MODUL Metode Penelitian Statistik Dan Epidemiologi
MODUL Metode Penelitian Statistik Dan Epidemiologi
DAN EPIDEMIOLOGI
PENDAHULUAN
Salah satu kompetensi yang harus dimiliki seorang dokter adalah mampu mengolah informasi secara
benar. Dunia kedokteran berkembang sangat dinamis. Berbagai macam inovasi dan solusi dari masalah-
masalah kedokteran dan kesehatan, baik masalah klinis maupun non-klinis, banyak ditemukan di
berbagai macam sumber baik yang bersifat ilmiah (jurnal ilmiah, buku teks, dan sebagainya) maupun
yang bersifat populer (media massa, media sosial, internet, dan sebagainya). Dengan memiliki
pemahaman yang baik tentang metode penelitian, statistik, dan epidemiologi, seorang dokter
diharapkan dapat memahami dan menganalisis informasi-informasi yang bereda beredar tersebut dan
dapat memilih informasi yang dapat dipercaya kebenarannya karena memenuhi kaidah-kaidah ilmiah.
TUJUAN PEMBELAJARAN
1
1. METODE PENELITIAN
Secara umum desain penelitian kuantitatif dapat dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu penelitian
observasional dan eksperimental. Penelitian eksperimental melibatkan adanya intervensi, sedangkan
pada penelitian observasional, peneliti tidak melakukan suatu intervensi/perlakuan. Desain penelitian
observasional dapat dibedakan menjadi tiga yaitu:
3. Kohort
Peneliti mengikuti subyek penelitian selama kurun waktu tertentu dengan mengukur pajanan
(exposure) yang dialami oleh subyek (variabel bebas) dan mengukur perubahan-perubahan yang
terjadi pada subyek (variabel tergantung). Misalnya peneliti melakukan pengamatan pada
seluruh anak di bawah 1 tahun yang datang ke suatu posyandu selama 1 tahun. Setiap bulan,
peneliti mencatat riwayat pemberian makanan pada anak (variabel bebas) dan mengukur berat
2
badan anak. Pada akhir tahun pengamatan, peneliti mengelompokkan subyek menjadi dua
kelompok yaitu anak stunting dan anak tidak stunting. Peneliti menganalisis pengaruh riwayat
pemberian makanan terhadap kejadian stunting pada anak dari hasil pengamatan selama 1
tahun tersebut.
Idealnya, suatu penelitian melibatkan seluruh anggota populasi agar hasil penelitian tersebut dapat
betul-betul diterapkan pada populasi tersebut. Namun, peneliti memiliki keterbatasan sehingga hanya
mampu melibatkan sebagian dari anggota populasi (sampel). Secara umum, metode pengambilan
sampel dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar, yaitu random sampling dan non-random
sampling. Prinsip acak/random dalam pengambilan sampel yaitu setiap subyek memiliki
kesempatan/peluang yang sama untuk dipilih sebagai sampel penelitian.
3
pengunjung Puskesmas setiap hari sebanyak 100 orang. Selanjutnya peneliti bisa menetapkan
nilai interval yaitu membagi jumlah pengunjung Puskesmas (100 orang) dengan jumlah sampel
yang dibutuhkan (10 orang) sehingga diperoleh interval sebesar 10. Dengan berbekal nilai
interval ini peneliti melakukan undian dengan cara memilih satu angka dari rentang 1 sampai 10
(acak). Jika yang terpilih angka 5 maka peneliti akan memulai mengambil sampel dengan urutan
pasien nomor 5 yang datang ke Puskesmas, sampel berikutnya yaitu orang ke-15, 25, 35, 45 dan
seterusnya yang memiliki interval 10.
4
Tahap pertama (tingkat kota): peneliti memilih 2 kecamatan dari 6 kecamatan yang ada di kota
tersebut secara acak (cluster random sampling).
Tahap kedua (pada kecamatan terpilih): peneliti memilih 3 kelurahan dari semua kelurahan yang
ada di tiap kecamatan secara acak (cluster random sampling)
Tahap ketiga (pada kelurahan terpilih): peneliti memilih 4 RW dari semua RW yang ada di tiap
kelurahan secara acak (cluster random sampling)
Tahap keempat (pada RW terpilih): peneliti memilih 5 orang penduduk dewasa yang berasal dari
tiap RT pada RW terpilih secara acak (stratified random sampling)
2. STATISTIK
Beberapa istilah berikut perlu dipahami terlebih dahulu agar mudah menentukan suatu uji statistik.
A. Variabel
Variabel penelitian menurut skala ukur dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar yaitu
variabel numerik dan variabel kategorik. Variabel numerik dapat dibedakan lagi menjadi variabel
rasio dan variabel interval. Jika variabel memiliki nilai nol alami (misalnya tinggi badan, berat
badan, jarak) disebut rasio. Jika variabel tidak memiliki nilai nol alami atau nol mutlak maka
5
disebut interval, misalnya suhu. Suhu nol bukan berarti tidak ada suhu, sehingga nilai nol pada
suhu tidak bersifat mutlak. Biasanya variabel numerik memiliki satuan hasil ukur seperti gram,
meter, liter, tahun, dan sebagainya, walaupun satuan ukur ini tidak harus ada.
Variabel kategorikal, sesuai dengan Namanya berarti memiliki ciri di dalamnya terdapat
kelompok-kelompok (kategori). Jika kelompok-kelompok dalam suatu variabel posisinya
sederajat maka disebut variabel nominal, misalnya jenis kelamin (kelompok laki-laki dan
perempuan), golongan darah (kelompok A, B, AB, dan O). Jika kelompok-kelompok dalam suatu
variabel posisinya bertingkat maka disebut variabel ordinal, misalnya kelompok umur (anak,
remaja, dewasa, lansia), stadium kanker (stadium I, II, III dan IV), tingkat pendidikan (SD, SMP,
SMA, Perguruan tinggi), dan sebagainya.
B. Distribusi normal
Data dalam suatu variabel numerik perlu diketahui sebaran atau distribusinya. Hal ini dilakukan
untuk menentukan uji statistik yang tepat karena ada uji statistik yang mempersyaratkan
variabel numerik yang akan dianalisis memiliki distribusi yang normal. Salah satu cara untuk
menilai distribusi data adalah dengan menggunakan uji Kolmogorov Smirnov atau uji Shapiro
Wilk. DIkatakan suatu variabel memiliki distribusi data yang normal jika nilai p yang diperoleh
dari uji Kolmogorov Smirnov atau Shapiro wilk lebih dari 0,05. Sebaliknya jika nilai p<0,05 maka
dapat disimpulkan variabel memiliki distribusi tidak normal. Penilaian distribusi normal ini hanya
berlaku untuk variabel numerik.
C. Data Berpasangan
Jika suatu data diperoleh dari pengukuran berulang pada subyek penelitian disebut data
berpasangan. Misalnya peneliti mengukur skor pengetahuan masyarakat sebanyak dua kali yaitu
sebelum pelaksanaan penyuluhan kesehatan dan setelah kegiatan penyuluhan. Artinya satu
subyek akan diukur sebanyak dua kali dengan menggunakan alat ukur yang sama. Makna
berpasangan tidak terbatas hanya dua kali pengukuran tetapi bisa lebih dari itu.
6
kelompok data yaitu bulan Juli dan Agustus. Dari segi berpasangan, data tersebut termasuk data
berpasangan karena individu dari kedua set kelompok data adalah individu yang sama.
Sesuai dengan Namanya, uji statistik bivariat artinya uji statistik yang hanya melibatkan dua variabel.
Pada modul ini hanya membahas 5 uji statistik yaitu korelasi Pearson, korelasi Spearman, uji t tidak
berpasangan, uji t berpasangan, uji one-way ANOVA dan chi-square.
7
Variabel 1: denyut nandi (kali/menit) → numerik
Variabel 2: waktu pengamatan (sebelum dan sesudah minum obat) → kategorik dua kali
pengukuran berpasangan (mengukur pada subyek yang sama)
Jika variabel 1 memiliki distribusi data normal → paired t test
E. Uji chi-square
Uji ini digunakan jika peneliti memiliki dua variabel berskala kategorik. Uji ini termasuk uji
komparatif karena peneliti ingin membandingkan sesuatu yang berskala kategorik pada tiga
kelompok atau lebih.
Contoh peneliti ingin membandingkan riwayat pemberian imunisasi dasar (lengkap atau tidak
lengkap) antara anak yang memiliki gejala deman dan yang tidak.
Variabel 1: riwayat imunisasi (lengkap/tidak) → kategorik
Variabel 2: gejala demam (ada/tidak) → kategorik
3. EPIDEMIOLOGI
Epidemiologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang pola penyebaran penyakit atau masalah
kesehatan, beserta faktor-faktor yang dapat memengaruhi kejadian penyakit tersebut.
Riwayat alamiah penyakit (natural history of disease) adalah deskripsi tentang perjalanan waktu dan
perkembangan penyakit pada individu, dimulai sejak terjadinya paparan dengan agen kausal hingga
terjadinya akibat penyakit, seperti kesembuhan atau kematian, tanpa terinterupsi oleh suatu intervensi
preventif maupun terapetik.
8
Gambar di atas menunjukkan secara umum periode perjalanan penyakit terbagi menjadi dua yaitu
periode pre-patogenesis dan periode pathogenesis. Pada periode pre-patogenesis, seorang individu
belum dalam keadaan sakit tetapi bisa saja sudah memiliki risiko terkena penyakit. Hal ini terkait dengan
trias epidemiologi yang meliputi faktor host, agent, dan environment. Ketika ketiga faktor ini dalam
keadaan seimbang maka individu bisa dalam keadaan sehat, tetapi jika salah satu atau dua faktor ini
menjadi lebih dominan maka individu bisa terkena penyakit. Oleh karena itu pada tahap ini juga disebut
susceptibility stage. Jika dikaitkan denan five level of prevention, maka upaya health promotion dan
specific protection memiliki andil paling besar pada tahap pre-patogenesis dengan tujuan agar individu
tidak sampai mengalami sakit.
Ketika individu sakit maka sudah memasuki periode pathogenesis. Tidak semua individu tahu bahwa
dirinya sudah “sakit” karena tidak merasakan adanya gejala. Pada kondisi ini disebut dengan Subclinical
stage. Kegiatan skrining masalah kesehatan akan sangat membantu mengidentifikasi individu yang
sebenarnya sudah dalam keadaan sakit (early diagnosis) sehingga ketika hal ini diidentifikasi lebih awal
maka perkembangan penyakit dapat lebih mudah dikelola dengan memberikan tindaklanjut lebih awal
berupa terapi farmakologis atau non-farmakologis.
Individu yang sudah merasakan adanya gejala, baik gejala ringan atau berat, maka sudah berada pada
clinical stage. Pada tahap ini pengelolaan masalah kesehatan yang tepat dangat diperlukan dengan
tujuan agar penyakit tidak bertambah parah dan menimbulkan disabilitas (disability limitation), misalnya
dengan pemberian terapi simtomatik, kausatif, atau terapi adjuvan.
Luaran pada proses perjalanan penyakit ini dapat berupa kemungkinan individu Kembali sehat seperti
sedia kala, individu mengalami kecacatan atau morbiditas yang bersifat kronik, atau individu meninggal.
Pada tahap ini peran upaya rehabilitasi menjadi sangat menonjol yaitu mengembalikan kemampuan
9
individu untuk menjalani fungsi seperi semula. Rehabilitasi dapat berupa rehabilitasi fisik, mental, atau
sosial.
1. Health promotion
Contoh: pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan penyuluhan kesehatan, advokasi
kesehatan, menciptakan lingkungan yang mendukung untuk hidup sehat.
2. Specific protection
Contoh: kegiatan imunisasi, penggunaan alat pelindung diri (APD)
3. Early diagnosis and prompt treatment
Contoh: kegiatan skrining penyakit menular atau tidak menular
4. Disability limitation
Contoh: pemberian terapi simtomatik, antibiotik, perubahan gaya hidup pada penderita
penyakit tidak menular
5. Rehabilitation
Contoh: mobilisasi awal pasca operasi, Latihan fisik pasca stroke, program rehabilitasi untuk
pengguna napza
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 82 tahun 2014, kejadian luar biasa merupakan timbulnya
atau meningkatnya kejadian kesakitan dan/atau kematian yang bermakna secara epidemiologi pada
suatu daerah dalam kurun waktu tertentu, dan merupakan keadaan yang dapat menjurus kepada
terjadinya wabah.
◦ Timbulnya suatu penyakit menular tertentu yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal pada
suatu daerah
◦ Peningkatan kejadian kesakitan terus menerus selama 3 kurun waktu dalam jam, hari atau
minggu berturut-turut menurut jenis penyakitnya
◦ Peningkatan kejadian kesakitan dua kali atau lebih dibandingkan dengan periode sebelumnya
dalam kurun waktu jam, hari atau minggu berturut-turut menurut jenis penyakitnya
◦ Jumlah penderita baru dalam 1 bulan menunjukkan kenaikan 2 kali atau lebih dibandingkan
angra rerata per bulan pada tahun sebelumnya
◦ Rerata jumlah kejadian kesakitan per bulan selama 1 tahun naik 2 kali atau lebih dibandingkan
tahun sebelumnya
10
◦ Angka kematian kasus (case fatality rate) dalam 1 kurun waktu meningkat 50% atau lebih
dibandingkan periode sebelumnya dalam kurun waktu yang sama
◦ Angka proporsi penyakit (proportional rate) penderita baru pada satu periode meningkat dua
kali atau lebih dibanding periode sebelumnya dalam kurun waktu yang sama
Penanggulangan KLB adalah kegiatan yang dilakukan secara terpadu oleh Pemerintah, pemerintah
daerah dan masyarakat. Kegiatan ini meliputi:
1. Penyelidikan epidemiologi;
2. Penatalaksanaan penderita, yang mencakup kegiatan pemeriksaan, pengobatan, perawatan dan
isolasi penderita, termasuk tindakan karantina;
3. Pencegahan dan pengebalan;
4. Pemusnahan penyebab penyakit;
5. Penanganan jenazah akibat KLB/wabah;
6. Penyuluhan kepada masyarakat; dan
7. Upaya penanggulangan lainnya
Penetapan KLB membutuhkan kegiatan pemantauan penyakit yang dilakukan secara terus menerus
atau disebut surveilans. Surveilans Kesehatan adalah kegiatan pengamatan yang sistematis dan
terus menerus terhadap data dan informasi tentang kejadian penyakit atau masalah kesehatan dan
kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit atau masalah
kesehatan untuk memperoleh dan memberikan informasi guna mengarahkan tindakan
pengendalian dan penanggulangan secara efektif dan efisien (Permenkes No. 45 tahun 2014).
11
kesehatan dan keselamatan kerja; dan infeksi yang berhubungan dengan Fasilitas Pelayanan
Kesehatan.
d. surveilans kesehatan matra
➔ kesehatan haji, bencana dan masalah sosial; dan kesehatan matra laut dan udara
e. surveilans masalah kesehatan lainnya.
➔ surveilans kesehatan dalam rangka kekarantinaan; gizi dan Sistem Kewaspadaan Pangan dan
Gizi (SKPG); gizi mikro kurang yodium, anemia gizi besi, kekurangan vitamin A; gizi lebih;
kesehatan ibu dan anak termasuk reproduksi; kesehatan lanjut usia; penyalahgunaan obat,
narkotika, psikotropika, zat adiktif dan bahan berbahaya; penggunaan obat, obat tradisional,
kosmetika, alat kesehatan, serta perbekalan kesehatan rumah tangga; dan kualitas makanan
dan bahan tambahan makanan.
a. Prevalence rate
Nilai prevalens penyakit dapat dihitung dengan cara membagi seluruh jumlah kasus baru dan
kasus lama dengan jumlah seluruh jumlah populasi dalam kurun waktu tertentu
b. Incidence rate
Nilai insidens dapat dihitung dengan cara membagi jumlah kasus baru saja dengan jumlah
populasi berisiko. Ketika menghitung insidens harus hati-hati karena sangat tergantung pada
karakteristik penyakitnya. Misalnya pada kasus tuberkulosis, DHF atau malaria populasi berisiko
bisa siapa saja dari anak-anak sampai dewasa, laki-laki atau perempuan juga punya risiko
terkena tuberculosis, sehingga bisa menggunakan data jumlah seluruh penduduk. Berbeda pada
kasus kanker prostat, populasi berisiko hanya pada kelompok laki-laki dewasa sehingga tidak
boleh menggunakan jumlah seluruh penduduk
c. Attack rate
Prinsip attack rate sama dengan insidens. Perbedaannya, attack hanya berlaku untuk kasus
penyakit menular. Jadi yang diperlukan ada data jumlah kasus baru kemudian dibagi dengan
jumlah populasi berisiko dalam kurun waktu tertentu.
Contoh: Seratus orang murid di suatu SD tiba-tiba menderita muntah berak setelah makan nasi
kuning dari kantin sekolah. Jumlah total siswa di sekolah tersebut sebanyak 500 orang.
Berapakah nilai attack rate pada kasus tersebut?
12
100
Attack rate = x 100% = 20%
500
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑎𝑠𝑢𝑠 𝑏𝑎𝑟𝑢 𝑑𝑖𝑠𝑒𝑏𝑎𝑏𝑘𝑎𝑛 𝑘𝑜𝑛𝑡𝑎𝑘 𝑘𝑎𝑠𝑢𝑠 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑎𝑚𝑎 𝑠𝑒𝑙𝑎𝑚𝑎 𝑝𝑒𝑟𝑖𝑜𝑑𝑒 𝑤𝑎𝑘𝑡𝑢 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑒𝑛𝑡𝑢
x100%
(𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑜𝑝𝑢𝑙𝑎𝑠𝑖 𝑏𝑒𝑟𝑖𝑠𝑖𝑘𝑜 𝑑𝑖 𝑎𝑤𝑎𝑙 𝑝𝑒𝑟𝑖𝑜𝑑𝑒 𝑤𝑎𝑘𝑡𝑢)−(𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑎𝑠𝑢𝑠 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑎𝑚𝑎)
Contoh: Seluruh penghuni suatu panti asuhan sebanyak 25 orang pergi berwisata ke luar kota.
Sepulang dari kegiatan tersebut 3 orang mengalami diare. Keesokan harinya penghuni panti
asuhan yang juga mengalami diare bertambah 5 orang. Diduga mereka tertular dari yang sakit
diare sebelumnya. Berapakah secondary attack rate pada kasus ini?
5
Secondary attack rate = x 100% =22,7%
25−3
DAFTAR PUSTAKA
Dahlan, M. S. 2014. Statistik untuk kedokteran dan kesehatan. Epidemiologi Indonesia, Jakarta.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Buku pedoman penyelidikan dan penanggulangan
kejadian luar biasa penyakit menular dan keracunan pangan. Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 45 tahun 2014 tentang penyelenggaraan
surveilans kesehatan.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 82 tahun 2014 penanggulangan penyakit
menular.
13