Buku Green Eco Ap150 2muka 17buku PDF
Buku Green Eco Ap150 2muka 17buku PDF
Segala puji marilah kita sampaikan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas terbitnya buku ini yang
merupakan lanjutan dari buku singkat sebelumnya yang berjudul Ekonomi Hijau : Sintesa dan
Memulainya. Buku ini membahas lebih dalam tentang pemahaman dan pelaksanaan Ekonomi Hijau
yang dijabarkan dalam langkah konkrit yang sudah diterapkan di setiap sektor dan langkah yang akan
dilakukan selanjutnya, untuk menuju pembangunan yang berkelanjutan.
Buku ini dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama membahas pentingnya pelaksanaan pembangunan
berkelanjutan, kemudian dilanjutan Bagian Kedua yang memberikan gambaran pelaksanaan
pembangunan berkelanjutan yang sudah dilakukan oleh beberapa sektor, selanjutnya ditutup oleh Bagian
Ketiga yang mencoba memberikan rekomendasi langkah kongkrit yang dapat dilakukan kedepan.
Buku ini tersusun atas kerjasama dan masukan dari berbagai Kementerian Lembaga termasuk Kepala
Pusat Pengkajian Industri Hijau dan Lingkungan Hidup dan Dirjen Industri Unggulan Berbasis Teknologi
Tinggi Kementerian Perindustrian, selain itu juga Kementerian Kelautan Perikanan yang terdiri dari
Direktur Sumber Daya Ikan dan Direktur Pesisir dan Lautan. Dari Kementerian Perencanaan
Pembangunan Deputi Bidang Kemiskinan, Ketenagakerjaan dan Usaha Kecil dan Menengah, kemudian
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Direktur Konservasi Energi dan Direktur Teknik dan
Lingkungan Mineral Batubara. Dari Kementerian Pertanian Direktur Tanaman Tahunan dan Direktur
Pupuk Pestisida. Kami ucapkan terimakasih atas masukan dan kerjasamanya.
Kehadiran buku ini, diharapkan dapat menjadi masukan untuk menyusun kerangka konsep pelaksanaan
Ekonomi Hijau yang dapat ditempuh Indonesia secara bertahap, dan memberikan rujukan untuk
pengembangan pelaksanaan Ekonomi Hijau di setiap sektor, serta langkah yang bisa dilakukan
selanjutnya.
DAFTAR ISI
BAGIAN I : PENDAHULUAN
BAB I
BAB II
Pendahuluan..............................................................................................................................................
1.1
Latar Belakang.......................................................................................................................
1.2
Tujuan.......................................................................................................................................
Ekonomi Hijau...........................................................................................................................................
2.1
Kerangka Pembangunan Berkelanjutan....................................................................
2.2
Tinjauan Singkat Pelaksanaan 3 (tiga) Pilar Pembangunan
Berkelanjutan........................................................................................................................
2.3
Pembangunan Berkelanjutan dalam Rencana Pembangunan dan
Perkembangan Pembangunan Pilar Lingkungan Hidup ...................................
2.4
Tahapan Ekonomi Hijau dalam Kerangka Pembangunan
Berkelanjutan........................................................................................................................
2.5
Penurunan Emisi GRK........................................................................................................
2.6
Pola Konsumsi dan Produksi Berkelanjutan............................................................
3
3
6
7
7
9
16
17
21
23
BAB IV
BAB V
BAB VI
BAB VII
29
31
35
37
41
41
42
52
55
56
58
64
67
67
73
75
75
89
93
93
96
BAB VIII
BAB IX
7.3
Tantangan dan Kendala Green Jobs di Indonesia...............................................
Penerapan Ekonomi Hijau di Sektor Industri.........................................................................
8.1
Konsep Ekonomi Hijau di Sektor Industri............................................................
8.2
Kebijakan dan Penerapan Ekonomi Hijau di Sektor Industri......................
8.3
Permasalahan dan Tantangan Penerapan Ekonomi Hijau di Sektor
Industri.................................................................................................................................
Penerapan Prinsip Hijau Berkelanjutan di Perkotaan.........................................................
9.1
Perkotaan yang Hijau/ Berkelanjutan Sudah menjadi tuntutan.................
9.2
Kebijakan dan Inisiasi Penerapan Prinsip Hijau/Berkelanjutan di
Perkotaan............................................................................................................................
9.3
Permasalahan dan Tantangan Perkotaan Hijau.................................................
103
107
107
109
114
117
117
119
123
127
128
132
136
137
137
138
140
140
140
141
143
145
Daftar Gambar
Gambar
2.1
Gambar
2.2
10
Gambar
2.3
11
Gambar
2.4
12
Gambar
2.5
18
Gambar
2.6
22
Gambar
2.7
24
Gambar
3.1
32
Gambar
5.1
64
Gambar
6.1
76
Gambar
6.2
82
Gambar
6.3
87
Gambar
7.1
95
Gambar
7.2
105
Gambar
8.1
108
Gambar
8.2
110
Gambar
10.1
132
Gambar
11.1
139
Gambar
12.1
142
Daftar Box
Box
3.1
31
Box
3.2
SUPRADIN.................................................................................................................
33
Box
3.3
34
Box
5.1
57
Box
5.2
60
Box
5.3
53
Box
5.4
62
Box
6.1
79
Box
6.2
89
Box
6.3
90
Box
7.1
101
Box
7.2
Ecoentrepenurship......................................................................................................
102
Box
7.3
103
Box
9.1
120
Box
9.2
121
Box
10.1
130
Daftar Tabel
Tabel
5.1
64
Tabel
5.2
73
Tabel
7.1
96
Tabel
7.2
98
Tabel
9.1
Nilai IPB dengan Bobot Sama dan Dampak Terhadap Peringkat IPB Provinsi ........
134
Tabel
9.2
Nilai IPB dengan Bobot Berbeda dan Dampak Terhadap IPB Provinsi ...................
135
BAB I. PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Ekonomi hijau sebagai konsep sudah lama digulirkan oleh berbagai lembaga internasional
khususnya UNEP, dan diterapkan oleh berbagai negara dengan berbagai keragamannya. Telaah
tentang ekonomi hijau di Indonesia sudah pula dilakukan oleh berbagai pihak, dan salah satunya
adalah kajian Kementerian PPN/Bappenas yang sudah diterbitkan dalam buku singkat berjudul
Ekonomi Hijau: Sintesa dan Memulainya (2012). Ekonomi hijau dalam konteks pembangunan
berkelanjutan sudah bukan hal baru, karena Indonesia telah mempertimbangkan tentang
pentingnya pembangunan berkelanjutan sejak tahun 1972, oleh Prof. Otto Sumarwoto.Berbagai
upaya sejak itu sudah dilakukan, dan dirangkum secara komprehensif dalam Buku Overview of
Indonesias Sustainable Developmen
1970-an pemerintah
3|Page
namun peningkatan produksi ini juga diikuti dengan masalah lingkungan yang disebabkan
oleh penggunaan pestisida dan pupuk kimia secara terus menerus dan berlebihan,
sehingga menurunkan tingkat kesuburan tanah. Pemakaian bibit unggul untuk mengejar
produksi juga telah mendorong kepunahan beberapa varietas padi lokal.
2.
3.
Deforestasi hutan, laju kerusakan hutan di Indonesia terus meningkat sejak era tahun
1970an. Sampai saat ini, hutan masih menjadi sasaran eksploitasi ekonomi, tidak hanya
pada hutan produksi namun juga perambahan pada hutan konservasi dan hutan lindung
yang masih terjadi. Kelemahan akurasi pemetaan dan penerapan di lapangan, lambatnya
proses penyelesaian tata ruang serta lemahnya penegakan hukum mempercepat
deforestasi hutan.
4.
Eksploitasi sumber daya mineral dan laut yang tidak berkelanjutan dan ramah lingkungan
juga terjadi.Ekosistem laut mengalami degradasi, karena penangkapan yang melebihi
daya tumbuh maupun penangkapan sumberdaya perikanan (terutama tuna, cakalang, dan
kakap laut dalam) secara ilegal oleh nelayan asing. Wilayah pesisir dan laut yang padat
penduduk atau tinggi intensitas pembangunannya, seperti sebagian kawasan Selat
Malaka, Pantai Utara Jawa, Ujung Pandang, dan pesisir Timika telah mengalami
degradasi/tekanan lingkungan berupa pencemaran; overfishing; degradasi fisik habitat.
Dari luas terumbu karang yang ada di Indonesia, diperkirakan hanya 7 persen terumbu
karang yang kondisinya sangat baik, 33 persen baik, 46 persen rusak dan 15 persen
lainnya kondisinya sudah kritis (KLH, 1996). Hingga tahun 2000-an, ekosistem
mangrovetelah hilang berikut keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya.
Kedua, dalam sepuluh tahun terakhir, Pemerintah sudah menempuh strategi
lingkungan hidup telah terjadi banyak kemajuan dalam penetapan standar kualitas pencemaran
lingkungan namun penegakan hukum masih terkendala. Kesadaran lingkungan dalam kehidupan
sehari-hari maupun kegiatan ekonomi juga masih rendah. Masalah lingkungan masih menjadi
faktor exogenousyang harus diatasi, bukan dampak yang sebetulnya dapat dicegah dalam setiap
langkah kehidupan. Keterpaduan ini yang sangat perlu diterapkan mulai saat ini, dan bukan
mengatasi dampak yang semakin sulit dikendalikan.
Ketiga,sebagai negara yang memasuki negara berpendapatan menengah (middle income
country), Indonesia tidak bisa lagi mengandalkan pertumbuhan dari sektor sumberdaya alam
primer, namun sudah harus menginjak pada sektor sekunder yang memiliki nilai tambah
tinggi.Penekanan pada nilai tambah tinggi ini diperlukan untuk menopang tingkat pertumbuhan
yang terus meningkat seiring dengan peningkatan kebutuhan masyarakat yang juga semakin
tinggi kesejahteraannya.Peningkatan nilai tambah tinggi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
tidak akan dapat dipenuhi pemanfaatan sektor primer yang semakin terbatas ruang dan
kapasitasnya.
Konsumen menengah ke atas juga memerlukan barang dan jasa yang semakin
besar, semakin beragam, dan menuntut kualitas bagus. Apabila perekonomian Indonesia,
terutama sektor produksi tidak mengikuti kebutuhan konsumen, maka akan semakin banyak
kebutuhan harus dipenuhi dari negara lain/impor. Dengan demikian, apabila kita tidak dapat
membangun keseimbangan antara dinamika dan tingkat konsumsi dengan sektor produksi, maka
peningkatan status ekonomi negara tidak akan dapat dimanfaatkan untuk peningkatan
kesejahteraan masyarakat.
Keempat, dengan semakin majunya tingkat kualitas masyarakat tercermin pada tingkat
pendapatan dan juga kapasitas SDM.Pada saat ini semakin tersedia tenaga terdidik yang
memerlukan jenis pekerjaan dan profesi yang berkaitan dengan sektor modern (sekunder) dan
sektor yang berbasis pengetahuan (knowledge base sector). Kondisi ini memerlukan sektor
sekunder dan tersier yang lebih sophisticated dan supply of services yang sesuai selera
masyarakat yang semakin tinggi. Sektor ini akan terbangun karena permintaan masyarakat yang
pendapatannya semakin tinggi. Apabila kita tidak membangun supply sektor ini, pemenuhan
kebutuhan sektor jasa ini akan dipenuhi oleh tenagaasing, dan sebagai akibatnya SDM terdidik
kita tidak mendapat tempat (menganggur). Ekonomi hijau perlu dibangun untuk memenuhi
kebutuhan konsumen akan sektor produksi, baik primer, sekunder maupun tersier dan sekaligus
menampung lulusan dan tenaga kerja yang semakin terdidik (dan sudah tidak mau bekerja di
5|Page
1.2.
Tujuan
Penyusunan Buku Prakarsa Strategis Pengembangan Konsep Ekonomi Hijau (Green
Economy)bertujuan untuk: (a) Memberikan kerangka konsep ekonomi hijau yang dapat ditempuh
Indonesia secara bertahap dalam langkah jalur pembangunan berkelanjutan; (b) Memberikan
rujukan untuk pengembangan pelaksanaan ekonomi hijau disetiap sektor, dan langkah
selanjutnya.
6|Page
2.1.
Pembangunan berkelanjutan sesuai dengan UNEP memiliki 3 pilar utama, yaitu pilar atau
dimensi sosial, pilar ekonomi dan pilar lingkungan hidup.Di dalam ketiga pilar ini, Indonesia
sudah sangat maju tidak hanya dalam kebijakan namun juga capaian dalam pembangunan
sosial.Hal ini tercermin pada langkah panjang untuk membangun antara lain pada bidang
kependudukan, pendidikan, kesehatan. Sebagian besar capaian ini tercermin pada proses dan
capaian pembangunan milenium (MDG) Indonesia. Pada bidang ekonomi sudah terbukti dengan
capaian kemantapan Indonesia dalam mempertahankan tingkat perumbuhan ekonomi dalam
sepuluh tahun terakhir, di tengah-tengah berbagai masalah ekonomi yang terjadi di negara
maju.Pada pilar lingkungan sudah banyak langkah-langkah yang dicapai, namun masih
terkendala dan merupakan langkah terpisah dari kedua pilar lainnya. Pilar ini masih perlu
dibangun dan dipadukan (internalisasikan) ke dalam pilar sosial dan ekonomi untuk penerapan
pembangunan berkelanjutan yang seimbang. Indonesia harus menjadikan pembangunan pilar
lingkungan secara terpadu ini, dan terutama internalisasinya ke pilar ekonomi sebagai peluang
untuk meningkatkan pertumbuhan lebih tinggi namun tetap berwawasan lingkungan (Gambar
2.1).
Pembangunan berkelanjutan yang dalam dokumen Our Common Futureyang diterbitkan
pada tahun 1987 didefinisikan sebagai: pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan
masyarakat generasi sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk
memenuhi kebutuhannya. Di dalam Gambar 2.1., kerangka (pilar dan komponen) pembangunan
berkelanjutan, perlu didukung dengan pilar tata kelola (governance). Tata kelola yang biasa,
tidak memberi ruang terbentuknya pembangunan yang berkelanjutan, sehingga tidak akan
memfasilitasi adanya internalisasi dan keterpaduan penerapan 3 pilar pembangunan
berkelanjutan.
Pelaksanaan pilar sosial sudah tercermin pada ukuran dan indikator penilaiannya dalam
Milenium Development Goals (MDGs) yang sudah mulai dikembangkan sejak 2000. Namun
demikian intermediasi perilaku ramah lingkungan boleh terjadi pada pilar ini. Pilar ekonomi
7|Page
dalam kerangka pembangunan berkelanjutan dapat diukur dari pola produksi dan konsumsi
dalam perekonomian hijau suatu negara.Sementara pilar lingkungan harusnya tercermin dalam
ukuran atau indikator lingkungan dan keanekargaman hayati. Index kualitas lingkungan bersih
selama ini masih dilakukan secara parsial. Selanjutnya, faktor-faktor enabler atau lingkungan
pendukung yang terkait dengan tata kelola juga menjadi perhatian penting. Faktor pendukung ini
meliputi: adanya lembaga yang mendukung penerapan pembangunan berkelanjutan, tata kelola
dan kapasitas baik individu maupun komunitas dan pemerintah, swasta dan seluruh pihak.
Dalam kaitan dengan kerangka tersebut di atas, Buku ini mencoba membedah komponen
dalam kerangka pengembangan pembangunan berkelanjutan dengan melakukan inventarisasi
langkah-langkah yang telah dilakukan oleh berbagai pihak khususnya pada pilar ekonomi, serta
mengidentifikasi arah ke depan yang sesuai untuk Indonesia.
an internasional
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Aspek Sosial
Pemerataan
Kesehatan
Pendidikan
Keamanan
Perumahan
Kependudukan
1.
2.
Aspek Ekonomi
Struktur Ekonomi
Pola Konsumsi
dan Produksi
PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
1.
2.
3.
4.
5.
Aspek Lingkungan
Atmosfir
Tanah
Pesisir dan Laut
Air Bersih
Keanekaragaman
Hayati
Aspek Lingkungan
Kerangka
Kelembagaan
2. Kapasitas
1.
Tata Kelola
Ekonomi Hijau
MDG
Lingkungan dan
Keanekaragaman
Kelem
Kelemahan
1: aspek lingkungan belum
berkembang seperti pilar sosial dan
ekonomi ukuran dan indikator
Kelemahan 2: valuasi aspek lingkungan
dan internalisasi ke dalam pilar ekonmi
dan sosial
8|Page
2.2.
Sejauh mana Indonesia sudah menerapkan dan mencapai aspek-aspek yang merupakan
komponen dari masing-masing pilar dapat kita bedah satu persatu.
Pilar Sosial.Pilar sosial yang meliputi antara lain pemerataan, kesehatan, pendidikan,
keamanan, perumahan dan kependudukan sudah berkembang dengan pesat, terutama pada bidang
kesehatan, pendidikan dan kependudukan.Indonesia sudah secara serius dan sistematis
melakukan pembangunan aspek-aspek ini dalam rangka membangun sumberdaya manusia
Indonesia yang sehat dan tangguh.Dalam berbagai hal, capaian pembangunan dalam dimensi
sosial ini tercermin pada pencapaian MDG yang juga sudah terefleksi dan ada di dalam rencana
pembangunan nasional.
Sesuai dengan Laporan MDG 2011, capaian tujuan MDGs dapat dikelompokkan menjadi
tiga.Pertama, tujuan yang telah berhasil dicapai.Kedua, tujuan yang menunjukkan kemajuan
bermakna signifikan dan diharapkan dapat dicapai pada atau sebelum tahun 2015.Ketiga, tujuan
yang masih memerlukan upaya keras untuk mencapainya.
Tujuan-tujuan MDGs yang telah tercapai adalah: (i) MDG 1, yaitu proporsi penduduk
dengan pendapatan kurang dari USD 1,00 (PPP) per kapita per hari; (ii) MDG 3, yaitu rasio
APM perempuan terhadap laki-laki SMA/MA/Paket C dan rasio angka melek huruf perempuan
terhadap laki-laki umur 15-24 tahun; dan (iii) MDG 6, yaitu pengendalian penyebaran dan
penurunan jumlah kasus baru tuberkulosis (TB). Pencapaian ini diindikasikan oleh angka
kejadian dan tingkat kematian, serta proporsi tuberkulosis yang ditemukan, diobati dan
disembuhkan dalam program Directly Observed Treatment Short Course/DOTS (Gambar 2.2.)
9|Page
Seelain itu, peengendalian penyebaran dan mulai menurunkann jumlah kaasus baru maalaria
yang diiindikasikan oleh penin
ngkatan pro
oporsi anakk balita yaang tidur ddengan kelaambu
berinsekttisida belum memadai un
ntuk menuru
unkan jumlahh kasus baruu malaria; (vvii) MDG 7, yaitu
berupa penurunan ko
onsumsi bah
han perusak ozon, propoorsi tangkappan ikan yanng tidak mellebihi
batas bio
ologis yang
g aman, seerta rasio lu
uas kawasaan lindung untuk mennjaga kelesttarian
keanekaragaman hay
yati terhadap
p total luas kawasan huutan dan rasiio kawasan lindung perrairan
terhadap total luas perairan
p
teriitorial yang keduanya meningkat; (ix) MDG 8, yaitu beerupa
keberhasiilan pengem
mbangan sisteem keuangan
n dan perdaggangan yangg terbuka, beerbasis peratturan,
dapat dip
prediksi dan tidak diskrim
minatif yang
g diindikasikkan oleh rasiio ekspor daan impor terhhadap
PDB, rasio pinjaman
n terhadap simpanan di bank
b
umum, dan rasio ppinjaman keerhadap simppanan
di BPR yang
y
semuan
nya meningk
kat pesat. Selain itu jugga keberhasiilan dalam m
menangani uutang
untuk dap
pat mengelo
ola utang dallam jangka panjang
p
yanng diindikasiikan oleh rassio pinjamann luar
negeri terrhadap PDB
B dan rasio pembayaran
p
pokok utanng dan bungga utang luarr negeri terhhadap
penerimaaan hasil ek
kspor yang menurun tajam. Kebeerhasilan sellanjutnya addalah dalam
m hal
pemanfaaatan teknologi informasii dan komun
nikasi, yang diindikasikaan oleh peniingkatan prooporsi
penduduk
k yang memiliki jaringan
n telepon tettap dan teleppon seluler (G
Gambar 2.3..)
Target MDGs yang telah menunjukkan kemajuan namun masih diperlukan kerja keras :
MDG 1, persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional, Proporsi
penduduk dengan asupan kalori di bawah tingkat konsumsi minimum 1400 kkal/kapita/hari
dan 2000 kkal kkal/kapita/hari
MDG 5, angka kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup, Angka pemakaian kontrasepsi
(CPR) pada perempuan menikah usia 15-49 tahun saat ini, cara modern, angka kelahiran
remaja perempuan umur 15-19 tahun per 1000 perempuan usia 15-19 tahun, kebutuhan KB
yang tidak terpenuhi (unmet need)
MDG 6, prevalensi HIV dan AIDS, penggunaan kondom pada hubungan seks berisiko tinggi,
dan proporsi penduduk usia 15-24 tahun yang memiliki pengetahuan komprehensif tentang
HIV dan AIDS, dan proporsi anak balita yang tidur dengan kelambu berinsektisida
MDG 7, rasio luas kawasan tertutup pepohonan, jumlah emisi CO2, konsumsi energi primer
per kapita, elastisitas energi, proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap
sumber air minum layak di perdesaan, dan
proporsi rumah tangga dengan akses
berkelanjutan terhadap sanitasi dasar layak di perdesaan.
MDG 8, peningkatan proporsi rumah tangga dengan akses internet dan kepemilikan
komputer pribadi.
Gambar 2.4. Target MDG memerlukan kerja keras untuk dicapai tahun 2015
Dengan pencapaian target-target tersebut, maka dapat dikatakan bahwa Indonesia sudah
menjalankan pilar sosial dengan sistematis dan berhasil dengan baik.Tantangan bagi Indonesia
adalah meningkatkan pencapaian target MDG di tingkat provinsi dan kabupaten/kota yang masih
12 | P a g e
sangat beragam dibanding dengan pencapaian tingkat nasional tersebut. Sehubungan dengan itu,
Indonesia juga sudah menyusun Roadmap Percepatan Pelaksanaan MDG, agar pada akhir tahun
2015 seluruh target yang direncanakan dapat dicapai dan capaian di tingkat provinsi serta
kabupaten/kota dapat ditingkatkan. Tantangan lain adalah, bagaimana pembangunan dalam
bidang ekonomi di pilar ini memperhatikan dan ikut mengatasi masalah lingkungan untuk
mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
Pilar Ekonomi.Dalam bidang ekonomi, Indonesia sudah mengalami tingkat pertumbuhan
ekonomi cukup tinggi. Sejak era tahun 70an dan 80an pertumbuhan Indonesiadapat mencapai
sekitar 8 persen per tahun, laju pertumbuhan ekonomi pada tahun 1989 mencapai 7,46 persen
(Stephanie,2007) sementara 5 tahun terakhir yang masih menunjukkan tingkat pertumbuhan 5-6
persen per tahun. Tingkat pertumbuhan dalam 5 tahun terakhir merupakan tingkat pertumbuhan
ekonomi yang relatif kuat dibanding dengan pertumbuhan yang terjadi di berbagai negara maju
yang sedang mengalami resesi ekonomi.
Tingkat pertumbuhan yang kontinyu dan relatif stabil ini telah berhasil menurunkan
tingkat pengangguran dari sebesar 10,86persen pada tahun 2004, menjadi sebesar 5,9persen pada
tahun 2013. Sementara itu, tingkat kemiskinan (garis kemiskinan nasional) yang pada tahun 2004
sebesar 16,6persen, pada tahun 2013 sudah dapat menurun menjadi sebesar 11,37persen.
Meskipun, penurunan tingkat kemiskinan ini masih disertai dengan tingkat pemerataan yang
relatif tinggi yaitu sebesar 0,33, yang bahkan pada tahun 2013 meningkat menjadi 0,4 (koefisien
Gini). Tingginya pertumbuhan ekonomi dan penurunan kemiskinan dan perluasan kesempatan
kerja tersebut, menjadikan Indonesia sebagai salah satu Negara dalam kelompok negara G-20.
Demikian pula Indonesia juga sudah masuk dalam Negara berpendapatan menengah, meskipun
masih pada tingkat awal/bawah.
Namun demikian, prestasi ekonomi ini juga diiringi dengan degradasi lingkungan hidup,
yang ditunjukkan oleh: (i) penurunan luasan dan degradasi hutan konservasi dan hutan lindung,
yang banyak dimanfaatkan untuk perluasan pertanian terutama perkebunan, serta perkembangan
provinsi dan kabupaten baru akibat pemekaran wilayah; (ii) tumbuhnya desa menjadi kota
kecamatan dan kota-kota baru sebagai akibat urbanisasi, juga menumbuhkan banyak
permukiman serta meluasnya industri-indutri baru, yang telah menurunkan porsi kawasan hijau
dan teralihkannya fungsi lahan-lahan sawah; (ii) Penurunan kondisi dan kualitas lingkungan
hidup yang disebabkan masih terkendalanya penerapan dan penegakan hukum atas standar
kualitas lingkungan. Hal ini tercermin pada indikator lingkungan hidup IKLH yang pada tahun
13 | P a g e
2009masih pada kisaran 59,79. Indikasi lain adalah semakin banyaknya konflik yang berkaitan
dengan pengelolaan limbah yang belum tertangani dengan baik, serta adanya flora dan fauna
yang terdegradasi karena habitatnya termanfaatkan untuk pertanian dan permukiman.
Kondisi ini tentu saja tidak dapat dibiarkan terus menerus.Adanya UU No. 32/2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sudah diterapkan dalam berbagai
bentuk perijinan dan peraturan.Sebagai contoh adanya sanksi terhadap orang yang melakukan
usaha/kegiatan tanpa memiliki ijin lingkungan.Namun demikian, kondisi lingkungan hidup
sebagaimana tercermin pada IKLH masih cukup rendah, sehingga nampak adanya
ketidakseimbangan antara pemanfaatan lingkungan hidup dengan pelestarian lingkungan hidup.
Apabila hal ini dibiarkan, maka akan dapat menganggu keberlanjutan fungsi lingkungan hidup
yang berarti juga keberlanjutan pembangunan, termasuk pembangunan/pertumbuhan ekonomi.
Bahkan apabila tidak serius ditangani akan mengganggu kelangsungan daya dukung alam dan
lingkungan hidup untuk kehidupan kita semua.
Pilar Lingkungan Hidup.Dibandingkan dengan perkembangan pilar sosial dan
ekonomi,pilar
lingkungan
masih
memiliki
beberapa
kelemahan/kekurangan.
memerlukan biaya tambahan bagi pelaku ekonomi, dibanding dengan biaya yang tidak
memperhatikan pengelolaan limbah yang ditetapkan dalam peraturan. Sehingga perusahaan
memilih tidak menerapkan atau tidak sepenuhnya menerapkan pengelolaan limbah yang baik;
apalagi tidak ada sanksi hukum baik perdata ataupun pidana yang berhasil dikenakan. Dengan
demikian, dampak perilaku mereka terhadap lingkungan telah berengaruh terhadap lingkungan
sekitar tempat usaha maupun aliran air dan udara, sehingga dampaknya luas. Dampak inilah
yang sudah dirasakan masyarakat, dan semakin compactnya ruang hidup, maka intensitas
dampak limbah semakin dirasakan. Perhitungan finansial dan ekonomi dari dampak inilah yang
belum diperhitungkan dalam biaya produksi.Dengan kata lain, perilaku dan biaya produksi
pelaku ekonomi saat ini belum memperhitungkan biaya lingkungan (dampak limbah dan
kerusakan alam) yang ditanggung pihak lain yaitu masyarakat luas.
Untuk dapat memaksa kegiatan ekonomi menginternalkan dampak yang ditanggung
oleh orang lain/masyarakat dari kegiatan mereka terhadap lingkungan hidup, maka instrumen
standar (teknis) perlu dilengkapi dengan instrumen ekonomi.Dampak kegiatan ekonomi terhadap
lingkungan hidup perlu dievaluasi nilai finansial dan keekonomiannya; dan internalisasi/mitigasi
dampak kegiatan ekonomi pada lingkungan juga perlu dibentuk dalam instrumen finansial
(nilai uang) ke dalam perhitungan biaya produksi dan penggunaan ruang dan sumberdaya alam.
Dengan langkah ini maka akan dapat dibandingkan antara dampak finansial (dan bahkan)
ekonomi dengan rusaknya lingkungan serta biaya yang dikeluarkan untuk membersihkan (apabila
dapat) dengan manfaat yang diperoleh dari pertumbuhan ekonomi/keuntungan pelaku usaha dari
pemanfaatan sumberdaya alam yang merusak lingkungan tersebut.
Demikian pula, pembangunan infrastruktur juga masih belum memperhitungkan dampak
terhadap lingkungan dan akhirnya keberadaan fungsi infrastrukur itu sendiri. Berbagai jalan
dibangun dengan menempati daerah resapan air atau permukiman yang berada di sempadan
sungai.
Pada waktu tertentu, infrastruktur dan permukiman tersebut terendam air, karena
memang daerah tersebut adalah resapan air. Frekuensi dan intensitas rendaman air pada akhirnya
memaksa jalan tersebut ditingkatkan menjadi jalan layang. Demikian pula, permukiman
seharusnya dipindahkan karena sudah tidak nyaman bagi masyarakatnya, meskipun ini sulit
dilakukan secara sosial dan ekonomi. Akhir-akhir ini kondisi seperti inilah yang semakin
dirasakan.
Hal-hal tersebut di atas, sebetulnya merupakan cerminan dari belumterjaganya
keseimbangan pemanfaatan sumberdaya alam dan ruang alam dengan pelestarian fungsinya.
15 | P a g e
2.3.
Namun
demikian, dengan belum adanya ukuran yang dapat menunjukkan tingkat penerapan prinsip
keberlanjutan pada suatu bidang pembangunan ini, maka proses pengarusutamaan masih belum
konkrit.
Sementara itu, program lintas bidang perubahan iklim sudah lebih jelas dan
konkrit.Sebagaimana diperkirakan, bahwa perubahan iklim yang disebabkan oleh adanya
pemanasan global telah dirasakan pengaruhnya terhadap perubahan cuaca dan iklim, yang
16 | P a g e
berpengaruh pada sektor pertanian, khususnya dalam rangka mengamankan produksi pangan
pokok serta pengaruhnya pada nelayan dan pada perikanan tangkap.
2.4.
panjang. Yang membedakan penerapan dari tahun tertentu ke tahun berikutnya adalah
penerapannya secara konkrit dan bertahap. Pentahapan diperlukan karena tingkat kesiapan dari
masyarakat dan juga kesiapan instrumen penerapan. Pentahapan juga diperlukan agardapat fokus
dan mengukur kemajuan hasil penerapan pembangunan berkelanjutan.
Berdasarkan penerapan pada saat ini dan kemungkinan pelaksanaan dalam tahun-tahun
berikutnya dan ke depan, maka penerapan pembangunan berkelanjutan dapat dilakukan secara
bertahap, sebagaimana digambarkan dalam Gambar 2.5. berikut.
17 | P a g e
$
%
%>N
N#
!
"""""
######
Bagi
Indonesia,
penerapan
prinsip
hijau/ramah
lingkungan/berkelanjutanyang
disusunsecara sistematis adalah langkah penurunan emisi GRK. Berdasarkan komitmen Presiden
untuk menurunkan emisi GRK sebesar 26 persen(pada tahun 2020) yang disampaikan pada tahun
2009, sudah dijabarkan ke dalam kerangka pelaksanaan. Untuk pelaksanaan di tingkat nasional,
pada tahun 2011 telah berhasil dirumuskan penjabaran komitmen penurunan emisi dalam bentuk
Peraturan Presiden Nomor 61/2011 tentang Rencana Aksi Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca
(RAN GRK).
Perpres ini diiringi pula dengan Peraturan Presiden Nomor 71/2011 tentang
18 | P a g e
Pengendalian pencemaran lahan dan air juga perlu dilakukan dan melakukannya secara
sistematis sebagaimana langkah penurunan emisi GRK. Pada saat ini pencemaran air dan lahan
memiliki
berbagai
substansi
pencemar
untuk
dapat
dimonitor.
Dengan
banyaknya
substansipencemaran, sampai saat ini belum ada alat dan cara pengukuran terpadu serta
mewakili/representatifdari seluruh wilayah Indonesia. Pada masa lalu keberadaan Bapedalda
masih sangat mendukung pelaksanaan pemantauan dan pengendalian pencemaran lingkungan
hidup. Dengan adanya desentralisasi, Bapedal dan Bapedalda sudah tidak ada lagi. Pemantauan
pencemaran lingkungan dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dengan Kantor
Ekoregion yang ada di 6 wilayah dan bertempat di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Papua,
Maluku, Bali+Nusa Tenggara.
kualitas di daerah dilakukan oleh BPLH di provinsi dan BPLHD di tingkat kabupaten/kota.
Sehubungan dengan itu, BPLH/D inilah yang bertanggungjawab untuk memantau pencemaran
lingkungan di wilayahnya, apalagi dengan adanya desentralisasi, ijin investasi juga dikeluarkan
oleh Pemda. Dengan demikian, diperlukan satu kesatuan sistem pemantauan pencemaran dan
pengawasan kualitas lingkungan dan kapasitas yang memadai di daerah-daerah, agar
pengendalian pencemaran termasuk penegakan hukum bagi pelanggar dapat ditegakkan.
Untuk membiayai kegiatan ini, sudah dialokasikan DAK Lingkungan Hidup yang dapat
digunakan untuk penyediaan peralatan pemantauan pencemaran lingkungan. Namun DAK ini
tidak dapat digunakan untuk kegiatan non fisik, sehingga sejak 3(tiga) tahun lalu, mulai
dialokasikan dana dekonsentrasi dari Kementerian Lingkungan Hidup untuk melengkapi
pendanaan pemantauan kualitas lingkungan hidup. Akan tetapi upaya ini masih memerlukan
adanya sistem dan kapasitas lembaga serta kapasitasmanusianya dengan baik, sehingga sistem
pemantauan pencemaran lingkungan hidup secara sinergi dan terpadu dari seluruh wilayah
Indonesia dapat dilakukan.
Tahap berikutnya adalah membentuk ekonomi hijau. Dalam seminar Application of
green economy strategy for sustainable forest development tanggal 24 april 2013 lalu,
beberapa pemateri mendefinisikan green economydari UNEP (2011):
is one that results in improved humanwell-being and social equity, while significantly
reducing environmental and ecological scarcities. It is low carbon, resourceefficient, and
socially inclusive.
19 | P a g e
Interpretasi lebih lanjut menghasilkan pengertian ekonomi hijau adalah; ekonomi yang terus
tumbuh dan memberikan lapangan kerja serta mengurangi kemiskinan, tanpa mengabaikan
perlindungan lingkungan, khususnya fungsi ekosistem dan keragaman hayati, serta
mengutamakan keadilan sosial.
Dalam batasan tersebut secara implisit tertuang beberapa ciri ekonomi hijau, yakni : (i)
peningkatan investasi hijau; (ii) peningkatan kuantitas dan kualitas lapanganpekerjaan pada
sektor hijau; (iii) peningkatan pangsa sektor hijau; (iv) penurunan energi/sumberdaya yang
digunakan dalam setiap unit produksi; (v) penurunan CO2 dantingkat polusi per GDP yang
dihasilkan; serta (vi) penurunan konsumsi yang menghasilkansampah (decrease in wasteful
consumption).
Sehubungan
dengan
itu,
selain
menerapkan
pola
konsumsi
dan
produksi
berkelanjutan/SCP maka green economydisertai pula adanya struktur ekonomi yang sudah lebih
efisien dan bersih. Efisiensi yang diperoleh pada tingkat industri adalah penggunaan bahan yang
bersih dan efisien untuk menghasilkan output lebih banyak. Efisiensi dari tingkat lebih besar
yaitu ekonomi negara adalah pada semakin meningkatkan komposisi sektor sekunder atau biasa
disebut sektor pengolahan/manufaktur dan komposisi semakin menurun pada sektor-sektor
primer yang bersifat eksploitatif terhadap sumberdaya alam. Unsur/komponen penting lain dari
ekonomi hijau adalah adanya peluang baru dengan terbentuknya atau berkembangnya sumbersumber ekonomi baru yang ramah lingkungan/hijau.
Langkah-langkah di atas tentu saja memerlukan unsur pendukung seperti adanya proses
pengadaan hijau/ramah lingkungan; pendanaan yang hijau dll. Hal tidak kalah penting adalah
masalah right pricing yaitu penetapan hargayang tepat, artinya dampak kegiatan terhadap
lingkungan perlu dihitung dalam proses produksi dan harga barang; dan/atau sebaliknya harga
yang tidak memperhitungkan nilai dampak negatif yang dibebankan kepada masyarakat berarti
bukan harga yang sebenarnya. Sebagai contoh: harga BBM seharusnya lebih tinggi dari harga gas
karena gas tidak menghasilkan emisi GRK sementara BBM menimbulkan emisi GRK.
Tahap berikutnya adalah penerapan proses produksi dan konsumsi secara berkelanjutan.
Ini merupakan langkah internalisasi pengendalian dampak terhadap lingkungan sejak masa
proses kegiatan. Dengan kata lain, proses konsumsi masyarakat juga harus sudah memikirkan
dan mencegah segala dampak konsumsi/limbah yang dihasilkan dari konsumsi mereka terhadap
alam. Demikian pula proses produksi yang selama ini belum secara benar dan intensif
20 | P a g e
mengendalikan dampak limbah terhadap alam dan lingkungan, harus sudah memilih bahan,
mengelola limbah dan/atau menggunakan teknologi yang efisien menggunakan bahan dan
menghasilkan limbah yang rendah.
2.5.
keluarnya komitmen, disusun kerangka pelaksanakan penurunan emisi. Di tingkat nasional, dapat
disepakati rumusan langkah-langkah penurunan emisi yang dituangkan dalam Perpres No.
61/2011. Di dalam Perpres tersebut dijabarkan komitmen penurunan emisi GRK ke dalam aksiaksi/kegiatandi 5 (lima) sektor utama yaitu: sektor kehutanan dan lahan gambut, sektor pertanian,
sektor energi dan transportasi, sektor industri dan sektor (pengelolaan) limbah (Gambar 2.5).
Langkah penurunan emisi GRK ini disepakati oleh K/L penanggungjawab dan sudah
dimasukkan ke dalam RPJMN 2010-2015. Dengan kata lain, kegiatan akan dilaksanakan dalam
rencana kerja pemerintah dan masuk dalam kegiatan pembangunan dan pendanaan pembangunan
setiap tahunnya. Untuk mengkoordinasikan pelaksanaan penurunan emisi ini, juga dibentuk Tim
Koordinasi Perubahan Iklim yang diketuai oleh Wamen PPN/Bappenas dan beranggotakan
pejabat K/L yang menjadi pelaksana kegiatan/aksi penurunan emisi GRK. Mengingat di K/L juga
mempunyai Tim Perubahan iklim, maka Ketua Tim perubahan iklim menjadi ketua Pokja di
dalam Tim Koordinasi, dengan demikian ada keterkaitan erat pelaksanaan penurunan emisi GRK
di tingkat K/L dengan aksi keseluruhan agar ada keselarasan dan koordinasi yang baik.
21 | P a g e
Komitmen Presiden
P
Di Perttemuan G-20 Pitttsburgh and CO
OP15
n 2020
Untuk Meenurunkan Emisii GRK pada tahun
26
6%
26%
4
41
%
Upaya
sendiri
Dengan upaya
send
diri
+
duku
ung
15%
Gambar 2.6
6.Komitmen Presiden M engenai RAN
AN GRK
Seelanjutnya di
d tingkat daeerah, disusun
n pula Rencaana Aksi Daaerah Penuruunan Emisi G
GRK.
Di tingkaat pusat dibeentuk Sekrettariat RAN/R
RAD GRK yyang bertuggas memfasillitasi penyussunan
RAD GR
RK di daerah
h. Pada tahu
un 2012 telah
h diselesaikaan 32 RAD GRK dan terbentuknyaa Tim
Koordinaasi di tingk
kat provinsi. RAD GR
RK dituangkkan dalam bentuk Peraturan Gubbernur
sehingga akan menjadi landasan rencana kerjja SKPD/Dinnas terkait ddi daerah. Peraturan Gubbernur
ini juga menjadi dasar untuk
k koordinasi pelaksannaan Pemdaa Provinsi dengan Pemda
Kabupateen/Kota.
Dengan
D
selessainya RAN
N GRK dan RAD GRK
K maka kerrangka pelakksanaan mitigasi
perubahaan iklim sudah tersedia. Tantangan selanjutnya adalah: (i) ppelaksanaann dan pengukkuran
hasil pen
nurunan emissi GRK sesu
uai target dan
n komitmenn yang sudahh dicanangkaan, dan terceermin
pada Perp
pres Nomor 71/2011; (iii) komunikassi, koordinassi dan peninggkatan kapaasitas pelaksaanaan
dan pemaantauan; (iii) melanjutkaan aksi dan memasukkaan ke dalam
m RAPJMN 22015-2019 uuntuk
menjamin
n pencapaian
n target padaa tahun 2020
0.
22 | P a g e
2.6.
23 | P a g e
OQW<Y
&#
*#!
Z#<
[#\Y]
J
^
^_
O-W`<Y
&#
q
*#
^`^^
Z#>
=
Y
N^N
=
>J"
Y ^
Q`Y
N
<Y
J
<
%
QY
^<%
Q
24 | P a g e
Perusahaan daur ulang menjadi semakin penting tidak saja untuk membersihkan
lingkungan namun juga memanfaatkan sumberdaya alam dalam rantai bahan yang optimal,
sehingga penggunaan sumberdaya menghasilkan limbah yang minimal. Daur ulang juga penting
karena ketersediaan bahan/material dari produksi primer berbasis sumberdaya alam semakin
terbatas, sehingga sisa bahan/material yang ada perlu dimanfaatkan seefisien mungkin.
Perusahaan pengelolaan limbah juga diperkirakan semakin berkembang dengan semakin
banyaknya populasi, sehingga limbah individu dan rumah tangga semakin tinggi seiring dengan
meningkatnya konsumsi rumah tangga,yang mendorong perusahaan untuk memenuhi kebutuhan
konsumsi ini.
Perusahaan jasa lingkungan, khususnya wisata berbasis kekayaan alam dan budaya sudah
mulai berkembang di berbagai daerah dengan adanya desentralisasi dan keinginan untuk
menonjolkan keunikan wilayahnya masing-masing untuk mendapat penerimaan daerah lebih
besar. Usaha ini patut didukung dan dikembangkan lebih lanjut, sehingga lingkungan hidup dan
alam memberi nilai karena keadaan aslinya dan bukan memberi nilai karena dieksploitasi dan
kemudian meninggalkan dampak negatif terhadap masyarakatnya. Demikian pula, budaya yang
sangat beragam dan banyaknya peringatan dan upacara adat/budaya merupakan kekayaan budaya
yang dapat mendatangkan pendapatan dan masih selaras dengan pelestarian alam.
Jamu yang selama ini menjadi bagian dari pengobatan berbasis budaya lokal juga sangat
potensial dikembangkan menjadi sektor modern dan memiliki tempat dan dapat menyerap tenaga
kerja dan penghasilan baru.Pencarian kandungan bermanfaat untuk kesehatan, pangan masa
depan maupun bahan lain yang terkandung dalam kekayaan biodiversity Indonesia merupakan
potensi yang belum diketahui dan digali untuk dikembangkan.
Seiring dengan berkembangnya sektor produksi ini berarti semakin tumbuh pula
kebutuhan keahlian/jasa untuk ini, yang dapat merupakan bagian dari green jobs (pekerjaan
hijau). Dengan berkembangnya SCP ini maka akan tercipta pula peluang jenis pekerjaan baru
yang berpotensi menyediakan lapangan kerja dan profesi baru.
Selanjutnya tidak kalah penting adalah unsur pendukung. Penerapan SCP yang bersifat
mengurangi produksi limbah produksi dan konsumsi sejak awal memerlukan unsur pendukung.
Unsur pendukung dapat berupa peraturan untuk landasan pelaksanaan dan penegakan aturan bagi
pelaku yang tidak memenuhi standar perilaku dan standar kualitas lingkungan. Selain itu, adanya
ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendukung pelaksanaan peningkatan efisiensi penggunaan
material dan penurunan produksi limbah sangat diperlukan. Demikian pula kapasitas bagi
25 | P a g e
individu, rumah tangga, perkantoran dan perusahaan untuk menerapkan SCP sangat penting
untuk dikembangkan. Dukungan dan kemudahan memperoleh teknologi yang lebih efisien dalam
penggunaan bahan dan ramah lingkungan/menghasilkan minimal limbah sangat penting untuk
disediakan. Penyediaan dukungan baik untuk peningkatan kapasitas SDM, maupun akses
terhadap teknologi ramah lingkungan sangat penting, sehingga masyarakat dengan mudah dapat
menerapkan secara bertahap sesuai dengan kemampuan yang ada. Faktor penting selanjutnya
adalah adanya data dan sistem informasi untuk penerapan SCP, sehingga perkembangan
pelaksanaan dan perbaikan kualitas lingkungan dapat dipantau dengan baik.
Penerapan SCP masih pada tahap awal, yaitu pengembangan kerangka dan adanya
komitmen untuk melaksanakannya. Komitmen pemerintah sudah disampaikan oleh Menteri
Lingkungan Hidup pada saat Peringatan Hari Bumi tahun 2013 di Jakarta. Tentu saja langkah
penerapan masih awal dan masih diperlukan persiapan dan penyiapan instrumen pendukung
sebagaimana digambarkan di atas. Namun demikian, salah satu langkah positif adalah telah
ditandatanganinya MOU antara Kementerian Lingkungan Hidup dengan KADIN untuk
menerapkan SCP di Indonesia.
26 | P a g e
Ekonomi hijau di sektor pertanian sebagaimana tercantum dalam Green Economy Report
adalah praktek pertanian dengan rambu-rambu sebagai berikut: (i) memelihara dan meningkatkan
produktivitas usaha tani, sekaligus menjamin ketersediaan pangan dan jasa lingkungan secara
berkelanjutan; (ii) mengurangi eksternalitas negatif dan secara bertahap meningkatkan
eksternalias positif yang dapat menularkan kesejahteraan pada masyarakat; (iii) membangun dan
memulihkan kekayaan (sumberdaya ekologis) dengan cara mengurangi polusi dan efisiensi
penggunaan sumberdaya; (iv) merestorasi dan meningkatkan kesuburan lahan melalui
peningkatan penggunaan input alami, perubahan pola tanam (rotasi multicrop) dan terpadu
dengan ternak; (v) Mengurangi erosi lahan, meningkatkan efisiensi penggunaan air dengan cara
menerapkan teknologi mnimum tillage dan teknik budidaya tanaman penutup (cover crop
cultivation techniques); (vi) Pengurangan penggunaan pestisida dan herbisida kimia melalui
penerapan pengendalian hama penyakit secara terpadu; serta (vii) mengurangi kehilangan hasil
produksi dengan cara perbaikan teknologi pengelolaan pasca panen.
Di Indonesia, pertanian merupakan sektor kegiatan ekonomi yang memiliki multifungsi,
selain memanfaatkan ekonomi sumberdaya alam, namun juga memberikan jasa lingkungan
seperti: (i) membudidayakan dan memanfaatkan keanekaragaman hayati untuk kebutuhan
manusia secara berkesinambungan; (ii) melestarikan keberadaan keanekaragaman hayati; (iii)
menyediakan serapan karbon dan landscape hijau; (iv) pendapatan dan kesempatan kerja
masyarakat serta pendapatan nasional (PDB); (v) menjadi rantai pasar bagi industri produk input
pertanian (linkages). Namun demikian, dengan semakin meningkatnya populasi dan kebutuhan
penggunaan lahan untuk berbagai keperluan seperti permukiman, industri dan infrastruktur,
termasuk kebutuhan sektor pertanian untuk memenuhi kebuthan konsumsi manusia, maka
praktek pertanian dan pemanfaatan lahan lainnya harus memperhatkan prinsip-prinsip
keberlanjutan.
Demikian pula, sektor pertanian yang sudah menyumbang swasembada beras pada tahun
1985 dan menghasilkan pertumbuhan pendapatan pertainan (PDB) sekitar 4 persen setiap
tahunnya perlu melaksanakan prinsip ramah lingkungan. Sektor pertanian selama ini juga
29 | P a g e
menyumbang sekitar 13-15 persen dari PDB nasional, dan merupakan lapangan pekerjaan bagi
sekitar 40 persen tenaga kerja Indonesia. Sektor pertanian juga menyumbang devisa sekitar USD
5.0 s/d 5.6 miliar setiap tahunnya. Dengan semakin berkembangnya produksi seiring dengan
penambahan konsumsi, serta semakin tingginya kompetisi penggunaan lahan, maka apabila
pertanian dilaksanakan secara konvensional seperti selama ini, maka tidak akan menjamin
keberlanjutan pertumbuhan dan kelangsungan sektor pertanian itu sendiri (Emil Salim (1991).
Dampak negatif pertanian konvensional antara lain: (1) Menurunkan daya dukung lingkungan
karena peningkatan erosi, pemiskinan unsur hara tanah, kerusakan struktur tanah, peningkatan
residu bahan kimia berbahaya, membunuh organisme penyubur tanah, (2) Penggunaan saprodi
semakin tidak efisien, untuk peningkatan satu unit produksi yang sama diperlukan lebih banyak
saprodi daripada sebelumnya, (3) Ketergantungan petani pada penggunaan saprodi dan pihak
industri saprodi semakin meningkat, (4) Pemiskinan keanekaragaman hayati lingkungan
pertanian.
Revolusi hijau yang telah mengantar swasembada pangan di berbagai negara, diiringi
dengan teknologi pertanian modern yang masif dan penggunaan pestisida kimia, pupuk kimia
apabila diteruskan akan merusak lahan (Soetrisno (1998) ii . Penggunaan pupuk kimia dan
pestisida kimia yang menghasilkan peningkatan produktivitas tanaman yang cukup tinggi, telah
berdampak pada buruknya pada kondisi tanah. Tanah pertanian kehilangan banyak unsur hara
sehingga menjadi cepat mengeras, kurang mampu menyimpan air dan cepat menjadi asam yang
pada akhirnya akan menurunkan produktivitas tanaman. Bahkan penggunaan pupuk yang
berlebihan menyebabkan terjadinya eutrifikasi di daerah hilir. Pemakaian pestisida secara terus
menerus telah menyebabkan resurgensi yaitu terjadinya peristiwa peningkatan populasi hama
sasaran yang sangat mencolok jauh melampaui ambang ekonomi segera setelah aplikasi suatu
insektisida, dan resistensi yaitu penurunan kepekaan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT)
serta munculnya hama penyakit sekunder yang juga membahayakan tanaman pertanian. Dampak
yang lebih membahayakan adalah polusi tanah ini juga terserap pada komoditas yang diproduksi.
Sehubungan dengan itu, keberlanjutan harus diterapkan pula di sektor pertanian, dan
meskipun dalam tahap awal dan masih terbatas, berbagai pihak yang sudah melakukan upayaupaya pertanian ramah lingkungan dengan berbagai cara. Beberapa contoh adalah yaitu budidaya
tanaman yang berusaha meminimalisir dampak negatif terhadap alam sekitar yang mulai banyak
diterapkan baik oleh individu maupun komunitas dan kelompok tani, upaya pengelolaan
perkebunan yang ramah lingkungan, dll. Langkah-langkah ini harus dibingkai dalam satu
30 | P a g e
kerangka strategis pengelolaan pertanian masa depan yang dapat meningkatkan kualitas manusia,
berkeadilan serta
menjadi bingkai strategis dalam kemandirian pangan Indonesia. Uraian berikut merupakan
kerangka ekonomi hijau dalam sektor pertanian.
3.1.
Sampai saat ini belum ada dokumen legislasi perundang-undangan mengenai pertanian yang
memenuhi kriteria pertanian ramah lingkungan. Namun demikian ada beberapa regulasi yang
secara parsial terkait dengan dengan lingkungan. Misalnya, Keputusan Menteri Pertanian
Nomor:42/Permentan/SR.140/5/2007 tentang
Pengawasan
Pestisida.
Permen
tersebut
dan
diizinkan
dalam
organisme
sasaran
penggunaan
yang
pestisida;
sawit memenuhi kaidah keberlanjutan. Dalam ketentuan tersebut, semua perkebunan sawit harus
sudah memiliki klasifikasi ISPO. Penerapan ISPO yang beberapa waktu lalu diterapkan secara
suka rela (volunteer), dengan dikeluarkan peraturan menteri tersebut menjadi bersifat wajib
(mandatory). Dengan dikeluarkannya ISPO maka Indonesia menyatakan keluar dari RSPO yang
merupakan kelompok pengawas praktek berkelanjutan atas perkebunan kelapa sawit yang
dikeluarkan oleh kelompok importer/konsumen minyak sawit. Dengan keluarnya ISPO maka
Indonesia secara resmi memiliki pedoman dan ketentuan resmi dan baku untuk perkebunan sawit
berkelanjutan. Langkah ini penting tidak saja untuk penerapan produksi berkelanjutan namun
merupakan awal dari diplomasi sawit Indonesia di pasar dunia.
Penurunan emisi
Tidak mengotori badan air
Zero waste
Menjaga kesuburan tanah
Memelihara keragaman hayati
dan HCV
Industri minyak
sawit lestari
Keselamatan dan kesehatan
masyarakat
Kepedulian lingkungan
So
sia
l-L
ing
ku
ng
an
Perkembangan
Pengentasan kemiskinan
sosial
Pembangunan komunitas
people
people
Pembanguann pendidikan
Standar hidup yang lebih baik
si
en
i
s
i
Ef
oEk
Sosial--Ekonomi
Sosial
Pengelolaan bencana
(kebakaran dan banjir)
Efisiensi pemanfaatan
sumberdaya
Pengawalan
lingkungan
planet
planet
Pemanfaatan limbah
Pertumbuhan
ekonomi
Peningkatan laba
daerah,
profit
profit Pembangunan lokal,nasional
Menunjang pertumbuhan industri
Community engagement
Kemitraan usaha
Penciptaan lapangan kerja
Pemilikan lahan
Langkah lain yang tidak kalah pentingnya di bidang perkebunan secara umum adalah
penerapan sistem usahatani perkebunan rakyat diversifikasi integratif/Supradin (Kotak 3.2).
Sistem ini memiliki komponen: (i) Adanya diversifikasi komoditas berbasis tanaman
perkebunan, sebagai ciri umum sekaligus syarat mutlak (profit); (ii) Adanya pola integratif,
32 | P a g e
sebagai ciri khas sekaligus faktor inti terbentuknya model pertanian tekno-ekologis (planet); (iii)
Adanya pemberdayaan petani melalui model Sistem Kebersamaan Ekonomi (SKE) petani (people).
Selain itu, di bidang perkebunan juga semakin berkembang penerapan pertanian organik,
khususnya untuk komoditas beverages seperti kopi dan kakao. Varietas dan tempat penanaman
lokal seperti kopi Manggarai, Kopi Gayo, Kopi Toraja yang disertai dengan pengutamaan
komunitas (people) dan cara yang organik (planet) juga semakin memiliki tempat di dunia
internasional. Ini merupakan peluang yang perlu dikembangkan dan distandarkan dengan lebih
baik, sehingga dapat menjadi trade mark dan identitas Indonesia serta sejalan dengan prinsip
keberlanjutan. Ini merupakan peluang nilai premium yang meskipun saat ini pasarnya masih
terbatas namun memiliki nilai tambah (premium) yang tinggi.
Untuk mengatur dan menyediakan landasan pelaksanaan pertanian organik, Kementerian
Pertanian telah mengeluarkan standar pertanian organik dengan nomor SNI 01-6729-2002.
Selanjutnya, pertanian telah dilakukan pula beberapa langkah dalam skala uji coba pertanian
dengan prinsip: (i) low zero external input agriculture system (LEISA), (ii) agroforestry, (iii)
33 | P a g e
system of rice intensification(SRI) , (iv) kawasan pangan lestari, (v) model Indonesia Carbon
efisiensi Farming (ICEF), serta (vi) model pertanian zero waste,pengelolaan tanaman dan
sumberdaya terpadu. Dalam praktek budidaya lokal atau praktek pertanian tradisional, beberapa
kelompok masyarakat masih pula memelihara cara pertanian berkelanjutan di daerah Baduy
(Banten), Kasepuhan Sinaresmi, Sukabumi (Kotak 3.3), dan kampung Naga (Tasikmalaya).
Berbagai penerapan tersebut merupakan paraktek pertanian yang sesuai dengan prinsip-prinsip
green economy.
Kotak 3.3. Sistem Pertanian Masyarakat Adat Kasepuhan Kawasan Pegunungan Halimun
Penerapan usaha ekonomi ramah lingkungan atau dalam istilah di atas adalahpertanian berkelanjutan sudah dilakukan oleh
masyarakat adat. Praktek sesuai dengan dinamika dan keselarasan alam sudah menjadi bagian dari komunitas, masyarakat
adat dan masyarakat lokal yang selama ini menyandarkan hidupnya dibidang pertanian. Salah satu contoh adalah masyarakat
adat Kasepuhan di kawasan Halimun, Desa Sirnaresmi, Kec. Cisolok, Kab. Sukabumi, Jawa Barat yang masih menerapkan
sistem adat dalam sistem pengelolaan sumberdaya alam termasuk pertanian. Konsep tata guna lahan yang mengenal sistem
zonasi untuk mengatur peruntukan lahan sesuai dengan fungsinya membagi kawasan alam menjadi hutan (leuweung) sebagai
berikut:
a. Leuweung Titipan (leluhur), adalah kawasan hutan yang sama sekali tidak boleh diganggu oleh manusia, karena
merupakan amanat dari leluhur (karuhun) dan Tuhan (Gusti Nu Kawasa). Leuweung Titipan biasanya berada di
daerah pegunungan atau puncak, namun tempat hidup keanekaragaman hayati yang tinggi, berfungsi sebagai daerah
reasapan air (Leuweung sirah cai) dan sebagai pusat keseimbangan ekosistem.
b. Leuweung Tutupan (diolah, dibuka dan ditutup), adalah kawasan hutan cadangan untuk suatu saat nanti digunakan
bila memang diperlukan. Masyarakat diperbolehkan masuk hanya untuk tujuan mengambil hasil hutan non kayu untuk
kebutuhan subsisten, tidak untuk dieksploitasi, namun hanya memanfaatkan kayu atau ranting yang jatuh untuk kayu
bakar, kayu untuk membangun rumah dengan izin pemimpin adat, rota, damar, buah-buahan, umbi-umbian, tanaman
obat, serat, dll. Setiap penebangan satu pohon kayu harus segera diganti dengan menanam satu atau lebih pohon baru.
c. Leuweung Garapan adalah kawasan hutan yang telah dibuka menjadi lahan yang dapat diusahakan oleh masyarakat,
baik untuk bersawah, berhuma/berladang atau berkebun, penentuan lokasi garapan ditentukan oleh pimpinan adat.
Pengelolaan huma/ladang dilakukan secara bergilir balik minimal 3 tahun sekali, pada daerah-daerah tertentu,
penanaman padi sawah ataupun padi huma tidak boleh dilakukan pada tempat yang sama untuk kedua kalinya, seperti
pada tempat yang dianggap suci.
Keyakinan masyarakat Kasepuhan bahwa bumi diibaratkan sebagai makhluk hidup yang mana ketika akan mengolah lahan
perlu meminta ijin terlebih dahulu melalui upacara adat. Dalam menentukan waktu untuk bercocok tanam di huma maupun
di sawah, masyarakat kasepuhan melihat peredaran bintang di langit, yang menunjukkan adanya pengetahuan lokal yang
didasarkan pada kejadian di alam/musim sebagai acuan dalam mengolah lahan garapan. Masyarakat ini juga memiliki cara
untuk menyimpan stok, memelihara 148 jenis/varietas padi serta Seren Taun (syukuran) yang didahului dengan Pongokan
yaitu smacam Cacah jiwa/sensus penduduk serta penghitungan hasil panen. Ini menunjukkan bahwa mereka tidak saja
memanfaatkan alam secara seimbang (selaras dengan daya tumbuh alam) dan juga mempertimbangkan kecukupan pangan
dengan menghitung produksidan kebutuhan konsumsi, serta stok pangan. Ini adalah salah satu contoh prinsip keberlanjutan
yang ada dalam wawasan adat dan kearifan lokal tradisional.
Sumber: Latifah Hendarti, 2007
Sistem pertanian yang selaras dengan konsep dan kebijakan ekonomi hijau yang cukup
pesat perkembangannya di Indonesia adalah sistem pertanian organik. Menurut data AOI
(Asosiasi Organik Indonesia), total area lahan pertanian organik di Indonesia pada 2010 seluas
238,8 ribu hektar. Jumlah luasan tersebut meningkat 10 persen dari tahun sebelumnya. Pertanian
34 | P a g e
organik ini banyak dikembangkan oleh komunitas, LSM dan juga oleh pemerintah dan semakin
menarik perhatian konsumen, terutama yang sudah alergi atau mengalami gangguan dari produk
yang terpengaruh oleh bahan anorganik maupun pangan olahan yang memiliki bahan pengawet.
Sementara itu, sejak tahun 1999 sudah berkembang pula inovasi teknologi peningkatan
produktivitas tanaman padi dengan sistem SRI (Sistem of
mengkombinasikan penggunaan pupuk dan pestisida tepat serta menggunakan air secara
minimal. Dengan berkembangnya pola intensifikasi produksi, petani sudah seringkali
menggunakan pupuk dan pestisida secara berlebihan, serta penggunaan air yang terlalu banyak.
Pertumbuhan vegetatif padi memang bagus, namun secara generatif padi yang dihasilkan sedikit.
Selain itu, dengan semakin tingginya polusi lahan dan kehilangan unsur hara yang tinggi serta
terbatasnya air, sistem SRI merupakan jawabannya. Pada awal pengembangannya, Dinas
Pengembangan Pertanian Sukamandi Jawa Barat pada musim kemarau 1999 berhasil mencapai
produktivitas 6,2 ton/ha dan pada musim hujan 1999/2000 menghasilkan padi rata-rata 8,2 ton/ha
(Uphoff, 2002 dalam Handono). Namun demikian, SRI masih kurang berkembang luas karena
memerlukan perubahan mindset dalam penggunaan bahan kimia dan memerlukan kecermatan
yang lebih tinggi. Saat ini kecermatan sulit dilakukan apalagi untuk petani berlahan terbatas,
karena mereka pada umumnya juga melakukan pekerjaan lain di luar pertanian untuk menambah
pendapatan keluarga. Dengan demikian, proses perluasan sistem ini memerlukan pendampingan
penyuluh dan upaya menggabungkan berbagai tanaman/usahatani untuk meningkatkan
pendapatan keluarga.
3.2.
Penerapan ekonomi hijau di sektor pertanian sangat memiliki prospek. Tidak hanya
adanya komitmen penurunan emisi GRK, namun juga karena di sektor pertanian juga sudah
menghadapi persoalan lingkungan seperti degradasi kualitas lahan, pencemaran tanah dan air,
krisis air, kehilangan biodiversity, pangan yang tidak sehat, ketersediaan lahan pertanian yang
sempit,dan lain-lain. Untuk itu, permasalahan penurunan pencemaran di sektor pertanian perlu
dihindarkan dari jebakan pada persoalan emisi dan pemanasan global saja (yang merupakan
tanggungjawab negara-negara industri sebagai emitter GHGutama), namun lebih diutamakan
untuk meningkatkan efisiensi dan praktek ramah lingkungan (mengembalikan kesuburan lahan).
35 | P a g e
Selain itu, bagi Indonesia ini merupakan kesempatan untuk menghidupkan kembali nilai tinggi
dari berbagai varietas lokal yang lebih tahan terhadap kondisi cuaca yang semakin bervariasi.
Dari sisi konsumsi, pola konsumsi berkelanjutan juga sangat penting diterapkan pada pola
konsumsi pangan masyarakat Indonesia. Pemborosan konsumsi pangan di Indonesia terjadi pada
sepanjang proses produksi dan rantai pangan, mulai saat pemananen, penanganan paska panen,
penyimpanan, pengolahan dan konsumsi. Tujuh bahan pangan yang rawan terjadi pemborosan
pada setiap rantai pangan meliputi biji-bijian, umbi-umbian, kacang-kacangan, buah dan sayuran,
daging, ikan dan susu.Kehilangan tertinggi terjadi pada bahan pangan umbi-umbian yang
mencapai 40,1 persen, disusul dengan bahan pangan buah dan sayuran sebesar 36,7 persen.
Sedangkan pemborosan tertinggi sebesar 25,7 persen terjadi pada bahan pangan buah dan
sayuran disusul bahan pangan ikan sebesar 20,4 persen. Jenis biji-bijian termasuk beras dan
jagung memiliki tingkat pemborosan yang lebih tinggi dibandingbahan pangan lainya yang
mencapai 14 persen (Karyasa dan Suryana, 2012). Angka ini mengindikasikan bahwa
peningkatan ketersediaan pangan melalui penghematan konsumsi bahan pangan masih sangat
potensial. Peluang penurunan susut ini akan dapat mencegah penggunaan sumberdaya alam dan
input produksi lain secara berlebihan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi yang terus
meningkat. Green economy bidang pertanian harus bisa mengatasi persoalan ini.
Oleh karena itu, pelaksanaan green economy memerlukan perencanaan dengan konsep
yang jelas dan menonjolkan manfaat baru yang dapat mengatasi pentingnya produksi yang
semakin besar, sementara sumberdaya alam semakin terbatas ketersediaannya dan kompetisinya
dengan penggunaan lain. Pengembangan ekonomi hijau juga perlu digunakan sebagai peluang
untuk mengedepankan varietas lokal yang memiliki nilai tinggi dan terutama peluang untuk
mengendalikan/menurunkan biaya produksi yang semakin meningkat, agar pendapatan petani
semakin meningkat. Hal ini diperlukan mengingat pada saat ini ketersediaan benih didominasi
oleh benih impor. Pada tahun 2011 Indonesia mengimpor 12 ribu ton benih dari 21 jenis tanaman
hortikultura yang dikonsumsi sehari-hari (Direktorat Perbenihan Hortikultura, 2012). Secara
lebih luas, pelaksanaan green economy perlu dilaksanakan untuk meningkatkan identitas
pertanian Indonesia, terlaksananya pertanian yang berkelanjutan, membantu mengatasi
kemiskinan petani dan mewujudkan kedaulatan pangan.
36 | P a g e
3.3.
Beberapa tantangan yang dihadapi dalam memperluas penerapan green economy di sektor
pertanian adalah: (i) mengubah mindset petani; (ii) sempitnya luas kepemilikan lahan dan
pengusahaan lahan pertanian di tingkat petani; (iii) kendala kelembagaan dan politik pertanian;
dan (iv) kekuatan perusahaan multinasional.
1).
Mindset Petani.
Dalam penerapan budidaya pertanian, konsep green economy dikenal dengan istilah
berusahatani sesuai agroekologi, pernah hadir dan diterapkan oleh para petani masa silam
sebelum terjadinya green revolusi (benih produktivitas tinggi/high yield variety). Beberapa
contoh penerapan agroekologi adalah yang ditemukan pada masyarakat Baduy (Banten),
Kasepuhan Sinaresmi (Sukabumi dalam Kotak 1) atau Kampung Naga (Tasikmalaya). Meskipun
Indonesia mencapai swasembada beras atas jasa green revolution, namun revolusi ini, telah
mengubah perilaku petanidari pertanian berbudaya luhur yang sarat dengan nilai-nilai berbasis
budaya lokal dan ramah lingkungan menjadi pertanian berbasis industri/intensif yang berorientasi
pada peningkatan output secara signifikan, dan kurang memperhatikan keselarasan dengan alam.
Nilai-nilai luhur warisan para nenek moyang ditinggalkan diganti dengan pertanian orientasi
industri dengan mengandalkan input-input untuk mengejar target produktifitas.
Kebiasaan memperoleh produksi dengan varietas baru telah menggantikan varietas lokal
yang bernilai tinggi, dan produktivitas yang signifikan telah menggantikan pola produksi
tradisional yang ramah lingkungan dan memprhatikan aspek ekologis. Penggunaan input non
organik yang intensif ternyata mengakibatkan rusaknya fisik tanah dan hilangnya unsur hara.
Diperlukan kesabaran untuk mengembalikanmindset industri dan kembali menghidupkan cara
yang lebih ekologis dan menggunakan varietas lokal yang ciri khas dan nilainya lebih tinggi.
Dalam skala terbatas sudah diterapkan oleh petani, namun memerlukan pendekatan dan
pendampingan yang intensif pula untuk dapat mengembalikan cara ramah lingkungan namun
dapat menghasilkan nilai produksi yang lebih tinggi. Keterbatasan produksi dengan
menggunakan varietas nilai tinggi perlu diiringi pula pengendalian konsumsi dengan diversifikasi
pangan serta tambahan output dari peningkatan pasca panen. Tantangan penerapan secara
menyeluruh inilah yang perlu ditempuh secara sistematis dan perlu meraih/ mendapat
kepercayaan petani.
37 | P a g e
2).
KeterbatasanLahan
Keterbatasan lahan usahatani petani yang sempit juga merupakan tantangan untuk adanya
peruabahan teknologi. Penerapan teknologi ramah lingkungan memerlukan kesabaran dan bukti
adanya keuntungan. Dengan lahan yang terbatas, perbedaan manfaat yang diperoleh
kemungkinan tidak signifikan dalam jangka pendek. Pengelolaan secara hamparan menjadi kunci
untuk adanya perubahan yang memberi hasil signifikan. Kelemahan saat ini adalah bahwa
pengerjaan lahan secara kolektif dalam satu hamparan sulit dilakukan sebagaimana pemerintah
dulu menerapkan green revolusi. Pendampingan yang kuat dan pemaksaan penerapan bibit
unggul pada waktu itu dapat dilakukan. Dengan adanya desentralisasi dan UU No.
61/2006tentang Sistem Budidaya yang membebaskan petani memilih komoditas yang akan
diusahakan merupakan kendala untuk mencapai tujuan ini. Untuk itu, penerapan green economy
memerlukan dukungan rekayasa sosial kelembagaan petani dan diikuti dengan pendampingan
secara intensif dan diiringi dengan layanan lain, terutama jaminan/tujuan pemasaran untuk dapat
mewujudkan nilai premium yang dihasilkan dari penerapan green economy di sektor pertanian.
3).
Kendala Politik.
Dari penjelasan di atas, kelembagaan petani menjadi kunci untuk meningkatkan skala
lahan pengusahaan pertanian agar dapat memperoleh tingkat keuntungan yang memadai dari
diterapkannya kembali metoda produksi ramah lingkungan. Selain kelembagaan, peningkatan
pendapatan dapat diperoleh pula dengan meningkatkan usaha tidak hanya produksi primer/onfarm, namun juga off-farm dalam bentuk perdagangan pertanian dan pengolahan yang memiliki
nilai tambah usaha lebih tinggi.
Namun demikian, upaya kelembagaan mengalami kendala seperti independensi petani
saat ini lebih tinggi, desentralisasi pembangunan sudah menghilangkan adanya gerakan produksi
secara nasional sebagaimana masa lalu. Secara politik, petani sudah dilemahkan, karena berbagai
organisasi petani tidak secara murni merupakan milik dan digerakkan oleh petani dan sampai saat
ini belum terbukti mengedepankan isu-isu dan hasil yang menguntungkan petani kecil.
Desentralisasi pembangunan juga sudah melemahkan peran penyuluh pertanian yang
sebenarnya saat ini lebih diperlukan dibanding masa pembangunan yang bersifat sentralisasi
yang dulu. Dari sisi landasan peraturan desentralisasi pembangunan, pertanian adalah tugas
pilihan, sehingga meskipun dari sisi konstituen petani sangat diperlukan pada masa pemilihan
kepala daerah, namun di luar masa pemilihan daerah pertanian tidak menempati posisi penting.
38 | P a g e
Prioritas utama biasanya adalah pembangunan infrastruktur dan bukan peningkatan kesejahteraan
petani, meskipun infrastruktur secara tidak langsung mungkin berdampak pada mobilitas dan
menurunnya biaya angkut.
4).
peningkatanproduksi
dengan
menggunakan
high
yield
variety,telah
mengembangkan industri perbenihan untuk terus mencari benih baru. Pada saat yang sama,
dengan adanya desentralisasi Balai/Unit Pelaksana Teknis (UPT) perbenihan yang pada waktu
dulu menjadi tulang punggung penyebaran bibit unggul sudah banyak yang tutup dan tidak
berfungsi.Kedua keinginan yang berlawanan ini, telah mendorong tumbuhnya industri
multinasional/transnasional untuk terus tumbuh dan mengambil alih pasar yang memang
membutuhkan ketersediaan benih unggul.
Sebagai akibatnya, sistem penangkaran benih oleh masyarakat penangkat semakin
tersisihkan. Mereka dapat melayani produksi skala kecil, namun kalau untuk penerapan green
economy secara luas, memerlukan penumbuhan kembali (revitalisasi) sistem perbenihan
nasional.
39 | P a g e
40 | P a g e
4.1.
maksimalnya pemanfaatan hasil hutan kayu akibat harga log yang sangat rendah di pasar dalam
negeri. Sementara sampai saat ini masih diberlakukan pelarangan eksport log.Namun laju
investasi di sektor kehutanan sangat rendah hanya mencapai 1,25 persen per tahun sebagai akibat
besarnya ketidakpastian berusaha yang cukup besar. Selain itu, perdagangan kayu dan produk
kayu juga semakin terbatas dengan adanya peraturan perdagangan kayu yang mulai
mensyaratkan adanya sertifikasi kayu yang menunjukkan bahwa kayu yang diperdagangan
berasaldari hutan yang dikelola secara berkelanjutan.
Sementara itu, meluasnya degradasi hutan, deforestasi hutan dan penggunaan hutan untuk
keperluan lain, selain mengakibatkan konflik di masyarakat karena ketidakjelasan perpetaan
hutan di lapangan, juga pengelolaan menghilangkan habitat/tempat hidup berbagai satwa dan
kemungkinan besar flora yang merupakan asset biodiversity kita. Kesemuanya itu, mensyaratkan
bahwa sudah saatnya untuk menerapkan pengelolaan keberlanjutan dan penerapan ekonomi hijau
di sektor kehutanan.
4.2.
42 | P a g e
(1)
peran hutan dalam penyerapan karbon, (ii) pengembangan bioenergi, serta (iii) pembangunan
dan infrastruktur hijau yang terkait dengan produk hutan.
a.
Undang-undang Kehutanan No. 41/1999 dan perubahannya yaitu UU No. 19/2004, termasuk
didalamnya usaha penyerapan karbon yang merupakan pemanfaatan jasa lingkungan hutan.
Secara teknis,penyerapan karbon sudah di atur dalam Peraturan Menteri Kehutanan No.
P.36/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau
Penyimpanan Karbon pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung yang dikeluarkan sebagai
peraturan pelaksanaan dari Pasal 33 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 6 /2007 jo PP No. 3/2008
tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan,
dimana dalam salah satu klausal dinyatakan bahwa: salah satu bentuk pemanfaatan jasa
lingkungan pada hutan produksi dan hutan lindung adalah penyerapan dan /atau penyimpanan
karbon.
Peraturan lebih spesifik adalah Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.70/MenhutII/2009 yang memasukkan Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Sektor Kehutanan ke dalam
salah satu dari delapan kebijakan prioritas Pembangunan Kehutanan tahun 2009-2014. Kegiatan
dalam sektor kehutanan terkait mitigasi perubahan iklim adalah usaha pengendalian untuk
mencegah terjadinya perubahan iklim melalui kegiatan yang dapat menurunkan emisi atau
meningkatkan penyerapan gas rumah kaca dari berbagai sumber emisi (Perpres RI No
46/2008).Kebijakan dalam rangka mitigasi perubahan iklim di sektor kehutanan adalah kebijakan
yang mengarah pada pengelolaan hutan lestari. Secara sederhana, peran hutan dalam mitigasi
perubahan iklim adalah mengurangi emisi dan meningkatkan serapan GRK melalui proses
fotosintesis (penyerapan CO2) vegetasi hutan. Atau dengan kata lain, mitigasi perubahan iklim
oleh hutan adalah melalui fungsi ekologis hutan untuk menstabilkan iklim.
Hasil fotosintesis tersimpan dalam bentuk biomassa saat pertumbuhan vegetasi
berlangsung. Penyerapan CO2 lebih banyak terjadi pada hutan yang sedang berada dalam fase
pertumbuhan. Sehingga kegiatan penanaman vegetasi pada lahan yang kosong atau
merehabilitasi hutan yang rusak akan membantu menyerap kelebihan CO2 di atmosfer. Selain
43 | P a g e
sebagai penyerap, hutan dapat dikategorikan sebagai penghasil emisi akibat konversi hutan atau
deforestasi. Sehubungan dengan itu, konversi dan deforestasi (perubahan penutupan lahan dari
hutan menjadi bukan hutan) perlu dihindari agar tidak mengurangi fungsi hutan seperti di atas.
b.
memanfaatkan kayu untuk digunakan sebagai kayu bakar, meskipun pembakaran ini akan
menimbulkan emisi. Dengan semakin terbatasnya sumber energi fosil, terutama minyak bumi,
maka kayu merupakan sumber bioenergi yang terbarukan. Dengan penerapan teknologi, maka
kayu bakar dapat dibentuk menjadi pellet kayu yangmemiliki daya bakar lebih tinggi, sehingga
dampak emisi dapat ditekan.Hasil olahan kayu dapat dikemas dalam bentuk pellet yang
berdiameter 6 - 10 mm dan panjang 10 - 30 mm, dengan kadar abu yang rendah sekitar 0,5
persen, woodpellet mengandung tingkat kapasitas energi hingga 4,7 kWh per kilogram atau 19,6
gigaloule per milligram.
Pengembangan bioenergi tersebut sangat menjanjikan dan menambah ragam produk hasil
hutan yang semula berpusat pada kayu log atau timber, mengingat melimpahnya hasil sampingan
(dalam skala kecil) dan hasil kayu bernilai kalori tinggi dari fast growing species (jenis cepat
tumbuh) seperti kaliandra dan sengon. Demikian pula, limbah industri kayu juga dapat
dimanfaatkan sebagai bahan bakar kebutuhan pembangkit listrik dan sumber energi industri.
Penambahan ragam output ini akan meningkatkan hasil dari luasan hutan yang sama.
c.
karena dapat pula menghidupi masyarakat sekitar hutan. Menurut hasil penelitian USDA Forest
Service, rumah yang dibangun dari bahan baku kayu menghasilkan emisi yang lebih rendah
dibanding rumah dengan bahan baku baja dan beton.Hal ini terutama sekali berlaku untuk
negara-negara yang mengalami empat musim.Hasil hutan lainnya yang juga menyediakan bahan
ramah lingkungan dan mudah diproduksi adalah bambu. Bambu mampu melepas 35 persen
oksigen dan merupakan tumbuhan yang sangat berguna dalam menghijaukan tanah-tanah yang
tidak produktif atau telah terdegradasi. Perkebunan bambu juga memberikan manfaat yang luas,
tumbuh cepat, dan dapat dipanen dalam waktu singkat. Bambu dapat menjadi panel, lantai, biofuel, furnitur dan kebun bambu itu sendiri dapat menjadi lokasi "carbon catchment" yang
memiliki nilai ekonomi.
44 | P a g e
(2)
hutan hanya akan tercapai apabila pengelolaan hutan dilakukan secara benar. Sesuai dengan UU
Nomor 41 Tahun 1999, pasal 10 ayat 2, pengurusan (pengelolaan) hutan terdiri dari : a)
Perencanaan kehutanan; b) Pengelolaan hutan; c) Penelitian dan pengembangan, pendidikan dan
latihan, serta
dikembangkan melalui berbagai upaya antara lain: (i) penguatan kesatuan pengelolaan hutan; (ii)
penerapan sistem sertifikasi kayu; dan (iii) reforestasi kawasan hutan, pemulihan hutan
terdegradasi serta perluasan hutan masyarakat; (iv) pembangunan hutan tanaman.
a.
lestari (PHL) maka Pemerintah membuat suatu kebijakan yaitu membagi kawasan pengelolaan
hutan di Indonesia ke dalam sejumlah Kesatuan Pengelolaan Hutan, dengan rentang kendali yang
lebih memadai/terjangkau. Kesatuan Pemangkuan Hutan dapat berupa: (i) Kesatuan Pengelolaan
Hutan Konservasi (KPHK); (ii) Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL); dan (iii)
Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP).
Pembentukan KPH
Tentang Perencanaan Kehutanan, dan Peraturan Pemerintah No. 3/2008 tentang Tentang Tata
Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan. Dua (2) unsur
penting terbentuknya KPHadalah: (i) Adanya wilayah atau areal kelola KPH; dan (ii) Organisasi
KPH yang telah ditetapkan oleh Menteri Kehutanan. Organisasi tingkat tapak ini yang
bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pengelolaan hutan. Selain itu, organisasi KPH
tersebut harus dikelola oleh SDM yang profesional di bidang Kehutanan. Penetapan wilayah
KPH yang merupakan kewenangan Menteri Kehutanan, dapat dievaluasi untuk kepentingan
efisiensi dan efektifitas, dan apabila terjadi perubahan tata ruang.
KPH, merupakan organisasi pengelola hutan yang potensial untuk menjadi unit penerapan
ekonomi hijau. Diperkirakan, seluruh kawasan hutan di Indonesia perlu dikelola oleh sekitar 600
KPH. Sampai dengan saat, baru terbangun 120 unit KPH model/percontohan yang kondisi dan
kualitasnya masih sangat beragam. Apabila penerapan ekonomi hijau serius untuk diterapkan di
sektor kehutanan, maka pembentukan KPH perlu segera difasilitasi dan difungsikan dengan baik.
b.
Penerapan Sistem Sertifikasi. Penerapan sistem sertifikasi kayu dapat pula mendorong
penerapan sistem produksi hasil hutan berkelanjutan. Pada saat ini Indonesia sedang dalam
proses penerapan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) Indonesia.Pengembangan sistem ini
45 | P a g e
selain mendukung penerapan pengelolaan hutan berkelanjutan, juga dapat menjadi dasar untuk
sustainable commodity dari hasil hutan.
c.
46 | P a g e
sumber daya hayati yang tersedia sehingga mendorong mereka untuk terus
mempertahankan keberadaannya; dan (c) Penguatan posisi masyarakat dan stakeholder
lain dalam proses-proses pembuatan kebijakan pemerintah yang terkait dengan
pengelolaan sumber daya alam.
Hal lain yang mendorong pemanfaatan hutan lestari adalah meningkatkan pemanfaatan
Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). HHBK yang sudah dapat dikomersilkan diantaranya
gaharu, sagu, rotan, sutera alam, madu, kayu putih, masohi, aneka tanaman hias, tanaman
obat dll. Dengan dimanfaatkannya HHBK secara lestari, selain dapat mengangkat taraf
hidup 48,8 juta orang yang bergantung pada hasil hutan, keseimbangan ekosistem dapat
terjaga karena hutan sebagai habitat kenekaragaman hayati tersebut tetap ada.
d.
Pembangunan Hutan Tanaman. Salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan kayu dan
industri kayu berkelanjutan adalah memproduksi kayu dari hutan tanaman. Indonesia
memprioritaskan percepatan pembangunan hutan tanaman dan memiliki target 5 juta ha. Dengan
adanya hutan tanaman industri, kebutuhan industri yang terus berkembang dapat dipenuhi. Selain
itu, dengan adanya hutan tanaman, Indonesia dapat menghindari dan mencegah adanya isu
perambahan hutan konservasi dan hutan lindung, serta perusakan dan penyebab punahnya
biodiversity yang kemudian dijadikan faktor dan standar dalam perdagangan internasional.
Bentuk lain atau pengembangan dari hutan tanaman industri adalah: (i) hutan tanaman
karbon; (ii) hutan tanaman industribiodiversity; (iii) hutan konservasi.
Hutan tanaman karbon sebetulnya merupakan manfaat lain dari berbagai jenis hutan.
Manfaat sebagai penyerap karbon dan adanya penghindaran emisi merupakan komoditas baru
yang memiliki nilai apabila nanti jasa karbon dari hutan ini ada yang memanfaatkan. Meskipun
perkembangan pasar karbon saat ini masih lesu, namun ini merupakan potensi yang baik ke
depan. Sambil menghutankan kawasan, menghijaukan lahan, akan dapat dipetik manfaat nilai di
kemudian hari. Terdapat kemungkinan pendapat yang berbeda mengenai kualitas serapan karbon
antara hutan yang asli alam, dengan hutan buatan dengan vegetasi yang berbeda-beda. Namun
demikian, dengan informasi dari hasil penelitian, maka akurasi perbedaan serapan karbon
seharusnya dapat dibedakan, sehingga perbedaan vegetasi hanya akan membedakan volume
serapan yang kemungkinan tidak banyak perbedaan. Perbedaan justru pada isi dari
keanekaragaman hayati, dimana hutan asli alam tentu saja memiliki nilai keanekaragaman hayati
48 | P a g e
yang tertinggi dibanding hutan buatan (multikultur) apalagi apabila dibandingkan dengan hutan
monokultur.
Hutan tanaman industri biodiversity, adalah hutan tanaman industri namun dibangun
untuk membudidayakan keaneragaman hayati yang akan dimanfaatkan secara ekonomi, dengan
kata lain adalah untuk mendukung industribiodiversity. Hal ini penting karena hutan alam yang
merupakan habitat keanekaragaman hayati tidak boleh diganggu. Untuk menghasilkan bahan
keanekaragaman hayati yang akan dimanfaatkan secara komersial, maka perlu dibangun pabrik
primernya, dengan membudidayakannya. Ini merupakan prospek pendapatan hijau yang saat ini
dikembangkan secara tradisional. Beberapa contoh adalah industri Jamu dengan berbagai merk
(Sido Muncul, Cap Jago dll), baik yang besar maupun yang tradisional. Usaha jamu rumah
tangga merupakan industri yang memiliki kekuatan untuk pendapatan masyarakat apabila
dikembangkan dan distandarkan dengan baik. Selain itu, industri komestik nasional Indonesia,
seperti Sari Ayu dan Mustika Ratu, juga menggunakan bahan-bahan dari keanekaragaman hayati.
Selain industri ini, banyak pula industri rumah tangga yang memproduksi bedak tradisional
maupun bahan-bahan yang digunakan untuk industrispa/perawatan tubuh yang akhir-akhir ini
berkembang. Ini adalah potensi lain yang masih dimanfaatkan dengan terbatas dan merupakan
potensi untuk pendapatan baru dalam ekonomi hijau.
Terakhir adalah hutan konservasi yang merupakan pemeliharaan hutan untuk
mengkonservasi kehidupan dan keberadaan kenakeragaman hayati. Hutan tersebut perlu
dilindungi dari pemanfaatan eksploitasi karena hutan di wilayah tersebut merupakan wilayah
habitat flora dan fauna yang perlu dilindungi, karena potensi terkena ancaman kepunahan, atau
karena kelangkaannya harus dilestarikan.
Ketiga jenis hutan ini masih belum berkembang dengan baik, meskipun sebetulnya
merupakan sumber pendapatan masyarakat dan sumber ekonomi baru bagi daerah. Indonesia
memiliki potensi ini di berbagai pelosok tanah air yang belum dimanfaatkan, dan inilah yang
merupakan kekayaan yang masih tersembunyi yang akan menjadi sumber pertumbuhan baru,
sementara sumber pertumbuhan tradisional semakin terbatas. Sumber pertumbuhan baru ini
merupakan sumber ekonomi hijau karena dengan tetap mendapat nilai pertumbuhan, namun
memiliki cara yang tidak bertentangan dengan keberlanjutan dan kelestarian fungsi alam.
49 | P a g e
(3)
Jasa Lingkungan,
Hutan juga merupakan penyedia berbagai keragaman hayati baik genetik, jenis maupun
ekosistem yang menyokong proses sosial budaya masyakat yang ada di sekitarnya. Hutan juga
merupakan habitat flora dan fauna yang perlu dilindungi keberadaannya karena merupakan harta
kekayaan hayati dunia.
Sumberdaya hutan memang memiliki manfaat langsung dan tidak langsung, serta tangible
dan intagible yang mendukung keberlangsungan hidup manusia. Jasa lingkungan sesuatu yang
bukan berbentuk material, yang bukan memanfaatkan keuntungan yang diperoleh dari ekstraksi
alam yang akan berpotensi merusak mata air dan sumber mata air sungai, tata air, konservasi
tanah, keindahan, kesejukan, dan lain-lain. Menurut ICRAFada empat jenis jasa lingkungan yang
dikenal oleh masyarakat global yaitu: (i) jasa lingkungan mata air dan tata air; (ii) jasa
lingkungan keanekaragamanhayati; (iii) jasa lingkungan penyerapan karbon; dan (iv) jasa
lingkungan keindahan landscape.
Hutan memiliki nilai tidak tergantikan yaitu sebagai sumber awal titik mata air, terutama
sungai-sungai besar. Berbagai sungai berawal dari mata air yang hanya berupa satu titik air yang
menetes satu persatu. Sebagai contoh, hutan Harapan didalamnya terdapat titik sumber mata air
dari sungai Batanghari yang mengalir membelah kota Jambi. Hutan-hutan konservasi dan hutan
lindung yang ada di berbagai wilayah Indonesia, adalah sumber mata air dari sungai-sungai besar
yang mengalir di berbagai pulau. Aset ini perlu dikenali, diinventarisasi dengan baik serta dicari
cara untuk melindungi dari perusakan dan pemanfaatan hutan agar sumber air tetap lestari. Pada
saat ini telah diselesaikan 104 rencana DAS terpadu dari 108 DAS prioritas di Indonesia, 4
rencana selanjutnya akan diselesaikan di akhir tahun 2014. Untuk kelestarian sumber air jangka
panjang, nilai mata air ini perlu dinilai secara moneter dan dinilai pula kerugian berantai yang
dapat timbul apabila titik air sumber mata air sungai tidak dilestarikan. Ketersediaan air minum,
air untuk keperluan rumah tangga, industri dan keperluan lain sangat tergantung dari keberadaan
dan kelestarian titik mata air ini. Inilah jasa lingkungan hutan yang besar untuk eksistensi
kehidupan di planet bumi ini. Beberapa contoh akibat perusakan hutan yang kemungkinan di
dalamnya tidak hanya mengurangi daya serap air di hutan namun juga telah merusak mata air
adalah mengeringnya sungai di musim kemarau dan membanjirnya sungai di musim hujan.
Kelestarian sumber mata air yang seharusnya abadi telah rusak dan supply digantikan langsung
50 | P a g e
oleh hujan yang jatuh langsung dari langit. Pengelolaan hutan yang tidak bertanggungjawab akan
menghilangkan nilai harta sumber kehidupan di bumi ini.
Jasa lingkungan untuk biodiversity dan serapan karbon sudah digambarkan dalamsub bab
hutan tanaman industri. Jasa lingkungan lain yang berasal dari keberadaan alam dengan
keindahan landscapenya yang dapat dimanfaatkan untuk pariwisata. Landscape hutan dapat
dinikmati menjadi pusat atraksi wisata, baik wisata pemandangan semata maupun wisata ilmiah
bagi yang tertarik mempelajarinya.Beberapa taman nasional sudah menjadi pusat atraksi wisata,
namun masih banyak spot/titik atraksi lain yang sudah dikenali namun belum dikelola dengan
baik, maupun yang belum dikenali di berbagai wilayah Indonesia. Ini merupakan potensi besar
untuk usaha ekonomi masyarakat, pemerintah daerah yang secara agregat berkontribusi terhadap
peningkatan pendapatan dari sumber-sumber hijau/berkelanjutan.
Untuk landasan pengembangan berbagai manfaatdi atas, sudah tersedia berbagai macam
peraturan sejak tahun 1990an, namun pada saat itu, fokusnya masih pada pemanfaatan
eksploitatif yaitu penebangan kayu baik untuk diekspor maupun untuk industri kayu. Beberapa
peraturan tersebut yaitu UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosistemnya. Ketentuan lebih detil diatur dalam PP No. 34/2002 tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan. Dalam peraturan ini hutan yang dapat dimanfaatkan
dan digunakan untuk jasa lingkungan adalah kawasan hutan bahwa kawasan hutan lindung (Pasal
26), hutan produksi (Pasal 27) dan kawasan pelestarian alam (Pasal 26 dan 27 UU No. 5/ 1990).
Pemanfaatan jasa lingkungan ini dapat digunakan sebagai peluang untuk reforestasi
kawasan hutan yang terdeforestasi dan rehabilitasi hutan terdegradasi. Selain itu, masih banyak
masyarakat miskin di sekitar kawasan hutan yang dapat memiliki pendapatan baru dengan
berbagai pemanfaatan hutan secara berkelanjutan yang diuraikan di atas, tanpa merusak kawasan
hutan. Masyarakat miskin yang tinggal di sekitar kawasan hutan berjumlah kurang lebih 10,2 juta
orang, sedangkan jumlah desa yang berada di sekitar dan berinteraksi langsung dengan kawasan
konservasi berjumlah kurang lebih 1908 desa, dengan jumlah masyarakat sekitar 660,8 ribu
kepala keluarga (KK).
Sementara itu, pemanfaatan jasa hidrologis hutan juga telah ditetapkan melalui PP
Menteri Kehutanan No. P.42/Menhut-II/2009 tentang Pola Umum, Kriteria dan Standar
Pengeloaan Daerah Aliran Sungai (DAS)
jasa hutan adalah ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem dengan nilai
USD 227,6 miliar, sejak tahun 2009. Sementara investasi pengusahaan pariwisata alam, Taman
Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam senilai hampir Rp. 159 miliar, serta
pemantaatan jenis tumbuhan dan satwa liar diperkirakan senilai Rp. 47,5miliar.
4.3.
berkelanjutan/hijau sebagaimana diuraikan di atas adalah: i) penataan batas kawasan hutan yang
masih rendah, dengan masih banyaknya open access; (ii) hamparan hutan yang harus diawasi
secara fisik dan apalagi apabila akan menerapkan pengelolaan hutan berkelanjutan masih terlalu
luas; (iii) masih belum lengkapnya instrumen untuk mengelola hutan secara berkelanjutan,
misalnya peta dalam skala yang mencukupi, penataan batas pengusahaan (iv) jumlah dan
kapasitas SDM, untuk mengelola dan/atau mengawasi serta melakukan penegakan hukum atas
pengelolaan kawasan agar sesuai aturan yang berlaku dan sesuai dengan kaidah berkelanjutan.
Penataan batas kawasan hutan berjalan lambat, padahal laju alih fungsi hutan dan
perambahan berjalan cepat seiring dengan kebutuhan lahan untuk berbagai kepetingan, misalnya
kepentingan permukiman, pemekaran daerah, pertanian, energi dan pertambangan dll. Pada saat
ini laju penataan batas kawasan hutan masih rendah sekitar 12.600 km/tahun.Tata batas yang
belum selesai menyebabkan ketidakjelasan status kawasan hutan yang berdampak pada
munculnya berbagai konflik lahan, baik antara pemerintah dengan swasta dan masyarakat, antara
masyarakat dengan pengusaha dan antar masyarakat, yang akhirnya yang melebar ke konflik
sosial. Tata batas yang belum selesai dan definitif juga menghambat persetujuan substantif untuk
penyelesaian rencana tata ruang wilayah provinsi dan kabupaten. Diperlukan langkah terobosan
untuk mempercepat pengukuhan dan pemantapan kawasan hutan, dengan instrumen memadai
serta didukung oleh sumber daya manusia kehutanan yang mencukupi.
Diperlukan unit pengelola yang lebih manageable yang disebut dengan KPH.
Terbatasnya laju penataan tata batas juga masih mengakibatkan sebesar 43,9 juta ha hutan
produksi berstatus open access, karena belum dibebankan/diberikan hak pengusahaan kepada
unit pengelola tertentu sehingga rentan terhadap perambahan dan penebangan liar.Rencana
pembentukan KPH adalah untuk membuat unit pengawasan menjadi ukuran dalam rentang
kendali yang mencukupi. Pembentukan KPH juga dilakukan untuk membagi kewenangan
52 | P a g e
pengawasan kepada daerah. Tanpa adanya pengelola hutan di tingkat tapak melalui KPH, maka
kerusakan hutan sulit untuk dihentikan dan rehabilitasi hutan dan lahan kritis sulit untuk dipantau
kemajuan dan akuntabilitasnya. Namun demikian, kemampuan teknis baik dari sisi anggaran
pemerintah maupun kemampuan SDM yang mencukupi mengakibatkan bahwa sampai dengan
tahun 2014 baru terdapat 120 unit dari 600 unit KPH yang dibutuhkan. Diperlukan langkah
terobosan dan komitmen kuat untuk mewujudkan jumlah KPH yang memadai dan penerapan
penegakan pengelolaan hutan berkelanjutan melalui KPH ini.
Terbatasnya instrumen untuk pengelolaan hutan berkelanjutan terutama adalah peta
dengan skala yang memadai agar dapat diterapkan di tingkat tapak, disertai dengan jumlah SDM
dan peralatan yang cukup untuk menerapkannya di tingkat tapak. Memang merupakan tantangan
besar untuk menegakkan aturan tata batas sementara telah terjadi kesimpang-siuran di tingkat
peta maupun di tingkat lapangan. Namun demikian, instrumen memadai harus segera dilengkapi,
diterapkan secara bertahap terutama pada hutan konservasi dan hutan lindung. Hal lain adalah
menggunakan berbagai kombinasi cara untuk segera menutup open access di hutan produksi dan
tata batas yang belum selesai. Moratorium ijin baru di kawasan hutan dan lahan gambut perlu
diberlakukan dalam waktu mencukupi untuk dapat mengejar kelengkapan instrumen dan
penyelesaian tata batas serta open access yang ada. Apabila konitmen tidak dilakukan dengan
kuat dan tegas, maka penurunan kualitas kawasan hutan, baik melalui deforestasi maupun
degradasi hutan akan menghabiskanseluruh kawasan hutan yang ada. Ini tentu saja suatu situasi
yang tidak diinginkan oleh siapapun.
Untuk mendukung ini, diperlukan pula transparansi dan kejelasan mekanisme dan
prosedur dalam perolehan ijin, adanya data base dari seluruh kawasan, ijin yang telah ada serta
hal-hal yang berkaitan dengan pengelola dan pengelolaan hutan. Tanpa data base seperti ini,
berarti kita tidak tahu betul nilai aset hutan dan isinya dan tidak dapat mengukur nilai
kehilangan yang akan terjadi apabila dibiarkan habis dikuras untuk kebutuhan konsumsi saat ini.
Karena tidak ada pengetahuan secara keseluruhan tentang hutan kita, tidak tertutup kemungkinan
bahwa tidak ada satu pihakpun yang mengetahui secara persis ketidaksinkronan peta atau
pengetahuan pemetaan hutan dari sisi Pemerintah Pusat dan Pemda. Sebagai akibatnya maka
pada waktu menetapkan kebijakan dan dalam pemberian ijinpun terjadi tumpang tindih dan
ketidaksinkronan. Suatu kerugian yang akan berdampak tidak hanya saat ini namun juga
mendatang. Dalam kaitan dengan pengembangan berbagai instrumen untuk pengembangan
ekonomi hijau, maka peran para ilmuwan dan pakar sangat penting untuk melakukan berbagai
53 | P a g e
pemanfaatan
hutan
sejalan
dengan
tujuan
pengelolaan
hutan
berkelanjutan.Sebagai contoh, apabila hutan konservasi dan hutan lindung sangat penting
dipertahankan eksistensinya, maka nilai hutan dalam bentuk aslinya harus lebih tinggi dari
pada kalau ditebang/dirambah.Ketinggian nilai dicerminkan pada adanya insentif untuk
membiarkan hutan konservasi dan hutan lindung, adanya disinsentif apabila ada pihak yang
merusak, baik dalam bentuk sanksi hukum pidana maupun hukum perdata maupun sanksi
finansial yang sangat besar.Ketinggian nilai juga dicerminkan pada kemudahan eksistensi untuk
dinikmati manfaatnya, serta pengkayaan manfaat lain yang dapat timbul karena eksistensi
tersebut. Untuk itu, berbagai pasar untuk komoditas/manfaat hutan berkelanjutan sebagaimana
diuraikan di atas perlu diciptakan pemerintah sebelum pasar dengan mekansime swasta
berkembang. Sebagai contoh, selama ini insentif dan kemudahan lebih difokuskan pada hutan
hasil kayu, penggunaan hutan untuk pertambangan, perkebunan dll. Sementara insentif dan nilai
berbagai manfaat yang sejalan dengan pengelolaan hutan berkelanjutan tidak berkembang dan
tidak dikembangkan dengan jelas. Dengan semangat pengembangan ekonomi hijau yang seiring
dan selaras dengan pengelolaan hutan berkelanjutan, maka sudah saatnya apresiasi, penilaian
manfaat yang timbul dari pengelolaan hutan berkelanjutan harus dimaksimalkan.
54 | P a g e
Indonesia merupakan salah satu dari sedikit negara didunia, yang berciri kepulauan,
dengan jumlah pulau yang dimiliki lebih dari 17.000 buah. Luas laut Indonesia termasuk Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) adalah sekitar 5,8 juta km2, dengan garis pantai sepanjang
95,200 km atau terpanjang kedua didunia, menjadikan Indonesia negara yang kaya dengan
kekayaan hayati laut. Namun demikian, komoditas/hasil laut yang selama ini dimanfaatkan masih
berfokus pada perikanan tangkap di laut dengan produksi sekitar 6,5 juta ton/ tahun; budidaya
laut (marine culture) 47 juta ton/ trahun; dan budidaya tambak (perairan payau) 5 juta ton/
tahun;. Total seluruh potensi sektor perikanan dan kelautan diperkirakan mencapai 1 triliun dolar
AS atau Rp. 9.300 triliun per tahun atau sekitar enam kali lipat APBN 2013 (Rokhmin Dahuri,
2013).
Pemanfaatan sumberdaya perikanan yang tidak terkendali di beberapa wilayah perairan
Indonesia telah mengakibatkan beberapa WPP mengalami gejala penangkapan berlebih (over
fishing), karena jumlah tangkapannya sudah melebihi maximum sustainable yield (MSY).
Disamping persoalan tersebut, terdapat pula persoalan terkait masalah keberlanjutan lingkungan
yang dihadapi oleh perikanan budidaya, khususnya di perairan umum. Adanya kasus kematian
massal ikan dikarenakan up welling air dan terlampauinya batas carrying capacity lingkungan
karena kegiatan budidaya yang tidak terkendali, mengakibatkan menurunnya kualitas ekosistem
perairan. Kondisi ini akan terus terjadi,jika pemanfaatan perairan umum untuk kegiatan produksi
perikananbudidaya tidak mengadopsi prinsip-prinsip berkelanjutan. Padahal permintaan produk
perikanan akan terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan
meningkatnya keperluan asupan protein hewani sejalan dengan perbaikan kesadaran nilai gizi
untuk peningkatan kualitas SDM.
Selanjutnya terkait dengan pengelolaan sumberdaya kelautan,masih dihadapkan pada
beberapa kendala dan tantangan terkait penguatan aspek manajemen, keterpaduan lintas sektor,
dukungan iptek dan lainnya. Potensi perikanan laut di perairan Indonesia masih banyak
dimanfaatkan oleh pihak asing, baik secara legal dan lebih banyak secara illegal karena
ketidakjelasan dan kelemahan dalam hal penegakan peraturan di laut kita. Ketentuan bahwa
nelayan dengan kapal berbendera asingtidak boleh memanfaatkan perairan Indonesia sudah
55 | P a g e
diterapkan, namun karena tidak mencukupinya pengawasan dan penegakan terhadap para
pelanggar, maka banyak armada ikan asing yang beroperasi di perairan Indonesia. Sebagai
akibatnya, nelayan domestik yang terbatas daya jangkau armadanya, mengalami kesulitan untuk
menangkap ikan.
Berikutnyaterkait dengan masalah polusi perairan, ketidakmampuan kita dalam
mengendalikan polusi dan menegakkan hukum bagi pencemaran perairan Indonesia, telah
mengakibatkan terkontaminasi nya perairan oleh polusi, yang berdampak pada keamanan ikan
yang dikonsumsi.
Dengan berbagai permasalahan tersebut, sudah saatnya diterapkan prinsip-prinsip
berkelanjutan secara konkrit, didalam pemanfaatan ekonomi sumberdaya kelautan dan perikanan.
Hal ini sangat penting karena sektor kelautan dan perikanan dapat menjadi salah satu sumber
pertumbuhan ekonomi penting karena: (a) kapasitas suplai sangat besar, sementara permintaan
terus meningkat; (b) produkdapat diekspor, melalui input sumberdayayangberasal dari lokal; (c)
dapat membangkitkan industri hulu dan hilir yang besar, sehingga menyerap tenaga kerja cukup
banyak; dan (d) industri perikanan, bioteknologi dan pariwisata bahari bersifat dapat diperbarui
(renewable resources), sehingga mendukung pelaksanaan pembangunan berkelanjutan.
5.1.
disampaikan bahwa ekonomi hijau atau biru, bukan isu yang perlu diperdebatkan. Perlu dipahami
bersama bahwa ekonomi hijau yang dimaksud dalam Buku ini bukan ekonomi berkelanjutan
berbasis lahan saja, sehingga sering ditandingkan dengan ekonomi biru yang lebih berbasis laut.
Pertentangan mengenai pemahaman dari sisi definisi ilmiah dapat mengikuti pendapat dari
seorang pakar perikanan dan kelautan (Kotak 5.1.).
Pada saat yang sama, terdapat pula pemahaman ekonomi biru yang dipahami dalam
komunitas global tertentu khususnya dalam forum APEC, memandang bahwa ekonomi biru
merupakan agenda strategis ke depan karena sebagaian besar adalah berupa samudera dan laut
(Pasifik), yang menghubungkan negara-negara anggota APEC. Dengan demikian, ini merupakan
aset yang sangat potensial. Sementara itu, pemanfaatan dan pengelolaan aset yang ada di negaranegara kawasan ini masih land oriented sehingga aset dan potensi di dalam laut belum
56 | P a g e
dimanfaatkan secara optimal. Pada saat ini pemanfaatan aset laut masih terbatas pada hasil ikan
dan tambang (migas), padahal masih banyak nilai/value yang terkandung di dalamnya (maritime
services). Selain itu, selama ini pengembangan ekonomi masih berorientasi darat dan aset serta
potensi laut belum dikembangkan dengan optimal khususnya ocean economy (fishery and and
marine economy), sehingga pelaku di sektor kelautan masih sangat tergantung pada hasil ikan
saja. Untuk itu, ocean economy menempakan pembangunan berorientasi laut (perikanan dan
kelautan) dalam proporsi yang lebih besar, dan perlu dikembangkan sebagai bagian integral dan
signifikan dalam perekonomian negara dan kawasan APEC.
EH mendorong tranformasi ekonomi ke arah investasi ramah lingkungan dengan karbon rendah,
efisiensi SD, dan kesejahteraan sosial serta mendorong pola konsumsi dan pertumbuhan produksi
secara berkelanjutan.
EH dipengaruhi oleh aliran modernisasi teknologi (aliran yang menyinergikan ekonomi dan
lingkungan dengan pendekatan cenderung positivisme), seolah proses sosial ekonomi adalah linier
dan universal.
Pendekatan ini banyak dianut meskipun mengandung kelemahan seperti menghasilkan prosuk yang
mahal (ekolabel) shg tidak terjangkau oleh orang miskin, perdagangan karbon yg tidak adil untuk
dunia ketiga dan sering hanya menyentuh permukaan.
Pengembangan wisata bahari menyisakan konflik dengan nelayan sehingga EH digolongkan
sebagai bagian dari ekologi-dangkal (shallow ecology)-Boockin, 1991.
Ekonomi Biru:
x
x
x
EB: mengoreksi EH dan mengembangkannya untuk menciptakan langit dan laut biru (simbol
lingkungan bersih) dan menyejahterakan.
EB: terinspirasi oleh aliran ekologi dalam (deep ecology) yang diperkenalkan oleh Arne Maess,
1970an.
EB menekankan pentingnya tata nilai baru, cara berpikir dan tindakan kolektif baru yang tidak
menempatkan alam sebagai obyek. EB menekankan pentingnya memahami prinsip alam bekerja
(back to nature). Aliran ini lebih konstruktivistik dan non linier sehingga kehasan lokasi sangat
diperhatikan.
Prinsip EB: (i) nirlimbah (zero waste) dan menekankan sistem siklikal dalam proses produksi
sehingga tercipta sistem produksi bersih; (ii) inklusi sosial, berarti pemerataan sosial dan kesempatan
kerja yang banyak untuk orang miskin,; (iii) inovasi dan adaptasi yang memperhatikan hukum
fisika dan sifat alam yang adaptif; (iv) efek ekonomi pengganda, yang berarti aktivitas ekonomi
yagn dilakukan akan memiliki dampak luas dan tidak rentan terhadap gejolak pasar, karena EB
menekankan produk ganda shg tidak tergantung pada satu produk (core business)
Sumber: disarikan dari artikel artikel Arif Satria, Kompas 15 Desember 2012
57 | P a g e
Tanpa membedakan keduanya, buku ini mengambil pengertian bahwa ekonomi hijau dan
biru memiliki prinsip dan definisi sederhana yaitu keduanya menganut prinsip dasar efisiensi
sumberdaya dan ramah lingkungan (minimum limbah atau nir limbah) untuk adanya
keberlanjutan. Dengan prinsip ini maka keduanya memiliki esensi dan cakupan yang sama.
Dalam Buku Sustainable Development (Kemen.PPN/Bappenas dan Kemen.Lingkungan Hidup,
2012), ekonomi hijau mencakup penerapan keberlanjutan dalam ekonomi berbasis lahan
(landbase economy) dan ekonomi berbasis laut (marine base economy). Pengertian inilah yang
akan digunakan secara keseluruhan dan terutama dalam Bab ini.
Selanjutnya, Ekonomi hijau penting untuk diterapkan di sektor perikanan dan kelautan
karena dua (2) hal yaitu Pertama, bahwa keberlanjutan produksi perikanan dan hasil laut lainnya
sangat tergantung pada kualitas lingkungan. Kualitas lingkungan yang buruk akan berdampak
pada aliran air baik di sungai, perairan umum maupun di laut. Kedua, bahwa masih banyak
manfaat lain yang belum dikembangkan dari sektor perikanan dan kelautan. Dengan demikian,
keberlanjutan eksistensi dan fungsi perairan umum dan laut akan sangat memperluas
pemanfaatan dan kontribusi sektor perikanan dan kelautan. Apabila sektor perikanan dan
kelautan tidak dapat dijaga/rusak, maka akan mengganggu kontribusi perekonomian dan
kesejahteraan masyarakat yang tergantung di dalamnya.
5.1.1 Eksistensi Sektor Kelautan Perikanan dan Kelautan Tergantung pada Kualitas Air
dan Ekosistem
Sesuai dengan RPJPN 2005-2025, pengembagan industri kelautan perlu dilakukan
secara secara sinergi karena mencakup aspek yang sangat luas. Besarnya potensi wilayah laut
yang mencapai sekitar 70 persen luas wilayah Indonesia, memerlukan adanya pemanfaaftan
secara optimal untuk kesejahteraan rakyat. Dengan adanya salilng ketergantungan antara kualiats
air dan eksistensi perekonomian dan kehidupan yang ada di laut, maka pemanfaatan
berkelanjutan sangat penting. Beberapa aspek yang dimandatkan dalam RPJPN 2005-2025
meliputi: (i) perhubungan laut; (ii) industri maritim; (iii) perikanan; (iv) wisata bahari; (v) energi
dan sumberdaya mineral; (vi) bangunan laut; dan (vii) jasa kelautan. Aspek-aspek di bidang
kelautan (dan perikanan di dalamnya) dapat dikelompokkan ke dalam penyebab pencemaran laut
dan perairan, yaitu perhubungan laut, industri maritim, bangunan laut dan energi serta
sumberdaya mineral. Kelompok kedua adalah pengguna dan pemanfaatan ekonomi perairan
58 | P a g e
umum dan laut yang mendapat dampak dari buruknya kualitas air, dan sekaligus dapat pula
menjadi penyebab pencemaran air.
1) Kegiatan Di Sektor Kelautan yang Berpengaruh Kualitas Air dan Ekosistem
Pemanfaatan laut dan perairan umum yang berdampak langsung terhadap pencemaran air
perlu dikendalikan untuk menjaga kualitas perairan. Perhubungan laut paling berpengaruh dalam
memanfaatkan laut sebagai media pembangunan. Oleh sebab itu,keduanya memanfaatkan
permukaan laut untuk beroperasi, sehingga pengelolaan perhubungan dan industri maritim yang
ramah lingkungan akan berdampak besar pada keberlanjutan fungsi laut secara luas. Aktivitas
perhubungan laut, akan sangat berpengaruh terhadap kualitas perairan yang berimplikasi pada
kemampuan perairan laut, tidak saja untuk produksi perikanan, namun juga kehidupan seluruh
biodiversity di dalamnya.
ditimbulkan oleh perhubungan laut, baik yang dilakukan oleh armada domestik/nasional, maupun
pelayaran internasional yang melintas jalur ALKI sangat penting. Peraturan tersebut sejalan
dengan pelaksanaan UU No. 32/2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, namun demikian,
diperlukan instrumen dan penegakannya oleh Kementerian Perhubungan. Bidang lainnya yang
dapat mempengaruhi kondisi perairan umum adalah bangunan laut, terutama dalam bentuk
pelabuhan kapal maupun pelabuhan ikan, yang berpotensi menimbulkan pencemaran peraian
yang akan berdampak pada penurunan kualitas lingkungan laut.
Aspek lain yang juga berpotensi meningkatkan polusi perairan laut adalah penambangan sumber
daya energi, mineral serta pertambangan. Pengelolaan pertambagan yang ramah lingkungan
sangat penting diperhatikan karena pada umumnya limbah minyak, mineral dan hasil tambang
tidak hanya membahayakan kualiats lahan, namun juga perairan terbula (sungai dan danau) dan
pada akhirnya ke laut. Penambangan minyak dan gas di laut lepas juga sangat berpotensi
mencemari laut, dan pemantauan kualitas laut lepas belum dapat dijangkau dengan adanya
keterbatasan sumberdaya (Kotak 5.2).
59 | P a g e
60 | P a g e
a).
biodiversity dan pesisir yang bersih dan indah yang ada di perairan nasional. Berbagai
lokasi wisata bahari yang sudah sering dikunjungi turis adalah pantai Kuta, Sanur serta
pantai di perairan laut selatan. Lokasi lain yang lebih mengandung biodiversity laut dan
dikenal sebagai lokasi diving adalah Raja Ampat, Wakatobi, dan sekitar perairan pulau
Komodo di Labuhan Bajo (Kotak 5.3). Pemanfaatan untuk wisata bahari yang menjadi
sumber pendapatan daerah dan masyarakat ini mengandalkan kebersihan pantai dan
peraian laut. Dengan demikian, pencemaran laut dan pesisir akan sangat mempengaruhi
nilai pemanfaatan dan keberlanjutan pemanfaatan ini.
Selanjutnya,
wisata
bahari
ini
perlu
pula
dikelola
secara
ramah
lingkungan.Kualitas dan kebersihan kapal turis ini serta daya tampung suatu lokasi wisata
terhadap jumlah wisatawan yang berkunjung dan daya dukung terhadap fasilitas (kapal,
resort dan fasilitasnya) perlu dihitung dengan baik. Pemanfaatan yang berlebihan akan
mengganggu kualitas dan kehidupan biodiversity yang menjadi daya tarik wisata.
Pengelolaan sampah dan limbah dari usaha wisata ini juga berpengaruh tidak saja
61 | P a g e
terhadap kualitas wisata namun juga peraian yang menjadi daya tarik utama wisata
bahari.
Pencemaran perairan juga terjadi di wilayah wisata perairan umum, yaitu wisata
sungai dan danau. Pembuangan limbah industri dan limbah masyarakat akan berpengaruh
terhadap keindahan dan kualitas air yang menjadi bagian dari wisata air ini. Pemanfaatan
perairan umum untuk keramba yang berlebihan juga terbukti sudah mengakibatkan tidak
saja bau namun juga kualitas air yang berpengaruh terhadap daya hidup ikan yang berada
di peraian tersebut. Dampak lain yang merugikan adalah: (i) terganggunya kualitas air
bersih yang bersumber dari danau dan perairan umum tersebut; (ii) wisata air juga dapat
terganggu, misalnya wisata air di Danau Toba, dan Danau Maninjau (Kotak 5.4)
Kotak 5.4. Ikan Di Danau Maninjau Sumatera Barat Mati Karena Kebanyakan Pakan
KEMATIAN ikan di Danau Maninjau, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatra Barat,
dua hari lalu, disebabkan pakan. Kematian puluhan ton ikan itu disebabkan masuknya mikroskopis
yang mengambang di permukaan air ke insang ikan di dalam keramba. Lima belas persen pakan ikan
terbuang ke dalam air setiap petani memberi makanan kepada ikan yang ada di keramba. Itu yang
membentuk unsur nitrogen dan fosfor, Sebelumnya diduga, kematian ribuan ikan Danau Maninjau
akibat naiknya balerang ke atas permukaan danau.
Kerugian akibat bencana tersebut mencapai Rp1,2 miliar, dengan estimasi 1 kg ikan seharga Rp18
ribu. Namun menurut Badan Pengelola Kelestarian Danau Maninjau (BPKDM) Kasman, ikan yang
mati di Danau Maninjau mencapai 130 ton.Sekretaris Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Agam, Ir.
Ermanto, M.Si, mengakui kalau angin darek merupakan penyebab utama mengapungnya racun dari
dasar danau. Racun tersebut antara lain berasal dari belerang, residu pakan ikan, dan kotoran
ikan.Diperkirakan, setidaknya 60 ton pakan ditebar ke perairan Danau Maninjau. Pakan ikan tersebut
untuk konsumsi sekitar 12.000 unit KJA yang tersebar di Danau Maninjau.Untuk mengantisipasi
kerugian lebih parah, Bupati Agam H. Indra Catri Dt. Malako Nan Putiah, telah mengeluarkan
himbauan agar petani ikan KJA mengurangi jumlah bibit ikan ke dalam KJA. Kondisi Oktober 2011Pebruari 2012, cuaca kurang bersahabat. Pengendalian pertumbuhan keramba jala apung (KJA) di
perairan Danau Maninjau harus diatur dengan Perda, dan dilaksanakan dengan tegas dan konsekuen.
Perkembangan jumlah pembudidaya dan KJA tidak terencana dengan baik, sehingga jumlah dan tata
letak KJA tidak mempertimbangkan daya dukung dan kondisi lingkungan.
Sumber: www//pelaminanminang.wordpress (online)
Selanjutnya, jasa kelautan lain yang belum dimanfafatkan dan berpotensi menjadi
sumber ekonomi adalah: pemanfaatan bioresources laut, sumberdaya non hayati kelautan
dan energi laut.
62 | P a g e
b).
hayati yang ada dapat dimanfaatkan secara efektif dan efisien sebagai energi baru,
Beberapa contoh tersebut adalah pembuatan elektrolit baterai dari polimer chitosan.
Baterai merupakan sumber energi utama yang paling praktis dan murah digunakan pada
masyarakat dunia saat ini. Pasaran baterai dunia pada tahun 2007 telah mencapai 50
milyar US$ dan tahun 2010 mengalami peningkatan sebesar 74 milyar US$. Pemakai
ponsel merupakan pengguna terbesar sumber energi ini. Perkembangan baru teknologi
baterai telah mengarah pula pada baterai dalam bentuk tipis serupa kertas (Li-ion
nanocomposite paper). Selain itu contoh lain adalah pembuatan biofuel baik dari bahan
mikro ataupun makro. Potensi pengembangan bioteknolgi menjadi salah satu sumber
penting, menurut Dahuri (2013) potensi bioteknologi mencapai 82 milyar per tahun.
Disamping itu potensi sumber daya hayati adalah sumber daya yang mudah diperbaharui
(renewable) maka nilai ekonomi tersebut dapat dinikmati setiap tahun secara terus
menerus.
Sumber daya non hayati. Sumber daya non hayati yang bisa di manfaatkan
sebagai alternatif bahan energy adalah pemanfaatan arus, gelombang, dan Ocean Thermal
Energy Conversion (OTEC), seperti yang bisa dilihat di Tabel 5.1. Potensi energi yang
dihasilkan dari pemanfaatan OTEC mampu: (i) menghasilkan dan menambah sumber
daya listrik untuk memenuhi kekurangan pasokan yang ada; (ii) dapat digunakan untuk
memenuhi kebutuhan lokal terutama yang tidak mendapat layanan listrik dari grid.
Ketiadaan sumber listrik dari grid menjadikan bahwa sumberdaya lokal tersebut memiliki
keunggulan tidak hanya teknis namun juga biaya. Sumberdaya ini juga merupakan
sumberdaya ramah lingkungan. Penambahan sumberdaya ramah lingkungan dan sesuai
potensi lokal ini dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan layanan listrik nasional,
mendukung sasaran pembangunan untuk memenuhi 100% layanan listrik dan sekaligus
sebagai alat untuk meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat.
63 | P a g e
Jenis Energi
Lokasi
Potensi
Arus laut*
Masing-masing: @ 300
Mwatt.
Gelombang**
Masing-masing @ 40 kW
per meter
Masing-masing @ 10-20
kW per meter
Masing-masing @ 70 kW
per meter
Belum terdeteksi
OTEC***
64 | P a g e
Dalam kaitan dengan itu, maka penerapan prinsip ramah lingkungan dan
berkelanjutan perlu dilakukan pada setiap jenis dan tingkatan usaha dari: (i) penangkapan
dan budidaya ikan; (ii) pendaratan/pelabuhan perikanan; (iii) pengolahan; (iv) pemasaran
dan pelelangan. Sementara itu di sisi keterkaitan ke belakang (backward linkages) yang
merupakan sektor pendukung, maka prinsip ramah lingkungan dan berkelanjutan dapat
pula diterapkan dalam galangan, spare parts, BBM, dan umpan/pakan.
1).
penggunaan bahan-bahan yang tidak mencemari laut dan aman terhadap konsumsi ikan
dalam proses penangkapan ikan. Penggunaan bahan yang berpotensi mencemari air laut
misalnya adalah penggunaan potassium untuk poison fishing. Selain itu, penggunaan
formalin dan bahan pengawet ikan (selain alat pendingin) juga sangat berbahaya terhadap
keamanan ikan untuk dikonsumsi. Ketiadaan fasilitas pendingin pada kapal nelayan dan
juga di tempat pengolahan ikan skala kecil mendorong nelayan dan penangkap ikan
menggunakan formalin untuk mengawetkan ikan. Hal ini perlu dicegah dan ditegakkan
pengaturan yang ada agar ikan yang dihasilkan benar-benar aman dikonsumsi. Demikian
pula dalam budidaya ikan, pemanfaatan perairan terbuka untuk keramba/jaring apung
yang melebihi daya dukung dan daya tampung ekosistemnya akan merugikan tidak saja
penduduk sekitranya, namun juga hasil ikan serta usaha wisata air/perairan yang ada,
sebagaimana dijelaskan di atas.
2).
masih belum bersih dan masih berbau.Kebersihan lingkungan TPI, ketersediaan air bersih
65 | P a g e
serta pengelolaan limbah di TPI perlu dipebaiki agar hasil perikanan dapat memenuhi
persyaratan Sanitary and Phitosanitary (SPS) yang diterapkan di pasar global maupun
negara pengimpor. Limbah ikan yang dihasilkan dapat dikelola agar tidak mencemari
produk ikan dan untuk dijadikan pupuk organik, dan sekaligus mengurangi bau yang
timbul di TPI. Selain tempat pendaratan, tempat pemasaran/pelelangan ikan juga perlu
menggunakan alat yang bersih dan menjaga kebersihan tempat pelelangan.
Protensi penerapan prinsip berkelanjutan lain adalah penggunaan sumber energi
untuk menjalankan fasilitas yang ada. Penggunaan sumber listrik tenaga matahari untuk
menjalankan tempat pendaratan/pelabuhan ikan seoptimal mungkin akan dapat
mengurangi penggunaan BBM untuk diesel penerangan. Demikian pula, penggunaan
biodiesel dan gas misalnya untuk menjalankan kapal nelayan baik besar maupun kecil,
sesuai ketersediaan setempat merupakan penerapan prinsip berkelanjutan dan akan
meningkatkan kualitas pengelolaan.
4)
berbahaya dan yang tidak digunakan untuk makanan. Pengembangan penggunaan bahan
pengawet dari sumber herbal atau bodiversity lain akan menjamin keamanan makanan
dan ramah lingkungan. Sementara itu, pengelolaan limbah pengolahan ikan perlu
dilakukan agar terjaga kebersihan dan keamanan hasil perikanan.
5).
yang dijual dan dikonsumsi utuh juga: (i) membutuhkan ruang untuk penyimpanan dan
pengangkutan; dan (ii) tidak ekonomis karena nilainya rendah (masih mengandung tulang
dll yang akhirnya dibuang); (iii) mengangkut sampah dan akhirnya akan menjadi buangan
yang mencemari lingkungan di tempat konsumsi. Sehubungan dengan itu, perlu diperluas
penerapan pengolahan ikan menjadi bentuk fillet. Proses pengolahan ikan menjadi fillet
akan meningkatkan nilai ikan karena: (i) nilai bersih lebih banyak per satuan beratnya; (ii)
mudah untuk dimasak dan dikonsumsi. Hal ini penting untuk konsumen skala menengah
yang sudah ingin praktis mengolah ikan; (iii) ikan dengan jenis kualitas biasa akan
nampak lebih bernilai karena penyajian menjadi lebih baik. Langkah ini penting untuk
mendukung pula peningkatan konsumsi ikan sebagai sumber protein untuk berbagai
tingkat pendapatan konsumen/segmen masyarakat.
66 | P a g e
5.2.
Regulasi dan Landasan Kebijakan dalam Penerapan Ekonomi Hijau Pada Bidang
Kelautan dan Perikanan
Pemerintah menyadari betul pentingnya pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan
secara berkelanjutan. Sehubungan dengan itu, berbagai peraturan yang mendukung penerapan
aspek-aspek. Pembangunan Hijau terkait dengan aktifitas di Kelautan dan Perikanan, diantaranya
adalah Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009 tentang Perikanan (revisi Undang-Undang Nomor
31 tahun 2004); UU No. 21 Tahun 2009 tentang Pengesahan Agreement for theImplementation of
the Provisions of the United Nations Convention onthe Law of the Sea of 10 December 1982
Relating to the Conservationand Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory
FishStocks. Sebagai langkah pelaksanaan dari peraturan tersebut telah ditetapkan Peraturan
Presiden No. 122/2012 tentang Reklamasi dan Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2007
tentang
pengelolaan kawasan konservasi perairan diatur melalui sistem zonasi. Terdapat empat zona
dalam kawasan konservasi perairan yaitu zona inti, zona perikanan berkelanjutan (budidaya dan
penangkapan ramah lingkungan), zona pemanfaatan (antara lain untuk pariwisata bahari) dan
zona lainnya (misalnya untuk situs budaya dan agama).
Selain itu terdapat pula
Perikanan yang berhubungan dengan lingkungan, dintaranya: (i). UU No. 5 Tahun 1983 tentang
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia; (ii). UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya
Alam Hayati dan Ekosistemnya; (iii).UU No. 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan
Tumbuhan.
5.3.
bahari dapat terjaga keberlanjutannya. Hal ini perlu didukung dengan pengawasan
pemanfaatan sumber daya kelautan yang terus dilakukan dengan memperkuat kelompok
masyarakat pengawas (pokmaswas) dan polisi khusus (polsus).
Mengingat ekosistem laut dan pesisir bersifat transboundary, kerja sama
pengelolaan eksosistem laut dan pesisir antar negara juga telah dilakukan secara terus
menerus untuk menjaga keberlanjutan ekosistem. Indonesia berpartisipasi dalam
pengelolaan Sulu-Sulawesi Marine Ecoregion dan menjadi penggagas dalam Coral
Triangle Initiative (CTI). Negara anggota CTI bersepakat untuk menerapkan prinsip
pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis ekosistem, pengelolaan marine protected
area secara efektif, menerapkan langkah adaptasi perubahan iklim, dan meningkatkan
status spesies laut yang terancam, serta menetapkan daerah prioritas bentang laut.
Pengelolaan ekosistem pesisir dilakukan pula dengan gerakan Ayo tanam
mangrove dan pengembangan sekolah pantai bekerjasama dengan BMKG, DNPI dan
UNESCO untuk merestorasi hutan mangrove di kawasan pesisir. Selain itu, dilakukan
pula program Pengembangan Desa Pesisir Tangguh (PDPT) yang bertujuan untuk: (i)
meningkatkan pelayanan prasarana dan sarana sosial ekonomi; (ii) meningkatkan kualitas
lingkungan hidup; (iii) meningkatan kapasitas kelembagaan masyarakat dan Pemda dalam
pengambilan keputusan partisipatif dan kapasitas kesiapsiagaan terhadap bencana dan
perubahan iklim. Aspek perubahan iklim ditambahkan di sini karena dengan semakin
meningkatnya pemanasan global, maka masyarakat pesisir paling rentan terkena dampak
naiknya muka air laut. Selain itu, dikembangkan pula Sistem Informasi Mitigasi Bencana,
Adaptasi Iklim dan Lingkungan (SI-MAIL) untuk menyebarluaskan informasi sehingga
PDPT dapat terlaksana dengan baik.
2).
hingga 45 persen dan ikan demersal hingga 20 persen. Adanya sistem buka tutup dan
area-area zona inti, sebagai tempat pemijahan ikan dan nursery ground sangat dibutuhkan
untuk mencegah ikan teraksploitasi tanpa kendali. Penyusunan RPP WPP 718 dilakukan
dengan pendekatan Pengelolaan Perikanan dengan Pendekatan Ekosistem atau Ecosystem
Approach to Fisheries Management (EAFM).
Penerapan RPP WPP ini sebagai model manajemen bersama yang melibatkan
beberapa Pemerintah Daerah terkait (Gubernur Maluku, Papua, dan Papua Barat, delapan
Bupati Kepala Daerah sekitar WPP 718. Mengingat karakteristik ikan sebagai species
yang bersifat transboundary dan migratory species, maka sekat-sekat administrasi yang
seringkali membatasi kapasitas manajemen perlu untuk diubah dengan pendekatan
pengelolaan bersama seperti ini.
Untuk mewujudkan koordinasi pengelolaan sumberdaya ikan, sekaligus sebagai
wadah komunikasi antar pelaku perikanan, pemerintah telah membentuk sebuah wadah
bagi seluruh pemangku kepentingan bidang kelautan dan perikanan berupa suatu Forum
Koordinasi Pengelolaan Pemanfaatan Sumberdaya ikan yang kemudian disingkat FKPPS.
Secara umum, pembentukan forum ini dimaksudkan untuk membahas hasil
inventarisasi/masukan data dan informasi pemanfaatan sumberdaya ikan serta
permasalahan/kasus yang timbul dalam pemanfaatan sumberdaya ikan laut, memberi
pertimbangan pendapat maupun saran pemecahan dalam upaya menyelesaikan
permasalahan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan yang terjadi dalam masyarakat dan
untuk memberi masukan dalam upaya menetapkan kebijaksanaan pengelolaan
sumberdaya ikan laut untuk menciptakan sinergi dalam melakukan pengelolaan perikanan
secara bertanggung jawab. Anggota forum ini berasal kalangan pemerintah, asosiasi
nelayan, peneliti, akademisi, dan asosiasi pengusaha dari sejumlah daerah di Indonesia
3).
adalah perairan tropis yang dicirikan dengan keanekaragaman hayati yang tinggi. Dengan
demikian keragaman jenis spesies tinggi, namun volume stok relatif tidak banyak.
Keragaman jenis berasosiasi dengan konektivitas antar spesies. Sementara itu, di sisi lain,
sumberdaya ikan masih masih menjadi sumber kehidupan dari sebagian besar masyarakat
baik dalam konteks mata pencaharian maupun sumber protein (ketahanan pangan).
Dengan
demikian,
dalam realitasnya,pengelolaan
perikanan
merupakan
sebuah
69 | P a g e
Indonesia memiliki posisi penting dalam perikanan global baik dalam konteks
geografis (negara kepulauan terbesar) maupun dalam konteks produksi perikanan.
Indonesia adalah produser perikanan terbesar nomor 2 atau 3 di dunia bersama
China dan Peru. Dalam konteks ini maka pengelolaan perikanan yang lebih baik
di Indonesia dapat menjadi barometer bagi pengelolaan perikanan global.
Indonesia memiliki modal sosial pelaku perikanan dari semua level yaitu dari
small scale fisheries hingga industrial fisheries. Hal ini ditambah dengan adanya
pengetahuan lokal yang beragam namun mendorong implementasi EAFM di
Indonesia.
Inisiasi EAFM dimulai pada tahun 2010. Selanjutnya, pada tahun 2011-2012,
sistem indikator mulai diuji pendahuluan terhadap WPP di Indonesia dan dilanjutkan
dengan pengujian di beberapa lokasi serta diikuti dengan peningkatan kapasitas SDM
terkait dengan sistem indikator tersebut. Proses berikutnya adalah pengembangan
pengujian ke arah implementasi dan analisis indikator untuk beberapa unit perikanan
seperti WPP dan unit perikanan menurut jenis pada tahun 2013. Pada saat yang sama
proses adopsi legal dilakukan dengan menyusun Naskah Akademik Implementasi EAFM
di Indonesia. Pada tahun 2014 adopsi legal EAFM dan penyusunan review RPP bagi
seluruh WPP dengan menggunakan kerangka EAFM juga dapat dilakukan.
70 | P a g e
4).
dan Cara Penanganan Ikan yang Baik (Good Handling Practices) telah diperkenalkan dan
dikembangkan secara bertahap oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Hal ini
didorong dengan semangat untuk menjadikan proses produksi budidaya maupun
perikanan tangkap berjalan lebih efisien, berdayasaing dan mengtindahkan prinsip-prinsip
kepentingan lingkungan.
Cara Budidaya Ikan yang Baik adalah sistem atau metoda cara budidaya ikan
dengan mengendalikan faktor-faktor eksternal yang dapat bersifat merugikan dengan
penerapan cara budidaya dan menggunakan teknologi yang ramah lingkungan termasuk
proses pemanenannya agar dihasilkan kualitas mutu produk ikan hasil budidaya dengan
kualitas yang baik. Kunci utama dalam pengendalian hama dan penyakit ikan adalah
melalui penerapan biosecuritydisamping aspek keamanan pangan (food safety) dan ramah
lingkungan (enviromental friendly). Keamanan biologi (biosecurity) merupakan upaya
mencegah atau mengurangi peluang masuknya penyakit ikan ke suatu sistem budidaya
dan mencegah penyebaran dari satu tempat ke tempat lain yang masih bebas. Namun
demikian secara umum pada kenyataannya prinsip biosecurity belum sepenuhnya
diterapkan pada kegiatan budidaya ikan. Kondisi ini berbanding terbalik jika
dibandingkan pola manajemen budidaya ikan yang dilakukan di negara asing yang
teknologi budidaya ikannya sudah sangat maju seperti; Thailand, China dan
Jepang.Prinsip biosecurity menjadi pertimbangan utama sebagai penentu keberhasilan
budidaya ikan. Pembudidaya seringkali belum menyadari bahwa pengelolaan air bukan
hanya dilakukan pada air yang masuk, namun pengelolaan air buangan budidayapun yang
sangat penting untuk mencegah penyebaran hama dan penyakit ikan terhadap lokasi
budidaya disekitarnya. Mempertimbangkan fenomena di atas maka upaya public
awareness terus digalakan kepada para pembudidaya ikan, sehingga timbul kesadaran,
komitmen dan tanggungjawab bersama dalam mewujudkan cara budidaya ikan yang lebih
bertanggungjawab dan berkelanjutan.
Cara Penanganan Ikan yang Baik (Good Handling Practices) meliputi cara
penanganan paska penangkapan yang baik yang berkaitan dengan penerapan teknologi
serta cara pemanfaatan sarana dan prasarana yang digunakan dengan memperhatikan
71 | P a g e
asas-asas sanitasi lingkungan, kebersihan produk, tahapan penanganan, dan lainnya Good
Handling Practices (GHP) meliputi pelaksanaan kegiatan penanganan pasca panen
produk perikanan secara baik dan benar, sehingga mutu produk dapat dipertahankan,
menekan kehilangan karena penyusutan, kerusakan dan memperpanjang daya simpan
dengan tetap menjaga status produk yang ditangani. Dalam kompetisi global, hasil
tangkapan perikanan Indonesia kerap kalah bersaing di pasaran internasional, karena
mutu hasil rendah yang disebabkan terkontaminasi dengan kotoran dan bahan asing,
pengeringan kurang sempurna sehingga distribusi sampai konsumen sering berbau dan
berjamur. Maka hal ini mengindikasikan bahwa penanganan pasca penangkapan belum
dilaksanakan dengan baik dan benar.
Teknik penangkapan ikan tergantung pada alat tangkap yang digunakan, untuk
menjaga kualitas ikan yang baik dan menjaga kelestarian lingkungan, alat tangkap yang
digunakan sebaiknya adalah alat tangkap yang ramah lingkungan.Ciri ciri alat tangkap
yang ramah lingkungan harus memenuhi kriteria: selektivitas yang tinggi, tidak merusak
habitat,menghasilkan ikan berkualitas tinggi,tidak membahayakan nelayan, produksi ikan
tidak membahayakan konsumen.Dampak biodiversity rendah sertatidak membahayakan
ikan-ikan yang dilindungi.
Penanganan dan penempatan ikan secara higienis merupakan prasyarat dalam
menjaga ikan dari kemunduran mutu karena baik buruknya penanganan akan berpengaruh
langsung terhadap mutu ikan sebagai bahan makanan atau bahan baku untuk pengolahan
lebih lanjut. Demikian juga penempatan ikan pada tempat yang tidak sesuai, misalnya
pada tempat yang bersuhu panas, terkena sinar matahari langsung, tempat yang kotor dan
lain sebagainya akan berperan mempercepat mundurnya mutu ikan. Beberapa faktor yang
mempengaruhi keberhasilan proses penanganan di atas kapal diantaranya adalah alat
penanganan, media pendingin, teknik penanganan, dan keterampilan pekerja. Penggunaan
alat-alat penanganan yang lengkap, bersih, dan baik dapat memperkecil kerusakan fisik,
kimia, mikrobiologi dan bikimia. Media pendingin yang memberikan hasil terbaik adalah
media pendingin yang dapat memperlambat proses biokimia dan pertumbuhan mikroba
daging ikan.Hal-hal tersebut telah diatur dalam peraturan tata cara budidaya dan
penangkapan ikan yang baik (Tabel 5.2).
72 | P a g e
5).
Peraturan
Tentang
KEP.02/MEN/2007
5.4.
adanya konflik pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya di daerah, sehingga penerapan aturan
menjadi sulit; (ii) sulitnya pengawasan dan penegakan hukum sehingga terjadi penurunan
produksi akibat illegal fishing dan overfishing, kerusakan lingkungan, penurunan produktivitas
dan kebijakan importasi. Tantangan yang dihadapi untuk menerapkan prinsip keberlanjutan di
73 | P a g e
sektor perikanan antara lain adalah: (i) belum selesainya Rencana Strategis/Rencana Zonasi
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil baik Provinsi /Kabupaten/Kota yang termasuk ke dalam
RTRW; (ii) Nelayan banyak yang berskala kecil, sehingga sulit menerapkan pembaruan dan
penegakan hukum.
Dalam kerangka kelembagaan, masing-masing WPP diwajibkan oleh UU No 31/2004 j.o.
UU No 45/2009 untuk memiliki Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP). Dalam konteks ini lah
maka arsitektur pengelolaan perikanan diharapkan dapat mengubah Forum Koordinasi
Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya Ikan (FKPPS) yang selama ini menjadi instrument
bagi konsultasi nasional pengelolaan perikanan menjadi sebuah Fisheries Management
Authority yang berbasis WPP.
74 | P a g e
Ketergantungan energi pada saat ini masih dominan tergantung pada sumber energi fosil
(minyak, batubara, dll.), yang baik dalam proses penambangan/eksploitasi, pengolahan menjadi
bahan bakar maupun penggunaannya memberikan dampak polusi. Sementara Indonesia juga
memiliki berbagai sumber energi lain yang ramah lingkungan seperti: panas bumi dan gas,
maupun yang terbarukan seperti tenaga air, tenaga matahari, tenaga angin, maupun bahan bakar
dari tanaman/hasil pertanian namun belum banyak dimanfaatkan.
Berkaitan dengan itu, penyediaan energi masih tidak dapat dihindarkandari penggunaan
sumber energi fossil yang menghasilkan polusi, namun apabila ketergantungan terus dibiarkan
akan memberatkan dari sisi subsidi, rentan terhadap ketahanan energi dan tidak ramah
lingkungan. Sehubungan dengan itu, maka penerapan konsep energi berkelanjutan (green
energy) dapat dilakukan melalui: (a)Aspek Penyedian/pasokan dan proses: (i) penggunaan
teknologi bersih; (ii) meningkatkan penggunaan energi baru dan terbarukan (diversifikasi
energi); (b) Aspek Penggunaan/Konsumsi melalui: (i) efisiensi energi; (ii) mengurangi konsumsi
energi (hemat energi);
Di bidang pertambangan, sebagaimana diketahui, proses penambangan mineral dan hasil
tambang sangat tidak bernuansa keberlanjutan. Pengambilan mineral dan hasil tambang akan
merubah permukaan tanah dan menghilangkan top soil yang bermanfaatan untuk pertanian
secara luas. Proses pertambangan biasanya juga menghasilkan buangan/tailing yang mencemari
wilayah disekitarnya atau daerah hilir apabila terkena/masuk ke aliran sungai.
Meskipun
6.1.
Konsumsi masih didominasi oleh minyak dan batubara karena energi bersih yaitu
gas lebih banyak diekspor.
pasokan konsumsi energi dalam negeri masih terbatas oleh harga yang tidak kondusif dan
masih cenderung menguntungkan pada konsumsi minyak bumi karena adanya subsidi
harga. Perhatian juga masih belum diberikan pada sumber energi primer terbarukan lain
seperti air, tenaga angin dan tenaga matahari, yang jumlahnya cukup untuk dapat
memenuhi kebutuhan lokal (off grid), termasuk sumber energi nabati seperti minyak sait,
ethanol dll.
76 | P a g e
Sementara itu, penggunaan energi juga masih belum efisien. Industri dan usaha
komersial masih terbatas menerapkan teknologi efisiensi energi, sehingga hasilnya belum
signifikan secara nasional. Beberapa jenis usaha komersial dan industri telah melakukan
usaha-usaha penghematan energi dan revitalisasi, namun secara nasional hasilnya masih
belum cukup untuk mampu meredam laju konsumsi energi yang cukup tinggi. Konsumsi
energi final Indonesia pada periode tahun 2000 hingga 2010 telah melonjak hampir dua
kalinya, dari 777,9 juta SBM (508,9 juta SBM, tanpa biomasa) menjadi 1182,1 juta SBM
(902,1 juta SBM, tanpa biomasa). Dengan penghematan energi di sisi konsumsi (hilir),
akan membantu kecukupan energi ditengah-tengah keterbatasan pasokan.
Pemanfaatan energi di Indonesia yang masih boros ini juga terefleksi di tingkat
makro. Intensitas energi Indonesia masih relatif tinggi dibanding negara lain. Pada tahun
2009, intensitas energi Indonesia berkisar 0,24 KTOE/USD PDB (harga konstan 2005).
Sementara, pada tahun yang sama, Jepang, Jerman, Thailand, dan Malaysia memiliki
intensitas energi berturut-turut adalah 0,12; 0,12; 0,23; dan 0,22 KTOE per USD PDB
(International Energy Agency/IEA, 2010). Artinya Indonesia dua kali lebih boros dari
pada Jepang dan Jerman, dan sedikit lebih boros dibanding Thailand dan Malaysia.
Dengan gambaran di atas, Indonesia memiliki peluang dan potensi untuk mencukupi
kebutuhan energi dan menggunakan sumber-sumber teknologi ramah lingkungan agar
ketahanan energi dapat lebih berkelanjutan.
Beberapa langkah yang mulai dilakukan untuk membenahi adalah melakukan:
(i) penyesuaian pertarif-an listrik (Tarif Dasar Listrik/TDL), dengan melakukan
perhitungan tarif keekonomian berdasarkan allowable cost (oleh regulator), dan
kemudian diterapkan (setelah ada persetujuan DPR) penyesuaian TDL secara bertahap
dan transparan untuk mencapai harga keekonomian tersebut. Pola subsidi listrik mulai
dilakukan Pola Subsidi Terarah bagi konsumen tidak mampu untuk pelanggan yang
tersambung ke grid. Untuk pengguna off grid dan atau yang tinggal di daerah terpencil
dilakukan dengan memprioritaskan energi terbarukan yang tersebut dengan menerapkan
Pola Universal Service Obligation dalam TDL seperti yang telah berhasil diterapkan pada
Sektor Telekomunikasi untuk menyediakan jasa layanan telekomunikasi di daerah
terpencil. Selanjutnya, untuk menurunkan potensi emisi, dilakukan penerapan
77 | P a g e
inisiatifenergi bersih dengan mengurangi emisi dari pembakaran energi fosil secara
terpadu (REFF-Burn), dengan mengutamakan energi terbarukan.
2).
secara
efisien dan rasional tanpa mengurangi kuantitas energi yang memang benar- benar
diperlukan. Upaya konservasi energi dapat diterapkan pada seluruh tahap mulai dari
pemanfaatan sumber daya energi sampai pada pemanfaatan akhir, dengan menggunakan
teknologi yang efisien dan membudayakan pola hidup hemat energi. Pelaksanaan
konservasi energi diatur dalam undang-undang dan secara lebih teknis dalam Peraturan
Pemerintah No. 70 Tahun 2009 tentang Konservasi Energi (Kotak .6.1).
78 | P a g e
energi oleh para pengguna dilakukan melalui penerapan manajemen energi dan
penggunaan teknologi yang hemat energi.
khususnya bagi pengguna energi dalam jumlah besar atau minimal 6000 TOE per tahun,
dalam pelaksanaanya antara lain harus menunjuk manajer energi, menyusun program
konservasi energi, melaksanakan audit energi secara berkala, melaksanakan rekomendasi
hasil audit energi, dan melaporkan pelaksanaan konservasi energi setiap tahun. Sektor
bangunan gedung dan industri sebagai pengguna energi besar terbukti masih boros dalam
menggunakan energi, yang ditunjukkan oleh intensitas energinya yang masih tergolong
tinggi. Walaupun disadari pada sektor tersebut mulai tumbuh kesadaran untuk melakukan
penghematan energi terkait dengan tingginya harga energi akhir, namun dana
pelaksanaannya masih sangat terbatas.
Untuk melakukan penghematan lebih konkrit, secara khusus pada awal tahun
2011, Presiden mengeluarkan Inpres Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penghematan Energi
dan Air, kepada semua lembaga pemerintah baik di pusat maupun di daerah, termasuk
BMN/D untuk melakukan langkah-langkah dan inovasi penghematan energi dan air di
lingkungan instansi masing-masing.Beberapa instruksi penting tersebut antara lain:(i)
Penghematan listrik sebesar 20% dan penghematan air sebesar 10%, yang dihitung dari
rata-rata penggunaan istrik dan air di lingkungan masing-masing dalam kurun waktu 6
(enam) bulan sebelum dikeluarkannya Inpres; dan (ii) Penghematan pemakaian BBM
Bersubsidi sebesar 10%, melalui pengaturan pembatasan penggunaan BBM Bersubsidi
bagi kendaraan di lingkungan instansi masing-masing, dan di lingkungan BUMN dan
BUMD, yang dilakukan sepanjang BBM Non Subsidi tersedia di wilayah masing-masing.
Pelaksanaan konservasi energi dan efisiensi energi selama ini meliputi beberapa
program di rumah tangga, industri dan sektor komersial.
a.
Sektor Rumah Tangga, upaya efiensi dan konservasi dilakukan dengan penerapan
teknologi hemat energi untuk memasak dari mulai kompor hemat energi dan alat
masak lainnya. Sektor rumah tangga juga dapat menggunakan penggunaan lampu
hemat energi (misalnya LED)untuk menerapkan hemat energi di rumah tangga.
Teknologi hemat energi juga mulai diberlakukan pada produk-produk rumah
tangga seperti lemari pendingin, pendingin ruangan (AC), peralatan elektronik
lain di rumah tangga seperti televisi juga menjadi salah satu target upaya efisiensi
80 | P a g e
c.
3).
Sebagai negara tropis, Indonesia mempunyai potensi energi surya yang cukup tinggi.
Demikian pula sumber air, serta panas bumi dan gas.Namun demikianpemanfaatan energi
terbarukan seperti panas bumi, surya, angin dan biomas masih terbatas.Dalam kaitan
dengan upaya memperkuat ketersediaan/pasokan serta meningkatkan bauran energi, maka
ditetapkan target untuk meningkatkan porsi gas, panas bumi dan energi terbarukan
sampai tahun 2025 (Gambar 6.2).
81 | P a g e
2025
2011
Perpres 5/2006
Bauran energi tidak saja untuk meningkatkan ketahanan penyediaan namun juga
untuk memanfaatkan dan menyediakan pasokan energi sesuai kondisi lokal serta
meningkatkan energi bersih. Penyediaan pasokan energi sesuai kondisi lokal akan dapat
mempercepat penyediaan dan akses energi pada masyrakat dan sekaligus untuk efisiensi,
karena energi tidak perlu dikirim dari daerah produsen di L Jawa, ke pulau Jawa untuk
diproduksi/diolah, untuk kemudian dikirim ke Luar Jawa untuk dikonsumsi. Inefisiensi
masih kita hadapi pada tingkat konsumsi, namun pemusatan pengolahan energi primer
menjadi energi bahan bakar dan listrik di Jawa juga mengakibatkan inefisiensi pada
proses dan pemborosan pada pengangkutannya.
ketersediaan energi, baik listrik maupun bahan bakar akan semakin seimbang dan
peningkatan efiensi juga terjadi lebih signifikan.
Selain itu beberapa langkah yang dilakukan untuk memperbesar sumber energi
terbarukan dan sekaligus meningkatkan akses energi bagi masyarakat terutama yang sulit
dijangkau layanan grid adalah sebagai berikut.
82 | P a g e
a.
Bumi dengan kapasitas 3.967 MW dan PLTA (Hidro) berkapasitas 1.174 MW). Program
ini dapat mengurangi bahan bakar fosil (BBM, Batubara, dll) sebagai bahan bakar untuk
pembangkit listrik. Penggunaan bahan bakar fosil akan menghasilkan pencemaran
lingkungan karena menghasilkan emisi dari pembakaran yang besar. Sementara
pemanfaatan EBT sebagai bahan bakar pembangkit listrik tidak menyebabkan
pencemaran lingkungan karena emisi yang rendah bahkan nol. Program ini ditunjang
dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah yaitu Peraturan Menteri ESDM No.
22/2012 tentang Penugasan Kepada PT. PLN (Persero) untuk Melakukan Pembelian
Tenaga Listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi dan penentuan patokan
pembelian tenaga listrik oleh PT. PLN (Persero) dari pembangkit listrik tenaga panas
bumi.
b.
bioetanol tercatat sebesar 416 ribu KL/tahun dari 8 produsen bioetanol yang telah
memiliki izin usaha niaga BBN, dan yang siap berproduksi mencapai 200 ribu Kl/tahun.
Pemanfaatan biodiesel di dalam negeri masih sangat kecil dan perlu didorong dengan
memperbaiki Harga Indeks Pasar (HIP) bioethanol agar lebih menarik bagi produsen
bioethanol.
d.
Beberapa
perusahaan telah memanfaatkan limbah industri kayu untuk membuat pelet kayu seperti
PT Indoco Group membangun HTI seluas 200,000 Ha di Sulawesi Barat yang sudah
menanam 89,595 Ha kayu di HTI atau 45% nya untuk dijadikan bahan baku pelet.
Sebelumnya, perusahaan ini telah membangun pabrik pelet kayu (berdiameter 6-10 mm
dan panjang 10-30 mm, dengan energi setara 4,7 kWh/kg) di Wonosobo, Jateng dengan
kapasitas 200 ribu ton/tahun yang menggunakan kayu hutan rakyat dan limbah industri
gergaji, limbah.
Contoh lain adalah Biogas. Koperasi SAE Pujon (beranggotakan 7000 orang peternak
sapi) yang bermitra dengan HIVOS (LSM Belanda)di Kabupaten Malang telah
84 | P a g e
membangun reaktor Biogas Rumah Tangga (BIRU) sebanyak 2000 unit sampai tahun
2012, serta daerah lain seperti di Malang sekitar 2609 unit.
Mandiri Energi berbasis non bahan bakar nabati yaitu dengan memanfaatkanarus laut dan
hibrid.Penggunaan energi terbarukan tersebut sudah berkembang meskipun masih
terbatas. Beberapa peraturan sudah disusun untuk terus mendorong penggunaan energi
baru terbarukan (Kotak 6.2) namun masih perlu didukung secara konkrit dalam: (i)
Penetapan harga dibandingkan dengan BBM yang bersubsidi, dengan perbandingan yang
tepat dan sesuai nilai keekonomiannya; (ii) sumber energi bersih perlu diperhitungkan
pula faktor emisinya yang lebih bersih atau bahkan nol; (iii) sistem pengaturan dan
perijinan yang terkesan berlapis-lapis dan lambat prosesnya.
sehingga
memperbesar
resiko
yang
sulit
diperhitungkan
oleh
85 | P a g e
12.
13.
14.
15.
16.
4).
bidang pertambangan masih menjadi perdebatan, namun beberapa konsep seperti green
mining yang didasarkan pada beberapa tolak ukur antara lain: (i) penggunaan teknologi
bersih di pertambangan; (ii) keberhasilan revegetasi; (iii) integrasi perencanaan
reklamasi, termasuk revegetasi, dengan seluruh tahapan kegiatan penambangan akan
menjamin keberhasilan reklamasi; (iv) reklamasi pada lahan bekas tambang berperan
dalam mengurangi pemanasan global; (v) mekanisme dalam mengurangi pemanasan
global yang dimanfaatkan untuk menjaga kelangsungan revegetasi pada lahan bekas
tambang dan meningkatkan nilai tambah baik dari segi ekologi, ekonomi maupun sosial;
86 | P a g e
(vi) pemberdayaan masyarakat yang mendorong peningkatan ekonomi dan kondisi sosial
masyarakat di pertambangan yang berkelanjutan.
Kebijakan pertambangan di Indonesia yang mendorong rendah karbon, dilakukan
mulai proses awal perizinan, proses dan pasca penambangan. Sesuai dengan Undangundang No. 4/2009 tentang Pengelolaan Pertambangan menuntut pertambangan di
Indonesia harus menerapkan asas manfaat yang berkeadilan dan keseimbangan; asas
partisipatif dan transparasi serta akuntabilitas; asas keberpihakan kepada kepentingan
bangsa; dan asas berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Kegiatan tambang juga
harus bertujuan untuk : (i) berdaya guna, berhasil guna dan berdaya saing;
(ii)meningkatkan kemampuan nasional agar lebih mampu bersaing di tingkat regional dan
international; dan (iii)sebagai bahan baku dan atau sumber energi untuk kebutuhan dalam
negeri.
Aturan
pengelolaan pasca tambang juga diperkuat dengan Peraturan Pemerintah No. 78/2010
tentang Reklamasi dan Pascatambang, dengan prinsip-prinsip lingkungan hidup
87 | P a g e
mewarnai kebijakan sehngga pada pasca penambangan harus dapat menjamin: (i)
Perlindungan terhadap kualitas air permukaan, air tanah, air laut, dan tanah serta
udara; (ii) Perlindungan keanekaragaman hayati; (iii) Stabilitas dan keamanan timbunan
batuan penutup, kolam tailing, lahan bekas tambang serta struktur buatan (man-made
structure) lainnya; (iv) Pemanfaatan lahan bekas tambang sesuai dengan peruntukannya;
dan (v) Menghormati nilai-nilai sosial dan budaya setempat, danperlindungan
terhadapkuantitas air tanah.
Beberapa penerapan di lapangan.Beberapa kawasan pertambangan seperti PT
Adaro dan PT KPC di Kalimantan, telah berupaya mengembangkan berbagai upaya untuk
mengatasi dampak dari pertambangan dengan menyimpan lapisan atas permukaan tanah
yang disimpan dan dikembalikan pada saat lokasi selesai di tambang (paska tambang),
menanam jenis-jenis yang dapat segera memulihkan kesuburan lahan dengan terlebih
dahulu melakukan kajian dan uji coba di lokasi. PT KPC di Kalimantan Timur, telah
mengolah sebagian lahan tambangnya menjadi lahan hijau produktif yang diawali dengan
pertanian terpadu dan penanaman pohon-pohon lokal.
Sementara PT Silo di Kalimatan Selatan yang bergerak di pertambangan bijih
besi, telah berupaya memulihkan keanekaragaman hayati di wilayah bekas tambang
secara langsung, dan menanam jenis-jenis padi lokal tadah hujan, disamping melakukan
proses mengolah limbah air dari proses penambangan yang kemudian dapat dimanfaatkan
untuk pertanian dan kebutuhan perusahaan maupun masyarakat.v
Beberapa
perusahaan
dalam
mengurangi
upaya
emisi
dari
proses
pertambangannya melalui program CSR lingkungan telah mengembangkan programprogram yang mendorong mitigasi perubahan iklim, disamping berupaya memperbaiki
teknologi tambang yang ramah lingkungan. Program CSR lingkungan yang selama ini
hanya bertumpu pada penguatan ekonomi dan sosial, mulai mendorong penerapan
lingkungan seperti penamaman, pembibitan untuk penghijauan lahan, mengolah sampah
anorganik menjadi bahan baku sehingga menurunkan emisi.
88 | P a g e
6.2
Pertambangan
energi
yang lebih ramah lingkungan.Namun demikian, pengembangan energi ramah lingkungan untuk
mendukung pengembangan ekonomi hijau masih mengahadapi beberapa tantangan, seperti: (i)
Penetapan harga energi yang kurang transparan, masih terlalu terkotak-kotak dan tidak kondusif
terhadap sumber energi primer lain. Masih beratnya subsidi kepada minyak bumi merupakan
salah satu tantangan untuk dapat memberi peluang pada sumber energi primer lain yang lebih
bersih; (ii) Adanya tumpang tindih lahan dan proses investasi energi dan perijinan yang tidak
transparan dan penuh ketidakpastian mengakibatkan lambatnya pelaksanaan investasi; (iii)
Pengelolaan energi yang kurang terdesentralisasi, mengakibatkan penanganan energi selalu
berkaitan dengan investasi yang besar, sulit dan mahal. Padahal banyak sumber energi lain yang
dapat digunakan memenuhi permintaan yang besar dan proses ke on grid yang sulit, namun
dapat memenuhi kebutuhan lokal.
memanfaatkan energi terbarukan dari berbagai sumber, dalam skala lokal dan komunitas
sebetulnya merupakan peluang besar untuk meningkatkan pemerataan layanan energi (listrik dan
bahan bakar), namun tidak mendapatkan tempat dalam pemenuhan energi nasional. Beberapa
tantangan lain disampaikan dalam Kotak 6.3
89 | P a g e
Kotak 6.3 Beberapa perbaikan yang perlu dilakukan untuk meningkatkan pengembangan EBTKE
Harga listrik dihasilkan dari sumber energi terbarukan dianggap masih memiliki harga yang
Harga.
tinggi dan dibeli dengan harga yang belum mencerminkan keekonomiannya serta tidak mampu
dengan bbm yang disubsidi.
bersaing
Pendanaan dan investasi. Biaya investasi awal untuk implementasi teknologi energi terbarukan dan
konservasi
energi dinilai masih tinggi. minat swasta khususnya di bidang bisnis teknologi energi
terbarukan dan konservasi energi masih sangat kurang karena pasarnya masih terbatas.
Tumpang tindih lahan. Kegiatan energi terbarukan sebagian besar dalam kawasan hutan yang sering
menghadapi
masalah tumpang tindih, baik karena undang-undang dan peraturan penggunaan lahan.
Sumber daya manusia. Kemampuan sumberdaya manusia relatif rendah terutama untuk energi
terbarukan
yang belum komersial dan pemanfaat energi yang efisien.
Subsidi BBM. Subsidi yang terlalu lama untuk BBM mengakibatkan peningkatan pemanfaatan energi
Sosial budaya. Masyarakat masih lebih tertarik untuk menggunakan energi konvensional (karena
disubsidi) serta kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pengembangan EBT dan
masih
penggunaan energi secara efisien.
Memperhatikan dimensi spatial dalam penyediaan energi/tenaga listrik dengan memanfaatkan energi
terbarukan yang tersedia setempatbaik dengan pola On-grid maupun pola Off-Grid.
Selain itu, tantangan lain adalah di sisi pengguna: (i) Transportasi masih sangat
mengandalkan kendaraan (mobil dan motor) pribadi, sehingga dengan naiknya populasi dan
pendapatan masyarakat, langsung menaikkan konsumsi energi. Transportasi massal lain tidak
dikembangkan dengan baik, baik untuk transportasi dalam kota maupun antar kota (kereta api).
Dengan ketersediaan lebih banyak pada transportasi darat dan mobil pribadi maka kebutuhan
lahan untuk jalan darat, jalan tol terutama sangat pesat. Hal ini mengakibatkan banyaknya
wilayah hijau termasuk lahan pertanian yang akan dibuka untuk jalan transportasi darat; (ii)
Pengelolaan energi kurang memperhatian penggunaan sumber lokal untuk pemenuhan kebuhan
energi lokal, sehingga distribusi sumber energi primer dan energi final tidak efisien/boros dan
menghabiskan energi yang seharusnya dapat digunakan untuk masyarakat dan sektor produksi.
Di sisi konsumen, kemudahan kredit kendaraan bermotor dan relatif cepatnya
perkembangan industri otomatif dibanding dengan industri lainnya, semakin memperberat beban
untuk menyediakan energi yang lebih bersih dalam waktu cepat. Selain itu, tidak adanya batasan
90 | P a g e
91 | P a g e
92 | P a g e
7.1.
Lingkungan Hidup PBB tentang Prakarsa Green Jobs yang disusun bersama dengan Organisasi
Perburuhan Internasional (ILO), semakin banyak green jobs yang dapat tercipta sebagai manfaat
dari upaya menciptakan perekonomian yang rendah karbon dan lebih berkelanjutan.
Perubahan dari perekonomian saat ini ke perekonomian yang lebih hijau sering
mengkhawatirkan masyarakat umum karena akan mengurangi pekerjaan-pekerjaan pada
sektor/kegiatan yang selama ini dianggap tidak ramah lingkungan dan berkelanjutan, yang
berakibat padapeningkatan harga barang akibat penerapan standar lingkungan yang lebih ketat
dan penerapan teknologi yang lebih ramah lingkungan. Pendapat ini tidak seluruhnya salah
karena perubahan kepada pertumbuhan dan perekomian hijau tersebut akan mengakibatkan: (i)
tergantikannya/hilangnya kegiatan yang selama ini tidak ramah lingkungan; (ii) penurunan
standar kualitas lingkungan akan menambah biaya produksi; (iii) penerapan teknologi baru akan
membutuhkan investasi baru bagi perusahaan sehingga akan meningkatkan biaya produksi.
Namun pendapat ini tidak seluruhnya benar karena: (i) biaya produksi dan harga yang
selama ini diterapkan bukan merupakan biaya dan harga yang benar karena selama ini biaya
dampak terhadap lingkungan tidak diperhitungkan dalam biaya produksi, namun dibebankan
kepada masyarakat (pihak lain); (ii) penerapan ekonomi hijau belum tentu menghilangkan suatu
industri seluruhnya, kemungkinan hanya mengganti cara kerja atau beberapa jenis
pekerjaan/pekerja tertentu; (iii) terdapat peluang timbulnya pekerjaan baru dalam industri yang
sama atau peluang produk baru yang dapat dikembangkan.
Dengan demikian, secara konseptual, pekerjaan hijau/green jobsdapat dipengaruhi oleh
empat (4) hal berikut :
1).
contoh yang dapat diberikan adalah: (i) pekerjaan yang dapat membantu melindungi
ekosistem termasuk di dalamnya keragaman jenis dan keragaman genetika; (ii) pekerjaan
yang berkaitan dengan peningkatan efisiensi/penghematan energi, penghematan
materi/bahan, dan konsumsi air yang efisien tinggi; (iii) pekerjaan terkait dengan upaya
penurunan emisi karbon dalam ekonomi; serta (iv) pekerjaan yang berkaitan
denganpengurangan atau pencegahan pembuatan segala bentuk limbah dan polusi.
2).
3).
Beberapa pekerjaan tertentu mungkin hilang tanpa langsung diganti karena teknologi
yang digunakan sudah tidak memenuhi syarat, bahan produksi tertentu/kemasan sudah
tidak boleh digunakan/dilarang di proses/pembuatannya dihentikan.
4).
Banyak profesi yang ada akan ditransformasikan(seperti tukang pipa, elektrisi, tukang
logam, dan pekerja konstruksi) dan ditetapkan kembali kriteria/kompetensi baru karena
keterampilan yang bersangkutan atau metoda kerja sudah dihijaukan.
Dengan definisi di atas, maka proses perubahan dari pekerjaan yang ada saat ini ke
pekerjaan yang ramah lingkungan/hijau dapat menghasilkan hasil positif berupa peluasan
kesempatan kerja atau negatif berupa pengurangan kesempatan tergantung dari kesiapan kita
untuk mempersiapkan kegiatan sektor untuk menerapkan kegiatan-kegiatan hijau. Untuk itu,
dengan berbagai perubahan kegiatan yang ada di berbagai sektor, sebetulnya telah terjadi
penciptaan pekerjaan hijau. Berbagai peraturan mengenai standar lingkungan dan penerapannya
di berbagai perusahaan akan mengembangkan kebutuhan perusahaan untuk lebih memperhatikan
dampak dari kegiatan mereka terhadap lingkungan (Gambar 7.1). Dengan demikian, perusahaan
akan merekrut dan mempekerjakan pegawai dan bahkan membuat unit kerja yang menangani
penggunaan bahan yang ramah lingkungan, proses produksi yang ramah lingkungan dan
pengelolaan limbah agar tidak membahayakan lingkungan.
Pada waktu yang bersamaan, green jobs juga dapat memberikan kualitas pekerjaan yang
lebih baik kepada pekerja, karena kesadaran lingkungan akan dapat meningkatkan pula
keamanan dalam pekerjaan.
94 | P a g e
kualitas pekerjaan dan sehingga dapat pula menarik angkatan kerja muda untuk menggeluti
pekerjaan-pekerjaan yang semula dinilai kotor, membahayakan dan tidak memberikan
prestige. Sehubungan dengan itu, penegakan peraturan lingkungan akan memiliki 3 (tiga)
manfaat yaitu: (i) menghasilkan kualitas lingkungan yang lebih baik; (ii) menambah lapangan
pekerjaan baru yaitu pekerjaan hijau; dan (iii)menghasilkan pekerjaan yang lebih aman dan
berkualitas (decent job). Ketiga hal ini saling berkaitan dan memiliki saling ketergantungan
(Gambar 7.1).
KEGIATAN/USAHA
HIJAU (GREEN
BUSINESS)
PEKERJAAN HIJAU
(GREEN JOBS)
PEKERJAAN AMAN
DAN BERKUALITAS
(DECENT JOBS)
Sebagai contoh, produksi pertanian yang semakin ditinggalkan oleh generasi muda, akan
dapat membuat generasi muda kembali ke pertanian dengan adanya penerapan pertanian
berkelanjutan yang tidak hanya memperhatikan penggunaan input produksi ramah lingkungan,
namun juga menggunakan varietas lokal yang memiliki nilai (karena rasa dan ciri khas) premium
serta menerapkan social network dengan masyarakat setempat. Dalam pekerjaan seperti ini,
maka generasi muda akan memiliki tempat dalam rantai pertanian berkelanjutan, karena ada
celah pekerjaan yang tidak hanya mencangkul dan menanam, namun menerapkan unsur
teknologi dan proses ramah lingkungan serta pemanfaatan keanekaragaman hayati yang
keseluruhannya memberikan posisi tertentu pada profesidan pekerjaan tersebut. Ini peluang
yang dapat dimanfaatkan untuk perluasan jumlah dan jenis lapangan kerja baru.
95 | P a g e
NEGARA
DAMPAK TERHADAP KK
Amerika
Serikat
Spanyol
Stimulus fiskal
Uni Eropa
Kolombia
dan negaranegara
7.2.
belum didukung dengan infrastruktur baik infrastruktur, fisik maupun non fisik yang
memudahkan wisatawan menikmati kekayaan ini.
Kedua, adalah kegiatan ekonomi yang berbasis pada budaya yangdapat dikelola menjadi
wisata yang berbasis: (i) Pemandangan, misalnya karena masyarakat ini memiliki rumah dengan
arsitektur tertentu atau cara hidup tertentu yang tercermin pada penataan permukiman; (ii)
Kerajinan tangan baik berupa kriya (patung, logam, kayu, keramik) maupun berupa tenun, batik,
lurik songket dll: (iii) basis performing arts yaitu tari-tarian, drama, pertunjukan musik
tradisional dll. Keseluruhan paket ini perlu dikemas dan diiringi dengan narasi serta sejarah
yang baik dan benar sehingga tidak hanya memberikan nilai hiburan namun juga pengetahuan
sejarah. Manfaat dari pengelolaan ini adalah juga pelestarian budaya.
Ketiga, adalah kekayaan budaya yang terkait antara keanekaragaman hayati dan budaya
atau creative knowledge, yaitu jamu tradisional, baik yang bersifat kuratif, suplemen maupun
bahan kosmetik. Sudah bukan rahasia umum bahwa masyarakat Indonesia memiliki berbagai
jenis jamu. Jamu ada yang berasal dari masyarakat Jawa, ada yang berasal dari masyarakat
Madura, Kalimantan dst.
tradisional, atau bahan kesehatan dan kebugaran berupa minuman atau campuran
makanan/suplemen, atau resep jamu untuk kecantikan berupa bedak, lulur dan bahan spa lainnya.
Kita memiliki perusahaan jamu terkenal seperti Sido Muncul, Jamu Cap Jago, Nyonya Meneer,
Cap Orang Tua dll. Namun kita juga memiliki perusahaan kostmetik seperti Sari Ayu dan
Mustika Ratu. Selanjutnya kita juga memiliki berbagai pabrik suplemen seperti untuk produk
tablet kulit manggis dan sejenisnya. Ini baru sebagian kecil pelaku usaha, namun masih banyak
pelaku usaha yang berskala mikro dan rumah tangga yang juga mengusahakan produk serupa.
Potensi ini perlu dikelola dengan baik untuk menghasilkan industri hijau berbasis
keanekaragaman hayati.
Keempat, dengan kekayaan tersebut, maka banyak profesi yang terlibat dalam produksi
dan komoditas hijau tersebut termasuk industri jasa yang mendukung pemasaran dan distribusi
perdagangannya.Indonesia didukung oleh GIZ, Jerman dan ILO pada tahun 2010-2011 sudah
melakukan identifikasi awal untuk mendefinisikan dan mendalami keberadaan green jobs ini.
Gambaran yang diperoleh adalah bahwa pada saat ini terdapat7,2 juta pekerja di pertanian; 12
ribu di pertambangan dan 32 ribu di pariwisata serta 1,4 juta di industrimanufaktur dan 2,2 juta
di transportasi. Jumlah ini masih terbatas apabila dibandingkan dengan jumlah angkatan kerja
97 | P a g e
sebesar 121 juta yang ada, karena dalam melakukan identifikasi masih dihadapi beberapa
tantangan. Pertama tidak adanya data yang tersedia karena belum ada klasifikasi data untuk
pekerjaan hijau. Kedua, kegiatan hijau dalam sektor informal masih sangat banyak dan ini
belum dapat diidentifikasi dan dihitung, karena sektor informal tidak/belummasuk dalam
penghitungan data statistiksecara lebih detil (masih dalam satu kelompok sektor informal).Dari
Tabel 7.2 tentang persebaran angkatan kerja, belum dpat diketahui secara keseluruhan berapa
pekerja dalam berbagai sektor tersebut yang sudah memiliki kategori hijau atau sektoryang sudah
hijau.
Dengan kata lain, apabila sektor-sektor tersebut sudah hijau, maka seluruh jumlah
pekerjaan sudah akan menjadi pekerjaan hijau dan akan terdapat penambahan lain dari
penambahan karena pertumbuhan sektortersebut dan penambahan karena adanya profesi baru.
Secara nasional inilah yang perlu diketahui lebih lanjut dan dikelola dengan sistematis.
Tabel 7.2 Persebaran komposisi tenaga kerja
dalam berbagai sektor tahun 2012
Sektor
Persentase (%)
Pertanian (termasuk kehutanan,
35
perikanan, perkebunan)
Industri
14
Konstruksi
6
Perdagangan
21
Energi and Transportasi
5
Jasa Keuangan
2.5
Jasa Sosial dan jasa lainnya
16.5
Sumber: Webisite BPS, www.bps.go.id
Dalam pelaksanaan kebijakan tersebut, green jobs di Indonesia kita meliputi berbagai
sektor, terutama untuk energi terbarukan, konservasi energi, pengurangan sampah dan daur
ulang, kehutanan/hutan tanaman, perikanan, pertanian, transportasi, penambangan dan
pemanfaatan jasa lingkungan.
Konservasi Energi.Dibidang konservasi energi seperti penghematan bahan bakar fosil
umumnya membutuhkan teknologi, peluang green jobs di bidang ini tentunya akan semakin
terbuka untuk mengembangkan dan menemukan inovasi teknologi baru yang dibuat dan
diterapkan dengan ramah lingkungan.
98 | P a g e
Energi terbarukan. Inovator-inovator muda yang ada di Indonesia merupakan aset bagi
pengembangan green jobs, misalkan saja beberapa anak muda Indonesia sudah mulai
menerapkan pemanfaatan buah maja untuk bioetanol, kulit buah nangka yang dijadikan sebagai
air accu untuk energi listrik, ataupun rumput laut yang digunakan sebagai bahan pengganti
karbon batu batere, merupakan alternatif yang dapat menciptakan lapangan pekerjaan.
Disamping kebutuhan tenaga kerja dibidang panel surya, mikro hidro, yang tentunya semakin
berkembang seiring dengan kebijakan energi alternatif terbarukan yang terus ditingkatkan. Salah
satu contoh Kab. Bandung menyediakan 14 hektar lahan untuk pabrik panel surya yang
berpeluang menyerah kurang lebih 2.550 pekerja (Gunawan, Hendra, 2012).
Kehutanan. Sektor kehutanan di Indonesia berkontribusi dalam penyerapan tenaga kerja
langsung sekitar 2,35 juta yaitu dari: industri kayu lapis (492.500 orang); meubel (472.000
orang);
industri/HTI (185.000 orang); hutan yang dikelola oleh pengusaha HPH (576.521 orang);
kerajinan (70.000 orang). Kegiatan di sektor kehutanan yang akan berkembang di kemudian hari
dan menyediakan lapangan kerja baru adalah pemanfaatan limbah industri kehutanan untuk
bahan baku pellet (bahan bakar alternatif). Selain tenaga kerja langsung dalam industri, sektor
kehutanan juga berpotensi menyerap tenagajasa seperti: tenaga-tenaga assesor kehutanan untuk
melakukan assessment pengelolaan hutan berkelanjutan (sustainable forestry) dan ahli perbibitan
yang lebih besar lagi, disamping pekerja pertanaman.
Pengurangan Limbah dan Daur Ulang, ragam usaha daur ulang sudah menyebar di Indonesia
dari berbagai skala mulai dari komunitas, usaha rumahan, sampai ke industri. Di skala industri salah satu
industri di Bandung mengolah limbah garmen dari sekitar 100 perusahaan dengan menggunakan mesinmesin dari luar (Perancis, Swiss) menjadi produk yang bermanfaat sekaligus menciptakan nilai ekonomi.
Limbah tekstil tersebut diolah menjadi menjadi bahan utama yang digunakan sebagai isi bantal, kasur,
jok sepeda motor dan roda empat, isi boneka pengganti dakron, sarung, penghapus billboard, dan aneka
produk yang ekonomis. Salah satu contoh pengolahan limbah pertanian agroindustri pengrajin eceng
gondok (Kotak 7.1).
lingkungan dalam jangka panjang. Manfaat ganda yang timbul dari pemeliharaan persawahan
oleh petani, pemeliharaan hutan oleh pemerintah dan masyarakat selama ini sudah banyak
diperbincangkan, namun belum dinilai dan dimanfaatkan secara tangible nilai ekonominya.
Padahal hasil dari upaya rehabilitasi, restorasi dan pengelolaan ekosistem secara berkelanjutan
termasuk sungai dapat diwujudkan dalam bentuk pendapatan masyarat dan negara. Dalam kaitan
ini pembayaran jasa lingkungan/payment for environmenal services berupa potensi perdagangan
karbon, pengelolaan keanekaragaman hayati yang dikaitkan pula dengan wisata alam, wisata
bahari dll akan membutuhkan keahlian dan tenaga kerja/profesi baru. Kebutuhan tenaga-tenaga
ahli muda dalam bidang konservasi dan memahami jasa lingkungan serta pemasaran untuk
mendapatkan nilai ekonomi saat ini sudah mulai ada namun masih terbatas dan belum mendapat
pengakuan sebagai salah satu profesi baru. Selain itu, keahlian para scientist yang selama ini
hanya meneliti saja dan secara terbatas sudah mulai mengembangkan hasil penelitiannya menjadi
produk belum terwadahi dan dikelola dengan baik; terutama keterkaitannya dengan pengusaha
yang mengembangkan hasil riset dalam skala industri.
100 | P a g e
Pengembangan green jobs tentu saja tidak hanya pada sektor-sektor publik saja, namun
juga sektor usaha termasuk usaha kecil. Pada saat ini dengan berkembangnya teknologi
informasi, banyak usaha-usaha tidak dimulai dengan produksi secara besar-besaran.Banyak
tenaga muda mengembangkan kreativitas mereka termasuk dalam memanfaatkan sumberdaya
alam dan lingkungan untuk pendapatan mereka serta memasarkan melalui internet (on line).
Menyadari hal ini, maka jiwa kewirausahaan sangat berkaitan dengan pengembangnan ekonomi
hijau dan lapangan pekerjaan hijau. Salah satu cabang dari kewirausahaan yang sedang
berkembang adalah dan dikaji adalah ecopreneurship. Kewirausahaan ini terkait dengan isu-isu
permasalahan lingkungan, permintaan yang meningkat akan produk-produk ramah lingkungan
serta kesadaran masyarakat dan pemerintah yang meningkat akan keberlanjutan dalam ekosistem
dan pembangunan. Kewirausahaan merupakan kunci dalam menciptakan inovasi (Casson et al
101 | P a g e
2006; Porter 1990 dalamSuprihatin 2011), termasuk di dalamnya inovasi yang terkait dengan
pemanfaatan ekonomi dari alam dan eksosistem di dalamnya (Kotak 7.2).
Kotak 7.2 Ecoentrepenurship
Ecopreneur adalah wirausaha yang peduli dengan masalah lingkungan atau kelestarian lingkungan. Dengan
demikian dalam menjalankan kegiatan usahanya, mereka juga selalu memperhatikan daya dukung lingkungan
dan berusaha meminimalisasikan dampak kegiatannya terhadap lingkungan.Ecopreneurship menyangkut tiga
dimensi penting yaitu masyarakat dan sosial (society/social), ekonomi (economy) dan ekologi/lingkungan
(ecology/environmental) (Dixon dan Clifford 2006 dalam Suprihatin 2011).
Berdasarkan tujuannya, ecopreneurs dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok yaitu social ecopreneur
dan commercial entrepreneurs (Pastakia 1998 dalam Suprehatin 2011). Social ecopreneur adalah individu
yang bertujuan mempromoskan ide/produk/teknologi ramah lingkungan (eco-friendly) baik melalui pasar
maupun nonpasar, sedangkan sebuah organisasi yang memiliki tujuan yang sama dikenal dengan social
ecopreneurial organization. Commercial ecopreneurs atau ecopreneurial corporations yaitu
individu/kelompok atau perusahaan yang bertujuan memaksimumkan keuntungan pribadi (organisasi untuk
perusahaan) dengan mengidentifikasi peluang green business (produk dan proses yang ramah lingkungan)
dan mengubahnya ke bisnis yang menguntungkan.
Di dalam konsep ecopreneurship dikenal beberapa jenis yaitu green entrepreneurship, sustainable
entrepreneurship dan environmental entrepreneurship. Schal tegger (2002) secara singkat mendefinisikan
ecopreneurship sebagai entrepreneurship through an environmental lens. Menurut Walley dan Taylor (2002)
ecopreneurship dapat diacu pada pengertian green concept yaitu moving towards environmental or ecological
sustainability baik pada produk maupun proses. Ecopreneurship dapat dilihat pada aspek individu maupun
perusahaan (organisasi). Individu wirausaha ekologi (atau Eco-Entrepreneur yang disingkat Ecopreneur)
adalah seseorang yang mempertunjukkan semangat kewirausahaan dalam mempromosikan dan mendukung
proyek inovatif yang membantu melindungi lingkungan alam, ekosistem dan spesies yang terancam punah di
dunia."
Contoh sektor yang berkembang terkait dengan ecopreneurship adalah agribisnis. Kesadaran masyarakat
mulai mendorong produsen pangan untuk menghasilkan produk yang diinginkan oleh konsumen seperti aman
dikonsumsi (food safety attributes), memiliki kandungan nutrisi tinggi (nutritional attributes) dan ramah
lingkungan (eco-labelling attributes). Salah satu contoh produk pangan yang memiliki ketiga atribut tersebut
adalah produk pertanian organik. Masyarakat yang mulai sadar akan pentingnya ketiga atribut tersebut (green
consumer) akan rela membayar lebih tinggi untuk produk-produk organik.
]>
^*+&Z
Untuk mengembangkan kewirausahaan ini, telah ada Inpres No.4/1995 tentang Gerakan
Nasional Memasyarakatkan dan Membudayakan Kewirausahaan, dan merupakan salah satu
prioritas dalam pembangunan nasional Indonesia.
102 | P a g e
Keseluruhan pengembangan ekonomi hijau tersebut di atas dan termasuk tenaga kerja
hijau (green jobs) memerlukan kebijakan yang tepat. Dalam kaitan ini, langkah-langkah yang
perlu dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah menyusun kerangka pengembangan dan
pengelolaan green jobs yang terdiri dari: (i) Menciptakan kerangka pengembangan dan kebijakan
untuk berkembangnya pekerjaan hijau; (ii) Menghijaukan atau menginternalisasikan kebijakan
pengendalian lingkungan ke dalam proses usaha/kegiatan ekonomi serta mengembangkan sektor
hijau lainnya (eko-budaya wisata); (iii) Melakukan pembinaan di tingkat nasional dan wilayah
serta daerah; dan (iv) Mengembangkan kriteria/standar kompetensi pekerjaan hijau seiring
Kotak7.3 Peraturan mengarah ke Pekerjaan hijau*
1.
dengan
penerapan
dan
pengawasan,
yang
mendukung
ke
arah
sebagaimana
7.3Penegakan
dalam
penerapan
Kotak
peraturan
7.3.
penerapan usaha ekonomi hijau di Indonesia, yang berkaitan dengan masih rendahnya penegakan
peraturan pencemaran dan pengendalian kualitas lingkungan serta berbagai standar kualitas lingkungan
lainnya.Hal ini mengakibatkan bahwa kegiatan yang ramah lingkungan dan upaya untuk memperhatikan
standar kualitas lingkungan masih dinilai sebagai kegiatan yang mahal dan membawa dampak pada
mahalnya produk yang ramah lingkungan/hijau.
103 | P a g e
mendorong melalui: (i) Mempromosikan dan menerapkan pola produksi yang berkelanjutan
terutama di sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di delapan sektor usaha ramah
lingkungan"; (ii) Memperbaiki jaminan sosial, meningkatkan pendapatan dan keahlian pekerja
agar mereka bisa mengambil peluang dan manfaat dari peralihan ke ekonomi hijau; (iii)
Menerapkan standar kerja internasional dan menghargai hak-hak pekerja; dan (iv) Menjalin
dialog dengan pengusaha dan serikat pekerja yang menjadi kunci tata kelola pembangunan yang
berkelanjutan (Gambar 7.2)
104 | P a g e
8 sektor kunci
dalam ekonomi
hijau adalah:
a. pertanian
b. kehutanan
c. perikanan
d. energi
e. manufaktur
f. daur ulang
g. properti
h. transportasi
Jka dikelola dengan baik, peralihan dari kegiatan ekonomi saat ini ke
ekonomi hijau dapat mencipatakan lapangan kerja lebih besar, luas dan
lebih baik.
Gambar 7.2. Kerangka pengembangan pekerjaan hijau/green jobs
105 | P a g e
106 | P a g e
8.1.
Dalam kerangka ekonomi hijau, Asia sudah memulai green industry initiatives sejak
tahun 2005 di Seoul yang merupakan pertemuan pertama di Asia yang mensinergikan antara
keberlanjutan lingkungan dengan pertumbuhan ekonomi.
mengenai green industry dilaksanakan pada tahun 2009 di Manila dan difasilitasi oleh UNIDO
melahirkan Green Industry Initiatives in Asia. Inisiatif ini merupakan kerjasama pemerintah dan
industri untukmenyediakan bantuan/assistance kepada perusahaan dan pengusaha dalam segala
aspek berkaitan dengan green industry. Dalam inisiatif tersebut Tema jangka panjang yang
adalah: Environment and Energy, yang menginginkan adanya perubahan fundamental pada
disain dan teknologi yang menyediakan resource sustainability. Visi jangka panjang untuk
resource sustainabilitymencakup 4 tahap yaitu: (i). penurunan penggunaan materia dan energi
secara berlanjut melalui proses produksi lebih bersih untuk meningkatkan efisiensi dan
menurunkan limbah berbahaya dan beracun secara berlebihan (affluent); (ii). perubahan ke arah
siklus penggunaan bahan/material dengan meningkatkan re-use dan re-cycling secara terus
menerus; (iii) perubahan/shifting dari non-renewable ke renewable sumber energi; dan (iv)
perubahan dari penjualan produk ke penjualan jasa (manfaat barang).
Dari perkembangan di atas dan keterlibatan di berbagai forum, maka di Indoneia industri
hijau yang diterjemakan sebagai: industri yang dalam proses produksinya mengutamakan upaya
efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya secara berkelanjutan sehingga mampu
menyelaraskan pembangunan industri dengan kelestarian fungsi lingkungan hidup serta dapat
memberi manfaat bagi masyarakat.
didefinisikan sebagai:
a.
Industri Hijau mengubah sektor manufaktur dan jenis industri lainnya untuk berkontribusi
lebih efektif dalam pembangunan industri yang berkelanjutan, dan merupakan sektor
strategis untuk merealisasikan ekonomi hijau dan pertumbuhan hijau di sektor industri.
107 | P a g e
8.2.
Penerapan prinsip berkelanjutan untuk membentuk industri hijau sangat penting untuk
mendukung penerapan ekonomi hijau dan pembangunan berkelanjutan secara lebih luas. Hal ini
disebabkan oleh sumbangan sektor industri yang cukup signifikan dalam perekonomian
Indonesia. Sektor industri, selama ini memberikan sumbangan kepada PDB Indonesia dalam
jumlah yang cukup signifikan, yaitu sekitar 25-28 persen. Hal ini semakin penting dalam dua
dekade terakhir, seiring dengan upaya pemerintah untuk meningkatkan porsi pendapatan dari
sektor non-migas.Untuk itu, pertumbuhan sektor industri di segala bidang didorong hingga
mencapai 8,5 persen pada tahun 2014 dan diharapkan akan terus naik hingga rata-rata sebesar
9,75 persen pada periode 2020-2025.
Kebijakan lain yang mendorong penerapan ekonomi hijau pada sektor industri adalah
Perpres No, 28/2008 tentang Kebijakan Industri Nasional, yang menetapkan visi pembangunan
di bidang industri yaitu:
Menjadikan Indonesia sebagai negara Industri Tangguh di Dunia pada Tahun 2025.
Sasaran jangka pendek tahun 2014 yaitu pemantapan daya saing basis industri
manufaktur yang berkelanjutan serta terbangunnya pilar industri andalan masa depan
Dalam Pepres No 28 tahun 2008 disebutkan bahwa sejalan dengan 3 pilar pembangunan
berkelanjutan, maka fokus pembangunan industri dalam masing-masing pilar tersebut adalah: (i)
Pilar ekonomi bagaimana pembangunan industri yang mampu menghasilkan barang yang
dibutuhkan pasar secara kontinyu, memberikan kontribusi terhadap PDB Nasional, dan
menyerap tenaga kerja; (ii) Lingkungan bagaimana pembangunan industri yang mampu menjaga
keseimbangan ekosistem, memelihara sumberdaya yang berkelanjutan, menghindari eksploitasi
sumberdaya alam dan menjaga fungsi pelestarian lingkungan); dan (iii) Sosial bagaimana
pembangunan industri yang mampu berkontribusi pada masyarakat, seperti peningkatan
pendidikan, kesehatan dan keamanan).
Selanjutnya, arah kebijakan Umum Pembangunan Industri Indonesia adalah :
a.
industri
Pemerataan Industri, melalui pengembangan dan penguatan industri kecil dan menengah
(pro growth danpro job)
109 | P a g e
c.
d.
110 | P a g e
adalah:
a.
kebijakan
dan
panduan
bagi
seluruh
pemangku
kepentingan
dalam
mengembangkan industri hijau di Indonesia. Dokumen ini memuat visi, misi, roadmap
dan rencana aksi pengembangan industri hijau sampai tahun 2030.
b.
Konservasi energi dan pengurangan emisi CO2 di sektor industri. Sektor industri
merupakan pengguna energi terbesar, dimana 47% energi nasional dikonsumsi oleh
kegiatan industri. Kebutuhan energi terus meningkat, sementara cadangan sumber energi
semakin menipis. sehingga harus ditingkatkan upaya konservasi dan diversifikasi energi
sehingga dapat terjaga keberlanjutan sektor industri, disamping untuk memenuhi
komitmen pemerintah Indonesia untuk penurunan emisi gas rumah kaca (GRK).
c.
Penggunaan mesin ramah lingkungan. Program ini telah dimulai dengan melakukan
restrukturisasi permesinan untuk industri tekstil dan produk tekstil, alas kaki, dan gula.
Kondisi permesinan di beberapa jenis industri seperti tekstil, alas kaki, dan gula sudah tua
sehingga boros dalam penggunaan sumber daya dan menurunkan tingkat efisiensi
produksi. Untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas, Kementerian Perindustrian
melakukan program restrukturisasi permesinan dengan memberi bantuan pembiayaan
kepada industri untuk pembelian mesin-mesin baru. Program yang dimulai sejak tahun
2007 telah memberikan dampak yang signifikan terhadap peningkatan produktivitas,
efisiensi penggunaan sumber daya (bahan baku, energi dan air) serta mampu
meningkatkan penyerapan tenaga kerja.
d.
Menyiapkan standar industri hijau. Penyusunan standar industri hijau bertujuan untuk
melindungi kepentingan perusahaan industri dan konsumen serta meningkatkan daya
saing industri nasional dalam persaingan global. Kegiatan ini telah dimulai pada tahun
2012 dengan menyusun standar industri hijau untuk komoditi industri keramik dan
industri tekstil. Penyusunan standar ini akan dilakukan secara bertahap untuk semua
komoditi industri. Standar industri hijau pada awalnya akan bersifat sukarela (voluntary),
111 | P a g e
tetapi seiring dengan berkembangnya tuntutan pasar di masa depan dapat juga
diberlakukan secara wajib (mandatory).
e.
Menyiapkan lembaga sertifikasi industri hijau. Bagi perusahaan industri yang telah
memenuhi standar industri hijau akan diberikan sertifikat oleh suatu lembaga sertifikasi
yang telah terakreditasi. Saat ini Kementerian Perindustrian sedang dalam proses
penyiapan mekanisme dan lembaga sertifikasi yang nantinya dapat diakui baik secara
nasional maupun internasional.
f.
Menyiapkan insentif bagi industri hijau. Salah satu aspek penting dalam mendorong
pengembangan industri hijau adalah perlunya pemberian stimulus berupa insentif (fiskal
dan non fiskal) bagi pelaku industri untuk mendorong dan mempromosikan iklim
investasi bagi pengembangan industri hijau. Investasi untuk industri hijau sangat besar,
salah satunya adalah karena diperlukan penggantian mesin produksi dengan teknologi
yang ramah lingkungan, oleh sebab itu diperlukan insentif dari pemerintah agar industri
tetap bisa tumbuh dan berkembang di Indonesia. Tanpa dukungan insentif, dikhawatirkan
industri bakal kalah bersaing, khususnya di pasar dalam negeri.
g.
produksi bersih (cleaner production) melalui aplikasi 4R, yaitu Reduce (pengurangan
limbah pada sumbernya), Reuse (penggunaan kembali limbah), dan Recycle (daur ulang
limbah), dan Recovery (pemisahan suatu bahan atau energi dari suatu limbah). Untuk
lebih mengefektifkan aplikasi penerapan produksi bersih, prinsip Rethink (konsep
pemikiran pada awal operasional kegiatan) dapat ditambahkan sehingga menjadi 5R.
Disamping itu, produksi bersih juga melibatkan upaya-upaya untuk meningkatkan
efisiensi penggunaan bahan baku, bahan penunjang dan energi di seluruh tahapan
produksi. Dengan menerapkan konsep produksi bersih, diharapkan sumber daya alam
dapat lebih dilindungi dan dimanfaatkan secara berkelanjutan. Secara singkat, produksi
bersih memberikan dua keuntungan, pertama efisiensi dalam proses produksi; dan kedua
adalah meminimisasi terbentuknya limbah, sehingga dapat melindungi kelestarian
lingkungan hidup.
Produksi bersih juga menghendaki adanya perubahan dalam pola produksi dan konsumsi,
baik pada proses maupun produk yang dihasilkan. Selain itu perlu dilakukan perubahan
pola pikir, sikap dan tingkah laku dari semua pihak agar menerapkan aplikasi teknologi
112 | P a g e
ramah lingkungan, manajemen dan prosedur standar operasi sesuai dengan persyaratan
yang ditetapkan. Berdasarkan hasil implementasi, produksi bersih ini teruji mampu
mengurangi terjadinya kerusakan dan pencemaran lingkungan sekaligus meningkatkan
daya saing sektor industri karena selain mengurangi biaya produksi dan biaya pengolahan
limbah juga akan memperbaiki efisiensi industri.
Penerapan produksi bersih di sektor industri telah dimulai sejak tahun 1990an. Berbagai
program telah dikembangkan oleh Kementerian Perindustrian untuk mendorong pelaku
industri menerapkan produksi bersih, terutama untuk mendorong pelaku IKM agar
menerapkan produksi bersih. Program-program yang telah dilakukan diantaranya adalah
menyusun pedoman teknis produksi bersih untuk beberapa komoditi industri dan
memberikan bantuan teknis kepada beberapa industri.
h.
penggunaan
sumber
daya
secara
berkelanjutan
sehingga
mampu
(IUBTT)
113 | P a g e
lebih komprehensif, pada saat ini Kementerian Lingkungan Hidup sudah hampir menyelesaikan
strategi nasional untuk Sustainable Consumption and Production (SCP).
8.3.
Permasalahan industri nasional dalam penerapan ekonomi hijau di Indonesia antara lain
adalah bahwa sebagian teknologi dan mesin sudah ketinggalan jaman/obsolate sehingga memiliki
efisiensi sangat rendah dan tingkat emisi tinggi serta adanya ketergantungan terhadap bahan baku
mengakibatkan penurunan daya dukung lingkungan dan beban emisi serta pembuangan limbah
semakin tinggi, mempersulit pengelolaan industri yang berkelanjutan karena ruang sudah tidak
memadai. Selain itu, sumberdaya berada di luar pulau Jawa memerlukan pengangkutan sehingga
menciptakan inefisiensi dari sisi logistik dan menjadi mahal.Di tingkat global, tuntutan agar
diterapkannya standar industri yang menitikberatkan pada upaya efisiensi bahan baku, air dan
energi, diversifikasi energi, eco-design dan teknologi rendah karbon dengan sasaran peningkatan
produktivitas dan minimalisasi limbah, semakin tinggi.
Isu lingkungan saat ini menjadi salah satu kriteria teknis untuk menghambat perdagangan
(barriers to trade) untuk penetrasi pasar suatu negara. Barrier tersebut dilaksanakan dengan cara
menerapkan berbagai macam standar, baik itu standar international (ISO, ekolabel) maupun
persyaratan pembeli (buyers requirement). Oleh karena itu, dunia usaha perlu mengantisipasi
hambatan yang diterapkan oleh beberapa negara tujuan ekspor produk Indonesia.
Selanjutnya, tantangan yang dihadapi untuk mengembangkan sektor industri adalah
bahwa hampir 80% produk industri nasional telah berhasil menembus pasar global khususnya
negara maju yaitu Eropa , USA, Jepang dan lain-lain, dan hanya sekitar 20% berorientasi ke
pasar dalam negeri dan ekspor ke negara berkembang. Dengan meningkatnya penerapan
standarproduk yang ramah lingkungan (eco product), maka apabila perubahan ke industri hijau
tidak dilakukan, maka Indonesia akan kehilangan nilai ekspor yang signifikan.
Beberapa
114 | P a g e
b.
c.
Suku bunga bank komersil masih tinggi dan terbatasnya industri permesinan nasional
untuk mendukung pengembangan industri hijau.
d.
Terbatasnya SDM yang kompeten dalam penerapan industri hijau. Sebagai informasi,
pertumbuhan sektor industri juga diperkirakan mencapai 6,7 persen dengan penyerapan
tenaga kerja sebanyak 15,4 juta atau 13,9 persen dari total tenaga kerja nasional.
e.
115 | P a g e
116 | P a g e
dan
kesehatannya.Kenyamanan
dapat
dicerminkan
kemudahan
masyarakat bergerak dari satu tempat ke tempat lain, kemudahan untuk mendapatkan barang dan
kebutuhan, serta keterjangkauannya. Hal ini terkait dengan tata kota dan tata letak berbagai
tempat pemenuhan kebutuhan, misalnya tempat tinggal dengan sekolah, tempat tinggal dengan
tempat berbelanja (pasar), tempat tinggal dengan tempat rekreasi dsb.Keindahan juga dituntut
karena dalam melakukan pergerakan masyarakat ingin memiliki pemandangan yang enak dan
nyaman dilihat. Hal ini dijawab dengan adanya perkembangan gedung-gedung dengan arsitektur
indah, tata letak antara satu gedung dengan gedung lain dan keserasiannya.
Sejalan dengan itu, kebersihan juga dituntut karena dengan semakin meningkatnya selera
mereka, masyarakat juga menginginkan lingkungan yang bersih, sampah yang terkelola dengan
baik dan wilayah yang tidak tergenang dsb. Kesegaran mulai dirasakan sebagai kebutuhan
ketika semua anggota masyarakat ingin tinggal di tempat dekat dengan tempat bekerja, sekolah
dll yang mengakibatkan hunian menumpuk di suatu lokasi, sehingga kepadatan penduduk di
suatu wilayah akan semakin mampat dan udara tidak segar lagi. Berbagai penyebabnya adalah,
ruang penuh dengan hunian, pengelolaan sampah meskipun sementara sudah dekat dengan
tempat huni, udara tidak segar lagi karena sudah terlalu padat penduduk dan mobilitas tidak
nyaman karena wilayah cenderung padat dengan mobilitas warga disekitar hunian. Dengan tidak
segarnya wilayah maka kesehatan masyarakat menjadi kurang, tidak saja gangguan kesehatan
karena udara tidak segar namun juga berkurangnya ruang terbuka dan hijausehingga masyarakat
memilih tinggal di dalam ruangan dengan penyejuk ruangan. Untuk sekelompok masyarakat hal
ini dapat dilakukan, namun untuk masyarakat umum, udara tak segarmenjadi konsumsi seharihari yang dalam jangka menengah panjang dapat mengganggu kesehatan mereka.
117 | P a g e
Sejalan dengan perkembangan ini maka, hunian di kota menjadi tidak nyaman. Kota hanya
menjadi tempat mencari nafkah namun tidak menjadi tempat hunian yang nyaman. Fenomena
ini sudah terjadi di Jakarta sebagaimana di kota kota besar lain. Kota seperti Jakarta misalnya
tidak dirancang untuk melayani mobilitas penduduk lebih dari 10 juta orang. Dengan jumlah
hampir 10 juta penduduk saat ini, ditambah dengan 4-6 juta penduduk yang menglaju/commute
dari berbagai kota sekitar Jakarta, menjadikan Jakarta sangatlah sesak. Kedekatan jangkauan
terhadap pusat-pusat perekonomian di perkotaan, menjadikan daya tarik lain sehingga sebagian
penduduk lebih memilih tinggal di kota, meski mereka terpaksa tinggal di ruang yang sangat
terbatas. Akibatnya, area-area kumuh, dengan fasilitas kehidupan dan kebutuhan umum yang
terbatas, menjadi semakin meluas. Ruang publik menjadi hilang.Sebagai pusat pertumbuhan
ekonomi diperlukan lahan bagi pengembangan dan ekspansi kepentingan tersebut. Persoalannya,
ruang dan wilayah perkotaan jumlahnya tetap, sehingga untuk kepentingan ekonomi tersebut
harus menggunakan ruang wilayah fungsi kota lainnya, dan yang kerap dikorbankan adalah
ruang-ruang publik. Kemacetan merupakan masalah yang tidak mudah dipecahkan oleh para
pengambil kebijakan perkotaan. Masalah lainnya adalah masalah pemenuhan air bersih yang
semakin berkurang. Kenyamanan bukan lagi miliki kota (Prijono, Urbanisasi, Kompas, Senin 8
Mei 2000).
Fenonema seperti Jakarta juga semakin meluas, karena urbanisasi yang semula hanya
berarti perpindahan masyarakat dari desa ke kota, sudah mengarah ke perubahan perdesaan
menjadi perkotaan. Perubahan ini terjadi karena penduduk juga semakin menginginkan kualitas
kehidupan kota ada di kediaman mereka. Dengan tuntutan ini, seiring dengan peningkatan
kualitas kehidupan, maka pertumbuhan kota-kota juga semakin tinggi. Hal-hal inilah yang mulai
ditakutkan, karena pertumbuhan urbanisasisudah semakin pesat di berbagai belahan dunia. PBB
memperkirakan persentase jumlah penduduk Indonesia yang tinggal di wilayah perkotaan akan
meningkat dari sekitar 45% pada tahun 2005, menjadi 60,3% pada 2025. Angka tersebut tenyata
lebih besar dibandingkan Filipina (53,9%) dan Thailand (40,8%), namun masih lebih rendah
dibanding Malaysia (79,6%) dan Tiongkok (65,4%). Laju urbanisasi di Indonesia memang
memiliki angka pertumbuhan yang pesat dengan rata-rata mencapai 4.2%/tahun. Fenomena
tersebut melahirkan ide terbentuknya konsep green city (kota hijau) yang menjadi jargon saat
ini.Di seluruh dunia agar masing-masing kota memberi kontribusi terhadap penurunan emisi
karbon, meningkatkan kualitas lingkungan yang memberikan kenyaman dan kesehatan.
118 | P a g e
Kota hijau atau sering disebut kota yang ramah lingkungan, merupakan konsep kota yang
mengefektifkan dan mengefisiensikan sumberdaya air dan energi, mengurangi limbah,
menerapkan sistem transportasi terpadu, menjamin adanya kesehatan lingkungan, dan mampu
mensinergikan lingkungan alami dan buatan, yang berdasarkan perencanaan dan perancangan
kota yang berpihak pada prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan (lingkungan, sosial,
dan ekonomi).
Kota besar akan menjadi tempat yang penting dalam penerapan ekonomi hijau dengan tiga
alasan utama yaitu : (1) Kedekatan dan kepadatan, di perkotaan bermanfaat bagi produktivitas
perusahaan dan membantu merangsang inovasi baru; (2) Kegiatan industri hijau didominasi oleh
kegiatan pelayanan, seperti angkutan umum, penyediaan energi, instalasi dan perbaikan yang
cenderung terkonsentrasi di daerah perkotaan yang menjadi konsumen terbesar.; (3) Beberapa
kota juga akan mengembangkan teknologi tinggi yang terpusat, dimana laboratorium penelitian
umumnya berpusat di perkotaan.
9.2.
Untuk menghadapi perkembangan perkotaan yang semakin meningkat, dan dalam rangka
mendukung penurunan emisi di perkotaan, Pemerintah Indonesia mengembangkan konsep kota
hijau. Terdapat delapan (8) atribut yang ditetapkan untuk terwujudnya kota hijau, yaitu: (i)
perencanaan dan rancangan kota hijau; (ii) ruang terbuka; (iii) pembuangan limbah; (iv) alat
transportasi; (v) air bersih; (vi) sumber energi, serta (vii) bangunan dan (viii) masyarakat peduli
lingkungan. Konsep dan kriteria mengenai kota hijau penting untuk diterapkan di Indonesia
karena padasaat ini sekitar 52,03 persen penduduk Indonesia tinggal di perkotaan dan
diperkirakan pada tahun 2025 akan mencapai sekitar 68 persen. Pertumbuhan kota secara cepat
tersebut secara langsung akan berimplikasi terhadap timbulnya berbagai permasalahan perkotaan
seperti kemacetan, banjir, permukiman kumuh, kemiskinan, serta menurunnya luasan ruang
terbuka hijau.
Berkaitan dengan perencanaan dan rancangan kota hijau, telah dilandasi dengan Undangundang No. 26/ 2007 tentang Tentang Penataan Ruang. Didalam aturan tata ruang tersebut, telah
diatur mengenai keharusan pengaturan zona dalam suatu wilayah. Selain itu, di dalam UU ini
telah dimanatkan pula mengenai ruang terbuka.
Prop/Kab/Kota yang dalam proses penyusunan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah)
diwajibkan untuk memiliki proporsi 30% untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH), dan minimal 20%
untuk wilayah kota. Pengaturan ini dimaksudkan agar penataan ruang dapat mewujudkan
penataan ruang yang aman,nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Selanjutnya,
berkaitan
dengan air bersih, perkotaan juga paling banyak menggunakan air, tidak saja untuk air minum,
namun juga untuk kebutuhan sehari-hari. Dengan semakin banyaknya perumahan, gedunggedung perkantoran dll, maka area terbuka untuk resapan air semakin berkurang, padahal
kebutuhan air semakin meningkat. Untuk itu, pengelolaan air dan sumber daya air sudah diatur
di dalam UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
penggunaan air dan optimalisasi penampungan air hujan di bawah tanah telah diatur dalam Perda
Nomor 68 Tahun 2003. Demikian pula keberadaan dan pengaturan tentang gedung ramah
lingkungan juga telah diatur di dalam UU No. 28 Tahun 2002.
Pengelolaan kota yang bersih dan nyaman juga sudah diapresiasi melalui pemberian
penghargaan Adipura.
kriterian penilaian untuk: (i) pengelolaan sampah dan ruang terbuka hijau; (ii) pengendalian
pencemaran air; dan (iii) pengendalian pencemaran udara. Penilaian dilakukan secara fisik
(peninjauan) dan non fisik. Dengan penghargaan ini diharapkan kota-kota akan membenahi diri
agar nyaman dan sehat untuk masyarakat penghuninya (Kotak 9.1).
Pengendalian pencemaran udara terdiri atas: (a) penilaian non fisik, meliputi: (i) kegiatan pemantauan
kualitas udara dari emisi sumber bergerak; (ii) kegiatan mereduksi tingkat pencemaran udara dari emisi
sumber bergerak; dan (iii) kegiatan terkait dengan awareness terhadap isu pencemaran udara/kualitas
udara.(b)Pemantauan fisik, meliputi: (i) pengukuran pencemaran udara jalan raya (roadside); (ii) kinerja
lalu lintas perkotaan; (iii) uji emisi dan kebisingan kendaraan bermotor; (iv) kualitas bahan bakar ramah
lingkungan; (v) fasilitas pengujian kendaraan bermotor; (vi) monitoring udara ambien; (vii) manajemen
transportasi (keberadaan transportasi umum, fasilitas, intermoda, pelayanan); (viii) pemantauan
kebisingan kawasan (pelabuhan, bandara, stasiun, terminal); (ix) pemantauan kualitas udara kawasan
(pelabuhan, bandara, stasiun, terminal); dan ( x) pengolahan dan tabulasi data.
Sumber: website KLH
Warga Surabaya pun diingatkan bila menginginkan Piala Adipura kembali pada 2012, sebaiknya warga
Surabaya harus bekerja lebih keras. "Warga Surabaya harus kerja lebih keras daerah lain juga ingin
menjadi yang terbaik," katanya.
Dalam kesempatan itu Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya, Hidayat Syah
mengatakan, penilaian tertinggi syarat untuk bisa meraih Adipura adalah partisipasi masyarakat.
"Keterlibatan warga harus nyata, sehingga perlu terus diberi pengertian agar seluruh warga dengan
sukarela menjaga lingkungannya," katanya.Salah satu faktor keberhasilan Surabaya menjaga lingkungan,
kata dia, dengan kehadiran sekitar 26.000 kader lingkungan hingga tingkat rukun tetangga
(RT).Keberadaan kader lingkungan bisa memotivasi warga di sekitarnya untuk bersama-sama menjaga
lingkungan, sehingga bersih dan hijau. Faktor pendukung lain banyak perusahaan dan instansi juga
terlibat dalam program menanam pohon, termasuk fasilitas perawatan taman. (Sumber Kompas.com, 8
Juni 2011). Untuk ke 8 kalinya Kota Surabaya menerima Adipura Kencana pada tahun 2013.
Sumber: website KLH
Dari contoh di atas, nampak bahwa pembangunan atau pengembalian suatu kota menjadi
kota hijau bukan pekerjaan mudah dan memerlukan penanganan secara tegas dan terpadu.
Sebagaimana disampaikan oleh Ketua dari UN Habitat dalam pertemuan OWG di NY tahun
2013, bahwa sustainable city development memerlukan 3 hal: pertama adalah penegakan hukum
dan aturan; kedua, perencanaan yang baik, dan ketiga adalah pendanaan. Tanpa penegakan
hukum dan aturan tidak akan tercipta sistem perkotaan yang sesuai kriteria yang ada dan
keseimbangan berbagai kebutuhan masyarakatnya. Disampaikan pula bahwa sesuai dengan
pengalamannya sebagai Walikota Barcelona, bahwa untuk penegakan hukum, hal pertama yang
dilakukan adalah mengubah alur dan moda transportasi, dengan meruntuhkan banyak flyover dan
mengubah kebiasaan mobilitas dengan transportasi pribadi yang mahal. Pengalaman
hidupnyaserupa diterapkan di Surabaya untuk menegakkan aturan tentang kebersihan dan
menerapkan dan mengawal sampai di tingkat masyarakat. Selanjutnya adalah penyediaan dan
menyediakan kenyamanan di ruang terbuka hijau sehingga mendorong masyarakat untuk
menyukai kehidupan di luar, sehingga akan tercipta cinta lingkungan dan menjaga
kebersihannya. Hal lain yang akan dilakukan adalah membangun prasarana transportasi lingkar
luar untuk mengurai kemacetan di dalam kota, dibanding pembangunan jalan layang, yang akan
tetap mengkonsentrasikan mobilitas masyarakat di tengah kota.
Pemerintah Jakarta melakukan perbaikan sungai dan saluran drainase utama yang dapat
mengurangi banjir dan genangan di dalam kota. Selanjutnya, penegakkan hukum untuk daerah
resapan air khususnya dana yang juga dijadikan ruang terbuka. Peningkatan transportasi publik
juga dilakukan, namun nampaknya masih memerlukan upaya yang lebih masif dengan besarnya
122 | P a g e
skala mobilitas masyarakat dari wilayah sekeliling Jakarta ke dan dari Jakarta setiap
harinya.Dengan berbagai upaya tersebut dan skala pelaksanaan yang masih terbatas, nampaknya
perwujudan kota hijau masih jauh dari harapan. Diperlukan Pemda yang kuat dan masyarakat
yang disiplin dan sadar serta cinta lingkungan untuk mewujudkan kota sebagai hunian yang
nyaman, sehat dan indah.
transporasi umum yang belum tertata dan belum ada sistem antar moda yang seimbang dalam
menangani mobilitas masyarakat dan distribusi barang. Selain itu, kepadatan hunian di perkotaan
juga mengakibatkan wilayah terbuka semakin berkurang.
Beberapa tantangan yang masih dihadapi :
a.
Penegakan hukum tata ruang yang masih sangat lemah dan belum adanya perencanaan
fasilitas dasar perkotaan masih lemah.
c.
d.
124 | P a g e
Data mengenai kualitas lingkungan yang tersedia saat ini masih sangat terbatas dan
terfragmentasi. Beberapa data tersebut antara lain meliputi: data kualitas udara; data kualitas
air/air sungai yang masih dikumpulkan oleh K/L terkait sebagai bagian dari pelaksanaan
kebijakan dan program mereka. Langkah pengumpulan data terpadu untuk sektor-sektor lain
dalam pilar sosial dan pilar ekonomi sudah dilakukan. Sebagai contoh, pengumpulan data untuk
pembangunan manusia sudah dilakukan secara rutin, terutama untuk data pendidikan, kesehatan
dan kependudukan. Demikian pula data konsumsi rumah tangga yang menjadi dasar untuk
mengukur kesejahteraan keluarga juga sudah dikumpulkan melalui Survei Sosial Ekonomi
Nasional (Susenas).Susenas sudah dilakukan sejak tahun 1983 dan mengalami penyempurnaan
secara berkala dan rutin. Data untuk mengukur pengangguran juga sudah dilakukan dengan
pelaksanaan Survei Tenaga kerja Nasional (Sakernas).
Demikian pula data produksi pertanian sudah dilakukan melalui perkiraan produksi setiap
semester dan disempurnakan sesuai dengan perkembangan di lapangan. Selanjutnya, data untuk
potensi desa (PODES) juga sudah dilakukan secara rutin. Data ekonomi makro juga dipantau
setiap triwulan dengan adanya data pertumbuhan PDB dan PDB setiap triwulan. Sementara itu,
data lingkungan belum dilakukan secara terstruktur oleh BPS.
Selama ini data yang tersedia untuk lingkungan hidup antara lain data Sox dan Nox untuk
mengukur kualitas udara. Pengumpulan data dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan
BMKG. Selanjutnya, data pencemaran air sungai, dilakukan oleh Kementerian Pekerjaan Umum.
Perkembangan yang terbaru adalah, Kementerian Lingkungan Hidup dalam 3 tahun terakhir
sudah mengumpulkan data untuk mengukur Indeks Kualitas Lingkungan Hidup/IKLH.
Pengumpulan data ini akan terus disempurnakan, namun demikian menyongsong akan
diterapkannya pembangunan berkelanjutan secara lebih komprehensif dan mengupayakan
adanya internalisasi kualitas lingkungan ke dalam pembangunan ekonomi dan sosial, maka
sistem data untuk mengukur kualitas lingkungan hidup perlu dilakukan dengan lebih baik.
127 | P a g e
Manfaat Data dan Informasi Lingkungan Hidup. Pengembangan data dan indikator
untuk kualitas lingkungan hidup berguna untuk:
a.
Memahami secara mudah dan terukur kondisi/perbedaan antara ekonomi yang belum hijau
dengan yang hijau, sehingga dapat menjadi pedoman untuk merubah perilaku.Dengan
mengetahui ukuran bahwa kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat dan pelaku usaha
berdampak buruk terhadap lingkungan, maka akan dapat dipantau perilaku mereka dan
dampaknya terhadap lingkungan.
b.
Data dan indikator hijau juga dapat mengukur internalisasi perilaku ramah lingkungan dan
penerapan prinsip berkelanjutan ke dalam berbagai sektor.Dengan tersedianya ukuran dan
indikator serta terkumpulnya data maka pelaku kegiatan akan dapat melakukan upaya
untuk mencegah dan mengatur agar kegiatan mereka tidak memberikan dampak buruk
terhadap lingkungan hidup.Dengan demikian, maka pencegahan dapat dilakukan oleh
masing-masing pelaku usaha dan anggota masyarakat.
c.
Dengan adanya data dan indikator yang sama untuk semua pelaku, maka dapat dilakukan
penjumlahan, sehingga secara agregat kualitas lingkungan hidup dapat diketahui dan
dipantau secara total. Apabila terdapat perbedaan ukuran dan cara mengukur kualitas
lingkungan hidup maka akan mempersulit untuk melakukan pengendalian dan penanganan
kualitas lingkungan hidup secara menyeluruh.
d.
Adanya data dan indikator yangdikumpulkan secara rutin, akan membantu pemantauan
perkembangan pelaksanaan pengelolaan kualitas lingkungan hidup. Data dan informasi
yang dikumpulkan akan dapat digunakan untuk memberikan masukan (feed back) untuk
perbaikan kebijakan dan program,serta dianalisa untuk menemukan cara yang lebih efektif
dan efisien dalam menjaga kualitas lingkungan hidup. Dengan data dan informasi
lingkungan hidup maka perkembangan/kemajuan pembangunan lingkungan hidup dapat
diukur, kekurangan dapat diketahui dan dianalisa untuk perbaikan. Dengan demikian, akan
membantu merencanakan langkah-langkah untuk mewujudkan ekonomi hijau.
e.
Adanya data yang terukur, dapat pula digunakan sebagai dasar untuk melakukan
perhitungan dampak ekonomi dari memburuknya kualitas lingkungan dan mengukur
dampak yang ditimbulkan oleh pelaku.Dengan demikian, maka akan membantu
128 | P a g e
Dengan tersedianya data dan informasi yang konsisten dan kontinyu, maka komunikasi dan
penyadaran masyarakat akan pentingnya kualitas lingkungan hidup bagi kehidupan saat ini
dan keberlanjutan kehidupan ke depan akan dapat dikomunikasikan dengan konkrit
sehingga lebih mudah dipahami dan dimengerti masyarakat.
Persepsi Masyarakat Terhadap Kualitas Lingkungan Hidup.Dalam rangka melakukan
pengembangan sistem pendataan, BPS pada tahun 2013sudah melakukan survei persepsi
masyarakat terhadap lingkungan. Survei persepsi dibutuhkan untuk mengetahui pemahaman
masyarakat terhadap kualitas lingkungan dan mengetahui faktor-faktor dan kegiatan apa saja
yang menurut masyarakat baik untuk kualitas lingkungan.Langkah ini sangat penting karena
berdasarkan IPCC tahun 2007, perilaku manusia juga merupakan penyumbang terjadinya
perubahan iklim. Dari hasil survei persepsi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pemahaman dan
pengetahuan masyarakat mengenai lingkungan serta kepedulian mereka masih beragam.Secara
lengkap gambaran mengenai survei lingkungan disampaikan dalam Kotak 10.1.
Langkah lain untuk mengetahui kebutuhan data dan informasi lingkungan adalah dengan
melakukan penyederhanaan data kualitas lingkungan yang perlu dikumpulkan, mudah
dikumpulkan dan mudah pula dipahami masyarakat karena mewakili kualitas lingkungan yang
terpapar dan dirasakan masyarakat. Hal ini penting, karena selama ini sudah tersedia berbagai
standar kualitas lingkungan yang dikeluarkan melalui berbagai Peraturan Menteri Lingkungan
Hidup, namun tidak pernah diketahui masyarakat awam.
Terdapat kemungkinan bahwa standar kualitas lingkungan tersebut diketahui oleh pelaku
usaha, namun pengukuran baik/buruknya kualitas lingkungan sulit dipantau oleh petugas
pemantau lingkungan, atau kapasitas Pemda dan aparatnya tidak memiliki kemampuan yang
cukup untuk memantau. Hal ini penting diperhatikan karena dengan adanya desentralisasi, tidak
seluruh kewenangan pemantauan dan penindakan berada di tangan Pemerintah Pusat. Sebagian
dari kewenangan sudah didelegasikan kepada Pemda.
investasi dan usaha juga sudah didelegasikan ke Pemda sehingga mereka pulalah yang memiliki
landasan hukum dan otoritas untuk melakukan tindakan terhadap pemilik ijin usaha dan
investasi.
129 | P a g e
Sehubungan dengan itu, beberapa langkah yang dilakukan adalah: Pertama, mengambil
wakil substansi polusi yang penting untuk dipantau dan memudahkan bagi semua pihak untuk
mengetahui dan mengukur (bagi yang berwenang). Sebagai contoh, selama ini terdapat beberapa
substansi yang perlu diketahui ambang/tingkat polusinya. Namun demikian, tidak terlalu dikenal
dan tidak secara mudah dapat digunakan mengetahui tingkat polusi. Dalam beberapa tahun,
setelah karbon dikenal karena memiliki dampak lintas batas dan menjadi penyebab perubahan
iklim, maka karbon seolah-olah menjadi wakil untuk mengetahui kualitas udara.
Keterwakilan seperti ini yang perlu dikembangkan untuk polusi air dan tanah/lahan.
Kedua,mengembangkan metodologi pengukuran yang mudah dan baik untuk mengukur
data yang dapat menunjukkan/menjadi ukuran agar mudah memantau perkembangan kualitas
lingkungan dan membandingkan antar waktu, antar pelaku, antar area/wilayah.
Ketiga, mengembangan jaringan untuk memantau kualitas lingkungan dari pusat sampai ke
daerah.
kewenangan pemantauan kualitas lingkungan hidup ada di daerah. Berkaitan dengan ini maka
dalam 3 (tiga) tahun terakhir, Kementerian Lingkungan Hidup sudah memberikan dana
dekonsentrasi kepada Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) di tingkat
provinsi, untuk dapat melakukan pemantauan kualitas lingkungan di wilayahnya.
Dalam
melakukan pemantauan kualitas lingkungan, BPLHD dapat bekerjasama dengan Kantor EkoRegion yang merupakan Kantor Wilayah Pemantauan Lingkungan yang berada langsung di
bawah Kementerian Lingkungan Hidup. Kantor Eko Region di Indonesia ada di 6 kota yang
mencakup wilayah-wilayah yang ada dalam jangkauannya, yaitu: (i) Pekanbaru untuk wilyah
Sumatra (ii) Balikpapan untuk wilayah Kalimantan (iii) Jogyakarta untuk wilayah Jawa (iv) Biak
untuk wilayah Papua (v) Denpasar untuk wilayah Bali dan Nusa tenggara (vi) Makassar untuk
Wilayah Sulawesi dan Maluku (Bagan 10.1)
131 | P a g e
KEM
MENTER
RIAN
LINGKU
UNGAN
N HIDUP
BPLHD
D
K
Kantor E
Eco-Regiion 2
BP
PLHD
BPL
LHD
Bagan
B
10.1 Kerangka
K
Keerja Pemantaauan Kualitaas Nasional
10.2. IK
KLH dan Peluang Untuk Menerapk
kan
Dalam 3 tahun
n terakhir, Kementerian
K
n Lingkungaan Hidup m
mengembanggkan pengguunaan
Indeks Kualitas
K
Ling
gkungan Hidup untuk mengukur
m
tiingkat kualiitas lingkunggan hidup ssecara
terpadu. IKLH merrupakan ind
dikator gabun
ngan dari tiingkat kualitas lingkunggan dari 3 m
matra
lingkung
gan yaitu kuaalitas air (IPA
A), udara(IP
PU) dan lahann (ITH).
INDEKS
S KUALITA
AS
LINGKU
UNGAN HID
DUP
PROVIN
NSI (IKLHprrov)
INDEKS
S KUALITA
AS
LINGKU
UNGAN HID
DUP (IKLH))
= --------------------------------------3
x--------------------------
P
Populasi_inddonesia
IKL
LH baru dik
kembangkan
n dalam 3 tahun
t
terakhhir sehinggaa belum diguunakan di ddalam
RPJMN 2010-2014. Mengingat tidak ada ukuran
u
lain untuk kualiitas llingkunngan hidup yang
m
lingkun
ngan dan ujii coba sudahh dilakukan selama 3 taahun, maka uuntuk
sudah meewakili 3 matra
132 | P a g e
RPJMN 2015-2019 IKLH dapat digunakan untuk indikator outcome kualitas lingkungan hidup
meskipun masih terus dalam proses penyempurnaan.
Langkah lain yang lebih lanjut adalah kemungkinan penggunaan IKLH sebagai indikator
gabungan pembangungan berkelanjutan. Dari kajian yang dilakukan oleh Kementerian
PPN/Bappenas didukung oleh JICA 2013 IKLH dapat digunakan sebagai indikator gabungan
untuk pembangunan berkelanjutan. IKLH dapat dikombinasikan dengan IPM untuk mewakili
tingkat pembangunan berkelanjutan, dengan pembobotan tertentu.
Kesesuaian bobot dilihat terhadap dampaknya atas ranking daerah untuk IPM.
Opsi dan
dampaknya terhadap nilai sebelum dan setelah penggabungan disampaikan dalam Tabel 9.1 dan
9.2.
133 | P a g e
Tabel 9.1. Nilai IPB dengan bobot sama dan dampak terhadap peringkat IPB Provinsi
Provinsi
11. Nanggroe Aceh Darussalam
12. Sumatera Utara
13. Sumatera Barat
14. Riau
15. Jambi
16. Sumatera Selatan
17. Bengkulu
18. Lampung
19. Bangka Belitung
20. Kepulauan Riau
31. DKI Jakarta
32. Jawa Barat
33. Jawa Tengah
34. Yogyakarta
35. Jawa Timur
36. Banten
51. Bali
52. Nusa Tenggara Barat
53. Nusa Tenggara Timur
61. Kalimantan Barat
62. Kalimantan Tengah
63. Kalimantan Selatan
64. Kalimantan Timur
71. Sulawesi Utara
72. Sulawesi Tengah
73. Sulawesi Selatan
74. Sulawesi Tenggara
75. Gorontalo
76. Sulawesi Barat
81. Maluku
82. Maluku Utara
91. Papua Barat
94. Papua
Nasional
Nilai IPB
2009
63.61
68.26
73.40
64.79
60.57
63.45
61.49
59.31
64.03
75.40
73.03
58.22
54.78
57.35
66.07
61.41
70.71
55.64
48.93
63.58
61.31
60.20
81.25
74.44
61.76
60.87
54.93
Peringkat IPB
53.64
54.66
54.21
67.12
69.34
2010
65.92
77.96
72.69
66.86
57.19
66.66
67.98
64.58
69.07
76.64
73.14
60.60
54.19
64.33
64.58
61.67
76.44
61.95
44.09
66.06
64.07
64.60
79.26
74.56
72.82
60.76
56.53
61.22
53.22
55.40
55.09
63.08
62.04
2011
63.34
74.78
72.68
68.66
58.82
68.77
68.87
65.48
70.26
77.34
73.09
61.08
55.13
64.36
68.35
62.87
72.92
59.84
47.35
66.68
70.15
66.66
82.32
76.46
74.83
62.20
54.68
62.22
56.04
53.65
53.42
67.90
62.77
65.81
67.64
69.02
2009
13
8
4
11
21
15
17
23
12
2
5
24
28
25
10
18
6
26
32
14
19
22
1
3
16
20
27
31
29
30
9
7
2010
14
2
8
11
27
12
10
16
9
3
6
26
31
18
17
23
4
22
33
13
19
15
1
5
7
25
28
24
32
29
30
20
21
134 | P a g e
2011
20
5
8
13
27
12
11
18
9
2
6
25
29
19
14
21
7
26
33
16
10
17
1
3
4
24
30
23
28
31
32
15
22
Nilai IPB
2009
67.66
69.14
75.69
66.20
66.94
67.48
68.19
65.57
64.89
71.15
69.26
61.27
60.66
62.67
66.56
62.53
73.45
61.65
57.77
66.71
63.06
61.24
77.10
77.15
65.86
65.35
60.73
Peringkat IPB
61.15
64.12
63.12
68.97
68.73
2010
69.74
78.24
74.52
67.93
63.31
70.26
74.44
70.59
69.64
72.49
69.40
63.30
59.67
69.41
64.41
62.49
78.92
67.73
52.92
68.81
65.31
65.31
75.19
76.67
76.39
64.74
61.97
70.36
60.31
64.79
63.84
64.52
62.59
2011
66.84
74.31
73.93
69.21
64.66
71.78
75.03
71.15
70.42
73.30
69.42
63.27
60.18
69.10
67.32
63.25
74.96
66.04
56.09
68.94
70.76
66.86
78.36
77.84
77.71
65.59
59.66
71.20
62.70
62.96
62.05
68.58
64.59
66.79
68.09
68.81
2009
11
7
3
16
13
12
10
18
20
5
6
27
31
24
15
25
4
26
32
14
23
28
2
1
17
19
30
29
21
22
8
9
2010
12
2
6
17
26
11
7
9
13
8
15
27
32
14
24
29
1
18
33
16
19
20
5
3
4
22
30
10
31
21
25
23
28
2011
21
6
7
15
24
9
4
11
13
8
14
26
31
16
19
27
5
22
33
17
12
20
1
2
3
23
32
10
29
28
30
18
25
135 | P a g e
Salah satu langkah lain yang sedang dikembangkan oleh UKP4 didukung oleh UNDP
adalah pengembangan satu data pembangunan berkelanjutan. Pengembangan data ini terdiri dari
2 langkah: (i) menghimpun seluruh data yang ada di K/L untuk menghimpun sistem data tunggal
(One Data) pembangunan berkelanjutan.; (ii) menyusun data dalam sistem pendataan dan
informasii (Pusdatin) yang ada di masing-masing K/L, sehingga data akan dapat terkumpulkan
dan terhubungan dengan baik.
Pengumpulan data ini baik dan terpadu, namun demikian masih perlu perlu diselaraskan
dengan upaya pendataan di atas terutama contentdan jenis (data statitik, peta) datanya sehingga
akan tepat dan selaras dengan kegiatan saat ini, kegunaan data dan penggunaannya untuk
perubahan kegiatan yang mengarah ke kegiatan hijau. Dengan demikian sistem pendataan
terpadu/tunggal akan sejalan dengan kebijakan pembangunan lingkungan di pusat dan daerah
serta alur pengumpulan yang ada selama ini dan alur data yang akan dikembangkan dari daerah
ke pusat.
136 | P a g e
Langkah lain yang dilakukan dalam rangka mengetahui kualitas lingkungan adalah
mengetahui dampak perbaikan kualitas lingkungan maupun penurunan kualitas lingkungan
terhadap pendapatan nasional. Ukuran pendapatan nasional yang selama ini digunakan adalah
Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Namun demikian, sering dikatakan bahwa PDB saat ini
belum merupakan PDB hijau karena belum memperhitungkan penyusutan aset dan dampak
negatif dari pertumbuhan terhadap kualitas lingkungan hidup. Sehubungan dengan itu, maka
perlu dilakukan perhitungan penyusutan nilai fisik sumberdaya alam dan lingkungan hidup untuk
mengetahui nilai PDB hijau.
Penghitungan deplesi untuk menghitung PDB hijau sebetulnya bukan merupakan hal baru.
Rumus dan metoda penghitungan sudah sering dilakukan oleh berbagai pihak dan lembaga.
Kementerian PPN/Bappenas sendiri juga sudah melakukan penghitungan ini namun masih dalam
bentuk kajian. Padahal untuk dapat dilakukan penghitungan PDB yang sudah dibersihkan
dari nilai penyusunan/deplesi sumberdaya alam dari adanya eksploitasi maupun dari menurunnya
kualitas lingkungan hidup sebaiknya ada data deplesi yang dikumpulkan setiap tahunnya.
Sehubungan dengan itu, agar semua pihak dapat melakukan penghitungan deplesi ini BPS
perlu melakukan pendataan dengan metodologi yang baku, untuk mengukur/mengumpulkan data
dan menghitung deplesi ini secara rutin. Dengan demikian akan tersedia data deplesi secara rutin
dan terdokumentasi sehingga masyarakat dapat menghitung PDB hijau Indonesia secara mudah.
137 | P a g e
Langkah ini sudah dimulai dengan bergabungnya Indonesia dalam kelompok WAVES (Wealth
Assessment and Valuation of Environmental Services), agar penghitungan dapat dimulai dengan
menggunakan data yang sudah ada dan selaras dengan kaidah global.
Sebagaimana dijelaskan di atas, model pertumbuhan hijau ingin disusun karena diinginkan
adanya sebuah model yang dapat mengukur dampak suatu perbaikan dan langkah ke ekonomi
hijau terhadap PDB, baik secara total maupun sektoral. Sebagaimana diketahui, pada saat ini
Kementerian PPN/Bappenas memiliki model ekonomi makro yang digunakan untuk
memperkirakan nilai PDB setiap periode. Model ini digunakan sebagai alat untuk perkiraan
maupun alat untuk memantau perkembangan PDB apabila terdapat perubahan yang berdampak
pada variabel yang ada di dalam model tersebut.
Dengan adanya model ini dan upaya untuk menghijaukan perekonomian maka perlu
diketahui bagaimana caranya apabila suatu sektor dihijaukan, bagaimana dampaknya terhadap
PDB sektor tersebut dan PDB secara keseluruhan. Perubahan ke arah hijau di suatu sektor
kemungkinan akan berakibat pada sektor lain, negatif atau posistif. Selanjutnya, perubahan ke
arah hijau akan membawa dampak yang berbeda antar sektor. Suatu sektor kemungkinan akan
lebih cepat, sektor lain akan lebih lambat. Ada suatu sektor yang apabila dihijaukan akan
membawa dampak ikutan secara positif kepada sektor tersebut, dan mungkin sektor lain.
Pada saat ini sedang dicoba dilakukan identifikasi bagaimana langkah-langkah untuk
menghijaukan sektor industri, transportasi, energi dan sektor berbasis lahan (pertanian dan
kehutanan). Dalam upaya ini akan didiskusikan langkah-langkah yang dapat digunakan untuk
menghijaukan keempat sektor tersebut dan dampaknya terhadap PDB mereka dan PDB secara
total.
Terdapat beberapa keterbatasan yang masih dimiliki di dalam upaya ini: pertama,
identifikasi, langkah untuk menghijaukan masih belum dipahami apalagi disepakati sebagian
besar pihak yang membuat keputusan. Kedua, belum ada data yang dapat digunakan untuk
mengukur perbaikan langkah menghijaukan dan menghitung dampaknya terhadap PDB sektor.
Ketiga, data yang diperoleh dari simulasi ini (y) kemungkinan tidak ada di dalam model ekonomi
makro sehingga perlu dilakukan langkah tidak langsung (z) untuk dapat mencari variable yang
138 | P a g e
dapat menjadi penghubung (z), sehingga perubahan ke dalam model makro dapat dilakukan dan
dapat diukur (Gambar 11.1).
1.
2.
3.
4.
1.
2.
3.
EKONOMI BERBASIS
LAHAN (PERTANIAN,
KEHUTANAN)
ENERGI
TRANSPORTASI
MODEL EKONOMI
MAKRO
(CGE MODEL)
XY
MODEL SBG
JEMBATAN Y Z
139 | P a g e
Sebagaimana dijelaskan dalam Bagan 2.1, struktur ekonomi merupakan salah satu
komponen dari ekonomi hijau, disamping pola/sistem produksi dan konsumsi yang
berkelanjutan. Berkembangnya ekonomi yang lebih hijau sebagaimana secara awal dilakukan di
berbagai sektor yang dijelaskan di atas, akan mengubah karakteristik beberapa sektor. Beberapa
karakteristik yang dapat dijadikan penanda adalah:
12.1. Tingkat Makro
Di tingkat makro/agregat, peningkatan struktur ekonomi lebih berkelanjutan dapat
ditandai dengan:
a. Skor IKLH meningkat.Skor IKLH yang meningkat menunjukkan adanya peningkatan
kualitas lingkungan hidup baik kualitas udara, air amupun lahan.
b. Deplesi menurun (GDP hijau naik), yaitu penurunan kerusakan ekosistem dan
lingkungan hidup yang tercermin dari penurunan kerusakan lingkungan dan
ekosistem. Nilai deplesi lingkungan dapat dihitung setiap tahun, namun pada saat ini
sedang dihitung dan dibakukan agar ada data yang dikumpulkan secara kontinyu.
Dengan dukungan WAVES (wealth accounting and valuation of ecosystem services)
sedang dilakukan pembakuan deplesi dan penyediaan datanya secara kontinyu.
c. Komposisi sektor sekunder dan tersier (non sektor keuangan) meningkat, yang akan
dijelaskan lebih lanjut dalam Bab ini.
d. Jumlah konflik tentang limbah/kualitas lingkungan menurun.
Tingkat Mikro
Peningkatan praktek berkelanjutan di tingkat mikro/kegiatan secara langsung dapat
diukur pada sisi produksi, sisi konsumsi/perilaku konsumsi masyarakat secara
keseluruhan, baik rumah tangga, perilaku korporasi dalam pengelolaan perkantorannya
maupun perilaku masyarakat di ranah publik.
140 | P a g e
a.
b.
ii.
iii.
ii.
12.3.
Struktur Ekonomi.
maka sektor produksi akan merespon dalam proses produksi mereka, sehingga struktur
ekonomi yang semula bertumpu pada sektor primer, akan bergeser ke sektor primer yang
lebih bersih, berkembangnya sektor sekunder serta berkembangnya usaha/kegiatan
ekonomi yang berkaitan dengan lingkungan dan pemanfaatan jasa yang timbul dari
lingkungan
atau
berkaitan
dengan
terpeliharanya
lingkungan
hidup.
Sebagai hasil dari itu, maka perubahan struktur ekonomi yang semula komposisinya
lebih besar di sektor primer akan bergeser ke sektor sekunder dan tersier (Gambar 12.1):
i.
ii.
141 | P a g e
peng
gelolaan bahan (R3); (b) usaha pengeelolaan limbbah; (c) profe
fesi/jasa di biidang
lingk
kungan.
iii.
Berk
kembangnyaa usaha yan
ng berkaitann dengan peemanfaatan jasa lingkuungan
seperti: (a) wisatta yang berk
kaitan dengann alam dan llingkungan yyang bersih (ecowisaata); (b) usaaha yang beerkaitan denngan pemannfaatan bioddiversity (farrmasi
herbal, dll).
Dengan
D
adaanya beberaapa indikattor untuk menggambarkan ciri ekonomi yang
berkelanjjutan, maka upaya di beerbagai sekto
or untuk mennginternalisasikan pemeeliharaan kuualitas
maka damppak negatif bberbagai keggiatan
lingkung
gan dan perillaku hemat dan ramah lingkungan
l
usaha dan
n kegiatan masyarakat
m
teerhadap ling
gkungan akann dapat dikeendalikan. Inndikator ini dapat
digunakaan sebagai pedoman
p
peerubahan peerilaku di ssektor usahaa dan kegiaatan masyarrakat,
sehinggaa langkah-lan
ngkah merek
ka lebih teraarah. Dengann demikian, akan dapat lebih jelas uuntuk
dilakukan
n.
Selanjutnya, pengembang
p
gan data dan
n indikator juuga dapat m
mengarah keppada pengukkuranpengukurran ini sehin
ngga dapat perbaikan perilaku
p
seccara keseluruuhan akan ddapat diukurr dan
dipantau perkembang
gannya.
Penggambaran berbagai penyebab perlunya berubah dari kondisi ekonomi saat ini ke
ekonomi yang lebih hijau meskipun masih pada langkah dan tahap awal merupakan langkah
untuk mengadakan inventarisasi secara menyeluruh.
diidentifikasi, beberapa masih merupakan pemikiran, beberapa sudah melalui diskusi tahap awal
dan beberapa sudah dimulai dan akan dilakukan sehingga dapat melengkapi pemahaman,
penerapan dan pelaksanaan ekonomi hijau. Serangkaian diskusi perlu terus dilakukan agar
berbagai langkah awal dan pemikiran awal dapat menjadi konsep yang utuh dan dilaksanakan
dengan mudah.
Kemudahan melaksanakan merupakan kunci penerapan ekonomi hijau, karena konsep
yang sulit/kompleks akan menghambat penerapan perilaku. Proses ini perlu didukung dengan
berbagai isu kelembagaan seperti:
a.
Pengembangan ukuran dan indikator yang tepat, realistis dan mudah diterapkan.
b.
c.
d.
Penetapan harga yang tepat (right pricing) terutama untuk menginternalisasi nilai
dampak terhadap lingkungan. Sebagai contoh:
i.
Harga BBM seharusnya lebih tinggi dari harga gas atau energi dari geothermal,
karena BBM mengandung polusi lebih besar.
ii.
Sistem perpajakan harus pro terhadap hilirisasi (pemeliharaan rantai industri lebih
panjang di dalam negeri). Dengan kata lain, pajak pertambahan nilai (PPN) harus
lebih lebih rendah dari pada pajak impor bahan modal yang dapat dan perlu di
produksi di dalam negeri.
iii.
Penurunan ekspor karena ada perubahan proses di dalam negeri perlu diberi
waktu, sementara membangun kemampuan untuk ekspor.
f.
Pengembangan dan penerapan proses pengadaan hijau, dan standar hijau. Langkah
ini penting untuk mempersiapkan adanya standar sustainable commodity di tingkat
global.
g.
144 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA
Anon., n.d. [Online].
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Prospek Pertanian Organik di Indonesia , Juli 2002.
Diakses pada 7 September 2012.
Balai Besar Teknologi Energi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. 2012.
BKPM, 2012. Realisasi Penanaman Modal PMDN-PMA triwulan III dan Januari September 2012. Badan
koordinasi Penanaman Modal, 2012.
CCN (Carbon Central Network). https://www.carboncentralnetwork.com/cara-pelaksanaan/jadilahecopreneur-ccn/
Dahuri, R., 2013. The Blue Future of Indonesia.. Bogor: Rokhmin Dahuri Institute.
dkk., N. D., 2010. . Neraca Pembangunan Hijau. Konsep dan Implikasi Bisnis Karbon dan Tata Air di
Sektor kehutanan. IPB Press: s.n.
Doddi Nurochmat. dkk. 2010. Neraca Pembangunan Hijau. Konsep dan Implikasi Bisnis Karbon dan
Tata Air di Sektor kehutanan. IPB Press.
Elias, 2013. Menatap masa Depan Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Indonesia dalam Mewujudkan
Kehutanan Indonesia Baru (Makalah Utama disampaikan pada Diskusi Bulanan Pelaksanaan 50
Tahun Fakultas Kehutanan IPB, Juni 2013). s.l.:IPB.
Emil Salim. 1991. Pembangunan Berkelanjutan: Strategi Altematif Dalam Pembangunan Dekade
Sembilan Puluhan. Prisma No. 1 Januan 1991.
Gunawan, H., 2012. 14 Hektare Untuk Pabrik Pembuat Panel Surya. Berita Tribunews Online tanggal 4
Desember 2012,. [Online]
Available at: http://www.tribunnews.com/regional/2012/12/04/14-hektare-untuk-pabrik-pembuatpanel-surya
[Accessed 7 Januari 2013 ].
http://iman2867.wordpress.com/2013/08/28/agroindustri-pengrajin-enceng-gondok/
http://news.mongabay.com/2010/1201-hance_nasa_mangroves.html
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia, 2011. s.l., s.n.
Kementrian Kehutanan 2011. Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) tahun 2011-2030.
Kementrian Kehutanan 2011.
Kementrian Lingkungan Hidup, 2012, CSR Bidang Lingkungan, Kajian Lapangan
Kurniawati, Y. 2004. Pembuatan Kecap Ikan Secara Enzimatis dengan Bahan Jeroan Bandeng. Skripsi.
Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian UGM. Jogjakarta.
145 | P a g e
Kusumastanto, T. Pemberdayaan Sumberdaya Kelautan , Perikanan dan Perhubungan Laut Dalam Abad
XXI . IPB.
Latipah Hendarti. 2012. Institutional Strengthening of Education for Sustainable Consumption (ESC):
Advancing ESC Policy and Implementation Strategies, Mapping opportunities in Indonesia.
UNEP and YPB Indonesia.
Loekman, S., 1998. Pertanian Pada Abad Ke-21. Jakarta: Direktorat Jenderal pendidikan Tinggi dan
Kebudayaan.
Mining, Minerals, and Sustainable Development. 2002. Mining for the Future Appendix J: Grasberg
Riverine Disposal Case Study. International Institute for Environment and Development and
World Business Council for Sustainable Development.
Outlook Energi Indonesia, 2012
Riyanto, B., 2010. Elektrolit Baterai dari Plimer Chitosan. Bogor: Blue revolustion..
Seta, AK. 2001. Menuju Pertanian Organik. Makalah disampaikan pada Pembekalan Program Semi Que
III Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu. Juli 2001. Bengkulu
Setiyo Yuli Handono. 2013. Hambatan dan Tantangan Penerapan Padi Metoda SRI (System of Rice
Intensification). HABITAT Volume XXIV No. 1 Bulan April 2013
Ulya NA & Yunardi S. 2008. Analysis Peranan Sektor Kehutanan dalam Perekonomian Indonesia :
Sebuah Pendekatan Model Input-Output. Jurnal Penelitian Sosial dan ekonomi Kehutanan : 5 (1) :
57-68
UNEP. 2011. Cities: Investing in energy and resources efficiency
UNEP, 2011. Toward a Green Economy : Pathways to Sustainable Developpement and Poverty
Eradication.
Purnomo Suryo, Peranan Sumber Daya Alam Berbasis Fosil Bagi Kehidupan Manusia dan Cara
mengatasi Kekuranganya Dengan Ennhanced Oil Recovery, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru
Besar FT UGMBadan Litbang Kehutanan, 2010. Rencana Strategis Badan penelitian dan
pengembangan Kehutanan tahun 2010-2014. Balitbang Kehutanan.
Y, K., 2004. Pembuatan Kecap Ikan Secara Enzimatis dengan Bahan Jeroan Bandeng. Jogjakarta:
Skripsi. Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian UGM.
Zakapedia, 2013. Intrapreneur, Ultrapreneur, dan Ecopreneur. [Online]
Available at: http://www.zakapedia.com/2013/04/intrapreneur-ultrapreneur-dan-ecopreneur.html
146 | P a g e
Green Economy
PRAKARSA STRATEGIS PENGEMBANGAN KONSEP GREEN ECONOMY
Koordinator :
Dr. Ir. Sri Yanti JS, MPM
Kontributor :
Dra. Rahma Iryanti, MT
Dr. Budi Wiryawan
Dr. Ir. Toni Ruchimat, M.Sc
Dr. Ir. Muhrizal Sarwani, M.Sc
Dr. Ir Herdrajat Natawidjaja, M.Sc
Ir. M. Eko Rudianto, MBUS.IT
Ir. Maritje Hutapea
Ir. Bambang Susigit, MT
Ir. Tri Reni Budiharti, M.Si
Antonius Fernando, ST, MengSc
Tenaga Ahli :
Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT
Dr. Luky Adrianto
Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA
Ir. Luluk Sumiarso, M.Sc
Arief Budi Purwanto, S.Pi, MT
Latifah Hendarti
Layout&Setting:
Adi Misda Indarto, S.Kom
Risnawati, SE
148 | P a g e