Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

PASIEN MENINGGAL: THAHARAH, SHALAT

Disusun Untuk Memenuhi Mata Kuliah Pendidikan Dalam Islam

Dosen Pengampu:

Irwan Ahmad Akbar S.Pd.MA

Disusun oleh: kelompok 12

1. Eka Dea Nanda M (202214201015)


2. Cindy Ivania (202214201016)

PROGAM STUDI S1 KEPERAWATAN

STIKES BAHRUL ULUM JOMBANG

2024/2025
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat-Nya, sehingga makalah dalam memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Adab
Dalam Islam yang berjudul ”Pasien Meninggal: Thaharah, Shalat” dapat kami
selesaikan dengan baik dan tepat waktu. Tidak lupa, sholawat serta salam semoga tetap
tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, semoga syafaatnya mengalir
kepada kita kelak. Ucapan terimakasih kami sampaikan kepada pihak-pihak yang telah
mendukung dalam penyelesaian makalah ini.

Kami menyadari bahwa makalah yang kami buat ini masih belum sempurna,
baik dari segi penulisannya maupun dari segi makalah itu sendiri. Oleh karena itu, kami
berharap kritik dan saran yang membangun dari pembaca untuk kedepannya.

Jombang, 11 Desember 2024

Kelompok 12

ii
DAFTAR ISI

Contents
KATA PENGANTAR ...................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................ 1
A. Latar Belakang ................................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................................................... 1
C. Tujuan .............................................................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................. 2
1. Thaharah Pada Pasien Meninggal ................................................................................ 2
A. Memandikan Jenazah ..................................................................................................... 2
B. Mengkafani Jenazah .............................................................................................10
C. Menshalatkan Jenazah ..........................................................................................11
D. Memandikan Jenazah ...........................................................................................14
BAB III PENUTUPAN .................................................................................................. 19
A. Kesimpulan ...........................................................................................................19
B. Saran .....................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 20

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

ْ ُ ‫ََ ُ ر‬-َ ‫طه‬


Thaharah menurut bahasa berasal dari Bahasa Arab َ ‫ََ ة َ ار‬-َ ‫طه َ ي‬ َ َ ‫ََ ر‬
‫ هَط‬yang artinya suci dan bersih, baik itu suci dari kotoran lahir maupun dari kotoran
batin berupa sifat dan perbuatan tercela. Menurut istilah adalah bersuci dari hadas,
baik hadas besar maupun hadas kecil dan bersuci dari najis yang meliputi badan,
pakaian, tempat, dan benda-benda yang terbawa di badan.
Thaharah merupakan bagian penting dipelajari, misalnya ketika akan
melaksanakan shalat tanpa thaharah maka tentu saja shalat yang dikerjakan tidak sah.
Karena pada dasarnya ajaran Islam memang mewajibkan setiap orang ingin
melaksanakan shalat itu harus bersuci.
Tajhizul Mayyit atau Merawat Mayat artinya merawat atau mengurus seseorang
yang telah meninggal. Dengan demikian, apabila ada orang islam yang meninggal
dunia (selain mati syahid atau bayi prematur) secara fardlu kifayah langkah-langkah
yang harus dilakukan adalah 4M :
1. Memandikan
2. Mengkafani
3. Mensholati
4. Menguburkan

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Thaharah Kepada Pasien Yang Meninggal
2. Bagaimana Cara Melaksanakan Shalat Jenazah

C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui dan Memahami Thaharah, Shalat Pada Pasien Yang
Meninggal

1
BAB II

PEMBAHASAN

1. Thaharah Pada Pasien Meninggal


ْ ُ ‫ََ ُ ر‬-َ ‫طه‬
Thaharah menurut bahasa berasal dari Bahasa Arab َ ‫ََ ة َ ار‬-َ ‫طه َ ي‬ َ َ ‫ََ ر‬
‫ هَط‬yang artinya suci dan bersih, baik itu suci dari kotoran lahir maupun dari kotoran
batin berupa sifat dan perbuatan tercela. Menurut istilah adalah bersuci dari hadas,
baik hadas besar maupun hadas kecil dan bersuci dari najis yang meliputi badan,
pakaian, tempat, dan benda-benda yang terbawa di badan.
Thaharah merupakan bagian penting dipelajari, misalnya ketika akan
melaksanakan shalat tanpa thaharah maka tentu saja shalat yang dikerjakan tidak sah.
Karena pada dasarnya ajaran Islam memang mewajibkan setiap orang ingin
melaksanakan shalat itu harus bersuci.
Kaum muslimin sangat memperhatikan thaharah karena akan mempengaruhi
kualitas ibadah seseorang. Thaharah mendidik seseorang untuk senantiasa menjaga
kebersihan dalam kesehariannya baik dalam bentuk lahiriyah maupun batiniyah.
Ibadah seseorang dipandang baik secara kualitas apabila ia beribadah dalam keadaan
bersih baik secara lahir maupun batin.
Kebersihan adalah upaya manusia untuk memelihara diri dan lingkungannya
dari segala yang kotor dan keji dalam rangka mewujudkan dan melestarikan
kehidupan yang sehat dan nyaman
Tajhizul Mayyit atau Merawat Mayat artinya merawat atau mengurus seseorang
yang telah meninggal. Dengan demikian, apabila ada orang islam yang meninggal
dunia (selain mati syahid atau bayi prematur) secara fardlu kifayah langkah-langkah
yang harus dilakukan adalah 4M :
1. Memandikan
2. Mengkafani
3. Mensholati
4. Menguburkan

A. Memandikan Jenazah

2
Memandikan jenazah adalah membersihkan jasmani jenazah dan najis serta
kotoran dengan cara menyiramkan air suci ke seluruh tubuh jenazah hingga
merata.
Hukum memandikan jenazah menurut 4 madzhab
Adapun hukum memandikan jenazah wanita diharamkan bagi kaum laki-laki
begitu pula sebaliknya, kecuali mereka berstatus suami istri, maka diperbolehkan
bagi mereka masing-masing untuk memandikan jenazah pasangannya, kecuali
wanita tersebut telah diceraikan, meskipun dengan talak raj'i (yakni talak pertama
atau talak kedua yang boleh untuk dirujuk kembali-pent).
Hukum ini disepakati oleh madzhab Maliki dan Asy-Syafi'i, namun tidak dengan
madzhab Hanafi dan Hambali.

Menurut madzhab Hanafi, apabila seorang wanita meninggal dunia, maka


suaminya tidak berhak untuk memandikannya, karena ikatan pernikahan mereka
sudah terhenti dengan kematian wanita tersebut sehingga dia menjadi wanita yang
asing baginya (bukan mahram). Lain halnya jika yang wafat adalah suaminya,
maka istri tersebut boleh memandikannya, karena dia masih terikat dengan
suaminya itu selama dia berada dalam masa iddahnya, meskipun wanita itu telah
diceraikan dengan talak raj'i sebelum pria tersebut meninggal dunia, kecuali jika
dia telah diceraikan dengan talak bain (yakni talak ketiga yang tidak boleh dirujuk
kembali-pent), walaupun ketika itu ia masih berada dalam masa iddahnya.

Menurut madzhab Maliki, apabila seorang wanita tak bersuami meninggal


dunia dan tidak ada wanita lain di daerahnya selain dirinya, maka dia wajib
dimandikan oleh mahramnya, namun meskipun mahram dia harus membebat
tangannya dengan kain yang tebal agar tidak menyentuh tubuh wanita itu secara
langsung, dan di antara mereka berdua (wanita yang dimandikan dan pria muhrim
yang memandikannya) harus terhalangi oleh tirai kain, pria tersebut cukup
memasukkan tangannya ke dalam tirai tersebut sambil menutup matanya. Namun
tentu saja hukum itu hanya berlaku jika wanita tersebut memiliki mahram di
daerah tersebut, jika tidak maka dia hanya wajib ditayamumkan oleh salah satu
warga di sana, tetapi itu hanya wajah dan pergelangan tangannya saja yang
ditayamumkan, tidak perlu sampai ke siku. Adapun jika yang meninggal dunia
adalah seorang laki-laki dan tidak ada laki-laki lain selainnya di daerah tersebut,

3
apabila pria tersebut memiliki istri maka harus istrinya yang memandikannya,
tidak boleh yang lain, namun jika dia tidak memiliki istri maka dia wajib
dimandikan oleh mahramnya, namun meskipun mahram wanita tersebut tidak
boleh menyentuh tubuh pria itu secara langsung, dia harus membebatkan kain di
tangannya, dan dia juga harus menutup aurat jenazah pria itu, hanya itu saja.
Tetapi apabila laki-laki itu juga tidak memiliki mahram maka dia harus
ditayamumkan, sedangkan tayamumnya boleh mencapai kedua sikunya.

Menurut madzhab Hanafi, apabila seorang wanita meninggal dunia baik yang
masih muda ataupun sudah lanjut usia dan tidak ada satu pun wanita yang dapat
memandikannya di sana, maka dia harus ditayamumkan oleh mahramnya, namun
bila dia juga tidak memiliki mahram maka dia boleh ditayamumkan oleh laki-laki
asing (bukan mahram) dengan tangan yang dibebatkan dengan kain dan mata
yang dipejamkan. Status seorang suami bagi wanita tersebut sama halnya dengan
laki-laki asing, hanya saja dia tidak perlu memejamkan mata saat wanita itu
ditayamumkan. Adapun jika yang meninggal dunia adalah seorang laki-laki di
antara kaum wanita, tidak ada laki-laki lain selain dirinya di sana, dan dia juga
tidak memiliki istri, maka yang memandikannya adalah perempuan yang masih di
bawah umur dan belum bernafsu dengan seorang laki-laki, dia diajari terlebih
dahulu cara-cara untuk memandikan jenazah dan kemudian barulah dia
memandikannya. Namun apabila tidak ada perempuan yang masih di bawah
umur, maka laki-laki tersebut harus ditayamumkan dengan menutup mata wanita
yang melakukannya dari aurat laki-laki tersebut. Apabila jenazah wanita atau laki-
laki itu dimandikan dengan cara yang berbeda dengan ketentuan di atas, maka
pemandiannya tetap sah meski orang yang memandikannya dianggap telah
berbuat dosa.

Menurut madzhab Asy-Syafi'i, apabila seorang wanita meninggal dunia, dan di


daerahnya hanya ada kaum pria saja, bahkan dia tidak punya suami ataupun
mahram yang dapat memandikannya, maka dia cukup ditayamumkan oleh pria
asing dengan menutup mata dari aurat wanita tersebut dan tanpa melakukan
sentuhan apa pun. Namun jika wanita itu memiliki suami maka suami itulah yang
wajib memandikannya, apabila hanya ada mahramnya saja maka mahram itulah
yang wajib memandikannya, dan jika kedua-duanya ada maka suami lebih.

4
dikedepankan daripada mahram. Adapun jika yang meninggal dunia adalah
seorang pria di antara kaum wanita, dan di antara mereka tidak terdapat istri atau
mahramnya, maka dia cukup ditayamumkan oleh wanita asing yang mengenakan
penghalang agar tidak terjadi sentuhan serta menutup matanya agar terhindar dari
melihat aurat jenazah tersebut. Namun apabila di antara mereka terdapat istrinya,
maka istri itulah yang wajib memandikannya, dan boleh tanpa penghalang, begitu
juga jika terdapat mahramnya seperti ibunya, anak perempuannya, atau saudari
kandungnya, maka dialah yang wajib untuk memandikan jenazah tersebut.
Sedangkan jika kedua-duanya ada maka istri lebih dikedepankan daripada
mahram.

Menurut madzhab Hambali, seorang wanita yang telah ditalak raj'i boleh
memandikan jenazah suaminya, sedangkan wanita yang telah ditalak bain tidak
diperbolehkan.
apabila seorang wanita meninggal dunia dengan hanya dikelilingi oleh kaum pria
saja di daerah tersebut tanpa ada suami, maka dia harus ditayamumkan oleh salah
satu dari mereka dengan menggunakan penghalang. Sedangkan jika yang
meninggal dunia adalah seorang pria yang dikelilingi oleh hanya kaum wanita
saja tanpa ada istri, maka dia juga harus ditayamumkan oleh salah satu dari wanita
tersebut dengan menggunakan penghalang. Penghalang ini harus dikenakan saat
melakukan tayamum terhadap jenazah tersebut, diharamkan jika tidak
mengenakannya, kecuali jika orang yang melakukan tayamum terhadap jenazah
adalah seorang mahram, maka dia boleh melakukannya tanpa penghalang.

Terkecuali jika jenazah itu masih di bawah umur, maka dia boleh dimandikan
oleh salah seorang wanita di antara mereka, begitu juga sebaliknya, yakni jika
jenazah itu seorang perempuan yang masih di bawah umur dan tidak ada wanita
lain selainnya di daerah tersebut, maka dia boleh dimandikan oleh salah seorang
laki-laki asing di daerah tersebut. Adapun mengenai batasan usia seorang anak
laki-laki dan seorang anak perempuan hingga dapat dikatakan di bawah umur, hal
ini telah dijelaskan sebelumnya pada pembahasan tentang "menutup aurat".

Syarat-syarat orang yang memandikan


1. Harus sejenis atau punya ikatan mahrom atau suami istri.

5
Jika tidak menemukan syarat, maka mayat cukup di tayamumi dan orang yang
menayamumi harus menggunakan penghalang (sarung tangan)
2. Orang yang memandikan dan orang yang membantunya hendaknya orang yang
dapat dipercaya (amanah) serta mempunyai keahlian.

Hal-Hal yang Harus Diperhatikan dalam Memandikan Jenazah


Ada beberapa hal pokok yang harus diperhatikan oleh orang yang memandikan
jenazah. Di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Ketika memandikan jenazah, dilarang menganiaya jenazah yang dapat


menimbulkan kerusakan atau cacat tubuh. Misalnya, apabila anggota tubuh
jenazah terluka maka dalam membersihkan ataupun menggosok bagian yang
terluka tersebut dengan lembut dan berhati-hati seperti memperlakukan
orang yang masih hidup, sehingga tidak boleh kasar ataupun semena-mena.
2. Bagi orang yang memandikan jenazah, disunnahkan mandi setelah selesai
memandikan mayat. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw. berikut:
"Barang siapa yang memandikan mayat maka hendaklah ia mandi. Dan,
barang siapa yang memikul jenazah, maka hendaklah ia ber- wudhu." (HR.
Abu Dawud).

Tempat Memandikan
1. Harus sepi dan tertutup serta tidak ada orang yang masuk selain orang yang
bertugas memandikan.
2. Ditaburi wewangian, seperti dengan membakar dupa, dan lain sebagainya.
Tata cara memandikan
Batas minimal memandikan jenazah adalah dengan menghilangkan najis
yang ada pada tubuh mayat. Kemudian mengguyurkan air secara merata pada
seluruh tubuhnya. Termasuk anggota yang wajib dibasuh adalah sesuatu yang
tampak dari kemaluan janda ketika duduk. Dan bagian dalam alat kelamin laki-
laki yang belum dikhitan (kucur) serta bibir kemaluan wanita yang kelihatan
tatkala jongkok.
Adapun cara memandikan jenazah yang lebih sempurna adalah sebagai
berikut:
1. Jenazah dibawa ke tempat pemandian dan tubuhnya ditutup dengan kain tipis.

6
2. Jenazah diletakkan di tempat yang agak tinggi seperti dipan atau dipangku oleh
tiga atau empat orang. Sementara kaki orang yang memangku diganjal dengan
semisal batu dengan posisi kakinya orang yang berada di tengah agak
merenggang.
3. Punggung jenazah disandarkan pada lutut orang yang memangku dan
pundaknya disanggah dengan tangan kanan dan meletakkan ibu jari pada
tengkuk mayat (githok) untuk menyangga kepala agar tidak miring
4. Perut Jenazah diurut menggunakan tangan kiri orang yang memangku secara
pelan-pelan dan berulang-ulang agar kotoran yang ada di dalam perut dapat
keluar. Setelah itu jenazah disiram dengan air yang banyak.
5. Jenazah ditidurkan dengan posisi terlentang, kemudian dimiringkan ke kiri
kemudian ke kanan untuk dibersihkan kedua alat kemaluannya serta daerah
sekitarnya dengan tangan kiri yang dibungkus kain (sarung tangan), dan saat
membersihkan atau menggosok-gosok aurat (seperti anggota di antara pusar
dan lutut bagi laki-laki) juga harus menggunakan penghalang, seperti sarung
tangan atau kain. Karena aurat itu haram dilihat dan haram disentuh secara
langsung (tanpa penghalang). Setelah itu segera disiram dengan air yang
banyak.
6. Mengambil kain lain yang dibasahi untuk membersihkan gigi dan lubang
hidung dengan jari telunjuk tangan kiri serta membersihkan kotoran yang ada
pada kuku, telinga dan mata.
7. Mewudhukan jenazah persis seperti wudhunya orang yang hidup, baik rukun
dan syaratnya.
Dengan niat :

Artinya: “Saya niat wudu untuk mayit (laki-laki) ini karena Allah Ta’ala”

Artinya: “Saya niat wudu untuk mayit (perempuan) ini karena Allah Ta’ala”
8. Dan diusahakan mulut jenazah tidak terbuka agar air tidak masuk ke dalam.
Kemudian mengguyur kepala jenazah serta jenggot dengan air yang dicampur
daun bidara atau shampo.
9. Menyisir rambut dan jenggot dengan pelan-pelan. Apabila ada rambut yang
rontok, maka sunah diletakkan dikain kafan dan dikubur bersama jenazah.

7
10. Mengguyurkan air yang telah dicampur daun bidara atau sabun ke anggota
badan depan mayat sebelah kanan, mulai leher sampai kaki, serta menggosok-
gosok tubuh mayat dengan pelan-pelan. Kemudian dilanjutkan bagian tubuh
sebelah kiri.
11. Jenazah dimiringkan kekiri, lalu mengguyurkan air pada bagian belakang
sebelah kanan, mulai tengkuk sampai ujung kaki. Selanjutnya dimiringkan ke
kanan, kemudian mengguyurkan air pada bagian sebelah kiri Jenazah, mulai
tengkuk sampai ujung kaki.
12. Mengguyur seluruh tubuh jenazah mulai kepala sampai kaki dengan air yang
murni (tidak dicampur daun bidara atau sabun) sebanyak dua kali. Basuhan
ini untuk membilas sisa-sisa daun bidara atau sabun.
13. Mengguyur seluruh tubuh jenazah dengan air yang dicampur sedikit kapur
barus yang tidak sampai merubah kemutlakan air sebanyak tiga kali dengan
niat :

Artinya: “Saya niat memandikan untuk memenuhi kewajiban dari mayit (laki-
laki) ini karena Allah Ta'ala.”

Artinya: “Saya niat memandikan untuk memenuhi kewajiban dari mayit


(perempuan) ini dikarenakan Allah Ta'ala.”

Memandikan orang yang tenggelam juga wajib, tapi jika ia sangat


bengkak sehingga sulit memandikannya, maka cukuplah dengan
mengguyurkan air sebisanya.

Adapun jika yang meninggal adalah anak yang baru dilahirkan, kita juga
wajib memandikannya. Kita harus memberinya nama dan menshalatinya.
Begitu juga, kita harus memandikan anak yang mati ketika dilahirkan dan
menguburkannya setelah membungkusnya dengan suatu kain. Dalam kasus
ini, kita tidak perlu menshalatinya.

Orang mati yang tidak dikenal diperlakukan sebagai seorang muslim,


kalau ada tanda-tanda keislaman pada dirinya. Adapun orang yang meninggal
dalam perjalanan laut, mayatnya dilempar ke laut setelah memandikannya

8
dan mengurusinya layaknya jenazah biasa. Orang yang memandikan mayat
dianjurkan mandi dan berwudu setelah selesai memandikan mayat. Orang
laki-laki yang mabuk, perempuan yang sedang menjalani haid, atau seorang
yang tidak beriman, boleh mamandikan jenazah. Hal itu sah, tetapi tidak
dianjurkan. Yang lebih dianjurkan adalah saudara orang yang meninggal
memandikannnya dan jika dia tidak tahu cara memandikannya, maka orang
lain juga diperbolehkan.

Orang yang memandikan mayat harus melakukannya dengan sebaik-baiknya,


sehingga air mencapai seluruh bagian tubuh. Jika dia melihat tanda-tanda yang
baik pada tubuh jenazah, sebaiknya ia memberitahukan hal itu kepada yang lain.
Tapi bila kebetulan ia melihat tanda-tanda yang jelek, seperti bau busuk dari
badannya, janganlah dia menceritakannya. Mayat laki-laki hanya dimandikan oleh
laki-laki dan mayat perempuan hanya oleh perempuan. Sedang mayat bayi (laki-
laki atau perempuan) boleh dimandikan laki-laki atau perempuan.

Dalam keadaan darurat, istri boleh memandikan mayat su- aminya, tetapi suami
tidak boleh memandikan mayat istrinya. Seandainya seorang perempuan
meninggal dan tidak ada orang perempuan yang memandikannya, maka jika yang
ada laki-laki yang masih mahram dialah yang melakukannya. Tapi jika dia orang
asing (bukan mahram), dia harus melaksanakan tayamum dan ketika memberikan
tayamum pada tangannya, dia harus menundukkan pandangannya. Peraturan ini
sama, baik untuk perempuan tua atau perempuan muda. Seandainya seorang laki-
laki meninggal dan tidak ada seorang laki-laki untuk meman- dikannya, seorang
perempuan mahram dibolehkan memandi- kannya dan jika hal ini tidak mungkin,
orang perempuan asing (bukan mahram) dibolehkan melakukannya dengan
membungkus tangannya dengan kain.

Jika seorang anak (muslim) meninggal dunia sedang ayahnya kafir, maka ayah
yang kafir itu tidak dibolehkan memandikannya. Sebaiknya, seorang muslim yang
memandikannya terakhir kali.

Tayamum sebagai Ganti Mandi bagi Jenazah

9
Jika seseorang meninggal dalam perjalanan dan di sana tidak ada air, maka
shalat jenazahnya boleh dilakukan sesudah mentayamumkannya. Tetapi jika
kemudian air ditemukan, maka shalat jenazahnya harus diulangi lagi. Jenazah
yang sulit dimandikan, seperti yang mati terbakar dan hancur lebur, maka ia hanya
cukup ditayamumi. Artinya, jenazah tersebut tidak perlu dimandikan, namun tetap
dishalatkan setelah ditayamumi. Dalam konteks ini, tayamum dilakukan bukan
karena alasan tidak adanya air, tetapi karena kesulitan untuk memandikan jenazah
karena kondisi jenazah dalam keadaan hancur lebur.

B. Mengkafani Jenazah
Mengkafani jenazah adalah membungkus badan jenazah dengan kain kafan.
Mengkafani jenazah harus memenuhi beberapa ketentuan sebagai berikut:
a. Syarat sah mengkafani jenazah :
1) Kafan dapat membungkus seluruh tubuh jenazah sekurang-kurangnya satu
lapis.
2) Jenazah sudah dimandikan.
b. Kain yang diperlukan untuk kafan.
Kain yang digunakan untuk kain kafan ialah kain putih yang terbuat dari kapas
(katun) baik dan bersih. Yang dimaksud baik disini bukan mahala harganya, tetapi
kain yang masih utuh. Jika jenazahnya lak-laki diharamkan memakai kafa sutera,
jika perempuan diperbolehkan memakai kain kafan sutera, tetapi hukumnya
makhruh. Batas minimal kain kafan adalah satu lembar atau menutup seluruh
anggota badan jenazah.
Untuk kain kafan yang lebih utama jumlahnya adalah sebagai berikut:
1. Untuk mayat laki-laki, disiapkan 5 lembar kain kafan bersih warna putih yang
terdiri dari 3 kain lebar, baju kurung dan sorban.
2. Untuk mayat perempuan, disiapkan 5 lembar kain kafan yang terdiri dari 2
lembar kain lebar, baju kurung, kerudung dan sarung.

Tata cara mengkafani


1. Letakkan lembaran-lembaran kain lebar, baju kurung, lalu sorban (untuk
mayat laki-laki). Atau sarung, baju kurung dan kerudung (untuk mayat
perempuan).

10
2. Letakkan (jenazah yang telah selesai dimandikan dan ditaburi wewangian) di
atas kain kafan dengan posisi terlentang dan posisi tangan disedekapkan.
3. Letakkan kapas yang telah diberi wewangian pada anggotaanggota tubuh yang
berlubang. Anggota tubuh tersebut meliputi kedua mata, kedua lubang hidung,
kedua telinga dan mulut. Selain itu, juga letakkan kapas pada kening mayat,
kedua telapak tangan, di antara kedua pergelangan tangan, kedua lutut dan di
antara jari-jari tangan dan diantara jari-jari kaki serta anggota tubuh yang
terluka.
4. Kedua pantat diikat dengan kain
5. Kemudian kain kafan dilipatkan dengan urutan: pertama melipatkan kain sisi
kiri menuju ke kanan, kemudian melipatkan kain sisi kanan menuju ke kiri.
Untuk melipatkan lapis kedua dan selanjutnya, caranya sama dengan di atas.
Langkah ini dilakukan setelah pemakaian baju kurung dan serban. Dan
diusahakan kain pocong kepala lebih panjang.
6. Setelah semua kain kafan telah dilipatkan, kemudian ujung masing-masing
kain kafan yang ada di kepala dan kaki disatukan, serta ditarik agar rapat.
Setelah itu, mayat diikat pada bagian atas, tengah dan kaki dengan ikat simpul
(tali wangsul) dan posisi ikatan berada di bagian kiri mayit. Untuk perempuan
ditambah ikatan pada bagian dadanya.

Mengkafani Jenazah Anak-Anak


Mengafani jenazah anak-anak terbagi dua bagian, yaitu mengafani jenazah anak-
anak laki-laki dan perempuan. Adapun cara mengafani jenazah anak-anak,
sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah Saw., adalah sebagai berikut:
1. Cara mengafani anak jenazah laki-laki yang berusia di bawah tujuh tahun
adalah membalutnya dengan sepotong kain baju yang dapat menutup seluruh
tubuhnya, atau membalutnya dengan tiga helai kain saja.
2. Sedangkan, cara mengkafani jenazah anak perempuan yang berusia di bawah
tujuh tahun adalah dengan membalutnya dengan sepotong baju kurung dan dua
helai kain.

C. Menshalatkan Jenazah

11
Shalat jenazah ialah shalat dengan empat kali takbir tanpa disertai ruku dan
sujud, dilakukan jika ada orang Islam yang meninggal dunia, utnuk mendoakan
agar sang jenazah diampuni dosanya oleh Allah swt.
Hukum shalat jenazah adalah fardhu kifayah sebagaimana memandikan jenazah
dan mengkafani.

Jenazah yang Tidak Boleh Dishalatkan


Setiap muslim ataupun muslimah yang meninggal dunia maka wajib
dishalatkan. Namun, ada beberapa orang yang tidak boleh dishalatkan. Pertama,
syuhada atau orang yang mati syahid. Setiap orang Islam yang mati syahid karena
menegakkan agama Allah Swt. tidak boleh dimandikan, dikafani, ataupun
dishalatkan. Jenazah orang yang mati syahid tersebut hanya dikuburkan dengan
pakaian yang dikenakan ketika berjihad menegakkan agama-Nya. Beberapa hadits
menegaskan bahwa seseorang yang mati syahid ini tidaklah di- shalatkan.

Syuhada yang tidak perlu dishalatkan telah ditegaskan dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan Jabir bahwa Rasulullah Saw. menyuruh memakamkan para syuhada
Uhud dengan darah mereka, tanpa dimandikan dan dishalatkan. (HR. Bukhari).

Hadits tersebut diperkuat lagi dengan hadits bahwa Rasulullah Saw. mengurus
jenazah orang-orang yang gugur dalam Perang Uhud, lalu beliau bersabda, "Aku
menyaksikan mereka, maka selimutilah mereka beserta darah dan luka-luka
mereka."

Kedua, bayi yang gugur. Bayi yang gugur dan belum berumur 4 bulan dalam
kandungan tidaklah dimandikan dan dishalatkan, namun hanya dibalut dengan
secarik kain, lalu dikuburkan. Demikianlah pendapat fuqaha yang tanpa
pertikaian. Jika jenazah berusia 4 bulan atau lebih dan menunjukkan ciri-ciri
hidup, maka menurut kesepakatan fuqaha, hendaklah ia dimandikan dan
dishalatkan. Hal ini sesuai dengan hadits berikut:
"Jika bayi yang gugur itu memiliki tanda-tanda hidup, hendaklah dishalatkan dan
ia berhak menerima warisan." (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Baihaqi).

Syarat-syarat sholat jenazah

12
1. Jenazah telah selesai dimandikan dan suci dari najis, baik tubuh, kafan
ataupun tempatnya.
2. Orang yang mensholati Jenazah telah memenuhi syarat sah melakukan sholat.
3. Jika sholat dilakukan di luar masjid, jarak antara mayat dan orang yang
menshalati tidak melebihi 300 dziro' (+150 m).
4. Orang yang sholat berada di belakang jenazah jika jenazahnya laki-laki. Bagi
imam atau munfarid (orang yang sholat sendirian) sebaiknya berdiri tepat pada
bagia kepala mayat. Sedang bila jenazahnya perempuan, maka posisi orang
yang menshalati tepat pada pantat jenazah.
5. Tidak ada penghalang dan antara jenazah orang yang mensholati.
6. Orang yang sholat berada di dekat jenazah jika jenazah yang disholati tidak
ghaib.

Rukun-rukun Sholat Jenazah


1. Niat.
2. Berdiri bagi yang mampu.
3. Takbir empat kali dengan menghitung takbiratul ihram.
4. Membaca surat Al-Fatihah.
5. Membaca shalawat pada Nabi SAW setelah takbir kedua.
6. Mendoakan jenazah setelah takbir ketiga.
7. Salam.

Tata Cara Menshalatkan Jenazah

1. Meletakkan badan searah kiblat


2. Posisi imam (jika berjamaah) adalah berdiri menghadap kiblat (ke arah kepala
jenazah jika jenazah berjenis kelamin laki-laki dan ke arah pinggang jenazah
jika jenazah berjenis kelamin perempuan).
3. Membaca ta'awuz
4. Membaca basmallah.
5. Mengucapkan lafal niat.
Niat untuk mayat laki-laki:

Artinya: " Saya niat salat atas jenazah ini empat kali takbir fardu kifayah,
sebagai imam/makmum karena Allah Ta’ala”.

13
Niat untuk mayat perempuan:
|
Artinya: “Saya niat salat atas jenazah ini empat kali takbir fardu kifayah,
sebagai imam/makmum karena Allah Ta’ala.”

Untuk shalat gaib (jenazah tidak ada), nama jenazah hendaknya disebutkan
dan ditambahkan dengan kata "Ghaibaan" jika menyatakan laki-laki dan kata
"Ghaaibah" jika menyatakan perempuan.

6. Membaca takbiratul ihram (takbir pertama) sambil mengangkat kedua tangan


kemudian bersedekap
7. Membaca surat Al-Fatihah didahului bacaan ta’awuz
8. Melakukan takbir kedua dengan mengangkat kedua tangan lalu bersedakap
disertai dengan
9. Membaca shalawat pada Nabi Muhammad :

Artinya: “Ya Allah, berilah rahmat kepada Nabi Muhammad dan keluarga
Nabi Muhammad sebagaimana Engkau telah memberikan rahmat kepada
Nabi Ibrahim dan keluarga Nabi Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha
Terpuji lagi Maha Mulia. Ya Allah, berilah keberkahan kepada Nabi
Muhammad dan keluarga Nabi Muhammad sebagaimana Engkau telah
memberikan keberkahan kepada Nabi Ibrahim dan keluarga Nabi Ibrahim.
Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia”.
10. Melakukan takbir ketiga. Kemudian membaca doa :

Artinya: “Ya Allah, ampunilah dan rahmatilah dia. Bebaskanlah dan


maafkanlah dia. Luaskanlah kuburnya dan mandikanlah ia dengan air, salju
dan embun. Sucikan ia dari seluruh kesalahan seperti dibersihkannya kain

14
putih dari kotoran. Berikan ia rumah yang lebih baik dari rumahnya (di
dunia), keluarga yang lebih baik dari keluarganya, pasangan yang lebih baik
dari pasangannya. Lalu masukkanlah ia ke dalam surga dan lindungilah ia
dari cobaan kubur dan azab neraka”.

11. Melakukan takbir yang keempat dan sunah membaca do'a:

Artinya: “Ya Allah, jangan haramkan kami dari pahalanya dan jangan cobai
kami sepeninggalnya. Ampunilah kami dan ampunilah dia”.
12. Mambaca salam:

Artinya: “Semoga keselamatan rahmat Allah dan berkah-Nya limpahkan


kepada kalian”.
D. Menguburkan Jenazah
Apa pun kondisinya, pada dasarnya hukum mengubur jenazah adalah
wajib. Apabila memang jenazah ditemukan, tidak ada alasan yang dapat
dibenarkan dalam Islam bahwa jenazah boleh tidak dikubur. Jenazah harus
dikuburkan ke tanah, meskipun jenazah tersebut adalah orang kafir. Hal ini
sesuai dengan hadits bahwa Rasulullah Saw. berkata kepada Ali bin Abu Thalib
Ra. ketika Abu Thalib meninggal dunia, "(Wahai Ali), pergilah, lalu kuburlah
ia."
Namun, di kalangan umat muslim masih saja timbul pertanyaan, kapan
waktu yang tepat untuk menguburkan jenazah? Meskipun Islam sebenarnya
telah mengatur waktu penguburan jenazah, tetapi pada praktiknya, masyarakat
mengubur jenazah dalam waktu yang berbeda-beda, terhitung dari sejak
meninggalnya almarhum. Misalnya, sebagian masyarakat ada yang langsung
menguburkan jenazah setelah dimandikan dan dishalatkan. Namun, sebagian
yang lain terkadang masih menguburkannya hingga keesokan harinya, bahkan
seminggu kemudian, dengan berbagai alasan.

A. Menguburkan Jenazah dengan Segera


Pada prinsipnya, waktu yang paling tepat untuk menguburkan jenazah
adalah dilakukan dengan segera. Disyariatkannya mengubur- kan jenazah

15
dengan segera (tanpa menunda) berdasarkan pada beberapa hadits. Di antaranya,
Rasulullah Saw. menegaskan kepada Ali Ra. "Tiga hal, wahai Ali, yang tidak
boleh dilambatkan; shalat jika sudah tiba waktunya, jenazah yang sudah siap,
dan gadis/bujang jika sudah mendapat yang sekufu(sesuai)." (HR. Ahmad).

B. Alasan Menunda Penguburan Jenazah


Pendapat yang memperbolehkan menunda penguburan jenazah dilandasi
oleh beberapa alasan pokok sebagai berikut:
1. Untuk menunggu kedatangan sanak keluarga.
2. Dengan ditundanya penguburan jenazah, maka akan terjadi interaksi sosial
yang mengandung nilai silaturahmi.
3. Menunda penguburan jenazah untuk kepentingan otopsi (kepentingan yang
jauh lebih besar).
4. Untuk menerapkan suatu metode identifikasi kematian seseorang melalui
jejak rekam aktivitas otak; apakah jenazah benar-benar mati atau tidak? Sebab,
pada kenyataannya, banyak orang yang mati suri dinyatakan meninggal, namun
"hidup" lagi beberapa saat kemudian.

C. Dilarang Menguburkan Jenazah pada Tiga Waktu


Uqbah bin Amir al-Juhani Ra. berkata, "Ada tiga waktu yang dilarang
oleh Rasulullah Saw. atas kami untuk shalat atau menguburkan jenazah pada
waktu-waktu tersebut. Di antaranya, saat matahari terbit hingga agak meninggi,
saat matahari tepat berada di pertengahan langit hingga condong ke barat, dan
saat matahari hampir terbenam hingga terbenam sempurna." (HR. Muslim).
Jumhur ulama bersepakat bahwa hukum menshalatkan ataupun
menguburkan jenazah pada tiga waktu tersebut adalah makruh. Bahkan, tidak
hanya itu, jumhur ulama juga menyatakan bahwa pendapat yang menyatakan
bahwa shalat jenazah dan menguburkan jenazah pada tiga waktu tersebut tidak
makruh adalah keliru atau salah.

D. Membawa Jenazah ke Pemakaman


Membawa jenazah harus dilakukan dengan cara-cara yang telah
diajarkan oleh Rasulullah Saw., yaitu sebagai berikut:

16
1. Setiap orang yang mengantar jenazah ke pemakaman selayaknya mengambil
pelajaran berharga atas pengalamannya mengusung dan mengantarkan
jenazah. Aktivitas ini merupakan penggambaran bahwa dirinya suatu ketika
akan menjadi yang diantarkan.
2. Tidak bercanda dan tidak membicarakan masalah dunia ketika mengantar
jenazah ke pemakaman.
3. Sambil mengantarkan jenazah ke pemakaman, para pengantar membaca
kalimat takbir, kalimat tasbih, atau pun kalimat tahlil selama perjalanan.
4. Orang-orang yang mengiringi atau membawa jenazah ke pemakaman juga
tidak diperkenankan mengeraskan suara, meskipun membaca kalimat takbir,
tasbih, atau tahlil.
5. Jika tidak memungkinkan, jenazah juga bisa dibawa dengan kenda- raan ke
tempat pemakaman.
6. Mengusung (memberangkatkan) jenazah dengan mempercepat langkah,
namun tidak membahayakan, agar segera sampai di tempat pemakaman.
7. Saat membawa jenazah ke pemakaman, disunnahkan mendahulukan kepala
jenazah untuk mengikuti arah jalan, baik itu berjalan ke arah kiblat maupun
tidak.
8. Apabila jenazah tidak dibawa dengan kendaraan ke pemakaman, maka
disunnahkan membawanya dengan memakai usungan.
9. Para pengiring jenazah ke pemakaman tidak dibenarkan duduk sebelum
jenazah diletakkan. Sebab, Rasulullah Saw. telah melarang- nya. Hal ini
semata-mata untuk memberi penghormatan kepada jenazah.
10. Mengantarkan jenazah dengan pakaian-pakaian yang sopan, pantas, dan
menutup aurat.
11. Bagi para keluarga jenazah, jangan sampai menangis dengan cara meraung-
raung (menangis dengan suara keras) selama mengantarkan jenazah ke
pemakaman. Jika tangis memang tidak bisa ditahan, menangislah dengan
biasa.
12. Lebih baik jika saat mengiringi jenazah ke pemakaman, para pengi- ring
sudah terbebas dari hadas kecil dan besar.

Adab membawa jenazah ke kubur sebagai berikut:

17
Ketika jenazah hendak dibawa ke liang lahat, sebaiknya memperhatikan
hal-hal berikut:
1) Hendaknya jenazah ditutup dengan kain
2)Jenazah dipikul dengan empat penjuru menuju ke kubur sebagai
penghormatan terakhir.
3) Dilarang membawa kemenyan
4) Orang-orang yang mengantar jenazah hendaknya berjalan di depan
5) Orang yang bertemu atau melihat jenazah yang dibawa ke kubur hendaknya
berhenti.
Tata cara menguburkan jenazah :
a. Setelah sampai ke tempat pemakaman, keranda jenazah diletakkan di arah
liang lahat, lubang kubur dipayungi kain.
b. Dua orang turun ke liang lahat untuk menerima jenazah
c. Jenazah dimasukkan ke dalam kubur sambil membaca doa:

Artinya: “Keselamatan kepada penghuni kubur dari kaum mukminin dan


muslimin, kami insya Allah akan menyusul kalian. Aku memohon keselamatan
kepada Allah untuk kami dan kalian semua”. (HR Muslim)
d. Jenazah dimiringkan ke arah kiblat, diganjal dengan bola tanah pada hati,
punggung dan kepala agar jenazah tetap miring.
e. Melepaskan tali-tali kafan kafan yang menutupi telinga dibuka, dan telinga
menempel ketanah.
f. Jenazah diazani, sebagian ulama berpendapat tidak diazani.
g.Lubang kubur ditutup dengan papan, kemudian ditutup dengan tanah. Beri
tanda batui atau kayu, dan doakan jenazah agar diampuni dosanya.

18
BAB III
PENUTUPAN

A. Kesimpulan

Allah SWT menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi ini agar
ia bertanggung jawab dan menyadari segala perbuatan yang telah
dilakukannya. Sebab hanya Allah swt yang dapat menciptakan makhluk
hidup dan segala yang ada di bumi, kepada-Nya pula kita kembali. Suatu
proses dimana kehidupan dan kematian telah diatur oleh Sang Pencipta,
Allah swt. Orang mukmin memiliki empat kewajiban terhadap mayit
mukmin, yaitu:
1. Memandikan
2. Mengkafani
3. Menshalatkan
4. Mengubur
Keempat kewajiban tersebut adalah fardhu kifayah. Dengan demikian,
kewajiban seorang muslim menjadi lengkap ketika ia mampu menjaga
sesama muslimnya, karena selain mengedepankan kewajiban umat muslim, ia
juga bias belajar dan mengambil hikmah dari setiap kejadian yang abadi.

B. Saran

Agama Islam sangat memperhatikan masalah thararah karena dalam ilmu


fiqih poin pertama yang dijumpai adalah masalah thaharah. Tajhizul Mayyit
atau Merawat Mayat artinya merawat atau mengurus seseorang yang telah
meninggal. Shalat, adalah tiang agama karena tanpa shalat berarti kita sama
saja meruntuhkan agama. Ibarat rumah, kalau tidak ada tiangnya tentu akan
runtuh. Semoga makalah ini sangat bermanfaat bagi kita semua. Jika
terdapat kesalahan kami kelompok mohon maaf yang sebesar-besarnya.

19
DAFTAR PUSTAKA

Thoifuri. 2021. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Ganeca Exact.


Husnan, Djaelan dkk. 2021. Kuliah Ibadah. Jakarta: IKIP Muhammadiyah
Jakarta.
Iman, M. Ma'rifat, Rahman Nandi. 2022. Ibadah Akhlak. Jakarta: Uhamka Press.

Ali Abdullah, Hidayat Syamsul. 2020. AL'UBUDIYAAH. Surakarta: Lembaga


Studi Islam.
https://www.docdroid.net/WsiRMNI/thaharah.pptx#page=19. 2017.

20

Anda mungkin juga menyukai