Anda di halaman 1dari 4

Ilmu semiotika, atau studi tentang tanda dan makna, memiliki sejarah yang cukup panjang.

Meskipun
penggunaan tanda dalam komunikasi telah ada sejak zaman prasejarah, disiplin semiotika modern
dimulai pada abad ke-19.

Pada tahun 1800-an, filsuf dan matematikawan Jerman, Gottlob Frege, mengembangkan gagasan
tentang "simbol" dalam logika matematika, yang kemudian mempengaruhi teori simbolisme dalam
semiotika.

Pada awal abad ke-20, Ferdinand de Saussure, seorang ahli bahasa Swiss, menjadi salah satu tokoh
sentral dalam pengembang an semiotika modern. Dia mengembangkan teori tentang tanda dan
makna, dan membedakan antara "simbol" dan "tanda", dan memperkenalkan konsep "nilai tukar"
dalam bahasa. Karyanya mempengaruhi banyak teori dan metode dalam semiotika.

Selama tahun 1920-an dan 1930-an, semiotika berkembang melalui kontribusi dari sejumlah filsuf
dan ilmuwan sosial, termasuk Charles Peirce, Umberto Eco, dan Roman Jakobson. Peirce
memperkenalkan konsep tiga jenis tanda, yaitu ikon, indeks, dan simbol. Eco, seorang penulis dan
semiotikawan Italia, mempopulerkan semiotika dan membuatnya lebih akrab bagi publik luas melalui
karya-karyanya. Jakobson, seorang ahli bahasa Rusia-Amerika, membawa konsep semiotika ke dalam
studi sastra.

Pada tahun 1960-an, Roland Barthes, seorang ahli bahasa dan teori sastra Prancis, mengembangkan
konsep "death of the author" (kematian sang penulis) dan memperkenalkan gagasan tentang "mitos"
dalam bahasa. Jean Baudrillard, seorang sosiolog dan filsuf Prancis, juga memperkenalkan gagasan
tentang "simulasi" dalam semiotika.

Dalam beberapa dekade terakhir, semiotika terus berkembang dan diterapkan dalam berbagai
bidang, termasuk komunikasi, sastra, seni, desain, dan media. Kini, semiotika telah menjadi disiplin
yang penting dalam memahami bagaimana tanda-tanda digunakan dalam berbagai konteks budaya

dan sosial.

penjabaran semiotika menurut ferdinand de saussure

Ferdinand de Saussure adalah seorang ahli bahasa Swiss yang dianggap sebagai tokoh sentral dalam
pengembangan semiotika modern. Saussure mengembangkan teori tentang tanda dan makna, yang
dijelaskan dalam bukunya yang terkenal, "Course in General Linguistics".

Menurut Saussure, bahasa terdiri dari dua komponen utama: signifier (pembawa makna) dan
signified (makna). Signifier adalah bentuk fisik dari tanda, seperti suara atau tulisan, sedangkan
signified adalah konsep atau ide yang direpresentasikan oleh tanda. Saussure membedakan antara
"simbol" dan "tanda", dengan simbol memiliki hubungan konvensional yang ditetapkan oleh
masyarakat, sementara tanda memiliki hubungan semantik yang terjadi secara alami.

Kesimpulannya, menurut Saussure, semiotika adalah studi tentang tanda dan makna dalam bahasa.
Bahasa dipandang sebagai sistem simbolik yang kompleks dan abstrak, yang terdiri dari signifier dan
signified yang saling terkait.
Menurut Stuart Chandler, seorang ahli semiotika, terdapat tiga jenis semiotika yaitu sebagai berikut:

Semiotika Ikonik (Iconic Semiotics): Semiotika ikonik berkaitan dengan hubungan antara tanda atau
representasi dengan objek atau referen yang direpresentasikan. Tanda dalam semiotika ikonik dapat
berupa gambar, foto, atau ilustrasi yang merepresentasikan objek atau referen dengan cara yang
mirip atau serupa.

Semiotika Indeksikal (Indexical Semiotics): Semiotika indeksikal berkaitan dengan hubungan antara
tanda atau representasi dengan objek atau referen yang direpresentasikan melalui hubungan fisik
atau kausalitas. Tanda dalam semiotika indeksikal dapat berupa bekas atau jejak yang menunjukkan
keberadaan atau tindakan yang terkait dengan objek atau referen.

Semiotika Simbolik (Symbolic Semiotics): Semiotika simbolik berkaitan dengan hubungan antara
tanda atau representasi dengan objek atau referen yang direpresentasikan melalui konvensi atau
kesepakatan sosial. Tanda dalam semiotika simbolik dapat berupa kata atau simbol yang
merepresentasikan objek atau referen melalui arti atau makna yang disepakati oleh masyarakat atau
budaya tertentu.

Chandler menyatakan bahwa ketiga jenis semiotika tersebut memiliki peran penting dalam berbagai
bidang seperti sastra, seni, media, dan bahkan ilmu sosial dan teknologi.
pendekatan semiotika dalam penafsiran seni

Pendekatan semiotika dalam penafsiran seni mengacu pada studi tentang tanda dan makna dalam
seni visual, seperti lukisan, patung, dan fotografi. Dalam konteks ini, seni dipandang sebagai sistem
tanda yang mengandung pesan atau makna yang dapat diinterpretasikan oleh penonton.

Salah satu pendekatan semiotika dalam penafsiran seni adalah analisis ikonografi. Analisis ikonografi
melibatkan pengidentifikasian dan interpretasi simbol dan tema dalam karya seni, dengan
memperhatikan latar belakang budaya dan sejarah yang mendasari karya tersebut. Pendekatan ini
melihat seni sebagai bahasa visual yang dapat dibaca dan dipahami melalui tanda-tanda dan simbol-
simbol yang digunakan oleh seniman.

Pendekatan semiotika lainnya dalam penafsiran seni adalah analisis struktural. Analisis struktural
melihat seni sebagai struktur tanda yang kompleks, di mana setiap elemen memiliki hubungan yang
terorganisir. Pendekatan ini berfokus pada struktur formal dan organisasi visual karya seni, dan
mencoba mengungkapkan makna yang terkandung dalam pola dan hubungan antara elemen visual.
(garis (line), bentuk (shape), wujud (form), tekstur (texture), pola (pattern) dan warna (color).)

Dalam kedua pendekatan semiotika ini, penafsir seni mencoba memahami pesan atau makna yang
terkandung dalam karya seni, dengan mempertimbangkan konteks budaya dan sejarah yang
mempengaruhinya. Tujuan utama dari pendekatan semiotika dalam penafsiran seni adalah untuk
membantu penonton memahami karya seni dengan lebih baik, serta memperluas pemahaman
mereka tentang seni dan budaya secara umum.

Karya Jurnalis Malcolm Wilde Browne itu, Ia berhasil mengabadikan cahaya dari objek gambar Tich
Kwong Duuk seorang pendeta yang membakar dirinya sebagai bentuk protes terhadap
kepemimpinan atau Rezim Diem yang terkenal diktator.

Sebagai terekam dalam kamera Malcolm Browne, biksu itu terlihat membakar dirinya sampai mati di
persimpangan jalan di Saigon, Ho Chi Minh City, Vietnam pada tanggal 11 Juni 1963. Karya foto
tersebut diberi nama The Burning Monk: 1963. Karya jurnalistik tersebut berhasil meraih banyak
penghargaan.

Tich Kwong Duuk, pria kelahiran Lam Van Tuc, Vietnam, pada tahun 1897 itu adalah seorang biksu
Buddha Mahayana. Aksi bakar diri rohaniawan Budha yang berhasil diabadikan oleh Browne,
dilakukan untuk menentang penganiayaan terhadap kaum Budha, oleh pemerintahan Katolik Roma
di Vietnam Selatan.

Gejolak politik tahun 1963 itu lebih dikenal dengan sebutan krisis Budha di Vietnam, yang terjadi
selama periode panjang masa kepemimpinan Presiden pertama Republik Vietnam, Ngo Dihn Diem
Jean Baptiste, yaitu sej ak tahun 1955 sampai tahun 1963.

Masalah dengan umat Buddha mencapai puncaknya pada 1963 ketika, pasukan pemerintah
membunuh beberapa orang pada rapat umum Mei saat perayaan ulang tahun Buddha. Umat Buddha
mulai mengadakan demonstrasi besar-besaran, dan tiga biksu dan seorang biksuni membakar diri
mereka. Salah satunya ialah biksu Thich Quang Duc.

Thich Quang Duc duduk dalam posisi lotus, menyilangkan kakinya. Beberapa biksu lain menuangkan
bensin ke atasnya. Kemudian, Thich Quang Duc mulai membakar dirinya sendiri. Ia terbakar sampai
meninggal dalam posisi duduk yang sama. Itu adalah aksi protes atas diskriminasi terhadap umat
Buddha oleh pemerintah Vietnam Selatan.

Mengutip History, aksinya sangat tak terduga, dramatis, mengerikan, dan langsung mendapat
perhatian dunia. Atas aksinya ini, Thich Quang Duc memohon kepada Presiden Ngo Dinh Diem untuk
menunjukkan "amal dan kasih sayang" kepada semua agama. Banyak biksu Buddha mengorbankan
diri selama minggu-minggu berikutnya. Tindakan tersebut akhirnya membujuk Amerika Serikat untuk
menarik dukungannya dari Diem. Sampai akhirnya, pada November 1963, seorang perwira militer
Vietnam Selatan membunuh Diem dan saudaranya selama kudeta

Peristiwa mengejutkan itu tercatat sebagai protes politik paling radikal terhadap rezim Diem selama
perang Vietnam. Aksi biksu membakar diri atau “The Burning Monk: 1963, Karya Fotografer
Browne kemudian dianggap sebagai titik balik dalam krisis Buddha di Vietnam dan berperan penting
dalam menggulingkan rezim.

Karya Foto The Burning Monk itu, selain membuat Malcolm Browne mendapatkan penghargaan
jurnalistik dari Pulitzer,. Pulitzer adalah penghargaan paling bergengsi dalam jurnalisme AS, dengan
perhatian khusus yang diberikan pada layanan publik. Penghargaan Pulitzer pertama diberikan pada
4 Juni 1917, juga memicu datangnya gelombang simpati terhadap biksu-biksu di Vietnam serta
desakan terhadap rezim Diem pun datang dari segala penjuru dunia.

Sejumlah biksu Vietnam lainnya mengikuti jejak Biksu Kwong Duuk dengan membakar diri setelah
tekanan terhadap mereka semakin gencar. Bentuk perlawan heroisme itu kemudian ditiru oleh
sejumlah penentang perang Vietnam di Amerika Serikat beberapa tahun kemudian.

Malcolm Wilde Browne, pria kelahiran New York City, (17 April 1931) itu merupakan seorang
jurnalis dan fotografer Amerika, pemenang penghargaan Pulitzer pada tahun 1963. Penghargaan
tersebut diperolehnya melalui karya foto jurnalistik yang memperlihatkan biksu Buddha Tich Kwong
Duuk yang membakar dirinya sebagai bentuk protes terhadap perang Vietnam yang berkecamuk
pada tahun 1963.

Anda mungkin juga menyukai