Anda di halaman 1dari 12

IMPILIKASI ISU KESETARAAN GENDER DAN PERSOALAN

PERLINDUNGAN HAK-HAK ANAK TERHADAP UNDANG-


UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2019 TENTANG
PERKAWINAN

TUGAS ANALISIS

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengantar Hukum Indonesia


Universitas Padjadjaran

Disusun oleh :

Riyadus Solikhin ( 110110190040 )

UNIVERSITAS PADJADJARAN

2019
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang masih
memberikan nafas kehidupan, sehingga kami dapat menyelesaikan pembuatan
makalah ini dengan judul “ Implikasi Isu Kesetaraan Gender dan Persoalan
Perlindungan Hak-Hak Anak Terhadap Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 ".
Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pengantar
Hukum Indonesia yang diampu oleh Dr. U. Sudjana, S.H., M.Si., Agus Pratiwi,
S.H., L.L.M., dan Mustofa Haffas, S.H., M.Kom.

Kami menyadari dalam penyususan makalah ini jauh dari kata sempurna.
untuk itu kami memohon untuk para pembaca khususnya dosen pengampu mata
kuliah untuk memberi kritikan dan saran yang bersifat membangun agar memberi
manfaat dan pengalaman kepada penulis. Terima kasih atas perhatiannya terhadap
makalah ini, dan penulis berharap semoga makalah ini memberi manfaat bagi para
pembaca.

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.........................................................................................................2

Daftar Isi..................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.................................................................................................4


1.2 Identifikasi Masalah.........................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Hubungan antara HAM dengan Perkembangan Hukum positif di Indonesia..6

2.2 Keterkaitan Isu Kesetaraan Gender terhadap UU No. 16 Tahun 2019...........7

2.3 Dampak Berlakunya UU No.16 Tahun 2019..................................................9

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan.....................................................................................................11

3.2 Saran...............................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………12

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang :

Kesetaraan gender merupakan Isu global yang sering digaungkan oleh para
aktivis HAM di dunia. Awal mula isu ini mulai diperhatikan sebagai sebuah
permasalahan yang serius ketika ilmu pengetahuan dan teknologi mulai
berkembang pesat. Muncul nya perhatian masyarakat terhadap isu kesetaraan
gender terutama kaum feminis disebabkan oleh kenyataan bahwa nasih
perempuan dalam pergaulan masyarakat tidak sebaik lawan jenisnya. Meskipun
perjuangan akan kesetaraan gender sudah berlangsung lama seperti gerakan untuk
memperbaiki nasib perempuan yang dipelopori oleh tokoh feminis Mary
Wollstonecraft serta John Stuart Mill dan juga gerakan emansipasi wanita yang
pelopori oleh R.A Kartini. Namun, pada nyatanya ketimpangan gender pada saat
ini khususnya dalam bidang pendidikan, politik, sosial dan budaya masih sangat
menonjol.

Pada saat ini khususnya di Indonesia, isu kesetaraan gender mulai muncul
kembali saat disahkannya revisi UU No. 1 tahun 1974 oleh DPR yang digantikan
oleh UU No. 16 tahun 2019 yaitu tentang batasan usia minimal untuk
melangsungkan perkawinan bagi laki-laki dan perempuan yang termuat dalam
pasal 7 ayat 1 yang berbunyi " Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan
wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun". Menteri Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise menyatakan bahwa revisi
dilakukan bertujuan untuk melindungi hak anak dan terciptanya perkawinan yang
sehat dan sejahtera. Undang-undang ini di harapkan dapat mengurangi praktik
pernikahan anak di usia dini.

4
Sebelum revisi ini dilakukan batas minimal usia untuk melangsungkan
perkawinan yang termuat dalam pasal 7 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974 adalah 16
tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki. Banyak kalangan yang
menilai bahwa batasan usia yang ditetapkan dalam undang-undang tersebut
merupakan bentuk diskriminasi terhadap kaum perempuan dan mengekang
perempuan untuk mendapatkan kesempatan yang lebih layak. Diskriminasi
tersebut juga berlanjut karena sebagian kalangan beranggapan jika ada perbedaan
dalam batas usia perkawinan, perempuan tidak akan bisa mendapatkan
kesempatan yang sama dengan laki-laki. Ketua Pelaksana Harian Lingkaran
Pendidikan Alternatif (KAPAL) Perempuan, Misiyah, juga berpendapat
seharusnya perempuan bisa mendapatkan hak-hak dasar yang sama dengan laki-
laki seperti dalam bidang pendidikan sesuai dengan bunyi pasal 32 ayat 2 UUD
1945 " Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah
wajib membiayainya ". Selain itu, UU No. 1 tahun 1974 juga dinilai seolah-olah
membenarkan adanya pernikahan dini bagi perempuan karena di usia tersebut
seharusnya anak masih bisa mengembangkan potensi yang ada di dalam dirinya.

1.2 Rumusan Masalah :

• Apakah disahkannya revisi UU No. 1 tahun 1974 oleh DPR terutama


dalam pasal 7 ayat 1 merupakan langkah yang tepat ?
• Apakah Revisi tersebut merupakan solusi yang tepat bagi terlindunginya
hak anak dan solusi atas permasalahan akan kesetaraan gender dalam hal
perkawinan?

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Hubungan antara isu global terutama HAM dengan Perkembangan


Hukum positif di Indonesia:

Peran isu kesetaraan gender sendiri yang merupakan isu global sangat
berpengaruh terhadap perkembangan hukum positif di Indonesia. Hal ini sesuai
dengan pendapat satjipto rahardjo yang mengemukakan bahwa hukum itu tidak
jatuh begitu saja dari langit, melainkan tumbuh dan berkembang bersama
pertumbuhan masyarakatnya. Jadi hukum sendiri harus menyesuaikan
pekembangan kehidupan masyarakat walaupun perkembangannya lebih lambat
dari dinamika kehidupan masyarakat. Era globalisasi juga sangat mempengaruhi
perkembangan hukum positif di Indonesia karena dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi perkembangan isu global dapat secara cepat masuk
dan mempengaruhi pola pikir kehidupan masyarakat. Untuk itu pemerintah harus
berhati-hati dalam membuat peraturan. Menurut Arief Hidayat menyatakan bahwa
dalam membuat peraturan hukum harus berlandaskan pada empat pilar kehidupan
berbangsa. Beberapa pilar kehidupan berbangsa itu antara lain Pancasila, Undang-
Undang Dasar Neraga Republik Indonesia 1945, Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan Bhineka Tunggal Ika (Arief Hidayat, Bahan Kuliah Pemba-haruan
Hukum Nasional, PDIH KPK Undip-Unila, Bandar Lampung,30 Januari 2011).

Salah satu isu global yang sedang ramai diperbincangkan oleh dunia
internasional adalah tentang Hak Asasi Manusia ( HAM). Pasal 1 angka (1)
Undang-Undang No. 39 Tahun1999 tentang HAM, menyebutkan HAM adalah
seperangkat hak yang pada hakikadan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan
Yang Maha Esa dan merupakananugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung
tinggi, dan dilindungi oleh negara,hukum, pemerintah, dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Isu global tentang
HAM ini sering sekali digaungkan karena banyaknya kasus pelanggaran HAM di
dunia terutama indonesia. Mereka menuntut agar hak-hak setiap manusia yang

6
ada di muka bumi ini dihormati oleh orang lain karena HAM sendiri merupakan
hak yang mutlak yaitu hak yang memberikan kewenangan kepada seseorang
untuk melakukan suatu perbuatan dan dapat dipertahankan terhadap siapapun
juga, setiap orang harus menghormati hak ini. Dalam menjalankan hak nya setiap
orang juga harus memperhatikan hak-hak orang lain tanpa merugikan siapapun.

Dengan adanya isu mengenai HAM ini memberikan dampak yang cukup
signifikan terhadap perkembangan hukum positif di indonesia. Dalam perumusan
peraturan perundang-undangan. Contohnya saja dalam perumusan dan revisi
undang-undang, masyarakat sekarang sudah sadar dan peka hal-hal yang berkaitan
dengan ham. Dalam salah satu kasus mengenai RUUKUHP pada pasal 417 ayat 1
yang berbunyi "Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang
bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling
lama 1 tahun atau denda kategori II". Pasal dinilai bertentangan dengan prinsip
HAM yang dijamin oleh PBB yaitu Right to sexuality yang menjadi bagian dalam
rights to privacy dibidang seksualitas. Namun ada juga revisi undang-undang
yang dilakukan pemerintah atas dasar HAM yaitu revisi undang-undang No. 1
tahun 1974 tentang perkawinan. Revisi tersebut tersebut dilakukan terhadap pasal
7 ayat 1 tentang batasan minimal usia untuk melangsungkan perkawinan yang
berbunyi " Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas)
tahun ". Undang-undang tersebut dinilai melanggar konsep HAM yaitu tentang
keseteraan gender karena laki-laki dan perempuan seharusnya memiliki hak-hak
yang sama, untuk itu pemerintah merevisi undang-undang tersebut menjadi UU
nomer 16 tahun 2019 tentang perkawinan dimana batasan minimal usia menikah
antara laki-laki dan peremuan menjadi sama yaitu 19 tahun.

2.2 Keterkaitan isu kesetaraan gender terhadap berlakunya UU No. 16


Tahun 2019 :

Revisi terhadap pasal 7 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974 menimbulkan pro dan
kontra di kalangan masyarakat. Tidak sedikit dari mereka yang mempertanyakan

7
apa dasar pemerintah untuk merevisi undang-undang tersebut. Salah satu alasan
merevisi batas usia perkawinan adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
22/PUU-XV/2017. Salah satu pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusan
tersebut yaitu 'Namun tatkala pembedaan perlakuan antara pria dan wanita itu
berdampak pada atau menghalangi pemenuhan hak-hak dasar atau hak-hak
konstitusional warga negara, baik yang termasuk ke dalam kelompok hak-hak
sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, pendidikan, sosial, dan kebudayaan,
yang seharusnya tidak boleh dibedakan semata-mata berdasarkan alasan jenis
kelamin maka pembedaan demikian jelas merupakan diskriminasi'. Selain itu
revisi ini dilakukan karena batas usia untuk melangsungkan perkawinan yang
termuat dalam Pasal 7 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974 bertentangan dengan batas
usia anak yang di maksud dalam UU No. 35 Tahun 2014 tentang perlindungan
anak. Hal ini menunjukan bahwa batas usia untuk melakukan perkawinan yang
ditetapkan dalam UU No. 1 tahun 1974 seakan-akan melagalkan pernikahan anak
dibawah umur.

Penetapan batas minimal usia untuk melangsungkan perkawinan yang


berbeda antara laki-laki dan perempuan bukan hanya persoalan diskriminasi
mengenai pelaksanaan hak untuk membentuk keluarga yang dijamin oleh pasal
20b ayat 1 UUD 1945 melainkan juga perlindungan dan pemenuhan hak-hak
anak. Perkawinan anak dibawah umur dapat mengancam dan berdampak negatif
terutama pada kesehatan. Selain itu peluang untuk terjadi eksploitasi dan
kekerasan terhadap anak juga akan lebih tinggi. Seorang anak juga berhak untuk
mendapatkan pendidikan dasar 12 tahun sesuai dengan pasal 31 UUD 1945. Jika
seorang anak perempuan menikah dibawah usia 16 tahun maka anak tersebut akan
kehilangan hak untuk mendapatkan pendidikan dasar 12 tahun padahal
pendidikan merupakan hak konstitusional yang seharusnya didapatkan setara
dengan laki-laki. Hal ini lah yang menjadi dasar juga bagi pemerintah dalam hal
ini DPR untuk merevisi undang-undang tersebut yaitu tentang kesetaraan gender.
Bukan hanya soal persamaan batas usia minimal untuk melangsungkan
perkawinan tetapi juga soal hak-hak yang didapatkan oleh perempuan harus sama
dengan apa yang didapatkan oleh laki-laki apalagi dalam persoalan pendidikan.

8
KPAI mencatat pada 2018, ada sebanyak 4.885 aduan masyarakat soal
kasus pelanggaran hak anak. Sesuai dengan laporan Badan Pusat Statistik dari
tahun 2016-2017. Indonesia adalah negara yang mempunyai prevalensi
perkawinan usia anak tertinggi di wilayah Asia Timur dan Pasifik. Perempuan
yang berusia 20-24 tahun sekitar 25 persen yang menikah di bawah umur 18
tahun, bahkan dibeberapa provinsi di Indonesia ada yang mencapai angka 30
persen seperti sulawesi barat. Untuk itu disahkannya revisi UU No. 1 tahun 1974
sangatlah tepat jika dilihat dari tujuan awal pemerintah dalam merivisi UU ini
dimana batas minimal usia untuk melangsungkan perkawinan laki-laki dan
perempuan disamakan yaitu 19 tahun yang termuat dalam UU No. 16 Tahun
2019.

2.3 Dampak Berlakunya UU No. 16 Tahun 2019 :

UU No. 16 Tahun 2019 yang mulai berlaku sejak 15 oktober 2019


memberikan dampak kepada pasangan yang ingin melangsungkan perkawinan,
dimana batas usia minimal untuk melangsungkan perkawinan adalah 19 untuk
kedua mempelai seperti yang tertuang dalam pasal 7 ayat 1. Namun, jika keadaan
menghedaki perkawinan dapat dilangsungkan meskipun salah satu pasangan
belum mencapai usia yang yang dimaksud dalam undang-undang tersebut.
Pasangan yang ingin melangsungkan perkawinan tetapi belum memenuhi syarat
usia sesuai dengan pasal 7 ayat 1 dapat mengajukan permohonan dispensasi oleh
orang tua dari salah satu atau kedua belah pihak calon mempelai. Dispensasi
sendiri adalah pemberian hak kepada seseorang untuk menikah meskipun usianya
belum mencapai batas minimal 19 tahun. Untuk pasangan yang beragama islam
dapat mengajukan permohonan dispensasi ke pengadilam agama, sedangkan bagi
pemeluk agama lain dapat mengajukannya ke pengadilan negeri.

Permohonan dispensasi tertuang dalam pasal 7 ayat 2 UU No. 16 Tahun


2019 yang berbunyi " Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orang tua pihak pria dan/atau orang tua
pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan sangat

9
mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup ". Keadaan mendesak yang
termuat dalam undang-undang tersebut adalah keadaan dimana tidak ada pilihan
lain dan sangat terpaksa untuk segera melangsungkan perkawinan. Alasan
mendesak ini bukan sekedar klaim, tetapi harus disertai bukti-bukti yang cukup
yaitu surat keterangan mempelai masih dibawah ketentuan perundang-undangan,
keterangan dari tenaga medis bahwa perkawinan tersebut mendesak untuk segera
dilangsungkan, dan termasuk saksi lain. Undang-undang perkawinan yang
menegaskan pemberian dispensasi oleh pengadilan kepada mempelai yang masih
dibawah usia dalam ketentuan perundang-undangan menunjukan semangat
pencegahan perkawinan anak, pertimbangan moral, agama, adat dan budaya,
aspek psikologis, aspek kesehatan, dan dampak yang ditimbulkan.

10
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan :

Disahkannya Revisi UU No. 1 Tahun 1974 yang perubahannya sudah


dituangkan lewat UU No. 16 Tahun 2019 merupakan langkah yang tepat karena
revisi tersebut didasarkan pada semangat perlindungan hak-hak anak dan juga
untuk menekan jumlah perkawinan anak di bawah umur yang akan memberikan
dampak negatif pada anak itu sendiri. Jadi, bukan hanya persoalan kesetaraan
gender pada batas minimal usia perkawinan antara laki-laki dan perempuan tetapi
sudah masuk kedalam prinsip pemenuhan hak-hak anak yang telah dijamin oleh
konstitusi terutama dalam bidang pendidikan.

Revisi UU ini merupakan solusi yang tepat dalam mengatasi persoalan


hilangnya hak-hak anak karena perkawinan. Usia perkawinan yang termuat dalam
pasal 7 ayat 1 UU No. 16 Tahun 2019 adalah 19 tahun. Dapat diartikan bahwa
batas usia tersebut sudah melewati batas usia anak yang tertuang dalam UU No.
35 tahun 2014 yaitu 18 tahun sehingga jumlah pernikahan anak dibawah umur
dapat ditekan.

3.2. Saran :

Pemerintah dalam hal ini adalah pengadilan agama dan pengadilan negeri
harus berhati-hati dalam memberikan hak dispensasi terhadap pasangan yang akan
melangsungkan perkawinan tetapi belum memenuhi syarat batas usia perkawinan
yang telah ditetapkan dan undang-undang. Alasan dan bukti yang diberikan oleh
salah satu atau kedua orang tua mempelai harus dapat dipertanggungjawabkan
sehingga pemberian dipensasi ini akan sesuai dengan apa yang sudah diamanatkan
dalam undang-undang.

11
DAFTAR PUSTAKA

UU Perkawinan Dianggap Cermin Diskriminasi terhadap Perempuan. (2016, maret 7).


Diambil kembali dari koalisiperempuan.or.id:
http://www.koalisiperempuan.or.id/

MK Kabulkan Gugatan Batas Usia dalam UU Perkawi. (2018, 12 13). Diambil kembali
dari CNN Indonesia: https://www.cnnindonesia.com/

RUU KUHP Dinilai Melanggar HAM. (2019, september 22). Diambil kembali dari
mediaindonesia: https://mediaindonesia.com/

Maharani, T. (2019, september 18). Aturan Batas Minimal Menikah Usia 19 Tahun
Berlaku Efektif Sejak Diundangkan. Diambil kembali dari detikNews:
https://news.detik.com/

Maharani, T. (2019, september 16).Revisi UU perkawinan disahkan DPR hari ini, usia
minimal jadi 19 tahun. Diambil kembali dari detikNews: https://news.detik.com/

Rusli, T. (2011). Pembangunan Hukum Hak Asasi Manusia Di Indonesia Dalam Era
Globalisasi. jurnal.ubl.ac.id, 111-122.

Yasin, M. (2019, oktober 24). Dispensasi Perkawinan Tetap Dimungkinkan, Begini


Syaratnya Menurut UU Perkawinan yang Baru. Diambil kembali dari
Hukumonline: https://www.hukumonline.com/

12

Anda mungkin juga menyukai