Anda di halaman 1dari 51

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/371990527

LAPORAN PRAKTIKUM MAGISTER BIOTEKNOLOGI UGM

Technical Report · June 2023

CITATIONS READS

0 1,573

1 author:

Azmi Zaki Althaf


Universitas Gadjah Mada
1 PUBLICATION 0 CITATIONS

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Azmi Zaki Althaf on 03 July 2023.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


LAPORAN PRAKTIKUM
IDENTIFIKASI MOLEKULER

Nama : Azmi Zaki Waliudin Althaf


NIM : 22/501101/PMU/11191
Kelompok : 1 (Lantai 2)

PROGRAM STUDI BIOTEKNOLOGI


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2023
A. Tujuan
1. Mahasiswa dapat memahami tahapan-tahapan yang terdapat dalam identifikasi molekuler
2. Mahasiswa mampu melakukan, menganalisis, dan menginterpretasikan praktikum sehingga
dapat mengidentifikasi secara molekuler
3. Mahasiswa mampu melaporkan secara tertulis hasil dari praktikum dan diksusi tentang
identifikasi molekuler

B. Dasar Teori
Analisis dan identifikasi molekuler banyak menggunakan DNA sebagai target identifikasi dan
analisis. Langkah pertama dari setiap analisis dan identifikasi molekuler adalah ekstraksi DNA.
Ekstraksi DNA adalah metode untuk memurnikan DNA dari berbagai kontaminan sel yang lain
menggunakan metode fisik dan/atau kimia dan/atau enzimatis. Secara umum setiap metode ekstraksi
DNA memiliki langkah dan tahapan yang sama yaitu pelisisan sel, penghilangkan kontaminan-
kontaminan, presipitasi DNA, dan pelarutan DNA (Gambar 1) (Gupta, 2019).

Gambar 1 Tahapan ekstraksi DNA (McKiernan & Danielson, 2017)

1. Pelisisan Sel
Pelisisan sel berarti pemecahan sel menggunakan metode fisik, kimiawi, dan enzimatis. Pelisisan
sel menggunakan metode fisik berarti sel dipecahkan menggunakan tekanan, perbedaan suhu yang
ekstrim, atau getaran. Metode fisik meliputi penggerusan dengan mortar dan alu yang dibantu oleh
nitrogen cair, pemecahan sel dengan microbeads, sonikasi dengan alat sonikator, dan heat-shock
(Gupta, 2019).
Penggerusan sel dengan mortar dan alu bertujuan untuk memperkecil ukuran sampel yang akan
diekstrak DNAnya agar sel mudah dilisiskan. Metode penggerusan banyak dilakukan pada sampel
tanaman karena sampel tanaman memiliki dinding sel yang keras sehingga harus dibantu dengan
penggerusan untuk mempermudah pelisisan sel. Metode ini menggunakan nitrogen cair untuk
mempermudah proses penggerusan. Nitrogen cair memiliki suhu yang sangat dingin sehingga jika
sampel terkena nitrogen cair ia akan jadi beku dan mudah untuk digerus dan dihancurkan menjadi
serbuk (Gupta, 2019). Metode sonikasi adalah metode untuk memecahkan membran sel dengan bantuan
gelombang ultrasonik. Gelombang ultrasonik akan menggetarkan sel sehingga setiap sel akan saling
bertabrakan. Sel yang bertabarakan diharapkan bisa pecah sehingga DNA bisa dikeluarkan dari sel.
Metode heat-shock adalah metode pemecahan sel dengan memberikan perbedaan suhu ekstrim ke sel.
Perbedaan suhu yang ekstrim akan membuat mengembung dan mengkerut secara cepat sehingga sel
akan pecah (Gupta, 2019). Pemecahan sel dengan microbeads memiliki prinsip yang sama dengan
penggerusan sel dengan mortar dan alu. Perbedaan metode ini dengan metode penggerusan adalah alat
yang digunakan pada metode ini adalah microbeads, yaitu bola-bola kecil yang akan saling bertabrakan
dengan sel saat divortex sehingga sel akan pecah (Natarajan et al., 2016).
Pelisisan sel dengan cara kimiawi adalah metode pemecahan sel menggunakan bahan-bahan kimia
untuk menghancurkan membran sel dan dinding sel. Secara umum, bahan kimia yang banyak digunakan
untuk melisiskan sel secara kimiawi adalah SDS (Sodium Dodecyl Sulfate) dan buffer lisis yang terdiri
atas tris-Cl dan EDTA (Ethylenediaminetetraacetic acid) (Gupta, 2019). Buffer lisis yang terdiri atas
tris-Cl dan EDTA berfungsi untuk menjaga pH selama proses pelisisan sel dan mencegah aktivitas
nuclease yang bisa merusak DNA.

Gambar 2 Struktur SDS (National Center for Biotechnology Information, 2023a)


SDS adalah surfaktan anionik yang memiliki dua bagian yaitu hidrofilik dan hidrofobik
(Gambar 2) (National Center for Biotechnology Information, 2023a). Membran sel memiliki struktur
fosfolipid bilayer yang memiliki sifat yang sama dengan SDS yakni hidrofobik dan hidrofilik. Langkah
pertama pelisisan sel oleh SDS yaitu penyusupan SDA di antara molekul fosfolipid bilayer sehingga
meningkatkan mechanical stress membran dan membran membengkok (Gambar 3). Peningkatan
mechanical stress menyebabkan membran sel pecah. Pecahan dari membran sel, berupa fosfolipid
bilayer akan membentuk agregat berupa micelle bersama molekule SDS. Pada pembentukan micelle
bagian hidrofilik akan berada di bagian luar, sedangkan bagian hidrofobik akan berada di bagian dalam
(Aguirre-Ramírez et al., 2021).

Gambar 3 Interaksi SDS dan membran sel (Aguirre-Ramírez et al., 2021). Stage I: SDS menyisip di
antara fosfolipid bilayer di membran sel; stage II: terjadi peningkatan mechanical stress sehingga
membran fosfolipid bilayer membengkok dan pecah; stage III: pembentukan micelle antara molekul
fosfolipid dan SDS
Pelisisan sel secara enzimatis dilakukan dengan bantuan enzim terutama lysozyme dan
proteinase-K. Lysozyme banyak digunakan untuk melisiskan sel bakteri gram positif. Hal tersebut
karena bakteri gram positif memiliki peptidoglikan yang tebal. Peptidoglikan terdiri atas monomer N-
acetylglucosamine (NAG) dan N-acetylmuramic acid (NAM) yang dihubungkan dengan ikatan β-1,4
glikosidik. Lysozyme bertindak untuk memotong ikatan β-1,4 glikosidik sehingga polimer
peptidoglikan akan rusak (Gambar 4) (Rau et al., 2001). Proteinase-K berfungsi untuk melisiskan
protein-protein yang ada pada sel.

Gambar 4 Pemotongan lysozyme pada ikatan β-1,4 glikosidik (Rau et al., 2001)
2. Penghilangan Kontaminan
Setelah sel lisis, DNA masih belum murni karena masih masih terdapat banyak kontaminan seperti
protein dan lemak. Secara umum kontaminan dalam sel dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu hidrofobik
dan hidrofilik. Molekul hidrofilik adalah molekul polar yang bisa larut dalam air, sedangkan molekul
hidrofobik adalah molekul non polar yang tidak bisa larut dalam air tetapi bisa larut dalam larutan
organik karena keduanya bersifat non polar. Berdasarkan hal tersebut maka penghilangan kontaminan
dilakukan dengan cara kimia.
Secara kimia, penghilangan kontaminan dilakukan dengan pemberian larutan PCI (Phenol-
Chloroform-Isoamyl Alcohol). Setelah ditambahkan PCI, akan terbentuk dua fasa yaitu fasa atas dan
fasa bawah (Gambar 1). Fasa atas berisi molekul yang bersifat hidrofilik sedangkan fasa bawah berisi
molekul yang bersifat hidrofobik (Green & Sambrook, 2017). Chloroform merupakan larutan organik
yang bersifat hidrofobik. Chloroform akan melarutkan molekul-molekul hidrofobik seperti lemak dan
protein-protein non polar dan memisahkannya dari molekul-molekul hidrofilik seperti DNA dan
protein-protein polar (Nazarian-Firouzabadi et al., 2014). Phenol yang bersifat hidrofilik akan
melarutkan molekul-molekul hidrofilik. Pada tahap ini molekul DNA yang bersifat hidrofobik sudah
terpisah dari molekul-molekul hidrofobik tetapi masih belum murni karena masih terdapat kontaminan
berupa protein-protein polar. Isoamyl alcohol yang memiliki gugus –OH bersifat polar sehingga akan
berada di fasa atas. Isoamyl alcohol akan membantu DNA untuk membentuk agregat.
3. Presipitasi DNA
` Presipitas DNA memanfaatkan sifat hidrofilik dan hidrofobik pada suatu molekul. DNA
merupakan molekul polar karena DNA memiliki gugus fosfat yang bermuatan negatif. Secara umum,
molekul polar adalah molekul yang tersusun dari atom-atom yang memiliki perbedaan elektronegtaif
yang tinggi, termasuk atom-atom penyusun gugus fosfat. Molekul DNA yang bersifat polar
menyebabkan DNA larut dalam air dan alkohol (hidrofilik). Cara untuk mempresipitasi DNA adalah
mengubah kepolaran molekul DNA dengan cara menambahkan garam seperti MgCl2 dan NaCl. Garam
akan terdisosiasi menjadi ion positif dan negatif saat berada dalam air (Li et al., 2020). Contohnya
disosiasi MgCl2 sebagaimana reaksi berikut:
MgCl2 → Mg2+ + 2Cl-
Ion positif dari garam yang terdisosiasi akan menetralkan gugus fosfat sehingga membuat
gugus fosfat yang awalnya bermuatan negatif menjadi netral. Saat gugus fosfat menjadi tidak bermuatan
maka ia akan menjadi lebih non polar sehingga akan menjadi hidrofobik. Ketika ditambahkan ethanol
absolut maka DNA akan terpresipitasi karena ia menjadi tidak larut dalam alkohol (Li et al., 2020).
Secara tradisional, setelah presipitasi DNA dilakukan penghilangan ethanol dengan cara
sentrifugasi. Supernatan yang berisi DNA akan dibuang, sedangkan pellet yang berisi DNA akan
dibiarkan di tube. Kemudian dilakukan washing dengan penambahan alkohol 70%. Pencucian
dilakukan untuk menghilangkan garam-garam yang berikatan dengan DNA. Kemudian disentrifugasi
dan dikering anginkan untuk menghilangkan alkohol yang tersisa.
4. Pelarutan DNA
Tahap terakhir dari ekstraksi DNA adalah pelarutan DNA. DNA dilarutkan di ddH2O atau TE
Buffer (campuran Tris-Cl dan EDTA). Pelarutan DNA di TE buffer lebih disarankan daripada di ddH2O
karena TE buffer bisa menjaga pH serta mencegah aktivitas nuklease dengan cara mengikat ion Mg 2+
yang merupakan kofaktor dari nuklease (Gupta, 2019).
DNA yang telah diisolasi akan diuji secara kuantitas dan kualitasnya. Pengujian kualitas DNA
dilakukan dengan elektroforesis, sedangkan uji kuantitas DNA dilakukan dengan nanodrop. Prinsip
elektroforesis adalah memisahkan molekul-molekul bermuatan berdasarkan berat molekulnya
(Westermeier, 2016). Prinsip nanodrop adalah mengetahui konsentrasi dan kemurnian asam nukleat
berdasarkan absorbansinya terhadap gelombang dengan panjang gelombang tertentu.
Elektroforesis yang dilakukan untuk menguji hasil ekstraksi DNA dilakukan dengan gel agarose
1%. Agarose merupakan polisakarida yang terdiri atas D-galactose dan 3,5-anhydri-α-L-
galactopyranose yang dihubungkan dengan ikatan α-1,3 dan β-1,4 glikosidik (National Center for
Biotechnology Information, 2023b). Molekul yang lebih berar akan cenderung berada di atas,
sedangkan molekul yang lebih ringan akan turun ke bawah saat dilakukan elektroforesis. Pergerakan
molekul tersebut terjadi karena adanya gaya tarik-menarik antara DNA yang bermuatan negatif (karena
memiliki gugus fosfat) dengan kutub positif dari electrical supply.
Pemeriksaan kuantitas DNA dilakukan dengan nanodrop. DNA akan disinari dengan cahaya
dengan panjang gelombang 260 dan 280 kemudian akan diukur absorbansinya. Rasio absorbansi DNA
yang murni saat disinari dengan cahaya dengan panjang gelombang 260 dan 280 (260/280) adalah 1,8
– 2. Jika >1,8 berarti terjadi kontaminasi protein, sedangkan jika <2 berarti terjadi kontaminasi RNA
(AU - Desjardins & AU - Conklin, 2010).

Setelah DNA dipastikan memiliki kualitas dan kuantitas yang cukup, langkah selanjutnya
adalah mengamplifikasi DNA menggunakan PCR (Polymerase Chain Reaction). Prinsip kerja PCR
adalah mengamplifikasi molekul DNA dengan menaik-turunkan suhu. Amplifikasi DNA dengan PCR
meniru proses penggandaan DNA yang terjadi secara alami. Enzim yang berperan dalam proses
amplifikasi DNA adalah DNA polymerase (Gupta, 2019). Proses amplifikasi DNA dengan PCR
dilakukan dengan tiga tahap yaitu denaturasi, annealing, dan elongasi. Denaturasi adalah tahap
pembukaan untai ganda DNA. Untai ganda pada DNA dibuka dengan memberikan DNA suhu tinggi.
Kemudian suhu akan menurun, saat suhu menurun primer akan menempel pada sequence target. Suhu
di mana primer menempel pada target adalah suhu annealing, sekitar 50-60oC. Kemudian tahap elongasi
yang ditandai dengan mulai berjalannya enzim DNA polimerase untuk mengamplifikasi DNA. Tahap
elongasi terjadi pada suhu sekitar 72oC (Sadeghifard et al., 2010).
Salah satu pemanfaatan metode PCR yang banyak dilakukan adalah untuk DNA fingerprinting.
Salah satu tekik DNA fingerprinting adalah repetitive PCR (Rep PCR). Setiap molekul DNA genom
mengandung sekuens berulang (repetitive sequence) dengan urutan asam nukleotida yang sama.
Sekuens yang berulang tersebut bisa berada di dalam suatu gen (intergenic region) atau berada di liuar
gen/menjadi pemisah antar gen (exogenic sequence) (Sperling & Li, 2013). Panjang dan urutan repetitive
sequence setiap makhluk hidup berbeda-beda, oleh karena itu sekuens yang berulang ini digunakan
untuk mencirikan suatu spesies (Ishii & Sadowsky, 2009). Rep PCR merupakan teknik amplifikasi
sekuens berulang dengan primer-primer tertentu. Hasil amplifikasi yang terlihat saat dilakukan
elektroforesis adalah band-band yang memiliki pola tertentu. Perbedaan pola yang terbentu
menandakan perbedaan spesies atau genus makhluk hidup. Primer yang digunakan untuk Rep PCR
bermacam-macam seperti BOX1A (59bp), BOXA1R (59bp), ERIC1R, M13, ERIC2, dan REP2-1
(Masanto et al., 2019).
C. Metode
1. Alat
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum kali ini dibedakan menjadi dua yaitu alat-alat yang
menggunakan listrik dan yang tidak menggunakan listrik. Alat-alat yang menggunakan listrik adalah ),
gradient thermal cycler (Dlab TC1000-G), Nanodrop (Simplinano version 4505 V3.0.1), Centrifuge
(Beckman Microcentrifuge 11), microwave (LG), vortex horizontal, Waterbath (Haake Fisions D8),
UV Vision (Double Vision UVVis Hoefer), timbangan (A&D Company FX-300i dan Camry), dan
seperangkat alat elektroforesis. Alat-alat yang tidak menggunakan listrik adalah yellow tip (Axygen),
blue tip (Axygen), white tip (Axygen), micropipet (Dlab), dan microtube.
2. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah Mix PCR konvensional (MyTaqTM
MixBioline), agarose gel (Himedia), Nuclease Free Water (Thermo Fisher), TBE Buffer 1x, gelstain
(Biotium), marker 100bp+3k, dan bacterial genomic DNA kit (Geneaid).
3. Cara kerja
3.1. Isolasi DNA
Terdapat beberapa tahapan dalam isolasi DNA dari sampel bakteri. Sampel bakteri yang telah
berada di media cair dimasukkan ke tube 2 ml kemudian disentrifugasi 14.000-16.000 x g selama 1
menit. Kemudian supernatan dibuang. Sisa sampel bakteri di media cair dimasukkan ke tube yang sama
lalu disentrifugasi 14.000-16.000 x g selama 1 menit, supernatan hasil sentrifugasi dibuang sehingga
hanya tersisa pellet. Lalu ditambahkan gram + buffer sebanyak 200 µl lalu divortex selama 5 detik. Lalu
diinkubasi di waterbath selama 30 menit pada suhu 37oC di mana setiap 20 menit tube dibolak-balik.
Kemudian ditambahkan 20 µl proteinase-k lalu divortex 5 detik. Kemudian diinkubasi pada suhu 60oC
selama 10 menit di waterbath di mana setiap 3 menit tube dibolak-balik.
Tahap selanjutnya adalah 200 µl ditambahkan ke tube lalu divortex 5 detik. Kemudian diinkubasi
pada 70oC di waterbath selama 10 menit di mana setiap 3 menit tube dibolak-balik. Saat dilakukan
tahapan ini, EB buffer dihangatkan sesuai kebutuhan di waterbath. Setelah itu, ditambahkan 5 µl RNAse
lalu divortex 5 detik kemudian diinkubasi di suhu ruang selama 5 menit.
Tahap selanjutnya adalah ditambahkan 200 µl ethanol absolut ke dalam sampel dan digoyang
setelah ditambahkan ethanol absolut. Kemudian GD column diletakkan di 2 ml collection tube setelah
itu sampel di tube 2 ml dipindahkan ke GD column sebanya 500 µl lalu disentrifugasi 2 menit 14.000-
16.000 x g. Kemudian flow through dibuang lalu cairan sisa yang ada di tube 2 ml dimasukkan ke GD
column dan dilakukan sentrifugasi kembali 14.000-16.000 2 menit. Lalu flow through dibuang.
400 µl W1 buffer kemudian ditambahkan ke GD column lalu disentrifugasi 14.000-16.000 x g 30
detik, setelah itu flow through dibuang. Kemudian GD column ditempatkan ke 2 ml collection tube baru
dan ditambahkan 600 µl wash buffer, lalu disentrifugasi 14.000-16.000 x g 30 detik dan flow through
dibuang. Kemudian disentrifugasi kembali 14.000-16.000 x g selama 3 menit untuk mengeringkan
sampel yang ada di GD column.
Setelah itu GD column dipindah ke tube 1,5 ml baru kemudian elution buffer 50 µl (EB buffer)
yang telah dihangatkan sebelumnya ditambahkan ke GD column. Lalu disentrifugasi 14.000-16.000 x
g selama 30 detik. GD column lalu dibuang dan DNA berada di tube 1,5 ml.
3.2. Uji kualitas DNA menggunakan elektroforesis
Serbuk gel agarose ditimbang sebanyak 1 gram (konsentrasi gel 1%). Kemudian serbuk dimasukkan
ke tabung kaca dan ditambahkan TBE buffer 1x sebanyak 100 ml. Kemudian dimasukkan ke microwave
dan dipanaskan selama 2 menit. Lalu ditunggu agak mendingin selama 4 menit. Kemudian ditambahkan
gel stain sebanyak 4 µl. Kemudian tabung kaca digoyang-goyang agar gel stain tercampur. Lalu gel
yang masih agak hangat dituang ke cetakan pembuatn gel. Kemudian ditunggu hingga gel mengeras.
Setelah gel mengeras, gel dimasukkan ke alat elektroforesis dan ditambahkan TBE buffer 1x hingga
seluruh gel terendam. Kemudian ditambahkan marker sebanyak 2 µl pada well paling kiri. Setelah itu
setiap sampel ditambahkan ke setiap sumuran sebanyak 3 µl. Lalu alat elektroforesis dinyalakan dan
ditunggu sekitar 30-40 menit. Kemudian hasil elektroforesis dilihat di UV illuminator.
3.3. Uji kuantitas DNA menggunakan Nanodrop
Uji kuantitas DNA menggunakan Nanodrop dilakukan dengan beberapa tahap yaitu alat dinyalakan
kemudian ditunggu sekitar 20 menit. Lalu EB buffer atau laruta pelarut DNA diteteskan sebanyak 2 µl.
Kemudian diukur sebagai larutan blanko. Kemudian larutan DNA diteteskan sebanyak 2 µl untuk
diukur konsentrasi dan kemurniannya.
3.4. Rep-PCR DNA bakteri
Tahapan-tahapan Rep PCR adalah sebagai berikut. Pertama mesin PCR dinyalakan dan ditunggu
selama 30 menit, kemudian dilakukan pencampuran bahan-bahan PCR yang dilakukan di dalam tube
PCR 0,2 ml. Primer yang digunakan adalah BOXA1R (5’-TAC GGC, AAG, GCG, ACG, GTG, ACG-
3’). Campuran bahan-bahan PCR dalam tube PCR 0,2 ml adalah sebagai berikut.
Tabel 1 Campuran bahan-bahan PCR
Bahan Volume Konsentrasi Akhir
Mix PCR 12,5 µl 1X
Primer 1 µl 0,4 µM
DNA 2 µl
Nuclease Free Water 9,5 N.A.
Total 25 µl

Kemudian divortex selama 5 detik. Lalu disentrifugasi 13.000 rpm selama 10 detik untuk
memastikan semua bahan tercampur jadi 1 dan tidak ada yang menempel di dinding tube.Lalu
dimasukkan ke dalam mesin PCR dengan 30 siklus. Pengaturan suhu dan waktu PCR sebagai berikut.
Tabel 2 Pengaturan mesi PCR

Tahap Suhu Waktu


Predenaturasi 94oC 4 menit
Denaturasi 92oC 1 menit
Annealing 50oC 1 menit 30 detik
Extensi 68oC 8 menit
Final Extensi 68oC 10 menit

Setelah selesai, dilakukan elektroforesis dengan tahap yang sama dengan elektroforesis yang
pertama, kecuali konsentrasi gel agarose yang digunakan. Konsentrasi gel agarose yang digunakan
untuk visualisasi hasil Rep PCR adalah 2%.
D. Hasil dan Pembahasan
Hasil
Hasil dari isolasi DNA dikuantifikasi menggunakan Nanodrop (Tabel 3) untuk mengetahui
konsentrasi dan kemurnian DNA serta divisualisasi menggunakan elektroforesis (Gambar 5).
Tabel 3 Hasil Nanodrop
Sampel Konsentrasi A260/A230 A260/A280
1 31.13 ng/µL 2.128 1.870
2 1.12 ng/µL 2.118 1.834
3 9.48 ng/µL 2.105 1.938
4 9.04 ng/µL 2.039 1.843
5 7.51 ng/µL 2.093 1.952
6 2.42 ng/µL 2.029 1.816
7 206.78 ng/µL 2.015 1.816
8 5.45 ng/µL 2.052 1.892
9 5.42 ng/µL 2.101 1.969
10 8.84 ng/µL 2.107 1.803
11 1.98 ng/µL 2.146 1.970
12 8.29 ng/µL 2.050 1.872
13 225.18 ng/µL 2.138 2.010
14 11.25 ng/µL 2.065 1.876
15 13.17 ng/µL 2.072 1.889
16 15.77 ng/µL 2.024 1.900

Gambar 5 Hasil isolasi DNA


DNA hasil isolasi kemudian diamplifikasi menggunakan Rep-PCR untuk mengetahui
kekerabatan antar sampel. Hasil Rep-PCR ditunjukkan denga gambar berikut.

Gambar 6 Hasil Rep-PCR


Pembahasan
Ekstraksi DNA dilakukan dengan metode yang sesuai dengan petunjuk kit ekstraksi DNA.
Ekstraksi DNA menggunakan kit memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan ekstraksi
manual DNA secara manual yaitu lebih mudah dan cepat (Smith et al., 2003). Saat ini terdapat banyak
kit ekstraksi DNA di pasaran. Pemilihan kit sangat berpengaruh terhadap hasil ekstraksi karena setiap
kit memiliki sensitivitas dan spesifitas yang berbeda-beda (Smith et al., 2003). Kekurangan penggunaan
kit adalah peneliti tidak mengetahui 100% larutan yang digunakan saat ekstraksi karena setiap larutan
sudah diberi label khusus oleh perusahaan. Hal tersebut menyebabkan peneliti kesulitan untuk
melakukan modifikasi metode ekstraksi.
Hasil ekstraksi DNA divisualisasi dengan elektroforesis. Prinsip elektroforesis adalah
memisahkan molekul bermuatan berdasarkan beratnya. Molekul yang memiliki berat paling besar akan
berada di bagian atas gel, sedangkan molekul yang memiliki berat muatan lebih rendah akan turun ke
bawah. Pergerakan molekul pada elektroforesis dipengaruhi oleh ukuran DNA, konsentrasi agarose,
konformasi DNA, voltase yang digunakan, dan buffer. Elektroforesis hasil ekstraksi DNA
menggunakan konsentrasi agarose 1%. Hal ini berbeda dengan elektroforesis hasil PCR yang
menggunakan konsentrasi agarose 2%. Perbedaan tersebut berkaitan dengan molekul yang diuji.
Molekul yang diuji hasil ekstraksi DNA adalah DNA genom yang memiliki berat molekul besar,
sedangkan molekul yang dielektroforesis hasil PCR adalah fragmen DNA yang memiliki berat molekul
lebih kecil, oleh karena itu konsentrasi agaros yang digunakan lebih besar. Semakin besar konsentrasi
agaros membuat pori-pori agaros sehingga molekul akan lebih sulit untuk lewat. Elektroforesis hasil
ekstraksi DNA berada di bagian atas, hal tersebut karena molekul yang dielektroforesis merupakan
molekul DNA genom yang memiliki berat molekul besar sehingga molekul berada di atas (Lee et al.,
2012). Hal ini berbeda dengan hasil PCR yang bisa memiliki band di tengah agar.
Pada sampel 2 tidak terdapat smear dan terlihat garis tipis pada bagian atas. Hal tersebut berarti
sampel 2 bebas dari kontaminasi protein dan RNA. Sedangkan, pada sampel 7 dan 13 terdapat smear
atau garis-garis panjang. Hal tersebut menandakan bahwa masih terdapat kontaminasi pada sampel
tersebut. Kontaminasi pada sampel yang smear bisa merupakan kontaminasi protein (Ginwal et al.,
2011). Pada bagian bawah sampel ... juga terdapat garis tebal. Hal tersebut menandakan bahwa sampel
DNA terkontaminasi RNA (Ginwal et al., 2011). Kontaminasi protein dan RNA berasal dari sisa-sisa
molekul protein dan RNA yang ada di sel dan belum hilang 100% saat proses purifikasi. Solusi atas
ketidakmurnian DNA adalah melakukan purifikasi ulang pada DNA.
Band hasil elektroforesis sampel 2 sangat tipis. Hal tersebut menunjukkan bahwa sampel 2
memiliki konsentrasi DNA yang kecil. Hasil nanodrop pada sampel 2 mengonfirmasi hal tersebut.
Konsentrasi sampel 2 adalah 1,12 ng/µl sehingga band yang terbentuk sangat tipis. Selain konsentrasi
DNA, nanodrop juga bisa menunjukkan kontaminasi yang ada pada sampel. Rasio A260/280
menunjukkan angka 1,834, hal tersebut menunjukkan bahwa hasil ekstraksi DNA pada sampel 2 sudah
bebas dari kontaminasi protein dan RNA karena rasio A260/280 DNA yang bebas kontaminasi protein
dan RNA adalah 1,8-2,0 (Pervaiz et al., 2011).
Pada sampel 2 terbentuk band antara 3kb hingga 400-500bp. Terdapat 10 band pada sampel 2.
Terdapat 2 band pada ukuran 1,2kb dan 1,5kb yang lebih tebal daripada band yang lain. Hal tersebut
menunjukkan bahwa terdapat repetitive sequence lebih banyak yang berhasil teramplifikasi pada ukuran
tersebut dibandingkan repetitive sequence pada ukuran lain (ARSLAN et al., 2021).
Pada sampel 5, 12, 13, 14, dan 15 terdapat smear. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat
ketidakmurnian pada sampel DNA. Ketidakmurnian tersebut disebabkan oleh kontaminasi protein,
fenol, atau bahan-bahan yang lain. Untuk mengatasi hal tersebut perlu dilakukan purifikasi ulang pada
sampel DNA sehingga mengurangi kontaminasi. Selain itu, smear pada hasil PCR terjadi karena terjadi
fragmentasi pada DNA sampel (Kuhn et al., 2017). DNA sampel terpotong-potong sehingga hasil PCR
menunjukkan band yang tidak jelas. Fragmentasi DNA bisa terjadi karena ada aktivitas DNAse yang
memotong DNA. DNA yang telah terfragmentasi tidak bisa digunakan kembali sehingga harus
melakukan ektraksi DNA ulang untuk mengatasi hal tersebut.
Terdapat banyak band yang sangat tebal seperti band pada sampel 5, 6, 8, dan 14. Hal tersebut
berarti terdapat lebih banyak fragmen repetitive pada ukuran tersebut dibandingkan repetitive sequence
pada ukuran yang lain (ARSLAN et al., 2021). Band yang terlalu tebal membuat kesulitan untuk
pembacaan ukuran band. Untuk mengatasi hal tersebut maka sampel DNA yang ditambahkan bisa
dikurangi agar band yang terbentuk menjadi lebih tipis sehingga ukuran band bisa dibaca dengan lebih
mudah. Jika terjadi band yang tebal, ukuran band diukur dari bagian yang terbawah. Oleh karena itu
pada band paling tebal di sampel 6 berukuran 500bp bukan 600bp.
Metode molekuler merupakan metode terbaru untuk mengidentifikasi organisme, khususnya
mikroorganisme. Metode molekuler lebih bisa dipercaya dan lebih spesifik untuk mengidentifikasi
organisme daripada metode yang lain karena setiap organisme memiliki DNA yang spesifik yang
menjadi penanda untuk untuk setiap spesies. Terdapat beberapa metode molekuler untuk melakukan
identifikasi spesies seperti DNA fingerprinting dan sequencing. DNA fingerprinting adalah metode
identifikasi molekuler yang memanfaatkan marka DNA yang ada pada di setiap organisme. Contoh
DNA fingerprinting adalah Repetitive PCR (Rep-PCR) dan pemeriksaan Short Tandem Repeats (STR)
(Gymrek, 2017). DNA fingerprinting bisa membantu peneliti untuk memetakan kekerabatan
organisme. Sequencing adalah metode identifikasi molekuler dengan membaca sekuens DNA tertentu
dari suatu organisme (Mardis, 2017).
Repetitive PCR merupakan metode yang digunakan untuk DNA fingerprinting. Prinsip
repetitive PCR adalah mengamplifikasi repetitive sequence yang ada dalam genom organisme. Hasil
repetitive PCR adalah multi-band yang menunjukkan hasil amplifikasi repetitive sequence. Pada
praktikum ini band yang terbentuk berbeda antar sampel. Hal tersebut menunjukkan bahwa setiap
sampel merupakan organisme yang berbeda (Spigaglia & Mastrantonio, 2003).

Gambar 7 Hasil analisis filogenetik


Hasil Rep-PCR digunakan untuk membuat pohon filogenetik berdasarkan kesamaan pola pita
yng terbentuk. Software yang digunakan untuk membuat pohon filogenetik adalah PyElph 1.4 dengan
metode Unweighted Pair-Group Method with Aritmehmetic (UPGMA). Metode UPGMA diilih karena
metode tersebut merupakan metode yang paling sederhana dalam pembuatan pohon filogenetik.
UPGMA mengasumsikan bahwa seluruh sampel memiliki laju evolusi yang sama dari leluhur awalnya.
Asumsi pohon filogrnetik adalah sampel yang memiliki kesamamaan yang besar/banya
kemungkinan berasal dari nenek moyang yang sama sehingga memiliki hubungan kekerabatan yang
dekat (Kaur et al., 2017). Hasil analisis filogenetik memperlihatkan bahwa terdapat beberapa sampel
yang memiliki kekerabatan yang dekat seperti sampel 14 dan 3, sampel 5 dan 1, sampel 9 dan 7, sampel
8 dan 6, serta sampel 15 dan 12. Hal itu berarti sampel-sampel tersebut memiliki kesamaan pola pita
hasil Rep-PCR yang mirip Sebaliknya pada sampel 3 dan 5 atau sampel 14 dan 12 memiliki pola pita
hasil Rep-PCR yang sangat berbeda sehingga dianggap memiliki hubungan kekerabatan yang jauh.
E. Kesimpulan
1. DNA berhasil diisolasi dan memiliki kemurnian yang tinggi. Kuantifikasi konsentrasi DNA
dan visualisasi hasil isolasi DNA dilakukan melalui Nanodrop dan elektroforesis.
2. Terdapat beberapa sampel DNA yang berasal dari bakteri-bakteri yang memiliki kekerabatan
yang dekat maupun jauh.

F. Daftar Pustaka
Aguirre-Ramírez, M., Silva-Jiménez, H., Banat, I. M., & Díaz De Rienzo, M. A. (2021). Surfactants:
physicochemical interactions with biological macromolecules. Biotechnology Letters, 43(3), 523–
535. https://doi.org/10.1007/s10529-020-03054-1

ARSLAN, M., TEZCAN, E., CAMCI, H., & AVCI, M. K. (2021). Effect of DNA Concentration on Band
Intensity and Resolution in Agarose Gel Elec-trophoresis. Van Sağlık Bilimleri Dergisi, 14(3), 326–
333.

AU - Desjardins, P., & AU - Conklin, D. (2010). NanoDrop Microvolume Quantitation of Nucleic Acids.
JoVE, 45, e2565. https://doi.org/doi:10.3791/2565

Ginwal, H. S., Mittal, N., Maurya, S. S., Barthwal, S., & Bhatt, P. (2011). Genomic DNA isolation and
identification of chloroplast microsatellite markers in Asparagus racemosus Willd. through cross-
amplification.

Green, M. R., & Sambrook, J. (2017). Isolation of high-molecular-weight DNA using organic solvents.
Cold Spring Harbor Protocols, 2017(4), pdb-prot093450.

Gupta, N. (2019). DNA extraction and polymerase chain reaction. Journal of Cytology, 36(2).

Gymrek, M. (2017). A genomic view of short tandem repeats. Current Opinion in Genetics &
Development, 44, 9–16.

Ishii, S., & Sadowsky, M. J. (2009). Applications of the rep‐PCR DNA fingerprinting technique to study
microbial diversity, ecology and evolution. Environmental Microbiology, 11(4), 733–740.

Kaur, J., Lee, S., Sharma, A., & Park, Y.-S. (2017). DNA profiling of Leuconostoc mesenteroides strains
isolated from fermented foods and farm produce in Korea by repetitive-element PCR. Food
Science and Biotechnology, 26(6), 1667–1673. https://doi.org/10.1007/s10068-017-0189-9

Kuhn, R., Böllmann, J., Krahl, K., Bryant, I. M., & Martienssen, M. (2017). Comparison of ten different
DNA extraction procedures with respect to their suitability for environmental samples. Journal
of Microbiological Methods, 143, 78–86.

Lee, P. Y., Costumbrado, J., Hsu, C.-Y., & Kim, Y. H. (2012). Agarose gel electrophoresis for the
separation of DNA fragments. JoVE (Journal of Visualized Experiments), 62, e3923.

Li, Y., Chen, S., Liu, N., Ma, L., Wang, T., Veedu, R. N., Li, T., Zhang, F., Zhou, H., Cheng, X., & Jing, X.
(2020). A systematic investigation of key factors of nucleic acid precipitation toward optimized
DNA/RNA isolation. BioTechniques, 68(4), 191–199. https://doi.org/10.2144/btn-2019-0109

Mardis, E. R. (2017). DNA sequencing technologies: 2006–2016. Nature Protocols, 12(2), 213–218.

Masanto, Hieno, A., Wibowo, A., Subandiyah, S., Shimizu, M., Suga, H., & Kageyama, K. (2019). Genetic
diversity of Phytophthora palmivora isolates from Indonesia and Japan using rep-PCR and
microsatellite markers. Journal of General Plant Pathology, 85(5), 367–381.
https://doi.org/10.1007/s10327-019-00853-x

McKiernan, H. E., & Danielson, P. B. (2017). Molecular diagnostic applications in forensic science. In
Molecular diagnostics (pp. 371–394). Elsevier.

Natarajan, V. P., Zhang, X., Morono, Y., Inagaki, F., & Wang, F. (2016). A modified SDS-based DNA
extraction method for high quality environmental DNA from seafloor environments. Frontiers in
Microbiology, 7, 986.

National Center for Biotechnology Information. (2023a). PubChem Compound Summary for CID
3423265, Sodium dodecyl sulfate. https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/compound/Sodium-
dodecyl-sulfate

National Center for Biotechnology Information. (2023b). PubChem Compound Summary for CID
11966311, Agarose. https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/compound/Agarose

Nazarian-Firouzabadi, F., Ismaili, A., & Zabeti, S. M. (2014). Phenol-stacked carbon nanotubes: A new
approach to genomic DNA isolation from plants. Molecular Biology Research Communications,
3(3), 205.

Pervaiz, Z. H., Turi, N. A., Khaliq, I., Rabbani, M. A., & Malik, S. A. (2011). Methodology: a modified
method for high-quality DNA extraction for molecular analysis in cereal plants. Genetics and
Molecular Research: GMR, 10(3), 1669–1673.

Rau, A., Hogg, T., Marquardt, R., & Hilgenfeld, R. (2001). A new lysozyme fold: crystal structure of the
muramidase from Streptomyces coelicolor at 1.65 Å resolution. Journal of Biological Chemistry,
276(34), 31994–31999.

Sadeghifard, N., Ranjbar, R., Zaeimi, J., Alikhani, M. Y., Ghafouryan, S., Raftari, M., Abdulamir, A. S.,
Delpisheh, A., Mohebi, R., & Bakar, F. A. (2010). Antimicrobial susceptibility, plasmid profiles,
and RAPD-PCR typing of Acinetobacter bacteria. Asian Biomedicine, 4(6), 901–911.
https://doi.org/doi:10.2478/abm-2010-0118

Smith, K., Diggle, M. A., & Clarke, S. C. (2003). Comparison of commercial DNA extraction kits for
extraction of bacterial genomic DNA from whole-blood samples. Journal of Clinical Microbiology,
41(6), 2440–2443.

Sperling, A. K., & Li, R. W. (2013). Repetitive Sequences (S. Maloy & K. B. T.-B. E. of G. (Second E.
Hughes, Eds.; pp. 150–154). Academic Press. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/B978-0-
12-374984-0.01297-3

Spigaglia, P., & Mastrantonio, P. (2003). Evaluation of repetitive element sequence-based PCR as a
molecular typing method for Clostridium difficile. Journal of Clinical Microbiology, 41(6), 2454–
2457.

Westermeier, R. (2016). Electrophoresis in Practice: A Guide to Methods and Applications of DNA and
Protein Separations. John Wiley & Sons.
LAPORAN PRAKTIKUM
KLONING

Nama : Azmi Zaki Waliudin Althaf


NIM : 22/501101/PMU/11191
Kelompok : 1 (Lantai 2)

PROGRAM STUDI BIOTEKNOLOGI


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2023
A. Tujuan
1. Mahasiswa dapat memahami tahapan-tahapan yang terdapat dalam proses kloning
2. Mahasiswa mampu melakukan, menganalisis, dan menginterpretasikan praktikum sehingga
dapat melakukan kloning
3. Mahasiswa mampu melaporkan secara tertulis hasil dari praktikum dan diksusi tentang kloning

B. Dasar Teori
Kloning berasal dari bahasa Yunani klon yang berarti ‘dahan’ atau ‘ranting’ yang berarti
memproduksi organisme baru tidak dari biji, melainkan dari ranting. Secara molekuler istilah kloning
berarti proses untuk memperbanyak DNA target pada dengan bantuan sel lain (bukan sel asal DNA
target) (Ashwini et al., 2016).

Penelitian mengenai kloning dimulai sejak penemuan enzim restriksi pada 1950an yang berfungsi
untuk memoton DNA. Keberhasilan kloning DNA pertama kali dilaporkan pada 1973 oleh Herbert
Boyer dan Stanley Cohen yang membuat DNA rekombinan dari DNA mamalia yang direkombinasi
dengan DNA plasmid E. coli. Namun, pada tahun tersebut, kedua peneliti belum bisa melakukan
kloning satu gen secara utuh. Kloning gen secara utuh dilakukan pada 1977 oleh Shirley Tilghman yang
mengkloning gen globin dari tikus. Pada tahun 1982 terbit sebuah buku yang berisi protokol untuk
melakukan kloning DNA yaitu Molecular Cloning: A Laboratory Manual yang menjadi buku pegangan
pertama bagi peneliti untuk melakukan kloning (Creager, 2020).

Secara tradisional kloning memiliki beberapa tahap yaitu pemotongan gen of interest (GOI) dengan
enzim restriksi, penyambungan GOI dengan plasmid untuk membentuk DNA rekombinan, transformasi
plasmid ke sel host, dan seleksi (Gambar 1). Pada perkembangannya, kloning tidak hanya
menggunakan cara tradisional, melainkan juga menggunakan metode-metode yang terus berkembang
(Ashwini et al., 2016).

Gambar 1 Tahapan kloning molekuler (Creager, 2020)

Tahap pertama kloning adalah pemotongan GOI menggunakan enzim restriksi endonuklease. GOI
bisa didapatkan dengan mengamplifikasi DNA genom dari organisme asal menggunakan primer yang
mengapit open reading frame dari sebuah gen sehingga gen target bisa teramplifikasi. Saat melakukan
desaign primer harus diperhatikan recognition site dari enzim restriksi. (Loenen et al., 2014)

Enzim restriksi endonuklease adalah enzim yang berfungsi untuk memotong DNA pada bagian
tertentu. Enzim restriksi dibedakan menjadi 4 jenis berdasarkan mekanisme pemotongan DNAnya.
Enzim restriksi tipe I memotong DNA secara acak yang jauh dari recognition site. Contoh enzim
restriksi tipe I adalah EcoKI. Enzim restriksi tipe II memotong DNA secara spesifik pada lokasi yang
dekat dengan recognition site, contoh enzim restriksi tipe II adalah EcoRI. Enzim restriksi tipe III adalah
enzim restriksi yang memotong DNA pada lokasi spesifik di luar recognitioin site, contoh enzim
restriksi tipe III adalah EcoP1I. Enzim restriksi tipe IV adalah enzim restriksi yang memotong pada
lokasi yang acak yang jauh dari recognitioin site. Enzim restriksi yang banyak digunakan untuk kloning
adalah enzim restriksi tipe II karena bisa memotong DNA pada lokasi yang spesifik dan dekat dengan
recognition site sehingga mudah diketahui letak pemotongannya (Loenen et al., 2014).

Terdapat dua jenis hasil perpotongan enzim restriksi yaitu bult end dan sticy end. Blunt end adalah
perpotongan enzim restriksi yang menghasilkan DNA yang tidak memiliki overhang sedangkan
perpotongan sticky end memiliki overhang (Brown, 2010). Contoh enzim restriksi yang memiliki
perpotongan sticky end adalah EcoRI. EcoRI memilikki recognition sequence pada G^ATTC (Gambar
2). Enzim restriksi yang dipilih untuk kloning adalah enzim restriksi yang memiliki perpotongan sticky
end karena hasil perpotongan sticky end lebih mudah diligasikan atau disambungkan untuk membentuk
DNA rekombinan. Hal lain yang harus diperhatikan adalah penggunaan enzim restriksi untuk
memotong GOI dan plasmid harus sama agar keduanya memiliki perpotongan yang sama sehingga bisa
disambungkan (Brown, 2010).

Gambar 1 Recognition site EcoRI (Roberts & Macelis, 2023)

Tahap selanjutnya adalah pembuatan DNA rekombinan dengan menyambungan GOI dan plasmid.
Penyambungan tersebut dibantu oleh enzim ligase. Enzim ligase adalah enzim yang berfungsi untuk
menghubungan 3’-OH dengan 5’PO4 dengan ikatan fosfodiester (Shuman, 2009).

Plasmid merupakan molekul DNA yang berada di luar kromosom atau organel lain. Saat ini, plasmid
merupakan vektor atau pembawa molekul DNA target/GOI agar bisa masuk ke dalam host sel.
Berdasarkan fungsinya, secara umum plasmid dibedakan menjadi dua jenis yaitu plasmid untuk kloning
(cloning vector) dan plasmid untuk ekspresi gen (expression vector). Cloning vector hanya berfungsi
untuk memperbanyak DNA tanpa melakukan ekspresi gen. Cloning vector tidak memiliki promoter dan
terminator sehingga ia tidak bisa mengekspresikan DNA. Sedangkan, expression vector memiliki
promoter dan terminator (Nora et al., 2019).
Bagian-bagian plasmid secara umum adalah multiple cloning site (MCS), origin of replication (ori),
dan selection marker (Gambar 3). MCS adalah bagian plasmid yang berfungsi sebagai lokasi
penyambungan GOI dengan plasmid. Hal tersebut karena MCS memiliki banyak recoginition site yang
bisa dikenali oleh banyak enzim restriksi sehingga mudah dipotong oleh enzim restriksi. Ori merupakan
sekuens DNA yang dikenali oleh DNA polymerase sehingga plasmid bisa digandakan secara otomatis
oleh sel host tanpa menunggu pembelahan sel. Selection marker adalah gen yang digunakan untuk
menyeleksi sel yang sudah berhasil ditransformasi. Selection marker biasanya berupa gen resisten
antibiotik seperti gen kanR (Nora et al., 2019).

Gambar 2 Struktur plasmid (Nora et al., 2019)

Tahap selanjutnya adalah transformasi DNA rekombinan ke sel host. Transformasi adalah proses
masuknya DNA eksogenus ke dalam suatu sel (Johnston et al., 2014). Transformasi dilakukan pada sel
kompeten, yaitu sel yang sudah dimodifikasi dinding selnya agar dinding sel menjadi lebih lemah
sehingga mudah dimasuki oleh DNA eksogenus. Transformasi dibagi menjadi dua yaitu transformasi
alami dan transformasi buatan. Transformasi alami adalah transformasi yang terjadi tanpa campur
tangan manusia, sedangkan transformasi buatan adalah transformasi yang dilakukan oleh manusia. Pada
transformasi buatan, sel host direndam pada CaCl2 untuk melemahkan dinding selnya. Transformasi
buatan dilakukan dengan beberapa metode seperti elektroporasi, heat-shock treatment, dan metode
kimiawi dengan PGE (Das et al., 2017).

Tahap selanjutnya adalah tahap seleksi sel host yang berhasil tertransformasi. Seleksi dilakukan
dengan menumbuhkan sel pada media yang mengandung antibiotik. Plasmid memiliki selection marker
berupa gen resisten antibiotik sehingga bakteri yang berhasil ditransformasi akan memiliki kemampuan
resistensi terhadap antibiotik. Oleh karena itu seleksi dilakukan dengan penambahan gen resisten
antibiotik (Varasteh-Shams et al., 2020).

C. Metode
1. Alat
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum kali ini dibedakan menjadi dua yaitu alat-alat yang
menggunakan listrik dan yang tidak menggunakan listrik. Alat-alat yang menggunakan listrik adalah ),
gradient thermal cycler (Dlab TC1000-G), Nanodrop (Simplinano version 4505 V3.0.1), Centrifuge
(Beckman Microcentrifuge 11), microwave (LG), vortex horizontal, Waterbath (Haake Fisions D8),
UV Vision (Double Vision UVVis Hoefer), timbangan (A&D Company FX-300i dan Camry), dan
seperangkat alat elektroforesis. Alat-alat yang tidak menggunakan listrik adalah yellow tip (Axygen),
blue tip (Axygen), white tip (Axygen), micropipet (Dlab), dan microtube.
2. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah sampel bakteri E. coli yang mengandung
plasmid pET28a(+) yang memiliki gen LLM1 dan LLM2, kit ekstraksi plasmid (FavorPrepTM Plasmid
Extraction Mini Kit), agarose gel (Himedia), Nuclease Free Water (Thermo Fisher), TBE Buffer 1x,
gelstain (Biotium), marker 10kb, dan enzim restriksi (New England Biolabs Inc).
D. Cara kerja
1. Isolasi Plasmid
Terdapat beberapa tahapan dalam isolasi plasmid dari sampel bakteri. Sampel bakteri yang telah
berada di media cair dimasukkan ke tube 2 ml kemudian disentrifugasi 11.000 x g selama 1 menit.
Kemudian supernatant dibuang. Sisa sampel bakteri di media cair dimasukkan ke tube yang sama lalu
disentrifugasi 11.000 x g selama 1 menit kembali, supernatan hasil sentrifugasi dibuang sehingga hanya
tersisa pellet. Lalu ditambahkan FAPD1 buffer sebanyak 250 µl lalu diresuspensi dengan pipet hingga
pellet tercampur. Lalu ditambahkan FAPD2 buffer sebanyak 250 µl kemudian tube dibolak balik
sebanyak 10 kali lalu diinkubasi di suhu ruang selama 5 menit. Kemudian ditambahkan FAPD3 buffer
sebanyak 350 µl dan tube dibolak balik lagi sebanyak 10 kali lalu disentrifugasi dengan kecepatan
18.000 x g selama 10 menit. Kemudian cairan di dalam tube dimasukkan ke FAPD column. Setelah itu
disentrifugasi dengan kecepatan 11.000 x g selama 30 detik kemudian cairan di bawa collection
tube/flow-through dibuang. Lalu ditambahkan W1 buffer sebanyak 400 µl dan disentrifugasi dengan
kecepatan 11.000 x g selama 30 detik. Flow-through kemudian dibuang. Kemudian ditambahkan wash
buffer sebanyak 700 µl lalu disentrifugasi dengan kecepatan 11.000 x g selama 30 detik. Kemudian
flow-through dibuang.Lalu disentrifugasi kembali untuk mengeringkan plasmid. Sentrifugasi dilakukan
dengan kecepatan 18.000 x g selama 3 menit. Lalu membran FATG mini column dipindahkan ke tube
1,5 ml. Kemudian dielusi dengan menambahkan elution buffer sebanyak 50 µl lalu didiamkan di suhu
raung selama 5 menit. Setelah itu disentrifugasi pada suhu ruang dengan kecepatan 18.000 x g selama
1 menit. Plasmid ada di tube 1,5 ml.
2. Uji kuantitas DNA menggunakan Nanodrop
Uji kuantitas DNA menggunakan Nanodrop dilakukan dengan beberapa tahap yaitu alat dinyalakan
kemudian ditunggu sekitar 20 menit. Lalu EB buffer atau larutan pelarut DNA diteteskan sebanyak 2
µl. Kemudian diukur sebagai larutan blanko. Kemudian larutan DNA diteteskan sebanyak 2 µl untuk
diukur konsentrasi dan kemurniannya.
3. Uji kualitas DNA menggunakan elektroforesis
Serbuk gel agarose ditimbang sebanyak 1 gram (konsentrasi gel 1,5%). Kemudian serbuk
dimasukkan ke tabung kaca dan ditambahkan TBE buffer 1x sebanyak 100 ml. Kemudian dimasukkan
ke microwave dan dipanaskan selama 2 menit. Lalu ditunggu agak mendingin selama 4 menit.
Kemudian ditambahkan gel stain sebanyak 4 µl. Kemudian tabung kaca digoyang-goyang agar gel stain
tercampur. Lalu gel yang masih agak hangat dituang ke cetakan pembuatn gel. Kemudian ditunggu
hingga gel mengeras. Setelah gel mengeras, gel dimasukkan ke alat elektroforesis dan ditambahkan
TBE buffer 1x hingga seluruh gel terendam. Kemudian ditambahkan marker sebanyak 2 µl pada well
paling kiri. Setelah itu setiap sampel ditambahkan ke setiap sumuran sebanyak 3 µl. Lalu alat
elektroforesis dinyalakan dan ditunggu sekitar 30-40 menit. Kemudian hasil elektroforesis dilihat di
UV illuminator.
4. Pemotongan plasmid menggunakan enzim restriksi
Plasmid yang akan dipotong merupakan plasmid yang memiliki konsentrasi tertinggi dan hasil
elektroforesis terbaik. Plasmid, Nuclease Free Water (NFW), enzim restriksi BamH1.HF, dan 10x rCut
Smart buffer dimasukkan ke dalam microtube 1,5 ml kemudian diinkubasi pada 37 oC selama 3 jam.
Setelah itu dielektroforesis untuk divisualisasi. Komposisi bahan-bahan yang ada dalam tube 1,5 ml
ditunjukkan tabel 1 berikut.
Tabel 1 komposisi tube 1,5 ml

Bahan Volume Konsentrasi


Akhir
Plasmid 20 µl 1 µg
Enzim restriksi HindIII 0,5 µl 0,5x
10x rCut Smart Buffer 2,5 µl 0,5x
Nuclease Free Water 2,0 µl N.A
Total Volume 25 µl

5. Pembuatan sel kompeten


Bakteri E. coli BL21(DE3) yang ada di media LB dipindahkan ke media LB lain sebanyak 3% atau
750 ml media LB ditambahkan 25 ml bakteri. Diinkubasi dan digojok pada suhu 37oC kecepatan 170
rpm dan OD diperiksa di spektrofotometri 600 nm setiap 30 menit. Inkubasi dilakukan hingga OD
mecapai 0,6. Setelah itu, 1,5 ml kultur dimasukkan ke tube 1,5 kemudian disentrifugasi 13.000 rpm
selama 1 detik, kemudian supernatant ibuang. Lalu ditambahkan 250 µl Rubidium buffer lalu
diresuspensi. Kemudian diinkubasi di es selama 45 menit. Setelah inkubasi, disentrifugasi 13.000 rpm
selama 11 detik dan supernatant dibuang. Kemudian ditambahkan 150 µl Rubidium buffer dan
diresuspensi. Kemudian tube disimpan di suhu -80oC.
6. Transformasi Plasmid ke sel dan seleksi
Plasmid sebanyak 4 µl dan 5 µl (konsentrasi plasmid 10,270 ng/µL), serta 3 µl (konsentrasi plasmid
24,061 ng/µL) ditamahkan ke microtube berisi sel kompeten sebanyak 150 µl yang telah di-thawing.
Kemudian didiakan selama 30 menit. Lalu dimasukkan ke waterbath bersuhu 42oC selama 45 detik.
Kemudian dimasukkan ke es dan diinkubasi selama 3 menit. Lalu media LB yang tidak diberi antibiotik
kanamycin dimasukkan sebanyak 1 ml, lalu diinkubasi di shaker dengan kecepata 170 rpm suhu 37oC
selama 1 jam. Kemudian kultur dari masing-masing tube dimasukkan ke cawan petri yang telah diberi
media LB dan kanamycin 100 µL/mL. Volume masung-masing kultur dari tiap tube adalah 50 µL, 75
µL, 100 µL, dan 150 µL. Kultur diinkubasi selama 24 jam di suhu 37oC. Kultur lalu diamati. Kultur
yang tumbuh adalah kultur yang berhasil ditransformasi.
E. Hasil dan Pembahasan
Hasil
1. Isolasi plasmid dan pemotongan plasmid menggunakan enzim restriksi
Isolasi plasmid dilakukan dari bakteri E. coli yang telah mengandung plasmid pET28a(+) dengan
dua gen yang telah disisipi ke plasmid, yaitu LLM1 dan LLM2. Hasil isolasi plasmid dikuantifikasi
menggunakan nanodrop. Pada praktikum ini masing-masing kelompok melakukan isolasi 2 sampel
plasmid yang masing-masing mengandung gen yang berbeda yaitu gen LLM1 dan gen LLM2.
Konsetrasi plasmid hasil isolasi ditunjukkan pada tabel 2 berikut.
Tabel 2 konsentrasi plasmid

Sampel 1 (gen LLM1) Sampel 2 (gen LLM2)


Kelompok
Konsentrasi A260/A230 A260/A280 Konsentrasi A260/A230 A260/A280
1 10,270 2.025 1.709 1,051 ng/µL 2.136 1.947
ng/µL ng/µL ng/µL ng/µL ng/µL
2 1,042 ng/µL 2.192 1.976 1,123 ng/µL 2.003 1.806
ng/µL ng/µL ng/µL ng/µL
3 1,081 ng/µL 2,197 1.864 0,853 ng/µL 2.073 1.911
ng/µL ng/µL ng/µL ng/µL
4 24,061 2.022 1.916 1,07 ng/µL 2.111 1.898
ng/µL ng/µL ng/µL ng/µL ng/µL

Sampel yang memiliki konsentrasi terbesar (sampel 1 kelompok 4) akan dipotong


menggunakan enzim restriksi. Hasil pemotongan plasmid dan plasmid yang tidak dipotong
divisiualisasi menggunakan elektroforesis (Gambar 4).

Gambar 4 Hasil isolasi dan restriksi plasmid

Berdasarkan hasil elektroforesis diketahui bahwa terdapat dua plasmid yang ada di E. coli. Hal
tersebut ditunjukkan dengan adanya dua pita terpisah yang berada di bawah pita utama yang
menunjukkan DNA genom. Hasil restriksi juga menunjukkan hal yang sama, yaitu terdapat dua plasmid
yang ditandai dengan adanya dua pita yang terpisah di bawah pita DNA genom.
2. Transformasi plasmid
Keberhasilan transformasi plasmid ke sel kompeten yang dilakukan dengan metode heat shock
ditunjukkan dengan adanya sel yang tumbuh pada media LB yang ditambahkan kanamycin 100 µg/mL.
Plasmid yang ditransformasi adalah 2 sampel plasmid yang memiliki konsentrasi tertinggi yaitu sampel
1 kelompok 1 dan sampel 1 kelompok 4. Plasmid dari kelompok 1 diambil 4 µL dan 5 µL, sedangkan
plasmid dari kelompok 4 diambil 3 µL. kemudian dimasukkan ke sel kompeten yang ada di rubidium
buffer sebanyak 150 µL. Setelah dilakukan transformasi pada sel E. coli, bakteri ditumbuhkan dari
media LB ke media LB agar dengan beberapa variasi volume pengambilan sel kompeten dari media LB
ke LB agar, sehingga pada praktikum ini terdapat beberapa variasi pertumbuhan bakteri pada cawan
petri (Tabel 3).
Tabel 3. Hasil pertumbuhan transforman positif
Variasi Hasil Pertumbuhan Transforman Positif
Kontrol

Konsetrasi plasmid: 10,27 ng/µL


Volume plasmid yang dimasukkan ke sel
kompeten: 5 µL
Volume bakteri yang ditumbuhkan: 50 µL

Konsetrasi plasmid: 10,27 ng/µL


Volume plasmid yang dimasukkan ke sel
kompeten: 5 µL
Volume bakteri yang ditumbuhkan: 75 µL
Konsetrasi plasmid: 10,27 ng/µL
Volume plasmid yang dimasukkan ke sel
kompeten: 5 µL
Volume bakteri yang ditumbuhkan: 100 µL

Konsetrasi plasmid: 10,27 ng/µL


Volume plasmid yang dimasukkan ke sel
kompeten: 5 µL
Volume bakteri yang ditumbuhkan: 150 µL

Konsetrasi plasmid: 10,27 ng/µL


Volume plasmid yang dimasukkan ke sel
kompeten: 4 µL
Volume bakteri yang ditumbuhkan: 50 µL

Konsetrasi plasmid: 10,27 ng/µL


Volume plasmid yang dimasukkan ke sel
kompeten: 4 µL
Volume bakteri yang ditumbuhkan: 75 µL

Konsetrasi plasmid: 10,27 ng/µL


Volume plasmid yang dimasukkan ke sel
kompeten: 4 µL
Volume bakteri yang ditumbuhkan: 100 µL
Konsetrasi plasmid: 10,27 ng/µL
Volume plasmid yang dimasukkan ke sel
kompeten: 4 µL
Volume bakteri yang ditumbuhkan: 150 µL

Konsetrasi plasmid: 24,061 ng/µL


Volume plasmid yang dimasukkan ke sel
kompeten: 3 µL
Volume bakteri yang ditumbuhkan: 25 µL

Konsetrasi plasmid: 24,061 ng/µL


Volume plasmid yang dimasukkan ke sel
kompeten: 3 µL
Volume bakteri yang ditumbuhkan: 50 µL

Konsetrasi plasmid: 24,061 ng/µL


Volume plasmid yang dimasukkan ke sel
kompeten: 3 µL
Volume bakteri yang ditumbuhkan: 75 µL

Konsetrasi plasmid: 24,061 ng/µL


Volume plasmid yang dimasukkan ke sel
kompeten: 3 µL
Volume bakteri yang ditumbuhkan: 100 µL
Konsetrasi plasmid: 24,061 ng/µL
Volume plasmid yang dimasukkan ke sel
kompeten: 3 µL
Volume bakteri yang ditumbuhkan: 150 µL

Pembahasan
1. Isolasi plasmid dan pemotongan plasmid menggunakan enzim restriksi
Plasmid diisolasi dari sel E. coli BL21(DE3). Konsentrasi plasmid diukur menggunakan
nanodrop. Hasil nanodrop menunjukkan bahwa secara umum konsentrasi plasmid kecil. Hal
menunjukkan bahwa plasmid tidak terekstrak dengan sempurna. Ketidak berhasilan ekstraksi plasmid
kemungkinan karena proses lisis yang tidak sempurna (Delaney et al., 2018). Proses lisis yang tidak
sempurna menyebabkan tidak semua sel terpecah sehingga tidak semua plasmid yang berada dalam sel
bisa keluar. Proses lisis yang kurang sempurna kemungkinan terjadi karena proses pipetting yang belum
tepat. Hal tersebut menyebabkan larutan FAPD1 buffer tidak terambil sesuai dengan volume yang
seharusnya. Oleh karena itu proses lisis secara kimiawi tidak bisa terjadi secara sempurna.
Plasmid yang digunakan adalah pET28a(+) (Gambar 5). pET28a(+) adalah plasmid yang
cocok dengan host sel E. coli BL21 (DE3). Hal tersebut karena syarat utama dari plasmid untuk E. coli
BL21 (DE3) adalah memiliki promoter T7. Promoter T7 akan dikenali oleh T7 RNA polymerase yang
diproduksi oleh E. coli BL21(DE3) sehingga protein bisa terekspresi (Faust et al., 2015). Oleh karena
itu plasmid pET28a(+) bisa digunakan untuk transformasi dan ekspresi gen pada E. coli BL21 (DE3).
Plasmid pET28a(+) berukuran 5369bp. Struktur utama plasmid pET28a(+) terdiri dari beberapa
bagian seperti ORI (Origin of Replication), gen resisten antibiotik (KanR), His-Tag, MCS (Multiple
Cloning Site), dan RBS (Ribosomal Binding Site). ORI pada plasmid pET28a(+) ada dua yaitu f1 ORI
dan f1 ORI merupakan ORI yang akan aktif saat sel terjadi co-transformation dari gen yang berasal dari
phage. Co-transformation adalah transformasi dua gen secara bersamaan. Co-transformation
menggunakan f1 ORI karena f1 ORI bisa mereplikasi ssDNA yang berasal dari phage (Johnson et al.,
2019). ORI yang lain berfungsi untuk memperbanyak plasmid dalam sel bakteri. Fitur yang lain adalah
gen resisten kanamycin (KanR) yang berada di antara sekuens f1 ORI dan ORI. Gen KanR digunakan
untuk membantu seleksi sel positif transforman (Bhardwaj et al., 2020). RBS berfungsi dalam translasi.
Ribosom akan mengenali RBS sehingga gen yang berada di belakang RBS bisa ditranslasi.
Gambar 5 Peta plasmid pET28a(+)(+) (addgene, 2023)

Visualisasi hasil isolasi plasmid dilakukan dengan elektroforesis menggunakan gel agarose
1,5%. Konsentrasi agarose pada visualisasi hasil isolasi plasmid lebih besar daripada konsentrasi
agarose pada isolasi DNA karena plasmid memiliki ukuran yang lebih kecil dari DNA sehingga
membutuhkan konsentrasi agarose yang lebih banyak (Al-Muhanna & Al-Muhanna, 2018). Pada
praktium ini hasil isolasi plasmid ditunjukkan pada dua band/pita di bawah pita DNA genom. Hal
tersebut karena plasmid memiliki ukuran yang lebih kecil daripada DNA genom sehingga berada pada
pita di bawah DNA genom (Al-Muhanna & Al-Muhanna, 2018). Ukuran plasmid yang digunakan pada
praktikum ini adalah 5kb. Hal tersebut sesuai dengan ukuran plasmid pET28a(+) yaitu 5369bp
(Gambar 5). Oleh karena itu saat dielektroforesis pita plasmid yang terbentuk berada di atas pita marker
yang berukuran 3kb.
Secara umum, plasmid berbentuk untaian DNA helix ganda yang melingkar. Bentuk umum
tersebut disebut sebagai supercoil (Balagurumoorthy et al., 2008). Selain, supercoil terdapat beberapa
bentuk plasmid yang lain yaitu linier dan nick. Bentuk linier adalah bentuk plasmid yang terjadi karena
plasmid terpotong pada kedua untai DNA helixnya sehingga plasmid tidak lagi berbentuk untai DNA
helix ganda melingkar tetapi berbentuk linier (lurus). Bentuk nick adalah bentuk di mana hanya salah
satu untai DNA helix dari plasmid yang terpotong (Balagurumoorthy et al., 2008), sedangkan untai
yang lain tidak terpotong. Hal tersebut membuat plasmid menjadi lebih rileks. Hanya satu dari ketiga
bentuk plasmid tersebut yang bisa digunakan dalam transformasi yaitu bentuk supercoil, hal tersebut
karena DNA pada plasmid supercoil masih utuh atau belum terpotong.
Bentuk plasmid hasil isolasi bisa diidentifikasi melalui elektroforesis (Gambar 6). Pada
elektroforesis hasil isolasi plasmid akan muncul lebih dari pita. Pita pertama (paling atas) merupakan
pita yang menunjukkan DNA genom. DNA genom memiliki berat molekul yang paling besar sehingga
sulit bergerak, oleh karena itu berada di bagian paling atas. Pita di bawah pita DNA genom merupakan
pita plasmid. Jika terdapat pita lebih dari satu setelah pita DNA genom maka plasmid yang berhasil
diisolasi memiliki beberapa bentuk. Urutan bentuk plasmid yang terdapat pada pita-pita di bawah pita
DNA genom adalah pita plasmid berbentuk nick, linier, dan supercoil (Hsieh et al., 2020). Tidak harus
semua pita muncul, kemunculan pita bergantung pada bentuk plasmid yang berhasil diisolasi.
Gambar 6 Contoh hasil isolasi plasmid pBR322 yang berbentuk nick dan supercoil (Hsieh et al.,
2020)

Pada praktikum ini terdapat 3 pita yang terbentuk di elektroforesis pada plasmid sebelum
direstriksi (Gambar 4). Pita pertama merupakan pita DNA genom, kemudian pita plasmid berbentuk
nick, dan pita plasmid berbentuk supercoil. Pada praktikum ini tidak terdapat pita plasmid yang
berbentuk linier. Pita ketiga diidentifikasi sebagai pita plasmid berbentuk supercoil karena memiliki
pita yang lebih tebal di antara pita pertama dan kedua (pita plasmid linier memiliki ketebalan yang mirip
dengan pita plasmid nick) (Hsieh et al., 2020). Plasmid berbentuk nick terdapat pada hasil isolasi
plasmid di praktikum kali ini kemungkinan karena ada kesalahan pada proses isolasi, yaitu kesalahan
dalam pipetting (Balagurumoorthy et al., 2008). Pippeting yang dilakukan secara kasar bisa membuat
plasmid terpotong tidak sempurna (nick). Kontaminasi fenol dan kloroform pada plasmid juga bisa
menyebabkan plasmid berbentuk nick (Gambar 7) (Hsieh et al., 2020). Tetapi pada praktikum ini
ekstraksi plasmid menggunakan kit yang dilengkapi dengan column sehingga meminimalisir
kontaminasi fenol. Oleh karena itu alasan yang paling mungkin adalah pipetting yang kurang tepat
sehingga bisa memotong plasmid menjadi nick.

Gambar 7 Pengaruh fenol terhadap bentuk plasmid (Hsieh et al., 2020)

Setelah plasmid diisolasi, plasmid dipotong menggunakan enzim restriksi BamHI. BamHI akan
mengenali situs pemotongannya yaitu G/GATCC yang terdapat pada Multiple Cloning Site (MCS)
plasmid, yaitu di urutan basa antara 198 dan 199 (addgene, 2023). Hasil pemotongan plasmid BamHI
menghasilkan plasmid berbentuk linier yang ditandai dengan pmbentukan pita plasmid yang terletak
lebih tinggi dibandingkan dengan pita plasmid supercoiled yang belum terpotong. Pada praktikum kali
ini, pola pita plasmid sebelum dan sesudah direstriksi tidak berbeda (keduanya memiliki pita dengan
ukuran yang sama). Hal tersebut kemungkinan karena enzim BamHI tidak berhasil memotong pola
plasmidnya. Kegagalan pemotongan tersebut kemungkinan disebabkan oleh pemberian enzim restriksi
yang tidak seskua dengan protokol.
Pada protokol standar, pemotongan plasmid dapat terjadi dalam waktu 60 menit dan memiliki
hasil yang sama jika pemotongan dilakukan hingga semalam (overnight) (New England Biolabs,
2023a). Enzim restriksi yang diberikan pada praktikum ini tidak sesuai dengan protokol (Tabel 4). Hal
tersebut menyebabkan reaksi pemotongan tidak dapat berlangsung sempurna sehingga tidak ada
plasmid yang terpotong.
Tabel 4 Perbandingan praktikum dan protokol standar

Praktikum Protokol standar


(New England
Biolabs, 2023b)
Plasmid 1 µg 1 µg
Enzim restriksi 0,5 µl 1 µl (10 units)
HindIII
10x rCut Smart 2,5 µl (0,5x) 5 µl (1x)
Buffer
Total Volume 25 µl 50 µl

Alasan yang lain adalah kerusakan pada enzim (New England Biolabs, 2023b). Enzim restriksi
yang mengalami kerusakan akibat penyimpanan yang kurang tepat atau sering keluar-masuk freezer
bisa menganggu aktivitas enzim. Struktur tersier enzim bisa rusak sehingga enzim sudah tidak bisa
mengkatalisis reaksi. Hal tersebut membuat enzim restriksi tidak bisa bekerja.
2. Transformasi plasmid
Plasmid yang telah diisolasi ditransformasikan ke sel bakteri kompeten E. coli BL21(DE3). Sel
kompete adalah sel yang sudah dilemahkan dinding selnya sehingga DNA asing mudah masuk ke dalam
sel. Sel kompeten dapat dibuat dengan cara kimiawi maupun fisik. Pembuatan sel kompeten dengan
cara kimiawi dilakukan dengan memasukkan ion bivalen ke dalam media sel seperti Cl 2+ atau Mg2+,
sedangkan pembuatan sel kompeten dengan cara fisika dilakukan dengan elektroporasi.
Pembuatan ion kompeten secara kimiawi tidak hanya dilakukan dengan menambahkan ion
bivalen ke dalam media, tetapi juga dengan menambahkan perlakuan suhu saat sel ditambahkan ion
bivalen serta menggunakan kombinasi 2 ion bivalen. Penggunaan suhu ruang saat inkubasi dengan
kombinasi ion bivalen yang berbeda terbukti bisa meningkatkan efisiensi transformasi (Zhou et al.,
2018).
Elektroporasi adalah proses pembuatan sel kompeten dengan bantuan arus listrik (Kotnik et al.,
2015). Sel diberi arus listrik sehingga membran sel akan membuka. Pembukaan membran sel oleh
elektroporasi bisa terjadi secara reversible maupun irreversible. Pembukaan membran sel secara
reversible adalah pembukaan sel yamg terjadi sementara, di mana membran sel bisa menutup setelah
dilakukan elektroporasi, sebaliknya pada pembukaan irreversible, membran sel tidak bisa menutup
kembali setelah dilakukan elektroporasi. Jenis pembukaan yang terjadi pada elektroporasi dipengaruhi
oleh arus listrik yang diberikan. Jika arus listrik terlalu besar maka elektroporasi yang terjadi adalah
elektroporasi irreversible.
Setelah transformasi, bakteri ditumbuhkan di LB agar yang telah diberi kanamycin. Hanya sel
bakteri positif transforman yang akan tumbuh di media. Pada praktikum ini semua bakteri transforman
bisa tumbuh di media, walaupun konsentrasi plasmid yang ditransformasikan kecil. Sel host yang bisa
digunakan untuk cloning bermacam-macam, bergantung dengan kebutuhan dan tujuan kloning. Sel host
prokariot banyak digunakan untuk melakukan kloning atau ekspresi protein yang tidak membutuhkan
folding, sedangkan sel host eukariot digunakan untuk ekspresi protein atau kloning protein yang
membutuhkan folding. Hal tersebut karena prokariot tidak memiliki post-translational modification
sehingga ia tidak bisa melakukan folding pada protein yang telah ditranslasi. Contoh sel host prokariot
adalah E. coli dan contoh sel host eukariot adalah yeast (Karbalaei et al., 2020).
Pada praktikum ini terdapat tiga plasmid berbeda konsentrasi yang ditransformasikan ke bakteri
dengan volume plasmid yang berbeda-beda yaitu plasmid konsentrasi 10,27 ng/µL dengan volume
plasmid yang ditransformasi 4 µL dan 5 µL serta plasmid konsentrasi 24,061 ng/µL dengan volume
plasmid yang ditransformasikan 3 µL. Ketiganya kemudian ditumbuhkan ke media LB agar dengan
volume penumbuhan sebanyak 50, 75, 100, dan 150 µL. Pertumbuhan ketiga jenis transforman positif
tersebut berbeda-beda, hal tersebut dipengaruhi oleh jumlah plasmid yang ditransformasi (Tabel 5).
Salah satu yang memengaruhi efisiensi transformasi adalah jumlah plasmid yang
ditransformasikan. Efisiensi transforman paling tinggi terdapat pada plasmid yang berjumlah sekitar 20
ng, kemudian menurun hingga plasmid yang berjumlah 40 ng (Liu et al., 2014). Plasmid yang memiliki
jumlah lebih dari 60 ng memiliki efisiensi transformasi yang kecil. Hal tersebut sesuai dengan
praktikum kali ini bahwa sel transforman positif tumbuh paling banyak pada hasil transformasi dengan
plasmid yang berjumlah kurang dari 60 ng. Jumlah plasmid yang terlalu banyak akan bersifat toksik
sehingga mengganggu proses transformasi (Liu et al., 2014).
Tabel 5 Jumlah plasmid yang ditransformasi

Konsentrasi plasmid Volume plasmid yang Jumlah plasmid yang ditransformasi


ditransformasi
10,27 ng/µL 4 µL 41,08 ng
10,27 ng/µL 5 µL 51,35 ng
24,061 ng/µL 3 µL 72,183 ng

Volume penumbuhan bakteri ke media LB agar memengaruhi kepadatan sel (Gao et al., 2021).
Semakin besar volume sel yang diinokulasi maka kepadatan sel juga akan makin bertamah. Pada
praktikum ini sel yang mendapatkan jumlah plasmid sama tetapi volume sel yang diinokulasi ke media
LB agar berbeda menunjukkan kepadatan yang berbeda. Kepadatan sel yang mendapat jumlah plasmid
sebanyak 72,183 ng dengan penambahan 150 µL lebih tinggi (lebih banyak sel yang tumbuh)
dibandingkan saat penambahan 50 µL.
F. Kesimpulan
1. Tahapan kloning diawail dengan pembuatan isolasi plasmid, kemudian pembuatan plasmid
rekombinan dengan cara menyambungkan GOI dengan plasmid, setelah itu dilakukan
transformasi ke sel kompeten kemudian dilakukan seleksi sel transforman positif
menggunakan antibiotik.
2. Terdapat dua bentuk plasmid pada praktikum ini yaitu linier dan supercoil yang ditunjukkan
dengan pola pita elektroforesis.
3. Pemotongan enzim restriksi tidak berhasil yang ditunjukkan dengan pola pita plasmid
sebelum dan sesudah direstriksi yang tidak menunjukkan perubahan.
4. Transformasi plasmid ke sel kompeten berhasil yang ditunjukkan dengan tumbuhnya sel
transforman positif di media LB agar yang diberi antibiotik.

G. Daftar Pustaka
addgene. (2023). Analyze Sequence: pET-28 a (+). Addgene.
https://www.addgene.org/browse/sequence_vdb/2565/
Al-Muhanna, S., & Al-Muhanna, A. (2018). Construction and transformation of recombinant pet28a
expression vector in bl21 (de3) cells with basic bioinformatics analysis. Biochem. Cell. Arch, 18(1),
147–152.
Ashwini, M., Murugan, S. B., Balamurugan, S., & Sathishkumar, R. (2016). Advances in molecular cloning.
Molecular Biology, 50, 1–6.
Balagurumoorthy, P., Adelstein, S. J., & Kassis, A. I. (2008). Method to eliminate linear DNA from mixture
containing nicked circular, supercoiled, and linear plasmid DNA. Analytical Biochemistry, 381(1), 172–
174.
Bhardwaj, N., Verma, V. K., Chaturvedi, V., & Verma, P. (2020). Cloning, expression and characterization
of a thermo-alkali-stable xylanase from Aspergillus oryzae LC1 in Escherichia coli BL21 (DE3).
Protein Expression and Purification, 168, 105551.
Brown, T. A. (2010). Gene Cloning and DNA Analysis An Introduction (Sixth Edit). John Wiley & Sons.
Creager, A. N. H. (2020). Recipes for recombining DNA: A history of Molecular Cloning: A Laboratory
Manual. BJHS Themes, 5, 225–243. https://doi.org/DOI: 10.1017/bjt.2020.5
Das, M., Raythata, H., & Chatterjee, S. (2017). Bacterial Transformation: What? Why? How? and When?
Annual Research & Review in Biology, 16, 1–11. https://doi.org/10.9734/ARRB/2017/35872
Delaney, S., Murphy, R., & Walsh, F. (2018). A Comparison of Methods for the Extraction of Plasmids
Capable of Conferring Antibiotic Resistance in a Human Pathogen From Complex Broiler Cecal
Samples. Frontiers in Microbiology, 9. https://www.frontiersin.org/articles/10.3389/fmicb.2018.01731
Faust, G., Stand, A., & Weuster-Botz, D. (2015). IPTG can replace lactose in auto-induction media to
enhance protein expression in batch-cultured Escherichia coli. Engineering in Life Sciences, 15(8), 824–
829. https://doi.org/10.1002/ELSC.201500011
Gao, C.-H., Cao, H., Cai, P., & Sørensen, S. J. (2021). The initial inoculation ratio regulates bacterial
coculture interactions and metabolic capacity. The ISME Journal, 15(1), 29–40.
Hsieh, T., Chao, H. H., & Wu, J. M. (2020). Control of DNA structure and function by phytochemicals/DNA
interaction: Resveratrol/piceatannol induces Cu2+-independent, cleavage of supercoiled plasmid DNA.
Free Radical Biology and Medicine, 147, 212–219.
Johnson, S. A., Ormsby, M. J., McIntosh, A., Tait, S. W. G., Blyth, K., & Wall, D. M. (2019). Increasing the
bactofection capacity of a mammalian expression vector by removal of the f1 ori. Cancer Gene Therapy,
26(7–8), 183–194.
Johnston, C., Martin, B., Fichant, G., Polard, P., & Claverys, J.-P. (2014). Bacterial transformation:
distribution, shared mechanisms and divergent control. Nature Reviews Microbiology, 12(3), 181–196.
https://doi.org/10.1038/nrmicro3199
Karbalaei, M., Rezaee, S. A., & Farsiani, H. (2020). Pichia pastoris: A highly successful expression system
for optimal synthesis of heterologous proteins. Journal of Cellular Physiology, 235(9), 5867–5881.
Kotnik, T., Frey, W., Sack, M., Meglič, S. H., Peterka, M., & Miklavčič, D. (2015). Electroporation-based
applications in biotechnology. Trends in Biotechnology, 33(8), 480–488.
Liu, X., Liu, L., Wang, Y., Wang, X., Ma, Y., & Li, Y. (2014). The Study on the factors affecting
transformation efficiency of E. coli competent cells. Cell, 5, x106.
Loenen, W. A. M., Dryden, D. T. F., Raleigh, E. A., Wilson, G. G., & Murray, N. E. (2014). Highlights of
the DNA cutters: a short history of the restriction enzymes. Nucleic Acids Research, 42(1), 3–19.
https://doi.org/10.1093/nar/gkt990
New England Biolabs. (2023a). Time-SaverTM Qualified Restriction Enzymes. New England Biolabs.
https://international.neb.com/products/restriction-endonucleases/hf-nicking-master-mix-time-saver-
other/time-saver-qualified-restriction-enzymes/time-saver-qualified-restriction-enzymes
New England Biolabs. (2023b, June 16). Restriction Endonuclease Technical Guide. New England Biolabs.
https://www.neb-online.de/literatur/pdf/Restriction_Endonuclease_Technical_Guide.pdf
Nora, L. C., Westmann, C. A., Martins-Santana, L., Alves, L. de F., Monteiro, L. M. O., Guazzaroni, M.-E.,
& Silva-Rocha, R. (2019). The art of vector engineering: towards the construction of next-generation
genetic tools. Microbial Biotechnology, 12(1), 125–147. https://doi.org/https://doi.org/10.1111/1751-
7915.13318
Shuman, S. (2009). DNA Ligases: Progress and Prospects. Journal of Biological Chemistry, 284(26), 17365–
17369. https://doi.org/10.1074/jbc.R900017200
Varasteh-Shams, M., Nazarian-Firouzabadi, F., & Ismaili, A. (2020). The direct and indirect transformation
methods on expressing a recombinant Dermaseptin peptide in tobacco transgenic hairy root clones.
Current Plant Biology, 24, 100177. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.cpb.2020.100177
Zhou, J., Li, X., Xia, J., Wen, Y., Zhou, J., Yu, Z., & Tian, B. (2018). The role of temperature and bivalent
ions in preparing competent Escherichia coli. 3 Biotech, 8, 1–6.
LAPORAN PRAKTIKUM
EKSPRESI PROTEIN REKOMBINAN

Nama : Azmi Zaki Waliudin Althaf


NIM : 22/501101/PMU/11191
Kelompok : 1 (Lantai 2)

PROGRAM STUDI BIOTEKNOLOGI


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2023
A. Tujuan
1. Mahasiswa dapat memahami tahapan-tahapan yang terdapat dalam ekspresi protein
rekombinan
2. Mahasiswa mampu melakukan, menganalisis, dan menginterpretasikan praktikum sehingga
dapat melakukan ekspresi protein rekombinan
3. Mahasiswa mampu melaporkan secara tertulis hasil dari praktikum dan diksusi tentang ekspresi
protein rekombinan

B. Dasar Teori
Ekspresi protein rekombinan merupakan tahap lanjutan dari kloning. DNA target yang berhasil
dikloning ke dalam host bakteri kemudian dipindahkan ke host bakteri lain untuk agar protein yang
dikode oleh DNA target bisa diekspresikan. Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam tahap
ekspresi protein rekombinan, yaitu host bakteri, plasmid, dan protein yang diekspresikan (Rosano &
Ceccarelli, 2014).

Host sel adalah sel yang digunakan sebagai ‘pabrik’ protein. Saat ini host bakteri telah banyak di
pasaran. Salah satu host bakteri yang banyak digunakan adalah E. coli karena E. coli merupakan bakteri
yang sudah diketahui oleh manusia secara lengkap sehingga mudah untuk dimodifikasi dan dijadikan
host ekspresi protein. Selain itu, E. coli memiliki kecepatan membelah yang tinggi cepat tumbuh dalam
waktu yang singkat dan cara penumbuhannya cukup sederhana (Rosano & Ceccarelli, 2014).

Salah satu jenis E.. coli yang sering digunakan untuk ekspresi protein adalah E. coli BL21, yang
merupakan modifikasi dari E. coli strain B. Generasi selanjutnya dari E. coli BL21 adalah E. coli BL21
(DE3). Bakteri tersebut merupakan bakteri E. coli BL21 yang sudah ditambahkan gen T7 RNA
polymerase sehingga bisa mengekspresikan gen T7 RNA polymerase. E. coli BL21 digunakan untuk
mengekspresikan protein yang berasal dari gen yang memiliki promoter yang dapat dikenali oleh E.
coli RNA polymerase seperti promoter lac, tac, dan T5. Sedangkan E coli BL21 (DE3) tidak hanya
digunakan untuk mengeskspresikan gen yang memiliki promoter yang dikenali oleh E. coli RNA
polymerase tapi juga bisa mengekspresikan gen yang memiliki promoter yang dikenali oleh T7 RNA
polymerase (Gheibihayat et al., 2018a).
Pada perkembangan selanjutnya, terdapat modifikasi dari E. coli BL21 (DE3) yaitu E. coli BL21
(DE3) pLysS. E. coli BL21 dan E. coli BL21 (DE3) memiliki kemampuan ekspresi protein yang tinggi
sehingga cocok digunakan untuk mengekspresikan protein-protein yang tida bersifat toksik bagi sel itu
sendiri. Namun, untuk kemampuan tersebut tidak bisa digunakan untuk mengekspresikan protein-
protein yang toksik bagi sel E. coli, sehingga dilakukan modifikasi kembali dengan menambahkan
plasmid pLysS yang mengandung gen T7 lysozyme (Gheibihayat et al., 2018a). Gen tersebut akan
mengekspresikan T7 lysozyme yang akan memotong sebagian T7 RNA polymerase sehingga
memperlambat ekspresi protein (Gambar 1). Selain itu gen T7 lysozyme juga berfungsi agar gen target
tidak terekspresi sebelum dilakukan induksi.
Gambar 1 Mekanisme kerja E. coli BL21 (DE) pLysS yang disisipi plasmid pET (Gheibihayat et al.,
2018a)
Terdapat tahapan yang berbeda antara kloning dan ekspresi protein. Kloning merupakan langkah
awal untuk melakukan ekspresi protein. Kloning bertujuan untuk memperbanyak gene of interest (GOI),
sedangkan ekspresi protein berfungsi untuk mengekspresikan protein yang dikode oleh GOI. Tahapan
kloning berakhir ketika sudah mendapatkan bakteri transforman dan bisa memperbanyak bakteri
tersebut, sedangkan pada tahap ekspresi gen, perbanyakan bakteri transforman di media yang
mengandung antibiotik merupakan tahap permulaan.
Setelah mendapatkn bakteri transforman positif, sel selanjutnya diperbanyak dengan melakukan
subkultur bakteri transform positif ke media LB yang mengandung antibiotik. Penggunaan antibiotik
bertujuan untuk mencegah terjadinya kontaminasi bakteri lain, sehingga bakteri yang hidup hanya
bakteri transforman positif (Bhardwaj et al., 2020).
Saat bakteri sudah dirasa cukup maka bakteri transforman positif akan diinduksi oleh senyawa
tertentu agar ia mengekspresikan protein yang diinginkan. Senyawa yang digunakan untuk menginduksi
bakteri disesuaikan dengan jenis promoter yang digunakan. Pada kloning bakteri yang menggunakan
E. coli BL21, E. coli BL21(DE3), dan E. coli BL21(DE) pLysS, promoter yang digunakan adalah T7
promoter, yaitu promoter yang dikenali oleh T7 RNA polymerase. (Joseph et al., 2015a) Promoter T7
diinduksi dengan Isopropyl ß-D-1-thiogalactopyranoside (IPTG) agar kode GOI terekspresi.
Mekanisme induksi ekspresi protein pada host sel E. coli BL21, E. coli BL21(DE3), dan E. coli
BL21(DE) pLysS berhubungan dengan mekanisme ekspresi T7 RNA polymerase. Kromosom host sel
tersebut telah diinsersi dengan gen T7 RNA polymerase sehingga ia akan akan mengekspresikan protein
T7 RNA polymerase yang akan membantu transkripsi gen pada promoter T7. Secara normal gen T7
RNA polymerase tidak terekspresi karena terdapat repressor yang menempel pada operator (gen T7
RNA polymerase menggunakan promoter lac dan operator lac) (Gambar 2). Hal tersebut menghalangi
RNA polymerase untuk mentraksripsi gen T7 RNA polymerase. IPTG yang diberikan akan mengikat
repressor sehingga repressor akan melepaska diri dari operator. Hal tersebut membuat T7 RNA
polymerase bisa terekspresi. T7 RNA polymerase selanjutnya akan menempel pada promoter T7
kemudian mentranskripsi GOI yang berada di belakang promoter T7 (Faust et al., 2015).
Induksi tidak hanya dilakukan dengan IPTG, tetapi juga dengan laktosa yang dicampur dengan
glukosa (Faust et al., 2015). Induksi tersebut bernama autoinduksi. Saat media mengandung glukosa
maka protein tidak akan terekspresi karena glukosa menghalangi masuknya laktosa ke dalam sel
sehingga sel akan cenderung menyerap glukosa dan menggunakannya sebagai nutrisi untuk tumbuh.
Saat glukosa habis maka laktosa akan masuk ke dalam baktri, laktosa yang masuk akan diubah oleh
protein lacI menjadi alolaktosa. Alolaktosa akan berikatan dengan repressor sehingga repressor akan
lepas dari operator dan T7 RNA polymerase bisa terekspresi. Autoinduksi terbukti bisa menghasilkan
ekspresi protein yang lebih tinggi.

Gambar 2 Mekanisme induksi oleh IPTG (Faust et al., 2015)


Setelah dilakukan induksi, langkah selanjutnya adalah memanen protein yang dihasilkan. Jika
protein yang dihasilkan berada di luar sel atau disekresikan oleh sel keluar maka tidak perlu dilakukann
penghancuran sel, sedangkan jika protein diekspresikan di dalam sel maka perlu dilakukan
penghancuran sel terlebih dahulu. Pelisisian sel bisa menggunakan metode fisika atau kimia. Metode
fisika yang digunakan adalah sonikasi dan heat-shock. Sedangkan metode kimia yang bisa digunakan
adalah menggunakan lysozyme (Joseph et al., 2015b).
Tidak semua metode pemecahan bisa diterapkan untuk setiap sel. Pertimbangan utama dalam
memiliki metode yang digunakan adalah kemudahan dan ada tidaknya kemungkinan kerusakan protein
akibat metode yang digunakan (Joseph et al., 2015a). Metode lysozyme dikhawatirkan bisa merusak
protein. Metode heat shock juga bisa merusak protein karena menggunakan perbedaan suhu untuk
memecah sel. Protein yang dihasilkan bisa terdenaturasi. Oleh karena itu lebih dipilih metode sonikasi.
Metode sonikasi adalah metode pemecahan sel menggunakan gelombang ultrasonik. Sel digetarkan
dengan gelombang ultrasonik. Kemudian sel akan pecah. Sel yang telah pecah akan berwarna lebuh
pekat daripada sel yang belum pecah karena sel yang pecah akan mengeluarkan semua komponen sel
sehingga akan terlihat lebih pekat. Metode sonikasi tidak menimbulkan panas karena saat melakukan
sonikasi sel diletakkan di lingkungan yang mengandung es, sehingga suhunya akan tetap terjaga dingin.
Prinsip utama metode sonikasi adalah memecahkan sel dengan meggetarkan sel secara cepat
sehingga berbenturan antar sesamanya menggunakan gelombang ultrasonik (Gambar 3) (Ranjha et al.,
2021). Gelombang ultrasonik yang diberikan akan merambat melalui media di dalam tabung reaksi
sehingga terjadi resonansi pada sel. Akibat dari resonansi tersebut akan menggetarkan satu sel kemudian
rambatan gelombang akan terus berjalan sehingga beresonansi dan menggetarkan sel yang lain. Sel
yang saling bergetar akan saling bertumbukan sehingga akn menghancurkan sel itu sendiri. Sonikasi
tidak hanya digunakan untuk mengekstrak protein dari sel bakteri, melainkan juga bisa digunakan untuk
mengekstrak protein dari sel yang lain, seperti tanaman dengan prinsip kerja yang sama.
Gambar 3 Mekanisme sonikasi pada ekstrask protein dari sel tumbuhan (Ranjha et al., 2021)
Ultrasonikasi tidak hanya memiliki efek positif, tetapi juga memiliki efek negatif. Metode sonikasi
terkadang tidak hanya menghancurkan dinding sel bakteri saja melalui mekanisme perambatan
gelombang dna resonansi, tetapi juga bisa memperkecil ukuran protein yang dihasilkan (Gambar 4)
(Sengar et al., 2022). Hal tersebut karena gelombang sonikasi yang kuat bisa memecah struktur
kuartener dan tersier menjadi peptidea-peptida pendek atau menjadi struktur sekunder sehingga akan
memperkecil ukuran protein. Hal tersebut bisa memengaruhi aktivitas enzim. Aktivitas enzim bisa turun
karena perubahan struktur enzim. Selain itu, efek alergen yang mungkin ditimbulkan oleh protein bisa
dikurangi dengan metode sonikasi.

Gambar 4 Efek sonikasi terhadap protein (Sengar et al., 2022)


Setelah protein dipecah, langkah selanjutnya adalah melakukan pengukuran konsentrasi protein
secara kuantitatif. Pengukuran konsentrasi protein menggunakan metode brandford. Prinsip metode ini
adalah mengukur konsentrasi protein dengn cara mereaksikan protein dengan coomassive brilliant blue
G-250 sehingga akan menghasilkan warna biru kehitaman (Aminian et al., 2013). Absorbansi dari hasil
reaksi tersebut akan diukur menggunakan spektofotometri untuk mengetahui konsentrasi protein yang
ada (Nouroozi et al., 2015). Metode baradford menggunakan bovine serum albumin (BSA) sebagai
kontrol sekaligus pelarut protein. Hal tersebut karena BSA merupakan protein yang bisa memberikan
warna yang stabil jika direaksikan dengan coomasive brilliant blue G-250. Metode ini merupakan
metode yang mudah dan cepat sehingga banyak digunakan untuk mengkuantifikasi protein.
Setelah dilakukan kuantifikasi protein, proses selanjutnya adalah memvisualisasi protein yang
didapatkan dengan cara elektroforesis SDS-PAGE. Elektroforesis SDS-PAGE menggunakan agar
berupa polyacrilmide (PAGE) yang memiliki keraptan lebih tinggi dibandingkan dengan agarose (Roy
et al., 2012). Penambahan SDS pada elektroforsis SDS PAGER bertujun untuk menymakan muatan
setiap asam amino dari suatu protein. Setiap asam amino memiliki muatan sisi samping yang berbeda,
oleh karena itu perlu dilakukan penyamaan muatan agar seluruh molekul protein memiliki muatan yang
sama sehingga saat dilakukan elektroforesis, pemisahan yang terjadi bukan dikarenakan perbedaan
muatan yang terjadi, melainkan karena perbedaan ukuran protein.
C. Metode
1. Alat
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum kali ini dibedakan menjadi dua yaitu alat-alat yang
menggunakan listrik dan yang tidak menggunakan listrik. Alat-alat yang menggunakan listrik adalah
Centrifuge (Beckman Microcentrifuge 11), vortex horizontal, Shake waterbath (Haake Fisions D8),
timbangan (A&D Company FX-300i dan Camry). Alat-alat yang tidak menggunakan listrik adalah
yellow tip (Axygen), blue tip (Axygen), white tip (Axygen), micropipet (Dlab), dan microtube.
2. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah sampel bakteri E. coli yang mengandung
plasmid yang memiliki gen imL1 dan imL2, kit ekstraksi plasmid (FavorPrepTM Plasmid Extraction
Mini Kit), agarose gel (Himedia), Nuclease Free Water (Thermo Fisher), TBE Buffer 1x, gelstain
(Biotium), marker 10kb, dan enzim restriksi (New England Biolabs Inc).
3. Cara kerja
3.1 Induksi protein rekombinan dengan IPTG
Bakteri transforman positif yang telah ditumbuhkan diambil satu ose kemudian dimasukkan ke
medium LB 5 ml + kanamycin 50 µg/mL kemudian diinkubasi pada shaker pada suhu 37oC selama
semalam. Lalu diambil 1 mL kemudian dimasukkan ke medium LB 25mL + kanamycin 50 µg/mL.
Kemudian diinkubasi lagi semalam di shaker 37oC. Setelah itu dimasukkan kembali sebanyak 5% dari
volume media LB baru (volume media LB 25 mL + kanamycin 50 µg/mL). Kemudian diinkubasi lagi
selama 30 menit dan diukur absorbansinya dengan panjang gelombang 600nm. Dilakukan inkubasi
hingga absorbansi mencapai 0,6. Kemudian ditambahkan IPTG dengan konsentrasi 0,1 mM (inkubasi
3 jam), 0,05 mM (inkubasi 3 jam), 0,01 (inkubasi 3 jam), kontrol positif dengan IPTG 0,1 mM (inkubasi
3 jam), dan 0,1 mM (inkubasi semalam). Masing-masing diinkubasi sesuai waktu inkubasi yang telah
ditentukan. Inkubasi dilakukan di shaker suhu 37oC.
3.2 Isolasi protein
Bakteri yang telah diinduksi dengan IPTG disentrugasi 5000 rpm 10 menit suhu 4oC kemudian
supernatant dibuang. Lalu ditambahkan PBS pH 7 sebanyak 1 mL lalu diresuspensi. Kemudian
ditambahkan PBS hingga 10 mL lalu disentrifugasi dengan kecepatan 5000 rpm 10 menit 4oC.
Kemudin dibuang supernatant. Setelah itu ditambahkan PBS 0,5 mL kemudian diresuspensi lagi setelah
itu dipindahkan ke conical tube 15 mL lalu disonikasi selama 30 detik sebanyak 8x. Sonikasi dilakukan
dengan cara memasukkan conical tube ke dalam es kemudian dilakukan sonikasi. Lalu dipindahkan ke
microtube 1,5 m lalu disentrifugasi kecepatan 13.000 rpm 5 menit suhu 4oC. Kemudian supernatant
diambil dan disimpan di microtube 1,5 mL. Kemudian dilakukan perhitungan konsentrasi protein
dengan spektrofotometri.
3.3 Pengukuran konsentrasi protein
Sebelum melakukan pengukuran konsentrasi protein perlu dibuat kurva standar. Kurva standar
dibuat dengan membuat larutan stok BSA 1 mg/mL. Kemudian disiapkan 6 kuvet yang masing-masing
diisi ddH2O 799. 798, 796. 792, 784, dan 768 µL. Kemudian pada masing-masing kuvet diisi larutan
stok BSA sebanyak 1, 2, 4, 8, 16, dan 32 µL. Kemudian masing-masing diisi Bradford protein assay
(Biorad) sebanyak 200 µL. Lalu masing-masing tabung divortex 5 detik. Untuk larutan blanko tidak
perlu ditambah BSA tetapi ditambahkan ddH20 800 µL. Kemudian masing-masing larutan diukur
absorbansinya pada Panjang gelombang 595 nm. Hasil yang keluar dibuat kurvanya. Setelah diketahui
kurvanya, kemudian dilakukan pengukuran konsentrasi protein hasil isolasi.
3.4 SDS-PAGE protein rekombinan
Visualisasi protein rekombinan dilakukan dengan SDS-PAGE. Terdapat dua gel yang digunakan
dalam SDS yaitu resolving gel 12% dan stacking gel 5%. Sebelum melakukan SDS-PAGE dilakukan
pembuatan kedua gel terlebih dahulu. Berikut tabel komposisi dari kedua gel tersebut.
Tabel 1 komposisi resolving gel 125 dan stacking gel 5%

Volume bahan
Bahan
Resolving gel 12% Stacking gel 5%
H2O 6,9 mL 2,7 mL
30% acrylamide 6 mL 0,67 mL
1.5 M Tris pH 8,8 3,8 mL -
1.0 M Tris-HCl pH 6,8 - 0,5 mL
10% APS 0,15 mL 0,04 mL
10% SDS 0,15 mL 0,04 mL
TEMED (dicampurkan 0,01 – 0,015 mL 0,004 mL
tepat sebelum gel
dimasukkan ke cetakan)
Volume Total 15 mL 3,95 mL

Setelah kedua bahan untuk membuat gel dicampurkan (TEMED belum dimasukkan), alat SDS-
PAGE disiapkan. Kemudian gel resolving dimasukkan ke dalam cetakan pada alat SDS-PAGE
menggunakan pipet, tetapi sebelum dimasukkan ke dalam cetakan TEMED dimasukkan terlebih dahulu
agar gel bisa mengental. Kemudian gel dibiarkan hingga membeku. Setelah gel membuka lalu gel
stacking dimasukkan ke cetakan menggunakan pipet tetapi sebelum dimasukkan gel ditambahkan
TEMED. Kemudian sisiran dimasukkan ke cetakan dan gel ditunggu hingga membeku.
Saat menunggu gel membeku, maka sampel yang akan divisualisasi disiapkan. Sampel
dicampur dengan sampel buffer. Rasio pencampuran sampel buffer dengan sampel adalah 80% sampel
dan 20% sampel buffer. Volume sampel yang dimasukkan ke dalam SDS-PAGE dan yang dicampur
dengan sampel buffer didasarkan atas konsentrasi masing-masing protein, konsentrasi akhir protein
yang dimasukkan ke sumuran (15 µg/µL), volume maksimal setiap sumuran (20-30 µL), dan volume
sampel buffer. Berdasarkan perhitungan tersebut, didapatkan volume masing-masing sampel yang
dimasukkan ke dalam SDS-PAGE pada tabel 2.
Tabel 2 Volume campuran sampel dan sampel buffer yang dimasukkan ke dalam SDS-PAGE
Konsentrasi Konsentrasi Volume Volume Sampel Volume
Perlakuan
Protein Akhir Protein Sampel Buffer Total
(Sampel)
(µg/µL) (µg/µL) (µL) (µL) (µL)
BL21 0,62 15 24,19 6 30,19
(Kontrol) 0,1 5,82 15 2,58 0,65 3,23
Mm IPTG
inkubasi
semalam
(Kontrol) 0,1 1,01 15 14,85 3,71 18,56
mM IPTG
inkubasi 3 jam
0 mM IPTG 0,75 15 20 5 25
0,1 mM IPTG 0,67 15 22,39 5,6 27,99
0,05 Mm IPTG 1,22 15 12,29 3,07 15,36
0,01 Mm IPTG 1,11 15 13,51 3,38 16,89
Campuran tersebut kemudian dipanaskan pada suhu 95oC selama 3-5 menit. terlebih dahulu.
Konsetrasi sampel yang tercampur dengan sampel buffer sekitar 20 µg/µL. Setelah sampel disiapkan
dan gel sudah membeku, selanjutnya sampel dimasukkan ke dalam sumuran SDS-PAGE yang telah
terbentuk (sisiran dicabut terlebih dahulu). Jumlah sampel yang dimasukkan sekitar 10 µL dan marker
yang dimasukkan sebanyak 3 µL. Kemudian dilakukan running 100 volt hingga sampel mencapai dasar
SDS-PAGE.
Setelah sampel mencapai dasar, gel di-staining dengan cara merendam gel dengan larutan
staining (commasive blue) selama semalam sembari di-shaker. Setelah itu larutan staining dibuang
untuk diganti dengan larutan destainning. Kemudian di-shaker kembali sekitar 30 menit kemudian
larutan destainning dibuang dan diganti dengan larutan destainning yang baru. Proses tersebut
dilakukan berulang-ulang hingga gel menjadi bersih. Kemudian gel dimasukkan ke wadah dan
ditambahkan asam asetat glasial 10% untuk difoto dan disimpan.
Gel poliakrilamid yang telah memadat kemudian dimasukkan ke dalam ruang elektrophoresis
protein dan digenangi dengan larutan TBE 2X hingga terendam. 10 mililiter sampel protein/pengisi
warna dan 3 mililiter pengisi warna protein marker dimasukkan ke dalam sumuran gel poliakrilamid.
Sampel protein yang telah ditambahkan x2 ke sampel buffer sebelumnya dipanaskan selama 3 hingga
5 menit pada suhu 95 derajat Celcius. Kemudian, sampel didinginkan.
D. Hasil dan Pembahasan
Hasil
1. Pengukuran kosentrasi protein rekombinan
Konsentrasi protein rekombinan diukur menggunakan spektrofotometri dengan panjang
gelombang 595 nm. Hasil yang didapatkan adalah absorbansi larutan. Konversi hasil spektrofotometri
menjadi konsentrasi protein dilakukan dengn bantuan kurva standar yang sudah dibuat sebelumnya
(Gambar 5).

Kurva Standar
1.5
y = 33.929x + 0.0237
R² = 0.9914
Absorbandi

OD
0.5
Linear (OD)

0
0 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05
Konsentrasi protein

Gambar 5 Kurva standar protein


Setelah didapatkan kurva standar, kemudian dilakukan perhitungan konsentrasi protein
berdasarkan kurva standar yang telah dibuat. Berikut hasil perhitungan konsentrasi protein yang
didapatkan.
Tabel 3 Hasil perhitungan konsentrasi protein
Konsentrasi Protein
Perlakuan (Sampel) Absorbansi
(µg/µL)
BL21 0,076 0,62
(Kontrol) 0,1 mM IPTG inkubasi semalam 0.518 5,82
(Kontrol) 0,1 mM IPTG inkubasi 3 jam 0,110 1,01
0 IPTG 0,087 0,75
0,1 mM IPTG 0,081 0,67
0,05 Mm IPTG 0,128 1,22
0,01 mM IPTG 0,118 1,11

2. Visualisasi protein rekombinan


Visualisasi protein rekombinan dilakukan menggunakan SDS-PAGE. Hasil protein rekombinan
yang berhasil diinduksi ditunjukkan dengan pita SDS-PAGE yang tebal (Gambar 6).

Gambar 6 Hasil SDS -PAGE


Pembahasan
Ekspresi protein rekombinan dibagi menjadi dua tahap utama yaitu upstream process dan
downstream process. Tahap upstream diawali dari tahap kloning Gene of Interest (GOI) kemudian
dilakukan induksi GOI. Tahap upstream pada praktikum ini dilakukan pada acara 2 hingga Sebagian
dari acara 3. Tahap downstream dilakukan dengan mulai tahap isolasi protein hingga purifikasi protein.
Pada praktikum ini hanya dilakukan proses isolasi protein, pengukuran konsentrasi, dan visualisasi
protein.
Sebelum dilakukan pengukuran konsentrasi protein rekombinan, perlu dilakukan uji solubilitas
protein rekombinan. Uji solubilitas protein bertujuan untuk mengetahui apakah protein rekombinan
diekspresikan intraseluler atau ekstraseluler. Protein ekstraseluler adalah protein yang diekspresikan
keluar sel, sedangkan protein intraseluler adalah protein yang diekspresikan di dalam sel. Uji solubilitas
dilakukan dengan memvisuliasi protein yang ada pellet dan supernatant menggunakan SDS-PAGE. Jika
protein intraseluler, protein diambil dari pellet dan protein perlu dipecah terlebih dahulu, sedangkan
pada protein ekstraseluler, protein diambil dari supernatant. Pada praktikum kali ini tidak dilakukan uji
solubilitas karena protein yang diekspresikan telah diketahui merupakan protein intraseluler (Salsabila
et al., n.d.).
Sel transforman E. Coli BL21(DE3) yang telah tumbuh di media LB agar yang ditambahkan
kanamycin diinduksi dengan IPTG untuk meningkat ekspresi protein yang dikode olehnya. Induksi
dilakukan dengan memberikan variasi penambahan IPTG dan variasi inkubasi. Variasi konsentrasi
IPTG yang ditambahkan adalah 0 mM; 0,1 mM; 0,01 mM; dan 0,05 mM. Variasi inkubasi dilakukan
dengan menginkubasi sel transforan positif di media yang mengandung 0,1 mM IPTG selama 3 jam
dan semalaman.
Hasil pengukuran konsentrasi menunjukkan bahwa terdapat perbedaan konsentrasi protein
yang dihasilkan pada variasi pemberian IPTG dan waktu inkubasi. Pada variasi pemberian IPTG,
ditunjukkan bahwa terdapat peningkatan konsentrasi protein pada sel yang diinduksi dengan IPTG
konsentrasi 0,1 mM dan 0,5 mM. Hal tersebut karena IPTG dapat menginduksi ekspresi gene of interest
pada plasmid.
Secara normal, protein dari GOI tidak diproduksi dalam jumlah besar karena terdapat repressor
yang menempel pada operator gen T7 RNA polymerase. Pemerian IPTG akan mencegah repressor
menempel pada operator gen T7 RNA polymerase, sehingga gen T7 RNA polymerase akan
ditranskripsi oleh RNA polymerase (Faust et al., 2015). T7 RNA polymerase yang sudah terekspresi
akan menempel pada promoter T7 yang ada di plasmid sehingga GOI bisa terekspresi. Oleh karena itu
semakin banyak IPTG yang digunakan maka semakin banyak pula protein yang terekspresi.
Pada pengukuran konsentrasi ditunjukkan bahwa GOI masih terekspresi saat tidak diberi IPTG.
Hal tersebut merupakan salah satu sifat alami dari host E. coli BL21(DE3), yaitu leaky expression. Host
sel tersebut bisa mengekspresikan GOI walaupun tidak diinduksi (tetapi dalam jumlah kecil). E. coli
BL21(DE3) tidak cocok untuk mengekspresikan protein-protein yang bersifat toksik karena sifat leaky
expression pada host sel bisa membuat host sel terkena toksin dari protein yang diekspresikannya
sendiri, walaupun belum diinduksi (Gheibihayat et al., 2018b). Oleh karena itu, ilmuwan membuat host
sel yang tidak memiliki sifat leaxy yaitu E. coli BL21(DE3) pLysS.
Pada pengukuran konsentrasi juga terlihat bahwa induksi pada 0,1 mM IPTG memiliki
konsentrasi protein yang sedikit lebi rendah. Hal tersebut karena IPTG yang terlalu banyak bisa menjadi
toksin utuk bakteri itu sendiri. Hal tersebut karena terdapat pemberian IPTG yang terlalu banyak
menyebabkan metabolic burden atau beban metabolisme (Dvorak et al., 2015).
Variasi waktu menunjukkan perbedaan pada ekspresi protein. Sel yang diinduksi semalaman
(konsentrasi IPTG 0,1 Mm) dan sel yang diinduski hanya 3 jam (konsentrasi IPTG 0,1 mM)
menunjukkan hasil ekspresi yang berbeda. Protein yang diinduksi semalam memiliki konsentrasi
protein yang lebih tinggi. Hal ini karena waktu induksi yang lebih lama akan membuat T7 RNA
polymerase bisa terekspresi lebih banyak sehingga GOI bisa terekspresi lebih banyak. (Hu et al., 2013).
Visualisasi protein rekombinan dilakukan dengan SDS-PAGE. Terdapat banyak pita pada hasil
visualisasi protein rekominan. Pita-pita tersebut adalah protein-protein yang diekspresikan oleh host
sel. Komparasi pita protein dengan marker menunjukkan ukuran protein yang diekspresikan. Pita
protein rekombinan ditunjukkan dengan pita antara 25 dan 37 kD.
Pada praktikum ini hanya sampel BL21 dan sampel yang tidak diinduksi dengan IPTG saja
yang tidak terlihat protein rekombinannya. Hal tersebut karena pada kedua sampel tersebut, tidak
dilakukan induksi menggunakan IPTG sehingga ekspresi protein rekombinan yang dihasilkannya cukup
kecil (Faust et al., 2015). Sampel BL21 merupakan sampel asli dari dosen yang tidak diinduksi dengan
IPTG, sedangkan sampel ‘-IPTG’ merupakan bakteri transforman positif yang tidak diinkusi oleh IPTG.
Ekspresi protein rekombinan tidak hanya dilakukan pada host sel prokariotik seperti E. coli, tetapi
juga dilakukan pada host sel eukariot seperti sel fungi dan sel mamalia. Contoh sel fungi yang banyak
digunakan untuk ekspresi protein adalah yeast dan Pichia pastoris (Karbalaei et al., 2020). Sistem
ekspresi pada sel eukariot dilakukan untuk mengatasi kelemahan dari sistem ekspresi prokariot, yaitu
ketiadaan folding protein pada protein yang diekspresikan oleh eukariot. Hal itu menyebabkan protein-
protein yang membutuhkan folding agar tidak bisa diekspresikan di prokariot.
E. Kesimpulan
1. Semakin tinggi konsentrasi IPTG pada induksi protein rekombinan akan meningkatkan ekspresi
protein rekombinan sampai tahap tertentu. Hal tersebut karena IPTG yang terlalu banyak
meyebabkan mtebaolism burden sehingga menjadi toksik bagi sel host.
2. Semakin lama waktu induksi IPTG akan meningkatkan ekspresi protein rekombinan.
3. Mahasiswa berhasil melakukan ekspresi protein rekombinan.

F. Daftar Pustaka
Aminian, M., Nabatchian, F., Vaisi-Raygani, A., & Torabi, M. (2013). Mechanism of Coomassie Brilliant
Blue G-250 binding to cetyltrimethylammonium bromide: An interference with the Bradford assay.
Analytical Biochemistry, 434(2), 287–291. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.ab.2012.11.014
Bhardwaj, N., Verma, V. K., Chaturvedi, V., & Verma, P. (2020). Cloning, expression and characterization
of a thermo-alkali-stable xylanase from Aspergillus oryzae LC1 in Escherichia coli BL21 (DE3).
Protein Expression and Purification, 168, 105551.
Dvorak, P., Chrast, L., Nikel, P. I., Fedr, R., Soucek, K., Sedlackova, M., Chaloupkova, R., de Lorenzo, V.,
Prokop, Z., & Damborsky, J. (2015). Exacerbation of substrate toxicity by IPTG in Escherichia coli
BL21 (DE3) carrying a synthetic metabolic pathway. Microbial Cell Factories, 14(1), 1–15.
Faust, G., Stand, A., & Weuster-Botz, D. (2015). IPTG can replace lactose in auto-induction media to
enhance protein expression in batch-cultured Escherichia coli. Engineering in Life Sciences, 15(8), 824–
829. https://doi.org/10.1002/ELSC.201500011
Gheibihayat, S. M., Farahani, N., Golichenari, B., & Sahebkar, A. (2018a). Recombinant Protein Expression
in Escherichia coli (E.coli): What We Need to Know. Current Pharmaceutical Design, 24.
https://doi.org/10.2174/1381612824666180131121940
Gheibihayat, S. M., Farahani, N., Golichenari, B., & Sahebkar, A. (2018b). Recombinant Protein Expression
in Escherichia coli (E.coli): What We Need to Know. Current Pharmaceutical Design, 24.
https://doi.org/10.2174/1381612824666180131121940
Hu, P. F., Li, X. C., Lei, N., Lan, X. Y., Zhao, Q. J., Guan, W. J., & Ma, Y. H. (2013). Study on characteristics
of chemokine CXCL10 gene cloned from cDNA expression library of Ujumqin sheep. BioMed
Research International, 2013.
Joseph, B. C., Pichaimuthu, S., Srimeenakshi, S., Murthy, M., Selvakumar, K., Ganesan, M., & Manjunath,
S. R. (2015a). An overview of the parameters for recombinant protein expression in Escherichia coli. J
Cell Sci Ther, 6(5), 221.
Joseph, B. C., Pichaimuthu, S., Srimeenakshi, S., Murthy, M., Selvakumar, K., Ganesan, M., & Manjunath,
S. R. (2015b). An overview of the parameters for recombinant protein expression in Escherichia coli. J
Cell Sci Ther, 6(5), 221.
Karbalaei, M., Rezaee, S. A., & Farsiani, H. (2020). Pichia pastoris: A highly successful expression system
for optimal synthesis of heterologous proteins. Journal of Cellular Physiology, 235(9), 5867–5881.
Nouroozi, R. V., Noroozi, M. V., & Ahmadizadeh, M. (2015). Determination of protein concentration using
Bradford microplate protein quantification assay. Disease and Diagnosis, 4(1), 11–17.
Ranjha, M. M. A. N., Irfan, S., Lorenzo, J. M., Shafique, B., Kanwal, R., Pateiro, M., Arshad, R. N., Wang,
L., Nayik, G. A., Roobab, U., & Aadil, R. M. (2021). Sonication, a potential technique for extraction
of phytoconstituents: A systematic review. Processes, 9(8). https://doi.org/10.3390/pr9081406
Rosano, G. L., & Ceccarelli, E. A. (2014). Recombinant protein expression in Escherichia coli: advances and
challenges. Frontiers in Microbiology, 5.
https://www.frontiersin.org/articles/10.3389/fmicb.2014.00172
Roy, V. K., Kumar, N. S., & Gurusubramanian, G. (2012). Proteins–structure, properties and their separation
by SDS-polyacrylamide gel electrophoresis. Sci Vis, 12(4), 170–181.
Salsabila, A. F., Tauchid, A., Rohman, M. S., Widianto, D., & Margino, S. (n.d.). Biophysical
characterization of folded state type II luciferase‐like monooxygenase. Indonesian Journal of
Biotechnology, 28(1), 37–45.
Sengar, A. S., Thirunavookarasu, N., Choudhary, P., Naik, M., Surekha, A., Sunil, C. K., & Rawson, A.
(2022). Application of power ultrasound for plant protein extraction, modification and allergen
reduction – A review. Applied Food Research, 2(2), 100219.
https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.afres.2022.100219
LAPORAN PRAKTIKUM
KUANTIFIKASI EKSPRESI GENETIK

Nama : Azmi Zaki Waliudin Althaf


NIM : 22/501101/PMU/11191
Kelompok : 1 (Lantai 2)

PROGRAM STUDI BIOTEKNOLOGI


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2023
A. Tujuan
1. Mahasiswa dapat memahami tahapan-tahapan yang terdapat dalam kuantifikasi ekspresi
genetik suatu gen.
2. Mahasiswa mampu melakukan, menganalisis, dan menginterpretasikan praktikum sehingga
dapat melakukan kuantifikasi ekspresi genetik suatu gen.
3. Mahasiswa mampu melaporkan secara tertulis hasil dari praktikum dan diksusi tentang
kuantifikasi ekspresi genetik suatu gen.

B. Dasar Teori
Dogma biologi terjadi pada seluruh organisme, baik prokariot maupun eukariot. Dogma biologi
menjelaskan mengenai proses ekspresi protein yang diawai dari transkripsi hingga translasi. Cara yang
bisa dilakukan untuk mengetahui keaktifan suatu gen adalah dengan melakukan kuantifikasi ekspresi
gen. Kuantifikasi ekspresi gen dilakukan dengan menghitung jumlah mRNA yang terbentuk.
Perhitungan terhadap jumlah mRNA yang terbentuk untuk kuantifikasi ekspresi gen dilakukan dengan
dasar bahwa setiap gen yang diekspresikan akan diubah menjadi RNA terlebih dahulu sehingga dengan
menghitung jumlah mRNA akan diketahui tingkat ekspresi gen.
Perhitungan ekspresi gen dilakukan dengan dua tahap utama yaitu isolasi RNA dan RT-qPCR.
Isolasi RNA bisa dilakukan dengan metode konvensional maupun menggunakan kit. Salah satu metode
ekstraksi RNA yang terkenal adalah metode Trizol yang berasal perusahaan Invitrogen (Afifah et al.,
2021). Metode Trizol memiliki beberapa reagen penting yaitu Trizol, kloroform, isopropanol, dan
Nuclease Free Water (NFW). Trizol berfungsi untuk melisiskan sel dan memisahkan antara organic
phase yang berisi protein dengan aquous phase yang berisi asam nukleat. Kloroform berfungsi untuk
memisahkan molekul polar dan non polar. Molekul polar akan akan berada di supernatant sedangkan
molekul non polar akan berada pellet. Pada isolasi RNA, supernatant yang akan diproses lebih lanjut
karena RNA bersifat karena sehingga berada di supernatan. Isopropanol berfungsi untuk mempresipitasi
RNA. Etanol berfungsi untuk proses washing, yaitu menghilangkan garam-garam yang digunakan
untuk proses purifikasi (pemisahan RNA dan protein). NFW digunakan untuk melarutkan RNA.
Setelah dilakukan isolasi RNA, tahap selanjutnya adalah kuantifikasi hasil isolasi RNA. Kuatifikasi
RNA dilakukan dengan Nanodrop atau spektrofotometri. Kuantifikasi dilakukan dengan menghitung
konsentrasi RNA serta mengukur kemurnian RNA. Kemurnian RNA diukur dengan membandingkan
hasil absorbansi sampel pada panjang gelombang 260 dan 230 (A260/230) serta membandingkan hasil
absorbansi sampel pada panjang gelombang 260 dan 280 (A260/280) (Escobar & Hunt, 2017). Hasil
isolasi RNA yang murni memiliki nilai A260/230 sebesar 1,8-2 dan nilai A260/280 sebesar 2,0. Nilai
A260/230 di bawah 1,8 menunjukkan bahwa hasil isolasi RNA masih terdapat banyak polisakarida
sedangkan jika nilai A260/230 di atas 2 berarti kontam DNA.
Setelah melakukan isolasi dan kuantifikasi RNA, dilakukan RT-qPCR. Prinsip RT-qPCR adalah
mengukur amplifikasi cDNA yang terjadi dengan mengukur pendaran fluorescence yang terjadi setiap
amplifikasi terjadi yang dinotasikan sebagai Cq. Terdapat dua jenis pendaran fluorescence yang bisa
dilakukan yaitu menggunakan SYBR Green dan probes (Kralik & Ricchi, 2017). Prinsip SYBR Green
adalah menyisip pada dsDNA sehingga akan terpendar saat ada DNA yang teramplifikasi (Thermo
Fisher Scientific, 2023). Prinsip probes adalah akan menempel pada sekuens tertentu pada DNA
kemudian saat terjadi amplifikasi probes akan terpecah sehingga akan mengeluarkan pendaran
fluorescence.
Terdapat dua jenis RT-qPCR yaitu one-step dan two-step RT-qPCR. One-step RT-qPCR adalah
melakukan kuantifikasi RNA secara langsung dalam satu proses tanpa melakukan pengubahan menjadi
cDNA terlebih dahulu, sedangkan two-step RT-qPCR dilakukan dengan mengubah RNA menjadi
cDNA terlebih dahulu. One-step RT-qPCR memiliki proses yang lebih cepat tetapi lebih rawan
dilakukan karena jika terjadi kesalahan dalam RT-qPCR maka harus dilakukan isolasi RNA kembali.
Two-step RT-qPCR memiliki proses yang lebih panjang tetapi lebih aman dilakukan karena jika
terdapat kesalahan dalam proses RT-qPCR maka peneliti masih memiliki sampel cDNA.
Sistem kuantifikasi dan perhitungan RT-qPCR ada dua yaitu kuantifikasi absolut dan kuantifikasi
relative. Kuantifikasi absolut adalah kuantifikasi yang dilakukan dengan mencocokkan hasil Cq pada
sampel dengan kurva standar pada kontrol yang telah diketahui. Kurva standar dibentuk dengan
membandingkan antara Cq pada kontrol dengan jumlah gen target yang sudah diketahui pada kontrol.
Kuantifikasi relative dilakukan dengan membandingkan Cq gen target dengan Cq gen referensi. Pada
kuantifikasi relative, tidak perlu dilakukan pembuatan kurva standar.
C. Metode
1. Alat
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum kali ini dibedakan menjadi dua yaitu alat-alat yang
menggunakan listrik dan yang tidak menggunakan listrik. Alat-alat yang menggunakan listrik adalah ),
qPCR (CFX96 Real-Time System BioRad), Nanodrop (Simplinano version 4505 V3.0.1), dan
Centrifuge 5430 R(Eppendor). Alat-alat yang tidak menggunakan listrik adalah yellow tip (Axygen),
blue tip (Axygen), white tip (Axygen), micropipet (Dlab), dan microtube
2. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah solution 1 (68 mM Na-citrate, 132 mM citric
acid, 1 mM EDTA, 2% SDS (w/v), 50 mL ddH2O), solution 2 (4 M NaCl, 16 mM Na-citrat, 32 mM
citric acid, 50 mL ddH2O), ReverTra AceTM qPCR RT Master with DNA Remover (TOYOBO),
ExcelTaqTM 2x qPCR Master Mix (SMOBIO), dan sampel daun tembakau (Nicotiana tabacum)
sebanyak 3-4 lembar.
3. Cara kerja
3.1 Isolasi DNA
Terdapat beberapa tahapan dalam isolasi RNA. Pertama, 3-4 lembar sampel berupa daun
ditambahkan solution 1 sebanyak 600 µL. Kemudian dihaluskan menggunakan pestle. Setelah itu
diinkubasi selama 5 menit pada suhu ruang. Lalu ditambahkan 200 µL solution 2 kemudian diinversi.
Setelah itu dilakukan inkubasi di es selama 10 menit. Lalu disentrifugasi 13.000 rpm selama 10 menit.
Kemudian dipindahkan 600 µL supernatant ke tube 1,5 mL yang baru. Lalu disentrifugasi 13.000 rpm
10 menit lagi, lalu supernatan sebanyak 500 µL dipindahkan ke tube 1,5 mL yang baru. Kemudian
ditambahkan 500 µL isopropanol, lalu disentrifugasi 13.000 rpm selama 4 menit. Lalu ditambahkan
900 µL EtOH 70% kemudian diinversi. Lalu disentrifugasi 13.000 rpm selama 2 menit. Kemudian
supernatant dibuang. Kemudia diatmbahkan 900 µL EtOH 70% lagi lalu disentrifugasi 13.000 rpm 2
menit. Setelah itu supernatant dibuang. Kemudian disentrifugasi 13.000 rpm 30 sekon. Kemudian pellet
didinginkan dan ditambahkan 25 µL NFW.
3.2 Kuantifikasi konsentrasi RNA
Uji kuantitas RNA menggunakan Nanodrop dilakukan dengan beberapa tahap yaitu alat dinyalakan
kemudian ditunggu sekitar 20 menit. Lalu NFW atau larutan pelarut RNA diteteskan sebanyak 2 µl.
Kemudian diukur sebagai larutan blanko. Kemudian larutan RNA diteteskan sebanyak 2 µl untuk
diukur konsentrasi dan kemurniannya.
3.3 Pengubahan RNA menjadi cDNA
Pengubahan RNA menjadi cDNA dilakukan menggunakan PCR. Langkah yang dilakukan untuk
mengubah RNA menjadi cDNA hampir sama dengan PCR biasa tetapi terdapat beberapa perbedaan.
Mix yang digunakan adalah ReverTra AceTM qPCR RT Master with DNA Remover (TOYOBO).
Langkah pertama adalah mencampurkan RNA dengan reagen 1 (Tabel 1). Kemudian diinkubasi
pada suhu 37oC selama 5 menit, kemudian ditambahkan reagen II, lalu diinkubasi di dalam mesin PCR
pad suhu 37oC selama 15 menit kemudian diinkubasi lagi di mesin PCR pada suhu 50oC selama 5 menit,
lalu diinkubasi lagi pada suhu 98oC selama 5 menit. Setelah dilakukan inkubasi maka RNA di cDNA
sudah berubah menjadi cDNA.
Tabel 1. Komposisi reagen I

Volume
Bahan
Reagen I Reagen II
gDNA remover + 4x DN Master Mix 2 µL -
RNA template X µL (0,5 pg – 0,5 µg) -
NFW 6 – X µL -
Reagen I - 8 µL
5x RT Master Mix II - 2 µL
Total 8 µL 10 L

3.4. Kuantifikasi ekspresi gen


Kuantifikasi ekspresi gen menggunakan qPCR. cDNA dicampur dengan master mix dan bahan-
bahan yang lain (Tabel 2). Mix qPCR yang digunakan adalah ExcelTaqTM 2x qPCR Master Mix
(SMOBIO). Setelah dilakukan percampuran, kemudian dimasukkan ke dalam mesin qPCR dengan
pengaturan mesin qPCR berupa predenaturasi 95oC 2 menit, denaturasi 95oC 15 detik, dan annealing
55oC 1 menit selama 34 siklus.
Tabel 2 Komposisi qPCR
Bahan Volume
Master Mix 5 µL
Primer F 1 µL
Primer R 1 µL
NFW 2 µL
Template cDNA 1 µL → diencerkan 10x
Total 10 µL

Hasil qPCR yang digunakan untuk mengetahui tingkat ekspresi gen dengan metode kelimpahan
relative adalah CT atau Cq. Tingkat ekspresi gen dibaca dengan membandingkan hasil dari kontrol
(WT) dengan perlakuan 1 (AL1) dan 2 (AL2). Perhitungan yang digunakan dijabarkan dalam tabel
berikut.
Tabel 3. Perhitungan hasil qPCR

Besaran Perhitungan
∆CT ∆CT = rerata Cq gen target − rerata Cq gen referensi
∆∆CT ∆∆CT = ∆CT gen target − ∆CT gen referensi
2−∆∆CT (level ekspresi gen) 2 −∆∆CT
= 2−∆∆CT dari gen target dan gen referensi
−∆∆CT
(Jika 2 kurang dari 1 maka dihitung dengan rumus
−1
2−∆∆CT
D. Hasil dan Pembahasan
Hasil
Setelah melakukan isolasi RNA, sampel RNA dikuantifikasi konsentrasinya menggunakan
Nanodrop. RNA yang memiliki konsentrasi tertinggi diubah menjadi cDNA kemudian dilakukan qPCR.
Hasil kuantifikasi konsentrasi RNA ditunjukkan pada tabel berikut.
Tabel 4. Hasil isolasi RNA
Konsentrasi
Lantai Sampel A260/230 A260/280
(ng/µL)
WT Ulangan 1 0,75 2,130 1,885
AL1 Ulangan 1 10,79 2,087 1,838
AL2 Ulangan 1 10,23 2,078 1,944
1
WT Ulangan 2 1,28 2,194 1,919
AL1 Ulangan 2 0,91 2,009 1,951
AL2 Ulangan 2 24,67 2,102 1,874
WT Ulangan 1 0,89 2,111 1,894
AL1 Ulangan 1 1,23 2,048 1,819
AL2 Ulangan 1 0,79 2,179 1,974
2
WT Ulangan 2 0,09 2,035 1,906
AL1 Ulangan 2 4,68 2,181 1,854
AL2 Ulangan 2 0,40 2,149 1,832
WT Ulangan 1 0,85 2,166 1,852
AL1 Ulangan 1 128,36 2,037 1,748
AL2 Ulangan 1 38,83 2,077 1,780
3
WT Ulangan 2 32,16 2,156 2,033
AL1 Ulangan 2 63,51 2,077 1,846
AL2 Ulangan 2 0,93 2,001 1,896

Hasil qPCR berupa kurva dan tabel yang kemudian dianalisis untuk mengetahui jumlah RNA
yang tertranskripsi. Terdapat 3 kurva pada hasil qPCR, yaitu amplification, melt curve, dan melt peak
(Gambar 1). Hasil berupa Cq dijabarkba dan dihitung menggunakan tabel (Tabel 5) dan divisualisasi
dengan grafik (Gambar 2).
Gambar 1 Kurva hasil qPCR
Tabel 5. Hasil perhitungan qPCR

Sampel Ulangan CT gen referensi (EF1a) CT gen target ∆CT ∆∆CT 2−∆∆CT
(ChLM)

Kontrol (WT) 1 24,38 27,00 1,51 0 1

2 25,63 26,05

Rerata 25,01 26,52

AL1 1 22,83 20,56 -1,71 -3,22 9,32

2 22,66 21,50

Rerata 22,47 21,03

AL2 1 23,13 26,34 3,62 2,11 -4,35

2 22,19 26,21

Rerata 22,66 26,28


Gambar 2 Visualisasi level ekspresi gen Chlm
Pembahasan
Pengujian RT-qPCR merupakan pengujian yang berfungsi untuk melihat level ekspresi dari
sebuah gen atau untuk melihat jumlah gen tertentu yang ada pada sampel. Terdapat dua pengujian
menggunakan RT-qPCR yaitu kelimpahan relative dan kelimpahan absolut (Kralik & Ricchi, 2017).
Kelimpahan relative adalah mengukur kelimpahan ekspresi relative dari suatu gen target yang
dibandingkan dengan gen referensi. Kuantifikasi relative banyak digunakan untuk mengetahui tingkat
ekspresi gen yang telah di-over ekspresi atau di-knock down. Contohnya pada gen SbMyb60 yang di-
over ekspresikan (Scully et al., 2016). Kemudian diukur menggunakan RT-qPCR. Sedangkan
kelimpahan absolut adalah mengukur kelimpahan suatu gen dari sebuah sampel yang dibandingkan
dengan kurva standar. Contohnya adalah mengukur jumlah gen antimikroba yang ada di suatu sampel
atau mendeteksi adanya virus Covid-19 di suatu sampel.
Kuantifikasi ekspresi genetik menggunakan RT-qPCR dilakukan melalui beberapa tahap.
Pertama adalah isolasi RNA kemudian mengubah RNA menjadi cDNA lalu dilakukan qPCR. Tahapan-
tahapn tersebut harus memenuhi 11 golden rules atau aturan emas RT-qPCR agar hasil yang didapatkan
dapat dipercaya atau bisa dipertanggung jawabkan (Udvardi et al., 2008). Pertama, sampel diambil
dengan 3 ulangan di mana setelah dilakukan pengambila sampel disimpan di freezer -80oC. Kedua, hasil
isolasi RNA yang akan digunakan memiliki konsentrasi dan kemurnian tinggi (A260/230: >2,0 dan
A260/280: >1,8). Ketiga, RNA harus ditambahkan DNAse untuk memastikan tidak ada DNA yang
terikut di sampel RNA. Keempat, RNA diubah dulu menjadi cDNA menggunakan RT-PCR dengan
enzim reverse transcriptase. Kelima, menguji konsentrasi dan kualitas cDNA dengan qPCR. Keenam,
melakukan design primer untuk qPCR dari gen target. Ketujuh, meminimalisir kesalahan pipetting
dengan cara memerhatikan cara dan alat yang digunakan untuk pipetting. Kedelapan, menggunakan
lebih dari satu gen referensi untuk qPCR, kemudian dipilih yang terbaik untuk menjadi gen referensi.
Kesembilan, melakukan qPCR. Kesepuluh, memiliki gen referensi yang terbaik dari berbagai gen
referensi yang digunakan. Kesebelas, menghitung hasil qPCR.
Langkah pertama setelah melakukan pengambilan sampel yang dikerjakan oleh praktikan pada
praktikum ini adalah melakukan isolasi RNA. Isolasi RNA dilakukan tanpa menggunakan kit (manual).
Hasil isolasi RNA ditunjukkan dengan tabel …. Terdapat beberapa sampel yang memiliki konsentrasi
RNA kecil. Hal tersebut kemungkinan karena saat melakukan langkah awal isolasi RNA, yaitu
penggerusan tidak dilakukan dengan baik. Sampel daun yang digunakan tidak tergerus dengan
sempurna sehingga sel tidak lisis dengan sempurna. Tahap lisis merupakan tahap yang penting dalam
isolasi DNA atau RNA. Jika tahap lisis tidak berlangsung dengan sempurna maka hasil akhir RNA atau
DNA juga tidak banyak(Rodríguez & Vaneechoutte, 2019).

Kemurnian hasil isolasi RNA dapat dilihat menggunakan Nanodrop. Mayoritas hasil isolasi
memiliki RNA yang murni. Nilai A260/230 mayoritas sampel adalah sekitar 2. Hal tersebut berarti
sampel bebs dari kontaminasi polisakarida. Sedangkan nilai A260/280 mayoritas sampel adalah 1,8-2.
Hal tersebut berarti sampel bebas dari kontaminasi DNA ataupun protein (Escobar & Hunt, 2017).

Setelah melakukan isolasi RNA, tahap selanjutnya adalah mengubah RNA menjadi cDNA.
Pengubahan RNA menjadi cDNA dilakukan menggunakan RT-PCR. Setelah RNA diubah menjadi
cDNA, tahap selanjutnya adalah melakukan optimasi primer dari gen target. Primer dioptimasi untuk
memastikan bahwa primer spesifik (hanya mengamplifikasi sekuens DNA tertentu saja). Amplifikasi
primer dilakukan dengan melihat melt curve dan melt peak dari qPCR.
Pada praktikum kali ini primer sudah dioptimasi sehingga primer sudah dipastikan spesifik,
sehingga tahapan langsung ke pengujian sampel. Terdapat 3 sampel yang digunakan dalam praktikum
ini yaitu WT (Wild Type), AL1, dan AL2. Sampel WT merupakan sampel kontrol, yaitu sampel yang
tidak diberi perlakuan, sedangkan sampel AL1 dan AL2 merupakan sampel yang diberi perlakuan.
Perlakuan pada sampel AL1 adalah overekspresi, sedangkan perlakuan sampel AL2 adalah knock out.
Terdapat dua gen yang referensi yang digunakan yaitu EF-1α dan UBC2. Kedua gen tersebut dipilih
sebagai gen referensi karena diketahui bahwa kedua gen tersebut selalu diekspresikan oleh tumbuhan
dalam jumlah yang tetap (housekeeping gene) sehingga bisa dijadikan referensi untuk perhitungan level
ekspresi gen target (Kozera & Rapacz, 2013). Contoh gen referensi yang bisa dipakai pada tumbuhan
selain kedua gen tersebut adalah gen GAPDH dan 18s rRNA.
Hasil melt curve dan melt peak dari praktikum ini menunjukkan bahwa hampir seluruh primer
yang digunakan merupakan primer yang spesifik. Hal tersebut dilihat dari melt curve dan melt peak
yang memiliki bentuk yang seragam. Melt peak pada seluruh primer praktikum ini memiliki satu puncak
hal tersebut berarti primer yang digunakan spesifik. Melt curve menunjukkan suhu melting atau
temperature melting (Tm) dari suatu primer (Dufresne et al., 2006). Tm adalah suhu di mana 50% DNA
atau cDNA terdisosiasi menjadi ssDNA atau sscDNA. Pada praktikum kali ini digunakan 3 primer (2
primer gen referensi dan satu primer gen target) yang masing-masing ditunjukkan dengan warna yang
berbeda. Primer gen Chlm (merah), EF-1α (biru), dan UBC2 (merah muda). Berdasarkan melt curve
dapat diketahui bahwa Tm ketiga primer tersebut adalah 78-79oC. Hal tersebut dilihat dengan
membandingkan antara sumbu Y (suhu) dan sumbu Y (jumlah DNA yang teramplifikasi).
Hasil kelimpahan relative yang didapat dari praktikum ini dihitung menggunakan metode livak
untuk mengetahui level ekspresi gen target (Kralik & Ricchi, 2017). Prinsip utama dari metode livak
adalah membandingkan level ekspresi gen referensi dengan gen target. Pada praktikum ini gen referensi
yang dipakai hanya gen EF-1α karena gen referensi UBC2 kurang spesifik. Hal ini ditunjukkan dengan
melt peak gen UBC2 yang tidak tunggl (terdapat puncak kecil dari gen UBC2).
Perhitingan kelimpahan relative dilakukan dengan melihat Cq dari gen referensi dan gen target
kemudian dihitung kelimphanya dengan rumus metode livak. Hasil menunjukkan bahwa sampel AL1
memiliki level ekspresi gen 9,32 kali lebih tinggi dibandingkan gen referensi, sedangkan sampel AL2
memiliki level ekspresi gen 4,35 kali lebih rendah dibandingkan level ekspresi gen referensi. Hal
tersebut karena gen Chlm sampel AL1 di-overekspresi sehingga memiliki level ekspresi lebih tinggi
sedangkan gen Chlm sampel AL2 di-knock out sehingga level ekspresinya lebih rendah (Scully et al.,
2016). Sampel WT yang tidak diberi perlakuan apa-apa menjadi kontrol yang menunjukkan level
ekspresi gen Chlm pada kondisi normal.
E. Kesimpulan
1. Tahapan kuantifikasi ekspresi gen meliputi isolasi RNA, pengukuran kuantitias konsentrasi
RNA, mengubah RNA menjadi cDNA, dan melakukan pengukuran ekspresi gen dengan qPCR.
2. Hasil isolasi RNA mayoritas menunjukkan konsentrasi RNA yang rendah karena proses lisis
yang kurang sempurna tetapi memiliki kemurnian yang tinggi.
3. Sampel AL1 memiliki tingkat ekspresi gen Chlm 9,32 kali lebih tinggi dibandingkan sampel
kontrol (WT) sedangka sampel AL2 memiliki tingkat ekspresi 4,35 kali lebih rendah
dibandingkan sampel kontrol.

F. Daftar Pustaka
Afifah, A., Nounurai, P., Ferniah, R. S., Kusumaningrum, H. P., Wulandari, D., & Budiharjo, A. (2021). An
Optimised TRIzol-based Protocol for the Improvement of RNA Extraction Yield of Tomato Stem.
Pertanika Journal of Tropical Agricultural Science, 44(3).
Dufresne, S. D., Belloni, D. R., Wells, W. A., & Tsongalis, G. J. (2006). BRCA1 and BRCA2 mutation
screening using SmartCycler II high-resolution melt curve analysis. Archives of Pathology &
Laboratory Medicine, 130(2), 185–187.
Escobar, M. D., & Hunt, J. L. (2017). A cost-effective RNA extraction technique from animal cells and tissue
using silica columns. Journal of Biological Methods, 4(2).
Kozera, B., & Rapacz, M. (2013). Reference genes in real-time PCR. Journal of Applied Genetics, 54, 391–
406.
Kralik, P., & Ricchi, M. (2017). A basic guide to real time PCR in microbial diagnostics: definitions,
parameters, and everything. Frontiers in Microbiology, 8, 108.
Rodríguez, A., & Vaneechoutte, M. (2019). Comparison of the efficiency of different cell lysis methods and
different commercial methods for RNA extraction from Candida albicans stored in RNAlater. Bmc
Microbiology, 19(1), 1–10.
Scully, E. D., Gries, T., Sarath, G., Palmer, N. A., Baird, L., Serapiglia, M. J., Dien, B. S., Boateng, A. A.,
Ge, Z., Funnell-Harris, D. L., Twigg, P., Clemente, T. E., & Sattler, S. E. (2016). Overexpression of
SbMyb60 impacts phenylpropanoid biosynthesis and alters secondary cell wall composition in
Sorghum bicolor. The Plant Journal, 85(3), 378–395. https://doi.org/https://doi.org/10.1111/tpj.13112
Thermo Fisher Scientific. (2023, June 20). Trust your SYBR Green qPCR Data.
https://www.thermofisher.com/blog/behindthebench/trust-your-sybr-green-qpcr-
data/#:~:text=How%20does%20SYBR%20Green%20work,stranded%20DNA%20as%20it%20forms.
Udvardi, M. K., Czechowski, T., & Scheible, W.-R. (2008). Eleven golden rules of quantitative RT-PCR.
The Plant Cell, 20(7), 1736–1737.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai