Banyak orang yang sering bertanya-tanya tentang bagaimana tata cara bersuci dan sholat saat
melaksanakan ibadah haji dan umroh. Mengingat kondisi yang ada di tanah suci Mekah atau Madinah
berbeda dengan kondisi yang ada di tanah air negara Indonesia. Masyarakat Indonesia yang telah
terbiasa bersuci dan sholat di tanah kampung halamannya menggunakan tata cara versi Madzhab
Syafi’I akan kesulitan jika tetap berpegang menggunakan versi ini di tanah suci Mekah atau Madinah
saat melangsungkan ibadah haji/umroh atau saat kesempatan lain di sana. Kondisi sosial dan
keberadaan Masjidil Haram sebagai tempat berkumpulnya manusia dari berbagai macam kalangan
dan madzhab saling bertemu dan berkumpul di tempat mulia tersebut.
Dari pandangan yang seperti demikian maka penting untuk bisa menjelaskan kepada
masyarakat muslimin yang akan berangkat ke tanah suci, terutama bagi mereka yang akan
melaksanakan ibadah haji/umroh, supaya mengerti tentang tata cara bersuci dan sholat
menggunakan versi madzhab selain madzhab Imam Syafi’I yang sekiranya mudah dan ringan untuk
digunakan dalam menyesuaikan kondisi yang ada di sana. Hal ini biasa diistilahkan dengan sebutan
intiqol madzhab atau berpindah madzhab dari madzhab yang biasa digunakan kepada madzhab lain
kerena tuntutan situasi dan kondisi seorang muslim itu berada.
Maka, kami berupaya mencurahkan segenap kemampuan untuk menulis ringkasan kecil ini
dalam rangka menjelaskan bagaimana tata cara bersuci dan sholat yang bisa digunakan saat berada
di tanah suci Mekah dan Madinah menggunakan versi madzhab selain madzhab Imam Syafi’i. sebab
dalam hal intiqol madzhab perlu adanya pemahaman tentang seperangkat aturan dan hukum yang
berkaitan dengan madzhab yang akan digunakan. Sekaligus bagaimana aturan yang harus
diperhatikan saat akan melakukan intiqol madzhab. Tentunya kami merujuk dan merangkum
keterangan para ulama` kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah yang menerangkan perihal masalah ini,
seperti karya tulis (baca: kitab. red) al-Syaikh al-Qorrofi, al-Syaikh al-Samhudi, al-Syaikh al-Hafnawi,
atau ulama` lainnya yang memang buah karya tulis beliau semuanya berkaitan dengan pembahasan
dalam hal dan masalah ini.
Mudah-mudahan tulisan kecil kami ini bisa membantu segenap muslimin yang akan
melakukan intiqol madzhab dalam hal bersuci dan sholat, atau bahkan dalam hal-hal yang lain saat
kondisi yang ada memang menuntut untuk melakukan intiqol madzhab. Hanya kepada Alloh SWT
kami meminta pertolongan serta bimbingan dalam menjalankan amanat ilmu ini. Semoga Alloh SWT
berkenan menerima amal kami ini dan menjadikan hati kami tulus ikhlas hanya karena-Nya dalam
melakukan segala tindakan amal sholeh. Amal yang kecil ini mudah-mudahan bisa menjadi penyebab
kami mampu menyenangkan hati kekasih kami, junjungan kami, panutan kami, Nabi Besar
Muhammad SAW, aamiin.
Melihat ketentuan yang seperti demikian, dan kita fokus kepada pembahasan tentang
pelaksanaan bersuci dan sholat saat berada di tanah haram Mekah dan Madinah, maka sangat
penting sekali kita mengerti bagaimana ketentuan versi madzhab selain Madzhab Imam Syafi’I
sebab sulit mengamalkan versi Madzhab Imam Syafi’I dalam kondisi saat haji/umroh.
Diantaranya adalah bagaimana mempelajari tata cara bersuci menurut versi Madzhab Imam
Malik, dan menjadi otomatis harus melakukan sholat dengan versi madzhab beliau karena
sholat atau thowaf disyaratkan harus dalam keadaan suci. Sehingga juga sejalan dengan
ketentuan batal-batalnya wudhu dan sholat/thowaf menurut versi Madzhab Imam Malik.
Najis atau dalam Madzhab Imam Malik lebih sering disebut dengan khobats adalah
segala macam benda yang dianggap menjijikkan dalam pandangan syariat dan bisa
menyebabkan sholat seseorang tidak sah jika benda khobats tersebut menempel pada badan,
pakaian atau tempat sholat, sekiranya tidak ada keringanan dalam melaksanakan sholat
bersama benda khobats.
Benda najis/khobats dalam Madzhab Imam Malik adalah: bangkai hewan darat yang
memiliki darah mengalir (termasuk juga tulang hewan), air liur anjing dan babi, rontokan bulu
anjing dan babi, segala benda cair yang memabukan, telur yang telah menjadi darah, semua
benda yang secara umum keluar dari dua jalur kemaluan manusia atau hewan (termsuk juga
mani manusia) kecuali kotoran hewan yang halal dimakan, ASI perempuan yang telah
meninggal, anggota tubuh hewan yang haram dimakan yang terpotong saat hidup walaupun
tanduk, kuku, taring hewan, nanah, cairan basah yang ada di farji perempuan, asap benda
najis, air genangan di jalan ketika banyak benda najis di genangan air saat musim hujan, tanah
basah karena air najis saat mengena pakaian orang perempuan bagian bawah jika pakaian itu
memanjang ke bawah bukan untuk menutup aurot – seperti memanjangkan pakaian demi
supaya terlihat megah atau sekedar mempercantik penampilan.
Bersuci dari hadats ada dua macam: 1) bersuci menggunakan air, 2) dan bersuci
menggunakan debu – tayammum.
Bersuci dari hadats yang menggunakan air terjadi pada dua keadaan: 1) saat terkena
hadats kecil – wajib berwudhu, 2) dan saat terkena hadats besar – wajib mandi besar.
Jika sekiranya tidak menemukan air, atau ada air namun dibutuhkan untuk minum
guna menyambung hidup maka diperbolehkan mmengganti wudhu atau mandi menjadi
tayammum.
a. Niat
b. Berkelanjutan/muwalah
c. Menggosok anggota wudhu saat membasuh dengan air
d. Membasuh wajah
e. Membasuh kedua tangan hingga kedua siku
f. Mengusap semua bagian kepala
g. Membasuh kedua kaki hingga kedua mata kaki.
Beberapa hal penting yang harus diperhatikan saat berwudhu menggunakan Madzhab
Imam Malik:
• Wajib berniat saat permulaan wudhu (yaitu saat membasuh wajah) dengan niat
untuk menghilangkan hadats.
• Membasuh kedua telapak tangan, berkumur, memasukkan air ke hidung serta
mengeluarkannya adalah masuk dalam kategori sunnah-sunnah wudhu. Namun
hal itu bisa dianggap telah melakukan kesunnahan wudhu jika diniati melakukan
kesunnahan wudhu. Jika tidak diniati melakukan kesunnahan wudhu maka tidak
mendapat pahala sunnah wudhu.
• Dalam Madzhab Imam Malik tidak disyaratkan selalu dalam keadaan sadar bahwa
dirinya sedang melakukan wudhu. Namun hanya cukup tidak ada keniatan untuk
memutuskan wudhu yang sedang dia lakukan. Berbeda dengan keputusan yang
ada pada Madzhab Imam Syafi’I yang mewajibkan adanya kesadaran jiwa dan
pikiran bahwa dia dalam keadaan wudhu.
• Menggosokkan tangan pada anggota wudhu saat dibasuh atau diusap merupakan
perilaku yang wajib dilaksanakan. Maksud menggosokkan tangan adalah
menjalankan telapak tangan pada anggota yang sedang dibasuh atau diusap.
Makruh apabila menggosok ini dilakukan berkali-kali atau menggosok dengan
kuat.
• Orang yang tidak sengaja memisahkan basuhan anggota wudhu (tidak muwalah)
maka dia boleh melanjutkan basuhan pada anggota berikutnya dengan niat
wudhu yang baru.
• Jika dia memisahkan basuhan anggota wudhu sebab ketidakmampuan – sakit,
atau airnya tumpah, maka dia cukup melanjutkan basuhan wudhu anggota
berikutnya tanpa harus mengulang niat.
• Jika ada orang yang dengan sengaja tidak muwalah, dan dalam durasi yang
dianggap lama maka dia wajib mengulangi wudhu dari pertama.
• Jika ada orang yang memiliki kumis atau jenggot tebal maka dia tidak wajib
memaksakan air wudhu supaya sampai ke kulit wajah. Dia cukup mengusap
bagian luar kumis atau jenggot supaya air bisa masuk ke bagian dalam
kumis/jenggot.
• Wajib mengusap semua bagian kepala. Baik ada rambut atau tidak ada rambut
kepala, baik rambut kepalanya itu pendek atau panjang, baik laki-laki atau
perempuan.
• Jika rambut miliknya itu tertali maka tidak wajib membuka pengikat rambut.
• Jika dia menggunakan cincin yang diperbolehkan untuk dipakai secara syariat
maka tidak wajib menggerak-gerakkan cincin tersebut saat berwudhu walaupun
cincin tersebut sempit atau kecil. Namun jika cincin yang dia gunakan itu masuk
dalam kategori cincin yang haram untuk digunakan maka wajib melepaskannya
jika sempit, atau menggerak-gerakkan cincin jika tidak sempit, saat wudhu.
D. Pembatal Wudhu Madzhab Imam Malik
Setelah kita mengenal sekelumit hal yang wajib diketahui dalam masalah berwudhu
menurut versi Madzhab Imam Malik, maka juga penting untuk mengetahui hal apa saja yang
bisa membatalkan wudhu menurut versi Madzhab Imam Malik.
Dalam Madzhab Imam Malik hal yang membatalkan wudhu terbagi menjadi 3
kelompok. Masing-masing kelompok memiliki beberapa gambaran pembatal wudhu, yaitu:
1. Hadats, hadats ada 8 macam pembatal wudhu:
a. Kentut
b. Buang air besar
c. Buang air kecil
d. Keluar cairan madzi
e. Keluar cairan wadi
f. Keluar cairan mani tanpa disertai rasa enak
g. Keluar cairan ketuban
h. Keluar darah istihadhoh.
Enam hal pertama di atas bisa terjadi pada orang laki-laki dan perempuan. Sedangkan
dua hal terakhir hanya terjadi pada orang perempuan saja.