Contoh sederhananya, saham PT. X dimiliki oleh A dengan persentase sebesar 50%
dan B dengan persentase sebesar 50%. Apabila C hendak melakukan pengambilalihan
saham, maka C harus mengambilalih saham sehingga memiliki setidaknya 51% dari total
saham dengan hak suara.
Pihak yang mengambil alih saham dapat berupa orang perseorangan maupun badan
hukum (Pasal 125 ayat (2) UUPT), hal mana sah secara hukum mengingat pemegang
saham atas suatu perseroan terbatas juga dapat berupa orang perorangan maupun
badan hukum. Pengambilalihan saham oleh perseroan terbatas harus disertai dengan
1
Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, Jakarta: Sinar Grafika, 2016, hlm. 508.
1
keputusan RUPS dari perseroan yang akan mengambil alih saham perseroan terbatas
lainnya tersebut 9Pasal 124 ayat (4) UUPT). RUPS tersebut harus memenuhi kuorum
sebagaimana ditentukan dalam perundang-undangan maupun anggaran dasar dari
perseroan terbatas yang bersangkutan.
Menurut Pasal 125 ayat (1) UUPT, pengambilalihan dilakukan dengan cara
pengambilalihan saham yang telah dikeluarkan dan/atau akan dikeluarkan, baik itu melalui
Direksi Perseroan atau langsung dari pemegang saham yang bersangkutan. Dari ketentuan
ini, dapat disimpulkan bahwa saham yang diambil alih dapat berupa saham dari modal
yang telah ditempatkan atau disetor, maupun saham portepel dari sisa modal dasar
yang belum ditempatkan dan disetor. Apabila pengalihan saham dilakukan, maka pihak
yang hendak mengambil alih dapat melakukan perbuatan hukum dengan pemegang saham
yang bersangkutan secara langsung ataupun dengan Direktur dari perseroan.
2
oleh Yahya Harahap, karena pengambilalihan ini dilakukan dengan pemegang saham,
maka dapat dikatakan juga sebagai “Akta Pemindahan Hak Atas Saham”. 2 Akta tersebut
perlu dilampirkan pada saat penyampaian pemberitahuan kepada Menteri. Direksi
perseroan terbatas yang sahamnya diambil alih wajib mengumumkan hasil pengambil
alihan dalam 1 (satu) surat kabar atau lebih sebagaimana dalam Pasal 133 ayat (2) UUPT.
A. Pemisahan Perseroan
2
Ibid, hlm. 518.
3
Ibid, hlm. 521.
3
atau lebih perseroan lainnya. Pemisahan semacam ini dikenal dengan pemisahan
tidak murni (Pasal 135 ayat (3) UUPT). Pemisahan tidak murni lazim disebut
spinoff (Penjelasan Pasal 135 ayat (1) huruf b UUPT). Sebagai contoh, PT. AB
melakukan pemisahan murni sehingga membentuk PT. C. Dengan demikian,
terdapat PT. AB dan perseroan hasil pemisahannya yakni PT. C, dimana PT. AB
masih berdiri sebagai badan hukum. Oleh karena pemisahan tersebut, maka
sebagian dari aktiva beserta pasiva PT. AB beralih kepada PT.C. Dari ilustrasi ini,
dapat dilihat bahwa dalam pemisahan tidak murni hanya sebagian aktiva/pasiva
yang diberikan dan aktiva/pasiva tersebut dapat diserahkan ke satu
perseroan terbatas saja, keduanya dikarenakan perseroan terbatas yang
semula masih berdiri.
4
5