Anda di halaman 1dari 25

1

MAKLAH SEJARA & KEBUDAYAAN SUKU MOOR


PROVINSI PAPUA TENGAH

DI
SUSUN
OLEH :

NAMA : YOHANIS WINDESI


NIM : 202355042
KELAS : A
PRODI S1 KEHUTANAN

PROGRAM STUDI FAKULITAS KEHUTANAN


UNIVERSITAS PAPUA
MANOKWARI
2024

DAFTAR ISI
2

HALAMAN JUDUL ..........................................................................................i


DAFTAR ISI......................................................................................................ii
BAB I. PENDAHULUAN ..................................................................................
1.1 Latar Belakang...........................................................................1
1.2 Letak Geografis..........................................................................2
1.3 Pengaruh Agama Kristen...........................................................3
BAB II. WUJUD BUDAYA ................................................................................
2.1 Budaya Ide / Konsep..................................................................5
2.1.1 Aturan Adat.............................................................................7
2.1.2 Sengkerta Warisan...................................................................8
2.2 Pengangkatan anak.....................................................................9
2.2.2 Sistem Perkawinan................................................................10
2.2.3 Lkisah, Dari Suku Moor........................................................11
BAB III. PENUTUP…...............................................................................
3.1 Kesimpulan..............................................................................12
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................
3
Universitas papua

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Suku Moor Juga ( Disebut Juga Sebagai Mora Atau Moora) Sebagai
Kelompok Etnis Yang Bermukim Di Kabupaten Nabire, Provinsi Papua
Tengah. Wilayahnya Tepat Berada Di 'Leher Burung Pulau Papua' Atau Di
Pesisir Teluk Cenderawasih. Secara Geografis, Terletak Pada Posisi Antara
134.35.138.02 Bujur Timur Dan 2.25.4.15 Lintang Selatan. Luas Wilayah
Daerah Tersebut Kurang Lebih 16.350 Km Yang Berbatasan Langsung
Dengan Teluk Sarera (Di Sebelah Utara); Kabupaten Kaimana Dan Kabupaten
Mimika (Di Sebelah Selatan); Kabupaten Waropen Dan Kabupaten Paniai (Di
Sebelah Timur); Kabupaten Teluk Wondama (Di Sebelah Barat).
Populasi....Sementara Itu, Topografi Perkampungan Suku Moor Juga
Bervariasi. Ada Beberapa Wilayah Yang Bertopografi Datar, Bergelombang,
Berbukit, Dan Bergunung. Sebagian Besar Suku Moor Mendiami Di Distrik
Napan Dan Siriwo. Jumlah Mereka Yang Mendiami Di Distrik Siriwo
Diperkirakan Sejumlah 978 Jiwa Yang Terdiri Dari Laki-Laki Sejumlah 584
Jiwa Dan Perempuan Sejumlah 394 Jiwa.
4

1.2 Letak Geografis


Papua mula-mula ditemukan pelaut Portugis, Jorge de Meneses pada taun
1526, menyusul tahun 1545, penjelajah Spanyol yang bernama Ynigo Ortiz de
Retes (Anu Setaningsih 2000:24). Ynigo Ortiz menemukan hamparan pulau di
pesisir utara di dunia yang merupakan pulau terbesar kedua dan diberi nama
Nueve Guinea. Pada tahun 1973 propinsi ini berubah nama menjadi “Irian
Jaya”. “Irian” adalah kata Indonesia untuk New Guinea, dan “Jaya” artinya
kejayaan atau kemenangan. Namun penduduk asli lebih menyukai nama Irian
Jaya menjadi Papua Barat. Papua Barat memiliki etnis asli sama dengan
orang-orang di Papua Timur, papua tengah, dan juga (Papua New
Guinea/PNG) dan juga sama dengan orang-orang Malenesia lainnya di
Pasifik.
Papua merupakan pulau terbesar dari ratusan kepulauan yang ada di
Indonesia, bahkan menjadi pulau terbesar kedua didunia setelah Greenland.
Tidak dipugkiri bahwa banyak masyarakat yang tinggal didalamnya pun
banyak. Dengan kondisi alam yang masih terjaga.
Papua adalah suatu tempat yang spektakuler dengan beragam keindahan,
lereng-lereng gunung yang curam dan hutan-hutan lebat dengan satwa yang
unik di dunia. Banyak tempat yang belum dapat dijamah dan dimasuki oleh
dunia luar, peradaban jaman batu juga masih dapat ditemukan didaerah Papua
ini.
5
Universitas papua

1.3 Pengaruh Agama Kristen


Secara umum, masyarakat suku Moor bermatapencaharian sebagai
nelayan. Profesi pekerjaan itu merupakan konsekuensi logis dari kondisi
geografis tempat tinggal mereka yang berada di pesisir pantai. Lain ceritanya
ketika mereka masih hidup di tengah pulau, kebanyakan dari mereka
mencukupi kebutuhan sehari-harinya dengan berburu di hutan. Sementara itu,
terkait kepercayaan yang mereka anut, suku Moor sebagian besar memeluk
Kekristenan, khususnya Protestan. Hal itu berkaitan dengan masuknya Injil ke
tanah Papua ketika periode kolonialisme. Sebelum memeluk agama Kristen,
suku Moor dikenal sebagai penyembah berhala yang merupakan patung
berbentuk manusia. Kendati telah memeluk agama Ibrahim, suku Moor masih
mematuhi aturan-aturan adat yang sudah sejak lama mereka terapkan. Aturan-
aturan adat itu melingkupi aturan dalam hal pengangkatan anak, pembagian
warisan, dan tata cara perkawinan.
Dalam hal aturan perkawinan, suku Moor tidak menghendaki perkawinan
sedarah sekali pun saudara jauh. Saudara jauh dimaksudkan sebagai sepupu
dua kali atau yang memiliki hubungan keluarga berderajat empat. Mereka
juga melarang perkawinan sesama marga atau kedua mempelai yang berasal
dari marga yang sama. Sebelum upacara perkawinan digelar, kedua mempelai
suku Moor tidak diperkenankan untuk bertemu, apalagi bergandengan tangan
sampai orang tua dari pihak perempuan mengajukan jumlah maskawin yang
wajib diberikan oleh mempelai laki-laki.
Lebih jauh lagi, suku Moor umumnya memiliki ciri keterbukaan kepada
siapa pun. Sebagai misal, ketika ada orang asing yang ingin menginap di
perkampungan mereka, mereka akan menyambutnya dengan ramah dan penuh
suka cita. Mereka juga tidak suka mencampuri urusan orang lain. Sedangkan
dalam hal ciri-ciri fisik, mereka memiliki hidung mancung, kulit berwarna
coklat tua, dan rambut bergelombang.
6

BAB II WUJUD BUDAYA

2.1 Budaya Ide / Konsep


Dalam Hal Pewarisan, Anak Angkat Perempuan Di Suku Moor Memiliki Hak
Yang Sebagaimana Anak Kandung Lainnya. Anak Angkat Perempuan Berhak
Mewarisi Harta Orang Tua Angkatnya Dengan Kedudukan Sebagaimana Anak
Kandung Lainnya. Anak Perempuan Akan Diberikan Bekal Yang Cukup Sampai
Ia Berumah Tangga Dan Mengikuti Suaminya. Namun Demikian, Mereka Juga
Memiliki Kewajiban Untuk Merawat Dan Menghormati Orang Tuanya.
Kewajiban Anak Angkat Perempuan Kepada Orang Tuanya Senada Dengan
Kewajiban Orang Tua Angkat Kepada Anak Perempuannya. Mereka Juga Wajib
Mendidik, Merawat, Dan Menjamin Kesejahteraan Anak Tersebut Hingga Sang
Anak Dewasa Dan Menikahkannya. Di Beberapa Kasus Tertentu, Anak Angkat
Dari Suku Moor Tersebut Juga Ada Yang Hanya Diberikan Sebidang Tanah, Lebih
Kecil Dibandingkan Anak Laki-Lakinya. Sebidang Tanah Tersebut Dimaksudkan
Sebagai Bekal Bagi Sang Anak Untuk Menjalankan Rumah Tangga Bersama
Suaminya.

Meskipun Anak Angkat Perempuan Memiliki Hak Sebagaimana Anak Laki-


Laki, Dalam Hal Pembagian Warisan, Anak Laki-Laki Memiliki Hak Yang Lebih
Utama. Hal Itu Sesuai Dengan Konsep Kekerabatan Patrilineal Yang Dianut Oleh
Suku Moor. Beberapa Harta Benda Berharga Seperti Guci Atau Mole-Mole Dan
Gelang Batu Akan Diwariskan Kepada Anak Laki-Laki Pertama. Sedangkan Anak
Perempuan Akan Diberikan Sebidang Tanah Atau Kebun Yang Luas, Meskipun
Luasnya Jauh Lebih Kecil Dibandingkan Milik Anak Laki-Laki.

Luas Tanah Tersebut Biasanya Dibatasi Dengan Sebuah Pohon Kelapa. Ada
Pun Alasan Pemberian Harta Warisan Lebih Sedikit Kepada Anak Perempuan
Dikarenakan Ketika Telah Menikah, Anak Perempuan Akan Mengikuti Suaminya
Dan Segala Kehidupannya Akan Ditanggung Oleh Sang Suami. Begitu Pun
Anaknya Kelak, Akan Menggunakan Nama Marga Sebagaimana Marga Ayahnya.
Sedangkan Anak Laki-Laki Suku Moor Akan Menanggung Kehidupan Istrinya
7
Universitas papua

Dengan Menggunakan Nama Marga Orang Tuanya. Oleh Sebab Tanggungan


Hidupnya Lebih Berat, Harta Warisan Yang Diberikan Kepadanya Diberikan
Lebih Banyak Pula.

Namun Demikian, Hubungan Antara Anak Angkat Dengan Orang Tuanya


Tersebut Memiliki Kemungkinan Untuk Putus. Putusnya Hubungan Di Antara
Keduanya Disebabkan Oleh Beberapa Hal, Di Antaranya Apabila Sang Anak
Tidak Menjalankan Kewajibannya Alias Durhaka Dan Tidak Merawat Kedua
Orang Tua Angkatnya. Begitu Pun Apabila Orang Tua Angkatnya Tidak
Memelihara Sang Anak Dengan Baik, Maka Hubungan Di Antara Keduanya
Dapat Dikatakan Putus. Dengan Demikian, Sang Anak Tidak Lagi Berhak Atas
Harta Warisan Dari Orang Tua Angkatnya. Mereka Kemudian Akan Dikembalikan
Kepada Orang Tua Kandungnya.

Dalam Hal Penentuan Pewarisan Sendiri, Suku Moor Menggunakan Beberapa


Cara. Cara Yang Paling Umum Mereka Gunakan Adalah Dengan Cara Penerusan
Atau Pengalihan. Cara Itu Dapat Dilakukan Ketika Sang Orang Tua Masih Hidup
Sehingga Memiliki Kekuasaan Penuh Atas Harta Yang Hendak Diwariskan.
Penerusan Atau Pengalihan Harta Biasanya Berbentuk Kebendaan, Seperti
Bangunan Rumah Atau Pekarangan Tertentu, Ladang, Kebun Serta Sawah. Bagi
Masyarakat Suku Moor Yang Menganut Sistem Kekeluargaan Patrilineal, Anak
Laki-Laki Tertua Memiliki Porsi Yang Lebih Besar Dalam Hal Pembagian Harta
Warisan.

Sementara Itu, Pembagian Warisan Dengan Cara Penunjukan Juga Dilakukan


Oleh Sebagian Besar Suku Moor. Ketika Masih Hidup, Orang Tua Angkat Dari
Suku Moor Akan Menunjuk Siapa Ahli Waris Yang Berhak Menerima Harta
Warisan Darinya. Pembagian Harta Warisan Itu Baru Akan Berlaku Ketika Sang
Orang Tua Wafat. Apabila Belum Wafat, Orang Tua Masih Memiliki Hak
Sepenuhnya Pada Harta Benda itu. Harta warisan yang diwariskan tidak hanya
berbentuk benda-benda tertentu, melainkan juga barang-barang lain seperti sawah,
kebun, ladang, dan lain sebagainya. Pembagian harta benda tersebut sebagai misal
8

adalah kalung atau cincin untuk anak-anak perempuan sedangkan cangkul,


linggis, dan sabit adalah untuk anak laki-lakinya.

2.1.1 Sistem Aturan Adat

Dalam Menyelesaikan Sengketa Warisan, Suku Moor Umumnya


Menggunakan Cara Yang Rukun Dan Damai. Penyelesaian Sengketa Tidak Hanya
Melibatkan Dua Atau Lebih Pihak Yang Bersengketa Saja, Melainkan Juga
Anggota Keluarga Dari Pihak Yang Bersengketa. Mereka Amat Menekankan
Kedamaian Dan Menghilangkan Segala Hal Yang Berpotensi Mampu Merusak
Keutuhan Keluarga Mereka.
Jalan Yang Ditempuh Untuk Memecahkan Sengketa Yang Terjadi Adalah
Melalui Musyawarah. Musyawarah Tersebut Terbagi Menjadi Beberapa Hal, Yaitu
Musyawarah Terbatas Dalam Lingkungan Keluarga Yang Dihadiri Oleh Anggota
Keluarga, Musyawarah Kerabat, Musyawarah Perdamaian Adat Yang Disaksikan
Langsung Oleh Kepala Adat. Meskipun Demikian, Upaya Musyawarah Tersebut
Tidak Jarang Juga Menemui Kegagalan Atau Jalan Buntu. Kegagalan Yang Ada
Biasanya Disebabkan Karena Anggota Keluarga Telah Dipengaruhi Oleh Unsur-
Unsur Kepentingan Pribadi Atau Hal-Hal Lain Yang Bersifat Kebendaan.
Apabila Upaya Musyawarah Benar-Benar Tidak Mampu Menyelesaikan
Sengketa Yang Terjadi, Kedua Belah Pihak Biasanya Akan Membawa Perkara
Tersebut Ke Pengadilan Agama Atau Pengadilan Negeri. Sebaliknya, Pembagian
Warisan Di Masyarakat Suku Moor Biasanya Tidak Memerlukan Campur Tangan
Pemimpin Atau Pemuka Adat, Apalagi Sampai Dibawa Ke Ranah Pengadilan
Agama Apabila Pembagian Warisan Tersebut Berlangsung Rukun Dan Damai
Antar Ahli Waris.
9
Universitas papua

Sebelum Sengketa Dibawa Ke Pengadilan, Sengketa Tersebut Biasanya


Diselesaikan Terlebih Dahulu Melalui Musyawarah Yang Juga Memiliki Tahapan
Atau Tingkatan. Musyawarah Biasanya Akan Dihadiri Oleh Para Pemuka Adat,
Dan Seluruh Ahli Waris Yang Bersengketa Terhadap Harta Orang Tuanya. Pemuka
Adat Pertama-Tama Akan Memberikan Semacam Nasihat Terkait Pentingnya
Kedamaian Dan Kerukunan Hidup, Serta Nasihat-Nasihat Lain Mengenai Betapa
Malunya Kepada Keluarga Besar, Kepada Masyarakat Setempat, Dan Kepada
Masyarakat Di Luar Mereka. Apabila Kesepakatan Melalui Musyawarah Tersebut
Telah Dicapai, Kedua Belah Pihak Yang Bersengketa Harus Menerimanya Dengan
Lapang Dada.
1
0
11
Universitas papua

2.1.2 Sengketa warisan


Dalam Menyelesaikan Sengketa Warisan, Suku Moor Umumnya
Menggunakan Cara Yang Rukun Dan Damai. Penyelesaian Sengketa
Tidak Hanya Melibatkan Dua Atau Lebih Pihak Yang Bersengketa Saja,
Melainkan Juga Anggota Keluarga Dari Pihak Yang Bersengketa. Mereka
Amat Menekankan Kedamaian Dan Menghilangkan Segala Hal Yang
Berpotensi Mampu Merusak Keutuhan Keluarga Mereka.

Jalan Yang Ditempuh Untuk Memecahkan Sengketa Yang Terjadi


Adalah Melalui Musyawarah. Musyawarah Tersebut Terbagi Menjadi
Beberapa Hal, Yaitu Musyawarah Terbatas Dalam Lingkungan Keluarga
Yang Dihadiri Oleh Anggota Keluarga, Musyawarah Kerabat,
Musyawarah Perdamaian Adat Yang Disaksikan Langsung Oleh Kepala
Adat.

Meskipun Demikian, Upaya Musyawarah Tersebut Tidak Jarang Juga


Menemui Kegagalan Atau Jalan Buntu. Kegagalan Yang Ada Biasanya
Disebabkan Karena Anggota Keluarga Telah Dipengaruhi Oleh Unsur-
Unsur Kepentingan Pribadi Atau Hal-Hal Lain Yang Bersifat Kebendaan.
Apabila Upaya Musyawarah Benar-Benar Tidak Mampu Menyelesaikan
Sengketa Yang Terjadi, Kedua Belah Pihak Biasanya Akan Membawa
Perkara Tersebut Ke Pengadilan Agama Atau Pengadilan Negeri.
Sebaliknya, Pembagian Warisan Di Masyarakat Suku Moor Biasanya
Tidak Memerlukan Campur Tangan Pemimpin Atau Pemuka Adat,
Apalagi Sampai Dibawa Ke Ranah Pengadilan Agama Apabila Pembagian
Warisan Tersebut Berlangsung Rukun Dan Damai Antar Ahli Waris.
1
2

Sebelum Sengketa Dibawa Ke Pengadilan, Sengketa Tersebut


Biasanya Diselesaikan Terlebih Dahulu Melalui Musyawarah Yang Juga
Memiliki Tahapan Atau Tingkatan. Musyawarah Biasanya Akan Dihadiri
Oleh Para Pemuka Adat, Dan Seluruh Ahli Waris Yang Bersengketa
Terhadap Harta Orang Tuanya. Pemuka Adat Pertama-Tama Akan
Memberikan Semacam Nasihat Terkait Pentingnya Kedamaian Dan
Kerukunan Hidup, Serta Nasihat-Nasihat Lain Mengenai Betapa Malunya
Kepada Keluarga Besar, Kepada Masyarakat Setempat, Dan Kepada
Masyarakat Di Luar Mereka. Apabila Kesepakatan Melalui Musyawarah
Tersebut Telah Dicapai, Kedua Belah Pihak Yang Bersengketa Harus
Menerimanya Dengan Lapang Dada.

Apabila Hasil Musyawarah Tetap Mengalami Jalan Buntu, Maka


Persoalan Tersebut Akan Dibawa Ke Kepala Adat. Tempat Musyawarah
Biasanya Dilakukan Di Rumah Kepala Adat. Apabila Kepala Adat Belum
Juga Berhasil Menyelesaikan Sengketa Tersebut, Maka Persoalan Tersebut
Akan Dibawa Ke Pengadilan Negeri. Dalam Hal Itu, Kepala Adat Akan
Bertindak Sebagai Saksi.
13
Universitas papua

2.2 Pengangkatan anak


Suku Moor Merupakan Sekelompok Suku Yang Mempunyai Tradisi
Pengangkatan Anak, Termasuk Anak Perempuan, Dalam Kehidupan
Mereka Bermasyarakat. Anak Angkat Dalam Bahasa Moor Dikenal
Dengan Istilah "Nao Nio Ji Ha Uo" Yang Berarti Anak Yang Diangkat.
Menurut Mereka, Anak Angkat Adalah Anak Yang Diangkat Dan
Dimasukkan Ke Dalam Keluarganya (Keluarga Orang Tua Angkat)
Dengan Suatu Upacara Di Mana Hak Dan Kewajiban Dari Orang Tua
Kandung Beralih Kepada Orang Tua Angkat. Dalam Bahasa Lain,
Pengangkatan Anak Dalam Tradisi Mereka Dikenal Sebagai Mengambil
Anak Orang Lain, Memasukannya Ke Dalam Keluarganya Sendiri Untuk
Dirawat, Dididik, Dan Dibesarkan Sebagaimana Anak Kandungnya
Sendiri, Tentunya Melalui Suatu Upacara Adat.

Pengangkatan Anak Secara Umum Biasanya Dilakukan Terhadap


Kerabatnya Sendiri Yang Didasari Oleh Motif Memperoleh Harta Warisan
Atau Melanjutkan Keturunan Orang Tua Angkatnya. Tata Cara
Pengangkatan Anak Sendiri Sebelum Disahkan Menjadi Anak Angkat
Biasanya Dilakukan Melalui Upacara Adat Tertentu Yang Dihadiri Oleh
Kepala Adat Dan Masyarakat Adat Setempat. Setelah Rangkaian Upacara
Adat Selesai, Maka Anak Tersebut Secara Resmi Telah Menjadi Anak
Orang Tua Angkatnya. Ketua Adat Kemudian Akan Mengeluarkan Surat
Pengesahan. Namun Demikian, Surat Pengesahan Dari Ketua Adat
Tersebut Bukan Menjadi Satu-Satunya Hal Yang Menyebabkan Sah Atau
Tidaknya Pengangkatan Seorang Anak. Pengangkatan Seorang Anak Akan
Dianggap Sah Apabila Sudah Melalui Serangkaian Upacara Adat Di
Daerahnya.
1
4

Pengangkatan Anak Tersebut Juga Dilakukan Secara Terang Dan Tunai.


Orang Tua Angkat Yang Hendak Mengangkat Seorang Anak Harus
Memberikan Timbal Balik Kepada Orang Tua Kandung Sang Anak
Berupa Benda-Benda Tertentu Yang Dimaksudkan Untuk Memutus
Hubungan Antara Anak Kandung Dengan Orang Tua Kandungnya.
Mereka Juga Memperhatikan Syarat-Syarat Tertentu Dalam Pengangkatan
Anak, Seperti Jenis Kelamin Dan Usia Anak. Dalam Tradisi Suku Moor,
Mereka Bisa Mengangkat Seorang Anak Sejak Masih Dalam Kandungan
Atau Dapat Dilakukan Saat Anak Telah Berusia Lima Tahun. Mereka
Biasanya Akan Mengangkat Anak Laki-Laki Karena Dianggap Sebagai
Penerus Keturunan, Namun Demikian, Tidak Sedikit Pula Suku Moor
Yang Lebih Memilih Untuk Mengangkat Anak Perempuan.

Dari Seluruh Perkampungan Yang Dihuni Oleh Suku Moor, Ada 26


Keluarga Yang Melakukan Pengangkatan Anak.

Dari Jumlah Tersebut, Sebagian Besar Suku Moor Banyak Melakukan


Pengangkatan Anak Berjenis Kelamin Laki-Laki Ketimbang Perempuan.
Sementara Itu, Sebagaimana Dijabarkan Di Awal, Pengangkatan Anak
Yang Terjadi Di Suku Moor Juga Masih Mengikuti Tata Cara Dan Adat
Istiadat Yang Berlaku. Mereka Biasanya Melakukan Pengangkatan Anak
Pada Keluarga Yang Masih Memiliki Hubungan Kekerabatan Yang Dekat.

Prosesi Yang Mereka Lakukan Dalam Pengangkatan Anak Adalah Sebagai


Berikut:

 Seluruh Pihak Yang Berkepentingan Dalam Pengangkatan Anak Akan


Dikumpulkan Di Rumah Orang Tua Angkatnya. Pihak-Pihak Yang Terlibat
Itu Adalah Orang Tua Kandung, Kedua Orang Tua Angkat, Anak Yang
Hendak Diangkat, Dan Kerabat Dari Kedua Orang Tua Angkat Maupun
Orang Tua Kandung.

 Kepala Adat Akan Menjelaskan Hak Dan Kewajiban Yang Harus Dipatuhi
Oleh Kedua Orang Tua Angkat Maupun Kandung, Kemudian Sang Anak
Akan Diserahkan Secara Langsung Kepada Calon Orang Tua Angkatnya.
15
Universitas papua

 Penyerahan Anak Tersebut Diiringi Oleh Penggantian Biaya Yang


Diberikan Oleh Orang Tua Angkat Kepada Orang Tua Kandungnya. Biaya
Tersebut Mencakup Biaya Mengandung Dan Membesarkan Sang Anak
Hingga Anak Tersebut Diserahkan Kepada Orang Tua Angkatnya. Setelah
Itu, Kepala Adat Akan Mengeluarkan Surat Pengesahan Yang Menunjukan
Bahwa Sang Anak Telah Resmi Menjadi Anak Dari Orang Tua Angkatnya.

Upacara Pengangkatan Anak Tersebut Wajib Dilakukan Oleh Kedua Belah


Pihak Sebagai Syarat Pengesahan Sekaligus Pemberian Informasi Kepada
Sanak Saudara-Keluarga Besar Mengenai Anggota Baru Keluarga Mereka.
Tanpa Melalui Upacara Adat, Keberadaan Anak Tersebut Dalam Keluarga
Barunya Tidak Dianggap Tidak Sah.
1
6

2.2.2 Tujuan Pengangkatan Anak


Sebagaimana Masyarakat Umum Lainnya, Masyarakat Suku Moor Juga
Menganggap Keberadaan Anak Sebagai Harapan Dan Tumpuan Bagi Masa
Depan Mereka. Dalam Bahasa Sederhana, Mereka Memerlukan Keberadaan
Anak Agar Ada Yang Merawatnya Ketika Tua Nanti. Selain Itu, Sebagai
Kelompok Masyarakat Yang Menganut Sistem Kekerabatan Patrilineal,
Keberadaan Anak Laki-Laki Menjadi Sangat Penting. Hal Itu Disebabkan
Oleh Anak Laki-Laki Yang Kelak Akan Menjadi Penerus Keturunan Mereka.
Atas Dasar Itu, Ada Beberapa Alasan Dari Suku Moor Untuk Mengangkat
Atau Mengadopsi Anak.

Beberapa Keluarga Suku Moor Tidak Memiliki Anak Perempuan,


Sehingga Mereka Mengangkat Seorang Anak Perempuan Dari Keluarga Lain.
Sebagian Dari Mereka Juga Mengangkat Anak Karena Orang Tua Dari Anak
Tersebut Telah Meninggal Dunia Sehingga Memerlukan Figur Orang Tua
Angkat. Selain Masalah Kematian Dan Keinginan, Beberapa Orang Tua
Kandung Juga Tergolong Miskin Sehingga Tidak Mampu Membiayai
Kehidupan Dan Pendidikan Sang Anak. Selain Itu, Suku Moor Mengangkat
Anak Perempuan Dari Keluarga Lain Karena Keluarga Tersebut Telah
Memiliki Banyak Anak Perempuan, Sehingga Ada Satu Atau Dua Anak Yang
Perlu 'Diberikan' Kepada Orang Lain.Dari Uraian Tersebut, Dalam Bahasa
Yang Lebih Sederhana, Pengangkatan Anak Perempuan Oleh Suku Moor
Lebih Didasari Karena Orang Tua Kandung Sang Anak Tidak Mampu
Membiayai Kehidupannya (Alasan Belas Kasihan), Anak Yang Bersangkutan
Telah Yatim Piatu, Dan Bersangkutan Telah Memiliki Anak Kandung Laki-
Laki Dalam Jumlah Banyak Sehingga Membutuhkan Keberadaan Anak
Perempuan. Usia Anak Yang Diangkat Umumnya Sebelum
17
Universitas papua

Berusia Lima Tahun, Hal Itu Dimaksudkan Agar Anak Angkat Tersebut
Tidak Mengetahui Siapa Orang Tua Kandungnya Sebenarnya. Sesuai
Dengan Aturan Adat Yang Berlaku Dalam Kehidupan Sosial Mereka,
Seorang Anak Yang Baru Diangkat Oleh Orang Tua Angkatnya Harus
Diputus Hubungan Darahnya Dengan Sang Orang Tua Kandung. Upacara
Pengangkatan Anak Menjadi Momentum Terputusnya Hubungan Darah
Tersebut. Namun Demikian, Meski Berstatus Sebagai Anak Angkat, Sang
Anak Wajib Menghormati Dan Menunjukkan Baktinya Kepada Orang Tua
Angkatnya. Begitupun Sang Orang Tua Angkat, Harus Menunaikan
Kewajibannya Untuk Menjaga Dan Merawat Anak Angkat Tersebut
Sebagaimana Anak Kandungnya Sendir.
1
8

2.2.3 Lkisah, Dari Suku Moor


Ada Sekelompok Suku Yang Tinggal Di Sebuah Pulau, Namanya Pulau
Moor, Kabupaten Nabire. Nama Suku Moor Bermakna “Mora” Yang Berarti
Orang Dari Tengah Pulau Turun Ke Pesisir Pantai R Zaman Dahulu
19
Universitas papua

Secara Umum, Masyarakat Suku Moor Bermata Pencaharian Sebagai


Nelayan, Karena Kondisi Geografis Tempat Tinggal Mereka Yang Berada
Di Pesisir Pantai, Tetapi Ada Sebagian Masyarakat Yang Hidup Dengan
Berkebun.
Pada Suatu Hari Seorang Mama (Ibu) Dari Suku Moor Pergi
Berkebun. Tiap Hari Ia Memang Pergi Berkebun. Tapi Suatu Siang Ia
Merasa Kecapaian Dan Haus. Lalu Ia Ke Suatu Tempat Yang Mata
Airnya Tergenang Dari Sumber Mata Air. Ia Pun Meminumnya Karena
Kehausan.
Tanpa Sadar Ia Meminum Air Yang Terdapat Benih Ular. Tidak Lama
Kemudian Ia Mengandung. Ibu Ini Bingung Karena Tiba-Tiba Saja Ia
Hamil. Ia Hanya Pasrah Menunggu Kelahiran Anak Dalam Kandungan
Itu Hingga Waktunya Tiba.
2
0

Tibalah Suatu Ketika Dia Mau Melahirkan Seorang Anak Perempuan.


Anak Yang Lahir Itu, Bagian Atas Tubuhnya Adalah Manusia Dan Bagian
Perut Sampai Kaki Adalah Badan Dan Ekor Ular.

Ia Lalu Menamainya Surua. Surua Berambut Hitam Dan Panjang Meski


Setengah Badannya Adalah Ular.

Meski Dengan Kondisi Demikian, Sang Ibu Sangat Menyayangi Surua


Dan Membesarkannya Dengan Penuh Kasih Sayang.

Surua Tumbuh Sebagai Anak Penurut. Mereka Tinggal Berdua Dan Pergi
Ke Kebun Setiap Hari Seperti Biasanya. Surua Juga Membantu Ibunya
Dan Ia Sangat Menyayangi Ibunya.

Hari Berganti Hari Surua Pun Tumbuh Menjadi Perempuan Dewasa Dan
Hidup Bersama Masyarakat Lainnya Di Kampung Itu.

Surua Sangat Menyayangi Ibunya. Dia Menjaga Ibunya Dan Tidak Boleh
Ada Orang Yang Menganggu Ibunya.

Namun, Ia Suka Menyendiri. Dia Tidak Mau Bergabung Dengan Anak-


Anak Seusianya Karena Minder Dengan Kondisi Tubuhnya. Teman-
Temannya Bahkan Menjauhkan Dia Karena Mereka Takut Dan Merasa
Aneh Dengan Dia.

Kadang-Kadang Surua Merasa Sedih Karena Tidak Ada Yang Ingin


Bermain Dengannya, Sehingga Ia Merasa Dikucilkan Dari Pergaulan.
Itulah Yang Dirasakannya Setiap Hari. Ia Merasa Sendiri.

Hari Terus Berlalu Dan Surua Semakin Bertambah Besar Dan Dewasa.
Suatu Ketika Surua Bertanya Kepada Ibunya, “Di Mana Bapa Saya?”

Lalu Ibunya Menjawab, “Kalau Kamu Mau Mencari Tahu Di Mana


Bapamu, Kamu Harus Putar Badanmu Kelilingi Gunung Ini Sampai
Kepala Dan Ekormu Bertemu. Kalau Sudah Sampai Ketemu, Maka Nanti
Kamu Akan Tahu Di Mana Bapamu.”
21
Universitas papua

Surua Pun Menuruti Apa Yang Dikatakan Ibunya. Namun Ia Tidak


Berhasil Karena Tubuhnya Tidak Cukup Panjang Untuk Melingkari
Gunung Yang Tinggi.

Pada Suatu Hari Surua Naik Ke Atas Pohon Untuk Menjaga Ibunya Yang
Sedang Berkebun.

Dari Atas Pohon, Surua Melihat Manusia Datang Untuk Berkebun.


Tiba-Tiba Ia Menerkam Mereka Dan Membawanya Ke Gua. Ia Memakan
Manusia Itu Dan Meninggalkan Sisa-Sisa Tulang-Tulang Manusia Di
Dalam Gua. Setelah Ia Memakan Manusia-Manusia Itu Dia Kembali
Menjaga Ibunya.

Itulah Yang Dilakukan Surua Tiap Hari. Ketika Ada Orang Yang Datang
Berkebun, Diam-Diam Ia Turun Dari Pohon Dan Menerkam Manusia-
Manusia Itu Untuk Memakannya.

Lama-Kelamaan Dia Banyak Memakan Orang Dan Jumlah


Masyarakat Suku Di Sana Semakin Berkurang. Masyarakat Pun
Mengetahui Bahwa Surua Memakan Banyak Korban. Mereka Lalu
Memberi Tahu Kepada Ibunya. Mendengar Itu, Ibunya Merasa Sedih Dan
Hendak Membunuh Surua.

Ibunya Berkata Kepada Mereka, “Iya Sudah, Nanti Pada Saat Dia Ulang
Tahun Saja (Membunuhnya).”

Tibalah Hari Ulang Tahun Surua. Ibunya Berkata, “Surua, Karena Hari Ini
Ulang Tahunmu, Kita Semua Di Sini Mau Bikin (Ritual) Adat, Mau
Gunting Kamu Punya Rambut. Jadi, Sekarang Kamu Ikut Dengan Kamu
Punya Om-Om (Paman).”

Semua Orang-Orang Di Kampung Itu Ke Laut. Karena Surua Berulang


Tahun, Mereka Menyuruh Dia Untuk Mengambil Kerang Di Dalam Laut.
Ternyata Di Sana Sudah Ada Kerang Yang Sangat Besar (Bia Garu Dalam
Bahasa Papua) Yang Siap Untuk Menjepit Kepalanya.
2
2

Surua Mengikuti Suruhan Mereka. Dia Menyelam Ke Bawah Untuk


Mengambil Kerang Tersebut. Akhirnya Kepala Dan Badannya Dijepit
Oleh Kerang Yang Sangat Besar Itu.

Dia Meronta Dan Berusaha Untuk Melepaskan Diri, Tetapi Tidak Berhasil
Karena Eratnya Cengkraman Dari Kerang Besar Itu.

Dia Meronta-Ronta Dan Terus Berusaha Untuk Melepaskan Dirinya


Sampai Badannya Luka-Luka Karena Tergesek Kulit Kerang Yang Besar
Dan Tajam. Namun Usahanya Sia-Sia Dan Lama-Kelamaan Dia
Kehabisan Napas Hingga Mati.

Hingga Sekarang Masih Ada Peninggalan Dari Surua, Seperti Rambut


Dan Piring-Piring Waktu Dia Lahir. Hanya Marga Sabami Yang Bisa
Memegang Benda-Benda Itu.

Menurut Kepercayaan Nenek Moyang Mereka, Badan Surua Yang


Tercabik-Cabik Itu Menjadi Bangkai Dan Hanyut Sampai Ke Pinggir
Pantai Dan Berubah Menjadi Ular, Kadal, Dan Biawak (Soa-Soa),
Sehingga Ada Kepercayaan Dan Larangan Bagi Marga Sabami Untuk
Tidak Memakan Ular Atau Biawak, Karena Menurut Kepercayaan Mereka
Itu Adalah Nenek Moyang Mereka Sendiri.

Ada Juga Kepercayaan Lainnya Bahwa Gigi Akan Tanggal Atau Tercabut
Semua Jika Ada Masyarakat Yang Memakan Ular Atau Biawak. (*)
23
Universitas papua

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Suku Moor Juga ( Disebut Juga Sebagai Mora Atau Moora) Sebagai Kelompok
Etnis Yang Bermukim Di Kabupaten Nabire, Provinsi Papua Tengah. Wilayahnya
Tepat Berada Di 'Leher Burung Pulau Papua' Atau Di Pesisir Teluk Cenderawasih.
Suku Moor Juga Mereka Memiliki Berbagaimacam Budaya Yang Unik Dan
Menarik. Kehidupan Adat Yang Sangat Kompleks Menjadi Sebuah Hal Yang
Menarik Untuk Selalu Di Pelajari. Kehidupan Sehari-Hari Suku Moor Memang
Juga Kuat Dengan Kebudaya Mereka. Dimulai Dari Rumah, Pakaian Senjata
Bahkan Proses Perkawinan Adat Pun Terlihat Sangat Khas.
Dalam Adat Istiadat.
Sementara Itu, Topografi Perkampungan Suku Moor Juga Bervariasi. Ada
Beberapa Wilayah Yang Bertopografi Datar, Bergelombang, Berbukit, Dan
Bergunung. Sebagian Besar Suku Moor Mendiami Di Distrik Napan Dan Siriwo.
Jumlah Mereka Yang Mendiami Di Distrik Siriwo Diperkirakan Sejumlah 978
Jiwa Yang Terdiri Dari Laki-Laki Sejumlah 584 Jiwa Dan Perempuan Sejumlah
394 Jiwa.
Suku Moor Umumnya Menggunakan Cara Yang Rukun Dan Damai. Penyelesaian
Sengketa Tidak Hanya Melibatkan Dua Atau Lebih Pihak Yang Bersengketa Saja,
Melainkan Juga Anggota Keluarga Dari Pihak Yang Bersengketa. Mereka Amat
Menekankan Kedamaian Dan Menghilangkan Segala Hal Yang Berpotensi
Mampu Merusak Keutuhan Keluarga Mereka.
2
4

Daftar Pustaka

* Catatan
1. ^ Jumlah populasi suku Moor yang mendiami distrik Siriwo, Kabupaten
Nabire.provinsi papua tengah
Referensi
1. ^ a b http://nabirekab.go.id/portal/geografis/
2. ^ "Surua (Cerita dari marga Sabami-Moor)". arsip.jubi.id. Diakses tanggal
28 Juni 2023.
3. ^ http://www.papuaposnabire.com/News/Read/3511-kpu-nabire-umumkan-
calon-pps
4. ^ Read, Robert Dick. 2005. Pengaruh Peradaban Nusantara di Afrika:
Penjelaja.alam.papua https://books.google.co.id/books?
id=Ud19pmI1DzoC&pg=PA151&lpg=PA151&dq=Suku+moor&source=bl&o
ts=oVpwEObHNb&sig=3OXWAO6A305LL3fIUH6kGAqnnEo&hl=id&sa=
X&ved=0ahUKEwiZi4e_4eDXAhXIFpQKHTb4B78Q6AEITTAJ#v=onepag
e&q=Suku%20moor&f=false
5. ^ a b c d Sicilia, Fenny. 2012. Hak Anak Angkat Perempuan dalam Pelaksanaan
Pearisan masyarakat Suku Moor di Kabupaten Nabire, Provinsi Papua. Tesis.
Program Universitas
6. ^ a b. 2002. Kedudukan Anak Angkat terhadap Harta Orang Tanya menurut
Hukum Waris di Kecamatan Sentant Kabupaten Jayapura. Tesis Program
Pascasarjana Kenotariatan Universitas Diponegoro. Lihat melalui
http://eprints.undip.ac.id/10849/1/2002MNOT1685.pdf
7. ^ Anonymous. 1996. Hukum Waris Indonesia Menurut Perundang-undangan
Hukum Adat: Hukum Agama Hindu dan Hukum Agama Islam. Bandung
8. ^ Hakim, S.A. 1976. Hukum Adat (Perorangan, Perkawinan, dan Pewarisan)
25
Universitas papua

Anda mungkin juga menyukai