Anda di halaman 1dari 14

ORGANISASI MUHAMMADIYAH DALAM BIDANG PENDIDIKAN

MUHAMMAD THUVAIL 220414054


FAKHMIEN FAUZAN R 220414027
Fakultas Agama Islam
Pendidikan Agama Islam
Universitas Muhammadiyah Bandung

A. Sejarah Muhammadiyah
Kauman, sebuah daerah di kelurahan Ngupasan, Kecamatan Gondomanan, Kota
Yogyakarta, sekitar 500 meter ke arah selatan dari ujung kawasan Malioboro. Di tempat
inilah Muhammadiyah lahir pada 8 Dzulhijjah 1330, bertepatan dengan tanggal 18
November 1912. Maksud dan tujuannya ialah untuk menegakkan dan menjunjung tinggi
Agama Islam, sehingga dapat mewujudkan masyarakat islam yang sebenar-benarnya.
Faktor-faktor lain yang mendorong K.H Ahmad Dahlan mendirikan organisasi
Muhammadiyah antara lain:
1. Ajaran Islam dilaksanakan tidak secara murni bersumberkan Al Qur’an
dan Hadist, tetapi tercampur dengan perbuatan syirik dan khurafat.
2. Lembaga-lembaga pendidikan Islam tidak lagi dapat memenuhi tuntunan
zaman, akibat dari terlampau mengisolir diri dari pengaruh luar.
3. Keadaan umat yang sangat menyedihkan dalam bidang sosial, ekonomi,
politik, kultural, akibat adanya penjajahan.
Semangat yang ditunjukkan Muhammadiyah yang lahir untuk mementingkan
pendidikan dan pengajaran yang berdasarkan Islam, baik pendidikan di
sekolah/madrasah ataupun pendidikan dalam masyarakat. Maka tidak heran sejak
berdirinya Muhammadiyah membangun sekolah-sekolah/madrasah-madrasah dan
mengadakan tabligh-tabligh, bahkan juga menerbitkan buku-buku dan majalah-majalah
yang berdasarkan islam. Di antara sekolah-sekolah Muhammadiyah yang tertua dan
jasanya ialah:
1. Kweekschool Muhammadiyah Yogya.
2. Mu’allimin Muhammadiyah, Solo, Jakarta.
3. Mu’allimat Muhammadiyah Yogyakarta.
4. Zu’ama/Za’imat Yogyakarta.
5. Kuliyah Mubaligin/mubalighat, Padang Panjang.
6. Tabligh school Yogyakarta.
7. H.I.K Muhammadiyah Yogya.
Dan masih banyak lagi sekolah/madrasah yang didirikan oleh Muhammadiyah
ini, semua sekolah/madrasah ini didirikan pada masa penjajahan Belanda dan
pendudukan Jepang, yang tersebar pada tiap-tiap Cabang Muhammadiyah seluruh
kepulauan Indonesia.
Jika di jumlahkan ada 682 buah Madrasah dan 877 buah Sekolah Umum dan
totalnya 1559 buah madrasah dan sekolah umum
Mula-mula K.H Ahmad Dahlan memberi pelajaran agama islam di Kweekschool
Jetis, sekolah guru pada zaman penjajahan Belanda meskipun pelajaran itu hanya
diberikan diluar pelajaran-pelajaran yang formal. Sistem yang beliau gunakan sudah
sangat pedagogis. Di samping memberikan pelajaran islam di Kweekschool. K.H Ahmad
Dahlan mendirikan sekolah-sekolah yang sebagian mengikuti teknik sekolah-sekolah
kursi, meja, kapur dan lain-lain tetapi diberi juga pelajaran agama. Di samping itu
didirikan juga madrasah-madrasah yang merupakan modernisasi dari pesantren-
pesantren yang telah ada kitab-kitab, metode mengajarnya, latihan dan ujian diambil dari
sekolah model barat. Dengan demikian Muhammadiyah berhasil mendekatkan dua
golongan rakyat, yakni kaum intelek Indonesia yang memperoleh didikan model Barat
dengan rakyat dengan rakyat selebihnya yang melulu mendapatkan pelajaran agama,
dua golongan yang sudah mulai terpisah dan tercerai.
Muhammadiyah telah mengadakan pembaharuan pendidikan agama dengan
jalan modernisasi dalam sistem pendidikan, menukar sistem pondok pesantren dengan
sistem pendidikan yang modern yang sesuai dengan tuntutan dan kehendak zaman.
Mengajarkan agama dengan cara yang mudah di faham, didaktis, dan pedagogis, selalu
menjadi pemikiran dalam Muhammadiyah.
Selain jasa di bidang pendidikan, ada pula usaha dan jasa-jasanya yang besar
lainnya yaitu : mengubah dan membetulkan arah kiblat yang tidak tepat menurut
mestinya. Umumnya masjid-masjid dan langgar-langgar di Yogyakarta menghadap ke
jurusan timur dan orang-orang sembahyang di dalamnya menghadap ke arah barat
lurus. Padahal kiblat yang sebenarnya menuju Ka’bah dari tanah Jawa haruslah miring
ke arah utara ± 24 derajat dari sebelah barat. Berdasarkan ilmu pengetahuan tentang
ilmu falak itu orang tidak boleh menghadap kiblat menuju barat lurus, melainkan harus
miring ke utara ± 24 derajat. Oleh sebab itu K.H Ahmad Dahlan mengubah bangunan
pesantrennya sendiri, supaya menuju arah kiblat yang betul.
K.H Ahmad Dahlan juga mengajarkan agama islam secara populer, bukan saja di
pesantren, melainkan ia pergi ke tempat-tempat lain seperti mendatangi berbagai
golongan bahkan dapat dikatakan bahwa K.H Ahmad Dahlan adalah bapak mubaliq
islam di Jawa Tengah. K.H Ahmad Dahlan memberantas bit’ah-bit’ah dan khurafat serta
adat istiadat yang bertentangan dengan ajaran agama islam.

B. Sejarah Pendidikan Muhammadiyah


Berdirinya Muhammadiyah juga didasari oleh faktor pendidikan. Sutarmo,
Mag dalam bukunya Muhammadiyah, Gerakan Sosial, Keagamaan Modernis
mengatakan bahwa Muhammadiyah didirikan oleh KHA. Dahlan didasari oleh dua
faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yaitu faktor yang
berkaitan dengan ajaran Islam itu sendiri secara menyeluruh dan faktor eksternal
adalah faktor-faktor yang berada di luar Islam.
Maka pendidikan Muhammadiyah adalah salah satu faktor internal yang
mendasari Muhammadiyah didirikan. Kita ketahui bahwa pada masa awal berdirinya
Muhammadiyah, lembaga-lembaga pendidikan yang ada dapat dikelompokkan
menjadi dua kelompok besar sistem pendidikan. Dua sistem pendidikan yang
berkembang saat itu, pertama adalah sistem pendidikan tradisional pribumi yang
diselenggarakan dalam pondok-pondok pesantren dengan Kurikulum seadanya.
Pada umumnya seluruh pelajaran di pondok-pondok adalah pelajaran agama.
Proses penanaman pendidikan pada sistem ini pada umumnya masih
diselenggarakan secara tradisional, dan secara pribadi oleh para guru atau kyai
dengan menggunakan metode srogan (murid secara individual menghadap kyai satu
persatu dengan membawa kitab yang akan dibacanya, kyai membacakan pelajaran,
kemudian menerjemahkan dan menerangkan maksudnya) dan weton (metode
pengajaran secara berkelompok dengan murid duduk bersimpuh mengelilingi kyai
juga duduk bersimpuh dan sang kyai menerangkan pelajaran dan murid menyimak
pada buku masing-masing atau dalam bahasa Arab disebut metode Halaqah) dalam
pengajarannya. Dengan metode ini aktivitas belajar hanya bersifat pasif, membuat
catatan tanpa pertanyaan, dan membantah terhadap penjelasan sang kyai adalah
hal yang tabu. Selain itu metode ini hanya mementingkan kemampuan daya hafal
dan membaca tanpa pengertian dan memperhitungkan daya nalar. Kedua adalah
pendidikan sekuler yang sepenuhnya dikelola oleh pemerintah kolonial dan pelajaran
agama tidak diberikan.
Bila dilihat dari cara pengelolaan dan metode pengajaran dari
kedua sistem pendidikan tersebut, maka perbedaannya jauh sekali.
Tipe pendidikan pertama menghasilkan pelajar yang minder dan
terisolasi dari kehidupan modern, akan tetapi taat dalam
menjalankan perintah agama, sedangkan tipe kedua menghasilkan
para pelajar yang dinamis dan kreatif serta penuh percaya diri, akan
tetapi tidak tahu tentang agama, bahkan berpandangan negatif
terhadap agama.
Maka atas dasar dua sistem pendidikan di atas KHA. Dahlan
kemudian dalam mendirikan lembaga pendidikan Muhammadiyah
coba menggabungkan hal-hal yang positif dari dua sistem
pendidikan tersebut. KHA. Dahlan kemudian coba menggabungkan
dua aspek yaitu, aspek yang berkenaan secara ideologis dan praktis.
Aspek ideologisnya yaitu mengacu kepada tujuan pendidikan
Muhammadiyah, yaitu untuk membentuk manusia yang berakhlak
mulia, pengetahuan yang komprehensif, baik umum maupun agama,
dan memiliki kesadaran yang tinggi untuk bekerja membangun
masyarakat (perkembangan filsafat dalam pendidikan
Muhmmadiyah, syhyan rasyidi). Sedangkan aspek praktisnya adalah
mengacu kepada metode belajar, organisasi sekolah mata pelajaran
dan kurikulum yang disesuaikan dengan teori modern.
Maka inilah sejarah awal berdirinya lembaga pendidikan
Muhammadiyah yang jika disimpulkan ihwal berdirinya lembaga
pendidikan Muhammadiyah untuk mencetak ulama atau pemikir
yang mengedepankan tajdid atau tanzih dalam setiap pemikiran dan
gerakannya bukan ulama atau pemikir yang Sayyid pada kemapanan
yang sudah ada (established) karena KHA. Dahlan dalam
memadukan dua sistem tersebut coba untuk menciptakan
ulama/pelajar yang dinamis dan kreatif serta penuh percaya diri dan
taat dalam menjalankan perintah agama.
Meskipun tema pembaharuan pendidikan Muhammadiyah memperoleh perhatian
yang cukup serius dari para pengkaji sejarah pendidikan Indonesia, namun sejauh ini
belum ada satu karya pun yang menunjukkan bagaimana sebenarnya model filsafat
pendidikan yang dikembangkan oleh Muhammadiyah. Untuk melangkah ke arah itu bisa
dilakukan dengan beberapa pendekatan:
1. Pendekatan normatif yakni bertitik tolak dari sumber-sumber otoritatif
Islam (al-Qur’an dan Sunnah Nabi), terutama tema-tema pendidikan,
kemudian dieksplorasi sedemikian rupa sehingga terbangun satu sistem
filsafat pendidikan.
2. Pendekatan filosofis yang diberangkatkan dari mazhab-mazhab
pemikiran filsafat kemudian diturunkan ke dalam wilayah pendidikan;
3. Pendekatan formal dengan merujuk pada hasil-hasil keputusan resmi
persyarikat
4. Pendekatan historis-filisofis yaitu dengan cara melacak bagaimana
konsep dan praksis pendidikan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh kunci
dalam Muhammadiyah lalu dianalisis dengan dengan pendekatan
filosofis.

Corak pendekatan keempat yang dipilih dalam tulisan ini, dengan menampilkan
Kyai Dahlan, pendiri Muhammadiyah, sebagai tokoh kuncinya. Benar bahwa dia belum
merumuskan landasan filosofis pendidikan tapi sebenarnya ia memiliki minat yang
besar terhadap kajian filsafat atau logika sehingga pada tingkat tertentu telah
memberikan jalan lempang untuk perumusan satu filsafat pendidikan. K.H Ahmad
Dahlan (1868-1923) adalah tipe man of action sehingga sudah pada tempatnya apabila
mewariskan cukup banyak amal usaha bukan tulisan. Oleh sebab itu untuk menelusuri
bagaimana orientasi filosofis pendidikan kyai musti lebih banyak merujuk pada
bagaimana ia membangun sistem pendidikan.

Namun naskah pidato terakhir Kyai yang berjudul Tali Pengikat Hidup menarik
untuk dicermati karena menunjukkan secara eksplisit konsen Kyai terhadap pencerahan
akal suci melalui filsafat dan logika. Sedikitnya ada tiga kalimat kunci yang
menggambarkan tingginya minat Kyai dalam pencerahan akal, yaitu:

1. Pengetahuan tertinggi adalah pengetahuan tentang kesatuan hidup yang


dapat dicapai dengan sikap kritis dan terbuka dengan mempergunakan
akal sehat dan istiqomah terhadap kebenaran akali dengan di dasari hati
yang suci;
2. Akal adalah kebutuhan dasar hidup manusia;
3. Ilmu mantiq atau logika adalah pendidikan tertinggi bagi akal manusia
yang hanya akan dicapai hanya jika manusia menyerah kepada petunjuk
Allah swt.

Pribadi Kyai Dahlan adalah pencari kebenaran hakiki yang menangkap apa yang
tersirat dalam tafsir Al-Manaar sehingga meskipun tidak punya latar belakang
pendidikan Barat tapi ia membuka lebar-lebar gerbang rasionalitas melalui ajaran Islam
sendiri, menyerukan ijtihad dan menolak taqlid. Dia dapat dikatakan sebagai suatu
"model" dari bangkitnya sebuah generasi yang merupakan "titik pusat" dari suatu
pergerakan yang bangkit untuk menjawab tantangan-tantangan yang dihadapi
golongan Islam yang berupa ketertinggalan dalam sistem pendidikan dan kejumudan
paham agama Islam.

Berbeda dengan tokoh-tokoh nasional pada zamannya yang lebih menaruh


perhatian pada persoalan politik dan ekonomi, Kyai Dahlan mengabdikan diri
sepenuhnya dalam bidang pendidikan. Titik bidik pada dunia pendidikan pada
gilirannya mengantarkannya memasuki jantung persoalan umat yang sebenarnya.
Seiring dengan bergulirnya politik etis atau politik asosiasi (sejak tahun 1901), ekspansi
sekolah Belanda diproyeksikan sebagai pola baru penjajahan yang dalam jangka
panjang diharapkan dapat menggeser lembaga pendidikan Islam semacam pondok
pesantren.

Pendidikan di Indonesia pada saat itu terpecah menjadi dua: pendidikan sekolah-
sekolah Belanda yang sekuler, yang tak mengenal ajaran-ajaran yang berhubungan
dengan agama; dan pendidikan di pesantren yang hanya mengajar ajaran-ajaran yang
berhubungan dengan agama saja. Dihadapkan pada dualisme sistem (filsafat)
pendidikan ini Kyai Dahlan “gelisah”, bekerja keras sekuat tenaga untuk
mengintegrasikan, atau paling tidak mendekatkan kedua sistem pendidikan itu.

Cita-cita pendidikan yang digagas Kyai Dahlan adalah lahirnya manusia-


manusia baru yang mampu tampil sebagai “ulama-intelek” atau “intelek-ulama”,
yaitu seorang muslim yang memiliki keteguhan iman dan ilmu yang luas, kuat
jasmani dan rohani. Dalam rangka mengintegrasikan kedua sistem pendidikan
tersebut, Kyai Dahlan melakukan dua tindakan sekaligus; memberi pelajaran
agama di sekolah-sekolah Belanda yang sekuler, dan mendirikan sekolah-sekolah
sendiri di mana agama dan pengetahuan umum bersama-sama diajarkan. Kedua
tindakan itu sekarang sudah menjadi fenomena umum; yang pertama sudah
diakomodir negara dan yang kedua sudah banyak dilakukan oleh yayasan
pendidikan Islam lain. Namun, ide Kyai Dahlan tentang model pendidikan
integralistik yang mampu melahirkan muslim ulama-intelek masih terus dalam
proses pencarian. Sistem pendidikan integralistik inilah sebenarnya warisan yang
musti kita eksplorasi terus sesuai dengan konteks ruang dan waktu, masalah teknik
pendidikan bisa berubah sesau dengan perkembangan ilmu pendidikan atau
psikologi perkembangan.
Dalam rangka menjamin kelangsungan sekolahan yang ia dirikan maka atas
saran murid-muridnya Kyai Dahlan akhirnya mendirikan persyarikatan
Muhammadiyah tahun 1912. Metode pembelajaran yang dikembangkan Kyai
Dahlan bercorak kontekstual melalui proses penyadaran. Contoh klasik adalah
ketika Kyai menjelaskan surat al-Ma’un kepada santri-santrinya secara berulang-
ulang sampai santri itu menyadari bahwa surat itu menganjurkan supaya kita
memperhatikan dan menolong fakir-miskin, dan harus mengamalkan isinya.
Setelah santri-santri itu mengamalkan perintah itu baru diganti surat berikutnya.
Ada semangat yang musti dikembangkan oleh pendidik Muhammadiyah, yaitu
bagaimana merumuskan sistem pendidikan ala al-Ma’un sebagaimana
dipraktekan Kyai Dahlan.
Anehnya, yang diwarisi oleh warga Muhammadiyah adalah teknik
pendidikannya, bukan cita-cita pendidikan, sehingga tidak aneh apabila ada yang
tidak mau menerima inovasi pendidikan. Inovasi pendidikan dianggap sebagai
bid’ah. Sebenarnya, yang harus kita tangkap dari Kyai Dahlan adalah semangat
untuk melakukan perombakan atau etos pembaruan, bukan bentuk atau hasil
ijtihadnya. Menangkap api tajdid, bukan arangnya. Dalam konteks pencarian
pendidikan integralistik yang mampu memproduksi ulama-intelek-profesional,
gagasan Abdul Mukti Ali menarik disimak. Menurutnya, sistem pendidikan dan
pengajaran agama Islam di Indonesia ini yang paling baik adalah sistem
pendidikan yang mengikuti sistem pondok pesantren karena di dalamnya diresapi
dengan suasana keagamaan, sedangkan sistem pengajaran mengikuti sistem
madrasah/sekolah, jelasnya madrasah/sekolah dalam pondok pesantren adalah
bentuk sistem pengajaran dan pendidikan agama Islam yang terbaik. Dalam
semangat yang sama, belakangan ini sekolah-sekolah Islam tengah berpacu
menuju peningkatan mutu pendidikan. Salah satu model pendidikan terbaru adalah
full day school, sekolah sampai sore hari, tidak terkecuali di lingkungan
Muhammadiyah.
C. Perkembangan Pendidikan Muhammadiyah
Cita-cita pendidikan yang digagas Kyai Dahlan adalah lahirnya manusia-
manusia baru yang mampu tampil sebagai “ulama-intelek” atau “intelek-ulama”, yaitu
seorang muslim yang memiliki keteguhan iman dan ilmu yang luas, kuat jasmani dan
rohani. Dalam rangka mengintegrasikan kedua sistem pendidikan tersebut, Kyai
Dahlan melakukan dua tindakan sekaligus; memberi pelajaran agama di sekolah-
sekolah Belanda yang sekuler, dan mendirikan sekolah-sekolah sendiri di mana
agama dan pengetahuan umum bersama-sama diajarkan.
Kedua tindakan itu sekarang sudah menjadi fenomena umum; yang pertama
sudah diakomodir negara dan yang kedua sudah banyak dilakukan oleh yayasan
pendidikan Islam lain. Namun, ide Kyai Dahlan tentang model pendidikan integralistik
yang mampu melahirkan muslim ulama-intelek masih terus dalam proses pencarian.
Sistem pendidikan integralistik inilah sebenarnya warisan yang musti kita eksplorasi
terus sesuai dengan konteks ruang dan waktu, masalah teknik pendidikan bisa
berubah sesuai dengan perkembangan ilmu pendidikan atau psikologi
perkembangan.
Dalam rangka menjamin kelangsungan sekolahan yang ia dirikan maka atas
saran murid-muridnya Kyai Dahlan akhirnya mendirikan persyarikatan
Muhammadiyah tahun 1912. Metode pembelajaran yang dikembangkan Kyai Dahlan
bercorak kontekstual melalui proses penyadaran. Contoh klasik adalah ketika Kyai
menjelaskan surat al-Ma’un kepada santri-santrinya secara berulang-ulang sampai
santri itu menyadari bahwa surat itu menganjurkan supaya kita memperhatikan dan
menolong fakir miskin, dan harus mengamalkan isinya. Setelah santri-santri itu
mengamalkan perintah itu baru diganti surat berikutnya. Ada semangat yang musti
dikembangkan oleh pendidik Muhammadiyah, yaitu bagaimana merumuskan sistem
pendidikan ala al-Ma’un sebagaimana dipraktekkan Kyai Dahlan.
Anehnya, yang diwarisi oleh warga Muhammadiyah adalah teknik
pendidikannya, bukan cita-cita pendidikan, sehingga tidak aneh apabila ada yang
tidak mau menerima inovasi pendidikan. Inovasi pendidikan dianggap sebagai
bid’ah. Sebenarnya, yang harus kita tangkap dari Kyai Dahlan adalah semangat
untuk melakukan perombakan atau etos pembaruan, bukan bentuk atau hasil
ijtihadnya. Menangkap api tajdid, bukan arangnya. Dalam konteks pencarian
pendidikan integralistik yang mampu memproduksi ulama-intelek-profesional,
gagasan Abdul Mukti Ali menarik disimak.
Menurutnya, sistem pendidikan dan pengajaran agama Islam di Indonesia ini
yang paling baik adalah sistem pendidikan yang mengikuti sistem pondok pesantren
karena di dalamnya diresapi dengan suasana keagamaan, sedangkan sistem
pengajaran mengikuti sistem madrasah/sekolah, jelasnya madrasah/sekolah dalam
pondok pesantren adalah bentuk sistem pengajaran dan pendidikan agama Islam
yang terbaik. Dalam semangat yang sama, belakangan ini sekolah-sekolah Islam
tengah berpacu menuju peningkatan mutu pendidikan. Salah satu model pendidikan
terbaru adalah full day school, sekolah sampai sore hari, tidak terkecuali di
lingkungan Muhammadiyah.
Satu dekade terakhir ini virus sekolah unggul benar-benar menjangkiti
seluruh warga Muhammadiyah. Lembaga pendidikan Muhammadiyah mulai Taman
Kanak-kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) berpacu dan berlomba-lomba untuk
meningkatkan kualitas pendidikan untuk menuju pada kualifikasi sekolah unggul.
Sekarang ini hampir di semua daerah kabupaten atau kota terdapat sekolah unggul
Muhammadiyah, terutama untuk tingkat TK dan Sekolah Dasar. Sekolah yang
dianggap unggul oleh masyarakat sehingga mereka menyekolahkan anak-anak di
situ pada umumnya ada dua tipe; sekolah model konvensional tetapi memiliki mutu
akademik yang tinggi, atau sekolah model baru dengan menawarkan metode
pembelajaran mutakhir yang lebih interaktif sehingga memiliki daya panggil luas.
Apabila Muhammadiyah benar-benar mau membangun sekolah/universitas
unggul maka harus ada keberanian untuk merumuskan bagaimana landasan filosofis
pendidikannya sehingga dapat meletakkan secara tegas bagaimana posisi lembaga-
lembaga pendidikan Muhammadiyah dihadapan pendidikan nasional, dan
kedudukannya yang strategis sebagai pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, serta fungsinya sebagai wahana dakwah Islamiyah. Ketiadaan orientasi
filosofis ini jelas sangat membingungkan; apa harus mengikuti arus pendidikan
nasional yang sejauh ini kebijakannya belum menuju pada garis yang jelas karena
setiap ganti menteri musti ganti kebijakan.
Kalau memang memilih pada pengembangan iptek maka harus ada
keberanian memilih arah yang berbeda dengan kebijakan pemerintah. Model pondok
gontor bisa dijadikan alternatif, dengan bahasa dan kebebasan berpikir terbukti
mampu mengantarkan peserta didik menjadi manusia-manusia yang unggul. .
Filsafat pendidikan memanifestasikan pandangan ke depan tentang generasi yang
akan dimunculkan. Filsafat yang dianut dan diyakini oleh Muhammadiyah adalah
berdasarkan agama Islam, maka sebagai konsekuensinya logik, Muhammadiyah
berusaha dan selanjutnya melandaskan filsafat pendidikan Muhammadiyah atas
prinsip-prinsip filsafat yang diyakini dan dianutnya
Jika menengok sekolah atau universitas Muhammadiyah saat ini, dari sisi
kurikulumnya itu sama persis dengan sekolah atau universitas negeri ditambah
materi al-Islam dan kemuhammadiyahan. Kalau melihat materi yang begitu banyak,
maka penambahan itu malah semakin membebani anak, karenanya amat jarang
lembaga pendidikan melahirkan bibit-bibit unggul. Apakah tidak sudah waktunya
untuk merumuskan kembali Al-Islam dan kemuhammadiyahan yang terintegrasikan
dengan materi-materi umum, atau paling tidak disesuaikan dengan kebutuhan
peserta didik; misalnya, evaluasi materi ibadah dan Al-Qur’an, serta bahasa dengan
praktek langsung tidak dengan sistem ujian tulis seperti sekarang ini.
Perhatian dan komitmen Muhammadiyah dalam bidang pendidikan tidak
pernah surut, hal ini nampak dari keputusan-keputusan persyarikatan yang dengan
konsisten dalam setiap muktamar (sebagai forum tertinggi persyarikatan
Muhammadiyah) senantiasa ada agenda pembahasan dan penetapan program lima
tahunan bidang pendidikan, sejak pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi.
Dalam lima belas tahun terakhir (tiga kali muktamar) dapat dilihat bahwa
Muhammadiyah senantiasa memiliki agenda yang jelas berkenaan dengan program
pendidikan, keputusan-keputusan dalam muktamar sebagaimana dapat kita lihat
sebagai berikut:
Rincian program bidang pendidikan keputusan Muktamar 43 Banda Aceh:
1. Peningkatan kualitas Pendidikan Dasar dan Menengah Muhammadiyah dilakukan
dengan empat tema pokok, yaitu pengembangan kualitas, pengembangan
keunggulan, pengembangan kekhasan program, dan pengembangan kelembagaan
yang mandiri. Empat tema pokok ini diimplementasikan dalam proses belajar
mengajar agar secara terpadu merupakan aktivitas alih pengetahuan, alih metode
dan alih nilai.
2. Menata kembali kurikulum Pendidikan dasar dan Menengah Muhammadiyah
pada semua jenjang dan jenis sekolah Muhammadiyah yang meliputi pendidikan al-
Islam Kemuhammadiyahan dan sebagai kekhasan sekolah Muhammadiyah,
spesifikasi setiap wilayah sesuai kebutuhan dan kondisi setempat, pendidikan
budaya dan seni yang bernafas Islam.
3. Menyusun peta Nasional Pendidikan Muhammadiyah yang memuat spesifikasi
tiap wilayah/daerah, agar didapatkan relevansi pendidikan dengan kebutuhan
masyarakat setempat.
4. Merespon secara positif pengembangan “sekolah unggulan” dengan tetap
mengembangkan kekhasan pendidikan Muhammadiyah, terutama dalam
pengembangan kurikulum dan proses belajar mengajar, sehingga misi pendidikan
Muhammadiyah tetap terlaksana.
5. Dalam pengembangan Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM),
penyelenggaraan pendidikan diorientasikan kepada peningkatan kompetensi lulusan
yang elastis dan antisipatif terhadap tuntutan dan kebutuhan masa depan, yang
meliputi kompetensi akademik, kompetensi profesional, kompetensi menghadapi
perubahan, kompetensi kecendekiaan dan kompetensi iman dan takwa.
6. Mengarahkan program PTM untuk penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang relevan dengan kebutuhan masyarakat dan kebutuhan masa depan.
7. Kaidah pendidikan dasar dan menengah serta kaidah PTM perlu disempurnakan,
sesuai dengan perkembangan tuntutan masyarakat.
8. Koordinasi dan pengawasan pelaksanaan kaidah pendidikan dasar dan
menengah serta perguruan tinggi perlu ditingkatkan.
9. Meningkatkan dan memantapkan kerja sama antara Majelis Dikdasmen dan
Majelis Dikti.
10.Mengupayakan beasiswa Muhammadiyah bagi para siswa dan atau mahasiswa
yang berprestasi.
11.Melalui amal usaha pendidikan meningkatkan kualitas kader-kader ulama yang
tersebar di seluruh pelosok Indonesia.
12.Mengembangkan berbagai lembaga pendidikan khusus seperti pesantren dan
madrasah diniyah, taman pendidikan Al-Qur’an, serta taman kanak-kanak Al-Qur’an.
Penanganan pondok pesantren dan madrasah menjadi tanggung jawab dan
wewenang dari Majelis Dikdasmen.
Rencana Strategis Pendidikan Muhammadiyah Membangun kekuatan
Muhammadiyah dalam bidang pendidikan dan pengembangan sumber daya insani,
ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), dan eksplorasi aspek-aspek kehidupan yang
bercirikan Islam, sehingga mampu menjadi alternatif kemajuan dan keunggulan di
tingkat nasional atau regional.
Keputusan setiap Muktamar berkenaan dengan program pendidikan bukan
hanya sekedar daftar keinginan, akan tetapi program-program tersebut merupakan
bentuk komitmen persyarikatan Muhammadiyah dalam dunia pendidikan dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, keputusan-keputusan muktamar
berkenaan dengan bidang pendidikan tersebut menggambarkan betapa
Muhammadiyah menjadikan lembaga pendidikan sebagai pilar yang strategis dalam
mendukung tujuan Muhammadiyah. Program-program tersebut juga mencerminkan
dinamika pendidikan yang dikelola oleh persyarikatan Muhammadiyah.

D. Garis Besar Program Pendidikan Muhammadiyah


(1). Membangun system informasi kekuatan Sumber Daya Insani (SDI)
Muhammadiyah dalam bidang Iptek.
(2). Menyusun road map pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
Muhammadiyah.
(3). Memobilisasi kekuatan Muhammadiyah dalam bidang Iptek melalui pusat-
pusat keunggulan yang berbasis lembaga pendidikan Muhammadiyah.
(4). Membangun cetak biru (blue print) pendidikan Muhammadiyah untuk
menjawab ketertinggalan pendidikan Muhammadiyah selama ini, dan sebagai
langkah antisipasi bagi masa depan pendidikan yang lebih kompleks.

(5). Menegaskan posisi dan implementasi nilai Islam, Kemuhammadiyahan dan


kaderisasi dalam seluruh system pendidikan Muhammadiyah.
(6). Mempercepat proses pengembangan institusi perndidikan Muhammdiyah
sebagai pusat keunggulan dengan menyusun standar mutu.
(7). Menjadikan mutu sebagai tujuan utama bagi seluruh usaha pengembangan
amal usaha pendidikan Muhammadiyah.
(8). Mengintegrasikan pengembangan amal usaha pendidikan Muhammadiyah
dengan program pengembangan masyarakat.
(9). Menyusun system pendidikan Muhammadiyah yang berbasis al-Qur’an dan
sunnah.
(10). Mengembangkan program-program penelitian dan pengembangan di bidang
pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi dan berbagai aspek kehidupan yang
penting dan strategis sebagai basis bagi pengambilan kebijakan dan pengembangan
kemajuan persyarikatan.

(11). Mengembangkan jaringan dan kerjasama lembaga-lembaga serta pusat-pusat


penelitian dan pengembangan di lingkungan persyarikatan.

E. Perbedaan Pendidikan Muhammadiyah Dengan Pendidikan Pada Umumnya


Pendidikan Islam berbeda dengan pendidikan yang lain. Pendidikan Islam
lebih mengedepankan nilai-nilai keislaman dan tertuju pada terbentuknya manusia
yang berakhlakul karimah serta taat dan tunduk kepada Allah semata. Sedangkan
pendidikan selain Islam, tidak terlalu memprioritaskan pada unsur-unsur dan nilai-
nilai keislaman, yang menjadi prioritas hanyalah pemenuhan kebutuhan indrawi
semata.
Indonesia adalah sebuah negara besar yang memiliki penduduk ratusan juta
jiwa. Indonesia juga adalah negara yang mayoritas penduduknya memeluk agama
Islam. Menurut sebuah perhitungan manusia Muslim Indonesia adalah jumlah
pemeluk agama Islam terbesar di dunia. Jika dibanding dengan negara-negara
Muslim lainnya, maka penduduk Muslim Indonesia dari segi jumlah tidak ada yang
menandingi. Jumlah yang besar tersebut sebenarnya merupakan sumber daya
manusia dan kekuatan yang sangat besar, bila mampu dioptimalkan peran dan
kualitasnya. Jumlah yang sangat besar tersebut juga mampu menjadi kekuatan
sumber ekonomi yang luar biasa. Jumlah yang besar di atas juga akan menjadi
kekuatan politik yang cukup signifikan dalam percaturan nasional.
Namun realitas membuktikan lain. Jumlah manusia Muslim yang besar
tersebut ternyata tidak memiliki kekuatan sebagaimana seharusnya yang dimiliki.
Jumlah yang sangat besar di atas belum didukung oleh kualitas dan kekompakan
serta loyalitas manusia Muslim terhadap sesama, agama, dan para fakir miskin yang
sebagian besar (untuk tidak mengatakan semuanya) adalah kaum Muslimin juga.
Kualitas manusia Muslim belum teroptimalkan secara individual apalagi secara
massal. Kualitas manusia Muslim Indonesia masih berada di tingkat menengah ke
bawah. Memang ada satu atau dua orang yang menonjol, hanya saja kemenonjolan
tersebut tidak mampu menjadi lokomotif bagi rangkaian gerbong manusia Muslim
lainnya. Apalagi bila berbicara tentang kekompakan dan loyalitas terhadap agama,
sesama, dan kaum fakir miskin papa. Sebagian besar dari manusia Muslim yang ada
masih berkutat untuk memperkaya diri, kelompok, dan pengurus partainya sendiri.
Masih sangat sedikit manusia Muslim Indonesia yang berani secara praktis bukan
hanya orasi belaka memberikan bantuan dan pemberdayaan secara tulus ikhlas
kepada sesama umat Islam, khususnya para kaum fakir miskin papa.
Paradoksal fenomena di atas, yakni jumlah manusia Muslim Indonesia yang
sangat besar akan tetapi tidak memiliki kekuatan ideologi, kekuatan politik, kekuatan
ekonomi, kekuatan budaya, dan kekuatan gerakan adalah secara tidak langsung
merupakan dari hasil pola pendidikan Islam selama ini. Pola dan model pendidikan
Islam yang dikembangkan selama ini masih berkutat pada pemberian materi yang
tidak aplikatif dan praktis. Bahkan sebagian besar model dan proses pendidikannya
terkesan “asal-asalan” atau tidak profesional. Selain itu, pendidikan Islam di
Indonesia negara tercinta mulai tereduksi oleh nilai-nilai negatif gerakan dan proyek
modernisasi yang kadang-kadang atau secara nyata bertentangan dengan ajaran
Islam itu sendiri.
Tulisan ini mencoba untuk memberikan gambaran secara global tentang
pendidikan Islam Indonesia saat ini sebagai landasan awal untuk meneropong
moralitas bangsa di masa depan. Moralitas masa depan bangsa menjadi sangat
penting untuk diteropong, karena didasarkan pada asumsi awal sebagian pakar yang
berpendapat bahwa salah satu faktor penyebab atau “biang keladi” terjadi dan
berlangsungnya krisis multidimensional negara Indonesia adalah masalah moralitas
bangsa yang sangat “amburadul” dan tidak “karu-karuan”.
Kalau kita kembali kepada sejarah pendidikan Islam di Indonesia, maka kita
akan temukan bahwa pada awal munculnya pendidikan Islam tidak terlepas dari
peran para pembawa Islam ke Indonesia sendiri. Jadi sebelum pendidikan Islam ada,
terlebih dahulu Indonesia dimasuki oleh para penyebar Islam, walaupun menurut
kajian sejarah bahwa para ahli berbeda pendapat tentang waktu dan pembawanya
masuknya Islam ke Indonesia. Ada yang mengatakan pada abad ke-7 seperti yang
dikatakan HAMKA dalam Seminar Sejarah Masuknya Agama Islam di Indonesia
(1963). Ada lagi yang mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-
13. Teori ini dicetuskan oleh seorang orintalis Snouck Hurgronje, yang belajar agama
puluhan tahun di Mekah dengan tujuan untuk menghancurkan Islam dari dalam.
Terlepas dari perbedaan tersebut, pendidikan Islam di Indonesia telah ada
semenjak Islam masuk ke Indonesia. Yaitu, melalui dakwah mereka dalam
menyebarkan Islam, walaupun bentuknya tidak formal seperti sekolah-sekolah yang
ada sekarang. Seperti, sambil berdagang mereka mendakwahkan Islam. Seiring
perjalanan sejarah, pendidikan Islam semakin tahun semakin mengalami
perkembangan. Apalagi setelah muncul dua organisasi besar Muhammadiyah dan
Nahdhatul Ulama’ (NU). Kedua organisasi ini bergerak dalam bidang dakwah melalui
pendidikan, ada yang dengan sistem klasik dan ada yang modern.
Misalnya, Muhammadiyah pada awal berdirinya 18 November 1912 M
mendirikan madrasah pertamanya yaitu Al-Qism Al-Arqo’. Madrasah ini didirikan oleh
KH. Ahmad Dahlan Pendiri Muhammadiyah sendiri, dan sekarang berubah nama
menjadi PP. Muallimin Muallimat Jogjakarta. Pendidikan semacam ini didirikan oleh
Muhammadiyah untuk mengimbangi pendidikan kolonial Belanda yang cenderung
jauh dari nilai-nilai keislaman, bahkan cenderung meracuni bangsa.
Sedangkan NU yang didirikan tanggal 31 Januari 1926 M, walaupun menurut
sejarah pernah masuk dan menjadi partai politik dan menjadi kontenstan dalam
pemilu 1955 dan 1971, organisasi ini tetap menaruh perhatian besar terhadap
pendidikan Islam. Memang NU tidak bergerak melalui madrasah-madrasah atau
sekolah umum seperti Muhammadiyah, akan tetapi mayoritas pendidikan Islam di
NU banyak berkembang di dalam pesantren yang di gunakan sebagai tempat
pengkaderan.
Walaupun jalan yang ditempuh oleh kedua organisasi ini dalam
mengembangkan pendidikan Islam berbeda, akan tetapi tetap tujuan utamanya
sama, yaitu sama-sama ingin menjadikan Islam tetap berkembang di Indonesia
melalui cara-cara yang menurut masing-masing biasa dilakukan. Sekarang kita
melihat kondisi pendidikan Islam di era modern ini, apakah metode atau jalan yang
ditempuh oleh Muhammadiyah dan NU, yang dulunya berbeda tersebut sekarang
bisa mengarah pada persatuan. Dan menimbulkan kesadaran pada masing-
masing?.
Kita lihat sekarang Muhammadiyah yang pada mulanya tidak terlalu
berkecimpung dalam dunia pesantren dalam mengembangkan pendidikan Islam,
akan tetapi sekarang sudah mulai memperhatikannya bahkan sudah banyak
pesantren-pesantren yang didirikan Muhammadiyah. Kesadaran ini muncul setelah
nampak di tengah-tengah Muhammadiyah apa yang dinamakan dengan “krisis
ulama’. Relevan dengan ini ialah pendapat Karim yang dikutip oleh Khozin M.Si
(2006) dalam bukunya Sejarah Pendidikan Islam “efektivitas pendidikan dan
pengajaran agama melalui pesantren juga telah disadari oleh Muhammadiyah yang
sepanjang sejarahnya menaruh perhatian pada sistem pendidikan modern”.
Adapun NU yang pada mulanya banyak mencurahkan perhatiannya terhadap
dunia pesantren dalam mengembangkan pendidikan Islam, sekarang sudah mulai
sadar akan pentingnya dunia sekolah yang cenderung modern dan mengikuti
perkembangan zaman. Apalagi di era yang teknologinya serba canggih, Realitas
saat ini Keterpurukan dan keterbelakangan pendidikan nasional saat ini tentu
mempunyai dampak yang signifikan terhadap pendidikan Islam. Walaupun pada
dasarnya secara historis saat ini pendidikan Islam mengalami perubahan-perubahan
dan perkembangan yang signifikan juga dibanding dengan kondisi pendidikan Islam
sebelumnya yang berlaku di Indonesia.
Apalagi setelah munculnya SKB 3 Mentri, yaitu Menteri Pendidikan, Menteri
Agama dan Menteri Kebudayaan. Dengan ketentuan bahwa ijazah madrasah
mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum yang setingkat, Lulusan
madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat lebih atas, dan madrasah
dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat begitupun sebaliknya.
Walaupun demikian, tidak dapat dinafikan bahwa masih banyak lembaga-lembaga
Islam yang jauh tertinggal. Menurut Abd. Assegaf Pendidikan Islam di Indonesia saat
ini bisa dibilang mengalami intellectual deadlock (kebuntuan intelektual).
Indikasinya adalah minimnya upaya pembaharuan dalam pendidikan Islam,
Praktek pendidikan Islam selama ini masih memelihara budaya lama yang tidak
banyak melakukan pemikiran kreatif, inovatif dan kritis terhadap isu-isu aktual, model
pembelajaran yang masih menekankan pada pendekatan intelektualisme verbalistik
dan mengenyampingkan urgensi interactive education and communication antara
guru dan murid, orientasi pendidikan Islam lebih menitikberatkan pada pembentukan
insan sebagai abdun (hamba) bukan pada fitrahnya sebagai khalifah di bumi.
Melihat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat,
Maka pendidikan Islam dituntut untuk bergerak dan mengadakan inovasi-inovasi
dalam pendidikan. Mulai dari paradigma, sistem pendidikan dan metode yang
digunakan. Ini dimaksudkan agar perkembangan pendidikan Islam tidak tersendat-
sendat. Sebab kalau pendidikan Islam masih berpegang kepada tradisi lama yang
tidak dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan IPTEK, maka pendidikan Islam
akan buntu.
Menurut Rahmat Ismail (dalam Khozin, 2006) bahwa ada beberapa hal yang
perlu dibangun dan diperbaiki kembali dalam pendidikan Islam supaya dapat
berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, yaitu:
Pertama : Rekontruksi paradigma, dengan mengganti paradigma yang lama
dengan paradigma baru, bahwa konsep pendidikan yang benar harus selalu sesuai
dengan kebutuhan masyarakat dan perkembangan zaman. Rekontruksi ini
diharapkan dapat menyelesaikan masalah-masalah yang sedang dihadapi
pendidikan Islam, yakni keluar dari belenggu dikotomi ilmu pengetahuan, keluar dari
sistem pendidikan yang doktrinir dan otoriter, terlepas dari penyimpangan
profesionalitas pendidik.
Kedua : Memperkuat landasan moral. Kita melihat pengaruh dari
globalisasi yang telah menimpa Indonesia, moral barat dengan mudahnya masuk ke
dalam negari ini dan dapat mempengaruhi masyarakat Indonesia, Maka sangat
urgen sekali kalau moral para praktisi pendidikan Islam dibangun dan dibentuk
dengan kokoh, supaya tidak terpengaruh dengan budaya barat tersebut.
Ketiga : Menguasai lebih dari dua bahasa.
Keempat : Menguasai komputer dan berbagai program dasarnya.
Kelima : Pengembangan kompetensi kepemimpinan.Adapun menurut
hemat penulis agar pendidikan Islam terus berkembang dan selalu sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, Maka perlu adanya integrasi antara
pendidikan Islam Tradisional (pesantren) yang sepanjang sejarahnya dikembangkan
oleh NU dan pendidikan Islam modern yang dikembangkan oleh Muhammadiyah.
Pendidikan Pesantren diharapkan untuk tetap dapat menjaga originilitas ulama’.
Sedangkan pendidikan Islam modern diharapkan dapat menyesuaikan dengan
perkembangan IPTEK. Dalam kaedah usul dikatakan “al-muhafadhoh ‘alal qodimis
soleh wal akhdu biljadidil ashlah (menjaga tradisi lama yang baik, dan mengambil
tradisi baru yang lebih baik)”
Selain itu juga perlu adanya rekontruksi metode atau model pembelajaran
yang digunakan di dalam pendidikan Islam. Dalam hal ini pendidikan Islam dapat
menggunakan metode pembelajaran CTL (Contextual Teaching and Learning). Ini
diharapkan dapat mengikuti tuntutan anak modern yang selalu kritis dan lebih
berpikiran maju dari anak zaman dahulu yang cenderung manut dan tunduk terhadap
apa yang disampaikan guru.
Pendidikan Islam ke depan harus lebih memprioritaskan kepada ilmu terapan
yang sifatnya aplikatif, bukan saja dalam ilmu-ilmu agama akan tetapi juga dalam
bidang teknologi. Sebab selama ini Pendidikan Islam terlalu terkonsentrasikan pada
pendalaman dikotomi halal haram dan sah batal, namun terlalu mengabaikan
kemajuan IPTEK yang menjadi sarana untuk mencapai kemajuan di era modern ini.
Bila dianalisis lebih jeli selama ini, khususnya sistem pendidikan Islam
seakan-akan terkotak-kotak antara urusan duniawi dengan urusan ukhrowi. Ada
pemisahan antara keduanya. Sehingga dari paradigma yang salah itu, menyebabkan
umat Islam belum mau ikut andil atau berpartisipasi banyak dalam agenda-agenda
yang tidak ada hubungannya dengan agama atau sains sebaliknya. Sebagai
permisalan tentang sains, sering kali umat Islam Phobia dan merasa sains bukan
urusan agama. Dalam hal ini ada pemisahan antara urusan agama yang berorientasi
akhirat dengan sains yang dianggap hanya berorientasi dunia saja.
Sejarah telah mencatat, pada awal abad VIII umat Islam telah menorehkan
tinta emas kemajuan iptek jauh sebelum terjadinya revolusi Industri yang diagung-
agungkan bangsa Eropa. Kala itu, Ilmuwan-ilmuwan Islam dapat meletakkan dasar
kemajuan iptek yang tentu saja atas dasar agama. Di antara ilmuwan seperti, Abu
Bakar Muhammad bin Zakariya ar-Razi (Razes [864-930 M]) yang dikenal sebagai
‘dokter Muslim terbesar’, atau pakar kedokteran Abu Ali Al-Hussain Ibn Abdallah Ibn
Sina (Avicenna [981-1037 M]) yang hasil pemikirannya The Canon of Medicine (Al-
Qanun fi At Tibb) menjadi rujukan utama ilmu kedokteran di eropa. Al Kawarijmi Jabir
Ibnu Hayyan yang meninggal tahun 803 M disebut-sebut sebagai Bapak Kimia.
Algoritma yang kita kenal dalam pelajaran matematika itu berasal dari nama seorang
ahli matematik Muslim bernama Muhammad bin Musa Al-Khwarizmi (770-840M)
Ilmuwan muslim telah diakui menjadi “jembatan” yang menghubungkan Pra-
revolusi dengan kemajuan Eropa melalui revolusi industri yang sempat diklaim
mengubah dunia. Lantas apa yang menyebabkan Islam dapat bersinar kala itu?.
Alasannya adalah peran Islam dalam mengembangkan iptek sangatlah luar biasa.
Selain ilmuwan-ilmuwan yang bekerja keras, ditambah pemerintahan yang
mendukung dengan rela menyewa penerjemah-penerjemah untuk menerjemahkan
warisan-warisan ilmuan kuno Yunani. Sehingga nampak bahwa Islam tidak hanya
berorientasi pada agama, tetapi juga turut mengembangkan iptek yang sebelumnya
dianggap berorientasi pada dunia.
Saat ini bangsa Eropa dan Amerika sedang berada pada posisi atas, mereka
memegang peran yang signifikan dalam penguasaan seluruh tataran kehidupan di
dunia. Hal ini sesuai dengan Sunatullah yang menyebutkan bahwa, akan ada
pergiliran kekuasaan di antara manusia dan ini adalah sebuah kepastian. “Dan masa
(kejayaan dan kehancuran) itu, kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka
mendapat pelajaran) …” Namun pergiliran ini terjadi, selain atas izin Allah, juga
bergulir sesuai dengan sunatullah yang lain yaitu usaha keras bangsa Eropa dan
Amerika dalam penguasaan berbagai macam disiplin ilmu. Salah satunya adalah
sains.
Oleh karena itu, umat Islam harus mengusahakan agar roda itu terus
berputar hingga suatu saat nanti giliran umat Islam berada pada posisi di atas
dengan cara memadukan Islam dan sains melalui sistem pendidikan. Sehingga Umat
Islam dapat menggenggam dunia dengan sistem yang lebih baik dari sekarang. Dan
perlu diingat, bahwa Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, bila kaum itu
yang mengubah keadaannya sendiri.
Dan yang sampai sekarang bergolak dalam dada penulis, kapan Rifaiyah
akan melakukan rekonstruksi untuk menuju dan ikut serta menorehkan tinta emas
dalam percaturan sejarah nasional ?. Sekali lagi, sambil bergumam dalam hati
sembari memejamkan mata membangun imajinasi yang rupawan tentang Rifaiyah,
penulis mengajak semua intelektual Rifaiyah untuk bersatu dan bersama
membangun warisan sang guru ini.

KESIMPULAN
Setelah membahas maka dapat disimpulkan tujuan utama Muhammadiyah
adalah:
a. Mengembalikan amal dan perjuangan umat pada sumber Al Qur’an dan
Hadist, bersih dari Bid’ah dan khurafat.
b. Menafsirkan ajaran-ajaran Islam secara modern.
c. Memperbaharui sistem pendidikan Islam secara modern sesuai dengan
kehendak dan kemajuan jaman.
d. Membebaskan umat dari ikatan-ikatan tradisionalisme, konservatisme,
taqlidisme dan formalisme yang membelenggu kehidupan umat.

DAFTAR PUSTAKA
Arifin, MT. 1985.Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah. Surakarta: Pustaka
Jaya.

Daulay, Haidar Putra. 2009. Dinamika Pendidikan Islam di Asia Tenggara.


Jakarta: Rineka Cipta.

Http://perkembanganislamdieramodern.blogspot.com/2010/12/perbedaan-
pendidikan-islam-dengan.html: akses April 2013
Http://solomoncell.wordpress.com/2012/06/04/pendidikan-muhammadiyah/:
akses April 2013
Muhammad Amien Rais dkk, 1985. Pendidikan Muhammadiyah dan
Perubahan Sosial (sarasehan pimpinan pusat ikatan pelajar
Muhammadiyah). Yogyakarta : PLP2M.
Mahmud Yunus, 1996.Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta:
Hidakarya Agung.
Mulkhan, Abdul Munir. 1990. Pemikiran KH. Ahmad Dahlan dan
Muhammadiyah. Jakarta: Bumi Aksara.

Yunus Salam, 1968. Riwayat Hidup KHA Dahlan Amal dan perjuangannya.
Jakarta: Depot Pengajaran Muhammadiyah.
Sidik Jatmika dan Zahrul Anam, 2010. Kauman (Muhammadiyah
Undercover). Yogyakarta: Gelanggang.
Sutrisno Kutojo dan Mardanas Safwan. 1991. K.H. Ahmad Dahlan : riwayat
hidup dan perjuangannya. Bandung: Angkasa.
Yusuf, M. Yunan (ed.). 2000. Filsafat Pendidikan Muhammadiyah (naskah
awal). Jakarta: Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah.

Anda mungkin juga menyukai