Anda di halaman 1dari 11

MACAM-MACAM RESTRUKTURISASI PERUSAHAAN (RESUME)

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kapita Selekta Hukum Perusahaan

Dosen:
Dr. H. Isis Ikhwansyah, S.H., M.H., C.N.
Dr. Anita Afriana, S.H., M.H.

Disusun Oleh:
Natalia Karelina
(110620190003)
Kelas A

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN


UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2020

1
MACAM-MACAM RESTRUKTURISASI PERUSAHAAN
(RESUME)

Pada dasarnya terdapat banyak macam restrukturisasi perusahaan, baik itu dari segi
ekonomi maupun yuridis. Secara ekonomi, menurut David F.1, restrukturisasi sering disebut
sebagai downsizing atau delayering, melibatkan pengurangan perusahaan di bidang tenaga kerja,
unit kerja atau divisi, ataupun pengurangan tingkat jabatan dalam struktur organisasi perusahaan.
Tujuan dari restrukturisasi ini adalah untuk memperbaiki efisiensi dan efektifitas. Dari segi
ekonomi, restrukturisasi sederhananya merupakan pengaturan kembali perseroan dimana hal itu
dapat dilakukan dari segi perombakan susunan modal dan aset perusahaan, perubahan susunan
manajerial, perubahan struktur divisi atau departemen perusahaan agar lebih efisien,
pengurangan dan/atau relokasi tenaga kerja, bahkan hingga penyesuaian kedudukan dan
hubungan antara induk serta anak perusahaan atau perusahaan afiliasinya. Dari segi ekonomi,
restrukturisasi lebih fokus pada internal perseroan atau urusan financial maupun manajerial
tanpa mengubah status dan eksistensi badan hukum dari perseroan tersebut.

Dari segi yuridis, restrukturisasi juga merupakan suatu perbuatan pengaturan atau
penyusunan ulang atas satu atau beberapa perseroan. Akan tetapi, restrukturiasasi dari segi
yuridis fokus terhadap pengaturan status, kedudukan, dan eksistensi yuridis perseroan terbatas
sebagai badan hukum maupun juga dari segi susunan pengendalian pemegang saham
perseroan. Melalui restrukturisasi secara yuridis, dimungkinkan adanya pembentukan perseroan
baru dari berbagai perseroan yang berbeda sebelumnya, berakhirnya status badan hukum suatu
perseroan dimana seluruh aktiva/pasivanya beralih ke perseroan lain, maupun perubahan
susunan pengendalian pemegang saham. Macam-macam restrukturisasi perusahaan yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya
disebut “UUPT”) adalah penggabungan, peleburan, pengambilalihan, dan pemisahan. Yahya
Harahap mengemukakan bahwa keempat hal ini dapat dikategorikan sebagai rekonstruksi atau
restrukturisasi perusahaan.2 Lebih jelasnya, Yahya Harahap menyatakan bahwa:3
“… BAB VIII UUPT 2007, telah mengatur bentuk-bentuk tindakan restrukturisasi
Perseroan yang dibenarkan menurut hukum. Terdiri atas Penggabungan, Peleburan,
Pengambilalihan, dan Pemisahan Perseroan.”

Pembubaran atau likuidasi Perseroan tidak termasuk dalam kategori restrukturisasi


perusaahan ini. Hal mana dikarenakan likuidasi merupakan proses pemberesan perseroan
dalam rangka proses pembubaran, sedangkan restrukturiasi merupakan perbuatan atau proses
untuk mengefisiensikan kinerja maupun memperbaharui struktur dan eksistensi badan hukum
perseroan dengan tujuan agar perseroan dapat melaksanakan kegiatan usaha secara maksimal
dan berkesinambungan. Oleh karenanya, tujuan dari pembubaran atau likuidasi tidaklah sesuai
dengan arti, sifat, serta tujuan dari restrukturisasi perseroan. Dengan demikian, tulisan ini hanya

1
David F dalam https://www.coursehero.com/, diakses pada Selasa tanggal 31 Maret 2020 pukul 19.14 WIB.
2
Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, Jakarta: Sinar Grafika, 2016, hlm. 482
3
Ibid.

2
akan membahas restrukturisasi perseroan dari aspek yuridis sebagaimana diatur dalam
perundang-undangan yang berlaku, yakni penggabungan, peleburan, pengambilalihan, dan
pemisahan perseroan. Dasar hukum yang digunakan adalah UUPT dan sedikit dari Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan
Perseroan Terbatas sebagai referensi.

A. Penggabungan

Dalam Pasal 1 angka 9 UUPT dijelaskan bahwa penggabungan adalah perbuatan


hukum yang dilakukan oleh satu perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan
perseroan lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari perseroan yang
menggabungkan diri beralih karena hukum kepada perseroan yang menerima
penggabungan dan selanjutnya status badan hukum perseroan yang menggabungkan diri
berakhir karena hukum. Dari definisi tersebut dapat dilihat bahwa dalam penggabungan,
maka satu atau lebih perseroan tertentu menggabungkan dirinya menjadi bagian dari
perseroan lain, sehingga seluruh aktiva dan pasiva dari perseroan tersebut menjadi bagian
dari perseroan yang lain. Sebagai akibatnya, nama, kedudukan, dan status badan hukum
dari perseroan yang menggabungkan diri tersebut hapus secara hukum sehingga yang eksis
secara hukum adalah perseroan lain yang memperoleh penggabungan dari perseroan yang
semula. Penggabungan perseroan dikenal juga dengan istilah merger.

Dengan dilakukannya merger, perseroan yang menggabungkan diri berakhir atau bubar
tanpa dilakukannya peleburan terlebih dahulu.4 Sebagai contoh, PT. A merger ke PT B,
sehingga seluruh asetnya (aktiva maupun pasiva) beralih dan menjadi bagian dari aktiva dan
pasiva PT. B. Pada akhirnya, PT. A hapus dan tidak lagi dikenal secara hukum dan
sebaliknya yang dikenal adalah PT. B.

Hapus atau berakhirnya kedudukan hukum dari perseroan yang menggabungkan diri
berlaku terhitung sejak tanggal penggabungan tersebut berlaku. Dengan dilakukannya
penggabungan, maka pemegang saham perseroan yang menggabungkan diri demi hukum
menjadi pemegang saham dari perseroan yang menerima penggabungan tersebut (Pasal
122 ayat (3) huruf b UUPT).

Sebelum dikeluarkannya UUPT di tahun 2007, penggabungan perseroan terbatas juga


diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1998 (selanjutnya disebut “PP
27/1998”). Syarat dari penggabungan/merger, sebagaimana diatur dalam UUPT dan PP
27/1998 adalah pada pokoknya sebagai berikut:

4
Ibid, hlm. 483.

3
 Wajib memperhatikan kepentingan pihak tertentu yakni kepentingan perseroan itu
sendiri, pemegang saham minoritas, karyawan perseroan, kreditor, mitra usaha,
masyarakat, dan persaingan usaha yang sehat (Pasal 126 UUPT dan Pasal 4 ayat (1)
PP 27/1998).
 Bagi perseroan dengan bidang usaha tertentu, penggabungan/merger perlu mendapat
persetujuan dari pejabat atau instansi tertentu (Pasal 123 ayat (4) UUPT).

Tahapan yang perlu dilakukan dalam rangka penggabungan/merger perusahaan


adalah:
 Antara perseroan yang hendak menggabungkan diri dan perseroan yang hendak
menerima penggabungan diri, perlu ada penyusunan Rancangan Penggabungan;
 Menurut Pasal 123 ayat (1) UUPT, Direksi dari perseroan yang akan menggabungkan
diri dan Direksi dari perseroan yang akan menerima penggabungan menyusun
Rancangan Penggabungan bersama-sama. Rancangan tersebut berisi
sekurang-sekurangnya, nama dan tempat kedudukan masing-masing perseroan, alasan
serta penjelasan dari Direksi perseroan, tata cara penilaian dan konversi saham dari
perseroan yang akan menggabungkan diri ke perseroan yang akan menerima
penggabungan, rancangan perubahan anggaran dasar dari perseroan yang akan
menerima penggabungan (apabila ada), laporan keuangan, rencana kelanjutan atau
pengakhiran kegiatan usaha dari perseroan yang akan menggabungkan diri, cara
penyelesaian hak dan kewajiban kepada pihak ketiga, dan lainnya sebagaimana diatur
dalam Pasal 123 ayat (2) UUPT.
 Rancangan telah yang selesai disusun dimintakan persetujuannya kepada Dewan
Komisaris dari masing-masing perseroan. Apabila Dewan Komisaris setuju, maka
Rancangan Penggabungan itu dapat diajukan persetujuannya ke RUPS (Pasal 123 ayat
(3) UUPT).5
 Direksi wajib mengumumkan Ringkasan Rancangan Penggabungan dalam minimal 1
(satu) surat kabar harian berbahasa indonesia yang beredar secara nasional,
mengumumkan secara tertulis Ringkasan Rancangan Penggabungan kepada karyawan
perseroan, serta memuat pemberitahuan bahwa pihak yang berkepentingan dapat
memperoleh Rancangan Penggabungan di kantor perseroan. Pengumuman dilakuakn
paling lama 30 (tiga puluh hari) sebelum pemanggilan RUPS.
 Mengenai kuorum RUPS dalam rangka persetujuan penggabungan perseroan, RUPS
dapat dilangsungkan apabila dihadiri oleh minimal 3/4 bagian dari seluruh saham
dengan hak suara. Keputusan RUPS sah apabila disetujui oleh 3/4 suara dari jumlah
suara yang dikeluarkan pada saat rapat (Passal 89 ayat (1) UUPT)

5
Untuk perseroan yang bergerak di bidang tertentu, maka perlu memintakan persetujuan ke instansi terkait sesuai
ketentuan yang berlaku. Untuk perusahaan terbuka, ketentuan yang ada di UUPT turut berlaku sepanjang tidak diatur lain
dalam peraturan di bidang pasar modal.

4
 Kreditor dapat mengajukan keberatan terhadap rencana penggabungan, sebagaimana
diatur dalam Pasal 127 ayat (4) UUPT.
 Rancangan Penggabungan yang disetujui RUPS dituangkan dalam Akta
Penggabungan. Akta Penggabungan sah apabila dibuat secara notariil dalam bahasa
Indonesia (Pasal 128 ayat (1) UUPT).
 Apabila penggabungan disertai dengan perubahan anggaran dasar perseroan, maka
Akta Penggabungan dilampirkan dalam permohonan persetujuan atau dalam
pemberitahuan perubahan anggaran dasar kepada menteri. Perubahan anggaran dasar
dapat diajukan persetujuan dari menteri ataupun pemberitahuan kepada menteri, sesuai
jenis perubahan anggaran dasar tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (1)
dan Pasal 21 ayat (3) UUPT. Apabila tidak ada perubahan anggaran dasar, maka
salinan Akta Penggabungan tersebut tetap harus disampaikan kepada menteri untuk
dicatat dalam Daftar Perseroan (Pasal 129 ayat (2) UUPT).
 Dalam Pasal 133 UUPT, Direksi Perseroan yang menerima penggabungan wajib
mengumumkan hasil penggabungan dalam 1 (satu) surat kabar atau lebih, dan
pengumuman harus dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari
setelah berlakunya penggabungan. Pengumuman dilakukannya penggabungan
merupakan suatu bentuk langkah untuk kepentingan pihak ketiga dan juga untuk
memenuhi asas publisitas.
 Apabila terdapat pemegang saham yang tidak setuju atas keputusan RUPS, maka
pemegang saham dapat menggunakan haknya yang diatur dalam Pasal 62 UUPT,
yakni: 1) meminta kepada perseroan agar sahamnya dibeli dengan harga yang wajar, 2)
pada prinsipnya perseroan diwajibkan membelinya, 3) apabila saham yang diminta
untuk dibeli perseroan melebihi batas ketentuan pembelian kembali saham oleh
perseoan (dengan mengacu pada Pasal 37 ayat (1) huruf b UUPT), maka perseroan
wajib mengusahakan agar sisa saham dibeli oleh pihak ketiga.6 Pelaksanaan hak dari
pemegang saham tidak menghentikan proses penggabungan perseroan (Pasal 126
ayat (3) UUPT).

B. Peleburan

Definisi hukum dari peleburan perseroan sebagaimana dalam Pasal 1 angka 10 UUPT
adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua perseroan atau lebih untuk meleburkan
diri dengan cara mendirikan satu perseroan baru yang karena hukum memperoleh aktiva
dan pasiva dari (seluruh) perseroan yang meleburkan diri dan status badan hukum dari para
perseroan yang meleburkan diri berakhir karena hukum. Dari definisi ini, peleburan terjadi
ketika terdapat 2 (dua) atau lebih perseroan yang saling menggabungkan dan meleburkan
diri sehingga terbentuk suatu perseroan berbadan hukum yang baru. Nama, kedudukan, dan

6
Ibid, hlm 495-496.

5
status hukum dari perseroan-perseroan yang meleburkan diri hapus secara hukum,
sehingga hanya perseroan hasil peleburan lah yang memiliki eksistensi secara hukum.
Begitu pula dengan aktiva dan pasiva dari masing-masing perseroan yang meleburkan diri,
dimana semuanya bersatu dan menjadi aktiva serta pasiva dari perseroan hasil peleburan.
Lazimnya, peleburan dikenal dengan istilah konsolidasi.

Salah satu contoh peleburan perseroan yang terkenal adalah PT. Bank Mandiri
(Persero), Tbk (selanjutnya disebut sebagai “Bank Mandiri”). Bank Mandiri merupakan
hasil peleburan dari 4 (empat) bank yakni, Bank Dagang Negara, Bank Ekspor Impor
Indonesia, Bank Bumi Daya, dan Bank Pembangunan Indonesia. Masing-masing bank
tersebut meleburkan diri sehingga terbentuk Bank Mandiri. Setelah itu, tidak lagi dikenal
keempat bank tersebut karena eksistensi badan hukumnya berakhir. Perbedaan
penggabungan dengan peleburan adalah: 1) dalam penggabungan, perseroan
menggabungkan diri ke perseroan lain yang sudah didirikan dan berbadan hukum, dan suatu
perseroan yang menerima penggabungan tetap eksis status hukumnya, 2) sedangkan
dalam peleburan, masing-masing perseroan yang sudah berstatus hukum meleburkan diri
sehingga eksistensi hukum dari seluruh perseroan tersebut hapus, dan kemudian
membentuk suatu perseroan baru.

Sama halnya seperti penggabungan, peleburan harus memperhatikam kepentingan


pihak terkait seperti kepentingan perseroan itu sendiri, pemegang saham minoritas,
karyawan, kreditor, mitra usaha, masyarakat, dan persaingan usaha sehat (Pasal 126 ayat
(1) UUPT jo. Pasal 4 ayat (1) PP 27/1998). Selain itu, maka pemegang saham perseroan
yang meleburkan diri secara hukum menjadi pemegang saham perseroan hasil peleburan
(Pasal 122 ayat (3) UUPT).

Tahapan dilakukan nya peleburan pada dasarnya serupa dengan penggabungan


perseroan. Akan tetapi, terdapat perbedaan dalam hal proses setelah dilakukannya
penggabungan maupun peleburan tersebut. Peleburan pada dasarnya membentuk
perseroan baru, sehingga berlaku tahapan pendirian perseroan terbatas. Sedangkan
penggabungan hanya mengubah susunan perseroan yang sudah ada, sehingga hanya perlu
dilakukan perubahan anggaran dasar atau bahkan cukup dengan pemberitahuan kepada
menteri tanpa adanya perubahan anggaran dasar. Tahapan dilakukannya peleburan
perseroan adalah pada pokoknya sebagai berikut:
 Direksi perseroan yang akan meleburkan diri menyusun Rancangan Peleburan.
Rancangan Peleburan tersebut pada dasarnya berisi nama dan tempat kedudukan dari
setiap perseroan, alasan dan penjelasan Direksi, tata cara penilaian dan konversi
saham, rencana kelanjutan pengakhiran usaha dari perseroan yang akan melakukan
peleburan, penyelesaian status, hak, dan kewajiban anggota Direksi, Dewan Komisaris,
karyawan, serta terhadap pihak ketiga, perkiraan jangka waktu pelaksanaan peleburan,

6
dan lainnya. Pada intinya, Rancangan Peleburan tersebut berisi hal-hal yang menjadi
pertimbangan dilakukannya peleburan, perencanaan penyelesaian hak dan
kewajiban, perencanaan terkait pelaksanaan peleburan, dan hal-hal atau informasi
lainnya yang terkait dengan masing-masing perseroan.
 Atas Rancangan Peleburan itu, Direksi meminta persetujuan kepada Dewan Komisaris
dari setiap perseroan yang akan meleburkan diri (Pasal 123 ayat (3) jo. Pasal 124
UUPT).
 Sesuai Pasal 127 ayat (2), Direksi wajib mengumuman ringkasan Rancangan Peleburan
dalam minimal 1 (satu) surat kabar berbahasa indonesia yang beredar secara nasional.
Direksi juga wajib mengumumkan secara tertulis kepada karyawan perseroan.
Pengumuman dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum pemanggilan RUPS.
Pihak yang berkepentingan juga dapat meminta Rancangan Peleburan kepada
perseroan.
 Setelah disetujui oleh Dewan Komisaris, maka Rancangan Peleburan itu dimohonkan
persetujuan kepada RUPS. Sebagaimana dikemukakan Yahya Harahap, persetujuan
Dewan Komisaris adalah syarat mutlak (mandatory) untuk dapat diajukannya
permohonan kepada RUPS.7 Kuorum persetujuan RUPS terkait peleburan perseroan
sama dengan kuorum dalam rangka penggabungan perseroan di atas, dengan
mengacu pada Pasal 87 dan 89 UUPT.
 Kreditor berhak mengajukan keberatan terhadap keputusan perseroan untuk melakukan
peleburan, sebagaimana dalam Pasal 127 ayat (4) UUPT.
 Rancangan Peleburan yang telah disetujui RUPS dituangkan dalam Akta Peleburan
yang dibuat di hadapan Notaris dalam bahasa Indonesia (Pasal 128 ayat (1) UUPT). Hal
yang membedakan dengan penggabungan perseroan adalah:
 Akta Peleburan ini menjadi dasar pembuatan akta pendirian perseroan hasil
peleburan. Artinya, segala hal-hal pokok yang ada di dalam Akta Peleburan harus
sesuai atau paling tidak menjiawai rumusan anggaran dasar perseroan hasil
peleburan.8
 Mengingat peleburarn merupakan perbuatan hukum untuk mendirikan suatu
perseroan terbatas yang baru, maka pendirian perseroan dilakukan sesuai
ketentuan sebagaimana dalam Pasal 7-14 UUPT. Pendirian perseroan hasil
peleburan harus diajukan pengesahan badan hukum dari Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia sesuai ketentuan Pasal 9 UUPT. Dengan demikian, berbeda halnya
dengan penggabungan perseroan, dalam peleburan tidak ada perubahan anggaran
dasar apapun karena pada dasarnya para pihak membentuk perseroan baru
dengan anggaran dasarnya sendiri. Pada saat mengajukan permohonan
pengesahan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, maka salinan Akta
Peleburan juga turut dilampirkan (Pasal 130 UUPT).

7
Ibid, hlm. 501.
8
Ibid, hlm. 505.

7
 Direksi wajib mengumukan hasil peleburan dalam minimal 1 (satu) surat kabar (Pasal
133 ayat (1) UUPT). Kewajiban ini bersifat imperatif.

C. Pengambilalihan

Penggabungan, peleburan, dan pemisahan perseroan pada dasarnya merupakan


restrukturisasi perseroan yang berkaitan dengan status, kedudukan, dan eksistensi badan
hukum dari perseroan tersebut. Melalui penggabungan, peleburan, maupun pemisahan
perseroan maka dapat terjadi pembentukan perseroan terbatas yang baru, pengakhiran
status badan hukum perseroan tertentu, dan/atau penggabungan aktiva/pasiva perseroan
kepada perseroan lain sehingga keduanya bersatu dalam satu badan hukum tertentu.
Namun dalam hal pengambilalihan, yang terjadi adalah perubahan susunan pemegang
saham perseroan terbatas dengan dilakukannya pengambilalihan saham sehingga
menyebabkan berubahnya pengendalian terhadap perseroan.

Pasal 1 angka 11 UUPT dan Pasal 1 angka 3 PP 27/1998 menyatakan bahwa


pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang
perorangan untuk mengambil alih saham perseroan sehingga berakibat pada beralihnya
pengendalian atasa saham tersebut. Dari definisi ini, pengambilalihan yang dimaksud adalah
peralihan atas saham. Peralihan saham tersebut haruslah dilakukan secara signifikan
sehingga pengendalian atas perseroan terbatas beralih. Apabila saham yang beralih hanya
sebagian kecil saham, maka tidak cukup untuk dikatakan sebagai pengambilalihan menurut
UUPT dan PP 27/1998 dikarenakan tidak adanya perubahan pengendalian atas perseroan.
Dengan kata lain, kuantitas saham perseroan yang dapat diambil alih, bisa “seluruhnya” atau
“sebagian besar”.9 Pengambilalihan saham ini dikenal juga dengan istilah akuisisi.

Contoh sederhananya, saham PT. X dimiliki oleh A dengan persentase sebesar 50%
dan B dengan persentase sebesar 50%. Apabila C hendak melakukan pengambilalihan
saham, maka C harus mengambilalih saham sehingga memiliki setidaknya 51% dari total
saham dengan hak suara.

Seperti halnya penggabungan, peleburan, dan pemisahan perseroan terbatas,


pengambilalihan juga perlu memperhatikan kepentingan terkait sebagaimana dalam Pasal
126 ayat (1) UUPT. Namun perlu diperhatikan bahwa pengambilalihan tidak dapat
menyebabkan suatu perseroan terbatas hanya dimiliki oleh 1 (satu) pemegang saham.

Pihak yang mengambil alih saham dapat berupa orang perseorangan maupun badan
hukum (Pasal 125 ayat (2) UUPT), hal mana sah secara hukum mengingat pemegang

9
Ibid, hlm. 508.

8
saham atas suatu perseroan terbatas juga dapat berupa orang perorangan maupun
badan hukum. Pengambilalihan saham oleh perseroan terbatas harus disertai dengan
keputusan RUPS dari perseroan yang akan mengambil alih saham perseroan terbatas
lainnya tersebut 9Pasal 124 ayat (4) UUPT). RUPS tersebut harus memenuhi kuorum
sebagaimana ditentukan dalam perundang-undangan maupun anggaran dasar dari
perseroan terbatas yang bersangkutan.

Menurut Pasal 125 ayat (1) UUPT, pengambilalihan dilakukan dengan cara
pengambilalihan saham yang telah dikeluarkan dan/atau akan dikeluarkan, baik itu melalui
Direksi Perseroan atau langsung dari pemegang saham yang bersangkutan. Dari ketentuan
ini, dapat disimpulkan bahwa saham yang diambil alih dapat berupa saham dari modal
yang telah ditempatkan atau disetor, maupun saham portepel dari sisa modal dasar
yang belum ditempatkan dan disetor. Apabila pengalihan saham dilakukan, maka pihak
yang hendak mengambil alih dapat melakukan perbuatan hukum dengan pemegang saham
yang bersangkutan secara langsung ataupun dengan Direktur dari perseroan.

Pengambilalihan saham perseroan melalui/dengan Direksi dilakukan dengan tahapan


sebagai berikut (Pasal 126 dan Pasal 127 UUPT) : 1) Pihak yang akan mengambilalih
menyampaikan maksudnya kepada Direksi, 2) Direksi menyusun Rancangan
Pengambilalihan yang wajib disetujui oleh Dewan Komisaris, 3) Ringkasan Rancangan
Pengambilalihan wajib dilakukan pengumuman dalam minimal 1 (satu) surat kaabr serta
kepada karyawan, 4) Rancangan Pengambilalihan harus disetujui RUPS melalui keputusan
yang ditetapkan sesuai kuorum yang ditentukan, 5) Kreditor berhak mengajukan keberatan
atas rencana pengambilalihan tersebut, 6) Apabila sudah disetujui RUPS, maka Rencana
Pengambilalihan itu dituangkan dalam Akta Pengambilalihan secara notariil dalam bahasa
Indonesia, 7) Salinan Akta Pengambilalihan turut dilampirkan dalam penyampaian
pemberitahuan terkait perubahan anggaran dasar perseroan terbatas kepada Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Apabila pengambilalihan saham dilakukan langsung dengan pemegang saham yang


bersangkutan, maka terdapat beberapa proses yang tidak perlu dilakukan dan ada beberapa
proses yang harus dilakukan. Lain halnya apabila pengambilalihan saham dilakukan
melalui/dengan Direksi perseroan, pihak yang hendak mengambil alih tidak perlu
menyampaikan maksud pengambilalihan kepada Direski dan tidak perlu dibuatkan
Rancangan Pengambilalihan (sesuai ketentuan Pasal 125 ayat (7) UUPT). Apabila
pengambilalihan langsung dilakukan dengan pemegang saham, maka perlu memperhatikan
ketentuan perundang-undangan dan anggaran dasar perseroan tentang pemindahan hak
atas saham (sebagaimana dalam Pasal 56 UUPT). Pihak yang hendak mengambil alih dan
pemegang saham mengadakan perundingan dan mengeluarkan Rencana Kesepakatan
Pengambilalihan yang wajib diumumkan (Pasal 127 ayat (8) UUPT). Sama halnya seperti

9
pengambilalihan saham melalui/dengan Direktur, Rencana Kesepakatan Pengambilalihan
tersebut dituangkan dalam Akta Pengambilalihan. Namun, sebagaimana dikemukakan juga
oleh Yahya Harahap, karena pengambilalihan ini dilakukan dengan pemegang saham, maka
dapat dikatakan juga sebagai “Akta Pemindahan Hak Atas Saham”.10 Akta tersebut perlu
dilampirkan pada saat penyampaian pemberitahuan kepada Menteri. Direksi perseroan
terbatas yang sahamnya diambil alih wajib mengumumkan hasil pengambil alihan dalam 1
(satu) surat kabar atau lebih sebagaimana dalam Pasal 133 ayat (2) UUPT.

D. Pemisahan Perseroan

Salah satu bentuk restrukturisasi yang terakhir adalah pemisahan perseroan.


Pemisahan perseroan ini diatur dalam UUPT namun sebelumnya tidak diatur dalam
Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 1 Tahun 1995 maupun PP 27/1998.
Pemisahan perseroan, menurut Pasal 1 angka 12 UUPT, pada dasarnya adalah perbuatan
hukum yang dilakukan oleh perseroan untuk memisahkan usaha yang mengakibatkan
seluruh aktiva dan pasiva perseroan beralih karena hukum kepada dua atau lebih perseroan,
maupun sebagian aktiva dan pasiva perseroan beralih karena hukum kepada satu atau lebih
perseroan. Dari definisi ini, dapat disimpulkan bahwa:
 Yang dipisahkan melalui pemisahan ini adalah usaha dari Perseroan sehingga seluruh
atau sebagian aktiva maupun pasiva teralihkan.11
 Dari segi pengalihan aktiva dan pasiva tersebut, terdapat 2 (dua) macam yakni:
pengalihan seluruh aktiva terhadap 2 (dua) perseroan atau lebih dan pengalihan
sebagian aktiva/pasiva kepada 1 (satu) perseroan atau lebih. Dari perbedaan ini dapat
disimpulkan bahwa:
 Pengalihan seluruh aktiva/pasiva kepada 2 (dua) atau lebih perseroan berarti
bahwa pemisahan tersebut membentuk setidaknya 2 (dua) perseroan yang
berbeda dan eksistensi perseroan yang semula berakhir demi hukum. Hal ini
mengakibatkan seluruh aktiva/pasiva itu senyatanya beralih pada 2 (dua)
perseroan atau lebih. Pemisahan semacam ini dikenal dengan pemisahan murni
(Pasal 135 ayat (2) UUPT). Contohnya adalah, PT XY melakukan pemisahan murni,
sehingga muncul 2 (dua) perseroan terbatas yang berbeda yakni PT. X dan PT. Y.
Aktiva beserta pasiva dari PT. XY beralih kepada PT. X maupun PT. Y selaku
perseroan-perseroan hasil pemisahan murni dari PT. XY tersebut. PT. XY tidak lagi
eksis secara hukum.
 Sedangkan, apabila sebagian aktiva/pasiva beralih kepada 1 (satu) atau lebih
perseroan maka artinya perseroan tersebut tidak sepenuhnya terpisah menjadi 2
(dua) perseroan yang berbeda. Sebagian dari perseroan tersebut memisahkan diri
dan membentuk perseroan dengan nama serta eksistensi hukum tersendiri. Akan

10
Ibid, hlm. 518.
11
Ibid, hlm. 521.

10
tetapi, perseroan yang lama tetap berdiri secara hukum. Oleh karenanya, sesuai
apabila dikatakan bahwa hanya sebagian aktiva/pasiva yang beralih ke 1 (satu)
atau lebih perseroan lainnya. Pemisahan semacam ini dikenal dengan pemisahan
tidak murni (Pasal 135 ayat (3) UUPT). Pemisahan tidak murni lazim disebut
spinoff (Penjelasan Pasal 135 ayat (1) huruf b UUPT). Sebagai contoh, PT. AB
melakukan pemisahan murni sehingga membentuk PT. C. Dengan demikian,
terdapat PT. AB dan perseroan hasil pemisahannya yakni PT. C, dimana PT. AB
masih berdiri sebagai badan hukum. Oleh karena pemisahan tersebut, maka
sebagian dari aktiva beserta pasiva PT. AB beralih kepada PT.C. Dari ilustrasi ini,
dapat dilihat bahwa dalam pemisahan tidak murni hanya sebagian aktiva/pasiva
yang diberikan dan aktiva/pasiva tersebut dapat diserahkan ke satu
perseroan terbatas saja, keduanya dikarenakan perseroan terbatas yang
semula masih berdiri.

Seperti halnya penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan, pemisahan juga perlu


dilakukan dengan terlebih dahulu memperhatikan kepentingan perseroan itu sendiri,
pemegang saham minoritas, karyawan perseroan, kreditor, mitra usaha, masyarakat, dan
persaingan sehat (Pasal 126 ayat (1) UUPT).

Prosedur pelaksanaan pemisahan perseroan pada dasarnya sama seperti untuk


penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan. Tahapan tersebut pada pokoknya adalah
sebagai berikut:
 Direksi wajib membuat Rancangan Pemisahan dan mengumumkannya dalam minimal 1
(satu) surat kabar serta diumumkan pula kepada karyawan (Pasal 127 ayat (2) UUPT).
 Pemisahan perseroan harus dilakukan dengan persetujuan RUPS. Kuorum untuk
persetujuan RUPS tersebut adalah: 1) minimal dihadiri oleh 3/4 dari seluruh saham
dengan jumlah suara, dan 2) disetujui oleh paling sedikit 3/4 dari seluruh saham yang
memberikan suara, sebagaimana dalam Pasal 89 UUPT.
 Kreditor berhak mengajukan keberatan atas Rancangan Pemisahan (Pasal 127 ayat (4)
UUPT).
 Rancangan Pemisahan yang telah disetujui RUPS dituangkan dalam Akta Pemisahan
secara notariil yang berbahasa Indonesia (Pasal 128 ayat (1) UUPT).
 Pemegang saham yang tidak setuju atas pemisahan dapat meminta kepada perseroan
agar sahamnya dibeli dengan harga yang wajar atau setidaknya mengusahakan agar
saham dibeli oleh pihak ketiga (apabila pembelian kembali saham akan melebihi batas
ketentuan pembelian kembali). Hal itu diatur dalam Pasal 126 ayat (2) UUPT.
Pelaksanaan hak pemegang saham itu tidak menghentikan proses pemisahan (Pasal
126 ayat (3) UUPT).

11

Anda mungkin juga menyukai