Anda di halaman 1dari 6

1.

Prinsip kesetaraan
"Kesetaraan", keadilan dalam hubungannyadengan hak asasi manusia sering sulit untuk
diwujudkan, terutama bilamana tidak ada niat untuk menciptakan baik melalui instrumen hukum
maupun dalam tindakan — tindakan yang konkrit. Kaum pejuang perempuan berupaya keras
untuk mendapat pengakuan yang sama atas hak — haknya, walaupun seharusnya tidak perlu
diperjuangkan, karena jelas sudah ditetapkan sebagai hak. Kesetaraan secara tegas dinyatakan
dalam Mukadimah Piagam PBB, dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia dan pada tahun 1966
dalam Kovenan tentang hak Sipil dan Politik dan Kovenan tentang hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya.
Karena prinsip kesetaraan tersebut telah diakomodasikan di dalam berbagai instrumen hukum
intemasional, sehingga bilamana suatu negara telah menyatakan kesepakatannya untuk menjadi
pihak dalam dua Kovenan tersebut, maka merupakan kewajiban bagi negara bahwa jaminan
kesetaraan dan segala bentuk diskriminasi dalam pemenuhan hak asasi hams dihapuskan.
Sehingga, sebenarnya tidak lagi perlu diperjuangkan untuk kesetaraan gender, karena semua
instrumen hukum internasional dan nasional memberi jaminan fundamental hak asasi setiap
manusia tanpa diskriminasi apapun, dan konsekuensinya bila terjadi pelanggaran —pelanggaran
terhadap isi perjanjian internasional tersebut maka negara yang melakukan pelanggaran harus
bertanggung jawab.
Menurut hukum perjanjian internasional, negara wajib memasukkan ketentuan dalam instrumen
internasional yang sudah disepakatinya melalui proses pengesahan, ke dalam hukum positifnya
agar semua kewajiban yang tertuang dalam instrumen internasional tersebut diimplementasikan
dalam sistem hukum negara. Kewajiban negara untuk menghormati dan menjamin hak — hak
yang diakui dalam instrumen intemasional, dan yang telah disepakatinya, merupakan suatu
prinsip yang sudah berlaku secara universal (prinsippacta sunt servanda). Kesetaraan gender juga
mendapat penekanan dalam Pasal 3 Kovenan ICESCR, bahwa :
"The States Parties to the present Covenant undertake to ensure the equal right of men and
women to the enjoyment of all economic, social and cultural rights set forth in the present
Covenant. "
Dari Pasal 3 di atas jelas penegasan persamaan hak antara laki — laki dan perempuan, yakni
pemenuhan freedom of want di bidang ekonomi, sosial dan budaya. Sebelumnya dalam
mukadimahnya diakui adanya "inherent dignity and of the equal and inalienable rights of all
members of the human family ", disertai kewajiban negara untuk pemenuhan hak-haknya.
Dari aspek sosial budaya, diciptakan keadaan yang bias gender, misalnya peran perempuan yang
didefinisikan sebagai pengurus keluarga, pendamping suami, pendidik anak, semua
mengukuhkan nilai-nilai patriarkhi, tidak membedakan perempuan sehingga mempunyai posisi
tawar setara dengan laki — laki, tidak boleh mengurangi hak perempuan mempunyai
kesempatan yang sama dalam bidang ekonomi, pendidikan kerj a, berserikat, jaminan sosial.
Mukadimah ICCPR juga mengakui adanya ".....inherent dignity and of the equal and inalienable
rights of all members of the human family ...." dan kemudian ditegaskan lagi dalam Pasal
3,bahwa negara peserta Kovenan berkewajiban untuk :
.. . to ensure the equal right of men and women to the enjoyment of all civil and political rights
set forth in the present Covenant." Maka Negara Peserta Kovenan wajib menjamin secara
seimbang kepada pria maupun perempuan hak untuk hidup, hak untuk bebas dari penyiksaan,
bebas dari perbudakan, hak menjadi subjek hukum, kebebasan untuk berpikir, berkeyakinan dan
agama, kebebasan berkumpul, berserikat dan lain — lain hak dalam ICCPR.
Perjanjian internasional lainnya, yaitu Konvensi Perempuan misalnya menekankan juga pada
prinsip persamaan dan keadilan (equality and equity) dan didasarkan diantaranya pada prinsip
persamaan substantif, artinya bertujuan:
1.Mengatasi perbedaan, disparitas/kesenjangan atau keadaan yang merugikan perempuan.
2. Menciptakan kesempatan dan akses bagi perempuan yang sama dengan pria serta menikmati
manfaat yang sama.
3. Hak hukum, persamaan kedudukan dalam hukum dan perlakuan yang sama di muka hukum .
(Achie Sudiarti Luhulima, 2006 : 87)
Dalam World Conference on Human Rights di Vienna pada tahun 1993 dinyatakan tentang
makna kesetaraan, bahwa :
... the concept of equality means much more than treating all persons in the same way. Equal
treatment of persons in unequal situations will operate to perpetuate rather than
eradicate injustice.”

2.Prinsip Non-Diskriminasi
Prinsip non-diskriminasi yaitu prinsip yang menghargai persamaan, tidak ada perbedaan, baik
atas dasar suku bangsa, etnis, agama, ras, etnis, status sosial, warna kulit, ideologi dan
sebagainya.Prinsip non-diskriminasi harus dikedepankan karena seringkali kaum mayoritas
memperlakukan kaum minoritas secara semena-mena. Di sejumlah negara, kelompok minoritas
seringkali mengalami diskriminasi, baik dilakukan secara langsung maupun tidak langsung.
Bahkan sebagian dari mereka juga harus menghadapi tuntutan pidana karena dianggap menjadi
pemicu kontroversi maupun konflik sosial yang terjadi di masyarakat. Atas nama regulasi,
lembaga peradilan, pemerintah maupun mayoritas melakukan konspirasi untuk menghukum
individu atau kelompok yang dianggap berbeda.
Negara pada prinsipnya harus memberikan perlindungan kepada kaum minoritas maupun
kelompok atau individu yang rentan secara politik dan hukum. Kelompok atau individu
dikatakan rentan jika produk legislasi maupun kebijakan negara jarang atau bahkan tidak
menjadikan mereka sebagai obyek pengaturan. Kebijakan hukum afirmatif untuk melindungi
kerentanan mereka juga tidak diberikan. Padahal jika mengacu pada norma-norma HAM
internasional,salah satu bentuk partisipasi negara dalam rangka pengarusutamaan HAM adalah
dengan cara melindungi kaum minoritas
dan rentan agar tidak dikecualikan secara hukum dan tidak diasingkan dalam kehidupan sosial
masyarakat. Atas dasar itulah prinsip non diskriminasi menjadi sangat penting dalam HAM
karena HAM dapat berfungsi sebagai media atau alat untuk mempertahankan diri kelompok
rentan.
Kaum minoritas dan rentan akan memiliki status yang setara jika mereka dapat merasakan
keuntungan dari usaha yang mereka kelola sendiri dengan leluasa serta dapat berpartisipasi aktif
dalam bidang politik dan ekonomi serta seluruh aspek kehidupan tanpa adanya
diskriminasi.Ketika mereka telah berpartisipasi dan berdaya dalam bidang politik dan ekonomi,
kelompok rentan diharapkan akan memiliki posisi tawar yang kuat di bidang apapun. Seringkali
pelanggaran atas HAM kelompok minoritas terjadi ketika mereka tidak memiliki posisi tawar
yang seimbang dengan
para pemilik kekuasaan.Untuk itu penguatan kapasitas dan posisi tawar kelompok minoritas
menjadi sangat penting agar mereka dapat memaksimalkan kualitas dan kapasitasnya dalam
masyarakat. Upaya memberikan ruang agar kelompok minoritas terlibat aktif dalam publik
adalah juga bagian dari indikator pemerintah memberikan perlindungan dan perlakuan yang non-
diskriminatif.
Prinsip non-diskriminasi menempatkan siapapun pada posisi yang setara, memiliki hak dan
kedudukan yang sama. Prinsip non diskriminasi telah dimiliki manusia sejak lahir sehinga
prinsip non-diskriminasi menjadi konsep penting dalam kaidah HAM. Prinsip tersebut juga dapat
ditemukan di berbagai instrumen HAM.Penegasan akan prinsip non-diskriminasi ini juga
tercantum dengan jelas diantaranya DUHAM yang menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak
atas semua hak dan kebebasan yang tertera dalam deklarasi ini dan tidak boleh ada pengecualian
dibidang apapun, seperti pembedaan suku bangsa, ras, jenis kelamin, bahsa, warna kulit, jenis
agama, hak milik, politik atau pandangan lain, asal usul kebangsaan atau kemasyarakatan,
kelahiran atau kedudukan lain.
Prinsip non-diskriminasi tercantum dalam berbagai instrumen, baik yang levelnya nasional,
regional dan internasional.Pada skala internasional, ketentuan prinsip non-diskriminasi termuat
dalam Piagam PBB, DUHAM, Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik
(Kovenan SIPOL), Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (EKOSOB).21
Selain itu, prinsip non-diskriminasi antara lain juga didapati dalam Konvensi Internasional
Tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, Konvensi Internasional
Tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Rasial, Deklarasi Tentang Penghapusan
Semua Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama atau Kepercayaan dan
Konvensi Internasional Tentang Pemberantasan dan Penghukuman Kejahatan Pembedaan Warna
Kulit (Apartheid).

3.prinsip kewajiban negara


Kesepakatan untuk mengikatkan diri (consent to be bound) pada perjanjian internasional
merupakan tindak lanjut yang dilakukan oleh negara-negara setelah menyelesaikan suatu
perundingan untuk membentuksuatu perjanjian intemasioal. Tindakan ini melahirkan kewajiban
tertentu bagi negara-negara perunding setelah menenma (adoption) suatu naskah perjanjian,
diantaranya adalah kewajiban untuk tidak melaksanakan sesuatu yang bertentangan dengan
esensi, maksud dan tujuan perjanjian intemasionel." Kesepakatan untuk mengikatkan diri pada
perjanjian dapat dinyatakan melalui beberapa macam cara, diantaranya adalah penandatanganan
dan ratifikasi sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian
lnternasional.
Kewenangan untuk menerima atau menolak ratifikasi melekat pada kedaulatan negara. Hukum
internasional tidak mewajibkan suatu negara untuk meratifikasi suatu perjanjian internasional
(asas free consent). Apabila Indonesia telah meratifikasi perjanjian internasional maka unplikasi
yuridisnya adalah Indonesia akan terikat dan tunduk pada perjanjian tersebut dan perjanjian
tersebut diakui sebagai bagian dari sistem hukum nasional. Indonesia telah banyak meratifikasi
perjanjian internasional, salah satunya CEDAW Akibat hukumnya, Indonesia berkewajiban
untuk melaksanakan seluruh pnnsip yang tercantum dalam konvensi tersebut, kecuali yang
direservasi. Hal ini sesuai dengan prinsip "pacta sunt servanda· yaitu suatu prinsip yang
mewajibkan negara-negara untuk mentaati dan melaksanakan perjanjian (Pasal 26 Konvensi Win
a 1969).
CEDAW diratifikasi Indonesia sesuai dengan Pasal 11 UUD 1945 (dengan terlebih dahulu
mendapatkan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat). Oleh karena itu tidak ada alasan yang
boleh diajukan untuk tidak dengan segera menindaklanjuti ketentuan yang diatur dalam CEDAW
karena secara konstitusional Indonesia telah mengikatkan diri kepada CEDAW. Pemerintah
Indonesia telah terikat pada kewajiban internasional untuk melaksanakan pasal-pasal substantif
yang diatur dalam CEDAW Pasal-pasal CEDAW yang merupakan substansi pokok adalah Pasal
2 sampai dengan Pasal 16. Pada prinsipnya, dalam hukum HAM, Negara c.q. Pemerintah
mempunyai kedudukan sebagai pemangku kewajiban (duty bearer) dan individu-individu yang
berdiam di wilayah yurisdiksinya sebaqai pemegang hak (rights holder) Kewajiban yang
diemban negara adalah kewajiban untuk menghonnati (obligation to respect) yaitu kewajiban
negara untuk menahan diri agar tidak melakukan intervensi kecuali alas hukum yang sah
(legitimate); kewajiban untuk memenuhi (obligation to fulfill) yaitu kewajiban negara untuk
mengambil langkah-langkah legislatif, admimstratif. yudisial dan praktis yang perlu untuk
menjamin pelaksanaan HAM; kewajiban untuk melindungi (obligation to protect) yaitu
kewajiban negara untuk melindungi tidak hanya terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh
negara, namun juga dari pelanggaran atau tindakan yang dilakukan oleh entitas atau pihak lain
(non-State) yang akan mengganggu per1indungan hak."
Kewajiban internasional setiap negara untuk menghonnati, memajukan, memenuhi, melindungi
dan menegakkan HAM tidak semata-mata didasarkan pada kewajiban alas suatu peraturan
perundangan, tetapi juga didasarkan pada moralitas untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat
manusa. Kewajiban negara semacam ini sebenarnya merupakan kewajiban mendasar bagi setiap
pelaku dalam berhubungan baik dalam skala nasional maupun intemasional.
Komitmen Indonesia dalam mewujudkan pemajuan dan perlindungan HAM antara lain
ditunjukkan dengan pembentukan Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) pada tahun 1993,
pengesahan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, pembentukan Kantor Menteri Negara Urusan
HAM dalam Kabinet Persatuan Nasional pada tahun 1999. dan penambahan pasal-pasal khusus
menqena HAM dalam amandemen UUD 1945 pada tahun 2000.10 Hak perempuan secara
khusus diatur dalam Pasal 45 hingga Pasal 51 UU HAM. Pasal 45 menyebutkan bahwa hak
perempuan adalah hak asasi manusia. Pasal 46 menghendaki bahwa sistem pemilihan umum,
kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif dan sistem pengangkatan di bidang
eksekutif,yudikatif harus meruarnm keterwakilan perempuan sesuai persyaratan yang ditentukan.
Dalam lapangan keperdataan, Pasal 47 UU HAM menegaskan tentang individualitas
perempuan,bahwa seorang perempuan yang menikah dengan seorang laki-laki
berkewarganegaraan asing, tidak secara otomatis mengikuti kewarganegaraan suaminya tetapi
mempunyai hak untuk mempertahankan dan memperoleh kembali status kewarganegaraannya.
lndividualitas ini pun semakin ditegaskan dalam lapangan hukum karena dalam Pasal 50 UU
HAM dinyatakan bahwa perempuan yang telah dewasa dan atau telah menikah berhak untuk
melakukan perbuatan hukum sendiri kecuali ditentukan lain oleh hukum agamanya. Perempuan
juga mempunyai hak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran di semua jenis, jenjang dan
jalur pendidikan sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan sebagaimana diatur dalam
Pasal 48 UU HAM. Sedangkan Pasal 49 UU HAM mengatur bahwa perempuan berhak untuk
memilih, dipilih, diangkat dalam pekerjaan, jabatan dan profesi sesuai dengan persyaratan dan
peraturan perundang-undangan. Perempuan juga berhak untuk mendapatkan perlindungan
khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam
keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi perempuan (pelayanan
kesehatan yang berkaitan dengan haid, hamil, melahirkan dan pemberian kesempatan untuk
menyusui anak).

Anda mungkin juga menyukai