net/publication/375491239
CITATIONS READS
0 102
1 author:
Suparman Suparman
Universitas Tadulako
39 PUBLICATIONS 17 CITATIONS
SEE PROFILE
All content following this page was uploaded by Suparman Suparman on 01 February 2024.
Penulis:
Dr. Suparman, SE, M.Si
Editor:
Anneu Fitriyanti, S.Pd.,
ISBN:
978-623-8298-15-0
Pendesain Cover:
Ifat Fathurrahman
Penerbit:
EDU PUBLISHER
Jl. Tamansari Km. 2,5 Kota Tasikmalaya, Jawa Barat
Website : www.edupublisher.co.id
Instagram : @edupublisher1
Whatsapp : 0853 5170 2656 (WA only)
Anggota IKAPI No. 352/Anggota Luar Biasa/JBA/2020
Penulis
EKONOMI HIJAU v
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
vi EKONOMI HIJAU
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................... v
DAFTAR ISI.................................................................................. vii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................ 1
1.1 Konteks Historis Ekonomi Hijau ............................................. 1
1.2 Wacana Ekonomi Hijau ........................................................... 2
1.2.1 Aliran Inkrementalis ......................................................... 4
1.2.2 Aliran Reformis ................................................................ 6
1.2.3 Aliran Transformatif ......................................................... 9
1.3 Transisi Menuju Ekonomi Hijau ........................................... 11
1.4 Ekuitas Ekonomi Hijau ......................................................... 13
EKONOMI HIJAU ix
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
14.4 Sektor Transportasi............................................................ 159
14.5 Sektor Pariwisata ............................................................... 160
x EKONOMI HIJAU
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
EKONOMI HIJAU xi
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
BAB I PENDAHULUAN
Ide dan gagasan tentang ekonomi hijau (green economy) hampir
sama dengan ide dan gagasan tentang keberlanjutan dan pembangunan
berkelanjutan, yang secara terus menerus menarik perhatian dan
aktual diperdebatkan dan didiskusikan (Mebratu, 1998; Connelly,
2007; Huberty et al 2011). Awalnya ekonomi hijau dikemukakan
Pearce et al (1989) dan dipopulerkan lembaga-lembaga multilateral
seperti United Nations Environment Programme (UNEP) dan
International Labour Organization (ILO). Dimana, ekonomi hijau
dipandang sebagai seperangkat alat di bidang ekonomi untuk
mengoperasionalisasikan cita-cita pembangunan berkelanjutan
(Yakub, 2012). Namun, konsep ekonomi hijau terus berkembang dan
memiliki ruang lingkup yang lebih luas serta menjadi perebutan
berbagai pihak dalam menginterprestasikan dan menerjemahkannya
(Benson & Greenfield, 2012).
Paradigma dan konsep ekonomi hijau semakin jelas pada tahun
2012, ketika dilaksanakan Konferensi PBB tentang Pembangunan
Berkelanjutan di Rio de Jeneiro (Rio+20), dimana terdapat perbedaan
jelas posisi antara negara-negara maju dengan negara-negara
berkembang. Konferensi pembangunan berkelanjutan pertama di Rio
de Jeneiro 20 tahun sebelumnya di mana negara-negara berkembang
berusaha memberikan tekanan dan tuntutan yang lebih besar pada
tujuan sosial secara umum, dan secara khusus untuk pengentasan
kemiskinan (Connelly, 2007; Brand, 2012).
1.1 Konteks Historis Ekonomi Hijau
Konsep ekonomi hijau terus menjadi bahan perdebatan dan
diskursus sampai terjadinya krisis keuangan global tahun 2008, yang
bertepatan dengan krisis sosial dan lingkungan yang semakin tinggi
dan massif. Konsep ekonomi hijau sehingga mendorong menjadi
kebijakan arus utama. Majelis Umum PBB dan badan-badan lainnya
melihat krisis keuangan tersebut, sebagai kesempatan untuk
memasukkan investasi hijau sebagai paket kebijakan stimulus
pemulihan ekonomi (Ocampo et al, 2011). Dimana, ekonomi hijau
menjadi salah satu dari dua tema utama di konferensi Rio+20. Konsep
ekonomi hijau memunculkan kelompok pro dan kontra dari
masyarakat sipil dan spektrum politik.
Kelompok konservatif mengeluhkan tekanan aspek hijau
dengan mengorbankan pertumbuhan, sementara kelompok progresif
khawatir konsep ekonomi hijau hanya sebagai business as usual
dibanding dengan pergeseran paradigma mendasar dalam ekonomi
EKONOMI HIJAU 1
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
makro. Pada saat yang sama, kelompok negara-negara berkembang
menyuarakan keprihatinan mengenai potensi dan implikasi dengan
diadopsinya konsep ekonomi hijau secara besar-besaran. Secara
khusus, negara-negara tersebut menganggap akan terjadi pengrusakan
atas hak-hak kedaulatan. Sementara itu, untuk menangani masalah
sosial dan ekonomi dengan keharusan untuk mengejar pertumbuhan
yang selaras dengan ketersediaan sumber daya. Negara-negara
tersebut juga kuatir terhadap kurang terwakilinya kelompok minoritas.
Dimana, konsep ekonomi hijau akan digunakan kelompok negara
maju sebagai bentuk proteksi (Resnick et al., 2012), sehingga
dianggap bahwa komitmen negara-negara maju untuk membantu
negara-negara berkembang dalam mengejar pembangunan
berkelanjutan akan berkurang. Negara berkembang menuntut
pengentasan kemiskinan menjadi isu terdepan dan ekonomi hijau
dipahami dalam konteks pembangunan berkelanjutan (Group of 77
China, 2011).
1.2 Wacana Ekonomi Hijau
Kehadiran ekonomi politik di dalam ekonomi hijau menjadi
perdebatan penting dalam percaturan ekonomi secara global. Ekonomi
politik mendorong lingkungan strategis dan pengambilan keputusan.
Di dalam perdebatan ini, terjadi tumpang tindih dan interpretasi yang
berbeda-beda. Munculnya wacana yang diterima secara luas dan
menjadi dasar premis ekonomi hijau, yaitu kekuatan ekonomi harus
dapat dimanfaatkan secara lebih baik dalam mewujudkan tujuan
keberlanjutan. Wacana-wacana tersebut dirumuskan berdasarkan
perbedaan, kontradiksi, dan kebingungan berkaitan dengan penerapan
konsep ekonomi hijau yakni: inkrementalis (incrementalist); reformis
(reformist); dan transformatif (transformative) yang disajikan pada
tabel sebagai berikut.
Tabel 1.1 Diskursus Konsep Ekonomi Hijau
Diskursus Perbedaan
Incremantalist 1. Pro-Pertumbuhan, konsisten dengan
paradigma ekonomi;
2. Menghindari biaya lingkungan (seperti
pajak emisi) akan menyebabkan
terajadinya pertumbuhan lambat dan
krisis dalam jangka pendek;
3. PDB tidak tertandingi dan ketepatan
pengukuran;
4. Tidak jelas pernyataan tentang batas
lingkungan (meskipun efisiensi menjadi
pebekanan);
2 EKONOMI HIJAU
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
5. Kesempatan kerjaa melalui manufaktur
dan teknologi berkaitan dengan efisiensi
lingkungan
Reformist 1. Pro-Pertumbuhan dengan meningkatkan
dan mempertahankan paradigma
ekonomi;
2. Biaya kelambanan penting untuk jangka
Panjang dan sumber-sumber kekayaan
baru (seperti jasa ekosistem) tersedia
untuk pertumbuhan berkelanjutan;
3. Tambahan indikator-indikator nilai
dibutuhkan untuk digunakan saat ini
(seperti melampau produk domestik
bruto/PDB);
4. Mengakui beberapa batas lingkungan
(seperti pengurangan bahan bakar fosil)
dan mendukung pemisahan secara
relatif;
5. Pengembalian kondisi sosial dengan
penekanan pada pekerjaan hijau
trermasuk melalui manajemen sumber
daya alam dan perubaha gaya hidup
(seperti kota-kota dan produk hijau;
Transformative 1. Pro-Pembangunan (defisinsi lebih luas
dari sekedar pertumbuhan PDB) untuk
negara-negara berkembang;
pertumbuhan nol atau penurunan
pertubuhan sangat tetap untuk negara-
negara maju;
2. Permintaan perhatian lebih pada hak
asasi manusia, termasuk suara minoritas
dalam perdebatan ekonomi hijau;
3. Penekanan pemisahan secara absolut
dibandingkan relatif;
4. Menyarankan pengukuran alternatif,
termasuk mempertimbangkan konsepsi
secara lebih luas masyarakat yang lebih
baik;
5. Peringatan kembali teknologi sebagai
obat mujarab, risiko kelebihan
konsumsi, risiko sosial dan komunitas
ekologis.
EKONOMI HIJAU 3
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
Wacana inkrementalis berpusat pada upaya meminimalkan
dampak pembangunan dan pertumbuhan ekonomi terhadap kerusakan
lingkungan. Sementara itu, kaum reformis memiliki batasan jangan
sampai terjadi degradasi lingkungan dengan menekankan dan
menawarkan peluang dimana ekonomi hijau secara aktif dalam
mendorong pertumbuhan ekonomi, membawa perbaikan nilai sosial
dan lingkungan. Sebaliknya, kaum transformatif lebih berfokus pada
pergeseran paradigma yang mendasar, dan menuntut konsep
pertumbuhan didefinisikan kembali dan diperluas dengan
menekankan lebih besar pada isu-isu yang berkaitan dengan hak asasi
manusia (HAM). Konstruksi dari ketiga wacana tesebut secara
komprehensif memberikan interpretasi yang berbeda-beda tentang apa
yang harus dikemukakan bagi pendukung maupun pengkritik ekonomi
hijau, seharusnya tidak menjadi premis utama dalam debat ekonomi
hijau. Dalam realitasnya, perspektif ekonomi hijau menempati posisi
yang berbeda-beda, dan terdapat beberapa kasus interpretasi bersifat
ekstrem. Dari ketiga wacana tersebut tidak terdapat satu pun wacana
yang mewakili pandangan dari organisasi tertentu.
1.2.1 Aliran Inkrementalis
Kelompok incrementalist menyatakan tafsiran ekonomi hijau
ditentukan berdasakan luasnya penerimaan terhadap paradigma
ekonomi makro, dan menyerukan penggunaan mekanisme pasar untuk
menginternalisasi eksternalitas lingkungan. Secara umum, pandangan
ini dipahami sebagai dorongan untuk menghijaukan apa yang disebut
sebagai ekonomi coklat terutama melalui sarana ekonomi. Misalnya,
pajak lingkungan dan skema perdagangan diusulkan sebagai
mekanisme dalam mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dan
polusi lainnya ke tingkat lebih efisien melalui mekanisme pasar.
Dengan demikian, pendukung inkremental ini berusaha untuk tidak
mempertimbangkan kembali interpretasi konvensional tentang
pertumbuhan dan menentang sistem kapitalis, melainkan untuk
meningkatkan mitigasi terhadap dampak lingkungan, sebagian besar
dengan mengurangi biaya dan memastikan peluang melanjutkan
pertumbuhan. Perubahan yang diinginkan secara sederhana dan
bertahap serta berusaha untuk melakukan eksternalitas lingkungan
(emisi GKR) dalam lingkup paradigma yang ada, daripada sekedar
untuk mempertimbangkan kembali paradigma ekonomi hijau tersebut
secara tersendiri. Meskipun, tidak secara eksklusif untuk
inkrementalis, konsep pertumbuhan hijau mencerminkan banyak
prinsipnya, seperti yang ditekankan dalam definisi, bahwa
pertumbuhan hijau mengacu pada: penciptaan lapangan kerja atau
pertumbuhan PDB yang sesuai dengan atau didorong dengan tindakan
4 EKONOMI HIJAU
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
untuk mengurangi emisi GRK, termasuk pertumbuhan ekonomi yang
juga harus memberikan perlindungan terhadap lingkungan secara
signifikan (Huberty et al., 2011; Yakub, 2012).
Konsep pertumbuhan hijau menyatakan kepatuhan yang kuat
terhadap pemahaman ekonomi klasik tentang bagaimana
pembangunan harus didefinisikan dan kemakmuran dinilai. Di dalam
interpretasi ini, pembangunan disamakan dengan pertumbuhan
ekonomi yang pada gilirannya dipandang dan terutama melalui
pertumbuhan fisik material. Premis dasar yang mendasari wacana
inkrementalis bahwa biaya untuk menangani kerusakan lingkungan
berada di bawah tingkat pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu,
beberapa tingkat perlindungan terhadap aspek lingkungan dianggap
cocok (kompatibel) dengan pertumbuhan ekonomi (Daly, 2008;
Jacobs, 2012; Huberty et al, 2011).
Dalam pandangan aliran inkrementalis bahwa pertumbuhan
ekonomi secara umum dilihat sinonim dengan pembangunan,
sedangkan PDB sebagai ukuran kemajuan (Fioramonti, 2013).
Pertumbuhan ekonomi didefinisikan sebagai nilai pasar barang dan
jasa yang diproduksi dalam suatu perekonomian dalam waktu tertentu,
sementara itu PDB memiliki keterbatasan kemampuan untuk
menciptakan kekayaan dalam jangka panjang dan sebagai kontributor
non-pasar bagi kesejahteraan, seperti untuk kesehatan, rekreasi, dan
ekonomi informal lainnya. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi
dapat dipahami sebagai faktor yang mendorong peningkatan produksi
dan konsumsi barang-barang hijau untuk kemajuan masyarakat secara
luas. Dalam model ekonomi hijau, dimana manfaat ekonomi sebagian
besar berasal dari berkurangnya efek GKR dan emisi lainnya, yang
menghambat kemampuan ekonomi untuk bertumbuh terutama dalam
jangka panjang (misalnya dampak perubahan iklim pada pertumbuhan
tanaman). Dampak diharapkan dari perubahan iklim dapat
mengakibatkan kerugian signifikan (antara 5-20 persen) terhadap
PDB setiap tahun, meningkatkan kesadaran internasional tentang
risiko ekonomi yang ditimbulkan perubahan iklim.
Wacana inkrementalis menganjurkan kebijakan yang
merangsang teknologi produksi baru, pasar yang bersih dan hijau
bertujuan untuk mengurangi perubahan iklim (OECD, 2011; Davies,
2013). Investasi rendah karbon sebagai kunci yang mendorong
kesepakatan hijau baru yang dimaksudkan untuk mendukung negara-
negara dalam mengatasi krisis ekonomi secara global. Di banyak
negara, terdapat paket stimulus fiskal yang diluncukan setelah
terjadinya krisis yang memiliki dana cukup signifikan dialokasikan
untuk teknologi hijau, seperti sumber energi alternatif, transportasi
EKONOMI HIJAU 5
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
yang lebih baik, dan inovasi lain yang ditujukan untuk mengurangi
emisi GKR. Oleh karena itu, fokus pada teknologi dan modal
manufaktur (infrastruktur) adalah prinsip kunci yang menjadi dasar
inkrementalis. Inovasi ini tidak hanya untuk mengurangi dampak
lingkungan, tetapi juga produk dan pasar baru (termasuk produk
dengan potensi ekspor), dan sejumlah apa yang disebut sebagai
pekerjaan hijau, yang berfungsi untuk lebih memperkuat ekonomi
lokal dan perekonomian nasional. Menurut Caprotti (2012) teknologi
ini terutama dimaksudkan untuk melayani tujuan teknis atau
keuangan, sebagian besar melalui peningkatan efisiensi, untuk tujuan
yang lebih berkontribusi terhadap kemajuan sosial dan lingkungan
(suatu hal yang lebih ditekankan kaum reformis). Dalam hal ini,
perspektif inkrementalis terhadap berbagi pandangan yang terkait
dengan apa yang dikenal sebagai interpretasi lemah dari pembangunan
berkelanjutan, dimana kerugian atau penurunan dalam modal alam
diperbolehkan selama terdapat persediaan jenis lain (misalnya
diproduksi atau keuangan), dimana modal ditingkatkan untuk
mengkompensasi kerugian yang terjadi (Pearce & Atkinson, 1993;
Jacobs, 2012). Oleh karena itu, secara eksplisit pendekatan
inkrementalis menghindari pengakuan batasan fisik pertumbuhan
absolut atau keberadaan sumber daya alam yang perlu dipertahankan.
1.2.2 Aliran Reformis
Aliran reformis memperluas pandangan kalangan
inkrementalis dengan mengusulkan agenda yang lebih ambisius dan
lebih beragam dari ekonomi hijau yaitu, kombinasi tindakan dan
perencanaan jangka panjang di mana kegiatan konservasi lingkungan
dapat merangsang pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat. Secara
khusus, para pendukung reformis menegaskan ekonomi hijau dapat
memberikan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi
serta mengatasi masalah sosial yang tampaknya sulit diselesaikan,
seperti kemiskinan dan degradasi lingkungan. Langkah-langkah ini
tidak hanya ditujukan untuk mengurangi biaya perubahan iklim atau
menghijaukan ekonomi (ekonomi coklat), tetapi pada dasarnya
merestrukturisasi ekonomi melalui cara baru untuk menghasilkan nilai
dan inovasi di pasar, industri, dan neraca nasional yang dapat
beradaptasi dengan lingkungan yang berubah. Oleh karena itu, wacana
reformasi ini tidak hanya menyatakan perlindungan lingkungan
kompatibel dengan pertumbuhan (sesuai dengan wacana
inkrementalis), tetapi menjadi pendorong pertumbuhan. Mayoritas
wacana dan pemikiran ekonomi hijau masuk dalam arus utama
termasuk kelompok reformis. Hal ini terlihat dari perspektif dari
definisi yang dikemukakan oleh UNEP dan OECD tentang ekonomi
6 EKONOMI HIJAU
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
hijau. Ekonomi hijau adalah ekonomi yang menghasilkan peningkatan
kesejahteraan dan keadilan sosial yang secara signifikan juga
mengurangi risiko lingkungan dan kelangkaan ekologis (UNEP,
2011).
Mendorong pertumbuhan dan pembangunan ekonomi seiring
dengan memastikan alam terus menyediakan modal sumber daya dan
jasa lingkungan bagi kesejahteraan masyarakat. Kaum reformis
melihat pertumbuhan ekonomi sebagai sesuatu yang tidak dapat
dinegosiasikan (OECD, 2011). Apa yang membedakan dari
pandangan ini yakni, adanya keyakinan pada investasi hijau (misalnya
modal investasi pada alam) untuk bertindak sebagai kendaraan yang
kuat dalam memberikan perbaikan sosial dan lingkungan, tetapi juga
pembangunan ekonomi yang lebih sehat, lebih kuat, dan lebih
bertenaga (Brockington, 2012). Langkah-langkah stimulus jangka
pendek dan dampak investasi pada ekonomi, serta signifikan pada
jangka panjang (Bowen, 2012). Menurut perspektif reformasi ini,
ekonomi hijau merupakan gelombang inovasi yang akan merevolusi
cara berpikir tentang pertumbuhan dan menciptakan peluang untuk
penciptaan lapangan kerja baru, perubahan dalam gaya hidup, efisiensi
produksi, dan konsumsi yang berkontribusi menuju peningkatan
kesejahteraan sosial dan lingkungan (Jacobs, 2012). Perubahan ini
juga diharapkan memiliki implikasi makroekonomi yang signifikan
yakni peningkatan stabilitas dan kepercayaan investor (OECD, 2011).
Adanya perluasan peran sentral yang dimainkan oleh teknologi dan
modal manufaktur sebagai sarana transisi ke ekonomi hijau baru yang
diusulkan kelompok reformis. Namun, fokusnya bukan perbaikan
teknologi tertentu sebagai sumber peningkatan efisiensi dan
pengurangan dampak lingkungan (seperti wacana inkrementalis),
tetapi pada kebutuhan transisi menuju industri besar yang akan
mengatasi sistem lock-in energi berbasis pada bahan bakar fosil
(Davies, 2013). Selain itu, juga untuk mempromosikan pasar utama
kembali dalam bentuk produk konsumen hijau baru (Bowen, 2012),
dan industri ekspor dan peningkatan produktivitas yang menciptakan
pekerjaan (Huberty et al, 2011). Hal tersebut dapat tercapai, melalui
penghapusan subsidi yang merugikan lingkungan (diperkirakan
sebesar US$1-1,2 triliun per tahun secara global), seperti subsidi
bahan bakar fosil (World Bank, 2012), dan investasi di perkotaan yang
lebih padat, lebih mudah diakses, dan serba guna. Muara dari agenda
yang lebih ambisius ini memperluas cakupan perubahan yang
diperlukan untuk mengurangi biaya perubahan iklim. Jika
dibandingkan dengan wacana inkrementalis, terlihat pengakuan secara
lebih eksplisit dari tantangan yang ditimbulkan paradigma ekonomi
EKONOMI HIJAU 7
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
yang berlaku, dan keterbatasan sistem bumi untuk menyediakan
barang dan jasa ekologis. Dimana, layanan ekologi dipopulerkan oleh
Millennium Ecosystem Valution terkait dengan penggunaan nilai-nilai
sumber daya alam, termasuk penyediaan dan layanan budaya, proses
pengendalian banjir atau erosi (layanan pengaturan), dan yang lebih
mendasar peran ekosistem seperti penyebaran benih.
Dalam konteks ekonomi hijau menurut kelompok reformis, untuk
meningkatkan sistem ekonomi dan instrumennya menjadi lebih baik
dan efektif dalam kontribusi terhadap modal alam. Proyek ekosistem
dan keanekaragaman hayati dari UNEP adalah contoh dari pendekatan
ini. Tujuan ekonomi dari proyek ekosistem dan keanekaragaman
hayati adalah memberikan standar global untuk akuntansi modal alam
dengan tujuan perbandingan dan penilaian keseluruhan. Dalam hal ini,
nilai keuangan untuk keanekaragaman hayati dan jasa ekosistem
memungkinkan untuk digabungkan dalam suatu sistem manajemen
dan akuntansi, selanjutnya memberikan insentif bagi investasi dalam
bentuk modal. Menurut UNEP (2011), inisiatif seperti ini diharapkan
dapat menghasilkan peningkatan stok sumber daya alam yang dapat
diperbaharui. Oleh karena itu, pandangan reformis seiring dengan
perspektif keberlanjutan. Di mana adanya karakteristik unik dari
beberapa bentuk modal alam yang tidak dapat diganti, atau
disubstitusikan. Dalam hal ini, modal alam tidak dilihat sebagai yang
dapat disubstitusikan dengan modal manufaktur dan harus
dipertahankan. Namun, peningkatan modal alam dan produktivitas
dalam pemanfaatan alam sumber daya alam oleh masyarakat tidak
cukup untuk memastikan pertumbuhan ekonomi dan lingkungan
berkelanjutan (OECD, 2011).
Wacana reformis menekankan pentingnya konsep pembangunan
dan kemajuan masyarakat yang lebih luas daripada hanya sekedar dan
terbatas pada pertumbuhan ekonomi (PDB) yang lebih sempit.
Kelompok reformis mengakui adanya kegagalan PDB dalam
memperhitungkan biaya sosial dan lingkungan dari kegiatan ekonomi.
Dengan demikian inkonsistensi dengan tujuan yang lebih luas dari
ekonomi hijau, karena PDB hanya dapat memperhitungkan transaksi
pasar, namun kondisi sosial dan lingkungan buruk (seperti kejahatan
dan polusi) cenderung tidak dimasukkan sebagai perhitungan PDB
(Van den Bergh, 2009).
Kaum reformis mendukung pertimbangan adanya indikator
tambahan dalam perhitungkan di luar PDB, termasuk yang lebih
mencerminkan biaya-manfaat sosial dan lingkungan. Dengan
demikian, wacana reformis juga mendorong perlunya dematerialisasi
ekonomi yaitu untuk memisahkan kemajuan ekonomi dari konsumsi
8 EKONOMI HIJAU
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
sumber daya alam dan timbulnya dampak negatif terhadap
lingkungan. Untuk sebagian besar, wacana reformis menekankan
relatif (bukan absolut). Tidak memisahkan secara absolut
pengurangan total dampak ekonomi terhadap lingkungan, tetapi
memisahkan secara relatif dengan mengacu pada pengurangan
dampak per unit dari PDB. Dengan demikian, memungkinkan
terjadinya peningkatan dampak secara keseluruhan, selama
peningkatan PDB lebih besar daripada peningkatan efisiensi, maka
dampak secara keseluruhan kegiatan ekonomi terhadap lingkungan
juga akan terus meningkat.
1.2.3 Aliran Transformatif
Aliran transformatif berasal dari pandangan masyarakat sipil dan
pengamat lainnya, pembuat kebijakan dan organisasi multilateral.
Aliran transformatif tidak menolak secara keseluruhan pandangan
inkremantalis dan reformis. Namun, kalangan transformatif
memberikan sejumlah kritik terhadap arus pemikiran utama dan
menyerukan untuk melakukan tinjauan secara lebih radikal bagi
masyarakat dan pembangunan yang lebih luas. Secara khusus yang
membedakan aliran transformatif dengan aliran-aliran sebelumnya
adalah pandangan tentang peran nilai, pasar, dan ekuitas sosial.
Aliran transformatif melakukan kritik keras terhadap paradigma
pertumbuhan yang melekat dalam sistem ekonomi kapitalis saat ini,
dan khususnya perannya dalam menciptakan kesenjangan sosial dan
degradasi lingkungan. Pendukung aliran reformatif berpendapat
bahwa ekonomi hijau yang tidak berdasarkan pada pertumbuhan
berkelanjutan (Daly, 2008, 2010; Jackson, 2008). Misalnya,
mendukung kondisi ekonomi mapan, yakni ekonomi yang stabil
(bukan tumbuh besar) dan oleh karena itu kompatibel dengan batas
planet dan ekosistem. Kelompok reformatif ini menyarankan dalam
beberapa kasus dilakukan penurunan pertumbuhan mungkin
diperlukan untuk memulihkan kestabilan negara. Jackson (2008)
menyerukan pengurangan konsumsi material terutama di negara-
negara sangat maju. Umumnya argumentasi penurunan konsumsi
material untuk memperluas nilai kegiatan ekonomi dan kegiatan
lainnya harus diistirahatkan semata-mata demi di luar motif
keuntungan.
Jackson (2008) menyatakan logika sosial konsumerisme harus
dihentikan, dimana sumber identitas dan makna yang terletak di luar
pasar (misalnya keluarga, kreativitas, dan kepedulian orang lain) harus
dieksplorasi. Aliran ini mendukung ekonomi berubah dalam gagasan
kecukupan (kecukupan kekayaan). Pendekatan itu menuntut
dilakukan kajian Kembali atas gagasan nilai untuk dimemasukkan
EKONOMI HIJAU 9
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
sebagai alternatif terhadap PDB yakni kesejahteraan sebagai indikator
kemajuan masyarakat. Pendukung aliran ini juga berpendapat jika
kegiatan ekonomi ingin tetap berada di dalam batas-batas ekologis,
maka ada pemisahan antara kebutuhan absolut dari kebutuhan relatif'
(Daly 2008; Jackson, 2008). Jevons Paradox menunjukkan
peningkatan efisiensi menyebabkan terjadinya peningkatan
permintaan (misalnya hasil dari biaya yang lebih rendah), sehingga
menghilangkan penghematan. Jevon paradox juga berpendapat
dampak sosial dan ekologis dari teknologi baru, khususnya teknologi
skala besar kurang dipertimbangkan dari manfaat kerja (Davies &
Mullin, 2011). UNEP menyatakan memisahkan dampak dan sumber
daya sebagai sarana untuk mencapai pemisahan mutlak. Sementara
itu, pemisahan sumber daya menurunkan tingkat konsumsi sumber
daya, dan pemisahan dampak membutuhkan penggunaan sumber daya
yang lebih bijaksana dan bersih. UNEP menyatakan pemisahan
sumber daya mengatasi masalah kelangkaan dengan mengurangi
tingkat konsumsi sumber daya dan meningkatkan produktivitas
sumber daya. Di sisi lain, pemisahan dampak bertujuan untuk
memitigasi dan/atau meminimalkan dampak lingkungan dari
pembangunan. International Resource Panel (IRP) berpendapat
bahwa kedua strategi tersebut diperlukan (UNEP, 2011).
Pertimbangan hak asasi manusia sangat penting untuk mengubah
ekonomi, terutama dalam menjelasakan ketimpangan global saat ini
antara kaya dan miskin. Posisi ini terlihat jelas dalam kesimpulan dari
pertemuan para pemimpin negara di Afrika yang diadakan sebelum
Rio+20 (IPACC et al., 2011). Kesimpulan dari pertemuan ini menarik
perhatian, ekonomi hijau membuka peluang perusahaan-perusahaan
multinasional untuk dapat mempengaruhi pemerintah nasional dan
partai yang berkuasa. Perusahan multinasional tersebut juga bersikeras
agar lebih banyak perhatian diberikan pada peran masyarakat pribumi
dan komunitas lokal sebagai penjaga keanekaragaman hayati dan hak-
hak mereka dilindungi. Demikian pula, para pengkritik ekonomi hijau
sering mempertanyakan pandangan arus utama tentang nilai keuangan
barang dan jasa lingkungan dengan alasan bahwa hal ini menjadi
privatisasi alam. Hal ini dibantah IPACC et al (2011), klaim dari
UNEP yang menyatakan bahwa semua faktor alam harus dianggap
modal, dimana hal ini menghilangkan argumen bahwa nilai yang
melekat pada alam dan pentingnya kewajiban antargenerasi, untuk
pemanfaatan berkelanjutan dan konservasi keanekaragaman hayati
dan ekosistem. Perhatian utama yang mendasari hal ini dan kritik lain
dari penilaian ekonomi sumber daya alam, adalah sumber daya
tersebut menjadi lebih rentan terhadap komersialisasi dan eksploitasi
10 EKONOMI HIJAU
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
yang seringkali berdampak negatif terhadap masyarakat lokal. Secara
umum penilaian tersebut tidak mempertimbangkan konteks sosial
pada jasa ekosistem yang disediakan, dengan alasan bahwa banyak
ekosistem terdapat pada wilayah yang ditempati masyarakat adat dan
komunitas lokal. Di wilayah ini, pasar dapat mengancam hak
kepemilikan atas tanah dan lainnya sumber daya alam.
1.3 Transisi Menuju Ekonomi Hijau
Berbagai aliran pemikiran dan studi yang membahas masalah
pembangunan berkelanjutan dan ekonomi hijau (Pearce et al., 1989).
Sebagian besar studi berdasarkan pada laporan OECD. Laporan
tersebut menjelaskan pembangunan berkelanjutan sebagai
pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini, tanpa
mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi
kebutuhan mereka. Banyak peneliti di bidang lingkungan tidak setuju
mengenai dampak penghijauan terhadap keberlanjutan lingkungan,
sosial, dan pertumbuhan. Terdapat banyak pendapat yang
membutuhkan kompromi antara perlindungan lingkungan dan
pembangunan berkelanjutan. Bertentangan dengan sikap dan pendapat
tersebut, terdapat sejumlah penelitian yang membuktikan kondisi
sebaliknya. Dimana, ekonomi hijau tidak menyebabkan dampak
negatif pada pertumbuhan ekonomi atau lapangan kerja. Inisiatif
untuk menghijaukan ekonomi menunjukkan ekonomi hijau menjadi
faktor pendorong baru terhadap pertumbuhan ekonomi, untuk dapat
menghasilkan pekerjaan baru dan berkontribusi pada pengurangan
kemiskinan. Terdapat proposisi bahwa semakin banyak tercipta
kondisi baru yang memungkinkan terjadi transisi menuju ekonomi
hijau (UNEP, 2011).
Sejumlah ahli berpendapat bahwa kondisi-kondisi tersebut hanya
terdapat di negara-negara sangat maju, namun tidak dapat terjangkau
di negara-negara sedang berkembang. Dalam beradaptasi dengan
perubahan iklim, para ekonom berpendapat bahwa negara-negara kaya
lebih mudah bertindak secara preventif, karena memiliki aset
keuangan yang dimiliki, namun tidak akan terjadi dengan negara-
negara miskin. Oleh karena itu, negara-negara miskin akan mengalami
kesulitan dalam beradaptasi terutama mengenai langkah dan tindakan
langsung terkait dengan adanya teknologi baru. Negara-negara miskin
tidak memiliki cukup dana berinvestasi pada penyelamatan
lingkungan (Martinez-Alier, 1995). Pernyataan ini didukung oleh
banyak pihak, sehingga lebih banyak memikirkan cara hidup yang
bersifat ekologis dan berkelanjutan sebagai bentuk kemewahan yang
tidak mampu dibeli oleh negara-negara miskin (Gehrke, 2012).
Berbeda dengan pendapat ini, juga terdapat banyak kondisi transisi
EKONOMI HIJAU 11
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
ekonomi hijau ditemukan di negara-negara sedang berkembang.
Dengan kata lain, ekonomi hijau bukanlah suatu bentuk kemewahan
tetapi menjadi suatu keharusan. Ekonomi hijau mengasumsikan
bahwa tujuan pembangunan berkelanjutan untuk meningkatkan
kualitas manusia dalam batasan dengan lingkungan, termasuk
memerangi perubahan iklim global, kerawanan energi, dan
kelangkaan ekologis (APGF, 2010). Selain dari itu, ekonomi hijau
juga telah menunjukkan perlunya penelitian ekonomi harus dikaitkan
dengan penelitian di bidang ekologi dan perlindungan lingkungan
untuk mengantisipasi dan mengurangi dampak perubahan iklim,
degradasi tanah, emisi GKR dan segala sesuatu yang merupakan
ancaman bagi masa depan, serta kelangsungan hidup populasi global.
Yakni, kerusakan akibat bencana alam sangat banyak dan dapat
dimanifestasikan dalam berbagai cara yang tentunya menimbulkan
konsekuensi bagi populasi dan negara. Kondisi tersebut terutama
dimanifestasikan dalam bentuk kerusakan struktur tanah
(produktivitas tanah turun), paparan hama baru, penyakit tanaman,
dan hewan. Akibatnya, diperhadapkan pada tantangan-tantangan baru
terkait dengan genetika tumbuhan dan hewan (Radovic & Grozdanic,
2013).
Potensi dampak jangka pendek dan jangka panjang dari
perubahan iklim memerlukan pemantauan dan analisis sebagai dasar
penilaian risiko maupun intensitas kerusakan yang diakibatkan
bencana alam. Meskipun, penelitian terhadap dampak perubahan
iklim sudah meluas, dimana terdapat sebagian besar aspek telah
menjadi topik analisis ilmiah (Radovic & Grozdanic, 2013). Yaitu,
penyebab dan konsekuensi perubahan iklim bersifat global dan
terbukti tidak dapat mempengaruhi semua orang dengan cara yang
sama, sehingga terjadi perbedaan analisis terhadap berbagai masalah
yang ditimbulakanya (Markovic, 2013).
Bencana alam memiliki pengaruh penting terhadap kebijakan
publik di bidang kesehatan, keanekaragaman hayati, dan sektor
ekonomi (sumber daya air, pertanian, kehutanan, energi, dan
pariwisata). Kebijakan publik tersebut juga akan mempengaruhi
peningkatan biaya yang dibutuhkan untuk menanggulangi dan
menghadapi bencana alam. Dalam konteks ini, bencana alam dan
perubahan iklim menyebabkan timbulnya biaya ekologi, ekonomi,
risiko sosial, dan geopolitik yang harus dikurangi serta perlunya
dilakukan langkah-langkah pencegahan yang harus diambil para
ekonom (Radovic & Grozdanic, 2013).
Data empiris menunjukkan tampaknya transisi ke ekonomi hijau
memiliki pembenaran terhadap terjadinya dampak ekonomi dan
12 EKONOMI HIJAU
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
sosial. Dimana, ekonomi hijau menyebabkan terjadinya proses
konfigurasi kembali terhadap bisnis dan infrastruktur untuk
memberikan hasil yang lebih baik bagi alam, manusia, dan investasi
modal. Sementara itu, pada saat yang sama mengurangi emisi GKR,
mengekstraksi dan menggunakan lebih sedikit sumber daya alam,
menciptakan lebih sedikit limbah, dan mengurangi disparitas sosial
yang terjadi (Maclean et al, 2011). Dalam konteks ekonomi hijau,
dimana pertumbuhan pendapatan dan lapangan kerja didorong melalui
investasi publik dan swasta untuk mengurangi emisi karbon dan
polusi, meningkatkan efisiensi energi dan sumber daya, mencegah
hilangnya keanekaragaman hayati dan jasa ekosistem (UNEP, 2011).
Sejalan dengan ini, konsep ekonomi hijau tidak dalam konteks untuk
menggantikan pembangunan berkelanjutan. Namun sebaliknya,
keduanya saling terkait erat satu dengan lainnya. Dimana,
pembangunan berkelanjutan harus memberikan dukungan penuh bagi
upaya-upaya pelestarian lingkungan, pertumbuhan ekonomi, dan
keadilan sosial. Namun, terkait dengan semua kondisi-kondisi tersebut
dimana transisi menuju ekonomi hijau juga diperhadapkan dengan
beberapa kendala dan hambatan yakni sebagai berikut:
1). Adanya resistensi politik dan kepentingan bisnis yang kuat, yang
mendorong untuk menjaga status quo dan menunda perubahan
(Hennicot et al., 2016);
2). Kurangnya dukungan dari sektor swasta dan keuangan yang masih
lebih tertarik pada investasi yang lebih tradisional dan berorientasi
pada laba cepat (Ghisellini et al., 2016);
3). Tantangan teknologi yang harus diatasi dalam mengubah proses
produksi dan mengurangi dampak lingkungan (Weber et al.,
2008);
4). Tantangan terkait regulasi dan kebijakan yang diperlukan untuk
mendorong transisi menuju ekonomi hijau (Kivimaa dan Kern,
2016);
5 Tantangan dalam membangun kesadaran dan pemahaman
masyarakat tentang pentingnya transisi menuju ekonomi hijau
serta cara-cara untuk mencapainya (Oberthür & Gehring, 2006).
EKONOMI HIJAU 13
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
seperti memperhitungkan dampak sosial dari kebijakan dan teknologi
hijau, memperhatikan partisipasi masyarakat dalam proses
pengambilan keputusan, mengakui hak-hak masyarakat adat, dan
mengurangi kesenjangan ekonomi antara negara-negara maju dan
negara-negara yang sedang berkembang (Agyeman et al, 2003;
Escobar, 1998; UNEP, 2012; Crenshaw, 1989; Jacobs, 2011).
Perspektif ekonomi hijau berusaha dimasukkan dalam struktur
ekonomi saat ini, dimana sebelumnya terpinggirkan—terutama
perempuan dan kaum miskin, serta adanya keseriusan terkait dengan
masa depan planet bumi (Cato, 2009). Dimana, kalangan perempuan
merupakan mayoritas orang miskin dan secara komparatif lebih
banyak bergantung pada sumber daya alam yang langka. Kaum
perempuan yang lebih banyak menderita karena dampak dari
perubahan iklim (DCED, 2012). Selain itu, terdapat beberapa literatur
yang meneliti perubahan iklim dari perspektif gender (Radovic &
Grozdanic, 2013). Perspektif ini tidak dapat diabaikan begitu saja,
mengingat sebagian besar kaum perempuan di dunia terkena dampak
buruk dari bencana alam. Kaum perempuan dan orang miskin di
negara-negara yang sedang berkembang paling rentan terhadap
bahaya dari perubahan iklim. Mereka sangat sensitif terhadap
degradasi ekosistem dan bencana alam, karena lebih bergantung pada
pertanian dan status sosial ekonomi lebih rendah dibandingkan kaum
laki-laki (Radovic-Markovic, 2010).
Perubahan iklim mempengaruhi produksi petani perempuan di
berbagai negara, karena perempuan paling banyak bekerja di Sektor
Pertanian dan Pangan, lebih sedikit terlibat dalam kegiatan non-
pertanian. Misalnya, petani perempuan di Afrika menghasilkan hingga
90 persen makanan di benua tersebut, meskipun perempuan hanya
memiliki sekitar 1 persen tanah (Radović-Markovi, 2010). Layanan
bagi penyuluhan pertanian menjadi salah satu cara di mana praktik
inovatif disebarluaskan di daerah-daerah perdesaan, tetapi sering
terjadi masalah terkait dengan keberlanjutan dan keberagaman di
daerah-daerah tersebut (Walker, 1990). Dimana, kaum perempuan
kurang mampu beradaptasi dengan perubahan dibandingkan pria
karena banyak kendala. Adaptasi yang berhasil tergantung faktor-
faktor seperti pengaturan kelembagaan lokal, ketersediaan sumber
keuangan, pertukaran informasi, instrumen untuk mengumpulkan data
dan perubahan teknologi (Radovic-Markovic, 2010). Data
menunjukkan perempuan di perdesaan kurang memiliki pengetahuan
tentang bencana lingkungan. Dengan kata lain, keterampilan dan
pengetahuan perempuan tidak sesuai dengan keterampilan yang
dibutuhkan dalam ekonomi hijau, merupakan kendala lain.
14 EKONOMI HIJAU
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
Kekurangan informasi dan instrumen untuk mengumpulkan data,
kurangnya sumber daya keuangan untuk memerangi perubahan iklim
dan perempuan tidak banyak terlibat dalam mengembangkan strategi
sosial terhadap risiko perubahan iklim. Dalam konteks ini, diperlukan
investasi modal manusia, termasuk pengetahuan, manajemen, dan
keterampilan teknis terkait lingkungan untuk memastikan transisi
menuju lebih berkelanjutan (NGLS, 2009).
EKONOMI HIJAU 15
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
16 EKONOMI HIJAU
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
BAB II EKONOMI HIJAU
Konsep ekonomi hijau pertama kali digunakan oleh Pearce et al.
(1989). Namun, ekonomi hijau tidak didefinisikan secara eksplisit dan
hanya berfokus pada pengembangan konsep pembangunan
berkelanjutan. Ekonomi hijau semakin dikenal dan digunakan secara
luas pasca terjadinya krisis keuangan global tahun 2007-2008. Kondisi
pasca krisis keuangan mendorong konsep berkelanjutan secara cepat
mencapai puncak dari agenda-agenda politik. Krisis keuangan
mendorong banyak negara ke masuk ke dalam jurang resesi, krisis,
inflasi dan utang yang tinggi. Di sisi lain, jumlah pekerja kehilangan
pekerjaan utama semakin tinggi karena terjadinya kegagalan bisnis
yang semakin meluas. Pada saat yang sama, krisis pangan terjadi di
banyak negara yang sedang berkembang semakin memburuk. Kondisi
tersebut menyebabkan terjadinya kenaikan harga pangan dan bahan
bakar. Peristiwa tersebut bertepatan dengan meningkatnya
kekhawatiran terhadap dampak perubahan iklim yang disebabkan
aktivitas antropogenik, khususnya penggunaan bahan bakar fosil yang
semakin meningkat (UNEP, 2009). Semua krisis ini terjadi dengan
latar belakang ekologi yang meluas dan degradasi yang intensif,
sehingga meningkatkan kekhawatiran tentang dampaknya terhadap
mata pencaharian umat manusia (Millenium Ecosystem Assessment,
2005).
Pengembangan ekonomi hijau secara luas dipandang sebagai
solusi potensial untuk berbagai krisis global saat ini. UNEP
mempromosikan gagasan paket stimulus hijau sebagai bagian dari
upaya pemulihan ekonomi yang melibatkan investasi publik skala
besar dalam teknologi hijau. Pada tahun 2008, UNEP meluncurkan
inisiatif ekonomi hijau untuk memberikan analisis dan dukungan
kebijakan terhadap pengembangan ekonomi hijau dengan
menerbitkan A Global Green New Deal (Barbier, 2009; 2010). Hal Ini
mengidentifikasi potensi peluang yang diakibatkan terjadinya krisis
tersebut, dengan mendukung pemulihan ekonomi dan mengatasi
tantangan global seperti mengurangi ketergantungan karbon,
melindungi ekosistem dan sumber daya air, serta pengentasan
kemiskinan. Kondisi tersebut diidentifikasi sebagai satu-satunya cara
untuk merevitalisasi ekonomi global secara berkelanjutan. Pada tahun
2011, UNEP menyediakan laporan rinci tentang perkembangan
ekonomi hijau dengan tujuan untuk memberikan panduan praktis bagi
pembuat kebijakan (UNEP, 2011). Sejumlah pakar/ahli lain juga
menyatkaan sebagai peluang bagi perubahan mendasar dalam
ekonomi global (Homer-Dixon, 2007; Jones, 2009). Banyak peneliti
EKONOMI HIJAU 17
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
telah mengidentifikasi peluang bisnis yang berasal dari
pengembangan ekonomi hijau. Ekonomi hijau saat ini sedang tumbuh
cepat melalui pengembangan barang dan jasa yang ramah lingkungan,
termasuk teknologi yang lebih bersih dan lebih efisien, energi yang
baru terbarukan, produk dan jasa berbasis ekosistem dan
keanekaragaman hayati, bahan kimia dan pengelolaan limbah, serta
konstruksi bangunan ramah lingkungan (Esty & Winston, 2006;
Croston, 2008; Kane, 2010; Weybrecht, 2010; UNEP, 2011).
2.1 Definisi Ekonomi Hijau
Pada awal ekonomi hijau diperlakukan sama dengan konsep
pembangunan berkelanjutan (Pearce et al., 1989; Jacobs, 1991).
Berbagai definisi ekonomi hijau sebagai berikut.
a) UNEP (2011) mendefinisikan ekonomi hijau sebagai ekonomi
yang menghasilkan peningkatan kesejahteraan manusia dan
kesetaraan sosial, serta secara signifikan mengurangi risiko
lingkungan dan kelangkaan ekologi. Dengan kata lain, ekonomi
hijau adalah kondisi ekonomi yang rendah karbon, efisien sumber
daya dan inklusif secara sosial. Dimana, pertumbuhan pendapatan
dan lapangan kerja didorong melalui investasi publik dan swasta
yang mengurangi emisi karbon dan polusi, meningkatkan efisiensi
energi dan sumber daya, serta mencegah hilangnya
keanekaragaman hayati dan ekosistem;
b) Green Economy Coalition (2012), merupakan aliansi multipihak
mendefinisikan ekonomi hijau sebagai salah satu yang
menghasilkan kualitas hidup yang lebih baik untuk semua dengan
batas ekologi planet. Para pendukung definisi ini menyoroti
perlunya ekonomi hijau untuk meningkatkan kesejahteraan
manusia, meningkatkan modal dan sistem alam;
c) United Nations Conference on Trade and Development
(UNCTAD, 2010) mendefinisikan ekonomi hijau sebagai
ekonomi yang menghasilkan peningkatan kesejahteraan manusia
dan pengurangan ketidaksetaraan (ketimpangan), serta tidak
mengeksploitasi sumber daya generasi mendatang pada risiko
lingkungan yang signifikan dan kelangkaan ekologi. Ekonomi
hijau berusaha membawa manfaat sosial jangka panjang dan
mengurangi risiko lingkungan untuk tujuan jangka pendek;
d) International Chamber of Commerce (ICC, 2011) mendefinisikan
ekonomi hijau dari perspektif bisnis, sebagai ekonomi di mana
pertumbuhan ekonomi dan lingkungan bertanggung jawab
bersama dengan cara yang saling memperkuat sambil mendukung
kemajuan pada pembangunan sosial;
18 EKONOMI HIJAU
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
e) The Danish 92 Group (2012) mendefinisikan ekonomi hijau
bukan sebagai suatu keadaan tetapi suatu proses transformasi dan
suatu kemajuan dinamis yang konstan. Dimana, ekonomi hijau
menghilangkan distorsi dan disfungsi sistemik dari ekonomi arus
utama saat ini yang menghasilkan kesejahteraan manusia dan
akses yang adil dengan memberikan kesempatan bagi semua
orang, menjaga integritas lingkungan dan ekonomi agar tetap
berada dalam daya dukung planet yang terbatas. Perekonomian
tidak hijau tanpa keadilan;
f) UNU-IHDP (2012) mendefinisikan ekonomi hijau sebagai salah
satu yang berfokus pada memungkinkan orang di seluruh dunia
untuk mengejar dan mencapai kehidupan yang berarti bagi
mereka, serta meminimalkan dampak negatif kemanusiaan pada
lingkungan. Ekonomi hijau adalah ekonomi yang diukur dengan
tolok ukur kesejahteraan manusia, dan berbasis produktivitas.
Ekonomi hijau adalah ekonomi yang ditopang oleh hasrat untuk
kesetaraan dan kecerdasan;
g) Chapple (2008) mendefinisikan ekonomi hijau sebagai ekonomi
energi bersih, terutama terdiri dari empat sektor: energi terbarukan
(matahari, angin, panas bumi); bangunan hijau dan teknologi
efisiensi energi; infrastruktur dan transportasi hemat energi; dan
daur ulang dan limbah menjadi energi. Ekonomi hijau bukan
hanya tentang kemampuan menghasilkan energi bersih, tetapi
juga teknologi yang memungkinkan proses produksi yang lebih
bersih, serta pasar yang berkembang untuk produk yang
mengkonsumsi lebih sedikit energi. Dengan demikian termasuk
produk, proses, dan layanan yang mengurangi dampak lingkungan
atau meningkatkan penggunaan sumber daya alam.
Definisi yang berbeda dan beragam ini mengindikasikan belum
adanya konsensus ekonomi hijau yang sebenarnya. Sebaliknya,
ekonomi hijau masih menjadi area perdebatan. Bagi banyak
komentator, khususnya mereka yang berada di komunitas bisnis,
ekonomi hijau identik dengan ekonomi energi bersih (Chapple, 2008).
Banyak dari definisi yang disebutkan di atas, pada umumnya mengacu
pada tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia dan keadilan
sosial. Banyak juga secara eksplisit menyebutkan lingkungan dengan
mengacu pada konsep batas atau kapasitas daya dukung lingkungan.
Menurut Peters dan Britez (2010), adanya berbagai definisi
tersebut menunjukkan bahwa ekonomi hijau bersifat ambigu dan
mengandung banyak arti. Oleh karena itu, penting
mempertimbangkan apa yang dimaksud ekonomi hijau, khususnya
karena tidak adanya definisi secara eksplisit. Selain itu, juga terdapat
EKONOMI HIJAU 19
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
definisi ekonomi hijau dalam dimensi politik. Peters dan Britez (2010)
mengingatkan bahwa ekonomi hijau dapat digunakan sebagai
perangkat retorika, untuk membenarkan keunggulan politik negara-
negara tertentu dalam sistem ekonomi global. Masalah utama yang
tersembunyi dalam definisi, apakah ekonomi hijau yang efektif dapat
dibangun dalam sistem ekonomi kapitalis, atau apakah sistem
ekonomi saat ini membutuhkan restrukturisasi mendalam. Pandangan
yang dipegang secara luas bahwa teknologi hijau (energi bersih)
adalah solusi yang memadai terhadap masalah lingkungan global,
kemiskinan yang meluas, dan ketidaksetaraan sosial. Secara eksplisit,
penggabungan kesetaraan sosial dan kualitas lingkungan dalam
banyak definisi ekonomi hijau sebagai bukti dari pandangan
sebaliknya. Konsep ekonomi hijau lainnya juga telah banyak
digunakan termasuk pertumbuhan hijau dan ekonomi rendah karbon.
Pada tahun 2010, Global Green Growth Institute (GGGI) sebagai
organisasi internasional yang didedikasikan merintis dan
menyebarkan model pertumbuhan ekonomi baru (pertumbuhan hijau)
di negara-negara berkembang dan negara-negara terbelakang. Secara
bersamaan menargetkan pengurangan kemiskinan, penciptaan
lapangan kerja dan inklusi sosial, bersama dengan kelestarian
lingkungan termasuk mitigasi perubahan iklim dan hilangnya
keanekaragaman hayati, keamanan akses terhadap energi dan sumber
air bersih. Pada KTT G20 Seoul pada tahun 2010, pemimpin negara
mengakui bahwa pertumbuhan hijau sudah menjadi bagian yang
melekat di dalam pembangunan berkelanjutan dengan berfokus pada
penciptaan lingkungan yang memungkinkan pengembangan efisiensi
energi dan teknologi energi bersih. Negara-negara ini
menyumbangkan sebesar US$522 miliar untuk tujuan tersebut sebagai
stimulus fiskal yang dilakukan tahun 2008–2009, Sejumlah organisasi
internasional lainnya juga telah berfokus pada pertumbuhan hijau
termasuk World Bank (2012) dan OECD (2011). Berbagai definisi
yang berbeda untuk pertumbuhan hijau sebagai berikut:
a) UNESCAP: pertumbuhan yang menekankan kemajuan ekonomi
yang ramah lingkungan untuk mendorong pembangunan rendah
karbon yang inklusif secara sosial;
b) OECD: mendorong pertumbuhan dan pembangunan ekonomi,
sambil memastikan aset alam terus menyediakan sumber daya dan
jasa lingkungan di mana kesejahteraan bergantung;
c) World Bank: pertumbuhan yang efisien dalam penggunaan
sumber daya alam, bersih karena meminimalkan polusi dan
dampak lingkungan, dan tangguh karena memperhitungkan
20 EKONOMI HIJAU
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
bahaya alam dan pengelolaan lingkungan dan modal alam dalam
mencegah bencana fisik;
d) GGGI: pertumbuhan yang menopang pertumbuhan ekonomi
sekaligus memastikan iklim dan kelestarian lingkungan.
Konsep pertumbuhan ekonomi yang juga memenuhi tujuan
lingkungan bukanlah baru (Jacobs, 2012). Namun, konsep
pertumbuhan hijau telah menarik perhatian di kalangan ilmiah dan
membuka kemungkinan baru bagi jalan keluar bagi krisis ekonomi
pasca 2008. Yakni, pada satu sisi, krisis ekonomi dan inefisiensi
ekonomi di banyak negara. Di sisi lain, peningkatan risiko lingkungan
dan pertumbuhan ketimpangan sosial telah memberikan dampak yang
cukup besar terhadap paradigma ekonomi yang berlaku. Seperti
disajikan sebelumnya, tidak adanya definisi yang disepakati universal
tentang pembangunan berkelanjutan dan ekonomi hijau. Namun
secara luas diketahui, bahwa pembangunan berkelanjutan adalah
pembangunan yang memenuhi kebutuhan saat ini, tanpa
mengorbankan kemampuan generasi masa depan untuk memenuhi
kebutuhan mereka (Ecimovic et al., 2013). Pembangunan
berkelanjutan menekankan pendekatan holistik, adil, dan
berpandangan jauh ke depan untuk pengambilan keputusan di semua
tingkatan. Hal ini didasarkan pada integrasi tujuan sosial, ekonomi,
dan lingkungan yang teradapat pada gambar sebagai berikut.
Berkelanjutan
EKONOMI HIJAU 21
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
lingkungan negatif. Beberapa tujuan utama dari ekonomi hijau yakni
sebagai berikut:
1). Meningkatkan kualitas hidup manusia dan kesetaraan sosial
(UNEP, 2011);
2). Meningkatkan efisiensi sumber daya dan energi, dan mengurangi
emisi karbon dan polusi (UNEP, 2011);
3). Mencegah hilangnya keanekaragaman hayati dan ekosistem
(UNEP, 2011);
4). Mendorong pertumbuhan ekonomi yang ramah lingkungan dan
inklusif secara sosial (UNESCAP);
5). Memastikan aset alam terus menyediakan sumber daya dan jasa
lingkungan di mana kesejahteraan bergantung (OECD,2011);
6). Mendorong pertumbuhan yang efisien dalam penggunaan sumber
daya alam, bersih karena meminimalkan polusi dan dampak
lingkungan, dan tangguh karena memperhitungkan bahaya alam
dan pengelolaan lingkungan dan modal alam dalam mencegah
bencana fisik (World Bank);
7). Menopang pertumbuhan ekonomi sekaligus memastikan iklim dan
kelestarian lingkungan (GGGI).
Sementara itu, menurut UNDESA (2012), terdapat beberapa
tujuan utama ekonomi hijau yakni sebagai berikut: 1).
Melestarikan, mempertahankan, dan memulihkan lingkungan
alam; 2). Melindungi dan memelihara kesehatan masyarakat; 3).
Meningkatkan keadilan sosial melalui ekonomi hijau; 4).
Memperkuat bisnis dan lembaga independen lokal; 5).
Mengurangi kemiskinan dengan menciptakan pekerjaan kerah
hijau yang baik. Selanjutnya juga terdapat prinsip-prinsip
ekonomi hijau secara umum adalah sebagai berikut:
1). Efisiensi sumber daya: Menggunakan sumber daya alam dan energi
secara lebih efisien dengan mengurangi limbah dan
mengoptimalkan penggunaan sumber daya;
2). Keberlanjutan lingkungan: Meningkatkan kesejahteraan manusia
dengan melindungi dan mempertahankan keseimbangan
ekosistem dan sumber daya alam;
3). Kesetaraan sosial: Menekankan pada aspek sosial dari
pertumbuhan ekonomi yang inklusif, dimana kemakmuran
ekonomi harus diakses oleh semua masyarakat, tanpa terkecuali;
4). Inovasi dan teknologi: Memfasilitasi pengembangan teknologi dan
inovasi yang ramah lingkungan untuk mencapai pertumbuhan
ekonomi yang berkelanjutan;
22 EKONOMI HIJAU
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
5). Pendekatan holistik: Menerapkan pendekatan holistik untuk
pengambilan keputusan yang mempertimbangkan aspek
ekonomi, lingkungan, dan sosial.
Beberapa contoh penerapan prinsip-prinsip ekonomi hijau adalah
dengan mempromosikan energi terbarukan, mengurangi emisi gas
rumah kaca, mempertahankan keanekaragaman hayati, dan
meminimalkan limbah dan polusi (UNEP, 2011; OECD, 2011; UN,
2015; Bhatia & Sodhi, 2018; Welsch & Kühling, 2019). Sementara
itu, menurut UNDESA (2012) secara umum menyatakan prinsip-
prinsip ekonomi hijau yakni sebagai berikut:
1). Ekonomi hijau merupakan sarana untuk mencapai pembangunan
berkelanjutan. Hal ini mengacu pada upaya untuk menciptakan
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan ramah lingkungan;
2). Ekonomi hijau harus menciptakan pekerjaan yang layak dan
pekerjaan hijau. Hal ini mengacu pada upaya untuk menciptakan
lapangan kerja yang memperhatikan dampak lingkungan dan
sosial;
3). Ekonomi hijau adalah hemat sumber daya dan energi. Hal ini
mengacu pada upaya untuk mengoptimalkan penggunaan sumber
daya dan energi yang ada;
4). Ekonomi hijau menghormati batas planet atau batas ekologis, atau
kelangkaan.Hal ini mengacu pada upaya untuk membatasi
penggunaan sumber daya yang terbatas dan melindungi
lingkungan;
5). Ekonomi hijau menggunakan pengambilan keputusan yang
terintegrasi. Hal ini mengacu pada upaya untuk
mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan secara
bersamaan dalam pengambilan keputusan;
6). Ekonomi hijau mengukur kemajuan di luar PDB dengan
menggunakan indikator/metrik. Hal ini mengacu pada upaya
untuk menggunakan indikator lain selain PDB dalam mengukur
kemajuan ekonomi;
7). Ekonomi hijau adil, adil dan adil—antara dan di dalam negara dan
antar generasi. Hal ini mengacu pada upaya untuk memastikan
keadilan sosial dan ekonomi dalam pembangunan ekonomi hijau;
8). Ekonomi hijau melindungi keanekaragaman hayati dan
ekosistem. Hal ini mengacu pada upaya untuk mempertahankan
keanekaragaman hayati dan menjaga kelestarian ekosistem;
9). Ekonomi hijau memberikan pengurangan kemiskinan,
kesejahteraan, mata pencaharian, perlindungan sosial dan akses
ke layanan penting; Hal ini mengacu pada upaya untuk
EKONOMI HIJAU 23
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
meningkatkan kesejahteraan sosial dan ekonomi melalui
pembangunan ekonomi hijau;
10). Ekonomi hijau meningkatkan tata kelola dan supremasi hukum.
Tata Kelola dan supremasi hukum bersifat inklusif, demokratis,
partisipatif, akuntabel, transparan, dan stabil. Hal ini mengacu
pada upaya untuk memastikan tata kelola yang baik dan
memperkuat supremasi hukum dalam pembangunan ekonomi
hijau;
11). Ekonomi hijau menginternalisasi eksternalitas. Hal ini mengacu
pada upaya untuk mempertimbangkan dampak lingkungan dan
sosial dalam pengambilan keputusan ekonomi.
2.3 Kebijakan Ekonomi Hijau
Ekonomi hijau menjadi fokus pengembangan kebijakan skala
nasional dan internasional. Sebagai salah satu dari dua tema utama
yang dibahas di Konferensi PBB tentang Pembangunan Berkelanjutan
(Rio+20) tahun 2012. UNEP (2011) menetapkan ekonomi hijau
menjadi bagian dari arus utama dari dialog politik. UNEP menetapa
panduan bagi pemerintah dalam pengembangan kebijakan,
memanfaatkan potensi untuk mencapai pembangunan ekonomi dan
pengurangan kemiskinan.
Dalam dokumen Rio+20, The Future We Want. Laporan UNEP
ini menyatakan ekonomi hijau sebagai alat untuk mencapai
pembangunan berkelanjutan yang berkontribusi pada pengentasan
kemiskinan, pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan,
meningkatkan inklusi sosial, meningkatkan kesejahteraan manusia,
menciptakan kesempatan kerja dan pekerjaan yang layak untuk
semua, dengan tetap menjaga fungsi bumi dengan ekosistem yang
sehat (UNCSD, 2012). Dokumen tersebut juga mendorong negara-
negara untuk mengembangkan kebijakan ekonomi hijau, dan
memberikan beberapa panduan dalam pengembangan kebijakan.
Namun, beberapa pihak mengkritik hasil Rio+20, karena kurangnya
komitmen dari negara-negara dan kurang detailnya menjelaskan
tentang bagaimana menerapkan ekonomi hijau dalam prakteknya
(Barbier, 2012; Morrow, 2012; Borel & Turok, 2013). Namun, banyak
negara sudah mulai mengembangkan strategi dan rencana nasional
pembangunan ekonomi hijau. Upaya ini didukung oleh berbagai
organisasi internasional yakni OECD dan World Bank, serta badan-
badan PBB lainnya. Pada skala Eropa sudah mulai mengembangkan
ekonomi cerdas, hijau, dan inklusif (EC, 2010). Di tingkat nasional,
rencana ekonomi hijau sedang dikembangkan di negara-negara seperti
Indonesia, Brasil, Meksiko, Ethiopia, Kamboja, Guyana, Kazakhstan,
Mongolia, Papua Nugini, dan Filipina (Benson & Greenfield, 2012).
24 EKONOMI HIJAU
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
Bahkan, beberapa negara telah membuat kemajuan signifikan menuju
pengembangan strategi ekonomi hijau. Misalnya Korea Selatan sudah
memasukkan konsep pertumbuhan hijau ke dalam strategi
pembangunan nasional dan telah mengalokasi sebesar 80 persen
stimulus fiskal untuk pertumbuhan hijau. Hal ini bertujuan untuk
membangun sistem jaringan listrik pintar secara nasional pada tahun
2030, meningkatkan energi terbarukan hingga 11 persen dari pasokan
energi, dan membangun 1 juta rumah hijau. Di Cina sudah
dialokasikan sebesar US$140 miliar untuk diimplementasi bagi
investasi hijau (tahun 2011–2015) dan pembangunan hijau (Benson &
Greenfield, 2012). Selain itu juga, terdapat negara-negara lain yang
sudah memiliki kemajuan dalam strategi atau rencana nasional
ekonomi hijau termasuk Barbados, Kanada, Grenada, Yordania,
Afrika Selatan, Prancis, dan Inggris.
2.4 Ekonomi Hijau dan Pembangunan Berkelanjutan
Fokus ekonomi hijau pada pertemuan Rio+20 sebagai upaya
menerapkan pemikiran atau dorongan baru terhadap konsep
pembangunan berkelanjutan, khususnya menghubungkannya dengan
konsep pertumbuhan hijau (Morrow, 2012). Oleh karena itu, hal ini
menimbulkan pertanyaan, apakah hubungan antara ekonomi hijau dan
pembangunan berkelanjutan? Pembangunan berkelanjutan sering
didefinisikan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan
generasi sekarang, tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang
untuk memenuhi kebutuhan mereka. Definisi ini berasal dari laporan
Our Common Future diterbitkan tahun 1987 (WCED, 1987). Definisi
ini dianggap sebagai standar konsep pembangunan berkelanjutan.
Komponen utama pembangunan berkelanjutan yakni ekonomi,
lingkungan, dan sosial yang diwakili tiga pilar atau tiga lingkaran yang
saling terkait pada gambar 2.1 (Kates et al., 2005; Dresner, 2008).
EKONOMI HIJAU 25
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
Ekonomi
Lingkungan Masyarakat
26 EKONOMI HIJAU
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
global dan penjaminan sumber daya tambahan untuk mendukung
implementasinya. Sementara beberapa kemajuan telah dilakukan
untuk mencapai MDGs secara keseluruhan sangat tidak merata dan
tetap adanya tantangan substansial (Chibba, 2011). Setelah proses
kebijakan ini, pembangunan berkelanjutan telah menyebar dengan
cepat sebagai konsep dan saat ini dianggap sebagai gerakan global
yang penting bagi misi banyak orang, organisasi internasional,
lembaga nasional, perusahaan perusahaan dan lokal. Namun hal ini
tidak lepas dari kenyataan, bahwa definisi standar yang ambigu
menghasilkan perdebatan secara terus-menerus tentang pembangunan
berkelanjutan dalam praktiknya (Kates et al., 2005; Dresner, 2008).
Banyak juga yang mempertanyakan bagaimana konsep tersebut
ditafsirkan seperti Dawe dan Ryan (2003) menyoroti adanya
kelemahan dalam mempertimbangkan 3 (tiga) komponen yakni,
ekonomi, lingkungan, dan sosial secara setara. Hal ini menyiratkan
bahwa jika kompromi dapat dicapai antara kebutuhan ekonomi,
kesejahteraan manusia, dan lingkungan dapat diteruskan dalam jalur
ekonomi saat ini. Namun, seperti yang ditunjukkan bahwa umat
manusia tidak dapat memiliki kesejahteraan ekonomi dan sosial tanpa
kehadiran lingkungan. Oleh karena itu, lingkungan harus dilihat
sebagai fondasi dari setiap aktivitas ekonomi dan kesejahteraan
manusia.
Konsep pembangunan berkelanjutan yang diturunkan dari
laporan Brundtland berusaha mendamaikan masalah sosial, ekonomi,
dan lingkungan melalui pencapaian keseimbangan di antara ketiganya.
Dalam praktiknya, terjadi trade-off antara sosial, ekonomi dan
lingkungan yang tidak dapat dihindarkan (Morrow, 2012). Namun,
konsep keberlanjutan ini berhasil dan dapat diterima oleh negara dan
peserta lainnya, dan fleksibilitas dari konsep keberlanjutan telah
membantu mendapatkan dukungan secara luas. Oleh karena itu,
konsep pembangunan berkelanjutan terus menjadi tujuan kebijakan
menyeluruh dari masyarakat internasional, dan ekonomi hijau secara
luas diterima sebagai sarana untuk mendukung pencapaian
pembangunan berkelanjutan atau sebagai komponen pendukungnya
(UNCTAD, 2010). Namun, menurut IUCN (2010) ekonomi hijau
seringkali membawa konsep yang lebih bermakna dan berfokus secara
khusus pada perubahan mendasar yang diperlukan untuk memastikan
sistem ekonomi berkelanjutan. Demikian pula Green Economy
Coalition (2012), menyatakan bahwa ekonomi hijau memiliki cara
yang berbeda dalam melakukan sesuatu.
EKONOMI HIJAU 27
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
2.5 Ekonomi Hijau 5.0
Ekonomi hijau 5.0 adalah konsep ekonomi yang
memanfaatkan teknologi digital untuk menciptakan perekonomian
yang lebih cerdas, efisien, dan berkelanjutan, dengan fokus pada aspek
lingkungan. Konsep ini didasarkan pada pemikiran bahwa teknologi
digital dapat digunakan untuk mengurangi dampak negatif
perekonomian terhadap lingkungan, sehingga dapat mendukung
pembangunan berkelanjutan. Ekonomi hijau 5.0 memiliki beberapa
karakteristik utama, yaitu:
1. Intelligent: Ekonomi hijau 5.0 memanfaatkan teknologi digital
untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi perekonomian,
sekaligus mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan;
2. Efficient: Ekonomi hijau 5.0 menggunakan teknologi digital untuk
mengurangi biaya produksi dan meningkatkan daya saing
perekonomian, sekaligus mengurangi dampak negatif terhadap
lingkungan;
3. Sustainable: Ekonomi hijau 5.0 menggunakan teknologi digital
untuk mengurangi dampak negatif perekonomian terhadap
lingkungan, sehingga dapat mendukung pembangunan
berkelanjutan.
Terdapat beberapa contoh penerapan ekonomi hijau 5.0 yakni
sebagai berikut.
1. Artificial intelligence (AI) digunakan untuk meningkatkan
efisiensi dan produktivitas produksi yang ramah lingkungan.
Misalnya, AI dapat digunakan untuk otomatisasi tugas-tugas
produksi yang ramah lingkungan, atau untuk memprediksi
permintaan konsumen akan produk dan layanan ramah
lingkungan.
2. Big data digunakan untuk memahami perilaku konsumen dan
meningkatkan kualitas produk dan layanan ramah lingkungan.
Misalnya, big data dapat digunakan untuk menganalisis pola
belanja konsumen untuk produk dan layanan ramah lingkungan,
atau untuk mengukur kepuasan konsumen terhadap produk dan
layanan ramah lingkungan.
3. Internet of Things (IoT) digunakan untuk menghubungkan
berbagai perangkat dan sistem, sehingga dapat meningkatkan
efisiensi dan produktivitas produksi dan konsumsi yang ramah
lingkungan. Misalnya, IoT dapat digunakan untuk memantau
kondisi peralatan produksi dan konsumsi yang ramah lingkungan,
28 EKONOMI HIJAU
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
atau untuk mengontrol sistem transportasi yang ramah
lingkungan.
Ekonomi hijau 5.0 memiliki potensi besar untuk
meningkatkan perekonomian di berbagai aspek, termasuk
produktivitas, efisiensi, daya saing, dan kelestarian lingkungan.
Terdapat beberapa manfaat ekonomi hijau 5.0 sebagai berikut.
1. Meningkatkan produktivitas dan efisiensi perekonomian.
Teknologi digital dapat digunakan untuk otomatisasi tugas-tugas
yang sebelumnya dilakukan oleh manusia, sehingga dapat
meningkatkan produktivitas dan efisiensi perekonomian.
2. Meningkatkan daya saing perekonomian. Teknologi digital dapat
digunakan untuk menciptakan produk dan layanan baru yang lebih
inovatif, sehingga dapat meningkatkan daya saing perekonomian.
3. Meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Teknologi digital dapat
digunakan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas
pelayanan publik, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup
masyarakat.
4. Melindungi lingkungan. Teknologi digital dapat digunakan untuk
mengurangi dampak negatif perekonomian terhadap lingkungan,
sehingga dapat melindungi lingkungan.
Ekonomi hijau 5.0 masih dalam tahap awal pengembangan
dalam konteks di Indonesia, tetapi konsep ini memiliki potensi besar
untuk mengubah perekonomian di masa depan. Terdapat beberapa
contoh penerapan ekonomi hijau 5.0 di Indonesia:
1. PT PLN (Persero) menggunakan teknologi digital untuk
meningkatkan efisiensi produksi listrik yang ramah lingkungan.
Misalnya, PLN menggunakan AI untuk mengoptimalkan operasi
pembangkit listrik tenaga surya, dan menggunakan IoT untuk
memantau kondisi jaringan listrik.
2. PT Pertamina (Persero) menggunakan teknologi digital untuk
meningkatkan efisiensi produksi bahan bakar dan energi yang
ramah lingkungan. Misalnya, Pertamina menggunakan AI untuk
mengoptimalkan proses penyulingan minyak, dan menggunakan
IoT untuk memantau kondisi kilang minyak.
3. PT Unilever Indonesia Tbk. menggunakan teknologi digital untuk
meningkatkan efisiensi produksi dan konsumsi produk dan
layanan yang ramah lingkungan. Misalnya, Unilever Indonesia
menggunakan AI untuk mengoptimalkan proses produksi sabun
EKONOMI HIJAU 29
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
mandi, dan menggunakan IoT untuk memantau penggunaan air di
pabrik sabun mandi.
Secara umum diketahui bahwa penerapan ekonomi hijau 5.0
memiliki potensi besar untuk meningkatkan perekonomian Indonesia,
namun juga terdapat sejumlah tantangan dalam penerapan ekonomi
hijau 5.0 yakni sebagai berikut:
1. Ketersediaan teknologi dan sumber daya. Penerapan ekonomi
hijau 5.0 membutuhkan teknologi dan sumber daya yang
memadai.
2. Perubahan perilaku masyarakat. Perubahan perilaku masyarakat
untuk mendukung ekonomi hijau 5.0 juga diperlukan.
3. Kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah yang mendukung
ekonomi hijau 5.0 juga diperlukan.
Oleh karena itu untuk mengatasi tantangan dalam penerapan
ekonomi hijau 5.0 tersebut, maka diperlukan kerja sama dari berbagai
pihak, termasuk pemerintah, swasta, masyarakat, kalangan perguruan
tinggi (akademisi) dan media massa. Penerapan ekonomi hijau 5.0 ini
dapat menggunakan pentahelix approach.
30 EKONOMI HIJAU
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
BAB III TEORI DAN MAZHAB
EKONOMI HIJAU
Secara resmi tidak ada yang diakui sebagai orang yang pertama
kali menyebutkan atau memperkenalkan teori ekonomi hijau. Konsep
ekonomi hijau berkembang dari berbagai teori dan konsep yang telah
ada sebelumnya, seperti ekonomi lingkungan, ekonomi sumber daya
alam, dan pembangunan berkelanjutan. Namun, beberapa sumber
mencantumkan Paul Hawken (1993) sebagai salah satu tokoh penting
yang memperkenalkan konsep ekonomi hijau dalam bukunya The
Ecology of Commerce. Hawken (1993) membahas tentang pentingnya
memasukkan faktor lingkungan dan sosial dalam praktik bisnis yang
dapat memberikan manfaat bagi ekonomi berkelanjutan.
3.1 Teori Ekonomi Hijau
Teori ekonomi hijau adalah metodologi ilmu ekonomi yang
mendukung interaksi yang harmonis antara manusia dan alam, serta
upaya untuk memenuhi kebutuhan keduanya secara bersamaan. Teori
ekonomi hijau mempelajari dampak dari sumber energi alternatif,
pertanian berkelanjutan, perlindungan satwa liar, dan kebijakan
lingkungan. Ekonomi hijau mengacu pada disiplin ekonomi yang
berfokus pada merancang pendekatan yang mendorong interaksi
ekonomi yang harmonis antara manusia dan alam. Oleh karena itu,
ekonomi hijau memiliki dimensi luas yang menggabungkan sarana
interaksi dengan alam dan metode yang digunakan untuk
menghasilkan barang. Teori ekonomi hijau juga mempelajari ekonomi
sumber energi alternatif, termasuk bahan makanan atau proses industri
lainnya (Halton & Brown, 2022; Clay, 2022)
Ekonomi hijau terkait sangat erat dengan ekonomi ekologis tetapi
berbeda, karena pendekatan holistik yang mencakup advokasi politik
dan solusi berkelanjutan. Beberapa kritikus percaya solusi ekonomi
hijau bersifat kontraproduktif, karena dampak tak terduga pada
lingkungan alam. Untuk memahami ekonomi hijau International
Chamber of commerce (ICC) pada tahun 2011, menyatakan ekonomi
hijau adalah pertumbuhan ekonomi dan tanggung jawab lingkungan
bekerja bersama dalam cara yang saling memperkuat, saling
mendukung kemajuan dan perkembangan sosial. Salah satu cara
ekonomi hijau masuk ke arus utama melalui label yang berhadapan
dengan konsumen yang menunjukkan tingkat keberlanjutan produk
atau bisnis. Teori ekonomi hijau mencakup berbagai ide dan gagasan
yang semuanya berhubungan atau saling berhubungan antara manusia
dan lingkungan. Teori ekonom hijau sebagai dasar semua keputusan
EKONOMI HIJAU 31
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
ekonomi dalam berbagai cara yang terkait dengan ekosistem, dimana
modal alam dan jasa ekologi memiliki nilai ekonomi.
3.2 Interpretasi Ekonomi Hijau
Ekonomi hijau adalah istilah yang luas dan terkooptasi dengan
pemikiran dari berbagai kelompok, mulai dari pendukung fanatik
hijau hingga kalangan feminis. Secara umum, mencakup teori yang
memandang ekonomi sebagai komponen lingkungan. UNEP (2011)
mendefinisikan ekonomi hijau sebagai ekonomi yang rendah karbon,
hemat sumber daya, dan inklusif secara sosial. Dengan demikian,
ekonom hijau mengambil pendekatan yang luas dan holistik untuk
memahami dan memodelkan ekonomi, memberikan banyak perhatian
pada sumber daya alam yang mendorong perekonomian berfungsi.
Para pendukung cabang ekonomi ini peduli terhadap kesehatan
lingkungan alam dan percaya terhadap tindakan yang harus diambil
untuk melindungi alam dan mendorong koeksistensi positif manusia
dan alam. Cara pandang para ekonom ini mengadvokasi lingkungan
dengan argumentasi, bahwa lingkungan memainkan peran penting
dalam perekonomian dan kesehatan yang baik ditentukan oleh kondisi
lingkungan yang sehat dan merupakan bagian penting dari ekonomi.
Interpretasi ekonomi hijau mengacu pada pemahaman dan
interpretasi tentang konsep dan praktik ekonomi hijau. Interpretasi ini
berkaitan dengan berbagai pemahaman tentang bagaimana ekonomi
hijau dapat diaplikasikan dan diimplementasikan dalam kebijakan dan
praktik ekonomi yang berbeda-beda. Interpretasi ini juga mencakup
pandangan tentang dampak sosial dan lingkungan yang mungkin
timbul dari penerapan ekonomi hijau. Terdapat beberapa interpretasi
ekonomi hijau antara lain sebagai berikut:
1). Ekonomi hijau sebagai pendekatan yang memprioritaskan
keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan pelestarian
lingkungan (Klein et al., 2019);
2). Ekonomi hijau sebagai strategi untuk memperkuat keberlanjutan
lingkungan dengan mempromosikan inovasi dan investasi yang
berkelanjutan (De Groot et al., 2010);
3). Ekonomi hijau sebagai sarana untuk mengurangi kemiskinan dan
memperkuat ketahanan sosial, ekonomi, dan lingkungan (World
Bank, 2012);
4). Ekonomi hijau sebagai pandangan bahwa pasar bekerja untuk
kepentingan lingkungan dan bahwa pasar dapat diatur untuk
mempromosikan keberlanjutan lingkungan (Lohmann, 2010);
5). Ekonomi hijau sebagai alat untuk mengatasi perubahan iklim dan
menjaga keberlanjutan lingkungan di masa depan (OECD, 2011).
32 EKONOMI HIJAU
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
Secara umum, interpretasi ekonomi hijau terus berkembang dan
dipengaruhi oleh pemahaman dan interpretasi tentang keberlanjutan
lingkungan dan sosial yang terus berubah.
3.3 Kritik Terhadap Ekonomi Hijau
Gagasan ekonomi yang adil dan mendukung sumber energi
terbarukan, tentu saja menempatkan ekonomi hijau mendapatkan
banyak kritik. Pengkritik mengklaim upaya ekonomi hijau untuk
memisahkan pertumbuhan ekonomi dari perusakan lingkungan tidak
akan selalu berhasil. Sebagian besar pertumbuhan ekonomi berasal
dari teknologi dan sumber energi yang tidak terbarukan. Memisahkan
dunia dari sumber energi membutuhkan usaha keras dan belum
sepenuhnya berhasil. Fokus ekonomi hijau pada pekerjaan yang ramah
lingkungan sebagai solusi keadilan sosial juga dianggap keliru. Bahan
baku energi hijau dalam beberapa kasus berasal dari mineral tanah
jarang yang ditambang dalam kondisi tidak ramah oleh pekerja yang
dibayar murah. Contohnya mobil listrik, dimana baterainya dibuat dari
bahan mentah yang ditambang dari hutan tropis dan wilayah yang
dilanda perang saudara. Kritik lain terhadap ekonomi hijau adalah
solusinya yang berfokus pada pendekatan teknologi dan akibatnya
pasar ekonomi hijau justru didominasi perusahaan yang memiliki
akses-akses ke teknologi tinggi (Korten, 2015; Muradian et al, 2012;
Martinez-Alier, 2012; Bullard & Johnson, 2011; Røpke, 2013).
Secara lengkap kritik dan tantangan dalam implementasi hijau yakni
sebagai berikut:
1. Kurangnya Definisi yang Jelas: Masih terdapat kekurangan dalam
definisi ekonomi hijau sehingga menjadi sulit bagi pemerintah dan
organisasi untuk mengadopsi dan mengimplementasikan konsep
ini. Selain itu, belum ada konsensus global tentang definisi dan
ruang lingkup ekonomi hijau yang membuat interpretasi menjadi
beragam dan terkadang ambigu (Dresner, 2008);
2. Tidak Efektif Mencapai Tujuan Lingkungan: Beberapa kritikus
percaya bahwa solusi ekonomi hijau tidak efektif untuk mencapai
tujuan lingkungan karena kadang-kadang dapat menimbulkan
dampak tak terduga pada lingkungan alam. Hal ini dikarenakan
konsep ini lebih berfokus pada ekonomi daripada lingkungan
(Martinez-Alier et al., 2010).
3. Tidak Memberikan Solusi yang Komprehensif: Ekonomi hijau
sering kali tidak menyediakan solusi yang komprehensif untuk
masalah lingkungan dan tidak mengakui adanya perbedaan dalam
kebutuhan lingkungan antara negara maju dan berkembang (Lélé,
1991);
EKONOMI HIJAU 33
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
4. Kesulitan dalam Implementasi: Implementasi konsep ekonomi
hijau sering kali sulit karena memerlukan perubahan sistem dan
kebijakan yang sudah ada. Selain itu, perubahan ini harus disertai
dengan partisipasi aktif dari masyarakat dan pihak-pihak terkait
(Spash, 2012).
3.4 Ekonomi Hijau dan Ekonomi Ekologis
Ekonomi hijau dalam banyak hal terkait erat dengan ekonomi
ekologis, dalam cara memandang sumber daya alam yang memiliki
nilai ekonomi terukur, berfokus pada keberlanjutan dan keadilan.
Namun, ketika dalam konteks penerapan ide-ide, para pendukung
ekonomi hijau lebih berfokus secara politis. Ekonom hijau berupaya
mengadvokasi sistem akuntansi biaya, di mana entitas pemerintah,
industri, dan individu yang merugikan atau mengabaikan tanggung
jawab atas kerusakan yang ditimbulkannya dari penggunaan aset alam
(Barbier, 2012; Gowdy & Erickson, 2005; Jackson, 2011; Meadows
et al, 1972; Spash, 2012; Turner, 2013).
Ekonomi hijau dan ekonomi ekologis memiliki keterkaitan yang
erat, namun juga memiliki perbedaan yang cukup signifikan.
Keduanya sama-sama berusaha untuk mempertahankan
keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan keberlanjutan
lingkungan, namun dengan fokus dan pendekatan yang berbeda.
Ekonomi ekologis lebih menekankan pada pentingnya ketergantungan
manusia pada alam dan lingkungan, serta perlunya
mempertimbangkan aspek lingkungan dalam pengambilan keputusan
ekonomi. Konsep ini pertama kali diperkenalkan Herman Daly tahun
1970-an, dan mengusulkan ekonomi berfokus pada pertumbuhan yang
berkelanjutan, bukan pada pertumbuhan yang tidak terbatas. Ekonomi
ekologis menempatkan aspek lingkungan sebagai faktor penting
dalam proses produksi, dan bahwa sumber daya alam harus
diperhitungkan dalam proses pengambilan keputusan ekonomi (Daly,
1991; 2007).
Sementara itu, ekonomi hijau lebih menitikberatkan pada
pentingnya pengembangan teknologi dan sistem produksi yang ramah
lingkungan, sehingga terjadi pertumbuhan ekonomi yang
berkelanjutan. Ekonomi hijau lebih memfokuskan pada solusi
teknologi untuk mengatasi masalah lingkungan, seperti penggunaan
energi terbarukan dan pengembangan sistem transportasi yang ramah
lingkungan. Konsep ini pertama kali diperkenalkan Anatol Rapoport
tahun 1980-an kemudian semakin berkembang awal abad ke-21
(Rapoport, 1992).
Perbedaan utama antara ekonomi hijau dan ekonomi ekologis
adalah pada fokusnya. Ekonomi ekologis lebih menekankan pada
34 EKONOMI HIJAU
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
perlunya mempertimbangkan aspek lingkungan dalam pengambilan
keputusan ekonomi, sementara ekonomi hijau lebih menekankan pada
pengembangan teknologi dan sistem produksi yang ramah lingkungan.
Namun, memiliki tujuan sama yaitu mempertahankan keseimbangan
antara pembangunan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan (Gowdy
& Erickson, 2005; Barbier, 2007; Jackson, 2011; Meadows et al,
1972; Spash, 2012; Turner, 2013).
3.5 Paradoks Hijau Dalam Ekonomi
Paradoks hijau dalam ekonomi adalah konsep kontroversial yang
menyatakan bahwa setiap kebijakan yang bertujuan mengurangi
konsumsi bahan bakar fosil secara bertahap akan memiliki efek tak
terduga dalam mempercepat penggunaan bahan bakar fosil tersebut
dalam waktu dekat. Hal tersebut terjadi, karena perusahaan bahan
bakar fosil akan berusaha untuk mengambil lebih banyak keuntungan
dari bahan bakar fosil saat ini, karena mengetahui bahwa keuntungan
saat ini tidak akan mungkin terjadi di masa depan. Dengan demikian,
upaya untuk mengurangi konsumsi bahan bakar fosil justru akan
mempercepat penggunaan dalam waktu dekat. Paradoks hijau
dikemukakan ekonom Jerman, Hans-Werner Sinn tahun 2007 dalam
bukunya "Das Grüne Paradoxon"(Sinn, 2007; 2008).
3.6 Mazhab-Mazhab Ekonomi Hijau
Beberapa mazhab yang membahas dan mengkaji teori ekonomi
hijau secara mendalam yakni ekonomi Neo-Klasik (neoclassical
economics), ekonomi ekologis (ecological economics), ekonomi hijau
(green economics) dan ekonomi lingkungan (environmental
economics). Pemikiran mazhab dan teori ekonomi tersebut dibahas
secara mendalam (Daly, 1992; Martinez-Alier, 1987; Spash, 2008;
Turner, 1993).
3.6.1 Ekonomi Neoklasik
Ilmu ekonomi didefinisikan sebagai ilmu sosial yang berusaha
menjelaskan dasar-dasar ekonomi dari masyarakat, atau bagaimana
masyarakat memutuskan apa, bagaimana, dan untuk siapa diproduksi
(Begg et al.,2014). Oleh karena itu, ilmu ekonomi mempelajari pilihan
individu, bisnis, pemerintah, dan masyarakat yang dibuat dalam
menghadapi kelangkaan sumber daya dan insentif yang
mempengaruhi pilihan tersebut (Parkin et al., 2002). Subyek ilmu
ekonomi dapat dibagi menjadi dua tema utama yakni: ekonomi mikro
adalah studi tentang pilihan yang dibuat individu dan bisnis, cara
berinteraksi di pasar, dan pengaruh pemerintah. Sebaliknya, ekonomi
makro adalah studi tentang kinerja perekonomian secara nasional dan
global. Terdapat dua jenis utama sistem ekonomi yakni, ekonomi
EKONOMI HIJAU 35
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
pasar dan ekonomi komando. Dalam ekonomi pasar, dimana sumber
daya dialokasikan melalui mekanisme harga, dan sumber daya
dimiliki dan dikendalikan oleh perusahaan swasta dan individu.
Sebuah pasar didefinisikan sebagai pengatur di mana pembeli dan
penjual memperdagangkan komoditas dan sumber daya dengan
imbalan uang. Sementara itu dalam ekonomi komando, sumber daya
dialokasikan oleh otoritas perencanaan pusat dan industri besar, serta
sumber daya dimiliki dan dikendalikan oleh institusi negara
(Hardwick et al., 1999). Ekonomi arus utama (ortodoks) yakni
ekonomi neoklasik berdasarkan 3 (tiga) asumsi utama (Weintraub,
2013) yaitu: 1). Orang memiliki preferensi rasional; 2). Individu
memaksimalkan utilitas (mereka peroleh dari mengkonsumsi barang)
dan perusahaan memaksimalkan keuntungan; dan 3). Orang bertindak
secara independen berdasarkan informasi yang lengkap dan relevan.
Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut, maka ekonom neoklasik
mengembangkan sejumlah teori untuk memahami bagaimana sumber
daya yang langka dialokasikan. Hal ini termasuk maksimalisasi
keuntungan yang diperoleh perusahaan, penggunaan kurva penawaran
dan permintaan untuk memahami produksi dan konsumsi (Hardwick
et al., 1999). Interaksi antara penawaran dan permintaan menentukan
harga pasar. Meskipun, sistem ekonomi bersifat sangat dinamis,
namun ekonomi neoklasik sangat berfokus pada konsep
keseimbangan (ekulibrium). Keseimbangan pasar dianggap terjadi
ketika harga dan kuantitas komoditas sesuai dengan harapan produsen
dan konsumen, yakni jumlah yang diminta dan jumlah yang
ditawarkan sama. Menurut teori neoklasik, keputusan ekonomi dibuat
atas dasar untuk memaksimalkan utilitas dan memastikan preferensi
agen sebanyak mungkin terpenuhi secara semaksimal, mengingat
keterbatasan sumber daya yang tersedia (Cato, 2011). Dalam konteks
ini, agen adalah para pelaku atau pengambil keputusan yang terlibat
dalam kegiatan ekonomi, seperti individu konsumen atau perusahaan.
Menurut teori neoklasik, perekonomian diharapkan tumbuh tanpa
batas sebagai akibat dari perkembangan teknologi. Pertumbuhan
ekonomi adalah tujuan utama pemerintah, karena menyebabkan
peningkatan standar hidup dan berpotensi menghilangkan kemiskinan
(Hardwick et al., 1999). Namun, pertumbuhan ekonomi juga dapat
menyebabkan dampak negatif pada manusia maupun lingkungan.
Salah satu ciri ekonomi neoklasik, adalah keyakinan ekonomi pasar
lebih unggul daripada bentuk-bentuk organisasi ekonomi lainnya,
karena adanya efisiensi. Efisiensi ekonomi dicapai ketika sumber daya
yang tersedia digunakan untuk memproduksi barang dan jasa dengan
biaya serendah mungkin, dan jumlah yang memberikan kemungkinan
36 EKONOMI HIJAU
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
nilai atau manfaat yang terbesar (Parkin et al., 2002). Hubungan antara
biaya dan manfaat dapat dinilai melalui analisis biaya-manfaat yang
sering digunakan untuk mengevaluasi manfaat relatif dari keputusan
atau pilihan kebijakan yang berbeda (Cato, 2011; Begg et al. 2014,
Parkin et al. 2002; Hardwick et al. 1999.
Sejumlah pengkritik ekonomi neoklasik membangun dasar kritik
dari krisis keuangan yang terjadi baru-baru ini (Tahun 2008). Strainer
et al. (2009) menyoroti kegagalan dari ekonomi neoklasik
memprediksi terjadinya krisis tersebut. Hal ini dikaitkan dengan
kegagalan dalam teori ekonomi dan model terkait yang gagal
menangkap dinamika yang melekat pada sistem ekonomi, dan
ketidakstabilan yang menyertai kompleksitas dan dinamika ekonomi
tersebut. Fokus teoretis pada alokasi sumber daya yang langka
dianggap sebagai pandangan sempit dan menyesatkan, karena
terjadinya kegagalan sepenuhnya dalam melihat peran konektivitas
sistem keuangan dan interaksi antar aktor. Para pengkritik
menyimpulkan paradigma ekonomi neoklasik tidak memiliki dasar
metodologis yang kuat dan umumnya melakukan dengan cara yang
sederhana.
Aldred (2009) memberikan kritik ekonomi neoklasik, dengan
menyoroti adanya keterbatasan dogmatis yang berfokus pada
pertumbuhan ekonomi dan kebijakan pemerintah. Sebaliknya, Aldred
menyarankan hasil seperti peningkatan kualitas hidup, kesejahteraan
dan kebahagiaan manusia harus menjadi tujuan utama dari kebijakan
ekonomi. Hasil ini tidak selalu merupakan peningkatan konsumsi,
meski dianggap penting dalam teori ekonomi. Aldred juga
mempertanyakan peningkatan monetisasi dari banyak aspek
kehidupan manusia, yang mengikis nilai-nilai intrinsik yang dianut
orang yang berasal dari keyakinan moral. Misalnya, melihat mitigasi
perubahan iklim murni sebagai keputusan ekonomi untuk analisis
biaya-manfaat. Aldred berpendapat mitigasi tersebut harus dipandang
sebagai keputusan politik dan etis yang memiliki implikasi besar bagi
generasi mendatang. Aldred menyoroti asumsi yang mendasari
ekonomi neoklasik yang sering gagal, dan berargumen bahwa itu
mengacu pada asumsi etis yang tersembunyi yang seharusnya
dinyatakan secara eksplisit.
3.6.2 Ekonomi Ekologis
Ekonomi ekologis dalam beberapa dekade terakhir, telah
berkembang sebagai disiplin akademis yang mengkaji interaksi antara
sistem ekonomi dan sistem ekologi (Common & Stagl, 2005).
Ekonomi ekologis ini berkembang sebagai respons terhadap fakta,
bahwa ekonomi neoklasik sebagian besar mengabaikan aspek-aspek
EKONOMI HIJAU 37
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
lingkungan. Yakni, sub-disiplin ilmu ekonomi neoklasik yang
dikembangkan tahun 1970-an, yaitu ekonomi lingkungan dan
ekonomi sumber daya alam. Dimana antara ekonomi ekologis dan sub
disiplin ekonomi neoklasik masing-masing mempertimbangkan
hubungan antara ekonomi dan lingkungan, termasuk pencemaran
lingkungan, dan sumber daya alam ekstraksi. Namun, ekonomi
ekologis berbeda dari dua sub-disiplin tersebut, dan secara eksplisit
melihat aktivitas ekonomi yang terjadi dalam konteks lingkungan,
daripada melihat lingkungan sebagai sub-set dari ekonomi. Oleh
karena itu, ekonomi ekologis menganggap ekonomi sebagai subsistem
dari alam, sedangkan pendekatan neoklasik juga mengambil
pandangan yang berlawanan dimana alam sebagai subsisten dari
ekonomi (Common & Stagl, 2005; Faber, 2008). Beberapa bagian
penting yang menentukan ekonomi ekologis meliputi:
a. Penekanan pada pelestarian modal alam, atau stok ekosistem alam
yang menyediakan barang dan jasa kepada orang-orang. Oleh
karena modal alam tidak dapat dengan mudah diganti oleh modal
buatan manusia, seperti diasumsikan ekonomi neoklasik;
b. Keyakinan pertumbuhan ekonomi tidak dapat berlangsung secara
terus menerus. Pada akhirnya pertumbuhan akan dibatasi oleh
daya dukung lingkungan (ekosistem bumi) dan sumber daya alam
terbatas. Banyak ekonom ekologi menganggap bahwa ekonomi
kondisi mapan sama dengan pertumbuhan nol;
c. Pertimbangan skala ekonomi relatif tergantung terhadap
ekosistem;
d. Fokus pada ekonomi pembangunan berkelanjutan, termasuk
pemerataan barang dan jasa, penggabungan nilai-nilai sosial
dalam pengambilan keputusan, dan peningkatan kesejahteraan
manusia.
Selain hal-hal tersebut, ekonomi ekologis berkaitan dengan nilai-nilai
moral yang dimasukan dalam keputusan ekonomi dan
mempertimbangkan implikasi etisnya, seperti hak masa depan
generasi dan perlakuan terhadap orang-orang miskin (Spash, 1999).
Banyak dari masalah-masalah ini relevan dengan ekonomi hijau.
Namun, ekonomi ekologi sebagian besar telah menjadi upaya
akademis hingga saat ini, dan memiliki dampak yang relatif kecil pada
pemikiran ekonomi arus utama (Common & Stagl, 2005; Daly dan
Farley 2011; Shmelev, 2012; Barbier & Markandya, 2012).
38 EKONOMI HIJAU
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
dari akar rumput. Oleh karena itu, dapat dikatakan lebih beragam dan
lebih luas didefinisikan daripada pendekatan ekonomi lain seperti
yang sudah dijelaskan sebelumnya. Cato (2009) memberikan sintesis
berharga dari berbagai konsep dan ide, serta menelusuri sejarah
perkembangan ekonomi hijau melalui kontribusi secara individu.
Schumacher dalam buku Small Is Beautiful telah memberikan
pengaruh kuat terhadap banyak pemikiran hijau. Bagi banyak orang,
penekanan pada skala lokal, pada kegiatan ekonomi di lingkungan,
masyarakat dan budaya lokal, dan menjaga rantai pasokan tetap
pendek, tetap menjadi inti dari etos hijau. Secara lengkap perbedaan
prinsip antara ekonomi hijau dan ekonomi ekologi adalah sebagai
berikut:
1). Sifat disiplin akademis: ekonomi ekologi telah berkembang
sebagai disiplin akademis yang mapan, sementara ekonomi hijau
belum berkembang sebagai disiplin akademis yang terstruktur.
Ekonomi hijau lebih muncul dari gerakan grassroot yang terdiri
dari kelompok-kelompok masyarakat dan aktivis yang terlibat
dalam kegiatan-kegiatan lingkungan;
2). Fokus Utama Fokus utama: ekonomi hijau berfokus pada
pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan bagaimana mengurangi
dampak negatif dari aktivitas ekonomi pada lingkungan.
Sementara itu, fokus utama ekonomi ekologi pada interaksi
antara sistem ekonomi dan sistem ekologi, dan bagaimana
aktivitas ekonomi dapat dilakukan secara berkelanjutan dengan
mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan;
3). Pendekatan Metodologis: ekonomi Hijau cenderung mengambil
pendekatan praktis dan solusi yang dapat diimplementasikan
secara langsung dalam aktivitas ekonomi. Di sisi lain, ekonomi
ekologi cenderung mengambil pendekatan yang lebih teoretis
dan konseptual, dengan fokus pada penelitian dan pengembangan
konsep untuk mengatasi masalah lingkungan yang kompleks
(Cato, 2009). Selanjutnya, meskipun kedua pendekatan
tersebut memiliki perbedaan yang nyata, namun keduanya
memiliki tujuan yang sama, yaitu mencapai pertumbuhan
ekonomi yang berkelanjutan dan menjaga keberlanjutan
lingkungan. Cato (2011) menunjukkan bahwa ekonomi hijau
berbeda dari ekonomi neoklasik dalam gambar sebagai berikut.
EKONOMI HIJAU 39
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
Ekonomi
Masyarakat
Lingkungan
40 EKONOMI HIJAU
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
3.6.4 Ekonomi dan Lingkungan
Ekonomi dan lingkungan dapat dipandang sebagai dua hal dalam
sistem yang saling bergantung satu sama lainnya (simbosis
mutualisme). Apa yang terjadi dalam perekonomian mempengaruhi
lingkungan, dan apa perubahan yang terjadi dalam lingkungan
mempengaruhi perekonomian. Secara khusus terdapat 4 (empat)
hubungan antara ekonomi dan lingkungan (Common & Stagl, 2005)
yakni sebagai berikut.
1) Sumber daya pasokan: sumber daya (sering disebut sebagai
sumber daya alam) diekstraksi dari lingkungan dan digunakan
dalam produksi ekonomi. Sumber daya terbarukan adalah sumber
daya yang dapat diganti setelah dipanen, seperti berasal dari
populasi biotik yang dapat mereproduksi. Sumber daya yang tidak
dapat diperbarui, seperti mineral dan bahan bakar fosil, tidak dapat
diganti selama rentang waktu berkait dengan kepentingan
manusia;
2) Tempat pembuangan sampah: sampah timbul dari produksi dan
konsumsi dalam perekonomian tetapi berasal dari sumber daya.
Mengikuti hukum kekekalan materi, massa limbah yang
dimasukkan ke dalam lingkungan harus sama dengan massa
sumber daya yang diekstraksi dari lingkungan;
3) Kemudahan: lingkungan menyediakan sumber kesenangan dan
rangsangan bagi manusia, seperti berenang di laut, hiking di cagar
alam, dan bentuk rekreasi lainnya;
4) Penopang hidup: pemeliharaan kondisi yang diperlukan untuk
kehidupan manusia adalah prasyarat untuk kegiatan ekonomi
manusia.
Banyak dari proses baik dalam sistem ekonomi dan ekologi dapat
dipertimbangkan dari segi: stok dan arus. Stok adalah kuantitas yang
diukur pada titik waktu tertentu, sedangkan aliran adalah kuantitas
yang diukur selama interval waktu. Misalnya, negara mungkin
memiliki persediaan modal yang mengacu pada nilai total peralatan,
bangunan, dan aktiva lainnya. Sementara itu, PDB mengacu pada
jumlah uang yang dihabiskan selama satu kurun waktu tertentu
(seperti satu tahun), dan karena itu merupakan variabel aliran.
Kegiatan dasar yang terdiri dari ekonomi adalah konsumsi, produksi
dan investasi didefinisikan sebagai berikut (Common & Stagl, 2005):
1) Konsumsi adalah penggunaan barang dan jasa (atau komoditas)
oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan. Hal ini
termasuk konsumsi bahan fisik dan energi, tetapi juga jasa non-
materi seperti nilai estetika lukisan yang ditampilkan di galeri
seni;
EKONOMI HIJAU 41
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
2) Produksi mengacu pada penciptaan barang dan jasa yang
dikonsumsi orang yang dilakukan oleh perusahaan. Produksi
mungkin memerlukan beberapa jenis input, termasuk tenaga kerja,
energi, dan bahan mentah atau sumber daya alam yang diambil
dari lingkungan;
3) Investasi mengacu pada bagian produksi yang ditambahkan ke
persediaan modal daripada dikonsumsi.
Dalam ekonomi mengacu pada akumulasi entitas fisik seperti pabrik,
mesin, dan rumah. Di bidang keuangan, investasi memasukkan uang
ke dalam aset dengan ekspektasi kenaikan modal dan/atau pendapatan
bunga. Stok modal suatu perekonomian meliputi: (1) modal tahan
lama atau fisik (physical capital) yang digunakan dalam produksi, dan
termasuk peralatan, mesin, kendaraan dan jalan; (2) modal manusia
(human capital), mengacu pada saham pengetahuan dan keterampilan
yang dimiliki oleh individu, yang digunakan untuk menghasilkan nilai
ekonomi melalui kerja; (3) modal intelektual (intellectual capital),
yaitu pengetahuan dan keterampilan yang digunakan oleh ekonomi
tetapi tidak diwujudkan pada individu tertentu, tetapi disimpan dalam
buku dan artefak budaya lainnya; dan (4) modal sosial (social capital),
yaitu himpunan lembaga dan adat istiadat yang menyelenggarakan
kegiatan ekonomi. Sebagai tambahan, (5) modal alam (natural
capital) mengacu pada stok di lingkungan yang memberikan layanan
kepada ekonomi.
42 EKONOMI HIJAU
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
BAB IV DISKURSUS EKONOMI HIJAU
Ekonomi hijau adalah pendekatan atau ilmu ekonomi dimana
sumber daya alam dan hasil emisi diperhitungkan dengan biaya sesuai
dampaknya terhadap masyarakat, dan kemampuan jasa ekosistem
bertahan terhadap aktivitas perekonomian yang terjadi. Penilaian
lingkungan atas depresiasi modal alam sepenuhnya terintegrasi dalam
kebijakan dan strategi pembangunan ekonomi (Salah, 2011).
Argumentasi dan pandangan ekonomi lingkungan berubah dari Tahun
1980-an hingga awal abad ke-21 dalam konteks ekonomi dan politik.
Terdapat 2 (dua) kondisi krisis penting dapat memahami
perkembangan dan dinamika gagasan ekonomi hijau yaitu: krisis iklim
dan krisis keuangan. Pada dekade tahun 2000-an, dimana perubahan
iklim menjadi masalah internasional. Protokol Kyoto diratifikasi dan
dibahas oleh Dewan Keamanan PBB. Stern (2007) menunjuk
pentingnya perubahan iklim. Dimana, tindakan masa depan akan lebih
mahal dari pada tindakan saat ini. Meskipun, skala respons politik
tidak memadai (setelah konferensi iklim Copen Hagen tahun 2009).
Dimana lebih banyak waktu, uang, dan perhatian diplomatik secara
perlahan sudah beralih pada program mitigasi dan adaptasi. Namun,
antusiasme terhadap ekonomi hijau tidak muncul, jika tidak terjadi
krisis keuangan dan ekonomi yang saling terkait mulai tahun 2007-
2008 yang mengguncang ekonomi AS dan Eropa, kemudian menjalar
ke seluruh dunia (Tienhaara, 2013).
Laporan UNEP tentang Kesepakatan Baru Hijau Global mulai
dengan mencatat bahwa setiap saat kemungkinan terjadi krisis
keuangan dan ekonomi terburuk dalam beberapa generasi (UNEP,
2009). Krisis ini telah melegitimasi kembali adanya gagasan
intervensi negara dalam perekonomian, perlunya perencanaan
ekonomi dan investasi yang ditargetkan. Terjadinya krisis keuangan
dimanfaatkan para pencinta lingkungan yang melihat peluang untuk
mempromosikan restrukturisasi fundamental ekonomi global di
sepanjang garis hijau dan investasi teknologi hijau menghidupkan
kembali pertumbuhan global.
Krisis kembar tersebut telah memicu perhatian terhadap ekonomi
hijau: transisi ke masa depan yang lebih berkelanjutan secara ekologis
dan sosial, sedangkan investasi hijau sebagai alat untuk memulai
kembali peningkatkan pertumbuhan ekonomi. Dalam negosiasi
internasional, narasi ekonomi hijau berguna konsep terkait
pembangunan berkelanjutan memungkinkan berbagai aktor dan
lembaga menyebarkan dengan cara berbeda. Dimana, UNEP
mendefinisikan ekonomi hijau sebagai salah satu yang dapat
EKONOMI HIJAU 43
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
meningkatkan kesejahteraan manusia dan kesetaraan sosial, namun
juga ekonomi hijau secara signifikan justru mampu mengurangi risiko
lingkungan dan kelangkaan ekologis (UNEP, 2011).
Menurut Tienhaara (2013) ide ekonomi hijau dapat dibedakan
menjadi beberapa istilah yakni green new deal, green stimulus, dan
green economy Istilah-istilah tersebut cenderung digunakan oleh
pihak yang berbeda, dengan cara yang berbeda, dan waktu yang
berbeda. Oleh karena itu, sangat berguna untuk membedakan istilah-
istikah tersebut. Selain itu, juga seringkali ekonomi hijau dalam
prakteknya sering tumpang tindih dengan revolusi hijau, transformasi
hijau, pertumbuhan hijau, dan ketahanan hijau (Barier et al, 2011).
4.1 Revolusi Hijau
Revolusi hijau merujuk pada perubahan besar-besaran dalam
produksi pertanian yang terjadi pada 1940-an hingga 1970-an, di mana
teknologi baru seperti benih hibrida, pestisida, dan pupuk kimia
digunakan untuk meningkatkan hasil panen. Revolusi Hijau ini
terutama terjadi di negara-negara sedang berkembang terutama di Asia
dan Amerika Latin. Revolusi hijau ini bertujuan untuk meningkatkan
ketahanan pangan dan mengurangi kemiskinan (Haggblade et al,
2010; Heisey & Mwangi, 2012; Pingali, 2012; Roy, 2009; Scobell,
2015).
Revolusi hijau berhasil meningkatkan produksi pangan dan
mengurangi kemiskinan di banyak negara berkembang. Namun,
revolusi hijau juga menghadirkan sejumlah tantangan dan masalah
baru seperti penurunan kualitas tanah dan air, masalah lingkungan,
dan ketidaksetaraan dalam distribusi manfaat ekonomi. Dalam
konteks ekonomi hijau, revolusi hijau menjadi bagian dari perdebatan
tentang pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan penggunaan
teknologi yang ramah lingkungan.
Secara umum diketahui pemikiran tertua tentang ekonomi hijau
berasal dari pencinta lingkungan tahun 1960-an dan tahun 1970-an
terjadi transformasi radikal dan revolusioner terhadap ekonomi
menjadi revolusi hijau sehingga menjadi jelas dan nyata antara batas-
batas alam dan kebijakan ekologis (Bookchin 1980). Banyak ahli
ekologi, ekososialis, ekofeminis, masyarakat adat, dan pihak lain
meyakini bahwa transformasi radikal masyarakat diperlukan untuk
memperbaiki hubungan antara manusia dengan alam.
Menurut Meadows et al (1972) batas-batas pertumbuhan
disampaikan para pencinta lingkungan tahun 1970-an untuk
menginspirasi berbagai alternatif seperti penurunan pertumbuhan,
ekonomi kondisi mapan, atau kemakmuran tanpa pertumbuhan (Barry
2012; Goodman & Salleh 2013; Wapner 2014). Kondisi ini tidak
44 EKONOMI HIJAU
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
hanya dilihat sebagai perubahan yang diperlukan, melainkan menjadi
peluang positif dan progresif untuk masyarakat yang lebih baik.
Sementara itu, Barry (2012) menyarankan untuk menghapus adanya
keharusan pertumbuhan ekonomi ortodoks yang menciptakan lebih
sedikit pilihan untuk perkembangan manusia. Gagasan sistem
ekonomi hijau untuk menyelesaikan kontradiksi dan mengakhiri
eksploitasi atas alam secara sistematis harus menjadi prinsip utama
(Goodman & Salleh 2013; McAfee 2013; McShane 2014; Stevenson
2013). Konsep ekonomi hijau menjadi sesuatu yang sangat berbeda
dari ekonomi saat ini, dalam hal apa yang dimakan dan bagaimana
diproduksi, energi dan sistem transportasi yang digunakan. Transisi
menuju ekonomi hijau telah banyak merevolusi kondisi masyarakat
kontemporer termasuk hubungan patriarki, ras, negara, sistem negara,
kapitalisme, serta aspek pemikiran yang menggambarkan alam dan
masyarakat sebagai bagian yang terpisah dan berbeda.
4.2 Transformasi Hijau
Wacana kedua tentang ekonomi hijau ditulis Brundtland dalam
laporan visi pembangunan berkelanjutan sebagai penyelarasan
kembali model pertumbuhan dan pengembangan (WCED, 1987).
Dokumen hasil konferensi Rio+20, The Future We Want, menyatakan
ekonomi hijau sebagai sarana mencapai pembangunan berkelanjutan
(UN, 2012). Transformasi hijau dalam sistem sosial-ekonomi dan
politik saat ini menjadi elemen dasar dan asumsi sistem. Sehingga
pertumbuhan ekonomi sebagai penggerak kemajuan, lingkungan
sebagai sumber daya bagi pembangunan manusia, negara dan sistem
negara sebagai pengatur dan penjamin pembangunan.
Transformasi hijau adalah konsep yang terkait dengan perubahan
paradigma dari sistem ekonomi berbasis pada sumber daya fosil ke
sistem ekonomi berkelanjutan dan ramah lingkungan. Transformasi
hijau bertujuan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif,
meningkatkan kesejahteraan manusia, dan mendorong pengelolaan
sumber daya yang berkelanjutan. Dalam konteks ekonomi hijau,
transformasi hijau mengacu pada perubahan mendasar dalam cara
memproduksi, mengkonsumsi, dan memanfaatkan sumber daya alam.
Transformasi hijau juga melibatkan perubahan pada teknologi dan
inovasi, pengembangan infrastruktur yang berkelanjutan, dan
pengembangan kebijakan publik yang berfokus pada lingkungan.
Tujuannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan
sumber daya dan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan.
Beberapa strategi yang digunakan dalam transformasi hijau termasuk
pengembangan energi terbarukan, pengelolaan air yang berkelanjutan,
peningkatan efisiensi energi dan pengurangan emisi gas rumah kaca,
EKONOMI HIJAU 45
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
dan pengurangan limbah (UNEP, 2011; World Bank, 2012; OECD,
2011; UNCTAD; 2011, WRI, 2011).
Transformasi yang disajikan dalam konteks global saat ini adalah
sistem masyarakat kapitalis dan dicapai melalui lembaga yang ada.
Kebijakan strategi Keynesian melalui investasi publik dan stimulus
fiskal dapat dimobilisasi sebagai tujuan hijau antara lain: udara, air
dan makanan bersih, transportasi umum yang efisien dan aman, serta
kampanye penanaman pohon (Paterson, 2009). ILO menyatakan
dengan ekonomi hijau dapat menghasilkan keuntungan bersih hingga
mencapai 60 juta pekerjaan (ILO, 2013). Wacana ini secara eksplisit
mengacu pada sejarah New Deal dari Presiden Franklin D. Roosevelt
di Amerika tahun 1930-an, yang mencakup program pekerjaan umum
dengan mempekerjakan lebih dari tiga juta pemuda antara tahun 1933
dan tahun 1942, untuk menanam sekitar dua miliar pohon,
mengembangkan sebanyak 800 taman baru di negara-negara bagian
untuk mengatasi pengangguran yang meluas dan terjadinya degradasi
lahan (Tienhaara 2013; UNEP, 2009). Terdapat beberapa kesamaan
dengan wacana pertumbuhan hijau yang juga menganjurkan
penggunaan investasi yang ditargetkan dengan teknologi tinggi
industri dan pekerjaan hijau. Namun, secara eksplisit transformasi
hijau dapat dibedakan pada aspek keadilan sosial, kesetaraan, dan
redistribusi (termasuk antargenerasi). Sehingga pertumbuhan hanya
sebagai sarana dan bukan tujuan. Jadi hubungan antara kaya dan
miskin, utara dan selatan secara global membutuhkan transformasi
hijau. UNEP mendorong adanya orientasi pada pro-miskin dalam
setiap inisiatif ekonomi hijau (UNEP, 2011).
4.3 Pertumbuhan Hijau
Wacana ketiga adalah pertumbuhan hijau yang menempatkan
pasar hijau sebagai peluang ekonomi. Hal tersebut dikemukakan
dalam Laporan World Bank tentang pertumbuhan hijau inklusif.
Dimana, saat ini sistem tidak efisien, sehingga pertumbuhan hijau
menawarkan pertumbuhan yang lebih bersih (World Bank, 2012;
Resnick et al, 2012). Dalam kondisi terjadinya krisis keuangan dan
resesi yang meluas, pasar baru, sumber kekayaan, dan area inovasi
diperlukan. Bersamaan dengan itu terjadi peningkatan harga bahan
baku dan sumber daya alam di pasar dunia minyak, gas, bahan
makanan, dan tanah serta kekurangan sumber daya yang diperkirakan
meluas seperti air tawar, menyebabkan banyak bisnis mendapatkan
keuntungan saat going green (Foresight, 2011). Meningkatnya
populasi dunia, terjadinya pertumbuhan ekonomi cepat di Asia,
Amerika Latin dan Afrika, tampaknya juga diikuti dengan kehadiran
pasar baru, bahkan di pasar lama untuk produk-produk organik dan
46 EKONOMI HIJAU
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
hijau menjadi semakin menarik secara komersial (OECD, 2011). Pasar
karbon menciptakan peluang baru bagi spekulasi keuangan,
pengembang teknologi energi baru, tampaknya secara terus-menerus
berada di puncak terobosan besar yang membawa umat manusia ke
tahap perkembangan berikutnya yakni pasca bahan bakar fosil
(DBSA, 2011). Dari perspektif ini, ekonomi hijau menjadi tempat
yang bagus bagi aspek pertumbuhan, keuntungan, pekerjaan, dan
pasar di masa depan.
Wacana pertumbuhan hijau telah mewakili pembentukan kembali
fundamental dari hubungan antara lingkungan dan ekonomi. Daripada
hanya sekedar fokus pada batas dan kelangkaan seperti kebanyakan
teks-teks lingkungan, penekanannya pada pasar baru, layanan baru,
dan konsumsi baru. Hal ini mencerminkan tren yang semakin meluas
dalam tata kelola lingkungan yang jauh dari mekanisme pengaturan
yang dirancang, untuk membatasi bentuk-bentuk kegiatan ekonomi
tertentu dan mendorong menuju jalur pertumbuhan tertentu (GGNDG,
2010).
4.4 Ketahanan Hijau
Ketahanan hijau sebagai elemen keempat dari wacana hijau yang
bersifat reaksioner dan berusaha melindungi status quo, sehingga
tidak bersifat radikal dalam wacana ekonomi hijau, terutama untuk
menghadapi krisis keuangan dan lingkungan (Barry 2012; UNEP
2009). Kondisi lingkungan berupa perubahan iklim, peningkatan
polusi, dan penipisan sumber daya telah memberikan keyakinan pada
banyak orang, bahwa alternatif hanya untuk mempertahankan status
quo. Pada kondisi tertentu, dimana mobil menggunakan minyak bumi
transisi menuju mobil listrik. Perubahan iklim membutuhkan
pertanian yang cerdas terhadap iklim antara lain tanaman dan teknik
baru dan diversifikasi kepemilikan lahan untuk melindungi petani
(Stern, 2007). Para ahli perubahan iklim menunjukkan adanya
kerentanan masyarakat dan ekosistem di Afrika Selatan (Bauer &
Scholz, 2010). Masyarakat perlu memikirkan bagaimana sumber
makanan dan air, dan mungkin perlu mempertimbangkan kembali
ketergantungan pada sumber energi dan bahan mentah dari luar.
Berbagai teknologi, teknik, program, dan inisiatif dalam wacana
ketahanan hijau. Hal ini sebagai skema terhadap adaptasi iklim,
antisipasi banjir, skema asuransi, indeks risiko, rencana bantuan
bencana, dan upaya membangun ekonomi lokal yang mandiri. Selain
kerentanan terhadap perubahan lingkungan seperti bencana dan
kelangkaan, ada risiko yang ditimbulkan oleh tindakan politik dan
ekonomi terhadap lingkungan. Terdapat banyak negara dan pasar
menghadapi bentuk-bentuk ancaman baru terhadap proteksionisme
EKONOMI HIJAU 47
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
ekonomi, hilangnya keunggulan komparatif di sektor atau pasar
karena perubahan teknologi, dan adanya bentuk-bentuk baru tata
kelola dan regulasi (Foresight, 2011).
Wacana ketahanan hijau adalah fitur pembeda utama dari wacana
pertumbuhan hijau yang lebih optimis. Dengan demikian, hal ini
merupakan sikap antusiasme yang tinggi terhadap konsep ekonomi
hijau. Dimana masih banyak terdapat sikap skeptis. Banyak yang telah
lama mendukung revolusi hijau, namun skeptis terhadap wacana
pertumbuhan hijau saat ini. Banyak negara berkembang khususnya di
Afrika terdapat juga kekuatiran tentang implikasi ekonomi hijau.
Kekuatiran ini muncul saat negosiasi sebelum terlaskananya
Konferensi PBB Rio+20 tentang Pembangunan Berkelanjutan di
Brasil tahun 2012. Banyak negara tergabung G77, termasuk China
menolak terhadap konsep ekonomi hijau. Alasannya adanya ancaman
tarif ramah lingkungan pada ekspor global, dimana ekonomi hijau
akan menjadi bentuk eco-protectionism dalam standar produksi yang
lebih tinggi tanpa pengecualian antara pasar di negara-negara
berkembang dengan negara-negara maju (Khor, 2011; UN, 2012;
World Bank, 2012). Kekuatiran lain, adanya formulasi ekonomi hijau
bersifat homogen yang mengabaikan prinsip-prinsp tanggung jawab
bersama yang menganggu komitmen terhadap pengentasan
kemiskinan dan memenuhi kebutuhan dasar di negara-negara bagian
Selatan (Goodman & Salleh, 2013; Khor, 2011; Tienhaara 2013; ILO,
2013; OECD; 2011; Resnick et al, 2012).
48 EKONOMI HIJAU
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
BAB V PENDEKATAN EKONOMI HIJAU
Pendekatan ekonomi hijau merupakan suatu paradigma
pembangunan yang berfokus pada pembangunan yang berkelanjutan
dan ramah lingkungan. Pendekatan ini berupaya untuk
mengintegrasikan aspek-aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan
secara holistik dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.
Pendekatan ekonomi hijau ini juga berupaya untuk mengatasi
tantangan-tantangan global seperti perubahan iklim, kekurangan
sumber daya dan degradasi lingkungan dengan menerapkan prinsip-
prinsip keberlanjutan dan efisiensi sumber daya dalam seluruh sektor
ekonomi. Pendekatan ekonomi hijau menawarkan sejumlah manfaat
seperti menciptakan lapangan kerja baru di sektor-sektor yang ramah
lingkungan, meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya, dan
mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan. Namun, pendekatan
ini juga menghadapi sejumlah tantangan, seperti masalah perencanaan
dan pengelolaan yang kompleks, kesulitan memperoleh dana, serta
tantangan dalam mengubah perilaku dan kebiasaan masyarakat
(Sukhdev, 2010; Cato, 2010; Burket, 2011; Zhuang & Yang, 2016;
Lacy & Rutqvist, 2019).
5.1 Proyek Ekonomi Hijau
Proyek ekonomi hijau (green economy project/GEP) adalah
bagian dari proyek politik di mana pengambilan keputusan terhadap
lingkungan telah bergeser dari proses dan tata kelola politik ke proses
dan logika ekonomi. Dengan perubahan ini, maka masalah dan konsep
lingkungan digunakan untuk menggambarkan agenda dan kebijakan
pasar memprioritaskan lingkungan. Berdasarkan retorika hijau, para
pengkritik mengklaim bahwa GEP memberikan lebih banyak kontrol
dan kekuasaan kepada perusahaan dan sektor keuangan untuk
mengelola alam melalui proses akuntansi modal alam. Oleh karena itu,
bertentangan dengan paradigma tradisional dari para ekonom hijau
dalam konteks pemahaman ekonomi hijau. Dimana pengambilan
keputusan demokratis, GEP telah mengeser pengambilan keputusan
lingkungan dari ruang publik kepada mekanisme pasar. Oleh karena
itu, keputusan lingkungan dibuat para pemilk modal yang
berpartisipasi dan beraktivitas di pasar. Padahal, sebagian besar
ilmuwan dan pencinta lingkungan terlibat dalam menempatkan GEP
sebagai cara untuk membantu/membuat para pelaku politik dan
ekonomi menilai lingkungan dan alam berdasarkan logika pasar
industri/keuangan (Agyeman & Evans, 2004; Barry, 2012; Cohen
EKONOMI HIJAU 49
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
2010; Daly & Farley, 2011; Dobson, 1998; Martinez, 2002; 2014;
O’Connor, 1993; Princen & Maniates, 2015; UNEP, 2011)
Sementara itu, teori ekonomi hijau menegaskan dan menyatakan
bahwa sistem ekonomi harus tunduk pada logika dan sistem ekologi
yang awalnya ditempati oleh sistem ekonomi. Dengan menggunakan
konteks ekonomi hijau, GEP mengaburkan perbedaan cara-cara
pengelolaan tersebut dengan kesamaan ekologis, yaitu berbasis
kesamaan pendekatan ekonomi hijau versus pendekatan berbasis
modal alam (ekonomi lingkungan). Proses yang mengaburkan ini
mungkin tidak dilakukan pada semua kasus, namun strategi yang
disengaja oleh para individu yang terlibat. Para pemerhati lingkungan
yang mengajukan GEP menjadi kecewa dengan pendekatan saat ini
(tidak bekerja melindungi keanekaragaman hayati) dan sarana untuk
mengamankan pendanaan untuk konservasi (Newey, 2014). Namun,
kepentingan terselubung secara politik yang menegaskan dianggap
mekanisme pasar sebagai wilayah yang netral. GEP bertujuan untuk
melindungi alam dengan memperhitungkan eksternalitas kerusakan
lingkungan. Berdasarkan logika ini, maka proses alam dinilai secara
finansial, harga barang dan jasa mencerminkan biaya ekologis dan
tidak akan ada lagi ekonomi yang menghasilkan produk berbahaya
secara ekologis atau produk merusak lingkungan.
GEP berdasarkan asumsi proses alam dapat dilakukan secara
terpilah dan dikelola secara efektif menggunakan akuntansi modal
alam. Sementara itu, elemen lain GEP berfokus pada kebijakan
moneterisasi dan pasar. Penilaian kebijakan keuangan merupakan
aspek paling signifikan dari GEP yang sejak awal diajukan tunduk
pada logika ekonomi pemerintah. GEP bergantung pada investasi
sektor swasta dan sebagai ganti dari kepemilikan modal dan kontrol
investasi diberikan kepada perusahaan swasta dan lembaga keuangan.
Berbagai produk keuangan dibuat berdasarkan pada modal alam. Hal
ini akan menciptakan peluang yang menguntungkan bagi Sektor
Keuangan dengan pasar baru yang spekulatif. Ekspektasi keuntungan
akan mendorong pasar baru, sementara retorika lingkungan
menawarkan pemasaran hijau dan memperkuat pembangunan
berkelanjutan (Neumayer, 2012; Stiglitz, 2010; UNEP, 2011; World
Bank, 2012).
5.2 Etimologi Ekonomi Hijau
Istilah ekonomi hijau pertama kali dikemukakan dalam cetak biru
ekonomi hijau (Allen & Clouth, 2012). Selanjutnya, Brand (2012)
mengklaim konsep ekonomi hijau sama dengan pembangunan
berkelanjutan, merupakan koordinasi atau subordinasi untuk
menggabungkan kepentingan dan strategi yang berbeda, sebagian
50 EKONOMI HIJAU
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
bertentangan dan memberi legitimasi serta koherensi tertentu. Proyek
ekonomi hijau ini merupakan gabungan dari berbagai agenda yang
saling bertentangan dan berbeda satu dengan lainnya. Di satu sisi,
sebagai upaya para ilmuwan dan pemerhati lingkungan untuk
meyakinkan para industrialis dan politisi untuk memprioritaskan
masalah lingkungan. Di sisi lain, sebagai peluang bisnis yang
memberikan keuntungan bagi penciptaan pasar hijau baru.
Menurut UNEP (2011) dalam konteks GEP, gagasan ini sebagai
peluang bisnis baru merujuk pada keuntungan yang diperoleh pada
tingkat yang substansial dari model kepemilikan pribadi menjadi milik
bersama. Proses ini difasilitasi pemerintah dalam beberapa kasus telah
menciptakan infrastruktur, untuk menjual hak atas lingkungan hidup
dengan dalil bahwa alam, bukan manusia sebagai modal alam,
eksekutif perusahaan termotivasi untuk membuat keputusan yang
bertanggung jawab telah memunculkan GEP sebagai pengembangan
dua konsep dasar yakni: modal alam dan jasa ekosistem. Hubungan
antara ilmu ekosistem, jasa ekosistem, dan pasar ekosistem dengan
mengilustrasikan peran modal dalam konstruksi intelektual (Gambar
5.1).
Schumacher (1973) pertama kali menggunakan konsep modal
alam. Menurut Sullivan (2013) bahwa konsep modal alam berasal dari
pembentukan World Business Council for Sustainable Development
(WBCSD) di Rio, Konferensi Tingkat Tinggi Lingkungan dan
Pembangunan dari PBB (UNCED) pada tahun 1992. Tantangan dalam
mencapai keberlanjutan global harus dengan menerapkan prinsip-
prinsip dasar bisnis. Ini berarti earth incorporated dimaknai
depresiasi, amortisasi, dan pemeliharaan dalam satu kesatuan
rangkaian (Strong, 1994).
EKONOMI HIJAU 51
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
Gambar 5.1 Teori Modal Alam dan Jasa Ekosistem
Konsep modal alam menjadi popular di kalangan bisnis sebagai
cara berpikir dalam tata kelola lingkungan (Hawken et al, 2010;
Porritt, 2013; Costanza et al, 1997). Selama 4 (empat) dekade sejak
konsep tersebut dikemukakan modal alam tersebut juga telah
bermetamorfosis. Dimana, alam sebagai modal alam yang setara
dengan modal di bank sudah diadopsi oleh pemerintah. Proses alam
direduksi menjadi modal yang dapat diperdagangkan seperti
instrumen keuangan, sehingga konsep alam sebagai modal alam ini
memiliki cakupan yang dalam dan luas. Sullivan (2013)
menggambarkan modal alam melibatkan 4 (empat) bentuk pergeseran
yakni: pergeseran diskursif; pergeseran materi; pergeseran kalkulatif
dan akuntansi; serta pergeseran kelembagaan (Costanza et al., 1997;
Dempsey & Robertson, 2012).
Terdapat juga 4 (empat) jenis jasa ekosistem: jasa penyediaan
(menghasilkan pangan, bahan bakar, dan serat); jasa regulasi
(pemeliharaan iklim, pengendalian banjir dan penyakit, pengendalian
populasi hama biologis, penyerbukan tanaman, penyaringan dan
pemurnian air); jasa budaya (manfaat bagi masyarakat dari produk
farmasi atau manfaat spiritual, pendidikan, dan rekreasi); dan layanan
pendukung yang memungkinkan semua hal di atas terlaksana (siklus
nutrisi dan penciptaan tanah) (DEFRA, 2007). Konsep jasa ekosistem
adalah ide yang mencakup semua jenis proses alam. Konsep jasa
ekosistem dapat menjadi alat pembelajaran yang berguna dan menjadi
layanan yang bermanfaat bagi hubungan manusia dan ekologi.
Masalah terutama ketika jasa ekosistem digunakan sebagai komponen
proses pasar yang bertentangan dengan konteks pasar yang digunakan.
52 EKONOMI HIJAU
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
Pasar jasa ekosistem terbesar adalah emission trading scheme (ETS)
yang dirancang untuk mengurangi emisi karbon.
Lohmann (2011) menjelaskan konsep jasa ekosistem yang telah
digunakan yakni: Pertama, untuk menyederhanakan dan
mengkuantifikasi fungsi ekologi, sehingga terstandarisasi dalam
peningkatan perbaikan lingkungan yang dipertukarkan dengan
kerusakan (Gilbertson & Reyes, 2009). Di dalam konteks GEP,
konsep jasa ekosistem memfasilitasi penciptaan pasar untuk berbagai
macam proses, namun dalam konteks ETS jaga ekosistem sebagai
bentuk sarana mekanisme pasar dalam melindungi alam. Menurut
Lohmann (2011) negosiasi terkait perubahan iklim digagalkan oleh
monetisasi dan finansialisasi, serta menegaskan bahwa strategi GEP
yang diterapkan sekarang justru menyebabkan hilangnya
keanekaragaman hayati. Konsep modal alam dan jasa ekosistem dapat
dipahami seperti yang digambarkan Brendon Larson sebagai metafora
umpan balik dalam ilmu lingkungan. Sebagai metafora, umpan balik
menyimpan nilai-nilai sosial beredar kembali ke dalam masyarakat
untuk mendukung nilai-nilai (Larson, 2011; 2012). Kedua, konsep ini
menekankan pada pendekatan instrumental dan utilitarian yang
terfragmentasi terhadap dunia. Berfungsi dengan baik dalam model
pemerintahan yang neoliberal. Kedua konsep ini memperkuat
perspektif di mana lingkungan direduksi menjadi bagian dari sistem
ekonomi. Dimana, ide-ide tersebut dapat mengancam hubungan antara
manusia dengan yang bukan manusia, dimana udara bersih, air, dan
habitat spesies akan terancam punah.
5.3 Ekonomi Lingkungan
Ekonomi lingkungan, ekonomi ekologi, ekonomi hijau, dan
ekososialis merupakan wacana yang berbeda dalam konsep hubungan
antara lingkungan dan ekonomi. Konsep ekonomi lingkungan
menawarkan kebijakan yang berbeda terutama terkait mekanisme
pasar yang dianggap dapat membantu menata lingkungan. Dengan
pendekatan ekonomi lingkungan dimana seringkali konservasi
digabungkan dengan ideologi neoliberalisme (Büscher et al, 2012).
Konsep GEP mengikuti ekonomi lingkungan (Pearce, 1976) dan
tingkat lebih rendah dari ekonomi ekologis (Costanza et al, 1997).
Dimana keanekaragaman hayati dapat dipertahankan melalui
eksternalitas lingkungan ke dalam ekonomi, menciptakan proses
penilaian dan mempertukarkan dengan eksternalitas negatif (polusi
dan kerusakan) (Sullivan, 2013).
Pendekatan ekonomi lingkungan merupakan suatu konsep dalam
ilmu ekonomi yang berfokus pada pengelolaan sumber daya alam dan
lingkungan secara efisien dan berkelanjutan. Pendekatan ini berbeda
EKONOMI HIJAU 53
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
dengan pendekatan ekonomi hijau yang lebih berfokus pada
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dengan memperhitungkan
dampak lingkungan yang dihasilkan. Pendekatan ekonomi lingkungan
lebih menekankan pada prinsip penggunaan sumber daya yang efisien
dan terkait dengan pengurangan limbah dan polusi. Pendekatan ini
berusaha untuk memperhitungkan nilai lingkungan dalam proses
pengambilan keputusan ekonomi. Salah satu pendekatan ekonomi
lingkungan yang terkenal adalah penerapan prinsip eco-efficiency atau
efisiensi lingkungan. Prinsip ini bertujuan untuk menciptakan nilai
tambah dengan mengurangi konsumsi sumber daya dan emisi limbah
yang dihasilkan, sehingga menghasilkan penghematan biaya dalam
jangka panjang. Beberapa kebijakan yang digunakan dalam
pendekatan ekonomi lingkungan dengan penerapan pajak lingkungan,
sistem perdagangan emisi, insentif pajak hijau, subsidi lingkungan,
dan standar kinerja lingkungan. Instrumen-instrumen ini digunakan
untuk memberikan insentif bagi pelaku ekonomi agar mengurangi
dampak lingkungan yang dihasilkan dalam proses produksi dan
konsumsi (Tietenberg & Lewis, 2016; Pearce & Turner, 1990; Hanley
et al, 2013; Barbier, 2011; Field et al, 2018).
Ekonomi lingkungan menggunakan mekanisme dan penilaian
pasar sebagai akibat dari ekonomi normal dan memasukan ekosistem
dalam istilah moneter. Ekonomi lingkungan dan ekonomi ekologi
berusaha memperhitungkan konteks geofisika dengan menggunakan
konsep eksternalitas lingkungan. Proses penilaian ekologi
memungkinkan ekonomi lingkungan dan ekologi menggunakan
mekanisme pasar sebagai basis sarana dalam pengambilan keputusan
lingkungan. Meskipun penilaian moneter atas alam masih
diperdebatkan oleh ekonom ekologi (Pearce & Turner, 1990; Spash,
2000, 2008; O’Riordan & Turner, 1998).
Sementara itu, monetisasi alam masih diperdebatkan dalam
bidang ekonomi ekologi, namun ekonomi hijau menolak monetisasi
alam. Ekonomi hijau juga menentang penggunaan konsep
eksternalitas lingkungan dan gagasan substitusi. Konsep ekonomi
hijau berbeda dari konsep GEP. Ekonom hijau menganggap ekonomi
lingkungan dan ekologi terlalu banyak membuat konsesi reduktif
logika ekonomi neoklasik dan neoliberal. Pendukung ekonom hijau
antara lain yakni Cato (2009), Mellor (2006), Henderson (2008),
Douthwaite (1992), Robertson (2003), dan Simms (2010)
memperlakukan lingkungan sebagai sistem menyeluruh dan milik
bersama. Para ekonom hijau menerima kesimpulan teoretis dari para
ekonom ekologi, terutama mengakhiri pertumbuhan ekonomi dan
mengembangkan ekonomi kondisi mapan.
54 EKONOMI HIJAU
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
Ekonom hijau menolak konsep ekonomi neoklasik tentang
eksternalitas lingkungan. Menurut teori ekonomi hijau, eksternalitas
lingkungan sebagai bentuk logika kapitalisme berkelanjutan dengan
memperhitungkan eksternalitas ekologis. Data PBB menunjukkan
tidak ada satu pun Sektor Industri top dunia yang menguntungkan jika
biaya lingkungan terintegrasi (Roberts, 2013). Ekonom ekologi
maupun ekonomi hijau menolak perhitungan PDB sebagai cara
mengukur kesejahteraan ekonomi suatu negara, dan keduanya
mendefinisikan kembali ekonomi kemakmuran dengan berfokus pada
pertumbuhan kualitatif bukan kuantitatif (Capra & Henderson, 2009;
Jackson, 2009).
Ekonomi ekologi mendukung tujuan perhitungan baru yang
mengadvokasi indikator kemajuan ekonomi hijau, untuk memberikan
penilaian kualitatif kemajuan ekonomi dan tidak dapat direduksi
menjadi perhitungan kuantitatif. Ekonomi hijau berkomitmen pada
keunggulan nilai intrinsik dalam mengatur hubungan ekonomi dengan
tujuan untuk membandingkan antara kebutuhan dengan keuntungan.
Ekonomi hijau menolak konsep substitusi (Kubiszewski et al., 2013).
Beberapa perbedaan utama antara berbagai pendekatan ekonomi
terhadap lingkungan yang disajikan pada tabel sebagai berikut.
Tabel 5.1 Pendekatan Ekonomi Terhadap Lingkungan
Ekonomi Ekonomi Ekonomi Ekonomi Ekososialis
Neoklasik Lingkungan Ekologi Hijau
dan
Neoliberal
Asumsi- Nilai Menjembatani Komitmen Lokal, Pasar akan
asumsi Netral+ lingkungan pada sosial, selalu berusaha
Bersifat masuk ke ekonomi politik untuk
universal dalam teori kondisi dan mengekploitasi
ekonomi mapan kualitatif lingkungan
(steady
state
economics)
Sikap Sumber Sumber Sistem Konteks Konteks
terhadap kelangkaan kelangkaan ekonomi keberaaan keberadaan
planet sumber sumber daya yang manusia manusia
(bumi) daya dan masuknya tertanam
ekonomi polusi
Melihat Tidak Kegagalan Kegagalan Menolak Kapitalisme
sebagai memiliki pasar regulator alam
Krisis kekuatiran
lingkungan atau
kesempatan
Konsep Efisiensi Kelangkaan + Sikap Kualitas Komoditas
prinsipal Pasar efisiensi pasar kehati-
hatian
EKONOMI HIJAU 55
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
Dorongan Pasar Pasar Regulasi/ Kualitas Komoditas
Kebijakan Pasar
Eksternalitas Ya Ya Potensial Tidak Tidak
Sumber: Cato (2009), Mellor (2006), Henderson (2008), Douthwaite
(1992), Robertson (2003), dan Simms (2010); Pearce dan Turner,
1990; Spash, 2000, 2008; O’Riordan dan Turner, 1998); (Capra dan
Henderson, 2009; Jackson, 2009); Kubiszewski et al., (2013).
5.4 Komunikasi Lingkungan
Definisi ekonomi hijau yang berbeda-beda ini dapat melahirkan
dilema bagi komunikator lingkungan. Untuk mengkomunikasikan
serangkaian inisiatif kebijakan yang diusulkan oleh UNEP terkait
agenda liberalisasi pasar neoliberal di bawah ekonomi hijau yang
menyebabkan terjadi ambigu dalam wacana lingkungan. Pihak kontra
mengklaim bahwa GEP hanya untuk melayani kepentingan pasar
bebas dan pembangunan yang tidak berkelanjutan jika tidak adanya
campur tangan regulasi lingkungan. Tujuan ekonom hijau untuk
mengembalikan konsep ekonomi hijau tetapi menghadapi tantangan
terkait GEP. Sementara para ilmuwan bidang alam dan sosial
membantu mengembangkan konsep, metode ilmiah, dan infrastruktur
kelembagaan yang mendukung transisi ke GEP. Konsep GEP dari
konteks filosofis, metodologis, dan politis dapat diuraikan sebagai
berikut.
1. Masalah filosofis. GEP berada dalam kesalahpahaman pada
tingkat teori ekologi. Ekonomi lingkungan dan ekonomi ekologi
berpendapat bahwa modal alam membawa lingkungan ke dalam
neraca industri. Bagi ekonom lingkungan, peran lingkungan
adalah pemasok sumber daya (Hanley et al, 2007), dan memahami
alam sebagai subsistem ekonomi (McAfee, 2012). Dimana
lingkungan bukan hanya sebagai pemasok sumber daya, tetapi
juga dalam konteks geofisika justru melahirkan gagasan tentang
sumber daya. Ekonom ekologi mengakui konsep ini dalam teori,
tetapi dalam praktiknya justru mengurangi peran lingkungan
sebagai bagian dari sistem ekonomi. Kesalahan-kesalahan yang
terjadi ini dimanifestasikan di dalam GEP. Ekologis global adalah
sumber kehidupan dan dasar semua kegiatan—ekonomi dan non-
ekonomi. Ekonomi adalah sebuah konstruksi yang dimungkinkan
dalam proses ekologi. Proses ekologi terlalu rumit untuk
diungkapkan secara mutlak melalui proses penilaian keuangan,
karena proses ekologis dalam konteks ekonomi bukan dalam
subsistem ekonomi. GEP didasarkan pada kesalahan
epistemologis yang mengasumsikan bahwa sistem ekonomi lebih
penting daripada sistem ekologi di mana ekonomi bergantung.
56 EKONOMI HIJAU
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
Sistem ekologi tidak terfragmentasi, tetapi merupakan jaringan
yang kompleks saling berhubungan dan saling bergantung.
Mereduksi nilai alam menjadi nilai keuangan adalah pergeseran
epistemologis yang memfasilitasi terjadinya eksploitasi material
atas alam (Costanza et al, 1997; Daly, 1973; Gibson, 1996; Foster,
2009; Lele, 1991).
2. Masalah metodologis. Kesalahan filosofis menyebabkan
terjadinya masalah metodologis lebih lanjut dalam kuantifikasi
dan monetisasi proses alam. Masalah metodologis dengan batas-
batas ilmiah untuk menilai berbagai proses alam; konsisten
menilai rendah atas jasa ekosistem; mengabaikan risiko; masalah
substitusi; masalah komunikasi dan motivasi. Secara sederahana,
manusia tidak memiliki kapasitas ilmiah untuk mengukur semua
jasa penunjang kehidupan yang disediakan alam, tetapi bagi
mereka yang memiliki literasi ekologi dasar adalah tidak ada
sistem keuangan yang menghasilkan kekayaan tanpa adanya
manfaat dari iklim yang stabil, air yang bersih, dan ekosistem
yang sehat. Ketika para ilmuwan menetapkan harga untuk alam,
nilai-nilai ini seringkali sangat rendah yang menggambarkan
konsekuensi praktis dari kesalahan logika dan epistemologis. Hal
ini dibuktikan Costanza et al (1997) dengan menyatakan bahwa
nilai rata-rata jasa ekosistem dunia dan modal alam sebesar
$33triliun per tahun (tahun 1997). Sementara itu, ekonomi akan
terhenti tanpa jasa sistem ekologis pendukung kehidupan, dimana
terdapat banyak konsep dalam konteks empiris yang
menghasilkan perkiraan tersebut. Penilaian tersebut menjadi
faktor yang mengganggu agenda finansialisasi. Tujuan Costanza
et al (1997) untuk menciptakan sarana untuk memprioritaskan
masalah lingkungan. Namun, dalam konteks neoliberalisasi,
konsep lingkungan disesuaikan dan diubah menjadi cara baru
untuk mendukung akumulasi modal. Monetisasi modal alam
sebagai langkah yang mengabaikan terjadinya risiko atas
lingkungan. Sementara itu, proses melalui mekanisme pasar
memberikan kesan bahwa manusia dapat mengendalikan alam
sebagai aset, sehingga memiliki kemungkinan untuk menalangi
sistem bumi ketika terjadi kerusakan (Fioramonti, 2013). Namun,
ketika ambang ekologis terlewati maka uang tidak dapat
memperbaiki kondisi spesies yang punah, ekosistem yang runtuh,
dan terjadinya perubahan iklim. Semakin tinggi tingkat
pengetahuan tentang risiko ekologis aktivitas yang merusak, maka
semakin tinggi pula nilai yang diberikan pada ekosistem dalam
analisis biaya-manfaat (Adams, 1996). Metedo penilaian
EKONOMI HIJAU 57
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
keuangan mendorong peningkatan nilai ekologis yang lebih besar,
karena menolak risiko (dengan mengabaikan ruang dan spesies
ekologis). Pada akhirnya, angka-angka tersebut berkaitan dengan
kekuatan politik, daripada nilai jasa ekosistem tertentu. Bahkan,
jika proses penilaian keuangan dimaksudkan untuk memberikan
jasa ekosistem yang tinggi dengan nilai moneter, maka proses
pasar tetap bermasalah karena adanya asumsi substitusi. Pasar
ekosistem menghasilkan kondisi pengembangan dan perusakan
jasa ekosistem secara individu dengan dalil bahwa orang atau
pihak lain akan melestarikannya. Dengan formulasi ini, GEP
mengasumsikan bahwa hewan, hutan, dan iklim stabil. Bagaimana
hal tersebut dapat digantikan melalui pasar keuangan? Oleh
karena itu, dunia alam dikonseptualisasikan kembali sebagai
modal alam yang akan dilestarikan (untuk menyediakan jasa
ekosistem), atau dijual untuk memungkinkan pembangunan
(terjadi degradasi ekologi) (Hanley et al, 2007; McAfee, 2012).
Serangkaian masalah metodologis berkaitan dengan
komunikasi, identitas, dan motivasi psikologis. Dalam teori
motivasi crowding out (Vatn, 2000; 2010) menjelaskan
bagaimana motivasi pelestarian lingkungan dipengaruhi logika
utilitarian yang berisiko mengikis insentif non-ekonomi untuk
pengelolaan lingkungan (Luck et al., 2012). Strategi perubahan
menggambarkan cara-cara di mana identitas dan nilai-nilai
manusia didorong, atau melalui praktek sosial dan komunikasi.
Membingkai lingkungan dalam konteks moneter memiliki
implikasi yang mendalam bagi hubungan antara manusia dan
alam. Oleh karena itu mempengaruhi motivasi manusia dan
lembaga untuk membuat perubahan. Psikologis dan para peneliti
menggambarkan bagaimana penilaian alam mendorong nilai-nilai
ekstrinsik (berpusat pada persetujuan atau penghargaan eksternal,
mencari nilai-nilai status sosial) yang mengakibatkan penurunan
nilai-nilai intrinsik secara simultan (secara inheren bermanfaat
seperti nilai-nilai kebajikan) (Crompton & Kasser, 2009).
Ahli strategi kampanye menyatakan bahwa pola pikir yang
dibentuk oleh proses kuantifikasi mendorong nilai-nilai intrinsik,
dan keterikatan kuat dengan alam yang secara tradisional
mendorong perilaku pro-lingkungan (Crompton, 2013). Ilmuwan
kognitif telah menunjukkan keterbatasan kuantitatif, utilitarian,
dan model penalaran dalam motivasi secara rasional. Para
pencinta lingkungan yang menerima ekonomi dan monetisasi
alam masuk dalam jebakan (Monbiot, 2014). Kondisi lingkungan
58 EKONOMI HIJAU
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
seperti itu membentuk metafora yang memperkuat kesalahan
epistemologis;
3. Permasalahan Politik. Masalah politik GEP termasuk partisipasi
demokrasi dalam pengambilan keputusan atas lingkungan dan
risiko neoliberalisasi kebijakan lingkungan. Bukti kegagalan di
pertemuan Rio+20 di mana komunitas adat, gerakan sosial, dan
LSM keberatan dengan proses pembuatan kebijakan GEP.
Dengan pasar jasa ekosistem baru, agenda pembangunan yang
demokratis akan lebih sulit diwujudkan, karena pasar menjadi
ruang di mana keputusan lingkungan dibuat. Mereka yang
membuat keputusan adalah mereka yang memiliki kapasitas
keuangan. Pasar jasa ekosistem dipahami sebagai sarana baru
untuk menghasilkan keuntungan (mereka yang memiliki modal
finansial) dari aktivitas yang jika tidak dikelola melalui hubungan
komoditas—dan gelombang privatisasi. Terdapat banyak literatur
neoliberalisasi alam yang menggambarkan karakteristik:
finansialisasi, marketisasi, privatisasi, deregulasi, dan regulasi
Kembali (Arsel & Büscher, 2012; Böhm et al, 2012; Castree,
2008; Sullivan, 2013). Metode pemerintahan diimplementasikan
di mana kompleksitas menggantikan tanggung jawab, dan
tanggung jawab pemerintah bersifat outsourcing untuk regulasi
(Castree, 2008; Peck, 2010). Ketika tanggung jawab negara
bergulir, pemerintah neoliberal secara bersamaan menggelar
fungsi lainnya, menciptakan ledakan pelanggaran peraturan.
Dalam konteks neoliberal, kebijakan pemerintah bekerja untuk
memfasilitasi proses pasar daripada memperhatikan kondisi sosial
atau prioritas lingkungan. Hubungan ekonomi global dan krisis
keuangan tersebut muncul di dalam GEP yang dijelaskan secara
mendalam (Lohmann 2011, 2012; Sullivan 2013; Nadal 2012;
Arsel & Büscher, 2012).
Para pengkritik menyatakan GEP didukung oleh perusahaan dan
sektor keuangan, karena menganggap sebagai program perluasan
ruang lingkup pasar, intensifikasi model neoliberal, dan
kesempatan untuk menciptakan instrumen keuangan baru
berdasarkan jenis modal baru. GEP juga membangun pasar baru
untuk spekulasi keuangan. Dimana, terjadi transformasi dalam
kapitalisme modern yang ditandai dengan munculnya
finansialisasi, yaitu semakin pentingnya motif keuangan, pasar
keuangan, pelaku keuangan, dan lembaga keuangan dalam
penyelenggaraan ekonomi domestik dan internasional (Epstein,
2005). Krisis ekonomi yang terakhir diperkirakan telah merugikan
pemerintah secara global mencapai $12 triliun (Conway, 2009)
EKONOMI HIJAU 59
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
menunjukkan kesalahan sektor keuangan, kemudian GEP
membawa logika finansialisasi hingga pengelolaan alam. Slogan
aktivis alam tidak melakukan bailout menghadapi posisi dilema.
Dalam beberapa dekade terakhir, kekuatan pasar telah
memberikan pengaruh sangat besar terhadap kebijakan
lingkungan dan konservasi. Dimana, GEP mengintensifkan tren
ini. Disini logika utilitarian digunakan untuk mengistimewakan
nilai-nilai ekonomi, menyerahkan alam pada logika ini, dan
kemudian menyembunyikan pembangunan berkelanjutan menjadi
tidak berkelanjutan dengan memasarkan proses sebagai proyek
hijau. Sehingga politik di luar opsi berbasis pasar tidak
dipertimbangkan. Perebutan kekuasaan yang terjadi selama krisis
keuangan, telah menempatkan sektor korporasi dan keuangan
dalam posisi yang kuat untuk mendorong agenda ini. Pengkritik
GEP mengklaim penilaian keuangan dan pekerjaan pasar yang
menciptakan peluang bagi investor untuk memperoleh
keuntungan yang lebih besar dari pengelolaan alam, sekaligus
melemahkan kapasitas institusi politik untuk menghentikan
pembangunan destruktif, terutama proses tata kelola yang lebih
lemah daripada kekuatan pasar.
Ilmuwan lingkungan dan sosial yang mendukung GEP
memberikan otoritas hasil ilmiah terhadap keputusan penting
tersebut. Pekerjaan ideologis dilakukan dan mekanismenya
dibangun untuk menggantikan jasa ekosistem, atau dengan kata
lain pendekatan ini menyediakan sarana melegitimasi
pengembangan ekologi kritis. Para kritikus mengklaim GEP
adalah komitmen yang mendalam terhadap proyek politik
neoliberal (Brand, 2012; Brand & Vadrot, 2013; Büscher et al.,
2012; Dempsey & Robertson, 2012; Lohmann, 2012; Nadal,
2012). Penyerahan pertimbangan sosial dan lingkungan kepada
kepentingan kebijakan ekonomi makro. Setelah tujuan ekonomi
makro ditentukan, setiap sasaran kebijakan lainnya dibuat sesuai
(Nadal, 2012). Bagi mereka yang telah menginternalisasi logika
ini, tampaknya tidak ada alternatif lain. Neoliberalisme dicirikan
peningkatan prinsip-prinsip berbasis pasar dan teknik tata kelola
dengan norma-norma yang didukung negara (Peck, 2013).
Ideologi ini mengakar dalam politik dan telah memungkinkan
konsentrasi dramatis dalam modal selama tiga dekade terakhir
didokumentasikan dalam kekayaan dan ketidaksetaraan secara
global (Fuentes & Galasso, 2014). Konfigurasi politik baru dan
kurangnya regulasi telah memungkinkan perampasan tanah dan
perampasan hijau secara luas (Fairhead et al, 2012). Proposal
60 EKONOMI HIJAU
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
kebijakan yang sarat ideologi seperti klaim GEP yang netral
secara politik (UNEP, 2011) tetapi kepentingan yang kuat
tersembunyi di balik ekspansi tersebut tidak dapat terelakkan dari
logika kapitalis, yaitu pasar sebagai sarana mengorganisir
kewenangan yang terus meningkat dari keberadaan manusia.
Politik yang menampilkan dirinya sebagai non-politik bekerja
untuk menaturalisasi dan mengaburkan kepentingan di balik
rekonfigurasi politik baru yang dramatis, sekarang menggunakan
ekonomi hijau sebagai salah satu konsep yang paling kuat untuk
melegitimasi proyek politik neoliberal (Castree, 2008; Beck,
2000). Kebingungan diskursif yang dihasilkan dari penggunaan
bahasa lingkungan untuk menggambarkan proyek perluasan
pasar, privatisasi, pemerintahan neoliberal, dan bahkan
perampasan dengan kekerasan untuk melayani kepentingan yang
tidak ingin dinamika ini menjadi jelas, dan siapa yang ingin tampil
melakukan hal yang benar dengan lingkungan tanpa mengganggu
bisnis.
5.5 Ekonomi Hijau dan Lingkungan
Masalah lingkungan saat ini yang dihadapi dunia adalah:
perubahan iklim (climate change), penurunan keanekaragaman hayati
(biodiversity decline), penipisan sumber daya alam dan degradasi jasa
ekosistem, pola konsumsi dan produksi negatif, dan kota berkembang
(growing cities) (Kanianska, 2017). Secara lengkap dapat diuraikan
sebagai berikut.
5.5.1 Perubahan Iklim
Perubahan iklim adalah perubahan iklim yang disebabkan secara
langsung, atau secara tidak langsung terhadap aktivitas manusia yang
mengubah komposisi atmosfer global, yang merupakan tambahan dari
variabilitas iklim alami yang diamati selama periode waktu yang
sebanding (UN, 1992). Perubahan iklim global mengancam akan
mengganggu kesejahteraan masyarakat, merusak pembangunan
ekonomi, dan mengubah lingkungan alam, membuat perubahan iklim
tersebut menjadi perhatian utama abad ke-21. Pada tahun 1988,
Intergovernmental Panel Climate Change (IPCC) yang didirikan oleh
UNEP dan Badan Meteorologi Dunia (WMO). IPCC meninjau dan
memberikan penilaian yang terbaru secara ilmiah, teknis dan sosial-
ekonomi yang dihasilkan di seluruh dunia yang relevan dengan
pemahaman tentang perubahan iklim. Laporan Penilaian IPCC
mencakup penilaian ilmiah, teknis, dan sosio-ekonomi tentang
perubahan iklim secara keseluruhan, umumnya dalam 4 (empat)
bagian. Laporan Penilaian Kelima (IPCC, 2014) mengamati bahwa
pengaruh manusia pada sistem iklim, dan emisi antropogenik baru-
EKONOMI HIJAU 61
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
baru ini dari gas rumah kaca adalah yang tertinggi dalam sejarah.
Sejak 1950-an, banyak yang diamati perubahan yang belum pernah
terjadi sebelumnya selama beberapa dekade hingga ribuan tahun.
Daratan dan lautan telah menghangat, jumlah salju dan es telah
berkurang, dan permukaan air laut telah meningkat. Perubahan dalam
banyak peristiwa cuaca dan iklim ekstrem telah diamati sejak sekitar
tahun 1950. Emisi gas rumah kaca antropogenik telah meningkat sejak
era pra-industri, sebagian besar didorong oleh ekonomi dan
pertumbuhan penduduk, dan sekarang lebih tinggi dari sebelumnya.
Hal ini menyebabkan atmosfer konsentrasi karbon dioksida, metana
dan dinitrogen oksida yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam
setidaknya 800.000 tahun terakhir. Efek tersebut bersama dengan
faktor pendorong antropogenik lainnya, telah terdeteksi di seluruh
sistem iklim dan sangat mungkin menjadi penyebab dominan yang
diamati sejak pertengahan abad ke-20. Emisi lanjutan dari gas rumah
kaca akan menyebabkan pemanasan lebih lanjut dan perubahan jangka
panjang di semua komponen sistem iklim.
Banyak aspek perubahan iklim dan dampak terkait akan berlanjut
selama berabad-abad, bahkan jika antropogenik emisi gas rumah kaca
dihentikan. Oleh karena itu, tujuan akhir Konvensi Kerangka Kerja
PBB tentang Perubahan Iklim termasuk Protokol Kyoto dan Perjanjian
Paris sesuai dengan inisiatif hijau tujuannya adalah untuk mencapai,
stabilisasi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer pada tingkat yang
akan mencegah antropogenik yang berbahaya gangguan pada sistem
iklim. Level seperti itu harus dicapai dalam kerangka waktu yang
cukup untuk memungkinkan ekosistem beradaptasi secara alami
dengan iklim perubahan, untuk memastikan bahwa produksi pangan
tidak terancam dan untuk memungkinkan pembangunan ekonomi
berjalan secara berkelanjutan. Ada dua pendekatan utama yang
diadopsi:
1) Mitigasi perubahan iklim Model ekonomi dan kuantitatif
penilaian skenario mitigasi perubahan iklim dan dampak
ekonominya memainkan peran kunci dalam menginformasikan
pembuat kebijakan tentang biaya, manfaat dan potensi tradeoff.
Analisis ini menilai bahwa efektivitas lingkungan dan regional
dan global yang terkait biaya pasar karbon yang lebih
terfragmentasi Analisis juga menunjukkan bagaimana biaya
mitigasi global dapat dibatasi melalui penggunaan offset
internasional dan dengan menghubungkan apa yang sebaliknya
pasar karbon yang terfragmentasi (OECD, 2011);
2) Adaptasi terhadap perubahan iklim Upaya pengurangan emisi
GRK perlu bergerak seiring dengan kebijakan dan insentif untuk
62 EKONOMI HIJAU
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
beradaptasi dengan dampak perubahan iklim. Berapa biaya
adaptasi, dan seberapa besar manfaatnya, adalah masalah yang
semakin relevan baik untuk proyek di lapangan maupun dalam
konteks internasional.
Masyarakat selalu menghadapi risiko lingkungan dan dampak iklim,
dan telah mengembangkan berbagai bidang ekonomi, sosial dan teknis
langkah-langkah untuk mengatasi risiko tersebut. Ini termasuk
asuransi, protektif infrastruktur, peringatan bencana alam dan
tindakan tanggap, dan teknik pertanian dan pengelolaan air (OECD,
2013).
5.5.2 Keanekaragaman Hayati
Keanekaragaman hayati berarti variabilitas di antara organisme
hidup dari semua sumber termasuk terestrial, laut, dan ekosistem
perairan lainnya dan kompleks ekologi di mana mereka menjadi
bagiannya. Ini mencakup keanekaragaman dalam spesies, antar
spesies, dan ekosistem (UN, 1992). Keanekaragaman hayati sangat
penting untuk menopang kehidupan, menyediakan layanan ekosistem
yang penting seperti penyediaan makanan, penjernihan air, kontrol
banjir dan kekeringan, siklus nutrisi, dan regulasi iklim. Layanan ini
sangat penting untuk mendukung kesejahteraan manusia dan
pertumbuhan ekonomi. Terlepas dari nilai-nilai ekonomi, sosial, dan
budaya yang signifikan dari keanekaragaman hayati dan jasa
ekosistem, dimana keanekaragaman hayati di seluruh dunia
mengalami kehilangan, dan di beberapa daerah dengan kecepatan
hilang sangat tinggi. Tanpa upaya dan usaha untuk menghentikan
hilangnya keanekaragaman hayati, maka lebih 10 persen dari
keanekaragaman hayati (diukur dalam rata-rata terestrial kelimpahan
spesies) akan hilang pada tahun 2050 sejak dari tingkat tahun 2010.
Pemicu utama hilangnya keanekaragaman hayati global yang
diproyeksikan adalah: 1). Perubahan dan pengelolaan penggunaan
lahan (misalnya untuk padang rumput, tanaman pangan dan
bioenergi); 2). Kehutanan komersial; 3). Pembangunan infrastruktur;
4). Perambahan habitat; 5). Fragmentasi; 6). Spesies asing invasif; 6).
Polusi (misalnya deposisi nitrogen); dan 7). Perubahan iklim.
Tujuan konvensi keanekaragaman hayati sesuai dengan tujuan
inisiatif hijau adalah: 1). Konservasi keanekaragaman hayati; 2).
Penggunaan komponennya secara berkelanjutan; dan 3). Pembagian
keuntungan yang adil dan merata yang timbul dari pemanfaatan
sumber daya genetik, termasuk dengan akses yang tepat ke sumber
daya genetik dan dengan transfer yang tepat dari teknologi yang
relevan, dengan mempertimbangkan semua hak atas sumber daya dan
teknologi tersebut, dan dengan pendanaan yang sesuai. Kebutuhan
EKONOMI HIJAU 63
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
kebijakan utama yang diidentifikasi untuk keanekaragaman hayati
meliputi: 1). Mengadopsi langkah-langkah kebijakan yang lebih
ambisius dan meningkatkan keterlibatan sektor swasta; 2).
Mengarusutamakan keanekaragaman hayati ke dalam bidang
kebijakan lainnya; 3). Mereformasi subsidi yang merusak lingkungan;
dan 4). Meningkatkan kuantitas dan kualitas data untuk
menginformasikan keanekaragaman hayati kebijakan (OECD, 2012).
5.5.3 Sumber Daya Alam Dan Jasa Ekosistem
Sumber daya alam meliputi sumber daya alam fosil dan mineral,
material dari lingkungan alam dan lahan pertanian. Layanan yang
ditawarkan oleh ekosistem dan keanekaragaman hayati sangat
penting. Sistem kehidupan menyediakan makanan, serat, zat aktif
utama untuk obat-obatan dan memenuhi kebutuhan kita yang paling
penting kebutuhan. Meskipun kelangsungan hidup masyarakat
manusia bergantung sepenuhnya pada layanan diberikan oleh
ekosistem, mereka belum dinilai secara moneter dan oleh karena itu
jarang atau tidak cukup diperhitungkan oleh model ekonomi kita (RF,
2010).
Modal alam, meliputi stok sumber daya alam, lahan dan
ekosistem, sering diremehkan dan tidak dikelola dengan baik. Ini
membebankan biaya pada perekonomian dan kesejahteraan manusia.
Bahkan di mana output yang diperoleh dari eksploitasinya adalah
harga di pasar, kelangkaan stok sumber daya alam mungkin tidak
sepenuhnya tercermin dalam nilai barang dan jasa yang timbul dari
eksploitasi. Mengidentifikasi dan menangani di mana hal ini terjadi
peluang untuk peningkatan efisiensi yang merupakan keuntungan
bersih untuk masyarakat (OECD, 2011; World Bank, 2012). Sumber
daya alam dan banyak ekosistem menghadapi tekanan yang meningkat
dari: 1). Pertumbuhan penduduk yang cepat; 2). Pembangunan
ekonomi; 3). Perubahan iklim; 4). Hilangnya keanekaragaman hayati
dan; 5). Pencemaran lingkungan.
Penilaian dan akuntansi lingkungan dapat membantu
meningkatkan ekonomi struktur dan pengambilan keputusan di bidang
ini. Untuk mengembalikan modal alam dan jasa ekosistem dengan
Pendekatan Manajemen Ekosistem (ecosystem management
approach/EMA) adalah diperlukan. EMA adalah proses untuk
melestarikan dan meningkatkan kesehatan ekosistem yang menopang
jasa ekosistem untuk kesejahteraan manusia. Ekosistem Pengelolaan
dapat membantu menjaga keseimbangan antara pertumbuhan
ekonomi, pembangunan masyarakat, dan kesehatan ekosistem untuk
memastikan keberlanjutan jangka panjang. Itu Konsep Pendekatan
Pengelolaan Ekosistem telah berkembang dalam 40 tahun terakhir
64 EKONOMI HIJAU
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
sejak 1972, dari tujuan awal konservasi dan pencemaran ekosistem
kontrol (yaitu Deklarasi Stockholm pada tahun 1972) untuk penerapan
yang jauh lebih luas dalam proses pengambilan keputusan untuk
pembangunan berkelanjutan (yaitu Rio Deklarasi tahun 1992).
Aplikasi terbaru dari Ekosistem Pendekatan pengelolaannya adalah
Adaptasi Berbasis Ekosistem (EBA) dan Pengurangan Emisi dari
Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD+), keduanya telah mendapat
perhatian dunia (UNEP, 2011).
5.5.4 Konsumsi Dan Produksi
Untuk hidup secara berkelanjutan, sumber daya alam bumi harus
digunakan pada tingkat yang yang dapat diisi ulang. Namun,
masyarakat kita yang digerakkan oleh konsumen adalah memberikan
tekanan besar pada planet ini. Jejak lingkungan di benuar Eropa adalah
salah satu yang terbesar di planet ini. Jika seluruh dunia hidup seperti
orang Eropa, itu akan membutuhkan sumber daya lebih dari dua bumi
untuk mendukungnya. Itu cara kita memproduksi dan mengonsumsi
berkontribusi pada banyak hal saat ini masalah lingkungan, seperti
pemanasan global, polusi, penipisan sumber daya alam dan hilangnya
keanekaragaman hayati. Konsumsi yang tidak berkelanjutan dan pola
produksi semakin mempengaruhi lingkungan alam, masyarakat,
ekonomi, dan bisnis. Kita perlu hidup lebih berkelanjutan. Itu berarti
melakukan lebih banyak dengan lebih sedikit (IPCC, 2007).
Konsumsi dan produksi berkelanjutan berarti menggunakan
sumber daya alam dan energi lebih efisien dan mengurangi emisi gas
rumah kaca dan lainnya dampak lingkungan. Ini semua tentang
memproduksi dan menggunakan produk dan jasa dengan cara yang
paling tidak berbahaya bagi lingkungan. Tujuannya adalah untuk
bertemu kebutuhan dasar kita akan barang dan jasa sambil
menghasilkan kualitas yang lebih baik kehidupan dan juga
memastikan bahwa ada cukup sumber daya yang tersisa untuk masa
depan generasi. Mengkonsumsi secara berkelanjutan menyangkut
gaya hidup kita, perilaku membeli dan bagaimana kita menggunakan
dan membuang produk dan layanan. Produksi berkelanjutan berfokus
pada pengurangan dampak lingkungan dari proses produksi dan
merancang produk yang lebih baik. Berdasarkan analisis
merekomendasikan beberapa hal penting sebagai berikut OECD
(2013).
1. Tindakan yang meningkatkan akses konsumen ke pilihan yang
lebih ramah lingkungan, seperti sebagai infrastruktur investasi
(misalnya transportasi umum atau daur ulang layanan) merupakan
pelengkap penting untuk kebijakan yang membuat hijau pilihan
lebih murah;
EKONOMI HIJAU 65
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
2. Investasi efisiensi air dapat menjadi sarana penting untuk
meningkatkan konservasi air;
3. Meningkatkan informasi publik dan kampanye pendidikan sangat
penting untuk meningkatkan kesadaran rumah tangga tentang
biaya dan biaya dan meningkatkan pemahaman tentang perubahan
iklim (OECD, 2013).
5.5.5 Kota
Kota memainkan peran besar dalam kinerja ekonomi dan
lingkungan dari negara. Kota adalah penggerak penting pertumbuhan
nasional. Hari ini, untuk yang pertama waktu dalam sejarah manusia,
lebih dari setengah populasi dunia tinggal di perkotaan daerah. Pada
akhir abad ini, pangsa ini diproyeksikan meningkat menjadi sekitar 85
persen, dari populasi dunia sekitar 10 miliar. Pertumbuhan kota hijau
mendorong pertumbuhan ekonomi dan pembangunan melalui
kegiatan perkotaan yang mengurangi dampak lingkungan, misalnya
rendahnya udara polusi dan emisi CO2; rendahnya konsumsi sumber
daya alam termasuk air, energi, dan lahan yang belum dikembangkan;
dan jasa perlindungan ekologi. Langkah-langkah OECD yang
mengarah pada pertumbuhan hijau perkotaan adalah: 1). Peningkatan
pekerjaan ramah lingkungan, perbaikan gedung yang hemat energi; 2).
Peningkatan daya tarik kota terhadap perusahaan dan sumber daya
manusia yang terampil, meningkatkan efisiensi sistem transportasi; 3).
Membina penelitian dan pengembangan teknologi hijau dan inovasi;
dan 4). Peningkatan nilai lahan perkotaan, termasuk pembangunan
eko-distrik. Tantangan utama untuk mengejar pertumbuhan hijau di
kota-kota adalah meningkatkan pendapatan yang dibutuhkan. Banyak
sumber pendapatan perkotaan dapat dirancang untuk menghambat
pertumbuhan kota hijau (OECD, 2013).
66 EKONOMI HIJAU
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
perdebatan tersebut. Seperti dikatakan, ekonomi hijau sebagian
berkembang dalam konteks pembangunan berkelanjutan di
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), namun bagian substantif lain dari
ekonomi hijau muncul dalam proses yang independen. Saat ini
tantangannya mengintegrasikan ekonomi hijau ke dalam kerangka dan
prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan secara holistik dan
komprehensif.
6.1 Teknologi Lingkungan
Teknologi lingkungan dalam beberapa tahun terakhir telah
menjadi topik utama kebijakan inovasi dan sektor penting bagi
pembangunan ekonomi masa depan. Banyak negara industri semakin
menggunakan pendekatan berorientasi inovasi lingkungan untuk
mendorong terjadinya perubahan besar (Jänicke & Lindemann, 2010).
Kemajuan dalam teknologi lingkungan sangat terkait dengan
instrumen kebijakan yang mengatur sektor dan memberikan insentif
untuk berinovasi. Pemimpin pasar teknologi lingkungan telah
berkembang di berbagai negara dengan pengaturan yang cepat dan
struktur insentif yang merangsang inovasi (Jänicke & Jacob, 2004).
Seringkali pasar teknologi seperti itu menyediakan pasokan teknologi
lingkungan dan memiliki posisi ekonomi yang menarik di pasar dunia.
Landasan penting untuk mendorong teknologi lingkungan adalah
Rencana Aksi Teknologi Lingkungan. Bertujuan menjadikan Eropa
sebagai pemimpin dalam teknologi lingkungan di dunia. Hal Ini
mengarah pada pengembangan rencana teknologi lingkungan di
negara-negara anggota Uni Eropa.
Studi empiris membuktikan teknologi di satu sisi memberikan
peluang pembangunan ekonomi yang signifikan dan di sisi lain
membantu mengurangi dampak lingkungan pada pola konsumsi dan
produksi saat ini (Berger, 2007). Analisis ekonomi dengan kurva biaya
pengurangan gas rumah kaca dalam transisi ke teknologi rendah
karbon telah mengidentifikasi sektor-sektor penting, dan teknologi
menguntungkan dalam konteks kendala ekologis perubahan iklim,
serta pilihan teknologi yang memiliki biaya tinggi pengurangan
potensi reduksi dan kemungkinan besar hilang di pangsa pasar dalam
transisi menuju ekonomi hijau (McKinsey & Company, 2009). Saat
ini terdapat kecenderungan menjauh dari pemahaman sektoral,
menuju pengarusutamaan teknologi hijau.
6.2 Pekerjaan Hijau
Pekerjaan Hijau diidentifikasi sebagai bagian dari perdebatan
ekonomi hijau. Pendukung diskusi ini adalah UNEP, ILO, serikat
pekerja, atau jaringan regional (Apollo Alliance, Blue Green Alliance).
Pendukung pekerjaan hijau mengklaim bahwa transisi menuju
EKONOMI HIJAU 67
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
ekonomi hijau dianggap sebagai situasi win-win solution ekonomi dan
lingkungan untuk menghadapi krisis ekonomi dan keuangan,
sedangkan dimensi sosial terabaikan. Dengan, literatur ini berkaitan
dengan tantangan ganda melestarikan lingkungan dan menyediakan
pekerjaan layak. Asumsinya pengeluaran dan paket stimulus publik
harus diarahkan ke Sektor Industri Hijau daripada ke industri lama
atau konsumsi rumah tangga (Pollin et al., 2008; Bird, 2009).
Pekerjaan ramah lingkungan tidak hanya memperhitungkan pekerjaan
di sektor industri baru seperti energi terbarukan, tetapi juga
menyiratkan redefinisi profil pekerjaan di sektor tradisional.
Sementara pekerja berkualifikasi tinggi sangat penting pada saat
transisi menuju ekonomi hijau, dimana penciptaan pekerjaan hijau
sering terbatas karena kesenjangan keterampilan (Business Europe,
2011). Pihak lainnya menekankan risiko pekerjaan dalam sektor
ekonomi yang ada. Galagóczi (2011) menunjukkan dari 12 juta
karyawan pabrik mobil Eropa, hanya 250.000 yang dapat dianggap
sebagai pekerjaan ramah lingkungan. Oleh karena itu, diperlukan
kebijakan yang lebih mempertimbangkan permintaan pekerja terampil
di lingkungan hijau yang sedang berkembang pesat, sambil
memberikan solusi bagi karyawan di sektor yang berpotensi
menyusut. Meskipun diakui jasa lingkungan adalah kunci untuk
mempertahankan kehidupan di bumi, dan sebagai pekerjaan yang
layak dianggap penting untuk kesejahteraan manusia (UNEP, ILO,
2008). Banyak pekerjaan ramah lingkungan yang tidak pasti,
berbahaya, dan informal. Dengan demikian, pelatihan dan pendidikan
kaum muda di negara-negara berkembang dianggap sangat penting.
Pendukung pendekatan pekerjaan hijau menyerukan kebijakan
lingkungan yang kuat (misalnya peraturan, target dan jadwal, insentif
keuangan, pendanaan penelitian dan pengembangan) sebagai
prasyarat dalam investasi teknologi hijau. Mereka menggarisbawahi
kebutuhan yang lebih mengintegrasikan aspek sosial ke dalam
perdebatan kebijakan lingkungan dan menuntut dialog sosial di antara
pekerja, pengusaha, dan pemerintah untuk meredakan ketegangan
yang berasal dari transisi menuju ekonomi hijau (yaitu penurunan
sektor industri tertentu, terjadi pergeseran struktur pekerjaan atau
adaptasi profil pekerjaan) (UNEP, 2008).
6.3 Melampaui Pertumbuhan
Argumentasi ini mengugat peran ekonomi, dimana menempatkan
pertumbuhan sebagai prasyarat kemakmuran dan Produk Domestik
Bruto (PDB) sebagai ukuran kesejahteraan (Meadows et al, 1972). Di
bawah kondisi, ketidakstabilan keuangan dan melampaui batas
ekologis, maka dapat dikatakan kemakmuran perlu didefinisikan
68 EKONOMI HIJAU
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
ulang dalam konteks keberlanjutan dan kualitas hidup. Komisi Uni
Eropa menyatakan melampaui PDB: mengukur kemajuan dalam dunia
yang berubah (European Commission, 2009). Dimana, ukuran PDB
mengabaikan kelestarian lingkungan dan inklusi sosial dengan
demikian tidak lagi memadai untuk digunakan sebagai indikator
kemakmuran. Sehingga diusulkan PDB dilengkapi dengan lingkungan
(perubahan stok modal dan alam) dan indikator sosial tentang kualitas
hidup dan kesejahteraan.
Berdasarkan kondisi tersebut terdapat kelemahan konsep PDB
sebagai ukuran kegiatan ekonomi, karena penggunaan indikator
ekonomi dan standar hidup material untuk mengukur kinerja ekonomi
dan kemajuan sosial. Kondisi ini mendorong standar hidup material
untuk berpindah dan fokus pada kualitas hidup. Konsep ini mencakup
kesejahteraan subjektif, kapabilitas (yaitu kondisi dan peluang objektif
seperti kesehatan, pendidikan, politik, suara, keamanan), dan alokasi
yang adil. Memenuhi dimensi keberlanjutan, diusulkan pendekatan
stok yang memperhitungkan perubahan stok dari modal fisik, alam,
manusia, dan sosial.
Dalam konteks yang sama, perlunya mematuhi batas-batas
ekologis, untuk memastikan pemerataan distribusi, dan untuk
melestarikan modal alam yang kritis (Jackson, 2009). Kemampuan
untuk berpartisipasi bermakna dalam kehidupan masyarakat untuk
membentuk aspek sentral dari gagasan yang didefinisikan ulang
tentang kemakmuran. Kondisi ini juga terikat dengan batas-batas
ekologis dan pertumbuhan populasi dunia. Meningkatkan
produktivitas sumber daya tidak cukup untuk menjaga penggunaan
modal alam dalam batas-batas ekologis. Di sisi lain, penurunan
pertumbuhan juga merusak ekonomi, stabilitas sosial dan kemampuan
dasar. Jadi, pendekatan makroekonomi baru untuk keberlanjutan dan
perubahan pola konsumsi (membalikkan budaya konsumerisme) yang
dianggap penting dalam jangka panjang. Kondisi tersebut juga
mengharuskan peran aktif pemerintah dalam jangka pendek dengan
investasi teknologi rendah karbon, reformasi fiskal, pengenaan
sumber daya dan batas emisi, dan investasi modal manusia dan sosial.
Ekonom menantang gagasan umum bahwa pertumbuhan
ekonomi menjadi tujuan utama kebijakan ekonomi bahkan dalam
ekonomi hijau. Model ekonometrika berdasarkan skenario
pertumbuhan rendah untuk kasus di Kanada menunjukkan, bagaimana
perubahan makroekonomi dapat memungkinkan masyarakat untuk
mencapai berbagai tujuan lain yang terkait dengan pengangguran dan
kemiskinan, rekreasi, perlindungan dan konservasi iklim (Victor,
2008). Hal ini tidak berarti bahwa penurunan pertumbuhan harus
EKONOMI HIJAU 69
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
menjadi tujuan kebijakan. Namun, negara-negara maju hampir tidak
dapat meningkatkan kesejahteraan manusia hanya dari pertumbuhan
ekonomi. Sebaliknya, Victor dan Rosenbluth berpendapat bahwa
negara-negara maju harus meninggalkan ruang untuk pertumbuhan di
negara-negara berkembang di mana manfaat pertumbuhan masih
terbukti (Victor & Rosenbluth, 2007).
6.4 Penilaian Jasa Ekosistem
Salah satu upaya komprehensif untuk mengukur nilai ekonomi
jasa alam diawali studi tahun 1997 dengan menggunakan berbagai
metode penilaian untuk memperhitungkan komponen yang dapat
dipasarkan dan tidak dapat dipasarkan. Perkiraan moderat untuk jasa
alam secara tahunan di seluruh dunia senilai US-33 triliun pada Tahun
1997 atau setara 1,8 kali produk nasional bruto (PNB) global
(Costanza et al., 1997).
Tinjauan komprehensif ini adalah untuk memberikan perspektif
dan gambaran umum tentang nilai ekonomi jasa ekosistem sebagai
bagian dari ekonomi manusia yang tidak diperhitungkan. Studi yang
berfokus pada jasa ekosistem tunggal dikumpulkan Stern yang dikenal
sebagai ekonomi perubahan iklim (2007) dan Studi tahun 2010
tentang ekonomi ekosistem dan keanekaragaman hayati. Perdebatan
internasional tentang perubahan iklim global dan protocol Kyoto
berbasis pasar, dimana valuasi ekonomi menjadi terkenal karena
memungkinkan untuk membandingkan pilihan pembangunan dari
biaya yang berbeda. Sementara itu, secara ilmiah titik kritis ekologis
tetap sulit dimodelkan dan terus berlanjut menjadi perdebatan di
antara ekonom lingkungan dan ekologi tentang tingkat diskonto yang
digunakan dalam menilai dampak iklim jangka panjang. Model
ekonomi memiliki dampak signifikan pada kebijakan terhadap
perubahan iklim dengan titikberat pada kasus ekonomi yang
dibandingkan dengan biaya tambahan masa depan dari kondisi hari ini
(Stern, 2007). Dalam hal ini, McKinsey menyatakan pengurangan
biaya untuk pilihan teknologi yang berbeda juga memberi pembuat
kebijakan untuk membandingkan pilihan kebijakan dan teknologi
(McKinsey dan Company, 2009). Berdasarkan tipologi yang
digunakan oleh Penilaian Ekosistem Milenium telah mengidentifikasi
sebanyak 22 kategori jasa ekosistem yang dinilai secara ekonomi
untuk memberikan wawasan tentang pilihan kebijakan yang berbeda
dan dampaknya terhadap ekosistem dan keanekaragaman hayati.
Penghitungan jasa ekosistem saat ini sebagian besar masih terbatas
untuk produksi makanan, sementara itu tidak dapat menjelaskan
sebagian besar ekosistem jasa dengan, untuk pemanfaatan ekosistem
yang berkelanjutan, sebagai indikator yang lebih komprehensif
70 EKONOMI HIJAU
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
diperlukan untuk mencerminkan dampak dan penggunaan sumber
daya alam secara efisien dan berkelanjutan (TEEB, 2010). Selanjut,
studi TEEB juga menjelaskan sejumlah keterbatasan penilaian
ekonomi terhadap jasa ekosistem. Di mana penilaian itu sendiri
mencerminkan pola pikir tertentu yang memandang ekosistem dapat
menjadi hambatan dalam mengatasi pola yang tidak berkelanjutan;
masalah metodologis akuntansi terkait perkembangan yang bersifat
non-linier; titik kritis ekosistem yang tidak dapat dijelaskan
sepenuhnya oleh studi ekonomi; dan secara implisit pemilihan
terhadap tingkat diskonto yang belum ditentukan secara universal.
EKONOMI HIJAU 71
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
72 EKONOMI HIJAU
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
BAB VII PERTUMBUHAN HIJAU
Konsep pertumbuhan hijau berasal dari Asia dan Pasifik. Pada
Konferensi Tingkat Menteri Ke-5 tentang Lingkungan dan
Pembangunan (MCED) pada Maret 2005 di Seoul, Korea Selatan.
Sebanyak 52 negara dan pemangku kepentingan lainya dari Asia dan
Pasifik sepakat untuk melampaui sekedar retorika pembangunan
berkelanjutan dan mengejar pertumbuhan hijau. Negara-negara
tersebut mendeklarasikan pertumbuhan hijau dan rencana
implementasi berkelanjutan. Visi yang lebih luas tentang pertumbuhan
hijau dipandang sebagai strategi kunci mencapai pembangunan
berkelanjutan (UNESCAP, 2012).
Prinsip utama pertumbuhan hijau diadopsi OECD. Pada Juni
2009, Menteri dari 34 negara menandatangani Deklarasi Pertumbuhan
Hijau, menyatakan memperkuat upaya untuk mengejar strategi
pertumbuhan hijau sebagai bagian dari tanggapan terhadap krisis,
menyatakan bahwa konsep hijau dan pertumbuhan berjalan
beriringan. Deklarasi tersebut mendukung mandat bagi OECD untuk
mengembangkan strategi pertumbuhan hijau, membawa bersama-
sama ekonomi, lingkungan, sosial, teknologi, dan aspek pembangunan
lainnya dalam kerangka kerja yang komprehensif dan holistik
(Kanianska, 2017).
Lembaga OECD memperkenalkan strategi pertumbuhan hijau
yang menyediakan kerangka kerja organisasi, bagaimana suatu negara
dapat mencapai pertumbuhan dan pembangunan ekonomi sekaligus
menghadapi perubahan iklim dan mencegah degradasi lingkungan
yang mahal serta penggunaan sumber daya yang tidak efisien. Strategi
ini menyediakan wahana untuk memeriksa kembali paradigma
pertumbuhan ekonomi, sementara pada saat yang sama menawarkan
tindakan yang dapat ditindaklanjuti sebagai kerangka kebijakan bagi
pembuat kebijakan di negara-negara maju dan negara-negara
berkembang.
OECD menyatakan kembali ke pendekatan bussiness as usual,
ketika ekonomi dunia keluar dari krisis keuangan akan menjadi tidak
bijaksana dan memang tidak berkelanjutan yang akan membebani
biaya dan akhirnya terkendala dengan pertumbuhan dan pembangunan
ekonomi. Singkatnya, strategi ini menyatakan mengapa strategi
pertumbuhan hijau sangat penting, kemudian memberikan kerangka
kerja untuk pertumbuhan hijau dan berlanjut.
Laporan ekonomi hijau dari UNEP menyakan strategi OECD
menyajikan pilihan untuk mengukur kemajuan terhadap pertumbuhan
hijau dan mulai mengeksplorasi mekanisme. Pada Mei 2010, pada sesi
ke-66 negara-negara UNESCAP mengadopsi Deklarasi Incheon
EKONOMI HIJAU 73
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
tentang Pertumbuhan Hijau. Belakangan, dukungan untuk mengejar
pertumbuhan hijau juga dinyatakan dalam Deklarasi MCED ke-6 di
Astana pada Oktober 2010. Fokus utama pertumbuhan hijau dalam
konteks ini adalah bagi negara-negara berkembang di kawasan Asia
dan Pasifik untuk menyelaraskan pertumbuhan ekonomi dengan
kelestarian lingkungan, sekaligus meningkatkan ekoefisiensi
pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan sinergi antara lingkungan
dan ekonomi. Pada bulan Juni 2010, Republik Korea adalah berperan
penting dalam pembentukan Global Green Growth Institute (GGGI)
sebagai yayasan nirlaba (yang diangkat menjadi internasional baru
organisasi di Konferensi Rio+20 pada Juni 2012) (Kanianska, 2017).
Pada November 2010, di KTT G20 Seoul, para pemimpin juga
mengakui pertumbuhan hijau merupakan bagian dari pembangunan
berkelanjutan sehingga memungkinkan suatu negara dapat melompati
teknologi lama ke teknologi baru di banyak sektor. Para pemimpin
tersebut setuju untuk mengambil langkah-langkah menciptakan
lingkungan yang mendukung bagi pengembangan energi yang
efisiensi dan teknologi bersih. Hal ini juga terlihat jelas di negara-
negara G20 menghadapi krisis keuangan global dan resesi tahun
2008/2009. Di mana beberapa pemerintah mengadopsi kebijakan
ekspansif dengan memasukkan komponen fiskal hijau. Pada tahun
2012, Kepresidenan Meksiko di G20 juga memperkenalkan
pertumbuhan hijau inklusif sebagai prioritas sektoral dalam agenda
pembangunan G20. Sejumlah organisasi internasional, think tank, dan
akademisi lainnya telah berfokus pada pertumbuhan hijau termasuk
Bank Dunia. Pada Februari 2012, Bank Dunia bersama UNEP, OECD,
dan GGGI meluncurkan platform baru internasional di Meksiko–
Platform Pengetahuan Pertumbuhan Hijau (GGKP)–menyatukan
pandangan lembaga organisasi internasional yang mendukung dan
mendorong pertumbuhan hijau dan ekonomi hijau. Tujuan GGKP
untuk meningkatkan dan memperluas upaya untuk mengidentifikasi
dan mengatasi kesenjangan pengetahuan berupa teori dan praktik
pertumbuhan hijau, dan membantu negara-negara tesebut untuk
merancang dan mengimplementasikan kebijakan ekonomi hijau
(Kanianska, 2017).
Selama beberapa tahun terakhir konsep pertumbuhan hijau telah
menjadi agenda kebijakan internasional. Dimana istilah pertumbuhan
hijau jarang terdengar sebelum tahun 2008, kini sudah menempati
posisi yang menonjol dalam wacana kebijakan lembaga ekonomi dan
pembangunan internasional. Dimana, Bank Dunia bersama dengan
lima bank pembangunan multilateral lainnya telah berkomitmen
sendiri untuk pertumbuhan hijau ini (World Bank, 2012).
74 EKONOMI HIJAU
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
OECD telah mengadopsi strategi pertumbuhan hijau dalam
penelitian dan publikasi (OECD 2012). Dimana, lembaga Global
Green Growth Institute yang didukung pemerintah telah dibentuk
untuk memberilkan saran-saran kepada negara-negara dalam
mengimplementasikan pertumbuhan hijau (GGGI 2012). UNEP telah
menerbitkan laporan setebal 600 halaman mengenai penggunaan label
hijau (UNEP 2011). Institusi internasional tersebut secara bersama-
sama telah membentuk platform pengetahuan tentang pertumbuhan
hijau sebagai sarana atau tempat bagi penelitian dan pengetahuan
dlaam melaksanakan di lapangan (World Bank, 2012). Sejumlah
pertemuan level tinggi dan jaringan dibentuk (Global Green Growth
Forum, 2012). Secara eksplisit beberapa negara telah mengadopsi
pertumbuhan hijau sebagai tujuan kebijakan (OECD, 2012).
Sementara itu, pada KTT G20 di Prancis dan Meksiko pada 2011 dan
2012 dengan ekonomi terbesar di dunia berkomitmen untuk
mempromosikan pertumbuhan hijau (yakni Pemerintah Prancis 2011,
dan Pemerintah Meksiko 2012). Dimana, ekonomi hijau menjadi
fokus utama di KTT PBB Rio+20 pada bulan Juni 2012 (UNCSD,
2012).
Inti konsep pertumbuhan hijau dapat dinyatakan secara sederhana
sebagai pertumbuhan ekonomi (pertumbuhan produk domestik bruto
atau PDB) yang dicapai namun dengan perlindungan terhadap
lingkungan secara signifikan. Namun, terdapat sejumlah yang
meragukan kompatibilitas antara pertumbuhan dan perbaikan
lingkungan. Penggunaan istilah awalnya sepenuhnya fokus pada
mitigasi perubahan iklim namun saat ini lebih mencakup sumber daya
lingkungan secara luas (misalnya tanah, air, stok ikan, dan habitat).
Beberapa definisi yang tepat mengenai tingkat perlindungan
lingkungan belum ditentukan secara jelas. Namun demikian menurut
World Bank (2012), pertumbuhan hijau adalah pertumbuhan yang
efisien dalam penggunaan sumber daya alam, meminimalkan polusi
dan dampak lingkungan dan tangguh, karena menyumbang bahaya
alam dan peran pengelolaan lingkungan dan modal alam dalam
mencegah bencana fisik.
Menurut OECD (2012), pertumbuhan hijau berarti mendorong
pertumbuhan dan pembangunan ekonomi, sambil memastikan aset
alam terus dapat menyediakan sumber daya dan jasa lingkungan pada
kesejahteraan. Terdapat kesamaan definisi tersebut dan dibuat secara
jelas dalam analisis: tingkat perlindungan lingkungan yang tidak
terpenuhi dengan model pertumbuhan saat ini. Berbagai konsep
sekarang juga sering digunakan, kebanyakan dari konsep tersebut
berusaha untuk memperluas gagasan pertumbuhan ekonomi dan
EKONOMI HIJAU 75
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
pembangunan secara lebih adil secara sosial. Gagasan-gagasan
tersebut seperti itu rendah karbon, rendah emisi, dan kompatibel
dengan perubahan iklim. Sementara itu, definisi UNEP tentang
ekonomi hijau berusaha untuk menangkap ide-ide yang berkembang.
Salah satunya yang menghasilkan peningkatan kesejahteraan bagi
manusia dan keadilan sosial, sekaligus secara signifikan dapat
mengurangi risiko lingkungan dan kelangkaan ekologis (UNEP,
2011). Sementara itu, istilah-istilah tersebut tidak memiliki arti yang
sama persis dengan pertumbuhan hijau, namun dapat dilihat sebagai
varian dari konsep yang sama. Kedua istilah tersebut memiliki ide inti
yang sama yakni pertumbuhan yang bersesuaian dengan perlindungan
lingkungan (World Bank, 2012).
7.1 Konsep Pertumbuhan Hijau
Pada bagian ini berusaha menempatkan konsep pertumbuhan
hijau dalam wacana terbaru terkait dengan perlindungan lingkungan.
Hal ini yang membedakan antara pertumbuhan hijau versi standar dan
interpretasi yang bagi pembuat kebijakan. Transformasi dari
pembangunan berkelanjutan ke pertumbuhan hijau menjelaskan
wacana dan peran lingkungan dalam konsep pertumbuhan ekonomi
yang dapat memenuhi tujuan lingkungan. Pertumbuhan hijau menjadi
jantung dari wacana pembangunan berkelanjutan ketika dipopulerkan
UNEP tahun 1987 yang dilembagakan dalam ‘Rio Earth Summit’
tahun 1992 (Dresner, 2008).
Pembangunan berkelanjutan menjadi prinsip dasar dalam
pembuatan kebijakan lingkungan internasional dan perencanaan
lingkungan nasional di berbagai negara. Secara resmi, lembaga-
lembaga internasional mempromosikan pertumbuhan hijau bukan
menjadi pengganti pembangunan berkelanjutan tetapi cara untuk
mencapainya (OECD, 2011; UNEP, 2011; World Bank, 2012).
Setelah KTT Bumi 1992, tujuan pembangunan berkelanjutan
telah diadopsi pemerintah dan banyak negara secara luas sehingga
memberikan dampak nyata dalam prioritas pada lingkungan. Pada
Tahun 1990-an, terlihat secara jelas adanya peningkatan pembuatan
regulasi dan kebijakan lingkungan, serta berkembangnya bidang usaha
terkait dengan pengelolaan lingkungan. Namun, beberapa tahun
kemudian telah melambat secara signifikan. Oleh karena itu, secara
jelas terlihat komitmen nyata negara-negara untuk pembangunan
berkelanjutan tidak cukup untuk membalikkan kondisi, dimana telah
terjadi penurunan kondisi kesehatan lingkungan secara global.
Dimana ditemukan hampir semua indikator kesehatan lingkungan
secara global secara signifikan terus menerus memburuk.
76 EKONOMI HIJAU
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
Terjadinya perubahan iklim yang membahaya umat manusia,
yang menunjukkan bahwa sesuatu yang jauh lebih mendalam harus
dilakukan dalam mengelola lingkungan. Konsep pembangunan
berkelanjutan yang sudah didukung secara universal tidak banyak
dapat membantu. Oleh karena itu, pembangunan berkelanjutan yang
diharapkan sebagai bagian dari komitmen pemerintah untuk
memotivasi perubahan yang lebih radikal harus dapat dicapai. Namun,
pada saat yang sama para pembuat kebijakan sangat sadar bahwa
wacana terhadap lingkungan mengalami kendala terkait biaya dan
batasan. Selain itu, kebutuhan untuk membatasi pertumbuhan dalam
mengatasi kondisi lingkungan yang memburuk, justru membatasi dan
tidak mungkin menarik dukungan politik secara global, karena
pertumbuhan PDB (dan lapangan kerja yang dihasilkannya) tetap
menjadi minat utama bagi kalangan bisnis dan tujuan kebijakan utama
dari pemerintah. Hal ini terutama berlaku di bidang perubahan iklim,
di mana wacana dominan berpusat pada biaya ekonomi mitigasi dan
negosiasi internasional (Stern, 2007).
Oleh karena itu, tujuan dari wacana pertumbuhan hijau telah
bergeser dari konteks yang cenderung negatif dan tidak menarik
secara politis kemudian menuju pada sesuatu yang lebih positif.
Dimana, pembangunan berkelanjutan berusaha menunjukkan bahwa
perlindungan lingkungan tidak harus dengan mengorbankan
kemakmuran yang ingin dicapai. Pembangunan berkelanjutan adalah
latihan yang disengaja dalam menyatukan koalisi dukungan politik
yang luas dengan menghindari terjadinya kompatibilitas mendasar
pertumbuhan dengan perlindungan lingkungan. Namun, pertumbuhan
hijau tidak hanya terbatas pada kompatibilitas itu, tetapi mengklaim
benar-benar dapat melindungi lingkungan dengan menghasilkan
pertumbuhan yang lebih baik.
Konsep pembangunan berkelanjutan muncul dari gerakan
lingkungan, di mana argumen ideologis tentang batas-batas
pertumbuhan tersebar secara luas, sedangkan pertumbuhan hijau
muncul dari komunitas pembuat kebijakan ekonomi lingkungan. Hal
Ini juga membuat pertumbuhan hijau menjadi konsep yang jauh lebih
terfokus. Sementara itu, berdasarkan pengematan, pembangunan
berkelanjutan adalah ide yang lebih longgar, menggabungkan
berbagai tujuan yang sering tidak jelas, maknanya ditentang karena
ditafsirkan lebih konservatif atau bahkan lebih radikal dengan
kepentingan yang berbeda-beda (Jacobs, 1999). Sebaliknya,
pertumbuhan hijau lebih jelas dan cukup jelas apa artinya.
EKONOMI HIJAU 77
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
7.2 Definisi Pertumbuhan Hijau
Definisi pertumbuhan hijau tidak ada yang disepakati secara
internasional, bahkan setidaknya tiga belas definisi pertumbuhan hijau
diidentifikasi dalam publikasi-publikasi terbaru (UNDESA, 2012).
Menurut OECD (2011), pertumbuhan hijau berarti mendorong
pertumbuhan ekonomi dan perkembangan sambil memastikan alam
terus menyediakan sumber daya dan jasa lingkungan untuk
kesejahteraan. Pertumbuhan hijau harus mengkatalisasi investasi dan
inovasi yang dapat mendukung pertumbuhan berkelanjutan dan
menghasilkan peluang-peluang ekonomi baru.
Teori pertumbuhan klasik (Solow, 1956) mengasumsikan bahwa
output (Y) diproduksi menggunakan teknologi dan modal manusia
(A), modal fisik (K), dan tenaga kerja (L). Dimana, Y = f (A, K, L).
Pertumbuhan output dijelaskan melalui pertumbuhan faktor produksi
K dan L serta pertumbuhan produktivitas A. Pertumbuhan tenaga kerja
L dijelaskan oleh populasi pertumbuhan, partisipasi angkatan kerja
dan peningkatan kesehatan dan pendidikan tenaga kerja. Pertumbuhan
K dijelaskan melalui investasi, dan model pertumbuhan
mengasumsikan bahwa bagian output digunakan untuk meningkatkan
persediaan modal K. Pertumbuhan A dijelaskan melalui perubahan
teknologi termasuk perubahan organisasi dan praktiknya, dan
peningkatan modal sosial (lembaga yang lebih baik). Dalam beberapa
model teori pertumbuhan (model Solow tahun 1956), tenaga kerja dan
pertumbuhan produktivitas total adalah bersifat eksogen. Dalam
model lain (Mankiw et al., 1992), pertumbuhan produktivitas bersifat
endogen dan bergantung pada investasi pada pendidikan, penelitian
dan pengembangan, serta skala output dan pembelajaran.
Kebijakan ekonomi dapat mempengaruhi akumulasi modal fisik,
modal sosial, dan modal manusia untuk memaksimalkan output atau
untuk memaksimalkan pertumbuhan output (pertumbuhan PDB).
Dalam pendekatan ini, aspek lingkungan tidak memiliki peran
produktif, meskipun dapat masuk melalui fungsi utilitas. Produksi
ekonomi secara langsung tergantung pada stok sumber daya alam dan
kualitas lingkungan yang ada (Malthus, 1965). Lingkungan menjadi
modal alam, secara langsung dibutuhkan untuk pertumbuhan. Dan
pengelolaan lingkungan menjadi investasi yang produktif, secara
langsung sebanding dengan investasi dalam modal fisik. Kegagalan
mengelola lingkungan mengakibatkan depresiasi dan penghancuran
modal alam yang secara langsung berdampak pada output yakni Y = f
(A, K, L, E). Modal alam meliputi stok sumber daya alam, lahan dan
ekosistem, dimana hal ini sering diabaikan dan tidak dikelola dengan
baik. Hal ini menyebabkan terjadinya beban biaya bagi perekonomian
78 EKONOMI HIJAU
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
dan kesejahteraan manusia. Output yang diperoleh dari eksploitasi dan
menurut harga pasar, maka jika terjadi kelangkaan stok sumber daya
alam tidak sepenuhnya tercermin dalam nilai barang dan jasa yang
timbul dari eksploitasi tersebut (OECD, 2011; World Bank, 2012).
7.3 Tujuan dan Prinsip Pertumbuhan Hijau
Tujuan utama dan prinsip pertumbuhan hijau adalah membangun
insentif atau institusi yang dapat meningkatkan kesejahteraan dengan
meningkatkan manajemen sumber daya dan produktivitas; kegiatan
ekonomi yang menarik dilakukan di tempat yang paling
menguntungkan bagi masyarakat dalam jangka panjang; mengarah
kepada cara baru untuk memenuhi tujuan inovasi. Dimana, strategi
pertumbuhan hijau dipusatkan pada aspek-aspek yang saling
memperkuat kebijakan ekonomi dan lingkungan. Hal ini dilakukan
dengan memperhitungkan nilai penuh dari modal alam sebagai faktor
produksi dan perannya dalam pertumbuhan. Strategi pertumbuhan
hijau berfokus pada cara-cara hemat biaya dalam mengurangi tekanan
pada lingkungan dan mempengaruhi transisi menuju pola
pertumbuhan baru yang akan menghindari persilangan kritis antara
ambang batas lingkungan lokal, regional dan global. Inovasi berperan
sebagai peran kunci. Pertumbuhan hijau memiliki potensi untuk
mengatasi masalah ekonomi dan tantangan lingkungan dengan
membuka sumber-sumber pertumbuhan baru melalui saluran:
a. Produktivitas. Insentif untuk efisiensi yang lebih besar dalam
penggunaan sumber daya dan aset alam: meningkatkan
produktivitas, mengurangi limbah dan energi konsumsi, membuat
sumber daya tersedia untuk penggunaan dengan nilai yang
tertinggi;
b. Inovasi. Peluang untuk inovasi, didorong oleh kebijakan dan
kondisi kerangka kerja yang memungkinkan adanya cara baru
untuk menangani masalah-masalah lingkungan;
c. Pasar baru. Penciptaan pasar baru dengan merangsang permintaan
untuk teknologi hijau, barang, dan jasa; menciptakan potensi
peluang untuk pekerjaan baru;
d. Keyakinan. Meningkatkan kepercayaan investor melalui
peningkatan prediktabilitas dan stabilitas seputar bagaimana
pemerintah akan menangani masalah-masalah lingkungan;
e. Stabilitas. Kondisi makro ekonomi yang lebih seimbang,
berkurang volatilitas harga sumber daya dan mendukung
konsolidasi fiskal melalui, misalnya, meninjau komposisi dan
efisiensi publik pengeluaran dan peningkatan pendapatan melalui
penetapan harga polusi.
EKONOMI HIJAU 79
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
Tidak ada resep satu ukuran untuk semua, untuk menerapkan
strategi bagi pertumbuhan hijau. Pertumbuhan ekonomi dalam prinsip
hijau tergantung pada kebijakan dan pengaturan kelembagaan, tingkat
pembangunan, sumbangan sumber daya, dan titik tekanan lingkungan
tertentu. Negara-negara maju, negara-negara berkembang, dan
negara-negara terbelakang akan menghadapi tantangan dan peluang
yang berbeda-beda, seperti juga negara-negara menghadapi kondisi
ekonomi dan politik yang berbeda-beda pula (Kanianska, 2017).
7.4 Standar Pertumbuhan Hijau
Sebuah pernyataan yang tertanam dalam konsep pertumbuhan
hijau: pertumbuhan ekonomi dapat terjadi kenaikan, bahkan ketika
dampak terhadap lingkungan terus berkurang secara signifikan. Dalam
konteks inipertumbuhan hijau bukan hanya berisi cita-cita normatif,
tetapi di dalamnya mengandung klaim ekonomi yang kuat baik secara
teoritis maupun empiris. Proses industrialisasi di setiap negara
menyebabkan terjadinya pertumbuhan ekonomi berkait dengan
berbagai kerusakan lingkungan dari penipisan sumber daya dan
perubahan iklim klaim hubungan tersebut membutuhkan beberapa
dasar teoritis. Pada tingkat yang sederhana awal 1970-an Holdren dan
Ehrlich (1974) mengusulkan identitas penjelas I = PCT. Dimana I =
dampak lingkungan; P = populasi; C = konsumsi; dan T = teknologi
(lebih spesifik lagi, produktivitas teknologi dalam kaitannya
pemanfaatan lingkungan).
Persamaan tersebut menunjukkan bahwa kenaikan populasi akan
menyebabkan konsumsi meningkat, dan dampak lingkungan akan
meningkat kecuali jika tingkat perkembangan teknologi mampu
mengatasinya. Model matematika tersebut mudah tetapi sekaligus
juga membahayakan. Misalnya, jika selama periode tertentu seperti
lima puluh tahun dimana populasi akan meningkat dua kali lipat dan
konsumsi empat kali lipat, maka produktivitas teknologi lingkungan
harus meningkat delapan kali lipat untuk mampu mencegah kerusakan
lingkungan yang semakin parah dan lebih banyak lagi dampaknya
terjadi. Analisis menunjukkan bahwa perbaikan pada prinsipnya tidak
mustahil: melalui berbagai macam metode termasuk penggunaan
sumber daya terbarukan dan material baru, peningkatan produktivitas
industri dan konsumen, daur ulang limbah, praktik pemanenan
berkelanjutan dan perubahan struktur ekonomi (Jacobs, 1991; Ekins,
2000).
Argumen-argumen ini memberikan landasan teoretis bagi klaim
bahwa pertumbuhan dapat hijau. Konsep pertumbuhan hijau moderen
yang bertumpu pada konsep yang lebih empiris. Terdapat 2 (dua)
klaim yakni: Pertama, biaya penanggulangan kerusakan lingkungan
80 EKONOMI HIJAU
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
tidak terlalu baik, sehingga mengurangi tingkat pertumbuhan alami
dari perusahaan yang berkinerja baik ekonomi menjadi nol; kedua,
jika kerusakan lingkungan tersebut tidak dapat ditangani, maka biaya
pertumbuhan lingkungan yang memburuk akan jauh lebih besar
(Stern, 2007).
Pemodelan bagi pengurangan emisi GKR dilaksanakan pada
awal sebesar 4 persen dari PDB. Sebaliknya, jika gagal mengurangi
emisi GKR, maka biaya ekonomi dari perubahan iklim terjadi jauh
lebih besar yakni: antara 5-20 persen dari PDB. Inti pesan dari laporan
ini sangat jelas bahwa biaya melakukan tindakan terhadap pemanasan
global signifikan, sehingga sesuai dengan keberlanjutan pertumbuhan
ekonomi, dan membutuhan biaya jauh lebih sedikit daripada tidak
bertindak.
Laporan Stern (2007) sebagai standar pertumbuhan hijau.
Laporan tersebut berdasar alasan ekonomi menghadapi perubahan
iklim dan analisis biaya-manfaat yang relatif sederhana. Namun, hal
itu tidak terbantahkan, dimana kritik terhadap laporan Stern tersebut
secara khusus berfokus pada perkiraan biaya yang memungkinkan
terjadinya perubahan iklim. Banyak berpendapat bahwa kondisi yang
sangat jauh di masa depan sehingga tidak dapat dibandingkan dengan
biaya saat ini untuk dapat mencegahnya: di masa depan masyarakat
akan lebih kaya, karena adanya pertumbuhan ekonomi dan
mengembangkan teknologi beradaptasi untuk mencegah pemanasan
global (Nordhaus, 2007). Secara politis, kritik ini melemahkan klaim
terhadap pertumbuhan hijau. Sementara itu, untuk mengendalikan
kerusakan lingkungan mungkin bermanfaat dalam jangka Panjang.
Namun, dalam jangka pendek hal tersebut tidak begitu jelas, bahwa
biaya terhadap PDB sepadan dengan seluruh manfaat di masa depan
yang dihasilkan. Ketika ekonomi memburuk pasca krisis keuangan
tahun 2008, strategi untuk memperlambat pertumbuhan terlihat tidak
menarik bagi pembuat kebijakan. Dimana, perlindungan terhadap
lingkungan tidak hanya kompatibel dengan pertumbuhan ekonomi
yang berkelanjutan tetapi secara positif dapat mendorongnya.
Kebijakan membuat lebih hijau menjadi faktor pendorong output lebih
tinggi dan meningkatkan standar hidup (Huberty et al. 2011; Bowen
& Fankhauser, 2011).
7.5 Keynesianisme Hijau
Perekonomian yang pernah mengalami resesi besar dapat
dirangsang kembali untuk tumbuh, khususnya pertumbuhan lapangan
kerja melalui berbagai langkah dengan memperbaiki lingkungan
(Pollin et al, 2008). Misalnya bidang efisiensi energi, energi
terbarukan, peningkatan kualitas air, manajemen pertanian dan
EKONOMI HIJAU 81
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
lanskap, transportasi umum dan pengendalian polusi membuka
kesempatan kerja dan meningkatkan permintaan barang dan jasa.
Secara umum hampir semua negara mengeluarkan stimulus fiskal
paket Tahun 2008-2009 termasuk dalam program hijau. Pengeluaran
untuk lingkungan di Korea Selatan mencapai 79 persen ($ 59 miliar)
dari total stimulus; China mengeluarkan sepertiga dari $219 miliar;
AS sebesar 12 persen dari $ 118 triliun. Sementara masing-masing
negara Eropa sebesar 60 persen dari $ 23 triliun dari stimulus paket
kolektif Uni Eropa untuk lingkungan (Barbier, 2010; Robins et al.,
2010).
Argumentasi yang digunakan membenarkan paket-paket
stimulus tersebut agar pemerintah dapat mempertahankan permintaan
agregat dalam perekonomian dan menggantikan kehilangan
permintaan sektor swasta. Kondisi ini pada gilirannya menciptakan
efek pengganda yang menghasilkan pendapatan dan pertumbuhan
lapangan kerja. Paket-paket pengeluaran tersebut tidak harus langsung
berorientasi hijau, namun membuka peluang secara luas-luasnya bagi
lingkungan, dan berbagai manfaat kesehatan yang ditawarkan, dimana
paket stimulus menawarkan keuntungan tertentu. Stimulus menurut
pandangan Keynesian menarik investasi masa depan ke masa
sekarang, dimana dapat memberikan keuntungan yang lebih besar dan
manfaat bagi tenaga kerja, serta pembiayaan murah yang dapat
tersedia saat resesi (Bowen et al., 2009).
Pemerintah belum tentu dapat membelanjakan atau
meminjamkan anggaran dalam mencapai efek pengganda hijau:
peraturan atau kebijakan pajak yang memaksa atau mendorong
perusahaan berinvestasi dalam perbaikan lingkungan memiliki
dampak yang sama tanpa dengan peningkatan defisit pengeluaran
publik (Zenghelis, 2012). Secara umum argumentasi menurut
Keynesian, pada prinsipnya dapat diterapkan bagi pengeluaran hijau.
Beberapa pendukung pengeluaran lingkungan melangkah lebih jauh
dengan alasan bahwa langkah-langkah ketika resesi jauh lebih baik
bagi pertumbuhan. Secara khusus, langkah-langkah pengeluaran hijau
yang dilaksanakan untuk padat karya dapat mendorong pertumbuhan
lapangan kerja yang lebih besar daripada tindakan non hijau (Engel
dan Kammen 2009).
Membuat bangunan lebih hemat energi dengan mempekerjakan
lebih banyak tenaga kerja yang terdistribusi secara geografis. Banyak
pengeluaran lingkungan untuk berbagai jenis konstruksi dan kegiatan
pengelolaan sumber daya (antara lain turbin angin, panel surya,
manejemen pertanian dan air). Pada saat yang sama, terjadi
peningkatan efisiensi energi (bentuk lain dari efisiensi sumber daya)
82 EKONOMI HIJAU
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
adalah penghematan biaya secara ekonomi, mengeluarkan sumber
daya untuk dibelanjakan oleh perusahaan dan rumah tangga. Hal-hal
tersebut sebagai efek stimulus (Roland-Holst, 2008).
Perkiraan dampak dari langkah-langkah stimulus hijau yang
dilaksanakan tahun 2008-2010 menimbulkan berbagai argumentasi.
Diperkirakan sekitar setengah juta pekerja diperkirakan sudah bekerja
pada elemen lingkungan akibat paket stimulus tersebut (Barbier,
2010). Sebanyak 960 ribu tenaga kerja bekerja dalam elemen
lingkungan di Korea Selatan. Terdapat sejumlah bukti empiris bahwa
penciptaan lapangan kerja terkait lingkungan berasal dari paket
stimulus. Misalnya di AS, sebesar 20 persen lebih pekerjaan
diciptakan melalui paket-paket hijau dibandingkan belanja utnuk
infrastruktur (Houser et al. 2009). Meskipun klaim secara teoretis dan
empiris masih menjadi perdebatan. Kondisi-kondisi tersebut telah
menjadi perdebatan ekonomi yang berlangsung lama tentang
efektivitas dari kebijakan. Kritikus terhadap pandangan Keynesian
berpendapat bahwa pengeluaran stimulus–apakah hijau atau coklat–
akhirnya tidak efektif dalam menciptakan lapangan kerja atau
pertumbuhan. Secara sederhana pengeluaran publik mendorong
pengeluaran swasta dengan memaksa suku bunga naik. Selanjutnya
pemerintah akan membelanjakan lebih banyak, sementara perusahaan
yang rasional dan konsumen menghemat lebih banyak, karena
mengetahui bahwa pajak akan dinaikan untuk mengantikan
pengeluaran publik tersebut.
Pandangan Keynesian menentang bahwa tidak ada pengeluaran
pribadi yang terjadi: apa yang terjadi hanyalah keseimbangan baru
dimana investasi rendah dan permintaan rendah. Perusahaan dan
konsumen tidak akan bertindak secara kolektif rasional. Sebaliknya,
paradoks penghematan akan bekerja, di mana kurangnya permintaan
akan mengarahkan swasta untuk menabung daripada membelanjakan,
yang pada gilirannya akan menyebabkan kurangnya permintaan.
Menerut pandangan Keynesian menyatakan hanya kebijakan
pemerintah yang dapat membalikkan siklus (lingkaran) tersebut
(Zenghelis, 2012). Kedua argumentasi tersebut menunjukkan analisis
bahwa dampak paket stimulus ekonomi tahun 2008-2009 untuk
membenarkan klaim tersebut. Sementara perkiraan resmi efek
pengganda paket stimulus di AS sangat positif (Mulligan, 2010).
Sementara itu, kritikus terhadap kebijakan Keynesian berpendapat
sebaliknya, bahwa setiap keuntungan dari pekerjaan hanya bersifat
sementara karena untuk mengimbangi pekerjaan yang hilang akibat
suku bunga yang dinaikkan dalam menutupi defisit anggaran.
EKONOMI HIJAU 83
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
Pendukung Keynesian berpendapat bahwa langkah-langkah
stimulus dimaksudkan hanya untuk jangka pendek, untuk diterapkan
ketika terjadi resesi ekonomi, dan kondisi tersebut membutuhkan
peningkatan output menuju ekuilibrium ekonomi. Faktanya,
Keynesian hijau memperluas argumentasi ini dengan klaim yang lebih
kuat, bahwa langkah-langkah stimulus untuk lingkungan mendorong
pertumbuhan ekonomi dalam jangka menengah dan panjang menjadi
lebih baik. Argumentasi ini berbeda dengan pandangan Keynesian
murni dalam melihat teori pertumbuhan.
7.6 Teori Pertumbuhan Hijau
Perbaikan lingkungan secara positif berkontribusi pada
pertumbuhan ekonomi berdasarkan kerangka utama teori ekonomi
yang menjelaskan mengapa dan bagaimana pertumbuhan terjadi
(Hallegatte et al, 2011). Output ekonomi hasil dari faktor-faktor
produksi atau modal: tenaga kerja, fisik, modal, teknologi dan modal
manusia. Pertumbuhan output terjadi ketika faktor meningkat dalam
ukuran absolut atau produktivitas. Sementara modal terdepresiasi dari
waktu ke waktu, namun proporsi output dapat ditingkatkan (ukuran
dan produktivitas) melalui investasi seperti investasi dalam teknologi,
pendidikan, dan kesehatan tenaga kerja. Jika tingkat investasi baik,
maka secara ekonomi akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Sementara itu, teori pertumbuhan hijau dimulai dari pengamatan
secara sederhana atas lingkungan alam yang juga dianggap sebagai
faktor produksi, tetapi dalam konteks teori pertumbuhan klasik secara
praktik hal tersebut diabaikan (Nordhaus 1974; Solow, 1974;
Smulders 1999; Brock & Taylor 2005).
Lingkungan sebagai modal melalui tiga cara yakni: menyediakan
sumber daya, mengasimilasi efek limbah, dan menyediakan jasa
lingkungan bagi kehidupan, termasuk pengaturan iklim dan ekosistem
yang sehat. Namun, modal lingkungan alam ini masih diremehkan
dalam tataran teori dan praktik ekonomi, karena sebagian besar telah
tidak diakui apa yang disediakan lingkungan alam tersebut hanya
dianggap sebagai hadiah dan berbentuk gratis. Fungsi lingkungan
dianggap sebagai barang bersama (kolektif) tanpa hak milik dan tanpa
insentif untuk memilkinya secara ekonomi (Jacobs, 1991).
Konsep ekonomi standar menggambarkan terjadinya kegagalan
pasar. Kegagalan pasar terjadi ketika tidak memperhitungkan nilai
dari aktivitas secara penuh. Oleh karena itu, keputusan produksi dan
konsumsi diambil pelaku ekonomi terdistorsi secara relatif, jika
lingkungan alam yang mereka ambil tidak dihargai dengan benar.
Dimana, sumber daya alam cenderung dieksploitasi secara berlebihan
yakni: tanah tergerus, perikanan dan air habis. Ekosistem yang
84 EKONOMI HIJAU
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
memberikan nilai jasa lingkungan, seperti lahan basah dan hutan
dibiarkan terdegradasi atau dihancurkan. Sumber daya seperti energi
dan material digunakan secara tidak efisien dengan menghasilkan
limbah (polusi) sehingga nilai lingkungan alam tidak dihargai. Dalam
semua cara tersebut, teori pertumbuhan hijau berpendapat bahwa pola
pertumbuhan ekonomi yang berlangsung saat ini kurang optimal.
Mereka keliru dalam mengalokasikan sumber daya diantara faktor-
faktor produksi yang berbeda tersebut. Mereka kurang berinvestasi
dalam modal alam, dan terlalu banyak berinvestasi di aktivitas yang
menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan. Jika kegagalan pasar
secara sistematis dikoreksi, mungkin pertumbuhan ekonomi menjadi
lebih tinggi. Kondis lingkungan alam lebih buruk dari gambaran
tersebut, karena di banyak negara biaya lingkungan dari penggunaan
sumber daya alam tidak hanya kurang dihargai, tetapi terjadi
eksploitasi secara besar-besaran. Subsidi untuk menggunakan bahan
bakar yang berasal dari fosil, dan untuk bentuk lain dari ekstraksi
sumber daya diperkirakan sudah sekitar $1,1 triliun per tahun (Dobbs
et al., 2011). Subsidi semacam itu lebih jauh mendistorsi keputusan
produksi dan konsumsi dari pada mencapai kondisi optimaln. Dari
premis-premis ini, para pendukung pertumbuhan hijau berpendapat
bahwa berbagai tindakan dan kebijakan lingkungan dapat
menghasilkan pertumbuhan. Di negara berkembang, banyak
penekanan kebijakan untuk melakukan konservasi dan peningkatan
modal alam seperti kualitas tanah, perikanan, hutan dan habitat seperti
rawa bakau dan terumbu karang. Perdebatan ekonomi fokus pada
sumber daya, dimana depresiasi bersih modal alam merupakan faktor
penghambat pertumbuhan dengan cara yang sama seperti depresiasi
bersih modal fisik, UNEP telah menemukan banyak bukti empiris
bahwa pertumbuhan berdampak positif terhadap konservasi dan
pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan (UNEP, 2011).
Biaya ekologis yang lebih besar dari terjadinya degradasi hutan,
hilangnya lahan basah, kerusakan terumbu karang dan sebagainya
sudah jelas terjadi. Argumentasi pertumbuhan hijau bahwa
pertumbuhan coklat tidak ada lagi: Kondisi yang dimiliki saat ini
karena adanya eksploitasi yang berlebihan harus dihentikan. Jika tidak
mampu menghentikan, maka kerugian bersih modal lingkungan alam
tidak akan mampu dikompensasi dengan penciptaan modal fisik.
Kerusakan lingkungan alam akan menyebabkan lebih banyak biaya
yang dikeluarkan untuk menghasilkan output dan kesejahteraan
daripada menghasilkan manfaat. Sebaliknya, pendukung pertumbuhan
coklat berargumentasi periode waktu panjang untuk mencapai tingkat
pertumbuhan yang diproyeksikan, dan sumber daya di masing-masing
EKONOMI HIJAU 85
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
negara yang bersangkutan. Di negara-negara berkembang fokus
argumen pertumbuhan hijau adalah konservasi dan peningkatan modal
alam, sementara itu di negara-negara maju telah dijalankan kebijakan
lingkungan dan mengeluarkan biaya lingkungan untuk dapat
mengatasi kegagalan pasar yang menghambat pertumbuhan.
Teori pertumbuhan mengakui bahwa pola kegiatan ekonomi saat
ini masih jauh dari tingkat optimal. Setidaknya terdapat 4 (empat)
bentuk kegagalan pasar yang memiliki relevansi dengan kebijakan
lingkungan. Pertama, energi dan sumber daya lainnya tidak digunakan
secara efisien. Berbagai alasan perilaku dan struktural, perusahaan dan
rumah tangga gagal menggunakan berbagai cara untuk meningkatkan
efisiensi energi yang bermanfaat yaitu menghemat lebih banyak uang
daripada biaya yang dikeluarkan (Gillingham et al., 2009). Pada pada
saat yang sama, penggunaan energi memiliki dampak eksternalitas
khususnya emisi bahan bakar fosil yang menyebabkan perubahan
iklim yang tidak diperhitungkan dalam harga energi. Artinya, dengan
memperbaiki dan mengoreksi kegagalan pasar, maka kebijakan
lingkungan juga dapat memperbaiki yang perilaku dan kondisi
struktural. Kebijakan lingkungan tersebut termasuk pajak dan skema
perdagangan emisi yang memberi harga pada karbon: peraturan yang
mensyaratkan minimal standar efisiensi energi untuk bangunan,
kendaraan dan peralatan; dan pengeluaran publik untuk mendorong
inovasi. Ketika kebijakan tersebut diperkenalkan, maka perusahaan
dan konsumen akan mengantisipasi akan biaya energi yang lebih
tinggi dengan meningkatkan efisiensi energi dan inovasi. Selanjutnya
terjadi emisi turun, biaya ekonomi hemat, dan produktivitas salah satu
faktor produksi penting meningkat, sehingga menghasilkan
pertumbuhan yang lebih hijau. Efek yang sama dapat terjadi jika
kebijakan lingkungan diterapkan pada sumber daya lain termasuk air,
komoditas material dan limbah (Dobbs et al., 2011).
Kedua, pasar dibiarkan kurang berinvestasi pada peningkatan
produktivitas kegiatan utama seperti penelitian dan pengembangan
(R&D) dan penciptaan jaringan ekonomi (hubungan antara
perusahaan dan aktivitas yang meningkatkan produktivitas dan
inovasi). Dimana, kegiatan tersebut memiliki manfaat limpahan yang
tidak dapat diraih secara eksklusif oleh mereka yang berinvestasi pada
bidang tersebut (Aghion & Howitt, 1992). Sejak banyak kebijakan
lingkungan ditujukan untuk mempromosikan inovasi, termasuk upaya
untuk mendukung R&D dan untuk menciptakan jaringan perusahaan
atau infrastruktur baru (seperti: klaster industri atau sistem energi
terdistribusi) dapat merangsang inovasi dan manfaat jaringan secara
86 EKONOMI HIJAU
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
lebih luas dalam perekonomian yang berdampak positif pada
pertumbuhan (Porter & Linde, 1995; Ambec et al., 2011).
Ketiga, kebijakan lingkungan memiliki berbagai manfaat
tambahan yang ditujukan kepada pihak lain (eksternalitas).
Meningkatkan efisiensi energi dan menggunakan bahan bakar non-
fosil, keduanya membantu untuk mengurangi polusi udara yang
berdampak besar pada biaya kesehatan dan produktivitas tenaga kerja
(Graff Zivin dan Neidell, 2011). Kebijakan lingkungan juga dapat
meningkatkan keamanan energi dan mengurangi biaya yang
disebabkan volatilitas harga energi (Rozenborg, 2010). Pengurangan
emisi dari transportasi secara bersamaan dapat mengurangi kemacetan
transportasi perkotaan dan memberikan manfaat signifikan bagi
produktivitas secara keseluruhan (OECD, 2012).
Keempat, kebijakan lingkungan dapat meningkatkan efisiensi
ekonomi melalui sistem perpajakan. Pajak digunakan untuk mencapai
tujuan lingkungan, dimana pembuat kebijakan memiliki pilihan untuk
mengurangi pajak lain sebagai kompensasi. Pajak penghasilan tenaga
kerja dipertimbangkan dalam kegiatan ekonomi, dimana pengurangan
pajak penghasilan dapat mendukung dan meningkatkan pertumbuhan
pajak lingkungan (Bosquet, 2000). Dengan cara ini, teori pertumbuhan
memiliki peran positif terhadap kebijakan lingkungan untuk
menggerakkan perekonomian lebih dekat menuju jalur pertumbuhan
optimal.
7.7 Ekonomi Politik Hijau
Berbait bentuk argumentasi terkait pertumbuhan hijau telah
diperdebatkan sejak periode Tahun 2008 yang berasal pendukung dan
pengkritik antara lain pemerintah, lembaga internasional, serta
kalangan akademik dan komunitas yang lebih luas. Dimana sebagian
besar negara memberikan pandangan ekonomi yang dominan bahwa
pertumbuhan hijau tidak terbukti: kebijakan lingkungan yang kuat
dilihat sebagai hambatan terhadap pertumbuhan daripada sebagai
pendorong, terutama dalam kondisi ekonomi yang sulit terjadi di
sebagian besar negara maju sejak krisis keuangan. Beberapa kebijakan
lingkungan akan meningkatkan pertumbuhan, namun beberapa
kebijakan lingkungan lain dapat menjadi kendala. Perbedaan tersebut
dapat terjadi disebabkan sifat masalah lingkungan yang sedang
ditangani, tujuan, atau instrumen kebijakan yang digunakan. Jadi tidak
terdapat kesimpulan umum terkait kebijakan pertumbuhan hijau. Hal
tersebut tergantung pada jenis pertumbuhan hijau apa sedang
dipertanyakan. Pada saat yang sama, secara jelas terdapat alasan untuk
pertumbuhan hijau semakin kuat berdasarkan kerangka acuan. Dilihat
berdasarkan waktu yang sangat singkat dimana terlihat biaya
EKONOMI HIJAU 87
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
kebijakan lingkungan besar, dan manfaat output dari kebijakan
lingkungan tidak pasti. Namun, jangka waktu yang lebih lama, inovasi
teknologi untuk mengurangi biaya dan mendorong pertumbuhan
menjadi lebih besar, sementara biaya ekonomi gagal melindungi
lingkungan apabila terjadi penipisan sumber daya, meningkatnya
polusi, dan hilangnya ekosistem mencapai titik kritis.
Terdapat beberapa argumentasi saat ini membantah bahwa
pertumbuhan hijau dalam jangka panjang melindungi lingkungan akan
lebih murah daripada tidak melakukannya (UNEP, 2011). Sebagian
besar pemodelan kebijakan lingkungan telah berusaha untuk
mengukur biayanya terhadap skenario referensi di mana kebijakan
tersebut. UNEP sudah memodelkan skenario referensi yang lebih
realistis terkait kebijakan lingkungan, dimana kurangnya kebijakan
lingkungan menyebabkan biaya lingkungan diproyeksikan yang
cukup besar. Terdapat beberapa alasan kuat untuk percaya
bahwa pertumbuhan hijau terbukti lebih efektif daripada
pembangunan berkelanjutan dalam menyusun kebijakan lingkungan
yang kuat.
Pertama, degradasi lingkungan jauh lebih nyata saat ini daripada
sebelumnya (dua puluh tahun yang lalu). Perubahan iklim, kelangkaan
air, kerawanan pangan dan peningkatan harga komoditas telah
membuat konsekuensi lingkungan dari pertumbuhan jauh lebih besar
terhadap pembuat kebijakan (Haas 2012).
Kedua, fokus wacana pertumbuhan hijau memberikan perhatian
yang jauh lebih besar pada pembuatan kebijakan ekonomi arus utama.
Terdapat banyak literatur tentang pertumbuhan hijau untuk
memberikan perhatian tentang pentingnya menciptakan kondisi yang
tepat untuk pertumbuhan yang terjadi di pasar tenaga kerja, kebijakan
fiskal, dan lembaga pemerintah yang efektif, sehingga kebijakan
lingkungan harus dirancang dengan baik (OECD 2011, World Bank,
2012).
Ketiga, wacana pertumbuhan hijau memiliki banyak basis
dukungan yang lebih kuat di antara kepentingan ekonomi daripada
yang pembangunan berkelanjutan. Pertumbuhan besar selama dua
dekade terakhir pada Sektor Industri Lingkungan berarti bahwa saat
ini lebih banyak dan lebih kuat, bisnis komersial yang berkepentingan
langsung dalam memperkuat kebijakan lingkungan (Hajer 1995).
Dalam energi rendah karbon dan sektor lingkungan terkait dengan
elemen penting dari gerakan lingkungan dalam mengembangkan basis
pendukung terhadap pertumbuhan hijau (Aldersgate Group, 2012).
Namun, pada saat yang sama mungkin juga terdapat kepentingan yang
lebih kuat lagi yang terancam pertumbuhan hijau tersebut. Untuk
88 EKONOMI HIJAU
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
bahan bakar fosil, industri ekstraktif dan padat sumber daya, kebijakan
lingkungan yang lebih kuat berarti biaya yang lebih tinggi dan
operasional yang lebih besar. Bahkan, jika kebijakan lingkungan
tersebut dapat menghasilkan pertumbuhan secara keseluruhan. Hal
tersebut tidak berarti bahwa setiap sektor akan mendapatkan
keuntungan. Sebaliknya, jalur pertumbuhan hijau dalam praktik
berarti transformasi dalam struktur perekonomian. Karena alasan ini,
pertarungan politik atas pertumbuhan hijau tidak terjadi hanya di
tingkat wacana. Namun, industri dengan karbon tinggi dan padat
sumber daya akan berusaha untuk memastikan bahwa konsep
pertumbuhan hijau tidak mendapat dukungan politik. Sementara itu
terdapat banyak pemerhati lingkungan terus menolak klaim bahwa
pertumbuhan ekonomi secara eksponensial berkelanjutan dapat
sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang yang
mendukung kelestarian lingkungan (Jackson, 2009).
7.8 Pertumbuhan Hijau dan Sektor Privat
Perubahan iklim tidak hanya menimbulkan ancaman langsung
bagi individu dan masyarakat, tetapi juga mengancam sektor swasta,
penciptaan lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi, dan pengurangan
kemiskinan. Penciptaan pekerjaan hijau dapat memberikan manfaat
lingkungan, serta jalur menuju pemberdayaan ekonomi. Berdasarkan
beberapa penelitian, lebih dari 400 juta orang menjadi angkatan kerja
dan penciptaan lapangan kerja hijau dipandang sebagai peluang untuk
mengatasi tantangan ketika negara-negara bertransisi menuju
ekonomi hijau (UNDP, 2013).
Menurut sebuah studi yang dilakukan oleh PWC (2010),
perubahan iklim sebagian besar akan berdampak pada Sektor
Pertanian, Sektor Infrastruktur, dan Sektor Pariwisata (DCED, 2014).
Nilai kerusakan yang disebabkan cuaca buruk meningkat bersamaan
dengan proses pemanasan global. Total pengeluaran ekonomi yang
disebabkan bencana alam telah meningkat sebesar 5,3 kali lipat dalam
beberapa tahun terakhir dibandingkan tahun 1960-an, sementara
kerusakan menjadi sebesar 9,6 kali lebih besar, terutama karena banjir
dan badai bencana disebabkan cuaca ekstrim (Njegomir & Markovic,
2009). Sesuai data statistik, perubahan iklim dianggap sebagai
ancaman utama dalam risiko dan kerusakan, serta akibatnya mungkin
sangat penting bagi industri asuransi di tahun-tahun mendatang
(Radovic-Markovic & Grozdanic, 2013). Asuransi akan menjadi lebih
mahal dan akses ke modal dapat dikurangi. Permintaan pasar juga
akan berubah karena pelanggan merespons terhadap perubahan iklim
(DCED, 2014).
EKONOMI HIJAU 89
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
Kewirausahaan sosial dapat menjadi solusi yang baik untuk
manajemen perubahan iklim. Perusahaan-perusahaan yang
berorientasi sosial ini telah berusaha untuk mengatasi masalah sosial
seperti pengembangan masyarakat dan perlindungan lingkungan.
Contohnya: krisis, masalah polusi, air minum bersih, pemberdayaan
perempuan, hak asasi manusia, kesempatan pendidikan, dan
kesetaraan jenis kelamin (Radovic-Markovic, 2010). Kewirausahaan
sosial secara global menunjukkan secara bersamaan berhasil
menjalankan bisnis dan mengelola perubahan iklim. Dalam konteks
ini, perlu adanya sosialisasi dan promosi terhadap perusahaan atas
peran dalam mengatasi perubahan iklim (Markovic, 2013).
90 EKONOMI HIJAU
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
BAB VIII INOVASI HIJAU
Inovasi hijau telah menjadi konsep populer dalam beberapa tahun
terakhir seiring dengan terjadinya pemanasan global dan kerusakan
lingkungan yang menjadi ancaman serius bagi populasi dunia
(Kunapatarawong & Martínez Ros, 2016; Miao et al., 2017).
Pertumbuhan hijau mendapatkan perhatian penting dan semakin
mendesak. Dimana, kemajuan teknologi sebagai salah satu kekuatan
terpenting bagi pembangunan hijau, namun inovasi hijau umumnya
membutuhkan biaya yang mahal. Oleh karena itu, masalah utamanya
apakah inovasi hijau dapat meningkatkan pertumbuhan yang sekaligus
mempertahankan manfaat lingkungan. Pada akhir 1990-an, awalnya
inovasi hijau ditujukan sebagai bentuk perubahan teknologi produksi
melalui penemuan produk dan proses inovatif di bawah peraturan
lingkungan, ekonomi, dan sosial yang sehat dengan tujuan produksi
jangka panjang dan pembangunan industri yang berkelanjutan (Cleff
& Rennings, 1999; OECD, 2009).
Berdasarkan sejumlah literatur yang tersedia, konsep umum
tentang inovasi hijau, inovasi ekologi, inovasi berkelanjutan, dan
inovasi lingkungan, memiliki definisi yang berbeda terkait aspek
lingkungan, sosial, teknologi, atau mikroekonomi/makroekonomi
(Schiederig et al., 2011). Istilah-istilah tersebut disebutkan secara
bergantian mengacu pada proses dan produk inovatif dalam rangka
mengurangi dampak lingkungan (Cleff & Rennings, 1999; Chen et al.,
2006). Sebagian besar berfokus pada pengembangan dan mengelola
kinerja inovasi hijau (Chiou et al., 2011).
Konsep inovasi hijau dikembangkan dan dikombinasikan dengan
teori ekonomi lingkungan, yang menekankan pada regulasi
kelembagaan dan lingkungan, serta inovasi teori ekonomi yang
berfokus pada inovasi teknologi dan kewirausahaan melalui start-up,
serta mempertimbangkan faktor pemasaran yang mempengaruhi
pertumbuhan dan ekspansi bisnis (Cleff dan Rennings, 1999). Inovasi
hijau memungkinkan produsen untuk mendapatkan insentif dari
penggunaan sumber daya alam dan aset secara efisien, mengurangi
limbah, mengurangi konsumsi energi dan polusi, serta meningkatkan
produktivitas (Cheng et al., 2014), mempromosikan citra perusahaan,
sehingga meningkatkan keunggulan kompetitif dan profitabilitas
jangka panjang (Porter & Van der Linde, 1995; OECD, 2009). Oleh
karena itu, inovasi hijau dianggap sebagai faktor pendorong penting,
untuk memisahkan penipisan sumber daya alam dan mengatasi
tantangan ekonomi, lingkungan, dan sosial di setiap tahap siklus hidup
produk. Konsep dan definisi inovasi hijau menetapkan pentingnya
EKONOMI HIJAU 91
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
inovasi dalam mengantisipasi kondisi lingkungan. Berdasarkan
perspektif akademis, maka komponen inovasi hijau terdiri dari:
(1) Inovasi produk hijau. Komitmen perusahaan untuk menciptakan
produk inovatif yang mengurangi dampak lingkungan di seluruh
rantai pasok (Cleff & Rennings, 1999; Chen et al., 2006);
(2) Inovasi proses hijau. Daya tanggap untuk meningkatkan proses
produksi menuju tren eko-efisiensi dan penerapan teknologi
inovatif terkait penghematan energi, pencegahan polusi, daur
ulang limbah, desain produk hijau, atau manajemen lingkungan
perusahaan (Cleff & Rennings, 1999; Chen et al., 2006);
(3) Inovasi manajemen hijau. Efektivitas perusahaan dalam mengelola
rantai pasokan hijau dan mengatur anggaran, sumber daya dan
operasional (Chiou et al., 2011).
8.1 Konsep Inovasi Hijau
Inovasi hijau dapat dikategorikan ke dalam aspek teknologi,
fungsi manajemen, desain produk dan proses produksi. Inovasi hijau
berlangsung selama siklus produk, termasuk proses memodifikasi
desain produk untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan
(Klassen & Whybark, 1999). Zhu dan Sarkis (2004) menemukan
komitmen dari manajer tingkat atas atau manajer menengah
berpengaruh signifikan terhadap keberhasilan penerapan pengelolaan
lingkungan internal. Inovasi produk hijau, proses inovasi hijau dan
inovasi manajerial hijau penting menuju ke industri manufaktur.
Fergusson et al (2013) menyatakan perusahaan lebih mungkin
mengadopsi strategi inovasi lingkungan, jika manajer menempatkan
nilai tinggi dan peduli terhadap lingkungan dan perlindungannya.
Sebelumnya, terdapat sejumlah studi yang mengkategorikan inovasi
hijau ke manajerial, proses produk, dan teknologi membatasi untuk
memilih pemasok hijau dalam meningkatkan daya saing perusahaan
(Rao, 2002; Klassen & Vachon, 2003; Buysse & Verbeke, 2003;
Tseng et al., 2009; Yung et al., 2011).
Sharma (2000) dan Spangenberg et al (2003) menunjukkan
bahwa pentingnya persepsi manajerial dan tuntutan pemangku
kepentingan terkait dengan sikap yang lebih proaktif terhadap
komitmen lingkungan. Peran manajer dalam meningkatkan kesadaran
lingkungan, ketika manajerial menerapkan ISO-14001 pada industri
dan lingkungan berhubungan positif dengan lingkup dan kecepatan
respons perusahaan terhadap masalah lingkungan. Menurut Vachon
dan Klassen (2008), bagaimana perusahaan memanfaatkan proses
manufaktur, teknologi dan kemampuan dalam mengintegrasikan
kepedulian lingkungan dalam meningkatkan keunggulan kompetitif.
Dukungan manajemen senior adalah salah satu kunci pendorong
92 EKONOMI HIJAU
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
keberhasilan implementasi inovasi hijau. Sementara itu, Qi et al
(2010) membahas praktik konstruksi hijau sebagai salah satu unsur
utama. Persyaratan praktik konstruksi hijau dalam mencapai kualitas
tujuan dan keselamatan mencakup 6 (enam) komponen yakni:
manajemen konstruksi, perlindungan lingkungan, penghematan dan
penggunaan material, penghematan dan penggunaan air, penghematan
dan penggunaan energi, penghematan dan perlindungan lahan.
Kerangka kerja yang komprehensif mendorong konstruksi hijau pada
masing-masing komponen. Singkatnya, tinjauan literatur
menunjukkan pemasok hijau memiliki pengaruh positif terhadap
inovasi hijau. Inovasi hijau memiliki dampak positif pada keunggulan
kompetitif. Pemasok hijau memiliki dampak positif terhadap kinerja
lingkungan dan keunggulan kompetitif.
Model teoretis memperkenalkan kriteria pendorong praktik
inovasi hijau. Untuk mengidentifikasi apa yang mendorong pratek
inovasi hijau, pertama-tama perlu mendefinisikan apa yang mewakili
produksi inovasi hijau. Inovasi hijau mengacu pada inovasi dalam
teknologi, produk, layanan, struktur organisasi atau mode manajemen
yang diadopsi perusahaan dalam mencapai pembangunan
berkelanjutan (Rennings, 2000). Inovasi secara umum tentang
perubahan secara netral dan ke segala arah, inovasi hijau menekankan
inovasi menuju pada keberlanjutan dan berkontribusi pada upaya
pengurangan beban lingkungan (Klemmer et al., 1999). Inovasi
memiliki efek eksternalitas ganda, yaitu pengetahuan limpahan
eksternalitas dan dampak lingkungan yang positif, yang membuat
perusahaan lebih enggan untuk berinvestasi sendiri melainkan
mencari subsidi dari pemerintah (Rennings, 2000; Li et al., 2017).
Inovasi hijau sebagai faktor kunci dalam menjaga pengelolaan
lingkungan (Aguilera & Ortiz, 2013; Arenhardt et al., 2016; Chen,
2008; Chen et al., 2012; Yang et al., 2016) sangat penting bagi
organisasi dan komunitas untuk meneliti tren yang meningkat selama
beberapa tahun terakhir. Apalagi degradasi lingkungan telah berubah
menjadi ancaman besar bagi kelangsungan hidup manusia. Sejumlah
organisasi besar dan masyarakat dunia telah diarahkan pada inovasi
hijau sebagai strategi untuk mencapai perlindungan lingkungan dan
pertumbuhan ekonomi. Dimana, kelestarian lingkungan dan
profitabilitas ekonomi sangat penting (Fliaster & Kolloch, 2017).
Inovasi hijau dapat mengarahkan institusi/lembaga untuk mencapai
keunggulan kompetitif yang berkelanjutan (Hur et al., 2013).
Inovasi hijau telah menjadi alat penting bagi usaha dan bisnis
untuk meningkatkan pangsa pasar tetap bertahan dalam jangka
panjang. Inovasi hijau berhasil meningkatkan posisi pasar, menarik
EKONOMI HIJAU 93
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
pelanggan, menyediakan layanan ramah lingkungan dan keuntungan
berupa keunggulan kompetitif. Karena manfaat dari inovasi hijau
tersebut, menjadi agenda banyak manajer organisasi dan peneliti.
Inovasi hijau membantu memenuhi tuntutan pelanggan untuk
melindungi lingkungan (Guerlek & Tuna, 2018). Inovasi hijau (eco-
inovasi) dapat didefinisikan sebagai proses yang berkontribusi pada
penciptaan produksi dan teknologi baru dengan tujuan untuk
mengurangi risiko lingkungan, seperti polusi dan dampak negatif
lainnya sebagai konsekuensi dari eksploitasi sumber daya (energi)
(Castellacci & Lie, 2017).
Inovasi hijau telah diakui sebagai salah satu faktor kunci yang
mempengaruhi lingkungan dan keberhasilan ekonomi dalam
organisasi dan komunitas, juga sebagai respons perusahaan terhadap
regulasi lingkungan (Lee & Kim, 2011). Dalam konteks ini, inovasi
hijau telah diakui sebagai salah satu faktor kunci yang mempengaruhi
pertumbuhan keuangan, kelestarian lingkungan dan kualitas hidup
(Bansal & Gao, 2006; Dangelico & Pujari, 2010). Inovasi hijau dapat
didefinisikan sebagai inovasi perangkat keras atau perangkat lunak
yang terkait dengan penggunaan produk atau proses hijau. Kategori
inovasi hijau ini termasuk inovasi teknologi yang terlibat dalam
konservasi energi, pencegahan polusi, daur ulang limbah, desain
produk hijau, dan pengelolaan lingkungan perusahaan (Lai et al, 2003)
dan melampaui kepatuhan terhadap peraturan. Dengan demikian,
perusahaan inovatif hijau adalah perusahaan yang terlibat dalam
proses perubahan dan pengembangan berkelanjutan yang umumnya
menghasilkan produk atau pengembangan teknologi hijau (Marcus &
Fremeth, 2009).
Beberapa hasil temuan menyatakan bahwa inovasi hijau hanya
sedikit berkontribusi pada portofolio inovasi perusahaan (Hull &
Rothenberg, 2008). Kurangnya inovasi hijau mungkin karena
hambatan dalam inovasi, termasuk adanya kesenjangan pengetahuan,
keengganan terhadap risiko di pasar modal, dan dukungan pemerintah
yang tidak memadai terhadap inovasi hijau (Runhaar et al, 2008).
Misalnya, beberapa usaha dan perusahaan hijau baru rentan karena
didirikan dengan harapan adanya subsidi dari pemerintah yang
berkelanjutan kemungkinan tidak akan bertahan lama. Hambatan ini
telah membuat manajer sulit untuk mencapai perbaikan lingkungan
dan kompetitif di perusahaan (Hull & Rothenberg, 2008). Bahkan
ketika perusahaan mampu mengatasi hambatan ini dan
mengembangkan inovasi hijau, dimana inovasi hijau tersebut tidak
selalu dapat mendorong kinerja keuangan menjadi lebih tinggi (Link
& Naveh, 2006). Misalnya, produsen pestisida alamiah dan tidak
94 EKONOMI HIJAU
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
beracun yang mengurangi kerusakan ekologi, tetapi harganya menjadi
mahal dan kurang efektif dibandingkan pestisida konvensional.
Sebagai akibatnya, pelanggan tidak mau menerima produk hijau baru
tersebut. Selain itu, perusahaan yang terlibat dalam inovasi hijau dapat
meningkatkan pelatihan, kualitas produk, dan biaya keselamatan
(Gelb & Strawser, 2001), dan biaya tambahan mungkin dikeluarkan
selama penelitian dan pencegahan risiko (López et al, 2007).
Sementara itu, beberapa penelitian lain berpendapat bahwa
inovasi hijau dapat membantu perusahaan meningkatkan kualitas
hidup secara keseluruhan dan menjadi sangat menguntungkan tidak
hanya dalam efisiensi tetapi juga dalam peningkatan permintaan
produk di antara konsumen yang peka terhadap lingkungan (King dan
Lenox, 2002; Marcus dan Fremeth, 2009). Pertama, inovasi hijau
dapat meningkatkan tindakan preventif terhadap polusi yang
memungkinkan perusahaan menghemat biaya operasional dan
menggunakan kembali bahan daur ulang (Porter, 2006). Kedua,
perusahaan yang menunjukkan inisiatif lingkungan yang baik lebih
cenderung memperoleh reputasi ekologis yang lebih positif dan
mendapat manfaat dari harga premium dan peningkatan penjualan,
karena persetujuan sosial yang lebih besar (Christmann, 2004; Bansal,
2005). Persetujuan ini memungkinkan perusahaan untuk membedakan
antar produk dengan pesaing (Rivera, 2002). Dengan demikian,
inisiatif dan tanggung jawab lingkungan sebenarnya dapat menjadi
sumber peluang yang berharga (Porter & Reinhardt, 2007; Porter,
2006).
Mendefinisikan kinerja inovasi produk hijau sebagai kinerja
dalam inovasi produk yang berkaitan dengan inovasi lingkungan,
termasuk inovasi produk yang terlibat dalam penghematan energi,
pencegahan polusi, daur ulang limbah, tidak ada racun, atau desain
produk hijau (Lai et al., 2003). Inovasi produk hijau digunakan untuk
meningkatkan kinerja manajemen lingkungan untuk memenuhi
persyaratan perlindungan lingkungan. Pengukuran dari kinerja inovasi
produk hijau yang terkandung pada 4 (empat) aspek yakni: (1)
Perusahaan memilih bahan dari produk yang menghasilkan polusi
paling sedikit untuk melakukan pengembangan produk atau
rancangan; (2) perusahaan memilih bahan dari produk yang
mengkonsumsi energi paling sedikit dan sumber daya untuk
melakukan pengembangan atau desain produk; (3) perusahaan
menggunakan paling sedikit jumlah bahan dalam membentuk produk
untuk melakukan pengembangan atau desain produk; (4) perusahaan
akan berhati-hati dalam mempertimbangkan apakah produk tersebut
mudah didaur ulang, digunakan kembali, dan terurai untuk melakukan
EKONOMI HIJAU 95
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
pengembangan produk atau desain (Lai et al., 2003; Wen & Chen,
1997).
Chen et al (2006) mendefinisikan kinerja inovasi hijau sebagai
kinerja perangkat keras dan perangkat lunak yang terlibat dalam
inovasi yang dilakukan perusahaan dalam kaitannya dengan produk
atau proses hijau, termasuk inovasi dalam teknologi yang terlibat
dalam penghematan energi, pencegahan polusi, daur ulang limbah,
desain produk hijau atau perusahaan
manajemen lingkungan. Kinerja inovasi hijau dibagi menjadi kinerja
inovasi produk hijau dan proses inovasi hijau per kinerja. Inovasi hijau
digunakan untuk meningkatkan kinerja lingkungan manajemen dalam
memenuhi persyaratan perlindungan lingkungan, dan bisnis untuk
meningkatkan produktivitas sumber daya melalui inovasi hijau untuk
menutupi biaya lingkungan.
8.2 Strategi Inovasi Hijau
Strategi inovasi hijau adalah salah satu jenis strategi lingkungan
yang paling penting. Dalam kaitannya dengan operasi bisnis, inovasi
hijau melibatkan perubahan pada praktik manufaktur seperti
pengurangan sumber daya konsumsi, pencegahan polusi, dan
penerapan sistem manajemen lingkungan (Eiadat et al., 2008). Sharma
& Vredenburg (1998) menguji hubungan antara strategi inovasi hijau,
kemampuan organisasi, dan bagaimana faktor-faktor tersebu saling
berhubungan secara positif. Eiadat et al (2008) meneliti efek dari
tuntutan pemangku kepentingan terhadap masalah lingkungan
manajerial, dan peraturan lingkungan pemerintah tentang
pengembangan strategi inovasi hijau. Namun, terdapat beberapa juga
penelitian yang menguji hubungan antara strategi inovasi hijau dan
kreativitas hijau. Dimana, hasil penelitian menemukan bahwa strategi
inovasi hijau berpengaruh positif terhadap kreativitas. Efek ini terjadi
karena strategi inovasi hijau mendorong terjadinya efisiensi
penggunaan bahan baku yang menghasilkan biaya lebih rendah dan
mengurangi limbah. Dalam proses mengurangi biaya, perusahaan
dapat memanfaatkan sumber daya secara penuh yang dapat
meningkatkan kesadaran akan potensi inovasi produk hijau, dimana
semua hal ini terjadinya kreativitas organisasi hijau.
Strategi organisasi dapat berpengaruh positif dalam
mempengaruhi kreativitas perusahaan (Johnston dan Bate, 2013).
Oleh karena itu, para ahli berpendapat bahwa strategi inovasi hijau
dapat mempengaruhi kreativitas perusahaan hijau. Karena penelitian-
penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa inovasi didorong
perkembangan teknologi dan mendorong tarikan permintaan pasar
(Freeman dan Soete, 1997). Perusahaan berjuang untuk mengatasi
96 EKONOMI HIJAU
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
peraturan lingkungan pemerintah dengan mempertimbangkan strategi
inovasi hijau. Pada gilirannya, strategi inovasi ini dapat membuat
perusahaan menerima ide-ide baru, merangsang pemikiran kreatif, dan
memfasilitasi efisiensi sumber daya yang dapat mendorong kreativitas
hijau. Akhirnya, bersama dengan tekanan masalah lingkungan,
persaingan pasar yang ketat dapat memaksa perusahaan untuk
mengembangkan strategi yang lebih fleksibel dalam produk dan
proses produknya (Chang & Chen, 2013). Untuk memenuhi
permintaan pelanggan terhadap tanggung jawab lingkungan, maka
perusahaan perlu berfokus pada produk hijau (Lin et al., 2013). Oleh
karena itu, strategi inovasi hijau dipandang sebagai metode penting
bagi perusahaan yang ingin bertahan dan mendapatkan keunggulan
pasar yang kompetitif. Sebagai strategi inovasi hijau yang dapat
meningkatkan tingkat kesadaran hijau perusahaan dan merangsang
kemampuannya untuk menciptakan ide-ide hijau yang berguna dan
baru bagi proses produk hijau.
Strategi inovasi hijau juga merangsang inovasi hijau karena
memiliki strategi seperti itu mengurangi tekanan kebijakan
pemerintah terhadap perusahaan tersebut. Alih-alih hanya bereaksi
terhadap pembatasan yang diberlakukan pemerintah, perusahaan
mengambil pendekatan proaktif melalui strategi inovasi hijau dapat
menciptakan konteks untuk inovasi lingkungan (Eiadat et al., 2008).
Selama proses penerapan strategi inovasi hijau, perusahaan dapat
mengoordinasikan berbagai sumber daya yang dibutuhkan untuk
produk atau proses hijau, yang pada gilirannya membantu
menghasilkan inovasi hijau. Akhirnya, strategi inovasi hijau tidak
hanya membantu perusahaan untuk menghindari biaya sosial dan
ekonomi lingkungan kehancuran, tetapi juga membantu bisnis
mengembangkan peluang pasar baru dan meningkatkan daya saingnya
keuntungan. Karena meningkatnya sikap peduli lingkungan,
konsumen lebih bersedia untuk memilih produk hijau dan bahkan
membayar harga yang lebih tinggi untuk ramah lingkungan produk
(Henriques dan Sadorsky, 1999; Chen et al., 2006; Chen, 2008).
Strategi inovasi hijau adalah salah satu yang paling penting
metode untuk meningkatkan inovasi produk hijau dan memenuhi
kebutuhan pelanggan. Sebuah strategi lingkungan dapat merangsang
perusahaan untuk menerapkan ide-ide lingkungan hijau pada desain
dan pengemasan produknya, yang sekali lagi meningkatkan tingkat
inovasi hijau (Shrivastava, 1995). Menurut teori identitas organisasi,
identitas organisasi adalah kerangka kerja kognitif kolektif organisasi,
yang dapat mempengaruhi tindakan semua karyawannya (Albert &
Whetten, 1985). Dengan demikian, identitas organisasi adalah
EKONOMI HIJAU 97
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
dibentuk oleh penetapan pemimpin atas nilai-nilai inti dan keyakinan
yang memandu dan mendorong perilaku organisasi (Voss et al., 2006).
Ketika pertimbangan untuk lingkungan menjadi komponen integral
dari organisasi perusahaan identitas, menjadi sulit bagi perusahaan
untuk mengabaikan dampak lingkungannya, dan rasa tanggung jawab
lingkungan dilegitimasi sebagai bagian integral dari identitas
organisasi (Sharma et al., 1999). Dalam studi tentang identitas
organisasi, Chen (2011) mengembangkan konsep baru yang disebut
identitas organisasi hijau. Kelompok jenis ini Identitas melibatkan
skema interpretatif dari pengelolaan dan perlindungan lingkungan
perusahaan yang dibangun oleh anggota organisasi secara kolektif
untuk memberikan makna bagi perilaku mereka. Konsep ini
menyarankan pendekatan yang lebih luas untuk mempelajari
perubahan organisasi. Namun, sejak Chen (2011) memperkenalkan
konsep ini, belum ada studi yang telah menguji hubungan antara
strategi inovasi hijau dan identitas organisasi hijau.
Strategi inovasi hijau dapat memiliki efek positif pada identitas
organisasi hijau. Pertama, strategi inovasi hijau dapat membentuk
kesadaran lingkungan perusahaan tentang pencegahan polusi,
penatagunaan produk, dan teknologi bersih (Hart, 1997). Kesadaran
bersama ini membantu perusahaan mengatasi tantangan kelestarian
lingkungan. Strategi inovasi hijau dapat meningkatkan pengembangan
produk dan menghasilkan perubahan internal yang diperlukan dalam
mengurangi emisi. Oleh karena itu, ketika sebuah perusahaan
menjalankan strategi inovasi hijau, maka para manajernya bergerak
mengintegrasikan sumber daya organisasi dan mengoordinasikan
perilaku karyawan untuk mengurangi dampak lingkungan perusahaan,
dimana semua hal tersebut memperkuat identitas organisasi
perusahaan organisasi hijau. Kedua, strategi inovasi hijau
memungkinkan perusahaan menghadapi tekanan lingkungan dalam
menciptakan inovasi lingkungan (Eiadat et al., 2008). Untuk mencapai
tujuan inovasi lingkungan, perusahaan berfokus pada tugas dan
inovasi proses produk. Manajer perlu membuat karyawan organisasi
menyadari bahwa organisasi mereka sudah siap untuk
menginvestasikan dalam inovasi hijau secara besar. Hal ini
merangsang kesadaran hijau di seluruh organisasi, dan dapat
menciptakan nilai dan keyakinan inti hijau di dalam lingkungan
perusahaan. Identitas organisasi tidak hanya dapat mempengaruhi
tindakan karyawan, tetapi juga memberikan kerangka acuan bagi
pemahaman mereka tentang masalah di sekitarnya strategi inovasi
hijau (Chang & Chen, 2013). Ketika berurusan dengan isu-isu
lingkungan menjadi bagian dasar dari identitas organisasi, isu-isu
98 EKONOMI HIJAU
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
yang terlibat dapat diartikan sebagai tantangan positif dan anggota
termotivasi berkontribusi pada kegiatan lingkungan perusahaan
(Sharma, 2000; Chang dan Chen, 2013). Strategi inovasi hijau dapat
membantu karyawan untuk menyadari bahwa para pemimpin
perusahaan sangat memperhatikan masalah lingkungan dan dapat
mengarah pada pembentukan lingkungan hijau dengan nilai-nilai inti
dan keyakinan yang mendorong perilaku organisasi. Hal ini semakin
meningkatkan kapasitas identitas organisasi hijau untuk menghadapi
tekanan lingkungan.
8.3 Inovasi Dan Pertumbuhan Hijau
Sumber energi seperti minyak mentah dan batu bara telah lama
menjadi salah satu bahan yang paling penting dari pertumbuhan
ekonomi (Stern & Cleveland, 2004; Ji & Zhang, 2018; Song et al.,
2018). Pertumbuhan ekonomi didukung bahan bakar fosil sebenarnya
memiliki beberapa kelemahan yang jelas, karena bahan bakar fosil
tersebut tidak hanya habis terpakai tetapi juga menghasilkan limbah
yang tidak diinginkan (karbon dioksida). Masalah-masalah tersebut
menjadi masalah dalam mencapai keberlanjutan bagi masyarakat
internasional. Inovasi teknologi yang dibutuhan untuk dapat
meningkatkan efisiensi, memperkenalkan penggunaan sumber daya
yang bersih, atau menemukan sumber energi yang terbarukan sebagai
solusi penting dalam mencapai pertumbuhan berkelanjutan (Cancino
et al., 2018). Dalam literatur lingkungan, inovasi berkelanjutan dan
inovasi lingkungan sering digunakan secara bergantian tanpa batasan
yang jelas (Schiederig et al., 2011). Tujuan umum dari inovasi hijau
berterkaitan dengan kemajuan teknologi yang memberikan manfaat
berupa produk, atau proses baru yang berkontribusi pada
keberlanjutan dan perlindungan lingkungan (Oltra & Saint, 2009).
Secara umum tidak dibedakan atau terdepat perbedaan tipis
antara konsep-konsep tersebut, sehingga menggunakan konsep
inovasi hijau untuk mewakili istilah yang relevan. Meskipun,
hubungan antara inovasi dan pertumbuhan telah dibahas secara luas
dalam berbagai literatur inovasi hijau dan pertumbuhan berkelanjutan
yang muncul beberapa tahun terakhir, dengan meningkatnya perhatian
yang ditujukan dalam literatur-literatur. Isu-isu konseptual inovasi
hijau dan perlunya mengembangkan pendekatan teoretis dan
metodologis dalam memahami inovasi dan pembangunan
berkelanjutan. Cancino et al, (2018) merangkum berbagai studi yang
menguji hubungan inovasi dan pertumbuhan berkelanjutan. Dimana,
kerangka kerja ontologis menunjukkan terdapat kesenjangan
signifikan dalam literatur dimana sebagian besar masalah budaya
diabaikan dalam inovasi dan pembangunan berkelanjutan tersebut.
EKONOMI HIJAU 99
Diskursus dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau 5.0
Inovasi hijau didefinisikan sebagai peningkatan perangkat keras atau
lunak perusahaan dalam kaitannya dengan proses produk ramah
lingkungan. Inovasi hijau mencakup teknologi baru yang dapat
menghemat energi, mencegah terjadinya polusi, mendaur ulang
limbah, merancang produk hijau, atau mengembangkan praktik
pengelolaan lingkungan perusahaan yang mendorong bagi
keberlanjutan (Chen et al., 2006).
Inovasi hijau dalam penciptaan atau proses produk hijau dapat
meningkatkan kinerja lingkungan organisasi, atau memenuhi
persyaratan perlindungan terhadap lingkungan. Studi-studi
sebelumnya berfokus membangun kompetensi hijau, dan pemasok
hijau dalam mencapai kelestarian lingkungan sebagai sarana dalam
meningkatkan inovasi hijau (Chen, 2008; Dangelico & Pujari, 2010).
Beberapa penelitian telah meneliti hubungan antara strategi inovasi
hijau dan inovasi hijau. Dalam studi ini menemukan bahwa strategi
inovasi hijau berpengaruh positif terhadap inovasi hijau. Dasarnya
dimana inovasi hijau berfokus pada pengurangan limbah, pencegahan
polusi, dan penerapan sistem pengelolaan lingkungan (Eiadat et al.,
2008). Untuk mencapai tujuan inovasi hijau, perusahaan
memanfaatkan sepenuhnya teknis kemampuan dan sumber daya
manusia yang heterogen. Dalam pandangan berbasis sumber daya
perusahaan, dimana sumber daya perusahaan adalah potensi dasar dari
inovasi (Chen, 2008).
Chen et al (2006) mendefensikan inovasi hijau sebagai
pengembangan solusi perangkat keras atau lunak baru yang terkait
dengan produk atau proses hijau. Inovasi hijau tersebut melibatkan
pemecahan masalah di bidang-bidang yakni penghematan energi,
pencegahan polusi, daur ulang limbah, desain produk hijau, atau
manajemen lingkungan perusahaan. Secara umum, perusahaan
mengadopsi inovasi hijau dalam memenuhi persyaratan tujuan
perlindungan lingkungan. Identitas organisasi hijau berkontribusi
pada proses ini dengan menggabungkan keahlian dan area perusahaan
yang berbeda keahlian untuk memfasilitasi inovasi (Chang dan Chen,
2013).
Sebuah perusahaan dapat meningkatkan dan mendorong inovasi
dengan menggunakan pengetahuan dalam menghasilkan ide-ide baru
yang berguna dan menarik bagi para pemangku kepentingan. Identitas
organisasi hijau dapat memotivasi anggota organisasi untuk
menemukan hubungan antara teknologi baru dan kebutuhan
pelanggan. Upaya semacam ini memungkinkan perusahaan untuk
dapat memanfaatkan sepenuhnya sumber daya internal dalam
meningkatkan inovasi hijau (Chang & Chen, 2013). Untuk