Anda di halaman 1dari 4

TUGAS INTERNSHIP NIYA

SUMMARY 1

Patofisiologi tonsillitis adalah Kuman yang menginfiltrasi lapisan epitel tonsil sehingga
antigen masuk ke dalam tonsil, bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superficial akan menghasilkan
reaksi imun tubuh yang kemudian terbentuk fokus infeksi.

Reaksi imun dapat menyebabkan peradangan jaringan tonsil dimana terdapat


pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit poli morfonuklear yang tampak pada korpus tonsil
berisi bercak kuning yang disebut detritus. Detritus merupakan kumpulan leukosit, bakteri pathogen
dan epitel yang terlepas dalam kripta.

Suatu tonsillitis akut dengan detritus disebut tonsillitis lakunaris, bila bercak detritus
berdekatan menjadi satu maka terjadi tonsillitis lakonaris. Pada infeksi akut, virus atau bakteri akan
berkembang di membran mukosa. Bila bercak detritus melebar sehingga terbentuk membran semu
(Pseudomembran) dan terdapat tonsillitis kronik karena proses radang berulang, maka jaringan epitel
mukosa dan jaringan limfoid akan terkikis, sehingga pada proses penyembuhannya jaringan limfoid
diganti dengan jaringan parut. Jaringan tersebut akan mengkerut sehingga ruang antara kelompok
(kriptus) melebar yang kemudian akan diisi oleh detritus.

Peradangan yang terus terjadi dapat menembus kapsul tonsil dan menimbulkan perlekatan
jaringan di sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfe
submandibular.

Peradangan mengakibatkan pembesaran tonsil dan dapat menyebabkan keluhan tidak


nyaman kepada penderita berupa kesulitan menelan, rasa nyeri, dan rasa mengganjal pada
tenggorokan karena sesuatu yang ditelan menyentuh daerah yang mengalami peradangan. Pada anak
biasanya keadaan ini juga dapat mengakibatkan keluhan berupa ngorok saat tidur karena pengaruh
besarnya tonsil mengganggu pernafasan bahkan keluhan sesak nafas juga dapat terjadi apabila
pembesaran tonsil telah menutup jalur pernafasan. Jika peradangan telah ditanggulangi,
kemungkinan tonsil dapat kembali pulih seperti semula atau bahkan tidak dapat kembali sehat seperti
semula. Penyembuhan yang tidak sempurna dapat menyebabkan peradangan berulang pada tonsil.
Bila hal ini terjadi maka bakteri patogen akan bersarang di dalam tonsil yang bisa menyebabkan
peradangan yang bersifat kronis. Peradangan kronis ini menyebabkan hiperplasia tonsil akibat
terjadinya hiperplasia parenkim atau degenerasi fibrinoid dengan obstruksi kripte tonsil. Sumbatan
pada kripte tonsil dapat mengakibatkan peningkatan stasis debris maupun antigen didalam kripte,
yang kemudian memudahkan bakteri masuk ke dalam parenkim tonsil. Apabila keadaan ini menetap,
bakteri patogen akan bersarang di dalam tonsil dan terjadi peradangan yang kronis atau yang disebut
dengan tonsilitis kronis.

Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang paling sering terjadi dari semua penyakit
tenggorok yang berulang. Tonsilitis kronis umumnya terjadi akibat komplikasi tonsilitis akut, terutama
yang tidak mendapat terapi adekuat. Selain pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat, faktor
predisposisi timbulnya tonsilitis kronis lain adalah higien mulut yang buruk, kelelahan fisik dan
beberapa jenis makanan.

Aktivitas imunologi pada tonsil aktif pada usia 3-10 tahun (Zuhdi et al., 2020). Ukuran tonsil
palatina akan bertambah saat usia 5-7 tahun dan mencapai ukuran maksimal pada masa pubertas
dimana pada masa ini, tonsil akan mengalami involusi karena terjadi atrofi jaringan limfoid dan hanya
menyisakan sedikit jaringan limfoid saat usia tua (Standring et al., 2016). Saat mengalami tonsilitis
kronik, sistem imunitas akan menurun dan terjadilah peningkatan konsentrasi TNF-α, IL-1, dan IL-6
dalam jaringan akibat hasil dari produksi berlebih karena aktivasi monosit dan makrofag oleh stimulasi
agen patogen yang berulang (Todorović & Zvrko, 2013). Sensitivitas sistem imun dan kerja tonsil akan
semakin menurun ketika tonsil mengalami infeksi dan inflamasi. Dampak dari menurunnya sensitivitas
sistem imun adalah komponen sistem imun tidak bisa bekerja dengan baik untuk membandingkan sel
normal dan abnormal sehingga secara tidak langsung dapat menurunkan kualitas hidup karena kerja
tonsil tidak maksimal untuk melawan patogen dan tonsil mudah terinfeksi pathogen (Zuhdi et al.,
2020).
DATA BASE

Infeksi pada tonsil dapat terjadi jika antigen masuk ke dalam tonsil dan terjadi reaksi imun tubuh yang
kemudian terbentuk fokus infeksi. Pada infeksi akut, virus atau bakteri akan berkembang di membran
mukosa. Reaksi imun dapat menyebabkan peradangan jaringan tonsil akan menyebabkan adanya
kumpulan leukosit, sel epitel yang mati, dan bakteri pathogen dalam kripta. Proses peradangan juga
menyebabkan epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis dan dalam proses penyembuhannya
jaringan limfoid akan diganti dengan jaringan parut sehingga kripte melebar. Secara klinis, kripte akan
tampak terisi detritus. Peradangan yang terus terjadi dapat menembus kapsul tonsil dan
menimbulkan perlekatan jaringan di sekitar fosa tonsilaris.
Proses peradangan pada tonsil bisa benar-benar membaik seperti semula. Penyembuhan yang tidak
sempurna ini dapat menyebabkan peradangan berulang pada tonsil. Bila hal ini terjadi maka bakteri
patogen akan bersarang di dalam tonsil yang bisa menyebabkan peradangan yang bersifat kronis.
Peradangan kronis ini menyebabkan hiperplasia tonsil akibat terjadinya hiperplasia parenkim atau
degenerasi fibrinoid dengan obstruksi kripte tonsil. Sumbatan pada kripte tonsil dapat mengakibatkan
peningkatan stasis debris maupun antigen didalam kripte, yang kemudian memudahkan bakteri
masuk ke dalam parenkim tonsil.
Peradangan dapat menyebabkan keluhan
tidak nyaman kepada penderita berupa rasa nyeri saat menelan karena sesuatu yang ditelan
menyentuh daerah yang mengalami peradangan. Peradangan tonsil akan mengakibatkan pembesaran
yang menyebabkan kesulitan
menelan atau seperti ada yang mengganjal di tenggorok. Pada anak biasanya keadaan ini juga dapat
mengakibatkan keluhan berupa ngorok
saat tidur karena pengaruh besarnya tonsil mengganggu pernafasan bahkan keluhan sesak nafas juga
dapat terjadi apabila pembesaran tonsil telah menutup jalur pernafasan. Jika peradangan telah
ditanggulangi, kemungkinan tonsil kembali pulih seperti semula atau bahkan
tidak dapat kembali sehat seperti semula.
Apabila tidak terjadi penyembuhan yang
sempurna pada tonsil, dapat terjadi infeksi
berulang. Apabila keadaan ini menetap, bakteri patogen akan bersarang di dalam tonsil dan terjadi
peradangan yang kronis atau yang disebut dengan tonsilitis kronis.
Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang paling sering terjadi dari semua penyakit
tenggorok yang berulang. Tonsilitis kronis
umumnya terjadi akibat komplikasi tonsilitis akut, terutama yang tidak mendapat terapi adekuat.
Selain pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat, faktor predisposisi timbulnya
tonsilitis kronis lain adalah higien mulut yang buruk, kelelahan fisik dan beberapa jenis makanan.

Patofisiologi tonsillitis yaitu :Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, bila epitel terkikis maka jaringan
limfoid superficial mengadakan reaksi. Terdapat pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit poli
morfonuklear. Proses ini secara klinik tampak pada korpustonsil yang berisi bercak kuning yang
disebut detritus. Detritus merupakan kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas, suatu
tonsillitis akut dengandetritus disebut tonsillitis lakunaris, bila bercak detritus berdekatan menjadi
satumaka terjadi tonsillitis lakonaris. Bila bercak melebar, lebih besar lagi sehingga terbentuk
membran semu (Pseudomembran), sedangkan pada tonsillitis kronik terjadi karena proses
radangberulang maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis. Sehingga pada
prosespenyembuhan, jaringan limfoid diganti jaringan parut. Jaringan ini akan mengkerut sehingga
ruang antara kelompok melebar (kriptus) yang akan diisi olehdetritus, proses ini meluas sehingga
menembus kapsul dan akhirnya timbulperlengkapan dengan jaringan sekitar fosa tonsilaris. Pada anak
proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfe submandibular

Aktivitas imunologi pada tonsil aktif pada usia 3-10 tahun (Zuhdi et al., 2020).
Ukuran tonsil palatina akan bertambah saat usia 5-7 tahun dan mencapai ukuran maksimal pada masa
pubertas dimana pada masa ini, tonsil akan mengalami involusi karena terjadi atrofi jaringan limfoid
dan hanya menyisakan sedikit jaringan limfoid saat usia tua (Standring et al., 2016). Saat mengalami
tonsilitis kronik, sistem imunitas akan menurun dan terjadilah peningkatan konsentrasi TNF-α, IL-1,
dan IL-6 dalam jaringan akibat hasil dari produksi berlebih karena aktivasi monosit dan makrofag
oleh stimulasi agen patogen yang berulang (Todorović & Zvrko, 2013). Sensitivitas sistem imun dan
kerja tonsil akan semakin menurun ketika tonsil mengalami infeksi dan inflamasi. Dampak dari
menurunnya sensitivitas sistem imun adalah komponen sistem imun tidak bisa bekerja dengan baik
untuk membandingkan sel normal dan abnormal sehingga secara tidak langsung dapat menurunkan
kualitas hidup karena kerja tonsil tidak maksimal untuk melawan patogen dan tonsil mudah terinfeksi
pathogen (Zuhdi et al., 2020).

Anda mungkin juga menyukai