Anda di halaman 1dari 35

Sanksi Pelanggaran Pasal 113

Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014


tentang Hak Cipta

(1). Setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak
ekonomi sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf i untuk
penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah).

(2). Setiap orang yang dengan tanpa hak dan atau tanpa izin pencipta atau
pemegang hak cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta
sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan
atau huruf h, untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau pidana denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

(3). Setiap orang yang dengan tanpa hak dan atau tanpa izin pencipta atau
pemegang hak melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana
dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan atau huruf g,
untuk penggunaan secra komesial dipidana dengan pidana penjara paling
lama 4 (empat) tahun dan atau pidana denda paling banyak
Rp1.000.000.000.00 (satu miliar rupiah)

(4). Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan atau pidana denda paling banyak
Rp4.000.000.000.00 (empat miliar rupiah)
BATELGEUSE
Copyright © 2023 Moh. Rigan Argazi (2302018)

Editor: Syifa Natasya (2302015)

Design: Wina Saparina (2302065) & Amrina Rosyada (23020

Hak cipta di lindungi oleh undang-undang


Diterbitkan oleh Argazi Enterprise

ISBN: 978-712-21033-4-4

Cetakan 2023

Argazi Enterprise
Jln. Ion Martasasmita No. 07
Pamanukan, Subang
e-mail: argazi.etp@gmail.com
For everyone who can’t tell their “problem”,
This can be your “solution”.
Sinopsis:

’Apa solusi untuk masalah yang terus berulang?’

Pertanyaan itu terus terngiang di benakku saat menulis cerita tentang


sahabatku ini.

Apa mungkin mengakhiri sebuah hubungan adalah sebuah solusi yang


tepat? Atau kita harus sampai pada tahap menghapus ingatan tentang masa
lalu kita dan memulai sebuah skenario baru dapat menyelesaikan masalah
tersebut?

Sampai saat inipun aku masih belum memiliki jawaban mengenai


pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Cerita ini berkisah tentang sahabat baikku semasa SMA satu setengah tahun
yang lalu. Aku bertujuan dengan adanya cerita yang kubuat ini para pria
diluar sana bisa lebih terbuka dan bisa menceritakan semua masalah
mereka.

Apapun masalah yang kau hadapi ceritakanlah kepada siapapun dan


ubahlah mindset kalian, karena meskipun laki-laki diharuskan untuk selalu
kuat akan apapun tetapi mereka juga hanya seorang manusia.

Meskipun kamu memiliki trauma akan masa lalumu tetapi janganlah kamu
memindahkan rasa trauma itu pada orang lain yang tulus kepadamu.
Note 1: Setengah memiliki.

Namaku Angkara Muruka, seorang siswa kelas tiga SMA biasa, saat
ini aku menunjang pendidikanku di SMAN 1 Sukamaju yang jaraknya cukup
jauh dari rumahku. Aku sangat menggemari bacaan dan juga menulis
terkhususnya buku non-fiksi seperti novel. Karena kertertarikanku terhadap
sebuah karya tulis, aku mulai merasa mungkin dengan menulis sebuah
rangkaian kata inilah aku bisa mengekspresikan berbagai macam
perasaanku tanpa merasa takut akan di olok-olok oleh orang lain.

Tetapi sangat disayangkan ini bukanlah tentang kisahku menjalani


kehidupan sekolah normal layaknya anak-anak yang seumuran denganku,
melainkan sebuah kisah tentang sahabat dekatku semasa SMA. Mungkin
untuk sebagian orang ini merupakan permasalahan sepele, dan masih
banyak orang-orang yang lebih menderita dibandingkan dengannya.

Namun tetap aku tidak pernah menganggapnya demikian, sebagai


seorang laki-laki sekaligus sahabatnya, aku tahu bagaimana perasaannya.
Perasaan untuk di tuntut jadi kuat, perasaan sedih yang harus selalu
dipendam sendiri. Stereotipe itu terus ada meski zaman telah berubah,
kesetaraan gender masih tetap sama dimana seorang pria harus selalu bisa
diandalkan dan lain sebagainya. Aku juga disini tidak bermaksud untuk
menyerang siapapun apalagi mengucilkan derajat seorang wanita. Disini aku
hanya ingin menyampaikan bahwasannya laki-laki juga punya perasaan dan
ingin sekali dihargai juga diapresiasi bukan dikasihanni.
Dulu sahabatku dan aku ini adalah teman satu kelas. Kami juga selalu
bersama kapanpun dan dimanapun dan pada saat itu adalah hari dimana
kami telah menyelesaikan ulangan akhir semester satu, tepatnya pada bulan
Desember 2021, dimana saat itu pandemi Covid-19 masih belum reda, siaran
berita pun masih ramai dengan pembahasan tentang kasus terbarunya.
Namun syukurnya pandemi itu perlahan mulai mereda dan kami sudah
diizinkan untuk bersekolah secara normal agaknya, dengan pengumuman
terbaru tentang “New Normal” dari pemerintah.

sedang dalam suasana yang meriah. Dimana pada saat ulangan telah
selesai para anggota OSIS mengadakan class meeting dengan berbagai
macam lomba yang telah disediakan para panitia, seperti futsal, volly, dan
lain sebagainya.

Sebagai salah satu laki-laki dari sebelas orang di kelas, aku dan dua
sahabat baikku dipilih untuk mengikuti perlombaan futsal pada saat itu. Tetapi
aku sama sekali tidak memiliki pengalaman dalam bidang olahraga bola
tersebut.

Karena ketidakpercayaan diriku, aku dan kedua sahabatku berusaha


menolak hal tersebut, namun kami tetap dipaksa untuk ikut dan menyuruh
kami menjadi pemain cadangan. Sebagai salah satu laki-laki di kelas, kami
selalu dipaksa melakukan hal yang menurut mereka laki-laki pasti bisa
melakukannya meski kami bertiga tidak memiliki keahlian di bidang tersebut.

Keesokan paginya class meeting hari pertama pun dimulai, dengan


dihiasi pernak-pernik di setiap sudut kelas yang membuat suasana lebih
meriah dan berwarna. Terus berjalan menuju kelas aku melihat panggung
juga tenda yang berdiri kokoh di tengah lapangan sekolah. Semakin dekat
dengan kelasku perlahan aku mendengar sedikit suara bising dari dalamnya,
setelah aku berada di depan pintu suara itu mulai terdengar lebih jelas, lalu
aku membuka pintu tersebut dan semua orang mulai melihat ke arahku.

“Nah! Gimana kalo Angkara saja yang menjadi kipernya nanti?”

Aku yang baru saja mendengar hal tersebut sontak terkejut, dan
melongo dengan kata-kata ketiga orang temanku yang sedang berdiri tegak
di hadapan papan tulis, lalu orang yang baru saja mengajukan pertanyaan
kepadaku secara tiba-tiba adalah Faris, ia merupakan salah satu anggota
pramuka di kelasku, dan dua orang lain yang bersamanya bernama Bayu
juga Ilyas.

Mereka berdua merupakan kawan baik dari Faris, mereka selalu


bersama setiap berpergian, baik itu ke kantin untuk membeli makanan dan
minuman, sampai keluar kelas pun mereka selalu bersama-sama seperti
aku, Arga juga Yana. Meskipun terkadang Yana lebih sering bersama mereka
daripada bersamaku dan Arga.

“Ya Ang, kau mau kan?” lanjut Faris.

“Maulah! Angkara kan badannya tinggi gitu pasti bisa menghadang bola
dengan mudah, iya ga Ris?” ujar Ilyas yang bersandar di dekat meja guru.

“Gimana menurut kalian teman-teman, apa kalian setuju Angkara jadi kiper
untuk pertandingan futsal besok?” tanya Faris kepada siswa, siswi yang
berada di kelas.

“Kalo aku sih setuju, gimana baiknya menurut kalian aja,” jawab salah satu
siswi.

“Berarti kamu setuju ya Selia?”


Siswa tersebut hanya menjawab dengan sedikit mengangkat bahu
kirinya setelah pertanyaan yang dilontarkan oleh temanku. Masih berdiri
membatu di depan pintu aku tidak bisa mengutarakan pendapatku, mereka
seakan-akan tidak butuh persetujuan dariku. Meskipun aku tau, aku satu-
satunya siswa dengan tinggi badan hampir mencapai 175 cm namun aku
sangat tidak pandai dalam olahraga. Satu-satunya cabang olahraga yang aku
kuasai hanyalah berenang.

Karena dulu aku terjangkit penyakit usus buntu yang menyebabkan


aku kesulitan untuk mencerna makanan dan tak jarang juga aku merasakan
sakit di sekitar pusar dan seringkali sakit itu berpindah ke perut bagian kanan.
Meskipun telah menjalankan operasi aku masih tidak bisa bersekolah seperti
biasanya, aku hanya bisa istirahat di kamarku dengan ditemani game juga
Anime.

Pada akhirnya aku bisa kembali bersekolah lagi setelah enam bulan
lamanya dan saat itu sudah mulai memasuki semester genap. Aku khawatir
aku tidak bisa mengikuti pelajaran di semester baru ini, tetapi aku tidak
menyerah begitu saja. Aku mencoba yang terbaik di semester kedua ini
dengan tujuan meraih ranking terbaik di kelas, namun aku tidak bisa
meraihnya karena tubuhku sudah tidak se-fit dulu, aku sering kali
mendapatkan nilai standar praktek pelajaran olahraga karena tidak boleh
terlalu kecapean.

Akhirnya setelah perdebatan panjang aku bisa duduk juga di kursiku.


Detik demi detik, menit demi menit waktu pun tak terasa sudah mulai panas
dan jam pun sudah menunjukan pukul 12.00 siang. Arga yang duduk tepat di
sebelahku sedang bermain game, sedangkan Yana sudah tidak terlihat lagi
wujudnya.
”Oi! Arga, mau pulang nggak?”

”Males juga aku di kelas cuman duduk sama main game doang,” ujarku pada
Arga yang duduk di sebelahku.

”Aku nanti deh kayaknya Ang, kau kalau mau pulang duluan aja gapapa,”
jawabnya sambil sesekali melihat handphonenya.

”Pulang sama cewekmu kah?”

”Hahaha masih belum jadi cewekku secara resmi kok,”

”Lah! Aku kira kalian sudah mulai berpacaran?” heranku.

”Aku juga inginnya sih begitu tapi sepertinya dia masih sedikit menyimpan
perasaan kepada teman sekelasnya,” dengan mata yang tertutup temanku
tersenyum lemas.

”Nggak salah Ga dia bilang seperti itu setelah apa yang kau perbuat
untuknya?” tanyaku dengan nada tinggi.

”Tapi katanya dia sedang berusaha melupakannya dan di tahun ini akan
menjadi yang terakhir.”

Aku hanya bisa menghela nafas panjang mendengar cerita dari


temanku, meski rasanya kekesalanku melonjak tinggi, aku tidak bisa
menyalahkan salah satu pihak karena aku melihat mereka adalah pasangan
yang serasi, dan perempuan itu juga bukanlah perempuan jahat yang hanya
ingin mempermainkan hati Arga, terkadang aku juga sedikit iri dengan
keserasian mereka yang selalu saling melengkapi kekurangan satu sama
lain.
Namun Arga begini bukan untuk pertama kalinya, tahun lalu ia kerap
jatuh cinta pada teman sekelas kita sebelumnya dan itu juga kondisinya
sama seperti sekarang, dimana si perempuan menggantung jawaban dari
perasaan Arga. Hingga mereka menjalin hubungan tanpa status selama
kurang lebih 6 bulan, dan pada saat perasaan si perempuan mulai layu
selayaknya bunga kering. Arga di acuhkan lalu ia mulai ditinggalkan, meski
temanku itu memohon-mohon tetapi tetap saja perempuan itu tidak mau
berhubungan lagi dan kisah cintanya pun berakhir tragis dengan alasan yang
tidak pernah diberitahukan.

”Kau yakin tidak apa-apa terus di gantung seperti ini?” Tegasku.

”Sebenarnya aku juga pengennya kita cepat mempunyai status yang jelas
Ang,” jawab Arga.

”Terus kenapa?”

Pada saat itu Arga hanya terdiam dan tersenyum sambil menutup
matanya. Saat melihatnya aku kehilangan segala kata-kata. Meskipun di
mulut ini ingin mengatakan sesuatu tapi aku hanya bisa berdiri terdiam
melihat mimik wajah yang ditunjukan Arga. Sejak saat itu, aku tidak
mendapatkan jawaban dari pertanyaanku kepadanya.

Hari kedua classmeet, kami para murid masih masuk dengan normal
seperti biasanya, tetapi ada juga yang datang terlambat karena beberapa
alasan, salah satunya mungkin seperti tidak belajar dan beberapa
diantaranya hanya ingin melihat dan juga mendukung teman-teman satu
kelas mereka yang ikut bertanding. Jadi terkadang ada beberapa siswa yang
berangkat siang, tak jarang juga ada yang tidak berangkat dan lebih memilih
menghabiskan waktu di rumah. Aku selalu datang pagi sama seperti biasa,
suasana kelas benar-benar sepi, aku tidak melihat adanya sosok Arga di
dalam kelas.

”Yan,”

”Oi Yana!”

”Hah! Ada apa ai kamu Ang, isuk keneh udah teriak-teriak wae?” Ujar
temanku sambil mengusap-ngusap kupingnya.

”Arga kemana, ada masuk enggak tadi?” tanyaku.

”Kayaknya henteu datang deh, urang soalnya nggak liat dia dari tadi pagi,”
jawab Yana yakin.

”Masa sih dia nggak datang, biasanya dia suka datang pagi-pagi sekali
sebelum aku masuk ke kelas pun dia sudah duduk manis di bangkunya,”

”Nya mana urang tau Ang! Emangnya urang teh dukun nu bisa tau si Arga
ada dimana wae,”

”Suka ngaco kamu mah.” Ujar yana dengan jari kelingkingnya mengorek-
ngorek bagian lubang telinganya.

Aku hanya bisa melamun dan memikirkan adanya dua kemungkinan,


antara Arga terlambat karena dia kesiangan atau mungkin dia sedang berada
di kelas 12 IPA 6 yang letaknya tepat di atas kepalaku. Namun walaupun
seperti itu dia pasti selalu mampir ke kelas terlebih dahulu meski hanya
sekedar bertegur sapa dengan kami.

Meski pagi sudah berlalu aku dan Yana seperti biasanya hanya duduk
terdiam di kelas dengan satu-satunya pendingin. Minuman yang kami beli
sebelumnya pun sudah tak terasa dingin lagi.
”Ang!”

”Apaan?”

”Suntuk juga aku kieu-kieu wae di kelas, mana panas deui, di tambah hiji-
hijina penyejuk kita cuman si kipas yang anginna teu seberapa itu,” Yana
sambil menunjuk ke arah kipas di atas. ”Mending kita pulang saja, gimana?”
lanjutnya.

”Iya juga sih kita dari tadi cuman bermain game, game dan game,” balasku.

”Kan! Apa ku bilang, mending kita tancap gas wae pulang,”

”Tapi emang dibolehin? Biasanya kan suka susah meski tidak belajar juga
kalo acara-acara kayak gini,” Ujarku ragu.

”Iya juga sih, tapi nya piraku ai kita mau gini-gini aja mana panas deui,”

”Aku juga setuju tapi....”

”Oi, oi Ang!”

”Ada apa lagi sih,”

”Itu liat di pintu masuk!”

”Emangnya ada apa sih, sampai rusuh banget,”

“Yeh! kan maneh nu dari tadi recok nanyain si Arga wae, giliran ada
manusiana datang malah bebal,” kesal Yana.

Saat itu aku tidak mendengarkan apa perkataan Yana. Sesaat


kemudian ia berdiri tegak dengan badannya yang kurus langsing menghadap
padaku secara langsung, dan perlahan ia mulai mengangkat kedua
tangannya mengarahkan wajahku dengan cepat ke arah pintu masuk kelas.
Leherku rasanya mau patah di buat si Yana sialan itu, lain kali akan ku bunuh
anak itu.

Arga? kenapa wajahnya murung seperti habis melihat setan. Batinku.

”Hei Arga! Tumben banget kau datang telat, dan btw kenapa muka maneh
pucat kayak habis lihat setan aja, ya kan Angkara hahaha,” sambil tertawa
Yana menepuk pundakku.

Aku hanya bisa terdiam dengan lawakan Yana itu, sambil memandang
Arga yang begitu murung. Aku tau apa masalah yang dihadapinya tetapi aku
tidak bisa berburuk sangka begitu saja kepada sahabatku sendiri, tetapi
firasatku mengatakan ini pasti ada hubungannya dengan percintaan nya lagi.

Aku sangat mengenal Arga bagaimana. Meskipun memiliki banyak


masalah, dirinya masih tetap bisa tersenyum dan tertawa dengan jokes
garing dari Yana sekali pun. Tapi wajahnya sekarang terlihat begitu terpuruk
seperti dulu ia dekat dengan seorang siswi, mimik wajahnya persis dan ini
terasa seperti dejavu atau mungkin ini bisa lebih buruk lagi.
Note 2: Pertandingan

Suara dari pengeras suara sekolah pun terdengar mengumumkan


pertandingan futsal berikutnya akan segera dimulai, kami yang
mendengarnya pun bersiap-siap untuk berganti pakaian sambil mengatur
strategi dan posisi persiapan untuk bertanding.

“Ini Ang pakai! Supaya tanganmu tidak terlalu sakit saat menahan bola
pertandingan nanti,” ujar Faris sambil menyodorkan sepasang sarung tangan.

“Kau yakin Ris, aku yang harus menjadi kiper? Aku tidak terlalu bisa bermain,
takutnya melakukan banyak kesalahan dan membuat tim kita kalah,”

“Udah gapapa santai aja, toh kita ikutan juga supaya tidak terkena sanksi
yang diberikan para OSIS. Nanti di gendong bayu kok, iya ga Bay?!”

“Yoi! Setidaknya kita tanding aja dulu, menang kalah urusan belakangan.”
Lanjut Bayu dengan begitu optimis.

Meskipun sudah di berikan dukungan dan semangat oleh teman-


temanku, aku masih tidak terlalu percaya dengan perkataan mereka apalagi
para perempuan di kelasku, mereka selalu kurang puas akan hasilnya.

Faris dan teman-temannya sudah selesai berganti pakaian, begitupun


aku dan Arga. Namun wajah Arga terlihat tidak begitu bersemangat meski
terkadang ia sudah semakin sering tertawa dan tersenyum.

“Ayo guys kita ke gor, pertandingannya sudah mau mulai sebentar lagi,” ujar
Faris.
“Gaskan! sudah pada siapkan?” lanjut Ilyas.

“Siap!” kompak kita.

Kita pun akhirnya berjalan menuju gor setelah sekian lama berganti
pakaian dan mengatur strategi, lalu tiba-tiba di tengah perjalanan tak sengaja
aku melihat siswi yang sedang disukai Arga bersama dengan beberapa
temannya menuju ke kantin, namun ada suatu hal yang membuatku khawatir
jika sampai terlihat oleh Arga.

“Hey Arga! Kira-kira para cewek pada dimana ya kok ga keliatan?” tanyaku
dengan suara lantang.

“Sudah ada di gor sepertinya,” Jawab Arga dengan terus berjalan ke depan.

‘Sepertinya Arga tidak melihatnya.’ Gumamku dalam hati.

Setelah sampai di tempat ternyata pertandingan sebelumnya masih


belum selesai, aku dan teman-temanku masih harus menunggu beberapa
waktu lagi untuk bisa bertanding.

“Kita mau diuk dimana?” tanya Yana.

“Hooh ini pada penuh semua gini,” jawab Bayu.

Pada saat yang lain kebingungan mencari tempat untuk duduk, aku
melihat tangan seseorang yang sedang melambai ke arah kami.

“Woi kalian! Ayo sini, di sini, hey!” Terdengar suara teriakan dari arah utara.
Aku yang mendengar suara tersebut berusaha mencari dari mana asalnya.
Dengan menolehkan kepalaku ke kanan dan kiri sambil menyipitkan kedua
mataku, aku melihat ada seorang perempuan sedang berdiri sambil
melambaikan tangannya.
“Teman-teman kita kesana saja, tadi aku melihat Hanna di dekat panggung!”
Ujarku dengan suara yang lantang.

“Hah! Kau bilang apa Ang? Nggak terlalu kedengaran disini terlalu berisik,”
tanya Yana.

“Aku bilang kita nunggu di dekat panggung aja, tadi aku melihat ada Hanna
dan teman-temannya sedang di sana!”

“Oh! Oke, ayo kita kesana,” jawab Yana dan Arga bersamaan.

“Hey! kalian mau kemana?” Tanya Faris yang masih berada di depan pintu
bersama yang lain.

Karena aku tahu mereka pasti tidak akan bisa mendengar suara kami,
maka aku, Arga juga Yana hanya menggerakan tangan kami sambil
menunjuk ke arah yang sedang kita tuju. Mereka pun mengikuti kami dengan
instruksi dari Faris yang terlihat menyuruh teman-temannya untuk mengikuti
kami.

“Sampe juga akhirnya, aku cape anjir dari tadi neriakin kalian terus tapi
kaliannya ga nengok, nengok,” keluh Hanna.

“Sorry Han, habisnya didieu terlalu berisik jadi suara kamu henteu terlalu
kedengaran,” sela Yana sambil tertawa diiringi hembusan nafasnya yang
terengah-engah.

“Hooh, boro-boro ngedenger teriakan kamu Han kita komunikasi satu sama
lain aja susah meskipun bicaranya sudah depan muka banget,” lanjutku.

“Iya yaudah, setidaknya kalian sudah pada kumpul disini,”


“Btw kalo si Arga kemana biasanya kan kalian selalu bertiga?” Tanya Hanna
sambil mencari keberadaan Arga.

“Ai kamu rabun apa buta Han, lowong dari tadi si Arga aya di belakang urang
kiye masa ga keliatan,” jawab Yana dengan muka datar.

“Oalah iya! Hehehe maaf buta map,”

“Tapi….Btw kamu kenapa Ga, kok kayak murung gitu? Ga enak badan kah?!”
Tanya Hanna penasaran.

Mendengar hal tersebut sontak membuat aku dan Yana terdiam,


namun di lain sisi aku penasaran dengan apa yang terjadi pada Arga.
Pertanyaan Hanna begitu mewakili rasa penasaranku sebagai temannya.

“Hah aku?! Aku enggak kenapa-kenapa kok – cuman emang agak sedikit
nervous aja karena mungkin ini pertama kalinya aku bertanding sambil diliatin
banyak orang seperti ini,” jawab Arga dengan wajah riangnya.

“Oalah gitu toh, tenang saja padahal. Main have fun ae, santuy kita nggak
nuntut kalian harus menang kok,”

“Tapi ya….. Setidaknya minimal bisa masuk finallah,” lanjutnya sambil


melihat ke atas dengan wajah mengejek.

“Gelo! Sudah enggak waras kali ya kamu mah Han, kita disuruh main satu
kali aja udah gemetar kayak anak TK nahan kencing ini disuruh main sampe
masuk final auto sesak nafas urang,” sangkal Yana.

“Hahaha sorry, sorry Yan cuman becanda kok. Udah mending kalian duduk
sebentar daripada berdiri gitu,”

“Tch!” lanjut Yana.


Akhirnya kami pun memutuskan untuk duduk bersama Hanna
bersama teman-temannya yang lain sambil menonton pertandingan yang
sedang berlangsung. Semakin lama aku melihat aku merasa semakin tidak
percaya diri dengan kemampuanku untuk bermain apalagi sebagai kiper,
rasanya tanganku seperti sedang berada di suhu yang dingin dan tak
berhenti gemetar.

“Tendangannya ngeri-ngeri juga ya Ang – rasanya urang pengen ke toilet dah


setelah nempo pertandingan iye,” ujar Yana kepadaku.

“Lumayanlah, aku juga kurang percaya diri kalau melawan yang se-jago itu.
Tanganku langsung tremor mungkin,”

‘Dan Irfan mulai membawa ke tengah, membawa ketengah dan….. Ohhh!


sayang sekali bola yang ditendang Irfan mengenai mistar gawang,’ ujar
komentator yang berada di seberang lapangan.

‘Tadi sebenarnya Irfan bisa saja memasukan bolanya jika mengoper kepada
Raihan tadi, tetapi sayangnya ia dijaga ketat oleh dua back IPS 2,’ lanjut
komentator satunya dengan kritikan tenang.

“Waduh skornya beda tipis banget ini,” ujar Faris.

“Emang berapa skornya Ris?” Tanyaku.

“Skornya selisih satu doang Ang, liat aja papan yang ada di meja
komentatornya,” jawab Arga

“Mana, mana?!” kata Yana sambil mendorongku dari samping.

“Oh heeh anjir cuman beda satu, tipis banget skornya 6-5,” lanjut Yana.
“Tim dari kelas IPA 3 mungkin tidak akan sempat untuk mengejar skor meski
perbedaannya sangat tipis namun waktu yang tersisa pun sudah semakin
menipis juga.” Tegas Arga dengan tatapan tajam ke depan.

Melihat temanku dengan wajah tegas dan matanya yang menatap


bagaikan elang. Aku lupa bahwa ia adalah orang yang selalu berpikir realistis
dan serius saat menghadapi apapun, karena akhir-akhir ini aku lebih sering
melihatnya murung sampai aku jarang mendengarkan ocehan logikanya yang
terkadang hampir membuatku kesal.

‘Waktu yang tersisa tinggal dua menit lagi saudara-saudara apakah kelas 11
IPA 3 bisa menang melawan kelas 12 IPS 4?! Mari kita lihat saja – namun
sepertinya akan menjadi berbahaya bagi kelas IPA 3 karena Farhan berhasil
menerobos pertahanan mereka dan…… GOL GOL GOL! Nampaknya skor
pemanis dari kelas 12 IPS 4 berhasil masuk dan menjadi akhir dari
pertandingan kedua hari ini dengan final skor 7-5’

‘Dan terimakasih bagi siswa-siswi dan para suporter masing-masing kelas


sekalian karena telah meramaikan. Kita akan kembali lagi nanti dengan
pertandingan 12 IPA 1 melawan 11 IPS 2.’ Ujar kompak kedua komentator.

“Oke! Sudah pada siap semua kan?” Tanya Faris dengan nada semangat.

“Tentu saja,” jawab Bayu.

“Mari kita bantai-bantai ya guys ya,” lanjut Ilyas.

Lalu semuanya berteriak semangat untuk bertanding. Tangan kanan


yang terangkat dengan diiringi mata berbinar-binar penuh semangat layaknya
seorang pejuang yang sedang memperjuangkan negaranya sendiri, namun
meskipun suasananya begitu semangat dan positif, ketidakpercayaan diriku
masih tetap ada justru bertambah setelah melihat teman-teman sekelasku
nampak begitu semangat.

“Gimana Arga sudah siapkan?” tanya Faris.

“Siap dong tentu saja, memangnya kenapa Ris?” Dengan senyuman Arga
menjawab dan bertanya kembali kepada Faris.

“Tidak, tidak apa-apa. Aku hanya memastikan saja kau dalam kondisi prima,
soalnya dari tadi kelihatannya kau tampak murung gitu, tapi tenang saja kau
tidak perlu main duluan kok cukup duduk di bangku cadangan saja biar nanti
Yana yang atasi semua,”

“Lah! kenapa jadi urang,” ujar Yana.

“Sudahlah Yan percaya diri saja, Arga kan temanmu takut nanti dia cidera
atau apa,” sangkal Faris.

“Iya sih, okelah kalo begono jadinya mah. Akan aku tunjukan tendangan
sarung si Kabayanku”

“Maaf Kakak, apakah semuanya sudah siap? Pertandingannya akan segera


kami mulai, tim lawan pun sudah siap katanya,” ucap salah satu siswi
anggota OSIS yang tiba-tiba menghampiri kami. Aku dan teman-teman yang
lain sontak melirik ke arah siswi tersebut secara bersamaan. “Tentu aja kami
siap! Benar henteu Arga? Lanjut Yana bertanya kepada Arga. “Hah! Oh,
tentu saja siap.”

Setelah itu aku, Yana, Faris, Ilyas, dan Bayu bersiap-siap menuju
lapangan untuk segera bertanding. Para pemain dari kelas 11 IPS 2 pun
mulai memasuki lapangan, lalu kami berbaris di samping wasit.
“Agak ke kiri dikit – Nah! Kita ambil foto dulu satu, dua, tiga! Oke sudah
bagus.” Ujar siswa anggota OSIS dengan kamera di tangannya.

Sebelum bertanding kami menentukan kick off dengan lemparan koin


dari wasit, dan beruntung kita mendapatkan kick off untuk babak pertama,
lalu saling berjabat tangan satu sama lain. Menyesuaikan posisi seperti yang
telah dirundingkan, kami menggunakan formasi 1-1-2 denganku sebagai
penjaga gawangnya, Yana sebagai back, Bayu sebagai gelandang tengah
dan sisanya menjadi striker.

Wasit meletakan bola ke tengah lapangan, lalu ia melambai-lambaikan


tangan kanannya ke arah kami seperti menyuruh salah satu dari kami untuk
menghampirinya. Faris menghampiri wasit tersebut ke tengah lapangan dan
selang beberapa detik kemudian ia melambaikan tangannya kepada Ilyas.

“Yas sini kita lakuin kick off!” Teriak Faris dari tengah lapangan.

“Aku?” Jawab Ilyas sambil menunjuk dirinya sendiri.

“Hooh buru udah sini,”

“Si Bayu aja, aku malas,”

“Lah! Kenapa jadi aku,” sangkal Bayu.

“Sudah kau aja sini cepetan, pertandingannya akan dimulai,” ujar Faris
dengan nada yang sedikit kesal.

“Tch! Oke, oke aku kesana.”

Setelah itu Ilyas pun berlari bergegas menghampiri Faris untuk


bersiap-siap melakukan tendangan awal. Mereka terlihat berhadap-hadapan
satu sama lain dengan bola yang berada di antara tengah-tengah kaki
mereka, kemudian ada beberapa orang dari tim lawan yang sedikit mendekati
area kick off dan mulai menjaga mereka.

“Sudah siap semua kan?” Tanya wasit sambil mengangkat tangan kirinya
dengan tangan kanan yang sedang memegang peluit. Faris dan kapten dari
tim lawan pun menjawab dengan mengangkat ibu jari mereka yang
menandakan mereka siap bertanding kapanpun wasit tentukan.

“Oke! kalau begitu kita mulai saja pertandingan sore hari ini.” Ujar wasit.

Kemudian setelah itu suara peluit yang nyaring pun terdengar hampir
ke seluruh penjuru gor dan semua yang melihat pertandingan kami berteriak
bersamaan dengan suara peluit.

‘Oke kita kembali lagi ya guys ya di acara class meeting 2022 dengan
perlombaan futsal terakhir hari ini. Menurut bung Sakai sendiri siapa yang
akan menang dan lolos ke babak selanjutnya nih?’

‘Jujur saja saya masih belum dapat memprediksi siapa yang akan menjadi
juaranya mungkin saja bisa dari kelas 12 lagi ataupun adik-adik kita ini bisa
mengalahkan kakak kelasnya ini,’ ujar Sakai.

‘Ya menurut saya sendiri itu akan menjadi momen langka untuk classmeeting
tahun ini, mengingat tahun-tahun sebelumnya belum ada adik-adik kelas
yang bisa mengalahkan kakak-kakak kelasnya sendiri di quarter final ya bung
apalagi semenjak adanya pandemi Covid-19 kemarin yang membuat acara-
acara seperti ini sulit untuk terlaksanakan,’

‘Betul sekali bung Asep, untuk belajar saja kita sudah sangat terhambat
apalagi untuk melaksanakan acara seperti ini yang membuat kerumunan
massa dan sesuai protokol kesehatan dari pemerintah pun kita dianjurkan
untuk tidak bepergian keluar rumah,’

‘Sulit untuk mengumpulkan tugasnya ya bung?’ Tanya Asep dengan


senyuman di wajahnya.

‘Begitulah bung Asep sampai pada kosong nilai di raport saya pun hahaha!’
Jawab Sakai sambil tertawa.

Sesaat kedua komentator itu sibuk tertawa terbahak-bahak dengan


obrolan mereka, striker musuh sedang berlari menuju ke arahku dengan
cepatnya layaknya cheetah yang sedang mengejar mangsanya. Dengan kaki
dan tangan yang melebar, aku bersiaga untuk menangkap bola namun
lawanku sangat lincah menggiring bolanya.

“Yan jagain dia jangan sampe lolos!” Teriakku dengan kerasnya kepada
Yana.

“Siap! Tapi urang takut juga Ang – liat kakiku sampe gemeter gini sangking
ga pernah mainnya,” sangkal Yana.

“Udah sengganya coba aja tahan dulu, katanya kan main havefun doang,”

“Nya, nya siap tapi kalo sampe kebobolan jangan salahin aku ya,” ujarnya
sambil berlari menghadang pemain lawan yang sedang menuju ke arah kami.

“Ayo Yan kamu pasti bisa jangan biarkan dia mencetak gol,” teriak siswi-siswi
dari kelasku dengan penuh semangat.

‘Nampaknya para suporter dari kelas 12 IPA 1 sangat bersemangat sekali ya


bung dalam mendukung cowok-cowok tampan yang sedang bermain saat
ini,’
‘Iya mereka tampak bersemangat sekali rasanya saya merasa iri dengan
para siswa dari kelas IPA 1 karena didukung oleh para Wanita cantik di
pinggir lapangan. Tetapi apakah dengan dukungan yang berapi-api itu
penjaga gawang bisa menahan tendangan dari Yunus dari 11 IPS 2? Karena
sepertinya ia berhasil melewati back dari kelas 12 IPA 1,’ ujar komentator
dengan histerisnya.

“Kyaaa! Ayo Yun semangat kamu pasti bisa!”

‘Wow! Nampaknya adik-adik kelas kita pun tidak mau kalah semangatnya
dengan kakak-kakak kelasnya nih untuk mensuport para cowoknya, apakah
bung Sakai mulai merasa iri lagi?’

‘Hahahaha! Lumayan buat nyesek juga sih ini, rasanya pengen pensi aja
saya jadi komentator,’

‘Jangan seperti itu bung nanti saya sendirian dong tidak ada yang menemani
berkomentar lagi. Namun disini ada yang lebih penting bung, sepertinya
Yunus akan segera menendang bolanya terlihat dari posisi dan ancang-
ancang dari kakinya,’

‘Sepertinya begitu bung, dan perlu kita ketahui Yunus ini merupakan salah
satu pemain yang menggunakan kaki kirinya untuk menendang,’

‘Berarti dia kidal ya bung?’

‘Betul sekali bung Asep,’

‘Yunus sudah mulai menendang ke arah gawang yang tengah dijaga oleh
Angkara sepertinya, dan kita lihat apa hasilnya…… Wow! tidak disangka-
sangka bung ini sangat mengejutkan sekali, sangking wownya para penonton
mulai berteriak histeris dengan apa yang barusan terjadi.’ Ujar komentator
sambil berdiri dari bangkunya.

Suara teriakan masih bergema di setiap sisi kiri dan kananku, tetapi
suara peluit yang ditiup oleh wasit membuat suara teriakan itu menjadi tidak
ada apa-apa dibandingkan dengan suaranya yang begitu nyaring dan teman-
temanku saat itu terpelongo.

Note 3: Pertemuan Pertama

“Ang!” terdengar seseorang memanggil.

“Kemarin gimana? Sorry nih aku ga bisa ikut tanding ada urusan mendadak
soalnya,” lanjutnya sambil menyeringai.

“Yah lumayan sih, hampir banget kalah kemarin. Aku sama yang lain badan
sakit-sakit semua karena pembiasaan mungkin, gak tau karena memang
terlalu capek doang,” ujarku dengan kepala mendongak ke atas.

“Weh! Sesengit itukah pertandingannya?”

“Bisa dibilang begitu – bener nggak Yan?”

“Hah naon?!” Yana terkejut.

“Dia kata gimana hasil pertandingan kemarin Yanto! Makanya jangan


kebanyakan main game,” jawabku dengan sinis.
“Sirik wae kamu mah Ang, namanya juga hobi siapa tau suatu hari nanti
urang bakalan sukses dengan hobi bermain gameku ini,” balas Yana sambil
mengangkat handphonenya ke atas.

“Iya, iya sudah ceritain gimana hasil pertandingan kemarin,”

“Tch! Jadi sahabat urang Riski Pratama hasil pertandingan kemarin itu…..
Suara drum please!”

Dengan mata berseri-seri Riski memperhatikan Yana secara seksama


seperti Sherlock Holmes yang menemukan sebuah kasus misteri baru. Yana
sesekali melihat ke arah Riski yang terlihat sedang menunggu dengan serius
jawaban yang akan dilontarkannya.

“Ya tentu saja yang menang 12 IPA 1 dong,” teriak seseorang.

“Anjir saha eta!”

“Seleketep sia mah Yu! Padahal urang sudah mau menjawabnya tadi,” ujar
Yana dengan kesal.

“Hahaha! Sorry, sorry Yan becanda doang tadi, janganlah merajuk,”

“Tai!”

“Hadeh mereka ini kayak anak kecil saja – Gimana Ang kondisi Arga saat ini,
apakah sudah membaik?” Tanya Faris.

“Aku kurang tau sih dari kemarin nggak ada kabarnya, akun Mobagenya pun
offline padahal biasanya dia suka online,” jawabku.

“Begitu ya, ku harap dia baik-baik saja tidak terjadi sesuatu yang fatal nanti,”

“Iya aku harap juga seperti itu.”


Setelah berbincang-bincang sedikit dengan Faris dan juga teman-
temannya suasana kembali hening, kondisi kelas pun tidak seramai
sebelumnya. Masing-masing murid dari kelasku lebih senang menghabiskan
waktunya di luar kelas daripada berdiam diri dalam ruangan yang hanya
memiliki satu pendingin ini, namun tak jarang juga siswa yang membolos
atau pun sengaja tidak masuk sekolah dan menghabiskan waktunya di
rumah.

“Ang mau ikut henteu?” Tanya Yana sambil mendekat ke arah mejaku
bersama Faris.

“Kemana?” Tanyaku balik.

“Ke warteg depan buat sarapan biasa, kumaha mau ikut?”

“Oh! Skip dulu Yan aku udah sarapan tadi pagi di rumah, kalian saja yang
berangkat sekalin nungguin Arga takutnya dia datang ke kelas tapi nggak ada
siapa-siapa,”

“Oke deh! Urang duluan ya Ang jangan aneh-aneh dalem kelas ya,”

“Matamu jangan samakan semua manusia sama sepertimu,”

“Hahaha! Yaudah urang ke warteg dulu ges Labrut,”

“Labrut?” Kataku dengan wajah kebingungan.

“Hooh labrut, lapar brutal,”

“Yeh bangsat!”

“Hahahahaha!”
Yana dan gerombolannya pun berjalan pergi ke arah pintu masuk,
sosoknya sampai terlihat dari balik jendela kelas. Sekejap Yana berhenti lalu
mulai membalikannya ke arah jendela, ia sedikit mengintip dengan wajah
yang cukup menyebalkan diiringi gerakan tangan yang seperti mengatakan
aku mengawasimu. Aku pun membalasnya juga gestur tangan mengepal dan
dia pun seketika tertawa lalu berjalan pergi sampai aku tidak bisa melihat
sosoknya lagi dari balik jendela.

Cuaca pun mendadak mulai terasa panas dengan diiringi cahaya


matahari teri dan tak lama bel sekolah mulai berbunyi keras nan lantang ke
penjuru sekolah sebagai penanda sudah memasuki jam istirahat pertama.
Aku sontak mendongakan kepalaku ke arah jam dinding yang terletak di atas
papan tulis untuk mengecek pukul berapa sekarang.

“Sudah jam sembilan tapi masih belum ada tanda-tanda akan datang, apa dia
nggak akan masuk ya? Tapi masa sih dia nggak akan masuk, atau jangan-
jangan karena perkara kemarin lagi?!” Ujarku sambil memegang dagu
dengan tangan kiri.

Aku terus mengecek jendela dan juga headphoneku berharap ada


kabar tentang sahabatku itu, namun semuanya nihil tidak ada tanda-tanda ia
akan berjalan melewati jendela kelas ataupun Arga menghubungiku lewat
chat – Suasana kelas juga sudah terasa sepi layaknya sebuah rumah yang
ditinggalkan pemiliknya karena semua orang di kelasku keluar entah kemana.
Yana dan yang lainnya sampai saat ini pun belum kembali juga.

“Ini si Yana beli makan dimana dah lama banget perasaan dari tadi nggak
balik-balik, mana kelas sepi banget lagi sudah macam kuburan,” kataku
dengan nada kesal.
“Huft! Mungkin aku ke kantin dulu deh buat cari makan dari pada di kelas
gabut.”

Setelah itu aku berdiri dari kursi dan mengambil uang yang ada di
dalam tas dan bersiap untuk pergi namun sesat aku melihat sosok yang
sepertinya pernah aku lihat sebelumnya.

“Bukannya itu siswi yang sedang dideketin Arga ya? Apa aku coba tanya aja
ya ke dia soal Arga siapa tau dia mengetahui sesuatu.” Ujarku sambil melihat
jendela dengan mata menyipit.

Setelah melihat sosok yang sedang didekati oleh sahabatku, aku


sontang berdiri dari kursi tanpa pikir panjang dan dengan cepat aku mulai
sedikit berlari untuk mengejar siswi tersebut sebelum ia menghilang dari
pandangan mataku.

“Hey tunggu sebentar!” Teriakku sambil terengah-ngah.

“Namamu Sylvia Natasha kan?” Lanjutku dengan postur tubuh menunduk


diiringi nafas yang sedikit berat.
Outline:

 Sering menjadi pilihan kedua saat sedang tidak dibutuhkan namun


dicari saat sedang dibutuhkan dan Arga mau dan ikhlas membantu
tetapi sering disepelekan/tidak diaprisiasi atas perbuatan baiknya.
(Efek; jadi memiliki sikap pamrih)
 Cewe yang didekatin Arga masih mencintai orang yang sedang ia
cintai dan Arga sudah sering kali mencinduknya namun tetap ia ulangi.
(Efek; Trust Isuue, Insecure)
 Di saat masalah pertama selesai cerita mulai memasuki kebahagiaan
namun Arga masih belum berpacaran dan akan sedikit mengisahkan
kisah cinta tentang Angkara juga Yana dengan tetap menggunakan
POV dari Angkara.
Kerangka End: Terdiam setelah mendengar perkataan Yanabeberapa saat
setelah mendengar perkataannya, membuatku berpikir dua kali untuk pulang
ke rumah, dan aku mulai merasa melupakan sesuatu. Meraih smartphone
dengan tangan kanan, aku mengeluarkan aplikasi gameku lalu membuka
sebuah aplikasi chat. Nada dering pun mulai terdengar dari HP ku dan aku
meletakannya pada telingaku.

*Tut tut tut

”Ayo Ga angkat,” kataku sambil menghentakan-hentakan kakiku.

”Tch! Enggak diangkat,”

”Ada apa?” tanya Yana.

”Aku mencoba untuk menelpon tetapi tidak diangkat-angkat juga,”

”Memangnya siapa yang sedang kau coba hubungi Ang?”

”Si Arga, dari tadi sudahku coba menghubunginya tetapi panggilanku enggak
diangkat-angkat,”

”Direject?”

”Enggak dia tidak menolak panggilanku tetapi seperti di abaikan,”

”Mungkin dia sedang berada di gor, jadi suara telponmu tidak terdengar
olehnya,”

”Iya kali ya,”

”Mau menyusulnya di gor? Sekalian kita nonton juga dari pada jenuh di kelas
menunggu giliran kelas kita bertanding,”
”Aku capek Ka terus di perlakukan seperti ini, aku selalu mengikuti dia
kemana pun dan kapan pun tapi terkadang aku seperti benda tak kasat mata.
Aku selalu di nomer duakan, terkadang aku pun ingin merasakan apa yang
telah aku berikan kepadanya. Setidak pantasnya kah aku mendapatkannya?
Kekahawatiranku seperti kekangan? Jawab aku Angkara.” ujar temanku
dengan suara yang lirih.

Aku sama sekali tidak bisa berkata-kata apalagi menjawab pertanyaan


temanku yang sedang menangis kencang di hadapanku.

”Ibunya pun lebih menyukai pria yang iya sukai Ang, apakah aku tidak punya
kesempatan sama sekali, apakah aku akan terus ssendiri sampai akhir hayat
tanpa ada yang menemani,”

”Ternyata ada ya manusia yang tidak dinginkan kehadirannya di dunia ini,”


lanjut temanku sambil menunjukan senyuman pada wajahnya yang di penuhi
air mata.
Nama Character: - Angkara Muruka

- Arga Nuraga

- Yanuar Adipati

- Selia nurul aini

- Sylvia Natasha

- Faris presetya

- Ilyasa Yahya

- Bayu Mahendri Kusuma

Nama Opsional: - Adegio (Waktu perlahan tetap berekspresi tinggi)

- Anestesia

- Serani

- Silpin

- Sakai

- Saki

- Senapati

- Sitta

- Nidera

- Nirmala

Anda mungkin juga menyukai