Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN PENDAHULUAN SECTIO CAESAREA

RS KASIH IBU SURAKARTA

Disusun Oleh : Ari Kustanti


NIM : 01202308037

PRODI PROFESI NERS FAKULTAS ILMU KESEHATAN


ITS PKU MUHAMMADIYAH SURAKARTA
TAHUN 2023
BAB I
PENDAHULUAN

A. Konsep Teoritis PNC (Post Natal Care)


1. Pengertian
Persalinan adalah akhir kehamilan dan titik dimulainya kehidupan di luar rahim
bayi baru lahir. Dengan faktor- faktor insensial persalinan, proses persalinan itu sendiri,
kemauan persalinan, adaptasi ibu dan bayi, proses keperawatan baik pada wanita maupun
pada keluarga (Alden, 2004).
Post partum adalah waktu dimana proses penyembuhan dan perubahan, waktu
sesudah melahirkan sampai sebelum hamil, serta penyesuaian terhadap hadirnya anggota
keluarga baru (mitayani, 2009).
Masa nifas (puerperium) dimulai setelah kelahiran plasenta dan berahir ketika alat–
alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil. Masa nifas atau puerpenium
dimulai 2 jam setelah melahirkan plasenta sampai dengan 6 minggu (42 hari) setelah itu.
Dalam bahasa latin, waktu mulai tertentu setelah melahirkan anak ini disebut puerperium
yaitu dari kata ‘puer’ yang artinya bayi dan ‘parous’ melahirkan. Jadi puerperium berarti
masa setelah melahirkan bayi. Puerperium adalah masa pulih kembali, mulai dari
persalinan selesai sampai alat–alat kandungan kembali seperti sebelum hamil, sekitar
50% kematian ibu terjadi dalam 24 jam pertama postpartum sehingga pertolongan pasca
persalinan yang berkualitas harus terselenggara pada masa itu untuk memenuhi
kebutuhan ibu dan bayi (Vivian, 2011).
Jadi, post partum atau masa nifas atau puerperium adalah masa pulih kembali
mulai dari persalinan sampai alat-alat kandungan kembali seperti sebelum hamil dan
dimulai setelah 2 jam melahirkan plasenta dan 6 minggu setelahnya.
2. Masalah dalam Post Partum
a. Masalah Traktus Urinarius
Pada 24 jam pertama pasca persalinan, pasien umumnya menderita keluhan
miksi akibat defresi pada refleks aktivitas detrusor yang disebabkan oleh tekanan
dasar vesika urinaria saat persalinan, keluhan ini bertambah berat oleh karena
adanya fase dieresis pasca persalinan, bila perlu retensio urine dapat diatasi dengan
melakukan kateterisasi.
Rortveit, dkk (2003) menyatakan bahwa resiko inkontinensia urine pada
pasien dengan persalinan pervaginam sekitar 70% lebih tinggi dibandingkan section
Caesar. 10% pasien pasca persalinan menderita inkkontinensia (biasanya stress
inkontinensia) yang kadang–kadang menetap sampai beberapa minggu pasca
persalinan.Untuk mempercepat penyembuhan keadaan ini dapat dilakukan latihan
otot dasar panggul (Serri, 2009).
b. Nyeri punggung
Nyeri punggung sering dirasakan pada trimester ketiga kehamilan dan menetap
setelah persalinan pada anak masa nifas. kejadian ini terjadi pada 25% wanita dalam
masa post partum namun keluhan ini dirasakan oleh 50% dari mereka sejak sebelum
kehamilan. Keluhan ini menjadi semakin hebat bila mereka harus merawat anaknya
sendiri (Serri, 2009).
c. Anemia
Resiko anemia ini dapat terjadi bila ibu mengalami poendarahan yang
banyak,apalagi bila sudah sejak masa kehamilan ada riwayat kekurangan darah. Di
masa nifas, anemia bisa menyebabkan rahim susah berkontraksi. Ini karena darah
tidak cukup memberikan oksigen kedalam rahim. Ibu yang mengidap anemia dengan
kondisi membahayakan, apalagi mengalami perdarahan post partum, maka segera
haris diberi transfusi darah. Jika kondisinya tidak berbahaya maka cukup ditolong
dengan pemberian obat–obatan penambah darah yang mengandung zat besi
(Serri,2009).
d. Masalah Psikologi: defresi masa nifas
Depresi yang terjadi pada masa nifas biasanya dapat dilihat di minggu–minggu
pertama setelah melahirkan, dimana kadar hormone masih tinggi. Gejalanya adalah
gelisah, sedih, dan ingin menangis tanpa sebab yang jelas. Tingkatannya pun
bermacam–macam, mulai dari neurologis, atau gelisah saja yang disertai kelainan
tingkah laku. Situasi depresi ini akan sembuh bila ibu bisa beradaptasi dengan
situaasi yang nyatanya. Defresi masa nifas seharusnya dikenali oleh suami dan juga
keluarga. Gejalanya sama dengan depresi prahaid. Hal ini dikarenanakan pengaruh
perubahan hormonal, adanya proses involusi, dan ibu kurang tidur serta lelah karena
mengurus bayi, dan sebagainya. Depresi juga bisa timbul jika ibu dan keluarganya
mengalami konflik rumah tangga, anak yang lahir tak diharapkan, keadaan sosial
ekonominya lemah, atau trauma karena mengalami cacat Keberadaan bayi tidak
jarang justru menimbulkan “stress” bagi beberapa ibu yang baru melahirkan. Ibu
merasa bertanggung jawab untuk merawat bayi, melanjutkan mengurus suami, setiap
malam merasa terganggu dan sering merasakan adanya ketidak mampuan dalam
mengatasi semua beban tersebut (Serri, 2009).
3. Patofisiologi
Dalam masa post partum atau masa nifas, alat-alat genetalia interna maupun
eksterna akan berangsur-angsur pulih kembali seperti keadaaan sebelum hamil.
Perubahan-perubahan alat genetalia ini dalam keseluruhan disebut “involusi”. Di
samping involusi terjadi perubahan-perubahan penting lain yakni memokonsetrasi dan
timbilnya laktasi yang terakhir ini karena pengaruh laktogenik hormon dari kelenjar
hipofisis terhadapkelenjar-kelenjar mamae.
Otot-otot uterus berkontraksi segera post partum, pembuluh-pembuluh darah yang
ada antara anyaman otot-otot uterus akan terjepit. Proses ini akan menghentikan
perdarahan setelah plasenta lahir. Perubahan-perubahan yang terdapat pada serviks ialah
segera post partum bentuk serviks ialah segera post partum bentuk serviks agak
menganga seperti corong, bentuk ini disebabkan oleh korpus uteri terbentul semacam
cincin. Perubahan-perubahan yang terdapat pada endometrium ialah timbulnya
trombosis, degerasi dan nekrosis ditempat implantasi plasenta pada hari pertama
endometrium yang kira-kira setebal 2-5 mm itu mempunyai permukaan yang kasar
akibat pelepasan desidua dan selaput janin regenerasi endometrium terjadi dari sisa-sisa
sel desidua basalis yang memakai waktu 2 sampai 3 minggu. Ligamen-ligamen dan
diafragma palvis serta fasia yang merenggang sewaktu kehamilan dan setelah janin lahir
berangsur-angsur kembali seperti sedia kala.
Ada beberapa kelainan atau hambatan pada proses persalinan yang menyebabkan
bayi tidak dapat lahir secara normal/spontan, misalnya plasenta previa sentralis dan
lateralis, panggul sempit, disproporsi cephalo pelvic, rupture uteri, partus lama, partus
tidak maju, pre-eklamsia, distorsia serviks, dan malpresentasi janin. Kondisi tersebut
menyebabkan perlu adanya suatu tindakan pembedahan, yaitu Sectio Caesarea.
Dalam proses operasinya dilakukan tindakan anestesi yang akan menyebabkan
pasien mengalami imobilisasi sehingga akan menimbulkan masalah intoleransi aktivitas.
Adanya kelumpuhan sementara dan kelemahan fisik akan menyebabkan pasien tidak
mampu melakukan aktivitas perawatan diri pasien secara mandiri sehingga timbul
masalah defisit perawatan diri.
Kurangnya informasi mengenai proses pembedahan, penyembuhan, dan perawatan
post operasi akan menimbulkan ansietas pada pasien. Selain itu, dalam proses
pembedahan juga akan dilakukan tindakan insisi pada dinding abdomen sehingga
menyebabkan terputusnya inkontinuitas jaringan, pembuluh darah, dan saraf-saraf di
sekitar daerah insisi. Hal ini akan merangsang pengeluaran histamin dan prostaglandin
yang akan menimbulkan rasa nyeri (nyeri akut). Setelah proses pembedahan berakhir,
daerah insisi akan ditutup dan menimbulkan luka post operasi yang bila tidak dirawat
dengan baik akan menimbulkan masalah resiko infeksi.
5. Periode Nifas
a. Periode Immediate Postpartum
Masa segera setelah plasenta lahir sampai dengan 24 jam. Pada masa ini sering
terdapat banyak masalah, misalnya perdarahan karena atonia uteri. Oleh karena itu,
bidan dengan teratur harus melakukan pemeriksaan kontraksi uterus, pengeluaran
loche, tekanan darah, dan suhu.
b. Periode Early Postpartum (24 jam-1 minggu)
Pada fase ini bidan memastikan involusi uteri dalam keadaan normal, tidak ada
perdarahan, lochea tidak berbau busuk, tidak demam, ibu cukup mendapatkan
makanan dan cairan, serta ibu dapat menyusui dengan baik.
c. Periose Late Postpartum (1 minggu-5 minggu)
Pada periode ini bidan tetap melakukan perawatan dan pemeriksaan sehari-hari serta
konseling KB. Siti Saleha, 2009)
6. Perubahan Fisiologis Masa Nifas
a. Perubahan Fisik
1) Uterus
Secara berangsur – angsur menjadi kecil (involusi) sehingga akhirnya kembali
seperti sebelum hamil, setelah plasenta lahir uterus merupakan alat yang keras,
karena kontraksi dan retraksi otot-ototnya. Fundus uteri  3 jari dibawah pusat.
Selama 2 hari berikutnya, besarnya tidak seberapa berkurang tetapi sesudah 2 hari
ini uterus mengecil dengan cepat sehingga pada hari ke-10 tidak teraba dari luar.
Setelah 6 minggu tercapainya lagi ukurannya yang normal. Epitelerasi siap dalam
10 hari, kecuali pada tempat plasenta dimana epitelisasi memakan waktu tiga
minggu.
2) Serviks
Setelah persalinan, bentuk serviks agak mengganggu seperti corong berwarna
merah kehitaman. Konsistensinya lunak, kadang-kadang terdapat perlukaan-
perlukaan kecil setelah bayi lahir, tangan masih bisa masuk rongga rahim, setelah
2 jam dapat dilalui oleh 2-3 jari dan setelah 7 hari hanya dapat dilalui 1 jari.
3) Endometrium
Timbul trombosis, degenerasi dan nekrosis, di tempat implantasi plasenta. Pada
hari-hari pertama, endometrium setebal 12,5 mm akibat pelepasan desidua dan
selaput janin (Sarwono,2007)
4) Lochea
Lochea adalah cairan sekret yang berasal dari kavum uteri dan vagina dalam masa
nifas. Pada hari pertama dan kedua lochea rubra atau lochea cruenta, terdiri atas
darah segar bercampur sisa-sisa selaput ketuban, sel-sel desidua, sisa-sisa verniks
kaseosa, lanugo dan mekonium.
 Lochea Rubra (cruenta) : Berisi darah segar dan sisa selaput ketuban, sel-sel
dari desidua, verniks kaseosa, lanugo dan mekonium.
 Lochea Sanguinolenta : Berwarna merah kuning berisi darah dan lendir hari ke
3-7 pasca persalinan
 Lochea Serosa : berwarna kuning, cairan tidak berdarah lagi, pada hari ke 7-14
pasca persalinan.
 Lochea Alba : cairan putih setelah 2 minggu.
 Lochea Purulenta : terjadi infeksi, keluaran cairan seperti nanah berbau busuk.
 Lochea stasis : lochea tidak lancar keluarnya.
5) Sistem Endokrin
Terjadi penurunan kadar HPL (Human Plasental Lactogen), estrogen dan kortisol
serta plasenta enzyme insulinase sehingga kadar gula darah menurun pada masa
puerperium. Kadar estrogen dan progesteron menurun setelah plasenta keluar.
Kadar terendahnya dicapai kira-kira 1 minggu post partum. Penurunana ini
berkaitan dengan pembengkakan dan diuresis cairan ekstraseluler berlebih yang
terakumulasi selama hamil. Pada wanita yang tidak menyusui estrogen meningkat
pada minggu kedua setelah melahirkan dan lebih tinggi dari pada wanita yang
menyusui pada post partum hari ke- 17. (Bobak, 2004)
6) Pembuluh Darah Rahim
Dalam kehamilan, uterus mempunyai banyak pembuluh-pembuluh darah yang
besar, karena setelah persalinan tidak diperlukan lagi peredaran darah yang
banyak. Bila pembuluh darah yang besar, tersunbat karena perubahan pada
dindingnya dan diganti oleh pembuluh-pembuluh yang kiri.
7) Dinding perut dan peritoneum
Setelah persalinan dinding perut longgar karena disebabkan lama, tetapi biasanya
akan pulih kembali dalam 6 minggu. Pada wanita yang asthenis menjadi diastasis
dari otot-otot rectus abnominis sehingga sebagian dari dinding perut di garis
tengah terdiri dari peritoneum, fascia tipis dan kulit. Tempat yang lemah dan
menonjol kalau berdiri atau mengejan.
8) Bekas Implantasi Placenta
Placental bed mengecil karena kontraksi dan menonjol ke kavum uteri dengan
diameter 7.5 cm. Sesudah 2 minggu menjadi 3,5 cm, pada minggu ke enam 2,4
cm dan akhirnya pulih. (Varney, 2007)
b. Perubahan Psikologis
Adaptasi psikologis post partum menurut teori rubin dibagi dalam 3 periode
yaitu sebagai berikut ;
1 Periode Taking In
a) Berlangsung 1-2 hari setelah melahirkan
b) Ibu pasif terhadap lingkungan. Oleh karena itu, perlu menjaga komunikasi
yang baik.
c) Ibu menjadi sangat tergantung pada orang lain, mengharapkan segala sesuatru
kebutuhan dapat dipenuhi orang lain.
d) Perhatiannya tertuju pada kekhawatiran akan perubahan tubuhnya
e) Ibu mungkin akan bercerita tentang pengalamannya ketika melahirkan secara
berulang-ulang
f) Diperlukan lingkungan yang kondusif agar ibu dapat tidur dengan tenang
untuk memulihkan keadaan tubuhnya seperti sediakala.
g) Nafsu makan bertambah sehingga dibutuhkan peningkatan nutrisi, dan
kurangnya nafsu makan menandakan ketidaknormalan proses pemulihan
2 Periode Taking Hold
a) Berlangsung 3-10 hari setelah melahirkan
b) Pada fase ini ibu merasa khawatir akan ketidakmampuannya dalam merawat
bayi
c) Ibu menjadi sangat sensitive, sehingga mudah tersinggung. Oleh karena itu,
ibu membutuhkan sekali dukungan dari orang-orang terdekat
d) Saat ini merupakan saat yang baik bagi ibu untuk menerima berbagai
penyuluhan dalam merawat diri dan bayinya. Dengan begitu ibu dapat
menumbuhkan rasa percaya dirinya.
e) Pada periode ini ibu berkonsentrasi pada pengontrolan fungsi tubuhnya,
misalkan buang air kecil atau buang air besar, mulai belajar untuk mengubah
posisi seperti duduk atau jalan, serta belajar tentang perawatan bagi diri dan
bayinya
3. Periode Letting Go
a) Berlangsung 10 hari setelah melahirkan.
b) Secara umum fase ini terjadi ketika ibu kembali ke rumah
c) Ibu menerima tanggung jawab sebagai ibu dan mulai menyesuaikan diri
dengan ketergantungan bayinya
d) Keinginan untuk merawat bayi meningkat
e) Ada kalanya ibu mengalami perasaan sedih yang berkaitan dengan bayinya,
keadaan ini disebut baby blues ( Herawati, 2009)
B. Konsep Teoritis KPD (Ketuban Pecah Dini)
1. Pengertian
Ketuban pecah dini adalah pecahnya selaput ketuban sebelum terjadi
persalinan(Prawirohardjo, Sarwono. 2009)
Ketuban Pecah Dini (KPD) adalah pecahnya ketuban sebelum waktunyamelahirkan
atau sebelum inpartu, pada pembukaan < 4 cm (fase laten). Halini dapat terjadi pada akhir
kehamilan manapun jauh sebelum waktunya melahirkan. Ketuban pecah dini merupakan
komplikasi yang berhubungan dengan kehamilan kurang bulan dan mempunyai kontribusi
yang besar pada angka kematian perinatal dari bayi yang kurang bulan(Nugroho, T. 2010)
Menurut Nugroho, T. 2010 penyebab ketuban pecah dini masih belum diketahui dan
tidak dapat ditentukan secara pasti. Beberapa laporan menyebutkan faktor-faktor yang
berhubungan erat dengan ketuban pecah dini, namun faktor mana yang lebih berperan sulit
diketahui. Kemungkinan yang menjadi faktor predisposisinya adalah :

a. Infeksi
Infeksi yang terjadi secara langsung pada selaput ketuban maupun asenden dari
vagina atau infeksi pada cairan ketuban bisa menyebabkan terjadinya ketuban pecah dini.
b. Servik yang inkompetensia
Kanalis servikalis yang selalu terbuka oleh karena kelainan pada servik uteri akibat
persalinan dan curetage. Inkompetensia serviks adalah istilah untuk menyebut kelainan
pada otot-otot leher atau leher rahim (serviks) yang terlalu lunak dan lemah, sehingga
sedikit membuka ditengah-tengah kehamilan karena tidak mampu menahan desakan janin
yang semakin besar. Inkompetensia serviks adalah serviks dengan suatu kelainan anatomi
yang nyata, disebabkan laserasi sebelumnya melalui ostium uteri atau merupakan suatu
kelainan kongenital pada serviks yang memungkinkan terjadinya dilatasi berlebihan tanpa
perasaan nyeri dan mules dalam masa kehamilan trimester kedua atau awal trimester
ketiga yang diikuti dengan penonjolan dan robekan selaput janin serta keluarnya hasil
konsepsi(. Lailiyana, dkk. 2008)
c. Tekanan intra uterin yang meninggi atau meningkat secara berlebihan (overdistensi
uterus) misalnya trauma, hidramnion dan gemeli.
d. Trauma yang didapat misalnya hubungan seksual, pemeriksaan dalammaupun
amniosintesis menyebabkan terjadinya ketuban pecah dini karena biasanya disertai infeksi.
e. Kelainan letak, misalnya sungsang, sehingga tidak ada bagian terendah yang menutupi
pintu atas panggul yang dapat menghalangi tekanan terhadap membran bagian bawah.
2. Patofisiologi

Pecahnya selaput ketuban disebabkan oleh hilangnya elastisitas pada daerah tepi
robekan selaput ketuban. Hilangnya elastisitas selaput ketuban ini sangat erat kaitannya
dengan jaringan kolagen, yang dapat terjadi karena penipisan oleh infeksi atau rendahnya
kadar kolagen. Kolagen pada selaput terdapat pada amnion di daerah lapisan kompakta,
fibroblas serta pada korion di daerah lapisan retikuler atau trofoblas (Mamede dkk, 2012).
Selaput ketuban pecah karena pada daerah tertantu terjadi perubahan biokimia yang
menyebabkan selaput ketuban mengalami kelemahan. Perubahan struktur, jumlah sel dan
katabolisme kolagen menyebabkan aktivitas kolagen berubah dan menyebabkan selaput
ketuban pecah. Pada daerah di sekitar pecahnya selaput ketuban diidentifikasi sebagai
suatu zona “restriced zone of exteme altered morphologi (ZAM)” (Rangaswamy, 2012).
Penelitian oleh Malak dan Bell pada tahun 1994 menemukan adanya sebuah area
yang disebut dengan “high morphological change” pada selaput ketuban di daerah sekitar
serviks. Daerah ini merupakan 2 – 10% dari keseluruhan permukaan selaput ketuban. Bell
dan kawan-kawan kemudian lebih lanjut menemukan bahwa area ini ditandai dengan
adanya penigkatan MMP-9, peningkatan apoptosis trofoblas, perbedaan ketebalan
membran, dan peningkatan myofibroblas (Rangaswany dkk, 2012).
Penelitian oleh (Rangaswamy dkk, 2012), mendukung konsep paracervical weak
zone tersebut, menemukan bahwa selaput ketuban di daerah paraservikal akan pecah
dengan hanya diperlukan 20 -50% dari kekuatan yang dibutuhkan untuk robekan di area
selaput ketuban lainnya. Berbagai penelitian
mendukung konsep adanya perbedaan zona selaput ketuban, khususnya zona di
sekitar serviks yang secara signifikan lebih lemah dibandingkan dengan zona lainnya
seiring dengan terjadinya perubahan pada susunan biokimia dan histologi. Paracervical
weak zone ini telah muncul sebelum terjadinya pecah selaput ketuban dan berperan
sebagai initial breakpoint (Rangaswamy dkk, 2012).
Penelitian lain oleh (Reti dkk, 2007), menunjukan bahwa selaput ketuban di daerah
supraservikal menunjukan penigkatan aktivitas dari petanda protein apoptosis yaitu
cleaved-caspase-3, cleaved-caspase-9, dan penurunan Bcl-2. Didapatkan hasil laju
apoptosis ditemukan lebih tinggi pada amnion dari pasien dengan ketuban pecah dini
dibandingkan pasien tanpa ketuban pecah dini, dan laju apopsis ditemukan paling tinggi
pada daerah sekitar serviks dibandingkan daerah fundus (Reti dkk, 2007).
Apoptosis yang terjadi pada mekanisme terjadinya KPD dapat melalui jalur intrinsik
maupun ektrinsik, dan keduanya dapat menginduksi aktivasi dari caspase. Jalur intrinsik
dari apoptosis merupakan jalur yang dominan berperan pada apoptosis selaput ketuban
pada kehamilan aterm. Pada penelitian ini dibuktikan bahwa terdapat perbedaan kadar
yang signifikan pada Bcl-2, cleaved caspase-3, cleaved caspase-9 pada daerah
supraservikal, di mana protein-protein tersebut merupakan protein yang berperan pada
jalur intrinsik. Fas dan ligannya, Fas-L yang menginisiasi apopsis jalur ekstrinsik juga
ditemukan pada seluruh sampel selaput ketuban tetapi ekspresinya tidak berbeda
bermakna antara daerah supraservikal dengan distal. Diduga jalur ekstrinsik tidak berperan
banyak pada remodeling selaput ketuban (Reti dkk, 2007).
Degradasi dari jaringan kolagen matriks ektraselular dimediasi ole enzim matriks
metalloproteinase (MMP). Degradasi kolagen oleh MMP ini dihambat oleh tissue
inhibitor matrixmetyalloproteinase (TIMP). Pada saat menjelang persalinan, terjadi
ketidakseimbangan dalam interaksi antara matrix MMP dan TIMP, penigkatan aktivitas
kolagenase dan protease, penigkatan tekanan intrauterin (Weiss, 2007).

3. Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala ketuban pecah dini adalah sebagai berikut :

a. Tanda yang terjadi adalah keluarnya cairan ketuban merembes melalui vagina.

b. Aroma air ketuban berbau amis dan tidak seperti bau amoniak, mungkin cairan tesebut
masih merembes atau menetes, dengan ciri pucat dan bergaris warna darah.

c. Cairan ini tidak akan berhenti atau kering karena terus diproduksi sampai kelahiran.
Tetapi bila duduk atau berdiri, kepala janin yang sudah terletak di bawah biasanya
“mengganjal” atau “menyumbat” kebocoran untuk sementara.

d. Demam, bercak vagina yang banyak, nyeri perut, denyut jantung janin

bertambah cepat merupakan tanda-tanda infeksi yang terjadi.


4. Faktor yang mempengaruhi
Menurut (Morgan, 2009), Kejadian Pecah Dini (KPD) dapat disebabkan oleh
beberapa faktor meliputi :
a. Usia

Karakteristik pada ibu berdasarkan usia sangat berpengaruh terhadap kesiapan ibu
selama kehamilan maupun mengahdapi persalinan. Usia untuk reprosuksi optimal bagi
seorang ibu adalah antara umur 20-35 tahun. Di bawah atau di atas usia tersebut akan
meningkatkan risiko kehamilan dan persalinan. Usia seseorang sedemikian besarnya akan
mempengaruhi sistem reproduksi, karena organ-organ reproduksinya sudah mulai
berkuarng kemampuannya dan keelastisannya dalam menerima kehamilan (Sudarto,
2016).

b. Sosial Ekonomi

Pendapatan merupakan faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas kesehatan di


suatu keluarga. Pendapatan biasanya berupa uang yang mempengaruhi seseorang dalam
mempengaruhi kehidupannya. Pendapatan yang meningkat merupakan kondisi yang
menunjang bagi terlaksananya status kesehatan seseorang. Rendahnya pendapatan
merupakan rintangan yang

menyebabkan seseorang tidak mampu memenuhi fasilitas kesehatan sesuai


kebutuhan (BPS, 2005).

c. Paritas

Paritas merupakan banyaknya anak yang dilahirkan oleh ibu dari anak pertama
sampai dengan anak terakhir. Adapun pembagian paritas yaitu primipara, multipara, dan
grande multipara. Primipara adalah seorang wanita yang baru pertama kali melahirkan
dimana janin mencapai usia kehamilan 28 minggu atau lebih. Multipara adalah seorang
wanita yang telah mengalalmi kehamilan dengan usia kehamilan 28 minggu dan telah
melahirkan buah kehamilan 2 kali atau lebih. Sedangkan grande multipara merupakan
seorang wanita yang telah mengalami hamil dengan usia kehamilan minimal 28 minggu
dan telah melahirkan buah kehamilannya lebih dari 5 kali (Wikjosastro, 2007). Wanita
yang telah melahirkan beberapa kali dan pernah mengalami KPD pada kehamilan
sebelumnya serta jarak kelahiran yang terlampau dekat diyakini lebih berisiko akan
mengalami KPD pada kehamilan berikutnya (Helen, 2008).

Kehamilan yang terlalu sering, multipara atau grademultipara mempengaruhi


proses embriogenesis, selaput ketuban lebih tipis sehingga mudah pecah sebelum
waktunya. Pernyataan teori dari menyatakan semakin banyak paritas, semakin mudah
terjadinya infeksi amnion karena rusaknya struktur serviks pada persalinan sebelumnya.
KPD lebih sering terjadi pada multipara, karena penurunan fungsi reproduksi,
berkurangnya jaringan ikat, vaskularisasi dan servik yang sudah membuka satu cm akibat
persalinan yang lalu (Nugroho, 2010).

d. Anemia

Anemia pada kehamilan merupakan adalah anemia karena kekurangan zat besi.
Jika persendian zat besi minimal, maka setiap kehamilan akan mengurangi persendian zat
besi tubuh dan akhirnya menimbulkan anemia. Pada kehamilan relatif terjadi anemia
karena darah ibu hamil mengalami hemodelusi atau pengencangan dengan penigkatan
volume 30% sampai 40% yang puncaknya pada kehamilan 32 sampai 34 minggu. Pada
ibu hamil yang mengalami anemia biasanya ditemukan ciri-ciri lemas, pucat, cepat lelah,
mata berkunang-kunang. Pemeriksaan darah dilakukan minimal 2 kali selama kehamilan
yang pada trimester pertama dan trimester ke tiga.

Dampak anemia pada janin antara lain abortus, terjadi kematian intrauterin,
prematuritas, berat badan lahir rendah, cacat bawaan dan mudah infeksi. Pada ibu, saat
kehamilan dapat mengakibatkan abortus, persalinan prematuritas, ancaman
dekompensasikordis dan ketuban pecah dini (Manuaba, 2009).

e. Perilaku Merokok

Kebiasaan merokok atau lingkungan dengan rokok yang intensitas tinggi dapat
berpengaruh pada kondisi ibu hamil. Rokok menggandung lebih dari 2.500 zat kimia yang
teridentifikasi termasuk karbonmonoksida, amonia, aseton, sianida hidrogen, dan lain-lain.
Merokok pada masa kehamilan dapat menyebabkan gangguan-gangguan seperti
kehamilan ektopik, ketuban pecah dini, dan resiko lahir mati yang lebih tinggi (Sinclair,
2003).

f. Riwayat KPD

Pengalaman yang pernah dialami oleh ibu bersalin dengan kejadian ketuban pecah
dini dapat berpengaruh besar terhadap ibu jika menghadapi kondisi kehamilan. Riwayat
KPD sebelumnya beresiko 2-4 kali mengalami ketuban pecah dini kembali. Patogenesis
terjadinya KPD secara singkat ialah akibat penurunan kandungan kolagen dalam membran
sehingga memicu terjadinya ketuban pecah dini dan ketuban pecah preterm. Wanita yang
pernah mengalami KPD pada kehamilan menjelang persalinan maka pada kehamilan
berikutnya akan lebih beresiko dari pada wanita yang tidak pernah mengalami KPD
sebelumnya karena komposisi membran yang semakin menurun pada kehamilan
berikutnya.

g. Serviks yang Inkompetensik

Inkompetensia serviks adalah istilah untuk menyebut kelainan pada otot-otot leher
atau leher rahim (serviks) yang terlalu lunak dan lemah, sehingga sedikit membuka
ditengah-tengah kehamilan karena tidak mampu menahan desakan janin yang semakin
besar. Inkompetensia serviks adalah serviks dengan suatu kelainan anatomi yang nyata,
disebabkan laserasi sebelumnya melalui ostium uteri atau merupakan suatu kelainan
kongenital pada serviks yang memungkinkan terjadinya dilatasi berlebihan tanpa perasaan
nyeri dan mules dalam masa kehamilan trimester kedua atau awal trimester ketiga yang
diikuti dengan penonjolan dan robekan selaput janin serta keluarnya hasil konsepsi.

h. Tekanan Intra Uterin

Tekanan intra uterin yang meninggi atau meningkat secara berlebihan dapat
menyebabkan terjadinya ketuban pecah dini, misalnya :

1) Trauma : berupa hubungan seksual, pemeriksaan dalam, amniosintesis.

2) Gemelli : Kehamilan kembar dalah suatu kehamilan dua janin atau lebih. Pada
kehamilan gemelli terjadinya distensi uterus yang berlehihan, sehingga menimbulkan
adanya ketegangan rahim secara berlehihan. Hal ini terjadi karena jumlahnya berlebih, isi
rahim yang lebih besar dan kantung (selaput ketuban) relative kecil sedangkan dibagian
bawah tidak ada yang menahan sehingga mengakibatkan selaput ketuban tipis dan mudah
pecah (Novihandari, 2016).

5. Komplikasi
Komplikasi yang timbul akibat ketuban pecah dini bergantung pada usia
kehamilan. Dapat terjadi infeksi maternal ataupun neonatal, persalinan prematur, hipoksia
karena kompresi tali pusat, deformitas janin meningkatnya insiden seksio sesarea, atau
gagalnya persalinan normal. (Prawirohardjo, Sarwono. 2009. Ilmu Kebidanan. Jakarta :
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo)

a. Persalinan Prematur

Setelah ketuban pecah biasanya segera disusul oleh persalinan. Periode laten
tergantung umur kehamilan. Pada kehamilan aterm 90% terjadi dalam 24 jam setelah
ketuban pecah. Pada kehamilan antara 28–34 minggu 50% persalinan dalam 24 jam. Pada
kehamilan < 26 minggu persalinan terjadi dalam 1 minggu.

b. Resiko infeksi

Resiko infeksi ibu dan anak meningkat pada kejadian ketuban pecah dini.Pada ibu
terjadi korioamnionitis.Pada bayi dapat terjadi septikemia, pneumonia, omfalitis.Misalnya
terjadi korioamnionitis sebelum janin terinfeksi.Pada ketuban pecah dini prematur, infeksi
lebih sering dari pada aterm. Secara umum insiden infeksi sekunder pada ketuban pecah
dinimeningkat sebanding dengan lamanya periode laten.
c. Hipoksia dan Asfiksia

Dengan pecahnya ketuban terjadi oligohidramnion yang menekan tali pusat hingga
terjadi asfiksia atau hipoksia. Terdapat hubungan antara terjadinya gawat janin dan derajat
oligohidramnion, semakin sedikit air ketuban, janin semakin gawat.

d. Sindrom Deformitas Janin

Ketuban Pecah Dini yang terjadi terlalu dini menyebabkan pertumbuhan janin
terhambat, kelainan disebabkan kompresi muka dan anggota badan janin, serta hipoplasi
pulmonar.

6. Penatalaksanaan
Pada Penatalaksanaan ketuban pecah dini menurut Prawirohardjo,S (2009) dibagi
menjadi konservatif dan aktif.

a. Konservatif

Rawat di Rumah Sakit, berikan antibiotik (ampisillin 4 x 500 mg atau eritromisin


bila tidak tahan ampisilin dan metronidazol 2 x 500 mg selama 7 hari). Jika umur
kehamilan < 32–34 minggu, dirawat selama air ketuban masih keluar atau air ketuban
sampai tidak keluar lagi. Jika usia kehamilan 32–37 minggu, belum inpartu dan tidak ada
tanda-tanda infeksi tes busa negatif beri deksametason, observasi tanda-tanda infeksi dan
kesejahteraan janin. Terminasi pada kehamilan 37 minggu. Jika usia kehamilan 32–37
minggu, sudah inpartu, tidak ada infeksi berikan tokolitik (salbutamol), deksametason,
dan induksi sesudah 24 jam. Jika usia kehamilan 32–37 minggu, ada infeksi beri
antibiotik dan lakukan induksi, nilai tanda-tanda infeksi (suhu, leukosit, tanda-tanda
infeksi intrauterine). Pada usia kehamilan 32–37 minggu berikan steroid untuk memacu
kematangan paru janin, dan bila memungkinkan periksa kadar lesitin dan spingomielin
tiap minggu. Dosis betametason 12 mg sehari dosis tunggal selama 2 hari, deksa metason
I.M 5 mg setiap 6 jam sebanyak 4 kali.

b. Aktif

Kehamilan > 37 minggu, induksi dengan oksitosin.Bila gagal seksio sesarea,


dapat pula diberikan misoprostol 25 μg – 50 μg intravaginal tiap 6 jam maksimal 4
kali.Bila tanda-tanda infeksi berikan antibiotik dosis tinggi dan persalinan diakhiri.

Menurut Morgan (2009) penatalaksaan ketuban pecah dini yaitu :

a. Bila ketuban pecah

1) Anjurkan pasien untuk pergi ke rumah sakit atau klinik.

2) Catat terjadinya ketuban pecah.


a) Lakukan pengkajian secara seksama. Upayakan mengetahui waktuterjadinya
ketuban pecah bila robekan ketuban tampak kasar.

b) Bila pecah ketuban dan ada tanda kemungkinan infeksi tidak jelas, lakukan
pemeriksaan spekulum steril dan kaji nilai bishop serviks.

c) Bila usia gestasi kurang dari 37 minggu atau pasien terjangkit herpes tipe 2,
rujuk ke dokter.

b. Penatalaksanaan konservatif

1) Kebanyakan persalinan dimulai dalam 24–72 jam setelah ketuban pecah.

2) Kemungkinan infeksi berkurang bila tidak ada alat yang masuk ke vagina
kecuali spekulum steril jangan melakukan pemeriksaan vagina.

3) Saat menunggu, tetap pantau pasien dengan ketat.

a) Ukur suhu tubuh empat kali sehari, bila suhu meningkat secara signifikan dan
mencapai 380 C, berikan 2 macam antibiotika dan pelahiran harus
diselesaikan.

b) Observasi rabas vagina : bau menyengat, purulen atau tampak kekuningan


menunjukan adanya infeksi.

c) Catat bila ada nyeri tekan dan iritabilitas uterus serta laporkan perubahan
apapun.

c. penatalaksanaan agresif

1) Jel prostagladin atau misoprostol (meskipun tidak disetujui penanganannya)


dapat diberikan setelah konsultasi dengan dokter.

2) Mungkin dibutuhkan rangkaian induksi pitocin bila serviks tidak merespon.

3) Beberapa ahli menunggu 12 jam untuk terjadinya persalinan. Bila tidak ada,
mulai pemberian pitocin.

4) Berikan cairan per IV, pantau janin.

5) Peningkatan resiko seksio sesarea bila induksi tidak efektif .

6) Bila pengambilan keputusan bergantung pada kelayakan serviks untuk induksi,


kaji nilai bishop setelah pemeriksaan spekulum.

7) Periksa hitung darah lengkap bila ketuban pecah. Ulangi pemeriksaan pada
hari berikutnya sampai pelahiran atau lebih sering bila ada tanda infeksi.

8) Lakukan NST setelah ketuban pecah, waspada adanya takikardia janin yang
merupakan tanda-tanda infeksi.

9) Mulai induksi setelah konsultasi dengan dokter bila :

a) Suhu tubuh ibu meningkat signifikan

b) Terjadi takikardi janin

c) Lokia tampak keruh

d) Iritabilitas atau nyeri tekan uterus yang signifikan

e) Kultur vagina menunjukan steptokokus beta hemolitikus

f) Hitung darah lengkap menunjukan kenaikan sel darah putih.

10) Penatalaksaan persalinan lebih dari 24 jam setelah ketuban yaitu persalinan
spontan atau lakukan induksi persalinan setelah konsultasi dengan dokter.

11) Pemberian antibiotik. Banyak yang memberikan 1–2 gr ampisilin per IV atau
1–2 gr Mefoxin per IV setiap 6 jam sebagai profilaksis. Beberapa panduan
lainnya menyarankan untuk mengukur suhu ibu dan DJJ untuk menentukan kapan
antibiotika mungkin diperlukan.

C. Konsep Teoritis Sectio Caesarea


1. Pengertian sectio caesarea
Pelahiran sectio caesarea adalah persalinan buatan dimana janin dilahirkan melalui
insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan syarat rahim dalam keadaan utuh dan
berat janin diatas 500 gram (Kristianasari, 2012). Sectio caesarea adalah ibu yang
melahirkan janin dengan cara proses pembedahan dengan membuka dinding perut dan
dinding uterus dalam waktu sekitar kurang lebih enam minggu organ-organ reproduksi
akan kembali pada keadaan tidak hamil dengan syarat rahim dalam keadaan utuh
( karena pada sectio caesarea uterus akan diinsisi) dan berat janin diatas 500 gram
(Maryunani, 2015). Sectio caesarea adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan
membuka dinding perut dan dinding uterus atau vagina atau suatu histerotomi untuk
melahirkan janin dari dalam rahim (Padila, 2015).
Berdasarkan pengertian diatas bahwa sectio caesarea adalah persalinan buatan
dengan cara pebedahan dengan membuka dinding perut dan dinding rahim dengan syarat
berat janin diatan 500 gram.
2. Etiologi
Menurut (Maryunani, 2015) ada beberapa indikasi sectio caesarea yaitu :
a. Indikasi Ibu
Beberapa indikasi pada ibu yang dilakukan operasi sectio caesarea yaitu proses
persalinan yang lama atau kegagalan proses persalinan normal (dystosia), detak
jantung janin melambat (fetal distress), komplikasi pre-ekslamsia, ibu yang menderita
herpes, putusnya tali pusat, resiko luka parah pada rahim, bayi dalam posisi sungsang,
letak lintang, bayi besar, masalah plasenta seperti plasenta previa, pernah mengalami
masalah pada penyembuhan perineum, distosia, sectio caesarea berulang, presentasi
bokong hipertensi akibat kehamilan (pregnancy-induces hypertention), kelahiran
plasenta dan malpresentasi misalnya presentasi bahu.
b. Indikasi janin
Sedangkan indikasi janin yang dilakukan operasi sectio caesarea antara lain
gawat janin prolapsus funikuli (tali pusat penumpang), primigravida tua, kehamilan
dengan diabetes mellitus, infeksi intra partum, kehamilan kembar, kehamilan dengan
kelainan congenital dan animaki janin misalnya hidrosefalus. Postmatur dengan
oligohidramnion juga merupakan indikasi dilakukan sectio caesarea. Namun
demikian sectio caesarea bukan tanpa adanya resiko, komplikasinya pun juga ada

antara lain : perdarahan, infeksi (sepsis), dan cidera sekeliling struktur. (Yuliawati,
2007)

3. Patofisiologi
SC merupakan tindakan untuk melahirkan bayi dengan berat di atas 500 gr dengan
sayatan pada dinding uterus yang masih utuh. Indikasi dilakukan tindakan ini yaitu
distorsi kepala panggul, disfungsi uterus, distorsia jaringan lunak, placenta previa dll,
untuk ibu. Sedangkan untuk janin adalah gawat janin. Janin besar dan letak lintang
setelah dilakukan SC ibu akan mengalami adaptasi post partum baik dari aspek kognitif
berupa kurang pengetahuan. Akibat kurang informasi dan dari aspek fisiologis yaitu
produk oxsitosin yang tidak adekuat akan mengakibatkan ASI yang keluar hanya sedikit,
luka dari insisi akan menjadi post de entris bagi kuman. Oleh karena itu perlu diberikan
antibiotik dan perawatan luka dengan prinsip steril. Nyeri adalah salah utama karena
insisi yang mengakibatkan gangguan rasa nyaman.
Sebelum dilakukan operasi pasien perlu dilakukan anestesi bisa bersifat regional
dan umum. Namun anestesi umum lebih banyak pengaruhnya terhadap janin maupun ibu
anestesi janin sehingga kadang-kadang bayi lahir dalam keadaan upnoe yang tidak dapat
diatasi dengan mudah. Akibatnya janin bisa mati, sedangkan pengaruhnya anestesi bagi
ibu sendiri yaitu terhadap tonus uteri berupa atonia uteri sehingga darah banyak yang
keluar. Untuk pengaruh terhadap nafas yaitu jalan nafas yang tidak efektif akibat sekret
yan berlebihan karena kerja otot nafas silia yang menutup. Anestesi ini juga
mempengaruhi saluran pencernaan dengan menurunkan mobilitas usus.
Seperti yang telah diketahui setelah makanan masuk lambung akan terjadi proses
penghancuran dengan bantuan peristaltik usus. Kemudian diserap untuk metabolisme
sehingga tubuh memperoleh energi. Akibat dari mortilitas yang menurun maka
peristaltik juga menurun. Makanan yang ada di lambung akan menumpuk dan karena
reflek untuk batuk juga menurun. Maka pasien sangat beresiko terhadap aspirasi
sehingga perlu dipasang pipa endotracheal. Selain itu motilitas yang menurun juga
berakibat pada perubahan pola eliminasi yaitu konstipasi.(Saifuddin, Mansjoer &
Prawirohardjo,2002
PATHWAY
Ketuban Pecah Dini Sectio Saesarea

Post Anestesi Luka Post Operasi Post PartumNifas

Penurunan medula
Penurunan Kerja Terputusnya Jaringan terbuka Distensi kandung kemih
oblongata
Pons jaringan

Penurunan reflek Penurunan otot Merangsang area Kurangnya Oedem dan memar di uretra
batuk eliminasi sensorik proteksi

Penurunan sensitivitas kandung


Penumpukan Penurunan Gangguan rasa Invasi kemih
akumulasi sekret peristaltik usus nyaman bakteri

Gangguan
Ketidakefektifan Konstipasi Nyeri Resiko infeksi eliminasi urin
Jalan Nafas

Penurunan progesteron dan Psikologi


estrogen

Penambahan anggota baru


Merangsang pertumbuhan
Kontraksi uterus
kelenjar susu
Masa krisis Tuntutan anggota baru
Involusi Peningkatan hormonprolaktin

Perubahan pola peran Bayi menangis

Adekuat Tidak adekuat Merangsang laktasi


oksitosin
Gangguan pola tidur
Pengeluaran Lochea Perdarahan
Ejeksi ASI

Kurang volume cairan


Efektif Tidak efektif
Hemoglobin
Resiko syok Nutrisi bayi Bengkak
hipovolemik terpenuhi
Kurang O2

Kelelahan Kurang informasi Bayi kurang


perawatan payudara mendapat ASI

Defisit perawatan diri


Defisiensi pengetahuan Ketidakefektifan pemberian ASI
4. Teknik-teknik Sectio Caesarea
a. Sectio caesarea klasik atau corporal
Dilakukan dengan membuat sayatan memanjang pada korpus uteri kira–kira
sepanjang 10 cm. Kelebihan jenis sectio ini yaitu mengeluarkan janin lebih cepat,
tidak mengakibatkan komplikasi kandung kemih tertarik, dan sayatan bias
diperpanjang proksimal atau distal. Adapun kekurangannya yaitu infeksi mudah
menyebar secara intra abdominal karena tidak ada reperitonealisasi yang baik, dan
untuk persalinan berikutnya lebih sering terjadi ruptura uteri spontan (Padila, 2015).
b. Sectio caesarea ismika atau profunda
Sectio caesarea dilakukan dengan membuat sayatan melintang konkaf pada
segmen bawah rahim (Low Servic Transversal) kira–kira 10 cm. Kelebihan sectio ini
yaitu penjahitan luka lebih mudah, penutupan luka dengan reperitonealisasi yang
baik, tumpang tindih dari peritoneal flap baik sekali untuk menahan penyebaran isi
uterus ke rongga peritoneum, perdarahan kurang, dan dibandingkan dengan cara
klasik kemungkinan ruptur uteri spontan kurang/lebih kecil. Adapun kekurangan
sectio jenis ini yaitu luka dapat menyebar ke kiri, kanan, dan bawah, sehingga dapat
menyebabkan arteria uterina putus sehingga mengakibatkan perdarahan yang
banyak, dan keluhan pada kandung kemih post operatif tinggi (Padila, 2015).
c. Sectio Caesarea Extraperitoneal
Sectio Caesarea Extraperitoneal yaitu tanpa membuka peritoneum parietalis
dengan demikian tidak membuka kavum abdominalis (Kristiyanasari, 2012).
5. Kontara indikasi Sectio Caesarea
Kontraindikasi Sectio Caesarea dilakukan baik untuk kepentingan ibu maupun
untuk kepentingan anak, oleh sebab itu, sectio caesarea tidak dilakukan kecuali tidak
dalam keadaan terpaksa. sectio caesarea tidak boleh dilakukan pada kasus-kasus seperti
ini: 1) Janin sudah mati dalam kandungan. Dalam hal ini dokter memastikan denyut
jantung janin tidak ada lagi, tidak ada lagi gerakan janin anak dan dari pemeriksaan USG
untuk memastikan keadaan janin, 2) Janin terlalu kecil untuk mampu hidup diluar
kandungan, 3) Terjadi infeksi dalam kehamilan, 4) Anak dalam keadaan cacat seperti
Hidrocefalus dan anecepalus (Cunningham, 2006).

6. Komplikasi Yang Terjadi Pada Pasca Operasi Sectio Caesarea


Komplikasi pada persalinan sectio caesarea antara lain terjadinya aspirasi, emboli
pulmonal, perdarahan, infeksi urinaria, injury pada bladder, thrombophlebitis, infeksi
pada luka operasi, komplikasi dengan efek anastesi serta terjadinya injury, masalah
respirasi pada fetal (Maryunani, 2015).

D. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
a. Identitas
Mengkaji identitas pasien dan penanggung yang meliputi ; nama, umur, agama, suku
bangsa, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, perkawinan ke- , lamanya
perkawinan dan alamat.
b. Alasan Dirawat
Kaji apakah ibu merasakan keluhan pada masa nifas. Kaji adanya sakit perut,
perdarahan, dan ketakutan untuk bergerak
c. Riwayat Masuk Rumah Sakit
Kaji riwayat kesehatan ibu dan keluarga serta keadaan bayi saat ini meliputi berat
badan, lingkar kepala, lingkar dada, lingkar perut, dan lain-lain.
d. Riwayat Obstertri dan Ginokologi
Kaji riwayat menstruasi yang meliputi menarche, siklus, banyak, lama, keluhan, dan
HPHT. Kaji juga riwayat pernikahan, riwayat kelahiran, persalinan, nifas yang lal,
dan riwayat keluarga berencana yang meliputi akseptor KB, msalah, dan rencana KB.
e. Pola Kebutuhan Sehari-Hari
1) Bernafas
Kaji kemampuan ibu dalam bernafas secara sepontan.
2) Nutrisi
Kaji pola menu makanan yang dikonsumsi, jumlah, jenis makanan (Kalori,
protein, vitamin, tinggi serat), frekuensi, konsumsi snack (makanan ringan), nafsu
makan, pola minum, jumlah, frekuensi. Kehilangan nafsu makan mungkin
dikeluhkan kira-kira hari ketiga.
3) Eliminasi
Apakah terjadi diuresis, setelah melahirkan, adakah inkontinensia (hilangnya
infolunter pengeluaran urin), hilangnya kontrol blas, terjadi over distensi blass,
apakah perlu bantuan saat BAK. Pola BAB, frekuensi, konsistensi, rasa takut
BAB karena luka perineum, kebiasaan penggunaan toilet. Diuresis biasanya
terjadi diantara hari kedua dan kelima.
4) Aktivitas
Kemampuan mobilisasi beberapa saat setelah melahirkan, kemampuan merawat
diri dan melakukan eliminasi, kemampuan bekerja dan menyusui.
5) Istirahat dan Tidur
Lamanya, kapan (malam, siang), rasa tidak nyaman yang mengganggu istirahat,
penggunaan selimut, lampu atau remang-remang atau gelap, apakah mudah
terganggu dengan suara-suara, posisi saat tidur (penekanan pada perineum).
Insomnia mungkin teramati.
6) Personal Hygine
Yang dikaji yaitu, pola mandi, kebersihan mulut dan gigi, penggunaan pembalut
dan kebersihan genitalia, pola berpakaian, tata rias rambut dan wajah.
7) Rasa nyaman
Nyeri tekan payudara/pembesaran dapat terjadi diantara hari 3 sampai ke-5 pasca
partum.
8) Rasa Aman
Peka rangsang, takut/menangis (“postpartum blues”sering terlihat kira-kira 3 hari
setelah melahirkan).
9) Suhu
Kaji ada tidaknya perubahan suhu badan ibu dengan rentang normal yaitu 36-
37oC.
10) Ibadah
Kaji adakah perubahan cara atau waktu ibadah ibu selama masa nifas.
11) Hubungan sosial dan komunikasi
Kaji adakah perubahan pola komunikasi ibu pada keluarga dan lingkungannya
selama fase nifas.
12) Produktivitas
Kaji adakah perubahan produktivitas ibu selama berada dalam fase nifas.
13) Rekreasi dan hiburan
Yang dikaji situasi atau tempat yang menyenangkan, kegiatan yang membuat
fresh dan relaks.
14) Kebutuhan belajar
Kaji adakah perubahan minat ibu untuk mempelajari tentang perawatan ibu dan
bayi selama masa nifas.
f. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan Umum
Observasi tingkat kesadaran dan keadaan emosi ibu
2) Tanda-tanda vital
a) Tekanan darah
Tekanan darah bisa meningkat pada 1-3 hari post partum. Setelah persalinan
sebagian besar wanita mengalami peningkatan tekananan darah sementara
waktu. Keadaan ini akan kembali normal selama beberapa hari. Bila tekanan
darah menjadi rendah menunjukkan adanya perdarahan post partum.
Sebaliknya bila tekanan darah tinggi, dapat menunjuk kemungkinan adanya
pre-eklampsi yang bisa timbul pada masa nifas.
b) Suhu
Pada hari ke 4 setelah persalinan suhu ibu bisa naik sedikit kemungkinan
disebabkan dari aktivitas payudara. Bila kenaikan mencapai lebih dari 38 oC
pada hari kedua sampai hari-hari berikutnya, harus diwaspadai adanya infeksi
atau sepsis nifas.
c) Nadi
Denyut nadi ibu akan melambat sampai sekitar 60 x/menit yakni pada waktu
habis persalinan karena ibu dalam keadaan istiraha penuh. Ini terjadi utamanya
pada minggu pertama post partum. Pada ibu yang nervus nadinya bisa cepat,
kira-kira 110x/menit. Bisa juga terjadi gejala shock karena infeksi khususnya
bila disertai peningkatan
d) Pernafasan
Pada umumnya respirasi lambat atau bahkan normal. Bila ada respirasi cepat
pospartum (> 30 x/menit) mungkin karena adanya ikutan dari tanda-tanda
syok.
3) Pemeriksaan fisik
a) Kepala
Memeriksa apakah terjadi edema pada wajah. Memeriksa apakah konjungtiva
pucat, apakah skelera ikterus, dan lain-lain
b) Leher
Hiperpigmentasi perlahan berkurang, kaji pembesaran kelejar tiroid,
pembuluh limfe, dan pelebaran vena jugularis.
c) Thorak
 Payudara: payudara membesar, uting mudah erektil, pruduksi kolostrums
/48 jam. Kaji ada tidaknya massa, atau pembesaran pembuluh limfe.
 Jantung: kaji munculnya bradikardi, S1S2 reguler tunggal
 Paru: kaji pernafasa ibu
d) Abdomen
Kaji bising usus pada empat kuadran, konsistensi, kekuatan kontraksi, posisi,
tinggi fundus. Kaji adanya linea gravidarum, strie alba, albican.
e) Genetalia
 Uterus: kaji apakah kondisi uterus sudah kembali dalam kondisi normal.
 Lokhea: periksa tipe, jumlah, bau, dan komposisi lokhea
 Serviks: kaji adanya edema, distensi, dan perubahn struktur internal dan
eksternal.
 Vagina: kaji adanya berugae, perubahan bentuk, dan produksi mukus
normal.
f) Perinium dan Anus
Pemeriksaan perineum: REEDA (red, edema, ecchymosis, discharge, loss of
approximation). Dan kaji ada tidaknya hemoroid.
g) Ekstremitas
Periksa apakah tangan dan kaki edema, pucat pada kuku jari, hangat, adanya
nyeri dan kemerahan, varises, refleks patella, dan kaji homans’ sign (nyeri saat
kaki dorsofleksi pasif).

2. Diagnosa Keperawatan
 Nyeri berhubungan dengan agen cedera fisik dibuktikan dengan tampak meringis.

 Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan integritas kulit.

 Intoleransi aktivitas berhubungan dengan imobilitas dibuktikan dengan merasa lemah.

 Deficit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan fisik dibuktikan dengan tidak

mampu mandi/berpakaian secara mandiri.

 Gangguan mobilitan fisik berhubungan dengan efek agen farmakologis (anestesi)

dibuktikan dengan fisik lemah.

 Resiko ketidakseimbangan cairan berhubungan dengan prosedur pembedahan

dibuktikan dengan perdarahan.

. Risiko Cedera Pada Janin berhubungan dengan persalinan lama kala 1


3. Rencana Asuhan Keperawatan

No Diagnosa Tujuan dan Kriteria hasil Intervensi Keperawatan


Keperawatan (SDKI) (SLKI) (SIKI)

1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera Setelah dikakukan tindakan Observasi :
fisik dibuktikan dengan tampak meringis keperawatan 1x24 jam diharapkan • Identifikasi lokasi,
Tingkat nyeri menurun. karakteristik, frekuensi,
intensitas nyeri
Kriteria Hasil : • Identifikasi skala nyeri
• Keluhan nyeri menurun (5) • Identifikasi factor penyebab nyeri
• Tampak meringis menurun • Monitor efek samping penggunaan
(5) analgetik
Sikap protektif menurun (5) Terapeutik :
• Berikan teknik nonfarmakologis
(tarik nafas dalam, kompre hangat
atau dingin)
• Kontrok lingkungan yang
memperberat rasa nyeri (suhu,
pencahayaan, kebisingan)
• Fasilitas istirahat dan tidur
Edukasi :
• Jelaskan penyebab dan pemicu nyeri
• Jelaskan strategi pereda nyeri
• Anjurkan monitor nyeri secara
mandiri
• Anjurkan teknik nonfarkamkologis
untuk mengurangi nyeri
Kolaborasi :
• Kolaborasi pemberian analgetik
(jika perlu)
2. Resiko infeksi berhubung dengan kerusakan Setelah dilakukan tindakan Observasi :
integritas kulit. keperawatan selama 1x 8 jam
diharapkan Tingkat resiko infeksi • Monitor tanda dan gejala infeksi local
menurun. dan sistemik Terapeutik :
Kriteria Hasil • Batasi jumlah pengunjung
: • Berikan perawatan kulit pada area
 kebersihan tangan
meningkat (5) edema
 kebersihan badan meningkat • Cuci tangan sebelum dan sesudah
(5) kontak dengan pasien dan
 kerusakan integritaskulit lingkungan pasien
menurun (5) • Pertahankan teknikn aseptic pada
pasein beresiko tinggi Edukasi :

• Jelaska tanda dan gejala infeksi


• Ajarkan cuci tangan dengan benar
• Anjurkan meningkatkan asupan
nutrisi
• Anjurkan meningkatkan asupan
cairan
Kolaborasi :

• Kolaborasi pemberian
antibiotok ataupun imusisasi (jika
perlu)
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan Setelah melakukan tindakan Observasi :
imobilitas dibuktikan dengan klien merasa keperawaran 1x24 jam
lemah. diharapkan Toleransi aktivitas • Identifikasi keterbatasan fungsi dan
meningkat. gerak sendi

Kriteria Hasil : • Monitor lokasi dan sifat


ketidaknyamanan atau rasa sakit
• Kemudahan dalam melakukan
aktivitas sehari-hari selama bergerak atau beraktivitas
meningkat (5) Terapeutik :
• Kecepatan berjalan
meningkat (5) • Lakukan pengendalian nyeri
• Jarak berjalan meningkat (5) sebelum memulai latihan
• Perasaan lemah menurun (5) • Berikan posisi tubuh optimal untuk
gerakan sendimpasif atau aktif
• Fasilitasi menyusun jadwal latihan
rentang gerak aktif atau pasif
• Berikan penguatan positif untuk
melakukan latihan bersama

Edukasi :

• Jelaskan kepada pasien atau


keluarga tujuan dan rencanakan
latihan bersama
• Anjurkan pasien duduk ditempat
tidur, disisi tempat tidur (menjuntai)
atau di kursi
• Anjurkan melakukan latihan rentang
gerak pasif dan aktif secara
sistematis
4. Deficit perawatan diri berhubungan dengan Setelah dikakukan tindakan Observasi :
kelemahan fisik dibuktikan dengan tidak keperawatan 1x24 jam diharapkan
mampu mandi/berpakaian secara mandiri. Perawatan diri meningkat. • Monitor tingkat kemandirian
• Identifikasi kebutuhan alat bantu
Kriteria Hasil : dlam melakukan kebersihan diri,
berpakaian, berhias, dan makan.
• Kemampuan mandi
• Monitor integritas kulit pasien.
meningkat (5)

• Kemampuan Terapeutik :
mengenakan pakaian
secara mandiri meningkat • Dampingi dalam melakukan
(5) perawatan diri
• Mempertahankan • Fasilitasi kemandirian klien •
kebersihan diri Jadwalkan rutinitas perawatan diri
meningkat (5)
Edukasi :

• Anjurkan melakukan perawatan diri


secara konsisten sesuai kemampuan
• Anjurkan ke toilet secara mandiri
5. Gangguan mobilitan fisik berhubungan dengan Setelah dikakukan tindakan Observasi :
efek agen farmakologis (anestesi) dibuktikan keperawatan 1x24 jam diharapkan
dengan fisik lemah. Mobilitas fisik meningkat. • Identifikasi adanya
nyeri atau keluhan fisik
Kriterian Hasil : lainnya
• Identifikasi toleransi fisik
• Nyeri menurun (5)
• Kelemahan fisik menurun (5) melakukan pergerakan Terapeutik :
• Kekuatan otot meningkat (5) • Fasilitas aktivitas mobilisasi dengan
• Gerakan terbatas menurun (5) alat bantu
• Libatkan keluarga untuk membantu
pasien dalam meningkatkan
pergerakan Edukasi :

• Jelaskan tujuan dan prosedur


mobilisasi
• Anjurkan mobilisasi dini
• Ajarkan mobilisasi sederhana yang
harus dilakukan (mis. duduk di
tempat tidur, pindah dari tempat tidur
ke kursi)

6. Resiko ketidakseimbangan cairan berhubungan Setelah dikakukan tindakan Observasi :


dengan prosedur pembedahan dibuktikan dengan keperawatan 1x24 jam diharapkan
perdarahan. Keseimbangan cairan meningkat. • Monitor frekuensi dan kekuatan nadi
• Monitor tekana darah
Kriteria Hasil : • Monitor jumlah dan warna urin •
• Asupan cairan meningkat (5) Monitor inteka dan output
• Kelembaban membrane cairan
mukosa meningkat (5)
• Membrane mukosa membaik Terapeutik :
(5)
• Atur waktu pemantauan sesuai
• Turgor kulit membaik (5) dengan kondisi klien
• Dokumentasikan hasil pemantauan

Edukasi :
• Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan
• Informasikan hasil pemantauan

7. Resiko cedera pada janin (D.0138) berhungan Setelah dilakukan Tindakan Pemantauan DJJ
dengan proses kala 1 lama keperawatan selama 3x24 jam Observasi :
keparahan dan cedera yang di amati . Identifikasi status obstetric
atau dilaporkan menurun. . Identifikasi Riwayat
Kriteria hasil :
obstetric
. kejadian cedera menurun 5
. luka lecet menurun 5 . Identifikasi adanya
. perdarahan menurun 5 penggunaan obat
. fraktur menurun 5 . Periksa DJJ selama 1
menit
. Monitor tanda vital ibu
Teraupetik :
. Atur posisi pasien
. Lakukan manuver leopold
untuk menentukan letak
janin
Edukasi :
. Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan
. Informasikan hasil
pemantaun jika perlu
4. Implementasi

Implementasi adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk

mencapai tujuan yang spesifik. Tujuan dari pelaksanaan adalah membantu klien

dalam mencapai tujuan yang telah diterapkan, yang mencakup peningkatan

kesehatan, pencegahan penyakit pemulihan kesehatan dan memfasilitasi koping

(Nursalam: 2010)

5.Evaluasi

Evaluasi adalah penilaian dengan cara membandingkan perubahan

keadaan pasien (hasil yang diamati) dengan tujuan dan kriteria hasil yang

dibuat pada tahap perencanaan (Nursalam, 2010).

Anda mungkin juga menyukai