Anda di halaman 1dari 3

INDIVIDUALISME DALAM ISLAM

Islam merupakan agama yang sangat menekankan kebersamaan diantara


sesama manusia, bersama dalam iman dan amal shaleh dan bersama dalam
perjuangan menegakkan prinsip-prinsip iman dan amal shaleh itu. Namun tak
bisa dipungkiri bahwa tidak semua orang mau dalam kebersamaan yang positif
itu. Karena itu, seorang muslim tidak boleh memiliki ketergantungan kepada
orang lain ketika ia ingin menjadi baik, dia harus tunjukkan keislamannya yang
sejati meskipun hanya sendirian. Inilah yang kita maksud dengan individualisme
dalam Islam, bukan individualisme yang selama ini dipahami manusia dalam arti
tidak mau bergaul, mengurus diri sendiri dan tidak mau membantu orang lain,
Allah Swt berfirman: Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada
Allah dengan sebenar-benar taqwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu
mati melainkan dalam keadaan berserah diri kepada Allah (QS 3:102).

Paling kurang, ada tiga rumusan pokok yang bisa kita pahami dari prinsip
individualisme dalam Islam.

1. SETIAP MUSLIM HARUS BERAMAL.

Setiap muslim sangat dituntut untuk beramal yang shaleh. Dengan amal
yang shaleh, seorang muslim bukan hanya bisa menunjukkan kebenaran iman
yang dimilikinya, tapi juga bisa membawa pada kehidupan yang bermakna dan
bermanfaat serta membahagiakan kehidupan dunia dan akhirat. Oleh karena itu,
ketika seseorang ingin beramal shaleh atau melakukan perbuatan baik, ia tidak
boleh tergantung pada orang lain dalam arti ia mau melakukan kebaikan bila
orang lain melakukannya, sedangkan iapun mau melaukan keburukan dan
kejahatan bila orang lain melakukan hal itu, padahal seharusnya ia selalu mau
beramal shaleh secara optimal dan tidak akan melakukan hal-hal yang tidak
dibenarkan Allah dan Rasul-Nya. Dalam kaitan ini, Rasulullah Saw bersabda:
Janganlah kamu menjadi orang yang “ikut-ikutan” dengan mengatakan kalau
orang lain berbuat kebaikan, kamipun akan berbuat baik, dan kalau mereka
berbuat zalim. Tetapi teguhkanlah dirimu dengan berprinsip; kalau orang lain
berbuat kebaikan, kami berbuat kebaikan pula dan kalau orang lain berbuat
kejahatan kami tidak akan melakukannya (HR. Tirmidzi).

Dengan demikian, beramal itu sangat bersifat pribadi sehingga masing-


masing orang harus beramal shaleh tanpa dipengaruhi oleh orang lain meskipun
di dalam Islam ada amal-amal yang memerlukan keterlibatan orang lain, bahkan
semakin banyak yang terlibat, nilainya bisa semakin baik seperti pelaksanaan
shalat berjamaah yang lima waktu.

Manakala setiap muslim memiliki prinsip individualisme seperti ini, maka


ia akan menjadi pelopor dalam suatu kebaikan dan masing-masing muslim bisa
menjadi cermin untuk bisa menunjukkan kekurangan guna diperbaiki.
2. PAHALA UNTUK DIRI SENDIRI

Seorang muslim yang telah beramal shaleh tentu ada pahala yang akan
diperolehnya. Pahala itu untuk dirinya sendiri, bukan untuk orang lain. Karenanya
agak aneh bila seorang muslim tidak mau beramal yang shaleh karena ia
berharap akan mendapatkan kiriman pahala amal shaleh yang dilakukan oleh
orang lain, khususnya ketika ia sudah meninggal dunia. Disamping itu, agak
aneh juga bila ada orang beramal shaleh tapi pahalanya hendak diberikannya
kepada orang lain bagaikan orang yang sudah cukup atau malah kelebihan
pahala, padahal untuk bisa mendapatkan kebahagiaan dalam kehidupan akhirat,
seseorang harus membawa nilai pahala yang sebanyak-banyaknya. Yang harus
dilakukan oleh seorang muslim terhadap muslim lainnya, terutama muslim yang
telah meninggal dunia sebenarnya bukan mengirim pahala, tapi mendo’akannya
agar diampuni, diluaskan kuburnya dan dimasukkan ke dalam surga. Karena itu
sangat beda makna antara mengirim do’a dengan mengirim pahala. Mengirim
do’a berarti memohon kepada Allah agar orang yang sudah meninggal diampuni
dan dimasukkan ke dalam surga, sedangkan mengirim pahala berarti pahala dari
amal yang kita lakukan diberikan kepada orang lain.

Tegasnya, masing-masing orang memperoleh pahala berdasarkan amal


yang dilakukannya, demikian pula halnya dengan dosa yang akan didapatnya.
Allah Swt berfirman: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan
ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya (QS 2:286).

Oleh karena itu, masing-masing orang harus memiliki semangat yang


tinggi dalam beramal shaleh, semakin banyak amal shaleh yang dilakukannya,
semakin banyak pula nilai pahala yang akan diperolehnya, dan tidak sedikit
amal-amal yang pahalanya tetap diperoleh oleh orang yang melakukannya
meskipun ia sudah tidak beramal lagi dengan sebab-sebab tertentu, ini
merupakan saham dalam amal yang pahalanya tetap bisa mengalir meskipu ia
sudah meninggal dunia, bahkan Allah Swt melipatgandakan nilai pahala amal
yang dilakukan oleh hamba-hamba-Nya , Allah Swt berfirman: Barangsiapa
membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya
(QS 6:160).

3. TIAP ORANG BERTANGGUNG JAWAB ATAS AMALNYA

Di dunia dan akhirat nanti, manusia harus bertanggung jawab atas


amalnya. Bila seseorang diajak orang lain melakukan kemaksiatan lalu dia betul-
betul melakukannya, maka ia harus bertanggungjawab atas perbuatannya itu,
dia tidak bisa menyalahkan orang yang mengajaknya, karena orang itu sudah
jelas salah dan dia akan mendapatkan bagian dosa yang besar dari
kesalahannya itu, bahkan dalam kehidupan di akhirat nanti, syaitan yang
mengajak manusia pada kesesatan tidak mau disalahkan oleh manusia, tapi
justeru manusia harus menyalahkan dirinya sendiri, hal ini disebutkan di dalam
Al-Qur’an: Dan berkatalah syaitan tatkala perkara hisab telah diselesaikan:
“Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadamu, janji yang benar, dan akupun
telah berjanji kepadamu tetapi aku menyalahinya. Sekali-kali tidak ada
kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan (sekedar) aku menyeru kamu lalu
kamu mematuhi seruanku, oleh sebab itu janganlah kamu mencerca aku, tapi
cercalah dirimu sendiri (QS 14:22)

Dari keterangan ini, terasa sekali betapa semangat individualisme harus


dimiliki dalam arti tidak ada toleransi dalam perbuatan dosa, karena setiap orang
yang berdosa harus bertanggung jawab atas dosanya dan ia tidak bisa
melimpahkannya kepada orang lain. Manusia telah diberikan oleh Allah Swt
pendengaran, penglihatan dan hati atau akal pikiran untuk bisa membedakan
mana yang benar dan salah, karenanya wajar bila Allah Swt akan meminta
pertanggungjawaban atas amal manusia sehingga manusia tidak bisa mengelak
dari pertanggungjawaban meskipun ia hanya ikut-ikutan, Allah Swt berfirman:
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu
akan dimintai pertanggungan jawabnya (QS 17:36).

Dalam kehidupan di akhirfat nanti, manusia tidak bisa mengelak dari


pengadilan Allah Swt sebagai konsekuensi dari pertanggungjawaban atas amal-
amal yang dilakukannya. Bahkan manusia tidak bisa lagi berbohong untuk
mengakui kesalahan atau dosa yang dilakukannya di dunia, karena dirinyapun
bersaksi atas semua itu. Di dalam Al-Qur’an Allah Swt berfirman: Pada hari ini
Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan
memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan
(QS 36:65).

Di dalam ayat lain, Allah Swt mengemukakan bahwa kulitpun menjadi


saksi atas apa yang dilakukan oleh manusia di dunia, firman Allah dalam kaitan
ini berbunyi: Dan (ingatlah) hari (ketika) musuh-musuh Allah digiring ke dalam
neraka lalu mereka dikumpulkan (semuanya). Sehingga apabila mereka sampai
ke neraka, pendengaran, penglihatan dan kulit mereka menjadi saksi terhadap
mereka tentang apa yang telah mereka kerjakan (QS 41:19-20).

Dari uraian di atas, dapat kita simpulkan bahwa sedapat mungkin kita
harus mengajak orang lain untuk beramal yang shaleh, namun bila mereka tidak
mau, hal itu tidak menjadi alasan bagi kita untuk tidak mau beramal shaleh,
karena masing-masing orang harus melakukan amal shaleh. Kalau seseorang
sudah punya tiket untuk pergi ke suatu negara dengan pesawat terbang,
terserah dia untuk datang atau tidak ke Bandara pesawat. Bila saatnya pesawat
harus terbang, maka orang yang tidak datang ke Bandara akan ditinggalkannya.
Semua terpulang pada masing-masing orang. Begitulah memang dalam masalah
amal di dalam Islam.
Drs. H. Ahmad Yani
Email: ayani@indosat.net.id

Anda mungkin juga menyukai