Anda di halaman 1dari 6

BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Teori Difusionisme

Teori difusionisme adalah suatu pendekatan dalam antropologi dan arkeologi yang
mengemukakan bahwa perubahan budaya terutama terjadi melalui proses difusi, yaitu
penyebaran unsur-unsur budaya dari satu masyarakat atau wilayah ke masyarakat atau wilayah
lain. Teori ini berpendapat bahwa budaya-budaya tertentu memiliki asal-usul tertentu dan
kemudian menyebar ke seluruh dunia melalui kontak dan interaksi antara masyarakat.
Difusionisme menekankan bahwa perubahan budaya utamanya disebabkan oleh kontak budaya
dan pertukaran ide, teknologi, dan praktik budaya antara berbagai kelompok masyarakat.

Salah satu contoh yang sering dikutip dalam teori difusionisme adalah penyebaran agama dan
teknologi melalui perdagangan, migrasi, atau penaklukan. Teori ini telah digunakan untuk
menjelaskan asal-usul dan penyebaran berbagai elemen budaya seperti bahasa, agama, seni, dan
teknologi.

Teori difusionisme juga dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Difusi Budaya: Teori ini menganggap bahwa sebagian besar unsur-unsur budaya di
berbagai masyarakat memiliki asal-usul tertentu dan menyebar melalui proses difusi.
Ini bisa terjadi melalui kontak budaya seperti perdagangan, migrasi, penaklukan, atau
interaksi sosial lainnya.
2. Asal-Usul Unsur Budaya: Difusionisme mencoba melacak asal-usul elemen budaya
tertentu. Misalnya, asal-usul teknologi atau bahasa tertentu bisa ditelusuri kembali ke
masyarakat atau wilayah tertentu, dan kemudian menyebar ke masyarakat lain melalui
proses difusi.
3. Penyebaran Budaya: Teori difusionisme menggambarkan bagaimana unsur-unsur
budaya menyebar melalui berbagai rute dan cara, baik melalui perantaraan manusia
atau melalui adaptasi budaya oleh kelompok-kelompok yang berbeda.
4. Difusi Horizontal dan Vertikal: Difusi budaya dapat bersifat horizontal (penyebaran
budaya antar masyarakat sejajar) atau vertikal (penyebaran dari masyarakat yang lebih
maju atau tua ke yang lebih muda atau baru). Difusionisme juga mengakui bahwa ada
berbagai tingkat difusi budaya.
5. Penyebaran Teknologi dan Agama: Salah satu contoh paling umum dalam teori
difusionisme adalah penyebaran teknologi dan agama. Misalnya, perkembangan
teknologi besi atau agama-agama besar seperti Kristen dan Islam dapat dijelaskan
dalam konteks teori difusionisme.
6. Kritik terhadap Teori: Meskipun teori difusionisme telah memberikan wawasan
tentang bagaimana unsur-unsur budaya menyebar di masa lalu, teori ini telah dikritik
karena terlalu simpel dan deterministik. Kritikus berpendapat bahwa teori ini sering
tidak mempertimbangkan konteks budaya yang kompleks dan interaksi antarbudaya
yang lebih nuanced.

Seiring berjalannya waktu, teori difusionisme telah dikembangkan dan dikombinasikan


dengan pendekatan lain dalam antropologi budaya dan ilmu sosial untuk lebih memahami
dinamika penyebaran budaya.
2. Bentuk-bentuk Difusionisme

Terdapat beberapa bentuk atau varian teori difusionisme dalam ilmu sosial dan antropologi.
Berikut beberapa di antaranya:

1. Difusionisme Budaya Klasik: Ini adalah bentuk difusionisme awal yang


mengemukakan bahwa perubahan budaya terutama terjadi melalui penyebaran unsur-
unsur budaya dari satu masyarakat ke masyarakat lain. Teori ini sering menganggap
bahwa unsur-unsur budaya yang lebih maju atau "pusat" menyebar ke kelompok yang
lebih "pinggiran" atau "muda."
2. Difusionisme Areal: Dalam teori ini, difusi budaya dilihat sebagai proses yang lebih
kompleks dan bersifat area, di mana budaya berdampak dan saling memengaruhi
dalam wilayah geografis tertentu. Ini mengakui bahwa penyebaran budaya seringkali
melibatkan kelompok-kelompok terdekat secara geografis yang memiliki interaksi
budaya yang intens.
3. Difusionisme Linier: Teori ini menganggap bahwa budaya menyebar dalam arah
tertentu atau sepanjang jalur yang spesifik. Ini sering digunakan untuk menjelaskan
penyebaran teknologi atau agama melalui perdagangan, migrasi, atau rute komunikasi
tertentu.
4. Difusionisme Vertical dan Horizontal: Difusionisme sering dibagi menjadi dua jenis,
yaitu difusi vertikal dan horizontal. Difusi vertikal mengacu pada penyebaran budaya
dari generasi yang lebih tua atau masyarakat yang lebih maju ke generasi atau
masyarakat yang lebih muda. Difusi horizontal mengacu pada penyebaran budaya
antar masyarakat sejajar, seringkali melalui kontak langsung.
5. Difusionisme Stimulus-Response: Teori ini mengemukakan bahwa penyebaran
budaya seringkali melibatkan perubahan dan adaptasi budaya oleh kelompok
penerima sebagai respons terhadap stimulus budaya dari luar. Ini mencakup
perubahan dalam budaya penerima untuk mengakomodasi unsur-unsur budaya yang
datang dari luar.
6. Difusionisme Psikologis: Beberapa versi difusionisme mencoba menjelaskan peran
psikologi individu dalam menerima dan menyesuaikan unsur-unsur budaya yang
datang dari luar. Ini termasuk pemahaman bagaimana orang memproses dan
menerima budaya baru.

3. Proses Difusionisme

Difusi dapat terjadi dalam banyak hal, mulai dari migrasi sejumlah populasi, perkawinan,
hingga melalui buku atau media elektronik. Proses difusi terbagi dua macam, yaitu:
 Difusi langsung, terjadi jika unsur-unsur tersebut langsung menyebar dari suatu
lingkup pemberi ke lingkup penerima yang sangat dekat satu sama lain.
 Difusi tak langsung terjadi apabila unsur-unsur dari kebudayaan pemberi singgah dan
berkembang di suatu tempat untuk kemudian baru masuk ke lingkup kebudayaan
penerima.
Difusi tak langsung dapat juga menimbulkan suatu bentuk difusi berangkai, jika
unsur-unsur yang telah diterima oleh suatu lingkup kemudian menyebar lagi pada
lingkup-lingkup lamnya secara berkesinambungan. Difusi tidak langsung adalah
umum di dunia saat ini karena media massa dan penemuan Internet.
Contoh – contoh Difusionisme

Contoh difusi yang terjadi dalam masyarakat Indonesia adalah berbagai kata yang
ada dalam Bahasa Indonesia. Tampa kita sadari, Bahasa Indonesia sendiri merupakan contoh
hasil dari proses difusi yang terjadi dalam masyarakat. Berbagai kata dalam Bahasa Indonesia
merupakan hasil serapan dari bahasa asing dan bahasa-bahasa daerah, seperti Bahasa Jawa,
Sunda, dan lain-lain.
Berbagai kontak budaya yang terjadi dalam masyarakat, menyebabkan terjadinya difusi
dalam struktur Bahasa Indonesia. Proses difusi yang menyebabkan munculnya kosakata baru
dalam Bahasa Indonesia terbagi dalam 2 proses, yaitu :
 Difusi ekstern yaitu penyerapan kosakata asing oleh Bahasa Indonesia yang
mengubah Bahasa Indonesia ke arah yang lebih modern. Dampak dari difusi ekstern
ini terlihat dari kreativitas orang-orang Indonesia, yang memadukan berbagai unsur
bahasa asing sehingga menjelma menjadi 7 bentuk kata-kata baru, seperti :gerilyawan,
ilmuwan, sejarawan, Pancasilais, agamis, dan lain-lain.
 Difusi intern yaitu timbulnya hubungan timbal balik antara bahasa Indonesia dengan
bahasa Jawa (seperti masuknya kata lugas, busana, pangan dil) atau dengan bahasa
Sunda (kata-kata nyeri, pakan, tahap, langka) mengenai penyerapan kosakata.

Teori – teori Difusionisme

1. Gejala Persamaan Unsur-Unsur Kebudayaan


Sejak lama para sarjana, tertarik akan adanya bentuk-bentuk yang sama dari unsur-unsur
kebudayaan di berbagai tempat yang sering kali jauh letaknya satu sama lain. Ketika cara
berfikir mengenai evolusi kebudayaan berkuasa, para sarjana menguraikan gejala
persamaan itu dengan keterangan bahwa persamaan-persamaan itu disebabkan karena
tingkat-tingkat yang sama dalam proses evolusi kebudayaan disebabkan karena tingkat
yang sama dalam proses evolusi kebudayaan diberbagai tempat di seluruh dunia.
Sebaliknya ada juga uraian-uraian lain, yang mulai tampak dikalangan ilmu
antropologi,terutrama cara berfikir mengenai evolusi kebudayaan mulai kehilangan
pengaruh, yaitu kira-kira pada akhir abad ke-19. Menurut uraian ini, gejala persamaan
unsur-unsur kebudayaan di berbagai tempat dunia, disebakan oleh persebaran atau difusi
dari unsur-unsur tu ke tempat-tempat tadi. Dengan demikian, kalo di du tempat, misalnya
di A dan di B, yang masing-masing letaknya di Afrika dan Asia tenggara yterdapat kapal-
kapal yang bercadik dengan bentuk yang sama, maka Adolf S akan berkata bahwa,
persamaan tadi akibat pengaruh Elementar Gedanken. Seorang penganut cara berfikir
mengenai evolusi kebudayaan akan berkata bahwa, kepandaian kapal bercadik tadi di A
dan di B disebabkan karena kebudayaan di A dan B kebetulan ada pada tingkat evolusi
yang sama sedangkan konsep baru mengatakan bahwa kepandaian dalam membuat kapl
bercadik serupa itu telah menyebar dari A ke B atau sebaliknya dalam zaman yang
lampau.

2. Sejarah Persebaran Unsur-Unsur Kebudayaan


Perkembangan sejarah unsur-unsur kebudayaan manusia di awali oleh seorang sarjana
ternama F. Ratzel (1844-1904). Dia adalah seorang sarjana Ilmu hayat merangkap ilmu
bumi, yang memberiakn suatu anggapan bahwa Kebudayaan manusia itu pangkalnya
satu, dan di satu tempat yang tertentu, yaitu pada waktu makhluk manusia baru saja
muncul di dunia ini. Kemudian, kebudayaan induk itu berkembang, menyebar, dan pecah
ke dalam banyak kebudayaan baru, karena pengaruh keadaan lingkungan dan waktu.
Dalam proses pemecahan tu bangsa-bangsa pemangku kebudayaan-kebudayaan baru tadi
tidak tetap tinggal terpisah. Sepanjang masa di muka bumi ini senantiasa terjadi gerak
perpindahan bangsa-bangsa yang saling berhubungan sera pengaruh mempengaruhi.
Tugas terpenting ilmu etnologi menurut para sarjana tadi ialah antara lain untuk mencari
kembali sejarah perpindahan bangsa-bangsa itu, proses pengaruh mempengaruhi, serta
persebaran kebudayaan manusia dalam jangka waktu beratusratus ribu tahun yang lalu,
mulai saat terjadinya manusia hingga sekarang.
Para sarjana yang melakukan penelitian-penelitian serupa tu seakan-akan mengikuti suatu
aliran cara berfikir yang tertentu, yang untuk mudahnya akan kita sebut dengan teori
difusionisme. Para sarjana yang terpenting dalam aliran ini adalah F. Graebner dan W.
Schmidt (eropa tengah); W.H.R. Rivers (Inggris); dan F. boasadalah sarjana Amerika.

3. Konsep Kulturkreise Dan Kulturschict Dari F. Graebner


Penilitian-penelitian yang dilakuakn Oleh F. Ratzel tadi dikembangkan lebih lahjut Oleh
seorang sarjana Ilmu sejarah dan Ilmu bahasa bernama F. Graebner (1877-1934). Konsep
yang dikembangkan olehnya adalah Kulturkreise (dalam bahasa Jerman "Kulturkreise"
artinya adalah lingkaran kebudayaan-kebudayaan, maksudnya adalah lingkaran di muka
bumi yang mempunyai unsur-unsur kebudayaan yang sama).
Metode klasifikasi unsur-unsur kebudayaan dari berbagai tempat di muka bumi ke dalam
berbagai Kulturkreise itu diterangkan dalam bukunya yaitu Methode der Ethnologie
(1911).

4. Mazhab Schmidt
W. Schmidt menjadi terkenal dalam dunia antropologi sebagai scorang yang telah
mengembangkan lebih lanjut metode klasifikasi kebudayaan-kebudayaan di dunia dalam
Kulturkreise. Klasifikasi tu dicita-citakan untuk dilakukan secara besar-besaran, dengan
tujuan untuk dapat melihat sejarah persebaran dan perkembangan kebudayaan atau
Kulturhistorie dari seluruh umat manusia dimuka bumi ini. Untuk mengeriakan
proyekraksasa yang dicita-citakannya itu, ia tentu memrlukan bahan keterangan yang luar
biasa banyaknya, dari semua kebudayaan yang tersebar di dunia. Bahan ini harus
diperolehnya dari karangan-karangan etnografi tulisan para peneliti di daerah, dan
terutama ileh para pendeta dari Societas Verbi Divini. Bahan keterangan itu kemudian
dikumpulkan, diteliti, dikupas, untuk disusun oleh schmidt berdasarkan metode klasifikasi
Kulturkreise.

W.Schmidt juga terkenal dalam kalangan ilmu antropologi karena penelitian-


penelitiannya mengenai bentuk religi yang tertua. la berpendirian bahwa keyakinan akan
adanya satu Tuhan bukanlah suatu perkembangan yang termuda dalam sejarah
kebudayaan manusia. Religi yang bersifat monotheisme itu malahn adalah bentuk yang
amat sangat tua. Sebelumnya, ada sarjana lain yang memilki pendapat seperti itu, yaitu A.
Lang. Dia yakin bahwa agama berasal dari titah Tuhan yang diturunkan kepada makhluk
manusia waktu ia mula-mula muncul di muka bumi. Oleh karena itulah adanya tanda-
tanda dari suatu keyakinan kepada dewa pencipta, justru pada bangsa-bangsa yang paling
rendah tingkat
kebudayaannya (yaitu yang menurut Schmidt paling tua), memperkuat anggapannya
tentang adanya Titah Tuhan asli, atau Uroffenberung itu. Dengan demikian keyakinan
yang asli dan bersih kepada Tuhan (keyakian Urmonotheismu) itu malah ada pada
bangsa-bangsa yang tua, yang hidup dalam zaman ketika kebudayaan manusia masih
rendah. Dalam zaman kemudian, waktu kebudayaan semakin bertambah maju, keyakian
asli terhadap tuhan semakin kabur, kebutuhan manusia semkain banyak, maka keyakinan
asli itu menjadi makin terdesak oleh pemujaan kepada makhluk-makhluk halus, ruh-ruh,
dewa-dewa dsb.

5. Teori Difusi Rivers


W.H.R. Rivers (1864-1922), mengembangkan suatu metode wawancara yang baru, yang
menyebabkan bahwa ia berhasil mengumpulkan banyak bahan, terutama mengenai sistem
kemasyarakatan suku-suku bangsa yang tinggal di daerah (penelitiannya terhadap
masyarakat Selat Torres). Metode yang oleh Rivers kemudian diuraiakn dala karangan
berjudul A Genealogical Method of Antropoligical inquiry (1910) itu terbukti merupakan
suatu metode yang kemudian akan menadi metode pokok dalam sebagian besar penelitian
antropologi yang berdasarkan Field work. Metode yang digunakannya sebenarnya adalah
suatu metode wawancara yang akan saya uraikan dengan singkat di bawah ini. Apabila
seorang peneliti datang kepada suatu masyarakat maka sebagian besar dari bahan
keterangannya akan diperoleh dari seorang informan, dengan berbagai macam metode
wawancara. Rivers mengalami bahwa banyak bahan keterangan mengenai kehidupan
sesuatu masyarakat dapat dianalisa dari daftar-daftar asal usul, atau genealogi dari para
informan itu.
Dengan demikian, seorang penelitia harus mengumpulkan sebanyak mungkin daftar asal-
usul dari individu-individu dalam masyarakat obyek penelitiannya itu. Dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai kaum kerabat dan nenek moyang para
individu tadi sebagai pangkal, seorang peneliti dapat menembangkan suatu wawancara
yang luas sekali, mengenai bermacam-macam peristiwa yang menyangkut kaum kerabat
dan nenek moyang tadi, dengan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat konkret. Metode ini
sekarang terkenal dengan nama metode genealogi, atau genealogical method dan
merupakan alat utama bagi tiap peneliti antropologi yang akan melakukan field work di
daerah." (koentjoroningrat 1977:hlm 182-189)

6. Teori Difusi Elliot Smith dan Perry


G. Elliot smith (1871-1937) dan W.J. Perry (1887-1949) adalah seorang ahli antropologi
dari Inggris. Mereka mengungkapkan bahwa dalam sejarah kebudayaan dunia pada
zaman purbakala pernah terjadi suatu peristiwa difusi yang besar yang berpangakal dari
Mesir, yang bergerak ke Timur dan yang meliputi jarak yang sangat jauth, yaitu ke
daerah-daerah di sekitar Lautan tengah, ke Afrika, ke India, ke Indonesia, ke Polinesia,
dan ke Amerika. Teori itu kemudian sering disebut Heliolithic Theory, karena menurut
Elliot Smith dan Perry unsur-unsur penting dari kebudayaan Mesir kuno yang bersebar ke
daerah luas tersebut diatas itu tampak pada bangunan-bangunan batu besar, atau megalith,
dan juga pada suatu komplex unsur-unsur keagamaan yang berpusat pada penyembahan
matahari, atau helios.
Teori Heliostik tersebut kemudaian diperguanakan dalam suatu penelitian besar oleh W.J.
Perry yang mencoba mencari dengan teliti jalan-jalan difusi kebudayaan Heliostik, unsur-
unsur kebudayaan yang tersangkut dalam gerak persebaran itu, serta sebab-sebab dari
difusi. Dalam persebarannya dari Mesir ke arah timur sampai ke Amerika Tengah dan
selatan itu, Perry membukukan hasil penelitiannya dalam buku yang berjudul The
Childern of the sun (1923).
Namun kemudian, teori Heliostik mendapat banyak kecaman. Salah satu kecaman
tersebut datang dari seorang yang bernama R.H. Lowie (antropologi Amerika) yang
menyatakan bahwa bahwa teori Heliostik itu merupakan teori difusi yang ekstrim, yang
tidak sesuai dengan kenyataan, baik dipandang dari sudut hasil-hasil penggalian-
penggalian ilmu prehistori, maupun dari sudut konsep-konse tentang proses difusi dan
pertukara unsur-unsur kebudayaan antara bangsa-bangsa yang telah diterima dalam
kalngan ilmu antropologi waktu itu. Pada masa sekarang teori Heliostik tu hanya bisa kita
pandang sebagai suatu conth saja dari salah suatu cara yang pernah digunakan oleh para
ahli persamaan-persamaan unsur-unsur kebudayaan di berbagai tempat di dunia.

Teori difusionisme ini memiliki kelebihan yang patut menjadi catatan dalam kajian
antropologi. Teori difusi memiliki kelebihan karena merupakan pandangan awal yang
menyatakan bahwa kebudayaan yang ada merupakan sebaran dari kebudayaan lainnya. Di
samping itu, dari sini terdapat cara pandang baru yang meletakkan dinamika dan
perkembangan kebudayaan tidak hanya dalam bentang waktu saja, tetapi juga dalam bentang
ruang, sebagaimana yang diperlihatkan oleh Perry dan Smith dalam pemikirannnya.
Kelebihan lainnya adalah para pengusung teori ini telah menggunakan analisis komparatif
yang berlandaskan pada standar kualitas dan kuantitas dalam menentukan wilayah persebaran
kebudayaan sebagaimana yang yang mereka yakini. Kelebihan lainnya adalah para
penyokong teori ini sangat memperhatikan setiap detail catatan mengenai kebudayaan
sehingga mereka mendapatkan beragam hubungan atau keterkaitan antara satu kebudayaan
dengan kebudayaan lainnya. Dan kelebihan yang terpenting dari teori ini adalah penekanan
mereka pada penelitian lapangan untuk mendapatkan data yang lebih dan akurat,
sebagaimana yang diperlihatkan oleh Boas yang kemudian dikuti oleh para murid yang
menjadi pengikutnya selanjutnya.

Teori difusionisme tidak lepas pula dari beragam kelemahan atau kekurangan. Secara umum,
teori difusi kebudayaan memiliki kelemahan dari sisi data karena tidak memilki dukungan
data yang cukup dan akurat dan pengumpulan data tidak dilakukan melalui prosedur dan
metode penelitian yang jelas. Hal ini misalnya tampak pada teori yang mengatakan bahwa
peradaban-peradaban kuno di bumi sebenarya berasal dari orang-orang Mesir.

Anda mungkin juga menyukai