Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN

PRAKTIKUM MATA KULIAH HUKUM ADAT


KECAMATAN TILAMUTA, KABUPATEN BOALEMO
“HUKUM ADAT PERORANGAN DAN KEKELUARGAAN”

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 3

1. KIKI RINAWATI A 321 21 053


2. FATIMA AZ-ZAHRA A 321 21 062
3. TANTI A 321 21 048
4. RINI WULANDARI A 321 21 061

PRODI PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2022
ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas laporan yang
berjudul “HUKUM PERORANGAN DAN KEKELUARGAAN” ini tepat pada
waktunya. Adapun tujuan dari penulisan dari laporan ini adalah untuk memenuhi
tugas pada mata kuliah Hukum Adat.
Maka dengan selesainya pengerjaan laporan ini, kami selaku anggota
kelompok 3 kelas B mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen pengampu
mata kuliah Hukum Adat yaitu bapak Dr. Jamaludin, M.Si., bapak Drs. Imran., M.Si,
bapak Roy Kulyawan, S.Pd., M.Pd dan bapak Windy Makmur, S.Pd., M.Pd selaku
dosen pengampu mata kuliah Hukum Adat yang telah membimbing dalam
menyelesaikan tugas ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu dalam penyelesaian tugas ini.
Kami selaku penulis menyadari bahwa tugas yang kami tulis ini masih jauh
dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun kami
butuhkan demi kesempurnaan laporan ini.

Palu, 21 Desember 2022

Kelompok 3
iii

DAFTAR ISI

SAMPUL

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iii

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

BAB II PEMBAHASAN 3

2.1 Hasil 3
2.2 Pembahasan 5
2.2.1 Hukum Adat Perorangan 5
2.2.2 Hukum Adat Kekeluargaan 6

BAB III PENUTUP 12


3.1 Kesimpulan 12
3.2 Saran 12

DAFTAR PUSTAKA 13

LAMPIRAN 14
Lembar Observasi 14
Dokumentasi 17
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Karakteristik bangsa Indonesia yang terdiri dari ragam bahasa, budaya, dan
adat istiadat dalam masyarakat maka bermacam-macam pula kaidah-kaidah, norma-
norma yang hidup dan tumbuh serta berkembang dalam setiap masyarakat. Di setiap
masyarakat yang terdapat dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia,
memiliki hukum adatnya masing-masing yang berbeda antara satu dengan yang
lainnya sebagai norma pengatur dalam kehidupan bermasyarakat.
UUD 1945 dengan tegas mengakui keberadan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya sebagaimana disebutkan pada Pasal 18 B (2) UUD
1945 yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.
Hukum adat adalah hukum tidak tertulis, hidup, tumbuh dan berkembang
dalam setiap kelompok masyarakat sebagai aturan hidup masyarakat yang dipelihara
dan ditaati oleh setiap kelompok masyarakat. hukum adat itu berbeda beda antara
kelompok masyarakat yang satu dengan kelompok masyarakat yang lainnya dan
selalu dipertahankan kemurniannya yang merupakan warisan turun-menurun.
Contohnya adat Gorontalo dimana kedudukan adat selalu dikedepankan bahkan
sampai saat ini, adat Gorontalo selalu hidup dan berkembang sesuai dengan
perkembangan masyarakat.
Gorontalo merupakan penghuni asli bagian Utara pulau Sulawesi, tepatnya
di provinsi Gorontalo, provinsi ke-32 Indonesia, yang pada tahun 2000 memekarkan
diri dari Sulawesi Utara. Masyarakat Gorontalo dikenal sebagai wilayah hukum adat
ke-9 dari 19 daerah lingkungan adat di Indonesia yang tetap memelihara aspek-aspek
2

yang baku, tumbuh dan berkembang ditengah-tengah masyarakat secara turun


temurun.
Masyarakat Gorontalo adalah masyarakat pemeluk islam terbanyak. Dem
ikian banyaknya sehinga dipastikan masyarakat Gorontalo mayoritas muslim.
Masuknya Islam di Gorontalo dimulai pada abad ke-16 dengan latar belakang
budayanya yang memberi corak dan pengaruh terhadap pola-pola adat istiadat
masyarakat setempat. Menurut Ibrahim Polontalo (1977, 43), islamasi di Gorontalo
berlangsung sejak 1523 M, pada masa pemerintahan raja Sultan Amai dan
berkembang seiring dengan perkembangan penduduk. Masuknya islam ke Gorontalo
sangat cepat perkembangannya, karena islam masuk secara damai sehingga diterima
masyarakat. Disamping itu, islamasi di Gorontalo tidak bermaksud melenyapakn
tradisi-tradisi yang sudah lebih dulu berkembang pada masyarakat, melainkan lebih
menyesuaikan dengan adat istiadat setempat.
Gorontalo sendiri merupakan daerah yang tidak terlepas dari yang namanya adat
istiadat, falsafah Gorontalo saat ini yaitu Adat Bersendikan Syara, Syara Bersendikan
Kitabulla. Falsafah ini menjadi pedoman masyarakat yang selalu berpegang teguh
dalam ajaran kitab al-Quran.
Dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat kita tidak lepas dari persoalan
hukum. Hukum yang mengatur hubungan antarmasyarakat tepatnya adalah hukum
perdata maupun hukum adat. Dalam lingkup hukum perdata terdapat perihal yang
diatur, antara lain mengenai hukum perorangan dan kebendaan. Hukum perorangan
antara lain meliputi kedudukan seorang anak sebagai subjek hukum (dari sejak lahir
hingga meninggal dunia), perolehan hak, perihal mewakili kepentingan yang
menyangkut lembaga kekuasaan orang tua, perwalian, pengangkatan anak, domisili
dan lainnya hingga anak tersebut menjadi dewasa dan hukum yang mengaturnyapun
berubah sejalan pada kemandirian anak tersebut antara lain hukum pencatatan dalam
hal perkawinan, kelahiran hingga kematian.
3

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hasil

Masyarakat Gorontalo dikenal sebagai masyarakat yang memegang teguh adat


Falsafah Gorontalo "Adat bersendi Syara, Syara bersendi Kitabullah" yang
mengandung makna adat berdasarkan pada syariat. Dan Syariat berdasarkan pada
Kitabullah merujuk kepada Al-Qur'an dan tradisi Nabi (Al-Sunnah). Secara umum,
upacara adat tradisional yang ada dalam keluarga masyarakat gorontalo merupakan
serangkaian kegiatan yang dilaksanakan baik dalam hal peralihan manusia, maupun
kegiatan-kegiatn simbolik lainnya yang menyimpan berbagai makna filosofi yang
terkandung di dalamnya. Sehingga, berbagai kegiatan upacara adat yang ada di
gorontalo tentu tidak hadir begitu saja, melainkan memiliki latar belakang kultur yang
kokoh di atas fondasi Adat Bersendikan Sarah, Sarah Bersendikan Qitabullah. Begitu
pula ketika kesenian ditemukan dalam sebuah fenomena kebudayan, maka kesenian
tersebut memiliki fungsi dan peran dalam kegiatan kebudayaan, sehingga hal tersebut
tidak dapat terpisahkan anatara keduanya, melainkan saling mendukung dan
melengkapi, guna mencapai tujuan yang diinginkan.
Fenomena prosesi adat tradisional dalam sebuah keluarga gorontalo hampir
seluruh wilayah Kabupaten/Kota ditemukan memiliki kesamaan, walaupun
dibeberapa daerah sudah ada yang mulai meninggalkan beberapa tahapan atau prosesi
dalam upacara adat tradisi tersebut. Akan tetapi, hal ini walaupun beberapa tahapan
atau prosesi telah dihilangkan, substansi prosesi adat tetap mengacu pada kesepakatan
para tokoh adat yang menjadi acuan secara bersama, dan telah diwariskan secara
turun temurun, dari generasi kegenerasi. Meskipun demikian, dalam hal ini peneliti
tetap mengacu dari salah satu desa yang sampai saat ini masih melaksanakan
kompleksitas tata tradisi adat yakni di Desa Piloliyanga, Kecamatan Tilamuta,
Kabupaten Boalemo, dan dibatasi pada upacara adat peralihan manusia yang
didalamnya terdapat sebuah pertunjukan seni yakni turunani. Adapun adat tradisi
4

yang di dalamnya terdapat pertunjukan Turunani, yakni upacara adat Aqiqah,


Sunatan/khitanan, Pembeatan (untuk wanita), dan Pernikahan.

Selain itu di Desa Piloliyanga, Kecamatan Tilamuta, Kabupaten Boalemo


masih sangat diterapakn adab-adab dalam majelis seperti, di dalam majelis baik acara
pernikahan ataupun hajatan lainnya ada yang disebut dengan Bulito yaitu tata cara
untuk duduk seseorang itu sudah diatur di dalam adat. Terdapat dalam acara yang
berlangsung di Gorontalo yaitu pesta, hajatan, dan ditempat tahlilan. Adat yang
mengharuskan di dalam majelis bahwa laki-laki harus menggunakan pakaian
berlengan panjang, dan perempuan (ibu-ibu) menggunakan batik tutu. Jika ada yang
melanggar adat ini biasanya akan diberikan teguran kepada orang tersebut Sebagai
masyarakat yang diatur oleh adat di Desa piloliyanga, adat tersebut tidak dapat kita
protes ataupun tidak setuju karena dengan adanya adat ini semakin membuat
masyarakat lebih terarah dalam berkehidupan. Jika ada yang melanggar peraturan,
misalnya konflik dalam masyarakat, sanksi yang berikan adalah berupa teguran dari
tokoh adat dan kepala Desa, dan mendapatkan sanksi norma maupun sanksi sosial.
Adapun cara menyelesaikan perselisihan antar warga yaitu dengan memanggil aparat
desa dan keluarga kedua belah pihak.

Adapun hasil yang kami dapatkan dilapangan yaitu :


Menurut Rugaiah Dai (60) : Apabila ada yang para pemuka adat atau
pemimpin daerah yang datang ke tempat majelis (Bulito) lantas ia tidak
memakai pakaian yang telah ditentukan seperti, beliau hanya
menggunakan pakaian lengan pendek maka ia tidak di perbolehkan
untuk duduk didepan bersama tokoh adat lainnya dan dia hanya di
perbolehkan duduk bersama masyrakat lainnya di tempat yang telah
disediakan. Adab berpakaian juga berlaku bagi wanita apabila tidak
memakai pakain yang telah ditentukan yaitu batik tutu maka akan
mendapat sanksi sosial yang berupa teguran. Di Kabupaten Boalemo
meskipun mengikuti perkembangan zaman akan tetapi dalam sistem
hukum adat masih bisa dikatakan sangat kental. Kemudian untuk adat
mandi lemon digunakan dalam setiap acara adat seperti Be’at dan
khitanan anak perempuan. Dalam suatu pelamaran (Motolobalango)
dilakukan dengan keluarga laki-laki berkunjung ke rumah perempuan
5

dan melakukan musyawarah dengan pihak perempuan terhadap tanggal


penetapan acara pernikahan. Adat gunting rambut bagi anak yang baru
lahir, dengan menyiapkan buah kelapa, minyak dan buah pisang sebagai
syarat adat yang utama dalam pelaksanannya. Tumbilatohe dilakukan
pada tanggal 27 Ramadhan untuk menyambut hari besar (lebaran idul
fitri) umat islam Khusunya di Gorontalo. (01 Desember 2022).

Di suku gorontalo khususnya pada upacara adat Mongubingo yang


dilaksanakan pada prosesi khitanan menurut klasifikasi tahapan-tahapan
pelaksanaannya, maka pra-peralihan dalam kegiatan tersebut ditandai dengan
pelaksanaan Mopolihu Lo Limu atau mandi air ramuan/mandi uap, mongadi salawati
yang biasanya dilaksanakan oleh imam/hatibi atau oleh siapa saja yang dipercayakan,
dan setelah itu dilanjutkan dengan memandikan sang anak dengan ramuan yang sudah
disiapkan. Setelah semua prosesi ini dilaksanakan, selanjutnya mempersiapkan sang
anak untuk dikhitan/disunat dengan menggunakan busana adat/takowa. Selama
persiapan, disinilah pertunjukan Turunani dihadirkan dengan melantunkan syair
nahatairukiki yang berarti keselamatan kecil, sambil menunggu para undangan yang
datang menghadiri prosesi tersebut. Sehingga, lantunan syair-syair salawatan terus
dikumandangkan, karena anak tersebut telah tiba saatnya untuk dialihkan dari status
lamanya ke status barunya. Dan setelah prosesi khitanan ini, maka sang anak diterima
kembali ke dalam masyarakat dengan status yang baru.
Selain prosesi Mongubingo yang didalamnya terdapat pertunjunkan
turunani, dalam upacara adat moluna juga ditemukan kehadiran turunani yang
nampak juga kehadirannya berada pada puncak pra-peralihan, untuk memasuki masa
peralihan yang sebenarnya, dan hal ini ditandai dengan pelaksanaan prosesi mopolihu
lo limu/mandi uap, setelah itu dilanjutkan dengan pertunjukan turunani tepatnya pada
saat sang anak mengenakan pakean adat sambil menunggu para tamu yang diundang.
Setelah para tamu telah hadir, turunani dihentikan, sang anak akan disiapkan untuk di
be,at dan setelah itu dilanjutkan dengan khitanan sebagai peralihan yang sebenarnya
6

ke status yang baru sehingga anak tersebut perlu diberikan penguatan melalui
lantunan shalawat-shalawat dan puji pujian kepada Nabi Muhamad SAW.
Adapun dalam prosesi adat perkawinan Gorontalo yang biasa disebut
dengan adat motolobalango,dimana prosesi adat ini menjadi sesuatu hal yang
sakral, dan dilaksanakan dengan biaya yang cukup besar, bahkan untuk dapat
melaksanakan secara lengkap biasanya hanya dilakukan oleh orang-orang yang
memiliki biaya yang cukup dalam perkawinan. Dahulupohutu moponika
termasuk pelaksanaan adat motolobalango hanya dilakukan oleh orang-orang
besar saja, dalam hal ini pejabat dan keturunan raja, sementara masyarakat
biasamelaksanakan sesuai dengan kemampuan. Namun saat ini, hampir tidak ada lagi
perbedaan antara masyarakat biasa, pejabat dan keturunan raja- raja di Gorontalo
dalam pelaksanaannya, siapa yang memiliki biaya yang cukup dan mampu maka ia
boleh melaksanakannya. Adat motolobalango atau peminangan merupakan tahapan
awal perkenalan saat seorang laki-laki jatuh hati kepada seseorang perempuan,
maka jika perempuan itu telah dewasa (telah besar) tidak pernah bersuami,
hendaklah dipinang langsung kepadanya sendiri, dan jika perempuan itu masih
kecil, belum pernah bersuami, hendaklah dipinang kepada walinya. Jika dalam
Islam peminangan merupakan tahapan perkenalan dan tahapan meminta restu
orangtua calon perempuan untuk menikahianaknya, tetapi dalami stilaha dat
Gorontalo peminangan atau motolobalango merupakan tahapan adat ke empat
yang menghubungkan keluarga antara pihak laki-laki dan perempuan. Upacara adat
motolabalango dihadiri oleh orang terdekat, baik rombongan keluarga laki-laki yang
dipimpin oleh utolia (penghubung) maupun keluarga perempuan.
Di provinsi Gorontalo tumbilotohe adalah salah satu bagian dari suku
Gorontalo yang hanya berlaku di daerah Gorontalo, sebagai kegiatan menyambut
malam Lailatul Qadar dan menyambut lebaran, tetapi bukan merupakan syariat Islam.
tumbilotohe adalah suatu tradisi suku Gorontalo, sebagai rangkaian kegiatan di bulan
Ramadhan, dan pada malam pertama Tumbilotohe, zakat fitra mulai dihantar oleh
masing-masing diri pribadi kepada yang berhak menerima.
7

2.2 Pembahasan
2.2.1 Hukum Adat Perorangan
Masyarakat Gorontalo yang dikenal sebagai wilayah hukum adat ke 9 dari
19 daerah lingkungan hukum adat di Indonesia tetap memelihara aspek-aspek yang
baku, tumbuh dan berkembang ditengah tengah masyarakat secara turun temurun.
Hukum adat Gorontalo, sebagai adat istiadat daerah Gorontalo adalah
budaya yang ditaati, dilaksanakan dan dipertahankan serta dihormati secara turun
temurun, yang memiliki prinsip “Adat Bersendi Syara, Syara Bersendi Kitabullah”
Atas dasar itulah maka adat istiadat Gorontalo tetap dipelihara oleh
masyarakat Gorontalo dengan tidak menutup kemungkinan terhadap akibat
perkembangan perkembangan karena dampak pesatnya pembangunan.
a Adat istiadat Gorontalo tetap dipelihara dan ditaati oleh warganya serta diadakan
penyesuaian-penyesuaian dengan perkembangan, situasi, dan kondisi sepanjang
tidak mengurangi prinsip-prinsip yang terkandung didalamnya Mengutamakan
hubungan kekeluargaan, kerja sama dan musyawarah mufakat
b Setiap masyarkatnya berpegang teguh pada Agama, Bersifat ramah-tamah penuh
toleran.
c Pengaruh adat yang kuat dalam prilaku kehidupan dengan prinsip “Adat bersendi
syara, syara bersendi Kitabullah”.
d Selalu berfikir yang kritis walaupun menampilkan kesederhanaan.
e Suka menghormati dan menghargai sesamanya dengan dasar pemikiran, bahwa
penghargaan kepada orang merupakan wujud harga diri sendiri. Menurut R.D.
Katili & A. W. Lihu (2002)
Dalam hukum perorangan ada juga hukum adat yang mengatur seperti,
Pertama bagi ibu-ibu yang datang ke acara hajatan mereka harus menggunakan kain
batik tutup sebagaimana mana yang diharuskan dalam adat gorontalo, Kedua bagi
para masyarakat ataupun tokoh adat diharuskan memakai lengan panjang ketika
pergike acara hajatan, Ketiga bagi kepala desa ataupun para pejabat pemerintahan
apabila keluar rumah dianjurkan memakai pakaian lengan panjang. Dalam hukum
8

perorangan didesa Piloliyanga jika ada orang yang berselisih tidak dikenakan sanksi
adat akan tetapi cara penyelesaiannya dengan didamaikan oleh aparat desa dan
keluarga yang bersangkutan. Di suku gorontalo juga jika ada yang meninggal maka
semua orang wajib untuk memakai baju berwarna putih, dan tidak boleh memakai
baju berwarna merah. Pada hari ke- 40 memakai baju berwarna biru hal itu
merupakan ketentuan dari adat yang ada digorontalo.

2.2.2 Hukum Adat Kekeluargaan


Hukum adat kekeluargaan adalah aturan yang mengatur sistem tradisi atau
adat yang ada dalam sebuah keluarga, Adapun hukum adat kekeluargaan yaitu :
1. Mohuntingo

Mohuntingo adalah ritual adat menggunting rambut pada anak perempuan


dan anak laki-laki berumur 7-40 hari. Ritual mohuntingo ini dikenal sebagai ritual
perayaan atas rasa syukur orang tua terhadap kelahiran anaknya. Acara adat
mohuntingo identic dengan aqiqah. Meskipun aqiqah juga terdapat didaerah lain,
tetapi adat-istiadat yang terdapat dalam aqiqah masyarakat Gorontalo, berbeda dari
daerah lain. Acara adat mohuntingo merupakan kewajiban orang tua untuk
dilaksanakan, apabila memiliki kelebihan maka dibuat acara yang lebih mewah sesuai
kesepakatan pihak keluarga. Bayi perempuan yang berumur enam bulan yang akan
diaqiqah boleh digabungkan dengan mandi lemon (mopolihu lo limu) dalam waktu
satu hari, akan tetapi acara aqiqah (mohuntingo) dan mandi lemon (mopolihu lo limu)
tidak boleh digabungkan jika bayi masih berumur tiga bulan, waktunya dilaksanakan
secara terpisah.
Acara adat mohuntingo mengandung unsur-unsur pendidikan keagamaan
dan perlindungan kesehatan. Ditinjau dari makna bahasa seperti pada syair tinilo
maupun benda-benda adat memiliki nilai-nilai yang mendidik. Mohuntingo idntik
dengan mongakiki (aqiqah) yaitu peristiwa penyembelihan hewan (kambing) pada
hari mencukur rambut anak yang baru dilahirkan. Hukumnya aqiqah atau mohuntingo
adalah sunat. Mohuntingo merupakan bagian dari menjalankan syare’at Islam yang di
9

Gorontalo dipahami sebagai bagian dari pelaksanaan prinsip adat yang dikenal
dengan “adati hula-hula’a to sara’a, sara’a hula-hula’a to kuru;ani atau adat
bersendikan syara, dan syara’ bersendikan al-qur’an, oleh sebab itu setiap anggota
masyarakat suku Gorontalo sebagai Muslim sejati, wajib melaksanakannya. Sebagai
syukuran atas kebahagiaan yang dilimpahkan Allah, dengan menitipkan amanahnya
kepada kedua orang tua, yang ditandai dengan aqiqah.
2. Beat

Provinsi Gorontalo masih sangat terasa adat istiadat yang selalu


dilaksanakan demi melestarikan budaya tersebut agar tak punah seiring berjalannya
waktu. Salah satu budaya yang masih terlihat yaitu Adat Beat. Setiap anak perempuan
secara alamiah akan mengalami fase menstruasi sebagai memasuki fase akil baligh.
Di sinilah keunikan masyarakat Gorontalo dalam menyambut fase akil baligh bagi
seorang anak perempuan yaitu dengan dilaksanakannya upacara Adat Beat.
Masyarakat Gorontalo lazim melakukan upacara adat beat apabila anak
perempuannya telah mengalami menstruasi pertamanya. Arti sesungguhnya pada
upacara adat baiat ini sebenarnya sangat religius yaitu mengantarkan seorang gadis
menjadi muslimah yang seutuhnya. Anak gadis yang telah menginjak akil baligh akan
dituntun oleh seorang pemuka agama untuk mengucapkan syahadat, yakni kalimat
ikrar peneguhan tauhid sebagai seorang muslimah. Setelah itu, sang gadis
membacakan rukun iman, rukun Islam, dan rukun ihsan. Keunikan pada pelaksanaan
upacara adat baiat yaitu bagi seorang gadis momentum mengucapkan ikrar janji
kesetiaan pada dirinya untuk menjadi muslimah sepanjang hidupnya itu anggun dan
tak akan terlupakan. Selanjutnya prosesi adat beat dilaksanakan dengan seorang gadis
yang mengalami akil baligh untuk menginjakkan kakinya dan berjalan di atas
beberapa piring yang diisi oleh beras yang berwarna-warni. Seorang gadis itu pun
berjalan berputar sebanyak 3 kali dan dipayungi oleh kedua orang tuanya sambil
berjalan bagaikan permaisuri dari kahyangan. Tak lupa diiringi lantunan doa oleh
pemuka agama serta tausiah nasehat-nasehat agar menjalani hidup yang lebih baik di
1

jalan yang benar. Setelah lantunan doa telah diucapkan, prosesi selanjutnya adalah
prosesi siraman layaknya seorang pengantin yang akan menikah. Prosesi siraman pun
dilakukan dengan menggunakan air yang dicampurkan oleh bermacam bunga dan
dedaunan yang sangat wangi. Lantunan doa kembali dilakukan ketika kedua orang
tua hendak menyiramkan air ke tubuh seorang gadis tersebut.
3. Mandi Lemon

Salah satu upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat Gorontalo adalah
Upacara Adat Mandi Lemon. Mandi lemon sudah menjadi adat dan tradisi di
Gorontalo bahwa anak perempuan yang menjelang usia dua tahun akan menjalani
prosesi adat yang biasa dikenal dengan Mo Polihu Lo Limu atau sering juga disebut
Mongubingo. Mandi lemon serupa dengan khitanan yang dimana seorang anak batita
perempuan menjalani prosesi ritual mandi kembang yang bercampur lemon atau jeruk
purut dengan tumbuhan harum lainnya di pangkuan ibu yang melahirkan sebagai
tanda keislaman dari anak tersebut. Salah satu upacara adat yang dilakukan oleh
masyarakat Gorontalo adalah Upacara Adat Mandi Lemon. Mandi lemon sudah
menjadi adat dan tradisi di Gorontalo bahwa anak perempuan yang menjelang usia
dua tahun akan menjalani prosesi adat yang biasa dikenal dengan Mo Polihu Lo Limu
atau sering juga disebut Mongubingo.
Mandi lemon serupa dengan khitanan yang dimana seorang anak batita
perempuan menjalani prosesi ritual mandi kembang yang bercampur lemon atau jeruk
purut dengan tumbuhan harum lainnya di pangkuan ibu yang melahirkan sebagai
tanda keislaman dari anak tersebut. Dijelaskan pula bahwa melalui ritual ini dapat
diramalkan tentang masalah jodoh dan karakter dari anak batita perempuan itu sendiri
saat dewasa melalui petunjuk bahan alam yang digunakan seperti pelepah pinang
muda yang dibelah. Para orangtua di Gorontalo meyakini jika adat ini tidak diadakan
pada anak batita khusunya perempuan, maka turunan yang lahir dari rahimnya tetap
dianggap haram walaupun dari perkawinan yang sah. Pelaksanaan adat mandi lemon
melalui beberapa langkah yang dimana masyarakat Gorontalo percaya bahwa dengan
1

adanya adat mandi lemon terdapat nilai-nilai luhur dan suci yang merupakan cermin
dari segala aktivitas bermasyarakat. Disampingitu masyarakat muslim sebagai
mayoritas menjadi suatu pendorong adat mandi lemon terus dilaksanakan karena
merupakan adat yang dibalut oleh tradisi religius.
4. Motolobalango
Perkataan Tolobalango berasal dari dua kata, tolo yang berarti saling dan
balango yang artinya menyeberang. Motolobalango mengandung pengertian saling
mengunjungi untuk menyampaikan maksud. Dalam kegiatan pernikahan berarti
saling mengunjungi untuk melakukan peminangan dari keluarga pihak lelaki kepada
keluarga pihak perempuan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Tolobalango
(Peminangan), adalah penyampaian maksud acara resmi yang dihadiri oleh para
pemangku adat, pembesar negeri dan keluarga melalui juru bicara pihak keluarga
pengantin Putra (Luntu Dulungo Layio) dan juru bicara utusan pihak keluarga
Pengantin Putri (Luntu Dulungo Wulato) untuk melakukan pelamaran. Penyampaian
maksud diungkapkan dengan puisi lisan berbentuk sajak-sajak perumpamaan. Pada
peminangan adat Gorontalo tidak disebutkan biaya pernikahan (Tonelo) oleh pihak
utusan keluarga calon pengantin Putra, namun yang terpenting diungkapkan adalah
Mahar (Maharu) dan garis-garis besar acara yang akan dilaksanakan, termasuk waktu
pelaksanaan tahapan selanjutnya.
Diawali dengan penyerahan adat berjenjang turun (adati Potidungu) dari
pihak Keluarga kepa U lipu lo Hulondhalo. Budaya Tolobalango ini sudah menjadi
adat Gorontalo dari dahulu kala. Pada prosesi tolobalango keluarga dari pihak
perempuan harus dihadirkan karena itu merupakan syarat pada proses Tolobalango.
Lalu menanyakan siapa yang menjadi utoliya walato (wakil dari keluarga
perempuan). Kemudian menyerahkan Tonggu lo tolobalango (pembuka suara) atau
huo lo ngango. Setelah diterima Tonggu lo Tolobalango tersebut maka pihak keluarga
laki-laki akan menyampaikan maksud kedatangan mereka untuk melamar putri dari
pihak perempuan sesudah itu menyerahkan Tonggulo Tolobalango atau Pomama lo
Tolobalango (perlengkapan sirih pinang), kemudian setelah diterima pomama
1

tersebut lalu menentukan adat istadat dilito (payu lo lipu lo Hulonthalo limutu).
Setelah sepakat menyerahkan tapahula (sirih) maka langsung membicarakan biaya
pernikahan, setelah selesai menentukan biaya pernikahan maka menentukan tanggal
pernikahan tersebut.
Budaya ini diwajibkan bagi masyarakat Gorontalo dan kelengkapan atau
persiapan tolobalango itu menjadi adat atau tradisi masyarakat Gorontalo secara turun
temurun sebagai bagian dari prosesi adat kebesaran pernikahan Gorontalo. Setelah
tanggal pernikahan ditentukan pada saat prosesi Tolobalango maka akan dilaksanakan
pernikahan antara pihak laki-laki dan pihak perempuan. Sebelum disahkan
pernikahan, pihak laki-laki mengantarkan harta (dutu atau maharu) kepada pihak
perempuan. Ada orang berpendapat bahwa maharu merupakan perangkat u dutuolo
(hantaran adat). Kata maharu berasal dari bahasa Arab mahar dan dalam bahasa adat
Gorontalo dikenal dengan kata tonelo. Mahar diwajibkan atas suami dengan sebab
nikah yakni memberikan sesuatu kepada calon istri, baik pemberian berupa uang
ataupun benda lainnya. Hal yang paling utama terlihat dalam acara motolobalango ini
adalah permainan kata dan bahasa yang dilakukan oleh pemangku adat kedua belah
pihak yang dalam hal ini dikenal dengan istilah luntu dulungo layio (utusan yang naik
atau dating) dari pihak lelaki dan luntu dulunga wolato (utusan yang menunggu).
Dialog dan ketrampilan bicara diperankan oleh utusan kedua belah pihak itu,
dilakukan oleh pemangku adat (baate). Keindahan dan kehalusan kata dan budi
pekerti yang diperlihatkan dalam dialog itu akan sangat berpengaruh bagi diterima
dan ditolaknya suatu acara pernikahan. Biasanya mereka melakukan dialog dengan
menggunakan kata-kata bijak, perupamaan, peribahasa dan ibarat-ibarat untuk
menarik perhatian, Puteri yang akan dilamar biasanya diumpamakan sebagai emas,
intan permata dan permata berlian.
5. Tumbilotohe

Tumbilotohe adalah perayaan berupa memasang lampu di halaman rumah-


rumah penduduk dan di jalan-jalan terutama jalan menuju masjid yang menandakan
1

berakhirnya Ramadan di Gorontalo. Perayaan ini dilakukan pada 3 malam terakhir


menjelang hari raya Idul Fitri. Pemasangan lampu dimulai sejak waktu magrib
sampai menjelang subuh. Tumbilo tohe berasal dari bahasa Gorontalo, yaitu tumbilo
dan tohe. Tumbilo artinya memasang, dan tohe artinya lampu. Tradisi seperti ini
merupakan tradisi daerah yang bersuku bangsa Melayu, namun dengan nama yang
berbeda. Tradisi ini diperkirakan sudah berlangsung sejak abad ke-15. Ketika itu
penerangan masih berupa wango-wango, yaitu alat penerangan yang terbuat dari
wamuta atau seludang yang dihaluskan dan diruncingkan, kemudian dibakar. Tahun-
tahun berikutnya, alat penerangan mulai menggunakan tohe tutu atau damar yaitu
semacam getah padat yang akan menyala cukup lama ketika dibakar.
1

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Masyarakat Gorontalo dikenal sebagai masyarakat yang memegang teguh adat
Falsafah Gorontalo "Adat bersendi Syara, Syara bersendi Kitabullah" yang
mengandung makna adat berdasarkan pada syariat. Dan Syariat berdasarkan pada
Kitabullah merujuk kepada Al-Qur'an dan tradisi Nabi (Al-Sunnah). Dalam hukum
perorangan ada juga hukum adat yang mengatur seperti, Pertama bagi ibu-ibu yang
datang ke acara hajatan mereka harus menggunakan kain batik tutup, Kedua bagi para
masyarakat ataupun tokoh adat diharuskan memakai lengan panjang ketika pergi ke
acara hajatan, Ketiga bagi kepala desa ataupun para pejabat pemerintahan apabila
keluar rumah dianjurkan memakai pakaian lengan panjang. Adapun hukum adat
kekeluargaan yaitu : Acara gunting rambut (Mohuntingo), Beat, Mandi Lemon,
Motolobalango, Tumbilotohe.

3.2 Saran
Dari uraian penjelasan diatas ada beberapa saran yang ingin penulis utarakan,
antara lain : para masyarakat harus berpegang teguh hukum adat yang ada di Desa
Piloliyanga, Kecamatan Tilamuta, Kabupaten Boalemo dengan didukung oleh
perangkat adat dan desanya.
1

DAFTAR PUSTAKA
Rugaiah Dai S.Pd. (2022). Hukum Perorangan dan Kekeluargaan, Desa Piloliyanga,
Kecematan Tilamuta, Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo.

La Ode Karlan, Abdul Rahmat, Mira Mirnawati. (2019). Pendidikan Masyarakat


Dalam Pertunjukan Turunani Dalam Upacara Adat Gorontalo, Jurnal Ilmu
Pendidikan Nonformal. Vol. 05, No. 03.
Une, D. (2021). Islamisasi dan Pola Adat Masyarakat Gorontalo dalam Perspektif
Sejarah Kebudayaan Islam. Ideas: Jurnal Pendidikan, Sosial, dan
Budaya, 7(3), 259-266
Tavip Mopangga, KasimYahiji. (2020). Prosesi Adat Motolobalango dalam
Perspektif Hukum Islam, Journal Hukum Islam. Vol.1,No.2. Desember
2020,41-68.
Moch Zihad Islami, Yulia Rosdiana Putri. (2020). Nilai-nilai Filosofis Dalam
Upacara Adat Mongubingo Pada Masyarakat Suku Gorontalo, Jurnal Ilmu
Budaya. Volume 8, Nomor 2.
Mohamad Anwar Thalib. (2022). Menulusuri Makna Keuntungan dibalik
Pelaksanaan Budaya Tumbilatohe : Studi Etnometodologi Islam, Journal
homepage: https://sj.eastasouth-institute.com/index.php/smb Vol. 01, No. 01,
November, pp. 16~30.
1

LAMPIRAN

Lembar Observasi
Nama Narasumber : Rugaiah Dai, S.Pd
Umur : 62 Tahun
1. Mengenai hukum perorangan hak-hak apa saja yang dimiliki oleh masyarakat
adat di desa ini?
Jawab : Kalau masyarakat di desa khususnya Piloliyanga adat istiadat masih
sangat kental, salah satunya masih sangat diterapakn adab-adab dalam majelis
seperti, di dalam majelis baik acara pernikahan ataupun hajatan lainnya ada yang
disebut dengan Bulito yaitu tata cara untuk duduk seseorang itu sudah diatur di
dalam adat.
2. Jika ada orang yang berselisih satu sama lain apakah ada sanksi adat yang
diterapkan didesa ini?
Jawab : Dalam hukum perorangan didesa Piloliyanga jika ada orang yang
berselisih tidak dikenakan sanksi adat akan tetapi cara penyelesaiannya dengan
didamaikan oleh aparat desa dan keluarga yang bersangkutan.
3. Adat apa saja yang ada dalam keluarga di Desa Piloliyanga?
Jawab : Dalam keluarga gorontalo ada namanya acara gunting rambut
(Mohuntingo), Beat, Mandi Lemon, Motolobalango, Tumbilotohe.
4. Bagaimana adat ketika ada tokoh adat maupun masyarakat yang meninggal?
Jawab : Jika ada yang meninggal maka semua orang wajib untuk memakai baju
berwarna putih, dan tidak boleh memakai baju berwarna merah. Pada hari ke- 40
memakai baju berwarna biru.
5. Adakah yang membedakan tentang proses pemakaman seorang tokoh adat atau
masyarakat dengan mereka yang tidak mempunyai kedudukan di masyarakat?
Jawab: Jika tokoh adat atau tokoh masyarakat yang meninggal maka laki-laki
yang melayat menggunakan peci nasional dengan dililitkan kain berwarna putih.
1

Jika masyarakat biasa yang meninggal maka tidak perlu menggunakan peci
nasional tersebut.
6. Bagaimana tata cara duduk dimajelis atau bulito?
Jawab : Untuk para masyarakat tokoh adat yang mempunyai suatu jabatan
didalam struktur adat atau struktur pemerintahan desa maka cara penataan tempat
duduk dalam bulito diatur berdasarkan tokoh adat atau masyarakat yang memiliki
jabatan tertinggi.
7. Bagaimana adat mengatur cara berpakaian perempuan (Ibu-ibu) didalam majelis
maupun hajatan lainnya?
Jawab : perempuan (ibu-ibu) dalam adat diatur cara berpakaiannya menggunakan
kain batik tutu dengan cara pemakaian yang berlaku sesuai adat.
8. Bagaimana proses pelaksanaan acara Beat di Desa Piloliyanga?
Jawab : Perempuan yang di beat menggunakan kain batik tutu kemudian disiram
menggunakan air yang berisikan logam dan beberapa bunga, lalu memakan telur
mentah lalu seorang gadis yang dibeat itu pun berjalan berputar sebanyak 3 kali
dan dipayungi oleh kedua orang tuanya sambil berjalan bagaikan permaisuri dari
kahyangan. Tak lupa diiringi lantunan doa oleh pemuka agama serta tausiah
nasehat-nasehat agar menjalani hidup yang lebih baik di jalan yang benar. Setelah
lantunan doa telah diucapkan, prosesi selanjutnya adalah prosesi siraman
layaknya seorang pengantin yang akan menikah. Prosesi siraman pun dilakukan
dengan menggunakan air yang dicampurkan oleh bermacam bunga dan dedaunan
yang sangat wangi. Lantunan doa kembali dilakukan ketika kedua orang tua
hendak menyiramkan air ke tubuh seorang gadis tersebut.
9. Kapan Tombilotohe dilakukan?
Jawab : Tombilotohe dilakukan untuk menyambut malam lebaran tepatnya
dilakukan pada saat malam 27 Ramadhan.
1

10. Bagaimana Tolobalango atau peminangan dalam keluarga suku gorontalo?


Jawab : Dalam suku gorontalo acara tolobalango di mulai dari pertemuan kedua
keluarga yang melakukan musyawarah tentang persiapan pernikahan anak-anak
mereka yang akan dilaksanakan.
1

Dokumentasi
2
2

Anda mungkin juga menyukai