Anda di halaman 1dari 5

Pengambilalihan

Penggabungan, peleburan, dan pemisahan perseroan pada dasarnya merupakan


restrukturisasi perseroan yang berkaitan dengan status, kedudukan, dan eksistensi badan
hukum dari perseroan tersebut. Melalui penggabungan, peleburan, maupun pemisahan
perseroan maka dapat terjadi pembentukan perseroan terbatas yang baru, pengakhiran
status badan hukum perseroan tertentu, dan/atau penggabungan aktiva/pasiva perseroan
kepada perseroan lain sehingga keduanya bersatu dalam satu badan hukum tertentu.
Namun dalam hal pengambilalihan, yang terjadi adalah perubahan susunan pemegang
saham perseroan terbatas dengan dilakukannya pengambilalihan saham sehingga
menyebabkan berubahnya pengendalian terhadap perseroan.

Pasal 1 angka 11 UUPT dan Pasal 1 angka 3 PP 27/1998 menyatakan bahwa


pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang
perorangan untuk mengambil alih saham perseroan sehingga berakibat pada beralihnya
pengendalian atasa saham tersebut. Dari definisi ini, pengambilalihan yang dimaksud
adalah peralihan atas saham. Peralihan saham tersebut haruslah dilakukan secara
signifikan sehingga pengendalian atas perseroan terbatas beralih. Apabila saham yang
beralih hanya sebagian kecil saham, maka tidak cukup untuk dikatakan sebagai
pengambilalihan menurut UUPT dan PP 27/1998 dikarenakan tidak adanya perubahan
pengendalian atas perseroan. Dengan kata lain, kuantitas saham perseroan yang dapat
diambil alih, bisa “seluruhnya” atau “sebagian besar”. 1 Pengambilalihan saham ini dikenal
juga dengan istilah akuisisi.

Contoh sederhananya, saham PT. X dimiliki oleh A dengan persentase sebesar 50%
dan B dengan persentase sebesar 50%. Apabila C hendak melakukan pengambilalihan
saham, maka C harus mengambilalih saham sehingga memiliki setidaknya 51% dari total
saham dengan hak suara.

Seperti halnya penggabungan, peleburan, dan pemisahan perseroan terbatas,


pengambilalihan juga perlu memperhatikan kepentingan terkait sebagaimana dalam Pasal
126 ayat (1) UUPT. Namun perlu diperhatikan bahwa pengambilalihan tidak dapat
menyebabkan suatu perseroan terbatas hanya dimiliki oleh 1 (satu) pemegang saham.

Pihak yang mengambil alih saham dapat berupa orang perseorangan maupun badan
hukum (Pasal 125 ayat (2) UUPT), hal mana sah secara hukum mengingat pemegang
saham atas suatu perseroan terbatas juga dapat berupa orang perorangan maupun
badan hukum. Pengambilalihan saham oleh perseroan terbatas harus disertai dengan

1
Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, Jakarta: Sinar Grafika, 2016, hlm. 508.

1
keputusan RUPS dari perseroan yang akan mengambil alih saham perseroan terbatas
lainnya tersebut 9Pasal 124 ayat (4) UUPT). RUPS tersebut harus memenuhi kuorum
sebagaimana ditentukan dalam perundang-undangan maupun anggaran dasar dari
perseroan terbatas yang bersangkutan.

Menurut Pasal 125 ayat (1) UUPT, pengambilalihan dilakukan dengan cara
pengambilalihan saham yang telah dikeluarkan dan/atau akan dikeluarkan, baik itu melalui
Direksi Perseroan atau langsung dari pemegang saham yang bersangkutan. Dari ketentuan
ini, dapat disimpulkan bahwa saham yang diambil alih dapat berupa saham dari modal
yang telah ditempatkan atau disetor, maupun saham portepel dari sisa modal dasar
yang belum ditempatkan dan disetor. Apabila pengalihan saham dilakukan, maka pihak
yang hendak mengambil alih dapat melakukan perbuatan hukum dengan pemegang saham
yang bersangkutan secara langsung ataupun dengan Direktur dari perseroan.

Pengambilalihan saham perseroan melalui/dengan Direksi dilakukan dengan tahapan


sebagai berikut (Pasal 126 dan Pasal 127 UUPT) : 1) Pihak yang akan mengambilalih
menyampaikan maksudnya kepada Direksi, 2) Direksi menyusun Rancangan
Pengambilalihan yang wajib disetujui oleh Dewan Komisaris, 3) Ringkasan Rancangan
Pengambilalihan wajib dilakukan pengumuman dalam minimal 1 (satu) surat kaabr serta
kepada karyawan, 4) Rancangan Pengambilalihan harus disetujui RUPS melalui keputusan
yang ditetapkan sesuai kuorum yang ditentukan, 5) Kreditor berhak mengajukan keberatan
atas rencana pengambilalihan tersebut, 6) Apabila sudah disetujui RUPS, maka Rencana
Pengambilalihan itu dituangkan dalam Akta Pengambilalihan secara notariil dalam bahasa
Indonesia, 7) Salinan Akta Pengambilalihan turut dilampirkan dalam penyampaian
pemberitahuan terkait perubahan anggaran dasar perseroan terbatas kepada Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Apabila pengambilalihan saham dilakukan langsung dengan pemegang saham yang


bersangkutan, maka terdapat beberapa proses yang tidak perlu dilakukan dan ada
beberapa proses yang harus dilakukan. Lain halnya apabila pengambilalihan saham
dilakukan melalui/dengan Direksi perseroan, pihak yang hendak mengambil alih tidak perlu
menyampaikan maksud pengambilalihan kepada Direski dan tidak perlu dibuatkan
Rancangan Pengambilalihan (sesuai ketentuan Pasal 125 ayat (7) UUPT). Apabila
pengambilalihan langsung dilakukan dengan pemegang saham, maka perlu memperhatikan
ketentuan perundang-undangan dan anggaran dasar perseroan tentang pemindahan hak
atas saham (sebagaimana dalam Pasal 56 UUPT). Pihak yang hendak mengambil alih dan
pemegang saham mengadakan perundingan dan mengeluarkan Rencana Kesepakatan
Pengambilalihan yang wajib diumumkan (Pasal 127 ayat (8) UUPT). Sama halnya seperti
pengambilalihan saham melalui/dengan Direktur, Rencana Kesepakatan Pengambilalihan
tersebut dituangkan dalam Akta Pengambilalihan. Namun, sebagaimana dikemukakan juga

2
oleh Yahya Harahap, karena pengambilalihan ini dilakukan dengan pemegang saham,
maka dapat dikatakan juga sebagai “Akta Pemindahan Hak Atas Saham”. 2 Akta tersebut
perlu dilampirkan pada saat penyampaian pemberitahuan kepada Menteri. Direksi
perseroan terbatas yang sahamnya diambil alih wajib mengumumkan hasil pengambil
alihan dalam 1 (satu) surat kabar atau lebih sebagaimana dalam Pasal 133 ayat (2) UUPT.

A. Pemisahan Perseroan

Salah satu bentuk restrukturisasi yang terakhir adalah pemisahan perseroan.


Pemisahan perseroan ini diatur dalam UUPT namun sebelumnya tidak diatur dalam
Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 1 Tahun 1995 maupun PP 27/1998.
Pemisahan perseroan, menurut Pasal 1 angka 12 UUPT, pada dasarnya adalah perbuatan
hukum yang dilakukan oleh perseroan untuk memisahkan usaha yang mengakibatkan
seluruh aktiva dan pasiva perseroan beralih karena hukum kepada dua atau lebih
perseroan, maupun sebagian aktiva dan pasiva perseroan beralih karena hukum kepada
satu atau lebih perseroan. Dari definisi ini, dapat disimpulkan bahwa:
 Yang dipisahkan melalui pemisahan ini adalah usaha dari Perseroan sehingga seluruh
atau sebagian aktiva maupun pasiva teralihkan.3
 Dari segi pengalihan aktiva dan pasiva tersebut, terdapat 2 (dua) macam yakni:
pengalihan seluruh aktiva terhadap 2 (dua) perseroan atau lebih dan pengalihan
sebagian aktiva/pasiva kepada 1 (satu) perseroan atau lebih. Dari perbedaan ini dapat
disimpulkan bahwa:
 Pengalihan seluruh aktiva/pasiva kepada 2 (dua) atau lebih perseroan berarti
bahwa pemisahan tersebut membentuk setidaknya 2 (dua) perseroan yang
berbeda dan eksistensi perseroan yang semula berakhir demi hukum. Hal ini
mengakibatkan seluruh aktiva/pasiva itu senyatanya beralih pada 2 (dua)
perseroan atau lebih. Pemisahan semacam ini dikenal dengan pemisahan murni
(Pasal 135 ayat (2) UUPT). Contohnya adalah, PT XY melakukan pemisahan
murni, sehingga muncul 2 (dua) perseroan terbatas yang berbeda yakni PT. X dan
PT. Y. Aktiva beserta pasiva dari PT. XY beralih kepada PT. X maupun PT. Y
selaku perseroan-perseroan hasil pemisahan murni dari PT. XY tersebut. PT. XY
tidak lagi eksis secara hukum.
 Sedangkan, apabila sebagian aktiva/pasiva beralih kepada 1 (satu) atau lebih
perseroan maka artinya perseroan tersebut tidak sepenuhnya terpisah menjadi 2
(dua) perseroan yang berbeda. Sebagian dari perseroan tersebut memisahkan diri
dan membentuk perseroan dengan nama serta eksistensi hukum tersendiri. Akan
tetapi, perseroan yang lama tetap berdiri secara hukum. Oleh karenanya, sesuai
apabila dikatakan bahwa hanya sebagian aktiva/pasiva yang beralih ke 1 (satu)

2
Ibid, hlm. 518.
3
Ibid, hlm. 521.

3
atau lebih perseroan lainnya. Pemisahan semacam ini dikenal dengan pemisahan
tidak murni (Pasal 135 ayat (3) UUPT). Pemisahan tidak murni lazim disebut
spinoff (Penjelasan Pasal 135 ayat (1) huruf b UUPT). Sebagai contoh, PT. AB
melakukan pemisahan murni sehingga membentuk PT. C. Dengan demikian,
terdapat PT. AB dan perseroan hasil pemisahannya yakni PT. C, dimana PT. AB
masih berdiri sebagai badan hukum. Oleh karena pemisahan tersebut, maka
sebagian dari aktiva beserta pasiva PT. AB beralih kepada PT.C. Dari ilustrasi ini,
dapat dilihat bahwa dalam pemisahan tidak murni hanya sebagian aktiva/pasiva
yang diberikan dan aktiva/pasiva tersebut dapat diserahkan ke satu
perseroan terbatas saja, keduanya dikarenakan perseroan terbatas yang
semula masih berdiri.

Seperti halnya penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan, pemisahan juga perlu


dilakukan dengan terlebih dahulu memperhatikan kepentingan perseroan itu sendiri,
pemegang saham minoritas, karyawan perseroan, kreditor, mitra usaha, masyarakat, dan
persaingan sehat (Pasal 126 ayat (1) UUPT).

Prosedur pelaksanaan pemisahan perseroan pada dasarnya sama seperti untuk


penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan. Tahapan tersebut pada pokoknya adalah
sebagai berikut:
 Direksi wajib membuat Rancangan Pemisahan dan mengumumkannya dalam minimal
1 (satu) surat kabar serta diumumkan pula kepada karyawan (Pasal 127 ayat (2)
UUPT).
 Pemisahan perseroan harus dilakukan dengan persetujuan RUPS. Kuorum untuk
persetujuan RUPS tersebut adalah: 1) minimal dihadiri oleh 3/4 dari seluruh saham
dengan jumlah suara, dan 2) disetujui oleh paling sedikit 3/4 dari seluruh saham yang
memberikan suara, sebagaimana dalam Pasal 89 UUPT.
 Kreditor berhak mengajukan keberatan atas Rancangan Pemisahan (Pasal 127 ayat
(4) UUPT).
 Rancangan Pemisahan yang telah disetujui RUPS dituangkan dalam Akta Pemisahan
secara notariil yang berbahasa Indonesia (Pasal 128 ayat (1) UUPT).
 Pemegang saham yang tidak setuju atas pemisahan dapat meminta kepada perseroan
agar sahamnya dibeli dengan harga yang wajar atau setidaknya mengusahakan agar
saham dibeli oleh pihak ketiga (apabila pembelian kembali saham akan melebihi batas
ketentuan pembelian kembali). Hal itu diatur dalam Pasal 126 ayat (2) UUPT.
Pelaksanaan hak pemegang saham itu tidak menghentikan proses pemisahan (Pasal
126 ayat (3) UUPT).

4
5

Anda mungkin juga menyukai