an dan Sunnah yakni harus
memperhatikan Maqashid Asy-Syari’ah (tujuan kehadiran agama) serta upaya
akan kesesuain penerapan antara ajaran Islam yang tidak akan berubah oleh
perkembangan zaman serta masyarakat yang selalu berkembang.
b. Kerja sama dengan semua kalangan umat Islam untuk menyepakati serta
bertoleransi pada perbedaan dan mengimpun dalam kesetiaan antar sesame
mukmin dengan adanya toleransi kepada nonmuslim.
c. Menyatukan antara ilmu dengan iman, serta kreartivitas material serta spiritual
dan kekuatan moral serta kekuatan ekonomi.
d. Menekankan pada prinsip serta nilai-nilai kemanusian dan sosial seperti
halnya; keadilan, syura, kebebasan bertanggung jawab serta hak asasi
manusia.
e. Mengusung pada pembaharuan sesuai akan tuntunan agama dan menutut para
ahli untuk melakukan ijtihad pada tempatnya.
f. Memiliki perhatian yang besar pada gerakan persatuan dan kesatuan tidak
pada perselisihan serta perbedaan dan pendekatan bukannya penjauhan, dan
selalu menampilkan kemudahan dalam fatwa untuk merumuskan agar serta
agar mengedapankan berita gembira pada waktu berdakwah.
g. Memanfaatkan semuan peninggalan dan pemikiran lama sebaik mungkin antar
logika para teolog muslim, kerohanina para sufi, keteladanan para pendahulu,
serta ketelitian para pakar hukum dan ushuluddin

Menurut Muhammad Quraish Shihab, moderasi atau wasathiyah merupakan


keseimbangan yang mempunyai prinsip tidak berlebih dan tidak berkurang, namun
pada saat yang sama ia bukan sikap lari dari tanggung jawab atau situasi yang sukar,
sebab agama mengajarkan kita untuk secara aktif dan penuh hikmah berpihak pada
kebenaran.

Quraish Shihab mengungkapkan pada pembagian diatas pada hakikatnya yakni


sebagai pembagi teoretis untuk konteks keilmuan dan kebutuhan pengajar, bukannya
untuk kontek pengamalan ajaran Islam.

19
BAB III
PENUTUP

2.1 Kesimpulan

Berdasarkan dari hasil pembahasan tentang pendidikan Islam berbasis wasathiyah


studi pemikiran Muhammad Quraish Shihab dalam konsep wasathiyah, maka dapat
ditarik beberapa kesimpulan sebagai jawaban atas fokus penelitian yang dilakukan ini:
Gagasan pemikiran Muhammad Quraish Shihab tentang wasathiyah. Quraish
Shihab mengungkapkan untuk menentukan ukuran wasathiyah atau moderasi yakni
dengan ukuran agama.
Qurasih Shihab pun menekankan bahwasanya untuk menentukan wasatiyah harus
memiliki pengetahuan agama. Wasathiyah ialah keseimbangan yang memiliki prinsip
yang tidak berlebihan dan tidak mengurangi, hal ini mengajarkan untuk secara aktif
dan penuh hikmah berpihak terhadap kebenaran.
Menurut Quraish Shihab wasathiyah bukan sekedar mengambil apa yang di
tengah dari kedua sisi, namun wasathiyah merupakan keseimbangan pada semua
persoalah kehidupan baik duniawi maupun ukhrawi dan senantiasa diiringi dengan
usaha untuk menyesuaikan dengan kondisi situasi yang ada dan berlandasakan akan
petunjuk agama.
Nilai – nilai pendidikan yang terkandung dalam pemikiran Muhammad Quraish
Shihab tentang konsep wasathiyah antar lain:
1) Akidah Ketuhanan (Keimanan).
2) Akhlak (Bersikap Tunduk).
3) Beribadah.
4) Kehidupan Bermasyarakat.
5) Hubungan Sosial

2.2 Saran-Saran

1. Bagi pendidikan Islam di Indonesia wasathiyah sangat diperlukan baik pendidikan


formal ataupun non formal. Baik dari segi menyusun ,menerapakan bahkan
memperbaharui materi dan metode pendidikan.
2. Dalam menerapkan wasathiyah harus selalu menyesuaikan akan kondisi dan zaman
yang pastinya mengalami perubahan-perubahan. Di era sekarang segala informasi
serta opini tidak dapat dibendung. Dari itu hendaknya para pakar keilmuan Islam
mampu selalu menghadirkan wasathiyah pada pendidikan Islam.
3. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan supaya dapat mengembangkan dan
menyempurnakan dengan lebih baik lagi terkait dengan penelitian wasathiyah dalam
pendidikan Islam perspektif Muhammad Quraish Shihab.

20
Daftar Pustaka

Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, Kairo: Al-Maktabah A-taufiqiyah,


2003 Abu Ishaq As-Syatibi, Al-Muwafaqat fii Ushul As-Syariah, Kairo: al-
maktabah at-taufiqiyah, 2003 Ali Muhammad As-Shalabiy, Al-Wasathiyah fil
Qur’an Al-Karim, Kairo: Mu’assasah Iqra’ Linasyri watauzi wattarjamah,
2007 Hasan Al-Banna’, Majmu’ah Ar-Rsail, Kairo: Daar At-tauzi’ wa An-
Nasyr AlIslamiy, 1992 Ibnu Jarir At-Thabari, Tafsir At-Thabari, Kairo:
Maktabah At-Taufiqiyah, 2004 Ibnu Katsir, Tafsir Al-Quran Al-adzim, Beirut:
Daar Al-Fikri, 1994) Ibnu Taimiyah, Majmu’ah Al-Fatawa Li Syaikhil Islam
Ahmad bin Taimiyah, Al-Manshurah: Daar Al-Wafa, cet-3, 2005) Isham
Talimah, Al-Qardhawi Faqihan, Kairo: Daar At-Tauzi wa An-Nasyr
AlIslamiy, 2000 Mahmud Syaltuth, Al-Islam Akidah wa Syari’ah, Kairo: Daar
As-Syuruq, cet. ke-18, 2001 Muhammad Abu Zahrah, Zahrah At-Tafasir, Daar
Al-Fikr Al-Arabiy, 2000 Muhammad Al-Khair Abdul Qadir, Ittijahaat
Haditsah fi Al-Fikr Al-Almani, Khurtum: Ad-Daar As-Sudaniyah Lil Kutub,
1999 Muhammad bin Ahmad Al-Anshari Al-Quthubi, Al-Jami’ Li Ahkam Al-
Quran (Tafsir Al-Qurthubi), Kairo: Maktabah Al-Iman, tt Umar Abdul Karim
Sa’dawi, Qadhaya Al-mar’ah fi Fiqh Al-Qardhawi, Ghiza: Qathrun An-nada,
2006 Yusuf Al-Qardhawi, Fiqh Al-Wasathiyah Wa at-tajdid, Ma’lim
Wamanaraat, Doha: Markaz Al-Qardhawi Lilwashathiyah Al-Islamiyah wa
At-Tajdid, 2009

21

Anda mungkin juga menyukai