Keperawatan Psikososial
Penulis : Mundakir
Editor : Mundakir
Tata Letak : Salsabila Faidah Paramita Wardani
Design cover : Nurhidayatullah R.
Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi
buku ini dalam bentuk apapun, baik secara elektronis maupun mekanis, termasuk memfotokopi,
merekam, atau dengan menggunakan sistem penyimpanan lainnya, tanpa izin tertulis dari
penerbit.
1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak/atau tanpa ijin pencipta atau pemegang Hak Cipta
melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta yang meliputi Penerjemah dan Pengadaptasian
Ciptaan untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana paling lama 1 (satu)
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 ( lima ratus juta rupiah)
2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan atau tanpa ijin Pencipta atau pemegang Hak Cipta
melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta yang meliputi Penerbitan, Penggandaan dalam
segala bentuknya, dan pendistribusian Ciptaan untuk Pengunaan Secara Komersial, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
3. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada poin kedua diatas yang
dilakukan dalam bentuk Pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah)
ii
Terapi Deep Breathing.......................................................................... 238
Terapi Relaksasi Progresif..................................................................... 246
Terapi Visualisasi................................................................................... 248
Daftar Pustaka .................................................................................263
Glosarium.........................................................................................273
Indeks ...............................................................................................277
Lampiran Berkas..............................................................................281
vii
viii
BAB 1
MENGENAL BENCANA
Tujuan Intruksional
Setelah membaca bagian ini, mahasiswa mampu:
1) Memahami definisi, jenis dan fase bencana
2) Memahami dampak bencana pada sistem manusia, properti, dan
lingkungan
3) Menjelaskan pola manajemen bencana di Indonesia
Berbagai musibah dan bencana alam yang terjadi dalam dua dasawarsa terakhir
ini tidak bisa lepas dari pengaruh kondisi geografis Indonesia dan ulah manusia.
Dilihat dari kondisi geografis, Indonesia adalah negara maritim yang memiliki
ribuan pulau besar dan kecil yang terletak di antara lempengan tektonis Euro-
Asia dan lempengan Indo-Australia. Disamping itu bencana juga dapat terjadi
karena ulah manusia seperti mengeksploitasi hutan yang berlebihan sehingga
menyebabkan terjadinya bencana alam seperti gempa bumi, Tsunami, banjir dan
tanah longsor di berbagai daerah wilayah Indonesia. Dengan demikian fenomena
semburan lumpur Lapindo juga dimungkinkan karena faktor geografis dan ulah
manusia dalam mengeksploitasi sumber energi gas alam.
1
Definisi bencana
Bencana juga diartikan sebagai suatu gangguan fungsi sosial yang serius yang
dapat menyebabkan meluasnya korban jiwa, materi dan atau lingkungan yang
tidak mampu diatasi oleh orang yang mengalami musibah dengan sumber daya
yang tersedia. Dengan demikian bencana terjadi karena sumber daya atau
kapasitas yang tersedia tidak mampu mengatasi ancaman (musibah) yang
menyebabkan korban jiwa, materi dan lingkungan
(http://www.wpro.who.int/health_topics/disasters/). Beberapa kondisi yang
dapat menjadi penyebab terjadi bencana adalah kondisi geografis, geologis,
hidrologis, dan demografis baik yang disebabkan oleh faktor alam maupun faktor
manusia. Akibat bencana dapat menyebabkan timbulnya korban jiwa, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis yang dapat
menghambat pembangunan nasional (UU No 24 Th 2007).
2
Berdasarkan beberapa pengertian bencana tersebut diatas dapat disimpulkan
bahwa bencana adalah suatu peristiwa atau kejadian yang disebabkan oleh faktor
alam maupun ulah manusia, yang dapat mengakibatkan adanya kerusakan,
kerugian, dan kehilangan baik materi maupun non materi yang dapat
mengganggu proses kehidupan yang tidak dapat ditanggulangi tanpa bantuan dari
orang atau pihak lain.
Jenis bencana
3
berkendaraan, kebakaran, huru-hara, sabotase, ledakan, gangguan listrik,
gangguan komunikasi, gangguan transportasi
Disisi lain bila kejadian bencana ditinjau dari cakupan wilayahnya, bencana
dibedakan dalam dua jenis, yaitu bencana lokal dan bencana regional:
1. Bencana lokal. Bencana ini dapat menimbulkan dampak pada wilayah
sekitar yang berdekatan. Jenis bencana ini biasanya karena ulah manusia
seperti kebakaran, ledakan teroris, kebocoran bahan kimia
2. Bencana Regional. Jenis bencana ini memberikan dampak atau pengaruh
pada area geografis yang cukup luas, dan biasa disebabkan oleh faktor
alam seperti badai, banjir, letusan gunung, tornado.
Berdasarkan klasifikasi jenis bencana yang ada, bencana lumpur Lapindo dapat
dikemukakan sebagai bencana alam yang disebabkan oleh ulah manusia dalam
hal ini adalah eksplorasi gas bumi yang dilakukan oleh PT Minarak Lapindo Jaya
(LMJ). Sedangkan ditinjau dari cakupan wilayah, bencana lumpur Lapindo
merupakan bencana regional.
Fase-fase bencana
Menurut Santamaria (1995) bencana terjadi melalui tiga fase yaitu pre-impact
(pra-dampak), impact (dampak), dan post-impact
4
Lapindo telah mengalami bencana dalam waktu yang cukup lama
3. Fase pasca dampak dimulai saat pemulihan dari fase darurat. Fase ini juga
ditandai dengan dimulainya masyarakat berusaha kembali melakukan
aktifitas secara normal. Secara umum dalam pasca dampak ini para
korban bencana akan mengalami dampak psikologis berupa penolakan,
marah, tawar menawar, depresi hingga akhirnya bisa menerima. Bagi
korban lumpur yang karenanya harus pindah dari tempat semula
(relokasi), maka di tempat baru mereka memasuki fase pasca dampak,
bukan saat berada dalam pengungsian.
Sementara untuk peristiwa bencana yang bersifat emergensi atau gawat darurat,
kelompok kerja UNICEF dan Pusat Studi Pengembangan Integratif Universitas
Filipina membagi intervensi psikososial berdasarkan fase-fase sebagai berikut:
1. Fase segera setelah kejadian (rescue)
2. Fase pemulihan awal (bulan pertama setelah kejadian
3. Fase pemulihan lanjutan (dua bulan setelah kejadian dan setelahnya):
4. Fase rekonstruksi
Sedangkan di Jepang, fase-fase penanganan bencana ini dilakukan berdasarkan
masa akut, masa sub-akut, dan masa kronis (Mieko, 2009)
5
struktur masyarakat yang telah terbentuk dan sosial budaya yang sudah
mengakar.
6
merupakan zat kimia yang mengandung gas Hidrogen Sulfida (H2S), Amonia
(NH2), Nitrit Nitrat, Timbal (Tb), dan Fenol (C6H5OH) serta mengandung
merkuri yang kadarnya lebih dari 2,465 mg/lt yang semuanya itu beracun dan
sangat berbahaya bagi manusia (Azhar, 2006).
Masalah kesehatan jiwa juga terjadi akibat lumpur Lapindo ini. Anggota
masyarakat yang kehilangan pekerjaan, sawah/ladang, tempat tinggal bahkan
struktur keluarga dan budaya yang sudah tertata menimbulkan tekanan psikis
yang dapat menimbulkan gangguan kejiwaan. Sejak terjadinya luapan
lumpur Lapindo hingga sekarang ini tidak kurang dari 400 orang yang pernah
dirawat di Rumah Sakit Jiwa (Kompas, 2007).
Secara khsusus dampak bencana pada aspek psikis ini adalah terhadap emosi
dan kognitif korban. Pada aspek emosi terjadi gejala-gejala sebagai berikut:
syok, rasa takut, sedih, marah, dendam, rasa bersalah, malu, rasa tidak
berdaya, kehilangan emos seperti perasaan cinta, keintiman, kegembiraan
atau perhatian pada kehidupan sehari-hari. Pada aspek kognitif, korban
bencana ini juga mengalami perubahan seperti: pikiran kacau, salah persepsi,
menurunnya kemampuan untuk mengambil keputusan, daya konsentrasi dan
daya ingat berkurang, mengingat hal-hal yang tidak menyenangkan, dan
terkadang menyalahkan dirinya sendiri (http://www.ncptsd.org/).
7
Berdasarkan hasil penelitian empiris, dampak psikologis dari bencana dapat
diketahui bendasarkan tiga faktor yaitu faktor pra bencana, faktor bencana
dan faktor pasca bencana (Tomoko, 2009)
a. Faktor pra bencana. Dampak psikologis pada faktor pra bencana ini dapat
ditinjau dari beberapa hal dibawah ini:
8
5) keluarga. Pengalaman bencana akan memepengaruhi stabilitas
keluarga seperti tingkat stres dalam perkawinan, posisi sebagai orang
tua terutama orang tua perempuan. Gejala psikis pada orang tua ini
akan berdampak pada anak sehingga perhatian pada orang tua dalam
keluarga akan berdampak positif pada anak.
6) tingkat kekuatan mental dan kepribadian. Hampir semua hasil
penelitian menyimpulkan bahwa kondisi kesehatan mental pra
bencana dapat dijadikan dasar untuk memprediksi dampak patologis
pasca bencana. Individu dengan masalah kesehatan jiwa akan
mengalami stres yang lebih berat dibandingkan dengan individu
dengan kondisi psikologis yang stabil.
b. Faktor bencana. Pada faktor ini, dampak psikologis dapat ditinjau dari
beberapa hal dibawah ini:
9
rasa kehilangan pada individu dan memperkuat perasaan negatif dan
memperlemah perasaan positif.
Gejala dan dampak psikologis pasca bencana juga dapat dilihat dari daftar
gejala Hopkins untuk mengetahui adanya depresi dan kecemasan. Gejala-
gejala Hopkins tersebut meliputi perasaan depresi, minat atau rasa senang
yang berkurang, dan DSM-IV kriteria A. Gejala perasaan depresi meliputi
mudah menangis, merasa tidak ada harapan untuk masa depan, merasa galau
dan merasa kesepian. Minat atau rasa senang yang berkurang seperti tidak
ada rasa minat terhadap segala hal, dan hilangnya minat atau kesenangan
seksual. Sedangkan gejala DSM-IV pada kriteria A adalah nafsu makan
rendah, kesulitan untuk tidur atau tetap tidur, merasa kurang bertenaga dan
atau merasa segala sesuatu perlu usaha, menaruh kesalahan pada diri sendiri
untuk segala hal, terlalu khawatir mengenai segala hal atau merasa tidak
berguna, dan berpikir untuk bunuh diri.
Dampak psikologis karena bencana juga dapat dilihat dari DSM IV pada
kriteria B, kriteria C, dan kriteria D. Kriteria-kriteria ini selanjutnya
10
dikembangkan dan dijadikan acuan untuk menyusun kuesioner pada klien
yang mengalami trauma oleh Mollica et al (2004) dari Havard University
sehingga dikenal dengan Trauma Havard Quesioner (THQ). Pada DSM-IV
kriteria B menjelaskan tentang gejala mengalami kembali (re-experiencing)
misalnya pikiran atau ingatan yang muncul kembali tentang peristiwa yang
paling menyakitkan atau menakutkan, merasa seolah-olah peristiwa terjadi
lagi, mimpi buruk yang muncul kembali, reaksi emosional atau fisik secara
tiba-tiba ketika diingatkan mengenai peristiwa yang paling menyakitkan atau
traumatik.
Pada DSM-IV kriteria C atau disebut juga sebagai gejala penghindaran atau
mati rasa (avoidance and numbing) yaitu merasa jauh dari orang lain, tidak
mampu merasakan emosi, menghindari melakukan kegiatan atau pergi ke
tempat yang mengingatkan peristiwa yang traumatik atau menyakitkan,
ketidakmampuan untuk mengingat beberapa bagian dari peristiwa yang
paling traumatik atau menyakitkan tersebut, menurunnya minat pada kegiatan
sehari-hari, merasa seolah-olah tidak memiliki masa depan, menghindari
fikiran atau perasaan yang terasosiasikan berkaitan dengan peristiwa
traumatik atau menyakitkan tersebut. Sedangkan pada DSM–IV kriteria D
atau disebut dengan gejala rangsangan (arousal) sebagai berikut merasa
resah, mudah kaget, kesulitan untuk berkonsentrasi, sulit tidur, merasa was-
was, dan merasa kesal atau sering tiba-tiba marah
11
yang dimaksud adalah bangunan pendidikan, tempat ibadah, pondok
pesantren, dan panti sosial.
12
Kehilangan modal sosial itu bisa mengarah pada pemiskinan korban dari
segala sisi. Dalam kontek sosial maka modal sosial masyarakat korban
Lapindo telah mengalami kerugian yang luar biasa. Kegiatan social seperti
gotong royong, acara tahlillan satu minggu sekali, dan dziba’an (Sholawatan)
adalah contoh kegiatan sosial yang mampu mempererat ikatan mereka namun
semua itu sekarang hilang karena masyarakat telah mencari kehidupannya
sendiri-sendiri (www.korbanlapindo.net)
Manusia sebagai makhluk yang utuh atau holistik memiliki kebutuhan yang
kompleks yaitu kebutuhan biologis, psikologis, sosial kultural dan spiritual.
Spiritual digambarkan sebagai pengalaman seseorang atau keyakinan
seseorang, dan merupakan bagian dari kekuatan yang ada pada diri seseorang
dalam memaknai kehidupannya. Spiritual juga digambarkan sebagai
pencarian individu untuk mencari makna (Bown & Williams, 1993). Dyson,
Cobb, dan Forman (1997) menyatakan bahwa spiritual menggabungkan
perasaan dari hubungan dengan dirinya sendiri, dengan orang lain dan dengan
kekuatan yang lebih tinggi.
13
apa yang terjadi merupakan kehendak dan kuasa sang Pencipta yang tidak
mampu di tandingi oleh siapapun. Mereka mendekat dengan cara
meningkatkan spiritualitasnya supaya mendapatkan kekuatan dan
pertolongan dalam menghadapi bencana atau musibah yang dialaminya.
Sedangkan bagi yang menjauh umumnya karena dasar keimanan atau
keyakinan terhadap sang pencipta rendah, atau karena putus asa.
14
Respon individu paska trauma bervariasi tergantung dari persepsi dan
kestabilan emosi ynag dimilikinya. Menurut Keliat, dkk (2005), ada 3
tahapan reaksi emosi yang dapat terjadi setelah bencana, yaitu : pertama,
reaksi individu segera (24 jam) setelah bencana dengan reaksi yang
diperlihatkan: Tegang, cemas dan panik; terpaku, linglung, syok, tidak
percaya; gembira/euphoria, tidak terlalu merasa menderita; lelah; bingung;
gelisah, menangis dan menarik diri; merasa bersalah. Reaksi ini termasuk
reaksi normal terhadap situasi yang abnormal dan memerlukan upaya
pencegahan primer.
Adapun yang kedua adalah minggu pertama sampai dengan minggu ketiga
setelah bencana. Reaksi yang diperlihatkan antara lain: ketakutan, waspada,
sensitif, mudah marah, kesulitan tidur; kuatir, sangat sedih; mengulang-ulang
kembali (flashback) kejadian; bersedih. Reaksi positif yang masih dimiliki
yaitu: Berharap dan berpikir tentang masa depan, terlibat dalam kegiatan
menolong dan menyelamatkan; menerima bencana sebagai takdir. Kondisi
ini masih termasuk respon normal yang membutuhkan tindakan psikososial
minimal, terutama untuk respon yang maladaptif.
Sedangkan reaksi yang Ketiga adalah lebih dari minggu ketiga setelah
bencana dengan reaksi yang diperlihatkan dapat menetap. Manifestasi diri
yang ditampilkan yaitu : Kelelahan; merasa panik; kesedihan terus berlanjut,
pesimis dan berpikir tidak realistis; tidak beraktivitas, isolasi dan menarik
diri; kecemasan yang dimanifestasikan dengan palpitasi, pusing, letih, mual,
sakit kepala, dan lain – lain. Kondisi ini merupakan akumulasi respon yang
menimbulkan masalah psikososial.
15
balik dan dianggap berpotensi cukup besar sebagai faktor penyebab
terjadinya gangguan jiwa (atau gangguan kesehatan) secara nyata, atau
sebaliknya masalah kesehatan jiwa yang berdampak pada lingkungan sosial.
Ciri-ciri masalah psikososial antara lain: a) cemas, khawatir berlebihan, takut,
b) mudah tersinggung, c) sulit konsentrasi, d) bersifat ragu-ragu/merasa
rendah diri, e) merasa kecewa, f) pemarah dan agresif, g) reaksi fisik seperti:
jantung berdebar, otot tegang, sakit kepala (CMHN, 2005).
Struktur desa dan masyarakat telah hancur, orang – orang berpindah pada
keadaan dan situasi yang berbeda, baik dari segi lingkungan maupun sosial,
8) belum adanya persiapan diri dan skala kerusakan akibat Tsunami telah
menambah kesusahan masyarakat. Sepertinya mereka tidak mampu untuk
16
menghadapi tekanan/stres untuk waktu yang lama, 9) orang – orang yang
terkena bencana harus berurusan dengan stres praktis.
Stres praktis tersebut misalnya sistem registrasi yang rumit, berusaha untuk
menyatukan kembali anggota keluarga yang masih ada, tidak meratanya
pembagian distribusi dan pertolongan, harus tinggal di pusat – pusat
penampungan dan di tempat penampungan sementara, 10) keluarga yang
terpisah setelah bencana terdapat di tempat penampungan yang berbeda.
Kemarahan juga ditujukan kepada pihak lain seperti pada kelompok distribusi
bantuan dan pemerintah, 13) ada masyarakat yang memandang secara magis
tentang penyebab terjadinya bencana dan berusaha dengan cara – cara
tertentu untuk selamat dari bencana, 14) kurangnya koordinasi antara
organisasi dan agensi yang menyebabkan banyaknya bantuan yang tidak
tersalurkan kepada yang membutuhkan. Khususnya pada proses pemulihan
bagi yang mengalami reaksi psikolgis yang berat sehingga penderitaan para
korban semakin parah, 15) kurangnya sikap peka dan simpatik pemerintah
terhadap para korban.
17
korban yang mempunyai riwayat kerugian di masa lalu yang dapat
membangkitkan kenangan dan reaksi emosi mereka karena bencana
sekarang. Dengan begitu semakin sulit bagi individu untuk menghadapinya,
17) banyak para duda yang kesulitan untuk mengurus anak kecil terutama
bayi. Mereka mengkonsumsi alkohol dalam menghadapi masalahnya, 18)
salah satu kelompok yang mempunyai kebutuhan paling spesifik yakni para
remaja, khususnya yang kehilangan orang tua.
Teori Psikososial dari Erik Erikson (1955, dalam Frisch & Frisch, 2006),
manjelaskan masalah perkembangan psikososial berbeda dalam delapan
tahapan. Setiap tahap akan terjadi konflik psikososial berdasarkan usia.
Peneliti hanya menjelaskan perkembangan psikososial yang terkait dengan
subyek penelitian yaitu usia 20 tahun keatas. Pada usia ini tahap
perkembangannya adalah tahap keintiman versus pengasingan (Intimacy
versus isolation). Perkembangan tahap ini terjadi antara usia 18-25/30 tahun,
dimana individu mampu berinteraksi akrab dengan orang lain terutama lawan
jenis dan memiliki pekerjaan. Kegagalan tahap ini membuat individu
menjauhi pergaulan, merasa kesepian dan menyendiri. Adanya bencana dapat
menimbulkan masa ini tidak dapat dilampaui dengan baik. Mereka cenderung
18
lebih memikirkan pemenuhan kebutuhan hidup dan harapan masing-masing.
Bencana lumpur Lapindo yang terjadi sejak 29 Mei 2006 hingga sekarang masih
aktif mengeluarkan semburan lumpur panas ini telah menenggelamkan 200
hektar sawah dan empat desa yaitu desa Siring, Renokenongo, Kedungbendo dan
Jatirejo. Semburan yang berada di desa Siring kecamatan Porong Sidoarjo ini
19
juga telah mengakibatkan 30 pabrik ditutup, 4 kantor pemerintahan, 33
Sekolahan, 10,426 rumah, 65 tempat Ibadah, 28 Taman Pendidikan Qur’an, 3
Pondok Pesantren, 600 hektar sawah, dan gagal panen yang menurut Dewan Tani
kerugian diperkirakan mencapai Rp.15 Triliun.
Data tersebut dipastikan terus berubah bila semburan lumpur tidak kunjung
berhenti (Mirdasy, 2007). Sedangkan berdasarkan laporan Badan Perencanaan
Pembangunan (Bappenas). Pada 2007, Bappenas sudah mengeluarkan laporan
mengenai kerusakan dan kerugian akibat semburan lumpur Lapindo mencapai
7,3 triliun rupiah. Lalu ditambah dengan kerugian tidak langsung yang mencakup
potensi ekonomi yang hilang sekira 16,5 triliun rupiah (www.korbanlapindo.net)
Selain itu, terjadinya bencana alam juga menyebabkan rusaknya fasilitas atau
sarana pendidikan yang ada seperti gedung sekolah, peralatan belajar dan
terganggunya proses belajar mengajar. Kondisi tersebut tentu sangat berpengaruh
terhadap terbatasnya pemberian layanan pembelajaran dari sekolah kepada
peserta didik. Padahal mendapatkan layanan pembelajaran kepada peserta didik
merupakan salah satu hak asasi manusia bagi setiap warganegara Indonesia yang
dijamin oleh negara, sebagaimana yang tercantum di dalam Undang-Undang
dasar 1945, pasal 31, ayat 2.
20
Sebagai akibat kerusakan lingkungan, selain rusaknya infrasturtur, fasilitas lain
yang menyangkut kebutuhan dasar manusia juga terganggu, misalnya
ketersediaan air bersih, distribusi bahan makanan dan pencemaran lingkungan.
Semua dampak lingkungan ini, cepat atau lambat akan mengancam status
kesehatan korban bencana
Manajemen Bencana
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi luapan lumpur Lapindo, namun
hingga kini belum mampu menghentikannya. Mulai dari Snubbing unit (suatu
alat untuk menghentikan luapan Lumpur), relief well (tehnik mencari pusat
semburan pada kedalaman tertentu dengan cara ngebor miring), water treatment
(suatu cara pengenceran air lumpur sebelum dibuang ke sungai atau badan air)
dan cara Spilway yaitu mengalirkan lumpur ke sungai dengan cara memompa.
Semua skenario dan upaya tersebut hingga kini belum mampu menghentikan
luapan lumpur Lapindo.
Secara Nasional peristiwa bencana sudah menjadi perhatian pemerintah. Hal ini
terbukti dengan dibentuknya lembaga-lembaga yang khusus menangani masalah-
masalah yang timbul akibat bencana, seperti adanya badan penanggulangan
bencana mulai dari tingkat pusat hingga lokal tempat kejadian bencana.
21
perhatian bagi Individu, kelompok, LSM, Ormas maupun negara. Begitu pula
setiap kejadian bencana di Indonesia. Pemerintah, organisasi-organisasi bantuan
baik dalam negeri maupun luar negeri, dan masyarakat itu sendiri melakukan
upaya untuk penanganan bencana secara bekerjasama dibawah koordinasi Satuan
Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Pengungsian
22
BAB 2
BENCANA LUMPUR LAPINDO
Tujuan Intruksional
Setelah membaca bagian ini, mahasiswa mampu:
1) Memahami sejarah terjadinya bencana lumpur lapindo
2) Menjelaskan dampak psikologis yang dialami masyarakat korban
bencana
3) Menjelaskan kewenangan lembaga pemerintah dalam penanganan
bencana
23
Brantas Inc sebagai operator blok Brantas. Sehingga semburan lumpur
panas tersebut diduga diakibatkan aktivitas pengeboran yang dilakukan
Lapindo Brantas di sumur tersebut. Pihak Lapindo Brantas sendiri punya
dua teori soal asal semburan. Pertama, semburan lumpur berhubungan
dengan kesalahan prosedur dalam kegiatan pengeboran. Kedua, semburan
lumpur kebetulan terjadi bersamaan dengan pengeboran akibat sesuatu
yang belum diketahui.
Yang jelas, kejadian tersebut bila dilihat dari waktu dan tempat sangat
dekat dengan aktifitas Lapindo Brantas Inc. Lapindo Brantas melakukan
pengeboran sumur Banjar Panji-1 pada awal Maret 2006 dengan
menggunakan perusahaan kontraktor pengeboran PT Medici Citra
Nusantara. Kontrak itu diperoleh Medici atas nama Alton International
Indonesia, Januari 2006, setelah menang tender pengeboran dari Lapindo
senilai US$ 24 juta.
24
Mei 2007 juga menemukan kesalahan-kesalahan teknis dalam proses
pemboran
25
(Mirdasy, 2007)
26
menempati tempat baru atau sebagian kecil masih di penampungan.
Sementara yang termasuk daerah bencana terdampak akibat bencana
lumpur Lapindo ini adalah desa Besuki Barat, Kedungcangkring, dan desa
Pajarakan kecamatan Jabon Sidoarjo.
Dari tiga desa tersebut terdapat 1,666 keluarga atau 6,094 jiwa. Penentuan
desa terdampak dilakukan pada bulan Juli 2008 setelah tiga desa tersebut
dinyatakan tidak layak huni oleh Badan Penanggulangan Lumpur di
Sidoarjo (BPLS). Dengan status sebagai desa terdampak berarti
masyarakat harus meninggalkan tanah dan rumahnya karena daerah
tersebut akan dijadikan penampung lumpur. Pemilihan area penelitian di
desa Pajarakan karena desa ini merupakan salah satu desa terdampak yang
hingga kini penduduknya belum meninggalkan tempat meskipun tempat
tinggal mereka sudah dikelilingi lumpur Lapindo.
27
putus asa. Orang yang sudah putus asa atau frustasi seperti ini biasanya
tidak punya rasa takut dan dapat berbuat nekat, sehingga mereka cenderung
berbuat anarkhis, destruktif, dan anti sosial. Atau mungkin justru karena
sudah putus asa mereka menjadi tidak peduli lingkungan, pesimis dalam
hidup yang pada akhirnya dapat menimbulkan depresi berat.
Penelitian ini difokuskan pada masalah psikososial yang terjadi pada usia
dewasa (20-50 th) dan usia lanjut. Pada tahap usia dewasa akan terjadi
”konflik” antara Generativity vs Stagnation. Generativity adalah
kepedulian yang tinggi, lebih luas dari pada intimacy. Perkembangan
individu yang baik pada fase ini akan memunculkan sikap tanggap, peduli
dan partisipasi aktif terhadap kebutuhan orang lain atau lingkungan.
Sedangkan Stagnation merupakan terbatasnya atau tidak adanya kepedulian
kepada orang lain. Ciri-ciri orang yang mengalami stagnasi adalah pasif,
tidak produktif bagi masyarakat karena mereka hanya melihat sesuatu
untuk kepentingan dirinya sendiri tanpa mempedulikan orang lain
(http://www.geocities.com/antara _kita/erikson.htm).
28
Pada usia lanjut dalam perkembangan psikososial menurut Erikson adalah
tahap integeritas diri versus putus asa (Ego integrity versus despair)
Perkembangan periode ini dapat dimulai pada usia 45 - 60 tahun ketika
mulai meninggalkan aktifitas-aktifitas dimasyarakat. Perkembangan
psikososial yang baik pada masa ini diwujudkan dengan adanya integeritas
diri yang baik, lebih matang, dan tidak takut mati karena telah melalui
kehidupan dengan baik. Namun bila hidup yang dilalui tidak sesuai, maka
akan muncul perasaan putus asa, penyesalan dan ”marah” terhadap diri
sendiri karena merasa gagal menjalani hidup.
a. Intervensi psikososial
Berpijak pada teori psikososial Erik Erikson dan teori Maslow di atas,
masyarakat korban Lapindo saat ini sedang mengalami masalah seperti
gangguan pada sistem manusia yang meliputi aspek fisik, psikis, sosial
budaya, dan spiritual, disamping masalah properti, dan kerusakan
lingkungan. Untuk mencegah terjadinya efek atau dampak yang lebih
parah, maka diperlukan perhatian dan bantuan agar masalah tersebut dapat
29
diatasi. Salah satu bentuk bantuan yang perlu diberikan adalah bantuan
psikososial dari tenaga kesehatan professional, disamping dukungan segera
dipenuhinya hak masyarakat korban yang berupa ganti rugi.
30
dalam hal ini adalah status kesehatan jiwa. Peran perawat di Indonesia
sebagaimana yang disepakati oleh PPNI terdiri dari empat peran, yaitu
peran sebagai pemberi pelayanan/asuhan, pengelola, pendidik, dan
peneliti. Peran perawat dalam memberikan layanan kesehatan jiwa untuk
korban pasca bencana ini telah dilakukan di Aceh pasca bencana Tsunami.
Upaya penanganan gangguan jiwa dengan strategi langsung ke masyarakat
telah dimulai dengan program Community Mental Health Nursing (CMHN)
yang dilaksanakan oleh FIK UI bekerjasama dengan Dinas Kesehatan
Kabupaten dan Kota di NAD dan Kabupaten di Nias.
Kondisi masyarakat korban Lapindo saat ini memang tidak dalam ancaman
kematian, namun perubahan yang dialami akibat lumpur Lapindo dan
ketidakpastian masa depan menyebabkan rentan terhadap masalah
Bencana Lumpur Lapindo 29
31
kesehatan, baik masalah kesehatan fisik, psikis, sosial, budaya dan
spiritual. Memang masyarakat korban saat ini lebih fokus pada masalah
pembayaran ganti rugi tahap II (80%) yang belum terealisasi, sehingga
masalah kesehatan terutama masalah kesehatan jiwa belum ada perhatian
baik dari pemerintah dalam hal ini dinas kesehatan maupun dari
masyarakat korban sendiri. Meskipun masyarakat korban sering
mengungkapkan kata-kata stres, pusing dan ungkapan-ungkapan menghujat
kepada PT MLJ yang mereka anggap pihak yang bertanggung jawab dalam
bencana ini.
32
b. Kaitan bencana dengan masalah kesehatan jiwa
Masalah kesehatan jiwa di masyarakat akhir-akhir ini semakin meningkat
baik yang sifatnya ringan maupun berat. Secara global, prevalensi penderita
tekanan psikologis ringan dan tidak membutuhkan pertolongan khusus
diperkirakan sekitar 20-40%. Sedangkan prevalensi penderita tekanan
psikologis sedang sampai berat yang membutuhkan intervensi sosial dan
dukungan psikologis dasar mencapai 30-50%.
33
pokok, sempitnya lapangan kerja, dan tingginya biaya pendidikan
merupakan stressor dalam menjalani hidup. Kondisi ini diperberat adanya
bencana alam yang secara langsung maupun tidak akan mengakibatkan
timbulnya masalah ekonomi, pengangguran, hilangnya mata pencaharian,
ancaman kehilangan tempat tinggal, konflik sosial atau kesulitan hidup
lain, pada akhirnya akan berdampak pada masalah psikologis dan masalah
sosial dalam menjalani kehidupan.
Selain itu, masalah kesehatan jiwa mulai dari yang ringan berupa masalah
psikososial seperti kecemasan dan psikosomatis hingga masalah kesehatan
jiwa yang lebih berat seperti depresi dan psikosis juga bisa terjadi pada
34
orang yang mengalami bencana. Sebagaimana yang terjadi di Nanggroe
Aceh Darussalam (NAD) dan Nias pasca bencana Tsunami tahun 2004,
berdasarkan data yang dilaporkan dari 11 Kabupaten/kota di NAD telah
ditemukan 4177 pasien gangguan jiwa dan 146 pasien pada 2 kabupaten di
Nias. Jumlah tersebut dimungkinkan belum menggambarkan angka yang
sesungguhnya karena belum secara total daerah dideteksi, sehingga
memungkinkan angka tersebut terus bertambah. (CMHN, 2006).
35
masyarakat.
36
BAB 3
Tujuan Intruksional
Setelah membaca bagian ini, mahasiswa mampu:
1) Memahami tipe dan sumber kehilangan
2) Menjelaskan Faktor–faktor yang berpengaruh terhadap kehilangan dan
berdukacita
3) Memahami Koping terhadap kehilangan
4) Menjelaskan tahap dan fase berduka cita pada korban bencana
Bencana menimbulkan kerugian dan gangguan pada sistem manusia. Hal ini
dapat menimbulkan berbagai perubahan. Salah satu perubahan yang sering
dialami oleh korban bencana adalah perasaan kehilangan dan berdukacita &
berkabung. Menurut Fortinash (1996), kehilangan merupakan proses yang
dicirikan oleh serangkaian tahapan yang tumpang tindih meliputi manifestasi
psikologis, penyesuaian dan resolusi. Sedangkan berdukacita dan berkabung
merupakan respon fisiologis dan psikologis yang dinamik terhadap kehilangan
yang mempengaruhi aspek fisik, kognitif, perilaku, sosial dan spiritual. Perasaan
kehilangan dan berdukacita & berkabung ini tidak dapat dipisahkan karena
berada dalam suatu rangkaian kesatuan rentang respon.
Kozier, et al. (2004), mendefinisikan kehilangan adalah situasi saat ini atau yang
akan terjadi (resiko), saat dimana sesuatu yang bernilai menjadi berbeda nilainya,
tidak lagi ada ataupun bahkan hilang. Dukacita merupakan respon emosional
yang dialami berhubungan dengan kehilangan. Dukacita dapat dimanifestasikan
melalui pikiran, perasaan dan perilaku yang bercampur dengan stres berat dan
37
penderitaan. Berkabung adalah proses perilaku/aktivitas setelah
kesedihan/dukacita telah selesai. Hal ini sering dipengaruhi oleh budaya,
pengalaman keagamaan dan adat istiadat. Berkabung merupakan respon
subyektif yang dialami seseorang setelah kematian orang yang dikasihi yang
memiliki hubungan yang berarti/erat. Penjelasan mengenai respon psikososial
kehilangan dan berdukacita-berkabung, dapat digambarkan dalam uraian
dibawah ini:
Menurut Kozier, et al (2004) ada 2 tipe umum dari kehilangan, yaitu kehilangan
aktual dan kehilangan yang dipersepsikan. Kehilangan aktual dapat
diidentifikasikan oleh orang lain dan dapat timbul sebagai respon ataupun
sebagai antisipasi dari suatu situasi. Sebagai contoh, seorang perempuan
mempunyai suami yang akan meninggal dunia, mengalami kehilangan aktual
untuk mengantisipasi kematian suami. Kehilangan yang dipersepsikan dialami
oleh seseorang akan tetapi tidak dapat dijelaskan oleh orang lain. Sebagai contoh,
seorang perempuan yang meninggalkan pekerjaan untuk mengasuh anak-anak di
rumah dapat merasakan kehilangan kebebasan dan kemandirian.
Dijelaskan lebih lanjut menurut Kozier, et al. (2004) bahwa kehilangan dapat
bersumber dari beberapa aspek seperti: Pertama, kehilangan aspek diri seseorang
misalnya anggota tubuh dan fungsi piskologis. Kehilangan aspek diri akan
mengubah gambaran diri seseorang, walaupun kehilangan tersebut tidak nyata
terlihat oleh orang lain. Kedua, kehilangan obyek eksternal meliputi: kehilangan
barang/benda mati yang sangat penting bagi orang tersebut seperti kehilangan
uang, kehilangan rumah dan properti lainnya akibat bencana. Ketiga, berpisah
dari lingkungan yang sudah terbiasa (lingkungan sehari-hari) dan orang – orang
yang memberikan rasa aman. Dan Keempat, kehilangan orang – orang yang
dikasihi akibat penyakit atau kematian. Kematian orang yang dikasihi merupakan
38
kehilangan yang permanen dan berat.
Menurut Harvey dan Weber (1998) kehilangan terbagi atas: Pertama, kehilangan
yang nyata, contohnya: kehilangan dari visi pendengaran, aktivitas seksual atau
kapasitas mental, infertilitas, penyakit kronis, pemerkosaan dan penyalahgunaan
obat-obatan atau hukuman politis. Kehilangan nyata tersebut dapat menjadi
pengalaman bagi diri sendiri. Kedua, kehilangan interpersonal, contohnya
bercerai, putus hubungan persahabatan, kematian orang yang dicintai. Ketiga,
kehilangan material, contohnya kehilangan pekerjaan, perubahan
kewarganegaraan, trauma waktu perang, perubahan tempat tinggal, menjadi
gelandangan.
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi respon kehilangan antara lain jenis
kelamin, budaya, keyakinan spiritual, dan sosial ekonomi. Peran jenis kelamin
dapat mempengaruhi perubahan drastis pada aspek psikososial individu akibat
suatu kehilangan. Hal ini bisa dikarenakan karena faktor hormonal yang dapat
mempengaruhi persepsi terhadap adanya kehilangan. Sebagai contoh, seorang
laki–laki menganggap luka pada wajah akibat cedera adalah hal yang jantan,
namun perempuan menganggapnya bukan sesuatu yang indah. Maka perempuan
akan melihatnya sebagai suatu kehilangan (Corr, Nabe dan Corr 2000)
39
Faktor budaya juga mempengaruhi respon kehilangan dan berdukacita-
berkabung. Menurut Kozier, et al. (2004), beberapa kelompok budaya menilai
mendapat dukungan masyarakat dari ekspresi kehilangan. Dalam beberapa
kelompok, ekspresi dukacita ditunjukkan melalui menangis, meratap, fisik
melemah, dan contoh lain di luar itu diterima dan mendorong sebagai bagian dari
mengatasi kehilangan. Kelompok lainnya tidak menyukai contoh ini dan
menganggap sebagai hilang kendali, mereka lebih menyukai ekspresi duka yang
dilakukan dengan tenang dan tabah.
Menurut Scheper dan Hughes (1985), respon kehilangan memiliki arti yang
berbeda antar budaya dan diantara individu dalam sebuah budaya, tergantung
pada kebiasaan hidup masing – masing. Contoh, di dalam budaya masyarakat
yang kurang mampu dimana kematian bayi dan anak – anak dilihat sebagai
sesuatu yang tidak dapat dihindarkan, keadaan penyakit yang serius pada anak –
anak dapat dikategorikan sebagai kematian dan pada kematian yang sebenarnya
dari anak tersebut tidak ditangisi lebih dari beberapa hari. Demikian halnya
anggapan tentang kematian dapat dipandang sebagai misteri bagi orang lain.
Mereka belajar meyakini bahwa kematian anak kecil masih sebagai suatu bagian
dari keluarga besar dan diharapkan dapat bertemu lagi dengan ibunya pada
kehidupan setelah kematian.
40
Selain tiga faktor diatas, Irish (1993) menjelaskan bahwa faktor status sosial
ekonomi juga sangat mempengaruhi dalam merespon kehilangan. Status sosial
ekonomi individu seringkali mempengaruhi sistem dukungan yang didapat ketika
ia mengalami kehilangan. Orang yang mengantisipasinya melalui kebiasaan
menabung melalui sarana asuransi sebelum mengalami musibah akan lebih
memperoleh dukungan sosial ekonomi dibandingkan dengan yang tidak. Status
sosial ekonomi yang baik mempunyai banyak alternatif untuk menentukan
pilihan dalam mengahadapi masalah kehilangan.
Berdukacita merupakan respons normal dari kehilangan dan hal ini sangat
penting untuk mental yang baik dan kesehatan fisik. Berdukacita membuat
41
seseorang berusaha untuk mengatasi dengan berangsur–angsur memulihkan
kehilangan serta menerimanya sebagai kenyataan. Berdukacita adalah proses
sosial, dan sebaiknya dijalami dengan dukungan orang lain (John Rolland,1994).
42
Kedua, fase menyadari kehilangan : Setelah pemakaman, teman dan keluarga
kembali pada aktivitas sehari–hari. Orang yang berduka merasa kehilangan
dukungan sosial. Respons yang ditampilkan yaitu, kecenderungan memisahkan
diri, konflik, menampilkan ekspresi emosi, stres yang berkepanjangan. Gejala
fisik seperti menangis dan gangguan tidur. Gejala psikologis seperti kemarahan,
merasa bersalah, frustrasi, malu, sangat sensitif, tidak percaya dan pengingkaran,
bermimpi, merasa kehadiran orang yang telah meninggal dan takut akan
kematian.
Ketiga, fase konservasi/menarik diri: Pada fase ini, orang yang bertahan/selamat
merasa perlu waktu untuk menyendiri agar dapat memelihara dan mengisi energi
fisik dan emosinya. Dukungan dari masyarakat menurun dan mereka mengalami
keputusasaan dan ketidakberdayaan. Respon yang ditampilkan, yaitu, gejala fisik
seperti lemah, lelah, butuh waktu tidur lebih, menurunnya system kekebalan
tubuh. Gejala psikologis seperti menarik diri, pikiran yang menghantui, berduka
dan memperbaharui atau merubah harapan.
Keempat, fase pemulihan kembali: Mulai merasa menderita hidup tanpa orang
yang dicintainya dan belajar hidup mandiri. Respon yang ditampilkan yaitu
pengendalian diri, pembaharuan identitas, melepaskan peran misalnya sebagai
suami, isteri, anak atau orangtua. Gejala fisik sperti bertambahnya energi,
kembalinya waktu tidur, kembalinya sistem kekebalan tubuh dan penyembuhan
fisik. Gejala psikologis seperti memaafkan, melupakan, pencarian makna dan
harapan baru.
43
sendiri. Gejala Psikologis : Kesepian, reaksi terhadap perayaan atau hari jadi,
berusaha mencari orang lain.
Kedua, protes, dengan respon perasaan marah yang bisa ditujukan pada
almarhum, pada Tuhan, pada orang – orang di sekitar almarhum yang masih
hidup atau pada perawat. Individu tersebut akan mulai merasa ketakutan dengan
kemunduran mentalnya dan memutuskan untuk menarik diri dan tidak mau
membicarakan pikiran dan perasaan mereka dengan orang lain.
Ketiga, Kesedihan yang mendalam, putus asa dan kacau dalam bermasyarakat,
dengan respon: Ketika kenyataan dari kehilangan sungguh – sungguh diakui,
orang bisa mulai depresi. Tangisan biasa terjadi pada situasi seperti ini. Individu
kehilangan motivasi tentang masa depan, tidak mampu membuat keputusan,
kehilangan rasa percaya diri dan tujuan hidup. Berbagai kegiatan yang pernah
dilakukan bersama almarhum menjadi tidak menarik.
44
baik saja dan dapat melanjutkan fungsi pola hidupnya, perasaan berdukacita tidak
hilang begitu saja. Bagi kebanyakkan orang timbul rasa sakit karena kehilangan,
walaupun berkurang tetap membekas dalam hidupnya.
Kubler – Ross (1969, dalam Kozier, dkk. 2004), membagi dukacita dalam 5
tahapan. Pertama, denial/menolak, dengan respon perilaku: menolak untuk
percaya bahwa sedang mengalami kehilangan, tidak siap menghadapi masalah –
masalah yang akan terjadi, misalnya tidak siap untuk menggunakan protesis/kaki
palsu setelah kehilangan kaki, bisa berpura – pura bersikap gembira untuk
memperpanjang penolakkan.
45
penggunaan alat bantu seperti kaki palsu dan lain – lian, serta menata rencana
kehidupannya ke depan.
46
oleh beberapa faktor seperti, pentingnya orang yang meninggal sebagai sumber
dukungan selama ini dan sejauh mana tingkat ketergantungan dan hubungan
diantara mereka. Apakah ada perasaan yang bertentangan di antara mereka,
jumlah persahabatan/hubungan dengan orang lain selain almarhum, dan
pengalaman berdukacita yang sudah pernah dialami oleh individu selama ini.
47
48
BAB 4
PERAN TENAGA KESEHATAN
Tujuan Intruksional
Setelah membaca bagian ini, mahasiswa mampu:
1) Memahami kompetensi perawata dalam manajemen bencana
2) Menjelaskan Peran perawat kesehatan jiwa dalam manajemen bencana
3) Memahami pendekatan psikoterapi yang dapat dilakukan pada korban
bencana
49
1. mampu membuat keputusan cepat dalam rangka mengatasi masalah bencana,
misalnya menentukan staf (SDM) yang dilibatkan dalam penanganan
bencana, memenuhi alat dan obat-obatan yang harus disiapkan, dan mampu
memenuhi kebutuhan logistik penanganan bencana
Peran perawat cukup komplit, mulai dari penyusun rencana, pendidik, pemberi
50
layanan kesehatan dan bagian dari tim pengkajian kejadian bencana. Tujuan
tindakan keperawatan yang dilakukan selama bencana adalah untuk mencapai
kemungkian tingkat kesehatan terbaik bagi masyarakat korban. Jika perawat
berada di pusat area bencana, ia diharapkan mampu atau ikut melakukan evakuasi
dan memberi pertolongan pertama pada korban. Sementara di lokasi
penampungan, perawat dapat melakukan evaluasi kondisi korban, melakukan
tindakan keperawatan berkelanjutan dan mengkondisikan lingkungan terhadap
perawatan korban dengan penyakit menular.
Untuk menjadi perawat bencana yang sigap dan terampil, ada beberapa hal yang
perlu diikuti pada masa pra bencana yaitu:
51
juga dikenalkan mengenai perlengkapan kesehatan (first aid kit)
seperti obat penurun panas (parasetamol), tablet antasida, antidiare,
antiseptik, laksatif, termometer, perban, plester, bidai
d. Pembekalan informasi tentang bagaimana menyimpan dan membawa
persediaan makanan, penggunaan air yang aman dan sehat
e. Perawat juga dapat memberikat beberapa alamat dan nomor telepon
f. darurat seperti dinas kebakaran, rumah sakit dan ambulans.
g. Memberikan tempat alternatif penampungan atau posko bencana
h. Memberikan informasi tentang perlengkapan yang dapat dibawa
(misal pakaian seperlunya, portable radio, senter dan baterai)
Sementara untuk peristiwa emergensi, intervensi psikososial yang dilakukan
pada saat-saat gawat darurat (emergency) telah dikembangkan dan
direkomendasikan oleh kelompok kerja sebagai berikut
1. Fase segera setelah kejadian (rescue):
a. Menyediakan defusing (sarana pengungkapan tekanan/beban/ emosi) dan
pelayanan intervensi krisis untuk tenaga yang memberikan bantuan
kedaruratan.
b. Memastikan keselamatan korban dan memastikan terpenuhinya
kebutuhan-kebutuhan fisik dasar (rumah, makanan, air bersih).
c. Mencari cara menyatukan kembali keluarga dan komunitas.
d. Menyediakan informasi, kenyamanan, asistensi praktis, dan pertolongan
pertama masalah emosional.
2. Fase inventory awal (bulan pertama setelah kejadian):
a. Melanjutkan tugas-tugas penyelamatan.
b. Mendidik & melatih orang lokal dan relawan mengenai efek trauma.
c. Melatih konselor-konselor tambahan untuk situasi bencana
d. Menyediakan dukungan praktis jangka pendek.
e. Mengindentifikasi mereka yang berada dalam resiko-resiko khusus.
f. Memulai dukungan krisis, debriefing dan bentuk lain semacamnya.
52
3. Fase inventory lanjutan (dua bulan setelah kejadian dan setelahnya):
a. Melanjutkan tugas penyelamatan dan fase awal.
b. Menyediakan pendidikan masyarakat.
c. Mengembangkan pelayanan-pelayanan outreach, dan mengidentifikasi
yang memerlukannya.
d. Menyediakan debriefing dan aktivitas-aktivitas lain sesuai kebutuhan
korban bencana.
e. Mengembangkan layanan berbasis sekolah dan layanan-layanan lain
berbasis lembaga kemasyarakatan.
4. Fase rekonstruksi:
a. Tindaklanjut terhadap korban yang selamat yang telah ditemui atau
ditangani sebelumnya.
b. Menyediakan hotline dan cara-cara lain yang memungkinkan komunitas
menghubungi konselor.
Tomoto (2009) dari Hyogo Care centre Jepang menjelaskan bahwa intervensi
dasar yang dapat dilakukan pada korban bencana adalah:
53
spesialis:
54
tidak untuk melupakan memori pengalaman yang traumatik
namun untuk memulihkan rasa percaya diri bahwa memori sudah
dapat dikontrol.
3) kalau kamu menangis, orang yang sudah meninggal juga tidak akan
tenang lho!
5) Kamu kan punya keluarga, itu saja sudah bisa bahagia, bukan?
6) Anggap saja ini tidak pernah terjadi, mari mulai segalanya dari awal
55
10) Jangan berfikir begitu lagi
Individu korban bencana merupakan pihak yang sangat rentan dan sensitif
terhadap ungkapan atau pernyataan orang lain. Hal ini terjadi karena
ketidakstabilan emosi korban pasca bencana. Untuk itu perawat sebagai
salah satu tenaga kesehatan perlu memahami dan melatih untuk
menggunakan tehnik komunikasi secara terapeutik ketika berinterkasi
dengan klien.
Salah satu peran penting perawat kesehatan jiwa adalah melakukan intervensi
psikososial. Intervensi psikososial merupakan pemberian layanan kesehatan
mental yang tidak hanya berbasis pada layanan yang diberikan di rumah sakit
jiwa (efek psikologis pasien), namun juga mengarah pada layanan yang
diberikan dalam komunitas (efek sosial) yang sifatnya lebih informal. Intervensi
ini berupaya untuk mendekatkan psikologi dan psikiatri ke dalam kehidupan
sehari-hari dan memberikan layanan kepada kelompok-kelompok yang ada
dimasyarakat baik yang mengalamai masalah psikiatri (gangguan), yang beresiko
mengalamai gangguan maupun yang sehat.
56
dengan memperkuat faktor pelindung dan faktor penenkan. Faktor pelindung
adalah kondisi individu dan lingkungan yang meningkatkan kemampuan individu
menghadapi situasi sulit. Sedangkan faktor penekan adalah kondisi individu dan
lingkungan yang menurunkan kemampuan individu menghadapi situasi sulit.
57
6) Mendorong dilakukannya kegiatan-kegiatan kelompok.
7) Mengembangkan rutinitas yang positif
8) Menghadiri kegiatan meskipun sekadar ada bersama, mendengar,
mengamati, menunjukkan kepedulian.
9) Melakukan kunjungan-kunjungan rumah.
10) Mengidentifikasi masalah-masalah psikososial khusus dan orang-orang
yang menunjukan gejala-gejala trauma lebih dalam.
Paradigma baru dalam layanan kesehatan jiwa dari hospital base ke commiunity
base memerlukan komitmen yang kuat dari tenaga kesehatan untuk mau dan
mampu terjun langsung kemasyarakat dalam rangka mengatasi masalah
kesehatan yang ada. Dalam kasus masayarakat korban Lapindo tenaga kesehatan
atau pihak-pihak terkait harus memberikan perhatian khusus terutama masalah
kesehatan yang mencakup biopsikososiospiritual.
Perawat sebagai bagian dari tenaga kesehatan yang ada mempunyai tanggung
jawab dalam memberikan pelayanan kesehatan jiwa dalam konteks klien sebagai
individu, keluarga, kelompok dan masyarakat. Pelayanan yang diberikan dapat
bersifat promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif, melalui berkolaborasi
dengan tenaga kesehatan lainnya.
Salah satu terapi yang dapat dilakukan kepada individu korban adalah
psikoterapi. Model terapi ini lebih dikenal dengan psikoterapi individu didesain
sebagai orientasi tindakan, fokus penampilan, struktur dan batasan waktu
intervensi (Carson, 2000). Model ini menggunakan teknik yang berfokus pada
pemecahan masalah untuk membantu klien menyelesaikan konflik utama yang
dihadapi klien dari dimensi fisik, psikologis, sosial kultural dan spiritual.
Pendekatan yang digunakan pada psikoterapi individu ini adalah rasional emotif
yang membantu klien menghapus pandangan hidup klien yang menyalahkan
58
hubungan baik dengan diri sendiri, orang lain, lingkungan atau Tuhan dan
membantu klien memperoleh pandangan hidup yang lebih rasional dalam
mencari makna dan tujuan hidup.
Tujuan dari psikoterapi individu ini adalah untuk mengembalikan klien pada
kondisi sebelum sakit dalam periode yang singkat (Carson, 2000). Menurut
Corey (2005) tujuan dari psikoterapi individu adalah penyusunan kembali
kepribadian, penemuan makna dalam kehidupan, penyembuhan gangguan
emosional, penyesuaian dalam masyarakat, pencapaian aktualisasi diri, peredaan
kecemasan, serta penghapusan tingkah laku maladaptif dan belajar pola-pola
tingkah laku adaptif. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa psikoterapi
bertujuan untuk merubah perilaku maladaptif melalui distorsi kognitif.
Menurur Kathlen Wheeler (2008) ada dua pendekatan psikoterapi yang dapat
digunakan untuk mengatasi masalah gangguan stres paska trauma, yaitu
cognotive behavior therapy (CBT) dan eye movement desensitization and
reprocessing (EMDR). Dalam tulisan ini akan dijelaskan secara singkat
mengenai pelaksanaan CBT
59
3. Indikasi
Gangguan klinis khususnya depresi, kecemasan, dan beberapa masalah
kesehatan mental seperti: psikosis, marah, distress HIV, masalah keluarga,
kelainan fungsi seksual dan kerusakan personaliti
4. Proses Pelaksanaan CBT
Pelaksanaan CBT selama ini masih bervariasi, belum ada panduan yang tetap.
Masing-masing tenaga kesehatan dapat menerapkan sesuai dengan
pendekatan yang mereka gunakan. Salah satu pendekatan yang sudah di uji
cobakan oleh mahasiswa spessialis keperawatan jiwa adalah dengan
pendekatan sesi per sesi. Pendekatan tersebut terdiri dari 5 (lima) sesi antara
lain:
Sesi 1 : Pengkajian
Mengungkapkan perasaan, pikiran otomatis yang negatif tentang diri
sendiri, orang lain dan lingkungan yang dialami klien dan mengenali
pikiran dan perilaku negatif yang dialami
Sesi 2 : Terapi Kognitif
Merevieu perasaan, pikiran otomatis yang negatif yang berkaitan
dengan perilaku yang di tampilkan, dan belajar cara untuk
mengatasinya
Sesi 3 : Terapi Perilaku
Menyusun rencana perilaku yang ditampilkan dengan memberikan
konsekwensi positif- konsekwensi negatif
Sesi 4 : Evaluasi Terapi kognitif dan Perilaku
Mengevaluasi kemajuan dan perkembangan terapi,menfokuskan terapi,
dan mengevaluasi perilaku yang dipelajari berdasarkan konsekwensi
yang disepakati
Sesi 5 : Mencegah Kekambuhan
Menjelaskan pentingnya psikofarmaka dan terapi modalitas lainnya
disamping CBT untuk mencegah kekambuhan dan mempertahankan
60
pikiran positif dan perilaku adaptif secara mandiri dan
berkesinambungan
61
62
BAB 5
APLIKASI TEORI MODEL SISTEM ADAPTASI
Tujuan Intruksional
Setelah membaca bagian ini, mahasiswa mampu:
1) Memahami konsep teori sistem adaptasi dalam perspektif masyarakat
korban benacana
2) Menjelaskan komponen-komponen dalam sistem adaptasi
3) Memahami aplikasi konsep teori sistem adaptasi dalam perspektif
masyarakat korban benacana
63
1) Person yang menerima Asuhan keperawatan.
Penerima asuhan keperawatan bisa person (manusia), keluarga,
kelompok, komunitas atau masyarakat. Masing-masing dipandang
sebagai sebuah sistem adaptif holistic. Manusia dikonseptualkan dalam
sebuah persfektif holistic. Aspek dari bagian individu secara bersama-
sama membentuk kesatuan. Manusia sebagai system kehidupan secara
konstan berinteraksi dengan lingkungan. Antara system dan lingkungan
terjadi pertukaran informasi, bahan dan energi. Dunn, seorang teorist
system, menyebutkan perhatian kita dengan unit terkecil kehidupan
sebuah Cell. Cell merupakan system terbuka. Memiliki dunia di dalam
dan luar. Dari dunia luar menggambarkan 4 kebutuhan bertahap hidup.
Didalam sel sendiri harus mempertahankan aturan luas sejumlah molekul.
Sistem terbuka memberi kesan pertukaran secara konstan terhadap
informasi, bahan dan energi antara sistem dan lingkungan. Interaksi
secara konstan dicirikan perubahan internal dan eksternal. Manusia dalam
menghadapi perubahan melakukan adaptasi terus-menerus dalam
mempertahankan integritas diri.
Sistem adaptif manusia memiliki input dari lingkungan luar dan dalam
manusia. Roy mengenali input sebagai stimuli. Suatu Stimulus adalah
suatu unit informasi, bahan atau energy dari lingkungan atau dari
dalam diri manusia yang membangkitkan suatu respons.
Tingkat Adaptasi adalah rentang stimuli yang mana manusia dapat
berespon secara adaptif dengan usaha biasa. Rentang respon adalah unik
bagi setiap individu. Tiap tingkat adaptasi manusia yaitu secara konstan
merubah aspek yang mana dipengaruhi oleh mekanisme koping manusia.
Output manusia sebagai sebuah system adalah perilaku manusia.
Perilaku baik internal maupun eksternal. Perilaku bisa diobservasi,
Aplikasi Teori Model Sistem Adaptasi 55
64
diukur, atau di dilaporkan secara subyektif. Output perilaku menjadi
feedback terhadap sistem. Output sistem adalah respons Adaptif atau
respons tidak efektif.
Subsistem Regulator
Memiliki komponen sistem yang terdiri dari Input, Proses Internal, dan
Output. Stimuli Input bisa berasal dari luar atau dalam Manusia.
Transmitter dari sistem regulator adalah bahan kimia, saraf atau
endokrin. Refleks-refleks otonom yang merupakan respons saraf berasal
dalam brain stem dan spinal cord dikenali sebagai output perilaku dari
subsistem regulator. Target organ dan jaringan dibawah kontrol endokrin
juga menghasilkan regulator output Perilaku. Respons psikomotor
yang berasal dari Sistem saraf pusat disebut sebagai regulator subsistem
perilaku. Beberapa proses fisiologis dapat dipandang sebagai regulator
Aplikasi Teori Model Sistem Adaptasi 56
65
subsistem perilaku. Misalnya, beberapa regulator feedback mekanisme
respirasi telah diidentifikasi. Salah satunya peningkatan CO2, produk
akhir metabolisme merangsang kemoreseptor pada medulla untuk
meningkatkan kecepatan respirasi. Stimulasi kuat dari pusat ini dapat
meningkatkan ventilasi 6 sampai 7 lipat.
Stimuli dari subsistem ini berasal dari dalam dan luar . Output perilaku
dapat jadi feedback stimuli terhadap subsistem cognator. Proses kontrol
Cognator berkaitan dengan fungsi otak yang lebih tinggi dari persepsi
atau proses informasi, pertimbangan dan emosi. Persepsi atau proses
informasi berkaitan dengan proses internal dari perhatian selektif,
memberi kode, dan memory. Belajar berkaitan dengan proses imitasi,
penguatan, dan tilikan. Pemecahan masalah dan pengambilan keputusan
adalah proses internal berkait dengan pertimbangan; emosi mengalami
proses pertahanan untuk mencari pengentasan, penilaian afektif, dan
kasih sayang.
66
manifestasi tingkat adaptif manusia dan merefleksikan penggunaan
mekanisme koping. Melalui observasi perilaku manusia dalam hubungan
dengan modes adaptif, perawat dapat mengenali respons adaptif atau
tidak efektif dalam siatuasi sehat dan sakit.
2) Tujuan Keperawatan
Tujuan keperawatan sebagai promosi respons adaptif dalam hubungan
dengan 4 modes adaptif. Respons adaptif adalah yang secara positif
mempengaruhi kesehatan. Kondisi manusia atau keadaan koping
individu merupakan tingkat adaptasi manusia. Tingkat adaptasi
manusia akan menentukan apakah suatu respon positif terhadap stimuli
internal atau eksternal yang akan diperoleh. Tingkat adaptasi manusia
ditentukan oleh stimuli fokal, kontekstual dan residual. Stimuli yang
segera menkonfrontasi manusia adalah stimuli fokal. Secara normal
merupakan derajad perubahan terbesar yang mempengaruhi manusia.
Stimuli Kontekstual adalah semua stimuli lain dari dunia internal dan
eksternal yang mempengaruhi situasi dan dapat diobservasi, diukur, atau
Aplikasi Teori Model Sistem Adaptasi 58
67
secara subyektif dilaporkan manusia. Stimuli Residual merupakan
karakteristik manusia yang sekarang ini dan relevant dengan situasi tetapi
sukar dipahami atau sulit mengukurnya secara obyektif.
3) Aktivitas Keperawatan
Suatu model yang mempromosikan respons adaptif dalam situasi sehat
dan sakit. Pendekatan ini dikenal sebagai aksi (tindakan) yang diambil
oleh perawat untuk memanipulasi stimuli fokal, kontekstual dan residual
yang menimpa manusia. Dengan membuat penyesuaian, stimuli total
jatuh dalam zona adaptif manusia. Bilamanapun mungkin, stimulus fokal
yang menghadirkan derajad perubahan terbesar dimanipulasi. Misal;
orang nyeri dada, fokal stimulusnya adalah ketidak seimbangan antara
kebutuhan oksigen tubuh dengan suplai oksigen yang jantung dapat
berikan. Untuk merubah stimulus fokal, perawat memanipulasi stimuli
kebutuhan sehingga respons adaptif dapat dibuat. Bila stimulus fokal
tidak dapat dirubah, perawat mempromosikan respons adaptif dengan
memanipulasi stimuli kontekstual dan residual.
Pada manusia yang cendrung berespons tidak efektif, perawat dapat
melakukan persiapan untuk mengantisipasi perubahan dengan cara
memperkuat regulator, cognator atau mekanisme koping lain. Rencana
memperluas tingkat adaptasi manusia berhubungan dengan gagasan
promosi kesehatan saat ini ditemukan di literatur. Akhirnya Aksi
keperawatan ditujukan pada mempertahankan respons adaptif sehingga
mendukung usaha manusia secara kreatif menggunakan mekanisme
kopingnya.
4) Kesehatan
Kesehatan sebagai suatu kontinum dari kematian hingga tinggkat yang
tinggi kesejahteraan. Definisi terakhirnya, Suatu keadaan dan proses
Aplikasi Teori Model Sistem Adaptasi 59
68
manusia dan menjadi suatu yang terintegrasi dan keseluruhan manusia.
Integritas manusia adalah kemampuan memenuhi tujuan
mempertahankan hidup, pertumbuhan, reproduksi dan penguasaan.
5) Lingkungan
Lingkungan merupakan semua kondisi, keadaan dan mempengaruhi
sekeliling dan mempengaruhi perkembangan dan perilaku manusia serta
kelompok. Stimuli internal dan eksternal dari lingkungan merupakan
area studi keperawatan. Misalnya; Ketika orang tua diinstutusionalkan,
stimuli lingkungan luar yang bermakna memiliki pengaruh atas dirinya.
Studi kondisi lingkungan ini membantu perawat dalam mempromosi
adaptasi terhadap perubahan atau mungkin lebih ideal, menentukan
intervensi yang meminimalkan risiko institusionalisasi orang tua.
2. Aplikasi teori
69
kebutuhan lingkungan internal dan eksternal.
Input
Input adalah suatu stimulus, yaitu kesatuan informasi, bahan atau energi dari
lingkungan yang dapat menimbulkan respon. Stimulus ada tiga jenis, yaitu
a) stimulus fokal adalah stimulus yang langsung dihadapi saat itu, b)
stimulus kontekstual yaitu stimulus lain yang mempengaruhi situasi, dan c)
stimulus residual yaitu ciri tambahan yang relevan terhadap situasi tersebut.
Dalam penelitian ini yang dimaksud stimulus fokal adalah adanya luapan
lumpur Lapindo yang masih aktif, yang menggenangi sekitar tempat
tinggalnya. Stimulus kontekstualnya adalah pencairan dana ganti rugi
sebanyak 80% yang belum terlaksana, dan stimulus residualnya adalah
kekhawatiran tempat tinggal baru setelah meninggalkan tempat tinggal
sekarang.
Proses
Proses pengendalian manusia sebagai system adaptasi oleh Roy dikenal
dengan mekanisme koping. Mekanisme pengendalian atau kontrol ini dibagi
atas regulator dan kognator yang merupakan subsistem. Sub sistem regulator
mempunyai komponen yang terdiri dari input, proses dan out put dan system
penghubungnya, yaitu kimia, neuron dan endokrin. Sub system kognator
merupakan system adaptasi selanjutnya dimana pengendaliannya
dihubungkan dengan fungsi yang lebih tinggi dari otak yaitu persepsi,
70
penilaian
penilaian dan dan emosi.
emosi. Regulator
Regulator dan dan kognator
kognator bekerja
bekerja sama
sama dalam
dalam
mempertahankan
mempertahankan integritas
integritas manusia,
manusia, meskipun
meskipun tingkat
tingkat adaptasi
adaptasi tersebut
tersebut
dipengaruhi
dipengaruhi oleholeh pertumbuhan
pertumbuhan individu
individu dan dan pemahaman
pemahaman mekanisme
mekanisme koping.
koping.
Stimuli
Stimuli Adaptation
Adaptation Level
Level
1. Stimulus Fokal : bencana
1. Stimulus Fokal : bencana Lumpur Lumpur
INPUT
INPUT Lapindo
Lapindo
1. Stimulus Kontekstual:
1. Stimulus Kontekstual: belum
belum cairnya
cairnya
gantiganti
rugirugi
80%80%
2. Stimulus Residual:
2. Stimulus Residual: kekhawatiran
kekhawatiran tidaktidak
bisabisa membeli
membeli rumah
rumah lagilagi
Mekanisme
Mekanisme Koping
Koping : :
PROSES
PROSES 1. Regulator:
1. Regulator: respon
respon masyarakat
masyarakat korban
korban bencana
bencana
KONTROL
KONTROL tentang sifat bencana lumpur Lapindo,
tentang sifat bencana lumpur Lapindo, proses proses
penanganan dan ganti rugi serta kenyataan F F
penanganan dan ganti rugi serta kenyataan E
yangyang dialami
dialami dalamdalam pemenuhan
pemenuhan hak-hak
hak-hak korban
korban E
2. Kognator: persepsi, penilaian,
2. Kognator: persepsi, penilaian, dan emosidan emosi E E
masyarakat
masyarakat korban
korban terhadap
terhadap apa yang
apa yang dialami
dialami D D
saat saat ini seperti:
ini seperti: menghujat,
menghujat, demonstrasi,
demonstrasi, atauatau B B
do’ado’a bersama
bersama A A
C C
K K
Kebutuhan
Kebutuhan Masyarakat
Masyarakat korban:
korban:
EFEKTOR
EFEKTOR 1. Kebutuhan
1. Kebutuhan Fungsi
Fungsi Fisiologis
Fisiologis dasar
dasar
2. Kebutuhab Konsep
2. Kebutuhab Konsep diri diri
3. Kebutuhan
3. Kebutuhan Peran
Peran
4. Kebutuhan interdependensi
4. Kebutuhan interdependensi
1. 1. Perilaku
Perilaku Adaptif
Adaptif
OUTPUT
OUTPUT
2. 2. Maladaptif : Gangguan
Maladaptif : Gangguan jiwa/masalah
jiwa/masalah
psikososial
psikososial kronis
kronis
Gambar
Gambar 2.1 .2.1 . Modifikasi
Modifikasi Model
Model Sistem
Sistem Adaptasi
Adaptasi RoyRoy
Aplikasi
Aplikasi Teori
Teori Model
Model Sistem
Sistem Adaptasi
Adaptasi 62 62
71
Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan subsistem regulator adalah
respon masyarakat korban bencana tentang sifat bencana lumpur Lapindo,
proses penanganan untuk menghentikan semburan lumpur dan ganti rugi
bagi masyarakat korban serta kenyataan yang dialami oleh masyarakat
korban akan pemenuhan hak-hak yang harus diterima. Sedangkan subsistem
kognatornya adalah persepsi, penilaian, dan emosi atau respon psikososial
masyarakat korban terhadap apa yang dialami saat ini bahwa PT LMJ
sebagai pihak yang paling bertanggung jawab terhadap timbulnya bencana
lumpur ini belum dapat merealisasikan kewajibannya kepada warga,
sehingga upaya-upaya untuk mendapatkan hak-haknya terus dilakukan
seperti menghujat, demonstrasi, atau do’a bersama
Efektor
Proses internal manusia sebagai sub sistem adaptasi dijelaskan oleh Roy
melalui system efektor, yang dikenal dengan empat mode, yaitu :
Fungsi fisiologis dasar
Fungsi fisiologi berhubungan dengan struktur tubuh dan fungsinya. Roy
mengidentifikasi sembilan kebutuhan dasar fisiologis yang harus dipenuhi
untuk mempertahankan integritas, yang dibagi menjadi dua bagian. Lima
mode fungsi fisiologis tingkat dasar yaitu proteksi, perasaan, cairan dan
elektrolit, syaraf dan endokrin. Sedangkan empat fungsi fisiologis kompleks
meliputi oksigienasi, nutrisi, eliminasi, aktivitas dan istirahat. Fungsi
fisiologis dasar yang dialami masyarakat korban lumpur Lapindo diyakini
bermasalah seperti ketidaknyamanan tempat tinggal terutama musim hujan
yang dihantui perasaan was-was akan masuknya lumpur campur dengan air
hujan masuk kedalam rumah mereka, terbatasnya ketersediaan air bersih,
masalah eliminasi, aktifitas sehari-hari, dan istirahat yang tidak bisa tenang
karena cemas dan takut.
72
Konsep diri
Konsep diri berhubungan dengan psikososial dengan penekanan spesifik
pada aspek psikososial dan spiritual manusia. Kebutuhan dari konsep diri ini
berhubungan dengan integritas psikis antara lain persepsi, aktivitas mental
dan ekspresi perasaan. Konsep diri menurut Roy terdiri dari dua komponen
yaitu physical self yaitu berkaitan dengan bagaimana seseorang memandang
dirinya berhubungan dengan sensasi tubuhnya dan gambaran tubuhnya, dan
personal self yaitu berkaitan dengan konsistensi diri, ideal diri, moral- etik
dan spiritual diri orang tersebut. Konsep diri masyarakat korban lumpur
Lapindo di prediksi akan mengalami gangguan terkait dengan persepsi,
aktifitas mental dan ekspresi perasaan akibat luapan lumpur dan pencairan
ganti rugi yang tidak kunjung terrealisasi. Berbagai persepsi dan ekspresi
perasaan terungkap akibat masalah ini. Seolah-olah masalah lain terabaikan
termasuk masalah harga diri, ideal diri, gambaran diri dan konsep diri lain
karena masyarakat korban umumnya saat ini fokus pada penyelesaian ganti
rugi dan tempat tinggal baru.
Peran
Mode fungsi peran mengenal pola–pola interaksi sosial seseorang dalam
hubungannya dengan orang lain, yang dicerminkan dalam peran primer,
sekunder dan tersier. Fokusnya pada bagaimana seseorang dapat
memerankan dirinya di masyarakat sesuai kedudukannya. Peran masing-
masing anggota masyarakat korban juga diperkirakan mengalami perubahan.
Hal ini terkait dengan timbulnya berbagai masalah yang dialami masyarakat
korban dengan sifat masalah dan persepsi terhadap masalah sangat bervariasi
dari individu satu dengan individu lainnya.
73
Interdependensi
Interdependensi adalah keseimbangan antara ketergantungan dan
kemandirian dalam menerima sesuatu untuk dirinya. Ketergantungan
ditunjukkan dengan kemampuan untuk afiliasi dengan orang lain.
Kemandirian ditunjukkan oleh kemampuan berinisiatif untuk melakukan
tindakan bagi dirinya. Mode ini sangat di sadari oleh masyarakat korban,
bahwa kebersamaan dan saling membantu dan bekerjasama akan dapat
memperkuat keberadaanya sebagai masyarakat korban.
Output
Output adalah perilaku yang dapat di amati, diukur. Perilaku ini merupakan
umpan balik untuk sistem. Roy mengkategorikan output sistem sebagai
respon yang adaptif atau respon maladaptif. Respon yang adaptif dapat
meningkatkan integritas secara keseluruhan dapat terlihat bila seseorang
tersebut mampu melaksanakan tujuan yang berkenaan dengan kelangsungan
hidup, perkembangan, reproduksi dan keunggulan. Sedangkan respon yang
mal adaptif perilaku yang tidak mendukung tujuan ini. Output yang baik
dalam peristiwa bencana lumpur Lapindo ini adalah munculnya perasaan dan
sikap maladaptif misalnya marah, kecewa, menangis atau susah tidur, namun
terjadi dalam waktu yang relatif pendek lambat laun akan dapat menerima
dengan baik (adaptif) tentang realitas kondisi bencana yang dialami dan
mempunyai semangat untuk bangkit dan produktif lagi seperti sebelumnya.
Feed back
Perilaku yang muncul pada output akan menjadi umpan balik dalam teori
model adaptasi Roy. Perilaku adaptif ataupun maladaptif akan diteruskan
kepada stimulus berikutnya. Perilaku tersebut menjadikan individu memiliki
strategi koping yang lebih baik karena adanya pengalaman sebelumnya.
74
Pada tahap inilah diperlukan sistem pendukung yang kuat baik dari keluarga
maupun masyarakat. Masalah psikososial yang terjadi akan menjadi umpan
balik yang positif untuk menjadikan individu korban lebih kuat dan tegar
dalam menghadapi stimulus atau stressor lainnya.
75
76
BAB 6
DESAIN DAN HASIL PENELITIAN
Tujuan Intruksional
Setelah membaca bagian ini, mahasiswa mampu:
1) Mengidentifikasi desain penelitian yang digunakan
2) Menjelaskan pola pikir penelitian
3) Mengidentifikasi karakteristik partisipan penelitian pada masyarakat
korban benacana
4) Mengidentifikasi hasil analisis tema dalam penelitian
5) Mengidentifikasi beberapa respon psikologis yang dialami masyarakat
korban benacana
1. Desain Penelitian
77
dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan
memanfaatkan berbagai metode ilmiah. Ciri-ciri penelitian kualitatif
diuraikan sebagai berikut: 1) adanya latar alamiah, 2) manusia instrumen, 3)
berdasarkan metode kualitatif, 4) analisis data secara induktif, 5)
membangun teori dari dasar, 6) deskriptif, 7) lebih mementingkan proses
daripada hasil, 8) adanya batas yang ditentukan oleh fokus, 9) adanya
kriteria khusus untuk keabsahan data, 10) desain yang bersifat sementara,
dan 11) hasil penelitian dirundingkan dan disepakati bersama (Moleong,
2006)
78
Sedangkan Spiegelberg (1965, 1975 dalam Speziale dan Carpenter, 2003)
mengidentifikasi ada enam elemen dasar fenomenologi yang umum
dilakukan saat menelaah suatau fenomena, yaitu descriptive
phenomenology, phenomenology of essences, phenomenology of
appearances, constitutive phenomenology, reductive phenomenology, dan
hermeneutik phenomenology. Namun dari keenam elemen tersebut hanya
tiga yang umum dilakukan oleh peneliti fenomenologi, yaitu descriptive
phenomenology, phenomenology of essences, dan reductive
phenomenology. Descriptive phenomenology merupakan elemen
fenomenologi yang paling umum dilakukan dan akan dijadikan acuan dalam
penelitian ini. Descriptive phenomenology meliputi proses eksplorasi,
analisis, dan deskripsi fenomena untuk memperoleh gambaran yang utuh
dan mendalam dari fenomena.
79
Dalam konteks terjadinya bencana lumpur Lapindo, berbagai perubahan dan
kerugian dialami oleh masyarakat dapat dipandang dari sistem manusia
secara holistik, properti, dan lingkungan. Dampak pada sistem holistik
manusia terdiri dari aspek fisik, psikis, sosial-budaya dan spiritual.
Perubahan pada aspek psikis dan sosial yang saling mempengaruhi dan
terkait inilah yang disebut dengan dampak psikososial.
80
2. Kerangka Pikir Penelitian
Peristiwa traumatic:
Bencana Lumpur Dampak Bencana
Lapindo
DAMPAK PSIKOSOSIAL
Masyarakat
Individu
Keluarga
81
Kejadian bencana menimbulkan berbagai stresor bagi korban yang
berdampak pada sistem manusia, properti, dan lingkungan. Pengalaman
korban terhadap bencana lumpur Lapindo terutama dalam hal ini pada aspek
psikis dan sosial penting untuk di ungkap dan difahami secara mendalam
agar dapat memberikan makna secara tepat sebagaimana yang dirasakan
oleh masyarakat korban. Kerangka pikir penelitian ini merupakan latar
belakang dilakukanya penelitian fenomenologi dari dampak psikososial
keluarga akibat lumpur Lapindo.
3. Hasil Penelitian
Hasil penelitian merupakan deskripsi dari data yang diperoleh dengan tujuan
untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam dan makna secara psikologis
dan sosial (psikososial) dari partisipan sebagai masyarakat korban bencana
lumpur Lapindo. Pada bab hasil penelitian ini akan di sajikan dua bagian.
Bagian pertama peneliti akan menyajikan uraian tentang karakteristik
partisipan, dan bagian kedua peneliti akan menyajikan hasil analisis setiap
tema yang muncul dari perspektif partisipan tentang dampak psikososial yang
dialami setelah terjadi bencana lumpur Lapindo.
82
partisipan memenuhi syarat sebagai pertisipan dalam penelitian ini. Berikut
ini akan dijelaskan karakteristik masing-masing partisipan.
83
sekolah 3 SD. Partisipan tinggal dengan Istri dan anak-anaknya. Sebelum
terjadinya bencana lumpur Lapindo partisipan mempunyai usaha arisan
mebel, namun setelah ada bencana usaha yang dirintis berhenti. Aktifitas
keseharian partisipan saat ini hanya membantu istri berjualan barang-
barang keperluan sehari-hari dirumahnya. Aktifitas tersebut dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan tetangga yang hanya tinggal beberapa orang saja.
Partisipan mengaku sudah membeli tanah untuk tempat tinggal selanjutnya
sedangkan untuk membangun menunggu pembayaran ganti rugi tahap II.
84
partisipan tinggal satu rumah dengan orang tuanya (Ibu) dan adik-adiknya.
Setelah terjadi bencana dan mendapat uang ganti rugi pembayaran tahap 1
(20%), Ibu partisipan memilih tinggal dengan adiknya di rumah kontrakan
yang berada di luar area terdampak. Pekerjaan partisipan sebelum bencana
adalah berdagang di pasar Porong Baru, namun setelah adanya bencana
usaha partisipan berhenti. Sedangkan suaminya bekerja sebagai penjaga
tambak di Japanan (berada di sebelah barat kecamatan Jobon). Partisipan
mengaku belum membeli tanah dan berencana akan langsung beli rumah
setelah ganti rugi tahap II dibayarkan.
85
inti berorientasi pada tujuan khusus penelitian. Pada tujuan khusus pertama
tentang dampak psikologis, ditemukan tiga tema yaitu:
Tema 1: Perubahan emosi
Tema 2: Perubahan kognitif
Tema 3: Mekanisme koping
Sementara tujuan khusus kedua mengenai dampak sosial juga ditemukan
tiga tema yaitu:
Tema 4: Perubahan fungsi keluarga
Tema 5: Perubahan hubungan sosial kemasyarakatan
Tema 6: Dukungan social
Pada tujuan khusus ketiga mengenai harapan penyelesaian masalah
ditemukan satu tema yaitu:
Tema 7: Harapan penyelesaian masalah kepada pemerintah maupun PT
Lapindo.
Sedangkan tujuan khusus keempat tentang kebutuhan pelayanan kesehatan
bagi masyarakat korban ditemukan dua tema yaitu:
Tema 8: Kebutuhan pelayanan kesehatan fisik
Tema 9: Kebutuhan pelayanan kesehatan psikososial
Disamping sembilan tema inti yang mengacu pada tujuan khusus, dalam
penelitian ini juga ditemukan dua tema tambahan yaitu
Tema tambahan 1: Resiko dan gangguan perkembangan
Tema tambahan 2: Distress spiritual
Berikut ini dijelaskan proses analisis data dengan menggunakan skema
analisis pada setiap tema yang ditemukan:
86
Skema 1, tema 1: Perubahan emosi
Skema 1, tema 1: Perubahan emosi
Ungkapan Perasaan sedih
Ungkapan Perasaan sedih
87
somatis antara lain ungkapan tidak bisa tidur, tidak nafsu makan dan
kepala pusing. Keluhan psikologis seperti pernyataan sedih diungkapkan
oleh empat partisipan. Perasaan sedih ini disebabkan oleb berbagai alasan,
antara lain karena terpisah dengan anggota keluarga atau hilangnya mata
pencaharian, namun secara umum perasaan sedih partisipan disebabkan
belum mampu membeli atau membuat rumah sebagai tempat tinggal baru,
disamping itu partisipan juga memikirkan nasibnya setelah menempati
tempat tinggal baru. Hal ini dikarenakan partisipan tidak mempunyai
pekerjaan tetap setelah adanya bencana lumpur Lapindo.
88
Selain perasaan depresi secara psikologis, pernyataan depresi juga
dijelaskan dengan adanya keluhan secara somatis, misalnya adanya
keluhan tidak bisa tidur yang dialami oleh enam partisipan. Sementara
hanya ada satu partisipan yang mengeluh kepala pusing, tidak bisa makan
(Peneliti: tidak nafsu makan) dan kepala uantep (terasa berat)
sebagaimana ungkapan partisipan berikut ini:
” Perubahannya ya ndak bisa tidur, ndak bisa makan, dan kepala
saya ini pusing sekali mas. Katanya orang-orang darah tinggi,
katanya darah rendah tapi kepala saya ini uaantep (berat)
mas....(P1)”
a. Kecemasan
Tujuah partisipan mengalami perasaan cemas dan khawatir dengan
penyebab yang berbeda. Partisipan yang mendapatkan uang ganti rugi
tahap I tidak terlalu banyak, perasaan cemas dan khawatir muncul karena
belum mampu membeli atau membuat rumah ditempat yang baru.
Sementara bagi partisipan yang mempunyai pengalaman masuknya
lumpur Lapindo pada saat mereka tertidur lelap, mereka khawatir karena
tanggulnya jebol sehingga lumpur masuk ke rumah-rumah mereka lagi,
sementara partisipan lainya cemas dan khawatir terhadap kehidupan
ditempat yang baru nanti, terutama masalah pekerjaan, sebagaimana
ungkapan partisipan dibawah ini:
“ditempat baru nanti bekerja apa?.... apa bisa saya bertahan
hidup karena nggak ada kerjaan....(P5)
b. Kemarahan
Ungkapan marah ini dikemukakan oleh empat partisipan. Dua partisipan
yang mengaku belum membeli tanah atau rumah baru menyatakan bahwa
kemarahanya disebabkan pembayaran sisa ganti rugi tahap II hingga kini
belum terlaksana bahkan terkesan diundur terus:
89
”katanya awal tahun 2009 sudah dibayar dan harus pindah,
mundur lagi katanya bulan April dan nyatanya hingga sekarang
belum ada pembayaran tahap II, jengkel saya molor terus....
(P1)”.
90
sudah berkeluarga dan hidup terpisah dengan partisipan. Partisipan
mengaku belum membeli tanah atau rumah karena uang ganti tahap I
sudah dibuat untuk membeli rumah bagi ketiga anaknya. Ungkapan yang
menjelaskan adanya harga diri rendah adalah perasaan malu. Perasaan
malu ini muncul ketika partisipan merasa tidak mempunyai apa-apa dan
tidak ada yang bisa disuguhkan ketika ada tamu atau orang lain yang
berkunjung ke rumahnya, seperti yang disampaikan oleh partisipan
berikut ini:
”malu mas dirumah tidak ada apa-apa....nol saya mas ndak
punya apa-apa....(P1)
91
ganti rugi tahap I yang sudah diterima menimbulkan masalah dalam
keluarga. Masalah tersebut terkait dengan pembagian dengan penggunaan
uang yang sudah mereka terima.
Menurut salah satu partisipan, terdapat perbedaan pendapat diantara
warga masyarakat tentang penggunaan uang ganti rugi tahap I. Ada yang
menyatakan sebaiknya uang tersebut dibelikan rumah secukupnya,
meskipun kecil yang penting sudah punya rumah. Adapula yang
berpendapat lebih baik uang tersebut digunakan untuk membeli tanah
terlebih dahulu, jika ganti rugi tahap II dibayar baru membangun rumah.
Sehingga, menurut partisipan, perbedaan pendapat tersebut sering
menimbulkan konflik keluarga. Disamping itu partisipan juga
menyatakan bahwa jarak waktu pembayaran tahap I dan tahap II terlalu
lama dan tidak jelas menimbulkan perubahan emosi dan fikiran dari
warga masyarakat korban. Partisipan mengaku menjadi ragu dengan masa
depannya dan tidak bisa berfikir jernih seperti sebelumnya. Satu orang
partisipan lain yang masih bekerja sebagai SATPAM ini mengungkapkan
pendapatnya secara terbuka sebagai berikut:
“jadi pikirannya ya nggak karu-karuan......malah menimbulkan
pikiran kacau..... nggak bisa berfikir jernih...... ragu ragu…..
pikiran terpecah-pecah…..setelah mendapatkan uang 20% saya
kebingungan.... (P4)”
92
Skema 3, tema 3: Mekanisme koping
Peningkatan dalam
beribadan
Sub tema 1
Represi
Koping
adaptif
Minta bantuan saudara
Tema 3
Demonstrasi terus Mekanisme
Koping
Sub tema 2
Membuntu jalan Koping tidak
efektif
Displacement
a. Koping adaptif
Hampir semua partisipan pada penelitian ini menggunakan mekanisme
koping yang adaptif, meskipun jenis koping yang digunakan masing-
masing partisipan berbeda. Dua partisipan menghadapi masalah atau
stressor dengan mengalihkan perhatiannya dengan cara ngobrol,
bermain domino dengan tetangga, ngopi diwarung dan sebagainya.
Sedangkan dua partisipan lain yang setiap harinya dirumah dan merasa
mempunyai banyak waktu luang menggunakan cara meningkatkan
ibadah, mengaji dirumah, rajin dimasjid dan berdo’a agar musibah yang
dialami segera berakhir. Selain itu ada juga partisipan yang mengaku
meminta bantuan kepada saudaranya untuk mengadapi kondisi yang
dihadapi saat ini, disisi lain ada partisipan yang mensikapi masalah
93
tersebut dengan diam dan menyimpanya dalam hati seperti pernyataan
berikut ini:
“kalau kepikiran seperti itu paling saya diam, duduk, angan-
angan..... kalau ada masalah paling saya simpan dalam hati (P2)”
94
Skema 4, tema 4: Perubahan fungsi keluarga
Skema 4, tema 4: Perubahan fungsi keluarga
Tempat tinggal menjadi
Tempat
terpisahtinggal menjadi Sub tema 1
terpisah Sub tema 1
Perubahan fungsi
Perubahan fungsi
sosial keluarga
Terjadinya disharmoni sosial keluarga Tema 4
Terjadinya
keluarga disharmoni Tema 4
keluarga
Perubahan Fungsi
Perubahan Fungsi
keluarga
Kehilangan mata keluarga
Kehilangan
pencaharianmata Sub tema 2
pencaharian Sub tema 2
Perubahan fungsi
Perubahan
ekonomifungsi
keluarga
Ketidakmampuan memenuhi ekonomi keluarga
a.Ketidakmampuan memenuhi
kebutuhan keluarga
a.kebutuhan keluarga
95
“persaudaraan cekcok terus, hubungan antar keluarga banyak yang
renggang, antar saudara kandung aja banyak yang renggang, dulu
sesama saudara tenang-tenang saja, rukun tapi sekarang tidak bicara,
gegeran (P3)”
“dulunya adem ayam tentrem, terus dapat uang malah gak karuan,
masalahnya individu kan macem-macem, maunya begini, begitu,
jadinya orang tua bingung, malah bermasalah. Kalau dulu kan nggak
pernah karena nggak ada yang jadi rebutan (P5)”
96
menyekolahkan anak setinggi-tingginya harus berhenti dulu karena
menyekolahkan
menyekolahkan anakanak setinggi-tingginyaharus
setinggi-tingginya harus berhenti
berhenti dulu
dulu karena
karena
ketidakmampuan membayar biaya sekolah seperti pernyataan partisipan
ketidakmampuan
ketidakmampuan membayar
membayar biaya
biaya sekolahseperti
sekolah sepertipernyataan
pernyataan partisipan
partisipan
berikut ini:
berikut
berikut ini: ini:
“Sekarang aja anak saya berhenti sekolah karena nggak bisa bayar SPP
“Sekarang
“Sekarang
sehingga nggak aja
bisaanak
aja anak ikutsaya
saya berhenti
berhenti
ujian, sekolah
sekolah
jangankan karena
karena
uang nggak
200 nggak
atau bisa
bisa
100 bayar
bayar
ribu, SPP
10SPP
sehingga
sehingga nggak bisa ikut ujian, jangankan uang 200
ribu aja nggak punya mas, susah mas. Dulu saya cita-cita saya kerja 10
nggak bisa ikut ujian, jangankan uang 200 atau
atau 100
100 ribu,
ribu, 10
ribu ribu
bangunan aja
aja nggak nggak
nggak punyapunya
papa mas, mas,
kalau susah
susah
bisa mas.mas.
anak Dulusaya
Dulu
laki-lakisaya cita-citasaya
cita-cita
satu-satunya saya kerja
bisakerja
bangunan
bangunan nggak papa kalau bisa anak laki-laki satu-satunya
sekolah SMA atau kalau mungkin sampai kuliah, eh ternyata baru kelas bisa
nggak papa kalau bisa anak laki-laki satu-satunya bisa
sekolah
sekolah
satu SMA SMA SMA
saja atau atau
sudahkalau kalau mungkin
nggakmungkin sampai kuliah, eh ternyata baru
sampai kuliah, eh ternyata baru kelas
bisa...(P5)” kelas
satu SMA
satu SMA saja saja
sudahsudah
nggaknggak bisa...(P5)”
bisa...(P5)”
97
Pajarakan sehingga warga menilai hubungan mereka tidak seperti dulu
lagi.
Hal seperti ini di sayangkan oleh dua partisipan yang menginginkan tetap
adanya kekompakan antar warga. Partisipan ini mengingatkan bahwa
ketika memperjuangkan ganti rugi mereka bersama-sama, namun setelah
mendapatkan uang ganti rugi, mereka pergi atau pindah rumah tanpa
memberitahu atau memedulikan kondisi warga lain yang masih tinggal di
desa Pajarkan. Namun demikian ada partisipan yang menilai lain, bahwa
warga yang pindah masih mempunyai solidaritas dengan warga yang lain
karena meskipun sudah tidak tinggal disini apabila diberi kabar ada
masalah atau tekanan dari Proyek (PT. Lapindo) mereka masih datang
untuk memberi dukungan, sebagaimana pernyataan partisipan berikut ini:
“kalau ada tekanan dari proyek mereka masih kompak datang
lagi kesini....(P3)”
Partisipan juga mengakui setelah ada bencana ini, sebagian warga kurang
atau tidak peduli lagi kepada orang lain. Mereka seakan-akan memikirkan
hidupnya sendiri-sendiri dan cuek dengan lingkungan yang terjadi.
Desain dan Hasil Penelitian 83
98
Kekompakan dan sikap saling membantu yang dulu mereka lakukan
sekarang ini sudah berubah sebagaimana pernyataan partisipan dibawah
Kekompakan dan sikap saling membantu yang dulu mereka lakukan
ini:
Kekompakan dan sikap saling membantu yang dulu mereka lakukan
sekarang ini sudah berubah sebagaimana pernyataan partisipan dibawah
sekarang “kalau
ini sudahdulu kompak
berubah mas, sekarang
sebagaimana sudahpartisipan
pernyataan berubah dibawah
semua...
ini: urusan hidup sehari-hari sepertinya kurang peduli, cuek tidak
ini: sepertidulu
dulu kompak
saling menbantu...(P3)”
“kalau mas, sekarang sudah berubah semua...
“sekarang sudah
dulu mikir
kompak hatinya
urusan hidup sehari-hari mas,
“kalau sendiri
sekarang
sepertinya nggak
kurangsudah mikir urusan
berubah
peduli, cuek orang
semua...
tidak
lain....(P5)”
urusandulu
seperti hidup sehari-hari
saling sepertinya kurang peduli, cuek tidak
menbantu...(P3)”
seperti dulu saling menbantu...(P3)”
“sekarang sudah mikir hatinya sendiri nggak mikir urusan orang
“sekarang sudah mikir hatinya sendiri nggak mikir urusan orang
lain....(P5)”
Skema 6, tema 6: Dukungan sosial
lain....(P5)”
99
mudah marah dan emosi. Partisipan yang mengaku masih bekerja
sebagai SATPAM disalah satu perusahaan yang jauh dari tempat
tinggalnya ini bersyukur karena mempunyai istri yang sangat
pengertian.
100
”saya sering marah, karena anak sering minta sama orang tua
tapi ndak melihat kondisi orang tua...., kok kita belum punya
rumah nanti kita bagaimana... tahu tahunya menekan sehingga
saya sering emosi...(P5)”
101
Skema 7, tema 7: Harapan penyelesaian masalah
Skema 7, tema
Ketegasan 7: Harapan penyelesaian masalah
jadwal
pembayaran ganti rugi
Ketegasan jadwal
pembayaran ganti rugi
Kepastian waktu turunnya
sisa ganti rugi
Kepastian tahap
waktu II
turunnya Sub tema 1
sisa ganti rugi tahap II HarapanSub tema 1
kepada
Perhatian kepada anak- pemerintah
anak korban Lapindo Harapan kepada
Perhatian kepada anak- pemerintah Tema 7
anak korban Lapindo
Tempat tinggal baru yang Temapenyelesaian
Harapan 7
mampu menampung semua masalah kepada pemerintah
Tempat tinggal baru yang Harapan penyelesaian
warga (relokasi) dan PT Lapindo
mampu menampung semua masalah kepada pemerintah
warga (relokasi) dan PT Lapindo
Pelibatan warga sebagai Sub tema 2
tenaga kerja
Pelibatan warga sebagai Subkepada
Harapan tema 2PT
tenaga kerja
Lapindokepada PT
Harapan
Memahami kondisi warga Lapindo
setelah bencana
Memahami Lumpur
kondisi warga
setelah bencana Lumpur
102
pemasukan tidak ada, pekerjaan juga tidak ada. Dipihak lain, warga
yang sudah memberi uang muka dalam pembelian rumah juga dikejar-
kejar atau ditagih oleh yang mempunyai rumah, hal ini semakin
membuat masyarakat korban tidak tenang dan kacau karena tidak ada
waktu yang pasti kapan sisa ganti rugi tahap II tersebut diberikan.
103
Disisi lain, partisipan menyampaikan harapannya mengenai tempat
tinggal baru atau relokasi untuk warga satu desa agar hubungan antar
tetangga dan lingkungan tetap terjaga, rukun dan kompak sebagaimana
ditempat asal, sebagaimana pernytaan partisipan berikut ini:
“mestinya yang difikirkan pemerintah tidak hanya sekedar
rumah dan tanah kami dibeli tapi bagaimana lingkungan kami
nanti…. mudah-mudahan lingkungan ditempat baru saya nanti
orang-orangnya juga rukun, kompak (P3)”
104
sudahsudah mendapatkan
mendapatkan uanguang
gantiganti
rugi rugi keseluruhan
keseluruhan itu lagi,
itu lain lain lagi,
tapi tapi
selama kita masih disini mestinya kita harus
selama kita masih disini mestinya kita harus diperhatikan. diperhatikan.
Termasuk
Termasuk air bahkan
air bahkan termasuk
termasuk berasberas
atau atau sembako
sembako mestinya
mestinya kita kita
harusharus
sudahtetaptetap dijatah
dijatah
mendapatkan sebabsebab apa akibat
apaganti
uang akibat lumpur
lumpur
rugi ini banyak
ini kan
keseluruhan kan
itu banyak
lainorang orang
lagi, tapi
yang yang
selama berhenti
berhenti kerja
kerja kalau
kita masih kalau
disini tidak tidak kerja
kerjakita
mestinya kan
kanharus nggak punya
nggakdiperhatikan.
punya
penghasilan
penghasilan
Termasuk air jadi harus
jadibahkan
harus ditanggung
ditanggung
termasuk mestinya...(P6)”
mestinya...(P6)”
beras atau sembako mestinya kita
harus tetap dijatah sebab apa akibat lumpur ini kan banyak orang
yang berhenti kerja kalau tidak kerja kan nggak punya
penghasilan jadi harus ditanggung mestinya...(P6)”
Skema
Skema 8, tema
8, tema 8: Kebutuhan
8: Kebutuhan terhadap
terhadap pelayanan
pelayanan kesehatan
kesehatan fisikfisik
105
takut udara di daerah bencana lumpur Lapindo mengganggu kesehatan
anak-anaknya.
Sementara itu, Partisipan lain berpendapat bahwa salah satu sebab
warga pindah ke rumah baru adalah karena tidak kuat dengan bau uap
lumpur Lapindo, apalagi pada saat ada tanggul yang jebol atau pipa
spilway bocor, baunya sangat menyengat sekali. Masalah kesehatan
yang bisa terjadi akibat udara atau bau lumpur ini adalah masalah
pernafasan seperti ungkapan salah satu partisipan berikut ini:
“Kalau masalah pernafasan itu karena baunya disini ini kan
terkadang menyengat mas apalagi kalau pas ada kebocoran di
Spilway (pipa saluran pembuangan lumpur) atau pas tanggulnya
ada yang jebol wah baunya menyengat sekali...(P2)”
Partisipan ini menjelaskan bahwa kebutuhan air bersih dan sehat ini
penting terutama bagi warga yang tidak mampu. Bagi sebagaian warga
yang mempunyai uang, air untuk keperluan sehari-hari mereka mampu
membeli, termasuk untuk mandi. Namun bagi yang tidak mempunyai
uang mereka memanfaatkan air seadanya, mereka mengabaikan masalah
kesehatan yang mereka alami. Pernyataan mengenai kebutuhan air
bersih dan sehat disampaikan oleh partisipan berikut ini:
106
“Ya penyakit kulit, kan airnya itu sudah berubah mas warnanya
agak lebih putih dibanding sebelumnya, dan gatal-gatal kalau
dipakai...(P2)”
107
“Harapan saya supaya ada pos kesehatan gratis dan ada layanan
“Harapan
“Harapan saya
sayasupaya
supaya ada posposkesehatan gratis dandan
ada layanan
suntik (injeksi) sebabada kesehatan
disini kalau gratis
hanya diberi obat ada layanan
warga disini
suntik
suntik (injeksi)
(injeksi)sebab
sebab disini kalau
disini hanya
kalau diberi
hanya obat
diberi warga
obat disini
warga disini
tidak tertarik. Padahal banyak masalah kesehatan misalnya
tidak
tidak tertarik.
tertarik. Padahal
Padahal banyak
banyak masalah kesehatan misalnya
batuk-batuk, pusing-pusing danmasalah kesehatan
sebagainya. misalnya
Dan masyarakat
batuk-batuk,
batuk-batuk, pusing-pusing
pusing-pusing dandansebagainya.
sebagainya.DanDanmasyarakat
masyarakat
disini kalau tidak di suntik itu tidak puas mas....(P3)”
disini
disinikalau
kalautidak
tidakdidisuntik ituitu
suntik tidak puas
tidak mas....(P3)”
puas mas....(P3)”
pentingnya mengetahui
pentingnya
pentingnya mengetahui
mengetahui Sub tema 1
status kesehatan jiwa Sub tema
Sub 1 1
tema
status
status kesehatanjiwa
kesehatan jiwa Penilaian status
Penilaian status
Penilaian status
kesehatan jiwa
Pengakuan secara fisik kesehatan
kesehatanjiwa
jiwa
Pengakuan
Pengakuan secara
secara fisik
sehat tapi tidak fisik
secara Tema 9
Tema 9 9
sehat tapi tidak
sehatkejiwaan secara
tapi tidak secara Tema
kejiwaan
kejiwaan Kebutuhan pelayanan
Kebutuhan
Kebutuhanpelayanan
pelayanan
kesehatan psikososial
kesehatan psikososial
kesehatan psikososial
Partisipan merasa awam Sub tema 2
Partisipan
Partisipan merasa awam Sub tema 2 2
tentangmerasa awam
kesehatan jiwa Sub tema
tentang kesehatan jiwa
tentang kesehatan jiwa Penyuluhan tentang
Penyuluhan tentang
Penyuluhan
Adanya perhatian lebih menghadapitentang
Adanya perhatian lebih menghadapi
menghadapi
Adanya perhatian
kepada lebih
perubahan perubahan anak
kepada perubahan perubahan anak
perubahan anak
kepada perubahan
sikap/perilaku anak
sikap/perilaku
sikap/perilakuanak
anak
108
untuk mengetahui kondisi kesehatan jiwa mereka yang sebenarnya,
sebagaimana pernyataan partisipan berikut ini:
“kita kan awam tentang kesehatan jiwa. Kalau sakit fisik sih
mungkin tahu. Tapi perubahan-perubahan perilaku seperti itu
kan kita nggak tahu mas....(P4)”
109
Skema 10, tema tambahan 1 : Resiko dan gangguan perkembangan anak
Skema 10, tema
Skema 10, tematambahan
tambahan1 1: Resiko
: Resiko dan
dandan
remaja gangguan
gangguan perkembangan
perkembangan anakanak
dan remaja
dan remaja
Perasaan anak tidak
nyaman
Perasaan
Perasaan anaktidak
anak tidak
nyaman Sub tema 1
nyaman
Sub tema
SubPerubahan
tema 1
1 perilaku
Sikap menantang orang tua
Sikap menantang
menantangorang
orangtuatua anak perilaku
Perubahan
Perubahan perilaku
Sikap Tema
anak
anak
tambahan
Penurunan1prestasi belajar TemaTema
tambahan
Penurunan1prestasi
tambahan
Penurunan 1prestasibelajar
belajar Resiko dan gangguan
perkembangan
Resiko dan dan
Resiko anak
gangguandan remaja
gangguan
perkembangan
perkembangan anakanak
dan remaja
dan remaja
Sub tema 2
SubSub
tema 2 perilaku
tema
Perubahan 2
Perilaku negatif remaja remaja
Perubahan perilaku
Perubahan perilaku
Perilaku
Perilakunegatif
negatifremaja
remaja remaja
remaja
110
b. Perubahan perilaku remaja
b.
b. Perubahan
Perubahanperilaku
perilaku remaja
remaja
Dua partisipan menyatakan perubahan perilaku yang terjadi pada remaja,
Dua
Duapartisipan
partisipanmenyatakan
menyatakan perubahan
perubahanperilaku yangyang
perilaku terjaditerjadi
pada remaja,
pada remaja,
yaitu mengalami perubahan dibanding sebelum ada bencana lumpur
yaitu
yaitu mengalami
mengalamiperubahan
perubahan dibanding sebelum
dibanding sebelumada bencana
ada bencana lumpurlumpur
Lapindo. Satu partisipan mengungkapkan bahwa perubahan yang terjadi
Lapindo.
Lapindo.SatuSatupartisipan
partisipanmengungkapkan
mengungkapkan bahwa perubahan
bahwa yang terjadi
perubahan yang terjadi
pada remaja disebabkan karena kurangnya aktifitas positif yang ada di
pada
padaremaja
remajadisebabkan
disebabkan karena
karenakurangnya
kurangnyaaktifitas positifpositif
aktifitas yang ada
yangdiada di
desa Pajarakan ini. Kalau dulu mereka ada kegiatan keagamaan yang
desa
desaPajarakan
Pajarakanini.ini.KalauKalaudulu mereka
dulu ada ada
mereka kegiatan keagamaan
kegiatan yang yang
keagamaan
rutin setiap minggu mereka adakan, sekarang kegiatan tersebut sudah
rutin
rutinsetiap
setiapminggu
minggumerekamereka adakan, sekarang
adakan, sekarangkegiatan tersebut
kegiatan sudah sudah
tersebut
tidak ada lagi. Sedangkan partisipan lainnya beranggapan bahwa mereka
tidak
tidakada
adalagi.
lagi.Sedangkan
Sedangkan partisipan lainnya
partisipan beranggapan
lainnya beranggapanbahwabahwa
merekamereka
tinggal di sini (desa Pajarakan hanya menunggu waktu pembayaran sisa
tinggal
tinggaldidisini
sini(desa
(desaPajarakan
Pajarakan hanya menunggu
hanya menunggu waktuwaktu
pembayaran sisa sisa
pembayaran
ganti rugi tahap II saja) sehingga membuat para remaja ini menghabiskan
ganti
gantirugi
rugitahap
tahap II II
saja) sehingga
saja) sehinggamembuat
membuatparapara
remaja ini menghabiskan
remaja ini menghabiskan
waktu dengan bersenang-senang dan berfoya-foya saja sebagaimana
waktu
waktu dengan
denganbersenang-senang
bersenang-senang dan dan
berfoya-foya
berfoya-foyasaja saja
sebagaimana
sebagaimana
ungkapan partispan berikut ini:
ungkapan
ungkapanpartispan
partispan berikut ini:ini:
berikut
“remaja hanya main-main saja, minum-minuman keras,
“remaja
“remaja hanya
hanya main-main
main-main saja,saja,
minum-minuman
minum-minuman keras, keras,
keluyuran, pokoknya foya-foya saja....(P4)”
keluyuran,
keluyuran, pokoknya
pokoknya foya-foya saja....(P4)”
foya-foya saja....(P4)”
111
belum adanya pekerjaan tetap atau masalah tempat tinggal yang hingga
kini masih belum terwujud. Beberapa kegiatan keagamaan seperti
Dziba’ Sura, Dziba’ Kubro, dan Tahlillan yang dulu rutin diadakan oleh
Ibu-Ibu dengan jumlah peserta mencapai 50 orang, sekarang ini berhenti
semua, seperti ungkapan partisipan yang mengaku selama ini aktif
mengikuti kegiatan keagamaan berikut ini:
”kumpulan-kumpulan keagamaan yang dulu ada sekarang sudah
tidak berlaku, dari Dziba Sura, Dziba Kubro, Tahlilan berhenti
semua. Yang jelas perubahan nya besar sekali”
112
Bertentangan dengan partisipan lainnya, dua partisipan mengaku adanya
peningkatan dalam melakukan aktifitas keagamaan. Bentuk ibadah yang
dianggap meningkat misalnya datang ke masjid lebih awal yang
sebelumnya jarang tepat waktu karena masih sibuk bekerja di sawah,
lebih banyak waktu untuk membaca kitab-kitab agama yang mereka
miliki atau peningkatan itu berupa perasaan lebih khusuk dalam
memanjatkan do’a supaya dikabulkan dan diberi kesabaran. Peningkatan
aktifitas ibadah tersebut umumnya terjadi karena sudah tidak bekerja
sehingga mempunyai banyak waktu luang untuk beribadah,
sebagaimana ungkapan partisipan berikut ini:
“menjadi lebih dekat, lebih tenang ibadahnya karena tidak kerja,
saya selalu berdo'a supaya sabar dan 80% cepat cair....(P1)”
113
114
96
BAB 7
INTERPRETASI HASIL PENELITIAN
Tujuan Intruksional
Setelah membaca bagian ini, mahasiswa mampu:
1) Memahami hubungan karakteristik partisipan dengan respon
psikologis masyarakat korban bencana
2) Memahami beberapa respon psikologis yang dialami masyarakat
korban bencana
3) Memahami perubahan sosial yang dialami masyarakat korban
bencana
4) Mengidentifikasi beberapa harapan dan kebutuhan masyarakat korban
bencana
Pada bagian pembahasan ini akan dijelaskan dan dibahas tentang interpretasi
dari hasil penelitian yang didapatkan, keterbatasan penelitian yang telah
dilakukan dan implikasi penelitian ini untuk keperawatan, baik implikasinya
bagi perkembangan pendidikan keperawatan, pelayanan keperawatan
khususnya keperawatan kesehatan Jiwa komunitas, penelitian keperawatan,
organisasi profesi, maupun implikasinya bagi pemerintah dan PT Lapindo.
Depresi
Menurut Maramis (1994), ada dua jenis depresi yaitu depresi dengan
penarikan diri dan dengan kegelisahan atau agitasi. Menurut peneliti, saat
ini masyarakat korban dalam keadaan depresi menarik diri sebagaimana
ungkapan-ungkapan partisipan bahwa mereka sekarang lebih suka dirumah,
tidak ada keinginan untuk bersilaturrahmi ke tetangga seperti dulu lagi.
Sedangkan kegelisahan atau agitasi sepertinya sudah dilalui ketika
masyarakat menuntut adanya ganti rugi di wilayah area terdampak melalui
demonstrasi, membuntu (memblokir) jalan, atau dengan ungkapan-
ungkapan yang menghujat pihak-pihak yang dianggap bertanggung jawab
terhadap terjadinya luapan lumpur Lapindo.
Kecemasan
Hal lain dalam temuan penelitian ini yang menyebabkan masyarakat korban
mengalami kecemasan adalah situasi dan kondisi ditempat baru yang akan
mereka tempati. Beberapa hal yang menyebabkan kecemasan mereka
ditempat baru antara lain: 1) lingkungan hidup bertetangga. Mereka
umumnya khawatir di lingkungan yang baru nanti tidak bisa kompak dan
rukun seperti yang selama ini mereka alami di desa pajarakan, 2) pekerjaan.
Mayoritas warga khawatir apabila ditempat baru nanti tidak mempunyai
Kemarahan
Selain depresi dan kecemasan, respon marah juga terjadi pada masyarakat
korban bencana lumpur Lapindo. Temuan penelitian ini menunjukkan
pernyataan marah sering dilakukan pada awal terjadinya bencana dan
sebelum Keputusan Presiden no 48 tahun 2008 sebagai revisi Keputusan
Presden No 14 tahun 2007 tentang dimasukkannya desa Pajarakan sebagai
area terdampak yang akan mendapatkan ganti rugi dari pemerintah.
Reaksi marah paska Tsunami diatas sesuai dengan penjelasan Danvers, dkk
(2007) yang menyebutkan bahwa kemarahan merupakan reaksi yang
umumnya timbul pada masyarakat korban Tsunami. Selain itu juga muncul
perasaan rasa bersalah dan bermusuhan karena tingkat kehilangan nyawa
yang tinggi. Umumnya juga terjadi reaksi marah pada alam dan Tuhan.
Kemarahan juga terjadi pada diri sendiri, saling menyalahi, menyalahkan
anggota keluarganya karena kematian. Kemarahan ditujukan kepada pihak
lain seperti pemerintah karena lambatnya distribusi bantuan
Bentuk perubahan emosi lain yang terjadi pada masyarakat korban adalah
timbulnya perasaan rendah diri. Perasaan ini berhubungan dengan kondisi
yang mereka alami yaitu tidak adanya harta benda maupun ”suguhan” baik
berupa snak maupun jenis makanan lain yang mereka miliki. Mereka malu
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi perubahan emosi
yang dialami masyarakat korban sebagaimana dijelaskan diatas adalah
dengan cara menghambat atau menghindari adanya stimulus. Merujuk teori
sistem adaptasi Roy (Tomey, 1994), manusia dalam hal ini masyarakat
korban dipandang sebagai suatu sistem yang adaptif melalui proses sebuah
sistem yang terdiri dari input, proses, output dan feedback. Input yang oleh
Roy dikenali sebagai stimuli adalah suatu stimulus, yaitu kesatuan
informasi, bahan atau energi dari lingkungan yang dapat menimbulkan
respon. Stimulus ada tiga jenis, antara lain stimulus fokal yaitu stimulus
yang langsung dihadapi saat itu, stimulus kontekstual yaitu stimulus lain
yang mempengaruhi situasi, dan stimulus residual yaitu ciri tambahan yang
relevan terhadap situasi tersebut.
Dalam penelitian ini yang dimaksud stimulus fokal adalah adanya luapan
lumpur Lapindo yang masih terus aktif, yang menggenangi sekitar tempat
tinggalnya dan adanya ancaman lumpur Lapindo masuk ke rumah
masyarakat korban. Stimulus kontekstualnya adalah belum adanya
pembayaran ganti rugi tahap II (80%), dan stimulus residualnya adalah
kekhawatiran tidak bisa membangaun atau membeli rumah di tempat baru.
124
106
Menghambat atau menghindari adanya stimulus fokal dalam hal ini
ancaman lumpur Lapindo masuk ke rumah masyarakat korban dapat
dilakukan dengan cara mempercepat proses untuk pindah ke tempat baru.
Namun cara ini sangat tergantung pada stimulus kontekstual yaitu
pembayaran sisa ganti rugi tahap II, sementara ketentuan Kepres No 48
tahun 2008 mensyaratkan pelunasan atau pembayaran sisa ganti rugi akan
dilakukan apabila PT Lapindo telah melunasi sisa ganti rugi untuk
masyarakat korban bencana di area bencana. Dengan demikian langkah
utama dan strategis yang harus dilakukan adalah perubahan Kepres No 48
tahun 2008 agar pembayaran sisa ganti rugi pada masyarakat yang masuk
dalam peta terdampak tidak tergantung pada PT Lapindo.
Upaya ini dapat dilakukan secara terus menerus melalui pemerintah daerah,
DPRD dan DPR serta pemerintah pusat dalam hal ini kepada presiden.
Apabila upaya ini berhasil maka masalah stimuli residual dapat di atasi.
Sedangkan apabila tidak berhasil maka masyarakat korban harus
mendapatkan dukungan sosial yang kuat dan diyakinkan bahwa mereka
mempunyai kemampuan untuk menghadapi masalah yang saat ini terjadi.
Merujuk pada teori system adaptasi Roy, adanya gangguan kognitif dapat
mempengaruhi proses pengendalian manusia atau yang dikenal dengan
mekanisme koping. Sebagaimana teori Roy, bahwa mekanisme
pengendalian atau kontrol ini dibagi atas dua sub sistem yaitu regulator dan
kognator yang saling terintegrasi. Pada sub sistem kognator inilah pengaruh
kognitif berperan lebih besar, yaitu berperan dalam menentukan persepsi,
penilaian, dan emosi atau respon psikososial masyarakat korban terhadap
apa yang dialami saat ini, yaitu adanya kenyataan bahwa Pemerintah dan PT
Lapindo belum dapat merealisasikan kewajibannya kepada masyakata
korban.
Sementara menurut teori Sistem Adaptasi Roy dalam Tomey & Marriner
(2005), mekanisme koping atau dalam bahasa Roy disebut dengan
mekanisme pengendalian atau kontrol, dibagi atas dua sub sistem yaitu
regulator dan kognator. Sub sistem regulator mempunyai komponen yang
terdiri dari input, proses dan out put dan sistem penghubungnya, yaitu
Mekanisme koping lain yang juga dilakukan oleh masyarakat korban adalah
adanya pemindahan ungkapan perasaan marah kepada anak dan istrinya
atau yang disebut dengan displacement. Termasuk tindakan menghujat dan
berunjuk rasa yang sudah maupun yang akan dilakukan. Mekanisme koping
ini tidak akan berbahaya apabila bersifat sesaat dan tidak merusak atau
Selain ada pernyataan bahwa musibah ini membawa untung, ada juga
partisipan yang mengungkapkan bahwa setelah menerima ganti rugi banyak
saudara-saudara jauh yang datang ke rumah untuk minta bagian uang ganti
rugi, atau sekedar mengaku sebagai kerabat agar mendapatkan bagian uang
Fungsi ekonomi
Perubahan ekonomi tersebut terjadi karena orang tua tidak lagi mempunyai
penghasilan atau pendapatan setelah bencana lumpur Lapindo. Padahal
pendapatan atau penghasilan menentukan status ekonomi keluarga (Pappas,
1994 dalam Stanhope & Lancaster, 1996). Status ekonomi yang rendah
merupakan gambaran kemiskinan dan ini sangat terkait dengan status
kesehatan (link, 1996 dalam Stone, Mcquire & Eigsti, 2002). Dengan
demikian perubahan atau masalah pada fungsi ekonomi merupakan salah
satu kemungkinan penyebab terjadinya masalah kesehatan, karena
ketidakmampuan dalam berperilaku sehat atau menjangkau pelayanan
kesehatan. Hal ini berarti perubahan atau masalah fungsi ekonomi dapat
menyebabkan masalah fungsi keluarga yang lain misalnya fungsi perawatan
kesehatan.
Merujuk pada teori sistem adaptasi Roy, perubahan fungsi keluarga ini
merupakan stimulus kontekstual yang dapat menimbulkan berbagai bentuk
respon. Respon terhadap stimulus ini menurut Roy merupakan output
sistem yang dapat adaptif atau tidak adaptif. Output sistem ini sangat
dipengaruhi oleh dukungan keluarga. Individu atau anggota keluarga akan
dapat mengatasi atau merespon stimulus kontekstual ini dengan baik apabila
mendapatkan dukungan positif yang kuat dari keluarga maupun masyarakat.
Dengan demikian terjadinya perubahan fungsi keluarga ini akan tetap dapat
menghasilkan respon adaptif atau positif apabila ada persepsi, penilaian dan
emosi yang positif serta dukungan dari keluarga.
Kehilangan modal sosial itu bisa mengarah pada pemiskinan korban dari
segala sisi. Dalam kontek sosial maka modal sosial masyarakat korban
Lapindo telah mengalami kerugian yang luar biasa. Kegiatan-kegiatan sosial
seperti gotong royong, acara tahlillan satu minggu sekali, dziba’an
(Sholawatan), adalah contoh dalam kegiatan sosial yang mampu
mempererat ikatan mereka namun semua itu sekarang hilang karena
masyarakat telah mencari kehidupan sendiri-sendiri
(www.korbanlapindo.net)
Hasil penelitian Williams (1999, dalam Stuart & Laraia 2005) menjelaskan
bahwa dengan adanya dukungan sosial, penderita gangguan arteri koronaria
mengalami kematian setelah lebih dari 5 tahun sebanyak 50% dibanding
yang tidak mempunyai dukungan sosial yang hanya 20%. Dengan demikian
faktor pengaruh dukungan sosial tidak hanya dapat mempengaruhi aspek
psikologis saja namun juga aspek biologis yaitu meningkatkan fungsi sistem
imun dan proses biologi lain dalam tubuh.
Perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat korban, baik yang yang
terjadi dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat merupakan suatu
sistem yang saling mempengaruhi, seperti perubahan salah satu fungsi
dalam keluarga mempengaruhi fungsi keluarga lain. Hal ini sejalan dengan
kerangka konseptual Sistem Interaksi King (dalam Tomey & Alligood,
2006) yang terdiri dari tiga sistem yang saling berinteraksi, yaitu sistem
personal (individual), sistem interpersonal (kelompok) dan sistem sosial.
Perubahan sosial merupakan muara dari terganggunya sistem interpersonal
dan sistem personal.
Hal lain yang menjadi kekhawatiran di ditempat baru nanti adalah hilangnya
akses menuju fasilitas sosial dan fasilitas umum, kehilangan kelompok dan
jaringan sosial, bahkan terkena marjinalisasi sosial dalam lingkungan baru
atau lingkungan sementara mereka tinggal. Hal ini berdampak lebih lanjut
pada kesulitan akses terhadap pekerjaan, kesulitan pangan, bahkan
kerentanan terhadap penyakit. (Mirdasy, 2007)
Kebutuhan udara sehat ini disebabkan karena luapan lumpur Lapindo begitu
mengganggu warga. Menurut laporan WALHI (Wahana Lingkungan
Hidup), lumpur Lapindo mengandung zat beracun yang mengakibatkan
gangguan pernapasan, bahkan mengandung polycyclic aromatic
hydrocarbons (PAH) 2.000 kali lipat di atas ambang normal, bahkan ada
yang lebih dari itu yang secara tidak langsung dapat menyebabkan penyakit
kanker dan tumor. Pada angka di atas ambang normal saja, efek dari
kontaminasi senyawa berbahaya tersebut akan terasa dalam waktu 5-10
tahun (www.korbanlapindo.net)
Udara dan air sehat merupakan kebutuhan dasar manusia yang secara
langsung mempengaruhi kualitas dan kelangsungan hidup manusia sebagai
mahluk hidup. Dengan demikian pemenuhan kebutuhan udara sehat dan air
yang sehat ini merupakan kebutuhan fisiologis yang paling dasar, sehingga
pemenuhan kebutuhan ini mestinya tidak dapat ditunda lagi karena akan
berpengaruh langsung pada fisiologi tubuh manusia dan kelangsungan
hidup manusia sebagai mahluk hidup.
Sesuai teori konsep model sistem adaptasi Roy, kondisi tersebut sangat
mengganggu masyarakat korban untuk memenuhi fungsi fisiologis dasar.
Fungsi ini merupakan mode yang dapat mempengaruhi proses internal
manusia dalam melakukan sistem adaptasi terhadap stimuli yang ada yaitu
bencana lumpur Lapindo. Roy mengidentifikasi sembilan kebutuhan dasar
fisiologis untuk mempertahankan integritas yang dibagi menjadi dua
bagian. Lima mode fungsi fisiologis tingkat dasar yaitu proteksi, perasaan,
cairan dan elektrolit, syaraf dan endokrin. Sedangkan empat fungsi
fisiologis kompleks meliputi oksigienasi, nutrisi, eliminasi, aktivitas dan
istirahat (Stuart & Laraia, 2005)
Tidak adanya fasilitas pengobatan gratis tersebut tidak hanya yang ada di
balai desa tapi juga beberapa Puskesmas dan RSUD yang sebelumnya
menyediakan pelayanan gratis bagi masyarakat korban Lapindo. Asumsi
yang berkembang bahwa berhentinya fasilitas layanan kesehatan gratis
tersebut karena masyarakat korban Lapindo sudah mendapatkan uang ganti
rugi dari pemerintah sehingga tidak semestinya mendapatkan fasilitas
layanan gratis.
Tema Tambahan
Selain sembilan tema inti yang berkaitan dengan tujuan penelitian,
penelitian ini juga menemukan dua tema tambahan. Tema tambahan ini
tidak berhubungan langsung dengan tujuan penelitian namun ditemukan
selama proses pengumpulan data. Tema tambahan dalam penelitian ini
Dampak bencana tidak hanya menimpa pada individu dewasa atau orang tua
saja, namun pertumbuhan dan perkembangan anak juga terancam. Temuan
penelitian ini menunjukkan telah terjadi perubahan sikap anak dan perilaku
remaja. Perubahan yang tampak dari perilaku anak adalah perasaan tidak
nyaman, merenung, berani menentang orang tua, prestasi belajar menurun
dan cemas dengan lingkungan sekolah baru yang akan mereka tempati.
Sedangkan perubahan perilaku remaja yang tampak adalah berfoya-foya,
keluyuran, bahkan sampai dengan penyalahgunaan NAPZA.
Bila merujuk pada Teori Psikososial dari Erik Erikson (1955, dalam Frisch
& Frisch, 2006), adanya masalah yang terjadi pada usia anak, remaja atau
tahapan kehidupan lainnya dapat menimbulkan gangguan pada
Masalah yang terjadi pada tahapan diatas sesuai dengan yang dialami salah
satu anak partisipan bahwa anaknya merasa tidak nyaman, takut atau cemas
bila suatu saat harus pindah rumah dan pindah sekolah. Hal ini
menunjukkan bahwa pengaruh lingkungan sekolah cukup besar,
sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Wellman, New York, (1943
dalam Gerungan 2004) mengenai pengaruh sekolah taman kanak-kanak
terhadap perkembangan intelegensi anak.
Pada tahapan perkembangan lainnya yaitu pada usia remaja terjadi pada
usia 12-18/20 tahun. Tahapan ini masuk dalam perkembangan identitas diri
versus kekacauan peran (Identity versus role confusion). Perkembangan
psikososial yang baik akan meningkatkan kemampuan remaja mencapai
identitas diri meliputi peran, tujuan pribadi, keunikan dan ciri khas atau
karakter diri. Bila hal ini tidak tercapai maka remaja akan mengalami
kebingungan peran yang berdampak pada rapuhnya kepribadian sehingga
terjadi gangguan konsep diri.
Masalah perilaku remaja korban lumpur Lapindo terjadi akibat tidak adanya
aktifitas positif dan kurangnya perhatian atau role model dari orang tua.
Kurangnya aktifitas positif akan memperkuat perasaan atau perilaku negatif
dan memperlemah perilaku postif (Tomoko, 2009). Dengan demikian
remaja perlu mendapatkan perhatian lebih karena remaja merupakan salah
satu kelompok yang mempunyai kebutuhan khusus dan rentan terjadinya
masalah.
Sesuai dengan konsep distress spiritual diatas, dalam temuan penelitian ini
menggambarkan adanya penurunan aktifitas spiritual yang dialami
masyarakat korban. Penurunan aktifitas spiritual ini ditunjukkan dengan
rendahnya partisipasi warga dalam kegiatan keagamaan. Beberapa
penyebab terjadinya penurunan ini antara lain berkurangnya jumlah warga
karena pindah ke rumah yang baru, terfokusnya pikiran warga mengenai
pembayaran ganti rugi tahap II yang belum terealisiasi, dan adanya
anggapan bahwa kegiatan yang ada didesa Pajarakan tidak akan
berlangsung lama karena setelah tahap II dibayarkan warga harus pindah ke
tempat yang baru.
Perubahan aktifitas spiritual ini cukup terasa bagi warga yang masih tinggal
di desa Pajarakan. Sebelum terjadinya bencana, Kegiatan keagamaan ini
dilaksanakan secara rutin, penuh semangat dan kompak. Aktifitas spiritual
yang mengalami perubahan pada masyarakat korban bencana di desa
Pajarakan ini diantaranya kegiatan Tahlillan, Dziba’ dan sholat berjama’ah.
Kelemahan kemampuan dalam menjalani atau memberi makna akan
bencana lumpur Lapindo inilah yang menyebabkan masyarakat korban
mengalami penurunan aktifitas spiritual sehingga penggunaan koping
spiritual tidak dapat dilakukan secara adekuat.
154
136
koping spiritual difokuskan pada bagaimana seorang individu menggunakan
spiritual untuk memahami dan berhubungan dengan stresor. Proses koping
ini sesuai dengan teori yang disampaikan oleh McCubbin (1991) yang lebih
menekankan pada proses ketika seseorang berhubungan dengan stresor.
Tahapan kedua adalah seeking information. Salah satu alat dalam mencari
informasi adalah komunikasi. Komunikasi adalah pertukaran ide yang
dilakukan oleh seseorang yang mengirimkan pesan kepada penerima pesan
sehingga terjadi pertukaran informasi. Manfaat komunikasi adalah sebagai
alat untuk ventilasi dan mencari solusi terhadap permasalahan yang
Pada tahapan seeking information ini terdiri atas sumber informasi dan
bentuk informasi. Sumber informasi yang ditemukan dalam penelitian ini
adalah teman, tetangga dan tokoh masyarakat dalam hal ini adalah ketua
RW dan Pak Modin. Sedangkan bentuk informasi yang diperolah dari
tetangga atau tokoh masyarakat dihasilkan melalui proses diskusi. Pada
tahap ini masalah atau stresor dapat diatasi dengan cara berhubungan
dengan orang lain (other). Hubungan dengan other ini senada dengan
penelitian yang dilakukan oleh Tuck, dkk (2006) tentang salah satu perilaku
spiritual yaitu hubungan seseorang dengan other dalam rangka
mendapatkan pengetahuan.
Tahapan ketiga adalah seeking solution. Upaya untuk mencari jalan keluar
(solution) yang telah dilakukan oleh masyarakat korban diantaranya adalah
melakukan aksi demosntrasi yang mengahsilkan adanya Peraturan Presiden
No 48 tahun 2008 tentang masuknya desa Pajarakan dalam peta terdampak
lumpur Lapindo yang akan mendapatkan ganti rugi dari pemerintah.
Meskipun belum sepenuhnya Perpres ini terealisasi, namun solusi tersebut
pada saat itu cukup menggembirakan anggota masyarakat korban.
Pencarian solusi juga dapat dilakukan dengan seeking spiritual support. Hal
ini senada dengan salah satu perilaku spiritual yang disampaikan oleh
Tepper dkk. (2001) yaitu bertemu dengan pimpinan atau tokoh spiritual.
Hasil ini memperkuat penelitian Tepper, dkk.. (2001), Sara, dkk. (2002),
Ellison dan Lewin (1998), Koenig dan Larson (1998), dan Pargament, et al.
(1998) yang menjelaskan tentang perilaku spiritual berkaitan dengan
pendekatan agama.
Tepper, dkk, (2001) menjelaskan lima strategi yang dapat digunakan dalam
dimensi spiritual yaitu berdoa, menghadiri pelayanan spiritual, melakukan
ibadah, membaca kitab suci dan bertemu dengan pimpinan atau tokoh
spiritual. Penjelasan ini sejalan dengan realitas yang dialami masyarakat
korban lumpur. Mereka meningkatkan aktifitas spiritualnya dengan banyak
berdo’a, menghadiri kegiatan spiritual dalam hal ini Tahlillan atau
Dziba’an, melakukan sholat berjama’ah di masjid, mengaji atau membaca
dan mempelajari kitab suci yang dibimbing oleh Ustadz atau tokoh agama
lain.
2. Keterbatasan Penelitian
Peneliti menyadari bahwa dalam pelaksanaan penelitian ini masih banyak
keterbatasan, apalagi penelitian ini merupakan pengalaman pertama peneliti
melakukan penelitian kualitataif. Beberapa keterbatasan tersebut antara lain:
1) Keterbatasan dalam melakukan indepth interview yang dapat berdampak
pada kedalaman dan keluasan hasil penelitian, sehingga penelitian ini
masih perlu menerima masukan dan saran.
2) Keterbatasan peneliti dalam merekrut partisipan perempuan. Umumnya
para perempuan ini enggan diwawancarai dan meminta peneliti atau key
person untuk mewawancarai suaminya saja, sehingga mayoritas
partisipan penelitian ini adalah laki-laki (6 orang dari 7 orang
partisipan).
3) Keterbatasan dalam hal heterogenitas partisipan. Semua partisipan
dalam penelitian ini sudah menikah, sehingga peneliti tidak dapat
mengekplorasi dampak psikososial yang dirasakan oleh warga yang
belum menikah.
4) Keterbatasan dalam memperoleh rujukan hasil penelitian sejenis.
Keterbatasan ini mempengaruhi keluasan dan kedalaman dalam
membahas tema-tema yang ditemukan.
Tujuan Intruksional
Setelah membaca bagian ini, mahasiswa mampu:
1. Memahami konsep kehilangan dan berduka perspektif masyarakat
korban bencana
2. Menjelaskan prinsip pengkajian keperawatan pada pasien kehilangan
dan berduka
3. Menjelaskan prinsip perencanaan keperawatan pada pasien
kehilangan dan berduka
4. Menjelaskan prinsip pelaksanaan keperawatan pada kehilangan dan
berduka
5. Menjelaskan prinsip evaluasi keperawatan pada pasien kehilangan
dan berduka
163
(2007) lebih menekankan definisi kehilangan dari aspek perpisahan
dengan menguraikan kehilangan sebagai pelepasan, perubahan atau
reduksi nilai dari sesuatu yang berharga. Hal senada disampaikan oleh
Townsend (2009) yang menegaskan bahwa kehilangan adalah
berpisahnya dari sesuatu yang penting secara personal. Wilkinson
(2005) yang menjelaskan bahwa kehilangan adalah kenyataan/ situasi
yang mungkin terjadi dimana sesuatu yang dihadapi, dinilai terjadi
perubahan, tidak lagi memungkinkan ada atau pergi/ hilang. Dapat
dikatakan juga sebagai suatu kondisi dimana seseorang mengalami suatu
kekurangan atau tidak ada sesuatu yang dulunya ada.
164
2) Proses Kehilangan
a. Stressor internal atau eksternal – gangguan dan kehilangan –
individu memberi makna positif – melakukan kompensasi dengan
kegiatan positif – perbaikan (beradaptasi dan merasa nyaman).
b. Stressor internal atau eksternal – gangguan dan kehilangan –
individu memberi makna – merasa tidak berdaya – marah dan
berlaku agresif – diekspresikan ke dalam diri – muncul gejala
sakit fisik.
c. Stressor internal atau eksternal – gangguan dan kehilangan –
individu memberi makna – merasa tidak berdaya – marah dan
berlaku agresif – diekspresikan ke luar diri individu –
kompensasi dengan perilaku konstruktif – perbaikan (beradaptasi
dan merasa nyaman).
d. Stressor internal atau eksternal – gangguan dan kehilangan –
individu memberi makna – merasa tidak berdaya – marah dan
berlaku agresif – diekspresikan ke luar diri individu –
kompensasi dengan perilaku destruktif – merasa bersalah –
ketidakberdayaan.
165
( Process Of Disruption And Loss Drake At Barbara Kozier, 1979 )
3) Sumber-Sumber Kehilangan
a. Kehilangan orang yang dicintai
– Perpisahan, perceraian, kematian
b. Kehilangan aspek diri (biopsikososial)
– Kehilangan fungsi tubuh
– Kehilangan peran sosial (pekerjaan, kedudukan)
c. Kehilangan suatu objek ekternal
– Kehilangan uang/ harta benda, rumah, binatang
kesayangan
d. Kehilangan dari lingkungan yang telah dikenal
166
4) Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi yang mempengaruhi rentang respon kehilangan
adalah :
Genetik
Individu yang dilahirkan dan dibesarkan di dalam keluarga yang
mempunyai riwayat depresi akan sulit mengembangkan sikap
optimis dalam menghadapi perasaan kehilangan.
Kesehatan Jasmani
Individu dengan keadaan fisik sehat, pola hidup yang teratur,
cenderung mempunyai kemampuan mengatasi stress yang lebih
tinggi dibandingkan dengan individu yang mengalami gangguan
fisik.
Kesehatan Mental
individu yang mengalami gangguan jiwa terutama yang mempunyai
riwayat depresi yang ditandai perasaan tidak berdaya pesimis,
selalu dibayangi oleh masa depan yang suram, biasanya sangat
peka dalam menghadapi situasi kehilangan.
167
Struktur Kepribadian
Individu dengan konsep diri yang negatif perasaan rendah diri
akan menyebabkan rasa percaya diri yang rendah yang tidak
objektif terhadap stress yang dihadapi.
Faktor Presipitasi
Stress yang dapat menimbulkan perasaan kehilangan dapat berupa
stress nyata, ataupun imajinasi individu seperti : kehilangan sifat
bio-psiko-sosiial antara lain meliputi : kehilangan kesehatan,
kehilangan fungsi seksualitas, kehilangan peran dalam keluarga,
kehilangan posisi di masyarakat, kehilangan milik pribadi seperti :
kehilangan arta benda atau orang yang dicintai, kehilangan
kewarganegaraan dll.
Perilaku
Individu dalam proses berduka sering menunjukkan perilaku
seperti: menangis atau tidak mampu menangis, marah-marah, putus
asa, kadang-kadang ada tanda-tanda usaha bunuh diri atau ingin
membunuh seseorang, juga sering berganti tempat mencari
informasi yang tidak menyokong diagnosanya.
Mekanisme koping
Koping yang sering dipakai oleh individu dengan respon
kehilangan antara lain : denial, represi, intelektualisasi, regresi,
disosiasi, supresi, dan proyeksi yang digunakan untuk menghindari
intensitas stress yang dirasakan sangat menyakitkan. Regresi dan
disosiasi sering ditemukan pada pasien depresi yang dala. Dalam
keadaan patologis Mekanisme koping tersebut sering dipakai secara
berlebihan dan tidak tepat.
168
5) Prespektif Agama Terhadap Kehilangan
169
kesamaan satu sama lain. Beberapa tokoh menjelaskan respon
kehilangan dari berbagai persepektif yang berbeda. Kubler-Ross (1969),
Bowlby (1961) dan Engel (1964) menekankan bahwa setiap respon
kehilangan tidak seluruh dialami secara komplet oleh setiap individu.
Ketiga tokoh ini juga menekankan bahwa sejumlah variabel
mempengaruhi kemajuan seseorang untuk menyelesaikan proses
berduka. Berbeda dengan ketiga tokoh sebelumnya, Worden (2002)
lebih menekankan bahwa kehilangan akan menawarkan seperangkat
tugas yang harus di proses untuk menyelesaikan respon berduka.
170
diri sendiri maupun orang lain. Tahapan marah akan diikuti oleh
peningkatan tahapan ansietas yang dialami oleh seseorang. Dampak
dari kondisi ini adalah penurunan kemampuan kemandirian,
menggambarkan tentang keasyikan terhadap kehilangan dan
terkadang diikuti dengan keluhan somatik. Bentuk perilaku yang
biasanya ditampilkan adalah melukai orang lain baik secara verbal
maupun non verbal.
171
penurunan tingkat ansietas yang dialami dan peningkatan terhadap
ketertarikan dalam berpartisipasi dengan lingkungan.
172
diwaspadai adalah perilaku marah yang ditujukan baik pada diri
sendiri maupun orang lain.
173
1. Pengkajian
Perawat dihadapkan pada ketrampilan baik secara komunikasi,
pemeriksaan fisik dan observasi. Pada pengkajian pemeriksaan fisik,
perawat telah menyelesaikan latihan ketrampilan tersebut pada mata
kuliah foundation of nursing 2. Pada sub modul ini akan dibahas tentang
bagaimana melatih ketrampilan komunikasi dan observasi ketika kita
melaksanakan pengkajian pada pasien dengan berduka. Pengkajian
dilakukan dengan menggunakan teknik komunikasi terbuka. Perlu
diingat ketika melakukan pengkajian pada pasien dengan berduka
perawat harus memahami pada tahapan mana pasien mengalami
kehilangan. Jika pada fase panik maka pengkajian hanya banyak
dilakukan melalui observasi. Perawat mengamati perilaku apa yang
menyimpang yang dialami oleh pasien. Perlu diingat tidak dibenarkan
jika perawat menyakan peristiwa berduka kepada pasien ketika fase
krisis dan akut belum terlampaui. Jika pasien sudah berapa pada fase
maintenance, maka perawat dapat menggali lebih jauh tentang berbagai
data yang terkait dengan berduka. Beberapa pertanyaan yang dapat kita
berikan pada pasien dengan berduka yang telah berada pada fase
maintenance adalah:
Coba ibu ceritakan apa yang ibu rasakan saat ini? Selain secara
emosional apakah ada keluhan yang ibu rasakan terkait dengan kondisi
fisik, hubungan sosial dan spiritual yang ibu rasakan saat ini?
174
Berikut ini tiga area penting yang dikaji pada kasus kehilangan beserta
contoh mengkaji pada tiga area tersebut menurut Videbeck (2001).
Area yang dikaji Contoh pengkajian
Persepsi yang adekuat ”apa yang saudara pikirkan dan rasakan
tentang kehilangan tentang kehilangan?”
”Bagaimana kehilangan ini akan
berdampak pada kehidupan saudara?”
”Informasi apa yang perlu diklarifikasi?”
Dukungan yang ”Siapa di dalam hidup saudara yang
adekuat ketika benar-benar ingin mengetahui apa yang
berduka akibat sebanarnya terjadi pada saudara?”
kehilangan ”Maksut saudara tidak ada seorangpun
yang peduli dengan kondisi saudara saat
ini?”
Perilaku koping yang ”saudara kelihatannya sangat kecewa
adekuat selama proses dengan kabar bahwa saudara harus
menjalani mastektomi ini?”
”apa yang akan saudara lakukan dengan
kabar yang saudara terima hari ini?”
Beberapa aspek penting yang harus di kaji pada kasus berduka adalah
a. Mempertanyaan dan berupaya menemukan makna kehilangan
b. Mati rasa
c. Merasa menderita dan kesepian
d. Menangis-nangis, terisak
e. Emosi yang berubah termasuk kemarahan
f. Putus asa
g. Tidak berdaya
h. Sangat gelisah, mencari aspek yang hilang
i. Sakit kepala
j. Insomnia
k. Tidak bertenaga
l. Melakukan fungsi secara otomatis
m. Menyimpan benda berharga
175
2. Diagnosa
Diagnosa keperawatan pada pasien dengan masalah berduka dapat
ditetapkan dengan memperhatikan tanda dan gejala yang dialami oleh
pasien. Beradasarkan tahapan berduka tersebut maka perawat harus
menganalisa secara tepat masalah yang dialami oleh pasien. Penetapan
diagnosa keperawatan dimulai dengan melakukan pengelompokan data.
Sekelompok data tersebut kemudian dianalisa untuk menetapkan masuk
mana masalah tersebut. Setelah kita memilih domain langkah
selanjutnya adalah kita menetapkan diagnosa keperawatan yang tepat
berdasarkan batasan karakteristik dan faktor yang berhubungan. Pada
diagnosa dengan ”resiko” mana batasan yang dapat kita analisa adalah
faktor resiko.
3. Intervensi
Pada praktikum penyusunan intervensi keperawatan, perawat
diharapkan memiliki kemampuan critical thinking sebagai dasar untuk
memilih kriteria hasil dan tindakan yang tepat pada diagnosa yang telah
kita tetapkan. Persiapan yang tidak kalah penting adalah persiapan studi
literatur seperti buku diagnosa keperawatan (NANDA 2012-2014), buku
kriteria hasil (NOC) dan buku intervensi (NIC). Setelah kita menetapkan
diagnosa, hal yang perlu kita perhatikan adalah kemampuan personal,
sumber dukungan sosial dan aset material. Contoh penyusunan
intervensi keperawatan pada masalah berduka adalah sebagai berikut.
176
Indikator adalah: resolusi berduka
Pasien dapat mencapai skor 4 dalam mengatasi masalahnya
Indikator 1 2 3 4 5
Menyampaiakn perasaannya tentang
kehilangan
Mengekspresikan keyakinan spiritual terkait
kehilangan
Mencari dukungan social
Keterangan:
1: tidak pernah
2: jarang
3: kadang-kadang
4: sering
5: selalu
177
4. Implementasi
Dalam implementasi pada pasien yang mengalami berduka, berikut ini
merupakan komunikasi yang digunakan pada pasien yang mengalami
depresi dan manajemen mood.
5. Evaluasi
Kegiatan evaluasi terutama dilakukan untuk mengevaluasi hasil
implementasi dibandingkan dengan kriteria hasil yang telah ditetapkan.
Perawat perulu mengambil kesimpulan dan menetapkan langkah
selanjutnya berdasarkan analisa tersebut. Pada evaluasi yang belum
mencapai kriteria hasil maka perawat pelu melakukan pengkajian ulang,
mengevaluasi diagnosa keperawatan yang telah ditetapkan dan
selanjutnya membuat perencanaan dengan cara memodifikasi tindakan.
178
dijelaskan tentang proses keperawatan yang dapat diberikan pada klien
dengan berduka antisipasi.
1) Definisi Berduka Antisipasi
Townsend (2009) menjelaskan bahwa secara umum berduka adalah
kesedihan mental dan emosional yang mendalam sebagai respon
subjektif terhadap pengalaman kehilangan sesuatu yang berharga.
Secara spesifik Nanda (2005) mendefinisikan berduka antisipasi sebagai
respons intelektual dan emosional serta perilaku oleh individu, keluarga
dan komunitas yang merupakan proses modifikasi dari konsep diri yang
didasari oleh persepsi potensial kehilangan. Senada dengan pendapat
Nanda (2005), Stuart (2009) menjelaskan bahwa berduka antisipasi
adalah kondisi emosional yang dimulai sebelum aktual terjadi
kehilangan orang, objek atau konsep yang berarti. Komponen penting
yang perlu kita catat berdasarkan berbagai definisi berduka antisipasi
tersebut adalah bahwa masalah terjadi ketika proses kehilangan belaum
benar-benar terjadi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa berduka
antisipasi merupakan respon adaptif yang bisa terjadi untuk
mempersiapkan kehilangan baik keluarga maupun klien itu sendiri.
Namun perlu diingat bahwa area kerja seorang perawat jiwa berada pada
rentang sehat sakit sehingga perlu adanya keseimbangan intervensi yang
diberikan baik pada level prevensi primer, sekunder maupun tersier.
2) Karakteristik Berduka Antisipasi
Menurut Nanda (2009) karakteristik berduka antisipasi diantaranya
adalah
(1) Marah
(2) Menolak potensial kehilangan
(3) Menolak kehilangan yang signifikan
(4) Mengekspresikan distress dari potensial kehilangan
179
(5) Rasa bersalah
(6) Perubahan kebiasaan, makan, pola, tidur, pola mimpi
(7) Perubahan tingkat aktivitas
(8) Perubahan pola komunikasi
(9) Perubahan libido
(10) Tawar menawar
(11) Kesulitan mengatakan yang baru atau peran yang berbeda
(12) Potensial kehilangan objek yang signifikan (misal orang, hak
milik, pekerjaan, status, rumah, bagian dan proses tubuh)
(13) Berduka cita
3) Pengkajian Klien Berduka Antisipasi
Pengkajian yang dilakukan pada klien dengan berduka antisipasi
dilakukan dengan pendekatan psikodinamika terkajinya masalah yang
disampaikan oleh Stuart (2009). Pengkajian meliputi faktor predisposisi,
presipitasi, penilaian stresor dan sumber koping. Pengkajian predisposisi
dan presipitasi dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab masalah
berduka antisipasi. Pengkajian penilaian stresor lebih menekankan pada
tanda dan gejala yang dialami sehingga menjadi dasar penetapan
diagnose keperawatan. Sedangkan pengkajian sumber koping pada klien
dengan berduka antisipasi akan digunakan untuk menyusun intervensi
yang dibutuhkan.
(1) Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi adalah faktor resiko yang menjadi sumber
terjadinya harga diri rendah situasional yang mempengaruhi tipe
dan sumber dari individu untuk menghadapi stres baik biologis,
psikologis dan sosial kultural. Secara bersama–sama faktor ini
akan mempengaruhi seseorang dalam memberikan arti dan nilai
terhadap stres pengalaman yang dialaminya. Berikut ini
Asuhan Keperawatan Kehilangan dan Berduka 155
180
merupakan faktor predisposisi biologis, psikologis dan sosial
budaya yang perlu digali pada klien dengan harga berduka
antisipasi
a) Biologis
Pengkajian aspek biologis difokuskan pada area yang
mengalami perubahan secara fisiologis. Informasi penting
yang sangat diharapkan dari fungsi biologis diantaranya latar
belakang genetik, status nutrisi, status kesehatan secara umum,
sensisitivitas biologi dan paparan terhadap racun. Salah satu
latar belakang genetik yang saat ini masih belum diketahui
secara pasti bagaimana faktor genetik diturunkan melalui
kromosom orangtua. Latar belakang genetik yang perlu dikaji
meliputi lesi pada daerah prefrontal, hipotalamus dan limbik,
peningkatan neurotransmitter dopamin, ketidakseimbangan
dengan kadar serotonin serta riwayat kembar identik baik
monozigot maupun dizigot. Pada status nutrisi perlu dikaji
adanya riwayat gangguan nutrisi ditandai dengan penurunan
berat badan, rambut rontok, anoreksia dan bulimia nervosa.
Aspek status kesehatan secara umum difokuskan pada adanya
keluhan fisik, seperti nyeri perut, anoreksia, sakit punggung,
nyeri dada, konstipasi, impotensi, kelemahan, penurunan
aktivitas, masa post-partum serta kurang gizi, kurang tidur dan
gangguan irama sirkadian. Pengkajian sensitivitas biologi
diarahkan pada riwayat penggunaan obat, riwayat infeksi dan
trauma serta radiasi dan pengobatan lainnya. Aspek paparan
terhadap racun difokuskan pada adanya riwayat keracunan CO.
Beberapa korban juga perlu dikaji untuk melihat adanya
kemampuan individu dalam mengontrol keamanan diri. France
181
(2002) menjelaskan bahwa menjadi korban akan meningkatkan
resiko injuri yang meliputi infeksi, trauma dan injuri kepala.
b) Psikologis
Pengkajian psikologis difokuskan pada faktor emosi dan
kekuatan koping (Boyd, 2008). Predisposisi psikologis yang
perlu dikaji meliputi intelegensi, ketrampilan verbal, moral,
kepribadian, pengalaman masa lalu, konsep diri, motivasi,
pertahanan psikologi dan kontrol diri. Faktor intelegensi
meliputi riwayat kerusakan struktur di lobus frontal dimana
lobus tersebut berpengaruh kepada proses kognitif dan
gangguan suplay oksigen dan glukosa. Keterampilan verbal
menitikberatkan pada adanya gangguan keterampilan verbal
akibat faktor komunikasi dalam keluarga, seperti suka
berargumentasi dan provokatif. Aspek moral meliputi riwayat
tinggal dilingkungan yang dapat mempengaruhi moral
individu, seperti lingkungan keluarga yang broken home,
konflik dan lapas. Faktor kepribadian yang perlu dilihat mudah
kecewa, mudah putus asa, kecemasan tinggi dan menutup diri.
Pengalaman masa lalu meliputi pengalaman kehilangan objek,
orang yang dicintai, perpisahan, anak yang diasuh oleh orang
tua yang suka cemas, terlalu melindingi, dingin, dan tidak
berperasaan, penolakan atau tindak kekerasan dalam rentang
hidup klien dan pengalaman mengalami penganiayaan seksual.
Pengkajian konsep diri lebih difokuskan pada terjadinya ideal
diri tidak realistis, harga diri rendah, identitas diri tidak jelas,
krisis peran dan gambaran diri negatif. Faktor motivasi perlu
dikaji untuk melihat riwayat kegagalan dan kurangnya
182
penghargaan di masa lalu. Pengkajian pertahanan psikologi
untuk mendapatkan data terkait dnegan ambang toleransi
terhadap stress rendah dan riwayat gangguan perkembangan.
Sedangkan pengkajian kontrol diri difokuskan pada
kemampuan mengatasi perasaan berduka yang berlarut-larut
dalam waktu yang lama.
c) Sosial Budaya
Pengkajian sosial budaya pada klien dengan berduka antisipasi
lebih diarahkan pada empat komponen utama. Empat
komponen tersebut adalah sifat hubungan dengan orang atau
objek yang hilang, tali kekeluargaan, kekuatan hubungan
dengan orang atau objek yang hilang dan system dukungan
sosial. Sifat hubungan dikaji untuk mengetahui seberapa erat
hubungan yang terjadi antara indivisu dengan orang atau objek
yang hilang. Pengkajian ini dilakukan untuk melihat potensi
seberapa besar makna kehilangan yan akan diakibatkan akibat
peristiwa kehilangan. Tali kekeluargaandan kekuatan
hubungan dikaji untuk mengetahui hubungan kekerabatan dan
kedekatan yang terjadi antara idividu dengan orang atau objek
yang hilang. Sistem dukungan sosial dikaji untuk mendapatkan
data siapa saja orang yang menjadi sumber dukungan bagi
klien dan bentuk dukungan yang diberikan oleh system
dukungan sosial.
183
ancaman atau tuntutan. Faktor presipitasi memerlukan energi yang
besar dalam menghadapi stres atau tekanan hidup. Faktor
presipitasi ini dapat bersifat biologis, psikologis maupun sosial
kultural. Waktu, berapa lama terpapar dan frekuensi merupakan
dimensi yang juga mempengaruhi terjadinya stres (Stuart &
Laraia, 2005). Adapun faktor presipitasi yang terjadi pada masalah
berduka antisipasi adalah sebagai berikut:
a) Sifat Stresor
Sifat stresor pada pengkajian faktor presipitasi dilihat dari tiga
aspek utama yaitu biologis, psikologis dan sosial budaya. Pada
faktor biologis faktor pencetus dilakukan untuk
mengidentifikasi berbagai kondisi biologis atau fisik seperti
adanya penyakit kronis atau terminal yang berpotensi
mengakibatkan kehilangan sebagaian anggota tubuh atau
kematian. Faktor pencetus psikologis dilakukan untuk
mengidentifikasi adanya potensi hilangnya harga diri yang
dialami oleh klien dan keluarga akibat adanya peristiwa
kehilangan. Pengkajian faktor pencetus sosial dan budaya lebih
menekankan pada adanya gangguan hubungan sosial, adanya
peristiwa sosial yang tidak diharapakan seperti kehilangan
pekerjaan dan ketidakpuasan dalam hubungan interpersonal.
b) Asal stresor
Pembahasan asal stresor dapat dikerucutkan ke dalam dua
aspek utama yaitu stresor internal dan eksternal. Asal stresor
internal lebih dihubungkan dengan kondisi individu dengan
latar belakang konsep diri yang rapuh dan kemampuan koping
yang terbatas. Asal stresor eksternal dapat dikaitkan dengan
184
berbagai kondisi atau peristiwa eksternal yang mengakibatkan
adanya masalah berduka antisipasi.
c) Waktu
Tiga komponen utama yang perlu diidentifikasi pada dimensi
waktu meliputi kapan, berapa lama dan frekuensi terjadinya
masalah. Pada masalah berduka antisipasi waktu terjadinya
sebelum terjadinya peristiwa kehilangan, namun demikian
potensi kehilangan sudah dapat diprediksikan. Frekuensi stress
yang terjadi secara berulang-ulang juga berpotensi
menyebabkan munculnya respon klien terhadap masalah
berduka antisipasi.
d) Jumlah Stresor
Jumlah stresor dihitung berdasarkan pada jumlah stress yang
dialami oleh klien dan keluarga dengan masalah berduka
antisipasi. Jumlah stresor merupakan akumulasi dari seluruh
stresor yang dialami oleh klien dan keluarga baik stresor
biolgis, psikologis dan sosial budaya yang dialami oleh klien
dan keluarga. Jumlah stresor dapat berkembang dari satu
stresor ke stresor yang lain. Sebagai contoh stresor penyakit
terminal yang dialami oleh klien akan menyebabkan stresor
sosial berupa ancaman hilangnya hubungan dengan orang lain.
Bersamaan dengan stresor sosial, maka akan muncul stresor
psikologis berupa perasaan bersalah yang bisa berpotensi
menimbulkan harga diri rendah. Setiap stresor tersebut akan
berpotensi menyebabkan stresor pada aspek yang lain sehingga
akan menambah stresor yang dialami oleh klien dan keluarga
dengan berduka antisipasi.
185
e) Penilaian Terhadap Stresor
Pengkajian penilaian stresor dilakukan untuk mendapatkan data
terkait gejala yang muncul pada masalah yang dialami oleh klien.
Penilaian stresor mengacu pada lima aspek yaitu kognitif, afektif,
fisiologis, perilaku dan sosial. Penilaian kognitif difokuskan pada
penilaian terhadap potensi kehilangan yang mengakibatkan
ancaman bagi individu. Secara afektif pengkajian penilaian stresor
diarahkan pada kondisi emosi sebagai akibat peristiwa kehilangan.
Perasaan yang mungkin muncul diantaranya rasa marah, rasa
bersalah, ansietas, kesedihan dan putus asa. Respon emosi ini
dapat dikaitkan berdasarkan pada tiap tahapan kehilangan yang
dialami oleh klien. Penialain stresor fisiologis berfungsi untuk
mengidentifikasi akibat fisiologis yang terjadi terhadap stresor
berduka antisipasi. Beberapa fisiologis yang biasanya muncul
diantaranya masalah tidur, perubahan selera makan, psikosomatik,
penyakit fisik dan penurunan libido. Pada komponen perilaku
beberapa penilaian stresor yang biasanya muncul diantaranya
menangis, kehilangan kontrol dan dan beberapa perilaku tidak
wajar seperti marah atau depresi. Secara sosial penilaian stresor
yang biasanya berhubungan dengan masalah berduka antisipasi
diantaranya menarik diri dari lingkungan atau ketidakpedualian
terhadap orang lain. Seluruh penilaian stresor ini dikumpulkan dan
dianalisa untuk menetapkan masalah yang terjadi pada klien baik
dari aspek fisiologis maupun mental.
f) Sumber Koping
Sumber koping pada klien dengan berduka antisipasi digunakan
sebagai dasar penetapan intervensi yang dibutuhkan oleh klien/
186
keluarga. Sumber koping dilihat berdasarkan pada seluruh sistem
klien baik sebagai individu maupun sebagai sistem dalam sosial.
Sumber koping individu diarahkan pada kemampuan personal dan
keyakinan yang positif yang meliputi kemampuan mengenali
masalah terkait kehilangan, mengenali potensi diri untuk
menyelesaikan fase berduka yang dialami, menyusun rencana
tindakan untuk mengatasi perasaan kehilangan dan melakukan
tindakan yang berguna untuk menyelesaikan fase kehilangan yang
dialami. Sumber koping sosial diarahkan pada tersedianya
dukungan sosial dan asset material. Ketersediaan dukungan sosial
dilihat dari pola interaksi dan bentuk dukungan yang diberikan
oleh keluarga, kelompok dan masyarakat dalam menyelesaikan
fase berduka yang dialami oleh klien. Aset material diidentifikasi
melalui ketersediaan sarana penunjang seperti ketersediaan
fasilitas konseling yang mudah diakses oleh klien untuk membantu
klien berbagi terkait kehilangan yang terjadi. Beberapa fasilitas
yang mungkin ada diantaranya hotline service dan pelayanan
konsultasi melalui telpon maupun email.
4) Diagnosa Keperawatan
Secara umum penegakan diagnosa keperawatan didasarkan pada data-
data terkait dengan penilaian terhadap stresor. Pada pembahasan
masalah berduka secara umum akan menghasilkan berbagai pendekatan
diagnosa yang dipandang dari penilaian stresor pada aspek biologis,
psikologis serta perilaku dan sosial. Berdasarkan aspek biologis
beberapa diagnosa keperawatan yang mungkin muncul diantaranya
adalah gangguan pola tidur, gangguan nutrisi dan intoleransi aktivitas.
Pada aspek psikologis beberapa diagnosa yang mungkin muncul
187
diantaranya berduka antisipasi, berduka disfungsional, sindrom pasca
trauma, koping individu tidak efektif, resiko kekerasan terhadap diri
sendiri maupun orang lain, kerusakan komunikasi, ansietas dan
ketidakberdayaan. Pada aspek perilaku dan sosial diagnose yang dapat
ditegakkan diantaranya gangguan interaksi sosial dan gangguan proses
keluarga.
5) Terapi Keperawatan
Terapi keperawatan yang diberikan pada klien dnegan berduka
antisipasi dibedakan ke dalam dua tingkatan yaitu terapi generalis dan
terapi spesialis. Terapi genaralis digunakan sebagai pedoman bagi
perawat dengan level pendidikan generalis. Sedangkan terapi spesialis
digunakan sebagai panduan bagi seorang spesialis untuk
mengambangkan terapi secara lebih spesifik.
188
maka aktivitas tersebut selanjutnya dianalisa berdasarkan pada sumber
koping yang meliputi kemampuan personal, keyakinan positif, sumber
dukungan sosial dan asset material.
189
maupun saat ini dan mengidentifikasi adanya perasaan takut yang
luar biasa. Perawat hendaknya menggunakan teknik komunikasi
mendengarkan aktif dan empati. Aktivitas afektif tersebut dapat juga
dilakukan pada klien dengan populasi usia anak. Namun perlu
diingat bahwa pada populasi anak, perawat perlu menggunakan
pendekatan yang lebih khusus yaitu dengan menggunakan bahasa
yang sederhana dan dengan pendekatan yang memberi kenyamanan
pada anak seperti melalui menulis, menggambar atau bermain.
190
(3) Terapi Keperawatan Generalis Untuk Memfasilitasi Aset Material
Memfasilitasi asset material merupakan aktivitas yang tidak dapat
dilepaskan oleh perawat dalam memenuhi kebutuhan berbagai
sarana dan prasaran penunjang yang dapat diberikan pada klien
dengan kehilangan dan berduka. Dochterman (2004) menyebutkan
dalam intervensi lain yang disarankan dintaranya adalah dalam
bentuk ketersediaan berbagai fasilitas konseling yang mudah diakses
oleh klien, adanya pelayananan dying care dan managemen
komunitas yang baik. Ketiganya merupakan sarana pendukung yang
perlu disediakan bagi klien dengan berduka antisipasi.
6) Implementasi Keperawatan
Berikut ini kegiatan standar yang dapat dilakukan pada klien dengan
berduka antisipasi yang diberikan oleh perawat generalis dimana setiap
satu kali interaksi telah mencakup tiga aspek kemampuan yaitu kognitif,
afektif dan psikomotor.
Tabel Strategi Implementasi Tindakan Generalis Pada Klien dengan
Berduka Antisipasi
191
Interaksi Tindakan
1 a. Perluas kesadaran diri melalui identifikasi pengalaman
berduka (mengidentifikasi kehilangan yang dialami,
mengidentifikasi hubungan dengan objek yang hilang,
mengkaji reaksi awal terhadap kehilangan dan mengkaji
strategi koping yang digunakan oleh klien saat
kehilangan terjadi)
b. Ekplorasi perasaan diri terkait kehilangan dan berduka
yang dialami yang dialami
c. Dorong penetapan rencana yang realistic
d. Dorong klien untuk melakukan pendekatan budaya
untuk menyelesaikan fase berduka
e. Buat jadwal kegiatan bersama klien
7) Evaluasi Hasil
Evaluasi proses keperawatan pada klien dengan berduka antisipasi
bukan merupakan akhir dari proses keperawatan. Evaluasi dilakukan
untuk mengidentifikasi pencapaian berdasarkan pada tujuan yang telah
ditetapkan. Hal-hal yang perlu dievaluasi pada proses keperawatan pada
klien dengan berduka antisipasi adalah tingkat keefektifan terapi yang
telah dilakukan oleh perawat terkait fase-fase kehilangan yang dialami,
efek terapi yang telah dilakukan terhadap kemandirian klien dalam
192
meningkatkan motivasi klien dan kemampuan klien dalam melakukan
perubahan dalam mengatasi perasaan berduka yang dialaminya.
193
194
BAB 9
BAB 9
ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANSIETAS
ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANSIETAS
Tujuan Intruksional
Tujuan Intruksional
Setelah membaca bagian ini, mahasiswa mampu:
Setelah membaca bagian ini, mahasiswa mampu:
1) Memahami konsep cemas dalam perspektif masyarakat korban
1) Memahami konsep cemas dalam perspektif masyarakat korban
benacana
benacana
2) Menjelaskan prinsip pengkajian keperawatan pada pasien cemas
2) Menjelaskan prinsip pengkajian keperawatan pada pasien cemas
3) Menjelaskan prinsip perencanaan keperawatan pada pasien cemas
3) Menjelaskan prinsip perencanaan keperawatan pada pasien cemas
4) Menjelaskan prinsip pelaksanaan keperawatan pada pasien cemas
4) Menjelaskan prinsip pelaksanaan keperawatan pada pasien cemas
5) Menjelaskan prinsip evaluasi keperawatan pada pasien cemas
5) Menjelaskan prinsip evaluasi keperawatan pada pasien cemas
195
berikut ini tentang definisi ansietas, tingkatan ansietas serta ansietas normal
dan tidak normal.
1) Definisi Ansietas
Morh (2006) menggambarkan ansietas sebagai perasaan distres
psikologis. Perasaan cemas, ketakutan, kegelisahan dan kawatir
merupakan respon normal terhadap kejadian yang mengancam. Ansietas
merupakan bagian respon terhadap stres dan dalam rentang sehat, dan
tanda bagi seseorang untuk melindungi diri dari situasi yang berbahaya
(Carson, 2000). Ansietas merupakan respon normal terhadap situasi
yang mengancam dan dapat menjadi faktor motivasi yang positif
sepanjang daur kehidupan manusia (Varcarolis, 2000). Dapat
disimpulkan bahwa ansietas merupakan alat yang berfungsi dalam
memperingatkan individu terhadap ancaman, konflik dan bahaya yang
terjadi di masa yang akan datang. Peringatan tersebut bersifat positif
karena menjadi motivator bagi individu dalam menghadapi situasi yang
mengancam tersebut.
196
dan terjadinya disorganisasi sehingga menimbulkan kerusakan fungsi
dan berubahnya mekanisme koping individu dari adaptif menjadi
maladaptif.
2) Tingkatan Ansietas
Ansietas terbagi menjadi empat skala yaitu ringan, sedang, berat dan
panik. Fortinash (2003) menjelaskan ansietas ringan dari tiga aspek
yaitu fisiologis, kognitif atau persepsi dan emosi atau perilaku. Secara
fisiologis pada ansietas ringan masih menunjukkan tanda-tanda vital
dalam batas normal, adanya ketegangan otot ringan dan pupil berada
pada kondisi normal atau kontriksi. Dari aspek kognitif atau persepsi
ditunjukkan dengan lapang persepsi yang luas, tingkat kesadaran yang
adekuat terhadap stimulus internal dan lingkungan, dan pola berpikir
yang terkontrol. Pada aspek emosi atau perilaku digambarkan dengan
perasaan yang relatif nyaman dan aman, penampilan dan suara yang
rileks, dan kemampuan melakukan perilaku sehari-hari. Isaacs (2001)
197
menjelaskan bahwa pada skala ansietas ringan efek yang ditimbulkan
adalah meningkatnya kewaspadaan dan kemampuan dalam belajar.
198
ansietas berat adalah ketidakmampuan berfokus atau menyelesaikan
masalah serta terjadinya aktivasi sistem saraf simpatik.
199
diikuti oleh reduksi lapang persepsi. Seseorang berfokus pada kelompok
spesifik dan tidak memikirkan segala sesuatu lainnya. Segala perilaku
bertujuan untuk mengurangi ansietas dan diperlukan perintah yang
cukup besar untuk berfokus pada area lainnya. Panik dihubungkan
dengan kekaguman, ketakutan, teror dan perasaan seseorang yang tidak
mampu untuk melakukan sesuatu meskipun dengan perintah. Panik
meliputi disorganisasi kepribadian dan dapat mengancam kehidupan,
meningkatnya aktivitas motorik, menurunkan kemampuan berhubungan
dengan orang lain dan persepsi menyempit.
200
Faktor predisposisi
Stresor presipitasi
Sumber koping
Mekanisme koping
Konstruktif Destruktif
Rentang respon koping
Respon adaptif Respon Maladaptif
DIAGNOSA KEPERAWATAN
Skema 5.1. Psikodinamika Masalah Keperawatan Jiwa
(Stuart & Laraia, 2005)
201
a. Faktor predisposisi
(1) Faktor Predisposisi
Menurut Stuart dan Laraia (2005) faktor predisposisi adalah faktor
resiko yang menjadi sumber terjadinya stres yang mempengaruhi tipe
dan sumber dari individu untuk menghadapi stres baik yang biologis,
psikososial dan sosial kultural. Berbagai teori menjadi dasar pola
berpikir faktor predisposisi kesehatan jiwa.
(a) Biologis
Faktor biologis merupakan faktor yang berhubungan dengan
kondisi fisiologis dari individu yang mempengaruhi terjadinya
ansietas. Beberapa teori yang melatarbelakangi cara pandang
faktor predisposisi biologis adalah teori genetik dan teori biologi.
Teori genetik lebih menekankan pada campurtangan komponen
genetik terhadap berkembangnya perilaku ansietas. Sedangkan
teori biologi lebih melihat struktur fisiologis yang meliputi fungsi
saraf, hormon, anatomi dan kimia saraf.
202
Pada ansietas keluarga, studi yang dilakukan terhadap keluarga
relatip menentukan prevalensi ansietas. Dua metode yang umum
digunakan adalah riwayat keluarga yang didapatkan dari
wawancara secara tidak langsung dari informan dan studi
keluarga yang dilakukan berdasarkan wawancara langsung
dengan anggota keluarga. Metode ini digunakan untuk
menjelaskan teori yang berkenaan dengan berbagai klasifikasi
ansietas (Nicolini, Cruz, Camarena, Paez & De la Fante, 1999).
Sadock dan Sadock (2003) dalam penelitiannya menjelaskan
bahwa sekitar 50% dari klien yang mengalami gangguan panik
dipengaruhi oleh hubungan keluarga. Lima belas sampai dua
puluh persen individu yang mengalami gangguan obsessive
compulsive berasal dari keluarga dengan anggota keluarga
memiliki masalah yang sama dan sekitar 40% seseorang yang
mengalami agoraphobia berhubungan dengan anggota keluarga
dengan agoraphobia. Hipotesa yang dapat kita simpulkan dari
berbagai penelitian tersebut adalah genetik memainkan peran
dalam berkontribusi terhadap manifestasi tanda-tanda ansietas
yang dialami oleh individu.
203
tentang fungsi saraf diperlukan dalam melihat keterkaitan biologis
dengan ansietas (Sadock & Sadock, 2003).
Converted Enzim
Converted 2 Enzim 2
Product 1 Product 1
Product Product
Enzim 1 Enzim 1
triptopan triptopan
5-HT 5-HT
204
pada beberapa area penting dari otak yaitu raphe nucleus,
hipotalamus, thalamus, basal ganglia dan sistem limbik
berhubungan dengan tejadinya ansietas. Bustiron dan
benzodiazepine menghambat transmisi serotonin yang
menyebabkan munculnya berbagai gejala ansietas (Roerig, 1999).
205
hubungan yang kuat antara gejala ansietas dan terjadinya penyakit
jantung.
206
kondisi patologis fisik seperti penyakit kronis yang pernah
dialami dan faktor genetik.
(b) Psikologis
Teori psikoanalitik dan perilaku menjadi dasar pola pikir faktor
predisposisi psikologis terjadinya ansietas. Teori psikoanalisa
yang dikembangkan oleh Sigmund Freud menjelaskan bahwa
ansietas merupakan hasil dari ketidakmampuan menyelesaikan
masalah, konflik yang tidak disadari antara impuls agresif atau
kepuasan libido serta pengakuan terhadap ego dari kerusakan
eksternal yang berasal dari kepuasan. Sebagai contoh konflik
yang tidak disadari pada saat masa kanak-kanak, seperti takut
kehilangan cinta atau perhatian orang tua, menimbulkan perasaan
tidak nyaman atau ansietas pada masa kanak-kanak, remaja dan
dewasa awal (Roerig, 1999).
207
Dari uraian diatas dapat kita analisa bahwa ansietas lebih
disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan penggunaan
mekanisme pertahanan. Penggunaan salah satu mekanisme
pertahanan yang berlebihan ini menyebabkan gangguan pada
fungsi kontrol seseorang sehingga berpotensi menimbulkan
ansietas.
208
benturan keinginan yang bertentangan. Mereka percaya bahwa
hubungan timbal balik antara konflik dan daya ansietas yang
kemudian menimbulkan konflik.
209
kelompok sosial budayanya. Kemampuan komunikasi yang
rendah akibat konsep diri yang negatif menyebabkan seseorang
sulit dalam menyelesaikan masalah sehingga berpotensi
menyebabkan ansietas.
210
kesehatan. Ancaman terhadap integritas fisik yang selanjutnya
dilihat sebagai faktor presipitasi biologis.
211
sehingga
sehinggadapat menimbulkan
dapat menimbulkanketakutan caregiver
ketakutan terhadapterhadap
caregiver
kondisi kesehatan
kondisi anggota
kesehatan keluarga
anggota dan biaya
keluarga dan perawatan. Rasa Rasa
biaya perawatan.
takut dandan
takut ansietas terhadap
ansietas anggota
terhadap keluarga
anggota akan menyebabkan
keluarga akan menyebabkan
stresor
stresorpsikologis
psikologisterhadap caregiver.
terhadap ResponRespon
caregiver. lain yang
lain yang
ditampilkan oleholeh
ditampilkan caregiver adalahadalah
caregiver kewajiban untuk menemani
kewajiban untuk menemani
dandan
melakukan perawatan
melakukan 24 jam
perawatan 24terhadapanggota keluargakeluarga
jam terhadapanggota yang yang
sakit di rumah
sakit sakit.sakit.
di rumah Kondisi ini akan
Kondisi ini menyebabkan kelelahankelelahan
akan menyebabkan
fisik yang
fisik berpotensi
yang menjadi
berpotensi stressor
menjadi biologisbiologis
stressor bagi caregiver.
bagi caregiver.
Siklus ini ini
Siklus akanakan
terusterus
berulang dimana
berulang stresorstresor
dimana yang muncul akan
yang muncul akan
menimbulkan
menimbulkan respon baik baik
respon secarasecara
biologis, psikologis
biologis, dan sosial
psikologis dan sosial
dandan
setiap respon
setiap yangyang
respon ditampilkan berpotensi
ditampilkan menjadimenjadi
berpotensi stressor stressor
bagi caregiver
bagi (Gambar
caregiver 5.2). 5.2).
(Gambar
Anggota
Anggota
Keluarga
Keluarga
SakitSakit
Psiko Psiko
Bio Bio
ResponRespon
Sosio Sosio
Bio Bio
ResponRespon
Psiko Psiko
Sosio Sosio
Sosio Sosio
ResponRespon
Psiko Psiko
Bio Bio
212
(b) Asal Stressor
Berdasarkan sifat stressor yang telah diuraikan diatas maka asal
stressor ansietas dapat didentifikasi melalui dua sumber yaitu
internal dan eksternal. Sumber internal digambarkan sebagai
seluruh stresor ansietas yang berasal dari dalam individu baik
yang bersifaf biologis maupun psikologis. Sumber eksternal
merupakan sumber ansietas yang berasal dari lingkungan
eksternal individu termasuk didalamnya hubungan interpersonal
dan pengaruh budaya.
213
Pada ansietas caregiver, waktu terjadinya stresor berupa anak/
anggota keluarga yang sakit datang tiba-tiba dan tidak terduga.
Lamanya stresor ansietas caregiver tergantung pada kondisi
kesehatan anggota keluarga. Semakin berat tingkat penyakit yang
dialami anak/ anggota keluarga akan memperpanjang lamanya
stresor yang dialami oleh keluarga sebagai caregiver. Demikian
sebaliknya pada kondisi penyakit anak/ anggota keluarga yang
ringan, lamanya stresor yang dialami oleh caregiver semakin
pendek.
214
(3) Penilaian Stressor
Pemahaman tentang ansietas dapat dilakukan dengan mengintegrasikan
pengetahuan dari berbagai sumber. Model adaptasi stres (Stuart &
Laraia, 2005) mengintegrasikan data dari konsep psikoanalisis,
interpersonal, perilaku, genetik dan biologis. Berbagai konsep tersebut
akan menjelaskan tentang penilaian stressor seseorang ketika
mengalami ansietas yang meliputi kognitif, afektif, fisiologis, perilaku
dan sosial.
215
Penilaian terhadap stresor yang dialami oleh klien dan caregiver
dengan ansietas meliputi respon kognitif, afektif, fisiologis, perilaku
dan sosial. Pada umumnya klien dan caregiver yang memiliki anggota
keluarga yang sakit dan dirawat di rumah sakit akan merasa bingung
dan kaget dengan kondisi kesehatan anggota keluarga yang tiba-tiba
terganggu. Klien akan merasa bingung untuk menjalankan berbagai
peran individunya baik dalam keluarga, kelompok maupun masyarakat.
Demikian pula yang dialami oleh caregiver. Caregiver merasa ansietas
dan bingung dalam menjalankan perannya sebagai caregiver bagi anak/
anggota keluarga. Mungkin klien dan caregiver akan merasa
kehilangan kontrol, marah, dan frustasi. Secara umum emosi yang
ditampilkan bersifat negatif, namun demikian pada beberapa kasus
ditemukan adanya klien dan caregiver yang tetap mampu mengontrol
emosinya. Kemampuan mengontrol emosi berdampak terhadap
kemampuan individu dan caregiver dalam berpikir tentang peran dan
fungsinya dalam merawat diri atau anggota keluarga yang sakit.
216
anggota keluarga yang lain dalam melakukan perawatan anak yang
sakit. Namun penilaian stressor juga dapat dimanifestasikan dalam
bentuk perilaku dan tindakan sosial yang maladaptif seperti
menghindari melakukan perawatan terhadap anak/ anggota keluarga
dan menghindari hubungan interpersonal dengan anggota keluarga
maupun caregiver lain yang dirawat di rumah sakit. Pada klien yang
mengalami ansietas perilaku dan tindakan sosial maladaptive yang
banyak ditemukan meliputi sikap kurang kooperatif dalam menjalankan
treatment, sikap tertutup dan menghindar.
217
kemampuan melakukan tindakan yang adekuat dalam menyelesaikan
stressor yang dialami. Seluruh kemampuan ini digunakan dalam rangka
mengontrol kondisi ansietas yang dirasakan oleh individu dan
caregiver.
Aset material yang dapat diperoleh pada klien dan caregiver dengan
ansietas meliputi dukungan finansial yang membantu perawatan anak/
anggota keluarga di rumah sakit, meliputi ketersediaaan dana baik dari
asuransi maupun tabungan. Tidak terpenuhinya asset material akan
berpotensi menimbulkan ansietas pada klien dan caregiver akibat tidak
optimalnya sumber koping yang dimiliki oleh keluarga.
218
(5) Mekanisme Koping
Ketidakmampuan seseorang untuk mengatasi ansietas secara
konstruktif akan menyebabkan perilaku patologis. Untuk menetralisasi
ansietas seseorang mengembangkan pola koping. Pola ini digunakan
untuk mengatasi ansietas ringan ketika ansietas menjadi lebih intensif.
Ansietas memainkan peran utama dalam psikogenesis dari penyakit
emosional karena gejala penyakit berkembang sebagai upaya
pertahanan terhadap ansietas. Mekanisme koping dapat dikategorikan
sebagai task-oriented reaction dan ego ariented reaction. Task-oriented
reaction adalah berpikir, mencoba berhati-hati untuk menyelesaikan
masalah, menyelesaikan konflik dan memberikan kepuasan. Task-
oriented reaction berorientasi dengan kesadaran secara langsung dan
tindakan. Contoh dari mekanisme koping task oriented reaction yang
dapat dilakukan pada keluarga dengan ansietas adalah dengan berbicara
dengan tenaga profesional dan orang lain yang dapat membantu
keluarga dalam mengatasi ansietas yang dialami terkait anak/ anggota
keluarga yang dirawat di rumah sakit.
219
Sumber dan mekanisme koping yang dimiliki oleh klien dan caregiver
dalam menghadapi stressor dapat dijadikan sebagai dasar bagi perawat
dalam menyusun rencana keperawatan bagi klien dan caregiver dengan
masalah ansietas. Sumber koping dan mekanisme koping positif yang
dimiliki oleh klien dan caregiver digunakan sebagai dasar bagi perawat
untuk menyusun kegiatan yang bertujuan untuk menguatkan
kemampuan klien dan caregiver. Sedangkan sumber koping dan
mekanisme koping yang negatif digunakan sebagai dasar penyusunan
kegiatan melatih ketrampilan dan kemampuan klien dan caregiver.
Selain sumber koping dan mekanisme koping, penilaian stressor juga
dapat digunakan sebagai dasar penyusunan rencana keperawatan pada
klien dan caregiver dengan ansietas. Terapi yang diberikan berdasarkan
pendekatan penilaian stressor tergantung pada pendekatan aspek
kognitif, afektif, fisiologis, perilaku dan sosial yang dimiliki oleh klien
dan caregiver.
220
a. Mekanisme Koping
Adaptif Maladaptif
1) Bicara dengan orang lain 1) Minum alkohol
2) Mampu menyelesaikan 2) Reaksi lambat/berlebih
masalah 3) Bekerja berlebihan
3) Tehnik relaksasi 4) Menghindar
4) Aktivitas konstruktif 5) Mencederai diri
5) Olah raga 6) Lainnya
6) Lainnya
2) Diagnosa Keperawatan
Pengkajian dengan menggunakan model adaptasi stress Stuart yang
adekuat dapat menjadi dasar untuk menetapkan diagnosa keperawatan
berdasarkan posisi rentang respon ansietas. Kemampuan menetapkan
kualitas dan kuantitas ansietas yang dialami menentukan ketepatan
dalam memformulasikan diagnosa keperawatan. Masalah akan muncul
ketika respon yang ditampilkan oleh klien dan caregiver tidak sesuai
221
dengan ukuran normal dan menunjukkan penilaian terhadap stresor yang
tidak realistik.
222
Penetapan diagnosa keperawatan ansietas dilakukan dengan
mamperhatikan bahwa pada asuhan keperawatan pada kasus ansietas
harus tetap memperhatikan seluruh gejala yang berkontribusi terhadap
masalah ansietas. Beberapa diagnosa keperawatan yang dapat
ditegakkan pada pasien dengan ansietas adalah ansietas, gangguan pola
tidur, gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan, dan masih banyak lagi
diagnosa keperawatan yang lainnya.
3) Intervensi Keperawatan
Perencanaan intervensi keperawatan dapat dilakukan dengan
memperhatikan gejala yang dimunculkan pada kasus tersebut. Sebagai
contoh ketika kita menemukan seorang pasien yang menunjukkan
gejala dada berdebar-debar, gelisah, tidak bisa konsentrasi kecuali
dengan stimulasi yang berulang dan mengatakan cemas maka perawat
harus mengarahkan pada tindakan keperawatan yang tepat. Jika kita
menilik pada kasus tersebut maka kita dapat menyimpilkan bahwa
pasien sedang berada pada cemas sedang. Maka pertanyaan kita
selanjutnya adalah apa kemampuan personal yang masih dimiliki oleh
pasien saat ini, siapa orang yang paling dekat dengan pasien atau siapa
sumber pendukungnya, serta aset material apa yang dimiliki oleh
pasien. Dengan demikian kita selanjutnya dapat menetapkan kriteria
hasil yang harus dicapai untuk menyelesaikan kasus tersebut. Baru
setelah itu kita bisa menetapkan tindakan apa saja yang dapat kita
lakukan untuk mencapai setiap kriteria hasil yang telah kita tetapkan.
Indikator 1 2 3 4 5
Monitor intensitas ansietas yang dialami
223
Pasien dapat mencapai scor 5 dalam mengatasi masalahnya
Indikator 1 2 3 4 5
Monitor intensitas ansietas yang dialami
Menggunakan teknik relaksasi untuk
menurunkan ansietas
Menurunkan stimulus lingkungan ketika terjadi
ansietas
Mempertahankan hubungan social
Menggunakan strategi koping yang efektif
Keterangan:
1: tidak pernah
2: jarang
3: kadang-kadang
4: sering
5: selalu
Kriteria Hasil Tindakan
Monitor intensitas a. Identifikasi pengalaman ansietas yang
ansietas yang dialami dialami oleh klien (aspek yang menimbulkan
ansietas, waktu, frekuensi, respon yang
dirasakan baik secara fisik, kognitif, afektif,
perilaku dan sosial)
Menggunakan teknik b. Identifikasi tingkatan ansietas
relaksasi untuk c. Ajarkan klien satu teknik reduksi ansietas:
menurunkan ansietas tarik napas dalam
Menurunkan stimulus a. Ajarkan klien satu teknik reduksi ansietas:
lingkungan ketika guide imajery
terjadi ansietas
Mempertahankan a. Ajarkan klien satu teknik reduksi ansietas:
hubungan sosial komunikasi terbuka
224
Menggunakan strategi a. Ajarkan klien satu teknik reduksi ansietas:
koping yang efektif memanfaatkan dukungan spiritual
4) Implementasi
Peran perawat dalam implementasi terhadap klien dengan masalah
ansietas tergantung pada seting klien yang mendapat perawatan.
Intervensi yang diberikan diharapkan dapat berguna bagi klien dalam
mengatasi ansietas di seting tertentu. Amenta dan Bohnet (1986)
menyatakan ada 4 instrumen yang dapat digunakan dalam membantu
perawat dalam mengimplementasikan asuhan keperawatan yaitu
kebutuhan untuk mendengarkan, kehadiran perawat, kemampuan
perawat untuk menerima apa yang perawat sampaikan dan
menggunakan diri secara bijaksana.
Berikut ini kegiatan standar yang dapat dilakukan pada klien dengan
ansietas yang diberikan oleh perawat generalis dimana setiap satu kali
interaksi telah mencakup tiga aspek kemampuan yaitu kognitif, afektif
dan psikomotor.
225
Tabel Strategi Implementasi Tindakan Generalis Pada Klien dengan
Ansietas
Interaksi Tindakan
1 a. Identifikasi pengalaman ansietas yang dialami oleh klien
(aspek yang menimbulkan ansietas, waktu, frekuensi,
respon yang dirasakan baik secara fisik, kognitif, afektif,
perilaku dan sosial)
b. Identifikasi tingkatan ansietas
c. Ajarkan klien satu teknik reduksi ansietas: tarik napas
dalam
d. Buat jadwal kegiatan bersama klien
226
dalam bentuk terapi psikofarmaka, tenaga administrasi dalam bentuk
prosedur administrasi dan tim kesehatan lain.
5) Evaluasi Hasil
Salah satu aspek yang sulit diterapkan dalam asuhan keperawatan adalah
mengukur pencapaian. Beberapa masalah keperawatan yang berkaitan
dengan fisik biasanya akan lebih mudah diukur dengan alat tertentu.
Evaluasi asuhan keperawatan dengan masalah ansietas biasanya dengan
menggunakan alat yang terkait dengan karakteristik ansietas dengan
menggunakan skala tertentu. Alat yang digunakan adalah standar tingkat
ansietas. Absensi tanda dan gejala ansietas merupakan indikator
keberhasilan tindakan keperawatan yang diberikan. Idealnya seorang
perawat mengevaluasi pencapaian yang dicapai oleh klien disetiap
interaksi dengan klien.
227
228
BAB 10
BEBERAPA INTERVENSI KEPERAWATAN PADA
MASALAH PSIKOSOSIAL
Tujuan Intruksional
Setelah membaca bagian ini, mahasiswa mampu:
1) Memahami tehnik komunikasi keperawatan untuk kecemasan, dan
depresi
2) Mendemonstrasikan tehnik pengurangan cemas
3) Mendemonstrasikan tehnik relaksasi progresif
4) Mendemonstrasikan tehnik imajinasi terbimbing
5) Memahami tehnik terapi music pada klien cemas
Beberapa masalah psikososial yang terjadi akibat bencana antara lain cemas,
depresi, kehilangan dan berduka. Berikut ini merupakan berbebrapa standar
operasional prosedur (SOP) yang disusun secara berurutan terkait dengan
kecemasan, kehilangan dan berduka
1. Kecemasan
a. SOP komunikasi dengan pasien yang mengalami kecemasan
b. SOP pengurangan cemas
c. SOP relaksasi progresif
d. SOP imajinasi terbimbing
e. SOP terapi musik
2. Kehilangan
a. SOP komunikasi dengan klien depresi
229
a. SOP komunikasi dengan pasien cemas
Persiapan :
Mengeksplorasi perasaan, harapan dan kecemaasn,
sebelum berinteaksi dengan pasien, perawat perlu
mengkaji perasaannya sendiri.
Mengkaji faktor penyebab ansietas pasien
Mengkaji faktor yang mempengaruhi komunikasi
seperti waktu, tempat, nilai, budaya, keterlibatan orang
lain, pengalaman pasien
Mengkaji tingkat ansietas pasien
Melibatkan anggota keluarga untuk menanyakan
penyebab ansietas pasien
Prosedur:
1. Ciptakan iklim kehangatan dan suasana yang
menunjang kenyamanan
230
2. Sapa pasien dan perkenalkan diri dengan jelas
3. Gunakan respon non-verbal yang sesuai seperti jaga
kontak mata dengan pasien
4. Kaji respon non-verbal dan bahasa tubuh pasien
5. Jelaskan tujuan interaksi
6. Jadilah pendengar yang baik
7. Diskusi dengan pasien untuk memberi informasi
mengenai strategi koping seperti relaksasi progresif,
latihan nafas dalam, dan visualisasi
Perhatian:
1. Kaji tanda dan gejala dari ansietas yang ditunjukkan
pasien
2. Anjurkan pasien untuk berbagi dengan perawat saat
pasien cemas
3. Kaji kemampuan pasien untuk mengambil keputusan
secara mandiri
4. Kaji kemampuan pasien dalam mereduksi/ mengurangi
faktor-faktor penyebab ansietas
231
Home Care
2. Pelayanan Medis
Prosedur Persiapan Alat / Lingkungan:
1. Tempat yang menunjang privasi pasien
2. Minimalkan distraksi
3. Libatkan tim kesehatan dan anggota keluarga
Persiapan :
Eksplorasi perasaan, harapan dan kecemasan,
sebelum berinteraksi dengan pasien (perawat perlu
mengkaji perasaannya sendiri)
Kaji faktor penyebab depresi pasien
Kaji faktor yang mempengaruhi komunikasi seperti
waktu, tempat, nilai, budaya, keterlibatan orang
lain, pengalaman pasien
Prosedur:
1. Ciptakan iklim kehangatan dan suasana tenang yang
menunjang kenyamanan
2. Sapa pasien dan perkenalkan diri dengan jelas
3. Gunakan respon non-verbal yang sesuai seperti jaga
kontak mata dengan pasien
4. Kaji respon non-verbal dan bahasa tubuh pasien
5. Jelaskan tujuan interaksi
6. Gunakan pendekatan empati dan utamakan
kejujuran
7. Diskusikan aspek positif yang dimiliki pasien
8. Gunakan teknik pertanyaan terbuka untuk menggali
permasalahan pasien
9. Beri reinforcement positif (pujian) pada aspek
positif pasien
10. Temani pasien untuk melakukan aktifitas sehari-
hari khususnya pada klien dengan depresi berat
11. Identifikasi keinginan bunuh diri pada pasien dan
susun perencanaan tindakan untuk mengatasinya
Perhatian:
1. Kaji tanda dan gejala dari depresi yang ditunjukkan
pasien
232
2. Anjurkan pasien untuk berbagi dengan perawat saat
pasien merasakan depresi
3. Kaji kemampuan pasien untuk mengambil keputusan
secara mandiri
4. Kaji kemampuan pasien dalam mereduksi/
mengurangi faktor-faktor penyebab depresi
Persiapan :
Mengeksplorasi perasaan, harapan dan kecemasan,
sebelum berinteaksi dengan klien, perawat perlu
mengkaji perasaannya sendiri.
233
Mengkaji faktor kecemasan klien
Mengkaji faktor yang mempengaruhi komunikasi seperti
waktu, tempat, nilai, budaya, keterlibatan orang lain,
pengalaman klien
Melibatkan anggota keluarga untuk menanyakan
penyebab kecemasan dari klien
Prosedur:
1. Gunakan pendekatan yang menenangkan
2. Dengan jelas tetapkan harapan-harapan terhadap
perilaku pasien
3. Jelaskan semua prosedur, termasuk perasaan yang
muncul selama prosedur dilakukan
4. Pahami perspektif pasien terhadap situasi stress
5. Berikan informasi yang faktual mengenai diagnosa,
prognosa, dan tindakan yang akan dilakukan
6. Temani pasien untuk memberikan keamanan dan
mengurangi rasa takut
7. Dukung keluarga untuk menemani pasien, jika
diperlukan
8. Dorong pasien untuk melakukan aktivitas yang non
kompetitif
9. Dengarkan pasien dengan penuh perhatian
10. Dorong aktivitas pasien, jika diperlukan
11. Ciptakan lingkungan yang nyaman untuk
memfasilitasi rasa percaya pada pasien
12. Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan,
persepsi, dan ketakutan
13. Identifikasi perubahan tingkat kecemasan pada pasien
14. Berikan aktivitas yang bervariasi untuk mengurangi
tekanan misalnya back atau neck rub
15. Bantu pasien untuk mengidentifikasi situasi yang
dapat menimbulkan kecemasan
16. Kontrol stimulus, jika diperlukan untuk kebutuhan
pasien
17. Dorong pasien menggunakan mekanisme pertahanan
234
yang sesuai
18. Bantu pasien untuk menyusun harapan yang realistis
terhadap kejadian yang akan datang
19. Dorong pasien dalam kemampuannya membuat
keputusan
20. Ajarkan pasien untuk menggunakan tehnik relaksasi
21. Berkolaborasi dengan dokter, berikan obat untuk
menurunkan kecemasan, jika diperlukan
22. Kaji tanda verbal dan non verbal kecemasan pada
klien
Perhatian:
1. Kaji tanda dan gejala dari kecemasan yang ditunjukkan
klien
2. Kaji kemampuan klien untuk mengambil keputusan
secara mandiri
3. Anjurkan klien untuk sharing kepada perawat saat klien
cemas
235
3. Penunjang Medis (Instalasi Farmasi)
236
2. Catatan keperawatan
238
seluruh tubuh kita. Efektifitas energi bagi kehidupan secara biologis akan
mempengaruhi efektifitas kehidupan secara psikis, perilaku maupun sosial.
Sehingga sangat dipahami potensi oksigen dalam pernapasan baik bagi
kehidupan seseorang secara fisik maupun psikososial terutama dalam
menghadapi stres.
Pada waktu kita menarik napas, udara dihirup ke dalam melalui hidung dan
dihangatkan selaput lendir rongga hidung. Bulu hidung menyaring kotoran
dan dikeluarkan pada saat menghembuskan napas (Davis, dkk, 1995). Pada
keadaan istirahat frekuensi pernapasan manusia normal berkisar antara 12 –
15 kali permenit. Satu kali bernapas lima ratus mililiter udara, atau 6 – 8 L
udara per menit dimasukkan dan dikeluarkan dari paru-paru. Udara ini akan
bercampur dengan gas yang terdapat dalam alveoli, dan selanjutnya O 2
masuk ke dalam darah di kapiler paru, sedangkan CO2 masuk ke dalam
alveoli, melalui proses difusi sederhana. Dengan cara ini, sekitar 250 mL
O2 per menit masuk ke dalam tubuh dan 200 mL CO2 akan dikeluarkan
(Ganong, 1999). Pada saat darah meninggalkan paru menuju jantung,
warnanya merah cerah karena mengandung oksigen yang tinggi (kurang
lebih 25%). Darah dipompa keluar jantung dan didistribusikan ke seluruh
tubuh untuk dipergunakan dalam proses kehidupan sel dan kehidupan
individu secara umum.
Proses Pernapasan
Sistem pernapasan terdiri dari organ pertukaran gas (paru-paru) dan pompa
ventilasi paru. Pompa ventilasi paru terdiri atas dinding dada; otot
pernapasan, yang meningkatkan dan menurunkan ukuran rongga dada;
pusat pernapasan di otak yang mengendalikan otot pernapasan; serta jaras-
jaras dan saraf yang menghubungkan pusat pernapasan dengan otot
239
pernapasan. Proses pernapasan memiliki dua mekanika yaitu inspirasi dan
ekspirasi.
Jumlah udara yang masuk ke dalam paru setiap inspirasi ( atau yang keluar
saat ekspirasi dinamakan volume alun napas (tidal volume) sebesar 0,5 L
pria dan wanita relatif sama. Jumlah udara yang masih dapat masuk ke
dalam paru pada inspirasi maksimal, setelah inspirasi biasa disebut volume
cadangan inspirasi (3,3 L laki-laki dan 1,9 L perempuan), sedangkan
jumlah udara yang dapat dikeluarkan secara aktif dari paru melalui
kontraksi otot ekspirasi, setelah ekspirasi biasa disebut volume cadangan
ekspirasi (1,0 L laki dan 0,7 L perempuan). Dan udara yang masih
240
tertinggal di paru setelah ekspirasi maksimal disebut volume residu (1,2 L
laki-laki dan 1,1 L perempuan). Ruang udara yang tidak ikut serta dalam
proses pertukaran gas dengan darah kapiler paru disebut ruang rugi
pernapasan. Pada tiap pernapasan normal volume gas ruang rugi setara
dengan BB dalam pon. Bila seseorang berat badan 150 pon (68 kg) maka
volume udara inspirasi maupun ekspirasi yang 500 mL itu sebanyak 350
mL yang ikut perfusi di alveoli dan sisanya 150 mL menempati ruang rugi.
Perlu diperhatikan bahwa akibat adanya ruang rugi, pernapasan cepat dan
dangkal menghasilkan ventilasi alveolar yang lebih rendah dibandingkan
pernapasan lambat dan dalam, untuk volume pernapasan semenit yang
sama (Ganong, 1999). Hal itu berarti bahwa pernapasan cepat dan dangkal
akan menghasilkan jumlah udara yang mencapai alveolus permenit
(ventilasi alveolar) lebih kecil dibandingkan volume pernapasan semenit.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa pernapasan yang dalam dan
lambat akan lebih menguntungkan.
241
Lebih jauh latihan pernapasan telah diketahui efektif menurunkan sifat
cepat marah, atau cepat tersinggung, ketegangan otot dan kelelahan.
Latihan pernapasan juga digunakan untuk perawatan dan pencegahan
gangguan pernapasan, hiperventilasi, napas pendek, dan kaki serta tangan
yang dingin. Walaupun latihan pernapasan dapat dipelajari dalam beberapa
menit, dan beberapa manfaat dapat segera dirasakan, namun manfaat yang
dalam mungkin sekali dapat diraih setelah kita berlatih cukup lama
(berbulan) dengan disiplin dan berkseinambungan.
Kesadaran Pernapasan
Latihan ini merupakan pembuka sebagai wahana untuk membuka
kesadaran dan konsentrasi terhadap latihan yang akan dijalankan. Latihan
ini meliputi :
1. Posisi tubuh telentang atau rebah di atas permadani atau tempat tidur
dengan sikap yang rileks dan posisi kaki lurus, sedikit renggang, telapak
kaki mengararah ke luar dengan nyaman. Kedua tangan di sisi tubuh,
tidak menyentuh tubuh, telapak tangan mengarah ke atas, dan mata
dipejamkan.
2. Posisi tubuh telentang atau rebah di atas permadani atau tempat tidur
dengan sikap yang rileks dan posisi kaki lurus, sedikit renggang, telapak
kaki mengararah ke luar dengan nyaman. Kedua tangan di sisi tubuh,
tidak menyentuh tubuh, telapak tangan mengarah ke atas, dan mata
dipejamkan.
3. Letakkan tangan di atas perut dan konsentrasi diarahkan pada gerak naik
turunnya perut pada tiap hembusan napas.
4. Usahakan bernapas dengan hidung, bila perlu bersihkan rongga hidung
sebelum pelatihan
5. Amati tubuh anda yang tegang, khususnya tenggorokan, dada dan perut.
242
Pernapasan Dalam
1. Sikap berbaring/rebah di atas lantai/tikar atau tempat tidur, tekuk kedua
lutut dan regangkan kedua kaki lebih kurang 8 inchi, dengan jari
mengarah keluar. Pastikan bahwa tulang belakang lurus.
2. Amati tubuh kita yang dirasakan tegang, dengan meletakkan satu tangan
di atas perut dan tangan lainnya di atas dada.
3. Tarik napas pelan-pelan dan dalam melalui hidung masuk ke dalam
perut dan hembuskan melalui mulut,ciptakan ketenangan, relaks,
desingkan udara seperti angin seraya meniupkan udara dengan lembut
keluar. Fokuskan pada bunyi dan aliran udara pernapasan yang keluar.
4. Lanjutkan napas dalam selama lima atau sepuluh menit setiap kali, satu
atau dua kali sehari, selama dua kali seminggu, kemudian bisa
diperpanjang waktnya sampai 20 menit.
5. Pada setiap kali pernapasan dalam, gunakan waktu sejenak untuk
mengamati ketegangan tubuh anda, bandingkan antara kondisi sebelum
dan setelah latihan.
6. Bila anda sudah terbiasa latihan napas dalam/ pernapasan perut, lakukan
setiap saat anda menginginkannya atau ketika kondisi fisik atau psikis
dirasakan ada ketegangan, pada posisi duduk atau berdiri.
243
3. Evaluasi, tanyakan perasaan klien, bagaimana, apakah ada perasaan lega
di dada atau tempat yang dirasakan tegang sebelumnya. Berikan pujian
dan lanjutkan kegiatan berikutnya.
3. Cara kerja
a. Gunakan posisi yang nyaman, posisi setengah duduk.
b. Tekuk lutut untuk meningkatkan kenyamanan.
c. Letakan satu atau kedua tangan di atas perut tepat
dibawah tulang rusuk.
d. Tarik napas melalui hidung, mulut tertutup.
e. Tahan dan rasakan rongga dada dan perut penuh
244
dengan udara.
f. Keluarkan udara secara perlahan melalui mulut.
Hitung sampai 7
c. Cara kerja
1. Siapkan tempat yang akan digunakan
2. Klien berada di posisi dapat duduk maupun tiduran.
3. Taruh aromaterapi yang dipilih dekat dengan posisi
klien tapi jangan terlalu dekat mata.Pejamkan mata
sambil menikmati hirupan minyak aromaterapi.
Memejamkan mata diperlukan untuk membantu
245
membangun imajinasi untuk memaksimalkan kerja
minyak esensial yang dipakai
3) Indikasi
a) Cemas
b) Gangguan tidur (Insomnia)
c) Perilaku kekerasan
4) Kontraindikasi
Psikosis aktif atau ketidakmampuan mengenal realita
5) Pelaksanaan
a) Alat dan bahan
AVA (musik slow)
Tempat tidur/kursi,
246
Bantal
b) Langkah-langkah
Fase orientasi
1) Salam terapeutik (perkenalan)
2) Validasi/evaluasi : Kaji status mental, adanya defisit sensori
(pendengaran, penglihatan, atau defisit neurologi yang lain),
masalah medis dan emosional.
3) Kontrak :
Waktu : tidak boleh terputus selama 15-30 menit
Tempat : terapeutik
Topik : relaksasi progresif
Jelaskan prosedur, manfaat, tujuan, dan pelaksanaan
tindakan. Anjurkan klien merasakan perubahan tubuhnya dan
jangan memikirkan masalahnya, Yakinkan klien merasa
nyaman saat relaksasi. Jika sensasi menjadi tidak nyaman
klien dapat membuka matanya untuk reorientasi diri.
Sarankan untuk berpartisipasi dengan baik. Prosedur ini akan
lebih bermanfaat bila ada keterlibatan klien. Jelaskan bahwa
perawat hanya membimbing, besarnya manfaat yang
diperoleh tergantung diri klien.
Fase kerja
1) Atur posisi klien pada tempat duduk atau ditempat tidur yang
nyaman
2) Redupkan ruangan dan putar musik yang lembut dg vol.
pelan
3) Instruksikan klien tutup mata,
4) Anjurkan tarik nafas dalam hembuskan secara perlahan (3-6
X) dan katakan rileks (Saat menginstruksikan pertahankan
nada suara lembut)
5) Mulai proses kontraksi dan relaksasi otot diiringi tarik nafas
dan hembuskan secara perlahan meliputi :
Wajah, rahang, mulut ( kedipkan mata, dan kerutkan
dahi, wajah lalu rileks)
Leher (tarik dagu ke arah leher lalu rileks)
247
Tangan kanan (genggam kuat-kuat lalu rileks)
Lengan kanan (kontaksikan lalu rileks)
Tangan kiri (genggam lalu rileks)
Lengan kiri ( tegangkan lalu rileks)
Punggung, bahu, dada (angkat bahu lalu rileks)
Abdomen (angkat abdomen lalu rileks)
Tungkai kanan (tekan kebawah dengan kuat lalu rileks)
kaki kanan (cengkramkan jari-jari lalu rileks)
Tungkai kiri (tekan kebawah dengan kuat lalu rileks)
kaki kiri (cengkramkan jari-jari lalu rileks)
(ulangi prosedur kontraksi-relaksasi diatas 3-6 X gerakan)
6) Nafas secara rileks 3 X lalu gerakkan kaki, tangan, lengan,
tungkai, & buka mata kembali
Fase terminasi
1) Evaluasi (subyektif dan obyektif) perasaan, tingkat
ketegangan, dan rileks klien
2) Tindak lanjut : anjurkan klien melakukan prosedur bila
mengalami ketegangan
3) Kontrak akan datang waktu, tempat, topik (bila masih
diperlukan)
j. Terapi visualisasi
1) Pendahuluan
Terapi visualisasi merupakan proses yang menggunakan imajinasi
untuk menciptakan gambaran diri yang nyata mungkin dari keadaan
atau perilaku baru yang ingin kita bentuk. Secara berkala kegiatan
difokuskan pada perhatian tentang gambaran-gambaran mental
tersebut, sehingga diharapkan bisa menjadi kenyataan.
248
Setiap orang berhayal,melamun,mengenang dan berbicara pada diri
sendiri merupakan jenis visualisasi.Seseorang dapat menguatkan
visualisasi ini dan secara sadar memakainya untuk memperbaiki diri
dan kehidupannya.Visualisasi yaitu kesan batin yang diciptakan
dengan sadar dapat melatih diri untuk menjadi rileks dan mengabaikan
stres.
2) Pengertian
Visualisasi adalah bentuk tenaga yang menciptakan kehidupan dan
kenyataan hidup, dimana segala sesuatu adalah tenaga dan pikiran kita
yang menciptakan dunia kita. ( Gawain,Shakti,1978) Visualisasi
adalah salah satu tehnik yang digunakan untuk mengatasi stres dan
ansietas. (Mohr,2006)
3) Tujuan
Tujuan terapi visualisasi yang dikembangkan pada panduan ini
difokuskan kepada
klien dengan ansietas yaitu untuk relaksasi dan menurunkan ansietas.
4) Indikasi
Terapi visualisasi efektif dalam menanggulagi berbagai stres terkait
dan penyakit fisik termasuk sakit kepala, kram otot, nyeri kronis dan
secara umum atau kondisi khusus ansietas tidak dalam rentang panik
dan menurunnya harga diri. Terapi ini dapat dilakukan pada klien
dengan diagnosa keperawatan ansietas ringan sampai berat , harga diri
rendah sementara, dimana kondisi klien masih dapat berkomunikasi
dengan baik serta menyadari kebutuhan akan pemulihan terhadap
stress yang dialaminya.
249
5) Jenis Visualisasi
Ada tiga jenis visualisasi untuk berubah :
a) Menerima visualisasi
Dapat dilakukan dengan tehnik relaks, kosongkan pikiran,
membuat seketsa pemandangan yang samar-samar, memberikan
pertanyaan dan tunggu jawabannya. Anda mungkin
membayangkan berada dipantai,angin sepoi-sepoi menerpa kulit
anda. Anda dapat bertanya “Mengapa saya tidak dapat relaks?”
Jawabanya mungkin muncul dalam kesadaran anda.”Karena anda
tidak dapat mengatakan tidak kepada orang lain.”
b) Program visualisasi
Program visualisasi ini dapat dilakukan dengan tehnik membuat
satu gambar, penuhi dengan pengelihatan, rasa, dan bau.
Bayangkan tujuan yang ingin anda capai atau penyembuhan yang
ingin anda percepat.
c) Panduan visualisasi
Panduan visualisasi dilakukan dengan tehnik membayangkan
diri anda secara rinci, tetapi abaikan elemen yang kritis.
Kemudian tunggu alam bawah sadar,atau bimbing dari dalam
diri anda untuk menunjukkan bagian yang hilang dari diri anda.
Anda dapat membayangkan mengunjungi tempat yang khusus
dimana anda merasa senang untuk rileks. Anda dapat
menciptakan konsep bau,rasa,rabaan, dan pandangan yang
berkaitan dengan tempat tersebut.
250
7) Proses Kegiatan/pelaksanaan “panduan visualisasi” untuk ansietas
b. Orientasi
1). Salam terapeutik
- Salam dari terapis untuk klien
2). Evaluasi/validasi
- Mengeksplorasi perasaan klien
- Menanyakan masalah yang dihadapi klien.
3) Kontrak
251
- Salam dari terapis untuk klien
2). Evaluasi/validasi
- Mengeksplorasi perasaan klien
- Menanyakan masalah yang dihadapi klien.
3) Kontrak
- Menjelaskan tujuan dari terapi dan kegiatan yang akan
dilakukan untuk menurunkan kecemasan yang dihadapi oleh
klien dengan
Intervensi bantuan terapis
Keperawatan pada Masalah Psikososial 213
- Menjelaskan langkah-langkah dari terapi dan aturan terapi yang
akan dilaksanakan klien.
- Menjelaskan waktu terapi adalah 15 menit
c. Tahap Kerja
1) Terapis memberikan contoh dengan mengambil posisi sesuai
dengan keinginan seperti duduk tegak tetapi rileks atau dapat
juga dilakukan dengan berbaring
2) Terapis kemudian memejamkan mata dengan perlahan dan
menarik nafas dalam serta menghembuskannya secara perlahan
dan membayangkan atau menggambarkan diri pada suasana atau
situasi yang menyenangkan atau berada pada tempat yang damai,
penuh ketenangan.
3) Minta klien mengambil posisi seperti terapis sesuai dengan
keinginan seperti duduk tegak tetapi rileks atau dapat juga
dilakukan dengan berbaring. Yakinkan sekali lagi klien dalam
posisi yang rileks.
4) Pandu klien untuk memejamkan mata dengan perlahan dan
menarik nafas dalam serta menghembuskannya secara perlahan.
5) Memberikan arahan pada klien untuk membayangkan atau
menggambarkan diri pada suasana atau situasi yang
menyenangkan atau berada pada tempat yang damai, penuh
ketenangan.
6) Arahkan visualisasi pada klien untuk menggambarkan secara
detail tentang suasana seperti pantai yang tenang adalah salah
satu tujuan mental yang ideal bagi kebanyakan orang.
7) Bayangkan diri anda beristirahat dipasir pantai, rasakan matahari
pada kulit anda,sang ombak menghempas pantai, suara burung
camar, angin yang berhembus sepoi-sepoi dan lihatlah kapal
yang berlayar dari kejauhan.
8) Arahkan klien untuk dapat membayangkan tempat mana saja
yang paling indah, yang paling damai dan dapat membawa
ketenangan bagi dirinya.
Evaluasi
a. Kemampuan Klien
- Ekspresi verbal dan non verbal klien selama melakukan
terapi.
- Mengevaluasi pencapaian tujuan dilakukan selama proses
berlangsung.
b. Refleksi Perawat
- Modifikasi rencana tindakan dan komunikasi terapeutik
seseuai dengan kondisi.
- Membuat persiapan untuk kontrak berikutnya
Nama Klien:..............................
Kemampuan Komunikasi Verbal
No Aspek yang dinilai Nilai Keterangan
1 Ungkapan masalah secara spontan
2 Ekspresi perasaan dan pikiran
3 Ungkapan dengan jujur dan jelas
4 Mampu berkonsentrasi
253
5 Ungkapan cemas menurun
6 Beri pujian /umpan balik
7 Sepakat jadwal latihan visualisasi
1 Memejamkan mata
2 Ekspresi wajah
3 Otot-otot terlihat melemas/rileks
4 Tulis jadwal
c. Dokumentasi
- Terapis mendokumentasikan pencapaian hasil dari terapi yang
berlangsung.
- Terapi mendokumentasikan rencana kegiatan yang akan
dilakukan
- Mendokumentasikan kegiatan dalam buku kegiatan klien.
254
Alat
a. Alat yang diperlukan dalam terapi ini adalah diri perawat dan
kemampuan untuk dapat berkomunikasi terapeutik.
b. Alat tulis dan buku/kertas
c. Kursi untuk perawat dan klien atau tempat tidur klien
Methode
a. Metode yang digunakan diskusi dan tanya jawab
b. Pemberian reward
b. Orientasi
1). Salam terapeutik
- Salam dari terapis untuk klien
2). Evaluasi/validasi
- Mengeksplorasi perasaan klien
- Menanyakan masalah yang dihadapi klien terkait dengan
PR yang diberikan
3) Kontrak
- Menjelaskan tujuan dari terapi dan kegiatan yang akan
dilakukan untuk menurunkan kecemasan yang
dihadapi oleh klien
- Menjelaskan langkah-langkah dari terapi dan aturan
terapi yang akan dilaksanakan klien.
- Menjelaskan waktu terapi adalah 15 menit
c. Tahap Kerja
1) Klien dimintai secara mandiri mengambil posisi sesuai
dengan keinginan seperti duduk tegak tetapi rileks atau
dapat juga dilakukan dengan berbaring. Yakinkan sekali lagi
klien dalam posisi yang rileks.
255
2) Pandu klien untuk memejamkan mata dengan perlahan dan
menarik nafas dalam serta menghembuskannya secara
perlahan.
3) Memberikan arahan pada klien untuk membayangkan atau
menggambarkan diri pada suasana atau situasi yang
menyenangkan atau berada pada tempat yang damai, penuh
ketenangan.
4) Arahkan visualisasi pada klien untuk menggambarkan secara
detail tentang suasana seperti pantai yang tenang adalah
salah satu tujuan mental yang ideal bagi kebanyakan orang.
5) Bayangkan diri anda beristirahat dipasir pantai, rasakan
matahari pada kulit anda,sang ombak menghempas pantai,
suara burung camar, angin yang berhembus sepoi-sepoi dan
lihatlah kapal yang berlayar dari kejauhan.
6) Arahkan klien untuk dapat membayangkan tempat mana saja
yang paling indah, yang paling damai dan dapat membawa
ketenangan bagi dirinya.
7) Terapis melakukan observasi sambil memberikan petunjuk
minimal terhadap klien
d. Terminasi
1) Evaluasi
- Menanyakan perasaan klien setelah menjalani terapi
- Memberi pujian yang sesuai
2) Rencana Tindak lanjut
- Menganjurkan klien untuk melakukan terapi ini secara
berulang 3 kali sehari atau sesuai dengan kebutuhan
klien
- Menganjurkan klien untuk bertanya pada terapis jika
mengalami kesulitan atau masalah.
3) Kontrak yang akan datang
- Terapis membuat kesepakatan topik yang akan dibahas
pada pertemuan berikutnya yaitu melakukan visualisasi
tanpa bantuan terapis
- Terapis membuat kesepakatan waktu,tempat untuk
pertemuan yang akan datang
256
Evaluasi
a. Kemampuan Klien
- Ekspresi verbal dan non verbal klien selama melakukan
terapi.
- Mengevaluasi pencapaian tujuan dilakukan selama proses
berlangsung.
b. Refleksi Perawat
- Modifikasi rencana tindakan dan komunikasi terapeutik
seseuai dengan kondisi.
- Membuat persiapan untuk kontrak berikutnya
Nama Klien:..............................
Kemampuan Komunikasi Verbal
No Aspek yang dinilai Nilai Keterangan
1 Ungkapan masalah secara spontan
2 Ekspresi perasaan dan pikiran
3 Ungkapan dengan jujur dan jelas
4 Mampu berkonsentrasi
5 Ungkapan cemas menurun
6 Beri pujian /umpan balik
7 Sepakat jadwal latihan visualisasi
1 Memejamkan mata
2 Ekspresi wajah
3 Otot-otot terlihat melemas/rileks
4 Tulis jadwal
257
c. Dokumentasi
- Terapis mendokumentasikan pencapaian hasil dari terapi
yang berlangsung.
- Terapi mendokumentasikan rencana kegiatan yang akan
dilakukan
- Mendokumentasikan kegiatan dalam buku kegiatan klien.
Setting
a. Klien dapat melakukan dengan cara duduk tegak tetapi nyaman,
atau dapat juga dengan posisi berbaring
b. Ruangan dalam kondisi,tenang,aman dan nyaman
Alat
a. Alat yang diperlukan dalam terapi ini adalah diri perawat dan
kemampuan untuk dapat berkomunikasi terapeutik.
b. Alat tulis dan buku/kertas
c. Kursi untuk perawat dan klien atau tempat tidur klien
Methode
a. Metode yang digunakan diskusi dan tanya jawab
b. Pemberian reward
258
b. Orientasi
1). Salam terapeutik
- Salam dari terapis untuk klien
2). Evaluasi/validasi
- Mengeksplorasi perasaan klien
- Menanyakan masalah yang dihadapi klien terkait dengan
PR yang diberikan
3) Kontrak
- Menjelaskan tujuan dari terapi dan kegiatan yang akan
dilakukan untuk menurunkan kecemasan yang dihadapi
oleh klien
- Menjelaskan langkah-langkah dari terapi dan aturan terapi
yang akan dilaksanakan klien.
- Menjelaskan waktu terapi adalah 15 menit
c. Tahap Kerja
1) Klien dimintai secara mandiri mengambil posisi sesuai
dengan keinginan seperti duduk tegak tetapi rileks atau dapat
juga dilakukan dengan berbaring. Yakinkan sekali lagi klien
dalam posisi yang rileks.
2) Klien memejamkan mata dengan perlahan dan menarik nafas
dalam serta menghembuskannya secara perlahan.
3) Klien membayangkan atau menggambarkan diri pada
suasana atau situasi yang menyenangkan atau berada pada
tempat yang damai, penuh ketenangan.
4) Arahkan visualisasi pada klien untuk menggambarkan secara
detail tentang suasana seperti pantai yang tenang adalah
salah satu tujuan mental yang ideal bagi kebanyakan orang.
5) Bayangkan diri anda beristirahat dipasir pantai, rasakan
matahari pada kulit anda,sang ombak menghempas pantai,
suara burung camar, angin yang berhembus sepoi-sepoi dan
lihatlah kapal yang berlayar dari kejauhan.
6) Arahkan klien untuk dapat membayangkan tempat mana saja
yang paling indah, yang paling damai dan dapat membawa
ketenangan bagi dirinya.
259
d. Terminasi
1) Evaluasi
a. Menanyakan perasaan klien setelah menjalani terapi
b. Memberi pujian yang sesuai
Evaluasi
a. Kemampuan Klien
Ekspresi verbal dan non verbal klien selama melakukan
terapi.
Mengevaluasi pencapaian tujuan dilakukan selama proses
berlangsung.
b. Refleksi Perawat
Modifikasi rencana tindakan dan komunikasi terapeutik
seseuai dengan kondisi.
Membuat persiapan untuk kontrak berikutnya
Nama Klien:..............................
Kemampuan Komunikasi Verbal
No Aspek yang dinilai Nilai Keterangan
1 Ungkapan masalah secara
spontan
2 Ekspresi perasaan dan pikiran
3 Ungkapan dengan jujur dan
jelas
260
No Aspek yang dinilai Nilai Keterangan
4 Mampu berkonsentrasi
5 Ungkapan cemas menurun
6 Beri pujian /umpan balik
7 Sepakat jadwal latihan
visualisasi
1 Memejamkan mata
2 Ekspresi wajah
3 Otot-otot terlihat melemas/rileks
4 Tulis jadwal
c. Dokumentasi
- Terapis mendokumentasikan pencapaian hasil dari terapi
yang berlangsung.
- Terapi mendokumentasikan rencana kegiatan yang akan
dilakukan
- Mendokumentasikan kegiatan dalam buku kegiatan klien.
261
262
DAFTAR PUSTAKA DAFTAR PUSTAKA
Amenta, M.B.N. (1982). Nursing care of the terminally ill. Boston MA, Little:
Brown and Company.
American Psychiatric Association (2000) Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders (4th edition revision) (DSM-IV-TR). Washington, DC:
Author.
American Psychological Association. (2001). Publication manual of the American
Psychological Association. (5th Ed.), Washington, DC: American
Psychological Association
American Psychological Association. (2007). Anxiety; APA Provides Disaster and
Mental Health Resources for Those Impacted by the California Fires
Medical Verdicts & Law Weekly. Atlanta: Nov 8, 2007. pg. 112
http://proquest.umi.com/pqdweb?did=1375763171&sid=9&Fmt=3&clientI
d=45625&RQT=309&VName=PQD diperoleh pada tanggal 16 Juni 2009
Akbar, A.A. (2007) Konspirasi di Balik Lumpur Lapindo. Yogyakarta: Galang
Press
Atkinson, dkk (2003). Psikologi. Batam: PT. Interaksara
Antai-Otong, D. (2003). Psychiatric Nursing: Biological & behavioral concepts.
United States of America: Delmar learning.
Bond, A.J. & Lader, M.H. (1996). Understanding drug treatment in mental health
care. Wiley: Chichester.
Burns, N., & Grove, K.T. (2003). Understanding nursing research. (2nd ed),
Philadelphia: WB Saunders Company.
Budaya hilang, kehidupan korban muram. Portal Korban Lapindo
(2009.http://www.korbanlapindo.net diakses tanggal 12 Januari 2009)
Bhugra, D dan Ommeren, M.V (2006). Mental health, psychosocial support and the
tsunami.International Review of Psychiatry. Vol. 18, Iss. 3; pg.
http://proquest.umi.com/pqdweb?did=1149678081&sid=9&Fmt=2&clientI
d=45625&RQT=309&VName=PQD diperoleh pada tanggal 25 Maret 2009
Canadian Mental Health Association (2009) Post Traumatic Stress Disorder
219
263
Carson, V.B. (2000). Mental Health Nursing: The nurse-patient journey. (2th ed.).
Philadelphia: W.B. Sauders Company.
Chou, F.H., et.al (2007) Post-Traumatic Stress Disorders Risk Factors; Research in
the area of post-traumatic stress disorders risk factors. Mental Health
Weekly Digest. Atlanta: Aug 6, 2007. pg. 274.
http://proquest.umi.com/pqdweb?did=1313357761&sid=9&Fmt=3&clientI
d=45625&RQT=309&VName=PQDdiperoleh pada tanggal 16 Juni 2009
CMHN (2006). Modul Community Mental Health Nursing. Jakarta: WHO-FIK UI
Corr, Nabe dan Corr (2000, dalam http://family.jrank.org/Grief-Loss-Bereavement-
Consequences-Grief.html, diperoleh tanggal 1 April 2007)
Creswell, J.W. (1998). Qualitative inquiry and research design: choosing among
five tradition. United States of America (USA): Sage Publication Inc.
Davis, M. Dkk. (1995). Panduan Relaksasi & Reduksi Stres, Edisi III, EGC,
Jakarta
Davis, M., Eshelman, E.R., & M’Kay, M. (2008). The relaxation and stress
reduction workbook. (6th ed.).
Daymon, C & Holloway, I (2008) Riset Kualitatif dalam Public Relations &
Marketing Communications. Yogyakarta: PT Benteng Pustaka.
Delvin, Ng (1996) Call to alleviate long-term effects of Bhopal gas disaster.
The Lancet. London: Dec 14, 1996. Vol. 348, Edisi 9042; pg. 1652, 1 pgs
http://proquest.umi.com/pqdweb?did=10553853&sid=7&Fmt=3&clientId=
45625&RQT=309&VName=PQD diperoleh pada tanggal 16 Juni 2009
Departemen Kesehatan R. I.. (1993). Pedoman penggolongan dan diagnosis
gangguan jiwa di Indonesia III. Jakarta: Departemen Kesehatan.
Domino, M.E., et.al (2003) Disasters and the public health safety net: Hurricane
Floyd hits the North Carolina Medicaid program. American Journal of
Public Health. Washington: Jul 2003. Vol. 93, Edisi 7; pg. 1122
http://proquest.umi.com/pqdweb?did=415740721&sid=7&Fmt=4&clientId
=45625&RQT=309&VName=PQD diperoleh pada tanggal 16 Juni 2009
Dochterman, J.M., & Bulechek, G.M. (2004). Nursing Intervention Classification
(NIC). (4th ed.). St. Louis: Mosby
220
264
Durham RC, Murphy T, Allan T, Richard K, Treliving LR, Fenton GW. Cognitive
therapy, analytic psychotherapy and anxiety management for generalised
anxiety disorder. Br J Psychiatry. 1994; 165:315–323
Dwiputri, R (2007) Sigmund Freud: Mekanisme Pertahanan Diri.
http://bahas.multiply.comjournal/item/27 diperoleh tanggal 13 Juli 2009
Effendy, N (1998). Dasar-Dasar keperawatan Kesehatan masyarakat. Jakarta:
EGC.
Ellison, A., & Levin, J.S. (1998). The religion-health connection: Evidence, theory,
and future directions. Health education & behavior, 25, 700-720
Farley, L. M., DeMaso, D. R., D’Angelo, E., Kinnamon, C., Bastardi, H., Hill, C.
E., et al. (2007). Parenting stress and parental post-traumatic stress disorder
in families after pediatric heart transplantation. The Journal of Heart and
Lung Transplantation, 26(2), 120–126.
Fortinash, K.M. dan Worret, P.A.H. (2004). Psychiatric Mental Health Nursing.
(3rd ed.). St. Louis: Mosby
nd
Friedman, M. M., (2003) Family mursing: Research, theori & practice. (5 ed).
Connecticut: Appleton & Lange.
Friedman, M. M., Bowden, V.R., & Jones.E.G. (2003) Family mursing: Research
theori & practice. (4nd ed). Jew Jersey: Prentice Hall.
Gaharpung, A (2007) Studi Fenomenologi Tentang Respon Psikososial Kehilangan
Dan Berkabung Pada Individu Yang Mengalami Gempa Bumi Dan
Tsunami Di Pangandaran Kabupaten Ciamis. Tesis. Tidak dipublikasikan.
Ganong, W F. (1999). Fisiologi Kedokteran, Buku Ajar, Edisi 17, EGC, Jakarta.
Gerungan. W.A (2004) Psikologi Sosial. Bandung. Rafika Aditama
Hamid, A.Y.S. (1999). Aspek Spiritual dalam Keperawatan. Jakarta: Widya
Medika.
Harus Berani Bersikap Tegas. (Portal Korban Lapindo, 2009 ¶ 4
http://www.korbanlapindo.net diakses tanggal 12 Januari 2009)
Harvey & Weber (1998 dalam http://family.jrank.org/Grief-Loss-Bereavement-
Consequences-Grief.html, diperoleh tanggal 30 Maret 2007)
Hebert, R.S., Jenckes, M.W., Ford, D.E., O’Connor, D.R., & Cooper, L.A. (2001).
Patient perspectives on spirituality and the patient-psysician relationship.
Juornal of Genaral Internal Medicine,16(10), 685-692.
221
265
Hidayat, 2005, ¶ 2, http://www.pikiran.rakyat.com diperoleh pada tanggal 3
Pebruari 2009)
HPNA (2005) Spiritual Distress. http://www.hpna.org/PatientEducation.asp.
diperoleh tanggal 13 Juli 2009
IOM (2006). The Department of Social Medicine from Harvard Medical School
dan Syiah Kuala University (SKU). Penelitian Kebutuhan Psikososial
Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen
dan aceh utara. www.iom.or.iddiperoleh pada tanggal 25 Maret 2009
Irish (1993), http://family.jrank.org/Grief-Loss-Bereavement-Consequences-
Grief.html, diperoleh tanggal 30 Maret 2009)
Isaacs, A. (2001). Panduan Belajar: Keperawatan Kesehatan Jiwa dan Psikiatrik.
Jakarta: EGC
Iseri, P. K., Ozten, E., & Aker, A. T. (2006). Posttraumatic stress disorder and
major depressive disorder is common in parents of children with epilepsy.
Epilepsy and Behavior, 8, 250–255.
Iskandar Y (1994). Mengatasi Anxietas, Yayasan Dharma Graha
Jacob, B, at al (2008). Disaster Mythology and Fact: Hurricane Katrina and Social
Attachment. Public Health Reports. Vol. 123, Iss. 5; pg. 555.
http://proquest.umi.com/pqdweb?did=1542305851&sid=9&Fmt=2&clientI
d=45625&RQT=309&VName=PQD diperoleh pada tanggal 25 Maret 2009
Johson, G.S (2008) Environmental Justice and Katrina: A Senseless Environmental
Disaster. Western Journal of Black Studies. Pullman: Spring 2008. Vol. 32,
Edisi 1; pg. 42, 11 pgs.
http://proquest.umi.com/pqdweb?did=1614449071&sid=8&Fmt=3&clientId=
45625&RQT=309&VName=PQDdiperoleh pada tanggal 16 Mei 2009
JICA & STKS (2006). Pedoman Aktivitas perawatan kesehatan mental Tingkat
lokal pasca bencana. 2001 Welfare Science Labour Sciences Research
Grant Recipient (Special Research Program for Welfare Studies). Diperoleh
tanggal 29 Maret 2009
Jurbergs, N., Long, A., Ticona, L., & Phipps, S. (2007). Symptoms of
posttraumatic stress in parents of children with cancer: Are they elevated
relative to parents of healthy children?. Journal of Pediatric Psychology,
Dec. 11 (Epub ahead of print).
Kaplan, H.L., Sadock, B.J., & Grebb, J.A. (1994). Kaplan and Sadock’s synopsis of
psychiatry. (7th ed.) Baltimore: Williams & Wilkins.
222
266
Kazak, A. E., Alderfer, M., Rourke, M. T., Simms, S.,Streisand, R., & Grossman,
J. R. (2004). Posttraumatic stress disorder (PTSD) and posttraumatic stress
symptoms (PTSS) in families of adolescent childhood cancer survivors.
Journal of Pediatric Psychology, 29(3),211–219.
Kazak, A. E., Boeving, C. A., Alderfer, M. A., Hwang, W., & Reilly, A. (2005).
Posttraumatic stress symptoms during treatment in parents of children with
cancer. Journal of Clinical Oncology, 23, 7405–7410.
Kehidupan Sosial Budaya Hancur, Upaya Pemulihan Nol. (Portal Korban Lapindo
2009, ¶ 4, http://www.korbanlapindo.net diakses tanggal 12 Januari 2009)
Keliat Budi Anna, dkk. (2005). Modul Basic Course Commnunity Mental Health
Nursing.Kerjasamadengan FIK – UI, WHO. Jakarta.
Keliat, B A. (2012). Teknik dan Strategi Penanggulangan Dampak Psikososial
Pada Bencana, Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
Keliat, B A. (2012). Manajemen Stres, Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia
Koenig, H.G., & Larson, D.B. (1998). Use of hospital services, religious
attendance, and religious affiliatio. Southern Medical Journal, 18, 925-932.
Kohn, R (2005) Psychological and Psychopathological Reactions in Honduras
Following Hurricane Mitch: implicationsfor service planning.
http//www.scielosp.org. diperoleh tanggal 14 Pebruari 2009
Kompas (2007). Banjir Lumpur Banjir Janji. Jakarta: Kompas Media Nusantara
Korban di Luar Peta Makin terabaikan.. (Portal Korban Lapindo, 2009, ¶ 2,
http://www.korbanlapindo.net diakses tanggal 12 Januari 2009)
Korban Menagih Janji PT MLJ. (Portal Korban Lapindo, 2009, ¶ 2
http://www.korbanlapindo.net diakses tanggal 12 Januari 2009)
Kozier, B.dkk. (2004). Fundamentals of Nursing; concepts, process, and practice.
Seventh edition. New Jersey : Prentice hall.
Kubler-Ross E. (1969). On Death and Dying. New York: Mac Millan.
Landolt, M. A., Vollrath, M. E., Laimbacher, J., Gnehm, H. E., & Sennhauser, F.
H. (2005). Prospective study of posttraumatic stress disorder in parents of
children with newly diagnosed type 1 diabetes. Journal of the American
Academy of Child and Adolescent Psychiatry, 44(7), 682–689.
223
267
Lazarus, R.S., Delongis, A., Folkman, S., & Gruen, R., (1985). Stress and
adaptation outcome. American Psychologist, 40, 770-779. Diakses pada
tanggal 3 Maret 2007)
Mangoenpoerojo, R.B (2008) Kerugian Bangsa Akibat Lumpur Lapindo. Bandung:
Visibuku Infi Indonesia
Manne, S., Du Hamel, K., Gallelli, K., Sorgen, K.,& Redd, W. H. (1998).
Posttraumatic stress disorder among mothers of pediatric cancer survivors:
Diagnosis, comorbidity, and utility of the PTSD Checklist as a screening
instrument. Journal of Pediatric Psychology, 23, 357–366.
Manne, S., DuhHamel, K., Ostroff, J., Parsons, S., Martini, R., Difede, J., et al.
(2004). Anxiety, depressive and posttraumatic stress disorders among
mothers of pediatric HSCT survivors. Pediatrics, 113, 1700–1708.
Marks, I. M. (2000). Fears and Phobias, London: Heinemann Medical Books.
McCubbin, H.I., & Thompson, A.I. (1991). Family assessment inventories for
research and practice. Madison: University of Wisconsin.
Medscape, Inc. (2000). Theories of panic disorder: Psychiatry & mental health
clinical management, Section II.www.medscape.com/viewarticle/419254_2.
Diakses tanggal 28 April 2009.
Mirdasy (2007) Bernafas dengan Lumpur. Yogyakarta: M.I Press
Mieko, I (2009) e-learning disaster.Jakarta: FIK UI
Mohr. W.K. (2006) Psychiatric Mental health Nursing. (6th ed).Philadelphia.
Lippincott Williams & Wilkins.
Moloeng, L.J., (2006). Metodologi penelitian kualitatif, Bandung : PT. Remaja
Putra Karya.
Nanda. (2005). Nursing Diagnoses : Definitions & Clacification 2005-2006.
Philadelphia USA : NANDA International
NANDA. (2007). Nursing diagnoses: Definitions & clacification 2007-2008.
Philadelphia USA: NANDA International
Nicolini, H., Cruz, C., Camarena, B.,Paez, F., & De la Fuente, J.R. (1999).
Understanding the genetic basis of obsessive-compulsive disorder. CNS
Spectrums, 4 (5). 32-34, 47-48.
Norris, F.H (2008). Psychosocial Resources in the Aftermath of Natural and
Human-Caused Disasters: A Review of the Empirical Literature, with
Implications for Intervention. National Center for
PTSDhttp://www.ncptsd.va.gov/ncmain/ncdocs/fact_shts/fs_resources.html
224
268
?opm=1&rr=rr51&sr... diperoleh pada tanggal 25 Maret 2009
Pargament, K.I., Smith, B.W., Koenig, H.G., & Perez, I. (1998). Patterns of
positive and negative religious coping with major life stressors. Journal for
the scientific study of religion, 37, 710-724.
Penanggulangan Bencana Alam. I Power Blogger. (Seta Wiriawan, 2009, ¶ 2,
http://google.com diakses tanggal 12 Januari 2009)
Peplau, H. (1963). Interpersonal relations in nusing. New York: Springer.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2008 Tentang Perubahan
Atas Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 Tentang Badan
Penanggulangan Lumpur Sidoarjo
Perrett, S.E., (2007) Review of Roy Adaptation Model-Based Qualitative
ResearchNursing Science Quarterly. Pittsburgh: Oct 2007. Vol. 20, Iss. 4;
pg. 349
http://proquest.umi.com/pqdweb?did=1358262641&sid=21&Fmt=2&client
Id=45625&RQT=309&VName=PQD diperoleh pada tanggal 14 Pebruari
2009
Petterson, J.S., et.al (2006) A Preliminary Assessment of Social and Economic
Impacts Associated with Hurricane Katrina American Anthropologist.
Washington: Dec 2006. Vol. 108, Edisi 4; pg. 643, 28 pgs
http://proquest.umi.com/pqdweb?did=1192716081&sid=5&Fmt=4&clientI
d=45625&RQT=309&VName=PQD diperoleh tanggal 25 Maret 2009
Phipps, S., Long, A., Hudson, M., & Rai, S. N. (2005). Symptoms of post-
traumatic stress in children with cancer and their parents: Effects of
informant and time from diagnosis. Pediatric Blood Cancer, 45, 952–959.
Poerwandari, E.K. (2005). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku
manusia. (ed-3), Jakarta: Perfecta LPSP3. Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia.
Queree, Matthew. (2007). Cognitive behavioral therapy: Core information
document march 2007. British Columbia: Ministry of Health.
www.carmha.ca, diakses tanggal 28 April 2009)
Rang, H.P., Dale, M.M. & Ritter, J.M. (1995). Pharmacology. (3rd ed.). Churchill
Livingstone: Edinburgh.
Rao, K (2006) Psychosocial support in disaster-affected communities.
International Review of Psychiatry. Abingdon: Dec 2006. Vol. 18, Iss. 6;
pg. 501
225
269
http://proquest.umi.com/pqdweb?did=1237467351&sid=9&Fmt=2&clientI
d=45625&RQT=309&VName=PQD. diperoleh pada tanggal 25 Maret
2009
Ranjabar, J. (2008). Perubahan Sosial Dalam Teori Makro. Pendekatan Realitas
Sosial. Alfabeta. Bandung
Rinomhota, A.S. & Marshall, P. (2000). Biological aspects of mantal health
nursing. London: Churchill Livingstone.
Roerig, J.L. (1999). Diagnosis and manajement of generalized anxiety disorder.
Journal of American Pharmaceutical Association. 39
Sadock, B.J. & Sadock, V.A. (2003). Synopsis of psychiatry: Behavioral science/
clinical psychiatry. (9th ed.). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Santamaria, B (1995). Community Health Nursing Theory & Practice. New Jersey:
Parson Education.
Sara, dkk. (2002). Religious/ spiritual coping in childhood cystic fibrosis: a
qualitative study. Journal of the American academy of pediatrics, 109, 1-11.
Diakses pada tanggal 13 Juli 2009 dari www.pediatrics.org
Scheper dan Hughes (1985, dalam http://family.jrank.org/Grief-Loss-Bereavement-
Consequences-Grief.html, diperoleh tanggal 1 April 2007),
Shives, L.R. (2005). Basic Concept of Psychiatric-Mental Health Nursing.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Smit, A (2005) Mengungkap Kepribadian Anda. Jakarta. PT. Buana Ilmu Populer
Solehudin, U (2005). Business Continuity and Disaster Recovery Plan.
http//www.bebas.vslm.org. diperoleh tanggal 12 Januari 2009
Speziale, H.J.S., & Carpenter, D.R. (2003). Qualitative research in nursing:
Advancing the humanictic imperative. (3rd ed.). Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins
Stanhope & Lancaster (2002). Commuinity Health Nursing. Promoting Health
Agregates, Families, and Individuals, St. Louis Mosby
Stanhope & Lancaster (1996). Commuinity Health Nursing. Promoting Health
Aggregates, Families, and Individuals, St. Louis Mosby
Stone, Marquire, & Eigsti (2002) Comprehensive Community Health Nursing
Family, Aggregate, & Community Practice, St. Louis Mosby
Stuart,G.W. & Laraia, M.T. (2001). Principles And Practice Of Psychiatric
226
270
Nursing. (5th edition). St Louis: Mosby
Stuart,G.W. & Laraia, M.T. (2005). Principles And Practice Of Psychiatric
Nursing. (7th edition). St Louis: Mosby
Streuebert, H.J., & Carpenter, D.R., (1999). Qualitative Research In Nursing
Advancing Humanistic Imperative.( 2nd ed), Philadelphia: Lippincott.
Stein, R.E.K., Jessop, D.J., & Ireys, H.T. (1988). Prevention of emotional problems
in children with cronic illness and their families. In L.A. Bond, & B.M.
Wagner (eds), Families in transition: Primaryprevention programs that
work. Newbury Park, Calif.: Sage.
Sugiono. (2007). Metode Penelitian Kualitatif. (edisi 12). Bandung: Albeta.
Tawi, M (2008) Distres Spiritual. http://Sychaceh.wordpress.com diperoleh 13 Juli
2009
Tepper, L., Rogers, S.A., Coleman, E.M., & Malony, H.M. (2001). The prevalence
of religious coping among persons with persistent mental illness.
Psychiatric Service. 52, 660-665.
Tomey, Ann Marriner,(1994), Nursing theorist and their work, (3rd ed), St.Louis:
Mosby.
Tomey & Alligood. (2006). Nursing Theories and Their Work. 6th edition. St
Louis: Mosby
Tomoko, O (2009) e-learning disaster.Jakarta: FIK UI
Tuck, I., Alleyne, R., dan Thinganjana, W. (2006). Spirituality and stress
management in healthy adults. Journal of holistic nursing, 24, 245-253,
http://jhn.sagepub.com diakses pada tanggal 13 Juli 2009).
UUD Negara Republik Indonesi Tahun 1945
UU RI No 24 th 2007 tentangPenanggulanganbencana
Varcorolis, E.M. (2000). Psychiatric Nursing Clinical Guide: assessment tools and
diagnosis.Philadelphia: W.B.SaundersCompany.
Videbeck, S.L. (2001). Psychiatric Mental Health Nursing. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins.
Warga di Wilayah Peta Terdampak Enggan Pindah. (Portal Korban Lapindo, 2009,
¶ 3.http://www.korbanlapindo.net diperoleh tanggal 12 Januari 2009)
Wheeler, K (2008) Psychotherapy for The Advanced Practice Psychiatric Nurse.
227
271
St. Louis, Missouri. Mosby Elsevier
Wikipedia (2013). Banjir Lumpur Panas Sidoarjo.
http://id.wikipedia.org/wiki/Banjir_lumpur_panas_Sidoarjo diperoleh pada
tanggal 21 April 2013
Wolpe, J. (1974). The practiceof behavior therapy. New York: Academic Press.
WHO (2003). Mental Health in Emergencies. Geneva: WHO.
(http://www.who.int/mental_health/media/en/640.pdf) diperoleh pada
tanggal 1 Maret 2009
_____ http://www.who.int/mental_health/resources/tsunami diperoleh pada tanggal
1 Maret 2009
Williams, R (2007) The psychosocial consequences for children of mass violence,
terrorism and disasters International Review of Psychiatry. Abingdon: Jun
2007. Vol. 19, Edisi 3; pg. 263
http://proquest.umi.com/pqdweb?did=1326177211&sid=5&Fmt=2&clientId=
45625&RQT=309&VName=PQD diperoleh pada tanggal 16 Mei 2009
Zeller, J.L (2008) Impact of Conjoined Exposure to the World Trade Center
Attacks and to Other Traumatic Events on the Behavioral Problems of
Preschool Children. JAMA. Chicago: Apr 9, 2008. Vol. 299, Iss. 14; pg. 1650
http://proquest.umi.com/pqdweb?did=1469376171&sid=3&Fmt=2&clientId=
45625&RQT=309&VName=PQD diperoleh pada tanggal 16 Mei 2009
Yayasan IDEP (2005) Panduan Umum Penanggulangan Berbasis Masyarakat.
228
272
GLOSARIUM
228
273
penderitaan.
Kehilangan : situasi saat ini atau yang akan terjadi (resiko), saat
dimana sesuatu yang bernilai menjadi berbeda nilainya,
tidak lagi ada ataupun bahkan hilang
Personal Self : Konsep diri yang berkaitan dengan konsistensi diri, ideal
diri, moral- etik dan spiritual diri orang tersebut
229
274
dengan cara ngebor miring
230
275
276
INDEKS
277
171, 172, 173, 174, 176, 177, 178, 179, L
183, 184, 191, 193, 194, 195, 199, 211 Lapindo · 1, 4, 5, 6, 7, 13, 15, 20, 21,
keluarga · 4, 7, 9, 10, 12, 17, 19, 22, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 29, 30, 33, 34, 55,
25, 28, 29, 32, 33, 34, 37, 38, 39, 40, 65, 67, 68, 69, 73, 74, 75, 76, 77, 78, 79,
43, 47, 48, 49, 52, 55, 57, 59, 69, 75, 81, 82, 83, 86, 88, 89, 92, 93, 94, 95, 96,
79, 80, 84, 86, 87, 88, 91, 92, 108, 119, 97, 98, 100, 101, 105, 106, 107, 108,
121, 122, 123, 124, 127, 128, 129, 130, 111, 112, 114, 117, 118, 119, 120, 122,
136, 147, 156, 157, 166, 167, 170, 172, 123, 124, 125, 126, 129, 130, 131, 132,
174, 175, 182, 185, 187, 195, 197, 198, 133, 134, 135, 136, 142, 143, 144, 145,
199, 200, 201, 202, 203, 209, 212, 213, 146, 149, 151
214, 215 lingkungan · 2, 6, 14, 16, 17, 20, 21, 23,
keperawatan · 28, 46, 47, 57, 59, 63, 24, 25, 26, 27, 36, 45, 48, 53, 55, 57, 59,
64, 65, 70, 105, 149, 152, 162, 164, 60, 64, 65, 73, 75, 90, 94, 95, 106, 110,
166, 168, 175, 176, 178, 179, 181, 185, 114, 116, 120, 125, 128, 129, 130, 132,
199, 203, 205, 206, 208, 209, 210, 217, 136, 140, 141, 142, 144, 155, 158, 160,
223, 224, 227 170, 174, 183, 184, 191, 194, 196, 204,
kepercayaan · 28, 54, 62, 125, 143 207, 215
kepribadian · 9, 26, 45, 56, 142, 170, lumpur · 1, 4, 5, 6, 7, 15, 20, 21, 23, 24,
185, 187 25, 30, 33, 34, 65, 66, 67, 68, 69, 73, 75,
kesehatan · 6, 7, 9, 16, 21, 22, 24, 28, 76, 77, 78, 81, 82, 86, 88, 89, 91, 92, 93,
29, 30, 31, 33, 34, 39, 40, 46, 47, 48, 94, 95, 96, 97, 98, 100, 101, 102, 103,
53, 55, 56, 57, 59, 63, 64, 73, 75, 79, 105, 106, 107, 109, 110, 111, 112, 114,
96, 97, 98, 99, 100, 105, 108, 109, 112, 116, 118, 119, 120, 122, 123, 124, 125,
121, 123, 124, 129, 133, 134, 136, 137, 126, 129, 130, 131, 133, 134, 135, 141,
138, 140, 149, 150, 151, 157, 158, 169, 142, 143, 144, 145, 146, 148, 151
185, 187, 194, 195, 197, 199, 202, 204, M
209, 213, 221 manajemen bencana · 22
komunikasi · 3, 40, 53, 145, 162, 165, marah · 5, 8, 11, 15, 17, 18, 20, 26, 27,
168, 170, 175, 177, 181, 193, 200, 207, 33, 42, 43, 57, 69, 82, 86, 91, 92, 107,
209, 211, 212, 213, 214, 231, 234, 237 111, 112, 113, 120, 134, 139, 154, 157,
korban · 1, 2, 5, 6, 7, 9, 10, 12, 13, 18, 159, 161, 173, 184, 199, 221
20, 21, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, masyarakat · 2, 3, 5, 6, 7, 12, 13, 15, 17,
33, 34, 35, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 53, 18, 20, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30,
54, 55, 66, 67, 68, 69, 73, 74, 75, 79, 31, 33, 34, 37, 38, 41, 46, 47, 48, 50, 54,
81, 84, 92, 93, 94, 95, 98, 100, 105, 55, 56, 59, 66, 67, 68, 69, 73, 75, 76, 79,
106, 107, 108, 109, 110, 111, 112, 113, 81, 83, 84, 88, 89, 90, 92, 93, 94, 95, 98,
114, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 105, 106, 107, 108, 109, 110, 111, 112,
122, 123, 124, 125, 126, 127, 128, 129, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 120,
130, 131, 132, 133, 134, 135, 136, 137, 121, 122, 123, 124, 125, 126, 127, 128,
138, 139, 140, 142, 143, 144, 145, 146, 129, 130, 131, 132, 133, 134, 135, 136,
147, 148, 150, 151, 169 137, 138, 139, 140, 143, 144, 145, 146,
278
147, 148, 149, 150, 151, 157, 174, 185, 175, 181, 182, 190, 191, 192, 194, 195,
199 196, 197, 198, 201, 203
O psikososial · 5, 6, 14, 15, 16, 17, 18,
Orientasi · 229, 232, 235 19, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 32, 33,
P 34, 35, 37, 46, 49, 53, 54, 55, 67, 69,
Pajarakan · 25, 31, 33, 34, 74, 89, 90, 73, 75, 79, 98, 110, 117, 118, 133, 139,
92, 97, 98, 100, 101, 102, 105, 111, 120, 140, 141, 142, 149, 150, 175, 187, 219
123, 128, 130, 133, 136, 138, 144, 146, psikoterapi · 55, 56
148 R
partisipan · 74, 75, 76, 77, 78, 80, 81, regulator · 61, 62, 63, 66, 117
82, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, relaksasi · 204, 207, 211, 212, 215,
93, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 100, 101, 102, 217, 225, 226, 227, 228, 229
103, 106, 107, 111, 122, 123, 128, 137, Roy · 59, 60, 62, 64, 65, 66, 67, 68, 69,
141, 149 114, 116, 117, 124, 126, 128, 132, 135,
pembayaran · 30, 76, 77, 78, 81, 82, 84, 143, 148
86, 90, 93, 102, 103, 108, 109, 111, 114, S
115, 119, 120, 122, 123, 128, 136, 144, sosial · 2, 3, 6, 8, 9, 12, 13, 14, 15, 16,
145, 146, 151 17, 18, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 30, 31,
pemerintah · 1, 5, 18, 21, 29, 30, 46, 32, 33, 35, 37, 38, 39, 40, 45, 46, 53,
48, 79, 81, 93, 94, 95, 98, 105, 108, 111, 55, 68, 71, 73, 74, 75, 79, 87, 89, 90,
112, 115, 120, 122, 126, 130, 131, 132, 99, 115, 118, 119, 120, 121, 124, 125,
136, 146, 151 126, 127, 128, 129, 130, 132, 139, 142,
Penanggulangan · 1, 3, 22, 25 153, 155, 160, 162,164, 165, 168, 170,
perasaan cemas · 82 171, 173, 174, 175, 176, 177, 179, 181,
perilaku · 33, 35, 38, 42, 43, 44, 56, 57, 186, 187, 193, 194, 195, 198, 199, 200,
59, 60, 61, 62, 64, 69, 71, 73, 74, 99, 201, 203, 205, 207, 208, 211, 213, 214,
101, 118, 126, 137, 139, 140, 142, 143, 218
144, 145, 146, 147, 154, 157, 159, 160, spiritual · 13, 14, 27, 28, 30, 35, 37, 38,
161, 162, 167, 173, 175, 182, 183, 184, 40, 45, 55, 67, 73, 79, 102, 103, 118,
185, 187, 189, 190, 191, 192, 193, 198, 129, 130, 140, 143, 144, 145, 146, 147,
199, 200, 201, 202, 203, 205, 207, 208, 148, 162, 165, 208, 209
215, 217, 218, 225, 227 stimuli · 60, 61, 62, 63, 64, 114, 115,
predisposisi · 127, 156, 168, 185, 186, 135
187, 190, 191, 192, 193 stres · 8, 9, 10, 16, 17, 30, 35, 41, 56,
professional · 28 113, 127, 128, 134, 138, 144, 168, 171,
program · 18, 23, 29, 126, 139, 142 181, 187, 198, 219, 221, 227
psikologis · 2, 5, 7, 8, 9, 10, 11, 13, 15,
16, 23, 24, 27, 30, 31, 32, 35, 37, 39,
40, 41, 50, 53, 55, 73, 75, 78, 80, 81, 99,
105, 106, 107, 108, 109, 110, 113, 127,
129, 131, 153, 159, 168, 169, 171, 172,
279
280
BIODATA
PROGRAM HIBAH PENULISAN BUKU TEKS PERGURUAN TINGGI
TAHUN 2022
A. Identitas
1. Nama Lengkap Mundakir, S.Kep., Ns., M.Kep
2. Alamat Rumah Jl. Medayu Utara 27-D Kav 12-14 Surabaya
B. Riwayat Pendidikan
S3 - - -
281
3 Manajemen Keperawatan S1
5 Komunikasi Keperawatan S1
D3 ± 1000
S1 ± 470
(Profesi Ners)
282
F. Pengalaman Publikasi di Berkala Ilmiah Dalam 5 Tahun Terakhir
283
G. Pengalaman Penulisan Buku Dalam 10 Tahun Terakhir
Biodata ini saya buat dengan sebenarnya, dan saya bertanggung jawab bila
terbukti ada kepalsuan.
284
SURAT PERNYATAAN
PROGRAM HIBAH PENULISAN BUKU TEKS PERGURUAN TINGGI
TAHUN 2022
285