Anda di halaman 1dari 55

MATERI EPM

PROF ARSUNAN DAN PAK WAHID


PEKAN 1 & 2 (JUMAT, 07 & 14 FEB 2020)
DEFINISI DAN ISTILAH PENTING EPM

A. 4 Kuman yang Paling Mudah Berkembang di Daerah Tropis


1. Bakteri
2. Virus
3. Parasit
4. Jamur
B. Pengertian Epidemiologi Penyakit Menular
1. Metode memotret masalah penularan penyakit.
2. Studi tentang distribusi, frekuensi dan determinan suatu penyakit.
3. Distribusi : Penyebaran
Frekuensi : Angka Kejadian
Determinan: Penentua/Faktor yang menentukan.
NB : Determinan hanya terditi dari 1 faktor, apabila ada faktor lain, itu
disebut faktor risiko.
C. Pengertian Penyakit Menular
Penyakit yang disebabkan oleh agen infeksius (Virus, bakteri/Parasit)
melalui transmisi agen dari orang yang terinfeksi, hewan, atau reservoir (tempat
penyimpanan) lainnya ke host (pejamu) yang rentan, baik secara langsung/tidak
langsung melalui perantara seperti media, air, udara, vector, tanaman dsb.
D. Ruang Lingkup EPM
1. Evaluasi faktor yang menyebabkan infeksi oleh agen.
2. Faktor yang mempengaruhi transmisi agen.
3. Faktor yang berhubungan dengan penyakit klinis pada pejamu (Host) yang
terinfeksi.
E. Kelompok Utama Penyakit Menular
1. Penyakit yang sangat berbahaya karena angka kematian cukup tinggi.
2. Penyakit menular tertentu yang dapat menimbulkan kematian dan cacat,
walaupun akibatnya lebih ringan dari yang pertama
3. Penyakit menular yang jarang menimbulkan kematian dan cacat tetapi dapat
mewabah yang menimbulkan kerugian materi.
F. Contoh Penularan Langsung dari Orang ke Orang
1. HIV : Menular melalui hubungan sex.
2. TBC : Menular melalui udara.
G. SIfat Utama Aspek Penularan Penyakit dari Orang ke Orang
1. Waktu Generasi (Generation Time)
a. Masa antara masuknya penyakit pada pejamu tertentu sampai masa
kemampuan maksimal pejamu tersebut unntuk dapat menularkan penyakit.
b. Perbedaan masa tunas dengan waktu generasi yaitu masa tunas ditentukan
oleh masuknya unsur penyebab sampai timbulnya gejala penyakit seningga
tidak dapat ditentukan pada penyakit dengan gejala yang terselubung.
c. Waktu generasi adalah waktu masuknya unsur penyebab penyakit hingga
timbulnya kemampuan penyakit tersebut untuk menularkan kepada pejamu
lain walau tanpa gejala klinik/terselubung.
2. Kekebalan Kelompok (Herd Immunity)
a. Adalah tingkat kekampuan/daya tahan suatu kelompok penduduk tertentu
terhadap serangan/ penyebaran unsur penyebab penyakit menular tertentu
berdasarkan tingkat kekebalan sejumlah tertentu anggota kelompok tersebut.
b. Merupakan faktor utama dalam proses kejadian wabah di masyarakat serta
kelangsungan penyakit pada suatu kelompok penduduk tersebut.
H. Sumber Penularan
1. Penderita
2. Pembawa kuman
3. Binatang sakit
4. Tumbuhan/benda
I. Cara Penularan
1. Kontak langsung
2. Melalui udara
3. Melalui makanan/minuman
4. Melalui vektor
J. Pengertian Masalah
Ketidaksesuaian antara harapan dengan kenyataan.
K. Istilah Penting dalam EPM
1. Carrier
Manusia (orang) atau hewan tempat berdiamnya agen menular spesifik
dengan adanya penyakit yang secara klinis tidak terlihat nyata, tetapi dapat
bertindak sebagai sumber infeksi yang cukup penting. Kemampuan sebagai
pembawa/carrier bisa terdapat pada seseorang dengan infeksi yang tidak
tampak nyata sepanjang waktu tersebut (umumnya dikenal sebagai orang sehat
atau pembawa yang tidak jelas gejalanya), atau berada dalam masa tunas
(incubatory carrier), masa penyembuhan dan sesudah masa penyembuhan dari
suatu penyakit infeksi tertentu (convalescent carrier). Pada kondisi tertentu maka
kemampuan sebagai pembawa bisa berlaku dalam waktu singkat atau panjang
(temporary carrier/transient carrier, atau chronic carrier).
2. Case Fatality Rate
Biasanya dinyatakan sebagai persentase dari jumlah orang yang
didiagnosa menderita penyakit yang telah ditentukan dan meninggal karenanya.
Istilah ini lebih sering dipergunakan untuk kejadian luar biasa (outbreak) penyakit
akut dimana semua penderita setelah diikuti dengan periode waktu yang cukup
untuk sampai mengakibatkan kematiannya.
Angka kefatalan (Fatality rate) harus dengan jelas dibedakan dari angka
kematian (Mortality rate).
3. Chemoprophilaxis
Pemberian bahan kimiawi termasuk antibiotíka, untuk mencegah
pertumbuhan atau perkembangan infeksi menjadi penyakit yang nyata.
Selanjutnya chemotheraphy yang berkenaan dengan penggunaan
bahan-bahan kimiawi untuk penyembuhan suatu penyakit yang secara klinis
dapat diketahui, atau membatasi perkembangannya lebih jauh.
4. Cleaning
Pembersihan dengan menggosok dan mencuci, seperti dengan air
panas, sabun atau detergent yang sesuai, ataupun dengan menghisap debu
maupun agen menular atau zat organik dari permukaan pada dan dimana agen
menular tersebut dapat menemukan keadaan yang menguntungkan untuk bisa
bertahan atau berkembang biak.
5. Communicable Disease
Penyakit yang disebabkan oleh unsur/agen penyebab menular tertentu
atau hasil racunnya, yang terjadi karena perpindahan/ penularan agen atau
hasilnya dari orang yang terinfeksi, hewan, atau reservoir lainnya (benda lain)
kepada pejamu yang rentan (potensial host), baik secara langsung maupun tidak
langsung melalui pejamu perantara hewan (vektor), atau lingküngan yang tidak
hidup (lihat transmission of infectious agent).
6. Communicable Period
Waktu atau selama waktu tertentu dimana agen menular dapat
dipindahkan baik secara langsung maupun tidak langsung dari orang terinfeksi
ke orang lain, dari hewan terinfeksi ke manusia atau dari orang terinfeksi ke
hewan, termasuk arthropoda.
7. Contact
Orang atau hewan yang telah berhubungan/ mengalami hubungan
dengan orang atau hewan terinfeksi, atau lingkungan yang terkontaminasi
sehingga dapat memberikan peluang untuk memperoleh agen penyakit menular.
8. Contamination
Adanya agen menular pada permukaan tubuh, pada atau dalam
pakaian, termasuk semua yang berkaitan dengan tempat tidur (bedding),
mainan, alat-alat bedah atau baju operasi, maupun benda/zat mati termasuk air
dan makanan.
Pollution ( pencemaran ) berbeda dengan kontaminasi dan secara
langsung memperlihatkan adanya perusakan pada lingkungan, akan tetapi tidak
harus menular. Kontaminasi pada permukaan tubuh tidak bisa dianggap sebagai
pembawa kuman (carrier).
9. Desinfection
Mematikan agen penyakit menular dengan bahan-bahan kimiawi atau
alat/cara yang bersifat fisik yang mengena secara langsung agen penyakit
menular di luar tubuh.
10. Concurrent Desinfection
Penerapan usaha untuk mendesinfeksi secepatnya setelah pengeluaran
bahan yang menular dari tubuh orang terinfeksi, atau setelah terjadi pengotoran
benda-benda dengan kotoran-kotoran menular; semua hubungan perorangan
dengan kotoran-kotoran atau benda-benda yang sebelumnya dianggap tidak
perlu untuk didesinfeksi.
11. Terminal Desinfection
Penerapan usaha untuk mendesinfeksi setelah penderita dipindahkan
karena meninggal atau ke rumah sakit, atau setelah tidak lagi menjadi sumber
infeksi, atau setelah isolasi rumah sakit maupun tindakan-tindakan lain yang
sudah tidak dilakukan lagi.
12. Desinfestation
Semua proses baik secara fisik maupun kimiawi untuk merusak/
menghancurkan atau memusnahkan bentuk-bentuk hewan kecil yang tidak
dikehendaki khususnya arthropoda atau rodent (binatang pengerat), yang ada
pada orang, pakaian, atau dalam lingkungan seseorang, atau pada hewan-
hewan peliharaan (insecticide dan rodenticide).
Disinfestasi juga termasuk menghilangkan kutu-kutu untuk infestasi
dengan kutu kepala (pediculus humanus), dan kutu-kutu pada tubuh. Sinonim:
termasuk disinsektasi dan disinsektisasi akhir jika sasaran hanya pada insekta
yang terlibat.
13. Endemic
Adanya penyakit atau agen menular yang tetap dalam suatu area
geografis tertentu; dapat juga berkenaan dengan adanya penyakit yang secara
normal biasa timbul dalam suatu area tertentu.
14. Hyperendemic
Menyatakan suatu penularan hebat yang menetap (terus menerus).
15. Holoendemic
Tingkat infeksi yang cukup tinggi sejak awal kehidupan dan dapat
mempengaruhi hampir seluruh populasi; sebagai contoh: penyakit malaria pada
beberapa daerah tertentu (lihat zoonosis ).
16. Epidemic
Kejadian atau peristiwa dalam suatu masyarakat atau wilayah dari suatu
kasus penyakit tertentu (atau suatu kasus kejadian yang luar biasa) yang secara
nyata melebihi dari jumlah yang diperkirakan.
Jumlah kasus menandakan adanya wabah yang akan berubah-ubah
berdasarkan agen menularnya, jumlah dan jenis populasi yang terkena, adanya
kejadian sebelumnya atau tidak adanya keterbukaan (kerentanan) terhadap
penyakit, dan waktu serta tempat kejadian.
17. Epidemicity
Keadaan yang berkaitan dengan frekwensi penyakit yang sering dalam
satu area yang sama, diantara populasi yang telah ditentukan, dalam satu musim
tahun yang sama. Kasus tunggal suatu penyakit menular yang lama tidak terjadi
dalam populasi tertentu, atau serangan pertama oleh suatu penyakit yang tidak
dijumpai sebelumnya dalam area tersebut memerlukan laporan yang cepat dan
penyidikan (investigasi) epidemiologi; dua kasus penyakit tertentu yang
berhubungan dalam waktu dan tempat tertentu adalah bukti transmisi yang
cukup untuk dapat dianggap sebagai suatu wabah atau kejadian luar biasa.
18. Fumigation
Semua proses untuk mematikan bentuk-bentuk hewan khususnya
arthropoda, rodent dan binatang kecil lainnya yang dilakukan dengan
menggunakan gas (lihat pada insecticide dan rodenticide).
19. Health Education
Proses yang secara individu maupun secara berkelompok, orang-orang
belajar untuk meningkatkan, memelihara maupun memulihkan derajat
kesehatan.
20. Host (Pejamu)
Manusia atau hewan hidup, termasuk burung dan arthropoda, yang
dapat memberi kehidupan atau tempat tinggal untuk agen menular dalam kondisi
alam (lawan dari percobaan).
21. Immune Individual
Manusia atau hewan yang mempunyai perlindungan antibodi khusus
atau kekebalan seluler sebagai hasil infeksi yang terjadi sebelumnya, atau hasil
imunisasi, atau satu keadaan yang disebabkan kejadian khusus sebelumnya dan
memberikan reaksi yang sama untuk mencegah penyakit dan/atau adanya gejala
klinis penyakit tertentu setelah mengalami keterpaparan dengan agen penyakit
menular tertentu.
22. Immunity
Kekebalan yang biasanya dihubungkan dengan adanya antibodi atau
hasil aksi sel-sel yang spesifik terhadap mikro-organisme penyebab atau
racunnya, dan yang dapat menimbulkan penyakit menular tertentu.
23. Passive Humoral Immunity
Kekebalan yang didapat dengan pemindahan secara buatan melalui
inokulasi antibodi pelindung yang spesifik (dari hewan yang dikebalkan, atau
dengan serum seseorang yang baru sembuh dari sakit yang daya kekebalannya
sangat tunggi atau. dengan kekebalan serum globulin); dan yang berlangsung
dengan durasi yang pendek (beberapa hari sampai beberapa bulan).
24. Inapparent Infection
Adanya infeksi pada pejamu tanpa adanya tanda - tanda klinis yang
jelas atau gejala yang dapat dikenal. Infeksi yang tidak nyata dapat diidentifikasi
hanya secara laboratorium, atau oleh timbulnya suatu reaksi positif pada tes kulit
yang spesifik. Sinonim: Asymptomatic, subclinical, occult-infection.
25. Insidence Rate
Nilai suatu hasil bagi (angka), antara jumlah penderita baru suatu
penyakit yang telah didiagnosa sebagai suatu penyakit khusus, atau dilaporken
dalam periode waktu yang telah ditentukan (sebagai pembilang), dan jumlah
person dalam populasi yang telah ditentukan, dimana kasus tersebut terjadi
(sebagai penyebut).
26. Attack Rate, or Case Rate
Angka kejadian yang sering digunakan untuk kelompok-kelompok
khusus yang diamati untuk periode yang terbatas dan dalam keadaan khusus
pula, seperti dalam suatu wabah, dan biasanya dinyatakan dalam nilai persen
(kasus per 100).
27. The Secondary Attack Rate
Pada penyakit menular adalah jumlah kasus diantara keluarga atau
hubungan institusional /serumah yang terjadi diantara periode inkubasi setelah
keterpaparan (eksposur) pada kasus utama dalam kaitannya pada keterpaparan
secara umum; jika ditentukan hanya terbatas pada mereka yang rentan (risk
group).
28. Infection Rate
Kejadian dari semua infeksi, yang nyata maupun yang tidak nyata/tampak.
29. Incubation periode
Selang waktu antara terjadinya permulaan kontak dengan agen
penyebab penyakit menular sampai timbulnya gejala yang pertama kali atau
gejala penyakit yang dicurigai atau transmisi yang pertama kali pada vektor
penyakit.
30. Infected individual
Manusia atau hewan yang merupakan tempat berdiamnya suatu agen
penyakit menular, yang dapat disertai dengan gejala penyakit yang nyata atau
dalam bentuk infeksi yang tanpa gejala klinis ( lihat carrier ). Orang atau hewan
yang dapat menularkan salah satu dari agen penyakit menular yang secara
alami dapat diperoleh.
31. Infection
Masuknya, bertumbuh dan berkembangnya agen penyakit menular
dalam tubuh manusia atau hewan. Infeksi tidaklah sama dengan penyakit
menular; akibatnya mungkin tidak kelihatan (lihat inapparent infection), atau
nyata (lihat infectious disease).
32. Infectious agent
Suatu organisme (virus, rickettsia, bakteri, jamur, protozoa dan cacing )
yang mampu menimbulkan infeksi atau penyakit menular.

33. Infectious disease


Penyakit yang secara klinis tampak nyata pada manusia atau hewan
yang merupakan akibat suatu infeksi.
34. Infestation
Manusia atau hewan sebagai tempat menempelnya, berkembang dan
berbiaknya arthropoda pada permukaan tubuh atau didalam pakaian.
35. Insecticide
Semua zat kimia yang digunakan untuk mematikan, menghancurkan/
membasmi serangga, bisa berupa sebagai tepung, cairan, cairan yang
disemprotkan, aerosol atau seperti cat semprot; lazim adanya residu (akibat sisa
penggunaan zat tersebut).
36. Isolation
Untuk penderita isolasi dilakukan dengan melakukan pemisahan,
selama masa penularan terhadap orang atau hewan yang terinfeksi dari yang
lain pada tempat tertentu, serta dalam kondisi tertentu, sebagai usaha untuk
mencegah maupun membatasi penularan langsung dan tidak langsung terhadap
agen menular dari mereka yang terinfeksi kepada mereka yang rentan atau
mereka yang dapat menyebarkan agen tersebut kepada yang lain. 7 kategori
isolation :
a. Isolasi yang tegas / keras
Kategori ini diciptakan untuk mencegah penularan penyakit yang
sangat menular atau yang virulen, yang dapat disebarkan melalui udara dan
hubungan kontak.
b. Isolasi kontak
Untuk mengurangi infeksi yang sangat cepat menular atau serius,
dan untuk penyakit atau kondisi yang terutama menyebar oleh hubungan
yang dekat atau langsung.
c. Isolasi pernapasan
Untuk mencegah penularan penyakit menular dalam jarak dekat
melalui udara, diusulkan adanya ruangan khusus, tetapi penderita yang
terinfeksi dengan organisme yang sama dapat ditempatkan dalam satu
ruangan.
d. Isolasi tuberculosis (AFB isolation)
Untuk penderita TBC paru-paru yang positif terhadap ulasan sputum
atau X -ray dada yang menunjukkan adanya TBC yang sangat aktif.
e. Tindakan pencegahan bagian dalam
Untuk infeksi yang ditularkan melalui kontak langsung, atau tidak
langsung dengan kotoran ( feces ).
f. Tindakan pencegahan pembuangan
Untuk mencegah infeksi yang ditularkan melalui kontak langsung dan
tidak langsung dengan materi yang purulent atau pembuangan dari bagian
tubuh yang terinfeksi.
g. Tindakan pencegahan darah / cairan tubuh
Untuk mencegah infeksi yang ditularkan oleh adanya kontak
langsung atau tidak langsüng dengan darah yang terinfeksi atau cairan tubuh.
37. Molluscicide
Zat kimia yang digunakan untuk membasmi bekicot (snails) atau
molluska (binatang lunak) yang lain.
38. Morbidity Rate
Angka kejadian insidensi yang digunakan dengan memasukan semua
orang dalam populasi tertentu / yang diamati yang secara klinis menderita
penyakit dalam satu batas waktu tertentu.
39. Mortality Rate
Suatu angka yang dihitung dengan cara yang sama seperti pada
perhitungan incidence rate dengan pembilang adalah jumlah orang yang
meninggal dalam satu populasi selama periode waktu tertentu, biasanya 1 (satu)
tahun.
40. Nosocomial infection
Terjadinya infeksi pada penderita di rumah sakit atau pada fasilitas
pelayanan kesehatan yang lain dan pada siapapun yang pada waktu masuk
tidak terdapat tanda-tanda infeksi atau dalam masa inkubasi.
41. Pathogenicity
Kemampuan agen penyebab penyakit menular untuk menyebabkan
penyakit pada pejamu (host) yang rentan.
42. Patient or Sick People
Orang yang secara jelas sakit.
43. Personal Hygiene
Tindakan pencegahan yang menyangkut tanggung jawab individu untuk
meningkatkan kesehatan serta membatasi menyebarnya penyakit menular,
terutama yang ditularkan secara kontak langsung.

44. Prevalence Rate


Suatu hasil bagi (angka) yang diperoleh dengan menggunakan
pembilang sebagai jumlah orang yang sakit atau gambaran dari suatu keadaan
yang sebenarnya dalam suatu populasi tertentu pada satu waktu tertentu (point
prevalence) atau selama jangka waktu tertentu (periode prevalence), tanpa
memperhatikan kapan mereka mulai sakit atau mulai mengalami kondisi
tersebut; dan sebagai penyebut adalah jumlah orang dalam nopulasi dimana
kasus tersebut terjadi.
45. Quarantine
Larangan / pembatasan kegiatan orang atau hewan yang sehat yang
telah mengalami kontak/terpapar dengan kasus penyakit menular selama
periode penularan, untuk mencegah penularan penyakit selama periode inkubasi
andaikata infeksi sudah terjadi.
46. Absolute or Complete Quarantine
Pembatasan kebebasan bergerak bagi mereka yang terpapar / kontak
dengan kasus penyakit menular untuk periode waktu yang tidak lebih dari waktu
inkubasi terpanjang dari penyakit tersebut, sebagai usaha untuk mencegah
hubungan dengan mereka yang tidak terpapar.
47. Modified Quarantine
Suatu pilihan pembatasan sebagian dari kebebasan bergerak terhadap
mereka yang mengalami kontak,umumnya atas dasar diduga atau dicurigai
memiliki tingkat kerentanan yang berbeda dan dihubungkan dengan bahaya
terjadinya penularan penyakit.
48. Repellent
Bahan kimia yang diaplikasikan pada kulit atau pakaian atau tempat lain untuk
mengurangi:
a. Penyinaran dan penyerangan arthropoda secara individu.
b. Penusukan agen lain pada kulit seperti larva cacing.
49. Report of a Disease
Laporan resmi memberi tahukan kepada pihak yang berwewenang atas
terjadinya penyakit menular tertentu atau penyakit menular yang lain pada
manusia atau pada hewan.
50. Reservoir of infectious agent
Hewan, arthropoda, tanaman, tanah atau zat atau kombinasinya dimana
agen yang menular dapat secara normal hidup dan berkembang.
51. Resistence
Mekanisme tubuh yang secara keseluruhan membuat rintangan untuk
berkembangnya penyerangan atau pembiakan agen menular atau kerusakan
oleh racun yang dihasilkannya.
52. Inherent resistence
Kemampuan untuk melawan penyakit tidak bergantung kepada antibodi
atau respon jaringan yang tumbuh secara khusus; umumnya terletak pada sifat-
sifat anatomi atau faali yang khusus dari pejamu dan kemungkinan secara
genetis atau diperoleh secara permanen atau sementara.
53. Rodenticide
Bahan kimia yang digunakan untuk memusnahkan kelompok rodensia
(binatang pengerat sebangsa tikus) umumnya melalui penelanan (ingestion).
54. Source of infection
Manusia, hewan, obyek atau zat lainnya, dimana suatu agen menular
berada pada / di dalam tubuh pejamu (host).
55. Surveillance of disease
Berbeda dari pengawasan pada orang, maka pengawasan penyakit
merupakan kelanjutan penelitian yang cermat dari segala aspek terjadinya dan
penyebaran penyakit yang berhubungan dengan penanggulangan yang berlaku.
56. Susceptible
Orang atau hewan yang dianggap tidak mempunyai kekebalan (daya
tahan) yang cukup untuk melawan agen pathogen khusus untuk mencegah
terjadinya infeksi atau penyakit jika mengalami keterpaparan pada agen (rentan).
57. Suspect case
Orang yang mempunyai riwayat kesehatan dan tanda tarida yang
dianggap bahwa dia mungkin menderita atau sedang terjangkit penyakit yang
menular.
58. Virulence
Adalah tingkat patogenitas suatu agen menular, yang dinyatakan oleh.
angka kefatalan kasus atau kemampuannya untuk menyerang dan merusak
jaringan pada pejamu.
59. Zoonosis
Adalah suatu infeksi atau penyakit menular yang secara alam dapat
ditularkan dari hewan vertebrata ke pejamu manusia. Bisa enzootik atau
epizootik ( lihat"Endemic" dan "Epidemic").
60. Transmission of Infectious Agent
Segala cara atau mekanisme dimana agen menular menyebar dari sumber atau
reservoir ke manusia.
a. Direct transmission
Penularan langsung yang pada dasarnya pemindahan yang cepat
dari agen menular kepintu masuk yang sesuai dimana akan menimbulkan
infeksi pada manusia atau hewan.
b. Indirect transmission
Penularan penyakit terjadi dengan melalui media tertentu seperti
melalui udara, benda tertentu dan melalui vektor.
1) Vehicle-Borne
Bahan / benda mati yang terkontaminasi atau benda fomites
seperti mainan, sapu tangan, pakaian kotor, segala sesuatu yang ada
hubungannya dengan tempat tidur, alat-alat masak dan makan, alat-alat
bedah atau bajunya, air, makanan, susu, produk-produk biologi termasuk
darah, serum, plasma, jaringan atau anggota tubuh: atau semua bahan
yang dapat dipakai sebagai media perantara dimana agen menular
diangkut dan masuk kedalam pejamu (host) yang rentan melalui pintu
masuk yang sesuai.
2) Vector-Borne
a) Secara mekanis: termasuk mekanisme penularan yang sederhana
dimana serangga yang pada kakinya melekat berlumpur /kotoran, lalu
hinggap dan merangkak atau berjalan atau dengan jalan organisme
masuk kedalam saluran pencernakan.
b) Secara biologis: perkembang biakan, siklus maupun pertumbuhan
atau kombinasi dari keduanya diperlukan sebelum arthropoda dapat
memindahkan bentuk infektif unsur penyebab ke manusia.
3) Air-borne
Pernyebaran unsur penyebab secara aerosol ke pintu masuk
yang sesuai,biasanya saluran pernapasan.
a) Droplet nuclei: biasanya merupakan sisa / residu yang hanya sedikit,
dihasilkan dari penguapan cairan droplet yang dipancarkan oleh
pejamu yang terinfeksi.
b) Dust: partikel kecil yang ukurannya sangat bervariasi,bisa berasal dari
tanah (umpamanya spora jamur yang terpisah dari tanah kering
karena angin), pakaian, segala sesuatu yang berhubungan dengan
tempat tidur dan lantai yang terkontaminasi.
MATERI EPM IBU JUM
PEKAN 3 (JUMAT, 21 FEB 2020)
MANIFESTASI KLINIK, KOMPONEN PENYAKIT MENULAR

A. Sepktrum Penyakit Menular


1. Pada proses penyakit menular secara umum dijumpai berbagai manifestasi klinik
mulai dari gejala klinik yang tidak tampak sampai keadaan yang berat disertai
komplikasi dan berakhir cacat atau meninggal dunia.
2. Akhir dari proses penyakit ► sembuh atau meninggal.
3. Penyembuhan ► Dapat lengkap atau dapat berlangsung jinak (mild) atau dapat
pula dengan gejala sisa yang berat (severe sequele)

B. Infeksi Terselubung (Tanpa Gejala Klinis)


1. Adalah keadaan suatu penyakit yang tidak menampakkan diri secara jelas dan
nyata dalam bentuk gejala klinis yang jelas.
2. Untuk mendapatkan perkiraan besar dan luasnya infeksi terselubung dalam
masyarakat ► pengamatan/ survai epidemiologis dan tes tertentu pada populasi.
3. Hasil survai ► pelaksanaan program, u/ keterangan untuk kepentingan
pendidikan.
C. Gambar Proses Kejadian Penyakit
D. Penyebaran Karakteristik Manifestasi Klinik dari Tiga Jenis Penyakit Menular.
1. Kelompok Pertama, penyakit dengan keadaan lebih banyak penderita
terselubung yakni penderita tanpa gejala atau hanya disertai gejala ringan saja.
Contoh : Tuberkulosis.

2. Kelompok Kedua, penyakit dengan bagian yang terselubung (tanpa gejala) relatif
sudah kecil. Sebagian besar penderita tampak secara klinis dan dapat dengan
mudah didiagnosis. Contoh : Campak

3. Kelompok Ketiga, penyakit menunjukkan proses kejadian yang umumnya


berakhir dengan kelainan atau kematian. Contoh : Rabies

E. Gambar Hubungan Antara Keadaan Manifestasi Penyakit dengan Pencatatan


dan Pelaporan
F. Faktor Penyebab Penyakit Menular
1. Faktor penyebab (agent) ► organisme penyebab penyakit.
2. Sumber penularan (reservoir maupun resources).
3. Cara penularan khusus (mode of transmission)

G. Unsur Penyebab Penyakit Menular


1. Kelompok arthropoda (serangga) seperti scabies, pediculosis dll.
2. Kelompok cacing/helminth baik cacing darah maupun cacing perut.
3. Kelompok protozoa seperti plasmodium, amuba dll.
4. Fungus atau jamur baik uni maupun multiselular.
5. Bakteri termasuk spirochaeta maupun rickettsia.
6. Virus sebagai kelompok penyebab yang paling sederhana.

H. Gambar Proses Penularan Penyakit


I. Cara Keluar dari Sumber dan Cara Masuk Ke Pejamu Melalui
1. mukosa/kulit
2. saluran pencernaan
3. saluran pernapasan
4. saluran urogenitalia
5. gigitan,suntikan,luka
6. placenta

J. Bentuk Pembawa Kuman (Carrier), Dapat DIbagi dalam Berbagai Jenis


1. Healthy carrier (inapparent) “ mereka yang dalam sejarahnya tidak pernah
menampakkan menderita penyakit tersebut secara klinis akan tetapi
mengandung unsur penyebab yang dapat menular pada orang lain.”
2. Incubatory carrier (masa tunas) “ mereka yang masih dalam masa tunas tetapi
telah mempunyai potensi untuk menularkan penyakit “
3. Convalescent carrier (baru sembuh klinis)“ mereka yang baru sembuh dari
penyakit menular tertentu tetapi masih merupakan sumber penularan penyakit
tersebut untuk masa tertentu.”
4. Chronis carrier (menahun) “ merupakan sumber penularan yang cukup lama “.

K. Manusia dalam Kedudukannya Sebagai Reservoir Penyakit Menular DIbagi


dalam 3 Kategori Utama
1. Reservoir yang umumnya selalu muncul sebagai penderita.
2. Reservoir yang dapat sebagai penderita maupun sebagai carrier.
3. Reservoir yang umumnya selalu bersifat penderita akan tetapi dapat menularkan
langsung penyakitnya ke pejamu potensial lainnya, tetapi harus melalui
perantara hidup.

L. Pengantar
1. Penyakit infeksi menular adalah penyakit yang disebabkan oleh mikro-
organisme atau produknya yang dapat menular diantara pejamu baik secara
langsung, maupun tidak langsung atau melalui vektor.
2. Penyebaran penyakit infeksi menular dalam suatu populasi ditentukan oleh
sifat dari penyakit infeksi menular itu sendiri, sifat pejamu serta sifat lingkungan.
3. Sifat penyebab infeksi menular secara khusus ditentukan oleh sifat biologis
yang dimilikinya, spektrum pejamunya serta proses kejadian alamiahnya.
4. Sifat pejamu antara lain tingkat kerentanannya, status imunitasnya, keadaan
sosial demografisnya serta sifat kontak yang terjadi.
5. Interaksi antara pejamu dengan patogen ditentukan oleh respons imunitasnya,
tingkat virulensi patogen, sifat respon terhadap gejala serta kemampuan
adaptasi patogen penyebab terhadap usaha pengobatan.
6. Faktor lingkungan menentukan keadaan dimana pejamu dengan patogen
penyebab mengalami interaksi yang menyebabkan patogen dapat bertahan
disertai sifat prilaku pejamu.
7. Sebagai pusat perhatian adalah hubungan antara penyebab infeksi menular
dengan pejamu, cara penularannya serta lingkungan dimana penularan terjadi.
8. Induividu (perorangan) yang terinfeksi dapat merupakan sumber penularan
penyakit dalam masayarakat.
9. Infeksi menular yang tidak menimbulkan gejala, infeksi menular subklinik
serta pembawa kuman (cariers) dapat merupakan sumber infeksi menular
10. Hal penting adalah kemampuan penularan serta tingkat virulensi patogen
penyebab, kemungkinan terjadinya infeksi menular klinik atau subklinik serta
jangka waktu proteksi imunitas yang dimiliki.
11. Kontak dapat terjadi antar manusia, antara manusia dengan hewan, antara
manusia dengan vektor atau antara manusia dengan lingkungannya.
12. Pada proses perjalanan penyakit infeksi menular di dalam masyarakat, dikenal
adanya beberapa faktor yang memegang peranan penting antara lain adanya
faktor penyebab (agent).
13. Epidemiologi mempelajari mengapa infeksi menular berkembang dalam
masyarakat dalam bentuk endemis atau epidemis.

M. Faktor Penyebab
1. Yang merupakan penyebab kausal (agent) penyakit infeksi menular adalah
unsur biologis, dikelompokkan dalam beberapa kelompok, yaitu
a. Kelompok arthropoda (serangga) seperti pada penyakit scabies, pediculosis;
b. Kelompok cacing/helminth seperti cacing darah maupun cacing usus;
c. Kelompok protozoa seperti plasmodium, amoeba dan lain-lain
d. Fungus atau jamur baik uni maupun multiselluler;
e. Bakteri termasuk spirochaeta maupun ricketsia yang memiliki sifat tersendiri;
f. Virus sebagai kelompok penyebab yang paling sederhana.
2. Yang berperan dalam pernularan penyakit antara lain
a. organisme penyebab penyakit,
b. adanya sumber penularan (reservoir maupun resources),
c. adanya cara penularan khusus (mode of transmission),
d. adanya cara meninggalkan pejamu dan cara masuk ke pejamu lainnya,
e. serta keadaan ketahanan pejamu itu sendiri.
3. Faktor Lingkungan
a. Unsur penyebab penyakit menular mempunyai potensi tetap
mempertahankan diri terhadap pengaruh faktor lingkungan dimana dia
berada.
b. Usaha tersebut termasuk berkembang biak pada lingkungan yang lebih
sesuai terutama pada host / pejamu dimana ia berada, dan berpindah tempat
dari satu pejamu ke pejamu lainnya yang lebih menguntungkan,
c. Termasuk membentuk pertahanan khusus pada situasi lingkungan yang jelek
seperti membentuk spora atau bentuk lainnya.
d. Berbagai sifat karakteristik unsur penyebab ditentukan oleh unsur itu sendiri
dan tidak tergantung pada interaksinya dengan pejamu. Sifat karaktiristik
tersebut antara lain :
1) morfologi atau bentuk,
2) sifat kimiawi,
3) perubahan antigenik,
4) kebutuhan akan pertumbuhan (suhu, makanan dan lainnya),
5) kesanggupan hidup di luar tubuh pejamu pada berbagai perantara
(seperti air, susu dan tanah),
6) kesanggupan hidup di dalam berbagai keadaan suhu, kelembaban,
macamnya pejamu (binatang, manusia dan lain-lain),
7) kesanggupan menghasilkan toxin,
8) kesanggupan untuk resisten terhadap antibiotik dan berbagai zat
kimiawi lainnya, serta
9) kesanggupan untuk mendapat informasi genetik yang baru dari plasmid
atau partikel kehidupan lainnya.

N. Interaksi Penyebab dengan Pejamu


1. Berbagai sifat yang sangat tergantung/ dipengaruhi oleh interaksi antara
pejamu dengan penyebab termasuk tingkat infeksivitas, patogenitas, virulensi,
serta immunogenitas.
2. Kondisi lingkungan, besarnya dosis dan cara penularan tertentu dapat merubah
sifat-sifat penyebab tersebut.
3. Pada patogenitas yang sama tetapi berasal dari sumber yang berbeda akan
berbeda pula dalam berbagai sifat tersebut di atas.
4. Infektivitas
a. Kemampuan unsur penyebab ( agent) untuk masuk dan berkembang biak
dalam tubuh pejamu.
b. Infektivitas dapat dianggap sebagai jumlah minimal dari unsur penyebab
(mikro-organisme) yang dibutuhkan untuk menimbulkan infeksi terhadap
50% dari sekelompok pejamu pada spesies yang sama (LD50).
c. Angka ini dapat bervariasi tergantung pada sifat penyebab, cara penularan,
sumber penularan serta berbagai faktor yang berhubungan dengan pejamu
seperti umur, jenis kelamin dan lain-lain.
d. Contoh penyakit dengan derajat infektivitas yang tinggi adalah campak
sedangkan yang infektivitasnya relatif rendah adalah kusta.
5. Phatogenitas
a. Kemampuan untuk menghasilkan penyakit dengan gejala klinik jelas.
b. Bila pada suatu populasi dilakukan penelitian laboratorium dalam suatu
wabah penyakit tertentu dengan menggunakan cara diagnosa laboratorium
yang tepat, cukup sensitif dan spesifik,
c. Patogenitas atau proporsi infeksi menular yang muncul dengan gejala klinik
jelas pada suatu wabah dapat ditentukan/ dihitung.
d. Seperti halnya dengan derajat infektivitas, beberapa faktor tersebut di atas
dapat pula merubah atau mempengaruhi tingkat patogenitas penyebab atau
penyakit infeksi menular tertentu.
6. Virulensi
a. Nilai proporsi penderita dengan gejala klinis yang berat terhadap seluruh
penderita dengan gejala klinik jelas.
b. Case Fatality (CFR) dapat pula merupakan ukuran virulensi yang dapat
tergantung pada dosis, cara masuknya faktor penyebab atau cara penularan,
serta faktor pejamu seperti umur, jenis kelamin, ras dan lainnya.
c. Contoh pada tetanus, rabies dan beberapa penyakit lainnya yang virulensinya
ditentukan oleh cara masuknya, lokasi infeksi , sifat pejamu seperti umur,
jenis kelamin, keadaan umum dan sebagainya.
7. Immunogenitas
a. Kemampuan menghasilkan kekebalan atau imunitas yang berupa kekebalan
humoral, kekebalan seluler atau keduanya.
b. Imunisitas dapat dipengaruhi oleh faktor keadaan pejamu , dan oleh dosis
dan virulensi infeksi yang terjadi.
c. Unsur penyebab yang berkembang biak pada tempat tertentu hanya
menghasilkan imunitas lokal/ setempat dan bukan dalam bentuk sistemik.
d. Terjadinya penyakit pada manusia selain ditentukan oleh faktor penyebab,
juga oleh interaksi penyebab dengan pejamu.

O. Faktor Pejamu
1. Interaksi tersebut ditentukan pula oleh tingkat kepekaan pejamu terhadap
penyebab yang menyerangnya.
2. Pejamu dalam kehidupannya sehari-hari akan berusaha membentuk pertahanan
tubuh dan mekanisme pertahanan yang dilakukannya dapat berbentuk
kekebalan alamiah (natural immunity) yang bersifat tidak spesifik.
3. Dapat pula membentuk kekebalan buatan (acquired immunity) yang biasanya
bersifat spesifik melalui proses tertentu.
4. Kekebalan komunitas (herd immunity) dalam populasi.
5. Kekebalan Alamiah ( natural immunity )
a. Kekebalan ini bersifat tidak spesifik terhadap penyakit tertentu dan disebut
kekebalan relatif atau resistensi yang bersifat umum .
b. Sejumlah individu atau kelompok penduduk tertentu dapat memiliki kepekaan
yang tidak bersifat umum, yang kemungkinannya diwarisi (inherited ).
c. Hal ini dijumpai pada kelompok ras tertentu dimana terjadi semacam seleksi
alamiah yang berlangsung dalam beberapa generasi.
d. Kekebalan alamiah juga berhubungan erat dengan sifat karakteristik pejamu,
seperti umur, jenis kelamin, keadaan gizi dan lainnya.
6. Umur dan Jenis Kelamin
a. Umur dan jenis kelamin merupakan variabel yang selalu dipertimbangkan
karena kelompok umur tertentu mempunyai tingkat risiko terhadap penyakit-
penyakit tertentu.
b. Juga dengan jenis kelamin dimana prevalensi terjadinya penyakit tertentu
berbeda diantara kedua jenis kelamin.
c. Selain itu, susunan anatomis tubuh serta fungsi fisiologis normal pada
seseorang mempunyai daya tangkal terhadap proses terjadinya penyakit
infeksi menular.
d. Seperti kulit, saluran napas yang mempunyai fungsi menangkal proses
infeksi.
7. Status Gizi
a. Sifat tubuh manusia memiliki toleransi yang cukup tinggi terhadap berbagai
macam zat gizi yang masuk kedalam tubuh.
b. Dengan status gizi yang optimal, manusia mempunyai tingkat resistensi yang
cukup tinggi terhadap berbagai penyakit infeksi menular tertentu.
c. Keadaan kekurangan gizi yang cukup lama, menurunkan daya tahan/
resistensi tubuh secara umum sehingga mempunyai risiko yang tinggi
terhadap penyakit infeksi menular tertentu.
d. Dengan konsumsi zat gizi yang cukup termasuk air susu ibu akan
memberikan tingkat kekebalan alamiah / resistensi yang cukup tinggi
terhadap berbagai penyebab penyakit infeksi menular tertentu.
8. Kekebalan Khusus (specific immunity )
a. Kekebalan khusus pada umumnya terbentuk melalui pembentukan antibodi di
dalam darah, jaringan maupun cairan tubuh.
b. Kekebalan khusus dapat bersifat alamiah dapat pula bersifat buatan, dan
dengan demikian ada yang bersifat aktif dan pasif.
1) Kekebalan alamiah aktif ialah kekebalan khusus yang didapatkan
seseorang melalui infeksi menular alamiah, baik yang dengan gejala klinik
, maupun tanpa gejala (subklinik) atau infeksi terselubung.
2) Kekebalan alamiah pasif ialah antibodi yang disalurkan oleh seorang ibu
kepada janin dalam kandungannya.
3) Kekebalan aktif buatan adalah kekebalan yang timbul dari pemberian
vaksinasi (antigen) yang kemudian merangsang tubuhnya secara aktif
membentuk kekebalan terhadap antigen tersebut.
4) Kekebalan pasif buatan yakni pemberian serum yang mengandung
antibodi tertentu atau imunoglobulin tertentu kepada seseorang.
9. Kekebalan Komunitas (herd immunity)
a. Kekebalan komunitas atau herd immunity adalah kekebalan kelompok
penduduk tertentu terhadap penyebaran penyakit menular dalam masyarakat
tersebut.
b. Kekebalan ini ditentukan oleh besarnya proporsi populasi yang mempunyai
kekebalan khusus terhadap penyakit tersebut.
c. Hal ini dimungkinkan oleh karena rantai penularan dalam masyarakat tidak
akan berlanjut.
d. Keadaan ini timbul karena mereka yang rentan terhadap penyakit tersebut
terlindung dari kontak terhadap sumber.
e. Tingkat kekebalan komunitas ini berbeda untuk berbagai jenis penyakit
menular.
f. Tingkat kekebalan kominitas ini tergantung pada beberapa hal tertentu.
1) Frekuensi dari induksi baru dari infeksi menular,
2) Tingkat perpaduan yang memberikan kesempatan kontak antara
penderita dengan yang rentan,
3) Kemampuan penularan dan lamanya masa penularan (periode of
communicability) penyakit.
g. Kekebalan komunitas mempengaruhi priode timbulnya wabah penyakit dalam
masyarakat.

P. Mekanisme Patogenesis
1. Bila unsur penyebab penyakit masuk ke dalam tubuh pejamu, ada berbagai
kemungkinan yang akan timbul.
2. Pertama adalah tidak terjadi proses patogenresis, seperti pada masuknya
bakteri tetanus melalui makanan ke dalam rongga perut.
3. Atau terjadinya proses patogenresis tetapi tidak menimbulkan gejala klinis, dan
seterusnya berbagai kondisi tersebut telah diterangkan sebelumnya.
4. Efek patogen yang dihasilkan oleh unsur penyebab penyakit infeksi menular
dapat terjadi karena berbagai mekanisme tertentu.
5. Diantara mekanisme tersebut antara lain :
a. invasi jaringan secara langsung,
b. produksi toksin,
c. rangsangan imunologis atau
d. reaksi alergis yang menyebabkan kerusakan pada tubuh pejamu,
e. infeksi menular yang menetap (infeksi menular laten), merangsang
kerentanan pejamu terhadap obat dalam menetralisir toksisitas,
f. serta ketidakmampuan membentuk daya tangkal (immuno supression).
6. Dari berbagai mekanisme tersebut dapat dijumpai lebih dari satu mekanisme,
dan dapat terjadi perbedaan manifestasi klinik karena perbedaan mekanisme
walaupun unsur patogen yang sama.
7. Sejumlah besar unsur penyebab menimbulkan penyakit melalui mekanisme
invasi langsung ke jaringan,
8. Sedangkan infeksi menular virus dalam kelompok ini seperti infeksi menular virus
pada saluran pernapasan atas, saluran pencernaan serta virus pada selaput otak
(arbovirus encephalitis dan rabies).
9. Sejumlah tertentu penyakit terjadi karena mekanisme produksi toxin oleh unsur
penyebab.
10. Pada beberapa penyakit lainnya, mekanisme imunologis yang termasuk alergis
merupakan bagian dari mekanisme atau proses patogen terjadinya penyakit.
11. Diantara penyakit-penyakit yang mempunyai komponen imunologis yang penting
adalah tuberkulosis, demam berdarah dengue dan berbagai penyakit lainnya.
12. Infeksi oleh bakteri yang bersifat menahun serta infeksi menular virus yang
bersifat latent adalah bagian mekanisme patogenesis penting.
13. Bakteri mungkin tetap berada dengan keadaan tanpa gejala setelah mengalami
infeksi penyakit tertentu.
14. Spektrum Patogenesis antara penyebab dengan pejamu (Mausner dan Bahn)

Derajat
Jenis Penyakit Derajat Invasi Produksi Toksin
Hipersensitif
Botolismus 0 ++++ 0
Tetanus + ++++ 0
Diphteria ++ ++++ 0
Staphylococcus +++ ++ +/-
Pneumococcus ++++ 0 0
Streptococcus +++ ++ ++
Tuberculosis +++ 0 ++++

15. Juga dapat dijumpai suatu unsur penyebab yang dapat menimbulkan penyakit
dengan gejala yang berat melalui mekanisme peningkatan kepekaan pejamu
melawan obat yang relatif tidak toksis.
16. Pada kondisi penyakit AIDS yang diperkirakan mempunyai CFR sebesar 70%.
berbagai organisme penyebab menggunakan kesempatan pada kekebalan yng
menurun.
17. AIDS dapat dihubungkan dengan penekanan atau perubahan mekanisme
imunosellular yang timbul karena perubahan ratio T-cell helper/suppressor serta
tidak ada reaksi terhadap antigen pada test kulit yang umum.

Q. Sumber Penularan
1. Reservior atau sumber penularan adalah organisme hidup atau barang mati
(misalnya tanah ataupun air), dimana unsur penyebab hidup secara normal
dan berkembang biak.
2. Jadi sumber penyakit infeksi menular dapat berupa manusia, binatang,
tumbuhan serta sumber-sumber lingkungan lainnya dan merupakan pusat
penyakit.
3. Sumber penularan adalah komponen utama dari lingkaran penularan dari mana
unsur penyebab dapat meneruskan dan mempertahankan hidupnya, dan
sebagai sumber penularan dalan suatu lingkaran penularan.
4. Sumber penularan khusus untuk unsur penyebab adalah mereka yang sesuai
dengan lingkaran hidup unsur penyebab tersebut secara alamiah.
5. Manusia sebagai Reservoir
a. Ada sejumlah penyakit yang hanya dijumpai atau lebih sering dijumpai pada
manusia.
b. Penyakit ini umumnya berpindah dari manusia ke manusia dan hanya
menimbulkan penyakit pada manusia saja sehingga sumber satu-satunya
tentu hanya manusia saja.
c. Suatu lingkaran penularan penyakit yang sangat sederhana dengan sumber
penularan manusia serta penularan dari manusia ke manusia.
d. Bentuk lingkaran umum manusia merupakan bentuk khusus dari berbagai
penyakit tertentu dimana secara umum manusia merupakan subjek
utamanya.
e. Kebanyakan penyakit kelompok ini dijumpai pada penyakit saluran
pernapasan oleh virus maupun bakteri seperti staphilococcus dan
streptokokus, dipteria, pertusis, tuberkulosis, influensa, dan pada beberapa
penyakit kelamin seperti gonorrhoe dan syphilis, serta pada penyakit kusta
dan penyakit kulit lainnya.
Manusia

Manusia Manusia

Manusia
6. Proses infeksi menular dikatakan terjadi bila unsur penyebab penyakit
masuk dan berkembang biak dalam tubuh pejamu yang menimbulkan reaksi
dari pejamu tersebut.
7. Reaksi pejamu dapat timbul dan tampak secara jelas, tetapi dapat pula
hanya berada pada permukaan tubuh dan pada tingkat yang cukup untuk
mempertahankan diri tanpa menghasilkan gejala
8. Keadaan seperti ini disebut kolonisasi seperti beradanya Staphilococcus aureus
pada mukosa hidung.
9. Tingkat selanjutnya adalah infeksi menular terselubung/tanpa gejala dan dalam
bentuk subklinik.
10. Pada tingkat ini, unsur penyebab berkembang biak dalam tubuh pejamu,
11. Pada keadaan dimana infeksi menular telah mencapai tingkat gejala klinik yang
jelas maka keadaan pejamu disebut penderita klinik atau kasus penyakit infeksi
menular.
12. Penularan penyakit ke pejamu potensial lainnya yang akan memberikan
berbagai keadaan antara lain bentuk kolonisasi, infeksi menular terselubung
serta kasus penderita.
13. Manusia sebagai reservoir dapat sebagai penderita dengan gejala klinis yang
jelas tetapi dapat pula dalam bentuk pembawa kuman (carrier) dengan tanpa
gejala klinis sama sekali.
14. Pembawa kuman (carrier) adalah penderita/atau mereka yang sedang/ pernah
terinfeksi menular yang masih mengandung unsur penyebab penyakit menular
tetapi tanpa gejala klinis.
15. Dengan demikian pembawa kuman adalah sumber infeksi menular yang punya
potensi sebagai sumber penularan.
16. Melihat perjalanan penyakit pada pejamu, bentuk pembawa kuman (carrier)
dapat dibagi dalam beberapa jenis pembawa kuman. Ada 4 jenis utama
pembawa kuman :
a. Healthy carrier adalah mereka yang dalam sejarahnya tidak pernah tampak
menderita penyakit secara klinis tetapi mengandung unsur penyebab yang
dapat menular pada orang lain,
b. 2. Incubatory carrier (masa tunas) ialah mereka yang masih dalam masa
tunas, tetapi telah mempunyai potensi untuk menularkan penyakit atau
sebagai sumber penularan,
c. 3. Convalescent carrier ialah mereka yang baru sembuh dari penyakit
menular tertentu, tetapi masih merupakan sumber penularan penyakit
tersebut untuk masa tertentu,
d. 4. Chronic carrier (menahun) merupakan sumber penularan yang cukup
lama seperti pada penyakit tipus abdominalis dan pada hepatitis B.
17. Perlu diperhatikan bahwa carrier (pembawa kuman) hanya berlaku bagi mereka
yang dapat menjadi sumber penularan
18. Ada sejumlah penyakit tertentu dengan infeksi menular tanpa gejala (berarti
mengandung unsur penyebab) tetapi tidak bersifat pembawa kuman karena tidak
dapat menularkan kepada orang lain
19. Jadi manusia dalam kedudukannya sebagai sumber penyakit menular dapat
dibagi dalam tiga kategori utama.
20. Beberapa penyakit zoonosis dan reservoir utama :

NAMA PENYAKIT RESERVOAR UTAMA


Pes (plaque) Tikus
Rabies (penyakit gila anjing) Anjing dan kelelawar
Bovine tuberculosis Sapi
Thypus, scrub & murine Tikus
Leptospirosis Tikus
Virus encephalitides Kuda
Trichinosis Babi
Hidatosis Anjing
Brocellosis Sapi, Kambing
Pada umumnya penyakit tersebut tidak menimbulkan reservoar pada manusia

21. Tetapi pada beberapa penyakit infeksi menular tertentu seperti pes, virus
demam dengue, terjadi perubahan sirkulasi penularan dari binatang ke binatang,
selanjutnya dari binatang ke manusia, dan kemudian berubah penularan dari
manusia ke manusia.
22. Pada gambar berikut menunjukkan bahwa ada dua siklus yang terjadi peda jenis
penyakiut zoonosis tertentu yakni siklus pada binatang dan siklus pada manusia.
23. Siklus pertama pada binatang terjadi penularan dari binatang ke vektor tertentu
yang kemudian menularkannya lagi ke binatang lainnya.
24. Penularan Penyakit Zoonosis
Binatang Vektor

Vektor Vektor Manusia Manusia

Binatang Vektor

Sedangkan siklus pada manusia terjadi dengan penularan dari binatang melalui
vektor ke manusia dan kemudian terjadi penularan dari manusia ke mnusisa
melalui vektor yang sama.
25. Disamping itu, pada berbagai penyakit tertentu ditandai dengan sifat-sifat yang
lebih kompleks.
26. Gambarannya mungkin lebih melibatkan beberapa reservoir dan tingkat
perkembangan unsur penyebab penyakit yang juga berbeda.
27. Lingkaran penularannya mungkin melibatkan berbagai tuan rumah (recervoar)
maupun pejamu tertentu yang juga berbeda sifatnya.
28. Contoh beberapa lingkaran penularan yang cukup rumit seperti pada penyakit
echinococus, schistosomiasis, malaria serta infeksi menular virus yang ditularkan
melalui vektor.
MATERI EPM IBU JUM
PEKAN 4 & 5 (JUMAT, 28 FEB & 06 MAR 2020)
KLB / WABAH
A. Pengertian Wabah/KLB
Adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan/kematian yang
bermakna secara epidemiologis dalam kurun waktu dan daerah tertentu.
B. Istilah Lain
1. Epidemi
Kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang
jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi daripada keadaan yang
lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka.
2. Pandemi
Terjadinya epidemi yang mengenai penduduk beberapa negara atau benua.
3. Endemi
Keadaan dimana penyakit atau penyebab penyakit tertentu secara terus
menerus tetap ada dalam suatu area geografis tertentu.
C. Penyebab Terjadinya KLB/Wabah
Perubahan keseimbangan dari agent, penjamu dan lingkungan yang dapat
terjadi oleh karena :
1. Kenaikan jumlah atau virulensi dari agent,
2. Adanya agent penyebab baru atau yang sebelumnya tidak ada,
3. Keadaan yang mempermudah penularan penyakit,
4. Perubahan imunitas penduduk terhadap agent yang pathogen,
5. lingkungan dan kebiasaan penduduk yang berpeluang untuk terjadinya
pemaparan.
6. Surveilans tidak berjalan dengan baik.
7. Normal ►KLB►Wabah
8. Outbreak Detection and Response Without Preparedness (Deteksi dan Respon
Wabah Tanpa Kesiapan)
Kasus Pertama ► Deteksi Lambat ►Respon Tertunda

9. Outbreak Detection and Response With Preparedness (Deteksi dan Respon


Wabah dengan Kesiapan)
Deteksi Dini ►Respon Cepat ►Potensi Kasus Dicegah
10. Mendeteksi Outbreak dapat dilakukan dengan surveilans dan laporan
masyarakat/berita.
D. Kriteria Wabah/KLB
(sumber: Permenkes 1501 Tahun 2010)
1. Timbulnya suatu penyakit menular tertentu yang sebelumnya tidak ada atau tidak
dikenal pada suatu daerah.
2. Peningkatan kejadian kesakitan terus menerus selama 3 kurung waktu (jam,
hari, minggu, bulan) menurut jenis penyakitnya.
3. Peningkatan kejadian kesakitan dua kali atau lebih dibandingkan dengan periode
sebelumnya dalam kurun waktu jam, hari, minggu, bulan menurut jenis
penyakitnya.
4. Jumlah penderita baru dalam periode waktu 1 (satu) bulan menunjukkan
kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan angka rata-rata jumlah per
bulan dalam tahun sebelumnya.
5. Rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan selama 1 (satu) tahun
menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan rata-rata jumlah
kejadian kesakitan per bulan pada tahun sebelumnya.
6. Angka kematian kasus suatu penyakit (Case Fatality Rate) dalam 1 (satu) kurun
waktu tertentu menunjukkan kenaikan 50% (lima puluh persen) atau lebih
dibandingkan dengan angka kematian kasus suatu penyakit periode sebelumnya
dalam kurun waktu yang sama.
7. Angka proporsi penyakit (Proportional Rate) penderita baru pada satu periode
menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibanding satu periode sebelumnya
dalam kurun waktu yang sama.
E. Jenis-jenis Penyakit Yang Dapat Menimbulkan KLB (Penyakit Menular
Berpotensi KLB)
1. Kolera
2. Pes
3. Demam kuning
4. DBD
5. Tifus bercak wabah
6. Polio dan AFP
7. Difteri
8. Pertusis
9. Rabies
10. Malaria
11. Influensa termasuk Flu burung
12. Hepatitis
13. Tifus perut
14. Meningitis
15. Ensefalitis
16. Antraks
17. Leptospirosis
18. SARS
19. Legionellosis
20. Chikungunya
21. Tetanus neonatorum
22. Frambosia
23. Campak
24. Penyakit menular baru
F. Infestigasi Wabah
Saat terjadi KLB, perlunya dilakukan infestigasi. Tujuan infestigasi wabah adalah :
1. Mencegah Meluasnya (Penanggulangan)
2. Mencegah terulangnya Wabah/KLB di masa yang akan datang (Pengendalian)
G. Langkah-langkah investigasi Wabah
1. Menetapkan apakah kejadian tersebut suatu KLB.
2. Memastikan diagnosis etiologis.
3. Persiapan penelitian lapangan.
4. Mengidentifikasi dan menghitung kasus & paparan.
5. Mendeskripsikan kasus berdasarkan orang, waktu & tempat.
6. Membuat cara penanggulangan sementara dengan segera.
7. Mengidentifikasi sumber & cara penularan.
8. Mengidentifikasi keadaan penyebab KLB.
9. Merencanakan penelitian yang sistematis.
10. Menetapkan saran & cara penanggulangan.
11. Menetapkan sistem penemuan kasus baru atau kasus dengan komplikasi.
12. Melaporkan hasil penyidikan kepada instansi kesehatan setempat & Pelayanan
kesehatan yang lebih tinggi.
H. Surveilans KLB
1. Sistem Kewaspadaan Dini (W1 & W2 dan STP/ LB1).
2. untuk mendapatkan data perkembangan KLB.
3. Sumber data surveilans ketat pada KLB :
a. Data kunjungan berobat
b. Data kasus pada register harian rawat jalan dan rawat inap pos-pos
kesehatan, puskesmas dan rumah sakit.
c. Data lapangan
I. Kurva Epidemik
1. Common source epidemic
a. Terpaparnya sekelompok orang pada suatu penyakit, dalam waktu singkat
dan secara bersamaan.
b. Kasus berkembang dalam satu masa inkubasi (satu sumber wabah).
c. Kurva epidemik dalam wabah common source biasanya bersifat temporal.
2. Propagate epidemic
a. Adalah infeksi agent yang dipindahkan dari satu host ke host lain.
b. Umumnya infeksi agent terjadi melalui kontaminasi kotoran ke host dan
kadang-kadang intermediate dari hewanmanusia.
c. Kurva epidemic umumnya relatif lambat dan kemudian meningkat tajam,
kadang-kadang rendah tetapi kurang menyolok.

J. Control and Prevention (Pengendalian dan Pencegahan)


1. MENGHILANGKAN SUMBER PENULARAN
a. Menjauhkan sumber penularan dari Orang.
b. Membunuh bakteri pada sumber penularan.
c. Pengobatan / isolasi orang yang diduga sebagai sumber penularan
2. MEMUTUS RANTAI PENULARAN
a. Sterilisasi sumber penularan
b. Mengendalikan vector
c. Peningkatan Higiene Perorangan
3. MERUBAH RESPON ORANG THD PENYAKIT
a. Melakukan Imunisasi.
b. Mengadakan pengobatan cepat & tepat.
4. PENCEGAHAN
a. Surveilans aktif
b. Perbaikan mutu lingkungan
c. Perbaikan status kesehatan masyarakat
K. Skala Prioritas dalam melakukan investigasi & Penanggulangan
Sumber/Cara Penularan
Agen Penyebab
Diketahui Tidak Diketahui
Investigasi + Investigasi +++
Diketahui
Control +++ Control +
Investigasi +++ Investigasi +++
Tidak Diketahui
Control +++ Control +

L. Indikator Program penanggulangan KLB


1. Terselenggaranya Sistem Kewaspadaan Dini KLB
2. Deteksi dan respon dini KLB
3. Tidak terjadi KLB Besar ► Wabah
M. NB
Tidak hanya Sekedar Teori…
Investigasi KLB harus diaplikasikan di Lapangan…
Learning By Doing :
Semakin sering kita melakukan Investigasi maka pengalaman akan bertambah &
naluri Epidemiologist semakin tajam.
MATERI EPM PAK WAHID
PEKAN 6 (JUMAT, 13 MAR 2020)
EPIDEMIOLOGI PENYAKIT ZOONOSIS

A. Pengertian
1. WHO 2008
Zoonosis adalah suatu penyakit atau infeksi yang secara alami ditularkan dari
hewan vertebrata ke manusia atau sebaliknya.
2. UU No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan
Zoonosis adalah penyakit yang menular dari hewan ke manusia atau sebaliknya.
3. Perpres No. 30 Tahun 2011 (20 Mei 2011) tentang Pengendalian Zoonosis
Zoonosis adalah penyakit yang dapat menular dari hewan kepada manusia atau
sebaliknya.
4. Kontak manusia dengan hewan, baik pada zaman purba maupun ketika
peradaban sudah berjalan, adalah awal berkembangnya penyakit zoonosis.
5. Ratusan tahun kemudian pola perpindahan penyakit ini semakin kompleks dan
efek yang ditimbulkannya semakin banyak.
6. Adanya interaksi antara hewan dan manusia telah mengakibatkan semakin
berkembangnya penyakit ini. Interaksi tersebut melalui penggunaan hewan
sebagai :
a. Binatang buruan
b. Tenaga kerja untuk kepentingan pertanian dan transportasi
c. Penjaga rumah
d. Binatang kesayangan
e. Binatang ternak yang dipelihara untuk diambil hasilnya sebagai bahan
pangan, sandang maupun bahan baku untuk kebutuhan berbagai industry.

B. Klasifikasi Zoonosis
1. Tipe agent penyakit
2. Siklus hidup organisme penyebab infeksi.
3. Arah penularan
C. Tipe Agent Penyakit
1. Zoonosis bakterial  disebabkan oleh bakteri
2. Zoonosis parasitik  disebabkan oleh parasit
3. Zoonosis viral  disebabkan oleh virus
4. Zoonosis mikotik  disebabkan oleh jamur
5. Zoonosis yang disebabkan unconventional agents  Bovine Spongiform
Encephalopatthy (BSE)

D. Siklus Hidup Organisme Penyebab Infeksi


1. Ortozoonosis (direct zoonoses)
2. Cyclozoonosis
3. Metazoonosis
4. Saprozoonosis

E. Ortozoonosis (direct zoonoses)


1. Ditularkan secara langsung dari vertebrata sakit.
2. Melalui cairan tubuh atau vektor mekanik.
3. Organisme penyebab tidak mengalami perubahan (morfologi, cara dan sifat
hidup)
4. Manusia tertular melalui kontak langsung dan tidak langsung.
5. Contohnya rabies, trichinosis, brucelosis, antraks, influenza

F. Cyclozoonosis
1. Organisme penyebab melengkapi siklus hidupnya.
2. Membutuhkan lebih dari satu spesies hospes vertebrata
3. Tanpa memerlukan hospes invertebrate.
4. Contohnya teniasis,hidatidosis

G. Metazoonosis
1. Penularan dilakukan secara bilogik dengan perantara invertebrata yang menjadi
vektor biologiknya.
2. Dalam tubuh vektor organisme berkembang jumlah dan atau berubah
morfologinya sebelum mampu menginfeksi vertebrata peka.
3. Terdapat masa inkubasi ekstrinsik
4. Terdapat 4 tipe  Tipe 1, 2, 3, dan 4
5. Contohnya Schistosomiasis
6. Tipe 1 memerlukan 1 hospes vertebrata dan 1 hospes invertebrata misalnya
jungle Yellow Fever
7. Tipe II memerlukan 1 hospes vertebrata dan 2 invertebrata untuk siklus
penularannya.
8. Tipe III memerlukan 2 hospes vertebrata dan 1 invertebrata untuk siklus
penularannya.
9. Tipe IV memerlukan 1 hospes vertebrata dan 1 invertebrata  Penularan antara
invertebrata secara transovarial.

H. Saprozoonosis
1. Memerlukan satu jenis hospes vertebrata di samping reservoir atau lingkungaan
perkembangan yang bukan merupakan hewan.
2. Misalnya makanan, tanah dan tumbuhan.
3. Terdapat tiga tipe penularan  Tipe 1,2dan 3.
4. Contohnya berbagai jenis larva migrans dan beberapa jenis mikosis.
5. Tipe 1 agen penyakit memperbanyak diri di dalam reservoir non hewan (tanah).
6. Tipe 2 agen penyakit mengalami perkembangan esensiil tanpa memperbanyak
diri dalam reservoir non hewan.
7. Tipe 3 (saprometazoonosis) membutuhkan hospes vertebrata, invertebrata dan
reservoir non hewan untuk siklus hidup agen penyakitnya.

I. Arah penularan
1. Antropozoonosis
2. Zooantroponosis
3. Amfisenosis

J. Antropozoonosis
1. Merupakan zoonosis dengan arah penularan dari hewan (vertebrata) ke
manusia.
2. Penyakit dapat menyebar luas diantara hewan-hewan liar maupun domestic.
3. Manusia terinfeksi secara insidentil.
4. Siklus penularan penyakit berhenti jika penyakit menular pada manusia  dead
end untuk penyakit tersebut.
5. Contohnya rabies, leptospirosis.

K. Zooantroponosis
1. Merupakan zoonosis dengan arah penularan dari manusia ke hewan vertebrata.
2. Penyakit ini terjangkit pada manusia dan kadang-kadang saja menyerang
hewan.
3. Contohnya amebiasis, difteri

L. Amfisenosis
1. Merupakan zoonosis yang memerlukan manusia dan hewan sebagai reservoir
yang cocok untuk agen penyebab penyakit.
2. Infeksi tetap berjalan tanpa keterlibatan grup lain.
3. Contohnya stafilokokosis dan streptokokosis.

M. Determinan Zoonosis
1. Pengaruh Pemukiman Penduduk
2. Arus perpindahan hewan
3. Cara hidup dan kebiasaan penduduk
4. Pencemaran lingkungan

N. Pengaruh Pemukiman Penduduk


1. Kedekatan hidup manusia dan hewan (hidup bersama-sama) atau dekat dengan
lingkungan hidup manusia.
2. Berupa rumah tinggal, gudang bahan makanan, hasil produk pertanian dan
peternakan (kandang hewan).
3. Pengelompokan hewan  hewan kesayangan, hewan sinatropik, hewan
penghasil daging atau susu

O. Arus perpindahan hewan


1. Perpindahan kelompok hewan dari satu tempat ke tempat lainnya.
2. Penyebabnya  perubahan musim, berkurangnya persediaan makan dan minum
di daerah asal.
3. Peembangunan Industri pengolahan produk hewan  pengumpulan dan
pemusatan hewan yang akan diolah.

P. Cara hidup dan kebiasaan penduduk


1. Pola hidup serta kebiasaan penduduk  memelihara hewan kesayangan seperti
anjing.
2. Kebiasaan dan tradisi untuk makan makanan tertentu misalnya : makan hati
kambing/domba, makan tumbuhan air, makan ikan mentah, daging
mentah/kurang matang.
3. Kebiasaan bepergian, wisatawan.
4. Kebiasaan adat/nenek moyang  jenazah dimakan oleh hewan, tinja untuk obat
tradisional.

Q. Pencemaran lingkungan
1. Menyebabkan kehidupan organisme penyebab menjadi lebih baik, berkembang
biak leluasa.
2. Pencemaran tinja penderita pada sumber air minum, tanah, buah dan sayuran.
3. Pencemaran lingkungan dari berbagai sumber  kotoran/tinja hewan
(peternakan), rumah potong hewan, pabrik pengolah hasil produk hewani.
R. Penularan Penyakit
Penularan penyakit zoonosis terjadi melalui berbagai cara antara lain :
1. Melalui kontak langsung dengan hewan yang sakit yang mengeluarkan sekreta
yang mengandung kuman penyakit dan melalui gigitan seperti pada Penyakit
Anjing Gila (Rabies).
2. Melalui konsumsi makanan (daging, telur, susu) serta berbagai produk olahan
hasil peternakan lainnya.
3. Melalui hubungan yang erat antara manusia dengan hewan-hewan yang
dipelihara sebagai hewan kesayangan.

S. Penanggulangan Penyakit Zoonosis


Penanggulangan penyakit zoonosis di Indonesia penting dalam usaha
menunjang bidang kesehatan masyarakat. Usaha-usaha yang diperlukan untuk
pencegahan dan pemberantasan penyakit zoonosis sbb :
1. Mencegah masuknya suatu suatu penyakit dari luar/dalam negeri ke dalam
daerah bebas penyakit dengan peraturan perundang karantina.
2. Memberi perlindungan kepada suatu populasi agar tidak terserang penyakit
dengan cara :
a. Vaksinasi massal.
b. Menghilangkan atau meniadakan vector.
c. Pelaksanaan hygiene makanan sebaik-baiknya.
d. Menghilangkan reservoir atau carrier bila perlu dengan pemusnahan.
3. Mencegah agar suatu penyakit baru tidak sempat meluas dengan cepat melalui
pengamatan penyakit secara intensif di pasar hewan, RPH, Karantina untuk
memungkinkan pelaksanaan pemberantaasan dengan cepat.
4. Penyuluhan kepada masyarakat.
5. Membina kerjasama dengan instansi lain yang erat hubungannya dalam usaha
penanganan zoonosis (koordinasi lintas sektor).

T. Tujuan Pengendalian Zoonosis secara terpadu


1. Mencegah meluasnya zoonosis ke daerah yang sebelumnya bebas.
2. Mengurangi daerah endemis zoonosis.
3. Melindungi masyarakat dari penularan zoonosis untuk menurunkan angka
kematian pada manusia.
4. Penanganan hewan penular zoonosis untuk menurunkan insidensi pada
manusia.
5. Menekan dampak yang ditimbulkan akibat zoonosis.

U. Strategi Pengendalian Zoonosis Terpadu


1. Mengutamakan prinsip pencegahan penularan kepada manusia dengan
meningkatkan upaya pengendaluan zoonosis pada sumber penularan.
2. Penguatan koordinasi lintas sektor dalam rangka membangun system
pengendalian zoonosis, sinkronisasi, pembinaan, pengawasan, pemantauan dan
evaluasi pelaksanaan kebijakan, strategi dan program.
3. Perencanaan terpadu dan percepatan pengendalian melalui surveilans,
pengidentifikasian, pencegahan, tatalaksana kasus dan pembatasan penularan,
penanggulangan KLB/wabah dan pandemic serta pemusnahan sumber zoonosis
pada hewan apabila diperlukan.
4. Penguatan perlindungan wilayah yang masih bebas terhadap penularan
zoonosis baru.
5. Peningkatan upaya perlindungan masyarakat dari ancaman penularan zoonosis,
6. Penguatan kapasitas sumber daya yang meliputi sumber daya manusia, logistik,
pedoman pelaksanaan, prosedur teknis pengendalian, kelembagaan dan
anggaran pengendalian zoonosis.
7. Penguatan penelitian dan pengembangan zoonosis.
8. Pemberdayaan masyarakat dengan melibatkan dunia usaham perguruan tinggi,
lembaga swadaya masyarakat, dan organisasi profesi serta pihak-pihak lain.

V. Isu Global Terkini : Satu Kesehatan (One Health)


1. Saru kesehatan merupakan pendekatan paling baru dalam mengendalikan
zoonosis.
2. Pengertian Satu Kesehatan/One Health
Upaya integrasi kuat dan sinergis terutama antara bidang kedokteran
dan kedokteran hewan kesehatan lingkungan dan disiplin ilmu lainnya yang
terkait dalam pengendalian zoonosis dengan membangun kolaborasi, koalisi,
komunikasi pada tingkat lokal, nasional dan global.

W. Pendekatan Satu kesehatan


1. Sistem satu kesehatan meliputi : (The Animal-Human-Ecosystem Interfaces)
2. Kesehatan manusia
3. Kesehatan hewan (termasuk satwa liar)
4. Kesehatan lingkungan
5. Mekanisme koordinasi dengan :
a. Menurunkan faktor risiko.
b. Surveilans terpadu dan berbagi informasi (Sharing Information)
c. Koordinasi Respon
d. Kolaborasi Penelitian

X. Kebijakan Pengendalian Zoonosis


1. Arah kebijakan
a. Di tingkat Nasional
Berpedoman pada rencana pembangunan Nasional jangka menengah dan
panjang.
b. Di tingkat Daerah
Berpedoman pada rencana pembangunan Daerah jangka menengah dan
panjang.
2. Tujuan
a. Menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat Zoonosis.
b. Mencegah/membatasi/menanggulangi KLB/wabah zoonosis.
c. Mencegah masuknya KLB/wabah/pandemic zoonosis ke Indonesia.
3. Sasaran
a. Masyarakat Umum
Mampu melindungi diri dan menerapkan PHBS.
b. Kelompok Risiko
Mampu melindungi diri dan segera mendapatkan yankes bila tertular
Penyakit Zoonosa.
c. Kelompok Strategis
Dukungan kebijakan, peraturan perundangan, dana, tenaga, sarana, dll.

4. Kegiatan pokok
1. Penurunan jumlah kasus dan kematian melalui deteksi dini kasus dan prompt
treatment.
2. Surveilans epidemiologi terpadu.
3. Penanggulangan KLB terpadu.
4. Peningkatan pengetahuan dan keterampilan petugas.
5. Kerjasama lintas sektor.
6. Penyuluhan kepada masyarakat melalui berbagai media dan berbagai
kesempatan.
JURNAL TAMBAHAN

A. Judul
LAPORAN KASUS KEJADIAN LUAR BIASA LEPTOSPIROSIS DI MAGETAN,
JAWA TIMUR

B. Peneliti
Rosa De Lima Renita Sanyasi Dokter Internship Puskesmas Panekan, Magetan,
Jawa Timur Dokter Internship RSAU dr. Efram Harsana, Magetan, Jawa Timur
Korespondensi: rosasanyasi@gmail.com

C. Abstrak
1. Pendhuluan
Leptospirosis merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh
bakteri Leptospira sp. Lepstospirosis banyak dijumpai di negara tropis dan
negara berkembang, termasuk Indonesia. Timbulnya atau meningkatnya
kejadian kesakitan dan/ atau kematian yang bermakna secara epidemiologi pada
suatu daerah dalam kurun waktu tertentu dan merupakan keadaan yang dapat
menjurus pada terjadinya wabah disebut sebagai kejadian luar biasa (KLB).
Selama ini belum pernah terdapat kasus leptospirosis yang dijumpai di Magetan,
Jawa Timur.
2. Tujuan
Laporan kasus ini bertujuan untuk menjabarkan kronologi KLB leptospirosis di
Magetan, Jawa Timur.
3. Hasil dan Pembahasan
Pasien perempuan berusia 40 tahun datang ke Puskesmas Panekan,
Magetan, Jawa Timur dengan keluhan demam sejak 6 hari sebelumnya disertai
dengan mual, muntah, nyeri di perut sebelah kanan, nyeri pada kedua betis,
sesak nafas, dan sklera berubah menjadi berwarna kuning. Pasien menjalani
rawat inap di Puskesmas. Dari hasil pemeriksaan darah dan urin, diperoleh
leukositosis, peningkatan SGOT, SGPT, alkalin phosphatase, BUN, kreatinin,
serta terdapat proteinuria dan hematuria. Pada hari kedua rawat inap, pasien
mengeluh pandangan menjadi kabur, demam semakin meningkat, buang air
kecil semakin sedikit, disertai rasa nyeri, dan berwarna kuning kemerahan.
Pasien dirujuk ke rumah sakit umum daerah, tetapi pasien meninggal pada hari
kesembilan dari onset penyakit dan rapid diagnostic test (RDT) belum sempat
dilakukan. Kasus ini termasuk dalam kasus probable leptospirosis. Meskipun
belum sempat dilakukan pemeriksaan RDT, Dinas Kesehatan Magetan sepakat
menyatakan kasus ini sebagai kasus KLB oleh karena hingga menimbulkan
kematian.
4. Kesimpulan
Telah dilaporkan kasus probable leptospirosis pada bulan Februari 2017
yang dinyatakan sebagai KLB di Magetan, Jawa Timur oleh karena
menyebabkan kematian pada pasien.
5. Kata Kunci
laporan kasus, leptospirosis, kejadian luar biasa, Lepstospira sp.
D. Pendahuluan
Leptospirosis merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh bakteri
Leptospira sp. yang masih termasuk dalam famili Leptospiraceae dan ordo
Spirochatales. Leptospirosis ditularkan dari binatang ke manusia baik secara
langsung maupun tidak langsung. Berbagai faktor yang meningkatkan risiko
seseorang terinfeksi bakteri Leptospira antara lain: kepadatan penduduk yang tinggi,
pengelolaan sampah yang kurang baik, kondisi iklim (cuaca hangat, hujan, dan
banjir), sanitasi buruk, pekerjaan tertentu (penambang, petani, dan peternak), serta
aktivitas rekreasi (memancing dan berenang). Setiap tahun kejadian leptospirosis
diperkirakan mencapai 1.03 juta kasus di seluruh dunia (95% CI: 0.43-1.75).
Leptospirosis paling banyak dijumpai di negara tropis dan di negara berkembang.
Asia Tenggara merupakan salah satu daerah endemis leptospirosis.1 Prevalensi
dan insidensi leptospirosis di Indonesia selalu berubah setiap tahun. Pada tahun
2008 terdapat 131 penduduk Semarang dengan leptospirosis positif. Pada tahun
2012 dilaporkan terdapat 239 kasus leptospirosis dengan 29 kasus kematian di
Indonesia (case fatality rate 12.13%). Pada tahun 2013, 2014, dan 2015 jumlah
kasus leptospirosis di Indonesia secara berturut-turut adalah 640, 545, dan 336
kasus, sedangkan jumlah di Jawa Timur secara berturut-turut adalah 244, 61, 3
kasus. Terdapat penurunan jumlah kasus leptospirosis yang signifikan pada daerah
Jawa Timur dari tahun 2013 hingga 2015. Angka kematian akibat leptospirosis di
Indonesia berkisar antara 2.5% sampai 16.4%.
Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian
kesakitan dan/ atau kematian yang bermakna secara epidemiologi pada suatu
daerah dalam kurun waktu tertentu dan merupakan keadaan yang dapat menjurus
pada terjadinya wabah.9 Berdasarkan hasil wawancara pada tanggal 23 Oktober
2017 dengan petugas di bidang Pengendalian Penyakit (P2) di Dinas Kesehatan
Magetan dan Kepala Puskesmas Panekan, selama ini belum pernah terdapat kasus
leptospirosis di Magetan, baik kasus suspek, probable, maupun konfirmasi. Pada
bulan Februari 2017 terdapat 2 kasus leptospirosis yang terjadi di desa Banjarejo
dan desa Turi, Magetan, Jawa Timur. Kedua pasien tersebut merupakan dua kasus
leptospirosis pertama di Magetan. Satu dari dua pasien tersebut meninggal dunia
sehingga Dinas Kesehatan Magetan menetapkan kejadian ini sebagai KLB.
Laporan kasus ini menjabarkan KLB leptospirosis pada bulan Februari 2017, di
Desa Turi, Kecamatan Panekan, Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Tujuan dari
penulisan laporan kasus ini adalah untuk menjabarkan kronologi KLB leptospirosis
di Magetan, Jawa Timur.

E. Laporan Kasus
Pada tanggal 8 Februari 2017, seorang pasien perempuan berinisial RK
berusia 40 tahun datang ke Puskesmas Panekan, Magetan, Jawa Timur dengan
keluhan demam sejak 6 hari sebelumnya. Demam dirasakan meningkat pada sore
atau malam hari dan terasa membaik pada pagi hari. Demam disertai dengan rasa
nyeri di seluruh badan, mual, dan muntah.
Pasien mengeluh nyeri di perut sebelah kanan yang semakin memberat dan
nyeri pada kedua betis. Sejak dua hari sebelum datang ke Puskesmas pasien
merasa sesak nafas. Satu hari sebelum datang ke Puskesmas sklera pasien
berubah menjadi berwarna kuning.
Riwayat penyakit lain sebelumnya seperti penyakit hepatitis disangkal oleh
pasien. Riwayat berpergian jauh, khususnya ke Indonesia bagian timur, disangkal
oleh pasien. Sejauh pengetahuan pasien, tidak ada tetangga di sekitarnya yang
mengalami keluhan serupa. Selama mengalami keluhan tersebut pasien hanya
meminum obat penurun demam yang dibeli dari toko obat. Pasien merupakan ibu
rumah tangga dan sehari-hari banyak beraktivitas di rumah. Pasien tampak lemas
dengan kesadaran compos mentis. Tekanan darah (TD) pasien adalah 130/80
mmHg, dengan frekuensi nadi (N) 100 kali per menit, frekuensi respirasi (R) 22 kali
per menit, dan suhu (T) 36℃.
Pemeriksaan fisik pada Nyonya RK didapatkan sklera ikterik pada kedua
mata, nyeri tekan pada regio hipokondrium dekstra, ikterik pada kedua palmar dan
plantar pedis. Berdasarkan semua keluhan tersebut, dokter Puskemas
menyarankan pasien untuk menjalani rawat inap di Puskesmas. Hasil pemeriksaan
laboratorium nyonya RK pada hari pertama rawat inap tampak pada Tabel 1. Dari
hasil pemeriksaan darah, diperoleh peningkatan leukosit, SGOT, dan SGPT.
Pemeriksaan HbsAg menunjukkan hasil negatif. Pemeriksaan urin pasien
menunjukkan adanya proteinuria dan hematuria.

Pada hari kedua rawat inap, pasien mengeluh pandangan menjadi kabur
dan demam semakin meningkat. Buang air kecil semakin sedikit, disertai rasa nyeri,
dan berwarna kuning kemerahan. TD pasien pada hari kedua rawat inap adalah
130/80 mmHg, N 120 kali per menit, R 24 kali per menit, dan T 39.3 ℃. Hasil
pemeriksaan fisik didapatkan sklera ikterik, conjunctival suffusion pada kedua mata,
nyeri tekan pada regio hipokondrium kanan dan regio suprapubik, serta ikterik pada
kedua palmar dan plantar pedis. Selama rawat inap di Puskemas pasien
mendapatkan terapi infus NaCl 20 tetes per menit (tpm), injeksi cefotaxime 1 gram
dua kali per hari, injeksi ranitidin 150 mg dua kali per hari, injeksi metamizole 1
ampul satu kali per hari, hepatoprotektor 1 tablet per hari, antipiretik satu tablet tiga
kali per hari, dan antasida satu tablet tiga kali per hari. Pasien juga diberikan
oksigenasi dengan nasal kanul 3 liter per menit (lpm) dan dilakukan pemasangan
kateter pada hari kedua rawat inap. Hasil pemeriksaan laboratorium pada hari

kedua rawat inap tampak pada tabel 2. Kadar leukosit, SGOT, dan SGPT sedikit
menurun jika dibandingkan dengan hari pertama rawat inap. Kadar alkalin fosfatase,
BUN, dan kreatinin pasien meningkat.
Pasien dirujuk ke rumah sakit umum daerah (RSUD) setempat karena
kondisi yang semakin menurun. TD pasien saat dirujuk adalah 130/80 mmHg, N 120
kali per menit, R 30 kali per menit, dan T 39℃. Setelah menjalani rawat inap di
RSUD selama satu hari, pasien meninggal dunia yaitu pada hari kesembilan dari
onset penyakit. Standar baku yang disepakati oleh dinas kesehatan Magetan dalam
menegakkan diagnosis leptospirosis adalah dengan pemeriksaan rapid diagnostic
test (RDT) untuk mendeteksi IgM anti Leptospira dalam darah pasien. Puskesmas
Panekan tempat pasien menjalani rawat inap pertama kali tidak memiliki alat RDT,
sehingga selama rawat inap di Puskesmas pemeriksaan tersebut tidak dapat
dilakukan. Pada hari kesembilan dari onset penyakit, Nyonya RK baru dapat dirujuk
ke RSUD tetapi perburukan cepat terjadi hingga pasien meninggal. Hal tersebut
menyebabkan RDT belum dapat dilakukan.
Terdapat 3 kriteria dalam mendiagnosis leptopirosis, yaitu kasus suspek,
probable, dan konfirmasi. Kriteria kasus suspek meliputi: demam akut dengan atau
tanpa sakit kepala, disertai nyeri otot, lemah (malaise), conjungtival suffusion, dan
ada riwayat terpapar dengan lingkungan yang terkontaminasi atau aktifitas yang
merupakan faktor risiko leptospirosis dalam kurun waktu 2 minggu. Kriteria kasus
probable adalah jika terdapat dua gejala klinis di antara tanda-tanda berikut: a) nyeri
betis; b) sklera ikterik; c) manifestasi pendarahan; d) sesak nafas; e) oliguria atau
anuria; f) aritmia jantung; g) batuk dengan atau tanpa hemoptisis; dan h) ruam kulit.
Selain itu, memiliki gambaran laboratorium: a) Trombositopenia < 100.000 sel/mm;
b) Leukositosis dengan neutropilia > 80%; c) Kenaikan jumlah bilirubin total > 2 gr%
atau peningkatan SGPT, amilase, lipase, dan creatine phosphokinase (CPK); dan d)
penggunaan RDT. Kasus konfirmasi ditegakkan apabila kasus probable disertai
salah satu dari gejala berikut: a) isolasi bakteri Leptospira dari spesimen klinik; b)
hasil Polymerase Chain Reaction (PCR) positif; dan c) Sero konversi microscopic
agglutination test (MAT) dari negatif menjadi positif.10,11 Kasus Nyonya RK
termasuk dalam kasus probable leptospirosis karena gejala yang khas, pemeriksan
fisik, dan hasil pemeriksaan laboratorium darah yang mendukung. Meskipun belum
sempat dilakukan RDT, Dinas Kesehatan Magetan sepakat menyatakan kasus ini
sebagai kasus KLB oleh karena kasus ini hingga menimbulkan kematian. Beberapa
petugas dari Puskesmas Panekan dan Dinas Kesehatan Magetan melakukan
kunjungan pada rumah Nyonya RK untuk meninjau sanitasi pada rumah pasien
tersebut. Lantai rumah pasien masih berupa lantai tanah dan sebagian besar kurang
mendapat pencahayaan. Selama melakukan kunjungan, di dalam rumah pasien
dijumpai banyak tikus. Tampak pula banyak tumpukan barang di dalam rumah
pasien.
F. Pembahasan
Perjalanan penyakit leptospirosis dapat dibedakan menjadi 2 fase, yaitu
fase septikemik atau fase leptospiremik dan fase imun. Pada fase septikemik
penderita akan mengalami gejala mirip flu, meliputi demam, nyeri otot pada betis,
paha, pinggang terutama saat ditekan,12 mual dan muntah.13 Gejala-gejala
tersebut dialami oleh pasien pada kasus ini. Conjunctival suffusion merupakan
dilatasi pembuluh darah konjungtiva tanpa eksudat purulen. Adanya conjunctival
suffusion menjadi tanda patognomonik leptospirosis.14 Gejala ini tampak pada
Nyonya RK. Leptospirosis dapat dibagi menjadi dua, yaitu leptospirosis anikterik dan
leptospirosis ikterik yang disebut juga penyakit Weill. Pada kasus ini, leptospirosis
yang muncul adalah penyakit Weill. Penyakit Weill adalah jenis leptospirosis yang
paling sering menyebabkan kematian.
Pemeriksaan laboratorium untuk mendiagnosis leptospirosis dibagi menjadi
dua, yaitu pemeriksaan untuk mendeteksi antibodi anti-leptospira dan untuk
mendeteksi bakteri leptospira secara langsung, antigen, maupun asam nukleat
lepstospira.16 Pemeriksaanpemeriksaan tersebut antara lain: (i) microscopic
agglutination test (MAT) untuk mendeteksi antibodi terhadap Leptospira secara
serologis, (ii) polymerase chain reaction (PCR) untuk mendeteksi gen spesifik
Leptospira, (iii) kultur darah atau dari cairan tubuh lain,13 (iv) IgM ELISA untuk
menemukan antibodi IgM spesifik leptospira,17 dan (v) RDT. Standar baku dalam
menegakkan diagnosis leptospirosis adalah dengan menemukan bakteri Leptospira
secara langsung menggunakan mikroskop lapangan gelap atau dengan kultur.
Pemeriksaan leptopirosis yang biasa digunakan di suatu daerah endemis
adalah RDT. Pemeriksaan RDT adalah pemeriksaan yang digunakan untuk
mendeteksi antibodi IgM pada darah. Pemeriksaan ini hanya untuk skrining awal
dan memiliki angka sensitivitas tidak lebih dari 80% sehingga tetap perlu diikuti
dengan pemeriksaan lain.19 Pemeriksaan RDT yang sering dijumpai adalah Lepto
dipstick, Lepto lateral flow, dan Lepto Dridot.5 Tingkat kepositifan dari tes skrining
tergantung pada jumlah antibodi spesifik dalam serum spesimen yang berkaitan
dengan stadium penyakit.20 Peralatan laboratorium tersebut untuk menegakkan
diagnosis leptospirosis juga masih sangat terbatas.21 Sama halnya dengan kasus
ini dimana Puskesmas setempat tidak memiliki alat RDT dan hanya RSUD setempat
yang memilikinya, sehingga penegakkan diagnosis tidak dapat segera dilakukan.
Pemeriksaan penunjang lainnya meliputi pemeriksaan kimia darah dan
urinalisis. Pemeriksaan kimia darah yang bermakna pada kasus leptospirosis
diantaranya adalah peningkatan fungsi hepar dan alkalin fosfatase.22 Peningkatan
kedua parameter tersebut tampak pada Nyonya RK. Pada leptospirosis berat bisa
terjadi leukositosis disertai trombositopenia.22 Nyonya RK hanya mengalami
leukositosis tetapi tidak trombositopenia. Gangguan fungsi renal pada pasien
leptospirosis ditunjukkan dengan peningkatan kadar kreatinin.22 Nyonya RK
mengalami gangguan fungsi renal yang tampak jelas pada hari kedua rawat inap,
yang ditandai dengan oliguria dan kadar kreatinin mencapai 5.8 mg/dL. Urinalisis
pada penderita leptospirosis menunjukkan adanya proteinuria, piuria, dan hematuria
mikroskopis.22 Pada Nyonya RK hanya dijumpai proteinuria dan hematuria.
Ditemukan leukosit pada urin Nyonya RK sebanyak 4-5 lpd, tetapi jumlah tersebut
belum cukup untuk dikategorikan sebagai piuria.
Leptospirosis dapat ditularkan oleh berbagai hewan diantaranya adalah
tikus dan hewan domestik seperti sapi, babi, anjing, domba, kambing, kuda, dan
kerbau.11 Keberadaan reservoir khususnya tikus sangat penting diketahui dalam
upaya pengendalian dan pemutusan rantai penularan.23 Kondisi rumah Nyonya RK
memang sangat berpotensi menjadi sumber infeksi leptospirosis oleh karena
banyaknya tikus yang dijumpai di dalam rumah dan banyaknya barang yang
bertumpuk yang berpotensi menjadi sarang tikus. Edukasi pada keluarga Nyonya
RK dan pada masyarakat sekitar mengenai kebersihan lingkungan sangat penting
dilakukan untuk mencegah wabah leptospirosis.

G. Kesimpulan
Telah dilaporkan kasus probable leptospirosis pada bulan Februari 2017.
Pasien tersebut meninggal dunia pada hari kesembilan dari onset penyakit. Kasus
tersebut disepakati oleh Dinas Kesehatan Magetan sebagai sebuah KLB oleh
karena hingga menimbulkan kematian pada pasien.

Anda mungkin juga menyukai