Anda di halaman 1dari 12

TATA CARA BERSUCI & SHOLAT SAAT HAJI/UMROH

Oleh: Muhammad Nur Hadi

‫بسم هللا الرمحن الرحي‬


‫ و عىل ءاهل و‬. ‫ س يدان و موالان محمد بن عبد هللا‬. ‫ و مصليا و مسلام عىل رسول هللا‬. ‫حامدا هلل‬
‫ أما بعد‬. ‫حصبه و من والاه‬

Banyak orang yang sering bertanya-tanya tentang bagaimana tata cara bersuci dan sholat saat
melaksanakan ibadah haji dan umroh. Mengingat kondisi yang ada di tanah suci Mekah atau Madinah
berbeda dengan kondisi yang ada di tanah air negara Indonesia. Masyarakat Indonesia yang telah
terbiasa bersuci dan sholat di tanah kampung halamannya menggunakan tata cara versi Madzhab
Syafi’I akan kesulitan jika tetap berpegang menggunakan versi ini di tanah suci Mekah atau Madinah
saat melangsungkan ibadah haji/umroh atau saat kesempatan lain di sana. Kondisi sosial dan
keberadaan Masjidil Haram sebagai tempat berkumpulnya manusia dari berbagai macam kalangan
dan madzhab saling bertemu dan berkumpul di tempat mulia tersebut.

Dari pandangan yang seperti demikian maka penting untuk bisa menjelaskan kepada
masyarakat muslimin yang akan berangkat ke tanah suci, terutama bagi mereka yang akan
melaksanakan ibadah haji/umroh, supaya mengerti tentang tata cara bersuci dan sholat
menggunakan versi madzhab selain madzhab Imam Syafi’I yang sekiranya mudah dan ringan untuk
digunakan dalam menyesuaikan kondisi yang ada di sana. Hal ini biasa diistilahkan dengan sebutan
intiqol madzhab atau berpindah madzhab dari madzhab yang biasa digunakan kepada madzhab lain
kerena tuntutan situasi dan kondisi seorang muslim itu berada.

Maka, kami berupaya mencurahkan segenap kemampuan untuk menulis ringkasan kecil ini
dalam rangka menjelaskan bagaimana tata cara bersuci dan sholat yang bisa digunakan saat berada
di tanah suci Mekah dan Madinah menggunakan versi madzhab selain madzhab Imam Syafi’i. sebab
dalam hal intiqol madzhab perlu adanya pemahaman tentang seperangkat aturan dan hukum yang
berkaitan dengan madzhab yang akan digunakan. Sekaligus bagaimana aturan yang harus
diperhatikan saat akan melakukan intiqol madzhab. Tentunya kami merujuk dan merangkum
keterangan para ulama` kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah yang menerangkan perihal masalah ini,
seperti karya tulis (baca: kitab. red) al-Syaikh al-Qorrofi, al-Syaikh al-Samhudi, al-Syaikh al-Hafnawi,
atau ulama` lainnya yang memang buah karya tulis beliau semuanya berkaitan dengan pembahasan
dalam hal dan masalah ini.

Mudah-mudahan tulisan kecil kami ini bisa membantu segenap muslimin yang akan
melakukan intiqol madzhab dalam hal bersuci dan sholat, atau bahkan dalam hal-hal yang lain saat
kondisi yang ada memang menuntut untuk melakukan intiqol madzhab. Hanya kepada Alloh SWT
kami meminta pertolongan serta bimbingan dalam menjalankan amanat ilmu ini. Semoga Alloh SWT
berkenan menerima amal kami ini dan menjadikan hati kami tulus ikhlas hanya karena-Nya dalam
melakukan segala tindakan amal sholeh. Amal yang kecil ini mudah-mudahan bisa menjadi penyebab
kami mampu menyenangkan hati kekasih kami, junjungan kami, panutan kami, Nabi Besar
Muhammad SAW, aamiin.

Malang, Ahad 22 Rojab 1445/4 Februari 2024

Muhammad Nur Hadi


A. Kondisi Di Tanah Suci
Saat kita berada di daerah lain (selain Indonesia) tak jarang kita akan menemui kondisi
masyarakat muslim yang ada di sana berbeda dengan kondisi yang biasa kita temui di tanah
kelahiran kita sendiri, termasuk di antaranya adalah saat kita berada di tanah haram Mekah
atau Madinah. Maksud dari kondisi yang berbeda adalah; masyarakat setempat beribadah
dengan tata cara yang tidak sama dengan kebiasaan beribadah yang kita laksanakan atau
gunakan di tanah kelahiran kita sendiri. Mengingat karena memang madzhab yang berbeda
dan masyarakat setempat menggunakan madzhab yang berbeda tersebut.
Demikian pula saat kita berada di tanah haram Mekah atau Madinah ketika
melaksanakan ibadah haji/umroh dengan kondisi begitu banyaknya manusia yang berkumpul
di tempat itu dari berbagai macam kalangan, dengan berbagai macam latar belakang yang
berbeda-beda.
Dalam semua rentetan ibadah haji/umroh hanya ada satu ibadah yang disyaratkan
untuk supaya dilakukan dalam keadaan suci, yaitu saat melakukan thowaf. Sedangkan thowaf
sebanding dan setara dengan ibadah sholat dalam hal ketentuan-ketentuan yang harus
dipatuhi. Berbeda dengan rentetan ibadah haji/umroh lainnya, pada dasarnya tidak
disyaratkan harus dalam keadaan suci (memiliki wudhu) saat melakukannya. Seperti wuquf di
Arofah, sa’I, mabit di tanah Muzdalifah atau Mina, lempar jumroh atau lainnya.
Ketika melaksanakan thowaf/sholat harus dalam keadaan suci, sedangkan kondisi
yang ada di sana ramai manusia, laki-laki maupun perempuan berjubel di mathof (tempat
thowaf) atau Masjidil Haram, dan sangat sulit sekali menghindari sentuhan dengan lawan
jenis yang bukan mahrom, maka sangat sulit pula menjaga dan mempertahankan supaya tidak
batal wudhu saat melakukan thowaf/sholat jika kita menggunakan tata cara bersuci versi
Madzhab Imam Syafi’i. Sebab, menurut ketentuan yang ada dalam Madzhab Imam Syafi’I saat
terjadi sentuhan antara kulit laki-laki dengan perempuan yang bukan mahrom (termasuk
istri), baik ada syahwat atau tidak, disengaja atau tidak, itu bisa berdampak pada batalnya
wudhu. Sehingga jika ditengah pelaksanaan sholat atau thowaf terjadi batal wudhu maka itu
akan sangat merepotkan pelaku sholat atau thowaf karena harus mengulang sholat atau
thowafnya sedangkan jika akan wudhu lagi maka perlu berjalan ke tempat yang jauh untuk
bisa sampai ke toilet umum yang ada.
Oleh sebab itu, perlu melakukan intiqol madzhab yang sekiranya tidak membatalkan
wudhu saat terjadi sentuhan antara lawan jenis bukan mahrom di mathof atau Masjidil Haram
supaya tidak merepotkan bagi pelaku ibadah haji/umroh saat thowaf atau sholat.

B. Ketentuan Intiqol Madzhab


Dalam hal melakukan intiqol madzhab tidak boleh hanya sekedar berpindah madzhab
begitu saja tanpa memperhatikan aturan dan ketentuan yang telah diajarkan oleh para
ulama`. Setiap orang yang akan melakukan intiqol madzhab wajib mengetahui aturan dan
ketentuan yang ada. Sebab, jika tidak mengetahui dan melakukan ketentuan-ketentuan
tersebut maka besar kemungkinan dia akan terjerumus pada hal yang justru membatalkan
ibadah atau perilaku yang sedang dia lakukan. Sehingga akan menjerumuskan dia dalam dosa
sedangkan dia merasa telah melakukan amal sholeh yang baik padahal keliru dalam
pelaksanaannya. Ini merupakan tindakan yang diharamkan dalam syariat Islam.
Ketentuan dalam intiqol madzhab – sebagimana hal ini dijelaskan oleh al-Syaikh
Ahmad Dahlan al-Tarmasi dalam buah karya beliau; Fath al-Majid fii Bayan al-Taqlid – adalah
sebagai berikut:
a. Madzhab yang akan dia ikuti harus madzhab yang telah diakui oleh seluruh ulama` (bukan
madzhab yang diperselisihkan boleh diikuti atau tidak)
b. Orang yang akan melakukan tindakan versi madzhab yang dia inginkan harus
memperhatikan dan melaksanakan segala persyaratan yang ada dalam madzhab tersebut
c. Tindakan intiqol madzhab tersebut bukan kepada keputusan madzhab lain yang
bertentangan dengan ijma’
d. Tindakan intiqol madzhab itu bukan atas dasar mencari-cari keringanan madzhab lain
dalam amaliyah yang akan dia lakukan
e. Tidak melakukan talfiq, yaitu melakukan dua versi madzhab yang bertentangan dalam
satu tindakan dan masing-masing keputusan madzhab – madzhab pertama yang dia pakai
dan madzhab kedua yang dia berpindah padanya – sama-sama menyatakan batal.

• Penjelasan Masing-masing Syarat:


a. Madzhab yang akan dia ambil haruslah madzhab yang memang telah diakui oleh
seluruh ulama` dan memang dipersilahkan untuk diikuti atau dipakai, yaitu salah satu
dari empat madzhab yang ada; Madzhab Syafi’I, Madzhab Maliki, Madzhab Hanbali
atau Madzhab Hanafi. Madzhab-madzhab tersebut diperbolehkan untuk diikuti sebab
memiliki pencatatan rumusan yang akurat sejak zaman dahulu hingga sekarang yang
terus dilestarikan oleh para ulama` yang ada di dalam masing-masing madzhab. Dia
tidak boleh berpindah kepada madzhab yang masih diperdebatkan, telah hilang
catatan perincian rumusannya atau telah diakui kesalahannya sebab telah keluar dari
ijma’ empat madzhab. Seperti Madzhab Imam Ja’far Shodiq, Madzhab Imam Sufyan bin
Uyainah, Madzhab Imam Daud al-Dzohiri atau madzhab-madzhab yang seperti itu.
Madzhab-madzhab ini dianggap telah hilang atau sekedar masih diperselisihkan
apakah boleh diikuti atau tidak sebab tidak ada pencatatan yang akurat dari para
pengikut madzhab-madzhab tersebut. Sehingga sangat dikhawatirkan bisa
menjerumuskan pelakunya kepada suatu tindakan yang tidak berdasar pada ilmu yang
matang.
b. Setiap orang muslim yang akan melakukan intiqol madzhab harus mengerti dan
melakukan segala persyaratan yang berlaku pada madzhab yang akan dia ikuti. Sebab
dalam meaksanakan setiap tindakan – terutama dalam hal ibadah – haruslah sesuai
dengan ketentuan yang berlaku. Jika tidak memenuhi hal ini maka kemungkinan besar
dia akan terjerumus pada suatu tindakan yang sebenarnya membatalkan ibadah yang
sedang atau akan dia lakukan. Oleh sebab itu, hukumnya wajib bagi setiap orang yang
akan melakukan suatu tindakan, baik berupa perbuatan ibadah atau bukan, terlebih
lagi akan melakukan intiqol madzhab supaya belajar dan mengaji bagaimana ilmu
tentang tindakan yang akan dia ambil. Al-Imam Izzuddin bin Abdissalam menyebutkan
dalam kitabnya yang berjudul Qowa’idul Ahkam bahwa orang yang menyengaja
melakukan suatu tindakan tertentu namun dia masih belum mengetahui bagaimana
hukum-hukum Alloh SWT tentang tindakan tersebut maka orang ini dianggap berdosa
sebab sengaja tidak mengkaji ilmu tentang tindakan tersebut.
c. Tindakan intiqol terhadap keputusan madzhab lain yang akan dia ambil tidak boleh
bertentangan dengan ijma’ para ulama`. Demikian juga tidak boleh berpindah madzhab
kepada keputusan yang telah nyata-nyata dibatalkan oleh keputusan hakim. Contoh
seperti tindakan menghilangkan khiyar majelis saat melakukan akad jual-beli,
mengharuskan qishosh kepada seorang muslim yang telah membunuh orang kafir
walaupun kafir dzimmi, membolehkan akad nikah syighor (wali nikah membolehkan
calon menantunya menikah dengan putrinya dengan syarat si wali juga dinikahkan
dengan saudari calon menantu), kawin kontrak, menikahi perempuan yang telah
ditinggal minggat suaminya, membolehkan meminjam budak perempuan milik teman
untuk dijimak, membolehkan suami menikahi istrinya yang telah dilatak tiga oleh
suami, kebolehan makan/minum saat bulan romadhon selama belum terbit matahari,
atau keputusan-keputusan madzhab selain itu yang telah diakui ketidak benarannya
oleh para ulama` sedari dulu hingga sekarang.
d. Intiqol madzhab tidak boleh dalam rangka mencari-cari keringanan dalam madzhab
lain. Sebab dia merasa bahwa keputusan madzhab yang sedang dia anut merupakan
keputusan yang dirasa berat lalu dia mencari pendapat dalam madzhab lain supaya bisa
ringan dalam menjalankan amaliyah. Hal ini dilakukan bukan dalam rangka tuntutan
kondisi, namun karena keinginan pribadi semata supaya bisa ringan dalam melakukan
amaliyah. Hal ini biasa diistilahkan dengan sebutan tatabbu’ur rukhosh. Contoh
misalkan; dalam kondisi yang normal dia menikahi seorang perempuan tanpa
menggunakan wali nikah (mengikuti keputusan Madzhab Hanafi yang tidak
mensyaratkan harus ada wali nikah dalam akad pernikahan) atau menikah tanpa
adanya saksi (mengikuti keputusan Madzhab Maliki yang tidak mengharuskan adanya
saksi nikah dalam akad pernikahan) padahal dia penganut Madzhab Imam Syafi’I dan
masih mudah untuk bisa menikah dengan adanya wali si perempuan atau mudah
menghadirkan saksi nikah dalam akad nikahnya. Menurut al-Syaikh Ibn Hajar al-
Haitami pelaku tatabbu’ur rukhosh adalah fasik, namun menurut al-Syaikh al-Romli
pelakunya tidak sampai fasik walaupun berdosa.
e. Dalam melakukan suatu tindakan ibadah tidak boleh bertalfiq, yaitu menggabungkan
dua keputusan madzhab yang berbeda dalam satu bentuk ibadah. Sehingga
memunculkan satu bentuk ibadah yang sama sekali tidak pernah disetujui oleh kedua
madzhab yang berbeda tersebut. Contoh seperti berwudhu menggunakan versi
Madzhab Imam Syafi’I (sebab dianggap ringan karena tidak harus menggosok anggota
wudhu serta tidak harus mengusap semua kepala) namun dia bebas menyentuh orang
perempuan bukan mahrom – tanpa syahwat – dengan dalih itu merupakan keputusan
Madzhab Imam Malik (sebab dianggap ringan bisa bebas bersentuhan dengan lawan
jenis bukan mahrom dibandingkan dengan keputusan Madzhab Imam Syafi’I yang
menyatakan batal wudhu saat bersentuhan dengan lawan jenis bukan mahrom).
Padahal menurut Imam Syafi’I dia dianggap batal wudhu sebab bersentuhan dengan
lawan jenis bukan mahrom, dan dia juga batal wudhu sebab dia berwudhu tanpa
menggosok anggota wudhu dan tidak mengusap semua bagian kepala. Sehingga dia
tetap batal wudhu menurut kedua madzhab. Contoh lain lagi seperti menikah tanpa
ada wali dan saksi nikah. Dia meniadakan wali nikah dengan dalih itu keputusan
Madzhab Hanafi, dan meniadakan saksi nikah dengan dalih itu keputusan Madzhab
Imam Malik. Padahal pernikahan yang seperti itu tidak pernah disetujui oleh kedua
madzhab. Sebab Imam Abu Hanifah mensyaratkan harus ada saksi, sedangkan Imam
Malik mensyaratkan harus ada wali nikah. Sehingga pernikahan tersebut adalah tidak
sah menurut kedua madzhab.

Melihat ketentuan yang seperti demikian, dan kita fokus kepada pembahasan tentang
pelaksanaan bersuci dan sholat saat berada di tanah haram Mekah dan Madinah, maka sangat
penting sekali kita mengerti bagaimana ketentuan versi madzhab selain Madzhab Imam Syafi’I
sebab sulit mengamalkan versi Madzhab Imam Syafi’I dalam kondisi saat haji/umroh.
Diantaranya adalah bagaimana mempelajari tata cara bersuci menurut versi Madzhab Imam
Malik, dan menjadi otomatis harus melakukan sholat dengan versi madzhab beliau karena
sholat atau thowaf disyaratkan harus dalam keadaan suci. Sehingga juga sejalan dengan
ketentuan batal-batalnya wudhu dan sholat/thowaf menurut versi Madzhab Imam Malik.

C. Bersuci Dalam Madzhab Imam Malik


Karena berthowaf dan sholat disyaratkan harus dalam keadaan suci dari hadats atau
benda najis maka kita harus mengerti bagaimana ketentuan hadats dan najis menurut
pandangan Madzhab Imam Malik, sekaligus juga tata cara mensucikan tubuh dari hadats dan
najis.
Hadats dalam pandangan Madzhab Imam Malik adalah suatu pencegah dari kebolehan
melakukan sholat atau yang semacam sholat, yang bersifat abstrak, sekiranya tidak ada
rukhshoh dalam menjalankan sholat dengan hadats. Hadats dua macam, yaitu:
a. Hadats yang ada pada seluruh anggota tubuh sehingga mewajibkan mandi besar.
b. Hadats yang ada pada sebagian anggota tubuh sehingga mewajibkan berwudhu.

Najis atau dalam Madzhab Imam Malik lebih sering disebut dengan khobats adalah
segala macam benda yang dianggap menjijikkan dalam pandangan syariat dan bisa
menyebabkan sholat seseorang tidak sah jika benda khobats tersebut menempel pada badan,
pakaian atau tempat sholat, sekiranya tidak ada keringanan dalam melaksanakan sholat
bersama benda khobats.

Benda najis/khobats dalam Madzhab Imam Malik adalah: bangkai hewan darat yang
memiliki darah mengalir (termasuk juga tulang hewan), air liur anjing dan babi, rontokan bulu
anjing dan babi, segala benda cair yang memabukan, telur yang telah menjadi darah, semua
benda yang secara umum keluar dari dua jalur kemaluan manusia atau hewan (termsuk juga
mani manusia) kecuali kotoran hewan yang halal dimakan, ASI perempuan yang telah
meninggal, anggota tubuh hewan yang haram dimakan yang terpotong saat hidup walaupun
tanduk, kuku, taring hewan, nanah, cairan basah yang ada di farji perempuan, asap benda
najis, air genangan di jalan ketika banyak benda najis di genangan air saat musim hujan, tanah
basah karena air najis saat mengena pakaian orang perempuan bagian bawah jika pakaian itu
memanjang ke bawah bukan untuk menutup aurot – seperti memanjangkan pakaian demi
supaya terlihat megah atau sekedar mempercantik penampilan.

• Mensucikan badan, pakaian dan tempat sholat/thowaf dari benda najis/khobats


menurut sebagian Ulama` Malikiyah adalah wajib ketika dia ingat dan mampu
mensucikan. Sehingga ketika ada orang yang akan melakukan sholat/thowaf namun di
badan, pakaian atau tempatnya ada benda najis, sedangkan dia lupa atau tidak
mampu mensucikannya maka sholatnya sah. Hanya saja dia disunnahkan untuk
mengulang sholat tersebut.
• Mensucikan badan, paakaian dan tempat dari benda-benda najis/khhobats harus
menggunakan air mutlak.
• Air mutlak adalah air yang memenuhi dua syarat: 1) air yang tetap dalam kondisi
aslinya diciptakan tanpa tercampuri oleh benda lain – walaupun suci – yang bisaa
merubah warna, bau dan rasanya. Air mutlak seperti air laut, air sumur, air embun,
dan seterusnya.

Bersuci dari hadats ada dua macam: 1) bersuci menggunakan air, 2) dan bersuci
menggunakan debu – tayammum.

Bersuci dari hadats yang menggunakan air terjadi pada dua keadaan: 1) saat terkena
hadats kecil – wajib berwudhu, 2) dan saat terkena hadats besar – wajib mandi besar.
Jika sekiranya tidak menemukan air, atau ada air namun dibutuhkan untuk minum
guna menyambung hidup maka diperbolehkan mmengganti wudhu atau mandi menjadi
tayammum.

Sayarat wudhu ada tiga macam, yaitu:

1. Syarat sah wudhu ada 3:


a. Islam
b. Tidak ada penghalang air di anggota wudhu
c. Tidak ada tindakan atau kejadian yang membatalkan wudhu. Seperti buang angin, air
kencing atau air besar saat pertengahan wudhu.
2. Syarat wajib wudhu ada 4:
a. Telah masuk waktu sholat
b. Baligh
c. Mampu melakukan wudhu, sekiranya dia tidak dalam kondisi sakit
d. Benar-benar terjadi hal yang membatalkan wudhu sebelumnya.
3. Syarat wajib dan sah ada 4:
a. Waras akal
b. Tidak dalam keadaan haid atau nifas
c. Ada air mutlak yang mencukupi untuk digunakan berwudhu
d. Tidak dalam keadaan tidur atau melamun.

Rukun-rukun wudhu ada 7:

a. Niat
b. Berkelanjutan/muwalah
c. Menggosok anggota wudhu saat membasuh dengan air
d. Membasuh wajah
e. Membasuh kedua tangan hingga kedua siku
f. Mengusap semua bagian kepala
g. Membasuh kedua kaki hingga kedua mata kaki.

Beberapa hal penting yang harus diperhatikan saat berwudhu menggunakan Madzhab
Imam Malik:
• Wajib berniat saat permulaan wudhu (yaitu saat membasuh wajah) dengan niat
untuk menghilangkan hadats.
• Membasuh kedua telapak tangan, berkumur, memasukkan air ke hidung serta
mengeluarkannya adalah masuk dalam kategori sunnah-sunnah wudhu. Namun
hal itu bisa dianggap telah melakukan kesunnahan wudhu jika diniati melakukan
kesunnahan wudhu. Jika tidak diniati melakukan kesunnahan wudhu maka tidak
mendapat pahala sunnah wudhu.
• Dalam Madzhab Imam Malik tidak disyaratkan selalu dalam keadaan sadar bahwa
dirinya sedang melakukan wudhu. Namun hanya cukup tidak ada keniatan untuk
memutuskan wudhu yang sedang dia lakukan. Berbeda dengan keputusan yang
ada pada Madzhab Imam Syafi’I yang mewajibkan adanya kesadaran jiwa dan
pikiran bahwa dia dalam keadaan wudhu.
• Menggosokkan tangan pada anggota wudhu saat dibasuh atau diusap merupakan
perilaku yang wajib dilaksanakan. Maksud menggosokkan tangan adalah
menjalankan telapak tangan pada anggota yang sedang dibasuh atau diusap.
Makruh apabila menggosok ini dilakukan berkali-kali atau menggosok dengan
kuat.
• Orang yang tidak sengaja memisahkan basuhan anggota wudhu (tidak muwalah)
maka dia boleh melanjutkan basuhan pada anggota berikutnya dengan niat
wudhu yang baru.
• Jika dia memisahkan basuhan anggota wudhu sebab ketidakmampuan – sakit,
atau airnya tumpah, maka dia cukup melanjutkan basuhan wudhu anggota
berikutnya tanpa harus mengulang niat.
• Jika ada orang yang dengan sengaja tidak muwalah, dan dalam durasi yang
dianggap lama maka dia wajib mengulangi wudhu dari pertama.
• Jika ada orang yang memiliki kumis atau jenggot tebal maka dia tidak wajib
memaksakan air wudhu supaya sampai ke kulit wajah. Dia cukup mengusap
bagian luar kumis atau jenggot supaya air bisa masuk ke bagian dalam
kumis/jenggot.
• Wajib mengusap semua bagian kepala. Baik ada rambut atau tidak ada rambut
kepala, baik rambut kepalanya itu pendek atau panjang, baik laki-laki atau
perempuan.
• Jika rambut miliknya itu tertali maka tidak wajib membuka pengikat rambut.
• Jika dia menggunakan cincin yang diperbolehkan untuk dipakai secara syariat
maka tidak wajib menggerak-gerakkan cincin tersebut saat berwudhu walaupun
cincin tersebut sempit atau kecil. Namun jika cincin yang dia gunakan itu masuk
dalam kategori cincin yang haram untuk digunakan maka wajib melepaskannya
jika sempit, atau menggerak-gerakkan cincin jika tidak sempit, saat wudhu.
D. Pembatal Wudhu Madzhab Imam Malik
Setelah kita mengenal sekelumit hal yang wajib diketahui dalam masalah berwudhu
menurut versi Madzhab Imam Malik, maka juga penting untuk mengetahui hal apa saja yang
bisa membatalkan wudhu menurut versi Madzhab Imam Malik.
Dalam Madzhab Imam Malik hal yang membatalkan wudhu terbagi menjadi 3
kelompok. Masing-masing kelompok memiliki beberapa gambaran pembatal wudhu, yaitu:
1. Hadats, hadats ada 8 macam pembatal wudhu:
a. Kentut
b. Buang air besar
c. Buang air kecil
d. Keluar cairan madzi
e. Keluar cairan wadi
f. Keluar cairan mani tanpa disertai rasa enak
g. Keluar cairan ketuban
h. Keluar darah istihadhoh.

Enam hal pertama di atas bisa terjadi pada orang laki-laki dan perempuan. Sedangkan
dua hal terakhir hanya terjadi pada orang perempuan saja.

2. Penyebab batal wudhu, yaitu ada 7 macam:


a. Tidur
b. Mabuk karena minuman keras
c. Pingsan
d. Gila
e. Bersentuhan lawan jenis bukan mahrom – perempuan yang secara normal dianggap
cantik – dengan adanya tujuan syahwat dalam menyentuh atau adanya syahwat saat
bersentuhan
f. Berciuman antara suami – istri
g. Laki-laki menyentuh kemaluan sendiri walaupun menggunakan satir yang tipis
(adapun orang perempuan jika menyentuh kemaluan sendiri maka menurut
pendapat yang kuat tidak membatalkan wudhu. Kecuali jika sampai memasukkan jari
ke dalam farji, maka membatalkan wudhu).
3. Bukan hadats ataupun penyebab batal wudhu, ada 2 macam yaitu: 1) ragu-ragu tentang
apakah dia benar-benar berhadats atau belum, 2) murtad.
E. Sholat Dalam Madzhab Imam Malik
F. Pembatal Sholat Madzhab Imam Malik

Anda mungkin juga menyukai