a. Infeksi
Infeksi yang terjadi secara langsung pada selaput ketuban maupun asenden dari
vagina atau infeksi pada cairan ketuban bisa menyebabkan terjadinya ketuban pecah dini.
b. Servik yang inkompetensia
Kanalis servikalis yang selalu terbuka oleh karena kelainan pada servik uteri akibat
persalinan dan curetage. Inkompetensia serviks adalah istilah untuk menyebut kelainan
pada otot-otot leher atau leher rahim (serviks) yang terlalu lunak dan lemah, sehingga
sedikit membuka ditengah-tengah kehamilan karena tidak mampu menahan desakan janin
yang semakin besar. Inkompetensia serviks adalah serviks dengan suatu kelainan anatomi
yang nyata, disebabkan laserasi sebelumnya melalui ostium uteri atau merupakan suatu
kelainan kongenital pada serviks yang memungkinkan terjadinya dilatasi berlebihan tanpa
perasaan nyeri dan mules dalam masa kehamilan trimester kedua atau awal trimester
ketiga yang diikuti dengan penonjolan dan robekan selaput janin serta keluarnya hasil
konsepsi(. Lailiyana, dkk. 2008)
c. Tekanan intra uterin yang meninggi atau meningkat secara berlebihan (overdistensi
uterus) misalnya trauma, hidramnion dan gemeli.
d. Trauma yang didapat misalnya hubungan seksual, pemeriksaan dalammaupun
amniosintesis menyebabkan terjadinya ketuban pecah dini karena biasanya disertai infeksi.
e. Kelainan letak, misalnya sungsang, sehingga tidak ada bagian terendah yang menutupi
pintu atas panggul yang dapat menghalangi tekanan terhadap membran bagian bawah.
2. Patofisiologi
Pecahnya selaput ketuban disebabkan oleh hilangnya elastisitas pada daerah tepi
robekan selaput ketuban. Hilangnya elastisitas selaput ketuban ini sangat erat kaitannya
dengan jaringan kolagen, yang dapat terjadi karena penipisan oleh infeksi atau rendahnya
kadar kolagen. Kolagen pada selaput terdapat pada amnion di daerah lapisan kompakta,
fibroblas serta pada korion di daerah lapisan retikuler atau trofoblas (Mamede dkk, 2012).
Selaput ketuban pecah karena pada daerah tertantu terjadi perubahan biokimia yang
menyebabkan selaput ketuban mengalami kelemahan. Perubahan struktur, jumlah sel dan
katabolisme kolagen menyebabkan aktivitas kolagen berubah dan menyebabkan selaput
ketuban pecah. Pada daerah di sekitar pecahnya selaput ketuban diidentifikasi sebagai
suatu zona “restriced zone of exteme altered morphologi (ZAM)” (Rangaswamy, 2012).
Penelitian oleh Malak dan Bell pada tahun 1994 menemukan adanya sebuah area
yang disebut dengan “high morphological change” pada selaput ketuban di daerah sekitar
serviks. Daerah ini merupakan 2 – 10% dari keseluruhan permukaan selaput ketuban. Bell
dan kawan-kawan kemudian lebih lanjut menemukan bahwa area ini ditandai dengan
adanya penigkatan MMP-9, peningkatan apoptosis trofoblas, perbedaan ketebalan
membran, dan peningkatan myofibroblas (Rangaswany dkk, 2012).
Penelitian oleh (Rangaswamy dkk, 2012), mendukung konsep paracervical weak
zone tersebut, menemukan bahwa selaput ketuban di daerah paraservikal akan pecah
dengan hanya diperlukan 20 -50% dari kekuatan yang dibutuhkan untuk robekan di area
selaput ketuban lainnya. Berbagai penelitian
mendukung konsep adanya perbedaan zona selaput ketuban, khususnya zona di
sekitar serviks yang secara signifikan lebih lemah dibandingkan dengan zona lainnya
seiring dengan terjadinya perubahan pada susunan biokimia dan histologi. Paracervical
weak zone ini telah muncul sebelum terjadinya pecah selaput ketuban dan berperan
sebagai initial breakpoint (Rangaswamy dkk, 2012).
Penelitian lain oleh (Reti dkk, 2007), menunjukan bahwa selaput ketuban di daerah
supraservikal menunjukan penigkatan aktivitas dari petanda protein apoptosis yaitu
cleaved-caspase-3, cleaved-caspase-9, dan penurunan Bcl-2. Didapatkan hasil laju
apoptosis ditemukan lebih tinggi pada amnion dari pasien dengan ketuban pecah dini
dibandingkan pasien tanpa ketuban pecah dini, dan laju apopsis ditemukan paling tinggi
pada daerah sekitar serviks dibandingkan daerah fundus (Reti dkk, 2007).
Apoptosis yang terjadi pada mekanisme terjadinya KPD dapat melalui jalur intrinsik
maupun ektrinsik, dan keduanya dapat menginduksi aktivasi dari caspase. Jalur intrinsik
dari apoptosis merupakan jalur yang dominan berperan pada apoptosis selaput ketuban
pada kehamilan aterm. Pada penelitian ini dibuktikan bahwa terdapat perbedaan kadar
yang signifikan pada Bcl-2, cleaved caspase-3, cleaved caspase-9 pada daerah
supraservikal, di mana protein-protein tersebut merupakan protein yang berperan pada
jalur intrinsik. Fas dan ligannya, Fas-L yang menginisiasi apopsis jalur ekstrinsik juga
ditemukan pada seluruh sampel selaput ketuban tetapi ekspresinya tidak berbeda
bermakna antara daerah supraservikal dengan distal. Diduga jalur ekstrinsik tidak berperan
banyak pada remodeling selaput ketuban (Reti dkk, 2007).
Degradasi dari jaringan kolagen matriks ektraselular dimediasi ole enzim matriks
metalloproteinase (MMP). Degradasi kolagen oleh MMP ini dihambat oleh tissue
inhibitor matrixmetyalloproteinase (TIMP). Pada saat menjelang persalinan, terjadi
ketidakseimbangan dalam interaksi antara matrix MMP dan TIMP, penigkatan aktivitas
kolagenase dan protease, penigkatan tekanan intrauterin (Weiss, 2007).
a. Tanda yang terjadi adalah keluarnya cairan ketuban merembes melalui vagina.
b. Aroma air ketuban berbau amis dan tidak seperti bau amoniak, mungkin cairan tesebut
masih merembes atau menetes, dengan ciri pucat dan bergaris warna darah.
c. Cairan ini tidak akan berhenti atau kering karena terus diproduksi sampai kelahiran.
Tetapi bila duduk atau berdiri, kepala janin yang sudah terletak di bawah biasanya
“mengganjal” atau “menyumbat” kebocoran untuk sementara.
d. Demam, bercak vagina yang banyak, nyeri perut, denyut jantung janin
Karakteristik pada ibu berdasarkan usia sangat berpengaruh terhadap kesiapan ibu
selama kehamilan maupun mengahdapi persalinan. Usia untuk reprosuksi optimal bagi
seorang ibu adalah antara umur 20-35 tahun. Di bawah atau di atas usia tersebut akan
meningkatkan risiko kehamilan dan persalinan. Usia seseorang sedemikian besarnya akan
mempengaruhi sistem reproduksi, karena organ-organ reproduksinya sudah mulai
berkuarng kemampuannya dan keelastisannya dalam menerima kehamilan (Sudarto,
2016).
b. Sosial Ekonomi
c. Paritas
Paritas merupakan banyaknya anak yang dilahirkan oleh ibu dari anak pertama
sampai dengan anak terakhir. Adapun pembagian paritas yaitu primipara, multipara, dan
grande multipara. Primipara adalah seorang wanita yang baru pertama kali melahirkan
dimana janin mencapai usia kehamilan 28 minggu atau lebih. Multipara adalah seorang
wanita yang telah mengalalmi kehamilan dengan usia kehamilan 28 minggu dan telah
melahirkan buah kehamilan 2 kali atau lebih. Sedangkan grande multipara merupakan
seorang wanita yang telah mengalami hamil dengan usia kehamilan minimal 28 minggu
dan telah melahirkan buah kehamilannya lebih dari 5 kali (Wikjosastro, 2007). Wanita
yang telah melahirkan beberapa kali dan pernah mengalami KPD pada kehamilan
sebelumnya serta jarak kelahiran yang terlampau dekat diyakini lebih berisiko akan
mengalami KPD pada kehamilan berikutnya (Helen, 2008).
d. Anemia
Anemia pada kehamilan merupakan adalah anemia karena kekurangan zat besi.
Jika persendian zat besi minimal, maka setiap kehamilan akan mengurangi persendian zat
besi tubuh dan akhirnya menimbulkan anemia. Pada kehamilan relatif terjadi anemia
karena darah ibu hamil mengalami hemodelusi atau pengencangan dengan penigkatan
volume 30% sampai 40% yang puncaknya pada kehamilan 32 sampai 34 minggu. Pada
ibu hamil yang mengalami anemia biasanya ditemukan ciri-ciri lemas, pucat, cepat lelah,
mata berkunang-kunang. Pemeriksaan darah dilakukan minimal 2 kali selama kehamilan
yang pada trimester pertama dan trimester ke tiga.
Dampak anemia pada janin antara lain abortus, terjadi kematian intrauterin,
prematuritas, berat badan lahir rendah, cacat bawaan dan mudah infeksi. Pada ibu, saat
kehamilan dapat mengakibatkan abortus, persalinan prematuritas, ancaman
dekompensasikordis dan ketuban pecah dini (Manuaba, 2009).
e. Perilaku Merokok
Kebiasaan merokok atau lingkungan dengan rokok yang intensitas tinggi dapat
berpengaruh pada kondisi ibu hamil. Rokok menggandung lebih dari 2.500 zat kimia yang
teridentifikasi termasuk karbonmonoksida, amonia, aseton, sianida hidrogen, dan lain-lain.
Merokok pada masa kehamilan dapat menyebabkan gangguan-gangguan seperti
kehamilan ektopik, ketuban pecah dini, dan resiko lahir mati yang lebih tinggi (Sinclair,
2003).
f. Riwayat KPD
Pengalaman yang pernah dialami oleh ibu bersalin dengan kejadian ketuban pecah
dini dapat berpengaruh besar terhadap ibu jika menghadapi kondisi kehamilan. Riwayat
KPD sebelumnya beresiko 2-4 kali mengalami ketuban pecah dini kembali. Patogenesis
terjadinya KPD secara singkat ialah akibat penurunan kandungan kolagen dalam membran
sehingga memicu terjadinya ketuban pecah dini dan ketuban pecah preterm. Wanita yang
pernah mengalami KPD pada kehamilan menjelang persalinan maka pada kehamilan
berikutnya akan lebih beresiko dari pada wanita yang tidak pernah mengalami KPD
sebelumnya karena komposisi membran yang semakin menurun pada kehamilan
berikutnya.
Inkompetensia serviks adalah istilah untuk menyebut kelainan pada otot-otot leher
atau leher rahim (serviks) yang terlalu lunak dan lemah, sehingga sedikit membuka
ditengah-tengah kehamilan karena tidak mampu menahan desakan janin yang semakin
besar. Inkompetensia serviks adalah serviks dengan suatu kelainan anatomi yang nyata,
disebabkan laserasi sebelumnya melalui ostium uteri atau merupakan suatu kelainan
kongenital pada serviks yang memungkinkan terjadinya dilatasi berlebihan tanpa perasaan
nyeri dan mules dalam masa kehamilan trimester kedua atau awal trimester ketiga yang
diikuti dengan penonjolan dan robekan selaput janin serta keluarnya hasil konsepsi.
Tekanan intra uterin yang meninggi atau meningkat secara berlebihan dapat
menyebabkan terjadinya ketuban pecah dini, misalnya :
2) Gemelli : Kehamilan kembar dalah suatu kehamilan dua janin atau lebih. Pada
kehamilan gemelli terjadinya distensi uterus yang berlehihan, sehingga menimbulkan
adanya ketegangan rahim secara berlehihan. Hal ini terjadi karena jumlahnya berlebih, isi
rahim yang lebih besar dan kantung (selaput ketuban) relative kecil sedangkan dibagian
bawah tidak ada yang menahan sehingga mengakibatkan selaput ketuban tipis dan mudah
pecah (Novihandari, 2016).
5. Komplikasi
Komplikasi yang timbul akibat ketuban pecah dini bergantung pada usia
kehamilan. Dapat terjadi infeksi maternal ataupun neonatal, persalinan prematur, hipoksia
karena kompresi tali pusat, deformitas janin meningkatnya insiden seksio sesarea, atau
gagalnya persalinan normal. (Prawirohardjo, Sarwono. 2009. Ilmu Kebidanan. Jakarta :
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo)
a. Persalinan Prematur
Setelah ketuban pecah biasanya segera disusul oleh persalinan. Periode laten
tergantung umur kehamilan. Pada kehamilan aterm 90% terjadi dalam 24 jam setelah
ketuban pecah. Pada kehamilan antara 28–34 minggu 50% persalinan dalam 24 jam. Pada
kehamilan < 26 minggu persalinan terjadi dalam 1 minggu.
b. Resiko infeksi
Resiko infeksi ibu dan anak meningkat pada kejadian ketuban pecah dini.Pada ibu
terjadi korioamnionitis.Pada bayi dapat terjadi septikemia, pneumonia, omfalitis.Misalnya
terjadi korioamnionitis sebelum janin terinfeksi.Pada ketuban pecah dini prematur, infeksi
lebih sering dari pada aterm. Secara umum insiden infeksi sekunder pada ketuban pecah
dinimeningkat sebanding dengan lamanya periode laten.
c. Hipoksia dan Asfiksia
Dengan pecahnya ketuban terjadi oligohidramnion yang menekan tali pusat hingga
terjadi asfiksia atau hipoksia. Terdapat hubungan antara terjadinya gawat janin dan derajat
oligohidramnion, semakin sedikit air ketuban, janin semakin gawat.
Ketuban Pecah Dini yang terjadi terlalu dini menyebabkan pertumbuhan janin
terhambat, kelainan disebabkan kompresi muka dan anggota badan janin, serta hipoplasi
pulmonar.
6. Penatalaksanaan
Pada Penatalaksanaan ketuban pecah dini menurut Prawirohardjo,S (2009) dibagi
menjadi konservatif dan aktif.
a. Konservatif
b. Aktif
b) Bila pecah ketuban dan ada tanda kemungkinan infeksi tidak jelas, lakukan
pemeriksaan spekulum steril dan kaji nilai bishop serviks.
c) Bila usia gestasi kurang dari 37 minggu atau pasien terjangkit herpes tipe 2,
rujuk ke dokter.
b. Penatalaksanaan konservatif
2) Kemungkinan infeksi berkurang bila tidak ada alat yang masuk ke vagina
kecuali spekulum steril jangan melakukan pemeriksaan vagina.
a) Ukur suhu tubuh empat kali sehari, bila suhu meningkat secara signifikan dan
mencapai 380 C, berikan 2 macam antibiotika dan pelahiran harus
diselesaikan.
c) Catat bila ada nyeri tekan dan iritabilitas uterus serta laporkan perubahan
apapun.
c. penatalaksanaan agresif
3) Beberapa ahli menunggu 12 jam untuk terjadinya persalinan. Bila tidak ada,
mulai pemberian pitocin.
7) Periksa hitung darah lengkap bila ketuban pecah. Ulangi pemeriksaan pada
hari berikutnya sampai pelahiran atau lebih sering bila ada tanda infeksi.
8) Lakukan NST setelah ketuban pecah, waspada adanya takikardia janin yang
merupakan tanda-tanda infeksi.
10) Penatalaksaan persalinan lebih dari 24 jam setelah ketuban yaitu persalinan
spontan atau lakukan induksi persalinan setelah konsultasi dengan dokter.
11) Pemberian antibiotik. Banyak yang memberikan 1–2 gr ampisilin per IV atau
1–2 gr Mefoxin per IV setiap 6 jam sebagai profilaksis. Beberapa panduan
lainnya menyarankan untuk mengukur suhu ibu dan DJJ untuk menentukan kapan
antibiotika mungkin diperlukan.
antara lain : perdarahan, infeksi (sepsis), dan cidera sekeliling struktur. (Yuliawati,
2007)
3. Patofisiologi
SC merupakan tindakan untuk melahirkan bayi dengan berat di atas 500 gr dengan
sayatan pada dinding uterus yang masih utuh. Indikasi dilakukan tindakan ini yaitu
distorsi kepala panggul, disfungsi uterus, distorsia jaringan lunak, placenta previa dll,
untuk ibu. Sedangkan untuk janin adalah gawat janin. Janin besar dan letak lintang
setelah dilakukan SC ibu akan mengalami adaptasi post partum baik dari aspek kognitif
berupa kurang pengetahuan. Akibat kurang informasi dan dari aspek fisiologis yaitu
produk oxsitosin yang tidak adekuat akan mengakibatkan ASI yang keluar hanya sedikit,
luka dari insisi akan menjadi post de entris bagi kuman. Oleh karena itu perlu diberikan
antibiotik dan perawatan luka dengan prinsip steril. Nyeri adalah salah utama karena
insisi yang mengakibatkan gangguan rasa nyaman.
Sebelum dilakukan operasi pasien perlu dilakukan anestesi bisa bersifat regional
dan umum. Namun anestesi umum lebih banyak pengaruhnya terhadap janin maupun ibu
anestesi janin sehingga kadang-kadang bayi lahir dalam keadaan upnoe yang tidak dapat
diatasi dengan mudah. Akibatnya janin bisa mati, sedangkan pengaruhnya anestesi bagi
ibu sendiri yaitu terhadap tonus uteri berupa atonia uteri sehingga darah banyak yang
keluar. Untuk pengaruh terhadap nafas yaitu jalan nafas yang tidak efektif akibat sekret
yan berlebihan karena kerja otot nafas silia yang menutup. Anestesi ini juga
mempengaruhi saluran pencernaan dengan menurunkan mobilitas usus.
Seperti yang telah diketahui setelah makanan masuk lambung akan terjadi proses
penghancuran dengan bantuan peristaltik usus. Kemudian diserap untuk metabolisme
sehingga tubuh memperoleh energi. Akibat dari mortilitas yang menurun maka
peristaltik juga menurun. Makanan yang ada di lambung akan menumpuk dan karena
reflek untuk batuk juga menurun. Maka pasien sangat beresiko terhadap aspirasi
sehingga perlu dipasang pipa endotracheal. Selain itu motilitas yang menurun juga
berakibat pada perubahan pola eliminasi yaitu konstipasi.(Saifuddin, Mansjoer &
Prawirohardjo,2002
PATHWAY
Ketuban Pecah Dini Sectio Saesarea
Penurunan medula
Penurunan Kerja Terputusnya Jaringan terbuka Distensi kandung kemih
oblongata
Pons jaringan
Penurunan reflek Penurunan otot Merangsang area Kurangnya Oedem dan memar di uretra
batuk eliminasi sensorik proteksi
Gangguan
Ketidakefektifan Konstipasi Nyeri Resiko infeksi eliminasi urin
Jalan Nafas
2. Diagnosa Keperawatan
Nyeri berhubungan dengan agen cedera fisik dibuktikan dengan tampak meringis.
Deficit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan fisik dibuktikan dengan tidak
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera Setelah dikakukan tindakan Observasi :
fisik dibuktikan dengan tampak meringis keperawatan 1x24 jam diharapkan • Identifikasi lokasi,
Tingkat nyeri menurun. karakteristik, frekuensi,
intensitas nyeri
Kriteria Hasil : • Identifikasi skala nyeri
• Keluhan nyeri menurun (5) • Identifikasi factor penyebab nyeri
• Tampak meringis menurun • Monitor efek samping penggunaan
(5) analgetik
Sikap protektif menurun (5) Terapeutik :
• Berikan teknik nonfarmakologis
(tarik nafas dalam, kompre hangat
atau dingin)
• Kontrok lingkungan yang
memperberat rasa nyeri (suhu,
pencahayaan, kebisingan)
• Fasilitas istirahat dan tidur
Edukasi :
• Jelaskan penyebab dan pemicu nyeri
• Jelaskan strategi pereda nyeri
• Anjurkan monitor nyeri secara
mandiri
• Anjurkan teknik nonfarkamkologis
untuk mengurangi nyeri
Kolaborasi :
• Kolaborasi pemberian analgetik
(jika perlu)
2. Resiko infeksi berhubung dengan kerusakan Setelah dilakukan tindakan Observasi :
integritas kulit. keperawatan selama 1x 8 jam
diharapkan Tingkat resiko infeksi • Monitor tanda dan gejala infeksi local
menurun. dan sistemik Terapeutik :
Kriteria Hasil • Batasi jumlah pengunjung
: • Berikan perawatan kulit pada area
kebersihan tangan
meningkat (5) edema
kebersihan badan meningkat • Cuci tangan sebelum dan sesudah
(5) kontak dengan pasien dan
kerusakan integritaskulit lingkungan pasien
menurun (5) • Pertahankan teknikn aseptic pada
pasein beresiko tinggi Edukasi :
• Kolaborasi pemberian
antibiotok ataupun imusisasi (jika
perlu)
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan Setelah melakukan tindakan Observasi :
imobilitas dibuktikan dengan klien merasa keperawaran 1x24 jam
lemah. diharapkan Toleransi aktivitas • Identifikasi keterbatasan fungsi dan
meningkat. gerak sendi
Edukasi :
• Kemampuan Terapeutik :
mengenakan pakaian
secara mandiri meningkat • Dampingi dalam melakukan
(5) perawatan diri
• Mempertahankan • Fasilitasi kemandirian klien •
kebersihan diri Jadwalkan rutinitas perawatan diri
meningkat (5)
Edukasi :
Edukasi :
• Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan
• Informasikan hasil pemantauan
7. Resiko cedera pada janin (D.0138) berhungan Setelah dilakukan Tindakan Pemantauan DJJ
dengan proses kala 1 lama keperawatan selama 3x24 jam Observasi :
keparahan dan cedera yang di amati . Identifikasi status obstetric
atau dilaporkan menurun. . Identifikasi Riwayat
Kriteria hasil :
obstetric
. kejadian cedera menurun 5
. luka lecet menurun 5 . Identifikasi adanya
. perdarahan menurun 5 penggunaan obat
. fraktur menurun 5 . Periksa DJJ selama 1
menit
. Monitor tanda vital ibu
Teraupetik :
. Atur posisi pasien
. Lakukan manuver leopold
untuk menentukan letak
janin
Edukasi :
. Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan
. Informasikan hasil
pemantaun jika perlu
4. Implementasi
mencapai tujuan yang spesifik. Tujuan dari pelaksanaan adalah membantu klien
(Nursalam: 2010)
5.Evaluasi
keadaan pasien (hasil yang diamati) dengan tujuan dan kriteria hasil yang