Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

Hubungan Peserta Didik Dalam Konteks


Sosial dan Perkembangan Sosio - emosional

Makalah ini disusun dan diajukan untuk memenuhi tugas pada


Mata Kuliah

“Psikologi Pendidikan”

Dosen Pengampu Mata Kuliah : “DI ISI”

Di Susun Oleh :
Afifah Riani Putri (23862010014)

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING
UNIVERSITAS ACHMAD YANI
BANJARMASIN
2024
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT. atas ridhanya saya dapat
menyusun dan menyelesaikan Makalah yang berjudul “Hubungan Peserta Didik Dalam
Konteks Sosial dan Perkembangan Sosio - emosional”. Makalah ini sebagai tugas mata
kuliah Psikologi Pendidikan

Proses penyusunan ini mebutuhkan usaha yang keras, kegigihan, ketelitian, dan
kesabaran dalam penyelesaiannya. Namun saya sendiri menyadari bahwa makalah ini
tidak sempurna dan masih ada kekurangan, dan tidak akan selesai tanpa adanya bantuan
dan mendukung dalam proses penyelesaian makalah.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................................................2
DAFTAR ISI....................................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................................4
Latar Belakang..........................................................................................................................4
Rumusan Masalah & Tujuan.....................................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................................................5
Pengertian Manusia.................................................................................................................5
Pengertian dan Perkembangan Manusia..................................................................................5
BAB III PEMBAHASAN..................................................................................................................7
Teori Ekologi Perkembangan Brofenbenner.............................................................................7
Teori Perkembangan Kepribadian Erik H Erikson......................................................................9
konteks sosial peserta didik dalam keluarga...........................................................................13
Perkembangan Pribadi (self) dan Moral.................................................................................14
BAB VI PENUTUP.......................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................................17
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Marcus Tulius Cicero, seorang cendekiawan Republik Roma pernah
mengingatkan warga kekaisaran Roma bahwa kesejahteraan sebuah bangsa bermula
dari karakter kuat warganya. Demikian juga sejarawan ternama, Arnold Toynbee,
pernah mengungkapkan bahwa dari dua puluh satu peradaban dunia yang dapat dicatat,
sembilan belas diantaranya hancur bukan karena penaklukan dari luar, melainkan karena
pembusukan moral dari dalam. Kenyataannya sejarah peradaban di segala penjuru dunia
telah mampu membuktikan kebenaran ungkapan tersebut. Cina, India dan Brazil
merupakan beberapa negara yang memiliki karakter yang kuat sehingga mampu
menunjukkan ke dunia kemajuan dan kesejahteraan bangsanya. Sebaliknya, negara
Yunani kontemporer, serta sejumlah negara Afrika dan Asia, karena karakter yang
lemah, mereka nyaris tidak punya kontribusi bermakna pada kemajuan dunia(Thahir,
2018)
Psikologi perkembangan merupakan salah satu bukti perkembangan keilmuan di
bidang psikologi, yakni merupakan cabang dari ilmu psikologi. Kajian bidang ini fokus
pada semua aspek psikologi disetiap tahapan perkembangan manusia yang diawali dari
proses kehidupan pasca konsepsi atau pembuahan, proses kelahiran dan hadirnya
seorang bayi hingga meninggalnya individu dari dunia fana. Psikologi perkembangan
dapat diaplikasikan dalam beberapa bidang seperti kesehatan dan terapi, pembelajaran
dan pengasuhan, organisasi industri, serta komunitas yang bertujuan untuk
mengoptimalkan kualitas individu selama kehidupannya(Hulukati, 2015)
Perkembangan antara satu anak dengan lainnya bisa berbeda - beda. Karena
karakteristik fisik motorik, intelektual, bahasa, emosi, sosial dan kesadaran beragama
seorang anak berbeda-beda. Selain itu faktor yang mempengaruhi perkembangan yang
akan menimbulkan masalah dalam perkembangan yaitu faktor genetika dan faktor
lingkungan. Seperti halnya teori ekologi memandang bahwa perkembangan anak
dipengaruhi oleh interaksi antara seorang anak dengan lingkungan, jika lingkungannya
baik maka anak tersebut berpotensi besar untuk menjadi baik, dan begitu juga sebalikya
jika lingkungannya buruk maka anak berpotensi besar untuk menjadi buruk. Sehingga
teori ini memandang suatu perkembangan manusia merupakan sebuah hasil interaksi
atau transaksi antara kekuatan internal (organisme dengan berbagai atributnya/dari diri
sendiri) dan kekuatan eksternal (lingkungan maupun sosial)(Gea, 2010)
Rumusan Masalah & Tujuan
Makalah ini memikili rumusan masalah dan tujuan untuk menjabarkan lebih
detail tentang hubungan peserta didik dalam konteks sosia-emosional, ayti teori ekologi
brofenbrenner dan teori life -span erikson, Adapun konteks social peserta didik dalam
keluarga, teman sebaya, dan sekolah dalam perkembangan serta perkebnagan
pribadi(self) dan moral
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Manusia
Pengertian Manusia Menurut Para Ahli (Thahir, 2018)
1. Ludwing Binswanger: Manusia adalah makhluk yang mempunyai kemampuan
untuk mengada, suatu kesadaran bahwa ia ada dan mampu mempertahankan
adanya di dunia.
2. Thomas Aquinas: Manusia adalah suatu substansi yang komplit yang terdiri dari
badan dan jiwa.
3. Marx: Manusia adalah entitas yang dapat dikenali dan diketahui.
4. Spinoza, Goethe, Hegel, dan Marx: Manusia adalah makhluk hidup yang harus
produktif, menguasai dunia di luar dirinya dengan tindakan mengekpresikan
kekuasaan manusiawinya yang khusus, dan menguasai dunia dengan
kekuasaannya ini. Karena manusia yang tidak produktif adalah manusia yang
reseptif dan pasif, dia tidak ada dan mati.
5. Betrand Russel: Manusia adalah maujud yang diciptakan dalam keadaan bersifat
mencari keuntungannya sendiri.
6. Jujun S. Suriasumantri: Manusia adalah makhluk yang mempunyai kedudukan
among (unique) di dalam ekosistem, namun juga amat tergantung pada
ekosistem itu dan ia sendiri bahkan merupakan bagiannya.
Pengertian dan Perkembangan Manusia
Perkembangan manusia menurut Santrock (2009) adalah suatu proses alamiah
yang dapat dibuktikan secara ilmiah tentang transformasi atau pola tahapan
perkembangan manusia sepanjang kehidupannya. Pertumbuhan secara sistemastis lebih
banyak mengkaji tentang perubahan secara kuantitatif atau pertumbuhan walaupun
didalamnya terdapat proses penurunan. Diperkuat dengan pendapat Perkembangan
bahwa manusia bersifat sistematis, yang artinya peoses perkembangan manusia bersifat
teratur, bertahap, dan berkelanjutan. Contohnya kemampuan berjalan pada usia anak
dimungkinkan akan terjadi jika anak telah melalui perkembangan sebelumnya seperti
merambat dan berjalan. Atau anak akan mamapu melakukan aktifitas duduk jika ia telan
mampu mengangkat leher dan mengangkat dada. Secara umum dapat dipahami bahwa
perkembangan manusia adalah suatu proses yang dimulai pada tahap pembuahan
(konsepsi) dan berlanjut terus ke tahap selanjutnya sepanjang hidup organisme atau
manusia, meskipun perkembangan identik dengan pertumbuhan namun secara
fundamental perkembangan manusia juga melibatkan proses penurunan kwalitas (Gea,
2010)
Perkembangan manusia bersifat terstruktur, yang artinya bahwa setiap
perkembangan organisme dalam hal ini manusia akan terjadi secara berkesinambungan
dan terorganisir (Papalia, Old s and Feldman, 2009). Seperti contoh perkembangan
bicara yang terjadi pada anak. Kemampuan bicara pada anak diperoleh melalui beberapa
tahap perkembangan yang saling berkesinambungan antara satu sama lain, mulai dari
memunculkan bunyi berirama sederhana, misalnya “aaa... ooo … uuu”, berlanjut
dengan kata “mamama … tatata”, mengungkapkan kata, semisal “mama … papa”
hingga berkembang ke titik dimana individu dapat mengatakannya dalam dua atau lebih
dan ketika berusia lebih tinggi akan berkembang dengan kemampuan menyusun kalimat
sederhana dengan secara tepat dan benar(Wahyu Nuning Budiarti, M.Pd Mawan Akhir
Riwanto, M.Pd Yusuf Hasan Baharudin, n.d.)
BAB III
PEMBAHASAN
Teori Ekologi Perkembangan Brofenbenner
Teori ekologi perkembangan anak diperkenalkan oleh Uri Bronfenbrenner,
seseorang ahli psikologi dari Cornell University Amerika Serikat. Teori ekologi
memandang bahwa perkembangan manusia dipengaruhi oleh konteks lingkungan.
Hubungan timbal balik antara individu dengan lingkungan akan membentuk tingkah
laku individu tersebut. Informasi lingkungan tempat tinggal anak akan menggambarkan,
mengorganisasi, dan mengklarifikasi efek dari lingkungan yang bervariasi.
Berofenbrenner menyebutkan adanya lima sistem lingkungan berlapis yang saling
berkaitan, yaitu mikrosistem, mesosistem, ekosistem, makrosistem, dan kronosistem.
(Murni, n.d.)
Satu hal yang terpenting dalam teori ekologi perkembangan Brofenbenner
adalah bahwa pengkajian perkembangan anak dari subsistem manapun, harus berpusat
pada anak, artinya pengalaman hidup anak yang dianggap menjadi penggerak utama
bagi perkembangan karakter dan habitnya di kemudian hari. Masing-masing subsistem
dalam teori Brefenbrenner tersebut dapat diuraikan sebagaimana berikut:(Ika Mariyati
et al., 2021)
A. Mikrosistem
Mikrosistem merupakan lingkungan yang paling dekat dengan pribadi peserta
didik yaitu meliputi keluarga, guru, individu, teman-teman sebaya, sekolah, lingkungan
tempat tinggal, dan hal-hal lain yang sehari-hari ditemui oleh peserta didik. Dalam
mikrosistem inilah terjadi interaksi yang paling langsung dengan agen-agen sosial
tersebut. Individu tidak dipandang sebagai penerima pengalaman yang pasif dalam
setting ini, tetapi individu bahkan ikut aktif membangun setting pada mikrosistem ini.
Karakteristik individu dan karakteristik lingkungan akan berkontribusi dalam proses
interaktif yang terjadi, sehingga membentuk sebuah karakter dan habit tertentu.
Keluarga terutama orangtua dan lingkungan sekolah merupakan agen sosialisasi
terdekat dalam kehidupan setiap individu, sehingga keluarga mempunyai pengaruh
besar pada pembentukan karakter dan habit seseorang.
B. Mesosistem
Mesosistem mencakup interaksi di antara mikrosistem di mana masalah yang
terjadi dalam sebuah mikrosistem akan berpengaruh pada kondisi mikrosistem yang
lain. Misalnya hubungan antara pengalaman keluarga dengan pengalaman sekolah,
pengalaman sekolah dengan pengalaman keagamaan, dan pengalaman keluarga dengan
pengalaman teman sebaya, serta hubungan keluarga dengan tetangga.
Dalam kaitannya dengan proses pendidikan, tentunya pengalaman apapun yang
didapatkan oleh peserta didik di rumah akan ikut mempengaruhi kondisi peserta didik di
sekolah baik secara langsung maupun tidak. Sebagai contoh, ada tidaknya dukungan
atau perhatian keluarga terhadap kebutuhan literasi tentunya akan mempengaruhi
kinerja peserta didik di sekolah. Sebaliknya, dukungan sekolah dan keluarga akan
mempengaruhi seberapa jauh peserta didik akan menghargai pentingnya literasi.
C. Ekosistem
Eksosistem adalah sistem sosial yang lebih besar di mana anak tidak terlibat
interaksi secara langsung, akan tetapi dapat berpengaruh terhadap perkembangan
karakter anak. Sebagai contoh, jam kerja orangtua bertambah yang menyebabkan
peserta didik kehilangan interaksi dengan orangtuanya sehingga kurangnya keterlibatan
orangtua dalam pola asuh tersebut tentunya mempengaruhi perkembangan anak.
Subsistem dari eksosistem lain yang secara tidak langsung menyentuh pribadi peserta
didik akan tetapi berpengaruh besar adalah koran, televisi, dokter, keluarga besar, dan
lain sebagainya.
D. Makrosistem
Makrosistem adalah sistem lapisan terluar dari lingkungan anak. Subsistem
makrosistem terdiri dari ideologi negara, pemerintah, tradisi, agama, hukum, adat
istiadat, budaya, nilai masyarakat secara umum, dan lain sebagainya, di mana individu
berada. Prinsip-prinsip yang terdapat dalam lapisan makrosistem tersebut akan
berpengaruh pada keseluruhan interaksi di semua lapisan. Misalnya, jika kebudayaan
masyarakat menggariskan bahwa orangtua bertanggungjawab untuk membesarkan
anak-anaknya, maka hal tersebut akan mempengaruhi struktur di mana orangtua akan
menjalankan fungsi psikoedukasinya. Menurut Berk, budaya yang dimaksud dalam
subsistem ini adalah pola tingkah laku, kepercayaan, dan semua produk dari
sekelompok manusia yang diwariskan dari generasi ke generasi
E. Kronosistem
Kronosistem mencakup pengaruh lingkungan dari waktu ke waktu beserta
caranya mempengaruhi perkembangan dan perilaku. 177 Contohnya seperti
perkembangan teknologi dengan produk-produk turunannya, seperti internet dan gadget,
membuat peserta didik mahir, nyaman, dan terbiasa menggunakannya untuk pendidikan
maupun hiburan. Demikian halnya dengan maraknya fenomena wanita karir akibat
industrialisasi, telah mengubah kehidupan keluarga. Perhatian ibu terhadap anak
menjadi berkurang. Kronosistem meliputi keterpolaan peristiwaperistiwa sepanjang
rangkaian kehidupan dan keadaan sosiohistoris
Berdasarkan uraian tersebut, tampak betapa kompleksnya factor-faktor yang
dapat mempengaruhi karakter dan habit setiap peserta didik. Meskipun demikian,
perkembangan karakter dan habit peserta didik pada usia dini akan cenderung terpusat
pada lingkungan mikrosistem. Perilaku peserta didik akan berkembang ke arah negatif
atau positif sangat bergantung pada dukungan lingkungan mikrosistem yang diberikan.
Dalam konteks lembaga pendidikan peserta didik usia dini,
Menurut Bronfenbrenner, dalam mengkaji suatu masalah berdasar teori ekologi
maka harus melibatkan aspek - aspek prediktor yang mewakili empat komponen, yaitu
konteks masalahnya, orang yang terlibat, proses, dan waktu.178 Oleh karena itu
pengkajian teori ekologi terhadap pengembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam
akan meliputi salah satu aspek prediktornya yang paling relevan, yakni karakteristik
lingkungan di mana pendidikan karakter dan penanaman habit itu berlangsung
(konteks), karakteristik individu (peserta didik), dan proses pendidikan karakter serta
penanaman habit di lingkup satuan Pendidikan(Gea, 2010)
Teori Perkembangan Kepribadian Erik H Erikson
Teori Erikson dikatakan sebagai salah satu teori yang sangat selektif karena
didasarkan pada tiga alasan. Alasan yang pertama, karena teorinya sangat representatif
dikarenakan memiliki kaitan atau hubungan dengan ego yang merupakan salah satu
aspek yang mendekati kepribadian manusia. Kedua, menekankan pada pentingnya
perubahan yang terjadi pada setiap tahap perkembangan dalam lingkaran kehidupan,
dan yang ketiga/terakhir adalah menggambarkan secara eksplisit mengenai usahanya
dalam mengabungkan pengertian klinik dengan sosial dan latar belakang yang dapat
memberikan kekuatan/kemajuan dalam perkembangan kepribadian didalam sebuah
lingkungan. Melalui teorinya Erikson memberikan sesuatu yang baru dalam
mempelajari mengenai perilaku manusia dan merupakan suatu pemikiran yang sangat
maju guna memahami persoalan/masalah psikologi yang dihadapi oleh manusia pada
jaman modern seperti ini. Oleh karena itu, teori Erikson banyak digunakan untuk
menjelaskan kasus atau hasil penelitian yang terkait dengan tahap perkembangan, baik
anak, dewasa, maupun lansia.(Wahyu Nuning Budiarti, M.Pd Mawan Akhir Riwanto,
M.Pd Yusuf Hasan Baharudin, n.d.)
Erikson dalam membentuk teorinya secara baik, sangat berkaitan erat dengan
kehidupan pribadinya dalam hal ini mengenai pertumbuhan egonya. Erikson
berpendapat bahwa pandangan-pandangannya sesuai dengan ajaran dasar psikoanalisis
yang diletakkan oleh Freud. Jadi dapat dikatakan bahwa Erikson adalah seorang post-
freudian atau neofreudian. Akan tetapi, teori Erikson lebih tertuju pada masyarakat dan
kebudayaan. Hal ini terjadi karena dia adalah seorang ilmuwan yang punya ketertarikan
terhadap antropologis yang sangat besar, bahkan dia sering meminggirkan masalah
insting dan alam bawah sadar(Gea, 2010)
Erikson mengemukakan persepsinya pada saat itu bahwa pertumbuhan berjalan
berdasarkan prinsip epigenetic. Di mana Erikson dalam teorinya mengatakan melalui
sebuah rangkaian kata yaitu :
(1) Pada dasarnya setiap perkembangan dalam kepribadian manusia mengalami
keserasian dari tahaptahap yang telah ditetapkan sehingga pertumbuhan pada tiap
individu dapat dilihat/dibaca untuk mendorong, mengetahui, dan untuk saling
mempengaruhi, dalam radius soial yang lebih luas.
(2) Masyarakat, pada prinsipnya, juga merupakan salah satu unsur untuk
memelihara saat setiap individu yang baru memasuki lingkungan tersebut guna
berinteraksi dan berusaha menjaga serta untuk mendorong secara tepat berdasarkan dari
perpindahan didalam tahap-tahap yang ada.
Delapan tahap/fase perkembangan kepribadian menurut Erikson memiliki ciri
utama setiap tahapnya adalah di satu pihak bersifat biologis dan di lain pihak bersifat
sosial, yang berjalan melalui krisis diantara dua polaritas. Adapun tingkatan dalam
delapan tahap perkembangan yang dilalui oleh setiap manusia menurut Erikson adalah
sebagai berikut:(Ika Mariyati et al., 2021)

1. Trust vs Mistrust (Kepercayaan vs Kecurigaan)


Masa bayi (infancy) ditandai adanya kecenderungan trust – mistrust. Perilaku
bayi didasari oleh dorongan mempercayai atau tidak mempercayai orang-orang di
sekitarnya. Dia sepenuhnya mempercayai orang tuanya, tetapi orang yang dianggap
asing dia tidak akan mempercayainya. Oleh karena itu kadang-kadang bayi menangis
bila di pangku oleh orang yang tidak dikenalnya. Ia bukan saja tidak percaya kepada
orangorang yang asing tetapi juga kepada benda asing, tempat asing, suara asing,
perlakuan asing dan sebagainya. Kalau menghadapi situasi-situasi tersebut seringkali
bayi menangis.
Tahap ini berlangsung pada masa oral, kira-kira terjadi pada umur 0-1 atau 1 ½
tahun. Tugas yang harus dijalani pada tahap ini adalah menumbuhkan dan
mengembangkan kepercayaan tanpa harus menekan kemampuan untuk hadirnya suatu
ketidakpercayaan. Kepercayaan ini akan terbina dengan baik apabila dorongan oralis
pada bayi terpuaskan, misalnya untuk tidur dengan tenang, menyantap makanan dengan
nyaman dan tepat waktu, serta dapat membuang kotoron (eliminsi) dengan sepuasnya.
Oleh sebab itu, pada tahap ini ibu memiliki peranan yang secara kwalitatif sangat
menentukan perkembangan kepribadian anaknya yang masih kecil.
2. Otonomi vs Perasaan Malu dan Ragu-ragu
Masa kanak-kanak awal (early childhood) ditandai adanya kecenderungan
autonomy – shame, doubt. Pada masa ini sampai batas-batas tertentu anak sudah bisa
berdiri sendiri, dalam arti duduk, berdiri, berjalan, bermain, minum dari botol sendiri
tanpa ditolong oleh orang tuanya, tetapi di pihak lain dia telah mulai memiliki rasa malu
dan keraguan dalam berbuat, sehingga seringkali minta pertolongan atau persetujuan
dari orang tuanya.
Pada tahap kedua adalah tahap anus-otot (analmascular stages), masa ini
biasanya disebut masa balita yang berlangsung mulai dari usia 18 bulan sampai 3 atau 4
tahun. Tugas yang harus diselesaikan pada masa ini adalah kemandirian (otonomi)
sekaligus dapat memperkecil perasaan malu dan ragu-ragu. Apabila dalam menjalin
suatu relasi antara anak dan orangtuanya terdapat suatu sikap/tindakan yang baik, maka
dapat menghasilkan suatu kemandirian. Namun, sebaliknya jika orang tua dalam
mengasuh anaknya bersikap salah, maka anak dalam perkembangannya akan
mengalami sikap malu dan ragu-ragu. Dengan kata lain, ketika orang tua dalam
mengasuh anaknya sangat memperhatikan anaknya dalam aspek-aspek tertentu
misalnya mengizinkan seorang anak yang menginjak usia balita untuk dapat
mengeksplorasikan dan mengubah lingkungannya, anak tersebut akan bisa
mengembangkan rasa mandiri atau ketidaktergantungan.
3. Inisiatif vs Kesalahan
Masa pra sekolah (Preschool Age) ditandai adanya kecenderungan initiative –
guilty. Pada masa ini anak telah memiliki beberapa kecakapan, dengan kecakapan-
kecakapan tersebut dia terdorong melakukan beberapa kegiatan, tetapi karena
kemampuan anak tersebut masih terbatas adakalanya dia mengalami kegagalan.
Kegagalan-kegagalan tersebut menyebabkan dia memiliki perasaan bersalah, dan untuk
sementara waktu dia tidak mau berinisatif atau berbuat. Tahap ketiga ini juga dikatakan
sebagai tahap kelamin-lokomotor (genital-locomotor stage) atau yang biasa disebut
tahap bermain. Tahap ini pada suatu periode tertentu saat anak menginjak usia 3 sampai
5 atau 6 tahun, dan tugas yang harus diemban seorang anak pada masa ini ialah untuk
belajar punya gagasan (inisiatif) tanpa banyak terlalu melakukan kesalahan.
Masa-masa bermain merupakan masa di mana seorang anak ingin belajar dan
mampu belajar terhadap tantangan dunia luar, serta mempelajari
kemampuankemampuan baru juga merasa memiliki tujuan. Dikarenakan sikap inisiatif
merupakan usaha untuk menjadikan sesuatu yang belum nyata menjadi nyata, sehingga
pada usia ini orang tua dapat mengasuh anaknya dengan cara mendorong anak untuk
mewujudkan gagasan dan ide-idenya. Akan tetapi, semuanya akan terbalik apabila
tujuan dari anak pada masa genital ini mengalami hambatan karena dapat
mengembangkan suatu sifat yang berdampak kurang baik bagi dirinya yaitu merasa
berdosa dan pada klimaksnya mereka seringkali akan merasa bersalah atau malah akan
mengembangkan sikap menyalahkan diri sendiri atas apa yang mereka rasakan dan
lakukan.
4. Kerajinan vs Inferioritas
Masa Sekolah (School Age) ditandai adanya kecenderungan industry–inferiority.
Sebagai kelanjutan dari perkembangan tahap sebelumnya, pada masa ini anak sangat
aktif mempelajari apa saja yang ada di lingkungannya. Dorongan untuk mengatahui dan
berbuat terhadap lingkungannya sangat besar, tetapi di pihak lain karena keterbatasan-
keterbatasan kemampuan dan pengetahuannya kadang-kadang dia menghadapi
kesukaran, hambatan bahkan kegagalan. Hambatan dan kegagalan ini dapat
menyebabkan anak merasa rendah diri.
Tahap keempat ini dikatakan juga sebagai tahap laten yang terjadi pada usia
sekolah dasar antara umur 6 sampai 12 tahun. Salah satu tugas yang diperlukan dalam
tahap ini ialah adalah dengan mengembangkan kemampuan bekerja keras dan
menghindari perasaan rasa rendah diri. Saat anak-anak berada tingkatan ini area
sosialnya bertambah luas dari lingkungan keluarga merambah sampai ke sekolah,
sehingga semua aspek memiliki peran, misalnya orang tua harus selalu mendorong,
guru harus memberi perhatian, teman harus menerima kehadirannya, dan lain
sebagainya.
Tingkatan ini menunjukkan adanya pengembangan anak terhadap rencana yang
pada awalnya hanya sebuah fantasi semata, namun berkembang seiring bertambahnya
usia bahwa rencana yang ada harus dapat diwujudkan yaitu untuk dapat berhasil dalam
belajar. Anak pada usia ini dituntut untuk dapat merasakan bagaimana rasanya berhasil,
apakah itu di sekolah atau ditempat bermain. Melalui tuntutan tersebut anak dapat
mengembangkan suatu sikap rajin. Berbeda kalau anak tidak dapat meraih sukses
karena mereka merasa tidak mampu (inferioritas), sehingga anak juga dapat
mengembangkan sikap rendah diri.
5. Identitas vs Kekacauan Identitas
Tahap kelima merupakan tahap adolesen (remaja), yang dimulai pada saat masa
puber dan berakhir pada usia 18 atau 20 tahun. Masa Remaja (adolescence) ditandai
adanya kecenderungan identity – Identity Confusion. Sebagai persiapan ke arah
kedewasaan didukung pula oleh kemampuan dan kecakapan-kecakapan yang
dimilikinya dia berusaha untuk membentuk dan memperlihatkan identitas diri, ciri-ciri
yang khas dari dirinya. Dorongan membentuk dan memperlihatkan identitasdiri ini,
pada para remaja sering sekali sangat ekstrim dan berlebihan, sehingga tidak jarang
dipandang oleh lingkungannya sebagai penyimpangan atau kenakalan.
Pencapaian identitas pribadi dan menghindari peran ganda merupakan bagian
dari tugas yang harus dilakukan dalam tahap ini. Menurut Erikson masa ini merupakan
masa yang mempunyai peranan penting, karena melalui tahap ini orang harus mencapai
tingkat identitas ego, dalam pengertiannya identitas pribadi berarti mengetahui siapa
dirinya dan bagaimana cara seseorang terjun ke tengah masyarakat.
6. Keintiman vs Isolasi
Tahap pertama hingga tahap kelima sudah dilalui, maka setiap individu akan
memasuki jenjang berikutnya yaitu pada masa dewasa awal yang berusia sekitar 20-30
tahun. Masa Dewasa Awal (Young adulthood) ditandai adanya kecenderungan intimacy
– isolation. Kalau pada masa sebelumnya, individu memiliki ikatan yang kuat dengan
kelompok sebaya, namun pada masa ini ikatan kelompok sudah mulai longgar. Mereka
sudah mulai selektif, dia membina hubungan yang intim hanya dengan orang-orang
tertentu yang sepaham. Jadi pada tahap ini timbul dorongan untuk membentuk
hubungan yang intim dengan orang-orang tertentu, dan kurang akrab atau renggang
dengan yang lainnya.
Jenjang ini menurut Erikson adalah ingin mencapai kedekatan dengan orang lain
dan berusaha menghindar dari sikap menyendiri. Periode diperlihatkan dengan adanya
hubungan spesial dengan orang lain yang biasanya disebut dengan istilah pacaran guna
memperlihatkan dan mencapai kelekatan dan kedekatan dengan orang lain. Di mana
muatan pemahaman dalam kedekatan dengan orang lain mengandung arti adanya kerja
sama yang terjalin dengan orang lain.
7. Generativitas vs Stagnas
Masa dewasa (dewasa tengah) berada pada posisi ke tujuh, dan ditempati oleh
orang-orang yang berusia sekitar 30 sampai 60 tahun. Masa Dewasa (Adulthood)
ditandai adanya kecenderungan generativity-stagnation. Sesuai dengan namanya masa
dewasa, pada tahap ini individu telah mencapai puncak dari perkembangan segala
kemampuannya. Pengetahuannya cukup luas, kecakapannya cukup banyak, sehingga
perkembangan individu sangat pesat. Meskipun pengetahuan dan kecakapan individu
sangat luas, tetapi dia tidak mungkin dapat menguasai segala macam ilmu dan
kecakapan, sehingga tetap pengetahuan dan kecakapannya terbatas. Untuk mengerjakan
atau mencapai hal– hal tertentu ia mengalami hambatan.
8. Integritas vs Keputusasaan
Tahap terakhir dalam teorinya Erikson disebut tahap usia senja yang diduduki
oleh orang-orang yang berusia sekitar 60 atau 65 ke atas. Masa hari tua (Senescence)
ditandai adanya kecenderungan ego integrity – despair. Pada masa ini individu telah
memiliki kesatuan atau intregitas pribadi, semua yang telah dikaji dan didalaminya telah
menjadi milik pribadinya. Pribadi yang telah mapan di satu pihak digoyahkan oleh
usianya yang mendekati akhir. Mungkin ia masih memiliki beberapa keinginan atau
tujuan yang akan dicapainya tetapi karena faktor usia, hal itu sedikit sekali
kemungkinan untuk dapat dicapai. Dalam situasi ini individu merasa putus asa.
Dorongan untuk terus berprestasi masih ada, tetapi pengikisan kemampuan karena usia
seringkali mematahkan dorongan tersebut, sehingga keputusasaan acapkali
menghantuinya
konteks sosial peserta didik dalam keluarga
Faktor lingkungan diartikan sebagai kekuatan yang kompleks dari dunia fisik
dan sosial yang memiliki pengaruh terhadap susunan biologis serta pengalaman
pesikologis, termasuk pengalaman sosial dan emosi anak sejak sebelum ada dan sesudah
anak lahir. Faktor lingkungan ini meliputi semua pengaruh lingkungan termasuk
didalamnya pengaruh berikut ini:(Nida, n.d.)
a) Keluarga
Pada ilmu pendidikan, keluarga menjadi lingkungan pendidikan yang pertama
dan utama. Dengan demikian, dapatlah dikatakan lingkungan keluarga memiliki peran
yang utama dalam menentukan perkembangan sosial dan emosi anak usia dini
dikemudian hari dan untuk kehidupan selanjutnya yang akan mereka jalani, dan
dilingkungan keluarga ini lah anak pertama kalinya menerima pendidikan dari orang
tuanya atau orang terdekatnya. Orang tua mereka merupakan pendidik bagi mereka pola
asuh orang tua, sikap, serta situasi dan kondisi yang sedang melingkupi orang tua dapat
memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan sosial dan emosi anak.
(Ummah & Fitri, 2020)
b) Sekolah
Sekolah merupakan lingkungan kedua bagi anak, disekolah anak berhubungan
dengan pendidik PAUD dan teman sebayanya. Hubungan antara anak dengan pendidik
PAUD dan anak dengan teman sebayanya dapat memmengaruhi perkembangan anak
sosial dan emosi anak. Stimulus yang diberikan oleh pendidik PAUD terhadap anak
memiliki pengaruh yang tidak sedikit guna mengoptimalkan perkembangan sosial dan
emosi anak. Pendidik PAUD merupakan wakil dari orang tua mereka saat berada
disekolah. Pola asuh dan prilaku yang ditrampilkan oleh pendidik PAUD dihadapan
anak juga dapat memengaruhi perkembangan sosial dan emosinya.
c) Teman sebaya
Teman sebaya adalah hubungan individu pada anak-anak atau remaja dengan
tingkat usia yang sama serta melibatkan keakraban yang relatif besar dalam
kelompoknya. Jadi lingkungan teman sebaya ini yang memiliki peran penting untuk
anak bisa membedakan baik buruk prilaku dan mengasah tingkat kematangan dalam
dirinya dengan membandingkan antara teman satu dengan yang lainya.
Perkembangan Pribadi (self) dan Moral
Perkembangan pribadi (self-development) dan perkembangan moral merupakan dua
aspek yang saling terkait dalam pengembangan individu. Berikut adalah penjelasan
secara rinci tentang keduanya:(Purwandari, 2006)
Perkembangan Pribadi (Self-Development):
1. Identitas Diri:
 Deskripsi: Proses pengertian dan penerimaan terhadap siapa diri kita.
 Perkembangan: Seiring waktu, individu mengalami perubahan dalam
pandangan terhadap diri sendiri, termasuk nilai-nilai, minat, dan
keyakinan.
2. Emosional:
 Deskripsi: Menyangkut pemahaman dan pengelolaan emosi.
 Perkembangan: Dari kesadaran emosional hingga kemampuan
mengelola stres dan konflik, perkembangan emosional memainkan peran
kunci dalam perkembangan pribadi.
3. Keterampilan dan Bakat:
 Deskripsi: Pengembangan keterampilan dan bakat unik individu.
 Perkembangan: Melibatkan pencapaian dan peningkatan keterampilan
dalam berbagai bidang seperti akademis, seni, olahraga, atau
keterampilan interpersonal.

4. Pengambilan Keputusan:
 Deskripsi: Kemampuan untuk membuat keputusan yang tepat.
 Perkembangan: Dari pemahaman risiko hingga peningkatan
kemampuan mengambil keputusan yang bertanggung jawab.
5. Tujuan dan Rencana:
 Deskripsi: Menetapkan tujuan dan merencanakan langkah-langkah
mencapainya.
 Perkembangan: Berkembang dari kesadaran diri hingga kemampuan
membuat rencana yang realistis dan dapat dicapai.
Perkembangan Moral:
1. Kesadaran Moral:
 Deskripsi: Pemahaman tentang perbedaan antara benar dan salah.
 Perkembangan: Dari mengenal norma dan aturan hingga pemahaman
yang lebih kompleks tentang etika dan moralitas.
2. Nilai-nilai:
 Deskripsi: Keyakinan tentang apa yang dianggap penting dan benar.
 Perkembangan: Perubahan nilai-nilai dari eksternal (yang diajarkan
oleh orang tua dan masyarakat) menjadi internal (yang diadopsi dan
diyakini oleh individu).
3. Empati dan Kepedulian:
 Deskripsi: Kemampuan memahami dan merasakan perasaan orang lain.
 Perkembangan: Dari kepedulian yang lebih egosentris menuju empati
yang lebih mendalam dan kemampuan untuk bertindak sesuai dengan
nilai-nilai moral.
4. Tanggung Jawab:
 Deskripsi: Penerimaan dan pemenuhan kewajiban dan tanggung jawab.
 Perkembangan: Dari pemahaman dasar tentang tanggung jawab hingga
kemampuan mengenali dan mengatasi konsekuensi dari tindakan sendiri.
Perkembangan pribadi dan moral bersifat dinamis dan saling mempengaruhi. Proses ini
dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti pengalaman hidup, pendidikan, lingkungan, dan
interaksi sosial.(ANESTESYA LOVENA, 2013)
BAB VI
PENUTUP
Teori ekologi perkembangan Brofenbenner adalah bahwa pengkajian
perkembangan anak dari subsistem manapun, harus berpusat pada anak, artinya
pengalaman hidup anak yang dianggap menjadi penggerak utama bagi perkembangan
karakter dan habitnya di kemudian hari
Teori Erikson dikatakan sebagai salah satu teori yang sangat selektif karena
didasarkan pada tiga alasan. Alasan yang pertama, karena teorinya sangat representatif
dikarenakan memiliki kaitan atau hubungan dengan ego yang merupakan salah satu
aspek yang mendekati kepribadian manusia. Kedua, menekankan pada pentingnya
perubahan yang terjadi pada setiap tahap perkembangan dalam lingkaran kehidupan,
dan yang ketiga/terakhir adalah menggambarkan secara eksplisit mengenai usahanya
dalam mengabungkan pengertian klinik dengan sosial dan latar belakang yang dapat
memberikan kekuatan/kemajuan dalam perkembangan kepribadian didalam sebuah
lingkungan
Faktor lingkungan diartikan sebagai kekuatan yang kompleks dari dunia fisik
dan sosial yang memiliki pengaruh terhadap susunan biologis serta pengalaman
pesikologis
DAFTAR PUSTAKA
ANESTESYA LOVENA. (2013). HUBUNGAN ANTARA PERKEMBANGAN SOSIAL ANAK TERHADAP
HASIL BELAJAR BAHASA INDONESIA SISWA KELAS IV/B SD NEGERI 65 KOTA BENGKULU.
39–37 ,)1997(66 ,‫עלון הנוטע‬.
Gea, A. A. (2010). Pengembangan Culture, Self, and Personality Dalam Diri Manusia.
Humaniora, 1(1), 37. https://doi.org/10.21512/humaniora.v1i1.2146
Hulukati, W. (2015). Peran Lingkungan Keluarga Terhadap Perkembangan Anak. Jurnal
Musawa, 7(2), 265–282.
Ika Mariyati, L., Rezania, V., Mojopahit, J., & Sidoarjo, B. (2021). Buku Ajar Psikologi
Perkembangan 1 UMSIDA PRESS.
Murni. (n.d.). Perkembangan fisik, kognitif, dan psikososial pada masa kanak-kanak awal 2-6
tahun. III, 19–33.
Nida, F. L. K. (n.d.). INTERVENSI TEORI PERKEMBANGAN MORAL LAWRENCE KOHLBERG
DALAM DINAMIKA PENDIDIKAN KARAKTER. 8(2), 271–290.
Purwandari, E. (2006). MEMBANGUN KARAKTER MELALUI SISTEM KONTROL SOSIAL : SEBUAH
REVIU FENOMENOLOGIS. 285–297.
Thahir, A. (2018). Psikologi Perkembangan. Aura Publishing, 1–260.
http://repository.radenintan.ac.id/10934/
Ummah, S. A., & Fitri, N. A. N. (2020). Pengaruh lingkungan keluarga terhadap perkembangan
sosial Emosional Anak Usia Dini. SELING (Jurnal Program Studi PGRA), 6(1), 84–88.
Wahyu Nuning Budiarti, M.Pd Mawan Akhir Riwanto, M.Pd Yusuf Hasan Baharudin, M. P. .
(n.d.). Kajian Teori Sistem Ekologi ROBERTA M. BERN.

Anda mungkin juga menyukai