Anda di halaman 1dari 45

1

WORKSHOP
MANAGEMENT OF ASTHMA

MODUL PELATIHAN

UKK RESPIROLOGI
IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA
2022

WORKSHOP MANAGEMENT OF ASTHMA 2


BAB I
PENDAHULUAN

Deskripsi Singkat Pelatihan


Asma adalah penyakit yang sering dijumpai pada anak dan merupakan
sebagai penyakit kronik saluran nafas yang berhubungan dengan obstruksi dan
hiperresponsivitas saluran respiratori. Proses inflamasi saluran napas anak asma
tidak saja ditemukan pada pasien asma berat, tetapi juga pada pasien asma
ringan. Prevalensi asma meningkat dalam beberapa dekade terakhir baik pada
negera berkembang maupun pada negara maju, walaupun secara umum angka
kematian akibat asma menurun.
Asma merupakan kondisi yang membebani anak-anak yang terkena dan
keluarga. Konfirmasi diagnosis adalah memakai spirometer. Sayangnya,
kebanyakan anak tidak dapat melakukan manuver uji fungsi respiratori, sehingga
diagnosis sering ditegakkan secara klinis. Anak diduga asma apabila
menunjukkan gejala batuk dan/atau mengi yang timbul secara episodik,
cenderung pada malam hari/dini hari (nokturnal), musiman, setelah aktivitas
fisik, serta adanya riwayat asma dan atopi pada pasien atau keluarganya. Pada
anak usia pra sekolah diagnosis asma lebih sulit. Selain tidak memungkinkan
untuk melakukan uji fungsi respiratori, penyakit virus saluran respiratori sering
juga menyebabkan keluhan mengi.
Perkembangan terkini mengharuskan kita memperbarui pengetahuan
kita tentang diagnosis dan tata laksana asma anak, baik tata laksana jangka
panjang maupun tata laksana serangan akut. Dokter spesialis anak perlu
memahami diagnosis dan klasifikasi asma, untuk dapat memberikan tata laksana
yang tepat pada anak asma sesuai dengan perkembangan pedoman-pedoman
baru di dunia maupun lokal. Tenaga kesehatan yang berada di fasilitas pelayanan
kesehatan memegang peranan penting sebagai ujung tombak untuk penanganan
asma. Untuk itu dibutuhkan pemahaman dan ketrampilan mengenai tata laksana
asma pada anak secara komprehensif. Pelatihan ini bertujuan memberikan
penyegaran dan meningkatkan pemahaman tentang penanganan asma, mulai
dari mengetahui prosedur diagnosis dan klasifikasi asma, managemen jangka
panjang pengobatan asma, dan penanganan serangan asma kepada seluruh
dokter maupun dokter spesialis anak, khususnya mereka yang berminat bidang
respirologi anak.

WORKSHOP MANAGEMENT OF ASTHMA 3


Sasaran dan Tujuan Pelatihan
Sasaran pelatihan: Dokter spesialis anak
Tujuan Umum:
Peserta mampu mendiagnosis dan menatalaksana asma pada anak sesuai
pedoman asma terkini.
Tujuan Khusus:
Setelah mengikuti kegiatan ini peserta:
1. Peserta mampu mendiagnosis asma pada anak dan
mengklasifikasikannya.
2. Peserta mampu merencanakan dan melakukan tatalaksana asma jangka
panjang dan serangan asma
3. Peserta mampu mengenali dan menatalaksana serangan asma
4. Peserta dapat memeragakan penganganan anak asma dengan terapi
inhalasi

Model Pembelajaran
Pelatihan ini menggunakan model pembelajaran:
- Diskusi interaktif: berupa paparan dari fasilitator dan diskusi
- Soft-skill session: berupa diskusi kasus
- Lama waktu pelatihan: 180 menit

WORKSHOP MANAGEMENT OF ASTHMA 4


Proses pembelajaran

Waktu Materi/kegi Aktivitas Aktivitas Keteran


(menit) atan fasilitator peserta gan
10’ Pre test Memandu pretest Mengerjakan Kelas
soal besar
15’ Penjelasan Menjelaskan Mendengark Kelas
WS kegiatan pelatihan an dan besar
yang akan menyimak
dilakukan
20’ Diagnosis Memaparkan Mendengark Kelas
dan materi anmenyimak besar
klasifikasi dan diskusi
asma anak
20’ Tata laksana Memaparkan Mendengark Kelas
serangan materi anmenyimak besar
asma dan diskusi
20’ Tata laksana Memaparkan Mendengark Kelas
jangka materi anmenyimak besar
panjang dan diskusi
asma
75’ Diskusi Menyampaikan Melakukan Kelas
kasus (soft kasus, memandu analisis besar
skill session) diskusi. kasus,
dan hands- diskusi aktif,
Hands-on alat
on terapi berpendapat
inhalasi
inhalasi

10’ Post test Memandu post Mengerjakan Kelas


test soal besar
10’ Penutup Menutup acara Memberikan Kelas
feed back besar
Total 180'
-

WORKSHOP MANAGEMENT OF ASTHMA


5
BAB II
Diagnosis dan Klasifikasi Asma pada Anak
Asma merupakan penyakit saluran respiratori yang didasari inflamasi
kronis disertai gangguan keseimbangan saraf otonom yang menyebabkan
bronkospasme dengan variasi luas dalam manifestasi klinis, mekanisme
inflamasi, patogenesis, dan perjalanan alamiah dengan banyak faktor yang
berperan. Manifestasi klinis berupa batuk, mengi, sesak napas, dada terasa
tertekan, yang kronik dan/atau berulang, reversibel, cenderung memberat pada
malam atau dini hari, dan biasanya muncul jika ada pencetus.

1. Diagnosis
Diagnosis asma pada anak ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang. Walaupun demikian, sebagian
besar diagnosis asma pada anak adalah diagnosis klinis, yaitu ditegakkan
berdasarkan gejala dan tanda yang relevan dan mempunyai karakteristik klinis
yang khas. Pemeriksaan fisis lebih berperan bila pasien datang dalam keadaan
bergejala atau mengalami serangan. Pemeriksaan penunjang bila hasilnya positif
akan menguatkan diagnosis, namun jika negatif tidak menyingkirkan diagnosis
asma. Penegakan diagnosis asma pada bab ini ditujukan untuk anak usia > 6
tahun.

A. Anamnesis
Hal-hal yang perlu ditanyakan pada anamnesis:
a. Gejala
Gejala asma yaitu batuk, mengi, sesak napas, rasa tertekan di dada, atau
kombinasi dari gejala-gejala tersebut. Karakteristik gejala asma adalah
berulang (episodik), dapat membaik dengan atau tanpa pengobatan
(reversibel), dan cenderung memburuk pada malam hari (nokturnal).
b. Pencetus
Gejala asma biasanya dipicu oleh pencetus (trigger) tertentu, seperti
infeksi virus saluran respiratori, perubahan cuaca/suhu, aktifitas
berlebihan, tertawa terbahak-bahak, menangis, atau pajanan
alergen/iritan. Pencetus gejala asma berbeda antar pasien satu dengan
yang lain. Pada anak, gejala asma seringkali dicetuskan oleh infeksi virus
saluran respiratori.

WORKSHOP MANAGEMENT OF ASTHMA 6


c. Faktor risiko
Faktor risiko yang perlu ditanyakan antara lain penyakit alergi (asma,
rinitis alergi, dermatitis atopi, urtikaria, alergi makanan, dan lain-lain)
pada pasien maupun keluarga, riwayat berat lahir rendah, ibu merokok
selama hamil, dan riwayat penyakit infeksi saluran respiratori pada masa
bayi (usia 0-12 bulan).
d. Riwayat pengobatan dengan bronkodilator dan responsnya
e. Komorbid yang menyertai
Komorbid yang berhubungan dengan diagnosis dan tata laksana asma,
yang perlu ditanyakan antara lain rinitis alergi, alergi makanan, refluks
gastroesofageal, obstructive sleep apnea syndrome (OSAS), obesitas, dan
lain-lain.

B. Pemeriksaan Fisis
Pada anak asma yang sedang tidak bergejala atau tidak dalam serangan,
biasanya tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan fisis. Pada asma yang
sedang bergejala atau dalam serangan dapat ditemukan napas cepat, saturasi
oksigen turun, retraksi, dan mengi pada auskultasi. Pada serangan asma yang
sangat berat, mengi bisa tidak terdengar (silent chest) karena obstruksi yang
berat. Pada anak dengan asma persisten berat dapat ditemukan bentuk dada
barrel chest. Selain itu, jika ada penyakit alergi dapat ditemukan tanda dermatitis
atopi, rinitis alergi, atau tanda alergi seperti Dennie Morgan lines, allergic
shiner, nasal crease, allergic salute, geographic tongue (Gambar 1 A-C).

Gambar 1. Dennie Morgan lines, allergic shiner, nasal crease (A),


Allergic salute (B), Geographic tongue (C)

C. Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk membuktikan
reversibilitas maupun variabilitas gangguan aliran napas akibat obstruksi, hiper-
reaktivitas, inflamasi saluran respiratori, dan atopi.
1. Pemeriksaan untuk menilai gangguan aliran napas akibat obstruksi

WORKSHOP MANAGEMENT OF ASTHMA


7
a. Spirometri
Spirometri merupakan uji fungsi respiratori yang seharusnya rutin
dilakukan untuk membantu penegakan diagnosis asma pada anak.
Spirometri merupakan uji fungsi respiratori yang digunakan untuk
mengukur volume dan kapasitas paru, serta gangguan aliran udara di
saluran respiratori. Alat ini mengukur volume dinamik paru seperti forced
expiratory volume in 1 second (FEV1), yaitu jumlah udara yang
diekspirasikan secara paksa dalam satu detik setelah inspirasi maksimal
dan forced vital capacity (FVC), yaitu jumlah udara maksimal yang dapat
diekspirasikan setelah inspirasi maksimal. Spirometri selain digunakan
untuk membantu penegakan diagnosis, juga digunakan untuk memonitor
asma.
Obstruksi saluran napas pada pemeriksaan spirometri yang
mendukung diagnosis asma ditunjukkan dengan FEV1 yang rendah
(kurang dari 80% nilai prediksi) dan rasio FEV1/FVC kurang dari 0,90.
Beberapa uji yang dilakukan dengan menggunakan spirometer
untuk menunjang diagnosis asma, sebagai berikut:
i. Uji reversibilitas
Uji reversibilitas atau uji bronkodilator dilakukan untuk
membuktikan adanya reversibilitas saluran respirasi, yaitu dengan
membandingkan FEV1 sebelum dan setelah diberikan inhalasi obat
short acting β2 agonist (SABA). Peningkatan FEV1 >12% mendukung
adanya bronkokonstriksi yang disebabkan asma (Tabel 1).
ii. Uji provokasi bronkus
Uji provokasi bronkus dapat dilakukan dengan menggunakan inhalasi
metakolin, histamin, larutan saluran hipertonis, larutan manitol, atau
dengan exercise test. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan untuk
dilakukan pada anak karena berisiko untuk menimbulkan serangan
asma berat.
b. Peak flow meter
Peak flow meter (PFM) merupakan alat yang digunakan untuk mengukur
peak expiratory flow (PEF), yang merupakan aliran puncak ekspirasi
yang didapatkan dengan mengukur kecepatan aliran udara saat ekspirasi
secepat mungkin setelah inspirasi maksimal (Gambar 2). Meskipun
banyak kelemahannya, pemeriksaan PFM dapat dilakukan di fasilitas
kesehatan yang tidak mempunyai spirometer.

WORKSHOP MANAGEMENT OF ASTHMA 8


Gambar 2. Alat peak flow meter (PFM)

Peak flow meter digunakan untuk melakukan beberapa uji


berikut:
i. Uji reversibilitas
Uji reversibilitas atau uji bronkodilator menggunakan PFM dilakukan
dengan dengan membandingkan FEV1 sebelum dan setelah diberikan
inhalasi SABA. Peningkatan PFM >20% mendukung adanya
bronkokonstriksi yang disebabkan asma.
ii. Uji variabilitas
Uji variabilitas dilakukan untuk menilai variabilitas obstruksi saluran
respiratori pada pagi dan sore hari. Perbedaan rerata PEF diurnal
(pagi-sore) sebesar >13% yang diukur dengan alat PFM yang sama
selama dua minggu, mendukung diagnosis asma. Secara sederhana
dapat dihitung dengan rumus di bawah ini.
𝑃𝐸𝐹 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 − 𝑃𝐸𝐹 𝑡𝑒𝑟𝑒𝑛𝑑𝑎ℎ
𝑛% = 1/2 𝑋 (𝐸𝐹 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 + 𝑃𝐸𝐹 𝑡𝑒𝑟𝑒𝑛𝑑𝑎ℎ) X 100

2. Pemeriksaan penunjang untuk membuktikan adanya inflamasi dan atopi


• Pemeriksaan penunjang lain untuk membuktikan adanya inflamasi pada
saluran respiratori seperti FeNO dan pemeriksaan eosinofil sputum,
serta pemeriksaan untuk menilai atopi tidak direkomendasikan untuk
dilakukan secara rutin pada anak asma.
• Atopi meningkatkan kemungkinan diagnosis asma, tetapi atopi tidak
selalu didapatkan pada pasien asma dan tidak spesifik. Oleh karena itu
pemeriksaan untuk menilai adanya atopi seperti kadar eosinophil darah
total, uji cukit kulit menggunakan alergen lingkungan yang umum dan

WORKSHOP MANAGEMENT OF ASTHMA 9


pemeriksaan IgE total maupun spesifik tidak direkomendasikan sebagai
pemeriksaan rutin untuk penegakan diagnosis asma anak.

Pemeriksaan penunjang lain


• Foto Rontgen dada tidak direkomendasikan dilakukan secara rutin
sebagai alat penunjang penegakan diagnosis asma, tapi dapat dilakukan
jika terdapat kecurigaan diagnosis lain.
• Pada anak yang dicurigai tuberkulosis, bronkiektasis, sinusitis, dan
lainnya dapat dilakukan pemeriksaan penunjang lain sesuai indikasi.

D. Alur Diagnosis Asma


Gambar 3 menunjukkan alur untuk mendiagnosis asma pada anak.
• Langkah pertama adalah melakukan anamnesis untuk
mengidentifikasi adanya gejala berikut: batuk, mengi, sesak napas
atau dada tertekan dengan karakteristik timbul kronik atau
berulang, cenderung memberat pada malam atau menjelang dini
hari, atau batuk hingga terbangun, timbul bila ada pencetus dan
membaik bila pencetus dihilangkan atau bila diberi obat pereda.
• Selanjutnya dilakukan pemeriksaan fisis. Langkah awal pada
pemeriksaan fisis adalah menentukan apakah anak dalam kondisi
distress respirasi atau kegawatan lain.
• Jika anak dalam keadaan distress respirasi atau kegawatan lain,
atasi terlebih dahulu keadaan tersebut dan ikuti alur diagnosis
setelah distress respirasi atau kegawatan teratasi.
• Jika anak dalam keadaan stabil, idealnya dilakukan pemeriksaan
spirometri.
o Jika spirometer atau PFM tersedia:
- Jika hasil spirometri atau PFM mendukung diagnosis asma,
maka diagnosis asma dapat ditegakkan

WORKSHOP MANAGEMENT OF ASTHMA 10


Gambar 3. Alur Diagnosis Asma pada Anak Usia 6 Tahun ke Atas

Jika hasil spirometri atau PFM tidak sesuai dengan karakteristik asma,
berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisis masing-masing pasien,
dokter dapat memutuskan apakah pasien akan diberi terapi empiris asma, diulang
pemeriksaan spirometri, atau dipikirkan diagnosis lain atau adanya komorbid.

WORKSHOP MANAGEMENT OF ASTHMA 11


o Jika spirometer tidak tersedia:
- Diagnosis asma ditegakkan secara klinis, berdasarkan gejala, pemeriksaan
fisis dan respons terhadap obat SABA yang diberikan selama 3–5 hari
(idealnya diberikan secara inhalasi).
- Pemberian steroid dapat dipertimbangkan jika tidak ada respons terhadap
obat SABA tersebut. Jika respons klinis baik (gejala menghilang atau
berkurang), diagnosis asma dapat dipertimbangkan. Jika tidak membaik
dengan terapi awal empirik tersebut, perlu dipikirkan diagnosis selain asma.

E. Diagnosis Banding
Diagnosis banding asma (Tabel 1) perlu dipertimbangkan pada saat awal
menentukan diagnosis, juga pada asma yang tidak terkendali dengan baik
walaupun sudah mendapat tata laksana yang adekuat.
Tabel 1. Diagnosis Banding Asma pada Anak
Infeksi dan kelainan imunologis Patologi bronkus
- Rinitis, rinosinusitis - Displasia bronkopulmonal
- Chronic upper airway cough - Bronkiektasis
syndrome - Diskinesia silia primer
- Infeksi respiratori berulang - Fibrosis kistik
- Bronkiolitis
- Aspirasi berulang
- Tuberkulosis Kelainan sistem organ lain
Obstruksi mekanis - Penyakit refluks gastro-
- Laringomalasia, trakeomalasia esofagus (GERD)
- Hipertrofi timus - Penyakit jantung bawaan
- Aspirasi benda asing - Gangguan neuromuskular
- Vascular ring, laryngeal web
- Disfungsi pita suara
- Malformasi kongenital saluran
respiratori

2. Klasifikasi Asma
Asma memiliki variasi yang luas, sehingga terdapat beberapa cara
pengelompokannya. Untuk kepentingan praktis di lapangan dalam menentukan
tata laksana, setelah diagnosis asma ditegakkan selanjutnya harus diklasifikasi
berdasarkan kekerapan gejala. Apabila anak datang dalam serangan, maka
dokter harus menentukan derajat serangan.

A. Klasifikasi berdasarkan kekerapan gejala (aspek kronik)


Berdasarkan kekerapan gejalanya, asma anak dibedakan menjadi
intermiten dan persisten (Tabel 2).

WORKSHOP MANAGEMENT OF ASTHMA 12


Tabel 2 Klasifikasi Asma Berdasarkan Kekerapan Gejala

Derajat Asma Keterangan


Intermiten Episode gejala asma satu kali sebulan atau lebih jarang
Persisten Episode gejala asma 2 kali sebulan, tetapi tidak >1 kali
ringan seminggu
Persisten Episode gejala asma >1 kali seminggu; namun tidak
sedang setiap hari
Persisten berat Episode gejala asma hampir tiap hari
Dimodifikasi dari GINA 2022

Klasifikasi berdasarkan kekerapan gejala dipakai sebagai dasar penilaian


awal pasien untuk tata laksana jangka panjang. Beberapa hal yang harus
diperhatikan dalam diagnosis dan klasifikasi kekerapan asma antara lain:
• Jika belum yakin, maka klasifikasi berdasarkan kekerapan gejala dibuat
setelah diberikan tata laksana umum (pengendalian lingkungan dan
penghindaran pencetus) selama 4 minggu.
• Jika sudah yakin diagnosis dan klasifikasi asma sejak kunjungan awal, maka
tata laksana (non mendikamentosa dan medikamentosa) dapat dilakukan
sesuai klasifikasi.
• Klasifikasi kekerapan digunakan sebagai acuan awal penetapan jenjang tata
laksana jangka panjang.
• Klasifikasi berdasarkan kekerapan dapat berubah pada kunjungan berikutnya
sesuai dengan kondisi pasien pada saat diperiksa.

B. Klasifikasi berdasarkan Derajat Serangan (aspek akut)


Berdasarkan berat ringannya serangan, asma diklasifikasikan menjad
serangan ringan-sedang, serangan berat, dan serangan dengan ancaman henti
napas. Penjelasan lebih detail terkait derajat serangan asma akan dibahas di
Bab Tata Laksana Serangan.
C. Klasifikasi berdasarkan derajat kendali
Asma terkendali adalah asma yang tidak bergejala dengan atau tanpa obat
pengendali dan kualitas hidup pasien baik. Klasifikasi berdasar derajat
kendali dibagi menjadi terkendali penuh, terkendali sebagian atau tidak
terkendali (Tabel 3)

WORKSHOP MANAGEMENT OF ASTHMA


13
Tabel 3. Klasifikasi Asma berdasarkan Derajat Kendali

Terkendali Terkendali Tidak


Kriteria
penuh sebagian terkendali
Dalam 4 minggu terakhir
apakah pasien mengalami:
- Gejala asma siang hari
>2 kali seminggu
Semua
- Terbangun malam hari 1-2 3-4
kriteria
karena asma kriteria kriteria
tidak ada
- Penggunaaan obat
pereda >2 kali
seminggu
- Keterbatasan aktivitas
karena gejala asma

3. Penulisan Diagnosis Asma


Apabila sudah didiagnosis asma, penulisan diagnosis asma sebaiknya
dibuat secara lengkap yang menunjukkan apakah anak dalam serangan asma atau
tidak, derajat kekerapan asma dan kondisi kendali asmanya. Jadi perlu dibedakan
antara derajat penyakit asma (aspek kronik) dengan derajat serangan asma
(aspek akut). Secara sistematis tahapan penulisan diagnosis asma dapat dilihat
di Tabel 4.
a. Penentuan klasifikasi kekerapan
Penentuan awal klasifikasi kekerapan seperti yang telah dijelaskan di atas.
Setelah mendapatkan tata laksana jangka panjang, kekerapan asma ditentukan
berdasarkan keadaan anak pada saat kunjungan ulang. Dengan demikian derajat
kekerapan yang telah ditentukan pada awal dapat berubah menjadi derajat yang
lebih rendah atau tinggi.
Contoh: Pada saat awal pasien datang didiagnosis dokter sebagai asma tanpa
serangan, persisten sedang, belum terkendali. Selanjutnya pasien mendapatkan
terapi pengendali selama 2 bulan. Pada saat periksa kembali ke dokter, anak
tidak ada gejala maupun serangan asma, dan dalam 2 bulan terakhir juga tidak
ada gejala maupun serangan asma. Diagnosis pada saat kunjungan ulang tersebut
menjadi: asma tanpa serangan, persisten sedang, terkendali penuh.
b. Penentuan derajat serangan asma
Pada saat pasien periksa, identifikasi apakah pasien bergejala atau tidak. Jika
bergejala, tuliskan apakah pasien dalam serangan atau tidak. Jika dalam
serangan, tuliskan klasifikasi derajat serangan.

WORKSHOP MANAGEMENT OF ASTHMA 14


c. Penentuan derajat kendali
Derajat kendali asma ditentukan sejak periksa awal atau setelah 4
minggu menjalani tata laksana jangka panjang awal. Derajat kendali dinilai
secara retrospektif berdasarkan keadaan anak dalam 4 minggu terakhir.

Tabel 4. Penulisan Diagnosis Asma

Derajat kekerapan Keadaan saat ini Derajat kendali


- Intermiten - Tanpa gejala - Terkendali penuh
- Persisten ringan - Gejala - Terkendali sebagian
- Persisten - Serangan ringan-
- Tidak terkendali
sedang sedang
- Persisten berat - Serangan berat
- Serangan asma
dengan ancaman henti
napas
Catatan: Penulisan diagnosis asma pada anak harus lengkap, yang
menunjukkan derajat kekerapan, keadaan saat diperiksa, dan derajat kendali.

WORKSHOP MANAGEMENT OF ASTHMA 15


BAB III

TATA LAKSANA JANGKA PANJANG


Tata laksana jangka panjang pada anak dengan asma meliputi tata
laksana medikamentosa dan non-medikamentosa. Tujuan tata laksana jangka
panjang adalah agar gejala asma terkendali terkendali penuh, risiko terjadinya
serangan dan perburukan fungsi respiratori di kemudian hari rendah, dan risiko
terjadinya efek samping obat seminimal mungkin.
Tata laksana non-medikamentosa (antara lain penghindaran faktor
pencetus, pengendalian faktor risiko) dan medikamentosa merupakan bagian
tidak terpisahkan dalam tata laksana jangka panjang asma.
Pendekatannya adalah berdasarkan derajat kendali dan keadaan
masing-masing pasien (personalized control-based asthma management)
dengan siklus kegiatan yang berkesinambungan dari penilaian pasien,
penyesuaian tata laksana, dan pengkajian respons (Gambar 1).

Gambar 1. Siklus tata laksana jangka panjang (Diadaptasi dari GINA, 2022)
Langkah awal yang perlu dilakukan adalah:
a. Menentukan derajat kekerapan gejala dan derajat kendali asma.
b. Mengidentifikasi adanya faktor risiko timbulnya serangan di kemudian hari
(Tabel 1)

WORKSHOP MANAGEMENT OF ASTHMA 16


c. Mengidentifikasi adanya komorbid. Beberapa komorbid yang sering
ditemui pada anak asma, antara lain rinitis atau rinosinusitis alergi,
penyakit refluks gastroesofageal (GERD), obesitas, obstructive sleep
apnea, alergi makanan, dan gangguan psikososial (kecemasan atau
depresi).
d. Melakukan uji fungsi respiratori (bila mampu laksana).

Tabel 1. Faktor risiko terjadinya serangan pada anak asma usia >6 tahun
• Gejala asma tidak terkendali
• Penggunaan SABA yang sering (hampir setiap hari, lebih dari 3
kali per minggu, setara dengan > 3 canister MDI per tahun)
• Penggunaan KI sebagai obat pengendali yang tidak adekuat;
pemakaian tidak teratur, teknik inhalasi salah
• Adanya komorbid, seperti obesitas, rinosinusitis kronis, GERD,
alergi makanan
• Masalah psikososial yang berat
• Paparan asap rokok, e-cigarette, polusi udara dan allergen
• FEV1 rendah (<60% prediksi), responsivitas tinggi pada uji
bronkodilator
• Eosinofilia (darah atau sputum)
• Pernah diintubasi atau perawatan ICU karena asma
• Pernah serangan berat dalam 12 bulan terakhir
*Adanya satu atau lebih faktor risiko ini meningkatkan risiko terjadinya
serangan asma, walaupun gejala asmanya ringan. FEV 1 forced expiratory
volume in one second; GERD gastroesophageal reflux disease; ICU intensive
care unit; KI kortikosteroid inhalasi; SABA short acting beta agonist.
Diadaptasi dari GINA 2022

Selanjutnya, tata laksana medikamentosa direncanakan sesuai dengan


derajat kekerapan asma, yang juga mempertimbangkan faktor risiko terjadinya
serangan, usia, kepatuhan, biaya, ketersediaan obat dan alat inhalasi, serta
preferensi pasien/keluarga.
Pada saat kunjungan ulang dilakukan:
a. Pengkajian terhadap tata laksana yang telah diberikan
- Gejala
- Serangan
- Efek samping obat
- Kepuasan orang tua atau pasien
- Uji fungsi respiratori (lakukan bila mampu laksana)

b. Penilaian

WORKSHOP MANAGEMENT OF ASTHMA 17


- Pada pasien yang telah mendapatkan obat pengendali dengan obat
inhalasi, nilai teknik inhalasi dan kepatuhan pasien terhadap
pengobatan
- Derajat kekerapan gejala (intermiten, persisten ringan, sedang
atau berat)
- Derajat kendali asma (tidak terkendali, terkendali sebagian dan
terkendali penuh)
- Serangan dan derajatnya
- Faktor risiko timbulnya serangan di kemudian hari
- Komorbid
- Preferensi atau pilihan orang tua atau pasien
- Hasil uji fungsi respiratori (jika mampu laksana)
c. Penyesuaian tata laksana
- Tata laksana komorbid dan faktor risiko yang bisa diperbaiki
- Tata laksana non-medikamentosa
- Penyesuaian medikamentosa, step up atau step down
- Edukasi dan pelatihan ketrampilan menggunakan alat inhalasi

A. Tata Laksana Jangka Panjang Untuk Usia 6-11 Tahun


- Pada anak dengan asma intermiten yang memiliki faktor risiko terjadinya
serangan seperti yang ada di Tabel 1, diberi tata laksana sebagai asma
persisten ringan
- Bila pasien datang pertama kali dengan asma yang tidak terkendali atau
datang dalam kondisi serangan, maka pilihan pengobatan jangka panjang
disesuaikan dengan keadaan pasien. Dapat dipertimbangkan tambahan
kortikosteroid oral jangka pendek bila anak datang dengan serangan.
- KI-formoterol sebagai pengendali dan pereda dapat menjadi pilihan untuk
asma persisten sedang (dosis sangat rendah), dan asma persisten berat (dosis
rendah) untuk anak usia 6-11 tahun.

Gambar 2 menunjukkan jenjang tata laksana jangka panjang pada anak


usia 6-11 tahun. Jenis dan dosis obat asma disesuaikan, bisa naik atau turun
jenjang sesuai dengan kondisi anak pada saat evaluasi. Teknik inhalasi yang
salah, komorbid, dan pajanan lingkungan sering menyebabkan gejala tidak
terkendali. Hal-hal tersebut harus diperhitungkan sebelum menaikkan jenjang
pengobatan.

WORKSHOP MANAGEMENT OF ASTHMA 18


Gambar 2. Jenjang tata laksana jangka panjang asma pada anak usia 6-11 tahun.
KI kortikosteroid inhalasi; LABA long-acting beta agonist; LAMA long-acting
muscarinic antagonist; LTRA leukotriene receptor antagonist; SABA short-acting
beta agonis.
Diadaptasi dari GINA 2022

B. Tata Laksana Jangka Panjang Pada Remaja Usia 12-18


Tahun
Pada remaja usia 12-18 tahun terdapat dua pilihan untuk tata laksana
jangka panjang. Pilihan yang akan diberikan kepada pasien ditentukan oleh
dokter dengan mempertimbangkan antara lain ketersediaan obat, harga, dan
pilihan pasien/keluarga:
1. Pilihan pertama: menggunakan KI-formoterol sebagai pereda untuk asma
intermiten - persisten ringan, dan sebagai pengendali sekaligus pereda untuk
asma persisten sedang - berat (MART).
2. Pilihan kedua: menggunakan KI atau KI-LABA sebagai pengendali utama,
dan SABA inhalasi sebagai pereda.
- Pada anak dengan asma intermiten yang memiliki faktor risiko terjadinya
serangan seperti yang ada di Tabel 1, diberi tata laksana jangka panjang
sebagai asma persisten ringan
- Bila pasien datang pertama kali dengan asma yang tidak terkendali atau
datang dalam kondisi serangan, maka pilihan pengobatan jangka panjang
disesuaikan dengan keadaan pasien. Dapat dipertimbangkan tambahan
kortikosteroid oral jangka pendek bila anak datang dengan serangan.

WORKSHOP MANAGEMENT OF ASTHMA 19


Gambar 3 menunjukkan jenjang tata laksana jangka panjang pada anak usia
12-18 tahun. Selama periode pemberian tata laksana, jenis dan dosis obat asma
disesuaikan, bisa naik atau turun jenjang sesuai dengan kondisi anak pada saat
evaluasi. Ketidakpatuhan dalam pemakaian obat, komorbid, dan pajanan
lingkungan sering menyebabkan gejala tidak terkendali pada remaja. Sebelum
menaikkan jenjang pengobatan, faktor-faktor ini harus diatasi terlebih dahulu.

Gambar 3. Tata laksana jangka panjang asma pada anak usia 12-18 tahun. KI
kortikosteroid inhalasi; LABA long-acting beta agonist; LTRA leukotriene receptor
antagonist; SABA short-acting beta agonis.
Diadaptasi dari GINA 2022

C. Follow Up Dan Penyesuaian Pengobatan


Pemantauan dan penilaian berkala dilakukan antara lain untuk menilai
gejala, derajat kendali, faktor risiko dan terjadinya serangan serta mengevaluasi
respons terhadap perubahan pengobatan yang diberikan. Hal-hal yang perlu
dievaluasi pada saat kunjungan ulang secara lebih detail ditampilkan pada Tabel
4.
Beberapa kuesioner pada anak juga dapat dipakai untuk membantu
menilai kendali gejala setelah pemberian obat jangka panjang, seperti asthma
control test (ACT), children asthma control test (c-ACT) dan asma control
questionare (ACQ) yang dapat mengukur kendali gejala secara semi-kuantitatif.
Frekuensi kunjungan ulang tergantung pada keadaan pasien. Pada awal
pengobatan, kunjungan untuk pemantauan dapat dilakukan pada 2-4 minggu

WORKSHOP MANAGEMENT OF ASTHMA 20


setelah mulai pemberian obat pengendali. Kunjungan selanjutnya bisa dilakukan
tiap 1-2 bulan, dan derajat kendali dinilai secara retrospektif dalam 4 minggu
terakhir. Pada pasien yang mengalami serangan, sebaiknya periksa ke dokter
seminggu setelah serangan.
Tabel 4. Penilaian Pada Kunjungan Ulang.
Menilai kendali asma dan fungsi respiratori
- Menilai derajat kendali asma dalam 4 minggu terakhir
- Menilai faktor risiko terjadinya serangan dan efek samping obat
- Uji fungsi respiratori (spirometri) 3-6 bulan sejak terapi dengan
obat pengendali, kemudian secara periodik (misalnya setiap
tahun atau lebih sering)
Menilai masalah pengobatan
- Mencatat jenjang pengobatan yang dipakai saat ini
- Memperhatikan teknik inhalasi, menilai kepatuhan dan efek
samping
- Memastikan pasien memiliki rencana aksi asma
- Menggali persepsi pasien terhadap asmanya.
Menilai adanya komorbiditas
- Rinitis atau rinosinusitis alergi, refluks gastroesofageal, obesitas,
obstructive sleep apnea syndrome (OSAS), alergi makanan,
depresi, kecemasan
Diadaptasi dari GINA 2022.

Pengukuran spirometri seharusnya dilakukan bila memungkinkan dan


alat tersedia. Anak yang sudah kooperatif dan remaja seharusnya dilakukan
pemeriksaan spirometri setiap 3-6 bulan. Bila sudah tercapai derajat kendali
penuh, uji fungsi respiratori dapat diperjarang, misalnya setahun sekali,
tergantung dari klinisnya. Sebaliknya bisa dipercepat jika terjadi perburukan.
Selanjutnya tata laksana jangka panjang disesuaikan dengan derajat
kendali asma dan keadaan masing-masing pasien pada saat diperiksa. Jenjang
tata laksana dapat dinaikkan atau diturunkan secara bertahap, atau diganti
jenisnya (Gambar 2 dan 3). Bila anak menggunakan KI-formoterol sebagai
pengendali dan pereda, dosis obat harian dapat disesuaikan sesuai kebutuhan.
Obat dapat dipakai lebih sering (maksimal 54 g formoterol per hari) bila timbul
perburukan gejala.

WORKSHOP MANAGEMENT OF ASTHMA 21


Menaikkan Jenjang Tata Laksana (Step Up)
- Jenjang tata laksana jangka panjang dinaikkan bila setelah 6-8 minggu
pengobatan gejala belum terkendali dengan baik.
- Sebelum menaikkan jenjang, harus dinilai bahwa gejala yang menetap
memang karena asmanya, dosis obat dan teknik inhalasi sudah benar, sudah
tidak ada paparan polusi atau alergen, dan komorbid sudah diatasi bila ada.
- Pada keadaan tertentu terkadang perlu menaikkan jenjang terapi 1-2 minggu
saja, misalnya ketika terjadi infeksi virus saluran napas, untuk mencegah
terjadinya perburukan gejala.

Menurunkan jenjang tata laksana (step down)


- Penurunan jenjang pada dasarnya bertujuan untuk menemukan terapi
minimal yang dapat mempertahankan kendali gejala dan mencegah serangan.
- Jenjang tata laksana dapat diturunkan bila gejala sudah terkendali baik
selama minimal 3 bulan, dan hasil uji fungsi respiratori stabil (bila mampu
laksana). Penurunan jenjang hanya boleh ke satu jenjang di bawahnya.
Penurunan yang terlalu cepat meningkatkan risiko terjadinya serangan berat.
- Penurunan jenjang tata laksana juga harus memperhitungkan risiko
terjadinya serangan. Anak yang pernah mengalami serangan dalam setahun
terakhir berisiko mengalami serangan kembali ketika jenjang terapi
diturunkan.
- Respons terhadap kendali gejala dan terjadinya serangan harus dievaluasi
bila jenjang diturunkan. Pemantauan harus dilakukan lebih ketat pada pasien
yang mempunyai risiko tinggi terjadinya serangan. Orang tua diberitahu
untuk kembali ke jenjang sebelumnya bila gejala asma memburuk.

WORKSHOP MANAGEMENT OF ASTHMA 22


BAB IV
Tata Laksana Serangan Asma

Definisi
Serangan asma adalah episode peningkatan yang progresif
(perburukan) dari gejala batuk, sesak napas, mengi, rasa dada tertekan, atau
berbagai kombinasi dari gejala-gejala tersebut. Serangan asma biasanya
mencerminkan gagalnya tata laksana asma jangka panjang, atau adanya pajanan
dengan pencetus.

Tujuan Tata Laksana Serangan Asma


- Mengatasi penyempitan saluran napas secepat mungkin
- Mengurangi hipoksemia
- Mengembalikan fungsi respiratori ke keadaan normal secepatnya
- Mengevaluasi dan memperbarui tata laksana jangka panjang untuk
mencegah kekambuhan

Tahapan Tata laksana Serangan Asma


Pendekatan tata laksana serangan asma tergantung dimana serangan
asma itu terjadi, dapat terjadi di rumah atau di fasilitas kesehatan baik primer
maupun rumah sakit. Secara garis besar tahapan tata laksana asma terdiri atas:
- Penilaian derajat serangan asma
- Penilaian faktor risiko kematian akibat asma
- Tata laksana medikamentosa
- Tindak lanjut pasca serangan

Penilaian Derajat Serangan Asma


Saat menghadapi pasien anak dengan serangan asma yang pertama kali
dilakukan adalah menilai derajat serangan bersamaan dengan tata laksana
kegawatannya. Derajat serangan asma diklasifikasikan menjadi serangan ringan-
sedang, serangan berat, dan serangan asma dengan ancaman henti napas (Tabel
1).
Anamnesis
Anamnesis dilakukan untuk mendapatkan informasi berikut:
- Awitan dan pemicu serangan saat ini
- Gejala-gejala untuk menilai derajat serangan, termasuk keterbatasan aktifitas

WORKSHOP MANAGEMENT OF ASTHMA 23


fisis, adanya gejala anafilaksis.
- Faktor yang meningkatkan risiko kematian (Tabel 2)
- Pengobatan yang telah diberikan untuk serangan saat ini
- Pengobatan yang dipakai saat ini (obat pereda dan pengendali), termasuk
dosis dan alat inhalasi yang dipakai, ketaatan, peningkatan dosis dan respons
terhadap pengobatan yang dipakai saat ini.
Tabel 1. Derajat Serangan Asma
Serangan Serangan Serangan dengan
Penilaian
ringan/sedang berat ancaman henti napas

Kesadaran - Tidak - Gelisah Gejala serangan


Bicara gelisah - Kata berat ditambah
Laju napas - Kalimat - Meningkat salah satu:
Retraksi - Meningkat - Jelas
- Letargi
SpO2 - Minimal - < 92%
- Suara napas tak
- 92–95%
terdengar

Pemeriksaan fisis
- Tanda vital dan derajat serangan (Tabel1), meliputi: kesadaran, suhu,
frekuensi nadi, frekuensi napas, tekanan darah, SpO2, kemampuan bicara
lengkap satu kalimat, retraksi dinding dada dan mengi
- Tanda komplikasi atau penyakit penyerta (anafilaksis, pneumonia,
pneumotoraks)
- Tanda dari kondisi lain yang dapat menjadi penyebab distres respirasi
(misalnya tanda gagal jantung, inhalasi benda asing, obstruksi saluran napas
atas)
Pemeriksaan penunjang
▪Saturasi oksigen
Pemeriksaan SpO2 dilakukan dengan menggunakan pulse oximetry
sebelum diberikan terapi oksigen atau 5 menit setelah terapi oksigen
dihentikan. Pasien dengan serangan asma harus dimonitor ketat SpO2-nya,
terutama pada anak yang tidak dapat dilakukan pemeriksaan PEF.
- SpO2 normal pada anak adalah >95%
- SpO2 <92% indikator perlunya rawat inap
- SpO2 <90% tanda diperlukannya terapi yang agresif
▪Spirometri/peak flow metri

WORKSHOP MANAGEMENT OF ASTHMA 24


Pemeriksaan ini belum rutin dikerjakan untuk menilai derajat obstruksi
saluran respiratori. Jika alat tersedia dan kondisi pasien memungkinkan,
PEF atau FEV1 dinilai sebelum diberikan terapi. Selanjutnya pemeriksaan
menggunakan spirometer atau PFM dilakukan satu jam setelah pemberian
terapi awal dan diperiksa berkala sampai respons terhadap terapi komplit.
▪Analisis gas darah
Pemeriksaan ini tidak selalu diperlukan dan hanya dipertimbangkan jika
FEV1 <50% prediksi, atau pada pasien dengan serangan asma berat, atau
pasien yang menetap atau memburuk dengan terapi awal. Hasil PaO2 <60
mmH2O dan PaCO2 normal atau meningkat (khususnya >45 mmH2O)
merupakan petanda gagal napas.
▪Foto toraks
Pemeriksaan foto toraks tidak rutin dilakukan pada pasien dengan serangan
asma. Pemeriksaan ini dipertimbangkan pada serangan berat atau jika
dicurigai terjadi komplikasi (misalnya pneumotoraks) atau ada kondisi lain
(misalnya pneumonia atau inhalasi benda asing) yang menyertai dan/atau
ada ancaman henti napas yang tidak membaik dengan terapi. Kecurigaan
ini perlu diperhatikan pada anak yang disertai demam, tidak ada riwayat
keluarga dengan asma, dan wheezing unilateral.

Penilaian Faktor Risiko Kematian


Sebagian anak dengan asma memiliki peningkatan risiko kematian
karena serangan asma (Box 1). Keadaan tersebut harus segera diketahui dan
dicatat. Anak dengan risiko tersebut perlu dilakukan tata laksana di fasilitas
kesehatan yang memiliki ruang perawatan intensif dengan pemantauan lebih
ketat jika terjadi serangan asma.
Tata Laksana Medikamentosa
Edukasi perlu diberikan kepada orangtua mengenai gejala serangan asma, dan
tata laksana awal di rumah. Orang tua harus paham kapan harus membawa anak
ke fasilitas kesehatan untuk mencegah keadaan yang lebih parah.
Tata Laksana Serangan Asma di Rumah
Semua pasien/orangtua pasien asma harus diberi edukasi tentang bagaimana
mengenal gejala asma dan tanda perburukan/serangan asma, serta tentang
rencana tata laksana asma yang diberikan tertulis (rencana aksi asma, RAA).
Dalam edukasi dan RAA harus disampaikan dengan jelas tentang jenis obat dan
dosisnya serta kapan orangtua harus segera membawa anaknya ke fasyankes.

WORKSHOP MANAGEMENT OF ASTHMA 25


Box 1
Faktor-faktor yang meningkatkan risiko kematian akibat asma:
- Intubasi/penggunaan ventilator mekanik karena serangan asma
- Masuk UGD/perawatan rumah sakit karena asma dalam setahun terakhir
- Penggunaan steroid sistemik (saat ini atau baru berhenti)
- Penggunaan SABA yang berlebihan (setara dengan >1 kanister per bulan,
setiap hari menggunakan obat selama 1 bulan)
- Tidak teratur berobat sesuai yang dianjurkan dokter
- Penyakit psikiatrik atau masalah psikososial
- Alergi makanan
- Adanya komorbid pneumonia, diabetes, dan atau aritmia

Anak dengan risiko tinggi (Box 1) harus segera dibawa ke fasyankes


terdekat, tanpa menunggu respons terapi yang diberikan di rumah.
Jika tidak ada keadaan seperti pada Box 1, berikan inhalasi SABA via
nebulizer; atau menggunakan MDI + spacer (bila serangan tidak berat dan anak
sudah terbiasa memakainya).
A. Jika diberikan via nebulizer
- Berikan SABA, lihat responsnya. Bila gejala sesak napas dan mengi
menghilang, cukup diberikan satu kali.
- Jika gejala belum membaik dalam 30 menit, ulangi pemberian sekali lagi
- Jika dengan 2 kali pemberian SABA via nebulizer belum membaik,
segera bawa ke fasyankes.
B. Jika menggunakan MDI + spacer
- Berikan SABA serial via spacer dengan dosis: 2-4 semprot. Caranya satu
semprot obat ke dalam spacer diikuti 6-8 tarikan napas melalui spacer.
Bila belum ada respons berikan semprot berikutnya dengan siklus yang
sama, sampai 4 semprot. Jika membaik dengan dosis <4 semprot, inhalasi
dihentikan.
- Jika gejala belum membaik dalam 30 menit, ulangi pemberian sekali lagi
(2-4 semprot)
- Jika gejala tidak membaik dengan dua kali pemberian dosis 4 semprot,
segera bawa ke fasyankes.
Tata Laksana Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
Alur tata laksana serangan asma di fasilitas pelayanan kesehatan primer atau
klinik ditunjukkan di Gambar 1. Langkah awal, nilai derajat keparahan serangan
asma dan cari faktor risiko kematian akibat asma (Box-1).
- Jika derajat serangan berat atau mengancam nyawa, segera rujuk ke
fasilitas pelayanan kesehatan rujukan. Sambil menunggu persiapan
rujukan, berikan oksigen dan inhalasi SABA + ipratropium bromida.

WORKSHOP MANAGEMENT OF ASTHMA 26


- Jika derajat serangan ringan/sedang, tata laksana awal pada pasien adalah
pemberian inhalasi SABA, baik melalui nebulizer atau pMDI (+spacer).
Pemberian inhalasi SABA dapat diulang tiga kali dengan selang waktu
20 menit. Pertimbangkan pemberian ipratropium bromida jika tidak
respon dengan beta agonis tunggal.

Tata Laksana Di Fasker Rujukan/UGD Rumah Sakit


Pasien asma datang ke UGD dengan derajat serangan yang bervariasi mulai dari
ringan-sedang, berat sampai serangan asma dengan ancaman henti napas
(Gambar 2). Sebagai Langkah awal, nilai derajat keparahan serangan asma dan
cari faktor risiko kematian akibat asma (Box-1).
Anamnesis singkat terfokus dan pemeriksaan fisik yang relevan harus
dilakukan bersamaan dengan pemberian terapi awal.
▪ Jika terdapat ancaman henti napas, yaitu gejala distres napas berat,
penurunan kesadaran (tampak mengantuk atau gelisah), atau suara paru tak
terdengar, segera siapkan untuk perawatan di PICU.
▪ Sambil mempersiapkan rujukan, berikan tata laksana:
- Inhalasi SABA (+ ipratropium bromida) via nebulizer
- Oksigen
- Siapkan intubasi jika indikasi
- Pasang jalur parenteral
- Kortikosteroid sistemik (prednison atau metil-prednisolon 1-2
mg/kgBB/hari, maks 40 mg/hari)
- Inhalasi kortikosteroid dosis tinggi

WORKSHOP MANAGEMENT OF ASTHMA 27


Gambar 1. Alur tata laksana serangan asma di faskes primer

WORKSHOP MANAGEMENT OF ASTHMA 28


Gambar 7.2 Alur tata laksana serangan asma di rumah sakit

▪ Pasien dengan serangan berat yang disertai dengan dehidrasi dan asidosis
metabolik mungkin akan mengalami refrakter, yaitu respons yang kurang
baik terhadap SABA. Pasien seperti ini cukup diberikan inhalasi SABA datu
kali, kemudian secepatnya dirawat untuk mendapat obat intravena dan diatasi
masalah dehidrasi dan asidosisnya.
▪ Jika derajat serangan ringan/sedang, tata laksana pada pasien adalah:
- Oksigen jika SpO2 <92%
- Inhalasi SABA, baik melalui nebulizer atau pMDI + spacer. Pemberian

WORKSHOP MANAGEMENT OF ASTHMA 29


inhalasi SABA dapat diulang tiga kali dengan selang waktu 20 menit.
Pertimbangkan pemberian ipratropium bromida jika tidak respon
dengan beta agonis tunggal.
- Steroid sistemik atau inhalasi steroid dosis tinggi

Tata laksana di Ruang Rawat Sehari


Oksigen yang telah diberikan saat pasien masih di UGD tetap diberikan. Setelah
pasien menjalani dua kali nebulisasi dalam 1 jam dengan respons parsial di
UGD, di ruang rawat sehari diteruskan dengan inhalasi SABA dan ipratropium
bromida setiap 2 jam.
Kemudian, berikan steroid sistemik oral berupa prednisolon atau
metilprednisolon. Pemberian steroid ini dilanjutkan hingga 3-5 hari. Jika dalam
12 jam klinis tetap baik, maka pasien dipulangkan dan dibekali obat seperti
pasien serangan ringan sedang yang dipulangkan dari klinik/UGD.
Tata laksana di Ruang Rawat Inap
Berikut tata laksana yang diberikan setelah pasien masuk ke ruang
rawat inap:
▪ Pemberian oksigen diteruskan.
▪ Jika ada dehidrasi dan asidosis maka berikan cairan intravena dan
koreksi asidosisnya.
▪ Kortikosteroid intravena diberikan secara bolus, setiap 6-8 jam. Dosis
kortikosteroid intravena adalah 0,5-1 mg/kgBB/hari.
▪ Inhalasi SABA kombinasi dengan ipratropium bromida dilanjutkan
setiap 1-2 jam. Jika dalam 4-6 kali pemberian mulai terjadi perbaikan
klinis, jarak pemberian dapat diperlebar menjadi tiap 4-6 jam.
▪ Aminofilin diberikan secara intravena dengan dosis:
A. Bila pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya, aminofilin
dosis awal (inisial) sebesar 6-8 mg/kgBB, yang dilarutkan dalam
dekstrosa atau garam fisiologis sebanyak 20 ml, dan diberikan
selama 30 menit, dengan infusion pump atau mikroburet.
B. Bila, respons belum optimal dilanjutkan dengan pemberian
aminofilin dosis rumatan sebanyak 0,5-1 mg/kgBB/jam.
C. Jika pasien telah mendapat aminofilin (kurang dari 8 jam), dosis
diberikan separuhnya, baik dosis awal (3-4 mg/kgBB) maupun
rumatan (0,25-0,5 mg/kg/jam).
D. Bila memungkinkan, sebaiknya kadar aminofilin diukur dan
dipertahankan 10-20 mcg/ml.
E. Pantau gejala-gejala intoksikasi aminofilin, efek samping yang

WORKSHOP MANAGEMENT OF ASTHMA 30


sering adalah mual, muntah, takikarsi dan agitasi. Toksisitas yang
berat dapat menyebabkan aritmia, hipotensi, dan kejang.
▪ Bila telah terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan setiap 6 jam
hingga mencapai 24 jam, dan steroid serta aminofilin diganti dengan
pemberian peroral.
▪ Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan
dibekali obat SABA (hirupan atau oral) yang diberikan setiap 4-6 jam
selama 24-48 jam. Selain itu, steroid oral dilanjutkan hingga pasien
kontrol ke klinik rawat jalan dalam 3-5 hari untuk reevaluasi tata
laksana.

Kriteria rawat di Ruang Rawat Intensif


Pasien yang sejak awal di UGD sudah memperlihatkan tanda-tanda ancaman
henti napas langsung dirawat di ruang rawat intensif (intensive care unit, ICU).
Kriteria pasien yang memerlukan ICU adalah:
- Tidak ada respons sama sekali terhadap tata laksana awal di UGD dan/atau
perburukan asma yang cepat.
- Adanya kebingungan, disorientasi, dan tanda lain ancaman henti napas, atau
hilangnya kesadaran.
- Tidak ada perbaikan dengan tata laksana baku di ruang rawat inap.
- Ancaman henti napas: hipoksemia tetap terjadi meskipun sudah diberi
oksigen (kadar PaO2 <60 mmHg dan/atau PaCO2 >45 mmHg, meskipun
tentu saja gagal napas dapat terjadi pada kadar PaCO2 yang lebih tinggi atau
lebih rendah). Penggunaan ventilator tidak dibahas dalam pedoman ini.

Tabel 2. Pilihan dan dosis steroid untuk serangan asma


Nama Generik Sediaan Dosis
metilprednisolon tablet 4 mg, 8 mg 0,5-1 mg/kgBB/hari – tiap 6 jam
prednison tablet 5 mg 0,5-1 mg/kgBB/ hari – tiap 6 jam
metilprednisolon vial 125 mg, 30 mg dalam 30 mnt (dosis tinggi)
suksinat injeksi vial 500 mg tiap 6 jam
hidrokortison-
vial 100 mg 4 mg/kgBB/kali – tiap 6 jam
suksinat injeksi
0,5-1 mg/kgBB – bolus,
deksametason
Ampul dilanjutkan 1 mg/kgBB/hari
injeksi
diberikan tiap 6−8 jam
betametason
Ampul 0,05-0,1 mg/kg BB – tiap 6 jam
injeksi

WORKSHOP MANAGEMENT OF ASTHMA 31


Penatalaksanaan Asma Berdasarkan Derajat Serangan
A. Serangan asma ringan sedang (lihat alur serangan asma)
Pada pasien yang memenuhi kriteria gejala klinis untuk serangan asma
ringan sedang, sebagai tindakan awal pasien diberikan SABA lewat nebulisasi
atau MDI dengan spacer, yang dapat diulang hingga 3 kali selang 20 menit
dalam 1 jam, pertimbangkan untuk menambahkan ipratropium bromida jika
tidak terdapat respon klinis, pada masing-masing langkah pemberian. Pemberian
SABA dapat dihentikan jika pasien menunjukkan respon klinis yang baik. Pasien
diobservasi dalam satu jam, jika baik pasien dapat dipulangkan. Kortikosteroid
oral diberikan dengan dosis setara prednison atau prednisolon 1-2 mg/kgBB,
dapat diteruskan selama 3-5 hari, tanpa tappering off, dengan maksimal
pemberian 1 kali dalam 1 bulan.
Pemberian steroid ini harus dilakukan dengan cermat untuk mencegah
pengulangan lebih dari 1 kali per bulan dan pada saat penulisan resep tambahkan
keterangan ‘do not iter’. Pasien kemudian dianjurkan untuk kontrol ke klinik
rawat jalan dalam waktu 3-5 hari untuk direevaluasi tata laksananya. Selain itu,
jika sebelum serangan pasien sudah mendapat obat pengendali, obat pengendali
dilanjutkan.
Pemberian inhalasi kortikosteroid dosis tinggi (setara budosenide 1500
ug – 3000 ug dalam dosis terbagi atau dosis tunggal) dapat dipertimbangkan
pada anak diatas 5 tahun sebagai alternatif terhadap kortikosteroid sistemik.

B. Tatalaksana serangan asma berat (lihat alur serangan asma)


Pasien dengan gejala dan tanda klinis yang memenuhi kriteria serangan
asma berat harus dirawat di ruang rawat inap. Nebulisasi yang diberikan pertama
kali adalah SABA dengan penambahan ipratropium bromida. Oksigen 2-4 liter
per menit diberikan sejak awal termasuk pada saat nebulisasi dengan target
saturasi 94-98%. Kortikosteroid sistemik sebaiknya diberikan secara parenteral
dengan dosis setara prednison atau prednisolon 1-2 mg/kgBB, kortikosteroid
inhalasi dosis tinggi (setara budosenide 1500ug – 3000 ug dalam dosis terbagi
atau dosis tunggal) dapat dipertimbangkan jika tidak memberikan respon dengan
pemberian SABA + ipratropium bromide dan Kortikosteroid sistemik.
Pertimbangkan pemberian aminofilin dan atau MgSO4 jika dengan tatalaksana
diatas tidak memberikan respon.

WORKSHOP MANAGEMENT OF ASTHMA 32


Apabila pasien menunjukkan gejala dan tanda ancaman henti napas,
pasien harus langsung dirawat di ruang rawat intensif. Pemeriksaan rontgen
toraks dilakukan untuk mendeteksi adanya komplikasi pneumotoraks dan/atau
pneumomediastinum.

C. Tatalaksana serangan dengan ancaman henti napas


Pasien asma yang datang ke RS dengan kondisi ancaman henti napas
harus dirawat di ruang intensif/PICU dan konsultasi dengan dokter konsultan
emergensi dan rawat intensif (ERIA) jika tersedia. Persiapkan intubasi jika
kondisi memburuk.
Sambil menunggu persiapan ruangan ICU dapat diberikan nebulisasi
SABA + ipratropium bromide, kortikosteroid sistemik intravena, kortikosteroid
inhalasi dosis tinggi, serta pertimbangkan pemberian aminofilin dan magnesium
intravena.
Tindak Lanjut Pasca Serangan Asma
Salah satu tujuan terapi asma adalah mencegah terjadinya serangan. Jika terjadi
serangan hal tersebut menunjukkan buruknya pengendalian asma. Faktor
pencetus asma perlu diidentifikasi dan dilakukan penghindaran untuk mencegah
terjadinya serangan asma berulang. Pengendalian dengan medikamentosa perlu
diberikan pada beberapa kondisi tertentu dan dibedakan pengelolaannya
berdasarkan riwayat asma pasien dan derajat serangan saat datang.
A. Pasien pertama kali serangan atau terdiagnosis asma
Untuk pasien yang pertama kali terdiagnosis asma jika serangannya ringan
sedang tidak membutuhkan pengendalian secara agresif, tetapi mengikuti
alur tatalaksana jangka panjang pada umumnya. Jika serangannya berat atau
dengan ancaman henti napas maka pasien perlu mendapatkan pengendalian
medikamentosa satu tingkat lebih tinggi diatas jenjangnya.
Contoh kasus.
1. Anak A usia 6 tahun datang ke IGD RS dengan keluhan serangan asma
ringan-sedang, belum pernah mengalami gejala sebelumnya. Setelah

WORKSHOP MANAGEMENT OF ASTHMA 33


mendapatkan tatalaksana di IGD dengan inhalasi SABA menunjukkan
perbaikan dan pulang dengan obat kortikosteroid selama 3 hari.
Tindak lanjut pasien A, edukasi pada orangtua untuk pemantauan dan jika
terjadi serangan berulang diberikan SABA+kortikosteroid, dan dilakukan
evaluasi selama 4-6 minggu.
2. Anak B usia 8 tahun datang ke IGD RS dengan keluhan serangan asma
berat, dengan riwayat asma sebelumnya disangkal. Pasien mendapatkan
tatalaksana di IGD dengan nebulisasi SABA + ipratropium bromide,
kortikosteroid sistemik, dan kortikosterodi inhalasi dosis tinggi dalam satu
jam pertama dan menunjukkan perbaikan minimal, kemudian dirawat di RS
selama 3 hari. Setelah perawatan 3 hari pasien tidak menunjukkan gejala dan
diperbolehkan pulang.
Tindak lanjut pasien B, pasien diberikan pengobatan pengendalian dengan
LABA+kortikosteroid inhalasi dosis rendah sehari satu kali kemudian
dilakukan evaluasi selama 4-6 minggu.
B. Pasien dalam pengobatan pengendalian asma
Pasien yang telah terdiagnosis asma dan mengalami serangan
menunjukkan buruknya pengendalian atau menetapnya faktor pencetus.
Pada pasien tersebut perlu diberikan pengendalian satu tingkat lebih tinggi.
Contoh kasus.
1. Anak A usia 6 tahun dalam pemantauan serangan asma selama 4-6 minggu
setelah serangan ringan sedang di RS datang kembali ke IGD RS pada
minggu ke empat dengan keluhan kembali mengalami serangan asma
ringan-sedang, Setelah mendapatkan tatalaksana di IGD dengan inhalasi
SABA menunjukkan perbaikan. Orangtua sudah mencoba mengidentifikasi
pencetus dan melakukan penghindaran.
Tindak lanjut pasien A, pasien menunjukkan gejala dalam satu bulan satu
kali, sehingga masuk kategori asma intermitten. Penatalaksanaan lanjutan
sama seperti sebelumnya dengan edukasi pemberian SABA+Kortikosteroid
jika serangan.
2. Anak B usia 8 tahun dalam pengendalian asama dengan LABA +
kortikosteroid dosis rendah datang kembali ke IGD RS setelah 4 minggu
pemantauan, dengan keluhan kembali mengalami serangan asma berat.
Pasien mendapatkan tatalaksana di IGD dengan nebulisasi SABA +
ipratropium bromide, kortikosteroid sistemik, dan kortikosterodi inhalasi
dosis tinggi dalam satu jam pertama dan menunjukkan perbaikan. Kemudian

WORKSHOP MANAGEMENT OF ASTHMA 34


dirawat selama satu hari di RS. Setelah perawatan 1 hari pasien menunjukkan
perbaikan dan direncanakan pulang.
Tindak lanjut pasien B, pasien diberikan pengobatan pengendalian dengan
meningkatkan jenjang menjadi satu tingkat lebih tinggi yaitu menggunakan
LABA + kortikosteroid dosis menengah, kemudian evaluasi tiap 4-6 minggu.

WORKSHOP MANAGEMENT OF ASTHMA


35
SKILL CHECKLIST
CARA PENGGUNAAN OBAT ASMA MDI DENGAN SPACER
WORKSHOP HANDS ON INHALATION THERAPY – IPRM 2022

DIKERJAKAN
No. LANGKAH SUB LANGKAH
YA TIDAK

1 Lepaskan tutup MDI. Kemudian Lepaskan tutup


kocok MDI ke atas dan ke MDI
bawah. Kocok MDI ke
atas dan ke
bawah
2 Masukkan MDI dalam lubang di belakang spacer.
3 Ambil posisi duduk tegak.
4 Masukkan masker di dalam Masukkan masker
mulut dan hidung. Tekan masker di dalam mulut
pada wajah. Pastikan tidak ada dan hidung
jarak (gap) antara wajah dan Tekan masker
masker. Pegang masker pada pada wajah,
wajah dengan satu tangan dan pastikan tidak ada
tangan yang lain memegang jarak (gap) antara
spacer, dengan jari di atas wajah dengan
tabung kanister MDI. masker
Pegang masker
pada wajah
dengan satu
tangan
Dan tangan lain
memegang
spacer, dengan
jari Anda di atas
tabung kanister
MDI
5 Tekan tabung canister MDI ke Tekan tabung
bawah untuk menyemprotkan kanister MDI ke
satu semprotan ke dalam spacer. bawah untuk
menyemprotkan
satu semprotan

WORKSHOP MANAGEMENT OF ASTHMA

36
Satu semprotan
ke dalam spacer
6 Bernapas dengan menarik dan menghembuskan
udara melalui mulut beberapa kali (6 - 10 siklus
napas)
7 Jika dibutuhkan lebih dari satu Jika dibutuhkan
semprotan obat, ulangi langkah 5 lebih dari satu
– 7. Jangan menyemprotkan semprotan obat,
lebih dari satu semprotan dalam ulangi langkah 5 –
satu waktu ke dalam spacer. 7
Berikan jeda 30-60 detik dari Jangan
pemberian sebelumnya. menyemprotkan
lebih dari satu
semprotan dalam
satu waktu ke
dalam spacer
Berikan jeda 30-
60 detik dari
pemberian
sebelumnya
8 Bilas mulut dengan berkumur air Bilas mulut
dan keluarkan air tersebut dengan air dan
(jangan ditelan). Membilas mulut keluarkan air
dapat menghilangkan sisa obat tersebut
yang tertinggal di mulut serta Membilas mulut
mengurangi beberapa efek dapat
samping, seperti lapisan putih di menghilangkan
lidah (infeksi jamur) atau sakit sisa obat yang
tenggorokan. tertinggal di mulut
serta mengurangi
beberapa efek
samping, seperti
lapisan putih pada
lidah atau sakit
tenggorokan

UKK Respirologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Rekomendasi


Terapi Inhalasi pada Anak. Edisi ke- 1. Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia; 2019. halaman: 10-11.

WORKSHOP MANAGEMENT OF ASTHMA 37


SKILL CHECKLIST
CARA PENGGUNAAN OBAT ASMA MDI TANPA SPACER
WORKSHOP HANDS ON INHALATION THERAPY – IPRM 2022

No. LANGKAH SUB LANGKAH DIKERJAKAN


YA TIDAK
1 Lepaskan tutup MDI. Kemudian Lepaskan tutup MDI
kocok MDI ke atas dan ke bawah
Kocok MDI ke atas dan
ke bawah
2 Inhaler dipegang tegak
3 Ambil posisi duduk tegak, kemudian pasien melakukan ekspirasi
maksimal secara perlahan.
4 Mulut kanister diletakkan di antara Mulut kanister diletakkan
bibir, bibir dirapatkan, lalu dilakukan di antara bibir dan bibir
inspirasi perlahan dirapatkan
Lakukan inspirasi
perlahan
5 Pada pertengahan inspirasi, Tekan kanister saat
kanister ditekan agar obat keluar, pertengahan inspirasi
inspirasi dilanjutkan hingga agar obat keluar
maksimal
Inspirasi kemudian
dilanjutkan hingga
maksimal
6 Pasien menahan napas selama 10 detik atau dengan
menghitung 10 hitungan pada inspirasi maksimal
7 Jika dibutuhkan lebih dari satu Jika dibutuhkan lebih dari
semprotan obat, ulangi langkah 5 – satu semprotan obat,
7. Jangan menyemprotkan lebih ulangi langkah 5 – 7
dari satu semprotan dalam satu
Berikan jeda 30-60 detik
waktu. Berikan jeda 30-60 detik dari
pemberian sebelumnya. dari pemberian
sebelumnya
8 Bilas mulut dengan berkumur air Bilas mulut dengan air
dan keluarkan air tersebut (jangan dan keluarkan air
ditelan). Membilas mulut dapat tersebut
menghilangkan sisa obat yang
Membilas mulut dapat
tertinggal di mulut serta mengurangi
menghilangkan sisa obat
beberapa efek samping, seperti

WORKSHOP MANAGEMENT OF ASTHMA 38


lapisan putih di lidah (infeksi jamur) yang tertinggal di mulut
atau sakit tenggorokan. serta mengurangi
beberapa efek samping,
seperti lapisan putih pada
lidah atau sakit
tenggorokan
UKK Respirologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Rekomendasi Terapi
Inhalasi pada Anak. Edisi ke- 1. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia;
2019. halaman: 9-10.

WORKSHOP MANAGEMENT OF ASTHMA 39


SKILL CHECKLIST
CARA PENGGUNAAN OBAT ASMA DPI TURBUHALER
WORKSHOP HANDS ON INHALATION THERAPY – IPRM 2022

DIKERJAKAN
No LANGKAH SUB LANGKAH
YA TIDAK
1 Lepaskan tutup DPI turbuhaler. Lepaskan tutup DPI
Kemudian putar grip berlawanan turbuhaler
arah jarum jam hingga maksimal, Putar grip berlawanan
kemudian diputar lagi searah arah jarum jam hingga
jarum jam hingga berbunyi “klik” maksimal
Putar lagi searah jarum
jam hingga berbunyi
“klik”
2 Turbuhaler dipegang tegak
3 Ambil posisi duduk tegak, kemudian pasien melakukan
ekspirasi maksimal secara perlahan.
4 Mouthpiece turbuhaler diletakkan Mouthpiece turbuhaler
di antara bibir, bibir dirapatkan, diletakkan di antara
lalu dilakukan inspirasi cepat, bibir, bibir dirapatkan
kuat, dan dalam hingga maksimal Lakukan inspirasi cepat,
kuat, dan dalam hingga
maksimal
5 Pasien menahan napas selama 10 detik, kemudian
hembuskan napas keluar
6 Jika dibutuhkan lebih dari satu Jika dibutuhkan lebih
hirupan obat, ulangi langkah 4 – dari satu hirupan obat,
6. Jangan menghirup lebih dari ulangi langkah 4 – 6
satu hirupan dalam satu waktu. Jangan menghirup lebih
Berikan jeda 30-60 detik dari dari satu hirupan dalam
pemberian sebelumnya. satu waktu
Berikan jeda 30-60 detik
dari pemberian
sebelumnya
7 Bilas mulut dengan berkumur air Bilas mulut dengan air
dan keluarkan air tersebut dan keluarkan air
(jangan ditelan). Membilas mulut tersebut
dapat menghilangkan sisa obat Membilas mulut dapat
yang tertinggal di mulut serta menghilangkan sisa
mengurangi beberapa efek obat yang tertinggal di

WORKSHOP MANAGEMENT OF ASTHMA 40


samping, seperti lapisan putih di
mulut serta mengurangi
lidah (infeksi jamur) atau sakit
beberapa efek samping,
tenggorokan. seperti lapisan putih
pada lidah atau sakit
tenggorokan
UKK Respirologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Rekomendasi
Terapi Inhalasi pada Anak. Edisi ke- 1. Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia; 2019. halaman: 11-13.

WORKSHOP MANAGEMENT OF ASTHMA 41


SKILL CHECKLIST
CARA PENGGUNAAN OBAT ASMA DPI DISKUS
WORKSHOP HANDS ON INHALATION THERAPY – IPRM 2022

DIKERJAKAN
No. LANGKAH SUB LANGKAH
YA TIDAK
1 Pegang diskus dengan satu Pegang diskus dengan
tangan, letakkan ibu jari tangan satu tangan
lain pada thumb grip, kemudian Letakkan ibu jari tangan
tekan dengan ibu jari hingga lain pada thumb grip
terbuka. Geser lever hingga Kemudian tekan dengan
terdengar atau terasa “klik” ibu jari hingga terbuka
Geser lever hingga
terdengar atau terasa
“klik”
2 Diskus dipegang mendatar
3 Ambil posisi duduk tegak, kemudian pasien melakukan
ekspirasi maksimal secara perlahan.
4 Mouthpiece diskus diletakkan di Mouthpiece diskus
antara bibir, bibir dirapatkan, lalu
diletakkan di antara bibir,
dilakukan inspirasi cepat, kuat, bibir dirapatkan
dan dalam hingga maksimal Lakukan inspirasi cepat,
kuat, dan dalam hingga
maksimal
5 Pasien menahan napas selama 10 detik, kemudian
hembuskan napas keluar
6 Jika dibutuhkan lebih dari satu Jika dibutuhkan lebih dari
hirupan obat, ulangi langkah 4 – satu hirupan obat, ulangi
6. Jangan menghirup lebih dari langkah 4 – 6
satu hirupan dalam satu waktu. Jangan menghirup lebih
Berikan jeda 30-60 detik dari dari satu hirupan dalam
pemberian sebelumnya. satu waktu
Berikan jeda 30-60 detik
dari pemberian
sebelumnya
7 Bilas mulut dengan berkumur air Bilas mulut dengan air
dan keluarkan air tersebut dan keluarkan air
(jangan ditelan). Membilas mulut tersebut

WORKSHOP MANAGEMENT OF ASTHMA 42


dapat menghilangkan sisa obat Membilas mulut dapat
yang tertinggal di mulut sertamenghilangkan sisa obat
mengurangi beberapa efek yang tertinggal di mulut
samping, seperti lapisan putih di
serta mengurangi
lidah (infeksi jamur) atau sakit
beberapa efek samping,
tenggorokan. seperti lapisan putih
pada lidah atau sakit
tenggorokan
UKK Respirologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Rekomendasi
Terapi Inhalasi pada Anak. Edisi ke- 1. Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia; 2019. halaman: 12-13.

WORKSHOP MANAGEMENT OF ASTHMA 43


SKILL CHECKLIST
CARA PENGGUNAAN OBAT ASMA DPI SWINGHALER
WORKSHOP HANDS ON INHALATION THERAPY – IPRM 2022

DIKERJAKAN
No LANGKAH SUB LANGKAH
YA TIDAK
1 Buka tutup swinghaler. Kocok Lepaskan tutup DPI
tabung pada posisi horizontal turbuhaler
dengan arah ke atas lalu ke bawah Putar grip berlawanan
swinghaler sebelum digunakan. arah jarum jam
Tekan swinghaler satu kali sampai hingga maksimal
bunyi “klik” untuk mengeluarkan Putar lagi searah
satu dosis obat. jarum jam hingga
berbunyi “klik”
2 Swinghaler dipegang tegak
3 Ambil posisi duduk tegak, kemudian pasien melakukan
ekspirasi maksimal secara perlahan.
4 Mouthpiece swinghaler diletakkan diMouthpiece
antara bibir, bibir dirapatkan, lalu
swinghaler diletakkan
dilakukan inspirasi cepat, kuat, dan
di antara bibir, bibir
dalam hingga maksimal dirapatkan
Lakukan inspirasi
cepat, kuat, dan
dalam hingga
maksimal
5 Pasien menahan napas selama 10 detik, kemudian
hembuskan napas keluar
6 Jika dibutuhkan lebih dari satu Jika dibutuhkan lebih
hirupan obat, ulangi langkah 4 – 6. dari satu hirupan
Jangan menghirup lebih dari satu obat, ulangi langkah 4
hirupan dalam satu waktu. Berikan –6
jeda 30-60 detik dari pemberian Jangan menghirup
sebelumnya. lebih dari satu hirupan
dalam satu waktu
Berikan jeda 30-60
detik dari pemberian
sebelumnya

WORKSHOP MANAGEMENT OF ASTHMA 44


7 Bilas mulut dengan berkumur air Bilas mulut dengan
dan keluarkan air tersebut (jangan air dan keluarkan air
ditelan). Membilas mulut dapat tersebut
menghilangkan sisa obat yang Membilas mulut dapat
tertinggal di mulut serta mengurangi menghilangkan sisa
beberapa efek samping, seperti obat yang tertinggal di
lapisan putih di lidah (infeksi jamur) mulut serta
atau sakit tenggorokan. mengurangi beberapa
efek samping, seperti
lapisan putih pada
lidah atau sakit
tenggorokan

UKK Respirologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Rekomendasi


Terapi Inhalasi pada Anak. Edisi ke- 1. Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia; 2019. halaman: 12-13.

WORKSHOP MANAGEMENT OF ASTHMA 45

Anda mungkin juga menyukai