Anda di halaman 1dari 13

MEMAHAMI METODE ILTIFĀT DALAM AL-QUR’AN

Makalah

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Ushul al-Tafsir wa Qowaiduhu

Dosen Pengampu:
Abdul Wadud Kasful Humam,M,Hum.

Oleh:
Moh. Syaifuddin NIM : 2022.01.01.8.2215
M. Zidan Thariqul Aziz NIM: 2022.01.01.8.2413

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AL-ANWAR


SARANG REMBANG
2024

1
MEMAHAMI ILTIFĀT DALAM AL-
QUR’AN
Oleh: Moh. Syaifuddin dan M. Zidan Thariqul aziz

A. Pendahuluan

Al-Quran ialah kitab yang menerangi darinya aneka ilmu keislaman,


karena kitab suci tersebut mendorong untuk melaksanakan pengamatan dan
penelitian. Kitab suci tersebut juga dipercaya oleh umat Islam sebagai kitab
petunjuk yang hendak dipahami.1 Hal yang alami bahwa yang pertama kali
dicatat dari "Ilmu Al-Qur'an" adalah "Ilmu Tafsir", karena itulah dasar dalam
memahami Al-Qur'an dan merenungkannya, dan darinya bisa diambil
penarikan hukum, dan mengetahui halal dan haram.2
Salah satu aspek kemukjizatan al-Qur’an dalam segi bahasanya adalah
uslūb yang mana ini melemahkan semua kalām arab.3 Kemudian, hal ini
merupakan asal dari semua topik yang akan dibahas setelahnya dalam ilmu
Al-Qur'an, maka tidak diragukan lagi bahwa topik ini akan menjadi yang
pertama, agar menjadi jalan untuk memahami dan menguasainya, sehingga
dapat memastikan dan menguasainya. Jika tidak, bagaimana mungkin
bangunan bisa berdiri tanpa dasar dan tiang.4
Salah satu uslūb dalam al-Qur’an adalah iltifāt. Dalam ilmu balagah
dikenal dengan nama uslūb al-iltifāt. Untuk memahami suatu makna dan
pesan dalam al-Qur’an harus melalui pengkajian bahasa dalam al-Qur’an itu
sendiri. Oleh karena itu, mengkaji uslūb al-iltifāt dalam al-Qur’an sangatlah
penting untuk dilakukan guna mengungkapkan rahasia dari segi lafal maupun
struktur bahasa.

1
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Tanggerang: Lentera Hati, 2013) 5.
2
Kha>lid Abdurrahma>n al-‘Ak, Ushul al-Tafsi>r wa Qawa>iduhu> (Damaskus: Dar al-Nafais, 1986)
28.
3
Muḥammad Yāsin bin ‘Īsā al-Fadānī al-Makkī, Ḥusnu al-Ṣiyāghah Syarḥ Durūs al-Balāghah,
(Sarang: Al-Anwar 2 Coorperation, 2021) 1.
4
Kha>lid bin Usma>n al-Sabt, Qawa>id al-Tafsi>r Jam’an wa Dirasatan (t.tp.: Dar Ibnu Affan, t.th)
14.

2
Penulis dalam makalah ini akan sedikit menjelaskan tentang uslūb al-
iltifāt yang mencakup definisi, sejarah perkembangan, macam-macam iltifat
beserta contohnya, dan syarat serta sebab terjadinya iltifāt juga urgensi
mempelajari iltifāt.
B. Pembahasan
1. Definisi iltifāt
iltifāt merujuk kepada perpindahan ucapan dari satu gaya ke gaya lain,
yang berarti dari pembicaraan, pidato, atau gurauan ke yang lain setelah
diungkapkan yang pertama. Ini adalah prinsip yang terkenal. Al-Sakkaki
mengatakan: "Ini bisa berarti atau ungkapan pertama digantikan dengan
salah satu dari keduanya, sedangkan yang seharusnya digunakan adalah
yang lain. Ini memiliki manfaat, di antaranya melunakkan percakapan dan
menjaga pendengaran dari kebosanan dan kejenuhan karena jiwa
cenderung mencintai perubahan dan merasa jenuh dengan kebiasaan yang
monoton. Ini manfaat umumnya.5
Dan disebutkan bahwa iltifāt adalah tentang mengubah ungkapan dari
satu gaya ke gaya lain untuk menarik perhatian pendengar, untuk
memperbaharui keaktifannya, dan untuk menjaga pikirannya dari
kebosanan dan kejenuhan, dengan terus-menerus gaya yang sama
terdengar olehnya, seperti dikatakan: Tidak ada yang memperbaiki jiwa
jika ia terganggu selain dengan berpindah dari satu keadaan ke keadaan
lain.6
Dikutip dari Hazem dalam Minahaj Al-Balagha berkata: Mereka
menjadi bosan dengan terus-menerus menggunakan kata ganti orang
pertama atau kata ganti orang kedua, maka mereka beralih dari
penggunaan langsung ke ketidakhadiran atau ghaib. Demikian juga,
pembicara bermain-main dengan kata gantinya, kadang-kadang ia
menggunakan 'ta' (‫ )تاء‬untuk menyatakan tentang dirinya sendiri, kadang-

5
Al-Suyu>thi>, Al-Itqa>n fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah, 2006) 435.
6
Al-Zarkasyi>, al-Burha>n fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmyyah, 2018) 642.

3
kadang ia menggunakan 'ka' (‫اف‬JJ‫ )ك‬untuk membuat dirinya menjadi
pembicara, dan kadang-kadang ia menggunakan 'ha' ( ‫اء‬JJ‫)ه‬, sehingga ia
menempatkan dirinya dalam posisi orang ketiga. Oleh karena itu,
pembicaraan yang terus-menerus menggunakan kata ganti orang pertama
dan kedua tidak disukai; namun, apa yang baik adalah beralih dari satu ke
yang lain, yang merupakan pergeseran makna bukan literal, dan syaratnya
adalah bahwa kata ganti dalam transisi harus merujuk kembali pada subjek
yang dialihkan darinya, untuk menghasilkan seperti: "Hormatilah Zaid,"
dan "Berbuat baiklah kepadanya"; di mana kata ganti "anda" dalam
"Hormati" berpindah ke kata ganti lain dalam “kepadanya” Dan ketahuilah
bahwa berbicara, berdialog, dan berbicara tentang ketidakhadiran atau
ghaib itu memiliki posisi-posisinya, dan yang terkenal adalah bahwa al-
Iltifat (peralihan gaya bicara) adalah perpindahan dari salah satunya ke
yang lain setelah mengungkapkan yang pertama.7
Dan al-Sakkaki berkata: Entah itu, atau mengungkapkan salah satunya
dalam konteks yang seharusnya diungkapkan dengan yang lain,dikutip
didalam kitab al-burhan.8
2. Sejarah Perkembangan Kajian iltifāt
ulama yang telah membahas iltifât, baik itu orang-orang terdahulu
maupun sekarang ini, tidak begitu tertarik kepada makna secara etimologis
iltifât dalam bermacam aspeknya untuk dilakukan sandaran dalam
membikin contoh-contoh serta menggantungnya dengan nilai-nilai
kebahasaannya, padahal makna secara etimologis ini telah tentu ada dalam
benak mereka. Bahkan saja, mereka sudah cukup hanya dengan
menerangkan makna terminologis. Sebenarnya kata iltifât itu terambil dari
perkataan orang Arab ‫ماله‬J‫ه وش‬J‫ان عن يمين‬J‫( اإللتفات اإلنس‬seseorang memalingkan
muka ke kiri dan ke kânan). Maksudnya, adalah orang itu kadang-kadang
menghadapkan wajahnya begitu, dan kadang-kadang begini, demikian

7
Ibid 642
8
Ibid 643

4
juga yang dituju dalam ucapannya. Sebab, didalam iltifât itu pembicaaraan
berubah dari satu sisi ke sisi yang lain, seperti perpindahan pembicaraan
dari persona 1 ke persona 2, dari persona 2 ke persona 1, dari fi’il mâdhii
ke fi’il mudhâri’, dari fi’il mudhâri’ ke fi’il mâdhii, dan sebagainya.9
ulama terdahulu ada yang membatasinya tentang iltifât ini pada contoh
yang dibuat didalam bahasa arab, dan hanya menunjukkan satu dua ayat
Alquran saja. Dan ada juga yang mentakhsis masalah ini terhadap ayat
Alquran tanpa mengungkapkan contoh dari bahasa arab. Beberapa ulama
Balâghah melihat masalah ini secara umum. Mereka menjadikan ilmu
Badî’ untuk memperindah dan menambahkan aspek Balâghahnya dan
iltifât ini termasuk satu macam keindahan yang dimaskud. Karena begitu,
mereka tidak mengungkapkan urgensi dan nilai iltifât.10
Di antara para ulama yang membahas iltifât dari sisi Balâghah, ada
yang berpendapat ilmu Badî’ ini sebagai keindahan yang esensial. Mereka
membuat iltifât sebagai bagian dari ilmu Badî’. Oleh karena itu
pembicaraan tentang iltifât dalam buku-buku Balâghah berkisar seputar
definisi, faedah, dan jenisnya. Sebagian ulama Balâghah berbeda pendapat
ketika menjelaskan dampak psikologis iltifât serta hubungannya dengan
apresiasi dan syi’ir, tetapi tidak memperhatikan nilai kritik sastraa.
Sebagian mereka membahas contoh tanpa menjelaskan nilai Balâghahnya.
Sebagian mereka menambah bentuk-bentuk iltifât.Sebagian mereka
menambahkan beberapa bentuk iltifât yang hampir sama. Ada juga ulama
Balâghah yang menyalahkan pendapat orang lain ketika mengoreksi
bentuk Balâghah ini. Sebagian mereka menerapkan iltifât ke dalam ilmu
Ma’âni. Tetapi, sebagian lainnya menerapkan iltifât ke dalam ilmu Badî’.11
Iltifât termasuk kedalam ilmu Balâghah. Iltifât mempunyai berbagai
macam keindahan. Iltifât bias juga termasuk bagian ilmu Ma’âni bila

9
Abu Ali, Muhammad Barakat Hamdi, Dirâsât fî al-Balâghah, (Aman : Dar al-Fikr li al-Nasyr wa al-
Tauzi’, 1984) 125.
10
Ibid 126
11
Ibid 126

5
memang keadaan membutuhkan, bisa juga termasuk ilmu Badî’ dalam
hubungannya sebagai sesuatu yang langka dan tidak biasa. Dhiya al-Din
bin Al-Atsîr mengungkapkan bahwa pembahasan iltifât tidak hanya dari
sisi bentuk saja tanpa menjelaskan nilai iltifât yang bersifat maknawi dan
kejiwaan yang dapat memperoleh pada keindahan gaya bahasa dan
penyampaian tujuan dalam pembicaraan.12 Tulisan Ibn al-Atsîr tentang
iltifât dalam bukunya Al-Matsal al-Sâir dan Al-Jâmi’ush Shahîh tidak
menjelaskan dikemukakan para ahli bahasa. Ia juga tidak menghubungkan
pengertian etimologis dengan pengertian terminologis dan psikologis
dalam penggunaan didalam Balâghah.13
Abu Ya’qub Al-Maghribi dalam kitab tafsirnya yang menjelaskan
tentang rahasia penggabungan iltifât dengan ilmu Ma’âni pada satu
kesempatan ini, dan dengan keindahan pada kesempatan yang lain berkata:
“Jika Anda bertanyaa, kenapa penamaan iltifât dikhususkan pada ulama
Ma’âni, padahal iltifât dianggap lebih dekat dengan ilmu Badî’. Sebab,
hasil yang ada pada iltifât itu menjelaskan pembicaraan sebagai sesuatu
yang indah, sehingga pembicaraan itu dilihat karena keindahan dan
inovasinya.14
Iltifât itu juga termasuk yang telah dijelaskan dalam ilmu Ma’âni, di
samping itu juga dikhususkan terhadap ulama Ma’âni sehingga mereka
menyebut iltifât itu tidak ada hubungannya dengan ahli Badî’. Hal ini
sebagaimana bila dalam suatu konteks dikhususkan untuk menuntut
perhatian lebih karena pembicaraan berupa pertanyaan, pujian,
argumentasi, atau yang lainnya, maka dari segi bentuk ini iltifât termasuk
ke dalam ilmu Ma’âni.15
3. Macam dan bentuk-bentuk iltifat
12
Ibid 127.
13
Al-‘Asyur, Muhammad al-Thahir, Tafsîr al-Tahrîr, Jilid 5 (Tunis: Dar Tunisiyah li al-Nasyr, 1393
H) 97.
14
Abu Ali, Muhammad Barakat Hamdi, Dirâsât fî al-Balâghah, (Aman : Dar al-Fikr li al-Nasyr wa al-
Tauzi’, 1984 ) 127.
15
Ibid 128.

6
Didalam iltifat mempunyai beberapa macam bentuk yang mana
diantaranya adalah sebagai berikut :
1. (ash-shiyagh) Iltifat dalam bentuk
2. (al-‘Adad) Bilangan
3. (adh-dhamir) Kata ganti
4. (al-Mu’jam) Kosa kata
5. Dalam bentuk segi al-Adawat
6. (al-Bina an-Nahwy) Struktur nahwu.16
4. Contoh-contoh iltifat dalam al-Qur’an dan alasan terjadinya iltifat
1. Contoh iltifāt dalam bentuk dan alasannya

‫ِبْئ َسَم ا اْش َت َر ْو ا ِبٖٓه َاْنُفَس ُهْم َاْن َّي ْك ُفُرْو ا ِبَم ٓا َاْن َز َل ُهّٰللا َب ْغ ًيا َاْن ُّي َن ِّز َل ُهّٰللا ِم ْن‬
‫َفْض ِلٖه َع ٰل ى َم ْن َّي َش ۤا ُء ِم ْن ِع َب اِدٖه ۚ َفَب ۤا ُءْو ِبَغ َض ٍب َع ٰل ى َغ َض ٍبۗ َو ِلْلٰك ِفِر ْي َن‬
‫َع َذ اٌب ُّم ِه ْيٌن‬
Artinya : Buruk sekali (perlakuan) mereka menjual dirinya dengan
mengingkari apa yang diturunkan Allah karena benci bahwa Allah
menurunkan karunia-Nya kepada sesiapa yang Dia kehendaki di antara
hamba-hamba-Nya.
Pada penjelasan ayat tersebut, selain terdapat iltifāt pada segi
penambahan huruf dalam kedua kata tersebut, juga terdapat iltifat atau
pengalihan segi redaksi dari bentuk kata kerja masa lalu (madhi) yaitu ‫َاْن َز َل‬
yang ma’nanya telah menurunkan, terhadap bentuk kata kerja masa
sekarang (mudhari’) yaitu ‫ ُّيَنِّز َل‬yang berarti ma’nanya menurunkan. Bentuk
redaksi masa lampau (madhi) memliki makna bahwa Allah SWT sudah
menurunkan kitan-kitab sebelum al-Qur’an. Sedangkan pada suatu redaksi
yang berbentuk kata kerja sekarang (mudhari’) dimaksudkan ialah untuk
menggambarkan bahwasanya karunia Allah SWT dilaksanakan secara
terus menerus dan berkesinambungan.17
16
Thabl, Hasan, Uslûb al-Iltifât fî al-Balâghah al-Qurâniyyah (Kairo: Dar al-Fikr al- ‘Arabi, 1998) 63
17
Abdul Muthâllib, Muhammad, Al-Balâghah wa al-Uslûbiyyah, (Mesir: Al-Syirkah al-Mishriyyah al-
Alamiyyah li al-Nasyr, 1994) 136.

7
Oleh begitulah, redaksi ayat turunnya kitab-kitab Allah SWT
terdahulu dengan menggunakan bentuk kata kerja ‫َاْنَز َل‬sedangkan turunnya
karunia Allah SWT dengan menggunakan bentuk kata kerja ‫ُّيَن ِّز َل‬.
Demikianlah rahasia redaksi iltifat pada ayat tersebut, pengalihan dari
bentuk dua segi kata kerja yang berasal dari kata kerja yang sama dan
pengalihan dari kata kerja masa lalu (madhi) terhadap kata kerja masa
sekarang (mudhari’).18
2. Contoh iltifāt dalam bilangan dan alasannya
‫َخ َتَم ُهّٰللا َع َلٰى ُقُلۡو ِبِهۡم َو َع ٰل ى َس ۡم ِع ِهۡمؕ‌ َو َع ٰل ٓى َاۡب َص اِر ِهۡم ِغ َشاَو ٌة َّو َلُهۡم َع َذ اٌب َع ِظ ۡي ٌم‬
Artinya : Allah sudah mengunci hatinya dan pendengarannya mereka,
penglihatannya mereka sudah tertutup, dan mereka akan memperoleh
adzab yang berat.
iltifāt yang terjadi pada ayat diatas ialah pengalihan dari segi mufrad
dan jama’ yang berhubungan dengan jumlah bilangan (adat). Bentuk
lafadz benda (isim) ‫ ُقُل ۡو ِبِهۡم‬, bentuknya ialah jamak, kemudia beriltifat
(pengalihan) ke lafadz ‌ؕ‫ َس ۡم ِع ِهۡم‬yang bentuknya ialah mufrad , kemudian
kembali ke lafadz ‫ َاۡب َص اِرِهۡم‬yang berbentuk jamak lagi.19
iltifāt yang terjadi pada ayat diatas dipandang dari aspek gramatikal
bahasa Arab, khususnya dari segi jumlah bilangan (adat). Gaya bahasa
yang di dalamnya terdapat pengalihan dari bentuk jamak kepada mufrad,
dan bentuk jamak lagi. Berdasarkan konteks ayat di atas, ialah
diberitahukan bahwasanya secara fungsi pendengaran berbeda halnya
dengan hati dan penglihatan. Hati dan penglihatan bisa untuk
membedakan dengan sesuatu yang terjadi dalam kehidupan secara baik
dan benar, melainkan pendengaran tidak demikian. Misalnya jika seorang
yang sedang menangis, maka hati dan penglihatan kita bisa mengethui dan
membedakan dengan baik, orang yang menangis karena kesedihan dan
menangis karena bahagia. Akan tetapi sebaliknya untuk pendengaran tidak
18
Ibid 137.
19
Thabl, Hasan, Uslûb al-Iltifât fî al-Balâghah al-Qurâniyyah (Kairo: Dar al-Fikr al- ‘Arabi, 1998)
109.

8
bisa membedakan sesuatu dengan yang lebih mendalam, misalnya yang
diketahui bahwasanya menangis ialah disebabkan karena sedih saja.
Makanya banyak dalam ayat al-Qur’an yang menyebutkan lafadz ‌ؕ‫َس ۡم ِع ِهۡم‬
dalam bentuk yang mufrad (tunggal).20
3. Contoh iltifāt dalam kata ganti dan alasannya
2 ‫ َفَص ِّل ِلَرِّبَك َو ٱْنَح ْر‬1 ‫ِإَّنٓا َأْع َطْيَٰن َك ٱْلَك ْو َثَر‬
Artinya : Sesungguhnya Kami suadah memberikan kepadamu nikmat
yang begitu banyak. Maka lakukanlah shalat sebab Tuhan kamu dan
berkurbanlah atau nyambelihlah.
Ayat tersebut telah menggunakan gaya iltifāt, berupa dalam
perpindahan penggunaan dhamîr, yaitu dari dhamîr mutakallim lafadz
‫ ِإَّنٓا َأْع َطْيَٰن َك‬Sesungguhnya (Kami sudah memberikan terhadapmu) kepada
dhamîr ghâib lafadz ‫( ِلَرِّبَك‬karena Tuhanmu), dan dhamîr ghâib pada
lafadz ‫ ِلَرِّبَك‬kembali kepada dhamîr yang telah ada dalam materi yang
sama, ialah dhamîr mutakallim pada lafadz ‫ ِإَّنٓا َأْع َطْيَٰن َك‬.21
4. Contoh iltifāt kosa kata dan alasannya
‫َم َثُلُهْم َك َم َثِل اَّلِذ ى اْسَتْو َقَد َناًراۚ َفَلَّم ٓا َاَض ۤا َء ْت َم ا َح ْو َلٗه َذ َهَب ُهّٰللا ِبُنْو ِر ِهْم َو َتَر َك ُهْم ِفْي ُظُلٰم ٍت اَّل ُيْبِص ُرْو َن‬
Artinya : Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan
api, Maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya
(yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan,
tidak dapat melihat.
iltifāt terjadi pada kata ‫ َاَض ۤا َء ْت‬dan ladafd ‫ِبُنْو ر‬Dalam pemahaman sehari-
hari kedua lafadz tersebut mempunyai makna yang persis, ialah menyinari
atau memberi cahaya. Dr Quraisy Shihab dalam tafsirnya menjelaskan,
bahwa lafadz ‫ َاَض ۤا َء ْت‬digunakan sebagai sesuatu yang bersinar dan sinarnya
tersebut bersumber dari dirinya sendiri. Sementara itu sesuatu yang

20
Ibid 110.
21
Al-Suyu>thi>, Al-Itqa>n fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah, 2006) 436.

9
bercahaya akan tetapi cahaya itu merupakan pantulan dari suatu yang lain
yang dinamakan ‫ُنْو ر‬yang artinya cahaya.22
Dalam konteks ayat tersebut, yang berkaitan dengan sifat munafik,
dapat dipahami bahwasanya ada yang menerangi jalan mereka, dan
begitulah petunjuk-petunjuk al-Qur’an maka dipakaikan lafadz ‫ َاَض ۤا َء ْت‬akan
Tetapi sebab mereka tidak mau mengambil manfaat dari sinar tersebut,
Allah kemudian menutupi cahaya tersebut yang menerangi mereka, hingga
mereka tetap berada pada kegelapan.23
Iltifat juga ada pada lafadz ‫ َناًر ۚا‬dan ‫ ِبُنْو ِر‬Dari segi kandungan makna,
lafadz “‫ ”َناًرا‬mempunyai dua segi daya, ialah daya membakar dan daya
menyinari. Sedangkan “ ‫ ”ِبُنْو ِر‬cuma punya satu daya, ialah daya menyinari
saja. Daya membakar bisa memberikan manfaat, namun juga bisa
memberikan petaka terhadap kehidupan manusia. Sementara daya
menyinari selalu memberikan manfaat terhadap manusia. Orang munafik
disamakan oleh Allah dengan memakai redaksi metafora, ialah seperti api
yang mempunyai dua unsur macam. sebab sifat jelek yang selalu
menempel pada diri mereka, kemudian allah mengambil daya sinarnya dan
membiarkan mereka pada kejelekan dan kegelapan.24
5. Contoh iltifāt bentuk al-adawat dan alasannya
‫ٰٓط‬
‫َفِاَذ ا َج ٓاَء ۡت ُهُم اۡل َحَس َنُة َقاُلۡو ا َلـَنا ٰه ِذٖه‌ۚ َوِاۡن ُتِص ۡب ُهۡم َس ِّيَئٌة َّيَّطَّيُر ۡو ا ِبُم ۡو ٰس ى َوَم ۡن َّمَع ٗه‌ؕ َاۤاَل ِاَّنَم ا ِٕٮُر ُهۡم ِع ۡن َد ِهّٰللا‬
‫َو ٰل ـِكَّن َاۡك َثَر ُهۡم اَل َيۡع َلُم ۡو َن‬
Artinya : Kemudian jika kebaikan (kemakmuran) datang kepada
mereka, mereka berkata, "Ini adalah sebab (usaha) kami." Dan jika
mereka terkena kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan sebab
kepada Musa dan pengikutnya. Maka ketahuilah, sesungguhnya nasib
mereka ada di sisi Allah, namun demikan kebanyakan dari mereka
tidak mengetahuinya.

22
Ahmad, ‘Athiyyah Sulaiman, Fî ‘Ilmi al-Lughah al-Ijtimâ’î–al-Dilâlah al-Ijtimâ’iyyah wa al-
Lughawiyyah lî al-‘Ibârah, (Mesir : Maktabah Zahra al-Syarq, 1995) 94.
23
Ibid 94.
24
Ibid 95.

10
iltifāt pada ayat tersebut ialah penggunaan adat ‫ إذا‬dan ‫ إن‬untuk
kata ‫ إذا‬digunakan sebagai menunjukkan adanya kepastian terjadinya
sesuatu yang dibicarakannya, ialah datangnya sebuah kebaikan.
Sementara “‫ ”إن‬digunakan sebagai menunjuk terhadap keraguan atau
jarang terjadi pada sesuatu yang dibicarakan, ialah kejelekan atau
kesusahan. Kaidah demikian mempunyai makna bahwa kebaikan
tersebut sifatnya pasti dan jumlahnya banyak, ada pada setiap waktu,
sementara musibah tersebut sesuatu yang negatif, dan sifatnya tidaklah
pasti, demikian jumlahnya sedikit. Ini mungkin adalah rahasianya,
dalam konteks kebaikan al-Qur’an menggunakan kata ‫إذ‬, dan dalam
musibah digunakan kata “‫”إن‬.25
6. Contoh iltifāt struktur nahwu dan alasannya
‫ِص َر اَط اَّلِذ ۡي َن َاۡن َع ۡم َت َع َلۡي ِهۡم ۙ َغ ۡي ِر اۡل َم ۡغ ُض ۡو ِب َع َلۡي ِهۡم َو اَل الَّض ٓاِّلۡي َن‬
Artinya : Maka Sesungguhnya akan Kami kabarkan pada mereka (apa-
apa yang telah mereka lakukan), sedangkan (Kami) mengetahui
(keadaan mereka), dan Kami sekali-kali tidak jauh (dari mereka).
iltifāt yang terjadi pada ayat tersebut ialah pada penggunaan
jumlah fi’liyah pada lafadz ‫ ۙ َاۡن َع ۡم َت َع َلۡي ِهۡم‬ismiyah pada beriltifat lafadz ‫َغ ۡي ِر‬
‫اۡل َم ۡغ ُض ۡو ِب‬ltifat ini dari sisi gramatika, dari penggunaan jumlah fi’liyah
kepada jumlah ismiyah. Jika tidak terjadi suatu iltifat maka redaksinya
akan berbunyi ‫ اَّل ِذ ۡي َن َاۡن َع ۡم َت َع َلۡي ِهۡم ۙ َغ ۡي ِر اۡل َم ۡغ ُض ۡو ِب‬. Penggunaan kata ‫َ َاۡن َع ۡم َت‬
berkaitan dengan nikmat yang diberikan oleh Allah. Sedangkan lafadz
‫ َغ ۡي ِر اۡل َم ۡغ ُض ۡو ِب َع َلۡي ِهۡم‬mengisyaratkan kemarahan, maka semestinya tidak
disandarkan terhadap Allah.26
5. Urgensi mempelajari iltifat dalam al-Qur’an
Dikutip dari Zamakhsyari, bahwa penggunaan metode gaya bahasa
iltifāt ini dalam suatu penuuturan memiliki urgensi tertentu, di antaranya

25
Thabl, Hasan, Uslûb al-Iltifât fî al-Balâghah al-Qurâniyyah (Kairo: Dar al-Fikr al- ‘Arabi, 1998)
173.
26
Lasyin, Abd al-Fattah Ahmad. Al-Badî’ fî Dhaui Asâlîb al-Qurân. Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1999
68

11
ialah memberikan kepuasan bagi para pembacanya dan ketertarikan
perhatian mereka kepada peralihan struktur bahasa yang tak terduga pada
sebelumnya. Peralihan satu bentuk ke bentuk yang lain terkesan lebih
bagus dan indah daripada model tuturan yang bersifat monoton atau
membosankan. Hal ini akan lebih menyadarkan dan menyegarkan bagi
para pendengarnya atau lawan pembicaranya untuk lebih
mendengarkannya.27
C. Kesimpulan
kesimpulan dari kajian sastra tentang uslûb iltifāt dalam Alquran. Dari
uraian-uraian yang telah disampaikan di atas, penulis berkesimpulan sebagai
berikut: Pertama, kajian sastra tentang uslûb iltifāt dalam Alquran
menemukan pengembangan dalam sisi iltifāt yang sudah ada dengan membuat
iltifāt ‘adad dhamîr (perpindahan dalam bilangan pronomina) dan iltifāt anwa’
al-jumlah (perpindahan dalam ragam kalimatnya) sebagai bagian dari
padanya. Kedua, konsep baru tentang iltifāt sebagai hasil dari pengkajian ini
berbunyi: ‘Gaya bahasa dengan memakai perpindahan dari bentuk pertama ke
bentuk berikutnya dalam hal-hal yang terkait dengan bentuk yang pertama
untuk tujuan tertentu yaitu dengan mengutamakan keindahan semantis dan
Balaghah’.

Daftar Pustaka
Al-qur’an al-karin.
Thabl, Hasan, Uslûb al-Iltifât fî al-Balâghah al-Qurâniyyah (Kairo: Dar al-Fikr al-
‘Arabi, 1998).

27
Thabl, Hasan, Uslûb al-Iltifât fî al-Balâghah al-Qurâniyyah (Kairo: Dar al-Fikr al- ‘Arabi, 1998) 27

12
Lasyin, Abd al-Fattah Ahmad. Al-Badî’ fî Dhaui Asâlîb al-Qurân. Kairo: Dar al-Fikr
al-‘Arabi, 1999.
Ahmad, ‘Athiyyah Sulaiman, Fî ‘Ilmi al-Lughah al-Ijtimâ’î–al-Dilâlah al Ijtimâ’iyyah
wa al-Lughawiyyah lî al-‘Ibârah, (Mesir : Maktabah Zahra al-Syarq, 1995).
Al-Suyu>thi>, Al-Itqa>n fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah,
2006).
Abdul Muthâllib, Muhammad, Al-Balâghah wa al-Uslûbiyyah, (Mesir: Al-Syirkah al-
Mishriyyah al-Alamiyyah li al-Nasyr, 1994.
Abu Ali, Muhammad Barakat Hamdi, Dirâsât fî al-Balâghah, (Aman : Dar al-Fikr li
al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1984 ).
Al-‘Asyur, Muhammad al-Thahir, Tafsîr al-Tahrîr, Jilid 5 (Tunis: Dar Tunisiyah li al-
Nasyr, 1393 H).
Al-Zarkasyi>, al-Burha>n fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmyyah,
2018).
Kha>lid bin Usma>n al-Sabt, Qawa>id al-Tafsi>r Jam’an wa Dirasatan (t.tp.: Dar
Ibnu Affan, t.th).
Muḥammad Yāsin bin ‘Īsā al-Fadānī al-Makkī, Ḥusnu al-Ṣiyāghah Syarḥ Durūs al-
Balāghah, (Sarang: Al-Anwar 2 Coorperation, 2021).
Kha>lid Abdurrahma>n al-‘Ak, Ushul al-Tafsi>r wa Qawa>iduhu> (Damaskus: Dar
al-Nafais, 1986).
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Tanggerang: Lentera Hati, 2013).

13

Anda mungkin juga menyukai