Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

KELAINAN SISTEM SARAF

Disusun Oleh:
GULSHENDEEP KAUR (220519020)
Mahasiswi Fakultas Ilmu Pendidikan PG – PAUD
Universitas Sari Mutiara Indonesia
Sumatera Utara – Kota Medan
gulshendp@gmail.com

Dosen Pengampu:
RAHMI WARDAH NINGSIH, M.Pd
Mata Kuliah:
NEUROSAINS

PROGRAM STUDI PG-PAUD


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan Rahmat, hidayah serta karunia-Nya yang meridhoi saya sehingga dapat memenuhi
dalam penyelesaikan tugas saya untuk menyusun makalah ini dengan baik. Makalah ini
disusun dalam guna memenuhi tugas mata kuliah ‘Neurosains’ oleh dosen pengampu, Rahmi
Wardah Ningsih, M.Pd tentang “Kelainan Sistem Saraf”.
Saya mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu yang tercinta, Rahmi
Wardah Ningsih, M.Pd . Saya berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, para
pembaca, agar dapat menambah wawasan dan berguna bagi kita semua.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Maka saya mohon
maaf jika ada kesalahan dalam makalah ini. Selain itu, saya juga mengharapkan saran dan kritik
dari para pembaca. Terima kasih.

Penulis

Gulshendeep Kaur

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................. i


DAFTAR ISI ................................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................................ 1
B. Identifikasi Masalah .................................................................................... 1
C. Batasan Masalah .......................................................................................... 2
D. Rumusan Masalah ....................................................................................... 2
E. Tujuan Penulis ............................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian ................................................................................................... 3
B. Jenis Kelainan Otak dan Sistem Saraf ........................................................ 5
1) Autisme ............................................................................................. 6
2) Migrain .............................................................................................. 7
3) Vertigo .............................................................................................. 9
4) Epilepsi ............................................................................................. 8
5) Parkinson ........................................................................................... 8
6) Stroke ................................................................................................ 9
7) Meningitis ......................................................................................... 9
8) Ensefalopati ....................................................................................... 9
9) Aneurisma ......................................................................................... 11
10) Hidrosefalus ...................................................................................... 33
11) Skizofrenia ........................................................................................ 22
12) Cerebral Palsy ................................................................................... 22
C. sdsdsd

PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................. 17
B. Saran ............................................................................................................ 17

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Dengan terbitnya UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas), keberadaan pendidikan usia dini diakui secara sah. Hal itu terkandung dalam
bagian tujuh, pasal 28 ayat 1-6, di mana PAUD diarahkan pada pendidikan pra-sekolah
yaitu anak usia 0-6 tahun. Menurut UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdinas menyatakan
bahwa yang dimaksud PAUD adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak
sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan
ataupun stimulus pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani
dan Rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
Sejak saat itulah, perkembangan pendidikan usia dini tumbuh dengan pesat,
baik secara kuantitas maupun kualitas pelayanan pendidikannya. Pendidikan anak usia
dini tidak hanya terbatas pada Taman Kanak-Kanak (TK) sebagai pendidikan prasekolah
formal, tetapi mencakup kegiatan lainnya, seperti Kelompok Bermain (KB), Tempat
Penitipan Anak (TPA), PAUD Sejenis dan lainnya. Kesadaran masyarakan untuk
memberikan pendidikan di usia dini mulai meningkat walaupun belum mencapai apa
yang diharapkan.
PAUD pada hakekatnya adalah pendidikan yang berusaha mengembangkan
seluruh potensi anak baik potensi kognitif, afektif dan psikomotorik dengan cara-cara
yang sesuai dengan masa perkembangannya, di antaranya belajar sambil bermain. Dalam
dunia pendidikan PAUD saat ini menggunakan kurikulum Merdeka yang sering disebut
dengan merdeka bermain karena proses pembelajarannya yang bertujuan untuk memiliki
persepsi bahwa belajar itu menyenangkan, bukan memberatkan.Oleh karena itu,
pentingnya untuk mengetahui peran dan tanggung jawab guru dalam perkembangan
kurikulum PAUD.

1.2. Identifikasi Masalah


Apakah para pendidik anak usia dini sudah memahami peran dan tanggung
jawabnya dalam perkembangan pendidikan anak usia dini dengan program kurikulum
Merdeka di masa sekarang. Apakah proses pembelajarannya yang dilakukan para
pendidik sudah tepat untuk mencapai tujuan dari pembelajaran yang berupa bermain
adalah proses belajar sesungguhan pada anak usia dini.

1
1.3. Batasan Masalah
Pada makalah ini akan membahas tentang hal-hal yang berkaitan dengan
peran-peran dan tanggung jawab para pendidik anak usia dini serta cara implementasi
kurikulum PAUD.

1.4. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang sudah dipaparkan diatas, dikemukakan
rumusan masalah sebagai berikut.
➢ Bagaimana implementasi kurikulum Merdeka dalam PAUD?
➢ Bagaimana peran guru dalam PAUD?
➢ Bagaimana tanggung jawab guru dalam PAUD?

1.5. Tujuan Penulis


Adapun tujuan penulis menulis makalah ini adalah untuk mempermudah proses
pembelajaran pada pendidikan anak usia dini dengan cara guru mampu memahami peran
dan tanggung jawabnya terhadap anak usia dini. Guru mengetahui tindakan-tindakan apa
yang harus dilakukan untuk mencapai aspek-aspek perkembangan anak-anak usia dini.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian
Gangguan system saraf dan otak adalah kerusakan yang terjadi di otak atau
saraf pendukung otak, ataupun keduanya, sehingga mempengaruhi fungsi saraf dan otak.
System saraf adalah system penghubung yang sangat kompleks yang dapat
mengirim dan menerima informasi dalam jumlah besar secara bersamaan.
Menurut Widyawinata (2020), gangguan system saraf dan otak adalah
kerusakan yang terjadi di otak atau saraf pendukung otak, ataupun keduanya, sehingga
mempengaruhi fungsi saraf dan otak. System saraf adalah system penghubung yang
sangat kompleks yang dapat mengirim dan menerima informasi dalam jumlah besar
secara bersamaan. System saraf memiliki dua bagian yang bersistem saraf pusarbeda
(otak dan sum sum tulang belakang) dan system saraf perifer (saraf-saraf di luar otak dan
sum sum tulang belakang). Otak dibungkus oleh tulang tengkorak, sedangkan sumsum
tulang belakang dijaga di tulang punggung. Otak berperan mengontrol semua fungsi
tubuh, sementara jaringan saraf mengirimkan pesan dari otak ke berbagai anggota tubuh
melalui saraf tulang belakang. Sementara, jaringan saraf sendiri menjalani peran
kompleks di dalam tubuh manusia

2.2. Peran dan Tanggung Jawab Guru PAUD dalam Pengembangan Kurikulum
PAUD
Belajar adalah suatu proses perubahan yang menyakut tingkah laku atau
kejiwaan. Dalam psikologi belajar, proses berarti cara-cara atau Langkah-langkah khusus
yang dengannya beberapa perubahan ditimbulkan hingga tercapainya hasil-hasil tertentu.
Jadi dapat diartikan proses belajar adalah sebagai tahapan perubahan perilaku kognitif,
afektif dan psikomotor yang terjadi dalam diri anak. Perubahan tersebut bersifat positif
dalam arti berorientasi kea rah yang lebih maju daripada keadaan sebelumnya.
Guru adalah pihak utama yang langsung berhubungan dengan anak dalam
upaya proses pembelajaran, peran guru itu tidak terlepas dari keberadaan kurikulum.
Tetapi menurut Brenner (1990) sebenarnya pendidikan anak prasekolah terefleksi dalam
alat-alat perlengkapan dan permainan yang tersedia, cara perlakuan guru terhadap anak,

3
adegan dan desain kelas, serta bangunan fisik yang disediakan untuk anak. (M.
Scolehuddin, 1997)
Ada beberapa pendekatan peran guru dalam pembelajaran, antara lain:
1) Guru berperan sebagai pengajar

2.2.1. Teori Jean Piaget


Jean Piaget menyatakan bahwa untuk meningkatkan kemampuan
berpikirnya maka anak harus diberikan berbagai pertanyaan sehingga
kemampuan berpikir anak akan berkembang dengan ditandai adanya tanggapan
berupa jawaban dari anak. Selain itu Piaget mengungkapkan bahwa
perkembangan kognitif adalah interaksi dari hasil kematangan manusia dan
pengaruh lingkungan. Manusia aktif mengadakan hubungan dengan lingkungan,
menyesuaikan diri terhadap objek-objek yang ada disekitarnya yang merupakan
proses interaksi untuk mengembangkan aspek kognitif.
Menurut Piaget perkembangan kognitif anak dibagi kedalam empat
tahap yaitu:
➢ Fase Sensori Motor (0-2 tahun)
Pada tahap ini anak akan berinteraksi dengan lingkungannya
melalui panca indera. Dimulai dengan adanya gerakan reflek yang dimiliki
sejak lahir yaitu dengan gerakan instink yang disebabkan oleh dorongan
dalam diri untuk memuaskan dorongan itu, misalnya bayi menyusu dan
tahu bagaimana caranya, kemudian dapat menggenggam, melihat,
melempar dan lain-lain.
➢ Fase Pra Operasional (3-7 tahun )
Pada tahap ini masa permulaan anak untuk membangun
kemampuannya dalam menyusun pikirannya. Pada tahap ini anak dapat
berpikir secara simbolik, memiliki kemampuan berbahasa yang baik
sehingga dapat menggunakan kata-katanya untuk menandai suatu objek.
Selain itu, anak melihat dunia berdasarkan perspektifnya sendiri
(egosentrik). Anak dapat memutuskan sesuatu bukan berdasarkan analisis
rasional melainkan secara intuitif artinya dalam menciptakan sesuatu anak

4
tidak tahu pasti mengapa ia melakukan hal tersebut, misalnya anak
menyusun balok atau menggambar.
➢ Fase Operasional Konkrit
Anak telah mampu memecahkan masalah yang bersifat konkrit
dan masih sulit memecahkan masalah yang bersifat abstrak.

➢ Fase Operasional Formal


Tahap ini, anak dapat berpikir secara abstrak seperti
mengemukakan ide-ide, memprediksi kejadian yang akan terjadi, berpikir
masa depan secara realistic, mengerti bahasa kiasan dan mampu
menyimpulkan sebuah cerita

2.2.2. Teori Lev Vygotsky


Lev Seminonovich Vygotsky (1896-1934) adalah seorang ahli
psikologi sosial berasal dari Rusia. Teori perkembangannya disebut teori
revolusi sosiokultural. Teori Vygotsky, kemampuan kognitif anak-anak tumbuh
melalui interaksinya dengan orang dewasa dan teman sebaya, bukan hanya
interaksi terhadap objek. Bantuan dan petunjuk dari guru dapat membantu anak
meningkatkan keterampilan dan memperoleh pengetahuan. Sedangkan teman
sebaya yang menguasai suatu keahlian dapat dipelajari anak-anak lain melalui
model atau bimbingan secara lisan sesuai usianya. Melalui interaksi, anak
memiliki kesempatan untuk merespons orang lain melalui saran, komentar,
pertanyaan, atau Tindakan. Guru harus menjadi seorang ahli pengamat bagi
anak, memahami tingkat belajar mereka, dan mempertimbangkan apa langkah
berikut untuk memenuhi kebutuhan anak secara individual. Posisi guru sangat
kuat dalam proses ini, baik untuk menjawab pertanyaan maupun lawan bicara
bagi anak. Menurut Vygotsky interaksi sosial inilah kunci dari belajar dalam
pengembangkan kognitif anak.
Vygotsky berasumsi bahwa setiap fungsi perkembangan cultural
anak muncul sebanyak dua kali. Pertama, di tingkat social (interpsikologis) dan
kedua, di tingkat individual atau dalam diri anak (intrapsikologis).

5
Vygotsky berpendapat bahwa anak-anak mengembangkan konsep
lebih sistematis, logis dan rasional sebagai akibat dari percakapan dengan
seorang penolong yang ahli.
1) Hukum Genetik tentang Perkembangan
Vygotsky berpendapat bahwa belajar dan berkembang
merupakan perubahan kualitatif dalam pandangan yang tidak hanya
diperoleh melalui akumulasi fakta-fakta dan keterampilan-keterampilan,
tetapi juga melewati dua tataran, yaitu tataran social tempat orang-orang
membentuk lingkungan sosialnya (dapat dikategorikan sebagai
interpsikologis atau intermental)
2) Konsep Zona Perkembangan Proksimal (ZPD)
Zone of Proximal Development (ZPD) adalah istilah Vygotksy
untuk serangkaian tugas yang terlalu sulit dikuasai anak secara sendirian
tetapi dapat dipelajari dengan bantuan dari orang dewasa atau anak yang
lebih mampu, jadi batas bawah dari ZPD adalah tingkat problem yang
dapat dipecahkan oleh anak seorang diri. Batas atasnya adalah tingkat
tanggung jawab atau tugas tambahan yang dapat diterima anak dengan
bantuan dari instruktur yang mampu.
Penekanan Vygotsky pada ZPD menegaskan keyakinannya akan
arti penting dari pengaruh social, terutama pengaruh instruksi atau
pengajaran terhadap perkembangan kognitif anak.
Scaffolding merupakan pemberian bantuan kepada anak secara
bertahap pada awal pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan tersebut
untuk memberikan kesempatan kepada anak agar mampu mengambil alih
tanggung jawab yang semakin besar, segera setelah mampu mengerjakan
sendiri. Scaffolding erat kaitannya dengan gagasan ZPD. Sebuah teknik
untuk mengubah level dukungan. Selama sesi pengajaran orang yang lebih
ahli, menyusaikan jumlah bimbingan dengan level kinerja anak yang telah
dicapai. Ketika tugas yang akan dipelajari anak adalah tugas yang baru,
maka orang yang lebih ahli dapat menggunakan teknik instruksi langsung.
Saat kemampuan anak meningkat maka semangkin sedikit bimbingan
yang diberikan.
3) Private Speech
Menurut Vygotsky, anak-anak menggunakan Bahasa bukan
hanya untuk komunikasi sosial, tetapi juga untuk merencanakan,

6
memonitor perilaku mereka dengan caranya sendiri. Penggunanaan
Bahasa untuk mengatur diri sendiri ini dinamakan “pembicaraan batin”
(inner speech) atau “pemicaraan privat (private speech)?”. Menurut Piaget
private speech adalah alat penting bagi pemikiran selama masa kanak-
kanak (early childhood)
Vygotsky percaya bahwa Bahasa dan pikiran pada mulanya
berkembang sendiri-sendiri lalu bergabung menjadi satu pemahaman yang
utuh. Vygotsky percaya bahwa anak yang banyak menggunakan private
speech akan lebih kompeten secara social ketimbang mereka yang tidak.
Dia berpendapat bahwa private speech merepresentasikan transisi awal
untuk menjadi lebih komunikatif secara sosial.
Struktur mental atau kognitif anak terbentuk dari hubungan antara
fungsi-fungsi mental. Hubungan antara Bahasa dan pemikiran diyakini
sangat penting dalam kaitannya. Kemahiran berbahasa dapat berfungsi
untuk hal-hal berikut:
• Sumber berpikir
• Mengetahui makna dan bentuk konsep
• Konstruktivisme sosial

2.2.3. Teori Jerome S. Bruner


Bruner (1966) dalam bukunya Toward Theory of Instruction
mengunkapkan bahwa anak-anak belajar dari konkret ke abstrak melalui tiga
tahap yaitu: enactive, iconic dan symbolic.
➢ Pada tahap enactive anak berinteraksi dengan objek berupa benda-benda,
orang dan kejadian. Dari interaksi anak belajar nama dan merekam ciri
benda dan kejadian.
➢ Pada proses isonic anak mulai belajar mengembangkan simbol dengan
benda. Jika anak diberi kartu domino ia tahu bahwa artinya dua.
➢ Pada tahap symbolic anak mulai belajar bilangan dari obyek nyata perlu
diberikan sebelum anak belajar angka. Oleh karena itu, pada saat kegiatan
menghitung, sebaiknya anak dilatih menghitung benda-benda nyata.
Setelah itu baru anak dilatih menghubungkan antara jumlah benda dengan
symbol bilangan.

2.2.4. Teori David Paul Ausubel


7
Teori belajar David Ausubel dikenal dengan teori belajar bermakna
(meaningful learning). Inti dari belajar bermakna ialah bahwa apa yang
dipelajari anak memiliki fungsi bagi kehidupannya. Menurut Ausubel seseorang
belajar dengan mensosiasikan fenomena baru dalam skema yang ada atau
mengubahnya. Saat proses belajar siswa Menyusun sendiri apa yang ia pelajari.
Teori belajar bermakna David ini sangat dekat dengan inti pokok
konstruktivisme. Selain itu, keduanya menekankan pentingnya belajar
mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta baru ke dalam sistem
pengertian yang telah dimiliki.
Serta pentingnya similasi pengalaman baru ke dalam struktur
pengetahuan atau pengertian yang sudah dimiliki siswa. Keduanya menyatakan
bahwa dalam proses belajar siswa itu aktif. Teori belajar bermakna mempunyai
beberapa ciri, antara lain:
1) Ada keterkaitan antara pengetahuan yang telah dimiliki anak dengan
pengetahuan baru yang dipelajari. Struktur pengetahuan ide, gagasan yang
telah dimiliki anak merupakan modal belajar. Oleh karena itu, pendidik
harus mampu menghubungkan apa yang dipelajari anak dengan
pengetahuan yang telah dimiliki anak.
2) Siswa memiliki kebebasan memilih apa yang dipelajari. Setiap siswa
memiliki bakat, minat dan cita-cita berbeda-beda. Konsekuensinya cara
belajarnya juga berbeda-beda. Pendidik berfungsi membantu setiap anak
mengembangkan potensinya. Hal itu memang akan sangat menyulitkan
pendidik saat pelaksanaan pembelajaran. Untuk memudahkan organisasi
belajar, pendidik dapat menggunakan tematik unit. Anak dapat memilih
objek atau sub tema dalam lingkup tema dasar yang sama.
3) Kegiatan pembelajaran memungkinkan anak Menyusun pemahaman
sendiri. Otak anak bukan seperti wadah yang kosong tempat pendidik
dapat menuangkan apa saja ke dalamnya. Otak anak ibarat lilin yang harus
dinyalakan agar mampu menerangi dirinya. (Suyanto, 2005, 104-105)

2.3. Ranah Kognitif (Teori Benjamin S. Bloom)


Ranah kognitif dikembangkan oleh Bloom. Ranah kognitif ialah kemampuan
yang merupakan hasil kerja otak. Bloom (1956) membagi ranah kognitif ini menjadi
enam tingkatan kemampuan yang tersusun secara hierarkis mulai dari: pengetahuan,

8
pemahaman, penerapan, analisis, evaluasi dan menciptakan, yang merupakan jenjang
kemampuan mulai dari yang rendah sampai yang paling tinggi.
Dimensi proses kognitif (Taksonomi Bloom)

1) Pengetahuan
Meliputi defenisikan , identifikasi, memberi nama, sebutkan, jodohkan,
buat bagan, mengingat kembali, mengenali, memilih, memproduksi kembali,
menyatakan. Contoh: menyebutkan nama suatu benda atau makhluk Tuhan.
2) Pemahaman
Meliputi mengubah, mempertahankan, membedakan, memperkirakan,
menjelaskan, memperluas, generalisasi dan memberikan. Contoh: membedakan
berbagai warna, rasa, aroma dan benda.
3) Penerapan
Meliputi aplikasikan, ubah, hitung, kembangkan, tunjukkan, temukan,
manipulasi, modifikasi, operasikan, prediksi, menyiapkan, memproduksi,
mengaitkan, menunjukkan, memecahkan, menggunakan. Contoh: menggunakan
jari atau benda untuk berhitung.
4) Analisis
Meliputi analisa, pisahkan, bandingkan, kontras, diagram, memisahkan,
membedakan, identifikasi, gambarkan, ambil kesimpulan, buat bagan, kaitkan,
pilih, pisahkan. Contoh: menggambar suatu benda atau peristiwa.
5) Mengevaluasi / evaluating
Kata kuncinya meliputi kategori, kombinasikan, ciptakan, rancang,
jelaskan, buatlah, modifikasi, organisasikan, rencanakan, atur kembali, susun
kembali, kaitkan, organisasikan, kembali dari potongan balok atau pazel.
6) Menciptakan/ Creating
Meliputi nilai, bandingkan, simpulkan, kontraskan, mengkritik,
mempertahankan, menjelaskan, membedakan, mengevaluasi, menginter-

9
prestasikan, memberikan alas an, menghubungkan, merangkum dan mendukung.
Contoh: memilih gambar yang benar dan gambar yang salah.

2.4. Teori Critical Thinking dan Creative Learning


John Dewey mengemukakan bahwa berpikir kritis (Critical Thinking) secara
esensial sebagai sebuah proses aktif, dimana seseorang berpikir segala hal secara
mendalam, mengajukan berbagai pertanyaan, menemukan informasi yang relevan
daripada menunggu informasi secara pasif (Fisher, 2009)

Berpikir kritis merupakan proses dimana segala pengetahuan dan


keterampilan dikerahkan dalam memecahkan permasalahan yang muncul, mengambil
keputusan, menganalisis semua asumsi yang muncul dan melakukan inverstigasi atau
penelitian berdasarkan data dan informasi yang telah didapatkan sehingga menghasilkan
informasi atau simpulan yang diinginkan.
Facione (2011: 5) menyatakan bahwa Critical Thinking merupakan proses
berpikir kompleks yang terdiri dari analysis, evaluation, explanation, inference,
interpretation, and self regulation. Hal ini juga didukung oleh pendapat Suter (2012: 6)
beberapa kemampuan lain yang terlibat dalam berpikir kritis termasuk interprestasi,
penyimpulan, penjelasan, dan pengaturan diri.
Menurut Susilowati, dkk (2017: 224-225) kecakapan Critical Thinking
meliputi:
➢ Analysis (analisis) merupakan kemampuan untuk mengidentifasi maksud dan
kesimpulan yang benar antar pernyataan, pertanyaan, konsep, deskripsi
berdasarkan keputusan, pengalaman, alasan, informasi dan pendapat. Evaluation
(evaluasi) kemampuan menilai kredibilitas pernyataan atau penyajian lain dengan
menilai atau menggambarkan persepsi seseorang, pengalaman, situasi,
kepercayaan, keputusan, dengan menggunakan kekuatan logika dari hubungan
inferensial yang diharapkan atau hubungan inferensial yang actual diantara
pertanyaan, pernyataan, deskripsi maupun bentuk representasi lainnya.
➢ Explanation (eksplanasi) kemampuan seseorang untuk menyatakan hasil proses
pertimbangan, kemampuan untuk membenarkan bahwa suatu alasan itu
berdasarkan bukti, metodologi, konsep atau suatu kriteria tertentu dan
pertimbangan yang masuk akal, serta kemampuan untuk mempresentasikan alasan
berupa argument yang meyakinkan.

10
➢ Inference (inferensi) kemampuan anak untuk mengidentifikasi dan memilih unsur-
unsur yang diperlukan untuk membentuk kesimpulan yang beralasan atau untuk
membentuk hipotesis dengan memperhatikan informasi relevan dan mengurangi
konsekuensi yang dimunculkan dari data, pertanyaan, prinsip, bukti, penilaian,
opini, deskripsi, pernyataan, keyakinan, maupun bentuk representasi lainnya.
➢ Interpretation (interpretasi) merupakan kemampuan seseorang untuk memahami
dan menyatakan arti atau maksud dari pengalaman yang bervariasi situasi, data,
peristiwa, keputusan, konvensi, kepercayaan aturan, prosedur atau kriteria.
➢ Self Regulation ( pengaturan diri ) ini berkaitan dengan kesadaran seseorang untuk
memonitor kognisi dirinya dengan mengaplikasikan keterampilan untuk
mengevaluasi kemampuan diri dan mengambil kesimpulan dalam bentuk
pertanyaan, konfirmasi, dan validasi.

Berpikir kreatif (Creative Thinking) adalah proses berpikir yang


menghasilkan sesuatu yang baru dari hal-hal yang sudah ada sebelumnya. Berfikir kreatif
merupakan kemampuan yang Sebagian besar dari kita yang terlahir bukan pemikir kreatif
alami. Perlu Teknik khusus untuk membantu menggunakan otak kita dengan cara yang
berbeda. Masalah pada pemikirna kreatif adalah bahwa hamper secara definisi dari setiap
ide yang belum diperiksa akan terdengar aneh dan mengada-ngada bahkan terdengar gila.
Tetapi solusi yang baik mungkin akan terdengar aneh pada awalnya.
Namun demikian, solusi tersebut jarang diungkapkan dan dicoba. Berpikir
kreatif dapat berupa pemikiran imajinatif, menghasilkan banyak kemungkinan solusi,
berbeda dan bersifat lateral. Keterampilan berpikir kritis dan kreatif berperan penting
dalam mempersiapkan anak agar menjadi pemecah masalah yang baik dan mampu
membuat keputusan maupun kesimpulan yang matang dan mampu
dipertanggungjawabkan secara akademis.
Perbandingan cara berpikir Critical Thinking dan Creative Thinking
Critical Thinking Creative Thinking
Analitis Generatif
Konvergen Divergen
Vertical Lateral
Verbal visual
Penalaran Kebaruan, kekayaan
Ya, tetapi.. Ya, dan….
Focus (satu titik) Menyebar
11
Penilaian (judgement) Menunda penilaian
Linier Asosiatif, metaforis
Objektif Subjektif
Otak kiri Otak kanan
Jawaban Tunggal Banyak kemungkinan jawaban

Karakteristik Pemikir Critical Thinker & Creative Learner


Critical Thinker Creative Learner
Terbiasa dengan konsep dasar dan Memiliki rasa ingin tahu yang besar
abstraksi dari suatu persoalan yang
dihadapi
Terbiasa mengumpulkan bukti-bukti yang Melihat permasalahan sebagai hal yang
memadai guna mengevaluasi menarik sekaligus peluang untuk
kemungkinan - kemungkinan jawaban ditanggapi
Terbiasa mendeteksi bias-bias dan Menikmati tantangan dan risk-taker
asumsi-asumsi personal
Terbiasa mengolah bukti-bukti yang Berpandangan optimis (juga terhadap
sudah terkumpul dengan menggunakan “kegagalan”)
proses berpikir yang rasional
Dari kemungkinan-kemungkinan jawaban Terbiasa menggunakan imajinasinya
yang sudah ditimbang-timbang dan Secara emosional bisa menerima adanya
dievaluasi, terbiasa memilih satu jawaban persoalan atau permasalahan yang muncul
yang dianggap paling benar. Mempertanyakan asumsi-asumsi
tradisional atau konvensional
Tidak gegabah menilai dan menghakimi
sesuatu yang baru
Tidak mudah menyerah: gigih dan pekerja
keras

.
2.5. Teori Metakognisi
12
Metakognisi secara sederhana didefinisikan sebagai berpikir tentang apa yang
dipikirkan sendiri. Metakognisi atau metacognition pertama kali diperkenalkan oleh John
Flavell pada tahun 1976. Metokognisi terdiri dari imbuhan “meta” dan “kognisi”. Meta
merupakan awalan untuk kognisi yang artinya “sesudah” kognisi. Penamabahan awalan
“meta” pada kognisi untuk merefleksikan ide bahwa metakognisi diartikan sebagai
kognisi tentang kognisi, pengetahuan tentang pengetahuan atau berpikir tentang berpikir
(Syahraini, 2019).
Adapun pengertian metakognisi dari beberapa ahli, sebagaib berikut:
➢ Mernurut Wellman dalam Mulbar, metakognisi merupakan suatu bentuk kognisi
atau proses berpikir dua tingkat atau lebih yang melibatkan pengendalian terhadap
aktivitas kognitif. Menurut bruning, Schraw dan Ronning, metakognisi secara
umum berkaitan dengan dua dimensi berpikir, yaitu:
1) Self-awareness of cognition, yaitu pengetahuan yang dimiliki anak tentang
berpikirnya sendiri.
2) Self-regulation of cognition, yaitu kemampuan seseorang menggunakan
kesadarannya untuk mengatur proses kognitifnya sendiri.
➢ Menurut Baker & Brown, Gagne, mengemukakan bahwa metakognisi memiliki dua
komponen, yaitu:
✓ Pengetahuan tentang kognisi
✓ Mekanisme pengendalian diri dan monitoring kognitif
➢ Menurtu Darma,dkk, pembelajaran metakognisi mengajak anak untuk
mengembangkan konsep belajarnya. Anak bisa menyadari pentingnya penguasaan
sebuah kemampuan matematika, melatih kemandirian untuk belajar, dan
memungkinkan anak untuk menyadari kekurangan dan kelebihannya, sehingga
dapat melakukan control terhadap pengetahuannya.

2.5.1. Tingkat Kemampuan Metakognisi


Kemampuan metakognisi berkaitan dengan proses berpikir anak
tentang berpikirnya agar menemukan strategi yang tepat dalam memecahkan
masalah. Setiap anak memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam
menghadapi masalah. Kemampuan metakognisi sangat dibutuhkan dalam
pemecahan masalah agar dalam bekerja anak lebih sistematis dan terarah serta
mendapatkan hasil yang baik.
Menurut Swartz dan Perkins (Mahromah, 2012), kemampuan
metakognisi seseorang terdiri dari beberapa tingkatan, yaitu:

13
a) Tacit use, yaitu jenis pemikiran yang berkaitan dengan pengambilan
keputusan tanpa berpikir tentang keputusan tersebut. Dalam hal ini, anak
menerapkan strategi atau keterampilan tanpa kesadaran khusus atau
melalui coba-coba dan asal menjawab dalam menyelesaikan masalah.
b) Aware use, yaitu jenis pemikiran yang berkaitan dengan kesadaran anak
mengenai apa dan mengapa anak melakukan pemikiran tersebut. Dalam
hal ini anak menyadari bahwa dirinya harus menggunakan suatu Langkah
penyelesaian masalah dengan memberikan penjelasan mengenai alasan
pemilihan Langkah tersebut.
c) Strategic use, yaitu jenis pemikiran yang berkaitan dengan pengaturan
anak dalam proses berpikirnya secara sdar dengan menggunakan strategi-
strategi khusus yang dapat meningkatkan ketepatan berpikirnya. Dalam
hal ini, anak sadar dan mampu menyeleksi strategi atau keterampilan
khusus untuk menyelesaikan masalah.
d) Reflective use, yaitu pemikiran yang berkaitan dengan refleksi anak dalam
proses berpikirnya sebelum dan sesudah atau bahkan selama proses
berlangsung dengan mempertimbangkan kelanjutan dan perbaikan hasil
pemikirannya. Dalam hal ini, anak menyadari dan memperbaiki kesalahan
yang dilakukan dalam langkah-langkah penyelesaian masalah.

14
BAB III
PENUTUP

1.1 Kesimpulan
Otak merupakan organ yang fundamental dalam tubuh manusia. Otak
merupakan pusat berfikir, perilaku dan emosi manusia yang mencerminkan seluruh
dirinya (selfhood), kebudayaan, kejiwaan serta bahasa dan ingatan. Fungsi otak anak
sampai umur 2 tahun 75% disbanding dengan orang dewasa. Oleh karena itu, masa anak
usia dini disebut dengan masa golden age atau masa kritis. Dari beberapa pendapat para
ahli yang telah dipaparkan di makalah, maka disimpulkan bahwa kognisi sebagai proses
berpikir dimana informasi dari pancaindera ditransformasi, direduksi, dielaborasi,
diperbaiki dan digunakan.
Critical Thinking merupakan proses berpikir kompleks yang terdiri dari
analysis, evaluation, explanation, inference, interpretation, and self regulation.
Sedangkan, berpikir kreatif (Creative Thinking) adalah proses berpikir yang
menghasilkan sesuatu yang baru dari hal-hal yang sudah ada sebelumnya. Keterampilan
berpikir kritis dan kreatif berperan penting dalam mempersiapkan anak agar menjadi
pemecah masalah yang baik dan mampu membuat keputusan maupun kesimpulan yang
matang dan mampu dipertanggungjawabkan secara akademis.
Berdasar pendapat dari beberapa ahli metakognisi adalah kemampuan
berpikir dimana yang menjadi sasaran berpikirnya adalah proses berpikir yang terjadi
pada diri sendiri. Hal ini berarti bahwa tentang apa yang dipikirkan dalam hal yang
berkaitan dengan kesadaran terhadap kemampuan untuk mengembangkan berbagai cara
dalam memecahkan masalah.
1.2 Saran
Saran saya sebagai penulis terhadap para pembaca agar dapat memahami
tujuan dari penulisan makalah ini yaitu agar para pembaca ataupun calon guru dapat
memahami ataupun mampu menganalisa tingkat kemampuan kognitif pada anak sesuai
dengan usianya. Para ahli yang sebelumnya sudah meneliti karakteristik dan hal apa yang
tepat dilakukan untuk mencapai tingkat kemampuan kognitif yang semestinya dalam
mengembangkan kognitif anak usia dini dimasa pertumbuhan dan perkembangannya
sesuai dengan usianya. Terima Kasih.

15
DAFTAR PUSTAKA

Ariyana Yoki, MT., Dr.Ari Pudjastuti, M.Pd. dkk. 2003. “Pembelajaran Berorientasi pada
Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi”, https://cdn-gbelajar.simpkb.id/s3/p3k/Pedagogi/
Modul Bahan Belajar Pedagogi 2021.pdf. Diakses 12 Oktober 2023 pukul 21.35 WIB.\

Setiawan, Robby Di. 2022. Critical and Creative Thinking, https://robbysetyawan.


blogspot.com/2013/04/critical-and-creative-thinking.html. Diakses 12 Oktober 2023 pukul
22.25 WIB.

Setiawan, Robby Di. 2013. Kritis Dan Kreatif Dalam Berpikir Dan Berbahasa,
https://robbysetyawan.blogspot.com/2013/04/kritis-dan-kreatif - dalam - berpikir dan _12.html,
Diakses 13 Oktober 2023 pukul 21.20 WIB.

Listanto, Irawan. 2012. Creative and Critical Thinking, https://www.academia.edu/


19673580/Creative_And_Critical, diakses 13 Oktober 2023 pukul 21.25 WIB

Nuraini Yuliani. 2019. Perspektif Baru Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Campustaka:
Jakarta

Warmansyah, Jhoni., Utami, Tri., Faridy, Faizatul,. Syarfina., Marini, Tria,. Ashari,
Novita,.2023. Perkembangan Kognitif Anak Usia Dini. Bumi Aksara. Jakarta.

16

Anda mungkin juga menyukai