Disampaikan pada :
Kegiatan In House Training RSUD RAA Soewondo Pati
Jum’at, 20 September 2019
AKREDITASI NASIONAL 2021
Pasien Resiko Tinggi
Dokumen Akreditasi 1. Kasus Emergensi
• BAB 1 2. Kasus Resusitasi
• BAB 2 3. Pasien dgn Ventilaor & Koma
• BAB 3 4. Penyakit menular
5. Pasien Imunosupresi
• BAB 4 6. Pasien Dialisis.
• BAB 5. Pelayanan & Asuhan Pasien 7. Pasien Restraint
❑ PAP 1 8. Usia Lanjut & anak beresiko
❑ PAP 2 kekerasan
❑ PAP 3 Pelayanan pasien Resiko 9. Pasien Kemoterapi
Tinggi dan Penyediaan pelayanan Dst
resiko tinggi
Pelayanan yang Resiko Tinggi
• BAB 6 1. Tranfusi Darah/Produk Darah
• dst 2. Penyakit menlar
3. Dialisa
4. Kemoterapi
5. Beresiko lainnya
PELAYANAN DAN ASUHAN PASIEN (PAP)
PELAYANAN PASIEN RISIKO TINGGI & PENYEDIAAN
PELAYANAN RISIKO TINGGI.
❑ Standar PAP.3
• RS menetapkan regulasi : adanya asuhan kepada pasien risiko
tinggi dan pemberian pelayanan risiko tinggi yang diberikan
berdasar panduan praktek klinis dan peraturan per-UU-an.
❖ DETEKSI (MENGENALI) PERUBAHAN KONDISI PASIEN
1. Standar PAP.3.1. EWS – Early Warning System
Staf klinis dilatih untuk mendeteksi (mengenali) perubahan
kondisi pasien memburuk dan mampu melakukan tindakan.
➢ Elemen Penilaian PAP.3.1.
1. Ada regulasi ttg pelaksanaan early warning system (EWS). (R)
2. Ada bukti staf klinis dilatih menggunakan EWS. (D,W)
3. Ada bukti staf klinis mampu melaksanakan EWS. (D,W,S)
4. Tersedia pencatatan hasil EWS. (D,W)
❖ PELAYANAN RESUSITASI
“Code Blue”
2. Standar PAP.3.2.
Pelayanan resusitasi tersedia di seluruh area RS.
LATAR BELAKANG
❑ Early Warning System (EWS) adalah : suatu sistem deteksi
dini yang digunakan tim perawatan RS utk mengenali
tanda2 awal perburukan klinis pada pasien sebagai dasar
untuk memulai tindakan dan pengelolaan lebih awal,
berupa : seperti peningkatan pengawasan oleh perawat,
percepatan informasi pasien kepada keluarga, atau
aktivasi tim medis reaksi cepat/ tim code blue.
❑ Keterlambatan penanganan atau penanganan yang tidak
adekuat → akan meningkatkan perawatan pasien masuk
ke ICU, peningkatan lama rawat di RS, peningkatan
terjadinya henti jantung dan kematian.
❑ Tujuan EWS skor untuk memastikan kecepatan dan
ketepatan penanganan dari perburukan pasien di RS pada
umumnya.
(VA Healthcare : Quality Enhancement Research Initiative’s (QUERI) Evidence-based Synthesis Program (ESP).
Smith MEB, Chiovaro J, O’Neil M, Kansagara D, Quinones A, Freeman M, Motu’apuaka M, Slatore CG. Early Warning Scoring
Systems: A Systematic Review. VA-ESP Project #05-225; 2013)
KONSEP EWS :
Mengenali tanda perburukan klinis pasien
Onset of
illness
❑ Ventrikuler Fibrilation
Hidup
Ruang 61%
rawat
intensif
82%
VS
VS
SURVEILANCE
& PREVENTION
Pendataan/Pengawasan & pencegahan cardiac
arrest (IHCA) menjadi sangat penting (nomor 1)
The National Patient Care Agency (NPSA), Safer Care for the acutely ill
patient, 2007 (from 104 cases)
KENDALA DALAM PEMERIKSAAN TTV
• TTV tidak dikaji, dicatat & diinterpretasikan scr konsisten.
• TTV diisi dengan mengandalkan ingatan.
• TTV diisi sebelum waktunya.
• Hasil pemeriksaan hanya di catat, dan tidak dianalisis.
• Hasil analisis tidak sama.
PENYEBAB
❑ Tingginya beban kerja.
❑ Kurangnya kesadaran akan pentingnya monitoring TTV.
❑ Tidak jelasnya kewenangan dalam mengambil keputusan
❑ Tingkat pendidikan dan pengalaman yang berbeda.
Solusi masalah ….
Dibutuhkan suatu sistem yang dapat menjadi :
• Standar dalam deteksi perburukan kondisi pasien.
• Standar dalam menentukan tingkat perburukan pasien.
• Standar dalam pengambilan keputusan klinis dengan
cepat dan tepat.
Menggunakan Tools :
Early Warning Score System (EWSS)
❑Untuk memantau adanya perubahan keadaan umum
pada pasien.
❑Dilakukan secara terintegrasi dalam lembar observasi
pasien.
❑Dengan harapan → Angka pemanggilan Code Blue
menjadi berkurang karena penanganan pasien dilakukan
sebelum pasien jatuh dalam kondisi Code Blue.
EARLY WARNING SCORE SYSTEM (EWSS)
• EWSS digambarkan sebagai kumpulan skoring lima parameter fisiologis
yaitu frekuensi pernapasan (respiration rate), tekanan darah sitolik
(systolic blood pressure), suhu (temperature), status neurologis
(neurological status), frekuensi nadi (pulse rate/heart rate).
(Kyriacos, Jennifer, Michael & Sue, 2014)
• Untuk EWS di RSUD Soewondo → memakai 7 parameter dalam EWSS
yaitu Tekanan Darah Sistolik, Frekuensi Pernapasan, Frekuensi Nadi,
Suhu tubuh, Pemakaian Oksigen, Saturasi O2 dan Status
Neurologis/Kesadaran
• 0
menentukan rencana perawatan selanjutnya, termasuk
perawatan di HCU/ICU.
o Perawat/Bidan memonitor TTV setiap 15-30 dan 60 menit.
o KIE keluarga dlm mengambil keputusan dan prognosis pasien.
8
Contoh kasus 3
• Pasien di IGD klinik GM, 66 th, dengan
sesak napas, hanya mampu duduk,
kalo berbaring bertambah sesak. SaO2
sulit terdeteksi, kemudian diberikan
Oksigen nasal kanul. Riw peny : CHF,
DM dan gangguan ginjal.
❑ Kes CM, terlihat sesak napas.
❑ TD : 200/100 mmHg
❑ HR : 131 x/mnt
❑ RR : 40-50 x/menit.
❑ Suhu : afebris
❑ Saturasi O2 81-83%
❑ Nasal kanul 4 L/menit
• Berapakah nilai “EWS” pada pasien ini?
Implementasi
• 3
• 3
• 2
• 0
• 0
• 3
o Keluarga pasien dilakukan edukasi untuk dirawat di RS,
dengan pengawasan di ICU. Tapi keluarga menolak dan
mau dibawa pulang.
• 0
o Akhirnya dirawat di klinik dgn pmx tambahan GDS 566, AU
10,8, Kolesterol 382, ureum 449, creatinine 7,12. Ro thorax
menunjukkan Cardiomegali dgn CTR 61% dan edema paru.
o Akhirnya pasien dirawat dgn dx : obs dipneu e/c edema paru
(Sumber : Adiyanto, B : Sistem Terintegrasi Early Warning dan Code Blue, Untuk meningkatkan Keselamatan Pasien, Perdatin Yogyakarta, 2018)
1. TENTUKAN JUMLAH SKOR EWS BERDASARKAN 7
PARAMETER FISIOLOGIS.
(Sumber : Adiyanto, B : Sistem Terintegrasi Early Warning dan Code Blue, Untuk meningkatkan Keselamatan Pasien, Perdatin Yogyakarta, 2018)
3. TENTUKAN LEVEL PERAWATAN PASIEN PASCA RESUSITASI
1. Pasien dengan kondisi stabil,
perawatan di bangsal umum. Manajemen sesuai resiko pasien.
2. PASIEN RESIKO RENDAH→ Potensial Tentukan level perawatan pasien
penurunan kondisi tapi cukup stabil paska resusitasi
dilakukan perawatan di bangsal umum
dgn pengawasan khusus.
3. PASIEN RESIKO SEDANG →
Memerlukan observasi ketat dan
intervensi termasuk support utk organ
tunggal → perawatan di HCU EWS SCORE
4. PASIEN RESIKO TINGGI →Support 0-4 5-6 >7 DNR
pernapasan dasar/lanjut dengan
sekurang2nya 2 sistem organ →
perawatan di ICU.
5. Stadium terminal /DNR (do not
recusitated→ perawatan lanjutan
sesuai SOP pasien paliatif (R. paliatif
atau End Life Care Room)
EWS UNTUK PASIEN ANAK-ANAK
KESIMPULAN
KESIMPULAN
• Henti jantung adalah kejadian umum sebelum
kematian, yang bisa terjadi baik di luar maupun di
dalam RS.
• Dengan mengetahui mekanisme dasar terjadinya
henti jantung, diharapkan banyak kasus henti
jantung dan kematian di RS yang bisa dicegah.
• Sebagian besar kejadian henti jantung di rumah
sakit (sekitar 70% kasus), diawali dengan
beberapa gejala dan tanda yang dapat diketahui
lebih cepat sehingga bisa dicegah menjadi lebih
buruk → preventable cardiac arrest.
KESIMPULAN cont ….
• Dokter dan perawat/bidan harus bisa mengenali kondisi
kritis pasien dan perubahannya dengan melakukan deteksi
dini.
• EWSS (Early Warning Score System) adalah suatu sistem
deteksi dini pasien dengan melakukan penilaian (scoring)
terhadap beberapa parameter pasien, meliputi : tekanan
darah sistolik, frekuensi nadi, frekuensi pernapasan,
suhu, Saturasi O2, suplementasi O2 dan status neurologis.
• EWS (Early Warning System) atau sistem deteksi dini
dapat membantu dalam pencegahan terjadinya henti
jantung di RS (IHCA).
• EWS lebih awal melakukan intervensi dari “code blue”
Terima kasih semoga bermanfaat
Oxygen requirements of organs
✓ Kesadaran merupakan variabel lemah
dalam menilai keadaan umum pasien.
✓ Dalam keaadaan CO yang rendah
kesadaran masih bisa baik
✓ Dibutuhkan data2 lain dalam menilai
keadaan umum pasien secara utuh
✓ Dibutuhkan “Score”
Monitoring EWS dilakukan saat:
Observasi rutin semua pasien rawat inap ruangan pada pk. 05.00,
11.00, dan 16.00
Gelisah
Perawat PJ yang bertugas
Keseimbangan
memberikan penilaian klinis cairan
dan kapan utk intervensi Tanda2 infeksi
(terutama dg NIlai 4) Nyeri
Escalation
process
Setelah 4 jam melakukan
interfensi dan nilai tetap 4
bahkan menjadi naik…
Keluhan objektif
Nilai 5-6 atau satu parameter bernilai 3, dokter jaga dan Perawat PJ dan subjektif,
yang bertugas memberikan laporan ke RRT yang bertugas perlunya
pemeriksaan
penunjang
Setelah 1 jam melakukan
interfensi dan nilai tetap
5-6 bahkan menjadi naik…
Jika nilai 7 atau lebih pasien dipersiapkan untuk masuk HCU atau ICU dan dokter
konsultan di infokan, termasuk KIE ke keluarga pasien
KESIMPULAN
deterioration
Can we do better? Yes, we can do better
microbiologist
surgeon
technician
nurse
KRITERIA MASUK,
KELUAR DAN TRIASE DI ICU
I
n
t
I
e
s C
i HCU (High Care)
IW (Intermediate Ward) U
t HDU (High Depency)
y Home care Hospital Ward ED (Emergency Depart)
Takala J.25 Years of Progress and Innovation in Intensive Care Medicine.ESICM 2007
Piramida tempat tidur di rumah sakit
ICU
HCU Pelayanan yang
terintegrasi dan
berkesinambungan
(medis dan non medis)
Ward 5%-10%
STAF
KHUSUS TEKNISI ALAT :
SDM
❑ MONITOR
KETRAMPILAN
❑ VENTILATOR
KHUSUS
❑ USG
❑ DOKTER
❑ RONTGEN
INTENSIVIST
❑ RRT (IHD)
❑ PERAWAT
TENAGA AHLI ❑ CRRT
TERLATIH
LABORATORIUM ❑ PLASMAPHAR
MIKROBIOLOGI ESIS
GIZI ❑ ECMO
Mengapa ICU
Dibutuhkan?
ICU
IMC/HCU
RS LAIN
PASIEN
ICU
KAMAR/RUANG RUANG
OPERASI PERAWATAN
RUANG
PEMULIHAN
Jumlah Pasien ICU & asal pasien
di ICU RSUD Soewondo Pati*
70 Amount
ED
60
OT
50
Ward
40
30
20
10
0
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGT SEP
20 Kematian
Mati<24 Jam
15
Mati>24 Jam
10
0
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGT SEP
2. FEB 21 25 8 42 7 9 - 58
3. MARET 10 24 18 44 3 8 - 55
4. APRIL 11 22 9 27 9 6 1 44
5. MEI 6 19 14 30 5 3 2 40
6. JUNI 17 17 27 54 5 6 1 65
7. JULI 7 20 12 31 6 6 1 44
KELOMPOK PERAWATAN INTENSIF
Tujuan :
• Memberikan acuan pelaksanaan ICU di RS
• Meningkatkan kualitas pelayanan Keselamatan
pasien ICU di RS
• Menjadi acuan pengembangan pelayanan ICU di RS
KERJASAMA MUTIDISIPLINER
DALAM MASALAH MEDIS YANG
KOMPLEKS → DIPIMPIN OLEH
SEORANG INTENSIVIST
KEMAMPUAN MINIMAL ICU
• Resusitasi jantung paru
• Pengelolaan jalan napas (intubasi trakeal, ventilator)
• Terapi oksigen
• Pemantauan EKG
• Pemberian nutrisi enteral dan parenteral
• Pemeriksaaan laboratorium khusus dgn cepat &
menyeluruh
• Pemakaian pompa infuse
• Kemampuan melakukan tekhnik khusus sesuai
dengan keadaan pasien ( HD, PD, dsb)
• Memberikan bantuan fungsi vital dengan alat-alat
portabel selama transportasi pasien gawat
PELAYANAN ICU PRIMER
(standar minimal → RS tipe C/D)
PULSE
OXIMET SUHU
RI
BASIC
MONITORI
HOURLY
URINE NG HR
OUTPUT
BGA RR
ICU Triage
1. Model Prioritas
❑ Prioritas 1
❑ Prioritas 2
❑ Prioritas 3
❑ Prioritas 4
2. Model Diagnosis
3. Model Parameter Objektif
MODEL PRIORITAS
Prioritas 1
❑ Pasien kritis dan tidak stabil, yang memerlukan terapi
intensif dan tertitrasi/terukur, juga perlu monitoring.
Misalnya pasien yang memerlukan :
a. Ventilasi mekanik.
b. Obat-obat dg infus kontinyu (siringe pump) : obat,
vasopressor, inotropik., vasodilator dll.
c. Mechanical support :
• Gangguan atau gagal napas akut
• Gangguan atau gagal sirkulasi
• Gangguan atau gagal susunan syaraf pusat
• Gangguan atau gagal ginjal (lihat kriteria gagal
organ akut)
❑ Terapi pada pasien ini umumnya tidak terbatas
Prioritas 2
❑ Pasien yang memerlukan pemantauan atau observasi
intensif/secara terus-menerus berkelanjutan, baik
yang sifatnya invasif atau non invasif, termasuk
diantaranya :
• Observasi intensif pasca bedah ekstensif/ bedah
pada beberapa bagian tubuh secara bersamaan.
• Observasi intensif pasca henti jantung (cardiac
arrest) dalam keadaan stabil
• Observasi intensif pasien pasca bedah dengan
penyakit jantung dan lain sejenisnya.
❑ Terapi pada pasien ini umumnya tidak terbatas
Prioritas 3
Gangguan Lainnya
TIDAK ADA
DITOLAK
INDIKASI
ADA INDIKASI
Membaik, sembuh
PINDAH RUANG
PERAWATAN memburuk,
DIRUJUK
DI ICU
meninggal KAMAR
JENAZAH
PASIEN KRITIS ALUR PASIEN
MASUK R. INTENSIF
RESUSITASI RSUD SOEWONDO PATI
INDIKASI
RAWAT DI ICU?
PERAWATAN
PERAWATAN DI ICU
DI BANGSAL
TEMPAT TERSEDIA ?
TIDAK
YA / ADA
7. Serum Na »180 160-180 155-160 7,5-7,6 130-150 - 120-130 110-120 < 110
Knauss WA et al, APACHE II : a severity of disease classification system, Crit Care Med, 1985,13:818-29
B. Age score Umur (tahun) Score C. Jika ada gangguan organ
atau imunokompromise :
< 45 0
a. Ditambah 5 point jika
45-55 2 operasi emergensi
55-65 3 b. Ditambah 2 point jika
operasi elektif
65-75 5
> 75 6
Le Gall JR, Lemeshow S, Saulner F, A new Simplified Acute Physiology Score (SAPS II) based on a
European/North American multicenter Study, JAMA, 1993, 270 (24) : 2957-63
Parameter Criteria Score
Angka mortalitas pasien
10. Sodium Below 125 5 berdasarkan SAPS II Score
125-144 0
145 and above 1
SAPS II Score Mortality
11. Potasium Below 3 3
3-4,9 0 ❑ 29 10 %
5 and above 3 ❑ 40 25 %
12. Bicarbonat < 15 6 ❑ 52 50%
15-19 3
20 and above 0 ❑ 64 75%
13. Bilirubin Below 4 0 ❑ 77 90%
4-5,9 4
6 and above 9
14. White blood < 1.000 12
Le Gall JR, Lemeshow S, Saulner F, A
Cell 1.000-19.000 0
New Simplified Acute Physiology Score
20.000 and > 3 (SAPS II) based on a European/North
15. Chronic None 0 American multicenter Study , JAMA,
Disease Metastatic cancer 9 1993, 270 (24) : 2957-63
Hematologic 10
malignancy
AIDS 17
SOFA SCORE
SOFA SCORE (Sequential Organ Failure Assesment)
Variabel Score
No Parameter diukur 1 2 3 4
1. Respiratory PaO2/FiO2 < 400 < 300 <200 < 100
2. Koagulasi Trombosit < 150.000 < 100.000 < 50.000 < 20.000
JUMLAH SCORE
HEMODINAMIK MONITORING
(BASIC & ADVANDCED MONITOR)
Tekan ujung jari sampai Lepas tekanan pada ujung jari. Catat
keliatan pucat/putih waktunya sampai warna kembali
normal.
Mottling Score
Saturasi Oksigen Arteri (SaO2)
Jenis CVC
1. Single/Monolumen 3. Triple Lumen
2. Double lumen 4. Quadri Lumen
Pemasangan CVC.
1. Blind/membuta : dgn body marker → vena
subclavia dextra terletak sekitar pertengahan
clavikula dextra.
Tidak dianjurkan lagi teknik membuta karena
variasi normal, banyak komplikasi/resiko.
2. Panduan USG (ultrasound guided).
Hubungan antara volume akhir dan Respon CVP terhadap penambahan
tekanan akhir diastolik cairan.
• Perubahan compliace mengakibatkan • Terjadi sedikit perubahan tekanan
pergeseran kurva. Tekanan yang akhir diastolik (demikian juga CVP)
besarnya ditandai dengan “X” pada pada pasien dg compliance
diagram bisa menggambarkan ventrikel rendah maupun dengan
volume akhir diastolik yang tinggi bila volume akhir diastolik vang rendah
compliace ventrikel nomal (garis biru (garis hijau).
bawah), namun pada ventrikel yang • Namun terjadi perubahan besar
compliance nya rendah ternyata pada pasien dengan compliance
volumenya masih rendah (garis hijau ventrikel normal dan volume akhir
atas) diastolik tinggi (garis biru).
Hasil pengukuran CVP
PENILAIAN STATUS VOLUME CAIRAN
• Tidak ada pemeriksaan yang paling ideal untuk membuktikan adalah
penurunan atau pengurangan cairan intra vaskular. Selalu harus
dihubungkan dengan gejala klinis.
Klinis Efek thd volume intravaskuler
a. Perdarahan, Penurunan volume
Diare, muntah>>, diuresis Penurunan volume
b. Minum, resusitasi cairan/infus Meningkatkan volume
Transfusi darah Meningkatkan volume
USG guided :
Saat inspirasi, diameter IVC mengecil
Saat ekspirasi, diameter IVC melebar
Perbandingan % diameter ini dapat
menentukan kecukupan cairan
IVC collapsibility
Sensitivitas : 76%, Spesificitas : 86%
BAGAIMANA MENGUKUR IVC
Posisi pasien : supine
Probe : curved atau coveks.
Teknik : subcostal atau subxyphoid
Visualized :
❑ pada sagittal/long-axis view : normal IVC 1,5 - 2,5 cm
❑ diameter bervariasi pada inspirasi atau expirasi.
❑ Diukur pada 1 cm sebelah distal dari IVC - hepatic venous
IVC Collapsibility Index
Indeks Collapsibilitas IVC
Hipovolemia jika IVC CI ≥ 50 %
Jam 17.00 150:90/ 108 / 24 / 98% dan 212 Keluhan masih sesak Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 j
mg/dL (sebelum makan). napas, batuk dan Neuromec tab 3 x1.
lemas
Hari II Jam 06.00 130 :90 / 100 / 24 / 93% dan 277 Terpasang O2 3L/mnt. Insulin SC 28 IU
Jum’at, mg/dL. (sebelum makan) Masih batuk dan sesak Furosemid 1x1 pagi
9 Sept 2021 napas, Cek Ro Thorax Terapi lain lanjut.
Jam 12.00 100 : 80 / 86 / 16 / 98-99% dan 57 Hasil Ro thorak : D 40% 2 flash, insulin stop
mg/dL (sebelum makan). Cardiomegali ringan,
Dx: CHF, DM tipe 2, Tumor bronkopnemonia
mamae Sinistra+ Bronko
pneumonia
Jam 17.00 120 :80 /84/16/98-99 dan 111 Pemeriksaan st cairan : Guyur cairan, sambil cek
mg/dL (sebelum makan) Cek IVC dan Vena IVC → 500 cc dlm 1 jam.
subclavia : Collaps, Azitromisin 1x 1 (sore)
dengan IVC > 50% → Lecvofloksacin 1 x1 (pagi)
hipovolemia
TD / HR / RR / SaO2 dan GDS Keterangan Tindakan
Hari ke III Jam 06.00 100 :70 / 89 / 20 / 97% (dg O2 3 L/m) Masih terpasang O2 Metilprednisolon 3 x 1 tab
Sabtu, GDS : 188 mg/dL. (sebelum makan) 3L/m Nebuliser/8 jam, dengan :
18 Sept 2021 Batuk dan sesak ➢ Dexa
napas berkurang ➢ Bisolvon
➢ Ventolin
Insulin SC 24 IU
Jam 12.00 130 : 80 / 86 / 16 / 98-99% dan 65 Extra D 40% 2 flash, stop
mg/dL (sebelum makan) Insulin.
Bronsolvan 3 x 1.
Jam 17.00 120 :80 /84/16/98-99 dan 311 mg/dL Batuk berkurang, Insulin SC 20 IU
(sebelum makan) sesak napas
berkurang.
Hari ke IV Jam 06.00 150/80 /92 /20/ 96% dan 124 mg/dL Sudah tidak pake O2. PASIEN DIPULANGKAN.
Minggu, Tidak batuk. Terapi pulang :
19 Sept 2021 Sesak napas kadang 1. Azitromisin 1 x1 pagi
kadang. 2. Levofloksacin 1 x 1 sore
3. Metilprednisolon 3 x 1
4. Bronsolvan 3 x1
Passive Leg Raising
• PLR (menaikkan tungkai/kaki secara pasif) dapat meningkatkan
aliran balik vena dari ektremitas bawah ke jantung, setara
melakukan bolus 300-500 mL.
• Digunakan sebagai tes diagnostik dengan tingkat sensitivitas 85%,
dan spesifisitas 91%
• Keuntungan :
– Reversible dan tidak invasif.
– Mudah dilakukan pada pasien nafas spontan dan gangguan
aritmia
– Dapat diulang beberapa kali, tanpa takut dengan resiko edema
pulmo
• Kerugian :
– Perlu dihentikan apabila terjadi intervensi lain.
– Kointra indikasi pada beberapa pasien.
– Tidak dapat digunakan pada pasien yang mengalami
peningkatan tekanan intra abdominal
Passive Leg Raising
Teknik penilaian :
❑ Pasien supine (terlentang), dengan posisi setengah duduk
45º.
❑ Lalu bagian atas badan dan kepala di posisikan mendatar,
sementara bagian kaki dinaikan sampai 45º.
❑ Maksimal efek didapatkan setelah 30-90 detik kemudian.
❑ Nilai kenaikan SV dengan menggunakan CO monitoring. .
FLUID CHALLENGE TEST
• Fluid challenge test adalah penilaian kecukupan dengan
memberikan sejumlah cairan (7 ml/kgBB, atau 500 ml pada
pasien dgn BB 70 kg) pada pasien yang dicurigai hipovolemia,
kemudian diukur perubahan atau kenaikan stroke volumenya.
Dinilai berespon atau pasien memang hipovolemia, bila pemberian
cairan tersebut menimbulkan kenaikkan Stroke Volume lebih dari
12 %.
• Karena Stroke Volume berbanding terbalik dengan HR, pada
kondisi yang sederhana kita bisa melihat dari penurunan HR yang
setara (turun 12%). Namun HR dipengaruhi banyak hal : demam,
nyeri, kecemasan, dll.
• Namun penilaian dengan cara ini memiliki kelemahan karena
bersifat invasif, dan berbahaya pada pasien dengan CHF, dll.
INTRA-ARTERIAL BLOOD PRESSURE
(INVASIVE BLOOD PRESSURE)
• Memiliki beberapa keuntungan dibanding pemeriksaan tekanan
darah non invasive.
a. Bersifat kontinyu/real time. Setiap detik akan menampilkan
tekanan darah yang terukur di layar monitor.
b. Dapat mengukur tekanan darah pasien yang sangat rendah
(misalnya pada pasien syok, yang sudah tidak dapat terukur
tekanan darahnya pada pemeriksaan non-invasive).
c. Memberikan beberapa informasi tentang kondisi jantung
berdasarkan pulse contour analysis yang tampak di monitor.
• Diukur secara langsung dengan memasang cateter pada
pembuluh darah arteri perifer (arteri line).
• Indikasi : pada pasien sakit kritis (syok) di ICU, pasien intra
operatif dg kemungkinan perdarahan masif, operasi jantung.
Proses pemasangan :
1. Dilakukan pemasangan arteri line
(intra arterial cateterisasi atau
kateterisasi via pembuluh darah
arteri) → dengan teknik Seldinger.
2. Hubungkan arteri line dgn three way.
3. Sambungkan three way dgn
tranduser ke arah monitor dan infus
NaCl yang diberikan tekanan 200-
300 mmHg.
4. Buka three way, maka akan terukur
TD secara kontinue/terus menerus
pada setiap kontraksi. Catat hasil
pengukuran.
INTRA ARTERIAL BLOOD
PRESSURE
• Memberikan informasi tekanan arteri
secara kontinyu, diperlukan insersi
kanula intra-arterial.
• Sistim peralatan terdiri darı : suatu
jalur arteri dari kanula yg terhubung
dg larutan salin di dalam selang
yang konsistensinya cukup keras
sehingga bila ditekan tidak kolap (non-
compressible) karena tekanan terus
menerus dari kantong cairan
(pressure bag) kemudian
Monitor IABP waveform dihubungkan dg transducer tekanan.
ECG waveform
IABP waveform
Manual bloodpressure
PULMONAL ARTERY CATHETER (PAC)
• Pertama kali pada th 1970, dilakukan
oleh Swan & Ganz.
• Pada awalnya PAC adalah prosedur
standar pada operasi jantung, yang
kemudian dikembangkan pemakaiannya
pada pasien sakit kritis di ICU.
• PAC adalah gold standard untuk
pemeriksaan fungsi cardiak. Sehingga
penemuan alat baru untuk monitoring
fungsi jantung selalu di bandingkan /
dikorelasikan hasilnya dengan PAC.
• Selanjutnya mengingat sisi resiko
pemasangan dan keterbatasan lainnya,
dikembangkan alat monitoring fungsi
kardiak yang bersifat minimal invasive
dan non invasive.
Cateter Swan - Ganz, dilengkapi Pemasangan cateter PAC/Swan-Ganz
dengan thermistor dan balon di di vena sampai ke arteri pulmonal dgn
ujung cateter. panduan gambaran ECG.
Parameter hemodinamik dari PAC :
• Keterbatasan PAC :
a. Hanya bisa dilakukan oleh seorang ahli (umumnya
cardiac anesthetist/ intensivist/ bedah jantung)
b. Harus dikerjakan secara steril dan di kamar operasi.
c. Punyak banyak resiko : perdarahan, hematoma, trauma
paru, dll → sehingga meningkatkan resiko morbiditas
dan mortalitas pada pasien sakit kritis.
d. Relatif memerlukan waktu yang cukup untuk proses
pemasangan.
• Sehingga selanjutnya banyak dikembangkan pemeriksaan
fungsi jantung yang bersifat minimal invasive & non
invasive sehingga pemanfaatan monitoring fungsi jantung
mendapat tempat lebih luas. Bahkan pemeriksaan fungsi
jantung dapat dilakukan oleh perawat yg bertugas di ruang
ICU.
• Minimal Invasive : melakukan insersi jarum ke pembuluh
darah sebatas pembuluh darah vena dan tidak masuk ke
dalam jantung serta memasukkan alat lain di luar jantung.
1. TEE
2. PICCO
3. Flotrax
• Non-invasive : tanpa melakukan insersi ke pembuluh
darah atau memasukkan suatu alat ke dalam tubuh.
a) NICOM
b) Bio Impedance
c) Cardiotronic ICON
d) USCOM.
Contoh kasus :
Misalkan pada kasus ekstrem : Seorang pasien masuk ke RS diantar
sama petugas kepolisian dengan penurunan kesadaran atau pingsan.
Pasien ditemukan di pinggir jalan, tanpa diketahui penyebabnya. Tidak
ada trauma kepala atau perdarahan. Hasil pemeriksaan awal didapatkan
hipotensi. Sehingga dokter harus menentukan penyebab dari syok atau
hipotensinya tersebut tanpa bisa melakukan anamnesa.
Solusi :
Pada kasus ini, penurunan kesadaran adalah salah satu efek/ akibat
terjadinya hipotensi selain penyebab lain (perdarahan, trauma kepala, dll).
Dokter harus bisa menentukan penyebab dari hipotensinya dan
memperbaiki perfusi ke otak untuk memulihkan kesadaran pasien.
Contoh monitoring hemodinamik pada operasi jantung :
ECG waveform
IABP waveform
Capnography waveform
Respiration MV waveform
OBAT- OBAT YANG
MEMPENGARUHI HEMODINAMIK
• Adalah obat – obat yang dipakai untuk mempengaruhi/ mengubah
hemodinamik (untuk memperbaiki hemodinamik yang terganggu).
• Termasuk di dalamnya :
1. Obat yang mempengaruhi kontraktilitas jantung → obat
dengan efek inotropik positip.
2. Obat vaso-aktif : mempengaruhi dinding pembuluh darah, baik
dengan vaso-dilatasi dan vaso-kontriksi.
3. Obat yang mempengaruhi volume intravaskuler pembuluh
darah, baik dengan cara :
❑ membuang volume darah dgn meningkatkan filtrasi plasma
darah ke ginjal.
❑ atau dengan menarik cairan extravaskuler ke intravaskuler.
Obat inotropik
❑ Sekelompok obat yang digunakan utk mempengaruhi kontraksi
dari otot jantung sehingga akan mempengaruhi pompa jantung.
❑ Ada yang bersifat inotropik positip artinya meningkatkan kontraksi
jantung, ada yang bersifat negatip artinya mengurangi kontraksi
otot jantung → kalo tidak disebutkan berarti merujuk ke obat
dengan inotropik positip.
❑ Indikasi : diberikan pada kondisi yang berkaitan dengan low
cardiac output seperti syok cardiogenic akibat AMI, CHF atau
kelemahan jantung pasca cardiac surgery.
Effect
Nama Dose Indication
Inotrop Konotrop
1. Dopamin + +++ 2,5-20 uq/kg/mnt
2. Dobutamin + + 2,5-20 uq/kg/mnt CHF &
semua Low
CO
3. Adrenalin +++ -++ 0,05-2 uq/kg/mnt
4. Digoksin ++ - 0,5-1 mg (2-4 amp) Decomp
Effect
No Nama Dose Indication
Inotrop Konotrop
4. Digoksin ++ -
5. Milrinone
PEEP 5 5 5 8 8 10 10 10
Strategi yang pertama PEEP dinaikkan dalam menanggapi hipoksemia (kelompok PEEP tinggi)
FiO2 0,21 0,3 0,4 0,4 0,5 0,5 0,5 0,6 0,7 0,8 0,8 0,9 0,9 1.0
Tuxen DV, Lane S. The effects of ventilatory pattern on hyperinflation, airway pressures, and
circulation in mechanical ventilation of patients with severe air-flow obstruction.Am Rev
Respir Dis.1987;136:872–879.
Setting
ventilator
pada
severe
astma.
4. Pasien morbid obese.
Pasien masuk ICU dg penurunan kesadaran & demam. Pasien
BB:150 kg. Masuk dengan sellulitis di kaki kanan.
Tanda vital TD:132/73, HR:112 x/mnt, RR:19 x/mnt suhu:38,5°C,
SaO2:95-97% dgn O2 NRM 10 L/mnt, GCS : E4V5M4 (13).
Laborat : Hb 12,9 Leko 22.000, Trombo 242.000, Analisa AGD =
pH:7,06 PaO2:76 PaCO2 :139,6 HCO3:28 BE:4,4. Elektrolit dan
fx organ dalam batas normal → asidosis respiratorik.
Rontgen thorak : Cardiomegali CTR 70% dan Bronkopneumonia
Diagnosa :
❑ Obs. penurunan kesadaran e/c susp CO2 narkosa.
❑ Sepsis e/c Bronkopneumonia dan sellulitis.
❑ CHF dgn edema paru.
❑ Morbid obese dgn BMI 56.
Terapi dari dr SpPD :
◦ Oksigen NRM 10 L/mnt Inj Levo 500 mg/24 jam
◦ Infus RL 20 tts/mnt Inj Sanmol 500 mg/8 jam
◦ Inj Bactesin 750 mg/8 jam Inf Furosemid 1 1mp/12 j
◦ Tx oral :digoksin 1x1, spironolakton 1x25 mg, mini aspi 1x 80
mg
Dikonsulkan ke dr. SpAn untuk intubasi.
Advis : Sementara observasi lanjut, dg penyesuaian dosis:
❑ Oksigen dinaikkan s/d 15 L/mnt (tunda intubasi, karena
hipoksemia masih teratasi dgn pemberian O2, shg SaO2
masih dapat dipertahankan > 95%)
❑ Bactesin, dosis dinaikkan mjd 1.500 mg/8 jam
❑ Eritromisin 4 x 1 gr
❑ Paracetamol, dosis dinaikkan mjd 1.000 mg/8 jam
❑ Nebuliser dengan flexotide dan bisolvon
Diobservasi 24 jam dengan pemberian obat 2-3 x.
Hasil observasi :kesan tidak berespon malah cenderung
memberat.
Hemodinamik :TD 132/67 HR:109x/mnt RR:28x/mnt.
Penurunan saturasi oksigen dgn SaO2 = 93-96%.
Penurunan kesadaran dgn GSC: E2V3M4 = 9.
Tindakan :
❑ Dilakukan intubasi dgn ETT no 7,5
❑ Pasang ventilator dengan mode SIMV volume.
❑ Sedasi dengan morfin dan midazolam.
Setting ventilator pasien obese (compliance toraks umumnya jelek):
- Setting ke mode volume controlled → untuk menjaga tercapainya
target VT (menghindari penutupan jalan napas dan apneu).
- VT 4-6 cc/kgBB (dgn ARDS) dan 6-8 cc/kgBB (tanpa ARDS) →
mengacu ke PBW (Predicted Body Weight) → bukan BB yang ada.
- Penting : antisipasi thd kesulitan intubasi, waspadai hipoksia dan
ketidakstabilan hemodinamik selama proses intubasi).
Hari
Hari -1 Hari +1 Hari +2 Hari +3 Hari +4
Intubasi
PH 7,06 97-98 7,28 7,35 7,40 7,39
PaO2 76 S 139 126 148 112
a
PaCO2 139 O 104 94,3 70,1 68,2
2
HCO3 28 48 43 43 41
BE 4,4 93-94 6,4 18 15,2 12,8
❑ Berdasar survei
prevalensi 1-hari di 6
pusat kesehatan
Dari 2.459 pasien → 29
% menggunakan CVC :
• V. subklavia 55 %
• V. jugularis 22 %
• V. femoralis 6 %
• V. perifer 15 %
Prevalence of the Use of Central Venous Access Devices Within and Outside of the Intensive Care Unit: Results
of a Survey Among Hospitals in the Prevention Epicenter Program of the Centers for Disease Control and
Prevention. Michael Climo , MD, Dan Diekema , MD, et.alInfection Control and Hospital Epidemiology. Vol.
24, No. 12 (December 2003), pp. 942-945.
KOMPLIKASI AKSES VENA SENTRAL
Beard L, Hodges M (2016) The Use of Ultrasound for Central Venous Access: are we
Becoming Complacent?. J Anesth Clin Res 7: 677. doi:10.4172/2155-6148.1000677
PEMASANGAN CVC DIPANDU USG
• Out-of-plane
• Sumbu panjang jarum
diarahkan melintasi scanning
probe, sehingga jarum terlihat
pada tampilan short-axis.
http://www.internationalshoulderjournal.org/article.asp?issn=09736042;year=2010;volume=4;issue
=3;spage=55;epage=62;aulast=Ihnatsenka
• Komplikasi Lambat → disfungsi alat dan infeksi
• Pembentukan selubung fibrin
• Fraktur
• Trombosis
• Stenosis vena sentral
• Infeksi
• Faktor yg mempengaruhi:
• Lokasi penempatan
• Durasi kateterisasi
• Komorbiditas pasien
Beard L, Hodges M (2016) The Use of Ultrasound for Central Venous Access: are we Becoming Complacent?. J Anesth Clin Res 7: 677. doi:10.4172/2155-6148.1000677
http://www.rch.org.au/policy/public/Central_Venous_Access_Device_Management/
DURASI PEMASANGAN VENA SENTRAL
1. "Simple CVC"
• Lokasi pemasangan :
- v. Subklavia
- v. jugularis interna
- v. femoralis.
• Durasi pasang :
❑ CVC = 14 hari.
❑ CDL = 3-6 bulan
Venous access A practical review for 2009. [Downloaded free from http://www.ijciis.org on
Tuesday, January 10, 2017, IP: 36.79.16.201]
2. "Tunneled" cuffed CVCs
• HICKMAN ™, BROVIAC ™,
permacaths, infusaports.
• Durasi: s/d 1 tahun dan
dimasukkan oleh ahli
bedah atau ahli radiologi.
• Alternatif untuk PICC
pada pasien < 2 tahun
atau 15 kg.
Durasi: 2-12 minggu
Venous access A practical review for 2009. [Downloaded free
from http://www.ijciis.org on Tuesday, January 10, 2017, IP:
36.79.16.201]
3. Vascaths: kateter lumen ganda
• Untuk dialisa, hemofiltrasi,
atau plasmafiltrasi.
US-guided placement of central vein catheters in patients with disorders of hemostasis. Fahri Tercan, Ugur
Ozkan, et al. Baskent University, Faculty of Medicine, Department of Radiology, Ankara, Turkey. Received
1 February 2007; accepted 2 April 2007. Available from http://fulltext.study/download/4228250.pdf.
ANTI TROMBOLITIK PROFILAKSIS
Zona abu-abu
Stolz et al, 2015, Ultrasound –guided pheripheral venous access : a meta analysis and sitematic review.
Journal Vascular access, 2015, 16, 321-6
Gottlieb M et al, 2017, Ultrasound –guided Pheripheral intravenous Line Placement, Journal of Emergency
Medicine, 18(6), 1047-54.
Indikasi Penggunan USG u/ Akses Vena Perifer
Intervention for
Difficult Vascular Access
Stolz et al, 2015, Ultrasound –guided pheripheral venous access : a meta analysis and sitematic review. Journal
Vascular access, 2015, 16, 321-6
MESIN USG
• USG bekerja dengan
memancarkan gelombang suara
(sound waves) dengan frekuensi
tertentu yaitu 2-18 MHz.
• Gelombang suara akan
dipancarkan melalui tranducer,
dan sebagian akan kembali
diterima oleh tranducer yang
mengandung partikel /materi
piezoelektrik.
• Gelombang suara bisa diteruskan,
dibelokkan, dikembalikan
BAGIAN MESIN USG
Monitor/layar/LCD
Monitor/layar display
Tranducers/Probe
Keyboard
Printer
Conector
CPU/Central
Processing Unit
• Frekuensi suara berkisar 2-18 MHz.
• Semakin tinggi frekuensinya →
semakin pendek panjang
gelombangnya shg penetrasinya
berkurang.
• Ada komponen yang utama :
• Mesin
• Probe/Tranducer
IMAGE IDENTIFICATION
Echogenisitas (gelap-terangnya obyek/gambar):
• An-echoic : ≠ gelombang yg direfleksikan/dipantulkan balik ke tranduser.
• Hypo-ehoic : Hanya sebagian kecil gelombang yg direfleksikan balik ke
transduser
• Hyper-echoic : sebagian besar gelombang direfleksikan balik ke
transduser
Artifact :
• Shadowing /acoustic shadow
• Enhancement
• Reverberation Mirror Image → e/c multi refleksi
• Velocity error
• An-isotropy
Reverberation
Tujuannya :
Menjaga volume intra-vaskuler
dan memperbaiki perfusi jaringan
KOMPOSISI CAIRAN TUBUH
67%
Intracellular
60 %
Fluids
33% 67% Interstitial
Extracellular
Fluid
33% Intravascular
(70 cc/kg)
40 %
Solids
RESUSITASI RUMATAN
Memenuhi kebutuhan
Mengganti kehilangan
normal harian
cairan yg bersifat akut
JENIS CAIRAN
Ada 3 jenis cairan yang utama, yaitu :
1. Cairan An/Non ionic :
❑ D5%, D10%
2. Ionik/kristaloid : cairan yang mengandung elektrolit/ion, baik
berupa anion (K+, Na+, dll) atau kation (Cl-, Asetat, Laktat, dll).
❑ NaCl 0,9%
❑ Ringer Laktat
❑ Ringer Asetat/Asering
❑ larutan Hartman
3. Koloid : cairan yang memiliki berat molekul yang tinggi.
➢ natural : Albumin
✓Albumin 4%, 5% → untuk resusitasi
✓Albumin 20%, 25% →untuk subtitusi
➢ sintetik : Gelatin, Dextran, HES
Cairan Non-ionik
Dextran 70 →
indikasi yang sama seperti albumin 5%.
Dextran 40 →
operasi vaskuler u/ mencgh trombosis
jarang digunakan sbg plasma expander
Efek samping :
❑ Reaksi Alergi
❑ Perpanjangan Waktu Perdarahan → Pembentukan
Rouleaux
❑ Noncardiogenic pulmonary edema
❑ Gangguan ginjal
ALBUMIN
1.Zienderman CE et al, Fluids solutions in dengue shock syndrome, New England Journal, 2005
2.Bridget A Wills et al, Comparison of three fluid for resuscitation in dengue shock syndrome, New England
Journal, 2005
Jumlah cairan resusitasi ≈ stage DHF
• Pada kasus hipotensi persisten (setelah dilakukan resusitasi cairan secara adekuat)
→ dapat ditambahkan inotropik (umumnya dopamin pada pasien anak) dan
vasopressor → guna meningkatkan curah jantung (CO) dan memperbaiki perfusi
ke sistem organ dan jaringan perifer.
TERAPI CAIRAN PADA SYOK SEPSIS
• Syok septik merupakan kegawatdaruratan medik. Langkah awal
pengelolaan sepsis adalah ABC immediate stabilization.
• Stabilisasi hemodinamik (circulation) merupakan salah satu
pengelolaan utama pada pasien sepsis atau syok septik dengan tujuan
mengembalikan hipovolemik intra vaskuler dan memperbaiki perfusi
jaringan. (selain pemberian antibiotik & source control).
• Tiga komponen utama untuk memperbaiki hemodinamik pada pasien
sepsis/syok septik :
1. Resusitasi cairan → paling mudah dikerjakan & paling murah.
2. Pemberian vasopressor/vasokonstriktor.
3. Pemberian inotropik.
• Dengan target (goals) awal resusitasi cairan : CVP 8-12 mmHg , MAP 60-
90 mmHg & ScVO2 > 70 % → menjadi MAP > 65 mmHg, ScVO2 >70 %
dan Laktat kembali normal < 4 mmol/L atau laktat klirens >40%
• Pilihan cairan untuk resusitasi : kristaloids, dengan target pencapaian 3
jam. Koloid dan transfusi darah kalo perlu.
KONSEP EGDT.
• Dikenal dgn sebutan EGDT yaitu terapi awal yang langsung dilakukan untuk
mencapai target tertentu, yaitu CVP, MAP dan ScvO2.
• Dari waktu ke waktu, semua guideline SSC memberikan terapi cairan
sebagai resusitasi awal pada sepsis → SSC 2004, 2008, 2012, 2016.
SSC 2004-2008
SSC 2012
SSC 2016
Algoritma resusitasi cairan pada syok septik
Rivers “EGDT”, 2001 Einstein, 2015
30 mL/kgBB
The Protocolised of Management Sepsis (ProMISe) study, New England Journal Med, March 2015
Protocol-based care for Early Septic Shock (ProCESS), New England Journal med, 2014, , 370: 1683-93
How to choose therapeutic goals to improve tissue perfusion in septic shock, Einstein, 2015, 13(3): 441-7
CAIRAN NUTRISI
(TPN/TRANS PARENTERAL NUTRITION)
CAIRAN NUTRISI
(TPN/TRANS PARENTERAL NUTRITION)
• Indikasi utama pemberian TPN (Trans Parenteral Nutrition ) :
❑ Kurang gizi yang kehilangan berat badan > 10% dari BB terakhir
❑ Saluran pencernaan tidak berfungsi sama sekali (ileus obstruksi,
ileus paralitik)
❑ Tidak ada asupan makan selama 3-5 hari terakhir (misal : pasien
tetanus dengan kejang berkepanjangan)
❑ Kebutuhan yang tinggi akibat pemecahan protein yang
berlebihan (misal : luka bakar yang luas)
• Pasien pasca bedah yg tidak mendapatkan nutrisi sama sekali →
akan kehilangan protein setiap hari 1 gr/hari, sehingga terjadi hipo
albumin. Hipoalbumin berefek buruk karena menyebabkan : edema
jaringan, infeksi memperlambat penyembuhan luka, dehisensi luka
operasi.
CAIRAN NUTRISI
• Cairan : Nutrisi :
Umumnya berisi cairan ❑ Energi/Kalori :
kristaloid dengan karbohidrat, lemak
kandungan mineral ❑ Protein
ionik/ elektrolit. ❑ Mikronutrien lain
Sepsis/severe sepsis
CHF
Normal condition
ROSE
CONCEPT
ROSE Concept
ROSE : Resucitation, Optimation, Stabilitation, Evacuation
(SOSD : Salvage – Optimation - Stabilitation – Deresucitation)
Resuscitation/Salvage Evacuation/De-resuscitation
FLUID RESUCITATION IN SEPSIS
SEPSIS
• The main pathophysiology of sepsis → massive vasodilatation
and increases membran vascular permeability → leading fluid
deficit intravascular.
• Initial Resucitation is a mainstay & fundamental in initial
treatment of sepsis (beside ANTIBIOTIC & SOURCE CONTROL).
• What is initial resuscitation ?
1. Fluid resuscitation 2. Vasopressor 3. Inotropic
• The question of fluid resucitation in sepsis :
❑ Which fluid the best for resucitation …? → Fluid option
❑ How much fluid is needed for sepsis …? → Fluid volume
❑ How to manage fluid resucitation in sepsis … ? → Fluid
Challenge/Fluid management.
• Dari waktu ke waktu, semua guideline SSC memberikan terapi cairan
sebagai resusitasi awal pada sepsis → SSC 2004, 2008, 2012, 2016.
SSC 2004-2008
SSC 2012
SSC 2016
• Terapi cairan telah ditetapkan menjadi tindakan paling awal dalam rangka
mengembalikan kestabilan hemodinamik → mudah dikerjakan, paling murah
• Dikenal dgn sebutan EGDT yaitu terapi awal yang langsung dilakukan untuk
mencapai target tertentu, yaitu CVP, MAP dan ScvO2.
Fluid volume in SEPSIS
Ada beberapa penelitian yang menghitung jumlah pemberian cairan rata-rata
pada pasien sepsis di ICU
The lower of total fluids
Phase I
Phase III
MAINTENANCE/
Fluid Balance
Homeostasis
RESUCITATION
REMOVAL
Time
How to monitor
preload/Fluid
responsive-ness .... ???
Techniques for assessing fluid responsive-ness.
Static pressure and volume parameters
❑ CVP ❑ RV end-diastolic volume
❑ PAOP (pulmo-arte occlu-pres)
❑ LV end-diastolic volume
❑ IVC diameter ❑ IVC variation during Mech.
❑ Flow Corrected Time Vent
Dynamic technique based on heart-lung interactions
➢ PPV (pulse pressure var) ➢ Plethismographic variability
➢ SVV (stroke volume var) ➢ Aortic blood Flow
Techniques based on real or virtual fluid challenge
❑ PLR
❑ Rapid Fluid Challenge (100-250 cc)
The End
HOW TO FLUID MANAGEMENT
IN SEPSIS OR CRITICALLY ILL …???
2001: Rivers Calls for EGDT
Dellinger RP, Levy MM, Rhodes A, et al. Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines for Management
of Severe Sepsis and Septic Shock: 2012. Critical Care Medicine 2013;41(2):580–637.
EGDT IN THE TREATMENT OF
SEVERE SEPSIS AND SEPTIC SHOCK
FLUID FIRST !!
FLUID FIRST !!
EGDT protocol in
the Bundle EGDT protocol still
in the Bundle
(2012)
2012
SEPSIS BUNDLE
REVISED 2015
FINALLY;
EGDT had (2015)
removed from
the Bundle
Can not
move on
..😅😍
THE CONSEQUENCES
Sea drowning
Dry-land drowning
ARDS
BURST ABD
FLUID BALANCE AND CLINICAL OUTCOME
IN ICU
it h
ed w
cia t
s s o
ce a lit y
la n o rta
b a f m
id
lu ase o
r f
ighe incre
H
The lower of total fluids
crystalloid:
75-80% leaves vasculature after 20 minutes
5% dextrose
Interstitial fluid
Delayed clearance
Immediately reaches
shifting equilibrium with
interstitial space during
plasma infusion
Normal
Crystalloid Glycocalix
infusion & endothelial gap
ti on
r m a
Interstitial
Normal
a fo
15’ 75%
fluid shift
heart
m
Plasma
Zero Balance
ede
Normal
kidneyNo Drainage
Normal
Lymph
Urine output
THE IMPACT OF STARLING’S PRELOAD
DEPENDENCY TO FLUID MANAGEMENT
PHYSIOLOGY OF VOLUME
FLUID BOLUS RESUSCITATTION IN CRITICALL ILL
Preload
dependence
Glycocalix damage - Increased
CYSTALLOID permeability/gap
INFUSION
Leakage
nt
te
Interstitial
→
s
hypovolemia
Increase Filling
Fluid shift
si
r em maa
Plasma
Pressure → Atrial
Natriuretic Peptide
(ANP) launched
e
Ped de
Lymph e
In critical illness →
Urine output leakage >> lymph flow
decrease → STILL
HYPOPERFUSION → tissue edema
THE CONSEQUENCES OF TISSUE EDEMA
Tissue Normal
edema distance
Celullar
hipoxia
Tissue Edema
Diffusion Distance
Celullar damage
Prowle JR et al. Nat Rev Nephrol 2010;6:107
FLUID OVERLOAD COMPLICATION
FLUID ACCUMULATION IN GASTROTROINTESTINAL FUNCTION
→ABDOMINAL COMPARTEMENT SYNDROME
Fluid accumulation
Splanchnic edema
Gut Edema
Lower Bursting
pressure
Colloid vs. crystalloid infusions in gastrointestinal surgery and their different impact on the
healing of intestinal anastomoses
Marjanovic et al. Int J Colorectal Dis (2010) 25:491–498
THE EFFECT OF FLUID ACCUMULATION
ON GASTROINTESTINAL FUNCTION
NON-SURVIVOR
NON-SURVIVOR
SURVIVOR
SURVIVOR
Cordemans et al. Fluid management in critically ill patients: the role of extravascular lung water, adbominal
hypertension, capillary leak, and fluid balance. Annal of Intensive Care 2012
THANK YOU
George 2017
System-based Approaches to sepsis
Early-Goal Directed Therapy
INCLUSION = Sepsis AND [BP < 90 after fluid OR Lactate > 4]
CRYSTMAS study * :
Crystalloids Morbidity Associated with severe Sepsis
CHEST trial*
*Crystalloid vs Hydroxyethyl Starch
HES vs Saline in the ICU
Renal Replacement Renal Adverse
90-day Mortality
Tx Failure Events
HES (6%, 130/0.4) 18% (597/3315) 7% 10.4% 5.3%
Saline (0.9%) 17% (566/3336) 5.8% 9.2% 2.8%
P-value 0.26 0.04 0.12 < 0.001
Mortality
• No difference at 90 d
• No difference in subgroups
– AKI
– Sepsis
– Trauma
– TBI
– APACHE II score
– HES before
randomization
Myburgh JA, et al. N Engl J Med. 2012 Oct 17. [Epub ahead of print]
CHEST conclusion
• No benefit of HES over saline for treatment of
hipovolemia.
• Potential small harm risk with HES (renal
replacement therapy).
• More expensive than crystaloid.
6 S* Trial
(Scandanavian Starch for Severe Sepsis/Septic Shock)
HES vs Ringer’s Acetate in Sepsis
90-day Renal RIFLE RIFLE Severe
90-day Mortality
Replacement Tx Injury Failure Bleeding
HES (6%, 130/0.42) 51% (201/398) 22% 17% 23% 10%
Ringer’s Acetate 43% (172/400) 16% 15% 18% 6%
P-value 0.03 0.04 NA NA 0.09
• RCT
• Mortality difference appears
Survival
Albumin Saline
NB: A 2004 Cochrane review (by Alderson P et al) and a 2009 Annals systematic review
(by McIntyre L & Green RS) also concluded that albumin did not show any remarkable
benefits in improving mortality but the authors noted that the trials were largely
dominated by the SAFE study sample size.
Finfer S, et al. SAFE Study Investigators. N Engl J Med. 2004;350(22):2247-2256.
Alderson P, et al. Cochrane Database Syst Rev. 2004;4:CD001208.
McIntyre L, et al. Am Emerg Med. 2009;54(1):114-116.
SAFE Trial
Albumin 4% vs 0,9% NaCl
Conclution :
• No difference in
• Overall outcome
• Time on ventilator or in ICU
• Renal replacement therapy
• Organ failure
• But
• Albumin has trend toward benefit in sepsis
Conclusions
❑ Volume Expansion/Fluid Therapy aim to maintain
intravascular volume and tissue perfusion.
❑ Early goal directed therapy decrease the mortality
❑ Should be careful about fluid option and fluid balance
to avoid fluid overload.
❑ Fluid like a drugs, consider the dose, indication and
contraindication.
❑ With ROSE CONCEPT guiding, we can make a new
approach giving fluids protocol in critically ill patient
by condition in hospitals.
❑ The gold standard for perioperative fluid management
in critical illness, or during major surgery
The End
dr. IG NYOMAN PANJI PUTUGAWA, SpAn.KIC
Bagian Anestesi, Terapi Intensif dan Manajemen Nyeri
RSUD RAA SOEWONDO PATI
Bunaken
1991 2004 2016
Belum dikenal
istilah Sepsis
Perubahan SSC
o Peny infeksi (wabah) sdh ada sejak lama:
❑ Wabah black death (Pes) tahun 1346-
1353 →Eropa, Afrika Utara,
Amerika.
❑ Kolera th 1817-1823 : India, Asia
Selatan
❑ Flu Spanyol 1918-1920→ Eropa
❑ HIV-AIDS, Flu Hongkong, dll.
o Penemuan mikroskop oleh Antony Van
Leuwenhook, 1676. Dia menemukan
“makluk kecil” penyebab infeksi.
Penemuan ini menghubungkan penyakit
dan mikroba.
Antony van Leuwenhoek o Namun s/d awal abad 20, pengelolaan
1632-1723 penyakit infelsi masih dilakukan dengan
cara yang tidak ilmiah.
Penemuan berbagai antibiotik untuk membunuh kuman penyebab infeksi
→ memberikan harapan dalam pemberanytasan penyakit infeksi.
Tapi penelitian lain menunjukkan hasil yang berbeda : prevalensi dan
mortality rate akibat sepsis atau infeksi sangat tinggi.
Sampai tahun 1990, sepsis belum mendapat perhatian
secara mendalam.
Masih kalah dengan isue HIV-AIDS, penyakit jantung
koroner → yang merupakan momok di bidang
kesehatan dengan resiko kematian yang tinggi.
Adanya penemuan berbagai antibiotik tahum 1940-1970 →
menyebabkan penyakit infeksi kurang mendapatkan
perhatian lebih mendalam pengelolaaannya.
Dengan adanya penemuan berbagai antibiotik, orang
beranggapan penyakit infeksi dapat diatasi lebih mudah.
Tapi penelitian yang lain menunjukkan hasil yg berbeda :
prevalensi dan mortality rate sepsis ternyata sangat
tinggi.
❑ Perhatian terhadap sepsis atau penyakit infeksi yg berat
mendapatkan perhatian setelah tahun 1991, ACCP
(American College of Chest Physicians) & SCCM (Sociaty of
Critical Care Medicine) mengeluarkan consensus/
kesepakatan bersama tentang definisi sepsis dan akibat
yang ditimbulkan → Consensus 1991.
Definition :
❑ Infection ❑ Severe Sepsis
➢ Inflammatory response to ➢ Sepsis
microorganisms, or ➢ Organ dysfunction
➢ Invasion micro organism of ❑ Septic shock.
normally sterile tissues ➢ Sepsis
SIRS
Invasion Sepsis : SIRS is a clinical response arising from a
non specific insult, including 2 of :
micro a presumed or
• Temperature 38oC or 36oC
organism of confirmed
• HR 90 beats/min
normally infection
sterile process with • Respirations 20/min
tissues SIRS • WBC count 12,000/mm3 or 4,000/mm3
or >10% immature neutrophils
SIRS = Systemic Inflammatory Response Syndrome
Adapted from: Bone RC, et al. Chest 1992;101:1644 & Opal SM, et al. Critical Care Medicine 2000;28:S81
Sepsis: Defining a Disease
Continuum
Infection Sepsis Severe Sepsis Septic Shock
Severe Sepsis :
sepsis with 1 sign of organ
failure SHOCK Sepsis
❑ Cardiovascular (refractory
hypotension)
❑ Renal Sepsis with
❑ Respiratory
hypotension,
❑ Hepatic
❑ Hematologic
despite fluid
❑ CNS resuscitation
❑ Metabolic acidosis adequat
Bone et al. Chest 1992;101:1644; Wheeler and Bernard. New England Journal Medicine 1999;340:207
Identifying Acute Organ Dysfunction
as a Marker of Severe Sepsis
CNS CARDIAC
Altered MS Tachycardia
Consciousness Hypotension
Confusion CVP
Psychosis PAOP
PULMO KIDNEY
Tachypnea Oliguria
PaO2 <70 mm Hg Anuria
SaO2 <90% Creatinine
PaO2/FiO2 300
HEMATOPOETIK
HEPAR Platelets
Jaundice PT/APTT
Enzymes Protein C
Albumin D-dimer
PT
Severe Sepsis : Sepsis with 1 sign of organ failure
:
❑ Cardiovascular :
Systolic BP < 90 mmHg, MAP < 65 mmHg, at least 1
hour despite adequat volume rescucitation.
❑ Renal :
urine output < 0,5 cc/kgBB body weight/ hr for one hour
❑ Respiratory :
PaO2/FiO2 < 250 if other other disfunctin organ present
or < 200 if only the lung is only dysfunctional organ
❑ Hepatic :
Decrease in albumin, increased LFT
❑ Hematologic :
Platelet count < 80.000 or decrease by 50% in 3 days
❑ CNS :
Alterred in mental status( apatic, somnolen, letargic, etc)
❑ Metabolic acidosis : PH < 7,3 and plasma laktat > 2,0
❑ Menjadi penyebab utama kesakitan & kematian di dunia.
❑ Penyebab terbanyak kematian, diluar kasus coroner di ICU (US)*
❑ Penyebab kematian no.11 dari seluruh penyebab kematian. (US) †§
*Sands KE et al. JAMA. 1997;278:234-40; †Based on data for septicemia. §Murphy SL. National
Vital Statistics Reports. ‡Angus DC et al. Crit Care Med. 2001 (In Press); reflects hospital-wide
cases of severe sepsis as defined by infection in the presence of organ failure.
60 50%§
Mortality (%)
34%‡
40
28%†
20
250 200.000
Cases/100,000
200
Deaths/Year
150.000
150
100.000
100
50.000
50
0 0
AIDS* Colon Breast CHF† Severe AIDS* Breast AMI† Severe
Cancer§ Sepsis‡ Cancer§ Sepsis‡
†National Center for Health Statistics, 2001. §American Cancer Society, 2001. *American Heart
Association. 2000. ‡Angus DC et al. Crit Care Med. 2001 (In Press).
Incidence Mortality
Sepsis
400,000 7-17%
Septic
53-63%
Shock
* All analyses were performed using the 2004 through 2006 MEDPAR Hospital Discharge Databases. Cost and charge data are reporte d in year-appropriate
US Dollars.
† Severe sepsis patients were identified by looking for combinations of ICD-9-CM codes indicating infection and new onset of acute organ failure following
SCCM/ACCP guidelines as described in Angus DC, Linde-Zwirble WT, Lidicker J, et al. Epidemiology of severe sepsis in the United States: Analysis of
incidence, outcome and associated costs of care. Crit Care Med. 2001;29 (7):1303-1310. Copyright © 2007, Eli Lilly and Company. All rights reserved
‡ Average total hospital costs for patients treated in the ICU.
Szakmany T et al, Sepsis Prevalence and Outcome on the General Wards & Emergency Departments,
International Multicentre Prevalence Study on Sepsis (The IMPreSS study), from 1000 patients,
Intensive Care Medicine, 2015
No positive blood cultures
?
despite sepsis - Why?
IL-6 (U/mL)
12
10
TNF (ng/L)
2
0
0 60 120 180 240 300 360
Minutes After LPS Infusion
IL-1 ra
IL-10
sTNFr-1/11
TGF-
IL-4
endotoxin
SIRS;
Fever
Tachycardia
Hypertension
Leucocytosis/CRP
D-Dimer ++
SIRS;
Fever
Tachycardia
Hypertension
Leucocytosis/CRP
Microemboli →
Hypoperfusion organ →
lactate
Clinical presentation TNF- Biologic sequelae
IL-1ß IL-1 ra
IL-6 SIRS = IL-10
IL-8 SYSTEMIC INFLAMATORY sTNFr-1/11
PAF RESPONSE SYNDROME TGF-
iNOS IL-4
COX2
Sepsis / Monocyte
SIRS PROINFLAMMATORY ANTI-INFLAMMATORY activation
TNF-
IL-1 ra
IL-1ßCARS =
IL-10
IL-6
COMPENSATED sTNFr-1/11
IL-8
ANTI-INFLAMATORY TGF-
SEPTIC SHOCK/ PAF
RESPONSE SYNDROME IL-4 Monocyte
iNOS deactivation
MOF COX2
TNF- IL-1 ra
IL-1ß IL-10
IL-6 sTNFr-1/11
IL-8 TGF-
SEPTIC SHOCK/ PAF CARS IL-4 Monocyte
MOF iNOS deactivation
COX2
Aktivasi simpatetik
R AA Penutupan voltage gated
Ca channel di membran
Vasopressin
Hotchkiss, RS NEJM 2003 348 : 138 - 150
Invasi kuman ke dalam tubuh → sistem imun tubuh
akan melepaskan mediator inflamasi yang berfungsi
untuk membunuh kuman yang masuk. Kalo diberikan
Anti-biotik dan kumannya mati, pecahan bakteri/
dinding sel melepaskan citokine yang akan mentrigger
mediator pro inflamasi. Pelepasan citokine secara masif
(cytokine storm/badai citokine) ini akan menimbulkan
manifestasi klinis seperti : demam, takikardi, takipneu
& lekositosis.
Hasil akhir proses ini akan tergantung kondisi imun
pasien (genetic polimorfism).
Pada pasien dgn imun baik (usia muda, tidak
ada penyakit komorbid) citokine yng bersirkulasi
akan segera dimetabolisme dan di ekresikan ke
ginjal. Selanjutnya pasien bisa pulih lebih cepat.
Pasien dgn imun yg buruk /imunocompromised
(usia tua, DM, HIV-AIDS, kanker, multipel
trauma/ luka bakar luas, stress) → mengeluarkan
mediator anti-inflamasi sebagai negatif feedback/
counter agar tidak terjadi pelepasan pro-inflamasi
yang berlebihan.
Metabolit mikroba dan produknya menarik
netrophil ke jaringan diikuti oleh monosit
Makrofag mengeluarkan proinflamatory yang
bersifat lokal berfungsi untuk membatasi
kerusakan, membunuh pathogen, menghilangkan
benda asing dan dan memacu perbaikan jaringan.
(TNFα, IL1, IL2, IL6, interferon γ, PAI.
Pengeluaran proinflamatori akan diikuti dengan
anti inflamatori untuk mengurangi kemampuan
sel memproduksi antigen dan mengeluarkan
proinflamatori (IL4, IL10, IL11, IL13, sol TNFα rec)
Pada infeksi yang berat proinflamasi akan
menimbulkan respon sistemik (infeksi tdk bisa
diatasi di tingkat lokal ) → sehingga terjadi/
timbul gejala klinis berupa demam, takikardi,
takipnea,
Pengeluaran mediator proinflamasi akan
menimbulkan gejala sistemik dengan
manifestasi tanda & gejala klinis ( SIRS ) :
panas/hipotermi, takikardi, takipnea,
lekositosis/lekopeni atau shift ke kiri.
Aktivasi dari TNF α, IL 1 menyebabkan endotel
berubah pada keadaan protombik. Terjadi
mikrotrombus dan kenaikan permeabilitas
vaskular.
Pengeluaran pro-inflamatori akan diikuti
pengeluaran anti-inflamatori
Pada pengeluaran anti inflamatori yg berlebihan
akan menyebabkan CARS (Compensated Anti-
inflammatory Respon Syndrome) yang akan
menyebabkan imunoparalisis sehingga infeksi
primer tetap terjadi bahkan terjadi superinfeksi.
Reaksi inflamasi yang berlebihan
menyebabkan pasien gagal mengembalikan
homeostasisnya.
Terjadi deaktivasi monosit
Resiko infeksi, gagal organ dan kematian besar.
SURVIVING SEPSIS CAMPAIGN (SSC)
Guidelines for Management of Severe Sepsis and Septic Shock
Dellinger, RP, et. al. Surviving Sepsis Campaign guidelines for management of severe sepsis and septic
shock, Critical Care Medine. 2004, 32: 858-873.
Index
Initial Resuscitation ▪ Blood Product Administration
Diagnosis ▪ Mechanical Ventilation
Antibiotic therapy
▪ Sedation, Analgesia & Neuromuscular
Source Control Blockade in Sepsis
Fluid therapy
▪ Glucose Control
Vasopressors
Inotropic Therapy ▪ Renal Replacement
Steroids ▪ Bicarbonate Therapy
Recombinant Human
Activated Protein C ▪ Deep Vein Thrombosis Prophylaxis
(rhAPC) [drotrecogin ▪ Stress Ulcer Prophylaxis
alfa (activated)]
▪ Limitation of Support
Dellinger RP, Carlet JM, Masur H, et al. for the Surviving Sepsis
Campaign Management Guidelines Committee. Crit Care Med 2004;
32:858-873.
SSC 2004
SSC 2008
SSC 2012
2 bundle
(2004-2008)
Pengelolaan dlm 2 tahap :
- Resusitasi awal
- Pengelolaan lengkap
dalam 24 jam.
1 bundle (2012)
Resusitasi merupakan
langkah awal pengelolaan
sepsis dan dilakukan
secara berkesinambungan
dan target waktu > cepat
SSC 2004
SSC 2008
SSC 2012
EGDT
Identifying Acute Organ Dysfunction
as a Marker of Severe Sepsis
CNS CARDIAC
Altered MS Tachycardia
Consciousness Hypotension
Confusion CVP
Psychosis PAOP
PULMO KIDNEY
Tachypnea Oliguria
PaO2 <70 mm Hg Anuria
SaO2 <90% Creatinine
PaO2/FiO2 300
HEMATOPOETIK
HEPAR Platelets
Jaundice PT/APTT
Enzymes Protein C
Albumin D-dimer
PT
Severe Sepsis : Sepsis with 1 sign of organ failure
:
❑ Cardiovascular :
Systolic BP < 90 mmHg, MAP < 65 mmHg, at least 1
hour despite adequat volume rescucitation.
❑ Renal :
urine output < 0,5 cc/kgBB body weight/ hr for one hour
❑ Respiratory :
PaO2/FiO2 < 250 if other other disfunctin organ present
or < 200 if only the lung is only dysfunctional organ
❑ Hepatic :
Decrease in albumin, increased LFT
❑ Hematologic :
Platelet count < 80.000 or decrease by 50% in 3 days
❑ CNS :
Alterred in mental status( apatic, somnolen, letargic, etc)
❑ Metabolic acidosis : PH < 7,3 and plasma laktat > 2,0
2016 : CHALENGE OF SEPSIS DEFINITION
Despite severe sepsis & septic shock management have been done,
but mortality rate still high → Why …. ???
2016
CRITERIA OLD (2012) NEW (2016)
Suspect/Documented
SEPSIS SIRS + Susp Infection + 2 or 3 on Quick
INFECTION SOFA score +
SEPSIS , disertai +
SEPSIS SYOCK SEPSIS + Vasopressor needed for
HYPOTENSION After MAP > 65 mmHg and
adequar resuscitation Lactate > 2 mmol/dl
Suspected sepsis
No No Monitor Clinical
qSOFA ≥ 2 Sepsis still Condition : reevaluate for
possible Sepsis if Clinical
suspected
Yes indicated
Yes
Asses for Evidence of
Organ Disfucntion
Yes
No Quick SOFA
Sepsis 1. Respirasi rate
2. Mental status
3. Systolic Blood Pressure
Despite adequate Fluid resuscitation : SOFA :
1. Vasopresor required to maintain MAP ≥ 1. Respiratory system : PaO2/FiO2
65 mmHg, and 2. CNS : Glasgow Coma Scale
2.Serum laktat level >2 mmol/L 3. Cardiovascular : MAP &vasopresor
4. Kidney : Serum Creatinine or UO
Yes 5. Liver fuction : Bilirubine
6. Coagulation : Platelet Count
Septic Shock
Kesulitan diagnosis dini sepsis :
Tanda awal sulit dikenali.
DEFINITION
A "bundle" is a group of interventions related to a disease process that,
when executed together, result in better outcomes than when
implemented individually.
Index
Initial Resuscitation ▪ Blood Product Administration
Diagnosis
▪ Mechanical Ventilation
Antibiotic therapy
Source Control ▪ Sedation, Analgesia, & Neuromuscular
Blockade in Sepsis
Fluid therapy
Vasopressors ▪ Glucose Control
Inotropic Therapy ▪ Renal Replacement
Steroids
▪ Bicarbonate Therapy
Recombinant Human
Activated Protein C ▪ Deep Vein Thrombosis Prophylaxis
(rhAPC) [drotrecogin
▪ Stress Ulcer Prophylaxis
alfa (activated)]
▪ Limitation of Support
Dellinger RP, Carlet JM, Masur H, et al. for the Surviving Sepsis Campaign
Management Guidelines Committee. Crit Care Med 2004; 32:858-873.
Dellinger, et. al. Crit Care Med 2004, 32: 858-873.
MANAJEMEN SEPSIS
INITIAL RESUSCITATION
▪ Resuscitation should begin as soon as severe sepsis or sepsis
induced tissue hypoperfusion is recognized
▪ Elevated serum lactate identifies tissue hypoperfusion in
patients at risk who are not hypotensive
▪ Goals of therapy within first 6 hours are :
➢ Central Venous Pressure 8-12 mm Hg (12-15 in ventilator pts)
➢ Mean arterial pressure/MAP > 65 mm Hg
➢ Urine output > 0.5 mL//kg/hr
-
➢ ScvO2 or SvO2 ≥ 70%;
if not achieved with fluid resuscitation during first 6 hours:
- Transfuse PRBC to hematocrit > 30% and/or
- Administer dobutamine (max 20 mcg/kg/min) to goal.
3
dan 85 mmHg MAP pada 65 vs 85 mikro, seperti yg
meningkatkan indeks mmHg. Dalam uji ini, dinilai oleh kepadatan
jantung (dari 4,7 ± 0,5- menargetkan MAP pembuluh darah
5,5 ± 0,6 L/menit/m2) tinggi meningkatkan sublingual dan kurva
tapi tidak mengubah: indeks jantung dari 4,8 naik saturasi oksigen
urinary flow, tingkat (3,8-6,0) sampai 5,8 thenar setelah tes
laktat arteri, distribusi (4,3-6,9) L/min/m2 oklusi, dengan titrasi
dan konsumsi O2, tapi tidak mengubah NE ke MAP 85 mmHg
PCO2 mukosa fungsi ginjal, tingkat dibandingkan dengan
lambung, kecepatan laktat arteri, konsumsi 65 mmHg
RBC, atau aliran O2
kapiler kulit
Hanya 1 uji multisenter dengan fokus angka mortalitas →
Untuk m’bandingkan titrasi dosis NE mencapai MAP 65 mmHg vs 85
mmHg
Tidak ada perbedaan signifikan dalam angka mortalitas pada
28 hari 90 hari
• 36,6% → grup high target • 43,8% → grup high target
• 34,0% → grup low target • 42,3% → grup low target
kelompok pasien dgn premorbid hipertensi kronis memiliki kebutuhan utk RRT berkurang
7. Resusitasi terpandu utk menormal-
kan kadar laktat pd pasien dgn 5 RCT (647 pasien)
peningkatan kadar laktat sebagai
penanda hipoperfusi jaringan evaluasi resusitasi lactate-guided
pd pasien dgn syok septik
(rekomendasi lemah, rendahnya
kualitas bukti)
❑ Laktat serum bukan ukuran
langsung dari perfusi jaringan → angka mortalitas turun signifikan
(RR 0,67; 95% CI, 0,53-0,84; kualitas rendah)
❑ Peningkatan laktat serum dapat
menunjukkan :
2 meta-analisis lain
➢ hipoksia jaringan
→ angka mortalitas turun jika
➢ peningkatan glikolisis aerobik penggunaan awal strategi lactate-
akibat stimulasi β-adrenergik clearance dilakukan dibandingkan dgn
yang berlebihan baik perawatan biasa (tidak spesifik) atau
dgn strategi normalisasi Scvo2
➢ penyebab lainnya (ex: liver
failure)
Kesimpulan resusitasi awal pada sepsis :
30.6% mortality
Vallés (2003) –
63%
Bloodstream infection*6
0 20 40 60 80 100
Mortality (%)
* Based on the 2005 ATS/IDSA guidelines for HAP/VAP/HCAP (Am J Respir Crit Care Med 2005;171:388-416),
inappropriate would be the term used to refer to the inadequate therapy noted on this slide.
1. Luna CM et al. Chest. 1997;111:676–685. 2. Rello J et al. Am J Respir Crit Care Med. 1997;156:196–200.
3. Kollef MH et al. Chest. 1998;113:412–420. 4. Ibrahim EH at al. Chest. 2000;118:146–155.
5. Harbarth S et al. Am J Med. 2003;115:529–535. 6. Vallés J et al. Chest. 2003;123:1615–1624.
Antibiotic Therapy …
significantly higher
40
Odds of death
20
0
0–30′ 30′–1h 1–2 2–3 3–4 4–5 5–6 6–9 9–12 12–24 24–36 >36
Time of first dose of antibiotics after the onset of shock (hours)
Kumar et al. Crit Care Med 2006;34:1589–1596
Antibiotic Therapy …
SOLUSI :
Inisiasi
pemberian
Kegagalan ❑ Penggunaan “staf” order
mengidentifi
antiobitik kasi sepsis ❑ Mengurangi penundaan
yang kurang atau syok
tepat sepsis pengambilan darah dan
melakukan kultur segera
Faktor bahkan belum pemberian
logistik atau
administrasi
antibiotik
❑ Memperbaiki kekurangan
rantai pasokan
❑ Memperbaiki komunikasi
Masalah yang menyebabkan antara staf medis, farmasi
keterlambatan pemberian antibiotik dan perawat
Apabila akses vascular terbatas dan banyak obat yang harus
dimasukan, obat yang bisa diberikan dalam bolus atau
infus cepat intravena memiliki keuntungan karena cepat
mencapai dosis terapetik sebagai terapi awal
Akses intraosseus yang bisa dilakukan secara cepat dapat
digunakan untuk pemberian cepat terapi antibiotik inisial
Sediaan intramuskular juga diperbolehkan dan tersedia
untuk beberapa sediaan β-lactam →Pemberiaan
intramuskular hanya dilakukan bila akses vaskular tidak
didapatkan.
Hindari pemberian obat antibiotik secara oral pada kasus
severe sepsis atau septik shock → perlu waktu penyerapan
lama dan dosis yang kurang optimal.
Merekomendasikan pemberian antibiotik empiris spektrum luas
dengan satu atau lebih antibiotic pada pasien dengan sepsis atau
syok sepsis untuk mengatasi semua pathogen yang mungkin
(termasuk bacterial, fungal atau viral)
Apabila tidak ada infeksi → antibiotic distop untuk mencegah pasien terinfeksi
bakteri resisten atau terkena efek samping obat yang tidak perlu.
Tidak merekomendasikan penggunaan profilaksis
antibiotic sistemik terhadap pasien dengan keadaan
inflamasi berat tanpa sumber infeksi (contoh :
pankreatitis berat, luka bakar)
Peningkatan
kejadian
insufisiensi hepar
dan ginjal
Optimisasi sifat farmakokinetik
Perbedaan dengan antibiotik segera, dapat
pasien infeksi
bakteri biasa yang meningkatkan outcome dari pasien
mempengaruhi dengan infeksi berat.
strategi terapi
antibiotic optimal
Tingginya
prevalensi masalah
imun yang tidak
terdeteksi
Predisposisi untuk
terjangkit
organisme resisten
Paling penting diingat sehubungan dengan pemberian dosis
antibiotik empiris inisial adalah, peningkatan volume distribusi
pada pasien sepsis untuk sebagian besar antibiotik. :
Ekspansi volume ekstraseluler yang cepat sebagai konsekuensi
dari resusitasi cairan yang agresif
Hal ini secara tidak terduga menyebabkan tingginya frekuensi
dosis obat suboptimal dengan berbagai jenis antibiotic
Terapi antibiotik pada pasien ini harus selalu dimulai dengan
dosis tinggi (high enloading) → untuk semua obat yang digunakan
Tiap antibiotik membutuhkan kebutuhan target plasma yang
berbeda untuk mencapai hasil optimal.
Dosis antibiotik harus disesuaikan terutama penurunan fungsi
organ yang berkaitan dengan severe sepsis atau syok septik, yaitu
akut kidney injuri, disfungsi hepar akut, dll
Menyarankan terapi kombinasi antibiotik empiris
(memakai setidaknya dua antibiotik dari golongan
yang berbeda) ditujukan untuk patogen yang
paling mungkin u/ manajemen inisial syok sepsis
TOXIC
Terapi antibiotic selama 7-10 hari (tanpa
masalah dalam pengendalian sumber)
umumnya cukup untuk mengatasi infeksi Maka keputusan
untuk mempersempit
Penentukan durasi terapi terhadap pasien harus atau memberhentikan
mempertimbangkan host factor (status imun) : terapi antibiotik harus
Pasien dg candidemia, butuh terapi yg > lama. berdasarkan penilaian
Patogen gram negatif yg sangat resisten thd
klinis.
antibiotik yg digunakan mungkin lambat
untuk dibersihkan
Abses dgn ukuran lebih besar & osteomyelitis
mengalami penetrasi obat yang lebih lambat.
❑ Pengukuran kadar prokalsitonin
dapat dilakukan utk membantu Penghentian
diagnosis infeksi akut & antibiotik emoitis
pada pasien yang
membantu menentukan durasi sebelumnya
tampak sepsis,
terapi antibiotik. namun bukti klinis
terbatas
❑ Sejumlah besar literatur
menunjukkan penggunaan
algoritma tersebut dapat Mempersingka
t durasi terapi
mempercepat de-eskalasi antibiotik antibiotik pada Mengukur
secara aman dibandingkan pasien sepsis kadar
prokalsitonin
pendekatan klinis standar, dengan
mengurangi konsumsi antimikroba
tanpa efek buruk pada kematian.
❑ Penelitian meta analisis →
prokalsitonin dapat digunakan Peran biomarker untuk
untuk membedakan keadaan infeksi membantu dalam
& non infeksi diagnosis dan
Penting untuk dicatat bahwa prokalsitonin dan pengelolaan infeksi
semua biomarker lainnya hanya dapat telah banyak digali
memberikan data suportif dan tambahan
untuk penilaian klinis
❑ Antibiotik intravena (IV) harus diberikan dalam 1 jam pertama
diagnosis sepsis dan syok sepsis.
❑ Pemberian antibiotik empiris spektrum luas dengan satu /lebih
antibiotik pada sepsis & syok sepsis utk mengatasi semua patogen yang
mungkin.
❑ Pemberian antibiotik dipersempit/di de-eskalasi → setelah kuman
patogen ter-identifikasi dan uji sensitivitas sudah diperoleh.
❑ Pemberian dosis antibiotik dioptimalkan berdasarkan prinsip
farmakokinetik/farmakodinamik dan sifat spesifik obat terhadap pasien.
❑ Kombinasi antibiotik empiris untuk patogen yg paling mungkin utk
manajemen awal dari syok sepsis → tapi tidak boleh dilakukan secara
rutin untuk infeksi umum.
❑ Terapi antibiotic selama 7-10 hari cukup untuk infeksi serius yang
diasosiasikan dengan sepsis dan syok sepsis
❑ Memanfaatkan biomarker prokalsitonin utk menentukan durasi terapi.
SOURCE CONTROL
Evaluate patients for focus of infection amenable Grade E
to source control measures
Drainage of an abscess or local focus of infection
Debridement of infected necrotic tissue
Removal of a potentially infected device
Once a focus of infection has been identified, Grade E
source control should be implemented as soon
as possible following initial resuscitation
LeDoux D. Crit Care Med 2000;28:2729-2732. Regnier B. Intensive Care Med 1977;3:47-53.
Martin C. Chest 1993;103:1826-1831. Martin C. Crit Care Med 2000;28:2758-2765.
DeBacker D. Crit Care Med 2003;31:1659-1667. Hollenberg SM. Crit Care Med 1999; 27: 639-660.
Grade E
In the absence of shock, corticosteroids
should not be used for treatment of
sepsis
Bone RC. N Engl J Med 1987;653-658.
VA Systemic Sepsis Cooperative Study Group. N Engl J Med 1987;317:659-665.
Platelets transfusion
High tidal volumes, > 6 ml/kg, coupled with high plateau Grade B
pressures, > 30 cm H2O, should be avoided
Hypercapnia can be tolerated in patients with ALI/ARDS Grade C
if required to minimize plateau pressures and tidal volume
A minimum amount of positive end expiratory pressure Grade E
should be set to prevent lung collapse at end-expiration
Unless contraindicated, mechanically ventilated patients
should be maintained semirecumbent with the head of the Grade C
bed raised to 45° to prevent ventilator associated
pneumonia
Inclusion criteria:
- PaO2/FiO2 < 300
- Bilateral infiltrates consistent with pulmunary edema on frontal chest radiograph
- No clinical evedence of pulmunary hypertension (PAWP<18mmhg)
- Positive pressure ventilation via endotracheal tube
ARDSNet. N Eng J Med 2000;342:1301-1308.
Recombinant human Activated Protein C
Recombinant human Activated Protein C [Drotrecogin
Grade B
alfa (activated)] is recommended in patients at a high risk
of death
APACHE II score 25, or
Sepsis-induced multiple organ failure, or
Septic shock, or
Sepsis induced acute respiratory distress syndrome
Treatment with drotrecogin alfa (activated) should begin
as soon as possible once a patient has been identified as
being at high risk of death
Patients should have no absolute or relative
contraindication related to bleeding risk that outweighs
the potential benefit of rhAPC
• Short course of NMBA not greater than 48 hours for pts early sepsis- induced ARDS
and PaO2/FiO2 < 150 mmHG (grade 2C)
Protocolized approach
Monitored
Combination
Casqueriro J, Janine C, et al. Infections in patients with diabetes mellitus : a review of pathogenesis. Indian Journal of
Endocrinology and Metabolism/Vol 16, 2012 March
HIPERGLIKEMIA & INFEKSI ≈ VICIOUS CIRCLE
HIPERGLIKEMIA
INFEKSI
PENGELOLAAN DM
• Cara penyutikkan :
❑ Lama : dengan spuit tuberculin, dimana 1cc = 100 IU.
❑ Baru : bentuk pen, lebih mudah, dosis > mudah diatur,
nyeri penyuntikan kurang, kedalaman injeksi 4-5-6 mm.
• Lokasi pemberian : deltoid, sekitar pusar, paha. Sebaiknya di
lakukan rotasi tempat/lokasi penyuntikan insulin.
• Pengawasan/Pemantauannya :
SLIDING SCALE
• Dipopulerkan oleh Joslin thn 1934.
• Suatu metode pengaturan kadar gula darah pada pasien-pasien di RS yang
dilakukan rawat inap. Umumnya dipakai insulin yang durasi kerja pendek
untuk menghindari resiko hipoglikemia.
• Pada penelitian tentang penggunaan insulin pada pasien non kritis,
Penggunaan metode ini masih sekitar 30% di RS.
• Keuntungan : kemudahan dalam menetapkan dosis, resiko hipoglikemia yang
jarang terjadi.
• Kekurangannya : tidak memperhitungkan berat badan pasien, tidak
memperhitungkan intake makanan → sehingga sering kali kadar gula yang
diharapkan bersifat fluktuatif dan lebih lama terkontrol (sulit mencapai target
yang optimal) → kadang kurang efektif.
SEDIAAN INSULIN
Jenis insulin
1. Asal A. Insulin manusia.
B. Insulin analaog
2. Lama kerja (pemberian subkutan)
CONTINUE …..
TERAPI INSULIN PADA PASIEN RAWAT INAP DGN HIPERGIKEMIA
• Penyebab perubahan kadar gula darah selama Rawat Inap : Stres metabolic, gangguan asupan
makanan, Obat-obatan : kortikosteroid, Pasien kadang harus puasa utk persiapan pemeriksaan
laboratorium.
• Berdasarkan derajat penyakit, target glukosa darah dan pemantauannya, tx insulin dibagi 2 :
A. Pasien DM dgn penyakit kritis : 1. Kritis dengan kegawatdaruratan diabetes (krisis hiperglikemia)
2. Kritis dengan kegawatdaruratan non diabetes.
B. Pasien DM dengan penyakit non kritis
❑ Hiperglikemia tidak terkontrol dengan obat peroral
❑ Pemakaian kortikosteroid.
❑ Persiapan operasi.
❑ Diabetes gestasional
❑ Gangguan khusus yang menyebabkan ggn metabolism insulin.
B. SASARAN KENDALI GLIKEMIK
Sasaran kendali glikemik pada pasien rawat inap :
1. Pada pasien DM dengan penyakit kritis : 140-180 mg/dL
a) Tight control hyperglycemia : target 110-140 mg/dL
b) Moderate control hyperglicemia : target 140-180 mg/dL → yang dipilih.
Keduanya memberikan outcomes yang hampir sama baiknya, tapi resiko
terjadinya hipoglikemia lebih besar pada tight control hyperglicemia
2. Pada pasien DM dengan penyakit non kritis :
A. Sebelum makan : 100-140 mg/dL.
B. Acak/Sewaktu : < 180 mg /dL
3. HbA1 c : < 7 → untuk melihat respon pengobatan selama 3 bulan terakhir,
biasanya pada pasien rawat jalan.
KEBUTUHAN INSULIN PADA PASIEN RAWAT INAP :
Kenapa dipilih insulin :
• Dibutuhkan regulasi/pengaturan glukosa darah yang relative cepat dan tepat.
• Insulin kerjanya cepat dan dosisnya dapat disesuaikan dengan hasil kadar gula
darah.
• Insulin dapat diberikan dengan kombinasi oral dan insulin, atau insulin saja.
• Terapi insulin bisa diberikan secara infus intravena kontinyu atau subkutan , secara
terprogram atau terjadwal. (1-2 kali insulin basal, insulin prandial dan insulin
koreksional (bila perlu)
• Kebutuhan insulin harian total (IHT) adalah 0,5-1 IU/kgBB/hari. Namun pada
pasien dengan gangguan ginjal atau usia tua, dapat diberikan dosis yang lebih
rendah yaitu 0,3 IU/kgBB/hari.
icu bangsal
KEBUTUHAN INSULIN SK PADA PASIEN RAWAT INAP DAPAT
BERUPA :
Kebutuhan Insulin Harian Total atau IHT ( dimana IHT = 0,5-1,0 IU/kgBB/hari )
pada pasien rawat inap dapat berupa :
A. Insulin Basal : dosisnya adalah 40-50 % dari IHT, umumnya diberikan insulin
dengan masa kerja panjang misalkan Lantus, Levemir.
B. Insulin Prandial/Nutrisional : adalah kebutuhan insulin berdasarkan jumlah
insulin yang diperlukan sehabis makan. Besarnya sekitar 10-20 % IHT
C. Insulin Koreksional/Supplemental : Jumlah insulin yang di perlukan untuk
mengoreksi kadar glukosa darah yang melebihi sasaran glikemik. Besarnya
sekitar 10-20% IHT
Ke-3 jenis kebutuhan insulin tersebut bisa berubah-ubah setiap harinya
tergantung besarnya stress metabolik yang dialami.
HIPERGLIKEMIA DAN TINDAKAN OPERASI
• Pada pasien operasi, hiperglikemia perioperative dapat meningkatkan resiko terjadinya
kematian dan kejadian kardiovaskuler, respirasi, neurologis dan infeksi paska operasi.
• Diabetes dihubungkan dengan peningkatan kebutuhan prosedur operasi dan kenaikkan
kesakitan dan kematian paska operasi.
• Respon stres terhadap operasi (incisi jaringan, tarikan dan renggangan otot, manipulasi
organ) dan anestesi (nyeri, kecemasan, ketakutan, dll ) → akan meningkatkan kadar gula
darah → mengakibatkan hiperglikemia, osmotik diuresis, dan hipoinsulinemia → yang
beresiko mengakibatkan ketoasidosis dan sindroma hiperosmoler.
• Untuk mencegah berbagai resiko diatas maka diperlukan :
❑ Pengelolaan kadar glukosa darah sebelum operasi (1-2 jam pada operasi minor & 2-3
hari pre operasi mayor)
❑ Pengawasan ketat paska operasi sangat penting. ( 3, 12 dan 24 jam paska operasi ).
Dagoo S, Albert GM : Management of Diabetes Mellitus in Surgical Patients, Diabetes spectrum, 2002 Jan, Vol 15 (1), 44-48
PENGARUH TEKNIK ANESTESI PADA KADAR GULA DARAH.
• Pada pasien normal semua operasi menimbulkan kenaikan kadar glukosa darah,
baik pada pasien dengan anestesi spinal maupun anestesi umum.
• Stress respon terhadap operasi terjadi karena aktivasi sistem simpatis yang ditandai
dengan kenaikkan adrenalin, nore adreanaline, cortisol dan kadar gula darah.
• Spinal anestesi secara signifikan menghambat stress respon operasi sehingga akan
menghasilkan kadar gula darah yang lebih stabil dari pada general anestesi. Dan
kenaikkan kadar gula darah yang lebih rendah pada pasien dengan spinal
anesthesia dibanding general anesthesia.
• Pada pasien DM dengan general anesthesia memerlukan pengawasan kadar gula
darah yang lebih ketat paska operasi.
Sharma SM et al, Comparative study of intra operative Blood Sugar evel in spinal anesthesia and General anesthesia in Patients undergoing
Elective Surgery, Sept 2018, Birath Journal Heart, 3 (2), 458
Khaled El-Radaideh et al, Effect of Spinal anesthesia versus General Anesthesia on Blood Glucose Consentration in Patient undergoing
Elective Caesarian surgery, Hindawi, Journal anesthesiology Research, Oct 2019, Vol 2019
PROTOKOL TERAPI INSULIN
TERAPI INSULIN IV KONTINYU (DI ICU)
Persyaratan memulai insulin iv kontinyu adalah :
1. Sesuai indikasi
2. Memungkinkan sarana dan prasarana tersedia ( syringe pump,
mikrodrips, Glukometer : alat pemeriksaan gula darah yang
intensif, tenaga yang terampil
3. Kadar Kalium > 3 mEg/L
4. Jenis insulin yang digunakan adalah kerja pendek.
5. Upayakan konsentrasi insulin 1 IU/mL
REJIMEN SUB KUTAN DOSIS TERBAGI:
REJIMEN SUB KUTAN DOSIS KOREKSIONAL
PEMANTAUAN GLUKOSA DARAH
Prinsip pemantauan :
❑ Kehati-hatian terhadap resiko hipoglikemia.
❑ Semakin agresif pemberian insulin, pemantauan glukosa
darah harus semakin cepat.
❑ Pertimbangkan juga jumlah tenaga yang tersedia.
TRANSISI DARI INSULIN INTRAVENA KE SUBKUTAN
• Perubahan teknik cara pemberian insulin akan dikuti perubahan besaran dosis
insulin.
• Dosis Subkutan yang diberikan biasanya sekitar 75-80% dosis harian total
intravena kontinyu dan dibagi secara proporsional menjadi komponen basal
dan prandial.
• Insulin subkutan diberikan 2 jam sebelum infus insulin intravena dihentikan.
NOVORAPID FLEXPEN
Short Acting Insulin
DOSIS INSULIN INTRAVENA
• Syarat pemberian insulin secara intravena :
❑ Ada indikasi : diberikan dalam kasus kegawatdaruratan yang mengacam nyawa dan butuh
koreksi sangat cepat untuk mengontrol kadar gula darah.
❑ Pengawasan ketat : tiap jam, selama 3 jam pertama
❑ Ada dextrose 40% (disimpan di suhu ruangan, bukan lemari es)
• Diberikan dosis awal 0,15 IU x BB, dipantau kadar GDS setiap 1 jam sampai 3 jam pertama,
selanjutnya dosis disesuaikan.
• Bila kadar gula darah sudah pada kadar 400-600 mg/dL, pemberian obat diganti ke subcutan.
PEMBERIAN INSULIN INTRAVENA TERTITRASI
Start intravenous insulin when blood glucose level more >180 IU/dL
Blood Glucose value ( in mg/dL) Insulin Infusion (Iinternational Unit/hour)
1. < 110 No Insulin
2. 110-149 1.0
3. 150 -199 2.0
4. 200-249 2.5
5. 250-299 3.0
6. 300-349 3.5
7. 350-399 4.0
8. 400-449 4.5
9. 450-499 5.0
10. 500-549 5.5
11. 550-599 6.0
Adapted from A simple protocol of blood glucose control, as propossed for India Intensive Care Unit
KOMPLIKASI HIPOGLIKEMI
• Penyebab terjadi hipoglikemia :
❑ Terutama pada pemakaian insulin atau peroral gol Sulfonil Urea.
❑ Dosis insulin/Sulfoniluria yang terlalu tinggi.
❑ Dosis tepat, tapi intake makan pasien yang kurang.
❑ Demam, rasa nyeri, dll → yang tidak terkontrol
• Gejala hipoglikemia akut : lemas, keringat dingin, penurunan kesadaran dari apatis-somnolen, sopor s/d koma
dan kematian.
• Harus ditangan dengan cepat :
• Segera cek kadar GD saat itu. Hipoglikemia jika didapatkan kadar GD <60 mg/dL.
• Kalau pasien masih sadar dan mampu → suruh minum air gula
• Kalo penurunan kesadaran segera berikan bolus dextrose 40%, dengan pedoman :
Kadar glukosa darah (mg/dL) Dextrose 40% (flash 25 ml)
1. < 20 6
2. 20-40 4
3. 40-60 2
KASUS 1
• Kasus Tn. Sukardi, 62 thn, 70 kg, dengan keluhan demam hari ke-3 dan pusing yang tidak tertahankan,
napsu makan berkurang, nelan terasa pahit, agak mual tapi tidak muntah.
• Hasil laborat : Darah Rutin Hb:16,5 HCt: 50,3 Leko:10.500 Trombosit:92.000
WIDAL A: 1/80 H: 1/80 AH: negative BH: 1/80
GDS 381
• Diagnosis sementara : Demam Typhoid hari ke-3
DM type 2 tidak terkontrol
• Terapi : Infus RL 30 tts/menit Peroral : Neuromec 3 x1, Vastigo 3x 1
Injeksi Ondancentron 8 mg/8 jam Infus Sanmol 750 mg/8 jam
Injeksi Ceftriaxon 1 gram/8 jam Injeksi insulin NOVORAPID 16 IU jam 14.30
Infus sanmol 750 mg/8 jam Evaluasi GDS tiap 3 jam
• Target koreksi : GD sebelum makan 100-140 mg/dL atau GD sewaktu (acak) kurang < 180 mg/dL.
Evaluasi : Jam 17.00 hasil kadar GD 266 (2 jam setelah pemberian subcutan)
Jam 20.00 hasil kadar GD 234 (5 jam setelah pemberian subcutan)
Jam 23.00 hasil kadar GD 222 (7 jam setelah pemberian subcutan)
KASUS 2
• Kasus Tn. Sriyani, 61 thn, 65 kg, dengan diare 5x dan muntah 2 x dalam semalam. Saat ini badan
lemas, napsu makan kurang. TD : 90/60 HR : 114x/mnt RR : 20 x/mnt Suhu : 36,8 C
• Hasil laborat : Darah Rutin = Hb:12,9 HCt: 38,3 Leko:119,300 Trombosit: 234.000
WIDAL = A: 1/80 H: 1/80 AH: negative BH: 1/80
GDS = High (>600 mg/dL)
• Diagnosis sementara : Obs gastroenteritis e/c Demam Typhoid hari ke-3
DM type 2 tidak terkontrol.
• Terapi : Infus RL 30 tts/menit Peroral : Neuromec 3 x1, Vastigo 3x 1
Injeksi Ondancentron 8 mg/8 jam Infus Sanmol 750 mg/8 jam
Injeksi Ciprofloxacin 200 mg/8 jam Injeksi insulin NOVORAPID 24 IU jam 07.30
Infus sanmol 1.000 mg/8 jam Evaluasi GDS 30 mnt setiap sebelum makan
• Target koreksi : GD sebelum makan 100-140 mg/dL atau GD sewaktu (acak) kurang < 180 mg/dL.
Evaluasi : Jam 11.00 hasil kadar GD 375 (2 jam setelah pemberian subcutan)
Jam 16.00 hasil kadar GD 185 (5 jam setelah pemberian subcutan)
KASUS 3
• Anamnesa : Pasien wanita, 60 thn, 66 kg, datang dengan sesak napas, untuk duduk saja terasa sesak, tidak bisa tidur,
terasa tetap sesak meskipun dalam kondisi istirahat, riwayat DM (+), riw renggosan (+), riwayat komplikasi ke ginjal ?
• Hasil laborat : Gula Darah Sewaktu 566, Asam Urat 10,8, Kolesterol 385
• Pemeriksaan fisik :
❑ Umum : TD 200/100, HR 131 x/mnt, RR 40-50 x/mnt, SaO2 kadang terdeteksi kadang tidak → 79 %
Bengkak di kaki (–), peningkatan JVP tidak jelas.
❑ Jantung : Bising (-), aritmia (-).
❑ Pulmo : wheezing (-), ronkhi kasar (-), ronkhi basah halus tidak jelas.
• Diagnosis sementara : *Obs dipsneu e/c suspek edema paru e/c decomp coedis NYHA 4
*Sindrom metabolik : DM type 2 terkontrol buruk, Hiperkolesterolemia, Hiperuresemia
*Hipertensi severe → Hipertensi urgensi/emergensi ?
• Tindakan : Berikan O2 3 Liter/menit. Furosemid peroral 1 tab
Infus RL 8 tts/menit (asal netes). Anflat sirup 3 x 2 cth
Insulin subcutan 24 IU, 10 menit sblm makan Fasorbid 3x 1 tab
• Rencana tindak lanjut : Cek laborat DR, Widal, EKG, Rontgen Thorax
PEMANTAUAN :
TD / HR / RR / SaO2 dan GDS Keterangan Tindakan
Per Hari I Jam 13.00 200 :100 /131/40-50/ kadang Belum terpasang Infus RL 8-10 tts/menit
Kamis, terdeteksi (79%) –kadang tidak. Oksigen. Furosemide 1 x 1 tab
2 Juli 2020 Dan GDS 566 mg/dL. Setelah diberi O2→ Insulin SC 24 IU
SaO2 jadi 81-83 % Anflat sirup 3 x 2 cth
Fasorbid 3x 1 tab
Jam 15.00 200 :100 /122/ 30 / 92% Terpasang O2
Jam 17.00 190:100/ 112 / 24 / 98% dan Sesak napas sudah Amlodipin 2 x 5 mg
212 mg/dL (sebelum makan). berkurang → tetap Captopril 3 x 25 mg
pasang O2 nasal. Insulin SC 24 IU
Per Hari II Jam 06.00 140 :80 / 96 / 20 / 98-99% dan 176 Ro’: Edema paru Insulin SC 24 IU
Jum’at, mg/dL. (sebelum makan) Cardiomegali 61%, Furosemide 1 x 1 tab
3 Juli 2020 EKG : kesan baik.
Jam 12.00 130 : 80 / 86 / 16 / 98-99% dan Ureum 449, Cr : 7,12 Insulin SC 24 IU
115 mg/dL (sebelum makan) O2 nasal kanul dilepas
Jam 17.00 120 :80 /84/16/98-99 dan 111 Insulin SC 20 IU
mg/dL (sebelum makan)
Hari ke III Jam 06.00 140:90 /86 /1/ 96% dan 286 PASIEN DIPULANGKAN.
Kamis, 4 Juli mg/dL
Kasus 4
Seorang anak perempuan, umur 17 tahun datang ke RS Kayen dengan keluhan demam, muntah 2x di
rumah & muntah 2x di RS, serta tidak sadar 2 jam setelah dirawat di RS. BB 43 kg.
Dibawa dan dirawat di RSU Kayen
Dari hasi pemeriksaan laborat didapatkan :
❑ Hb 14,3; Lekosit 37.200, Trombosit 551.000, GDS 554, Na 132,8; K 4,78; Cl 97,9
❑ BGA menunjukkan hasil pH 7,14 PO2 111, PCO2 15,5; HCO3 6, BE -23, SaO2 98%
Dari EKG : sinus takikardi 153 x/mnt
Ditangani dr. Sp Anak dan diberikan terapi :
o O2 NRM 15 L/mnt. o Injeksi Ondancentron 4 mg/8 jam.
o Infus NaCl 30 tpm. o Inj Lantus 10 IU jam 21.00.
o Inj Ceftriaxon 1gr/12 jam. o Inj Novorapid 10-10-10 IU.
o Inj Omeprazole 1 vial/24 jam. o Inj Paracetamol 400 mg/8 jam.
Sehari dirawat, kemudian dirujuk ke RSU Soewondo Pati dgn dx : penurunan kesadaran dan KAD.
Golden Era of
antibacterial
discovery
Perkembangan penemuan antibiotik
Berdasarkan spectrum melawan
Narrow Spectrum Broad Spectrum
kuman
❑ ampicillin, ➢ amoxicillin-
❑ Narrow Spectrum/ Spektrum amoksicilin, asam
sempit → hanya efektif bekerja eritromisin clavulanat,
pada kuman gram positif atau ❑ Sulfonamide ➢ Sefalosporin
negative saja. ❑ Trimetoprim ➢ fluoroquinolon.
❑ Broad Spectrum/ Spektrum luas
→ yang mencakup/melawan
gram positip dan gram
negative sekaligus, Dapat juga
dengan memberikan antibiotic
kombinasi gram + dan – secara
bersamaan.
1. Edwin M et alThe Use and Abuse of the Broad Spectrum Antibiotics, JAMA, 1963; 185(4), 273-79
2. Leekha S et al, General Principles of Antimicrobial Theraphy. Mayo Clinic Proceding, 2011. 86(2):156-67
Ada 2 golongan besar antibiotik berdasarkan cara kerjanya :
❑Bakterisida : membunuh dan menimbulkan kerusakan
pada sel bakteri, dengan merusak dinding sel atau
membrane sel. Termasuk golongan ini adalah : Penicillin,
Sefalosporin, Aminoglikosida, Kotrimoksazol, dll
❑Bakteriostatik : menghambat replikasi kuman, melemahkan
kuman, mencegah kuman bertambah banyak → sehingga
kuman bisa di eliminasi oleh sel pertahanan tubuh kita
melalui mekanisme fagositosis, khemotaxis, dll. Termasuk
golongan ini : Makrolide, Sulfonamide, Tetrasikline,
Kloramfenicol, dll
Mekanisme kerja antibiotik.
Ada 5 mekanisme kerja
AB melawan sel bakteri :
1. Menghambat sintesis
dinding sel
2. Merusak /merubah
fungsi membrane sel.
3. Menghambat sintesis
protein.
4. Menghambat sintesis
asam nukleat.
5. Menghambat
metabolisme sel.
Pemberian AB
Pasien sepsis in
ICU
Gangguan
Hipo-
hemodinamik
albumin
Co-morbid
(DM, CKD, CHF, etc)
TIGA PILAR UTAMA
PENGELOLAAN SEPSIS DI ICU
Pasien KONTROL
ANTIBIOTIKA
(Cepat-tepat-adekuat) sepsis in SUMBER INFEKSI
ICU
30.6% mortality
Vallés (2003) –
63%
Bloodstream infection*6
0 20 40 60 80 100
Mortality (%)
* Based on the 2005 ATS/IDSA guidelines for HAP/VAP/HCAP (Am J Respir Crit Care Med 2005;171:388-416),
inappropriate would be the term used to refer to the inadequate therapy noted on this slide.
1. Luna CM et al. Chest. 1997;111:676–685. 2. Rello J et al. Am J Respir Crit Care Med. 1997;156:196–200.
3. Kollef MH et al. Chest. 1998;113:412–420. 4. Ibrahim EH at al. Chest. 2000;118:146–155.
5. Harbarth S et al. Am J Med. 2003;115:529–535. 6. Vallés J et al. Chest. 2003;123:1615–1624.
Antibiotic Therapy …
Duration of hypotension prior to effective antimicrobial tx : impact on
survival in septic shock
Kumar et al, CCM 2006 – 2,100 pts - Administration of an antimicrobial
effective within the first hour of documented hypotension was associated
100 with a survival rate of 79.9%. Each hour of delay in antimicrobial
administration over the ensuing 6 hrs was associated with
an average decrease in survival of 7.6%.
80 Kumar et al, Intens Care Med 2009 - 4,532 pts –
A longer duration to antimicrobial therapy
Mortailty (%)
0
0–30′ 30′–1h 1–2 2–3 3–4 4–5 5–6 6–9 9–12 12–24 24–36 >36
Time of first dose of antibiotics after the onset of shock (hours)
Kumar et al. Critical Care Medicine 2006;34:1589–1596
Langkah awal untuk menghadapi pasien yang dirawat
di ICU dengan kecurigaan infeksi :
Pea F, Viale P. Bench-to-bedside review: Appropriate antibiotic therapy in severe sepsis and septic
shock--does the dose matter? Crit Care. 2009;13(3):214. Epub 2009 Jun 10.
Hubungan Hidrofilic dan Lipofilik dari molekul Antibiotik
Pada Karakteristik Farmako kinetic di bangsal umum dan ICU
50 42.6
40
30 23.7
17 De-escalated (n=88)
Mortality % 20
No-change (n=245)
10 Escalated (n=61)
0
De-escalated No-change Escalated
(n=88) (n=245) (n=61)
Kollef MH et al, hospital-aquaired pneumonia and de-escalation antimicrobial treatment, Chest, 2006
DOSIS ANTIBIOTIK
PADA POPULASI KHUSUS
1. PASIEN GANGGUAN GINJAL :
o Pada antibiotik diekskresi melalui ginjal → pemberian dosis rumatan
harus disesuaikan dgn kondisi ginjal (tergantung dari penurunan GFR
atau kenaikkan klirens kreatinin).
o Juga harus mempertimbangkan karakteristik antibiotik (time
dependent atau concentration dependent) agar eradikasi bakteri
tetap optimal.
❑ Kelompok time dependent → dosis total perhari dikurangi dgn
interval pemberian tetap, dgn tujuan mempertahankan fT > MIC.
❑ Sedang kelompok concentration dependent (spt aminoglikosida)
→ total dosis perhari dipertahankan, tetapi jarak pemberian
diperpanjang agar konsentrasi puncak plasma (C-max) tercapai.
Misalnya, meropenem pd kasus dgn estimasi klirens kreatinin (GFR) <15 ml/ min,
maka pemberian diawali dosis loading 1000 mg agar dosis terapi cepat dicapai
(Cmax) kemudian diikuti dosis rumatan 500 mg /12 jam utk optimalisasi fT>MIC.
Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam kaitan
antibiotik terhadap terapi suportif ginjal /hemodialisa yaitu:
Rodes A, Ev ans NE et all, Surv iving sepsis campaign : International Guidelines for Management of Sepsis and
Septic Syock, 2016
PREVALENCE SOURCE OF SEPSIS
Major types of infection in adult ICUs (NNIS data 1992–1997) International Multicentre Prevalence (IMPresS) Study on Sepsis
Richards et al, Mayor types of infection in adult Szakmany T et al, Sepsis Prevalence and Outcome on the General Wards & Emergency
ICU’s, Critical Care Medicine, 1999; 27: 887 Departments (The IMPreSS study), from 1.000 patients, Intensive Care Medicine, 2015
Algoritma Diagnosis Sepsis
Algoritma Antibiotik Empirik pada Sepsis (unknown origin)
KLASIFIKASI SPEKTRUM ANTIBIOTIK
Pada PATIENT CRITICALL ILL
Riskesdas 2013
Komplikasi terkait CAP
Kriteria Mayor
➢ Memerlukan ventilasi mekanik
➢ Syok septik dan memerlukan vasopresor
Kriteria Minor
❑ Laju napas > 30/menit. ❑ Lekopenia (leukosit < 4000 sel/mm3) yg
❑ PaO2/FiO2< 250 mmHg atau butuh disebabkan oleh infeksi.
ventilasi non-invasif. ❑ Trombositopenia (tromb < 100 rb sel/mm3).
❑ Foto toraks : infiltrat multilobus. ❑ Hipotermia (suhu < 36oC).
❑ Kesadaran menurun/disorientasi. ❑ Hipotensi yang memerlukan resusitasi
❑ Uremia (BUN > 20 mg/dl). cairan agresif.
Pemeriksaan diagnosis tambahan yang diperlukan di ruang rawat intensif adalah biakan darah dan
sputum, urinary antigen leginella dan pneumococcal urinary antigen test .
REKOMENDASI
PEMILIHAN ANTIBIOTIK PADA CAP
1. Bila tidak ada faktor risiko pseudomonas, antibiotik empirik CAP :
❑ Bakteremia terkait kateter vena sentral adalah infeksi pada pasien yang
menggunakan kateter vena sentral & mengalami episode demam akut ± hipotensi,
hipoperfusi dan disfungsi organ, tanpa diketahui lokasi sumber infeksi
❑ Kateter vena sentral jangka pendek (short-term) seperti: kateter arteri pulmonal,
arterial line, atau kateter perifer melalui pemasangan vena sentral (misalnya
v.subklavia, v. jugularis interna dan v. femoralis).
Diagnosis CLABSI ditegakkan pada pasien yang terpasang kateter vena sentral
lebih dari 2 hari atau >48 jam, dipastikan melalui biakan darah. Diagnosis
ditegakkan apabila ditemukan bakteri yang sama baik berasal dari kateter sentral
maupun dari vena perifer.
Bakteri sebagai penyebab CLABSI adalah: Staphylococcus coagulase negative,
Staphylococcus aureus, Candida spp, enterik gram negatif basil.
PENCEGAHAN
Lima pendekatan u/ mengurangi CLABSI (disebut the central
line bundles) yaitu :
1. Cuci tangan (hand washing).
2. Perlindungan maksimal (maximal barrier precaution) saat
pemasangan kateter invasif.
3. Gunakan klorheksidin-alkohol untuk antiseptik kulit.
4. Memilih tipe kateter yg sesuai & hindari akses femoral pada
orang dewasa.
5. Perawatan kateter optimal setiap hari & lakukan pencabutan
(remove) kateter invasif bila tidak diperlukan lagi.
D. INFEKSI INTRA ABDOMEN (IIA)
Infeksi intra abdomen (IIA)adalah proses inflamasi dan
perforasi sistim saluran cerna. Klasifikasi IIA :
1.IIA tanpa komplikasi: proses inflamasi yg melibatkan
hanya satu organ dan tidak melibatkan peritonium.
2.IIA komplikasi : proses inflamasi pada organ holoviscus
meluas menembus lapisan serosa hingga menimbulkan
peritonitis lokal atau umum atau terjadi pembentukan
abses. Kasus ini memerlukan tindakan pembedahan,
pemasangan drain dan sistemik antibiotik, IIA komplikasi di
klasifikasikan dalam dua bentuk : −Komunitas ringan
hingga berat.−Nosokomial umumnya terjadi sebagai infeksi
paska operasi.
KRITERIA
DIAGNOSIS
Gejala klinis: demam,
takikardi, takipnea, nyeri di-
sertai ketegangan dinding
perut.
Radiologi : foto polos
abdomen, Ultrasound dan
CT abdomen dgn atau
tanpa kontras merupakan
pemeriksaan baku untuk
diagnostik kecurigaan IIA
Diagnostic Peritoneal
Lavage (DPL)
REKOMENDASI ANTIBIOTIK
Kegagalan Penanganan
Infeksi Intra-Abdominal
Kriteria Tingkat Keparahan Infeksi Biliaris
Akut
REKOMENDASI ANTIBIOTIK
PADA INFEKSI BILIARIS AKUT
PEMANTAUAN RESPONS THD TERAPI ANTIBIOTIK
Kriteria diagnostik kegagalan antibiotik
DIABETES AFFECTS IN INFECTIONS
Hiperglikemia dapat menaikkan resiko terjadi/terkena infeksi.
Diabetus melitus sudah diketahui sebagai factor resiko penyakit infeksi pasien
karena pasien DM bersifat immunocompromised terutama pada pasien DM yang
tidak terkontrol/hiperglikemia.
Pasien DM menunjukkan resiko yang lebih tinggi terhadap infeksi pada kaki, infeksi
jamur, infeksi pada saluran kencing dan infeksi pada tempat operasi
Penelitian juga menunjukkan pasien DM memiliki outcomes yang buruk terhadap
infeksi : Studies have shown that diabetic patient had worse outcome with
infections : perawatan di RS lebih lama, pemulihan lebih lama dan angka
kematian yang lebih tinggi pada infeksi.
Kondisi hiperglikemia memiliki efek negatif pada kemampuan tubuh dalam
merespon terhadap terapi antimikrobial.
Noor S, Zubair M,et al, Diabetic foot ulcer : a review on pathophysiology, classification and microbial etiology. Diabetes
Metabolic Syndrome 9:192-199. 2015
Akash MS, Rehman K, et al. Development of antimicrobial resistence and possible treatment strategies. Achieves of
Microbiology, 2020 : 953-965
WHY DIABETES PATIENT’S are MORE
susceptible to DEVELOPING INFECTIONS
? The main pathogenic mechanism
why infectious disease are more
prevalent in individuals wit DM :
❑ Hyperglicemic environment
increasing the virulence of
some pathogens.
❑ Lower production of interleukins
in response to infection.
❑ Reduces chemotaxis and
phagocytic activity.
❑ Immobilizations of
polymorphonuclear leucocytes.
❑ Gycosuria → risk UTI increase.
❑ Gastrointestinal and urinary
dysmotility
Casqueriro J, Janine C, et al. Infections in patients with diabetes mellitus : a review of pathogenesis. Indian Journal of
Endocrinology and Metabolism/Vol 16, 2012 March.
Hamid Akash, Rehman K, et al.Diabetes-associated infections : development of antimicrobial resistance and possible
treatment strategies. Archives of Microbiology (2020): 953-965
INFECTIONS AFFECTS DIABETES
Infection causes a stress response (hipertermi, takikardi, increase work
breathing, etc) in the body by increasing the mount of certain
hormones such as cortisol and adrenaline. These hormone work against
the action of insulin and as result : the body’s production of glucose
increases with results in high blood level sugar.
Infection disease in DM may result in metabolic complications such as
hypoglicemia, ketoacidosis and coma.
Diabetic patient can neuropathy perifer and reduce blood low to
extremity → the body is less able to mobilize normal immune defenses
and nutrient → less able promote the body ability to fight infection and
promote healing.
Casqueriro J, Janine C, et al. Infections in patients with diabetes mellitus : a review of pathogenesis.
Indian Journal of Endocrinology and Metabolism/Vol 16, 2012 March
HIPERGLIKEMIA & INFEKSI ≈ VICIOUS CIRCLE
HIPERGLIKEMIA
INFEKSI
SASARAN KENDALI GLIKEMIK PADA SAKIT KRITIS
LEBIH DIPILIH
Moderate Control Hiperglicemia
RESISTENSI ANTI BIOTIK
Resistensi Antibiotics
atau AMR (Anti Microbial
Resistance) didefinisikan
sebagai mikro-organisme
pada obat anti miroba
yang sebelumnya pejka
terhadap obat tersebut.
Salah satu dari 10
masalah kesehatan
global/dunia saat ini.
Timbul terjadi beberapa
tahun setelah
pemakaian antibiotik
tersebut secara luas.
Ps
Possesses at least five distinct mechanisms for inducing
Pseudomonas aeroginosa antibiotic resistance :
o Rupali Jain et al, Multi Drug-Resistant Acinetobacter infection : an emerging challenge to clinicians, Ann Pharmacotter, 2004, 38 (9): 1449-56
o Harmanji et al Acinetobacter baumannii : Mechanism of Multidrug Resistance and Current & Future Theraupetic management, Clinical Diagnosis, 2013; 7(11),
2602-5
Mekanisme resistensi dari Acinetobacter
No Mekanisme resistensi Terhadap Anti biotik
1. Enzymes inactivating Pennicillins
antibiotics Synthetic Cephalosporis
Carbapenems
2. Reduces entry into the Carbapenems
target site bacteria → efflux Colistiins
pump, beta lactamases,
porins lesse
3. Alteration of the target or Quinolons
celluler fuction due to
mutations
MRSA (Methicillin-Resistant Staphylococcus Aureus)
Adalah bakteri golongan Stapilokokus yang sudah resisten thd
banyak jenis antibiotik.
Stapilococcus Aureus yang semula hanya menyebabkan infeksi
ringan pada kulit → setelah berubah menjadi MRSA dapat
menyebabkan infeksi berat (seperti : Septic Atritis, Osteomielitis,
Pneumonia, Endokarditis, Sepsis) yang dapat meningkatkan
kematian sampai dengan 64%.
Antibiotik yang mengatasi MRSA : Klindamisin, Doxyciklin, Linezolide,
Vancomicin, Tetrasiklin, Trimetoprim-Sulfaetoksazole
ANTIBIOGRAM
Adalah data Mikroba dan kepekaannya terhadap antimikroba di
suatu fasyankes (rumah sakit) yang diperoleh dari spesimen pasien
dengan penyakit infeksi. Isolat dapat diambil dari darah, cairan
eksudat dll.
Penyajian data dana analisa data dikeluarkan secara periodic ,
umumnya setiap 1 tahun sekali
Digunakan untuk :
1. Acuan pemilihan terapi antibiotik empiric.
2. Memonitor kecenderungan (trends) resistensi mikroba di suatu fasyankes
atau wilayah tertentu → pengendalian AMR.
3. Membandingkan kepekaan antar institusi/fasyankes atau antar wilayah.
Kebijakan Antibiotik adalah salah satu komponen penilaian
akreditasi pelayanan kesehatan, antibiogram adalah salah satu
acuan dalam penyusunan kebijakan antibiotik.
Pasien Infeksi dengan
sumber/focus infeksi tertentu
Penyusunan
ANTIBIOGRAM
Dibuat ANTIBIOGRAM
Contoh ANTIBIOGRAM
Dar suatu RS X, ruang Penyakit dalam, dari Sputum, Jan-Juli 2017
% Susceptibility (% kepekaan)
Organisms N AMK GEN TOB AMC FEP CTX CAZ CRO TZP CIP LVX ETP IPM MEM
1. Acinetobacter
baumanii 92 67 45 47 0 27 8 - 19 35 35 40 0 61 35
2. Enterobacter
cloacae 36 100 41 30 0 33 22 - 19 33 41 82 63 96 100
3. Escherichia coli 215 99 62 41 17 18 23 18 13 40 18 19 63 94 95
4. Klebsiella
pneumonia 120 86 53 32 22 25 27 27 22 41 26 47 61 90 91
5. Pseudomonas
aeruginosa 62 71 44 42 0 44 - 75 - 71 34 46 0 71 69
N: number of isolates FEP: Cefepime CIP: Ciprofloxacin
AMK: Amikacin CTX: Cefotaxime LVX: Levofloxacin
GEN: Gentamicin CAZ: Ceftazidime ETP: Ertapenem
TOB: Tobramicin CRO: Ceftriaxone IPM: Imipenem
AMC: Amoxicilin clav-acid F TZP: Piperacilin tazobactam MEM: Meropenem
WHO → resistensi obat termasuk salah satu dari 10 masalah
kesehatan global.
Cara Mencegah resistensi Antibiotik : meningkatan
pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang
penggunaan AB, memberikan AB sesuai indikasi, menjaga
kebersihan dan sering cuci tangan.
Cara mengatasi resistensi :
1.Rotasi Antibiotik : Menghentikan pemakaian anti biotik
dengan resistensi tersebut sama sekali selama 6 bulan,
gunakan antibiotik yang lain. Setelah 6 bulan, antibiotik
dapat dipakai lagi sambil menghentikan antibiotik lain yang
resistensinya tinggi selama 6 bulan.
2.Optimalkan program Antimicrobial Stewardship.
World Health Organization, 2020
ANTI JAMUR/ANTI FUNGAL
Adalah obat yang bekerja menghambat/membunuh jamur → bersifat
fungsistatik & Fungisida.
Bentuk infeksi jamur (= mikosis) dapat berupa :
❑ Superfisial :
1. Cutan /Dermatopyta : Tinea capitis, tinea cruris, tinea pedis, dll
2. Subcutan
❑ Sistemik → pada jaringan & organ tubuh (paru, hepar, lien, gastrointestinal).
Penyebab : Aspergilosis, Blastomycosis, Nocardiosis, Histoplamosis,
Candidiasis → Candidemia (invasive candidiasis/fungal infection)
Ada 4 golongan besar obat anti jamur yang diberikan :
EPIDEMIOLOGI
International study of the Rank Order of Nosocomial Bloodstream pathogens
prevalence and Outcomes in and associated Crude Mortality from 49 U.S. hospitals
Intensive Care Units (from Western Rank Pathogens % Crude mortality (%)
Europe, Eastern Europe, Central/ Cogulase (-) 31,9 21
1
South America, North America and Stapphylococci
Oceania) :
2 S. Aureus 15,7 25
❑ 62 % of the positive isolates were 3 Enterococci 11.1 32
gram-negative organism
4 Candida species 7,6 40
❑ 47 % of the positive isolates were 5 E. Coli 5,7 24
gram-positive organism
6 Klebsiella 5,4 27
❑ 19 % were fungi (Candida & 7 Enterobacter 4,5 28
aspergilus)
8 Pseudomonas sp. 4,4 33
Vincent et al, JAMA, 2009, 302(21);2323 Edmond et al, Clin Infection Disease, 1999, 29:239-45
Wisplinghoff H et al, Clin Infect Disease, 2004, 39:309-17
Ada 4 gol besar obat anti jamur :
Golongan Cara bekerja Contoh
1. Polyene Mengikat sterol dalam membrane Amphoterisin B
sel → kerusakan membrane sel Nistatin
2. Azoles Menghambat alpha lanosterol 14- Imidazol →
dimethalase → anti fungal Fluconazol
spectrum luas Klotrimazol, Ekonazol,
Mikonazol,
Ketokonazol
3. Allilamines Menghambat epoxidase squalene
4. Echinocandins Menghambat sintesa glutan dalam Micafungin
dinding sel
CANDIDA SCORE
Parameter Skor
Ada 11 Faktor resiko Candidemia
1. Total parenteral nutrition 1 1. CVC Cateter
2. Stress Ulcer Profilaksis
2. Post operasi laparatomi 1 3. Perawatan di ICU
4. Nasogastrik tube
5. Antibiotik use
3. Multifokal kolonisasi 1
6. Total parentera nutrition
4. Severe sepsis 2 7. APACHE II score meningkat
8. Bacteriemia
Bila nilai lebih dari 2,5 → 9. Laparatomi
beresiko terjadi Candidemia 10.Renal Failure
11.Anastamotic leak
Eggimman P, Bille J, Marchetti O, Diagnosis of invasive candidiasis in the ICU, Annals of Intensive
Care, Sept 2011, 37
KESIMPULAN
(Take home massage)
❑ Pemberian antibiotik adalah komponen penting dalam penanganan
pasien sakit kritis di ICU terutama pada pasien dengan infeksi (sepsis).
❑ Pemberian antibiotik pada pasien kritis berbeda dengan pasien non kritis
karena umumnya lebih kompleks, sehingga mempengaruhi farmakokinetik
dan farmakodinamik dari antibiotik yang diberikan.
❑ Pemberian antibiotik yang tepat tidak hanya pemilihan antibiotik yang
benar, tapi juga meliputi dosis yang tepat, waktu mulai pemberian yang
tepat, durasi (lama pemberian) yang sesuai dan metode pemberiannya.
❑ Dosis yang tidak tepat pada pasien sakit kritis bukan hanya beresiko
pasien tidak sembuh, tetapi beresiko tinggi terpapar bakteri MDR sehingga
pilihan & dosis antibiotik harus tepat untuk meningkatkan angka
kesempatan hidup.
❑ Pemberian antibiotik sangat individu tergantung pada karakteristik (co-
morbid) pasien, tingkat keparahan penyakit, riwayat penggunaan
antibiotik sebelumnya, lokasi infeksi dan lokal antibiogram.