Anda di halaman 1dari 24

AGEN INFEKSI “CLAMIDIA”

Disusun Oleh : Kelompok 5

Titi Indra Agustia (723621932)

Evridita Nur Faidah (723621945)

M. Syakil Sulhan (723621953)

Fakultas Ilmu Kesehatan

Program Studi Keperawatan

Universitas Wiraraja

2024
I. Pendahuluan

 Definisi Clamidia

Chlamydiae adalah filum bakteri yang secara alami ditemukan hidup hanya di
dalam sel hewan (termasuk manusia), serangga, dan protozoa. Clamidia
merupakan bakteri gram negatif, yang bersifat aerobic (dapat bertahan dan hidup
di lingkungan yang terpapar oksigen), dan hanya dapat hidup di dalam sel
inangnya (patogen intraselular).

 Klasifikasi Clamidia

Kerajaan: Bacteria
Filum: Chlamydiae
Ordo: Chlamydiales
Famili: Chlamydiaceae
Genus: Chlamydia

Ada tiga spesies utama chlamydiae yang menginfeksi manusia:

• Chlamydia trachomatis, yang menyebabkan penyakit mata trakoma dan


penyakit menular seksual chlamydia;

• Chlamydophila pneumoniae, yang menyebalbkan pneumonia;

• Chlamydophila psittaci, yang menyebabkan psittacosis.

 Struktur Clamidia

Bentuk bakteri ini umumnya adalah bulat atau berbentuk seperti


batang.Sebagaimana bakteri pada umumnya, strukturChlamydiaterdiri dari
dinding sel, membran, DNA, RNA, ribosom, dan sitoplasma. Dinding sel pada
bakteriChlamydiadi bagian luar dilapisi oleh membran yang mengandung
lipopolisakarida dan membran protein.
 Siklus hidup Clamidia

Siklus hidup Chlamydia trachomatis terdiri atas 2 tahap, yaitu :

• Elementary body

• Reticulate body

Elementary body adalah bentuk dispersi dan analog dengan spora, stabil
terhadap lingkungan. Diameternya lebih kurang 0,3 um dengan sebuah nuclear
yang padat electron dan menginduksi endositosisnya sendiri bila terpapar dengan
sel target. Protein membran EB berhubungan melintang. EB mempunyai afinitas
yang tinggi untuk sel epitel inang dan dengan cepat dapat memasukinya. Identitas
tepat adhesin chlamydia dan reseptor sel inang tidak diketahui secara pasti dan
mungkin banyak adhesin, reseptor dan mekanisme cara masuknya.
Proteoglikan mirip heparin sulfat pada permukaan C. trachomatis
memungkinkan untuk memulai terjadinya interaksi awal antara EB dan sel inang.
Adhesi potensial yang lain meliputi major outer membrane protein (MOMP),
protein membran luar yang utama, glycosylated MOMP dan protein permukaan
lainnya. Mekanisme yang diperkirakan untuk masuk ke dalam sel inang sangat
beragam. EB biasanya tampak menempel di dekat dasar microvilli, selanjutnya
mereka diliputi oleh sel inang. Lebih dari satu mekanisme yang tampak secara
fungsional; reseptor-mediated endocytosis menjadi clathrin-coated pits dan
pinocytosis melalui noncoated pits

Peleburan lisosomal dihalangi oleh mekanisme yang tidak diketahui,


membentuk sebuah membran yang melingkari lingkungan sekitar chlamydia.
Sesudah pemasukan.ke dalam sel inang ikatan disulfid dari protein membran EB
tidak lagi berhubungan silang. Begitu berada di dalam endosom, glikogen
diproduksi dan elementary body berubah menjadi satu yang besar, disebut
reticulate body (RB) berukuran kira-kira 0,5 - 1um dan tanpa nukleoid yang padat
elektron.

Dalam membran vakuola, RB ukurannya bertambah dan membagi berulang-


ulang dengan cara pembelahan biner setiap 2-3 jam per generasi. Dan mempunyai
masa inkubasi 7 - 21 hari pada hostnya, tidak mempunyai dinding sel dan
dideteksi sebagai suatu inklusi sel. Akhirnya, vakuola yang tersisa akan terisi
dengan elementary body yang didapat dari reticulate body untuk membentuk
sebuah inklusi sitoplasma. Reticulate body berubah kembali menjadi bentuk
elementary dan dilepas dengan eksositosis. Elementary body yang baru terbentuk
mungkin dibebaskan dari sel inang untuk menginfeksi sel baru. Siklus
perkembangan ini memakan waktu 24 -48 jam. Satu fagolisosom memproduksi
100 - 1000 elementary body

 Jenis-jenis Clamidia
1. Clamidia trachomatis adalah agen chlamydial pertama yang ditemukan
dalam tubuh manusia. Bakteri ini pertama kali diidentifikasi tahun 1907.
Chlamydia Trachomatis merupakan salah satu penyakit menular seksual
yang paling umum dijumpai dan dikenal sebagai penyebab utama penyakit
peradangan pada pelvis (panggul), sehingga menyebabkan infertilitas
(kemandulan) pada perempuan dan juga dapat merusak alat reproduksi
manusia dan penyakit mata.Chlamydia Trachomatis merupakan bakteri
yang menyebabkan berbagai macam penyakit yang menular. Penyakit
yang dapat diakibatkan oleh bakteri ini diantaranya adalah uretritis non-
gonokokal (radang uretra , infeks mulut rahim (serviks) dan radang selaput
mata (trachoma).Penyakit tersebut dapat disebarkan melalui hubungan
seks yang bergonta - ganti pasangan.
Chlamydia Trachomatis sebuah bakteri intraseluler yang menyebabkan
saluran genital kepada bayinya saat melahirkan.Bakteri Chlamydia dapat
menginfeksi leher rahim, tuba falopi, tenggorokan, anus dan uretra laki-
laki. Infeksi sering tanpa gejala, mungkin tidak dikenali dan orang-orang
sering tidak menyadarinya menyebar dengan melalui hubungan seks tanpa
alat pelindung dan sangat berisiko bila terjadi pada ibu-ibu karena dapat
menyebabkan kehamilan ektopik, infertelitas dan abortus. WHO
memperkirakan 4 juta kasus baru pada ibu-ibu terinfeksi oleh Chlamydia
trachomatis dan 50.000 diantaranya mengalami intertilitas, kehamilan
ektopik dan abortus.
2. Chlamydia pneumoniae merupakan bakteri gram negative yang
menginfeksi ke dalam sel yang sebelumnya dikenal sebagai pathogen yang
menyebabkan penyakit infeksi saluran nafas yaitu sinusitis, pharingitis,
bronchitis dan pneumonia dan juga penyakit flu. Infeksi kronis oleh
Chlamydia pneumoniae mengakibatkan terjadinya penyakit asma, alzeimer
dan aterosklerosis. Sejak tahun 1998, saat Chlamydia pneumoniae pertama
kali dilaporkan dapat menjadi penyebab penyakit aterosklerosis dan
penyakit jantung, topik ini telah menjadi bahan perdebatan diskusi yang
hangat oleh pakar kesehatan di Eropa dan Amerika. Beberapa penelitian
menggunakan hewan percobaan pada infeksi Chlamydia pneumoniae,
dengan pemeriksaan serologis dan pemeriksaan imunohistokimia, telah
menemukan beberapa zat mediator antara lain : heat shock protein (HSP),
berbagai sitokin sepeti IL-1 I, TNFa, IL-6 dan antibodi IgG dan IgA,
sebagai pertanda yang menguatkan dugaan tentang adanya penyakit
jantung koroner. Walaupun Chlamydia pneumoniae telah diakui sebagai
salah satu bakteri penyebab penyakit jantung, namun informasi
menyeluruh mengenai mekanisme perjalanan dan penyebaran penyakit
belum banyak diketahui, terutama di Asia dan Indonesia. Untuk
mengungkapkan pola mekanisme perjalanan penyakit ini, diperlukan lebih
banyak penelitian eksperimental mengeani infeksi Chlamydia pneumonia
pada hewan percobaan, dengan menggunakan pemeriksaan serologis,
teknik imunohistokimia dan teknik PCR untuk menambah data-data yang
sudah didapatkan sebelumnya.
3. Chlamydia psittaci adalah spesies bakteri intraseluler mematikan yang
dapat menyebabkan klamiosis unggas endemik, wabah epizootik pada
mamalia, dan psittacosis pernapasan pada manusia. Burung liar dan
unggas peliharaan, sapi, babi, domba, dan kuda adalah inang potensial
bagi bakteri ini. C. psittaci ditularkan melalui inhalasi, kontak, atau
konsumsi antara burung dan mamalia. Psittacosis pada burung dan
manusia sering dimulai dengan gejala seperti flu dan berkembang menjadi
pneumonia yang mengancam jiwa. Banyak strain bakteri ini tetap diam
pada burung sampai diaktifkan oleh stres. Burung adalah vektor yang
sangat baik dan memiliki pergerakan tinggi untuk penyebaran infeksi
klamidia, karena mereka memakan, dan memiliki akses ke semua jenis
sisa hewan yang mungkin terinfeksi.
Infeksi C. psittaci pada unggas sering kali bersifat sistemik, dan infeksinya
mungkin tidak terlihat, parah, akut, atau bersifat kronis dengan kerontokan
intermiten.[2][3][4] Strain C. psittaci pada unggas menginfeksi sel epitel
mukosa dan makrofag saluran pernapasan. Infeksi pada akhirnya akan
berkembang menjadi Septikemia dan bakteri akan terlokalisasi di sel epitel
dan makrofag dari sebagian besar organ, konjungtiva, dan saluran
pencernaan. Bakteri ini juga bisa menyebar melalui telur. Stres biasanya
akan memicu timbulnya gejala yang parah, mengakibatkan kerusakan yang
cepat dan kematian. Strain C. psittaci memiliki virulensi serupa, tumbuh
dengan mudah dalam kultur sel, memiliki gen 16S rRNA yang berbeda
<0,8%, dan dibagi menjadi delapan serotipe yang diketahui. Semuanya
strain bakteri ini telah diasumsikan mudah menular ke manusia.
C. psittaci serovar A bersifat endemik di antara burung psittacine dan telah
menyebabkan penyakit zoonosis sporadis pada manusia, mamalia lain, dan
kura-kura. Serovar B endemik di antara merpati, telah diisolasi dari
kalkun, dan juga telah diidentifikasi sebagai penyebab keguguran pada
kawanan sapi perah. Serovar C dan D adalah bahaya kerja bagi pekerja
rumah jagal dan orang yang kontak dengan unggas. Isolat serovar E
(dikenal sebagai Cal-10, MP atau MN) telah diperoleh dari berbagai inang
unggas di seluruh dunia dan, meskipun mereka terkait dengan wabah
tahun 1920-an-1930-an pada manusia, reservoir spesifik untuk serovar E
belum diidentifikasi. Serovar M56 dan WC diisolasi selama munculnya
wabah pada mamalia. Banyak strain C. psittaci yang rentan terhadap
bakteriofag.

II. Mikroorganisme Clamidia dan Kesehatan Manusia

1. Chlamydia trachomatis
adalah salah satu penyebab infeksi genital tidak umum dari infeksi
menular seksual di dunia.World Health Organization (WHO)
memperkirakan bahwa sebanyak 89 juta kasus baru terjadi pada tahun
2001. Prevalensi infeksi CT di Indonesia di antara pekerja seks komersial
cukup tinggi, berkisar antara 20-34%.Chlamydia trakomatis adalah
mikroorganisme intraseluler obligat yang memiliki bakteri gram negatif.
Chlamydia trakomatis diklasifikasikan sebagai bakteri yang mengandung
asam deoksiribonukleat (DNA) dan asam ribonukleat (RNA), mereka
membelah dengan fusi biner, tetapi seperti virus, mereka berkembang
secara intraseluler, atau uretra ke atas, dan infeksi klamidia dapat
menyebabkan "cacat" yang serius, karena infeksi klamidia yang meninggi
pada saluran genital dapat menyebabkan kolonisasi bakteri di mukosa
endometrium dan tuba fallopia.
Chlamydia trakomatis adalah bakteri intraseluler yang menyebabkan
infeksi yang ditularkan melalui kontak seksual. Secara umum semua
wanita yang aktif secara seksual berisiko terkena infeksi. Sekitar 60% -
80% infeksi Chlamydia trakomatis pada wanita tidak menunjukkan gejala
sehingga sulit untuk menilai penyebarannya, pasien tidak menyadari
infeksi ini dan tidak segera mendapatkan perawatan.
Infeksi Chlamydia trakomatis sulit untuk didiagnosis, mudah menjadi
kronis dan residual, dan dapat menyebabkan berbagai komplikasi serius.
Infeksi ini yang tidak diobati dapat menyebabkan masalah kesehatan yang
serius, baik pada pria dan wanita, serta untuk bayi yang lahir dari ibu yang
terinfeksi.
Kontak langsung dengan Chlamydia Trachomatis dalam keadaan tertentu
akan menyebabkan peradangan konjungtiva yang disebut Trachoma.
Infeksi pada tahap awal memberikan manifestasi yang sangat bervariasi
Biasanya konjungtivitis kronis umumnya, yaitu mata pembengkakan pada
kelopak mata.Di folikel tarsus atas dan hipertrofi papiler diperoleh.
Selama perjalanan penyakit, folikel akan pecah (folikel di Trachoma
memiliki sifat rapuh) dan menyebabkan terjadinya jadingan parut.
Dari 100% wanita yang terinfeksi chlamydia hampir 70% wanita tidak
menyadari dan tidak merasakan gejala apapun baik rasa sakit maupun
gejala fisik, hanya saja dapat ditemukan saat dilakukan pemeriksaan di
daerah serviks. Pada infeksi chlamydia pada fase awal terjadi di serviks
atau uretra. Pada fase awal timbul beberapa keluhan yaitu urin yang
abnormal disertai rasa terbakar saat melakukan buang air kecil.
Gejala tunggal pada infeksi chlamydia yaituterjadi perdarahan setelah
melakukan kontak seksual serta terjadi perdarahan pada siklus menstruasi
yang tidak sesuai dengan siklus yang seharusnya yaitu terjadi perdarahan
di pertengahan siklus menstruasi juga merupakan gejala tunggal infeksi
dari infeksi chlamydia. Infeksi tunggal ini dapat dilakukan dengan
pemeriksaan venereologik serviks dimana pemeriksaan venereologik dapat
menyebabkan perdarahan saat dilakukan kerokan atau apusan dengan
spatula.Secara medis gejala dan tanda yang dapat diketahui dari infeksi
Chlamydia sangat sulit dibedakan dengan infeksi genital lainnya

No Penyakit yang Kriteria


disebabkan bakteri
Chlamydia trachomatis
1. Uretristis Non Gonoroe - Rasa Sakit/Nyeri (Selama
(UNG) Berhubungan/Intercourse)
- Kemerahan - Daerah yang Terkena
- Pembengkakan - Testis
- Rasa Sakit/Nyeri
-Cairan nanah meleleh terus menerus (Uretra)
-Gatal
- Darah - Air seni /
Darah - Air mani
- Demam
- Rasa Sakit/Nyeri - Perut
- Rasa panas (Selama Buang Air Kecil)
-Keluar cairan nanah dari saluran kencing
-Pakaian dalam kotor pada saat pagi hari
(bangun tidur)
2. Servisitis -Cairan vagina yang tidak normal (keputihan)
- Nyeri saat buang air kecil (disuria => buang
air kecil sulit dan sakit)
- Sering buang air kecil (tidak tuntas)
- Sakit/nyeri pada saat berhubungan
(Dispareunia)
- Timbul bercak darah setelah bersenggama
- Pendarahan vagina yang tidak normal di sela-
sela periode menstruasi
- Rasa sakit/nyeri pada perut bagian bawah
- Pendarahan vagina yang tidak normal setelah
menopause
3. Trakoma/konjungtivitis -Cairan mata
- Kelopak mata membalik ke dalam
- Pembengkakan kelenjar getah bening di
bagian depan telinga
- Pembengkakan kelopak mata
- Penglihatan ganda (diplopia)
- Cairan mata kekuningan yang membentuk
kerak selama anda tidur
- Mata yang gatal
- Pembuluh darah yang bengkak atau melebar
pada bagian putih mata, yang menyebabkan
mata terlihat merah (mata merah)
2. Chlamydia pneumoniae merupakan bakteri gram negative yang
menginfeksi ke dalam sel yang sebelumnya dikenal sebagai pathogen yang
menyebabkan penyakit infeksi saluran nafas yaitu sinusitis, pharingitis,
bronchitis dan pneumonia dan juga penyakit flu. Infeksi kronis oleh
Chlamydia pneumoniae mengakibatkan terjadinya penyakit asma, alzeimer
dan aterosklerosis. Sejak tahun 1998, saat Chlamydia pneumoniae pertama
kali dilaporkan dapat menjadi penyebab penyakit aterosklerosis dan
penyakit jantung, topik ini telah menjadi bahan perdebatan diskusi yang
hangat oleh pakar kesehatan di Eropa dan Amerika.
Beberapa penelitian menggunakan hewan percobaan pada infeksi
Chlamydia pneumoniae, dengan pemeriksaan serologis dan pemeriksaan
imunohistokimia, telah menemukan beberapa zat mediator antara lain :
heat shock protein (HSP), berbagai sitokin sepeti IL-1 I , TNFa , IL-6 dan
antibodi IgG dan IgA, sebagai pertanda yang menguatkan dugaan tentang
adanya penyakit jantung koroner. Walaupun Chlamydia pneumoniae telah
diakui sebagai salah satu bakteri penyebab penyakit jantung, namun
informasi menyeluruh mengenai mekanisme perjalanan dan penyebaran
penyakit belum banyak diketahui, terutama di Asia dan Indonesia.
Untuk mengungkapkan pola mekanisme perjalanan penyakit ini,
diperlukan lebih banyak penelitian eksperimental mengeani infeksi
Chlamydia pneumonia pada hewan percobaan, dengan menggunakan
pemeriksaan serologis, teknik imunohistokimia dan teknik PCR untuk
menambah data-data yang sudah didapatkan sebelumnya.
3. Chlamydia psittaci
1. Spesies Rentan
Chlamydophila psittaci terutama menyerang pada burung jenis psittacine
dan juga menyerang berbagai jenis unggas. Penularan chlamydiosis tidak
hanya terjadi pada burung tapi dapat juga terjadi pada hewan mamalia,
binatang pengerat maupun arthropoda. Suatu studi epidemiologi yang
telah dilakukan oleh para peneliti terdahul menunjukkan bahwa hewan
yang bisa terinfeksi chlamydiosis dikelompokkan menjadi tujuh kelompok
yaitu 1. Burung piaraan (betet, nuri, kutilang), 2. Unggas domestik (bebek,
angsa, kalkun, ayam), 3.Kelompok merpati, 4. Burung-burung liar (elang,
camar, bangau), 5. Hewan menyusui domestik atau semidomestik (anjing,
kucing, babi, domba, sapi),6. Mamalia liar lainnya (primata, hewan
pengerat, kelinci, dan hamster), 7. Ektoparasit (caplak, kutu yang berasal
dari hewan yang terinfeksi). Kasus pada manusia sudah banyak
dilaporkan.
2. Pengaruh Lingkungan
Distribusi chlamydophila pada burung-burung liar memiliki spektrum
yang luas. Hal ini menunjukkan bahwa penularan di alam terjadi dengan
proses yang relatif singkat dan tidak menyebabkan kematian yang meluas.
Faktor-faktor yang berpengaruh dalam penularan chlamydiosis adalah
kerentanan inang, virulensi galur, stres, pergantian bulu dan lingkungan.
Kerentanan hewan terhadap chlamydiosis tergantung pada umur.
Morbiditas dan mortalitas sangat tinggi pada masa usia pertumbuhan
maksimum.Isolat chlamydophila beragam tingkat virulensinya. Galur
virulen yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas tinggi dicirikan
dengan host yang mengeluarkan ekskreta atau eksudat dengan konsentrasi
yang tinggi. Galur dengan virulensi rendah hanya menyebabkan infeksi
laten.

3. Sifat Penyakit
Psittacosis adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri obligat intraselular
Chlamydia psittaci. Mortalitas dan morbiditas penyakit tertinggi adalah
pada unggas muda. Pada burung dewasa mortalitas mencapai 20%.
Penyakit ini berhubungan dengan burung dan unggas. Penyakit pada
unggas ini bersifat zoonosis dapat menular kepada peternak unggas,
pekerja kandang dan mereka yang sering kontak dengan burung tersebut.
Penyakit ini meski bisa sembuh dapat terjadi kambuhan berulang, hewan
yang sembuh dari sakit dapat bersifat carrier.
4. Tingkat Virulensi Agen
Berdasarkan virulensinya, serotipe atau galur yang berasal dari isolat
burung merpati tergolong bervirulensi rendah, dan galur yang berasal dari
kelompok burung Psittacideae bervirulensi tinggi. Sedangkan yang berasal
dari kalkun ada yang bervirulensi rendah dan ada yang bervirulensi tinggi.
Semua galur chlamydophila memiliki antigen bersama yang spesifik
karena zat kebal terhadap suatu galur akan mampu mengadakan reaksi
netralisasi dengan semua galur lainnya. Dengan metode pewarnaan
Machiavello atau Gimenez, chlamydophila akan terlihat sebagai bentuk
berwarna merah dalam sel.
5. Cara Penularan
Penularan dapat melalui inhalasi kotoran burung peliharaan, kontak
langsung dengan burung sakit atau karkas, dan penularan dari manusia ke
manusia juga pernah dilaporkan. Infeksi pada umumnya melalui inhalasi
partikel debu yang terkontaminasi chlamydophila, meskipun bisa juga
melalui kulit akibat gigitan caplak atau kutu yang berasal dari hewan yang
sakit. Setelah terhisap melalui saluran pernafasan, organisme akan
berkembang di paru-paru, kantung udara dan membran pericardium.
Setelah itu organism masuk aliran darah dan mencapai limpa, hati dan
ginjal. Masa inkubasi penyakit berkisar antara 1-2 minggu. Kerugian yang
terjadi akibat Psittacosis atau Ornithosis secara ekonomi sangat besar
karena penyakit bersifat zoonosis dapat menular pada unggas dan manusia.
Taman burung, kebun binatang dan rumah potong unggas merupakan
lokasi yang potensial sebagai sumber penyebaran chlamydiosis. Penyakit
ini dapat menular melalui kontak langsung dengan burung yang terinfeksi
atau secara tidak langsung melalui pernapasan misalnya dengan
terhirupnya partikel debu yang terkontaminasi feses yang mengering atau
kotoran kandang. Sehingga bagi para pengunjung taman burung, kebun
binatang dan pegawai rumah potong unggas perlu waspada terhadap
kemungkinan keterpaparannya oleh agen chlamydiosis.
Pembawa agen infeksius adalah burung yang mengeluarkan
Chlamydophila psittaci dalam fesesnya dan sampai derajat tertentu dalam
cairan hidung.Keluarnya bibit penyakit terjadi secara sporadik dan
biasanya dirangsang oleh stress. Status sebagai carrier dapat bertahan
sampai bertahun-tahun.Bakteri ini tahan terhadap pengeringan sehingga
mampu bertahan dalam debu-debu kotoran.
Penularan chlamydiosis dapat terjadi secara horizontal baik langsung atau
tidak langsung. Pada hewan, penularan secara langsung dapat terjadi
antara induk dengan anak melalui mulut pada saat induk menyuapi
makanan ananya. Penularan pada manusia dapat juga terjadi melalui
inhalasi aerosol. Orang yang berpotensi terjangkit penyakit ini adalah
mereka yang banyak berhubungan dengan burung seperti penyayang
burung, petugas kandang, petugas taman burung atau pekerja di rumah
potong unggas.Penularan secara tidak langsung dapat terjadi karena
pencemaran berbagai alat, perlengkapan maupun sarana lain oleh feses dan
ekskreta lainnya yang berasal dari penderita.
6. Distribusi Penyakit
Di Indonesia penyakit terutama terdapat pada burung jenis psittacine.
Wabah pada unggas menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar.
Yang beresiko tinggi adalah pedagang burung, pemelihara burung dan
mereka yang sering kontak dengan burung. Pada daerah endemik
psitaccosis pada itik dan kalkun, yang beresiko terkena penyakit adalah
petugas yang kontak langsung dan mereka yang mengerjakan karkas.
C.psittaci bersifat patogen pada mamalia dapat menyebabkan arthritis,
konjungtivitis, enteritis, pneumonia, aborsi dan encephalomyelitis. Kuman
ini banyak bersarang pada saluran pencernaan dan dalam jumlah yang
besar dikeluarkan bersama feses.
Di Indonesia kasus chlamydiosis belum banyak diungkapkan atau
dilaporkan secara resmi. Indonesia dengan kondisi iklim tropis dan
kelembaban yang tinggi memungkinkan untuk pertumbuhan berbagai
mikroba maupun kehidupan aneka satwa. Selain itu, saat ini hobi
memelihara burung begitu marak di Indonesia, sehingga kemungkinan
penularan penyakit dari burung ke manusia menjadi lebih besar.
7. Gejala
Gejala klinis yang ditemukan adalah demam dan anoreksia. Setelah dua
minggu, bakteri dapat ditemukan dalam air ludah. Organisme ini juga
menyebabkan bintik peradangan pada paru. Infeksi dapat menyebabkan
diare, gangguan pernafasan, konjungtivitis dan nasal discharge (sekresi
hidung), enteritis, hepatitis dan splenitis. Bakteri menetap dalam limpa dan
dapat diekskresikan melalui feses. Burung yang sudah terinfeksi sejak
kecil dapat menunjukkan gejala diare atau bisa juga tidak menunjukkan
gejala sakit, tetapi dapat berperan sebagai pembawa penyakit dan menjadi
sumber penularan bagi burung lain dan juga dapat merupakan sumber
penularan ke manusia yang ada di sekitarnya.
Gejala ornithosis pada merpati antara lain mengantuk, bulu leher dan
kepala berdiri, nafsu makan turun, bulu kusam, kurus, feses berwarna hijau
cair dan/ atau feces berdarah dan berwarna abu-abu, mata berair, rongga
hidung kotor dan atau berair, radang tenggorokan, kepala bengkak dan
kadang ditemukan susah bernafas dengan paruh yang terbuka. Pada kasus
yang parah, badan merpati menggigil. Ornithosis juga menyerang selaput
mata yang disertai dengan keluarnya air mata dalam jumlah banyak. Jika
menyerang merpati muda menyebabkan kematian, sedangkan pada infeksi
ringan gejala sulit terdeteksi. Pada burung liar gejalanya kebanyakan laten
bahkan tidak ada gejala yang tampak. Pada merpati balap tidak dapat
berprestasi dengan baik karena kondisinya yang tidak optimal. Bila
diternakkan hasil kurang maksimal karena pembuahan sulit terjadi dan
persentase telur menetas rendah.
III. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyebaran Clamidia

Faktor risiko penyakit clamidia sama dengan faktor risiko Infeksi Menular
Seksual (IMS) pada umumnya.

1. Faktor Risiko Gaya Hidup

Praktik gaya hidup tertentu dapat meningkatkan risiko infeksi klamidia, termasuk:

Seks tanpa kondom: Melakukan hubungan seks baik melalui vagina, anal
reseptif, atau oral tanpa kondom merupakan faktor risiko terbesar untuk
mengembangkan klamidia. Karena bakteri disebarkan melalui sekret,
menggunakan kondom setiap kali berhubungan seks (kecuali jika Anda berada
dalam hubungan monogami jangka panjang dan kedua pasangan dinyatakan
negatif) adalah cara terbaik untuk menghindari infeksi.

Memiliki banyak pasangan seks: Semakin banyak pasangan seks yang dimiliki
seseorang, semakin besar kemungkinan mereka terkena IMS, termasuk klamidia.
Tentu saja, hanya dibutuhkan satu pasangan seks untuk menularkan infeksi, dan
mempraktikkan seks aman adalah hal yang penting, apa pun praktik seksual Anda.

Pasangan yang mengidap IMS: Tentu saja, pasangan yang tidak diobati
menimbulkan risiko. Namun ada juga risiko penularan jika pasangannya belum
menyelesaikan pengobatan antibiotik selama tujuh hari penuh, atau jika mereka
menerima obat dosis tunggal dan tujuh hari belum berlalu.

Laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki (LSL): Laki-laki yang


berhubungan seks dengan laki-laki lebih mungkin terkena infeksi klamidia
genital, rektal, dan/atau mulut dibandingkan laki-laki heteroseksual. Dalam
sebuah penelitian, 11,8% LSL di wilayah perkotaan Amerika Serikat ditemukan
mengalami infeksi klamidia ekstragenital yang melibatkan anus atau tenggorokan.

2. Faktor Risiko Kesehatan


Orang yang memiliki masalah kesehatan tertentu mempunyai risiko lebih besar
terkena infeksi klamidia dibandingkan orang lain. Faktor risiko kesehatan
meliputi:

Menderita IMS lain: Gaya hidup yang dapat membuat Anda rentan terhadap IMS
lain juga dapat meningkatkan risiko klamidia (dan sebaliknya). Banyak IMS juga
menyebabkan peradangan pada mukosa sensitif pada vagina, leher rahim, atau
uretra. Ketika jaringan ini terganggu karena satu infeksi, mikroorganisme lain
akan lebih mudah masuk ke dalam tubuh dan mulai tumbuh..

Menjadi HIV positif: Hingga 10% pria yang positif mengidap human
immunodeficiency virus (HIV) juga akan dites positif terkena klamidia.

Mengalami ektopi serviks: Ektopi serviks, suatu kondisi di mana sel-sel


endoserviks (saluran serviks) malah ditemukan pada ektoserviks (di luar saluran
serviks), meningkatkan kerentanan jaringan terhadap infeksi klamidia. Kondisi ini
paling sering terjadi pada wanita muda. Sebuah penelitian sebelumnya yang
mengamati wanita berusia 15-24 tahun menemukan bahwa mereka yang
menderita ektopi serviks hampir dua kali lebih mungkin untuk dites positif
terkena klamidia. Seiring bertambahnya usia wanita, jaringan serviks bermigrasi
dan ektopi serviks biasanya hilang, sehingga menurunkan risiko terkena
klamidia.Ibu yang tidak diobati juga dapat menularkan klamidia kepada bayinya
saat melahirkan.

IV. Tantangan dalam Pengendalian Clamidia

Strategi Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Menular Seksual

Program pencegahan dan pengendalian IMS bertujuan untuk: (1) mengurangi


morbiditas dan mortalitas berkaitan dengan IMS, (2) mencegah infeksi HIV, (3)
mencegah komplikasi serius pada kaum perempuan, dan (4) mencegah efek
kehamilan yang buruk. Tujuan program akan dapat dicapai melalui upaya
pencegahan primer yang secara langsung akan menurunkan insiden IMS dan
melalui pencegahan sekunder yang akan menurunkan prevalensi IMS dengan
memperpendek durasi penyakit, sehingga akan menurunkan kemungkinan
komplikasi dan sekuale dari IMS tersebut.

1. Pencegahan Primer

Pencegahan primer bertujuan untuk mencegah didapatnya suatu infeksi atau


penyakit melalui perilaku seksual yang aman atau penggunaan kondom untuk
aktivitas seksual penetratif. Hanya melalui pencegahan primer yang memiliki efek
besar terhadap IMS yang tidak dapat disembuhkan yang terutama disebabkan oleh
virus. Pencegahan primer merupakan komponen penting dalam program
pengendalian IMS terutama pada daerah-daerah yang miskin akan sumber daya
disertai dengan keterbatasan obatobatan dan alat diagnostik, dan dalam
menghadapi pola perubahan dari IMS bakteri yang dapat disembuhkan ke IMS
virus yang tidak dapat disembuhkan. Selain itu strategi pencegahan primer dapat
menurunkan paparan dari individu infeksius melalui pengurangan pasangan
seksual atau menurunkan efisiensi transmisi melalui penggunaan kondom atau
metode barier lainnya, yang selanjutnya akan memiliki dampak besar dalam
menurunkan transmisi dari seluruh IMS, jika dibandingkan dengan vaksin, terapi
supresif atau pemeriksaan skrining yang hanya spesifik untuk patogen tertentu.

a. Program Perubahan Perilaku

Salah satu strategi pencegahan primer bertujuan untuk mengubah perilaku seksual
yang dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya: menunda aktivitas
seksual untuk pertama kalinya, abstinensia seksual dan setia pada pasangan serta
promosi tentang perilaku seksual yang aman, meliputi penurunan jumlah
pasangan seksual, praktek seksual yang aman tanpa penetrasi genital dan promosi
penggunaan kondom yang benar. Hal ini dapat dilakukan melalui pemberian
komunikasi, informasi dan edukasi atau melalui program edukasi kelompok.
Program perubahan perilaku terutama penting untuk usia remaja karena kelompok
ini memiliki angka IMS yang tinggi serta lebih mudah mengubah perilaku
mereka. Intervensi perubahan perilaku dapat dilakukan dengan berpusat pada
individu, pasangan atau kelompok kecil, dengan melakukan lokakarya atau
program lainnya yang menyediakan informasi tertentu kepada masyarakat.
Intervensi ini juga dapat mengubah norma sosial karena informasi tersebut didapat
dari pimpinan daerah atau individu yang terpercaya. Informasi melalui media
massa juga dapat dilakukan untuk meningkatkan jangkauan populasi. Saat
memilih metode komunikasi yang akan digunakan untuk menyampaikan
informasi tentang perubahan perilaku, sangat penting untuk mengetahui metode
apa yang akan secara efektif dapat menjangkau populasi tersebut. Secara umum,
upaya yang cukup baik dilakukan untuk intervensi tertarget adalah melalui
edukasi teman sebaya atau melalui opini pimpinan. Seminar kesehatan pada suatu
institusi atau kelompok-kelompok lainnya juga terbukti efektif. Sementara itu,
bagi kelompok subpopulasi risiko tinggi dan untuk kelompok yang mungkin
memiliki akses rendah terhadap pelayanan kesehatan akibat adanya isu sosial
(pekerja seks, laki-laki yang berhubungan seksual dengan laki-laki), strategi
komunikasi melalui penjangkauan secara aktif dan melalui teman sebaya dapat
digunakan sebagai landasan intervensi untuk mengubah perilaku.Metode
komunikasi apapun yang dipilih, sangat penting untuk menggunakan bahasa yang
dimengerti oleh kelompok yang menerima informasi. Selain itu, perlu kehati-
hatian dalam menyampaikan informasi yang sensitif seperti isu gender dan
budaya, yang nantinya akan mempengaruhi norma setempat.

b. Intervensi Struktural

Intervensi strukrural dan lingkungan memiliki potensi untuk mengubah


lingkungan sehingga mendukung program perubahan perilaku, baik di tingkat
pelayanan kesehatan, sosial atau politik. Pendekatan ini dapat berfokus untuk
memastikan ketersediaan komoditas, peralatan dan bahan yang diperlukan untuk
praktek perilaku sehat. Hal ini termasuk diantaranya memastikan ketersediaan
kondom, lubrikan, pelayanan IMS, konseling dan pemeriksaan HIV, atau
membuat kebijakan untuk memastikan kondom bisa diakses di tempat-tempat
yang berhubungan dengan aktivitas seksual.Salah satu contohnya adalah
kebijakan penggunaan kondom 100% di Thailand yaitu kebijakan pemerintah
mewajibkan bahwa kondom harus digunakan pada hubungan seks komersial di
rumah bordil dan memastikan pemilik usaha bertanggung jawab untuk
penggunaan kondom oleh klien mereka. Intervensi struktural lainnya pada tingkat
pembuat kebijakan diantaranya pembuatan undangundang untuk melegalkan
pekerja seks, namun memberikan denda hukum untuk pemilik hotel atau rumah
bordil jika peraturan pencegahan tidak diimplementasikan.

c. Teknologi Pencegahan

Saat digunakan dengan benar dan konsisten kondom merupakan salah satu metode
barier yang paling efektif dalam memberikan perlindungan terhadap IMS dan
HIV. Terdapat bukti kuat bahwa kondom lateks laki-laki dapat menurunkan
transmisi HIV hingga 80-85%, infeksi gonorea dan klamidia, virus herpes
simpleks (HSV), HPV dan menurunkan risiko kehamilan yang tidak diinginkan.
Kondom dapat disediakan dalam skala luas melalui distribusi atau pemasaran
dengan harga yang terjangkau. Namun meskipun berbagai upaya telah dilakukan
dalam penyediaan kondom, hanya sebagian kecil populasi yang aktif secara
seksual menggunakan kondom di berbagai negara, dan mereka yang memakai
sekalipun tidak menggunakannya secara konsisten dan hanya digunakan pada
pasangan tertentu.Selain itu, wanita juga sering dipaksa untuk melakukan
hubungan seksual tanpa kondom oleh pasangan seksualnya. Kegagalan kondom
terjadi akibat kegagalan metode atau karena kerusakan pada kondom serta
kesalahan penggunaan. Program promosi kondom yang efektif sebaiknya berpusat
untuk memastikan kualitas kondom yang baik, kemudahan akses dan edukasi
mengenai penggunaan kondom yang baik dan konsisten. Sementara itu, metode
barier terkontrol pada wanita yaitu penggunaan kondom wanita juga memberikan
proteksi yang hampir sama dengan penggunaan kondom lateks laki-laki.Akan
tetapi, terdapat beberapa kendala dalam mengimplentasikan penggunaan kondom
wanita dalam skala besar, diantaranya biaya yang lebih tinggi, sulitnya
pemasangan, kurangnya promosi audiovisual dan reaksi yang berbeda-beda dari
pasangannya.Teknologi pencegahan lainnya adalah penggunaan mikrobisida
vagina. Mikrobisida vagina telah mulai dikembangkan sejak awal tahun 1990an.
Suatu bahan kimia berbahan detergen yang memiliki aktivitas virusidal dan
bakterisidal awalnya memberikan harapan yang menjanjikan, namun ternyata
efektivitasnya dalam mencegah HIV tidak memberikan hasil yang baik. Beberapa
bahan juga tidak selalu efektif melawan patogen IMS dan penggunaannya
memiliki dampak terhadap integritas epitel vagina, terutama apabila digunakan
berulang kali, sehingga mungkin menyebabkan patogen lebih mudah masuk ke
dalam tubuh. Namun, sejumlah komponen baru yang lebih aman saat ini sedang
dikembangkan, yang nantinya akan memerlukan evaluasi lebih lanjut.
Penggunaan vaksin yang efektif dan aman sangat berpotensi meringankan beban
program pencegahan dan pengendalian IMS. Namun sayangnya, hanya vaksin
hepatitis B yang saat ini tersedia dan bersifat efektif melawan patogen, walaupun
beberapa penelitian telah melaporkan efektivitas penggunaan vaksin HPV. Vaksin
terhadap HSV masih terus dilakukan pengembangan karena penelitian
sebelumnya belum mendapatkan efektivitas yang baik dalam pengunaannya.
Vaksin di negara maju telah banyak digunakan, namun tingginya pembiayaan
menghalangi penggunaan rutin vaksin di negara berkembang. Sirkumsisi pada
laki-laki nampaknya nampaknya memberikan proteksi terhadap kejadian sifilis,
canchroid, infeksi HIV dan HSV-2, walaupun pada beberapa penelitian hal
tersebut tidak terjadi secara signifikan. Sementara itu, terapi supresif HSV-2
menunjukan penurunan transmisi ke pasangan heteroseksual yang tidak terinfeksi,
dan terapi supresif harian dan kondom sangat direkomendasikan untuk pasangan
yang memiliki perbedaan status HSV-2. Pada laporan terbaru terapi supresif
HSV-2 menurunkan kadar HIV baik pada sekret genital maupun plasma dari
wanita yang terinfeksi.

2. Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder mengacu pada pengobatan dan pelayanan terhadap individu


yang terinfeksi, dengan aktivitas yang meliputi: (1) promosi perilaku dalam
mencari pengobatan, tidak hanya untuk mereka yang memiliki gejala IMS, tapi
juga untuk mereka yang berisiko terkena IMS, (2) penyediaan pelayanan
kesehatan yang mudah diakses, diterima masyarakat dan efektif baik untuk
individu simtomatik maupun asimtomatik, serta pasangannya, (3) menyediakan
pelayanan konseling untuk IMS dan termasuk HIV.Pengalaman di beberapa
negara dengan pendapatan rendah dan sedang seperti di Thailand, Nairobi,
Botswana dan beberapa bagian di Afrika Selatan telah menunjukan bahwa sangat
memungkinkan untuk mengendalikan IMS yang dapat disembuhkan, bahkan pada
daerah dengan dinamika transmisi yang tinggi, melalui suatu strategi pencegahan
dan pengobatan yang komprehensif.

a. Pengobatan Infeksi Menular Seksual Individu yang Simtomatik

Diagnosis dini dan pengobatan yang efektif dari suatu IMS merupakan salah satu
komponen terpenting dari program pengendalian IMS. Penyediaan layanan yang
efektif untuk pasien IMS yang simtomatik dan pasangannya harus menjadi
prioroitas utama dari suatu program pengendalian IMS. Pasien IMS yang
memiliki gejala mungkin akan menyadari bahwa mereka telah terinfeksi dan lebih
mungkin untuk mencari pengobatan. IMS yang disebabkan oleh bakteri dan
protozoa biasanya dapat disembuhkan sementara IMS yang disebabkan oleh virus
hanya dapat ditangani untuk menurunkan tingkat keparahan dari satu episode
penyakit dan menurunkan rekurensinya. Namun bagaimanapun, individu dengan
IMS yang disebabkan oleh virus masih mendapatkan manfaat dari pelayanan
kesehatan dengan menerima konseling tentang bagaimana hubungan seksual yang
aman, pengenalan pasangan, konseling pemeriksaan HIV dan menerima informasi
kesehatan secara umum. Secara umum, suatu kecurigaan terhadap IMS
selanjutnya dapat didiagnosis baik hanya dengan gejala klinisnya saja ataupun
dengan berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium, yang biasanya bersifat
kompleks, mahal dan menunda pengobatan karena menunggu hasil laboratorium.
Diagnosis berdasarkan laboratorium seringkali terbatas, terutama di negara
berkembang, karena membutuhkan biaya besar dalam pemeliharaan dan
penyediaan sarana laboratorium. Dengan alasan ini, maka WHO
merekomendasikan pengobatan kasus berdasarkan sindrom, yaitu pasien yang
datang dengan gejala dan tanda tertentu ditangani menurut alur bagan pengobatan
sindrom.Pengobatan kasus berdasarkan sindrom merupakan suatu pendekatan
yang didasari atas pengenalan sindrom yang berhubungan dengan IMS
(sekelompok sindrom dan gejala klinis yang dengan mudah dapat diidentifikasi),
diikuti dengan pengobatan yang menargetkan patogen yang paling sering menjadi
penyebab sindrom tersebut. Pengobatan kasus disederhanakan mengikuti alur
bagan dan peresepan obat yang terstandardisasi. Pendekatan ini terutama cocok
pada daerah-daerah dengan fasilitas diagnosis tidak tersedia ataupun kurang.
Selain itu, pengobatan sindrom memberikan kesempatan untuk mengobati
penyakit dengan segera, tanpa mengharuskan pasien untuk datang kembali
menunggu hasil pemeriksaan laboratorium.

b. Penemuan Kasus dan Skrining

Infeksi menular seksual seringkali muncul tanpa adanya gejala, terutama pada
wanita. Strategi yang berbeda diperlukan untuk mendeteksi dan menangani infeksi
yang bersifat asimtomatik ini. Beberapa strategi yang dapat diterapkan
diantaranya adalah penemuan kasus dan skrining, yang diperkuat dengan
intervensi dalam menjangkau pasangan seksual untuk memberikan pengobatan
presumtif IMS serta meningkatkan pengetahuan dan kewaspadaan terhadap risiko
individu. Penemuan kasus artinya melakukan pemeriksaan terhadap individu yang
mencari pelayanan kesehatan untuk alasan lain selain IMS. Salah satu aplikasi
penting dari penemuan kasus ini adalah memberikan pelayanan IMS pada klinik
antenatal, klinik ibu dan anak serta klinik keluarga berencana. Sebagai contoh,
yaitu melakukan pemeriksaan rutin sifilis untuk wanita hamil di klinik antenatal.
Sementara itu, skrining berarti melakukan pemeriksaan terhadap individu yang
tidak secara langsung mencari pelayanan kesehatan.Proses skrining dua tahap
dapat dilakukan dengan cara mengidentifikasi individu dengan risiko tinggi
infeksi melalui suatu penilaian risiko dan selanjutnya dilakukan pemeriksaan
untuk mereka yang teridentifikasi memiliki risiko tinggi, dengan demikian hal ini
akan mengurangi biaya program skrining IMS. Selain skrining terhadap individu
asimtomatik pasien IMS simtomatik yang mencari pengobatan juga harus
diskrining untuk IMS lainnya. Beberapa jenis skrining yang didapatkan hemat
dari segi biaya dan dapat diterapkan di negara berkembang diantaranya adalah
skrining sifilis antenatal, skrining kanker serviks dan skrining terhadap
subpopulasi risiko tinggi. Program skrining sifilis antenatal harus
diimplementasikan oleh seluruh program pengendalian IMS karena komplikasi
yang tinggi terhadap bayinya diantaranya lahir mati, kematian perinatal dan
infeksi neonatal serius.Skrining untuk kanker serviks memiliki manfaat yang
besar karena kanker serviks masih menjadi kanker penyebab kematian utama pada
wanita, dengan 80% kasus terjadi di negara berekembang. Sementara itu, skrining
subpopulasi risiko tinggi bersifat hemat dari segi biaya karena satu kasus yang
diobati atau dicegah dari satu orang dalam subpopulasi ini akan dapat mencegah
penyebaran infeksi ke beberapa orang lainnya. Subpopulasi risiko tinggi yang
perlu dilakukan skrining diantaranya adalah para pekerja seks wanita ataupun
laki-laki, kelompok pelanggan pekerja seks, laki-laki yang berhubungan seksual
dengan lakilaki, pengguna obat injeksi, serta remaja yang telah aktif secara
seksual terutama yang tidak bekerja dan tidak bersekolah (anak jalanan).

c. Intervensi Tertarget dan Pengobatan Presumtif

Intervensi tertarget didasari oleh konsep dinamika transmisi IMS yang terdiri dari
core group, bridging population dan populasi umum. Beberapa intervensi
komprehensif yang menargetkan core group telah dilakukan di beberapa negara
berkembang dan menunjukkan dampak yang baik dalam menurunkan angka IMS
dan HIV pada populasi target, dan kadang-kadang terhadap pasangannya. Suatu
kesuksesan intervensi core group pada komunitas tambang di Afrika Selatan telah
dilaporkan, dengan cara menyediakan pelayanan pengobatan IMS, termasuk
pengobatan presumtif periodik (setiap bulan) dengan azithromisin, dan pemberian
edukasi pencegahan terhadap sekelompok pekerja seks wanita yang tinggal di
sekitar area tambang. Intervensi tersebut secara signifikan menurunkan infeksi
gonore, infeksi klamidia dan ulkus genital pada wanita risiko tinggi dalam jangka
waktu pendek. Gejala IMS juga menurun diantara para pekerja tambang di daerah
intervensi dibandingkan dengan daerah yang tidak dilakukan intervensi. Namun
masih belum jelas, berapa lama intervensi ini dapat mempertahankan hal tersebut.
Sementara itu, program pengobatan massa tertarget dengan menggunakan
azithromisin saat terjadi wabah sifilis di Vancouver Kanada berhasil menurunkan
kasus dalam 6 bulan, namun terjadi efek rebound setelahnya. Hal ini mempertegas
bahwa walaupun intervensi massa tertarget mudah untuk dilakukan, intervensi ini
seharusnya tidak dikerjakan secara rutin dan harusnya hanya dilakukan dengan
kehati-hatian.Pengobatan presumtif atau disebut juga pengobatan epidemiologis
pada seorang individu atau populasi diberikan saat terdapat kemungkinan yang
tinggi mereka mengalami infeksi. Pengobatan tidak tergantung dari adanya gejala
atau tanda, atau tidak tergantung dari hasil pemeriksaan laboratorium, tapi
berdasarkan adanya peningkatan risiko yang berhasil diidentifikasi untuk terjadi
suatu infeksi. Pengobatan presumtif ditujukan untuk mengatasi permasalahan dari
suatu infeksi asimtomatik, terutama pada wanita dan pasangan seksual yang
berisiko. Sebagai contohnya adalah pengobatan presumtif untuk pasangan seksual
dari pasien yang menderita IMS dengan pasangan tersebut berada pada risiko
tinggi memiliki infeksi yang sama. Pengobatan presumtif saat ini telah
diimplementasikan, baik sebagai intervensi tunggal pada waktu pasien kontak
pertama kali dengan pelayanan kesehatan, atau secara periodik seperti intervensi
pengendalian IMS pada subpopulasi risiko tinggi contohnya pada pekerja seks.

V. Kesimpulan

Referensi

Anda mungkin juga menyukai