Anda di halaman 1dari 289

i

Keperawatan Psikososial
Penulis : Mundakir
Editor : Mundakir
Tata Letak : Salsabila Faidah Paramita Wardani
Design cover : Nurhidayatullah R.

Hak Cipta Penerbit UMSurabaya Publishing


Jl Sutorejo No 59 Surabaya 60113
Telp : (031) 3811966, 3811967
Faks : (031) 3813096
Website : http://www.p3i.um-surabaya.ac.id
Email : p3iumsurabaya@gmail.com

Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi
buku ini dalam bentuk apapun, baik secara elektronis maupun mekanis, termasuk memfotokopi,
merekam, atau dengan menggunakan sistem penyimpanan lainnya, tanpa izin tertulis dari
penerbit.

UNDANG- UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG HAK CIPTA

1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak/atau tanpa ijin pencipta atau pemegang Hak Cipta
melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta yang meliputi Penerjemah dan Pengadaptasian
Ciptaan untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana paling lama 1 (satu)
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 ( lima ratus juta rupiah)
2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan atau tanpa ijin Pencipta atau pemegang Hak Cipta
melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta yang meliputi Penerbitan, Penggandaan dalam
segala bentuknya, dan pendistribusian Ciptaan untuk Pengunaan Secara Komersial, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
3. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada poin kedua diatas yang
dilakukan dalam bentuk Pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah)

Surabaya : UM Surabaya Publishing, 2022


Ukuran Buku : 17,6 x 25 cm, viii + 279 halaman
ISBN : (Masih dalam Proses)
Harga : 40.000

ii
Terapi Deep Breathing.......................................................................... 238
Terapi Relaksasi Progresif..................................................................... 246
Terapi Visualisasi................................................................................... 248
Daftar Pustaka .................................................................................263
Glosarium.........................................................................................273
Indeks ...............................................................................................277
Lampiran Berkas..............................................................................281

vii
viii
BAB 1

MENGENAL BENCANA

Tujuan Intruksional
Setelah membaca bagian ini, mahasiswa mampu:
1) Memahami definisi, jenis dan fase bencana
2) Memahami dampak bencana pada sistem manusia, properti, dan
lingkungan
3) Menjelaskan pola manajemen bencana di Indonesia

Berbagai musibah dan bencana alam yang terjadi dalam dua dasawarsa terakhir
ini tidak bisa lepas dari pengaruh kondisi geografis Indonesia dan ulah manusia.
Dilihat dari kondisi geografis, Indonesia adalah negara maritim yang memiliki
ribuan pulau besar dan kecil yang terletak di antara lempengan tektonis Euro-
Asia dan lempengan Indo-Australia. Disamping itu bencana juga dapat terjadi
karena ulah manusia seperti mengeksploitasi hutan yang berlebihan sehingga
menyebabkan terjadinya bencana alam seperti gempa bumi, Tsunami, banjir dan
tanah longsor di berbagai daerah wilayah Indonesia. Dengan demikian fenomena
semburan lumpur Lapindo juga dimungkinkan karena faktor geografis dan ulah
manusia dalam mengeksploitasi sumber energi gas alam.

Menurut Pusponegoro (2006), bencana yang terjadi di Indonesia sejak gunung


Galunggung meletus pada tahun 1980 sampai dengan peristiwa meluapnya
lumpur panas Lapindo tahun 2006 sudah tercatat 58 kasus kejadian yang telah
menyebabkan korban jiwa, kerugian material dan infra struktur yang sangat
besar. Berbagai hal telah dilakukan pemerintah antara lain membentuk Badan
Penanggulangan Bencana (BPB) dari tingkat nasional hingga tingkat lokal.

1
Definisi bencana

Bencana adalah sesuatu peristiwa atau kejadian yang tidak menyenangkan,


menimbulkan korban dan kerugian, serta identik dengan sesuatu yang buruk.
Bencana yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah disaster berasal dari
kata “dis” yang berarti sesuatu yang tidak enak (unfavorable) dan ”astro” yang
berarti bintang (star). Dis-astro berarti peristiwa jatuhnya bintang-bintang ke
bumi (www.wikimedia.com). Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana pada bab 1: Ketentuan umum,
Pasal 1 bahwa yang dimaksud dengan: bencana adalah peristiwa atau rangkaian
peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan
masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam
maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa
manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

Bencana juga diartikan sebagai suatu gangguan fungsi sosial yang serius yang
dapat menyebabkan meluasnya korban jiwa, materi dan atau lingkungan yang
tidak mampu diatasi oleh orang yang mengalami musibah dengan sumber daya
yang tersedia. Dengan demikian bencana terjadi karena sumber daya atau
kapasitas yang tersedia tidak mampu mengatasi ancaman (musibah) yang
menyebabkan korban jiwa, materi dan lingkungan
(http://www.wpro.who.int/health_topics/disasters/). Beberapa kondisi yang
dapat menjadi penyebab terjadi bencana adalah kondisi geografis, geologis,
hidrologis, dan demografis baik yang disebabkan oleh faktor alam maupun faktor
manusia. Akibat bencana dapat menyebabkan timbulnya korban jiwa, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis yang dapat
menghambat pembangunan nasional (UU No 24 Th 2007).

2
Berdasarkan beberapa pengertian bencana tersebut diatas dapat disimpulkan
bahwa bencana adalah suatu peristiwa atau kejadian yang disebabkan oleh faktor
alam maupun ulah manusia, yang dapat mengakibatkan adanya kerusakan,
kerugian, dan kehilangan baik materi maupun non materi yang dapat
mengganggu proses kehidupan yang tidak dapat ditanggulangi tanpa bantuan dari
orang atau pihak lain.

Jenis bencana

Pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana


dalam Bab 1 tentang Ketentuan Umum, Pasal 1 terdapat tiga macam bencana,
yaitu: bencana alam, bencana non alam dan bencana sosial
1. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa
gempa bumi, Tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan,
dan tanah longsor.
2. Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
rangkaian peristiwa non alam yang antara lain berupa gagal teknologi,
gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.
3. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi
konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat, dan teror.

Sementara menurut Solehudin (2005) bencana dikelompokkan menjadi dua jenis,


yaitu:
1. Bencana alam (natural disaster), yaitu kejadian alam seperti banjir,
genangan, gempa bumi, gunung meletus, badai, kekeringan, wabah
serangga
2. Bencana ulah manusia (man made disaster), yaitu kejadian yang antara
lain dikarenakan ulah atau perbuatan manusia, seperti kecelakan

3
berkendaraan, kebakaran, huru-hara, sabotase, ledakan, gangguan listrik,
gangguan komunikasi, gangguan transportasi
Disisi lain bila kejadian bencana ditinjau dari cakupan wilayahnya, bencana
dibedakan dalam dua jenis, yaitu bencana lokal dan bencana regional:
1. Bencana lokal. Bencana ini dapat menimbulkan dampak pada wilayah
sekitar yang berdekatan. Jenis bencana ini biasanya karena ulah manusia
seperti kebakaran, ledakan teroris, kebocoran bahan kimia
2. Bencana Regional. Jenis bencana ini memberikan dampak atau pengaruh
pada area geografis yang cukup luas, dan biasa disebabkan oleh faktor
alam seperti badai, banjir, letusan gunung, tornado.

Berdasarkan klasifikasi jenis bencana yang ada, bencana lumpur Lapindo dapat
dikemukakan sebagai bencana alam yang disebabkan oleh ulah manusia dalam
hal ini adalah eksplorasi gas bumi yang dilakukan oleh PT Minarak Lapindo Jaya
(LMJ). Sedangkan ditinjau dari cakupan wilayah, bencana lumpur Lapindo
merupakan bencana regional.

Fase-fase bencana

Menurut Santamaria (1995) bencana terjadi melalui tiga fase yaitu pre-impact
(pra-dampak), impact (dampak), dan post-impact

1. Fase pra-dampak (pre-impact) merupakan fase peringatan (warning


phase) yaitu tahap awal adanya bencana. Informasi diperoleh dari badan
satelit dan meteorologi cuaca, atau lembaga lain yang bertanggung jawab
terjadinya bencana .

2. Fase dampak merupakan fase terjadinya bencana. Pada fase inilah


manusia berusaha semaksimal mungkin mencari pertolongan untuk
menyelamatkan diri, keluarga, atau harta benda agar dapat bertahan hidup
(survive). Fase ini terus berlanjut hingga mengakibatkan kerusakan dan
mendapatkan bantuan-bantuan darurat. Dalam konteks ini korban lumpur

4
Lapindo telah mengalami bencana dalam waktu yang cukup lama

3. Fase pasca dampak dimulai saat pemulihan dari fase darurat. Fase ini juga
ditandai dengan dimulainya masyarakat berusaha kembali melakukan
aktifitas secara normal. Secara umum dalam pasca dampak ini para
korban bencana akan mengalami dampak psikologis berupa penolakan,
marah, tawar menawar, depresi hingga akhirnya bisa menerima. Bagi
korban lumpur yang karenanya harus pindah dari tempat semula
(relokasi), maka di tempat baru mereka memasuki fase pasca dampak,
bukan saat berada dalam pengungsian.

Sementara untuk peristiwa bencana yang bersifat emergensi atau gawat darurat,
kelompok kerja UNICEF dan Pusat Studi Pengembangan Integratif Universitas
Filipina membagi intervensi psikososial berdasarkan fase-fase sebagai berikut:
1. Fase segera setelah kejadian (rescue)
2. Fase pemulihan awal (bulan pertama setelah kejadian
3. Fase pemulihan lanjutan (dua bulan setelah kejadian dan setelahnya):
4. Fase rekonstruksi
Sedangkan di Jepang, fase-fase penanganan bencana ini dilakukan berdasarkan
masa akut, masa sub-akut, dan masa kronis (Mieko, 2009)

Berdasarkan uraian diatas, pembagian fase-fase bencana tergantung pada sifat


bencana yang terjadi. Bencana lumpur Lapindo merupakan bencana yang
mempunyai sifat dan karakteristik khusus. Bencana ini telah berlangsung lama
dan terus terjadi tanpa ada yang mengetahui kapan berakhir. Sedangkan
berdasarkan kebijakan pemerintah dan PT MLJ, masyarakat yang berada pada
daerah terdampak harus meninggalkan wilayah tempat tinggal mereka untuk
dijadikan area penampungan lumpur yang terus keluar. Kondisi inilah yang dapat
menimbulkan masalah psikososial, karena masyarakat korban harus
meninggalkan tempat tinggal yang sudah bertahun-tahun ditempati dengan

5
struktur masyarakat yang telah terbentuk dan sosial budaya yang sudah
mengakar.

Dampak Bencana pada Sistem Manusia, Properti, dan Lingkungan


Bencana yang terjadi secara mendadak dan cepat umumnya mengakibatkan
perasaan syok dan ketidakberdayaan pada korban. Dampak bencana yang
ditimbulkan dapat terjadi pada sistem manusia secara holistik, dampak pada
sistem properti, dan pada sistem lingkungan.

Dampak bencana pada sistem manusia

1. Dampak bencana pada aspek fisik

Secara umum, setiap bencana akan mempengaruhi sistem tubuh manusia.


Pada aspek fisik, dampak yang ditimbulkan dapat berupa badan terasa tegang,
cepat lelah, susah tidur, mudah terkejut, palpitasi, mual, perubahan nafsu
makan, dan kebutuhan seksual menurun (Toomoko, 2009). Kondisi ini juga
dialami oleh sebagian korban Lapindo yang saat ini masih menempati tempat
pengungsian. Namun pada masyarakat terdampak masalah keluhan fisik
diatas belum terungkap.

Masalah kesehatan fisik yang merupakan ancaman bagi masyarakat korban


Lapindo adalah zat kimia beracun yang terkandung dalam lumpur Lapindo.
Menurut penelitian para ahli, lumpur Lapindo mengandung zat beracun yang
mengakibatkan gangguan pernapasan, bahkan mengandung polycyclic
aromatic hydrocarbons (PAH) 2.000 kali lipat di atas normal, yang secara
tidak langsung dapat menyebabkan penyakit kanker dan tumor
(www.korbanlapindo.net).

Sedangkan berdasarkan investigasi yang dilakukan Wahana Lingkungan


Hidup (WALHI) Jawa Timur pada tanggal 31 Mei 2006 menemukan bahwa
gas warna putih campur air yang terkandung dalam lumpur Lapindo

6
merupakan zat kimia yang mengandung gas Hidrogen Sulfida (H2S), Amonia
(NH2), Nitrit Nitrat, Timbal (Tb), dan Fenol (C6H5OH) serta mengandung
merkuri yang kadarnya lebih dari 2,465 mg/lt yang semuanya itu beracun dan
sangat berbahaya bagi manusia (Azhar, 2006).

Kondisi tersebut tentu sangat berbahaya bagi masyarakat korban karena


setiap saat harus menghirup udara yang mengandung racun. Tingkat polutan
akibat semburan lumpur Lapindo sudah sangat tinggi. Bahaya kandungan
senyawa Lumpur sudah mencapai ribuan kali di atas ambang batas yang dapat
menyebabkan kanker jika terjadi kontaminasi pada manusia
(www.korbanlapindo.net).

2. Dampak bencana pada aspek psikologis

Masalah kesehatan jiwa juga terjadi akibat lumpur Lapindo ini. Anggota
masyarakat yang kehilangan pekerjaan, sawah/ladang, tempat tinggal bahkan
struktur keluarga dan budaya yang sudah tertata menimbulkan tekanan psikis
yang dapat menimbulkan gangguan kejiwaan. Sejak terjadinya luapan
lumpur Lapindo hingga sekarang ini tidak kurang dari 400 orang yang pernah
dirawat di Rumah Sakit Jiwa (Kompas, 2007).

Secara khsusus dampak bencana pada aspek psikis ini adalah terhadap emosi
dan kognitif korban. Pada aspek emosi terjadi gejala-gejala sebagai berikut:
syok, rasa takut, sedih, marah, dendam, rasa bersalah, malu, rasa tidak
berdaya, kehilangan emos seperti perasaan cinta, keintiman, kegembiraan
atau perhatian pada kehidupan sehari-hari. Pada aspek kognitif, korban
bencana ini juga mengalami perubahan seperti: pikiran kacau, salah persepsi,
menurunnya kemampuan untuk mengambil keputusan, daya konsentrasi dan
daya ingat berkurang, mengingat hal-hal yang tidak menyenangkan, dan
terkadang menyalahkan dirinya sendiri (http://www.ncptsd.org/).

7
Berdasarkan hasil penelitian empiris, dampak psikologis dari bencana dapat
diketahui bendasarkan tiga faktor yaitu faktor pra bencana, faktor bencana
dan faktor pasca bencana (Tomoko, 2009)

a. Faktor pra bencana. Dampak psikologis pada faktor pra bencana ini dapat
ditinjau dari beberapa hal dibawah ini:

1) jenis kelamin. Perempuan mempunyai resiko lebih tinggi terkena


dampak psikologis dibanding laki-laki dengan perbandingan ≥2:1

2) usia dan pengalaman hidup. Kecenderungan kelompok usia rentan


stres masing-masing negara berbeda karena perbedaan kondisi sosial,
politik, ekonomi, dan latar belakang sejarah negara yang
bersangkutan. Adanya pengalaman berhasil dalam menghadapi
bencana masa lalu dapat meringankan rasa cemas pada saat timbulnya
bencana, dan meningkatkan kemampuan menghadapi bencana,
apalagi bila pengalaman ini ditambah dengan pengetahuan dan
pelatihan tentang bencana.

3) faktor budaya, ras, karakter khas etnis. Dampak yang ditimbulkan


bencana ini lebih besar di negara berkembang dibandingkan dengan
di negara maju. Pada kelompok usia muda tidak ada gejala khas
untuk etnis tertentu baik pada etnis mayoritas maupun etnis
minoritas, sedangkan pada kelompok usia dewasa, etnis minoritas
cenderung mengalami dampak psikologis dibanding mayoritas
4) sosial ekonomi. Dampak bencana pada individu berbeda menurut
latar belakang pendidikan, proses pembentukan kepribadian,
penghasilan dan profesi. Individu dengan kedudukan sosio-ekonomi
yang rendah akan mengalami stress pasca trauma lebih berat.
Bencana yang terjadi akan mempengaruhi kedudukan sosio-ekonomi
seseorang atau keluarga.

8
5) keluarga. Pengalaman bencana akan memepengaruhi stabilitas
keluarga seperti tingkat stres dalam perkawinan, posisi sebagai orang
tua terutama orang tua perempuan. Gejala psikis pada orang tua ini
akan berdampak pada anak sehingga perhatian pada orang tua dalam
keluarga akan berdampak positif pada anak.
6) tingkat kekuatan mental dan kepribadian. Hampir semua hasil
penelitian menyimpulkan bahwa kondisi kesehatan mental pra
bencana dapat dijadikan dasar untuk memprediksi dampak patologis
pasca bencana. Individu dengan masalah kesehatan jiwa akan
mengalami stres yang lebih berat dibandingkan dengan individu
dengan kondisi psikologis yang stabil.

b. Faktor bencana. Pada faktor ini, dampak psikologis dapat ditinjau dari
beberapa hal dibawah ini:

1) tingkat keterpaparan. Keterpaparan seseorang akan masalah yang


dihadapi merupakan variabel penting untuk memprediksi dampak
psikologis korban bencana

2) ditinggal mati oleh sanak keluarga atau sahabat

3) diri sendiri atau keluarga terluka

4) merasakan ancaman keselamatan jiwa atau mengalami ketakutan


yang luar biasa

5) mengalami situasi panik pada saat bencana

6) pengalaman berpisah dengan keluarga, terutama pada korban usia


muda

7) kehilangan harta benda dalam jumlah besar

8) pindah tempat tinggal akibat bencana

9) bencana yang menimpa seluruh komunitas. Hal ini mengakibatkan

9
rasa kehilangan pada individu dan memperkuat perasaan negatif dan
memperlemah perasaan positif.

Semakin banyak faktor di atas, maka akan semakin berat gangguan


jiwa yang dialami korban bencana. Apalagi pada saat-saat seperti ini
mereka cenderung menolak intervensi tenaga spesialis, sehingga
menghambat perbaikan kualitas hidup pasca bencana.

c. Faktor pasca bencana. Dampak psikologis pasca bencana dapat


diakibatkan oleh kegiatan tertentu dalam siklus kehidupan dan stres
kronik pasca bencana yang terkait dengan kondisi psykitrik korban
bencana. Hal ini perlu adanya pemantauan dalam jangka panjang oleh
tenaga spesialis. Hal lain yang penting diperhatikan pasca bencana adalah
menginventarisasi semua sumber daya yang ada secara terinci, konkrit
dan diumumkan.

Gejala dan dampak psikologis pasca bencana juga dapat dilihat dari daftar
gejala Hopkins untuk mengetahui adanya depresi dan kecemasan. Gejala-
gejala Hopkins tersebut meliputi perasaan depresi, minat atau rasa senang
yang berkurang, dan DSM-IV kriteria A. Gejala perasaan depresi meliputi
mudah menangis, merasa tidak ada harapan untuk masa depan, merasa galau
dan merasa kesepian. Minat atau rasa senang yang berkurang seperti tidak
ada rasa minat terhadap segala hal, dan hilangnya minat atau kesenangan
seksual. Sedangkan gejala DSM-IV pada kriteria A adalah nafsu makan
rendah, kesulitan untuk tidur atau tetap tidur, merasa kurang bertenaga dan
atau merasa segala sesuatu perlu usaha, menaruh kesalahan pada diri sendiri
untuk segala hal, terlalu khawatir mengenai segala hal atau merasa tidak
berguna, dan berpikir untuk bunuh diri.

Dampak psikologis karena bencana juga dapat dilihat dari DSM IV pada
kriteria B, kriteria C, dan kriteria D. Kriteria-kriteria ini selanjutnya

10
dikembangkan dan dijadikan acuan untuk menyusun kuesioner pada klien
yang mengalami trauma oleh Mollica et al (2004) dari Havard University
sehingga dikenal dengan Trauma Havard Quesioner (THQ). Pada DSM-IV
kriteria B menjelaskan tentang gejala mengalami kembali (re-experiencing)
misalnya pikiran atau ingatan yang muncul kembali tentang peristiwa yang
paling menyakitkan atau menakutkan, merasa seolah-olah peristiwa terjadi
lagi, mimpi buruk yang muncul kembali, reaksi emosional atau fisik secara
tiba-tiba ketika diingatkan mengenai peristiwa yang paling menyakitkan atau
traumatik.

Pada DSM-IV kriteria C atau disebut juga sebagai gejala penghindaran atau
mati rasa (avoidance and numbing) yaitu merasa jauh dari orang lain, tidak
mampu merasakan emosi, menghindari melakukan kegiatan atau pergi ke
tempat yang mengingatkan peristiwa yang traumatik atau menyakitkan,
ketidakmampuan untuk mengingat beberapa bagian dari peristiwa yang
paling traumatik atau menyakitkan tersebut, menurunnya minat pada kegiatan
sehari-hari, merasa seolah-olah tidak memiliki masa depan, menghindari
fikiran atau perasaan yang terasosiasikan berkaitan dengan peristiwa
traumatik atau menyakitkan tersebut. Sedangkan pada DSM–IV kriteria D
atau disebut dengan gejala rangsangan (arousal) sebagai berikut merasa
resah, mudah kaget, kesulitan untuk berkonsentrasi, sulit tidur, merasa was-
was, dan merasa kesal atau sering tiba-tiba marah

3. Dampak bencana pada aspek sosial - budaya

Pada setiap bencana atau musibah pasti menimbulkan banyak kerugian,


namun tidak semua kerugian yang diakibatkan karena bencana ini dapat
dihitung. Kerugian yang selalu menjadi perhatian utama adalah kerugian
pada sektor materi atau fisik. Misalnya kerusakan bangunan dan fasilitas pada
sektor perumahan, infrastruktur, ekonomi, dan sosial. Pada sektor sosial ini

11
yang dimaksud adalah bangunan pendidikan, tempat ibadah, pondok
pesantren, dan panti sosial.

Sementara, kerugian tak langsung itu dihitung berdasarkan keuntungan


ekonomis yang hilang akibat kerusakan tersebut. Praktis, ini tidak
menyinggung ihwal kerugian sosial-budaya masyarakat korban. Begitu pula
dengan kebijakan resmi Pemerintah. Skema penyelesaian Pemerintah yang
dituangkan lewat Peraturan Presiden no: 14 tahun 2007 maupun versi
revisinya, Peraturan Presiden no: 48 tahun 2008, memperlakukan seluruh
kerugian warga korban hanya menjadi aset fisik semata. Padahal peristiwa
bencana telah menyebabkan kehancuran kehidupan sosial budaya, misalnya
pudarnya ikatan kekeluargaan yang terbangun dari generasi ke generasi.

Rusaknya solidaritas antar tetangga yang merupakan buah interaksi puluhan


tahun, tradisi dan budaya yang menjadi praktik bersama sejak nenek moyang,
yang menyatukan perasaan dan pengalaman, telah musnah. Bila perubahan
sosial akibat bencana tersebut diatas tidak mendapat perhatian serius, maka
tidak menutup kemungkinan dampak sosial lebih lanjut akan terjadi,
misalnya kenakalan remaja, konflik keluarga, tawuran antar kelompok
masyarakat, pencurian, dan rusaknya norma masyarakat.

Menurut Michael Cernea dalam Mirdasy (2007), seorang antropologi dari


George Washington University, Amerika Serikat menjelaskan bahwa
dampak disintegrasi sosial, tercerai-berainya masyarakat, dan hancurnya
budaya sangatlah serius, meskipun tak kasatmata dan tak bisa dikuantifikasi.
Rusaknya komunitas, hancurnya struktur tatanan masyarakat, tercerai-
berainya jaringan formal dan informal, perkumpulan-perkumpulan,
merupakan kehilangan modal sosial yang sangat mahal meski tak bisa
dikuantifikasi.

12
Kehilangan modal sosial itu bisa mengarah pada pemiskinan korban dari
segala sisi. Dalam kontek sosial maka modal sosial masyarakat korban
Lapindo telah mengalami kerugian yang luar biasa. Kegiatan social seperti
gotong royong, acara tahlillan satu minggu sekali, dan dziba’an (Sholawatan)
adalah contoh kegiatan sosial yang mampu mempererat ikatan mereka namun
semua itu sekarang hilang karena masyarakat telah mencari kehidupannya
sendiri-sendiri (www.korbanlapindo.net)

4. Dampak bencana pada aspek spiritual

Manusia sebagai makhluk yang utuh atau holistik memiliki kebutuhan yang
kompleks yaitu kebutuhan biologis, psikologis, sosial kultural dan spiritual.
Spiritual digambarkan sebagai pengalaman seseorang atau keyakinan
seseorang, dan merupakan bagian dari kekuatan yang ada pada diri seseorang
dalam memaknai kehidupannya. Spiritual juga digambarkan sebagai
pencarian individu untuk mencari makna (Bown & Williams, 1993). Dyson,
Cobb, dan Forman (1997) menyatakan bahwa spiritual menggabungkan
perasaan dari hubungan dengan dirinya sendiri, dengan orang lain dan dengan
kekuatan yang lebih tinggi.

Bencana adalah fenomena kehidupan yang maknanya sangat tergantung dari


mana seseorang memaknainya. Disinilah aspek spiritual ini berperan. Dalam
kondisi bencana, spiritualitas seseorang merupakan kekuatan yang luar biasa,
karena spiritualitas seseorang ini mempengaruhi persepsi dalam memaknai
bencana selain faktor pengetahuan, pengalaman, dan sosial ekonomi
(http://www.ncptsd.org/)

Kejadian bencana dapat merubah pola spiritualitas seseorang. Ada yang


bertambah meningkat aspek spiritualitasnya ada pula yang sebaliknya. Bagi
yang meningkatkan aspek spiritualitasnya berarti mereka meyakini bahwa

13
apa yang terjadi merupakan kehendak dan kuasa sang Pencipta yang tidak
mampu di tandingi oleh siapapun. Mereka mendekat dengan cara
meningkatkan spiritualitasnya supaya mendapatkan kekuatan dan
pertolongan dalam menghadapi bencana atau musibah yang dialaminya.
Sedangkan bagi yang menjauh umumnya karena dasar keimanan atau
keyakinan terhadap sang pencipta rendah, atau karena putus asa.

5. Dampak bencana pada aspek psikososial

Psikososial merupakan salah satu istilah yang merujuk pada perkembangan


psikologi manusia dan interaksinya dengan lingkungan sosial. Hal ini terjadi
karena tidak semua individu mampu berinteraksi atau sepenuhnya menerima
lingkungan sosial dengan baik. (http://wikipedia.org/wiki/psychosocial).
Psikososial adalah Suatu kondisi yang terjadi pada individu yang mencakup
aspek psikis dan sosial atau sebaliknya secara terintegrasi. Aspek kejiwaan
berasal dari dalam diri kita, sedangkan aspek sosial berasal dari luar, dan
kedua aspek ini sangat saling berpengaruh kala mengalami masa
pertumbuhan dan perkembangan. (http://Remaja%20
dan%20Aspek%20Psikososial.htm).

Definisi lain menyebutkan bahwa aspek psikososial merupakan aspek


hubungan yang dinamis antara dimensi psikologis/kejiwaan dan sosial.
Penderitaan dan luka psikologis yang dialami individu memiliki kaitan erat
dengan keadaan sekitar atau kondisi sosial. Pemulihan psikososial bagi
individu maupun kelompok masyarakat ditujukan untuk meraih kembali
fungsi normalnya sehingga tetap menjadi produktif dan menjalani hidup yang
bermakna setelah peristiwa yang traumatik (Iskandar, Dharmawan & Tim
Pulih, 2005). Dengan demikian dampak psikososial adalah suatu perubahan
psikis dan sosial yang terjadi setelah adanya bencana atau peristiwa traumatik
misalnya tsunami, banjir, tanah longsor atau seperti luapan lumpur Lapindo.

14
Respon individu paska trauma bervariasi tergantung dari persepsi dan
kestabilan emosi ynag dimilikinya. Menurut Keliat, dkk (2005), ada 3
tahapan reaksi emosi yang dapat terjadi setelah bencana, yaitu : pertama,
reaksi individu segera (24 jam) setelah bencana dengan reaksi yang
diperlihatkan: Tegang, cemas dan panik; terpaku, linglung, syok, tidak
percaya; gembira/euphoria, tidak terlalu merasa menderita; lelah; bingung;
gelisah, menangis dan menarik diri; merasa bersalah. Reaksi ini termasuk
reaksi normal terhadap situasi yang abnormal dan memerlukan upaya
pencegahan primer.

Adapun yang kedua adalah minggu pertama sampai dengan minggu ketiga
setelah bencana. Reaksi yang diperlihatkan antara lain: ketakutan, waspada,
sensitif, mudah marah, kesulitan tidur; kuatir, sangat sedih; mengulang-ulang
kembali (flashback) kejadian; bersedih. Reaksi positif yang masih dimiliki
yaitu: Berharap dan berpikir tentang masa depan, terlibat dalam kegiatan
menolong dan menyelamatkan; menerima bencana sebagai takdir. Kondisi
ini masih termasuk respon normal yang membutuhkan tindakan psikososial
minimal, terutama untuk respon yang maladaptif.

Sedangkan reaksi yang Ketiga adalah lebih dari minggu ketiga setelah
bencana dengan reaksi yang diperlihatkan dapat menetap. Manifestasi diri
yang ditampilkan yaitu : Kelelahan; merasa panik; kesedihan terus berlanjut,
pesimis dan berpikir tidak realistis; tidak beraktivitas, isolasi dan menarik
diri; kecemasan yang dimanifestasikan dengan palpitasi, pusing, letih, mual,
sakit kepala, dan lain – lain. Kondisi ini merupakan akumulasi respon yang
menimbulkan masalah psikososial.

Masalah psikososial adalah setiap perubahan dalam kehidupan individu baik


yang bersifat psikologis ataupun sosial yang mempunyai pengaruh timbal

15
balik dan dianggap berpotensi cukup besar sebagai faktor penyebab
terjadinya gangguan jiwa (atau gangguan kesehatan) secara nyata, atau
sebaliknya masalah kesehatan jiwa yang berdampak pada lingkungan sosial.
Ciri-ciri masalah psikososial antara lain: a) cemas, khawatir berlebihan, takut,
b) mudah tersinggung, c) sulit konsentrasi, d) bersifat ragu-ragu/merasa
rendah diri, e) merasa kecewa, f) pemarah dan agresif, g) reaksi fisik seperti:
jantung berdebar, otot tegang, sakit kepala (CMHN, 2005).

Danvers, dkk (2006) dalam penelitiannya tentang reaksi psikososial pasca


bencana Tsunami dan bencana Tamil Eelam di Srilanka menemukan 19
reaksi psikososial yaitu: 1) pada tahap awal timbul ketakutan akan laut dan
mimpi – mimpi buruk, 2) tidak percaya pada laut, mereka menjadi takut untuk
kembali tinggal di pesisir pantai, 3) timbulnya perasaan bersalah, 4) banyak
orang yang mengalami reaksi stres akut, perasaan berduka, bingung dan
sangat emosional.

Reaksi tersebut secara umum bersifat temporal, 5) tingkat kehilangan nyawa


yang tinggi, sehingga seluruh masyarakat menderita bersama – sama, dan
masalah psikososial utama yang teridentifikasi adalah reaksi kesedihan,
umumnya diperberat oleh rasa bersalah, kemarahan dan permusuhan serta
gagasan untuk bunuh diri, 6) keadaan ekonomi berubah secara besar–besaran
akibat bencana. Bahkan ada kasus bunuh diri karena kehilangan harta benda,
7) sistem pendukung umum telah hancur, semua anggota masyarakat
mengalami bencana, individu tidak menerima bantuan dari masyarakat.

Struktur desa dan masyarakat telah hancur, orang – orang berpindah pada
keadaan dan situasi yang berbeda, baik dari segi lingkungan maupun sosial,
8) belum adanya persiapan diri dan skala kerusakan akibat Tsunami telah
menambah kesusahan masyarakat. Sepertinya mereka tidak mampu untuk

16
menghadapi tekanan/stres untuk waktu yang lama, 9) orang – orang yang
terkena bencana harus berurusan dengan stres praktis.

Stres praktis tersebut misalnya sistem registrasi yang rumit, berusaha untuk
menyatukan kembali anggota keluarga yang masih ada, tidak meratanya
pembagian distribusi dan pertolongan, harus tinggal di pusat – pusat
penampungan dan di tempat penampungan sementara, 10) keluarga yang
terpisah setelah bencana terdapat di tempat penampungan yang berbeda.

Emosi dan pertanyaan yang tak terjawab mengenai keadaan kerabatnya,


kasus tubuh yang tidak diketemukan atau hanya teridentifikasi secara
umum/tidak spesifik dan berbagai hal yang berhubungan dengan keadaan
dukacita, 11) kurangnya kesempatan untuk melaksanakan ritual pemakaman.
Hal ini berhubungan dengan pemakaman dilakukan secara masal karena
banyak mayat yang tidak teridentifikasi dengan baik, 12) ekpresi marah
adalah reaksi yang paling umum. Mereka juga saling menyalahkan karena
kematian anggota keluarganya, marah pada diri sendiri dan merasa bersalah.

Kemarahan juga ditujukan kepada pihak lain seperti pada kelompok distribusi
bantuan dan pemerintah, 13) ada masyarakat yang memandang secara magis
tentang penyebab terjadinya bencana dan berusaha dengan cara – cara
tertentu untuk selamat dari bencana, 14) kurangnya koordinasi antara
organisasi dan agensi yang menyebabkan banyaknya bantuan yang tidak
tersalurkan kepada yang membutuhkan. Khususnya pada proses pemulihan
bagi yang mengalami reaksi psikolgis yang berat sehingga penderitaan para
korban semakin parah, 15) kurangnya sikap peka dan simpatik pemerintah
terhadap para korban.

Demikian juga dengan campur tangan politik yang mengejar keuntungan


sendiri menyebabkan sulit terpenuhinya kebutuhan para korban, 16) banyak

17
korban yang mempunyai riwayat kerugian di masa lalu yang dapat
membangkitkan kenangan dan reaksi emosi mereka karena bencana
sekarang. Dengan begitu semakin sulit bagi individu untuk menghadapinya,
17) banyak para duda yang kesulitan untuk mengurus anak kecil terutama
bayi. Mereka mengkonsumsi alkohol dalam menghadapi masalahnya, 18)
salah satu kelompok yang mempunyai kebutuhan paling spesifik yakni para
remaja, khususnya yang kehilangan orang tua.

Mereka terlihat di pusat–pusat pemondokkan, menarik diri dan marah. Jika


program spesifik tidak dilakukan dengan pada kelompok ini, akan timbul
risiko perkembangan personalitas yang menyimpang seperti tindakkan anti
sosial, pengeksploitasian oleh pihak-pihak tertentu yang tidak bertanggung
jawab, 19) ada semangat dan antusiasme yang tinggi dari beberapa kelompok
untuk melakukan aktivitas psikososial, meskipun tidak semua kelompok ini
dibekali dengan kompetensi yang cukup untuk melakukan intervensi
psikososial.

Teori Psikososial dari Erik Erikson (1955, dalam Frisch & Frisch, 2006),
manjelaskan masalah perkembangan psikososial berbeda dalam delapan
tahapan. Setiap tahap akan terjadi konflik psikososial berdasarkan usia.
Peneliti hanya menjelaskan perkembangan psikososial yang terkait dengan
subyek penelitian yaitu usia 20 tahun keatas. Pada usia ini tahap
perkembangannya adalah tahap keintiman versus pengasingan (Intimacy
versus isolation). Perkembangan tahap ini terjadi antara usia 18-25/30 tahun,
dimana individu mampu berinteraksi akrab dengan orang lain terutama lawan
jenis dan memiliki pekerjaan. Kegagalan tahap ini membuat individu
menjauhi pergaulan, merasa kesepian dan menyendiri. Adanya bencana dapat
menimbulkan masa ini tidak dapat dilampaui dengan baik. Mereka cenderung

18
lebih memikirkan pemenuhan kebutuhan hidup dan harapan masing-masing.

Tahap selanjutnya adalah tahap perluasan versus stagnasi (Generativity


versus stagnation). Perluasan yang dimaksud dalam tahap ini adala perluasan
perhatian dan kepedulian terhadap orang lain. Masa ini terjadi pada usia
pertenganan antara 21-45/50 tahun. Perkembangan yang baik pada periode
ini memunculkan semangat untuk caring kepada orang lain melebihi
kebutuhan untuk kepentingan pribadinya. Termasuk perhatian dan
kepedulianya terhadap keluarga dan anak-anaknya. Adanya gangguan pada
masa ini dapat menimbulkan stagnasi, yaitu ketidakpedulian atau pengabaian
kepada orang lain termasuk keluarga. Mereka hanya memikirkan untuk
kepentingan dirinya sendiri.

Akhir tahap perkembangan psikososial menurut Erikson adalah tahap


integeritas diri versus putus asa (Ego integrity versus despair) Perkembangan
periode ini dimulai pada usia 45/60 tahun ketika mulai meninggalkan
aktifitas-aktifitas dimasyarakat. Perkembangan yang baik pada masa ini
diwujudkan dengan adanya integeritas diri yang baik, lebih matang, dan tidak
takut mati karena telah melalui kehidupan dengan baik. Namun bila hidup
yang dilalui tidak semestinya, maka akan muncul perasaan putus asa,
penyesalan dan ”marah” dengan dirinya sendiri karena merasa gagal
menjalani hidup.

Dampak bencana pada properti

Bencana lumpur Lapindo yang terjadi sejak 29 Mei 2006 hingga sekarang masih
aktif mengeluarkan semburan lumpur panas ini telah menenggelamkan 200
hektar sawah dan empat desa yaitu desa Siring, Renokenongo, Kedungbendo dan
Jatirejo. Semburan yang berada di desa Siring kecamatan Porong Sidoarjo ini

19
juga telah mengakibatkan 30 pabrik ditutup, 4 kantor pemerintahan, 33
Sekolahan, 10,426 rumah, 65 tempat Ibadah, 28 Taman Pendidikan Qur’an, 3
Pondok Pesantren, 600 hektar sawah, dan gagal panen yang menurut Dewan Tani
kerugian diperkirakan mencapai Rp.15 Triliun.

Data tersebut dipastikan terus berubah bila semburan lumpur tidak kunjung
berhenti (Mirdasy, 2007). Sedangkan berdasarkan laporan Badan Perencanaan
Pembangunan (Bappenas). Pada 2007, Bappenas sudah mengeluarkan laporan
mengenai kerusakan dan kerugian akibat semburan lumpur Lapindo mencapai
7,3 triliun rupiah. Lalu ditambah dengan kerugian tidak langsung yang mencakup
potensi ekonomi yang hilang sekira 16,5 triliun rupiah (www.korbanlapindo.net)

Dampak bencana pada lingkungan

Akibat terjadinya bencana alam, tentu menimbulkan kerugian bagi kehidupan


masyarakat seperti rusaknya rumah, rusaknya fasilitas umum, hilangnya harta
benda bahkan sampai menimbulkan korban jiwa. Rusaknya rumah masyarakat
akibat bencana alam, menyebabkan masyarakat pindah ke tempat pengungsian
dengan persediaan fasilitas hidup yang terbatas atau mengungsi ke tempat
saudara yang jaraknya cukup jauh dari tempat kejadian.

Selain itu, terjadinya bencana alam juga menyebabkan rusaknya fasilitas atau
sarana pendidikan yang ada seperti gedung sekolah, peralatan belajar dan
terganggunya proses belajar mengajar. Kondisi tersebut tentu sangat berpengaruh
terhadap terbatasnya pemberian layanan pembelajaran dari sekolah kepada
peserta didik. Padahal mendapatkan layanan pembelajaran kepada peserta didik
merupakan salah satu hak asasi manusia bagi setiap warganegara Indonesia yang
dijamin oleh negara, sebagaimana yang tercantum di dalam Undang-Undang
dasar 1945, pasal 31, ayat 2.

20
Sebagai akibat kerusakan lingkungan, selain rusaknya infrasturtur, fasilitas lain
yang menyangkut kebutuhan dasar manusia juga terganggu, misalnya
ketersediaan air bersih, distribusi bahan makanan dan pencemaran lingkungan.
Semua dampak lingkungan ini, cepat atau lambat akan mengancam status
kesehatan korban bencana

Manajemen Bencana

Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi luapan lumpur Lapindo, namun
hingga kini belum mampu menghentikannya. Mulai dari Snubbing unit (suatu
alat untuk menghentikan luapan Lumpur), relief well (tehnik mencari pusat
semburan pada kedalaman tertentu dengan cara ngebor miring), water treatment
(suatu cara pengenceran air lumpur sebelum dibuang ke sungai atau badan air)
dan cara Spilway yaitu mengalirkan lumpur ke sungai dengan cara memompa.
Semua skenario dan upaya tersebut hingga kini belum mampu menghentikan
luapan lumpur Lapindo.

Secara Nasional peristiwa bencana sudah menjadi perhatian pemerintah. Hal ini
terbukti dengan dibentuknya lembaga-lembaga yang khusus menangani masalah-
masalah yang timbul akibat bencana, seperti adanya badan penanggulangan
bencana mulai dari tingkat pusat hingga lokal tempat kejadian bencana.

Manajemen bencana dalam penelitian ini difokuskan pada bagaimana


manajemen bencana dilakukan agar tidak menyebabkan gangguan atau masalah
bagi kesehatan manusia, baik sebagai individu, keluarga dan masyarakat.
Disamping itu juga akan diulas sedikit mengenai penanganan bencana yang ada
di Indonesia terutama penanganan bencana Lumpur Lapindo.

Penanganan bencana di Indonesia

Setiap peristiwa yang mengancam kehidupan manusia akan selalu menjadi

21
perhatian bagi Individu, kelompok, LSM, Ormas maupun negara. Begitu pula
setiap kejadian bencana di Indonesia. Pemerintah, organisasi-organisasi bantuan
baik dalam negeri maupun luar negeri, dan masyarakat itu sendiri melakukan
upaya untuk penanganan bencana secara bekerjasama dibawah koordinasi Satuan
Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Pengungsian

Di Indonesia sudah terbentuk struktur lembaga yang menangani atau


bertanggung jawab terjadinya bencana dari pusat hingga daerah, yaitu
BAKORNAS PBP (Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan
Pengungsian), SATKORLAK PBP (Satuan Koordinasi Pelaksana
Penanggulangan Bencana dan Pengungsian) pada tingkat propinsi, dan SATLAK
PBP (Satua Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Pengungsian) pada tingkat
Kabupaten, SATGAS (Satuan Tugas) pada tingkat kecamatan, dan
HANSIP/KMPB (Pertahanan Sipil/Kelompok Masyarakat Penanggulangan
Bencana) pada tingkat desa/kelurahan.

Dalam perannya sebagai tenaga kesehatan, perawat merupakan bagian dari


sistem di lembaga-lembaga penanggulangan bencana yang ada, baik pada tingkat
lokal maupun nasional. Disamping itu, peran perawat juga bisa berada di lembaga
swasta baik tergabung dalam Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) maupun
Organisasi Masyarakat (Ormas).

22
BAB 2
BENCANA LUMPUR LAPINDO

Tujuan Intruksional
Setelah membaca bagian ini, mahasiswa mampu:
1) Memahami sejarah terjadinya bencana lumpur lapindo
2) Menjelaskan dampak psikologis yang dialami masyarakat korban
bencana
3) Menjelaskan kewenangan lembaga pemerintah dalam penanganan
bencana

1. Sejarah singkat terjadinya bencana lumpur lapindo


Meluapnya semburan lumpur Lapindo yang tak terkendali ini menjadi
bencana bagi masyarakat Sidoarjo tepatnya di lokasi pengeboran Lapindo
Brantas Inc di Dusun Balongnongo Desa Renokenongo, Kecamatan
Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, terjadi sejak tanggal 29 Mei
2006. Semburan lumpur panas yang sudah terjadi hampir tujuh (7) tahun
ini menyebabkan berbagai kerugian dan kehilangan. Akibat dari bencana
tersebut kawasan permukiman, pertanian, dan perindustrian di tiga
kecamatan di sekitarnya tergenang oleh lumpur dan saat ini menjadi
wilayah bencana. Peristiwa ini memengaruhi berbagai aspek antara
aktivitas politik, sosial, ekonomi dan budaya baik bagi masyarakat lokal
sidoarjo maupun secara nasional.

Berbagai spekulasi penyebab bencana tersebut, bila dilihat dari lokasi


kejadian, pusat semburan hanya berjarak 150 meter dari sumur Banjar
Panji-1 (BJP-1), yang merupakan sumur eksplorasi gas milik Lapindo

Bencana Lumpur Lapindo 21

23
Brantas Inc sebagai operator blok Brantas. Sehingga semburan lumpur
panas tersebut diduga diakibatkan aktivitas pengeboran yang dilakukan
Lapindo Brantas di sumur tersebut. Pihak Lapindo Brantas sendiri punya
dua teori soal asal semburan. Pertama, semburan lumpur berhubungan
dengan kesalahan prosedur dalam kegiatan pengeboran. Kedua, semburan
lumpur kebetulan terjadi bersamaan dengan pengeboran akibat sesuatu
yang belum diketahui.

Yang jelas, kejadian tersebut bila dilihat dari waktu dan tempat sangat
dekat dengan aktifitas Lapindo Brantas Inc. Lapindo Brantas melakukan
pengeboran sumur Banjar Panji-1 pada awal Maret 2006 dengan
menggunakan perusahaan kontraktor pengeboran PT Medici Citra
Nusantara. Kontrak itu diperoleh Medici atas nama Alton International
Indonesia, Januari 2006, setelah menang tender pengeboran dari Lapindo
senilai US$ 24 juta.

Pada kesempatan ini penulis hanya ingin menyampaikan beberpa pendapat


ahli tentang penyebab bencana tersebut. Adalah American Association of
Petroleum Geologists (AAPG) pada tahun 2008 menyelenggaran
International Conference & Exhibition yang dilaksanakan di Cape Town
International Conference Center, Afrika Selatan, tanggal 26-29 Oktober
2008, merupakan kegiatan tahunan yang dihadiri oleh ahli geologi seluruh
dunia, menghasilan pendapat ahli sebagai berikut: sebanyak 3 (tiga) ahli
dari Indonesia mendukung GEMPA YOGYA sebagai penyebab, 42 (empat
puluh dua) suara ahli menyatakan PEMBORAN sebagai penyebab, 13 (tiga
belas) suara ahli menyatakan KOMBINASI Gempa dan Pemboran sebagai
penyebab, dan 16 (enam belas suara) ahli menyatakan belum bisa
mengambil opini. Laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan tertanggal 29

Bencana Lumpur Lapindo 22

24
Mei 2007 juga menemukan kesalahan-kesalahan teknis dalam proses
pemboran

Disisi lain, berdasarkan beberapa pendapat ahli lumpur keluar disebabkan


karena adanya patahan, banyak tempat di sekitar Jawa Timur sampai ke
Madura seperti Gunung Anyar di Madura, "gunung" lumpur juga ada di
Jawa Tengah (Bleduk Kuwu). Fenomena ini sudah terjadi puluhan, bahkan
ratusan tahun yang lalu. Jumlah lumpur di Sidoarjo yang keluar dari perut
bumi sekitar 100.000 meter kubik perhari, yang tidak mungkin keluar dari
lubang hasil "pemboran" selebar 30 cm. Dan akibat pendapat awal dari
WALHI maupun Meneg Lingkungan Hidup yang mengatakan lumpur di
Sidoarjo ini berbahaya, menyebabkan dibuat tanggul di atas tanah milik
masyarakat, yang karena volumenya besar sehingga tidak mungkin
menampung seluruh luapan lumpur dan akhirnya menjadikan lahan yang
terkena dampak menjadi semakin luas hingga saat ini .
(http://id.wikipedia.org)

2. Dampak bencana lumpur lapindo


Peristiwa meluapnya lumpur Lapindo di Sidoarjo sejak 29 Mei 2006
merupakan fenomena yang khas, baik dari sisi penyebab kejadian, lama
kejadian, penanganan atau penghentian luapan lumpur yang hingga kini
belum teratasi (Mirdasy, 2007). Peristiwa ini telah mengakibatkan korban
jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak
psikologis serta dampak sosiologis yang akan dialami korban lumpur
Lapindo akibat program relokasi. Perpindahan penduduk ketempat baru
atau relokasi ini akan membawa pengaruh yang signifikan pada proses dan
struktur masyarakat. Hubungan sosio-kultural, ekonomi, kekeluargaan dan
pranata sosial juga akan mengalami kemunduran atau ketidakteraturan lagi
bahkan sangat potensi untuk terjadi konflik sosial di tempat yang baru itu

Bencana Lumpur Lapindo 23

25
(Mirdasy, 2007)

Masalah-masalah sosial yang terjadi akibat bencana lumpur Lapindo yang


dapat menyebabkan masalah psikis atau masalah psikis yang dapat
menyebabkan masalah sosial inilah yang disebut dengan masalah
psikososial (CMHN, 2005). Masalah psikososial juga berarti setiap
perubahan dalam kehidupan individu yang bersifat psikologis ataupun
sosial yang mempunyai pengaruh timbal balik dan dianggap berpotensi
cukup besar sebagai faktor penyebab terjadinya gangguan jiwa atau
gangguan kesehatan secara nyata, atau sebaliknya masalah kesehatan jiwa
yang berdampak pada lingkungan sosial (Iskandar dkk, 2005). Kelompok
kerja CMHN (2005) lebih jelas merumuskan ciri-ciri masalah psikososial,
yaitu: a) cemas, khawatir berlebihan, takut, b) mudah tersinggung, c) sulit
konsentrasi, d) bersifat ragu-ragu/merasa rendah diri, e) merasa kecewa, f)
pemarah dan agresif, g) reaksi fisik seperti : jantung berdebar, otot tegang,
sakit kepala.

Berbagai bentuk respons psikologis dan sosial yang dialami masyarakat


korban berbeda tergantung pada persepsi dan mekanisme koping yang
digunakan. Dalam konteks bencana lumpur Lapindo, fenomena dampak
psikososial akibat lumpur Lapindo belum bisa dijelaskan secara mendalam
terutama bagi daerah bencana terdampak yang sudah hampir tiga tahun ini
bertempat tinggal di sekitar luapan lumpur Lapindo.

Sebagaimana diketahui, masyarakat korban luapan lumpur Lapindo,


ditinjau dari wilayah atau area tempat tinggal dikelompokkan menjadi 1)
daerah bencana, 2) daerah bencana terdampak, 3) daerah bencana
menyusul, 4) daerah bencana langsung dan 5) daerah bencana tidak
langsung (Mangoenpoerojo, 2008). Penelitian ini difokuskan pada daerah
bencana terdampak karena pada daerah bencana masyarakatnya sudah
Bencana Lumpur Lapindo 24

26
menempati tempat baru atau sebagian kecil masih di penampungan.
Sementara yang termasuk daerah bencana terdampak akibat bencana
lumpur Lapindo ini adalah desa Besuki Barat, Kedungcangkring, dan desa
Pajarakan kecamatan Jabon Sidoarjo.

Dari tiga desa tersebut terdapat 1,666 keluarga atau 6,094 jiwa. Penentuan
desa terdampak dilakukan pada bulan Juli 2008 setelah tiga desa tersebut
dinyatakan tidak layak huni oleh Badan Penanggulangan Lumpur di
Sidoarjo (BPLS). Dengan status sebagai desa terdampak berarti
masyarakat harus meninggalkan tanah dan rumahnya karena daerah
tersebut akan dijadikan penampung lumpur. Pemilihan area penelitian di
desa Pajarakan karena desa ini merupakan salah satu desa terdampak yang
hingga kini penduduknya belum meninggalkan tempat meskipun tempat
tinggal mereka sudah dikelilingi lumpur Lapindo.

Dampak psikososial sebagai perwujudan dari respon psikis yang dapat


menyebabkan respon sosial atau sebaliknya yang dialami individu korban
bencana termasuk korban Lapindo ini, memang beragam tergantung pada
persepsi dan mekanisme koping yang digunakan dalam menyikapi situasi
yang terjadi. Kegelisahan psikis yang sudah lama dipendam akibat
kehilangan tempat tinggal, harta benda, lingkungan masyarakat yang sudah
kondusif, serta hilangnya hak-hak anggota keluarga lain, menimbulkan
penderitaan tersebut semakin berat. Apalagi harapan untuk mendapat ganti
rugi sebagai hak masyarakat korban hingga saat ini belum terselesaikan.
Uang ganti rugi yang dijanjikan baru dicairkan 20% (tahap I), sedangkan
sisa 80% belum jelas waktu pembayaranya (www.korbanlapindo.net)

Kalau diperhatikan ungkapan-ungkapan masyarakat korban Lapindo saat


unjuk rasa ”silahkan kalau membunuh kami, kami tidak takut mati” (Jawa
pos, 22-2-2007) adalah ungkapan-ungkapan orang marah, frustasi atau
Bencana Lumpur Lapindo 25

27
putus asa. Orang yang sudah putus asa atau frustasi seperti ini biasanya
tidak punya rasa takut dan dapat berbuat nekat, sehingga mereka cenderung
berbuat anarkhis, destruktif, dan anti sosial. Atau mungkin justru karena
sudah putus asa mereka menjadi tidak peduli lingkungan, pesimis dalam
hidup yang pada akhirnya dapat menimbulkan depresi berat.

Kondisi tersebut menurut pandangan teori perkembangan psikososial jelas


mengancam pertumbuhan dan perkembangan kepribadian individu
selanjutnya. Erik Erikcon (1950, dalam Frisch & Frisch, 2006) membagi 8
fase perkembangan psikososial sesuai tingkat usia. Perkembangan
psikososial sebagaimana yang dimaksud Erikson ini akan terjadi bila
individu mampu mengatasi krisis yang dialami
(http:www.geocities.com/erikson.htm). Masalah psikososial akan terjadi
bila individu tersebut tidak mampu mengatasi krisis atau stressor seperti
bencana Lumpur Lapindo. Berdasarkan teori Erikson ini, diperkirakan
seluruh tahap perkembangan psikososial manusia akan mengalami
ketidakseimbangan.

Penelitian ini difokuskan pada masalah psikososial yang terjadi pada usia
dewasa (20-50 th) dan usia lanjut. Pada tahap usia dewasa akan terjadi
”konflik” antara Generativity vs Stagnation. Generativity adalah
kepedulian yang tinggi, lebih luas dari pada intimacy. Perkembangan
individu yang baik pada fase ini akan memunculkan sikap tanggap, peduli
dan partisipasi aktif terhadap kebutuhan orang lain atau lingkungan.
Sedangkan Stagnation merupakan terbatasnya atau tidak adanya kepedulian
kepada orang lain. Ciri-ciri orang yang mengalami stagnasi adalah pasif,
tidak produktif bagi masyarakat karena mereka hanya melihat sesuatu
untuk kepentingan dirinya sendiri tanpa mempedulikan orang lain
(http://www.geocities.com/antara _kita/erikson.htm).

Bencana Lumpur Lapindo 26

28
Pada usia lanjut dalam perkembangan psikososial menurut Erikson adalah
tahap integeritas diri versus putus asa (Ego integrity versus despair)
Perkembangan periode ini dapat dimulai pada usia 45 - 60 tahun ketika
mulai meninggalkan aktifitas-aktifitas dimasyarakat. Perkembangan
psikososial yang baik pada masa ini diwujudkan dengan adanya integeritas
diri yang baik, lebih matang, dan tidak takut mati karena telah melalui
kehidupan dengan baik. Namun bila hidup yang dilalui tidak sesuai, maka
akan muncul perasaan putus asa, penyesalan dan ”marah” terhadap diri
sendiri karena merasa gagal menjalani hidup.

Bila mengacu pada teori kebutuhan Maslow, masyarakat korban bencana


tidak hanya menanggung masalah rasa aman saja (tingkat kebutuhan dasar
yang kedua), namun pada tingkat yang paling dasar juga bermasalah. Mulai
dari kebutuhan nutrisi (makanan), kebutuhan hubungan biologis, tempat
tinggal yang tidak sehat dan lain-lain. Semua kondisi tersebut akan sangat
mempengaruhi kondisi psikologis mereka, dan perubahan tersebut tidak
hanya berpengaruh kepada individu-individu masyarakat namun dapat
menimbulkan konflik sosial atau mereka sedang mangalami masalah
psikososial.

a. Intervensi psikososial
Berpijak pada teori psikososial Erik Erikson dan teori Maslow di atas,
masyarakat korban Lapindo saat ini sedang mengalami masalah seperti
gangguan pada sistem manusia yang meliputi aspek fisik, psikis, sosial
budaya, dan spiritual, disamping masalah properti, dan kerusakan
lingkungan. Untuk mencegah terjadinya efek atau dampak yang lebih
parah, maka diperlukan perhatian dan bantuan agar masalah tersebut dapat

Bencana Lumpur Lapindo 27

29
diatasi. Salah satu bentuk bantuan yang perlu diberikan adalah bantuan
psikososial dari tenaga kesehatan professional, disamping dukungan segera
dipenuhinya hak masyarakat korban yang berupa ganti rugi.

Bantuan psikososial dalam bentuk intervensi psikosial dapat dilakukan oleh


tenaga kesehatan profesional, salah satunya adalah tenaga perawat.
Keperawatan sebagai bagian integral dari sistem pelayanan kesehatan
dituntut mampu memberikan kontribusi dalam pelayanan keperawatan
professional terhadap berbagai dampak psikososial dan psikiatrik
(gangguan jiwa) yang dialami para korban bencana. Pengalaman
menghadapi bencana yang berdampak pada aspek bio-psiko-sosio dan
spiritual yang dirasakan secara bervariasi/beraneka ragam, baik secara
individu, keluarga, kelompok dan komunitas. Hal tersebut sangat
bergantung pada nilai dan kepercayaan yang didasari oleh latar belakang
sosiokultural, intelektualitas, spiritualitas hidup, dan status sosial.

Intervensi psikososial merupakan pemberian layanan kesehatan mental


yang tidak hanya berbasis pada layanan yang diberikan di rumah sakit jiwa,
namun lebih mengarah pada layanan yang diberikan dalam komunitas yang
sifatnya lebih informal. Intervensi ini berupaya untuk mendekatkan layanan
kesehatan jiwa ke dalam kehidupan sehari-hari dan memberikan layanan
kepada kelompok-kelompok yang ada di masyarakat baik yang mengalami
masalah psikiatri (gangguan), yang beresiko mengalami gangguan maupun
yang sehat. Dengan intervensi psikososial, individu yang mengalami
gangguan diharapkan mampu mandiri. Untuk yang resiko dapat terhindar
atau tidak terjadi gangguan, dan untuk yang sehat dapat semakin sehat dan
meningkat status kesehatannya (CMHN, 2005).

Perawat sebagai salah satu tenaga kesehatan mempunyai tanggung jawab


dan peran dalam meningkatkan status kesehatan masyarakat termasuk
Bencana Lumpur Lapindo 28

30
dalam hal ini adalah status kesehatan jiwa. Peran perawat di Indonesia
sebagaimana yang disepakati oleh PPNI terdiri dari empat peran, yaitu
peran sebagai pemberi pelayanan/asuhan, pengelola, pendidik, dan
peneliti. Peran perawat dalam memberikan layanan kesehatan jiwa untuk
korban pasca bencana ini telah dilakukan di Aceh pasca bencana Tsunami.
Upaya penanganan gangguan jiwa dengan strategi langsung ke masyarakat
telah dimulai dengan program Community Mental Health Nursing (CMHN)
yang dilaksanakan oleh FIK UI bekerjasama dengan Dinas Kesehatan
Kabupaten dan Kota di NAD dan Kabupaten di Nias.

Dari program tersebut telah teridentifikasi sejumlah pasien gangguan jiwa


dimasyarakat dan telah dilakukan perawatan dengan pendekatan BC (basic
course) CMHN kepada sebagian pasien dan dinilai berhasil yang
dibuktikan dengan adanya perbaikan kondisi pasien dan sekitar 31,46%
pasien yang dirawat telah mandiri. Disamping itu perhatian masyarakat
juga meningkat, keluarga yang sebelumnya mengetahui cara merawat saat
ini telah mampu merawat pasien di rumah (CMHN, 2006).

Hingga saat ini, berdasarkan hasil wawancana dengan masyarakat korban


pada Pebruari 2009 belum ada upaya khusus yang dilakukan oleh Dinas
Kesehatan Kabupaten Sidoarjo untuk menangani masalah psikososial yang
dialami masyarakat korban Lapindo di daerah terdampak. Layanan
kesehatan yang pernah ada adalah layanan kesehatan bagi pengungsi di
Pasar Baru Porong Sidoarjo, baik yang sediakan oleh BPLS maupun LSM.
Sedangkan Instansi layanan kesehatan pemerintah seperti Puskesmas dan
RSUD memberikan layanan gratis bagi masyarakat korban yang sakit.

Kondisi masyarakat korban Lapindo saat ini memang tidak dalam ancaman
kematian, namun perubahan yang dialami akibat lumpur Lapindo dan
ketidakpastian masa depan menyebabkan rentan terhadap masalah
Bencana Lumpur Lapindo 29

31
kesehatan, baik masalah kesehatan fisik, psikis, sosial, budaya dan
spiritual. Memang masyarakat korban saat ini lebih fokus pada masalah
pembayaran ganti rugi tahap II (80%) yang belum terealisasi, sehingga
masalah kesehatan terutama masalah kesehatan jiwa belum ada perhatian
baik dari pemerintah dalam hal ini dinas kesehatan maupun dari
masyarakat korban sendiri. Meskipun masyarakat korban sering
mengungkapkan kata-kata stres, pusing dan ungkapan-ungkapan menghujat
kepada PT MLJ yang mereka anggap pihak yang bertanggung jawab dalam
bencana ini.

Berdasarkan fenomena tersebut di atas, diperlukan upaya untuk mencegah


dan mengurangi dampak psikologis dan sosial atau dampak psikososial
agar tidak berlanjut pada kondisi kejiwaan yang lebih parah. Beberapa
upaya yang dapat dilakukan adalah upaya mengidentifikasi status
kesehatan jiwa masyarakat korban bencana, mendiagnosa masalah dan
intervensi psikososial yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dalam hal ini
perawat kesehatan jiwa.

Berdasarkan pertimbangan dan realita yang terjadi pada masyarakat korban


lumpur Lapindo, maka peneliti melakukan penelitian dengan desain
kualitatif: Studi fenomenologi dampak psikososial akibat bencana lumpur
Lapindo di desa Pajarakan kecamatan Jabon Sidoarjo. Alasan peneliti
menggunakan desain penelitian kualitatif dengan metode fenomenologi
adalah karena dampak psikososial merupakan pengalaman hidup yang
bersifat subyektif, masing-masing individu berbeda, dan tindakan masing-
masing individu hanya dapat dipahami melalui pemahaman terhadap dunia
kehidupan individu berdasarkan perspektif mereka bersama.

Bencana Lumpur Lapindo 30

32
b. Kaitan bencana dengan masalah kesehatan jiwa
Masalah kesehatan jiwa di masyarakat akhir-akhir ini semakin meningkat
baik yang sifatnya ringan maupun berat. Secara global, prevalensi penderita
tekanan psikologis ringan dan tidak membutuhkan pertolongan khusus
diperkirakan sekitar 20-40%. Sedangkan prevalensi penderita tekanan
psikologis sedang sampai berat yang membutuhkan intervensi sosial dan
dukungan psikologis dasar mencapai 30-50%.

Tekanan-tekanan psikologis ini pada akhirnya dapat menyebabkan


terjadinya gangguan mental seperti depresi, gangguan kecemasan dan Post
Traumatic Stress Disorder (PTSD). Bentuk-bentuk masalah mental ini
diprediksi mencapai 20% yang memerlukan penanganan kesehatan mental
baik yang dapat diakses di layanan kesehatan umum (Puskesmas, RSU)
maupun di layanan kesehatan mental komunitas (World Mental Health
Survey, 2000).

Sementara itu, gangguan mental berat seperti psikosis, depresi berat,


ansietas berat terdapat data 3-4% dari populasi umum di seluruh dunia
setelah terpapar trauma dan kehilangan yang memerlukan layanan
kesehatan mental. Di Asia Selatan dan Asia Timur angka kejadian
berbagai gangguan jiwa mulai dari ringan sampai berat mencapai sekitar
25% (Hidayat, 2005). Sedangkan di Indonesia berdasarkan laporan WHO
(2006) terdapat 26 juta penduduk yang mengalami gangguan jiwa, panik,
dan gejala paling ringan yaitu cemas. Dua belas hingga enam belas persen
dari dari 26 juta penduduk tersebut mengalami gangguan jiwa serius
(Maramis, 2006)

Angka yang disampaikan WHO di atas diperkirakan terus meningkat


seiring dengan berbagai persoalan hidup dan bencana alam yang terjadi di
Indonesia. Berbagai persoalan hidup seperti meningkatnya harga kebutuhan
Bencana Lumpur Lapindo 31

33
pokok, sempitnya lapangan kerja, dan tingginya biaya pendidikan
merupakan stressor dalam menjalani hidup. Kondisi ini diperberat adanya
bencana alam yang secara langsung maupun tidak akan mengakibatkan
timbulnya masalah ekonomi, pengangguran, hilangnya mata pencaharian,
ancaman kehilangan tempat tinggal, konflik sosial atau kesulitan hidup
lain, pada akhirnya akan berdampak pada masalah psikologis dan masalah
sosial dalam menjalani kehidupan.

Masalah psikologis dan sosial (psikososial) juga terjadi akibat adanya


konflik sosial. Berdasarkan laporan penelitian tahun 2006 yang dilakukan
oleh International Organization for Migration (IOM), Fakultas Kedokteran
Harvard dan Universitas Syiah Kuala bahwa akibat pasca konflik di Aceh
ditemukan data adanya dampak psikososial akibat peristiwa traumatik
seperti kesulitan memenuhi kebutuhan keluarga dialami sebanyak 85%,
kesulitan mendapatkan pekerjaan mencapai 90%, kesulitan memenuhi
aktifitas selama masa konflik sebanyak 71% dan 59% mengalami
kekhawatiran mengenai perumahan yang layak. Akibat lain dari peristiwa
ini adalah terganggunya perekonomian setempat, hilangnya hak
pengelolaan tanah milik mereka, hewan ternak, hancurnya jaringan
perdagangan, merusak rumah atau tempat tinggal dan menghalangi para
remaja atau pelajar untuk mengejar cita-cita. Dampak psikososial lain
akibat peristiwa trauma ini adalah depresi mencapai 65%, 69% mengalami
gejala kecemasan dan 34% mengalami gejala PTSD

Selain itu, masalah kesehatan jiwa mulai dari yang ringan berupa masalah
psikososial seperti kecemasan dan psikosomatis hingga masalah kesehatan
jiwa yang lebih berat seperti depresi dan psikosis juga bisa terjadi pada

Bencana Lumpur Lapindo 32

34
orang yang mengalami bencana. Sebagaimana yang terjadi di Nanggroe
Aceh Darussalam (NAD) dan Nias pasca bencana Tsunami tahun 2004,
berdasarkan data yang dilaporkan dari 11 Kabupaten/kota di NAD telah
ditemukan 4177 pasien gangguan jiwa dan 146 pasien pada 2 kabupaten di
Nias. Jumlah tersebut dimungkinkan belum menggambarkan angka yang
sesungguhnya karena belum secara total daerah dideteksi, sehingga
memungkinkan angka tersebut terus bertambah. (CMHN, 2006).

Terjadinya masalah kesehatan jiwa di atas diperkirakan tidak jauh berbeda


dengan yang dialami masyarakat korban lumpur Lapindo di Sidoarjo. Dari
wawancara pendahuluan yang dilakukan peneliti kepada salah satu warga
Pajarakan pada tanggal 12 Januari 2009 didapatkan data lebih dari 10 orang
yang telah mengalami perubahan perilaku seperti mudah tersinggung,
marah tanpa sebab, minum-minuman keras dan 3 orang diantaranya
mendapat perawatan di RS Bhayangkara Porong Sidoarjo karena gangguan
jiwa. Masalah lain yang terjadi adalah hubungan sosial masyarakat yang
menurun seperti hubungan keluarga yang tidak harmonis, konflik dengan
tetangga atau kelompok masyarakat, dan kepedulian antar sesame yang
rendah.

Sebagaimana diketahui bersama bahwa luapan lumpur Lapindo yang


terjadi sejak 29 Mei 2006 hingga saat ini merupakan bencana alam terlama
dalam sejarah Indonesia. Berbagai masalah menimpa masyarakat korban
seperti masalah ekonomi, pendidikan, pekerjaan, tempat tinggal, masalah
kesehatan, maupun masalah hubungan keluarga dan social kemasyarakatan.

Kompleksnya masalah dan lamanya masalah yang tidak teratasi akan


membawa dampak psikososial baik terhadap individu, keluarga maupun
masyarakat. Dampak psikososial ini akan membawa pengaruh besar
terhadap hubungan dan keberlangsungan hidup individu, keluarga dan
Bencana Lumpur Lapindo 33

35
masyarakat.

Pemahaman yang mendalam dan komprehensif tentang dampak psikososial


akibat lumpur Lapindo ini diharapkan dapat dijadikan salah satu dasar
untuk mencegah atau mengurangi dampak psikososial yang lebih luas dan
berkepanjangan. Untuk itu penulisan hasil penelitian ini diharapkan dapat
menjawab secara kualitatif bagaimanakan dampak psikososial akibat
bencana lumpur Lapindo di desa Pajarakan kecamatan Jabon Sidoarjo.

Bencana Lumpur Lapindo 34

36
BAB 3

RESPON KEHILANGAN & BERDUKA AKIBAT BENCANA

Tujuan Intruksional
Setelah membaca bagian ini, mahasiswa mampu:
1) Memahami tipe dan sumber kehilangan
2) Menjelaskan Faktor–faktor yang berpengaruh terhadap kehilangan dan
berdukacita
3) Memahami Koping terhadap kehilangan
4) Menjelaskan tahap dan fase berduka cita pada korban bencana

Bencana menimbulkan kerugian dan gangguan pada sistem manusia. Hal ini
dapat menimbulkan berbagai perubahan. Salah satu perubahan yang sering
dialami oleh korban bencana adalah perasaan kehilangan dan berdukacita &
berkabung. Menurut Fortinash (1996), kehilangan merupakan proses yang
dicirikan oleh serangkaian tahapan yang tumpang tindih meliputi manifestasi
psikologis, penyesuaian dan resolusi. Sedangkan berdukacita dan berkabung
merupakan respon fisiologis dan psikologis yang dinamik terhadap kehilangan
yang mempengaruhi aspek fisik, kognitif, perilaku, sosial dan spiritual. Perasaan
kehilangan dan berdukacita & berkabung ini tidak dapat dipisahkan karena
berada dalam suatu rangkaian kesatuan rentang respon.

Kozier, et al. (2004), mendefinisikan kehilangan adalah situasi saat ini atau yang
akan terjadi (resiko), saat dimana sesuatu yang bernilai menjadi berbeda nilainya,
tidak lagi ada ataupun bahkan hilang. Dukacita merupakan respon emosional
yang dialami berhubungan dengan kehilangan. Dukacita dapat dimanifestasikan
melalui pikiran, perasaan dan perilaku yang bercampur dengan stres berat dan

37
penderitaan. Berkabung adalah proses perilaku/aktivitas setelah
kesedihan/dukacita telah selesai. Hal ini sering dipengaruhi oleh budaya,
pengalaman keagamaan dan adat istiadat. Berkabung merupakan respon
subyektif yang dialami seseorang setelah kematian orang yang dikasihi yang
memiliki hubungan yang berarti/erat. Penjelasan mengenai respon psikososial
kehilangan dan berdukacita-berkabung, dapat digambarkan dalam uraian
dibawah ini:

Tipe dan sumber – sumber kehilangan

Menurut Kozier, et al (2004) ada 2 tipe umum dari kehilangan, yaitu kehilangan
aktual dan kehilangan yang dipersepsikan. Kehilangan aktual dapat
diidentifikasikan oleh orang lain dan dapat timbul sebagai respon ataupun
sebagai antisipasi dari suatu situasi. Sebagai contoh, seorang perempuan
mempunyai suami yang akan meninggal dunia, mengalami kehilangan aktual
untuk mengantisipasi kematian suami. Kehilangan yang dipersepsikan dialami
oleh seseorang akan tetapi tidak dapat dijelaskan oleh orang lain. Sebagai contoh,
seorang perempuan yang meninggalkan pekerjaan untuk mengasuh anak-anak di
rumah dapat merasakan kehilangan kebebasan dan kemandirian.

Dijelaskan lebih lanjut menurut Kozier, et al. (2004) bahwa kehilangan dapat
bersumber dari beberapa aspek seperti: Pertama, kehilangan aspek diri seseorang
misalnya anggota tubuh dan fungsi piskologis. Kehilangan aspek diri akan
mengubah gambaran diri seseorang, walaupun kehilangan tersebut tidak nyata
terlihat oleh orang lain. Kedua, kehilangan obyek eksternal meliputi: kehilangan
barang/benda mati yang sangat penting bagi orang tersebut seperti kehilangan
uang, kehilangan rumah dan properti lainnya akibat bencana. Ketiga, berpisah
dari lingkungan yang sudah terbiasa (lingkungan sehari-hari) dan orang – orang
yang memberikan rasa aman. Dan Keempat, kehilangan orang – orang yang
dikasihi akibat penyakit atau kematian. Kematian orang yang dikasihi merupakan

38
kehilangan yang permanen dan berat.

Menurut Harvey dan Weber (1998) kehilangan terbagi atas: Pertama, kehilangan
yang nyata, contohnya: kehilangan dari visi pendengaran, aktivitas seksual atau
kapasitas mental, infertilitas, penyakit kronis, pemerkosaan dan penyalahgunaan
obat-obatan atau hukuman politis. Kehilangan nyata tersebut dapat menjadi
pengalaman bagi diri sendiri. Kedua, kehilangan interpersonal, contohnya
bercerai, putus hubungan persahabatan, kematian orang yang dicintai. Ketiga,
kehilangan material, contohnya kehilangan pekerjaan, perubahan
kewarganegaraan, trauma waktu perang, perubahan tempat tinggal, menjadi
gelandangan.

Keempat, kehilangan simbolik, contohnya: kehilangan berhubungan dengan


rasisme, redefinisi peran, memasuki situasi kebiasan keluarga baru. Kelima,
kehilangan psikologis yang tidak nyata, seperti perubahan nilai personal karena
penurunan pangkat; perubahan perasaan dikontrol dan penyelamatan diri dari
kriminal, teroris, penipuan; perubahan identitas diri yang berhubungan dengan
menjadi janda; perubahan pada pandangan universal yang berhubungan dengan
pengalaman bencana alam atau kecelakaan kimia.

Faktor–faktor yang berpengaruh terhadap kehilangan dan berdukacita

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi respon kehilangan antara lain jenis
kelamin, budaya, keyakinan spiritual, dan sosial ekonomi. Peran jenis kelamin
dapat mempengaruhi perubahan drastis pada aspek psikososial individu akibat
suatu kehilangan. Hal ini bisa dikarenakan karena faktor hormonal yang dapat
mempengaruhi persepsi terhadap adanya kehilangan. Sebagai contoh, seorang
laki–laki menganggap luka pada wajah akibat cedera adalah hal yang jantan,
namun perempuan menganggapnya bukan sesuatu yang indah. Maka perempuan
akan melihatnya sebagai suatu kehilangan (Corr, Nabe dan Corr 2000)

39
Faktor budaya juga mempengaruhi respon kehilangan dan berdukacita-
berkabung. Menurut Kozier, et al. (2004), beberapa kelompok budaya menilai
mendapat dukungan masyarakat dari ekspresi kehilangan. Dalam beberapa
kelompok, ekspresi dukacita ditunjukkan melalui menangis, meratap, fisik
melemah, dan contoh lain di luar itu diterima dan mendorong sebagai bagian dari
mengatasi kehilangan. Kelompok lainnya tidak menyukai contoh ini dan
menganggap sebagai hilang kendali, mereka lebih menyukai ekspresi duka yang
dilakukan dengan tenang dan tabah.

Menurut Scheper dan Hughes (1985), respon kehilangan memiliki arti yang
berbeda antar budaya dan diantara individu dalam sebuah budaya, tergantung
pada kebiasaan hidup masing – masing. Contoh, di dalam budaya masyarakat
yang kurang mampu dimana kematian bayi dan anak – anak dilihat sebagai
sesuatu yang tidak dapat dihindarkan, keadaan penyakit yang serius pada anak –
anak dapat dikategorikan sebagai kematian dan pada kematian yang sebenarnya
dari anak tersebut tidak ditangisi lebih dari beberapa hari. Demikian halnya
anggapan tentang kematian dapat dipandang sebagai misteri bagi orang lain.
Mereka belajar meyakini bahwa kematian anak kecil masih sebagai suatu bagian
dari keluarga besar dan diharapkan dapat bertemu lagi dengan ibunya pada
kehidupan setelah kematian.

Keyakinan spiritual dan pelaksanaannya sangat mempengaruhi reaksi seseorang


akan kehilangan dan perilaku setelahnya. Kebanyakkan kelompok agama
memiliki upacara yang berhubungan dengan sakratul maut, yang sering kali
penting bagi klien dan orang–orang yang mendukungnya (Gilbert, 1996; Moos,
1995). Faktor keyakinan spiritual ini sangat tergantung pada kualitas dan
kuantitas individu dalam berinteraksi atau menjalankan ajaran keyakinan yang
dianutnya. Pelaksanaan keyakinan spiritual yang baik umumnya mempunyai
respon kehilangan yang positif dibanding pelaksanaan keyakinan spiritual yang
rendah.

40
Selain tiga faktor diatas, Irish (1993) menjelaskan bahwa faktor status sosial
ekonomi juga sangat mempengaruhi dalam merespon kehilangan. Status sosial
ekonomi individu seringkali mempengaruhi sistem dukungan yang didapat ketika
ia mengalami kehilangan. Orang yang mengantisipasinya melalui kebiasaan
menabung melalui sarana asuransi sebelum mengalami musibah akan lebih
memperoleh dukungan sosial ekonomi dibandingkan dengan yang tidak. Status
sosial ekonomi yang baik mempunyai banyak alternatif untuk menentukan
pilihan dalam mengahadapi masalah kehilangan.

Koping terhadap kehilangan


Berbagai reaksi ditunjukkan seseorang yang mengalami kehilangan. Menurut
Kozier, dkk (2004), usia mempengaruhi pemahaman dan reaksi kehilangan.
Perkabungan/berkabung normal biasanya terjadi sampai dengan satu tahun.
Dengan adanya pengalaman, biasanya pemahaman dan penerimaan seseorang
terhadap kehidupan, kehilangan dan kematian akan meningkat. Seseorang yang
tidak biasa menghadapi kehilangan dalam hidup atau kehilangan orang yang
dikasihi, berakibat pada kesulitan dalam menghadapi kehilangan lain yang
terjadi. Usia dan pengalaman merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
penggunaan koping ketika mengalami bencana (kehilangan).

Menurut McGoldrick’s (1991), berdukacita/berkabung adalah gejala dari patah


hati yang diakibatkan karena kehilangan cinta dan kasih sayang. Hal tersebut
merupakan pengalaman psikodinamik yang memberikan kematangan/maturasi
untuk dapat bangkit kembali dari suatu kondisi depresi dan mengembalikan
fungsi peran ke sedia kala. Rasa berdukacita tersebut juga memberikan
pengalaman bagi reaksi psikologis anggota keluarga dan individu yang akhirnya
menjadi lebih teruji dan berpengalaman

Berdukacita merupakan respons normal dari kehilangan dan hal ini sangat
penting untuk mental yang baik dan kesehatan fisik. Berdukacita membuat

41
seseorang berusaha untuk mengatasi dengan berangsur–angsur memulihkan
kehilangan serta menerimanya sebagai kenyataan. Berdukacita adalah proses
sosial, dan sebaiknya dijalami dengan dukungan orang lain (John Rolland,1994).

Dijelaskan lebih lanjut bahwa membantu seseorang yang sedang berdukacita


sangatlah penting karena mereka menunjukkan efek–efek yang bisa mengganggu
kesehatannya. Gejala yang biasanya menyertai dukacita adalah kecemasan,
depresi, penurunan berat badan, gangguan menelan, muntah, lemah, sakit kepala,
pusing, gangguan penglihatan, gangguan pola menstruasi, palpitasi, nyeri dada,
dispnea dan infeksi. Orang tersebut juga bisa mengalami kemunduran dalam
gairan seks, konsentrasi, pola makan, pola tidur, aktivitas dan komunikasi.

Meskipun berdukacita dapat mengancam kesehatan, hal positif yang diperoleh


adalah memperkaya cara pandang, ketegaran, pengalaman, sensitifitas serta
kemampuan menilai hidup dan kehidupan orang tersebut. Hal ini berpengaruh,
baik untuk orang yang sedang sekarat dan keluarganya, juga untuk orang lain.
Bila memungkinkan, orang yang sedang sekarat harus memiliki kesempatan
untuk berkembang secara emosional dan spiritual (Kozier, dkk, 2004)

Tahap atau fase – fase berdukacita


Menurut Sanders (1989, dalam Kozier, dkk. 2004) menggambarkan fase–fase
berdukacita sebagai berikut : Pertama, fase syok : Orang yang bertahan/selamat
ditinggalkan dengan perasaan bingung, khayalan dan ketidakpercayaan. Mereka
sering kali tidak berfikir (berpikir) secara normal. Fase ini terjadi dari beberapa
menit hingga beberapa hari. Respon yang ditampilkan yaitu, ketidakpercayaaan,
kebingungan, kegelisahan, merasa tidak nyata, kemunduran dan
ketidakberdayaan, status bahaya. Gejala fisik: mulut dan tenggorokkan kering,
mendesah, menangis, kehilangan kontrol otot, tubuh bergetar tidak terkontrol,
gangguan tidur dan kehilangan nafsu makan; gejala psikologis: pikirannya
dipenuhi oleh orang yang telah meninggal dan menjauh secara psikologis.

42
Kedua, fase menyadari kehilangan : Setelah pemakaman, teman dan keluarga
kembali pada aktivitas sehari–hari. Orang yang berduka merasa kehilangan
dukungan sosial. Respons yang ditampilkan yaitu, kecenderungan memisahkan
diri, konflik, menampilkan ekspresi emosi, stres yang berkepanjangan. Gejala
fisik seperti menangis dan gangguan tidur. Gejala psikologis seperti kemarahan,
merasa bersalah, frustrasi, malu, sangat sensitif, tidak percaya dan pengingkaran,
bermimpi, merasa kehadiran orang yang telah meninggal dan takut akan
kematian.

Ketiga, fase konservasi/menarik diri: Pada fase ini, orang yang bertahan/selamat
merasa perlu waktu untuk menyendiri agar dapat memelihara dan mengisi energi
fisik dan emosinya. Dukungan dari masyarakat menurun dan mereka mengalami
keputusasaan dan ketidakberdayaan. Respon yang ditampilkan, yaitu, gejala fisik
seperti lemah, lelah, butuh waktu tidur lebih, menurunnya system kekebalan
tubuh. Gejala psikologis seperti menarik diri, pikiran yang menghantui, berduka
dan memperbaharui atau merubah harapan.

Keempat, fase pemulihan kembali: Mulai merasa menderita hidup tanpa orang
yang dicintainya dan belajar hidup mandiri. Respon yang ditampilkan yaitu
pengendalian diri, pembaharuan identitas, melepaskan peran misalnya sebagai
suami, isteri, anak atau orangtua. Gejala fisik sperti bertambahnya energi,
kembalinya waktu tidur, kembalinya sistem kekebalan tubuh dan penyembuhan
fisik. Gejala psikologis seperti memaafkan, melupakan, pencarian makna dan
harapan baru.

Kelima, fase pembaharuan : Mulai menyadari realitas baru, suatu penerimaan


akan tanggung jawab atas dirinya sendiri dan belajar hidup tanpa didampingi
orang yang telah tiada. Respon yang ditampilkan yaitu: Keseimbangan fungsi,
penyegaran kembali, merasa bertanggung jawab akan kebutuhan merawat diri

43
sendiri. Gejala Psikologis : Kesepian, reaksi terhadap perayaan atau hari jadi,
berusaha mencari orang lain.

Menurut Martocchio (1985, dalam Kozier, dkk. 2004), respon berdukacita


terbagi dalam 5 kelompok antara lain: Pertama, syok dan tidak percaya, dengan
respon; Perasaan mati rasa yaitu perasaan yang biasa dialami saat seseorang
berdukacita karena kehilangan orang yang dikasihi. Orang tersebut bisa
merasakan depresi, marah, perasaan bersalah dan sedih. Ketidakpercayaan atau
penolakkan tetap terjadi walaupun kehilangan tersebut telah dapat diterima
secara intelektual/rasio.

Kedua, protes, dengan respon perasaan marah yang bisa ditujukan pada
almarhum, pada Tuhan, pada orang – orang di sekitar almarhum yang masih
hidup atau pada perawat. Individu tersebut akan mulai merasa ketakutan dengan
kemunduran mentalnya dan memutuskan untuk menarik diri dan tidak mau
membicarakan pikiran dan perasaan mereka dengan orang lain.

Ketiga, Kesedihan yang mendalam, putus asa dan kacau dalam bermasyarakat,
dengan respon: Ketika kenyataan dari kehilangan sungguh – sungguh diakui,
orang bisa mulai depresi. Tangisan biasa terjadi pada situasi seperti ini. Individu
kehilangan motivasi tentang masa depan, tidak mampu membuat keputusan,
kehilangan rasa percaya diri dan tujuan hidup. Berbagai kegiatan yang pernah
dilakukan bersama almarhum menjadi tidak menarik.

Keempat, kehilangan identitas selama berdukacita, dengan respon : Orang yang


berdukacita bisa meniru perilaku, habit dan ambisi dari almarhum. Kadang
mereka juga merasakan tanda dan gejala yang sama dengan penyakit almarhum.
Kelima, Reorganisasi dan restitusi, dengan respon : Meraih stabilitas dan
reintegrasi membutuhkan waktu yang cukup lama, kurang dari satu tahun hingga
beberapa tahun. Walaupun orang yang merasa kehilangan merasa dirinya baik –

44
baik saja dan dapat melanjutkan fungsi pola hidupnya, perasaan berdukacita tidak
hilang begitu saja. Bagi kebanyakkan orang timbul rasa sakit karena kehilangan,
walaupun berkurang tetap membekas dalam hidupnya.

Kubler – Ross (1969, dalam Kozier, dkk. 2004), membagi dukacita dalam 5
tahapan. Pertama, denial/menolak, dengan respon perilaku: menolak untuk
percaya bahwa sedang mengalami kehilangan, tidak siap menghadapi masalah –
masalah yang akan terjadi, misalnya tidak siap untuk menggunakan protesis/kaki
palsu setelah kehilangan kaki, bisa berpura – pura bersikap gembira untuk
memperpanjang penolakkan.

Kedua, anger/marah, dengan respon perilaku : Individu atau keluarga bisa


langsung marah kepada orang – orang di sekitarnya. Kemarahan tersebut
sehubungan dengan masalah yang dalam keadaan normal tidak mengganggu
mereka. Ketiga, bargaining/tawar – menawar, dengan respon perilaku : Mulai
menawarkan untuk menghindari kesulitan, mungkin akan mengungkapkan
perasaan bersalah, ketakutan, hukuman, dosa masa lalu yang dapat secara nyata
ataupun tidak. Respon tawar-menawar ditunjukkan melalui aspek verbalisasi.

Keempat, depression/depresi, dengan respon perilaku : Kesedihan lebih dalam


terhadap apa yang telah berlalu dan apa yang tidak dapat terjadi lagi, mungkin
tidak akan banyak berbicara ataupun menyendiri/menarik diri. Respon depresi
ini lebih dominan tercermin dari aspek perilaku.

Kelima, acceptance/penerimaan, dengan respon perilaku : Memasuki tahap akhir


dari tahap kehilangan, bisa mengalami penurunan perhatian pada keadaan sekitar
dan orang – orang terdekat. Individu mungkin mulai membuat rencana
penggunaan alat bantu seperti kaki palsu dan lain – lian, serta menata rencana
kehidupannya ke depan.

Engel’s (1964, dalam Kozier, dkk. 2004), menggambarkan tingkatan berdukacita

45
penggunaan alat bantu seperti kaki palsu dan lain – lian, serta menata rencana
kehidupannya ke depan.

Engel’s (1964, dalam Kozier, dkk. 2004), menggambarkan tingkatan berdukacita


disertai respon perilaku sebagai berikut : Pertama, shok dan tidak percaya.
Respon perilaku yang ditampilkan: Penolakkan untuk menerima kehilangan,
perasaan kacau, menerima secara intelektual tetapi menolak secara emosional.

Kedua, mengembangkan kesadaran. Individu mulai memasuki tahap menyadari


akan kehilangan, dengan perilaku yang ditampilkan yaitu, kemarahan dapat
terjadi dan dilampiaskan kepada di sekitarnya, menangis dan menyalahkan diri
sendiri.

Ketiga, Restitusi. Respon perilaku yang ditampilkan yaitu, mengikuti kegiatan


/ritual perkabungan, misalnya pemakaman, dan lain – lain. Individu menyatu
dengan situasi perkabungan bersama orang lain.

Keempat, menyelesaikan masalah kehilangan. Respon perilaku yang ditampilkan


yaitu, berusaha untuk menerima rasa sakit, masih belum mampu menerima orang
baru untuk dicintai sebagai ganti orang yang meninggal. Mungkin mulai
menerima hubungan ketergantungan dengan orang yang sangat mendukung,
berpikir dan berbicara tentang kenangan orang yang telah meninggal.

Kelima, idealisasi, dengan respon perilaku : Menggambarkan sikap respek


terhadap orang yang meninggal dan menekan semua perasaan negatif dan
bermusuhan terhadap almarhum. Timbul rasa bersalah karena semua perbuatan
dan pikiran di masa lalu yang tidak baik pada almarhum, tanpa sadar menghargai
almarhum, perasaan sedih saat mengingat almarhum semakin berkurang dan
mulai memiliki perasaan memiliki orang lain.

Keenam, tahap mencapai hasil. Respon perilaku yang ditampilkan dipengaruhi


oleh beberapa faktor seperti, pentingnya orang yang meninggal sebagai sumber
dukungan selama ini dan sejauh mana tingkat ketergantungan dan hubungan
diantara mereka. Apakah ada perasaan yang bertentangan di antara mereka,
jumlah persahabatan/hubungan dengan orang lain selain almarhum, dan

46
oleh beberapa faktor seperti, pentingnya orang yang meninggal sebagai sumber
dukungan selama ini dan sejauh mana tingkat ketergantungan dan hubungan
diantara mereka. Apakah ada perasaan yang bertentangan di antara mereka,
jumlah persahabatan/hubungan dengan orang lain selain almarhum, dan
pengalaman berdukacita yang sudah pernah dialami oleh individu selama ini.

Beberapa pandangan dan penjelasan diatas menunjukkan bahwa persepsi


kehilangan dan respon yang ditimbulkan dari masing-masing individu yang
sifatnya sangat subyektif dan masing-masing berbeda. Hal ini dapat dipengaruhi
karena faktur internal (dari dalam) maupun eksternal (dari luar). Faktor internal
misalnya, kepribadian, gen, keyakinan spiritual dan jenis kelamin. Sedangkan
faktor eksternal misalnya karena faktor lingkungan, budaya, dan sosial ekonomi.

47
48
BAB 4
PERAN TENAGA KESEHATAN

Tujuan Intruksional
Setelah membaca bagian ini, mahasiswa mampu:
1) Memahami kompetensi perawata dalam manajemen bencana
2) Menjelaskan Peran perawat kesehatan jiwa dalam manajemen bencana
3) Memahami pendekatan psikoterapi yang dapat dilakukan pada korban
bencana

Penanganan bencana pada dasarnya adalah tanggung jawab pemerintah dengan


melibatkan semua unsur atau potensi masyarakat. Dalam kaitanya dengan
penanganan masalah psikososial, tenaga kesehatan yang kompeten untuk
berperan aktif adalah psikiater, perawat kesehatan jiwa (spesialis), psikolog dan
tenaga sukarela (volunter) atau pekerja sosial (social worker) yang sudah terlatih
. Psikiater berperan dalam mendiagnosis dan memberikan obat (kuratif) terkait
gangguan jiwa yang dialami korban bencana. peran ini terutama diperlukan untuk
penanganan fase lanjut atau korban yang sudah mengalami gangguan jiwa.
Sementara untuk perawat jiwa dapat berperan dalam upaya deteksi dini, promotif
dan rehabilitatif. Dalam buku ini lebih ditekankan pada peran perawat sebagai
tenaga kesehatan dengan jumlah paling banyak dibanding tenaga kesehatan lain
yang berperan langsung dalam penanganan bencana.

Kompetensi perawat dalam manajemen bencana

Amelia (2007) menjelaskan, untuk menjadi perawat bencana harus mempunyai


kompetensi khusus sesuai posisinya. Bila dalam posisi manajer keperawatan,
maka seorang perawat bencana harus mempunyai kompetensi:

49
1. mampu membuat keputusan cepat dalam rangka mengatasi masalah bencana,
misalnya menentukan staf (SDM) yang dilibatkan dalam penanganan
bencana, memenuhi alat dan obat-obatan yang harus disiapkan, dan mampu
memenuhi kebutuhan logistik penanganan bencana

2. mampu melakukan koordinasi dengan baik pada saat terjadi bencana

Sedangkan sebagai pelaksana keperawatan, kompetensi yang harus dimiliki


adalah mampu: a) melakukan triage darurat bencana, b) melaksanakan
penyelamatan kehidupan dasar dan lanjutan, c) melaksanakan tindakan
keperawatan gawat. d) memenuhi kebutuhan klien gawat darurat, e)
melaksanakan pengawasan, f) membuat dokumentasi setiap tindakan, g)
menangani kepanikan klien dan keluarga, dan h) menangani sukarelawan.

Kompetensi tersebut diatas dapat terus ditingkatkan melalui pendidikan dan


pelatihan khusus secara terencana dan periodik, baik formal maupun informal.
Secara formal kompetensi ini dapat di integrasikan dalam kurikulum pendidikan
keperawatan, sedangkan untuk informal dapat dilakukan dengan cara
melaksankan pelatihan-pelatihan khusus tentang tanggap bencana. Hal ini
penting mengingat Indonesia merupakan negara yang rawan bencana.

Peran perawat dalam manajemen bencana

Bencana yang terjadi seringkali menimbulkan trauma dan penderitaan bagi


korban. Sebagai salah satu tenaga kesehatan, perawat mempunyai tanggung
jawab dalam membantu mengatasi ancaman bencana baik pada fase preimpact,
impact/emergency maupun postimpact. Dalam melakukan pertolongan tentunya
perawat tidak bisa bekerja sendiri, namun perlu keterlibatan dan kerjasama
dengan berbagai komponen dengan koordinasi dan persiapan yang baik mulai
dari pemerintahan pusat hingga kelurahan.

Peran perawat cukup komplit, mulai dari penyusun rencana, pendidik, pemberi

50
layanan kesehatan dan bagian dari tim pengkajian kejadian bencana. Tujuan
tindakan keperawatan yang dilakukan selama bencana adalah untuk mencapai
kemungkian tingkat kesehatan terbaik bagi masyarakat korban. Jika perawat
berada di pusat area bencana, ia diharapkan mampu atau ikut melakukan evakuasi
dan memberi pertolongan pertama pada korban. Sementara di lokasi
penampungan, perawat dapat melakukan evaluasi kondisi korban, melakukan
tindakan keperawatan berkelanjutan dan mengkondisikan lingkungan terhadap
perawatan korban dengan penyakit menular.

Untuk menjadi perawat bencana yang sigap dan terampil, ada beberapa hal yang
perlu diikuti pada masa pra bencana yaitu:

1. perawat mengikuti pedidikan dan pelatihan bagi tenaga keseahatan dalam


penanggulangan ancaman bencana untuk tiap fasenya (preimpact,
impact, postimpact). Materi pelatihan mencakup berbagai tindakan dalam
penanggulangan ancaman dan dampak bencana. Misalnya mengenai
intruksi ancaman bahaya, mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan saat
fase darurat (makanan, air, obat-obatan, pakaian, selimut, tenda dsb) dan
mengikuti pelatihan penanganan pertama korban bencana (PPGD)
2. Perawat ikut terlibat dalam berbagai tim kesehatan, baik dari dinas
kesehatan pemerintah, organisasi lingkungan, Palang Merah Nasional,
maupun LSM dalam memberikan penyuluhan dan simulasi dalam
menghadapi ancaman bencana kepada masyarakat. Penyuluhan atau
pendidikan kesehatan kepada masyarakat harus meliputi:
a. usaha pertolongan diri sendiri (masyarakat korban)
b. keluarga atau kelompok
c. pelatihan pertolongan pertama pada anggota keluarga, misalnya
menolong anggota keluarga dengan kecurigaan fraktur, perdarahan
dan pertolongan luka bakar. Pelatihan ini akan lebih baik bila keluarga

51
juga dikenalkan mengenai perlengkapan kesehatan (first aid kit)
seperti obat penurun panas (parasetamol), tablet antasida, antidiare,
antiseptik, laksatif, termometer, perban, plester, bidai
d. Pembekalan informasi tentang bagaimana menyimpan dan membawa
persediaan makanan, penggunaan air yang aman dan sehat
e. Perawat juga dapat memberikat beberapa alamat dan nomor telepon
f. darurat seperti dinas kebakaran, rumah sakit dan ambulans.
g. Memberikan tempat alternatif penampungan atau posko bencana
h. Memberikan informasi tentang perlengkapan yang dapat dibawa
(misal pakaian seperlunya, portable radio, senter dan baterai)
Sementara untuk peristiwa emergensi, intervensi psikososial yang dilakukan
pada saat-saat gawat darurat (emergency) telah dikembangkan dan
direkomendasikan oleh kelompok kerja sebagai berikut
1. Fase segera setelah kejadian (rescue):
a. Menyediakan defusing (sarana pengungkapan tekanan/beban/ emosi) dan
pelayanan intervensi krisis untuk tenaga yang memberikan bantuan
kedaruratan.
b. Memastikan keselamatan korban dan memastikan terpenuhinya
kebutuhan-kebutuhan fisik dasar (rumah, makanan, air bersih).
c. Mencari cara menyatukan kembali keluarga dan komunitas.
d. Menyediakan informasi, kenyamanan, asistensi praktis, dan pertolongan
pertama masalah emosional.
2. Fase inventory awal (bulan pertama setelah kejadian):
a. Melanjutkan tugas-tugas penyelamatan.
b. Mendidik & melatih orang lokal dan relawan mengenai efek trauma.
c. Melatih konselor-konselor tambahan untuk situasi bencana
d. Menyediakan dukungan praktis jangka pendek.
e. Mengindentifikasi mereka yang berada dalam resiko-resiko khusus.
f. Memulai dukungan krisis, debriefing dan bentuk lain semacamnya.

52
3. Fase inventory lanjutan (dua bulan setelah kejadian dan setelahnya):
a. Melanjutkan tugas penyelamatan dan fase awal.
b. Menyediakan pendidikan masyarakat.
c. Mengembangkan pelayanan-pelayanan outreach, dan mengidentifikasi
yang memerlukannya.
d. Menyediakan debriefing dan aktivitas-aktivitas lain sesuai kebutuhan
korban bencana.
e. Mengembangkan layanan berbasis sekolah dan layanan-layanan lain
berbasis lembaga kemasyarakatan.
4. Fase rekonstruksi:
a. Tindaklanjut terhadap korban yang selamat yang telah ditemui atau
ditangani sebelumnya.
b. Menyediakan hotline dan cara-cara lain yang memungkinkan komunitas
menghubungi konselor.

c. Melanjutkan layanan defusing dan debriefing untuk pekerja


penyelamatan dan komunitas.

Tomoto (2009) dari Hyogo Care centre Jepang menjelaskan bahwa intervensi
dasar yang dapat dilakukan pada korban bencana adalah:

1) menjelaskan bahwa kondisi sudah aman

2) berbagi pengetahuan dan informasi, dengan melakukan pendidikan


psikologis dan memanfaatkan sumber daya lokal

3) tidak memaksa terhadap tindakan yang akan dilakukan

4) tidak menjanjikan bahwa tugas selanjutnya kita tanggung semua.

Pilihan intervensi yang direkomendasikan adalah intervensi tahap awal,


tindakan medis berdasarkan diagnosis umum, dan tindakan medis oleh tenaga

53
spesialis:

1) Intervensi tahap awal

Korban bencana yang memerlukan intervensi awal ini adalah korban


yang terasingkan, korban yang tidak dapat beristirahat sebagaimana
mestinya, dan korban yang tidak memiliki tempat yang aman untuk
menceritakan pengalamannya (Foy dkk, 1984; Keane dkk., Martin
dkk., 2000 dalam Tomota, 2009). Prinsip intervensi pada tahap awal
ini adalah: a) tidak membahayakan, b) reaksi normal terhadap kondisi
abnormal, c) menceritakan pengalaman dan perasaan sendiri kepada
orang yang dapat dipercaya, d) pemulihan pola hidup normal dan
aktifitas sehari-hari, e) olah raga secukupnya, dan f) waktu tidur
cukup

Intervensi awal yang dilakukan dengan tepat menunjukkan hasil 90%


diantaranya pulih tanpa bantuan tenaga spesialis (Rothbaum dkk,
1992 dalam Tomota, 2009). Pada tahap ini juga direkomendasikan
untuk tidak melakukan debriefing karena berdasarkan penelitian
upaya debriefing ini tidak efektif pada korban bencana baik untuk
meringankan penderitaan maupun untuk mencegah terjadinya PTSD.

2) tindakan medis berdasarkan diagnosis umum (primary care)

a) pilihan pertama: SSRI (selective serotonin Reuptake Inhibitor,


misalnya Paxil, Luvox, Depromel)

b) Pilihan kedua: Tricyclic antidepressant, Catapres, inderal

c) Jika rasa cemas menguat, diberikan: Benzodiazepine anxiolytic


dosis tinggi, Solanax, Constan, tambahan Rivotril Landsen

d) Jika timbul dorongan impulsif dan ofensif yang kuat, diberikan


Tegretol, Depakene dan sebagainya. Tujuan diberikan obat ini

54
tidak untuk melupakan memori pengalaman yang traumatik
namun untuk memulihkan rasa percaya diri bahwa memori sudah
dapat dikontrol.

e) Bila gejala mengarah gangguan jiwa, maka diberikan


antiispychotic.

3) tindakan medis oleh tenaga spesialis, seperti a) terapi dengan obat,


b) terapi dengan dukungan moral, c) EMDR (Eye Movement
Desensitization and Reprocessing), d) CBT (Cognitive Behaviour
Therapy), dan e) Eksposur dalam jangka waktu panjang.

Selain prinsip-prinsip intervensi tersebut diatas, Tomoto (2009) juga


menjelaskan perlunya menghindari kata-kata yang diucapkan selama
memberikan intervensi karena dapat melukai perasaan klien, antara lain:

1) teruslah berusaha. Pernyataan ini memberikan motivasi namun pada


waktu yang tidak tepat karena kondisi klien yang sedang berduka
yang masih sulit menerima advise dari luar

2) kalau kamu tidak sembuh-sembuh, orang yang sudah meninggal juga


tidak akan tenang lho!.

3) kalau kamu menangis, orang yang sudah meninggal juga tidak akan
tenang lho!

4) Sudah bagus lho bahwa nyawa kamu masih bisa diselamatkan

5) Kamu kan punya keluarga, itu saja sudah bisa bahagia, bukan?

6) Anggap saja ini tidak pernah terjadi, mari mulai segalanya dari awal

7) Pasti ada hal yang baik dimasa yang akan datang

8) Cepat lupakan, bangkitkan semangatmu

9) Kamu lebih sehat dari yang saya pikirkan sebelumnya

55
10) Jangan berfikir begitu lagi

11) Mari berfikir positif

12) Segini saja cukupkan?

13) Tidak apa-apa lho!

Individu korban bencana merupakan pihak yang sangat rentan dan sensitif
terhadap ungkapan atau pernyataan orang lain. Hal ini terjadi karena
ketidakstabilan emosi korban pasca bencana. Untuk itu perawat sebagai
salah satu tenaga kesehatan perlu memahami dan melatih untuk
menggunakan tehnik komunikasi secara terapeutik ketika berinterkasi
dengan klien.

Peran perawat kesehatan jiwa dalam manajemen bencana

Salah satu peran penting perawat kesehatan jiwa adalah melakukan intervensi
psikososial. Intervensi psikososial merupakan pemberian layanan kesehatan
mental yang tidak hanya berbasis pada layanan yang diberikan di rumah sakit
jiwa (efek psikologis pasien), namun juga mengarah pada layanan yang
diberikan dalam komunitas (efek sosial) yang sifatnya lebih informal. Intervensi
ini berupaya untuk mendekatkan psikologi dan psikiatri ke dalam kehidupan
sehari-hari dan memberikan layanan kepada kelompok-kelompok yang ada
dimasyarakat baik yang mengalamai masalah psikiatri (gangguan), yang beresiko
mengalamai gangguan maupun yang sehat.

Dengan intervensi psikososial, bagi yang mengalami gangguan agar meningkat


kemampuannya dan mandiri. Untuk yang berresiko agar terhindar atau tidak
terjadi gangguan, dan untuk yang sehat agar semakin sehat dan meningkat status
kesehatannya (CMHN, 2005). Tujuan intervensi psikososial adalah
meningkatkan ketangguhan (resiliensi) individu, kelompok, dan komunitas

56
dengan memperkuat faktor pelindung dan faktor penenkan. Faktor pelindung
adalah kondisi individu dan lingkungan yang meningkatkan kemampuan individu
menghadapi situasi sulit. Sedangkan faktor penekan adalah kondisi individu dan
lingkungan yang menurunkan kemampuan individu menghadapi situasi sulit.

Menurut Iskandar dkk (2005), untuk dapat melakukan intervensi psikososial


secara baik dan efektif maka langkah-langkah di bawah ini perlu diperhatikan:

1) Mengembangkan kepercayaan (trust). Terapis perlu membina hubungan


saling percaya kepada korban. Apalagi korban dalam kondisi emosi yang
labil atau masih dalam fase berkabung dan kehilangan sehingga sangat
sensitif terhadap keberadaan orang lain. Terapis perlu memperkenalkan
diri dengan sopan, mendengarkan, menghormati cara-cara dan keyakinan
lokal dalam berhubungan dengan masyarakat.
2) Menunjukkan empati, terutama apabila memberikan pertolongan pertama
dan bantuan tanggap darurat, sehingga masyarakat korban tidak merasa
menjadi obyek tetapi subyek dari intervensi yang dilakukan. Prosedur
untuk memberitahukan tahap-tahap yang dilakukan dalam memberi
bantuan dan mendapatkan informed consent atau izin sebelum
memberikan pertolongan wajib dilakukan.
3) Membantu atau memfasilitasi terpenuhinya kebutuhan fisik dasar,
misalnya penampungan darurat, bantuan sandang dan pangan. Dapat juga
memastikan perlindungan kelompok-kelompok yang rentan kekerasan
seperti perempuan dan anak-anak
4) Tetap tenang meski orang yang dihadapi sangat gelisah, agresif, ataupun
situasi mengagetkan/berbeda tak seperti dugaan sebelumnya.
5) Dalam menghadapi individu-individu khusus, upayakan menempatkan
individu pada situasi yang aman, meminimalkan kemungkinan ia melukai
diri sendiri atau orang lain

57
6) Mendorong dilakukannya kegiatan-kegiatan kelompok.
7) Mengembangkan rutinitas yang positif
8) Menghadiri kegiatan meskipun sekadar ada bersama, mendengar,
mengamati, menunjukkan kepedulian.
9) Melakukan kunjungan-kunjungan rumah.
10) Mengidentifikasi masalah-masalah psikososial khusus dan orang-orang
yang menunjukan gejala-gejala trauma lebih dalam.

Paradigma baru dalam layanan kesehatan jiwa dari hospital base ke commiunity
base memerlukan komitmen yang kuat dari tenaga kesehatan untuk mau dan
mampu terjun langsung kemasyarakat dalam rangka mengatasi masalah
kesehatan yang ada. Dalam kasus masayarakat korban Lapindo tenaga kesehatan
atau pihak-pihak terkait harus memberikan perhatian khusus terutama masalah
kesehatan yang mencakup biopsikososiospiritual.

Perawat sebagai bagian dari tenaga kesehatan yang ada mempunyai tanggung
jawab dalam memberikan pelayanan kesehatan jiwa dalam konteks klien sebagai
individu, keluarga, kelompok dan masyarakat. Pelayanan yang diberikan dapat
bersifat promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif, melalui berkolaborasi
dengan tenaga kesehatan lainnya.

Salah satu terapi yang dapat dilakukan kepada individu korban adalah
psikoterapi. Model terapi ini lebih dikenal dengan psikoterapi individu didesain
sebagai orientasi tindakan, fokus penampilan, struktur dan batasan waktu
intervensi (Carson, 2000). Model ini menggunakan teknik yang berfokus pada
pemecahan masalah untuk membantu klien menyelesaikan konflik utama yang
dihadapi klien dari dimensi fisik, psikologis, sosial kultural dan spiritual.

Pendekatan yang digunakan pada psikoterapi individu ini adalah rasional emotif
yang membantu klien menghapus pandangan hidup klien yang menyalahkan

58
hubungan baik dengan diri sendiri, orang lain, lingkungan atau Tuhan dan
membantu klien memperoleh pandangan hidup yang lebih rasional dalam
mencari makna dan tujuan hidup.

Tujuan dari psikoterapi individu ini adalah untuk mengembalikan klien pada
kondisi sebelum sakit dalam periode yang singkat (Carson, 2000). Menurut
Corey (2005) tujuan dari psikoterapi individu adalah penyusunan kembali
kepribadian, penemuan makna dalam kehidupan, penyembuhan gangguan
emosional, penyesuaian dalam masyarakat, pencapaian aktualisasi diri, peredaan
kecemasan, serta penghapusan tingkah laku maladaptif dan belajar pola-pola
tingkah laku adaptif. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa psikoterapi
bertujuan untuk merubah perilaku maladaptif melalui distorsi kognitif.

Menurur Kathlen Wheeler (2008) ada dua pendekatan psikoterapi yang dapat
digunakan untuk mengatasi masalah gangguan stres paska trauma, yaitu
cognotive behavior therapy (CBT) dan eye movement desensitization and
reprocessing (EMDR). Dalam tulisan ini akan dijelaskan secara singkat
mengenai pelaksanaan CBT

Cognotive Behavior Therapy (CBT)


1. Pengertian
Cognitive behaviour therapy merupakan psikoterapi jangka pendek, yang
menjadi dasar bagaimana seseorang berfikir dan bertingkah laku positif
dalam setiap interaksi.
2. Tujuan
Memodifikasi fungsi berfikir, perasaan, bertindak, dengan menekankan
fungsi otak dalam menganalisa, memutuskan, bertanya, berbuat, dan
mengambil keputusan kembali. Dengan merubah status pikiran dan
perasaannya, klien diharapkan dapat merubah perilaku negatif menjadi
positif.

59
3. Indikasi
Gangguan klinis khususnya depresi, kecemasan, dan beberapa masalah
kesehatan mental seperti: psikosis, marah, distress HIV, masalah keluarga,
kelainan fungsi seksual dan kerusakan personaliti
4. Proses Pelaksanaan CBT
Pelaksanaan CBT selama ini masih bervariasi, belum ada panduan yang tetap.
Masing-masing tenaga kesehatan dapat menerapkan sesuai dengan
pendekatan yang mereka gunakan. Salah satu pendekatan yang sudah di uji
cobakan oleh mahasiswa spessialis keperawatan jiwa adalah dengan
pendekatan sesi per sesi. Pendekatan tersebut terdiri dari 5 (lima) sesi antara
lain:
Sesi 1 : Pengkajian
Mengungkapkan perasaan, pikiran otomatis yang negatif tentang diri
sendiri, orang lain dan lingkungan yang dialami klien dan mengenali
pikiran dan perilaku negatif yang dialami
Sesi 2 : Terapi Kognitif
Merevieu perasaan, pikiran otomatis yang negatif yang berkaitan
dengan perilaku yang di tampilkan, dan belajar cara untuk
mengatasinya
Sesi 3 : Terapi Perilaku
Menyusun rencana perilaku yang ditampilkan dengan memberikan
konsekwensi positif- konsekwensi negatif
Sesi 4 : Evaluasi Terapi kognitif dan Perilaku
Mengevaluasi kemajuan dan perkembangan terapi,menfokuskan terapi,
dan mengevaluasi perilaku yang dipelajari berdasarkan konsekwensi
yang disepakati
Sesi 5 : Mencegah Kekambuhan
Menjelaskan pentingnya psikofarmaka dan terapi modalitas lainnya
disamping CBT untuk mencegah kekambuhan dan mempertahankan

60
pikiran positif dan perilaku adaptif secara mandiri dan
berkesinambungan

61
62
BAB 5
APLIKASI TEORI MODEL SISTEM ADAPTASI

Tujuan Intruksional
Setelah membaca bagian ini, mahasiswa mampu:
1) Memahami konsep teori sistem adaptasi dalam perspektif masyarakat
korban benacana
2) Menjelaskan komponen-komponen dalam sistem adaptasi
3) Memahami aplikasi konsep teori sistem adaptasi dalam perspektif
masyarakat korban benacana

1. Konsep teori Sistem Adaptasi

Sister Callista Roy terkenal dengan konsepnya dengan ”Model Adaptasi”.


Teorinya mulai diperkenalkan 1964. Teorinya dipengaruhi oleh Dorothy E.
Johnson. Kemudian 1984 mengalami revisi secara luas tentang pengenalan
keperawatan; suatu model adaptasi. Selanjutnya Roy dan Robert menulis
“Theory Construction in Nursing ; An Adaptation Model”. Teori ini
merupakan model dalam keperawatan yang menguraikan bagaimana
individu mampu meningkatkan kesehatan dengan cara mempertahankan
perilaku secara adaptif serta mampu merubah perilaku yang tidak efektif
menjadi Adaptif

Elemen Model Adaptasi Roy


Terdapat lima elemen model adaptasi Roy, yaitu 1) Person yang menerima
Asuhan Keperawatan, 2) Tujuan keperawatan, 3) Aktivitas Keperawatan, 4)
Konsep Sehat, dan 5) Konsep Lingkungan.

Aplikasi Teori Model Sistem Adaptasi 54

63
1) Person yang menerima Asuhan keperawatan.
Penerima asuhan keperawatan bisa person (manusia), keluarga,
kelompok, komunitas atau masyarakat. Masing-masing dipandang
sebagai sebuah sistem adaptif holistic. Manusia dikonseptualkan dalam
sebuah persfektif holistic. Aspek dari bagian individu secara bersama-
sama membentuk kesatuan. Manusia sebagai system kehidupan secara
konstan berinteraksi dengan lingkungan. Antara system dan lingkungan
terjadi pertukaran informasi, bahan dan energi. Dunn, seorang teorist
system, menyebutkan perhatian kita dengan unit terkecil kehidupan
sebuah Cell. Cell merupakan system terbuka. Memiliki dunia di dalam
dan luar. Dari dunia luar menggambarkan 4 kebutuhan bertahap hidup.
Didalam sel sendiri harus mempertahankan aturan luas sejumlah molekul.
Sistem terbuka memberi kesan pertukaran secara konstan terhadap
informasi, bahan dan energi antara sistem dan lingkungan. Interaksi
secara konstan dicirikan perubahan internal dan eksternal. Manusia dalam
menghadapi perubahan melakukan adaptasi terus-menerus dalam
mempertahankan integritas diri.

Sistem adaptif manusia memiliki input dari lingkungan luar dan dalam
manusia. Roy mengenali input sebagai stimuli. Suatu Stimulus adalah
suatu unit informasi, bahan atau energy dari lingkungan atau dari
dalam diri manusia yang membangkitkan suatu respons.
Tingkat Adaptasi adalah rentang stimuli yang mana manusia dapat
berespon secara adaptif dengan usaha biasa. Rentang respon adalah unik
bagi setiap individu. Tiap tingkat adaptasi manusia yaitu secara konstan
merubah aspek yang mana dipengaruhi oleh mekanisme koping manusia.
Output manusia sebagai sebuah system adalah perilaku manusia.
Perilaku baik internal maupun eksternal. Perilaku bisa diobservasi,
Aplikasi Teori Model Sistem Adaptasi 55

64
diukur, atau di dilaporkan secara subyektif. Output perilaku menjadi
feedback terhadap sistem. Output sistem adalah respons Adaptif atau
respons tidak efektif.

Respons Adaptif merupakan yang mempromosi integritas manusia.


Integritas manusia atau keseluruhannya adalah perilaku yang ditunjukkan
ketika manusia mampu memenuhi tujuan mempertahankan hidup,
pertumbuhan, reproduksi dan penguasaan. Respons tidak efektif adalah
tidak mendukung pecapaian tujuan.

Mekanisme Koping Regulator dan Cognator


Mekanisme Koping mendeskripsikan proses kontrol manusia sebagai
sistem adaptif. Beberapa mekanisme koping diturunkan atau genetik,
seperti sistem pertahanan sel darah putih melawan bakteri menyerang
tubuh. Mekanisme lainnya dipelajari,seperti penggunaan antiseptik untuk
membersihka luka. Mekanisme ini disebut Regulator dan Cognator.
Mekanisme koping Regulator dan Cognator sebagai subsistem manusia
sebagai sistem adaptif.

Subsistem Regulator

Memiliki komponen sistem yang terdiri dari Input, Proses Internal, dan
Output. Stimuli Input bisa berasal dari luar atau dalam Manusia.
Transmitter dari sistem regulator adalah bahan kimia, saraf atau
endokrin. Refleks-refleks otonom yang merupakan respons saraf berasal
dalam brain stem dan spinal cord dikenali sebagai output perilaku dari
subsistem regulator. Target organ dan jaringan dibawah kontrol endokrin
juga menghasilkan regulator output Perilaku. Respons psikomotor
yang berasal dari Sistem saraf pusat disebut sebagai regulator subsistem
perilaku. Beberapa proses fisiologis dapat dipandang sebagai regulator
Aplikasi Teori Model Sistem Adaptasi 56

65
subsistem perilaku. Misalnya, beberapa regulator feedback mekanisme
respirasi telah diidentifikasi. Salah satunya peningkatan CO2, produk
akhir metabolisme merangsang kemoreseptor pada medulla untuk
meningkatkan kecepatan respirasi. Stimulasi kuat dari pusat ini dapat
meningkatkan ventilasi 6 sampai 7 lipat.

Sub system Cognator

Stimuli dari subsistem ini berasal dari dalam dan luar . Output perilaku
dapat jadi feedback stimuli terhadap subsistem cognator. Proses kontrol
Cognator berkaitan dengan fungsi otak yang lebih tinggi dari persepsi
atau proses informasi, pertimbangan dan emosi. Persepsi atau proses
informasi berkaitan dengan proses internal dari perhatian selektif,
memberi kode, dan memory. Belajar berkaitan dengan proses imitasi,
penguatan, dan tilikan. Pemecahan masalah dan pengambilan keputusan
adalah proses internal berkait dengan pertimbangan; emosi mengalami
proses pertahanan untuk mencari pengentasan, penilaian afektif, dan
kasih sayang.

Dalam mempertahankan integritas manusia, Regulator dan Cognator


seringkali bertindak bersama-sama. Tingkat adaptasi manusia sebagai
sistem adaptif dipengaruhi oleh perkembangan individu dan penggunaan
mekanisme koping ini. Penggunaan maksimal mekanisme koping
memperluas tingkat adaptasi manusia dan meningkatkan rentang stimuli
dengan mana manusia dapat berespon secara positif.

Roy juga menggambarkan manusia sebagai sistem efektor. Ada 4


efektor atau modes adaptif yaitu fungsi fisiologis, konsep diri, fungsi
peran, dan interdependen. Mekanisme regulator dan cognator dipandang
sebagai tindakan pada 4 modes ini. Perilaku berkait modes ini adalah
Aplikasi Teori Model Sistem Adaptasi 57

66
manifestasi tingkat adaptif manusia dan merefleksikan penggunaan
mekanisme koping. Melalui observasi perilaku manusia dalam hubungan
dengan modes adaptif, perawat dapat mengenali respons adaptif atau
tidak efektif dalam siatuasi sehat dan sakit.

Modes adaptif yang termasuk Fungsi Fisiologis adalah Oksigenasi,


Nutrisi, Eliminasi, integritas kulit, pengindraan, Cairan dan elektrolit,
fungsi neurologis, fungsi endokrin. Modes Konsep diri mengenali pola
nilai , kepercayaan, dan emosi berkait gagasan diri sendiri. Perhatian
diberikan kepada physical self, personal self, moral-ethical self. Fungsi
peran mengenali pola interaksi social dari manusia berhubungan dengan
orang lain yang direfleksikan peran primer, sekunder dan tertier. Fokus
mencakup proses identitas peran dan penguasaan peran. Fungsi
Interdependens mengenali pola nilai manusia, afeksi, cinta dan
penguatan. Proses terjadi melalui hubungan interpersonal individu
maupun kelompok.

2) Tujuan Keperawatan
Tujuan keperawatan sebagai promosi respons adaptif dalam hubungan
dengan 4 modes adaptif. Respons adaptif adalah yang secara positif
mempengaruhi kesehatan. Kondisi manusia atau keadaan koping
individu merupakan tingkat adaptasi manusia. Tingkat adaptasi
manusia akan menentukan apakah suatu respon positif terhadap stimuli
internal atau eksternal yang akan diperoleh. Tingkat adaptasi manusia
ditentukan oleh stimuli fokal, kontekstual dan residual. Stimuli yang
segera menkonfrontasi manusia adalah stimuli fokal. Secara normal
merupakan derajad perubahan terbesar yang mempengaruhi manusia.
Stimuli Kontekstual adalah semua stimuli lain dari dunia internal dan
eksternal yang mempengaruhi situasi dan dapat diobservasi, diukur, atau
Aplikasi Teori Model Sistem Adaptasi 58

67
secara subyektif dilaporkan manusia. Stimuli Residual merupakan
karakteristik manusia yang sekarang ini dan relevant dengan situasi tetapi
sukar dipahami atau sulit mengukurnya secara obyektif.

3) Aktivitas Keperawatan
Suatu model yang mempromosikan respons adaptif dalam situasi sehat
dan sakit. Pendekatan ini dikenal sebagai aksi (tindakan) yang diambil
oleh perawat untuk memanipulasi stimuli fokal, kontekstual dan residual
yang menimpa manusia. Dengan membuat penyesuaian, stimuli total
jatuh dalam zona adaptif manusia. Bilamanapun mungkin, stimulus fokal
yang menghadirkan derajad perubahan terbesar dimanipulasi. Misal;
orang nyeri dada, fokal stimulusnya adalah ketidak seimbangan antara
kebutuhan oksigen tubuh dengan suplai oksigen yang jantung dapat
berikan. Untuk merubah stimulus fokal, perawat memanipulasi stimuli
kebutuhan sehingga respons adaptif dapat dibuat. Bila stimulus fokal
tidak dapat dirubah, perawat mempromosikan respons adaptif dengan
memanipulasi stimuli kontekstual dan residual.
Pada manusia yang cendrung berespons tidak efektif, perawat dapat
melakukan persiapan untuk mengantisipasi perubahan dengan cara
memperkuat regulator, cognator atau mekanisme koping lain. Rencana
memperluas tingkat adaptasi manusia berhubungan dengan gagasan
promosi kesehatan saat ini ditemukan di literatur. Akhirnya Aksi
keperawatan ditujukan pada mempertahankan respons adaptif sehingga
mendukung usaha manusia secara kreatif menggunakan mekanisme
kopingnya.

4) Kesehatan
Kesehatan sebagai suatu kontinum dari kematian hingga tinggkat yang
tinggi kesejahteraan. Definisi terakhirnya, Suatu keadaan dan proses
Aplikasi Teori Model Sistem Adaptasi 59

68
manusia dan menjadi suatu yang terintegrasi dan keseluruhan manusia.
Integritas manusia adalah kemampuan memenuhi tujuan
mempertahankan hidup, pertumbuhan, reproduksi dan penguasaan.

5) Lingkungan
Lingkungan merupakan semua kondisi, keadaan dan mempengaruhi
sekeliling dan mempengaruhi perkembangan dan perilaku manusia serta
kelompok. Stimuli internal dan eksternal dari lingkungan merupakan
area studi keperawatan. Misalnya; Ketika orang tua diinstutusionalkan,
stimuli lingkungan luar yang bermakna memiliki pengaruh atas dirinya.
Studi kondisi lingkungan ini membantu perawat dalam mempromosi
adaptasi terhadap perubahan atau mungkin lebih ideal, menentukan
intervensi yang meminimalkan risiko institusionalisasi orang tua.

2. Aplikasi teori

Pendekatan teoritis diperlukan untuk memayungi konsep-konsep yang


menjadi fokus penelitian ini. Model konseptual Sistem Adaptasi Roy dipilih
karena peneliti menganggap model ini paling sesuai dalam penelitian ini.
Teori Model Adaptasi Roy (1971) memandang klien sebagai suatu sistem
yang adaptif. Adaptasi mempunyai makna positif dan ada korelasi dengan
respon yang sehat. Ketika tingkah laku mengganggu integritas individu, hal
itu dianggap maladaptif, respon maladaptif oleh individu dianggap sebagai
suatu hal yang negatif atau respon yang tidak sehat.

Sesuai dengan model Roy, keperawatan akan membantu seseorang untuk


beradaptasi terhadap perubahan kebutuhan fisiologis, konsep diri, fungsi
peran dan hubungan interdependensi selama sehat sakit. Kebutuhan asuhan
keperawatan akan muncul ketika klien tidak dapat beradaptasi terhadap

Aplikasi Teori Model Sistem Adaptasi 60

69
kebutuhan lingkungan internal dan eksternal.

Roy dalam Tomey dan Marinner (1994) menjelaskan bahwa seseorang


dalam beradaptasi melalui sebuah system yang terdiri dari input, proses,
output dan feed back sebagaimana dijelaskan dalam gambar 2.1 Modifikasi
model sistem adaptasi Roy. Komponen dalam sistem dijelaskan sebagai
berikut:

Input

Input adalah suatu stimulus, yaitu kesatuan informasi, bahan atau energi dari
lingkungan yang dapat menimbulkan respon. Stimulus ada tiga jenis, yaitu
a) stimulus fokal adalah stimulus yang langsung dihadapi saat itu, b)
stimulus kontekstual yaitu stimulus lain yang mempengaruhi situasi, dan c)
stimulus residual yaitu ciri tambahan yang relevan terhadap situasi tersebut.
Dalam penelitian ini yang dimaksud stimulus fokal adalah adanya luapan
lumpur Lapindo yang masih aktif, yang menggenangi sekitar tempat
tinggalnya. Stimulus kontekstualnya adalah pencairan dana ganti rugi
sebanyak 80% yang belum terlaksana, dan stimulus residualnya adalah
kekhawatiran tempat tinggal baru setelah meninggalkan tempat tinggal
sekarang.

Proses
Proses pengendalian manusia sebagai system adaptasi oleh Roy dikenal
dengan mekanisme koping. Mekanisme pengendalian atau kontrol ini dibagi
atas regulator dan kognator yang merupakan subsistem. Sub sistem regulator
mempunyai komponen yang terdiri dari input, proses dan out put dan system
penghubungnya, yaitu kimia, neuron dan endokrin. Sub system kognator
merupakan system adaptasi selanjutnya dimana pengendaliannya
dihubungkan dengan fungsi yang lebih tinggi dari otak yaitu persepsi,

Aplikasi Teori Model Sistem Adaptasi 61

70
penilaian
penilaian dan dan emosi.
emosi. Regulator
Regulator dan dan kognator
kognator bekerja
bekerja sama
sama dalam
dalam
mempertahankan
mempertahankan integritas
integritas manusia,
manusia, meskipun
meskipun tingkat
tingkat adaptasi
adaptasi tersebut
tersebut
dipengaruhi
dipengaruhi oleholeh pertumbuhan
pertumbuhan individu
individu dan dan pemahaman
pemahaman mekanisme
mekanisme koping.
koping.

Stimuli
Stimuli Adaptation
Adaptation Level
Level
1. Stimulus Fokal : bencana
1. Stimulus Fokal : bencana Lumpur Lumpur
INPUT
INPUT Lapindo
Lapindo
1. Stimulus Kontekstual:
1. Stimulus Kontekstual: belum
belum cairnya
cairnya
gantiganti
rugirugi
80%80%
2. Stimulus Residual:
2. Stimulus Residual: kekhawatiran
kekhawatiran tidaktidak
bisabisa membeli
membeli rumah
rumah lagilagi

Mekanisme
Mekanisme Koping
Koping : :
PROSES
PROSES 1. Regulator:
1. Regulator: respon
respon masyarakat
masyarakat korban
korban bencana
bencana
KONTROL
KONTROL tentang sifat bencana lumpur Lapindo,
tentang sifat bencana lumpur Lapindo, proses proses
penanganan dan ganti rugi serta kenyataan F F
penanganan dan ganti rugi serta kenyataan E
yangyang dialami
dialami dalamdalam pemenuhan
pemenuhan hak-hak
hak-hak korban
korban E
2. Kognator: persepsi, penilaian,
2. Kognator: persepsi, penilaian, dan emosidan emosi E E
masyarakat
masyarakat korban
korban terhadap
terhadap apa yang
apa yang dialami
dialami D D
saat saat ini seperti:
ini seperti: menghujat,
menghujat, demonstrasi,
demonstrasi, atauatau B B
do’ado’a bersama
bersama A A
C C
K K

Kebutuhan
Kebutuhan Masyarakat
Masyarakat korban:
korban:
EFEKTOR
EFEKTOR 1. Kebutuhan
1. Kebutuhan Fungsi
Fungsi Fisiologis
Fisiologis dasar
dasar
2. Kebutuhab Konsep
2. Kebutuhab Konsep diri diri
3. Kebutuhan
3. Kebutuhan Peran
Peran
4. Kebutuhan interdependensi
4. Kebutuhan interdependensi

1. 1. Perilaku
Perilaku Adaptif
Adaptif
OUTPUT
OUTPUT
2. 2. Maladaptif : Gangguan
Maladaptif : Gangguan jiwa/masalah
jiwa/masalah
psikososial
psikososial kronis
kronis

Gambar
Gambar 2.1 .2.1 . Modifikasi
Modifikasi Model
Model Sistem
Sistem Adaptasi
Adaptasi RoyRoy

Aplikasi
Aplikasi Teori
Teori Model
Model Sistem
Sistem Adaptasi
Adaptasi 62 62

71
Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan subsistem regulator adalah
respon masyarakat korban bencana tentang sifat bencana lumpur Lapindo,
proses penanganan untuk menghentikan semburan lumpur dan ganti rugi
bagi masyarakat korban serta kenyataan yang dialami oleh masyarakat
korban akan pemenuhan hak-hak yang harus diterima. Sedangkan subsistem
kognatornya adalah persepsi, penilaian, dan emosi atau respon psikososial
masyarakat korban terhadap apa yang dialami saat ini bahwa PT LMJ
sebagai pihak yang paling bertanggung jawab terhadap timbulnya bencana
lumpur ini belum dapat merealisasikan kewajibannya kepada warga,
sehingga upaya-upaya untuk mendapatkan hak-haknya terus dilakukan
seperti menghujat, demonstrasi, atau do’a bersama

Efektor
Proses internal manusia sebagai sub sistem adaptasi dijelaskan oleh Roy
melalui system efektor, yang dikenal dengan empat mode, yaitu :
Fungsi fisiologis dasar
Fungsi fisiologi berhubungan dengan struktur tubuh dan fungsinya. Roy
mengidentifikasi sembilan kebutuhan dasar fisiologis yang harus dipenuhi
untuk mempertahankan integritas, yang dibagi menjadi dua bagian. Lima
mode fungsi fisiologis tingkat dasar yaitu proteksi, perasaan, cairan dan
elektrolit, syaraf dan endokrin. Sedangkan empat fungsi fisiologis kompleks
meliputi oksigienasi, nutrisi, eliminasi, aktivitas dan istirahat. Fungsi
fisiologis dasar yang dialami masyarakat korban lumpur Lapindo diyakini
bermasalah seperti ketidaknyamanan tempat tinggal terutama musim hujan
yang dihantui perasaan was-was akan masuknya lumpur campur dengan air
hujan masuk kedalam rumah mereka, terbatasnya ketersediaan air bersih,
masalah eliminasi, aktifitas sehari-hari, dan istirahat yang tidak bisa tenang
karena cemas dan takut.

Aplikasi Teori Model Sistem Adaptasi 63

72
Konsep diri
Konsep diri berhubungan dengan psikososial dengan penekanan spesifik
pada aspek psikososial dan spiritual manusia. Kebutuhan dari konsep diri ini
berhubungan dengan integritas psikis antara lain persepsi, aktivitas mental
dan ekspresi perasaan. Konsep diri menurut Roy terdiri dari dua komponen
yaitu physical self yaitu berkaitan dengan bagaimana seseorang memandang
dirinya berhubungan dengan sensasi tubuhnya dan gambaran tubuhnya, dan
personal self yaitu berkaitan dengan konsistensi diri, ideal diri, moral- etik
dan spiritual diri orang tersebut. Konsep diri masyarakat korban lumpur
Lapindo di prediksi akan mengalami gangguan terkait dengan persepsi,
aktifitas mental dan ekspresi perasaan akibat luapan lumpur dan pencairan
ganti rugi yang tidak kunjung terrealisasi. Berbagai persepsi dan ekspresi
perasaan terungkap akibat masalah ini. Seolah-olah masalah lain terabaikan
termasuk masalah harga diri, ideal diri, gambaran diri dan konsep diri lain
karena masyarakat korban umumnya saat ini fokus pada penyelesaian ganti
rugi dan tempat tinggal baru.

Peran
Mode fungsi peran mengenal pola–pola interaksi sosial seseorang dalam
hubungannya dengan orang lain, yang dicerminkan dalam peran primer,
sekunder dan tersier. Fokusnya pada bagaimana seseorang dapat
memerankan dirinya di masyarakat sesuai kedudukannya. Peran masing-
masing anggota masyarakat korban juga diperkirakan mengalami perubahan.
Hal ini terkait dengan timbulnya berbagai masalah yang dialami masyarakat
korban dengan sifat masalah dan persepsi terhadap masalah sangat bervariasi
dari individu satu dengan individu lainnya.

Aplikasi Teori Model Sistem Adaptasi 64

73
Interdependensi
Interdependensi adalah keseimbangan antara ketergantungan dan
kemandirian dalam menerima sesuatu untuk dirinya. Ketergantungan
ditunjukkan dengan kemampuan untuk afiliasi dengan orang lain.
Kemandirian ditunjukkan oleh kemampuan berinisiatif untuk melakukan
tindakan bagi dirinya. Mode ini sangat di sadari oleh masyarakat korban,
bahwa kebersamaan dan saling membantu dan bekerjasama akan dapat
memperkuat keberadaanya sebagai masyarakat korban.

Output
Output adalah perilaku yang dapat di amati, diukur. Perilaku ini merupakan
umpan balik untuk sistem. Roy mengkategorikan output sistem sebagai
respon yang adaptif atau respon maladaptif. Respon yang adaptif dapat
meningkatkan integritas secara keseluruhan dapat terlihat bila seseorang
tersebut mampu melaksanakan tujuan yang berkenaan dengan kelangsungan
hidup, perkembangan, reproduksi dan keunggulan. Sedangkan respon yang
mal adaptif perilaku yang tidak mendukung tujuan ini. Output yang baik
dalam peristiwa bencana lumpur Lapindo ini adalah munculnya perasaan dan
sikap maladaptif misalnya marah, kecewa, menangis atau susah tidur, namun
terjadi dalam waktu yang relatif pendek lambat laun akan dapat menerima
dengan baik (adaptif) tentang realitas kondisi bencana yang dialami dan
mempunyai semangat untuk bangkit dan produktif lagi seperti sebelumnya.

Feed back
Perilaku yang muncul pada output akan menjadi umpan balik dalam teori
model adaptasi Roy. Perilaku adaptif ataupun maladaptif akan diteruskan
kepada stimulus berikutnya. Perilaku tersebut menjadikan individu memiliki
strategi koping yang lebih baik karena adanya pengalaman sebelumnya.

Aplikasi Teori Model Sistem Adaptasi 65

74
Pada tahap inilah diperlukan sistem pendukung yang kuat baik dari keluarga
maupun masyarakat. Masalah psikososial yang terjadi akan menjadi umpan
balik yang positif untuk menjadikan individu korban lebih kuat dan tegar
dalam menghadapi stimulus atau stressor lainnya.

Penggunaan model system adapatasi Roy pada penelitian ini diperkuat


dengan penelitian Perett (2007) yang menjelaskan tentang pandangan Model
Adaptasi Roy bahwa penelitian kualitatif dengan menggunakan model ini
dapat memberikan informasi yang baru dan berharga dalam meningkatkan
ilmu pengetahuan keperawatan. Hal ini dibuktikan oleh Perret dengan cara
membandingkan hasil penemuan penelitian kualitatif 25 tahun sebelumnya
yaitu dari tahun 1970 – 1995 dengan tahun 1995-2005.

Aplikasi Teori Model Sistem Adaptasi 66

75
76
BAB 6
DESAIN DAN HASIL PENELITIAN

Tujuan Intruksional
Setelah membaca bagian ini, mahasiswa mampu:
1) Mengidentifikasi desain penelitian yang digunakan
2) Menjelaskan pola pikir penelitian
3) Mengidentifikasi karakteristik partisipan penelitian pada masyarakat
korban benacana
4) Mengidentifikasi hasil analisis tema dalam penelitian
5) Mengidentifikasi beberapa respon psikologis yang dialami masyarakat
korban benacana

1. Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan


fenomenologi. Penelitian kualitatif dibangun dari paradigma fenomenologis
yang bertujuan tidak untuk mencari hubungan sebab – akibat dari suatu
fakta sosial, tetapi lebih berusaha untuk memahami situasi tertentu yang
dihayati oleh individu atau kelompok sosial tertentu (Semiawan 2006,
dalam Moleong, 2006). Moleong (2006), melalui sintesisnya dari kajian
berbagai sumber definisi tentang penelitian kualitatif mendeskripsikan
bahwa penelitian kualitatif adalah penelitan yang bermaksud untuk
memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian
misalnya aspek perilaku, persepsi, motivasi dan tindakan secara holistik.
Berbagai aspek tersebut selanjutnya dideskripsi dalam bentuk kata – kata

Desain dan Hasil Penelitian 65

77
dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan
memanfaatkan berbagai metode ilmiah. Ciri-ciri penelitian kualitatif
diuraikan sebagai berikut: 1) adanya latar alamiah, 2) manusia instrumen, 3)
berdasarkan metode kualitatif, 4) analisis data secara induktif, 5)
membangun teori dari dasar, 6) deskriptif, 7) lebih mementingkan proses
daripada hasil, 8) adanya batas yang ditentukan oleh fokus, 9) adanya
kriteria khusus untuk keabsahan data, 10) desain yang bersifat sementara,
dan 11) hasil penelitian dirundingkan dan disepakati bersama (Moleong,
2006)

Landasan filosofis penelitian fenomenologi adalah mempercayai realitas


yang kompleks, memiliki komitmen untuk mengidentifikasi suatu
pendekatan dan pemahaman yang mendukung fenomena yang diteliti.
Pelaksanaan suatu penelitian dengan suatu cara yang membatasi gangguan
terhadap konteks alamiah dan fenomena yang diamati, meyakini partisipasi
peneliti dan penelitian, serta penyampaian suatu pemahaman dari fenomena
dengan mendeskripsikan secara lengkap elemen – elemen penting dari suatu
fenomena (Speziale & Carpenter, 2003). Definisi fenomenologi menurut
Speziale dan Carpenter (2003), adalah mempelajari kesadaran dan
perspektif pokok individu melalui pengalaman subyektif atau melalui
peristiwa hidup yang dialaminya. Van Manen (1984, dalam Speziale &
Carpenter, 2003), menyebutkan bahwa secara khusus fenomenologi
berupaya untuk menelaah dan mendeskripsikan pengalaman hidup manusia
sebagaimana adanya, tanpa proses interpretasi dan abstraksi. Pada penelitian
fenomenolgi, peneliti mempelajari setiap masalah dengan menempatkannya
pada satuan alamiah, dan memberikan makna atau menginterpretasikan
suatu fenomena berdasarkan hal–hal yang berarti bagi manusia (Cresswel,
1998).

Desain dan Hasil Penelitian 66

78
Sedangkan Spiegelberg (1965, 1975 dalam Speziale dan Carpenter, 2003)
mengidentifikasi ada enam elemen dasar fenomenologi yang umum
dilakukan saat menelaah suatau fenomena, yaitu descriptive
phenomenology, phenomenology of essences, phenomenology of
appearances, constitutive phenomenology, reductive phenomenology, dan
hermeneutik phenomenology. Namun dari keenam elemen tersebut hanya
tiga yang umum dilakukan oleh peneliti fenomenologi, yaitu descriptive
phenomenology, phenomenology of essences, dan reductive
phenomenology. Descriptive phenomenology merupakan elemen
fenomenologi yang paling umum dilakukan dan akan dijadikan acuan dalam
penelitian ini. Descriptive phenomenology meliputi proses eksplorasi,
analisis, dan deskripsi fenomena untuk memperoleh gambaran yang utuh
dan mendalam dari fenomena.

Spiegelberg (1975 dalam Speziale dan Carpenter, 2003) menidentifikasi


tiga langkah untuk mendiskripsikan fenomena, yaitu intuiting atau
merenungkan, menganalisis, dan mendeskripsikan fenomena. Intuiting
adalah langkah awal peneliti untuk memulai berinteraksi dan memahami
fenomena yang akan diteliti. Pada tahap ini memungkinkan peneliti untuk
melihat, mendengar, dan sensitif terhadap setiap aspek fenomena. Proses
intuiting dapat berjalan bersamaan dengan proses analisis. Proses analisis
meliputi proses identifikasi esensi atau elemen dasar dan pola hubungan
esensi yang nantinya akan membentuk struktur esential fenomena yang pada
akhirnya dapat diubah menjadi suatu bentuk yang berstruktur dan
konseptual. Langkah berikutnya adalah mendeskripsikan fenomena yang
diteliti. Deskripsi yang baik akan membantu pembaca untuk mengenali
fenomena yang diteliti sebagai bagian dari pengalamannya sendiri. Langkah
ini merupakan bagian integral dari intuiting dan analsis.

Desain dan Hasil Penelitian 67

79
Dalam konteks terjadinya bencana lumpur Lapindo, berbagai perubahan dan
kerugian dialami oleh masyarakat dapat dipandang dari sistem manusia
secara holistik, properti, dan lingkungan. Dampak pada sistem holistik
manusia terdiri dari aspek fisik, psikis, sosial-budaya dan spiritual.
Perubahan pada aspek psikis dan sosial yang saling mempengaruhi dan
terkait inilah yang disebut dengan dampak psikososial.

Dalam suatu penelitian tentang dukungan psikososial akibat Tsunami,


Bhugra dan Ommeren (2006) menjelaskan bahwa dampak bencana yang
utama adalah masalah social dan psikologis baik secara langsung maupun
tidak langsung yang dipengaruhi oleh factor budaya dan dukungan social
yang ada serta factor yang lain. Penelitian lain yang dilakukan oleh Jacob
et.al (2008) tentang penanganan bencana akibat Angin Topan Katrina
dijelaskan bahwa pertolongan yang dilakukan ditekankan pada kebutuhan
psikososial dan perilaku untuk menghindari terjadinya konflik dan masalah
kesehatan mental dan fisik.

Berdasarkan uraian singkat dan fenomena yang terjadi di masyarakat korban


lumpur Lapindo, maka peneliti menggunakan pendekatan fenomenologi,
yaitu suatu penelitian kualitatif yang berfokus pada penemuan fakta
mengenai suatu fenomena sosial yang ditekankan pada usaha untuk
memahami makna perilaku manusia berdasarkan perspektif partisipan
(Poerwandari, 2005).

Desain dan Hasil Penelitian 68

80
2. Kerangka Pikir Penelitian

Peristiwa traumatic:
Bencana Lumpur Dampak Bencana
Lapindo

Property Manusia Lingkungan

Fisik Psikis Sosial Budaya Spiritual

DAMPAK PSIKOSOSIAL

Masyarakat
Individu
Keluarga

Gambar 2.2: Kerangka pikir penelitian Dampak Psikososial Akibat Bencana


Lumpur Lapindo di desa Pajarakan kec. Jaban Sidoarjo tahun
2009

Desain dan Hasil Penelitian 66

81
Kejadian bencana menimbulkan berbagai stresor bagi korban yang
berdampak pada sistem manusia, properti, dan lingkungan. Pengalaman
korban terhadap bencana lumpur Lapindo terutama dalam hal ini pada aspek
psikis dan sosial penting untuk di ungkap dan difahami secara mendalam
agar dapat memberikan makna secara tepat sebagaimana yang dirasakan
oleh masyarakat korban. Kerangka pikir penelitian ini merupakan latar
belakang dilakukanya penelitian fenomenologi dari dampak psikososial
keluarga akibat lumpur Lapindo.

3. Hasil Penelitian
Hasil penelitian merupakan deskripsi dari data yang diperoleh dengan tujuan
untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam dan makna secara psikologis
dan sosial (psikososial) dari partisipan sebagai masyarakat korban bencana
lumpur Lapindo. Pada bab hasil penelitian ini akan di sajikan dua bagian.
Bagian pertama peneliti akan menyajikan uraian tentang karakteristik
partisipan, dan bagian kedua peneliti akan menyajikan hasil analisis setiap
tema yang muncul dari perspektif partisipan tentang dampak psikososial yang
dialami setelah terjadi bencana lumpur Lapindo.

3.1 Karakteristik Partisipan


Partisipan dalam penelitian ini telah memenuhi kriteria inklusi. Jumlah
partisipan dalam penelitian ini adalah 7 orang yang terdiri dari 6 laki-laki
dan 1 perempuan. Hasil penilaian berdasarkan kuesioner status kesehatan
jiwa yang diberikan kepada masing-masing partisipan diperoleh skor
P1=46; P2=52; P3=55; P4=56; P5=41; P6=58; dan P7=56. Berdasarkan
hasil skor kuesioner tersebut berarti semua partisipan dalam kondisi status
kesehatan jiwa yang buruk atau dibawah rata-rata (≤ 60). Dengan demikian,
Desain dan Hasil Penelitian 67

82
partisipan memenuhi syarat sebagai pertisipan dalam penelitian ini. Berikut
ini akan dijelaskan karakteristik masing-masing partisipan.

Partisipan 1: Usia 63 tahun, pendidikan SR (tidak lulus), suku Jawa,


beragama Islam, mempunyai tiga anak yang semua sudah berkeluarga. Saat
ini partisipan hanya tinggal dengan istrinya karena tiga anaknya sudah
tinggal di rumahnya masing-masing. Sebelum terjadi bencana lumpur
Lapindo aktifitas sehari-hari partisipan adalah bertani dan merasa hidupnya
kecukupan dari hasil bertani. Setelah terkena bencana lumpur Lapindo
partisipan tidak mempunyai pekerjaan karena sawah dan ladangnya sudah
terendam lumpur. Partisipan mengaku belum mempunyai tanah atau rumah
untuk tempat tinggalnya sendiri sebab uang pembayaran tahap I (20%)
digunakan membelikan rumah untuk anak-anaknya, partisipan bereencana
membuat atau membeli rumah setelah pembayaran uang ganti rugi tahap II
sebanyak (80%)
Partisipan 2: Usia 59 tahun, pendidikan SR, suku Jawa, beragama Islam,
tidak mempunyai anak. Saat ini partisipan hanya tinggal dengan istrinya.
Pekerjaan partisipan sebelum terjadi bencana lumpur Lapindo adalah
penjahit yang sudah mempunyai pelanggan tetap, namun setelah adanya
bencana lumpur Lapindo partisipan merasa pelanggannya sudah tidak ada
karena banyak yang pindah dan umumnya masyarakat juga banyak yang
menganggur sehingga orang yang menjahitkan baju atau pakaian juga
jarang/sepi. Partisipan mengaku sudah membeli tanah untuk tempat tinggal
selanjutnya sedangkan untuk membangun menunggu pembayaran ganti rugi
tahap II

Partisipan 3: Usia 47 tahun, pendidikan SMP, suku Jawa, beragama Islam,


mempunyai tiga anak, paling besar SMA kelas satu dan yang paling kecil

Desain dan Hasil Penelitian 68

83
sekolah 3 SD. Partisipan tinggal dengan Istri dan anak-anaknya. Sebelum
terjadinya bencana lumpur Lapindo partisipan mempunyai usaha arisan
mebel, namun setelah ada bencana usaha yang dirintis berhenti. Aktifitas
keseharian partisipan saat ini hanya membantu istri berjualan barang-
barang keperluan sehari-hari dirumahnya. Aktifitas tersebut dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan tetangga yang hanya tinggal beberapa orang saja.
Partisipan mengaku sudah membeli tanah untuk tempat tinggal selanjutnya
sedangkan untuk membangun menunggu pembayaran ganti rugi tahap II.

Partisipan 4: Usia 38 tahun, pendidikan SMA, suku Jawa, beragama Islam,


mempunyai 2 anak, keduanya masih Sekolah Dasar (SD) yaitu kelas 3 dan
kelas 5 SD. Partisipan tinggal serumah dengan istri dan anak-anaknya. Saat
ini partisipan masih bekerja sebagai petugas keamanan (SATPAM) di
perusahan Sepatu yang terletak di kecamatan Buduran Sidoarjo (Kecamatan
perbatasan dengan kota Surabaya). Partisipan mengaku sudah membeli
rumah namun baru memberi uang muka saja karena sisanya menunggu
pembayaran tahap II.

Partisipan 5: Usia 46 tahun, pendididikan SR, suku Jawa, beragama, Islam,


mempunyai 3 orang anak. Anak yang pertama berhenti sekolah dari kelas
satu STM/SMK karena tidak ada biaya sedangkan adiknya kelas 1 SMP dan
kelas 4 SD. Saat ini Partisipan tinggal satu rumah dengan Istri, anak-anak
dan mertua. Sebelum terjadinya bencana lumpur Lapindo, partisipan bekerja
sebagai buruh bangunan, namun setelah adanya bencana partisipan lebih
banyak menganggur. Partisipan mengaku sudah membeli tanah sedangkan
untuk membangun direncanakan menunggu pembayaran tahap II.

Partisipan 6: Usia 30 tahun, pendididikan SMA, suku Jawa, beragama,


Islam, mempunyai 2 orang anak yang masih duduk dibangku SD. Saat ini
partisipan tinggal bersama anak dan suaminya. Sebelum terjadi bencana,
Desain dan Hasil Penelitian 69

84
partisipan tinggal satu rumah dengan orang tuanya (Ibu) dan adik-adiknya.
Setelah terjadi bencana dan mendapat uang ganti rugi pembayaran tahap 1
(20%), Ibu partisipan memilih tinggal dengan adiknya di rumah kontrakan
yang berada di luar area terdampak. Pekerjaan partisipan sebelum bencana
adalah berdagang di pasar Porong Baru, namun setelah adanya bencana
usaha partisipan berhenti. Sedangkan suaminya bekerja sebagai penjaga
tambak di Japanan (berada di sebelah barat kecamatan Jobon). Partisipan
mengaku belum membeli tanah dan berencana akan langsung beli rumah
setelah ganti rugi tahap II dibayarkan.

Partisipan 7: Usia 34 tahun, pendididikan SMP, suku Jawa, beragama,


Islam, mempunyai 3 orang anak yang masih balita. Saat ini partisipan
tinggal sendirian dirumah karena anak dan Istrinya tinggal di Jawa Tengah
semenjak ada bencana lumpur Lapindo untuk menghindari udara yang tidak
sehat dan meminimalkan pengeluaran kebutuhan hidup sehari-hari. Aktifitas
sebelum adanya bencana adalah loper (mengantarkan) telor. Setelah terjadi
bencana, partisipan tidak mempunyai pekerjaan karena pelanggan yang di
Perumtas sudah tidak ada lagi. Partisipan mengaku belum beli tanah
maupun rumah untuk tinggal selanjutnya. Partisipan berencana akan
langsung beli rumah apabila sisa ganti rugi tahap kedua dibayarkan.

3.2 Analisis Tema


Analisis tema dilakukan setelah data yang dikumpulkan melalui indepth
interview dan field note dibuat transkrip verbatim. Analisis tema
menggunakan langkah-langkah yang dikembangkan oleh Collaizi (1978,
dalam Holloway & Daymon 2008). Dari analisis tersebut kemudian
diidentifikasi tema-tema yang mengacu pada tujuan penelitian. Pada
penelitian ini ditemukan sembilan tema inti dan dua tema tambahan. Tema

Desain dan Hasil Penelitian 70

85
inti berorientasi pada tujuan khusus penelitian. Pada tujuan khusus pertama
tentang dampak psikologis, ditemukan tiga tema yaitu:
Tema 1: Perubahan emosi
Tema 2: Perubahan kognitif
Tema 3: Mekanisme koping
Sementara tujuan khusus kedua mengenai dampak sosial juga ditemukan
tiga tema yaitu:
Tema 4: Perubahan fungsi keluarga
Tema 5: Perubahan hubungan sosial kemasyarakatan
Tema 6: Dukungan social
Pada tujuan khusus ketiga mengenai harapan penyelesaian masalah
ditemukan satu tema yaitu:
Tema 7: Harapan penyelesaian masalah kepada pemerintah maupun PT
Lapindo.
Sedangkan tujuan khusus keempat tentang kebutuhan pelayanan kesehatan
bagi masyarakat korban ditemukan dua tema yaitu:
Tema 8: Kebutuhan pelayanan kesehatan fisik
Tema 9: Kebutuhan pelayanan kesehatan psikososial
Disamping sembilan tema inti yang mengacu pada tujuan khusus, dalam
penelitian ini juga ditemukan dua tema tambahan yaitu
Tema tambahan 1: Resiko dan gangguan perkembangan
Tema tambahan 2: Distress spiritual
Berikut ini dijelaskan proses analisis data dengan menggunakan skema
analisis pada setiap tema yang ditemukan:

Desain dan Hasil Penelitian 71

86
Skema 1, tema 1: Perubahan emosi
Skema 1, tema 1: Perubahan emosi
Ungkapan Perasaan sedih
Ungkapan Perasaan sedih

Ungkapan Perasaan susah


Ungkapan Perasaan susah
dan tertekan Sub tema 1
dan tertekan Sub tema 1
Depresi
Depresi
Ungkapan perasaan putus
Ungkapan perasaan putus
asa dan pasrah
asa dan pasrah

Adanya gejala psikosomatis


Adanya gejala psikosomatis

Perasaan ketakutan, cemas


Perasaan ketakutan, cemas Sub tema 2
Sub tema 2
Kekhawatirkan kondisi yang Kecemasan
Kekhawatirkan Kecemasan
akan datang kondisi yang
akan datang
Tema 1
Ungkapan marah Tema 1
Ungkapan marah
Perubahan Emosi
Perubahan Emosi
Bentuk-bentuk marah
Sub tema 3
Bentuk-bentuk marah
Sub tema 3
Kemarahan
Kemarahan
Penyebab marah
Penyebab marah

Adanya perasaan malu Sub tema 4


Adanya perasaan malu Sub tema 4
Harga diri
Adanya ungkapan Harga diri
Adanya ungkapan
Depresi rendah
ketidakmampuan
Depresi rendah
ketidakmampuan

Semua partisipan dalam penelitian ini mengungkapkan adanya depresi.


Semua partisipan dalam penelitian ini mengungkapkan adanya depresi.
Pernyataan depresi dinyatakan dalam bentuk keluhan psikologis dan
Pernyataan depresi dinyatakan dalam bentuk keluhan psikologis dan
somatis. Keluhan psikologis diungkapkan dalam pernyataan partisipan
somatis. Keluhan psikologis diungkapkan dalam pernyataan partisipan
seperti perasaan sedih, susah, putus asa, dan pasrah. Sedangkan keluhan
seperti perasaan sedih, susah, putus asa, dan pasrah. Sedangkan keluhan
Desain dan Hasil Penelitian 72
Desain dan Hasil Penelitian 72

87
somatis antara lain ungkapan tidak bisa tidur, tidak nafsu makan dan
kepala pusing. Keluhan psikologis seperti pernyataan sedih diungkapkan
oleh empat partisipan. Perasaan sedih ini disebabkan oleb berbagai alasan,
antara lain karena terpisah dengan anggota keluarga atau hilangnya mata
pencaharian, namun secara umum perasaan sedih partisipan disebabkan
belum mampu membeli atau membuat rumah sebagai tempat tinggal baru,
disamping itu partisipan juga memikirkan nasibnya setelah menempati
tempat tinggal baru. Hal ini dikarenakan partisipan tidak mempunyai
pekerjaan tetap setelah adanya bencana lumpur Lapindo.

Perasaan susah disampaikan oleh lima partisipan. Perasaan ini disebabkan


karena uang sisa ganti rugi tahap II yang dijanjikan belum juga dibayar.
Padahal setelah kejadian bencana, partisipan tidak mempunyai pekerjaan
tetap sehingga tidak mempunyai penghasilan, sedangkan kebutuhan hidup
terus berlangsung. Kesedihan ini diperparah dengan tidak adanya
kepastian waktu pembayaran sisa ganti rugi tahap II.

Satu partisipan mengungkapkan rasa putus asa dan dua partisipan


menyatakan pasrah terhadap keadaan yang dialami. Putus asa dan pasrah
akan kondisi yang dialami masyarakat ini dikarenakan karena
kenyataanya bencana lumpur Lapindo hingga hampir tiga tahun belum
bisa dihentikan meskipun berbagai upaya sudah dilakukan. Masyarakat
dapat menerima kenyataan yang dialami saat ini dan pasrah kepada
kebijakan pemerintah terhadap masyarakat korban sebagaimana ungkapan
partisipan dibawah ini:

”karena ini sudah bencana ya gimana lagi kita terima apa


adanya…. kita pasrah saja masak pemerintah membiarkan
warganya seperti ini terus....P2)”

Desain dan Hasil Penelitian 73

88
Selain perasaan depresi secara psikologis, pernyataan depresi juga
dijelaskan dengan adanya keluhan secara somatis, misalnya adanya
keluhan tidak bisa tidur yang dialami oleh enam partisipan. Sementara
hanya ada satu partisipan yang mengeluh kepala pusing, tidak bisa makan
(Peneliti: tidak nafsu makan) dan kepala uantep (terasa berat)
sebagaimana ungkapan partisipan berikut ini:
” Perubahannya ya ndak bisa tidur, ndak bisa makan, dan kepala
saya ini pusing sekali mas. Katanya orang-orang darah tinggi,
katanya darah rendah tapi kepala saya ini uaantep (berat)
mas....(P1)”

a. Kecemasan
Tujuah partisipan mengalami perasaan cemas dan khawatir dengan
penyebab yang berbeda. Partisipan yang mendapatkan uang ganti rugi
tahap I tidak terlalu banyak, perasaan cemas dan khawatir muncul karena
belum mampu membeli atau membuat rumah ditempat yang baru.
Sementara bagi partisipan yang mempunyai pengalaman masuknya
lumpur Lapindo pada saat mereka tertidur lelap, mereka khawatir karena
tanggulnya jebol sehingga lumpur masuk ke rumah-rumah mereka lagi,
sementara partisipan lainya cemas dan khawatir terhadap kehidupan
ditempat yang baru nanti, terutama masalah pekerjaan, sebagaimana
ungkapan partisipan dibawah ini:
“ditempat baru nanti bekerja apa?.... apa bisa saya bertahan
hidup karena nggak ada kerjaan....(P5)

b. Kemarahan
Ungkapan marah ini dikemukakan oleh empat partisipan. Dua partisipan
yang mengaku belum membeli tanah atau rumah baru menyatakan bahwa
kemarahanya disebabkan pembayaran sisa ganti rugi tahap II hingga kini
belum terlaksana bahkan terkesan diundur terus:

Desain dan Hasil Penelitian 74

89
”katanya awal tahun 2009 sudah dibayar dan harus pindah,
mundur lagi katanya bulan April dan nyatanya hingga sekarang
belum ada pembayaran tahap II, jengkel saya molor terus....
(P1)”.

Partisipan lainnya mengungkapkan kemarahannya disebabkan merasa


dipingpong (saling melempar tanggung jawab ketika warga meminta
tanggung jawab dari PT Lapindo maupun Pemerintah) dan merasa diadu
domba dengan pihak aparat. Manifestasi perasaan marah dari masing-
masing partisipan berbeda, ada yang hanya sekedar mencaci maki dalam
hati, ada yang merasa mudah emosi dan sensitif kepada keluarganya
namun juga ada yang secara langsung melampiaskan kemarahannya
dengan kata-kata kotor, misalnya ungkapan berikut ini:
“memang Lapindo ini kurang ajar....(P1)”
“mbokne ancuk Lapindo, usir aja Lapindo...(P3)

Selain ungkapan kemarahan kepada PT Lapino, ada satu partisipan yang


berprofesi sebagai penjahit dan tidak mempunyai anak ini
mengungkapkan kemarahan kepada sesama anggota warga masyarakat
yang sudah pindah rumah namun tidak ada pemberitahuan kepada warga
atau Pak RT setempat, hal ini dianggap sikap yang kurang kompak untuk
menuntut pencairan sisa ganti rugi tahap II yang sudah mereka
perjuangkan selama ini. Kemarahan partisipan ini dinyatakan dalam
bentuk ungkapan berikut ini:
“Mestinya harus selalu kerjasama,....jangan meninggalkan yang
disini dulu, nanti kalau sudah lunas minggat-minggato (peneliti:
bahasa jawa kasar yang artinya silahkan keluar/pindah). (field
note: ekspresi tegang, suara keras, intonasi meningkat)

c. Harga diri rendah


Sub tema ini hanya diungkapkan oleh satu partisipan yang saat ini tidak
mempunyai pekerjaan dan hanya hidup bersama istri, semua anaknya
Desain dan Hasil Penelitian 75

90
sudah berkeluarga dan hidup terpisah dengan partisipan. Partisipan
mengaku belum membeli tanah atau rumah karena uang ganti tahap I
sudah dibuat untuk membeli rumah bagi ketiga anaknya. Ungkapan yang
menjelaskan adanya harga diri rendah adalah perasaan malu. Perasaan
malu ini muncul ketika partisipan merasa tidak mempunyai apa-apa dan
tidak ada yang bisa disuguhkan ketika ada tamu atau orang lain yang
berkunjung ke rumahnya, seperti yang disampaikan oleh partisipan
berikut ini:
”malu mas dirumah tidak ada apa-apa....nol saya mas ndak
punya apa-apa....(P1)

Skema 2, tema 2: Perubahan kognitif

Sub tema Tema 2


Penurunan Perubahan
Penurunan konsentrasi kognitif
daya pikir

a. Penurunan daya fikir


Jumlah partisipan yang mengindikasikan telah terjadi penurunan daya
pikir ada tiga orang. Bentuk penurunan daya fikir yang dimaksud adalah
fikiran yang tidak karu-karuan (peneliti: fikiran kacau, tidak fokus, dan
terpecah-pecah). Fikiran ini terjadi karena masalah uang ganti rugi, baik
yang sudah dibayarkan tahap I maupun belum dibayarkannya sisa ganti
rugi tahap II.
Menurunnya daya fikir akibat turunnya ganti rugi tahap I diungkapkan
oleh dua partisipan. Satu partisipan yang sudah memberi uang muka
kepada pemilik rumah yang akan dibeli, mengakui bahwa uang yang
diterima pada tahap I tidak cukup untuk beli rumah baru, karena uang
tersebut juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari
karena tidak ada penghasilan lain. Partisipan lain mengaku bahwa uang

Desain dan Hasil Penelitian 76

91
ganti rugi tahap I yang sudah diterima menimbulkan masalah dalam
keluarga. Masalah tersebut terkait dengan pembagian dengan penggunaan
uang yang sudah mereka terima.
Menurut salah satu partisipan, terdapat perbedaan pendapat diantara
warga masyarakat tentang penggunaan uang ganti rugi tahap I. Ada yang
menyatakan sebaiknya uang tersebut dibelikan rumah secukupnya,
meskipun kecil yang penting sudah punya rumah. Adapula yang
berpendapat lebih baik uang tersebut digunakan untuk membeli tanah
terlebih dahulu, jika ganti rugi tahap II dibayar baru membangun rumah.
Sehingga, menurut partisipan, perbedaan pendapat tersebut sering
menimbulkan konflik keluarga. Disamping itu partisipan juga
menyatakan bahwa jarak waktu pembayaran tahap I dan tahap II terlalu
lama dan tidak jelas menimbulkan perubahan emosi dan fikiran dari
warga masyarakat korban. Partisipan mengaku menjadi ragu dengan masa
depannya dan tidak bisa berfikir jernih seperti sebelumnya. Satu orang
partisipan lain yang masih bekerja sebagai SATPAM ini mengungkapkan
pendapatnya secara terbuka sebagai berikut:
“jadi pikirannya ya nggak karu-karuan......malah menimbulkan
pikiran kacau..... nggak bisa berfikir jernih...... ragu ragu…..
pikiran terpecah-pecah…..setelah mendapatkan uang 20% saya
kebingungan.... (P4)”

Desain dan Hasil Penelitian 77

92
Skema 3, tema 3: Mekanisme koping

Pengalihan masalah yang


dihadapi

Peningkatan dalam
beribadan

Sub tema 1
Represi
Koping
adaptif
Minta bantuan saudara
Tema 3
Demonstrasi terus Mekanisme
Koping
Sub tema 2
Membuntu jalan Koping tidak
efektif
Displacement

a. Koping adaptif
Hampir semua partisipan pada penelitian ini menggunakan mekanisme
koping yang adaptif, meskipun jenis koping yang digunakan masing-
masing partisipan berbeda. Dua partisipan menghadapi masalah atau
stressor dengan mengalihkan perhatiannya dengan cara ngobrol,
bermain domino dengan tetangga, ngopi diwarung dan sebagainya.
Sedangkan dua partisipan lain yang setiap harinya dirumah dan merasa
mempunyai banyak waktu luang menggunakan cara meningkatkan
ibadah, mengaji dirumah, rajin dimasjid dan berdo’a agar musibah yang
dialami segera berakhir. Selain itu ada juga partisipan yang mengaku
meminta bantuan kepada saudaranya untuk mengadapi kondisi yang
dihadapi saat ini, disisi lain ada partisipan yang mensikapi masalah

Desain dan Hasil Penelitian 78

93
tersebut dengan diam dan menyimpanya dalam hati seperti pernyataan
berikut ini:
“kalau kepikiran seperti itu paling saya diam, duduk, angan-
angan..... kalau ada masalah paling saya simpan dalam hati (P2)”

b. Koping tidak efektif


Satu partisipan mengungkapkan akan melakukan demonstrasi terus
(unjuk rasa) dan membuntu jalan (menutup jalan), apabila hak yang
mereka tunggu (pembayaran sisa ganti rugi tahap II) belum juga
diberikan. Partisipan ini menjelaskan bahwa, meskipun saat ini sebagian
warga sudah pindah rumah, namun jika mereka mendapatkan informasi
tentang aksi unjuk rasa atau adanya masalah di desa mereka pasti
kompak datang untuk membantu warga yang masih tinggal disini
(belum pindah).
Ungkapan partisipan untuk melakukan demonstrasi dan membuntu jalan
agar pihak proyek tidak dapat membangun tanggul hingga tuntutan
mereka terpenuhi adalah sebagai berikut:
“Ya demo terus....membuntu jalan atau melarang pihak proyek
membangun tanggul disini....(P3)”

Satu partisipan lain mengatakan bahwa akibat bencana lumpur Lapindo


ini merasa mudah marah dan emosi, sehingga anak dan istrinya menjadi
sasaran.

Desain dan Hasil Penelitian 79

94
Skema 4, tema 4: Perubahan fungsi keluarga
Skema 4, tema 4: Perubahan fungsi keluarga
Tempat tinggal menjadi
Tempat
terpisahtinggal menjadi Sub tema 1
terpisah Sub tema 1
Perubahan fungsi
Perubahan fungsi
sosial keluarga
Terjadinya disharmoni sosial keluarga Tema 4
Terjadinya
keluarga disharmoni Tema 4
keluarga
Perubahan Fungsi
Perubahan Fungsi
keluarga
Kehilangan mata keluarga
Kehilangan
pencaharianmata Sub tema 2
pencaharian Sub tema 2
Perubahan fungsi
Perubahan
ekonomifungsi
keluarga
Ketidakmampuan memenuhi ekonomi keluarga
a.Ketidakmampuan memenuhi
kebutuhan keluarga
a.kebutuhan keluarga

b. Perubahan fungsi sosial keluarga


b. Perubahan fungsi sosial keluarga
Perubahan fungsi sosial keluarga menyebabkan renggangnya ikatan atau
Perubahan fungsi sosial keluarga menyebabkan renggangnya ikatan atau
hubungan kekeluargaan. Satu partisipan yang mempunyai tiga anak, yang
hubungan kekeluargaan. Satu partisipan yang mempunyai tiga anak, yang
saat ini hanya tinggal dengan istrinya mengungkapkan renggangnya ikatan
saat ini hanya tinggal dengan istrinya mengungkapkan renggangnya ikatan
kekeluargaan terjadi karena hidupnya terpisah dengan anak-anaknya yang
kekeluargaan terjadi karena hidupnya terpisah dengan anak-anaknya yang
sebelumnya hidup bersama dalam satu desa dan berdekatan. Satu participan
sebelumnya hidup bersama dalam satu desa dan berdekatan. Satu participan
lain mengatakan bahwa renggangnya kekeluargaan ini karena terpisah
lain mengatakan bahwa renggangnya kekeluargaan ini karena terpisah
dengan orang tua dan saudaranya karena sebelumnya participan ini hidup
dengan orang tua dan saudaranya karena sebelumnya participan ini hidup
bersama dalam satu rumah.
bersama dalam satu rumah.

Disisi lain ada participan menjelaskan bahwa merenggangnya hubungan


Disisi lain ada participan menjelaskan bahwa merenggangnya hubungan
kekeluargaan sebagai bentuk berubahnya fungsi sosial keluarga ini
kekeluargaan sebagai bentuk berubahnya fungsi sosial keluarga ini
disebabkan karena adanya konflik antar anggota keluarga setelah pencairan
disebabkan karena adanya konflik antar anggota keluarga setelah pencairan
dana ganti rugi tahap I. Umumnya, penyebab konflik adalah pembagian
dana ganti rugi tahap I. Umumnya, penyebab konflik adalah pembagian
uang yang belum adil kepada sesama saudara, sebagaimana ungkapan
uang yang belum adil kepada sesama saudara, sebagaimana ungkapan
participan berikut ini:
participan berikut ini:

Desain dan Hasil Penelitian 80


Desain dan Hasil Penelitian 80

95
“persaudaraan cekcok terus, hubungan antar keluarga banyak yang
renggang, antar saudara kandung aja banyak yang renggang, dulu
sesama saudara tenang-tenang saja, rukun tapi sekarang tidak bicara,
gegeran (P3)”

“dulunya adem ayam tentrem, terus dapat uang malah gak karuan,
masalahnya individu kan macem-macem, maunya begini, begitu,
jadinya orang tua bingung, malah bermasalah. Kalau dulu kan nggak
pernah karena nggak ada yang jadi rebutan (P5)”

c. Perubahan fungsi ekonomi keluarga


Sebanyak lima partisipan mengutarakan kesulitan mendapatkan pekerjaan
baru sejak terjadinya bencana lumpur Lapindo. Berbagai usaha dan
pekerjaan yang selama ini mereka lakukan berhenti atau hilang. Ada yang
dulunya bekerja sebagai petani harus berhenti karena lahan sawah dan
ladangnya tertimbun lumpur. Masyarakat yang dulunya berprofesi sebagai
penjahit juga berhenti karena tidak ada konsumen. Sedangkan masyarakat
yang dulu berwiraswasta atau menjalankan usaha sendiri seperti mebel,
menjual buah-buahan di pasar, serta pedagang telur, juga berhenti
aktivitasnya karena pembeli atau konsumennya tidak ada. Begitu pula yang
dulu sebagai tenaga bangunan juga berhenti karena tidak ada lagi yang
membangun rumah di wilayahnya. Hampir semua pekerjaan sebagai mata
pencaharian utama masyarakat berhenti sehingga aktifitas keseharian
mereka saat ini lebih banyak menganggur atau tanpa pekerjaan, seperti
pernyataan partisipan sebagai berikut:
“sekarang nganggur, tidak ada pekerjaan...(P1)”
“dulunya mudah dan lancar sekarang hilang, pekerjaan jadi mati
seketika...(P3)”

Kondisi diatas mempengaruhi fungsi keluarga yang lain yaitu memenuhi


kebutuhan papan atau tempat tinggal baru bagi keluarga dan kebutuhan
memberikan pendidikan untuk anak-anak mereka. Cita-cita untuk

Desain dan Hasil Penelitian 81

96
menyekolahkan anak setinggi-tingginya harus berhenti dulu karena
menyekolahkan
menyekolahkan anakanak setinggi-tingginyaharus
setinggi-tingginya harus berhenti
berhenti dulu
dulu karena
karena
ketidakmampuan membayar biaya sekolah seperti pernyataan partisipan
ketidakmampuan
ketidakmampuan membayar
membayar biaya
biaya sekolahseperti
sekolah sepertipernyataan
pernyataan partisipan
partisipan
berikut ini:
berikut
berikut ini: ini:
“Sekarang aja anak saya berhenti sekolah karena nggak bisa bayar SPP
“Sekarang
“Sekarang
sehingga nggak aja
bisaanak
aja anak ikutsaya
saya berhenti
berhenti
ujian, sekolah
sekolah
jangankan karena
karena
uang nggak
200 nggak
atau bisa
bisa
100 bayar
bayar
ribu, SPP
10SPP
sehingga
sehingga nggak bisa ikut ujian, jangankan uang 200
ribu aja nggak punya mas, susah mas. Dulu saya cita-cita saya kerja 10
nggak bisa ikut ujian, jangankan uang 200 atau
atau 100
100 ribu,
ribu, 10
ribu ribu
bangunan aja
aja nggak nggak
nggak punyapunya
papa mas, mas,
kalau susah
susah
bisa mas.mas.
anak Dulusaya
Dulu
laki-lakisaya cita-citasaya
cita-cita
satu-satunya saya kerja
bisakerja
bangunan
bangunan nggak papa kalau bisa anak laki-laki satu-satunya
sekolah SMA atau kalau mungkin sampai kuliah, eh ternyata baru kelas bisa
nggak papa kalau bisa anak laki-laki satu-satunya bisa
sekolah
sekolah
satu SMA SMA SMA
saja atau atau
sudahkalau kalau mungkin
nggakmungkin sampai kuliah, eh ternyata baru
sampai kuliah, eh ternyata baru kelas
bisa...(P5)” kelas
satu SMA
satu SMA saja saja
sudahsudah
nggaknggak bisa...(P5)”
bisa...(P5)”

Sementara untuk kebutuhan tempat tinggal akan diupayakan terpenuhi


Sementara
Sementara untukuntuk kebutuhan
kebutuhan tempat
tempat tinggalakan
tinggal akandiupayakan
diupayakan terpenuhi
terpenuhi
apabila sisa ganti rugi tahap II (80%) sudah dibayarkan
apabila
apabila sisa ganti
sisa ganti rugi rugi tahap
tahap II (80%)
II (80%) sudah
sudah dibayarkan
dibayarkan

Skema 5, tema 5: Perubahan hubungan sosial kemasyarakatan


SkemaSkema 5, tema
5, tema 5: Perubahan
5: Perubahan hubungan
hubungan sosial
sosial kemasyarakatan
kemasyarakatan
solidaritas merenggang
solidaritas
solidaritas merenggang
merenggang Sub tema 1
SubSub tema
tema 11
Lemahnya
Lemahnya
Lemahnya
solidaritas warga
silaturrahmi menurun
silaturrahmi
silaturrahmi menurun
menurun solidaritas
solidaritas warga
warga Tema 5
Tema55
Tema
Perubahan hubungan
sosial Perubahan
Perubahan hubungan
hubungan
kemasyarakatan
Sub tema 2 sosialkemasyarakatan
sosial kemasyarakatan
SubSub tema
tema 22
Perhatian kepada orang lain Menurunya
Perhatian
Perhatian
menurun kepada
kepada orangorang
lain lain Menurunya
Menurunya
kepedulian sosial
menurun
menurun kepedulian
kepedulian sosial
sosial

a. Lemahnya solidaritas warga


a. Lemahnya
a. Lemahnya solidaritas
solidaritas warga
warga
Bencana lumpur Lapindo membawa perubahan pada hubungan sosial
Bencana
Bencana lumpurlumpur Lapindo
Lapindo membawa
membawa perubahanpada
perubahan padahubungan
hubungan sosial
sosial
yang ada di masyarakat. Semua partisipan mengakui adanya perubahan
yang yang adamasyarakat.
ada di di masyarakat. Semua
Semua partisipan
partisipan mengakuiadanya
mengakui adanyaperubahan
perubahan
yang terjadi yaitu renggangnya hubungan antar warga. Hal ini disebabkan
yang yang terjadi
terjadi yaituyaitu renggangnya
renggangnya hubungan
hubungan antar
antar warga.Hal
warga. Halini
inidisebabkan
disebabkan
warga yang sudah mampu membeli rumah ditempat lain, pindah tanpa
wargawarga
yangyang
sudah sudah mampu
mampu membeli
membeli rumahditempat
rumah ditempatlain,
lain,pindah
pindah tanpa
tanpa
memberitahu ketua RT atau ijin kepada warga lainnya, sementara setelah
memberitahu
memberitahu ketuaketua
RT RT
atauatau
ijinijin kepada
kepada warga
warga lainnya,sementara
lainnya, sementarasetelah
setelah
pindah mereka jarang mengunjungi rumah mereka yang masih ada di desa
pindahpindah
merekamereka jarang
jarang mengunjungi
mengunjungi rumah
rumah mereka
mereka yangmasih
yang masihadaadadididesa
desa
Desain dan Hasil Penelitian 82
Desaindan
Desain danHasil
HasilPenelitian
Penelitian 82
82

97
Pajarakan sehingga warga menilai hubungan mereka tidak seperti dulu
lagi.

Hal seperti ini di sayangkan oleh dua partisipan yang menginginkan tetap
adanya kekompakan antar warga. Partisipan ini mengingatkan bahwa
ketika memperjuangkan ganti rugi mereka bersama-sama, namun setelah
mendapatkan uang ganti rugi, mereka pergi atau pindah rumah tanpa
memberitahu atau memedulikan kondisi warga lain yang masih tinggal di
desa Pajarkan. Namun demikian ada partisipan yang menilai lain, bahwa
warga yang pindah masih mempunyai solidaritas dengan warga yang lain
karena meskipun sudah tidak tinggal disini apabila diberi kabar ada
masalah atau tekanan dari Proyek (PT. Lapindo) mereka masih datang
untuk memberi dukungan, sebagaimana pernyataan partisipan berikut ini:
“kalau ada tekanan dari proyek mereka masih kompak datang
lagi kesini....(P3)”

b. Menurunya kepedulian sosial


Dua partisipan yang mengaku belum punya rumah di tempat baru dan saat
ini tidak mempunyai pekerjaan berpendapat bahwa mayoritas warga desa
Pajarakan ini hanya terfokus pada realisasi waktu pembayaran sisa ganti
rugi tahap II tersebut dilaksanakan. Masyarakat menaruh harapan agar
pembayaran ganti rugi tahap II segera dilaksanakan. Belum terealisasinya
ganti rugi tersebut menyebabkan masyarakat mengalami banyak
perubahan, diantaranya perubahan dalam berinteraksi dan rendahnya
kepeduliaanya dengan tetangga atau orang lain.

Partisipan juga mengakui setelah ada bencana ini, sebagian warga kurang
atau tidak peduli lagi kepada orang lain. Mereka seakan-akan memikirkan
hidupnya sendiri-sendiri dan cuek dengan lingkungan yang terjadi.
Desain dan Hasil Penelitian 83

98
Kekompakan dan sikap saling membantu yang dulu mereka lakukan
sekarang ini sudah berubah sebagaimana pernyataan partisipan dibawah
Kekompakan dan sikap saling membantu yang dulu mereka lakukan
ini:
Kekompakan dan sikap saling membantu yang dulu mereka lakukan
sekarang ini sudah berubah sebagaimana pernyataan partisipan dibawah
sekarang “kalau
ini sudahdulu kompak
berubah mas, sekarang
sebagaimana sudahpartisipan
pernyataan berubah dibawah
semua...
ini: urusan hidup sehari-hari sepertinya kurang peduli, cuek tidak
ini: sepertidulu
dulu kompak
saling menbantu...(P3)”
“kalau mas, sekarang sudah berubah semua...
“sekarang sudah
dulu mikir
kompak hatinya
urusan hidup sehari-hari mas,
“kalau sendiri
sekarang
sepertinya nggak
kurangsudah mikir urusan
berubah
peduli, cuek orang
semua...
tidak
lain....(P5)”
urusandulu
seperti hidup sehari-hari
saling sepertinya kurang peduli, cuek tidak
menbantu...(P3)”
seperti dulu saling menbantu...(P3)”
“sekarang sudah mikir hatinya sendiri nggak mikir urusan orang
“sekarang sudah mikir hatinya sendiri nggak mikir urusan orang
lain....(P5)”
Skema 6, tema 6: Dukungan sosial
lain....(P5)”

Skema 6, tema 6: Dukungan sosial


Pengertian
Skema 6,istri
tema 6: Dukungan sosial Sub tema 1
untuk
menenangkan suami
Perhatian keluarga
Pengertian istri untuk Sub tema 1
(istri/suami)
Perhatian
Pengertian
menenangkan suami
istri untuk
untuk
suami Sub tema 1
refresing atau
menenangkan suami berlibur Perhatian keluarga
dengan Perhatian
(istri/suami) keluarga
Perhatiankeluarga
suami untuk
(istri/suami) Dukungan sosial
Perhatian suami
refresing atau untuk
berlibur
Tema 6 atau berlibur
refresing
dengan keluarga
dengan keluarga Dukungan sosial
Tema 6
Keberlangsungan Dukungan sosial
Tema 6 Sub tema 2
Kegiatan keagamaan
Kepedulian tokoh
Keberlangsungan
Keberlangsungan SubAgama
tema 2dan tokoh
Kegiatan keagamaan Sub tema 2
Kegiatan keagamaan masyarakat
Kepedulian tokoh
Peran tokoh masyarakat
Kepedulian
Agama tokoh
dan tokoh
dan tokoh agama
Agama
masyarakat dan tokoh
Peran tokoh masyarakat masyarakat
Peran tokoh
dan tokoh masyarakat
agama
dan tokoh agama

a. Perhatian keluarga (istri/suami)


Satu partisipan mengaku mudah marah dan emosi akibat uang ganti rugi
a. Perhatian keluarga (istri/suami)
tahap II belum
a. Perhatian dibayarkan,
keluarga padahal uang tersebut yang menjadi jaminan
(istri/suami)
Satu partisipan mengaku mudah marah dan emosi akibat uang ganti rugi
untukpartisipan
Satu melunasimengaku
kekurangan
mudahbeli rumah
marah danbaru,
emosisementara
akibat uangorang
ganti yang
rugi
tahap II belum dibayarkan, padahal uang tersebut yang menjadi jaminan
punyaII rumah
tahap terus menagih
belum dibayarkan, sehingga
padahal partisipan
uang tersebut yangtersebut
menjadimengaku
jaminan
untuk melunasi kekurangan beli rumah baru, sementara orang yang
untuk melunasi kekurangan beli rumah baru, sementara orang yang
punya rumah terus menagih sehingga partisipan
Desain tersebutPenelitian
dan Hasil mengaku 84
punya rumah terus menagih sehingga partisipan tersebut mengaku
Desain dan Hasil Penelitian 84
Desain dan Hasil Penelitian 84

99
mudah marah dan emosi. Partisipan yang mengaku masih bekerja
sebagai SATPAM disalah satu perusahaan yang jauh dari tempat
tinggalnya ini bersyukur karena mempunyai istri yang sangat
pengertian.

Partisipan ini mengaku selalu ditenangkan oleh istrinya bahwa rumah


yang ada saat ini masih bisa ditempati sehingga tidak harus memaksa
pindah rumah karena memang uang ganti rugi tahap II belum dibayar.
Hal senada juga dialami oleh partisipan lainnya. Partisipan yang
memindahkan Istri dan anak-anaknya ke kampung Jawa Tengah ini
mengaku istrinya sangat memahami kondisinya sekarang. Meskipun
hanya membawa uang sedikit istrinya tidak pernah marah karena
memang setelah bencana lumpur ini semua pekerjaan yang dulu digeluti
berhenti, bahkan saat ini istrinya rela dipulangkan ke kampung agar
dapat merawat anak-anaknya dengan baik dan kebutuhan hidup sehari-
hari bisa tercukupi.

Sementara itu ada partisipan yang mengungkapkan perhatian suaminya


diwujudkan dengan cara sering telpon menanyakan kondisi keluarga dan
kalau malam minggu mengajak jalan-jalan bersama anak-anak sehingga
mereka merasa terhibur, seperti ungkapan partisipan berikut ini:
”pulangnya lebih sering, terus kalau ndak pulang telpon tanya
keadaan anak-anak, sering menghibur kalau malam minggu saya
dan anak anak diajak jalan-jalan ke Sidoarjo (kota
Kabupaten)...(P6)”

Namun demikian ada pula partisipan yang mengaku kurang mendapat


dukungan dari keluarga bahkan tekanan karena belum bisa membangun
rumah apabila harus pindah ditempat baru nanti, seperti ungkapan
partisipan dibawah ini:
Desain dan Hasil Penelitian 85

100
”saya sering marah, karena anak sering minta sama orang tua
tapi ndak melihat kondisi orang tua...., kok kita belum punya
rumah nanti kita bagaimana... tahu tahunya menekan sehingga
saya sering emosi...(P5)”

b. Kepedulian tokoh Agama dan tokoh masyarakat


Dua partisipan mengungkapkan peran serta tokoh masyarakat maupun
tokoh agama sangat dirasakan oleh warga dalam memberikan dukungan
selama musibah terjadi. Satu partisipan menceritakan bahwa ketika
warga lepas kendali, emosi yang berlebihan maka pak RW mampu
menenangkan dan menyadarkan bahwa tindakan tersebut tidak akan
dapat menyelesaikan masalah. Pak RW mengajak kepada warga agar
dapat menghadapi masalah ini dengan tenang dan pikiran yang jernih
tanpa harus emosi atau bertindak kasar yang tidak ada gunannya.

Sementara itu, satu partisipan lainya menjelaskan peran pak Modin


sebagai tokoh agama yang ada di desa Pajarakan sangat besar dalam
menenangkan dan menyadarkan masyarakat korban bencana lumpur
Lapindo ini melalui kegiatan-kegiatan keagamaan, misalnya Tahlillan
atau memberikan nasehat untuk bisa sabar dalam menghadapi ketentuan
Allah SWT. Peran pak RW dan pak Modin dalam memberikan
dukungan bagi warga diungkapkan partisipan berikut ini:
“kalau sedang emosi, pak RW dan pak Modin mendatangi dan
menyadarkan kami sehingga emosi kami menurun...(P3)”

Desain dan Hasil Penelitian 86

101
Skema 7, tema 7: Harapan penyelesaian masalah
Skema 7, tema
Ketegasan 7: Harapan penyelesaian masalah
jadwal
pembayaran ganti rugi
Ketegasan jadwal
pembayaran ganti rugi
Kepastian waktu turunnya
sisa ganti rugi
Kepastian tahap
waktu II
turunnya Sub tema 1
sisa ganti rugi tahap II HarapanSub tema 1
kepada
Perhatian kepada anak- pemerintah
anak korban Lapindo Harapan kepada
Perhatian kepada anak- pemerintah Tema 7
anak korban Lapindo
Tempat tinggal baru yang Temapenyelesaian
Harapan 7
mampu menampung semua masalah kepada pemerintah
Tempat tinggal baru yang Harapan penyelesaian
warga (relokasi) dan PT Lapindo
mampu menampung semua masalah kepada pemerintah
warga (relokasi) dan PT Lapindo
Pelibatan warga sebagai Sub tema 2
tenaga kerja
Pelibatan warga sebagai Subkepada
Harapan tema 2PT
tenaga kerja
Lapindokepada PT
Harapan
Memahami kondisi warga Lapindo
setelah bencana
Memahami Lumpur
kondisi warga
setelah bencana Lumpur

a. Harapan kepada pemerintah


a. Semua
Harapan kepada pemerintah
partisipan menganggap bahwa solusi yang paling utama dalam
Semua partisipan
penyelesaian menganggap
masalah bahwa solusi
lumpur Lapindo saat yang paling
ini bagi utama dalam
masyarakat korban
penyelesaian
adalah masalah
pembayaran lumpur
sisa ganti Lapindo saatII.ini
rugi tahap bagi satu
Salah masyarakat korban
partisipan bahkan
adalah pembayaran
menuntut sisa
sikap tegas ganti
dari rugi tahapagar
pemerintah II. Salah satu partisipan
sisa ganti bahkan
tahap II yang sudah
menuntut sikap
dijanjikan dapattegas daridibayarkan.
segera pemerintah Selain
agar sisa
ituganti
perlutahap
ada IIkepastian
yang sudah
waktu
dijanjikan dapat
pembayaran segera
tahap dibayarkan.
II tersebut Selain itu karena
dilaksanakan, perlu ada kepastian waktu
ketidakpastian waktu
pembayaran tahap II tersebut
pembayaran/pelunasan dilaksanakan,
seperti sekarangkarena
ini ketidakpastian
masyarakat waktu
semakin
pembayaran/pelunasan seperti sekarang ini masyarakat semakin
menderita.
menderita. ini diungkapkan oleh salah satu partisipan yang merasa
Penderitaan
Penderitaan
jarak ini diungkapkan
waktu pencairan oleh salah
dana tahap I dan satu
tahappartisipan
II cukupyang
lama,merasa
sehingga
jarak waktu
alokasi pencairan
biaya untukdana tahap sehari-hari
hidup I dan tahap IImembengkak
cukup lama, sehingga
sedangkan
alokasi biaya untuk hidup sehari-hari membengkak
Desain dan sedangkan 87
Hasil Penelitian
Desain dan Hasil Penelitian 87

102
pemasukan tidak ada, pekerjaan juga tidak ada. Dipihak lain, warga
yang sudah memberi uang muka dalam pembelian rumah juga dikejar-
kejar atau ditagih oleh yang mempunyai rumah, hal ini semakin
membuat masyarakat korban tidak tenang dan kacau karena tidak ada
waktu yang pasti kapan sisa ganti rugi tahap II tersebut diberikan.

Harapan lain yang diungkapkan salah satu partisipan yang mempunyai


dua anak yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) adalah
perhatian pemerintah kepada anak-anak yang menjadi korban lumpur
Lapindo. Menurut Partisipan ini, berbagai perubahan pada anak sudah
mulai tampak, namun tindakan untuk mengantisipasi hal tersebut belum
ada. Kalaupun sudah pernah ada dari LSM itupun sifatnya sementara
pada awal-awal terjadinya bencana, setelah itu tidak ada lagi kegiatan
atau intervensi untuk mengantisipasi masalah yang terjadi pada anak-
anak.
Partisipan berharap perhatian yang serius dan tindakan yang kontinyu
dari pemerintah kepada anak-anak agar emosinya terjaga. Selama ini
partisipan menganggap kurangnya perhatian pemerintah terhadap anak-
anak korban, termasuk tidak adanya perhatian dari Komisi Nasional
Perlindungan Anak pimpinan Kak Seto, sebagaimana pernyataan
partisipan berikut ini:
“paling tidak ada perhatian dari pemerintah terhadap nasib anak-
anak kami yang ada di sini. Tapi ternyata selama ini nggak
pernah ada perhatian dari pemerintah, mas sendiri tahu apakah
kak Seto sebagai Komnas Anak pernah ke masyarakat korban
lumpur kan nggak pernah. Jadi harapan saya paling tidak ada
perhatianlah. Misalnya penyuluhan atau kegiatan-kegiatan yang
khusus untu anak-anak (P4)”

Desain dan Hasil Penelitian 88

103
Disisi lain, partisipan menyampaikan harapannya mengenai tempat
tinggal baru atau relokasi untuk warga satu desa agar hubungan antar
tetangga dan lingkungan tetap terjaga, rukun dan kompak sebagaimana
ditempat asal, sebagaimana pernytaan partisipan berikut ini:
“mestinya yang difikirkan pemerintah tidak hanya sekedar
rumah dan tanah kami dibeli tapi bagaimana lingkungan kami
nanti…. mudah-mudahan lingkungan ditempat baru saya nanti
orang-orangnya juga rukun, kompak (P3)”

b. Harapan kepada PT Lapindo


Semua partisipan berharap kepada PT Lapindo, agar nasib mereka
setelah menjadi korban bencana lumpur Lapindo ini diperhatikan. Salah
satu bentuk perhatian yang bisa dilakukan sebagaimana yang diutarakan
oleh salah satu partisipan adalah melibatkan warga sebagai tenaga kerja
dalam proyek pembangunan tanggul untuk membendung luapan lumpur.
Harapan partisipan ini diuangkapan sebagaimana pernyataan dibawah
ini:
“mestinya kan bisa diajak kerja proyek,.... waktu nanggul itu kan
bisa kita diajak biar sedikit-dikit ada pemasukan....(P3)”

Hal tersebut diungkapkan partisipan karena warga merasa bahwa


kondisinya sekarang pengangguran atau hilangnya mata pencaharian
mereka selama ini dikarenakan bencana lumpur Lapindo. Dengan
adanya bencana lumpur ini banyak masyarakat yang kehilangan
pekerjaan, baik pekerjaan sebagai petani, buruh pabrik maupun
wiraswasta. Bahkan salah satu partisipan berharap agar PT Lapindo
juga memenuhi kebutuhan warga selama sisa ganti rugi tahap II belum
dibayar, hal ini diungkapkan partisipan sebagai berikut:
“mestinya pemerintah atau PT Lapindo itu memperhatikan
kebutuhan kita, kecuali kalau kita sudah pindah dari sini atau

Desain dan Hasil Penelitian 89

104
sudahsudah mendapatkan
mendapatkan uanguang
gantiganti
rugi rugi keseluruhan
keseluruhan itu lagi,
itu lain lain lagi,
tapi tapi
selama kita masih disini mestinya kita harus
selama kita masih disini mestinya kita harus diperhatikan. diperhatikan.
Termasuk
Termasuk air bahkan
air bahkan termasuk
termasuk berasberas
atau atau sembako
sembako mestinya
mestinya kita kita
harusharus
sudahtetaptetap dijatah
dijatah
mendapatkan sebabsebab apa akibat
apaganti
uang akibat lumpur
lumpur
rugi ini banyak
ini kan
keseluruhan kan
itu banyak
lainorang orang
lagi, tapi
yang yang
selama berhenti
berhenti kerja
kerja kalau
kita masih kalau
disini tidak tidak kerja
kerjakita
mestinya kan
kanharus nggak punya
nggakdiperhatikan.
punya
penghasilan
penghasilan
Termasuk air jadi harus
jadibahkan
harus ditanggung
ditanggung
termasuk mestinya...(P6)”
mestinya...(P6)”
beras atau sembako mestinya kita
harus tetap dijatah sebab apa akibat lumpur ini kan banyak orang
yang berhenti kerja kalau tidak kerja kan nggak punya
penghasilan jadi harus ditanggung mestinya...(P6)”

Skema
Skema 8, tema
8, tema 8: Kebutuhan
8: Kebutuhan terhadap
terhadap pelayanan
pelayanan kesehatan
kesehatan fisikfisik

Bau Bau lumpur


lumpur yangyang sangat
sangat Sub tema
Sub tema 1 1
Skemamenyengat
8, tema 8: Kebutuhan terhadap pelayanan kesehatan fisik
menyengat
Kebutuhan
Kebutuhan
udaraudara
sehatsehat
BauTimbulnya
Timbulnya masalah
masalah
lumpur yang jalanjalan
sangat Sub tema 1
nafas
nafas
menyengat
Kebutuhan
udara sehat
Timbulnya masalah
Perubahan
warnawarna
jalan
air air
Perubahan Sub tema
Sub tema 2 2 Tema
Tema 8 8
nafas
Kebutuhan
Kebutuhan Kebutuhan
Kebutuhan pelayanan
pelayanan
Kebutuhan
Kebutuhan untukuntuk memenuhi
memenuhi air sehat kesehatan
kesehatan fisikfisik
Perubahan warna air air sehat
Sub tema 2 Tema 8
Timbulnya
Timbulnya Masalah
Masalah kulit kulit Kebutuhan Kebutuhan pelayanan
Kebutuhan untuk memenuhi air sehat kesehatan fisik
Ada pengobatan Sub tema
Sub tema 3 3
Ada pengobatan gratisgratis
Timbulnya Masalah kulit Kebutuhan
Kebutuhan
tindakan
tindakan medis
medis
Ada tindakan
Ada tindakan medismedis (injeksi)
(injeksi) Sub tema 3
Ada pengobatan gratis
Kebutuhan
a. Kebutuhan udara tindakan medis
a. tindakan
Ada Kebutuhan udara
medis sehatsehat
(injeksi)
Dua Dua partisipan
partisipan yangyang mengungkapkan
mengungkapkan adanya
adanya gangguan
gangguan bahwabahwa lumpur
lumpur
Lapindo
a. Lapindo mengeluarkan
mengeluarkan
Kebutuhan zat atau
zat atau
udara sehat gas menyebabkan
gas menyebabkan bau yang
bau yang tidaktidak
sedapsedap
Duabahkan
bahkan sangat
sangat
partisipan menyengat.
menyengat.
yang Akibat
Akibat
mengungkapkan dari dari
bau bau tersebut
tersebut
adanya beberapa
beberapa
gangguan bahwawargawarga
lumpur
mengeluh
mengeluh
Lapindo mengalami
mengalami
mengeluarkan batuk-batuk,
batuk-batuk,
zat bahkan
bahkan
atau gas salahsalah
satu satu
menyebabkan baupartisipan
partisipan memilih
yangmemilih
tidak sedap
memindahkan
memindahkan
bahkan sangatistri istri
dan dan
menyengat. ketiga
ketiga anaknya
anaknya
Akibat untuk
untuk
dari bau tinggal
tinggal di desa
di desa
tersebut karena
karena
beberapa warga
mengeluh mengalami batuk-batuk, bahkan salah satu partisipan memilih
Desain
Desain dan dan
HasilHasil 90 90
Penelitian
Penelitian
memindahkan istri dan ketiga anaknya untuk tinggal di desa karena

Desain dan Hasil Penelitian 90

105
takut udara di daerah bencana lumpur Lapindo mengganggu kesehatan
anak-anaknya.
Sementara itu, Partisipan lain berpendapat bahwa salah satu sebab
warga pindah ke rumah baru adalah karena tidak kuat dengan bau uap
lumpur Lapindo, apalagi pada saat ada tanggul yang jebol atau pipa
spilway bocor, baunya sangat menyengat sekali. Masalah kesehatan
yang bisa terjadi akibat udara atau bau lumpur ini adalah masalah
pernafasan seperti ungkapan salah satu partisipan berikut ini:
“Kalau masalah pernafasan itu karena baunya disini ini kan
terkadang menyengat mas apalagi kalau pas ada kebocoran di
Spilway (pipa saluran pembuangan lumpur) atau pas tanggulnya
ada yang jebol wah baunya menyengat sekali...(P2)”

b. Kebutuhan air sehat


Salah satu partisipan yang mengaku sejak kecil tinggal di desa
Pajarakan ini mengungkapkan bahwa sejak adanya luapan lumpur
Lapindo pemenuhan kebutuhan air bersih dan sehat terganggu. Sumber
air bersih dari sumur-sumur galian di area tanah mereka yang selama ini
mereka gunakan untuk mandi dan minum sehari-hari, setelah ada luapan
lumpur warnanya menjadi agak putih dan menimbulkan rasa gatal-gatal
apabila dipakai untuk mandi.

Partisipan ini menjelaskan bahwa kebutuhan air bersih dan sehat ini
penting terutama bagi warga yang tidak mampu. Bagi sebagaian warga
yang mempunyai uang, air untuk keperluan sehari-hari mereka mampu
membeli, termasuk untuk mandi. Namun bagi yang tidak mempunyai
uang mereka memanfaatkan air seadanya, mereka mengabaikan masalah
kesehatan yang mereka alami. Pernyataan mengenai kebutuhan air
bersih dan sehat disampaikan oleh partisipan berikut ini:

Desain dan Hasil Penelitian 91

106
“Ya penyakit kulit, kan airnya itu sudah berubah mas warnanya
agak lebih putih dibanding sebelumnya, dan gatal-gatal kalau
dipakai...(P2)”

c. Kebutuhan tindakan medis


Semua partisipan menyatakan membutuhkan fasilitas pengobatan gratis.
Partisipan tersebut berpendapat bahwa masalah kesehatan yang terjadi
saat ini seperti masalah udara maupun air yang tidak sehat terjadi sejak
adanya luapan lumpur Lapindo. Dengan demikian sudah merupakan
suatu keharusan pemerintah maupun PT Lapindo menyediakan layanan
pengobatan gratis bagi masyarakat korban. Partisipan lain menjelaskan
bahwa pengobatan gratis ini sangat diperlukan karena warga merasa
kondisi mereka sebagai masyarakat korban masih susah, tidak ada
pekerjaan, tidak ada pemasukan sehingga selama masyarakat korban
masih berada di tempat asal atau daerah terdampak atau selama sisa
ganti rugi tahap II belum dibayar, layanan pengobatan gratis hendaknya
diadakan.

Sementara partisipan lainya mengakui bahwa layanan pengobatan gartis


memang pernah ada pada saat awal terjadinya bencana. Namun setelah
warga mendapat uang ganti rugi tahap I, layanan gratis tersebut tidak
ada lagi. Selain hal tersebut diatas, hal senada juga dinyatakan oleh
salah satu partisipan bahwa di daerah tempat tinggalnya (desa
Pajarakan) perlu ada pos kesehatan disertai adanya layanan kesehatan
suntik (injeksi), karena anggapan masyarakat bila berobat tidak ada
layanan suntik mereka merasa belum puas, sebagaimana pernyataan
partisipan berikut ini:

Desain dan Hasil Penelitian 92

107
“Harapan saya supaya ada pos kesehatan gratis dan ada layanan
“Harapan
“Harapan saya
sayasupaya
supaya ada posposkesehatan gratis dandan
ada layanan
suntik (injeksi) sebabada kesehatan
disini kalau gratis
hanya diberi obat ada layanan
warga disini
suntik
suntik (injeksi)
(injeksi)sebab
sebab disini kalau
disini hanya
kalau diberi
hanya obat
diberi warga
obat disini
warga disini
tidak tertarik. Padahal banyak masalah kesehatan misalnya
tidak
tidak tertarik.
tertarik. Padahal
Padahal banyak
banyak masalah kesehatan misalnya
batuk-batuk, pusing-pusing danmasalah kesehatan
sebagainya. misalnya
Dan masyarakat
batuk-batuk,
batuk-batuk, pusing-pusing
pusing-pusing dandansebagainya.
sebagainya.DanDanmasyarakat
masyarakat
disini kalau tidak di suntik itu tidak puas mas....(P3)”
disini
disinikalau
kalautidak
tidakdidisuntik ituitu
suntik tidak puas
tidak mas....(P3)”
puas mas....(P3)”

Skema 9, tema 9: Kebutuhan terhadap pelayanan kesehatan psikososial


Skema
Skema 9,9,tema
tema9:9:Kebutuhan
Kebutuhanterhadap pelayanan
terhadap kesehatan
pelayanan psikososial
kesehatan psikososial

pentingnya mengetahui
pentingnya
pentingnya mengetahui
mengetahui Sub tema 1
status kesehatan jiwa Sub tema
Sub 1 1
tema
status
status kesehatanjiwa
kesehatan jiwa Penilaian status
Penilaian status
Penilaian status
kesehatan jiwa
Pengakuan secara fisik kesehatan
kesehatanjiwa
jiwa
Pengakuan
Pengakuan secara
secara fisik
sehat tapi tidak fisik
secara Tema 9
Tema 9 9
sehat tapi tidak
sehatkejiwaan secara
tapi tidak secara Tema
kejiwaan
kejiwaan Kebutuhan pelayanan
Kebutuhan
Kebutuhanpelayanan
pelayanan
kesehatan psikososial
kesehatan psikososial
kesehatan psikososial
Partisipan merasa awam Sub tema 2
Partisipan
Partisipan merasa awam Sub tema 2 2
tentangmerasa awam
kesehatan jiwa Sub tema
tentang kesehatan jiwa
tentang kesehatan jiwa Penyuluhan tentang
Penyuluhan tentang
Penyuluhan
Adanya perhatian lebih menghadapitentang
Adanya perhatian lebih menghadapi
menghadapi
Adanya perhatian
kepada lebih
perubahan perubahan anak
kepada perubahan perubahan anak
perubahan anak
kepada perubahan
sikap/perilaku anak
sikap/perilaku
sikap/perilakuanak
anak

a. Adanya penilaian status kesehatan jiwa


a.
a. Adanya
Adanyapenilaian
penilaianstatus
statuskesehatan
kesehatan jiwa
jiwa
Semua partisipan mengaku telah mengalami perubahan baik secara
Semua
Semua partisipan
partisipan mengaku
mengakutelahtelahmengalami
mengalami perubahan
perubahan baikbaik
secara
secara
emosi maupun sosial, namun tidak memahami bagaimana bila ditinjau
emosi
emosi maupun
maupunsosial,
sosial,namun
namuntidak memahami
tidak memahami bagaimana
bagaimana bilabila
ditinjau
ditinjau
dari kesehatan jiwa. Menurut salah satu partisipan, selama ini memang
dari
dari kesehatan
kesehatanjiwa.
jiwa.Menurut
Menurutsalah satu
salah partisipan,
satu selama
partisipan, selamaini memang
ini memang
mereka tidak mempedulikan perubahan-perubahan sikap atau perilaku
mereka
mereka tidak
tidakmempedulikan
mempedulikanperubahan-perubahan
perubahan-perubahan sikap
sikapatauatau
perilaku
perilaku
yang terjadi karena terfokus pada masalah ganti rugi dan tempat tinggal
yang
yang terjadi
terjadikarena
karenaterfokus
terfokuspada
padamasalah
masalah ganti rugirugi
ganti dandantempat tinggal
tempat tinggal
baru. Mereka menyadari bahwa secara kasat mata fisik mereka sehat
baru.
baru. Mereka
Merekamenyadari
menyadaribahwabahwasecara
secarakasat mata
kasat matafisikfisik
mereka sehatsehat
mereka
namun sebenarnya mereka menyadari bahwa tekanan-tekanan
namun
namun sebenarnya
sebenarnya mereka
mereka menyadari
menyadaribahwa bahwatekanan-tekanan
tekanan-tekanan
psikologis yang mereka rasakan selama ini sangat besar, sehingga salah
psikologis
psikologisyang
yangmereka
merekarasakan
rasakanselama
selama iniini
sangat besar,
sangat sehingga
besar, salahsalah
sehingga
satu partisipan mengatakan perlunya pengukuran status kesehatan jiwa
satu
satu partisipan
partisipanmengatakan
mengatakanperlunya
perlunya pengukuran
pengukuran status kesehatan
status jiwajiwa
kesehatan

Desain dan Hasil Penelitian 93


Desain dandan
Desain Hasil Penelitian
Hasil 93
Penelitian 93

108
untuk mengetahui kondisi kesehatan jiwa mereka yang sebenarnya,
sebagaimana pernyataan partisipan berikut ini:
“kita kan awam tentang kesehatan jiwa. Kalau sakit fisik sih
mungkin tahu. Tapi perubahan-perubahan perilaku seperti itu
kan kita nggak tahu mas....(P4)”

b. Penyuluhan tentang sikap orang tua menghadapi perubahan anak


Salah satu partisipan mengungkapkan adanya perubahan sikap dan
perilaku yang terjadi pada anak-anak. Perubahan tersebut menyebabkan
orang tua khawatir terhadap masa depan anak-anaknya terutama yang
terkait dengan masalah kesehatan jiwanya. Partisipan merasa orang tua
yang ada di desa Pajarakan ini tidak mempunyai pengetahuan khusus
(awam) mengenai penanganan kesehatan jiwa terutama yang terjadi
pada anak-anak. Sehingga berharap ada penyuluhan mengenai cara
mengantisipasi atau menghadapi anak-anak yang menjadi korban
lumpur Lapindo dengan tepat

Partisipan mengakui pernah ada tindakan dari LSM untuk anak-anak


misalnya anak-anak diajak rekreasi atau bermain-main namun sifat
tindakan yang diberikan hanya sesaat, sementara orang tua dalam hal ini
partisipan tidak diberi pemahaman atau penyuluhan mengenai tindakan
selanjutnya yang perlu dilakukan agar emosi atau kejiwaan anak-anak
tetap terjaga dan tidak trauma dengan bencana lumpur Lapindo yang
terjadi sebagaimana pernyataan pertisipan dibawah ini:
“Kalau dulu ada LSM dan anak-anak diajak rekresi, bermain tapi
kan sesaat tidak ada kelanjutaanya sehingga kita bingung lagi
bagaimmana cara menangani masalah anak yang baik dalam
kondisi seperti ini, agar tidak trauma. Itu yang kami harapkan
jadi ada kelanjutan bukan hanya sesaat saja. Sebab kita kan
awam tentang kesehatan jiwa....(P4)”

Desain dan Hasil Penelitian 94

109
Skema 10, tema tambahan 1 : Resiko dan gangguan perkembangan anak
Skema 10, tema
Skema 10, tematambahan
tambahan1 1: Resiko
: Resiko dan
dandan
remaja gangguan
gangguan perkembangan
perkembangan anakanak
dan remaja
dan remaja
Perasaan anak tidak
nyaman
Perasaan
Perasaan anaktidak
anak tidak
nyaman Sub tema 1
nyaman
Sub tema
SubPerubahan
tema 1
1 perilaku
Sikap menantang orang tua
Sikap menantang
menantangorang
orangtuatua anak perilaku
Perubahan
Perubahan perilaku
Sikap Tema
anak
anak
tambahan
Penurunan1prestasi belajar TemaTema
tambahan
Penurunan1prestasi
tambahan
Penurunan 1prestasibelajar
belajar Resiko dan gangguan
perkembangan
Resiko dan dan
Resiko anak
gangguandan remaja
gangguan
perkembangan
perkembangan anakanak
dan remaja
dan remaja
Sub tema 2
SubSub
tema 2 perilaku
tema
Perubahan 2
Perilaku negatif remaja remaja
Perubahan perilaku
Perubahan perilaku
Perilaku
Perilakunegatif
negatifremaja
remaja remaja
remaja

a. Perubahan sikap anak


a.
a. Perubahan
Salah sikap
Perubahan anak
sikappartisipan
satu anak menyatakan adanya perubahan yang dialami
Salah satu
satu partisipan
Salahanaknya. Menurut menyatakan
partisipan partisipan
menyatakanini,adanya perubahan
perubahan
adanya yangyang
yang terjadi
perubahan dialami
pada anaknya
dialami
anaknya.
anaknya. Menurut
sekarang
Menurut partisipan
misalnya ini, perubahan
tidak ini,
partisipan seceria yang terjadi
dulu, sering
perubahan pada
melamun
yang terjadi anaknya
dananaknya
pada berani
sekarang
sekarang misalnya
membantah
misalnya tidak
orang tua.seceria
tidak seceriadulu,
Perubahan sering
itu
dulu, juga melamun
terjadi
sering danhasil
pada
melamun berani
dan prestasi
berani
membantah orangHasil
belajarnya.
membantah orangtua.
tua.Perubahan
nilai itu juga
belajarnya
Perubahan terjadi dibanding
itu menurun
juga pada hasil sebelum
terjadi prestasi ada
pada hasil prestasi
belajarnya.
bencanaHasil
lumpurnilai belajarnya menurun dibanding sebelum ada
Lapindo.
belajarnya. Hasil nilai belajarnya menurun dibanding sebelum ada
bencana lumpur Lapindo.
Perubahan
bencana lumpursikap dan prestasi belajar yang terjadi pada salah satu anak
Lapindo.
Perubahan sikapini
partisipan dandianggap
prestasi belajar yang terjadi dengan
pada salah satu anak
Perubahan sikap dan prestasiadabelajar
hubungannya
yang terjadi padarencana partisipan
salah satu anak
partisipan ini
untuk pindah dianggap
rumah danada hubungannya dengan rencana partisipan
partisipan ini dianggap adapindah sekolah bagi
hubungannya anak-anaknya.
dengan rencana Anak-anak
partisipan
untukpartisipan
pindah rumah dan
tersebutdan pindah
mengaku sekolah bagi
lebih senang anak-anaknya. Anak-anak
berkumpul dengan teman-
untuk pindah rumah pindah sekolah bagi anak-anaknya. Anak-anak
partisipan
temanyatersebut mengaku
sekarang lebih senang
dibanding berkumpul dengan teman-
partisipan tersebut mengaku lebihditempat
senang barunya
berkumpul nanti sebagaimana
dengan teman-
temanya sekarang
ungkapan dibanding
anak yang ditempat
disampaikan barunya
partisipan nanti sebagaimana
berikut nanti
ini:
temanya sekarang dibanding ditempat barunya sebagaimana
ungkapan anak yang disampaikan partisipan berikut ini:
“nggak enak pak, enak disini sama teman-teman...(P4)”
ungkapan anak yang disampaikan partisipan berikut ini:
“nggak enak pak, enak disini sama teman-teman...(P4)”
“nggak enak pak, enak disini sama Desain teman-teman...(P4)”
dan Hasil Penelitian 95
Desain dan Hasil Penelitian 95
Desain dan Hasil Penelitian 95

110
b. Perubahan perilaku remaja
b.
b. Perubahan
Perubahanperilaku
perilaku remaja
remaja
Dua partisipan menyatakan perubahan perilaku yang terjadi pada remaja,
Dua
Duapartisipan
partisipanmenyatakan
menyatakan perubahan
perubahanperilaku yangyang
perilaku terjaditerjadi
pada remaja,
pada remaja,
yaitu mengalami perubahan dibanding sebelum ada bencana lumpur
yaitu
yaitu mengalami
mengalamiperubahan
perubahan dibanding sebelum
dibanding sebelumada bencana
ada bencana lumpurlumpur
Lapindo. Satu partisipan mengungkapkan bahwa perubahan yang terjadi
Lapindo.
Lapindo.SatuSatupartisipan
partisipanmengungkapkan
mengungkapkan bahwa perubahan
bahwa yang terjadi
perubahan yang terjadi
pada remaja disebabkan karena kurangnya aktifitas positif yang ada di
pada
padaremaja
remajadisebabkan
disebabkan karena
karenakurangnya
kurangnyaaktifitas positifpositif
aktifitas yang ada
yangdiada di
desa Pajarakan ini. Kalau dulu mereka ada kegiatan keagamaan yang
desa
desaPajarakan
Pajarakanini.ini.KalauKalaudulu mereka
dulu ada ada
mereka kegiatan keagamaan
kegiatan yang yang
keagamaan
rutin setiap minggu mereka adakan, sekarang kegiatan tersebut sudah
rutin
rutinsetiap
setiapminggu
minggumerekamereka adakan, sekarang
adakan, sekarangkegiatan tersebut
kegiatan sudah sudah
tersebut
tidak ada lagi. Sedangkan partisipan lainnya beranggapan bahwa mereka
tidak
tidakada
adalagi.
lagi.Sedangkan
Sedangkan partisipan lainnya
partisipan beranggapan
lainnya beranggapanbahwabahwa
merekamereka
tinggal di sini (desa Pajarakan hanya menunggu waktu pembayaran sisa
tinggal
tinggaldidisini
sini(desa
(desaPajarakan
Pajarakan hanya menunggu
hanya menunggu waktuwaktu
pembayaran sisa sisa
pembayaran
ganti rugi tahap II saja) sehingga membuat para remaja ini menghabiskan
ganti
gantirugi
rugitahap
tahap II II
saja) sehingga
saja) sehinggamembuat
membuatparapara
remaja ini menghabiskan
remaja ini menghabiskan
waktu dengan bersenang-senang dan berfoya-foya saja sebagaimana
waktu
waktu dengan
denganbersenang-senang
bersenang-senang dan dan
berfoya-foya
berfoya-foyasaja saja
sebagaimana
sebagaimana
ungkapan partispan berikut ini:
ungkapan
ungkapanpartispan
partispan berikut ini:ini:
berikut
“remaja hanya main-main saja, minum-minuman keras,
“remaja
“remaja hanya
hanya main-main
main-main saja,saja,
minum-minuman
minum-minuman keras, keras,
keluyuran, pokoknya foya-foya saja....(P4)”
keluyuran,
keluyuran, pokoknya
pokoknya foya-foya saja....(P4)”
foya-foya saja....(P4)”

Skema 11, Tema tambahan 2: Distress Spiritual


Skema
Skema11,
11,Tema
Tematambahan 2: Distress
tambahan Spiritual
2: Distress Spiritual
rendahnya pelaksanaan
rendahnya
rendahnya pelaksanaan
pelaksanaan
kegiatan spiritual
kegiatan
kegiatan spiritual
spiritual Sub tema 1 Tema
kelompok SubSub
tematema
1 1 TemaTema
kelompok
kelompok
Tambahan 2
Tambahan
Tambahan22 Penurunan Disstres Spiritual
Penurunan
aktifitas spiritual Disstres
Penurunan Spiritual
Disstres Spiritual
Penurunan aktifitas spiritual aktifitas spiritual
aktifitas spiritual
Penurunan
Penurunan aktifitasspiritual
aktifitas
individu spiritual
individu
individu

a. Penurunan aktifitas spiritual


a.
a. Penurunan
Penurunanaktifitas spiritual
aktifitas spiritual
Penurunan aktifitas spritual yang terjadi di desa Pajarakan diungkapkan
Penurunan
Penurunanaktifitas spritual
aktifitas yang
spritual terjadi
yang di desa
terjadi Pajarakan
di desa diungkapkan
Pajarakan diungkapkan
oleh lima partisipan. Penurunan ini disebabkan oleh berbagai hal
oleh
oleh lima
limapartisipan.
partisipan.Penurunan
Penurunan ini ini
disebabkan oleh oleh
disebabkan berbagai hal hal
berbagai
diantaranya warga banyak yang pindah rumah dan konsentrasi warga
diantaranya
diantaranyawarga
wargabanyak
banyak yang pindah
yang pindahrumah dan konsentrasi
rumah warga warga
dan konsentrasi
yang terpecah akibat bencana lumpur lapindo ini, misalnya karena tidak
yang
yangterpecah
terpecahakibat
akibatbencana
bencanalumpur
lumpurlapindo ini, misalnya
lapindo karenakarena
ini, misalnya tidak tidak
adanya penghasilan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, serta
adanya
adanya penghasilan
penghasilanuntuk untukmencukupi
mencukupi kebutuhan sehari-hari,
kebutuhan serta serta
sehari-hari,
Desain dan Hasil Penelitian 96
Desain dan dan
Desain Hasil Penelitian
Hasil Penelitian 96 96

111
belum adanya pekerjaan tetap atau masalah tempat tinggal yang hingga
kini masih belum terwujud. Beberapa kegiatan keagamaan seperti
Dziba’ Sura, Dziba’ Kubro, dan Tahlillan yang dulu rutin diadakan oleh
Ibu-Ibu dengan jumlah peserta mencapai 50 orang, sekarang ini berhenti
semua, seperti ungkapan partisipan yang mengaku selama ini aktif
mengikuti kegiatan keagamaan berikut ini:
”kumpulan-kumpulan keagamaan yang dulu ada sekarang sudah
tidak berlaku, dari Dziba Sura, Dziba Kubro, Tahlilan berhenti
semua. Yang jelas perubahan nya besar sekali”

Meskipun tidak separah yang dialami Ibu-Ibu, kegiatan keagamaan yang


dilakukan oleh bapak-bapak juga mengalami perubahan. Kegiatan
Tahlillan hingga kini masih diadakan meskipun hanya kadang-kadang
pada waktu-waktu tertentu misalnya memperingati hari-hari besar
keagamaan saja, tidak seperti dulu diadakan secara rutin setiap malam
jum’at. Partisipan lain berpendapat bahwa perubahan aktifitas
keagamaan yang terjadi dapat dilihat dari jumalah jama’ah yang sholat
di masjid. Dulu sebelum ada lumpur jumlah shaf (barisan sholat) paling
tidak 3-4 shaf penuh, namun sekarang satu shaf saja tidak penuh bahkan
terkadang hanya beberapa orang saja. Penurunan aktifitas spiritual ini
menurut salah satu partisipan yang dulu aktif sholat dimasjid disebabkan
karena fikirannya tidak fokus semenjak pembayaran ganti rugi tahap I
sebagaimana yang diungkapkan partisipan berikut ini:
“Masalah keagamaan walaupun sudah menurun tapi masih
berjalan, kalau saya menurun karena pikiran kacau sehingga
tidak terfokus, beda dengan dulu sholat saya tenang semenjak
DP 20% cair, pikiran semakin kacau ibadah tidak tenang, karena
saya mikir, bingung, saya harus kemana, pikiran itu terus
menghantui saya...(P4)”

Desain dan Hasil Penelitian 97

112
Bertentangan dengan partisipan lainnya, dua partisipan mengaku adanya
peningkatan dalam melakukan aktifitas keagamaan. Bentuk ibadah yang
dianggap meningkat misalnya datang ke masjid lebih awal yang
sebelumnya jarang tepat waktu karena masih sibuk bekerja di sawah,
lebih banyak waktu untuk membaca kitab-kitab agama yang mereka
miliki atau peningkatan itu berupa perasaan lebih khusuk dalam
memanjatkan do’a supaya dikabulkan dan diberi kesabaran. Peningkatan
aktifitas ibadah tersebut umumnya terjadi karena sudah tidak bekerja
sehingga mempunyai banyak waktu luang untuk beribadah,
sebagaimana ungkapan partisipan berikut ini:
“menjadi lebih dekat, lebih tenang ibadahnya karena tidak kerja,
saya selalu berdo'a supaya sabar dan 80% cepat cair....(P1)”

Desain dan Hasil Penelitian 98

113
114
96
BAB 7
INTERPRETASI HASIL PENELITIAN

Tujuan Intruksional
Setelah membaca bagian ini, mahasiswa mampu:
1) Memahami hubungan karakteristik partisipan dengan respon
psikologis masyarakat korban bencana
2) Memahami beberapa respon psikologis yang dialami masyarakat
korban bencana
3) Memahami perubahan sosial yang dialami masyarakat korban
bencana
4) Mengidentifikasi beberapa harapan dan kebutuhan masyarakat korban
bencana

Pada bagian pembahasan ini akan dijelaskan dan dibahas tentang interpretasi
dari hasil penelitian yang didapatkan, keterbatasan penelitian yang telah
dilakukan dan implikasi penelitian ini untuk keperawatan, baik implikasinya
bagi perkembangan pendidikan keperawatan, pelayanan keperawatan
khususnya keperawatan kesehatan Jiwa komunitas, penelitian keperawatan,
organisasi profesi, maupun implikasinya bagi pemerintah dan PT Lapindo.

1. Interpretasi Hasil Penelitian

Interpretasi hasil penelitian dilakukan dengan cara membandingkan dan


atau mencocokkan temuan penelitian yang didapat dengan tinjauan pustaka,
konsep, teori atau hasil penelitian yang sudah ada. Penelitian yang
melibatkan anggota masyarakat desa Pajarakan sebagai korban bencana
lumpur Lapindo ini menghasilkan dua kategori tema yaitu tema inti dan

Interpretasi Hasil Penelitian 96


115
97
tema tambahan. Berikut ini penjelasan dan pembahasan dari masing-masing
tema berdasarkan tujuan khusus yang telah ditentukan dan tema tambahan
yang ditemukan.

Tujuan khusus 1: Dampak psikologis akibat bencana lumpur Lapindo


di desa Pajarakan kecamatan Jabon kabupaten Sidoarjo

Dampak psikologis yang dialami oleh masyarakat korban bencana lumpur


Lapindo di gambarkan dengan tiga tema, yaitu tema 1 tentang perubahan
emosi, tema 2 mengenai perubahan kognitif, dan tema 3 tentang koping
mekanisme. Tema 1 mengenai perubahan emosi tergambar dalam empat sub
tema yaitu depresi, kecemasan, kemarahan, dan harga diri rendah. Berikut
ini penjelasan tema dan sub tema yang berkaitan dengan pencapaian tujuan
khusus pertama:

Tema 1: Perubahan emosi

Perubahan emosi merupakan salah satu bentuk dampak psikologis yang


dialami oleh masyarakat korban akibat bencana lumpur Lapindo. Perubahan
emosi ini ditunjukkan oleh adanya gejala depresi, kecemasan, kemarahan,
dan harga diri rendah yang dialami partisipan yang masing-masing
dijelaskan dibawah ini:

Depresi

Gejala depresi yang dialami oleh masyarakat korban ditunjukkan dengan


adanya gejala psikologis dan gejala somatis. Yang termasuk gejala
psikologis diantaranya perasaan sedih, susah, putus asa dan pasrah terhadap
kondisi yang dialami. Sedangkan komponen somatis ditunjukkan dengan
adanya keluhan tidak bisa tidur, tidak nafsu makan, dan sakit kepala.

Interpretasi Hasil Penelitian 97


116
98
Depresi merupakan salah satu bentuk respon psikologis yang lazim terjadi
pada individu setelah mengalami proses kehilangan. Proses kehilangan yang
terjadi pada masyarakat korban bencana dapat berdampak pada
terganggunya sistem tubuh manusia, hilangnya harta benda & lingkungan
(http://www.wpro.who.int/health_topics/disasters/).

Menurut Maramis (1994), ada dua jenis depresi yaitu depresi dengan
penarikan diri dan dengan kegelisahan atau agitasi. Menurut peneliti, saat
ini masyarakat korban dalam keadaan depresi menarik diri sebagaimana
ungkapan-ungkapan partisipan bahwa mereka sekarang lebih suka dirumah,
tidak ada keinginan untuk bersilaturrahmi ke tetangga seperti dulu lagi.
Sedangkan kegelisahan atau agitasi sepertinya sudah dilalui ketika
masyarakat menuntut adanya ganti rugi di wilayah area terdampak melalui
demonstrasi, membuntu (memblokir) jalan, atau dengan ungkapan-
ungkapan yang menghujat pihak-pihak yang dianggap bertanggung jawab
terhadap terjadinya luapan lumpur Lapindo.

Depresi yang dialami partisipan merupakan salah satu dampak psikologis


yang disebabkan karena adanya kehilangan. Memang sesuai konsep berduka
dari Kubbler Ross (1969, dalam Kozier, et.al., 2004) reaksi seseorang
terhadap adanya kehilangan ini melalui lima tahap yaitu denial, anger,
bargaining, depresi, dan acceptance. Namun respon spikologis yang
terungkap dari mayoritas masyarakat korban bencana lumpur Lapindo saat
ini adalah marah, depresi dan menerima (acceptance). Hal ini karena
penelitian dilakukan setelah tiga tahun masyarakat korban menjalani
bencana.

Waktu mempengaruhi respon masyarakat korban terhadap bencana yang


dialami, sebagaimana temuan penelitian Chou (2007) tentang dampak pasca
bencana gempa bumi Chi-Chi di Yu Chi Taiwan kepada korban bencana

Interpretasi Hasil Penelitian 98


117
99
yang mengalami gangguan psikiatri 6 bulan dan 2 dan 3 tahun setelah
gempa bumi. Dari penelitian tersebut ditemukan prevalensi PTSD menurun
dari 8,3% pada 6 bulan sampai 4,2% pada 3 tahun setelah gempa bumi.
Bunuh diri meningkat dari 4,2% pada 6 bulan dan 5,6% pada 2 tahun ke
6,0% pada 3 tahun setelah gempa bumi; penyalahgunaan narkoba
meningkat dari 2,3% pada 6 bulan sampai 5,1% pada 3 tahun setelah
bencana.

Memperhatikan temuan penelitian Chou diatas, masyarakat korban yang


mengalami depresi memang menurun, namun dampak lain berupa bunuh
diri dan penyalahgunaan Narkoba justru meningkat. Dengan demikian harus
ada upaya untuk mencegah terjadinya dampak depresi yang lebih parah
misalnya dengan membuka layanan konsultasi gratis, penyuluhan atau
proaktif dari tenaga kesehatan untuk memberikan bimbingan atau intervensi
kesehatan lainya terutama masalah psikologis.

Terjadinya depresi disebabkan oleh berbagai faktor. Dalam penelitian ini,


faktor utama yang menyebabkan masyarakat korban mengalami depresi saat
ini adalah belum adanya kepastian pembayaran sisa ganti rugi tahap II
(80%) sebagaimana yang telah dijanjikan pemerintah beradasarkan Kepres
no 48 tahun 2008. Sedangkan faktor lainnya adalah hilangnya harta benda
(property), mata pencaharian, dan terpisah dengan anggota keluarga atau
anggota masyarakat lainnya.

Kondisi masyarakat yang mengalami depresi ini juga dapat disebabkan


karena adanya aggapan dirinya sendiri tidak berguna (dysfunctional
assumptions) sebagaimana pendapat Beck, (1967 dalam Stuart & Laraia,
2005). Anggapan tidak berguna tersebut bisa terjadi karena hilangnya peran
dan fungsi masyarakat korban sebagai pencari nafkah untuk memenuhi
kebutuhan ekonomi keluarga. Hal ini sesuai dengan kondisi masyarakat

Interpretasi Hasil Penelitian 99


118
100
korban bencana Lumpur Lapindo yaitu menganggur karena tidak ada
pekerjaaan atau di PHK akibat pabrik-pabrik yang selama ini menjadi
tempat kerja mereka terendam Lumpur.

Depresi yang dialami oleh masyarakat korban Lapindo juga diakibatkan


karena adanya kehilangan meskipun tidak separah yang dialami oleh
masyarakat korban bencana Tsunami. Sebagaimana hasil penelitian
Danvers, dkk. (2004) pada saat terjadi bencana Tsunami di Srilanka,
menyebutkan bahwa masyarakat korban mengalami kehilangan yang luar
biasa sehingga menimbulkan rasa berduka yang mendalam bahkan timbul
gagasan untuk bunuh diri. Hal ini berbeda dengan masyarakat korban
lumpur Lapindo, meskipun merasakan kehilangan namun masyarakat
korban masih mempunyai asa atau harapan yang lebih besar untuk bisa
bangkit dan menata hidup baru setelah sisa ganti rugi tahap II dibayarkan.
Seperti pernyataan warga dalam penelitian ini bahwa mereka akan memulai
hidup dari nol lagi dan menata hidup ditempat baru setelah pembayaran sisa
ganti rugi tahap II

Perasaan depresi juga dialami masyarakat Aceh pasca konflik. Gejala


psikologis pada kelompok penduduk ini luar biasa tinggi, setara dengan
penduduk paska-konflik seperti di Bosnia dan Afghanistan. Studi yang
mengunakan daftar gejala (symptom checklist) dan di adaptasi khusus untuk
warga Aceh ini menunjukkan hasil 65% dari keseluruhan sampel
mengindikasikan mengalami gejala depresi (International Organization for
Migration /IOM, 2006)

Kecemasan

Selain perasaan depresi, masyarakat korban dalam penelitian ini juga


mengalami kecemasan. Cemas merupakan peristiwa kejiwaan yang dapat

Interpretasi Hasil Penelitian 100


119
101
dialami oleh siapa saja. Cemas sangat berkaitan dengan perasaan tidak pasti
dan tidak berdaya. Kondisi ini terjadi tanpa objek yang spesifik, sifatnya
subjektif namun dapat dikomunikasikan dalam hubungan interpersonal
(Wiramihardja, S.A. 2005).

Dalam perspektif kesehatan jiwa, cemas merupakan suatu respon yang


berada dalam rentang yaitu mulai dari respon antisipasi, ansietas tingkat
ringan, sedang, berat hingga panik (Stuart dan Laraia, 2005), sedangkan
dalam pandangan psikolog, cemas merupakan suatu keadaan perasaan,
dimana individu merasa lemah sehingga tidak berani dan tidak mampu
untuk bersikap dan bertindak sesuai dengan yang seharusnya
(Wiramihardja, S.A. 2005)

Temuan penelitian ini menjelaskan bahwa munculnya perasaan cemas


terutama pada malam hari, turun hujan dan jebolnya tanggul untuk
penampungan lumpur. Situasi tersebut menimbulkan kecemasan karena
masyarakat korban merasa terancam dan trauma terhadap kejadian yang
pernah dialami yaitu mengalirnya lumpur ke rumah mereka pada saat
mereka sedang tidur nyenyak. Menurut Green, B.L. (1990 dalam Tomoko,
O, 2009) salah satu penyebab timbulnya reaksi trauma adalah adanya
ancaman terhadap keselamatan jiwa atau tubuh, dan terjadi secara
mendadak.

Hal lain dalam temuan penelitian ini yang menyebabkan masyarakat korban
mengalami kecemasan adalah situasi dan kondisi ditempat baru yang akan
mereka tempati. Beberapa hal yang menyebabkan kecemasan mereka
ditempat baru antara lain: 1) lingkungan hidup bertetangga. Mereka
umumnya khawatir di lingkungan yang baru nanti tidak bisa kompak dan
rukun seperti yang selama ini mereka alami di desa pajarakan, 2) pekerjaan.
Mayoritas warga khawatir apabila ditempat baru nanti tidak mempunyai

Interpretasi Hasil Penelitian 101


120
102
pekerjaan untuk menghidupi keluarganya, dan 3) khawatir akan psikologis
anak dalam menghadapi situasi dan kondisi yang baru.

Kecemasan terhadap tempat tinggal baru sebagaimana yang dikhawatirkan


masyarakat korban diatas juga dialami oleh masyarakat aceh pasca konflik.
Berdasarkan hasil penelitian kebutuhan psikososial masyarakat yang terkena
dampak konflik di kabupaten Pidie, Biruen, dan Aceh Utara (2006)
ditemukan sebanyak 59% melaporkan kekhawatiran mengenai perumahan
yang layak, kesulitan dalam memenuhi kebutuhan keluarganya sebanyak
85%, kesulitan mencari pekerjaan mencapai 90%, dan 71% mengaku
kesulitan dalam memulai kembali aktifitas mata pencaharian mereka selama
masa paska-konflik. Secara umum sebanyak 69% mengalami gejala
kecemasan, dan 34% menlami gejala PTSD.

Kemarahan
Selain depresi dan kecemasan, respon marah juga terjadi pada masyarakat
korban bencana lumpur Lapindo. Temuan penelitian ini menunjukkan
pernyataan marah sering dilakukan pada awal terjadinya bencana dan
sebelum Keputusan Presiden no 48 tahun 2008 sebagai revisi Keputusan
Presden No 14 tahun 2007 tentang dimasukkannya desa Pajarakan sebagai
area terdampak yang akan mendapatkan ganti rugi dari pemerintah.

Setelah ditetapkan Kepres No 48 tahun 2008, reaksi masyarakat berbeda.


Ada yang marah karena pembayaran tahap II belum juga direalisasikan, ada
juga marahnya karena tidak dilibatkan menjadi tenaga kerja oleh PT
Lapindo padahal kondisi masyarakat saat ini sedang susah dan tidak ada
penghasilan. Bentuk marah yang dialami masyarakat korban Lapindo ini
berbeda dengan marah yang dilakukan oleh korban bencana Tsunami. Pada
korban Tsunami, kehilangan yang dialami tidak ada jaminan ganti rugi dari

Interpretasi Hasil Penelitian 102


121
103
pemerintah, namun bagi korban luapan lumpur Lapindo yang ada di desa
Pajarakan mereka mempunyai harapan untuk memperoleh ganti rugi.
Bahkan salah satu partisipan menganggap beruntung (laba) dari apa yang
diterima sebagai ganti rugi tanah dan rumahnya.

Bentuk dan penyebab kemarahan yang dilakukan masyarakat korban


Lapindo diatas berbeda dengan korban Tsunami. Penelitian yang dilakukan
Garpaung, A (2006) pasca Tsunami di Pangandaran menunjukan reaksi
marah yang dilakukan masyarakat korban antara lain saling
mempersalahkan dengan suami, anak dan tetangga yang mengajak korban
bermain saat Tsunami, serta marah kepada laut. Ada lagi yang marah
kepada kakek dan paman anaknya (uak) yang dianggap tidak memberikan
pertolongan, dan ada juga yang mengatakan marah kepada tempat – tempat
maksiat yang dianggap mendatangkan bencana.

Reaksi marah paska Tsunami diatas sesuai dengan penjelasan Danvers, dkk
(2007) yang menyebutkan bahwa kemarahan merupakan reaksi yang
umumnya timbul pada masyarakat korban Tsunami. Selain itu juga muncul
perasaan rasa bersalah dan bermusuhan karena tingkat kehilangan nyawa
yang tinggi. Umumnya juga terjadi reaksi marah pada alam dan Tuhan.
Kemarahan juga terjadi pada diri sendiri, saling menyalahi, menyalahkan
anggota keluarganya karena kematian. Kemarahan ditujukan kepada pihak
lain seperti pemerintah karena lambatnya distribusi bantuan

Harga diri rendah

Bentuk perubahan emosi lain yang terjadi pada masyarakat korban adalah
timbulnya perasaan rendah diri. Perasaan ini berhubungan dengan kondisi
yang mereka alami yaitu tidak adanya harta benda maupun ”suguhan” baik
berupa snak maupun jenis makanan lain yang mereka miliki. Mereka malu

Interpretasi Hasil Penelitian 103


122
104
kepada orang lain terutama kalau ada orang yang akan bertamu di
rumahnya. Mereka ini merasa tidak bisa menghormati orang lain seperti
sebelum adanya bencana lumpur Lapindo. Perubahan inilah yang
menyebabkan masyarakat korban ini malu dan enggan bertemu dengan
orang lain. Mereka bersedia bertemu tidak dirumahnya tapi ditempat lain
misalnya di Mushola atau di Pos Kampling.

Perubahan emosi tersebut diatas, selaras dengan konsep dasar pemeliharaan


kesehatan jiwa bagi korban bencana yang dilansir oleh Tomoko, O (2009)
dari Hyogo care centre menyebutkan sebagian besar reaksi emosional
masyarakat korban bencana berasal dari masalah kehidupan sehari-hari
yang ditimbulkan oleh bencana. Disamping itu perasaan stress dan reaksi
berduka seperti malu yang terjadi akibat bencana merupakan reaksi yang
normal dalam kondisi yang abnormal.

Dengan demikian perubahan emosi yang dialami masyarakat korban seperti


adanya perasaan depresi, kecemasan, marah, dan rendah diri merupakan hal
yang wajar dan normal asalkan tidak berlangsung dalam waktu yang lama.

Temuan penelitian lain juga menyebutkan bahwa reaksi psikologis atau


emosi ini akan hilang atau pulih secara alami seiring dengan perjalan waktu,
sebagaimana tiga temuan penelitian khusus tentang pemulihan bencana
lokal di jepang (2006) diantaranya kepada penghuni tempat tinggal
sementara dan petugas pemadam kebakaran pasca gempa besar di Hanshin
Awaji, masyarakat yang teracuni di Wakayama, dan para pekerja yang
selamat dari kebakaran Pabrik “A” pada tahun 2003. Setelah satu tahun
berlalu ditemukan sekitar 80% menunjukkan pemulihan secara alami dari
sekitar 20% penderita PTSD secara umum. Kalaupun ada ketidakstabilan
emosi sesaat, secara umum mereka akan kembali normal (JICA & STKS,
2006)

Interpretasi Hasil Penelitian 104


123
105

Disamping temuan penelitian diatas, Asosiasi Psikiatrik Amerika (2007)


juga mengeluarkan artikel yang menyebutkan bencana alam dapat memiliki
dampak psikologis besar pada semua orang yang terkena baik secara
langsung maupun tidak langsung. Berbagai macam reaksi mental atau
emosional seperti kesedihan, stres dan kegelisahan atau depresi merupakan
sesuatu yang normal selama mengalami bencana alam. Namun demikian
berbagai upaya perlu dilakukan untuk menghindari gangguan psikologis
yang lebih serius.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi perubahan emosi
yang dialami masyarakat korban sebagaimana dijelaskan diatas adalah
dengan cara menghambat atau menghindari adanya stimulus. Merujuk teori
sistem adaptasi Roy (Tomey, 1994), manusia dalam hal ini masyarakat
korban dipandang sebagai suatu sistem yang adaptif melalui proses sebuah
sistem yang terdiri dari input, proses, output dan feedback. Input yang oleh
Roy dikenali sebagai stimuli adalah suatu stimulus, yaitu kesatuan
informasi, bahan atau energi dari lingkungan yang dapat menimbulkan
respon. Stimulus ada tiga jenis, antara lain stimulus fokal yaitu stimulus
yang langsung dihadapi saat itu, stimulus kontekstual yaitu stimulus lain
yang mempengaruhi situasi, dan stimulus residual yaitu ciri tambahan yang
relevan terhadap situasi tersebut.

Dalam penelitian ini yang dimaksud stimulus fokal adalah adanya luapan
lumpur Lapindo yang masih terus aktif, yang menggenangi sekitar tempat
tinggalnya dan adanya ancaman lumpur Lapindo masuk ke rumah
masyarakat korban. Stimulus kontekstualnya adalah belum adanya
pembayaran ganti rugi tahap II (80%), dan stimulus residualnya adalah
kekhawatiran tidak bisa membangaun atau membeli rumah di tempat baru.

Interpretasi Hasil Penelitian 105

124
106
Menghambat atau menghindari adanya stimulus fokal dalam hal ini
ancaman lumpur Lapindo masuk ke rumah masyarakat korban dapat
dilakukan dengan cara mempercepat proses untuk pindah ke tempat baru.
Namun cara ini sangat tergantung pada stimulus kontekstual yaitu
pembayaran sisa ganti rugi tahap II, sementara ketentuan Kepres No 48
tahun 2008 mensyaratkan pelunasan atau pembayaran sisa ganti rugi akan
dilakukan apabila PT Lapindo telah melunasi sisa ganti rugi untuk
masyarakat korban bencana di area bencana. Dengan demikian langkah
utama dan strategis yang harus dilakukan adalah perubahan Kepres No 48
tahun 2008 agar pembayaran sisa ganti rugi pada masyarakat yang masuk
dalam peta terdampak tidak tergantung pada PT Lapindo.

Upaya ini dapat dilakukan secara terus menerus melalui pemerintah daerah,
DPRD dan DPR serta pemerintah pusat dalam hal ini kepada presiden.
Apabila upaya ini berhasil maka masalah stimuli residual dapat di atasi.
Sedangkan apabila tidak berhasil maka masyarakat korban harus
mendapatkan dukungan sosial yang kuat dan diyakinkan bahwa mereka
mempunyai kemampuan untuk menghadapi masalah yang saat ini terjadi.

Tema 2: Perubahan kognitif

Temuan penelitian ini menyatakan adanya perubahan kognitif yang terjadi


yaitu penurunan daya pikir. Penurunan daya fikir terjadi karena masalah
yang timbul akibat bencana ini cukup kompleks. Salah satu masalah
kognitif yang dihadapi sehingga menyebabkan menurunya daya fikir adalah
kebingungan setelah pembayaran ganti rugi tahap I sebesar 20%.

Setelah pembayaran tahap I, masyarakat semakin kebingungan terutama


bagi masyarakat ekonomi menengah kebawah. Uang ganti rugi yang
diperoleh tidak cukup untuk membeli rumah. Kalaupun ada yang mampu

Interpretasi Hasil Penelitian 106


125
107
membeli tanah, mereka juga ragu untuk bisa membangun rumah baru
mengingat saat ini mereka tidak bekerja dan tidak mempunyai penghasilan.
Hal ini menyebabkan sisa uang ganti rugi tahap I habis digunakan untuk
kebutuhan sehari-hari, sementara uang ganti rugi tahap II belum ada
kepastian kapan akan dibayarkan.

Adanya perubahan kognitif pada masyarakat korban seperti tidak mampu


berfikir jernih, menjadi ragu-ragu karena tidak ada kepastian, dan pikiran
mereka terpecah-pecah dengan persoalan-persoalan lain yang mereka
hadapi ini sesuai dengan temuan Norris, F.H (2008) bahwa salah satu
dampak dari bencana adalah terjadinya perubahan kognisi/kognitif dengan
ciri fikiran kacau, salah persepsi, menurunya kemampuan untuk mengambil
keputusan, menurunya daya konsentrasi dan daya ingat, mengingat hal-hal
yang tidak menyenangkan, dan menyalahkan diri sendiri. Bentuk-bentuk
respon tersebut diatas oleh Stuart dan Laraia (2005) disebut dengan istilah
respon kognitif maladaptif.

Temuan penelitian ini menunjukkan masyarakat korban mengalami


penurunan kognitif seperti menurunnya perhatian pada lingkungan dan daya
ingat atau konsentrasi. Sedangkan aspek kognitif lain seperti kemampuan
mengingat hal-hal yang tidak menyenangkan, memori, orientasi, persepsi
dan pengambilan keputusan masih dapat berfungsi dengan baik. Penurunan
daya ingat yang terjadi pada masyarakat korban akibat bencana lumpur ini
sesuai dengan temuan penelitian yang dilakukan oleh Atkinson, dkk (2003)
bahwa emosi dapat mempengaruhi memori.

Menurut Atkinson, dkk., ada lima penjelasan mengenai pengaruh emosi


terhadap memori, pertama ada kecenderungan berfikir lebih banyak tentang
situasi yang bermuatan emosi negatif atau positif, dibanding memikirkan
situasi yang netral. Kedua, flashbulb memory artinya adanya peristiwa yang

Interpretasi Hasil Penelitian 107


126
108
penting dan bermuatan emosi menimbulkan rekaman yang gamblang dan
relatif permanen. Ketiga emosi negatif menghalangi pengingatan kembali.
Keempat, emosi mempengaruhi memori dengan efek konteks. Kelima,
pengalaman masa lalu anak mempengaruhi memori.

Merujuk pada teori system adaptasi Roy, adanya gangguan kognitif dapat
mempengaruhi proses pengendalian manusia atau yang dikenal dengan
mekanisme koping. Sebagaimana teori Roy, bahwa mekanisme
pengendalian atau kontrol ini dibagi atas dua sub sistem yaitu regulator dan
kognator yang saling terintegrasi. Pada sub sistem kognator inilah pengaruh
kognitif berperan lebih besar, yaitu berperan dalam menentukan persepsi,
penilaian, dan emosi atau respon psikososial masyarakat korban terhadap
apa yang dialami saat ini, yaitu adanya kenyataan bahwa Pemerintah dan PT
Lapindo belum dapat merealisasikan kewajibannya kepada masyakata
korban.

Tema 3: Mekanisme koping

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mekanisme koping yang digunakan


masyarakat korban ada yang adaptif ada pula yang maladaptif atau tidak
efektif. Mekanisme koping merupakan upaya pertahanan diri yang otomatis
dilakukan oleh semua individu yang menerima stressor. Tipe mekanisme
koping ada tiga yaitu berfokus pada masalah, berfokus pada kognitif dan
berfokus pada emosi (Stuart & Laraia, 2005).

Sementara menurut teori Sistem Adaptasi Roy dalam Tomey & Marriner
(2005), mekanisme koping atau dalam bahasa Roy disebut dengan
mekanisme pengendalian atau kontrol, dibagi atas dua sub sistem yaitu
regulator dan kognator. Sub sistem regulator mempunyai komponen yang
terdiri dari input, proses dan out put dan sistem penghubungnya, yaitu

Interpretasi Hasil Penelitian 108


127
109
kimia, neuron dan endokrin. Sub sistem kognator merupakan sistem
adaptasi selanjutnya dimana pengendaliannya dihubungkan dengan fungsi
yang lebih tinggi dari otak yaitu persepsi, penilaian dan emosi. Regulator
dan kognator bekerja sama dalam mempertahankan integritas manusia,
meskipun tingkat adaptasi tersebut dipengaruhi oleh pertumbuhan individu
dan pemahaman mekanisme koping.

Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan subsistem regulator adalah


respon masyarakat korban tentang sifat bencana lumpur Lapindo, proses
penanganan untuk menghentikan semburan lumpur, ganti rugi bagi
masyarakat korban serta kenyataan yang dialami oleh masyarakat korban
akan pemenuhan hak-hak yang harus diterima. Sedangkan subsistem
kognatornya adalah persepsi, penilaian, dan emosi serta respon respon
psikososial masyarakat korban terhadap apa yang dialami saat ini, yaitu
adanya kenyataan bahwa Pemerintah dan PT Lapindo belum dapat
merealisasikan kewajibannya kepada masyakata korban.

Berbagai upaya telah dilakukan sebagai bentuk mekanisme koping atau


mekanisme pengendalian untuk menghadapi atau merespon berbagai
stressor yang ada. Temuan dalam penelitian ini, mekanisme koping yang
telah digunakan ada yang dapat dikategorikan mekanisme adapatif dan
maladaptif atau tidak efektif. Mekanisme koping yang adapatif diantaranya
berdo’a (pendekatan spiritual), memendam perasaan (represi) dan
mengalihkan perhatian agar dapat melupakan masalah yang terjadi, atau
dengan meminta bantuan saudara. Sementara yang tidak efektif seperti
menghujat, mengancam melakukan demonstrasi terus, membuntu atau
memblokir jalan, dan melampiaskan emosi kepada anak-istrinya meskipun
cara maladaptif ini hanya bersifat sementara.

Interpretasi Hasil Penelitian 109


128
110
Penggunaan mekanisme pengendalian berupa pendekatan spiritual dalam
bentuk berdo’a dan pengalihan dengan melakukan aktifitas bersama yang
dilakukan oleh masyarakat korban Lapindo, merupakan bentuk adanya
dukungan sosial yang baik. Hal ini sesuai konsep Gilbert (1996; Moos,
1995) bahwa keyakinan spritual dan pelaksanaannya sangat mempengaruhi
reaksi seseorang akan bencana yang dihadapi atau kehilangan dan perilaku
setelahnya.

Selain dukungan sosial dan kepasrahan spiritual, penggunaan koping


mekanisme yang adaptif ini juga bisa disebabkan oleh pengalaman–
pengalaman kehilangan sebelumnya yang membentuk maturasi diri.
Menurut Kozier, dkk. (2004) bahwa dengan adanya pengalaman, biasanya
pemahaman dan penerimaan seseorang terhadap kehidupan, kehilangan dan
musibah/bencana akan meningkat.

Adanya pengalaman mengalami bencana merupakan pengalaman


psikodinamik yang memberikan kematangan/maturasi untuk dapat bangkit
kembali dari suatu kondisi depresi dan mengembalikan fungsi peran seperti
sebelumnya. Adanya pengalaman kehilangan atau bencana, pada akhirnya
dapat membuat individu dan keluarga berkembang ke arah stabilitas
pertumbuhan yang baru. Dengan demikian bencana lumpur Lapindo yang
berlangsung lebih dari tiga tahun ini dapat membuat ”kekuatan” atau
”kelelahan” bagi masyarakat korban. Menjadi kekuatan apabila bencana ini
membawa energi positif untuk meningkatkan maturitas individu dalam
menghadapi realitas kehidupan yang mereka jalani, namun sisi negatif dari
panjangnya atau lamanya bencana ini juga dapat menyebabkan kelelahan
dan putus asa, ketidakpercayaan, dan ketidakberdayaan masyarakat korban.

Upaya yang dapat dilakukan adalah memperkuat dukungan sosial dan


mendesak segera dilakukan pembayaran tahap II serta perhatian kepada

Interpretasi Hasil Penelitian 110


129
111
masyarakat korban ditempat baru dengan mempertimbangkan berbagai
konsekwensi dan dampak yang timbul dari perubahan tersebut.

Mekanisme pengendalian lain yang digunakan masyarakat korban adalah


represi. Represi berarti memendam atau mengeluarkan tanpa disengaja
terhadap sesuatu yang tidak menyenangkan atau konflik fikiran, perasaan
atau memori kesadaran. Represi ini merupakan pertahanan ego yang utama
sedangkan mekanisme lain cenderung untuk menguatkan.

Represi merupakan mekanisme pertahanan diri yang beroerientasi pada


perlindungan diri dan mekanisme ini umumnya dapat digunakan dengan
sukses pada individu yang mengalami kecemasan ringan hingga sedang
(Stuart & Laria, 2005). Represi merupakan mekanisme pertahanan diri yang
umum digunakan oleh sebagian besar individu untuk meminimalkan
kecemasan dalam situasi yang tidak dapat mereka tanggulangi secara efektif
(Freud, dalam Dwiputri, 2007)

Dalam temuan penelitian ini, represi yang dilakukan oleh masyarakat


korban sebagai bentuk kepasrahan dan kesabaran terhadap bencana yang
dialami. Mereka menganggap bahwa apa yang terjadi merupakan ketentuan
dari Allah SWT. Masyarakat korban menganggap apa yang sudah
diperjuangkan yaitu menuntut ganti rugi sudah dikabulkan pemerintah, dan
sekarang tinggal menunggu waktu pembayaran sebagaimana yang
ditentukan pemerintah.

Mekanisme koping lain yang juga dilakukan oleh masyarakat korban adalah
adanya pemindahan ungkapan perasaan marah kepada anak dan istrinya
atau yang disebut dengan displacement. Termasuk tindakan menghujat dan
berunjuk rasa yang sudah maupun yang akan dilakukan. Mekanisme koping
ini tidak akan berbahaya apabila bersifat sesaat dan tidak merusak atau

Interpretasi Hasil Penelitian 111


130
112
merugikan dirinya sendiri, orang lain maupun lingkungan

Tujuan khusus 2: Dampak sosial akibat bencana lumpur Lapindo di


desa Pajarakan kecamatan Jabon kabupaten Sidoarjo
Dampak sosial terjadi sebagai konsekwensi sebagai anggota masyarakat
korban. Dampak sosial yang teridentifikasi dalam penelitian ini adalah tiga
tema inti yaitu tema 4 tentang perubahan fungsi keluarga, tema 5 mengenai
perubahan hubungan sosial kemasyarakatan, dan tema 6 tentang dukungan
social. Penjelasan lebih rinci dari masing-masing tema yang ditemukan
yang terkait dengan tujuan khusus adalah sebagai berikut:

Tema 4: Perubahan Fungsi Keluarga


Menurut Friedmen (1998), keluarga memiliki berbagai fungsi, yaitu: fungsi
afektif, fungsi sosialisasi dan penempatan sosial, fungsi reproduksi, fungsi
ekonomi dan fungsi perawatan kesehatan. Fungsi-fungsi tersebut
merupakan konsekuensi dari struktur keluarga dan saling berhubungan erat.
Temuan dalam penelitian ini, masyarakat korban mengalami perubahan
fungsi keluarga, yaitu perubahan pada fungsi sosial dan fungsi ekonomi.

Fungsi sosial keluarga


Fungsi ini terkait dengan hubungan kekeluargaan yang terjadi yaitu ikatan
kekeluargaan yang merenggang. Kerenggangan hubungan keluarga ini
umumnya disebabkan karena tempat tinggalnya terpisah dan terjadinya
disharmoni keluarga. Tempat tinggal yang terpisah ini menyebabkan
hubungan silaturrahmi berubah, baik kepada keluarga dekat maupun kepada
sesama anggota masyarakat. Dengan tempat tinggal terpisah, hubungan
emosional mereka juga mengalami perubahan. Ada anggota masyarakat
yang merasa kesepian setelah anggota keluarganya pindah ke tempat lain,
ada juga yang merasa ikatan kekeluargaan mereka tidak seperti dulu lagi.

Interpretasi Hasil Penelitian 112


131
113
Kondisi tersebut diatas tentunya akan berdampak pada peran-peran sosial
yang seharusnya dapat dilakukan oleh keluarga sebagaimana yang
dikemukakan Friedmen.

Sementara untuk disharmoni keluarga umumnya terjadi akibat adanya


”sesuatu” yang menjadi sumber konflik. ”Sesuatu” yang dimaksud adalah
uang ganti rugi tahap I sebesar 20% dari aset yang dimiliki keluarga
meliputi tanah, tanaman/pohon dan bangunan rumah. Pembagian uang
pembayaran tahap I inilah yang banyak menimbulkan konflik antar sesama
anggota keluarga.

Perubahan hubungan keluarga inilah yang membedakan dampak bencana


lumpur Lapindo dengan bencana-bencana lain. Merujuk pada hasil
penelitian Garpaung, A (2006) pada individu korban bencana Tsunami di
Pangandaran Jawa Barat menyebutkan bahwa setelah terjadi bencana,
banyak dukungan yang diperoleh dari keluarga, teman, tetangga, rekan
bisnis, masyarakat dan juga pemerintah. Hubungan mereka semakin erat
karena merasa mengalami ”penderitaan” yang sama.
Perbedaan lain antara korban bencana lumpur Lapindo dengan Bencana
alam lainnya adalah adanya jaminan ganti rugi yang diterima masyarakat
korban dengan harga diatas rata-rata. Harga tanah permeter sebelum terjadi
bencana rata-rata hanya Rp. 150.000/ m² - Rp. 300.000/m², namun setelah
masuk peta area terdampak harga tanah menjadi Rp. 1.000.000/ m² dan
fasilitas bangunan di hargai Rp. 1.500.000/ m². Sehingga tidak heran bila
salah satu partisipan merasa untung (laba) dalam musibah ini.

Selain ada pernyataan bahwa musibah ini membawa untung, ada juga
partisipan yang mengungkapkan bahwa setelah menerima ganti rugi banyak
saudara-saudara jauh yang datang ke rumah untuk minta bagian uang ganti
rugi, atau sekedar mengaku sebagai kerabat agar mendapatkan bagian uang

Interpretasi Hasil Penelitian 113


132
114
ganti rugi. Padahal sebelum terjadi bencana atau setelah terjadi bencana dan
belum ada pembayaran ganti rugi tahap I mereka yang mengaku kerabat tadi
tidak pernah berkunjung kerumahnya, namun setelah ada pembayaran tahap
I mereka berkunjung dan mengaku sebagai kerabatnya.

Inilah fenomena hubungan kekeluargaan yang terjadi di masyarakat korban


Lapindo terutama di desa Pajarakan sebagai salah satu area terdampak.
Hubungan kekeluargaan yang mereka jalin selama ini mengalami gangguan
atau disharmoni gara-gara pembagian uang yang mereka anggap tidak adil.
Meskipun hal ini tidak terjadi pada semua anggota masyarakat, namun
mayoritas hubungan keluarga mereka mengalami perubahan sebagai akibat
dari bencana lumpur Lapindo.

Fungsi ekonomi

Menurut Friedmen, (1998) fungsi ekonomi meliputi penyediaan sumber-


sumber yang adekuat untuk bertahan hidup dan proses pengambilan
keputusan yang berfokus pada pengalokasian yang tepat dari sumber-
sumber tersebut. Pengkajian tentang fungsi ini dapat memberikan gambaran
tentang kemampuan keluarga untuk mengalokasikan sumber-sumber
ekonomi keluarga untuk memenuhi kebutuhan keluarga seperti sandang,
pangan, papan dan perawatan kesehatan secara memadai.

Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa masyarakat korban belum bisa


memenuhi kebutuhan keluarga terutama papan (rumah/tempat tinggal) dan
pendidikan. Mereka mengaku belum bisa membeli atau membangun rumah
di tempat baru untuk keluarganya karena sisa ganti rugi tahap II belum
dibayarkan. Padahal pembayaran sisa ganti rugi tahap II itu yang di tunggu
hingga sekarang. Perubahan fungsi ekonomi ini juga berdampak pada
kebutuhan pendidikan anak-anak mereka, sebagaimana keluhan salah satu

Interpretasi Hasil Penelitian 114


133
115
partisipan yang tidak bisa menyekolahkan anaknya karena tidak mampu
membayar sekolah.

Perubahan ekonomi tersebut terjadi karena orang tua tidak lagi mempunyai
penghasilan atau pendapatan setelah bencana lumpur Lapindo. Padahal
pendapatan atau penghasilan menentukan status ekonomi keluarga (Pappas,
1994 dalam Stanhope & Lancaster, 1996). Status ekonomi yang rendah
merupakan gambaran kemiskinan dan ini sangat terkait dengan status
kesehatan (link, 1996 dalam Stone, Mcquire & Eigsti, 2002). Dengan
demikian perubahan atau masalah pada fungsi ekonomi merupakan salah
satu kemungkinan penyebab terjadinya masalah kesehatan, karena
ketidakmampuan dalam berperilaku sehat atau menjangkau pelayanan
kesehatan. Hal ini berarti perubahan atau masalah fungsi ekonomi dapat
menyebabkan masalah fungsi keluarga yang lain misalnya fungsi perawatan
kesehatan.

Merujuk pada teori sistem adaptasi Roy, perubahan fungsi keluarga ini
merupakan stimulus kontekstual yang dapat menimbulkan berbagai bentuk
respon. Respon terhadap stimulus ini menurut Roy merupakan output
sistem yang dapat adaptif atau tidak adaptif. Output sistem ini sangat
dipengaruhi oleh dukungan keluarga. Individu atau anggota keluarga akan
dapat mengatasi atau merespon stimulus kontekstual ini dengan baik apabila
mendapatkan dukungan positif yang kuat dari keluarga maupun masyarakat.
Dengan demikian terjadinya perubahan fungsi keluarga ini akan tetap dapat
menghasilkan respon adaptif atau positif apabila ada persepsi, penilaian dan
emosi yang positif serta dukungan dari keluarga.

Tema 5: Perubahan hubungan sosial kemasyarakatan


Selain fungsi keluarga mengalami perubahan, hubungan sosial
kemasyarakatan juga mengalami perubahan. Hasil penelitian menunjukkan

Interpretasi Hasil Penelitian 115


134
116
bahwa solidaritas masyarakat korban melemah dan kepedulian sosial
menurun. Hal ini sangat berbeda dengan kondisi sosial masyarakat sebelum
ada bencana lumpur Lapindo. Sebelum kejadian bencana masyarakat korban
mengaku hubungan sosial mereka sangat kompak, saling membantu dan
peduli terhadap masalah-masalah lingkungan. Namun setelah terjadi
bencana mereka merasa hubungan sosial kemasyarakatan mengalami
banyak perubahan.

Solidaritas merupakan tindakan timbal balik dari anggota kelompok atau


masyarakat yang dilakukan secara memuaskan sesuai peran dan hirarki
dalam struktur kelompok atau masyarakat. Solidaritas masyarakat
tergantung pada tingkat kepercayaan antar anggota masyarakat, sikap, dan
norma-norma yang ada di masyarakat (Gerungan, W.A, 2007).

Pendapat lain yang berhubungan dengan solidaritas dalam hubungan sosial


juga di jelaskan oleh Emile Durkheim (1855-1917, dalam Ranjabar, J.
2008) bahwa dalam perkembangan sosial, solidaritas dapat dilakukan
dengan dua tipe yaitu solidaritas mekanik dan organik. Solidaritas mekanik
adalah bentuk primitif, awal dari organisasai kemasyarakatan yang masih
dapat dilihat dalam kehidupan masyarakat saat ini. Ciri khas dari solidaritas
mekanik ini adalah adanya kecenderungan ide bersama sehingga dalam tata
sosial mempunyai keseragaman dan kesadaran kolektif yang tinggi.
Sedangkan solidaritas organik merupakan solidaritas yang berhubungan
dengan pembagian peran yang menyertai perkembangan sosial yang terjadi.
Solidaritas organik ini umumnya lebih berkembang di dalam perbedaan
daripada kesamaan. Memperhatikan teori Durkheim diatas, lemahnya
solidaritas masyarakat korban merupakan bentuk solidaritas mekanik yang
terganggu sebagai cerminan kondisi masyarakat secara umum.

Interpretasi Hasil Penelitian 116


135
117
Lemahnya solidaritas warga masyarakat dan menurunnya kepedulian sosial
merupakan bentuk kerugian sosial yang terjadi akibat bencana lumpur
Lapindo. Solidaritas warga dan kepedulian sosial merupakan modal sosial
yang harus dijaga dan dipertahankan meski dalam kondisi bencana.
Menurut Michael Cernea dalam Mirdasy (2007), seorang antropologi dari
George Washington University, Amerika Serikat menjelaskan bahwa
dampak disintegrasi sosial, tercerai-berainya masyarakat, dan hancurnya
budaya sangatlah serius, meskipun tidak kasatmata dan tidak bisa
dikuantifikasi. Rusaknya komunitas, hancurnya struktur tatanan masyarakat,
tercerai-berainya jaringan formal dan informal, perkumpulan-perkumpulan,
merupakan kehilangan modal sosial yang sangat mahal.

Kehilangan modal sosial itu bisa mengarah pada pemiskinan korban dari
segala sisi. Dalam kontek sosial maka modal sosial masyarakat korban
Lapindo telah mengalami kerugian yang luar biasa. Kegiatan-kegiatan sosial
seperti gotong royong, acara tahlillan satu minggu sekali, dziba’an
(Sholawatan), adalah contoh dalam kegiatan sosial yang mampu
mempererat ikatan mereka namun semua itu sekarang hilang karena
masyarakat telah mencari kehidupan sendiri-sendiri
(www.korbanlapindo.net)

Untuk menghindari atau paling tidak mengurangi dampak dari hilangnya


modal sosial ini dapat dilakukan dengan cara: a) memberikan tempat baru
untuk semua masyarakat korban atau merelokasi tempat tinggal, b)
mengembangan situasi kelompok sosial baik sebelum pindah maupun
setelah menempati tempat tinggal baru, dan c) mengembangkan situasi
kebersamaan ditempat baru. Upaya tersebut diatas perlu adanya pihak yang
memantau atau mengkawal dalam bentuk pelaksanaan program, baik yang
diadakan oleh pemerintah maupun LSM. Perubahan hubungan sosial

Interpretasi Hasil Penelitian 117


136
118
kemasyarakatan ini juga dapat menjadi stimulus kontekstual dalam teori
sistem adaptasi Roy, dimana perubahan hubungan sosial ini dapat menjadi
stimulus yang dapat menimbulkan terjadinya perilaku adapatif maupun
tidak adaptif.

Tema 6: Dukungan sosial

Dalam kondisi stres akibat bencana, pengaruh dukungan sosial sangat


penting. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat korban mengakui
besarnya pengaruh dukungan yang diberikan oleh istri atau suami mereka
dan dukungan dari tokoh agama maupun tokoh masyarakat, dalam hal ini
dukungan dari pak Modin dan ketua RW.

Menurut Stuart and Laraia (2005) dukungan sosial (sosial support)


merupakan faktor penting yang dapat memperkuat dan meningkatkan
kemampuan individu, keluarga atau kelompok dalam menghadapi peristiwa
yang menimbulkan stres. Dengan dukungan sosial yang kuat diharapkan
individu, keluarga atau kelompok dapat mengatasi masalah yang ada
sehingga tidak jatuh pada kondisi sakit. Dukungan sosial ini dapat berasal
dari keluarga, teman atau masyarakat.

Hasil penelitian Williams (1999, dalam Stuart & Laraia 2005) menjelaskan
bahwa dengan adanya dukungan sosial, penderita gangguan arteri koronaria
mengalami kematian setelah lebih dari 5 tahun sebanyak 50% dibanding
yang tidak mempunyai dukungan sosial yang hanya 20%. Dengan demikian
faktor pengaruh dukungan sosial tidak hanya dapat mempengaruhi aspek
psikologis saja namun juga aspek biologis yaitu meningkatkan fungsi sistem
imun dan proses biologi lain dalam tubuh.

Interpretasi Hasil Penelitian 118


137
119
Dukungan sosial ini dapat berhasil secara maksimal apabila jumlah
dukungan sosial yang dibutuhkan dapat menjadi penentu dan sebanding
dengan jumlah dukungan sosial yang tersedia. Kebutuhan dukungan sosial
dipengaruhi oleh faktor predisposisi, sifat stressor, dan ketersediaan sumber
koping yang lain seperti ekonomi, kemampuan dan ketrampilan individu,
serta tehnik pertahanan yang digunakan. Kemampuan dukungan sosial juga
dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi, sifat stressor,
dan karakteristik lingkungan (Stuart and Laraia, 2005).

Merujuk pada pendapat Stuart dan Laraia diatas, kemampuan dukungan


sosial yang diterima partisipan bersumber dari keluarga yaitu istri/suami
dan bersumber dari masyarakat dalam hal ini adalah tokoh agama dan tokoh
masyarakat. Selain itu dukungan sosial ini juga diberikan oleh individu
yang mempunyai status ekonomi yang cukup baik dalam hal ini adalah pak
Modin dan pak ketua RW dengan status ekonomi diatas rata-rata
masyarakat desa Pajarakan.

Dukungan pak Modin sebagai tokoh agama adalah menjaga


keberlangsungan kegiatan keagamaan, yang diyakini oleh masyarakat
sebagai siraman rohani dan mampu mempererat silaturrahmi antar sesama
warga. Sementara dukungan ketua RW dilakukan untuk menenangkan
emosi masyarakat korban dalam menuntut pembayaran ganti rugi tahap II.

Pentingnya dukungan sosial ini berdasarkan teori model sistem adaptasi


Roy termasuk dalam mode interdependensi atau ketergantungan.
Ketergantungan ditunjukkan dengan kemampuan untuk afiliasi dengan
orang lain. Kemandirian ditunjukkan oleh kemampuan berinisiatif untuk
melakukan tindakan bagi dirinya. Mode ini sangat di sadari oleh masyarakat
korban, bahwa kebersamaan dan saling membantu dan bekerjasama akan
dapat memperkuat keberadaanya sebagai masyarakat korban. Dukungan

Interpretasi Hasil Penelitian 119


138
120
sosial merupakan sistem pendukung yang kuat yang dapat mempengaruhi
individu atau keluarga memberikan umpan balik (feedback) yang positif
terhadap stimulus yang menyebabkan stres.

Perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat korban, baik yang yang
terjadi dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat merupakan suatu
sistem yang saling mempengaruhi, seperti perubahan salah satu fungsi
dalam keluarga mempengaruhi fungsi keluarga lain. Hal ini sejalan dengan
kerangka konseptual Sistem Interaksi King (dalam Tomey & Alligood,
2006) yang terdiri dari tiga sistem yang saling berinteraksi, yaitu sistem
personal (individual), sistem interpersonal (kelompok) dan sistem sosial.
Perubahan sosial merupakan muara dari terganggunya sistem interpersonal
dan sistem personal.

Perubahan fungsi keluarga merupakan bagian sistem interpersonal yang


berawal dari terganggunya sistem personal yaitu ketidakmampuan peran
kepala keluarga dalam melaksanakan fungsi ekonomi, fungsi pelayanan
kesehatan atau fungsi-fungsi yang lain. Individu sebagai bagian dari
anggota keluarga atau sebagai sistem personal ini juga sejalan dengan
konsep Neuman (1995, dalam Tomey & Alligood, 2006) yang meyakini
bahwa individu atau klien adalah suatu system yang memiliki 5 variabel,
yang membentuk dalam suatu sistem yaitu fisik, psikologis, sosiokultural,
perkembangan dan spiritual.

Individu atau klien merupakan cerminan secara holistic dan


multidimensional yang berarti bahwa setiap orang memiliki keunikan
masing-masing dalam menanggapi suatu peristiwa yang terjadi dalam
kehidupan sehari-hari. Faktor tersebut menjadi salah satu sebab respon
anggota masyarakat terhadap bencana lumpur Lapindo juga berbeda.

Interpretasi Hasil Penelitian 120


139
121
Sistem klien atau dalam konsep King sebagai sistem personal ini
mempunyai pengaruh yang besar dalam sistem interpersonal dan sistem
sosial. Perubahan pada sistem personal tentu akan berpengaruh pada sistem
interpersonal (dalam keluarga maupun kelompok) dan sistem sosial begitu
pula sebaliknya. Perubahan ini dapat berupa hubungan antar anggota
keluarga tidak harmonis, partisipasi dalam kegiatan sosial menurun dan
pada akhirnya dukungan sosial dan modal sosial juga melemah

Perubahan sistem sosial yang terjadi masyarakat korban Lumpur Lapindo


juga tampak dari struktur dan peran-peran sosial yang sudah rusak atau
melemah. Hancurnya infra struktur masyarakat dan sosial budaya akibat
bencana lumpur Lapindo menjadikan interaksi antar sistem tidak dapat
berlangsung dengan baik. Akses terhadap sarana pelayanan umum
terganggu dan sirkulasi perekonomian masyarakat juga menurun.

Tujuan khusus 3: Harapan masyarakat korban untuk penyelasaian


masalah bencana lumpur Lapindo di desa Pajarakan kecamatan Jabon
kabupaten Sidoarjo
Harapan masyarakat korban bencana lumpur Lapindo yang telah mengalami
korban selama tiga tahun ini terutama ditujukan kepada pemerintah dan PT
Lapindo. Harapan ini dijelaskan dalam satu tema yaitu tema 7 tentang
harapan untuk penyelesaian masalah. Berikut ini penjelasan tema dan sub
tema yang berkaitan dengan pencapaian tujuan khusus ketiga.

Tema 7: Harapan untuk penyelesaian masalah


Bencana yang sudah berlangsung selama tiga tahun lebih ini menyebabkan
berbagai perubahan baik perubahan fisik, psikis, sosial-budaya, dan
spiritual, serta berbagai perubahan yang terkait dengan kepemilikan harta
benda dan lingkungan. Masyarakat korban sangat berharap agar masalah

Interpretasi Hasil Penelitian 121


140
122
yang mereka alami selama ini segera terselesaikan. Harapan besar itu
ditujukan kepada pemerintah dan PT Lapindo

Masyarakat korban lumpur Lapindo berharap kepada pemerintah agar


bersikap tegas terhadap kebijakan yang sudah diputuskan sebagaimana yang
tercantum dalam Perpres No 48 tahun 2008. Ketegasan pemerintah dalam
menyelesaikan masalah yang dialami masyarakat korban Lapindo sangat
penting. Masyarakat yakin apabila ada ketegasan dan upaya sungguh-
sungguh dari pemerintah sisa ganti rugi tahap II (80%) pasti dapat segera
dibayar.

Sebaliknya, meskipun pemerintah sudah mengeluarkan Kepres namun bila


realisasinya tidak jelas waktunya, maka masyarakat merasa terombang-
ambing dalam ketidakpastian, sementara proses kehidupan terus berlanjut
dan membutuhkan biaya sedangkan penghasilan masyarakat tidak ada.
Dengan demikian penderitaan masyarakat akan berlanjut lebih lama apabila
sisa ganti rugi tahap II tidak segera dibayarkan.

Harapan lain dari masyarakat korban kepada pemerintah adalah perlu


adanya perhatian kepada anak-anak terutama mengenai perubahan
psikologis yang terjadi pada anak. Bentuk perhatian pemerintah dapat
berupa penyuluhan atau penanganan masalah psikis atau kejiwaan anak.
Bahkan masyarakat menilai kurangnya perhatian pemerintah kepada anak-
anak korban Lapindo ini dapat dilihat dari tidak adanya kepedulian dari
Komnas Anak, padahal kondisi anak-anak korban Lapindo juga mengalami
masalah serius dalam bentuk trauma atau masalah psikis lainnya.

Selain harapan diatas, masyarakat juga berharap kepada pemerintah tentang


perlunya relokasi yang melibatkan semua warga masyarakat untuk tinggal
bersama dalam satu lokasi. Harapan ini disampaikan karena umumnya

Interpretasi Hasil Penelitian 122


141
123
masyarakat korban khawatir akan tempat tinggal yang akan mereka tempati.
Kekhawatiran masyarakat ini cukup beralasan karena dengan pindah
ditempat baru dapat menyebabkan rusaknya stabilitas kehidupan masyarakat
yang cenderung melahirkan kondisi tidak normal, rasa tidak aman, dan rasa
kehilangan identitas kultural.

Hal lain yang menjadi kekhawatiran di ditempat baru nanti adalah hilangnya
akses menuju fasilitas sosial dan fasilitas umum, kehilangan kelompok dan
jaringan sosial, bahkan terkena marjinalisasi sosial dalam lingkungan baru
atau lingkungan sementara mereka tinggal. Hal ini berdampak lebih lanjut
pada kesulitan akses terhadap pekerjaan, kesulitan pangan, bahkan
kerentanan terhadap penyakit. (Mirdasy, 2007)

Harapan masyarakat kepada pemerintah berbeda dengan harapan kepada PT


Lapindo. Hasil penelitian menunjukkan, masyarakat berharap agar PT
Lapindo melibatkan warga dalam proyek pembangunan tanggul sebagai
bentuk kepedulian PT Lapindo terhadap nasib masyarakat korban. Harapan
ini sangat realitis mengingat sebagian besar warga masyarakat dalam status
pengangguran. PT Lapindo semestinya merespon harapan masyarakat
tersebut, disamping tenaga mereka bisa dimanfaatkan, kebijakan tersebut
juga dapat menolong sekaligus meredam gejolak masyarakat akibat
ketidakmampuan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Harapan masyarakat korban baik kepada pemerintah maupun kepada PT


Lapindo merupakan bentuk pengakuan akan kelemahan atau
ketidakmampuan pribadi dalam penyelesaian masalah diatas. Merujuk
teorinya Roy, harapan masyarakat korban ini merupakan efektor yang dapat
mempengaruhi proses internal manusia sebagai sub sistem adaptasi. Proses
internal tersebut menurut Roy meliputi empat mode yaitu fungsi fisiologis
dasar, konsep diri, peran dan interdependensi. Proses internal akan dapat

Interpretasi Hasil Penelitian 123


142
124
berjalan dengan baik apabila harapan masyarakat korban untuk
penyelesaian masalah ini dapat tercapai dan begitupula sebaliknya.

Tujuan khusus 4: Kebutuhan anggota masyarakat korban lumpur


Lapindo terhadap pelayanan kesehatan di desa Pajarakan kecamatan
Jabon kabupaten Sidoarjo

Kebutuhan anggota masyarakat korban terhadap pelayanan kesehatan


dijelaskan dalam dua tema, yaitu tema 8 tentang kebutuhan layanan
kesehatan fisik, dan tema 9 tentang kebutuhan layanan kesehatan
psikososial Berikut ini penjelasan tema dan sub tema yang berkaitan dengan
pencapaian tujuan khusus keempat.

Tema 8: Kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan fisik


Temuan penelitian ini menunjukkan kebutuhan masyarakat terhadap
pelayanan kesehatan meliputi kebutuhan udara sehat, kebutuhan air sehat,
dan kebutuhan tindakan medis.

Kebutuhan udara sehat ini disebabkan karena luapan lumpur Lapindo begitu
mengganggu warga. Menurut laporan WALHI (Wahana Lingkungan
Hidup), lumpur Lapindo mengandung zat beracun yang mengakibatkan
gangguan pernapasan, bahkan mengandung polycyclic aromatic
hydrocarbons (PAH) 2.000 kali lipat di atas ambang normal, bahkan ada
yang lebih dari itu yang secara tidak langsung dapat menyebabkan penyakit
kanker dan tumor. Pada angka di atas ambang normal saja, efek dari
kontaminasi senyawa berbahaya tersebut akan terasa dalam waktu 5-10
tahun (www.korbanlapindo.net)

PAH termasuk senyawa organik yang berbahaya dan karsinogenik.


Senyawa tersebut memang tidak secara langsung menyebabkan

Interpretasi Hasil Penelitian 124


143
125
terbentuknya tumor ataupun kanker. Tetapi, dalam sistem metabolisme
tubuh, senyawa ini akan diubah menjadi senyawa alkylating dihydrodiol
epoxides yang sangat reaktif dan sangat berpotensi menyebabkan timbulnya
tumor dan resiko kanker. PAH juga bisa mengakibatkan kanker paru-paru,
kanker kulit dan kanker kandung kemih (www.korbanlapindo.net)

Berhubungan dengan temuan penelitian diatas, dalam sebuah penelitian


yang di lansir dalam The Lancet, Devin (1996) menjelaskan bahwa dua
belas tahun setelah bencana gas Bhopal di India, sebanyak 50.000 orang
mengalami masalah pernafasan dan neuropsychiatric atau kecacatan yang
disebabkan oleh efek jangka panjang gas bencana diatas. Laporan yang
dirilis pada 9 Desember oleh Komisi Kedokteran International-Bhopal
(IMCB) ini menyatakan bahwa 94% dari individu yang terkena masalah
kesehatan umum, sebanyak 52% terpapar gas dan mengalami gejala
pernafasan, seperti batuk produktif (81%) dan sesak nafas (38%). Frekuensi
gejala pernafasan telah dilaporkan secara positif berkaitan dengan gas
bencana.

Sementara gejala neurological yaitu sakit kepala, gangguan keseimbangan,


dan masalah dengan bau dan rasa. Sedangkan gejala gangguan jiwa seperti
sindrom posttraumatic stres, lekas marah, kelelahan, kegelisahan dan
depresi dilaporkan lebih sering di masyarakat terpapar gas. Maasalah
kesehatan lain yang sering terjadi pada individu yang terpapar antara lain:
hasil kehamilan yang tidak normal, masalah mata, dan pyrexia.

Selain masalah udara sehat, masyarakat korban bencana lumpur Lapindo


juga mengungkapkan adanya kebutuhan air sehat. Masyarakat korban
merasa kondisi air yang ada saat ini sudah tidak layak digunakan.
Berdasarkan investigasi yang dilakukan Wahana Lingkungan Hidup
(WALHI) Jawa Timur pada tanggal 31 Mei 2006 menemukan bahwa gas

Interpretasi Hasil Penelitian 125


144
126
warna putih campur air yang terkandung dalam lumpur Lapindo merupakan
zat kimia yang mengandung gas Hidrogen Sulfida (H2S), Amonia (NH2),
Nitrit Nitrat, Timbal (Tb), dan Fenol (C6H5OH) serta mengandung merkuri
yang kadarnya lebih dari 2,465 mg/lt yang semuanya itu beracun dan sangat
berbahaya bagi manusia (Azhar, 2006).

Udara dan air sehat merupakan kebutuhan dasar manusia yang secara
langsung mempengaruhi kualitas dan kelangsungan hidup manusia sebagai
mahluk hidup. Dengan demikian pemenuhan kebutuhan udara sehat dan air
yang sehat ini merupakan kebutuhan fisiologis yang paling dasar, sehingga
pemenuhan kebutuhan ini mestinya tidak dapat ditunda lagi karena akan
berpengaruh langsung pada fisiologi tubuh manusia dan kelangsungan
hidup manusia sebagai mahluk hidup.

Sesuai teori konsep model sistem adaptasi Roy, kondisi tersebut sangat
mengganggu masyarakat korban untuk memenuhi fungsi fisiologis dasar.
Fungsi ini merupakan mode yang dapat mempengaruhi proses internal
manusia dalam melakukan sistem adaptasi terhadap stimuli yang ada yaitu
bencana lumpur Lapindo. Roy mengidentifikasi sembilan kebutuhan dasar
fisiologis untuk mempertahankan integritas yang dibagi menjadi dua
bagian. Lima mode fungsi fisiologis tingkat dasar yaitu proteksi, perasaan,
cairan dan elektrolit, syaraf dan endokrin. Sedangkan empat fungsi
fisiologis kompleks meliputi oksigienasi, nutrisi, eliminasi, aktivitas dan
istirahat (Stuart & Laraia, 2005)

Temuan lain dalam penelitian ini adalah kebutuhan masyarakat korban


terhadap tindakan medis dalam bentuk pengobatan gratis dan layanan suntik
(injeksi). Kebutuhan ini merupakan hal wajar bagi masyarakat korban.
Sebelum ada Kepres No 48 tahun 2008 memang pernah ada fasilitas
pengobatan gratis di balai desa Pajarakan, namun setelah ada Kepres yeng

Interpretasi Hasil Penelitian 126


145
127
menjelaskan tentang area peta terdampak di “beli” pemerintah dan warga
mendapatkan pembayaran uang ganti rugi tahap I pada pertengahan
September 2008, fasilitas pengobatan gratis tersebut tidak ada.

Tidak adanya fasilitas pengobatan gratis tersebut tidak hanya yang ada di
balai desa tapi juga beberapa Puskesmas dan RSUD yang sebelumnya
menyediakan pelayanan gratis bagi masyarakat korban Lapindo. Asumsi
yang berkembang bahwa berhentinya fasilitas layanan kesehatan gratis
tersebut karena masyarakat korban Lapindo sudah mendapatkan uang ganti
rugi dari pemerintah sehingga tidak semestinya mendapatkan fasilitas
layanan gratis.

Sementara masyarakat korban mempunyai pandangan yang berbeda.


Masyarakat korban ini menilai uang ganti rugi tahap I sebesar 20% yang
sudah dibayar itu merupakan hak masyarakat korban sebagai ganti rugi atas
tanah dan rumah yang mereka miliki yang nantinya harus mereka
tinggalkan, apalagi jarak waktu pembayaran tahap I dan tahap II belum jelas
hingga sekarang. Sedangkan fasilitas kesehatan merupakan hak warga dan
kewajiban pemerintah untuk memperhatikan nasib warganya yang hidup di
lingkungan yang tidak sehat. Hal ini sesuai dengan UUD 1945 Pasal 28H
(1), menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan
batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan
sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Serta Deklarasi
Universal tentang Hak Asasi Manusia, Majelis Umum PBB (10 Desember
1948) dalam artikel No. 25 yang menyatakan: “tiap orang mempunyai hak
hidup pada standar yang layak untuk kesehatan dan kesejahteraan mereka,
dan keluarga mereka, termasuk hak untuk mendapatkan makanan,
perumahan, dan pelayanan kesehatan.”

Interpretasi Hasil Penelitian 127


146
128
Selain membutuhkan adanya pengobatan gratis, masyarakat juga
menginginkan adanya layanan injeksi (suntik) selama berobat karena
pelayanan kesehatan tanpa dilakukan injeksi dianggap tidak berpengaruh.
Mereka beranggapan bila hanya diberi obat saja tidak ada bedanya dengan
beli obat di warung atau Apotik.
Persepsi masyarakat mengenai pentingnya pelayanan suntik perlu
diluruskan. Masyarakat perlu diberikan penyuluhan atau pemahaman
tentang cara pemberian obat dan mekanisme kerja obat dalam tubuh.
Penyuluhan ini dapat dilakukan pada saat klien datang ke tempat layanan
kesehatan maupun penyuluhan terencana yang dilakukan secara terbuka dan
kelompok. Pengetahuan dan pemahaman ini penting agar persepsi yang
salah tersebut tidak berkembang lebih luas.

Kebutuhan masyarakat terhadap layanan kesehatan ini sesuai dengan


temuan penelitian Domino, dkk (2003) kepada masyarakat korban
Hurricane yang mengalami perubahan besar dalam pola perawatan
dibandingkan pada awal krisis. Domino juga menjelaskan bahwa bencana
dapat meningkatkan insiden penyakit dan cidera akut serta tingkat disstres
sehingga meningkatkan kebutuhan layanan kesehatan.

Tema 9: Kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan


spikososial

Temuan penelitian menunjukkan bahwa partisipan menginginkan adanya


pihak yang menilai status kesehatan jiwa mereka terutama anak-anak dan
menghendaki adanya penyuluhan tentang cara menghadapi perubahan
perilaku anak maupun remaja. Mereka menyadari bahwa untuk mendeteksi
masalah kesehatan jiwa ini perlu keahlihan khusus

Adanya keinginan untuk menilai status kesehatan anak merupakan salah

Interpretasi Hasil Penelitian 128


147
129
satu bentuk kecemasan orang tua terhadap status kesehatan anak, terutama
kesehatan jiwanya. Sebagian masyarakat menyadari bahwa bencana yang
terjadi lebih dari tiga tahun ini membawa dampak perubahan pada kejiwaan
anak. Berdasarkan hasil penelitian, meskipun tidak menunjukkan adanya
kecenderungan yang jelas, namun karena pada usia ini mereka belum
mempunyai pengalaman untuk menjalani situasi stres, maka kecenderungan
itu mungkin lebih tinggi (National centre for PTSD http://www.ncptsd.org)

Selaras dengan temuan penelitian ini, Domino, dkk (2003) menjelaskan


bahwa setelah Australia mengalami banjir, prosentasi orang berkonsultasi
kepada tenaga kesehatan meningkat tiga kali lebih tinggi dibanding pada
kondisi sebelum adanya bencana. Temuan Domino, dkk ini menunjukkan
bahwa paska bencana masyarakat korban mengalami berbagai masalah
kesehatan yang perlu perhatian dan pertolongan agar tidak terjadi masalah
kesehatan yang lebih serius. Sebagaimana rekomendasi dari Zelller, J.L
(2008) bahwa anak-anak yang mengalami trauma pasca bencana harus
menjadi prioritas kesehatan masyarakat.

Dalam konteks penelitian di desa Pajarakan ini, layanan kesehatan jiwa


pada anak-anak pernah dilakukan pada awal terjadi bencana sebelum
adanya Perpres No 48 tahun 2008 oleh suatu LSM dengan cara menghibur
anak-anak, mengajak bermain dan rekreasi. Namun seperti fasilitas layanan
kesehatan gratis yang pernah ada, kegiatan LSM ini juga berhenti semenjak
desa Pajarakan dinyatakan sebagai wilayah yang masuk peta terdampak
bencana. Sejak itu tidak ada lagi layanan kesehatan untuk anak-anak.

Masyarkat membutuhkan adanya keberlangsungan kegiatan untuk anak-


anak agar emosi anak tetap terjaga dan stabil. Keberlangsungan kegiatan
tidak harus dilakukan oleh tenaga ahli, namun dapat dilakukan oleh orang
tua yang mempunyai pengetahuan yang baik untuk menjaga atau

Interpretasi Hasil Penelitian 129


148
130
memelihara emosi. Untuk itu diperlukan transfer ilmu dan pengetahuan
kepada orang tua mengenai cara tepat menghadapi anak yang mengalami
perubahan sikap atau perilaku dalam kondisi bencana seperti ini.

Selain penyuluhan dalam rangka transfer ilmu untuk menghadapai


perubahan perilaku anak, kegiatan serupa juga perlu untuk mengantisipasi
perubahan perilaku yang dialami remaja. Kelompok remaja ini perlu
mendapat perhatian khusus sebagaimana penelitian Denver, dkk (2006)
menyebutkan salah satu kelompok yang mempunyai kebutuhan paling
spesifik yakni para remaja, khususnya yang kehilangan peran orang tua.
Mereka terlihat di pusat–pusat pemondokkan, menarik diri dan marah. Jika
program spesifik tidak dilakukan dengan baik pada kelompok ini, akan
timbul risiko atau gangguan perkembangan personalitas yang menyimpang
seperti tindakkan anti sosial, pengeksploitasian oleh pihak-pihak tertentu
yang tidak bertanggung jawab, dan perilaku negatif lainnya.

Selaian tindakan tersebut diatas, masyarakat korban juga memerlukan


dukungan sosial. Sesuai dengan temuan Rao, K (2006) dukungan sosial
dalam bentuk intervensi sosial ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu
penentuan karakteristik masyarakat korban yang perlu diberikan bantuan,
dan menghargai kondisi dan kapasitas masyarakat korban bencana.
Intervensi psikososial harus disesuaikan ke alamat kebutuhan target
populasi, dengan perhatian khusus diberikan kepada kelompok-kelompok
rentan seperti anak-anak, perempuan dan orang tua.

Tema Tambahan
Selain sembilan tema inti yang berkaitan dengan tujuan penelitian,
penelitian ini juga menemukan dua tema tambahan. Tema tambahan ini
tidak berhubungan langsung dengan tujuan penelitian namun ditemukan
selama proses pengumpulan data. Tema tambahan dalam penelitian ini

Interpretasi Hasil Penelitian 130


149
131
dijelaskan dalam dua tema, yaitu tema tambahan 1 tentang resiko dan
gangguan perkembangan, dan tema tambahan 2 mengenai distress spiritual.
Berikut ini penjelasan tema dan sub tema yang berkaitan tema tambahan
yang ditemukan:

Tema Tambahan 1: Resiko dan terjadinya gangguan perkembangan

Dampak bencana tidak hanya menimpa pada individu dewasa atau orang tua
saja, namun pertumbuhan dan perkembangan anak juga terancam. Temuan
penelitian ini menunjukkan telah terjadi perubahan sikap anak dan perilaku
remaja. Perubahan yang tampak dari perilaku anak adalah perasaan tidak
nyaman, merenung, berani menentang orang tua, prestasi belajar menurun
dan cemas dengan lingkungan sekolah baru yang akan mereka tempati.
Sedangkan perubahan perilaku remaja yang tampak adalah berfoya-foya,
keluyuran, bahkan sampai dengan penyalahgunaan NAPZA.

Perubahan perilaku anak diatas sesuai dengan temuan penelitian Williams,


(2007) tentang dampak psikososial yang dialami anak-anak TK paska
serangan WTC. Secara langsung atau tidak, anak-anak tersebut mengalami
trauma yang menyebabkan masalah perilaku klinis. Seirama dengan temuan
penelitian Williams, Zeller, J.L (2008) tentang dampak masalah perilaku
anak setelah serangan WTC. Zeller mengusulkan perlunya memprioritaskan
pelayanan kesehatan masyarakat terutama pada anak-anak TK. Penelitian
lain yang dilakukan Johson (2008) terhadap korban banjir Katrina di AS
ditemukan sembilan juta anak yang kekurangan layanan kesehatan dan anak
kelas empat SD yang tidak bisa membaca mencapai 60-80%

Bila merujuk pada Teori Psikososial dari Erik Erikson (1955, dalam Frisch
& Frisch, 2006), adanya masalah yang terjadi pada usia anak, remaja atau
tahapan kehidupan lainnya dapat menimbulkan gangguan pada

150 Interpretasi Hasil Penelitian 131


132
perkembangan psikososial yang sebenarnya. Pada anak usia TK (<6 Th),
menurut teori ini masuk dalam tahap berinisiatif versus rasa bersalah
(Initiative versus guilt). Tahap ini merupakan tahap utama dalam
perkembangan anak. Perkembangan fisik dan kemampuan mental anak yang
diikuti oleh kemampuan beraktifitas, berkomunikasi dan berfikir
menimbulkan kemampuan berinisiatif. Kemampuan ini dapat meningkatkan
kemampuan anak untuk merencanakan, menentukan tujuan, dan upaya apa
yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai. Namun
bila pada usia ini mengalami gangguan dapat menyebabkan anak
menghindar dari hal-hal baru karena takut salah, pesimis dan tidak percaya
diri.

Masalah yang terjadi pada tahapan diatas sesuai dengan yang dialami salah
satu anak partisipan bahwa anaknya merasa tidak nyaman, takut atau cemas
bila suatu saat harus pindah rumah dan pindah sekolah. Hal ini
menunjukkan bahwa pengaruh lingkungan sekolah cukup besar,
sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Wellman, New York, (1943
dalam Gerungan 2004) mengenai pengaruh sekolah taman kanak-kanak
terhadap perkembangan intelegensi anak.

Pada tahap perkembangan usia sekolah (6-11 tahun), memasuki tahapan


berkarya versus rendah diri (Industry versus inferiority), anak akan
mengalami peningkatan kemampuan dalam berbagai hal termasuk interaksi
dan prestasi belajar dalam menghasilkan suatu karya berdasarkan
kemampuan diri sendiri. Pencapaian kemampuan ini akan membuat anak
bangga terhadap dirinya. Hambatan atau kegagalan dalam mencapai
kemampuan ini menyebabkan anak merasa rendah diri, sehingga pada masa
dewasa akan mengalami hambatan dalam bersosialisasi (CMHN, 2006).
Anak yang produktif belajar menikmati kompetisi kerja dan kebanggaan

Interpretasi Hasil Penelitian 132


151
133
dalam melakukan sesuatu yang baik (Kaplan dan Saddock, 1997). Dengan
demikian keluhan orang tua akan prestasi anak yang menurun menunjukkan
bahwa bencana lumpur Lapindo ini memang membawa dampak psikososial
bagi anak-anak.

Pada tahapan perkembangan lainnya yaitu pada usia remaja terjadi pada
usia 12-18/20 tahun. Tahapan ini masuk dalam perkembangan identitas diri
versus kekacauan peran (Identity versus role confusion). Perkembangan
psikososial yang baik akan meningkatkan kemampuan remaja mencapai
identitas diri meliputi peran, tujuan pribadi, keunikan dan ciri khas atau
karakter diri. Bila hal ini tidak tercapai maka remaja akan mengalami
kebingungan peran yang berdampak pada rapuhnya kepribadian sehingga
terjadi gangguan konsep diri.

Periode perkembangan ini memerlukan role model yang dapat dijadikan


contoh oleh remaja dalam membentuk identitas dirinya. Tidak adanya role
model terutama dari orang tua dapat menimbulkan kekacauan identitas yang
sangat mudah terpengaruh dan dipengaruhi oleh lingkungan. Kondisi ini
akan sangat berbahaya karena remaja akan mencari jati dirinya di luar
rumah dengan dasar kepribadian yang lemah.

Masalah perilaku remaja korban lumpur Lapindo terjadi akibat tidak adanya
aktifitas positif dan kurangnya perhatian atau role model dari orang tua.
Kurangnya aktifitas positif akan memperkuat perasaan atau perilaku negatif
dan memperlemah perilaku postif (Tomoko, 2009). Dengan demikian
remaja perlu mendapatkan perhatian lebih karena remaja merupakan salah
satu kelompok yang mempunyai kebutuhan khusus dan rentan terjadinya
masalah.

Jika program spesifik tidak dilakukan dengan sungguh – sungguh pada

Interpretasi Hasil Penelitian 133


152
134
kelompok ini, akan timbul risiko perkembangan personalitas yang
menyimpang seperti tindakkan anti sosial atau pengeksploitasian oleh
pihak-pihak tertentu yang tidak bertanggung jawab (Danver, dkk. 2006)

Sementara itu temuan Parslow, dkk. (2006) menunjukkan bahwa


pengalaman trauma dapat memicu peningkatan penggunaan tembakau pada
remaja dan mengakibatkan timbulnya gejala PTSD.

Resiko dan terjadinya gangguan perkembangan yang terjadi pada anak-anak


dan remaja ini berdasarkan pada teori sistem adaptasi Roy merupakan
output sistem yang terjadi akibat input atau stimulus bencana lumpur
Lapindo. Output sistem dapat berupa perilaku yang adaptif maupun
maladaptif atau tidak efektif. Resiko atau sudah terjadi gangguan
perkembangan yang terjadi pada anak-anak dan remaja merupakan perilaku
tidak efektif yang apabila tidak diberikan intervensi yang adekuat, dapat
menjadi stimulus baru dan respon baru dalam suatu proses feedback dan
sistem Adaptasi. Untuk itu diperlukan intervensi yang adekuat dan sistem
dukungan yang kuat agar output sistem yang dimunculkan berupa perilaku
yang adaptif.

Tema Tambahan 2: Distress spiritual

Menurut HPNA (2005) distres spiritual didefinisikan sebagai suatu


gangguan kepercayaan atau sistem nilai yang dapat mempengaruhi
keseluruhan hidup seseorang. Sedangkan NANDA-I (2007) mendefinisikan
distres spiritual adalah kelemahan kemampuan untuk mengalami dan
mengintegrasikan maksud atau makna dan tujuan dalam hidup melalui
hubungan dengan diri, orang lain, seni, musik, literatur, alam, dan atau
kekuatan lebih besar dibanding diri sendiri. Salah satu akibat kelemahan
kemampuan adalah terjadinya penurunan aktifitas spiritual.

Interpretasi Hasil Penelitian 134


153
135

Sesuai dengan konsep distress spiritual diatas, dalam temuan penelitian ini
menggambarkan adanya penurunan aktifitas spiritual yang dialami
masyarakat korban. Penurunan aktifitas spiritual ini ditunjukkan dengan
rendahnya partisipasi warga dalam kegiatan keagamaan. Beberapa
penyebab terjadinya penurunan ini antara lain berkurangnya jumlah warga
karena pindah ke rumah yang baru, terfokusnya pikiran warga mengenai
pembayaran ganti rugi tahap II yang belum terealisiasi, dan adanya
anggapan bahwa kegiatan yang ada didesa Pajarakan tidak akan
berlangsung lama karena setelah tahap II dibayarkan warga harus pindah ke
tempat yang baru.

Perubahan aktifitas spiritual ini cukup terasa bagi warga yang masih tinggal
di desa Pajarakan. Sebelum terjadinya bencana, Kegiatan keagamaan ini
dilaksanakan secara rutin, penuh semangat dan kompak. Aktifitas spiritual
yang mengalami perubahan pada masyarakat korban bencana di desa
Pajarakan ini diantaranya kegiatan Tahlillan, Dziba’ dan sholat berjama’ah.
Kelemahan kemampuan dalam menjalani atau memberi makna akan
bencana lumpur Lapindo inilah yang menyebabkan masyarakat korban
mengalami penurunan aktifitas spiritual sehingga penggunaan koping
spiritual tidak dapat dilakukan secara adekuat.

Menurut McCubbin (1991) ada dua mekanisme koping yaitu konstruktif


dan destruktif. Salah satu mekanisme koping yang konstruktif adalah
mencari dukungan spiritual. Proses koping digunakan untuk mengatasi
gangguan dalam lingkungan spiritual seseorang, melalui evaluasi terhadap
stresor dan penggunaan strategi pertahanan (Lazarus, et al., 1985). Koping
spiritual adalah pencarian makna stres yang dihubungkan dengan sesuatu
yang dianggap suci (Pargament, 1997 dalam Sara, et al., 2002). Penggunaan

Interpretasi Hasil Penelitian 135

154
136
koping spiritual difokuskan pada bagaimana seorang individu menggunakan
spiritual untuk memahami dan berhubungan dengan stresor. Proses koping
ini sesuai dengan teori yang disampaikan oleh McCubbin (1991) yang lebih
menekankan pada proses ketika seseorang berhubungan dengan stresor.

Koping spiritual individu meliputi perilaku spiritual seperti: berdoa,


kehadiran pelayanan religius dan mencari relasi spiritual (Ellison & Lewin,
1998; Koenig & Larson, 1998; Pargament, et al. 1998). Mcnally (2004)
mengidentifikasi perilaku spiritual yang meliputi: keyakinan terhadap
keadilan dan cinta Tuhan, partnership dengan Tuhan, melakukan ritual
religius dan mencari dukungan spiritual melalui keanggotaan dalam
kelompok religius, dan penolakan serta menghindar dari kelompok religius.

Lebih rinci McCubbin (1991) menidentifikasi tahapan perilaku spiritual


menjadi empat tahapan yaitu tahapan pertama reframing; tahapan kedua,
adalah seeking information; tahapan ketiga, seeking solution; tahapan
keempat, passive appraisal. Pada tahap Reframing, individu atau anggota
masyarakat melihat stresor, dalam hal ini adalah bencana lumpur Lapindo
sebagai bagian dari fakta hidup. Sehingga pada tahapan ini individu anggota
masyarakat korban pasrah atau tidak melakukan apa-apa hanya menunggu
pembayaran uang ganti rugi tahap II. Menurut Mc Cubin, reframing
merupakan bagian dari respon adaptif. Namun kalau dianalisa lebih jauh,
reframing dapat dipandang sebagai adaptasi negatif karena belum adanya
bentuk tindakan spiritual yang dilakukan.

Tahapan kedua adalah seeking information. Salah satu alat dalam mencari
informasi adalah komunikasi. Komunikasi adalah pertukaran ide yang
dilakukan oleh seseorang yang mengirimkan pesan kepada penerima pesan
sehingga terjadi pertukaran informasi. Manfaat komunikasi adalah sebagai
alat untuk ventilasi dan mencari solusi terhadap permasalahan yang

Interpretasi Hasil Penelitian 136


155
137
dihadapi individu. Hal ini sesuai dengan penelitian pada seorang individu
penderita penyakit kronis yang menyebutkan bahwa setiap klien
menunjukkan kebutuhan terhadap komunikasi (Hebert dkk, 2001).

Dalam konteks penelitian ini, komunikasi antar anggota masyarakat korban


atau orang lain sangat penting untuk memperkuat silaturrahmi maupun
untuk tukar pendapat dan informasi yang terkait dengan pencapaian hak-hak
mereka sebagai masyarakat korban. Hal ini dapat mengurangi perasaan-
perasaan negatif misalnya cemas, sedih bahkan depresi. Sebaliknya dengan
informasi dan tukar pendapat dapat meningkatkan perasaan positif misalnya
optimisme, perasaan tidak sendiri dan sebagainya.

Pada tahapan seeking information ini terdiri atas sumber informasi dan
bentuk informasi. Sumber informasi yang ditemukan dalam penelitian ini
adalah teman, tetangga dan tokoh masyarakat dalam hal ini adalah ketua
RW dan Pak Modin. Sedangkan bentuk informasi yang diperolah dari
tetangga atau tokoh masyarakat dihasilkan melalui proses diskusi. Pada
tahap ini masalah atau stresor dapat diatasi dengan cara berhubungan
dengan orang lain (other). Hubungan dengan other ini senada dengan
penelitian yang dilakukan oleh Tuck, dkk (2006) tentang salah satu perilaku
spiritual yaitu hubungan seseorang dengan other dalam rangka
mendapatkan pengetahuan.

Tahapan ketiga adalah seeking solution. Upaya untuk mencari jalan keluar
(solution) yang telah dilakukan oleh masyarakat korban diantaranya adalah
melakukan aksi demosntrasi yang mengahsilkan adanya Peraturan Presiden
No 48 tahun 2008 tentang masuknya desa Pajarakan dalam peta terdampak
lumpur Lapindo yang akan mendapatkan ganti rugi dari pemerintah.
Meskipun belum sepenuhnya Perpres ini terealisasi, namun solusi tersebut
pada saat itu cukup menggembirakan anggota masyarakat korban.

Interpretasi Hasil Penelitian 137


156
138
Sementara saat ini untuk mencari penyelesaian masalah pembayaran tahap
II yang belum terealisasi, sebagian anggota masyarakat masih menempati
tempat tinggalnya di area peta terdampak hingga ganti rugi tahap II
dibayarkan. Disamping itu juga melakukan upaya-upaya diplomasi melalui
anggota DPR dan DPRD.

Pencarian solusi juga dapat dilakukan dengan seeking spiritual support. Hal
ini senada dengan salah satu perilaku spiritual yang disampaikan oleh
Tepper dkk. (2001) yaitu bertemu dengan pimpinan atau tokoh spiritual.
Hasil ini memperkuat penelitian Tepper, dkk.. (2001), Sara, dkk. (2002),
Ellison dan Lewin (1998), Koenig dan Larson (1998), dan Pargament, et al.
(1998) yang menjelaskan tentang perilaku spiritual berkaitan dengan
pendekatan agama.

Tahapan keempat perilaku spiritual ini adalah passive appraisal dengan


melakukan aktivitas pengalihan. Passive appraisal adalah kemampuan
keluarga dalam menerima masalah dengan meminimalkan tindakan.
Beberapa respon passive appraisal yang sesuai dengan F-COPES adalah
menonton TV dan keyakinan bahwa dengan berjalannya waktu maka
permasalahan yang terjadi akan dapat diatasi. Dalam penelitian ini, passive
appraisal yang dilakukan anggota masyarakat korban antara lain,
berkumpul dan ngobrol di warung atau pos kampling. Dengan demikian
aktifitas spiritual sebenarnya dapat dilakukan dengan melibatkan orang lain
dan mempunyai cakupan yang luas.

Menurut Hamid (1999), kegiatan spiritual meliputi hubungan dengan diri


sendiri, hubungan dengan alam, hubungan dengan orang lain dan hubungan
dengan Tuhan. Hubungan dengan diri sendiri digambarkan sebagai
pemahaman terhadap diri sendiri dan sikap percaya, ketenangan pikiran dan
keselarasan dalam diri sendiri. Hubungan dengan alam lebih menekankan

Interpretasi Hasil Penelitian 138


157
139
pada keselarasan dalam mengetahui dan berkomunikasi dengan alam
misalnya merawat alam agar tidak tercemar.

Hubungan dengan orang lain dijelaskan dengan keharmonisan hidup dalam


berbagi waktu, mengasuh anak, orang tua dan orang sakit serta meyakini
kehidupan dan kematian. Konflik sering juga dikarakteristikkan dalam
hubungan dengan orang lain. Hubungan dengan Tuhan lebih menekankan
pada kegiatan sembayang atau berdoa, perlengkapan keagamaan dan bersatu
dengan alam. NANDA (2007) menambahkan kreativitas sebagai bagian dari
karakteristik spiritual. Kreatifitas yang dimaksud adalah menggali
kemampuan diri, mengembangkan bakat dan semangat untuk mencapai
kesuksesan hidup.

Tepper, dkk, (2001) menjelaskan lima strategi yang dapat digunakan dalam
dimensi spiritual yaitu berdoa, menghadiri pelayanan spiritual, melakukan
ibadah, membaca kitab suci dan bertemu dengan pimpinan atau tokoh
spiritual. Penjelasan ini sejalan dengan realitas yang dialami masyarakat
korban lumpur. Mereka meningkatkan aktifitas spiritualnya dengan banyak
berdo’a, menghadiri kegiatan spiritual dalam hal ini Tahlillan atau
Dziba’an, melakukan sholat berjama’ah di masjid, mengaji atau membaca
dan mempelajari kitab suci yang dibimbing oleh Ustadz atau tokoh agama
lain.

Memperhatikan penjelasan diatas, sebenarnya area spiritual cukup luas,


tidak hanya yang terkait dengan hubungan manusia dengan Tuhan saja
namun juga hubungan dengan yang lain. Aktifitas spiritual yang masih
berjalan di desa Pajarakan merupakan aktifitas spiritual yang tidak hanya
berhubungan dengan ke-Tuhanan namun juga berhubungan dengan
kemanusiaan, dengan alam, dan berhubungan dengan kreatifitas manusia
dalam menggali kemampuan diri, mengembangkan bakat dan memupuk

Interpretasi Hasil Penelitian 139


158
140
semangat untuk mencapai kesuksesan hidup.

Penurunan aktifitas spiritual ini akan mempengaruhi konsep diri


masyarakat korban. Spiritualitas seseorang berhubungan dengan personal
self yang merupakan salah satu mode dari sistem efektor dalam proses
internal manusia yang dapat mempengaruhi sistem adaptasi (Roy dalam
Tomey (1994)

2. Keterbatasan Penelitian
Peneliti menyadari bahwa dalam pelaksanaan penelitian ini masih banyak
keterbatasan, apalagi penelitian ini merupakan pengalaman pertama peneliti
melakukan penelitian kualitataif. Beberapa keterbatasan tersebut antara lain:
1) Keterbatasan dalam melakukan indepth interview yang dapat berdampak
pada kedalaman dan keluasan hasil penelitian, sehingga penelitian ini
masih perlu menerima masukan dan saran.
2) Keterbatasan peneliti dalam merekrut partisipan perempuan. Umumnya
para perempuan ini enggan diwawancarai dan meminta peneliti atau key
person untuk mewawancarai suaminya saja, sehingga mayoritas
partisipan penelitian ini adalah laki-laki (6 orang dari 7 orang
partisipan).
3) Keterbatasan dalam hal heterogenitas partisipan. Semua partisipan
dalam penelitian ini sudah menikah, sehingga peneliti tidak dapat
mengekplorasi dampak psikososial yang dirasakan oleh warga yang
belum menikah.
4) Keterbatasan dalam memperoleh rujukan hasil penelitian sejenis.
Keterbatasan ini mempengaruhi keluasan dan kedalaman dalam
membahas tema-tema yang ditemukan.

Interpretasi Hasil Penelitian 140


159
141
3. Implikasi Hasil Penelitian
1) Bagi Perkembangan Pendidikan Keperawatan
Hasil penelitian ini memberikan wawasan baru mengenai dampak
psikososial akibat bencana Lumpur Lapindo yang mempunyai
spesifikasi tersendiri. Disamping itu dari hasil penelitian ini semakin
membuktikan bahwa keperawatan kesehatan jiwa masyarakat sangat
diperlukan dan bermanfaat bagi masyarakat yang sedang mengalami
bencana. Dengan demikian, pengembangan kurikulum melalui mata ajar
kesehatan jiwa masyarakat sangat diperlukan, apalagi Indonesia
merupakan salah satu Negara yang sering mengalami bencana. Hasil
penelitian ini juga dapat menjadi referensi baru yang bisa disimpan di
perpustakaan sebagai bahan acuan pengkajian dan penelitian selanjutnya

2) Bagi Instansi Pelayanan Keperawatan Kesehatan Jiwa


Hasil penelitian ini dapat dijadikan salah satu pertimbangan dalam
mengembangkan area layanan kesehatan jiwa yang berorientasi pada
community based. Selain itu, Intansi pelayanan juga dapat menggunakan
hasil penelitian ini sebagai acuan untuk melakukan kajian untuk
meningkatkan kompetensi perawat agar mempunyai kesiapan dan
kemampuan memberikan layanan kesehatan masyarakat korban bencana

3) Bagi Perkembangan Penelitian Keperawatan


Hasil penelitian ini memperkuat pengetahuan dan pemahaman peneliti
tentang masalah psikososial yang terjadi dimasyarakat serta berbagai
respon masyarakat dalam menghadapi bencana. Selain itu, temuan ini
juga dapat mempertajam kepekaan peneliti dalam merespon masalah-
masalah yang terjadi dimasyarakat serta meningkatkan minat peneliti
untuk mendalami masalah kesehatan jiwa di masayarakat. Bagi peneliti
lain, penelitian ini merupakan langkah awal untuk ditindaklanjuti melalu

Interpretasi Hasil Penelitian 141


160
142
pendekatan atau metode lain misalnya grounded theory, etnografi, riset
tindakan ataupun juga ditindak lanjuti dengan penelitian kuantitaif.

4) Bagi Organisasi Profesi (PPNI)


Temuan penelitian ini dapat dijadikan dasar tentang pentingnya tenaga
perawat dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat
korban bencana. Dengan demikian PPNI perlu membuat aturan yang
jelas dan legal tentang penentuan kompetensi bagi perawat bencana.
Disamping itu PPNI juga dapat menyelenggarakan pendidikan dan
pelatihan (DIKLAT) khusus perawat bencana sebagai bekal dalam
memberikan pertolongan dengan cepat, tepat dan akurat.

5) Bagi Pemerintah dan PT Lapindo


Temuan penelitian ini menginformasikan kepada semua pihak terutama
pemerintah termasuk Dinas Kesehatan Kabupaten Sidoarjo tentang
kondisi riil masyarakat korban Lumpur Lapindo. Berbagai masalah
terjadi dan perlu solusi agar penderitaan masyarakat korban tidak
bertambah berat. Saat ini masyarakat korban bencana lumpur Lapindo
sangat membutuhkan bantuan dan perhatian. Bantuan yang butuhkan
antara lain sembako, udara sehat, air sehat, dan layanan kesehatan gratis.
Sedangkan perhatian yang diharapkan dari pemerintah adalah
kesungguhan untuk mengupayakan realisasi pembayaran ganti rugi yang
belum selesai, karena hal ini yang akan menggerakkan kelangsungan
hidup masyarakat korban. Bagi PT Lapindo, temuan penelitian ini
diharapkan pihak Lapindo lebih peduli dan memperhatikan masyarakat
korban dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian dan hak asasi
manusia

Interpretasi Hasil Penelitian 142


161
162
BAB 8
ASUHAN KEPERAWATAN KEHILANGAN DAN BERDUKA

Tujuan Intruksional
Setelah membaca bagian ini, mahasiswa mampu:
1. Memahami konsep kehilangan dan berduka perspektif masyarakat
korban bencana
2. Menjelaskan prinsip pengkajian keperawatan pada pasien kehilangan
dan berduka
3. Menjelaskan prinsip perencanaan keperawatan pada pasien
kehilangan dan berduka
4. Menjelaskan prinsip pelaksanaan keperawatan pada kehilangan dan
berduka
5. Menjelaskan prinsip evaluasi keperawatan pada pasien kehilangan
dan berduka

1. Konsep Dasar Kehilangan


Pemahaman tentang konsep dasar kehilangan sangat diperlukan sebagai
dasar pengetahuan dalam pemberian asuhan keperawatan pada klien dengan
berduka ansitisipasi. Hal-hal yang akan dijelaskan pada konsep dasar
kehilangan meliputi definisi kehilangan, perspektif teori terkait kehilangan
dan berduka, faktor-faktor yang mempengaruhi kehilangan, sumber
kehilangan dan respon maladaptive terhadap kehilangan.
1) Definisi Kehilangan
Pengertian kehilangan dapat dipandang dari berbagai aspek utama dari
kehilangan yaitu stresor, dan perpisahan. Definisi kehilangan yang
terkait dengan stresor disampaikan oleh Antai-Otong (2003) yang
menjelaskan kehilangan sebagai stresor yang hebat dengan konsekuensi
fisiologis, psikologis dan sosial. Harkreader, Hogan dan Thobaben
Asuhan Keperawatan Kehilangan dan Berduka 138

163
(2007) lebih menekankan definisi kehilangan dari aspek perpisahan
dengan menguraikan kehilangan sebagai pelepasan, perubahan atau
reduksi nilai dari sesuatu yang berharga. Hal senada disampaikan oleh
Townsend (2009) yang menegaskan bahwa kehilangan adalah
berpisahnya dari sesuatu yang penting secara personal. Wilkinson
(2005) yang menjelaskan bahwa kehilangan adalah kenyataan/ situasi
yang mungkin terjadi dimana sesuatu yang dihadapi, dinilai terjadi
perubahan, tidak lagi memungkinkan ada atau pergi/ hilang. Dapat
dikatakan juga sebagai suatu kondisi dimana seseorang mengalami suatu
kekurangan atau tidak ada sesuatu yang dulunya ada.

Kehilangan adalah suatu keadaan individu yang berpisah dengan


sesuatu yang sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik
terjadi sebagian atau keseluruhan . Kehilangan merupakan
pengalaman yang pernah dialami oleh setiap individu dalam rentang
kehidupannya. Sejak lahir individu sudah mengalami kehilangan dan
cenderung akan mengalaminya kembali walaupun dalam bentuk
yang berbeda.

Kehilangan dari attachment (Kedekatan seseorang terhadap orang


lainn yang dianggap penting), merupakan kehilangan yang mencakup
kejadian nyata atau hanya khayalan (yang diakibatkan persepsi
seseorang terhadap kejadian) seperti kasih sayang, kehilangan orang
yang berarti, fungsi fisik, harga diri. Banyak situasi kehilangan
dianggap sangat berpengaruh karena memiliki makna yang tinggi.
Dapat pula mencakup kehilangan teman lama, kenangan yang
indah, tetangga yang baik. Kemampuan seseorang untuk bertahan
tetap stabil dan bersifat positif terhadap kehilangan merupakan
suatu kematangan dan pertumbuhan.

Asuhan Keperawatan Kehilangan dan Berduka 139

164
2) Proses Kehilangan
a. Stressor internal atau eksternal – gangguan dan kehilangan –
individu memberi makna positif – melakukan kompensasi dengan
kegiatan positif – perbaikan (beradaptasi dan merasa nyaman).
b. Stressor internal atau eksternal – gangguan dan kehilangan –
individu memberi makna – merasa tidak berdaya – marah dan
berlaku agresif – diekspresikan ke dalam diri – muncul gejala
sakit fisik.
c. Stressor internal atau eksternal – gangguan dan kehilangan –
individu memberi makna – merasa tidak berdaya – marah dan
berlaku agresif – diekspresikan ke luar diri individu –
kompensasi dengan perilaku konstruktif – perbaikan (beradaptasi
dan merasa nyaman).
d. Stressor internal atau eksternal – gangguan dan kehilangan –
individu memberi makna – merasa tidak berdaya – marah dan
berlaku agresif – diekspresikan ke luar diri individu –
kompensasi dengan perilaku destruktif – merasa bersalah –
ketidakberdayaan.

Inti dari kemampuan seseorang agar dapat bertahan terhadap


kehilangan adalah pemberian makna (personal meaning) yang baik
terhadap kehilangan (husnudzon) dan kompensasi yang positif
(konstruktif) seperti pada skema berikut :

Asuhan Keperawatan Kehilangan dan Berduka 140

165
( Process Of Disruption And Loss Drake At Barbara Kozier, 1979 )
3) Sumber-Sumber Kehilangan
a. Kehilangan orang yang dicintai
– Perpisahan, perceraian, kematian
b. Kehilangan aspek diri (biopsikososial)
– Kehilangan fungsi tubuh
– Kehilangan peran sosial (pekerjaan, kedudukan)
c. Kehilangan suatu objek ekternal
– Kehilangan uang/ harta benda, rumah, binatang
kesayangan
d. Kehilangan dari lingkungan yang telah dikenal

Asuhan Keperawatan Kehilangan dan Berduka 141

166
4) Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi yang mempengaruhi rentang respon kehilangan
adalah :
Genetik
Individu yang dilahirkan dan dibesarkan di dalam keluarga yang
mempunyai riwayat depresi akan sulit mengembangkan sikap
optimis dalam menghadapi perasaan kehilangan.

Kesehatan Jasmani
Individu dengan keadaan fisik sehat, pola hidup yang teratur,
cenderung mempunyai kemampuan mengatasi stress yang lebih
tinggi dibandingkan dengan individu yang mengalami gangguan
fisik.

Kesehatan Mental
individu yang mengalami gangguan jiwa terutama yang mempunyai
riwayat depresi yang ditandai perasaan tidak berdaya pesimis,
selalu dibayangi oleh masa depan yang suram, biasanya sangat
peka dalam menghadapi situasi kehilangan.

Pengalaman Kehilangan Di Masa Lalu


Kehilangan atau perpisahan dengan orang berarti pada masa kanak-
kanak akan mempengaruhi kemampuan individu dalam mengatasi
perasaan kehilangan pada masa dewasa.
(Stuart-Sundeen, 1991)

Asuhan Keperawatan Kehilangan dan Berduka 142

167
Struktur Kepribadian
Individu dengan konsep diri yang negatif perasaan rendah diri
akan menyebabkan rasa percaya diri yang rendah yang tidak
objektif terhadap stress yang dihadapi.

Faktor Presipitasi
Stress yang dapat menimbulkan perasaan kehilangan dapat berupa
stress nyata, ataupun imajinasi individu seperti : kehilangan sifat
bio-psiko-sosiial antara lain meliputi : kehilangan kesehatan,
kehilangan fungsi seksualitas, kehilangan peran dalam keluarga,
kehilangan posisi di masyarakat, kehilangan milik pribadi seperti :
kehilangan arta benda atau orang yang dicintai, kehilangan
kewarganegaraan dll.

Perilaku
Individu dalam proses berduka sering menunjukkan perilaku
seperti: menangis atau tidak mampu menangis, marah-marah, putus
asa, kadang-kadang ada tanda-tanda usaha bunuh diri atau ingin
membunuh seseorang, juga sering berganti tempat mencari
informasi yang tidak menyokong diagnosanya.

Mekanisme koping
Koping yang sering dipakai oleh individu dengan respon
kehilangan antara lain : denial, represi, intelektualisasi, regresi,
disosiasi, supresi, dan proyeksi yang digunakan untuk menghindari
intensitas stress yang dirasakan sangat menyakitkan. Regresi dan
disosiasi sering ditemukan pada pasien depresi yang dala. Dalam
keadaan patologis Mekanisme koping tersebut sering dipakai secara
berlebihan dan tidak tepat.

Asuhan Keperawatan Kehilangan dan Berduka 143

168
5) Prespektif Agama Terhadap Kehilangan

Dalam prespektif agama saat menghadapi kehilangan manusia


diharuskan untuk sabar, berserah diri, menerima dan
mengembalikannya kepada Allah karena hanya Dia pemilik
mutlak segala yang kita cintai dan manusia bukanlah pemilik apa-
apa yang diakuinya.

6) Contoh stressor dan bentuk kehilangan di Indonesia


Jenis stessor dan bentuk kehilangan di Indonesia :

NO JENIS STRESSOR JENIS KEHILANGAN


1 Gempa dan tsunami Aceh Rumah, orang yang berarti, pekerjaan,
bagian tubuh.
2 Lumpur lapindo Rumah dan tetangga yang baik
3 Gempa di yogyakarta Rumah, makna Rumah yang lama, orang
yang berarti, bagian tubuh, pekerjaan.
4 Jatunya pesawat Adam Air Orang yang berarti, bagian tubuh
5 Tenggelamnya kapal Lavina Orang yang berarti
6 Sampah longsor rumah Orang yang berarti
7 Harta benda, orang tercinta, lingkungan
Banjir bandang yang baik, kesehatan.
8 PHK di IPTN Pekerjaan, status, harga diri
9 Banjir jakarta Harta benda, orang tercinta lingkungan
yang baik, kesehatan.

7) Perspektif Teori Terkait Kehilangan dan Berduka


Respon kehilangan yang dialami oleh setiap individu akan berbeda-
beda. Namun demikian pola yang ditampilkan umumnya memiliki

Asuhan Keperawatan Kehilangan dan Berduka 144

169
kesamaan satu sama lain. Beberapa tokoh menjelaskan respon
kehilangan dari berbagai persepektif yang berbeda. Kubler-Ross (1969),
Bowlby (1961) dan Engel (1964) menekankan bahwa setiap respon
kehilangan tidak seluruh dialami secara komplet oleh setiap individu.
Ketiga tokoh ini juga menekankan bahwa sejumlah variabel
mempengaruhi kemajuan seseorang untuk menyelesaikan proses
berduka. Berbeda dengan ketiga tokoh sebelumnya, Worden (2002)
lebih menekankan bahwa kehilangan akan menawarkan seperangkat
tugas yang harus di proses untuk menyelesaikan respon berduka.

Kubler-Ross menjelaskan perilaku yang dapat diobservasi dari lima


tahapan yang terjadi ketika seseoarang mengalami kehilangan. Tahapan
kehilangan yang dikembangkan oleh Kubler-Ross banyak diobservasi
pada klien menjelang ajal. Berikut ini dijelaskan lima tahapan tersebut.
a) Tahapan 1: Denial/ Penolakan
Karakteristik perilaku yang khas ditampilkan pada tahapan
penolakan ini adalah tidak adanya pengakuan dari klien terhadap
peristiwa kehilangan yang terjadi. Bentuk pernyataan yang biasanya
disampaikan adalah “tidak, itu tidak benar” atau “itu tidak
mungkin". Pada tahap ini individu berusaha melindungi diri dari
stress psikologis yang dialami

b) Tahapan 2: Anger/ Marah


Tahapan ini memfokuskan pada kondisi dimana klien mulai sadar
dari kenyataan yang ada. Perasaan yang terkait dengan tahapan ini
adalah rasa sedih, bersalah, malu, ketidakberdayaan dan
keputusasaan. Menyalahkan diri mungkin dapat terjadi pada tahapan
marah ini yang dimanifestasikan ke dalam rasa marah baik terhadap

Asuhan Keperawatan Kehilangan dan Berduka 145

170
diri sendiri maupun orang lain. Tahapan marah akan diikuti oleh
peningkatan tahapan ansietas yang dialami oleh seseorang. Dampak
dari kondisi ini adalah penurunan kemampuan kemandirian,
menggambarkan tentang keasyikan terhadap kehilangan dan
terkadang diikuti dengan keluhan somatik. Bentuk perilaku yang
biasanya ditampilkan adalah melukai orang lain baik secara verbal
maupun non verbal.

c) Tahapan 3: Bergaining/ Tawar-menawar


Pada tahap tawar menawar , individu berusaha untuk melakukan
tawar menawar kepada Tuhan dengan pilihan kedua atau untuk
beberapa waktu. Individu pada tahapan ini mengakui adanya
kehilangan atau menunda kehilangan tetapi berharap ada alternative
pilihan dari kondisi kehilangan yang dialami. Bentuk pernyataan
yang biasanya disampaikan adalah “ andaikan saja….”.

d) Tahapan 4: Depression/ Depresi


Tahapan depresi merupakan tahapan yang paling menyakitkan.
Selama tahapan ini individu harus menghadapkan perasaan terhadap
kehilangan seseoarang atau sesuatu yang bernilai. Perilaku yang
menjadi cirri utama dari tahapan depresi ini adalah regresi, menarik
diri dan isolasi sosial.

e) Tahapan 5: Acceptance/ Menerima


Pada tahapan menerima individu bekerja untuk menyelesaikan
berbagai perilaku yang dihubungkan dengan berbagai tahapan dan
menerima kehilangan. Ciri utama dari tahapan ini adalah terjadinya

Asuhan Keperawatan Kehilangan dan Berduka 146

171
penurunan tingkat ansietas yang dialami dan peningkatan terhadap
ketertarikan dalam berpartisipasi dengan lingkungan.

8) Respon Maladaptif Terhadap Kehilangan


Kehilangan dapat menjadi maladaptive jika tidak mendapat perhatian
yang serius dari seorang perawat. Berikut ini terdapat tiga tipe reaksi
kehilangan yang digolongkan patologis. Reaksi kehilangan patologis ini
tersebut meliputi keterlambatan atau hambatan berduka, penyimpangan
atau melebih-lebihkan respon berduka, dan berduka kronis atau
memanjang.
a) Keterlambatan atau hambatan berduka
Keterlambatan atau hambatan berduka diartikan sebagai ketiadaan
bukti atau fakta berduka ketika berduka biasanya diharapkan
(Townsend, 2009). Keterlambatan atau hambatan berduka menjadi
patologis dikarenakan seseorang tidak mampu menghadapi
kenyataan kehilangan. Respon berduka terkadang akan muncul
beberapa tahun berikutnya ketika pengalaman kehilangan terjadi
kembali dan biasanya menimbulkan reaksi yang berlebihan terhadap
berduka.

b) Penyimpangan atau melebih-lebihkan respon berduka


Penyimpangan respon berduka terjadi ketika muncul gejala-gejala
yang tidak sesuai dengan respon berduka pada umumnya. Beberapa
perilaku atau respon berduka yang berlebihan diantaranya rasa sedih,
tidak berdaya, marah dan rasa bersalah, yang terjadi secara
berlebihan akan menyebabkan terjadinya perilaku-perilaku
maladaptive. Salah satu perilaku maladaptive yang perlu

Asuhan Keperawatan Kehilangan dan Berduka 147

172
diwaspadai adalah perilaku marah yang ditujukan baik pada diri
sendiri maupun orang lain.

c) Berduka kronis atau memanjang


Sadock (2003) menjelaskan bahwa fase akut berduka normal
biasanya terjadi pada rentang enam sampai dengan delapan minggu.
Seseorang akan menyelesaikan tahapan berduka secara sempurna
pada kurun waktu 6 bulan sampai dengan 1 tahun. Namun demikian
terkadang ada beberapa orang yang bisa menyelesaikan tahapan
berduka dengan waktu satu sampai dengan dua tahun (Sadock,
2003). Ketika kurun waktu berduka menjadi bertambah panjang
disertai dengan berbagai perilaku yang tidak wajar maka berduka
akan disebut kronis. Beberapa perilaku yang maladaptive yang
terjadi pada berduka kronis atau memanjang ini diantaranya
ketidakmampuan individu untuk membina hubungan baru sampai
bahkan sampai dengan kematiannya, dan menyiapkan segala hal
yang berkaitan dengan almarhum misalnya makanan, pakaian
meskipun orang tersebut telah lama meninggal.

Berduka merupakan respon manusia yang wajar. Namun akan menjadi


maladaptif jika respon berduka menjadi memanjang dan menyebabkan
terganggunya kehidupan sehari-hari. Berduka dapat terjadi pada siapa
saja yang mengalami kehilangan, baik itu kehilangan harta benda, orang
yang kita cintai atau kehilangan harga diri. Ketika seseorang dihadapkan
pada kehilangan ini tentunya, setiap individu akan berespon sesuai
dengan kemampuannya. Untuk itulah tentunya perawat harus memiliki
ketrampilan dalam melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan
berduka.

Asuhan Keperawatan Kehilangan dan Berduka 148

173
1. Pengkajian
Perawat dihadapkan pada ketrampilan baik secara komunikasi,
pemeriksaan fisik dan observasi. Pada pengkajian pemeriksaan fisik,
perawat telah menyelesaikan latihan ketrampilan tersebut pada mata
kuliah foundation of nursing 2. Pada sub modul ini akan dibahas tentang
bagaimana melatih ketrampilan komunikasi dan observasi ketika kita
melaksanakan pengkajian pada pasien dengan berduka. Pengkajian
dilakukan dengan menggunakan teknik komunikasi terbuka. Perlu
diingat ketika melakukan pengkajian pada pasien dengan berduka
perawat harus memahami pada tahapan mana pasien mengalami
kehilangan. Jika pada fase panik maka pengkajian hanya banyak
dilakukan melalui observasi. Perawat mengamati perilaku apa yang
menyimpang yang dialami oleh pasien. Perlu diingat tidak dibenarkan
jika perawat menyakan peristiwa berduka kepada pasien ketika fase
krisis dan akut belum terlampaui. Jika pasien sudah berapa pada fase
maintenance, maka perawat dapat menggali lebih jauh tentang berbagai
data yang terkait dengan berduka. Beberapa pertanyaan yang dapat kita
berikan pada pasien dengan berduka yang telah berada pada fase
maintenance adalah:
Coba ibu ceritakan apa yang ibu rasakan saat ini? Selain secara
emosional apakah ada keluhan yang ibu rasakan terkait dengan kondisi
fisik, hubungan sosial dan spiritual yang ibu rasakan saat ini?

Perlu diingat: Gunakan teknik komunikasi terbuka!

Asuhan Keperawatan Kehilangan dan Berduka 149

174
Berikut ini tiga area penting yang dikaji pada kasus kehilangan beserta
contoh mengkaji pada tiga area tersebut menurut Videbeck (2001).
Area yang dikaji Contoh pengkajian
Persepsi yang adekuat  ”apa yang saudara pikirkan dan rasakan
tentang kehilangan tentang kehilangan?”
 ”Bagaimana kehilangan ini akan
berdampak pada kehidupan saudara?”
 ”Informasi apa yang perlu diklarifikasi?”
Dukungan yang  ”Siapa di dalam hidup saudara yang
adekuat ketika benar-benar ingin mengetahui apa yang
berduka akibat sebanarnya terjadi pada saudara?”
kehilangan  ”Maksut saudara tidak ada seorangpun
yang peduli dengan kondisi saudara saat
ini?”
Perilaku koping yang  ”saudara kelihatannya sangat kecewa
adekuat selama proses dengan kabar bahwa saudara harus
menjalani mastektomi ini?”
 ”apa yang akan saudara lakukan dengan
kabar yang saudara terima hari ini?”
Beberapa aspek penting yang harus di kaji pada kasus berduka adalah
a. Mempertanyaan dan berupaya menemukan makna kehilangan
b. Mati rasa
c. Merasa menderita dan kesepian
d. Menangis-nangis, terisak
e. Emosi yang berubah termasuk kemarahan
f. Putus asa
g. Tidak berdaya
h. Sangat gelisah, mencari aspek yang hilang
i. Sakit kepala
j. Insomnia
k. Tidak bertenaga
l. Melakukan fungsi secara otomatis
m. Menyimpan benda berharga

Asuhan Keperawatan Kehilangan dan Berduka 150

175
2. Diagnosa
Diagnosa keperawatan pada pasien dengan masalah berduka dapat
ditetapkan dengan memperhatikan tanda dan gejala yang dialami oleh
pasien. Beradasarkan tahapan berduka tersebut maka perawat harus
menganalisa secara tepat masalah yang dialami oleh pasien. Penetapan
diagnosa keperawatan dimulai dengan melakukan pengelompokan data.
Sekelompok data tersebut kemudian dianalisa untuk menetapkan masuk
mana masalah tersebut. Setelah kita memilih domain langkah
selanjutnya adalah kita menetapkan diagnosa keperawatan yang tepat
berdasarkan batasan karakteristik dan faktor yang berhubungan. Pada
diagnosa dengan ”resiko” mana batasan yang dapat kita analisa adalah
faktor resiko.

3. Intervensi
Pada praktikum penyusunan intervensi keperawatan, perawat
diharapkan memiliki kemampuan critical thinking sebagai dasar untuk
memilih kriteria hasil dan tindakan yang tepat pada diagnosa yang telah
kita tetapkan. Persiapan yang tidak kalah penting adalah persiapan studi
literatur seperti buku diagnosa keperawatan (NANDA 2012-2014), buku
kriteria hasil (NOC) dan buku intervensi (NIC). Setelah kita menetapkan
diagnosa, hal yang perlu kita perhatikan adalah kemampuan personal,
sumber dukungan sosial dan aset material. Contoh penyusunan
intervensi keperawatan pada masalah berduka adalah sebagai berikut.

Asuhan Keperawatan Kehilangan dan Berduka 151

176
Indikator adalah: resolusi berduka
Pasien dapat mencapai skor 4 dalam mengatasi masalahnya
Indikator 1 2 3 4 5
Menyampaiakn perasaannya tentang
kehilangan
Mengekspresikan keyakinan spiritual terkait
kehilangan
Mencari dukungan social
Keterangan:
1: tidak pernah
2: jarang
3: kadang-kadang
4: sering
5: selalu

Kriteria Hasil Tindakan


Menyampaikan a. Perluas kesadaran diri melalui identifikasi
perasaannya pengalaman berduka (mengidentifikasi kehilangan
tentang yang dialami, mengidentifikasi hubungan dengan
kehilangan objek yang hilang, mengkaji reaksi awal terhadap
kehilangan dan mengkaji strategi koping yang
digunakan oleh klien saat kehilangan terjadi)
b. Ekplorasi perasaan diri terkait kehilangan dan
berduka yang dialami yang dialami
c. Dorong penetapan rencana yang realistic
Mengekspresikan a. Dorong klien untuk melakukan pendekatan budaya
keyakinan untuk menyelesaikan fase berduka
spiritual terkait b. Dorong klien untuk melakukan pendekatan agama
kehilangan untuk menyelesaikan fase berduka
Mencari a. Dorong klien untuk melakukan pendekatan sosial
dukungan sosial untuk menyelesaikan fase berduka

Asuhan Keperawatan Kehilangan dan Berduka 152

177
4. Implementasi
Dalam implementasi pada pasien yang mengalami berduka, berikut ini
merupakan komunikasi yang digunakan pada pasien yang mengalami
depresi dan manajemen mood.

5. Evaluasi
Kegiatan evaluasi terutama dilakukan untuk mengevaluasi hasil
implementasi dibandingkan dengan kriteria hasil yang telah ditetapkan.
Perawat perulu mengambil kesimpulan dan menetapkan langkah
selanjutnya berdasarkan analisa tersebut. Pada evaluasi yang belum
mencapai kriteria hasil maka perawat pelu melakukan pengkajian ulang,
mengevaluasi diagnosa keperawatan yang telah ditetapkan dan
selanjutnya membuat perencanaan dengan cara memodifikasi tindakan.

2. Proses Keperawatan Pada Klien Berduka Antisipasi


Proses keperawatan pada klien dengan berduka antisipasi diberikan pada
klien dan keluarga yang mempersiapkan kematian. Beberapa kondisi yang
biasanya berhubungan dengan klien berduka antisipasi diantaranya adalah
klien dengan penyakit yang mengancam kehidupan yaitu penyakit terminal,
penyakit yang tidak atau belum ada obatnya. Stuart (2009) mengidentifikasi
beberapa penyakit yang mengancam kehidupan tersebut diantaranya
berbagai penyakit kanker, penyakit renal stadium akhir, gagal jantung
kongestif, kardiomiopati stadium akhir, penyakit liver stadium akhir,
kecelakaan cerebrovaskular, hepatitis C, kelainan congenital pada bayi dan
anak, luka bakar atau trauma, acquired immunodeficiency syndrome
(AIDS), penyakit Alzheimer, chronic obstructive pulmonary disease
(COPD), multiple sklerosis, penyakit Parkinson, asma, komplikasi diabetes
mellitus, scleroderma, persistent vegetative state (PVS). Berikut ini akan

Asuhan Keperawatan Kehilangan dan Berduka 153

178
dijelaskan tentang proses keperawatan yang dapat diberikan pada klien
dengan berduka antisipasi.
1) Definisi Berduka Antisipasi
Townsend (2009) menjelaskan bahwa secara umum berduka adalah
kesedihan mental dan emosional yang mendalam sebagai respon
subjektif terhadap pengalaman kehilangan sesuatu yang berharga.
Secara spesifik Nanda (2005) mendefinisikan berduka antisipasi sebagai
respons intelektual dan emosional serta perilaku oleh individu, keluarga
dan komunitas yang merupakan proses modifikasi dari konsep diri yang
didasari oleh persepsi potensial kehilangan. Senada dengan pendapat
Nanda (2005), Stuart (2009) menjelaskan bahwa berduka antisipasi
adalah kondisi emosional yang dimulai sebelum aktual terjadi
kehilangan orang, objek atau konsep yang berarti. Komponen penting
yang perlu kita catat berdasarkan berbagai definisi berduka antisipasi
tersebut adalah bahwa masalah terjadi ketika proses kehilangan belaum
benar-benar terjadi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa berduka
antisipasi merupakan respon adaptif yang bisa terjadi untuk
mempersiapkan kehilangan baik keluarga maupun klien itu sendiri.
Namun perlu diingat bahwa area kerja seorang perawat jiwa berada pada
rentang sehat sakit sehingga perlu adanya keseimbangan intervensi yang
diberikan baik pada level prevensi primer, sekunder maupun tersier.
2) Karakteristik Berduka Antisipasi
Menurut Nanda (2009) karakteristik berduka antisipasi diantaranya
adalah
(1) Marah
(2) Menolak potensial kehilangan
(3) Menolak kehilangan yang signifikan
(4) Mengekspresikan distress dari potensial kehilangan

Asuhan Keperawatan Kehilangan dan Berduka 154

179
(5) Rasa bersalah
(6) Perubahan kebiasaan, makan, pola, tidur, pola mimpi
(7) Perubahan tingkat aktivitas
(8) Perubahan pola komunikasi
(9) Perubahan libido
(10) Tawar menawar
(11) Kesulitan mengatakan yang baru atau peran yang berbeda
(12) Potensial kehilangan objek yang signifikan (misal orang, hak
milik, pekerjaan, status, rumah, bagian dan proses tubuh)
(13) Berduka cita
3) Pengkajian Klien Berduka Antisipasi
Pengkajian yang dilakukan pada klien dengan berduka antisipasi
dilakukan dengan pendekatan psikodinamika terkajinya masalah yang
disampaikan oleh Stuart (2009). Pengkajian meliputi faktor predisposisi,
presipitasi, penilaian stresor dan sumber koping. Pengkajian predisposisi
dan presipitasi dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab masalah
berduka antisipasi. Pengkajian penilaian stresor lebih menekankan pada
tanda dan gejala yang dialami sehingga menjadi dasar penetapan
diagnose keperawatan. Sedangkan pengkajian sumber koping pada klien
dengan berduka antisipasi akan digunakan untuk menyusun intervensi
yang dibutuhkan.
(1) Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi adalah faktor resiko yang menjadi sumber
terjadinya harga diri rendah situasional yang mempengaruhi tipe
dan sumber dari individu untuk menghadapi stres baik biologis,
psikologis dan sosial kultural. Secara bersama–sama faktor ini
akan mempengaruhi seseorang dalam memberikan arti dan nilai
terhadap stres pengalaman yang dialaminya. Berikut ini
Asuhan Keperawatan Kehilangan dan Berduka 155

180
merupakan faktor predisposisi biologis, psikologis dan sosial
budaya yang perlu digali pada klien dengan harga berduka
antisipasi
a) Biologis
Pengkajian aspek biologis difokuskan pada area yang
mengalami perubahan secara fisiologis. Informasi penting
yang sangat diharapkan dari fungsi biologis diantaranya latar
belakang genetik, status nutrisi, status kesehatan secara umum,
sensisitivitas biologi dan paparan terhadap racun. Salah satu
latar belakang genetik yang saat ini masih belum diketahui
secara pasti bagaimana faktor genetik diturunkan melalui
kromosom orangtua. Latar belakang genetik yang perlu dikaji
meliputi lesi pada daerah prefrontal, hipotalamus dan limbik,
peningkatan neurotransmitter dopamin, ketidakseimbangan
dengan kadar serotonin serta riwayat kembar identik baik
monozigot maupun dizigot. Pada status nutrisi perlu dikaji
adanya riwayat gangguan nutrisi ditandai dengan penurunan
berat badan, rambut rontok, anoreksia dan bulimia nervosa.
Aspek status kesehatan secara umum difokuskan pada adanya
keluhan fisik, seperti nyeri perut, anoreksia, sakit punggung,
nyeri dada, konstipasi, impotensi, kelemahan, penurunan
aktivitas, masa post-partum serta kurang gizi, kurang tidur dan
gangguan irama sirkadian. Pengkajian sensitivitas biologi
diarahkan pada riwayat penggunaan obat, riwayat infeksi dan
trauma serta radiasi dan pengobatan lainnya. Aspek paparan
terhadap racun difokuskan pada adanya riwayat keracunan CO.
Beberapa korban juga perlu dikaji untuk melihat adanya
kemampuan individu dalam mengontrol keamanan diri. France

Asuhan Keperawatan Kehilangan dan Berduka 156

181
(2002) menjelaskan bahwa menjadi korban akan meningkatkan
resiko injuri yang meliputi infeksi, trauma dan injuri kepala.

b) Psikologis
Pengkajian psikologis difokuskan pada faktor emosi dan
kekuatan koping (Boyd, 2008). Predisposisi psikologis yang
perlu dikaji meliputi intelegensi, ketrampilan verbal, moral,
kepribadian, pengalaman masa lalu, konsep diri, motivasi,
pertahanan psikologi dan kontrol diri. Faktor intelegensi
meliputi riwayat kerusakan struktur di lobus frontal dimana
lobus tersebut berpengaruh kepada proses kognitif dan
gangguan suplay oksigen dan glukosa. Keterampilan verbal
menitikberatkan pada adanya gangguan keterampilan verbal
akibat faktor komunikasi dalam keluarga, seperti suka
berargumentasi dan provokatif. Aspek moral meliputi riwayat
tinggal dilingkungan yang dapat mempengaruhi moral
individu, seperti lingkungan keluarga yang broken home,
konflik dan lapas. Faktor kepribadian yang perlu dilihat mudah
kecewa, mudah putus asa, kecemasan tinggi dan menutup diri.
Pengalaman masa lalu meliputi pengalaman kehilangan objek,
orang yang dicintai, perpisahan, anak yang diasuh oleh orang
tua yang suka cemas, terlalu melindingi, dingin, dan tidak
berperasaan, penolakan atau tindak kekerasan dalam rentang
hidup klien dan pengalaman mengalami penganiayaan seksual.
Pengkajian konsep diri lebih difokuskan pada terjadinya ideal
diri tidak realistis, harga diri rendah, identitas diri tidak jelas,
krisis peran dan gambaran diri negatif. Faktor motivasi perlu
dikaji untuk melihat riwayat kegagalan dan kurangnya

Asuhan Keperawatan Kehilangan dan Berduka 157

182
penghargaan di masa lalu. Pengkajian pertahanan psikologi
untuk mendapatkan data terkait dnegan ambang toleransi
terhadap stress rendah dan riwayat gangguan perkembangan.
Sedangkan pengkajian kontrol diri difokuskan pada
kemampuan mengatasi perasaan berduka yang berlarut-larut
dalam waktu yang lama.

c) Sosial Budaya
Pengkajian sosial budaya pada klien dengan berduka antisipasi
lebih diarahkan pada empat komponen utama. Empat
komponen tersebut adalah sifat hubungan dengan orang atau
objek yang hilang, tali kekeluargaan, kekuatan hubungan
dengan orang atau objek yang hilang dan system dukungan
sosial. Sifat hubungan dikaji untuk mengetahui seberapa erat
hubungan yang terjadi antara indivisu dengan orang atau objek
yang hilang. Pengkajian ini dilakukan untuk melihat potensi
seberapa besar makna kehilangan yan akan diakibatkan akibat
peristiwa kehilangan. Tali kekeluargaandan kekuatan
hubungan dikaji untuk mengetahui hubungan kekerabatan dan
kedekatan yang terjadi antara idividu dengan orang atau objek
yang hilang. Sistem dukungan sosial dikaji untuk mendapatkan
data siapa saja orang yang menjadi sumber dukungan bagi
klien dan bentuk dukungan yang diberikan oleh system
dukungan sosial.

(2) Faktor Presipitasi


Faktor presipitasi dalam hal ini terkait dengan suatu stimulus yang
dipersepsikan oleh individu sebagai suatu kesempatan, tantangan,

Asuhan Keperawatan Kehilangan dan Berduka 158

183
ancaman atau tuntutan. Faktor presipitasi memerlukan energi yang
besar dalam menghadapi stres atau tekanan hidup. Faktor
presipitasi ini dapat bersifat biologis, psikologis maupun sosial
kultural. Waktu, berapa lama terpapar dan frekuensi merupakan
dimensi yang juga mempengaruhi terjadinya stres (Stuart &
Laraia, 2005). Adapun faktor presipitasi yang terjadi pada masalah
berduka antisipasi adalah sebagai berikut:
a) Sifat Stresor
Sifat stresor pada pengkajian faktor presipitasi dilihat dari tiga
aspek utama yaitu biologis, psikologis dan sosial budaya. Pada
faktor biologis faktor pencetus dilakukan untuk
mengidentifikasi berbagai kondisi biologis atau fisik seperti
adanya penyakit kronis atau terminal yang berpotensi
mengakibatkan kehilangan sebagaian anggota tubuh atau
kematian. Faktor pencetus psikologis dilakukan untuk
mengidentifikasi adanya potensi hilangnya harga diri yang
dialami oleh klien dan keluarga akibat adanya peristiwa
kehilangan. Pengkajian faktor pencetus sosial dan budaya lebih
menekankan pada adanya gangguan hubungan sosial, adanya
peristiwa sosial yang tidak diharapakan seperti kehilangan
pekerjaan dan ketidakpuasan dalam hubungan interpersonal.
b) Asal stresor
Pembahasan asal stresor dapat dikerucutkan ke dalam dua
aspek utama yaitu stresor internal dan eksternal. Asal stresor
internal lebih dihubungkan dengan kondisi individu dengan
latar belakang konsep diri yang rapuh dan kemampuan koping
yang terbatas. Asal stresor eksternal dapat dikaitkan dengan

Asuhan Keperawatan Kehilangan dan Berduka 159

184
berbagai kondisi atau peristiwa eksternal yang mengakibatkan
adanya masalah berduka antisipasi.
c) Waktu
Tiga komponen utama yang perlu diidentifikasi pada dimensi
waktu meliputi kapan, berapa lama dan frekuensi terjadinya
masalah. Pada masalah berduka antisipasi waktu terjadinya
sebelum terjadinya peristiwa kehilangan, namun demikian
potensi kehilangan sudah dapat diprediksikan. Frekuensi stress
yang terjadi secara berulang-ulang juga berpotensi
menyebabkan munculnya respon klien terhadap masalah
berduka antisipasi.
d) Jumlah Stresor
Jumlah stresor dihitung berdasarkan pada jumlah stress yang
dialami oleh klien dan keluarga dengan masalah berduka
antisipasi. Jumlah stresor merupakan akumulasi dari seluruh
stresor yang dialami oleh klien dan keluarga baik stresor
biolgis, psikologis dan sosial budaya yang dialami oleh klien
dan keluarga. Jumlah stresor dapat berkembang dari satu
stresor ke stresor yang lain. Sebagai contoh stresor penyakit
terminal yang dialami oleh klien akan menyebabkan stresor
sosial berupa ancaman hilangnya hubungan dengan orang lain.
Bersamaan dengan stresor sosial, maka akan muncul stresor
psikologis berupa perasaan bersalah yang bisa berpotensi
menimbulkan harga diri rendah. Setiap stresor tersebut akan
berpotensi menyebabkan stresor pada aspek yang lain sehingga
akan menambah stresor yang dialami oleh klien dan keluarga
dengan berduka antisipasi.

Asuhan Keperawatan Kehilangan dan Berduka 160

185
e) Penilaian Terhadap Stresor
Pengkajian penilaian stresor dilakukan untuk mendapatkan data
terkait gejala yang muncul pada masalah yang dialami oleh klien.
Penilaian stresor mengacu pada lima aspek yaitu kognitif, afektif,
fisiologis, perilaku dan sosial. Penilaian kognitif difokuskan pada
penilaian terhadap potensi kehilangan yang mengakibatkan
ancaman bagi individu. Secara afektif pengkajian penilaian stresor
diarahkan pada kondisi emosi sebagai akibat peristiwa kehilangan.
Perasaan yang mungkin muncul diantaranya rasa marah, rasa
bersalah, ansietas, kesedihan dan putus asa. Respon emosi ini
dapat dikaitkan berdasarkan pada tiap tahapan kehilangan yang
dialami oleh klien. Penialain stresor fisiologis berfungsi untuk
mengidentifikasi akibat fisiologis yang terjadi terhadap stresor
berduka antisipasi. Beberapa fisiologis yang biasanya muncul
diantaranya masalah tidur, perubahan selera makan, psikosomatik,
penyakit fisik dan penurunan libido. Pada komponen perilaku
beberapa penilaian stresor yang biasanya muncul diantaranya
menangis, kehilangan kontrol dan dan beberapa perilaku tidak
wajar seperti marah atau depresi. Secara sosial penilaian stresor
yang biasanya berhubungan dengan masalah berduka antisipasi
diantaranya menarik diri dari lingkungan atau ketidakpedualian
terhadap orang lain. Seluruh penilaian stresor ini dikumpulkan dan
dianalisa untuk menetapkan masalah yang terjadi pada klien baik
dari aspek fisiologis maupun mental.

f) Sumber Koping
Sumber koping pada klien dengan berduka antisipasi digunakan
sebagai dasar penetapan intervensi yang dibutuhkan oleh klien/

Asuhan Keperawatan Kehilangan dan Berduka 161

186
keluarga. Sumber koping dilihat berdasarkan pada seluruh sistem
klien baik sebagai individu maupun sebagai sistem dalam sosial.
Sumber koping individu diarahkan pada kemampuan personal dan
keyakinan yang positif yang meliputi kemampuan mengenali
masalah terkait kehilangan, mengenali potensi diri untuk
menyelesaikan fase berduka yang dialami, menyusun rencana
tindakan untuk mengatasi perasaan kehilangan dan melakukan
tindakan yang berguna untuk menyelesaikan fase kehilangan yang
dialami. Sumber koping sosial diarahkan pada tersedianya
dukungan sosial dan asset material. Ketersediaan dukungan sosial
dilihat dari pola interaksi dan bentuk dukungan yang diberikan
oleh keluarga, kelompok dan masyarakat dalam menyelesaikan
fase berduka yang dialami oleh klien. Aset material diidentifikasi
melalui ketersediaan sarana penunjang seperti ketersediaan
fasilitas konseling yang mudah diakses oleh klien untuk membantu
klien berbagi terkait kehilangan yang terjadi. Beberapa fasilitas
yang mungkin ada diantaranya hotline service dan pelayanan
konsultasi melalui telpon maupun email.

4) Diagnosa Keperawatan
Secara umum penegakan diagnosa keperawatan didasarkan pada data-
data terkait dengan penilaian terhadap stresor. Pada pembahasan
masalah berduka secara umum akan menghasilkan berbagai pendekatan
diagnosa yang dipandang dari penilaian stresor pada aspek biologis,
psikologis serta perilaku dan sosial. Berdasarkan aspek biologis
beberapa diagnosa keperawatan yang mungkin muncul diantaranya
adalah gangguan pola tidur, gangguan nutrisi dan intoleransi aktivitas.
Pada aspek psikologis beberapa diagnosa yang mungkin muncul

Asuhan Keperawatan Kehilangan dan Berduka 162

187
diantaranya berduka antisipasi, berduka disfungsional, sindrom pasca
trauma, koping individu tidak efektif, resiko kekerasan terhadap diri
sendiri maupun orang lain, kerusakan komunikasi, ansietas dan
ketidakberdayaan. Pada aspek perilaku dan sosial diagnose yang dapat
ditegakkan diantaranya gangguan interaksi sosial dan gangguan proses
keluarga.

Pada bab ini, pembahasan diagnosa keperawatan lebih ditekankan pada


diagnosa berduka antisipasi. Alasan utamanya adalah karena buku ini
pembahasan lebih ditekankan pada diagnosa keperawatan jiwa yang
berada pada rentang masalah psikososial sekaligus banyak ditemukan
pada tatanan pelayanan baik di rumah sakit umum maupun komunitas.

5) Terapi Keperawatan
Terapi keperawatan yang diberikan pada klien dnegan berduka
antisipasi dibedakan ke dalam dua tingkatan yaitu terapi generalis dan
terapi spesialis. Terapi genaralis digunakan sebagai pedoman bagi
perawat dengan level pendidikan generalis. Sedangkan terapi spesialis
digunakan sebagai panduan bagi seorang spesialis untuk
mengambangkan terapi secara lebih spesifik.

Dochterman (2004) menyarankan 15 intervensi utama yang


direkomendasikan digunakan dalam penyelesaian masalah berduka
antisipasi. Berdasarkan pada proses analisa intervensi memfasilitasi
kerja berduka merupakan dasar utama yang harus dilakukan perawat
untuk memenuhi kebutuhan klien dengan berduka antisipasi. Intervensi
memfasilitasi kerja berduka dapat dilakukan dalam bentuk 24 aktivitas.
Untuk memudahkan penatalaksanaan dan penerapan aktivias tersebut,

Asuhan Keperawatan Kehilangan dan Berduka 163

188
maka aktivitas tersebut selanjutnya dianalisa berdasarkan pada sumber
koping yang meliputi kemampuan personal, keyakinan positif, sumber
dukungan sosial dan asset material.

(1) Terapi Keperawatan Generalis Untuk Meningkatkan Kemampuan


Personal dan Keyakinan yang Positif
Memfasilitasi kerja berduka adalah membantu pemecahan masalah
pada kehilangan sesuatu yang penting (Dochterman, 2004).
Intervensi yang disusun pada berdasarkan sumber koping
kemampuan personal dan keyakinan positif ini disusun berdasarkan
pada tiga komponen yaitu kognitif, afektif dan psikomotor.

Aktivitas yang berkaitan dengan komponen kognitif diberikan untuk


meningkatkan pemahaman dan pengetahuan klien terkait dengan
masalah berduka yang dialami. Beberapa kegiatan yang dilakukan
untuk memfasilitasi komponen kognitif diantaranya
mengidentifikasi kehilangan yang dialami, mengidentifikasi
hubungan dengan objek yang hilang, mengkaji reaksi awal terhadap
kehilangan dan mengkaji strategi koping yang digunakan oleh klien
saat kehilangan terjadi.

Pada aspek afektif, aktivitas keperawatan yang dilakukan


bermanfaat untuk menggali kemampuan emosioal klien saat
menghadapi kehilangan. Beberapa aktivitas yang dapat dilakukan
adalah mendorong klien mendiskusikan tentang perasaannya saat
kehilangan terjadi, mendiskusikan tentang pengalaman kehilangan
yang dialami, memfasilitasi klien untuk menyempaikan pengalaman
kehilangan yang dialami baik yang berkaitan dengan masa lalu

Asuhan Keperawatan Kehilangan dan Berduka 164

189
maupun saat ini dan mengidentifikasi adanya perasaan takut yang
luar biasa. Perawat hendaknya menggunakan teknik komunikasi
mendengarkan aktif dan empati. Aktivitas afektif tersebut dapat juga
dilakukan pada klien dengan populasi usia anak. Namun perlu
diingat bahwa pada populasi anak, perawat perlu menggunakan
pendekatan yang lebih khusus yaitu dengan menggunakan bahasa
yang sederhana dan dengan pendekatan yang memberi kenyamanan
pada anak seperti melalui menulis, menggambar atau bermain.

Aktivas ketiga dalam peningkatan kemampuan personal dan


keyakinan positif lebih diarahkan pada aspek kognitif. Aktivitas
yang dapat dilakukan adalah membantu dan mengajarkan klien
untuk memodifikasi gaya hidup dalam memenuhi kebutuhan dan
melakukan pendekatan budaya, agama dan sosial dalam menghadapi
kehilangan.

(2) Terapi Keperawatan Generalis Untuk Menyediakan Dukungan


Sosial
Dukungan sosial merupakan intervensi yang penting diberikan pada
klien dengan kehilangan dan berduka. Hilangnya orangnya atau
objek yang berharga tentunya akan memberikan dampak yang besar
bagi klien dalam hubungan selanjutnya. Beberapa aktivitas yang
dapat dilakukan untuk menyediakan dukungan sosial diantaranya
adalah mendukung setiap proses kehilangan yang dialami oleh klien,
melibatkan orang terdekat dalam diskusi dan pengambilan
keputusan, mengidentifikasi sumberdukungan dikomunitas dan
mendukung upaya yang dilakukan oleh klien dalam menyelesaikan
konflik yang terjadi.

Asuhan Keperawatan Kehilangan dan Berduka 165

190
(3) Terapi Keperawatan Generalis Untuk Memfasilitasi Aset Material
Memfasilitasi asset material merupakan aktivitas yang tidak dapat
dilepaskan oleh perawat dalam memenuhi kebutuhan berbagai
sarana dan prasaran penunjang yang dapat diberikan pada klien
dengan kehilangan dan berduka. Dochterman (2004) menyebutkan
dalam intervensi lain yang disarankan dintaranya adalah dalam
bentuk ketersediaan berbagai fasilitas konseling yang mudah diakses
oleh klien, adanya pelayananan dying care dan managemen
komunitas yang baik. Ketiganya merupakan sarana pendukung yang
perlu disediakan bagi klien dengan berduka antisipasi.

Dari ketiga tindakan berdasarkan sumber koping tersebut maka


dapat disusun rencana keperawatan pada klien dengan berduka
antisipasi khususnya yang diberikan dalam tahap generalis. Adapun
tujuan utama tindakan generalis tersebut adalah membantu klien
menyelesaikan setiap tahapan berduka yang dialami. Adapun tujuan
khusus pada terapi generalis ini adalah klien mampu meningkatkan
pengetahuan dan kesadaran diri klien tentang pengalaman berduka
yang dialami, memahami respon terhadap terhadap kehilangan dan
melakukan berbagai teknik dalam menyelesaikan tahapan berduka.

6) Implementasi Keperawatan
Berikut ini kegiatan standar yang dapat dilakukan pada klien dengan
berduka antisipasi yang diberikan oleh perawat generalis dimana setiap
satu kali interaksi telah mencakup tiga aspek kemampuan yaitu kognitif,
afektif dan psikomotor.
Tabel Strategi Implementasi Tindakan Generalis Pada Klien dengan
Berduka Antisipasi

Asuhan Keperawatan Kehilangan dan Berduka 166

191
Interaksi Tindakan
1 a. Perluas kesadaran diri melalui identifikasi pengalaman
berduka (mengidentifikasi kehilangan yang dialami,
mengidentifikasi hubungan dengan objek yang hilang,
mengkaji reaksi awal terhadap kehilangan dan mengkaji
strategi koping yang digunakan oleh klien saat
kehilangan terjadi)
b. Ekplorasi perasaan diri terkait kehilangan dan berduka
yang dialami yang dialami
c. Dorong penetapan rencana yang realistic
d. Dorong klien untuk melakukan pendekatan budaya
untuk menyelesaikan fase berduka
e. Buat jadwal kegiatan bersama klien

2 a. Evaluasi kemampuan pertemuan pertama


b. Dorong klien untuk melakukan pendekatan agama untuk
menyelesaikan fase berduka
c. Buat jadwal kegiatan bersama klien
3 a. Evaluasi kemampuan pertemuan pertama dan kedua
b. Dorong klien untuk melakukan pendekatan sosial untuk
menyelesaikan fase berduka
c. Buat jadwal kegiatan bersama klien

7) Evaluasi Hasil
Evaluasi proses keperawatan pada klien dengan berduka antisipasi
bukan merupakan akhir dari proses keperawatan. Evaluasi dilakukan
untuk mengidentifikasi pencapaian berdasarkan pada tujuan yang telah
ditetapkan. Hal-hal yang perlu dievaluasi pada proses keperawatan pada
klien dengan berduka antisipasi adalah tingkat keefektifan terapi yang
telah dilakukan oleh perawat terkait fase-fase kehilangan yang dialami,
efek terapi yang telah dilakukan terhadap kemandirian klien dalam

Asuhan Keperawatan Kehilangan dan Berduka 167

192
meningkatkan motivasi klien dan kemampuan klien dalam melakukan
perubahan dalam mengatasi perasaan berduka yang dialaminya.

Asuhan Keperawatan Kehilangan dan Berduka 168

193
194
BAB 9
BAB 9
ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANSIETAS
ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANSIETAS

Tujuan Intruksional
Tujuan Intruksional
Setelah membaca bagian ini, mahasiswa mampu:
Setelah membaca bagian ini, mahasiswa mampu:
1) Memahami konsep cemas dalam perspektif masyarakat korban
1) Memahami konsep cemas dalam perspektif masyarakat korban
benacana
benacana
2) Menjelaskan prinsip pengkajian keperawatan pada pasien cemas
2) Menjelaskan prinsip pengkajian keperawatan pada pasien cemas
3) Menjelaskan prinsip perencanaan keperawatan pada pasien cemas
3) Menjelaskan prinsip perencanaan keperawatan pada pasien cemas
4) Menjelaskan prinsip pelaksanaan keperawatan pada pasien cemas
4) Menjelaskan prinsip pelaksanaan keperawatan pada pasien cemas
5) Menjelaskan prinsip evaluasi keperawatan pada pasien cemas
5) Menjelaskan prinsip evaluasi keperawatan pada pasien cemas

Ansietas merupakan masalah gangguan mental emosional yang terjadi pada


Ansietas merupakan masalah gangguan mental emosional yang terjadi pada
seluruh manusia. Masalah mental emosional ini dapat terjadi diakibatkan
seluruh manusia. Masalah mental emosional ini dapat terjadi diakibatkan
stresor biologis, psikologis dan sosial budaya. Dalam melakukan asuhan
stresor biologis, psikologis dan sosial budaya. Dalam melakukan asuhan
keperawatan pada psien dengan ansietas ini diperlukan kemampuan untuk
keperawatan pada psien dengan ansietas ini diperlukan kemampuan untuk
perawat baik ketika melakukan pengkajian sampai dengan evaluasi.
perawat baik ketika melakukan pengkajian sampai dengan evaluasi.
Ketrampilan yang sangat penting adalah ketrampilan untuk melakukan
Ketrampilan yang sangat penting adalah ketrampilan untuk melakukan
komunikasi, observasi dan pemeriksaan pada klien yang mengalami ansietas.
komunikasi, observasi dan pemeriksaan pada klien yang mengalami ansietas.
1. Konsep Dasar Ansietas
1. Konsep Dasar Ansietas
Ansietas merupakan kata yang berasal dari bahasa latin anxietus yang
Ansietas merupakan kata yang berasal dari bahasa latin anxietus yang
berarti menjengkelkan atau kesukaran (Antai-Otong, 2003). Ansietas
berarti menjengkelkan atau kesukaran (Antai-Otong, 2003). Ansietas
menggambarkan rasa gelisah dan mengintegrasikan aspek sifat manusia
menggambarkan rasa gelisah dan mengintegrasikan aspek sifat manusia
dalam memainkan peran dalam adaptasi dan homeostasis. Untuk memahami
dalam memainkan peran dalam adaptasi dan homeostasis. Untuk memahami
konsep dasar ansietas secara detail maka akan dijelaskan pada sub topik
konsep dasar ansietas secara detail maka akan dijelaskan pada sub topik

Asuhan Keperawatan pada Ansietas 163


Asuhan Keperawatan pada Ansietas 163

195
berikut ini tentang definisi ansietas, tingkatan ansietas serta ansietas normal
dan tidak normal.
1) Definisi Ansietas
Morh (2006) menggambarkan ansietas sebagai perasaan distres
psikologis. Perasaan cemas, ketakutan, kegelisahan dan kawatir
merupakan respon normal terhadap kejadian yang mengancam. Ansietas
merupakan bagian respon terhadap stres dan dalam rentang sehat, dan
tanda bagi seseorang untuk melindungi diri dari situasi yang berbahaya
(Carson, 2000). Ansietas merupakan respon normal terhadap situasi
yang mengancam dan dapat menjadi faktor motivasi yang positif
sepanjang daur kehidupan manusia (Varcarolis, 2000). Dapat
disimpulkan bahwa ansietas merupakan alat yang berfungsi dalam
memperingatkan individu terhadap ancaman, konflik dan bahaya yang
terjadi di masa yang akan datang. Peringatan tersebut bersifat positif
karena menjadi motivator bagi individu dalam menghadapi situasi yang
mengancam tersebut.

Berbeda dengan pendapat diatas, Videbeck (2001) menjelaskan ansietas


sebagai perasaan takut yang tidak jelas dan tidak didukung oleh situasi.
Ketika ansietas terjadi, individu merasa tidak nyaman tanpa mengetahui
penyebab terancamnya emosi. Ansietas akan menjadi masalah jika
mengganggu perilaku adaptif, menyebabkan gejala fisik dan menjadi
berat bagi individu (Varcorolis, 2000). Carson (2000) menambahkan
bahwa ansietas dalam waktu yang lama dan menyebabkan gejala fisik
atau psikologis akan menimbulkan masalah bagi individu yang
mengalaminya. Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa ansietas
akan menjadi negatif ketika menyebabkan lapang persepsi menyempit,
kebutuhan energi yang meningkat dalam mencari penyelesaian masalah

Asuhan Keperawatan pada Ansietas 164

196
dan terjadinya disorganisasi sehingga menimbulkan kerusakan fungsi
dan berubahnya mekanisme koping individu dari adaptif menjadi
maladaptif.

Berdasarkan berbagai pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa


ansietas adalah kondisi stress psikologis yang dialami oleh klien akibat
terganggunya fungsi keluarga yang mengancam integritas fisik dan
sistem diri. Ansietas memiliki dua aspek yaitu aspek sehat dan aspek
membahayakan. Aspek sehat teridentifikasi ketika ansietas
meningkatkan motivasi seseorang untuk belajar dalam rangka mengatasi
rasa kawatir yang dialami. Ansietas menjadi membahayakan saat
mengancam integrasi diri dan mengganggu fungsi kognitif, afektif dan
psikomotor seseorang. Dua aspek dalam ansietas ini tergantung pada
tingkat ansietas, lama ansietas dan koping yang dimiliki individu dalam
menghadapi ansietas.

2) Tingkatan Ansietas
Ansietas terbagi menjadi empat skala yaitu ringan, sedang, berat dan
panik. Fortinash (2003) menjelaskan ansietas ringan dari tiga aspek
yaitu fisiologis, kognitif atau persepsi dan emosi atau perilaku. Secara
fisiologis pada ansietas ringan masih menunjukkan tanda-tanda vital
dalam batas normal, adanya ketegangan otot ringan dan pupil berada
pada kondisi normal atau kontriksi. Dari aspek kognitif atau persepsi
ditunjukkan dengan lapang persepsi yang luas, tingkat kesadaran yang
adekuat terhadap stimulus internal dan lingkungan, dan pola berpikir
yang terkontrol. Pada aspek emosi atau perilaku digambarkan dengan
perasaan yang relatif nyaman dan aman, penampilan dan suara yang
rileks, dan kemampuan melakukan perilaku sehari-hari. Isaacs (2001)

Asuhan Keperawatan pada Ansietas 165

197
menjelaskan bahwa pada skala ansietas ringan efek yang ditimbulkan
adalah meningkatnya kewaspadaan dan kemampuan dalam belajar.

Pada ansietas sedang, tanda fisiologis yang ditampilkan adalah tanda-


tanda vital dalam kondisi normal atau mulai terjadi peningkatan, terjadi
ketegangan dan muncul perasaan tidak nyaman. Pada aspek kognitif
atau persepsi dijelaskan dengan berjaga-jaga, persepsi menyempit dan
terfokus, dan merupakan periode optimal untuk melakukan penyelesaian
masalah serta penuh perhatian. Tanda emosi atau perilaku ditunjukkan
dengan perasaan siap dan tertantang, menggunakan aktivitas yang
kompetitif dan belajar ketrampilan baru, suara dan ekpresi wajah penuh
perhatian. Menurut Isaacs (2001) pada skala sedang ini efek yang
ditimbulkan adalah kemampuan berfokus pada masalah utama, tetap
perhatian dan mampu belajar.

Pada skala ansietas berat, tanda fisiologis yang ditampilkan meliputi


respon ”fight or flight”, terjadinya stimulus sistem sarat otonom yang
berlebihan (peningkatan tanda-tanda vital, peningkatan diaporesis,
peningkatan frekuensi BAK, diare, mulut kering, kehilangan nafsu
makan, dan dilatasi pupil), kaku otot, penurunan pendengaran, dan
penurunan sensasi nyeri. Secara kognitif atau persepsi ditemukan tanda-
tanda lapang persepsi sangat menyempit, sulit untuk menyelesaikan
masalah, perhatian tertentu dan biasanya terfokus pada satu masalah
utama, dan distorsi waktu. Pada aspek emosi atau perilaku digambarkan
dengan perasaan terancam, terkejut dengan stimulus baru, perasaan
overload, aktivitas menurun atau meningkat, menampilkan perasaan
depresi, menunjukkan penolakan, agitasi, dan mudah tersinggung.
Isaccs (2001) menjelaskan bahwa efek yang ditimbulkan pada skala

Asuhan Keperawatan pada Ansietas 166

198
ansietas berat adalah ketidakmampuan berfokus atau menyelesaikan
masalah serta terjadinya aktivasi sistem saraf simpatik.

Skala ansietas panik digambarkan dengan tanda fisiologis meliputi


peningkatan tanda fisiologis yang meluas, gangguan saraf simpatik,
pucat, penurunan tekanan darah, hipotensi, koordinasi otot yang buruk,
nyeri, dan sensasi pendengaran yang minimal. Pada aspek kognitif atau
persepsi ditunjukkan dengan persepsi yang sangat menyempit, tidak
mampu menerima stimulus, tidak mampu menyelesaikan masalah dan
berpikir logis, persepsi yang tidak logis terkait dengan diri, lingkungan
dan kejadian serta terjadi disosiasi. Secara emosi atau perilaku merasa
sangat perlu bantuan, kehilangan kontrol, mungkin marah, ketakutan,
menarik diri, menangis atau melarikan diri dari masalah, dan
menunjukkan perilaku yang ekstrim biasanya aktif atau sebaliknya.
Issacs (2001) menjelaskan efek yang ditimbulkan pada ansietas panik
ini adalah ketidakmampuan total untuk berfokus, disintegrasi
kemampuan koping, dan gejala fisiologis dari respon ”fight or flight”.

Fortinash (2001) memiliki kesamaan dalam mengidentifikasi empat


tingkatan ansietas dan menggambarkan pengaruhnya masing-masing
sama dengan Peplau (1963). Ansietas ringan dihubungkan dengan
ketegangan kehidupan sehari-hari. Selama tahapan ini seseorang
menjadi waspada dan lapang persepsi meningkat. Seseorang melihat,
mendengar, dan memahami dibandingkan sebelumnya. Pada tingkatan
ini ansietas dapat memotivasi belajar, menghasilkan pertumbuhan dan
kreativitas. Ansietas sedang, dimana berfokus hanya pada hal tertentu
saja, meliputi pembatasan lapang persepsi. Seseorang memilih area
tertentu tetapi dapat mengikuti jika diberikan perintah. Ansietas berat,

Asuhan Keperawatan pada Ansietas 167

199
diikuti oleh reduksi lapang persepsi. Seseorang berfokus pada kelompok
spesifik dan tidak memikirkan segala sesuatu lainnya. Segala perilaku
bertujuan untuk mengurangi ansietas dan diperlukan perintah yang
cukup besar untuk berfokus pada area lainnya. Panik dihubungkan
dengan kekaguman, ketakutan, teror dan perasaan seseorang yang tidak
mampu untuk melakukan sesuatu meskipun dengan perintah. Panik
meliputi disorganisasi kepribadian dan dapat mengancam kehidupan,
meningkatnya aktivitas motorik, menurunkan kemampuan berhubungan
dengan orang lain dan persepsi menyempit.

2. Proses Keperawatan Pada Ansietas


Proses keperawatan merupakan dasar sistematis yang digunakan oleh
perawat dalam menyelesaikan masalah kesehatan klien, keluarga dan
masyarakat. Demikian pula dalam penatalaksanaan ansietas. Berikut ini
akan diuraikan tahap demi tahap dari proses keperawatan pada klien dengan
ansietas. Pembahasan bukan hanya difokuskan pada klien sebagai individu
namun juga akan dibahas dari sudut pandang klien sebagai caregiver.
1) Pengkajian
Proses terjadinya cemas dijelaskan dengan psikodinamika keperawatan.
Psikodinamika masalah keperawatan dapat dijelaskan dengan
menggunakan pendekatan model Stuart dan Laraia (2005). Menurut
Stuart dan Laraia (2005) psikodinamika masalah keperawatan dimulai
dengan menganalisa faktor predisposisi, presipitasi, penilaian terhadap
stresor, sumber koping dan mekanisme koping yang digunakan oleh
seorang individu sehingga menghasilkan respon baik yang bersifat
konstruktif maupun destruktif dalam rentang adaptif sampai maladaptif
seperti yang tampak pada skema berikut ini:

Asuhan Keperawatan pada Ansietas 168

200
Faktor predisposisi

Biologi Psikologi Sosialkultural

Stresor presipitasi

Nature Origin Timing Number

Penilaian terhadap stresor

Kognitif Afektif Fisiologis Perilaku Sosial

Sumber koping

Kemampuan personal Dukungan sosial Aset material Keyakinan


positif

Mekanisme koping

Konstruktif Destruktif
Rentang respon koping
Respon adaptif Respon Maladaptif
DIAGNOSA KEPERAWATAN
Skema 5.1. Psikodinamika Masalah Keperawatan Jiwa
(Stuart & Laraia, 2005)

Asuhan Keperawatan pada Ansietas 169

201
a. Faktor predisposisi
(1) Faktor Predisposisi
Menurut Stuart dan Laraia (2005) faktor predisposisi adalah faktor
resiko yang menjadi sumber terjadinya stres yang mempengaruhi tipe
dan sumber dari individu untuk menghadapi stres baik yang biologis,
psikososial dan sosial kultural. Berbagai teori menjadi dasar pola
berpikir faktor predisposisi kesehatan jiwa.
(a) Biologis
Faktor biologis merupakan faktor yang berhubungan dengan
kondisi fisiologis dari individu yang mempengaruhi terjadinya
ansietas. Beberapa teori yang melatarbelakangi cara pandang
faktor predisposisi biologis adalah teori genetik dan teori biologi.
Teori genetik lebih menekankan pada campurtangan komponen
genetik terhadap berkembangnya perilaku ansietas. Sedangkan
teori biologi lebih melihat struktur fisiologis yang meliputi fungsi
saraf, hormon, anatomi dan kimia saraf.

Genetik dihasilkan dari fakta-fakta mendalam tentang komponen


genetik yang berkontribusi terhadap perkembangan gangguan
ansietas (Sadock & Sadock, 2003). Gen 5HTTP mempengaruhi
bagaimana otak memproduksi serotonin (National Institute of
Mental Health, 1996). Studi statistik mengindikasikan bahwa
faktor gen dapat menyebabkan perbedaan 3-4% derajad ansietas
yang di alami oleh seseorang (Shives, 2005). Temuan dari
penelitian tersebut juga digunakan untuk menjelaskan pola
kepribadian yang normal dan patologis.

Asuhan Keperawatan pada Ansietas 170

202
Pada ansietas keluarga, studi yang dilakukan terhadap keluarga
relatip menentukan prevalensi ansietas. Dua metode yang umum
digunakan adalah riwayat keluarga yang didapatkan dari
wawancara secara tidak langsung dari informan dan studi
keluarga yang dilakukan berdasarkan wawancara langsung
dengan anggota keluarga. Metode ini digunakan untuk
menjelaskan teori yang berkenaan dengan berbagai klasifikasi
ansietas (Nicolini, Cruz, Camarena, Paez & De la Fante, 1999).
Sadock dan Sadock (2003) dalam penelitiannya menjelaskan
bahwa sekitar 50% dari klien yang mengalami gangguan panik
dipengaruhi oleh hubungan keluarga. Lima belas sampai dua
puluh persen individu yang mengalami gangguan obsessive
compulsive berasal dari keluarga dengan anggota keluarga
memiliki masalah yang sama dan sekitar 40% seseorang yang
mengalami agoraphobia berhubungan dengan anggota keluarga
dengan agoraphobia. Hipotesa yang dapat kita simpulkan dari
berbagai penelitian tersebut adalah genetik memainkan peran
dalam berkontribusi terhadap manifestasi tanda-tanda ansietas
yang dialami oleh individu.

Pemahaman teori biologi dilakukan dengan mengevaluasi


hubungan antara ansietas dan faktor yang mempengaruhi yaitu
katekolamin, kadar neuroendokrin, neurotransmiter seperti
serotonin GABA dan kolesistokinin dan reaktivasi autonom
(gambar 5.1). Gambaran tentang fungsi saraf diperlukan dalam
melihat keterkaitan biologis dengan ansietas (Sadock & Sadock,
2003).

Asuhan Keperawatan pada Ansietas 171

203
tentang fungsi saraf diperlukan dalam melihat keterkaitan biologis
dengan ansietas (Sadock & Sadock, 2003).

Converted Enzim
Converted 2 Enzim 2
Product 1 Product 1

Product Product

Enzim 1 Enzim 1

triptopan triptopan

5-HT 5-HT

Gambar 5.1: Patofisiologi Dasar Ansietas


(Shives, 2005)
Asuhan Keperawatan pada Ansietas 170

Penelitian yang dilakukan terhadap tingkatan kotekolamin


(epineprin dan norepineprin) menunjukkan bahwa tingkatan
kotekolamin pada klien dengan ansietas sama dengan kontrol
normal. Penelitian neuroendokrin menunjukkan hasil yang kurang
meyakinkan.

Berbeda dengan dua penelitian di atas studi tentang


neurotransmiter justru menunjukkan adanya peran serotonin
dalam menyebabkan ansietas. Kadar serotonin yang berlebihan

Asuhan Keperawatan pada Ansietas 172

204
pada beberapa area penting dari otak yaitu raphe nucleus,
hipotalamus, thalamus, basal ganglia dan sistem limbik
berhubungan dengan tejadinya ansietas. Bustiron dan
benzodiazepine menghambat transmisi serotonin yang
menyebabkan munculnya berbagai gejala ansietas (Roerig, 1999).

Penelitian neuromaging lebih berfokus pada anatomi normal dan


kimia saraf, perilaku farmakologi dan teori perubahan kognitif
untuk memahami dasar biologis dari ansietas. Penelitian berfokus
pada identifikasi prediksi potensial respon terhadap treatment.
Studi menggunakan Positron Emission Tomography (PET)
menunjukkan peningkatan aktivitas metabolik dan aliran darah
pada lobus frontal, basal ganglia dan singulum pada klien dengan
diagnosa gangguan obsessive compulsive (Holman & Devous,
1992; Sadock & Sadock, 2003 dalam Shives, 2005).

Studi laboratorium menunjukkan bahwa pada serangan panik


dikarakteristikkan dengan kenaikan tiba-tiba pada volume tidal
dibandingkan frekuensi respirasi. Hasil penelitian ini
menunjukkan gambaran tripling volume tidal respirasi pada klien
dengan serangan panik.

Kawachi, Sparrow, Vokonas dan Weiss (1994, dalam Shives,


2005) melakukan penelitian tentang hubungan antara ansietas
dengan penyakit jantung. Spesifikasi penelitian yang dilakukan
dititikberatkan pada hubungan gejala ansietas dan resiko terjadi
penyakit jantung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat

Asuhan Keperawatan pada Ansietas 173

205
hubungan yang kuat antara gejala ansietas dan terjadinya penyakit
jantung.

Penelitian tentang keterkaitan faktor biologi terhadap ansietas


menegaskan bahwa kondisi patologis berperan terhadap
timbulnya ansietas. Abnormalitas fungsi biologi akan
menimbulkan respon perilaku asosial, mudah tersinggung dan
sikap bermusuhan yang menjadi onset gangguan psikologis
berupa ansietas.

Selain teori genetik dan biologi, teori kognitif juga digunakan


sebagai dasar berpikir faktor predisposisi biologis. Teori ini lebih
menekankan pada kegiatan belajar dari kejadian yang
membahayakan melalui perubahan aktivitas fisik yang
menimbulkan ansietas. Teori ini menegaskan bahwa ansietas
merupakan hasil dari stimulus yang dihasilkan dari aktivitas fisik.

Teori kognitif dikembangkan oleh Aaron Beck yang menjelaskan


bahwa ansietas adalah respon yang dipelajari terhadap kejadian
yang stresful atau berbahaya. Sebagai contoh seseorang yang
merasakan adanya sensasi somatik seperti palpitasi jantung dan
gelisah sebagai kejadian membahayakan yang benar-benar terjadi.
Individu selanjutnya menginterpretasikan sensasi tersebut sebagai
indikasi bahwa pengalaman tersebut segera membahayakan.
Misinterpretasi dibangun dari ketakutan dan emosi atau dari
stimulus seperti kefein atau olah raga (Roerig, 1999).
Berdasarkan teori genetik, biologi dan kognitif dapat disimpulkan
bahwa faktor predisposisi biologis ansietas pada caregiver adalah

Asuhan Keperawatan pada Ansietas 174

206
kondisi patologis fisik seperti penyakit kronis yang pernah
dialami dan faktor genetik.
(b) Psikologis
Teori psikoanalitik dan perilaku menjadi dasar pola pikir faktor
predisposisi psikologis terjadinya ansietas. Teori psikoanalisa
yang dikembangkan oleh Sigmund Freud menjelaskan bahwa
ansietas merupakan hasil dari ketidakmampuan menyelesaikan
masalah, konflik yang tidak disadari antara impuls agresif atau
kepuasan libido serta pengakuan terhadap ego dari kerusakan
eksternal yang berasal dari kepuasan. Sebagai contoh konflik
yang tidak disadari pada saat masa kanak-kanak, seperti takut
kehilangan cinta atau perhatian orang tua, menimbulkan perasaan
tidak nyaman atau ansietas pada masa kanak-kanak, remaja dan
dewasa awal (Roerig, 1999).

Teori psikoanalisa terbaru menjelaskan bahwa ansietas


merupakan interaksi antara temperament dan lingkungan.
Seseorang lahir ke dunia dengan pembawaan fisiologis sejak lahir
yang mempengaruhi rasa takut pada tahapan awal kehidupan.
Sebagai upaya seseorang menghadapi konflik, seseorang
mengembangkan gambaran lemah tentang kemampuan diri dan
penggunaan strategi yang kurang tepat seperti mencegah
mengatasi stress kehidupan. Kenyamanan seseorang menurun dan
mengembangkan kehilangan kontrol dengan meningkatkan emosi
yang negatif, puncak ansietas dan mengawali terjadinya serangan
panik (Medscape, 2000).

Asuhan Keperawatan pada Ansietas 175

207
Dari uraian diatas dapat kita analisa bahwa ansietas lebih
disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan penggunaan
mekanisme pertahanan. Penggunaan salah satu mekanisme
pertahanan yang berlebihan ini menyebabkan gangguan pada
fungsi kontrol seseorang sehingga berpotensi menimbulkan
ansietas.

Selain teori psikoanalisa, teori perilaku juga mendasari faktor


predisposisi psikologis. Teori perilaku memandang bahwa
ansietas merupakan hasil pengalaman yang dipelajari oleh
individu sepanjang daur kehidupannya. Setiap pengalaman yang
diperoleh individu akan mempengaruhi perilakunya baik yang
bersifat adaptif maupun maladaptif. Individu akan mempelajari
dan menyerap pengalaman yang dialami untuk diterapkan dalam
bentuk perilaku. Demikian halnya dengan ansietas dimana
perilaku ansietas merupakan hasil dari pengalaman individu
mempelajari perilaku cemas dari pengalaman hidup yang
dijalaninya.

Teori perilaku menekankan ansietas sebagai hasil frustasi segala


sesuatu yang mengganggu kemampuan seseorang untuk mencapai
tujuan yang diinginkan, Para ahli perilaku menganggap ansietas
merupakan sesuatu dorongan yang dipelajari berdasarkan
keinginan untuk menghindari rasa sakit. Pakar teori belajar
meyakini bahwa individu yang pada awal kehidupan dihadapkan
pada rasa takut yang berlebihan akan menunjukkan kemungkinan
ansietas berat pada kehidupan masa dewasanya. Sementara para
ahli teori konflik mengatakan bahwa ansietas sebagai benturan-

Asuhan Keperawatan pada Ansietas 176

208
benturan keinginan yang bertentangan. Mereka percaya bahwa
hubungan timbal balik antara konflik dan daya ansietas yang
kemudian menimbulkan konflik.

(c) Sosial Budaya


Faktor predisposisi sosial budaya dianalisa melalui beberapa teori
yaitu interpersonal dan sosial budaya. Teori interpersonal melihat
bahwa ansietas terjadi dari ketakutan akan penolakan
interpersonal. Hal ini juga dihubungkan dengan trauma pada masa
pertumbuhan, seperti kehilangan, perpisahan yang menyebabkan
seseorang menjadi tidak berdaya. Individu yang mempunyai harga
diri rendah biasanya sangat mudah untuk mengalami ansietas
yang berat.

Teori sosial budaya meyakini faktor sosial dan budaya sebagai


faktor penyebab ansietas. Pengalaman seseorang sulit beradaptasi
terhadap permintaan sosial budaya dikarenakan konsep diri yang
rendah dan mekanisme koping. Stresor sosial dan budaya menjadi
ancaman untuk seseorang dan dapat mempengaruhi
berkembangnya perilaku maladaptif dan menjadi onset terjadinya
ansietas.

Teori sosial budaya menegaskan bahwa hubungan interpersonal


merupakan salah satu penyebab terjadinya ansietas. Hubungan
interpersonal yang tidak adekuat pada saat bayi akan menjadi
penyebab disfungsi tugas perkembangan seseorang sesuai dengan
usia. Konsep diri yang negatif sejak kecil akan menimbulkan
kesulitan penyesuaian diri yang terjadi pada individu terhadap

Asuhan Keperawatan pada Ansietas 177

209
kelompok sosial budayanya. Kemampuan komunikasi yang
rendah akibat konsep diri yang negatif menyebabkan seseorang
sulit dalam menyelesaikan masalah sehingga berpotensi
menyebabkan ansietas.

(2) Faktor Presipitasi


Faktor presipitasi adalah stimulus internal maupun eksternal yang
mengancam individu. Komponen faktor presipitasi terdiri atas sifat,
asal, waktu dan jumlah stressor (Stuart & Laraia, 2005).
(a) Sifat Stresor
Sifat stressor dapat diidentifikasi dalam tiga komponen utama
yaitu biologi, psikologis dan sosial. Tiga komponen tersebut
merupakan hasil dari ancaman terhadap integritas fisik dan
ancaman terhadap sistem diri. Ancaman terhadap integritas fisik
terjadi karena ketidakmampuan fisiologis atau penurunan
kemampuan untuk melakukan kegiatan sehari-hari di masa
mendatang. Ancaman ini meliputi sumber internal dan sumber
eksternal. Sumber eksternal meliputi terpaparnya infeksi virus
atau bakteri, polusi lingkungan, bahaya keamanan, kehilangan
perumahan yang adekuat, makanan, pakaian atau trauma injuri.
Sedangkan sumber internal meliputi kegagalan mekanisme
fisiologis seperti jantung, sistem imun, atau regulasi suhu.
Perubahan biologis secara normal dapat terjadi pada kehamilan
dan kegagalan untuk berpartisipasi dalam melakukan pencegahan
merupakan bagian lain dari sumber internal. Nyeri sering
diindikasikan sebagai ancaman terhadap integritas fisik. Ansietas
ini akan memotivasi seseorang untuk mencari pelayanan

Asuhan Keperawatan pada Ansietas 178

210
kesehatan. Ancaman terhadap integritas fisik yang selanjutnya
dilihat sebagai faktor presipitasi biologis.

Faktor presipitasi psikologis dan sosial budaya berasal dari


adanya ancaman terhadap sistem diri. Ancaman terhadap sistem
diri diindikasikan mengancam identitas seseorang, harga diri, dan
fungsi integritas sosial. Ancaman terhadap sistem diri juga terdiri
atas dua sumber yaitu eksternal dan internal. Sumber eksternal
terdiri atas kehilangan orang yang sangat dicintai karena
kematian, perceraian, perubahan status pekerjaan, dilema etik, dan
tekanan sosial atau budaya. Sumber internal meliputi kesulitan
hubungan interpersonal di rumah atau di tempat kerja, dan
menjalankan peran baru seperti sebagai orang tua, pelajar atau
pekerja.

Ancaman terhadap integritas fisik dapat juga menjadi ancaman


terhadap sistem diri karena mental dan fisik saling berhubungan.
Pembedaan kategori tersebut tergantung pada respon seseorang
terhadap adanya stresor. Tidak ada kejadian stressful terjadi pada
orang yang sama terjadi pada waktu yang berbeda, karena seluruh
kejadian bersifat individual bagi setiap orang.

Khusus ansietas pada caregiver faktor presipitasi utama yang


dialami oleh caregiver dengan anggota keluarga yang dirawat di
rumah sakit adalah stressor sosial budaya berupa anggota keluarga
yang sakit. Stresor sosial budaya ini akan menimbulkan respon
yang dilakukan oleh caregiver. Caregiver akan dihadapkan pada
situasi harus merawat anak atau anggota keluarga yang sakit

Asuhan Keperawatan pada Ansietas 179

211
sehingga
sehinggadapat menimbulkan
dapat menimbulkanketakutan caregiver
ketakutan terhadapterhadap
caregiver
kondisi kesehatan
kondisi anggota
kesehatan keluarga
anggota dan biaya
keluarga dan perawatan. Rasa Rasa
biaya perawatan.
takut dandan
takut ansietas terhadap
ansietas anggota
terhadap keluarga
anggota akan menyebabkan
keluarga akan menyebabkan
stresor
stresorpsikologis
psikologisterhadap caregiver.
terhadap ResponRespon
caregiver. lain yang
lain yang
ditampilkan oleholeh
ditampilkan caregiver adalahadalah
caregiver kewajiban untuk menemani
kewajiban untuk menemani
dandan
melakukan perawatan
melakukan 24 jam
perawatan 24terhadapanggota keluargakeluarga
jam terhadapanggota yang yang
sakit di rumah
sakit sakit.sakit.
di rumah Kondisi ini akan
Kondisi ini menyebabkan kelelahankelelahan
akan menyebabkan
fisik yang
fisik berpotensi
yang menjadi
berpotensi stressor
menjadi biologisbiologis
stressor bagi caregiver.
bagi caregiver.
Siklus ini ini
Siklus akanakan
terusterus
berulang dimana
berulang stresorstresor
dimana yang muncul akan
yang muncul akan
menimbulkan
menimbulkan respon baik baik
respon secarasecara
biologis, psikologis
biologis, dan sosial
psikologis dan sosial
dandan
setiap respon
setiap yangyang
respon ditampilkan berpotensi
ditampilkan menjadimenjadi
berpotensi stressor stressor
bagi caregiver
bagi (Gambar
caregiver 5.2). 5.2).
(Gambar

Anggota
Anggota
Keluarga
Keluarga
SakitSakit

Psiko Psiko
Bio Bio
ResponRespon
Sosio Sosio
Bio Bio
ResponRespon
Psiko Psiko
Sosio Sosio
Sosio Sosio
ResponRespon
Psiko Psiko
Bio Bio

Gambar 5.2. 5.2.


Gambar Faktor Presipitasi
Faktor Ansietas
Presipitasi Pada Keluarga
Ansietas dengan dengan
Pada Keluarga
Anggota Keluarga Dirawat Di Rumah Sakit
Anggota Keluarga Dirawat Di Rumah Sakit
Asuhan Keperawatan
Asuhan pada Ansietas
Keperawatan 180
pada Ansietas 180

212
(b) Asal Stressor
Berdasarkan sifat stressor yang telah diuraikan diatas maka asal
stressor ansietas dapat didentifikasi melalui dua sumber yaitu
internal dan eksternal. Sumber internal digambarkan sebagai
seluruh stresor ansietas yang berasal dari dalam individu baik
yang bersifaf biologis maupun psikologis. Sumber eksternal
merupakan sumber ansietas yang berasal dari lingkungan
eksternal individu termasuk didalamnya hubungan interpersonal
dan pengaruh budaya.

Pada ansietas yang dialami caregiver asal stresor lebih pada


stresor eksternal yaitu adanya anak atau anggota keluarga yang
sakit. Adanya anggota keluarga yang sakit ini dapat
mempengaruhi kondisi psikologis dan biologi yang berperan
sebagai stresor internal dan menambah stress bagi caregiver.
Sedangkan pada ansietas yang dialami oleh klien sebagai individu
biasanya lebih banyak berasal dari internal yang dikaitkan dengan
kemampuan diri.

(c) Waktu dan Lamanya Stresor


Stuart dan Laraia (2005) menjelaskan bahwa waktu dilihat
sebagai dimensi kapan stresor mulai terjadi dan berapa lama
terpapar stressor sehingga menyebabkan munculnya gejala
ansietas. Frekuensi paparan stressor ansietas juga dapat
diindikasikan untuk melihat terjadinya ansietas pada individu
ataupun pada caregiver.

Asuhan Keperawatan pada Ansietas 181

213
Pada ansietas caregiver, waktu terjadinya stresor berupa anak/
anggota keluarga yang sakit datang tiba-tiba dan tidak terduga.
Lamanya stresor ansietas caregiver tergantung pada kondisi
kesehatan anggota keluarga. Semakin berat tingkat penyakit yang
dialami anak/ anggota keluarga akan memperpanjang lamanya
stresor yang dialami oleh keluarga sebagai caregiver. Demikian
sebaliknya pada kondisi penyakit anak/ anggota keluarga yang
ringan, lamanya stresor yang dialami oleh caregiver semakin
pendek.

(d) Jumlah Stresor


Jumlah pengalaman stress yang dialami individu dalam satu
waktu tertentu juga menjadi faktor presipitasi terjadinya ansietas
(Stuart & Laraia, 2009). Jumlah stressor lebih dari satu yang
dialami oleh individu dalam satu waktu akan lebih sulit
diselesaikan dibandingkan dengan satu stressor yang dialami.

Jumlah stressor yang dialami oleh caregiver yang anggota


keluarganya dirawat di rumah sakit pada awalnya satu yaitu
anggota keluarga yang sakit. Namun ketika muncul respon
terhadap stresor sosial tersebut maka jumlah stresor akan
bertambah sesuai dengan hasil respon yang ditampilkan ketika
menerima stresor sosial. Stresor yang dialami oleh caregiver akan
bertambah dengan adanya stresor psikologis dan biologis. Pada
masing-masing stresor ini jumlah stresor tidak hanya satu namun
dapat lebih dari satu karena hasil respon yang ditampilkan dari
stresor utama adanya anggota keluarga yang sakit. Pola ini juga
akan berlaku pada ansietas yang dialami oleh individu itu sendiri.

Asuhan Keperawatan pada Ansietas 182

214
(3) Penilaian Stressor
Pemahaman tentang ansietas dapat dilakukan dengan mengintegrasikan
pengetahuan dari berbagai sumber. Model adaptasi stres (Stuart &
Laraia, 2005) mengintegrasikan data dari konsep psikoanalisis,
interpersonal, perilaku, genetik dan biologis. Berbagai konsep tersebut
akan menjelaskan tentang penilaian stressor seseorang ketika
mengalami ansietas yang meliputi kognitif, afektif, fisiologis, perilaku
dan sosial.

Respon fisiologis dibangun dari konsep neurobiologis yang


menyiapkan seseorang dalam mengatasi bahaya. Evolusi
mempengaruhi neurobiologis untuk mencegah stimulus yang
mengancam. Seseorang dilahirkan dengan sistem saraf pusat yang
sensitif terhadap stimulus yang membahayakan. Respon perilaku dan
sosial dibangun dari belajar pengalaman sosial pada masa kanak-kanak
dan dewasa khususnya dalam menghadapi ansietas. Respon afektif
dipengaruhi oleh ketidakmampuan jangka panjang terhadap situasi
yang membahayakan sehingga mempengaruhi kecenderungan respon
terhadap ansietas. Fungsi kognitif terfokus pada antisipasi terhadap
reaksi ansietas yang dipengaruhi oleh intelegensi dan introspeksi.

Penilaian terhadap stressor dapat bersifat adaptif dan maladaptif.


Penilaian stressor yang adaptif akan menjadi faktor penguat yang perlu
dilakukan dalam intervensi keperawatan. Sedangkan penilaian stressor
yang maladaptive akan menjadi dasar penggunaan terapi keperawatan
dalam melatih disfungsi ketrampilan yang dialami individu dalam
menilai ansietas.

Asuhan Keperawatan pada Ansietas 183

215
Penilaian terhadap stresor yang dialami oleh klien dan caregiver
dengan ansietas meliputi respon kognitif, afektif, fisiologis, perilaku
dan sosial. Pada umumnya klien dan caregiver yang memiliki anggota
keluarga yang sakit dan dirawat di rumah sakit akan merasa bingung
dan kaget dengan kondisi kesehatan anggota keluarga yang tiba-tiba
terganggu. Klien akan merasa bingung untuk menjalankan berbagai
peran individunya baik dalam keluarga, kelompok maupun masyarakat.
Demikian pula yang dialami oleh caregiver. Caregiver merasa ansietas
dan bingung dalam menjalankan perannya sebagai caregiver bagi anak/
anggota keluarga. Mungkin klien dan caregiver akan merasa
kehilangan kontrol, marah, dan frustasi. Secara umum emosi yang
ditampilkan bersifat negatif, namun demikian pada beberapa kasus
ditemukan adanya klien dan caregiver yang tetap mampu mengontrol
emosinya. Kemampuan mengontrol emosi berdampak terhadap
kemampuan individu dan caregiver dalam berpikir tentang peran dan
fungsinya dalam merawat diri atau anggota keluarga yang sakit.

Konsekuensi lain yang dihadapi caregiver adalah peran merawat dan


menjaga selama 24 jam yang menyebabkan terganggu kebutuhan tidur
dan makan serta kelelahan secara fisiologis. Kelelahan yang terjadi
berdampak terhadap kondisi fisiologis yang dimanifestasikan dengan
adanya perubahan tanda-tanda vital dan kondisi fisiologis lainnya.

Hospitalisasi yang dialami oleh anak/ anggota keluarga juga


berpengaruh terhadap perilaku dan sosial klien dan caregiver. Pada
kondisi adaptif penilaian yang ditampilkan secara perilaku dan sosial
berupa tindakan merawat dan adanya komunikasi terbuka dengan

Asuhan Keperawatan pada Ansietas 184

216
anggota keluarga yang lain dalam melakukan perawatan anak yang
sakit. Namun penilaian stressor juga dapat dimanifestasikan dalam
bentuk perilaku dan tindakan sosial yang maladaptif seperti
menghindari melakukan perawatan terhadap anak/ anggota keluarga
dan menghindari hubungan interpersonal dengan anggota keluarga
maupun caregiver lain yang dirawat di rumah sakit. Pada klien yang
mengalami ansietas perilaku dan tindakan sosial maladaptive yang
banyak ditemukan meliputi sikap kurang kooperatif dalam menjalankan
treatment, sikap tertutup dan menghindar.

(4) Sumber Koping


Seseorang dapat mengatasi ansietas dengan menggunakan sumber
koping internal dan eksternal yang tersedia. Sumber koping terdiri atas
kemampuan personal, dukungan sosial, aset material dan keyakinan.
Empat komponen tersebut dapat membantu seseorang dalam
mengintegrasikan pengalaman stressful dan belajar tentang mekanisme
koping yang adaptif. Ketidakseimbangan pada empat komponen
sumber koping akan menyebabkan perilaku yang negatif dalam
mengontrol ansietas.

Pada individu dan keluarga dengan ansietas kemampuan personal yang


harus dimiliki meliputi kemampuan secara fisik dan mental.
Kemampuan secara fisik teridentifikasi dari kondisi fisik yang sehat.
Kemampuan mental meliputi kemampuan kognitif, afektif, perilaku dan
sosial. Kemampuan kognitif meliputi mengidentifikasi masalah,
menilai dan menyelesaikan masalah. Kemampuan afektif meliputi
kemampuan untuk meningkatkan konsep diri klien dan caregiver
terkait adanya anak yang sakit. Kemampuan perilaku terkait dengan

Asuhan Keperawatan pada Ansietas 185

217
kemampuan melakukan tindakan yang adekuat dalam menyelesaikan
stressor yang dialami. Seluruh kemampuan ini digunakan dalam rangka
mengontrol kondisi ansietas yang dirasakan oleh individu dan
caregiver.

Sumber dukungan sosial pada keluarga dengan ansietas meliputi


dukungan dalam melakukan perawatan terhadap anak/ anggota keluarga
yang sakit dan dukungan dalam membantu keluarga mengontrol
ansietas. Dukungan yang diberikan dapat berupa dukungan fisik dan
psikologis. Dukungan fisik diperoleh dari terlibat aktif keluarga, kader
dan significant other dalam membantu caregiver merawat anak/
anggota keluarga yang sakit dan mengontrol ansietas.

Aset material yang dapat diperoleh pada klien dan caregiver dengan
ansietas meliputi dukungan finansial yang membantu perawatan anak/
anggota keluarga di rumah sakit, meliputi ketersediaaan dana baik dari
asuransi maupun tabungan. Tidak terpenuhinya asset material akan
berpotensi menimbulkan ansietas pada klien dan caregiver akibat tidak
optimalnya sumber koping yang dimiliki oleh keluarga.

Keyakinan positif pada klien dan caregiver dengan ansietas diperoleh


dari keyakinan keluarga terhadap kondisi kesehatan anak/ anggota
keluarga dan kemampuan diri dalam mengontrol ansietas yang
dirasakan. Adanya keyakinan yang positif akan berpotensi
meningkatkan motivasi klien dan caregiver untuk menggunakan
mekanisme koping yang adaptif. Sebaliknya keyakinan yang negatif
akan meningkatkan ansietas yang dialami dan berpotensi menimbulkan
perilaku maladaptif pada klien dan caregiver.

Asuhan Keperawatan pada Ansietas 186

218
(5) Mekanisme Koping
Ketidakmampuan seseorang untuk mengatasi ansietas secara
konstruktif akan menyebabkan perilaku patologis. Untuk menetralisasi
ansietas seseorang mengembangkan pola koping. Pola ini digunakan
untuk mengatasi ansietas ringan ketika ansietas menjadi lebih intensif.
Ansietas memainkan peran utama dalam psikogenesis dari penyakit
emosional karena gejala penyakit berkembang sebagai upaya
pertahanan terhadap ansietas. Mekanisme koping dapat dikategorikan
sebagai task-oriented reaction dan ego ariented reaction. Task-oriented
reaction adalah berpikir, mencoba berhati-hati untuk menyelesaikan
masalah, menyelesaikan konflik dan memberikan kepuasan. Task-
oriented reaction berorientasi dengan kesadaran secara langsung dan
tindakan. Contoh dari mekanisme koping task oriented reaction yang
dapat dilakukan pada keluarga dengan ansietas adalah dengan berbicara
dengan tenaga profesional dan orang lain yang dapat membantu
keluarga dalam mengatasi ansietas yang dialami terkait anak/ anggota
keluarga yang dirawat di rumah sakit.

Ego ariented reaction sering digunakan untuk melindungi diri. Reaksi


ini sering disebut sebagai mekanisme pertahanan. Setiap orang
menggunakan mekanisme pertahanan dan membantu seseorang
mengatasi ansietas dalam tingkat ringan sampai dengan sedang. Ego
oriented reaction dilakukan pada tingkat tidak sadar. Beberapa
mekanisme koping ego oriented reaction yang ditemukan pada
keluarga dengan ansietas adalah denial, proyeksi, dan isolasi.

Asuhan Keperawatan pada Ansietas 187

219
Sumber dan mekanisme koping yang dimiliki oleh klien dan caregiver
dalam menghadapi stressor dapat dijadikan sebagai dasar bagi perawat
dalam menyusun rencana keperawatan bagi klien dan caregiver dengan
masalah ansietas. Sumber koping dan mekanisme koping positif yang
dimiliki oleh klien dan caregiver digunakan sebagai dasar bagi perawat
untuk menyusun kegiatan yang bertujuan untuk menguatkan
kemampuan klien dan caregiver. Sedangkan sumber koping dan
mekanisme koping yang negatif digunakan sebagai dasar penyusunan
kegiatan melatih ketrampilan dan kemampuan klien dan caregiver.
Selain sumber koping dan mekanisme koping, penilaian stressor juga
dapat digunakan sebagai dasar penyusunan rencana keperawatan pada
klien dan caregiver dengan ansietas. Terapi yang diberikan berdasarkan
pendekatan penilaian stressor tergantung pada pendekatan aspek
kognitif, afektif, fisiologis, perilaku dan sosial yang dimiliki oleh klien
dan caregiver.

Fokus pengkajian pada pasien yang mengalami ansietas meliputi


pengkajian tentang stresor terjadi masalah ansietas. Kemampuan menggali
informasi menjadi point penting dalam pengkajian ansietas. Pengkajian
tidak hanya difokuskan pada gejala psikologis tetapi juga seluruh gejala
baik fisik, sosial dan budaya. Pengkajian ansietas difokuskan pada
pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan, keluhan fisik, alam
perasaan: Sedih, kuatir, ketakutan, gembira berlebihan, dan putus asa

Asuhan Keperawatan pada Ansietas 188

220
a. Mekanisme Koping
Adaptif Maladaptif
1) Bicara dengan orang lain 1) Minum alkohol
2) Mampu menyelesaikan 2) Reaksi lambat/berlebih
masalah 3) Bekerja berlebihan
3) Tehnik relaksasi 4) Menghindar
4) Aktivitas konstruktif 5) Mencederai diri
5) Olah raga 6) Lainnya
6) Lainnya

b. Masalah Psikososial dan Lingkungan


1) Masalah dengan dukungan kelompok,
2) Masalah berhubungan dengan lingkungan
3) Masalah dengan pendidikan
4) Masalah dengan pekerjaan
5) Masalah dengan perumahan
6) Masalah ekonomi
7) Masalah dengan pelayanan kesehatan
8) Masalah lainnya

2) Diagnosa Keperawatan
Pengkajian dengan menggunakan model adaptasi stress Stuart yang
adekuat dapat menjadi dasar untuk menetapkan diagnosa keperawatan
berdasarkan posisi rentang respon ansietas. Kemampuan menetapkan
kualitas dan kuantitas ansietas yang dialami menentukan ketepatan
dalam memformulasikan diagnosa keperawatan. Masalah akan muncul
ketika respon yang ditampilkan oleh klien dan caregiver tidak sesuai

Asuhan Keperawatan pada Ansietas 189

221
dengan ukuran normal dan menunjukkan penilaian terhadap stresor yang
tidak realistik.

Penilaian terhadap stresor merupakan tanda dan gejala yang ditampilkan


oleh klien dan caregiver menjadi dasar dalam penyusunan diagnosa.
Tanda dan gejala tersebut akan diidentifikasi berdasarkan pada skala
ansietas yang dialami oleh klien dan caregiver. Berdasarkan penilaian
terhadap stresor juga dapat ditegakkan berbagai diagnosa penyerta. Pada
penilaian stresor sosial dapat ditegakkan diagnosa gangguan penampilan
peran dan isolasi sosial. Pada penilaian stresor afektif dan perilaku dapat
ditegakkan diagnosa harga diri rendah situasional, resiko perilaku
kekerasan, ketidakberdayaan dan keputusasaan. Pada penilaian stresor
fisiologis dapat ditegakkan diagnosa keperawatan fisik seperti gangguan
pola tidur dan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan.

Nanda (2005) menyatakan bahwa terdapat empat diagnosa utama yang


berkaitan dengan respon ansietas yaitu cemas, koping tidak efektif,
potensial peningkatan koping dan takut. Namun tiga dari empat
diagnosa yang disampaikan oleh Nanda tersebut kurang sesuai dengan
konsep model Stuart dan Laraia (2005). Stuart dan Laraia melihat
diagnosa koping tidak efektif, potensial peningkatan koping dan takut
merupakan bagian dari sumber koping yang dimiliki oleh klien dan
caregiver, sedangkan diagnosa keperawatan seharusnya ditegakkan
berdasarkan tanda dan gejala atau respon yang muncul. Stuart dan
Laraia melihat bahwa sumber koping menjadi dasar dalam penyusunan
rencana intervensi keperawatan bukan sebagai dasar penyusunan
diagnosa keperawatan.

Asuhan Keperawatan pada Ansietas 190

222
Penetapan diagnosa keperawatan ansietas dilakukan dengan
mamperhatikan bahwa pada asuhan keperawatan pada kasus ansietas
harus tetap memperhatikan seluruh gejala yang berkontribusi terhadap
masalah ansietas. Beberapa diagnosa keperawatan yang dapat
ditegakkan pada pasien dengan ansietas adalah ansietas, gangguan pola
tidur, gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan, dan masih banyak lagi
diagnosa keperawatan yang lainnya.

3) Intervensi Keperawatan
Perencanaan intervensi keperawatan dapat dilakukan dengan
memperhatikan gejala yang dimunculkan pada kasus tersebut. Sebagai
contoh ketika kita menemukan seorang pasien yang menunjukkan
gejala dada berdebar-debar, gelisah, tidak bisa konsentrasi kecuali
dengan stimulasi yang berulang dan mengatakan cemas maka perawat
harus mengarahkan pada tindakan keperawatan yang tepat. Jika kita
menilik pada kasus tersebut maka kita dapat menyimpilkan bahwa
pasien sedang berada pada cemas sedang. Maka pertanyaan kita
selanjutnya adalah apa kemampuan personal yang masih dimiliki oleh
pasien saat ini, siapa orang yang paling dekat dengan pasien atau siapa
sumber pendukungnya, serta aset material apa yang dimiliki oleh
pasien. Dengan demikian kita selanjutnya dapat menetapkan kriteria
hasil yang harus dicapai untuk menyelesaikan kasus tersebut. Baru
setelah itu kita bisa menetapkan tindakan apa saja yang dapat kita
lakukan untuk mencapai setiap kriteria hasil yang telah kita tetapkan.

Sebagai contoh sebagai berikut:


Indikator adalah: kontrol diri ansietas
Pasien dapat mencapai scor 5 dalam mengatasi masalahnya
Asuhan Keperawatan pada Ansietas 191

Indikator 1 2 3 4 5
Monitor intensitas ansietas yang dialami
223
Pasien dapat mencapai scor 5 dalam mengatasi masalahnya

Indikator 1 2 3 4 5
Monitor intensitas ansietas yang dialami
Menggunakan teknik relaksasi untuk
menurunkan ansietas
Menurunkan stimulus lingkungan ketika terjadi
ansietas
Mempertahankan hubungan social
Menggunakan strategi koping yang efektif

Keterangan:
1: tidak pernah
2: jarang
3: kadang-kadang
4: sering
5: selalu
Kriteria Hasil Tindakan
Monitor intensitas a. Identifikasi pengalaman ansietas yang
ansietas yang dialami dialami oleh klien (aspek yang menimbulkan
ansietas, waktu, frekuensi, respon yang
dirasakan baik secara fisik, kognitif, afektif,
perilaku dan sosial)
Menggunakan teknik b. Identifikasi tingkatan ansietas
relaksasi untuk c. Ajarkan klien satu teknik reduksi ansietas:
menurunkan ansietas tarik napas dalam
Menurunkan stimulus a. Ajarkan klien satu teknik reduksi ansietas:
lingkungan ketika guide imajery
terjadi ansietas
Mempertahankan a. Ajarkan klien satu teknik reduksi ansietas:
hubungan sosial komunikasi terbuka

Asuhan Keperawatan pada Ansietas 192

224
Menggunakan strategi a. Ajarkan klien satu teknik reduksi ansietas:
koping yang efektif memanfaatkan dukungan spiritual

4) Implementasi
Peran perawat dalam implementasi terhadap klien dengan masalah
ansietas tergantung pada seting klien yang mendapat perawatan.
Intervensi yang diberikan diharapkan dapat berguna bagi klien dalam
mengatasi ansietas di seting tertentu. Amenta dan Bohnet (1986)
menyatakan ada 4 instrumen yang dapat digunakan dalam membantu
perawat dalam mengimplementasikan asuhan keperawatan yaitu
kebutuhan untuk mendengarkan, kehadiran perawat, kemampuan
perawat untuk menerima apa yang perawat sampaikan dan
menggunakan diri secara bijaksana.

Dengan demikian alat penting yang perlu dipersiapkan dalam


melakukan implementasi adalah kesadaran diri dari perawat. Perawat
perlu memperhatikan penghargaan terhadap individu melalui bahasa
tubuh, suara, tindakan dan sentuhan dalam melakukan asuhan
keperawatan. Prinsip penting lain yang perlu diperhatikan perawat
adalah prinsip caring dalam memfasilitasi kebutuhan klien.

Berikut ini kegiatan standar yang dapat dilakukan pada klien dengan
ansietas yang diberikan oleh perawat generalis dimana setiap satu kali
interaksi telah mencakup tiga aspek kemampuan yaitu kognitif, afektif
dan psikomotor.

Asuhan Keperawatan pada Ansietas 193

225
Tabel Strategi Implementasi Tindakan Generalis Pada Klien dengan
Ansietas
Interaksi Tindakan
1 a. Identifikasi pengalaman ansietas yang dialami oleh klien
(aspek yang menimbulkan ansietas, waktu, frekuensi,
respon yang dirasakan baik secara fisik, kognitif, afektif,
perilaku dan sosial)
b. Identifikasi tingkatan ansietas
c. Ajarkan klien satu teknik reduksi ansietas: tarik napas
dalam
d. Buat jadwal kegiatan bersama klien

2 a. Evaluasi kemampuan pertemuan pertama


b. Ajarkan klien satu teknik reduksi ansietas: guide imajery
c. Buat jadwal kegiatan bersama klien

3 a. Evaluasi kemampuan pertemuan pertama dan kedua


b. Ajarkan klien satu teknik reduksi ansietas: komunikasi
terbuka
c. Buat jadwal kegiatan bersama klien

4 a. Evaluasi kemampuan pertemuan pertama,kedua dan ketiga


b. Ajarkan klien satu teknik reduksi ansietas: memanfaatkan
dukungan spiritual
c. Buat jadwal kegiatan bersama klien

Pada manajemen kasus spesialis keperawatan jiwa pada klien dan


keluarga dengan ansietas, perawat mengimplementasikan tindakan
dependen dan independen. Tindakan independen dilakukan dalam
bentuk pemberian terapi keperawatan. Sedangkan tindakan dependen
dilakukan dalam bentuk kolaborasi dengan tim kesehatan. Tindakan
dependen yang dapat dilakukan meliputi kolaborasi dengan dokter

Asuhan Keperawatan pada Ansietas 194

226
dalam bentuk terapi psikofarmaka, tenaga administrasi dalam bentuk
prosedur administrasi dan tim kesehatan lain.

Pada pelaksanaan manajemen kasus spesialis keluarga dengan ansietas,


keluarga bukan ditempatkan sebagai pasien di rumah sakit. Keluarga
lebih ditempatkan sebagai mitra asuhan bagi anak yang sakit. Kondisi
ini menimbulkan permasalahan baru terkait dengan masalah
administrasi, sehingga perlu di susun peraturan yang jelas terkait dengan
pelayanan keperawatan terhadap keluarga dengan ansietas.

5) Evaluasi Hasil
Salah satu aspek yang sulit diterapkan dalam asuhan keperawatan adalah
mengukur pencapaian. Beberapa masalah keperawatan yang berkaitan
dengan fisik biasanya akan lebih mudah diukur dengan alat tertentu.
Evaluasi asuhan keperawatan dengan masalah ansietas biasanya dengan
menggunakan alat yang terkait dengan karakteristik ansietas dengan
menggunakan skala tertentu. Alat yang digunakan adalah standar tingkat
ansietas. Absensi tanda dan gejala ansietas merupakan indikator
keberhasilan tindakan keperawatan yang diberikan. Idealnya seorang
perawat mengevaluasi pencapaian yang dicapai oleh klien disetiap
interaksi dengan klien.

Asuhan Keperawatan pada Ansietas 195

227
228
BAB 10
BEBERAPA INTERVENSI KEPERAWATAN PADA
MASALAH PSIKOSOSIAL

Tujuan Intruksional
Setelah membaca bagian ini, mahasiswa mampu:
1) Memahami tehnik komunikasi keperawatan untuk kecemasan, dan
depresi
2) Mendemonstrasikan tehnik pengurangan cemas
3) Mendemonstrasikan tehnik relaksasi progresif
4) Mendemonstrasikan tehnik imajinasi terbimbing
5) Memahami tehnik terapi music pada klien cemas

Beberapa masalah psikososial yang terjadi akibat bencana antara lain cemas,
depresi, kehilangan dan berduka. Berikut ini merupakan berbebrapa standar
operasional prosedur (SOP) yang disusun secara berurutan terkait dengan
kecemasan, kehilangan dan berduka

1. Kecemasan
a. SOP komunikasi dengan pasien yang mengalami kecemasan
b. SOP pengurangan cemas
c. SOP relaksasi progresif
d. SOP imajinasi terbimbing
e. SOP terapi musik
2. Kehilangan
a. SOP komunikasi dengan klien depresi

Intervensi Keperawatan pada Masalah Psikososial 191

229
a. SOP komunikasi dengan pasien cemas

Nama SOP Komunikasi dengan pasien cemas

Pengertian Metode komunikasi efektif yang ditujukan untuk


mengurangi tingkat kecemasan pasien

Tujuan Menurunkan rasa cemas dan mendukung koping efektif

Kebijakan Pada pasien dengan ansietas, gangguan komunikasi verbal,


koping tidak efektif, konflik dalam pengambilan keputusan,
ketakutan, kurang pengetahuan, kerusakan interaksi sosial

Ruang Lingkup 1. Pelayanan Keperawatan Jiwa, Pediatrik, Gerontologi,


Home Care
2. Pelayanan Medis

Prosedur Persiapan Alat / Lingkungan:


1. Tempat yang menunjang privasi pasien
2. Minimalkan distraksi

Persiapan :
 Mengeksplorasi perasaan, harapan dan kecemaasn,
sebelum berinteaksi dengan pasien, perawat perlu
mengkaji perasaannya sendiri.
 Mengkaji faktor penyebab ansietas pasien
 Mengkaji faktor yang mempengaruhi komunikasi
seperti waktu, tempat, nilai, budaya, keterlibatan orang
lain, pengalaman pasien
 Mengkaji tingkat ansietas pasien
 Melibatkan anggota keluarga untuk menanyakan
penyebab ansietas pasien

Prosedur:
1. Ciptakan iklim kehangatan dan suasana yang
menunjang kenyamanan

Intervensi Keperawatan pada Masalah Psikososial 192

230
2. Sapa pasien dan perkenalkan diri dengan jelas
3. Gunakan respon non-verbal yang sesuai seperti jaga
kontak mata dengan pasien
4. Kaji respon non-verbal dan bahasa tubuh pasien
5. Jelaskan tujuan interaksi
6. Jadilah pendengar yang baik
7. Diskusi dengan pasien untuk memberi informasi
mengenai strategi koping seperti relaksasi progresif,
latihan nafas dalam, dan visualisasi

Perhatian:
1. Kaji tanda dan gejala dari ansietas yang ditunjukkan
pasien
2. Anjurkan pasien untuk berbagi dengan perawat saat
pasien cemas
3. Kaji kemampuan pasien untuk mengambil keputusan
secara mandiri
4. Kaji kemampuan pasien dalam mereduksi/ mengurangi
faktor-faktor penyebab ansietas

Dokumen 1. Laporkan tanda dan gejala ansietas


terkait 2. Dokumentasikan metode yang dipilih pasien untuk
mengurangi cemas dan respon pasien

b. SOP Komunikasi pada Pasien Depresi


Nama SOP Komunikasi dengan pasien depresi
Pengertian Metode komunikasi efektif antara perawat dengan
pasien yang mengalami depresi
Tujuan Mengarahkan pasien pada koping adaptif dan
mengoptimalkan keberadaan sumber pendukung
Kebijakan Pada pasien dengan ketidakberdayaan gangguan
komunikasi verbal, koping tidak efektif, konflik
pengambilan keputusan, ketakutan, kurang pengetahuan,
kerusakan interaksi sosial, resiko bunuh diri
Ruang Lingkup 1. Pelayanan Keperawatan Jiwa, Pediatrik, Gerontologi,

Intervensi Keperawatan pada Masalah Psikososial 193

231
Home Care
2. Pelayanan Medis
Prosedur Persiapan Alat / Lingkungan:
1. Tempat yang menunjang privasi pasien
2. Minimalkan distraksi
3. Libatkan tim kesehatan dan anggota keluarga
Persiapan :
 Eksplorasi perasaan, harapan dan kecemasan,
sebelum berinteraksi dengan pasien (perawat perlu
mengkaji perasaannya sendiri)
 Kaji faktor penyebab depresi pasien
 Kaji faktor yang mempengaruhi komunikasi seperti
waktu, tempat, nilai, budaya, keterlibatan orang
lain, pengalaman pasien
Prosedur:
1. Ciptakan iklim kehangatan dan suasana tenang yang
menunjang kenyamanan
2. Sapa pasien dan perkenalkan diri dengan jelas
3. Gunakan respon non-verbal yang sesuai seperti jaga
kontak mata dengan pasien
4. Kaji respon non-verbal dan bahasa tubuh pasien
5. Jelaskan tujuan interaksi
6. Gunakan pendekatan empati dan utamakan
kejujuran
7. Diskusikan aspek positif yang dimiliki pasien
8. Gunakan teknik pertanyaan terbuka untuk menggali
permasalahan pasien
9. Beri reinforcement positif (pujian) pada aspek
positif pasien
10. Temani pasien untuk melakukan aktifitas sehari-
hari khususnya pada klien dengan depresi berat
11. Identifikasi keinginan bunuh diri pada pasien dan
susun perencanaan tindakan untuk mengatasinya
Perhatian:
1. Kaji tanda dan gejala dari depresi yang ditunjukkan
pasien

Intervensi Keperawatan pada Masalah Psikososial 194

232
2. Anjurkan pasien untuk berbagi dengan perawat saat
pasien merasakan depresi
3. Kaji kemampuan pasien untuk mengambil keputusan
secara mandiri
4. Kaji kemampuan pasien dalam mereduksi/
mengurangi faktor-faktor penyebab depresi

Dokumen terkait 1. Laporkan tanda dan gejala depresi


2. Dokumentasikan metode yang dipilih pasien untuk
perbaikan diri dan respon pasien

c. SOP penurunan cemas (Anxiety Reduction)


Nama SOP Pengurangan Cemas

Pengertian Upaya meminimalkan rasa takut, cemas, merasa dalam


bahaya atau ketidaknyamanan terhadap sumber yang tidak
diketahui.

Tujuan Meminimalkan cemas pada klien

Kebijakan Pada klien dengan ansietas, ineffective coping, decisional


conflict, ketakutan, kurang pengetahuan, kerusakan interaksi
sosial

Ruang 1. Pelayanan Keperawatan Jiwa, Pediatrik, Gerontologi,


Lingkup Home Care, Komunitas
2. Pelayanan Medis
Prosedur Persiapan Alat / Lingkungan:
1. Tempat yang menunjang privasi klien
2. Minimalkan distraksi

Persiapan :
 Mengeksplorasi perasaan, harapan dan kecemasan,
sebelum berinteaksi dengan klien, perawat perlu
mengkaji perasaannya sendiri.

Intervensi Keperawatan pada Masalah Psikososial 195

233
 Mengkaji faktor kecemasan klien
 Mengkaji faktor yang mempengaruhi komunikasi seperti
waktu, tempat, nilai, budaya, keterlibatan orang lain,
pengalaman klien
 Melibatkan anggota keluarga untuk menanyakan
penyebab kecemasan dari klien

Prosedur:
1. Gunakan pendekatan yang menenangkan
2. Dengan jelas tetapkan harapan-harapan terhadap
perilaku pasien
3. Jelaskan semua prosedur, termasuk perasaan yang
muncul selama prosedur dilakukan
4. Pahami perspektif pasien terhadap situasi stress
5. Berikan informasi yang faktual mengenai diagnosa,
prognosa, dan tindakan yang akan dilakukan
6. Temani pasien untuk memberikan keamanan dan
mengurangi rasa takut
7. Dukung keluarga untuk menemani pasien, jika
diperlukan
8. Dorong pasien untuk melakukan aktivitas yang non
kompetitif
9. Dengarkan pasien dengan penuh perhatian
10. Dorong aktivitas pasien, jika diperlukan
11. Ciptakan lingkungan yang nyaman untuk
memfasilitasi rasa percaya pada pasien
12. Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan,
persepsi, dan ketakutan
13. Identifikasi perubahan tingkat kecemasan pada pasien
14. Berikan aktivitas yang bervariasi untuk mengurangi
tekanan misalnya back atau neck rub
15. Bantu pasien untuk mengidentifikasi situasi yang
dapat menimbulkan kecemasan
16. Kontrol stimulus, jika diperlukan untuk kebutuhan
pasien
17. Dorong pasien menggunakan mekanisme pertahanan

Intervensi Keperawatan pada Masalah Psikososial 196

234
yang sesuai
18. Bantu pasien untuk menyusun harapan yang realistis
terhadap kejadian yang akan datang
19. Dorong pasien dalam kemampuannya membuat
keputusan
20. Ajarkan pasien untuk menggunakan tehnik relaksasi
21. Berkolaborasi dengan dokter, berikan obat untuk
menurunkan kecemasan, jika diperlukan
22. Kaji tanda verbal dan non verbal kecemasan pada
klien

Perhatian:
1. Kaji tanda dan gejala dari kecemasan yang ditunjukkan
klien
2. Kaji kemampuan klien untuk mengambil keputusan
secara mandiri
3. Anjurkan klien untuk sharing kepada perawat saat klien
cemas

Dokumen 1. Laporkan tanda dan gejala kecemasan klien


terkait

d. SOP Imaginary Guidance

1. Pengertian Imaginary guidance merupakan suatu teknik pengalihan


pikiran yang berguna untuk mengurangi ansietas
imaginary guidance

2.Tujuan Klien mampu mengatasi ansietas yang dialami dengan


menggunakan tenik guidance imaginary

3. Kebijakan 1. Pada pasien mengalami ansietas

4. Ruang Lingkup 1. Pelayanan Keperawatan


2. Pelayanan Medis

Intervensi Keperawatan pada Masalah Psikososial 197

235
3. Penunjang Medis (Instalasi Farmasi)

5. Prosedur 1. Persiapan pasien:


Informasikan terlebih dahulu mengenai imaginary
guidance meliputi definisi, manfaat dan cara
melakukannya.
2. Persiapan alat:
Tape, musik atau kaset instrumentalia yang dapat
membantu menimbulkan imajinasi, kursi.
3. Cara kerja
a. Duduk tegak, tangan dan kaki tidak disilangkan,
badan lurus.Kalau mau duduk, posisi duduk
bersila dengan badan tegak dan tangan
diletakkan di atas paha.
b. Pejamkan mata, rileks dan kosongkan pikiran.
c. Kemudian, bayangkan tempat terindah yang
ingin kunjungi. Misalnya: Pantai
d. Bayangkan kita sekarang berjalan di pesisir
pantai dengan menyentuh pasir putih dipantai,
rasakan dinginnya pasir dan hembusan angin
yang sepoi-sepoi. Kemudian dengarkan deburan
ombak pantai, dengarkan suara kicauan burung
diudara.
e. Lihat indahnya matahari terbenam. Nikmati
indahnya suasana pantai, lepaskan semua beban
pikiran kita.
f. Setelah itu, buka mata dan rasakan suasana baru
pada diri kita.

6. Dokumen terkait 1. Order terapi medis ( catatan medis)


2. Catatan keperawatan

e. SOP Terapi Musik

Intervensi Keperawatan pada Masalah Psikososial 198

236
2. Catatan keperawatan

e. SOP Terapi Musik


Nama SOP Terapi Musik
Pengertian Menggunakan musik untuk membantu mencapai
Intervensi Keperawatan pada Masalah Psikososial 198
perubahan spesifik pada perilaku, perasaan, atau
psikologi
Tujuan Membantu mencapai perubahan spesifik pada perilaku,
perasaan, atau psikologi
Kebijakan Pada klien dengan ansietas, ineffective coping,
ketakutan, depresi, perilaku kekerasan
Ruang Lingkup 1. Pelayanan Keperawatan Jiwa, Pediatrik, Gerontologi,
Home Care, Komunitas
2. Pelayanan Medis
Prosedur Persiapan Alat / Lingkungan:
1. Tempat yang menunjang privasi klien
2. Minimalkan distraksi
Persiapan :
 Musik yang sesuai
 Tape recorder, Radio, VCD/DVD
 Tempat yang nyaman dan tenang
Prosedur:
1. Temukan perubahan spesifik pada perilaku
dan/atau psikologi yang tampak (misalnya
relaksasi, stimulasi, konsentrasi, pengurangan
nyeri)
2. Identifikasi ketertarikan pasien pada salah satu
musik
3. Sampaikan pada pasien tentang tujuan terapi
musik
4. Pilih musik khusus yang mewakili ketertarikan
pasien
5. Bantu pasien dalam memilih posisi yang nyaman
6. Batasi stimulus dari luar (misalnya cahaya, suara,
pengunjung, panggilan telepon) selama
mendengarkan musik
7. Siapkan musik/CD dan peralatan yang tersedia
untuk pasien
8. Pastikan bahwa radio tape/CD dan peralatan

Intervensi Keperawatan pada Masalah Psikososial 199


237
yang tersedia dapat bekerja dengan baik
9. Sediakan handphone, jika diperlukan
10. Pastikan volume sesuai dan tidak terlalu keras
11. Cegah menyalakan radio tape dan meninggalkan
dalam waktu yang lama
12. Fasilitasi partisipasi keaktifan pasien (misalnya
memainkan alat musik atau menyanyi) jika hal
tersebut terlihat dan mungkin untuk dilakukan
oleh pasien
13. Cegah stimulasi musik setelah cedera kepala akut
Perhatian:
 Pilih jenis musik yang sesuai dengan kondisi
pasien dan minat pasien
Dokumen terkait  Dokumentasikan tanggal, waktu intervensi
 Dokumentasikan musik yang dipilih pasien
 Dokumentasikan respon klien terhadap musik
yang didengar

f. Terapi deep breathing


Ciri mahluk hidup pada tingkat yang paling sederhana (vegetatif) seperti
mikroorganisme sekalipun adalah bernapas. Pernapasan atau bernapas
memberikan proses kehidupan (fungsi) organisme berlangsung. Salah satu
fungsi pernapasan adalah terjadinya proses metabolisme tubuh melalui
pertukaran gas yang sering disebut dengan istilah perfusi dan oksidasi
(pembakaran), dan pada proses selanjutnya adalah pemanfaatan energi
bagi kehidupan dalam tubuh dan bagi kebutuhan kehidupan lainnya baik
fisik, psikis maupun sosial.

Oksigen sebagai salah satu unsur penting dalam pernapasan memegang


peranan penting bagi keberlangsungan mahluk hidup. Energi sebagai
produk hasil metabolisme oksigen sangat diperlukan bagi kehidupan sel

Intervensi Keperawatan pada Masalah Psikososial 200

238
seluruh tubuh kita. Efektifitas energi bagi kehidupan secara biologis akan
mempengaruhi efektifitas kehidupan secara psikis, perilaku maupun sosial.
Sehingga sangat dipahami potensi oksigen dalam pernapasan baik bagi
kehidupan seseorang secara fisik maupun psikososial terutama dalam
menghadapi stres.

Pada waktu kita menarik napas, udara dihirup ke dalam melalui hidung dan
dihangatkan selaput lendir rongga hidung. Bulu hidung menyaring kotoran
dan dikeluarkan pada saat menghembuskan napas (Davis, dkk, 1995). Pada
keadaan istirahat frekuensi pernapasan manusia normal berkisar antara 12 –
15 kali permenit. Satu kali bernapas lima ratus mililiter udara, atau 6 – 8 L
udara per menit dimasukkan dan dikeluarkan dari paru-paru. Udara ini akan
bercampur dengan gas yang terdapat dalam alveoli, dan selanjutnya O 2
masuk ke dalam darah di kapiler paru, sedangkan CO2 masuk ke dalam
alveoli, melalui proses difusi sederhana. Dengan cara ini, sekitar 250 mL
O2 per menit masuk ke dalam tubuh dan 200 mL CO2 akan dikeluarkan
(Ganong, 1999). Pada saat darah meninggalkan paru menuju jantung,
warnanya merah cerah karena mengandung oksigen yang tinggi (kurang
lebih 25%). Darah dipompa keluar jantung dan didistribusikan ke seluruh
tubuh untuk dipergunakan dalam proses kehidupan sel dan kehidupan
individu secara umum.

Proses Pernapasan
Sistem pernapasan terdiri dari organ pertukaran gas (paru-paru) dan pompa
ventilasi paru. Pompa ventilasi paru terdiri atas dinding dada; otot
pernapasan, yang meningkatkan dan menurunkan ukuran rongga dada;
pusat pernapasan di otak yang mengendalikan otot pernapasan; serta jaras-
jaras dan saraf yang menghubungkan pusat pernapasan dengan otot

Intervensi Keperawatan pada Masalah Psikososial 201

239
pernapasan. Proses pernapasan memiliki dua mekanika yaitu inspirasi dan
ekspirasi.

Inspirasi merupakan proses aktif. Kontraksi otot-otot inspirasi akan


meningkatkan volume intra torakal. Tekanan intra pleura pada bagian basis
paru turun dari normal (sekitar -2,5 mmHg) menjadi -6 mmHg. Jaringan
paru menjadi semakin teregang, tekanan di dalam saluran udara menjadi
sedikit lebih negatif, dan udara mengalir ke dalam paru-paru. Pada akhir
inspirasi, daya rekoil paru mulai menarik dinding dada kembali ke
kedudukan ekspirasi, sampai tercapai keseimbangan kembali antara daya
rekoil jaringan dan dinding dada. Tekanan di dalam saluran udara menjadi
sedikit lebih positif, dan udara meninggalkan paru-paru. Selama
pernapasan tenang, ekspirasi merupakan proses pasif yang tidak
memerlukan kontaksi otot untuk menurunkan volume intratorakal.
Pada inspirasi kuat, tekanan intra pleura turun mencapai -30 mmHg,
menimbulkan pengembangan jaringan paru yang lebih besar. Apabila
ventilasi meningkat, derajat pengempisan jaringan paru juga ditingkatkan
melalui kontraksi aktif otot-otot ekspirasi yang menurunkan volume
intratorakal.

Jumlah udara yang masuk ke dalam paru setiap inspirasi ( atau yang keluar
saat ekspirasi dinamakan volume alun napas (tidal volume) sebesar 0,5 L
pria dan wanita relatif sama. Jumlah udara yang masih dapat masuk ke
dalam paru pada inspirasi maksimal, setelah inspirasi biasa disebut volume
cadangan inspirasi (3,3 L laki-laki dan 1,9 L perempuan), sedangkan
jumlah udara yang dapat dikeluarkan secara aktif dari paru melalui
kontraksi otot ekspirasi, setelah ekspirasi biasa disebut volume cadangan
ekspirasi (1,0 L laki dan 0,7 L perempuan). Dan udara yang masih

Intervensi Keperawatan pada Masalah Psikososial 202

240
tertinggal di paru setelah ekspirasi maksimal disebut volume residu (1,2 L
laki-laki dan 1,1 L perempuan). Ruang udara yang tidak ikut serta dalam
proses pertukaran gas dengan darah kapiler paru disebut ruang rugi
pernapasan. Pada tiap pernapasan normal volume gas ruang rugi setara
dengan BB dalam pon. Bila seseorang berat badan 150 pon (68 kg) maka
volume udara inspirasi maupun ekspirasi yang 500 mL itu sebanyak 350
mL yang ikut perfusi di alveoli dan sisanya 150 mL menempati ruang rugi.
Perlu diperhatikan bahwa akibat adanya ruang rugi, pernapasan cepat dan
dangkal menghasilkan ventilasi alveolar yang lebih rendah dibandingkan
pernapasan lambat dan dalam, untuk volume pernapasan semenit yang
sama (Ganong, 1999). Hal itu berarti bahwa pernapasan cepat dan dangkal
akan menghasilkan jumlah udara yang mencapai alveolus permenit
(ventilasi alveolar) lebih kecil dibandingkan volume pernapasan semenit.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa pernapasan yang dalam dan
lambat akan lebih menguntungkan.

Tehnik Napas Dalam ( Deep Breathing)


Pernapasan penting bagi kehidupan. Pernapasan yang tepat merupakan
penawar stres. Walaupun kita semua bernapas namun kadang tidak
disadari bahwa pernapasan kita hasilnya kurang efektif. Kebiasaan
bernapas yang tepat penting untuk kesehatan mental dan fisik. Jika jumlah
udra segar yang masuk paru-paru tidak mencukupi, darah tidak dibersihkan
atau dioksigenasi sebagaimana mestinya. Hasil oksidasi (buangan) yang
seharusnya dibuang tetap ada dalam sirkulasi darah dan perlahan-lahan
meracuni sistem tubuh kita. Kurangnya oksigen dalam darah memperbesar
kemungkinan terjadinya ansietas, depresi dan lelah, yang sering membuat
situasi stres menjadi lebih sukar diatasi (Davis, dkk., 1995).

Intervensi Keperawatan pada Masalah Psikososial 203

241
Lebih jauh latihan pernapasan telah diketahui efektif menurunkan sifat
cepat marah, atau cepat tersinggung, ketegangan otot dan kelelahan.
Latihan pernapasan juga digunakan untuk perawatan dan pencegahan
gangguan pernapasan, hiperventilasi, napas pendek, dan kaki serta tangan
yang dingin. Walaupun latihan pernapasan dapat dipelajari dalam beberapa
menit, dan beberapa manfaat dapat segera dirasakan, namun manfaat yang
dalam mungkin sekali dapat diraih setelah kita berlatih cukup lama
(berbulan) dengan disiplin dan berkseinambungan.

Kesadaran Pernapasan
Latihan ini merupakan pembuka sebagai wahana untuk membuka
kesadaran dan konsentrasi terhadap latihan yang akan dijalankan. Latihan
ini meliputi :
1. Posisi tubuh telentang atau rebah di atas permadani atau tempat tidur
dengan sikap yang rileks dan posisi kaki lurus, sedikit renggang, telapak
kaki mengararah ke luar dengan nyaman. Kedua tangan di sisi tubuh,
tidak menyentuh tubuh, telapak tangan mengarah ke atas, dan mata
dipejamkan.
2. Posisi tubuh telentang atau rebah di atas permadani atau tempat tidur
dengan sikap yang rileks dan posisi kaki lurus, sedikit renggang, telapak
kaki mengararah ke luar dengan nyaman. Kedua tangan di sisi tubuh,
tidak menyentuh tubuh, telapak tangan mengarah ke atas, dan mata
dipejamkan.
3. Letakkan tangan di atas perut dan konsentrasi diarahkan pada gerak naik
turunnya perut pada tiap hembusan napas.
4. Usahakan bernapas dengan hidung, bila perlu bersihkan rongga hidung
sebelum pelatihan
5. Amati tubuh anda yang tegang, khususnya tenggorokan, dada dan perut.

Intervensi Keperawatan pada Masalah Psikososial 204

242
Pernapasan Dalam
1. Sikap berbaring/rebah di atas lantai/tikar atau tempat tidur, tekuk kedua
lutut dan regangkan kedua kaki lebih kurang 8 inchi, dengan jari
mengarah keluar. Pastikan bahwa tulang belakang lurus.
2. Amati tubuh kita yang dirasakan tegang, dengan meletakkan satu tangan
di atas perut dan tangan lainnya di atas dada.
3. Tarik napas pelan-pelan dan dalam melalui hidung masuk ke dalam
perut dan hembuskan melalui mulut,ciptakan ketenangan, relaks,
desingkan udara seperti angin seraya meniupkan udara dengan lembut
keluar. Fokuskan pada bunyi dan aliran udara pernapasan yang keluar.
4. Lanjutkan napas dalam selama lima atau sepuluh menit setiap kali, satu
atau dua kali sehari, selama dua kali seminggu, kemudian bisa
diperpanjang waktnya sampai 20 menit.
5. Pada setiap kali pernapasan dalam, gunakan waktu sejenak untuk
mengamati ketegangan tubuh anda, bandingkan antara kondisi sebelum
dan setelah latihan.
6. Bila anda sudah terbiasa latihan napas dalam/ pernapasan perut, lakukan
setiap saat anda menginginkannya atau ketika kondisi fisik atau psikis
dirasakan ada ketegangan, pada posisi duduk atau berdiri.

Latihan Napas Dalam


1. Jelaskan dan berikan contoh kepada klien sejelas mungkin, posisi tegak
atau rebah dengan rileks, tarik napas dari hidung, tahan (pada hitungan
ketiga), lalu tiup udara dari mulut pelan-pelan.
2. Peragaan bersama (redemonstrasi), bersama klien dengan
memperhatikan kondisi dan kemampuan klien, seperti pada langkah
sebelumnya dari awal sampai akhir.

Intervensi Keperawatan pada Masalah Psikososial 205

243
3. Evaluasi, tanyakan perasaan klien, bagaimana, apakah ada perasaan lega
di dada atau tempat yang dirasakan tegang sebelumnya. Berikan pujian
dan lanjutkan kegiatan berikutnya.

g. SOP Teknik napas dalam

1. Pengertian Tarik napas dalam adalah suatu tindakan keperawatan


yang berguna untuk merilekskan kondisi tubuh yang
sedang mengalami ketegangan

2.Tujuan Klien mampu mengatasi ansietas yang dialami dengan


menggunakan teknik napas dalam

3. Kebijakan 1. Pada pasien mengalami ansietas (kecuali pada pasien


yang mengalami faktur iga)

4. Ruang Lingkup 1. Pelayanan Keperawatan


2. Pelayanan Medis
3. Penunjang Medis ( Instalasi Farmasi)

5. Prosedur 1. Persiapan pasien:


Informasikan terlebih dahulu mengenai teknik napas
dalam meliputi definisi, manfaat dan cara melakukannya.
2. Persiapan alat:
Kursi, bila tidak ada dapat menggunakan karpet atau
matras.

3. Cara kerja
a. Gunakan posisi yang nyaman, posisi setengah duduk.
b. Tekuk lutut untuk meningkatkan kenyamanan.
c. Letakan satu atau kedua tangan di atas perut tepat
dibawah tulang rusuk.
d. Tarik napas melalui hidung, mulut tertutup.
e. Tahan dan rasakan rongga dada dan perut penuh

Intervensi Keperawatan pada Masalah Psikososial 206

244
dengan udara.
f. Keluarkan udara secara perlahan melalui mulut.
Hitung sampai 7

6. Dokumen terkait 1. Order terapi medis ( catatan medis)


2. Catatan keperawatan

h. SOP aroma terapi

1. Pengertian Aromaterapi adalah teknik terapi dengan menggunakan


minyak esensial tumbuhan. Bisa diminum, oles, pijat, serta
dihirup

2.Tujuan Merilekskan dan menyegarkan tubuh


3. Kebijakan 1. Pada pasien mengalami ansietas, nyeri
4. Ruang Lingkup 1. Pelayanan Keperawatan
2. Pelayanan Medis
3. Penunjang Medis ( Instalasi Farmasi)
5. Prosedur a. Persiapan alat
b. Siapkan jenis minyak aromaterapi yang digunakan.
Siapkan tempat yang kondusif untuk dilakukannya
aromaterapi karena untuk emosi sebaiknya digunakan
aromaterapi yang dihirup.

c. Cara kerja
1. Siapkan tempat yang akan digunakan
2. Klien berada di posisi dapat duduk maupun tiduran.
3. Taruh aromaterapi yang dipilih dekat dengan posisi
klien tapi jangan terlalu dekat mata.Pejamkan mata
sambil menikmati hirupan minyak aromaterapi.
Memejamkan mata diperlukan untuk membantu

Intervensi Keperawatan pada Masalah Psikososial 207

245
membangun imajinasi untuk memaksimalkan kerja
minyak esensial yang dipakai

6. Dokumen 1. Order terapi medis (catatan medis)


terkait 2. Catatan keperawatan

i. Terapi Relaksasi Progresif


1) Pengertian
Relaxasi adalah kemampuan seseorang membuat tubuhnya
menghasilkan zat2 kimia (endorphin & enkefalin) & merangsang signal
otak yang menyebabkan otot rileks serta meningkatkan aliran darah ke
otak. Progressive muscle relaxation merupakan tehnik relaksasi dengan
cara menegangkan dan merilekskan otot-otot. kontraksi dilakukan
selama 5 detik kemudian rileks selama 15 detik, saat inspirasi otot
dikontraksikan, ketika ekspirasi secara perlahan otot direlaksasikan

2) Tujuan yang diharapkan :


a) Berkurangnya kecemasan klien
b) Berkurangnya insomnia
c) Meningkatnya kontrol diri (misalnya pada perilaku kekerasan)

3) Indikasi
a) Cemas
b) Gangguan tidur (Insomnia)
c) Perilaku kekerasan

4) Kontraindikasi
Psikosis aktif atau ketidakmampuan mengenal realita

5) Pelaksanaan
a) Alat dan bahan
 AVA (musik slow)
 Tempat tidur/kursi,

Intervensi Keperawatan pada Masalah Psikososial 208

246
 Bantal

b) Langkah-langkah
 Fase orientasi
1) Salam terapeutik (perkenalan)
2) Validasi/evaluasi : Kaji status mental, adanya defisit sensori
(pendengaran, penglihatan, atau defisit neurologi yang lain),
masalah medis dan emosional.
3) Kontrak :
Waktu : tidak boleh terputus selama 15-30 menit
Tempat : terapeutik
Topik : relaksasi progresif
Jelaskan prosedur, manfaat, tujuan, dan pelaksanaan
tindakan. Anjurkan klien merasakan perubahan tubuhnya dan
jangan memikirkan masalahnya, Yakinkan klien merasa
nyaman saat relaksasi. Jika sensasi menjadi tidak nyaman
klien dapat membuka matanya untuk reorientasi diri.
Sarankan untuk berpartisipasi dengan baik. Prosedur ini akan
lebih bermanfaat bila ada keterlibatan klien. Jelaskan bahwa
perawat hanya membimbing, besarnya manfaat yang
diperoleh tergantung diri klien.

 Fase kerja
1) Atur posisi klien pada tempat duduk atau ditempat tidur yang
nyaman
2) Redupkan ruangan dan putar musik yang lembut dg vol.
pelan
3) Instruksikan klien tutup mata,
4) Anjurkan tarik nafas dalam hembuskan secara perlahan (3-6
X) dan katakan rileks (Saat menginstruksikan pertahankan
nada suara lembut)
5) Mulai proses kontraksi dan relaksasi otot diiringi tarik nafas
dan hembuskan secara perlahan meliputi :
 Wajah, rahang, mulut ( kedipkan mata, dan kerutkan
dahi, wajah lalu rileks)
 Leher (tarik dagu ke arah leher lalu rileks)

Intervensi Keperawatan pada Masalah Psikososial 209

247
 Tangan kanan (genggam kuat-kuat lalu rileks)
 Lengan kanan (kontaksikan lalu rileks)
 Tangan kiri (genggam lalu rileks)
 Lengan kiri ( tegangkan lalu rileks)
 Punggung, bahu, dada (angkat bahu lalu rileks)
 Abdomen (angkat abdomen lalu rileks)
 Tungkai kanan (tekan kebawah dengan kuat lalu rileks)
 kaki kanan (cengkramkan jari-jari lalu rileks)
 Tungkai kiri (tekan kebawah dengan kuat lalu rileks)
 kaki kiri (cengkramkan jari-jari lalu rileks)
(ulangi prosedur kontraksi-relaksasi diatas 3-6 X gerakan)
6) Nafas secara rileks 3 X lalu gerakkan kaki, tangan, lengan,
tungkai, & buka mata kembali

 Fase terminasi
1) Evaluasi (subyektif dan obyektif) perasaan, tingkat
ketegangan, dan rileks klien
2) Tindak lanjut : anjurkan klien melakukan prosedur bila
mengalami ketegangan
3) Kontrak akan datang waktu, tempat, topik (bila masih
diperlukan)

j. Terapi visualisasi
1) Pendahuluan
Terapi visualisasi merupakan proses yang menggunakan imajinasi
untuk menciptakan gambaran diri yang nyata mungkin dari keadaan
atau perilaku baru yang ingin kita bentuk. Secara berkala kegiatan
difokuskan pada perhatian tentang gambaran-gambaran mental
tersebut, sehingga diharapkan bisa menjadi kenyataan.

Terapi visualisasi ini dipopulerkan oleh Emil Cou'e apoteker dari


Prancis,sekitar akhir abad ini.Dia percaya bahwa daya imajinasi dapat
melebihi hasrat seseorang. Emil Cou'e menegaskan bahwa semua yang
ada dalam pikiran bisa menjadi kenyataan seperti apa yang anda
pikirkan.

Intervensi Keperawatan pada Masalah Psikososial 210

248
Setiap orang berhayal,melamun,mengenang dan berbicara pada diri
sendiri merupakan jenis visualisasi.Seseorang dapat menguatkan
visualisasi ini dan secara sadar memakainya untuk memperbaiki diri
dan kehidupannya.Visualisasi yaitu kesan batin yang diciptakan
dengan sadar dapat melatih diri untuk menjadi rileks dan mengabaikan
stres.

Gambaran visualisasi merupakan kombinasi pengalaman positif yang


aktual atau kejadian yang negatif yang dirasakan atau situasi untuk
perantara trauma dari kejadian yang negatif. Terapi visualisasi ini
dapat dikombinasikan dengan tehnik relaksasi agar penggunaannya
lebih efektif.

2) Pengertian
Visualisasi adalah bentuk tenaga yang menciptakan kehidupan dan
kenyataan hidup, dimana segala sesuatu adalah tenaga dan pikiran kita
yang menciptakan dunia kita. ( Gawain,Shakti,1978) Visualisasi
adalah salah satu tehnik yang digunakan untuk mengatasi stres dan
ansietas. (Mohr,2006)

3) Tujuan
Tujuan terapi visualisasi yang dikembangkan pada panduan ini
difokuskan kepada
klien dengan ansietas yaitu untuk relaksasi dan menurunkan ansietas.

4) Indikasi
Terapi visualisasi efektif dalam menanggulagi berbagai stres terkait
dan penyakit fisik termasuk sakit kepala, kram otot, nyeri kronis dan
secara umum atau kondisi khusus ansietas tidak dalam rentang panik
dan menurunnya harga diri. Terapi ini dapat dilakukan pada klien
dengan diagnosa keperawatan ansietas ringan sampai berat , harga diri
rendah sementara, dimana kondisi klien masih dapat berkomunikasi
dengan baik serta menyadari kebutuhan akan pemulihan terhadap
stress yang dialaminya.

Intervensi Keperawatan pada Masalah Psikososial 211

249
5) Jenis Visualisasi
Ada tiga jenis visualisasi untuk berubah :
a) Menerima visualisasi
Dapat dilakukan dengan tehnik relaks, kosongkan pikiran,
membuat seketsa pemandangan yang samar-samar, memberikan
pertanyaan dan tunggu jawabannya. Anda mungkin
membayangkan berada dipantai,angin sepoi-sepoi menerpa kulit
anda. Anda dapat bertanya “Mengapa saya tidak dapat relaks?”
Jawabanya mungkin muncul dalam kesadaran anda.”Karena anda
tidak dapat mengatakan tidak kepada orang lain.”

b) Program visualisasi
Program visualisasi ini dapat dilakukan dengan tehnik membuat
satu gambar, penuhi dengan pengelihatan, rasa, dan bau.
Bayangkan tujuan yang ingin anda capai atau penyembuhan yang
ingin anda percepat.

c) Panduan visualisasi
Panduan visualisasi dilakukan dengan tehnik membayangkan
diri anda secara rinci, tetapi abaikan elemen yang kritis.
Kemudian tunggu alam bawah sadar,atau bimbing dari dalam
diri anda untuk menunjukkan bagian yang hilang dari diri anda.
Anda dapat membayangkan mengunjungi tempat yang khusus
dimana anda merasa senang untuk rileks. Anda dapat
menciptakan konsep bau,rasa,rabaan, dan pandangan yang
berkaitan dengan tempat tersebut.

6) Lama Waktu untuk Mahir


Gejala dapat hilang dengan segera atau setelah beberapa minggu
latihan. Lakukan visualisasi 3 kali sehari selama 5 sampai 15 menit
yang dilakukan beberapa hari dalam seminggu agar memberikan
manfaat. Latihan visualisasi paling mudah dilakukan pada pagi dan
malam hari saat berbaring ditempat tidur. Setelah beberapa kali
latihan terapi visualisasi ini dapat dilakukan pada saat menunggu
dokter, distasiun, atau dimana seseorang membutuhkan suatu
relaksasi.
Intervensi Keperawatan pada Masalah Psikososial 212

250
7) Proses Kegiatan/pelaksanaan “panduan visualisasi” untuk ansietas

SESI I : Membantu menurunkan kecamasan dan melakukan


relaksasi dengan bantuan terapis
Tujuan
a. Klien dapat menurunkan kecemasan dengan bantuan
b. Klien dapat menurunkan ketegangan otot-otot tubuh dengan
bantuan
Setting
a. Klien dapat melakukan dengan cara duduk tegak tetapi nyaman,
atau dapat juga dengan posisi berbaring
b. Ruangan dalam kondisi,tenang,aman dan nyaman
Alat
a. Alat yang diperlukan dalam terapi ini adalah diri perawat dan
kemampuan untuk dapat berkomunikasi terapeutik.
b. Alat tulis dan buku/kertas
c. Kursi untuk perawat dan klien atau tempat tidur klien
Methode
a. Metode yang digunakan diskusi dan tanya jawab
b. Pemberian reward

Langkah – langkah Pelaksanaan


a. Persiapan
1). Membuat kontrak dengan klien
2). Mempersiapkan tempat yang kondusif dan peralatan yang
dibutuhkan

b. Orientasi
1). Salam terapeutik
- Salam dari terapis untuk klien
2). Evaluasi/validasi
- Mengeksplorasi perasaan klien
- Menanyakan masalah yang dihadapi klien.
3) Kontrak

Intervensi Keperawatan pada Masalah Psikososial 213

251
- Salam dari terapis untuk klien
2). Evaluasi/validasi
- Mengeksplorasi perasaan klien
- Menanyakan masalah yang dihadapi klien.
3) Kontrak
- Menjelaskan tujuan dari terapi dan kegiatan yang akan
dilakukan untuk menurunkan kecemasan yang dihadapi oleh
klien dengan
Intervensi bantuan terapis
Keperawatan pada Masalah Psikososial 213
- Menjelaskan langkah-langkah dari terapi dan aturan terapi yang
akan dilaksanakan klien.
- Menjelaskan waktu terapi adalah 15 menit

c. Tahap Kerja
1) Terapis memberikan contoh dengan mengambil posisi sesuai
dengan keinginan seperti duduk tegak tetapi rileks atau dapat
juga dilakukan dengan berbaring
2) Terapis kemudian memejamkan mata dengan perlahan dan
menarik nafas dalam serta menghembuskannya secara perlahan
dan membayangkan atau menggambarkan diri pada suasana atau
situasi yang menyenangkan atau berada pada tempat yang damai,
penuh ketenangan.
3) Minta klien mengambil posisi seperti terapis sesuai dengan
keinginan seperti duduk tegak tetapi rileks atau dapat juga
dilakukan dengan berbaring. Yakinkan sekali lagi klien dalam
posisi yang rileks.
4) Pandu klien untuk memejamkan mata dengan perlahan dan
menarik nafas dalam serta menghembuskannya secara perlahan.
5) Memberikan arahan pada klien untuk membayangkan atau
menggambarkan diri pada suasana atau situasi yang
menyenangkan atau berada pada tempat yang damai, penuh
ketenangan.
6) Arahkan visualisasi pada klien untuk menggambarkan secara
detail tentang suasana seperti pantai yang tenang adalah salah
satu tujuan mental yang ideal bagi kebanyakan orang.
7) Bayangkan diri anda beristirahat dipasir pantai, rasakan matahari
pada kulit anda,sang ombak menghempas pantai, suara burung
camar, angin yang berhembus sepoi-sepoi dan lihatlah kapal
yang berlayar dari kejauhan.
8) Arahkan klien untuk dapat membayangkan tempat mana saja
yang paling indah, yang paling damai dan dapat membawa
ketenangan bagi dirinya.

Intervensi Keperawatan pada Masalah Psikososial 214


252
d. Terminasi
1) Evaluasi
- Menanyakan perasaan klien setelah menjalani terapi
- Memberi pujian yang sesuai
2) Rencana Tindak lanjut
- Menganjurkan klien untuk melakukan terapi ini secara
berulang 3 kali sehari atau sesuai dengan kebutuhan
klien
- Menganjurkan klien untuk bertanya pada terapis jika
mengalami kesulitan atau masalah.
3) Kontrak yang akan datang
- Terapis membuat kesepakatan topik yang akan dibahas
pada pertemuan berikutnya yaitu melakukan visualisasi
tanpa bantuan namun dalam observasi terapis
- Terapis membuat kesepakatan waktu,tempat untuk
pertemuan yang akan datang

Evaluasi
a. Kemampuan Klien
- Ekspresi verbal dan non verbal klien selama melakukan
terapi.
- Mengevaluasi pencapaian tujuan dilakukan selama proses
berlangsung.

b. Refleksi Perawat
- Modifikasi rencana tindakan dan komunikasi terapeutik
seseuai dengan kondisi.
- Membuat persiapan untuk kontrak berikutnya

Nama Klien:..............................
Kemampuan Komunikasi Verbal
No Aspek yang dinilai Nilai Keterangan
1 Ungkapan masalah secara spontan
2 Ekspresi perasaan dan pikiran
3 Ungkapan dengan jujur dan jelas
4 Mampu berkonsentrasi

Intervensi Keperawatan pada Masalah Psikososial 215

253
5 Ungkapan cemas menurun
6 Beri pujian /umpan balik
7 Sepakat jadwal latihan visualisasi

Kemampuan Komunikasi Non Verbal


No Aspek yang dinilai Nilai Keterangan

1 Memejamkan mata
2 Ekspresi wajah
3 Otot-otot terlihat melemas/rileks
4 Tulis jadwal

Catatan rentang nilai 1-4 , 1= tidak ada, 2= jarang, 3= kadang


– kadang, 4=konsisten

c. Dokumentasi
- Terapis mendokumentasikan pencapaian hasil dari terapi yang
berlangsung.
- Terapi mendokumentasikan rencana kegiatan yang akan
dilakukan
- Mendokumentasikan kegiatan dalam buku kegiatan klien.

SESI II : Melakukan visualisasi mandiri namun dalam observasi


terapis
Tujuan
a. Klien dapat menurunkan kecemasan mandiri dalam observasi
terapis
b. Klien dapat menurunkan ketegangan otot-otot tubuh mandiri
dalam observasi terapis
Setting
a. Klien dapat melakukan dengan cara duduk tegak tetapi
nyaman, atau dapat juga dengan posisi berbaring
b. Ruangan dalam kondisi,tenang,aman dan nyaman

Intervensi Keperawatan pada Masalah Psikososial 216

254
Alat
a. Alat yang diperlukan dalam terapi ini adalah diri perawat dan
kemampuan untuk dapat berkomunikasi terapeutik.
b. Alat tulis dan buku/kertas
c. Kursi untuk perawat dan klien atau tempat tidur klien

Methode
a. Metode yang digunakan diskusi dan tanya jawab
b. Pemberian reward

Langkah – langkah Pelaksanaan


a. Persiapan
1). Membuat kontrak dengan klien
2). Mempersiapkan tempat yang kondusif dan peralatan yang
dibutuhkan

b. Orientasi
1). Salam terapeutik
- Salam dari terapis untuk klien
2). Evaluasi/validasi
- Mengeksplorasi perasaan klien
- Menanyakan masalah yang dihadapi klien terkait dengan
PR yang diberikan
3) Kontrak
- Menjelaskan tujuan dari terapi dan kegiatan yang akan
dilakukan untuk menurunkan kecemasan yang
dihadapi oleh klien
- Menjelaskan langkah-langkah dari terapi dan aturan
terapi yang akan dilaksanakan klien.
- Menjelaskan waktu terapi adalah 15 menit

c. Tahap Kerja
1) Klien dimintai secara mandiri mengambil posisi sesuai
dengan keinginan seperti duduk tegak tetapi rileks atau
dapat juga dilakukan dengan berbaring. Yakinkan sekali lagi
klien dalam posisi yang rileks.

Intervensi Keperawatan pada Masalah Psikososial 217

255
2) Pandu klien untuk memejamkan mata dengan perlahan dan
menarik nafas dalam serta menghembuskannya secara
perlahan.
3) Memberikan arahan pada klien untuk membayangkan atau
menggambarkan diri pada suasana atau situasi yang
menyenangkan atau berada pada tempat yang damai, penuh
ketenangan.
4) Arahkan visualisasi pada klien untuk menggambarkan secara
detail tentang suasana seperti pantai yang tenang adalah
salah satu tujuan mental yang ideal bagi kebanyakan orang.
5) Bayangkan diri anda beristirahat dipasir pantai, rasakan
matahari pada kulit anda,sang ombak menghempas pantai,
suara burung camar, angin yang berhembus sepoi-sepoi dan
lihatlah kapal yang berlayar dari kejauhan.
6) Arahkan klien untuk dapat membayangkan tempat mana saja
yang paling indah, yang paling damai dan dapat membawa
ketenangan bagi dirinya.
7) Terapis melakukan observasi sambil memberikan petunjuk
minimal terhadap klien

d. Terminasi
1) Evaluasi
- Menanyakan perasaan klien setelah menjalani terapi
- Memberi pujian yang sesuai
2) Rencana Tindak lanjut
- Menganjurkan klien untuk melakukan terapi ini secara
berulang 3 kali sehari atau sesuai dengan kebutuhan
klien
- Menganjurkan klien untuk bertanya pada terapis jika
mengalami kesulitan atau masalah.
3) Kontrak yang akan datang
- Terapis membuat kesepakatan topik yang akan dibahas
pada pertemuan berikutnya yaitu melakukan visualisasi
tanpa bantuan terapis
- Terapis membuat kesepakatan waktu,tempat untuk
pertemuan yang akan datang

Intervensi Keperawatan pada Masalah Psikososial 218

256
Evaluasi
a. Kemampuan Klien
- Ekspresi verbal dan non verbal klien selama melakukan
terapi.
- Mengevaluasi pencapaian tujuan dilakukan selama proses
berlangsung.

b. Refleksi Perawat
- Modifikasi rencana tindakan dan komunikasi terapeutik
seseuai dengan kondisi.
- Membuat persiapan untuk kontrak berikutnya

Nama Klien:..............................
Kemampuan Komunikasi Verbal
No Aspek yang dinilai Nilai Keterangan
1 Ungkapan masalah secara spontan
2 Ekspresi perasaan dan pikiran
3 Ungkapan dengan jujur dan jelas
4 Mampu berkonsentrasi
5 Ungkapan cemas menurun
6 Beri pujian /umpan balik
7 Sepakat jadwal latihan visualisasi

Kemampuan Komunikasi Non Verbal


No Aspek yang dinilai Nilai Keterangan

1 Memejamkan mata
2 Ekspresi wajah
3 Otot-otot terlihat melemas/rileks
4 Tulis jadwal

Catatan rentang nilai 1-4 , 1= tidak ada, 2= jarang, 3= kadang


– kadang, 4=konsisten

Intervensi Keperawatan pada Masalah Psikososial 219

257
c. Dokumentasi
- Terapis mendokumentasikan pencapaian hasil dari terapi
yang berlangsung.
- Terapi mendokumentasikan rencana kegiatan yang akan
dilakukan
- Mendokumentasikan kegiatan dalam buku kegiatan klien.

SESI III : Melakukan visualisasi mandiri


Tujuan
a. Klien dapat menurunkan kecemasan mandiri
b. Klien dapat menurunkan ketegangan otot-otot tubuh mandiri

Setting
a. Klien dapat melakukan dengan cara duduk tegak tetapi nyaman,
atau dapat juga dengan posisi berbaring
b. Ruangan dalam kondisi,tenang,aman dan nyaman

Alat
a. Alat yang diperlukan dalam terapi ini adalah diri perawat dan
kemampuan untuk dapat berkomunikasi terapeutik.
b. Alat tulis dan buku/kertas
c. Kursi untuk perawat dan klien atau tempat tidur klien

Methode
a. Metode yang digunakan diskusi dan tanya jawab
b. Pemberian reward

Langkah – langkah Pelaksanaan


a. Persiapan
1). Membuat kontrak dengan klien
2). Mempersiapkan tempat yang kondusif dan peralatan yang
dibutuhkan

Intervensi Keperawatan pada Masalah Psikososial 220

258
b. Orientasi
1). Salam terapeutik
- Salam dari terapis untuk klien
2). Evaluasi/validasi
- Mengeksplorasi perasaan klien
- Menanyakan masalah yang dihadapi klien terkait dengan
PR yang diberikan
3) Kontrak
- Menjelaskan tujuan dari terapi dan kegiatan yang akan
dilakukan untuk menurunkan kecemasan yang dihadapi
oleh klien
- Menjelaskan langkah-langkah dari terapi dan aturan terapi
yang akan dilaksanakan klien.
- Menjelaskan waktu terapi adalah 15 menit

c. Tahap Kerja
1) Klien dimintai secara mandiri mengambil posisi sesuai
dengan keinginan seperti duduk tegak tetapi rileks atau dapat
juga dilakukan dengan berbaring. Yakinkan sekali lagi klien
dalam posisi yang rileks.
2) Klien memejamkan mata dengan perlahan dan menarik nafas
dalam serta menghembuskannya secara perlahan.
3) Klien membayangkan atau menggambarkan diri pada
suasana atau situasi yang menyenangkan atau berada pada
tempat yang damai, penuh ketenangan.
4) Arahkan visualisasi pada klien untuk menggambarkan secara
detail tentang suasana seperti pantai yang tenang adalah
salah satu tujuan mental yang ideal bagi kebanyakan orang.
5) Bayangkan diri anda beristirahat dipasir pantai, rasakan
matahari pada kulit anda,sang ombak menghempas pantai,
suara burung camar, angin yang berhembus sepoi-sepoi dan
lihatlah kapal yang berlayar dari kejauhan.
6) Arahkan klien untuk dapat membayangkan tempat mana saja
yang paling indah, yang paling damai dan dapat membawa
ketenangan bagi dirinya.

Intervensi Keperawatan pada Masalah Psikososial 221

259
d. Terminasi
1) Evaluasi
a. Menanyakan perasaan klien setelah menjalani terapi
b. Memberi pujian yang sesuai

2) Rencana Tindak lanjut


a. Menganjurkan klien untuk melakukan terapi ini secara
berulang 3 kali sehari atau sesuai dengan kebutuhan
klien
b. Menganjurkan klien untuk bertanya pada terapis jika
mengalami kesulitan atau masalah.

3) Kontrak yang akan datang


a. Terapis membuat kesepakatan untuk melakukan
evaluasi secara berkala

Evaluasi
a. Kemampuan Klien
 Ekspresi verbal dan non verbal klien selama melakukan
terapi.
 Mengevaluasi pencapaian tujuan dilakukan selama proses
berlangsung.

b. Refleksi Perawat
 Modifikasi rencana tindakan dan komunikasi terapeutik
seseuai dengan kondisi.
 Membuat persiapan untuk kontrak berikutnya

Nama Klien:..............................
Kemampuan Komunikasi Verbal
No Aspek yang dinilai Nilai Keterangan
1 Ungkapan masalah secara
spontan
2 Ekspresi perasaan dan pikiran
3 Ungkapan dengan jujur dan
jelas

Intervensi Keperawatan pada Masalah Psikososial 222

260
No Aspek yang dinilai Nilai Keterangan
4 Mampu berkonsentrasi
5 Ungkapan cemas menurun
6 Beri pujian /umpan balik
7 Sepakat jadwal latihan
visualisasi

Kemampuan Komunikasi Non Verbal


No Aspek yang dinilai Nilai Keterangan

1 Memejamkan mata
2 Ekspresi wajah
3 Otot-otot terlihat melemas/rileks
4 Tulis jadwal

Catatan rentang nilai 1-4 , 1= tidak ada, 2= jarang, 3= kadang


– kadang, 4=konsisten

c. Dokumentasi
- Terapis mendokumentasikan pencapaian hasil dari terapi
yang berlangsung.
- Terapi mendokumentasikan rencana kegiatan yang akan
dilakukan
- Mendokumentasikan kegiatan dalam buku kegiatan klien.

Intervensi Keperawatan pada Masalah Psikososial 223

261
262
DAFTAR PUSTAKA DAFTAR PUSTAKA

Amenta, M.B.N. (1982). Nursing care of the terminally ill. Boston MA, Little:
Brown and Company.
American Psychiatric Association (2000) Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders (4th edition revision) (DSM-IV-TR). Washington, DC:
Author.
American Psychological Association. (2001). Publication manual of the American
Psychological Association. (5th Ed.), Washington, DC: American
Psychological Association
American Psychological Association. (2007). Anxiety; APA Provides Disaster and
Mental Health Resources for Those Impacted by the California Fires
Medical Verdicts & Law Weekly. Atlanta: Nov 8, 2007. pg. 112
http://proquest.umi.com/pqdweb?did=1375763171&sid=9&Fmt=3&clientI
d=45625&RQT=309&VName=PQD diperoleh pada tanggal 16 Juni 2009
Akbar, A.A. (2007) Konspirasi di Balik Lumpur Lapindo. Yogyakarta: Galang
Press
Atkinson, dkk (2003). Psikologi. Batam: PT. Interaksara
Antai-Otong, D. (2003). Psychiatric Nursing: Biological & behavioral concepts.
United States of America: Delmar learning.
Bond, A.J. & Lader, M.H. (1996). Understanding drug treatment in mental health
care. Wiley: Chichester.
Burns, N., & Grove, K.T. (2003). Understanding nursing research. (2nd ed),
Philadelphia: WB Saunders Company.
Budaya hilang, kehidupan korban muram. Portal Korban Lapindo
(2009.http://www.korbanlapindo.net diakses tanggal 12 Januari 2009)
Bhugra, D dan Ommeren, M.V (2006). Mental health, psychosocial support and the
tsunami.International Review of Psychiatry. Vol. 18, Iss. 3; pg.
http://proquest.umi.com/pqdweb?did=1149678081&sid=9&Fmt=2&clientI
d=45625&RQT=309&VName=PQD diperoleh pada tanggal 25 Maret 2009
Canadian Mental Health Association (2009) Post Traumatic Stress Disorder

219

263
Carson, V.B. (2000). Mental Health Nursing: The nurse-patient journey. (2th ed.).
Philadelphia: W.B. Sauders Company.
Chou, F.H., et.al (2007) Post-Traumatic Stress Disorders Risk Factors; Research in
the area of post-traumatic stress disorders risk factors. Mental Health
Weekly Digest. Atlanta: Aug 6, 2007. pg. 274.
http://proquest.umi.com/pqdweb?did=1313357761&sid=9&Fmt=3&clientI
d=45625&RQT=309&VName=PQDdiperoleh pada tanggal 16 Juni 2009
CMHN (2006). Modul Community Mental Health Nursing. Jakarta: WHO-FIK UI
Corr, Nabe dan Corr (2000, dalam http://family.jrank.org/Grief-Loss-Bereavement-
Consequences-Grief.html, diperoleh tanggal 1 April 2007)
Creswell, J.W. (1998). Qualitative inquiry and research design: choosing among
five tradition. United States of America (USA): Sage Publication Inc.
Davis, M. Dkk. (1995). Panduan Relaksasi & Reduksi Stres, Edisi III, EGC,
Jakarta
Davis, M., Eshelman, E.R., & M’Kay, M. (2008). The relaxation and stress
reduction workbook. (6th ed.).
Daymon, C & Holloway, I (2008) Riset Kualitatif dalam Public Relations &
Marketing Communications. Yogyakarta: PT Benteng Pustaka.
Delvin, Ng (1996) Call to alleviate long-term effects of Bhopal gas disaster.
The Lancet. London: Dec 14, 1996. Vol. 348, Edisi 9042; pg. 1652, 1 pgs
http://proquest.umi.com/pqdweb?did=10553853&sid=7&Fmt=3&clientId=
45625&RQT=309&VName=PQD diperoleh pada tanggal 16 Juni 2009
Departemen Kesehatan R. I.. (1993). Pedoman penggolongan dan diagnosis
gangguan jiwa di Indonesia III. Jakarta: Departemen Kesehatan.
Domino, M.E., et.al (2003) Disasters and the public health safety net: Hurricane
Floyd hits the North Carolina Medicaid program. American Journal of
Public Health. Washington: Jul 2003. Vol. 93, Edisi 7; pg. 1122
http://proquest.umi.com/pqdweb?did=415740721&sid=7&Fmt=4&clientId
=45625&RQT=309&VName=PQD diperoleh pada tanggal 16 Juni 2009
Dochterman, J.M., & Bulechek, G.M. (2004). Nursing Intervention Classification
(NIC). (4th ed.). St. Louis: Mosby

220
264
Durham RC, Murphy T, Allan T, Richard K, Treliving LR, Fenton GW. Cognitive
therapy, analytic psychotherapy and anxiety management for generalised
anxiety disorder. Br J Psychiatry. 1994; 165:315–323
Dwiputri, R (2007) Sigmund Freud: Mekanisme Pertahanan Diri.
http://bahas.multiply.comjournal/item/27 diperoleh tanggal 13 Juli 2009
Effendy, N (1998). Dasar-Dasar keperawatan Kesehatan masyarakat. Jakarta:
EGC.
Ellison, A., & Levin, J.S. (1998). The religion-health connection: Evidence, theory,
and future directions. Health education & behavior, 25, 700-720
Farley, L. M., DeMaso, D. R., D’Angelo, E., Kinnamon, C., Bastardi, H., Hill, C.
E., et al. (2007). Parenting stress and parental post-traumatic stress disorder
in families after pediatric heart transplantation. The Journal of Heart and
Lung Transplantation, 26(2), 120–126.
Fortinash, K.M. dan Worret, P.A.H. (2004). Psychiatric Mental Health Nursing.
(3rd ed.). St. Louis: Mosby
nd
Friedman, M. M., (2003) Family mursing: Research, theori & practice. (5 ed).
Connecticut: Appleton & Lange.
Friedman, M. M., Bowden, V.R., & Jones.E.G. (2003) Family mursing: Research
theori & practice. (4nd ed). Jew Jersey: Prentice Hall.
Gaharpung, A (2007) Studi Fenomenologi Tentang Respon Psikososial Kehilangan
Dan Berkabung Pada Individu Yang Mengalami Gempa Bumi Dan
Tsunami Di Pangandaran Kabupaten Ciamis. Tesis. Tidak dipublikasikan.
Ganong, W F. (1999). Fisiologi Kedokteran, Buku Ajar, Edisi 17, EGC, Jakarta.
Gerungan. W.A (2004) Psikologi Sosial. Bandung. Rafika Aditama
Hamid, A.Y.S. (1999). Aspek Spiritual dalam Keperawatan. Jakarta: Widya
Medika.
Harus Berani Bersikap Tegas. (Portal Korban Lapindo, 2009 ¶ 4
http://www.korbanlapindo.net diakses tanggal 12 Januari 2009)
Harvey & Weber (1998 dalam http://family.jrank.org/Grief-Loss-Bereavement-
Consequences-Grief.html, diperoleh tanggal 30 Maret 2007)
Hebert, R.S., Jenckes, M.W., Ford, D.E., O’Connor, D.R., & Cooper, L.A. (2001).
Patient perspectives on spirituality and the patient-psysician relationship.
Juornal of Genaral Internal Medicine,16(10), 685-692.

221
265
Hidayat, 2005, ¶ 2, http://www.pikiran.rakyat.com diperoleh pada tanggal 3
Pebruari 2009)
HPNA (2005) Spiritual Distress. http://www.hpna.org/PatientEducation.asp.
diperoleh tanggal 13 Juli 2009
IOM (2006). The Department of Social Medicine from Harvard Medical School
dan Syiah Kuala University (SKU). Penelitian Kebutuhan Psikososial
Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen
dan aceh utara. www.iom.or.iddiperoleh pada tanggal 25 Maret 2009
Irish (1993), http://family.jrank.org/Grief-Loss-Bereavement-Consequences-
Grief.html, diperoleh tanggal 30 Maret 2009)
Isaacs, A. (2001). Panduan Belajar: Keperawatan Kesehatan Jiwa dan Psikiatrik.
Jakarta: EGC
Iseri, P. K., Ozten, E., & Aker, A. T. (2006). Posttraumatic stress disorder and
major depressive disorder is common in parents of children with epilepsy.
Epilepsy and Behavior, 8, 250–255.
Iskandar Y (1994). Mengatasi Anxietas, Yayasan Dharma Graha
Jacob, B, at al (2008). Disaster Mythology and Fact: Hurricane Katrina and Social
Attachment. Public Health Reports. Vol. 123, Iss. 5; pg. 555.
http://proquest.umi.com/pqdweb?did=1542305851&sid=9&Fmt=2&clientI
d=45625&RQT=309&VName=PQD diperoleh pada tanggal 25 Maret 2009
Johson, G.S (2008) Environmental Justice and Katrina: A Senseless Environmental
Disaster. Western Journal of Black Studies. Pullman: Spring 2008. Vol. 32,
Edisi 1; pg. 42, 11 pgs.
http://proquest.umi.com/pqdweb?did=1614449071&sid=8&Fmt=3&clientId=
45625&RQT=309&VName=PQDdiperoleh pada tanggal 16 Mei 2009
JICA & STKS (2006). Pedoman Aktivitas perawatan kesehatan mental Tingkat
lokal pasca bencana. 2001 Welfare Science Labour Sciences Research
Grant Recipient (Special Research Program for Welfare Studies). Diperoleh
tanggal 29 Maret 2009
Jurbergs, N., Long, A., Ticona, L., & Phipps, S. (2007). Symptoms of
posttraumatic stress in parents of children with cancer: Are they elevated
relative to parents of healthy children?. Journal of Pediatric Psychology,
Dec. 11 (Epub ahead of print).
Kaplan, H.L., Sadock, B.J., & Grebb, J.A. (1994). Kaplan and Sadock’s synopsis of
psychiatry. (7th ed.) Baltimore: Williams & Wilkins.
222
266
Kazak, A. E., Alderfer, M., Rourke, M. T., Simms, S.,Streisand, R., & Grossman,
J. R. (2004). Posttraumatic stress disorder (PTSD) and posttraumatic stress
symptoms (PTSS) in families of adolescent childhood cancer survivors.
Journal of Pediatric Psychology, 29(3),211–219.
Kazak, A. E., Boeving, C. A., Alderfer, M. A., Hwang, W., & Reilly, A. (2005).
Posttraumatic stress symptoms during treatment in parents of children with
cancer. Journal of Clinical Oncology, 23, 7405–7410.
Kehidupan Sosial Budaya Hancur, Upaya Pemulihan Nol. (Portal Korban Lapindo
2009, ¶ 4, http://www.korbanlapindo.net diakses tanggal 12 Januari 2009)
Keliat Budi Anna, dkk. (2005). Modul Basic Course Commnunity Mental Health
Nursing.Kerjasamadengan FIK – UI, WHO. Jakarta.
Keliat, B A. (2012). Teknik dan Strategi Penanggulangan Dampak Psikososial
Pada Bencana, Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
Keliat, B A. (2012). Manajemen Stres, Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia
Koenig, H.G., & Larson, D.B. (1998). Use of hospital services, religious
attendance, and religious affiliatio. Southern Medical Journal, 18, 925-932.
Kohn, R (2005) Psychological and Psychopathological Reactions in Honduras
Following Hurricane Mitch: implicationsfor service planning.
http//www.scielosp.org. diperoleh tanggal 14 Pebruari 2009
Kompas (2007). Banjir Lumpur Banjir Janji. Jakarta: Kompas Media Nusantara
Korban di Luar Peta Makin terabaikan.. (Portal Korban Lapindo, 2009, ¶ 2,
http://www.korbanlapindo.net diakses tanggal 12 Januari 2009)
Korban Menagih Janji PT MLJ. (Portal Korban Lapindo, 2009, ¶ 2
http://www.korbanlapindo.net diakses tanggal 12 Januari 2009)
Kozier, B.dkk. (2004). Fundamentals of Nursing; concepts, process, and practice.
Seventh edition. New Jersey : Prentice hall.
Kubler-Ross E. (1969). On Death and Dying. New York: Mac Millan.
Landolt, M. A., Vollrath, M. E., Laimbacher, J., Gnehm, H. E., & Sennhauser, F.
H. (2005). Prospective study of posttraumatic stress disorder in parents of
children with newly diagnosed type 1 diabetes. Journal of the American
Academy of Child and Adolescent Psychiatry, 44(7), 682–689.
223
267
Lazarus, R.S., Delongis, A., Folkman, S., & Gruen, R., (1985). Stress and
adaptation outcome. American Psychologist, 40, 770-779. Diakses pada
tanggal 3 Maret 2007)
Mangoenpoerojo, R.B (2008) Kerugian Bangsa Akibat Lumpur Lapindo. Bandung:
Visibuku Infi Indonesia
Manne, S., Du Hamel, K., Gallelli, K., Sorgen, K.,& Redd, W. H. (1998).
Posttraumatic stress disorder among mothers of pediatric cancer survivors:
Diagnosis, comorbidity, and utility of the PTSD Checklist as a screening
instrument. Journal of Pediatric Psychology, 23, 357–366.
Manne, S., DuhHamel, K., Ostroff, J., Parsons, S., Martini, R., Difede, J., et al.
(2004). Anxiety, depressive and posttraumatic stress disorders among
mothers of pediatric HSCT survivors. Pediatrics, 113, 1700–1708.
Marks, I. M. (2000). Fears and Phobias, London: Heinemann Medical Books.
McCubbin, H.I., & Thompson, A.I. (1991). Family assessment inventories for
research and practice. Madison: University of Wisconsin.
Medscape, Inc. (2000). Theories of panic disorder: Psychiatry & mental health
clinical management, Section II.www.medscape.com/viewarticle/419254_2.
Diakses tanggal 28 April 2009.
Mirdasy (2007) Bernafas dengan Lumpur. Yogyakarta: M.I Press
Mieko, I (2009) e-learning disaster.Jakarta: FIK UI
Mohr. W.K. (2006) Psychiatric Mental health Nursing. (6th ed).Philadelphia.
Lippincott Williams & Wilkins.
Moloeng, L.J., (2006). Metodologi penelitian kualitatif, Bandung : PT. Remaja
Putra Karya.
Nanda. (2005). Nursing Diagnoses : Definitions & Clacification 2005-2006.
Philadelphia USA : NANDA International
NANDA. (2007). Nursing diagnoses: Definitions & clacification 2007-2008.
Philadelphia USA: NANDA International
Nicolini, H., Cruz, C., Camarena, B.,Paez, F., & De la Fuente, J.R. (1999).
Understanding the genetic basis of obsessive-compulsive disorder. CNS
Spectrums, 4 (5). 32-34, 47-48.
Norris, F.H (2008). Psychosocial Resources in the Aftermath of Natural and
Human-Caused Disasters: A Review of the Empirical Literature, with
Implications for Intervention. National Center for
PTSDhttp://www.ncptsd.va.gov/ncmain/ncdocs/fact_shts/fs_resources.html
224
268
?opm=1&rr=rr51&sr... diperoleh pada tanggal 25 Maret 2009
Pargament, K.I., Smith, B.W., Koenig, H.G., & Perez, I. (1998). Patterns of
positive and negative religious coping with major life stressors. Journal for
the scientific study of religion, 37, 710-724.
Penanggulangan Bencana Alam. I Power Blogger. (Seta Wiriawan, 2009, ¶ 2,
http://google.com diakses tanggal 12 Januari 2009)
Peplau, H. (1963). Interpersonal relations in nusing. New York: Springer.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2008 Tentang Perubahan
Atas Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 Tentang Badan
Penanggulangan Lumpur Sidoarjo
Perrett, S.E., (2007) Review of Roy Adaptation Model-Based Qualitative
ResearchNursing Science Quarterly. Pittsburgh: Oct 2007. Vol. 20, Iss. 4;
pg. 349
http://proquest.umi.com/pqdweb?did=1358262641&sid=21&Fmt=2&client
Id=45625&RQT=309&VName=PQD diperoleh pada tanggal 14 Pebruari
2009
Petterson, J.S., et.al (2006) A Preliminary Assessment of Social and Economic
Impacts Associated with Hurricane Katrina American Anthropologist.
Washington: Dec 2006. Vol. 108, Edisi 4; pg. 643, 28 pgs
http://proquest.umi.com/pqdweb?did=1192716081&sid=5&Fmt=4&clientI
d=45625&RQT=309&VName=PQD diperoleh tanggal 25 Maret 2009
Phipps, S., Long, A., Hudson, M., & Rai, S. N. (2005). Symptoms of post-
traumatic stress in children with cancer and their parents: Effects of
informant and time from diagnosis. Pediatric Blood Cancer, 45, 952–959.
Poerwandari, E.K. (2005). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku
manusia. (ed-3), Jakarta: Perfecta LPSP3. Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia.
Queree, Matthew. (2007). Cognitive behavioral therapy: Core information
document march 2007. British Columbia: Ministry of Health.
www.carmha.ca, diakses tanggal 28 April 2009)
Rang, H.P., Dale, M.M. & Ritter, J.M. (1995). Pharmacology. (3rd ed.). Churchill
Livingstone: Edinburgh.
Rao, K (2006) Psychosocial support in disaster-affected communities.
International Review of Psychiatry. Abingdon: Dec 2006. Vol. 18, Iss. 6;
pg. 501

225
269
http://proquest.umi.com/pqdweb?did=1237467351&sid=9&Fmt=2&clientI
d=45625&RQT=309&VName=PQD. diperoleh pada tanggal 25 Maret
2009
Ranjabar, J. (2008). Perubahan Sosial Dalam Teori Makro. Pendekatan Realitas
Sosial. Alfabeta. Bandung
Rinomhota, A.S. & Marshall, P. (2000). Biological aspects of mantal health
nursing. London: Churchill Livingstone.
Roerig, J.L. (1999). Diagnosis and manajement of generalized anxiety disorder.
Journal of American Pharmaceutical Association. 39
Sadock, B.J. & Sadock, V.A. (2003). Synopsis of psychiatry: Behavioral science/
clinical psychiatry. (9th ed.). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Santamaria, B (1995). Community Health Nursing Theory & Practice. New Jersey:
Parson Education.
Sara, dkk. (2002). Religious/ spiritual coping in childhood cystic fibrosis: a
qualitative study. Journal of the American academy of pediatrics, 109, 1-11.
Diakses pada tanggal 13 Juli 2009 dari www.pediatrics.org
Scheper dan Hughes (1985, dalam http://family.jrank.org/Grief-Loss-Bereavement-
Consequences-Grief.html, diperoleh tanggal 1 April 2007),
Shives, L.R. (2005). Basic Concept of Psychiatric-Mental Health Nursing.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Smit, A (2005) Mengungkap Kepribadian Anda. Jakarta. PT. Buana Ilmu Populer
Solehudin, U (2005). Business Continuity and Disaster Recovery Plan.
http//www.bebas.vslm.org. diperoleh tanggal 12 Januari 2009
Speziale, H.J.S., & Carpenter, D.R. (2003). Qualitative research in nursing:
Advancing the humanictic imperative. (3rd ed.). Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins
Stanhope & Lancaster (2002). Commuinity Health Nursing. Promoting Health
Agregates, Families, and Individuals, St. Louis Mosby
Stanhope & Lancaster (1996). Commuinity Health Nursing. Promoting Health
Aggregates, Families, and Individuals, St. Louis Mosby
Stone, Marquire, & Eigsti (2002) Comprehensive Community Health Nursing
Family, Aggregate, & Community Practice, St. Louis Mosby
Stuart,G.W. & Laraia, M.T. (2001). Principles And Practice Of Psychiatric
226
270
Nursing. (5th edition). St Louis: Mosby
Stuart,G.W. & Laraia, M.T. (2005). Principles And Practice Of Psychiatric
Nursing. (7th edition). St Louis: Mosby
Streuebert, H.J., & Carpenter, D.R., (1999). Qualitative Research In Nursing
Advancing Humanistic Imperative.( 2nd ed), Philadelphia: Lippincott.
Stein, R.E.K., Jessop, D.J., & Ireys, H.T. (1988). Prevention of emotional problems
in children with cronic illness and their families. In L.A. Bond, & B.M.
Wagner (eds), Families in transition: Primaryprevention programs that
work. Newbury Park, Calif.: Sage.
Sugiono. (2007). Metode Penelitian Kualitatif. (edisi 12). Bandung: Albeta.
Tawi, M (2008) Distres Spiritual. http://Sychaceh.wordpress.com diperoleh 13 Juli
2009
Tepper, L., Rogers, S.A., Coleman, E.M., & Malony, H.M. (2001). The prevalence
of religious coping among persons with persistent mental illness.
Psychiatric Service. 52, 660-665.
Tomey, Ann Marriner,(1994), Nursing theorist and their work, (3rd ed), St.Louis:
Mosby.
Tomey & Alligood. (2006). Nursing Theories and Their Work. 6th edition. St
Louis: Mosby
Tomoko, O (2009) e-learning disaster.Jakarta: FIK UI
Tuck, I., Alleyne, R., dan Thinganjana, W. (2006). Spirituality and stress
management in healthy adults. Journal of holistic nursing, 24, 245-253,
http://jhn.sagepub.com diakses pada tanggal 13 Juli 2009).
UUD Negara Republik Indonesi Tahun 1945
UU RI No 24 th 2007 tentangPenanggulanganbencana
Varcorolis, E.M. (2000). Psychiatric Nursing Clinical Guide: assessment tools and
diagnosis.Philadelphia: W.B.SaundersCompany.
Videbeck, S.L. (2001). Psychiatric Mental Health Nursing. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins.
Warga di Wilayah Peta Terdampak Enggan Pindah. (Portal Korban Lapindo, 2009,
¶ 3.http://www.korbanlapindo.net diperoleh tanggal 12 Januari 2009)
Wheeler, K (2008) Psychotherapy for The Advanced Practice Psychiatric Nurse.
227
271
St. Louis, Missouri. Mosby Elsevier
Wikipedia (2013). Banjir Lumpur Panas Sidoarjo.
http://id.wikipedia.org/wiki/Banjir_lumpur_panas_Sidoarjo diperoleh pada
tanggal 21 April 2013
Wolpe, J. (1974). The practiceof behavior therapy. New York: Academic Press.
WHO (2003). Mental Health in Emergencies. Geneva: WHO.
(http://www.who.int/mental_health/media/en/640.pdf) diperoleh pada
tanggal 1 Maret 2009
_____ http://www.who.int/mental_health/resources/tsunami diperoleh pada tanggal
1 Maret 2009
Williams, R (2007) The psychosocial consequences for children of mass violence,
terrorism and disasters International Review of Psychiatry. Abingdon: Jun
2007. Vol. 19, Edisi 3; pg. 263
http://proquest.umi.com/pqdweb?did=1326177211&sid=5&Fmt=2&clientId=
45625&RQT=309&VName=PQD diperoleh pada tanggal 16 Mei 2009
Zeller, J.L (2008) Impact of Conjoined Exposure to the World Trade Center
Attacks and to Other Traumatic Events on the Behavioral Problems of
Preschool Children. JAMA. Chicago: Apr 9, 2008. Vol. 299, Iss. 14; pg. 1650
http://proquest.umi.com/pqdweb?did=1469376171&sid=3&Fmt=2&clientId=
45625&RQT=309&VName=PQD diperoleh pada tanggal 16 Mei 2009
Yayasan IDEP (2005) Panduan Umum Penanggulangan Berbasis Masyarakat.

228
272
GLOSARIUM

Bencana : peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan


mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat
yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor
non alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan,

kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

Berkabung : Proses perilaku/aktivitas setelah kesedihan/dukacita


berlangsung

Cemas : peristiwa kejiwaan yang dapat dialami oleh siapa saja,


sangat berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak
berdaya, terjadi tanpa objek yang spesifik, sifatnya
subjektif namun dapat dikomunikasikan dalam hubungan
interpersonal

Cognitive : merupakan psikoterapi jangka pendek, yang menjadi


Behaviour Therapy dasar bagaimana seseorang berfikir dan bertingkah laku
positif dalam setiap interaksi.
Community Mental : Bentuk pelayanan keperawatan yang langsung dilakukan
Health Nursing di masyarakat dengan pendekatan lintas sektor untuk
meningkatkan partisipasi masyarakat

Defusing : sarana pengungkapan tekanan/beban/ emosi

Duka Cita : respon emosional yang dialami berhubungan dengan


kehilangan, dimanifestasikan melalui pikiran, perasaan
dan perilaku yang bercampur dengan stres berat dan

228
273
penderitaan.

Intervensi : pemberian layanan kesehatan mental yang tidak hanya


psikososial berbasis pada layanan yang diberikan di rumah sakit
jiwa, namun lebih mengarah pada layanan yang diberikan
dalam komunitas yang sifatnya lebih informal

Intuiting : Kegiatan merenungkan, menganalisis, dan


mendeskripsikan fenomena sebagai langkah awal peneliti
untuk memulai berinteraksi dan memahami fenomena
yang akan diteliti.

Kehilangan : situasi saat ini atau yang akan terjadi (resiko), saat
dimana sesuatu yang bernilai menjadi berbeda nilainya,
tidak lagi ada ataupun bahkan hilang

Personal Self : Konsep diri yang berkaitan dengan konsistensi diri, ideal
diri, moral- etik dan spiritual diri orang tersebut

Post Traumatic : Suatu bentuk gangguan atau ketidakseimbangan


Stress Disorder emosi/psikis yang disebabkan oleh kejadian

Physical Self : Konsep diri yang berkaitan dengan bagaimana seseorang


memandang dirinya berhubungan dengan sensasi
tubuhnya dan gambaran tubuhnya,

Psikoterapi : Suatu teknik yang berfokus pada pemecahan masalah


untuk membantu klien menyelesaikan konflik utama
yang dihadapi klien dari dimensi fisik, psikologis, sosial
kultural dan spiritual, bertujuan untuk merubah perilaku
maladaptif melalui distorsi kognitif.
Snubbing unit : suatu alat untuk menghentikan luapan Lumpur

Relief well : tehnik mencari pusat semburan pada kedalaman tertentu

229
274
dengan cara ngebor miring

Water treatment : suatu cara pengenceran air lumpur sebelum dibuang ke


sungai atau badan air

Spilway : mengalirkan lumpur ke sungai dengan cara memompa

230
275
276
INDEKS

A 200, 201, 202, 203, 205


Adaptasi Roy · 64, 69 CBT · 52, 56, 57
adaptif · 56, 57, 59, 60, 62, 63, 64, 69, 85, cemas · 8, 15, 16, 24, 32, 51, 67, 82,
114, 117, 118, 124, 127, 143, 145, 167, 109, 110, 140, 141, 146, 170, 181,
182, 185, 186, 192, 199, 200, 201, 202, 185, 192, 205, 206, 211, 212, 214,
213 216, 231, 234, 237
ansietas · 31, 109, 159, 160, 173, 175, cognator · 61, 62, 63
181, 182, 183, 184, 185, 187, 188, 189, D
190, 191, 192, 193, 195, 196, 197, 198, dampak psikososial · 15, 28, 31, 32,
199, 200, 201, 202, 203, 205, 206, 207, 34, 75
208, 209, 210, 211, 212, 214, 216, 217, depresi · 5, 10, 26, 31, 32, 33, 39, 40,
221, 223, 224, 227, 228 42, 43, 56, 80, 81, 105, 106, 107, 108,
B 109, 111, 113, 119, 134, 146, 156,
bencana · 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 157, 160, 166, 173, 184, 211, 213,
12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 214, 217, 221
23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, E
34, 35, 36, 37, 39, 46, 47, 48, 49, 50, 51, Evaluasi · 57, 166, 179, 209, 210, 223,
53, 66, 69, 73, 74, 75, 76, 77, 78, 81, 86, 226, 229, 230, 231, 232, 233, 234,
88, 90, 91, 92, 94, 95, 96, 98, 100, 101, 235, 236, 237
102, 105, 106, 107, 108, 111, 112, 113, F
115, 116, 118, 119, 120, 122, 123, 124, fenomenologi · 30, 71, 72, 73, 75
125, 126, 127, 129, 130, 134, 135, 137, G
138, 139, 140, 141, 143, 144, 145, 149, gangguan mental · 31, 180
150, 151 H
bencana alam · 1, 3, 4, 20, 32, 113 holistik · 6, 13, 71, 73, 129
Bencana lokal · 4 I
bencana non alam · 3 Indonesia · 1, 21, 22, 29, 31, 32, 33,
Bencana Regional · 4 47, 149, 158
berduka · 16, 40, 41, 52, 107, 109, 113, interpersonal · 36, 62, 109, 129, 172,
152, 157, 159, 160, 161, 162, 163, 164, 193, 195, 197, 198, 200
165, 166, 167, 168, 170, 171, 172, 173, K
174, 175, 176, 177, 178, 179, 211 kehilangan · 3, 7, 8, 10, 13, 17, 18,
berduka antisipasi · 166, 167, 168, 172, 25, 31, 32, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 42,
173, 174, 175, 176, 178, 179 43, 44, 45, 54, 95, 106, 107, 108, 111,
berdukacita · 35, 37, 39, 40, 42, 44, 45 112, 118, 119, 126, 132, 139, 152,
C 153, 154, 156, 157, 158, 159, 160,
caregiver · 185, 191, 195, 197, 198, 199, 161, 162, 163, 165, 167, 168, 170,

277
171, 172, 173, 174, 176, 177, 178, 179, L
183, 184, 191, 193, 194, 195, 199, 211 Lapindo · 1, 4, 5, 6, 7, 13, 15, 20, 21,
keluarga · 4, 7, 9, 10, 12, 17, 19, 22, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 29, 30, 33, 34, 55,
25, 28, 29, 32, 33, 34, 37, 38, 39, 40, 65, 67, 68, 69, 73, 74, 75, 76, 77, 78, 79,
43, 47, 48, 49, 52, 55, 57, 59, 69, 75, 81, 82, 83, 86, 88, 89, 92, 93, 94, 95, 96,
79, 80, 84, 86, 87, 88, 91, 92, 108, 119, 97, 98, 100, 101, 105, 106, 107, 108,
121, 122, 123, 124, 127, 128, 129, 130, 111, 112, 114, 117, 118, 119, 120, 122,
136, 147, 156, 157, 166, 167, 170, 172, 123, 124, 125, 126, 129, 130, 131, 132,
174, 175, 182, 185, 187, 195, 197, 198, 133, 134, 135, 136, 142, 143, 144, 145,
199, 200, 201, 202, 203, 209, 212, 213, 146, 149, 151
214, 215 lingkungan · 2, 6, 14, 16, 17, 20, 21, 23,
keperawatan · 28, 46, 47, 57, 59, 63, 24, 25, 26, 27, 36, 45, 48, 53, 55, 57, 59,
64, 65, 70, 105, 149, 152, 162, 164, 60, 64, 65, 73, 75, 90, 94, 95, 106, 110,
166, 168, 175, 176, 178, 179, 181, 185, 114, 116, 120, 125, 128, 129, 130, 132,
199, 203, 205, 206, 208, 209, 210, 217, 136, 140, 141, 142, 144, 155, 158, 160,
223, 224, 227 170, 174, 183, 184, 191, 194, 196, 204,
kepercayaan · 28, 54, 62, 125, 143 207, 215
kepribadian · 9, 26, 45, 56, 142, 170, lumpur · 1, 4, 5, 6, 7, 15, 20, 21, 23, 24,
185, 187 25, 30, 33, 34, 65, 66, 67, 68, 69, 73, 75,
kesehatan · 6, 7, 9, 16, 21, 22, 24, 28, 76, 77, 78, 81, 82, 86, 88, 89, 91, 92, 93,
29, 30, 31, 33, 34, 39, 40, 46, 47, 48, 94, 95, 96, 97, 98, 100, 101, 102, 103,
53, 55, 56, 57, 59, 63, 64, 73, 75, 79, 105, 106, 107, 109, 110, 111, 112, 114,
96, 97, 98, 99, 100, 105, 108, 109, 112, 116, 118, 119, 120, 122, 123, 124, 125,
121, 123, 124, 129, 133, 134, 136, 137, 126, 129, 130, 131, 133, 134, 135, 141,
138, 140, 149, 150, 151, 157, 158, 169, 142, 143, 144, 145, 146, 148, 151
185, 187, 194, 195, 197, 199, 202, 204, M
209, 213, 221 manajemen bencana · 22
komunikasi · 3, 40, 53, 145, 162, 165, marah · 5, 8, 11, 15, 17, 18, 20, 26, 27,
168, 170, 175, 177, 181, 193, 200, 207, 33, 42, 43, 57, 69, 82, 86, 91, 92, 107,
209, 211, 212, 213, 214, 231, 234, 237 111, 112, 113, 120, 134, 139, 154, 157,
korban · 1, 2, 5, 6, 7, 9, 10, 12, 13, 18, 159, 161, 173, 184, 199, 221
20, 21, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, masyarakat · 2, 3, 5, 6, 7, 12, 13, 15, 17,
33, 34, 35, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 53, 18, 20, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30,
54, 55, 66, 67, 68, 69, 73, 74, 75, 79, 31, 33, 34, 37, 38, 41, 46, 47, 48, 50, 54,
81, 84, 92, 93, 94, 95, 98, 100, 105, 55, 56, 59, 66, 67, 68, 69, 73, 75, 76, 79,
106, 107, 108, 109, 110, 111, 112, 113, 81, 83, 84, 88, 89, 90, 92, 93, 94, 95, 98,
114, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 105, 106, 107, 108, 109, 110, 111, 112,
122, 123, 124, 125, 126, 127, 128, 129, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 120,
130, 131, 132, 133, 134, 135, 136, 137, 121, 122, 123, 124, 125, 126, 127, 128,
138, 139, 140, 142, 143, 144, 145, 146, 129, 130, 131, 132, 133, 134, 135, 136,
147, 148, 150, 151, 169 137, 138, 139, 140, 143, 144, 145, 146,

278
147, 148, 149, 150, 151, 157, 174, 185, 175, 181, 182, 190, 191, 192, 194, 195,
199 196, 197, 198, 201, 203
O psikososial · 5, 6, 14, 15, 16, 17, 18,
Orientasi · 229, 232, 235 19, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 32, 33,
P 34, 35, 37, 46, 49, 53, 54, 55, 67, 69,
Pajarakan · 25, 31, 33, 34, 74, 89, 90, 73, 75, 79, 98, 110, 117, 118, 133, 139,
92, 97, 98, 100, 101, 102, 105, 111, 120, 140, 141, 142, 149, 150, 175, 187, 219
123, 128, 130, 133, 136, 138, 144, 146, psikoterapi · 55, 56
148 R
partisipan · 74, 75, 76, 77, 78, 80, 81, regulator · 61, 62, 63, 66, 117
82, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, relaksasi · 204, 207, 211, 212, 215,
93, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 100, 101, 102, 217, 225, 226, 227, 228, 229
103, 106, 107, 111, 122, 123, 128, 137, Roy · 59, 60, 62, 64, 65, 66, 67, 68, 69,
141, 149 114, 116, 117, 124, 126, 128, 132, 135,
pembayaran · 30, 76, 77, 78, 81, 82, 84, 143, 148
86, 90, 93, 102, 103, 108, 109, 111, 114, S
115, 119, 120, 122, 123, 128, 136, 144, sosial · 2, 3, 6, 8, 9, 12, 13, 14, 15, 16,
145, 146, 151 17, 18, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 30, 31,
pemerintah · 1, 5, 18, 21, 29, 30, 46, 32, 33, 35, 37, 38, 39, 40, 45, 46, 53,
48, 79, 81, 93, 94, 95, 98, 105, 108, 111, 55, 68, 71, 73, 74, 75, 79, 87, 89, 90,
112, 115, 120, 122, 126, 130, 131, 132, 99, 115, 118, 119, 120, 121, 124, 125,
136, 146, 151 126, 127, 128, 129, 130, 132, 139, 142,
Penanggulangan · 1, 3, 22, 25 153, 155, 160, 162,164, 165, 168, 170,
perasaan cemas · 82 171, 173, 174, 175, 176, 177, 179, 181,
perilaku · 33, 35, 38, 42, 43, 44, 56, 57, 186, 187, 193, 194, 195, 198, 199, 200,
59, 60, 61, 62, 64, 69, 71, 73, 74, 99, 201, 203, 205, 207, 208, 211, 213, 214,
101, 118, 126, 137, 139, 140, 142, 143, 218
144, 145, 146, 147, 154, 157, 159, 160, spiritual · 13, 14, 27, 28, 30, 35, 37, 38,
161, 162, 167, 173, 175, 182, 183, 184, 40, 45, 55, 67, 73, 79, 102, 103, 118,
185, 187, 189, 190, 191, 192, 193, 198, 129, 130, 140, 143, 144, 145, 146, 147,
199, 200, 201, 202, 203, 205, 207, 208, 148, 162, 165, 208, 209
215, 217, 218, 225, 227 stimuli · 60, 61, 62, 63, 64, 114, 115,
predisposisi · 127, 156, 168, 185, 186, 135
187, 190, 191, 192, 193 stres · 8, 9, 10, 16, 17, 30, 35, 41, 56,
professional · 28 113, 127, 128, 134, 138, 144, 168, 171,
program · 18, 23, 29, 126, 139, 142 181, 187, 198, 219, 221, 227
psikologis · 2, 5, 7, 8, 9, 10, 11, 13, 15,
16, 23, 24, 27, 30, 31, 32, 35, 37, 39,
40, 41, 50, 53, 55, 73, 75, 78, 80, 81, 99,
105, 106, 107, 108, 109, 110, 113, 127,
129, 131, 153, 159, 168, 169, 171, 172,

279
280
BIODATA
PROGRAM HIBAH PENULISAN BUKU TEKS PERGURUAN TINGGI
TAHUN 2022

A. Identitas
1. Nama Lengkap Mundakir, S.Kep., Ns., M.Kep
2. Alamat Rumah Jl. Medayu Utara 27-D Kav 12-14 Surabaya

3. Telp.(HP)/email Telp. 082140823564


cak_mudz@yahoo.co.id
4. Alamat Kantor Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah
Surabaya
Jl. Sutorejo 59 Surabaya Telp. (031) 3811967
5. Telp./Fax Telp./Fax: (031) 3811967

B. Riwayat Pendidikan

STRATA TAHUN ASAL PT BIDANG SPESIALISASI


LULUS
S1 2004 UNAIR KEPERAWATAN
(Profesi Ners)
S2 2009 UI KEPERAWATAN

S3 - - -

C. Nama Mata Kuliah yang Diasuh

NO. NAMA MATA KULIAH STRATA

1 Ilmu Keperawatan Dasar D3 dan S1

2 Keperawatan Jiwa D3 dan S1

281
3 Manajemen Keperawatan S1

4 Ilmu Sosial Dasar D3 dan S1

5 Komunikasi Keperawatan S1

D. Jumlah Mahasiswa yang pernah diluluskan

STRATA JUMLAH YANG LULUS

D3 ± 1000

S1 ± 470
(Profesi Ners)

E. Pengalaman Penelitian Dalam 5 Tahun Terakhir

No Tahun Topik/Judul Penelitian Sumber Dana

1. 2009 Dampak psikososial korban UMSurabaya


lumpur Lapindo
2. 2012 Hubungan pelaksanaan Lima Mandiri
Tugas Kesehatan Keluarga
Dengan Pencegahan
Kekambuhan pada Klien
Skizofrenia yang Berkunjung di
Poli Jiwa RS Jiwa Menur
Surabaya

282
F. Pengalaman Publikasi di Berkala Ilmiah Dalam 5 Tahun Terakhir

Nama Tahun Judul Artikel Nama Volume Status


Penulis Terbit Berkala dan Akreditasi
halaman
Mundakir 2012 Hubungan Jurnal Vol. 2 ISSN 2088-
pelaksanaan Lima Kesehatan no. 1, 9798
Tugas Kesehatan AIPTINAKES 2012.
Keluarga Dengan JATIM Hal 74-
Pencegahan 81
Kekambuhan
pada Klien
Skizofrenia yang
Berkunjung di
Poli Jiwa RS Jiwa
Menur Surabaya

Mundakir 2011 Dampak Ners Journal Vol. 6/ Terakreditasi


Psikososial No. 1/ ISSN 1858-
Akibat Bencana 2011. 3598
Lumpur Lapindo Hal 42-
49

Mundakir 2011 Urgensi Proceeding of Vol. 1, ISSN 2089-


Pendidikan The 2011 edisi 3450
Karakter Bagi International 2011.
Mahasiswa Seminar on Hal 106-
Keperawatan di Character 110
Perguruan Tinggi Education
Muhammadiyah
Mundakir 2007 Komunikasi MATAN V0l. 4 ISSN 1907-
Terapeutik edisi 6290
2007.
Hal 20

283
G. Pengalaman Penulisan Buku Dalam 10 Tahun Terakhir

Nama Judul Buku Tahun Penerbit ISBN


Mahsun, Best Practices 2011 UMSurabaya 978-979-
Mundakir Pendidikan Karakter Press 98658-3-0
dkk UMSurabaya
Mundakir Komunikasi 2006 Graha Ilmu, 978-979-
Keperawatan Yogyakarta 756-053-9

Biodata ini saya buat dengan sebenarnya, dan saya bertanggung jawab bila
terbukti ada kepalsuan.

Surabaya, 26 April 2022

Mundakir, S.Kep., Ns., M.Kep


NIP. 197403232005011002

284
SURAT PERNYATAAN
PROGRAM HIBAH PENULISAN BUKU TEKS PERGURUAN TINGGI
TAHUN 2022

Yang bertanda tangan di bawah ini:


Nama : Mundakir, S.Kep., Ns., M.Kep
NIP / NIDN : 197403232005011002
Pangkat / Golongan : Penata / III.c
Jabatan Fungsional : Lektor
Alamat : Jl. Medayu Utara 27-D Kav. 12-14 Surabaya
Dengan ini menyatakan bahwa;:
1. Buku yang saya susun dengan judul Keperawatan Psikososial (Studi
Kasus pada Masyarakat Korban Lapindo) ini bersifat original dan
belum pernah diterbitkan atau biayai oleh lembaga/sumber dana lain
2. Saya sanggup menyelesaikan revisi atau perbaikan sesuai saran
pendamping.
3. Buku yang saya susun ini berdasarkan pada konsorsium ilmu
Kesehatan
Bilamana di kemudian hari ditemukan ketidak sesuaian dengan pernyataan ini,
maka saya bersedia dituntut dan diproses sesuai dengan ketentuan yang berlaku
dan mengembalikan seluruh biaya hibah yang sudah diterima ke kas negara.
Demikian pernyataan ini dibuat dengan sesungguhnya dan sebenar-benarnya.

Mengetahui, Surabaya, 26 April 2022


Ketua Lembaga Penelitian, Yang Menyatakan,

Ahmad Labib, SHI, MHI Mundakir, S.Kep., Ns., M.Kep


NIK : 012 0922 160 NIP. 197403232005011002

285

Anda mungkin juga menyukai