Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN
A. IMLTD
Transfusi darah adalah suatu kegiatan penyaluran darah yang
bertujuan untuk pemulihan kesehatan, penyembuhan penyakit hingga
menyelamatkan pasien yang kekurangan darah. Darah yang akan
dilakukan transfusi kepada pasien harus melalui pengecekan keamanan
terlebih dahulu karena harus terbebas dari infeksi yang dapat
ditularkan melalui transfusi darah. Penyakit yang dapat ditularkan
melalui transfusi darah disebut Infeksi Menular Lewat Transfusi Darah
(IMLTD) (Chusna dan Sari, 2023).
Uji saring darah dilakukan untuk mengetahui kondisi darah jika
terdapat virus-virus penyakit berbahaya pada darah yang bisa
ditularkan lewat transfusi darah seperti contohnya infeksi HIV,
HBsAg, HCV dan sifilis ataupun jenis virus lainnya, sehingga
tindakan transfusi darah merupakan tindakan dengan risiko tinggi. Uji
saring IMLTD bertujuan untuk menghindari risiko penularan infeksi
dari donor kepada pasien dengan cara seaman mungkin (Ilhami dkk,
2020; Kisniarti dkk, 2023).
Menurut Cahyaningsih dkk (2020), uji saring HIV dapat dideteksi
dengan memeriksa antibodi HIV1 atau HIV2 (anti-HIV1 atau HIV2),
sifilis dapat dideteksi dengan memeriksa antibodi Treponema pallidum
(anti-TP), hepatitis B dapat dideteksi dengan memeriksa Hepatitis B
surface antigen (HBsAg), dan hepatitis C dapat dideteksi dengan
memeriksa antibodi Hepatitis C (anti-HCV). Hasil positif dari uji
saring IMLTD menunjukkan darah tersebut beresiko tinggi terhadap
penularan infeksi dan tidak dapat ditransfusikan kepada resipien.
Pencegahan penularan penyakit infeksi dapat dilakukan dengan uji
saring sebelum darah donor ditransfusikan kepada pasien
(Cahyaningsih dkk, 2020). Deteksi infeksi menular lewat transfusi
darah dapat dilakukan terhadap antigen dan antibodi melalui metode

1
rapid test, Enzyme Immuno Assay (ELISA), Chemiluminesence
Immuno Assay (CLIA) dan melalui materi genetik virus dengan
metode Nucleic Acid Test (NAT) (Puspita, 2021).
Uji saring IMLTD merupakan komponen inti setiap program
pelayanan darah nasional. Perkembangan yang sangat besar dalam uji
saring IMLTD, ditandai dengan teridentifikasinya agen infeksi baru
maupun pengembangan metode yang digunakan. Sebagai contoh
pemeriksaan skrining HIV telah berkembang sejak 20 tahun yang lalu
dengan penyempurnaan sensitivitas sampai saat ini dilakukan dengan
implementasi pemeriksaan NAT HIV (Vishram dkk, 2019).
Pelayanan transfusi darah di UTD meliputi rekrutmen pendonor,
seleksi pendonor, pengambilan darah lengkap, pengambilan darah
apheresis, umpan balik pelanggan, pengolahan komponen darah,
spesifikasi dan kontrol mutu komponen darah, uji saring IMLTD,
pengujian serologi golongan darah, penyimpanan darah, distribusi
darah, kontrol proses (termasuk jaminan mutu), sistem komputerisasi,
pengelolaan Mobile Unit dan notifikasi donor reaktif IMLTD.
Kegiatan pengamanan darah dimulai dari proses seleksi pendonor
hingga uji saring IMLTD. Uji saring IMLTD dilakukan untuk
menghindari risiko penularan infeksi dari donor darah kepada pasien
merupakan bagian yang kritis dari proses penjaminan bahwa transfusi
dilakukan dengan cara seaman mungkin (Kemenkes, 2023).
Setiap negara harus menetapkan sistem uji saring IMLTD yang
efisien untuk menjamin bahwa darah donor dilakukan uji saring
IMLTD secara tepat dan hanya darah dan komponen darah yang tidak
reaktif yang digunakan untuk kepentingan klinis maupun fraksinasi
plasma. Sebagian besar penularan penyakit tersebut dapat melalui luka
terbuka, hubungan seksual, transfusi darah, obat intravena atau jarum
suntik, hingga vertikal darah ibu ke janin melalui infeksi perinatal,
intrauterine, dan air susu ibu. (Kemenkes, 2023).
Ruangan yang digunakan untuk uji saring IMLTD harus

2
memenuhi sistem manajemen mutu untuk unit penyedia darah. Setiap
permukaan meja kerja harus dibersihkan secara teratur menggunakan
bahan virucidal yang telah disetujui. Ruangan uji saring IMLTD
hanya boleh dimasuki oleh petugas yang berwenang. Sampel uji
saring IMLTD harus diambil dan ditangani sesuai dengan instruksi
pabrik, serta divalidasi sebelum digunakan. Setiap tabung sampel
harus memiliki identitas yang dapat dikaitkan dengan donor darah,
darah yang disumbangkan dan hasil uji saring IMLTD. Peralatan yang
dipergunakan tergantung pada metoda uji saring yang digunakan.
Semua jenis peralatan yang digunakan untuk uji saring IMLTD harus
dikalibrasi dan dipelihara secara teratur. Label kalibrasi yang masih
berlaku harus tertera pada alat tersebut. Setiap peralatan harus
dikualifikasi sebelum digunakan. Bahan uji saring IMLTD selanjutnya
disebut reagen, harus lulus evaluasi yang dilakukan oleh badan yang
diberi kewenangan dan divalidasi sebelum digunakan. Sampel uji
saring IMLTD harus ditangani, disimpan dan ditransportasikan pada
kondisi sesuai dengan instruksi pabrik, sehingga yang telah divalidasi
akan menjaga mutu dan integritasnya. Darah yang hasil uji saring
belum ada, harus disimpan terpisah di lemari pendingin untuk darah
berlabel “Darah Karantina”. Pencatatan tentang proses uji saring,
bahan dan peralatan yang digunakan serta petugas yang terlibat harus
disimpan (Supadmi dan Purnamaningsih, 2019).
Menurut Kementerian Kesehatan RI, 2015 algoritma uji saring
IMLTD di laboratorium yang sudah melaksanakan sistem mutu, harus
memenuhi kaidah-kaidah berikut ini :
a. Pemeriksaan uji saring dilakukan satu kali pada setiap kantong
darah.
b. Bila hasil pemeriksaan uji saring pertama non-reaktif, darah dapat
dikeluarkan.
c. Jika hasil uji saring pertama kali reaktif, lakukan uji saring ulang in
duplicate pada sampel yang sama dengan reagen yang sama yang

3
masih valid, seperti yang di pakai pada pemeriksaan pertama kali.
d. Jika hasil uji saring ulang in duplicate menunjukkan reaktif pada
salah satu atau keduanya, maka darah dimusnahkan.
e. Namun, jika hasil uji saring ulang in duplicate menunnjukkan hasil
non-reaktif pada keduanya, maka darah dapat dikeluarkan.
f. Uji saring ulang in duplicate pada sampel yang sama dapat
dilakukan dalam kurun waktu penyimpanan sampel yang telah
ditetapkan.
Uji saring darah terhadap IMLTD dahulu dilakukan dengan
metode rapid test dengan metode immunokromatografi, namun
sensitivitas dan spesifitasnya tidak cukup baik untuk mengeliminasi
kejadian darah yang terkontaminasi IMLTD. Oleh karena itu,
diperlukan metode lain yang lebih sensitif dan spesifik untuk
mengeliminasi adanya IMLTD terutama pada darah donor yang
memiliki konsentrasi virus yang rendah. CLIA merupakan metode
yang menjanjikan untuk digunakan sebagai metode pemeriksaan salah
satunya karena batas deteksi (Limit of Detection) yang rendah
(Supadmi dan Purnamaningsih, 2019).
Uji saring IMLTD harus dilakukan oleh petugas terlatih dengan
menggunakan metode dan prosedur yang telah ditetapkan seperti
rapid test, Enzyme Immuno Assay (EIA), Chemiluminescence Immuno
Assay (CLIA), dan terhadap materi genetik virus seperti metoda
Nucleic Acid Amplification Test (NAT). Jika metode EIA tidak efisien
secara biaya, maka uji saring IMLTD dapat disentralisasikan ke UTD
yang telah mampu melakukannya. Uji saring IMLTD melengkapi
proses seleksi donor (Supadmi dan Purnamaningsih, 2019).
B. HIV
1. Definisi
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah jenis virus yang
tergolong familia retrovirus, sel-sel darah putih yang diserang oleh
HIV pada penderita yang terinfeksi adalah sel-sel limfosit T (CD4)

4
yang berfungsi dalam sistem imun (kekebalan) tubuh (Satiti dkk,
2019).
Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang
menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan melemahkan
kemampuan tubuh untuk melawan berbagai jenis penyakit.AIDS
(Aquired Immune Deficiency Syndrome), merupakan kumpulan dari
gejala-gejala penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus yang
menyerang sistem imun (Syadidurrahman dkk, 2020).
Penurunan sistem imun tersebut menyebabkan seseorang
mudah mengaӏami penyakit seperti TB (Tubercuӏosis) dan berbagai
radang atau infeksi (Darti & Imeӏda, 2019). Stadium AIDS
memerlukan pengobatan antiretroviral (ARV) untuk mengurangi
jumlah virus HIV di dalam tubuh (Ramni dkk, 2018).
Sel limfosit, CD4, dan viral load adalah tiga komponen tubuh
yang berkaitan erat dengan HIV. Leukosit merupakan sel imun
utama, selain makrofag, sel plasma, dan sel mast. Sel limfosit
adalah salah satu jenis leukosit (sel darah putih) di dalam darah dan
jaringan getah bening. Terdapat dua jenis limfosit, yaitu limfosit T
yang diproses di kelenjar thymus dan limfosit B yang diproses di
bursa omentalis, limfosit B berperan penting pada respons imun
humoral melalui aktivasi produksi imun humoral, yaitu antibodi
berupa imunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE). Limfosit T
berperan penting pada respon imun seluler, yaitu melalui
kemampuannya mengenali kuman patogen dan mengaktivasi imun
seluler lainnya, seperti fagosit serta limfosit B dan sel-sel
pembunuh alami (misalnya fagosit). Limfosit T berfungsi
menghancurkan sel yang terinfeksi kuman patogen dan memiliki
kemampuan memori, evolusi aktivasi, dan replikasi cepat, serta
bersifat sitotoksik terhadap antigen yang berguna mempertahankan
kekebalan tubuh. CD (cluster of differentation) adalah reseptor
tempat “melekat” nya virus pada dinding limfosit T. Pada infeksi

5
HIV, virus dapat melekat pada reseptor CD4 atas bantuan
koreseptor CCR4 dan CXCR5. Limfosit T CD4 (atau disingkat
CD4), merupakan petunjuk untuk tingkat kerusakan sistem
kekebalan tubuh karena pecah atau rusaknya limfosit T pada
infeksi HIV. Nilai normal CD4 sekitar 8.000-15.000 sel/mml,
apabila jumlahnya menurun drastis, artinya kekebalan tubuh sangat
rendah, sehingga memungkinkan berkembangnya infeksi
oportunistik, sedangkan viral load adalah kandungan atau jumlah
virus dalam darah. Pada infeksi HIV, viral load yang merupakan
jumlah virus didalam darah dapat diukur dengan alat tertentu,
misalnya dengan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR).
Semakin besar jumlah viral load pada penderita HIV, semakin
besar pula kemungkinan penularan HIV kepada orang lain
(Kementerian Kesehatan RI, 2014; Joegijantoro, 2019).
Kebanyakan orang yang terinfeksi HIV akan berlanjut menjadi
Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) apabila tidak
diberi pengobatan dengan antiretrovirus (ARV). AIDS adalah
kumpulan gejala maupun penyakit yang disebabkan oleh virus HIV
yang merusak sistem kekebalan tubuh manusia, sehingga tubuh
mudah diserang penyakit lain yang dapat berakibat fatal. Pada
tahap AIDS, biasanya virus sudah berkembang dan menyebabkan
kehilangan sel darah putih (sel CD4+/T helper cells) secara
signifikan (Kemenkes, 2019).

2. Etiologi
Etiologi HIV-AIDS adalah Human Immunodeficiency Virus
(HIV) yang merupakan virus sitopatik yang diklasifikasikan dalam
family retroviridae, subfamili lentiviridae, genus lentivirus.
Berdasarkan strukturnya HIV termasuk family retrovirus yang
merupakan kelompok virus RNA yang mempunyai berat molekul
0,7 kb (kilobase). Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu HIV-1 dan

6
HIV-2. Masing-masing grup mempunyai berbagai subtipe. Diantara
kedua grup tersebut, yang paling banyak menimbulkan kelainan
dan lebih ganas di seluruh dunia adalah grup HIV-1 (Owens dkk,
2019).
Menurut Mailani, 2024 ada dua jenis HIV yaitu HIV-1 dan
HIV-2. Penyebab utama AIDS di dunia saat ini mayoritas adalah
HIV-1. Kedua tipe HIV dibedakan berdasarkan susunan genom dan
hubungan filogeni dengan lentivirus lainnya. HIV-1 merupakan
jenis HIV yang paling bersifat virulen, mudah ditransmisikan dan
penyebab infeksi terbesar di seluruh negara, HIV tipe 2 bersifat
tidak mudah ditransmisikan.
3. Cara Penularan
Penuӏaran HIV terjadi secara kontak ӏangsung cairan membran
mukosa dan aӏiran darah yang terinfeksi virus seperti darah dan
cairan vagina (Putri dkk, 2021). Penuӏaran sendiri dapat terjadi
meӏaӏui hubungan intim (vaginaӏ, anaӏ, ataupun oraӏ), transfusi
darah, jarum suntik yang terkontaminasi (Hubaybah dkk, 2021).
Menurut Kusmiran (2011) terdapat 3 cara penularan HIV, yaitu :
a. Melalui hubungan seksual
Hubungan seksual merupakan jalur utama penularan
HIV/AIDS yang paling umum ditemukan. Virus dapat ditularkan
dari seseorang yang sudah terkena HIV kepada mitra seksualnya
(pria ke wanita, wanita ke pria, pria ke pria) melalui hubungan
seksual tanpa pengaman (kondom).
b. Parental (produk darah)
Penularan yang dapat terjadi melalui transfusi darah, atau
penggunaan alat-alat yang sudah dikotori darah seperti jarum
suntik, jarum tato, tindik dan sebagainya.
c. Perinatal
Penularan melalui ibu kepada anaknya. Ini bisa terjadi pada
saat anak masih berada dalam kandungan, ketika dalam proses lahir

7
atau sesudah lahir. Kemungkinan ibu pengidap HIV melahirkan
bagi HIV positif adalah 15%-39%. Seorang bayi yang baru lahir
akan membawa antibody ibunya, begitupun kemungkinan positif
dan negatifnya si bayi tertular HIV adalah tergantung dari seberapa
parah tahapan perkembangan AIDS pada diri sang ibu. Sebaiknya
tes darah sebelum hamil.

Faktor penularan HIV ibu ke bayi terdapat 3 faktor, yaitu


faktor ibu meliputi viral load, kadar CD4, status gizi selama
kehamilan, dan penyakit infeksi selama kehamilan. Faktor bayi
meliputi usia kehamilan, berat badan saat lahir, periode
pemberian ASI, dan luka di mulut bayi. Faktor obstetrik
meliputi jenis persalinan, lamanya persalinan, ketuban pecah
lebih dari empat jam, dan tindakan episiotomi, ekstraktomi,
vakum dan forsep (Hidayati dkk, 2019).

Persalinan aman ibu dengan HIV bertujuan untuk


menurunkan risiko terpaparnya HIV ibu ke bayi dan tenaga
kesehatan. Persalinan pervaginam atau normal beresiko lebih
besar dibandingkan dengan persalinan bedah sesar, karena
pada persalinan pervaginam bayi terpapar darah dan lendir ibu
dari jalan lahir. Penularan HIV dari ibu ke bayi akibat
persalinan pervaginam mengakibatkan tekanan plasenta
meningkat sehingga terjadinya sedikit pencapuran antara darah
ibu dan darah bayi, lebih sering terjadi jika plasenta meradang
atau terinfeksi, bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir,
bayi mungkin juga terinfeksi karena menelan darah ataupun
lendir ibu. Bayi yang dilahirkan dengan persalinan pervaginam
memiliki peluang lebih besar yaitu 10.6% terjadinya penularan
HIV dari ibu ke bayi dibandingkan dengan kelahiran seksio
sesaria yang hanya memiliki peluang penularan sebesar 1,8%

8
(Ambelina and Yanti, 2019). Kelompok yang beresiko terkena
HIV adalah :

a. Wanita dan laki-laki yang selalu berganti-ganti pasangan


dalam melakukan hubungan seksual.
b. Wanita dan laki-laki pekerja seks.
c. Melakukan hubungan seksual yang tidak wajar seperti
melalui anal dan mulut, homoseksual dan biseksual.
d. Penyalahgunaan obat-obatan melalui suntikan secara
bergantian.

4. Manifestasi Klinis
Menurut Parekh dkk, 2019 ada tiga tahapan utama setelah
infeksi HIV pada individu yang tidak diobati, yang ditandai
dengan gejala klinis dan marker biologis yang digunakan dalam
diagnosis dan pemantauan menggunakan pengujian laboratorium.
Tahap pertama adalah fase akut, ditandai dengan penggandaan
dan penyebaran virus yang cepat di dalam tubuh, biasanya
memerlukan waktu sekitar 2 hingga 4 minggu setelah infeksi.
Selama tahap ini, terjadi ledakan replikasi virus dengan pelepasan
dan puncak antigen p24 (Ag) dalam darah. Selama tahap akut,
gejala beberapa orang mirip flu, seperti sakit kepala, demam, dan
ruam, selama beberapa minggu. Tahap kedua adalah tahap kronis
atau tanpa gejala, di mana virus terus berkembang biak namun
dalam jumlah yang rendah dan individu yang terinfeksi mungkin
tidak bergejala. Sistem kekebalan tubuh juga mulai memproduksi
antibodi (Ab), yang bertepatan dengan penurunan viral load ke
kondisi stabil. Selain itu, terjadi penurunan kadar antigen p24
seiring dengan turunnya viral load karena antigen p24 diikat oleh
antibodi membentuk kompleks antigen antibodi-p24, sehingga
menurunkan kadar antigen p24 bebas dalam darah. Periode dari
infeksi hingga munculnya Ab (serokonversi) dikenal sebagai
9
“periode jendela”. Seiring dengan berlanjutnya replikasi virus,
jika pasien tetap tidak diobati, sel CD4 yang berfungsi sebagai sel
target inang untuk replikasi virus, secara bertahap akan
dihancurkan, sehingga menyebabkan penurunan jumlah sel CD4.
Tahap ketiga, fase AIDS, dengan replikasi virus yang terus-
menerus dan berkurangnya sel CD4, menyebabkan melemahnya
sistem kekebalan tubuh. Tahap akhir ditandai dengan infeksi
oportunistik dan gejala klinis lainnya. Infeksi HIV yang sedang
berlangsung menyebabkan penurunan jumlah sel CD4 yang
progresif. Pada penderita HIV/AIDS jumlah sel CD4 terus
menurun dan pada saat infeksi oportunistik mulai muncul, semua
sel CD4 akan hilang (Madigan dkk, 2019).
Marker biologis RNA HIV, antibodi HIV, antigen p24, dan
sel CD4 yang muncul pada berbagai tahap setelah infeksi, telah
dimanfaatkan untuk diagnostik laboratorium HIV untuk berbagai
aplikasi, termasuk penentuan antibodi seseorang, untuk
membedakan infeksi baru dan jangka panjang (antibodi, antigen
p24, dan viral load), penentuan stadium dan pemantauan
perkembangan penyakit (CD4), identifikasi serta pemantauan
pengobatan efektivitas atau kegagalan (viral load) (Parekh dkk,
2019).
5. Diagnosis
a. Metode Rapid Test
Rapid test merupakan uji saring sekali pakai yang umumnya
didasarkan pada bentuk imunokromatografi. Imunokromatografi
merupakan teknik dengan sampel yang ditambahkan akan mengalir
ke strip insert dan bereaksi dengan reagen yang sebelumnya tidak
bergerak. Reaksi positif divisualisasikan sebagai titik atau pita yang
muncul pada strip perangkat. Sampel yang digunakan dapat berupa
plasma, serum, atau whole blood (World Health Organization,
2009).

10
Metode rapid mempunyai keuntungan yaitu user friendly
(mudah dikerjakan), penggunaaan sampel sedikit, meskipun ada
beberapa jenis reagensia yang membutuhkan sampel banyak seperti
pemeriksaan HBsAg. Metode immunokromatografi tidak
membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan hasil
pemeriksaan. Kelemahannya adalah penyimpanan reagensia harus
sangat hati-hati mengikuti instruksi dari pabrik karena stabilitas
reagensia lebih rendah dibandingkan dengan reagensia ELISA
meskipun dapat disimpan pada suhu kamar. Hasil pemeriksaan
kurang akurat sebab tergantung dengan penglihatan mata petugas.
Petugas yang satu dengan yang lain tentu berbeda (Supadmi dan
Purnamaningsih, 2019).
b. Metode NAT

Nucleic Acid-based Testing (NAT) adalah metode dengan


prinsip teknik biokimia untuk mencari jejas atau jenis penyakit
tertentu yang terjadi pada jaringan hidup tubuh manusia. NAT
dikembangkan melalui prinsip uji ELISA dan uji konfirmasi
Western Blot (WB). Metode ini dapat secara langsung mendeteksi
material genetik dari virus HIV, seperti HIV-1 gag, HIV-II gag,
HIV-env, HIV- pol, HIV-1 DNA, serta HIV-1 RNA. Di Indonesia,
NAT telah digunakan untuk melihat sampel transfusi organ dan
serum darah, hasilnya sangat sensitif dan spesifik. Saat ini, NAT
menggunakan teknologi Polymerase Chain Reaction (PCR).
Metode PCR konvensional menggunakan sampel DNA maupun
reverse-transcriptase PCR yang menggunakan sampel RNA dapat
digunakan untuk mendeteksi virus yang ada di dalam tubuh pasien.
NAT prinsipnya mencari sekuen asam, yaitu material genetik yang
merupakan karakteristik suatu kelainan atau penyakit. Dalam
konteks infeksi HIV, metode ini bekerja untuk mendeteksi material
genetik yang spesifik untuk HIV. Deteksi material genetik spesifik

11
untuk HIV-1 oleh NAT memungkinkan deteksi virus dengan cepat
dan akurat, walaupun infeksi HIV masih dalam periode jendela
(Willyandre, 2011).

Teknologi amplifikasi asam nukleat (NAT), bekerja dengan


mendeteksi keberadaan asam nukleat virus berbentuk DNA atau
DNA dalam darah. Dalam teknologi ini, segmen RNA/DNA
spesifik virus ditargetkan dan diperkuat secara invitro. Prinsip
kerja NAT yaitu RNA atau DNA virus diamplifikasi dengan
bantuan enzim reverse transcriptase untuk mendapatkan DNA
virus atau agen infeksi murni. Tes NAT baik dilakukan pada donor
individu atau mini-pool (MP) untuk mendeteksi asal nukleat dari
agen infeksi. Selain tes NAT yang menargetkan asam nukleat
virus, multipleks tes skrining NAT yang dikembangkan dapat
mendeteksi DNA atau RNA dari beberapa virus secara bersamaan
(Maharani dan Noviar, 2018).

c. Metode ELISA

Metode Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)


merupakan analisis kuantitatif yang menunjukkan reaksi antigen
antibodi menggunakan konjugat terkait enzim dan substrat enzim
dengan melihat perubahan warna yang diperoleh. Metode ELISA
digunakan dalam mengidentifikasi keberadaan dan konsentrasi
molekul dalam cairan biologis (Ipandi dkk, 2019).

Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) adalah teknik


assay yang berbasiskan plat atau lempeng yang dirancang untuk
mendeteksi dan kuantifikasi peptida, protein, antibodi dan hormon.
Pada ELISA, antigen harus diimobilisasi ke permukaan yang solid
dan kemudian ditambahkan antibodi yang berikatan dengan enzim.
Deteksi dilakukan dengan menilai aktivitas enzim konjugat melalui

12
inkubasi dengan substrat untuk memproduksi suatu produk yang
terukur. Elemen yang penting dalam strategi deteksi pada ELISA
adalah interaksi spesifik antigen antibodi. Pemeriksaan ELISA
umumnya dilakukan menggunakan plat atau lempeng polystyrene
96 (atau 384 sumuran) yang akan secara pasif mengikat antibodi
dan protein. Reaktan dari pemeriksaan ELISA yang terimobilisasi
ke dalam permukaan mikroplat membuat pemisahan dari material
yang tidak berikatan menjadi lebih mudah. Kemampuan untuk
mencuci material nonspesifik yang tidak berikatan membuat
pemeriksaan ELISA menjadi alat pemeriksaan yang akurat untuk
mengukur analit spesifik (Booster, 2020).

d. Metode CLIA
Chemiluminescence Immunoassay (CLIA) adalah tes yang
menggabungkan teknik chemiluminescence dengan reaksi
imunokimia menghasilkan cahaya atau luminescent. Immunoassay
merupakan tes biokimia yang mengukur konsentrasi suatu zat
dalam cairan biologis biasanya berupa serum atau urin dengan
menggunakan reaksi antibodi terhadap antigennya CLIA
menggunakan probe kimia yang dapat menghasilkan emisi cahaya
melalui reaksi kimia untuk melabeli antibodi. CLIA merupakan
salah satu teknik immunoassay guna mendeteksi keberadaan
antigen atau antibodi agen infeksi dimana label yaitu indikator dari
reaksi analitik adalah molekul luminescent. Secara umum,
luminescent adalah emisi dari radiasi yang terlihat (k=300-800 nm)
ketika sebuah transisi elektron dari keadaan tereksitasi ke keadaan
dasar. Energi potensial yang dihasilkan dalam atom akan
dilepaskan dalam bentuk cahaya (Cinguanta dkk, 2017;
(Sunsmedic, 2022).

Menurut Akbar dkk (2020) metode CLIA


(chemiluminescence immunoassay) adalah tipe uji immunoassay
13
menggunakan tes biokimia dengan mengukur konsentrasi suatu
substansi cairan seperti serum darah atau air seni yang akan dilihat
reaksi antibodi terhadap antigennya. Menurut Putri (2022) metode
CLIA terdapat berbagai keuntungan diantaranya yaitu sensivitas
dan spesifisitasnya tinggi, rentang deteksi yang tinggi, tidak
terpengaruh oleh gangguan cahaya yang terpencar-pencar, tidak
menggunakan zat radioaktif dan peralatan yang lebih ringkas.
Sensitivitas CLIA yang lebih tinggi memungkinkan untuk
mendiagnosa penyakit fase awal. Selain itu metode CLIA
merupakan metode dengan pemeriksaan batas deteksi yang rendah
(limit of detection) atau dengan kata lain membutuhkan konsumsi
sampel yang lebih sedikit.

Secara umum, reaksi pada CLIA dibagi menjadi dua


mekanisme yaitu reaksi direct dan indirect. Pada direct, substrat
dan oksidan akan bereaksi menjadi produk intermediat bermuatan
listrik statis sehingga mengeluarkan emisi foton. Pada indirect,
substrat yang berfungsi sebagai prekusor akan diubah menjadi
molekul bermuatan listrik yang berfungsi sebagai donor elektron
pada oksidan, sehingga keduanya bereaksi menjadi produk yang
mengeluarkan emisi foton. Foton ini diukur oleh luminometer yang
menghasilkan luaran satuan berupa relative light unit (RLU).
Substrat yang digunakan pada CLIA adalah luminol, isoluminol
serta derivatnya, ester acridinium, nitrofenil oksalat dan alkaline
fosfat (Tiwari dkk, 2016).

Ada beberapa tipe immunoassay: enzyme immunoassay


(EIA), magnetic labels (MIA), radioimmunoassay (RIA), Enzyme-
Linked Immunosorbent Assay (ELISA). Enzyme dan
chemiluminescent immunoassay saat ini merupakan metode
pemeriksaan yang paling umum digunakan untuk tujuan diagnostik

14
atau uji saring infeksi menular lewat transfusi Darah (IMLTD)
pada darah donor (Ilhami et al., 2020).

Chemiluminescent immunoassay (CLIA) telah


dikembangkan dalam banyak bidang termasuk pada diagnosis
klinis berbagai macam penyakit karena sensitif, selektif, dan waktu
analisisnya cukup singkat. CLIA sendiri dapat didefinisikan
sebagai emisi dari berbagai jenis sudut dan intensitas cahaya yang
berbeda yang berpendar dalam spektrum visible membentuk
transformasi kimia. Metode ini mengukur konsentrasi dari sampel
sesuai dengan luminesens yang terbentuk oleh reaksi kimia. Secara
umum, reaksi chemiluminescence akan mengeluarkan salah satu
produk reaksi yaitu memunculkan cahaya yang akan tertangkap
pada ground state (Azim dkk, 2018).

C. Pemeriksaan HIV pada IMLTD dengan Metode Chemiluminescence


Immuno Assay (CLIA)

Menurut Supadmi dan Purnamaningsih (2019) prinsip kerja CLIA, setelah


penambahan sampel, maka akan terbentuk ikatan antigen dan antibodi. Pada
metode CLIA, pembawa antigen atau antibodi adalah mikropartikel magnetik,
dengan adanya mikropartikel magnetik, ikatan antigen dan antibodi yang
terbentuk tidak mudah lepas akibat pencucian. Selanjutnya dengan
penambahan solusi chemiluminescence, komplek reaksi antigen dan antibodi
dapat dideteksi dengan adanya foton atau emisi cahaya yang dihasilkan. Besar
kecilnya emisi cahaya secara kuantitatif menunjukkan besar kecilnya kadar
antigen atau antibodi yang terkandung di dalam sampel. Prinsip kerja CLIA
tercantum pada Gambar 1.1.

15
Gambar 1.1. Prinsip Kerja Uji Saring Antigen/Antibodi IMLTD dengan Metode CLIA
(Cinguanta dkk, 2016).

Prinsip kerja metode CLIA secara umum ada 3 yaitu sandwich


assay, prinsip kompetitif, dan bridging (Supadmi dan Purnamaningsih,
2019):

a. Sandwich assay

Sampel dimasukkan bersama dengan biotin ke dalam microplate


yang telah dilekati dengan antigen rekombinan dan mikropartikel
paramagnetik streptavidin (fase padat) kemudian diinkubasi. Setelah
pencucian pertama, ditambahkan konjugat (ruthenium sebagai label),
kemudian diinkubasi. Elektromagnetik akan merangsang ruthenium
(Ru) dan menghasilkan sinyal yang akan memungkinkan deteksi
kompleks antigen-antibodi. Setelah pencucian kedua, ditambahkan
Larutan Pre-Trigger dan Trigger ke dalam reaksi pencampuran. Hasil
pendaran reaksi chemiluminescent diukur sebagai relative light units
(RLUs). Hubungan langsung terjadi antara jumlah antibodi di dalam
sampel dan RLUs yang terdeteksi oleh optic sistem pada alat CLIA.
Jumlah foton atau cahaya yang dihasilkan akan berbanding lurus
dengan jumlah antigen di dalam sampel.

b. Prinsip Kompetitif

Sampel ditambahkan ke dalam mikroplate yang telah dilekati


antigen ditambah dengan biotin kemudian diinkubasi. Setelah inkubasi

16
pertama menambahkan Ac terkonjugasi dengan Ru kompleks dan
dilapisi streptavidin mikropartikel paramagnetic. Ac terkonjugasi
pasangan dengan situs masih kosong dari terbiotinilasi antigen dan
seluruh mikropartikel mengikat kompleks melalui interaksi
streptavidin-biotin. Setelah inkubasi kedua campuran reaksi dilewatkan
ke dalam sel pengukuran, kompleks imun magnetik bergerak pada
permukaan elektroda dan komponen terikat dihilangkan dengan
pencucian. Reaksi chemiluminescent dirangsang secara elektrik, dan
jumlah cahaya yang dihasilkan berbanding terbalik dengan konsentrasi
antigen di dalam sampel.

c. "Bridging"

Prinsip kerjanya mirip dengan "sandwich", tetapi dimaksudkan


untuk mendeteksi antigen capture (Ac) dan termasuk Ag dan Ag-label
terbiotinilasi Ru.

17
BAB II
PEMERIKSAAN IMLTD HIV DENGAN METODE CLIA MENGGUNAKAN
ALAT ANALYZER SNIBE MAGLUMI X3

SNIBE Maglumi X3 adalah Chemiluminescence Immuno Assay (CLIA) analyzer yang


dibuat oleh Shenzen New Industries Biomedical Engineering Co., Ltd. Target analit pada CLIA
analyzer ini adalah antibodi TpN47 dan TpN17. Teknik pendeteksian pada alat ini menggunakan
sandwich. Sampel dimasukkan ke dalam cuvet dan dicampur dengan magnetic microbeads,
fluorescein isothiocyanate (FITC), dan amino-butyl-ethyl-isoluminol (ABEI). Ketika
dikonjugasikan dengan antibodi, FITC dan ABEI mempunyai kemampuan untuk berikatan
dengan kompleks antigen dan antibodi yang paling stabil dan terbaik (Palmioli dkk, 2013).

SNIBE Maglumi X3 menggunakan pemisahan magnetik, pelabelan ABEI, dan sistem


mikroimunoassay chemiluminescence langsung yang akurat. Sistem ini digunakan untuk analisis
kualitatif atau kuantitatif analit dalam sampel manusia. Alat analisa ini melakukan pemipetan
sampel otomatis, pemuatan reagen, inkubasi, pencucian, pengukuran dan perhitungan hasil,
mengurangi kesalahan pengujian, meningkatkan akurasi dan akurasi hasil pengujian.

Ringkasan skema reaksi Maglumi X3 ditunjukkan pada gambar di bawah. Gambaran singkat
skema reaksi pada Maglumi X3 akan ditampilkan pada gambar dibawah ini (SNIBE, 2018).

18
Gambar 2.1. Skema Reaksi Pada SNIBE Maglumi X3 (SNIBE, 2018).

Pada Maglumi X3, sampel yang telah diinkubasi selama 15 menit pada suhu 37°C, akan
membentuk ikatan sandwich antara microbeads, antigen TpN47 monoclonal, antibodi primer
berlabel FITC, analit target pada sampel (antibodi TpN47), dan antibodi sekunder berlabel
ABEI. Setelah proses tersebut selesai, dilakukan pencucian. Komponen supranatan akan dibuang
sementara komponen infranatan akan direaksikan dengan substrat (SNIBE, 2018).

Reaksi berlangsung 3 detik, proses ini ditandai dengan adanya emisi cahaya dari kompleks
antigen antibodi yang terbentuk kemudian diakhiri dengan redupnya cahaya dari kompleks
antigen antibodi tersebut. Reaksi luminescence ini diukur oleh Photo Multiplier Tube (PMT)
pada panjang gelombang antara 300-650 nm, puncaknya berada pada panjang gelombang 420
nm. Gambar dibawah ini merupakan skema ringkas dari sebuah PMT yang menghasilkan output
RLU. Foton dari hasil emisi luminescene ini ditangkap oleh PMT dan diolah menjadi sinyal
digital yang dipresentasikan dengan Relative Light Units (RLUs). Hasil ini bukan suatu hasil
kuantitatif melainkan kualitatif dengan index dengan cut off sebesar 1.00 (SNIBE, 2018).

Gambar 2.2. Skema Reaksi Photo Multiplier Tube (PMT)


(Pighi dkk, 2023)
RLUs adalah satuan yang digunakan untuk sebagian besar pengukuran emisi pada
luminescence. RLU tidak memiliki arti fisik apa pun dan tidak dapat dibandingkan antar
instrumen yang berbeda. Hal ini disebabkan metode pengukuran emisi yang berbeda-beda tiap
PMT. Foton yang menumbuk fotokatoda pada jendela masuk PMT menghasilkan elektron, yang
19
kemudian dipercepat oleh medan tegangan tinggi dan dikalikan jumlahnya dalam rantai anoda
melalui proses emisi sekunder. Sinyal tersebut mencapai anoda yang terhubung ke sirkuit luaran
yang kemudian diterjemahkan menjadi sinyal akhir berupa rerata pulsasi. Output ini dipengaruhi
oleh banyak faktor. Akibatnya, beberapa instrumen dapat memberikan nilai antara 0 dan 10 juta,
instrumen lainnya antara 0,0001 dan 100, dan instrumen lainnya memberikan nilai yang sama
sekali berbeda (Pighi et al., 2023).

Gambar berikut adalah penampang ringkas dari Maglumi X3. Pada bagian kiri bawah
adalah area cuvet, yaitu area dimana cuvet disimpan. Cuvet berfungsi untuk menampung sampel
yang diaspirasi. Pada bagian atas dari area cuvet adalah area reagen disimpan. Terdapat 20
panel reagen yang dapat ditampung oleh Maglumi X3, masing-masing reagen disusun dan
dimasukkan ke dalam line holder. Di sisi kiri dari area reagen adalah area sampel. Sampel
dimasukan ke dalam Maglumi X3 dengan posisi horisontal menggunakan line holder. Di dalam
area sampel terdapat RFID reader di sisi kiri. RFID reader akan melakukan scan barcode secara
otomatis. Seluruh proses pemeriksaan pada Maglumi X3 dapat dilihat pada panel desktop.

Gambar 2.3. Penampung Depan SNIBE Maglumi X3

A. Pra Analitik

1. Teknik Persiapan Sampel

Sampel yang digunakan untuk pemeriksaan adalah sampel serum yang tidak lisis,
tidak ikterik, tidak lipemik, dan tidak terdapat bekuan, dan sampel sesuai identitas
karena hal tersebut akan berpengaruh terhadap hasil pemeriksaan. Sampel didapat
setelah tabung tersebut disentrifugasi 1500-1800 rcf selama 10 menit. Kemudian sampel
20
dipindahkan ke separator tube untuk dianalisis.

2. Alat

a. Alat pelindung diri (APD) sesuai rekomendasi (misalnya gown/jas laboratorium,


handscoen, masker wajah, face shield/goggles, dan sarung tangan);

b. SNIEB Maglumi X3;

c. Mikrotip dan mikropipet 500 ul; dan

d. Alliquote tube untuk menampung sampel serum dari tube.

3. Bahan

a. Serum atau plasma pendonor;

b. Cleaning solution;

c. Reagen ABEI-FITC;

d. Reagen Microbeads; dan

e. Starter luminescence.

B. Analitik

1. Mempersiapkan Pemeriksaan

a. Persiapan untuk analisis : 1) pemeriksaan sebelum memulai : periksa hal-hal berikut


sebelum memulai untuk memastikan sistem bekerja normal setelah memulai : a)
periksa catu daya untuk menjamin catu daya normal; b) periksa jalur komunikasi dan
saluran listrik analyzer dan komputer, untuk memastikan keduanya terhubung dan
tidak hilang; c) periksa apakah cairan sistem, starter 1 dan starter 2 terhubung
dengan benar dan volume cairan mencukupi; d) memeriksa apakah terdapat cukup
kuvet; e) memeriksa apakah cairan limbah telah dibersihkan; f) periksa apakah
tempat sampah kuvet dan kotak kuvet limbah sudah dibersihkan. Peringatan,
waspadai risiko infeksi biologis. Kenakan sarung tangan dan pakaian kerja selama
pekerjaan inspeksi di atas untuk melindungi dari infeksi dan kenakan kacamata

21
pelindung bila diperlukan; 2) menghubungkan catu daya dan masuk ke perangkat
lunak : a) menyalakan analyzer, dan menghidupkan sakelar utama dan tambahan
analyzer secara berurutan; b) klik dua kali pintasan perangkat lunak pengguna di
desktop setelah masuk ke sistem operasi windows untuk memulai perangkat lunak
pengguna. Dialog login akan muncul di tampilan awal setelah memulai. Masukkan
nama pengguna dan kata sandi, lalu klik tombol login untuk masuk ke tampilan awal
perangkat lunak pengguna; c) analyzer akan memasuki status inisialisasi setelah
masuk ke perangkat lunak pengguna dan setiap komponen analyzer menyelesaikan
inisialisasi. Setelah menunggu semua status ditampilkan dalam warna hijau, maka
dapat memulai pengujian.

Gambar 2.4. User Software Interface

Gambar 2.5. Lock Screen Interface

22
b. Mengkonfirmasi status analyzer di tampilan awal [Status] perangkat lunak. Status
normal ditampilkan dalam warna hijau. Konfirmasi pengujian sistem : pengujian
sistem dibagi menjadi bagian BGW dan LC. Sebelum melakukan pengujian sistem,
letakkan larutan LC pada posisi yang sesuai dengan area reagen sampel. Klik tombol
[System Test] pada menu utama untuk menuju ke tampilan awal [System Test]. Klik
tombol <Add> untuk membuka [System Test Registration] tampilan awal.
Masukkan nomor tes BGW dan tes LC, lalu klik tombol <Register> untuk
mendaftarkan tes sistem. [Query] pengujian sistem. Konfirmasikan informasi
pengujian sistem, lalu klik tombol <Ok> untuk memulai pengujian sistem. Periksa
hasil pengujian sistem setelah pengujian berakhir. Jalankan lima tes LC dan 10 tes
BGW. Apabila hasil pengujian sistem memenuhi persyaratan berikut, maka
pengujian sistem dianggap lulus : a) BGW - 100-1200 - CV ≤ 10%; b) LC - 450.000-
650.000 - CV ≤ 3%.

c. Mengganti bahan habis pakai, ketika alat analisa tidak memiliki kuvet, cairan sistem,
atau starter yang tidak mencukupi atau tidak ada, alarm akan berbunyi. Status
analyzer kembali normal setelah bahan habis pakai dimuat.

d. Pengisian cairan sistem dan starter. Cairan sistem pengisian : cairan sistem
ditempatkan pada bagian bawah kanan depan alat analisa dan dihubungkan ke alat
analisa menggunakan selang. Jumlah sisa cairan sistem dapat dilihat di tampilan awal
[Home] dan [Status].

e. Memuat reagen : pindai reagen RFID di sisi kiri analyzer dan masukkan reagen ke
posisi area reagen pada area reagen sampel. Pada tampilan awal [Reagen] pada
perangkat lunak, konfirmasikan informasi berikut sebelum Anda memulai kalibrasi,
uji QC, dan uji sampel reagen : a) reagen harus berada dalam masa berlakunya; b)
jumlah reagen yang tersisa harus cukup untuk menyelesaikan uji sampel; c)
microspheres magnetik reagen dikocok selama 30 menit.

Struktur reagen terdiri dari : 1) Film penyegel : reagen segel. Reagen penganalisis
menyelidiki kit reagen melalui film penyegel untuk mengaspirasi reagen; 2)
Pegangan : digunakan untuk memuat dan mengeluarkan kit reagen; 3) Tag RFID:
mencatat informasi reagen dari kit reagen; 4) Label ID : menunjukkan komposisi
23
reagen, nama, masa berlaku, dan informasi lain pada kit reagen; 5) Klip pemasangan:
memasang kit reagen ke dalam area reagen; 6) Pemblokir IDE : memblokir
optocoupler ketika kit reagen dimasukkan ke dalam area reagen untuk
mengidentifikasi kit; dan 7) Alat pencampur Microsphere Magnetik : bekerja sama
dengan pengocok area reagen untuk memperbaiki microsphere magnetik.

Gambar 2.6. Struktur Kit Reagen

f. Memuat kit reagen, mempersiapkan kit reagen : pastikan kit reagen disimpan dalam
orientasi yang benar (lapisan penyegel menghadap ke atas) dan jangan membalikkan
atau menggoyangkan kit reagen. Status kit reagen yang ditunjukkan oleh warna
indikator area reagen :

Tabel 2.1. Status Kit Reagen Ditunjukkan dengan Warna


Indikator Area Reagen

Warna indikator Status kit reagen


Tanpa warna Menganggur, artinya kit reagen dapat dimuat
Hijau stabil Tunggu. Rak sudah memuat kit reagen
Berkedip hijau Kit reagen di rak telah selesai diuji dan dapat
ditarik keluar
Kuning stabil Berjalan. Kit reagen sedang digunakan
Berkedip kuning Kesalahan. Misalnya, kit reagen yang
digunakan dilepas

g. Konfirmasi sisa volume reagen : setelah e-tag RFID reagen dipindai di area reagen
dan kit reagen dimasukkan dengan benar, perlu memastikan bahwa jumlah sisa
pengujian yang ditampilkan di area reagen cukup untuk pengujian sampel ini. Jika
24
reagen tidak cukup untuk menyelesaikan pengujian sampel ini, masukkan kit reagen
baru ke dalam area reagen. Waktu pengocokan mickrosphere magnetik reagen :
ketika kit reagen dimasukkan, nama pengujian kit reagen, jumlah pengujian reagen
yang tersisa, status kalibrasi, dan waktu pengocokan microsphere magnetik akan
ditampilkan di saluran reagen yang sesuai di Dialog [Reagent].

h. Pemuatan sampel, penyiapan sampel : syarat-syarat berikut harus dipenuhi sebelum


suatu sampel diuji : a) sampel yang mengalami hemolisis, terkena lipemia, atau
terinfeksi mikroba tidak dapat digunakan untuk pengujian; b) pastikan sampel bebas
dari gelembung udara sebelum pengujian. Setelah syarat sampel terpenuhi, Anda
dapat memasukkan tabung sampel ke dalam rak sampel dengan cara sebagai berikut :
1) tabung sampel harus memenuhi spesifikasi; 2) masukkan tabung sampel dengan
hati-hati ke dalam rak sampel; 3) apabila tabung sampel telah dibubuhi barcode,
maka barcode tersebut harus diarahkan ke arah pembukaan rak sampel untuk
dipindai oleh pembaca barcode.

Gambar 2.7. Contoh Gambar Garis Rak : (1) Handle/pegangan; (2) Pemegang
Tabung Reaksi; (3) Contoh Label ID Rak; (4) Tabung Reaksi; (5) Chip Sensor
Pengkopling Optik

i. Memuat rak sampel, langkah memuat rak sampel : a) membuka pintu area reagen
sampel; b) memindahkan rak sampel yang tidak terpakai berdasarkan warna
indikator setiap saluran sampel di area sampel; c) pilih saluran sampel yang kosong
dan dorong rak sampel ke dalam saluran secara perlahan untuk memastikan kode
batang rak dapat terbaca dengan baik; d) dorong rak sampel secara vertikal dan stabil

25
hingga penahan depan rak memasuki sensor di ujung saluran area sampel dan
menghasilkan bunyi "klik".

Tabel 2.2. Status Rak Sampel Ditunjukan dengan Warna


Indikator Area Sampel

Warna indikator Status rak sampel


Tanpa warna Menganggur, artinya rak sampel dapat
dimasukkan
Hijau stabil Menunggu
Berkedip hijau Sampel telah dimuat dan rak sampel dapat
dilepas
Kuning stabil Sedang beroperasi, rak sampel sedang dimuat
Berkedip kuning Kesalahan. Misalnya, rak sampel yang sedang
digunakan dilepas

j. Memvalidasi kondisi analisis : sebelum menjalankan pengujian, konfirmasikan


terlebih dahulu apakah parameter reagen dan rentang referensi penetapan kadar
pengujian telah diatur dengan benar. Pastikan reagen untuk pengujian telah
dikalibrasi dan kalibrasi belum kedaluwarsa.

2. Proses Pemeriksaan

a. Setelah pekerjaan persiapan selesai, analisis sampel rutin dapat dilakukan.

b. Registrasi pengujian kadar kalibrasi : Klik tombol <Reagent> di menu utama untuk
mengakses tampilan awal [Reagent]. Periksa reagen yang perlu dikalibrasi lalu klik
tombol <Cali. Register> untuk menyelesaikan pendaftaran pengujian kalibrasi. Klik
tombol <Start> pada bilah operasi untuk menjalankan uji kalibrasi.

c. Setelah uji kalibrasi selesai, klik dua kali reagen pengujian yang sesuai atau pilih
reagen dan klik tombol <Cal. Curve> untuk menuju ke tampilan awal [Reagent
Details]. Lihat informasi kurva dan terima atau tolak kurva baru. Pilih opsi
"Validate" dan klik tombol <OK> untuk memvalidasi data kalibrasi baru. Pilih opsi
"Reject" dan klik tombol <OK> untuk membuang data kalibrasi baru. Selanjutnya

26
dapat masuk ke tampilan awal [Reagent] untuk mendaftarkan ulang reagen dan
menjalankan operasi kalibrasi.

Gambar 2.8. Detail Kalibrasi Reagen

d. Registrasi pengujian QC : Klik tombol <Work List> pada menu utama untuk menuju
ke tampilan awal [Work List]. Muat rak sampel yang berisi material QC dengan
benar, pilih posisi penempatan material QC pada posisi sampel [Sample Area], dan
klik tombol <QC> untuk menuju ke tampilan awal [QC Register]. Pilih bahan QC
dalam daftar dan pilih pengujian QC, lalu klik tombol <Register> untuk
mendaftarkan pengujian QC.

Gambar 2.9. QC Registration

e. Klik tombol <Work List> pada menu utama untuk mengakses tampilan awal [Work
List]. Masukkan sampel yang akan diuji ke dalam rak sampel (jika sampel memiliki
27
kode batang, letakkan kode batang menghadap bukaan rak sampel), lalu masukkan
rak sampel ke dalam area sampel dengan benar. Pemindai memindai sampel ketika
rak sampel dimasukkan ke area sampel, dan perangkat lunak secara otomatis
menampilkan ID rak sampel dan kode batang yang dipindai. Pilih rak sampel yang
akan diedit, masukkan ID sampel (tidak diperlukan jika ada kode batang), pilih
pengujian yang diinginkan di area Assay Selection, atau gunakan fungsi profil untuk
dengan cepat memilih beberapa pengujian pengujian untuk mendaftarkan sampel.
Jika sampel untuk keperluan STAT, klik posisi tabung sampel STAT yang sesuai dan
masukkan ID sampel (tidak diperlukan jika ada barcode). Kemudian pilih pengujian
untuk STAT dan klik tombol <STAT> untuk memprioritaskan sampel STAT untuk
pengujian. Jika sampel perlu diencerkan, klik posisi sampel yang akan diencerkan
pada rak sampel di perangkat lunak, dan masukkan ID sampel (tidak diperlukan jika
ada barcode). Pilih pengujian yang akan diencerkan, klik tombol <Dilute> dan pilih
Dilution Ratio. Untuk menggunakan fitur LIS, hanya perlu mengkonfigurasi dan
menghubungkan server LIS dengan benar. Setelah ID sampel dimasukkan, analyzer
akan secara otomatis mengambil uji sampel dari server LIS. Setelah sampel
didaftarkan, dapat mengklik tombol <Work List> untuk melihat status semua tes
yang terdaftar dan menghapus atau mengubah jumlah pengulangan atau mengekspor
data. Alternatifnya, dapat mengklik tombol <Browse> untuk melihat penetapan
kadar yang telah diedit untuk setiap sampel atau jumlah pengujian yang terdaftar dan
jumlah pengujian reagen yang tersisa.

Gambar 2.10. Work List


28
f. Setelah pendaftaran sampel selesai, klik tombol <Start> pada bilah operasi untuk
mengirim perintah pengujian dan analyzer akan memulai pengujian.

g. Pengujian Tambah Sampel : 1) Tes pengujian tambahan untuk sampel yang terdaftar.
Jika perlu menambahkan pengujian selama proses pengujian, harus mendaftarkan
sampel untuk menambahkan pengujian dan kemudian mendaftarkan sampel; 2)
Menambahkan uji uji untuk sampel yang tidak terdaftar. Jika perlu menambahkan
sampel selama pengujian, tempatkan sampel untuk ditambahkan ke rak sampel dan
muat rak ke area sampel dengan benar, lalu daftarkan sampel. Jika tidak ada reagen
untuk pengujian tambahan di area reagen, perlu memuat reagen yang sesuai ke dalam
area reagen agar pengujian tambahan ditempatkan di area reagen, setelah registrasi
selesai, klik tombol <Start> di bilah operasi untuk menyelesaikan pemuatan
berkelanjutan.

h. Pemantauan selama pengujian : jumlah sampel, jumlah pengujian, bahan habis pakai,
suhu, dan status analyzer lainnya dapat dipantau secara real-time selama pengujian
melalui tampilan awal utama. Jika terjadi kesalahan besar, klik tombol <Stop> untuk
menghentikan pengujian.

i. Memproses Hasil : klik tombol <Result> pada menu utama untuk mengakses
tampilan awal [Result]. Tampilan awal ini menampilkan informasi hasil semua
sampel pada hari itu. Itu dapat mengklik dua kali catatan hasil apa pun atau mengklik
tombol <Details> setelah mengklik catatan hasil untuk memeriksa rincian hasil tes.
Ini dapat mencentang kotak sebelum setiap catatan hasil, atau memilih beberapa hasil
tes secara bersamaan di kotak centang "ID Sampel" dan kemudian klik tombol fungsi
di bawah daftar hasil untuk menghapus, mengukur ulang, online, atau menghitung
ulang hasil yang dipilih atau melakukan operasi lainnya. Klik tombol <Search> di
bagian bawah tampilan awal [Result] untuk menuju ke tampilan awal [Result
Search]. Kemudian masukkan ketentuan dalam kolom kriteria pencarian, dan klik
tombol <OK>. Informasi hasil tes dalam kueri riwayat akan ditampilkan dalam
daftar hasil tes.

29
Gambar 2.11. Test Result

Dalam daftar hasil tes pada tampilan awal [Result], pilih satu hasil tes dan klik dua
kali hasil tes ini atau klik tombol <Details> untuk membuka tampilan awal [Result
Details] untuk melihat daftar detail hasil.

Gambar 2.12. Result Details

Klik tombol <Convert to QC> untuk membuka tampilan awal [Sample Convert to
QC], pilih lot-no QC, yang akan dikonversi ke Lot-No, dan klik <Save>. Perangkat
lunak akan mentransfer hasil pengujian ke hasil hari ini untuk lot QC yang sesuai.
Kemudian Klik tombol <Export> untuk mengekspor rincian hasil ke file Excel.

30
Gambar 2.13. Sample Convert to QC

Non reaktif : hasil kurang dari 1,0 indeks/ml (< 1,0 indeks/ml) dianggap negatif; dan
Reaktif : hasil yang lebih besar atau sama dengan 1,0 indeks/ml (≥ 1,0 indeks/ml)
dianggap positif.

j. Ketika semua pengujian telah selesai, pengguna dapat keluar dari perangkat lunak
dan logout dari sistem operasi windows sebelum mematikan catu daya setiap bagian.
Ketika semua pengujian telah selesai dan pengujian pada hari itu telah selesai,
perangkat lunak tersebut dapat keluar dari perangkat lunak dan mematikan printer,
komputer, analyzer, atau perangkat lainnya.

C. Pasca Analitik

1. Interpretasi Hasil

Hasil yang ditampilkan pada SNIBE Maglumi X3 merupakan hasil antibodi kualitatif.
Interpretasi hasil dalam kaitannya dengan reaktivitas atau non-reaktivitas didasarkan
pada nilai batas indeks yang ditampilkan, dengan nilai yang lebih besar atau sama
dengan 1,0 dianggap reaktif.

2. Interferensi

a. Kontaminasi sampel dengan bahan pengawet, antikoagulan, atau obat-obatan dapat


menyebabkan kegagalan;

b. Penyimpanan jangka panjang (hingga 3 jam) pada suhu antara 2 dan 4 °C


mengakibatkan perubahan komposisi Sampel;

c. Sampel terkena udara (terbuka) di dalam ruangan (hingga 3 jam). Hal ini
meningkatkan risiko penguapan dan merusak hasil;

d. Sampel lipemia keruh (kekeruhan tinggi);

e. Sampel yang mengalami hemolisis secara makroskopis;

31
f. Sampel yang mengalami ikterus secara makroskopis; dan

g. Sampel berbusa/gelembung (gelembung oksigen) secara tidak langsung


menyebabkan hasil pengujian terdistorsi.

3. Troubleshooting

a. Untuk mengurangi risiko gangguan, sampel harus diproses dengan benar. Pastikan
pembentukan bekuan sempurna sebelum sentrifugasi.

b. Hindari gelembung udara di dalam sampel. Jika terdapat gelembung udara,


keluarkan dengan mikropipet; dan

c. Sampel lipemia masih dapat digunakan untuk skrining IMLTD. Sampel dapat
disentrifugasi. Untuk memastikan serum atau plasma yang digunakan bebas dari
endapan lipid, lapisan lipid yang diperoleh dengan sentrifugasi harus dipindahkan ke
cangkir sampel atau tabung sekunder.

BAB III
SIMPULAN

HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus. HIV adalah virus yang
memperlemah sistem kekebalan tubuh manusia, biasanya hanya salah satu dari dua jenis
virus (HIV-1 atau HIV-2) yang secara progresif merusak sel-sel darah putih (limfosit)
sehingga menyebabkan berkurangnya sistem kekebalan tubuh. Sedangkan AIDS
(Acquired Immuno Deficiency Syndrome) merupakan kumpulan gejala maupun penyakit
yang disebabkan oleh menurunnya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus
HIV. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV. Virus HIV dibagi menjadi dua tipe
yaitu HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 lebih cepat menyebabkan AIDS dan bersifat akut,
sedangkan HIV-2 menyebabkan AIDS lebih lambat dan bersifat kronik. Terdapat dua

32
prinsip pendeteksian diagnosis HIV yaitu deteksi antibodi dan deteksi virus. Pemeriksaan
skrining antibodi HIV dapat dideteksi dengan ELISA, rapid test, Western Blot, dan PCR.
RNA virus HIV dapat dideteksi menggunakan NAT.
Uji saring IMLTD merupakan bagian dari pemeriksaan wajib. Prinsip pemeriksaan
wajib adalah bahwa setiap komponen darah yang dikirimkan ke rumah sakit untuk
kepentingan transfusi harus diperiksa terhadap golongan darah ABO dan Rhesus serta
diuji saring terhadap IMLTD. Uji saring darah terhadap infeksi paling sedikit wajib
ditujukan untuk mendeteksi minimal empat parameter IMLTD yaitu Human
Immunodeficiency Virus antibody (anti-HIV 1/2), Hepatitis B surface antigen (HBsAg),
Hepatitis C Virus antibody (anti-HCV), dan Sifilis. Uji saring IMLTD harus dilakukan
oleh petugas terlatih dengan menggunakan metode dan prosedur yang telah ditetapkan
seperti rapid test, Enzyme Immuno Assay (EIA), Chemiluminescence Immuno Assay
(ChLIA), dan terhadap materi genetik virus seperti metoda Nucleic Acid Amplification
Test (NAT). Uji saring darah dalam keadaan emergensi dilakukan dengan metode rapid
test menggunakan assay yang telah direkomendasikan oleh Unit Transfusi Darah Pusat
atau Kementerian Kesehatan. Metode rapid test lebih simpel dan membutuhkan waktu
sekitar 5-20 menit untuk pembacaan hasil tes. Darah dengan hasil uji saring non-reactive
dapat didistribusikan ke rumah sakit, sambil berproses melakukan pemeriksaan uji silang
serasi. Darah hasil uji saring reaktif harus segera dipisahkan dan ditangani sesuai dengan
ketentuan yang mengacu kepada algoritma hasil pemeriksaan IMLTD, dan dimusnahkan
sesuai dengan prosedur standar.

33
DAFTAR PUSTAKA

Abbas, A.K., Aster, J., Fausto, N., & Kumar, V. (2014). Robbins and cotran pathologic basic of
disease 9th edition. USA: Elsevier.
Abbas, A.K. & Lichtman, A.H. (2012). Cellular and molecular immunology 7th edition.
Philadelphia: Saunders-Elsevier Science.
Ambelina, Syntia, and Roza Sri Yanti. 2019. Karakteristik Pasien Bersalin Dengan HIV Positif
Dan Pencapaian Pemberian ARV Profilaksis Pada Bayi Baru Lahir. Bandung: Indonesian
Journal of Obstetrics & Gynecology Science.
Annisa, V. F., & Azinar, M. (2021). Perilaku seksual berisiko tertular dan menularkan
HIV/AIDS (studi kasus pada karyawan penderita HIV/AIDS di Kota Semarang). Semarang:
Indonesion Journal of Public Health and Nutrition, 1, 743- 751.

34
Azim, M. A. U., Hasan, M.,Ansari, I. H., & Nasreen, F. (2018). Chemiluminescence
Immunoassay: Basic Mechanism and Applications. Bangladesh Journal of Nuclear
Medicine,18(2), 171–178. https://doi.org/10.3329/bjnm.v18i2.35240
Cahyaningsih, A. H., Aminah, S., & Widagdho, D. W. (2021). Gambaran hasil uji tapis Infeksi
Menular Lewat Transfusi Darah (IMLTD) pada darah donor di Unit Donor Darah PMI
Kabupaten Lampung Selatan tahun 2017-2020. Jurnal Teknologi Laboratorium Medis, 1,
1-8.
Centers for Disease Control and Prevention (CDC) (2014). HIV and its transmission. Division
of HIV/AIDS Prevention. Diakses dari http://www.cdc.gov/hiv/prevention
/research/index.html
Cinguanta, L., Desre ́ Ethel Fontana, D.E., & Bizzaro, N. (2017). Chemiluminescent
immunoassay technology: what does it change in autoantibody detection?. Autoimmun
Highlights, 8:9. doi:10.1007/s13317-017-0097-2
Chusna, S.A., & Sari W. (2023). Hasil Pemeriksaan Penyakit Infeksi Menular Lewat Transfusi
Darah dengan Metode Chlia di PMI Kota Banda Aceh. Banda Aceh: Universitas Syiah
Kuala.
Darti, N.A., & Imeӏda, F. (2019). HIV/AIDS prevention and prevention efforts through
improvement of HIV/AIDS knowӏedge and screening in counciӏ women groups in Beӏawan
North Sumatera. Medan: Jurnaӏ Riset Hesti, 4(1).
Hubaybah, H., Wisudariani, E., & Lanita, U. (2021). Evaluasi Pelaksanaan Layanan Voluntary
Counseling and Testing (VCT) Dalam Program Pencegahan HIV/AIDS di Puskesmas
Pakuan Baru Kota Jambi. Jurnal Kesmas Jambi, 5(1), 61–71.
https://doi.org/10.22437/jkmj.v5i1.12403
Ilhami, T., Akbar, S., Siregar, S. R., & Amris, N. (2020). Gambaran Hasil Skrining Infeksi
Menular Lewat Transfusi Darah ( IMLTD ) Pendonor di Unit Transfusi Darah ( UTD )
PMI Kabupaten Aceh Utara Periode 2017-2018. J Indon Med Assoc, 70(6), 121–127
Ipandi, I., Sa’adi A., Sudjarwo. 2019. Verifikasi Metode ELISA (Enzym Linked Immunosorbent
Assay) Untuk Penentuan Kadar AMH (Anti Mullerian Hormone). Surabaya: Jurnal Surya
Medika Volume 5 No 1
Joegijantoro, R. (2019). Penyakit Infeksi. Malang: Intimedia
Kementerian Kesehatan RI. (2015). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 91

35
tahun 2015 tentang standar pelayanan transfusi darah. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Kementerian Kesehatan RI. (2014). Infodatin: situasi dan analisis HIV AIDS. Jakarta: Pusat Data
dan Informasi.
Kementerian Kesehatan RI. (2014). Pedoman pelaksanaan pencegahan penularan HIV dan Sifilis
dari ibu ke anak bagi tenaga kesehatan. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Kementerian Kesehatan RI. (2019). Pedoman Program Pencegahan Penularan HIV, Sifilis, dan
Hepatitis B dari Ibu ke Anak. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Kementerian Kesehatan RI. (2023). Petunjuk Teknis Pencegahan Infeksi Lewat Transfusi Darah
(IMLTD) dan Penatalaksanaan Donor Darah Reaktif. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Kisniarti, L., Sukmana, D. J., Aini, Alfisahrin, & Halid, I. (2023). Prevalensi HBsAg Positif pada
Pendonor Darah di Unit Daerah Palang Merah Indonesia Lombok Barat. JSN : Jurnal Sains
Natural, 1(2), 51–54.
Maulani, G.,C. (2024). HIV type 1 and 2 examination immunochromatography Method on HIV
Patients at Puskesmas Pesantren 1 of Kediri City. Kediri: Institut Ilmu Kesehatan Bhakti
Wiyata.
Putri, A. P., Siregar, K. N., dan Muhaimin, T. (2021). Hubungan Penggunaan Kondom dengan
Pencegahan HIV pada Lelaki Seks Lelaki (LSL) di 6 Kota di Indonesia. Jurnal Endurance:
Kajian Ilmiah Problema Kesehatan. Vol 6, No.2, Juni 2021 : 32-336.
Putri, C.M., Nabiӏa Rosda, A., Rizki, A.D., Amaӏia, A.R., Anggun, D., Yuniarahmah, D.,
Mariyani, E., & Veranita, A. (2021). The effectiveness of using mobiӏe phone text
messaging in HIV/AIDS patients. Jurnaӏ Kesehatan Saeӏmakers Perdana, 4(1), 156– 163.
Maharani, R., & Mara, E. M. (2023). Gambaran Hasil Uji Reaktif Hepatitis B pada Darah Donor
di UDD PMI Kota Madiun Tahun 2017- 2020. Jurnal Ilmu Kesehatan Bhakti Setya
Medika, 8(1), 29–34
Owens, D. K., Davidson, K. W., Krist, A. H., Barry, M. J., Cabana, M., Caughey, A. B., Curry,
S. J., Doubeni, C. A., Epling, J. W., Kubik, M., Landefeld, C. S., Mangione, C. M., Pbert,
L., Silverstein, M., Simon, M. A., Tseng, C. W., & Wong, J. B. (2019). Screening For Hiv
Infection: Us Preventive Services Task Force Recommendation Statement. Jama - Journal
Of The American Medical Association, 321(23), 2326–2336.
Https://Doi.Org/10.1001/Jama.2019.6587
Parekh, B.S., Ou, C.Y., Fonjungo, P.N., Kalou, M.B., Rottinghaus E., Puren, A., Alexandr, H.,

36
Cox., M. H., Nkengasong J. N. (2019). Diagnosis of Human Immunodeficiency Virus
Infection. PubMed Clinical Microbiology Reviews. doi: 10.1128/CMR.00064-18
Puspita, R. (2021). Overview of Hepatitis B Virus Exposure on NAT and CLIA Blood
Examination Methods at PMI Semarang City. Semarang: Politeknik Bina Trada.
Putri, W.R. (2022). Keamanan produk darah:”deteksi IMLTD menggunakan metode
chemiluminescennce assay (CLIA). Journal of Medical Laboratory and Science,2, 25-
35.
Ramni, L., Widanti S, A., & Sulistiyanto, H. (2018). The Role Of Doctors And Nurses In
Hiv/Aids Handling Efforts Of The Gays. Soepra, 4(1), 171.
Https://Doi.Org/10.24167/Shk.V4i1.1484
Satiti, A., Pudjiati, R., Imtihani, H., Luthfiandi, M. R., & Artami, D. (2019). Association
Between Sexual Orientation And Sexual Contact With The Incidence Of Human
Immunodeficiency Virus (Hiv) Infection In Dr. Sardjito General Hospital, Yogyakarta.
Journal Of The Medical Sciences, 51(1), 36– 43.
Supadmi F. R., dan Purnamaningsih (2019). Bahan Ajar Teknologi Bank Darah (TBD) Infeksi
Menular Lewat Transfusi Darah (IMLTD). Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.
Syadidurrahmah F., et al. Perilaku dan Promosi Kesehatan: Indonesian Journal of Health
Promotion and Behavior, vol. 2, no. 1. 2020.
Willyandre, A., Syaifuddin A., Anam K., Suci, A., W. 2011. Microfluidic Chip-based Nucleic
Acid Testing using Gingival Crevicular Fluid as a New Technique for Detecting HIV-1
Infection. Jember: Journal of Dentistry Indonesia 2011, Vol. 18, No. 2, 45-50
World Health Organization (WHO) (2009). Safe blood and blood products: screening for HIV
and other infectious agents. Swiss: WHO Press.
World Health Organization (WHO) (2005). Interim WHO clinical staging of HIV/AIDS and
HIV/AIDS case definitions for surveillance. Geneva: Department of HIV/AIDS.

37

Anda mungkin juga menyukai