Anda di halaman 1dari 11

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/359341475

MAKALAH MANAJEMEN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM MASIH


MEMPRIHATIKAN

Presentation · March 2022

CITATIONS READS

0 92

3 authors, including:

Rumawisata Rum
INSTITUT AGAMA ISLAM AL-KHOZINY
31 PUBLICATIONS 1 CITATION

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Rumawisata Rum on 19 March 2022.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


MAKALAH
MANAJEMEN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM
MASIH MEMPRIHATIKAN
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Manajemen Pendidikan Islam

Dosen Pembimbing :
Dr. KH. Djoko Hartono S.Ag, M.Ag, M.M

Disusun Oleh Kelompok 1 :


PEMATERI UTAMA

- Muhammad Hasim (2021.XXI.79.2126)


- Zainul Arif Rahmatullah (2021.XXI.79.2154)

PASCA SARJANA
PROGRAM STUDY MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM AL-KHOZINY
BUDURAN-SIDOARJO
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya
maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah terkait MANAJEMEN
LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM MASIH MEMPRIHATIKAN.

Penulisan makalah adalah merupakan salah satu tugas dan persyaratan untuk
menyelesaikan tugas mata kuliah Manajemen Pendidikan Islam di Prodi Manajemen
Pendidikan Islam Institut Agama Islam AL-KHOZINY Sidoarjo.

Dalam Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan, baik
pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki
penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi
penyempurnaan pembuatan makalah ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada keluarga, dosen mata kuliah,
beserta teman-teman yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan
makalah yang sederhana ini.

Kritik dan saran sangat penulis harapkan guna kesempurnaan makalah ini,
dan juga menjadi faktor koreksi bagi penulis guna menyusun makalah-makalah yang
akan datang. Akhir kata penulis ucapkan syukur dan terima kasih, semoga
bermanfaat. Amin.

Probolinggo, Desember 2021

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pendidikan Islam telah memasuki babak baru dalam perjalanan panjangnya.
Yaitu era digitalisasi dan percepatan industri yang telah merambah dalam segala
aspek lini kehidupan. Uniknya, pendidikan Islam justru sedikit terlambat untuk
menyebutnya tidak sama sekali melakukan penyesuaian dengan gaya baru tersebut
yang sangat mengedepankan percepatan akses, otomatisasi, konektifitas dan efesiensi
yang serba terkendali dengan sistem internet. Tekanan kuat semakin terasa disaat
dunia luar semakin berinovasi dalam berbagai temuan mutakhirnya, justru
pendidikan Islam seringkali gagap dengan cepatnya perubahan situasi kekinian.
Kalaupun terdapat upaya merespons seakan hanya “mengekor” dibalik ramainya
gaung revolusi industri.
Tetapi bukan berarti pendidikan Islam sama sekali tidak melakukan upaya
perbaikan. Terkhususnya di Indonesia, trend positif pendidikan Islam cukup menjadi
perhatian dunia. Perkembangan sekolah Islam, madrasah dan pesantren telah
mendapat tempat ketika pandangan sentiment tentang Islam sulit dilepas dan
Islamophobia menjadi gerakan massif di bagian Eropa sekitarnya. Islam di Indonesia
memiliki karakteristik keterbukaan dan berada paling depan untuk menawarkan
konsepsi keberagamaan yang toleran. Dengan begitu kemudian, pendidikan Islam di
Indonesia mulai dilirik sejauh mana ajaran Islam diajarkan diruang-ruang kelas dan
berlaku dalam kehidupan masyarakat yang plural. Keterbukaan pendidikan Islam di
Indonesia mendorong untuk melakukan transformasi dalam beberapa hal, termasuk
adopsi kurikulum dan inovasi pendidikan yang menekankan berbagai keahlian dan
life skill.
Kesadaran untuk melakukan perubahan dalam tubuh pendidikan Islam,
lambat tapi pasti telah menumbuhkan kepercayaan publik tentang penyelenggaraan
pendidikan Islam. Mulai bermunculannya sekolah-sekolah Islam bertaraf
international, madrasah plus dan bahkan pesantren yang mengintegrasikan teknologi
dan entrepreneurship mulai ramai hadir kepermukaan. Menariknya, model
pendidikan pesantren dengan akar tradisi yang panjang sudah hadir jauh sebelum
kemerdekaan, menandakan pesantren telah mampu bertahan sejauh ini. Prinsip
pesantren al hifzu ‘ala qodiimi as shoolih wa al akhzu ‘ala jadiidi al aslah
(mempertahankan tradisi yang baik dan mengadopsi kebaruan yang lebih baik)
merupakan mantra paradigm berkemajuan, kontinuitas, keterbukaan dengan inovasi
untuk melakukan transfer of knowledge and technology yang maslahat bagi
pengembangan pendidikan Islam. Melihat kondisi demikian, berarti investasi
dibidang riset dan teknologi harus mulai dilirik dunia pendidikan Islam. Geliat
teknologi dan industri digital saat ini menjadi keharusan, terlebih lagi segala hal
harus sudah mulai terkoneksi dengan internet, yang memungkinkan kemudahan dan
akses informasi tanpa batas.

1.2 Rumusan,Tujuan, dan Manfaat


Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1. Apa manajemen lembaga pendidikan islam memprihatinkan?
2. Bagaimana proses pelaksanaan manajemen lembaga pendidikan islam
yang memprihatinkan itu ?
3. Mengapa menajemen lembaga pendidikan islam proses pelaksanaannya
masih memprihatinkan ?
BAB II
MANAJEMEN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM
MEMPRIHATINKAN

2.1. Lembaga Pendidikan Islam Memprihatinkan


Stigma buruk akan manajemen pondok pesantren (ponpes) di negeri
ini nampaknya belum lenyap betul. Jeleknya manajemen pondok pesantren
menyebabkan institusi pendidikan nonformal ini dianggap sebagai lembaga
pendidikan yang tetap melanggengkan status qua-nya sebagai institusi pendidikan
yang tradisional, konservatif, dan terbelakang.1 Hal ini seperti yang disampaikan
Mujamil Qomar bahwa, pesantren merupakan bentuk lembaga pendidikan Islam
tertua di Indonesia… Hanya saja, usia pesantren yang begitu tua tidak
memilikikorelasi yang signifikan dengan kekuatanatau kemajuan manajemennya.
Kondisimanajemen pesantren tradisional hingga saatini sangat memprihatinkan,
suatu keadaan yang membutuhkan solusi dengan segera untuk menghindari ketidak
pastian pengelolaan yang berlarut-larut.2 Anehnya institusi pendidikan ini tetap
diminati masyarakat dan tetap eksis dari tahun ke tahun. Mengapa hal ini terjadi,
tentu jawabannya banyak faktor yang mempengaruhi pesantren tetap eksis dan
diminati masyarakat. Di antara faktor-faktor yang mempengaruhinya yakni bisa dari
performen sang kyai itu sendiri dalam memimpin pesantren yang dimilikinya.
Ketimpangan mutu pendidikan ini bersifat multidimensional. Berdasarkan
fenomena yang terus berkembang saat ini, minimal ada tiga sebab pokok, yakni:
Pertama, pendidikan mengalami proses pereduksian makna, bahkan terdegradasi
hanya kegiatan menghafal dan keterampilan mengerjakan soal ujian (UN). Kedua,
pendidikan terjerumus ke dalam proses komersialisasi, di mana pendidikan telah
berubah menjadi komoditi yang diperjual-belikan atau diperdagangkan dan dikelola,
seperti dunia industri yang cenderung berorientasi pada keuntungan (profit oriented).
Ketiga, pendidikan hanya melahirkan superiorisasi sekolah, yakni sekolah menjadi
semakin digdaya, berjarak, dan menekan orang tua siswa, baik secara halus, maupun
terang-terangan.3
Pendidikan agama Islam dalam eksistensinya sebagai komponen pembangun
bangsa, khususnya di Indonesia, memainkan peran yang sangat besar dan ini
berlangsung sejak jauh sebelum kemerdekaan bangsa Indonesia. Hal ini dapat dilihat

1
Djoko Hartono, Pengembangan Manajemen Pondok Pesantren Di Era Globalisasi (Surabaya: MQA,
2012), 2.
2
Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam:
Strategi Baru Pengelolaan Lembaga Pendidikan Islam
(Jakarta: Erlangga, 2007), 58.
3
Siti Irene Astuti Dwiningrum, Desentralisasi dan Partisipasi Masyarakat dalam Pendidikan:
Suatu Kajian Teoritis dan Empirik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 295
pada praktik pendidikan agama islam yang diselenggarakan oleh umat Islam melalui
lembaga-lembaga pendidikan tradisional seperti majelis taklim, forum pengajian,
surau dan pesantren-pesantren yang berkembang subur dan eksis hingga sekarang. 4
Syamsul Ma‟arif menyatakan bahwa pendidikan Islam saat ini, sungguh
masih dalam kondisi yang sangat mengenaskan dan memprihatinkan. Pendidikan
Islam mengalami keterpurukan jauh tertinggal dengan pendidikan Barat. Kalau boleh
sedikit bernostalgia, pendidikan Islam tidak bisa seperti pada zaman keemasan
(Andalusia dan Baghdad) yang bias menjadi pusat peradaban Islam, baik bidang
budaya, seni atau pendidikan. Yang terjadi justru sebaliknya, pendidikan Islam
sekarang mengekor dan berkiblat pada Barat. Dengan supremacy knowledge yang
dikuasai oleh negaranegara maju, negara-negara muslim masih terus bergantung
kepada dunia Barat dalam hampir semua kehidupan: pertahanan dan persenjataan,
komunikasi dan informasi, ekonomi, perdagangan, pendidikan dan pengembangan
ilmu pengetahuan.5
Jika dihayati hal tersebut jelas merupakan sebuah sindiran yang memalukan,
konsep alquran yang begitu luas mengajarkan tentang pendidikan justru kita sebagai
umat islam kurang memaksimalkan sumber yang ada untuk dapat diaplikasikan
sebagai upaya kebangkitan pendidikan islam di era modern saat ini. Ketertinggalan
itu sedikitnya bisa dilihat dari eksistensi madrasah dan pesantren yang dulu memiliki
peran strategis dalam mengantarkan pembangunan masyarakat Indonesia, kini
antusiasme masyarakat untuk memasuki pendidikan madrasah dan pesantren
(terutama yang masih bergumam dengan sistem “salaf”) mengalami penurunan yang
cukup drastis. Kecuali pada pesantren (modern) yang mampu melakukan adaptasi
dengan perkembangan global. Sikap pesimisme masyarakat terhadap pendidikan
madrasah dan pesantren bisa dilihat dari adanya kekuatiran universal terhadap
kesmpatan lulusannya memasuki lapangan kerja modern yang hanya terbuka bagi
mereka yang memiliki kemampuan ketrampilan dan penguasaan teknologi.6
2.2. Revolusi Industri 4.0
Revolusi industri terdiri dari dua kata yaitu revolusi dan industri. Revolusi,
dalam Kamus Besar Bahasa Indoneis (KBBI), berarti perubahan yang bersifat sangat
cepat, sedangkan pengertian industri adalah usaha pelaksanaan proses produksi.
Sehingga jika dua (2) kata tersebut dipadukan bermakna suatu perubahan dalam
proses produksi yang berlangsung cepat. Perubahan cepat ini tidak hanya bertujuan
memperbanyak barang yang diproduksi (kuantitas), namun juga meningkatkan mutu
hasil produksi (kualitas).
4
Ahmad Arifi, Politik Pendidikan Islam Menelusuri Ideologi dan Aktualisasi Pendidikan Islam di
Tengah Arus Globalisasi, (Yogyakarta: Teras, 2010), hlm. 2.
5
Syamsul Ma’arif, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), hlm. 1-2.
6
Ahmad Barizi, (Ed), Pendidikan Integratif Akar Tradisi & Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam,
(Malang: UIN-Maliki Press, 2011), hlm.7
Istilah "Revolusi Industri" diperkenalkan oleh Friedrich Engels dan Louis-
Auguste Blanqui di pertengahan abad ke-19. Revolusi industri ini pun sedang
berjalan dari masa ke masa. Dekade terakhir ini sudah dapat disebut memasuki fase
keempat 4.0. Perubahan fase ke fase memberi perbedaan artikulatif pada sisi
kegunaaannya. Fase pertama (1.0) bertempuh pada penemuan mesin yang
menitikberatkan (stressing) pada mekanisasi produksi. Fase kedua (2.0) sudah
beranjak pada etape produksi massal yang terintegrasi dengan quality control dan
standarisasi. Fase ketiga (3.0) memasuki tahapan keseragaman secara massal yang
bertumpu pada integrasi komputerisasi. Fase keempat (4.0) telah menghadirkan
digitalisasi dan otomatisasi perpaduan internet dengan manufaktur.7
Berdasarkan kenyataan tersebut, maka perlu adanya perombakan atau
reformasi di dalam tubuh pendidikan Islam. Pendidikan Islam di era 4.0 perlu untuk
turut mendisrupsi diri jika ingin memperkuat eksistensinya. Mendisrupsi diri berarti
menyesuaikan diri dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat serta berorientasi pada
masa depan. Muhadjir Efendy dalam pidatonya mengatakan bahwa perlu ada
reformasi sekolah, peningkatan kapasitas, dan profesionalisme guru, kurikulum yang
dinamis, sarana dan prasarana yang andal, serta teknologi pembelajaran yang
muktakhir agar dunia pendidikan nasional dapat menyesuaikan diri dengan dinamika
zaman (Febrianto Adi Saputro). Ketertinggalan pendidikan Islam selama ini, di
samping disebabkan oleh problematika sebagaimana diuraikan sebelumnya, juga
disebabkan oleh permasalahan laten yang tak kunjung menemui muara penyelesaian.
Rosidin mengungkapkan, ada empat faktor menyebabkan pendidikan Islam kerap
mendapatkan kritik tajam. Pertama, cultural lag atau gap budaya. Hal ini disebabkan
terjadinya ketimpangan antara kecepatan perkembangan IPTEK dengan kecepatan
perkembangan pendidikan. Laju akselerasi perkembangan IPTEK tersebut tidak
diiringi dengan upaya pendidikan Islam untuk turut berakselerasi. Akibatnya,
pendidikan Islam kurang responsif terhadap dinamika perubahan sosial masyarakat.
Sehingga menjadi keniscayaan bila proses pendidikan di dalamnya menjadi kurang
kontekstual.
Kedua, stigma kelas dua. Faktor kedua ini dapat dikatakan sebagai akibat
secara tidak langsung dari faktor pertama. Kelambatan pendidikan Islam dalam
merespon dinamika perkembangan IPTEK dan realitas social menyebabkan stigma
second class nyaman tersemat padanya.
Ketiga, dikotomisasi ilmu. Sampai dengan saat ini dikotomi antara ilmu Islam
(PAI) dengan ilmu umum (IPA, IPS, Bahasa-Humaniora) masih menjadi pekerjaan

7
Hendra Suwardana, Revolusi Industri 4. 0 Berbasis Revolusi Mental, JATI UNIK, Vol.1, No.2,
(2017), hlm. 102-110.
rumah pendidikan Islam. Meski telah banyak dilakukan upaya integrasi antara
keduanya, namun belum menunjukkan hasil yang signifikan.
Keempat, dualisme politik. Tarik ulur kepentingan antara dua lembaga
pemangku kebijakan pendidikan di negeri ini kerap menimbulkan polemik di
kalangan grass root. Meskipun banyak protes dan keluhan dilayangkan, namun
belum ada solusi pakem atas permasalahan ini. Perbedaan kebijakan antara
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Kementerian Agama
(Kemenag) kerap menjadi pemicu polemik. Permasalahan menyangkut gaji,
sertifikasi, insentif pendidik dan sebagainya merupakan contoh dari faktor ini. Dalam
rangka menghadapi pendidikan islam diera 4.0, maka segala persoalan dalam dunia
pendidikan islam haruslah segera dicarikan solusi yang tepat. jika tidak, maka
pendidikan islam tidak akan mampu mewujudkan pendidikan yang kontekstual
terhadap zaman. maka daripada itu maka pendidikan islam haruslah perlu adanya
reformasi dan pembaruan terhadap segenap aspek dalam pendidikan Islam.
Meminjam istilah Rhenald Kasali, ada tiga langkah yang harus dilakukan pendidikan
Islam di era 4.0 ini, yaitu disruptive mindset, self-driving, dan reshape or create.
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Memasuki era disrupsi ini, pendidikan Islam dituntut untuk lebih peka
terhadap gejala-gejala perubahan sosial masyarakat. Pendidikan Islam harus mau
mendisrupsi diri jika ingin memperkuat eksistensinya. Bersikukuh dengan cara dan
sistem lama dan menutup diri dari perkembangan dunia, akan semakin membuat
pendidikan Islam kian terpuruk dan usang (obsolet). Maka dari itu, terdapat tiga hal
yang harus diupayakan oleh pendidikan Islam, yaitu mengubah mindset lama yang
terkungkung aturan birokratis, menjadi mindset disruptif (disruptive mindset) yang
mengedepankan cara- cara yang korporatif. Pendidikan Islam juga harus melakukan
self-driving agar mampu melakukan inovasi-inovasi sesuai dengan tuntutan era 4.0.
Selain itu, pendidikan Islam juga harus melakukan reshape or create terhadap
segenap aspek di dalamnya agar selalu kontekstual terhadap tuntutan dan perubahan.
Revolusi industri 4.0 dengan disruptive innovation-nya menempatkan
pendidikan Islam dalam perjuangan eksistensi yang ketat. Perjuangan tersebut
membawa implikasi masing-masing. Penyelenggara Pendidikan Islam bebas memilih
dalam memposisikan dirinya. Jika ia memilih bertahan dengan pola dan sistem lama,
maka ia harus rela dan legowo bila semakin tertinggal. Sebaliknya jika membuka diri
dan mau menerima era disrupsi dengan segala konsekuensinya, maka ia akan mampu
turut bersaing dengan yang lain.
DAFTAR PUSTAKA

Djoko Hartono, Pengembangan Manajemen Pondok Pesantren Di Era Globalisasi


Surabaya: MQA.
Abdurrahman, Jamaal. 2005. Tahapan Mendidik Anak Teladan Rasulullah SAW,
Bandung: Penerbit Irsyad Baitus Salam.
Abudinnata. 2003. Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam
di Indonesia, Jakarta: Prenada Media.
Achmadi. 2002. Islam sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, Yogyakarta: Aditya
Media.
Al-Qur'an dan Terjemahnya. 1995. Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-
Qur'an Departemen Agama RI.
Azra, Azyumardi. 2000. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju
Milenium Baru, Jakarta: Logos.
Ch, Mufidah. 2008. Psikologi Keluarga Islam, Malang: UIN Malang.
Daradjat, Zakiyah. 1987. Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Bulan Bintang.
---------. 1996. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara.
Departeman Agama Republik Indonesia. 2006. Undang-Undang dan Peraturan
tentang Pendidikan, Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam
Departemen Agama RI

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai