Menjadi sekelompok orang yang digadang-gadang untuk menjadi generasi penerus bangsa
membuat pemuda terasa menjadi objek negara, “dikontrol” sedemikian rupa sesuai cita – cita
negara. Salah satunya melalui sistem pendidikan, negara mampu membentuk karakter seorang
pemuda.
Tri Subagya Dosen Universitas Sanata Dharma mengawali diskusi dengan pembahasan
mengenai tantangan yang dihadapi oleh dunia pendidikan dalam pembentukan subjek
intelektual muda. “Kondisi ilmu pengetahuan saat ini berelasi dengan kuasa, mengakibatkan
pendidikan menjadi tercerabut dari fungsi sebenarnya,” kata Tri Subagya.
“Gerakan sosial tidak menciptakan satu pemikiran atau militansi yang kritis. Namun, populisme
hadir lebih kuat tanpa konten ideologis,” imbuh Tri Subagya.
Heru Nugroho Dosen Departemen Sosiologi Fisipol UGM kemudian mengajak peserta diskusi
untuk membahas mengenai bagaimana menjadi intelektual muda yang kritis dan
emansipatoris dengan merefleksikan beberapa intelektual muda cendekiawan Indonesia
seperti; Arif Budiman, Soedjatmoko, Nurchloish Madjid, dan Koentowijoyo. Ia juga pengertian
intelektual dengan merefleksikan cara kerja seniman dan bagaimana seniman mencari
kegembiraan.
“Tujuan utama seorang intelektual adalah bukan hanya untuk mengejar tujuan praktis dan
kepentingan pribadi. Misalnya, penelitian dilaksanakan untuk tujuan skripsi atau thesis saja,
untuk kebutuhan dan gaya hidup saja,” kata Heru Nugroho.
Ia menambahkan pula, bahwa Universitas merupakan “mesin” yang diciptakan oleh
Kemenristekdikti. Menurutnya, hal ini membuat akademisi dan mahasiswa menjadi terjebak
dalam rezim institusi dan administrasi.
“Harapan saya, tidak hanya mewujudkan ilmu interdisipliner, melainkan juga transdisipliner
agar pemuda dapat memahami dan mengkritisi lingkungan sekitarnya melalui berbagai
perspektif,” kata Damayanti Buchori.
“Terdapat dua dimensi yang terdapat dalam ilmu transdisiplin yaitu, science dalam masyarakat
dan science dalam aktivitas sosial,” imbuh Damayanti Buchori.
Rangkaian acara In memoriam Alm Dana Zakaria Hasibuan diisi oleh berbagai macam testimoni
dari beberapa Dosen Sosiologi yang akrab dengan Bung Dana.
“Acara ini diselenggarakan bukan untuk menangisi kepergian Bung Dana. Tetapi, untuk
memahaminya sebagai bagian kehidupan untuk melangkah maju dan mewujudkan cita – cita
Bung Dana, kaum muda harus menjadi subjek yang aktif dan parsipatif,” kata Arie Sujito Dosen
Departemen Sosiologi dalam sambutannya.
Damayanti Buchori yang hadir sebagai pembicara sekaligus sebagai Ibunda Alm. Dana
Hasibuan memberikan testimoni dan membacakan puisi yang membuat haru seluruh hadirin.
Rangkaian acara ini ditutup oleh Najib Azca Dosen Departemen Sosiologi sebagai pemandu
acara dengan menyanyikan lagu dari Iwan Fals berjudul Bung Hatta yang diwarnai dengan
tangis haru dan rindu untuk Bung Dana. (/pnm)