Anda di halaman 1dari 795

Early Warning System

(Sistem Deteksi Dini)

dr. IG Nyoman Panji PG, SpAn.KIC


RSUD Soewondo-Pati

Disampaikan pada :
Kegiatan In House Training RSUD RAA Soewondo Pati
Jum’at, 20 September 2019
AKREDITASI NASIONAL 2021
Pasien Resiko Tinggi
Dokumen Akreditasi 1. Kasus Emergensi
• BAB 1 2. Kasus Resusitasi
• BAB 2 3. Pasien dgn Ventilaor & Koma
• BAB 3 4. Penyakit menular
5. Pasien Imunosupresi
• BAB 4 6. Pasien Dialisis.
• BAB 5. Pelayanan & Asuhan Pasien 7. Pasien Restraint
❑ PAP 1 8. Usia Lanjut & anak beresiko
❑ PAP 2 kekerasan
❑ PAP 3 Pelayanan pasien Resiko 9. Pasien Kemoterapi
Tinggi dan Penyediaan pelayanan Dst
resiko tinggi
Pelayanan yang Resiko Tinggi
• BAB 6 1. Tranfusi Darah/Produk Darah
• dst 2. Penyakit menlar
3. Dialisa
4. Kemoterapi
5. Beresiko lainnya
PELAYANAN DAN ASUHAN PASIEN (PAP)
PELAYANAN PASIEN RISIKO TINGGI & PENYEDIAAN
PELAYANAN RISIKO TINGGI.
❑ Standar PAP.3
• RS menetapkan regulasi : adanya asuhan kepada pasien risiko
tinggi dan pemberian pelayanan risiko tinggi yang diberikan
berdasar panduan praktek klinis dan peraturan per-UU-an.
❖ DETEKSI (MENGENALI) PERUBAHAN KONDISI PASIEN
1. Standar PAP.3.1. EWS – Early Warning System
Staf klinis dilatih untuk mendeteksi (mengenali) perubahan
kondisi pasien memburuk dan mampu melakukan tindakan.
➢ Elemen Penilaian PAP.3.1.
1. Ada regulasi ttg pelaksanaan early warning system (EWS). (R)
2. Ada bukti staf klinis dilatih menggunakan EWS. (D,W)
3. Ada bukti staf klinis mampu melaksanakan EWS. (D,W,S)
4. Tersedia pencatatan hasil EWS. (D,W)
❖ PELAYANAN RESUSITASI
“Code Blue”
2. Standar PAP.3.2.
Pelayanan resusitasi tersedia di seluruh area RS.
LATAR BELAKANG
❑ Early Warning System (EWS) adalah : suatu sistem deteksi
dini yang digunakan tim perawatan RS utk mengenali
tanda2 awal perburukan klinis pada pasien sebagai dasar
untuk memulai tindakan dan pengelolaan lebih awal,
berupa : seperti peningkatan pengawasan oleh perawat,
percepatan informasi pasien kepada keluarga, atau
aktivasi tim medis reaksi cepat/ tim code blue.
❑ Keterlambatan penanganan atau penanganan yang tidak
adekuat → akan meningkatkan perawatan pasien masuk
ke ICU, peningkatan lama rawat di RS, peningkatan
terjadinya henti jantung dan kematian.
❑ Tujuan EWS skor untuk memastikan kecepatan dan
ketepatan penanganan dari perburukan pasien di RS pada
umumnya.
(VA Healthcare : Quality Enhancement Research Initiative’s (QUERI) Evidence-based Synthesis Program (ESP).
Smith MEB, Chiovaro J, O’Neil M, Kansagara D, Quinones A, Freeman M, Motu’apuaka M, Slatore CG. Early Warning Scoring
Systems: A Systematic Review. VA-ESP Project #05-225; 2013)
KONSEP EWS :
Mengenali tanda perburukan klinis pasien
Onset of
illness

Terjadi Redistribution blood flow



pada organ penting atau vital
(saving Heart & Brain)
Pasca operasi Early Sign &
(tindakan), Symptom Compensation; Fail/ decomp Death
khemo tx, Preserve brain and heart
post Partum,
PEB,
Infeksi/ Compensatory phase
Sepsis,
Perdarahan, Tachypnea Depends on; Bradycardia
Tachycardia • Age Hypotension
Trauma dll Hypertension
 pH • Severity of illness Alkalosis
Lactate • Preexisting disease Severe
CRP Acidosis
Leucocyte  Normal

Tanda & Gejala awal Fase Kompensasi Fase Decompensasi

KONDISI AWAL PASIEN SAKIT KRITIS MENINGGAL


PROSES KEMATIAN
• Proses kematian (died/dying) selalu didahului oleh kondisi
henti jantung/CARDIAC ARREST (CA).
• CA → penentu pasien survival – non survival dan life - death.
• Sehingga CA adalah target yang harus dicegah/dihindari.
HENTI JANTUNG (CARDIAC ARREST)
• Keadaan terhentinya aliran darah dalam sirkulasi tubuh
secara tiba-tiba akibat terganggunya efektifitas kontraksi
jantung.
• Diagnosis :
1. Pasien tidak sadar.
2. Pasien tidak teraba nadi.
3. Gambaran EKG, ada bermacam-macam.
❑ Pulseness Ventrikel Tachicardi

❑ Ventrikuler Fibrilation

❑ Pulseness Electrical Activity/PEA


❑ Asystole
Tata laksana lanjut pasien henti jantung (CA)
1. CPR
2. Airway Management BHD
3. Breathing Management BHL ROSC
4. Defibrilation Management
5. Drug Management
• Pedoman Resusitasi Internasional yaitu
guideline CPR (Cardiopulmonary
Resuscitation) yang dipublikasi tahun 2005
dimana pada rantai pertama the chain of
survival disebutkan prevention cardiac arrest
(CA).
• Diketahui bahwa CA (henti jantung) bisa terjadi
di luar RS atau di dalam RS.
❑ OHCA (out-of-hospital cardiac arrest = OHCA)
❑ IHCA (in-hospital cardiac arrest = IHCA)
SELAMA INI LEBIH MENEKANKAN
PADA RESUSITASI ITU SENDIRI
• Dari tahun 2000, 2005, 2010
• Perubahan pada Tahun 2015
OHCA (out of hospital cardiac arrest)
 Etiologi

Nolan J. ERC Guidelines for


Resuscitation 2005-
introduction. Resuscitation.
2005; 67 (suppl 1):S3-S6
IHCA →HENTI JANTUNG YANG
TERJADI DI DALAM LINGKUNGAN RS
Dari data AHA update 2012-2013 menunjukkan survival
rate pada IHCA lebih rendah daripada out-of-hospital
cardiac arrest (OHCA).

IHCA → sekunder dari proses non-jantung seperti


septic shock, pneumonia berat, trauma
perdarahan, intoksikasi dll.
Etiology → perbedaan dalam penatalaksanaanya,
contoh CA karena hipoksia adalah memberikan
terapi oksigen atau menguasai jalan nafas darurat.
Atau pada hipotensi krn septic shock atau
perdarahan butuh vasopressor atau transfusi
darah, berbeda dengan OHCA.
2 PILIHAN STRATEGI
DALAM MENURUNKAN ANGKA KEMATIAN
PASIEN HENTI JANTUNG

1. Terjadi cardiac arrest → lalu pasien dilakukan


resusitasi BLS & ACLS CODE BLUE
2. Mencegah pasien kritis agar tidak terjadi
cardiac arrest → EARLY WARNING SYSTEM
STRATEGI PENCEGAHAN CARDIAC ARREST

A. Dipandang lebih penting daripada melakukan resusitasi


pasien yang sudah terjadi henti jantung → tapi tidak
menghilangkan fungsi TEAM CODE BLUE.
B. Menghindari fenomena tiba-tiba & “looks good phenomena”
❑ Pasien tiba-tiba gelisah … bradikardi … lalu tidak sadar.
❑ Pasien tiba-tiba desaturasi dan kemudian bradikardi …
❑ Pasien tiba-tiba apnu …
❑ Pasien tiba-tiba meninggal ….
❑ Pasien sebelumnya bagus kok … tiba-tiba ….
Kenapa mencegah CA/henti jantung
menjadi penting ?
1. Angka kematian post CPR → sangat tinggi.
2. Sebelum terjadi cardiac arrest di RS → sebagian besar
pasien (sekitar 70%) sudah memberikan tanda dan
gejala awal.
3. Dengan pemeriksaan yang sederhana (tanda vital
pasien) → Banyak kasus pasien beresiko cardiac
arrest yang bisa dikenali sebelumnya. Dan dengan
pengelolaan yang tepat kasus CA bisa dihindari/
dikurangi → preventable cardiac arrest.
Perbandingan angka kematian
pasien post CPR
Pasien masuk ICU dgn tidak terencana (unplanned admission
to ICU/code blue) memiliki hubungan dengan tingginya angka
mortalitas.

Changi General Hospital, 2013


Sejalan dengan hasil statistik di RSCM
Rekomendasi transpor pasien code blue
& luaran pasien code blue tahun 2014
Tetap di
OK lokasi
1% code blue
IGD 9%
8% Mati
39%

Hidup
Ruang 61%
rawat
intensif
82%

Sumber: Data TMRC-RS Cipto Mangunkusumo, 2014


Kondisi mana yang mau kita pilih …?

VS

VS
SURVEILANCE
& PREVENTION
Pendataan/Pengawasan & pencegahan cardiac
arrest (IHCA) menjadi sangat penting (nomor 1)

❑ Kejadian Code Blue dapat dideteksi lebih dini, 6-8 jam


sebelum kejadian. (Duncan, Mc Mullan & Mills, 2012)
❑ 70% pasien menunjukkan perubahan dalam 8 jam sebelum
henti jantung. (Schein, 1990)
❑ 66% pasien menunjukkan tanda dan gejala henti jantung
(Franklin, 1994)
❑ Ada 6 klinis abnormal teramati yang ditemukan yang
diasosiasikan dengan peningkatan resiko kematian, yaitu :
penurunan tingkat kesadaran, hipotensi, kehilangan
kesadaran, hipoksia, takipnue.

Sebagian besar cardiac arrest (kematian) dapat dideteksi


beberapa jam sebelum terjadi.
DETEKSI KONDISI PERBURUKAN
DENGAN MONITORING TANDA-TANDA VITAL (TTV)

Selama lebih dari 100 tahun, perawat telah


melakukan monitoring TTV:
❑ Tekanan Darah
❑ Nadi
❑ Frekuensi Napas
❑ Suhu tubuh
❑ Pemeriksaan tambahan :
oKesadaran,
oSaturasi Oksigen,
oNyeri , dll
(Ahrens, 2008)
APA YANG MENJADI MASALAH …??
• Perubahan TTV tidak terdeteksi, terdapat periode yang
lama, pasien tidak terobservasi (14 kasus).
• Perubahan TTV dikenali dan dilaporkan, namun terlambat
penanganannya ( 17 kasus).
• Abnormal TTV tidak dikenali sehingga tidak ada aksi lebih
lanjut (30 kasus).
• Kurangnya pengetahuan dan ketrampilan perawat, dalam
mengenali resiko bahaya sehingga lambat memulai
resusitasi, gagal mengaktivasi kegawatdaruratan medis dan
gagal melakukan resusitasi (43 kasus).

The National Patient Care Agency (NPSA), Safer Care for the acutely ill
patient, 2007 (from 104 cases)
KENDALA DALAM PEMERIKSAAN TTV
• TTV tidak dikaji, dicatat & diinterpretasikan scr konsisten.
• TTV diisi dengan mengandalkan ingatan.
• TTV diisi sebelum waktunya.
• Hasil pemeriksaan hanya di catat, dan tidak dianalisis.
• Hasil analisis tidak sama.

PENYEBAB
❑ Tingginya beban kerja.
❑ Kurangnya kesadaran akan pentingnya monitoring TTV.
❑ Tidak jelasnya kewenangan dalam mengambil keputusan
❑ Tingkat pendidikan dan pengalaman yang berbeda.
Solusi masalah ….
Dibutuhkan suatu sistem yang dapat menjadi :
• Standar dalam deteksi perburukan kondisi pasien.
• Standar dalam menentukan tingkat perburukan pasien.
• Standar dalam pengambilan keputusan klinis dengan
cepat dan tepat.

Early Warning Score System


(EWSS)
Pengenalan Perubahan Kondisi Pasien

Menggunakan Tools :
Early Warning Score System (EWSS)
❑Untuk memantau adanya perubahan keadaan umum
pada pasien.
❑Dilakukan secara terintegrasi dalam lembar observasi
pasien.
❑Dengan harapan → Angka pemanggilan Code Blue
menjadi berkurang karena penanganan pasien dilakukan
sebelum pasien jatuh dalam kondisi Code Blue.
EARLY WARNING SCORE SYSTEM (EWSS)
• EWSS digambarkan sebagai kumpulan skoring lima parameter fisiologis
yaitu frekuensi pernapasan (respiration rate), tekanan darah sitolik
(systolic blood pressure), suhu (temperature), status neurologis
(neurological status), frekuensi nadi (pulse rate/heart rate).
(Kyriacos, Jennifer, Michael & Sue, 2014)
• Untuk EWS di RSUD Soewondo → memakai 7 parameter dalam EWSS
yaitu Tekanan Darah Sistolik, Frekuensi Pernapasan, Frekuensi Nadi,
Suhu tubuh, Pemakaian Oksigen, Saturasi O2 dan Status
Neurologis/Kesadaran

Masalah Perubahan Kondisi Pasien


✓ Gangguan Tekanan Darah: Hipotensi & Hipertensi
✓ Gangguan Nadi : Bradikardi & Takikardi
✓ Gangguan Suhu : Hipotermi & Hipertermi
✓ Gangguan Pernapasan : Takipneu & Bradipneu
✓ Gangguan Kesadaran : Penurunan Kesadaran, Agitasi
✓ Saturasi Oksigen : Penurunan saturasi.
PEMERIKSAAN TTV
No. Tanda2 Faktor yang mempengaruhi Isu dalam
vital Pengkajian
1. Tekanan Volume intravaskuler, Tensi air raksa lebih
darah kontraktilitas jantung, kondisi reliable dibanding
pembuluh darah tensi digital.

2. Nadi ❑ Volume intravaskuler Dihitung minimal 30


❑ Gangguan jantung : detik. Nilai juga irama
gangguan katub/sekat jtg, & kecukupan volume
Kontraktilitas turun. intravascular.
❑ Oksigen demand/
kebutuhan O2 naik :
demam, kesakitan, sesak
napas, cemas/marah, dll
3. Suhu - Infeksi, Suhu bisa berbeda di
- Proses inflamasi. setiap area
- Dehidrasi pengukuran.
- obat2an
No. Tanda2 vital Faktor yang Isu dalam Pengkajian
mempengaruhi
4. Pernapasan Hiperkapnia, Bukan sekedar frekuensi
Hipoksemia, napas, tapi juga suara
Asidosis napas, retraksi dada dan
saturasi
5. Kesadaran Perfusi serebri Dipengaruhi faktor intra
kranial dan ekstra kranial
6. Saturasi O2 Perfusi jaringan, Dipengaruhi suhu tubuh
anemia,
hipoksemia
7. Suplementasi Terpasang alat Konsentrasi oksigen dan
O2 bantu napas/ tekanan pernapasan.
tidak.
PEMERIKSAAN KESADARAN
No. KESADARAN KETERANGAN Nilai GCS
1. Compos mentis Berespon segera dengan orientasi yang 15
sempurna (tempat, waktu & personal)
2. Apatis- Apatis : terlihat mengantuk, tapi masih 12-14
Somnolen mudah dibangunkan secara verbal.
Somnolen : dapat dibangunakan dgn
rangsang nyeri, tapi segera tertidur lagi
3. Sopor Dapat dibangunkan dengan rangsang nyeri 8-11
dan terus menerus, umumnya masih
memberikan respon motorik.
4. Coma Tidak berespon meskipun dengan 3-7
rangsangan nyeri baik secara verbal
maupun motorik.
GCS : Glasglow Coma scale, untuk menilai tingkat kesadaran berdasarkan respon
rangsang terhadap mata, verbal dan motoric pasien
GCS : rentang nilainya 3-15.
ADULT EWS

Stony Brook, university Medical Center, New York


A = alert
V,P, U= verbal, Pain, Unconcious

Royal College of Phycians, Royal College of Nursing, Canada


PEDIATRIC EWS
Cara Penggunaan EWS

Cek kesadaran dan tanda-tanda vital pasien

Setiap parameter kemudian diberikan skor


sesuai EWS

Jumlahkan semua skor, kemudian tentukan


kategori EWS

Lakukan tatalaksana sesuai algoritma EWS


DI INDONESIA
(RS Cipto Mangunkusumo)
ALGORITMA/TATALAKSANA EWS
• Skor nilai dan interpretasi (DEWASA)
❑ Pasien stabil, atau tidak resiko.
NILAI ❑ Observasi setiap 8 jam atau setiap pergantian jaga/shift.
0-1

❑ Pasien dalam resiko rendah.


NILAI ❑ Pengkajian ulang dilakukan Ka Tim/PJ shif. Ka Tim/PJ shif
2-4 →Menentukan tindakan keperawatan yg harus dilakukan.
❑ Pemantauan setiap 2-4 jam
❑ Pasien resiko sedang.
❑ Pengkajian ulang oleh Ka Tim/PJ shif, diketahui Residen/Dr Jaga.
NILAI Residen/Dr Jaga Ruang melaporkan ke DPJP dan menentukan
5-6 tindakan terhadap pasien.
❑ Perawat pelaksana harus monitoring TTV tiap jam.

❑ Pasien beresiko tinggi.


❑ Aktifkan Code Blue. Tim Code Blue melakukan tindakan kegawatan
NILAI ❑ Residen/Dr Jaga/Dokter DPJP berada disamping pasien & menentukan
>7 rencana perawatan selanjutnya, termasuk perawatan di HCU/ICU.
❑ Perawat/Bidan memonitor TTV setiap 15-30 dan 60 menit.
• Skor nilai dan interpretasi PEWS (untuk ANAK)

NILAI ❑ Pasien dalam kondisi stabil.


0-1 ❑ Observasisetiap 8 jam

❑ Pengkajian ulang harus dilakukan oleh PJ shif


Nilai ❑ PJ shif →Menentukan tindakan keperawatan yang harus
2-4 dilakukan.
❑ Pengkajian ulang setiap 2 jam

❑ Pengkajian ulang dilakukan Ka Tim/PJ shif dan diketahui oleh


Residen/Dr Jaga Ruang.
NILAI ❑ Residen/Dr Jaga Ruang melaporkan ke DPJP dan menetukan tindakan
5-6 terhadap pasien.
❑ Perawat pelaksana harus monitoring TTV setiap jam.

❑ Aktifkan Code Blue. Tim Code Blue melakukan tindakan kegawatan


NILAI ❑ Residen/Dr Jaga/Dokter DPJP berada disamping pasien & menentukan
rencana perawatan selanjutnya, termasuk perawatan di PICU.
>7 ❑ Perawat/Bidan memonitor TTV setiap 15-30 dan 60 menit.
Kapan dilakukan penilaian EWS :
1. Pasien baru di IGD dari luar.
2. Semua pasien baru di ruang bangsal yang berasal dari IGD,
ruang operasi, Critical Care Unit (ICU, ICCU, HCU, PICU,
NICU), hemodialisa, dll → transfer internal RS.
3. Pasien yang sudah lama dirawat di bangsal, tapi mengalami
penurunan (deterioisasi) kondisi.
Langkah selanjutnya :
A. Dilakukan grading tingkat resiko. Apakah resiko
rendah/sedang/tinggi.
B. Selanjutnya pasien dapat dilakukan Tindakan pertolongan
darurat segera dan dilakukan penilaian ulang.
C. Selanjutnya dilakukan penilaian ulang EWS dan dilakukan
transfer ke bagian yang sesuai (ruang bangsal, HCU, ICU
atau unit yang lain)
Contoh implementasi EWS
Contoh kasus 1
• Pada jam serah terima
perawat sore ke perawat
malam, wanita umur 30
tahun, dengan batu ureter →
rencana akan operasi besok.
❑ Kesadaran CM
❑ TD 115/70 mmHg.
❑ HR 130 x/mnt
❑ RR 20 x/menit
❑ Suhu 38,5°C
❑ Saturasi 94 %
• Berapa nilai “EWS” pada pasien
ini?
Implementasi
• 0
• 1
• 0
• 1
• 0
• 2 Tindak lanjut :
o Pengkajian ulang harus dilakukan Ka Tim/PJ shif
• 0 o Ka Tim/PJ shif menentukan tindakan
keperawatan yang harus dilakukan.
o Pemantauan setiap 2-4 jam
4
Contoh kasus 2
• Pasien di bangsal umur 70 thn,
dengan sirosis hepatis, pasca
dilakukan tindakan pungsi asites.
Keluhan pasien saat ini sesak napas,
meskipun sudah diberikan O2 masker.
❑ Kes CM
❑ TD 130/60 mmHg
❑ HR : 135 x/mnt
❑ RR 28 x/menit.
❑ S : 37,4°C
❑ Saturasi O2 98%
❑ Face mask 6 lt/mnt
• Berapakah nilai “EWS” pada pasien
ini?
Implementasi
• 3
• 0
• 2
• 0
• 0
• 3
Aktifkan tim EWS/ tim Code Blue.
o Tim EWS/tim Code Blue melakukan tindakan kegawatan.
o Residen/Dr Jaga/Dokter DPJP berada disamping pasien &

• 0
menentukan rencana perawatan selanjutnya, termasuk
perawatan di HCU/ICU.
o Perawat/Bidan memonitor TTV setiap 15-30 dan 60 menit.
o KIE keluarga dlm mengambil keputusan dan prognosis pasien.

8
Contoh kasus 3
• Pasien di IGD klinik GM, 66 th, dengan
sesak napas, hanya mampu duduk,
kalo berbaring bertambah sesak. SaO2
sulit terdeteksi, kemudian diberikan
Oksigen nasal kanul. Riw peny : CHF,
DM dan gangguan ginjal.
❑ Kes CM, terlihat sesak napas.
❑ TD : 200/100 mmHg
❑ HR : 131 x/mnt
❑ RR : 40-50 x/menit.
❑ Suhu : afebris
❑ Saturasi O2 81-83%
❑ Nasal kanul 4 L/menit
• Berapakah nilai “EWS” pada pasien ini?
Implementasi
• 3
• 3
• 2
• 0
• 0
• 3
o Keluarga pasien dilakukan edukasi untuk dirawat di RS,
dengan pengawasan di ICU. Tapi keluarga menolak dan
mau dibawa pulang.

• 0
o Akhirnya dirawat di klinik dgn pmx tambahan GDS 566, AU
10,8, Kolesterol 382, ureum 449, creatinine 7,12. Ro thorax
menunjukkan Cardiomegali dgn CTR 61% dan edema paru.
o Akhirnya pasien dirawat dgn dx : obs dipneu e/c edema paru

11 e/c CHF, DM tipe 2, CKD dan sindroma metabolic.


o Ahirnya pasien membaik setelah dirawat 3 hari.
BAGAIMANA KRITERIA MASUK ICU
JIKA DIKAITKAN DENGAN EWS
(EARLY WARNING SYSTEM)
EWS UNTUK PASIEN DEWASA

(Sumber : Adiyanto, B : Sistem Terintegrasi Early Warning dan Code Blue, Untuk meningkatkan Keselamatan Pasien, Perdatin Yogyakarta, 2018)
1. TENTUKAN JUMLAH SKOR EWS BERDASARKAN 7
PARAMETER FISIOLOGIS.

Yang harus diingat : semakin meningkat skornya →


berarti
(Sumber : Adiyanto, B : Sistem Terintegrasi Early Warning semakin
dan Code tidakKeselamatan
Blue, Untuk meningkatkan bagus kondisinya.
Pasien, Perdatin Yogyakarta, 2018)
2. TENTUKAN RESPON TERHADAP SKOR EWS

(Sumber : Adiyanto, B : Sistem Terintegrasi Early Warning dan Code Blue, Untuk meningkatkan Keselamatan Pasien, Perdatin Yogyakarta, 2018)
3. TENTUKAN LEVEL PERAWATAN PASIEN PASCA RESUSITASI
1. Pasien dengan kondisi stabil,
perawatan di bangsal umum. Manajemen sesuai resiko pasien.
2. PASIEN RESIKO RENDAH→ Potensial Tentukan level perawatan pasien
penurunan kondisi tapi cukup stabil paska resusitasi
dilakukan perawatan di bangsal umum
dgn pengawasan khusus.
3. PASIEN RESIKO SEDANG →
Memerlukan observasi ketat dan
intervensi termasuk support utk organ
tunggal → perawatan di HCU EWS SCORE
4. PASIEN RESIKO TINGGI →Support 0-4 5-6 >7 DNR
pernapasan dasar/lanjut dengan
sekurang2nya 2 sistem organ →
perawatan di ICU.
5. Stadium terminal /DNR (do not
recusitated→ perawatan lanjutan
sesuai SOP pasien paliatif (R. paliatif
atau End Life Care Room)
EWS UNTUK PASIEN ANAK-ANAK
KESIMPULAN
KESIMPULAN
• Henti jantung adalah kejadian umum sebelum
kematian, yang bisa terjadi baik di luar maupun di
dalam RS.
• Dengan mengetahui mekanisme dasar terjadinya
henti jantung, diharapkan banyak kasus henti
jantung dan kematian di RS yang bisa dicegah.
• Sebagian besar kejadian henti jantung di rumah
sakit (sekitar 70% kasus), diawali dengan
beberapa gejala dan tanda yang dapat diketahui
lebih cepat sehingga bisa dicegah menjadi lebih
buruk → preventable cardiac arrest.
KESIMPULAN cont ….
• Dokter dan perawat/bidan harus bisa mengenali kondisi
kritis pasien dan perubahannya dengan melakukan deteksi
dini.
• EWSS (Early Warning Score System) adalah suatu sistem
deteksi dini pasien dengan melakukan penilaian (scoring)
terhadap beberapa parameter pasien, meliputi : tekanan
darah sistolik, frekuensi nadi, frekuensi pernapasan,
suhu, Saturasi O2, suplementasi O2 dan status neurologis.
• EWS (Early Warning System) atau sistem deteksi dini
dapat membantu dalam pencegahan terjadinya henti
jantung di RS (IHCA).
• EWS lebih awal melakukan intervensi dari “code blue”
Terima kasih semoga bermanfaat
Oxygen requirements of organs
✓ Kesadaran merupakan variabel lemah
dalam menilai keadaan umum pasien.
✓ Dalam keaadaan CO yang rendah
kesadaran masih bisa baik
✓ Dibutuhkan data2 lain dalam menilai
keadaan umum pasien secara utuh
✓ Dibutuhkan “Score”
Monitoring EWS dilakukan saat:
Observasi rutin semua pasien rawat inap ruangan pada pk. 05.00,
11.00, dan 16.00

❑ Pasien 24 jam post operasi


Perawat ruangan melaporkan kepada dokter bangsal bahwa ada pasien post
operasi dan dokter bangsal akan melakukan assessment dalam waktu 1 jam
setelah mendapat laporan
❑ Pasien 24 jam post rawat ICU / ICCU
Perawat ruangan melaporkan kepada dokter bangsal bahwa ada pasien
pindahan dari ICU / ICCU, RMO akan melakukan assessment dalam waktu 1
jam setelah mendapat laporan
❑ Pasien dengan penurunan kesadaran di ruang rawat inap
Perawat ruangan melaporkan kepada dokter bangsal bahwa ada pasien
dengan nilai 5 atau lebih dan dokter bangsal akan melakukan assessment
segera setelah mendapat laporan
Untuk pasien di Emergency Department yang akan dirawat inap perlu dilakukan
penghitungan skor EWS untuk menentukan lokasi perawatan pasien (ruang biasa atau
intensive care)
IMPLEMENTASI EWS
❑Bila total nilai EWS adalah 0 → maka pasien
diobservasi perawat secara rutin tiga kali dalam 24
jam (pk.05.00, 11.00, 16.00). Pencatatan dilakukan
di lembar observasi pasien.
❑Bila total skor EWS adalah 1 – 4 → maka pasien
diobservasi oleh perawat 4 – 6 jam atau lapor
dokter bangsal. Perawat ruangan melaporkan
kepada dokter bangsal dan dokter bangsal datang
serta mengkaji kondisi pasien tidak lebih dari 1 jam
setelah mendapat laporan. Dokter bangsal
memutuskan apakah frekuensi monitoring perlu
ditambah dan menginformasikan ke Dokter
Penanggung Jawab Pasien (DPJP).
❑Skor EWS 5 – 6 atau ada skor 3 pada sembarang
parameter → maka pasien diobservasi perawat minimal
tiap jam. Pencatatan dilakukan di Lembar Observasi Khusus.
❑Dokter ruangan melapor pada dokter ICU dan Duty
Manager segera. Dokter ICU dan Duty Manager datang dan
mengkaji kondisi pasien segera setelah mendapat laporan.
❑Dokter ICU mengkaji kondisi pasien dan informasikan ke
DPJP / RRT.
❑Perawat membubuhkan stempel EWS pada integrated
notes.
❑ Bila total skor EWS 7 maka dilakukan komunikasi
Informasi dan edukasi ke keluarga pasien.
❑ Pencatatan dilakukan di Lembar Observasi Khusus
minimal tiap jam sebelum pasien masuk HCU/ICU.
❑ Perawat melapor pada RMO ICU dan Duty Manager
segera. RMO dan Duty Manager datang dan mengkaji
kondisi pasien segera setelah mendapat laporan.
❑ RMO segera lapor DPJP. Bila dalam 3x panggilan DPJP
tidak dapat dihubungi, kontak dokter lain dari spesialisasi
yang sama.
❑ RMO memberikan informasi kepada pasien/keluarga
tentang kondisi pasien.
❑ Apabila terjadi perburukan (skor EWS > 7) pasien di
transfer ke ICU atau ICCU dengan persetujuan DPJP.
❑ Pada pasien dengan skor EWS berfluktuasi tinggi dan
rendah, maka stempel EWS wajib dibubuhkan setiap kali
tercatat skor EWS 5 – 6 atau terdapat nilai 3 di
sembarang parameter dan seterusnya
❑ Pemantauan skor EWS tidak berlaku untuk pasien dengan
“Do Not Resuscitate”
Nilai 1-4 Nilai 5-6 Nilai 7-…

Gelisah
Perawat PJ yang bertugas
Keseimbangan
memberikan penilaian klinis cairan
dan kapan utk intervensi Tanda2 infeksi
(terutama dg NIlai 4) Nyeri
Escalation
process
Setelah 4 jam melakukan
interfensi dan nilai tetap 4
bahkan menjadi naik…

Keluhan objektif
Nilai 5-6 atau satu parameter bernilai 3, dokter jaga dan Perawat PJ dan subjektif,
yang bertugas memberikan laporan ke RRT yang bertugas perlunya
pemeriksaan
penunjang
Setelah 1 jam melakukan
interfensi dan nilai tetap
5-6 bahkan menjadi naik…

Jika nilai 7 atau lebih pasien dipersiapkan untuk masuk HCU atau ICU dan dokter
konsultan di infokan, termasuk KIE ke keluarga pasien
KESIMPULAN

• Ada 2 “type” Cardiac Arrest yaitu In Hospital Cardiac


Arrest (IHCA) dan Out Hospital Cardiac Arrest (OHCA)
• IHCA lebih “Poor Out Come” di banding OHCA.
• Banyak kejadian henti jantung di rumah sakit ditandai
dengan peringatan dini yang dapat diketahui lebih cepat
sehingga bisa dicegah menjadi lebih buruk →
preventable.
KESIMPULAN

• EWS (Early Warning System) dapat membantu


dalam pencegahan IHCA.
• EWS lebih awal melakukan intervensi dari “code
blue”
• Membawa sistem ICU ke luar area ICU.
• Dapat dijadikan proses “learning by doing” untuk
para tenaga medis.
Ward patient

deterioration
Can we do better? Yes, we can do better

Code Blue EWS Scoring


Monitoring chart

Resuscitation and transfer to high level appropriated


intubation of care treatment

transfer to high level transfer to high level


of care of care
Terima kasih semoga bermanfaat
CONCLUSION
Intensivist
gizi pharmacist

microbiologist
surgeon

technician
nurse

PEOPLE CALL IT TEAM WORK


TERIMA KASIH
SOSIALISASI ICU

KRITERIA MASUK,
KELUAR DAN TRIASE DI ICU

Dr. I Gusti Nyoman Panji Putugawa, SpAn


I C U (Intensif Care Unit)

Adalah suatu bagian dari RS yang mandiri


(instalasi dibawah direktur pelayanan) dengan
staf & perlengkapan yang khusus ditujukan untuk
observasi, perawatan dan terapi pasien-pasien
penderita penyakit, cedera atau penyakit yang
mengancam nyawa atau potensial mengancam
nyawa dengan prognosis yang dubia.
Standar pelayanan ICU DEPKES 2010
INTENSITAS PERAWATAN PASIEN

I
n
t
I
e
s C
i HCU (High Care)
IW (Intermediate Ward) U
t HDU (High Depency)
y Home care Hospital Ward ED (Emergency Depart)

Cumulative delay and Lost opportunity

Takala J.25 Years of Progress and Innovation in Intensive Care Medicine.ESICM 2007
Piramida tempat tidur di rumah sakit

ICU
HCU Pelayanan yang
terintegrasi dan
berkesinambungan
(medis dan non medis)
Ward 5%-10%

Patient Safety in ICU.


JCI accreditation 2010
UNIT
UNIT TERAPI PERALATAN
TERSENDIRI KHUSUS
INTENSIF

STAF
KHUSUS TEKNISI ALAT :
SDM
❑ MONITOR
KETRAMPILAN
❑ VENTILATOR
KHUSUS
❑ USG
❑ DOKTER
❑ RONTGEN
INTENSIVIST
❑ RRT (IHD)
❑ PERAWAT
TENAGA AHLI ❑ CRRT
TERLATIH
LABORATORIUM ❑ PLASMAPHAR
MIKROBIOLOGI ESIS
GIZI ❑ ECMO
Mengapa ICU
Dibutuhkan?

DIANGGAP RUANG PERAWATAN YG PARIPURNA


❑ SDM yang lengkap & kompeten
❑ Pengelolaan & pengawasan pasien lebih intensif
❑ Kelengkapan Obat & Peralatan medis high tech

KESEMBUHAN & KESELAMATAN


PASIEN LEBIH BAIK
Perawatan pasien di ICU → MAHAL !!!!

 ICU’s are a costly resource → care provided in ICU is expensive.


 Higher cost associated with : LOS in ICU, variety of intervention,
older age (>80 yo), use sophisticated tool, have comorbid
conditions, have complications procedur, etc
The costs of intensive care, Seidel J et all, Nov 2006, Critical Care & Pain.
Characteristic, outcomes and Cost Patters of high-cost patients in ICU, Reandon et al, Sept 2018, Critical
care respiration Pract.
INTENSIVE CARE UNIT → EXPENSIVE CARE UNIT
• Canada
• 8% of total inpatient cost
• 0.2 % of GNP
• $1500 per day
• USA
• 20 - 28 % of total inpatient cost
• 0.8 to 1 % of the GNP
• 1 ICU day = 3 to 6 times non-ICU day
• Higher costs in non-survivors
• ICU resources are finite
UGD

ICU
IMC/HCU
RS LAIN

PASIEN
ICU

KAMAR/RUANG RUANG
OPERASI PERAWATAN

RUANG
PEMULIHAN
Jumlah Pasien ICU & asal pasien
di ICU RSUD Soewondo Pati*

70 Amount
ED
60
OT
50
Ward
40
30
20
10
0
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGT SEP

*Data ICU RSUD Soewondo Pati Thn 2017


Angka Kematian Kurang 24 jam di ICU*

20 Kematian
Mati<24 Jam
15
Mati>24 Jam

10

0
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGT SEP

*Data ICU RSUD Soewondo Pati Thn 2017


GAMBARAN PASIEN DI ICU TH 2019

ASAL PASIEN MASUK KONDISI PASIEN KELUAR


IGD BANGSAL IBS MENINGGAL JUM
No BULAN SEMBU
< 24 > 24 RUJUK LAH
H
JAM JAM
1. JAN 23 8 15 40 7 2 1 49

2. FEB 21 25 8 42 7 9 - 58

3. MARET 10 24 18 44 3 8 - 55
4. APRIL 11 22 9 27 9 6 1 44
5. MEI 6 19 14 30 5 3 2 40
6. JUNI 17 17 27 54 5 6 1 65
7. JULI 7 20 12 31 6 6 1 44
KELOMPOK PERAWATAN INTENSIF

 ICU (Intensive Care Unit) → 8 bed


 ICCU (Intensive Cardiac Care Unit) → 3 bed
 PICU (Pediatric Intensive Care Unit) → 2 bed
 NICU (Neonatal Intensive Care Unit) → 3 bed
 HCU (High Care Unit) → 2 bed
ADA GAP ANTARA PERMINTAAN DAN
PENYEDIAAN TEMPAT DI ICU
KEBUTUHAN MENINGKAT KETERSEDIAAN TERBATAS

❑Usia harapan hidup ➢ Ketentuan 5-10% bed


bertambah → morbiditas ➢ Penyediaan alat mahal
meningkat. ➢ Kebutuhan SDM yg handal
❑Bertambah majunya ➢ Butuh pengelolaan/
bidang pembedahan. manajemen yang rumit →
❑Kemampuan masyarakat hanya RS besar yang bisa
mengakses ICU semakin mengelola ICU secara
meningkat. paripurna

Harus ada SCREENING


u/ menentukan pasien yg boleh atau dapat dimasukkan ke ICU,
dan pasien yang harus dikeluarkan dari ICU
Contoh screening pasien masuk ICU :
 Ada 2 pasien yang membutuhkan perawatan di ICU
dalam waktu hampir bersamaan :
A. Seorang wanita dengan penurunan kesadaran GCS 9,
umur 65 tahun, dengan Ca mammae dan metastase
paru, saat ini mengalami gagal napas.
B. Seorang wanita dengan penurunan kesadaran, kejang
berulang yang tidak respon terapi, GCS 9, umur 23
tahun, G1P0A0 hamil 9 bulan.
 Sementara saat ini hanya ada 1 tempat tidur/bed
yang tersedia di ICU. Mana pasien yang akan anda
terima untuk masuk ke ICU ….??
Tujuan SCREENING
Tujuan screening ini dimaksudkan :
❑Dapat memberikan pengelolaan yang tepat menurut
skala prioritas.
❑Pengelolaan pasien diberikan pada pasien yang
tepat. Menghindari pengelolaan pasien yang salah
(Too sick too benefit atau Too well too benefit). Serta
menghindari perawatan yang tidak berguna (futile
Care).
❑Menghindari pemakaian obat dan alat yang sia-sia.
❑Mencegah penumpukan pasien di ICU.
❑Meningkatkan efisiensi pelayanan ICU.
PEDOMAN PENYELENGGARAAN ICU

Tujuan :
• Memberikan acuan pelaksanaan ICU di RS
• Meningkatkan kualitas pelayanan Keselamatan
pasien ICU di RS
• Menjadi acuan pengembangan pelayanan ICU di RS

❑ Kriteria masuk ICU


❑ Kriteria keluar ICU
❑ Triage ICU
MODEL ICU
Terbuka (open unit)
Tertutup (closed unit)
Pada model tertutup ini, semua
pasien yang masuk ICU dikelola oleh
intensivist yang mengelola seluruh
aspek perawatan dan meminta
konsultasi dokter lain bila diperlukan.
MODEL ICU CLOSE > BAIK …??
❑ Data literatur menunjukkan model tertutup
lebih efisien, mortalitas dan komplikasi
berkurang.
❑ Peranan terpenting intensivist : leader dari tim
perawatan intensif multidisiplin.
❑ Setiap anggota tim mempunyai keahlian
khusus yang menunjang perbaikan outcome,
efisiensi, efektivitas dan pengendalian biaya
ICU model tertutup memberikan kelebihan dalam
hal :
❑ ICU LOS lebih pendek pada model tertutup
(prospektif 6.1 vs 12.6 hari, p<0.0001;
retrospektif 6.1 vs 9.3 hari, p<0.05;
❑ Hospital LOS lebih pendek : prospektif 19.2 vs
33.2 hari, p<0.008; retrospektif 22.2 vs 31.2
hari, p<0.02)
❑ Lama hari pemakaian ventilator lebih pendek
(prospektif 2.3 vs 8.5 hari, p<0.0005;
retrospektif 3.3 vs 6.4 hari, p<0.05).
Multz AS et all. Am J Respir Crit Care Med 1998; 157: 1468-1473
DASAR
PENGELOLAAN PASIEN
DI ICU

KERJASAMA MUTIDISIPLINER
DALAM MASALAH MEDIS YANG
KOMPLEKS → DIPIMPIN OLEH
SEORANG INTENSIVIST
KEMAMPUAN MINIMAL ICU
• Resusitasi jantung paru
• Pengelolaan jalan napas (intubasi trakeal, ventilator)
• Terapi oksigen
• Pemantauan EKG
• Pemberian nutrisi enteral dan parenteral
• Pemeriksaaan laboratorium khusus dgn cepat &
menyeluruh
• Pemakaian pompa infuse
• Kemampuan melakukan tekhnik khusus sesuai
dengan keadaan pasien ( HD, PD, dsb)
• Memberikan bantuan fungsi vital dengan alat-alat
portabel selama transportasi pasien gawat
PELAYANAN ICU PRIMER
(standar minimal → RS tipe C/D)

Mampu melakukan resusitasi & memberikan


Ventilasi bantu kurang dari 24 jam serta
mampu melakukan pemantauan jantung

PELAYANAN ICU SEKUNDER


(standar menengah → RS tipe B)
Klasifikasi
Pelayanan
Mampu memberikan ventilasi bantu lebih
ICU lama, melakukan bantuan hidup lain tetapi
tidak terlalu kompleks

PELAYANAN ICU TERSIER


(standar tertinggi → RS tipe A)

Mampu melaksanakan semua aspek tindakan


perawatan/ terapi intensif
Pelayanan ICU primer
(standar minimal)

• Ruangan tersendiri (akses mudah dari kamar bedah,


ruang darurat dan ruangan perawatan lain
• Memiliki kriteria pasien masuk/ keluar/ rujukan ICU
• Memiliki seorang dokter spesialis anestesiologi sebagai
kepala ICU
• Ada dokter jaga 24 jam dengan kemampuan resusitasi
jantung paru (A,B,C,D,E,F)
• Konsulen harus selalu siap dihubungi
• Memiliki jumlah perawat yang cukup dan sebagian
besar telah terlatih
• Mampu melayani pemeriksaan laboratorium, roentgen,
kemudahan
• diagnostik dan fisioterapi
Pelayanan ICU sekunder
(standar menengah)

• Mampu memberikan ventilasi bantu lebih lama,


melakukan bantuan hidup lain tetapi tidak terlalu
kompleks, kekhususan yang harus dimiliki
• Ruangan tersendiri( akses mudah dari kamar bedah,
ruang darurat dan ruang perawatan lain)
• Memiliki kriteria pasien masuk, keluar dan rujukan
• Memiliki seorang kepala ICU yang bertanggung jawab
secara keseluruhan (intensivis)
• Memiliki dokter spesialis yang setiap saat bisa
dihubungi
• Dokter jaga minimal mampu RJP (A,B,C,D,E,F)
Pelayanan ICU sekunder
(standar menengah)
• Memiliki perawat yang bersertifikat ICU (perbandingan
pasien:perawat 1:1) dan setiap saat standby bila
diperlukan
• Mampu memberikan bantuan ventilasi mekanis
beberapa lama dan dalam batas tertentu melakukan
pemantauan invasive dan usaha bantuan hidup
• Mampu melayani pemeriksaan laboratorium, roentgen,
kemudahan diagnostik dan fisioterapi selama 24 jam
• Memiliki ruang isolasi dan mampu melakukan prosedur
isolasi
Pelayanan ICU tersier
(standar tertinggi).

• Tempat tersendiri di dalam rumah sakit


• Memiliki kriteria pasien masuk, keluar dan rujukan
• Memiliki dokter spesialis yang dapat menanggulangi
setiap saat bila diperlukan
• Memiliki seorang kepala ICU yang bertanggung jawab
secara keseluruhan (intensivis), dokter jaga minimal
mampu RJP (A,B,C,D,E,F)
• Memiliki lebih dari satu staf intensivis
Pelayanan ICU tersier
(standar tertinggi) cont …
• Mampu menyediakan tenaga perawat dengan
perbandingan pasien:perawat 1:1 pada setiap shif
untuk kasus berat dan tidak stabil
• Memiliki lebih banyak staf perawat bersertifikat terlatih
perawatan/terapi intensif
• Mampu melakukan semua bentuk pemantauan dan
perawatan / terapi intensif
• Mampu melayani pemeriksaaan laboratorium, roentgen
• Kemudahan diagnostik dan fisioterapi selama 24 jam
Pelayanan ICU tersier
(standar tertinggi) cont …
• Memiliki paling sedikit seorang ahli dalam mendidik staf perawat
dan dokter muda agar dapat bekerja sama dalam pelayanan pasien
• Memiliki prosedur untuk pelaporan resmi dan pengkajian
• Didukung oleh semua yang ahli dalam diagnostik dan terapi;
seperti penyakit dalam, bedah saraf, kebidanan dan lain-lain
• Memiliki staf tambahan yang lain misalnya tenaga administrasi,
tenaga rekam medis, tenaga untuk ilmiah dan penelitian
• Memiliki alat-alat untuk pemantauan khusus, prosedur diagnostik
dan terapi khusus.
ICU Admission Criteria
(Kriteria masuk)
Kriteria secara umum adalah untuk perawatan pasien2
kondisi memburuk yang berpotensi membaik kembali
dengan mendapatkan manfaat dari observasi intensif dan
pengelolaan invasif dibandingkan pengelolaan di bangsal
umum (general wards)/ ruang dengan ketergantungan
tinggi (high dependency areas).
Ada faktor utama yang harus dipertimbangkan:
1. Punya potensi membaik (re-coverable).
2. Mendapat manfaat (have benefit).
ICU Admission Criteria
❑ Potential or established organ failure
❑ Factors to be considered:
• Diagnosis
• Severity of illness
• Age and functional status
• Co-existing disease
• Physiological reserve
• Prognosis
• Availability of suitable treatment
• Response to treatment to date
• Recent cardiopulmonary arrest
• Anticipated quality of life
• The patient’s wishes
TD

PULSE
OXIMET SUHU
RI

BASIC
MONITORI
HOURLY
URINE NG HR
OUTPUT

BGA RR
ICU Triage

❑ Admission criteria remain poorly defined


❑ Identification of patients who can benefit
from ICU care is extremely difficult
❑ Demand for ICU services exceeds supply
❑ Rationing of ICU beds is common
Kriteria masuk

1. Model Prioritas
❑ Prioritas 1
❑ Prioritas 2
❑ Prioritas 3
❑ Prioritas 4
2. Model Diagnosis
3. Model Parameter Objektif
MODEL PRIORITAS
Prioritas 1
❑ Pasien kritis dan tidak stabil, yang memerlukan terapi
intensif dan tertitrasi/terukur, juga perlu monitoring.
Misalnya pasien yang memerlukan :
a. Ventilasi mekanik.
b. Obat-obat dg infus kontinyu (siringe pump) : obat,
vasopressor, inotropik., vasodilator dll.
c. Mechanical support :
• Gangguan atau gagal napas akut
• Gangguan atau gagal sirkulasi
• Gangguan atau gagal susunan syaraf pusat
• Gangguan atau gagal ginjal (lihat kriteria gagal
organ akut)
❑ Terapi pada pasien ini umumnya tidak terbatas
Prioritas 2
❑ Pasien yang memerlukan pemantauan atau observasi
intensif/secara terus-menerus berkelanjutan, baik
yang sifatnya invasif atau non invasif, termasuk
diantaranya :
• Observasi intensif pasca bedah ekstensif/ bedah
pada beberapa bagian tubuh secara bersamaan.
• Observasi intensif pasca henti jantung (cardiac
arrest) dalam keadaan stabil
• Observasi intensif pasien pasca bedah dengan
penyakit jantung dan lain sejenisnya.
❑ Terapi pada pasien ini umumnya tidak terbatas
Prioritas 3

❑ Pasien sakit kritis dan tidak stabil, dengan


kemungkinan sangat kecil untuk untuk
penyembuhan. Atau pasien kurang mendapatkan
manfaat di ICU (prognosis jelek).
Misal : Pasien keganasan dengan penyulit infeksi →
terapi intensif untuk mengatasi kegawatan
akutnya, tidak dilakukan tindakan invasif
seperti intubasi dan RJP
Prioritas 4
❑ Sebetulnya tidak perlu ICU
➢ Misal : Pasien yang memenuhi kriteria masuk
tetapi menolak terapi maksimal (DNR)
➢ Vegetatif stage
➢ Pasien MBO untuk kepentingan donor organ
❑ Too well for ICU
➢ Mild CHF, stable DKA, conscious drug overdose,
peripheral vascular surgery
❑ Too sick for ICU (terminal, irreversible)
➢ Irreversible brain damage, irreversible
multisystem failure, metastatic cancer
unresponsive to chemotherapy
Tidak Perlu Masuk ICU
❑ Pasien mati batang otak (MBO), kecuali yang
merupakan donor
❑ Pasien dalam keadaan stabil dengan resiko yang
rendah untuk menjadi berbahaya
❑ Pasien prioritas 1 atau 2 yang menolak perawatan
atau tindakan agresif di ICU
❑ Pasien dalam stadium akhir (end-stage) penyakit-
penyakit
❑ Pasien dengan keadaan vegetatif yang permanen
MODEL DIAGNOSA
❑ Model ini digunakan pada kondisi atau penyakit spesifik
untuk menentukan indikasi perawatan di ICU
❑ 48 diagnosis dari 8 sistem organ :
➢ Kardiovaskuler
➢ Respirasi
➢ Gastrointestinal
➢ Endokrin
➢ Elektrolit
➢ Pembedahan
➢ Overdosis obat
Sistem
Kardiovaskular
❑ Acute myocard infark dengan komplikasi
❑ Shock kardiogenik
❑ Aritmia kompleks yang memerlukan pengawasan ketat dan
intervensi
❑ Gagal jantung akut dengan gagal nafas dan atau memerlukan
bantuan hemodinamik
❑ Hipertensi emergensi
❑ Unstable angina, yang disertai aritmia, hemodinamik yang
tidak stabil, atau nyeri dada yang persisten
❑ Henti jantung
❑ Tamponade jantung dengan hemodinamik yang tidak stabil
❑ Disseksi aneurisma aorta
❑ Blok jantung total
Sistem Respirasi

❑ Gagal nafas akut yang memerlukan ventilator


❑ Emboli paru dengan kondisi hemodinamik yang
tidak stabil
❑ Pasien dari unit perawatan intermediet yang
mengalami penurunan fungsi respirasi
❑ Hemoptisis masif
❑ Gagal nafas dengan memerlukan intubasi
Gangguan
Gastrointestinal

❑Perdarahan saluran cerna yang disertai


hipotensi, terus menerus
❑Gagal hati fulminan
❑Pankreatitis berat
❑Perforasi esofagus dengan atau tanpa
mediastinitis
Endokrin

❑ Ketoasidosis diabetikum dengan instabilitas hemodinamik,


perubahan status mental, insufisiensi pernafasan.
❑ Krisis tiroid dengan instabilitas hemodinamik –hipermetabolik.
❑ Hiperosmolar status dengan koma dan atau instabilitas
hemodinamik
❑ Gangguan endokrin lainnya seperti krisis adrenal dengan
instabilitas hemodinamik
Gangguan Elektrolit

❑ Hiperkalemia berat dengan perubahan status mental yang


memerlukan monitoring hemodinamik
❑ Hipo atau hypernatremia berat dengan kejang, perubahan status
mental
❑ Hipo atau hipermagnesemia dengan kegagalan hemodinamik
❑ Hipo atau hiperkalemia dengan aritmia atau kelemahan otot
❑ Hipofosfatemia dengan kelemahan otot
Pembedahan
❑ Pasien post operasi yang memerlukan
pengawasan hemodinamik atau dukungan
ventilator atau perawatan intensif

Gangguan Lainnya

❑ Syok septik dengan instabilitas hemodinamik


❑ Pengawasan hemodinamik
❑ Trauma lingkungan (listrik, hipotermi,
hipertermi)
Over dosis obat

❑ Hemodinamik yang tidak stabil


❑ Defisit mental dengan gangguan jalan
nafas
❑ Kejang yang tidak teratasi
MODEL PARAMETER
OBYEKTIF

Ada beberapa parameter yang bisa diakai :


➢ Pemeriksaan Fisik (onset akut) :
➢ Tanda-tanda vital
➢ Pemeriksaan laboratorium
➢ Pemeriksaan radiografi/ultrasonografi, tomogragi
➢ Pemeriksaan elektrokardiografi, echokardiografi dll
1. Pemeriksaan Fisik (onset akut) :
a. Obstruksi jalan nafas
b. Koma
c. Kejang yg tidak terkendali :
d. Sianosis
e. Tamponade Jantung
f. Anuria
g. Pupil anisokor pd pasien penurunan kesadaran
2. Tanda-tanda Vital :
a. Nadi < 40 or > 120 kali/menit
b. Tekanan darah sistolik < 80 mm Hg atau
20 mm Hg di bawah tekanan darah
normal pasien.
c. MAP/Mean arterial pressure < 60 mmHg
d. Tekanan darah diastolik > 120 mmHg.
e. Laju pernapasan > 35 kali/menit.
3. Laboratorium :
a. Natrium < 110 or > 170
b. Kalium < 2.0 or > 7.0
c. PaO2 < 60
d. pH < 7.1 or > 7.7
e. Glukosa > 800 mg/dL
f. Kalsium > 15 mg/dL
4. Radiografi/Ultrasonografi /Tomografi:
a. ICH, SAH, contusion with AMS or focal
neuro signs
b. Ruptur viscera, kandung kemih, hepar,
uterus dengan instabilitas hemodinamik.
c. Diseksi aorta
5. Elektrokardiogram :
a. AMI dengan aritmia, hemodinamik tidak
stabil atau CHF.
b. Sustained VT or VF
c. Blokade jantung lengkap dengan
instabilitas.
ALUR PASIEN
IGD IBS IRNA IRJA
MASUK R. INTENSIF
RSUD RAA SOEWONDO PATI
EVALUASI

TIDAK ADA
DITOLAK
INDIKASI

ADA INDIKASI

Membaik, sembuh
PINDAH RUANG

PERAWATAN memburuk,
DIRUJUK
DI ICU

meninggal KAMAR
JENAZAH
PASIEN KRITIS ALUR PASIEN
MASUK R. INTENSIF
RESUSITASI RSUD SOEWONDO PATI

ASSESMEN DR JAGA & KONSULTASI DPJP

INDIKASI
RAWAT DI ICU?
PERAWATAN
PERAWATAN DI ICU
DI BANGSAL

TEMPAT TERSEDIA ?
TIDAK
YA / ADA

RUJUK RAWAT DI ICU


KE ICU RS LAIN RSU SOEWONDO
KASUS YANG MASUK KE ICU
1. Kasus medical ❑ Respiratory problem/gagal napastipe I & II
(hipoksemia, PPOK),
❑ Sepsis & Syok Sepsis (Pneumonia, ISK, Infeksi
intra abdomen, meningitis – encephalitis, dll).
❑ Penyulit peripartum : PEB, Eklampsi, HELLP
syndrome, APH/PPH, PPCM.
❑ Cardiac Event/Cardiac problem acut (AMI, ADHF,
CHF, Aritmia)
❑ Gangguan metabolic: DM dg penyulit, hipertiroid
❑ Cerebral Vascular Disease : hemoragic & non H.
❑ Disfx organ/Organ Failure : CKD, CHF,
2. Kasus trauma & ❑ Multiple trauma yg berat, Luka bakar luas
Surgical/operasi ❑ Perioperatif care : operasi ekstensif/luas, op dgn
penyulit, operasi resiko tinggi (ASA 3 atau >).
❑ SC dengan penyulit
❑ Brain tumor
❑ Cardiac surgery
3. Combined Co : Stroke H yang perlu operasi kraniotomi,
Sepsis e/c IAI yg perlu operasi laparatomi
PEMANTAUAN PASIEN DI ICU
Tujuannya untuk menilai kemajuan terapi atau perubahan kondisi pasien
(membaik atau memburuk).
Yang dipantau :
1. Klinis : Keluhan pasien, kondisi umum, kesadaran, napsu makan,
2. Fisik :
❑ Tanda Vital : tekanan darah, laju nadi, laju pernapasan, suhu,
saturasi O2, kesadaran.
❑ Tanda lain : Cairan masuk (cairan perenteral : infus, obat, cairan
enteral : diet), cairan keluar (produksi NGT/urine/ drain), dll,
❑ Ventilasi mekanik : mode ventilator & parameter2-nya.
3. Pemberian obat dan perubahan dosis obat
➢ Obat oral : obat yang diminum
➢ Obat intravena : obat yang disuntikkan langsung iv.
➢ Obat siringe pump :(inotropik, vasopresor, vasodilator, diuretik, dll).
4. Hasil laboratorium dan pmx penunjang yang lain (laborat, rontgen,
EKG, CT scan, MRI, Angiografi, dll).
Pemantauan dilakukan secara kontinyu dan dicatat di lembar pemantauan.
❑ Pasien dinilai kondisinya tidak cukup dari 1 parameter saja. Kadang
diperlukan berbagai parameter penilaian secara bersama-sama,
sebelum kita bisa menyimpulkan apakah kondisi pasien membaik
atau memburuk.
❑ Dibuatlah berbagai macam sistem skoring yang merupakan
kumpulan dari penilaian dari kesadaran, tanda vital, fungsi
beberapa fungsi organ secara bersama-sama dan bisa digunakan
untuk menilai seberapa besar resiko angka mortalitas pasien.
❑ Sistem penilaian (scoring system) saat masuk/hari pertama:
1. APACHE 2 (Acute Physiology & Chronic Health Evaluation)
→ dipakai secara luas di Amerika
2. SAPS II ( Simplified Acute Physiology Score)➔ umumnya
dipakai di Eropa
3. SOFA (Squentional Organ Failure Assesment).
4. EWS (Early Warning System).
❑ Penilaian diatas dapat diulang setiap hari untuk menentukan kondisi
pasien.
➢ Bila jumlah skor meingkat : berarti pasien mengalami perburukan
➢ Bila jumlah skor menurun : berarti ada perbaikan.
A. Acute Physiology Score APACHE 2 SCORE
No Parameter Score
4 3 2 1 0 1 2 3 4

1. Temperatur » 41 39-41 - 38,8-39 36-38,5 34-36 32-34 30-32 <30

2. MAP »160 130-160 110-130 - 70-110 50-70 <50

3. Heart rate »180 140-180 - - 70-110 55-70 40-55 <40

4. Respirasi rate »50 35-50 25-35 12-24 10-11 6-9 - <5

5. Oksigenasi »500 350-500 200-350 - <200 - - - -

6. Arterial PH »7,7 7,6-7,7 - - 7,35-7,5 - 7,25-7,3 7,16-7,25 <7,15

7. Serum Na »180 160-180 155-160 7,5-7,6 130-150 - 120-130 110-120 < 110

8. Serum K »7 2-3,5 - 150- 3,5-5,5 3-3,5 2,5-3 - <2,


155
9. Serum Creat »3,5 1,5-2,0 1,5-2 - 0,6-1,5 - <0,6 -

10 Hematokrit » 60 - 50-60 45-50 30-46 -- 20-30 - <20

11 Lekosit » 40 - 20-40 15-20 3-15 - 1-3 - <1

12 GCS 15-actual GCS

Knauss WA et al, APACHE II : a severity of disease classification system, Crit Care Med, 1985,13:818-29
B. Age score Umur (tahun) Score C. Jika ada gangguan organ
atau imunokompromise :
< 45 0
a. Ditambah 5 point jika
45-55 2 operasi emergensi
55-65 3 b. Ditambah 2 point jika
operasi elektif
65-75 5
> 75 6

Interprestasi APACHE 2 SCORE, Total Score Death Rate (%)


dihitung Nilai total A+B+C ❑ 0-4 4
❑ 5-9 8
❑ 10-14 15
❑ 15-19 25
❑ 20-24 40
❑ 25-29 55
❑ 30-34 75
❑ >34 85
SAPS II Score
SAPS II (Simplified Acute Physiology Score )

Parameter Criteria Score Parameter Criteria Score


1. Age Below 40 0 5. Temperatur Below 39 C 0
40-59 7 39 C and above 3
60-69 12 6. Glasgow Below 6 26
70-74 15 Coma Scale 6-8 13
75-79 16 9-10 7
80 and above 18 11-13 5
2. Type of Schedule surgical 0 14-15 0
admision Medical 6 7. PaO2/FiO2 Below 100 11
Unscedule surgical 8 100-199 9
3. Heart Below 40 bpm 11 200 and above 6
rate 40-69 2 8. Urine output Below 0,5 11
70-119 0 0,5-1 4
120-169 4 1 and above 0
160 and above 7
9. BUN (Blood Below 28 0
4. Systolic Below 70 mmHg 13 Urea 28-83 6
Blood 70-99 5 Nitrogen) 84 and above 10
Pressure 100-199 0
200 and above 2

Le Gall JR, Lemeshow S, Saulner F, A new Simplified Acute Physiology Score (SAPS II) based on a
European/North American multicenter Study, JAMA, 1993, 270 (24) : 2957-63
Parameter Criteria Score
Angka mortalitas pasien
10. Sodium Below 125 5 berdasarkan SAPS II Score
125-144 0
145 and above 1
SAPS II Score Mortality
11. Potasium Below 3 3
3-4,9 0 ❑ 29 10 %
5 and above 3 ❑ 40 25 %
12. Bicarbonat < 15 6 ❑ 52 50%
15-19 3
20 and above 0 ❑ 64 75%
13. Bilirubin Below 4 0 ❑ 77 90%
4-5,9 4
6 and above 9
14. White blood < 1.000 12
Le Gall JR, Lemeshow S, Saulner F, A
Cell 1.000-19.000 0
New Simplified Acute Physiology Score
20.000 and > 3 (SAPS II) based on a European/North
15. Chronic None 0 American multicenter Study , JAMA,
Disease Metastatic cancer 9 1993, 270 (24) : 2957-63
Hematologic 10
malignancy
AIDS 17
SOFA SCORE
SOFA SCORE (Sequential Organ Failure Assesment)
Variabel Score
No Parameter diukur 1 2 3 4
1. Respiratory PaO2/FiO2 < 400 < 300 <200 < 100

2. Koagulasi Trombosit < 150.000 < 100.000 < 50.000 < 20.000

3. Fungsi Hepar Bilirubin 1,2-1,9 2-6 6-12 > 12

4. Kardiovaskul Hipotensi MAP <70 Dob/Dop « 5 Dop/Dob »5 Dop/Dob »15


er atau NE« 0,1 atau NE .0,1
5. Neurolgi GCS 13-15 10-12 6-9 <6

6. Fungsi ginjal Kreatinin 1,2-2 2-3,5 3,5-5 >5

JUMLAH SCORE

Prognosis mortalitas/angka kematian, Score Angka Mortalitas (%)


berdasarkan nilai/score SOFA : 0-1 0
2-3 7
4-5 10
6-7 22
8-9 33
Kriteria Keluar
1. Status fisiologis membaik dan stabil (tidak perlu
terapi dan monitoring/perawatan yang intensif)
2. Status fisiologis mengalami perburukan (intervensi
lebih lanjut tidak ada manfaatnya), terapi telah gagal
dan prognosis dalam waktu dekat akan memburuk
serta manfaat terapi intensif sangat kecil.
3. Pasien/keluarga menolak perawatan lebih lanjut.
4. Terapi intensif tidak memberi manfaat dan tidak perlu
diteruskan lagi pada …..
4. Terapi intensif tidak memberi manfaat dan tidak perlu
diteruskan lagi pada :
❑ Pasien usia lanjut dengan gagal 3 organ atau lebih
yang tidak memberikan respon terhadap terapi
intensif selama 72 jam.
❑ Pasien mati otak atau koma (bukan karena trauma)
yang menimbulkan keadaan vegetatif dan sangat
kecil kemungkinan untuk pulih.
❑ Pasien dengan bermacam-macam diagnosis seperti
PPOM, jantung terminal, karsinoma yang menyebar.
PRAKTIS
❑ Pasien sudah bisa dilepas/disapih dari
ventilator/obat inotropik/vasopresor.
❑ Penyebab kondisi akut sudah teratasi.
❑ Parameter fisiologis stabil.
❑ Ada fasilitas untuk perawatan lebih lanjut
(IMC/HCU, ruang rawat, homecare)
TERIMA KASIH
Early Warning System
(Sistem Deteksi Dini)
Pengertiannnya :
 Suatu sistem/mekanisme untuk mengenali
sekumpulan gejala/tanda awal suatu kegawatan,
sebelum kegawatan itu sendiri terjadi.
Elongatio aorta
 Tanda tersebut adalah adanya henti napas dan henti
jantung.
SOSIALISASI /PENGENALAN TINDAKAN ANESTESI

HEMODINAMIK MONITORING
(BASIC & ADVANDCED MONITOR)

Dr. I Gusti Nyoman Panji Putugawa, SpAn, KIC


Disampaikan dalam In House Training RSUD RAA Soewondo PATI
22 Agustus 2019
PENDAHULUAN
• haemo : darah
dynamic : gerak/gerakan
• Hemodinamik merujuk ke
peredaran darah yaitu darah
yang bergerak karena dipompa
oleh jantung menuju ke seluruh
tubuh (termasuk sistem organ).
• Shg Hemodynamic Monitoring
artinya tindakan utk memantau
aliran darah. Dalam hal ini
termasuk diantaranya tekanan
Monitor hemodynamic darah, nadi, tekanan vena
sentral, dan lain-lain.
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
HEMODINAMIK
• Kontraktilitas jantung
sebagai pompa :
❑Hipokontraktilitas.
❑Hiperkontraktilitas
• Pembuluh darah vaskuler
(Arteri & Vena) :
➢ Vasodilatasi
➢ Vasokontriksi
• Volume intra vaskuler :
❑Hipovolemia
4 Faktor yang mempengaruhi hemodinamik ❑Hipervolemia
MONITORING HEMODINAMIK
• Pemeriksaan hemodinamik sudah dilakukan sejak lama. Tahun 1905
ditemukan Sfignomanometer untuk mengukur tekanan darah.
• Kateter vena sentral diperkenalkan oleh Forsman th 1929 dan
disempurnakan oleh Sven Seldinger ditahun 1950-an.
• Pulse Oksimetri diperkenalkan mulai tahun 1980-an.
• Semakin kompleknya kondisi pasien di ruang operasi atau ruang
ICU → akan menuntut pemeriksaan dan monitoring pada pasien
yang lebih detail, lebih akurat dan lebih cepat → Sehingga
pemeriksaan dan monitoring hemodinamik semakin berkembang.
• Monitoring hemodinamik bisa menggunakan berbagai macam teknik :
baik yang bersifat invasive, semi invasive/minimal invasive
maupun non-invasive.
• Dikatakan invasive : bila tindakan monitoring yang dilakukan harus
dilakukan dengan : tindakan insersi jarum, melakukan insersi kulit,
memasukkan suatu alat tertentu dalam pembuluh darah dan lain-lain.
TUJUAN MONITORING
HEMODINAMIK
• Tujuan utamanya adalah memantau hemodinamik pasien
sehingga bisa mengetahui gangguan hemodinamik pasien
lebih tepat dan lebih awal.
• Manfaat monitoring hemodinamik :
❑ Dapat menilai kondisi hemodinamik sesaat pada pasien, dari
berbagai parameter hemodinamik yang ada,
❑ Bisa menilai perubahan hemodinamik pasien dari waktu ke
waktu.
❑ Dapat memberikan terapi yang lebih tepat dan lebih awal/dini.
❑ Serta bisa mencegah perburukan lebih lanjut.
• Target akhir monitoring hemodinamik → pada umumnya
adalah menjaga/mempertahankan perfusi sel tetap baik,
sehingga sel atau organ tubuh tetap berfungsi dengan normal.
INDIKASI UNTUK MONITORING
HEMODINAMIK
• Pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil
atau potensial menjadi tidak stabil (terjadi perubahan
hemodinamik yang relatif cepat).
Misal :
– pasien syok.
– pasien dengan perdarahan masif.
– pasien operasi dengan CHF.
– pasien operasi by pass jantung/CABG, dll
• Pasien harus dimonitor hemodinamiknya sampai kondisi
pasien benar-benar stabil dan tidak memerlukan
pemantauan hemodinamik lagi.
Alat Monitoring hemodinamik
Basic/Konvensional Advance/Modern
(Umumnya non invasif) (Umumnya invasif)
1. Heart Rate ≈ Nadi Cardiac monitoring, mengukur :
2. Manual blood pressure o Cardiac Output.
o Cardiac Index.
3. Skin temperature o Stroke Volume.
4. Capillary Refilling Time o Sistemic Vascular Resistence
o Pulmonal Vascular Resistance
5. Pulse oksimetri
o Extra Pulmonal Lung Water
6. Mottling score o Dan lain-lain.
7. Urine output Pembagian dari sisi ke-invasifan
8. Invasif blood pressure/ IABP teknik :
(Intra Arterial Blood Pressure). ❑ Invasif : PAC
(Invasif procedure – arteri line) ❑ Semi Invasif : PICCO, Vigileo,
Flotrex, TEE - USG
9. CVP/Central Venous Pressure ❑ Non-Invasif : Bio Impedance,
(invasive procedure) NICON, ICON, USCOM
Capilary Refilling Time
• Cara cepat untuk menilai/mengukur perfusi darah ke
jaringan perifer secara kualitatif.
• Dikerjakan pada nail bed.
• Normal bila kembali dalam waktu kurang dari 2 detik.

Tekan ujung jari sampai Lepas tekanan pada ujung jari. Catat
keliatan pucat/putih waktunya sampai warna kembali
normal.
Mottling Score
Saturasi Oksigen Arteri (SaO2)

❑ Saturasi oksigen adalah : Fraksi oksigen yang tersaturasi terhadap total


hemoglobin dalam darah, baik yang tersaturasi maupun yang tidak
tersaturasi.
❑ Pulse Oksimetri merupakan suatu metode untuk memperkirakan
persentase oksigen yang terikat pada hemoglobin dalam darah. →
SpO2. Memakai alat yang terdiri diode yang berfungsi memancarkan
sinar red dan infrared, yang selanjutnya ditangkap oleh sensor yang
mengukur seberapa besar sinar red dan infrared di-absorbsi oleh
extremitas.
❑ Normal : 96-100% tanpa suplementasi oksigen tambahan.
❑ Istilah : SaO2 : Saturasi Oksigen arteri.
SpO2 : Saturasi Oksigen perifer.
SvO2 : Saturasi Oksigen vena.
ScvO2 : Saturasi Oksigen vena sentral.
❑ Saturasi Oksigen dalam darah kurang dari 90% disebut sebagai
hipoksemia, yang berakibat lanjut berkurangnya oksigen pada
jaringan atau hypoxia. Dimana saturasi oksigen 90% ini setara dengan
tekanan Oksigen arterial sebesar 60 mmHg.
➢ Efek hipoksia :
o SaO2 90% menyebabkan penurunan konsentrasi.
o SaO2 80% menyebabkan penurunan kesadaran & fungsi mental.
o SaO2 kurang dari 70% menyebabkan rata-rata kehilangan
kesadaran.
➢ Khusus pada pasien Covid-19 dapat terjadi Silent Hipoksemia
atau Happy hipoksia.
❑ Terapi O2 merupakan suatu upaya utk memperbaiki SaO2 yang rendah.
Terapi oksigen bisa berupa pemberian oksigen melalui nasal kanul,
masker, HNFC (High Flow Nasal Canula), NIV dan Ventilator Mekanik.
SaO2 dan PaO2.
Saturasi oksigen (SaO2) sangat berguna untuk memperkirakan
tekanan partial oksigen dalam pembuluh darah arteri (PaO2).
Hubungan antara SaO2 & PaO2 dijelaskan dalam kurva disosiasi
oksihemoglobin berikut :
Secara umum digambarkan :
❑ Tinggi rendahnya SaO2
juga menggambarkan
tinggi rendahnya PaO2.
❑ Dengan nilai SaO2 90%
setara dgn PaO2 60
mmHg, yang umumnya
dianggap sbg nilai
terendah u/ menentukan
hipoksia atau hipoksemia.
Pulse oximetry
Kurva disosiasi
Oksiemoglobin adalah
kurva yg menggambar-
kan ikatan Hb terhadap
O2. Yang Efeknya akan
mempengaruhi peng-
ambilan & pelepasan O2
dari paru ke jaringan.
(Asosiasi >< disosiasi).

Ikatan Oksi-Hb di pada berbagai tekanan parsial dipengaruhi banyak


hal termasuk suhu, keasaman darah, dll
❑ Pada kondisi asidosis atau demam kurva bergeser ke kanan →
mengakibatkan …...
❑ Sedangkan alkalosis dan hipotermi, kurva bergeser ke kiri yang
menyebabkan …..
Morgan 1999, Prince & Wilson 2012
Saturasi oksigen 90% adalah nilai ambang kritis karena dibawah
level ini :
❑ Penurunan sedikit saja PaO2 akan menyebabkan penurunan
SpO2 yang tajam.
❑ Sebaliknya, peningkatan PaO2 arterial memiliki sedikit efek
terhadap nilai saturasi.
Penyebab kesalahan pembacaan pada pulse oximetry
disebabkan :
✓Perfusi perifer yang jelek. Hal ini menyebabkan adanya
perbedaan antara denyut jantung yg dihasilkan oleh pulse
oximetry dan denyut jantung yg terukur oleh EKG.
✓Penyebab lainnya : kulit hitam (lebih tinggi), kuku palsu atau
yang diwarnai, lipaemia, cahaya ruangan yang terlalu terang,
alat kurang tempel, gerakan berlebihan dan
karboksihemoglobin.
Pulse Oxymetri :
1. Saturasi O2
2. Pulse/Nadi
Saturasi Oksigen Vena (SvO2)
• Setelah terjadi proses difusi di paru (terikatnya O2 oleh
eritrosit, dalam hal ini haemoglobin) → O2 akan
bersirkulasi secara sistemik ke seluruh tubuh (Oxygen
Delivery) melalui 2 mekanisme : berikatan dengan
haemoglobin (oxy-haemoglobin) dan sebagian kecil
terlarut dalam plasma.
• Pada jaringan (di tingkat seluler) akan terjadi
pengambilan/pemakaian/ekstraksi O2 (sering disebut
sebagai Oxygen comsumption), sehingga kadar O2 vena
yang kembali ke jantung menjadi berkurang.
• Pemantauan besarnya saturasi O2 vena (SvO2) dapat
digunakan sebagai ukuran adekuatnya aliran darah dan
O2 ke jaringan secara global atau dapat memberikan
gambaran proses besar kecilnya metabolisme di jaringan.
Saturasi O2 Vena Sentral (ScvO2)
• Karena nilai kadar O2 di setiap pembuluh darah vena
berbeda → maka ditetapkan nilai kadar O2 pada vena
central sebagai gambaran saturasi O2 vena secara
keseluruhan.
• Besaran saturasi O2 vena central, paling ideal diukur atau
diambil dari arteri pulmonalis (sesaat sebelum aliran darah
masuk jaringan paru & mengalami difusi).
• Tapi dalam praktisnya, pengukuran saturasi O2 vena
sentral sering dilakukan pada vena terdekat yaitu vena
cava superior yg paling mudah diakses
(dijangkau/diambil).
• Batas rujukan yang digunakan pada analisis gas darah
berbeda pada saturasi vena sentral.
• Saturasi O2 vena central (ScvO2) menjadi salah satu target
pengelolaan pasien sepsis.
• Nilai normal saturasi oksigen vena central (ScvO2) : 70-75%.
Perubahan nilai menunjukkan :
❑ Adekuat/tidaknya aliran darah ke jaringan (cardiac
output), yang dipengaruhi jumlah eritrosit & oksigen yang
berikatan, kelarutan O2 dalam aliran plasma
❑ Perubahan metabolisme di jaringan/tingkat seluler.
• Perubahan ScvO2 :

ScvO2 meningkat ScvO2 menurun


1. Pemakaian O2 yang turun : Penurunan Aliran O2 ke
Pemberian sedasi, obat jaringan : low CO, anemia,
paralisis. hipoksemia.
2. Aliran O2 yang meningkat : Peningkatan pemakaian O2 :
pemakaian O2 hiperbarik, High nyeri, demam, gelisah,
CO hiperaktivitas, dll → sepsis.
Tekanan vena jugular
(JVP = Jugular Venous Pressure)

❑ Merupakan pemeriksaan & penilaian yang bersifat non-


invasive. Menggambarkan adanya peningkatan tekanan
vena central (CVP) atau tekanan di atrium kanan.
❑ Dilihat dan diukur pada titik tertinggi/proksimal dari distensi
vena jugularis externa dextra.
❑ Nilai normal : 3-5 cm H2O.
Penyebab peningkatan JVP :
❑ Peningkatan tekanan pada pada
atrium kanan pada kasus yang
bersifat kronik.
Paling sering kasus pada CHF
(Congestive Heart Failure).
Karena penyebab apapun :
➢ hipertensi
➢ gangguan katub/ sekat jantung
➢ penyakit jantung coroner
➢ penyakit paru kronis
➢ kardiomiopati
➢ dll
❑ Tidak memberikan perubahan
pada kasus peningkatan tekanan
secara akut, misalnya pada ADHF
(Acute Decompensated Heart
Failure).
Manual (Non-invasive) Blood Pressure

Pengukuran ideal tekanan darah Fisiologi pengukuran tekanan darah

Pengukuran tekanan darah secara manual (non-invasive) masih


sering dilakukan daripada yang invasive (IABP) karena : lebih praktis,
lebih cepat, lebih murah biayanya, dapat dilakukan semua tenaga
kesehatan, resiko minimal → dilakukan untuk pemeriksaan rutin.
PENGUKURAN TEKANAN DARAH NON-INVASIVE (MANUAL)
… cont.

• Memberikan informasi pengukuran tekanan darah secara berkala.


• Cenderung mengukur lebih tinggi pada saat tekanan darah rendah,
namun lebih rendah pada saat tekanan darah tinggi. Kurang akurat
pada pasien dengan aritmia dan hemodinamik tidak stabil.
• Faktor yang mempengaruhi :
❑ Lebar manset seharusnya ± 40% dari lingkar lengan atas, panjang
manset minimal dua kali dari lingkar lengan atas (2 x melingkar).
➢ Manset sempit → pengukuran tekanan darah lebih tinggi
➢ Manset lebar → pengukuran tekanan darah lebih rendah.
❑ Posisi extremitas : berbaring lateral, maka tekanan darah pada
lengan yang menopang akan lebih tinggi daripada yang tidak
menopang tubuh
• Komplikasi : cedera saraf ulna, edema ektremitas, petechiae dan
memar, bula, gangguan sirkulasi ekstremitas bagian distal dan laju
tetesan infus bisa terhambat.
Tekanan Vena Central
(CVP = Central Venous Pressure)

• Tekanan vena central mengambarkan tekanan di atrium


kanan dan tekanan vena besar (vena sentral) di dekat atrium
kanan sebagai muaranya.
• Dilakukan dgn menginsersikan cateter pd vena cava superior
dan vena sentral (CVC = Central Venous Catheter)
sekitarnya s/d ujung kateter pada cava-atrial junction.
• Normal didapatkan tekanan vena sentral (CVP = Central
Venous Pressure) sebesar 0-4 atau 0-6 mmHg.
• Hasil pengukuran tekanan vena sentral dapat
menggambarkan 3 parameter utama yaitu :
❑ Status volume cairan
❑ Kontraktilitas jantung (digambarkan dari kontraktilitas
atrium kanan)
❑ Tonus vaskuler, yaitu tonus pada vena sentral.
• Pengaruhnya :

Parameter Pengaruh terhadap CVP


Status volume Semakin besar → semakin tinggi CVP

Kontraktilitas Semakin kuat kontraktilitas → semakin rendah CVP


jantung

Tonus vaskuler Semakin tinggi tonus dinding pembuluh darah→


semakin tinggi CVP
• Pengukuran besaranya tekanan vena
sentral dapat dilakukan secara manual
(manometer system) atau secara otomatis
(tranducer system).
MEASURING CVP
(using manometer)
MEASURING CVP
(using tranducer)
Persiapan alat

Jenis CVC
1. Single/Monolumen 3. Triple Lumen
2. Double lumen 4. Quadri Lumen

Pemasangan CVC.
1. Blind/membuta : dgn body marker → vena
subclavia dextra terletak sekitar pertengahan
clavikula dextra.
Tidak dianjurkan lagi teknik membuta karena
variasi normal, banyak komplikasi/resiko.
2. Panduan USG (ultrasound guided).
Hubungan antara volume akhir dan Respon CVP terhadap penambahan
tekanan akhir diastolik cairan.
• Perubahan compliace mengakibatkan • Terjadi sedikit perubahan tekanan
pergeseran kurva. Tekanan yang akhir diastolik (demikian juga CVP)
besarnya ditandai dengan “X” pada pada pasien dg compliance
diagram bisa menggambarkan ventrikel rendah maupun dengan
volume akhir diastolik yang tinggi bila volume akhir diastolik vang rendah
compliace ventrikel nomal (garis biru (garis hijau).
bawah), namun pada ventrikel yang • Namun terjadi perubahan besar
compliance nya rendah ternyata pada pasien dengan compliance
volumenya masih rendah (garis hijau ventrikel normal dan volume akhir
atas) diastolik tinggi (garis biru).
Hasil pengukuran CVP
PENILAIAN STATUS VOLUME CAIRAN
• Tidak ada pemeriksaan yang paling ideal untuk membuktikan adalah
penurunan atau pengurangan cairan intra vaskular. Selalu harus
dihubungkan dengan gejala klinis.
Klinis Efek thd volume intravaskuler
a. Perdarahan, Penurunan volume
Diare, muntah>>, diuresis Penurunan volume
b. Minum, resusitasi cairan/infus Meningkatkan volume
Transfusi darah Meningkatkan volume

• Ada berbagai macam cara/teknik untuk menilai status kecukupan


volume cairan, diantaranya :
❑ Variasi diameter IVC : melihat variasi diameter vena cava inferior saat
inspirasi dan ekspirasi.
❑ PLR (Passive Leg Raising = Elevasi tungkai/kaki secara pasif) :
melakukan auto bolus cairan tubuh dengan merubah posisi tidur pasien.
❑ Fluid Chellenge : Memberikan cairan dalam jumlah tertentu, kemudian
dilihat pengaruhnya pada stroke volume atau CO.
VARIASI DIAMETER VENA CAVA INFERIOR
US GUIDED, SPONTANEOUSLY BREATHING

USG guided :
Saat inspirasi, diameter IVC mengecil
Saat ekspirasi, diameter IVC melebar
Perbandingan % diameter ini dapat
menentukan kecukupan cairan

IVC collapsibility
Sensitivitas : 76%, Spesificitas : 86%
BAGAIMANA MENGUKUR IVC
Posisi pasien : supine
Probe : curved atau coveks.
Teknik : subcostal atau subxyphoid
Visualized :
❑ pada sagittal/long-axis view : normal IVC 1,5 - 2,5 cm
❑ diameter bervariasi pada inspirasi atau expirasi.
❑ Diukur pada 1 cm sebelah distal dari IVC - hepatic venous
IVC Collapsibility Index
Indeks Collapsibilitas IVC
Hipovolemia jika IVC CI ≥ 50 %

❑ Perubahan IVC diameter >


50%, mengindikasikan bahwa
pasien kemungkinan
hivolemia.
❑ Perubahan kurang dari 20%,
kemungkinan pasien tidak
berespon dg pemberian/
penggantian cairan.
• Pemeriksaan status cairan sangat penting dikerjakan pada pasien
dengan kondisi yang kompleks.
• Contoh kasus :
❑ Pasien ny. Mutiah, 72 tahun datang dengan keluhan sesak napas,
3-4 hari yll, ada batuk sekitar 1 minggu. Riwayat pengobatan CHF
selama 3 tahun terakhir di klinik GM tapi tidak teratur dan riw DM,
badan lemas dan pegal. Pasien riw. tumor mamae kiri, riwayat
operasi di RS Kariadi & kemoterapi tapi muncul massa lagi dg
ukuran 7x 8cm di bekas operasi.
❑ Pemeriksaan fisik : pasien tampak sesak napas, tidak mampu
tiduran, merasa lebih enak untuk duduk dibanding berbaring.
❑ Hemodinamik :TD 160/90, HR 111 x/mnt, RR 40 x/mnt dan SaO2
89-90%.
❑ Lab : Hb 14,6; lekosit 13,300 Trombosit 241.000 GDS :346 mg/dL
❑ Diagnosis : CHF+DM Tipe 2+ Tumor mamae kiri, dengan dispneu
e/c : edema paru, metastase tumor mammae ke paru.
Perawatan Jam TD / HR / RR / SaO2 & GDS Keterangan Tindakan
Hari I Jam 15.00 160 :100 /111/40-50/ SaO2 89-90% Belum terpasang Infus RL 8-10 tts/menit
Kamis, Dan GDS 346 mg/dL. Oksigen SaO2 89% Extra Furosemide 1 x 1
16 Sept Dx: CHF Setelah diberi O2 tab
2*021 DM tipe 2 3L/m→ SaO2 jadi 97 % Anflat sirup 3 x 2 cth
Tumor mamae Sinistra. Fa330rgoxin 1 x 1 tab

Jam 17.00 150:90/ 108 / 24 / 98% dan 212 Keluhan masih sesak Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 j
mg/dL (sebelum makan). napas, batuk dan Neuromec tab 3 x1.
lemas
Hari II Jam 06.00 130 :90 / 100 / 24 / 93% dan 277 Terpasang O2 3L/mnt. Insulin SC 28 IU
Jum’at, mg/dL. (sebelum makan) Masih batuk dan sesak Furosemid 1x1 pagi
9 Sept 2021 napas, Cek Ro Thorax Terapi lain lanjut.
Jam 12.00 100 : 80 / 86 / 16 / 98-99% dan 57 Hasil Ro thorak : D 40% 2 flash, insulin stop
mg/dL (sebelum makan). Cardiomegali ringan,
Dx: CHF, DM tipe 2, Tumor bronkopnemonia
mamae Sinistra+ Bronko
pneumonia
Jam 17.00 120 :80 /84/16/98-99 dan 111 Pemeriksaan st cairan : Guyur cairan, sambil cek
mg/dL (sebelum makan) Cek IVC dan Vena IVC → 500 cc dlm 1 jam.
subclavia : Collaps, Azitromisin 1x 1 (sore)
dengan IVC > 50% → Lecvofloksacin 1 x1 (pagi)
hipovolemia
TD / HR / RR / SaO2 dan GDS Keterangan Tindakan
Hari ke III Jam 06.00 100 :70 / 89 / 20 / 97% (dg O2 3 L/m) Masih terpasang O2 Metilprednisolon 3 x 1 tab
Sabtu, GDS : 188 mg/dL. (sebelum makan) 3L/m Nebuliser/8 jam, dengan :
18 Sept 2021 Batuk dan sesak ➢ Dexa
napas berkurang ➢ Bisolvon
➢ Ventolin
Insulin SC 24 IU
Jam 12.00 130 : 80 / 86 / 16 / 98-99% dan 65 Extra D 40% 2 flash, stop
mg/dL (sebelum makan) Insulin.
Bronsolvan 3 x 1.
Jam 17.00 120 :80 /84/16/98-99 dan 311 mg/dL Batuk berkurang, Insulin SC 20 IU
(sebelum makan) sesak napas
berkurang.
Hari ke IV Jam 06.00 150/80 /92 /20/ 96% dan 124 mg/dL Sudah tidak pake O2. PASIEN DIPULANGKAN.
Minggu, Tidak batuk. Terapi pulang :
19 Sept 2021 Sesak napas kadang 1. Azitromisin 1 x1 pagi
kadang. 2. Levofloksacin 1 x 1 sore
3. Metilprednisolon 3 x 1
4. Bronsolvan 3 x1
Passive Leg Raising
• PLR (menaikkan tungkai/kaki secara pasif) dapat meningkatkan
aliran balik vena dari ektremitas bawah ke jantung, setara
melakukan bolus 300-500 mL.
• Digunakan sebagai tes diagnostik dengan tingkat sensitivitas 85%,
dan spesifisitas 91%
• Keuntungan :
– Reversible dan tidak invasif.
– Mudah dilakukan pada pasien nafas spontan dan gangguan
aritmia
– Dapat diulang beberapa kali, tanpa takut dengan resiko edema
pulmo
• Kerugian :
– Perlu dihentikan apabila terjadi intervensi lain.
– Kointra indikasi pada beberapa pasien.
– Tidak dapat digunakan pada pasien yang mengalami
peningkatan tekanan intra abdominal
Passive Leg Raising

Teknik penilaian :
❑ Pasien supine (terlentang), dengan posisi setengah duduk
45º.
❑ Lalu bagian atas badan dan kepala di posisikan mendatar,
sementara bagian kaki dinaikan sampai 45º.
❑ Maksimal efek didapatkan setelah 30-90 detik kemudian.
❑ Nilai kenaikan SV dengan menggunakan CO monitoring. .
FLUID CHALLENGE TEST
• Fluid challenge test adalah penilaian kecukupan dengan
memberikan sejumlah cairan (7 ml/kgBB, atau 500 ml pada
pasien dgn BB 70 kg) pada pasien yang dicurigai hipovolemia,
kemudian diukur perubahan atau kenaikan stroke volumenya.
Dinilai berespon atau pasien memang hipovolemia, bila pemberian
cairan tersebut menimbulkan kenaikkan Stroke Volume lebih dari
12 %.
• Karena Stroke Volume berbanding terbalik dengan HR, pada
kondisi yang sederhana kita bisa melihat dari penurunan HR yang
setara (turun 12%). Namun HR dipengaruhi banyak hal : demam,
nyeri, kecemasan, dll.
• Namun penilaian dengan cara ini memiliki kelemahan karena
bersifat invasif, dan berbahaya pada pasien dengan CHF, dll.
INTRA-ARTERIAL BLOOD PRESSURE
(INVASIVE BLOOD PRESSURE)
• Memiliki beberapa keuntungan dibanding pemeriksaan tekanan
darah non invasive.
a. Bersifat kontinyu/real time. Setiap detik akan menampilkan
tekanan darah yang terukur di layar monitor.
b. Dapat mengukur tekanan darah pasien yang sangat rendah
(misalnya pada pasien syok, yang sudah tidak dapat terukur
tekanan darahnya pada pemeriksaan non-invasive).
c. Memberikan beberapa informasi tentang kondisi jantung
berdasarkan pulse contour analysis yang tampak di monitor.
• Diukur secara langsung dengan memasang cateter pada
pembuluh darah arteri perifer (arteri line).
• Indikasi : pada pasien sakit kritis (syok) di ICU, pasien intra
operatif dg kemungkinan perdarahan masif, operasi jantung.
Proses pemasangan :
1. Dilakukan pemasangan arteri line
(intra arterial cateterisasi atau
kateterisasi via pembuluh darah
arteri) → dengan teknik Seldinger.
2. Hubungkan arteri line dgn three way.
3. Sambungkan three way dgn
tranduser ke arah monitor dan infus
NaCl yang diberikan tekanan 200-
300 mmHg.
4. Buka three way, maka akan terukur
TD secara kontinue/terus menerus
pada setiap kontraksi. Catat hasil
pengukuran.
INTRA ARTERIAL BLOOD
PRESSURE
• Memberikan informasi tekanan arteri
secara kontinyu, diperlukan insersi
kanula intra-arterial.
• Sistim peralatan terdiri darı : suatu
jalur arteri dari kanula yg terhubung
dg larutan salin di dalam selang
yang konsistensinya cukup keras
sehingga bila ditekan tidak kolap (non-
compressible) karena tekanan terus
menerus dari kantong cairan
(pressure bag) kemudian
Monitor IABP waveform dihubungkan dg transducer tekanan.

ECG waveform
IABP waveform

Pulse oxymetri waveform

Manual bloodpressure
PULMONAL ARTERY CATHETER (PAC)
• Pertama kali pada th 1970, dilakukan
oleh Swan & Ganz.
• Pada awalnya PAC adalah prosedur
standar pada operasi jantung, yang
kemudian dikembangkan pemakaiannya
pada pasien sakit kritis di ICU.
• PAC adalah gold standard untuk
pemeriksaan fungsi cardiak. Sehingga
penemuan alat baru untuk monitoring
fungsi jantung selalu di bandingkan /
dikorelasikan hasilnya dengan PAC.
• Selanjutnya mengingat sisi resiko
pemasangan dan keterbatasan lainnya,
dikembangkan alat monitoring fungsi
kardiak yang bersifat minimal invasive
dan non invasive.
Cateter Swan - Ganz, dilengkapi Pemasangan cateter PAC/Swan-Ganz
dengan thermistor dan balon di di vena sampai ke arteri pulmonal dgn
ujung cateter. panduan gambaran ECG.
Parameter hemodinamik dari PAC :
• Keterbatasan PAC :
a. Hanya bisa dilakukan oleh seorang ahli (umumnya
cardiac anesthetist/ intensivist/ bedah jantung)
b. Harus dikerjakan secara steril dan di kamar operasi.
c. Punyak banyak resiko : perdarahan, hematoma, trauma
paru, dll → sehingga meningkatkan resiko morbiditas
dan mortalitas pada pasien sakit kritis.
d. Relatif memerlukan waktu yang cukup untuk proses
pemasangan.
• Sehingga selanjutnya banyak dikembangkan pemeriksaan
fungsi jantung yang bersifat minimal invasive & non
invasive sehingga pemanfaatan monitoring fungsi jantung
mendapat tempat lebih luas. Bahkan pemeriksaan fungsi
jantung dapat dilakukan oleh perawat yg bertugas di ruang
ICU.
• Minimal Invasive : melakukan insersi jarum ke pembuluh
darah sebatas pembuluh darah vena dan tidak masuk ke
dalam jantung serta memasukkan alat lain di luar jantung.
1. TEE
2. PICCO
3. Flotrax
• Non-invasive : tanpa melakukan insersi ke pembuluh
darah atau memasukkan suatu alat ke dalam tubuh.
a) NICOM
b) Bio Impedance
c) Cardiotronic ICON
d) USCOM.
Contoh kasus :
Misalkan pada kasus ekstrem : Seorang pasien masuk ke RS diantar
sama petugas kepolisian dengan penurunan kesadaran atau pingsan.
Pasien ditemukan di pinggir jalan, tanpa diketahui penyebabnya. Tidak
ada trauma kepala atau perdarahan. Hasil pemeriksaan awal didapatkan
hipotensi. Sehingga dokter harus menentukan penyebab dari syok atau
hipotensinya tersebut tanpa bisa melakukan anamnesa.

Solusi :
Pada kasus ini, penurunan kesadaran adalah salah satu efek/ akibat
terjadinya hipotensi selain penyebab lain (perdarahan, trauma kepala, dll).
Dokter harus bisa menentukan penyebab dari hipotensinya dan
memperbaiki perfusi ke otak untuk memulihkan kesadaran pasien.
Contoh monitoring hemodinamik pada operasi jantung :

ECG waveform

IABP waveform

Transduced CVP waveform

Pulse oxymetri waveform

Capnography waveform

Respiration MV waveform
OBAT- OBAT YANG
MEMPENGARUHI HEMODINAMIK
• Adalah obat – obat yang dipakai untuk mempengaruhi/ mengubah
hemodinamik (untuk memperbaiki hemodinamik yang terganggu).
• Termasuk di dalamnya :
1. Obat yang mempengaruhi kontraktilitas jantung → obat
dengan efek inotropik positip.
2. Obat vaso-aktif : mempengaruhi dinding pembuluh darah, baik
dengan vaso-dilatasi dan vaso-kontriksi.
3. Obat yang mempengaruhi volume intravaskuler pembuluh
darah, baik dengan cara :
❑ membuang volume darah dgn meningkatkan filtrasi plasma
darah ke ginjal.
❑ atau dengan menarik cairan extravaskuler ke intravaskuler.
Obat inotropik
❑ Sekelompok obat yang digunakan utk mempengaruhi kontraksi
dari otot jantung sehingga akan mempengaruhi pompa jantung.
❑ Ada yang bersifat inotropik positip artinya meningkatkan kontraksi
jantung, ada yang bersifat negatip artinya mengurangi kontraksi
otot jantung → kalo tidak disebutkan berarti merujuk ke obat
dengan inotropik positip.
❑ Indikasi : diberikan pada kondisi yang berkaitan dengan low
cardiac output seperti syok cardiogenic akibat AMI, CHF atau
kelemahan jantung pasca cardiac surgery.
Effect
Nama Dose Indication
Inotrop Konotrop
1. Dopamin + +++ 2,5-20 uq/kg/mnt
2. Dobutamin + + 2,5-20 uq/kg/mnt CHF &
semua Low
CO
3. Adrenalin +++ -++ 0,05-2 uq/kg/mnt
4. Digoksin ++ - 0,5-1 mg (2-4 amp) Decomp
Effect
No Nama Dose Indication
Inotrop Konotrop

1. Dopamin + +++ Kecil : 2,5-5 uq/kgBB/mnt ARF,CRF, Infark


Sedang : 5-10 uq/kgBB/mnt Myokard
Tinggi :10-20 uq/kgBB/mnt
2. Dobutamin + + 2,5-20 uq

3. Adrenalin +++ -++ 0,05-2 uq

4. Digoksin ++ -

5. Milrinone

Contoh pemberian Dopamin :


Sediaan 1 ampul = 200 mg dalam 10 mL. dengan dosis pemberian 2,5-20 ug/kgBB/menit.
Rumus pemberiannya = Dosis yang diminta x 60
Jumlah pengenceran.
Misalkan kita ingin memberikan dopamine 1 ug/menit pada pasien dengan BB 50 kg dan sediaan
dopamine 200 mg dalam 50 cc NaCl, (berarti pengencerannya 4.000 ug/cc)
maka dosis yang diberikan adalah : 1x50 x60 = 0,75 cc/jam.
4.000
Obat Vaso-aktif
✓ Obat yang mempengaruhi kekuatan dinding pembuluh darah, sehingga bisa
berakibat vaso kontriksi (disebut obat vaso-konstriktor/ obat vasopressor)
atau vaso-dilatasi (disebut obat vasodilator).
✓ Indikasi :
❑ Obat vasopresor untuk pengelolaan pasien yang berkaitan dgn syok
distributif seperti : syok septik, syok neurogenik & syok anafilaksis.
❑ Obat vasodilator untuk
a) pasien yang membutuhkan dilatasi vena seperti pada hipertensi
berat, urgensi atau emergensi.
b) pasien yang membutuhkan dilatasi vena guna mengurangi venous
return, misalkan : kasus edema paru karena gagal jantung kongestif,
c) atau membutuhkan dilatasi koroner seperti pada kasus angina, dll.
No Nama Dose Indication
1. Obat vasopressor
1. Nore-epinephrin 0,025-0,2 ug/kgBB/mnt Syok septik
2. Vasopresin
3. Epinephrin
2. Obat vasodilator (gol nitrate)

1. NTG (Nitroglycerin) 5-10 mg iv Hipertensi, angina,


10-200 ug/kgBB/m gagal jantung
2. Isosorbid dinitrat (ISDN) 2-10 mg/jam sp Gagal jantung, edema
paru

Contoh pemberian NTG.


Sediaan 1 ampul = 10 mg dalam 10 mL. dengan dosis pemberian 5-200 ug/menit.
Rumus pemberiannya = Dosis yang diminta x 60
Jumlah pengenceran.
Misalkan kita ingin memberikan 5 ug/menit dengan sediaan NTG 10 mg dalam 50 cc NaCl,
maka dosis yang diberikan adalah : 5 x60 = 1,5 cc/jam
200
Obat yang mempengaruhi
volume intravaskuler
• Obat/cairan yang meningkatkan volume intra vaskuler. Volume
intravaskuler bisa dinaikkan dengan :
❑ Memberikan cairan resusitasi secara langsung ke intravaskuler.
❑ Memberikan albumin untuk menarik cairan ekstra vaskuler/
interstisial ke intravaskuler.
• Obat yg dipakai mengurangi volume intravaskuler → diuretika.
Umumnya dipakai kondisi retensi cairan (fluid overload, edema,
asites) pada hipertensi, CHF, CKD, ggn hepar, edema cerebri, dll
➢ Loop diuretic : Furosemide
➢ Diuretik hemat kalium : Spironolakton
➢ Osmotic diuretic : Manitol
ik
No Nama Effect Dose Indikasi
1. Furosemid Mencegah absorbs Na di 20-50 mg im/iv, Edema pada :
tubulus ginjal. maks 1.500 mg/hari. ❑ CKD
Furosemid siringe pump ❑ Gagal jantung/CHF
dapat diberikan pada dosis : ❑ Hipertensi
2 mg/jam s/d 20 mg/jam
Resistensi furosemid:
❑ Intravena 200 mg
❑ Oral : 600 atau 1000 mg
2. Spironolakton Membuang Na bersama air di 25-100 mg po, CHF, asites, edema lain
tubulus ginjal Antagonis maks 400 mg po.
aldosterone.

3. Manitol. Diuretik osmotik yg bekerja Manitol 20%. Edema cerebri (trauma


meningkatkan osmotic cairan 0,25-2 gr/kgBB diberikan kepala, CVD),
plasma/intravaskuler, shg dalam 15-60 menit. peningkatan tek intra
cairan extravaskular masuk okuler.
ke intravaskuler. Oligouria pada AKI.
VENTILATOR

dr. I GUSTI NYOMAN PANJI PUTU GAWA, SpAn, KIC, FIP


Bagian Anestesi, Terapi Intensif dan Manajemen Nyeri
RSUD RAA Soewondo Pati
 Ventilator (ventilasi mekanik) : alat bantu pernapasan
yang bersifat “life saving or life support” dan bersifat
sementara → supportif
SEJARAH VENTILATOR
 Sebelum 1900: Penggunaaan respirator u/
tujuan penelitian.
 1930 Poliomyelitis menyebabkan EMERSON
mengembangkan apa yg disebut paru-paru besi
- “Iron Lung”
 1940 Penemuan Intermitten Positive Pressure
Breath (IPPB) untuk “lung inflation therapy”
dan short term ventilation
 1950 Epidemi Polio di Denmark mencetuskan
dimulainya produksi lebih dari 20 ventilator oleh
perusahaan u/ memenuhi kebutuhan pasar.
NEGATIVE PRESSURE POSITIVE PRESSURE
VENTILATOR VENTILATOR
Indikasinya adalah untuk pasien gagal napas e/c
1. Type 1 : gagal napas tipe hipoksemia/hipoksia → kurang O2.
Gejala & tanda : pasien terlihat sesak napas, napas cepat dan
dalam, pasien terlihat pucat atau malah sianosis
(bibir dan kuku terlihat kebiruan), SaO2 menurun,
kadang pasien terlihat cemas–gelisah s/d delirium,
nadi cepat dan kalo dibiarkan dapat terjadi aritmia.
Contoh : Trauma otak.
Gagal napas akibat sepsis.
Penyakit/radang otak dan selaput otak.
2. Type 2 : gagal napas tipe hiperkapnia → retensi CO2.
Gejala & tanda : napas umumnya dangkal atau lambat, SaO2
seringkali masih baik, penurunan kesadaran dari
apatis-somnolen s/d koma akibat CO2 narkose.
Contoh : Kelainan saluran/jalan napas (PPOM)
Kelainan paru (edema paru, ARDS,hematopneumo thx)
Peny/ggn jantung (dekomp cordis akut)
 Morbid obese.
 Gagal napas bukan berarti berhenti bernapas, tapi artinya pasien
bernapas tapi tidak efektif, sehingga :
❑ O2 yang masuk kurang → kadar O2 dalam darah rendah
❑ atau CO2 yg keluar sedikit→ tjd penumpukan CO2 dlm darah.
 Pengolongan gagal napas yang lain :
- Sentral :Trauma otak
Penyakit/radang otak dan selaput otak
Ggn vaskuler otak (ICH, infark serebri)
dan lain-lain
- Perifer : Penyakit neuromuskuler (GBS, tetanus, MG, dll)
Kelainan saluran/jalan napas (PPOM)
Kelainan paru (edema paru, ARDS, hemato-
pneumo thorak)
Peny/ggn jantung (dekomp cordis akut)
Pasien morbid obese.
 Tujuan pemasangan ventilasi mekanik :
❑ Secara fisiologis : untuk memperbaiki
ventilasi, mengurangi “Work of Breathing”
yang berlebihan atau tidak efektif, mencegah
fatique, menambah volume paru, mencegah
atelektase/kolaps paru.
❑ Secara klinis : memperbaiki hipoksemia,
memperbaiki oksigenasi darah, mencegah
asidosis respiratorik.
 Prinsip kerja ventilator : Memberikan sejumlah
oksigen dengan konsentrasi tertentu dan
tekanan positip tertentu, melalui berbagai
macam pengaturan/setting ventilator.
PENGATURAN (SETTING) VENTILATOR
 Ada beberapa merk
ventilator →yg masing2
memiliki mode ventilator
yg berbeda, namun prinsip
kerjanya hampir sama
 Mesin ventilator harus
dilakukan pengaturan (di
setting) sebelum
digunakan pada pasien.
 Mesin ventilator :
❑ Drager
❑ Hamilton
❑ Bennet 7200
❑ Servo 900
❑ Avea
❑ Dan lain-lain
Parameter/Variabel
untuk pengaturan (setting) ventilator
 Volume tidal : diberikan 5-10 ml/kg BB.
Tergantung : Kelainan/peny paru, kompliance paru,
tahanan jalan napas.
Normal : diberikan 6-8 cc/kg BB
PPOM : 8-10 cc/kg BB atau dengan RR di naikkan 12-
20 x/menit pada pasien dewasa.
→ biar PCO2 tidak terlalu tinggi →beresiko
terjadi hiperkapnia
ARDS : 4-6 cc/kg BB, dengan PEEP dinaikkan >5 cmH2O
→ biar tidak menimbulkan baro trauma.
(lihat ARDS net)
Hiperventilasi : > 10 cc/kg BB
→ menurunkan PCO2 → menimbulkan vasokontriksi
→ mengecilkan volume otak → menurunkan TIK
 Jumlah/Laju pernapasan /RR
Normal : 8-12 kali/mnt
Pada PPOM : 12-20 kali/mnt
-> menjaga PCO2 tidak terlalu tinggi
Pasien Astma : 6-8 kali/mnt biar tidak tjd auto PEEP
 Fraksi Oksigen / FiO2
Diberikan : konsentrasi 21-100 %
Konsentrasi 100% : tidak boleh terlalu lama
→ kerusakan paru
Diberikan : Awal pemberian saat hipoksia berat
Mau suction
Bronkoskopi
Saat transpotasi
Chest-fisioterapi
Target akhir sblm esktubasi: 30-35 % dg tek minimal
 Perbandingan I:E (Inspirasi : Ekspirasi)
Normal= 1:2 s/d 1: 1 ½.
Jadi pada pasien dengan pemberian RR 12
kali permenit dengan perbandingan I:E=
1:2 didapatkan 1 kali siklus respirasi
selama 5 detik dengan fase inspirasi 1,7
detik dan fase ekspirasi 3,3 detik
Pada ARDS : untuk meningkatkan PO2 → fase
inspirasi dapat diperpanjang
menjadi 1:1 sampai 4:1
 Tekanan Inspirasi/ P insp
Normal sekitar 15-25 mmHg, dapat dinaikkan
sampai 35 mmHg. Tekanan >> dapat
menyebabkan pecahnya alveoli (baro-trauma)
Secara normal, batasan/limit presure dapat
terlewati saat : ET tertekuk, tergigit, pasien
batuk, fighting (tabrakan insp dan ekspirasi)
 Flow rate : kecepatan menghantarkan
gas/udara yang telah di-setting VTnya.
 PEEP (Positip End Expiratory Presure)
Adalah tekanan positip pada akhir ekspirasi.
Fungsi :
➢ Meningkatkan kapasitas residu fx-onal
paru → sehingga PO2 meningkat.
➢ Mempertahankan alveoli agar tidak kolaps.
Normal : diberikan 3-5 mmHg
PEEP dapat dinaikkan sesuai AGD, kebutuhan
FiO2 dan respon kardiovaskuler. Umumnya PEEP
dinaikkan sesuai besarnya FiO2 yang diberikan.
❑ Ringan : 5-10 mmHg
❑ Sedang : 10-20 mmHg
❑ Tinggi : > 20 mmHg
 Trigger/sensitivitas
Adalah upaya napas pasien untuk memulai inspirasi/
men-trigger inspirasi dari ventilator.
Dapat disetting berupa : flow atau presure
Nilai sensitivitas u/ presure : 2-20 cm H2O
u/ flow : 2-20 L/mnt.
Umumnya dibedakan :
a. pasien dgn resp kontrol → dibuat tidak sensitip.
b. kalau pasien bernapas spontan/asisted → trigger
dibuat sensitip, biar cepat timbul napas spontan.
VENTILATOR BUNDLE
Adalah sekelompok (beberapa) tindakan yang secara
bersamaan, harus dipertimbangkan untuk dilakukan
pada pasien yang diberikan ventilasi mekanik
(dipasang mesin pernapasan/ventilator).

Tujuan penerapan ventilator bundle :


1. Mendukung keamanan pemakaian ventilator.
2. Memberikan kenyamanan pada pasien.
3. Menghindari/meminimalisir efek samping dari
pemakaian ventilator.
Beberapa tindakan ventilator bundle :
1. Elevasi kepala 20-30 derajat.
Untuk mencegah refluk gaster, mencegah aspirasi
makanan dan membantu absorbsi makanan.
2. Sedasi dan analgetik.
Mengurangi perasaan tidak nyaman karena
pemasangan ET atau kanul trakhea.
Sedasi : midazolam, propofol
Analgetik : morfin
3. Ulcer Propylatic.
Mengurangi keasaman lambung & cegah tukak lambung.
Diberikan : Antagonis reseptor H2
PPI (Proton Pump Inhibitor : omeprazole, dll).
4. Mucolitik → ….
4. Mukolitik → untuk mengencerkan lendir atau
dahak, mencegah terbentuknya plug yang
dapat menyumbat ETT dan jalan napas.
Diberikan : asetilsistein, dll
5. DVT propylactic : Untuk mencegah
terbentuknya trombus, emboli dll. Harus
dipertimbangkan pada pemasangan ventilasi
mekanik yang lama atau lebih dari 3 hari).
❑Dengan perubahan posisi tiap 2 jam, fisioterapi
atau
❑Pemberian infus heparin 500-1000 IU/jam siringe
pump atau 10.000-20.000 IU/24 jam
MODE VENTILATOR
Secara garis besar dibagi menjadi 2:
 A. Full Ventilatory Support -> mode kontrol
Untuk pernapasan pasien yang masih jelek, sangat lemah atau
apnu / tidak bernapas sama sekali.
 B. Partially Ventilatory Support
Untuk pasien dengan pernapasan yang lemah, masih bernapas
spontan tapi tidak efektif sehingga memerlukan bantuan tekanan
napas.

Catatan mode ventilator AVEA:


- A/C (Volume, Pressure) : Assist/ Control
- SIMV (Volume, Pressure): Sincronized Intermitten Mandatory Vent
- PRVC (A/C) : Pressure Regulated Volume Control
- APRV /Biphasic : Airway Pressure Release Ventilation
- CPAP/PSV : Continous Positip Airway Pressure/
Pressure Support Ventilation
Full Ventilatory Support
(Mode Kontrol)
 Frekuensi dan volume tidal kita atur/kita setting dengan
parameter yang ada.
Termasuk dalam mode ini :
CMV (Controlled Mode Ventilation) -> Bennet 7000
IPPV (Intermitten Positip Pressure Ventilation) -> Drager
S-CMV (Sincronized Controled Mode Ventilation)->Galileo
VCM (Volume Controlled Ventilation) -> Servo 900
 Kalau masih sadar → pertimbangkan pemberian sedasi
atau obat pelumpuh otot u/ menghindari fighting → yg
beresiko alveoli pecah -> pneumo thorak
 Dapat berupa volume kontrol ventilation
(VCV) maupun presure kontrol ventilation
(PCV)
 Perbedaan parameter VCV dan PCV.
Parameter VCV Parameter PCV
Tidal volume Tekanan Inspirasi
I : E ratio Waktu inspirasi
RR RR
PEEP PEEPF
FiO2 FiO2
Sensitivity Sensitivity
Partial Ventilatory Support
 Termasuk dalam mode ini :
- IMV (Intermitten Mandatory Ventilation)
dan SIMV (Sincroinised IMV)
- PS (Pressure Support)
- ASB (Assisted Support Breathing) :
BPAP, CPAP
- SPONTAN
Mode IMV dan SIMV
 Ventilator memberikan bantuan napas secara
intermitten (selang-seling) dengan napas
pasien sendiri.
 Mode ini diberikan kepada pasien yang sudah
bernapas spontan tapi masih lemah,
sehingga masih memerlukan bantuan.
 IMV → kelemahan : dapat terjadi fighting
(tabrakan antara napas yang diberikan
ventilator dgn napas pasien sendiri) → di-
sinchronize (diselaraskan).
 Kelemahan IMV → diperbaiki dengan
disincronized → mode SIMV
 Mode SIMV diberikan pada pasien gagal
napas dengan napas yang sangat lemah
(RR dan volume tidal < normal)
 Kadang diberikan bersama mode ventilasi
yang lain sebagai back up.
MODE ASB-PS
 Diberikan pada pasien yang sudah bisa
bernapas spontan tapi pernapasannya
dangkal → tekanan kurang shg volume tidal
tidak mencukupi.
 Termasuk ASB-PS :
BiPAP (Bilevel Positip Airway Presure)
CPAP (Continous Positip Airway Presure)
 BiPAP dan CPAP : keduanya memberikan
tekanan positip untuk menjaga jalan napas
tetap terbuka.
 BiPAP masih memberikan bantuan ventilasi
yang lebih besar dibanding CPAP.
Mode BiPAP
 BiPAP : Bilevel Positip Airway Presure
Istilah lain : Bilevel (Bennet)
Bi-ventilation (Siemens)
Duo PAP (Hamilton-Galileo)
Biphasic (Avea, Dublin)
 Mode BiPAP : mempunyai 2 outlet, mampu
memberikan tekanan yang berbeda untuk
proses inspirasi dan ekspirasi.
-P inspirasi /IPAP : diberikan dengan tekanan
yang lebih tinggi, antara 20-30 cm H2O
-P ekspirasi/EPAP : diberikan tekanan positip
yang lebih rendah untuk memudahkan
ekspirasi.
Mode CPAP
 CPAP = Continous Positip Airway Presure
 Hanya mempunyai 1 outlet, sehingga
memberikan tekanan yang sama untuk
inspirasi dan ekspirasi.
Tekanan diberikan sekitar 4-20 cm H2O
 CPAP diberikan pada pasien yang telah
bernapas spontan relatif adekuat, untuk
mencegah atelektase dan melatih otot-otot
pernapasan sebelum pasien dilepaskan dari
ventilator.
ALARM KEAMANAN
Ventilator umumnya dilengkapi berbagai alarm untuk
keamanan pasien. Alarm tekanan & volume.
 Alarm tek rendah : diatur/disetting pada tekanan
sekitar 10-15 cm H2O dibawah PIP.
Alarm akan berbunyi jika : ada kebocoran sistem,
ventilator terlepas dari pasien, ET bocor.
 Alarm tek tinggi : disetting pada tekanan 10-15 cm
H2O dibawah PIP.
Alarm akan berbunyi jika: ET tertekuk/tergigit,
bronkospasme, sumbatan lendir, fighting, kompliance
paru memburuk (efusi, edema paru, tension
pneumothorak, dll)
 Alarm Lain : alarm volume rendah atau volume
tinggi.
Setting Ventilator
dalam kondisi khusus
1. Pada ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome) :
Sekumpulan gejala akibat hipoksemia akut akibat kelainan di
paru-paru.
Kriteria ARDS berdasarkan kriteria BERLIN (2012):
 Waktu terjadinya : sesak napas < dari 1 minggu. Terjadi
hipoksemia akut yang ditandai PaO2/FiO2< 300 dan secara
radiologis didapatkan infiltrat bilateral acute (< 1mgg) pada
ke-2 paru.
 Gambaran Ro’ : Opasitas bilateral (yang bukan effusi, collaps
paru atau nodul).
 Tekanan hidrostatik normal (u/ membedakan sesak napas
pada edema paru karena gagal jantung atau hipervolemia).
 Hipoksemia : 200<PaO2/FiO2 < 300 : ARDS ringan
100< PaO2/FiO2 < 200 : ARDS sedang
PaO2/FiO2 < 100 : ARDS berat
 Setting ventilator pada ARDS:
❑ Posisi semi recumbent position dgn kepala head
up 30-45º.
❑ Ventilasi dgn VT rendah 5-7 mL/kgBB →dg PBW
(Predicted Body Weight), bukan BB sebenarnya.
❑ Target oksigenasi PaO2 >60 mmHg atau SaO2
88-95%, dgn FiO2 serendah mungkin.
❑ PEEP diberikan mengikuti kenaikan FiO2 →
berdasarkan ARDS-net.
Strategi yang pertama FiO2 dinaikkan dalam menanggapi hipoksemia (kelompok PEEP rendah)

FiO2 0,21 0,3 0,4 0,4 0,5 0,5 0,6 >0,6

PEEP 5 5 5 8 8 10 10 10

Strategi yang pertama PEEP dinaikkan dalam menanggapi hipoksemia (kelompok PEEP tinggi)

FiO2 0,21 0,3 0,4 0,4 0,5 0,5 0,5 0,6 0,7 0,8 0,8 0,9 0,9 1.0

PEEP 5-12 14 14 16 16 18 20 20 20 20 22 22 22 >22


Efek PEEP terhadap pengembangan paru
Initial setting ventilator
Bagaimana dengan setting ventilator pada pasien gagal
napas ec COVID-19 ??
 Kelainan paru pada pasien Covid-19 prinsipnya
sama dengan ARDS yaitu peningkatan tekanan
interstisial paru karena kerusakan alveoli dan saluran
napas bawah. Umumnya terjadi pada pasien Covid-19
dgn gejala berat atau kritis.
 Setting VM pasien Covid-19 hampir sama dengan
pasien ARDS :
❑ VT cukup kecil 5-6 cc/kgBB
❑ Pakai FiO2 yang tinggi pada awal pemasangan VM,
untuk mengatasi hipoksemia secara cepat,
selanjutnya di turunkan bertahap sampai SaO2
tercapai targetnya yaitu 88-95%.
❑ PEEP dinaikkan u/ membantu pencapaian target
SaO2, menyesuaikan dengan FiO2 yang diberikan.
❑ PIP dijaga kurang dari 35 mmHg.
 Yang penting juga dilakukan : mencegah hiper-
volemia karena cairan dan terapi lain covid-19
(antivirus, antibiotik, anti inflamasi, anti
koagulan/fibrinolitik, mukolitik, dll)
2. PASIEN DG EDEMA PARU AKUT :
▪ Umumnya merujuk pada edema paru disebabkan
kardiogenik. Terjadi hipoksemia yang disebabkan
peningkatan cairan di dalam interstitial paru s/d
saluran napas.
➢ Derajat 1 : Cairan pada interstisial paru.
➢ Derajat 2 : Cairan mulai masuk ke alveolus
➢ Derajat 3 : Cairan masuk memenuhi alveolus dan
masuk ke bronkiolus
➢ Derajat 4 : Cairan masuk ke bronkus & kadang
disertai dgn batuk berdarah (frothy sputum)
▪ Dalam kondisi yang berat, selain pemberian diuretik
dan vasodilator, pengaturan/setting ventilator sgt
penting.
▪ Pilihan ventilator pada pasien oedema paru :
❑ NIV (Non Invasive Ventilation) dgn PPV (Positive
Presure Ventilation) → pasien di pasang ventilator
tanpa diintubasi.
Tujuannya : memperbaiki oksigenasi, mengurangi
PaCO2 & Work of Breathing serta mengurangi kerja
jantung sehingga cardiac output meningkat
Syarat :
➢ Tidak ada luka /trauma wajah
➢ Pasiennya masih sadar.
➢ Kooperatif.
➢ Hemodinamik stabil.
➢ Tidak ada resiko aspirasi.
❑ Bila invasif/dilakukan intubasi : Mode dapat
digunakan PC atau VC maupun mode advance,
Target Saturasi O2 > 92% dgn start PEEP 5, TV 6-
8 cc/kg PBW
Management ALO (Acute Lung Oedeme)
Initial setting ventilator

Perubahan setting MV pada


pasien CHF/Oedema
pulmonum
 Utk pasien oedem paru e/c CHF :
Sebelum diektubasi : pertahankan
inotropik 5 ug/kg/mnt karena setelah
diextubasi, jantung harus memompa
sendiri bebannya, yang sebelumnya
dibantu dengan PEEP positip utk
mengurangi preload. Begitu diekstubasi
preload meningkat dan beban jantung
juga meningkat. → sehingga pasien tetap
disupport dgn dobutamin
3. PASIEN ASMA DAN COPD/PPOK.

 Gangguan utama berupa bronkospasme atau


penebalan dinding saluran pernapasan → sehingga
lumen menyempit → berakibat pemanjangan waktu
ekspirasi (karena proses ekspirasi adalah pasif).

 Shg insiprasi seolah memendek dibanding ekspirasi


dan terjadi air trapping (ada udara yang tertahan/
terjebak di alveoli secara bertahap →terjadi auto
PEEP & dynamic hiperinflation) → bisa terjadi baro/
volume trauma paru yg disertai penurunan cardiac
output dari jantung.
 Indikasi ventilator : pada asma berat yang ditandai
dengan sesak napas berat (bilateral wheezing positip s/d
menghilang karena air trapping meningkat dan tjd
hiperinflasi paru), hipoksia berat, penurunan kesadaran,
aritmia s/d cardiac arrest.
 Pengaturan (setting) ventilator yang tepat →
sangat penting selain pemberian bronkodilator
dan kortikosteroid.
❑ Pasien bila non-kooperatip dapat
diberikan obat pelumpuh otot (musle
relaksan) atau sedasi yang dalam → biar
terjadi sinkronisasi ventilator dan pasien.
❑ Perpanjang Inspiratory time dan
perpendek Ekspiratory time atau I : E
(dari normal 1:2 → menjadi 1:1).
❑ Volume tidal & frekuensi napas dikurangi
→ utk mengurangi hiperinflasi paru
 Air Trapping & dinamic hyperinflation pd severe astma.

VDHI,volume (above FRC) caused by dynamic hyperinflation;


VEI,volume (above FRC) at end inspiration

Tuxen DV, Lane S. The effects of ventilatory pattern on hyperinflation, airway pressures, and
circulation in mechanical ventilation of patients with severe air-flow obstruction.Am Rev
Respir Dis.1987;136:872–879.
 Setting
ventilator
pada
severe
astma.
4. Pasien morbid obese.
 Pasien masuk ICU dg penurunan kesadaran & demam. Pasien
BB:150 kg. Masuk dengan sellulitis di kaki kanan.
 Tanda vital TD:132/73, HR:112 x/mnt, RR:19 x/mnt suhu:38,5°C,
SaO2:95-97% dgn O2 NRM 10 L/mnt, GCS : E4V5M4 (13).
 Laborat : Hb 12,9 Leko 22.000, Trombo 242.000, Analisa AGD =
pH:7,06 PaO2:76 PaCO2 :139,6 HCO3:28 BE:4,4. Elektrolit dan
fx organ dalam batas normal → asidosis respiratorik.
 Rontgen thorak : Cardiomegali CTR 70% dan Bronkopneumonia
 Diagnosa :
❑ Obs. penurunan kesadaran e/c susp CO2 narkosa.
❑ Sepsis e/c Bronkopneumonia dan sellulitis.
❑ CHF dgn edema paru.
❑ Morbid obese dgn BMI 56.
 Terapi dari dr SpPD :
◦ Oksigen NRM 10 L/mnt Inj Levo 500 mg/24 jam
◦ Infus RL 20 tts/mnt Inj Sanmol 500 mg/8 jam
◦ Inj Bactesin 750 mg/8 jam Inf Furosemid 1 1mp/12 j
◦ Tx oral :digoksin 1x1, spironolakton 1x25 mg, mini aspi 1x 80
mg
 Dikonsulkan ke dr. SpAn untuk intubasi.
Advis : Sementara observasi lanjut, dg penyesuaian dosis:
❑ Oksigen dinaikkan s/d 15 L/mnt (tunda intubasi, karena
hipoksemia masih teratasi dgn pemberian O2, shg SaO2
masih dapat dipertahankan > 95%)
❑ Bactesin, dosis dinaikkan mjd 1.500 mg/8 jam
❑ Eritromisin 4 x 1 gr
❑ Paracetamol, dosis dinaikkan mjd 1.000 mg/8 jam
❑ Nebuliser dengan flexotide dan bisolvon
 Diobservasi 24 jam dengan pemberian obat 2-3 x.
 Hasil observasi :kesan tidak berespon malah cenderung
memberat.
Hemodinamik :TD 132/67 HR:109x/mnt RR:28x/mnt.
Penurunan saturasi oksigen dgn SaO2 = 93-96%.
Penurunan kesadaran dgn GSC: E2V3M4 = 9.
 Tindakan :
❑ Dilakukan intubasi dgn ETT no 7,5
❑ Pasang ventilator dengan mode SIMV volume.
❑ Sedasi dengan morfin dan midazolam.
Setting ventilator pasien obese (compliance toraks umumnya jelek):
- Setting ke mode volume controlled → untuk menjaga tercapainya
target VT (menghindari penutupan jalan napas dan apneu).
- VT 4-6 cc/kgBB (dgn ARDS) dan 6-8 cc/kgBB (tanpa ARDS) →
mengacu ke PBW (Predicted Body Weight) → bukan BB yang ada.
- Penting : antisipasi thd kesulitan intubasi, waspadai hipoksia dan
ketidakstabilan hemodinamik selama proses intubasi).

Intubasi + Ventilator Pasca extubasi


Saat dilakukan laringoskopi terlihat slem kental, jumlah banyak
warna kekuningan. Setelah di intubasi, segera ganti anti-biotik
diganti dengan Meropenem 1gr/8 jam

Hari
Hari -1 Hari +1 Hari +2 Hari +3 Hari +4
Intubasi
PH 7,06 97-98 7,28 7,35 7,40 7,39
PaO2 76 S 139 126 148 112
a
PaCO2 139 O 104 94,3 70,1 68,2
2
HCO3 28 48 43 43 41
BE 4,4 93-94 6,4 18 15,2 12,8

1 hari sblm Penurunan Ganti Pasang Ter- Pindah


intubasi SaO2 Antibiotik. CVC. extubasi. ruang
Kemudian
di-intubasi
MONITORING VENTILATOR
a. Saturasi O2 dan end tidal CO2 karena merupakan target
utama pemakaian ventilator pd gagal napas tipe 1 & tipe 2.
o SaO2 → menunjukkan nilai PaO2
o End tidal CO2 → menunjukkan nilai PaCO2
b. Hemodinamik : karena fungsi respirasi & kardio-
vaskuler sangat erat hubungannya dan saling
berpengaruh kerjanya. Pengaturan/setting ventilator
yg tidak tepat malah dapat menimbulkan perburukan
hemodinamik dan sangat berbahaya bagi pasien.
❑ TD menjadi sangat rendah atau tinggi
❑ SaO2 tidak tercapai
❑ Nadi yang tinggi bahkan aritmia dll
c. Grafik ventilator
d. Analisa gas darah
WEANING VENTILATOR
 Weaning ≠ extubasi.
Weaning : penyapihan/pengurangan bantuan ventilasi
mekanik secara bertahap.
 Weaning dapat dilakukan dengan cara :
❑ Merubah mode ventilator yg kita berikan pd pasien.
❑ Mengurangi parameter dalam setiap mode ventilator
(tekanan, volume tidal, fraksi O2, PEEP-nya, dll)
 Sekitar 85% kasus,weaning dapat dilakukan dg mudah
namun selebihnya mungkinl ebih sulit (tu/ ggn paru).
Target akhir : pasien dapat bernapas/respirasi kembali
secara normal.
 Umumnya :
(Drager) : IPPV → SIMV → BiPAP → CPAP → Ekstubasi
→NIV →masker/nasal kanul
(Galileo) : S-CMV →SIMV →Duo PAP → SPONTAN →
Ekstubasi → NIV →masker/nasal kanul
 Kapan pasien dilakukan weaning?
❑ Bila sudah ada perbaikan fungsi pernapasan.
❑ Hemodinamik stabil tanpa bantuan obat.
❑ Penyebab gagal napas sudah teratasi.
 Tanda dan gejala pasien tidak mampu di-weaning :
➢ HR naik
➢ TD naik
➢ RR bertambah cepat
➢ SaO2 turun
➢ Pasien tampak gelisah dan berkeringat.
→ shg pasien harus diobservasi pasca weaning.
 Bila pasien tidak mampu di-weaning -> kembalikan
ke setting ventilator (pengaturan) sebelumnya.
 Selepas dari mesin pernapasan/ventilator,
pasien dapat diberikan T-piece sebelum
pasien dilakukan ekstubasi.
 Dan pasien diberikan oksigenasi masker
atau nasal kanul, sebelum pasien benar-
benar dapat bernapas normal dengan
udara bebas (kadar O2 21%)
KAPAN DILAKUKAN EXTUBASI
 Pasien bisa dilakukan extubasi bila:
❑ Weaning/penyapihan VM berjalan dgn baik.
❑ Support terakhir yang dibutuhkan
pasien sudah minimal (tekanan minimal,
FiO2 minimal, PEEP juga minimal, dll.
❑ Hemodinamik stabil, dengan support minimal.
 Mode Ventilasi Mekanik support terakhir bisa
berupa PS/CPAP/Spontan atau diganti dengan T-
piece.
 Berikan premedikasi → kortikosteroid iv sebelum
ekstubasi, siapkan tindakan re-intubasi bila gagal
(terutama pada kasus sulit weaning).
VENTILATOR BUNDLE
Kita berikan/lakukan menyertai pemakaian ventilator
1. Elevasi kepala sebesar 20-30 derajat.
Untuk mencegah refluk gaster, mencegah aspirasi
makanan dan membantu absorbsi makanan.
2. Berikan sedasi dan analgetik.
Mengurangi perasaan tidak nyaman karena
pemasangan ET atau kanul trakhea.
3. Pemberian Ulcer Propylatic.
Mencegah tukak lambung → antagonis reseptor H2
atau PPI.
4. Mucolitik → mengencerkan lendir atau dahak.
5. DVT propylactic (pemasangan VM lama ato > 3 hari).
Dengan perubahan posisi tiap 2 jam, fisioterapi atau
pemberian heparin 500-1000 IU/jam siringe pump.
EFEK SAMPING/KOMPLIKASI
VENTILATOR
 Pada paru-paru
-Pemberian tek/VT ber>> → baro trauma, tension
pneumothorak, empisema subcutan, emboli udara.
-Pemberian tek/vol << : atelektase, kolaps paru.
-Pemberian FiO2 >> (O2 100% dlm waktu lama) →
keracunan O2 atau hiperoxia.
-Pemakaian ventilator lama: infeksi/pneumonia
→ VAP (Ventilator Acquired Pneumonia).
-Pemasangan ET terlalu lama: kerusakan jalan napas
 Pada Hemodinamik/kardiovaskuler → penurunan
hemodinamik, penurunan kardiak output.
 Pada SSP (Susunan Saraf Pusat)
 GIT (Gatrointestinal tractus)
 Pada hemodinamik/kardiovaskuler
Pemberian volume tidal atau tekanan ber>>:
menimbulkan penurunan venous return
→penurunan cardiact output→ hipotensi
→penurunan perfusi.
 Pada SSP
- Terjadi vasokonstriksi serebral
- Hiperventilasi --> penurunan PCO2.
hipoventilasi --> peningkatan PCO2
- Penurunan aliran balik ke otak --> TIK
meningkat --> penurunan kesadaran
 Pada GIT : dapat terjadi distensi lambung,
ileus sampai perdarahan lambung
MATUR NUWUN
VASCULAR ACCESS
(ULTRASOUND-guided in CENTRAL and PHERIPERAL
VENOUS DIFFICULT ACCES)

Disampaikan Dalam Diskusi Di IGD RSUD Soewondo Pati,


Tanggal 3 Maret 2020
dr. I Gusti Nyoman Panji Putugawa, SpAn, KIC, FIP
Riwayat pendidikan :
• Dokter Umum - Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta
• Spesialis Anestesi - Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang
• Konsultan Intensive Care - Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
• Fellowship Interventional Pain Management - Universitas Airlangga, Surabaya
PENDAHULUAN
• Akses vaskuler pada pasien → merujuk pada tindakan tehadap
pembuluh darah (terutama pembuluh darah vena) dengan
berbagai tujuan :
❑ mengambil sampel darah.
❑ memasukkan obat secara intra vena langsung.
❑ memasang intra venous cateter, memasang vena central, dll
• Akses vaskuler adalah tindakan yang sangat sering dilakukan di
ruang emergensi, saat pasien pertama kali datang di UGD/IGD.
• Persoalannya : tidak semua pasien mudah dilakukan akses
vaskuler → ada faktor tertentu dari pasien dan kondisi medis
pasien yang membuat akses vaskuler pada pasien menjadi sulit.
. Rodriguez Calero MA et al, Risk factor s for difficult preripheral venous cannulation in hospitalized patients.
• Kesulitan akses vaskuler, berakibat secara langsung
pada :
❑ kesulitan pengambilan sampel darah untuk
pemeriksaan laboratorium → keterlambatan
menentukan diagnosis.
❑ keterlambatan pemberian cairan resusitasi.
❑ keterlambatan pemberian obat-obatan (obat
emergensi intravena, dll) → yang bisa
menimbulkan kematian.
• Menimbulkan ketidakpuasan bagi tenaga medis,
pasien dan keluarganya.
• Akses pembuluh darah vena dibagi menjadi 2 :
1. Akses vena sentral :
• Dialisa → CDL (Catheter Double Lumen)
Pada pasien yang menjalani prosedur extra corporeal :
hemodialisa, plasmapharesis, CVVH, ECMO
• Non Dialisa → CVC ( Central Venous Catheter) → dewasa
PICC (Peripheral Inserted Central Catheter)→anak
Pada pasien sakit kritis di ICU, HCU, PICU.
Indikasi : pemberian cairan dan obat yang bermacam2,
pemberian cairan pekat,
kebutuhan cairan utk perawatan yang lama
2. Akses vena perifer
AKSES VENA SENTRAL
DEFINISI AKSES VENA SENTRAL

❑ Akses vena sentral: penempatan kateter yang dimasukkan ke dalam


pembuluh vena besar ( vena yang dekat /mengarah ke jantung).
❑ Ada 3 tempat utama akses vena sentral :

v. jugularis interna v. subclavia v. femoralis communis


Sumber: http://anesthesiology.pubs.asahq.org/pdfaccess.ashx?url=/data/journals/jasa/934495/ on 01/10/2017
INDIKASI AKSES VENA SENTRAL
• Resusitasi cairan dengan cepat.
• Akses vena darurat (bila akses vena perifer
sulit dikerjakan)
• Dukungan nutrisi dalam jumlah besar &
waktu yg lama.
• Pemberian obat pekat/ hiperosmoler &
kaustik (misal : Natrium bicarbonate,
vasopressor)
• Pemantauan tekanan vena sentral (CVP
pada v. subklavia)
• Hemodialisis → berupa CDL.
• Kateterisasi a. Pulmonalis
• Transvenous pacing wire introduction
Sumber: http://emedicine.medscape.com/article/80336-overview#a2
KONTRAINDIKASI AKSES VENA SENTRAL
• Kontraindikasi mutlak:
• Distorsi anatomi lokal (misal :
cedera vaskular, riw. operasi, dll)
• Infeksi di lokasi pemasangan
• Kontraindikasi relatif:
• Penggunaan antikoagulan atau
gangguan perdarahan.
• Underweight atau overweight
• Pasien tidak kooperatif.
• Adanya trombus atau
risiko trombolisis.
• Deformitas dinding dada. Sumber:
http://emedicine.medscape.com/article/80336overview#a2
EPIDEMIOLOGI LOKASI PENEMPATAN VENA SENTRAL

❑ Berdasar survei
prevalensi 1-hari di 6
pusat kesehatan
Dari 2.459 pasien → 29
% menggunakan CVC :
• V. subklavia 55 %
• V. jugularis 22 %
• V. femoralis 6 %
• V. perifer 15 %

Prevalence of the Use of Central Venous Access Devices Within and Outside of the Intensive Care Unit: Results
of a Survey Among Hospitals in the Prevention Epicenter Program of the Centers for Disease Control and
Prevention. Michael Climo , MD, Dan Diekema , MD, et.alInfection Control and Hospital Epidemiology. Vol.
24, No. 12 (December 2003), pp. 942-945.
KOMPLIKASI AKSES VENA SENTRAL

• Komplikasi langsung/sesaat/selama tindakan → teknik prosedur


❑ Cedera/trauma dinding arteri/vena: perdarahan, hematoma.
❑ Subklavia: Pneumotoraks & atelektase paru, hematothorak,
chilothorax
❑ Jugularis interna: cedera trakea, cedera n. laryngeus rekurens, dan
emboli udara.
• Komplikasi jangka panjang /setelah tindakan: infeksi, thrombosis,
macet/clotting, translokasi ujung kateter.
• Pemakaian USG-guiding → membantu menurunkan resiko komplikasi
dari 11,8% → 4 -7%.

Beard L, Hodges M (2016) The Use of Ultrasound for Central Venous Access: are we
Becoming Complacent?. J Anesth Clin Res 7: 677. doi:10.4172/2155-6148.1000677
PEMASANGAN CVC DIPANDU USG

• In-plane / longitudinal approach


• Jarum terlihat pada monitor AS
dalam tampilan long-axis
(sumbu panjang jarum terletak
dalam bidang pemindaian US).

• Out-of-plane
• Sumbu panjang jarum
diarahkan melintasi scanning
probe, sehingga jarum terlihat
pada tampilan short-axis.

http://www.internationalshoulderjournal.org/article.asp?issn=09736042;year=2010;volume=4;issue
=3;spage=55;epage=62;aulast=Ihnatsenka
• Komplikasi Lambat → disfungsi alat dan infeksi
• Pembentukan selubung fibrin
• Fraktur
• Trombosis
• Stenosis vena sentral
• Infeksi

• Faktor yg mempengaruhi:
• Lokasi penempatan
• Durasi kateterisasi
• Komorbiditas pasien

Beard L, Hodges M (2016) The Use of Ultrasound for Central Venous Access: are we Becoming Complacent?. J Anesth Clin Res 7: 677. doi:10.4172/2155-6148.1000677
http://www.rch.org.au/policy/public/Central_Venous_Access_Device_Management/
DURASI PEMASANGAN VENA SENTRAL

1. "Simple CVC"
• Lokasi pemasangan :
- v. Subklavia
- v. jugularis interna
- v. femoralis.

• Durasi pasang :
❑ CVC = 14 hari.
❑ CDL = 3-6 bulan

Venous access A practical review for 2009. [Downloaded free from http://www.ijciis.org on
Tuesday, January 10, 2017, IP: 36.79.16.201]
2. "Tunneled" cuffed CVCs
• HICKMAN ™, BROVIAC ™,
permacaths, infusaports.
• Durasi: s/d 1 tahun dan
dimasukkan oleh ahli
bedah atau ahli radiologi.
• Alternatif untuk PICC
pada pasien < 2 tahun
atau 15 kg.
Durasi: 2-12 minggu
Venous access A practical review for 2009. [Downloaded free
from http://www.ijciis.org on Tuesday, January 10, 2017, IP:
36.79.16.201]
3. Vascaths: kateter lumen ganda
• Untuk dialisa, hemofiltrasi,
atau plasmafiltrasi.

• Durasi : beberapa hari.

Venous access A practical review for 2009. [Downloaded


free from http://www.ijciis.org on Tuesday, January 10,
2017, IP: 36.79.16.201]
PEMASANGAN CATETHER VENA CENTRAL PADA
PASIEN DG GANGGUAN HEMOSTATIK
• Dalam periode 4 tahun, dilakukan 133 pemasangan CVA dg USG.
• Usia rata-rata 56,6 tahun. Trombosit ≤ 50x109/L.
• Kateter dimasukkan ke
• v. jugularis interna→ 129 (97%) prosedur
• v. subklavia → 2 (1,5%) prosedur
• v. femoralis → 2 (1,5%) prosedur
• Dari 119 pasien
• 106 (89%) dilakukan 1 x pemasangan kateter
• Sisanya dilakukan >1 (kisaran 1-3).
Hasilnya :
• Keberhasilan teknis (100%).
• Jumlah rata-rata tusuk 1,01 (kisaran 1-2).
• 149 (89,5%) → tusukan single-wall
• 14 (10,5%) → tusukan double-wall.

8 (6%) komplikasi kecil:


• Mengalirnya darah di sekitar kateter pada 5
(3,8%) prosedur
• Hematoma kecil pada 2 (1,5%) prosedur
• Keduanya → 1 pasien.

US-guided placement of central vein catheters in patients with disorders of hemostasis. Fahri Tercan, Ugur
Ozkan, et al. Baskent University, Faculty of Medicine, Department of Radiology, Ankara, Turkey. Received
1 February 2007; accepted 2 April 2007. Available from http://fulltext.study/download/4228250.pdf.
ANTI TROMBOLITIK PROFILAKSIS

❑ Low molecular weight heparin.


• 2.850 IU anti-Xa pada pasien ≤ 70kg atau
• 3.800 IU anti-Xa pada pasien ≥ 70kg.
• Diberikan selama 4 minggu
❑ Pasien dgn hitung Trombosit < 30x109/L.
• 1 jam pre prosedur → transfusi 2 unit
trombosit.
• Setiap unit trombosit mgd ± 3.0 x1011
trombosit
Ultrasonography-guided central venous catheterisation in haematologicalpatients with severe thrombocytopenia Mariasanta
Napolitano1, Alessandra Malato1Haematology and Transplant Unit, Department of Internal and Specialist Medicine; 2. Division
of General and Thoracic Surgery, Department of Surgery and Oncology, University of Palermo, Palermo, Italy.
http://www.internationalshoulderjournal.org/article.asp?issn=0973-
6042;year=2010;volume=4;issue=3;spage=55;epage=62;aulast=Ihnatsenka
DAFTAR PUSAKA
1. Downloaded from: http://anesthesiology.pubs.asahq.org/pdfaccess.ashx?url=/data/journals/jasa/934495/ on
01/10/2017
2. http://emedicine.medscape.com/article/80336-overview#a2
3. Hemodynamic parameters to guide fluid therapy. Paul E Marik,1 Xavier Monnet,2 et.al. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3159904/
4. Reliability of central venous pressure to assess left ventricular preload for fluid resuscitation in patients with
septic shock.Available from: Takako Sasai, Hiroaki Tokioka, et al. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4336121/
5. Prevalence of the Use of Central Venous Access Devices Within and Outside of the Intensive Care Unit: Results of
a Survey Among Hospitals in the Prevention Epicenter Program of the Centers for Disease Control and Prevention.
Michael Climo , MD, Dan Diekema , MD, et.alInfection Control and Hospital Epidemiology. Vol. 24, No. 12
(December 2003), pp. 942-945. Available from: http://www.jstor.org/stable/10.1086/502163?seq=1#fndtn-
page_scan_tab_contents
6. Beard L, Hodges M (2016) The Use of Ultrasound for Central Venous Access: are we Becoming Complacent?. J
Anesth Clin Res 7: 677. doi:10.4172/2155-6148.1000677
http://www.rch.org.au/policy/public/Central_Venous_Access_Device_Management/
7. Venous access A practical review for 2009. [Downloaded free from http://www.ijciis.org on Tuesday, January 10,
2017, IP: 36.79.16.201]
8. US-guided placement of central vein catheters in patients with disorders of hemostasis. Fahri Tercan, Ugur Ozkan,
et al. Baskent University, Faculty of Medicine, Department of Radiology, Ankara, Turkey. Received 1 February 2007;
accepted 2 April 2007. Available from http://fulltext.study/download/4228250.pdf.
PENEMPATAN KATETER VENA SENTRAL DGN
PANDUAN ELECTROCARDIOGRAFI (EKG)
• Penggunaan kateter vena sentral (CVC) merupakan prosedur yang saat ini
sering dilakukan.
• Terdapat penelitian yang menunjukkan penggunaan USG sebagai alat bantu
pemasangan CVC menurunkan jumlah percobaan pemasangan 86%,
komplikasi 57%, percobaan pertama gagal 46%.
• Namun ketersediaan USG yang terbatas, kurangnya tenaga ahli, dan
peningkatan biaya perawatan menyebabkan pemasangan CVC dengan
bantuan USG tidak dapal dilakukan secara global
• Beberapa penelitian menunjukkan tingginya sensitivitas pemasangan CVC
dengan bantuan EKG. Pemasangan dengan metode ini memiliki tingkat
sensitivitas sebesar 97,3% dan spesifitas sebesar 100% dengan angka
positif palsu adalah 0. Sehingga Cara mudah & ekonomis, dengan tingkat
sensitivitas yang tinggi namun jarang digunakan → adalah pemasangan CVC
dengan melihat perubahan gelombang P pada elektrokardiogram yang akan
terlihat saat ujung kateter melewati vena kava.
KOMPLIKASI ATAU RESIKO VENA CENTRAL

• Di Amerika Serikat: sekitar 5 juta CVC dipasang per tahunnya. →


Presentase tjd-nya komplikasi berkisar 6% - 19% (250.000–
1.000.000 komplikasi/tahun).
• Komplikasi dibagi:
❑ Awal /segera/saat pemasangan (pneumotorak dan perforasi
arteri sebesar 12% dan meningkat 6x lipat saat percobaan ke-3)
❑ Lambat (infeksi dan trombosis sebesar 13%). Komplikasi juga
dipengaruhi oleh beberapa factor.
• Rontgen dada digunakan setelah prosedur untuk memastikan
pemasangan yang benar dan skrining komplikasi, metode lain yang
dapat digunakan adalah TOE (ekokardiogram trans - oesophageal)
• Tahun 1995 Czepizak dkk, menciptakan rumus menghitung
panjang kateter berdasarkan akses point dan tinggi badan pasien

• Vena yang sering digunakan sebagai akses CVC: jugularis interna,


subklavia, femoralis, brakialis dan sefalika.
TIGA ZONA SKEMATIS DIAJUKAN SEBAGAI TEMPAT
PEMASANGAN UJUNG CVC YANG IDEAL:

Zona ujung kateter


yang aman untuk
pemasangan dari
sisi tubuh kanan

Zona abu-abu

Zona ujung katater


yang aman untuk
pemasangan dari
sisi tubuh kiri
Gelombang
P isobifasik
di lead v4/
v5
PEMASANGAN CVC DENGAN BANTUAN EKG
• Teknik asepsis & antisepsis pada area pemasangan CVC akan dilakukan).
• Penusukan/insersi di bawah klavikula kanan untuk mencari vena subklavia.
• Kawat dimasukkan menggunakan spuit, lalu jarum spuit ditarik.
• Dibuat insisi kecil pada kulit, lalu diperlebar untuk pemasangan cvc.
• Kateter CVC dimasukkan mengikuti kawat pembantu, kawat kemudian ditari
• Forceps dipasang pada ujung kawat, lalu elektroda v5 dipasang untuk
memonitor pasien.
• Kateter dipegang lalu ditarik perlahan sampai muncul gelombang p isobifasik
pada monitor.
• Hal ini menunjukkan seberapa panjang kateter kita sebelum kawat ditarik da
kateter difiksasi pada leher.
• Pengambilan foto rontgen dada.
PEMANTAUAN GELOMBANG P DI LEAD V4/V5

• Segmen atas dari vena kava superior : ketika gelombang P terlihat


serupa dengan gambaran gelombang P pada umumnya di monitor EKG.
• Segmen bawah dari vena kava superior: ketika puncak gelombang P
sekitar setengah dari tinggi amplitudonya ketika ujung kateter masuk di
peralihan vena kava dengan atrium (pintu atrium kanan/krista
terminalis).
• Peralihan kavo-atrial: ketika gelombang P berada pada amplitudonya
dan tidak ada segmen negatif yang terlihat pada gelombang p yg
sebelumnya normal, berarti ujung kateter berada pada peralihan kavo-
atrial.
• Atrium kanan: ketika muncul segmen negatif pada gelombang P yang
sebelumnya diikuti oleh gelombang P yang positif → ini merupakan
tanda awal yang menunjukkan bahwa ujung kateter telah masuk ke
atrium kanan. Ketika gelombang P berubah menjadi bifasik,
menandakan bahwa ujung kateter sudah masuk hingga segmen bawah
atrium kanan.
KESIMPULAN
• EKG intrakavitas sangat dianjurkan. Bukan hanya karena
alasan ekonomi, melainkan juga dikarenakan tingkat
keberhasilan pemasangan yang tinggi.
• EKG ini membantu mendeteksi panjang kateter yang
diperlukan pada pasien yang tidak selalu sama satu sama
lainnya, mengurangi kerusakan anatomis pada pasien.
Bagaimana dg pemberian antikoagulan?
Pemberian antiplatelet :
❑ NSAIDs dan low dose aspirin saja → tidak beresiko meningkatkan
hematoma.
❑ Bila diberikan bersama anti platelet lain harus ada interval waktu thd
pemasangan/insersi : 7 hari utk clopidogrel, 14 hari utk ticlopidine

Pemberian Unfractioned Heparin (intravenous maupun sc) :


❑ Pemberian heparin diperbolehkan setelah 1 jam dipasang akses
vaskuler.
❑ Akses vaskuler dicabut/dilepas setelah 6 jam pemberian terakhir
dosis heparin

Pemberian LMWH (fondaparin, exoxaparin), Cateter vena


sentral dipasang dan dicabut setelah :
❑ 12 jam pemberian dosis profilaksis LMWH
❑ 24 jam pemberian dosis terapi LMWH
REFERENSI
1.Marino P. El libro de la UCI. 3rd ed; 2007. p. 103---23.
2. Sánchez KI. Estado actual de el catéter venoso central enanestesiología. Rev Mex Anestesiol. 2014;37:138---45.
3. Raad I. Intravascular-catheter-related infections. Lancet.1998;351:893---8.
4. Kandarpa K, Aruny JE. Handbook of interventional radiologicprocedures. 3rd ed. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins;2002. p. 129---43.
5. McGee DC, Gould MK:. Preventing complications of central venous catheterization. N Engl J Med. 2003;348:1123---33.
6. Czepizak CA, O‘Callaghan JM, Venus B. Evaluation of formulasfor optimal positioning of central venous catheters.
Chest.1995;107:1662---4.
7. American Society of Anesthesiologists Task Force on Central Venous Access. Practice guidelines for central venous
access:a report by the American Society of Anesthesiologists taskforce on central venous access. Anesthesiology.
2012;116:539---73.
8. Pedemonte J, Carvajal C. Posición ideal de la punta del catétervenoso central. Rev Chil Anestesia. 2006;35:63---70.
.9. Ducatman BS, McMichan JC, Edwards WD. Catheter-inducedlesions of the right side of the heart. A one-year
prospectivestudy of 141 autopsies. J Am Med Assoc. 1985;253:791---5.
10. Makau L, Talamini MA, Sitzmann JV. Risks factors for centralvenous catheter-related vascular erosions. J Parenter
EnteralNutr. 1991;15:513---6.
11. Albrecht K, Nave H, Breitmeier D, et al. Applied anatomyof the superior vena cava-the carina as a landmark to
guidecentral venous catheter placement. Br J Anaesth. 2004;92:75---7.
12. Schuster M, Nave H, Piepenbrock S, et al. The carina as alandmark in central venous catheter placement. Br J
Anaesth.2000;85:192---4.
PICC ( PHERIPHERAL INSERTED CENTRAL CATHETER)
AKSES VASKULER PERIFER
PENYEBAB AKSES VASKULER PERIFER SULIT

Faktor penyebab kesulitan akses vena perifer bisa karena


berbagai hal :
❑ Faktor pasien sendiri : Obesitas, bayi / anak, orang lanjut usia
❑ Kondisi medis akut : Trauma, Luka Bakar, Dehidrasi, Syok,
Hipovolemi, Peripheral edema, Hipotermia.
❑ Kondisi kronik tertentu : Vascular Disease, Chronik illness as
cancer, Sickle cell Disease, Drug as diuretic, Repetitive
Venipuncture

Stolz et al, 2015, Ultrasound –guided pheripheral venous access : a meta analysis and sitematic review.
Journal Vascular access, 2015, 16, 321-6
Gottlieb M et al, 2017, Ultrasound –guided Pheripheral intravenous Line Placement, Journal of Emergency
Medicine, 18(6), 1047-54.
Indikasi Penggunan USG u/ Akses Vena Perifer
Intervention for
Difficult Vascular Access

Implementation USG-PIV Access


(ULTRASOUND-GUIDED
PERIPHERAL INTRAVENOUS ACCESS)
Kenapa harus memakai
ULTRASOUND – guided PERIPHERAL
INTRAVENOUS ACCESS ..?
• Dari 3 penelitian yang ada, pemakaian USG sebagai
guiding menunjukkan :
❑ Peningkatan angka kesuksesan/keberhasilan akses
vena perifer.
❑ Akan menurunkan percobaan tusukan/insersi
pada akses vena perifer.
❑ Menurunkan tingkat komplikasi dan nyeri
Egan et al, 2013, Ultrasound guidance for difficult pheripheral venous acces : Systematic Review and
metaanalysis, Emergency Medicine Journal,30, 521-526
Ismailoglu et al, 2015, The effect of the use of ultrasound in the success of pheripheral venous catheterization.
International Emergency Nursing, 23, 89-93
Stolz et al, 2015, Ultrasound –guided pheripheral venous access : a meta analysis and sitematic review. Journal
Vascular access, 2015, 16, 321-6
Kegagalan mengakses intra vena
perifer → pilih : Central line &
PICC line.
Keuntungan pemakaian USG pada
akses Intra vena perifer :
• Intra vena bisa dilakukan
meskipun vena tidak terlihat
atau tidak teraba (non-visible &
palpable)
• Mencegah dilakukannya
Central line ( yang memiliki
resiko lebih tinggi)

Stolz et al, 2015, Ultrasound –guided pheripheral venous access : a meta analysis and sitematic review. Journal
Vascular access, 2015, 16, 321-6
MESIN USG
• USG bekerja dengan
memancarkan gelombang suara
(sound waves) dengan frekuensi
tertentu yaitu 2-18 MHz.
• Gelombang suara akan
dipancarkan melalui tranducer,
dan sebagian akan kembali
diterima oleh tranducer yang
mengandung partikel /materi
piezoelektrik.
• Gelombang suara bisa diteruskan,
dibelokkan, dikembalikan
BAGIAN MESIN USG

Monitor/layar/LCD

Monitor/layar display

Tranducers/Probe

Keyboard

Printer

Conector

CPU/Central
Processing Unit
• Frekuensi suara berkisar 2-18 MHz.
• Semakin tinggi frekuensinya →
semakin pendek panjang
gelombangnya shg penetrasinya
berkurang.
• Ada komponen yang utama :
• Mesin
• Probe/Tranducer
IMAGE IDENTIFICATION
Echogenisitas (gelap-terangnya obyek/gambar):
• An-echoic : ≠ gelombang yg direfleksikan/dipantulkan balik ke tranduser.
• Hypo-ehoic : Hanya sebagian kecil gelombang yg direfleksikan balik ke
transduser
• Hyper-echoic : sebagian besar gelombang direfleksikan balik ke
transduser
Artifact :
• Shadowing /acoustic shadow
• Enhancement
• Reverberation Mirror Image → e/c multi refleksi
• Velocity error
• An-isotropy
Reverberation

Shadow Enhancement Duplication


PEMILIHAN TRANDUSER/PROBE
ANATOMI VENA PERIFER
EXTREMITAS ATAS
Area extremitas
superior :
❑ Vena radialis.
❑ Vena ulnaris.
❑ Dorsum manus.
❑ Mediana cubiti.
❑ Cepalika.
❑ Basilika.
❑ Interdigitalis.
❑ dll
EXTREMITAS BAWAH

Area extremitas inferior :


❑ Vena saphenous
mayor/magna
❑ Vena saphenous minor
❑ dorsalis pedis
❑ Arcuata dorsum pedis/
arcus venosus dorsalis
pedis
❑ Venous dorsalis
metatarsal
❑ dll
USG VS VASCULAR SCANNER …?

❑ Kelebihan Vascular Scanner : lebih


praktis cara pemakaiannya.
❑ Kekurangan Vascular Scanner : tidak
bisa menggambarkan posisi 3
dimensi dari vaskuler, terutama
kedalaman pembuluh darah dari
permukaan kulit.
IDENTIFIKASI VENA
• Bedakan pembuluh darah arteri
dan vena dengan melakukan sliding
(geser), tilting (miring) dan rotating
(putar) serta compressing.
• Kalo perlu gunakan colour dopller.
ARTERI VENA
Dinding tebal Dinding tipis
Letak lebih dalam Letak superfisial
Bentuk Bentuk
Relaksasi Kompresi prenampang penampang
bulat (bulat-lonjong-
kolaps)
Non Compresable Compresable
Pulsated Non pulsated
Doppler : Aliran Doppler : Aliran
menjauhi jantung ke arah jantung.
POSISI INSERSI JARUM TERHADAP VASKULER

SHORT, LONGITUDINAL & OBLIQUE AXIS


SHORT AXIS AND LONG AXIS TARGET SIGN
Teknik USGPIV
(Ultra-Sound Guided Peripheral Intra–Venous)
1. Gunakan probe linier 2. Identifikasi Pemb darah vena
PERSIAPAN USG-PIV
A. PERSIAPAN USG :
• Pilih tranduser/probe linier, tranduser ditutup dengan Cover probe.
Gunakan jeli yang steril.
1. Pilih tranduser/probe linier utk target organ superfisial (vaskuler).
2. Atur DEPTH (kedalaman) yang diperlukan untuk memperlihatkan
jaringan dari permukaan kulit sampai pada kedalaman tersebut.
Untuk vena perifer cukup kedalaman sekitar 2 -2,5 cm
3. Atur TGC (total gain compensation) untuk mengatur gelap terang
keseluruhan dan GAIN setiap lapisan untuk gelap-terangnya
kulit/otot.
4. Atur FOCUS : agar posisi target biar berada di tengah monitor, agar
struktur lain di sekitarnya keliatan.
B. PERSIAPAN ALAT IV LINE : Gunakan iv cateter yang
relative panjang, minimal 1,88 inches (standard panjang iv
cateter 1,16 inch).

C. PERSIAPAN PASIEN DAN OPERATOR :


1. Posisi pasien dan operator dalam posisi nyaman, antisipasi
kalo kasus relatif sulit & perlu waktu lama u/ mengerjakan.
2. Operator –pasien – monitor USG : dalam satu garis
lurus/searah, dengan pasien dan monitor USG ada didepan
operator. Atur ketinggian layar monitor USG, posisi target
vena pasien dan operator pada posisi yang paling
ergonomis.
PROSEDUR USGPIV

Lakukan dis-infeksi pada area yang akan dilakukan insersi.


1. Lakukan scanning awal. Lakukan sliding, tilting dan rotating
untuk identifikasi vena dan arteri. Bedakan keduanya.
2. Usahakan mulai mencoba insersi pada vena yang paling besar di
sisi tangan, dan mulai yang paling distal.
3. Insersi jarum dilakukan pada short axis ( jarum out of line thd
probe USG) atau long axis (in line terhadap probe USG). Bisa
juga posisi oblique.
4. Insersi IV cateter dilakukan dengan teknik Seldinger.
Teknik Pemasangan IV Kateter
Secara Teknik SELDINGER
KOMPLIKASI AKSES VASKULER PERIFER
• Komplikasi akses vena perifer yang paling umum berupa :
❑ Perdarahan
❑ Hematoma
❑ Trombosis
❑ Nyeri dan perasaan tidak nyaman pasien.
• Pemakaian USG diharapkan :
❑ mengurangi jumlah insersi/tusukan percobaan yang dilakukan.
❑ dapat mengurangi/menghindari semua komplikasi diatas
(perdarahan, hematoma, thrombosis dll).
❑ meningkatkan kenyamanan pasien.
❑ Meningkatkan kepercayaan pasien.
KESIMPULAN

• Akses vena perifer adalah prosedur tindakan medis yang sangat


sering dilakukan di rumah sakit.
• Tidak semua pasien dapat dgn mudah dilakukan iv cateterisasi.
Kesulitan akses vena perifer dapat timbul karena : kondisi
pasien, kondisi medis pasien (baik akut maupun kronik).
• Pada kasus yang sulit perlu dilakukan dengan alat bantu USG
yang disebut US Guided Peripheral Intra Vascular (USG-PIV).
• Pemakaian USG untuk guiding (pengarah/petunjuk)
pemasangan akses perifer akan meningkatkan keberhasilan
pemasangan, sekaligus mengurangi resiko/komplikasi akibat
pemasangan.
CVP DAN VOLUME INTRAVASKULAR
• Diasumsikan CVP = indikator
yang baik dari preload ventrikel
kanan.
• Karena stroke volume ventrikel
kanan yg menentukan pengisian
ventrikel kiri, CVP diasumsikan
sbg ukuran tidak langsung dari
preload ventrikel kiri.
• Tetapi, perubahan tonus vena,
tekanan intrathorakal,
compliance ventrikel kiri dan
ventrikel kanan, dan perubahan
geometri pada pasien sakit kritis,
menyebabkan hubungan yang
buruk antara CVP dan volume
akhir diastolik ventrikel kanan.
• Lebih dari 100 penelitian→ tidak ada hubungan
antara CVP (atau perubahan CVP) dengan respons
cairan dalam berbagai pengaturan klinis.

• Hanya ada dua penelitian yang diterbitkan dalam


literatur dunia yang menunjukkan "beberapa
hubungan" antara CVP dan volume intravaskular;
kedua penelitian ini dilakukan pada kuda.
1. Hemodynamic parameters to guide fluid therapy. Paul E Marik,1 Xavier Monnet,2 et.al. Available
from:https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3159904/
2. Reliability of central venous pressure to assess left ventricular preload for fluid resuscitation in patients with
septic shock.Available from: Takako Sasai, Hiroaki Tokioka, et al. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4336121/
• Hasil penelitian → CVP bukan
penanda preload ventrikel kiri
yg reliable untuk manajemen
cairan selama fase awal syok
septik.
• Penilaian preload ventrikel kiri,
overload ventrikel kanan, dan
kontraktilitas ventrikel kiri, lebih
informatif menggunakan TTE
(Trans Thoracic Echocardio-
graphy)
1. Hemodynamic parameters to guide fluid therapy. Paul E Marik,1 Xavier Monnet,2 et.al. Available
from:https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3159904/
2. Reliability of central venous pressure to assess left ventricular preload for fluid resuscitation in patients with
septic shock.Available from: Takako Sasai, Hiroaki Tokioka, et al. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4336121/
TERAPI CAIRAN
DAN
NUTRISI PARENTERAL

Dr. IG Nyoman Panji Putu Gawa, SpAn.KIC

BAGIAN ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF


RSUD RAA SOEWONDO PATI
FUNGSI CAIRAN DALAM TUBUH
Functions :
• Maintenance blood pressure /stability circulation →
absorp and delivery O2 and nutrient to cell
metabolism→ tissue perfusion
• Remove body waste → sweating, urine, feces and body
evaporation (CO2).
• Balance of level salts, proteins and other componen in
bloods.
• Regulates of body temperature.
• Cushions joint and muscle.
• etc
Clinical Situations Often Requiring
Fluid Expansion
❑ Gastroenteritis disease
❑ Multiple trauma
❑ Burns
❑ Starvation
❑ Surgery/Operative with large blood losses
❑ Multiple trauma (perioperative)
❑ Sepsis syndrome → syok septik
❑ Etc
Terapi cairan adalah pemberian cairan
intravena untuk mengembalikan volume darah
(Fluid Expansion/FLUID TERAPY)

Tujuannya :
Menjaga volume intra-vaskuler
dan memperbaiki perfusi jaringan
KOMPOSISI CAIRAN TUBUH
67%
Intracellular

60 %
Fluids
33% 67% Interstitial
Extracellular
Fluid
33% Intravascular
(70 cc/kg)
40 %
Solids

Jadi cairan tubuh tersimpan dlm 3 kompartemen tubuh :


1. Intra sel (intraseluler)
2. Interstitial
3. Intra vaskular (dalam pembuluh darah, berupa plasma darah.
PENGATURAN TEKANAN INTRA VASCULAR
Dipengaruhi oleh tekanan hidrostatik dan tekanan osmotik.
❑ Tekanan hidrostatik: tekanan keluar yang diakibatan aliran darah
dalam sistem yg tertutup (pembuluh darah).
❑ Tekanan osmotik : tekanan untuk mempertahankan darah tetap
berada dalam pembuluh darah.
Dalam pembuluh darah,
jumlah cairan intra
vaskuler dapat
mengalami perubahan :
1. Bertambah :
umumnya karena
resusitasi cairan.
2. Berkurang
1. Berkurang secara
langsung, seperti
perdarahan dll
2. Berkurang secara
tidak langsung →
berpindah tempat
karena proses
pergeseran cairan
(SHIFTING), dari
intravaskuler ke
interstitial.
TUJUAN TERAPI CAIRAN
Tujuan pemberian cairan :
1. Resusitasi
Memberikan cairan dalam jumlah lebih banyak dalam
waktu yang relatif cepat untuk mengembalikan
cairan tubuh setelah mengalami kehilangan cairan
yang berlebihan.
2. Rumatan/pemeliharaan → cairan maintenance.
Memberikan cairan dalam jumlah cukup untuk
menjaga komposisi cairan tubuh tetap relative sama/stabil
sehingga tubuh bisa berfungsi dengan baik.
TERAPI CAIRAN

RESUSITASI RUMATAN

Kristaloid Koloid elektrolide Nutrisi

Memenuhi kebutuhan
Mengganti kehilangan
normal harian
cairan yg bersifat akut
JENIS CAIRAN
Ada 3 jenis cairan yang utama, yaitu :
1. Cairan An/Non ionic :
❑ D5%, D10%
2. Ionik/kristaloid : cairan yang mengandung elektrolit/ion, baik
berupa anion (K+, Na+, dll) atau kation (Cl-, Asetat, Laktat, dll).
❑ NaCl 0,9%
❑ Ringer Laktat
❑ Ringer Asetat/Asering
❑ larutan Hartman
3. Koloid : cairan yang memiliki berat molekul yang tinggi.
➢ natural : Albumin
✓Albumin 4%, 5% → untuk resusitasi
✓Albumin 20%, 25% →untuk subtitusi
➢ sintetik : Gelatin, Dextran, HES
Cairan Non-ionik

❑ Contoh : Dextrose 5%, Maltose 10%


❑ Dapat berfungsi :
➢Cairan pengganti pada kekurangan air murni.
➢Cairan rumatan pada hiper Na, hiper K.
❑ Didistribusikan ke dalam ruang intrasel yang dapat
menyebabkan pecahnya sel (lisis) ➔ Tidak
disarankan untuk sebagai cairan resusitasi
resusitasi durante operasi
NaCl 0,9% (Normal Saline = NS)
• Merupakan cairan isotonis.
• Dipakai untuk resusitasi cairan, terutama pada kasus :
➢Dengan kadar Na rendah → DM (hipo Na krn poliuria)
➢Keadaan dimana RL tidak cocok diberikan misalkan
alkalosis, retensi kalium (misal : pasien CKD).
• Keterbatasan :
A. Tidak mengandung HCO3 (tidak bisa untuk
memperbaiki kondisi asidosis).
B. Tidak mengandung Kalium.
C. Dapat memberikan Na dan Cl relatif tinggi sehingga
beresiko tinggi untuk terjadi asidosis hiperkloremik
pada volume yang besar.
RINGER LAKTAT
• Cairan berimbang bila diperlukan dalam jumlah
besar.
• Digunakan sebagai replacement terapi → syok
hipovolemi, diare, trauma, luka bakar.
• Baik digunakan pada kasus metabolik asidosis
→laktat dalam RL akan dimetabolisme di hepar
→ terbentuk bikarbonat.
• RL tidak mengandung glukosa → untuk cairan
maintenance maka harus ditambah gula → untuk
mencegah ketosis.
RINGER ASETAT
➢ Komposisi : Na 130 mEq, K 4 mEq, Cl 109 mEq, Ca 3 mEq, Asetat
28 mEq
➢ Indikasi : dehidrasi (syok hipovolemi dan asidosis) pada kondisi
gastroenteritis akut, demam berdarah dengue, luka bakar, syok
hemoragik, dehidrasi berat dan trauma.
➢ Keuntungan :
❑laktat dimetabolisme di hepar sedangkan asetat
dimetabolisme di otot → sehingga larutan ringer asetat
masih dapat ditoleransi o/pasien dengan gangguan hepar.
❑Pada pemberian cairan sebelum operasi dengan kondisi
pasien mengalami asidosis → RA mengatasi asidosis laktat
lebih baik dibanding RL.
➢ Laju metabolisme asetat adalah 250-400 mEq/jam,
sedangkan laktat 100 mEq/jam → sehingga : Ringer
asetat lebih cepat mengatasi asidosis yang
menyertai syok daripada ringer laktat.
➢ Walaupun asetat dan laktat sama2 merupakan
prekursor ion bikarbonat, asetat juga dapat
menetralkan metabolisme asam yang berlebihan →
sehingga RA lebih efisien untuk mengatasi shock
yang disertai asidosis.
KLASIFIKASI CAIRAN ELEKTROLIT
BERDASARKAN TONUSITASNYA
• Hipotonis → bila tekanan osmotiknya < cairan darah
(osmolaritasnya dibawah 250 mOsm/L)
Contoh : Aquadest, larutan 2,5 % dextrosa
• Isotonis → bila tekanan osmotiknya yang sama dengan
cairan darah. Cairan ini menetap dalam cairan
ekstraseluler (osmolaritasnya 290 -310 mOsm /L
Contoh : NaCl 0,9%, Ringer Laktat, Ringer Asetat,
Ringerfundin
• Hipertonis → bila tekanan osmotiknya > cairan darah.
Infus dengan tekanan osmotik tinggi (osmolaritas diatas
375 mOsm/L) ini akan mengakibatkan cairan keluar dari
intraseluler dan masuk ke dalam plasma.
Contoh : NaCl 3%, Glukosa 10 % dan dextrosa 50%
Perbandingan kristaloid dgn koloid.
No Perbedaan KRISTALOID KOLOID
1. Berat molekul Rendah Tinggi
(< 8.000 Dalton) (> 8.000 Dalton)
2. Tekanan Rendah. Tinggi.
Lebih cepat terdistribusi Lebih lama menetap di
onkotik keluar dari ruang vaskuler → ruang intravaskuler. →
mengisi ke ruang interstitial. Lebih cepat memulihan
Sehingga akan memperbaiki volume intravasculer pada
perfusi jaringan. perdarahan/ hipovolemi
berat
3. Resiko Dalam volume besar beresiko Resiko alergi, anaphilaksis,
oedem paru, oedem ggn koagulasi
pemberian interstitial
4. Harga Lebih murah, mudah didapat Lebih mahal
5. Contoh NaCl 0,9%, Ringer Laktat, Natural :Plasma, Albumin,
Ringer asetat Sintetik :HES, Gelatin,
Dextran
PRINSIP PEMILIHAN CAIRAN :
• Gantikan cairan pada kompartemen (ruang) yang
hilang, dengan tujuan pemulihan volume
intravaskuler dan memperbaiki perfusi jaringan.
• Dehidrasi & perdarahan ringan → kehilangan
cairan ekstra seluler : dapat diberikan kristaloid
dengan tujuan memperbaiki volume intravaskuler
sekaligus interstisial (ekspansi intravaskuler)
• Untuk perdarahan/hipovolemi berat : KOLOID
dapat memperbaiki volume plasma intravaskuler
dengan cepat sehinga cardiac output juga
membaik.
CAIRAN KOLOID
• Koloid adalah cairan yang mengandung berat molekul
lebih tinggi dan mengandung partikel onkotik, sehingga
menghasilkan tekanan onkotik. Contohnya : darah dan
produk darah seperti albumin.
• Koloid sintetik/artificial juga mengandung molekul
besar, seperti : gelatin, dextran dan kanji hidroksi etil.
Semua larutan koloid akan mengekspansikan (mengisi)
ruang intravaskuler.
• Koloid dengan tekanan onkotik yang lebih besar dari
pada plasma (hiperonkotik) akan menarik cairan
interstitial ke dalam ruang intravaskuler, seperti
albumin, HES 200/0,5
HES (HIDROKSI ETIL STARCH)
o Lamanya HES bertahan dalam pembuluh darah dipengaruhi oleh :
1. Berat molekul (BM) 2. Derajat substitusi (ds) 3. Rasio C2:C6
o Penggolongan HES berdasarkan berat molekulnya :
❑ Low molecule : BM < 200.000
❑ Medium molecule : BM 200.000 - 400.000
❑ High molecule : BM > 400.000
o Derajat Subtitusi : Menyatakan ∑ gugus hydroxyethyl u/ tiap 10
molekul glukosa.
➢ HES dengan ds = 0.5, artinya HES yang memiliki 5 gugus
hydroxyethyl untuk setiap 10 molekul glukosa.
ds 0.4 = tetrastarch ds 0.6 = hexastarch
ds 0.5 = pentastarch ds 0.7 = hetastarch
➢ Semakin besar derajat substitusi, berarti : semakin sulit dipecah
semakin lama bertahan dalam pembuluh darah dan semakin
besar pengaruh pada fungsi ginjal & trombosit.
o Rasio C2 :C6
❑ Gugus hydroxyethyl melekat terutama pada C2, dan lebih
sedikit pada C3 dan C6 glukosa.
❑ Perbandingan jumlah gugus yang melekat pada C2 (ikatan
paling kuat) dan C6 (ikatan paling lemah) dinyatakan
sebagai Rasio C2:C6
❑ Semakin besar rasio C2:C6 → semakin lama bertahan
dalam pembuluh darah karena degradasi enzimatik
melambat
DEXTRAN
•Ada 2 tipe berdasarkan BM
- 70.000 Dalton
- 40.000 Dalton
•Kekuatan onkotik :
- 1 g Dextran 40 =30 ml water
- 1 g Dextran 70 =20 ml water
•Ketahanan didalam intravaskuler
– Dextran 40 bertahan 3-4 jam
– Dextran 70 bertahan 6-8 jam
Penggunaan klinis Dextran

Dextran 70 →
indikasi yang sama seperti albumin 5%.
Dextran 40 →
operasi vaskuler u/ mencgh trombosis
jarang digunakan sbg plasma expander
Efek samping :
❑ Reaksi Alergi
❑ Perpanjangan Waktu Perdarahan → Pembentukan
Rouleaux
❑ Noncardiogenic pulmonary edema
❑ Gangguan ginjal
ALBUMIN

❑ Albumin adalah protein plasma alami dan merupakan


protein utama/paling banyak dalam darah manusia.
❑ BM 69.000 dalton, diproduksi di hepar
❑ Fungsi albumin untuk :
1. mempertahankan tekanan onkotik/osmotik darah,
2. mengikat obat, terutama antibiotik,
3. mempertahanakan regenerasi jaringan.
❑ Penggolongan albumin:
- Albumin 4% adalah hipo-onkotik
- Albumin 5% adalah iso-onkotik
- Albumin 20% dan 25 % → hiper-onkotik
❑ Tidak ada resiko penularan penyakit, dipanaskan selama 10 jam
60 OC, disterilisasi melalui ultrafiltrasi.
❑ Pemakaian albumin 4% atau 5% untuk rresusitasi tiadak ada
batasan jumlahnya. Lebih lama bertahan di ntra vaskuler
dibandingan dengan larutan kristaloid.
❑ Albumin 25 % mengandung 5X konsentrasi albumin normal
→perpindahan air (menarik cairan) dari interstitial ke
intravaskuler, tidak boleh diberikan dalam tetesan cepat.
Kontra indikasi : Albumin 25 % tidak dianjurkan/harus hati-hati
pada pasien gagal jantung, CKD atau anemia.
❑ Perhitungan koreksi albumin.
Jumlah albumin tambahan yang dibutuhkan dalam gram adalah :
(Target albumin-albumin pasien) x BB x 2 = …. (dalam gram)
Dalam 100 cc albumin 25% terkandung 25 gram albumin.
Terapi & Resusitasi cairan
dalam beberapa kondisi yang sering dilakukan.

A. Terapi cairan pada perdarahan akut.


B. Terapi cairan peri-operatif.
C. Terapi cairan pada syok sepsis.
D. Terapi cairan pada syok Dengue.
E. Terapi cairan pada Luka bakar
F. Terapi cairan pada KAD/HHS --. Hitung fluid
deficit dengan melihat osmolaritas plasma.
BAGAIMANA TERAPI CAIRAN PADA
PERDARAHAN AKUT …?
Setelah terjadi perdarahan hebat, ada 2 hal utama yang terjadi :
1. berkurangnya plasma darah → yang berakibat hypovolemia.
2. Berkurangnya eritrosit →yang berakibat anemia.
Maka yang terjadi :
❑ Terjadi hipovolemia sementara saat terjadi perdarahan → terjadi
pergeseran/ redistribusi volume intra vaskuler dari vena splanikus dan
perifer (sbg resevoir darah) ke jantung sebagai preload sehingga Cardiac
Output (CO) tetap terjaga. Hemodilusi yg normal terjadi dalam 1-2 hari
setelah perdarahan. Takikardi terjadi akibat jantung mengkompensasi
penurunan eritrosit yang berakibat turunnya DO2/Oksigen delivery.
❑ Bila hipovolemia berlanjut, tubuh akan melakukan vasokontriksi sbg
respon kompensasi mempertahankan Cardiac Output.
❑ Bila tetap terjadi hipovolemi maka tjd ggn perfusi ke organ tubuh dan
jaringan perifer → sehingga terjadi hipoperfusi organ + hipoksia
jaringan.
• Paradigma yang harus diingat : Tubuh mentoleransi anemia
lebih baik dibanding hipovolemia. Toleransi/kompensasi
terhadap penurunan hemoglobin maupun penurunan volume
plasma → ditunjukkan dengan tidak adanya perubahan
hemodinamik saat perdarahan fase awal terjadi.
❑ Tubuh dapat mentoleransi terhadap penurunan kadar Hb
(anemia) sampai dengan 50% atau sampai kadar Hb ± 7
gr%),
❑ Sementara toleransi terhadap hipovolemi hanya 30% (sekitar
1.500 cc pada BB 50 kg).
• Artinya : Memperbaiki /memulihkan hipovolemi lebih penting
utk segera dilakukan daripada meningkatkan Hb dengan cara
tranfusi darah → sehingga dalam kondisi darurat, bukan
menaikkan hemoglobin yang harus dilakukan tapi justru
mengembalikan volume darah yang harus dikerjakan.
Secara praktisnya, pemberian cairan pada pasien dgn perdarahan akut :
1. Prinsip : Setiap volume darah yg keluar harus digantikan shg volume
intra vaskuler tetap sama, bisa dgn cairan kristaloid, koloid & darah.
2. Selama vol perdarahan kurang dari 30% → penggantian volume
darah yg hilang cukup dgn kristaloid atau koloid. Jumlah/volume
cairan pengganti :
❑ Pemberian dengan kristaloid sebanyak 3x volume perdarahan.
❑ Sedangkan pemberian koloid sebanyak 1x volume perdarahan.
Selalu diingat : tranfusi memberikan resiko berupa alergi, penyebaran
penyakit, dll → sehingga menjadi opsi/pilihan terakhir.
3. Darah/produk darah harus diberikan, bila Hb kurang dari 7-8 gr%.
A. Bila Hb awal normal : tranfusi diberikan bila perdarahan lebih
dari 30% atau Hb < 7 gr% (lebih dari 1.500 ml pada pasien BB 50
kg) dgn catatan : tidak ada kelainan/penyakit yg membutuhkan
perfusi organ > baik (pasien AMI/ iskemik jantung, pasien cedera
kepala, dll).
B. Tetapi pada pasien dengan Hb awal rendah, mungkin transfusi
darah sudah harus diberikan meskipun perdarahan hanya 1.000 ml
BAGAIMANA TERAPI CAIRAN PADA
PERIOPERATIF …?
• Sesungguhnya besarnya kehilangan cairan/darah selama tindakan
operasi tidak bisa dihitung secara tepat.
• Konsep lama pengeloalaan cairan perioeratif :
❑ Penggantian cairan akibat puasa : 2 cc/kgBB/jam, dgn kristaloid
❑ Penggantian cairan akibat operasi : tergantung jenis operasi.
1. Operasi kecil/minor (eksisi lipoma, MOW, dll) : 4 cc/kgBB/jam
2. Operasi sedang (SC, ORIF Femur, dll) : 6 cc/kgBB/jam
3. Operasi besar/mayor (laparatomi explorasi, ORIF multiple, dll):
8 cc/kgBB/jam
❑ Pengantian cairan akibat perdarahan :
a. Perdarahan < 10 % EBV diganti dengan kristaloid
b. Perdarahan 10% - 20 % EBV diganti dengan koloid
c. Perdarahan > 20% EBV diganti dengan darah
EBV = Estimated Blood Volume, yaitu 60 cc/kgBB
• Namun penggantian cairan dengan pedoman seperti diatas →
cenderung mengakibatkan hypervolemia/overload cairan.
• Enhanced Recovery After Surgery (ERAS) adalah suatu konsep terbaru
(tahun 1990-an) yang berupa penatalaksaan perioperative berbasis
multimodal & multidisiplin yang bertujuan mempertahankan fungsi organ
dan menurunkan respon stress selama operasi. Konsep ini terbukti :
❑ Mempercepat pemulihan pasien pasca operasi.
❑ Memperpendek LOS pasien di rumah sakit.
❑ Mengurangi resiko komplikasi (morbiditas) & kematian (mortalitas) paska
operasi
• Konsep terbaru yang dipakai adalah manajemen cairan perioperative
dengan berbasis zero balance (cairan yang masuk sama dengan cairan yang
keluar untuk mempertahankan normovolemia, tanpa peningkatan berat
badan) untuk menunjang pencapaian tujuan ERAS.
• Kunci utamanya adalah : mencegah puasa berkepanjangan, mencegah
hipotensi durante operasi, tidak memberikan cairan berlebihan, memantau
kecukupan cairan u/ menjaga perfusi jaringan tetap baik & hemodinamik
stabil dengan CRT, produksi urine, auskultasi paru & alat pemantauan yang
lain.
• Bagaimana pemberian cairan selama perioperative...?
Fluid Balance
BAGAIMANA TERAPI CAIRAN
,
PADA DSS (Dengue Shock Syndrome) … ?
• Kematian pada syok dengue : 1-5 %
• Awasi fase kritis hari ke 4-6.
• Karakteristik syok pada DHF :
❑ kebocoran (leakage) dinding
vascular → edema palpebra &
ektremitas, efusi pleura dan asites →
hipovolemik intravascular & syok
❑ gangguan hemostasis → petechie,
epistaksis, melena → hipovolemik
intravascular & syok
• Pengelolaan : non spesifik (tergantung
manifestasi/gejala klinik, beratnya
penyakit, dll)
❑ Pada syok sepsis & DSS
tjd vasodilatasi dan
peningkatan permea-
bilitas dinding
vaskuler.
❑ Tetapi kebocoran
cairan pd syok Dengue
(DSS) > berat. Tjd
peningkatan hemato-
krit darah intravaskuler
& kadang penimbunan
cairan diluar pembuluh
darah pd pasien DSS
(asites/efusi pleura) →
syok hipovolemia.

❑ Syok Sepsis: vasodilatasi >> + kebocoran cairan + DIC di fase lanjut


DSS : vasodilatasi + kebocoran cairan >> + perdarahan yg lebih awal
Angela McBride et al, Microvascular Disfunction in septic and dengue shock, Glob Cardiol Practice, 2020
• Pada awal terjadi syok yg terkompensasi : terjadi kebocoran cairan ringan →
ggn perfusi tanpa terjadinya hipotensi. Terjadi penurunan curah jantung (Cardiac
Output) yang dikompensasi dengan peningkatan denyut jantung/takikardi
❑ Penurunan perfusi lambung & sal cerna yang disertai hepatomegali→ nyeri
ulu hati, mual & muntah.
❑ Penurunan perfusi ke ginjal → penurunan produksi urine
• Pada tahap lanjut akan terjadi syok dekompensasi : Terjadi kebocoran dinding
vaskuler yang semakin hebat bahkan kadang disertai penurunan trombosit berat
yang mengakibatkan ggn koagulasi dan timbulnya perdarahan.
Vasodilatasi+peningkatan permeabilitas vaskuler+ perdarahan akan semakin
memperberat gangguan perfusi. Kenaikan denyut jantung tetap tidak dapat
mempertahankan aliran darah yang cukup ke jaringan perifer dan organ dalam
tubuh → penurunan tekanan darah (hipotensi).
❑ Penurunan perfusi ke kulit → akral dingin
❑ Penurunan perfusi ke ginjal → penurunan prod urine oligouria s/d anuria.
❑ Penurunan perfusi ke otak → penurunan kesadaran (apatis somnolen
bahkan delirium ataupun koma ) → encelopathy dengue?
• Penurunan trombosit akan menyebabkan gangguan perdarahan yang berupa
petekie, bahkan pedarahan spontan (hematemesis, melena, dll
• Problem DSS : diagnosis dini yang sulit, akses vaskuler yang sulit, resusitasi
• Jenis cairannya :
❑ Kristaloid (NaCl 0,9% & RL) →
cairan yg umumnya diberikan
pada resusitasi syok Dengue
dibandingkan koloid (HES &
Dextrans).
❑ Koloid (Dextran & HES) →
hanya pada kasus DSS berat,
namun dapat menimbulkan
efek samping yg > besar.
❑ Tranfusi darah (trombosit,
plasma, PRC) hanya diberikan
pada trombositopenia yang
berat atau yang disertai
perdarahan.
• Jumlah cairan → spt table.

1.Zienderman CE et al, Fluids solutions in dengue shock syndrome, New England Journal, 2005
2.Bridget A Wills et al, Comparison of three fluid for resuscitation in dengue shock syndrome, New England
Journal, 2005
Jumlah cairan resusitasi ≈ stage DHF

• Pada kasus hipotensi persisten (setelah dilakukan resusitasi cairan secara adekuat)
→ dapat ditambahkan inotropik (umumnya dopamin pada pasien anak) dan
vasopressor → guna meningkatkan curah jantung (CO) dan memperbaiki perfusi
ke sistem organ dan jaringan perifer.
TERAPI CAIRAN PADA SYOK SEPSIS
• Syok septik merupakan kegawatdaruratan medik. Langkah awal
pengelolaan sepsis adalah ABC immediate stabilization.
• Stabilisasi hemodinamik (circulation) merupakan salah satu
pengelolaan utama pada pasien sepsis atau syok septik dengan tujuan
mengembalikan hipovolemik intra vaskuler dan memperbaiki perfusi
jaringan. (selain pemberian antibiotik & source control).
• Tiga komponen utama untuk memperbaiki hemodinamik pada pasien
sepsis/syok septik :
1. Resusitasi cairan → paling mudah dikerjakan & paling murah.
2. Pemberian vasopressor/vasokonstriktor.
3. Pemberian inotropik.
• Dengan target (goals) awal resusitasi cairan : CVP 8-12 mmHg , MAP 60-
90 mmHg & ScVO2 > 70 % → menjadi MAP > 65 mmHg, ScVO2 >70 %
dan Laktat kembali normal < 4 mmol/L atau laktat klirens >40%
• Pilihan cairan untuk resusitasi : kristaloids, dengan target pencapaian 3
jam. Koloid dan transfusi darah kalo perlu.
KONSEP EGDT.
• Dikenal dgn sebutan EGDT yaitu terapi awal yang langsung dilakukan untuk
mencapai target tertentu, yaitu CVP, MAP dan ScvO2.
• Dari waktu ke waktu, semua guideline SSC memberikan terapi cairan
sebagai resusitasi awal pada sepsis → SSC 2004, 2008, 2012, 2016.

SSC 2004-2008
SSC 2012

SSC 2016
Algoritma resusitasi cairan pada syok septik
Rivers “EGDT”, 2001 Einstein, 2015

30 mL/kgBB

The Protocolised of Management Sepsis (ProMISe) study, New England Journal Med, March 2015
Protocol-based care for Early Septic Shock (ProCESS), New England Journal med, 2014, , 370: 1683-93
How to choose therapeutic goals to improve tissue perfusion in septic shock, Einstein, 2015, 13(3): 441-7
CAIRAN NUTRISI
(TPN/TRANS PARENTERAL NUTRITION)
CAIRAN NUTRISI
(TPN/TRANS PARENTERAL NUTRITION)
• Indikasi utama pemberian TPN (Trans Parenteral Nutrition ) :
❑ Kurang gizi yang kehilangan berat badan > 10% dari BB terakhir
❑ Saluran pencernaan tidak berfungsi sama sekali (ileus obstruksi,
ileus paralitik)
❑ Tidak ada asupan makan selama 3-5 hari terakhir (misal : pasien
tetanus dengan kejang berkepanjangan)
❑ Kebutuhan yang tinggi akibat pemecahan protein yang
berlebihan (misal : luka bakar yang luas)
• Pasien pasca bedah yg tidak mendapatkan nutrisi sama sekali →
akan kehilangan protein setiap hari 1 gr/hari, sehingga terjadi hipo
albumin. Hipoalbumin berefek buruk karena menyebabkan : edema
jaringan, infeksi memperlambat penyembuhan luka, dehisensi luka
operasi.
CAIRAN NUTRISI

• Cairan : Nutrisi :
Umumnya berisi cairan ❑ Energi/Kalori :
kristaloid dengan karbohidrat, lemak
kandungan mineral ❑ Protein
ionik/ elektrolit. ❑ Mikronutrien lain

Kebutuhan cairan : sekitar 35-45 cc/kgBB/hari.


a. Pasien demam, diberikan tambahan kebutuhan cairan sebesar
12,5% setiap 1OC kenaikan suhu tubuh.
b. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal, cairan dikurangi dgn
diberikan sebesar : insisible water loss (IWL, yaitu 15
cc/kgBB/hari) ditambah produksi urine/hari.
Kebutuhan energi/kalori : Dihitung dengan berbagai rumus
• Rumus Harris Benedict : dihitung berdasarkan kebutuhan energi
basal dikalikan dengan factor stress.
❑ Kebutuhan Energi Basal ( dalam Kkal/hari)
➢Laki-laki : 66,47 + (13,75 X kgBB) + (5,0 x TB)- (6,76 x Umur).
➢Wanita : 65,51 + (9,56 x kgBB) + (1,85 x TB)- (4,68 x Umur)
❑ Faktor stress
Faktor stres Koreksi
1. Post operasi (tanpa komplikasi) 1,0 – 1,1
2. Fraktur tulang panjang 1,15 -1,30
3. Kanker 1,1 – 1,30
4. Peritonitis /Sepsis 1,10 – 1,30
5. Infeksi serius /multiple trauma 1,20-1,40
6. Kegagalan multi organ 1,20-1,40
7. Luka bakar 1,20-2,00
• Rumus Rule of thumb
• Calorimetri
Komponen TPN yang diberikan :
Sumber kalori yang utama : Karbohidrat (50-70%) dan Lemak (30-50%).
❑ Karbohidrat :
a) KH sebagai sumber utama energi/kalori yang utama (untuk mencegah
pemecahan anabolik protein), namun tidak dapat diberikan sebagai
sumber kalori tunggal karena resiko hiperglikemia (karena dosis menjadi
sangat besar tanpa bisa diimbangi produksi insulin internal).
b) Dapat diberikan sampai 45-70% dari total kalori yang dibutuhkan.
Setiap gram Karbohidrat akan menghasilkan 4,1 kalori.
c) Beberapa jenis karbohidrat yang biasa utk sumber energi : glukosa/
dextrose, fruktosa/sorbitol dan Xylitol/maltose. Dengan dosis :
Sumber karbohidrat Dosis aman diberikan
1. Glukosa/dextrose. (D 5%, D 10%) 6 gram/kgBB/hari
2. Fruktosa/Sorbitol. (Frutolit, Tutofusin) 3 gram/kgBB/hari
3. Xylitol/maltose. (Triofusin) 1 gram/kgBB/hari
Bentuk karbohidrat umumnya diberikan dalam kombinasi yang terdiri
dari karbohidrat, cairan dan elektrolit seperti diatas.
❑ Lemak → emulsi lemak.
❑ Lemak
a. Lemak → dapat diberikan sebagai nutrisi enteral atau parenteral
sebagai emulsi lemak. Dari 1 gram lemak menghasilkan 9 kalori.
b. Pada pasien kritis, lemak sebaiknya diberikan sejumlah 20-35%
c. Berfungsi sebagai substrat sumber energi pendamping
karbohidrat. Keuntungan pemberian lemak sebagai sumber
energi/kalori : cepat terhidrolisa, cepat di-eliminasi dari darah,
mudah diambil oleh jaringan, mudah dioksidasi, keuntungan
imunologis.
d. Untuk evaluasi : lakukan pemeriksaan trigliserida & kolesterol
total secara berulang. Lemak tidak boleh diberikan bila :
Kolesterol > 400 mg/L dan trigliserida > 500 mg/L, serta
gangguan fungsi hepar.
e. Sediaan : Emulsi lemak 10% dan emulsi lemak 20% dengan
osmolaritas 270 -340 mOsm. Sehingga masih bisa diberikan
secara perifer.
❑ Protein : umumnya diberikan dlm bentuk asam amino esensial
(yang seharusnya dapat dibentuk sendiri oleh tubuh).
➢ AA esensial: arginine, histidin, leusin, isoleusin dll
➢ AA non-esensial : glutamin, glisin, aspargin, alanine dll
Contoh : Amiparen,
❑ Vitamin : B1, B2, Niacin, B6, asam folat, B12, Vit A, vit B. vit C,
vit D, vit E dan vit K.
❑ Elektrolit (kebutuhan K, Na, Ca dan PO4 dapat dihitung
mmol/hari)
❑ Mineral : Cu, Mg, Fe, Zn, se
Persiapan pemberian TPN :
❑ Catat BB pasien, tentukan status gizinya (kurang/sedang/lebih).
❑ Periksa hasil laboratorium (adakah gangguan elektrolit dll?)
❑ Hitung kebutuhan cairan, kebutuhan kalori dan elektrolit
➢ Kebutuhan cairan : 35-45 cc/kgBB/hari.
a. Pasien demam, diberikan tambahan kebutuhan cairan
sebesar 12,5% setiap 1OC kenaikan suhu tubuh.
b. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal, cairan dikurangi
dgn diberikan sebesar : insisible water loss (IWL, yaitu 15
cc/kgBB/hari) ditambah produksi urine/hari.
➢ Kebutuhan kalori : 25-30 kal/kgBB/hari.
❑ Periksa akses parenteral → sesuaikan dgn osmolaritas cairan.
➢ Osmolaritas rendah : cukup vena perifer
➢ Osmolaritas besar/tinggi : vena sentral.
• Kebutuhan umum nutrisi dan Cairan:
❑Pedoman umum distribusi kalori : Protein 10-
15%, Karbohidrat 40-60% dan lemak 25-40%
❑Glukosa tidak dapat digunakan sebagai
sumber kalori tunggal karena : resiko
hiperglikemia, produksi CO2 yang berlebihan,
konsumsi O2 berlebihan, infiltrasi lemak di
hepar.
❑ Kebutuhan cairan : dewasa 35-45 cc/kg/hari
✓ Dibatasi pada pasien dengan ggn ginjal, decompensasi
cordis.
✓ Pada bayi/anak 3-10 kg : 100 cc/kgBB
10-20 kg : 1000 cc + 50cc/kgBB
20-30 kb : 1500 cc + 20 cc/kgBB
❑ Osmolaritas cairan nutrisi :
➢ Cairan hipertonis beresiko terjadi iritasi dinding pembuluh
darah dan flebitis s/d terbakar
➢ Osmolaritas plasma normal 282-295 mOsm/kg
➢ Osmolaritas > 900 mOsm/kg harus diberikan melalui vena
central.
Pemberian terapi cairan/nutrisi dapat diberikan secara
❑ Jalur vena sentral, bila konsentrasi glukosa 12 % dan osmolaritas >
900 mOsm/kg
❑ Jalur vena perifer : kepekatan/osmolaritas sampai 900 mOsm/L
Kesalahan dlm pemberian cairan nutrisi parenteral :
• Menggunakan vena perifer untuk pemberian cairan pekat.
1. Vena perifer hanya dapat menerima osmolaritas cairan nutrisi sebesar 3x
osmolaritas plasma (osmolaritas plasma : 300 mOsm → maks 900 mOsm).
2. Semakin tinggi osmolaritas cairan (semakin hipertonis) → semakin mudah
menimbulkan flebitis, bahkan dapat timbul tromboemboli → bila
diberikan secara perifer.
3. Dengan melewatkan pada pembuluh darah yang besar (vena sentral),
cairan nutrisi yg pekat akan mudah ter-encerkan atau terlarut sehingga
tidak sempat mengiritasi/merusak dinding pembuluh darah vena.
• Memberikan protein tanpa karbohidrtat yang cukup.
a) Sumber kalori utama dan harus selalu ada adalah dekstrose. Sel otak &
eritrosit selalu memakai glukosa sebagai kalori utk kebutuhan energi basal
b) Kekurangan kalori dari glukosa dapat berakibat terjadi glukoneogenesis :
protein dipecah menjadi glukosa.
c) Jadi kalori harus dipenuhi dari glukosa sebelum diberikan protein.
• Tidak melakukan perawatan jalur nutrisi.
TERIMA KASIH
HOW MUCH FLUID, MUST TO GIVE ?
• Target → CUKUP !!!!!!
• Bukan kurang …. Bukan berlebihan …
• Paradigma pengelolaan cairan
• Management of fluid in critical ill patients: major
therapeutic challenge
• Four D’s of fluid therapy: Drug, Dose, Duration, De-
escalation
• Four phase, named“ROSE”: Resuscitation, Optimization,
Stabilization, Evacuation
Fluid Balance
Liberal
Risk of cmplication Restrictive

Sepsis/severe sepsis
CHF

Normal condition

hipovolemia Optimal fluid Fluid overload


Fluid volume infused
Fluid Balance
Pemberian Cairan yang berlebihan
FLUID OVERLOAD
Accumulatif Fluid >> → harmfull
• Fluid Balance + ( positif, but < 10 % estimated total body fluid)
• Fluid Overload + ( positif > 10% estimated total body fluid)
FOUR PHASE FLUID MANAGEMENT

ROSE
CONCEPT
ROSE Concept
ROSE : Resucitation, Optimation, Stabilitation, Evacuation
(SOSD : Salvage – Optimation - Stabilitation – Deresucitation)

Resuscitation/Salvage Evacuation/De-resuscitation
FLUID RESUCITATION IN SEPSIS
SEPSIS
• The main pathophysiology of sepsis → massive vasodilatation
and increases membran vascular permeability → leading fluid
deficit intravascular.
• Initial Resucitation is a mainstay & fundamental in initial
treatment of sepsis (beside ANTIBIOTIC & SOURCE CONTROL).
• What is initial resuscitation ?
1. Fluid resuscitation 2. Vasopressor 3. Inotropic
• The question of fluid resucitation in sepsis :
❑ Which fluid the best for resucitation …? → Fluid option
❑ How much fluid is needed for sepsis …? → Fluid volume
❑ How to manage fluid resucitation in sepsis … ? → Fluid
Challenge/Fluid management.
• Dari waktu ke waktu, semua guideline SSC memberikan terapi cairan
sebagai resusitasi awal pada sepsis → SSC 2004, 2008, 2012, 2016.

SSC 2004-2008
SSC 2012

SSC 2016
• Terapi cairan telah ditetapkan menjadi tindakan paling awal dalam rangka
mengembalikan kestabilan hemodinamik → mudah dikerjakan, paling murah
• Dikenal dgn sebutan EGDT yaitu terapi awal yang langsung dilakukan untuk
mencapai target tertentu, yaitu CVP, MAP dan ScvO2.
Fluid volume in SEPSIS
Ada beberapa penelitian yang menghitung jumlah pemberian cairan rata-rata
pada pasien sepsis di ICU
The lower of total fluids

The lower of mortality


Fluid option in SEPSIS
Ada beberapa penelitian yang membandingkan pemberian jenis cairan pada pasien
sepsis di ICU

No Name Study Fluid Conclution


1. Chrysmas Study. HES vs NaCL Dibutuhkan volume HES yang lebih sedikit
(Crystalloids Morbidity drpd NaCl utk mencapai HD stabil pada
Associated with severe
Sepsis) pasien sakit kritis.
2. Chest trial. HES vs Tidak ada perbedaan dalam hal angka
(Crytalloid vs Hydroxy SALINE kematian (mortality rate) 90 hari pada
Etyl Starch)
pemberian HES dibanding NaCl 6%.
3. 6 S Trial. HES vs Didapatkan kenaikan pada angka kematian
(Scandanavian Starch Ringer dan penurunan fungsi ginjal pada HES
for Severe
Sepsis/septic Shock)
Asetat dibanding Ringer Asetat.
4. SAFE Trial. Albumn 4% Tidak ada perbedaan bermakna antara
(Saline vs Albumin vs NaCl pemberian Albumin 4% dan NaCl pada
Fluid Evaluation)
pasien sepsis pada 28 hari.
Fluid Management in SEPSIS
Four Question of fluid management of Sepsis :
1. When to start intravenous fluids …?
2. When to stop intravenous Fluids … ?
3. When to start de-resuscitation or active fluid
removal …?
4. When to stop de-resuscitation…?
With ROSE CONCEPT guiding, we can make a new
approach giving fluids protocol in critically ill
patient by condition in hospitals
ROSE CONCEPT
RESUSCITATION OPTIMIZATION STABILIZATION EVACUATION
1st HIT: When do 2nd HIT: When do 3rd HIT: When do 4th HIT: When do
HIT I start to give I stop to give I start unloading I stop unloading
fluids? fluids? fluids? fluids?
Benefit of fluid Risks of fluid Benefit of fluid Risk of fluid
WHY overload removal removal
MINUTES HOURS DAYS DAYS-WEEKS
TIME
Correct shock Maintain tissue Zero/negative Mobilize fluid
GOALS perfussion fluid balance accumulation
Rapid boluses Fluid titration Minimal Diuretic
FLUID maintenance if RRT
THERAPY oral intake
inadequate
Goal-Directed Fluid Resuscitation

When to start When to stop When to start When to stop


giving fluid giving fluid remove fluid fluid removal
Minutes Hours Hours/Days Days/week

1.Clinical sign of 1.Clinical sign of 1. Fluid accumu-


hypovolemic: normovolemic: lation/balance 1.Balance
Hypotensive Normotensive zero/
(MAP<65), (MAP>65), positive: negative.
tachycardia, Normal heart rate tachycardia,
oliguria, CRT> 3 urine output :>0,5cc oliguria 2.Improved
sec /kg/min, CRT<3 sec 1. Fluid overload: clinical sign
2.Preload 2.Preload Sign of peripheral of organ
responsiveness: iresponsiveness: edema, lung edema edema
Low CVP, Low CO/SV, Increased CVP, high EVLWI (normal CXR
SVV/PPV>10%, increased CO/SV, SVV/PPV <10% EVLWI)
PLR>10%, IVC SVV/PPV<10%,,PLR<1 PLR<10%
collapsibility 0%, IVC normal

MALBRAIN et all. Anesthesiology Intensive Therapy 2014


Fluid Balance
Phase II

Phase I

Phase III

MAINTENANCE/
Fluid Balance

Homeostasis
RESUCITATION
REMOVAL

Time
How to monitor
preload/Fluid
responsive-ness .... ???
Techniques for assessing fluid responsive-ness.
Static pressure and volume parameters
❑ CVP ❑ RV end-diastolic volume
❑ PAOP (pulmo-arte occlu-pres)
❑ LV end-diastolic volume
❑ IVC diameter ❑ IVC variation during Mech.
❑ Flow Corrected Time Vent
Dynamic technique based on heart-lung interactions
➢ PPV (pulse pressure var) ➢ Plethismographic variability
➢ SVV (stroke volume var) ➢ Aortic blood Flow
Techniques based on real or virtual fluid challenge
❑ PLR
❑ Rapid Fluid Challenge (100-250 cc)
The End
HOW TO FLUID MANAGEMENT
IN SEPSIS OR CRITICALLY ILL …???
2001: Rivers Calls for EGDT

Goal-Directed Therapy (GDT)


→ The gold standard for perioperative fluid management
in critical illness, or during major surgery
EGDT IN THE TREATMENT OF
SEVERE SEPSIS AND SEPTIC SHOCK
6 hours

Rivers. NEJM 2001


Sepsis Guidelines 2012

During the first 6 hrs of resuscitation, the goals of initial


resuscitation of sepsis-induced hypoperfusion should
include all of the following as a part of a treatment
protocol (grade 1C):

Dellinger RP, Levy MM, Rhodes A, et al. Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines for Management
of Severe Sepsis and Septic Shock: 2012. Critical Care Medicine 2013;41(2):580–637.
EGDT IN THE TREATMENT OF
SEVERE SEPSIS AND SEPTIC SHOCK

Rivers. NEJM 2001

Aggressive fluid resuscitation


achieving CVP 8-12 mmHg
using crystalloid then colloid

FLUID FIRST !!

Rivers. NEJM 2001


(2004-2008)

FLUID FIRST !!
EGDT protocol in
the Bundle EGDT protocol still
in the Bundle

(2012)
2012

SEPSIS BUNDLE
REVISED 2015
FINALLY;
EGDT had (2015)
removed from
the Bundle

But still fluid


first 😅😍
TRANSFORMATION OF
SEPSIS RESUSCITATION BUNDLE

2015 FLUID FIRST !!


SSC 2016

Can not
move on
..😅😍
THE CONSEQUENCES

Sea drowning
Dry-land drowning

ARDS

PERIPHERAL EDEMA IN DHF

BURST ABD
FLUID BALANCE AND CLINICAL OUTCOME
IN ICU

it h
ed w
cia t
s s o
ce a lit y
la n o rta
b a f m
id
lu ase o
r f
ighe incre
H
The lower of total fluids

The lower of mortality


WHY OVERLOAD?
Capillary Leak In Sepsis

• Systemic capillary leak syndrome is a rare


disorder characterized by recurrent flares of
massive leakage of plasma and other blood
components from blood vessels into
neighboring body cavities and muscles.
• This leads to swelling. The symptoms result from
a sudden and unexplained increase in the
leakiness of small blood vessel (capillary) walls.
Unless treated, massive fluid shifts result in a
sharp drop in blood pressure thatDefinition
can lead to
organ failure and death. By Mayo Clinic
capillary cell
membrane membrane

ICW Mineral, protein,


40% gycogen, fat
40%

Interstitial o Clearance of crystalloid during anesthesia and


Plasma surgery is 10-20% of that in awake volunteers
Volume 4.3% fluid 15.7%
o Crystalloid leaves the plasma space, equilibrates with
colloids interstitial space after 20-30 min

crystalloid:
75-80% leaves vasculature after 20 minutes
5% dextrose

VOLUME KINETICS FOR INFUSION FLUIDS


Hahn GR, Anesthesiology 2010
“Pathologic shift” “Pathologic shift”

Interstitial fluid

Delayed clearance
Immediately reaches
shifting equilibrium with
interstitial space during
plasma infusion

Volume Kinetics for Infusion of crystalloid during


surgery and Pre-eclampsia
Hahn GR, Anesthesiology 2010
PATHOPHYSIOLOGY FLUID RESUSCITATION IN
CRITICAL ILLNESS
Healthy Normal

Normal
Crystalloid Glycocalix
infusion & endothelial gap

ti on
r m a

Interstitial
Normal
a fo
15’ 75%
fluid shift
heart
m
Plasma

Zero Balance
ede
Normal
kidneyNo Drainage

Normal
Lymph
Urine output
THE IMPACT OF STARLING’S PRELOAD
DEPENDENCY TO FLUID MANAGEMENT
PHYSIOLOGY OF VOLUME
FLUID BOLUS RESUSCITATTION IN CRITICALL ILL
Preload
dependence
Glycocalix damage - Increased
CYSTALLOID permeability/gap
INFUSION

Leakage
nt
te

Interstitial

s
hypovolemia
Increase Filling
Fluid shift
si
r em maa
Plasma

Pressure → Atrial
Natriuretic Peptide
(ANP) launched
e
Ped de
Lymph e
In critical illness →
Urine output leakage >> lymph flow
decrease → STILL
HYPOPERFUSION → tissue edema
THE CONSEQUENCES OF TISSUE EDEMA
Tissue Normal
edema distance

Celullar
hipoxia

The Importance Of Local Capillary Oxygen Tension And Diffusion Distance


In Determining The Rate Of Oxygen Delivery And The Intracellular PO2
Leach RM. Thorax 2002;57:170–177
Increase the
DO2crit during
hipoxemia

An increased intercapillary distance, as would occur with tissue oedema, reducing


DO2 by progressive falls in arterial oxygen tension results in a change in the
DO2/VO2 relationship with VO2 falling at much higher levels of global DO2
Leach RM. Thorax 2002;57:170–177
FLUID ACCUMULATION AND MULTI ORGAN
DYSFUNCTION

Aggressive Fluid Strategies


Adversely Affect Every
System And Organ

Tissue Edema

Diffusion Distance

Celullar damage
Prowle JR et al. Nat Rev Nephrol 2010;6:107
FLUID OVERLOAD COMPLICATION
FLUID ACCUMULATION IN GASTROTROINTESTINAL FUNCTION
→ABDOMINAL COMPARTEMENT SYNDROME

Vidal et al. Crit Care Med 2008


THE EFFECT OF FLUID ACCUMULATION
ON GASTROINTESTINAL FUNCTION

Fluid accumulation

Splanchnic edema

Gut Edema

Lower Bursting
pressure

1. Increased gut permeability


2. Impaired wound healing
3. Anastomostic dehiscence
Marjanovic et all. Ann Surg 2009
THE EFFECT OF FLUID ACCUMULATION ON
GASTROINTESTINAL FUNCTION

1. V(-) = Crystalloid volume restrictive


2. CO = control
3. V(+) = Crystalloid volume overload

Impact of Different Crystalloid Volume


Regimes on Intestinal Anastomotic Stability
Marjanovic et al. Ann Surg 2009
THE EFFECT OF FLUID ACCUMULATION
ON GASTROINTESTINAL FUNCTION

1. Col- = colloid restrictive


2. Cry- = crystalloid restrictive
3. Col+ = colloid overload
4. Cry+ = crystalloid overload

Colloid vs. crystalloid infusions in gastrointestinal surgery and their different impact on the
healing of intestinal anastomoses
Marjanovic et al. Int J Colorectal Dis (2010) 25:491–498
THE EFFECT OF FLUID ACCUMULATION
ON GASTROINTESTINAL FUNCTION

1. Col- = colloid restrictive


2. Cry- = crystalloid restrictive
3. Col+ = colloid overload
4. Cry+ = crystalloid overload
Colloid vs. crystalloid infusions in gastrointestinal surgery and their different impact on the
healing of intestinal anastomoses
Marjanovic et al. Int J Colorectal Dis (2010) 25:491–498
FLUID OVERLOAD IN PULMONARY RISK →ARDS
CUMULATIVE FLUID BALANCE

NON-SURVIVOR
NON-SURVIVOR

SURVIVOR

SURVIVOR

DAILY FLUID BALANCE


FLUID OVERLOAD IN KIDNEY FUNCTION → AKI

Payen et al. Critical Care 2008. 12:R74


Zero balance

In septic patients with AKI, positive fluid balance was associated


with decreased survival at 60 days

Payen et al. Critical Care 2008. 12:R74


SO, WHAT WE HAVE TO DO
CONTEXT SENSITIVE; FLUID IS TOXIC

Cordemans et al. Fluid management in critically ill patients: the role of extravascular lung water, adbominal
hypertension, capillary leak, and fluid balance. Annal of Intensive Care 2012
THANK YOU

George 2017
System-based Approaches to sepsis
Early-Goal Directed Therapy
INCLUSION = Sepsis AND [BP < 90 after fluid OR Lactate > 4]

Control Intervention EGDT


CVP 8-12 Fluids CVP 8-12

MAP > 65 Vasopressors MAP > 65


Transfusions
ScvO2 > 70%
Dobutamine
33% mortality
49% mortality LOS 4 less days
$13-16,000 savings
Rivers, E., Nguyen, B., Havstad, S., Ressler, J., Muzzin, A., Knoblich, B., Peterson, E., et al. (2001). Early goal -directed therapy in the treatment
of severe sepsis and septic shock. New England Journal of Medicine, 345(19), 1368–1377.
FLUID OPTION …?
Fluid option in SEPSIS
Ada beberapa penelitian yang membandingkan pemberian jenis
cairan pada pasien sepsis di ICU

No Study Fluid Conclution


1. Chrysmas HES vs Dibutuhkan volume HES yang lebih sedikit
Study NaCL drpd NaCl utk mencapai HD stabil pada
pasien sakit kritis.
2. Chest trial HES vs Tidak ada perbedaan dalam hal angka
SALINE kematian 90 hari pada pemberian HES
disbanding NaCl 6%.
3. 6 S Trial HES vs Ada kenaikan angka kematian dan penurunan
Ringer fungsi ginjal pada Hes disbanding Ringer
Asetat Asetat
4. SAFE Trial Albumn Tidak ada perbedaan bermakna antara
4% vs pemberian Albumin 4% dan NaCl pada pasien
NaCl sepsis pada 28 hari.
BERBAGAI PENELITIAN TTG PILIHAN CAIRAN RESUSITASI

CRYSTMAS study * :
Crystalloids Morbidity Associated with severe Sepsis
CHEST trial*
*Crystalloid vs Hydroxyethyl Starch
HES vs Saline in the ICU
Renal Replacement Renal Adverse
90-day Mortality
Tx Failure Events
HES (6%, 130/0.4) 18% (597/3315) 7% 10.4% 5.3%
Saline (0.9%) 17% (566/3336) 5.8% 9.2% 2.8%
P-value 0.26 0.04 0.12 < 0.001

Mortality
• No difference at 90 d
• No difference in subgroups
– AKI
– Sepsis
– Trauma
– TBI
– APACHE II score
– HES before
randomization
Myburgh JA, et al. N Engl J Med. 2012 Oct 17. [Epub ahead of print]
CHEST conclusion
• No benefit of HES over saline for treatment of
hipovolemia.
• Potential small harm risk with HES (renal
replacement therapy).
• More expensive than crystaloid.
6 S* Trial
(Scandanavian Starch for Severe Sepsis/Septic Shock)
HES vs Ringer’s Acetate in Sepsis
90-day Renal RIFLE RIFLE Severe
90-day Mortality
Replacement Tx Injury Failure Bleeding
HES (6%, 130/0.42) 51% (201/398) 22% 17% 23% 10%
Ringer’s Acetate 43% (172/400) 16% 15% 18% 6%
P-value 0.03 0.04 NA NA 0.09

• RCT
• Mortality difference appears
Survival

• Subgroups not different


– Shock at randomization
– AKI at randomization

Days since Randomization


Perner A, et al. N Engl J Med. 2012;367(2):124-134.
SAFE Trial
(Saline vs Albumin Fluid Evaluation)
Albumin 4% vs 0,9% NaCl
• 6997 ICU patients.
• Randomized to receive either.
• 0.9% NaCl
• 4% Albumin
• 28 day all-cause mortality.
• Finfer S, et al. SAFE Study Investigators. N Engl J Med. 2004;350(22):2247-2256.
SAFE Study: Status at 28 Days

Albumin Saline

Mortality (%) 20.9 21.1

ICU Stay (Days) 6.5 ± 6.6 6.2 ± 6.2

Hospital Stay (Days) 15.3 ± 9.6 15.6 ± 9.6

Ventilation Days 4.5 ± 6.1 4.3 ± 6.7

NB: A 2004 Cochrane review (by Alderson P et al) and a 2009 Annals systematic review
(by McIntyre L & Green RS) also concluded that albumin did not show any remarkable
benefits in improving mortality but the authors noted that the trials were largely
dominated by the SAFE study sample size.
Finfer S, et al. SAFE Study Investigators. N Engl J Med. 2004;350(22):2247-2256.
Alderson P, et al. Cochrane Database Syst Rev. 2004;4:CD001208.
McIntyre L, et al. Am Emerg Med. 2009;54(1):114-116.
SAFE Trial
Albumin 4% vs 0,9% NaCl
Conclution :
• No difference in
• Overall outcome
• Time on ventilator or in ICU
• Renal replacement therapy
• Organ failure
• But
• Albumin has trend toward benefit in sepsis
Conclusions
❑ Volume Expansion/Fluid Therapy aim to maintain
intravascular volume and tissue perfusion.
❑ Early goal directed therapy decrease the mortality
❑ Should be careful about fluid option and fluid balance
to avoid fluid overload.
❑ Fluid like a drugs, consider the dose, indication and
contraindication.
❑ With ROSE CONCEPT guiding, we can make a new
approach giving fluids protocol in critically ill patient
by condition in hospitals.
❑ The gold standard for perioperative fluid management
in critical illness, or during major surgery
The End
dr. IG NYOMAN PANJI PUTUGAWA, SpAn.KIC
Bagian Anestesi, Terapi Intensif dan Manajemen Nyeri
RSUD RAA SOEWONDO PATI

Bunaken
1991 2004 2016
Belum dikenal
istilah Sepsis

Mulai dikenal sepsis

Mulai dikenal SSC

Perubahan SSC
o Peny infeksi (wabah) sdh ada sejak lama:
❑ Wabah black death (Pes) tahun 1346-
1353 →Eropa, Afrika Utara,
Amerika.
❑ Kolera th 1817-1823 : India, Asia
Selatan
❑ Flu Spanyol 1918-1920→ Eropa
❑ HIV-AIDS, Flu Hongkong, dll.
o Penemuan mikroskop oleh Antony Van
Leuwenhook, 1676. Dia menemukan
“makluk kecil” penyebab infeksi.
Penemuan ini menghubungkan penyakit
dan mikroba.
Antony van Leuwenhoek o Namun s/d awal abad 20, pengelolaan
1632-1723 penyakit infelsi masih dilakukan dengan
cara yang tidak ilmiah.
 Penemuan berbagai antibiotik untuk membunuh kuman penyebab infeksi
→ memberikan harapan dalam pemberanytasan penyakit infeksi.
 Tapi penelitian lain menunjukkan hasil yang berbeda : prevalensi dan
mortality rate akibat sepsis atau infeksi sangat tinggi.
 Sampai tahun 1990, sepsis belum mendapat perhatian
secara mendalam.
 Masih kalah dengan isue HIV-AIDS, penyakit jantung
koroner → yang merupakan momok di bidang
kesehatan dengan resiko kematian yang tinggi.
 Adanya penemuan berbagai antibiotik tahum 1940-1970 →
menyebabkan penyakit infeksi kurang mendapatkan
perhatian lebih mendalam pengelolaaannya.
 Dengan adanya penemuan berbagai antibiotik, orang
beranggapan penyakit infeksi dapat diatasi lebih mudah.
 Tapi penelitian yang lain menunjukkan hasil yg berbeda :
prevalensi dan mortality rate sepsis ternyata sangat
tinggi.
❑ Perhatian terhadap sepsis atau penyakit infeksi yg berat
mendapatkan perhatian setelah tahun 1991, ACCP
(American College of Chest Physicians) & SCCM (Sociaty of
Critical Care Medicine) mengeluarkan consensus/
kesepakatan bersama tentang definisi sepsis dan akibat
yang ditimbulkan → Consensus 1991.
Definition :
❑ Infection ❑ Severe Sepsis
➢ Inflammatory response to ➢ Sepsis
microorganisms, or ➢ Organ dysfunction
➢ Invasion micro organism of ❑ Septic shock.
normally sterile tissues ➢ Sepsis

❑ Systemic Inflammatory Response ➢ Hipotension despite fluid

Syndrome (SIRS) resuscitation


➢ Systemic response to a variety of ❑ Multi Organ Dysfunction
processes : infection, injury, burn Syndrome (MODS)
➢ Febris, tachicardi, tachipneu, etc ➢ Altered organ function in an
acutely ill patient
❑ Sepsis ➢ Homeostasis cannot be
➢ Infection p + 2 SIRS criteria maintained without intervention
Bone RC et al. Definitions for Sepsis and Organ Failure and Guideline for the use of Innovative
Therapies in sepsis, Critical Care Medicine, 1992 ; Vol. 20, 101:1644-55.
KONSEP

Sepsis: Defining a Disease


Continuum

Infection Sepsis Severe Sepsis Syok Sepsis

SIRS
Invasion Sepsis : SIRS is a clinical response arising from a
non specific insult, including  2 of :
micro a presumed or
• Temperature 38oC or 36oC
organism of confirmed
• HR  90 beats/min
normally infection
sterile process with • Respirations 20/min
tissues SIRS • WBC count 12,000/mm3 or 4,000/mm3
or >10% immature neutrophils
SIRS = Systemic Inflammatory Response Syndrome

Adapted from: Bone RC, et al. Chest 1992;101:1644 & Opal SM, et al. Critical Care Medicine 2000;28:S81
Sepsis: Defining a Disease
Continuum
Infection Sepsis Severe Sepsis Septic Shock

Severe Sepsis :
sepsis with  1 sign of organ
failure SHOCK Sepsis
❑ Cardiovascular (refractory
hypotension)
❑ Renal Sepsis with
❑ Respiratory
hypotension,
❑ Hepatic
❑ Hematologic
despite fluid
❑ CNS resuscitation
❑ Metabolic acidosis adequat

Bone et al. Chest 1992;101:1644; Wheeler and Bernard. New England Journal Medicine 1999;340:207
Identifying Acute Organ Dysfunction
as a Marker of Severe Sepsis
CNS CARDIAC
Altered MS Tachycardia
Consciousness Hypotension
Confusion  CVP
Psychosis  PAOP

PULMO KIDNEY
Tachypnea Oliguria
PaO2 <70 mm Hg Anuria
SaO2 <90%  Creatinine
PaO2/FiO2 300

HEMATOPOETIK
HEPAR  Platelets
Jaundice  PT/APTT
 Enzymes  Protein C
 Albumin  D-dimer
 PT
Severe Sepsis : Sepsis with 1 sign of organ failure
:
❑ Cardiovascular :
Systolic BP < 90 mmHg, MAP < 65 mmHg, at least 1
hour despite adequat volume rescucitation.
❑ Renal :
urine output < 0,5 cc/kgBB body weight/ hr for one hour
❑ Respiratory :
PaO2/FiO2 < 250 if other other disfunctin organ present
or < 200 if only the lung is only dysfunctional organ
❑ Hepatic :
Decrease in albumin, increased LFT
❑ Hematologic :
Platelet count < 80.000 or decrease by 50% in 3 days
❑ CNS :
Alterred in mental status( apatic, somnolen, letargic, etc)
❑ Metabolic acidosis : PH < 7,3 and plasma laktat > 2,0
❑ Menjadi penyebab utama kesakitan & kematian di dunia.
❑ Penyebab terbanyak kematian, diluar kasus coroner di ICU (US)*
❑ Penyebab kematian no.11 dari seluruh penyebab kematian. (US) †§

❑ Lebih dari 750,000 kasus sepsis berat setiap tahunnya di


Amerika Serikat‡

❑ Di Amerika, lebih dari 500 pasien meninggal setiap


harinya.‡

*Sands KE et al. JAMA. 1997;278:234-40; †Based on data for septicemia. §Murphy SL. National
Vital Statistics Reports. ‡Angus DC et al. Crit Care Med. 2001 (In Press); reflects hospital-wide
cases of severe sepsis as defined by infection in the presence of organ failure.
60 50%§
Mortality (%)

34%‡
40
28%†

20

†Angus DC et al. Critical Care Medicine. 2001 (In Press).


‡Sands KE et al. JAMA. 1997;278:234-40.
§Zeni F et al. Critical Care Medicine. 1997;1095-100.
Incidence of Severe Sepsis Mortality of Severe Sepsis
300 250.000

250 200.000
Cases/100,000

200

Deaths/Year
150.000
150
100.000
100
50.000
50

0 0
AIDS* Colon Breast CHF† Severe AIDS* Breast AMI† Severe
Cancer§ Sepsis‡ Cancer§ Sepsis‡

†National Center for Health Statistics, 2001. §American Cancer Society, 2001. *American Heart
Association. 2000. ‡Angus DC et al. Crit Care Med. 2001 (In Press).
Incidence Mortality

Sepsis
400,000 7-17%

Severe Sepsis 20-53%


300,000

Septic
53-63%
Shock

Balk, R.A. Crit Care Clin 2000;337:52


2004-2006 Severe Sepsis Report
National-All Hospital, Medicare Reporting-3670
Top Ten Severe Sepsis Diagnosis-Related Groups *†
(53.5% of all cases with severe sepsis fell within 10 DRGs)

Severe Sepsis All Others


Cases (average) (average)
Mortality 27% 7%

Ventilator Use 30% 2%

Hospital Length of Stay 11.1 days 7.2 days

ICU Length of Stay 6.5 days 4.2 days

Cost per Case‡ $22,000 $12,000


(costs exceeds payment)
Payment-to-Cost Ratio -24% 8%

* All analyses were performed using the 2004 through 2006 MEDPAR Hospital Discharge Databases. Cost and charge data are reporte d in year-appropriate
US Dollars.
† Severe sepsis patients were identified by looking for combinations of ICD-9-CM codes indicating infection and new onset of acute organ failure following
SCCM/ACCP guidelines as described in Angus DC, Linde-Zwirble WT, Lidicker J, et al. Epidemiology of severe sepsis in the United States: Analysis of
incidence, outcome and associated costs of care. Crit Care Med. 2001;29 (7):1303-1310. Copyright © 2007, Eli Lilly and Company. All rights reserved
‡ Average total hospital costs for patients treated in the ICU.
Szakmany T et al, Sepsis Prevalence and Outcome on the General Wards & Emergency Departments,
International Multicentre Prevalence Study on Sepsis (The IMPreSS study), from 1000 patients,
Intensive Care Medicine, 2015
No positive blood cultures

?
despite sepsis - Why?

Bacterial components (endotoxines)


trigger the sepsis
Antibiotic
Organ Failure in Severe Sepsis and Dysfunction of the Vascular
Endothelium and Mitochondria.
14
Endotoxin (ng/L)

IL-6 (U/mL)
12

10

TNF (ng/L)
2

0
0 60 120 180 240 300 360
Minutes After LPS Infusion

Chart adapted from: van Deventer SJ et al. Blood. 1990;76:2520-6.


SIRS;
Fever
TNF- Tachycardia
Hypertension
IL-1ß
Leucocytosis/CRP
IL-6
IL-8
PAF
iNOS
COX2

IL-1 ra
IL-10
sTNFr-1/11
TGF-
IL-4

endotoxin
SIRS;
Fever
Tachycardia
Hypertension
Leucocytosis/CRP

D-Dimer ++
SIRS;
Fever
Tachycardia
Hypertension
Leucocytosis/CRP

Microemboli →
Hypoperfusion organ →
lactate 
Clinical presentation TNF- Biologic sequelae
IL-1ß IL-1 ra
IL-6 SIRS = IL-10
IL-8 SYSTEMIC INFLAMATORY sTNFr-1/11
PAF RESPONSE SYNDROME TGF-
iNOS IL-4
COX2
Sepsis / Monocyte
SIRS PROINFLAMMATORY ANTI-INFLAMMATORY activation

TNF-
IL-1 ra
IL-1ßCARS =
IL-10
IL-6
COMPENSATED sTNFr-1/11
IL-8
ANTI-INFLAMATORY TGF-
SEPTIC SHOCK/ PAF
RESPONSE SYNDROME IL-4 Monocyte
iNOS deactivation
MOF COX2

PROINFLAMMATORY ANTI-INFLAMMATORY → CELL HYPORESPONSIVENESS /


IMMUNOPARALYSIS
Clinical presentation TNF- Biologic sequelae
IL-1ß IL-1 ra
IL-6 IL-10
IL-8 sTNFr-1/11
PAF SIRS TGF-
IL-4
iNOS
COX2

Sepsis / SIRS Monocyte


PROINFLAMMATORY ANTI-INFLAMMATORY
activation

TNF- IL-1 ra
IL-1ß IL-10
IL-6 sTNFr-1/11
IL-8 TGF-
SEPTIC SHOCK/ PAF CARS IL-4 Monocyte
MOF iNOS deactivation
COX2

PROINFLAMMATORY ANTI-INFLAMMATORY → CELL HYPORESPONSIVENESS /


IMMUNOPARALYSIS
How to identify systemic sepsis-induced immunoparalysis
Guillaume Monneret, Advances in Sepsis 2005;4(2)42-9.
NO ( prod. Diinduksi
oleh cytokine) Ion H, lactate, ATP↓
S
E
P
T
Hiperpolarisasi otot pls pbl
Vasodil arterial I
Krn aktivasi ATP sens
C
K channel
SHOCK

Aktivasi simpatetik
R AA Penutupan voltage gated
Ca channel di membran
Vasopressin
Hotchkiss, RS NEJM 2003 348 : 138 - 150
 Invasi kuman ke dalam tubuh → sistem imun tubuh
akan melepaskan mediator inflamasi yang berfungsi
untuk membunuh kuman yang masuk. Kalo diberikan
Anti-biotik dan kumannya mati, pecahan bakteri/
dinding sel melepaskan citokine yang akan mentrigger
mediator pro inflamasi. Pelepasan citokine secara masif
(cytokine storm/badai citokine) ini akan menimbulkan
manifestasi klinis seperti : demam, takikardi, takipneu
& lekositosis.
Hasil akhir proses ini akan tergantung kondisi imun
pasien (genetic polimorfism).
 Pada pasien dgn imun baik (usia muda, tidak
ada penyakit komorbid) citokine yng bersirkulasi
akan segera dimetabolisme dan di ekresikan ke
ginjal. Selanjutnya pasien bisa pulih lebih cepat.
 Pasien dgn imun yg buruk /imunocompromised
(usia tua, DM, HIV-AIDS, kanker, multipel
trauma/ luka bakar luas, stress) → mengeluarkan
mediator anti-inflamasi sebagai negatif feedback/
counter agar tidak terjadi pelepasan pro-inflamasi
yang berlebihan.
 Metabolit mikroba dan produknya menarik
netrophil ke jaringan diikuti oleh monosit
 Makrofag mengeluarkan proinflamatory yang
bersifat lokal berfungsi untuk membatasi
kerusakan, membunuh pathogen, menghilangkan
benda asing dan dan memacu perbaikan jaringan.
(TNFα, IL1, IL2, IL6, interferon γ, PAI.
 Pengeluaran proinflamatori akan diikuti dengan
anti inflamatori untuk mengurangi kemampuan
sel memproduksi antigen dan mengeluarkan
proinflamatori (IL4, IL10, IL11, IL13, sol TNFα rec)
 Pada infeksi yang berat proinflamasi akan
menimbulkan respon sistemik (infeksi tdk bisa
diatasi di tingkat lokal ) → sehingga terjadi/
timbul gejala klinis berupa demam, takikardi,
takipnea,
 Pengeluaran mediator proinflamasi akan
menimbulkan gejala sistemik dengan
manifestasi tanda & gejala klinis ( SIRS ) :
panas/hipotermi, takikardi, takipnea,
lekositosis/lekopeni atau shift ke kiri.
 Aktivasi dari TNF α, IL 1 menyebabkan endotel
berubah pada keadaan protombik. Terjadi
mikrotrombus dan kenaikan permeabilitas
vaskular.
 Pengeluaran pro-inflamatori akan diikuti
pengeluaran anti-inflamatori
 Pada pengeluaran anti inflamatori yg berlebihan
akan menyebabkan CARS (Compensated Anti-
inflammatory Respon Syndrome) yang akan
menyebabkan imunoparalisis sehingga infeksi
primer tetap terjadi bahkan terjadi superinfeksi.
 Reaksi inflamasi yang berlebihan
menyebabkan pasien gagal mengembalikan
homeostasisnya.
 Terjadi deaktivasi monosit
 Resiko infeksi, gagal organ dan kematian besar.
SURVIVING SEPSIS CAMPAIGN (SSC)
Guidelines for Management of Severe Sepsis and Septic Shock

❑ Mengingat besrnya tingkat kematian yang disebabkan


sepsis sejak dikenalkannya sepsis pada tahun 1991, maka
SSCM (Sociaty of Critical Care Medicine), ESCIM
(European Society of Intensive Care Medicine) dan ISF
(International Sepsis Forum) → mengeluarkan kampanye
bersama dalam melawan sepsis yang disebut sebagai SSC
(SURVIVING SEPSIS CAMPAIGN) th 2002.
❑ SSC mengeluarkan panduan/guideline tentang
pengelolaan sepsis secara berkala berdasarkan ilmu
kedokteran berbasis data kejadian yang ada (evidence
based medicine) : 2004, 2008, 2012, 2016, dst
Dellinger RP, Carlet JM, Masur H, et al. for the Surviving Sepsis Campaign Management
Guidelines Committee. Crit Care Med 2004; 32:858-873.
 The Surviving Sepsis Campaign’s mission is to
increase awareness and improve outcome in
severe sepsis and septic shock.
 Guidelines developed by a group of
international experts representing 11
organizations
 Published in March 3, 2004 issue of Critical Care
Medicine

Dellinger, RP, et. al. Surviving Sepsis Campaign guidelines for management of severe sepsis and septic
shock, Critical Care Medine. 2004, 32: 858-873.
Index
 Initial Resuscitation ▪ Blood Product Administration
 Diagnosis ▪ Mechanical Ventilation
 Antibiotic therapy
▪ Sedation, Analgesia & Neuromuscular
 Source Control Blockade in Sepsis
 Fluid therapy
▪ Glucose Control
 Vasopressors
 Inotropic Therapy ▪ Renal Replacement
 Steroids ▪ Bicarbonate Therapy
 Recombinant Human
Activated Protein C ▪ Deep Vein Thrombosis Prophylaxis
(rhAPC) [drotrecogin ▪ Stress Ulcer Prophylaxis
alfa (activated)]
▪ Limitation of Support

Dellinger RP, Carlet JM, Masur H, et al. for the Surviving Sepsis
Campaign Management Guidelines Committee. Crit Care Med 2004;
32:858-873.
SSC 2004

SSC 2008

SSC 2012
2 bundle
(2004-2008)
Pengelolaan dlm 2 tahap :
- Resusitasi awal
- Pengelolaan lengkap
dalam 24 jam.

1 bundle (2012)
Resusitasi merupakan
langkah awal pengelolaan
sepsis dan dilakukan
secara berkesinambungan
dan target waktu > cepat
SSC 2004

SSC 2008

SSC 2012
EGDT
Identifying Acute Organ Dysfunction
as a Marker of Severe Sepsis
CNS CARDIAC
Altered MS Tachycardia
Consciousness Hypotension
Confusion  CVP
Psychosis  PAOP

PULMO KIDNEY
Tachypnea Oliguria
PaO2 <70 mm Hg Anuria
SaO2 <90%  Creatinine
PaO2/FiO2 300

HEMATOPOETIK
HEPAR  Platelets
Jaundice  PT/APTT
 Enzymes  Protein C
 Albumin  D-dimer
 PT
Severe Sepsis : Sepsis with 1 sign of organ failure
:
❑ Cardiovascular :
Systolic BP < 90 mmHg, MAP < 65 mmHg, at least 1
hour despite adequat volume rescucitation.
❑ Renal :
urine output < 0,5 cc/kgBB body weight/ hr for one hour
❑ Respiratory :
PaO2/FiO2 < 250 if other other disfunctin organ present
or < 200 if only the lung is only dysfunctional organ
❑ Hepatic :
Decrease in albumin, increased LFT
❑ Hematologic :
Platelet count < 80.000 or decrease by 50% in 3 days
❑ CNS :
Alterred in mental status( apatic, somnolen, letargic, etc)
❑ Metabolic acidosis : PH < 7,3 and plasma laktat > 2,0
2016 : CHALENGE OF SEPSIS DEFINITION
Despite severe sepsis & septic shock management have been done,
but mortality rate still high → Why …. ???

SEVERE SEPSIS SIRS +


109.663 patients 87,9%
We will
172 ICUs in miss 1 diagnose
Australia & New in 8 cases.
Zeland SIRS –
12,1 %
R S
SI
A R
D E
Y E
B
OD
G O
2012

2016
CRITERIA OLD (2012) NEW (2016)
Suspect/Documented
SEPSIS SIRS + Susp Infection + 2 or 3 on Quick
INFECTION SOFA score +

SEVERE SEPSIS Sepsis + Gagal Organ ___________

SEPSIS , disertai +
SEPSIS SYOCK SEPSIS + Vasopressor needed for
HYPOTENSION After MAP > 65 mmHg and
adequar resuscitation Lactate > 2 mmol/dl
Suspected sepsis

No No Monitor Clinical
qSOFA ≥ 2 Sepsis still Condition : reevaluate for
possible Sepsis if Clinical
suspected
Yes indicated

Yes
Asses for Evidence of
Organ Disfucntion

No Monitor Clinical Condition :


reevaluate for possible Sepsis
SOFA ≥ 2 if Clinical indicated

Yes
No Quick SOFA
Sepsis 1. Respirasi rate
2. Mental status
3. Systolic Blood Pressure
Despite adequate Fluid resuscitation : SOFA :
1. Vasopresor required to maintain MAP ≥ 1. Respiratory system : PaO2/FiO2
65 mmHg, and 2. CNS : Glasgow Coma Scale
2.Serum laktat level >2 mmol/L 3. Cardiovascular : MAP &vasopresor
4. Kidney : Serum Creatinine or UO
Yes 5. Liver fuction : Bilirubine
6. Coagulation : Platelet Count
Septic Shock
Kesulitan diagnosis dini sepsis :
 Tanda awal sulit dikenali.

 Serupa dengan berbagai proses non infeksi.

 Diagnosis menjadi terlambat → penanganan terlambat


dan kadang tidak tepat.
 Pemberian antibiotik tidak efektif →biaya tinggi, angka
mortalitas tinggi.
Tanda dan gejala sepsis :
 SSC 2004, 2008 & 2012 : didapatkan 2 diantara 4 tanda
& gejala SIRS + infeksi/dugaan infeksi.
 SSC 2016 : didapatkan 2 dari 3 tanda & gejala quick
SOFA SCORE + infeksi/dugaan infeksi.
 Biomarker : penanda biologis tubuh yang membedakan
sepsis dengan yang lain.
 Biomarker sepsis :
 Leukosit.
 Laju Endap darah (LED).
 C-Reaktive Protein (CRP)
 Procalsitonin (PCT).
 Interleukin (IL) seperti IL-6, IL- 8, IL- 10
 Tumor Necrosis Factor (TNF) … dan masih terus
dikembangkan.
 Tujuan pemeriksaan biomarker : membantu dalam
deteksi dini pasien sepsis.
 Menghitung jumlah lekosit merupakan pemeriksaan sederhana
guna melihat ada tidaknya infeksi. Dan dapat juga untuk
menilai suatu keberhasilan pemberian antimicrobial/antibiotik.
 Lekositosis ( jumlah lekosit yang meningkat) umumnya
merujuk pada peningkatan jumlah neutrophil, karena neutrofil
merupakan bagian terbanyak dari lekosit.
 Lekositosis dapat terjadi pada infeksi, peradangan akut (trauma,
operasi, dll) atau kronik ( atritis, dll), leukemia, dan lain-lain.
 Namun lekositosis bukan penanda pasti dari sepsis. Kadang
dapat terjadi penurunan jumlah lekosit (lekopeni) atau justru
normal. Misalnya pada infeksi virus atau pada pasien dengan
kondisi imunocompromissed (usia tua, DM, pasien yang
mendapatkan kostikosteroid, dll).
 Suatu prekursor dari hormon calsitonin, diproduksi oleh sel
neuro endokrin di paru-paru, ginjal, pankreas, adiposa dan
usus halus.
 Dalam kondisi normal : PCT cepat didegradasi dan tidak
ada yang dilepas ke aliran darah sistemik sehingga
kadarnya tidak terdeteksi (< 0,005 ng/mL).
 Inflamasi sistemik : pelepasan berbagai mediator inflamasi
→ stimuli sekresi PCT secara signifikan. Kadar PCT akan
meningkat selama awal infeksi 3-6 jam & memiliki waktu
paruh 24-30 jam.
 Kegunaaan Pemeriksaan PCT:
a. deteksi awal/dini sepsis.
b. dapat untuk prognosis (semakin tinggi semakin parah
suatu sepsis → mortalitas yang semakin tinggi),
c. Penurunan kadar PCT dalam suatu terapi → dapat
menggambarkan respon pasien/memantau hasil
pengobatan/menentukan pemberian antibiotik.
 Nilai rujukan/cut of point : 0,5 ug/mL, dg interprestasi sbb
No. Nilai PCT ug/mL Inteprestasi
1. < O,5 resiko rendah utk terjadi infeksi
2. 0,5 – 2.0 0,5 ng/mL - 2 ng/mL : harus di-
intreprestasikan dg kondisi klinis pasien
3. >2 ug resiko tinggi terjadi sepsis atau shok
septik, dapat diulang pemeriksaan
setiap 6-24 jam
 Laktat dihasilkan dari metabolisme /glikolis sel yang bersifat
an-aerob akibat gangguan perfusi (gangguan kecukupan O2 di
jaringan/sel berkurang). Asam laktat akan dipecah oleh hepar.
 Pemeriksaan laktat penting pada kasus sepsis, meskipun
laktat bukan spesifik marker dari sepsis. Laktat merupakan
parameter penting untuk menilai syok, tapi bisa juga meningkat
pada sehabis olah raga atau aktivitas yang berat, ggn hepar, dll
 Berguna untuk :
1. Menilai hipoperfusi → menggambarkan beratnya syok.
2. Dicek ulang untuk menilai laktat paska resusitasi→
penurunan laktat (laktat klirens) > 40% menunjukkan
keberhasilan resusitasi
3. Atau penurunan laktat sampai < 2 : berarti resusitasi berhasil.
 Resusitasi awal syok septik terdiri : stabilisasi Hemodinamik,
pemberian Antibiotik dan Source control.
 Nilai kadar asam laktat adalah : < 2 mmol/lt
 Kadar asam laktat yang tingg (asidosis laktat) dapat
disebabkan oleh :
1. Aliran darah yang tidak adekuat utk membawa oksigen
ke sel tubuh, misal : dehidrasi & perdarahan yg berat,
gangguan pompa jantung yg berat (CHF) & syok sepsis.
2. Gangguan aliran darah ke jantung : emboli paru, dll.
3. Gangguan pemecahan asam laktat. Misalkan gangguan
hepar
4. Kebutuhan yang meningkat dibanding pasokan udara
yang tetap/tidak berubah. Misal : Olah raga atau
aktivitas yang berlebihan.
5. Pengaruh obat : INH, metformin, alkohol
SURVIVING SEPSIS CAMPAIGN
Guidelines for Management
of Severe Sepsis and Septic Shock
Dellinger RP, Carlet JM, Masur H, et al. for the Surviving Sepsis
Campaign Management Guidelines Committee. Crit Care Med
2004; 32:858-873.

Sepsis Resuscitation Bundle


(To be accomplished as soon as possible and scored over first6 hours):

Sepsis Management Bundle


(To be accomplished as soon as possible and scored over first 24 hours):

DEFINITION
A "bundle" is a group of interventions related to a disease process that,
when executed together, result in better outcomes than when
implemented individually.
Index
 Initial Resuscitation ▪ Blood Product Administration
 Diagnosis
▪ Mechanical Ventilation
 Antibiotic therapy
 Source Control ▪ Sedation, Analgesia, & Neuromuscular
Blockade in Sepsis
 Fluid therapy
 Vasopressors ▪ Glucose Control
 Inotropic Therapy ▪ Renal Replacement
 Steroids
▪ Bicarbonate Therapy
 Recombinant Human
Activated Protein C ▪ Deep Vein Thrombosis Prophylaxis
(rhAPC) [drotrecogin
▪ Stress Ulcer Prophylaxis
alfa (activated)]
▪ Limitation of Support

Dellinger RP, Carlet JM, Masur H, et al. for the Surviving Sepsis Campaign
Management Guidelines Committee. Crit Care Med 2004; 32:858-873.
Dellinger, et. al. Crit Care Med 2004, 32: 858-873.
MANAJEMEN SEPSIS
INITIAL RESUSCITATION
▪ Resuscitation should begin as soon as severe sepsis or sepsis
induced tissue hypoperfusion is recognized
▪ Elevated serum lactate identifies tissue hypoperfusion in
patients at risk who are not hypotensive
▪ Goals of therapy within first 6 hours are :
➢ Central Venous Pressure 8-12 mm Hg (12-15 in ventilator pts)
➢ Mean arterial pressure/MAP > 65 mm Hg
➢ Urine output > 0.5 mL//kg/hr
-
➢ ScvO2 or SvO2 ≥ 70%;
if not achieved with fluid resuscitation during first 6 hours:
- Transfuse PRBC to hematocrit > 30% and/or
- Administer dobutamine (max 20 mcg/kg/min) to goal.

Rivers E. N Engl J Med 2001;345:1368-77.


Dellinger, et. al. Crit Care Med 2004, 32: 858-873.
1. Sepsis dan syok septik → keadaan darurat medis
→ Tatalaksana dan resusitasi dilaksanakan segera.
Resusitasi cairan yang awal sangat penting untuk
stabilisasi hipoperfusi jaringan yang diinduksi sepsis
atau syok septik, dengan manifestasi klinis :
❑ Adanya disfungsi organ
Dan /atau
❑ Penurunan tekanan darah
❑ Kenaikkan laktat
Sebelum pedoman ini direkomendasikan,
resusitasi kuantitatif berprotokol EGDT ( River, 2004 )
Goals:
• tekanan vena sentral (CVP)
• saturasi oksigen vena sentral (ScVO2)

Early Goal-Directed Therapy 3 RCT multisenter besar


(EGDT) selanjutnya gagal menunjukkan
penurunan angka mortalitas

Tingkat keparahan subjek penelitian lebih rendah:


• kadar laktat awal yang lebih rendah
masih aman • ScvO2 > nilai target pada saat pasien masuk
dapat dipertimbangkan • mortalitas yang lebih rendah pada kelompok
kontrol
2. Resusitasi cairan kristaloid
setidaknya 30 mL/kg IV
dalam 3 jam pertama
(rekomendasi kuat, rendahnya kualitas bukti)

Rata-rata vol. cairan diberikan :


❑ + 30 mL/kg pd uji coba PROCESS &
ARISE
❑ + 2 L dalam uji coba ProMISe

Banyak pasien akan membutuhkan lebih banyak cairan dari ini →


cairan lebih lanjut akan diberikan sesuai dgn pengukuran
hemodinamik fungsional
The Protocolised of Management Sepsis (ProMISe) study, New England Journal Med, March 2015
Australasian Resuscitation in sepsis Evaluation (ARISE), Emergency Medicine Australasia, Vol 1, Jan 2019.
Protocol-based care for Early Septic Shock (ProCESS), New England Journal med, 2014, , 370: 1683-93
3. Setelah resusitasi cairan awal,
pemberian cairan tambahan
dipandu oleh evalulasi ulang Denyut jantung
status hemodinamik yang sering
Tekanan darah
— Pemeriksaan klinis
SaO2
menyeluruh
Frekuensi nafas
— Evaluasi variabel fisiologis
Suhu
Urine Output

4. Sebaiknya penilaian hemodinamik


lebih lanjut (seperti menilai fungsi
jantung) untuk menentukan jenis
syok jika pemeriksaan klinis tidak
mengarah ke diagnosis yang jelas.
5 Dalam pengukuran fluid responsiveness,
parameter dinamis > direkomendasikan dibanding parameter statis

• diusulkan utk menilai apakah Penggunaan CVP saja utk


pasien membutuhkan cairan memandu resusitasi cairan
tambahan dalam meningkatkan tidak lagi dapat
manajemen cairan dibenarkan karena
kemampuan untuk
• telah menunjukkan akurasi memprediksi respon
diagnostik yg lebih baik dalam terhadap fluid challenge
memprediksi pasien yang cenderung ketika CVP ada dlm
responsif terhadap fluid challenge kisaran yg relatif normal
dgn meningkatkan stroke volume (8-12 mm Hg) terbatas
6 Target awal Mean Arterial Pressure (MAP) 65 mm Hg pada
pasien dengan syok septik yang membutuhkan vasopressor
(rekomendasi kuat, kualitas moderat bukti)
Tiga single-center trial
titrasi dosis NE 65 - 75 titrasi dosis NE untuk peningkatan sirkulasi
1

3
dan 85 mmHg MAP pada 65 vs 85 mikro, seperti yg
meningkatkan indeks mmHg. Dalam uji ini, dinilai oleh kepadatan
jantung (dari 4,7 ± 0,5- menargetkan MAP pembuluh darah
5,5 ± 0,6 L/menit/m2) tinggi meningkatkan sublingual dan kurva
tapi tidak mengubah: indeks jantung dari 4,8 naik saturasi oksigen
urinary flow, tingkat (3,8-6,0) sampai 5,8 thenar setelah tes
laktat arteri, distribusi (4,3-6,9) L/min/m2 oklusi, dengan titrasi
dan konsumsi O2, tapi tidak mengubah NE ke MAP 85 mmHg
PCO2 mukosa fungsi ginjal, tingkat dibandingkan dengan
lambung, kecepatan laktat arteri, konsumsi 65 mmHg
RBC, atau aliran O2
kapiler kulit
Hanya 1 uji multisenter dengan fokus angka mortalitas →
Untuk m’bandingkan titrasi dosis NE mencapai MAP 65 mmHg vs 85
mmHg
Tidak ada perbedaan signifikan dalam angka mortalitas pada

28 hari 90 hari
• 36,6% → grup high target • 43,8% → grup high target
• 34,0% → grup low target • 42,3% → grup low target

Namun menargetkan MAP 85 mmHg, lebih beresiko :


risiko aritmia yang signifikan lebih tinggi,.

kelompok pasien dgn premorbid hipertensi kronis memiliki kebutuhan utk RRT berkurang
7. Resusitasi terpandu utk menormal-
kan kadar laktat pd pasien dgn 5 RCT (647 pasien)
peningkatan kadar laktat sebagai
penanda hipoperfusi jaringan evaluasi resusitasi lactate-guided
pd pasien dgn syok septik
(rekomendasi lemah, rendahnya
kualitas bukti)
❑ Laktat serum bukan ukuran
langsung dari perfusi jaringan → angka mortalitas turun signifikan
(RR 0,67; 95% CI, 0,53-0,84; kualitas rendah)
❑ Peningkatan laktat serum dapat
menunjukkan :
2 meta-analisis lain
➢ hipoksia jaringan
→ angka mortalitas turun jika
➢ peningkatan glikolisis aerobik penggunaan awal strategi lactate-
akibat stimulasi β-adrenergik clearance dilakukan dibandingkan dgn
yang berlebihan baik perawatan biasa (tidak spesifik) atau
dgn strategi normalisasi Scvo2
➢ penyebab lainnya (ex: liver
failure)
Kesimpulan resusitasi awal pada sepsis :

• Sepsis dan syok septik = keadaan darurat medis, tatalaksana dan


1 resusitasi awal harus segera dilaksanakan utk menstabilkan HD.

• 30 mL/kg IV cairan kristaloid diberikan dalam 3 jam pertama


2

• Pemberian cairan tambahan dipandu o/ evaluasi status


3 hemodinamik secara berulang.
• Penilaian hemodinamik lebih lanjut utk menentukan jenis syok jika
4 PF tidak mengarah ke diagnosis jelas
• Parameter/respon dinamis lebih baik dibandingkan statis dalam
5 memprediksi respon cairan, jika alat nya tersedia.
• Target awal MAP 65 mmHg pada pasien dengan syok septik yang
6 membutuhkan vasopressor.
• Resusitasi terpandu untuk menormalkan kadar laktat pada pasien
7 dgn kadar laktat sebagai penanda hipoperfusi jaringan
Diagnosis
 Before the initiation of antimicrobial therapy, at least two blood
cultures should be obtained
Grade D
 At least one drawn percutaneously
 At least one drawn through each vascular access device if
inserted longer than 48 hours
 Other cultures such as urine, cerebrospinal fluid, wounds,
respiratory secretions or other body fluids should be obtained as the
clinical situation dictates Grade D

Weinstein MP. Rev Infect Dis 1983;5:35-53


Blot F. J Clin Microbiol 1999; 36: 105-109.
Antibiotic Therapy
 Start intravenous antibiotic therapy within the first Grade E
hour of recognition of severe sepsis after obtaining
appropriate cultures
 Initial appropriate therapy biotic and kecepatan
pemberian/administration of antibiotic is associated
with mortality of septic patients. Grade D
 Empirical choice of antimicrobials should include one
or more drugs with activity against likely pathogens,
both bacterial or fungal
 Penetrate presumed source of infection
 Guided by susceptibility patterns in the community
and hospital
 Continue broad spectrum therapy until the causative
organism and its susceptibilities are defined.

Kreger BE. Am J Med 1980;68:344-355.


Ibrahim EH. Chest 2000;118:146-155.
Dellinger, et. al. Crit Care Med 2004, 32: 858-873. Hatala R. Ann Intern Med 1996;124-717-725
Antibiotic Therapy …

Luna (1997) – VAP*1


38% Initial
91%
appropriate
15.6% therapy
Rello (1997) – VAP†2 37%
Initial
33.3%
Kollef (1998) – VAP*3 60.8% inappropriate
therapy
Ibrahim (2000) – Septicemia, 28.4%
severe sepsis, or bloodstream infection†4 61.9%
* Crude (overall)
Harbarth (2003) – 24% mortality
39%
Severe sepsis*5 † Infection-related

30.6% mortality
Vallés (2003) –
63%
Bloodstream infection*6

0 20 40 60 80 100
Mortality (%)
* Based on the 2005 ATS/IDSA guidelines for HAP/VAP/HCAP (Am J Respir Crit Care Med 2005;171:388-416),
inappropriate would be the term used to refer to the inadequate therapy noted on this slide.
1. Luna CM et al. Chest. 1997;111:676–685. 2. Rello J et al. Am J Respir Crit Care Med. 1997;156:196–200.
3. Kollef MH et al. Chest. 1998;113:412–420. 4. Ibrahim EH at al. Chest. 2000;118:146–155.
5. Harbarth S et al. Am J Med. 2003;115:529–535. 6. Vallés J et al. Chest. 2003;123:1615–1624.
Antibiotic Therapy …

Kumar et al, CCM 2006 – 2,100 pts - Administration of an antimicrobial


effective within the first hour of documented hypotension was associated
100 with a survival rate of 79.9%. Each hour of delay in antimicrobial
administration over the ensuing 6 hrs was associated with
an average decrease in survival of 7.6%.
80 Kumar et al, Intens Care Med 2009 - 4,532 pts –
A longer duration to antimicrobial therapy
was also associated an increase
60 in incidence of AKI AND
AKI was associated with
Mortailty (%)

significantly higher
40
Odds of death

20

0
0–30′ 30′–1h 1–2 2–3 3–4 4–5 5–6 6–9 9–12 12–24 24–36 >36
Time of first dose of antibiotics after the onset of shock (hours)
Kumar et al. Crit Care Med 2006;34:1589–1596
Antibiotic Therapy …

 Reassess after 48-72 hours to narrow the spectrum Grade E


of antibiotic therapy (de-escalation)
 Duration of therapy should typically be 7-10 days
Grade E
and guided by clinical response
 Some experts prefer combination therapy for Grade E
Pseudomonas infections or neutropenic patients
 Stop antimicrobials promptly if clinical syndrome Grade E
is determined to be noninfectious

Ali MZ. Clin Infect Dis 1997;24:796-809

Dellinger, et. al. Crit Care Med 2004, 32: 858-873.


Pemberian antibiotic IV harus dilakukan segera dalam
1 jam setelah diagnosis sepsis atau syok sepsis

❑ Kecepatan pemberian antibiotik berperan penting


dalam keberhasilan terapi
❑ Setiap jam penundaan pemberian obat berhubungan
dengan peningkatan mortalitas 6-7%
“Kemudahan dalam mencapai target ini secara
konsisten, belum dinilai secara memadai”

SOLUSI :
Inisiasi
pemberian
Kegagalan ❑ Penggunaan “staf” order
mengidentifi
antiobitik kasi sepsis ❑ Mengurangi penundaan
yang kurang atau syok
tepat sepsis pengambilan darah dan
melakukan kultur segera
Faktor bahkan belum pemberian
logistik atau
administrasi
antibiotik
❑ Memperbaiki kekurangan
rantai pasokan
❑ Memperbaiki komunikasi
Masalah yang menyebabkan antara staf medis, farmasi
keterlambatan pemberian antibiotik dan perawat
 Apabila akses vascular terbatas dan banyak obat yang harus
dimasukan, obat yang bisa diberikan dalam bolus atau
infus cepat intravena memiliki keuntungan karena cepat
mencapai dosis terapetik sebagai terapi awal
 Akses intraosseus yang bisa dilakukan secara cepat dapat
digunakan untuk pemberian cepat terapi antibiotik inisial
 Sediaan intramuskular juga diperbolehkan dan tersedia
untuk beberapa sediaan β-lactam →Pemberiaan
intramuskular hanya dilakukan bila akses vaskular tidak
didapatkan.
 Hindari pemberian obat antibiotik secara oral pada kasus
severe sepsis atau septik shock → perlu waktu penyerapan
lama dan dosis yang kurang optimal.
Merekomendasikan pemberian antibiotik empiris spektrum luas
dengan satu atau lebih antibiotic pada pasien dengan sepsis atau
syok sepsis untuk mengatasi semua pathogen yang mungkin
(termasuk bacterial, fungal atau viral)

yang paling sering bakteri gram negatif,


gram positif dan mixed bacterial microorganism
Cukup luas utk
mencakup × Kegagalan dalam memberikan
pathogen yg
mungkin antibiotic empiris berhubungan
menginfeksi
Pemilihan dengan peningkatan angka
antibiotik mortalitas (kematian).
Berdasar riw inisial × Survival rate dapat turun sampai
pasien, keadaan 5 kali apabila antibiotic empiris
klinis, dan factor tidak meng-cover pathogen
epidemiologi
setempat penyebab infeksi.
× Kemungkinan dari infeksi
bakteremia gram negative
menjadi syok sepsis juga
meningkat.
Gejala
klinis
/tempat Penyakit
Intoleran infeksi penyerta
si obat /mendas
ari
Penggun
aan Gagal
antibiotik
3 bulan Faktor organ
kronis + Prevalensi pathogen
terakhir
pasien setempat
Riwayat
infeksi dg
bakteri
Kateter + Pola resistensi
spesifik Keadaan Penggun
imuno aan obat
kompro imuno
mais supresan

Banyaknya variable yang harus diperhitungkan menyebabkan


tidak mungkinnya ada rekomendasi spesifik untuk regimen
terapi sepsis atau syok sepsis
Saran umum yang dapat diberikan, karena mayoritas pasien dengan sepsis berat
dan syok sepsis memiliki satu atau lebih imunokompromais, regimen terapi
empiris awal harus cukup luas untuk meng-cover kebanyakan pathogen yang
terisolasi dalam infeksi nosocomial
Risiko resisten
Extended range Sefalosporin
Carbapenem penicillin/Kombinasi generasi ketiga dan
inhibitor betalaktam yang lebih tinggi

Piperacilin/tazo Keterlibatan spesialis


Meropenem,
bactam, penyakit infeksi dapat
imipenem/cilast
ticarcillin/clavul meningkatkan outcome
in, doripenem
anat pada keadaan tertentu

▪ Echinocandin (anidulafungin, micafungin, caspofungin),


Candida sakit berat dan pernah mendapat terapi antifungal
▪ Triazol , keadaan baik, hemodinamik stabil
▪ Amfoterisin B pada pasien yang intoleransi echinocandin
Pemberian antibiotic empiris harus dipersempit begitu
patogen teridentifikasi dan uji sensitivitas sudah
diperoleh dan/atau terdapat perbaikin klinis yang cukup
Patogen teridentifikasi
Eliminasi
antibiotik yang
tidak tepat
Uji sensitivitas
sudah diperoleh
Mempersem-
pit spektrum
1/3 pasien dan/atau terdapat perbaikan
sepsis klinis yg cukup Keputusan harus
HASIL
KULTUR
berdasarkan penilaian
NEGATIF klinisi dan informasi
klinis yang diperoleh

Apabila tidak ada infeksi → antibiotic distop untuk mencegah pasien terinfeksi
bakteri resisten atau terkena efek samping obat yang tidak perlu.
Tidak merekomendasikan penggunaan profilaksis
antibiotic sistemik terhadap pasien dengan keadaan
inflamasi berat tanpa sumber infeksi (contoh :
pankreatitis berat, luka bakar)

Mencegah efek Mencegah terjadinya


samping antibiotik infeksi dengan pathogen
yang tidak diinginkan yang resisten antibiotik

Tidak terdapat manfaat klinis yang lebih besar dibandingkan efek


samping yang ditimbulkan obat
✓Pemberian antibiotik secara singkat untuk prosedur invasive
mungkin sesuai

✓Apa bila ada kecurigaan terjadinya sepsis maupun syok sepsis


pada pasien dengan inflamasi berat tanpa sumber infeksi, dapat
diindikasikan pemberian antibiotik
Merekomendasikan strategi pemberian dosis antibiotik
dioptimalkan berdasarkan prinsip farmakokinetik /
farmakodinamik dan sifat spesifik obat terhadap pasien
dengan sepsis atau syok septik (BPS)

Peningkatan
kejadian
insufisiensi hepar
dan ginjal
Optimisasi sifat farmakokinetik
Perbedaan dengan antibiotik segera, dapat
pasien infeksi
bakteri biasa yang meningkatkan outcome dari pasien
mempengaruhi dengan infeksi berat.
strategi terapi
antibiotic optimal
Tingginya
prevalensi masalah
imun yang tidak
terdeteksi

Predisposisi untuk
terjangkit
organisme resisten
 Paling penting diingat sehubungan dengan pemberian dosis
antibiotik empiris inisial adalah, peningkatan volume distribusi
pada pasien sepsis untuk sebagian besar antibiotik. :
 Ekspansi volume ekstraseluler yang cepat sebagai konsekuensi
dari resusitasi cairan yang agresif
 Hal ini secara tidak terduga menyebabkan tingginya frekuensi
dosis obat suboptimal dengan berbagai jenis antibiotic
 Terapi antibiotik pada pasien ini harus selalu dimulai dengan
dosis tinggi (high enloading) → untuk semua obat yang digunakan
 Tiap antibiotik membutuhkan kebutuhan target plasma yang
berbeda untuk mencapai hasil optimal.
 Dosis antibiotik harus disesuaikan terutama penurunan fungsi
organ yang berkaitan dengan severe sepsis atau syok septik, yaitu
akut kidney injuri, disfungsi hepar akut, dll
Menyarankan terapi kombinasi antibiotik empiris
(memakai setidaknya dua antibiotik dari golongan
yang berbeda) ditujukan untuk patogen yang
paling mungkin u/ manajemen inisial syok sepsis

Menyarankan terapi kombinasi untuk tidak rutin


digunakan sebagai terapi kebanyakan infeksi
serius lainnya, termasuk bacteremia dan sepsis
tanpa syok

Tidak merekomendasikan penggunaan terapi


kombinasi sebagai terapi rutin pada
sepis/bacteremia dengan neutropeni

Bila terapi kombinasi digunakan u/ syok sepsis,


direkomendasikan de-eskalasi dgn pemberhentian
terapi kombinasi dalam beberapa hari pertama
sbg respon perbaikan klinis/bukti resolusi infeksi
 Penelitian meta-analisis menunjukan terapi kombinasi
memberikan angka kesembuhan yang lebih tinggi pada
pasien sepsis berat dengan risiko kematian tinggi, terutama
pasien dg syok sepsis
 Biarpun banyak bukti menunjukkan manfaat terapi kombinasi
pada syok septik, pendekatan ini belum terbukti efektif untuk
“ongoing theraphy” dari sebagian besar infeksi serius lainnya,
termasuk bakteremia dan sepsis tanpa syok.
 Penelitian ttg de-eskalasi antibiotik untuk infeksi berat masih
terbatas :
 Penelitian observasional → de-eskalasi segera → outcomes
klinis yang superior pada sepsis dan syok sepsis
 Satu penelitian → meningkatnya frekuensi superinfeksi dan
masa rawat di ICU yang lebih lama.

Pendekatan untuk de-eskalasi didasari pada:


❑ Perkembangan klinis (resolusi syok, penurunan kebutuhan
vaso pressor, dll.)
❑ Resolusi infeksi ditandai dengan biomarkers (terutama
prokalsitonin)
❑ Durasi terapi kombinasi yang relatif tetap
Terapi antibiotic 7-10 hari cukup untuk infeksi serius yang
diasosiasikan dengan sepsis dan syok sepsis

Pemberian antibiotik yg > lama dapat dilakukan utk pasien


yang memiliki respon klinis lambat, fokus infeksi yang tidak
dapat diatasi, bakterimia karena S. aureus, beberapa infeksi
fungal & virus, atau imunodefisiensi, termasuk neutropenia

Terapi jangka pendek lebih sesuai pada pasien yang


memiliki resolusi klinis cepat, source control efektif dari
infeksi intraabdomen, urinary sepsis, atau pielonefritis tanpa
komplikasi

Pemeriksaan harian untuk de-eskalasi terapi antibiotic pada


pasien sepsis dan syok sepsis
 Pemberian antibiotic jangka waktu panjang,
dapat merugikan masyarakat & pasien sendiri
 Masyarakat → meningkatkan resistensi
antibiotic dan penyebarannya. TOXIC

 Individu → meningkatkan angka mortalitas.


 Cumulative antimicrobial toxicity
 Superinfeksi dengan pathogen MDR
TOXIC

TOXIC
 Terapi antibiotic selama 7-10 hari (tanpa
masalah dalam pengendalian sumber)
umumnya cukup untuk mengatasi infeksi Maka keputusan
untuk mempersempit
 Penentukan durasi terapi terhadap pasien harus atau memberhentikan
mempertimbangkan host factor (status imun) : terapi antibiotik harus
 Pasien dg candidemia, butuh terapi yg > lama. berdasarkan penilaian
 Patogen gram negatif yg sangat resisten thd
klinis.
antibiotik yg digunakan mungkin lambat
untuk dibersihkan
 Abses dgn ukuran lebih besar & osteomyelitis
mengalami penetrasi obat yang lebih lambat.
❑ Pengukuran kadar prokalsitonin
dapat dilakukan utk membantu Penghentian
diagnosis infeksi akut & antibiotik emoitis
pada pasien yang
membantu menentukan durasi sebelumnya
tampak sepsis,
terapi antibiotik. namun bukti klinis
terbatas
❑ Sejumlah besar literatur
menunjukkan penggunaan
algoritma tersebut dapat Mempersingka
t durasi terapi
mempercepat de-eskalasi antibiotik antibiotik pada Mengukur
secara aman dibandingkan pasien sepsis kadar
prokalsitonin
pendekatan klinis standar, dengan
mengurangi konsumsi antimikroba
tanpa efek buruk pada kematian.
❑ Penelitian meta analisis →
prokalsitonin dapat digunakan Peran biomarker untuk
untuk membedakan keadaan infeksi membantu dalam
& non infeksi diagnosis dan
Penting untuk dicatat bahwa prokalsitonin dan pengelolaan infeksi
semua biomarker lainnya hanya dapat telah banyak digali
memberikan data suportif dan tambahan
untuk penilaian klinis
❑ Antibiotik intravena (IV) harus diberikan dalam 1 jam pertama
diagnosis sepsis dan syok sepsis.
❑ Pemberian antibiotik empiris spektrum luas dengan satu /lebih
antibiotik pada sepsis & syok sepsis utk mengatasi semua patogen yang
mungkin.
❑ Pemberian antibiotik dipersempit/di de-eskalasi → setelah kuman
patogen ter-identifikasi dan uji sensitivitas sudah diperoleh.
❑ Pemberian dosis antibiotik dioptimalkan berdasarkan prinsip
farmakokinetik/farmakodinamik dan sifat spesifik obat terhadap pasien.
❑ Kombinasi antibiotik empiris untuk patogen yg paling mungkin utk
manajemen awal dari syok sepsis → tapi tidak boleh dilakukan secara
rutin untuk infeksi umum.
❑ Terapi antibiotic selama 7-10 hari cukup untuk infeksi serius yang
diasosiasikan dengan sepsis dan syok sepsis
❑ Memanfaatkan biomarker prokalsitonin utk menentukan durasi terapi.
SOURCE CONTROL
 Evaluate patients for focus of infection amenable Grade E
to source control measures
 Drainage of an abscess or local focus of infection
 Debridement of infected necrotic tissue
 Removal of a potentially infected device
 Once a focus of infection has been identified, Grade E
source control should be implemented as soon
as possible following initial resuscitation

 If intravascular access devices are suspected to be Grade E


the source of infection, remove them promptly
after establishing other vascular access

Jimenez MF. Intensive Care Med 2001;27:S49-S62.


Bufalari A. Acta Chir Belg 1996;96:197-200.

Dellinger, et. al. Crit Care Med 2004, 32: 858-873.


Pengendalian sumber infeksi :
❑ Harus dilakukan sesegera mungkin→ akan ↑
keberhasilan resusitasi awal.
❑ Pada kasus berat atau syok sepsis, dapat dilakukan segera
setelah didapatkan hemodinamik yang cukup stabil.
❑ Pertimbangkan manfaat dan risiko dari pemilihan
metode control. (apakah cukup dilakukan drainage abses
inta hepatal, atau harus laparatomi evakuasi.)
❑ Edukasi keluarga yang cukup bila melakukan control
infeksi yang beresiko (contoh : laparatomi eksplorasi
pada kasus perforasi gut/gaster pada pasien severe/syok
sepsis).
 DRAINAGE
- Intra-abdominal abscess - Septic arthritis
- Thoracic empyema - Pyelonephritis, cholangitis
 DEBRIDEMENT
- Necrotizing fasciitis - Mediastinitis
- Infected pancreatic necrosis - Intestinal infarction
 DEVICE REMOVAL
- Infected vascular catheter
- Urinary catheter
- Colonized endotracheal tube
 DEFINITIVE CONTROL
- Sigmoid resection for diverticulitis
- Amputation for clostridial myonecrosis
- Cholecystectomy for gangrenous cholecystitis

Dellinger, et. al. Critical Care Medicine 2004, 32: 858-873.


FLUID THERAPY:
Choice of Fluid Resuscitation
 Fluid resuscitation may consist of natural
Grade C
or artificial colloids or crystalloids.
 No evidenced-based support for one type of
fluid over another.
• Crystalloids have a much larger volume
of distribution compared to colloids
• Crystalloid resuscitation requires more
fluid to achieve the same endpoints as
colloid.
• Crystalloids result in more edema.
Choi PTL. Crit Care Med 1999;27:200-210.
Cook D. Ann Intern Med 2001;135:205-208.
Dellinger, et. al. Crit Care Med 2004, 32: 858-873. Schierhout G. BMJ 1998;316:961-964.
1. Kristaloid untuk penggantian volume intravaskular
(rekomendasi kuat, kualitas bukti moderate)
2. Balanced kristaloid dan saline (rekomendasi lemah,
kualitas bukti rendah)
3. Penambahan albumin pada kristaloid (rekomendasi
lemah, kualitas bukti rendah)
4. HES (rekomendasi kuat, kualitas bukti tinggi)
5. Kristalloid over gelatin (rekomendasi lemah, kualitas
bukti rendah)
 Tidak ada manfaat yang signifikan setelah
pemberian koloid dibandingkan dengan
kristalloid.
 Albumin mahal

 Koloid sering dipakai untuk pasien sepsis.


 High risk mortality.
 Risiko tinggi untuk dilakukan RRT setelah di
berikan HES.
VASOPRESSORS
(apply vasopressor for on going hypotention)
 Initiate vasopressor therapy if appropriate fluid challenge Grade E
fails to restore adequate blood pressure and organ perfusion
 Vasopressor therapy should also be used transiently in the
face of life-threatening hypotension, even when fluid
challenge is in progress
 Either norepinephrine or dopamine are first line agents to Grade D
correct hypotension in septic shock
 Norepinephrine is more potent than dopamine and may be
more effective at reversing hypotension in septic shock patients
 Dopamine may be particularly useful in patients with
compromised systolic function but causes more tachycardia and
may be more arrhythmogenic

LeDoux D. Crit Care Med 2000;28:2729-2732. Regnier B. Intensive Care Med 1977;3:47-53.
Martin C. Chest 1993;103:1826-1831. Martin C. Crit Care Med 2000;28:2758-2765.
DeBacker D. Crit Care Med 2003;31:1659-1667. Hollenberg SM. Crit Care Med 1999; 27: 639-660.

Dellinger, et. al. Crit Care Med 2004, 32: 858-873.


Vasopressors (cont …)

 An arterial catheter should be placed as soon as


practical in all patients requiring vasopressors Grade E
 Arterial catheters provide more accurate and
reproducible measurement of arterial
pressure in shock states when compared to
using a cuff
 Vasopressin may be considered in refractory Grade E
shock patients that are refractory to fluid
resuscitation and high dose vasopressors
 Infusion rate of 0.01-0.04 units/min in adults
 May decrease stroke volume

Hollenberg SM. Crit Care Med 1999; 27:639-660.


Bellomo R. Lancet 2000; 356: 2139-2143.
Kellum J. Crti Care Med 2001; 29: 1526-1531.

Dellinger, et. al. Crit Care Med 2004, 32: 858-873.


 Low dose dopamine should not be used for renal
protection in severe sepsis Grade B
 Target MAP > 65 mmHg pada pasien shock septic yang
membutuhkan vasopressor.
 Norepinephrine → pilihan pertama (rekomendasi kuat,
kualitas bukti moderat)
 Penambahan vasopressin (hingga 0,03 U/min) atau
epinefrin kepada norepinefrin → meningkatkan target
MAP, dan menurunkan dosis norepinefrin.
 Dopamin sebagai alternative vasopressor pada pasien
dengan risiko rendah takiaritmia dan bradikardi absolut
atau relative (rekomendasi lemah, kualitas bukti rendah)
 Low dose dopamine untuk proteksi ginjal
 Pemberian dobutamin untuk pasien dengan hipoperfusi
persisten setelah diberikan terapi cairan adekuat dan
pemberian vasopressor (rekomendasi lemah, kualitas bukti
rendah).
Norepinefrin Dopamin :
▪ Meningkatkan MAP
• Meningkatkan MAP
dan cardiac output
▪ Perubahan heart rate minimal
• Meningkatkan stroke
▪ Peningkatan stroke volume volume dan heart rate
minimal • Takikardi
▪ Angka kematian rendah

▪ Risiko aritmia minimal

 Uji klinis tidak menunjukan perburukan hasil.


 Merusak sirkulasi splanchnic & memproduksi hiperlaktatmia
Inotropic Therapy
 In patients with low cardiac output despite Grade E
adequate fluid resuscitation, dobutamine may
be used to increase cardiac output
 Should be combined with vasopressor
therapy in the presence of hypotension
 It is not recommended to increase cardiac index Grade A
to target an arbitrarily predefined elevated level
 Patients with severe sepsis failed to benefit
from increasing oxygen delivery to
supranormal levels by use of dobutamine.

Gattinoni L. N Eng J Med 1995;333:1025-1032.


Hayes MA. N Eng J Med 1994;330:1717-1722.
Dellinger, et. al. Crit Care Med 2004, 32: 858-873.
 Sekitar 40-50% pasien sepsis mengalami SIMD yang
menyebakan kontraktilitas jantung menurun.
 Dobutamin adalah inotropik lini pertama untuk pasien
dengan cardiac output yang rendah.
 Jika diberikan, dosis vasopressor harus di titrasi utk
mencerminkan titik akhir perfusi & obat harus dikurangi
atau dihentikan jika timbul hipotensi atau aritmia.

 Meta analisis membandingkan efek dopamine dosis


rendah dan placebo.
 Hasilnya tidak menemukan perbedaan untuk RRT, urine,
waktu pemulihan ginjal, kelangsungan hidup, lama
perawatan di RS, aritmia.
❑ Resusitasi diawali dgn pemberian cairan, dilanjutkan
dengan pemberian vasopressor dan inotropik →
targetnya memperbaiki hemodinamik sehingga perfusi ke
organ dan jaringan kembali normal.
❑ Pemberian cairan harus dilakukan secepat mungkin
dengan memakai panduan sehingga mencegah fluid
overload yg membahayakan pasien.
❑ Target MAP > 65 mmHg pada pasien syok septik yang
membutuhkan vasopressor dengan memberikan nor-
epinephrine, vasopresin atau dopamine.
❑ Inotropik diberikan bila didapat penurunan curah
jantung (cardiac output) dgn dobutamin sebagai pilihan
utama.
 Nn. N, umur 14 tahun, BB 42 kg, masuk ke IGD RSU
Soewondo Pati dengan keluhan nyeri seluruh perut selama
kurang lebih 2 minggu terakhir (Nyeri perut 5 hari di rumah,
ranap 5 hari di RS swasta tapi belum membaik, dibawa pulang
ke rumah sekitar 6 hari, kmdn dibawa ke RSU Soewondo Pati).
 Kondisi saat dibawa ke RSU pasien sadar, tampak sangat
lemah, napsu makan kurang, muntah bila makan terlalu
banyak, tidak mampu berjalan.
 Hemodinamik tidak stabil. TD 74-81/39-42, HR 155 x/menit,
RR 28 x/menit, suhu 38,5 °C, Saturasi O2 94-95%.
 Status lokalis : nyeri tekan seluruh lapangan perut, distensi
ringan, defans muskuler sedang.
 Dx sementara : Syok septik e/c susp infeksi intra abdominal.
1. Pasang O2 dan dilakukan resusitasi cairan.
 Pasang O2 nasal kanul, iv line dan lakukan resusitasi
cairan dengan kristaloid (RL).
 Pantau pemberian cairan hingga cukup : Pasang cateter
urine dan NGT. Berikan cairan kristaloid sebanyak 30
ml/kgBB dalam waktu 3 jam.
 Kalo ragu, pantau pemberian cairan dgn berbagai cara :

❑ Auskultasi paru, produksi urine, CRT pd jari tangan.


❑ Pemasangan CVC → ukur CVP-nya.
❑ Pengukuran IVC dengan USG guiding.
 Pasien ini akhirnya keluar urine setelah dilakukan
resusitasi sebanyak 1.500 cc, dengan TD terakhir 88/49
mmHg. Apa langkah selanjutnya ?

2. Pasang vasopressor.
 Berikan nor-epinephrine, dgn dosis awal 0,05 mcg/kgBB/menit.

 Dilakukan tappering up secara titrasi s/d tercapai target MAP >


65 mmHg.
 Hemodinamik pasien relatif membaik dg vascon 0,1 mcg/kgBB
/menit, yaitu TD 105/55 HR 140 x/mnt RR 24 x/mnt, SaO2 98%
 Apa langkah selanjutnya ?

3. Pasien diberikan antibiotik


 Yaitu Ceftriazon 1 gr/12 dan Metronidazol 500 mg/8 jam, serta
pasien dipindah ke ruangan ICU.
 Terapi lain :

❑ Ondansentron 8 mg/8 jam ❑ Pantoprazol 1 vial/24 jam


❑ Paracetamol infus 500 mg/8 jam ❑ Ketorolak inj 30 mg/8 jam
 Apa langkah selanjutnya?
4. Rencanakan laparatomi eksplorasi sebagai “source control” bila
kondisi > stabil.
Grade C
Steroids
 Intravenous corticosteroids are
recommended in patients with septic
shock who require vasopressor therapy to
maintain blood pressure.
 Administer intravenous hydrocortisone 200-
300 mg/day for 7 days in three or four
divided doses or by continuous infusion
 Shown to reduce mortality rate in patients
with relative adrenal insufficiency.
Annane, D. JAMA, 2002; 288 (7): 868

Dellinger, et. al. Crit Care Med 2004, 32: 858-873.


Steroids (cont …. )
Grade A
 Doses of hydrocortisone >300 mg
daily should NOT be used in septic
shock or severe sepsis for the purpose
of treating shock

Grade E
 In the absence of shock, corticosteroids
should not be used for treatment of
sepsis
Bone RC. N Engl J Med 1987;653-658.
VA Systemic Sepsis Cooperative Study Group. N Engl J Med 1987;317:659-665.

Dellinger, et. al. Crit Care Med 2004, 32: 858-873.


 Pemberian iv hidrokortison untuk pasien shock septic
jika resusitasi cairan adekuat dan terapi vasopressor
tidak bisa mengembalikan kestabilan hemodinamik
(rekomendasi lemah, kualitas bukti rendah) →Jika
tidak tercapai, beri iv hidrokortison 200mg per hari
 Indikasi pemberian bila ada riwayat terapi steroid atau
disfungsi adrenal
 Efek samping: hiperglikemia dan hyponatremia
 Belum ada bukti steroid dapat menjadi preventif shock
sepsis
RBC transfusion

•Hb < 7.0 g/dl


•Target : Hb 7.0 – 9.0 g/dl in adults (grade 1B)
•When tissue perfusion has resolve & absence of miocardial
ischemia, severe hypoxemia, acute hemorrhage or ischemic
heart disease)

Platelets transfusion

•Platelets < 10.000/mm3 (10 x 109/L) in the absence of apparent


bleeding
•< 20.000/mm3 (20 x 109/L) in a significant risk of bleeding
•≥ 50.000 /mm3 if active bleeding, surgery or invasive procedures
(grade 2D)
 Transfusi RBC bila Hb < 7 gr% pada pasien dewasa
dengan keadaan tertentu seperti iskemia miokard, severe
hipoksemia, atau perdarahan.
 Eritropoitin sebagai terapi anemia karena sepsis.
 Fresh Frozen Plasma untuk pasien dengan gangguan
pembekuan tanpa adanya perdarahan atau rencana
tindakan invasif.
 Profilaksis transfuse platelet jika :
 1. AT < 10.000/mm3 pada pasien tanpa perdarahan.
 2. AT < 20.000/ mm3 pada pasien potensi perdarahan.
 3. AT > 50.000/ mm3 dengan aktif bleeding.
Glucose Control

 Hyperglichemic state has negatively affect s the Grade D


body’s ability to respon to microbial therapy
 Following initial stabilization of patients with
severe sepsis, maintain blood glucose to < 150
mg/dL
 Best results obtained when blood glucose
was maintained between 80 and 110 mg/dL.

van den Berghe G. N Engl J Med 2001;345:1359-1367.

Dellinger, et. al. Crit Care Med 2004, 32: 858-873.


1. Manajemen glukosa darah pd pasien ICU dg sepsis, insulin
diberikan jika px kadar glukosa darah berturut : > 180 mg/dL .
❑ Pendekatan klinis merekomendasikan target glukosa darah ≤
180 mg / dL dibandingkan target kadar glukosa darah ≤ 110
mg / dL* (rekomendasi kuat, kualitas bukti tinggi).
❑ Moderat control hyperglycemia, dengan mentarget kadar gula
140-180 mg/dL memberikan resiko hypoglycemia berulang
dan angka kematian lebih rendah → lebih baik daripada
Tight control hyperglycemia yang mengontrol kadar gula <
140 mg/DL.
2. Glukosa darah dimonitor tiap 1 - 2 jam hingga nilai glukosa &
tingkat infus insulin stabil → tiap 4 jam setelahnya pd pasien yg
menerima infus insulin.
3. Pemberian insulin secara iv continue akan menghasilkan kadar
gula darah yang lebih stabil daripada secara subcutan.
(menghindari dosis obat peak and valley).
Mechanical Ventilation of Sepsis-Induced
Acute Lung Injury (ALI)/ARDS

 High tidal volumes, > 6 ml/kg, coupled with high plateau Grade B
pressures, > 30 cm H2O, should be avoided
 Hypercapnia can be tolerated in patients with ALI/ARDS Grade C
if required to minimize plateau pressures and tidal volume
 A minimum amount of positive end expiratory pressure Grade E
should be set to prevent lung collapse at end-expiration
 Unless contraindicated, mechanically ventilated patients
should be maintained semirecumbent with the head of the Grade C
bed raised to 45° to prevent ventilator associated
pneumonia
Inclusion criteria:
- PaO2/FiO2 < 300
- Bilateral infiltrates consistent with pulmunary edema on frontal chest radiograph
- No clinical evedence of pulmunary hypertension (PAWP<18mmhg)
- Positive pressure ventilation via endotracheal tube
ARDSNet. N Eng J Med 2000;342:1301-1308.
Recombinant human Activated Protein C
 Recombinant human Activated Protein C [Drotrecogin
Grade B
alfa (activated)] is recommended in patients at a high risk
of death
 APACHE II score  25, or
 Sepsis-induced multiple organ failure, or
 Septic shock, or
 Sepsis induced acute respiratory distress syndrome
 Treatment with drotrecogin alfa (activated) should begin
as soon as possible once a patient has been identified as
being at high risk of death
 Patients should have no absolute or relative
contraindication related to bleeding risk that outweighs
the potential benefit of rhAPC

Bernard GR. N Eng J Med 2001;344:699-709.

Dellinger, et. al. Crit Care Med 2004, 32: 858-873.


Sedation
•Continuous or intermitten be minimized in
mechanically ventilated pts
•Targeting specific titration end point (grade 1B)
NMBA
•Avoided if possible in septic pts without
ARDS (risk prolong NM blocade).
• If must, bolus/intermitten, with train of four
monitoring (depth of blocade) (grade 1C)

• Short course of NMBA not greater than 48 hours for pts early sepsis- induced ARDS
and PaO2/FiO2 < 150 mmHG (grade 2C)
Protocolized approach

• Two consecutive BG level > 180 mg/dl


• Target upper BG ≤ 180 mg/dl rather than ≤ 110 mg/dl
(grade 1A)

Monitored

• Every 1-2 hrs until glucose value and insulin infusion


rate stable and then every 4 hrs (grade 1C)
• Glucose level testing from capillary blood , interpreted
with caution → may not acurately estimate arterial blood
or plasma glucose value. (UG)
Continuous Renal Replacement Therapies (CRRT)
and Intermittent Hemodialysis are equivalent in pts
sepsis and ARF (grade 2B)

Use continuous therapies to facilitate management of


fluid balance in hemodynamically unstable septic pts
(grade 2D)
Not For
reducing
vasopressor
Not For
improving
Not using sodium requirement
hemodynami bicarbonate th/ in pts
c
with hypoperfusion-
induced lactic acidemia
with pH ≥ 7.15 (grade
2B)
Daily DVT Prophylaxis (grade 1B)
• With daily sc LMWH
• vs twice daily UFH (grade 1B)
• vs three times daily UFH (grade 2C)
• Creatinin clearance < 30 ml/min, use deltaparin (grade 1A)

Combination

• Pharmacologic & intermitten pneumatic compression


(grade2C)
• Contraindication heparin use pts ( thrombocytopenia, severe
coagulopathy, active bleeding, recent intracerebral
hemorrhage. (grade 2C)
• Risk decrease → start pharmaco th/ (grade 2C)
H2 Blocker or proton pump inhibitor (PPI) for
pts who have bleeding risk factors (grade 1B)

PPI rather than H2RA (grade 2D

Pts without risk factors do not


receive prophylaxis (grade 2B)
Oral or enteral, rather than complete fasting or
only iv glucose within first 48 hrs (grade 2C)

Avoid mandatory full caloric feeding in the first


week but suggest low dose feeding ( eg. Up to 500
cal/day). Advancing only as tolerated (grade 2B)

Use iv glucose and enteral nutrition rather than


TPN alone, or parenteral nutrition inconjunction
with enteral feeding in first 7 days (grade 2B)

Use nutrition with no specific


immunomodulating supplementation rather
than with imm. supp (grade 2C)
TERIMA KASIH
TERAPI INSULIN
PADA DIABETES MELLITUS
dr. I Gusti Nyoman Panji Putu Gawa, SpAn.KIC

Departemen Anestesi dan Terapi Intensif


RSUD RAA SOEWONDO PATI
TERAPI INSULIN
PADA
DIABETES MELLITUS

dr. I Gusti Nyoman Panji Putu Gawa, SpAn.KIC


Departemen Anestesi dan Terapi Intensif
RSUD RAA SOEWONDO PATI
• Diabetes Mellitus is a chronic disorder and the mayor causes of
morbidity global. Internasional prevalence is 9,3% of population.
• Indonesia is one of top ten countries with highest number of
diabetic patients : America/United States (3), Bangladesh (9),
India (2), Italy (18), Brazil (6), Rusia (11), Pakistan (5), China (1),
Japan (12) and Indonesia(4).
• Indonesia is number 7 in 2020 with 10,8 million diabetic patients
(3,9% of population).
Internasional Diabetes Federation, Mei 2020
PENGOLONGAN /TIPE DM
1. DM Tipe 1 = ND-DM (Insulin Dependent DM).
Bersifat idiopatik. Merupakan penyakit auto imun
yang menyerang /merusak sel beta pancreas
sehingga produksi insulin sangat berkurang.
Umumnya terjadi sejak usia anak (Juvenil onset) &
mendapatkan terapi insulin yg berkesinambungan.

2. DM Tipe 2 = IND-DM ( Non Insulin Dependent DM)


Pasien mengalami pengurangan produksi insulin
endogen relatif akibat resistensi jaringan thd insulin
→ sensitivitas jaringan terhadap insulin endogen,
atau bahkan insulin eksogen.
Umumnya terjadi setelah usia dewasa ( > 40 thn) &
meliputi 90 % dari seluruh pasien DM.

3. DM Tipe Lain = DM yang terkait dgn kehamilan,


DIABETES AFFECTS IN INFECTIONS
• Hyperglicemia can increased risk of infections.
• Hyperglichemic state : negatively affect s the body’s ability to respon to microbial therapy.
• DM is a known risk factor for infectious diseases because diabetic individuals are in an
immunocompromised due to their uncontrolled DM notably hyperglycemia.
• Diabetic shown higher risk to foot infections, yeast infections, urinary tract infections and
surgical site infections.
• Diabetes complications are a risk factor for repeat hospitalizations : severe dysglicemia
(uncontrolled hyperglycemia or hypoglycemia), infection problem and the other complications.
• Studies have shown that diabetic patient had worse outcome with infections : longer
hospitalization, longer recovery time and higher mortality rate due to infections.
Noor S, Zubair M,et al, Diabetic foot ulcer : a review on pathophysiology, classification and microbial etiology. Diabetes
Metabolic Syndrome 9:192-199. 2015
Akash MS, Rehman K, et al. Development of antimicrobial resistence and possible treatment strategies. Achieves of
Microbiology, 2020 : 953-965
WHY DIABETES PATIENT’S ARE MORE SUSCEPTIBLE TO
DEVELOPING INFECTIONS ?
The main pathogenic mechanism why
infectious disease are more prevalent in
individuals wit DM :
❑ Hyperglicemic environment
increasing the virulence of some
pathogens.
❑ Lower production of interleukins in
response to infection.
❑ Reduces chemotaxis and phagocytic
activity.
❑ Immobilizations of
polymorphonuclear leucocytes.
❑ Gycosuria → risk UTI increase.
❑ Gastrointestinal and urinary
dysmotility
Casqueriro J, Janine C, et al. Infections in patients with diabetes mellitus : a review of pathogenesis. Indian Journal of
Endocrinology and Metabolism/Vol 16, 2012 March.
Hamid Akash, Rehman K, et al.Diabetes-associated infections : development of antimicrobial resistance and possible
treatment strategies. Archives of Microbiology (2020): 953-965
INFECTIONS AFFECTS DIABETES
• Infection causes a stress response (hipertermi, takikardi, increase work breathing, etc)
in the body by increasing the mount of certain hormones such as cortisol and
adrenaline. These hormone work against the action of insulin and as result : the
body’s production of glucose increases with results in high blood level sugar.
• Infection disease in DM may result in metabolic complications such as hypoglicemia,
ketoacidosis and coma.
• Diabetic patient can neuropathy perifer and reduce blood low to extremity → the body
is less able to mobilize normal immune defenses and nutrient → less able promote
the body ability to fight infection and promote healing.

Casqueriro J, Janine C, et al. Infections in patients with diabetes mellitus : a review of pathogenesis. Indian Journal of
Endocrinology and Metabolism/Vol 16, 2012 March
HIPERGLIKEMIA & INFEKSI ≈ VICIOUS CIRCLE

HIPERGLIKEMIA

Menurunkan fungsi neutrophil.


Infeksi menaikkan metabolisme tubuh.
Gangguan imunitas humoral.
Tubuh menaikkan hormone kortisol.
Angiopati & Neuropati.
Kortisol akan menekan insulin guna
meningkatakan GD utk keperluan Glicosuria & GIT ggn gerak
peningkatan metabolism akibat infeksi Status imunocompromized →
Meningkatkan resiko infeksi

INFEKSI
PENGELOLAAN DM

INDONESIA LUAR NEGERI

• Pengaturan makanan atau diet • Edukasi


• Olah raga • Pengaturan makanan atau diet
• Edukasi • Olah raga
• Medikamentosa/Obat-obatan • Medikamentosa/Obat-obatan
KOMPLIKASI DM
• Mengapa gula darah harus dikontrol ?
❑Untuk menurunkan kadar gula darah dalam batas normal/mendekati normal.
• Mengapa harus diturunkan mendekati normal :
➢ Mengurangi komplikasi acut/jangka pendek akibat hiperglikemi seperti KAD,
Hiperosmolar Hiperglikemic State, resiko luka sulit sembuh.
• Pemicu terjadi KAD atau HHS : trauma/kecelakaan, operasi, infeksi → pasien mau
operasi harus dikontrol kadar gulanya s/d < 200 mg/dL (elektif) atau < 250 mg/dL
(cito : urgensi/emergensi)
➢ Mengurangi resiko komplikasi jangka panjang.
❑ Neuropati DM → neuropati perifer
❑ Nephropati DM → 42 % penyebab CRF (Cronic Renal Failure)
❑ Retinopati DM, katarak → kebutaan
❑ Ulkus kronik DM → amputasi
MEDIKAMENTOSA / OBAT PADA DM
Terapi obat/ medikamentosa pada Diabetus Melitus :
1. Oral, terdiri dari dari 2 golongan yang utama :
• Sulfonil Urea : Glibenkamid, Glimepiride, Glukuidon.
• Biguanida : Metformin.
2. Injeksi : berupa insulin
• Subcutan
• Intravena
TERAPI ORAL PADA DM
Terapi obat/ medikamentosa pada Diabetus Melitus :
Oral, terdiri dari dari 2 golongan yang utama :
❑ Sulfonil Urea :
➢ Generasi pertama : tolbutamid :250-500 mg/hari
➢ Generasi ke-2 : Glibenkamid 2,5-10 mg/hari , dengan
efek samping utama hipoglikemia.
Sediaan lain :Glipizid, Glukuidon, Glikazid
➢ Generasi ke-3 : Glimepiride 1-6 mg/hari.
❑ Biguanida : Metformin 3 x 250-850 mg/hari, dengan efek
samping utama gangguan GIT berupa mual, muntah.
TERAPI INSULIN PADA DM
Indikasi terapi insulin pada DM :
❑DM yang sulit dikontrol dengan obat per-oral :
kemungkinan kerusakan organ pancreas secara
luas, sehingga sangat sedikit / tidak ada sel beta
pancreas yang menghasilkan insulin endogen,
sehingga membutuhkan insulin dari luar tubuh.
Misalnya : DM tipe 1
❑Hiperglikemia/DM yang butuh pengontrolan
kadar gula darah secara cepat.
Misalnya : pada kasus HHS ata KAD, pasien mau
operasi, pasien pasca trauma, pasien dengan
infeksi.
PEMBERIAN INSULIN SUBCUTAN
• Dosis insulin → berdasarkan kadar glukosa darah sewaktu
datang saat itu :
Kadar glukosa darah (mg/dL) Dosis insulin subcutan (IU)
1. 200 - 250 4
2. 250 - 300 8
3. 300 - 350 12
4. 350 - 400 16
5. > 400 20

• Cara penyutikkan :
❑ Lama : dengan spuit tuberculin, dimana 1cc = 100 IU.
❑ Baru : bentuk pen, lebih mudah, dosis > mudah diatur,
nyeri penyuntikan kurang, kedalaman injeksi 4-5-6 mm.
• Lokasi pemberian : deltoid, sekitar pusar, paha. Sebaiknya di
lakukan rotasi tempat/lokasi penyuntikan insulin.
• Pengawasan/Pemantauannya :
SLIDING SCALE
• Dipopulerkan oleh Joslin thn 1934.
• Suatu metode pengaturan kadar gula darah pada pasien-pasien di RS yang
dilakukan rawat inap. Umumnya dipakai insulin yang durasi kerja pendek
untuk menghindari resiko hipoglikemia.
• Pada penelitian tentang penggunaan insulin pada pasien non kritis,
Penggunaan metode ini masih sekitar 30% di RS.
• Keuntungan : kemudahan dalam menetapkan dosis, resiko hipoglikemia yang
jarang terjadi.
• Kekurangannya : tidak memperhitungkan berat badan pasien, tidak
memperhitungkan intake makanan → sehingga sering kali kadar gula yang
diharapkan bersifat fluktuatif dan lebih lama terkontrol (sulit mencapai target
yang optimal) → kadang kurang efektif.
SEDIAAN INSULIN
Jenis insulin
1. Asal A. Insulin manusia.
B. Insulin analaog
2. Lama kerja (pemberian subkutan)
CONTINUE …..
TERAPI INSULIN PADA PASIEN RAWAT INAP DGN HIPERGIKEMIA

• Penyebab perubahan kadar gula darah selama Rawat Inap : Stres metabolic, gangguan asupan
makanan, Obat-obatan : kortikosteroid, Pasien kadang harus puasa utk persiapan pemeriksaan
laboratorium.
• Berdasarkan derajat penyakit, target glukosa darah dan pemantauannya, tx insulin dibagi 2 :
A. Pasien DM dgn penyakit kritis : 1. Kritis dengan kegawatdaruratan diabetes (krisis hiperglikemia)
2. Kritis dengan kegawatdaruratan non diabetes.
B. Pasien DM dengan penyakit non kritis
❑ Hiperglikemia tidak terkontrol dengan obat peroral
❑ Pemakaian kortikosteroid.
❑ Persiapan operasi.
❑ Diabetes gestasional
❑ Gangguan khusus yang menyebabkan ggn metabolism insulin.
B. SASARAN KENDALI GLIKEMIK
Sasaran kendali glikemik pada pasien rawat inap :
1. Pada pasien DM dengan penyakit kritis : 140-180 mg/dL
a) Tight control hyperglycemia : target 110-140 mg/dL
b) Moderate control hyperglicemia : target 140-180 mg/dL → yang dipilih.
Keduanya memberikan outcomes yang hampir sama baiknya, tapi resiko
terjadinya hipoglikemia lebih besar pada tight control hyperglicemia
2. Pada pasien DM dengan penyakit non kritis :
A. Sebelum makan : 100-140 mg/dL.
B. Acak/Sewaktu : < 180 mg /dL
3. HbA1 c : < 7 → untuk melihat respon pengobatan selama 3 bulan terakhir,
biasanya pada pasien rawat jalan.
KEBUTUHAN INSULIN PADA PASIEN RAWAT INAP :
Kenapa dipilih insulin :
• Dibutuhkan regulasi/pengaturan glukosa darah yang relative cepat dan tepat.
• Insulin kerjanya cepat dan dosisnya dapat disesuaikan dengan hasil kadar gula
darah.
• Insulin dapat diberikan dengan kombinasi oral dan insulin, atau insulin saja.
• Terapi insulin bisa diberikan secara infus intravena kontinyu atau subkutan , secara
terprogram atau terjadwal. (1-2 kali insulin basal, insulin prandial dan insulin
koreksional (bila perlu)
• Kebutuhan insulin harian total (IHT) adalah 0,5-1 IU/kgBB/hari. Namun pada
pasien dengan gangguan ginjal atau usia tua, dapat diberikan dosis yang lebih
rendah yaitu 0,3 IU/kgBB/hari.
icu bangsal
KEBUTUHAN INSULIN SK PADA PASIEN RAWAT INAP DAPAT
BERUPA :
Kebutuhan Insulin Harian Total atau IHT ( dimana IHT = 0,5-1,0 IU/kgBB/hari )
pada pasien rawat inap dapat berupa :
A. Insulin Basal : dosisnya adalah 40-50 % dari IHT, umumnya diberikan insulin
dengan masa kerja panjang misalkan Lantus, Levemir.
B. Insulin Prandial/Nutrisional : adalah kebutuhan insulin berdasarkan jumlah
insulin yang diperlukan sehabis makan. Besarnya sekitar 10-20 % IHT
C. Insulin Koreksional/Supplemental : Jumlah insulin yang di perlukan untuk
mengoreksi kadar glukosa darah yang melebihi sasaran glikemik. Besarnya
sekitar 10-20% IHT
Ke-3 jenis kebutuhan insulin tersebut bisa berubah-ubah setiap harinya
tergantung besarnya stress metabolik yang dialami.
HIPERGLIKEMIA DAN TINDAKAN OPERASI
• Pada pasien operasi, hiperglikemia perioperative dapat meningkatkan resiko terjadinya
kematian dan kejadian kardiovaskuler, respirasi, neurologis dan infeksi paska operasi.
• Diabetes dihubungkan dengan peningkatan kebutuhan prosedur operasi dan kenaikkan
kesakitan dan kematian paska operasi.
• Respon stres terhadap operasi (incisi jaringan, tarikan dan renggangan otot, manipulasi
organ) dan anestesi (nyeri, kecemasan, ketakutan, dll ) → akan meningkatkan kadar gula
darah → mengakibatkan hiperglikemia, osmotik diuresis, dan hipoinsulinemia → yang
beresiko mengakibatkan ketoasidosis dan sindroma hiperosmoler.
• Untuk mencegah berbagai resiko diatas maka diperlukan :
❑ Pengelolaan kadar glukosa darah sebelum operasi (1-2 jam pada operasi minor & 2-3
hari pre operasi mayor)
❑ Pengawasan ketat paska operasi sangat penting. ( 3, 12 dan 24 jam paska operasi ).

Dagoo S, Albert GM : Management of Diabetes Mellitus in Surgical Patients, Diabetes spectrum, 2002 Jan, Vol 15 (1), 44-48
PENGARUH TEKNIK ANESTESI PADA KADAR GULA DARAH.
• Pada pasien normal semua operasi menimbulkan kenaikan kadar glukosa darah,
baik pada pasien dengan anestesi spinal maupun anestesi umum.
• Stress respon terhadap operasi terjadi karena aktivasi sistem simpatis yang ditandai
dengan kenaikkan adrenalin, nore adreanaline, cortisol dan kadar gula darah.
• Spinal anestesi secara signifikan menghambat stress respon operasi sehingga akan
menghasilkan kadar gula darah yang lebih stabil dari pada general anestesi. Dan
kenaikkan kadar gula darah yang lebih rendah pada pasien dengan spinal
anesthesia dibanding general anesthesia.
• Pada pasien DM dengan general anesthesia memerlukan pengawasan kadar gula
darah yang lebih ketat paska operasi.

Sharma SM et al, Comparative study of intra operative Blood Sugar evel in spinal anesthesia and General anesthesia in Patients undergoing
Elective Surgery, Sept 2018, Birath Journal Heart, 3 (2), 458
Khaled El-Radaideh et al, Effect of Spinal anesthesia versus General Anesthesia on Blood Glucose Consentration in Patient undergoing
Elective Caesarian surgery, Hindawi, Journal anesthesiology Research, Oct 2019, Vol 2019
PROTOKOL TERAPI INSULIN
TERAPI INSULIN IV KONTINYU (DI ICU)
Persyaratan memulai insulin iv kontinyu adalah :
1. Sesuai indikasi
2. Memungkinkan sarana dan prasarana tersedia ( syringe pump,
mikrodrips, Glukometer : alat pemeriksaan gula darah yang
intensif, tenaga yang terampil
3. Kadar Kalium > 3 mEg/L
4. Jenis insulin yang digunakan adalah kerja pendek.
5. Upayakan konsentrasi insulin 1 IU/mL
REJIMEN SUB KUTAN DOSIS TERBAGI:
REJIMEN SUB KUTAN DOSIS KOREKSIONAL
PEMANTAUAN GLUKOSA DARAH
Prinsip pemantauan :
❑ Kehati-hatian terhadap resiko hipoglikemia.
❑ Semakin agresif pemberian insulin, pemantauan glukosa
darah harus semakin cepat.
❑ Pertimbangkan juga jumlah tenaga yang tersedia.
TRANSISI DARI INSULIN INTRAVENA KE SUBKUTAN
• Perubahan teknik cara pemberian insulin akan dikuti perubahan besaran dosis
insulin.
• Dosis Subkutan yang diberikan biasanya sekitar 75-80% dosis harian total
intravena kontinyu dan dibagi secara proporsional menjadi komponen basal
dan prandial.
• Insulin subkutan diberikan 2 jam sebelum infus insulin intravena dihentikan.
NOVORAPID FLEXPEN
Short Acting Insulin
DOSIS INSULIN INTRAVENA
• Syarat pemberian insulin secara intravena :
❑ Ada indikasi : diberikan dalam kasus kegawatdaruratan yang mengacam nyawa dan butuh
koreksi sangat cepat untuk mengontrol kadar gula darah.
❑ Pengawasan ketat : tiap jam, selama 3 jam pertama
❑ Ada dextrose 40% (disimpan di suhu ruangan, bukan lemari es)
• Diberikan dosis awal 0,15 IU x BB, dipantau kadar GDS setiap 1 jam sampai 3 jam pertama,
selanjutnya dosis disesuaikan.

Kadar glukosa darah (mg/dL) Dosis insulin sp (IU/jam)


1. 200-250 1
2. 250-300 2
3. 300-350 3
4. 350-400 4
5. > 400 5

• Bila kadar gula darah sudah pada kadar 400-600 mg/dL, pemberian obat diganti ke subcutan.
PEMBERIAN INSULIN INTRAVENA TERTITRASI
Start intravenous insulin when blood glucose level more >180 IU/dL
Blood Glucose value ( in mg/dL) Insulin Infusion (Iinternational Unit/hour)
1. < 110 No Insulin
2. 110-149 1.0
3. 150 -199 2.0
4. 200-249 2.5
5. 250-299 3.0
6. 300-349 3.5
7. 350-399 4.0
8. 400-449 4.5
9. 450-499 5.0
10. 500-549 5.5
11. 550-599 6.0

Adapted from A simple protocol of blood glucose control, as propossed for India Intensive Care Unit
KOMPLIKASI HIPOGLIKEMI
• Penyebab terjadi hipoglikemia :
❑ Terutama pada pemakaian insulin atau peroral gol Sulfonil Urea.
❑ Dosis insulin/Sulfoniluria yang terlalu tinggi.
❑ Dosis tepat, tapi intake makan pasien yang kurang.
❑ Demam, rasa nyeri, dll → yang tidak terkontrol
• Gejala hipoglikemia akut : lemas, keringat dingin, penurunan kesadaran dari apatis-somnolen, sopor s/d koma
dan kematian.
• Harus ditangan dengan cepat :
• Segera cek kadar GD saat itu. Hipoglikemia jika didapatkan kadar GD <60 mg/dL.
• Kalau pasien masih sadar dan mampu → suruh minum air gula
• Kalo penurunan kesadaran segera berikan bolus dextrose 40%, dengan pedoman :
Kadar glukosa darah (mg/dL) Dextrose 40% (flash 25 ml)
1. < 20 6
2. 20-40 4
3. 40-60 2
KASUS 1
• Kasus Tn. Sukardi, 62 thn, 70 kg, dengan keluhan demam hari ke-3 dan pusing yang tidak tertahankan,
napsu makan berkurang, nelan terasa pahit, agak mual tapi tidak muntah.
• Hasil laborat : Darah Rutin Hb:16,5 HCt: 50,3 Leko:10.500 Trombosit:92.000
WIDAL A: 1/80 H: 1/80 AH: negative BH: 1/80
GDS 381
• Diagnosis sementara : Demam Typhoid hari ke-3
DM type 2 tidak terkontrol
• Terapi : Infus RL 30 tts/menit Peroral : Neuromec 3 x1, Vastigo 3x 1
Injeksi Ondancentron 8 mg/8 jam Infus Sanmol 750 mg/8 jam
Injeksi Ceftriaxon 1 gram/8 jam Injeksi insulin NOVORAPID 16 IU jam 14.30
Infus sanmol 750 mg/8 jam Evaluasi GDS tiap 3 jam
• Target koreksi : GD sebelum makan 100-140 mg/dL atau GD sewaktu (acak) kurang < 180 mg/dL.
Evaluasi : Jam 17.00 hasil kadar GD 266 (2 jam setelah pemberian subcutan)
Jam 20.00 hasil kadar GD 234 (5 jam setelah pemberian subcutan)
Jam 23.00 hasil kadar GD 222 (7 jam setelah pemberian subcutan)
KASUS 2
• Kasus Tn. Sriyani, 61 thn, 65 kg, dengan diare 5x dan muntah 2 x dalam semalam. Saat ini badan
lemas, napsu makan kurang. TD : 90/60 HR : 114x/mnt RR : 20 x/mnt Suhu : 36,8 C
• Hasil laborat : Darah Rutin = Hb:12,9 HCt: 38,3 Leko:119,300 Trombosit: 234.000
WIDAL = A: 1/80 H: 1/80 AH: negative BH: 1/80
GDS = High (>600 mg/dL)
• Diagnosis sementara : Obs gastroenteritis e/c Demam Typhoid hari ke-3
DM type 2 tidak terkontrol.
• Terapi : Infus RL 30 tts/menit Peroral : Neuromec 3 x1, Vastigo 3x 1
Injeksi Ondancentron 8 mg/8 jam Infus Sanmol 750 mg/8 jam
Injeksi Ciprofloxacin 200 mg/8 jam Injeksi insulin NOVORAPID 24 IU jam 07.30
Infus sanmol 1.000 mg/8 jam Evaluasi GDS 30 mnt setiap sebelum makan
• Target koreksi : GD sebelum makan 100-140 mg/dL atau GD sewaktu (acak) kurang < 180 mg/dL.
Evaluasi : Jam 11.00 hasil kadar GD 375 (2 jam setelah pemberian subcutan)
Jam 16.00 hasil kadar GD 185 (5 jam setelah pemberian subcutan)
KASUS 3
• Anamnesa : Pasien wanita, 60 thn, 66 kg, datang dengan sesak napas, untuk duduk saja terasa sesak, tidak bisa tidur,
terasa tetap sesak meskipun dalam kondisi istirahat, riwayat DM (+), riw renggosan (+), riwayat komplikasi ke ginjal ?
• Hasil laborat : Gula Darah Sewaktu 566, Asam Urat 10,8, Kolesterol 385
• Pemeriksaan fisik :
❑ Umum : TD 200/100, HR 131 x/mnt, RR 40-50 x/mnt, SaO2 kadang terdeteksi kadang tidak → 79 %
Bengkak di kaki (–), peningkatan JVP tidak jelas.
❑ Jantung : Bising (-), aritmia (-).
❑ Pulmo : wheezing (-), ronkhi kasar (-), ronkhi basah halus tidak jelas.
• Diagnosis sementara : *Obs dipsneu e/c suspek edema paru e/c decomp coedis NYHA 4
*Sindrom metabolik : DM type 2 terkontrol buruk, Hiperkolesterolemia, Hiperuresemia
*Hipertensi severe → Hipertensi urgensi/emergensi ?
• Tindakan : Berikan O2 3 Liter/menit. Furosemid peroral 1 tab
Infus RL 8 tts/menit (asal netes). Anflat sirup 3 x 2 cth
Insulin subcutan 24 IU, 10 menit sblm makan Fasorbid 3x 1 tab
• Rencana tindak lanjut : Cek laborat DR, Widal, EKG, Rontgen Thorax
PEMANTAUAN :
TD / HR / RR / SaO2 dan GDS Keterangan Tindakan
Per Hari I Jam 13.00 200 :100 /131/40-50/ kadang Belum terpasang Infus RL 8-10 tts/menit
Kamis, terdeteksi (79%) –kadang tidak. Oksigen. Furosemide 1 x 1 tab
2 Juli 2020 Dan GDS 566 mg/dL. Setelah diberi O2→ Insulin SC 24 IU
SaO2 jadi 81-83 % Anflat sirup 3 x 2 cth
Fasorbid 3x 1 tab
Jam 15.00 200 :100 /122/ 30 / 92% Terpasang O2
Jam 17.00 190:100/ 112 / 24 / 98% dan Sesak napas sudah Amlodipin 2 x 5 mg
212 mg/dL (sebelum makan). berkurang → tetap Captopril 3 x 25 mg
pasang O2 nasal. Insulin SC 24 IU
Per Hari II Jam 06.00 140 :80 / 96 / 20 / 98-99% dan 176 Ro’: Edema paru Insulin SC 24 IU
Jum’at, mg/dL. (sebelum makan) Cardiomegali 61%, Furosemide 1 x 1 tab
3 Juli 2020 EKG : kesan baik.
Jam 12.00 130 : 80 / 86 / 16 / 98-99% dan Ureum 449, Cr : 7,12 Insulin SC 24 IU
115 mg/dL (sebelum makan) O2 nasal kanul dilepas
Jam 17.00 120 :80 /84/16/98-99 dan 111 Insulin SC 20 IU
mg/dL (sebelum makan)
Hari ke III Jam 06.00 140:90 /86 /1/ 96% dan 286 PASIEN DIPULANGKAN.
Kamis, 4 Juli mg/dL
Kasus 4
Seorang anak perempuan, umur 17 tahun datang ke RS Kayen dengan keluhan demam, muntah 2x di
rumah & muntah 2x di RS, serta tidak sadar 2 jam setelah dirawat di RS. BB 43 kg.
Dibawa dan dirawat di RSU Kayen
Dari hasi pemeriksaan laborat didapatkan :
❑ Hb 14,3; Lekosit 37.200, Trombosit 551.000, GDS 554, Na 132,8; K 4,78; Cl 97,9
❑ BGA menunjukkan hasil pH 7,14 PO2 111, PCO2 15,5; HCO3 6, BE -23, SaO2 98%
Dari EKG : sinus takikardi 153 x/mnt
Ditangani dr. Sp Anak dan diberikan terapi :
o O2 NRM 15 L/mnt. o Injeksi Ondancentron 4 mg/8 jam.
o Infus NaCl 30 tpm. o Inj Lantus 10 IU jam 21.00.
o Inj Ceftriaxon 1gr/12 jam. o Inj Novorapid 10-10-10 IU.
o Inj Omeprazole 1 vial/24 jam. o Inj Paracetamol 400 mg/8 jam.
Sehari dirawat, kemudian dirujuk ke RSU Soewondo Pati dgn dx : penurunan kesadaran dan KAD.

Di IGD RSU Soewondo, oleh dr SpA diberikan :


❑ Infus NaCl → drip Insulin 10 IU.
❑ Inj Ceftazidime 500 mg/12 jam.
❑ Inj ondancentron, paracetamol dan OMZ lanjut.
❑ Dan dikonsulkan masuk PICU.
Di ICU , hari 1
• Pmx :
❑ Pasien demam (punggung panas), tidak sadar (sopor) dgn GCS =
E2V2M4 =8
❑ HD tidak stabil TD 62/28, HR 152-154 x/mnt, RR 41-44 x/mnt,
Suhu 38,3 °C, SaO2 98% dengan O2 NRM 15 L/m.
❑ Cek GDS ulang 409.
• Diagnosa : Syok septik dg ↓ kesadaran & impending gagal napas.
Hiperglikemia e/c KAD dd HHS e/c DM. Pasien saat datang di PICU
• Terapi :
1) Resusitasi cairan RL s/d 1.000 cc dalam 3 jam → setelah cairan JAM 10 11 12 1 2 3
masuk, ternyata TD masih rendah yaitu 86/32. TD 62/28 83/32 113/47 92/45 115/58 130/71
2) Ditambahkan Vascon 0,05 dan Dobut 5u/kg/mnt, dosis di naikkan
dgn target TD sistolik > 90 atau MAP >65 mmHg. GDS 409 335 317 243 199 177

3) Antibiotik Ceftazidime lanjut Suhu 38,3 39,0 37,6 38 37,8 37,7


4) Insulin sp 5 IU /jam, dosis ↕ dgn target GDS < 180 mg/dL Perubahan hemodinamik, GDS & suhu 6 jam pertama
5) Koreksi Bicnat 250 mEq (10 flash ≈ 1/2 dosis) sp 25 IU/jam.
Hb 12, Ht 35,8; Leko 18.000, Trombo 325.000
6) Paracetamol infus dinaikkan 750 mg/ 8 jam Lab
Na 146, K 4,2; Cl 102, Ur 133, Cr 2,1
7) Monitoring hemodinamik, SaO2 dan prod urine → 300 cc/3 jam.
BGA pH 7,23; pO2 206; pCO2 18,5; HCO3 8; BE -19,3
8) Cek BGA ulang, DR, Ureum-creatinin.
Hasil Lab & BGA jam 12 siang
Di ICU hari ke-2.
• Kesadaran apatis, mulai buka mata, kontak (-), GCS = E4V4M5 = 13
• Kondisi HD > membaik TD 123/79, HR 107, RR 27, SaO 2 99%
• Natrium bicarbonate 10 flash ( ½ dosis) sudah selesai diberikan.
• Diagnosis : ❑ Syok Sepsis (dalam perbaikan)
❑ KAD dd HHS ec DM type 2
❑ AKI ( Acute Kidney Injury)
• Tindakan/Terapi :
✓ Dosis Vascon & Dobutamin turunkan bertahap, kmdn STOP. Pasien hari ke - 2
✓ Pertahankan insulin (s/d GDS < 180) & prod urine (> 2cc/kg/j)
Di ICU hari ke-3
• Kesadaran CM, kontak (+), GCS =E4V5M6=15.
• HD membaik : TD 135/78, HR 95, RR 12, SaO2 99%, Afebris
• Pertahankan insulin & produksi urine.
• Cek ulang Laboratorium : Ureum - Creatinin → Ur 21; Cr 0,48
Di ICU hari ke-5
• Pasien pindah bangsal
Pasien hari ke - 3
TERIMA KASIH
TERIMA KASIH
Pedoman Antibiotik Empirik
di Unit Rawat Intensif

Dr. I Gusti Nyoman Panji Putu Gawa, SpAn.KIC.FIP


PENDAHULUAN :
• Antibiotika ≈ Antimikrobial → AB.

• Antibiotika adalah suatu zat kimia yang dihasilkan oleh mikro-


organisme yang mempunyai kemampuan untuk menghambat
pertumbuhan atau membunuh mikro-organisme lain (bakteri,
virus, jamur/fungi, parasit, dll)

• Antibiotik berperan penting terutama untuk mengatasi penyakit


infeksi, baik dalam derajat ringan-sedang- berat (sepsis).

• Di Indonesia penggunaan antibiotika cukup tinggi, dari


beberapa penelitian menyebutkan sekitar 60 – 80 % pasien yang
dirawat di rumah sakit pasti mendapatkan antibiotik.
 Penemuan antibiotika :

Golden Era of
antibacterial
discovery
Perkembangan penemuan antibiotik
 Berdasarkan spectrum melawan
Narrow Spectrum Broad Spectrum
kuman
❑ ampicillin, ➢ amoxicillin-
❑ Narrow Spectrum/ Spektrum amoksicilin, asam
sempit → hanya efektif bekerja eritromisin clavulanat,
pada kuman gram positif atau ❑ Sulfonamide ➢ Sefalosporin
negative saja. ❑ Trimetoprim ➢ fluoroquinolon.
❑ Broad Spectrum/ Spektrum luas
→ yang mencakup/melawan
gram positip dan gram
negative sekaligus, Dapat juga
dengan memberikan antibiotic
kombinasi gram + dan – secara
bersamaan.
1. Edwin M et alThe Use and Abuse of the Broad Spectrum Antibiotics, JAMA, 1963; 185(4), 273-79
2. Leekha S et al, General Principles of Antimicrobial Theraphy. Mayo Clinic Proceding, 2011. 86(2):156-67
 Ada 2 golongan besar antibiotik berdasarkan cara kerjanya :
❑Bakterisida : membunuh dan menimbulkan kerusakan
pada sel bakteri, dengan merusak dinding sel atau
membrane sel. Termasuk golongan ini adalah : Penicillin,
Sefalosporin, Aminoglikosida, Kotrimoksazol, dll
❑Bakteriostatik : menghambat replikasi kuman, melemahkan
kuman, mencegah kuman bertambah banyak → sehingga
kuman bisa di eliminasi oleh sel pertahanan tubuh kita
melalui mekanisme fagositosis, khemotaxis, dll. Termasuk
golongan ini : Makrolide, Sulfonamide, Tetrasikline,
Kloramfenicol, dll
Mekanisme kerja antibiotik.
Ada 5 mekanisme kerja
AB melawan sel bakteri :
1. Menghambat sintesis
dinding sel
2. Merusak /merubah
fungsi membrane sel.
3. Menghambat sintesis
protein.
4. Menghambat sintesis
asam nukleat.
5. Menghambat
metabolisme sel.

1. Rollins MD & Joseph SW, Pathogenic Microbiology., ugust 2000, http://life.umd.edu/classroom/bsci424


2. Kapoor G, Saikal S et al. Actions and Resistence mechanisms of antibiotic : A guidelines for clinicans, J Aenesthesiaol Pharmacol,
2017 33 (3): 300-305
KONSEP PEMBERIAN AB PADA SAKIT KRITIS
Progresifitas Penyakit

Profilaktik Empirik → targeted Definitif


Sakit kritis akibat infeksi
(sepsis), kuman dan tes
kepekaan kuman sudah ada.

Sakit kritis disebabkan suatu infeksi (sepsis), tetapi belum


terkonfirmasi kuman penyebab & kepekaan kumannya.

Sakit kritis dgn imunocompromised, tanpa gejala dan tanda infeksi


Pengelompokkan golongan antibiotik
Kelompok Gol. antibiotik Contoh
1. Beta Laktam 1. Penicillin Natural Penicillin Penicilin G/V → narrow spectrum
Amino Penicillin Ampicilin, Amoxicilin → broad sp.
Carboxi Penicillin Ticarcillin, Carbenicillin
Uredo Penicillin Piperacillin → extended spectrum
2. Sefalosporin Generasi 1 Cefadroxil, Cefazolin, Cefalexine
Generasi 2 Cefaclor, Cefuroxime
Generasi 3 Ceftriaxone, Cefotaxime, Cefixime
Generasi 4 Seftazidime, Cefepime, Cepirome
3. Karbapenem Imipenem, Meropenem,
Doripenem, Ertapenem
4. Monobactam Astreonam.
2. 5. Aminoglikosida Gentamicin, Amikacin,
Streptomicin, Kanamicin
Pengelompokkan golongan antibiotik
Kelompok Gol. antibiotik Contoh
3. 6. Quinolon Generasi 1 Nalidixat acid
Generasi 2 Ciprofloxasin, Ofloxacin, Norfloxacin
Generasi 3 Levofloxasin
Generasi 4 Moxifloxacin
4. 7. Macrolide Eritromicin, Azitromicin, Claritromicin
5. 8. Tetrasiklin Tetrasiklin, Oksitetrasiklin, Doksisiklin
6. 9. Amphenihol Kloramphenicol, Thiamphenicol
7. 10. Sulfonamide Sulfametoxazole, Sulfasalazine.
8. 11. Lincosamide Linkomicin, Klindamicin
Kesalahan pemberian antibiotik :
1. Memberikan antibiotik pada pasien yang seharusnya tidak perlu
mendapatkan AB.
2. Memberikan anti biotik dengan dosis yang tidak tepat (under dose
atau over dose).
3. Durasi pemberian antibiotik tidak cukup, atau terlalu singkat.
Berdasarkan efikasi klinis utk eradikasi mikroba, lama pemberian AB:
Penyakit Lama tx. Penyakit Lama tx
1. ISK tanpa komplikasi 3 hari 6. Thypoid fever 2-4 mgg
2. ISK dgn komplikasi 7 hari 7. Osteomielitis Bbrp mgg/ bln
3. Pyelonephritis 2 mgg 8. Septic Athritis 2-6 mgg
4. Streptococcal pharingitis 10 hari 9. Abses paru 4-6 mgg
5. Septikemia, pneumonia 1-2 mgg 10 Abses Hepar 1-4 bulan
4. Memberikan antibiotik yang tidak sesuai dengan kuman
penyebabnya.
Pedoman Pelayanan Kefarmasian untuk terapi Antibiotik, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2011
Apa perbedaan pemberian antibiotik
di ruangan/bangsal vs di ruang intensif ?
DI BANGSAL DI RUANG INTENSIF
1. Infeksi umumnya ringan-sedang, shg Pasien infeksi/sakit berat (gagal napas,
Kondisi pasien masih relative baik. penurunan kesadaran, hipo-albumin, dll)
2. Volume distribusi obat tidak banyak Perubahan volume distribusi obat akibat
terganggu/berubah. dehidrasi yang berat atau justru resusitasi
yang berlebihan.
3. Fungsi organ masih berfungsi dgn Ada kegagalan organ (hepar /lipofilik,
baik →sebagai tempat metabolism, ginjal /hidrofilik)
ekresi anti biotik.
4. Hemodinamik stabil, → perfusi O2 ke Ada gangguan hemodinamik ( ggn
jaringan & system organ masih baik. Kardiovaskuler : jantung & pemb darah)
→ shg terjadi gangguan perfusi ke organ.
5. Kadang disertai faktor co-morbid. Sering disertai co-morbid : DM, CKD, CHF,
HIV-AIDS, dll
Setting Pemberian Antibiotik
pasien sepsis di ICU
Gangguan
Ginjal
Gangguan
Volume
Hepar
distribution

Pemberian AB
Pasien sepsis in
ICU

Gangguan
Hipo-
hemodinamik
albumin
Co-morbid
(DM, CKD, CHF, etc)
TIGA PILAR UTAMA
PENGELOLAAN SEPSIS DI ICU

RESUSITASI AWAL / STABILISASI HEMODINAMIK


(Cairan-Vasopressor-Inotropik)

Pasien KONTROL
ANTIBIOTIKA
(Cepat-tepat-adekuat) sepsis in SUMBER INFEKSI
ICU

 Pengelolaan awal pada pasien sepsis/syok septik bertujuan : memperbaiki


hemodinamik → memperbaiki perfusi ke jaringan perifer lebih baik
(oksigenasi, nutrisi, antibiotik).
Antibiotic Therapy …
Mortality associated with Initial Inadequate Therapy In Critically-
ill Patients with VAP or Sepsis
Luna (1997) – VAP*1
38% Initial
91%
appropriate
15.6% therapy
Rello (1997) – VAP†2 37%
Initial
33.3%
Kollef (1998) – VAP*3 60.8% inappropriate
therapy
Ibrahim (2000) – Septicemia, 28.4%
severe sepsis, or bloodstream infection†4 61.9%
* Crude (overall)
Harbarth (2003) – 24% mortality
39%
Severe sepsis*5 † Infection-related

30.6% mortality
Vallés (2003) –
63%
Bloodstream infection*6

0 20 40 60 80 100
Mortality (%)
* Based on the 2005 ATS/IDSA guidelines for HAP/VAP/HCAP (Am J Respir Crit Care Med 2005;171:388-416),
inappropriate would be the term used to refer to the inadequate therapy noted on this slide.
1. Luna CM et al. Chest. 1997;111:676–685. 2. Rello J et al. Am J Respir Crit Care Med. 1997;156:196–200.
3. Kollef MH et al. Chest. 1998;113:412–420. 4. Ibrahim EH at al. Chest. 2000;118:146–155.
5. Harbarth S et al. Am J Med. 2003;115:529–535. 6. Vallés J et al. Chest. 2003;123:1615–1624.
Antibiotic Therapy …
Duration of hypotension prior to effective antimicrobial tx : impact on
survival in septic shock
Kumar et al, CCM 2006 – 2,100 pts - Administration of an antimicrobial
effective within the first hour of documented hypotension was associated
100 with a survival rate of 79.9%. Each hour of delay in antimicrobial
administration over the ensuing 6 hrs was associated with
an average decrease in survival of 7.6%.
80 Kumar et al, Intens Care Med 2009 - 4,532 pts –
A longer duration to antimicrobial therapy
Mortailty (%)

60 was also associated an increase


in incidence of AKI AND
AKI was associated with
40 significantly higher
Odds of death
20

0
0–30′ 30′–1h 1–2 2–3 3–4 4–5 5–6 6–9 9–12 12–24 24–36 >36
Time of first dose of antibiotics after the onset of shock (hours)
Kumar et al. Critical Care Medicine 2006;34:1589–1596
 Langkah awal untuk menghadapi pasien yang dirawat
di ICU dengan kecurigaan infeksi :

1. Melakukan biakan bakteri & tes kepekaan kuman.


2. Berikan antibiotik empirik yang tepat sedini mungkin.
3. Pemberian dosis antibiotik mengikuti prinsip farmakokinetik – farmakodinamik.
4. Pemantauan klinis pasien setiap hari dan dilakukan de-eskalasi bila
memungkinkan.
5. Tentukan lamanya pemberian antibiotik.
6. Identifikasi sedini mungkin akan kegagalan antibiotik.
1. Melakukan biakan bakteri.
 Biakan bakteri (kultur kuman) bertujuan untuk mengetahui jenis kuman,
Umumnya akan dilanjutkan dengan pemeriksaan sensitivitas dan tes
kepekaan kuman (resistence test) kuman tersebut terhadap berbagai AB.
 Hanya bisa dilakukan daerah/kota tertentu, yang membutuhkan waktu
relative lama (4-7 hari).
 Diambil minimal dari 2 tempat :
❑ plasma darah (darah vena pasien).
❑ tempat/sumber infeksi yang dicurigai (bisa berupa sputum sal napas,
pus/nanah dari luka, urine, cairan LCS atau liquor cerebro spinalis, dll).
 Karena keterbatasan fasilitas & perlu waktu relative lama → dapat dipakai
peta pola kuman pada RS tersebut (RS terdekat) sebagai dasar pemberian
antibiotik empirik.
2. Berikan antibiotik empirik sedini mungkin.

Kategori Waktu Skenario Klinik


Emergensi Satu jam Sepsis berat – syok septik
Infeksi disertai :
- Rangsangan meningeal
- Netropenia
- Splenektomi

Urgensi > Satu jam Kecurigaan infeksi berat, keadaan umum


dan hemodinamik stabil masih diperlukan
konfirmasi diagnostik, misalnya kecurigaan
ventilator associated pneumonia
menunggu hasil radiologi.
3. Pemberian antibiotik empirik yang tepat.

❑ Antibiotik intravena (IV) harus diberikan dalam 1 jam pertama diagnosis


sepsis dan syok sepsis.
❑ Merekomendasikan pemberian antibiotik empiris spektrum luas dengan satu
/lebih antibiotik pada sepsis & syok sepsis utk mengatasi semua patogen
yang mungkin (termasuk bakteri, fungal atau virus).
❑ Kombinasi antibiotik empiris untuk patogen yg paling mungkin utk
manajemen awal dari syok sepsis → tapi tidak boleh dilakukan secara rutin
untuk infeksi umum.
❑ Pemberian antibiotik dipersempit/di de-eskalasi /narrowing→ setelah kuman
patogen ter-identifikasi dan uji sensitivitas kuman sudah diperoleh.
KOMBINASI ANTIBIOTIK
 Kombinasi anti biotik : menggunakan 2 macam antibiotik atau lebih, dari
golongan yang berbeda dan secara bersamaan (dalam waktu yang sama).
 Masih diperbolehkan pada kondisi tertentu :
1. Kita mengharapkan efek sinergistik (meningkatkan cakupan)
melawan kuman penyebab infeksi
2. Pasien sepsis dengan sakit kritis dengan sumber penyebab yang
tidak diketahui dengan jelas,
3. Infeksi yang disebabkan lebih dari 1 organisme penyebab.
4. Untuk mencegah resistensi→ contoh terapi TBC paru.
 Efek samping :
❑ Mematikan flora normal dalam tubuh.
❑ Meningkatkan efek samping dan toksisitas, apalagi pasien dgn ggn organ.
Pillai SK et al, Principles and Practise of Infections Disesase; 2010, Vol 1 tth ed, Philadelphia.
4. Pemberian dosis AB sesuai prinsip farmakokinetik – farmakodinamik.

Ada beberapa yang mempengaruhi FK-FD obat antibiotik.


 Kelarutan obat AB :
1. Lipofilik
2. Hidrofilik
 Volume Distribusi Obat.
 Keterikatan obat AB dengan albumin.
 Fungsi organ untuk metabolisme dan ekresi obat AB.
THE TYPE OF ANTIMICROBIAL
Hydrophilic vs Lipophilic

Pea F, Viale P. Bench-to-bedside review: Appropriate antibiotic therapy in severe sepsis and septic
shock--does the dose matter? Crit Care. 2009;13(3):214. Epub 2009 Jun 10.
Hubungan Hidrofilic dan Lipofilik dari molekul Antibiotik
Pada Karakteristik Farmako kinetic di bangsal umum dan ICU

Lipman. Critical Care Medicine 2009;


37:840-851
VOLUME DISTRIBUTION

Lipman. Critical Care Medicine 2009; 37:840-851


o Paling penting diingat sehubungan dengan pemberian dosis
antibiotik empiris inisial adalah, peningkatan volume distribusi
pada pasien sepsis untuk sebagian besar antibiotik. :
o Ekspansi volume ekstraseluler yang cepat sebagai konsekuensi
dari resusitasi cairan yang agresif.
o Hal ini secara tidak terduga menyebabkan seringnya
pemberian berbagai jenis antibiotik menjadi sub-optimal dose
(dosisnya menjadi dibawah optimal).
o Terapi antibiotik pada pasien ini harus selalu dimulai dengan dosis
tinggi (high enloading) → untuk semua obat AB yang digunakan.
o Tiap antibiotik membutuhkan kebutuhan target plasma yang
berbeda untuk mencapai hasil optimal.
THE ROLE OF VOLUME DISTRiBUTION
5. Tentukan lamanya pemberian antibiotik.
 Terapi antibiotik 7-10 hari umunya cukup untuk infeksi serius yang
diasosiasikan dengan sepsis dan syok sepsis
 Pemberian antibiotik yang lebih lama :
1. Untuk pasien yang memiliki respon klinis lambat.
2. fokus infeksi yang tidak dapat diatasi.
3. bakterimia karena S. aureus.
4. beberapa infeksi fungal & virus, imunodefisiensi, juga neutropenia.
 Terapi AB jangka yang lebih pendek : pada pasien yang memiliki
resolusi klinis cepat, source control efektif dari infeksi intraabdomen,
urinary sepsis, atau pielonefritis tanpa komplikasi
 Pengukuran kadar prokalsitonin dapat dilakukan utk membantu
menentukan durasi terapi antibiotik.
6. Identifikasi kegagalan antibiotik sedini mungkin.
 Kriteria
diagnostik
kegagalan
antibiotik
RASIONALISASI ANTIBOTIK EMPIRIK
 Pemberian antibiotik empirik → pemberian antibiotik sebelum
diketahui bakteri penyebab.
 Pemberian antibiotik yang rasional → pemilihan antibiotik yg
sesuai dgn pola bakteri dan kepekaan antibiotik, lokasi infeksi,
dosis, dan cara pemberian yg tepat, sedini mungkin.
 Tujuan terapi antibiotik empirik → menekan angka kematian
serta biaya perawatan dan diindikasikan pd infeksi yg akan
memperburuk penyakit atau mengancam jiwa.
 Indikasi dan waktu dimulai terapi antibiotik empirik

Kategori Waktu Skenario Klinik


Emergensi Satu jam Sepsis berat – syok septik
Infeksi disertai :
- Rangsangan meningeal
- Netropenia
- Splenektomi

Urgensi > Satu jam Kecurigaan infeksi berat, keadaan umum


dan hemodinamik stabil masih diperlukan
konfirmasi diagnostik, misalnya kecurigaan
ventilator associated pneumonia
menunggu hasil radiologi.
DE-ESKALASI ANTIBIOTIK
 De-eskalasi : suatu metode perubahan pemberian antibiotik, dari
pemberian awal AB empiris yang pada umumnya spektrum luas
(baik AB kombinasi atau tunggal) dirubah dengan pemberian
antibiotik dengan spectrum yang lebih sempit (spesifik),
berdasarkan hasil biakan kuman dan kepekaan kuman terhadap
antibiotik.
 Metode ini terutama diterapkan pada pasien dengan sakit
berat/kritis yg mengancam jiwa.
 Bila tampilan klinis, laboratorium mengalami perbaikan, diubah mjd
antibiotik spektrum sempit berdasarkan hasil kepekaan antibiotik.
Lama pemberian antibiotik spektrum sempit rata-rata 7-10 hari.
ANGKA KEMATIAN PASIEN HAP
BERKAITAN DENGAN PEMBERIAN/TERAPI ANTIBIOTIK
SECARA “ESCALATED OR DE-ESCALATED”

50 42.6

40

30 23.7
17 De-escalated (n=88)
Mortality % 20
No-change (n=245)
10 Escalated (n=61)

0
De-escalated No-change Escalated
(n=88) (n=245) (n=61)

Kollef MH et al, hospital-aquaired pneumonia and de-escalation antimicrobial treatment, Chest, 2006
DOSIS ANTIBIOTIK
PADA POPULASI KHUSUS
1. PASIEN GANGGUAN GINJAL :
o Pada antibiotik diekskresi melalui ginjal → pemberian dosis rumatan
harus disesuaikan dgn kondisi ginjal (tergantung dari penurunan GFR
atau kenaikkan klirens kreatinin).
o Juga harus mempertimbangkan karakteristik antibiotik (time
dependent atau concentration dependent) agar eradikasi bakteri
tetap optimal.
❑ Kelompok time dependent → dosis total perhari dikurangi dgn
interval pemberian tetap, dgn tujuan mempertahankan fT > MIC.
❑ Sedang kelompok concentration dependent (spt aminoglikosida)
→ total dosis perhari dipertahankan, tetapi jarak pemberian
diperpanjang agar konsentrasi puncak plasma (C-max) tercapai.
Misalnya, meropenem pd kasus dgn estimasi klirens kreatinin (GFR) <15 ml/ min,
maka pemberian diawali dosis loading 1000 mg agar dosis terapi cepat dicapai
(Cmax) kemudian diikuti dosis rumatan 500 mg /12 jam utk optimalisasi fT>MIC.
Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam kaitan
antibiotik terhadap terapi suportif ginjal /hemodialisa yaitu:

Volume distribusi (Vd) akan


Seberapa besar proporsi antibiotik tersebut
diekskresi melalui ginjal : semakin besar
meningkat pd penyakit kritis :
diekskresi → semakin besar akan mengalami peningkatan Vd →pK-pD antibiotik
eliminasi melalui dialisis terutama pd terutama kelompok hidrofilik.
kelompok hidrofilik (gol beta laktam). Distribusi kelompok hidrofilik hanya
terbatas pada cairan ekstraseluler
dan dieliminasi melalui ginjal
Ikatan antibiotik thd plasma protein sehingga apabila Vd meningkat →
(albumin) : semakin kuat terikat pada konsentrasi dalam plasma akan
protein (protein binding > 70 %) semakin sgt rendah. Oleh karena itu pd
kecil tereliminasi melalui dialisis. fase awal penyakit kritis, walaupun
disertai dgn gangguan ginjal
Antibiotik yang terdialisis sebaiknya diberikan diperlukan dosis rumatan yg tinggi
sebelum atau diberikan dosis tambahan termasuk diawali pemberian dosis
setelah dialisis loading.
DOSIS ANTIBIOTIK
PADA SAKIT KRITIS DGN GANGGUAN FUNGSI GINJAL
Kelompok Antibiotik Modifikasi Dosis
Time Dependent
• Beta laktam ▪ Infus kontinu / extended infusions pada CRRT, tetapi
• Carbapenem tidak dilakukan pada IHD
• Vancomycin ▪ Frekwensi pemberian ditingkatkan tetapi dosis
diperkecil
▪ Pemberian dosis tambahan paska IHD
Concentrate Dependent
• Aminoglikosida ▪ Loading dosis agar Cmax cepat tercapai
• Fluoroquinolone ▪ Jarak pemberian diperpanjang/Frekuensi pemberian
• Metronidazole obat dikurangi, khusus untuk aminoglikosida
• Macrolide ▪ Pemberian pre IHD khusus untuk aminoglikosida
Ket .
• Linezolide CRRT : continuous renal replacement therapy
IHD : intermittent hemodialysis
2. PASIEN DENGAN GANGGUAN FUNGSI HATI
o Infeksi berat (sepsis) sering disertai gangguan hati yang umumnya
disebabkan oleh :
❑ hipoperfusi jaringan (iskemia hepatitis)
❑ atau penggunaan obat bersifat hepatotoksik (ex : rifampisin)
o Pd ggn hati ≠ proses konyugasi → terjadi penumpukan metabolit & berpotensi
menimbulkan dosis toksis
o Pada ggn fungsi hati dapat terjadi hipoalbumin → sehingga antibiotik
hidrofilik yang terikat kuat pd protein akan mengalami ↓ konsentrasi dalam
plasma
o Pemakaian obat pada gangguan hepar :
❑ Gangguan hati ringan/sedang : tidak perlu penyesuaian dosis antibiotik.
❑ Pada gangguan hepar yang berat:
1. Membutuhkan penyesuaian/penurunan dosis → 50% dari dosis biasa
2. Dipilih antibiotik dengan eliminasi nonhepatik
3. Dipilih tidak hepatotoksik (obat yg dapat menginduksi kerusakan hati)
Amarapurkar D. Prescribing Medications in Patients with Decompensated Liver Cirrhosis. 2011
HIPO ALBUMIN
 Kadar albumin serum yang rendah → sangat umum pada
pasien sakit kritis, dengan insiden yang dilaporkan setinggi
40-50 %.
 Banyak obat anti biotik yang memiliki afinitas/ikatan dengan molekul
albumin yang relative tinggi → sehingga perubahan konsentrasi albumin
akan mempengaruhi distribusi dan kadar/konsentrasi serta
pembersihan/klirens (clearance) obat AB dalam tubuh.
 Hipo albumin memiliki efek terhadap obat, termasuk antibiotic :
1. Penurunan tekanan onkotik intra vaskuler yang menyebabkan
‘shifting‘ volume intravaskuler → peningkatan volume distribusi (Vd)→
terjadi penurunan konsentrasi /kadar obat.
2. Penurunan kadar albumin akan berpengaruh pada obat yang
berikatan tinggi tehadap molekul albumin. Karena dengan kadar
albumin rendah → kadar obat bebas (yang tidak terikat albumin)
akan meningkat → clirens obat (CL) juga akan meningkat.
 Efek dari hipoalbumin pada farmakokinetik didorong oleh penurunan
pada tingkat antibiotik yang terikat pada albumin → meningkatkan
fraksi tak terikat dari obat.
Ikatan Obat-Albumin
 Banyak obat memiliki afinitas tinggi untuk 'berikatan' pada molekul albumin → secara
farmakologi, ikatan albumin memiliki tiga implikasi penting.
Ikatan antibiotik dan albumin
REKOMENDASI ANTIBIOTIK EMPIRIK
A. SEPSIS
Sepsis adalah
sekumpulan
gejala dan
tanda klinis yg
disebabkan
oleh masuknya
kuman ke
dalam tubuh,
baik yang di
duga (suspect)
maupun yang
sudah terbukti
(presumed).

Diagnosis sepsis berdasarkan gejala & tanda infeksi


Antimicrobial guidelines for SEPSIS

Rodes A, Evans NE et all, Surviving sepsis campaign : International Guidelines for


Management of Sepsis and Septic Syock, 2016
Antimicrobial guidelines for SEPSIS
Terapi anti mikroba berdasarkan pada sepsis berdasarkan SSC 2016
1. Pemberian AB secara IV segera “as soon as possible” →dalam waktu 1 jam
setelah di diagnosis sepsis atau shock sepsis diegakkan.
2. Direkomendasikan terapi empitrk dengan Broad Spectrum denagn 1 atau
lebih AB untuk pasien yg menunjukkan tanda & gjala sepsis atau syok septis,
3. Direkomendasikan tx empiric AB di lakukkan penyempitan (narrowing),
setelah pathogen dikenali dan kepekaan kuman telah ditegakkan atau
terdapat perbaikan klinis.
4. Menghindari pemberian AB profilaksis pada pasien dengan infeksi berat yang
sebenarnya bukan infeksi (contoh pankreatitis berat, luka bakar, dll)
5. Direkomendasikan pemberian dosis yang optimal berdasarlkan prinsip
farmakokinetik dan farmakodinamik obat AB yg dapat diterima.

Rodes A, Evans NE et all, Surviving sepsis campaign : International Guidelines for


Management of Sepsis and Septic Syock, 2016
1. Menyarankan terapi kombinasi empiric dengan 2 antibiotik dari
kelas yang berbeda supaya bisa mencakup sebagian besar
bakteri pathogen pada awal manajemen syok septik.
2. Menghindari penggunaan rutin Combinasi terapi tersebut untuk
kebanyakan infeksi berat, termasuk bakterimia dan septis tanpa
syok.
3. Direkomendasikan untuk menghindari terapi kombinasi secara rutin
pada sepsis/bakterimia neutropenia.
4. Jika terapi kombinasi tersebut digunakan, direkomendasikan untuk
dilakukan de-eskalasi dengan menghentikan terapi kombinasi
tersebut dalam bebera[a hari setelah klinis membaik atau infeksi
mengalami resolusi.
5. 10. Menyarankan pemberian antimicrobial selama 7-10 hari cukup
adekuat untuk sebagian besar infeksi berat yang dihubungkan
dengan sepsis dan syok sepsis.
Rodes A, Evans NE et all, Surviving sepsis campaign : International Guidelines for
Management of Sepsis and Septic Syock, 2016
Antimicrobial guidelines for SEPSIS
11. Menyarankan pemberian lebih lama pada respon klinis yang
lambat, focus infeksi yang tidak bisa didrainase, bakterimia
dengan stapilokokus aureus, infeksi jamur dan virus atau pada
defisiensi imun termasuk neutropenia.
12. Menyarankan pemberian atau pemakaian yang lebih pendek
pada kasus dengan resolusi yang cepat yang mengikuti
pengontrolan sumber infeksi yang efektif.
13. Penilaian setiapi untuk de-eskalasi terapi antimicrobial pada
pasien sepsis dan syok sepsis.ada

Rodes A, Ev ans NE et all, Surv iving sepsis campaign : International Guidelines for Management of Sepsis and
Septic Syock, 2016
PREVALENCE SOURCE OF SEPSIS
Major types of infection in adult ICUs (NNIS data 1992–1997) International Multicentre Prevalence (IMPresS) Study on Sepsis

Richards et al, Mayor types of infection in adult Szakmany T et al, Sepsis Prevalence and Outcome on the General Wards & Emergency
ICU’s, Critical Care Medicine, 1999; 27: 887 Departments (The IMPreSS study), from 1.000 patients, Intensive Care Medicine, 2015
Algoritma Diagnosis Sepsis
Algoritma Antibiotik Empirik pada Sepsis (unknown origin)
KLASIFIKASI SPEKTRUM ANTIBIOTIK
Pada PATIENT CRITICALL ILL

Antibiotik spektrum sempit Antibiotik spektrum luas


(non-antipseudomonal) (antipseudomonal)

• Ceftriaxone/cefotaxim • Antipseudomonal sefalosporin :


• Ampicilin - sulbactam • Ceftazidime
• Cefepime
• Ertapenem
• Piperacillin – tazobactam
• Quinolon
• Carbapenem :
• Macrolide • Meropenem
• Fosfomycin • Imipenem
• Doripenem
B. Pneumonia
Pneumonia: Radang paru yang
disebabkan oleh bakteri dengan gejala
panas tinggi disertai batuk berdahak,
napas cepat (frekuensi nafas >50
kali/menit), sesak, dan gejala lainnya
(sakit kepala, gelisah dan nafsu makan
berkurang)

Riskesdas 2013
Komplikasi terkait CAP

Pediatric Community Pneumonia Guidelines d CID 2011:53 (1 October) d e28


Kriteria CAP berat pada pasien dewasa
IDSA/ATS Guidelines
for CAP in Adults •
CID 2007:44 (Suppl 2)
• S27
Klasifikasi PNEUMONIA
• Adalah peradangan akut parenkim paru disebabkan o/bakteri, virus, jamur, parasit.
Termasuk penyebab paling besar infeksi/sepsis di ICU
• Klasifikasi :
KLASIFIKASI
1. CAP Pneumonia yang origin/murni didapatkan dari masyarakat.
(Community Etiologi : Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aerus, Legionella
Acquired Pneumonia sp., bakteri batang gram negatif & Haemophilus influenza
Komu
2. HCAP Healthcare-Associated Pneumonia (HCAP) saat ini dimasukan nitas
(Healthcare- pada CAP dengan risiko Multi Drug Resistent (MDR).
Associated
Pneumonia)
3. HAP Pneumonia yg didapatkan di RS atau tidak berada dalam
(Hospital Acquired masa inkubasi saat dirawat dan terjadi lebih dari 48 jam
Pneumonia setelah perawatan di rumah sakit. Noso
4. VAP Pneumonia yang terjadi > 48 jam setelah intubasi komial
Ventilator Associated endotrakeal.
Pneumonia
B.1. CAP (Community Acquired Pneumonia)

 Murni pneumonia yang berasal


dari lingkungan masyarakat atau
pada pasien yang sebelumnnya
pernah dirawat di RS.
Gejala umum Pneumonia :

Indikasi perawatan Pneumonia di Ruang Intensif :


Penilaian/Score CURB-65
Faktor Nilai
1. Demografi & Laki-laki Umur
Lingkungan Perempuan Umur-10
Pneumonia 2. Komorbid
Panti Jompo
Keganasan
10
30
Severity Penyakit Hati
Gagal jantung Kongesti CVH Stroke
20
10

Index 3. Pmx Fisik


Penyakit ginjal
Gangguan kesadaran
10
20
RR > 20 x/m 20
Hipotensi TD sisstolik<90 mmHg 20
Suhu tubuh > 40 atau < 35 °C 15
Nadi > 120 x/m 10
4. Laborat pH < 7,35 30
BUN darah >50 mg/dL 20
Natrium <130 mmol/L 20
GDS >250 mg/dL 10
Hb<10 gr% atau Hct <30% 10
PaO2 <60 mmHg atau SaO2< 90% 10
5. Pmx Radiologi Efusi Pleura 10
Tingkat resiko & Perawatan Pasien
berdasarkan Pneumonia Severity Index
Pneumonia berat berdasarkan klasifikasi IDSA/ATS
bila memenuhi minimal tiga kriteria minor atau satu mayor

Kriteria Mayor
➢ Memerlukan ventilasi mekanik
➢ Syok septik dan memerlukan vasopresor

Kriteria Minor
❑ Laju napas > 30/menit. ❑ Lekopenia (leukosit < 4000 sel/mm3) yg
❑ PaO2/FiO2< 250 mmHg atau butuh disebabkan oleh infeksi.
ventilasi non-invasif. ❑ Trombositopenia (tromb < 100 rb sel/mm3).
❑ Foto toraks : infiltrat multilobus. ❑ Hipotermia (suhu < 36oC).
❑ Kesadaran menurun/disorientasi. ❑ Hipotensi yang memerlukan resusitasi
❑ Uremia (BUN > 20 mg/dl). cairan agresif.

Pemeriksaan diagnosis tambahan yang diperlukan di ruang rawat intensif adalah biakan darah dan
sputum, urinary antigen leginella dan pneumococcal urinary antigen test .
REKOMENDASI
PEMILIHAN ANTIBIOTIK PADA CAP
 1. Bila tidak ada faktor risiko pseudomonas, antibiotik empirik CAP :

Beta laktam (sefotaksim, seftriakson atau ampisilin-sulbaktam)


PLUS
Macrolid (Azitromizin, Klaritromicin)
atau
Fluorokuinolon respiratorik (moksifloksasin, levofloksasin).
 2. Bila curiga bakteri pseudomonas sbg penyebab CAP, maka pilihan AB :

I. Golongan antipneumokokus, antipseudomonal beta laktam


(pip-tazo, sefepime, imipenem atau meropenem)
PLUS
Ciprofloksasin atau Levofloksasin 750 mg,

II. beta laktam + azitromisin dan aminoglikosida

III. beta laktam + aminoglikosida dan fluoroquinolon.


 3. Bila curiga MRSA (Methicillin-Resistant Staph. Aureus /MRSA), direkom :
I. Vancomycin
II. Linezolid
Algoritma
penggunaan
antibiotik
empirik
pada
pneumonia
komunitas.
Contoh kasus:
 Wanita : St Is, umur 36 tahun datang ke klinik GM dengan keluhan :
demam hilang timbul disertai nyeri perut dan ulu hati, sudah 2 bulan
lebih, sering kumat-kumatan. Nyeri juga terasa di perut kanan,
menjalar ke punggung kanan. Napsu makan kurang sekitar 1 minggu
terakhir ± 5 sendok makan. Juga disertai batuk, kadang-kadang
sesak napas.
 Sudah berobat ke dokter umum lebih dari 5x dan ke dokter SpPD 3x
(dr Di, dr Yu, dr Is) tetap belum sembuh. Terakhir di USG abdomen tgl
17 Feb 2022 (2 minggu yll) didapatkan gambaran gastritis dan efusi
pleura kiri. Tapi diberikan obat juga belum sembuh.
 KU tampak sakit sedang, sadar penuh, status gizi kurang (BB 45 kg).
Hemodinamik : TD 110/70 , HR 116x/m, RR 24 x/m, SaO2 99%
 Di klinik GM dilakukan : Pemeriksaan USG, Ro Thorax PA dan Laborat.
 Hasil USG abdomen :
Liver, gall bladder, kidney, lien, VU, dll → dbn.
Curiga cairan supra diaphragmatica Dex - Sin →
curiga efusi pleura dupleks.
→ Apa penyebabnya?
 Hasil Ro Thx : Cor dalam batas normal.
Pulmo gambaran bronkopneumonia.
Effusi pleura dex–sin (dupleks).
 Hasil laboratorium :
Hb 12,1 Widal O - GDS 153
Hct 35,6 H- Ureum 15
Leko 8.200 AH 1/80 Creat 0,5
Trombo 297.000 BH 1/160 SGOT/PT 19/20

 Diagnosis : Demam typhus


Bronkopneumonia
Effusi Pleura Dupleks
Pemantauan :
Keluhan & TTV Pmx Penunjang Tindakan
Hari ke-1 Jam 13.00 Badan demam dan terasa adem USG : Infus RL 20 tts/menit
Kamis, panas 1 mgg. Perut nyeri 5 hari efusi pleura D-Sin Inj ondancentron 8 mg/8jam
3 Maret 2022 pada ulu hati dan sampai ke Ro Thorax : Inj Pycin 1500 mg/8 jam
dada kanan. Efusi pleura D-S, Inj PCT 500 mg/8 jam
100-60/116/99% suhu 37,1 Bronkopneumonia Tx Oral : Anflat syr 3x 2 cth
Decadril syr 3x2 cth
Jam 17.00 Nyeri perut berkurang Lab : Widal O - Infus & Tx injeksi lanjut
100-70/ 98 / 24 / 99% dan suhu H– Tx oral : Anflat syr 3x2 cth
37,7 AH 1/80 Decadril syr 3x2 cth
BH 1/160 Azitromicin 1x500 mg
Hari ke-2 Jam 06.00 Keluhan : batuk, nyeri dada Inj Levoflox 750 mg/24 jam
Jum’at, sampai ke perut kanan. Napsu Tx oral : Anflat syr 3x2 cth
4 Maret 2022 makan kurang . Decadril syr 3x2 cth
80 :60 / 90 / 22 / 96% Suhu 37,1 Azitromicin 1x500 mg
Jam 17.00 Batuk, napsu makan masih Tx oral : + Metilpred 3 x 8mg
kurang
120 :80 /91/16/98 % Suhu 36

Penelitian UGM, 2016


Keluhan & TTV Pmx Penunjang Tindakan
Hari ke-3 Jam 13.00 Keluhan : batuk, nyeri dada, leher Infus RL 20 tts/menit
Sabtu, kenceng Inj ondancentron 8 mg/8jam
5 Maret 2022 90/60 /98/24/ SaO2 99% dan suhu Inj Ceftriaxon 1g/12 jam
36,4 Inj levoflox 750 mg/24 jam
PCT 500 mg/8 jam
Tx Oral : Anflat syr 3x 2 cth
Decadril syr 3x2 cth
Jam 17.00 Keluhan nyeri ulu hati, kadang Infus & Tx injeksi lanjut
lemes, batuk sudah berkurang. Tx oral : Anflat syr 3x2 cth
100: 70/ 86 / 22 / 97 % dan suhu Metilprednisolon 3x8mg
36,9 Decadril syr 3x2 cth
Azitromicin STOP
Hari ke-4 Jam 06.00 Keluhan : Nyeri perut berkurang, - Inj. pantoprazole 1 vial/24 jam
Minggu, kadang kembung, napsu makan - Tx Oral : +Dexycol 4x 500 mg
6 Mar 2022 meningkat.
90/60 / 82 / 14 / 98% dan Suhu 37
Jam 17.00 Tidak ada keluhan PASIEN DIPULANGKAN.
120 :80 /84/16/98-99 Tx oral : Dexycol 4x500 mg
Levofloxacin 1x500 mg
Metilprednisolon 3x8 mg
Decadril syr 3x2 cth
Perkembangan pasien
Kontrol ke-2 : ≠ ada keluhan

Ro’ Thorak : 3 Maret 2022 Ro’ Thorak : 13 Maret 2022


Cor normal Cor normal
Pulmo : Infiltrat parakardial dex-sin Pulmo : Infiltrat parakardial dex-sin berkurang
Efusi pleura duplek, dgn Efusi pleura dextra, dgn
Sudut costophrenicus Dex & Sin tumpul Sudut costophrenicus Dex tumpul
B.2. PNEUMONIA NOSOCOMIAL (HAP & VAP).
DEFINISI :
 Hospital Acquired Pneumonia (HAP) adalah pneumonia yg didapatkan di RS
atau tidak berada dalam masa inkubasi saat dirawat dan terjadi lebih dari 48
jam setelah perawatan di rumah sakit.
 Ventilator Associated Pneumonia (VAP) didefinisikan sebagai pneumonia yang
terjadi > 48 jam setelah intubasi endotrakeal.
 Healthcare-Associated Pneumonia (HCAP) saat ini dimasukan pada CAP
dengan risiko MDR. Umumnya penyebab pneumonia noso-komial berasal dari
bakteri flora endogen, penelitian Sentry Anti-microbial Surveillance
mendapatkan 80% bakteri pneumonia noso-komial disebabkan oleh enam
bakteri patogen : Staphylococcus aereus, Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella
spesies, E.coli,A cinetobacter spesies dan Enterobacter spesies.
Perbedaan VAP early onset dan
Kriteria dx. ditegak-kan : late onset
❑ HAP : pasien
sudah perawatan
di RS > 48 jam
untuk HAP
❑ VAP : pasien
sudah terintubasi
endo-trakeal > 48
jam.
KRITERIA DIAGNOSIS:

Diagnosis ditegakan berdasarkan :


 Foto toraks terdapat infiltrat baru atau progresif (berupa konsolidasi,
kavitas dan pneumotocele).
 Ditambah 2 di antara gejala dan tanda dibawah ini :
❑ Suhu badan > 38ºC.
❑ Sekret purulen
❑ Ronki atau suara napas bronkial.
❑ Leukositosis ( >12,000 sel/mm3 ) atau leukopeni (< 4,000 sel/mm3).
❑ Saturasi oksigen memburuk sehingga memerlukan terapi oksigen
atau ventilasi mekanik.
 Clinical Pulmonary
Infection Score (CPIS)
dpt dipakai u/
membantu dx.
banding antara
infiltrat pada VAP
dgn faktor non
infeksi, (atelektasis,
emboli paru,
hemoragik paru,
edema paru
kardiogenik, reaksi
obat, dll). Nilai CPIS
≥6 petanda infiltrat
disebabkan oleh
infeksi (tabel 9).
ATS/IDSA 2016
C. Bakteremia Terkait Kateter Vena Sentral
(Catheter Line Associated Blood Stream Infection ≈ CLABSI)

❑ Bakteremia terkait kateter vena sentral adalah infeksi pada pasien yang
menggunakan kateter vena sentral & mengalami episode demam akut ± hipotensi,
hipoperfusi dan disfungsi organ, tanpa diketahui lokasi sumber infeksi
❑ Kateter vena sentral jangka pendek (short-term) seperti: kateter arteri pulmonal,
arterial line, atau kateter perifer melalui pemasangan vena sentral (misalnya
v.subklavia, v. jugularis interna dan v. femoralis).
 Diagnosis CLABSI ditegakkan pada pasien yang terpasang kateter vena sentral
lebih dari 2 hari atau >48 jam, dipastikan melalui biakan darah. Diagnosis
ditegakkan apabila ditemukan bakteri yang sama baik berasal dari kateter sentral
maupun dari vena perifer.
 Bakteri sebagai penyebab CLABSI adalah: Staphylococcus coagulase negative,
Staphylococcus aureus, Candida spp, enterik gram negatif basil.
PENCEGAHAN
Lima pendekatan u/ mengurangi CLABSI (disebut the central
line bundles) yaitu :
1. Cuci tangan (hand washing).
2. Perlindungan maksimal (maximal barrier precaution) saat
pemasangan kateter invasif.
3. Gunakan klorheksidin-alkohol untuk antiseptik kulit.
4. Memilih tipe kateter yg sesuai & hindari akses femoral pada
orang dewasa.
5. Perawatan kateter optimal setiap hari & lakukan pencabutan
(remove) kateter invasif bila tidak diperlukan lagi.
D. INFEKSI INTRA ABDOMEN (IIA)
Infeksi intra abdomen (IIA)adalah proses inflamasi dan
perforasi sistim saluran cerna. Klasifikasi IIA :
 1.IIA tanpa komplikasi: proses inflamasi yg melibatkan
hanya satu organ dan tidak melibatkan peritonium.
 2.IIA komplikasi : proses inflamasi pada organ holoviscus
meluas menembus lapisan serosa hingga menimbulkan
peritonitis lokal atau umum atau terjadi pembentukan
abses. Kasus ini memerlukan tindakan pembedahan,
pemasangan drain dan sistemik antibiotik, IIA komplikasi di
klasifikasikan dalam dua bentuk : −Komunitas ringan
hingga berat.−Nosokomial umumnya terjadi sebagai infeksi
paska operasi.
KRITERIA
DIAGNOSIS
 Gejala klinis: demam,
takikardi, takipnea, nyeri di-
sertai ketegangan dinding
perut.
 Radiologi : foto polos
abdomen, Ultrasound dan
CT abdomen dgn atau
tanpa kontras merupakan
pemeriksaan baku untuk
diagnostik kecurigaan IIA
 Diagnostic Peritoneal
Lavage (DPL)
REKOMENDASI ANTIBIOTIK
Kegagalan Penanganan
Infeksi Intra-Abdominal
Kriteria Tingkat Keparahan Infeksi Biliaris
Akut
REKOMENDASI ANTIBIOTIK
PADA INFEKSI BILIARIS AKUT
PEMANTAUAN RESPONS THD TERAPI ANTIBIOTIK
Kriteria diagnostik kegagalan antibiotik
DIABETES AFFECTS IN INFECTIONS
 Hiperglikemia dapat menaikkan resiko terjadi/terkena infeksi.
 Diabetus melitus sudah diketahui sebagai factor resiko penyakit infeksi pasien
karena pasien DM bersifat immunocompromised terutama pada pasien DM yang
tidak terkontrol/hiperglikemia.
 Pasien DM menunjukkan resiko yang lebih tinggi terhadap infeksi pada kaki, infeksi
jamur, infeksi pada saluran kencing dan infeksi pada tempat operasi
 Penelitian juga menunjukkan pasien DM memiliki outcomes yang buruk terhadap
infeksi : Studies have shown that diabetic patient had worse outcome with
infections : perawatan di RS lebih lama, pemulihan lebih lama dan angka
kematian yang lebih tinggi pada infeksi.
 Kondisi hiperglikemia memiliki efek negatif pada kemampuan tubuh dalam
merespon terhadap terapi antimikrobial.

Noor S, Zubair M,et al, Diabetic foot ulcer : a review on pathophysiology, classification and microbial etiology. Diabetes
Metabolic Syndrome 9:192-199. 2015
Akash MS, Rehman K, et al. Development of antimicrobial resistence and possible treatment strategies. Achieves of
Microbiology, 2020 : 953-965
WHY DIABETES PATIENT’S are MORE
susceptible to DEVELOPING INFECTIONS
? The main pathogenic mechanism
why infectious disease are more
prevalent in individuals wit DM :
❑ Hyperglicemic environment
increasing the virulence of
some pathogens.
❑ Lower production of interleukins
in response to infection.
❑ Reduces chemotaxis and
phagocytic activity.
❑ Immobilizations of
polymorphonuclear leucocytes.
❑ Gycosuria → risk UTI increase.
❑ Gastrointestinal and urinary
dysmotility
Casqueriro J, Janine C, et al. Infections in patients with diabetes mellitus : a review of pathogenesis. Indian Journal of
Endocrinology and Metabolism/Vol 16, 2012 March.
Hamid Akash, Rehman K, et al.Diabetes-associated infections : development of antimicrobial resistance and possible
treatment strategies. Archives of Microbiology (2020): 953-965
INFECTIONS AFFECTS DIABETES
 Infection causes a stress response (hipertermi, takikardi, increase work
breathing, etc) in the body by increasing the mount of certain
hormones such as cortisol and adrenaline. These hormone work against
the action of insulin and as result : the body’s production of glucose
increases with results in high blood level sugar.
 Infection disease in DM may result in metabolic complications such as
hypoglicemia, ketoacidosis and coma.
 Diabetic patient can neuropathy perifer and reduce blood low to
extremity → the body is less able to mobilize normal immune defenses
and nutrient → less able promote the body ability to fight infection and
promote healing.

Casqueriro J, Janine C, et al. Infections in patients with diabetes mellitus : a review of pathogenesis.
Indian Journal of Endocrinology and Metabolism/Vol 16, 2012 March
HIPERGLIKEMIA & INFEKSI ≈ VICIOUS CIRCLE

HIPERGLIKEMIA

Infeksi menaikkan metabolisme Menurunkan fungsi neutrophil.


tubuh. Gangguan imunitas humoral.
Tubuh menaikkan hormone kortisol.
Angiopati & Neuropati.
Kortisol akan menekan insulin guna
meningkatakan GD utk keperluan Glicosuria & GIT ggn gerak
peningkatan metabolism akibat Status imunocompromized →
infeksi
Meningkatkan resiko infeksi

INFEKSI
SASARAN KENDALI GLIKEMIK PADA SAKIT KRITIS

Tight Control Hiperglicemia Moderate Control Hiperglicemia


(Target kadar gula darah 110-140 mg/dL) (Target kadar gula darah 140-180 mg/dL)

Outcomes baik Outcomes baik


Resiko hipoglikemia lebih tinggi Resiko hipoglikemia rendah

LEBIH DIPILIH
Moderate Control Hiperglicemia
RESISTENSI ANTI BIOTIK
 Resistensi Antibiotics
atau AMR (Anti Microbial
Resistance) didefinisikan
sebagai mikro-organisme
pada obat anti miroba
yang sebelumnya pejka
terhadap obat tersebut.
 Salah satu dari 10
masalah kesehatan
global/dunia saat ini.
 Timbul terjadi beberapa
tahun setelah
pemakaian antibiotik
tersebut secara luas.

World Hearth Organization, 2020


Taneja N et al, Stepping into Post Antibiotic Era-Challenge & Solution, 2019 jan
 6 penyebab utama resistensi AB :
❑ Pemberian AB berlebihan → Pemakaian AB tidak tepat/tidak sesuai indikasi.
❑ Pasien tidak menyelesaikan entire antibiotics → Pemberian antibiotik yang tidak
adekuat (underdose, durasi pengobatan yang tidak cukup)
❑ Pemakaian AB di luar bidang kesehatan yg tidak terkontrol : perikanan, peternakan
tu/ unggas, dll → Produk olahan-nya meninggalkan residu yang akhirnya terkonsumsi
oleh manusia.
❑ Kontrol/pengawasan yang buruk pada lingkungan kesehatan.
❑ Higiene dan sanitasi yang buruk.
❑ Tidak adanya AB yang baru yang ditemukan
 Kuman/bakteri akan mengembangkan diri untuk bertahan hidup dengan melalui
beberapa mekanisme.

WHO, Antibiotics Resistance, 2015 http://www.whoint/mediacentre/factsheeths/antibiotic -resistance/en/


Center for Disease Control (2015) antibiotics are’nt always the answer, http://www.cdc. Gov/features/getsmart/
 Ada beberapa mekanisme terjadinya resistensi : limiting
uptake of drugs, modification of target drugs, in activasi of
drugs, active efflux of drugs.
 Mekanisme resistensi antibiotik.
 Beberapa bentuk resistensi yang telah diketahui :
❑ ESBL : Extended Spectrum Beta-Laktamase tu pada Streptokokus.
❑ MRSA : Methicillin Resistent Staphylococcus Aureus
❑ CRE : Carbapenen Resistent Enterococci
❑ VRE : Vancomisin Resistent Enterococci
❑ MDR pada Pseudomonas.
❑ MDR pada Acinetobacter.
 Pengertian MDR (Multi Drug Resistance) : resintensi yang terjadi
terhadap > 2 golongan/klas antibiotik berikut ini :
❑ Cephalosporisn anti pseudomonal ( Ceftazidime or Cefepime)
❑ Antipseudomonal Carbapenem ( Imipenem or Meropenem)
❑ Ampicillin Sulbactam
❑ Fluoro Quinolon (Ciprofloxacin or Levofloxacin)
❑ Aminoglicosides (Gentamicin, Tobramicin or Amikacin)
 ESBL adalah enzim yang dihasilkan bakteri tertentu yang akan
menyebabkan kerusakan/rusaknya cincin ß-laktam dari antibiotik gol ß-
lactam (tu/ penicillin & Sefalosporin generasi ke-3 serta Karbapenem).
Akibatnya : kuman penghasil ensim ESBL tsb menjadi resisten (tidak peka)
bakteri terhadap 3 gol antibiotic di atas.
 Untuk melawan ESBL, AB golongan ß-Laktam sering dikombinasikan
dengan Beta-lactamase inhibitor :
❑ Picyn, Bactesyn : Ampicillin + Sulbactam
❑ Amoxiclav, Augmentin : Amoksisilin + Asam Klavulanat
❑ Tazocyn, Piptazo : Piperacillin + tazobactam.
❑ Yang lain : Ceftazidime - Avibactam, Ceftozolane – tazobactam,
Imipenem - relebactam
 Bakteri yg menghasilkan enzim ESBL : Klebsiella, Escherichia colli,
Acinetobacter.
MDR pada Pseudomonas aeruginosa
a. Pseudomonas aeruginosa = bacteri gram negative yang sulit diatasi karena
telah diketahui resisten terhadap banyak antibiotik.
b. Juga paling banyak diisolasi dari ruang ICU, Sehingga isolate dapat
ditemukan mulai dari urine, pus, sputum, maupun dalam darah
c. Port de entry dari Pseudomonas aeruginosa :
a. infeksi GIT,
b. skin & soft tisus inf ( abses, selulitis, folikulitis) dan infeksi luka & luka bakar ,
c. infeksi pada mata,
d. infeksi pada telinga, pneumonia, causing hospital-acuired pneumonia
(HAP).
e. juga meningitis, osteomyelitis dan ISK.

Ps
 Possesses at least five distinct mechanisms for inducing
Pseudomonas aeroginosa antibiotic resistance :

No Mekanisme resistensi Resistance for


1. Beta lactamse Penicillins, Cephalosporins
2. Efflux pump Cephalosporins, Uredopenicillins
Carbapenemz. Aminogycosides,
Quinolones
3. Inactivating enzymes Aminogycosides
4. Outer membrane Carbapenems, Aminogycosides,
impermeability Quinolons
5. Mutational gyrases Quinolons
MDR Global Epidemiology of
Acinetobacter baumanii resistence
❑ Acinetobacter baumannii has
England, France, Germany, emerged as a worlwide problem as
Italy, Spain, Netherland,
Portugal &Turkey Taiwan, a nosocomial pathogen in
North America Korea,
2001 -2002
Early 1980 hospitalized patients.
Japan
2001-20007 ❑ Menyebabkan berbagai macam
infeksi : pneumonia, bakterimia,
meningitis, urinary tract infections,
skin & soft tissue.
AFRICA
❑ Telah berkembang menjadi MDR.
Latin America Australia, ❑ Alternative antibiotics : polimyxin,
South Africa,
2002-2004 New Zealand
Nigeria, Tunis colistin, ampicillin sulbactam,
2007-2008
2002-2006
tetracycline

o Rupali Jain et al, Multi Drug-Resistant Acinetobacter infection : an emerging challenge to clinicians, Ann Pharmacotter, 2004, 38 (9): 1449-56
o Harmanji et al Acinetobacter baumannii : Mechanism of Multidrug Resistance and Current & Future Theraupetic management, Clinical Diagnosis, 2013; 7(11),
2602-5
Mekanisme resistensi dari Acinetobacter
No Mekanisme resistensi Terhadap Anti biotik
1. Enzymes inactivating Pennicillins
antibiotics Synthetic Cephalosporis
Carbapenems
2. Reduces entry into the Carbapenems
target site bacteria → efflux Colistiins
pump, beta lactamases,
porins lesse
3. Alteration of the target or Quinolons
celluler fuction due to
mutations
MRSA (Methicillin-Resistant Staphylococcus Aureus)
 Adalah bakteri golongan Stapilokokus yang sudah resisten thd
banyak jenis antibiotik.
 Stapilococcus Aureus yang semula hanya menyebabkan infeksi
ringan pada kulit → setelah berubah menjadi MRSA dapat
menyebabkan infeksi berat (seperti : Septic Atritis, Osteomielitis,
Pneumonia, Endokarditis, Sepsis) yang dapat meningkatkan
kematian sampai dengan 64%.
 Antibiotik yang mengatasi MRSA : Klindamisin, Doxyciklin, Linezolide,
Vancomicin, Tetrasiklin, Trimetoprim-Sulfaetoksazole
ANTIBIOGRAM
 Adalah data Mikroba dan kepekaannya terhadap antimikroba di
suatu fasyankes (rumah sakit) yang diperoleh dari spesimen pasien
dengan penyakit infeksi. Isolat dapat diambil dari darah, cairan
eksudat dll.
 Penyajian data dana analisa data dikeluarkan secara periodic ,
umumnya setiap 1 tahun sekali
 Digunakan untuk :
1. Acuan pemilihan terapi antibiotik empiric.
2. Memonitor kecenderungan (trends) resistensi mikroba di suatu fasyankes
atau wilayah tertentu → pengendalian AMR.
3. Membandingkan kepekaan antar institusi/fasyankes atau antar wilayah.
 Kebijakan Antibiotik adalah salah satu komponen penilaian
akreditasi pelayanan kesehatan, antibiogram adalah salah satu
acuan dalam penyusunan kebijakan antibiotik.
Pasien Infeksi dengan
sumber/focus infeksi tertentu
Penyusunan
ANTIBIOGRAM

Diambil isolate/kuman dari focus inf

Dilakukan pembiakkan/kultur kuman


pada paed/media tertentu

Dilakukan tes sensitifitas


kuman thd berbagai obat

Diketahui hasil kepekaan kuman


(Sensitif – Intermediate - resisten)

Dibuat ANTIBIOGRAM
Contoh ANTIBIOGRAM
Dar suatu RS X, ruang Penyakit dalam, dari Sputum, Jan-Juli 2017

% Susceptibility (% kepekaan)
Organisms N AMK GEN TOB AMC FEP CTX CAZ CRO TZP CIP LVX ETP IPM MEM
1. Acinetobacter
baumanii 92 67 45 47 0 27 8 - 19 35 35 40 0 61 35
2. Enterobacter
cloacae 36 100 41 30 0 33 22 - 19 33 41 82 63 96 100
3. Escherichia coli 215 99 62 41 17 18 23 18 13 40 18 19 63 94 95
4. Klebsiella
pneumonia 120 86 53 32 22 25 27 27 22 41 26 47 61 90 91
5. Pseudomonas
aeruginosa 62 71 44 42 0 44 - 75 - 71 34 46 0 71 69
N: number of isolates FEP: Cefepime CIP: Ciprofloxacin
AMK: Amikacin CTX: Cefotaxime LVX: Levofloxacin
GEN: Gentamicin CAZ: Ceftazidime ETP: Ertapenem
TOB: Tobramicin CRO: Ceftriaxone IPM: Imipenem
AMC: Amoxicilin clav-acid F TZP: Piperacilin tazobactam MEM: Meropenem
 WHO → resistensi obat termasuk salah satu dari 10 masalah
kesehatan global.
 Cara Mencegah resistensi Antibiotik : meningkatan
pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang
penggunaan AB, memberikan AB sesuai indikasi, menjaga
kebersihan dan sering cuci tangan.
 Cara mengatasi resistensi :
1.Rotasi Antibiotik : Menghentikan pemakaian anti biotik
dengan resistensi tersebut sama sekali selama 6 bulan,
gunakan antibiotik yang lain. Setelah 6 bulan, antibiotik
dapat dipakai lagi sambil menghentikan antibiotik lain yang
resistensinya tinggi selama 6 bulan.
2.Optimalkan program Antimicrobial Stewardship.
World Health Organization, 2020
ANTI JAMUR/ANTI FUNGAL
 Adalah obat yang bekerja menghambat/membunuh jamur → bersifat
fungsistatik & Fungisida.
 Bentuk infeksi jamur (= mikosis) dapat berupa :
❑ Superfisial :
1. Cutan /Dermatopyta : Tinea capitis, tinea cruris, tinea pedis, dll
2. Subcutan
❑ Sistemik → pada jaringan & organ tubuh (paru, hepar, lien, gastrointestinal).
Penyebab : Aspergilosis, Blastomycosis, Nocardiosis, Histoplamosis,
Candidiasis → Candidemia (invasive candidiasis/fungal infection)
 Ada 4 golongan besar obat anti jamur yang diberikan :
EPIDEMIOLOGI
 International study of the Rank Order of Nosocomial Bloodstream pathogens
prevalence and Outcomes in and associated Crude Mortality from 49 U.S. hospitals
Intensive Care Units (from Western Rank Pathogens % Crude mortality (%)
Europe, Eastern Europe, Central/ Cogulase (-) 31,9 21
1
South America, North America and Stapphylococci
Oceania) :
2 S. Aureus 15,7 25
❑ 62 % of the positive isolates were 3 Enterococci 11.1 32
gram-negative organism
4 Candida species 7,6 40
❑ 47 % of the positive isolates were 5 E. Coli 5,7 24
gram-positive organism
6 Klebsiella 5,4 27
❑ 19 % were fungi (Candida & 7 Enterobacter 4,5 28
aspergilus)
8 Pseudomonas sp. 4,4 33

Vincent et al, JAMA, 2009, 302(21);2323 Edmond et al, Clin Infection Disease, 1999, 29:239-45
Wisplinghoff H et al, Clin Infect Disease, 2004, 39:309-17
Ada 4 gol besar obat anti jamur :
Golongan Cara bekerja Contoh
1. Polyene Mengikat sterol dalam membrane Amphoterisin B
sel → kerusakan membrane sel Nistatin
2. Azoles Menghambat alpha lanosterol 14- Imidazol →
dimethalase → anti fungal Fluconazol
spectrum luas Klotrimazol, Ekonazol,
Mikonazol,
Ketokonazol
3. Allilamines Menghambat epoxidase squalene
4. Echinocandins Menghambat sintesa glutan dalam Micafungin
dinding sel
 CANDIDA SCORE
Parameter Skor
Ada 11 Faktor resiko Candidemia
1. Total parenteral nutrition 1 1. CVC Cateter
2. Stress Ulcer Profilaksis
2. Post operasi laparatomi 1 3. Perawatan di ICU
4. Nasogastrik tube
5. Antibiotik use
3. Multifokal kolonisasi 1
6. Total parentera nutrition
4. Severe sepsis 2 7. APACHE II score meningkat
8. Bacteriemia
Bila nilai lebih dari 2,5 → 9. Laparatomi
beresiko terjadi Candidemia 10.Renal Failure
11.Anastamotic leak

Eggimman P, Bille J, Marchetti O, Diagnosis of invasive candidiasis in the ICU, Annals of Intensive
Care, Sept 2011, 37
KESIMPULAN
(Take home massage)
❑ Pemberian antibiotik adalah komponen penting dalam penanganan
pasien sakit kritis di ICU terutama pada pasien dengan infeksi (sepsis).
❑ Pemberian antibiotik pada pasien kritis berbeda dengan pasien non kritis
karena umumnya lebih kompleks, sehingga mempengaruhi farmakokinetik
dan farmakodinamik dari antibiotik yang diberikan.
❑ Pemberian antibiotik yang tepat tidak hanya pemilihan antibiotik yang
benar, tapi juga meliputi dosis yang tepat, waktu mulai pemberian yang
tepat, durasi (lama pemberian) yang sesuai dan metode pemberiannya.
❑ Dosis yang tidak tepat pada pasien sakit kritis bukan hanya beresiko
pasien tidak sembuh, tetapi beresiko tinggi terpapar bakteri MDR sehingga
pilihan & dosis antibiotik harus tepat untuk meningkatkan angka
kesempatan hidup.
❑ Pemberian antibiotik sangat individu tergantung pada karakteristik (co-
morbid) pasien, tingkat keparahan penyakit, riwayat penggunaan
antibiotik sebelumnya, lokasi infeksi dan lokal antibiogram.

Anda mungkin juga menyukai