Disusun oleh:
Su Il Yi (202305000124)
FAKULTAS HUKUM
2023
Kronologi Singkat Kasus :
Kami menyimpulkan bahwa terjadi suatu konflik penipuan dan/atau wanprestasi antara
beberapa pihak yang masih bersifat abu-abu. Dalam Direktori Putusan Mahkamah Agung,
dengan Nomor Katalog 4/Yur/Pdt/2018, Telah terbukti bahwa seorang Terdakwa melakukan
peminjaman uang sebesar Rp4.750.000,00 dari Wa Ode Ikra, seorang warga setempat yang
kini menjadi saksi korban. Peminjaman tersebut melibatkan suatu kesepakatan mengenai
waktu pengembalian uang yang telah ditetapkan. Terdakwa tidak memenuhi kewajibannya,
dan uang yang dipinjamkan tidak kunjung dikembalikan sesuai kesepakatan. Saksi korban,
Wa Ode Ikra, yang telah merasa terdzolimi dengan tindakan Terdakwa, tidak tinggal diam.
Berulang kali, dia melakukan upaya penagihan terhadap hutang tersebut, berharap agar
Terdakwa memenuhi kewajibannya. Namun, semua upaya tersebut tampaknya sia-sia karena
Ketika kasus ini akhirnya dibawa ke persidangan, muncullah pembelaan dari Terdakwa.
Dalam pembelaannya, Terdakwa berpendapat bahwa konflik ini seharusnya dilihat sebagai
permasalahan dalam hubungan keperdataan antara mereka, bukan sebagai tindakan pidana.
Dengan penuh keyakinan, Terdakwa menyatakan bahwa penyelesaian kasus ini seharusnya
berada dalam ranah hukum perdata, bukan dalam wilayah hukum pidana. Puncaknya,
Terdakwa mohon pembebasan dari segala tuntutan hukum yang diajukan padanya. Dengan
argumen bahwa kasus ini lebih baik diselesaikan di ranah perdata dan bukan di koridor
pandangannya.
Pada dasarnya, konsep perjanjian merupakan hubungan keperdataan yang diatur dalam
Burgerlijk Wetboek (B.W.). Wanprestasi, atau cidera janji, terjadi ketika seseorang tidak
memenuhi janji yang telah ditetapkan, sebagaimana diatur oleh Pasal 1365 B.W. Meski
telah diserahkan namun janji tidak dipenuhi. Kondisi ini menciptakan permasalahan hukum
perkaranya berada dalam ranah perdata, dan kapan tindakan tersebut dapat dianggap sebagai
berpendapat bahwa jika seseorang tidak memenuhi kewajiban dalam sebuah perjanjian yang
dibuat dengan sah dan tidak didasari oleh itikad buruk, tindakan tersebut tidak dapat dianggap
sebagai penipuan. Sebaliknya, Mahkamah Agung menegaskan bahwa hal tersebut merupakan
masalah keperdataan, dan oleh karena itu, orang tersebut seharusnya dibebaskan dari segala
tuntutan hukum.
1. Menyatakan Terdakwa Ati Else Samalo alias Else binti W.A. Samalo tersebut diatas,
pidana;
martabatnya
4. Menetapkan barang bukti berupa: 1 (satu) lembar kwitasi tanggal 15 Mei 2014
Raha, pada hari Selasa tanggal 26 Januari 2016, oleh Ranto Indra Karta, S.H., M.H., sebagai
Hakim Ketua, Zainal Ahmad, S.H., dan Satrio Budiono, S.H., M.Hum., masing-masing
sebagai Hakim Anggota, dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari dan
tanggal itu juga oleh Hakim Ketua dengan didampingi Hakim Anggota tersebut, dibantu oleh
Darwis, S.H., Panitera Pengganti pada Pengadilan Negeri Raha, serta dihadiri oleh Usman La
Aliran yang digunakan oleh hakim adalah Airan Interessenjurisprudenz. Aliran ini
berpendapat bahwa undang-undanv tidak lengkap dan sumber hukum bukan hanya
Dalam kasus ini, korban mengatakan bahwa ia ditipu sementara penipuan ini dilakukan
dalam suatu perjanjian. Maka dari itu kasus ini bukanlah kasus penipuan, melainkan
wanprestasi di ranah perdata. Maka MA membedakan hal tersebut melalui suatu putusan
yang didalamnya memuat pembedaan penipuan dan wanprestasi. Tujuannya dibuat produk
hukum dalam kasus ini memperjelas perbedaan wanprestasu dan penipuan berdasarkan
itikad.
Terdapat dua metode dalam penemuan hukum, yaitu penafsiran hukum dan konstruksi
hukum. Dalam kasus ini, kami menyimpulkan bahwa metode hukum yang digunakan adalah
Metode Penafsiran Hukum dengan interpretasi komparatif atau perbandingan. Hal ini dapat
dilihat dari kasus tersebut yang membedakan antara kasus yang bersifat pidana dan kasus
yang bersifat perdata dengan dibedakan dari itikad sang pelaku dalam proses hukum acara.
Kesimpulan :
Dalam kasus ini, terjadi konflik ranah pidana antara Terdakwa dengan Wa Ode Ikra terkait
berpendapat bahwa konflik ini seharusnya dilihat sebagai permasalahan dalam hubungan
keperdataan antara mereka, bukan sebagai tindakan pidana. Dalam putusan Mahkamah
Agung, Terdakwa dibebaskan dari segala tuntutan hukum karena perbuatan yang
Agung menegaskan bahwa jika seseorang tidak memenuhi kewajiban dalam sebuah
perjanjian yang dibuat dengan sah dan tidak didasari oleh itikad buruk, tindakan tersebut
tidak dapat dianggap sebagai penipuan. Hal tersebut merupakan masalah keperdataan, dan
oleh karena itu, orang tersebut seharusnya dibebaskan dari segala tuntutan hukum. Dalam
kasus ini, metode penemuan hukum yang digunakan adalah metode penafsiran hukum dengan
interpretasi komparatif atau perbandingan, yang membedakan antara kasus yang bersifat
pidana dan kasus yang bersifat perdata dengan dibedakan dari itikad sang pelaku dalam