2. Kelompok Kedua, penyakit dengan bagian yang terselubung (tanpa gejala) relatif
sudah kecil. Sebagian besar penderita tampak secara klinis dan dapat dengan
mudah didiagnosis. Contoh : Campak
L. Pengantar
1. Penyakit infeksi menular adalah penyakit yang disebabkan oleh mikro-
organisme atau produknya yang dapat menular diantara pejamu baik secara
langsung, maupun tidak langsung atau melalui vektor.
2. Penyebaran penyakit infeksi menular dalam suatu populasi ditentukan oleh
sifat dari penyakit infeksi menular itu sendiri, sifat pejamu serta sifat lingkungan.
3. Sifat penyebab infeksi menular secara khusus ditentukan oleh sifat biologis
yang dimilikinya, spektrum pejamunya serta proses kejadian alamiahnya.
4. Sifat pejamu antara lain tingkat kerentanannya, status imunitasnya, keadaan
sosial demografisnya serta sifat kontak yang terjadi.
5. Interaksi antara pejamu dengan patogen ditentukan oleh respons imunitasnya,
tingkat virulensi patogen, sifat respon terhadap gejala serta kemampuan
adaptasi patogen penyebab terhadap usaha pengobatan.
6. Faktor lingkungan menentukan keadaan dimana pejamu dengan patogen
penyebab mengalami interaksi yang menyebabkan patogen dapat bertahan
disertai sifat prilaku pejamu.
7. Sebagai pusat perhatian adalah hubungan antara penyebab infeksi menular
dengan pejamu, cara penularannya serta lingkungan dimana penularan terjadi.
8. Induividu (perorangan) yang terinfeksi dapat merupakan sumber penularan
penyakit dalam masayarakat.
9. Infeksi menular yang tidak menimbulkan gejala, infeksi menular subklinik
serta pembawa kuman (cariers) dapat merupakan sumber infeksi menular
10. Hal penting adalah kemampuan penularan serta tingkat virulensi patogen
penyebab, kemungkinan terjadinya infeksi menular klinik atau subklinik serta
jangka waktu proteksi imunitas yang dimiliki.
11. Kontak dapat terjadi antar manusia, antara manusia dengan hewan, antara
manusia dengan vektor atau antara manusia dengan lingkungannya.
12. Pada proses perjalanan penyakit infeksi menular di dalam masyarakat, dikenal
adanya beberapa faktor yang memegang peranan penting antara lain adanya
faktor penyebab (agent).
13. Epidemiologi mempelajari mengapa infeksi menular berkembang dalam
masyarakat dalam bentuk endemis atau epidemis.
M. Faktor Penyebab
1. Yang merupakan penyebab kausal (agent) penyakit infeksi menular adalah
unsur biologis, dikelompokkan dalam beberapa kelompok, yaitu
a. Kelompok arthropoda (serangga) seperti pada penyakit scabies, pediculosis;
b. Kelompok cacing/helminth seperti cacing darah maupun cacing usus;
c. Kelompok protozoa seperti plasmodium, amoeba dan lain-lain
d. Fungus atau jamur baik uni maupun multiselluler;
e. Bakteri termasuk spirochaeta maupun ricketsia yang memiliki sifat tersendiri;
f. Virus sebagai kelompok penyebab yang paling sederhana.
2. Yang berperan dalam pernularan penyakit antara lain
a. organisme penyebab penyakit,
b. adanya sumber penularan (reservoir maupun resources),
c. adanya cara penularan khusus (mode of transmission),
d. adanya cara meninggalkan pejamu dan cara masuk ke pejamu lainnya,
e. serta keadaan ketahanan pejamu itu sendiri.
3. Faktor Lingkungan
a. Unsur penyebab penyakit menular mempunyai potensi tetap
mempertahankan diri terhadap pengaruh faktor lingkungan dimana dia
berada.
b. Usaha tersebut termasuk berkembang biak pada lingkungan yang lebih
sesuai terutama pada host / pejamu dimana ia berada, dan berpindah tempat
dari satu pejamu ke pejamu lainnya yang lebih menguntungkan,
c. Termasuk membentuk pertahanan khusus pada situasi lingkungan yang jelek
seperti membentuk spora atau bentuk lainnya.
d. Berbagai sifat karakteristik unsur penyebab ditentukan oleh unsur itu sendiri
dan tidak tergantung pada interaksinya dengan pejamu. Sifat karaktiristik
tersebut antara lain :
1) morfologi atau bentuk,
2) sifat kimiawi,
3) perubahan antigenik,
4) kebutuhan akan pertumbuhan (suhu, makanan dan lainnya),
5) kesanggupan hidup di luar tubuh pejamu pada berbagai perantara
(seperti air, susu dan tanah),
6) kesanggupan hidup di dalam berbagai keadaan suhu, kelembaban,
macamnya pejamu (binatang, manusia dan lain-lain),
7) kesanggupan menghasilkan toxin,
8) kesanggupan untuk resisten terhadap antibiotik dan berbagai zat
kimiawi lainnya, serta
9) kesanggupan untuk mendapat informasi genetik yang baru dari plasmid
atau partikel kehidupan lainnya.
O. Faktor Pejamu
1. Interaksi tersebut ditentukan pula oleh tingkat kepekaan pejamu terhadap
penyebab yang menyerangnya.
2. Pejamu dalam kehidupannya sehari-hari akan berusaha membentuk pertahanan
tubuh dan mekanisme pertahanan yang dilakukannya dapat berbentuk
kekebalan alamiah (natural immunity) yang bersifat tidak spesifik.
3. Dapat pula membentuk kekebalan buatan (acquired immunity) yang biasanya
bersifat spesifik melalui proses tertentu.
4. Kekebalan komunitas (herd immunity) dalam populasi.
5. Kekebalan Alamiah ( natural immunity )
a. Kekebalan ini bersifat tidak spesifik terhadap penyakit tertentu dan disebut
kekebalan relatif atau resistensi yang bersifat umum .
b. Sejumlah individu atau kelompok penduduk tertentu dapat memiliki kepekaan
yang tidak bersifat umum, yang kemungkinannya diwarisi (inherited ).
c. Hal ini dijumpai pada kelompok ras tertentu dimana terjadi semacam seleksi
alamiah yang berlangsung dalam beberapa generasi.
d. Kekebalan alamiah juga berhubungan erat dengan sifat karakteristik pejamu,
seperti umur, jenis kelamin, keadaan gizi dan lainnya.
6. Umur dan Jenis Kelamin
a. Umur dan jenis kelamin merupakan variabel yang selalu dipertimbangkan
karena kelompok umur tertentu mempunyai tingkat risiko terhadap penyakit-
penyakit tertentu.
b. Juga dengan jenis kelamin dimana prevalensi terjadinya penyakit tertentu
berbeda diantara kedua jenis kelamin.
c. Selain itu, susunan anatomis tubuh serta fungsi fisiologis normal pada
seseorang mempunyai daya tangkal terhadap proses terjadinya penyakit
infeksi menular.
d. Seperti kulit, saluran napas yang mempunyai fungsi menangkal proses
infeksi.
7. Status Gizi
a. Sifat tubuh manusia memiliki toleransi yang cukup tinggi terhadap berbagai
macam zat gizi yang masuk kedalam tubuh.
b. Dengan status gizi yang optimal, manusia mempunyai tingkat resistensi yang
cukup tinggi terhadap berbagai penyakit infeksi menular tertentu.
c. Keadaan kekurangan gizi yang cukup lama, menurunkan daya tahan/
resistensi tubuh secara umum sehingga mempunyai risiko yang tinggi
terhadap penyakit infeksi menular tertentu.
d. Dengan konsumsi zat gizi yang cukup termasuk air susu ibu akan
memberikan tingkat kekebalan alamiah / resistensi yang cukup tinggi
terhadap berbagai penyebab penyakit infeksi menular tertentu.
8. Kekebalan Khusus (specific immunity )
a. Kekebalan khusus pada umumnya terbentuk melalui pembentukan antibodi di
dalam darah, jaringan maupun cairan tubuh.
b. Kekebalan khusus dapat bersifat alamiah dapat pula bersifat buatan, dan
dengan demikian ada yang bersifat aktif dan pasif.
1) Kekebalan alamiah aktif ialah kekebalan khusus yang didapatkan
seseorang melalui infeksi menular alamiah, baik yang dengan gejala klinik
, maupun tanpa gejala (subklinik) atau infeksi terselubung.
2) Kekebalan alamiah pasif ialah antibodi yang disalurkan oleh seorang ibu
kepada janin dalam kandungannya.
3) Kekebalan aktif buatan adalah kekebalan yang timbul dari pemberian
vaksinasi (antigen) yang kemudian merangsang tubuhnya secara aktif
membentuk kekebalan terhadap antigen tersebut.
4) Kekebalan pasif buatan yakni pemberian serum yang mengandung
antibodi tertentu atau imunoglobulin tertentu kepada seseorang.
9. Kekebalan Komunitas (herd immunity)
a. Kekebalan komunitas atau herd immunity adalah kekebalan kelompok
penduduk tertentu terhadap penyebaran penyakit menular dalam masyarakat
tersebut.
b. Kekebalan ini ditentukan oleh besarnya proporsi populasi yang mempunyai
kekebalan khusus terhadap penyakit tersebut.
c. Hal ini dimungkinkan oleh karena rantai penularan dalam masyarakat tidak
akan berlanjut.
d. Keadaan ini timbul karena mereka yang rentan terhadap penyakit tersebut
terlindung dari kontak terhadap sumber.
e. Tingkat kekebalan komunitas ini berbeda untuk berbagai jenis penyakit
menular.
f. Tingkat kekebalan kominitas ini tergantung pada beberapa hal tertentu.
1) Frekuensi dari induksi baru dari infeksi menular,
2) Tingkat perpaduan yang memberikan kesempatan kontak antara
penderita dengan yang rentan,
3) Kemampuan penularan dan lamanya masa penularan (periode of
communicability) penyakit.
g. Kekebalan komunitas mempengaruhi priode timbulnya wabah penyakit dalam
masyarakat.
P. Mekanisme Patogenesis
1. Bila unsur penyebab penyakit masuk ke dalam tubuh pejamu, ada berbagai
kemungkinan yang akan timbul.
2. Pertama adalah tidak terjadi proses patogenresis, seperti pada masuknya
bakteri tetanus melalui makanan ke dalam rongga perut.
3. Atau terjadinya proses patogenresis tetapi tidak menimbulkan gejala klinis, dan
seterusnya berbagai kondisi tersebut telah diterangkan sebelumnya.
4. Efek patogen yang dihasilkan oleh unsur penyebab penyakit infeksi menular
dapat terjadi karena berbagai mekanisme tertentu.
5. Diantara mekanisme tersebut antara lain :
a. invasi jaringan secara langsung,
b. produksi toksin,
c. rangsangan imunologis atau
d. reaksi alergis yang menyebabkan kerusakan pada tubuh pejamu,
e. infeksi menular yang menetap (infeksi menular laten), merangsang
kerentanan pejamu terhadap obat dalam menetralisir toksisitas,
f. serta ketidakmampuan membentuk daya tangkal (immuno supression).
6. Dari berbagai mekanisme tersebut dapat dijumpai lebih dari satu mekanisme,
dan dapat terjadi perbedaan manifestasi klinik karena perbedaan mekanisme
walaupun unsur patogen yang sama.
7. Sejumlah besar unsur penyebab menimbulkan penyakit melalui mekanisme
invasi langsung ke jaringan,
8. Sedangkan infeksi menular virus dalam kelompok ini seperti infeksi menular virus
pada saluran pernapasan atas, saluran pencernaan serta virus pada selaput otak
(arbovirus encephalitis dan rabies).
9. Sejumlah tertentu penyakit terjadi karena mekanisme produksi toxin oleh unsur
penyebab.
10. Pada beberapa penyakit lainnya, mekanisme imunologis yang termasuk alergis
merupakan bagian dari mekanisme atau proses patogen terjadinya penyakit.
11. Diantara penyakit-penyakit yang mempunyai komponen imunologis yang penting
adalah tuberkulosis, demam berdarah dengue dan berbagai penyakit lainnya.
12. Infeksi oleh bakteri yang bersifat menahun serta infeksi menular virus yang
bersifat latent adalah bagian mekanisme patogenesis penting.
13. Bakteri mungkin tetap berada dengan keadaan tanpa gejala setelah mengalami
infeksi penyakit tertentu.
14. Spektrum Patogenesis antara penyebab dengan pejamu (Mausner dan Bahn)
Derajat
Jenis Penyakit Derajat Invasi Produksi Toksin
Hipersensitif
Botolismus 0 ++++ 0
Tetanus + ++++ 0
Diphteria ++ ++++ 0
Staphylococcus +++ ++ +/-
Pneumococcus ++++ 0 0
Streptococcus +++ ++ ++
Tuberculosis +++ 0 ++++
15. Juga dapat dijumpai suatu unsur penyebab yang dapat menimbulkan penyakit
dengan gejala yang berat melalui mekanisme peningkatan kepekaan pejamu
melawan obat yang relatif tidak toksis.
16. Pada kondisi penyakit AIDS yang diperkirakan mempunyai CFR sebesar 70%.
berbagai organisme penyebab menggunakan kesempatan pada kekebalan yng
menurun.
17. AIDS dapat dihubungkan dengan penekanan atau perubahan mekanisme
imunosellular yang timbul karena perubahan ratio T-cell helper/suppressor serta
tidak ada reaksi terhadap antigen pada test kulit yang umum.
Q. Sumber Penularan
1. Reservior atau sumber penularan adalah organisme hidup atau barang mati
(misalnya tanah ataupun air), dimana unsur penyebab hidup secara normal
dan berkembang biak.
2. Jadi sumber penyakit infeksi menular dapat berupa manusia, binatang,
tumbuhan serta sumber-sumber lingkungan lainnya dan merupakan pusat
penyakit.
3. Sumber penularan adalah komponen utama dari lingkaran penularan dari mana
unsur penyebab dapat meneruskan dan mempertahankan hidupnya, dan
sebagai sumber penularan dalan suatu lingkaran penularan.
4. Sumber penularan khusus untuk unsur penyebab adalah mereka yang sesuai
dengan lingkaran hidup unsur penyebab tersebut secara alamiah.
5. Manusia sebagai Reservoir
a. Ada sejumlah penyakit yang hanya dijumpai atau lebih sering dijumpai pada
manusia.
b. Penyakit ini umumnya berpindah dari manusia ke manusia dan hanya
menimbulkan penyakit pada manusia saja sehingga sumber satu-satunya
tentu hanya manusia saja.
c. Suatu lingkaran penularan penyakit yang sangat sederhana dengan sumber
penularan manusia serta penularan dari manusia ke manusia.
d. Bentuk lingkaran umum manusia merupakan bentuk khusus dari berbagai
penyakit tertentu dimana secara umum manusia merupakan subjek
utamanya.
e. Kebanyakan penyakit kelompok ini dijumpai pada penyakit saluran
pernapasan oleh virus maupun bakteri seperti staphilococcus dan
streptokokus, dipteria, pertusis, tuberkulosis, influensa, dan pada beberapa
penyakit kelamin seperti gonorrhoe dan syphilis, serta pada penyakit kusta
dan penyakit kulit lainnya.
Manusia
Manusia Manusia
Manusia
6. Proses infeksi menular dikatakan terjadi bila unsur penyebab penyakit
masuk dan berkembang biak dalam tubuh pejamu yang menimbulkan reaksi
dari pejamu tersebut.
7. Reaksi pejamu dapat timbul dan tampak secara jelas, tetapi dapat pula
hanya berada pada permukaan tubuh dan pada tingkat yang cukup untuk
mempertahankan diri tanpa menghasilkan gejala
8. Keadaan seperti ini disebut kolonisasi seperti beradanya Staphilococcus aureus
pada mukosa hidung.
9. Tingkat selanjutnya adalah infeksi menular terselubung/tanpa gejala dan dalam
bentuk subklinik.
10. Pada tingkat ini, unsur penyebab berkembang biak dalam tubuh pejamu,
11. Pada keadaan dimana infeksi menular telah mencapai tingkat gejala klinik yang
jelas maka keadaan pejamu disebut penderita klinik atau kasus penyakit infeksi
menular.
12. Penularan penyakit ke pejamu potensial lainnya yang akan memberikan
berbagai keadaan antara lain bentuk kolonisasi, infeksi menular terselubung
serta kasus penderita.
13. Manusia sebagai reservoir dapat sebagai penderita dengan gejala klinis yang
jelas tetapi dapat pula dalam bentuk pembawa kuman (carrier) dengan tanpa
gejala klinis sama sekali.
14. Pembawa kuman (carrier) adalah penderita/atau mereka yang sedang/ pernah
terinfeksi menular yang masih mengandung unsur penyebab penyakit menular
tetapi tanpa gejala klinis.
15. Dengan demikian pembawa kuman adalah sumber infeksi menular yang punya
potensi sebagai sumber penularan.
16. Melihat perjalanan penyakit pada pejamu, bentuk pembawa kuman (carrier)
dapat dibagi dalam beberapa jenis pembawa kuman. Ada 4 jenis utama
pembawa kuman :
a. Healthy carrier adalah mereka yang dalam sejarahnya tidak pernah tampak
menderita penyakit secara klinis tetapi mengandung unsur penyebab yang
dapat menular pada orang lain,
b. 2. Incubatory carrier (masa tunas) ialah mereka yang masih dalam masa
tunas, tetapi telah mempunyai potensi untuk menularkan penyakit atau
sebagai sumber penularan,
c. 3. Convalescent carrier ialah mereka yang baru sembuh dari penyakit
menular tertentu, tetapi masih merupakan sumber penularan penyakit
tersebut untuk masa tertentu,
d. 4. Chronic carrier (menahun) merupakan sumber penularan yang cukup
lama seperti pada penyakit tipus abdominalis dan pada hepatitis B.
17. Perlu diperhatikan bahwa carrier (pembawa kuman) hanya berlaku bagi mereka
yang dapat menjadi sumber penularan
18. Ada sejumlah penyakit tertentu dengan infeksi menular tanpa gejala (berarti
mengandung unsur penyebab) tetapi tidak bersifat pembawa kuman karena tidak
dapat menularkan kepada orang lain
19. Jadi manusia dalam kedudukannya sebagai sumber penyakit menular dapat
dibagi dalam tiga kategori utama.
20. Beberapa penyakit zoonosis dan reservoir utama :
21. Tetapi pada beberapa penyakit infeksi menular tertentu seperti pes, virus
demam dengue, terjadi perubahan sirkulasi penularan dari binatang ke binatang,
selanjutnya dari binatang ke manusia, dan kemudian berubah penularan dari
manusia ke manusia.
22. Pada gambar berikut menunjukkan bahwa ada dua siklus yang terjadi peda jenis
penyakiut zoonosis tertentu yakni siklus pada binatang dan siklus pada manusia.
23. Siklus pertama pada binatang terjadi penularan dari binatang ke vektor tertentu
yang kemudian menularkannya lagi ke binatang lainnya.
24. Penularan Penyakit Zoonosis
Binatang Vektor
Binatang Vektor
Sedangkan siklus pada manusia terjadi dengan penularan dari binatang melalui
vektor ke manusia dan kemudian terjadi penularan dari manusia ke mnusisa
melalui vektor yang sama.
25. Disamping itu, pada berbagai penyakit tertentu ditandai dengan sifat-sifat yang
lebih kompleks.
26. Gambarannya mungkin lebih melibatkan beberapa reservoir dan tingkat
perkembangan unsur penyebab penyakit yang juga berbeda.
27. Lingkaran penularannya mungkin melibatkan berbagai tuan rumah (recervoar)
maupun pejamu tertentu yang juga berbeda sifatnya.
28. Contoh beberapa lingkaran penularan yang cukup rumit seperti pada penyakit
echinococus, schistosomiasis, malaria serta infeksi menular virus yang ditularkan
melalui vektor.
MATERI EPM IBU JUM
PEKAN 4 & 5 (JUMAT, 28 FEB & 06 MAR 2020)
KLB / WABAH
A. Pengertian Wabah/KLB
Adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan/kematian yang
bermakna secara epidemiologis dalam kurun waktu dan daerah tertentu.
B. Istilah Lain
1. Epidemi
Kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang
jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi daripada keadaan yang
lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka.
2. Pandemi
Terjadinya epidemi yang mengenai penduduk beberapa negara atau benua.
3. Endemi
Keadaan dimana penyakit atau penyebab penyakit tertentu secara terus
menerus tetap ada dalam suatu area geografis tertentu.
C. Penyebab Terjadinya KLB/Wabah
Perubahan keseimbangan dari agent, penjamu dan lingkungan yang dapat
terjadi oleh karena :
1. Kenaikan jumlah atau virulensi dari agent,
2. Adanya agent penyebab baru atau yang sebelumnya tidak ada,
3. Keadaan yang mempermudah penularan penyakit,
4. Perubahan imunitas penduduk terhadap agent yang pathogen,
5. lingkungan dan kebiasaan penduduk yang berpeluang untuk terjadinya
pemaparan.
6. Surveilans tidak berjalan dengan baik.
7. Normal ►KLB►Wabah
8. Outbreak Detection and Response Without Preparedness (Deteksi dan Respon
Wabah Tanpa Kesiapan)
Kasus Pertama ► Deteksi Lambat ►Respon Tertunda
A. Pengertian
1. WHO 2008
Zoonosis adalah suatu penyakit atau infeksi yang secara alami ditularkan dari
hewan vertebrata ke manusia atau sebaliknya.
2. UU No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan
Zoonosis adalah penyakit yang menular dari hewan ke manusia atau sebaliknya.
3. Perpres No. 30 Tahun 2011 (20 Mei 2011) tentang Pengendalian Zoonosis
Zoonosis adalah penyakit yang dapat menular dari hewan kepada manusia atau
sebaliknya.
4. Kontak manusia dengan hewan, baik pada zaman purba maupun ketika
peradaban sudah berjalan, adalah awal berkembangnya penyakit zoonosis.
5. Ratusan tahun kemudian pola perpindahan penyakit ini semakin kompleks dan
efek yang ditimbulkannya semakin banyak.
6. Adanya interaksi antara hewan dan manusia telah mengakibatkan semakin
berkembangnya penyakit ini. Interaksi tersebut melalui penggunaan hewan
sebagai :
a. Binatang buruan
b. Tenaga kerja untuk kepentingan pertanian dan transportasi
c. Penjaga rumah
d. Binatang kesayangan
e. Binatang ternak yang dipelihara untuk diambil hasilnya sebagai bahan
pangan, sandang maupun bahan baku untuk kebutuhan berbagai industry.
B. Klasifikasi Zoonosis
1. Tipe agent penyakit
2. Siklus hidup organisme penyebab infeksi.
3. Arah penularan
C. Tipe Agent Penyakit
1. Zoonosis bakterial disebabkan oleh bakteri
2. Zoonosis parasitik disebabkan oleh parasit
3. Zoonosis viral disebabkan oleh virus
4. Zoonosis mikotik disebabkan oleh jamur
5. Zoonosis yang disebabkan unconventional agents Bovine Spongiform
Encephalopatthy (BSE)
F. Cyclozoonosis
1. Organisme penyebab melengkapi siklus hidupnya.
2. Membutuhkan lebih dari satu spesies hospes vertebrata
3. Tanpa memerlukan hospes invertebrate.
4. Contohnya teniasis,hidatidosis
G. Metazoonosis
1. Penularan dilakukan secara bilogik dengan perantara invertebrata yang menjadi
vektor biologiknya.
2. Dalam tubuh vektor organisme berkembang jumlah dan atau berubah
morfologinya sebelum mampu menginfeksi vertebrata peka.
3. Terdapat masa inkubasi ekstrinsik
4. Terdapat 4 tipe Tipe 1, 2, 3, dan 4
5. Contohnya Schistosomiasis
6. Tipe 1 memerlukan 1 hospes vertebrata dan 1 hospes invertebrata misalnya
jungle Yellow Fever
7. Tipe II memerlukan 1 hospes vertebrata dan 2 invertebrata untuk siklus
penularannya.
8. Tipe III memerlukan 2 hospes vertebrata dan 1 invertebrata untuk siklus
penularannya.
9. Tipe IV memerlukan 1 hospes vertebrata dan 1 invertebrata Penularan antara
invertebrata secara transovarial.
H. Saprozoonosis
1. Memerlukan satu jenis hospes vertebrata di samping reservoir atau lingkungaan
perkembangan yang bukan merupakan hewan.
2. Misalnya makanan, tanah dan tumbuhan.
3. Terdapat tiga tipe penularan Tipe 1,2dan 3.
4. Contohnya berbagai jenis larva migrans dan beberapa jenis mikosis.
5. Tipe 1 agen penyakit memperbanyak diri di dalam reservoir non hewan (tanah).
6. Tipe 2 agen penyakit mengalami perkembangan esensiil tanpa memperbanyak
diri dalam reservoir non hewan.
7. Tipe 3 (saprometazoonosis) membutuhkan hospes vertebrata, invertebrata dan
reservoir non hewan untuk siklus hidup agen penyakitnya.
I. Arah penularan
1. Antropozoonosis
2. Zooantroponosis
3. Amfisenosis
J. Antropozoonosis
1. Merupakan zoonosis dengan arah penularan dari hewan (vertebrata) ke
manusia.
2. Penyakit dapat menyebar luas diantara hewan-hewan liar maupun domestic.
3. Manusia terinfeksi secara insidentil.
4. Siklus penularan penyakit berhenti jika penyakit menular pada manusia dead
end untuk penyakit tersebut.
5. Contohnya rabies, leptospirosis.
K. Zooantroponosis
1. Merupakan zoonosis dengan arah penularan dari manusia ke hewan vertebrata.
2. Penyakit ini terjangkit pada manusia dan kadang-kadang saja menyerang
hewan.
3. Contohnya amebiasis, difteri
L. Amfisenosis
1. Merupakan zoonosis yang memerlukan manusia dan hewan sebagai reservoir
yang cocok untuk agen penyebab penyakit.
2. Infeksi tetap berjalan tanpa keterlibatan grup lain.
3. Contohnya stafilokokosis dan streptokokosis.
M. Determinan Zoonosis
1. Pengaruh Pemukiman Penduduk
2. Arus perpindahan hewan
3. Cara hidup dan kebiasaan penduduk
4. Pencemaran lingkungan
Q. Pencemaran lingkungan
1. Menyebabkan kehidupan organisme penyebab menjadi lebih baik, berkembang
biak leluasa.
2. Pencemaran tinja penderita pada sumber air minum, tanah, buah dan sayuran.
3. Pencemaran lingkungan dari berbagai sumber kotoran/tinja hewan
(peternakan), rumah potong hewan, pabrik pengolah hasil produk hewani.
R. Penularan Penyakit
Penularan penyakit zoonosis terjadi melalui berbagai cara antara lain :
1. Melalui kontak langsung dengan hewan yang sakit yang mengeluarkan sekreta
yang mengandung kuman penyakit dan melalui gigitan seperti pada Penyakit
Anjing Gila (Rabies).
2. Melalui konsumsi makanan (daging, telur, susu) serta berbagai produk olahan
hasil peternakan lainnya.
3. Melalui hubungan yang erat antara manusia dengan hewan-hewan yang
dipelihara sebagai hewan kesayangan.
4. Kegiatan pokok
1. Penurunan jumlah kasus dan kematian melalui deteksi dini kasus dan prompt
treatment.
2. Surveilans epidemiologi terpadu.
3. Penanggulangan KLB terpadu.
4. Peningkatan pengetahuan dan keterampilan petugas.
5. Kerjasama lintas sektor.
6. Penyuluhan kepada masyarakat melalui berbagai media dan berbagai
kesempatan.
JURNAL TAMBAHAN
A. Judul
LAPORAN KASUS KEJADIAN LUAR BIASA LEPTOSPIROSIS DI MAGETAN,
JAWA TIMUR
B. Peneliti
Rosa De Lima Renita Sanyasi Dokter Internship Puskesmas Panekan, Magetan,
Jawa Timur Dokter Internship RSAU dr. Efram Harsana, Magetan, Jawa Timur
Korespondensi: rosasanyasi@gmail.com
C. Abstrak
1. Pendhuluan
Leptospirosis merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh
bakteri Leptospira sp. Lepstospirosis banyak dijumpai di negara tropis dan
negara berkembang, termasuk Indonesia. Timbulnya atau meningkatnya
kejadian kesakitan dan/ atau kematian yang bermakna secara epidemiologi pada
suatu daerah dalam kurun waktu tertentu dan merupakan keadaan yang dapat
menjurus pada terjadinya wabah disebut sebagai kejadian luar biasa (KLB).
Selama ini belum pernah terdapat kasus leptospirosis yang dijumpai di Magetan,
Jawa Timur.
2. Tujuan
Laporan kasus ini bertujuan untuk menjabarkan kronologi KLB leptospirosis di
Magetan, Jawa Timur.
3. Hasil dan Pembahasan
Pasien perempuan berusia 40 tahun datang ke Puskesmas Panekan,
Magetan, Jawa Timur dengan keluhan demam sejak 6 hari sebelumnya disertai
dengan mual, muntah, nyeri di perut sebelah kanan, nyeri pada kedua betis,
sesak nafas, dan sklera berubah menjadi berwarna kuning. Pasien menjalani
rawat inap di Puskesmas. Dari hasil pemeriksaan darah dan urin, diperoleh
leukositosis, peningkatan SGOT, SGPT, alkalin phosphatase, BUN, kreatinin,
serta terdapat proteinuria dan hematuria. Pada hari kedua rawat inap, pasien
mengeluh pandangan menjadi kabur, demam semakin meningkat, buang air
kecil semakin sedikit, disertai rasa nyeri, dan berwarna kuning kemerahan.
Pasien dirujuk ke rumah sakit umum daerah, tetapi pasien meninggal pada hari
kesembilan dari onset penyakit dan rapid diagnostic test (RDT) belum sempat
dilakukan. Kasus ini termasuk dalam kasus probable leptospirosis. Meskipun
belum sempat dilakukan pemeriksaan RDT, Dinas Kesehatan Magetan sepakat
menyatakan kasus ini sebagai kasus KLB oleh karena hingga menimbulkan
kematian.
4. Kesimpulan
Telah dilaporkan kasus probable leptospirosis pada bulan Februari 2017
yang dinyatakan sebagai KLB di Magetan, Jawa Timur oleh karena
menyebabkan kematian pada pasien.
5. Kata Kunci
laporan kasus, leptospirosis, kejadian luar biasa, Lepstospira sp.
D. Pendahuluan
Leptospirosis merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh bakteri
Leptospira sp. yang masih termasuk dalam famili Leptospiraceae dan ordo
Spirochatales. Leptospirosis ditularkan dari binatang ke manusia baik secara
langsung maupun tidak langsung. Berbagai faktor yang meningkatkan risiko
seseorang terinfeksi bakteri Leptospira antara lain: kepadatan penduduk yang tinggi,
pengelolaan sampah yang kurang baik, kondisi iklim (cuaca hangat, hujan, dan
banjir), sanitasi buruk, pekerjaan tertentu (penambang, petani, dan peternak), serta
aktivitas rekreasi (memancing dan berenang). Setiap tahun kejadian leptospirosis
diperkirakan mencapai 1.03 juta kasus di seluruh dunia (95% CI: 0.43-1.75).
Leptospirosis paling banyak dijumpai di negara tropis dan di negara berkembang.
Asia Tenggara merupakan salah satu daerah endemis leptospirosis.1 Prevalensi
dan insidensi leptospirosis di Indonesia selalu berubah setiap tahun. Pada tahun
2008 terdapat 131 penduduk Semarang dengan leptospirosis positif. Pada tahun
2012 dilaporkan terdapat 239 kasus leptospirosis dengan 29 kasus kematian di
Indonesia (case fatality rate 12.13%). Pada tahun 2013, 2014, dan 2015 jumlah
kasus leptospirosis di Indonesia secara berturut-turut adalah 640, 545, dan 336
kasus, sedangkan jumlah di Jawa Timur secara berturut-turut adalah 244, 61, 3
kasus. Terdapat penurunan jumlah kasus leptospirosis yang signifikan pada daerah
Jawa Timur dari tahun 2013 hingga 2015. Angka kematian akibat leptospirosis di
Indonesia berkisar antara 2.5% sampai 16.4%.
Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian
kesakitan dan/ atau kematian yang bermakna secara epidemiologi pada suatu
daerah dalam kurun waktu tertentu dan merupakan keadaan yang dapat menjurus
pada terjadinya wabah.9 Berdasarkan hasil wawancara pada tanggal 23 Oktober
2017 dengan petugas di bidang Pengendalian Penyakit (P2) di Dinas Kesehatan
Magetan dan Kepala Puskesmas Panekan, selama ini belum pernah terdapat kasus
leptospirosis di Magetan, baik kasus suspek, probable, maupun konfirmasi. Pada
bulan Februari 2017 terdapat 2 kasus leptospirosis yang terjadi di desa Banjarejo
dan desa Turi, Magetan, Jawa Timur. Kedua pasien tersebut merupakan dua kasus
leptospirosis pertama di Magetan. Satu dari dua pasien tersebut meninggal dunia
sehingga Dinas Kesehatan Magetan menetapkan kejadian ini sebagai KLB.
Laporan kasus ini menjabarkan KLB leptospirosis pada bulan Februari 2017, di
Desa Turi, Kecamatan Panekan, Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Tujuan dari
penulisan laporan kasus ini adalah untuk menjabarkan kronologi KLB leptospirosis
di Magetan, Jawa Timur.
E. Laporan Kasus
Pada tanggal 8 Februari 2017, seorang pasien perempuan berinisial RK
berusia 40 tahun datang ke Puskesmas Panekan, Magetan, Jawa Timur dengan
keluhan demam sejak 6 hari sebelumnya. Demam dirasakan meningkat pada sore
atau malam hari dan terasa membaik pada pagi hari. Demam disertai dengan rasa
nyeri di seluruh badan, mual, dan muntah.
Pasien mengeluh nyeri di perut sebelah kanan yang semakin memberat dan
nyeri pada kedua betis. Sejak dua hari sebelum datang ke Puskesmas pasien
merasa sesak nafas. Satu hari sebelum datang ke Puskesmas sklera pasien
berubah menjadi berwarna kuning.
Riwayat penyakit lain sebelumnya seperti penyakit hepatitis disangkal oleh
pasien. Riwayat berpergian jauh, khususnya ke Indonesia bagian timur, disangkal
oleh pasien. Sejauh pengetahuan pasien, tidak ada tetangga di sekitarnya yang
mengalami keluhan serupa. Selama mengalami keluhan tersebut pasien hanya
meminum obat penurun demam yang dibeli dari toko obat. Pasien merupakan ibu
rumah tangga dan sehari-hari banyak beraktivitas di rumah. Pasien tampak lemas
dengan kesadaran compos mentis. Tekanan darah (TD) pasien adalah 130/80
mmHg, dengan frekuensi nadi (N) 100 kali per menit, frekuensi respirasi (R) 22 kali
per menit, dan suhu (T) 36℃.
Pemeriksaan fisik pada Nyonya RK didapatkan sklera ikterik pada kedua
mata, nyeri tekan pada regio hipokondrium dekstra, ikterik pada kedua palmar dan
plantar pedis. Berdasarkan semua keluhan tersebut, dokter Puskemas
menyarankan pasien untuk menjalani rawat inap di Puskesmas. Hasil pemeriksaan
laboratorium nyonya RK pada hari pertama rawat inap tampak pada Tabel 1. Dari
hasil pemeriksaan darah, diperoleh peningkatan leukosit, SGOT, dan SGPT.
Pemeriksaan HbsAg menunjukkan hasil negatif. Pemeriksaan urin pasien
menunjukkan adanya proteinuria dan hematuria.
Pada hari kedua rawat inap, pasien mengeluh pandangan menjadi kabur
dan demam semakin meningkat. Buang air kecil semakin sedikit, disertai rasa nyeri,
dan berwarna kuning kemerahan. TD pasien pada hari kedua rawat inap adalah
130/80 mmHg, N 120 kali per menit, R 24 kali per menit, dan T 39.3 ℃. Hasil
pemeriksaan fisik didapatkan sklera ikterik, conjunctival suffusion pada kedua mata,
nyeri tekan pada regio hipokondrium kanan dan regio suprapubik, serta ikterik pada
kedua palmar dan plantar pedis. Selama rawat inap di Puskemas pasien
mendapatkan terapi infus NaCl 20 tetes per menit (tpm), injeksi cefotaxime 1 gram
dua kali per hari, injeksi ranitidin 150 mg dua kali per hari, injeksi metamizole 1
ampul satu kali per hari, hepatoprotektor 1 tablet per hari, antipiretik satu tablet tiga
kali per hari, dan antasida satu tablet tiga kali per hari. Pasien juga diberikan
oksigenasi dengan nasal kanul 3 liter per menit (lpm) dan dilakukan pemasangan
kateter pada hari kedua rawat inap. Hasil pemeriksaan laboratorium pada hari
kedua rawat inap tampak pada tabel 2. Kadar leukosit, SGOT, dan SGPT sedikit
menurun jika dibandingkan dengan hari pertama rawat inap. Kadar alkalin fosfatase,
BUN, dan kreatinin pasien meningkat.
Pasien dirujuk ke rumah sakit umum daerah (RSUD) setempat karena
kondisi yang semakin menurun. TD pasien saat dirujuk adalah 130/80 mmHg, N 120
kali per menit, R 30 kali per menit, dan T 39℃. Setelah menjalani rawat inap di
RSUD selama satu hari, pasien meninggal dunia yaitu pada hari kesembilan dari
onset penyakit. Standar baku yang disepakati oleh dinas kesehatan Magetan dalam
menegakkan diagnosis leptospirosis adalah dengan pemeriksaan rapid diagnostic
test (RDT) untuk mendeteksi IgM anti Leptospira dalam darah pasien. Puskesmas
Panekan tempat pasien menjalani rawat inap pertama kali tidak memiliki alat RDT,
sehingga selama rawat inap di Puskesmas pemeriksaan tersebut tidak dapat
dilakukan. Pada hari kesembilan dari onset penyakit, Nyonya RK baru dapat dirujuk
ke RSUD tetapi perburukan cepat terjadi hingga pasien meninggal. Hal tersebut
menyebabkan RDT belum dapat dilakukan.
Terdapat 3 kriteria dalam mendiagnosis leptopirosis, yaitu kasus suspek,
probable, dan konfirmasi. Kriteria kasus suspek meliputi: demam akut dengan atau
tanpa sakit kepala, disertai nyeri otot, lemah (malaise), conjungtival suffusion, dan
ada riwayat terpapar dengan lingkungan yang terkontaminasi atau aktifitas yang
merupakan faktor risiko leptospirosis dalam kurun waktu 2 minggu. Kriteria kasus
probable adalah jika terdapat dua gejala klinis di antara tanda-tanda berikut: a) nyeri
betis; b) sklera ikterik; c) manifestasi pendarahan; d) sesak nafas; e) oliguria atau
anuria; f) aritmia jantung; g) batuk dengan atau tanpa hemoptisis; dan h) ruam kulit.
Selain itu, memiliki gambaran laboratorium: a) Trombositopenia < 100.000 sel/mm;
b) Leukositosis dengan neutropilia > 80%; c) Kenaikan jumlah bilirubin total > 2 gr%
atau peningkatan SGPT, amilase, lipase, dan creatine phosphokinase (CPK); dan d)
penggunaan RDT. Kasus konfirmasi ditegakkan apabila kasus probable disertai
salah satu dari gejala berikut: a) isolasi bakteri Leptospira dari spesimen klinik; b)
hasil Polymerase Chain Reaction (PCR) positif; dan c) Sero konversi microscopic
agglutination test (MAT) dari negatif menjadi positif.10,11 Kasus Nyonya RK
termasuk dalam kasus probable leptospirosis karena gejala yang khas, pemeriksan
fisik, dan hasil pemeriksaan laboratorium darah yang mendukung. Meskipun belum
sempat dilakukan RDT, Dinas Kesehatan Magetan sepakat menyatakan kasus ini
sebagai kasus KLB oleh karena kasus ini hingga menimbulkan kematian. Beberapa
petugas dari Puskesmas Panekan dan Dinas Kesehatan Magetan melakukan
kunjungan pada rumah Nyonya RK untuk meninjau sanitasi pada rumah pasien
tersebut. Lantai rumah pasien masih berupa lantai tanah dan sebagian besar kurang
mendapat pencahayaan. Selama melakukan kunjungan, di dalam rumah pasien
dijumpai banyak tikus. Tampak pula banyak tumpukan barang di dalam rumah
pasien.
F. Pembahasan
Perjalanan penyakit leptospirosis dapat dibedakan menjadi 2 fase, yaitu
fase septikemik atau fase leptospiremik dan fase imun. Pada fase septikemik
penderita akan mengalami gejala mirip flu, meliputi demam, nyeri otot pada betis,
paha, pinggang terutama saat ditekan,12 mual dan muntah.13 Gejala-gejala
tersebut dialami oleh pasien pada kasus ini. Conjunctival suffusion merupakan
dilatasi pembuluh darah konjungtiva tanpa eksudat purulen. Adanya conjunctival
suffusion menjadi tanda patognomonik leptospirosis.14 Gejala ini tampak pada
Nyonya RK. Leptospirosis dapat dibagi menjadi dua, yaitu leptospirosis anikterik dan
leptospirosis ikterik yang disebut juga penyakit Weill. Pada kasus ini, leptospirosis
yang muncul adalah penyakit Weill. Penyakit Weill adalah jenis leptospirosis yang
paling sering menyebabkan kematian.
Pemeriksaan laboratorium untuk mendiagnosis leptospirosis dibagi menjadi
dua, yaitu pemeriksaan untuk mendeteksi antibodi anti-leptospira dan untuk
mendeteksi bakteri leptospira secara langsung, antigen, maupun asam nukleat
lepstospira.16 Pemeriksaanpemeriksaan tersebut antara lain: (i) microscopic
agglutination test (MAT) untuk mendeteksi antibodi terhadap Leptospira secara
serologis, (ii) polymerase chain reaction (PCR) untuk mendeteksi gen spesifik
Leptospira, (iii) kultur darah atau dari cairan tubuh lain,13 (iv) IgM ELISA untuk
menemukan antibodi IgM spesifik leptospira,17 dan (v) RDT. Standar baku dalam
menegakkan diagnosis leptospirosis adalah dengan menemukan bakteri Leptospira
secara langsung menggunakan mikroskop lapangan gelap atau dengan kultur.
Pemeriksaan leptopirosis yang biasa digunakan di suatu daerah endemis
adalah RDT. Pemeriksaan RDT adalah pemeriksaan yang digunakan untuk
mendeteksi antibodi IgM pada darah. Pemeriksaan ini hanya untuk skrining awal
dan memiliki angka sensitivitas tidak lebih dari 80% sehingga tetap perlu diikuti
dengan pemeriksaan lain.19 Pemeriksaan RDT yang sering dijumpai adalah Lepto
dipstick, Lepto lateral flow, dan Lepto Dridot.5 Tingkat kepositifan dari tes skrining
tergantung pada jumlah antibodi spesifik dalam serum spesimen yang berkaitan
dengan stadium penyakit.20 Peralatan laboratorium tersebut untuk menegakkan
diagnosis leptospirosis juga masih sangat terbatas.21 Sama halnya dengan kasus
ini dimana Puskesmas setempat tidak memiliki alat RDT dan hanya RSUD setempat
yang memilikinya, sehingga penegakkan diagnosis tidak dapat segera dilakukan.
Pemeriksaan penunjang lainnya meliputi pemeriksaan kimia darah dan
urinalisis. Pemeriksaan kimia darah yang bermakna pada kasus leptospirosis
diantaranya adalah peningkatan fungsi hepar dan alkalin fosfatase.22 Peningkatan
kedua parameter tersebut tampak pada Nyonya RK. Pada leptospirosis berat bisa
terjadi leukositosis disertai trombositopenia.22 Nyonya RK hanya mengalami
leukositosis tetapi tidak trombositopenia. Gangguan fungsi renal pada pasien
leptospirosis ditunjukkan dengan peningkatan kadar kreatinin.22 Nyonya RK
mengalami gangguan fungsi renal yang tampak jelas pada hari kedua rawat inap,
yang ditandai dengan oliguria dan kadar kreatinin mencapai 5.8 mg/dL. Urinalisis
pada penderita leptospirosis menunjukkan adanya proteinuria, piuria, dan hematuria
mikroskopis.22 Pada Nyonya RK hanya dijumpai proteinuria dan hematuria.
Ditemukan leukosit pada urin Nyonya RK sebanyak 4-5 lpd, tetapi jumlah tersebut
belum cukup untuk dikategorikan sebagai piuria.
Leptospirosis dapat ditularkan oleh berbagai hewan diantaranya adalah
tikus dan hewan domestik seperti sapi, babi, anjing, domba, kambing, kuda, dan
kerbau.11 Keberadaan reservoir khususnya tikus sangat penting diketahui dalam
upaya pengendalian dan pemutusan rantai penularan.23 Kondisi rumah Nyonya RK
memang sangat berpotensi menjadi sumber infeksi leptospirosis oleh karena
banyaknya tikus yang dijumpai di dalam rumah dan banyaknya barang yang
bertumpuk yang berpotensi menjadi sarang tikus. Edukasi pada keluarga Nyonya
RK dan pada masyarakat sekitar mengenai kebersihan lingkungan sangat penting
dilakukan untuk mencegah wabah leptospirosis.
G. Kesimpulan
Telah dilaporkan kasus probable leptospirosis pada bulan Februari 2017.
Pasien tersebut meninggal dunia pada hari kesembilan dari onset penyakit. Kasus
tersebut disepakati oleh Dinas Kesehatan Magetan sebagai sebuah KLB oleh
karena hingga menimbulkan kematian pada pasien.