Anda di halaman 1dari 20

KELOMPOK: 9

MAKALAH
LANDREFORM DAN HAK MENGUASAI OLEH NEGARA
ATAS OBJEK-OBJEK AGRARIA
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas
Mata Kuliah : Hukum Agraria
Dosen Pengampu : Aris Sunandar Suradilaga., SH., M.H

Disusun oleh:
Nida kamalia
2112130134
Putri Purnama Sari
2112130215

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI IAIN PALANGKA RAYA


FAKULTAS SYARI’AH
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARI’AH
TAHUN AJARAN 2023 M/1445 H
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Segala puji dan syukur kami ucapkan kepada Allah SWT. Atas limpah rahmat,
taufik serta hidayah-Nya sehingga makalah ini bisa terselesaikan dengan baik.
Shalawat serta salam tak lupa kita haturkan kepada junjungan kita nabi besar
Muhammad SAW. Yang telah banyak memberikan inspirasi kepada kami sehingga
makalah yang berjudul “Landreform dan Hak Menguasai oleh Negara atas
Objek-objek Agraria” ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya, sebagai salah
satu pemenuhan tugas mata kuliah Hukum Agraria. Walaupun didalam pembuatan
makalah ini terdapat banyak kekurangan, kami sangat berharap pembaca dapat
memberikan kritik dan saran guna menyempurnakan makalah ini, agar makalah ini
dapat menjadi sumber acuan pembelajaran kedepannya dan memberikan manfaat
kepada kita semua.
Dalam pembuatan makalah ini kami mengucapkan terimakasih kepada dosen
pengampu mata kuliah, yakni bapak Aris Sunandar Suradilaga., S.H., M.H.
Tak lupa kami mengucapkan terimakasih kepada banyak pihak yang telah
berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.
Semoga bantuan yang kami dapatkan ini mendapat balasan dari Allah SWT.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Palangkaraya, 24 Oktober 2023

Penyusun

PAGE \* MERGEFORMAT 13
DAFTAR ISI

Halaman

Kata Pengantar................................................................................................................1
Daftar Isi.........................................................................................................................2
BAB I..............................................................................................................................3
Pendahuluan....................................................................................................................3
A. Latar Belakang.....................................................................................................3
B. Rumusan Masalah................................................................................................3
C. Tujuan Penulisan..................................................................................................4
BAB II............................................................................................................................5
Pembahasan.....................................................................................................................5
A. Pengertian Landreform.........................................................................................5
B. Pengertian Hukum Agrarian Menurut UUPA......................................................7
C. Dasar-Dasar Hukum Landreform.........................................................................8
D. Latar Belakang UUPA.........................................................................................8
E. Hak Menguasai Negara atas Objek-objek Agraria.............................................13
BAB III.........................................................................................................................18
Penutup..........................................................................................................................18
A. Kesimpulan........................................................................................................18
Daftar Pustaka

PAGE \* MERGEFORMAT 13
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) merupakan induk program
landreform di Indonesia. Landreform diartikan dengan perubahan struktur
penguasaan pemilikan tanah, bukan hanya dalam pengertian politik belaka
tapi juga pengertian teknis. Cita-cita UUPA adalah melaksanakan perubahan
secara mendasar terhadap relasi agraria yang ada agar menjadi lebih adil dan
memenuhi kepentingan rakyat petani. Tujuan dari landreform yang
diselenggarakan di Indonesia adalah untuk mempertinggi penghasilan dan
taraf hidup para petani penggarap tanah, sebagai landasan atau prasyarat untuk
menyelenggarakan pembangunan ekonomi menuju masyarakat yang adil dan
makmur berdasarkan Pancasila. Untuk mencapai tujuan dimaksud dilakukan
dengan mengadakan pembagian yang adil atas sumber kehidupan rakyat tani
yang berupa tanah dan pembagian hasil yang adil pula, melaksanakan prinsip
tanah untuk tani, mengakhiri sistim tuan tanah, dan perlindungan terhadap
ekonomi lemah.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas,adapun rumusan masalah yang
dikemukakan oleh penulis adalah sebagai berikut:
1. Apa Itu Pengertian Landreform?
2. Apa Itu Pengertian Hukum Agrarian Menurut UUPA?
3. Apa Itu Dasar-Dasar Hukum Landreform?
4. Apa Itu Latar Belakang UUPA?
5. Apa Itu Hak Menguasai Negara atas Objek-objek Agraria?
C. Tujuan Masalah
Adapun tujuan penulis dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk Mengetahui Apa Itu Pengertian Landreform

PAGE \* MERGEFORMAT 13
2. Untuk Mengetahui Apa Itu Pengertian Hukum Agrarian Menurut UUPA
3. Untuk Mengetahui Apa Itu Dasar-Dasar Hukum Landreform
4. Untuk Mengetahui Apa Itu Latar Belakang UUPA
5. Untuk Mengetahui Apa Itu Hak Menguasai Negara atas Objek-objek
Agraria

PAGE \* MERGEFORMAT 13
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Landreform
Landreform diartikan dengan perubahan struktur penguasaan pemilikan tanah.
Oleh A.P. Parlindungan dikatakan istilah landreform bukan hanya dalam
pengertian politik belaka tapi juga pengertian teknis. Landreform di negara-
negara komunis merupakan slogan untuk memenangkan massa rakyat, karena isu
tanah, pemilikan tanah, distribusi tanah, hancurkan tuan tanah adalah issue
emosional yang sangat menarik, sehingga banyak sarjana maupun FAO (Food and
Agricultural Organization) mempergunakan istilah Agrarian Reform daripada
istilah Landreform.
Keseluruhan yang tersebut di atas merupakan pengertian landreform dalam arti
luas sedangkan pengertian landreform dalam arti sempit terdapat pada point 4.
Diundangkannya UU No.5/1960 (UUPA) mengakhiri dualisme hukum agraria
yang ada sebelumnya berlaku di Indonesia, yakni Hukum Barat yang didasarkan
pada Kitab undang-Undang Hukum Perdata dan Hukum Tanah Adat yang
didasarkan pada prinsip-prinsip hukum penduduk sipil (adat) Indonesia.
Tujuan pokok dari diundangkannya UUPA adalah:
1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, merupakan
alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara
dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat adil dan yang
Makmur.
2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan
dalam hukum pertanahan

PAGE \* MERGEFORMAT 13
3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-
hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya

Latar belakang dari agenda atau tujuan pokok dari UUPA di atas adalah karena
realitas pengaturan hukum agraria yang diwariskan pemerintah jajahan sangat
bertentangan dengan kepentingan rakyat dan bangsa, melahirkan sifat dualisme
hukum agraria dan tidak memberikan jaminan kepastian hukum bagi rakyat asli
Indonesia. Semua itu harus dihapus dan digantikan dengan semangat yang
didasarkan pada kepentingan rakyat dan bangsa berdasar UUD 1945. Dari
penjelasan UUPA itu menunjukkan bahwa UUPA adalah anti kapitalisme dan
sebaliknya memiliki semangat kerakyatan (populis). Cita-cita UUPA adalah
melaksanakan perubahan secara mendasar terhadap relasi agraria yang ada agar
menjadi lebih adil dan memenuhi kepentingan rakyat petani. Terdapat tiga
konsep dasar dalam UUPA.

 Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum
adat;
 Eksistensi dan wewenang Negara sebagai organisasi tertinggi bangsa
dinyatakan dalam Hak Menguasai Negara atas bumi, air, dan ruang angkasa
sebagai penjabaran pasal 33 (3) UUD 1945 yang digunakan untuk mencapai
sebesar-besar kemakmuran rakyat;
 Pelaksanaan program landreform.

Asas-asas dan ketentuan pokok landreform dijumpai dalam UUPA. Landreform


dalam arti sempit merupakan serangkaian tindakan dalam rangka Agraria Reform
Indonesia. Effendi Perangin membagi program landreform dalam arti sempit dan
landreform dalam arti luas. Program landreform dalam arti luas biasa disebut
Agraria atau Reform atau Panca Program yang meliputi:

PAGE \* MERGEFORMAT 13
1. Pembaharuan hukum agraria yaitu dengan mengadakan perombakan terhadap
sendi-sendi hukum agraria lama yang tidak sesuai dengan kondisi dan situasi
jaman dan menggantikan dengan perkembangan masyarakat modern.
2. Mengadakan penghapusan terhadap segala macam hak-hak asing konsesi
colonial.
3. Mengakhiri kekuasaan tuan tanah dan para feodal atas tanah yang telah
banyak melakukan pemerasan terhadap rakyat melalui penguasaan tanah.
4. Mengadakan perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta
berbagai hubungan hukum yang berkenaan dengan penguasaan tanah.
5. Mengadakan perencanaan, persediaan, peruntukan dan penggunaan tanah
secara berencana sesuai dengan kemampuan dan perkembangan kemajuan.
Sedangkan pengertian program landreform dalam arti sempit hanya
mencakup program yang ke empat.

B. Pengertian Hukum Agrarian Menurut UUPA


Sebagaimana yang tercantum dalam UUPA, hukum agraria merupakan suatu
kelompok berbagai bidang hukum, yang masing-masing mengatur hak-hak
penguasaan atas sumber-sumber daya alam tertentu yang termasuk dalam
pengertian agraria di atas. Kelompok tersebut terdiri atas:
1. Hukum tanah, yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah, dalam arti
permukaan tanah.
2. Hukum air, yang mengatur hak-hak penguasaan atas air.
3. Hukum pertambangan yang mengatur hak-hak penguasaan atas bahan-bahan
galian.
4. Hukum perikanan, yang mengatur penguasaan atas kekayaan alam yang
terkandung di dalam air.
5. Hukum penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa,
mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang
angkasa yang dimaksudkan oleh Pasal 48 UUPA.

PAGE \* MERGEFORMAT 13
C. Dasar-Dasar Hukum Landreform
Sebagai pelaksanaan dari pasal 17 UUPA tentang batas minimum dan maksimum
hak atas tanah, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang (Perpu) No.56 Tahun 1960 pada tanggal 29 Desember 1960 dan
mulai berlaku tanggal 1 Januari 1960. Perpu No. 56/1960 ini kemudian ditetapkan
menjadi Undang-undang No.56 Prp tahun 1960 (LN 1960 no. 174, Penjelasannya
dimuat dalam TLN No. 5117 tentang Penetapan luas tanah pertanian. UU No.
56/1960 merupakan undang-undang landreform di Indonesia. Selanjutnya
dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 224 tahun 1961 (LN 1961-280) tentang
Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Rugi.

D. Latar belakang UUPA


Lima belas tahun setelah kemerdekaan, pada tanggal 24 September 1960
terbit Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria (UUPA) setelah melalui proses panjang sejak tahun 1948. UUPA
sejatinya dimaksudkan untuk berlaku sebagai lex generalis (“undang-undang
pokok”) bagi pengaturan lebih lanjut obyek materiilnya, yakni bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagaimana diamanatkan oleh
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Walaupun dimaksudkan untuk dapat menjadi “payung” atau “platform”
untuk penjabaran lebih lanjut ketentuan-ketentuan UUPA, namun masih ada celah
yang belum sempat diisi oleh UUPA untuk, paling tidak, mengatur hal pokok-
pokok, secara umum, atau garis besar ketentuan terkait dengan sumber daya alam
(SDA) selain tanah. Sebagaimana diketahui, UUPA memang telah menggariskan
dasar dan ketentuan pokok yang berlaku untuk semua bidang SDA dalam 10

PAGE \* MERGEFORMAT 13
(sepuluh) pasalnya. Namun demikian, hanya ada 1 (satu) pasal dalam UUPA yang
secara eksplisit mengatur tentang SDA selain tanah, yakni Pasal 8 UUPA yang
dalam penjelasannya antara lain menyebutkan bahwa ketentuan ini merupakan
pangkal bagi peraturan perundang-undangan terkait pertambangan dan
lainlainnya.
UUPA terdiri dari 67 (enam puluh tujuh) pasal yang terdiri dari 58 (lima
puluh delapan) pasal dan 9 (sembilan) pasal khusus terkait ketentuan konversi. Di
samping 10 (sepuluh) pasal yang mengatur tentang dasar dan ketentuan pokok,
maka pengaturan tentang tanah terdapat dalam 53 (lima puluh tiga) pasal, sisanya,
4 (empat) pasal mengatur hal-hal di luar ketentuan pokok dan pertanahan. Oleh
karena dominasi pengaturan tentang pertanahan dalam UUPA, maka dalam proses
penerbitannya pernah diwacanakan tentang nama undang-undang ini. Iman
Soetiknjo dari Seksi Agraria UGM menyarankan namanya “UU Pertanahan”, dan
karena reaksi tersebut maka dalam perkembangannya ditambahkan pasal-pasal
yang tidak hanya berkaitan dengan tanah.
Boedi Harsono, sebagai salah seorang perumus naskah rancangan UUPA
memberikan kesaksian serupa terhadap hal tersebut. Panitia Perumus
mengusulkan nama “Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Dasar Hukum
Tanah” tetapi “Panitia Soewahjo” yang menyiapkan rencana UUPA menganggap
nama tersebut terlalu sempit sehingga kemudian digunakanlah nama “Undang-
Undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria”.
Hutang UUPA untuk melengkapi ketentuan pokok di luar bidang
pertanahan itu tidak kunjung dilunasi sehingga UUPA masih menyisakan
“Pekerjaan Rumah” yang belum selesai4. Dalam perjalanan waktu, seiring dengan
kebijakan ekonomi yang lebih cenderung menekankan pada pertumbuhan
dibandingkan pemerataan, maka bagian dari pekerjaan rumah UUPA yang belum
selesai itu “diambil alih” oleh berbagai undang-undang sektoral, misalnya UU
No. 5 Tahun 1967 tentang Kehutanan (telah diganti dengan UU No. 41 Tahun
1999), UU No. 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan (telah diganti dengan UU

PAGE \* MERGEFORMAT 13
No. 22 Tahun 2001), UU No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan (telah diganti
dengan UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air), dan berbagai
undangundang lain yang terbit kemudian yang dalam kenyataannya tidak satupun
undang-undang sektoral tersebut merujuk pada UUPA, melainkan masing-masing
langsung merujuk pada Pasal 33 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Era bertumbuhkembangnya undang-undang sektoral menandai
didegradasinya UUPA yang pada awalnya dimaksudkan untuk menjadi lex
generalis bagi pengaturan SDA menjadi sederajat dengan undang-undang sektoral
lainnya dan dengan demikian menjadikan UUPA sebagai lex specialis yang hanya
mengatur bidang pertanahan. Ditinggalkannya semangat dan prinsip-prinsip yang
mendasari UUPA oleh undang-undang sektoral dapat ditengarai dalam perbedaan
antara UUPA dengan undang-undang sektoral berkaitan dengan:
1. Orientasi
2. Keberpihakan
3. Pengelolaan dan implementasinya
4. Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM)
5. Pengaturan good governance
6. Hubungan orang dengan SDA, dan 7) hubungan antara negara dengan SDA.
Sebagai akibatnya, undang-undang sektoral itu tidak sinkron satu sama lain,
bahkan saling tumpang tindih dengan segala dampaknya, sebagaimana ditengarai
oleh Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Dampak negatif tumpang tindih peraturan perundang-undangan di bidang
SDA itu telah mendorong MPR RI untuk memberikan arah kebijakan dalam
pengelolaan SDA yang meliputi, antara lain: “melakukan pengkajian ulang
terhadap peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan agraria dalam
rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor demi terwujudnya peraturan perundang-
undangan yang didasarkan pada prinsip Pembaruan Agraria dan Pengelolaan

PAGE \* MERGEFORMAT 13
Sumber Daya Alam” (TAP MPR RI No. IX/MPR/2001). Amanat tersebut
diulangi lagi dalam TAP MPR RI No. V/MPR/2003 yang antara lain berbunyi
sebagai berikut “Presiden bersama-sama DPR membahas UU Pembaruan Agraria
dan Pengelolaan SDA yang akan berfungsi sebagai UU Pokok…” (garis bawah
oleh penyusun). Amanat tersebut mengisyaratkan terbentuknya suatu
undangundang terkait SDA yang bersifat lex generalis; dengan perkataan lain
mereposisi UUPA sejalan dengan prinsi-prinsip Pembaruan Agraria, dengan
demikian akan mengakhiri ketidaksinkronan antarundang-undang sektoral.
Dalam pada itu, pada masa pemerintahan Presiden Megawati, terbit
Keppres No. 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan.
Dalam Pasal 1 huruf a disebutkan : “Dalam rangka mewujudkan konsepsi,
kebijakan dan sistem pertanahan nasional yang utuh dan terpadu, serta
pelaksanaan TAP MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam, Badan Pertanahan Nasional melakukan
langkah-langkah percepatan :
a. Penyusunan Rancangan Undang-undang Penyempurnaan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan
Rancangan Undang-undang tentang Hak Atas Tanah serta peraturan
perundang-undangan lainnya di bidang pertanahan.”

Penyempurnaan UUPA bisa diartikan sebagai reposisi UUPA sebagai lex


generalis, atau penyempurnaan UUPA sebagai lex specialis karena
kekuranglengkapan UUPA dan terjadinya penafsiran yang menyimpang dari
falsafah dan prinsip-prinsip UUPA sebagai akibat dari kecenderungan politik-
ekonomi kebijakan makro yang cenderung pro pertumbuhan. Oleh karenanya,
dihadapkan pada dua alternatif pilihan itu, saat ini prioritas yang dipilih adalah
menyempurnakan UUPA sebagai lex specialis, dengan catatan bahwa pada suatu
saat di kemudian hari, dapat disusun suatu undangundang di bidang SDA yang
bersifat lex generalis, yang akan menjadi “platform bersama” untuk semua

PAGE \* MERGEFORMAT 13
undang-undang sektoral, sehingga dengan demikian akan tercipta hukum di
bidang SDA sebagai satu sistem.
Pilihan prioritas penyempurnaan UUPA salah satunya dengan membentuk
UU tentang Pertanahan juga didasarkan pada Ketetapan MPR RI IX/MPR/2001
tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam sebagai
landasan hukum, khususnya dalam kaitannya dengan frasa “…dalam rangka
sinkronisasi kebijakan antarsektor”. Dengan demikian perlu dipahami bahwa
penyusunan UU Pertanahan merupakan suatu “jembatan-antara” untuk
meminimalisasi ketidaksinkronan undang-undang sektoral terkait bidang
pertanahan, di samping untuk melengkapi dan menjabarkan hal-hal yang belum
diatur oleh UUPA maupun menegaskan berbagai penafsiran yang menyimpang
dari falsafah dan prinsip-prinsip dasar yang telah digariskan oleh UUPA.
Sangat dipahami bahwa UUPA yang diterbitkan pada tahun 1960 belum
mengantisipasi perkembangan ilmu, teknologi, politik, sosial ekonomi, budaya
serta perkembangan kebutuhan masyarakat. Perubahan paradigma kebijakan
ekonomi makro; globalisasi; derasnya arus investasi; semakin tajamnya konflik
dalam perebutan akses terhadap pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan tanah
karena ketimpangan/ketidakadilan dalam struktur penguasaan/pemilikan tanah;
derasnya alih fungsi tanah sehingga mengancam ketahanan pangan, timbulnya
bencana alam, dan kerusakan lingkungan; perlunya dilakukan distribusi dan
redistribusi tanah untuk pertanian maupun nonpertanian disertai dengan reformasi
akses; perlunya pengaturan untuk menjadi landasan pembangunan yang
menggunakan ruang di bawah tanah; perlunya menerapkan asas-asas
pemerintahan yang baik dalam pengelolaan pertanahan; perlunya membentuk
pengadilan pertanahan untuk menyelesaikan perkara agraria termasuk
konflik/sengketa pertanahan yang massif, berskala luas dan multi dimensi;
merupakan beberapa contoh perlunya melengkapi UUPA.
Di samping melengkapi dan menjabarkan UUPA, dalam perjalanan waktu
seiring dan sejalan dengan ekonomi-politik makro yang cenderung

PAGE \* MERGEFORMAT 13
propertumbuhan, berbagai ketentuan UUPA telah diberi penafsiran yang tidak
sesuai, bahkan bertentangan dengan falsafah dan prinsip dasar UUPA yang antara
lain telah berdampak terhadap ketidakadilan, pelanggaran HAM terkait hak dasar
berupa tanah, dan semakin terpinggirkannya hak-hak masyarakat hukum adat.
Beberapa contoh hilangnya roh UUPA karena salah tafsir adalah:
1. Penafsiran pengertian hak menguasai dari negara yang demikian luas,
mencakup seolah-olah negara sebagai pemilik tanah;
2. Penafsiran yang beragam terhadap pengertian “tanah negara” dan berbagai
implikasi yuridisnya;
3. Pembelokan hak pengelolaan sehingga lebih menonjolkan sifat
keperdataannya;
4. Penafsiran yang longgar terhadap pengertian “fungsi sosial” hak atas tanah
sehingga menafikan asas keseimbangan antara kepentingan umum dan
kepentingan perseorangan;
5. Pengakuan dan perlindungan hak masyarakat hukum adat yang tidak tuntas
yang bisa berdampak terhadap kurangnya perlindungan terhadap hak ulayat
karena menafikan kedudukan tanah (hak) ulayat sebagai entitas tersendiri, di
samping tanah negara dan tanah hak,
6. Pengabaian nilai-nilai lain dari tanah dan hanya memandangnya dari nilai
ekonomis semata, telah menjadikan tanah sebagai komoditas dan alat untuk
akumulasi modal.

Penafsiran yang tidak sesuai dengan falsafah dan prinsip dasar UUPA
karena perbedaan pilihan kepentingan dan nilai itu dapat ditelusuri dalam
berbagai ketentuan peraturan perundangundangan pertanahan yang terbit sebagai
peraturan pelaksanaan UUPA
E. Hak Menguasai Negara atas Objek-objek Agraria
Hak menguasai negara adalah suatu kewenangan atau wewenang formal
yang ada pada negara dan memberikan hak kepada negara untuk bertindak baik

PAGE \* MERGEFORMAT 13
secara aktif maupun pasif dalam bidang pemerintahan negara, dengan kata lain
wewenang negara tidak hanya berkaitan dengan wewenang pemerintahan semata,
akan tetapi meliputi pula semua wewenang dalam rangka melaksanakan tugasnya.
Tanpa adanya penguasaan Negara, maka tidak mungkin tujuan Negara yang
telah ditetapkan dalam konstitusi atau UUD dapat diwujudkan, namun demikian
penguasaan oleh Negara itu tidak lebih dari semacam “penguasaan” kepada
Negara yang disertai dengan persyaratan tertentu, sehingga tidak boleh digunakan
secara sewenang-wenang yang dapat berakibat pelanggaran hukum kepada
masyarakat. Pada dasarnya pemberian kekuasaan bisa dibedakan menjadi dua
macam, yaitu :
1. Pemberian kekuasaan yang sifatnya “atributif”. Pemberian kekuasaan
semacam ini disebut sebagai pembentukan kekuasaan, karena dari keadaan
yang belum ada menjadi ada. Kekuasaan yang timbul karena pembentukan
ini sifatnya asali ( oorspronkelijk) . pada pembentukan kekuasaan semacam
ini menyebabkan adanya kekuasaan baru.
2. Pemberian kekuasaan yang sifatnya “derivatif”. Pemberian kekuasaan ini
disebut juga sebagai “pelimpahan kekuasaan”, karena dari kekuasaan yang
telah ada dialihkan kepada badan hukum publik lain. Oleh karena itu sifatnya
derivatif ( afgeleid).

Secara formal, kewenangan Pemerintah untuk mengatur bidang pertanahan


tumbuh dan mengakar dari Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 yang
menegaskan bahwa : “bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh Negara untuk pergunakan bagi sebesarbesar kemakmuran
rakyat”.Sebelum amandemen Undang-undang Dasar 1945, pasal 33 ayat 3
tersebut dijelaskan dalam penjelasan Pasal 33 alinea 4 yang berbunyi : “Bumi dan
air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya adalah pokok-pokok
kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh Negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Kemudian dituntaskan secara

PAGE \* MERGEFORMAT 13
kokoh didalam undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar
pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara 1960-104 atau disebut juga Undang-
undang pokok agraria UUPA). Hukum tanah Indonesia berdasarkan Undang-
Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 tersebut mengisyaratkan bagi pembuat
undangundang dalam membentuk hukum tanah nasional jangan sampai
mengabaikan, melainkan harus mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada
hukum agama.
Perusahaan-perusahaan yang penting akan diurus oleh Negara sendiri. pada
hakekatnya Negara yang akan menentukan dimana, dimasa apa, perusahaan
apayang akan diselenggarakan oleh pemerintah pusat atau oleh pemerintah daerah
atau yang akan diserahkan pada suatu badan hukum privat atau kepada seseorang,
itu semua tergantung dari pada kepentingan Negara atau kepentingan rakyat
seluruhnya. Begitupun tentang hal tanah, pada hakekatnya Negara yang
menguasai tanah seluruhnya. Tambang-tambang yang penting untuk negara akan
diurus oleh negara sendiri.
Pasal 2 UUPA yang merupakan aturan pelaksanaan pasal 33 ayat (3) UUD
1945 dijelaskan pngertian hak menguasai sumber daya alam oleh negara sebagai
berikut :
1. Atas dasar ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan hal-hal yang
sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 bumi, air, dan ruang angkasa termasuk
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi
dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Hak
menguasai negara tersebut dalam ayat (1) pasal ini memberikan wewenang
untuk :
 Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan
dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa.
 Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dengan bumu, air, dan ruang angkasa.

PAGE \* MERGEFORMAT 13
 Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan
ruang angkasa
2. Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut Pada
pasal 33 ayat (2), digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat
dalam arti kebangsaan kesejahteraan, kemerdekaan dalam masyarakat, dan
negara hukum indonesia yang merdeka, berdaulat adil dan makmur.
3. Hak menguasai dari negara tersebut di atas pelaksaannya dapat dikuasakan
kepada daerah-daerah, swasta dan masyarakatmasyarakat hukum adat,
sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional,
menurut ketentuan-ketentuan peraturan yang berlaku.

Berdasarkan pasal 2 UUPA dan penjelasannya tersebut, menurut konsep


UUPA, pengertian “dikuasai” oleh negara bukan berarti dimiliki, melainkan hak
yang memberi kewenangan pada negara untuk menguasai hal tersebut di atas. Isi
wewenang negara yang bersumber pada hak menguasai SDA oleh negara
tersebut sematamata bersifat publik, yaitu wewenang untuk mengatur
( wewenang regulasi ) dan bukan menguasai tanah secara fisik dan menggunakan
tanahnya sebagaimana wewenang pemegang hak atas tanah bersifat pribadi. Hal
ini dipertegas dalam Pasal 9 ayat (2) “ tiap-tiap warga negara Indonesia, baik
laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh
suatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri
sendiri maupun keluarganya”.

Wewenang negara untuk mengatur hubungan hukum antara orang-orang


termasuk masyarakat hukum adat dengan tanah terkait erat hubungan hukum
antara tanah dengan negara. Hukum yang mengatur pengakuan dan perlindungan
etrsebut sangat diperlukan untuk memberikan jaminan kepastian hukum kepada
masyarakat atas hak-hak atas tanahnya tidak dilanggar dengan siapapun.Oleh
karena itu sangat tidak tepat jika melihat hubungan negara dengan tanah terlepas

PAGE \* MERGEFORMAT 13
dengan hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanah ulayatnya dan
hubungan antar perorangan dengan tanahnya.Ketiga hubungan ini merupakan satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya, dan merupakan
hubungan yang bersifat “tritunggal”.
Hubungan hukum antara Negara dengan tanah melahirkan hak menguasai
tanah oleh negara, hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanah
ulayatnya melahirkan hak ulayat, dan gabungan antar perorangan dengan tanah
melahirkan hak-hak perorangan atas tanah.
Dikalangan para ahli muncul gagasan untuk membatasi wewenang negara
yang bersumber pada hak menguasai oleh negara atas tanah.yaitu Maria
Sriwulandari menghendaki agar kewenangan negara atas tanah dibatasi oleh dua
hal 19 :
1. Pembatasan Oleh Undang-Undang Dasar
Pada prinsipnya hal-hal yang diatur oleh negara tidak boleh berakibat
terhadap pelanggaran hak-hak dasar manusia yang dijamin oleh Undang-
Undang Dasar.
2. Pembatasan yang Bersifat Substantif
Sesuai dengan Pasal 2 ayat (3) UUPA, maka semua peraturan pertanahan
harus ditujukan untuk terwujudnya sebesarbesarnya kemakmuan rakyat,
sedangkan ruang lingkupnya pengaturan pertanahan dibatasi oleh Pasal 2
ayat (2) UUPA. Disamping relevansi, maka kewenangan pembuatan
kebijaksanaan tidak dapat didelegasikan kepada organisasi swasta, karena
yang diatur itu berkaitan dengan kesejahteraan umum yang sarat dengan
misi pelayanan. Pihak swasta merupakan bagian dari masyarakat yang ikut
diwakili kepentingannya dan oleh karena itu tidak dimungkinkan
mengatur karena hal itu akan menimbulkan konflik kepentingan.

PAGE \* MERGEFORMAT 13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan yang telah dilakukan terdahulu, maka dapatlah
ditarik kesimpulan sebagai berikut:
UUPA sebagai induk program landreform di Indonesia berisikan hal-hal pokok
yang menyangkut program landreform yang dapat dilihat pengaturannya dalam
pasal 7, 10 dan 17 UUPA. UUPA sampai saat ini belum dapat mengatasi
kepincangan dalam penguasaan dan pemilikan tanah yang melampaui batas
karena terhambatnya pelaksanaan program landreform serta tidak adanya
dukungan kemauan politik dari pemerintah yang lebih mengejar pertumbuhan
ekonomi untuk memasukkan program landreform dalam kebijakan pembangunan.

PAGE \* MERGEFORMAT 13
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2001. Seluas 840.227 Hektar Tanah Sudah Didistribusikan ke Petani.


Kompas Cyber. Anonim. 2001.
Kepemilikan Tanah Perkotaan Makin Timpang. Suara Merdeka Cyber. Anonim.
2002. Sistem Penguasaan dan Pemilikan Tanah di Indonesia. Media
Transparansi Indonesia Cyber.
Arman Makanu. 2001. Redistribusi Tanah di Indonesia Menurut Undang-Undang
No.56 Prp Tahun 1960. Jurnal Ilmu Hukum Toposantaro, Vol.2 No.5.
Fakultas Hukum Universitas Tadulako. A.P.Parlindungan. 1989. Landreform
di Indonesia, Suatu Studi Perbandingan. Alumni Bandung.
Boedi Harsono. 1999. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-
Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Penerbit Djambatan, Jakarta.
Dianto, Bachriadi, Faryan, Erpan, Setiawan Bonnie (Eds), 1997, Reformasi
Agraria: Perubahan Politik, Sengketa, dan Agenda Pembaruan Agraria di
Indonesia, Fakultas Ekonomi UI, Jakarta Effendi Perangin. Hukum Agraria di
Indonesia, Suatu Telaah Dari Sudut Praktisi Hukum. Rajawali Pers, Jakarta.

PAGE \* MERGEFORMAT 13

Anda mungkin juga menyukai