Anda di halaman 1dari 41

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id
7

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Saturasi Oksigen

a. Definisi

Saturasi oksigen adalah rasio antara jumlah oksigen yang terikat oleh

hemoglobin terhadap kemampuan total hemoglobin darah mengikat oksigen.

(Djojodibroto, 2009). Nilai SaO2 normal pada level 95 – 98,5% dan nilai PaO2

normal 71 – 104 mmHg (9,5 – 13,9 kpa). (Roffe, 2001)

PaO2 (tekanan parsial oksigen) adalah tekanan parsial oksigen dalam

arteri (mm Hg)yang didapat melalui pemeriksaan AGD (analisis gas darah). CaO2

(oxygen content) adalah kadar oksigen dalam darah arteri. Menurut evidence

based penurunan CaO2 lebih bermakna daripada PaO2 arteri sebagai petunjuk

adanya vasodilatasi cerebral.

Ca O2 = (1,34 x kadar Hb X SaO2) + (0,003xPaO2)

Namun, karena oksigen yang larut dalam plasma sangat kecil (1,5%),

sering kali perkalian 0,003 x PaO2 diabaikan, menjadi :

Ca O2 = (1,34 x kadar Hb X SaO2).

DO2 (Oxygent Delivery) adalah jumlah total oksigen yang dialirkan darah
kejaringan setiap menit. Kadar DO2 tergantung cardiac output (CO) dan oxygen
content of the arterial blood (CaO2). Komponen dari CaO2 adalah oksigen yang
berikatan dalam serum (2-3%) yang dapat ditelusuri dengan kadarPaO2 dan
oksigen yang berikatan dengan hemoglobin (97-98%) yang dapat ditelusuri
commit to user
dengan SaO2. Dari definisi ini dapat dijabarkan sebuah rumus:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
8

DO2 = CO x {(1,39 x Hb x SaO2) + (0,0031 x PaO2)}

Do2 : nilai oxygen delivery (mL O2.menit-1)

CO : jumlah cardiac output (L.menit-1)

Jumlah cardiac output didapatkan dari besarnya stroke volume dikalikan


dengan heart rate. Besarnya stroke volume rata-rata orang dewasa dalam posisi
supine adalah 70 mL.
Hb : kadar hemoglobin (gr/L)
SaO2 : saturasi hemoglobin yang berikatan dengan oksigen (10-2)

PaO2 : tekanan parsial oksigen dalam arteri (mm Hg)

Nilai normal oxygen delivery adalah 1000 mL O2/menit. Dari rumus diatas
dapat dilihat bahwa kadar hemoglobin (Hb) dan saturasi oksigen (SaO2) adalah
penentu utama pada pengaliran oksigen dalam darah ke seluruh jaringan tubuh
termasuk otak(Safrizal & Saanin, 2013).
CMRO2 (oxygen cerebral metabolism) merupakan jumlah oksigen yang

dibutuhkan untuk metabolisme di jaringan otak. Kebutuhan O2 tubuh adalah 250

ml/menit (otak 20% = 50 ml/menit), jumlah tersebut secara keseluruhan cukup

untuk mensuplai metabolisme aerob, sehingga jika berhenti selama 3 – 4 menit

akan terjadi gangguan pada organ-organ vital (otak) (Djojodibroto, 2009).

b. Anatomi dan Fisiologi Sistem Respirasi

Terdapat 5 hal penting yang berperan dalam sistem respirasi, yaitu :

1) Kontrol respirasi.

Respirasi terjadi sangat tergantung pada stimulasi adanya karbondioksida

yang akan melepaskan ion hidrogen. Ion hidrogen ini yang akan menstimulasi

pusat pernafasan yang terletak di medula oblongata. (Pokdi Neurointensif

Perdossi, 2010). commit to user


perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
9

2) Struktur anatomi

Otot pernafasan (diafragma dan otot interkostalis) sangat berperan penting

dalam menciptakan tekanan negatif yang terjadi pada proses inspirasi. (Pokdi

Neurointensif Perdossi, 2010)

3) Ventilasi Paru

Saluran nafas sangat berperan pada proses respirasi. Jika terdapat sumbatan,

dapat terjadi pertukaran gas. Gangguan atau proses patologis seperti infeksi

saluran nafas atas akan mengganggu proses ventilasi. (Pokdi Neurointensif

Perdossi, 2010)

4) Transportasi gas.

Oksigen yang sampai ke paru akan dibawa ke seluruh jaringan. Agar suplai

oksigen ke otak dapat secara optimal maka aliran darah ke otak, jumlah oksigen

yang dibawa oleh darah, jumlah sel eritrosit dan jumlah oksigen dalam arteri

harus adekuat. (Pokdi Neurointensif Perdossi, 2010).

5) Pertukaran Gas

Setelah oksigen sampai ke jaringan maka akan terjadi respirasi tingkat seluler.

(Pokdi Neurointensif Perdossi, 2010)

c. Hipoksemia dan hipoksia

Hipoksemia adalah penurunan tekanan parsial oksigen pada arteri atau

penurunan konsentrasi oksigen dalam darah arteri. Sedangkan hipoksia adalah

kekurangan oksigen pada tingkat seluler/jaringan, ambilan dan pemakaian oksigen

seluler yang tidak adekuatatau tekanan oksigen di tingkat seluler tidak adekuat

(Pokdi Neurointensif Perdossi, 2010). Terminologi hipoksia diartikan kadar


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
10

oksigen di bawah normal. Hal tersebut termasuk pada hipoksia kedua jaringan

(otak, miokardium) dan hipoksia pada darah (hipoksemia). Hipoksia jaringan

peruntukkan konsentrasi oksigen pada darah dan juga perfusi jaringan, sementara

hipoksemia didefinisikan konsentrasi okseigen pada udara inspirasi dan yang

ditransfer ke darah. (Ferninand & Roffe, 2016).

Pada hipoksemia akan terjadi respon fisiologis pada sistem respirasi,

sistem kardiovaskuler maupun sistem hematologi. Pada sistem respirasi akan

terjadi hiperventilasi sehingga PaO2 meningkat, namun apabila terjadi hal tersebut

terjadi terus menerus maka dapat terjadi peningkatan kerja otot pernafasan.

Sedang pada sistem kardiovaskuler dapat berefek pada peningkatan denyut

jantung dan volume sekuncup serta dapat terjadi vasokontriksi pembuluh darah

pulmoner. Kompensasi pada sistem kardiovaskuler ini akan berdampak

membaiknya ventilatory-perfusion matching, peningkatan PaO2 dan deliveri

oksigen. Namun, pada proses lanjut dapat mengakibatkan peningkatan tekanan

pada arteri pulmonal. Respon fisiologis yang terjadi pada sistem hematologi akan

menyebabkan peningkatan eritropoetin dan meningkatkan kadar hemoglobin,

sehingga terjadi peningkatan kapasitas oksigen yang dibawa. Pada tahap lanjut

akan menyebabkan peningkatan kerja jantung (Pokdi Neurointensif Perdossi,

2010).

Pada hipoksia akan terjadi kegagalan metabolisme tingkat seluler pada

jaringan yang bersangkutan, misal pada otak, sehingga berakibat kekurangan ATP

sebagai hasil metabolisme dan peningkatan laktat sebagai hasil metabolisme

anaerob. (Pokdi Neurointensif Perdossi, 2010).


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
11

Oxygen Delivery (DO2) ke jaringan khususnya jaringan otak perlu dijaga.

Oxygen Delivery (DO2) tergantung dari kemampuan jantung (cardiac output) dan

kandungan oksigen arteri yang ditentukan oleh kadar hemoglobin dan saturasi

oksigen. Prinsip dalam menjaga balans oksigen yaitu keseimbangan pemakaian

(demand) dan suplai (delivery). Dalam kondisi patologi hendaknya diusahakan

menekan pemakaian oksigen yang berlebihan dan menjaga suplai tetap baik

(Pokdi Neurointensif Perdossi, 2010).

Beberapa upaya dalam menekan pemakaian oksigen di otak yang

berlebihan antara lain mencegah kejang, mengatasi hipertermi, mengatasi nyeri,

cemas dan agitasi, menggigil dan tidak melakukan stimulasi berlebihan seperti

penyedotan lendir pernafasan yang berlebihan (Pokdi Neurointensif Perdossi,

2010).

Untuk menjaga metabolisme aerobik pada tingkat seluler maka tubuh akan

sangat membutuhkan oksigen. Di otak tidak ada cadangan oksigen sehingga

metabolisme serebral tergantung pada suplai oksigen. Agar hal tersebut tetap

terjaga dengan baik maka sistem respirasi harus adekuat. Sistem respirasi

bertujuan untuk menyediakan kecukupan oksigen bagi metabolisme sel dan

mengeluarkan CO2 dari hasil metabolisme. (Pokdi Neurointensif Perdossi, 2010)

Kriteria hipoksemia tergantung pada kadar PaO2 atau SaO2 :

PaO2 SaO2
Normal 80 – 90 mmHg ˃ 95%
Ringan 60 – 90 mmHg 90 – 94 %
Sedang 40 – 60 mmHg 75 – 89 %
Berat < 40 mmHg < 75%
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
12

d. Etiologi hipoksemia

Pasien stroke berisiko terjadi hipoksemia karena beberapa sebab, baik

akibat langsung dari stroke maupun faktor lain yang berhubungan misal

kelemahan otot nafas pada sisi hemiplegi, gangguan pusat respirasi, sleep apnea

dan komplikasi stroke seperti aspirasi, infeksi paru-paru, emboli paru dan edema

pulmonal neurogenik.

1) Kelemahan otot respirasi.

Stroke dengan lesi di kortek menyebabkan kelemahan gerak volunter

bukan involunter, contoh gangguan gerak otot intercostal dan diafragma pada

salah satu hemiplegi. Pembesaran dinding toraks menurun 17% pada bagian

atas dan menurun 10% pada bagian bawah, suara nafas menurun pada saat

inspirasi pada daerah tersebut. Penurunan gerak diafragma dapat dilihat selama

inspirasi dalam (hemisiafragma) pada saat foto toraks. Karena hanya

berpengaruh pada otot pernafasan volunter, gerakan respirasi involunter dalam

batas normal, kelemahan otot tidak mengganggu oksigenasi dasar (baseline)

namun berisiko terjadi infeksi saluran nafas pada sisi hemiplegi. Karena

kelemahan diafragma, suara nafas menurun dan fungsi batuk (volunter) kurang

efektif pada saat posisi supine.

2) Regulasi pusat respirasi

Fungsi respirasi normal tergantung pada struktur yang komplek dari

sistem saraf pusat yang meliputi korteks cerebri hingga nukleus pontomedular.

Di korteks cerebri area yang mengatur fungsi respirasi terdapat pada girus

hipokampal anterior, lobus temporal, insula dan girus limbik. Pada saat
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
13

istirahat korteks mempunyai fungsi inhibisi respirasi dan pada saat terjadi

infark akan terjadi peningkatan frekuensi rata-rata respirasi. Stimulasi pada

area yang sama (misal pada epilepsi) dapat menyebabkan terjadinya apnea.

3) Gangguan nafas berhubungan dengan tidur

Untuk menilai oksigen pasien stroke, perlu studi pasien pada siang dan

malam hari. Lebih dari seperempat pasien stroke dengan saturasi oksigen

normal menjadi hipoksia signifikan pada saat tidur malam hari. Bahkan pada

subjek normal, saturasi lebih rendah 1% pada malam hari selama tidur dari

pada siang hari. Prevalensi gangguan nafas berkaitan dengan tidur pada pasien

stroke berkisar 59 – 95%. Pada sebuah studi disebutkan bahwa Apnoe

Hypopnoe Index (AHI) (jumlah apnoe/hypopnea per jam) menurun dari 32

pada 2 minggu menjadi 24 setelah 6 minggu. Pada studi dengan kontrol,

insiden sleep disorder breathing 1,4 – 71 kali lebih tinggi pada pasien stroke

daripada kontrol. Perbedaan saturasi oksigen malam hari pada pasien stroke

paling rendah 3 – 6% daripada kontrol.

4) Sleep apnea

Sleep apnea dibagi menjadi apnea/hipopnea obstruktif dengan masih

terdapat usaha nafas, apnea/hipopnea central tanpa usaha nafas dan campuran.

Mayoritas apnea pada pasien stroke adalah obstruktif atau campuran, kurang

dari 10% murni central.

Sleep apnea obstruktif terjadi 4% pada dewasa. Sleep apnea pada stroke

sebelumnya mempunyai riwayat mengorok (snoring) saat tidur dan lebih sering

merupakan sebagai faktor risiko stroke dan penyakit kardiovaskuler daripada


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
14

akibat dari stroke-nya sendiri.

5) Respirasi cheyne stokes

Lebih sering diakibatkan oleh gangguan pusat respirasi.

6) Aspirasi

Disfagia mempunyai risiko respirasi dan penurunan saturasi oksigen

kurang lebih 2 % pada saat terjadi aspirasi.

7) Hipoksemia berkaitan dengan posisi tubuh.

Posisi upright (duduk, berdiri) dibandingkan supine mengakibatkan

penurunan saturasi sebesar 1%. (Roffe, 2001)

e. Terapi oksigen

Indikasi terapi oksigen

1) PaO2< 60 mmHg atau SaO2> 90 %, sedangkan guidline stroke 2011

merekomendasikan pemberikan oksigen jika saturasi O2< 95%.

2) Keadaan akut pasien suspek hipoksemia.

3) Kondisi hipermetabolik seperti MCI akut, stroke akut, trauma berat dan lain-

lain.

4) Post operatif (short term) (Pokdi Neurointensif Perdossi, 2010).(Pokdi

Stroke, 2011)

Langkah-langkah terapi oksigen :

1) Nilai SaO2 pasien (dengan pulse oxymetri). Pada umumnya diperlukan target

SaO2 > 90%.

2) Cari dan atasi penyebab penurunan SaO2 (Airway, Breathing).

3) Tetapkan metode pemberian oksigen (Oxygen Delivery Device)


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
15

4) Evaluasi secara berkala (monitoring) (Pokdi Neurointensif Perdossi, 2010)

Sistem Deliveri Gas (Oxygen Delivery Device)

Dikenal 3 sistem deliveri gas yaitu rebreathing, partial rebreathing dan non

rebreathing.

1) Sistem rebreathing

Pada sistem ini udara yang dihasilkan paru-paru dalam reservoir khusus.

CO2 yang dihasilkan udara ekspirasi akan diserap oleh CO2 absorber. Pada

sistem ini udara yang dihasilkan pari akan dihirup kembali tanpa CO2. Sistem ini

digunakan untuk deliveri gas anestesi dan jarang atau tidak dipakai dalam praktek

sehari-hari.

2) Sistem partial rebreathing

Pada sistem ini sebagian udara hasil ekspirasi dari ruang mati anatomi

akan masuk ke dalam kantong reservoir. Selain itu reservoir juga menerima aliran

udara segar. Sehingga udara inspirasi terdiri dari udara ekspirasi (CO2 sedikit)

dan aliran udara segar (O2 murni).

3) Sistem Nonrebreathing

Sistem ini merupakan sistem deliveri oksigen yang banyak dipakai pada

umumnya. Pada sistem ini udara ekspirasi dikeluarkan (CO2 yang dikeluarkan

tidak dihirup kembali selama pernafasan berikutnya). Ini termasuk high flow

system & low flow system.(Pokdi Neurointensif Perdossi, 2010).

a) High flow system

Pada sistem high flow ini aliran udara inspirasi dapat mencukupi aliran

inspirasi puncak pasien. Konsentrasi oksigen yang dihirup sewaktu inspirasi dapat
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
16

diketahui dan stabil sehingga dapat dipakai kalau kita menginginkan FiO2 yang

konsisten dan dapat diprediksi. Sistem ini dapat dipakai untuk pasien dengan pola

pernafasan yang tidak stabil, contoh venturi mask. Venturi mask akan membawa

oksigen yang sudah dihumidifikasi. Dengan alat ini FiO2 dapat ditingkatkan

sampai 24% - 50% dengan cara mencampur udara ruangan dengan O2. FiO2

dapat diatur dengan tepat sesuai dengan yang dikehendaki (konsentrasi rendah =

24%, 26%, 28%, 31%; konsentrasi tinggi = 35%, 40%, 50%). Apabila diperlukan

terapi obat melalui inhalasi, maka dapat dipakai aerosol devices dengan

menambahkan botol aerosol.

b) Low flow system

Sistem deliveri oksigen ini banyak dipakai karena simpel, mudah pemakaian,

familiar untuk petugas medis, ekonomis, mudah diterima pasien dan mudah

didapatkan. Pada sistem ni aliran udara inspirasi tidak dapat memenuhi flow

inspirasi puncak pasien. Kadar oksigen inspirasi (FiO2) tergantung pada

kecepatan aliran okgien, reservoir dan pola ventilasi pasien. Perlu diingat bahwa

low flow berarti low oksigen consentration.(Pokdi Neurointensif Perdossi, 2010).

f. Evaluasi dan monitoring terapi oksigen

Setelah melakukan terapi oksigen sangatlah perlu untuk melakukan

monitoring keberhasilan terapi. Apabila dengan alat tertentu belum memadai

untuk mengatasi hipoksia, maka harus segera dipertimbangkan untuk mengganti

dengan alat lain yang lebih naik dalam meningkatkan konsentrasi oksigen. Begitu

juga sebaliknya apabila dengan alat tertentu sudah bisa mengatasi hipoksia dan

pasien sudah stabil, maka sebaiknya segera mengganti dengan alat yang lebih
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
17

sederhana. Beberapa hal yang perlu diperlukan dalam pemantauan terapi oksigen

ini antara lain :

1) Evaluasi gejala klinis, apakah masih ada tanda-tanda hipoksia.

2) Menggunakan pulse oxymetri

3) Kapnograf

4) Analisa gas darah.

5) Ro foto toraks

6) EKG (Pokdi Neurointensif Perdossi, 2010)

Acuan dalam mengambil sikap terhadap adanya gangguan respirasi (Pokdi

Neurointensif Perdossi, 2010).

No Parameter Acceptable range Fisioterapi, Intubasi,


Terapi Oksigen, Tracheostomi,
Pemantauan Ketat Ventilasi
1 Frekuensi nafas 12 – 25 25 – 35 ˃35
2 Kapasitas vital (mL/kg) 70 – 30 30 – 15 ˂ 15
3 Gas Darah
PaO2 100 – 70 (udara) 200 – 70 70 (Mask O2)
PaCO2 35 – 45 45 – 60 ˃60
AaDO2 20 – 200 200 – 350 ˃350
4 VD/VT 0,3 – 0,4 0.4 – 0,6 ˃ 0,6
5 Inspiration Force 100 - 50 50 – 25 ˂ 25

2. Stroke dan Outcome Stroke

a. Definisi Stroke

Secara konvensional sesuai definisi WHO 1977, diagnosis stroke dibuat

jika terdapat defisit neurologis fokal yang menetap lebih dari 24 jam, sedangkan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
18

transient ischaemic attack (TIA) merupakan defisit neurologis fokal yang

berlangsung kurang dari 24 jam. Pada tahun 1990 terdapat pembaharuan bahwa

TIA merupakan episode utama dari defisit neurologis focal yang disebabkan

gangguan iskemik otak dan retina yang berlangsung kurang dari 1 jam. Namun

demikian karena terdapat variasi durasi terjadinya TIA, maka direvisi pada tahun

2012, bahwa TIA merupakan episode singkat disfungsi neurologis yang

disebabkan oleh gangguan otak fokal, medula spinalis atau retina tanpa adanya

bukti infark akut (Yudiarto, 2014).

Sesuai definisi stroke tahun 2013, infark sistem saraf pusat adalah

kematian sel otak, medula spinalis atau retina yang disebabkan oleh iskemia

berdasarkan :

1) Pada pemeriksaan patologi, imaging dan pemeriksaan objektif lain

didapatkan iskemik fokal pada otak, medula spinalis atau retina sesuai

dengan distribusi vaskuler, atau

2) Bukti klinis terdapat iskemik fokal pada otak, medula spinalis atau retina

berdasar gejala yang menetap > 24 jam hingga meninggal dan sebab lain telah

diekslusi (catatan : infark sistem saraf pusat termasuk infark hemoragik).

Definisi stroke iskemik adalah suatu episode disfungsi neurologis yang

disebabkan oleh infark otak, medula spinalis atau retina fokal. (Ralph, Scott,

& Joseph, 2013).

b. Klasifikasi stroke

Klasifikasi stroke bermacam macam, antara lain : berdasarkan gambaran

klinik, patologi anatomi, sistem pembuluh darah dan stadiumnya.


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
19

1) Berdasar patologi anatomi dan sebabnya.

a) Stroke iskemik

(1) Serangan iskemik sepintas (Transient Ischaemic Attack/TIA)

(2) Trombosis serebri

(3) Emboli serebri

b) Stroke hemoragik

(1) Perdarahan intraserebral.

(2) Perdarahan subarachnoid

2) Berdasarkan stadium/pertimbangan waktu

a) TIA

b) Stroke in evolution

c) Completed stroke

3) Berdasarkan sistem pembuluh darah.

a) Sistem karotis

b) Sistem vertebro basiler. (Misbach, 2011)

Klasifikasi klinis stroke menurut Bamford adalah sebagai berikut :

1) Total Anterior Circulation Infarct (TACI)

Gambaran klinik

a) Hemiparesis dengan atau tanpa gangguan sensorik (kontralateral sisi lesi).

b) Hemianopia (kontralateral sisi lesi).

c) Gangguan fungsi luhur : disfasia, gangguan visuospasial, hemineglect,

agnosia, apraksia.

Infark tipe TACI penyebabnya adalah emboli kardiak atau trombus arteri
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
20

ke arteri, maka dengan segera pada penderita ini dilakukan pemeriksaan fungsi

kardiak (anamnesis penyakit jantung, EKG, foto toraks) dan jika pemeriksaan ke

arah emboli arteri ke arteri normal (dengan bruit leher negatif), maka

dipertimbangkan untuk pemeriksaan echokardiografi.

2) Partial Anterior Circulation Infarct (PACI)

Gejala lebih terbatas pada daerah yang lebih kecil dari sirkulasi serebral

pada sistem karotis yaitu :

a) Defisit motorik/sensorik dan hemianopia.

b) Defisit motorik/sensorik disertai gejala fungsi luhur.

c) Gejala fungsi luhur dan hemianopia.

d) Defisit motorik/sensorik murni yang kurang ekstensif dibanding infark

lakunar (hanya monoparesi-monosensorik).

e) Gangguan fungsi luhur saja.

Gambaran klinis PACI terbatas secara anatomis pada daerah tertentu dan

percabangan arteri serebri media pada penderita dengan kolateral kompensasi

yang baik atau pada arteri serebri anterior. Pada keadaan ini kemungkinan emboli

sistemik dari jantung menjadi penyebab stroke terbesar dan pemeriksaan

tambahan dilakukan seperti pada TACI.

3) Lacunar Infarct (LACI)

Disebabkan oleh infark pada arteri kecil dalam otak (small deep infarct)

yang lebih sensitif dilihat dengan MRI dan pada CT Scan otak.

Tanda-tanda klinis :

a) Tidak ada defisit visual.


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
21

b) Tidak ada gangguan fungsi luhur.

c) Tidak ada gangguan fungsi batang otak.

d) Defisit maksimum pada satu cabang arteri kecil.

e) Gejala :

(1) Pure motor stroke (PMS)

(2) Pure sensorik stroke (PSS)

(3) Ataxic hemiparesis (termasuk ataksia dan paresis unilateral, dysarthria-

hand syndrome)

Jenis infark ini bukan disebabkan karena proses emboli karena biasanya

pemeriksaan jantung dan arteri besar normal, sehingga tidak diperlukan

pemeriksaan khusus untuk mencari emboli kardiak.

4) Posterior Circulation Infarct (POCI)

Terjadi oklusi pada batang otak dan atau lobus oksipitalis. Penyebabnya

sangat heterogen dibanding dengan 3 tipe terdahulu.

Gejala klinis :

a) Disfungsi saraf otak, satu atau lebih sisi ipsilateral dan gangguan

motorik/sensorik kontralateral.

b) Gangguan motorik/sensorik bilateral.

c) Gangguan gerakan konjugat mata (horizontal atau vertikal).

d) Disfungsi serebelar tanpa gangguan long-tract ipsilateral.

e) Isolated hemianopia atau buta kortikal.

Heterogenitas penyebab POCI menyebabkan pemeriksaan kasus lebih

teliti dan lebih mendalam. Salah satu jenis POCI yang disebabkan emboli kardiak
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
22

adalah gangguan batang otak yang timbulnya serentak dengan hemianopia

homonim. (Misbach, 2011)

Stroke merupakan proses dinamik yang secara imaging dapat dibagi

menjadi fase hiperakut (<6 jam), akut (<24 jam), subakut (< 1 minggu), subakut

kronik ( 1 minggu hingga 2 bulan) dan kronik (> 2 bulan). Imaging yang berperan

besar dalam diagnosis stroke adalah CT Scan dan MRI (Haris & Kurniawan,

2016).

c. Patofisiologi stroke

Otak mempunyai berat hanya 2% dari berat badan total, tapi kebutuhan

oksigennya memerlukan 20 – 25% dari total kebutuhan oksigen seluruh tubuh.

Jaringan otak merupakan jaringan dengan tingkat metabolisme tinggi meskipun

pada area dengan densitas kapiler rendah. Kebutuhan oksigen otak lebih banyak

dibandingkan dengan organ tubuh yang lain. Otak membutuhkan 5,43 mmol O2/g

per jam, sedangkan jantung membutuhkan 3,06 mmol/g/jam dan ginjal

membutuhkan 2,4 mmol/g/jam. Kebutuhan glukosa otak menghabiskan 70% dari

kebutuhan glukosa tubuh. Glukosa merupakan sumber energi utama untuk otak

yang mendasarkan Aerobic glycolysis. Glukosa sebesar 85 – 90% digunakan oleh

otak dioksidasi menjadi karbondioksida dan air. (Arisetijono, 2014).

Fungsi metabolisme sel otak sangat tergantung pada ketersediaan secara

terus menerus oksigen dan glukosa sebagai sumber energi. Otak tidak dapat

menyimpan cadangan oksigen dan glukosa sehingga kekurangan oksigen akan

terjadi metabolisme anaerob sedangkan bila kekurangan glukosa akan terjadi

kegagalan metabolisme serebral. Selain sumber glukosa dari luar otak ada juga
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
23

sumber glukosa yang berasal dari otak itu sendiri, namun sumber glukosa intrinsik

ini sangat kecil dibandingkan sumber glukosa dari luar. Diperkirakan sumber

glukosa intrinsik ini hanya dipakai selama 3 – 6 menit saja untuk metabolisme

otak pada kondisi metabolisme yang paling minimal (Pokdi Neurointensif

Perdossi, 2010). (Arisetijono, 2014).

Proses kerusakan awal pada stroke iskemik dimulai oleh deplesi energi

setempat pada inti daerah otak, akibat penurunan kadar oksigen dan glukosa

secara drastis. Dalam keadaan iskemik, pompa ion tidak akan bekerja karena

pompa ini tergantung pada aktivitas metabolisme sel, yakni energi dan oksigen.

Akibatnya terjadi akumulasi intraseluler ion Na+ dan Cl- disertai dengan

masuknya H2O. Hal ini akan menyebabkan edema sel, baik neuron maupun glia.

Mekanisme edema akibat iskemik diklasifikasikan atas edema sitotoksik dan

edema vasogenik. Keadaan ini bisa terjadi dalam jangka waktu singkat, sekitar 5

menit setelah terjadinya iskemik. Selain itu, akibat iskemik terjadi metabolisme

glukosa anaerob sehingga muncul asidosis laktat. Kejadian ini akan memperburuk

kondisi sel yang masih hidup. (Misbach, 2011).

Oleh karena itu, jika terjadi gangguan terhadap suplai oksigen maupun

glukosa maka akan dalam waktu singkat akan terjadi kerusakan. Periode emas

kerusakan saraf sangat singkat, jika tidak segera diatasi dapat berakibat pada

kerusakan permanen yang berakhir kecacatan hingga kematian karena hingga saat

ini dipercaya bahwa kemampuan regenerasi jaringan saraf sangat minimal. Hal ini

dapat diatasi dengan penanganan cepat dan segera. Sebagai contoh pada trauma

jaringan otak yang berat tingkat kematian meningkat melebihi 3 kali lipat dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
24

tingkat kecacatan berat akan meningkat 10 kali lipat pada keadaan saturasi

oksigen < 60% dibanding >90% (Pokdi Neurointensif Perdossi, 2010).

Aliran Darah Otak

Agar otak dapat berfungsi dengan baik diperlukan aliran darah otak

(ADO) yang optimal. Pada normotensi batas normal otoregulasi ADO terletak

antara 50-150 mm Hg. Normal aliran darah otak adalah 50-60 ml/100 gram

jaringan permenit. Hal ini dapat terjadi oleh karena adanya sistem autoregulasi

serebral. Namun pada keadaan patologi serebral, akan terjadi kegagalan

mekanisme autoregulasi sehingga ADO semata-mata tergantung dari CPP. Pada

umumnya pada kondisi ini dibutuhkan CPP > 70 mmHg. CPP merupakan selisih

dari tekanan arteri rata-rata (MAP) dengan tekanan intrakranial (TIK). Untuk

menjaga ADO yang normal diperlukan keadaan MAP yang optimal dan tekanan

yang rendah. Dengan demikian fokus untuk menjaga agar metabolisme otak tetap

berjalan dengan baik diperlukan segala upaya untuk menjamin perfusi serebral

yang optimal dan menjaga tidak terjadi peninggian tekanan intrakranial(Pokdi

Neurointensif Perdossi, 2010).

Apabila terjadi suatu sumbatan sehingga aliran darah terganggu total,

maka dalam waktu 12-15 detik akan terjadi penekanan aktivitas elektris, dalam

waktu 2-4 menit akan terjadi hambatan eksitabilitas sinaptik dan dalam waktu 4-6

menit terjadi hambatan eksibilitas elektrik neuronal. Apabila terjadi gangguan

partial aliran darah sehingga aliran kurang dari 30 ml/100 gram jaringan otak

permenit akan terjadi iskemia. Aliran darah kurang dari 10 ml/100 gram jaringan

permenit akan mengakibatkan kegagalan homeostasis. Sedangkan aliran darah


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
25

otak antara 10-30 ml/100 gr jaringan permenit akan menimbulkan kerusakan yang

reversibel (Suroto, 2012).

Perubahan biokimiawi pada stroke dimulai jika terjadi gangguan aliran

darah ke salah satu bagian otak. Iskemia menimbulkan metabolisme energi otak

dengan akumulasi ion kalsium dalam ruang intraseluler, peningkatan kadar laktat,

asidosis dan produksi radikal bebas, sehingga terjadi gangguan hoemostasis

seluler. Bila gangguan cukup berat, akan terjadi kematian sel. Gangguan total

aliran darah serebral menyebabkan penekanan aktivitas elektris dalam waktu 12-

15 detik, hambatan eksibilitas sinaptik dari neuron kortikal setelah 2-4 menit,

hambatan eksibilitas elektrik setelah 4-6 menit (Suroto, 2012).

Iskemik dan eksitatorik

Komunikasi interseluler secara normal bergantung pada keberadaan

neurotransmiter serta energi di sinaps. Neurotransmiter ini secara difus akan

berinteraksi dengan reseptor post sinaps untuk selanjutnya memberikan respons

sel tersebut sebagai metabolisme. Neurotransmiter eksitatorik seperti glutamat dan

aspartat akan menstimulasi sel post sinapsis, sementara gamma-aminobutiric-acid

(GABA) akan bekerja sebaliknya. (Misbach, 2011)

Keadaan defisit energi fokal pada kondisi iskemik akan menyebabkan

depolarisasi neuron dan glia yang kemudian memicu aktivasi dari kanal Ca2+ serta

sekresi asam amino eksitatorik glutamat di ekstrasel. Selain itu, sel yang iskemik

tidak mempunyai kesanggupan untuk memetabolisme atau memecah

neurotransmiter eksitatorik tersebut akibat terganggunya enzim pemecah pada

iskemik, sehingga terjadi penumpukan glutamat di sinap. (Misbach, 2011).


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
26

Ekspresi dari glutamat yang metabolisme enzim glutamat oxaloasetat

(GOT) meningkat beberapa kali lipat sebagai pada stroke yang menerima

suplementasi oksigen untuk mengkoreksi otak hipoksia. GOT transfer dari

glutamat menjadi oxaloacetat memproduksi aspartat dan alfa ketogutarat, a 5-

carbon tricarboxylic acid (TCA). GOT sebagai jalur yang memungkinkan

mengubah glutamat yang berpotensi neurotoksik menjadi faktor survival saat

kondisi hipoglinemia pada stroke iskemik akut (Cameron, Surya, Laura, & Savita,

2011)

Glutamat yang berlebih akan berikatan dengan 3 reseptor glutamat, yakni

N-methyl-D-aspartate (NMDA), α-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazole

propionic acid (AMPA) dan resptor metabotropik. Ikatan dengan reseptor NMDA

menyebabkan masuknya ion Na+ dan Ca2+ ke dalam sel melalui kanal ion.

Meningkatnya ion Na+ dan Ca2+ juga berakibat masuknya cairan H2O yang

berlebihan karena dalam keadaan iskemik pompa ion juga tidak berfungsi.

Aktivasi reseptor AMPA yang berlebihan juga menyebabkan gangguan

homeostasis dengan dibarengi masuknya cairan H2O ke dalam sel merupakan

penyebab edema toksik serta merupakan faktor penyebab sel lisis (nekrosis).

Kejadian ini secara primer ditemukan di daerah infark, berbeda dengan penumbra

yang kematian selnya sering akibat terjadinya apoptosis dan inflamasi. (Misbach,

2011).

Selanjutnya, reseptor metabotropik glutamat menjadi aktif dengan emblok

induksi fosfolipase C dan inositol trifosfat serta diiringi oleh mobilisasi Ca2+ yang

tersimpan di dalam sel. Kondisi lain adalah masuknya Ca2+ melalui kanal ion
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
27

akibat ikatan neurotransmiter eksitatorik dengan reseptor NMDA. Keadaan ini

diperburuk oleh kejadian iskemik yaitu Ca2+ akan keluar dari mitokondria dan

retikulum endoplasmik sehingga secara substantial terjadi penumpukan kalsium di

intraseluler yang menyebabkan kerusakan neuron irreversibel. (Misbach, 2011).

Kalsium dan kematian sel

Kalsium berperan Mengaktivasi enzim perusak asam nukleus, protein dan

lipid dengan target utama membran fosfolipid yang sangat sensitif. Seperti telah

diketahui, konsentrasi Ca2+ di ekstrasel 10.000 kali lebih besar dibanding di

intrasel. Keseimbangan ini dipertahankan melalui 4 mekanisme untuk menjaga

masuknya Ca2+ ke intrasel yaitu melalui pompa ATP yang aktif, intaknya

pertukaran ion Ca2+ dan NA+ di membran oleh adanya pompa Na+K+, pemisahan

Ca2+ intraseluler retikulum endoplasmik melalui proses penggunaan ATP yang

aktif serta akumulasi dari Ca2+ intraseluler melalui pemisahan Ca2+ di mitokondria

secara oksidatif. (Misbach, 2011).

Dalam keadaan iskemik tidak terdapat bahan energi, akan kehilangan

keseimbangan gradien antara Na+ dan K+ yang secara beruntun mengakibatkan

gangguan keseimbangan Ca2+. Hal ini akan menyebabkan masuknya Ca2+ ke

dalam sel secara masif yang selanjutnya mengakibatkan beban mitokondria

berlebihan. Kalsium akan mengaktifkan fosforilase membran dan protein kinase.

Akibat terbentuk asam lemak bebas (FFA) yang berpotensi menginduksi

prostaglandin dan asam arachidonat. Metabolisme asam arachidonat ini akan

membentuk radikal bebas seperti toxic oxygen intermediates eikosanoid dan

leukotrin yang kesemuanya akan memacu agregasi platelet dan vasokonstriksi


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
28

vaskuler. Selain itu keberadaan Ca2+ yang berlebihan didalam sel akan merusak

beberapa jenis enzim termasuk protein kinase C, kalmodulin, protein kinase II,

protease dan nitrik okside sintesase. Ca2+ juga mengaktivasi enzim sitosolik dan

denuklease yang mengakibatkan terjadinya apoptosis. (Misbach, 2011).

Dapat dikatakan bahwa kematian sel secara umum diakibatkan oleh tidak

terdapat energi berupa glukosa dan oksigen yang menyebabkan gangguan

homeostasis sehingga terjadi kematian sel secara tidak langsung. Efek

neurotransmiter eksitatorik yang berlebihan di daerah iskemik secara biokimiawi

akan menyebabkan kerusakan sel yang lebih berat dibanding dengan efek iskemik

secara langsung. Oleh sebab itu, proses penanggulangan melalui inhibisi ikatan

eksitatorik dengan reseptor NMDA juga merupakan bagian dari strategi dalam

mencegah proses biokimiawi sebagai perusak sel di daerah iskemik (Misbach,

2011).

Mekanisme kematian sel dapat berupa nekrosis maupun apoptosis,

tergantug pada beratnya iskemik dan cepatnya kerusakan yang terjadi. Pada

nekrosis, struktur sel menjadi hancur secara akut disertai dengan reaksi inflamasi,

makrofag akan menyerbu dan memfagositasi sisa-sisa sel. Sedangkan pada

apoptosis tidak terjadi reaksi inflamasi, melainkan struktur sel akan menciut

(shrinkage). Selama proses kematian neuron pada stroke akut, integrasi antara

neuron-neuron dan matriks sekitarnya terutama sel-sel glia dan endotel kapiler

juga berperan penting. Berbagai penelitian menunjukkan adanya zat-zat aktif yang

aktif berperan pada kematian beberapa jenis sel otak. Salah satunya adalah stress-

activated protein kinase p38 yang tidak hanya menstimulasi kematian neuronal,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
29

tetapi juga merangsang pembentukan enzim capase 3 sebagai mediator kematian

sel, di endotel serebral pada keadaan hipoksia serebral iskemik. Enzim lain adalah

lipoksigenase 12/15 berperan pada glutamat-induced oxidative cell death pada

proses kematian neuron dan oligodendrosit (Misbach, 2011).

Iskemik dan angiogenesis

Penrgaruh iskemik akut yang disebabkan oleh penurunan sirkulasi ke otak

(penurunan glukosa dan oksigen) akan berakibat pada perubahan tatanan

biokimiawi di otak. Hal ini yang merupakan penyebab kematian dari jaringan

otak. Dalam pengamatan neovaskularisasi di daerah infark dan peri-infark

berkaitan dengan survival penderita stroke membuktikan bahwa angiogenesis

merupakan proses kompensasi atau proteksi yang sekaligus merupakan target

terapi stroke. (Misbach, 2011).

Iskemik dan radikal bebas

Konsekuensi iskemik dan reperfusi adalah terbentuknya radikal bebas

seperti superoksida, hidrogen peroksida dan radikal hidroksida. Keberadaan nitric

oxide (NO) sendiri adalah melalui aktivitas inducible nitric oxide synthase

(iNOS). Sumber lain akibat pemecahan produksi ADP melalui oksidadi xantine

dan reaksi iron-catalysed Haber-Weiss. Radikal bebas yang bermacam-macam ini

akan bereaksi dengan komponen seluler seperti kerbohidrat, asam amino, DNA

dan fosfolipid sebagai korbannya sendiri.

Iskemik dan inflamasi

Tingkat awal dari inflamasi dimulai beberapa jam sesudah awitan (onset)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
30

iskemik dengan karakteristik munculnya ekspresi adhesi molekul di endotel

pembuluh darah dan leukosit di sirkulasi. Leukosit bergerak melewati endotel

keluar dari sirkulasi dan penetrasi ke jaringan parenkim otak otak yang

menakibatkankan reaksi inflamasi. Bagian mayoritas dari inflamasi ditentukan

oleh populasi dari sel mikroglia yang disebut juga efektor imun dari susunan saraf

pusat (SSP). Mikroglia adalah fagosit aktif yang merupakan target utama yang

sanggup menghasilkan sitokin dan enzim pro-inflamasi. Oleh sebab itu, inhibisi

terhadap aktivitas mikroglia merupakan strategi protektif pada stroke

eksperimental dan pemberian antagonis sitokin mengurangi volume infark pada

hewan percobaan. (Misbach, 2011).

Kelompok sitokin anti-inflamasi seperti tumor growth factor-1 beta (TGF-

1 beta) dan IL-10 yang bersifat sebagai neurproteksif juga menjadi aktif terhadap

stimulasi mikroglia. Secara klinis, kelompok sitokin yang domainnya terdiri dari 2

kelompok protein adalah iNOS dan kelompok cyclo-oxygenase 2 (Cox-2).

Pemberian iNOS inhibitor pada hewan percobaan akan dapat mengurangi volume

infark sekitar 30%, walaupun pemberia dilakukan 24 jan setelah awitan (onset)

iskemik. Cox-2 secara umum ditemukan di penumbra serta bekerja melalui

produksi oksigen radikal bebas dan prostanoid toksik. Berdasar pada eksperimen

Cox-2 dan iNOS akan memberi harapan dalam terapi stroke, karena ternyata

masih efektif sampai 24 jam onset iskemik. (Misbach, 2011).

Guidline AHA Stroke merekomendasikan pemberian oksigen pada stroke

akut hanya jika diperlukan untuk mempertahankan saturasi oksigen perifer diatas

92%. Dasar bukti guidline ini masih sedikit, batas bawah SaO2 yang memerlukan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
31

suplementasi oksigen yang direkomendasikan masih bervariasi dari 92% - 95%

pada dekade terakhir (Yu-Feng, Maya, Ari, & al, 2014)

d. Tatalaksana stroke

1) Tatalaksana Stroke di ruang rawat darurat

a) Evaluasi dan diagnosis dengan cepat

b) Terapi umum

(1) Stabilisasi jalan nafas dan pernafasan

Diberikan oksigen jika saturasi oksigen < 95%.

(2) Stabilisasi hemodinamik

Diberikan kristaloid atau koloid intravena (hindari pemberian

cairan hipotonik seperti glukosa) .

(3) Pemeriksaan umum

Pemeriksaan tekanan darah, jantung dan pemeriksaan neurologi

awal (kesadaran, pupil dan okulomotor serta keparahan hemiparesis).

(4) Stabilisasi peningkatan tekanan intrakranial.

(a) Head up 20 – 30o

(b) Hindari pemberian cairan hipotonik (glukosa).

(c) Hindari hipertermia

(d) Osmoterapi dengan manito 0,25 – 0,5 mg/kgBB diulangi tiap 4 – 6

jam dengan target ≤ 310 mosm/L.

(e) Intubasi untuk menjaga normoventilasi (pCO2 35 – 40 mmHg).

(f) Tindakan bedah dekompresif pada kondisi iskemik cerebral yang

menimbulkan massa.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
32

(5) Penanganan transformasi hemoragik.

Sesuai terapi pada stroke perdarahan pengendalian tekanan intrakranial.

(6) Pengendalian kejang

Bila kejang, diberikan diazepam 3 – 20 mg dapat diulang 2 kali

dan diikuti fenitoin loading dose 15 – 18 mg/kgBB dengan kecepatan

maksimal 50 mg/menit. Jika kejang belum diatasi, dilakukan perawatan

di ICU.

(7) Stabilisasi suhu tubuh

Peningkatan suhu tubuh harus diatasi dan dicari penyebabnya,

pemberian asetaminofen di berikan jika suhu > 37,5oC.

(8) Pemeriksaan penunjang

EKG, laboratorium, foto toraks dan CT Scan kepala polos.

2) Penatalaksanaan di ruang rawat

a) Cairan

b) Nutrisi

c) Penanganan dan pencegahan komplikasi

d) Penanganan medis lain. (Pokdi Stroke, 2011)

3) Terapi reperfusi

Reperfusi adalah satu proses pengembalian sirkulasi pada daerah yang

mengalami iskemia. Secara fisiologis, apabila dalam otak mengalami sumbatan,

maka setelah mengalami defisit periodik, tubuh akan melakukan kompensasi

dengan reperfusi, yaitu terjadinya suatu peningkatan aliran darah pada daerah

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
33

iskemik baik dengan cara vasodilatasi regional maupun dengan cara penyesuaian

reaktivitas dari kebutuhan sel itu sendiri. (Haris & Kurniawan, 2016).

Pada tahun 1995, National Institute of Neurogical Disorder and Stroke

(NINDS) mengemukakan bahwa pasien dengan stroke iskemik akut yang

diberikan ateplase dengan dosis 0,9mg/kgBB 3 jam dari onset akan memberikan

30% luaran stroke dengan minimal disability sampai tidak adanya disabilitas

dalam 3 bulan pertama apabila dibandingkan dengan plasebo. Waktu yang

diberikan, yaitu 3 jam sebagai door to needle time dari NINDS ini dikembangkan

oleh tim European Cooperative Acute Stroke Study (ECASS) yang mencoba

memperpanjang door to needle time sampai dengan 6 jam. Namun studi ECASS

tidak menunjukkan efikasi terapi trombolitik dalam 6 jam. AHA/ASA

merekomendasikan pemberian ateplase 0,9mg/kg dengan dosis maksimal 90 mg

pada 3 – 4,5 jam door to needle time sebagai evidence based B kelas 1, yang

berarti benefits more than risk. Hasil metaanalisis dari berbagai penelitian besar

menunjukkan keuntungan dari terapi trombolitik dengan rtPA IV meskipun dalam

waktu 6 jam setelah onset dari stroke iskemik. (Haris & Kurniawan, 2016),

3. Saturasi oksigen dan Outcome Stroke

a. Efek hipoksemia dan terapi oksigen pada stroke

Pada orang sehat, CBF meningkat hingga 500% untuk mengkompensasi

tekanan oksigen arteri yang rendah. Bahkan pada saat terjadi hipoksemia berat

dapat ditoleransi tanpa adanya defisit neurologis fokal, seperti jika terjadi onset

yang bertahap, perfusi cerebral dapat dipertahankan. Penurunan perfusi karena

sebab primer, seperti pada infark cerebral, iskemik tidak dapat dikompensasi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
34

oleh vasodilatasi (Roffe, 2001).

Hipoksemia sering terjadi setelah stroke dan berhubungan dengan

outcome yang buruk. (Ferninand & Roffe, 2016). Dalam sebuah studi

disebutkan mempunyai hubungan dengan outcome yang buruk. Namun, belum

jelas apakah hipoksemia sebagai sebab atau hanya merupakan tanda prognosis

buruk. Guidline stroke 2011 merekomendasikan perlunya terapi hipoksemia

pada stroke jika saturasi oksigen < 95%. (Roffe, 2001) (Pokdi Stroke, 2011).

Penurunan PaO2 seperti pada cardiac arrest, dapat terjadi penurunan

kesadaran dalam hitungan detik. Jika hal tersebut terjadi selama 3 – 5 menit

akan terjadi gangguan yang serius dan kerusakan otak yang permanen. Namun,

hal tersebut biasanya terjadi pada penurunan kadar oksigen dan penurunan

perfusi yang terjadi secara mendadak. Jika hipoksemia terjadi perlahan seperti

pada ketinggian dan perokok kronis, semnentara tekanan darah dalam batas

normal, PaO2 rendah hingga 3kpa mungkin tidak menyebabkan penurunan

kesadaran dan kerusakan otak permanen. Gangguan neurologis akibat hipoksia

selaintergantung pada kecepatan onset juga diperngaruhi olehtingkat keparahan

hipoksia dan level perfusi jaringan. Gejala awal hipoksemia adalah penurunan

kemampuan adaptasi gelap diikuti penurunan kemampuan mengambil

keputusan, penurunan kemampuan menyelesaikan tugas komplek dan

gangguan memori jangka pendek namun dalam waktu jangka panjang dapat

terjadi gangguan neurologi yang luas.(Roffe, 2001),(Ferninand & Roffe, 2016).

Pada status normoksia, aliran darah serebral sangat ketat dikontrol oleh

tekanan parsial karbondioksia (PaCO2). Pada kondisi hipokapnea akan


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
35

menyebabkan vasokonstriksi dan reduksi regional aliran darah serebral dan

kondisi hiperkapnea sebaliknya akan menyebabkan vasooodilatasi dan

meningkatkan aliran darah serebral. Aliran darah serebral kadang sedikit responsif

terhadap perubahan PaO2, sebaliknya terhadap efek karbondioksida, kondisi

hipoksia menyebabkan vasodilatasi dengan tujuan memperbaiki suplai oksigen

dan kondisi hiperoksia menyebabkan vasokonstriksi. (Ferninand & Roffe, 2016)

Pada status hipoksia, respon vasodilatasi akan memperbaiki aliran darah

serebral, deteksi hipoksia oleh kemoreseptor perifer akan meningkatkan gerakan

respirasi, meningkatkan kadar oksigen arteri. Namun, konsekuensi ini juga akan

meningkatkan karbondioksida yang secara teoritis akan menyebabkan

vasokonstriksi dan mengurangi aliran darah serebral. Terdapat nilai ambang

respon terhadap hipoksia pada PaO2 sekitar 50 – 60 mmHg. Sementara

karbondioksida dimediasi respon vaskuler melalui perubahan langsung pada pH

pembuluh darah, respon oksigen diperantarai oleh eritrosit deoxygen melalui

sejumlah mekanisme yang melibatkan pelepasan ATP dan sintesa nitric oxide

(NO) pada dinging pembuluh darah, reduksi nitric menjadi nitric oxide dan

aktivitas S-nitrosohaemoglobin. (Ferninand & Roffe, 2016).

Respon vaskuler serebral pada hipoksia tidak seragam. Suatu studi

menunjukkan bahwa induksi status hipoksia isocapnea meningkatkan aliran darah

serebral yang prominen pada nukleus ganglia basal, putamen, talamus, nucleus

acumben dan palidum. Sebuah studi aliran pada pembuluh darah didapatkan

bahwa aliran arteri carotis dipertahankan selama hipoksia dan aliran arteri

vertebra meningkat. Hal ini dijadikan hipotesis bahwa aliran darah meningkat
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
36

pada regio untuk menjaga struktur batang otak vital atau kemungkinan

vaskularisasi sirkulasi posterior kurang rentan terhadap karbondioksida.

(Ferninand & Roffe, 2016).

Sementara itu tidak terdapat keraguan bahwa hipoksemia berat

menyebabkan detrimental pada pasien stroke, efek derajat lebih rendah belum

jelas. Pada experimen, hipoksemia menstimulasi kerusakan otak setelah oklusi

arteri cerebri media. (Roffe, 2001)

Hipoksia sering terjadi setelah stroke akut, 63 % pasien yang datang ke

rumah sakit. Hipoksia merupakan efek yang merugikan pada iskemia setelah

stroke. Sementara pada orang sehat sirkulasi cerebri normal dapat

mengkompensasi untuk kondisi hipoksia ringan pada iskemi cerebri setelah

stroke. Terdapat hubungan yang jelas antara hipoksia, perburukan kondisi

neurologi dan kematian setelah stroke. Terapi khusus di unit stroke efektif

mencegah kematian dan kecacatan. Pasien yang dirawat di unit stroke mempunyai

kondisi hipoksia yang lebih jarang daripada yang dirawat di bangsal umum.

(Christine, 2011)

Sebuah bukti dari studi klinik menyebutkan bahwa pasien dengan rata-

rata oksigen arteri kurang dari 90% dalam 72 jam pertama setelah masuk rumah

sakit, mengalami perburukan neurologi dua kali lipat dibanding dengan pasien

yang mempunyai rata-rata oksigen saturasi lebih tinggi. Lebih lanjut lagi, 30%

pasien dengan group saturasi oksigen yang rendah mempunyai score Barthel

indeks kurang dari 85 pada saat keluar rumah sakit.(Silva Y, 2001).

Dalam upaya memperbaiki outcome pasien stroke, mencegah kecacatan


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
37

dan mengurangi angka kematian, maka stroke harus dilakukan dengan cepat. Time

is brain, semakin lama waktu penanganan stroke semakin banyak sel otak dan

sinaps yang mengalami kerusakan dan semakin besar kemungkinan pasien akan

meninggal atau cacat permanen. (Haris & Kurniawan, 2016)

Oleh karena itu, penanganan stroke, khususnya di fase akut harus

dioptimalkan, mengingat stroke adalah kasus yang outcomenya bersifat time-

dependent, semakin cepat ditatalaksana, semakin baik outcome-nya. Dengan

penekanan pada prinsip time is brain, maka kita harus mengingat bahwa terapi

definitif stroke iskemik harus diberikan dalam waktu cepat. Adanya suatu sistem

yang menunjang dan memastikan cepatnya respon time penanganan stroke akut

hingga memungkinkan pembarian terapi definitif stroke amat di perlukan. (Haris

& Kurniawan, 2016).

Terapi oksigen pada umumnya aman apabila diberikan dengan cara dan

alat yang benar, tidak memberikan terapi oksigen secara berlebihan. Tujuan terapi

oksigen adalah untuk menaikkan konsentrasi oksigen agar proses respirasi dapat

terpenuhi kebutuhannya secara optimal untuk metabolisme tubuh. Konsentrasi

oksigen inspirasi yang tinggi dan jangka lama (FiO2 > 50%) akan berpotensi

menyebabkan terjadinya keracunan oksigen, timbul atelektasis atau depresi silia

dan atau penurunan fungsi leukosit. (Pokdi Neurointensif Perdossi, 2010)

Suplementasi oksigen meningkatkan rata-rata saturasi oksigen nokturnal,

namun tidak dapat mencegah penurunan saturasi oksigen dibawah 90% pada

seluruh pasien stroke. Suplementasi O2 2L/menit tidak cukup untuk mencegah

hipoksia berat (70%) namun dapat mencegah hipoksia yang lebih ringan. Dosis
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
38

oksigen yang lebih tinggi diperlukan untuk menjaga saturasi oksigen tetap diatas

90%. Namun, dosis oksigen yang lebih tinggi juga dapat meningkatkan rata-rata

saturasi oksigen dan menekan saturasi oksigen 90% hingga mendekati 100%.

Supernormal saturasi oksigen dapat meningkatkan risiko terbentuknya radikal

bebas dan berhubungan dengan trauma jaringan pada otak yang iskemik

(Christine, Sheila, Sarah, & Martin, 2010). Sebuah studi di swedia menyebutkan

bahwa overtreatment oksigen juga dapat memperburuk outcome. (Roffe, 2001).

Konsentrasi tinggi oksigen yang diberikan segera setelah onset stroke

iskemik berpotensi menurunkan proses nekrosis iskemik. Hiperoksia berperan

besar pada jalur molekuler dan biokimia kematian neuronal iskemik yang

berhubungan dengan volume infark, abnormalitas difusi MRI, perbaikan kadar

laktat, perbaikan perfusi cerebral dan outcome fungsional. Namun demikian

terdapat teori lain yang menjelaskan bahwa terdapat risiko perburukan outcome

stroke yang disebabkan oleh hiperoksia yang diinduksi oleh oksigen free radical

injury pada tatalaksana oksigen hiperbarik, vasokonstriksi cerebri dan akibat efek

sistemik lain seperti infeksi dan depresi respirasi (Yu-Feng, Maya, Ari, & al,

2014)

Terapi oksigen mempunyai beberapa efek samping antara lain :

menghalangi proses mobilisasi awal, membran mukosa menjadi kering sehingga

berisiko infeksi saluran nafas atas/bawah dan juga mengganggu tidur (Christine,

2011).

Terdapat studi invitro yang menyebabkan bahwa oksigen dapat

menyebabkan terbentuknya radikal bebas toksis sehingga terjadi kerusakan lanjut


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
39

pada otak yang mengalami iskemik, terutama pada saat reperfusi. Oksidatif stress

juga berdampak pada jalur aktivasi sel yang menyebabkan apoptosis dan

kematian sel neuron. Studi lain menyebutkan bahwa hiperoksia eubarik

mengurangi terbentuknya radikal bebas pada kondisi iskemik dan reperfusi otak.

(Christine, 2011).

Studi besar (n = 550) quasi randomized menyebutkan bahwa suplementasi

oksigen rutin untuk stroke akut tidak mengurangi morbiditas dan mortalitas. Studi

lain yang kecil (n = 16) suplementasi oksigen high flow (45L/menit) setelah stroke

akut menunjukkan perbaikan neurologis sementara dan ukuran infark, namun

tidak terdapat keuntungan klinis dalam waktu 3 bulan. Studi lain menyebukan

bahwa suplementasi oksigen low flow (2L/menit) dalam 24 jam dapat ditoleransi,

meningkatkan saturasi oksigen 2,5% dan meningkatkan proporsi pasien dengan

saturasi > 90% melalui malam hingga 23% - 59% (Christine, 2011).

b. Faktor yang mempengaruhi outcome stroke

Pada stroke fase akut, prediktor paling kuat untuk menilai outcome stroke

adalah severitas (severity) stroke dan usia pasien. Severitas stroke dapat dinilai

berdasarkan kerusakan neurologi (seperti : gangguan kesadaran, bahasa, tingkat

laku, defisit lapang pandang, desifit motorik) dan ukuran serta lokasi infark pada

neuroimaging dengan MRI atau CT Scan. Pengaruh penting lain dari outcome

stroke termasuk mekanisme stroke iskemik, kondisi komorbid, faktor

epidemiologi dan komplikasi stroke. (Matthew & W, 2017).

Hal-hal yang mempengaruhi outcome stroke menurut sebuah studi antara

lain : usia, severitas, stroke karena kardiak emboli, status fungsional sebelum
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
40

sakit, penyakit komorbid (riwayat stroke sebelumnya), gangguan kognitif dan

adanya penurunan kesadaran. (Giovanni & Edo, 2014)

Sebuah penelitian tentang kadar albumin dan outcome stroke yang

melibatkan 560 pasien menyebutkan bahwa kadar albumin serum berhubungan

signifikan dengan outcome stroke. Disebutkan bahwa albumin dapat mengurangi

edema, agen reperfusi mikrosirkulasi, protektan blood brain barier dan

antioksidan. Pengecualian pada penderita penyakit cardiovaskuler karena dapat

memperberat fungsi jantung akibat peningkatan volume intravaskuler,

meningkatkan preload dan meningkatkan stress dinding myocardium (Babu, Kaul,

& Dadheech, 2013)(Michael, Renee H, & Yuko Y, 2015).

Sistem kolateral

Sistem kolateral sirkulasi cerebral akan terbuka (berfungsi) tergantung

pada kompensasi hemodinamik, metabolik dan fungsi neuronal. Sistem kolateral

sendiri merupakan cara cepat untuk kompensasi saat terjadi penurunan aliran

darah cerebral baik primer (sirkulus wilisi) maupun sekunder (arteri

leptomeningen) (Liebeskind, 2003).

Tekanan darah

Banyak studi menunjukkan adanya hubungan berbentuk kurva U (

Ushaped relationship) antara hipertensi pada stroke akut (iskemik maupun

hemoragik) dengan kematian dan kecacatan. Hubungan tersebut menunjukkan

bahwa tingginya tekanan darah pada level tertentu berkaitan dengan tingginya

kematian dan kecacatan. (Pokdi Stroke, 2011).


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
41

Hiperglikemia dan hipoglikemi

Hiperglikemia hampir terjadi pada hampir 60% pasien akut nondiabetes.

Hiperglikemi setelah stroke akut berhubungan dengan luasnya volume infark dan

gangguan kortikal dan berhubungan dengan buruknya keluaran. Tidak banyak

data penelitian yang menyebutkan bahwa dengan menurunkan kadar gula darah

secara aktif akan memperbaiki keluaran.

Salah satu penelitian terbesar adalah penurunan kadar gula darah dengan

infus glukosa-insulin-kalium dibandingkan dengan infus salin standar yang

menunjukkan tidak ditemukan perbaikan keluaran dan turunnya tingkat kematian

pada pasien dengan berhasil diturunkan sampai tingkat ringan dan sedang (median

137 mg/dL).

Menghindari kadar gula darah melebihi 180 mg/dl, disarankan dengan

infus salin dan menghindari larutan glukosa dalam 24 jam pertama setelah

serangan stroke akan berperan dalam mengendalikan kadar gula darah.

Hipoglikemia (<50mg/dl) mungkin akan memperlihatkan gejala mirip

dengan stroke infark dan dapat diatasi dengan pemberian bolus dextrosa atau infus

glukosa 10 – 20% sampai kadar gula darah 80 – 110 mg/dl. (Pokdi Stroke, 2011)

c. Instrument penilaian Outcome Stroke

Pada stroke fase akut, prediktor paling kuat untuk menilai outcome stroke

adalah severitas (severity) stroke dan usia pasien. Severitas stroke dapat dinilai

berdasarkan kerusakan neurologi (seperti : gangguan kesadaran, bahasa, tingkat

laku, defisit lapang pandang, desifit motorik) dan ukuran serta lokasi infark pada

neuroimaging dengan MRI atau CT Scan. Pengaruh penting lain dari outcome
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
42

stroke termasuk mekanisme stroke iskemik, kondisi komorbid, faktor

epidemiologi dan komplikasi stroke. (Matthew & W, 2017).

Outcome pasien stroke diukur secara kuantitatif pada banyak studi dan

digunakan pada banyak praktek klinik adalah National Institutes of Health Stroke

Scale (NIHSS), dimana terdapat 15 item yang digunakan untuk mengukur

gangguan neurologis tersebut. National Institutes of Health Stroke Scale (NIHSS)

merupakan pemeriksaan sistematis yang digunakan untuk dapat mengetahui

derajat keparahan stroke (severity) yang sedang dialami pasien. (Matthew & W,

2017).

Skore NIHSS terdiri dari 15 item penilaian dengan domain meliputi

tingkat kesadaran, penglihatan, gerakan ekstraokuler, kelemahan wajah, kekuatan

ekstremitas, ataksia, sensasi, bicara dan bahasa. Penilaian NIHSS dapat digunakan

pada stroke fase akut, untuk screening, assesmen dan monitoring, dengan waktu

pemeriksaan ± 10 menit. Skore ini dapat dilakukan oleh non dokter neurologi dan

mempunyai nilai realibilitas yang baik, namun tidak terdapat penilaian disfagia

(Margaret, EdN, & Cochair, 1998).

Instrumen lain penilaian defisit neurologi pada stroke yaitu Canadian

Neurological Scale. Canadian Neurological Scale mempunyai 8 item penilaian

yang meliputi domain tingkat kesadaran, orientasi, bicara, fungsi motorik dan

kelemahan wajah. Dapat digunakan untuk penilaian stroke fase akut, asesmen

formal dan monitoring, dilakukan dalam waktu ± 5 menit. Penilaian ini cukup

singkat, namun tidak terdapat penilaian ataksia, lapang pandang, skala relatif

interval perubahan (Margaret, EdN, & Cochair, 1998)


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
43

Penilaian lain untuk assesmen stroke dapat berdasarkan status mental yaitu

MMSE (Mini-Mental State Exam) dan Neurobehaviour Cognitive Status Exam,

berdasarkan fungsi bahasa yaitu Boston Diagnostic Aphasia Examination dan

ASHA FACS, berdasarkan skala depresi yaitu Geriatric Depression Scale (GDS)

dan Center for Epidemiologic Studies of Depression (CES-D), berdasarkan

BADL/Basic Activities of Daily Living yaitu Barthel Index dan FIM (Functional

Independence Measure) serta berdasarkan IADL/Intrumental Activities of Daily

Living yaitu PGC Intrumental Activities of Daily Living dan Frenchay Activities

Index (Margaret, EdN, & Cochair, 1998).

B. Penelitian-penelitian yang relevan

No Judul Hasil Kesimpulan

1 Suplemental oxygen Tidak dapat membedakan

delivery to suspected hubungan penggunaan oksigen

stroke patients in pre dengan outcome klinik pada

hospital and pasien yang diteliti.

emergency Pada analisis regresi

department setting. menunjukkan hubungan yang

(Yu-Feng, Maya, Ari, signifikan dengan diagnosis fnal

& al, 2014). dan cenderung berhubungan

dengan GCS.

2 The SOS Pilot Study : Responden dengan terapi Suplementasi oksigen

A RCT of Routine oksigen 2L/menit selama 72 jam simpel, murah dan dapat

Oxygen (n = 148) dan tanpa kontrol (n = diaplikasikan pada tingkat


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
44

Suplementation Early 141). Median NIHSS awal 6 (7) kesehatan paling dasar.

After Stroke – Effect dan 5 (7). Saturasi oksigen Hasil pada studi ini

on Recovery of selama terapi 1,4% (0,3) lebih disimpulkan bahwa oksigen

Neurological tinggi pada pemberian oksigen yang diberikan 2 L/menit

Function at One daripada kontrol (p < 0,001). selama 72 jam akan

Week.(Christine R. , Satelah 1 minggi, median memperbaiki perbaikan

2011). NIHSS menurun 2 (3) pada neurologis pada minggu

terapi oksigen dan 1 (2) pada pertama. (Christine, 2011)

kontrol. Responden sebanyak

31% pada terapi oksigen dan

14% pada grup kontrol

mengalami perbaikan ≥ 4 poin

NIHSS minggu pertama pada

grup dengan terapi oksigen.

3 Hypoxemia in Acute Pasien dengan hipoksemia lebih Single pulse oximetry tidak

Stroke is Frequent banyak meninggal dalam 3 dapat severitas dan klinis

and Worsens bulan (n : 12/30 = 40%) yang relevan dengan SaO2,

Outcome (Anne, daripada pasien yang tidak diperlukan pengukuran

Rowat, & Dennis, hipoksemia (25=20%). kondisi hipoksemia secara

2006). Dari survivor stroke 90 hari (n = intermiten. Diperlukan

116), tidak terdapat perbedaan penelitian lebih lanjut

signifikan antara pasien mengenai suplementasi

hipoksemia dan tidak oksigen, SaO2 dan outcome

hipoksemia (modified ranking dengan pasien dengan

score). kadar suplementasi


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
45

oksigen. (Anne, Rowat, &

Dennis, 2006).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 46
digilib.uns.ac.id

C. Kerangka Pikir

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 47
digilib.uns.ac.id

D. Hipotesis

Ada pengaruh saturasi oksigen pada saat masuk rumah sakit terhadap

outcome pasien stroke iskemik fase akut di RS Dr. Moewardi Surakarta.

commit to user

Anda mungkin juga menyukai