Anda di halaman 1dari 10

TUGAS BACA DIVISI RESPIROLOGI

Prof. dr. Cissy R, SpA(K), MSc, PhD


Oleh: Erny Rachmawati T

PERTUSIS

PENDAHULUAN
Pertusis disebut juga whooping cough, violent cough. adalah suatu penyakit akut
pada saluran pernapasan. Penyakit ini menyerang semua usia dan lebih berat pada
anak-anak. Penyebabnya adalah bakteri Bordetella pertussis. Pertusis disebut juga
whooping cough oleh karena penyakit ini ditandai oleh suatu sindrom yang terdiri dari
batuk yang bersifat spasmodik dan paroksismal disertai nada yang meninggi, karena
pasien berupaya keras untuk menarik nafas sehingga pada akhir batuk sering disertai
bunyi yang khas.

ETIOLOGI
Genus Bordetella mempunyai 4 spesies yaitu B. pertussis, B. parapertussis, B.
bronkiseptika dan B. avium. Penyebab pertusis adalah Bordetella pertussis
membutuhkan media khusus untuk isolasinya, yaitu media pembenihan yang disebut
bordet gengou (potato-blood-glycerol agar). Penyakit pertusis terjadi karena toksinnya
yang bisa menyebabkan limfositosis dan berbagai gejala klinisnya. Kuman Bordetella
pertussis dapat mati dengan pemanasan pada suhu 50 0C selama setengah jam, tetapi
bertahan pada suhu rendah (0-100C).

EPIDEMIOLOGI
Pertusis terjadi diseluruh dunia, dan manusia masih merupakan satu-satunya
tuan rumah dari B.pertussis. Penularan terjadi melalui droplet dari penderita.
Penyebaran penyakit ini terdapat di seluruh udara
Jumlah terbanyak adalah pada anak usia di bawah 1 tahun. Saat ini, kebanyakan
kematian akibat pertusis terjadi pada anak usia di bawah 6 bulan yang belum mendapat
imunisasi. Bayi-bayi prematur sangat rentan terhadap infeksi penyakit ini.
GEJALA KLINIS
Perjalanan klinis penyakit ini dapat berlangsung dalam 3 stadium, yaitu stadium
kataralis (prodromal, preparoksismal), stadium akut paroksismal (paroksismal,
spasmodic), dan stadium konvalesens.
Gejala pada anak yang berumur < 2 tahun yaitu, batuk paroksismal (100%),
whoops (60-70%), emesis (66-80%), dispneu (70-80%) dan kejang (20-25)
1. Stadium Kataralis (1-2 minggu)
Stadium ini berlangsung 1-2 minggu memiliki gejala rinore dengan lendir yang cair
dan jernih, injeksi pada konjungtiva, lakrimasi, batuk ringan, dan demam tidak
begitu tinggi. Suhu tubuh biasanya normal. Batuk menjadi berat dalam 1-2 minggu
tapi pertusis biasanya sulit dideteksi sampai batuk menjadi paroksismal karena sulit
dibedakan dengan gejala common cold.
2. Stadium Paroksismal/ stadium spasmodik (2-4 minggu)
Pada stadium ini batuk semakin bertambah berat. Batuk berat berulang antara 10-
30 kali yang diakhiri dengan bunyi inspirasi yang sangat kuat (the whoop). Pada
stadium ini pasien juga disertai keluhan sianosis, mata menonjol, muka merah,
lidah menjulur, berkeringat, lakrimasi, salivasi dan distensi vena-vena leher bahkan
sampai terjadi petekhie di wajah (terutama di konjungtiva bulbi). Muntah setelah
batuk berat juga sering terjadi.
3. Stadium Konvalesens (1-2 minggu)
Stadium konvalesens atau penyembuhan ditandai dengan berhentinya whoop,
muntah dan puncak serangan paroksismal berangsur-angsur menurun. Periode ini
biasanya berakhir sekitar 2-3 minggu.

DIAGNOSIS
Pada anamnesis ditanyakan riwayat kontak dengan penderita pertusis, adakah
serangan khas yaitu paroksismal dan bunyi whoop yg jelas. Perlu ditanyakan tentang
riwayat imunisasi. Pada pemeriksaan fisis gejala yg ditemukan bervariasi tergantung
saat stadium mana kita memeriksa. Pada pemeriksaan laboratorium biasanya leukosit
meningkat sampai 25.000 – 100.000 sel/mm 3, sekitar 70-80%nya merupakan limfosit
(limfositosis absolut). Hal ini biasanya terjadi pada akhir stadium kataral dan selama
stadium paroksismal.
Untuk diagnosis pertusis digunakan isolasi B. pertussis dari sekret nasofaring
pada awal stadium kataral sampai 2 minggu setelah dimulainya stadium paroksismal.
Biakan positif pada stadium kataral 95-100%, stadium paroksismal 94% pada minggu
ke-3 dan menurun sampai 20% untuk waktu berikutnya. ELISA dapat digunakan untuk
mendeteksi antibodi terhadap toksin pertusis atau filament hemaglutinin. IgG toksin
pertusis merupakan tes yg paling sensitif dan spesifik untuk mengetahui infeksi alami
dan tidak tampak setelah imunisasi pertusis. Foto rontgen toraks menunjukkan
penebalan bronkus, infiltrate perihiler, atelektasis atau empisema dan batas jantung
yang samar.

PENGOBATAN
Terapi utama ditujukan untuk mengurangi batuk paroksismal, untuk memantau
beratnya batuk, memaksimalkan gizi, istirahat dan menghindari adanya komplikasi atau
gejala sisa.
Beberapa macam antibiotik memiliki efek yang baik secara in vitro terhadap
B.pertussis.
1. Eritromisin
Dosis untuk anak adalah 40-50 mg/kg/hari diberikan per oral tiap 6 jam selama
14 hari. Akhir-akhir ini, dikatakan bahwa pemberian eritromisin selama 7 hari
memberikan efektifitas yang sama dengan pemberian selama 14 hari.
Penggunaan eritromisin pada bayi muda dapat menimbulkan hipertrofi stenosis
pylorus
2. Azitromisin (10-12 mg/kg/hari dosis tunggal) selama 5 hari
3. Klaritromisin (15-20 mg/kg/hari dalam 2 dosis) selama 7 hari, juga cukup efektif
dan memiliki efek samping yang lebih sedikit dan meningkatkan kepatuhan
penderita.
4. Trimethoprim-sulfametoxazole dapat digunakan sebagai obat alternatif bagi
pasien yang tidak dapat menerima eritromisin (dosis trimetoprim pada anak 8
mg/kg/hari dan sulfametoksazol 40 mg/kg/hari, dibagi 2 dosis).
Perawatan suportif di antaranya menghindari faktor-faktor yang merangsang batuk, dan
mempertahankan nutrisi dan cairan. Di rumah sakit, dilakukan penghisapan lendir dan
pemberian oksigen lembab, khususnya untuk bayi dengan pneumonia dan distress
saluran pernafasan. Neonatus dengan infeksi berat mungkin memerlukan bantuan
ventilasi.

PENCEGAHAN
Cara terbaik untuk mengontrol penyakit ini adalah dengan imunisasi.
Pencegahan dapat dilakukan melalui imunisasi pasif dan aktif. Sedangkan pada kontak
dapat diberikan profilaksis eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari selama 14 hari.
1. Imunisasi Pasif
Dalam imunisasi pasif dapat diberikan human hyperimmune globulin.
2. Imunisasi aktif
Diberikan vaksin pertusis dari kuman B.pertussis yang telah dimatikan untuk
mendapatkan kekebalan aktif. Imunisasi pertusis diberikan bersama-sama dengan
vaksin difteria dan tetanus (DTP).
DAFTAR PUSTAKA

1. Hay WW, Hayward AR, Levin MJ, Sondheimer JM. Current pediatric diagnosis
and treatment. Edisi ke-6. Appleton & Lange; 2003.

2. Herry Garna, Heda Melinda. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan
Anak. Edisi ke-4. Bandung; 2012. h. 368-72.

3. Kendig, Chernick. Disorders of The Respiratory Tract In Children. Edisi ke-


8.Elsevier; 212. h. 545-51..

TUGAS BACA VISITE SUB DIVISI RESPIROLOGI


Prof. Dr. dr. Cissy B. Kartasasmita, SpA(K), Msc, PhD
Oleh: Vidi Permatagalih

LAPORAN KASUS

Bronkopneumonia + laringomalasia
Seorang anak laki-laki, By. A, usia 2 bulan beralamat di Jl. Hartap 06/14 KiaraCondong Bandung
datang dengan keluhan utama sesak nafas
Dari anamnesis didapatkan:
Pada 11 jam sebelum masuk rumah sakit penderita terlihat sesak yang makin lama makin
terlihat sesak. Keluhan diserta panas badan tidak terlalu tinggi sejak 2 minggu sebelum masuk
rumah sakit. Keluhan didahului dengan batuk pilek dan tersedak 2 hari sebelum masuk rumah
sakit, dan menetek sebentar-sebentar. Adanya keluhan kebiruan pada sekitar mulut atau ujung-
ujung jari kaki dan tangan tidak jelas. Buang air besar dan buang air kecil tidak ada keluhan.
Karena keluhannya penderita datang ke poli anak RSHS dan disarankan ke emergensi anak.
Penderita pernah sakit seperti ini dan dirawat di RSHS bagian IKA 3 minggu sebelum masuk
rumah sakit dan dirawat selama 10 hari, pulang dalam keadaan perbaikan dan diberi bekal obat
puyer yang diminum 2 kali sehari dan dikatakan radang paru-paru. Riwayat kontak dengan
penderita sakit serupa tidak ada, riwayat kontak dengan penderita batuk-batuk lama atau
berdarah dewasa tidak ada. Riwayat keluarga mempunyai alergi tidak ada, riwayat batuk lebih
dari tiga minggu tidak ada, riwayat panas badan lebih dari dua minggu tidak ada, berat badan
sulit naik ada. Riwayat imunisasi, penderita baru diimunisasi polio satu kali, imunisasi BCG
belum pernah. Penderita lahir dari ibu P4A0 yang merasa hamil cukup bulan, lahir kepala
spontan, ditolong bidan, menangis lemah dengan berat badan lahir 3000 g. Selama hamil ibu
sehat control teratur ke bidan.Riwayat minum jamu-jamuan tidak ada. Sampai saat ini
penderita diberi minum ASI dan susu formula.

Pemeriksaan Fisis
KU : compos mentis, sesak (+)
BB : 3,2 Kg, TB : 55 cm, LK: 37 cm BB/TB: < -2 SD
N : 130 x/m, R : 57 x/m, S : 36,1C
Kepala : Ubun-ubun besar datar, kelopak mata cekung, air mata +/+
Konjungtiva tidak anemis
Sklera tidak ikterik
PCH (-), POC (-)
Leher : Retraksi supra sternal (+)

Thorax : Bentuk dan gerak simetris


Cor: BJ murni, reguler
Pulmo depan Pulmo belakang
I : retraksi IC +/+ I : retraksi IC +/+
P : VF sulit dinilai P : VF sulit dinilai
P : sonor P : sonor
A : VBS kiri=kanan A : VBS kiri=kanan
Slem +/+ slem +/+
Crackles +/+ crackles +/+
Wheezing -/- wheezing -/-
Abdomen : datar,lembut, turgor kurang
retraksi epigastrium (+)
H/ L tak teraba, BU (+) normal
Ekstremitas : akral hangat, cappilary refill < 2”

Laboratorium:
Tgl 18/02/2009
Jam 18.39
Hb (g/dl) : 11,6 g/dl
Ht (%) : 32 %
L (/mm3) : 11.600
Tr (/mm3) : 381.000
DC : 0/1/1/50/43/5
MDT: Eritrosit : normokrom anisositosis
Leukosit : jumlah cukup, hipersegmentasi (+), granula toksik (+)
Trombosit : jumlah cukup, kelompok trombosit (+), giant trombosit (+)
Glukosa darah : 141 mg/dl
Natrium : 132 mEq/L
Kalium : 4.9 mEq/L
Kultur darah : Staphylococcus saprophyticus (+)
Sensitif amoksisilin, ampisilin, sefotaksim, seftazidim,
seftriakson, kloramfenikol, kotrimoksazol, eritromisin,
oksasilin, vancomisin

Foto toraks AP: tidak tampak bronkopneumonia


Tidak tampak kardiomegali

Diagnosis Kerja (Emergensi)


Bronkopneumonia + dehidrasi ringan sedang ec. intake

Terapi
- O2 lembab 2 l/menit/ nasal
- Infus larutan 1:4 untuk obat
- Diet ASI/PASI 8 x 55 cc

Follow Up jaga ruangan 18 Februari 2009


Selama di emergensi dengan rehidrasi penderita masuk ke ruangan A1-3 dengan kondisi tanpa
dehidrasi
KU: E4M5V4
HR: 140 x/menit S: 36,6oC
R: 60 x/menit
Retraksi suprasternal (+)
Retraksi interkostal +/+, slem +/+, crackles +/+
Retraksi epigastrium +
Pd lain dalam batas normal
Terapi:
- Rehidrasi stop
- Dilanjutkan

Follow Up Subdivisi respirologi hari perawatan ke-2


19 Februari 2009
KU: cm, sesak (-)
N : 108 x/menit S: 36,6oC
R : 44 x/menit
PCH(-), POC (-)
Retraksi suprasternal (-)
Retraksi interkostal -/-, slem +/+, crackles -/-
Retraksi epigastrium (+)
Pd lain sama dengan sebelumnya
Kesan : Bronkopneumonia (perbaikan) + suspek laringomalasia
Terapi:
- Foto soft tissue leher AP-lateral
- Konsul THT
Jawaban konsul THT
o Kesan: suspek laringomalasia + bronkopneumonia
o Saran:
 observasi tanda vital + tanda-tanda OSNA
 O2 lembab 2 l/menit
 Posisi miring
 Terapi lain sesuai TS IKA
- Terapi lain dilanjutkan
Diagnosis Banding
1. Bronkopneumonia
2. Bronkiolitis

20 Februari 2009 (hari perawatan ke 3)


KU: cm, sesak (-)
N : 120x/menit S: 36,5oC
R : 44 x/menit
PCH(-), POC (-)
Retraksi suprasternal (-)
Retraksi interkostal -/-, slem -/-, crackles -/-
Retraksi epigastrium (-)
Pd lain sama dengan sebelumnya
Kesan : Bronkopneumonia (perbaikan) + suspek laringomalasia
Terapi:
- O2 stop
- Ampisilin ganti amoksisilin oral 3 x ½ cth
- Diet perspen
- Follow up THT

21-26 Februari 2009


KU: cm, sesak (-)
N : 120-136x/menit S: 36,5-36,8oC
R : 44-60 x/menit
PCH(-), POC (-)
Retraksi suprasternal (-)
Retraksi interkostal -/-, slem +/+, crackles -/-
Retraksi epigastrium (-)
Pd lain sama dengan sebelumnya
Kesan : Bronkopneumonia (perbaikan) + suspek laringomalasia
Terapi:
- Suction berkala
- Dilakukan RLFO dengan hasil : laringomalasia derajat ringan
- Saran THT: konservatif dan nebulisasi NaCl 0,9% tiap 8 jam
- Amoksisilin diganti dengan sefiksim 2 x 20 mg peroral mulai tanggal 24/02/09
- Terapi lain dilanjutkan

27 Februari – 03 Maret 2009


KU: cm, sesak (+)
N : 118-150x/menit S: 36,5-36,9oC
R : 44-60 x/menit
PCH(-), POC (-)
Retraksi suprasternal (-)
Retraksi interkostal +/+, slem -/-, crackles +/+
Retraksi epigastrium (-)
Pd lain sama dengan sebelumnya
Kesan : suspek HAP + suspek VSD
Terapi:
- O2 lembab 2 l/mnt/nasal
- Infus larutan 1:4 untuk obat
- Ampisilin 4 x 175 mg iv
- Cefotaksim 3 x 175 mg iv
- Chest fisioterapi
- Diet personde
- Foto toraks
- EKG  konsul kardiologi
Jawaban konsul kardiologi
o Kesan: suspek ASD + suspek breath holding spell + bronkopneumonia +
laringomalasia
o Saran : ekokardiografi
Hasil : intrakardiak normal
- Konsul neuropediatri
Jawaban konsul
o Kesan : suspek serebral palsi + bronkopneumonia
o Saran : selanjutnya penderita akan difolow up di poli neuropediatri

Anda mungkin juga menyukai