Anda di halaman 1dari 20

UNIVERSITAS INDONESIA

Pengembangan Kawasan Kampung Melayu


Barat, Kabupaten Tangerang: Perancangan
Berbasis Informalitas
Proposal Tesis

Cipta Hadi

1906321231

FAKULTAS TEKNIK
PROGRAM PASCASARJANA DEPARTEMEN ARSITEKTUR
DEPOK
DESEMBER 2020
Pengembangan Kawasan Kampung Melayu Barat, Kabupaten Tangerang:
Perancangan Berbasis Informalitas

Abstrak

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Proin sagittis ut enim in vulputate.
Maecenas ac nunc sed est sollicitudin semper. Maecenas efficitur nec nunc eget semper.
Sed euismod massa augue, sed venenatis lorem vehicula non. Quisque et libero mi.
Donec condimentum neque odio, sed dignissim eros dapibus eget. Donec lacus dolor,
tempus et dignissim quis, eleifend quis sapien. Aenean luctus ante nec eros porta
sodales. Sed lacus arcu, efficitur quis purus eget, rhoncus luctus purus. Quisque at nisl
consectetur, dignissim dolor nec, tincidunt libero. Curabitur viverra, purus in malesuada
ornare, mi ligula semper augue, in sodales ipsum arcu eget nunc. Sed non ullamcorper
ante, sit amet fermentum sapien.

Praesent justo felis, condimentum id purus quis, malesuada laoreet odio. Donec gravida
ligula nec placerat bibendum. Pellentesque et nisl et ligula pulvinar placerat. Aliquam nec
ipsum hendrerit, maximus magna id, pulvinar ante. Vivamus tempus purus posuere,
fermentum magna eu, malesuada ligula. Sed metus arcu, sodales eu mi in, tempus
aliquet orci. Proin pharetra libero finibus nunc porttitor sagittis. Morbi dapibus convallis
quam sed pretium. Cras ullamcorper tristique vulputate. Etiam vulputate vehicula risus.
Suspendisse in nunc id risus aliquam vestibulum. Curabitur pharetra purus ut venenatis
pharetra. Nam rhoncus tempor enim, eget finibus diam euismod at. Nunc libero massa,
faucibus eu leo eget, malesuada interdum nisi. Morbi arcu ante, sagittis ultrices justo eu,
suscipit euismod tortor.

Kata kunci: peri-urban, transformasi, kampung, informalitas.

Universitas Indonesia - i
Contents

Abstrak ......................................................................................................................................i

Daftar Gambar ........................................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang ......................................................................................................... 1

1.2. Perumusan Masalah ................................................................................................. 4

1.3. Metode Penelitian ..................................................................................................... 4

1.3.1. Pendekatan Etnografi ........................................................................................ 4

1.3.2. Pemetaan Assemblage ..................................................................................... 5

1.4. Tujuan Perancangan ................................................................................................ 5

1.5. Manfaat Perancangan .............................................................................................. 5

BAB II KAJIAN LITERATUR ................................................................................................ 6

2.1. Peri-urban dan Transformasi .................................................................................... 6

2.1.1. Peri-urban .......................................................................................................... 6

2.1.2. Transformasi Peri-urban .................................................................................... 6

2.1.3. Wacana Peri-urban ........................................................................................... 7

2.2. Bentuk Kota yang Baik ............................................................................................. 7

2.2.1. Bentuk Kota ....................................................................................................... 7

2.2.2. Keamanan ......................................................................................................... 7

2.2.3. Kedekatan dan Kelokalan ................................................................................. 7

2.2.4. Informal Urbanism ............................................................................................. 8

2.3. Informalitas, Inkrementalitas dan Kampung sebagai ‘Ruang yang Berbeda’ ........... 8

2.4. Melihat ‘Ruang yang Berbeda’ ................................................................................. 8

BAB III TINJAUAN LOKASI ............................................................................................ 11

3.1. Gambaran umum .................................................................................................... 11

3.2. Teluknaga, Kabupaten Tangerang ......................................................................... 13

Bibliography .......................................................................................................................... 15

Universitas Indonesia - ii
Daftar Gambar

Gambar 1 Kerangka Telaah .................................................................................................. 11


Gambar 2 Peta pengembangan real estate .......................................................................... 12
Gambar 3 Peta Kecamatan .................................................................................................. 13
Gambar 4 Kondisi Eksisting di sekitar Kecamatan Teluknaga ............................................. 14
Gambar 5 Peta kedudukan lokasi terhadap pengembangan di sekitarnya .......................... 14

Universitas Indonesia - iii


BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sejak era revolusi industri, perkembangan kota terjadi sangat pesat.


Tidak hanya di pusat kota, akan tetapi perkembangan kota melebar ke arah
pinggiran kota yang bisa disebut ekspansi urban (urban expansion/extended
urbanisation). Pola perkembangan ekspansif ini bermula pada kota-kota di
Negara belahan bumi Utara (Eropa dan Amerika Utara) saat era revolusi industri.
Perkembangan teknologi kendaraan berbasis rel dengan uap serta listrik sebagai
usaha mengatasi kemacetan pada saat itu mengakibatkan perkembangan
kawasan hunian kelas menengah di area sub-urban/pinggiran kota untuk
melarikan diri dari hiruk-pikuk kota (Gallion & Eisner, 1950). Begitu pesatnya
perkembangan yang demikian, pola tersebut kemudian dikenal dengan istilah
urban sprawl, dimana meluasnya pengembangan di pinggiran kota sebagai
hunian bagi para penglaju yang bekerja di pusat kota.

Berbeda dengan belahan bumi utara, di Selatan, khususnya Indonesia


menunjukkan pola ekspansi urban yang berbeda. Pola ini dikemukakan pertama
kali oleh pakar Geografi, Terry McGee, pada tahun 1989 yang bernama
‘desakota’. McGee (1989) mengungkapkan wujud visual dari ‘desakota’ ini ialah
karakter urban dan rural yang menjadi satu. Pola ini merupakan dampak dari
perkembangan sektor industri yang terjadi di pinggiran kota. Perkembangan ini
pula diikuti oleh pergeseran aktivitas ekonomi yang awalnya didominasi oleh
kegiatan pertanian menjadi sektor industri maupun jasa. Secara eksplisit, Woltjer
(2014) mengungkapkan perbedaan mendasar antara pengembangan kawasan
peri-urban di belahan bumi Utara (Negara-negara maju) dan Selatan (negara-
negara berkembang). Sebagai karakter yang unik, fenomena ini menjadi hal
yang menarik bagi saya. Terlebih hampir setengah dari penduduk Indonesia
tersebar di kawasan bukan area urban atau kota dan Indonesia sebagai Negara
berkembang memiliki banyak kota-kota yang sedang bekembang pesat.

Perkembangan kawasan hunian (urban sprawl) dan industri di pinggiran


kota didorong oleh investor dan pengembang besar yang mengkonversi lahan
pertanian karena murahnya harga lahan disana. Banyak lahan pertanian di
pinggiran-pinggiran kota di Indonesia yang telah beralih fungsi lahan. Kabupaten
Tangerang menunjukkan hal serupa yang memang juga termasuk dalam peta
ekspansi mega-urban Jabodetabek. Menurut data BPS (2016), Kabupaten

1
Universitas Indonesia
Tangerang kehilangan 273 hektare setiap tahunnya. Beberapa titik lokasi di
Kabupaten Tangerang menunjukkan alih fungsi lahan tersebut dalam bentuk,
baik itu urban sprawl maupun perkembangan kawasan industri skala besar dan
kecil. Dapat dlihat juga dari data statistik yang menunjukkan lima sektor terbesar
yang berkembang di Kabupaten Tangerang yang sekarang didominasi oleh,
yakni, industri pengolahan (39,28%), kedua, konstruksi (12,30%), ketiga,
perdagangan (10,57%), keempat, pertanian (6.75%) yang terus mengalami
penurunan, serta kelima, real-estate (6,35%) (Bappeda Kabupaten Tangerang,
2017). Jika dibiarkan begitu saja, fakta ini saya rasa perlu untuk dicermati lebih
dalam agar tidak terjadi dampak buruk bagi perkembangan Kabupaten
Tangerang dan pinggiran kota secara umum.

Selain itu, bukan hanya lahan pertanian yang menjadi korban


pengembangan kawasan pinggiran kota, kampung-kampung juga terkena
dampak pengembangan tersebut. Dampak yang terlihat secara visual yaitu
segregrasi spasial bagi kampung kelas bawah oleh hunian eksklusif (gated
community), contohnya studi di Serpong, Tangerang Selatan (Winarso, Hudalah,
& Firman, 2015) maupun oleh pengembangan kawasan industri skala besar
beserta infrastruktur di Jababeka yang mengakibatkan kesenjangan kualitas
lingkungan yang signifikan (Irawati, Cairns, & Suryadjaja, 2016). Dampak juga
dirasakan dari sisi mata pencaharian masyarakat lokal yang sebelumnya juga
sempat disinggung karena lahan pertanian semakin berkurang. Alih fungsi lahan
pertanian menjadi hunian maupun industri mengakibatkan pertumbuhan usaha
mikro, kecil, menengah (UMKM) informal seperti, warung-warung makan/toko
kecil serta kamar/rumah sewa (Irawati, Cairns, & Suryadjaja, 2016). Sedangkan
perkembangan hunian eksklusif (gated community) mengakibatkan kampung
dan penduduknya termarjinalkan. Saya melihat proses urbanisasi kawasan peri-
urban ini menunjukkan pola yang sama dengan yang terjadi pada kampung-
kampung di kota era kolonial seperti Jakarta. Melihat masalah tersebut,
kampung-kampung di kawasan pinggiran kota tidak perlu merasakan proses
yang tidak terkontrol dan terencana dengan baik seperti di kota-kota yang sudah
mencapai sifat kekotaannya (urban).

Beragam usaha untuk ‘modernisasi’ kampung dilakukan oleh


pemerintah Indonesia. Ragam usaha tersebut seperti Kampung Improvement
Projects di beberapa kota pada era Orde Baru. Selain itu, ada juga penggusuran
terhadap penghuni illegal di lahan-lahan publik dan pemindahan ke rusun-rusun

2
Universitas Indonesia
yang berlokasi jauh dari lokasi kampung ‘ilegal’ tersebut (seperti di Jakarta)
sehingga mata pencaharian penduduk terganggu. Serta, fenomena baru yang
terjadi hingga kini yaitu menjadikan kampung wisata dengan melakukan
beautification yang sekedar mempercantik dengan warna-warni. Dari bentuk
masing-masing usaha ‘modernisasi’ kota atau kampung itu sendiri menunjukkan
bahwa program tersebut melihat kampung sebagai sesuatu yang tidak layak
(program KIP), sesuatu yang kacau/tidak teratur/dilarang (penggusuran dan
pemindahan), dan tidak enak dipandang (program mempercantik). Sebagaimana
ulasan Abidin Kusno (2016) dalam ‘Messy Urbanism’ (Hou & Chalana, 2016),
bahwa modernisasi itu bersifat politis, ekonomis, kulturalis, dan teknis. Sehingga,
modernisasi merupakan perspektif melihat sesuatu, tergantung dari sisi mana
kita melihat sebuah fenomena kampung terhadap suatu konteks secara politik,
ekonomi, budaya, dan teknologi.

Berdasarkan pandangan tersebut, saya mencoba melihat kampung,


khususnya di kawasan peri-urban yang masih relatif asli dan bersifat rural, dari
sisi yang berbeda. Bentuk modernisasi yang terjadi di kawasan peri-urban
membuat persepsi bahwa kehidupan yang sudah ada sebelumnya tidaklah layak
dan seolah merupakan kekacauan/ketidakteraturan. Padahal, bisa jadi bentuk
atau pola modernisasi yang sebenarnya tidak cocok untuk karakter kawasan
peri-urban tersebut. Sebagai orang yang juga tinggal di kampung pinggiran kota
(Kabupaten Tangerang), saya merasakan kehidupan yang lebih cair dan hidup
dibanding dengan kompleks hunian terencana di perkotaan. Contohnya,
eksistensi penduduk dengan ragam kelas ekonomi yang berinteraksi sosial,
bernegosiasi ruang, dan lain sebagainya yang tidak ditunjukkan oleh kompleks
hunian ‘gated community’ yang cenderung hanya bersosialisasi dengan kelas
ekonomi yang sama (Olivia, Adianto, & Gabe, 2019). Pendapat terbaru
menemukan bahwa kampung (di pusat maupun pinggiran kota/’desakota’)
merupakan tempat mediasi antara desa dan kota bagi imigran desa yang
menyediakan kehidupan yang terjangkau, disebut dengan istilah Kota Tengah
(Kusno, 2019). Dalam ulasannya, kampung bukan sesuatu yang terpisah dengan
kotanya, melainkan memiliki hubungan yang erat dari sisi ruang, ekonomi dan
kapital, dan politik. Dari ulasan tersebut, saya mencoba menerima undangan
beliau dalam tulisannya memikirkan bahwa apakah kampung itu ruang yang
akan berubah – menjadi ‘modern’ (transitional) atau ruang yang ‘berbeda’
(exceptional). Menurut saya, dilihat dari segi karakter kampung dan fenomena-

3
Universitas Indonesia
fenomena modernisasi kampung, kampung perlu diakui sebagai ruang yang
‘berbeda’. Eksistensi kampung merupakan hal yang penting. Oleh karena itu,
dibutuhkan bentuk modernisasi kampung yang berbeda pula dengan pendekatan
perancangan yang cermat terhadap sifat, karakter, dan potensi kampung.

1.2. Perumusan Masalah

Beberapa hal yang menjadi pertanyaan penelitian dan perancangan


kawasan peri-urban ini ialah, sebagai berikut:

1) Bagaimana hubungan antara kawasan peri-urban dengan kawasan urban


(pusat kotanya)?

2) Bagaimana pengembangan desain kota yang tepat bagi kawasan peri-urban


di tengah besarnya kekuatan ekonomi yang sedang berkembang?

3) Bagaimana menjaga potensi serta karakter dalam proses urbanisasi (meng-


kota-kan) kawasan peri-urban?

4) Pendekatan desain apa yang tepat sebagai solusi untuk perkembangan


kampung di kawasan peri-urban yang sedang mengalami urbanisasi?

1.3. Metode Penelitian

1.3.1. Pendekatan Etnografi

Penelitian ini menggunakan pendekatan etnografi. Pendekatan etnografi


yang dimaksud ialah dengan menekankan sebuah keterlibatan yang mendalam
pada sebuah lokasi yang spesifik, seringnya melalui pengamatan yang aktif dan
teliti (Groat & Wang, 2002). Dalam ulasannya, Groat (2002) mengungkapkan
walaupun pendekatan ini bermula dari penelitian oleh bidang ilmu antropologi,
namun juga banyak diadopsi oleh bidang ilmu lainnya, salah satunya arsitektur
(Groat & Wang, 2002). Walaupun demikian, dengan tujuan menemukan “natural
science dari masyarakat local”, pendekatan etnografi sejalan dengan apa yang
dimaksud oleh Christopher Alexander (1979) dalam bukunya The Timeless Way
of Building yaitu berguna untuk mengidentifikasi pola-pola yang membentuk
sistem di masyarakat sebagai basis perancangan bangunan maupun kota
kedepannya.

(wawancara)

(pengamatan dan pemetaan)

4
Universitas Indonesia
1.3.2. Pemetaan Assemblage

1.4. Tujuan Perancangan

Tujuan perancangan kawasan peri-urban ini ialah:

1) Menghasilkan panduan rancangan perkotaan bagi kawasan peri-urban


(Kampung Melayu Barat, Teluknaga, Kabupaten Tangerang) sebagai solusi
rancangan dalam proses meng-kota-kan kawasan peri-urban

2) Menghasilkan panduan rancangan perkotaan bagi kawasan peri-urban yang


memperhatikan sifat, karakter, dan potensi alamiah dari sebuah kawasan
peri-urban yang unik

1.5. Manfaat Perancangan

Dengan dibuatnya panduan rancangan perkotaan bagi kawasan peri-


urban (Kampung Melayu Barat, Teluknaga, Kabupaten Tangerang), diharapkan
kawasan tersebut dapat ber-transformasi (peng-kota-an) dengan baik sesuai
karakter kehidupan masyarakat setempat dan terintegrasi dengan baik dengan
kawasan perkotaan maupun pedesaan disekitarnya.

5
Universitas Indonesia
BAB II KAJIAN LITERATUR

2.1. Peri-urban dan Transformasi

Peri-urban; definisi – Transformasi; definisi

2.1.1. Peri-urban

Untuk menjelaskan konsep peri-urban biasa juga digunakan istilah-


istilah seperti, sub-urban, urban-rural, desakota (McGee, 1989), atau sebatas
pinggiran kota. Isitilah-istilah tesebut bermaksud sama yaitu untuk menjelaskan
secara geografis kawasan di daerah pinggiran kota dengan berbagai karakter-
karakter tertentu dari masing-masing istilah. Secara harfiah, peri-urban berarti
pinggiran kota (bersifat urban) yang merupakan gabungan dari kata periferi
(batas luar (KBBI)/pinggir) dan urban. Definisi harfiah tersebut cukup
menjelaskan konsep peri-urban secara geografis.

Selain secara geografis, peri-urban juga mendeskripsikan kondisi


dimana pertemuan antara aktivitas pedesaan dan perkotaan, mencakup transisi
sebuah tatanan norma, legislasi, dan institusi, dimana struktur sosial, ekonomi,
dan lingkungan binaan juga berubah (McConville, 2014). Definisi McConville
mengenai adanya transisi dan perubahan fisik ini seirama dengan apa yang
Dupont (2005) sampaikan. ‘Peri-urban’ adalah sebuah wilayah di luar aglomerasi
perkotaan yang ada, dan merupakan tempat perubahan besar terjadi dalam
ruang dan waktu (Dupont, 2005). Dari ketiga definisi ini (secara harfiah,
geografis, dan menurut McConville (2014) dan Dupont (2005)), sudah cukup
memadai untuk saya melihat dan mencermati lokasi pada studi kali ini.

2.1.2. Transformasi Peri-urban

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tranformasi adalah


perubahan rupa (bentuk, sifat, fungsi, dan sebagainya). Sesuatu bertransformasi
jika terjadi perubahan pada bentuk, sifat, fungsi, maupun sebagainya yang ada
pada sesuatu itu. Berdasarkan ulasan definisi sebelumnya, peri-urban
merupakan sebuah transisi bisa berupa rupa, bentuk, sifat, dan lain sebagainya
yang bisa disebut juga transformasi. Dengan kata lain, peri-urban pada dasarnya
transformasi itu sendiri. Sebagaimana kota yang telah dan hingga sekarang
mengalami transformasi secara terus-menerus. Dijelaskan dalam buku The
Urban Pattern (Gallion & Eisner, 1950) mengenai pola-pola bentuk kota dari era
pertama kali berpindah dari gua ke desa (village) yang ia sebut sebagai awal

6
Universitas Indonesia
mula urbanisasi (the dawn of urbanization) hingga ke pola kota hari ini (1950-an).
Ulasan tersebut menunjukkan sebuah transformasi kota dari masa ke masa yang
menghasilkan sebuah pola kota.

Desakota (McGee);

2.1.3. Wacana Peri-urban

Managing rural-urban transformation in Asia

Global review peri-urban development

Urban-rural in monsoon asia (cairns) dan tropical town; rubanisation (tay


kheng soon); metabolism in architecture/agricultural city (kurokawa)

Secara lugas disampaikan dalam tulisannya Rubanisation (Soon, 2013),


bahwa fenomena ‘desakota’ oleh McGee (1989) tidak lain adalah kegagalan
sebuah model pengembangan kawasan. Sebagai kritik terhadap dikotomi urban
dan rural, serta sistem kota yang sangat bersifat industrialis dan komersialis, Ia
menawarkan sebuah proposisi bernama Rubanisation, secara singkat
merupakan bentuk kawasan berupa gabungan antara rural dan urban.

Kemampuan adaptasi kampong peri-urban (dar es salaam; lingang


nicheng)

2.2. Bentuk Kota yang Baik

2.2.1. Bentuk Kota

Industrial city to beautiful city to modern city (garden city) to le Corbu →


kritik dari lost space (trancik), jane Jacobs, jan gehl

Good city form (Kevin Lynch); neo-traditional urbanism

Activity, image, form (Montgomery)

2.2.2. Keamanan

Defensible space (Oscar Newman)

Eyes on the street (Jane Jacobs)

2.2.3. Kedekatan dan Kelokalan

The Urban DMA (Kim Dovey)

15 minutes city

7
Universitas Indonesia
2.2.4. Informal Urbanism

“Messiness is not an unfamiliar subject in city planning and design. In


fact, the emergence of city planning as a profession in North America
and Europe has its very roots in efforts to address the mess of
industrializing and rapidly growing cities in the nineteenth century,
specifically the issues of congestion, sanitation, disease, fire, and social
unrest (Hall 1988; Chudacoff, Smith, And Baldwin 2010). The influential
planning discourses in the twentieth century, including the Garden City
movement, City Beautiful movement, and the Modernism movement,
shared a central concern with orderliness and an imperative to eradicate
what were considered messiness and ills of the city. Through these
movements and subsequent institutionalization, the dichotomy between
order and messiness became ingrained and enshrined in planning and
design ethos and practices.”

(Hou & Chalana, 2016)

2.3. Informalitas, Inkrementalitas dan Kampung sebagai ‘Ruang yang Berbeda’

Kota Tengah (Abidin Kusno); kampong kota sebagai relational space


(spatial, capital, political)

2.4. Melihat ‘Ruang yang Berbeda’

Menjelaskan teori (sebagai cara pandang) untuk melihat kampong


sebagai ruang yang berbeda; (pola) the timeless way of building; (order) the
death of American cities; (lokalitas) everyday architecture.

Untuk melihat kampung sebagai ruang yang ‘berbeda’, saya


menggunakan beberapa perspektif teori untuk melihat tiga aspek yaitu,
keteraturan (order), pola, dan lokalitas. Perspektif pertama merupakan teori
mengenai keteraturan. Seperti yang saya bahas di bab sebelumnya mengenai
‘kekacauan’ (messiness) yang selalu diasosiasikan dengan informalitas, organik,
kampung, dan lain sebagainya, perspektif pertama ini menyediakan perspektif
untuk melihat sebuah keteraturan (order) dibalik sesuatu yang seolah-olah
terlihat sebagai ‘kekacauan’ (messiness).

8
Universitas Indonesia
“This order is all composed of movement and change, and although it is
life, not art, we may fancifully call it the art form of the city and liken it to
the dance-not to a simple-minded precision dance with everyone kicking
up at the same time, twirling in unison and bowing off en masse, but to
an intricate ballet in which the individual dancers and ensembles all
have distinctive parts which miraculously reinforce each other and
compose an orderly whole. The ballet of the good city sidewalk never
repeats itself from place to place, and in any one place is always replete
with new improvisation.”

(Jacobs, 1961)

Dari kalimat diatas, saya menangkap bahwa keteraturan yang dimaksud


merupakan satu kesatuan utuh yang bisa jadi berasal dari berbagai komponen
yang acak namun memiliki sistem atau relasi yang tidak terlihat. Selain itu, Ia
melihat sebuah keteraturan bukanlah bersifat statis. Keteraturan tersebut bersifat
dinamis (dengan selalu terjadinya improvisasi) dan selalu berbeda di setiap
tempat. Oleh karena itu, melalui perspektif ini saya akan mencoba mengungkap
kekuatan-kekuatan yang membentuk sebuah sistem keteraturan di sebuah
tempat yang sangat dinamis seperti kampung atau kawasan yang informal.

“Those of us who are concerned with buildings tend to for get too easily
that all the life and soul of a place, all of our experiences there, depend
not simply on the physical environment, but on the patterns of events
which we experience there.”

(Alexander, 1979)

Kedua, perspektif yang digunakan untuk melihat pola adalah The


Timeless Way of Building (Alexander, 1979). Teori ini menyediakan cara melihat
suatu kualitas dibalik sebuah kota yang sukses. Untuk mendefinisikan kualitas
tersebut perlu pemahaman bahwa setiap karakter tempat dibentuk oleh pola-pola
tertentu yang terus terjadi di tempat tersebut (Alexander, 1979). Pola-pola
tersebut sangat terikat dengan ruang tempat sebuah aktivitas/event/kejadian itu
terjadi. Pola-pola inilah yang selanjutnya perlu untuk dipelajari yang kemudian
digunakan untuk merancang ruang dengan kualitas yang sama, namun tidak
mesti serupa. Pola ini pula yang membentuk sebuah sistem keteraturan di
sebuah tempat.

9
Universitas Indonesia
“The everyday was always there, and we, like everyone else, were
always immersed in it. To some extent is this immersion which prevents
us from seeing the everyday or acknowledging it. But it is also from this
immersion that specialised disciplines, among them architecture,
attempt to escape. These disciplines require a distance from the
ordinary in order to define themselves as something set apart and
(crucially) thereby place themselves in a position to exert control and
power.”

(Wigglesworth & Till, 1998)

Aspek ketiga, yakni lokalitas, dilihat dari perspektif yang ditawarkan oleh
Wigglesworth and Till (1998) dalam bukunya The Everyday and Architecture.
Dalam ulasannya, mereka menganalogikan sebuah kapal yang singgah ke
sebuah pula dan membawa muatan dari luar pulau yang pada akhirnya muatan
tersebut menutupi apa yang sebelumnya sudah ada di pulau. Muatan tersebut
bisa berupa teori, geometri, maupun teknik dalam kasus arsitektur. Hal ini yang
selanjutnya mengakibatkan sebuah apresiasi lebih terhadap produk daripada
proses dan momen sempurna akan sesuatu yang selesai daripada
ketidaksempurnaan sebuah penggunaan/penempatan (Wigglesworth & Till,
1998). Dengan kata lain, hal ini yang saya tangkap sebagai bentuk pengabaian
terhadap sebuah lokalitas.

Ulasan tersebut merupakan kritik terhadap arsitektur seperti kutipan di


atas. Arsitektur yang datang dengan teori-teori dan nilai-nilai luar tanpa melihat
apa yang sudah sebelumnya. Nilai yang sudah ada sebelumnya tersebut yang
saya lihat sebagai lokalitas. Berdasarkan perspektif sebelumnya, sebuah pola
yang membentuk keteraturan tersebut pula termasuk sebuah lokalitas. Lokalitas
ini selanjunya menjadi sebuah sifat, karakter, dan atau potensi untuk menjadi
basis perancangan kawasan.

10
Universitas Indonesia
BAB III TINJAUAN LOKASI

3.1. Gambaran umum

Sebelum meninjau secara spesifik lokasi studi kali ini, perlu untuk
memahami terlebih dahulu perkembangan kota dan khususnya kawasan
pinggiran kota di Indonesia. Menurut saya, buku Kaca Benggala (Kuswartojo,
2019) memberikan penjelasan yang komprehensif dan sangat memadai untuk
mengetahui perkembangan kota di Indonesia. Ulasan dimulai dari habitat di era
kerajaan hingga era reformasi dan mengajak untuk merefleksi mengenai wacana
kedepan.

Gambar 1 Kerangka Telaah


sumber: buku Kaca Benggala (Kuswartojo, 2019)

Lokasi studi kali ini adalah sebuah Kabupaten yang terletak di pinggiran
megapolitan Jabodetabek, yaitu Kabupaten Tangerang. Kabupaten Tangerang
merupakan kabupaten yang terletak di sisi barat dan utara dari Kota Tangerang
dan DKI Jakarta. Dengan luas 959,60 km2 kabupaten Tangerang memiliki 29
Kecamatan. Seperti kabupaten pada umumnya, luas area Kabupaten Tangerang
terbilang besar. Alhasil, beberapa kecamatan berlokasi sangat jauh dari pusat
pemerintahan kabupatennya sebagai pusat aktivitas (administrasi, ekonomi, dan
lain-lain) dan sebagai daerah yang lebih mendapat perhatian untuk
pengembangan. Di beberapa kecamatan, peruntukan lahan didominasi oleh
lahan hijau, khususnya pertanian. Selain itu juga, masih terdiri dari permukiman

11
Universitas Indonesia
dengan kepadatan rendah hingga tinggi. Seperti di sisi selatan, beberapa bagian
kabupaten Tangerang merupakan kawasan pengembangan oleh pengembang
besar di Indonesia yaitu di Lippo Karawaci dan BSD City.

Berdasarkan pembahasan di bab-bab sebelumnya, perkembangan


Kabupaten Tangerang ini menunjukkan fenomena ‘desakota’ (McGee, 1989).
Pengembangan kawasan industri dengan berbagai skala yang tidak terkontrol
dan terencana dengan baik, tersebar di hampir seluruh bagian Kabupaten
Tangerang. Pengembangan itu mengakibatkan peruntukan lahan yang
bercampur, dari pertanian, hunian, industri, dan komersial. Selain sebagai fungsi
pertanian dan industri, pengembangan hunian dari kelas bawah hingga
menengah terjadi di Kabupaten Tangerang. Kabupaten Tangerang juga
berfungsi menjadi kota satelit bagi DKI Jakarta sebagai penyedia hunian karena
termasuk dalam peta pengembangan real estate di kawasan Jabodetabek (lihat
(Herlambang, Leitner, Tjung, Sheppard, & Anguelov, 2019)). Sehingga, di
Kabupaten Tangerang, khususnya di BSD City terjadi sebuah segregrasi spasial
oleh hunian eksklusif kelas menengah terhadap kampung di sekitarnya (lihat
(Winarso, Hudalah, & Firman, 2015)).

Gambar 2 Peta pengembangan real estate

12
Universitas Indonesia
3.2. Teluknaga, Kabupaten Tangerang

Salah satu kecamatan di Kabupaten Tangerang yang menjadi lokasi


studi ialah Teluknaga. yang berada di pesisir utara. Kecamatan Teluknaga
memiliki luas 40,58 km2 dengan kepadatan penduduk 3300 jiwa/km2 dan terdiri
dari 13 kelurahan. Menurut data BPS tahun 2019, terdapat 4 kelurahan dengan
status kategori urban, yaitu Kelurahan Kampung Melayu Barat dan Timur,
Pangkalan, dan Kampung Besar, selebihnya masih masuk dalam kategori rural.
Pusat kecamatan tempat berlokasinya alun-alun, kantor kecamatan, polsek,
puskesmas, serta masjid agung kecamatan berada di dua kelurahan tersebut,
yaitu Kampung Melayu Barat dan Timur.

Gambar 3 Peta Kecamatan


sumber: basis peta RTRW Kabupaten Tangerang

13
Universitas Indonesia
Gambar 4 Kondisi Eksisting di sekitar Kecamatan Teluknaga

Gambar 5 Peta kedudukan lokasi terhadap pengembangan di sekitarnya

14
Universitas Indonesia
Bibliography

Alexander, C. (1979). The Timeless Way of Building. New York: Oxford University Press.

Bappeda Kabupaten Tangerang. (2017). RKPD. Kabupaten Tangerang.

Dupont, V. (2005). Peri-Urban Dynamics: Population, Habitat, and Environment on The


Peripheries of Large Indian Metropolises - A review of concepts and general
issues. New Delhi: Rajdhani Art Press.

Gallion, A. B., & Eisner, S. (1950). The Urban Pattern: City Planning and Design.
Princeton: D. Van Nostrand Company, Inc.

Groat, L., & Wang, D. (2002). Architectural Research Methods. New York: John Wiley and
Sons.

Herlambang, S., Leitner, H., Tjung, L., Sheppard, E., & Anguelov, D. (2019). Jakarta’s
great land transformation: Hybrid neoliberalisation and informality. Urban Studies
2019, Vol. 56(4), 627-648.

Hou, J., & Chalana, M. (2016). Messy Urbanism. Hong Kong: Hong Kong University
Press.

Irawati, M., Cairns, S., & Suryadjaja, R. (2016). The Livelihood Impacts of the Large-scale
Industrial Estate in Emerging Peri-urban of Jakarta. In Book of Abstract : LANDac
International Conference on Land Governance for Equitable and Sustainable
Development “Linking the Rural and the Urban” (pp. 12-13). Utrecht: LANDac.

Jacobs, J. (1961). The Death and Life of Great American Cities. New York: Random
House, Inc.

KBBI. (n.d.). KBBI Daring. Retrieved December 18, 2020, from KBBI Daring:
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/periferi

Kusno, A. (2019). Middling Urbanism; The Megacity and The Kampung. Urban
Geography, 954-970.

Kuswartojo, T. (2019). Kaca Benggala; Perkembangan Habitat Manusia di Indonesia.


Kabupaten Bandung: Ukara Lawang Buwana.

McConville, J. (2014). Peri-Urban Sanitation and Water Service Provision: Challenges


and opportunities for developing countries. Stockholm: Stockholm Environment
Institute.

15
Universitas Indonesia
McGee, T. G. (1989). Urbanisasi or Kotadesasi?: Evolving patterns of urbanization in
Asia. Urbanization in Asia: Spatial Dimensions and Policy Issues, 93-108.

Olivia, M. L., Adianto, J., & Gabe, R. T. (2019). A post-occupancy evaluation study of a
mixed-income gated community in Cibubur,West Java, Indonesia. Urbani Izziv,
Volume 30,No. 2, 95-104.

Soon, T. K. (2013). Rubanisation. In H. Mieg, & K. Töpfer, Institutional and Social


Innovation for Sustainable Urban Development (pp. 88-98). London: Routledge.

Wigglesworth, S., & Till, J. (1998). The Everyday and Architecture. New York: Wiley.

Winarso, H., Hudalah, D., & Firman, T. (2015). Peri-urban transformation in the Jakarta
metropolitan area. Habitat International, 221-229.

16
Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai