Anda di halaman 1dari 13

MODUL METODE PENELITIAN, STATISTIK,

DAN EPIDEMIOLOGI
PENDAHULUAN

Salah satu kompetensi yang harus dimiliki seorang dokter adalah mampu mengolah informasi secara
benar. Dunia kedokteran berkembang sangat dinamis. Berbagai macam inovasi dan solusi dari masalah-
masalah kedokteran dan kesehatan, baik masalah klinis maupun non-klinis, banyak ditemukan di
berbagai macam sumber baik yang bersifat ilmiah (jurnal ilmiah, buku teks, dan sebagainya) maupun
yang bersifat populer (media massa, media sosial, internet, dan sebagainya). Dengan memiliki
pemahaman yang baik tentang metode penelitian, statistik, dan epidemiologi, seorang dokter
diharapkan dapat memahami dan menganalisis informasi-informasi yang bereda beredar tersebut dan
dapat memilih informasi yang dapat dipercaya kebenarannya karena memenuhi kaidah-kaidah ilmiah.

TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah menyelesaikan modul ini diharapkan dokter mampu:

1. Menentukan desain suatu penelitian


• Potong lintang, kasus kontrol, kohort, eksperimental
2. Menentukan metode pengambilan sampel
• Random sampling dan non-random sampling
3. Memahami istilah-istilah dalam statistik
• Variabel, distribusi normal, data berpasangan
4. Menentukan uji statistik bivariat

Uji korelasi Pearson, korelasi Spearman, uji t tidak berpasangan, uji t berpasangan, one-
way ANOVA, dan chi-square
5. Memahami konsep dasar epidemiologi
6. Memahami Riwayat perjalanan penyakit
• Riwayat perjalanan alamiah penyakit, five levels of prevention
7. Memahami konsep KLB dan surveilans
• Definisi KLB, kriteria KLB, defines surveilans, macam surveilans
8. Memahami ukuran-ukuran epidemiologi
• Prevalens, insidens, attack rate, secondary attack rate

1
1. METODE PENELITIAN

1.1 Desain Penelitian

Secara umum desain penelitian kuantitatif dapat dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu penelitian
observasional dan eksperimental. Penelitian eksperimental melibatkan adanya intervensi, sedangkan
pada penelitian observasional, peneliti tidak melakukan suatu intervensi/perlakuan. Desain penelitian
observasional dapat dibedakan menjadi tiga yaitu:

1. Potong lintang (cross-sectional)


Variabel tergantung dan variabel bebas diukur dalam satu waktu. Pada desain penelitian ini,
peneliti bisa menanyakan perihal yang berlaku di masa sekarang atau masa lalu.
Misalnya seorang peneliti akan menguji hipotesis bahwa ada hubungan antara riwayat merokok
dengan kejadian obesitas. Peneliti mengumpulkan sejumlah orang dewasa sebagai sampel
penelitian kemudian mengukur indeks massa tubuh dan menanyakan riwayat merokok dalam
satu waktu (bersama-sama). Langkah berikutnya, peneliti menganalisis hasil pengukuran dan
menguji hipotesis yang telah ditetapkan. Pada saat melakukan pengambilan data peneliti tidak
tahu apakah berapa banyak subyek yang termasuk obesitas, oberweight, normal, atau
underweight.

2. Kasus kontrol (case control)


Peneliti membandingkan hasil pengukuran pada kelompok kontrol dan kelompok kasus.
Pengukuran variabel dilakukan setelah peneliti menetapkan subyek yang masuk dalam
kelompok kontrol atau kelompok kasus sesuai dengan kriteria. Penelitian retrospektif ini
berangkat dari variabel tergantung dulu, baru kemudian mengukur variabel bebasnya. Misalnya
seorang peneliti ingin membuktikan bahwa merokok (variabel bebas) merupakan faktor yang
berpengaruh pada kejadian kanker paru (variabel tergantung). Peneliti terlebih dahulu
menetapkan subyek yang masuk dalam kategori penderita kanker paru dan bukan penderita
kanker paru sesuai dengan perhitungan besar sampel penelitian (peneliti sudah menetapkan
berapa jumlah sampel penderita kanker paru dan yang bukan penderita kanker). Selanjutnya,
peneliti menggali riwayat merokok pada kedua kelompok tersebut (masa lalu).

3. Kohort
Peneliti mengikuti subyek penelitian selama kurun waktu tertentu dengan mengukur pajanan
(exposure) yang dialami oleh subyek (variabel bebas) dan mengukur perubahan-perubahan yang
terjadi pada subyek (variabel tergantung). Misalnya peneliti melakukan pengamatan pada
seluruh anak di bawah 1 tahun yang datang ke suatu posyandu selama 1 tahun. Setiap bulan,
peneliti mencatat riwayat pemberian makanan pada anak (variabel bebas) dan mengukur berat

2
badan anak. Pada akhir tahun pengamatan, peneliti mengelompokkan subyek menjadi dua
kelompok yaitu anak stunting dan anak tidak stunting. Peneliti menganalisis pengaruh riwayat
pemberian makanan terhadap kejadian stunting pada anak dari hasil pengamatan selama 1
tahun tersebut.

Penelitian eksperimental dapat dibedakan menjadi tiga yaitu 1) pre-experimental, 2) quasi-


experimental, dan 3) true experimental. Perbedaan tiga macam penelitian eksperimental ini dapat
dinilai dari dua hal yaitu: a) apakah peneliti melakukan randomisasi, dan b) apakah penelitian memiliki
kelompok pembanding atau dilakukan pengukuran berulang.

- Jika penelitian melakukan randomisasi maka termasuk true experimental.


- Jika penelitian tidak melakukan randomisasi, tetapi memiliki kelompok pembanding atau
melakukan pengukuran berulang maka termasuk quasi-experimental.
- Jika penelitian tidak melakukan randomisasi dan tidak memiliki kelompok pembanding atau
melakukan pengukuran berulang maka termasuk pre-experimental.

1.2 Metode pengambilan sampel

Idealnya, suatu penelitian melibatkan seluruh anggota populasi agar hasil penelitian tersebut dapat
betul-betul diterapkan pada populasi tersebut. Namun, peneliti memiliki keterbatasan sehingga hanya
mampu melibatkan sebagian dari anggota populasi (sampel). Secara umum, metode pengambilan
sampel dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar, yaitu random sampling dan non-random
sampling. Prinsip acak/random dalam pengambilan sampel yaitu setiap subyek memiliki
kesempatan/peluang yang sama untuk dipilih sebagai sampel penelitian.

Metode Random sampling:

1. Simple random sampling


Setiap anggota populasi memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai sampel. Oleh
karena itu diperlukan sampling frame atau daftar anggota populasi sehingga dapat dijamin tidak
ada anggota populasi yang terlewati. Contoh sampling frame yaitu dafta hadir siswa di suatu
kelas, daftar penduduk di suatu kota, daftar pegawai di perusahaan. Pemilihan sampel dapat
dilakukan dengan lotere/undian atau dengan menggunakan tabel bilangan acak.

2. Systematic random sampling


Metode ini merupakan modifikasi dari simple random sampling. Ciri khasnya adalah menghitung
nilai interval yang diperoleh dari membagi jumlah populasi dan jumlah sampel yang dibutuhkan
dan. Misalnya seorang peneliti ingin mengambil 10 pasien yang datang ke Puskesmas. Peneliti
tidak tahu siapa saja yang akan datang ke Puskesmas sehingga mustahil memperoleh sampling
frame seperti pada metode simple random sampling. Namun peneliti tahu bahwa rata-rata

3
pengunjung Puskesmas setiap hari sebanyak 100 orang. Selanjutnya peneliti bisa menetapkan
nilai interval yaitu membagi jumlah pengunjung Puskesmas (100 orang) dengan jumlah sampel
yang dibutuhkan (10 orang) sehingga diperoleh interval sebesar 10. Dengan berbekal nilai
interval ini peneliti melakukan undian dengan cara memilih satu angka dari rentang 1 sampai 10
(acak). Jika yang terpilih angka 5 maka peneliti akan memulai mengambil sampel dengan urutan
pasien nomor 5 yang datang ke Puskesmas, sampel berikutnya yaitu orang ke-15, 25, 35, 45 dan
seterusnya yang memiliki interval 10.

3. Stratified random sampling


Suatu populasi dapat dibagi menjadi beberapa kelompok berdasarkan kriteria atau strata
tertentu, misalnya berdasarkan kelompok umur, status sosialekonomi, jenis kelamin dan
sebagainya. Pada metode sampling ini sampel penelitian harus melibatkan wakil dari masing-
masing kelompok tersebut. Pemilihan sampel pada tiap kelompok dilakukan secara acak.
Misalnya seorang peneliti ingin melakukan penelitian pada ibu hamil di suatu kelurahan,
penelitia berharap bahwa sampel yang terpilih nanti ada yang berstatus sebagai ibu bekerja dan
ibu rumah tangga. Jika menggunakan simple random sampling ada kemungkinan yang terpilih
sebagai sampel adalah semuanya ibu bekerja, semuanya ibu rumah tangga, atau sebagian ibu
bekerja dan sebagian ibu rumah tangga. Dengan stratified random sampling peneliti sudah pasti
akan memilih secara acak ibu yang berstatus ibu bekerja dan ibu yang berstatus ibu rumah
tangga (semua kelompok ada wakilnya).

4. Cluster random sampling


Pada metode ini, sampel bukan terdiri dari unit individu tetapi terdiri dari kelompok atau
gugusan (cluster). Cluster bisa berdasarkan geografis (desa, kecamatan, kabupaten, dan
sebagainya) atau unit organisasi (PKK, LKMD, dan sebagainya). Dalam suatu wilayah bisa terdiri
beberapa cluster. Untuk mewakili seluruh anggota populasi di wilayah tersebut, peneliti bisa
memilih beberapa cluster dari seluruh cluster yang ada dan semua orang dalam cluster yang
terpilih akan menjadi sampel penelitian. Misalnya dalam suatu kelurahan terdiri dari 8 RW.
Peneliti memiliki keterbatasan jika harus mengukur semua orang yang ada dalam keluruhan
tersebut sehingga peneliti memutuskan untuk memilih secara acak 3 RW dari 8 RW yang ada di
kelurahan. Semua orang yang ada di 3 RW terpilih akan menjadi sampel penelitian.

5. Multistage random sampling


Metode ini dilakukan jika jumlah populasi dalam suatu wilayah sangat besar sehingga jika hanya
menggunakan satu macam metode sampling, maka penelitian belum mampu laksana. Peneliti
bisa menggunakan dua atau lebih tahapan sampling, bisa menggunakan metode sampling yang
sama, bisa menggunakan kombinasi beberapa metode sampling. Misalnya populasi penelitian
adalah penduduk di suatu kota yang berjumlah 1 juta jiwa. Peneliti memutuskan untuk
melakukan pengambilan sampel secara bertahap.

4
Tahap pertama (tingkat kota): peneliti memilih 2 kecamatan dari 6 kecamatan yang ada di kota
tersebut secara acak (cluster random sampling).
Tahap kedua (pada kecamatan terpilih): peneliti memilih 3 kelurahan dari semua kelurahan yang
ada di tiap kecamatan secara acak (cluster random sampling)
Tahap ketiga (pada kelurahan terpilih): peneliti memilih 4 RW dari semua RW yang ada di tiap
kelurahan secara acak (cluster random sampling)
Tahap keempat (pada RW terpilih): peneliti memilih 5 orang penduduk dewasa yang berasal dari
tiap RT pada RW terpilih secara acak (stratified random sampling)

Metode non-random sampling:

1. Accidental atau Convenience sampling


Sampel terdiri dari individu yang mudah ditemui. Metode ini tidak mempermasalahkan apakah
sampel yang diambil mewakili populasi atau tidak. Metode ini dirancang untuk melihat
fenomena di masyarakat secara mudah.
2. Purposive sampling
Pengambilan sampel didasarkan pada pertimbangan tertentu atau kriteria yang ditetapkan oleh
peneliti sesuai dengan maksud dan tujuan penelitian.
3. Quota sampling
Pengambilan sampel dilakukan dengan cara menetapkan sejumlah anggota sampel secara
quotum atau jatah. Anggota populasi manapun yang akan diambil tidak menjadi masalah, yang
penting quotum yang sudah ditetapkan dapat dipenuhi.
4. Snowball sampling
Suatu metode untuk mengidentifikasi, memilih dan mengambil sampel dalam suatu jaringan
atau rantai hubungan yang menerus. Peneliti menggunakan key-informant untuk mendapatkan
sampel yang dibutuhkan. Key-informan ini membantu atau akan dapat berkembang
berdasarkan petunjuk yang diberikan olehnya. MIsalnya berawal dari 1 orang key informant
kemudian berkembang menjadi lebih banyak.

2. STATISTIK

2.1 Istilah-istilah dalam statistik

Beberapa istilah berikut perlu dipahami terlebih dahulu agar mudah menentukan suatu uji statistik.

A. Variabel
Variabel penelitian menurut skala ukur dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar yaitu
variabel numerik dan variabel kategorik. Variabel numerik dapat dibedakan lagi menjadi variabel
rasio dan variabel interval. Jika variabel memiliki nilai nol alami (misalnya tinggi badan, berat
badan, jarak) disebut rasio. Jika variabel tidak memiliki nilai nol alami atau nol mutlak maka

5
disebut interval, misalnya suhu. Suhu nol bukan berarti tidak ada suhu, sehingga nilai nol pada
suhu tidak bersifat mutlak. Biasanya variabel numerik memiliki satuan hasil ukur seperti gram,
meter, liter, tahun, dan sebagainya, walaupun satuan ukur ini tidak harus ada.
Variabel kategorikal, sesuai dengan Namanya berarti memiliki ciri di dalamnya terdapat
kelompok-kelompok (kategori). Jika kelompok-kelompok dalam suatu variabel posisinya
sederajat maka disebut variabel nominal, misalnya jenis kelamin (kelompok laki-laki dan
perempuan), golongan darah (kelompok A, B, AB, dan O). Jika kelompok-kelompok dalam suatu
variabel posisinya bertingkat maka disebut variabel ordinal, misalnya kelompok umur (anak,
remaja, dewasa, lansia), stadium kanker (stadium I, II, III dan IV), tingkat pendidikan (SD, SMP,
SMA, Perguruan tinggi), dan sebagainya.

B. Distribusi normal
Data dalam suatu variabel numerik perlu diketahui sebaran atau distribusinya. Hal ini dilakukan
untuk menentukan uji statistik yang tepat karena ada uji statistik yang mempersyaratkan
variabel numerik yang akan dianalisis memiliki distribusi yang normal. Salah satu cara untuk
menilai distribusi data adalah dengan menggunakan uji Kolmogorov Smirnov atau uji Shapiro
Wilk. DIkatakan suatu variabel memiliki distribusi data yang normal jika nilai p yang diperoleh
dari uji Kolmogorov Smirnov atau Shapiro wilk lebih dari 0,05. Sebaliknya jika nilai p<0,05 maka
dapat disimpulkan variabel memiliki distribusi tidak normal. Penilaian distribusi normal ini hanya
berlaku untuk variabel numerik.

C. Data Berpasangan
Jika suatu data diperoleh dari pengukuran berulang pada subyek penelitian disebut data
berpasangan. Misalnya peneliti mengukur skor pengetahuan masyarakat sebanyak dua kali yaitu
sebelum pelaksanaan penyuluhan kesehatan dan setelah kegiatan penyuluhan. Artinya satu
subyek akan diukur sebanyak dua kali dengan menggunakan alat ukur yang sama. Makna
berpasangan tidak terbatas hanya dua kali pengukuran tetapi bisa lebih dari itu.

Contoh 1: dua kelompok tidak berpasangan


Seorang peneliti membandingkan tekanan darah antara kelompok lansia dan dewasa muda.
Tekanan darah pada lansia merupakan satu kelompok data, sedangkan tekanan darah pada
dewasa muda adalah kelompok data yang lain. Dari segi jumlah, terdapat dua kelompok (lansia
dan dewasa muda), sedangkan dari segi berpasangan, data tidak berpasangan karena individu
dari kedua kelompok berbeda.

Contoh 2: dua kelompok berpasangan


Seorang peneliti mengukur tekanan darah lansia sebanyak dua kali yaitu pada awal bulan Juli
dan Agustus 2021. Data tekanan darah pada bulan Juli adalah satu kelompok data. Tekanan
darah pada bulan Agustus adalah sekelompok data yang lain. Dari segi jumlah, terdapat dua

6
kelompok data yaitu bulan Juli dan Agustus. Dari segi berpasangan, data tersebut termasuk data
berpasangan karena individu dari kedua set kelompok data adalah individu yang sama.

2.2 Uji statistik bivariat

Sesuai dengan Namanya, uji statistik bivariat artinya uji statistik yang hanya melibatkan dua variabel.
Pada modul ini hanya membahas 5 uji statistik yaitu korelasi Pearson, korelasi Spearman, uji t tidak
berpasangan, uji t berpasangan, uji one-way ANOVA dan chi-square.

A. Uji Korelasi Pearson dan Korelasi Spearman


Jika peneliti memiliki dua variabel berskala numerik, maka dapat menggunakan analisis uji
korelasi ini. Uji korelasi Pearson digunakan jika dua variabel numerik yang akan dianalisis
memiliki skala numerik dan keduanya memiliki distribusi data yang normal.
Jika salah satu dari variabel numerik yang akan dianalisis atau kedua variabel memiliki distribusi
data tidak normal, maka akan menggunakan uji korelasi Spearman.
Contoh: Seorang peneliti ingin membuktikan ada hubungan antara tinggi badan (cm) dengan
lama tidur (jam).
Variabel 1: tinggi badan (cm) → numerik
Variabel 2: lama tidur (jam) → numerik
Jika variabel 1 dan 2 memiliki distribusi data yang normal → uji korelasi Pearson
Jika salah satu variabel 1 atau 2 memiliki distribusi data tidak normal → uji korelasi Spearman
Jika variabel 1 dan 2 memiliki distribusi data tidak normal → uji korelasi Spearman

B. Uji t tidak berpasangan (Independent sample t test)


Uji ini digunakan jika peneliti memiliki satu variabel berskala numerik dan satu variabel berskala
kategorik yang terdiri dari dua kelompok. Subyek yang diteliti hanya diukur satu kali. Variabel
numerik yang akan dianalisis harus memiliki distribusi data normal.
Contoh: Seorang peneliti ingin membandingkan perbedaan berat badan (kg) antara kelompok
siswa laki-laki dan perempuan.
Variabel 1: berat badan (kg) → numerik
Variabel 2: jenis kelamin (laki-laki/perempuan) → kategorik
Jika variabel 1 memiliki distribusi data yang normal → independent t test

C. Uji t berpasangan (Paired t test)


Uji ini digunakan jika peneliti memiliki satu varaibel berskala numerik dan satu variabel berskala
kategorik. Subyek yang diteliti akan diukur sebanyak dua kali sehingga peneliti memiliki dua set
data (berpasangan). Dua set data yang berskala numerik ini harus memiliki distribusi data yang
normal.
Contoh: Seorang peneliti ingin membandingkan denyut nadi pasien (kali/menit) sebelum dan
sesudah meminum obat.

7
Variabel 1: denyut nandi (kali/menit) → numerik
Variabel 2: waktu pengamatan (sebelum dan sesudah minum obat) → kategorik dua kali
pengukuran berpasangan (mengukur pada subyek yang sama)
Jika variabel 1 memiliki distribusi data normal → paired t test

D. Uji one-way ANOVA


Prinsip uji one-way ANOVA serupa dengan uji t tidak berpasangan. Bedanya ada pada jumlah
kelompok yaitu pada uji one-way ANOVA melibatkan lebih dari dua kelompok. Sementara
variabel numerik yang diukur memiliki distribusi data normal.
Contoh: Seorang peneliti membandingkan kadar gula darah (gr/dl) pada tiga kelompok pasien
berdasarkan indeks massa tubuh (overweight, normal, underweight). Kadar gula darah memiliki
distribusi data normal.
Variabel 1: kadar gula darah (gr/dl) → numerik
Variabel 2: kelompok pasien menurut IMT (overweight, normal, underweight) → kategori, lebih
dari 2 kelompok
Jika variabel 1 memiliki distribusi data normal → one-way ANOVA

E. Uji chi-square
Uji ini digunakan jika peneliti memiliki dua variabel berskala kategorik. Uji ini termasuk uji
komparatif karena peneliti ingin membandingkan sesuatu yang berskala kategorik pada tiga
kelompok atau lebih.
Contoh peneliti ingin membandingkan riwayat pemberian imunisasi dasar (lengkap atau tidak
lengkap) antara anak yang memiliki gejala deman dan yang tidak.
Variabel 1: riwayat imunisasi (lengkap/tidak) → kategorik
Variabel 2: gejala demam (ada/tidak) → kategorik

3. EPIDEMIOLOGI

3.1 Konsep dasar epidemiologi

Epidemiologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang pola penyebaran penyakit atau masalah
kesehatan, beserta faktor-faktor yang dapat memengaruhi kejadian penyakit tersebut.

3.2 Riwayat perjalanan penyakit

Riwayat alamiah penyakit (natural history of disease) adalah deskripsi tentang perjalanan waktu dan
perkembangan penyakit pada individu, dimulai sejak terjadinya paparan dengan agen kausal hingga
terjadinya akibat penyakit, seperti kesembuhan atau kematian, tanpa terinterupsi oleh suatu intervensi
preventif maupun terapetik.

8
Gambar di atas menunjukkan secara umum periode perjalanan penyakit terbagi menjadi dua yaitu
periode pre-patogenesis dan periode pathogenesis. Pada periode pre-patogenesis, seorang individu
belum dalam keadaan sakit tetapi bisa saja sudah memiliki risiko terkena penyakit. Hal ini terkait dengan
trias epidemiologi yang meliputi faktor host, agent, dan environment. Ketika ketiga faktor ini dalam
keadaan seimbang maka individu bisa dalam keadaan sehat, tetapi jika salah satu atau dua faktor ini
menjadi lebih dominan maka individu bisa terkena penyakit. Oleh karena itu pada tahap ini juga disebut
susceptibility stage. Jika dikaitkan denan five level of prevention, maka upaya health promotion dan
specific protection memiliki andil paling besar pada tahap pre-patogenesis dengan tujuan agar individu
tidak sampai mengalami sakit.

Ketika individu sakit maka sudah memasuki periode pathogenesis. Tidak semua individu tahu bahwa
dirinya sudah “sakit” karena tidak merasakan adanya gejala. Pada kondisi ini disebut dengan Subclinical
stage. Kegiatan skrining masalah kesehatan akan sangat membantu mengidentifikasi individu yang
sebenarnya sudah dalam keadaan sakit (early diagnosis) sehingga ketika hal ini diidentifikasi lebih awal
maka perkembangan penyakit dapat lebih mudah dikelola dengan memberikan tindaklanjut lebih awal
berupa terapi farmakologis atau non-farmakologis.

Individu yang sudah merasakan adanya gejala, baik gejala ringan atau berat, maka sudah berada pada
clinical stage. Pada tahap ini pengelolaan masalah kesehatan yang tepat dangat diperlukan dengan
tujuan agar penyakit tidak bertambah parah dan menimbulkan disabilitas (disability limitation), misalnya
dengan pemberian terapi simtomatik, kausatif, atau terapi adjuvan.

Luaran pada proses perjalanan penyakit ini dapat berupa kemungkinan individu Kembali sehat seperti
sedia kala, individu mengalami kecacatan atau morbiditas yang bersifat kronik, atau individu meninggal.
Pada tahap ini peran upaya rehabilitasi menjadi sangat menonjol yaitu mengembalikan kemampuan

9
individu untuk menjalani fungsi seperi semula. Rehabilitasi dapat berupa rehabilitasi fisik, mental, atau
sosial.

Five levels of prevention (Leavell & Clark)

1. Health promotion
Contoh: pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan penyuluhan kesehatan, advokasi
kesehatan, menciptakan lingkungan yang mendukung untuk hidup sehat.
2. Specific protection
Contoh: kegiatan imunisasi, penggunaan alat pelindung diri (APD)
3. Early diagnosis and prompt treatment
Contoh: kegiatan skrining penyakit menular atau tidak menular
4. Disability limitation
Contoh: pemberian terapi simtomatik, antibiotik, perubahan gaya hidup pada penderita
penyakit tidak menular
5. Rehabilitation
Contoh: mobilisasi awal pasca operasi, Latihan fisik pasca stroke, program rehabilitasi untuk
pengguna napza

3.3 Konsep Kejadian Luar Biasa dan Surveilans

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 82 tahun 2014, kejadian luar biasa merupakan timbulnya
atau meningkatnya kejadian kesakitan dan/atau kematian yang bermakna secara epidemiologi pada
suatu daerah dalam kurun waktu tertentu, dan merupakan keadaan yang dapat menjurus kepada
terjadinya wabah.

Kriteria KLB (Permenkes No. 1501 tahun 2010):

◦ Timbulnya suatu penyakit menular tertentu yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal pada
suatu daerah

◦ Peningkatan kejadian kesakitan terus menerus selama 3 kurun waktu dalam jam, hari atau
minggu berturut-turut menurut jenis penyakitnya

◦ Peningkatan kejadian kesakitan dua kali atau lebih dibandingkan dengan periode sebelumnya
dalam kurun waktu jam, hari atau minggu berturut-turut menurut jenis penyakitnya

◦ Jumlah penderita baru dalam 1 bulan menunjukkan kenaikan 2 kali atau lebih dibandingkan
angra rerata per bulan pada tahun sebelumnya

◦ Rerata jumlah kejadian kesakitan per bulan selama 1 tahun naik 2 kali atau lebih dibandingkan
tahun sebelumnya

10
◦ Angka kematian kasus (case fatality rate) dalam 1 kurun waktu meningkat 50% atau lebih
dibandingkan periode sebelumnya dalam kurun waktu yang sama

◦ Angka proporsi penyakit (proportional rate) penderita baru pada satu periode meningkat dua
kali atau lebih dibanding periode sebelumnya dalam kurun waktu yang sama

Penanggulangan KLB adalah kegiatan yang dilakukan secara terpadu oleh Pemerintah, pemerintah
daerah dan masyarakat. Kegiatan ini meliputi:

1. Penyelidikan epidemiologi;
2. Penatalaksanaan penderita, yang mencakup kegiatan pemeriksaan, pengobatan, perawatan dan
isolasi penderita, termasuk tindakan karantina;
3. Pencegahan dan pengebalan;
4. Pemusnahan penyebab penyakit;
5. Penanganan jenazah akibat KLB/wabah;
6. Penyuluhan kepada masyarakat; dan
7. Upaya penanggulangan lainnya

Penetapan KLB membutuhkan kegiatan pemantauan penyakit yang dilakukan secara terus menerus
atau disebut surveilans. Surveilans Kesehatan adalah kegiatan pengamatan yang sistematis dan
terus menerus terhadap data dan informasi tentang kejadian penyakit atau masalah kesehatan dan
kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit atau masalah
kesehatan untuk memperoleh dan memberikan informasi guna mengarahkan tindakan
pengendalian dan penanggulangan secara efektif dan efisien (Permenkes No. 45 tahun 2014).

Berdasarkan sasaran penyelenggaraan, Surveilans Kesehatan terdiri atas:

a. surveilans penyakit menular


➔ penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, demam berdarah, malaria, zoonosis,
filariasis, tuberculosis, dan sebagainya
b. surveilans penyakit tidak menular;
➔ surveilans penyakit jantung dan pembuluh darah, diabetes melitus dan penyakit metabolik,
kanker, penyakit kronis dan degeneratif, gangguan mental; dan gangguan akibat kecelakaan
dan tindak kekerasan.
c. surveilans kesehatan lingkungan
➔ sarana air bersih, tempat-tempat umum, pemukiman dan lingkungan perumahan, limbah
industri, rumah sakit dan kegiatan lainnya, vektor dan binatang pembawa penyakit,

11
kesehatan dan keselamatan kerja; dan infeksi yang berhubungan dengan Fasilitas Pelayanan
Kesehatan.
d. surveilans kesehatan matra
➔ kesehatan haji, bencana dan masalah sosial; dan kesehatan matra laut dan udara
e. surveilans masalah kesehatan lainnya.
➔ surveilans kesehatan dalam rangka kekarantinaan; gizi dan Sistem Kewaspadaan Pangan dan
Gizi (SKPG); gizi mikro kurang yodium, anemia gizi besi, kekurangan vitamin A; gizi lebih;
kesehatan ibu dan anak termasuk reproduksi; kesehatan lanjut usia; penyalahgunaan obat,
narkotika, psikotropika, zat adiktif dan bahan berbahaya; penggunaan obat, obat tradisional,
kosmetika, alat kesehatan, serta perbekalan kesehatan rumah tangga; dan kualitas makanan
dan bahan tambahan makanan.

3.4 Ukuran-ukuran epidemiologi

a. Prevalence rate
Nilai prevalens penyakit dapat dihitung dengan cara membagi seluruh jumlah kasus baru dan
kasus lama dengan jumlah seluruh jumlah populasi dalam kurun waktu tertentu

b. Incidence rate
Nilai insidens dapat dihitung dengan cara membagi jumlah kasus baru saja dengan jumlah
populasi berisiko. Ketika menghitung insidens harus hati-hati karena sangat tergantung pada
karakteristik penyakitnya. Misalnya pada kasus tuberkulosis, DHF atau malaria populasi berisiko
bisa siapa saja dari anak-anak sampai dewasa, laki-laki atau perempuan juga punya risiko
terkena tuberculosis, sehingga bisa menggunakan data jumlah seluruh penduduk. Berbeda pada
kasus kanker prostat, populasi berisiko hanya pada kelompok laki-laki dewasa sehingga tidak
boleh menggunakan jumlah seluruh penduduk

c. Attack rate
Prinsip attack rate sama dengan insidens. Perbedaannya, attack hanya berlaku untuk kasus
penyakit menular. Jadi yang diperlukan ada data jumlah kasus baru kemudian dibagi dengan
jumlah populasi berisiko dalam kurun waktu tertentu.

Contoh: Seratus orang murid di suatu SD tiba-tiba menderita muntah berak setelah makan nasi
kuning dari kantin sekolah. Jumlah total siswa di sekolah tersebut sebanyak 500 orang.
Berapakah nilai attack rate pada kasus tersebut?

Jumlah kasus baru: 100


Jumlah populasi berisiko: 500 (dianggap semua siswa mengkonsumsi nasi kuning dari kantin)

12
100
Attack rate = x 100% = 20%
500

d. Secondary attack rate


Secondary attack rate dapat dihitung jika diketahui jumlah individu yang tertular oleh kasus
primer. Rumus digunakan:

𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑎𝑠𝑢𝑠 𝑏𝑎𝑟𝑢 𝑑𝑖𝑠𝑒𝑏𝑎𝑏𝑘𝑎𝑛 𝑘𝑜𝑛𝑡𝑎𝑘 𝑘𝑎𝑠𝑢𝑠 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑎𝑚𝑎 𝑠𝑒𝑙𝑎𝑚𝑎 𝑝𝑒𝑟𝑖𝑜𝑑𝑒 𝑤𝑎𝑘𝑡𝑢 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑒𝑛𝑡𝑢
x100%
(𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑜𝑝𝑢𝑙𝑎𝑠𝑖 𝑏𝑒𝑟𝑖𝑠𝑖𝑘𝑜 𝑑𝑖 𝑎𝑤𝑎𝑙 𝑝𝑒𝑟𝑖𝑜𝑑𝑒 𝑤𝑎𝑘𝑡𝑢)−(𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑎𝑠𝑢𝑠 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑎𝑚𝑎)

Contoh: Seluruh penghuni suatu panti asuhan sebanyak 25 orang pergi berwisata ke luar kota.
Sepulang dari kegiatan tersebut 3 orang mengalami diare. Keesokan harinya penghuni panti
asuhan yang juga mengalami diare bertambah 5 orang. Diduga mereka tertular dari yang sakit
diare sebelumnya. Berapakah secondary attack rate pada kasus ini?

Jumlah kasus pertama (primer): 3


Jumlah kasus sekunder (karena tertular): 5
Jumlah populasi beresiko: 25

5
Secondary attack rate = x 100% =22,7%
25−3

DAFTAR PUSTAKA

Dahlan, M. S. 2014. Statistik untuk kedokteran dan kesehatan. Epidemiologi Indonesia, Jakarta.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Buku pedoman penyelidikan dan penanggulangan
kejadian luar biasa penyakit menular dan keracunan pangan. Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta.

Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. PT Rineka Cipta, Jakarta.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 45 tahun 2014 tentang penyelenggaraan
surveilans kesehatan.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 82 tahun 2014 penanggulangan penyakit
menular.

Sutrisna, B. 2010. Pengantar metode epidemiologi. Dian Rakyat, Jakarta.

13

Anda mungkin juga menyukai