Anda di halaman 1dari 4

Jam Emosi

Karya: Farida

Sudah menjadi kaprah bagi para kaum Hawa di kalangan masyarakat Madura suku
Tambaagung ares untuk melepaskan status perawannya setelah tamat dari pondok pesantren,
para orang tua lebih menyukai anak gadisnya berkawin dengan perjaka yang lebih tua umurnya
dan tamatan pondok pesantren juga. Senasib dengan para gadis suku Tambaagung ares
Kutmiyati paggilannya hari ini harus melepaskan keperawananya kepada seorang laki-laki
seumuran dengan dia namun tak pernah bercakap sepatah kata prihal masa depan yang akan
mereka lalui selepas hari perkawinan ini.

“mbuk mampukah aku seperti embuk,?” Kutmiyati menatap mata embuk yang tak ingin
meneteskan air matanya, sumringah bahagia tampak menghiasi bibir embuk tak kala Kutmiyati
pasrah dengan keadaan. “setalah 13 tahun akhirnya embuk dapat bernafas kembali, melihat
Kutmiyati buah hati embuk terlepas dari kebathilan bapakmu” bibir sumringah embuk kini mulai
menyabit dan datar pertanda rasa ikhlas yang embuk ucapkan tak setulus itu.

Kutmiyati tertunduk malu dihadapan laki-laki yang kini sudah sah menjadi suaminya, tak
ada sepatah kata yang diucapkan Kut saat laki-laki yang dihadapannya mulai melaksanakan
kewajibannya, kini Kutmiyati telah hilang dara. Raut masam bercampur sakit satu-satunya
ekspresi yang digambarkan kedua insan yang seharusnya dimabukkan malam pertama. “aku tak
ingin melanjutkan jika kau terpaksa melakukan ini semua” suara laki-laki itu tampak menyentuh
hati Kutmiyati, mata yang tampak sayu memandangi wajah laki-laki yang berada diatasnya
“bisakah kau berhenti sejenak” Kutmiyati menangis menceritakan jika dia sebenarnya ingin
melaksanakan kewajibannya sebagai perempuan yang sudah berkawin namun kehendak hatinya
masih tak siap menjadi Embuk” lepas mengisahkan kegundahan hatinya Kut menyudahi malam
pertamanya.

Mbuk aku ingin membawa Kut kerumah saya” laki-laki bersarung hitam dengan rambut
basah tertutupi peci hitam suami Kutmiyati berbincang dengan Embuk “tanggung jawab embuk
sekarang menjadi pikulan saya, sewajibnya Kutmiyati pulang kerumah saya” menatap rambut
yang masih meneteskan air itu, embuk yang duduk di atas kursi kayu duduk mendekati menantu
laki-lakinya “embuk tidak melarang kewajiban dari Tuhan itu, sepatutnya gadis yang sudah
berkawin memang ikut dengan suami” menghela nafas panjang berat rasanya bibir embuk
melanjutkan kalimat selanjutnya dengan penuh kekuatan embuk juga mengatakan permintaan
sebagai orang tua Kutmiyati dan sebagai mertua dari laki-laki dihadapnnya “embuk tak ingin
Kutmiyati menjadi embuk, nak” kepala menantu laki-laki ini terheran karena semalam wanita
yang baru saja menjadi istrinya juga mengucapkan maksud yang sama.

Lepas salat duhur berjamaah laki-laki ini bermaksud bertanya kepada sang istri,
sebenarnya ada apa dengan seorang embuk. Sedari dulu laki-laki ini sangat menghormati embuk
dan bapaknya lantas ada apa dengan embuk yang ditakuti oleh Kutmiyati dan embuk mertuanya
ini. “sebaiknya kita segera berpisah atap dengan embuk tidak sedap pandangan tetangga seorang
anak berkawin tetap seatap dengan orang tua” suami Kutmiyati mengambil tangan istrinya
mengelus dengan tatapan hangat yang dilontarkan. “mas, hatiku tak ingin meninggalkan embuk
seorang diri tak berarti aku tak ingin seatap dengan mu hanya saja masih terlalu cepat kurasa
berpisah dengan embuk”. Laki-laki yang menjadi suaminya itu memahami jika anak gadis lebih
dekat dengan seorang embuk yang tak dimengertinya ucapan embuk tadi pagi di teras depan, tak
ingin dikacaukan dengan ucapan embuk, mas yang dipanggil oleh Kutmiyati ini mengajak
istrinya pergi keluar rumah untuk sekadar jalan-jalan melepas penatnya pikiran.

“bebasnya kamu selagi ada mantumu kau tak menjalankan kewajiban mu menjadi
seorang perempuan berlaki, sekarang masuk ke dalam kamar, tak usah kau berbincang dengan
mantumu lagi perempuan macam apa tak mengurus suaminya” wajah payau kembali terpasang
di embuk, etelah perkawinan Kutmiyati embuk kembali kehilangan nafas batinnya hanya raga
yang tersisa sebagai perempuan berlaki. “siapkan aku makan selepas salat aku ingin dipijat
bagian punggunga” sudah menjadi makanan sejak 13 tahun lalu setelah perkawinannya Siti
menjadi seorang embuk hidup tak ada tumpuan namun setelah kelahiran Kutmiyati embuk
memiliki tumpuan namun tak sadar ikatan bathil itu semakin membuatnya kehilangan nafas,
namun begitulah embuk menjalani hidup di bawah atap dengan ikatan bathil Sulaiman.

“Manisnya sabit itu baru kau tampakkan hari ini padaku, aku hanya ingin melihat bibir
yang sabit disetiap bangun dan kala ku ingin tidur” insan yang sedang ingin merasakan
mabuknya pengantin baru ini terasa canggung mengutarakan kecantikan perempuan yang sudah
menjadi istrinya itu. “aku tak mengerti dengan sebuah ikatan suci ini? Akankah aku merasa
bahagia setelah hari ini? Ataukah rasa bahagia akan terus mengiringi aku selama menjadi sorang
istri?” Kutmiyati mulai menegosiasi rasa dengan suaminya, kelegaaan yang dirasa laki-laki itu
karena mengetahui gundah yang selalu menghatui Kutmiyati diketahui. “haruskah aku beritahu
dirimu dik? Sepantasnya kau dapatkan tanpa kau pinta dan tak usa aku katakana karna sudah
semestinya” laki-laki ini berucap dari hati selepas wanita yang kini dinikahi hasil dari
perjodohan orang tua ia yakin jika wanita layak diperlakukan dengan penuh kasih sayang.

Embuk bercadar keluar dari kamar menyambut anak perempuannya “kau sudah pulang
Kut, sudah hampir petang mari makan dulu ajak juga suami mu”. Suami Kutmiyati tampak heran
dengan mertuanya yang baru dilihat dengan pakaian menutupi wajah, selesai menyantap
hidangan embuk Kutmiyati dan suami masuk ke kamar. “sudah ku katakan untuk tidak melawan
perkataanku, obati lebam di pipimu itu tak sedap jika sampai menantumu tahu” nada tinggi
sudah menjadi datar terdengar embuk sebab 13 tahun lamanya atap itu dihiasi dengan nada tak
sedap. “Aku tak ingin kelak Kutmiyati merasakan sakitku, hilang tumpuanku jika ia harus
terluka oleh lakinya jua” lirih suara hati embuk terdengar jelas dari mata yang menahan airnya
mengalir ke pipi.

“mas bisakah aku seatap denganmu? Tanpa ada rasa khawatir untuk menjadi seorang
embuk?” Kutmiyati tak ingin ikatan sucinya senasib dengan ikatan bathil embuk, meremas
tangan yang penuh dengan air payau, suami Kutmiyati menatap mata sayu itu “khawatirmu
sebab kau tak pernah merasakan bersykurnya menyandang status seorang embu dik, aku tahu kau
takut untuk berpisah dengan orang tuamu yang merawatmu dengan kasih sanyang” Kutmiyati
langsung memotong perkataan suaminya itu “tak seperti ucapanmu mas, aku bukan tak
bersyukur menyandang status embuk melainkan aku tak ingin diperlakukan seperti embuk” tak
masuk dipikiran laki-laki ini tak percaya jika wanitanya enggan diperlakukan manis layaknya
tuan putri anggapan suami Kutmiyati “aku tak ingin mengatakannya, namun jika demikian aku
tak henti khawatir nantinya. Aku tak pernah melihat embuk melemparkan senyumnya kepada
bapak, dan aku tak pernah melihat bapak tak memukuli embuk tiap harinya” suami Kutmiyati
tersadar mengapa waktu malam kemarin embuk mengenakan penutup wajah, mungkin sebab
bekas pukulan bapak.

Malam hari bapak yang sedang menyeruput kopi hangat diteras depan dihampiri oleh
menantu laki-lakinya “pak saya ingin berbicara sebentar mengenai Kutmiyati” melihat
menantunya yang duduk merunduk dengan sopan bapak mulai mencairkan suasana “iya
bagaimana cong” sebutan untuk anak laki-laki suku Madura. “saya ingin membawa Kutmiyati
kerumah di kampong saya pak, di sana saya membangun rumah kecil namun cukup untuk saya
dan Kutmiyati” menaruh cangkir kopi di atas meja “Kutmiyati sudah menjadi tanggungan mu
cong, jika kau pinta Kutmiyati untuk pulang dengan mu, sebagai bapak hanya bisa meridhoi”
mendengar perkataan bapak yang setuju dengan permintaannya suami Kutmiyati langsung
mengabari sang istri.

“dik akhirnya jam emosi mu telah berakhir, mulai dari sekarang kau akan memulai jam
bahagia denganku, kau tak akan nampak aku berwujud bapakmu dan aku tak akan
memperlakukan mu seperti embuk” ucap laki-laki itu sesampainya di rumah beridameter 3 x 4
itu. “aku tak tahu jam emosi akan berhenti setelah perkawinan ini, sangkaku tak demikian
mengingat nantinya aku menjadi seorang embuk” raut bahagia terpancar dari wajah Kutmiyati,
senyum sabit Kutmiyati bersemi menghadirkan dunia baru bagi keluarga kecil itu, kini Kutmiyati
benar-benar menjadi seorang embuk, kedua insan itu akan menjadi orang tua dari cabang bayi
dalam perut Kutmiyati.

“nak aku tak ingin cucuku bernasib sama dengan embuk” mengelus perut Kutmiyati yang
sedang menyambangi embuk karena telah cukup lama Kutmiyati dan suami tak melihat kondisi
embuk dan bapak. Seperti dugaan Kutmiyati sebelum beranjak menyambangi embuk “aku
mengira jika nanti embuk akan menahan sakitnya lagi dihadapan kita mas” tak lebih dari
sangkaannya embuk masih tetap berada dalam jam emosi bapak, melihat Kutmiyati tak terikat
kebathilan suaminya membuat embuk merasa lega dan sakit yang dirasanya sekarang lenyap
mengiringi embuk yang jatuh ke lantai halaman depan rumah.

Selama ini embuk menahan kematian hanya untuk melihat Kutmiyati benar-benar tak
terikat kebathilan laki-laki yang dikawinkannya, hantaman bapak telah merenggut nyawa embuk
tersisa raga menunggu waktu yang dijanjikan malaikat menjempunya. Embuk telah menjelma
kedalam raga Kutmiyati dengan kebahagiaan yang dirasakannya akhirnya embuk keluar dari jam
emosi.

Anda mungkin juga menyukai