Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kapita Selekta Hukum Perusahaan
Dosen:
Dr. H. Isis Ikhwansyah, S.H., M.H., C.N.
Dr. Anita Afriana, S.H., M.H.
Disusun Oleh:
Natalia Karelina
(110620190003)
Kelas A
1
MACAM-MACAM RESTRUKTURISASI PERUSAHAAN
(RESUME)
Pada dasarnya terdapat banyak macam restrukturisasi perusahaan, baik itu dari segi
ekonomi maupun yuridis. Secara ekonomi, menurut David F.1, restrukturisasi sering disebut
sebagai downsizing atau delayering, melibatkan pengurangan perusahaan di bidang tenaga kerja,
unit kerja atau divisi, ataupun pengurangan tingkat jabatan dalam struktur organisasi perusahaan.
Tujuan dari restrukturisasi ini adalah untuk memperbaiki efisiensi dan efektifitas. Dari segi
ekonomi, restrukturisasi sederhananya merupakan pengaturan kembali perseroan dimana hal itu
dapat dilakukan dari segi perombakan susunan modal dan aset perusahaan, perubahan susunan
manajerial, perubahan struktur divisi atau departemen perusahaan agar lebih efisien,
pengurangan dan/atau relokasi tenaga kerja, bahkan hingga penyesuaian kedudukan dan
hubungan antara induk serta anak perusahaan atau perusahaan afiliasinya. Dari segi ekonomi,
restrukturisasi lebih fokus pada internal perseroan atau urusan financial maupun manajerial
tanpa mengubah status dan eksistensi badan hukum dari perseroan tersebut.
Dari segi yuridis, restrukturisasi juga merupakan suatu perbuatan pengaturan atau
penyusunan ulang atas satu atau beberapa perseroan. Akan tetapi, restrukturiasasi dari segi
yuridis fokus terhadap pengaturan status, kedudukan, dan eksistensi yuridis perseroan terbatas
sebagai badan hukum maupun juga dari segi susunan pengendalian pemegang saham
perseroan. Melalui restrukturisasi secara yuridis, dimungkinkan adanya pembentukan perseroan
baru dari berbagai perseroan yang berbeda sebelumnya, berakhirnya status badan hukum suatu
perseroan dimana seluruh aktiva/pasivanya beralih ke perseroan lain, maupun perubahan
susunan pengendalian pemegang saham. Macam-macam restrukturisasi perusahaan yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya
disebut “UUPT”) adalah penggabungan, peleburan, pengambilalihan, dan pemisahan. Yahya
Harahap mengemukakan bahwa keempat hal ini dapat dikategorikan sebagai rekonstruksi atau
restrukturisasi perusahaan.2 Lebih jelasnya, Yahya Harahap menyatakan bahwa:3
“… BAB VIII UUPT 2007, telah mengatur bentuk-bentuk tindakan restrukturisasi
Perseroan yang dibenarkan menurut hukum. Terdiri atas Penggabungan, Peleburan,
Pengambilalihan, dan Pemisahan Perseroan.”
1
David F dalam https://www.coursehero.com/, diakses pada Selasa tanggal 31 Maret 2020 pukul 19.14 WIB.
2
Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, Jakarta: Sinar Grafika, 2016, hlm. 482
3
Ibid.
2
akan membahas restrukturisasi perseroan dari aspek yuridis sebagaimana diatur dalam
perundang-undangan yang berlaku, yakni penggabungan, peleburan, pengambilalihan, dan
pemisahan perseroan. Dasar hukum yang digunakan adalah UUPT dan sedikit dari Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan
Perseroan Terbatas sebagai referensi.
A. Penggabungan
Dengan dilakukannya merger, perseroan yang menggabungkan diri berakhir atau bubar
tanpa dilakukannya peleburan terlebih dahulu.4 Sebagai contoh, PT. A merger ke PT B,
sehingga seluruh asetnya (aktiva maupun pasiva) beralih dan menjadi bagian dari aktiva dan
pasiva PT. B. Pada akhirnya, PT. A hapus dan tidak lagi dikenal secara hukum dan
sebaliknya yang dikenal adalah PT. B.
Hapus atau berakhirnya kedudukan hukum dari perseroan yang menggabungkan diri
berlaku terhitung sejak tanggal penggabungan tersebut berlaku. Dengan dilakukannya
penggabungan, maka pemegang saham perseroan yang menggabungkan diri demi hukum
menjadi pemegang saham dari perseroan yang menerima penggabungan tersebut (Pasal
122 ayat (3) huruf b UUPT).
4
Ibid, hlm. 483.
3
Wajib memperhatikan kepentingan pihak tertentu yakni kepentingan perseroan itu
sendiri, pemegang saham minoritas, karyawan perseroan, kreditor, mitra usaha,
masyarakat, dan persaingan usaha yang sehat (Pasal 126 UUPT dan Pasal 4 ayat (1)
PP 27/1998).
Bagi perseroan dengan bidang usaha tertentu, penggabungan/merger perlu mendapat
persetujuan dari pejabat atau instansi tertentu (Pasal 123 ayat (4) UUPT).
5
Untuk perseroan yang bergerak di bidang tertentu, maka perlu memintakan persetujuan ke instansi terkait sesuai
ketentuan yang berlaku. Untuk perusahaan terbuka, ketentuan yang ada di UUPT turut berlaku sepanjang tidak diatur lain
dalam peraturan di bidang pasar modal.
4
Kreditor dapat mengajukan keberatan terhadap rencana penggabungan, sebagaimana
diatur dalam Pasal 127 ayat (4) UUPT.
Rancangan Penggabungan yang disetujui RUPS dituangkan dalam Akta
Penggabungan. Akta Penggabungan sah apabila dibuat secara notariil dalam bahasa
Indonesia (Pasal 128 ayat (1) UUPT).
Apabila penggabungan disertai dengan perubahan anggaran dasar perseroan, maka
Akta Penggabungan dilampirkan dalam permohonan persetujuan atau dalam
pemberitahuan perubahan anggaran dasar kepada menteri. Perubahan anggaran dasar
dapat diajukan persetujuan dari menteri ataupun pemberitahuan kepada menteri, sesuai
jenis perubahan anggaran dasar tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (1)
dan Pasal 21 ayat (3) UUPT. Apabila tidak ada perubahan anggaran dasar, maka
salinan Akta Penggabungan tersebut tetap harus disampaikan kepada menteri untuk
dicatat dalam Daftar Perseroan (Pasal 129 ayat (2) UUPT).
Dalam Pasal 133 UUPT, Direksi Perseroan yang menerima penggabungan wajib
mengumumkan hasil penggabungan dalam 1 (satu) surat kabar atau lebih, dan
pengumuman harus dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari
setelah berlakunya penggabungan. Pengumuman dilakukannya penggabungan
merupakan suatu bentuk langkah untuk kepentingan pihak ketiga dan juga untuk
memenuhi asas publisitas.
Apabila terdapat pemegang saham yang tidak setuju atas keputusan RUPS, maka
pemegang saham dapat menggunakan haknya yang diatur dalam Pasal 62 UUPT,
yakni: 1) meminta kepada perseroan agar sahamnya dibeli dengan harga yang wajar, 2)
pada prinsipnya perseroan diwajibkan membelinya, 3) apabila saham yang diminta
untuk dibeli perseroan melebihi batas ketentuan pembelian kembali saham oleh
perseoan (dengan mengacu pada Pasal 37 ayat (1) huruf b UUPT), maka perseroan
wajib mengusahakan agar sisa saham dibeli oleh pihak ketiga.6 Pelaksanaan hak dari
pemegang saham tidak menghentikan proses penggabungan perseroan (Pasal 126
ayat (3) UUPT).
B. Peleburan
Definisi hukum dari peleburan perseroan sebagaimana dalam Pasal 1 angka 10 UUPT
adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua perseroan atau lebih untuk meleburkan
diri dengan cara mendirikan satu perseroan baru yang karena hukum memperoleh aktiva
dan pasiva dari (seluruh) perseroan yang meleburkan diri dan status badan hukum dari para
perseroan yang meleburkan diri berakhir karena hukum. Dari definisi ini, peleburan terjadi
ketika terdapat 2 (dua) atau lebih perseroan yang saling menggabungkan dan meleburkan
diri sehingga terbentuk suatu perseroan berbadan hukum yang baru. Nama, kedudukan, dan
6
Ibid, hlm 495-496.
5
status hukum dari perseroan-perseroan yang meleburkan diri hapus secara hukum,
sehingga hanya perseroan hasil peleburan lah yang memiliki eksistensi secara hukum.
Begitu pula dengan aktiva dan pasiva dari masing-masing perseroan yang meleburkan diri,
dimana semuanya bersatu dan menjadi aktiva serta pasiva dari perseroan hasil peleburan.
Lazimnya, peleburan dikenal dengan istilah konsolidasi.
Salah satu contoh peleburan perseroan yang terkenal adalah PT. Bank Mandiri
(Persero), Tbk (selanjutnya disebut sebagai “Bank Mandiri”). Bank Mandiri merupakan
hasil peleburan dari 4 (empat) bank yakni, Bank Dagang Negara, Bank Ekspor Impor
Indonesia, Bank Bumi Daya, dan Bank Pembangunan Indonesia. Masing-masing bank
tersebut meleburkan diri sehingga terbentuk Bank Mandiri. Setelah itu, tidak lagi dikenal
keempat bank tersebut karena eksistensi badan hukumnya berakhir. Perbedaan
penggabungan dengan peleburan adalah: 1) dalam penggabungan, perseroan
menggabungkan diri ke perseroan lain yang sudah didirikan dan berbadan hukum, dan suatu
perseroan yang menerima penggabungan tetap eksis status hukumnya, 2) sedangkan
dalam peleburan, masing-masing perseroan yang sudah berstatus hukum meleburkan diri
sehingga eksistensi hukum dari seluruh perseroan tersebut hapus, dan kemudian
membentuk suatu perseroan baru.
6
dan lainnya. Pada intinya, Rancangan Peleburan tersebut berisi hal-hal yang menjadi
pertimbangan dilakukannya peleburan, perencanaan penyelesaian hak dan
kewajiban, perencanaan terkait pelaksanaan peleburan, dan hal-hal atau informasi
lainnya yang terkait dengan masing-masing perseroan.
Atas Rancangan Peleburan itu, Direksi meminta persetujuan kepada Dewan Komisaris
dari setiap perseroan yang akan meleburkan diri (Pasal 123 ayat (3) jo. Pasal 124
UUPT).
Sesuai Pasal 127 ayat (2), Direksi wajib mengumuman ringkasan Rancangan Peleburan
dalam minimal 1 (satu) surat kabar berbahasa indonesia yang beredar secara nasional.
Direksi juga wajib mengumumkan secara tertulis kepada karyawan perseroan.
Pengumuman dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum pemanggilan RUPS.
Pihak yang berkepentingan juga dapat meminta Rancangan Peleburan kepada
perseroan.
Setelah disetujui oleh Dewan Komisaris, maka Rancangan Peleburan itu dimohonkan
persetujuan kepada RUPS. Sebagaimana dikemukakan Yahya Harahap, persetujuan
Dewan Komisaris adalah syarat mutlak (mandatory) untuk dapat diajukannya
permohonan kepada RUPS.7 Kuorum persetujuan RUPS terkait peleburan perseroan
sama dengan kuorum dalam rangka penggabungan perseroan di atas, dengan
mengacu pada Pasal 87 dan 89 UUPT.
Kreditor berhak mengajukan keberatan terhadap keputusan perseroan untuk melakukan
peleburan, sebagaimana dalam Pasal 127 ayat (4) UUPT.
Rancangan Peleburan yang telah disetujui RUPS dituangkan dalam Akta Peleburan
yang dibuat di hadapan Notaris dalam bahasa Indonesia (Pasal 128 ayat (1) UUPT). Hal
yang membedakan dengan penggabungan perseroan adalah:
Akta Peleburan ini menjadi dasar pembuatan akta pendirian perseroan hasil
peleburan. Artinya, segala hal-hal pokok yang ada di dalam Akta Peleburan harus
sesuai atau paling tidak menjiawai rumusan anggaran dasar perseroan hasil
peleburan.8
Mengingat peleburarn merupakan perbuatan hukum untuk mendirikan suatu
perseroan terbatas yang baru, maka pendirian perseroan dilakukan sesuai
ketentuan sebagaimana dalam Pasal 7-14 UUPT. Pendirian perseroan hasil
peleburan harus diajukan pengesahan badan hukum dari Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia sesuai ketentuan Pasal 9 UUPT. Dengan demikian, berbeda halnya
dengan penggabungan perseroan, dalam peleburan tidak ada perubahan anggaran
dasar apapun karena pada dasarnya para pihak membentuk perseroan baru
dengan anggaran dasarnya sendiri. Pada saat mengajukan permohonan
pengesahan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, maka salinan Akta
Peleburan juga turut dilampirkan (Pasal 130 UUPT).
7
Ibid, hlm. 501.
8
Ibid, hlm. 505.
7
Direksi wajib mengumukan hasil peleburan dalam minimal 1 (satu) surat kabar (Pasal
133 ayat (1) UUPT). Kewajiban ini bersifat imperatif.
C. Pengambilalihan
Contoh sederhananya, saham PT. X dimiliki oleh A dengan persentase sebesar 50%
dan B dengan persentase sebesar 50%. Apabila C hendak melakukan pengambilalihan
saham, maka C harus mengambilalih saham sehingga memiliki setidaknya 51% dari total
saham dengan hak suara.
Pihak yang mengambil alih saham dapat berupa orang perseorangan maupun badan
hukum (Pasal 125 ayat (2) UUPT), hal mana sah secara hukum mengingat pemegang
9
Ibid, hlm. 508.
8
saham atas suatu perseroan terbatas juga dapat berupa orang perorangan maupun
badan hukum. Pengambilalihan saham oleh perseroan terbatas harus disertai dengan
keputusan RUPS dari perseroan yang akan mengambil alih saham perseroan terbatas
lainnya tersebut 9Pasal 124 ayat (4) UUPT). RUPS tersebut harus memenuhi kuorum
sebagaimana ditentukan dalam perundang-undangan maupun anggaran dasar dari
perseroan terbatas yang bersangkutan.
Menurut Pasal 125 ayat (1) UUPT, pengambilalihan dilakukan dengan cara
pengambilalihan saham yang telah dikeluarkan dan/atau akan dikeluarkan, baik itu melalui
Direksi Perseroan atau langsung dari pemegang saham yang bersangkutan. Dari ketentuan
ini, dapat disimpulkan bahwa saham yang diambil alih dapat berupa saham dari modal
yang telah ditempatkan atau disetor, maupun saham portepel dari sisa modal dasar
yang belum ditempatkan dan disetor. Apabila pengalihan saham dilakukan, maka pihak
yang hendak mengambil alih dapat melakukan perbuatan hukum dengan pemegang saham
yang bersangkutan secara langsung ataupun dengan Direktur dari perseroan.
9
pengambilalihan saham melalui/dengan Direktur, Rencana Kesepakatan Pengambilalihan
tersebut dituangkan dalam Akta Pengambilalihan. Namun, sebagaimana dikemukakan juga
oleh Yahya Harahap, karena pengambilalihan ini dilakukan dengan pemegang saham, maka
dapat dikatakan juga sebagai “Akta Pemindahan Hak Atas Saham”.10 Akta tersebut perlu
dilampirkan pada saat penyampaian pemberitahuan kepada Menteri. Direksi perseroan
terbatas yang sahamnya diambil alih wajib mengumumkan hasil pengambil alihan dalam 1
(satu) surat kabar atau lebih sebagaimana dalam Pasal 133 ayat (2) UUPT.
D. Pemisahan Perseroan
10
Ibid, hlm. 518.
11
Ibid, hlm. 521.
10
tetapi, perseroan yang lama tetap berdiri secara hukum. Oleh karenanya, sesuai
apabila dikatakan bahwa hanya sebagian aktiva/pasiva yang beralih ke 1 (satu)
atau lebih perseroan lainnya. Pemisahan semacam ini dikenal dengan pemisahan
tidak murni (Pasal 135 ayat (3) UUPT). Pemisahan tidak murni lazim disebut
spinoff (Penjelasan Pasal 135 ayat (1) huruf b UUPT). Sebagai contoh, PT. AB
melakukan pemisahan murni sehingga membentuk PT. C. Dengan demikian,
terdapat PT. AB dan perseroan hasil pemisahannya yakni PT. C, dimana PT. AB
masih berdiri sebagai badan hukum. Oleh karena pemisahan tersebut, maka
sebagian dari aktiva beserta pasiva PT. AB beralih kepada PT.C. Dari ilustrasi ini,
dapat dilihat bahwa dalam pemisahan tidak murni hanya sebagian aktiva/pasiva
yang diberikan dan aktiva/pasiva tersebut dapat diserahkan ke satu
perseroan terbatas saja, keduanya dikarenakan perseroan terbatas yang
semula masih berdiri.
11