(1). Setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak
ekonomi sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf i untuk
penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah).
(2). Setiap orang yang dengan tanpa hak dan atau tanpa izin pencipta atau
pemegang hak cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta
sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan
atau huruf h, untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau pidana denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
(3). Setiap orang yang dengan tanpa hak dan atau tanpa izin pencipta atau
pemegang hak melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana
dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan atau huruf g,
untuk penggunaan secra komesial dipidana dengan pidana penjara paling
lama 4 (empat) tahun dan atau pidana denda paling banyak
Rp1.000.000.000.00 (satu miliar rupiah)
(4). Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan atau pidana denda paling banyak
Rp4.000.000.000.00 (empat miliar rupiah)
BATELGEUSE
Copyright © 2023 Moh. Rigan Argazi (2302018)
ISBN: 978-712-21033-4-4
Cetakan 2023
Argazi Enterprise
Jln. Ion Martasasmita No. 07
Pamanukan, Subang
e-mail: argazi.etp@gmail.com
For everyone who can’t tell their “problem”,
This can be your “solution”.
Sinopsis:
Cerita ini berkisah tentang sahabat baikku semasa SMA satu setengah tahun
yang lalu. Aku bertujuan dengan adanya cerita yang kubuat ini para pria
diluar sana bisa lebih terbuka dan bisa menceritakan semua masalah
mereka.
Meskipun kamu memiliki trauma akan masa lalumu tetapi janganlah kamu
memindahkan rasa trauma itu pada orang lain yang tulus kepadamu.
Note 1: Setengah memiliki.
Namaku Angkara Muruka, seorang siswa kelas tiga SMA biasa, saat
ini aku menunjang pendidikanku di SMAN 1 Sukamaju yang jaraknya cukup
jauh dari rumahku. Aku sangat menggemari bacaan dan juga menulis
terkhususnya buku non-fiksi seperti novel. Karena kertertarikanku terhadap
sebuah karya tulis, aku mulai merasa mungkin dengan menulis sebuah
rangkaian kata inilah aku bisa mengekspresikan berbagai macam
perasaanku tanpa merasa takut akan di olok-olok oleh orang lain.
sedang dalam suasana yang meriah. Dimana pada saat ulangan telah
selesai para anggota OSIS mengadakan class meeting dengan berbagai
macam lomba yang telah disediakan para panitia, seperti futsal, volly, dan
lain sebagainya.
Sebagai salah satu laki-laki dari sebelas orang di kelas, aku dan dua
sahabat baikku dipilih untuk mengikuti perlombaan futsal pada saat itu. Tetapi
aku sama sekali tidak memiliki pengalaman dalam bidang olahraga bola
tersebut.
Aku yang baru saja mendengar hal tersebut sontak terkejut, dan
melongo dengan kata-kata ketiga orang temanku yang sedang berdiri tegak
di hadapan papan tulis, lalu orang yang baru saja mengajukan pertanyaan
kepadaku secara tiba-tiba adalah Faris, ia merupakan salah satu anggota
pramuka di kelasku, dan dua orang lain yang bersamanya bernama Bayu
juga Ilyas.
“Maulah! Angkara kan badannya tinggi gitu pasti bisa menghadang bola
dengan mudah, iya ga Ris?” ujar Ilyas yang bersandar di dekat meja guru.
“Gimana menurut kalian teman-teman, apa kalian setuju Angkara jadi kiper
untuk pertandingan futsal besok?” tanya Faris kepada siswa, siswi yang
berada di kelas.
“Kalo aku sih setuju, gimana baiknya menurut kalian aja,” jawab salah satu
siswi.
Pada akhirnya aku bisa kembali bersekolah lagi setelah enam bulan
lamanya dan saat itu sudah mulai memasuki semester genap. Aku khawatir
aku tidak bisa mengikuti pelajaran di semester baru ini, tetapi aku tidak
menyerah begitu saja. Aku mencoba yang terbaik di semester kedua ini
dengan tujuan meraih ranking terbaik di kelas, namun aku tidak bisa
meraihnya karena tubuhku sudah tidak se-fit dulu, aku sering kali
mendapatkan nilai standar praktek pelajaran olahraga karena tidak boleh
terlalu kecapean.
”Males juga aku di kelas cuman duduk sama main game doang,” ujarku pada
Arga yang duduk di sebelahku.
”Aku nanti deh kayaknya Ang, kau kalau mau pulang duluan aja gapapa,”
jawabnya sambil sesekali melihat handphonenya.
”Aku juga inginnya sih begitu tapi sepertinya dia masih sedikit menyimpan
perasaan kepada teman sekelasnya,” dengan mata yang tertutup temanku
tersenyum lemas.
”Nggak salah Ga dia bilang seperti itu setelah apa yang kau perbuat
untuknya?” tanyaku dengan nada tinggi.
”Tapi katanya dia sedang berusaha melupakannya dan di tahun ini akan
menjadi yang terakhir.”
”Sebenarnya aku juga pengennya kita cepat mempunyai status yang jelas
Ang,” jawab Arga.
”Terus kenapa?”
Pada saat itu Arga hanya terdiam dan tersenyum sambil menutup
matanya. Saat melihatnya aku kehilangan segala kata-kata. Meskipun di
mulut ini ingin mengatakan sesuatu tapi aku hanya bisa berdiri terdiam
melihat mimik wajah yang ditunjukan Arga. Sejak saat itu, aku tidak
mendapatkan jawaban dari pertanyaanku kepadanya.
Hari kedua classmeet, kami para murid masih masuk dengan normal
seperti biasanya, tetapi ada juga yang datang terlambat karena beberapa
alasan, salah satunya mungkin seperti tidak belajar dan beberapa
diantaranya hanya ingin melihat dan juga mendukung teman-teman satu
kelas mereka yang ikut bertanding. Jadi terkadang ada beberapa siswa yang
berangkat siang, tak jarang juga ada yang tidak berangkat dan lebih memilih
menghabiskan waktu di rumah. Aku selalu datang pagi sama seperti biasa,
suasana kelas benar-benar sepi, aku tidak melihat adanya sosok Arga di
dalam kelas.
”Yan,”
”Oi Yana!”
”Hah! Ada apa ai kamu Ang, isuk keneh udah teriak-teriak wae?” Ujar
temanku sambil mengusap-ngusap kupingnya.
”Kayaknya henteu datang deh, urang soalnya nggak liat dia dari tadi pagi,”
jawab Yana yakin.
”Masa sih dia nggak datang, biasanya dia suka datang pagi-pagi sekali
sebelum aku masuk ke kelas pun dia sudah duduk manis di bangkunya,”
”Nya mana urang tau Ang! Emangnya urang teh dukun nu bisa tau si Arga
ada dimana wae,”
”Suka ngaco kamu mah.” Ujar yana dengan jari kelingkingnya mengorek-
ngorek bagian lubang telinganya.
Meski pagi sudah berlalu aku dan Yana seperti biasanya hanya duduk
terdiam di kelas dengan satu-satunya pendingin. Minuman yang kami beli
sebelumnya pun sudah tak terasa dingin lagi.
”Ang!”
”Apaan?”
”Suntuk juga aku kieu-kieu wae di kelas, mana panas deui, di tambah hiji-
hijina penyejuk kita cuman si kipas yang anginna teu seberapa itu,” Yana
sambil menunjuk ke arah kipas di atas. ”Mending kita pulang saja, gimana?”
lanjutnya.
”Iya juga sih kita dari tadi cuman bermain game, game dan game,” balasku.
”Tapi emang dibolehin? Biasanya kan suka susah meski tidak belajar juga
kalo acara-acara kayak gini,” Ujarku ragu.
”Iya juga sih, tapi nya piraku ai kita mau gini-gini aja mana panas deui,”
”Oi, oi Ang!”
“Yeh! kan maneh nu dari tadi recok nanyain si Arga wae, giliran ada
manusiana datang malah bebal,” kesal Yana.
”Hei Arga! Tumben banget kau datang telat, dan btw kenapa muka maneh
pucat kayak habis lihat setan aja, ya kan Angkara hahaha,” sambil tertawa
Yana menepuk pundakku.
Aku hanya bisa terdiam dengan lawakan Yana itu, sambil memandang
Arga yang begitu murung. Aku tau apa masalah yang dihadapinya tetapi aku
tidak bisa berburuk sangka begitu saja kepada sahabatku sendiri, tetapi
firasatku mengatakan ini pasti ada hubungannya dengan percintaan nya lagi.
“Ini Ang pakai! Supaya tanganmu tidak terlalu sakit saat menahan bola
pertandingan nanti,” ujar Faris sambil menyodorkan sepasang sarung tangan.
“Kau yakin Ris, aku yang harus menjadi kiper? Aku tidak terlalu bisa bermain,
takutnya melakukan banyak kesalahan dan membuat tim kita kalah,”
“Udah gapapa santai aja, toh kita ikutan juga supaya tidak terkena sanksi
yang diberikan para OSIS. Nanti di gendong bayu kok, iya ga Bay?!”
“Yoi! Setidaknya kita tanding aja dulu, menang kalah urusan belakangan.”
Lanjut Bayu dengan begitu optimis.
“Ayo guys kita ke gor, pertandingannya sudah mau mulai sebentar lagi,” ujar
Faris.
“Gaskan! sudah pada siapkan?” lanjut Ilyas.
Kita pun akhirnya berjalan menuju gor setelah sekian lama berganti
pakaian dan mengatur strategi, lalu tiba-tiba di tengah perjalanan tak sengaja
aku melihat siswi yang sedang disukai Arga bersama dengan beberapa
temannya menuju ke kantin, namun ada suatu hal yang membuatku khawatir
jika sampai terlihat oleh Arga.
“Hey Arga! Kira-kira para cewek pada dimana ya kok ga keliatan?” tanyaku
dengan suara lantang.
“Sudah ada di gor sepertinya,” Jawab Arga dengan terus berjalan ke depan.
Pada saat yang lain kebingungan mencari tempat untuk duduk, aku
melihat tangan seseorang yang sedang melambai ke arah kami.
“Woi kalian! Ayo sini, di sini, hey!” Terdengar suara teriakan dari arah utara.
Aku yang mendengar suara tersebut berusaha mencari dari mana asalnya.
Dengan menolehkan kepalaku ke kanan dan kiri sambil menyipitkan kedua
mataku, aku melihat ada seorang perempuan sedang berdiri sambil
melambaikan tangannya.
“Teman-teman kita kesana saja, tadi aku melihat Hanna di dekat panggung!”
Ujarku dengan suara yang lantang.
“Hah! Kau bilang apa Ang? Nggak terlalu kedengaran disini terlalu berisik,”
tanya Yana.
“Aku bilang kita nunggu di dekat panggung aja, tadi aku melihat ada Hanna
dan teman-temannya sedang di sana!”
“Oh! Oke, ayo kita kesana,” jawab Yana dan Arga bersamaan.
“Hey! kalian mau kemana?” Tanya Faris yang masih berada di depan pintu
bersama yang lain.
Karena aku tahu mereka pasti tidak akan bisa mendengar suara kami,
maka aku, Arga juga Yana hanya menggerakan tangan kami sambil
menunjuk ke arah yang sedang kita tuju. Mereka pun mengikuti kami dengan
instruksi dari Faris yang terlihat menyuruh teman-temannya untuk mengikuti
kami.
“Sampe juga akhirnya, aku cape anjir dari tadi neriakin kalian terus tapi
kaliannya ga nengok, nengok,” keluh Hanna.
“Sorry Han, habisnya didieu terlalu berisik jadi suara kamu henteu terlalu
kedengaran,” sela Yana sambil tertawa diiringi hembusan nafasnya yang
terengah-engah.
“Hooh, boro-boro ngedenger teriakan kamu Han kita komunikasi satu sama
lain aja susah meskipun bicaranya sudah depan muka banget,” lanjutku.
“Ai kamu rabun apa buta Han, lowong dari tadi si Arga aya di belakang urang
kiye masa ga keliatan,” jawab Yana dengan muka datar.
“Tapi….Btw kamu kenapa Ga, kok kayak murung gitu? Ga enak badan kah?!”
Tanya Hanna penasaran.
“Hah aku?! Aku enggak kenapa-kenapa kok – cuman emang agak sedikit
nervous aja karena mungkin ini pertama kalinya aku bertanding sambil diliatin
banyak orang seperti ini,” jawab Arga dengan wajah riangnya.
“Oalah gitu toh, tenang saja padahal. Main have fun ae, santuy kita nggak
nuntut kalian harus menang kok,”
“Gelo! Sudah enggak waras kali ya kamu mah Han, kita disuruh main satu
kali aja udah gemetar kayak anak TK nahan kencing ini disuruh main sampe
masuk final auto sesak nafas urang,” sangkal Yana.
“Hahaha sorry, sorry Yan cuman becanda kok. Udah mending kalian duduk
sebentar daripada berdiri gitu,”
“Lumayanlah, aku juga kurang percaya diri kalau melawan yang se-jago itu.
Tanganku langsung tremor mungkin,”
‘Tadi sebenarnya Irfan bisa saja memasukan bolanya jika mengoper kepada
Raihan tadi, tetapi sayangnya ia dijaga ketat oleh dua back IPS 2,’ lanjut
komentator satunya dengan kritikan tenang.
“Skornya selisih satu doang Ang, liat aja papan yang ada di meja
komentatornya,” jawab Arga
“Oh heeh anjir cuman beda satu, tipis banget skornya 6-5,” lanjut Yana.
“Tim dari kelas IPA 3 mungkin tidak akan sempat untuk mengejar skor meski
perbedaannya sangat tipis namun waktu yang tersisa pun sudah semakin
menipis juga.” Tegas Arga dengan tatapan tajam ke depan.
‘Waktu yang tersisa tinggal dua menit lagi saudara-saudara apakah kelas 11
IPA 3 bisa menang melawan kelas 12 IPS 4?! Mari kita lihat saja – namun
sepertinya akan menjadi berbahaya bagi kelas IPA 3 karena Farhan berhasil
menerobos pertahanan mereka dan…… GOL GOL GOL! Nampaknya skor
pemanis dari kelas 12 IPS 4 berhasil masuk dan menjadi akhir dari
pertandingan kedua hari ini dengan final skor 7-5’
“Oke! Sudah pada siap semua kan?” Tanya Faris dengan nada semangat.
“Siap dong tentu saja, memangnya kenapa Ris?” Dengan senyuman Arga
menjawab dan bertanya kembali kepada Faris.
“Tidak, tidak apa-apa. Aku hanya memastikan saja kau dalam kondisi prima,
soalnya dari tadi kelihatannya kau tampak murung gitu, tapi tenang saja kau
tidak perlu main duluan kok cukup duduk di bangku cadangan saja biar nanti
Yana yang atasi semua,”
“Sudahlah Yan percaya diri saja, Arga kan temanmu takut nanti dia cidera
atau apa,” sangkal Faris.
“Iya sih, okelah kalo begono jadinya mah. Akan aku tunjukan tendangan
sarung si Kabayanku”
Setelah itu aku, Yana, Faris, Ilyas, dan Bayu bersiap-siap menuju
lapangan untuk segera bertanding. Para pemain dari kelas 11 IPS 2 pun
mulai memasuki lapangan, lalu kami berbaris di samping wasit.
“Agak ke kiri dikit – Nah! Kita ambil foto dulu satu, dua, tiga! Oke sudah
bagus.” Ujar siswa anggota OSIS dengan kamera di tangannya.
“Yas sini kita lakuin kick off!” Teriak Faris dari tengah lapangan.
“Sudah kau aja sini cepetan, pertandingannya akan dimulai,” ujar Faris
dengan nada yang sedikit kesal.
“Sudah siap semua kan?” Tanya wasit sambil mengangkat tangan kirinya
dengan tangan kanan yang sedang memegang peluit. Faris dan kapten dari
tim lawan pun menjawab dengan mengangkat ibu jari mereka yang
menandakan mereka siap bertanding kapanpun wasit tentukan.
“Oke! kalau begitu kita mulai saja pertandingan sore hari ini.” Ujar wasit.
Kemudian setelah itu suara peluit yang nyaring pun terdengar hampir
ke seluruh penjuru gor dan semua yang melihat pertandingan kami berteriak
bersamaan dengan suara peluit.
‘Oke kita kembali lagi ya guys ya di acara class meeting 2022 dengan
perlombaan futsal terakhir hari ini. Menurut bung Sakai sendiri siapa yang
akan menang dan lolos ke babak selanjutnya nih?’
‘Jujur saja saya masih belum dapat memprediksi siapa yang akan menjadi
juaranya mungkin saja bisa dari kelas 12 lagi ataupun adik-adik kita ini bisa
mengalahkan kakak kelasnya ini,’ ujar Sakai.
‘Ya menurut saya sendiri itu akan menjadi momen langka untuk classmeeting
tahun ini, mengingat tahun-tahun sebelumnya belum ada adik-adik kelas
yang bisa mengalahkan kakak-kakak kelasnya sendiri di quarter final ya bung
apalagi semenjak adanya pandemi Covid-19 kemarin yang membuat acara-
acara seperti ini sulit untuk terlaksanakan,’
‘Betul sekali bung Asep, untuk belajar saja kita sudah sangat terhambat
apalagi untuk melaksanakan acara seperti ini yang membuat kerumunan
massa dan sesuai protokol kesehatan dari pemerintah pun kita dianjurkan
untuk tidak bepergian keluar rumah,’
‘Begitulah bung Asep sampai pada kosong nilai di raport saya pun hahaha!’
Jawab Sakai sambil tertawa.
“Yan jagain dia jangan sampe lolos!” Teriakku dengan kerasnya kepada
Yana.
“Siap! Tapi urang takut juga Ang – liat kakiku sampe gemeter gini sangking
ga pernah mainnya,” sangkal Yana.
“Udah sengganya coba aja tahan dulu, katanya kan main havefun doang,”
“Nya, nya siap tapi kalo sampe kebobolan jangan salahin aku ya,” ujarnya
sambil berlari menghadang pemain lawan yang sedang menuju ke arah kami.
“Ayo Yan kamu pasti bisa jangan biarkan dia mencetak gol,” teriak siswi-siswi
dari kelasku dengan penuh semangat.
‘Wow! Nampaknya adik-adik kelas kita pun tidak mau kalah semangatnya
dengan kakak-kakak kelasnya nih untuk mensuport para cowoknya, apakah
bung Sakai mulai merasa iri lagi?’
‘Hahahaha! Lumayan buat nyesek juga sih ini, rasanya pengen pensi aja
saya jadi komentator,’
‘Jangan seperti itu bung nanti saya sendirian dong tidak ada yang menemani
berkomentar lagi. Namun disini ada yang lebih penting bung, sepertinya
Yunus akan segera menendang bolanya terlihat dari posisi dan ancang-
ancang dari kakinya,’
‘Sepertinya begitu bung, dan perlu kita ketahui Yunus ini merupakan salah
satu pemain yang menggunakan kaki kirinya untuk menendang,’
‘Yunus sudah mulai menendang ke arah gawang yang tengah dijaga oleh
Angkara sepertinya, dan kita lihat apa hasilnya…… Wow! tidak disangka-
sangka bung ini sangat mengejutkan sekali, sangking wownya para penonton
mulai berteriak histeris dengan apa yang barusan terjadi.’ Ujar komentator
sambil berdiri dari bangkunya.
Suara teriakan masih bergema di setiap sisi kiri dan kananku, tetapi
suara peluit yang ditiup oleh wasit membuat suara teriakan itu menjadi tidak
ada apa-apa dibandingkan dengan suaranya yang begitu nyaring dan teman-
temanku saat itu terpelongo.
“Kemarin gimana? Sorry nih aku ga bisa ikut tanding ada urusan mendadak
soalnya,” lanjutnya sambil menyeringai.
“Yah lumayan sih, hampir banget kalah kemarin. Aku sama yang lain badan
sakit-sakit semua karena pembiasaan mungkin, gak tau karena memang
terlalu capek doang,” ujarku dengan kepala mendongak ke atas.
“Tch! Jadi sahabat urang Riski Pratama hasil pertandingan kemarin itu…..
Suara drum please!”
“Seleketep sia mah Yu! Padahal urang sudah mau menjawabnya tadi,” ujar
Yana dengan kesal.
“Tai!”
“Hadeh mereka ini kayak anak kecil saja – Gimana Ang kondisi Arga saat ini,
apakah sudah membaik?” Tanya Faris.
“Aku kurang tau sih dari kemarin nggak ada kabarnya, akun Mobagenya pun
offline padahal biasanya dia suka online,” jawabku.
“Begitu ya, ku harap dia baik-baik saja tidak terjadi sesuatu yang fatal nanti,”
“Ang mau ikut henteu?” Tanya Yana sambil mendekat ke arah mejaku
bersama Faris.
“Oh! Skip dulu Yan aku udah sarapan tadi pagi di rumah, kalian saja yang
berangkat sekalin nungguin Arga takutnya dia datang ke kelas tapi nggak ada
siapa-siapa,”
“Oke deh! Urang duluan ya Ang jangan aneh-aneh dalem kelas ya,”
“Yeh bangsat!”
“Hahahahaha!”
Yana dan gerombolannya pun berjalan pergi ke arah pintu masuk,
sosoknya sampai terlihat dari balik jendela kelas. Sekejap Yana berhenti lalu
mulai membalikannya ke arah jendela, ia sedikit mengintip dengan wajah
yang cukup menyebalkan diiringi gerakan tangan yang seperti mengatakan
aku mengawasimu. Aku pun membalasnya juga gestur tangan mengepal dan
dia pun seketika tertawa lalu berjalan pergi sampai aku tidak bisa melihat
sosoknya lagi dari balik jendela.
“Sudah jam sembilan tapi masih belum ada tanda-tanda akan datang, apa dia
nggak akan masuk ya? Tapi masa sih dia nggak akan masuk, atau jangan-
jangan karena perkara kemarin lagi?!” Ujarku sambil memegang dagu
dengan tangan kiri.
“Ini si Yana beli makan dimana dah lama banget perasaan dari tadi nggak
balik-balik, mana kelas sepi banget lagi sudah macam kuburan,” kataku
dengan nada kesal.
“Huft! Mungkin aku ke kantin dulu deh buat cari makan dari pada di kelas
gabut.”
Setelah itu aku berdiri dari kursi dan mengambil uang yang ada di
dalam tas dan bersiap untuk pergi namun sesat aku melihat sosok yang
sepertinya pernah aku lihat sebelumnya.
“Bukannya itu siswi yang sedang dideketin Arga ya? Apa aku coba tanya aja
ya ke dia soal Arga siapa tau dia mengetahui sesuatu.” Ujarku sambil melihat
jendela dengan mata menyipit.
”Si Arga, dari tadi sudahku coba menghubunginya tetapi panggilanku enggak
diangkat-angkat,”
”Direject?”
”Mungkin dia sedang berada di gor, jadi suara telponmu tidak terdengar
olehnya,”
”Mau menyusulnya di gor? Sekalian kita nonton juga dari pada jenuh di kelas
menunggu giliran kelas kita bertanding,”
”Aku capek Ka terus di perlakukan seperti ini, aku selalu mengikuti dia
kemana pun dan kapan pun tapi terkadang aku seperti benda tak kasat mata.
Aku selalu di nomer duakan, terkadang aku pun ingin merasakan apa yang
telah aku berikan kepadanya. Setidak pantasnya kah aku mendapatkannya?
Kekahawatiranku seperti kekangan? Jawab aku Angkara.” ujar temanku
dengan suara yang lirih.
”Ibunya pun lebih menyukai pria yang iya sukai Ang, apakah aku tidak punya
kesempatan sama sekali, apakah aku akan terus ssendiri sampai akhir hayat
tanpa ada yang menemani,”
- Arga Nuraga
- Yanuar Adipati
- Sylvia Natasha
- Faris presetya
- Ilyasa Yahya
- Anestesia
- Serani
- Silpin
- Sakai
- Saki
- Senapati
- Sitta
- Nidera
- Nirmala