Laporan Pkpa Rsud Tangerang
Laporan Pkpa Rsud Tangerang
DISUSUN OLEH:
Assalamualaikum Wr.Wb.
Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha
penyayang. Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang, karena hanya dengan rahmat dan hidayah-Nya,
laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Periode 1 Februari – 31 Maret
2018 di Rumah Sakit Umum Kabupaten Tangerang dapat diselesaikan. Laporan
Praktek Kerja Profesi Apoteker ini kami susun sebagai salah satu bentuk
dokumentasi serta sebagai bahan untuk pembelajaran dan evaluasi kami selama
PKPA di Rumah Sakit Umum Kabupaten Tangerang.
PKPA ini dilaksanakan oleh mahasiswa Program Studi Profesi Apoteker
sebagai salah satu syarat dalam memperoleh gelar Apoteker. Pelaksanaan PKPA
sendiri bertujuan untuk memberikan bekal pengetahuan, kemampuan, serta
pengalaman bagi calon Apoteker dalam pengelolaan dan pelayanan kefarmasian
di Rumah Sakit. Penulisan Laporan PKPA ini dapat terlaksana atas doa, bantuan
dan dorongan dari beberapa pihak, untuk itu kami mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Bapak Drs. Allwar, M.Sc.,Ph.D sebagai Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Islam Indonesia.
2. Bapak Dimas Adhi Pradana, M.Sc.,Apt sebagai Ketua Program Studi Profesi
Apoteker Universitas Islam Indonesia.
3. Bapak Yudi Murdianto, MM., Apt sebagai Kepala Instalasi Farmasi yang telah
memberi izin untuk melaksanakan PKPA di Rumah Sakit Umum Tangerang.
4. Ibu Dra. Dwi Pujianingsih MMR., Apt sebagai dosen pembimbing internal
Praktek Kerja Profesi Apoteker Universitas Islam Indonesia.
5. Kepada seluruh Apoteker di Rumah Sakit Umum Kabupaten Tangerang yang
telah memberikan bimbingan kepada kami selama kami menjalani PKPA.
iii
6. Seluruh Tenaga Teknis Kefarmasian dan staf karyawan di Instalasi Farmasi
Rumah Sakit Umum Kabupaten atas bantuan dan kerja samanya selama kami
menjalani PKPA.
7. Seluruh staf karyawan yang ada di Rumah Sakit Umum Kabupaten Tangerang.
8. Seluruh keluarga Program Studi Profesi Apoteker Universitas Islam Indonesia
angkatan XXXI.
9. Seluruh pihak yang telah membantu selama pelaksanaan dan penyelesaian
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker.
Kami menyadari bahwa Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker ini masih
jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari pembaca dan semua
pihak yang bersifat membangun akan diterima dengan tangan terbuka demi
kemajuan dan kesempurnaan penulisan di masa yang akan datang.
Penulis
iv
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL .............................................................................
............. i
HALAMAN
PENGESAHAN ........................................................................
... ii
KATA
PENGANTAR .........................................................................
.............iii
DAFTAR
ISI ...............................................................................
....................... v
DAFTAR
GAMBAR ............................................................................
........... vii
DAFTAR
TABEL .............................................................................
.............viii
BAB I
PENDAHULUAN .......................................................................
........... 1
A. Latar
Belakang...........................................................................
......... 1
B.
Tujuan ............................................................................
..................... 2
C.
Manfaat ...........................................................................
.................... 3
D.
Pelaksanaan .......................................................................
................. 3
BAB II TINJAUAN
PUSTAKA....................................................................... 4
A. Rumah
Sakit .............................................................................
.......... 4
B. Instalasi Farmasi Rumah
Sakit ......................................................... 20
C. Manajemen
Pendukung .................................................................... 46
D. Panitia Farmasi dan
Terapi ............................................................... 50
E. Pengelolaam Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Bahan Medis
Habis
Pakai..............................................................................
.55
F. Pelayanan Farmasi
Klinis ................................................................. 78
G. Central Steril Supply
Departement .................................................. 86
H. Pengendalian Infeksi Rumah
Sakit ................................................... 90
A. Sejarah Rumah
Sakit ........................................................................ 93
B. Instalasi Farmasi Rumah
Sakit ....................................................... 102
C. Unit/Komite
Interdisipliner ............................................................ 142
v
A.
Kesimpulan ........................................................................
............. 150
B.
Saran .............................................................................
.................. 150
DAFTAR
PUSTAKA ...........................................................................
......... 152
LAMPIRAN ..........................................................................
......................... 154
vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 10. Alur Distribusi Pelayanan Depo Farmasi Rawat Jalan ............... 122
Gambar 11. Alur Distribusi Pelayanan Depo Farmasi Rawat Jalan Resep Umum
dan Resep
BPJS ..............................................................................
................... 124
Gambar 12. Alur Pelayanan Depo Obat Rawat Inap, Pasien Umum, BPJS PBI
dan Non
PBI ...............................................................................
........................ 126
Gambar 13. Alur Pelayanan Depo Obat IKW, Pasien Umum,BPJS PBI dan Non
PBI ...............................................................................
....................................... 128
Gambar 15. Alur Pelayanan Resep IGD Pasien Umum, BPJS PBI dan Non PBI
...................................................................................
.......................................... 130
Gambar 18. Alur Konseling Pasien Rawat Inap di RSU Kabupaten Tangerang
...................................................................................
.......................................... 134
vii
viii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Analisis
ABC ...............................................................................
.......... 61
Tabel 2. Kapasitas Rawat Inap RSU Kabupaten
Tangerang ............................... 98
Tabel 3. Kapasitas Instalasi Khusus Wijaya
Kusuma ......................................... 99
Tabel 4. Pelayanan Poliklinik/Rawat Jalan RSU Kabupaten Tangerang ............ 98
Tabel 5. Pelayanan Penunjang Medis RSU Kabupaten Tangerang ....................
100
ix
BAB I
PENDAHULUAN
1
Farmasi adalah unit pelaksana fungsional yang menyelenggarakan seluruh
kegiatan pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit. Apoteker sebagai tenaga
profesi di rumah sakit mempunyai peranan yang besar dalam pelayanan
kesehatan. Apoteker adalah tenaga profesional yang memiliki dasar
pendidikan serta keterampilan di bidang farmasi dan diberi wewenang
serta tanggung jawab untuk melaksanakan pekerjaan kefarmasian baik
aspek fungsional maupun manajerial dengan berorientasi kepada pasien,
berwawasan lingkungan dan keselamatan kerja berdasarkan kode etik(2).
Seorang calon apoteker diharapkan memiliki kompetensi
pelayanan kesehatan masyarakat, memahami peran apoteker di Rumah
Sakit, dan dapat mengetahui gambaran permasalahan kesehatan yang ada
di masyarakat. Selain itu, Apoteker juga harus mampu untuk berinteraksi
dan bekerja sama yang baik dengan tenaga kesehatan lainnya untuk
mewujudkan pelayanan kesehatan yang optimal bagi pasien. Hal ini lah
yang melatarbelakangi diadakannya Praktek Kerja Profesi Apoteker
(PKPA) di Rumah Sakit Umum (RSU) Kabupaten Tangerang yang
dilakukan pada tanggal 1 Februari 2018-30 Maret 2018 agar calon
Apoteker mendapatkan pengalaman praktek langsung di Rumah Sakit.
B. Tujuan
Setelah pelaksanaan PKPA ini, mahasiswa calon apoteker
diharapkan:
1. Memberikan gambaran mengenai struktur organisasi, tugas, dan fungsi
Apoteker di Instalasi Farmasi Rumah Sakit.
2. Memberikan pengalaman praktek kepada para mahasiswa calon
Apoteker untuk menjalani profesinya secara profesional, handal, dan
mandiri sehingga dapat mencapai kompetensi Apoteker yang telah
ditetapkan oleh Ikatan Apoteker Indonesia.
3. Memberikan latihan kepada mahasiswa untuk mampu berpikir kritis
dan melakukan analisis kesesuaian antara teori dan praktek sehingga
diharapkan mampu menjadi Apoteker yang siap menghadapi tantangan
pekerjaan.
2
C. Manfaat
Manfaat Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di RSU
Kabupaten Tangerang ini, yaitu:
1. Apoteker Muda mendapatkan pengalaman terjun langsung dalam
pelayanan di rumah sakit dan memperoleh ilmu baru yang ada di
rumah sakit yang tidak didapatkan dalam teori.
2. Apoteker Muda dapat mengetahui tugas dan tanggung jawab Apoteker
dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian yang ada di rumah sakit
secara real.
3. Apoteker Muda dapat menjadi apoteker yang profesional dan penuh
rasa percaya diri.
4. Sebagai wadah pengembangan dan praktek dari ilmu yang telah
diperoleh di bangku kuliah untuk diterapkan di lapangan.
D. Pelaksanaan
PKPA ini dilakukan di RSU Kabupaten Tangerang yang diikuti
oleh 30 mahasiswa Program Pendidikan Profesi Apoteker dari 4
Universitas yaitu 5 mahasiswa dari Universitas Islam Indonesia (UII), 3
mahasiswa dari Universitas Pancasila (UP), 5 mahasiswa dari Universitas
Setia Budi (USB), dan 5 mahasiswa dari Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah. Kegiatan PKPA di rumah sakit tersebut dilaksanakan
mulai tanggal 1 Februari 2017 sampai 30 Maret 2017.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Rumah Sakit
1. Peraturan Perundangan sebagai Dasar Rumah Sakit
Menurut Undang Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun
2009 Tentang Rumah Sakit pada Pasal 2 menyebutkan bahwa Rumah
Sakit diselenggarakan berdasarkan pancasila dan didasarkan pada nilai
kemanusiaan, etika, dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan
hak, dan anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan keselamatan
pasien, serta mempunyai fungsi sosial(3).
Dalam PerMenKes No.1045/MENKES/PER/XI/2006 menyebutkan
bahwa kedudukan Rumah Sakit merupakan Unit Pelayanan Teknis di
lingkungan Departemen Kesehatan yang berada di bawah dan bertanggung
jawab kepada Direktur Jendral Bina Pelayanan Medik. Rumah Sakit
mempunyai tugas melaksanakan pelayanan kesehatan paripurna,
pendidikan dan pelatihan. Rumah Sakit menyelenggarakan fungsi, antara
lain(4):
a. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui
pelayanan kesehatan paripurna tingkat sekunder dan tersier.
b. Pelaksanaan pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan untuk
meningkatkan kemampuan sumber daya manusia dalam pemberian
pelayanan kesehatan.
c. Pelaksanaan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi
bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan.
d. Pelaksanaan administrasi Rumah Sakit.
Rumah Sakit mempunyai hak dan kewajiban dalam hubungan
hukum perjanjian terapeutik dengan pasien sebagaimana yang diatur
dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang
Rumah Sakit yaitu:
4
a. Hak-Hak Rumah Sakit(3):
1) Menentukan jumlah, jenis dan kualifikasi sumber daya manusia sesuai
dengan kualifikasi Rumah Sakit menerima imbalan jasa pelayanan
serta menentukan remunerasi, insentif dan penghargaan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
2) Melakukan kerja sama dengan pihak lain dalam rangka
mengembangkan pelayanan.
3) Menerima bantuan dari pihak lain sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku.
4) Menggugat pihak yang mengakibatkan kerugian.
5) Mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan pelayanan
kesehatan.
6) Mempromosikan layanan kesehatan yang ada di Rumah Sakit sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan.
7) Mendapatkan insentif pajak bagi Rumah Sakit publik dan Rumah Sakit
yang ditetapkan sebagai Rumah Sakit pendidikan.
b. Kewajiban-kewajiban Rumah Sakit(3):
1) Memberikan informasi yang benar tentang pelayanan Rumah Sakit
kepada masyarakat.
2) Memberikan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, anti
diskriminasi dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien
sesuai dengan standar pelayanan Rumah Sakit.
3) Memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan
kemampuan pelayanannya.
4) Berperan aktif dalam memberikan pelayanan kesehatan pada bencana
sesuai dengan kemampuan pelayanannya.
5) Menyediakan sarana dan pelayanan bagi masyarakat tidak mampu
atau miskin.
6) Melaksanakan fungsi sosial dengan cara memberikan fasilitas dan
pelayanan untuk pasien tidak mampu atau miskin, pelayanan gawat
darurat tanpa uang muka, ambulan gratis, pelayanan untuk korban
5
bencana dan kejadian luar biasa atau bakti sosial bagi misi
kemanusiaan.
7) Membuat, melaksanakan dan menjaga standar mutu pelayanan
kesehatan di Rumah Sakit sebagai acuan dalam melayani pasien.
8) Menyelenggarakan rekam medik.
9) Menyediakan sarana dan prasarana umum yang layak antara lain
sarana ibadah, parkir, ruang tunggu, sarana untuk orang cacat, wanita
menyusui, anak-anak, dan usai lanjut.
10) Melaksanakan sistem rujukan.
11) Menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan standar profesi
dan etika serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.
12) Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai hak dan
kewajiban pasien.
13) Menghormati dan melindungi hak-hak pasien.
14) Melaksanakan etika Rumah Sakit.
15) Memiliki sistem pencegahan kecelakaan dan penanggulangan
bencana.
16) Melaksanakan program pemerintah di bidang kesehatan baik secara
regional maupun nasional.
17) Membuat daftar tenaga medis yang melakukan praktek kedokteran
atau kedokteran gigi dan tenaga kesehatan lainnya.
18) Menyusun dan melaksanakan peraturan internal Rumah Sakit
(hospital by laws).
19) Melindungi dan memberikan bantuan hukum bagi semua petugas
Rumah Sakit dalam melaksanakan tugas.
20) Memberlakukan seluruh lingkungan Rumah Sakit kawasan tanpa
rokok.
6
menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat yang
memberikan pelayanan kesehatan jangka pendek dan jangka panjang.
Terdiri dari observasi, diagnostik, terapeutik dan rehabilitatif untuk orang-
orang yang menderita sakit, cidera dan melahirkan(3).
7
jiwa, paru, orthopedi, urologi, bedah syaraf, bedah plastik, dan gigi
mulut. Pelayanan medik spesialis gigi dan mulut, meliputi pelayanan
bedah mulut, konservasi/endodonsi, periodonti, orthodonti,
prosthodonti, pedodonsi, dan penyakit mulut.
Pelayanan kefarmasian meliputi pengelolaan sediaan farmasi,
alat kesehatan dan bahan medis habis pakai, dan pelayanan farmasi
klinik. Pelayanan keperawatan dan kebidanan meliputi asuhan
keperawatan generalis dan spesialis serta asuhan kebidanan.
Pelayanan penunjang klinik meliputi pelayanan bank darah, perawatan
intensif untuk semua golongan umur dan jenis penyakit, gizi,
sterilisasi instrumen dan rekam medik. Pelayanan penunjang nonklinik
meliputi pelayanan laundry/linen, jasa boga/dapur, teknik dan
pemeliharaan fasilitas, pengelolaan limbah, gudang, ambulans, sistem
informasi dan komunikasi, pemulasaraan jenazah, sistem
penanggulangan kebakaran, pengelolaan gas medik, dan pengelolaan
air bersih. Pelayanan rawat inap harus dilengkapi dengan fasilitas;
jumlah tempat tidur perawatan Kelas III paling sedikit 30% dari
seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit milik Pemerintah; jumlah
tempat tidur perawatan Kelas III paling sedikit 20% dari seluruh
tempat tidur untuk Rumah Sakit milik swasta; jumlah tempat tidur
perawatan intensif sebanyak 5% dari seluruh tempat tidur untuk
Rumah Sakit milik Pemerintah dan Rumah Sakit milik swasta.
Sumber daya manusia Rumah Sakit Umum kelas A terdiri atas
tenaga medis, tenaga kefarmasian, tenaga keperawatan, tenaga
kesehatan lain dan tenaga non kesehatan. Tenaga medis paling sedikit
terdiri atas 18 dokter umum untuk pelayanan medik dasar, 4 dokter
gigi umum untuk pelayanan medik gigi mulut, 6 dokter spesialis untuk
setiap jenis pelayanan medik spesialis dasar, 3 dokter spesialis untuk
setiap jenis pelayanan medik spesialis penunjang, 3 dokter spesialis
untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis lain, 2 dokter subspesialis
untuk setiap jenis pelayanan medik subspesialis; dan 1 dokter gigi
spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis gigi mulut.
8
Tenaga kefarmasian paling sedikit terdiri atas 1 apoteker
sebagai kepala Instalasi Farmasi Rumah Sakit, 5 apoteker yang
bertugas di rawat jalan yang dibantu oleh paling sedikit 10 tenaga
teknis kefarmasian, 5 apoteker di rawat inap yang dibantu oleh paling
sedikit 10 tenaga teknis kefarmasian, 1 apoteker di instalasi gawat
darurat yang dibantu oleh minimal 2 tenaga teknis kefarmasian, 1
apoteker di ruang ICU yang dibantu oleh paling sedikit 2 tenaga teknis
kefarmasian, 1 apoteker sebagai koordinator penerimaan dan distribusi
yang dapat merangkap melakukan pelayanan farmasi klinik di rawat
inap atau rawat jalan dan dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian yang
jumlahnya disesuaikan dengan beban kerja pelayanan kefarmasian
Rumah Sakit; dan 1 apoteker sebagai koordinator produksi yang dapat
merangkap melakukan pelayanan farmasi klinik di rawat inap atau
rawat jalan dan dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian yang
jumlahnya disesuaikan dengan beban kerja pelayanan kefarmasian
Rumah Sakit.
Jumlah kebutuhan tenaga keperawatan sama dengan jumlah
tempat tidur pada instalasi rawat inap, kualifikasi dan kompetensi
tenaga keperawatan disesuaikan dengan kebutuhan pelayanan Rumah
Sakit. Jumlah dan kualifikasi tenaga kesehatan lain dan tenaga
nonkesehatan disesuaikan dengan kebutuhan pelayanan Rumah
Sakit.Peralatan Rumah Sakit Umum kelas A paling sedikit terdiri dari
peralatan medis untuk instalasi gawat darurat, rawat jalan, rawat inap,
rawat intensif, rawat operasi, persalinan, radiologi, laboratorium
klinik, pelayanan darah, rehabilitasi medik, farmasi, instalasi gizi, dan
kamar jenazah.
b. Rumah Sakit Umum Kelas B
Rumah Sakit Umum Kelas B terdiri dari pelayanan medik,
pelayanan kefarmasian, pelayanan keperawatan dan kebidanan,
pelayanan penunjang klinik, pelayanan penunjang nonklinik dan
pelayanan rawat inap. Pelayanan medik sebagaimana dimaksud paling
sedikit terdiri dari pelayanan gawat darurat, pelayanan medik spesialis
9
dasar, pelayanan medik spesialis penunjang, pelayanan medik
spesialis lain, pelayanan medik subspesialis, dan pelayanan medik
spesialis gigi dan mulut. Pelayanan gawat darurat harus
diselenggarakan 24 jam sehari secara terus menerus. Pelayanan medik
spesialis dasar meliputi pelayanan penyakit dalam, kesehatan anak,
bedah, dan obstetri dan ginekologi. Pelayanan medik spesialis
penunjang meliputi pelayanan anestesiologi, radiologi, patologi klinik,
patologi anatomi, dan rehabilitasi medik. Pelayanan medik spesialis
lain, paling sedikit berjumlah 8 pelayanan dari 13 pelayanan yang
meliputi pelayanan mata, telinga hidung tenggorokan, syaraf, jantung
dan pembuluh darah, kulit dan kelamin, kedokteran jiwa, paru,
orthopedi, urologi, bedah syaraf, bedah plastik, dan kedokteran
forensik. Pelayanan medik subspesialis, paling sedikit berjumlah 2
pelayanan subspesialis dari 4 subspesialis dasar yang meliputi
pelayanan subspesialis di bidang spesialisasi bedah, penyakit dalam,
kesehatan anak, dan obstetri dan ginekologi. Pelayanan medik
spesialis gigi dan mulut, paling sedikit berjumlah 3 pelayanan yang
meliputi pelayanan bedah mulut, konservasi/endodonsi, dan
orthodonti.
Pelayanan kefarmasian meliputi pengelolaan sediaan farmasi,
alat kesehatan dan bahan medis habis pakai, dan pelayanan farmasi
klinik. Pelayanan keperawatan dan kebidanan meliputi asuhan
keperawatan dan asuhan kebidanan. Pelayanan penunjang klinik
meliputi pelayanan bank darah, perawatan intensif untuk semua
golongan umur dan jenis penyakit, gizi, sterilisasi instrumen dan
rekam medik. Pelayanan penunjang nonklinik meliputi pelayanan
laundry/linen, jasa boga/dapur, teknik dan pemeliharaan fasilitas,
pengelolaan limbah, gudang, ambulans, sistem informasi dan
komunikasi, pemulasaraan jenazah, sistem penanggulangan
kebakaran, pengelolaan gas medik, dan pengelolaan air bersih.
Pelayanan rawat inap harus dilengkapi dengan fasilitas sebagai
berikut, jumlah tempat tidur perawatan kelas III paling sedikit 30%
10
dari seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit milik Pemerintah, jumlah
tempat tidur perawatan kelas III paling sedikit 20% dari seluruh
tempat tidur untuk Rumah Sakit milik swasta, jumlah tempat tidur
perawatan intensif sebanyak 5% dari seluruh tempat tidur untuk
Rumah Sakit milik Pemerintah dan Rumah Sakit milik swasta.
Sumber daya manusia Rumah Sakit Umum kelas B terdiri atas
tenaga medis, tenaga kefarmasian, tenaga keperawatan, tenaga
kesehatan lain dan tenaga non kesehatan. Tenaga medis paling sedikit
terdiri atas 12 dokter umum untuk pelayanan medik dasar, 3 dokter
gigi umum untuk pelayanan medik gigi mulut, 3 dokter spesialis untuk
setiap jenis pelayanan medik spesialis dasar, 2 dokter spesialis untuk
setiap jenis pelayanan medik spesialis penunjang, 1 dokter spesialis
untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis lain, 1 dokter subspesialis
untuk setiap jenis pelayanan medik subspesialis, dan 1 dokter gigi
spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis gigi mulut.
Tenaga kefarmasian paling sedikit terdiri atas 1 orang apoteker
sebagai kepala Instalasi Farmasi Rumah Sakit, 4 apoteker yang
bertugas di rawat jalan yang dibantu oleh paling sedikit 8 orang tenaga
teknis kefarmasian, 4 orang apoteker di rawat inap yang dibantu oleh
paling sedikit 8 orang tenaga teknis kefarmasian, 1 orang apoteker di
instalasi gawat darurat yang dibantu oleh minimal 2 orang tenaga
teknis kefarmasian, 1 orang apoteker di ruang ICU yang dibantu oleh
paling sedikit 2 orang tenaga teknis kefarmasian, 1 orang apoteker
sebagai koordinator penerimaan dan distribusi yang dapat merangkap
melakukan pelayanan farmasi klinik di rawat inap atau rawat jalan dan
dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian yang jumlahnya disesuaikan
dengan beban kerja pelayanan kefarmasian Rumah Sakit, dan 1 orang
apoteker sebagai koordinator produksi yang dapat merangkap
melakukan pelayanan farmasi klinik di rawat inap atau rawat jalan dan
dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian yang jumlahnya disesuaikan
dengan beban kerja pelayanan kefarmasian Rumah Sakit. Jumlah
kebutuhan tenaga keperawatan sama dengan jumlah tempat tidur pada
11
instalasi rawat inap, kualifikasi dan kompetensi tenaga keperawatan
disesuaikan dengan kebutuhan pelayanan Rumah Sakit. Jumlah dan
kualifikasi tenaga kesehatan lain dan tenaga non kesehatan
sebagaimana disesuaikan dengan kebutuhan pelayanan Rumah Sakit.
Peralatan Rumah Sakit Umum Kelas B paling sedikit terdiri dari
peralatan medis untuk instalasi gawat darurat, rawat jalan, rawat inap,
rawat intensif, rawat operasi, persalinan, radiologi, laboratorium
klinik, pelayanan darah, rehabilitasi medik, farmasi, instalasi gizi, dan
kamar jenazah.
c. Rumah Sakit Umum Kelas C
Rumah Sakit Umum Kelas C terdiri dari pelayanan medik,
pelayanan kefarmasian, pelayanan keperawatan dan kebidanan,
pelayanan penunjang klinik, pelayanan penunjang nonklinik dan
pelayanan rawat inap. Pelayanan medik yang dimaksud paling sedikit
terdiri dari, pelayanan gawat darurat 24 jam, pelayanan medik umum
(meliputi pelayanan medik dasar, medik gigi mulut, kesehatan ibu dan
anak, dan keluarga berencana), pelayanan medik spesialis dasar
(meliputi pelayanan penyakit dalam, kesehatan anak, bedah, dan
obstetri dan ginekologi), pelayanan medik spesialis
penunjang(meliputi pelayanan anestesiologi, radiologi, dan patologi
klinik), pelayanan medik spesialis lain, pelayanan medik subspesialis,
dan pelayanan medik spesialis gigi dan mulut.
Pelayanan kefarmasian sebagaimana dimaksud meliputi
pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis
pakai, dan pelayanan farmasi klinik. Pelayanan keperawatan dan
kebidanan meliputi asuhan keperawatan dan asuhan kebidanan.
Pelayanan penunjang klinik meliputi pelayanan bank darah, perawatan
intensif untuk semua golongan umur dan jenis penyakit, gizi,
sterilisasi instrumen dan rekam medik. Pelayanan penunjang nonklinik
meliputi pelayanan laundry/linen, jasa boga/dapur, teknik dan
pemeliharaan fasilitas, pengelolaan limbah, gudang, ambulans, sistem
informasi dan komunikasi, pemulasaraan jenazah, sistem
12
penanggulangan kebakaran, pengelolaan gas medik, dan pengelolaan
air bersih. Pelayanan rawat inap harus dilengkapi dengan fasilitas;
jumlah tempat tidur perawatan kelas III paling sedikit 30% (tiga puluh
persen) dari seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit milik
Pemerintah, jumlah tempat tidur perawatan kelas III paling sedikit
20% (dua puluh persen) dari seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit
milik swasta, jumlah tempat tidur perawatan intensif sebanyak 5%
(lima persen) dari seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit milik
Pemerintah dan Rumah Sakit milik swasta.
Sumber daya manusia Rumah Sakit Umum kelas C terdiri atas
9 (sembilan) dokter umum untuk pelayanan medik dasar, 2 (dua)
dokter gigi umum untuk pelayanan medik gigi mulut, 2 (dua) dokter
spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis dasar, 1 (satu)
dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis
penunjang dan 1 (satu) dokter gigi spesialis untuk setiap jenis
pelayanan medik spesialis gigi mulut. Tenaga kefarmasian paling
sedikit terdiri atas 1 (satu) orang apoteker sebagai kepala Instalasi
Farmasi Rumah Sakit, 2 (dua) apoteker yang bertugas di rawat inap
yang dibantu oleh paling sedikit 4 (empat) orang tenaga teknis
kefarmasian, 4 (empat) orang apoteker di rawat inap yang dibantu
oleh paling sedikit 8 (delapan) orang tenaga teknis kefarmasian, 1
(satu) orang apoteker sebagai koordinator penerimaan, distribusi dan
produksi yang dapat merangkap melakukan pelayanan farmasi klinik
di rawat inap atau rawat jalan dan dibantu oleh tenaga teknis
kefarmasian yang jumlahnya disesuaikan dengan beban kerja
pelayanan kefarmasian Rumah Sakit.
Jumlah kebutuhan tenaga keperawatan dihitung dengan
perbandingan 2 (dua) perawat untuk 3 (tiga) tempat tidur. Kualifikasi
dan kompetensi tenaga keperawatan disesuaikan dengan kebutuhan
pelayanan Rumah Sakit.Peralatan Rumah Sakit Umum Kelas C paling
sedikit terdiri dari peralatan medis untuk instalasi gawat darurat, rawat
jalan, rawat inap, rawat intensif, rawat operasi, persalinan, radiologi,
13
laboratorium klinik, pelayanan darah, rehabilitasi medik, farmasi,
instalasi gizi, dan kamar jenazah.
d. Rumah Sakit Umum Kelas D
Rumah Sakit Umum Kelas D terdiri dari pelayanan medik
(pelayanan gawat darurat 24 jam, medik umum, spesialis dasar, dan
spesialis penunjang), pelayanan kefarmasian, pelayanan keperawatan
dan kebidanan, pelayanan penunjang klinik, pelayanan penunjang
nonklinik dan pelayanan rawat inap.
Pelayanan kefarmasian meliputi pengelolaan sediaan farmasi,
alat kesehatan dan bahan medis habis pakai, dan pelayanan farmasi
klinik. Pelayanan keperawatan dan kebidanan meliputi asuhan
keperawatan dan asuhan kebidanan. Pelayanan penunjang klinik
meliputi pelayanan darah, perawatan high care unit untuk semua
golongan umur dan jenis penyakit, gizi, sterilisasi instrumen dan
rekam medik. Pelayanan penunjang nonklinik meliputi pelayanan
laundry/linen, jasa boga/dapur, teknik dan pemeliharaan fasilitas,
pengelolaan limbah, gudang, ambulans, sistem informasi dan
komunikasi, pemulasaraan jenazah, sistem penanggulangan
kebakaran, pengelolaan gas medik, dan pengelolaan air bersih.
Pelayanan rawat inap pada Rumah Sakit kelas D harus dilengkapi
dengan fasilitas; jumlah tempat tidur perawatan kelas III paling sedikit
30% (tiga puluh persen) dari seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit
milik Pemerintah, jumlah tempat tidur perawatan kelas III paling
sedikit 20% (dua puluh persen) dari seluruh tempat tidur untuk Rumah
Sakit milik swasta, jumlah tempat tidur perawatan intensif sebanyak
5% (lima persen) dari seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit milik
Pemerintah dan Rumah Sakit milik swasta.
Sumber daya manusia Rumah Sakit umum kelas D terdiri atas
tenaga medis, tenaga kefarmasian, tenaga keperawatan,tenaga
kesehatan lain,dan tenaga nonkesehatan. Tenaga medis pada Rumah
Sakit kelas D memiliki 4 (empat) dokter umum untuk pelayanan
medik dasar,1 (satu) dokter gigi umum untuk pelayanan medik gigi
14
mulut, 1 (satu) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik
spesialis dasar.
Tenaga kefarmasian pada Rumah Sakit kelas D paling sedikit
terdiri atas 1 (satu) orang apoteker sebagai kepala Instalasi Farmasi
Rumah Sakit, 1 (satu) apoteker yang bertugas di rawat inap dan rawat
jalan yang dibantu oleh paling sedikit 2 (dua) orang tenaga teknis
kefarmasian, 1 (satu) orang apoteker sebagai koordinator penerimaan,
distribusi dan produksi yang dapat merangkap melakukan pelayanan
farmasi klinik di rawat inap atau rawat jalan dan dibantu oleh tenaga
teknis kefarmasian yang jumlahnya disesuaikan dengan beban kerja
pelayanan kefarmasian Rumah Sakit. Jumlah kebutuhan tenaga
keperawatan di Rumah Sakit kelas D perbandingannya adalah 2 (dua)
perawat untuk 3 (tiga) tempat tidur. Kualifikasi dan kompetensi tenaga
keperawatan disesuaikan dengan kebutuhan pelayanan Rumah Sakit.
Jumlah dan kualifikasi tenaga kesehatan lain dan tenaga non
kesehatan disesuaikan dengan kebutuhan pelayanan Rumah Sakit.
Peralatan pada Rumah Sakit kelas D terdiri dari peralatan
medis untuk instalasi gawat darurat, rawat jalan, rawat inap, rawat
intensif, rawat operasi, persalinan, radiologi, laboratorium klinik,
pelayanan darah, rehabilitasi medik, farmasi, instalasi gizi, dan kamar
jenazah. Selain Rumah Sakit umum Kelas D, terdapat juga Rumah
Sakit Umum Kelas D Pratama yang didirikan dan diselenggarakan
untuk menjamin ketersediaan dan meningkatkan aksesibilitas
masyarakat terhadap pelayanan kesehatan tingkat kedua. Rumah Sakit
Umum kelas D pratama didirikan dan diselenggarakan di daerah
tertinggal, perbatasan, atau kepulauan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Selain pada daerah Rumah Sakit
Umum kelas D pratama dapat juga didirikan di kabupaten/kota,
apabila memenuhi kriteria sebagai berikut; belum tersedia Rumah
Sakit di kabupaten/kota yang bersangkutan; Rumah Sakit yang telah
beroperasi di kabupaten/kota yang bersangkutan kapasitasnya belum
mencukupi; atau lokasi Rumah Sakit yang telah beroperasi sulit
15
dijangkau secara geografis oleh sebagian penduduk di kabupaten/kota
yang bersangkutan(2).
e. Rumah Sakit Khusus
Rumah Sakit khusus ini hanya dapat menyelenggarakan
pelayanan kesehatan sesuai dengan bidangnya dan bidang lain yang
menunjang kekhususan tersebut. Rumah Sakit khusus meliputi; ibu
dan anak; mata; otak; gigi dan mulut; kanker; jantung dan pembuluh
darah; jiwa; infeksi; paru; telinga-hidung-tenggorokan; bedah;
ketergantungan obat; dan ginjal.
Rumah Sakit Khusus harus mempunyai fasilitas dan
kemampuan, paling sedikit meliputi: pelayanan medik, paling sedikit
terdiri dari: a) pelayanan gawat darurat, tersedia 24 (dua puluh empat)
jam sehari terus menerus sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; b) pelayanan medik umum; c) pelayanan medik
spesialis dasar sesuai dengan kekhususan; d) pelayanan medik
spesialis dan/atau subspesialis sesuai kekhususan; e) pelayanan medik
spesialis penunjang; 2. pelayanan kefarmasian; 3. pelayanan
keperawatan; 4. pelayanan penunjang klinik; dan 5. pelayanan
penunjang nonklinik.
Sumber daya manusia, paling sedikit terdiri dari: 1. tenaga
medis. 2. tenaga kefarmasian, dengan kualifikasi apoteker dan tenaga
teknis kefarmasian dengan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan
pelayanan kefarmasian Rumah Sakit. 3. tenaga keperawatan, dengan
kualifikasi dan kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan pelayanan
Rumah Sakit; 4. tenaga kesehatan lain dan tenaga non kesehatan,
sesuai dengan kebutuhan pelayanan Rumah Sakit. Peralatan, yang
memenuhi standar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
16
Penyantun, Badan Penasehat dan Badan Penyelenggara. Badan
Penyelenggara terdiri atas direktur, wakil direktur, komite medik, satuan
pengawas dan berbagai bagian instalasi. Tergantung pada besarnya Rumah
Sakit, dapat terdiri atas satu sampai empat wakil direktur. Wakil direktur
pada umumnya terdiri atas wakil direktur pelayanan medik, wakil direktur
penunjang medik dan keperawatan, wakil direktur keuangan dan
administrasi dari semua disiplin yang ada di Rumah Sakit. Komite medik
adalah wadah nonstruktural yang keanggotaannya terdiri atas ketua-ketua
Staf Medis Fungsional (SMF)(6).
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 44 Tahun 2009
pasal 33 tentang Rumah Sakit, Setiap Rumah Sakit harus memiliki
organisasi yang efektif, efisien, dan akuntabel. Organisasi Rumah Sakit
paling sedikit terdiri atas kepala Rumah Sakit atau direktur Rumah Sakit,
unsur pelayanan medis, unsur keperawatan, unsur penunjang medis,
komite medis, satuan pemeriksaan internal, serta administrasi umum dan
keuangan(3).
Seseorang yang menjadi Kepala Rumah Sakit haruslah seseorang
yang berasal dari tenaga medis yang mempunyai kemampuan dan keahlian
di bidang Rumah Sakit. Sedangkan untuk tenaga struktural yang
menduduki jabatan sebagai pimpinan harus memiliki kewarganegaraan
Indonesia(6). Struktur organisasi Rumah Sakit Umum dapat dilihat pada
gambarberikut:
17
5. Akreditasi Rumah Sakit
Akreditasi Rumah Sakit adalah pengakuan terhadap Rumah Sakit
yang diberikan oleh lembaga independen penyelenggara akreditasi yang
ditetapkan oleh menteri, setelah dinilai bahwa Rumah Sakit tersebut
memenuhi standar pelayanan Rumah Sakit yang berlaku untuk
meningkatkan mutu pelayanan Rumah Sakit secara berkesinambungan.
Pelaksanaan akreditasi bertujuan untuk(7):
a. Meningkatkan mutu pelayanan Rumah Sakit
b. Meningkatkan keselamatan pasien Rumah Sakit
c. Meningkatkan perlindungan bagi pasien, masyarakat, sumber daya
manusia Rumah Sakit, dan Rumah Sakit sebagai institusi.
d. Mendukung program pemerintah di bidang kesehatan.
Menurut UU No. 44 tahun 2009 pasal 40 untuk meningkatan mutu
pelayanan, Rumah Sakit wajib melakukan akreditasi secara berkala
minimal 3 (tiga) tahun sekali(3). Akreditasi terbagi menjadi dua yaitu
akreditasi nasional dan internasional. Setiap Rumah Sakit di Indonesia
wajib mengikuti akreditasi nasional, namun tidak wajib mengikuti
akreditasi internasional. Penyelenggaraan akreditasi nasional meliputi
persiapan akreditasi, bimbingan akreditasi, pelaksanaan akreditasi dan
kegiatan paska akreditasi(7).
a. Persiapan Akreditasi
Pemenuhan standar dan penilaian mandiri (self assessment).
b. Bimbingan Akreditasi
Proses pembinaan Rumah Sakit dalam rangka meningkatkan kinerja
dalam mempersiapkan survei akreditasi.
c. Pelaksanaan Akreditasi
Terdiri dari survei akreditasi dan penetapan status akreditasi.
d. Kegiatan Pasca Akreditasi
Bentuk survei verifikasi yang hanya dapat dilakukan oleh lembaga
independen pelaksana akreditasi.
18
Survei verifikasi bertujuan untuk mempertahankan dan/atau
meningkatkan mutu pelayanan Rumah Sakit sesuai dengan rekomendasi
dari surveyor.
19
B. Instalasi Farmasi Rumah Sakit
1. Peraturan Perundangan sebagai Dasar Instalasi Farmasi Rumah Sakit
Menurut Undang-undang No. 36 Tahun 2014 Fasilitas Pelayanan Kesehatan
merupakan suatu alat dan/atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan
upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif, maupun
rehabilitatif
yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat
(1).
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2014,
Instalasi Farmasi Rumah Sakit merupakan unit pelaksana fungsional
yang
menyelenggarakan seluruh kegiatan pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit(2).
Selain
itu, Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) dapat didefinisikan sebagai suatu
departemen atau unit atau bagian di suatu Rumah Sakit di bawah pimpinan seorang
Apoteker dan dibantu oleh beberapa orang Apoteker yang memenuhi persyaratan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan kompeten secara professional,
tempat atau fasilitas penyelenggaraan yang bertanggung jawab atas seluruh
pekerjaan
serta pelayanan kefarmasian, yang terdiri atas pelayanan paripurna, mencakup
perencanaan; pengadaan; produksi; penyimpanan perbekalan kesehatan/sediaan
farmasi; dispensing obat berdasarkan resep bagi penderita rawat inap dan rawat
jalan;
pengendalian mutu; dan pengendalian distribusi dan penggunaan seluruh perbekalan
kesehatan di Rumah Sakit; pelayanan farmasi klinik umum dan spesialis, mencakup
pelayanan langsung pada penderita dan pelayanan klinik yang merupakan program
Rumah Sakit secara keseluruhan(6).
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 58 Tahun 2014 Tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit disebutkan bahwa Pengelolaan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai harus dilaksanakan
secara multidisiplin, terkoordinir dan menggunakan proses yang efektif untuk
menjamin kendali mutu dan kendali biaya(2). Dalam ketentuan Pasal 15 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit menyatakan bahwa
Pengelolaan Alat Kesehatan, Sediaan Farmasi, dan Bahan Medis Habis Pakai di
Rumah Sakit harus dilakukan oleh Instalasi Farmasi sistem satu pintu. Alat
Kesehatan
yang dikelola oleh Instalasi Farmasi sistem satu pintu berupa alat medis habis
pakai/peralatan non elektromedik, antara lain alat kontrasepsi (IUD), alat pacu
jantung, implan, dan stent. Sistem satu pintu adalah satu kebijakan kefarmasian
termasuk pembuatan formularium, pengadaan, dan pendistribusian Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang bertujuan untuk mengutamakan
20
kepentingan pasien melalui Instalasi Farmasi Rumah Sakit. Dengan demikian semua
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang beredar di
Rumah Sakit merupakan tanggung jawab Instalasi Farmasi Rumah Sakit, sehingga
tidak ada pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai di Rumah Sakit yang dilaksanakan selain oleh Instalasi Farmasi Rumah Sakit.
Dengan kebijakan pengelolaan sistem satu pintu, Instalasi Farmasi sebagai satu-
satunya penyelenggara Pelayanan Kefarmasian, sehingga Rumah Sakit akan
mendapatkan manfaat dalam hal(3):
a. Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian penggunaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai;
b. Standarisasi Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai;
c. Penjaminan mutu Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai;
d. Pengendalian harga Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai;
e. Pemantauan terapi Obat;
f. Penurunan risiko kesalahan terkait penggunaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai (keselamatan pasien);
g. Kemudahan akses data Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai yang akurat;
h. Peningkatan mutu pelayanan Rumah Sakit dan citra Rumah Sakit; dan
peningkatan pendapatan Rumah Sakit dan peningkatan kesejahteraan pegawai.
21
2. Tugas dan Fungsi Instalasi Farmasi Rumah Sakit
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 58 Tahun 2014 Tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit menyebutkan Tugas IFRS antara
lain(2):
a. Menyelenggarakan, mengkoordinasikan, mengatur dan mengawasi seluruh
kegiatan Pelayanan Kefarmasian yang optimal dan profesional serta sesuai
prosedur dan etik profesi;
b. Melaksanakan pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai yang efektif, aman, bermutu dan efisien;
c. Melaksanakan pengkajian dan pemantauan penggunaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai guna memaksimalkan efek terapi dan
keamanan serta meminimalkan risiko;
d. Melaksanakan Komunikasi, Edukasi dan Informasi (KIE) serta memberikan
rekomendasi kepada dokter, perawat dan pasien;
e. Berperan aktif dalam Tim Farmasi dan Terapi;
f. Melaksanakan pendidikan dan pelatihan serta pengembangan Pelayanan
Kefarmasian;
g. Memfasilitasi dan mendorong tersusunnya standar pengobatan dan formularium
Rumah Sakit.
22
Sedangkan untuk Fungsi dari IFRS itu sendiri antara lain:
a. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Bahan Medis Habis Pakai
1) Memilih Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
sesuai kebutuhan pelayanan Rumah Sakit;
2) Merencanakan kebutuhan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai secara efektif, efisien dan optimal;
3) Mengadakan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
berpedoman pada perencanaan yang telah dibuat sesuai ketentuan yang
berlaku;
4) Memproduksi Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit;
5) Menerima Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
sesuai dengan spesifikasi dan ketentuan yang berlaku;
6) Menyimpan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
sesuai dengan spesifikasi dan persyaratan kefarmasian;
7) Mendistribusikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai ke unit-unit pelayanan di Rumah Sakit;
8) Melaksanakan pelayanan farmasi satu pintu;
9) Melaksanakan pelayanan Obat “unit dose”/dosis sehari;
10) Melaksanakan komputerisasi pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai (apabila sudah memungkinkan);
11) Mengidentifikasi, mencegah dan mengatasi masalah yang terkait dengan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai;
12) Melakukan pemusnahan dan penarikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai yang sudah tidak dapat digunakan;
13) Mengendalikan persediaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai;
14) Melakukan administrasi pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai.
b. Pelayanan farmasi klinik
1) Mengkaji dan melaksanakan pelayanan Resep atau permintaan Obat;
2) Melaksanakan penelusuran riwayat penggunaan Obat;
3) Melaksanakan rekonsiliasi Obat;
23
4) Memberikan informasi dan edukasi penggunaan Obat baik berdasarkan Resep
maupun Obat non Resep kepada pasien/keluarga pasien;
5) Mengidentifikasi, mencegah dan mengatasi masalah yang terkait dengan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai;
6) Melaksanakan visite mandiri maupun bersama tenaga kesehatan lain;
7) Memberikan konseling pada pasien dan/atau keluarganya;
8) Melaksanakan Pemantauan Terapi Obat (PTO)
a) Pemantauan efek terapi Obat;
b) Pemantauan efek samping Obat;
c) Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD).
9) Melaksanakan Evaluasi Penggunaan Obat (EPO);
10) Melaksanakan dispensing sediaan steril
a) Melakukan pencampuran Obat suntik
b) Menyiapkan nutrisi parenteral
c) Melaksanakan penanganan sediaan sitotoksik
d) Melaksanakan pengemasan ulang sediaan steril yang tidak stabil
11) Melaksanakan Pelayanan Informasi Obat (PIO) kepada tenaga kesehatan lain,
pasien/keluarga, masyarakat dan institusi di luar Rumah Sakit;
12) Melaksanakan Penyuluhan Kesehatan Rumah Sakit (PKRS).
24
3. Struktur Organisasi Instalasi Farmasi Rumah Sakit
Struktur organisasi merupakan struktur yang menggambarkan pembagian
tugas, koordinasi kewenangan, fungsi dan tanggung jawab Rumah Sakit.
Pengorganisasian Instalasi Farmasi Rumah Sakit harus mencakup penyelenggaraan
pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai,
pelayanan
farmasi klinik dan manajemen mutu, dan bersifat dinamis dapat direvisi sesuai
kebutuhan dengan tetap menjaga mutu. Ketentuan terkait jabatan fungsional di
Instalasi Farmasi Rumah Sakit diatur menurut kebutuhan organisasi dan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku. Hal ini menjelaskan bahwa pengorganisasian
Instalasi
Farmasi Rumah Sakit minimal terdiri dari kepala IFRS, pengelolaan sediaan
farmasi,
alat kesehatan dan bahan medis habis pakai, pelayanan farmasi klinik dan
manajemen
mutu(2).
Struktur organisasi IFRS dapat dikembangkan dalam 3 tingkat yaitu(6):
a. Manajer tingkat puncak bertanggung jawab untuk perencanaan, penerapan, dan
pemfusian yang efektif dari sistem mutu secara menyeluruh.
b. Manajer tingkat menengah, kebanyakan kepala bagian/unit
fungsional
bertanggung jawab untuk mendesain dan menerapkan berbagai kegiatan yang
berkaitan dengan mutu dalam daerah/bidang fungsional mereka, untuk mencapai
mutu produk dan pelayanan yang di inginkan.
c. Manajer garis depan terdiri atas personel pengawas yang secara langsung
memantau dan mengendalikan kegiatan yang berkaitan dengan mutu selama
berbagai tahap memproses produk dan pelayanan.
25
a. Organisasi dan manajemen
Standar MPO.1 yaitu Penggunaan obat di rumah sakit sesuai dengan
undang-undang, dan peraturan yang berlaku dan diorganisir untuk memenuhi
kebutuhan pasien. Maksud dan tujuan MPO.1 yaitu Obat, sebagai suatu sumber
penting dalam pelayanan pasien, harus diorganisir secara efektif dan efisien.
Manajemen obat bukan hanya tanggung jawab dari pelayanan farmasi tetapi juga
dari para manajer dan praktisi asuhan klinis. Pengaturan pembagian tanggung
jawab tergantung pada struktur organisasi dan staffing. Pada saat apoteker tidak
hadir, obat-obat bisa dikelola oleh setiap unit klinis tergantung kebijakan
rumah
sakit. Pada kasus lain, dimana terdapat suatu sentral farmasi yang besar, bagian
farmasi dapat mengorganisir dan mengendalikan obat yang diberlakukan
diseluruh rumah sakit.
Manajemen obat yang efektif mencakup semua bagian dalam rumah sakit,
unit rawat inap, rawat jalan maupun unit khusus. Undang-undang dan peraturan
yang berlaku dimasukkan ke dalam struktur organisasi dan operasional sistem
manajemen obat di rumah sakit. Untuk memastikan manajemen dan penggunaan
obat yang efektif, rumah sakit memberlakukan suatu sistem review sekurang-
kurangnya sekali setahun. Review tahunan mengumpulkan semua informasi dan
pengalaman yang berhubungan dengan manajemen pengobatan. Informasi dan
pengalaman termasuk, contoh sebagai berikut:
1) Seberapa baik sistem itu berjalan sehubungan dengan: seleksi dan pengadaan
obat, penyimpanan, pemesanan/peresepan dan pencatatan (transcribe),
persiapan (preparing) dan penyaluran (dispensing), pemberian
dan
pemantauan
2) Monitoring sebagai hasil perubahan di dalam formularium (formulary),
seperti penambahan obat, Monitoring kesalahan obat (medication error) dan
KNC (near misses)
3) Setiap edukasi perlu diidentifikasi
4) Pertimbangan untuk praktek berbasis bukti yang baru
26
1) Ada perencanaan atau kebijakan atau dokumen lain yang mengidentifkasi
bagaimana penggunaan obat diorganisir dan dikelola di seluruh rumah
sakit.
2) Semua penataan pelayanan dan petugas yang mengelola proses obat
dilibatkan dalam struktur organisasi.
3) Kebijakan mengarahkan semua tahapan manajemen obat dan penggunaan
obat dalam rumah sakit.
4) Sekurang-kurangnya ada satu review atas sistem manajemen obat yang
didokumentasikan selama 12 bulan terakhir.
5) Pelayanan farmasi dan penggunaan obat sesuai dengan undang-undang dan
peraturan yang berlaku.
6) Sumber informasi obat yang tepat selalu tersedia bagi semua yang terlibat
dalam penggunaan obat.
Standar MPO.1.1. yaitu Seorang ahli farmasi berizin, teknisi atau profesional
lain yang terlatih mensupervisi pelayanan farmasi atau
kefarmasian
(pharmaceutical). Maksud dan Tujuan MPO.1.1 yaitu Seorang petugas yang
kompeten secara langsung mensupervisi aktivitas pelayanan farmasi atau
kefarmasian. Petugas ini mempunyai izin, sertifikat dan terlatih. Supervisi
meliputi semua proses yang dijabarkan dalam MPO.2 sampai dengan MPO.5 dan
partisipasi dalam MPO.7 sampai dengan MPO.7.1. Elemen Penilaian MPO.1.1.
27
Pemilihan obat adalah suatu proses kerja sama/kolaboratif yang
mempertimbangkan baik kebutuhan dan keselamatan pasien maupun kondisi
ekonomisnya. Kadang-kadang terjadi kehabisan obat karena terlambatnya
pengiriman, kurangnya stok nasional atau sebab lain yang tidak diantisipasi
dalam pengendalian inventaris yang normal. Ada suatu proses untuk
mengingatkan para pembuat resep tentang kekurangan obat tersebut dan saran
substitusinya. Elemen penilaian MPO.2. yaitu:
1) Ada daftar obat yang dalam stok obat rumah sakit atau siap tersedia dari
sumber luar.
2) Suatu proses kolaboratif digunakan untuk mengembangkan daftar tersebut
(kecuali ditetapkan oleh peraturan atau otoritas di luar rumah sakit).
3) Ada proses yang disusun untuk menghadapi bilamana obat tidak tersedia,
berikut pemberitahuan kepada pembuat resep serta saran substitusinya.
Standar MPO.2.1 yaitu Ada metode untuk mengawasi daftar obat yang
tersedia dan penggunaan obat di rumah sakit. Maksud dan Tujuan MPO.2.1 yaitu
Rumah sakit mempunyai metode, seperti penunjukan komite, untuk menjaga dan
memonitor daftar obat serta penggunaan obat di rumah sakit. Mereka yang
dilibatkan dalam pengamatan daftar termasuk para praktisi pelayanan kesehatan
juga diikut-sertakan dalam proses pemesanan, penyaluran, pemberian dan
monitoring obat. Keputusan untuk menambah atau mengurangi obat dari daftar
mempunyai panduan kriteria yang meliputi indikasi penggunaan, efektivitas,
risiko dan biaya. Ada proses atau mekanisme untuk memonitor respons pasien
terhadap obat yang baru ditambahkan. Contohnya, bilamana keputusan diambil
untuk menambahkan dalam daftar suatu jenis obat atau suatu kelas obat, ada
proses untuk memonitor ketepatan dari indikasi, bagaimana obat itu diresepkan
(misalnya, dosis atau route pemberian) dan setiap KTD yang tidak diantisipasi
atau kondisi yang berhubungan dengan obat baru selama periode pengenalan.
Daftar itu ditelaah kembali sekurang-kurangnya setahun sekali berdasarkan
informasi safety dan informasi efektivitas yang muncul dan informasi tentang
penggunaan serta KTD.
Dalam hubungan dengan manajemen obat secara menyeluruh ada
kebutuhan untuk memastikan bahwa obat terlindungi dari kehilangan atau
pencurian baik dari farmasi atau dari setiap lokasi yang lain dimana obat
disimpan atau disalurkan. Elemen penilaian MPO.2.1 yaitu:
28
1) Ada metode untuk mengawasi penggunaan obat dalam rumah sakit.
2) Obat dilindungi terhadap kehilangan atau pencurian di seluruh rumah sakit.
3) Para praktisi pelayanan kesehatan dilibatkan dalam proses pemesanan,
penyaluran, pemberian dan proses monitoring pasien, juga diikutsertakan
dalam mengevaluasi dan menjaga daftar obat.
4) Keputusan untuk menambah atau mengurangi obat dari daftar dipandu
dengan kriteria.
5) Bila ada obat yang baru ditambahkan dalam daftar, ada proses atau
mekanisme untuk 5. memonitor bagaimana obat digunakan dan KTD yang
tidak diantisipasi.
6) Daftar ditelaah sekurang-kurangnya setahun sekali berdasarkan atas
informasi tentang safety dan efektivitas.
Standar MPO.2.2 yaitu Rumah sakit dapat segera memperoleh obat yang
tidak ada dalam stok atau yang normal tersedia di rumah sakit atau sewaktu-
waktu bilamana farmasi tutup. Maksud dan tujuan MPO.2.2 yaitu Adakalanya
obat tidak ada dalam stok atau siap tersedia saat dibutuhkan. Ada proses untuk
memberi persetujuan untuk pengadaan obat tersebut. Juga, ada saat dimana obat
dibutuhkan pada malam hari, atau bila farmasi tutup atau persediaan obat
terkunci.
Setiap rumah sakit membutuhkan suatu perencanaan untuk kejadian
demikian dan mengedukasi staf tentang prosedur yang harus dijalankan bila
peristiwa tersebut terjadi.Elemen penilaian MPO.2.2.
1) Ada proses untuk persetujuan dan pengadaan obat yang dibutuhkan tapi tidak
ada dalam stok atau yang secara normal tersedia di rumah sakit.
2) Ada proses untuk mendapatkan obat pada saat dimana farmasi tutup atau
persediaan obat terkunci.
3) Staf memahami proses.
c. Penyimpanan
Standar MPO.3. yaitu Obat disimpan dengan baik dan aman. Maksud dan
tujuan MPO.3. yaitu Obat bisa disimpan dalam tempat penyimpanan, di dalam
pelayanan farmasi atau kefarmasian, atau di unit asuhan pasien pada unit-unit
farmasi atau di nurse station dalam unit klinis. Standar MPO.1 menyiapkan
mekanisme pengawasan bagi semua lokasi dimana obat disimpan. Dalam semua
lokasi tempat obat disimpan, hal berikut ini adalah jelas:
29
1) Obat disimpan dalam kondisi yang sesuai untuk stabilitas produk;
2) Bahan yang terkontrol (controlled substances) dilaporkan secara akurat sesuai
undang-undang dan peraturan yang berlaku;
3) Obat-obatan dan bahan kimia yang digunakan untuk mempersiapkan obat
diberi label secara akurat menyebutkan isi, tanggal kadaluwarsa dan
peringatan;
4) Elektrolit pekat konsentrat tidak disimpan di unit asuhan kecuali merupakan
kebutuhan klinis yang penting dan bila disimpan dalam unit asuhan
dilengkapi dengan pengaman untuk mencegah penatalaksanaan yang kurang
hati-hati (diberi nilai pada Sasaran Keselamatan Pasien III, EP 1 dan 2).
5) Seluruh tempat penyimpanan obat diinspeksi secara periodik sesuai kebijakan
rumah sakit untuk memastikan obat disimpan secara benar; dan
6) Kebijakan rumah sakit menjelaskan cara identifikasi dan penyimpanan obat
yang dibawa oleh pasien.
Elemen penilaian MPO.3.
Setiap elemen 1) sampai dengan 6) tersebut dalam Maksud dan Tujuan
dinilai/skor secara terpisah, karena mewakili area-area yang kritis dan berisiko
tinggi.
1) Obat disimpan dalam kondisi yang sesuai bagi stabilitas produk.
2) Bahan yang terkontrol dilaporkan secara akurat sesuai undang-undang dan
peraturan yang berlaku.
3) Obat-obatan dan bahan kimia yang digunakan untuk menyiapkan obat diberi
label secara akurat menyebutkan isi, tanggal kadaluwarsa dan peringatan.
4) Seluruh tempat pernyimpanan obat diinspeksi secara berkala sesuai kebijakan
rumah sakit untuk memastikan obat disimpan secara benar;
5) Kebijakan rumah sakit menjabarkan cara identifikasi dan penyimpanan obat
yang dibawa oleh pasien.
Standar MPO3.1. yaitu Kebijakan rumah sakit mendukung penyimpanan
yang tepat bagi obat-obatan/medications dan produk nutrisi yang tersedia. Maksud
dan tujuan MPO.3.1. yaitu Ada beberapa jenis obat yang karena risikonya tinggi
(obat-obatan radioaktif), lingkungan yang tidak biasa (dibawa oleh pasien),
kemungkinan untuk penyalahgunaan (abuse,misuse), misal obat sample dan obat
emergency atau sifat yang khusus (produk nutrisi), perlu didukung oleh kebijakan
sebagai pedoman untuk penyimpanan dan pengendalian dalam penggunaannya.
30
Kebijakan mengatur proses penerimaan, identifikasi
pengobatan/medication dan bila perlu, cara penyimpanan dan setiap distribusi.
Elemen penilaian MPO.3.1.
1) Kebijakan rumah sakit menjabarkan cara penyimpanan yang tepat bagi produk
nutrisi.
2) Kebijakan rumah sakit menjabarkan cara penyimpanan obat radioaktif, untuk
keperluan investigasi dan sejenisnya.
3) Kebijakan rumah sakit menjabarkan cara obat sample disimpan dan
dikendalikan.
4) Semua penyimpanan sesuai dengan kebijakan rumah sakit.
Standar MPO.3.2. yaitu Obat-obatan emergensi tersedia, dimonitir dan
aman bilamana disimpan di luar farmasi. Maksud dan Tujuan MPO.3.2 yaitu Bila
terjadi kegawatdaruratan pasien, akses cepat terhadap obat emergensi yang tepat
adalah sangat penting/ kritis. Setiap rumah sakit merencanakan lokasi obat
emergensi dan obat yang harus disuplai ke lokasi tersebut. Contoh, bahan untuk
pemulihan anestesi berada di kamar operasi. Lemari, meja troli, tas atau kotak
emergensi dapat digunakan untuk keperluan ini.
Untuk memastikan akses ke obat emergensi bilamana diperlukan, rumah
sakit menyusun suatu prosedur untuk mencegah penyalahgunaan, pencurian atau
kehilangan terhadap obat dimaksud. Prosedur ini memastikan bahwa obat diganti
bilamana digunakan, rusak atau kadaluwarsa. Jadi rumah sakit memahami
keseimbangan antara akses kesiapan dan keamanan dari tempat penyimpanan obat
emergensi. Elemen penilaian MPO.3.2.
1) Obat emergensi tersedia pada unit-unit dimana akan diperlukan atau dapat
terakses segera dalam rumah sakit untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat
emergensi.
2) Kebijakan rumah sakit menetapkan bagaimana obat emergensi disimpan,
dijaga dan dilindungi dari kehilangan atau pencurian.
3) Obat emergensi dimonitor dan diganti secara tepat waktu sesuai kebijakan
rumah sakit setelah digunakan atau bila kadaluwarsa atau rusak.
Standar MPO.3.3. yaitu Rumah sakit mempunyai sistem penarikan (recall)
obat. Maksud dan Tujuan MPO.3.3. yaitu Rumah sakit mempunyai proses untuk
mengidentifikasi, menarik kembali dan mengembalikan atau memusnahkan
31
dengan cara yang aman dan benar obat-obatan yang ditarik kembali oleh pabrik
atau supplier.
Ada kebijakan atau prosedur yang mengatur setiap penggunaan atau
pemusnahan dari obat yang diketahui kadaluwarsa atau ketinggalan jaman
(outdated). Elemen penilaian MPO.3.3.
1) Ada sistem penarikan obat.
2) Kebijakan dan prosedur mengatur setiap penggunaan obat yang diketahui
kadaluwarsa atau ketinggalan jaman.
3) Kebijakan dan prosedur mengatur pemusnahan obat yang diketahui
kadaluwarsa atau 3. ketinggalan jaman.
4) Kebijakan dan prosedur diimplementasikan/dilaksanakan.
d. Pemesanan dan pencatatan
Standar MPO.4 yaitu Peresepan, pemesanan, dan pencatatan diarahkan
oleh kebijakan dan prosedur. Maksud dan Tujuan MPO.4 yaitu Peresepan,
pemesanan dan pencatatan yang aman diarahkan oleh kebijakan dan prosedur
rumah sakit. Para staf medis, perawatan, farmasi dan administratif berkolaborasi
untuk mengembangkan dan memonitor kebijakan dan prosedur. Staf yang terkait
dilatih untuk praktek penulisan resep, pemesanan dan pencatatan yang benar.
Karena peresepan obat yang tidak terbaca atau pemesanan yang mengacaukan
keselamatan pasien bisa menunda pengobatan, maka kebijakan rumah sakit
mengatur tindakan untuk mengurangi tidak terbacanya resep. Ada daftar dari
semua obat terkini dicatat dalam status pasien dan tersedia di farmasi,
keperawatan dan dokter.
Rumah sakit menetapkan suatu prosedur untuk membandingkan daftar
obat pasien yang diminum sebelum masuk rawat inap terhadap order pertama
obat. Elemen penilaian MPO.4:
1) Kebijakan dan prosedur di rumah sakit mengarahkan peresepan, pemesanan
dan 1. pencatatan obat yang aman di rumah sakit.
2) Kebijakan dan prosedur mengatur tindakan yang terkait dengan penulisan
resep dan pemesanan yang tidak terbaca.
3) Adanya proses kerjasama untuk mengembangkan kebijakan dan prosedur.
4) Staf yang terkait terlatih secara benar untuk praktek-praktek penulisan
resep,
pemesanan dan pencatatan.
32
5) Rekam medis pasien memuat daftar obat yang sedang dipakai sebelum
dirawat inap dan informasi ini tersedia di farmasi dan para praktisi pelayanan
kesehatan.
6) Order pertama obat dibandingkan dengan daftar obat sebelum masuk rawat
inap, sesuai prosedur yang ditetapkan rumah sakit.
Standar MPO.4.1. yaitu Rumah sakit menjabarkan elemen-elemen dari
suatu pemesanan atau penulisan resep yang lengkap serta jenis pemesanan yang
akseptabel untuk digunakan. Maksud dan Tujuan MPO.4.1. yaitu Untuk
mengurangi variasi dan meningkatkan keselamatan pasien, rumah sakit
menjabarkan dalam kebijakan elemen yang bisa diterima /akseptabel dari suatu
pemesanan atau penulisan resep yang lengkap. Elemen-elemen yang diatur dalam
kebijakan termasuk sekurang-kurangnya:
1) Data yang penting untuk mengidentifikasi pasien secara akurat
2) Elemen-elemen dari pemesanan atau penulisan resep
3) Bilamana nama generik atau nama dagang adalah akseptabel atau diperlukan
4) Bilamana indikasi untuk penggunaan diperlukan pada suatu PRN (pro re nata,
atau “bila perlu”) atau pesanan obat yang lain.
5) Sikap hati-hati atau prosedur yang khusus untuk pemesanan obat dengan
nama yang nama-obat-rupa–ucapan-mirip/’NORUM’ (lookalike, sound-alike)
6) Tindakan yang harus diambil bila pemesanan obat tidak lengkap, tidak
terbaca atau tidak jelas
7) Jenis pemesanan tambahan yang diijinkan seperti pada pesanan dan setiap
elemen yang dibutuhkan dalam pesanan yang emergensi, dalam daftar tunggu
(standing), automatic stop dan seterusnya. Pesanan obat secara verbal atau
melalui telpon dan proses untuk verifikasi pesanan yang demikian
8) Jenis pesanan yang berdasarkan berat, seperti untuk kelompok pasien anak.
Jadi, standar ini menata harapan seluruh rumah sakit dalam pemesanan
obat. Kebijakan yang diimplementasikan akan tercermin dalam pesanan yang
lengkap. yang dicatat dalam status pasien, di farmasi atau di unit penyalur yang
kemudian menerima informasi yang dibutuhkan untuk penyaluran dan pemberian
obat berdasarkan pesanan yang lengkap. Elemen penilaian MPO.4.1. terdiri dari
Elemen 1) sampai dengan 9) tersebut dalam Maksud dan Tujuan dinilai/skor
secara bersama karena merepresentasikan kebijakan rumah sakit tentang pesanan
yang lengkap.
33
1) Pesanan obat atau penulisan resep yang akseptabel dijabarkan dan sekurang-
kurangnya elemen a) sampai dengan i) diatur dalam kebijakan
2) Pesanan obat atau penulisan resep lengkap sesuai kebijakan rumah sakit.
Standar MPO.4.2 yaitu Rumah sakit mengidentifikasi petugas yang
kompeten yang diijinkan untuk menuliskan resep atau memesan obatobatan.
Maksud dan tujuan dari MPO.4.2 yaitu Seleksi obat untuk mengobati pasien
membutuhkan pengetahuan dan pengalaman yang spesifik. Setiap rumah sakit
bertanggung jawab untuk mengidentifikasi petugas yang berpengetahuan dan
berpengalaman yang disyaratkan dan yang juga diijinkan dengan lisensi,
sertifikasi, hukum, atau peraturan untuk menuliskan resep atau memesan obat-
obatan.
Suatu rumah sakit dapat menentukan batas-batas untuk penulisan resep
maupun pemesanan oleh perseorangan, misalnya untuk bahan yang dikendalikan,
bahan-bahan kemoterapi, atau radioaktif serta obat investigatif. Petugas-petugas
yang diperkenankan untuk penulisan resep dan pemesanan obat dikenal oleh
bagian pelayanan farmasi atau orang-orang lain yang mengeluarkan obat. Dalam
situasi emergensi, rumah sakit mengidentifikasi setiap petugas tambahan yang
diijinkan untuk penulisan resep atau pemesanan obat. Elemen penilaian MPO.4.2
1) Hanya orang yang diijinkan oleh rumah sakit dan badan pemberi lisensi
terkait, undang-undang dan peraturan dapat menuliskan resep atau memesan
obat.
2) Ada proses untuk menetapkan batas bagi petugas, bila perlu, untuk praktek
penulisan 2. resep atau pemesanan obat.
3) Petugas-petugas yang diijinkan untuk menuliskan resep dan memesan obat
dikenal oleh unit pelayanan farmasi atau orang lain yang mengeluarkan obat-
obat.
Standar MPO.4.3 yaitu Obat-obatan yang diresepkan dan diberikan dicatat
dalam rekam medis pasien. Maksud dan tujuan MPO.4.3 yaitu Pencatatan setiap
pasien yang menerima obat, rekam medisnya berisi daftar obat yang diresepkan
atau dipesan untuk pasien beserta dosis dan berapa kali obat diberikan. Termasuk
pula obat yang diberikan “bila perlu”. Bila informasi ini dicatat pada lembaran
obat yang terpisah, maka lembaran tersebut diselipkan dalam rekam medis pasien
saat dipulangkan atau dipindahkan. Elemen penilaian MPO.4.3 :
1) Obat yang diresepkan atau dipesan dicatat untuk setiap pasien.
34
2) Pemberian obat dicatat untuk setiap dosis.
3) Informasi obat disimpan dalam rekam medis pasien atau diselipkan kedalam
status pasien saat pemulangan atau dipindahkan.
e. Persiapan dan penyaluran
Standar MPO.5 ysitu Obat dipersiapkan dan dikeluarkan dalam
lingkungan yang aman dan bersih. Maksud dan tujuan MPO.5 yaitu Pelayanan
farmasi atau kefarmasian menyiapkan dan mengeluarkan obat dalam lingkungan
yang bersih dan aman sesuai undang-undang, peraturan dan standar praktek
profesional.
Rumah sakit mengidentifikasi standar praktek bagi lingkungan penyiapan
dan penyaluran obat yang aman dan bersih. Obat yang disimpan dan dikeluarkan
dari area di luar farmasi (misalnya unit pelayanan pasien, harus memenuhi
langkah-langkah yang sama dalam hal keamanan dan kebersihan). Staf yang
mempersiapkan produk campuran yang steril (seperti i.v. dan epidural) dilatih
dalam prinsipprinsip teknik aseptik. Demikian pula, tersedia lubang angin yang
bertudung dan digunakan bilamana dibutuhkan untuk praktek profesional
(misalnya mencampur obat cytotoxic). Elemen penilaian MPO.5 :
1) Obat dipersiapkan dan disalurkan dalam area yang bersih dan aman dengan
peralatan dan supplai yang memadai.
2) Persiapan dan penyaluran obat harus memenuhi undang-undang, peraturan
dan standar praktek professional
3) Staf yang menyiapkan produk steril dilatih dalam hal teknik aseptik.
Standar MPO.5.1 yaitu Resep atau pesanan obat ditelaah ketepatannya.
Maksud dan tujuan MPO.5.1 yaitu apoteker berlisensi, teknisi berlisensi, atau
profesional yang terlatih menelaah ketepatan setiap resep atau pesanan obat,
obat
yang baru saja diresepkan atau dipesan, atau bilamana kedapatan adanya
perubahan dosis atau faktor penting yang lain.
Rumah sakit menjabarkan informasi pasien yang spesifik apa saja yang
dibutuhkan untuk penelaahan yang efektif terhadap pemesanan obat atau
penulisan resep. Hal ini dilakukan sebelum penyaluran obat atau pemberian obat
bila obat disalurkan dari lokasi diluar farmasi. Bila timbul pertanyaan, petugas
yang meresepkan atau memesan obat segera dihubungi. Proses untuk menelaah
suatu pesanan obat atau resep termasuk evaluasi oleh profesional yang terlatih
terhadap:
35
1) Ketepatan dari obat, dosis, frekuensi dan route pemberian;
2) Duplikasi terapi;
3) Alergi atau reaksi sensitivitas yang sesungguhnya maupun yang potensial;
4) Interaksi yang sesungguhnya maupun potensial antara obat dengan obat-
obatan lain atau makanan;
5) Variasi dari kriteria penggunaan yang ditentukan rumah sakit;
6) Berat badan pasien dan informasi fisiologis lain dari pasien; dan
7) Kontra indikasi yang lain
Mereka yang menelaah pesanan obat atau resep memang kompeten untuk
melakukannya baik atas dasar pendidikan maupun latihan, sesuai dengan
kewenangan atau telah membuktikan kompetensinya dalam proses review.
Sebagai tambahan, penelaahan ketepatan ini tidak perlu pada keadaan darurat
atau bila dokter pemesan hadir untuk pemesanan, pemberian dan monitoring
pasien (misal di Kamar Bedah atau di IGD) atau dalam tindakan radiologi
intervensional atau diagnostik imajing dimana obat merupakan bagian dari
prosedur. Untuk memfasilitasi penelaahan, ada catatan (profil) dari semua obat
yang diberikan kepada seorang pasien kecuali pengobatan emergensi dan yang
diberikan sebagai bagian dari prosedur. Bila menggunakan program komputer
untuk melakukan cross-check obat atau interaksi obat dan alergi obat, software
harus di-update sesuai jadwal yang tepat.
Elemen penilaian MPO.5.1:
1) Rumah sakit menjabarkan informasi spesifik pasien apa yang dibutuhkan
untuk proses penelaahan yang efektif
2) Terlepas dari adanya perkecualian yang ditetapkan pada Maksud dan Tujuan,
setiap resep atau pesanan obat ditelaah ketepatannya sebelum dilakukan
penyaluran dan pemberian serta meliputi elemen 1) sampai dengan 7) tersebut
dalam Maksud dan Tujuan. Jadi, setiap resep atau pesanan obat dievaluasi
untuk ditelaah ketepatannya.
3) Ada proses untuk menghubungi petugas yang menuliskan resep atau
memesan obat bila timbul pertanyaan
4) Petugas yang diijinkan untuk menelaah pesanan obat atau resep dinilai
kompetensinya untuk tugas ini
5) Penelaahan difasilitasi dengan catatan (profil) dari semua pasien yang
menerima obat
36
6) Bila digunakan software komputer, untuk meng-cross-check obat, untuk
interaksi obat dan alergi, harus di-update secara berkala.
Standar MPO.5.2 yaitu Digunakan suatu sistem untuk menyalurkan obat
dengan dosis yang tepat, dan kepada pasien yang tepat disaat yang tepat. Maksud
dan tujuan MPO.5.2 yaitu Rumah sakit menyalurkan obat melalui pengisian
formulir yang paling sederhana untuk memperkecil kemungkinan terjadinya
kesalahan dalam pendistribusian dan pemberian. Ketika suatu obat dikeluarkan
dari kemasannya yang asli atau disiapkan dan disalurkan dalam bentuk / wadah
(container) yang berbeda dan tidak segera diberikan obat harus diberi label
dengan nama obat, dosis/konsentrasi obat, tanggal penyiapan dan tanggal
kadaluwarsa.
Farmasi sentral dan titik distribusi obat yang lain di seluruh rumah
sakit
menggunakan sistem yang sama. Sistem menunjang pengeluaran obat secara
akurat dan tepat waktu. Elemen penilaian MPO.5.2:
1) Ada sistem yang seragam di rumah sakit dalam penyaluran dan
pendistribusian obat.
2) Setelah disiapkan, obat diberi label secara tepat, dengan nama obat, dosis/
konsentrasi, tanggal penyiapan, tanggal kadaluwarsa, dan nama pasien.
3) Obat disalurkan dengan bentuk yang-paling-siap-diberikan
4) Sistem mendukung penyaluran obat secara akurat
5) Sistem mendukung penyaluran obat tepat waktu
f. Pemberian
Standar MPO.6 yaitu Rumah sakit mengidentifikasi petugas yang
kompeten yang diijinkan untuk memberikan obat. Maksud dan tujuan MPO.6
yaitu Pemberian obat untuk mengobati seorang pasien membutuhkan
pengetahuan dan pengalaman yang spesifik. Setiap rumah sakit bertanggung
jawab untuk mengidentifikasi petugas dengan pengetahuan dan pengalaman
sesuai persyaratan dan yang juga diijinkan berdasarkan lisensi, sertifikasi,
undang-undang atau peraturan untuk pemberian obat. Suatu rumah sakit bisa
membuat batasan bagi petugas dalam pemberian obat, seperti bahan yang diawasi
atau radioaktif dan obat investigatif. Dalam situasi emergensi, rumah sakit
mengidentifikasi setiap petugas tambahan yang diijinkan untuk memberikan obat.
Elemen penilaian MPO.6:
37
1) Rumah sakit mengidentifikasi petugas, melalui uraian jabatannya atau proses
pemberian kewenangan, mendapatkan otorisasi untuk memberikan obat.
2) Hanya mereka yang mempunyai ijin dari rumah sakit dan pemberi lisensi
yang terkait, undang-undang dan peraturan bisa memberikan obat.
3) Ada proses untuk menetapkan batasan, bila perlu, terhadap pemberian obat
oleh petugas
Standar MPO.6.1 yaitu Pemberian obat termasuk proses untuk
memverifikasi apakah obat sudah betul berdasarkan pesanan obat. Maksud dan
tujuan MPO.6.1 yaitu Pemberian obat yang aman termasuk verifikasi terhadap:
1) Obat dengan resep atau pesanan;
2) Waktu dan frekuensi pemberian dengan resep atau pesanan;
3) Jumlah dosis dengan resep atau pesanan;
4) Route pemberian dengan resep atau pesanan; dan
5) Identitas pasien
Rumah sakit menjabarkan proses verifikasi yang digunakan untuk
pemberian obat-obatan. Bila obat dipersiapkan dan disalurkan di unit pelayanan
pasien, maka proses telaah ketepatan harus juga dijalankan oleh seorang petugas
yang kompeten. Elemen penilaian MPO.6.1:
1) Obat diverifikasi berdasarkan resep atau pesanan
2) Jumlah dosis obat di verifikasi dengan resep atau pesanan obat
3) Rute pemberian di verifikasi dengan resep atau pesanan obat
4) Obat diberikan secara tepat waktu
5) Obat diberikan sebagaimana diresepkan dan dicatat dalam status pasien
Standar MPO.6.2 yaitu Kebijakan dan prosedur mengatur obat yang
dibawa ke dalam rumah sakit oleh pasien yang menggunakan obat sendiri (self-
administration) maupun obat contoh (sample). Maksud dan tujuan MPO.6.2 yaitu
Mengawasi penggunaan obat di rumah sakit memerlukan suatu pemahaman
terhadap sumber dan penggunaan obat yang tidak diresepkan atau dipesan di
rumah sakit.
Obat yang dibawa ke dalam rumah sakit oleh pasien atau keluarganya
diketahui oleh DPJP (Dokter Penanggung Jawab Pelayanan) dan dicatat di status
pasien. Penggunaan obat oleh pasien / pengobatan sendiri, baik yang dibawa ke
dalam rumah sakit atau yang diresepkan atau dipesan di rumah sakit, diketahui
38
DPJP dan dicatat dalam status pasien. Rumah sakit mengendalikan ketersediaan
dan penggunaan sampel obat. Elemen penilaian MPO.6.2:
1) Kebijakan dan prosedur diimplementasikan untuk mengatur penggunaan obat
sendiri oleh pasien
2) Kebijakan dan prosedur diimplementasikan untuk mengatur
pendokumentasian dan pengelolaan setiap obat yang dibawa ke dalam rumah
sakit sakit untuk atau oleh pasien
3) Kebijakan dan prosedur diimplementasikan untuk mengatur ketersediaan dan
penggunaan sampel obat.
g. Pemantauan
Standar MPO.7 yaitu Efek obat terhadap pasien dimonitor. Maksud dan
tujuan MPO.7 yaitu Pasien, dokternya, perawat dan praktisi pelayanan kesehatan
lainnya bekerja bersama untuk memantau pasien yang mendapat obat. Tujuan
monitoring adalah untuk mengevaluasi efek pengobatan terhadap gejala pasien
atau penyakitnya, demikian juga hitung darah, fungsi ginjal, fungsi hati dan
monitoring lain untuk obat yang selektif, dan untuk mengevaluasi pasien terhadap
KTD.
Berdasarkan monitoring, dosis atau jenis obat dapat disesuaikan, bila
perlu. Sudah seharusnya memonitor secara ketat respons pasien terhadap dosis
pertama obat yang baru diberikan kepada pasien. Monitoring demikian
dimaksudkan untuk mengidentifikasi respons terapetik yang diantisipasi maupun
reaksi alergik, interaksi obat yang tidak diantisipasi, adanya perubahan dalam
keseimbangan pasien yang akan meningkatkan risiko jatuh dan lain-lain.
Memonitor efek obat termasuk mengobservasi dan mendokumentasikan setiap
KTD. Rumah sakit mempunyai kebijakan yang mengidentifikasi semua KTD
yang harus dicatat dan yang harus dilaporkan. Rumah sakit membangun suatu
mekanisme pelaporan dari KTD bila perlu dan kerangka waktu untuk pelaporan.
Elemen penilaian MPO.7:
1) Efek pengobatan terhadap pasien dimonitor, termasuk efek yang tidak
diharapkan (adverse effect)
2) Proses monitoring dilakukan secara kolaboratif.
3) Rumah sakit mempunyai kebijakan yang mengidentifikasi efek yang tidak
diharapkan yang harus dicatat dalam status pasien dan yang harus dilaporkan
ke rumah sakit.
39
4) Efek yang tidak diharapkan didokumentasikan dalam status pasien
sebagaimana diharuskan oleh kebijakan
5) Efek yang tidak diharapkan dilaporkan dalam kerangka waktu yang
ditetapkan oleh kebijakan.
Standar MPO.7.1 yaitu Kesalahan obat (medication errors) dilaporkan
melalui proses dan dalam kerangka waktu yang ditetapkan oleh rumah sakit.
Maksud dan tujuan MPO.7.1 yaitu Rumah sakit mempunyai proses unuk
mengidentifikasi dan melaporkan kesalahan obat dan KNC (near misses). Proses
termasuk mendefinisikan suatu kesalahan obat dan KNC, menggunakan format
pelaporan yang distandardisir, dan mengedukasi staf tentang proses dan
pentingnya pelaporan. Definisi-definisi dan prosesproses dikembangkan melalui
proses kerjasama yang mengikut sertakan semua yang terlibat di berbagai
langkah
dalam manajemen obat. Proses pelaporan adalah bagian dari program mutu dan
program keselamatan pasien rumah sakit. Laporan-laporan diarahkan kepada
seorang petugas atau lebih, yang akuntabel untuk mengambil tindakan. Program
memusatkan pada pencegahan kesalahan obat melalui pemahaman jenis
kesalahan yang terjadi di rumah sakit maupun di rumah sakit lain dan mengapa
sampai terjadi KNC.
Perbaikan dalam proses pengobatan dan pelatihan staf digunakan untuk
mencegah kesalahan di kemudian hari. Unit farmasi mengambil bagian dalam
pelatihan staf yang demikian. Elemen penilaian MPO.7.1:
1) Kesalahan obat dan KNC ditetapkan melalui proses kerjasama.
2) Kesalahan obat dan KNC dilaporkan tepat waktu menggunakan prosedur
baku.
3) Mereka yang bertanggung jawab mengambil tindakan untuk pelaporan
diidentifikasi.
4) Rumah sakit menggunakan informasi pelaporan kesalahan obat dan KNC
untuk memperbaiki proses penggunaan obat.
C. Manajemen Pendukung
1. Perencanaan dan Administrasi
a. Perencanaan
Perencanaan dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu tujuan, kerangka waktu, dan
fokus yang menyeluruh. Tujuan dari perencanaan adalah(10):
40
1) Mendiagnosis masalah yang muncul dalam sistem dan menganalisisnya.
2) Menentukan perencanaan atau merumuskan kebijaksanaan.
3) Pemantauan perubahan dalam sistem farmasi.
4) Membandingkan kinerja sistem pasokan dengan sistem lain.
5) Perencanaan dari suatu program memerlukan suatu manajemen yang bagus,
seperti perencanaan dalam manajemen farmasi, perencanaan dalam
manajemen keuangan, dan perencanaan dalam membangun fasilitas simpanan.
6) Perencanaan manajemen farmasi memerlukan sifat kepemimpinan dari
individu yang mampu bekerjasama dengan anggota lain dalam satu kelompok
dalam mencapai tujuan. Seorang manajer diupayakan harus dapat mengelola
dan memimpin suatu program farmasi untuk mendapatkan hasil yang baik,
sehingga tercapai suatu organisasi yang selalu berhasil secara konsisten
dalam
pencapaian tujuan bersama(6).
7) Perencanaan manajemen keuangan harus dilakukan pengawasan dan
pelaporan secara rutin. Perencanaan juga perlu dalam mengatur fasilitas
penyimpanan, dimana diperlukan suatu metode untuk mengembangkan
fasilitas penyimpanan secara efektif. Fasilitas penyimpanan tersebut harus
dilengkapi dengan rak, lemari es, dan lemari aman. Setiap fasilitas
memerlukan tempat agar obat-obat dan alat serta bahan medis dapat disimpan
dengan aman(6).
b. Administrasi
Administrasi dalam bidang farmasi terdiri dari pencatatan dan pelaporan,
administrasi keuangan pelayanan farmasi, dan administrasi penghapusan. Pencatatan
dan pelaporan berfokus pada kegiatan pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan,
dan bahan medis habis pakai. Pencatatan dan pelaporan ini dilakukan secara berkala
baik tiap bulan, tiga bulan, enam bulan, atau satu tahun. Pencatatan digunakan
sebagai dasar akreditasi RS, persyaratan dari Kementerian Kesehatan atau BPOM,
dasar audit RS, dan dokumentasi farmasi. Sedangkan pelaporan digunakan sebagai
alat komunikasi antara tingkatan manajemen serta penyiapan laporan tahunan yang
komprehensif. Administrasi keuangan pelayanan farmasi adalah pengaturan anggaran,
pengendalian dan analisa biaya, pengumpulan informasi keuangan, penyiapan
laporan, penggunaan laporan yang berkaitan dengan semua kegiatan pelayanan
41
farmasi secara rutin atau tidak rutin dalam periode satu bulan, tiga bulan, enam
bulan,
atau satu tahun.
Administrasi penghapusan adalah kegiatan penyelesaian terhadap sediaan
farmasi,
alat kesehatan dan bahan medis habis pakai yang tidak terpakai karena
kadaluarsa,
rusak, mutu tidak memenuhi standar dengan cara membuat usulan penghapusan
sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai kepada pihak terkait
sesuai dengan prosedur yang berlaku(2).
3. Sistem Informasi
Sistem Informasi Manajemen (SIM) adalah sistem yang digunakan untuk
mengumpulkan, memproses, melaporkan, dan menggunakan sistem informasi untuk
membuat keputusan. SIM secara efektif dapat menyatukan data dalam jumlah banyak
dengan pengoperasian manajemen obat. Data-data obat tersebut digunakan sebagai
informasi dalam kegiatan perencanaan, perkiraan permintaan, mengalokasikan
sumber daya, serta monitoring dan evaluasi manajemen obat(12).
Berdasarkan Undang-Undang No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit yang
menyebutkan bahwa salah satu persyaratan yang harus dipenuhi dalam pendirian
Rumah Sakit adalah persyaratan prasarana. Salah satu prasarana yang harus ada
adalah sistem informasi dan komunikasi. Dalam pasal 52 disebutkan bahwa setiap
Rumah Sakit wajib melakukan pencatatan dan pelaporan terkait semua kegiatan
penyelenggaraan Rumah Sakit dalam bentuk Sistem Informasi Manajemen Rumah
Sakit (SIMRS)(3).
SIMRS adalah aplikasi sistem pelaporan Rumah Sakit kepada Kementerian
Kesehatan, meliputi:
a. Data identitas Rumah Sakit,
b. Data ketenagaan yang bekerja di Rumah Sakit,
c. Data rekapitulasi kegiatan pelayanan,
d. Data kompilasi penyakit/morbiditas pasien rawat inap, dan
e. Data kompilasi penyakit/morbiditas pasien rawat jalan.
Pelaksanaan SIMRS memiliki tujuan untuk merumuskan kebijakan di bidang
Rumah Sakit, menyajikan informasi Rumah Sakit secara nasional, dan melakukan
pemantauan, pengendalian, dan evaluasi pelaksanaan Rumah Sakit secara
Nasional(13).
43
4. Manajemen Sumber Daya Manusia
Manajemen sumber daya manusia adalah kegiatan perencanaan, pengorganisasian,
pengarahan dan pengawasan terhadap kegiatan-kegiatan, pengadaan, pengembangan,
pemberian kompensasi, pengintegrasian, pemeliharaan, dan pelepasan sumber daya
manusia untuk mencapai tujuan individu, organisaasi, maupun masyarakat. Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit terdiri dari dua kegiatan, yaitu kegiatan yang
bersifat
manajerial berupa pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis
habis
pakai dan kegiatan pelayanan farmasi klinik. Kedua kegiatan tersebut harus
didukung
oleh sumber daya manusia yang telah terdaftar di Departemen Kesehatan dan
Asosiasi
Profesi, memiliki izin kerja, dan memiliki SK penempatan(2,14).
a. Kualifikasi sumber daya manusia
Kualifikasi SDM di Instalasi Farmasi Rumah Sakit berdasarkan pekerjaan yang
dilakukan diklasifikasikan menjadi dua yaitu untuk pekerjaan kefarmasian
(Apoteker
dan Tenaga Teknis Kefarmasian) dan untuk pekerjaan penunjang (Teknisi yang
memahami kefarmasian, Tenaga Administrasi, Pembantu Pelaksana).
Agar
mendapatkan mutu pelayanan yang baik dan aman, penentuan kebutuhan SDM harus
mempertimbangkan kompetensi yang disesuaikan dengan jenis pelayanan, tugas,
fungsi, wewenang, dan tanggung jawab(2).
b. Persyaratan SDM
Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian harus memenuhi persyaratan
administrasi berdasarkan Peraturan Perundang-undang yang berlaku. Tenaga Teknis
Kefarmasian yang melakukan pelayanan kefarmasian harus di bawah Supervisi
Apoteker. Instalasi Farmasi di Rumah Sakit harus diketuai oleh Apoteker
Penanggungjawab seluruh pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit dan diutamakan
Apoteker yang telah memiliki pengalaman bekerja minimal tiga tahun di Instalasi
Farmasi Rumah Sakit(2).
c. Beban kerja dan Kebutuhan
Kebutuhan Apoteker berdasarkan beban kerja pada Pelayanan Kefarmasian di
rawat inap idealnya dibutuhkan tenaga Apoteker dengan rasio 1 Apoteker untuk 30
pasien dan di rawat jalan 1 Apoteker untuk 50 pasien. Kebutuhan tenaga Apoteker
juga diperlukan untuk pelayanan farmasi di unit logistik medik/ distribusi, unit
produksi steril, unit pelayanan informasi obat, unit gawat darurat, Intensive
Care Unit
44
(ICU), Intensive Cardiac Care Unit (ICCU), Neonatus Intensive Care Unit (NICU),
dan Pediatric Intensive Care Unit (PICU)(2).
d. Pengembangan Staf dan Program Pendidikan
Kepala Instalasi Farmasi berperan dalam pengembangan staf dan program
pendidikan, meliputi penyusunan program orientasi staf baru, pendidikan dan
pelatihan berdasarkan kebutuhan pengembangan kompetensi SDM, menentukan dan
mengirim staf sesuai dengan spesifikasi pekerjaan, dan menentukan staf sebagai
narasumber/fasilitator sesuai dengan kompetensinya(2).
e. Penelitian dan pengembangan
Apoteker harus senantiasa mengembangkan praktik pelayanan kefarmasian di
Rumah Sakit dengan melakukan penelitian mandiri atau berkontribusi dalam tim
penelitian serta mengikuti perkembangan informasi di bidang kesehatan pada
umumnya dan bidang farmasi pada khususnya(2).
2. Fungsi PFT
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 58 Tahun 2014 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit, fungsi PFT antara lain sebagai
berikut(2):
a. Mengembangkan formularium di Rumah Sakit dan merevisinya. Pemilihan obat
untuk dimasukan dalam formularium harus didasarkan pada evaluasi secara
subjektif terhadap efek terapi, keamanan, serta harga obat dan juga harus
meminimalkan duplikasi dalam tipe obat, kelompok dan produk obat yang sama.
b. Panitia Farmasi dan Terapi harus mengevaluasi untuk menyetujui atau menolak
produk obat baru atau dosis obat yang diusulkan oleh anggota staf medis.
c. Menetapkan pengelolaan obat yang digunakan di Rumah Sakit dan yang termasuk
dalam kategori khusus.
d. Membantu Instalasi Farmasi dalam mengembangkan tinjauan terhadap kebijakan-
kebijakan dan peraturan-peraturan mengenai penggunaan obat di Rumah Sakit
sesuai peraturan yang berlaku secara lokal maupun nasional.
e. Melakukan tinjauan terhadap penggunaan obat di Rumah Sakit dengan mengkaji
medical record dibandingkan dengan standar diagnosa dan terapi. Tinjauan ini
dimaksudkan untuk meningkatkan secara terus menerus terkait penggunaan obat
secara rasional.
f. Mengumpulkan dan meninjau laporan mengenai efek samping obat.
g. Menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang menyangkut obat kepada staf medis dan
perawat.
46
a. Panitia Farmasi dan Terapi harus sekurang-kurangnya terdiri dari tiga dokter,
apoteker dan perawat. Untuk Rumah Sakit yang besar tenaga dokter bisa
lebih
dari tiga orang yang mewakili semua staf medis fungsional yang ada.
b. Ketua Panitia Farmasi dan Terapi dipilih dari dokter yang ada di dalam
kepanitiaan dan jika Rumah Sakit tersebut mempunyai ahli farmakologi
klinik,
maka sebagai ketua adalah ahli farmakologi. Sekretaris adalah apoteker
dari
Instalasi Farmasi atau apoteker yang ditunjuk. Sementara itu, keanggotaan
PFT
terdiri dari:
i. Dokter dari tiap spesialis yaitu dokter bedah, obstetri dan
ginekologi, ilmu
penyakit dalam, pediatrik, penyakit infeksi, dan dokter umum atau
dokter lain
yang merepresentasikan komunitas.
ii. Ahli farmakologi klinik.
iii. Perawat terutama perawat senior.
iv. Apoteker, apoteker spesialis informasi obat, apoteker spasialis
farmasi klinik.
v. Bagian administrasi dan departemen keuangan.
vi. Bagian mikrobiologi klinis.
vii. Bagian rekam medik.
47
iv. Menyiapkan dan memberikan semua informasi yang dibutuhkan untuk
pembahasan dalam pertemuan.
v. Mencatat semua hasil keputusan dalam pertemuan dan melaporkan pada
pimpinan Rumah Sakit.
vi. Menyebarluaskan keputusan yang sudah disetujui oleh pimpinan kepada
seluruh
pihak yang terkait.
vii. Melaksanakan keputusan-keputusan yang sudah disepakati dalam pertemuan.
viii. Menunjang pembuatan pedoman diagnosis dan terapi, pedoman penggunaan
antibiotika dan pedoman penggunaan obat dalam kelas terapi lain.
ix. Membuat formularium Rumah Sakit berdasarkan hasil kesepakatan Panitia
Farmasi dan Terapi.
x. Melaksanakan pendidikan dan pelatihan.
xi. Melaksanakan pengkajian dan penggunaan obat.
xii. Melaksanakan umpan balik hasil pengkajian pengelolaan dan penggunaan obat
pada pihak terkait.
Tugas Apoteker dalam PFT menurut Permenkes Nomor 58 tahun 2014 tentang
Standar Pelayanan Farmasi Rumah Sakit adalah(2):
i. Mengembangkan kebijakan tentang penggunaan obat di Rumah Sakit;
ii. Melakukan seleksi dan evaluasi obat yang akan masuk dalam formularium Rumah
Sakit;
iii. Mengembangkan standar terapi;
iv. Mengidentifikasi permasalahan dalam penggunaan obat;
v. Melakukan intervensi dalam meningkatkan penggunaan obat yang rasional;
vi. Mengkoordinir penatalaksanaan reaksi obat yang tidak dikehendaki;
vii. Mengkoordinir penatalaksanaan medication error;
viii. Menyebarluaskan informasi terkait kebijakan penggunaan obat di Rumah Sakit.
48
iv. Melaksanakan pengkajian pengelolaan dan penggunaan obat dan memberikan
umpan balik atas hasil pengkajian tersebut.
E. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Bahan Medis Habis Pakai
Pelayanan kefarmasian merupakan suatu pelayanan langsung dan
bertanggung
jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud
mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Salah satu
fungsi dan ruang lingkup pelayanan kefarmasian yaitu pengelolaan sediaan
farmasi,
alat kesehatan dan bahan medis habis pakai. Tujuan pengelolaan sediaan farmasi,
alat
kesehatan dan bahan medis habis pakai adalah memberikan jaminan ketersediaan
sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai dalam waktu, jumlah,
serta kualitas yang baik dan terjamin.
Pengelolaan obat di RS berdasarkan PMK No 72 tahun 2017 meliputi tahap
pemilihan, perencanaan kebutuhan, pengadaan, penerimaan,
penyimpanan,
pendistribusian, pemusnahan dan penarikan, pengendalian dan adminidtrasi yang
saling terkait satu sama lainnya, sehingga harus terkoordinasi dengan baik agar
masing-masing dapat berfungsi secara optimal(2).
1. Seleksi
Pemilihan merupakan kegiatan untuk menetapkan jenis sediaan farmasi,
alat
kesehatan, dan BMHP sesuai dengan kebutuhan. Pemilihan sediaan farmasi, alat
kesehatan dan BMPH ini berdasarkan(2):
a. Formularium dan standar pengobatan/pedoman diagnosa dan terapi,
b. Standar Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang
telah ditetapkan,
c. Pola penyakit,
d. Efektifitas dan keamanan,
e. pengobatan berbasis bukti,
f. Mutu,
g. Harga, dan
h. Ketersediaan di pasaran
Proses seleksi atau pemilihan obat juga harus memperhatikan beberapa
kriteria
seleksi berdasarkan WHO, antara lain(12):
a. Obat harus memiliki relevansi pada pengobatan dan pencegahan penyakit,
b. Harus menunjukkan efikasi dan keamanan,
49
c. Menunjukkan kinerja yang bervariasi terhadap penyakit yang dihadapi,
d. Memadai dalam hal kualitas termasuk didalamnya bioavailabilitas dan
stabilitasnya,
e. Memiliki rasio cost-benefit yang dapat diterima oleh pasien dalam total biaya
perawatan,
f. Merupakan senyawa tunggal. Sediaan kombinasi hanya dipilih jika memang benar
potensinya lebih baik daripada sedian tunggal.
2. Perencanaan
Perencanaan merupakan kegiatan untuk menentukan jumlah dan periode
pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan Bahan Medis Habis Pakai sesuai
dengan hasil kegiatan pemilihan untuk menjamin terpenuhinya kriteria tepat jenis,
tepat jumlah, tepat waktu, efisien serta untuk menghindari adanya kekosongan
obat.
Perencanaan yang dilakukan perlu mempertimbangkan beberapa hal seperti anggaran
yang tersedia, penetapan prioritas, sisa persediaan, data pemakaiaan periode yang
lalu,
waktu tunggu pemesanan, rencana pengembangan(2).
Dalam menyusun perencanaan, terdapat beberapa pedoman yang dapat
dipakai, antara lain Formularium Nasional, Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN),
formularium Rumah Sakit, standar terapi Rumah Sakit, ketentuan setempat yang
berlaku, data catatan medik, anggaran yang tersedia, penetapan prioritas, siklus
penyakit, sisa persediaan, data pemakaian periode yang lalu, dan rencana
pengembangan. Metode-metode yang biasanya digunakan dalam melakukan
perencanaan antara lain:
a. Metode Konsumsi
Perencanaan dengan menggunakan metode konsumsi dibuat berdasarkan
data konsumsi sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai
periode sebelumnya (disesuaikan dengan stock out dan perkiraan perubahan
dalam penggunaan obat) untuk memperkirakan kebutuhan di masa mendatang(12).
Perencanaan kebutuhan obat menurut pola konsumsi mempunyai langkah-
langkah sebagai berikut: pengumpulan dan pengolahan data, perhitungan
perkiraan kebutuhan obat, serta penyesuaian jumlah kebutuhan obat dengan
alokasi dana. Kelebihan metode konsumsi adalah data yang diperoleh akurat,
metode paling mudah, dan tidak memerlukan data penyakit maupun standar
pengobatan. Apabila data konsumsi lengkap pola penulisan tidak berubah dan
50
kebutuhan relatif konstan maka kemungkinan kekurangan atau kelebihan obat
sangat kecil. Kekurangannya antara lain tidak dapat untuk mengkaji penggunaan
obat dalam perbaikan penulisan resep, kekurangan dan kelebihan obat sulit
diandalkan, tidak memerlukan pencatatan data morbiditas yang baik.
Rumus yang digunakan untuk metode konsumsi yaitu(15):
CT = (CA x T) + SS - Si
Keterangan:
CT = Kebutuhan per periode waktu
CA = Kebutuhan rata-rata waktu (bulan)
T = Lama kebutuhan (bulan/tahun)
SS = Safety Stock
Si = Sisa Stok
b. Metode Epidemiologi
Metode ini berdasarkan pada penyakit yang ada (epidemiologi),
kebutuhan obat untuk beban penyakit, dan pola atau standart perawatan dari suatu
penyakit serta pola peresepan dokter. Kelemahan metode ini seringkali standar
pengobatan belum tersedia atau disepakati serta data morbiditas yang ada kurang
akurat, belum semua patuh pada standart perawatan dan peresepan.
Metode kombinasi merupakan gabungan dari metode epidemiologi dan
metode konsumsi. Perencanaan pengadaan barang dibuat berdasarkan pola
penyebaran penyakit dan melihat kebutuhan sediaan farmasi periode sebelumnya.
Metode ini akan saling melengkapi, kelebihan salah satu metode akan menutupi
kekurangan metode yang lain. Akan tetapi diperlukan pertimbangan jumlah
anggaran yang diperlukan karena variasi kebutuhan sediaan farmasi, alat
kesehatan dan bahan medis habis pakai juga menjadi lebih banyak disesuaikan
dengan anggaran yang tersedia dan tentu saja lebih rumit dan lebih lama dalam
mengolah data kebutuhan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis
pakai yang diinginkan(12).
Rumus yang digunakan dalam metode ini adalah sebagai berikut(15):
CT = (CE x T) + SS - Si
Keterangan:
51
CT = Kebutuhan per periode waktu
CE = Perhitungan standar pengobatan
T = Lama kebutuhan (bulan/tahun)
SS = Safety Stock
Si = Sisa Stok
c. Metode Kombinasi
Metode kombinasi merupakan gabungan dari metode epidemiologi dan
metode konsumsi. Perencanaan pengadaan barang dibuat berdasarkan pola
penyebaran penyakit dan melihat kebutuhan sediaan farmasi periode sebelumnya.
Metode kombinasi ditujukan untuk meminimalkan kekurangan dari masing-
masing metode konsumsi dan metode epidemiologi. Kelemahannya adalah waktu
lama, perlu koordinasi, klarifikasi dan konfirmasi dengan petugas pelayanan
lain(12).
Acuan yang digunakan dalam perencanaan menggunakan menggunakan
kombinasi antara lain(15):
1) Formularium Nasional,
2) DOEN, Formularium Rumah Sakit, Standar Terapi Rumah Sakit (Standard
Treatment Guidelines/STG), dan kebijakan setempat yang berlaku.
3) Data catatan medik/rekam medik.
4) Anggaran yang tersedia.
5) Penetapan prioritas.
6) Pola penyakit.
7) Sisa persediaan.
8) Data penggunaan periode yang lalu.
Proses perencanaan dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai hal,
salah satunya yaitu alokasi dana sehingga dalam penyusunan perencanaan
diperlukan skala prioritas untuk menentukan obat-obat yang akan masuk dalam
daftar perencanaan. Adapun metode yang digunakan dalam menentukan skala
prioritas yaitu: 1)
1) Analisa ABC
Metode ini digunakan untuk mengklasifikasi barang atau kegiatan
sesuai
dengan kepentingan relatif obat-obat tersebut. Analisis ini
mengklasifikasikan
obat ke dalam tiga kategori, yaitu:
52
a) Kategori A :10-15% dari jumlah obat dan sekitar 70% dari nilai total
biaya.
b) Kategori B :20-25% dari jumlah obat dan sekitar 20% nilai total biaya.
c) Kategori C :65-70% dari jumlah obat dan hanya sebesar10% dari nilaitotal
biaya.
Metode ini mengelompokkan obat berdasarkan pada volume and value of
consumption dan dibedakan menjadi(14):
a) Kelas A : jumlah item 10 – 20 %, tetapi menghabiskan dana sebesar 75 –
80%. Barang kelas ini termasuk dalam kategori high cost dan fast moving.
b) Kelas B : jumlah item 20 – 40% dengan dana sebesar 15 – 20%.
c) Kelas C : jumlah item 60 – 80% tetapi hanya menghabiskan dana 5 – 10%.
Barang-barang kelas ini termasuk dalam kategori low cost dan slow
moving.
53
Tabel 1. Analisis ABC
Kelompok Jumlah Item Nilai
A 20% 80%
B 30% 15%
C 50% 5%
2) Analisa VEN
Metode VEN merupakan metode pengadaan yang digunakan saat
anggaran terbatas karena dapat memperkecil penyimpangan pada proses
pengadaan perbekalan farmasi dengan menetapkan prioritas di muka.
Pengelompokkan metode ini berdasarkan tingkat kegawatdaruratannya yaitu:
a) Kategori V adalah obat vital yaitu golongan obat yang harus ada (life
saving drug, misalnya insulin, atropin sulfat).
b) Kategori E adalah obat esensial yang mempengaruhi kualitas hidup
pasien,
misalnya obat jantung, obat hipertensi, dan obat diabetes.
c) Kategori N adalah obat non esensial merupakan obat penunjang yaitu obat
yang kerjanya ringan dan biasa dipergunakan untuk menimbulkan
kenyamanan atau untuk mengatasi keluhan ringan misalnya food
supplement dan vitamin(15).
3. Pengadaan
Pengadaan merupakan kegiatan yang dimaksudkan untuk merealisasikan
perencanaan kebutuhan. Pengadaan yang efektif harus menjamin ketersediaan,
jumlah, dan waktu yang tepat dengan harga yang terjangkau dan sesuai standar
mutu.
Pengadaan merupakan kegiatan yang berkesinambungan dimulai dari pemilihan,
penentuan jumlah yang dibutuhkan, penyesuaian antara kebutuhan dan dana,
pemilihan metode pengadaan, pemilihan pemasok, penentuan spesifikasi kontrak,
pemantauan proses pengadaan, dan pembayaran.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengadaan sediaan farmasi, alat
kesehatan
dan bahan medis habis pakai antara lain(12):
a. Bahan baku obat harus disertai dengan sertifikat analisis.
b. Bahan berbahaya harus menyertakan Material Safety Data Sheet (MSDS).
54
c. Sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai harus mempunyai
nomor izin edar.
d. Expired date minimal 2 tahun kecuali untuk sediaan farmasi, alat kesehatan, dan
bahan medis habis pakai tertentu (vaksin, reagensia dan lain-lain)..
Pengadaan dapat dilakukan melalui beberapa cara yaitu:
a. Pembelian
Untuk Rumah Sakit pemerintah pembelian Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai harus sesuai dengan ketentuan
pengadaan barang dan jasa yang berlaku. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
pembelian adalah(2):
1) Kriteria Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai,
yang meliputi kriteria umum dan kriteria mutu Obat;
2) Persyaratan pemasok;
3) Penentuan waktu pengadaan dan kedatangan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai; dan
4) Pemantauan rencana pengadaan sesuai jenis, jumlah dan waktu.
b. Produksi Sediaan Farmasi
Instalasi Farmasi Rumah Sakit dapat memproduksi sediaan tertentu
dengan alasan seperti:
1) Sediaan farmasi tidak ada dipasaran
2) Sediaan farmasi lebih murah jika diproduksi sendiri
3) Sediaan farmasi dengan formula khusus
4) Sediaan farmasi dengan kemasan yang lebih kecil/repacking.
5) Sediaan farmasi untuk penelitian
6) Sediaan farmasi yang tidak stabil dalam penyimpanan/harus dibuat baru
(recenter paratus).
Sediaan yang di buat di Rumah Sakit harus memenuhi persyaratan mutu
dan terbatas hanya untukmemenuhi kebuhtuhan pelayanan di Rumah Sakit
tersebut.
c. Sumbangan/Dropping/Hibah
Seluruh kegiatan penerimaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai dengan cara sumbangan/dropping/hibah harus disertai
dokumen administrasi yang lengkap dan jelas. Agar penyediaan Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dapat membantu pelayanan
55
kesehatan, maka jenis Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai harus sesuai dengan kebutuhan pasien di Rumah Sakit. Instalasi Farmasi
dapat memberikan rekomendasi kepada pimpinan Rumah Sakit
untuk
mengembalikan/menolak sumbangan/dropping/hibah Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang tidak bermanfaat bagi kepentingan
pasien Rumah Sakit(2).
4. Penerimaan
Berdasarkan PMK Nomor 58 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit, penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin
kesesuaian jenis, spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang
tertera
dalam kontrak atau surat pesanan dengan kondisi fisik yang diterima. Semua
dokumen yang terkait penerimaan barang harus tersimpan dengan baik(2). Penerimaan
harus dilakukan oleh petugas yang telah terlatih baik dalam tanggung jawab dan
tugas
mereka, serta harus mengerti sifat penting dari perbekalan farmasi. Tenaga
farmasi
harus ada di dalam tim penerimaan(20).
56
5. Penyimpanan
Setelah proses penerimaan barang di Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS)
dilakukan proses penyimpanan. Berdasarkan PMK Nomor 58 tahun 2014 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit, Instalasi Farmasi harus dapat
memastikan bahwa obat disimpan secara benar dan diperiksa secara periodik.
Prosedur Operasional Baku proses penyimpanan di Rumah Sakit yaitu semua
perbekalan kesehatan/sediaan farmasi harus disimpan dibawah tanggung jawab IFRS,
penyimpanan wajib dilakukan sesuai persyaratan cara penyimpanan perbekalan
kesehatan/sediaan farmasi yang baik, dan sistem administrasi penyimpanan harus
diadakan dengan baik dan teratur untuk kemudahan memperoleh data yang benar(2).
Tujuan penyimpanan adalah untuk menjamin kualitas dan keamanan Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai sesuai dengan persyaratan
kefarmasian. Adapun persyaratan kefarmasian yang dimaksud meliputi persyaratan
stabilitas dan keamanan, sanitasi, cahaya, kelembaban, ventilasi, dan
penggolongan
jenis Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai. Komponen
yang harus diperhatikan antara lain(2):
a. Obat dan bahan kimia yang digunakan untuk mempersiapkan Obat diberi label
secara jelas terbaca dengan memuat nama, tanggal pertama kemasan dibuka,
tanggal kadaluarsa dan peringatan khusus,
b. Elektrolit konsentrasi tinggi tidak disimpan di unit perawatan kecuali untuk
kebutuhan klinis yang penting,
c. Elektrolit konsentrasi tinggi yang disimpan di unit perawatan pasien
dilengkapi
dengan pengaman, harus diberi label yang jelas dan disimpan pada area yang
dibatasi ketat (restricted) untuk mencegah penatalaksanaan yang kurang hati –
hati,
d. Sediaan farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang dibawa oleh
pasien harus disimpan secara khusus dan dapat diidentifikasi.
Adapun penyimpanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai yang harus disimpan terpisah yaitu(2):
a. Bahan yang mudah terbakar, disimpan dalam ruang tahan api dan diberi tanda
khusus bahan berbahaya.
b. Gas medis disimpan dengan posisi berdiri, terikat, dan diberi penandaaan untuk
menghindari kesalahan pengambilan jenis gas medis. Penyimpanan tabung gas
57
medis kosong terpisah dari tabung gas medis yang ada isinya. Penyimpanan
tabung gas medis di ruangan harus menggunakan tutup demi keselamatan.
Metode penyimpanan dapat dilakukan berdasarkan kelas terapi, bentuk
sediaan, dan jenis Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
dan disusun secara alfabetis dengan menerapkan prinsip First Expired First Out
(FEFO) dan First In First Out (FIFO) disertai sistem informasi manajemen.
Penyimpanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang
penampilan dan penamaan yang mirip (LASA, Look Alike Sound Alike) tidak
ditempatkan berdekatan dan harus diberi penandaan khusus untuk mencegah
terjadinya kesalahan pengambilan obat. Selain itu, Rumah Sakit juga harus dapat
menyediakan tempat penyimpanan obat emergensi untuk kondisi kegawatdaruratan.
Tempat penyimpanan obat emergensi harus mudah diakses dan terhindar dari
penyalahgunaan dan pencurian. Pengelolaan obat emergensi harus menjamin(2):
a. Jumlah dan jenis obat sesuai dengan daftar obat emergensi yang telah ditetapkan,
b. Tidak boleh bercampur dengan persediaan obat untuk kebutuhan lain,
c. Bila dipakai untuk keperluan emergensi harus segera diganti,
d. Dicek secara berkala apakah ada yang kadaluwarsa,
e. Dilarang untuk dipinjam untuk kebutuhan lain.
58
6. Distribusi
Berdasarkan PMK nomor 58 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit proses distribusi dilakukan setelah dilakukannya
proses
penyimpanan. Distribusi merupakan suatu rangkaian kegiatan dalam rangka
menyalurkan atau menyerahkan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai dari tempat penyimpanan sampai kepada unit pelayanan atau kepada
pasien dengan tetap menjamin mutu, stabilitas, jenis, jumlah dan ketepatan
waktu.
Rumah Sakit harus menentukan sistem distribusi yang dapat menjamin terlaksananya
pengawasan dan pengendalian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai di unit pelayanan.
Sistem distribusi di unit pelayanan dapat dilakukan dengan cara(2):
a. Sistem Persediaan Lengkap di Ruangan (floor stock):
1) Pendistribusian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai untuk persediaan di ruang rawat disiapkan dan dikelola oleh
Instalasi
Farmasi
2) Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang
disimpan di ruang rawat harus dalam jenis dan jumlah yang sangat
dibutuhkan.
3) Dalam kondisi sementara dimana tidak ada petugas farmasi yang mengelola
(di atas jam kerja) maka pendistribusiannya didelegasikan kepada
penanggung
jawab ruangan.
4) Setiap hari dilakukan serah terima kembali pengelolaan obat floor stock
kepada petugas farmasi dari penanggung jawab ruangan.
5) Apoteker harus menyediakan informasi, peringatan dan kemungkinan interaksi
obat pada setiap jenis obat yang disediakan di floor stock.
Keuntungan dari sistem ini antara lain(2):
1) Pelayanan lebih cepat,
2) Selalu ada persediaan obat-obatan yang siap pakai untuk pasien, terutama
untuk obat-obatan yang bersifat “life saving”
3) Dapat mengurangi kemungkinan adanya pengembalian obat yang tidak habis
terpakai ke Instalasi Farmasi
4) Mengurangi jumlah kebutuhan personil farmasi
Kerugian dari sistem ini antara lain(2):
59
1) Meningkatkan kemungkinan terjadinya medication error, misalnya obat yang
tertukar terutama pada saat penyerahan obat karena dilakukan oleh perawat
dan bukan oleh apoteker.
2) Meningkatkan persediaan obat di pos perawatan sehingga besar kemungkinan
terjadi penumpukkan stok obat di pos perawatan.
3) Memperbesar kemungkinan terjadinya kerusakan obat karena penyimpanan
yang tidak benar.
b. Sistem Resep Perorangan (Individual Prescribing)
Merupakan pendistribusian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai berdasarkan resep perorangan pada pasien rawat jalan dan/
atau rawat inap melalui Instalasi Farmasi.
Keuntungan dari sistem ini adalah(17):
1) Semua obat dikaji oleh apoteker.
2) Memberikan kesempatan apoteker untuk berinteraksi dengan pasien, dokter
dan tenaga kesehatan lainnya
3) Adanya pengawasan pengelolaan obat yang lebih teliti
4) Mempermudah penagihan biaya perbekalan farmasi bagi pasien
Kelemahan dari sistem ini adalah membutuhkan waktu yang lebih lama
bagi pasien karena semua resep dikaji langsung oleh apoteker, dan pasien
kemungkinan membayar obat yang tidak digunakan hingga habis(17).
c. Sistem Unit Dosis
Merupakan sistem pendistribusian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai berdasarkan Resep Perorangan yang disiapkan dalam
unit dosis tunggal atau ganda, untuk penggunaan satu kali dosis/pasien. Sistem
unit dosis ini digunakan untuk pasien rawat inap. Keuntungan dari sistem ini
antara lain dapat meminimalkan medication error karena obat disiapkan oleh
apoteker dengan kontrol yang bertahap dan diserahkan langsung oleh apoteker
kepada pasien sehingga edukasi dan pemberian obat benar-benar dapat dilakukan.
Kelemahan dari sistem ini antara lain memerlukan tenaga apoteker yang banyak
dan proses administrasi mungkin akan menjadi lebih rumit dan lebih banyak(2).
Sistem distribusi Unit Dose Dispensing (UDD) atau sistem unit dosis
sangat dianjurkan untuk pasien rawat inap karena tingkat kesalahan sistem
pemberian obat ini dapat diminimalkan sampai kurang dari 5% dibandingkan
dengan sistem floor stock atau resep individu (IP) yang mencapai 18%. Sistem
60
distribusi dirancang atas dasar kemudahan untuk dijangkau oleh pasien dengan
mempertimbangkan efisiensi dan efektivitas sumber daya yang ada serta metode
sentralisasi atau desentralisasi(2).
d. Sistem Kombinasi
Merupakan sistem pendistribusian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan
Bahan Medis Habis Pakai bagi pasien rawat inap dengan menggunakan kombinasi
sistem floor stock dengan sistem resep perseorangan (IP), sistem resep
perorangan
dengan sistem unit dosis, atau kombinasi antara sistem floor stock dengan
sistem
unit dosis(2). Sistem distribusi dirancang atas dasar kemudahan untuk
dijangkau
oleh pasien dengan mempertimbangkan:
a. Efisiensi dan efektifitas sumber daya yang ada; dan
b. Metode sentralisasi atau desentralisasi.
Metode sentralisasi dan desentralisasi merupakan suatu sistem
distribusi internal yaitu antara Instalasi Farmasi dengan unit di Rumah
Sakit
yang pemilihannya tergantung pada kebijakan dan kondisi suatu Rumah Sakit.
Sistem distribusi Sentralisasi merupakan sistem yang dilakukan oleh IFRS
sentral ke unit pelayanan (apotek) secara keseluruhan, dimana di Rumah
Sakit
tersebut hanya memiliki satu IFRS dan satu apotek tanpa adanya
depo/satelit
IFRS di beberapa unit pelayanan.
Sedangkan sistem distribusi Desentralisasi merupakan sistem
distribusi
yang dilakukan oleh IFRS kepada depo-depo/satelit-satelit IFRS sehingga
memudahkan pasien dalam mendapatkan obat. Sistem distribusi Desentralisasi
dilakukan pada Rumah Sakit yang memiliki depo/satelit IFRS(17).
7. Pemusnahan
Pemusnahan merupakan proses menghilangkan suatu perbekalan farmasi yang
sudah kadaluarsa, rusak dan alat kesehatan sekali pakai, terlebih alat kesehatan
sekali
pakai untuk penyakit berbahaya atau juga limbah Rumah Sakit yaitu limbah kimia,
limbah benda tajam, limbah klinis dan non klini, limbah infeksius, limbah
radioaktif.
Tujuan pemusnahan yaitu untuk menjamin perbekalan farmasi yang sudah
tidak memenuhi syarat dikelola sesuai dengan standar yang berlaku. Pedoman
tentang
pemusnahan obat dan alat kesehatan secara lengkap diatur dalam Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 tahun 1998 tentang pengamanan sediaan
farmasi dan alat kesehatan. Pada BAB X pasal 45(18):
61
a. Pemusnahan sediaan farmasi dan alat kesehatan dilaksanakan oleh badan usaha
yang memproduksi dan/atau mengedarkan sediaan farmasi dan alat kesehatan,
dan/atau orang yang bertanggung jawab atas sarana kesehatan dan/atau
pemerintah,
b. Pemusnahan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang berhubungan dengan tindak
pidana dibidang sediaan farmasi dan alat kesehatan dilaksanakan oleh pemerintah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undnagan yang berlaku.
Berdasarkan Permenkes no 58 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian Di Rumah Sakit, Pemusnahan dilakukan untuk Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai bila(2):
a. Produk tidak memenuhi persyaratan mutu;
b. Telah kadaluwarsa;
c. Tidak memenuhi syarat untuk dipergunakan dalam pelayanan kesehatan atau
kepentingan ilmu pengetahuan; dan
d. Dicabut izin edarnya.
Tahapan pemusnahan Obat terdiri dari(2):
a. Membuat daftar Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
yang akan dimusnahkan;
b. Menyiapkan Berita Acara Pemusnahan;
c. Mengoordinasikan jadwal, metode dan tempat pemusnahan kepada pihak terkait;
d. Menyiapkan tempat pemusnahan; dan
e. Melakukan pemusnahan disesuaikan dengan jenis dan bentuk sediaan serta
peraturan yang berlaku.
Laporan pemusnahan sediaan farmasi dan alat kesehatan sekurangkurangnya
memuat keterangan(18):
a. Waktu dan tempat pelaksanaan pemusnahan sediaan farmasi dan alat kesehatan,
b. Jumlah dan jenis sediaan farmasi dan alat kesehatan,
c. Nama penanggung jawab pelaksana pemusnahan sediaan farmasi dan alat
kesehatan ,
d. Nama satu orang saksi dalam pelaksanaan pemusnahan sediaan farmasi dan alat
kesehatan.
Laporan pemusnahan sediaan farmasi dan alat kesehatan sebagaimana
dimaksud diatas ditanda tangani oleh penanggung jawab dan saksi dalam pelaksanaan
pemusnahan sediaan farmasi dan alat kesehatan(18).
62
Metode-metode yang digunakan dalam proses pemusnahan antara lain:
a. Enkapsulasi
Enkapsulasi berarti pengimobilisasian obat-obatan
dengan
memadatkannya dalam tong plastik atau besi. Sebelum dipergunakan, tong harus
dibersihkan dan kandungan sebelumnya harus bukan berupa bahan yang mudah
meledak atau berbahaya. Tong tersebut diisi hingga 75% kapasitasnya dengan
obat-obatan padat atau setengah padat, kemudian sisa ruang dipenuhi dengan
menuangkan bahan-bahan seperti semen atau campuran semen dengan kapur, busa
plastik atau pasir batu bara. Bila tong telah terisi hingga 755 kapasitasnya,
tambahkan campuran kapur, semen dan air dengan perbandingan 15:15:5 (berat)
hingga tong terisi penuh. Kemudian tutup tong besi dilipat kembali ke tempatnya
dan disegel, sebaiknya dengan dikelimatau pengelasan.
Tong yang sudah disegel kemudian harus ditempatkan di dasar lubang
pembuangan dan ditutupi dengan sampah padat rumah tangga. Agar mudah
dipindahkan, tong dapat ditempatkan di atas pallet kemudian diletakkan ke
pemindah pallet.
b. Insenerasi suhu sedang-tinggi
Insenerasi merupakan cara yang paling dianjurkan untuk seluruh limbah
kimia, terutama limbah yang berkategori infeksius. Mikroorganisme patogen
dalam limbah infeksius dapat dimusnahkan disebuah incenerator yang baik karena
adanya panas yang tinggi, oleh karenanya waktu tinggi (Td) limbah serta
temperatur (T) operasi akan merupakan parameter penentu dalam keberhasilan
sebuah incenerator limbah klinis.
Kegagalan incenerator dalam limbah klinis akan mengakibatkan
mikroorganisme patogen dalam limbah infeksius tereminisikan melalui udara
ataupun melalui debu, walaupun incenerator tersebut sudah dilengkapi dengan
kontrol pencemaran udara. Keberhasilan fungsi incenerator membutuhkan
perancangan, pengoperasian dan personel yang cukup terlatih,
emisi
mikroorganisme dari incenerator dapat terjadi karena kegagalan mempertahankan
kedua parameter diatas (Td dan T), sebagai akibat antara lain:
1) Temperatur operasi yang belum tercapai pada awal pemakaian.
2) Gagal dalam memanaskan pelapis refractory.
3) Fluktuasi temperatur karena pemakaian yang intermitten.
4) Rancangan debit udara yang berlebihan sehingga mengurangi waktu tinggal.
63
5) Kapasitas limbah besar dari kemampuan incenerator.
6) Kadar air yang berlebihan pada limbah.
c. Inersiasi
Inersiasi merupakan varian enkapsulasi yang meliputi pelepasan bahan-
bahan pembungkus, kertas, karton dan plastik dari obat-obatan. Pil harus
dilepaskan dari blisternya. Obat-obatan tersebut lalu ditanam kemudian
ditambahkan campuran air, semen dan kapur hingga terbentuk pasta yang
homogeny.
Pekerja perlu dilindungi dengan penggunaan pakaian pelindung dan
masker terhadap risiko timbulnya debu. Pasta tersebut kemudian dipindahkan
dalam keadaan cair dengan mempergunakan truk pengaduk konstruksi ke tempat
pembuangan dan dituang ke dalam tempat pembuangan sampah biasa. Pasta akan
berubah menjadi massa padat yang bercampur dengan limbah rumah tangga.
Proses ini relatif murah dan dapat dilaksanakan tanpa peralatan canggih.
8. Drug Dispensing Cycle
Dispensing merupakan proses yang meliputi penyiapan hingga penyerahan
obat kepada pasien sesuai apa yang tertulis pada resep. Kegiatan dispensing
meliputi
menginterpretasikan keinginan penulis resep, menyiapkan dan melebeli obat yang
akan diserahkan kepada pasien(19).
Secara umum proses dispensing meliputi: menerima dan memvalidasi resep,
memahami dan menginterpretasikan resep, menyiapkan dan memberikan lebel obat,
melakukan cek akhir, mendokumentasikan seluruh kegiatan, memberikan informasi
dan saran kepada pasien sejelas jelasnya. Adapun drug dispensing cycle dapat
dilihat
pada gambar 2.
Drug
Mendokumentasikan Memahami dan
Dispensin
seluruh kegiatan menginterpretasikan
g Cycle resep
69
2. Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit(5, 6)
a. Pengkajian dan pelayanan resep
Pelayanan Resep dimulai dari penerimaan, pemeriksaan ketersediaan,
pengkajian resep, penyiapan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Bahan Medis
Habis Pakai termasuk peracikan obat, pemeriksaan, penyerahan disertai
pemberian informasi. Pada setiap tahap alur pelayanan resep dilakukan upaya
pencegahan terjadinya kesalahan pemberian obat (medication error).
Kegiatan ini untuk menganalisa adanya masalah terkait obat, bila
ditemukan masalah terkait obat harus dikonsultasikan kepada dokter penulis
resep.
Apoteker harus melakukan pengkajian resep sesuai persyaratan administrasi,
persyaratan farmasetik dan persyaratan klinis baik untuk pasien rawat inap
maupun rawat jalan, yaitu:
1) Persyaratan administrasi meliputi:
a) Nama, umur, jenis kelamin berat badan dan tinggi badan pasien.
b) Nama, nomor ijin, alamat dan paraf dokter.
c) Tanggal resep.
d) Ruangan/unit asal resep.
2) Persyaratan farmasetis meliputi:
a) Nama obat, bentuk dan kekuatan sediaan.
b) Dosis dan Jumlah obat.
c) Stabilitas.
d) Aturan dan cara penggunaan.
3) Persyaratan klinis meliputi:
a) Ketepatan indikasi, dosis dan waktu penggunaan obat.
b) Duplikasi pengobatan.
c) Alergi dan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD).
d) Kontra indikasi.
e) Interaksi obat..
b. Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat
Penelusuran riwayat penggunaan obat merupakan proses
untuk
mendapatkan informasi mengenai seluruh obat/Sediaan Farmasi lain yang pernah
dan sedang digunakan, riwayat pengobatan dapat diperoleh dari wawancara atau
data rekam medik/pencatatan penggunaan obat pasien. Kegiatan penelusuran
Riwayat Penggunaan Obat meliputi: penelusuran riwayat penggunaan obat kepada
70
pasien/keluarganya dan melakukan penilaian terhadap pengaturan penggunaan
obat pasien. Informasi yang harus didapatkan dari kegiatan penelusuran riwayat
penggunaan obat meliputi:
1) Nama Obat (termasuk obat non Resep), dosis, bentuk sediaan, frekuensi
penggunaan, indikasi dan lama penggunaan obat.
2) Reaksi obat yang tidak dikehendaki termasuk riwayat alergi.
3) Kepatuhan terhadap regimen penggunaan obat (jumlah obat yang tersisa).
c. Rekonsiliasi Obat
Rekonsiliasi obat merupakan proses membandingkan instruksi pengobatan
dengan obat yang telah didapat pasien. Rekonsiliasi dilakukan untuk mencegah
terjadinya kesalahan obat (medication error) seperti obat tidak diberikan,
duplikasi, kesalahan dosis atau interaksi obat. Kesalahan obat (medication
error)
rentan terjadi pada pemindahan pasien dari satu Rumah Sakit ke Rumah Sakit
lain, antar ruang perawatan, serta pada pasien yang keluar dari Rumah Sakit ke
layanan kesehatan primer dan sebaliknya.
Tujuan dilakukannya rekonsiliasi obat adalah:
1) Memastikan informasi yang akurat tentang obat yang digunakan pasien.
2) Mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak terdokumentasinya instruksi
dokter.
3) Mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak terbacanya instruksi dokter.
d. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
Merupakan kegiatan penyediaan dan pemberian informasi, rekomendasi
obat yang independen, akurat, tidak bias, terkini dan komprehensif yang
dilakukan
oleh Apoteker kepada Dokter, Apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya serta
pasien dan pihak lain di luar Rumah Sakit. Tujuan PIO yaitu :
1) Menyediakan informasi mengenai obat kepada pasien dan tenaga kesehatan di
lingkungan Rumah Sakit dan pihak lain di luar Rumah Sakit.
2) Menyediakan informasi untuk membuat kebijakan yang berhubungan dengan
Obat/Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Bahan Medis Habis Pakai,
terutama bagi Tim Farmasi dan Terapi.
3) Menunjang penggunaan obat yang rasional.
e. Konseling
Merupakan suatu aktivitas pemberian nasihat atau saran terkait terapi
obat
dari Apoteker (konselor) kepada pasien dan/atau keluarganya. Konseling untuk
71
pasien rawat jalan maupun rawat inap di semua fasilitas kesehatan dapat
dilakukan atas inisitatif Apoteker, rujukan dokter, keinginan pasien atau
keluarganya. Pemberian konseling yang efektif memerlukan kepercayaan pasien
dan/atau keluarga terhadap Apoteker.
Pemberian konseling obat bertujuan untuk mengoptimalkan hasil terapi,
meminimalkan risiko reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD), dan
meningkatkan cost-effectiveness yang pada akhirnya meningkatkan keamanan
penggunaan obat bagi pasien (patient safety). Secara khusus konseling obat
ditujukan untuk:
1) Meningkatkan hubungan kepercayaan antara Apoteker dan pasien.
2) Menunjukkan perhatian serta kepedulian terhadap pasien.
3) Membantu pasien untuk mengatur dan terbiasa dengan Obat.
4) Membantu pasien untuk mengatur dan menyesuaikan penggunaan obat dengan
penyakitnya.
5) Meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan.
6) Mencegah atau meminimalkan masalah terkait obat.
7) Meningkatkan kemampuan pasien memecahkan masalahnya dalam hal terapi.
8) Mengerti permasalahan dalam pengambilan keputusan.
9) Membimbing dan mendidik pasien dalam penggunaan obat sehingga dapat
mencapai tujuan pengobatan dan meningkatkan mutu pengobatan pasien.
Kegiatan dalam konseling obat meliputi:
1) Membuka komunikasi antara Apoteker dengan pasien.
2) Mengidentifikasi tingkat pemahaman pasien tentang penggunaan obat melalui
Three Prime Questions.
3) Menggali informasi lebih lanjut dengan memberi kesempatan kepada pasien
untuk mengeksplorasi masalah penggunaan obat.
4) Memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan masalah
pengunaan obat.
5) Melakukan verifikasi akhir dalam rangka mengecek pemahaman pasien.
6) Dokumentasi.
f. Visite
Merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan
Apoteker secara mandiri atau bersama tim tenaga kesehatan untuk mengamati
kondisi klinis pasien secara langsung dan mengkaji masalah terkait obat,
72
memantau terapi obat dan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki, meningkatkan
terapi obat yang rasional dan menyajikan informasi obat kepada dokter, pasien
serta profesional kesehatan lainnya.
g. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
Merupakan suatu proses yang mencakup kegiatan untuk memastikan
terapi obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien. Tujuannya adalah
meningkatkan efektivitas terapi dan meminimalkan risiko Reaksi Obat yang Tidak
Dikehendaki (ROTD). Kegiatan dalam PTO meliputi:
1) Pengkajian pemilihan obat, dosis, cara pemberian obat, respons terapi, Reaksi
Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD).
2) Pemberian rekomendasi penyelesaian masalah terkait obat.
3) Pemantauan efektivitas dan efek samping terapi obat.
Faktor yang harus diperhatikan:
1) Kemampuan penelusuran informasi dan penilaian kritis terhadap bukti terkini
dan terpercaya (Evidence Best Medicine).
2) Kerahasiaan informasi.
3) Kerjasama dengan tim kesehatan lain (dokter dan perawat).
h. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat yang tidak
dikehendaki, yang terjadi pada dosis lazim yang digunakan pada manusia untuk
tujuan profilaksis, diagnosa dan terapi. Efek Samping Obat adalah reaksi obat
yang tidak dikehendaki yang terkait dengan kerja farmakologi. Tujuan MESO
yaitu:
1) Menemukan Efek Samping Obat (ESO) sedini mungkin terutama yang berat,
tidak dikenal, frekuensinya jarang.
2) Menentukan frekuensi dan insidensi ESO yang sudah dikenal dan yang baru
saja ditemukan.
3) Mengenal semua faktor yang mungkin dapat menimbulkan/mempengaruhi
angka kejadian dan hebatnya ESO.
4) Meminimalkan risiko kejadian reaksi obat yang tidak dikehendaki.
5) Mencegah terulangnya kejadian reaksi obat yang tidak dikehendaki.
i. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)
Merupakan program evaluasi penggunaan obat yang terstruktur dan
berkesinambungan secara kualitatif dan kuantitatif. Tujuan EPO:
73
1) Mendapatkan gambaran keadaan saat ini atas pola penggunaan obat.
2) Membandingkan pola penggunaan obat pada periode waktu tertentu.
3) Memberikan masukan untuk perbaikan penggunaan Obat.
4) Menilai pengaruh intervensi atas pola penggunaan Obat.
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam melakukan EPO meliputi:
indikator peresepan, indikator pelayanan dan indikator fasilitas.
74
j. Dispensing Sediaan Steril
Dispensing sediaan steril harus dilakukan di Instalasi Farmasi Rumah
Sakit dengan teknik aseptik untuk menjamin sterilitas dan stabilitas produk dan
melindungi petugas dari paparan zat berbahaya serta menghindari terjadinya
kesalahan pemberian obat. Tujuan dispensing sediaan steril adalah:
1) Menjamin agar pasien menerima obat sesuai dengan dosis yang dibutuhkan.
2) Menjamin sterilitas dan stabilitas produk.
3) Melindungi petugas dari paparan zat berbahaya.
4) Menghindari terjadinya kesalahan pemberian Obat.
k. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD)
Merupakan interpretasi hasil pemeriksaan kadar obat tertentu atas
permintaan dari dokter yang merawat karena indeks terapi yang sempit atau atas
usulan dari Apoteker kepada dokter. PKOD bertujuan untuk mengetahui Kadar
Obat dalam Darah dan memberikan rekomendasi kepada dokter yang merawat.
Adapun kegiatan PKOD meliputi:
1) Melakukan penilaian kebutuhan pasien yang membutuhkan Pemeriksaan
Kadar Obat dalam Darah (PKOD).
2) Mendiskusikan kepada dokter untuk persetujuan melakukan Pemeriksaan
Kadar Obat dalam Darah (PKOD).
3) Menganalisis hasil Pemeriksaan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) dan
memberikan rekomendasi.
75
G. Central Steril Supply Departement (CSSD)
1. Tugas dan Fungsi CSSD
Central Steril Supply Department (CSSD) merupakan unit atau departemen di
Rumah Sakit yang menyelenggarakan proses pencucian, pengemasan dan sterilisasi
terhadap semua bahan atau alat yang dibutuhkan dalam keadaan steril(24).
Ketersediaan ruangan CSSD yang memadai akan mendukung keoptimalan dan
menjaga keefisienan fungsi kerja CSSD. Ruangan yang ada di CSSD dibagi menjadi 5
untuk menghindari terjadinya kontak silang, yaitu(21):
a. Ruang dekontaminasi
Ruangan ini direncanakan, dipelihara, dan dikontrol untuk mendukung
efisiensi proses dekontaminasi dan untuk melindungi pekerja dari benda –
benda
yang dapat menyebabkan infeksi, racun, dan hal – hal berbahaya lainnya.
Aktivitas yang dilakukan diruangan ini dimulai dari proses penerimaan barang
kotor, dekontaminasi dan pembersihan. Suhu dan kelembaban di ruangan
dekontaminasi direkomendasikan 18°C - 22°C dengan kelembaban udara antara
35% - 75%. Lokasi ruang dekontaminasi harus:
1) Terletak diluar lalu lintas utama Rumah Sakit,
2) Dirancang sebagai area tertutup, secara fungsional terpisah dari area di
sebelahnya dengan izin masuk terbatas.,
3) Dirancang secara fungsinal terpisah dari area lainnya sehingga benda –
benda
kotor langsung datang ke ruang dekontaminasi, benda – benda kotor
tersebut
kemudian dibersihkan dan/atau didisinfeksi sebelum dipindahkan ke area
yang
bersih atau ke area proses sterilisasi,
4) Disediakan peralatan yang memadai dari segi disain, ukuran dan tipenya
untuk
pembersihan dan/ atau disinfeksi alat – alat kesehatan.
Sistem ventilasi di desain sedemikian rupa sehingga udara di ruangan
dekontaminasi harus:
1) Dihisap keluar atau ke sistem sirkulasi udara yang mempunyai filter,
2) Tekanan udara harus negatif tidak mengkontaminasi udara ruangan lainnya
Pada ruangan dekontaminasi tidak dianjurkan menggunakan kipas angin.
b. Ruang pengemasan alat
Ruang ini dianjurkan memiliki tempat penyimpanan barang tertutup.
Aktivitas yang dilakukan diruangan ini meliputi proses pengemasan alat untuk
bongkar pasang maupun pengemasan dan penyimpanan barang bersih.
76
c. Ruang produksi dan prosesing
Merupakan ruang pemeriksaan linen, dilipat dan dikemas untuk
persiapan
sterilisasi. Ruang ini sebaiknya memiliki tempat penyimpanan barang tertutup.
Di
ruang ini juga dilakukan persiapan bahan seperti kain kasa, kapas, cotton
swabs
dan lain – lain.
d. Ruang sterilisasi
Merupakan ruang dilakukannya proses sterilisasi alat atau bahan.
Untuk
sterilisasi Etilen Oksida, sebaiknya dilakukan di ruang khusus yang terpisah
tetapi
masih dalam satu unit pusat sterilisasi dan dilengkapi dengan exhaust.
e. Ruang penyimpanan barang steril
Ruangan ini harus memiliki penerangan yang memadai, suhu antara 18°C
- 22°C dengan kelembaban udara antara 35% - 75%. Ventilasi menggunakan
sistem tekanan positif dengan efisiensi filtrasi particular antara 90 – 95%
( untuk
particular berukura 0,5 mikro). Dinding dan lantai ruangan terbuat dari bahan
halus dan kuat. Alat steril disimpan pada jarak 19 – 24 cm dari lantai dan
minimum 43 cm dari langit – langit serta 5 cm dari dinding. Ruangan ini
sebaiknya berdekatan dengan ruang sterilisasi. Apabila digunakan
mesin
sterilisasi dua pintu, maka pintu belakang langsung berhubungan langsung
dengan
ruang penyimpanan.
Dalam pelaksanaannya fungsi utama CSSD yaitu mempersiapkan alatalat
bersih dan steril untuk keperluan perawatan pasien di Rumah Sakit. Alur aktivitas
fungsional CSSD dimulai dari proses pembilasan, pembersihan/dokumentasi,
pengeringan, inspeksi dan pengemasan, memberi label, sterilisasi sampai proses
distribusi(22). Fungsi CSSD secara lebih jelas adalah sebagai berikut(22):
a. Menerima dan memilah bahan-bahan kotor yang digunakan di Rumah Sakit.
b. Menentukan barang-barang yang akan digunakan kembali atau dibuang.
c. Melakukan proses dekontaminasi/ disinfeksi sebelum disterilisasi.
d. Melakukan pembersihan khusus peralatan dan bahan-bahan.
e. Memeriksa dan menguji instrumen dan peralatan yang digunakan di Rumah
Sakit.
f. Merakit kembali instrumen set, mengemas peralatan dan lain-lain.
g. Melakukan pengemasan semua bahan-bahan untuk disterilisasi.
h. Memberikan label dan tanggal pada bahan.
i. Menyimpan dan mengontrol persediaan.
77
j. Mengeluarkan dan mendistribusikan.
Central Steril Supply Department (CSSD) merupakan pusat pelayanan
kebutuhan steril seluruh unit-unit Rumah Sakit yang membutuhkan. Tujuan adanya
CSSD di RS adalah(21):
a. Mencegah terjadinya infeksi unit lain di Rumah Sakit yang membutuhkan
kondisi
steril.
b. Menurunkan angka kejadian resiko infeksi dan mencegah
sekaligus
menanggulangi infeksi nosokomial,
c. Efisiensi tenaga medis untuk kegiatan yang berorientasi pada pelayanan
terhadap
pasien,
d. Menyediakan serta menjamin kualitas hasil sterilisasi terhadap produk yang
dihasilkan.
Selanjutnya tugas utama CSSD di Rumah Sakit adalah(21):
a. Mempersiapkan alat - alat medis untuk perawatan pasien.
b. Melaksanakan proses sterilisasi alat/bahan.
c. Menyalurkan alat-alat yang dibutuhkan oleh unit perawatan, unit operasi dan
unit
lainnya.
d. Melakukan pemilihan peralatan dan bahan yang aman, efektif dan bermutu.
e. Mempertahankan stok barang yang memadai untuk keperluan perawatan.
f. Mempertahankan standar yang ditetapkan oleh Rumah Sakit.
g. Mendokumentasikan setiap kegiatan pembersihan, desinfeksi, maupun
sterilisasi
untuk upaya pengendalian mutu.
h. Melaksanakan penelitian dari hasil sterilisasi dalam rangka mencegah dan
mengendalikan infeksi bersamaan dengan panitia pengendali infeksi
nosokomial
(infeksi yang diperoleh dari Rumah Sakit).
i. Memberikan pengarahan terkait hal-hal yang berhubungan dengan masalah
sterilisasi.
j. Menyelenggarakan pendidikan serta pengembangan staf instalasi CSSD yang
bersifat intern dan ekstern.
k. Melakukan evaluasi hasil sterilisasi.
79
dokter ahli epidemiologi; dokter mikrobiologi/patologi klinik; laboratorium;
farmasi;
perawat PPI/IPCN; CSSD; laundry; Instalasi Pemeliharaan Sarana Rumah Sakit (IPS-
RS); sanitasi; house keeping; K3; dan petugas kamar jenazah(21).
Tugas utama PPI adalah membuat kebijaksanaan yang applicable dan
informatif, disertai pelaksanaan dan pengawasaan kebijakan tersebut untuk semua
unit
kerja di Rumah Sakit, selain itu PPI juga bertugas mengelola infeksi nosokomial
serta
memberi informasi kepada pihak manajemen/ direktur Rumah Sakit secara up-to-
date,
tentang sejauh mana angka kejadian infeksi nosokomial telah terjadi(22).
Adapun tugas dan tanggung jawab Komite PPI di Rumah Sakit, sebagai
berikut(21):
a. Menyusun dan menetapkan serta mengevaluasi kebijakan PPI.
b. Melaksanakan sosialisasi kebijakan PPIRS, agar kebijakan dapat dipahami dan
dilaksanakan oleh petugas kesehatan Rumah Sakit.
c. Membuat SPO PPI.
d. Menyusun program PPI dan mengevaluasi pelaksanaan program tersebut.
e. Bekerjasama dengan Tim PPI dalam melakukan investigasi masalah atau KLB
infeksi nosokomial.
f. Memberi usulan untuk mengembangkan dan meningkatkan cara pencegahan dan
pengendalian infeksi.
g. Memberikan konsultasi pada petugas kesehatan Rumah Sakit dan fasilitas
pelayanan kesehatan lainnya dalam PPI.
h. Mengusulkan pengadaan alat dan bahan yang sesuai dengan prinsip PPI dan aman
bagi yang menggunakan.
i. Mengidentifikasi temuan di lapangan dan mengusulkan pelatihan untuk
meningkatkan kemampuan sumber daya manusia (SDM) Rumah Sakit dalam PPI.
j. Melakukan pertemuan berkala, termasuk evaluasi kebijakan.
k. Menerima laporan dari Tim PPI dan membuat laporan kepada Direktur.
80
b. Penetapan kebijakan penggunaan sediaan antibiotik steril sekali pakai (single-
dose
package) dan penggunaan sediaan steril dosis ganda (multiple-dose container).
c. Penandaan yang benar termasuk pencantuman tanggal dan jam kadaluarsa serta
kondisi penyimpanan sediaan antibiotik.
d. Peningkatan kepatuhan terhadap kewaspadaan baku (standard precaution) oleh
tenaga kesehatan, pasien, dan petugas lain yang terlibat dalam perawatan pasien.
e. Kolaborasi dalam penyusunan pedoman penilaian risiko paparan, pengobatan, dan
pemantauan terhadap pasien dan tenaga kesehatan yang pernah kontak dengan
pasien penyakit infeksi.
f. Penyusunan pedoman penggunaan antiseptik dan desinfektan.
g. Penurunan kejadian infeksi nosokomial dengan cara menjamin ketersediaan alat
kesehatan sekali pakai, antiseptik, dan desinfektan.
81
BAB III
KEGIATAN PRAKTEK KERJA DAN PEMBAHASAN
84
kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan yang paripurna tingkat
kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis.
2) Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam
rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan.
3) Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi
bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan
memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.
4) Pelayanan medis, pelayanan penunjang medis dan non medis, pelayanan dan
asuhan keperawatan, pelayanan farmasi, pelayanan
administrasi,
pengembangan SDM rumah sakit, penyuluhan kesehatan masyarakat rumah
sakit, pelaksanaan pendidikan dokter dan tenaga profesi kesehatan yang
lain.
86
Tabel 3. Kapasitas Instalasi Khusus Wijaya Kusuma
No Pavilliun Jumlah
1 Safir 3
2 Diamond 5
3 Ruby 8
4 Topaz 15
5 High Care Unit (HCU) 2
TOTAL 31
Sumber data : Instalasi Khusus Wijayakusuma Tahun 2018(24)
87
14 Klinik Penyakit Jantung
15 Klinik Penyakit Jiwa
16 Klinik Penyakit Kebidanan dan Kandungan
17 Klinik Penyakit Kulit dan Kelamin
18 Klinik Penyakit Mata
19 Klinik Penyakit Paru Dan Dots
20 Klinik Penyakit Syaraf
21 Klinik Penyakit Tht
22 Klinik Gizi
23 Klinik Psikologi
24 Klinik Terapi Wicara
25 Klinik Bougenville
26 Thalasemia
Sumber data : Instalasi Rawat Jalan Tahun 2015(24)
88
kepada Bupati. Direktur RSU Kabupaten Tangerang membawahi wakil direktur
penunjang medis dan kepala IFRS. Kepala IFRS membawahi 89 professional
pelayanan yang bertanggung jawab terhadap 6 bidang pelayanan dan 89 professional
SDM yang bertanggung jawab terhadap 4 bidang meliputi produksi, perbekalan,
distribusi dan penyimpanan serta pelaporan. Gambar struktur organisasi dapat
dilihat
sebagai berikut:
89
akreditasi RSU Kabupaten Tangerang berlaku selama tiga tahun yang berlaku dari
tahun 2016 hingga 2019.
3. Manajemen Pendukung
a. Perencanaan dan Administrasi
1) Perencanaan
Perencanaan yang digunakan Instalasi Farmasi RSU Kabupaten
Tangerang menggunakan metode konsumsi dan mengacu pada seleksi.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) yang menerapkan pola
pengelolaan keuangan pada layanan umum milik pemerintah sehingga setiap
badan usaha milik negara yang diberi tugas dan wewenang untuk
menyelenggarakan kegiatan jasa pelayanan, jasa pendidikan dan penelitian
serta usaha lain di bidang kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan
status
kesehatan dan senantiasa beorientasi kepada kepentingan masyarakat. Untuk
mewujudkan dan merealisasikan hal tersebut, RSU Umum Kabupaten
Tangerang sudah bersifat BLUD.
Kelebihan BLUD yaitu adanya Fleksibilitas Anggaran, pendapatan RS
bisa untuk operasional internal Rumah Sakit. Syarat BLUD yaitu harus
memiliki Rencana Bisnis Anggaran (RBA). Penyusunan RBA tahunan
berdasarkan anggaran dan kebutuhan. RBA meliputi rincian yang akan
dilakukan baik untuk Belanja Administrasi Umum, Belanja Modal, dan
Belanja Operasional, seperti pengadaan obat, alat kesehatan, perbaikan,
seminar, pendidikan, pelatihan, perlengkapan rumah tangga, bahan tenun,
biaya operasional pemeliharaan sarana fisik (gedung, bangunan, alat, dan
mesin), konsumsi, fotokopi, penjilidan, kebutuhan barang cetak (plastik),
meja, kursi, komputer, dan alat tulis kantor. Semua secara jelas dirinci
beserta
spesifikasi dan harganya. Sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis
habis pakaiyang telah direncanakan selanjutnya dibuat Surat Permohonan
Permintaan Barang (SPPB).
2) Administrasi
92
Administrasi dalam bidang farmasi meliputi pencatatan dan pelaporan,
administrasi keuangan pelayanan farmasi dan administrasi penghapusan.
Pencatatan dan pelaporan ditujukan terhadap kegiatan pengelolaan sediaan
farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai. Sebagai bukti riwayat
kegiatan yang telah dilakukan, setiap harinya, baik penerimaan, pengeluaran,
ED, rusak, habis, permintaan, sisa stock, kondisi fisik serta nama petugas
yang
sedang melakukan kegiatan verifikasi pencatatan ataupun pelaporan sehingga
dapat dipertanggung jawabkan, Pencatatan dan pelaporan ini dilakukan secara
rutin setiap hari baik secara tertulis dan maupun komputerisasi oleh gudang
farmasi, depo rawat inap, depo rawat jalan, depo IGD, depo OKD, depo OKB,
paviliun wijayakusuma, dan paviliun anyelir.
b. Organisasi dan Manajemen
Instalasi Farmasi RSU Kabupaten Tangerang berada dibawah wakil
direktur pelayanan penunjang. Berdasarkan keputusan Direktur RSU Kabupaten
Tangerang mengenai pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis
habis pakai dengan kebijakan satu pintu oleh IFRS, maka dibentuk struktur
organisasi Instalasi Farmasi RSU Kabupaten Tangerang. Instalasi Farmasi RSU
Kabupaten Tangerang sudah menggambarkan pembagian tugas, koordinasi dan
kewenangan serta fungsi dari IFRS dengan baik, guna mencapai mutu produk dan
atau pelayanan yang baik.
Struktur organisasi dapat mendukung penyelenggaraan sediaan farmasi,
alat kesehatan dan bahan medis habis pakai, pelayanan farmasi klinik dan
manajemen mutu, serta harus selalu dinamis sesuai perubahan yang dilakukan dan
tetap menjaga mutu sesuai dengan harapan pasien, situasi dan kondisi RSU
Kabupaten Tangerang. Struktur organisasi Instalasi Farmasi RSU Kabupaten
Tangerang sebagai berikut:
93
Gambar 4. Struktur Organisasi Instalasi Farmasi RSU Kabupaten Tangerang(24)
94
4. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Bahan Medis Habis Pakai
RSU Kabupaten Tangerang
Berdasarkan Permenkes No 72 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit yaitu pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan
bahan medis habis pakai adalah suatu proses yang merupakan siklus kegiatan,
dimulai
dari pemilihan, perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan,
pendistribusian,
pengendalian, penghapusan, administrasi dan pelaporan serta evaluasi yang
diperlukan bagi kegiatan pelayanan. Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan
dan
bahan medis habis pakai di Instalasi Farmasi RSU Kabupaten Tangerang meliputi
pengelolaan obat, bahan baku, Alat Medis Habis Pakai (AMHP), Bahan Medis Habis
Pakai (BMHP), termasuk melayani permintaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan
bahan medis habis pakai di rumah sakit, baik di laboratorium, klinik, dan ruang
perawatan pasien, hemodialisa, instalasi bedah maupun pusat sterilisasi
perlengkapan
medis.
a. Pemilihan/ Seleksi
Proses seleksi obat yang dilakukan di RSU Kabupaten Tangerang
dilakukan oleh KFT (Komite Farmasi dan Terapi). Panitia ini terdiri dari
dokter,
perawat, manajemen rumah sakit, Panitia Pengadaan dan apoteker sebagai
sekertarisnya. Seleksi obat di RSU Kabupaten Tangerang dilakukan oleh Komite
Farmasi dan Terapi (KFT) yang disetujui oleh direktur rumah sakit dengan
metode bottom up yaitu menerima usulan dari dokter penulis resep dengan
mengacu kepada pedoman terapi dan rasionalisasi obat melalui Komite Staf
Medik (KSM) yang terdiri dari dokter penulis resep dengan mengacu kepada
pedoman terapi berupa Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN), Formularium
Nasional (FORNAS), Formularium Rumah Sakit dan data penggunaan obat pada
periode sebelumnya. Pada proses seleksi hal-hal yang harus dipertimbangkan
yaitu mengutamakan obat 95rofess, mutu, efektivitas, keamanan, harga dan
kontinuitas ketersediaan. Hasil yang didapat pada seleksi yaitu formularium
rumah sakit.
Formularium Rumah Sakit disusun mengacu kepada DOEN dan FORNAS
yang digunakan sebagai pedoman terapi untuk pasien umum, sedangkan
FORNAS digunakan sebagai pedoman terapi untuk pasien yang menggunakan
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Formularium RSU Kabupaten Tangerang
merupakan suatu daftar obat yang disusun berdasarkan atas golongan kelas
terapi,
95
nama 96rofess, nama dagang, nama pabrik, dan bentuk sediaan yang sudah
disesuaikan dengan pedoman standar terapi rumah sakit.
Formularium yang digunakan di RSU Kabupaten Tangerang yaitu
Formularium Rumah Sakit (Formularium RSU Kabupaten Tangerang) yang
mengacu pada Formularium Nasional. Formularium RSU Kabupaten Tangerang
merupakan suatu daftar obat yang disusun berdasarkan atas golongan kelas terapi,
nama 96rofess, nama dagang, nama pabrik, dan bentuk sediaan yang sudah
disesuaikan dengan pedoman standar terapi rumah sakit. Tujuan umum
formularium RSU Kabupaten Tangerang disusun yaitu sebagai acuan bagi rumah
sakit untuk menjamin ketersediaan obat, serta menjamin kerasionalan
penggunaan obat yang aman, bermanfaat dan bermutu bagi masyarakat.
Tahapan proses penyusunan Formularium RSU Kabupaten Tangerang
adalah sebagai berikut:
1) Pembuatan permintaan usulan obat secara tertulis dari masing- masing.
Kelompok Staf Medik berdasarkan standar terapi atau standar pelayanan
96rofe dengan jangka waktu selama 3 bulan. Jika belum dapat dikembalikan
kepada KFT dalam jangka waktu 3 bulan, maka mendapat perpanjangan waktu
selama 1 bulan.
2) Pembuatan rekapitulasi usulan obat dari masing-masing KSM yang sudah
disahkan oleh kepala dokter.
3) Penyusunan draft daftar obat oleh sekretaris KFT.
4) Membahas usulan tersebut dalam rapat Komite Farmasi dan Terapi (KFT).
5) Pembatasan obat untuk obat yang sama yaitu maksimal menggunakan 1:3:1
yang artinya 1 untuk obat 96rofess, 3 mitu dan 1 original untuk 1 item obat.
6) Mengembalikan rancangan hasil pembahasan Komite Farmasi dan Terapi
(KFT) dikembalikan ke masing-masing KSM untuk mendapatkan umpan
balik.
7) Membahas hasil umpan balik dari masing-masing KSM.
8) Menetapkan daftar obat yang masuk ke dalam Formularium Rumah Sakit.
9) Pengesahan yang disahkan oleh Direktur Rumah Sakit.
10) Pencetakan Formularium RS dan disosialisaskan kepada staf medis dan
melakukan monitoring.
96
Dalam tahapan seleksi mahasiswa PKPA tidak dilibatkan secara langsung,
mahasiswa hanya diberikan penjelasan materi tentang proses seleksi yang
dilakukan di RSU Kabupaten Tangerang melalui kegiatan diskusi.
b. Perencanaan
Perencanaan adalah proses pemilihan jenis, jumlah, harga obat dan alat
kesehatan sesuai kebutuhan dan anggaran untuk menghindari kekosongan dengan
menggunakan metode kombinasi. Tahap ini merupakan tahap yang penting untuk
menyesuaikan antara kebutuhan dan pengadaan perbekalan serta dana yang
tersedia dalam menunjang pelayanan kesehatan di rumah sakit. Tujuan dari
perencanaan yaitu menghindari penumpukan dan kekosongan barang. Tim
perencanaan Instalasi Farmasi melakukan perencanaan sediaan farmasi, alat
kesehatan dan bahan medis habis pakai secara rutin tiap satu tahun sekali.
Perencanaan ini dilakukan oleh suatu tim perencanaan yang dipimpin oleh Kepala
Instalasi Farmasi.
Perencanaan Instalasi Farmasi RSU Kabupaten Tangerang dengan
menggunakan metode kombinasi, dimana metode kombinasi ini didasarkan pada
data konsumsi dengan mengoreksi pola penyakit, perubahan pola peresepan dan
mengikuti perkembangan perubahan pola penyakit pada tahun sebelumnya.
Metode konsumsi yang mengacu pada data konsumsi tahun sebelumnya yang di
ringkas dalam bentuk Rencana Bisnis Anggaran (RBA) tahunan. Pada
pertengahan tahun menyusun Rencana Bisnis Anggaran (RBA) untuk tahun
berikutnya, kemudian direalisasikan dengan Surat Permohonan Pengadaan
Barang (SPPB) sesuai kebutuhan. Data yang diperlukan pada metode konsumsi
ini antara lain stok akhir, data pemakaian obat satu tahun sebelumnya (6-12
bulan
sebelumnya), waktu tunggu/lead time, dana yang tersedia, frekuensi, dan stok
pengaman/ buffer stock. Indikator yang perlu diperhatikan dalam perencanaan
sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai antara lain:
persentase kesesuaian antara pembelian dengan perencanaan awal tahunan,
persentase dana pembelian dengan perencanaan anggaran dan persentase
kesesuaian perencanaan terhadap formularium.
Perencanaan di RSU Kabupaten Tangerang bergantung pada anggaran
yang tersedia dan data penggunaan obat sebelumnya dikarenakan pengelolaan
keuangan di RSU Kabupaten Tangerang bersifat Badan Layanan Unit Daerah
97
(BLUD) yang artinya RSU Kabupaten Tangerang memiliki kewenangan dalam
mengelola penghasilannya.
Pada tahap perencanaan mahasiswa PKPA tidak dilibatkan secara
langsung, namun mahasiswa hanya diberikan penjelasan materi tentang proses
perancanaan yang dilakukan di RSU Kabupaten Tangerang melalui kegiatan
diskusi.
c. Pengadaan
Pengadaan merupakan usaha dan kegiatan untuk memenuhi kebutuhan
operasional yang telah ditetapkan dalam fungsi perencanaan, penentuan
kebutuhan, maupun, penganggaran. Pengadaan barang di RSU Kabupaten
Tangerang mengacu pada PerPres No. 70 tahun 2012. Ada 4 organisasi dibawah
naungan RSU Kabupaten Tangerang yaitu penggunaan anggaran (Direktur RSU
Kabupaten Tangerang), Pejabat Pembuat Komitmen / PPK, Pejabat Pengadaan
dan Panitia Penerima Hasil Pekerjaan. Pengadaan obat dan alat kesehatan di RSU
Kabupaten Tangerang dilakukan dengan beberapa cara, antara lain:
1) Pengadaan langsung
Pengadaan langsung dilakukan untuk sediaan farmasi, alat kesehatan
dan bahan medis habis pakai diatas 1 juta dan kurang dari 200 juta dengan
alur
pengadaan sebagai berikut:
a) Permintaan obat dari farmasi berupa SPPB (Surat Permohonan
Permintaan Barang)
b) Pengecekan obat SPPB dengan RBA (rencana bisnis anggaran).
c) Apabila SPPB sudah dicek maka diajukan ke kepala bidang penunjang
medik.
d) Dari kepala bidang diserahkan ke PPK. Dari Bidang lalu diserahkan ke
Direktur, lalu turun ke Bagian Keuangan.
e) PPK (pejabat pembuat komitmen) membuat HPS (harga perkiraan
sementara) dan di ajukan ke PP (pejabat pengadaan) untuk membuat surat
penawaran dan ditawarkan ke dua distributor.
f) Setelah didapatkan 2 distributor maka PP membuat berita acara
negosiasi.
g) Setelah didapatkan 1 distributor maka PPK membuat surat perintah kerja.
h) Distributor mengirimkan barang ke RSU Kabupaten Tangerang dan
membawa semua berkas yang diperlukan.
98
i) Penerimaan barang dari distributor dilakukan oleh PPHP (Panitia
Penerima Hasil Pekerjaan). Dokumentasi yang harus dibuat oleh PPHP
adalah berita acara serah terima barang.
j) Proses pembayaran dilakukan apabila seluruh berkas sudah dilengkapi
oleh distributor seperti faktur, surat pajak, dll.
k) Selanjutnya PPK ke bagian keuangan untuk meminta mencairan dana dan
pembayaran.
2) Metode pembelian langsung
Metode pembelian langsung yang dilakukan di RSU Kabupaten
Tangerang dilakukan untuk pengadaan obat yang dibutuhkan segera dan
bersifat fast moving. Pembelian langsung dilakukan jika dana yang
dikeluarkan untuk pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis
habis pakai kurang dari 20 juta dengan cara PPK melakukan pembelian
langsung kepada distributor kemudian PPK membuat SP kepada PBF yang
ditunjuk dan melakukan pembayaran yang disertai bukti pembayaran
(kwitansi), ketika barang 99rofes diperiksa oleh Panitia Pemeriksa Hasil
Pekerjaan (PPHP) dan barang yang 99rofes disimpan digudang kemudian
disalurkan ke depo farmasi sehingga barang dapat diresepkan oleh dokter dan
digunakan untuk pasien yang membutuhkan.
3) Metode E-purchasing
Metode e-purchasing dilakukan untuk pengadaan obat yang jumlah
biaya tidak terbatas dengan syarat barang tertera pada e-catalog. Pembelian
menggunakan E-purchasing langsung dilakukan oleh PPK dengan menginput
nama obat, jumlah, 99rofessi yang dipilih, dll. Pembayaran dilakukan oleh
bagian keuangan melalui PPK. Alur pengadaan dengan metode tander di
Instalasi Farmasi RSU Kabupaten Tangerang dapat dilihat pada gambar
berikut:
99
Gambar 5. Alur Pengadaan Metode Tander di Instalasi Farmasi RSU Kabupaten
Tangerang
4) Metode Produksi
Produksi merupakan kegiatan membuat, merubah bentuk, dan
pengemasan kembali sediaan farmasi steril atau nonsteril untuk memenuhi
kebutuhan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit. Produksi dilakukan bertujuan
untuk membantu dan memperlancar permintaan barang. Produksi dilakukan
apabila barang tidak tersedia dipasaran, dosis yang tersedia dipasaran tidak
sesuai dengan kebutuhan dan harganya lebih murah ketika diproduksi. Contoh
sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai yang diproduksi
di RSU Kabupaten Tangerang diantaranya:
a) Antiseptik tangan (Hands Rub)
b) Re-packing, seperti H2O2 3%, 100rofess 70%.
c) Pembuatan gliserin 10% , formalin 10%, teralin 1%
Pengadaan barang dengan metode sumbangan di RSU Kabupaten
Tangerang dilakukan untuk obat – obat tertentu, seperti obat – obat rutin HIV,
vaksin, IUD. Permintaan obat rutin HIV dan vaksin ke Dinkes Kabupaten
Tangerang dilakukan dengan membuat surat permohonan permintaan vaksin ke
Dinkes kabupaten Tangerang dengan mencantumkan sisa stok obat dan jumlah
yang diminta.
100
Prosedur pengadaan secara sumbangan yaitu:
1) Instalasi Farmasi membuat usulan mengenai sediaan farmasi, alat kesehatan
dan bahan medis habis pakai yang dibutuhkan.
2) Usulan mengenai sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai
yang dibutuhkan disetujui oleh Direktur, kemudian diajukan ke Dinas
Kesehatan Provinsi/Kabupaten.
3) Sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai yang 101rofes ke
RSU Kab Tangrang kemudian diterima oleh panitia penerima barang RSU
Kabupaten Tangerang untuk dilakukan pemeriksaan kemudian diserahkan ke
Instalasi Farmasi.
4) Penerimaan dan Pemeriksaan
Sistem penerimaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis
habis pakai di RSU Kabupaten Tangerang berfungsi untuk menyesuaikan
antara barang dengan faktur pemesanan barang. Dalam proses penerimaan,
dilakukan juga proses pemeriksaan. Pemeriksaan dilakukan ketika barang
101rofes dari distributor. Proses penerimaan dan pemeriksaan dilakukan
langsung di gudang Instalasi Farmasi RSU Kabupaten Tangerang oleh
apoteker. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi pemeriksaan kondisi barang
diantaranya kesesuaian barang yang diterima dengan faktur (jenis, jumlah,
bentuk sediaan obat, dan tanggal kadaluarsa).
Setelah dilakukan penerimaan, gudang Instalasi Farmasi berkoordinasi
langsung dengan Panitia Pemeriksa Hasil Pekerjaan (PPHP) RSU Kabupaten
Tangerang. PPHP bertugas untuk memeriksa hasil pekerjaan dengan
menyesuaikan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai
yang 101rofes dengan faktur serta membuat berita acara serah terima sediaan
farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai yang telah 101rofes dan
diperiksa yang kemudian diserahkan kepada PPK. Sediaan farmasi, alat
kesehatan dan bahan medis habis pakaiyang 101rofes harus disertai dengan
faktur 5 rangkap. Setelah barang diterima maka distributor atau supplier akan
melakukan penagihan biaya yang harus disertai dengan dokumen kepada PPK.
Kemudian PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) akan memeriksa kelengkapan
dokumen seperti kwitansi, faktur pajak, faktur barang, dan berita acara
penerimaan barang. Semua dokumen harus lengkap dan telah ditandatangani,
apabila dokumen tidak lengkap maka bagian keuangan tidak akan
101
mengeluarkan uang untuk pembayaran obat dan barang ke supplier. Jika
barang yang 102rofes sudah sesuai dengan yang dipesan, maka selanjutnya
sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai akan disimpan di
gudang Instalasi Farmasi.
d. Penyimpanan
Sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai yang sudah
diperiksa selanjutnya diterima oleh petugas gudang untuk dilakukan pemeriksaan
ulang untuk kemudian disimpan di gudang Instalasi Farmasi. Gudang Instalasi
Farmasi merupakan bagian dari Instalasi Farmasi rumah sakit yang bertanggung
jawab dalam pengelolaan obat, bahan baku, AMPH (Alat Medis Pakai Habis) dan
BMHP (Bahan Medis Habis Pakai). Data pengeluaran barang dicatat pada kartu
stok dan 102rofessi dengan 102rofes LAN (Local Area Network) sehingga
gudang dapat mengetahui sisa stok yang ada dalam masing – masing depo
farmasi dan mempermudah 102rofess pemakaian obat di RSU Kabupaten
Tangerang. Penyimpanan barang di gudang farmasi RSU Kabupaten Tangerang
dilakukan dengan 102rofes penggolongan berdasarkan:
1) Jenis sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai(obat dan
non obat), golongan obat (102rofess dan nongenerik), bentuk sediaan (padat,
semi padat, cair, dan injeksi), alfabetis, 102rofes FIFO (First In First
Out) dan
FEFO ( First Expired First Out ), dan berdasarkan kelas farmakologi.
2) Suhu dan kestabilan. Untuk obat-obatan tertentu misalkan suppositoria
(Stesolid supp, pronalges, dsb) dan injeksi tertentu seperti obat-obat
kemoterapi serta vaksin disimpan dilemari pendingin.
3) Obat narkotika disimpan terpisah didalam lemari yang seluruhnya terbuat
dari
kayu yang kuat dengan bagian luar lemari dipagar dengan besi dan dengan
kunci yang masing-masing berbeda. Penyimpanan narkotika di Gudang
Farmasi RSU Kabupaten Tangerang dapat dilihat pada lampiran 6c.
4) Obat-obat High Alert disimpan di rak khusus dengan penandaan stiker untuk
obat “High Alert”.
5) Obat-obat LASA disimpan dengan penandaan stiker “LASA” dan stiker
“PERHATIKAN DOSIS”.
Berikut merupakan metode penyimpanan yang dilakukan di setiap depo
farmasi RSU Kabupaten Tangerang :
102
1) Depo farmasi Rawat Jalan, metode penyimpanan dilakukan berdasarkan
alfabetis; bentuk sediaan; 103rofess dan non 103rofess; suhu; dan obat dan
non
obat.
2) Depo farmasi Rawat Inap, metode penyimpanan dilakukan berdasarkan
kombinasi kelas terapi-alfabetis; suhu; bentuk sediaan; dan FIFO (First In
First Out).
3) Depo farmasi IKW, metode penyimpanan dilakukan berdasarkan kombinasi
kelas terapi-alfabetis; bentuk sediaan; dan suhu.
4) Depo farmasi Instalasi Gawat Darurat, metode penyimpanan dilakukan
berdasarkan alfabetis; bentuk sediaan; dan suhu.
5) Depo farmasi OK Cito, metode penyimpanan dilakukan berdasarkan alfabetis,
dan suhu. Adapun obat-obatan yang ada di depo farmasi OK Cito adalah
dalam bentuk injeksi.
Gudang Instalasi Farmasi RSU Kabupaten Tangerang memiliki beberapa
perhatian khusus, diantaranya:
1) Layout gudang belum sesuai dengan ketentuan yang ada, yaitu masih belum
terdapat ruang transit untuk meletakkan kardus obat yang setelah diterima
sebelum dimasukkan kedalam rak-rak.
2) Pencahayaan yang kurang merata, keadaan ini mempersulit pengambilan
barang.
3) Kalibrasi alat – alat pengukur suhu belum dilakukan secara rutin.
e. Distribusi
Sistem distribusi sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis
pakai disetiap rumah sakit berbeda-beda. Sistem distribusi setiap rumah sakit
dipilih berdasarkan kebutuhan dan sesuai dengan kondisi rumah sakit tersebut.
Bentuk 103rofes distribusi sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis
habis
pakaidi RSU Kabupaten Tangerang dilakukan secara desentralisasi, yaitu
penyiapan dan pendistribusian sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis
habis pakai dari gudang Instalasi Farmasi rumah sakit dibagi ke depo-depo
farmasi. Sistem distribusi sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis
habis
pakaidi RSU Kabupaten Tangerang meliputi:
1) Distribusi Pelayanan Resep Depo Farmasi Rawat Inap
Sistem distribusi pelayanan depo farmasi rawat inap menggunakan
103rofes ODD (One daily Dose) yang berarti memberikan obat dan sediaan
103
farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakaikepada pasien untuk
pemakaian satu hari dan pembagian obat dilakukan oleh apoteker. Depo
farmasi rawat inap menaungi beberapa 104rofessi.
Secara keseluruhan alur distribusi di depo rawat inap terdapat dalam
bagan dibawah ini:
104
Gambar 7. Alur Distribusi Pelayanan Depo Farmasi IKW
3) Distribusi Pelayanan Depo Farmasi Kamar Operasi Cito (OK Cito)
Sistem distribusi di depo farmasi kamar operasi cito (OK Cito)
menggunakan sistem distribusi Individual Prescribing, dimana dokter
memberikan instruksi penggunaan obat-obatan dan alat kesehatan yang
akan digunakan untuk operasi kepada asisten, kemudian dilakukan
tindakan medis. Asisten apoteker di depo OK Cito memasukkan data resep
ke komputer dan merinci biaya penggunaan obat pada SIM Rumah Sakit
dan tagihan diberikan saat pasien pulang dan pembayaran di lakukan di
kasir. Obat-obat dan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis
habis pakai yang tersedia di depo OK cito RSU Kabupaten Tangerang
bersifat life saving dan alat-alat kesehatan kebutuhan untuk operasi.
Berikut merupakan alur sistem distribusi depo farmasi kamar operasi
Perawat atau dokter akan mengambil obat/alkes yang belum masuk daftar
paket ke depo farmasi OK Cito dengan melapor kepada AA
AA merekap daftar obat dan alkes yang digunakan ke dalam SIM RSU
Kabupaten Tangerang
105
4) Distribusi Pelayanan Depo Farmasi Instalasi Gawat Darurat (IGD)
Sistem distribusi yang diterapkan di Depo IGD adalah menggunakan
106rofes distribusi Individual Prescribing dan ODD yaitu obat berdasarkan
resep untuk perseorangan yang diberikan langsung kepada pasien atau
keluarga pasien. Depo IGD bertugas untuk melayani permintaan obat atau alat
kesehatan dari IGD, ICU, HCU, dan pada jam tertentu IGD dapat melayani
permintaan obat dan alkes dari semua poli. Berikut merupakan alur 106rofes
distribusi di IGD:
Resep Datang
106
Gambar 10. Alur Distribusi Pelayanan Depo Farmasi Rawat Jalan Resep
f. Pemusnahan
Kegiatan pemusnahan di RSU Kabupaten Tangerang berupa pemusnahan
sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai yang
rusak/kadaluarsa yang berasal dari pelaporan depo farmasi, unit pelayanan, dan
gudang farmasi dilakukan tiga tahun sekali. Apabila terdapat barang rusak atau
kadaluarsa, setiap petugas depo farmasi dan petugas unit pelayanan melakukan
entry di 107rofes 107rofessi kemudian menginventarisasi barang tersebut pada
saat dilakukan stock opname setiap satu bulan sekali lalu petugas tersebut
menyerahkan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai yang
rusak/kadaluarsa kepada gudang dengan melampirkan bukti serah terima rangkap
dua. Setelah itu petugas gudang mengelompokkan sediaan farmasi, alat kesehatan
dan bahan medis habis pakai yang rusak/kadaluarsa, yang masih dapat digunakan
untuk pendidikan/pelatihan, dan yang akan dimusnahkan. Petugas gudang juga
merekap sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai yang
rusak/kadaluarsa secara 107rofessi setiap 6 bulan sekali. Penanggung jawab
107
gudang melaporkan barang yang rusak/kadaluarsa kepada Kepala Instalasi
Farmasi.
Kepala Instalasi Farmasi selanjutnya melaporkan sediaan farmasi, alat
kesehatan dan bahan medis habis pakai yang rusak/kadaluarsa, yang masih
dapat
digunakan untuk pendidikan/pelatihan dan yang akan dimusnahkan kepada
Direktur, serta melaporkan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis
habis
pakai yang rusak/kadaluarsa kepada Tim Penghapusan Barang Medis Rumah
Sakit untuk dilakukan pemusnahan. Oleh petugas, barang yang rusak/kadaluarsa
diserahkan ke Instalasi Sanitasi. Tim penghapusan Barang Medis Rumah Sakit
akan melakukan pemusnahan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis
habis pakai melalui koordinasi dengan dinas kesehatan.
5. Pelayanan Farmasi Rawat Jalan, Rawat Inap, Satelit Khusus
a. Depo Farmasi Rawat Jalan
Depo farmasi rawat jalan merupakan bagian dari Instalasi Farmasi
Rumah
Sakit yang bertugas melayani resep pasien, baik pasien umum maupun pasien
BPJS. Resep yang dilayani di depo farmasi rawat jalan menggunakan metode IP
(Individual Prescribing) yaitu obat-obat yang disiapkan dan didistribusikan
oleh
depo farmasi sesuai dengan resep yang ditulis. Jumlah obat yang disiapkan
untuk
pasien rawat jalan ditentukan dari jenis penyakit pasien, dimana untuk pasien
dengan penyakit kronis dan melakukan pemeriksaan rutin obat-obat disiapkan
untuk pemakaian selama satu bulan, sedangkan pasien biasa dan dengan
diagnosis
sederhana obat yang disiapkan hanya untuk pemakaian selama 5 hingga 7 hari.
Selain itu, pasien dengan penyakit kronis yang datang kembali sebelum
waktunya,
obat akan diberikan sesuai dengan jumlah obat yang masih ada dipasien dan
digenapkan hingga 1 bulan. Untuk resep dengan pasien cito akan dilayani
terlebih
dahulu agar obat langsung dapat diterima oleh pasien.
Pelayanan kefarmasian di depo farmasi rawat jalan RSU Kabupaten
Tangerang dilakukan oleh Apoteker, Asisten Apoteker, dan petugas
administrasi.
Dokumentasi resep yang masuk di depo farmasi rawat jalan RSU Kabupaten
Tangerang sudah menggunakan sistem, dimana setiap harinya data pasien dan
obat dalam resep yang dikeluarkan akan diinput ke dalam Sistem Informasi
Manajemen Rumah Sakit. Berikut ini merupakan alur pelayanan pasien umum,
BPJS PBI dan Non PBI di depo farmasi rawat jalan:
108
Gambar 11. Alur Pelayanan Depo Farmasi Rawat Jalan Pasien Umum, BPJS PBI dan
BPJS Non PBI
109
Gambar 12. Alur Pelayanan Depo Obat Rawat Inap, Pasien Umum, BPJS PBI dan
Non PBI
110
c. Depo Farmasi Instalasi Khusus Wijaya Kusuma (IKW)
Instalasi khusus Wijayakusuma (IKW) merupakan salah satu bagian dari
RSU Kabupaten Tangerang yang memiliki fasilitas VIP dan melayani pasien
umum maupun BPJS. Pada 111rofessi IKW terdapat Depo obat yang bertugas
melayani permintaan dan kebutuhan obat dari pasien-pasien yang berada di ruang
perawatan IKW. Depo farmasi IKW melayani kebutuhan obat oral, injeksi, dan
alat kesehatan menggunakan 111rofes UDD (Unit Dose Dispensing) yang
disiapkan untuk pemakaian 1 kali dosis/pasien.
Penyiapan obat di depo farmasi IKW dilakukan berdasarkan KIO (Kartu
Instruksi Obat) yang dituliskan oleh Apoteker di IKW setelah melakukan visite
bersama dokter pada pagi harinya. Depo farmasi IKW juga melayani resep dari
poli yang digunakan untuk 111rofess pasien pulang dari IKW. Setelah obat dan
alat kesehatan disiapkan, kemudian didistribusikan oleh Asisten Apoteker ke
setiap ruangan untuk nantinya dikelola oleh perawat yang bertugas. Berikut ini
merupakan alur pelayanan di depo farmasi IKW:
111
Gambar 13. Alur Pelayanan Depo Obat IKW, Pasien Umum, BPJS PBI dan Non PBI
112
Gambar 14. Alur Pelayanan Resep di Kamar Operasi
113
Gambar 15. Alur Pelayanan Resep IGD Pasien Umum, BPJS PBI dan Non PBI
114
di Instalasi Farmasi rawat jalan di RSU Kabupaten Tangerang dilakukan upaya
pencegahan terjadinya kesalahan pemberian obat, namun pada beberapa resep
sering ditemui ketidaklengkapan resep seperti tidak tercantum berat badan
pasien,
umur pasien, interaksi obat dan riwayat alergi.
b. Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat
Penelusuran riwayat penggunaan obat yang telah dilakukan RSU
Kabupaten Tangerang berdasarkan PMK No 72 tahun 2016 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Penelusuran riwayat penggunaan obat di
RSU Kabupaten Tangerang dilakukan dengan wawancara langsung pada pasien
sebelum menerima obat, baik pada instalasi rawat jalan ataupun instalasi rawat
inap. Penelusuran riwayat penggunaan obat di Instalasi Farmasi rawat jalan,
sebelum pasien menerima obat, apoteker menanyakan terlebih dahulu terkait
dengan kondisi pasien agar pasien memperoleh obat yang sesuai, kemudian obat
diserahkan dengan disertai informasi obat.
Penelusuran riwayat penggunaan obat di instalasi rawat inap, apoteker
melakukan penelusuran dengan wawancara pasien secara langsung dan
membandingkan kartu instruksi obat (KIO) dengan data riwayat penggunaan obat
di rekam medis untuk mengetahui apakah ada perbedaan atau tidak terhadap terapi
yang akan diterima pasien, bila ada perubahan pada rekam medis pasien, apoteker
akan mendiskusikan dengan dokter yang menangani pasien tersebut. Alergi atau
reaksi obat yang tidak dikehendaki yang terjadi pada pasien, akan dilakukan
pencatatan oleh apoteker dan didiskusikan dengan dokter mengenai terapi yang
akan diterima pasien.
c. Rekonsiliasi Obat
Rekonsiliasi dilakukan untuk mencegah terjadinya kesalahan obat
(medication error) seperti obat tidak diberikan, duplikasi, kesalahan dosis atau
interaksi Obat. Kegiatan rekonsiliasi yang di lakukan di RSU Kabupaten
Tangerang telah dilakukan sesuai dengan PMK No 72, rekonsiliasi dilakukan saat
pasien 115rofes ke RSU Kabupaten Tangerang di IGD (dengan cara
membandingkan obat yang dibawa pasien dari rumah dengan obat yang diterima
pasien di IGD), saat transfer pasien dari ruang perawatan satu ke ruang
perawatan
lain dan saat pasien pulang (dengan cara membandingkan obat yang diterima
selama diruang perawatan dengan obat yang dibawa pulang). Kegiatan
rekonsiliasi obat bertujuan untuk memastikan informasi yang akurat tentang obat
115
yang digunakan pasien, mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat
tidak
terdokumentasinya instruksi dokter, dan mengidentifikasi ketidaksesuaian
akibat
tidak terbacanya instruksi dokter.
d. Pelayanan Informasi Obat
Pelayanan informasi obat merupakan kegiatan pelayanan yang
dilakukan
oleh apoteker untuk memberikan informasi dan konsultasi mengenai obat pada
pasien atau keluarga pasien atau tim medis lain (dokter, perawat dan
apoteker) di
rumah sakit secara akurat, jelas, dan 116rofess. PIO dilakukan secara
langsung
pada pasien saat pasien ingin mengambil obat di depo rawat jalan, dan
menjawab
beberapa pertanyaan langsung dari pasien dan keluarga pasien, dan tenaga
kesehatan lainnya seperti perawat rumah sakit, perawat dan bidan yang sedang
praktek di rumah sakit maupun sesama teman PKPA. Kegiatan PIO yang
dilaksanakan di RSU Kabupaten Tangerang telah sesuai dengan PMK No 72
tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Alur
Pelayanan Informasi Obat di RSU Kabupaten Tangerang dapat dilihat pda gambar
berikut:
e. Konseling
Konseling merupakan proses yang sistematis untuk mengidentifikasi
dan
menyelesaikan permasalahan dalam penggunaan obat yang bertujuan untuk
tercapainya sasaran terapi obat, meningkatkan kepatuhan minum obat,
116
meminimalkan resiko reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD), dan
meningkatkan cost-effectiveness yang pada akhirnya meningkatkan keamanan
penggunaan obat bagi pasien (patient safety). Kegiatan konseling di RSU
Kabupaten Tangerang diterapkan di instalasi rawat jalan dan rawat inap.
Konseling untuk pasien rawat jalan dilakukan di meja tempat penyerahan obat
karena keterbatasan tempat dan ditujukan pada pasien penyakit kronis, misalnya
pasien penyakit jantung atau diabetes melitus serta pasien yang mendapatkan obat
dengan menggunakan alat khusus (penggunaan insulin, inhaler, ovula vagina dan
lain – lain).
Konseling pada pasien rawat inap dilakukan di bed side conseling dan
ditujukan untuk pasien yang sudah diperbolehkan pulang atau pasien yang
melanjutkan terapi obat di rumah. Hal-hal yang perlu didokumentasikan
(pencatatan) terkait konseling antara lain: nama dan umur pasien,tanggal
konseling, riwayat alergi, keluhan pasien (diagnosis), riwayat penyakit, riwayat
pengobatan pasien, obat yang digunakan, indikasi obat, bentuk sediaan, aturan
pakai, penyimpanan obat, efek samping obat yang mungkin muncul, terapi non
farmakologi serta edukasi kepada pasien terkait penyakit.
Mahasiswa PKPA di RSU Kabupaten Tangerang melakukan konseling
kepada pasien yang ada di rawat inap dan setiap melakukan konseling mahasiwa
melakukan pengisian form konseling sebagai bahan dokumentasi. Alur konseling
untuk pasien rawat jalan dan rawat inap di RSU Kabupaten Tangerang adalah
sebagai berikut:
Gambar 17. Alur Konseling Pasien Rawat Jalan di RSU Kabupaten Tangerang
117
Gambar 18. Alur Konseling Pasien Rawat Inap di RSU Kabupaten Tangerang
f. Visite
Visite dibagi menjadi 2 yaitu visite bersama yang dilakukan oleh
apoteker
bersama dengan tim medis (dokter, perawat, dan dokter gizi serta tenaga
kesehatan lainnya) atau secara mandiri biasanya disebut visite mandiri. Visite
bertujuan untuk memantau perkembangan kesehatan pasien, mengamati kondisi
klinis pasien secara langsung, serta mengkaji terapi obat yang didapatkan pasien
(kemungkinan adanya pelaporan efek samping obat dan pematauan terapi obat).
Apoteker di RSU Kabupaten Tangerang sudah melakukan visite bersama
ataupun visite mandiri secara berkala, dengan melakukan visite bersama, apoteker
dapat memperoleh informasi terkini yang comprehensif sebagai fasilitas
pembelajaran dan dapat langsung mengkomunikasikan masalah
terkait
penggunaan obat dengan tim medis lainnya. Dokumentasi visite dilakukan di buku
catatan visite pasien dengan mencantumkan informasi mengenai nama pasien,
ruangan/kamar rawat dan SOAP yang dicatat setiap kali apoteker melakukan
visite. Mahasiswa PKPA di RSU Kabupaten tangerang juga diberikan kesempatan
untuk melakukan visit baik secara mandiri maupun visit bersama namun saat
melakukan visit mahasiswa tidak melakukan pencatatan di buku visite pasien.
g. Pemantauan Terapi Obat
Pemantauan terapi obat (PTO) adalah kegiatan yang mencakup analisis
terhadap DRP (Drug Related Problem) yang dilakukan untuk memastikan terapi
obat sudah tepat, aman dan ekonomis bagi pasien. PTO bertujuan untuk
menyesuaikan terapi obat pada karakteristik pasien secara
individu,
118
memaksimalkan manfaat obat dan meminimalkan resiko obat. Pengkajian DRP
yang dilakukan seperti kejadian kelebihan dosis, kekurangan dosis, reaksi efek
samping obat, indikasi yang tidak diterapi, obat tanpa indikasi, interaksi obat,
kepatuhan pasien dalam konsumsi obat dan kegagalan pasien mendapatkan obat
(faktor ekonomi pasien, faktor ketidakpatuhan pasien dalam minum obat dan
ketidaktersediaan obat di rumah sakit).
PTO dilakukan untuk pasien rawat inap tetapi tidak semua pasien rawat
inap dilakukan kegiatan PTO hal ini disebabkan karena keterbatasan tenaga
apoteker di RSU Kabupaten Tangerang. PTO dilakukan pada pasien-pasien
dengan penyakit kronis, pasien geriatri atau anak, pasien dengan polifarmasi.
PTO
pada pasien lain dilakukan secara tidak intensif, PTO dilakukan berupa pengisian
KIO (Kartu Instruksi Obat) pasien berdasarkan status pasien, apoteker tetap
memantau terapi obat yang di resepkan apakah sudah tepat indikasi maupun tepat
dosis. PTO juga bisa dilakukan saat apoteker melakukan visite. Analisis DRP
sebagai salah satu kegiatan PTO dilakukan oleh setiap mahasiswa/i PKPA di
bangsal dengan mengambil kasus berdasarkan 7 kriteria DRP dengan kondisi
pasien minimal sudah 5 hari dirawat inap. Kasus terdiri dari kasus individu dan
kelompok dimana kasus kelompok dengan kriteria penyakit lebih kompleks
dibandingkan kasus individu. Pada akhir PKPA di bangsal, kasus kelompok akan
dipresentasikan dan didiskusikan dengan Apoteker di RSU Kabupaten Tangerang.
h. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
Kegiatan monitoring efek samping obat berdasarkam PMK No 72
meliputi: mendeteksi adanya kejadian reaksi obat yang tidak dikehendaki (ESO),
mengidentifikasi obat-obatan dan pasien yang mempunyai risiko tinggi
mengalami ESO, mengevaluasi laporan ESO dengan algoritme Naranjo,
mendiskusikan dan mendokumentasikan ESO di Tim/Sub Tim Farmasi dan
Terapi, dan melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat Nasional ().
MESO merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat yang
tidak dikehendaki, yang terjadi pada dosis lazim yang digunakan pada manusia
untuk tujuan profilaksis, diagnosa dan terapi. Kegiatan MESO dilakukan langsung
oleh Apoteker di RSU Kabupaten Tangerang saat visite secara mandiri dan
selanjutnya dilakukan dokumentasi dengan cara mengisi form MESO. Adanya
kasus dan dokumentasi MESO yang terlaporkan ke Pusat MESO Nasional sangat
membantu proses akreditasi Rumah Sakit.
119
i. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)
Evaluasi Penggunaan Obat merupakan kegiatan rutin yang dilakukan di
RSU Kabupaten Tangerang. Tujuan dilakukannya evaluasi penggunaan adalah
untuk mencocokkan penggunaan atau peresepan obat sesuai dengan pola
penggunaan obat yang sudah ada serta untuk mencocokkan stok obat dengan
fisiknya. Evaluasi penggunaan obat di Instalasi Farmasi RSU Kabupaten
Tangerang dilakukan dengan cara pelaporan penggunaan obat yang terpusat di
gudang farmasi.
Laporan yang dibuat berupa laporan nilai persediaan yang dilaporkan
setiap bulan kepada bagian keuangan, laporan jumlah resep dan laporan hasil
stock opname (dilakukan 1 bulan sekali diakhir bulan) yang dilaporkan setiap
bulan kepada bagian keuangan, laporan penggunaan narkotika dan psikotropika
yang dilaporkan setiap bulan kepada Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten dan Balai
Besar POM, laporan statistika resep dan penggunaan obat generik berlogo yang
dilaporkan setiap bulan kepada Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten dan Balai Besar
POM.
Evalusasi lebih lanjut dilakukan apabila dalam penggunaan terdapat stok
obat yang kurang sehingga nantinya dapat diketahui penyebab dari kekurangan
tersebut, dan tidak tejadi kesalahan lagi pada bulan berikutnya.
j. Dispensing Sediaan Steril
Dispensing sediaan steril merupakan kegiatan yang tidak dapat dipisahkan
dari pelayanan farmasi klinis di RSU Kabupaten Tangerang. Menurut PMK No 72
tahun 2016, dispensing sediaan steril harus dilakukan di Instalasi Farmasi Rumah
Sakit dengan teknik aseptik untuk menjamin sterilitas dan stabilitas produk dan
melindungi petugas dari paparan zat berbahaya serta menghindari terjadinya
kesalahan pemberian obat(6). Kegiatan dispensing sediaan steril meliputi:
1) Pencampuran obat suntik atau IV admixture
Kegiatan ini dilakukan untuk pencampuran obat-obat tertentu yang
dilakukan secara aseptis. Namun, di RSU Kabupaten Tangerang apoteker
belum melakukan IV Admixture karena keterbatasan sumber daya apoteker
serta sarana dan prasarana yang belum memadai. IV admixture di RSU
Kabupaten Tangerang saat ini masih dilakukan oleh perawat di bangsal.
2) Penyiapan Total Nutrisi Parenteral (TPN)
120
Total Nutrisi Parenteral kegiatan pencampuran nutrisi parenteral yang
dilakukan oleh tenaga yang terlatih secara aseptis sesuai kebutuhan pasien
dengan menjaga stabilitas sediaan, formula standar dan kepatuhan terhadap
prosedur yang menyertai(6). Namun, di RSU Kabupaten Tangerang apoteker
belum melakukan penyiapan Nutrisi Parenteral karena keterbatasan sumber
daya apoteker serta sarana dan prasarana yang belum memadai.
3) Penanganan sediaan sitostatik (Handling Cytotoxic) atau penanganan obat-
obat sitotastik (obat kemoterapi)
RSU Kabupaten Tangerang, mulai melaksanakan penanganan sediaan
sitostatik (Handling Cytotoxic) pada bulan April tahun 2007. Handling
Cytotoxic dilakukan telah sesuai dengan prosedur standar operasional yang
disetujui oleh Kepala Instalasi Farmasi dan disahkan oleh Direktur RSU
Kabupaten Tangerang. Penanganan obat sitotoksik yang bersifat
mutagenik,teratogenik dan karsinogenik memerlukan proses serta lingkungan
pencampuran obat yang harus sesuai standar. Peran apoteker dalam handling
cytotoxic yaitu antara lain memantau dosis dan menjaga kestabilan serta
keamanan saat dilakukan pencampuran sediaan obat kemoterapi. Kegiatan
dalam penanganan sediaan sitostatik meliputi(6):
a) Melakukan perhitungan dosis secara akurat
b) Melarutkan sediaan obat kanker dengan pelarut yang sesuai
c) Mencampur sediaan obat kanker sesuai dengan protokol pengobatan
d) Mengemas dalam kemasan tertentu
e) Membuang limbah sesuai prosedur yang berlaku.
Pencampuran obat sitotoksik merupakan suatu kegiatan pencampuran
obat sitotoksik injeksi dalam larutan infus atau injeksi lain. Handling
cytotoxic di RSU Kabupaten Tangerang dilakukan oleh seorang Apoteker
yang tiap hari jadwalnya berubah. Petugas dipilih dan diganti setiap 1 tahun
sekali. Sebelumnya, petugas handling diberikan pelatihan terlebih dahulu,
misalnya mengikuti pelatihan di RS Darmais Jakarta, selain itu petugas yang
ditunjuk melakukan handling harus melakukan pemeriksaan kesehatan untuk
memastikan bahwa kondisi tubuh petugas benar-benar dalam kondisi baik dan
sehat namun apabila hasil tes kesehatannya tidak baik maka personil tersebut
tidak dapat menjadi petugas. Pemeriksaan kesehatan ini tidak hanya dilakukan
di awal tetapi juga dilakukan rutin setiap 6 bulan sekali. Setelah masa kerja
121
personil selesai menjadi petugas handling cytotoxic, dilakukan kembali tes
kesehatan untuk melihat apakah ada perubahan kondisi kesehatan pada
personil.
Pada saat pelaksanaan PKPA di RSU Kabupaten Tangerang, tidak
dilakukan praktek handling cytotoxic, hal ini dikarenakan alat-alat handling
cytotoxic rusak akibat kebakaran yang terjadi di bulan Juni 2017. Kebakaran
tersebut menyebabkan gudang farmasi dan handling cytotoxic habis terbakar.
122
k. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD)
Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) masuk dalam kegiatan
pelayanan farmasi klinis di PMK No 72 tahun 2016. Kegiatan ini
menggambarkan
hasil interpretasi dari pemeriksaan kadar obat tertentu atas permintaan
dari dokter
yang merawat karena indeks terapi yang sempit dari suatu obat atau atas
usulan
dari Apoteker kepada Dokter.
Kegiatan Pemantauan Obat dalam Darah (PKOD) cukup menunjang
pelayanan farmasi klinis karena apoteker akan mengetahui obat apa yang
menyebabkan munculnya gejala toksisitas pada pasien dan tindakan apa yang
harus dilakukan untuk mengatasi gejala tersebut. Namun, di RSU Kabupaten
Tangerang Apoteker belum melakukan Pemantauan Kadar Obat dalam Darah
(PKOD) karena keterbatasan sumber daya apoteker serta sarana dan prasarana
yang belum memadai. Kegiatan ini memang masih cukup jarang dilakukan di
Rumah Sakit di Indonesia karena keterbatasan sarana prasanan dan dana
karena
pengukuran kadar obat dalam darah menggunakan alat yang canggih cukup
mahal
dan harus ada tenaga apoteker yang terampil dalam menginterpretasikan
hasil
pengukuran dari alat tersebut sebagai upaya pemantauan kadar obat dalam
darah
pasien.
124
C. Unit / Komite Interdisipliner
1. Komite Farmasi dan Terapi (KFT)
Komite Farmasi dan Terapi (KFT) RSU Kabupaten Tangerang dibentuk oleh
Direktur berdasarkan Surat Keputusan (SK) Direktur No. 821.27/ 0290.TU pada 10
Januari 2014. Komite Farmasi dan Terapi (KFT) RSU Kabupaten Tangerang yaitu
komite yang secara fungsional membantu direktur serta Rumah Sakit dalam
pengelolaan obat-obatan untuk memberikan masukan mengenai masalah-masalah
yang muncul secara professional. KFT diketuai oleh seorang dokter, apoteker
sebagai
sekretaris dan anggota lain yang juga terdiri dari 7 dokter spesialis, 1
apoteker serta 2
perawat dengan masa jabatan selama 3 tahun. Adapun susunan keanggotan KFT RSU
Kabupaten Tangerang adalah sebagai berikut:
a. Ketua : dr. Pudjo Rahasto, SpJP
b. Wakil Ketua : dr. Ismon K, SpB (K) V
c. Sekretaris : Ary Dwi Lestari, M.Si, Apt
d. Anggota : 1. Dr. Syafrizal Abu Bakar, SpBS
2. dr. Nurman Efendi, SpOT
3. dr. I Gede Rai Kosa, SpPD
4. dr. Falentina Panjaitan, SpA
5. dr. Eddy Toynbe, SpOB
6. dr. Muhammad Gafur, SpAN
7. dr. Melfa Lanria Berliana L.T.,SpS
8. Dra.Didiet Etnawati, M.Si, Apt
9. Ns. Sriyatna Rumsari, Skep
10. Muhammad Arofah,AMK
Berdasarkan SK Direktur No. 821.27/ 0290 tahun 2014 Komite Farmasi dan
Terapi Rumah Sakit memiliki tugas pokok fungsi sebagai berikut:
a. Menyusun formularium Rumah Sakit,
b. Mengevaluasi dan merevisi formularium Rumah Sakit setiap tahun dengan
memperhatikan usulan dari komite medik fungsional,
c. Menyusun dan mengusulkan kebutuhan tambahan obat – obat, Bahan Medis
Habis Pakai, serta Alat Kesehatan yang bersifat life saving.
d. Mengawasi penggunaan obat secara rasional dan penggunaan obat generik.
e. Membuat analisa dan evaluasi penggunaan obat dan lat kesehatan tiap tahun
dari
laporan yang dibuat oleh Instalasi Farmasi.
125
KFT memiliki peran penting dalam pengelolaan obat khususnya dalam tahap
seleksi. KFT memiliki wewenang untuk menentukan obat apa saja yang akan masuk
dan obat mana saja yang akan direvisi dalam formularium Rumah Sakit. Formularium
RSU Kabupaten Tangerang disusun berdasarkan golongan farmakologi dan terapi
yang berisi golongan obat, nama generik, nama dagang, nama pabrik dan bentuk
sediaan yang terdapat di setiap depo-depo apotek. Berikut adalah tahapan penyusunan
formularium RSU Kabupaten Tangerang:
a. KFT mengirim lembar/surat ke Kelompok Staf Medik (KSM) dimana mereka
akan diminta untuk memberi usulan obat-obat apa saja yang akan dimasukkan ke
dalam formularium;
b. Pengumpulan rekomendasi obat-obat dan penyusunan draft daftar obat;
c. Pembahasan draft usulan obat pada saat rapat KFT untuk memilih obat mana
yang terpilih masuk dalam formularium Rumah Sakit;
d. Draft daftar obat yang terpilih dikembalikan pada KSM, jika KSM telah setuju
kemudian;
e. Finalisasi daftar obat lalu disahkan oleh direktur.
Kriteria obat – obat yang dipilih masuk ke dalam formularium RSU Kabupaten
Tangerang adalah:
a. Obat – obat generik
b. Obat dengan nama generik yang sama, pemilihan obat ini dilakukan dengan
rumus 1:3:1 yaitu 1 obat generik, 3 obat metoo dan 1 obat original.
c. Memiliki risk and benefit ratio yang menguntungkan pasien.
d. Terjamin mutu, stabilitas dan bioavaibilitas.
e. Praktis dalam penyimpanan dan penyerahan.
f. Obat dengan senyawa tunggal, sediaan kombinasi dipilih jika benar potensinya
lebih baik.
Selain menambahkan, KFT juga berhak merevisi obat – obat yang memiliki
kriteria berikut dari formularium:
a. Obat – obat slow moving, daftar obat slow moving dapat dilihat dari laporan
penggunaan obat yang dilaporkan setiap tiga bulan sekali oleh farmasi.
b. Death stock.
c. Terjadi kasus terkait obat seperti obat yang sedang dalam proses penarikan
karena
menimbulkan efek yang tidak diinginkan dll.
126
KFT di RSU Kabupaten Tangerang melakukan rapat rutin setiap tiga bulan
sekali untuk evaluasi kebijakan penggunaan obat rasional guna membahas masalah-
masalah kesehatan di Rumah Sakit yang berkaitan dengan obat dan setiap satu
tahun
sekali KFT akan melakukan revisi formularium Rumah Sakit. Tujuan khusus
pembuatan formularium RSU Kabupaten Tangerang tersebut adalah:
a. Menjadi acuan bagi tenaga medis untuk menetapkan pilihan obat yang tepat,
paling efficacious, dan aman, dengan harga yang terjangkau.
b. Mendorong penggunaan obat secara rasional sesuai standar, sehingga
pelayanan
kesehatan lebih bermutu dengan belanja obat yang terkendali (cost
effective).
c. Mengoptimalkan pelayanan kesehatan yang efektif dan efisien kepada
masyarakat.
d. Memudahkan perencanaan dan penyediaan obat di RSU Kabupaten Tangerang
dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya sesuai dengan kebutuhan.
129
dengan lensa polos juga dapat diigunakan, tetapi hanya jika ditambahkan
pelindung pada bagian sisi mata.
d. Topi
Topi digunakan untuk menutup rambut dan kulit kepala sehingga serpihan
kulit dan rambut tidak masuk ke dalam luka selama pembedahan. Topi harus
cukup besar untuk menutup semua rambut. Meskipun topi dapat dapat
memberikan sejumlah perlindungan pada pasien, tetapi tujuan utamanya adalah
untuk melindungi pemakainya darah atau cairan tubuh yang terpercik atau
menyemprot.
e. Baju pelindung
Baju pelindung digunakan untuk menutupi atau mengganti pakaian biasa
atau seragam lain, pada saat merawat pasien yang diketahui atau dicurigai
menderita penyakit menular melalui droplet/airborne. Pemakaian baju pelindung
terutama adalah untuk melindungi baju dan kulit petugas kesehatan dari sekresi
respirasi.
f. Pelindung Kaki
Pelindung kaki digunakan untuk melindungi kaki dari cedera akibat
benda
tajam atau benda berat yang mungkin jatuh secara tidak sengaja ke atas kaki.
Oleh karena itu, sandal, “sandal jepit” atau sepatu yang terbuat dari bahan
lunak
(kain) tidak boleh dikenakan. Sepatu boot karet atau sepatu kulit tertutup
memberikan lebih banyak perlindungan, tetapi harus dijaga tetap bersih dan
bebas
kontaminasi darah atau tumpahan cairan tubuh lain. Penutup sepatu tidak
diperlukan jika sepatu bersih. Sepatu yang tahan terhadap benda tajam atau
kedap
air harus tersedia di kamar.
130
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Rumah Sakit Umum Tangerang adalah rumah sakit milik pemerintah daerah
Kabupaten Tangerang yang telah meraih akreitasi B dan termasuk rumah
sakit
Pendidikan yang berlaku pada tanggal 8 agustus 2016 dan berlaku sampai
dengan 25 Juli 2019. satelit serta merupakan rumah sakit rujukan
regional
provinsi Banten.
2. Telah mendapatkan pengalaman praktek tentang standar
pelayanan
kefarmasian terkait manajerial dan farmasi klinik seperti visite pasien,
pengkajian resep, rekonsiliasi obat, pemberian informasi obat, konseling
pasien, pemantauan terapi obat (PTO), monitoring efek samping obat
(MESO), dan dispensing obat. secara professional, handal, dan mandiri
sehingga dapat mencapai kompetensi Apoteker yang telah ditetapkan oleh
Ikatan Apoteker Indonesia.
3. Telah mampu berpikir kritis dan melakukan analisis kesesuaian antara teori
dan praktek sehingga mampu menjadi Apoteker yang siap menghadapi
tantangan pekerjaan.
B. Saran
1. Memanfaatkan ruangan konseling yang sudah tersedia di rawat jalan untuk
memudahkan pasien dalam memperoleh informasi dan lebih privacy.
2. Penyimpanan obat-obatan psikotropika dan narkotika pada masing- masing
depo disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku yakni tidak bersamaan
ruangannya dengan ruang racik.
3. Memperluas bangunan depo (khususnya depo rawat inap dan OK CITO)
sehingga pelayanan kepada pasien lebih cepat dan tepat.
4. Memperluas penyimpanan obat di gudang sehingga lebih mudah mengakses
obat.
5. Diperlukan pelatihan Handling Cytotoxic dan pencampuran obat kepada
seluruh Apoteker, dan juga terkait akan pentingnya menggunakan APD (Alat
Pelindung Diri) ketika dispensing dan distribusi obat kemoterapi.
131
6. Penyimpanan bahan mudah terbakar disesuaikan dengan ketentuan yang
berlaku.
7. Menggunakan alat (sendok) saat mengambil obat yang berada di dalam
kemasan botol (seperti CaCO3, bicnat, depakote dll) untuk menghindari
kontaminasi obat.
8. Menambah jumlah asisten apoteker sehingga kegiatan pelayanan kefarmasian
lebih cepat dan optimal terutama di rawat jalan.
132
DAFTAR PUSTAKA
133
LAMPIRAN
134
ANALISIS DRUG RELATED PROBLEMS (DRP’S)
PADA PASIEN TB PARU BTA (+), PLEUROPHENOMENIA, DAN TB MILIER
DI PAVILIUN FLAMBOYAN
RUMAH SAKIT UMUM KABUPATEN TANGERANG
Disusun Oleh :
Revi Novitasari, S. Farm 17811127
Nadia Dessifa Hasana, S. Farm 17811129
Dhimas Aditya Pratama, S. Farm 17811191
Rahmat Ikhsan, S. Farm 17811204
Rosmalina, S. Farm 17811208
135
BAB I
ANALISIS KASUS
A. Identifikasi Pasien
UMUR 28 tahun
BERAT BADAN 45 kg
TANGGAL MASUK –
09 Februari 2018 – 19 Februari 2018
KELUAR
Pasien datang dengan keluhan demam naik turun 2 hari, sesak nafas (+),
nafsu
makan menurun (+), batuk (+)
136
RIWAYAT PENYAKIT TERDAHULU
RIWAYAT KELUARGA
RIWAYAT SOSIAL
OAT
137
B. Hasil Pemeriksaan Fisik
Nilai
Tanggal
Pemeriksaan
Normal 09/02
10/02 11/02 12/02
13/02
Tekanan
Darah 120/80 130/70 110/70 110/70 110/80
120/80 110/70 120/70 120/70 120/80 120/70 90/60
110/90 120/80 110/70
(mmHg)
Pernapasan
16-20 26 30 28 27
27 28 24 24 27 26 30
26 28 28
(x/menit)
Nadi
70-80 86 86 84 92
87 84 84 84 87 84 113
95 92 100
(x/menit)
Suhu 36,5-
36 36 36,4 37
37 36 36 36 37 38 36,7
36,7 37,2 36,1
(oC) 37,5
Nilai
Tanggal
Pemeriksaan
Normal
19/02
14/02 15/02
16/02 17/02 18/02
Tekanan
110/70 110/70 -
Darah 120/80 120/70 120/80 120/70 110/70 110/60
120/80 120/80 100/80 130/80 110/70 - - 110/70 110/70
100/70
(mmHg)
Pernapasan
22 22 -
16-20 25 37 32 23 32
27 37 24 38 28 - - 27 27
25
(x/menit)
Nadi
85 83 -
70-80 94 90 90 100 84
92 90 80 103 104 - - 92 90
86
(x/menit)
Suhu 36,5-
36,7 36 -
36,4 36 36 36,2 37,1
36,2 36 36,5 39,6 36,7 - - 36 36
36,8
(oC) 37,5
138
C. Hasil Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal
Pemeriksaan Nilai Normal
07/02 09/02 10/02
(mm/jam)
SGPT 41 - 92
0 – 50
(U/L)
SGOT 70 - 38
0 – 50
(U/L)
139
Tanggal
Pemeriksaan Nilai Normal
07/02 09/02 10/02
Ureum 3,4 - 51
0 – 50
(mg/dl)
Creatinin 1,0 - 0,7
0,0 – 1,3
(mg/dl)
PCO2 (T) - -
35,00 – 45,00 57,30
(mmHg)
PO2 (T) - -
80,0 – 104,0 69,8
(mmHg)
HCO3 – ACT - -
22,0 – 26,0 34,7
(mmHg)
TCO2 - -
23,0 – 27,0 36,4
(mmol/L)
BE (vt) - -
(-2,5) – 2,5 8,6
(mmol/L)
BE (vv) - -
(-2,5) – 2,5 10,1
(mmol/L)
O2 saturasi - -
96,0 – 97,0 93,1
(%)
Natrium (Na) 128 -
135 – 147 130
(mEq/L)
Kalium (K) 3,6 -
3,5 – 5,0 3,0
(mEq/L)
Chloride (Cl) 90 -
96 – 105 94
(mEq/L)
Glukosa darah 102 -
acak < 180 -
(mg/dl)
140
D. Catatan Pemberian Obat
Tanggal
P Si So M P Si So M P Si So M P
Si So M P Si So M P Si So M P Si So M
3x500
Paracetamol - - √ - √ √ √ - √ √ - - √
√ √ - √ √ √ - √ √ √ - √ √ √ -
mg
Ranitidine 2x1 - - √ - √ - √ - √ - √ - √
- √ - √ - √ - √ - √ - √ - √ -
B6 3x1 - - √ - √ √ √ - √ √ √ - √
√ √ - √ √ √ - √ √ √ - √ √ √ -
Cotrimoxazol 2x2 - - √ - √ - √ - √ - √ - -
- √ - √ - √ - √ - √ - √ - √ -
3x1
Prednisone - - √ - √ √ √ - √ √ √ - √
√ √ - √ √ √ - √ - √ - √ - √ -
(5 hari)
Ceftriaxone
1x2 g √ - - - √ - - - √ - - - √
- - - √ - - - √ - - - √ - - -
(IV)
Inhalasi
3x1 √ √ √ - √ √ √ - - √ - - -
√ - - √ - - - √ √ √ - √ √ √ -
Combivent
Infus RL /8 jam √ √ - √ √
√ - √ √ √ - √ √ √ - √ √ √ - √
141
Tanggal
P Si So M P Si So M P Si
So M P Si So M P Si So M P Si So M P
Si So M
Ondansetron
4 mg k/p
injeksi
Omeprazole
1x40 mg
injeksi
Tanggal
P Si So M
P Si So M P Si So M P Si So M
Paracetamol 3x500 mg √ √ √ -
√ √ √ - √ √ √ - √ √ - -
Ranitidine 2x1 √ - √ -
√ - √ - √ - √ - √ - - -
B6 3x1 √ √ √ -
√ √ √ - √ √ √ - √ √ - -
142
Tanggal
P Si So M P Si So M P Si
So M P Si So M
Cotrimoxazol 2x2 √ - √ - √ - √ - √ -
√ - √ - - -
2x1
Prednisone √ - √ - √ - √ - √ -
√ - √ - - -
(5 hari)
Inhalasi
3x1 - √ √ - - √ √ - √ √
√ - - - - -
Combivent
Infus RL /8 jam √ √ - √ √ √ - √ √ √
- √ √ √ - √
Ondansetron
4 mg k/p √ -
- - - - - -
injeksi
Omeprazole
1x40 mg √ -
- - √ - - -
injeksi
143
E. Catatan Perkembangan Pasien berdasarkan Rekam Medik
ANALISA
TANGGAL KAJIAN PASIEN
SOAP
P IV FD RL/8 jam
Ceftriaxone 1x2 amp
Inhalasi combivent 3x1
PCT tab 3x1
4FDC 1x3
O2 nasal /3 menit
P IV FD RL/8 jam
Ceftriaxone 1x2 amp
Inhalasi combivent 3x1
PCT tab 3x1
4FDC 1x3
O2 nasal /3 menit
(dr. Prasetyo O P
144
Hariadi, S.P) TB Paru BTA (+), TB milier, dan
A
pleurophenomenia
P Vitamin B6 3x1
Cotrimoxazol 2x2
Prednison 3x1 5 hari
2x1 5 hari
1x1 5 hari
(dr. Prasetyo O P
Hariadi, S.P.)
TB Paru BTA (+), TB milier, dan
A
pleurophenomenia
Terapi dilanjutkan
P
(dr. Fajar O P
Budiono, Sp. P)
A KU lebih baik
P Terapi dilanjutkan, aH O2
145
A STGA
P Terapi dilanjutkan
146
S Batuk (+), sesak (-)
19-2-2018 O P
P BPL
F. Resep Pulang
147
F. Deskripsi Obat
NAMA KONTRAINDI
NO DOSIS LAZIM INDIKASI
EFEK SAMPING INTERAKSI OBAT
OBAT KASI
parasetamolImatinib:
menurukan konsentrasi
serum parasetamol
Isoniazid:meningkatkan
toksisitas parasetamol
Vitamin K Antagonists
(eg, warfarin):
Parasetamol dapat
148
meningkatkan efek
Vitamin K Antagonists.
minggu
IO-M:
adanya makanan
2. 4 FDC BB > 71 kg: 5 tab/hari; BB Penanganan TBC Hipersensitivitas,
Rifampisin: cairan tubuh IO-O:
(DIH, 55-70 kg : 4 tab/hari, BB 38- dan infeksi riwayat hepatitis
berwarna merah, Kontrasepsi oral atau terapi
PIONAS) 54 kg : 3 tab/hari, BB 30-37 mikobakterial yang
diinduksi peningkatan enzim hati sulih hormon, antikoagulan,
kg : 2 tab/hari. Diberikan 1 tertentu obat,
neuritis asimtomatik, peningkatan antasid, simetidin,
x/hari optik
atau BUN dan asam urat, analgesik,opiat, disulfiram,
perifer,
disfungsi hemolisis, hematuria, antidepresan, sedatif, obta,
ginjeksial,
nefritis intestinal, gout, kortikosteroid,
epilepsi,
insufisiensi ginjeksial, kloramfenikol, ketokonazol,
alkoholisme
rasa tidak enak pada G1, dapson, metadon, teofilin,
kronik
efek SSP, kelainan siklosporin, azatioprin A,
149
efek endokrin. neurotoksik
INH: gangguan fugnsi
hati, hepatitis, gangguan
IO-M : -
GI, neuropati perifer,
pusing, kepala
terasa ringan, kelainan
hematologi, reaksi alergi.
Pyrazinamide:
Peningkatan sementara
transaminase serum,
hepatotoksisitas,
hepatomegali, ikterus
hiperurisemia, nefritis
intestinal, disuria,
gangguan GI, kelainan
hematologi, reaksi alergi.
Etahambutol: bingung,
disonentasi, sakit kepala,
gangguan visual, ikterus,
disfungsi hati sementara,
150
gangguan GI, kelainan
151
untuk mengurangi
anemia, voriconazole.
risiko kekambuhan
granulocytopenia,
tukak duodenal
leukopenia, IO-M : -
pancytopenia,
thrombocytopenia,
hepatitis,arthralgia,
myalgia,kabur
penglihatan, meningkat
serum kreatinin,
pneumonia, anaphylaxis,
angioneurotic edema,
reaksi hipersensitivitas
152
berhenti atau dosis awal obat tertentu), dalam formulasi
sekresi serum asam dopa carbidopa.
maksimum telah diberikan pyridoxine-
folat, asidosis. Piridoxin tidak boleh
semuanya; dosis dapat diulang dependent seizure
Gastrointestinal: diberikan >5 mg/hari
setiap 5-10menit jika Mual.
pada penderita yang
diperlukan untuk
Hepatik: Peningkatan menerima levodopa
mengendalikan kejang yang AST.
(tanpa carbidopa).
menetap dan/atau keracunan
Neuromuskular & Altretamine: menurunkan
pada SSP.
skeletal: neuropati, aktivitas altretamine.
Apabila kejang berhenti
paresthesia. Phenobarbital &
sebelum seluruh dosis awal Lain-
lain:reaksi alergi Phenytoin: menurunkan
yang telah dihitung habis,
konsentrasi serum ke dua
berikan dosis sisanya selama
obat tersebut
lebih dari 4-6 jam.
Jika jumlah isoniazid tidak
IO-M : -
diketahui: rute pemberian IV:
dosis piridoksin awal: 5g;
berikan dengan kecepatan 0,5-
1g/menit; dosis dapat diulang
setiap 5-10menit jika
diperlukan untuk
153
mengendalikan kejang yang
menetap dan/atau keracunan
pada SSP.
Antikonvulsan dapat
diberikan bersama dengan
piridosin. Pencegahan
kejang atau koma karena
toksisitas akut isoniazid:
Anak-anak dan dewasa:
Rute pemberian: IV; pasien
yang tidak menunjukkan
gejala setelah minum
isoniazid dengan dosis yang
berpotensi toksik (dalam 2
jam pertama), perlu mendapat
piridoksin dengan dosis yang
sama dengan dosis untuk
terapi kejang atau koma
karena toksisitas akut
isoniazid
154
5. Cotrimoxazol Infeksi serius: Oral: 20 mg Oral: Untuk
Hipersensitif Reaksi efek samping IO-O:
(DIH, TMP/kg/hari dalam dosis pengobatan infeksi pada
obat yang paling banyak Efek sitokrom P450:
PIONAS) terbagi setiap 6 jam.IV: 8-12 saluran urin yang golongan
sulfa, adalah gangguan Sulfametoksazol: inhibitor
mg TMP/kg/hari dalam dosis disebabkan E.coli, trimethoprim
pencernaan (mual, CYP2C8/9 (moderat).
terbagi setiap 6 jam. Otitis Klebsella dan atau
komponen muntah, anorexia), reaksi Trimethoprim: inhibitor
media akut: oral: 8 mg Enterobacter sp, lain
dalam obat; dermatologi (rash atau CYP2C8/9 (moderat)
TMP/kg/hari dalam dosis M.morganii,
profiria; anemia urticaria); Meningkatkan efek toksik:
terbagi setiap 12 jam selama P.mirabilis dan
megaloblastik efek samping yang jarang Meningkatkan efek toksis
10 hari. Pneumocytis: P.vulgaris; otitis
karena dan dapat hilang dengan dari metotreksat,
Pengobatan: oral, IV; 15-20 media akut pada kekurangan asam
sendirinya terkait dengan Meningkatkan kadar obat
mg TMP/kg/hari dalam dosis anak; eksaserbasi folat;
bayi penggunaan co- procainamide.
terbagi setiap 6-8 jam. akut pada dengan
usia <2 trimoxazole meliputi: Penggunaan bersamaan
Pencegahan: oral: 150 mg bronchitis kronis bulan;
adanya reaksi dermatologi gawat dengan pyrimethamine
TMP/m2/hari dalam dosis pasien dewasa tanda
kerusakan dan hepatotoxic. (dengan dosis
terbagi setiap 12 jam untuk 3 yang disebabkan pada
hepar Cardiovascular: >25mg/minggu)
hari/minggu. Jangan melebihi oleh bakteri yang pasien;
gagal Alergi myokarditis. kemungkinan dapat
trimetoprime 320 mg dan sensistif seperti ginjal
parah; SSP: konfusi, meningkatkan resiko
sulfametoxazol 1600 mg/hari. H.influenzae,atau
kehamilan depresi, halusinasi, terjadinya
anemia
Pyelopritis: 14 hari; S.pneumoniae;
(Faktor risiko : kejang, peripheral megaloblastik.
prostatitis: akut: 2 minggu; pencegahan dan C/D)
neutritis, demam, Kemungkinan
155
kronik; 2-3 bulan. IV: 8-10 pengobatan Jangan
ataxia, ikterus pada meningkatkan kadar obat
mg TMP/kg/hari dalam dosis Pneumocitis digunakan pada
janin. amiodaron, flueksetin,
terbag i setiap 6,8 atau 12 jam carinii saat term
Dermatologi: Rash, glimepirid, glipizid,
selama 14 hari untuk infeksi pneumoniae kehamilan untuk
pruritus, urtikaria, nateglinid, phenytoin,
gawat. Bronkitis kronis: oral: (PCP); traveler menghindari
fotosensitivitas; pioglitazone, rosiglitazon,
1 (satu) tablet setiap 12 jam diarrhea yang terjadinya ikterus
kejadian yang jarang sertalin, warfarin, dan
selama 10-14 hari. disebabkan oleh pada bayi;
termasuk erytema substrat CYP2C8/9 lainya.
Pneumocytis carinii: enterotoksigenik penggunaan
multiform, sindrom Peningkatan efek
Profilasis: oral: 1 tablet sehari E.coli; pengobatan selama proses
stevens-johnson, hiperkalemia pada
atau 3 kali/minggu. entritis yang kehamilan hanya
toxic epidermal penggunaan bersamaan
Pengobatan: oral, IV: 15-20 disebabkan oleh jika terjadi
necrosis, dermatitis obat ACE inhibitor,
mg TMP/kg/hari dalam 3-4 Shigella flexneri resiko obesitas
eksfoliatif, Henoch- reseptor antagonis
dosis terbagi. atau Shigella pada janin
schonlein purpura. angiotensin atau diuresis
sonnei.IV.;
Endokrin dan hemat kalium.
mungkin
Mual, muntah, Kemungkinan kadar obat
156
dilakukan. Seperti anorexia, stomatitis, kotrimoxazole
akan
yang diare, diturunkan
oleh:
terdokumentasikan pseudomembranous karbamazepin,
digunakan untuk collitis, pankreatitis. fenobarbital,
penitoin,
PCP, yaitu Hematologi: rifampisin,
rifapentine,
digunakan Trombositopenia, secobarbital, dan inducer
pengobatan anemia CYP2C8/9 lainya
empiric PCP pada megaloblastik,
pasien granulositopenia, IO-M -:
immunocompromi eosinophiia,
se; shigellosis; pansitopenia, anemia
demam tifoid; aplastic,
infeksi Nacardia methemoglobinemia,
asteroids hemolisis (dengan
G6PD defisiensi),
agranulositosis.
Hepatic: Hepatotoxic
(hepatitis, kolestasis,
necrosis hepatic),
hiperbilirubinemia,
157
peningkatan enzim
transaminase.
Neuromuskular dan
skeletal: Atralgia,
myalgia,
rabdomilisis.
Renal: interstisial
nephritis, kristaluria,
gagal ginjal,
neprotosis, diuresis.
Pernafasan: batuk,
dispepsia, infiltrasi
pulmonal.Lain-lain:
serum sicknes,
angioedema, SLE
(systemic lupus
erytomatosus:
jarang)
6. Prednisone Dosis awal sangat bervariasi, Gangguan Infeksi jamur
Gangguan keseimbangan IO-O :
(DIH, dapat antara 5 - 80 mg per endokrin: sistemik dan
cairan dan elektrolit :
158
PIONAS) hari, bergantung pada jenis Insufisiensi
hipersensitivitas - Retensi cairan tubuh Obat-obat
yang
dan tingkat keparahan adrenokortikal terhadap
- Retensi natrium menginduksi enzim-enzim
penyakit serta respon pasien primer atau prednison
atau - Kehilangan kalium hepatik, seperti
terhadap terapi. Tetapi sekunder komponen-
- Alkalosis hipokalemia fenobarbital, fenitoin, dan
umumnya dosis awal (hidrokortison komponen
obat - Gangguan jantung rifampisin dapat
diberikan berkisar antara 20 - atau kortison lainnya
kongestif meningkatkan klirens
80 mg per hari. merupakan
- Hipertensi kortikosteroid. Oleh sebab
pilihan pertama,
Gangguan itu jika terapi
namun analog
Muskuloskeletal : kortikosteroid diberikan
sintetisnya juga
- Lemah otot bersama-sama obat-obat
dapat
- Miopati steroid tersebut, maka dosis
digunakan)
- Hilangnya masa otot kortikosteroid harus
Hiperplasia
- Osteoporosis ditingkatkan untuk
adrenal
- Putus tendon, terutama mendapatkan hasil
congenital/bawa
tendon Achilles sebagaimana yang
an
- Fraktur vertebral diharapkan.
Hiperkalsernia
- Nekrosis aseptik pada Obat-obat seperti
terkait kanker
ujung tulang paha dan troleandomisin and
Tiroiditis
tungkai ketokonazol dapat
nonsuppuratif
- Fraktur patologis dari menghambat metabolisme
159
Penyakit tulang panjang kortikosteroid,
dan
Rheumatoid Gangguan Pencernaan : akibatnya
akan
Sebagai terapi - Borok lambung (peptic menurunkan klirens atau
tambahan untuk ulcer) kemungkinan ekskresi
kortikosteroid.
penggunaan disertai perforasi dan Oleh sebab itu
jika
jangka pendek perdarahan diberikan bersamaan, maka
pada terapi - Borok esophagus dosis kortikosteroid
harus
penyakit- (Ulcerative esophagitis) disesuaikan
untuk
penyakit: - Pankreatitis menghindari
toksisitas
Psoriatic - Kembung steroid.
arthritis - Peningkatan SGPT Kortikosteroid
dapat
Rheumatoid (glutamate piruvat meningkatkan
klirens
arthritis, transaminase serum), aspirin dosis tinggi yang
termasuk SGOT (glutamate diberikan secara
kronis.
Rheumatoid oksaloasetat Hal ini dapat menurunkan
arthritis pada transaminase serum), dan kadar salisilat di dalam
anak enzim fosfatase alkalin serum, dan apabila terapi
Ankylosing serum. Umumnya tidak kortikosteroid
dihentikan
spondylitis tinggi dan bersifat akan meningkatkan risiko
160
dan subakut kembali jika terapi Aspirin harus digunakan
Tenosynovitis dihentikan. secara berhati-hati
apabila
nonspesifik Gangguan Dermatologis : diberikan bersama-
sama
akut - Gangguan dengan kortikosteroid
pada
Gouty arthritis penyembuhan luka- Kulit pasien yang
menderita
akut menjadi tipis dan rapuh hipoprotrombinemia.
Osteoarthritis - Petechiae dan Efek kortikosteroid
pada
pasca-traumatik ecchymoses terapi antikoagulan
oral
Synovitis of - Erythema pada wajah bervariasi.
Beberapa
Osteoarthritis - Keringat berlebuhan laporan
menunjukkan
EpicondylitisPe Gangguan Metabolisme : adanya peningkatan dan
nyakit-penyakit - Kesetimbangan laporan
lainnya
Kolagen nitrogen negatif, yang menunjukkan
adanya
disebabkan oleh penurunan
efek
Apabila keadaan
katabolisme protein antikoagulan
apabila
penyakit makin
Gangguan Neurologis : diberikan bersama-
sama
memburuk atau
- Tekanan intrakranial dengan kortikosteroid.
sebagai terapi
meningkat disertai
perawatan pada Oleh sebab itu
indeks
papilledema (pseudo-
kasus-kasus: koagulasi harus
selalu
tumor cerebri), biasanya
dimonitor
untuk
161
Systemic setelah terapi mempertahankan
efek
lupus - Konvulsi antikoagulan
sebagaimana
erythematous - Vertigo yang diharapkan
Systemic- - Sakit kepala
IO-M : -
dermatomyosi Gangguan Endokrin :
tis - Menstruasi tak teratur
(polymyositi - Cushingoid
Acute - Menurunnya respons
rheumatic kelenjar hipofisis dan
carditis adrenal, terutama pada
saat stress, misalnya pada
Penyakit-penyakit
trauma, pembedahan atau
Alergi
Sakit
Mengendalikan - Hambatan pertumbuhan
kondisi alergi pada anak-anak
yang parah yang - Menurunnya toleransi
tidak memberikan karbohidrat- Manifestasi
hasil yang diabetes mellitus laten
memadai pada - Perlunya Peningkatan
terapi dosis insulin atau OHO
162
konvensional: (Obat Hipoglikemik
Oral) pada pasien yang
Rhinitis yang
sedang dalam terapi
disebabkan
diabetes mellitus
alergi
- Katarak subkapsular
Asma bronchial
posterior
Dermatitis
- Tekanan intraokular
kontak
meningkat
Dermatitis
- Glaukoma
atopic
- ExophthalmosLain-lain
Serum sickness
:
Reaksi-Reaksi
- Urtikaria dan reaksi
hipersensitivitas
alergi lain, reaksi
terhadap obat
anafilaktik atau
Penyakit-penyakit hipersensitivitas
saluran
pernafasan:
Symptomatic
sarcoidosis
Loeffler's
163
syndrome yang
tidak dapat
dikendalikan
dengan cara lain
Berylliosis
Tuberkulosis
yang parah,
tetapi harus
diberikan
bersama dengan
kemoterapi anti
tuberculosis
yang sesuai
Aspiration
pneumonitis
Penyakit-penyakit
Hematologis
Trombositopenia
purpura idiopatik
164
pada orang
dewasa
Trombositopeni
a sekunder pada
orang dewasa
Anemia
hemolitik yang
disebabkan
Reaksi
autoimmune
Anemia sel
darah merah
(Erythroblastop
enia)
Anemia
hipoplastik
congenital/bawa
an (erythroid)
Tuberculous
meningitis
165
disertai
penghambatan
subarachnoid,
tetapi harus
diberikan
bersama-sama
dengan
kemoterapi
antituberculous
yang sesuai
Trichinosis
disertai
gangguan
syaraf atau
gangguan
miokardial
166
maksimum 4 g/hari. Otitis media lain dalam
(3%) kumarin(Dikumarol dan
bakteri akut sediaan dan
Hepar: peningkatan Warfarin).
Infeksi Gonococcal,
Infeksi kulit dan sefalosporin
transaminase (3,1%- Agen urikosurik:
uncomplicated : I. M. : 125
struktur kulit lainnya.
3,3%) (Probenesid, Sulfinpirazon)
mg dosis tunggal
Infeksi tulang Neonatus
Ginjal: peningkatan dapat menurunkan ekskresi
dan sendi Hyperbilirubi
BUN (1%) sefalosporin, monitor efek
Infeksi intra nemia
Hematologi: toksik.
abdominal
eosinophillia (6%);
Infeksi saluran
thrombositosis (5%); IO-M : -
urin
leukopenia (2%)
Penyakit
Lokal: Nyeri selama
inflamasi pelvic
injeksi (I.V 1%);
(PID)
rasa hangat, tightnes
Gonorrhea
selama injeksi (5%-
Bakterial
17%) diikuti injeksi
septicemia dan
I.M.1% :
meningitis
Agranulositosis,
alergi pneumonitis,
anafilaksis, anemia,
basifilia,bronkospas
167
m,
kandidiasis,kolitis,
diaphoresis, pusing,
flushing, gallstones,
glycosuria, sakit
kepala,
hematuri,anemia
hemolitikus,jaundice
, leukositosis, mual,
nefrolitiasis,
neutropenia,
phlebitis, pruritus,
pseudomembranous
colitis, batu ginjal,
pusing, serum
sichness,
thrombocitopenia,
vaginitis, muntah,
peningkatan alkali
fosfat, bilirubin dan
168
kreatinin.
Dilaporkan reaksi
dengan sefalosporin
lainnya termasuk
angioderma, anemia
aplastik, cholestasis,
encephalopathy,
erythema multiform,
pendarahan, nefritis
intertisial,
neuromuscular
excitability,
pancytopenia,
paresthesia,
disfungsi ginjal,
sindroma`Steven-
Johnson,
superinfeksi,
nefropati toksik
169
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. TUBERKULOSIS (TB)
1. Deskripsi
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan
oleh kuman TB (Mycobacteria tuberculosis) termasuk dalam famili
Mycobacteriaceae dan termasuk dalam ordo Actinomycetales. Mycobacteria
tuberkulosis masih keluarga besar genus Mycobacterium. Berdasarkan
beberapa kompleks tersebut, Mycobacteria tuberkulosis merupakan jenis
yang terpenting dan paling sering dijumpai (Kementerian Kesehatan, 2011).
TB Paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan juga oleh kuman
tuberkulosis (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman
tuberkulosis menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh
lainnya. Kuman ini berbentuk batang dan mempunyai sifat khusus yaitu tahan
terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai BTA,
kuman TB Paru cepat mati bila kena sinar matahari langsung, tetapi dapat
bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam tubuh
kuman ini dapat dormant, tertidur lama selama beberapa tahun (Dinas
Kesehatan Provinsi Jakarta, 2007).
Sebagian besar komponen Mycobacterium tuberculosis adalah berupa
lemak/lipid sehingga kuman mampu tahan terhadap asam serta sangat tahan
terhadap zat kimia dan faktor fisik. Mikroorganisme ini adalah bersifat aerob
yakni menyukai daerah yang banyak oksigen. Oleh karena itu,
Mycobacterium tuberculosis senang tinggal di daerah apeks paru-paru yang
kandungan oksigennya tinggi. Daerah tersebut menjadi tempat yang kondusif
untuk penyakit tuberculosis (Somantri, 2007). Bakteri ini juga tahan dalam
keadaan kering dan dingin, bersifat dorman dan aerob (Widoyono, 2008).
2. Cara Penularan
Cara penularan TB paru melalui percikan dahak (droplet). Sumber
penularan adalah penderita TB paru BTA positif, pada saat penderita TB
170
paru batuk atau bersin. Droplet yang mengandung kuman TB paru dapat
bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam, sekali batuk dapat
menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi di
dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama.
Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari
langsung dapat membunuh kuman, percikan dapat bertahan selama beberapa
jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. Orang dapat terinfeksi, jika
droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernafasan. Setelah kuman TB
paru masuk ke dalam tubuh melalui pernafasan, kuman TB paru tersebut
dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran
darah, sistem saluran limfe, saluran nafas atau penyebaran langsung ke
bagian tubuh lainnya (Kementerian Kesehatan, 2011).
Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya
kuman yang dikeluarkan dari parunya. Semakin tinggi derajat positif hasil
pemeriksaan dahaknya maka penderita tersebut semakin menularkan. Bila
hasil pemeriksaan dahaknya negatif maka penderita tersebut dianggap tidak
menular. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB paru
ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup
udara tersebut (Dinas Kesehatan Provinsi Jakarta, 2007).
Risiko penularan setiap tahun Annual Risk of Tuberkulosis Infection
(ARTI) di Indonesia cukup tinggi dan bervariasi antara 1-3%. Pada daerah
dengan ARTI sebesar 1% berarti setiap tahun di antara 1000 penduduk, 10
orang akan terinfeksi, kemudian sebagian besar dari orang yang terinfeksi
tidak akan menjadi penderita TB paru, hanya sekitar 10% dari yang terinfeksi
yang akan menjadi penderita tuberkulosis. Berdasarkan keterangan tersebut,
dapat diperkirakan bahwa pada daerah dengan ARTI 1%, maka diantara
100.000 penduduk rata-rata terjadi 100 penderita setiap tahun, dimana 50
penderita adalah BTA positif (Kementerian Kesehatan, 2011).
3. Faktor Resiko
Faktor risiko yang menyebabkan penyakit TBC adalah sebagai
berikut (Suryo, 2010):
171
a) Umur
b) Jenis kelamin
c) Tingkat pendidikan
d) Pekerjaan
e) Kebiasaan merokok
f) Kepadatan hunian kamar tidur
g) Pencahayaan
h) Ventilasi
i) Kondisi rumah
j) Kelembapan udara
k) Status gizi
l) Keadaan sosial dan ekonomi
m) Perilaku
4. Manifestasi klinis
Tuberkulosis paru memiliki gejala seperti demam tingkat rendah,
keletihan, anoreksia, penurunan berat badan, berkeringat malam, nyeri dada,
dan batuk menetap. Batuk pada awalnya mungkin nonproduktif, tetapi dapat
berkembang ke arah pembentukan sputum mukopurulen dengan hemoptysis
(Smeltzer, 2002).
Gejala utama pasien TBC adalah batuk berdahak selama 2 sampai 3
minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak
bercampur darah, batuk darah, sesak napas, badan lemas, nafsu makan
menurun (anoreksia), berat badan menurun, malaise, berkeringat alam hari
tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari 1 bulan (Departemen
Kesehatan, 2009).
Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala
khusus yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gejala sistemik/umum
(Werdhani, 2007):
a) Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah)
172
b) Demam yang tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya
dirasakan malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan
demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul.
c) Penurunan nafsu makan dan berat badan
d) Perasaan tidak enak (malaise), lemah
Gejala khusus (Werdhani, 2007):
a) Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan
sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan
kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara “mengi”,
suara nafas melemah yang disertai sesak.
b) Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai
dengan keluhan sakit dada.
c) Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang
pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di
atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah.
d) Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan
disebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam
tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang.
5. Penatalaksanaan TB
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan perlu
diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan obat. Bila
pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita
menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar
penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan. Pada
tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka
waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman
persisten (dormant) sehingga mencegah terjadinya kekambuhan. Obat yang
umum dipakai adalah Isoniazid, Etambutol, Rifampisin, Pirazinamid, dan
Streptomisin. Kelompok obat ini disebut sebagai obat primer (Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2011).
173
Tabel. 1 Obat Anti Tuberkolosis (OAT) Lini Pertama
Dosis
Harian 3x/minggu
Kisaran Kisaran
OAT Maksimum Maksimum/hari
dosis dosis
(mg) (mg)
(mg/kg BB) (mg/kg BB)
Isoniazid 5 ( 4 - 10 ) 300 10 ( 8 - 12 ) 900
Rifampisin 100 ( 8 - 12 ) 600 10 ( 8 - 12 ) 600
Pirazinamid 25 ( 20 - 30 ) - 35 ( 30 - 40 -
)
Streptomisin 15 ( 15 - 20 ) - 30 ( 25 - 35 -
)
Etambutol 15 ( 12 - 18 ) - 15 ( 12 - 18 1000
)
174
B. TB MILIER
1. Deskripsi
Tuberkulosis (TB) miliaris/ milier atau disseminated TB adalah
jenis tuberkulosis yang bervariasi dari infeksi kronis, progresif lambat
hingga penyakit fulminan akut. Penyakit ini disebabkan oleh penyebaran
hematogen atau limfogen dari bahan kaseosa terinfeksi ke dalam aliran
darah dan mengenai banyak organ dengan tuberkel-tuberkel mirip benih
padi (Somantri, 2007).
2. Etiologi
3. Patogenesis
175
beberapa minggu. Demam kemudian bertambah tinggi suhunya dan
berlangsung terus menerus / kontinu, tanpa disertai gejala saluran nafas atau
disertai gejala minimal dan rontgen paru biasanya masih normal. Beberapa
minggu kemudian, pada hampir di semua organ, terbentuk tuberkel difus
multipel, terutama di paru, limpa, hati dan sumsum tulang. Gejala klinis
biasanya timbul akibat gangguan pada paru, yaitu gejala respiratorik seperti
batuk dan sesak napas disertai ronkhi atau mengi. Pada kelainan paru yang
berlanjut, timbul sindrom sumbatan alveolar, sehingga timbul gejala distres
pernafasan, hipoksia, pneumotoraks dan atau pneumomediastinum. Dapat juga
terjadi gangguan fungsi organ, kegagalan multiorgan, serta syok.Gejala lain
yang dapat ditemukan adalah kelainan kulit berupa tuberkuloid, papula
nekrotik, nodul atau purpura. Jika ditemukan dini dapat merupakan tanda yang
sangat spesifik dan sangat membantu diagnosis TB milier (Somantri, 2007).
4. Diagnosa
Diagnosa ditegakkan bila memenuhi kriteri minimal (Somantri, 2007):
1. Anamnesa : ada riwayat kontak dengan penderita TBC dewasa dan
aktif.
2. Mantoux test positif.
3. Ditemukan TBC extra paru.
5. Penatalaksanaan
Pengobatan dibagi dalam 2 tahap yaitu (Somantri, 2007):
1. Tahap Intensif :
Pada tahap ini kombinasi obat diberikan setiap hari selama 60 - 90 hari
minum obat.
2. Tahap Lanjutan:
Jenis obat yang diberikan pada tahap ini lebih sedikit, tetapi dengan jangka
waktu yang lebih lama, yaitu selama 4 - 5 bulan dengan 54 - 66 hari
minum obat (3x/minggu)
1. Kategori I
- Tahap Intensif , 60 hari minum obat setiap hari dengan perpaduan obat :
Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z) dan Etambutol (E).
176
- Tahap lanjutan, 54 hari minum obat selama 4 bulan (3x/minggu),
dengan
paduan : Isoniasid (H) dan Rifampisin (R).
2. Katagori II
177
4. Obat Sisipan
Obat ini diberikan kepada penderita yang mendapat pengobatan Katagori
I atau Katagori II, dimana pada akhir pengobatan fase intensif hasil
pemeriksaan BTA masih positif.
Obat fase sisipan diberikan setiap hari selama 30 hari dengan perpaduan
obat : Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z) dan Etambutol (E).
C. Pleurophenemonia
1. Deskripsi
178
2. Etiologi
a. Hambatan resorbsi cairan dari rongga pleura, karena adanya
bendungan seperti pada dekompensasi kordis, penyakit ginjal, tumor
mediatinum, sindroma meig (tumor ovarium) dan sindroma vena kava
superior.
b. Pembentukan cairan yang berlebihan, karena radang (tuberculosis,
pneumonia, virus), bronkiektasis, abses amuba subfrenik yang
menembus ke rongga pleura, karena tumor dimana masuk cairan
berdarah dan karena trauma. Di Indonesia 80% karena tuberculosis
(Smeltzer, 2002).
3. Manifestasi Klinis
Biasanya manifestasi klinisnya adalah yang disebabkan oleh penyakit
dasar. Pneumonia akan menyebabkan demam, menggigil, dan nyeri dada
pleuritis, sementara efusi malignan dapat mengakibatkan dispnea dan batuk.
Ukuran efusi akan menentukan keparahan gejala. Efusi yang luas akan
menyebabkan sesak napas. Area yang mengandung cairan atau menunjukkan
bunyi napas minimal atau tidak sama sekali mengandung bunyi datar, pekak
saat perkusi. Suara egophoni akan terdengar diatas area efusi. Deviasi trakea
menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi jika penumpukan cairan pleural yang
signifikan. Bila terdapat efusi pleura kecil sampai sedang, dispnea mungkin
saja tidak ditemukan (Smeltzer, 2002).
179
4. Diagnosis
a. Anamnesa
Efusi pleura harus dicurigai pada pasien yang mengeluh nyeri dada atau
dispnea. Bila efusi pleura telah dipastikan melalui pemeriksaan fisik dan
radiografi thoraks, harus dicari kemungkinan penyebab utamanya melalui
anamnesis (Smeltzer, 2002).
b. Pemeriksaan Fisik
1. Palpasi dapat memperlihatkan sisi thoraks yang mengalami efusi
terlambat berekspirasi.
2. Perkusi pada daerah efusi memperlihatkan bunyi pekak. Fremitus
taktil tidak ada.
3. Auskultasi mengungkapkan berkurang atau hilangnya bunyi nafas
pada daerah efusi. Atelektasis pada batas atas efusi dapat
menimbulkan egofoni (Perubahan ucapan “I” ke “E”) (Smeltzer,
2002)
c. Pemeriksaan Laboratorium
1. Torasentesis untuk mengambil cairan guna analisis diindikasi bila
penyebab efusi pleura belum diketahui atau bila dicurigai adanya
empiema.
2. Biopsi pleura dilakukan bila dicurigai adanya tumor atau penyakit
granuloma. Bahan biopsy dibiakkan dan diperiksa secara
histopatologis.
3. Uji tuberculin kulit dengan control (Candida, Trichophyton,
gondongan) diindikasi pada individu yang baru-baru ini berkontak
dengan pasien tuberculosis aktif atau yang foto thoraksnya
menunjukkan adanya penyakit granulomatosa (Price, 2005).
d. Radiografi
1. Radiografi Thoraks adalah kunci untuk diagnosis dan pada efusi yang
kecil dapat merupakan petunjuk pertama mengenai adanya cairan. Foto
dekubitus lateral memastikan adanya cairan dengan menunjukkan adanya
180
lapisan-lapisan. Efusi yang berlokulasi tidak akan membentuk lapisan-
lapisan, tetapi perubahan bentuk densitas dapat membedakan lokulasi
dari fibrosis pleura. Bila lapisan cairan dipindahkan, parenkim yang
mendasari dapat diperiksa untuk mencari infiltrasi, kavitas, atau massa
(Smeltzer, 2002)
2. Ultrasonografi membedakan cairan dalam rongga dada dari jaringan
padat. Lokasi cairan juga dapat diketahui untuk membantu torasentesis
(Werdhani, 2007).
181
BAB III
IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs)
Tanggal DRP
Interaksi isoniazid dan
paracetamol
Kontraindikasi penggunaan
7-2-2018 paracetamol dengan kondisi
ganguan fungsi hati
Indikasi tanpa terapi untuk
hepatoprotektor
Interaksi isoniazid dan
paracetamol
Kontraindikasi penggunaan
8-2-2018 paracetamol dengan kondisi
ganguan fungsi hati
Indikasi tanpa terapi untuk
hepatoprotektor
Interaksi rifampisin dan
prednisone
Interaksi isoniazid dan
prednisone
Interaksi isoniazid dan
paracetamol
9-2-2018
Kontraindikasi penggunaan
paracetamol dengan kondisi
ganguan fungsi hati
Indikasi tanpa terapi untuk
hepatoprotektor
Indikasi tanpa terapi untuk nilai
182
kalium dibawah normal
Interaksi rifampisin dan
prednisone
Interaksi isoniazid dan
prednisone
Interaksi isoniazid dan
paracetamol
12-2-2018 Kontraindikasi penggunaan
paracetamol dengan kondisi
ganguan fungsi hati
Indikasi tanpa terapi untuk
hepatoprotektor
Indikasi tanpa terapi untuk nilai
kalium dibawah normal
Interaksi rifampisin dan
prednisone
Interaksi isoniazid dan
prednisone
Interaksi isoniazid dan
paracetamol
13-2-2018 Kontraindikasi penggunaan
paracetamol dengan kondisi
ganguan fungsi hati
Indikasi tanpa terapi untuk
hepatoprotektor
Indikasi tanpa terapi untuk nilai
kalium dibawah normal
Interaksi rifampisin dan
prednisone
14-2-2018
Interaksi isoniazid dan
prednisone
183
Interaksi isoniazid dan
paracetamol
Kontraindikasi penggunaan
paracetamol dengan kondisi
ganguan fungsi hati
Indikasi tanpa terapi untuk
hepatoprotektor
Indikasi tanpa terapi untuk nilai
kalium dibawah normal
Interaksi rifampisin dan
prednisone
Interaksi isoniazid dan
prednisone
Interaksi isoniazid dan
paracetamol
15-2-2018 Kontraindikasi penggunaan
paracetamol dengan kondisi
ganguan fungsi hati
Indikasi tanpa terapi untuk
hepatoprotektor
Indikasi tanpa terapi untuk nilai
kalium dibawah normal
Interaksi rifampisin dan
prednisone
Interaksi isoniazid dan
prednisone
19-2-2018 Interaksi isoniazid dan
paracetamol
Kontraindikasi penggunaan
paracetamol dengan kondisi
ganguan fungsi hati
184
Indikasi tanpa terapi untuk
hepatoprotektor
Indikasi tanpa terapi untuk
nilai
kalium dibawah normal
B. Identifikasi DRP
DRP MASALAH REKOMENDASI
Selalu
dimonitor
SGOT dan SGPT
Kontraindikasi penggunaan
pasien
paracetamol dengan kondisi
Penggunaan
gangguan fungsi hati berdasarkan
paracetamol
Kontraindikasi hasil pemeriksaan laboratorium nilai
diberikan
apabila
SGOT dan SGPT pasien yang
pasien
mengalami
menunjukan nilai diatas normal
keluhan
demam,
(DIH)
pusing, dan
nyeri
saja
186
*) Tabel Pemberian Obat yang Memiliki Interaksi
Waktu Pemberian
4 FDC √ - - - -
Makan
Prednisone - √ - √ √
Pagi
Paracetamol - √ - √ √
*) Nilai t1/2 rifampisin = 3-4 jam, t1/2 paracetamol = 1-3 jam, t1/2 isoniazid = 2-
5
jam, dan t1/2 prednisone = 3,5 jam
= 9 mEq = 45 mEq
187
BAB IV
PEMBAHASAN
188
tahun yang lalu, namun belum diketahui jelas terkait riwayat penyakit dan
pengobatannya, maka dari itu dokter yang menangani memutuskan untuk
memberikan terapi untuk kategori pasien TB baru.
Paracetamol diberikan untuk mengatasi demam Tn. WH. Paracetamol
menghambat biosintesis Prostaglandin di dalam hipotalamus menyebabkan
vasodilatasi perifer di kulit dengan bertambahnya pengeluaran kalor dan keluar
keringat yg banyak. Dalam hal ini terdapat Drug Related Problem (DRP) yaitu
kontraindikasi. Dilihat dari nilai SGOT dan SGPT pasien yang cenderung
meningkat menunjukkan terdapat gangguan fungsi hepar sehingga
dikontraindikasikan dengan pemberian paracetamol. Rekomendasi yang
diberikan adalah perlu dilakukan monitoring SGOT dan SGPT pasien terkait
fungsi hepar. Selain itu juga penggunaan paracetamol dibatasi hanya diberikan
pada saat pasien mengalami indikasi demam saja. Selain itu, terdapat Drug
Related Problem (DRP) lain yaitu interaksi obat antara isoniazid yang terkandung
di dalam 4 FDC dengan paracetamol, dimana isoniazid dapat menurunkan tingkat
atau efek dari paracetamol dengan mempengaruhi hepar atau metabolisme enzim
di usus yaitu CYP2E1 (DIH). Rekomendasi yang diberikan adalah pemberian
jeda waktu penggunaan berdasarkan t1/2 yang dimiliki yaitu t1/2 paracetamol adalah
1-2 jam dan t1/2 isoniazid adalah 2-5 jam. Sehingga waktu pemberiannya adalah
isoniazid diberikan 30 menit sebelum makan dan paracetamol diberikan 2,5 jam
setelah makan. Terkait penggunaan paracetamol yang diberikan setiap hari dengan
hasil pemeriksaan fisik (suhu) pasien yang menunjukkan hanya pada beberapa
waktu tertentu saja pasien menunjukkan nilai suhu tubuh diatas normal (demam).
Sebaiknya penggunaan paracetamol diberikan apabila perlu atau pada saat pasien
mengalami indikasi demam saja.
Inhalasi combivent diberikan untuk mengatasi sesak nafas pada Tn. WH
yang merupakan manifestasi klinik dari kondisi pleurophenomenia. Combivent
terdiri dari ipratropium bromide dan salbutamol. Ipratropium bromide adalah
persenyawaan ammonium kuaterner yang mempunyai sifat antikolinergik
(parasimpatolitik). Dalam studi preklinik, ipratropium bromide menghambat
reflek vagus dengan melawan kerja asetilkolin, suatu zat transmiter yang dilepas
oleh saraf vagus. Antikolinergik mencegah peningkatan konsentrasi siklik GMP
189
intrasel yang disebabkan oleh interaksi antara asetilkolin dengan reseptor
muskarinik di otot polos bronkus. Bronkodilatasi yang terjadi setelah inhalasi
ipratropium bromide adalah karena efek lokal yang spesifik di paru, bukan dari
efek sistemik. Salbutamol sulfat adalah obat adrenergik-beta2 yang bekerja
merelaksasi otot polos saluran napas. Salbutamol merelaksasi semua otot polos
dari trakea sampai bronkioli terminalis dan mencegah terjadinya bronkokonstriksi
karena rangsangan (Medscape). Dalam hal ini terapi yang diberikan sudah tepat.
Prednison merupakan salah satu obat golongan kortikosteroid. Tujuan
pemberian steroid pada pasien TB untuk mengurangi proses inflamasi dan
mencegah terjadi perlekatan jaringan. Penggunaan kortikosteroid bersamaan
dengan terapi antituberkulosis menunjukkan penurunan angka kematian dan
morbiditas pada sistem saraf pusat perikardial dan pusat. Tanda dan gejala pada
TB paru pleura dan berat membaik dengan cepat dengan penambahan
kortikosteroid. Kortikosteroid harus digunakan dengan hati-hati dengan terapi
antituberkulosis karena adanya interaksi obat yang terlihat di antara keduanya
(Saurabh, 2017). Namun dalam hal ini terdapat Drug Related Problem (DRP)
yaitu interaksi obat tingkat moderate antara isoniazid dan rifampisin yang
terkandung di dalam 4 FDC dengan prednisone yaitu rifampisin dan isoniazid
dapat menurunkan tingkat atau efek terapi dari prednisone dengan mempengaruhi
hepar atau metabolisme enzim di usus yaitu CYP3A4. Sehingga rekomendasi
yang diberikan adalah memberikan jeda waktu untuk penggunaan masing-masing
obat berdasarkan t1/2 yang dimiliki oleh obat-obat tersebut yaitu nilai t1/2
rifampisin = 3-4 jam, t1/2 isoniazid = 2-5 jam, dan t1/2 prednisone = 3,5 jam.
Dengan demikian jeda waktu pemberian obatnya antara lain pemberian rifampisin
dan isoniazid yang terkandung dalam 4 FDC 30 menit sebelum makan,
selanjutnya pemberian prednisone 2,5 jam setelah makan. Selain itu, selalu
dilakukan monitoring SGOT dan SGPT pasien.
Vitamin B6 atau pyridoxine diberikan untuk mencegah efek samping dari
isoniazid berupa kesemutan, dan nyeri otot atau gangguan kesadaran. Pyridoxine
adalah vitamin yang larut dalam air yang berfungsi dalam metabolisme
karbohidrat, protein dan lemak. Hal ini penting dalam sintesis Hb dan sintesis
190
GABA di dalam SSP. Ini juga membantu pelepasan glikogen yang tersimpan di
hati dan otot (Medscape). Dalam hal ini terapi yang diberikan sudah tepat.
Ranitidin dan omeprazole injeksi digunakan sebagai terapi peningkatan
asam lambung pasien. Ranitidin diberikan 2 x sehari pada tanggal 16 Februari
hingga 19 Februari. Kemudian tanggal 18 Februari diberi terapi tambahan yaitu
omeprazole 40 mg 1 x sehari sampai pasien diperbolehkan pulang. Ranitidine
secara kompetitif menghambat histamin pada reseptor H2 dari sel parietal
lambung yang menghambat sekresi asam lambung. Sedangkan omeprazole
menghalangi sekresi asam lambung dengan penghambatan spesifik dari sistem
enzim H + / K + ATPase yang ada pada permukaan sekretor dari sel parietal
lambung. Terkait penggunaan kedua obat tersebut yang memiliki efek terapi
terhadap lambung, sebaiknya penggunaan ranitidine dihentikan terlebih dahulu
saat omeprazole diberikan (Medscape).
Cotrimoxazol merupakan kombinasi Sulfonamid dan Trimethoprim
dengan perbandingan 5 : 1. Sulfonamid bersifat bakteriostatik dimana kerjanya
menghambat analog PABA (bahan dari asam folat) yang akan membentuk asam
dihidrofolat (DHF). Sulfonamid menghambat bakteri Gram positive meliputi
Nocardia dan Gram negative. Trimethoprim bekerja menghambat secara
kompetitive dihydrofolate reductase sehingga dihydrofolate (FAH2) sehingga
tetrahydrofolate (FAH4) jumlah menurun. Kombinasi keduanya memiliki efek
sinergis karena mampu menghambat enzim yang berbeda pada jalur biosintesis
yang sama (Medscape). Dalam hal ini terapi yang diberikan sudah tepat untuk
penanganan infeksi sekunder PCP (Pneumocystic Carini P.) yang biasa terjadi
pada pasien TB.
Ceftriaxone adalah golongan antibiotik cephalosporin yang dapat
digunakan untuk mengobati beberapa kondisi akibat infeksi bakteri. Ceftriaxone
bekerja dengan menghambat sintesis mucopeptide di dinding sel bakteri. Beta-
laktam bagian dari Ceftriaxone mengikat carboxypeptidases, endopeptidases, dan
transpeptidases dalam membran sitoplasma bakteri. Enzim ini terlibat dalam
sintesis sel-dinding dan pembelahan sel. Dengan mengikat enzim ini, ceftriaxone
menghasilkan pembentukan dinding sel yang rusak dan kematian sel.
Menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan berikatan dengan satu atau lebih
191
ikatan protein - penisilin (penicillin-binding proteins-PBPs) yang selanjutnya akan
menghambat tahap transpeptidasi sintesis peptidoglikan dinding sel bakteri
sehingga menghambat biosintesis dinding sel Ceftriaxone ini termasuk dalam
kelompok antibiotik spektrum luas yang dapat menangani infeksi bakteri dari TB
(Medscape).
Ondansetron digunakan untuk mengatasi mual dan muntah. Ondansetron
menghalangi tindakan zat kimia di tubuh yang bisa memicu mual dan muntah.
Mekanismenya yaitu terjadi efek langsung pada Chemoreseptor Trigger Zone
(area otak yang terkait dengan muntah), sarAminofusin vagus atau keduanya.
Neurotransmiter, serotonin, tampaknya berperan dalam efek ondansetron.
Ondansetron termasuk dalam golongan obat yang dikenal sebagai antagonis
reseptor 5-HT3. Dalam hal ini terapi yang diberikan sudah tepat (Medscape).
Pasien diperbolehkan pulang pada tanggal 19 Februari 2018. Keadaan
pasien pada saat itu sudah membaik. Keluhan demam, gelisah, pegal-pegal, batuk,
dan sesak napas sudah tidak dirasakan. Terapi yang diberikan untuk dilanjutkan di
rumah adalah 4 FDC, vitamin B6, cotrimoksazol, ranitidine, dan prednisone.
192
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Terapi yang diberikan kepada Tn. WH dengan diagnosa TB Paru BTA (+),
pleurophenomenia, dan TB sudah cukup efektif terlihat dari adanya perbaikan
terhadap kondisi pasien. Namun masih terdapat beberapa masalah terkait terapi
(DRP) yakni:
1. Interaksi obat
Interaksi obat kategori moderate pada rifampisin, isoniazid, dan prednison,
serta interaksi isoniazid dan paracetamol. Rekomendasi yang diberikan adalah
pemberian jeda waktu antar obat dan perlunya dilakukan monitoring SGOT
dan SGPT.
2. Kontraindikasi
Kontraindikasi penggunaan paracetamol dengan kondisi gangguan fungsi
hepar, dilihat dari nilai SGOT dan SGPT yang cenderung meningkat, sehingga
perlu dilakukan monitoring SGOT dan SGPT pasien dan membatasi
penggunaan paracetamol hanya pada saat pasien memiliki indikasi demam
saja.
3. Indikasi tanpa terapi
Dilihat dari nilai SGOT dan SGPT yang tinggi memiliki potensi untuk
semakin memperparah kondisi gangguan fungsi hepar pasien, sehingga
perlu diberikan curcuma (3 x 200 mg) sebagai terapi hepatoprotrektor.
Dilihat dari nilai kalium yang rendah, pasien tidak mendapatkan terapi
untuk meningkatkan nilai kalium, sehingga perlu diberikan KSR (2 x 300
mg).
193
B. Saran
Melakukan pengkajian yang terintegrasi secara rutin tentang terapi yang
diberikan pasien
Melakukan konseling kepada pasien untuk pola hidup sehat dan
meningkatkan kepatuhan terhadap pengobatan
Melakukan pemeriksanaan laboratorium secara rutin guna melihat
efektivitas terapi dan memantau efek samping obat
194
DAFTAR PUSTAKA
195
15. Widoyono, 2008, Penyakit Tropis: Epidemiologi, Penularan, Pencegahan &
Pemberantasannya, Erlangga, Jakarta
196
Pengendalian Infeksi Rumah Sakit
197
g) Monitoring dan evaluasi untuk mengukur keberhasilan pelaksanaan
program dan kepatuhan penerapan oleh petugas serta evaluasi angka
kejadian HAIs melalui pengkajian risiko infeksi/Infection Control Risk
Assesment (ICRA), audit, dan monitoring dan evaluasi lainya secara
berkala.
Daftar Pustaka:
Anonim, 2015, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 8 Tahun
2015 Tentang Program Pengendalian Resistensi Antimikroba Di Rumah Sakit,
Menkes RI, Jakarta
Herman, M.J, 2016, Sarana dan Prasarana Rumah Sakit Pemerintah dalam
Upaya Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Indonesia, Pusat Penelitian
dan Pengembangan Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI, Jakarta
Anonim, 2017, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 27
Tahun 2017 Tentang Pedoman Pencegahan Dan Pengendalian Infeksi Di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Menkes, Jakarta
198