Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

KESULTANAN PAJANG MASA PEMERINTAHAN JAKA TINGKIR

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Nusantara Awal Masehi Sampai

Era Klasik (AKBK1207)

Dosen Pengampu:

Mansyur, S.Pd, M.Hum.

Sriwati, M.Pd.

Daud Yahya, M.Pd.

Disusun Oleh:

Laela Rahmah A2 (2210111220011)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

BANJARMASIN

2023
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-
Nya kepada kita semua. Sholawat serta salam tak lupa pula kita haturkan kepada junjungan kita
Nabi Muhammad SAW serta para pengikutnya hingga akhir zaman. Makalah ini disusun untuk
memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Nusantara Awal Masehi Sampai Era Klasik. Adapun tema
yang dibahas dalam makalah ini adalah Kerajaan Pajang. Penyusun menyadari bahwa makalah
ini kemungkinan adanya kekurangan dan kesalahan yang tidak disengaja. Oleh karena itu kritik
dan saran dari pembaca akan diterima dengan rasa syukur. Semoga karya ilmiah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.

Sabtu, 4 Maret 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................................................. ii
BAB 1 PENDAHULUAN ..........................................................................................................1
A. Latar Belakang ....................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah ...............................................................................................................2
C. Tujuan.................................................................................................................................2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................................3
BAB 3 METODE ........................................................................................................................4
A. Metode ...............................................................................................................................4
B. Sumber Data .......................................................................................................................4
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................................5
A. Awal Berdirinya Kerajaan Pajang .......................................................................................5
B. Kepemimpinan Jaka Tingkir Di Kerajaan Pajang ................................................................6
C. Peninggalan Kerajaan Pajang ..............................................................................................7
BAB 5 PENUTUP .....................................................................................................................9
A. Kesimpulan.........................................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 10

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Munculnya berbagai jenis kerajaan yang memiliki corak Islam di Nusantara, menjadi
bagian awal mula dimana terintegrasinya nilai-nilai Islam yang sifatnya lebih intensif
dalam aspek kehidupan seperti aspek sosial dan politik yang kemudian akan menjadi
suatu kebiasaan bagi kalangan masyarakat untuk menerapkan berbagai ajaran agama
Islam dalam kehidupannya sehari-hari. Pada abad ke-11 M tepatnya di daerah Jawa,
terdapat bukti bahwa telah terjadi proses penyebaran agama Islam yaitu berupa makam,
seperti makam yang terletak di Leran Gresik yaitu makam Fatimah binti Maimun dengan
angka tahunnya yaitu 1082 M atau 475 H. Proses penyebaran agama Islam di kota pesisir
utara Jawa dari Timur kemudian ke bagian Tengah hingga ke bagian Barat telah
menyebabkan berdirinya kerajaan yang memiliki corak Islam. Secara berturut-turut
Demak kemudian ke arah Barat terdapat Cirebon dan Banten, lalu dari arah Demak
kemudian ke arah pedalaman terdapat Kerajaan Pajang dan Mataram. Kesultanan Pajang
merupakan suksesor dari Kesultanan Demak yang telah didirikan oleh Jaka Tingkir, pada
awalnya Pajang merupakan sebuah wilayah kadipaten yang merupakan bagian dari
kesultanan Demak yang terletak di Kelurahan Pajang di Kota Surakarta. Berdirinya
Kerajaan Pajang menjadi sebuah tanda bahwa telah barakhirnya kerajaan Islam yang
terletak di daerah pesisir yaitu Demak dan beralih ke wilayah pedalaman yang secara
tidak langsung menjadi sebuah kerajaan yang bersifat agraris. Setelah Kerajaan Demak
mengalami keruntuhan, ibukotanya kemudian di pindahkan ke Pajang sehingga pada saat
itu dimulailah pemerintahan Kerajaan Pajang. Kesultanan Pajang merupakan kesultanan
yang memiliki corak Islam yang hidupnya tergantung pada budaya agraris karena
letaknya yang secara geografis terletak di pedalaman Jawa, kemudian pengaruh agama
Islam yang menjalar sehingga tersebar ke wilayah pedalaman Jawa, dimana pada masa
pemerintahan raja pertamanya yaitu Sultan Hadiwijaya atau biasa dikenal sebagai Jaka
Tingkir.

1
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana awal berdirinya Kerajaan Pajang?

2. Bagaimana kepemimpinan Jaka Tingkir di Kerajaan Pajang?

3. Apa saja peninggalan dari Kerajaan Pajang?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui bagaimana awal berdirinya Kerajaan Pajang.

2. Untuk mengetahui bagaimana kepemimpinan Jaka Tingkir di Kerajaan Pajang.

3. Untuk mengetahui apa saja peninggalan Kerajaan Pajang.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

Dalam penyusunan makalah ini, penyusun menggunakan buku, jurnal, skripsi


maupun internet yang berkaitan dengan judul makalah sebagai bahan referensi.

Dari hasil penelusuran penulis mengenai Jaka Tingkir dan Kesultanan Pajang,
memang belum banyak ditulis oleh para sejarawan, adapun karya-karya yang ada terbatas
pada pembahasan mengenai Kesultanan Demak. Untuk masalah Budaya dan keagamaan
sendiri lebih banyak yang mengkaji era sesudah Pajang, yaitu Kesultanan Mataram.

Maka dari itu penulis sangat tertarik untuk mengkaji dan mendalaminya. Adapun
buku yang dijadikan sebagai acuan data dalam studi ini, adalah: Buku Karya Supratikno
Rahardjo dan Wiwin Djuwita Ramelan yang berjudul Kota Demak sebagai Bandar
Dagang di jalur sutra, yang membuktikan peran Demak yang notabenenya adalah
kerajaan Islam pesisir sebagai Pelabuhan Dagang Utama di Nusantara.

3
BAB 3
METODE

A. Metode

Pada penelitian ini metode yang digunakan ialah metode penelitian kualitatif dengan
menggunakan pendekatan kepustakaan yaitu dengan mengumpulkan data yang diambil
melalui buku, jurnal, literatur dan lain-lain yang sesuai dengan pokok pembahasan
penelitian yang dilakukan.

B. Sumber Data

Data yang digunakan dalam penyusunan makalah ini adalah data sekunder seperti skripsi,
jurnal ilmiah, dan artikel yang bersumber dari internet.

4
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Awal Berdirinya Kerajaan Pajang

Kesultanan Pajang adalah sebuah kerajaan yang berpusat di Jawa Tengah sebagai
kelanjutan Kesultanan Demak. Jaka Tingkir mewarisi tahta Demak dikarenakan faktor politik
yang dimiliki serta berdasarkan garis keturunan yang masih memiliki darah Raja Majapahit.
Disamping itu Jaka Tingkir juga merupakan menantu dari Sultan Trenggana, Sultan Demak
ke-3. Kompleks keraton, yang sekarang telah dipugar, berada di perbatasan Kelurahan Pajang,
Kota Surakarta dan Desa Makamhaji, Kartasura, Sukoharjo.

Di zaman Jaka Tingkir memerintah Pajang, yaitu pada tahun 1578 seorang pemberontak
bernama Wargautama dikalahkan oleh pasukan kerajaan Pajang dari pusat. Berita dari Babad
Banyumas ini menunjukkan masih kuatnya Pajang menjelang akhir pemerintahan Jaka
Tingkir. Kekuasaan Pajang ke Timur meliputi wilayah Madiun. Ada dugaan bahwa Jaka
Tingkir sebgai raja Islam berhasil dalam diplomasinya sehingga pada tahun 1581, disebutkan
pula bahwa Arosbaya (Madura Barat) pun mengakui kekuasaan Jaka Tingkir.

Sebagai Murid dari salah satu anggota Wali Songo, yakni Sunan Kalijaga. Jaka Tingkir
merasa berkewajiban melanjutkan dakwah sesuai dengan cara yang pernah dipergunakan oleh
sang guru. Sunan Kalijaga selama ini telah merancang proyek kebudayaan Islam lokal dalam
rangka menyebarkan nilai-nilai religius yang senafas dengan tradisi Jawa (pengadatan Jowo)
melalui proses asimilasi dan akulturasi yang panjang. Sunan Kalijaga terkenal sebagai seorang
pujangga yang berinisiatif menciptakan karangan cerita-cerita pewayangan yang kemudian
dikumpulkan dalam kitab-kitab cerita wayang yang sampai sekarang masih ada. Cerita-cerita
itu masih berbentuk cerita menurut kepercayaan Hindu Jawa dengan corak kehidupannya yang
ada, tetapi sudah dimasuki unsur-unsur ajaran Islam sebanyak mungkin. Hal semacam inilah
yang ingin dilanjutkan oleh Jaka Tingkir dengan Kerajaan Pajang sebagai
Laboratorium Dakwahnya.

1. Pendiri-pendiri Kerajaan Pajang

a. Jaka Tingkir

Jaka Tingkir ialah adipati yang berasal dari wilayah Pajang yang kemudian berhasil
memindahkan ibukota Demak yang awalnya berada di daerah pesisir menuju ke daerah
pedalaman yaitu di wilayah Pajang.

5
b. Arya Pangiri

Arya Pangiri adalah putra Sunan Prawoto raja keempat Demak, yang tewas dibunuh
Arya Penangsang tahun 1549. Ia kemudian diasuh bibinya, yaitu Ratu
Kalinyamat di Jepara.

c. Pangeran Benawa

Pangeran Benawa adalah raja ketiga Kesultanan Pajang yang memerintah tahun 1586-
1587, bergelar Sultan Prabuwijaya. Pangeran Benawa adalah putra Sultan Hadiwijaya
alias Jaka Tingkir, raja pertama Pajang. Sejak kecil ia dipersaudarakan dengan
Sutawijaya, anak angkat ayahnya, yang mendirikan Kesultanan Mataram.

B. Kepemimpinan Jaka Tingkir Di Kerajaan Pajang

Pada masa pemerintahan Jaka Tingkir, Kesultanan Pajang mengalami puncak


kejayaannya. Pada awal berdirinya, wilayah kekuasaan Kesultanan Pajang hanya mencakup
bagian sebelah Barat Bagelan (Lembah Bogowonto) dan juga wilayah Kedu (Lembah Progo
Atas). Namun, Pajang tidak pernah melakukan perluasan wilayah kekuasaan ke daerah di luar
lautan karena Kesultanan Pajang sendiri terletak didaerah pedalaman Jawa. Berdasarkan berita
tahun 1580, yaitu oleh seorang pelaut yang berasal dari Inggris bernama Francis Dake,
menyatakan bahwa pada tahun tersebut seluruh kerajaan di tanah Jawa kecuali Blambangan telah
tunduk kepada raja Pajang, yaitu Jaka Tingkir. Daerah yang dulunya telah melepaskan diri
setelah runtuhnya Kesultanan Demak, mampu di taklukkan oleh Kesultanan Pajang sehingga
wilayah cakupan Kesultanan Pajang terdiri dari daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur kecuali
daerah Blambangan.

Sistem pemerintahan yang di terapkan oleh Jaka Tingkir di Kesultanan Pajang yaitu
dengan mengangkat para sahabatnya untuk memegang posisi penting di Pajang, yaitu yang
menjabat sebagai Kepala Pemerintahan atau Patih ialah Aria Mancanegara atau Mas Manca,
sebagai Tumenggung atau Panglima ialah Martanagara, sebagai Mentri ialah Ki Wuragil, adapun
di Mataram Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi diangkat oleh Jaka Tingkir sebagai adipati di
Pati dan Mataram karena mereka telah membantu Jaka Tingkir melakukan perlawanan terhadap
Arya Penangsang serta wilayah Jepara dan Jipang yang telah menjadi wilayah bawahan
Kesultanan Pajang setelah terbunuhnya Arya Penangsang. Dalam lingkungan istana, tercipta
suasana Islami yang senantiasa diusahakan oleh Jaka Tingkir seperti dengan adanya tata tertib
yang menggunakan adat Jawa berdasarkan ajaran dari Sunan Kalijaga dan juga terdapat adat atau
kebiasaan seperti cara berpakaian, makan dan bergaul dengan lingkungan keluarga maupun

6
masyarakat yang dimana adat atau kebiasaan tersebut telah diajarkan atau diberikan kepada
setiap individu sejak lahir.

C. Peninggalan Kerajaan Pajang

Dalam buku berjudul Kraton Pajang tulisan Dr Purwadi, dikisahkan Pajang punya
posisi yang penting di tanah Jawa. Pajang merupakan titik temu dinasti besar kerajaan Jawa
yang menempuh jalan spiritual, intelektual, sosial, dan kultural. Keraton Pajang menduduki
posisi yang amat penting dalam pentas sejarah nasional. Seperti yang terjadi pada keraton-
keraton kuno di Jawa pada umumnya, Keraton Pajang ditinggalkan begitu saja seiring
berdirinya Mataram. Bekas fisiknya nyaris tak terlihat akibat pelapukan selama ratusan tahun.
Tak ada sisa benteng, bekas bangunan atau semacamnya yang menggambarkan perjalanan
fisik Keraton Pajang selama ratusan tahun. Yang masih tersisa dari Keraton Pajang hanyalah
sisa-sisa kayu yang dahulunya merupakan getek atau rakit yang pernah dinaiki Jaka Tingkir
saat melawan buaya. Kemudian sebuah batu yang dulunya menjadi tempat bersemadi dan
sebuah sendang yang airnya selalu jernih meskipun terletak di pinggir sungai yang keruh dan
kotor. Di sini juga masih terdapat beberapa artefak peninggalan masa lalu.Dalam perjalanan
selanjutnya, proses pemugaran dan rekonstruksi dilakukan dengan mendirikan bangunan baru
yang sengaja dibuat untuk menyelamatkan petilasan tersebut. Ada sebuah pendapa, beberapa
buah patung Kala (Raksasa) seperti yang terdapat di kerajaan-kerajaan Hindu, beberapa
bangunan penunjang lainnya yang secara keseluruhan lebih mirip sebuah taman. Upaya ini
dilakukan pada tahun 1993 oleh Paguyuban Marsudi Petilasan Keraton Pajang dan bahkan
pendapa telah diubah mirip seperti keraton khas Jawa dengan cat warna hijau seperti yang
dapat ditemukan di Keraton Yogyakarta lengkap dengan dinding bata khas Majapahit dan atap
sirap. Masjid Laweyan dibangun pada era kekuasaan Jaka Tingkir sekitar tahun 1568.
Merupakan masjid pertama di Kerajaan Pajang. Awalnya merupakan pura agama Hindu
dengan seorang biksu sebagai pemimpin. Namun dengan pendekatan secara damai, seiring
dengan banyaknya rakyat yang mulai memeluk agama Islam, bangunan diubah fungsinya
menjadi Masjid.Bersamaan dengan itu, tumbuh sebuah pesantren dengan jumlah pengikut
yang lumayan banyak. Konon karena banyaknya santri, pesantren ini tidak pernah berhenti
menanak nasi untuk makan para santri sehingga selalu keluar asap dari dapur pesantren dan
disebutlah wilayah ini sebagai Kampung Belukan (beluk = asap). Masjid ini dibangun oleh
Jaka Tingkir dan sahabatnya, Ki Ageng Henis. Seperti layaknya sebuah masjid, Masjid
Laweyan berfungsi sebagai tempat untuk nikah, talak, rujuk, musyawarah, dan kegiatan social
lainnya Bentuk arsitek masjid yang mirip seperti Kelenteng Jawa, juga menjadi ciri khas
Masjid Laweyan yang berbeda dengan bentuk arsitek masjid pada umumnya. Pengaruh Hindu-
Jawa sangat melekat dalam arsitektur Masjid Laweyan. Tampak dari penataan ruang dan sisa

7
ornamen yang masih dapat ditemukan di sekitar masjid hingga saat ini. Letak masjid berada di
atas bahu jalan merupakan salah satu ciri dari pura Hindu. Tak hanya fungsi, bentuk
bangunannya pun mengalami perubahan sebelum fisiknya yang sekarang. Pura yang beralih
menjadi masjid semula berbentuk rumah panggung bertingkat dari kayu. Pengaruh Hindu
terlihat dari posisi masjid yang lebih tinggi dibandingkan bangunan di sekitarnya. Saat ini,
sejumlah ornamen Hindu memang tak lagi menghiasi masjid. Tetapi, ornamen Hindu seperti
hiasan ukiran batu masih menghiasi makam kuno yang ada di kompleks masjid Tata ruang
Masjid Laweyan merupakan tipologi masjid Jawa pada umumnya. Ruang dibagi menjadi tiga,
yakni Ruang Induk (Utama) dan Serambi yang dibagi menjadi Serambi Kanan dan Serambi
Kiri. Pengaruh Kerajaan Surakarta terlihat dari berubahnya bentuk masjid menyerupai
bangunan Jawa yang terdiri atas pendapa atau bangunan utama dan serambi. Ada dua serambi,
yakni kanan dan kiri. Serambi kanan menjadi tempat khusus putri atau keputren, sedangkan
Serambi Kiri merupakan perluasan untuk tempat shalat jamaah Ciri arsitektur Jawa ditemukan
pula pada bentuk atap masjid, dalam arsitektur Jawa, bentuk atap menggunakan tajuk atau
bersusun. Atap Masjid Laweyan terdiri atas dua bagian yang bersusun. Pada dinding masjid
yang terbuat dari susunan batu bata dan semen. Penggunaan batu bata sebagai bahan dinding,
baru digunakan masyarakat sekitar tahun 1800. Sebelum dibangun seperti sekarang, bahan-
bahan bangunan masjid, sebagian menggunakan kayu Seperti halnya Masjid Demak yang
termasuk kategori ‘Masjid Makam’, Kompleks Masjid Laweyan mengikuti pola yang sama
dengan mengintegrasikan masjid dengan makam kerabat Keraton Pajang, Kartasura dan
Kasunanan Surakarta. Pada makam terdapat pintu gerbang samping yang khusus dibuat untuk
digunakan oleh Sunan Paku Buwono X untuk ziarah ke makam dan hanya digunakan 1 kali
saja karena 1 tahun setelah kunjungan itu beliau wafat. Beberapa orang yang dimakamkan di
tempat itu di antaranya:. Susuhunan Paku Buwono II yang memindahkan Kraton Kartasura ke
Desa Sala hingga menjadi Kraton Kasunanan Surakarta. Konon Paku Buwono II ingin
dimakamkan dekat dengan Kyai Ageng Henis dan bertujuan untuk menjaga Kraton
Kasunanan Surakarta dari serangan musuh. Di makam ini terdapat tumbuhan langka pohon
nagasari yang berusia lebih dari 500 tahun yang merupakan perwujudan penjagaan makam
oleh naga yang paling unggul. Selain itu pada gerbang makam terdapat simbolisme
perlindungan dari Batari Durga. Keberadaan makam direnovasi oleh Paku Buwono X
bersamaan dengan renovasi Kraton Kasunanan.

8
BAB 5
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Kesultanan Pajang
merupakan kesultanan yang memiliki corak Islam yang hidupnya tergantung pada budaya
agraris karena letaknya secara geografis yaitu terletak di pedalaman Jawa kemudian pengaruh
agama Islam yang menjalar sehingga tersebar ke wilayah pedalaman Jawa. Kerajaan Islam
pertama yang terletak di daerah pedalaman ialah Kesultanan Pajang, pada masa-masa
sebelumya kerajan yang memiliki corak Islam letaknya selalu berada di daerah pesisir hal
tersebut disebabkan karena agama Islam yang datang atau masuk melalui pedagang yang
mayoritasnya berasal dari Asia Barat yang berlabuh di pesisir. Kesultanan Pajang selama masa
pemerintahan Jaka Tingkir yang memiliiki gelar Sultan Hadiwijaya mengalami puncak
kejayaannya walaupun letaknya yang berada di wilayah pedalaman kesultanan Pajang dapat
dikatakan mengalami kemajuan dalam berbagai aspek kehidupan.Seperti dalam aspek
ekonomi Kesultanan Pajang menjadi Lumbung beras selama abad ke-16 dan abad ke-17 dalam
bidang kesenian di Kesultanan Pajang berkembang wayang Kidang Kencana yang memiliki
ukuran yang lebih kecil dari ukuran wayang pada umumnya, dalam bidang politik di
Kesultanan Pajang diterapkannya sistem pemerintahan politik terbuka, dimana melalui sistem
politik terbuka tersebut Jaka Tingkir mengakomodir pemikiran-pemikiran pada saat itu dan
dalam bidang keagaman, Jaka Tingkir melakukan dakwah sesuai dengan ajaran dari Sunan
Kalijaga melalui kebudayaan dan tradisi yang sudah berkembang.

9
DAFTAR PUSTAKA

Bachtiar Effendy. Islam & Negara : Transformasi Pemikiran dan praktik Politk Islam di
Indonesia. (Jakarta : Paramadina, 1998).

Bambang Setiabudhi. Menelusuri Arsitektur Masjid di Jawa, dalam Mencari Sebuah Masjid .
(Bandung: Penerbit Masjid, 2000).

Departemen Pendidikan & kebudayaan. Keanekaragaman bentuk masjid di Jawa. [Jakarta :


Proyek Penelitian Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya, 1993).

Fahmi, S. (2019). Peralihan Kesultanan Pajang ke Mataram: Konfrontasi Antara Sultan


Hadiwijaya dengan Senopati Ing Alaga. 22-94.

Handinoto dan Samuel Hartono. 'Pengaruh pertukangan Cina pada Bangunan Masjid Kuno di
Jawa abad 15-16'. Dimensi Teknik Arsitektur. Vol. 35, No. 1, Juli 2007, pp. 23 – 40.

Imron Abu Amar. Sunan Kalijaga Kadilangu Demak. (Kudus: Menara Kudus, 1992).

Jo Santoso. Arsitektur-kota Jawa: kosmos, kultur & kuasa. (Jakarta : Universitas


Tarumanegara Press, 2008).

Josef Prijotomo & Johannes Adiyanto. Kembara kawruh arsitektur Jawa. (Surabaya : Wastu
Lanas Grafika, 2004)

Purwadi & Djoko Dwiyanto. Kraton Surakarta : sejarah, pemerintahan, konstitusi,


kesusastraan, dan kebudayaan. (Yogyakarta : Panji Pustaka, 2008).

Purwadi. Kraton Pajang Titik Temu Dinasti Besar Kerajaan Jawa Yang Menempuh Jalan
Spiritual Intelektual Sosial dan Kultural. (Jakarta : Panji Pustaka, 2008).

10

Anda mungkin juga menyukai