Anda di halaman 1dari 453

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEBIDANAN NIFAS PATOLOGI PADA IBU NY. W PIA0H1


HARI KE 18 DENGAN MASTITIS DI PUSKESMAS RAWAT INAP
JUJUN TAHUN 2024

OLEH
PENICA DEPARIZA
PO. 71242230102

POLTEKKES KEMENKES JAMBI JURUSAN KEBIDANAN


PROGRAM STUDI PROFESI BIDAN
TAHUN 2023/2024
LEMBAR PENGESAHAN

Telah Disahkan Laporan Pendahuluan ”Asuhan kebidanan patologi nifas pada Ibu Ny.
W P1A0H1 Hari Ke 18 dengan Mastitis di Puskesmas Rawat Inap Jujun Tahun 2024” guna
memenuhi Stase Askeb Kasus-kasus Patologi dan Komplikasi Program Studi Profesi Bidan
Poltekkes Kemenkes Jambi Tahun 2023/2024

Jambi, Februari 2024

Mahasiswa

Penica Depariza
PO.71242230102

Mengetahui:

Pembimbing Institusi Pembimbing Lahan

(Verawati Pulungan,S.ST, MKM) (Bdn,Sri Mulyati, S.Tr.Keb)


LANDASAN TEORI
ASUHAN KEBIDANAN PATOLOGI

A. Kehamilan dengan Oligohidramnion

1. Pengertian

Oligohidramnion adalah suatu keadaan dimana air ketuban kurang dari normal,

yaitu kurang dari 500 cc (Neilson JP, 2016).

Definisi lainnya menyebutkan sebagai AFI yang kurang dari 5 cm. Karena VAK

tergantung pada usia kehamilan maka definisi yang lebih tepat adalah AFI yang kurang

dari presentil 5 ( lebih kurang AFI yang <6.8 cm saat hamil cukup bulan) (Neilson JP,

2016).

2. Patofisiologi Oligohidramnion

Mekanisme atau patofisiologi terjadinya oligohidramnion dapat dikaitkan

dengan adanya sindroma potter dan fenotip pottern, dimana, Sindroma Potter dan

Fenotip Potter adalah suatu keadaan kompleks yang berhubungan dengan gagal ginjal

bawaan dan berhubungan dengan oligohidramnion (cairan ketuban yang sedikit).

Fenotip Potter digambarkan sebagai suatu keadaan khas pada bayi baru lahir, dimana

cairan ketubannya sangat sedikit atau tidak ada. Oligohidramnion menyebabkan bayi

tidak memiliki bantalan terhadap dinding rahim. Tekanan dari dinding rahim

menyebabkan gambaran wajah yang khas (wajah Potter). Selain itu, karena ruang di

dalam rahim sempit, maka anggota gerak tubuh menjadi abnormal atau mengalami

kontraktur dan terpaku pada posisi abnormal (Neilson JP, 2016).

Oligohidramnion juga menyebabkan terhentinya perkembangan paru-paru

(paru-paru hipoplastik), sehingga pada saat lahir, paru-paru tidak berfungsi

sebagaimana mestinya. Pada sindroma Potter, kelainan yang utama adalah gagal ginjal
4
bawaan, baik karena kegagalan pembentukan ginjal (agenesis ginjal bilateral) maupun

karena penyakit lain pada ginjal yang menyebabkan ginjal gagal berfungsi. Dalam

keadaan normal, ginjal membentuk cairan ketuban (sebagai air kemih) dan tidak

adanya cairan ketuban menyebabkan gambaran yang khas dari sindroma Potter

(Barbati A, Renzo GCD, 2018).

Menurut (Barbati A, Renzo GCD, 2018) Gejala Sindroma Potter berupa :

a. Wajah Potter (kedua mata terpisah jauh, terdapat lipatan epikantus, pangkal hidung

yang lebar, telinga yang rendah dan dagu yang tertarik ke belakang).

b. Tidak terbentuk air kemih

c. Gawat pernafasan

3. Epidemiologi

Sekitar 8% wanita hamil memiliki cairan ketuban terlalu sedikit.

Olygohydramnion dapat terjadi kapan saja selama masa kehamilan, walau pada

umumnya sering terjadi di masa kehamilan trimester terakhir. Sekitar 12% wanita yang

masa kehamilannya melampaui batas waktu perkiraan lahir (usia kehamilan 42

minggu) juga mengalami olygohydrasmnion, karena jumlah cairan ketuban yang

berkurang hampirsetengah dari jumlah normal pada masa kehamilan 42 minggu

(Rustam, 2018).

4. Etilogi Oligohidramnion

Penyebab oligohydramnion tidak dapat dipahami sepenuhnya. Mayoritas wanita

hamil yang mengalami tidak tau pasti apa penyebabnya. Penyebab oligohydramnion

yang telah terdeteksi adalah cacat bawaan janin dan bocornya kantung/ membran cairan

ketuban yang mengelilingi janin dalam rahim. Sekitar 7% bayi dari wanita yang

mengalami oligohydramnion mengalami cacat bawaan, seperti gangguan ginjal dan

saluran kemih karena jumlah urin yang diproduksi janin berkurang. Masalah kesehatan
5
lain yang juga telah dihubungkan dengan oligohidramnion adalah tekanan darah tinggi,

diabetes, SLE, dan masalah pada plasenta. Serangkaian pengobatan yang dilakukan

untuk menangani tekanan darah tinggi, yang dikenal dengan namaangiotensin-

converting enxyme inhibitor (mis captopril), dapat merusak ginjal janin dan

menyebabkan oligohydramnion parah dan kematian janin. Wanita yang memiliki

penyakit tekanan darah tinggi yang kronis seharusnya berkonsultasi terlebih dahulu

dengan ahli kesehatan sebelum merencanakan kehamilan untuk memastikan bahwa

tekanan darah mereka tetap terawasi baik dan pengobatan yang mereka lalui adalah

aman selama kehamilan mereka (Barbati A, Renzo GCD, 2018).

a. Fetal :

1) Kromosom

2) Kongenital

3) Hambatan pertumbuhan janin dalam rahim

4) Kehamilan postterm

5) Premature ROM (Rupture of amniotic membranes)

b. Maternal :

1) Dehidrasi

2) Insufisiensi uteroplasental

3) Preeklamsia

4) Diabetes

5) Hypoxia kronis

c. Induksi Obat :

1) Indomethacin and ACE inhibitors

2) Idiopatik

5. Faktor risiko oligohidramnion


6
Wanita dengan kondisi berikut memiliki insiden oligohidramnion yang tinggi (Pernoll

ML, 2019) :

a. Anomali kongenital ( misalnya : agenosis ginjal,sindrom patter ).

b. Retardasi pertumbuhan intra uterin

c. Ketuban pecah dini ( 24-26 minggu)

d. Sindrom pasca maturitas

6. Manifestasi klini oligohidramnion (Rodeck CH, 2012).

a. Uterus tampak lebih kecil dari usia kehamilan dan tidak ada ballotemen.

b. Ibu merasa nyeri di perut pada setiap pergerakan anak.

c. Sering berakhir dengan partus prematurus.

d. Bunyi jantung anak sudah terdengar mulai bulan kelima dan terdengar lebih jelas.

e. Persalinan lebih lama dari biasanya.

f. Sewaktu his akan sakit sekali.

g. Bila ketuban pecah, air ketuban sedikit sekali bahkan tidak ada yang keluar

7. Diagnosis dan pemeriksaan oligohidramnion

Pemeriksaan dengan USG dapat mendiagnosa apakah cairan ketuban terlalu

sedikit atau terlalu banyak. Umumnya para doketer akan mengukur ketinggian cairan

dalam 4 kuadran di dalam rahim dan menjumlahkannya. Metode ini dikenal dengan

nama Amniotic Fluid Index (AFI). Jika ketinggian amniotic fluid (cairan ketuban)

yang di ukur kurang dari 5 cm, calon ibu tersebut didiagnosa mengalami

oligohydramnion. Jika jumlah cairan tersebut lebih dari 25 cm, ia di diagnosa

mengalami poluhydramnion (Cudleigh T, 2014).

8. Penatalaksanaan oligohidramnion
7
Sebenarnya air ketuban tidak akan habis selama kehamilan masih normal dan

janin masih hidup. Bahkan air ketuban akan tetap diproduksi, meskipun sudah pecah

berhari-hari. Walau sebagian berasal dari kencing janin, air ketuban berbeda dari air

seni biasa, baunya sangat khas. Ini yang menjadi petunjuk bagi ibu hamil untuk

membedakan apakah yang keluar itu air ketuban atau air seni (Barbati A, Renzo GCD,

2018).

Supaya volume cairan ketuban kembali normal, dokter umumnya menganjurkan

ibu hamil untuk menjalani pola hidup sehat, terutama makan dengan asupan gizi

berimbang. Pendapat bahwa satu-satunya cara untuk memperbanyak cairan ketuban

adalah dengan memperbanyak porsi dan frekuensi minum adalah ”salah kaprah”. Tidak

benar bahwa kurangnya air ketuban membuat janin tidak bisa lahir normal sehingga

mesti dioperasi sesar. Bagaimanapun, melahirkan dengan cara operasi sesar merupakan

pilihan terakhir pada kasus kekurangan air ketuban. Meskipun ketuban pecah sebelum

waktunya, tetap harus diusahakan persalinan pervaginam dengan cara induksi yang baik

dan benar (Cudleigh T, 2014).

Studi baru-baru ini menyarankan bahwa para wanita dengan kehamilan normal

tetapi mengalami oligohydramnion dimasa-masa terakhir kehamilannya kemungkinan

tidak perlu menjalani treatment khusus, dan bayi mereka cenderung lahir denga sehat.

Akan tetapi wanita tersebut harus mengalami pemantauan terus-menerus. Dokter

mungkin akan merekomendasikan untuk menjalani pemeriksaan USG setiap minggu

bahkan lebih sering untuk mengamati apakah jumlah cairan ketuban terus berkurang.

Jika indikasi berkurangnya cairan ketuban tersebut terus berlangsung, dokter mungkin

akan merekomendasikan persalinan lebih awal dengan bantuan induksi untuk

mencegah komplikasi selama persalinan dan kelahiran. Sekitar 40-50% kasus

oligohydramnion berlangsung hingga persalinan tanpa treatment sama sekali. Selain


8
pemeriksaan USG, dokter mungkin akan merekomendasikan tes terhadap kondisi janin,

seperti tes rekam kontraksi untuk mengganti kondisi stress tidaknya janin, dengan cara

merekam denyut jantung janin. Tes ini dapat memberi informasi penting untuk dokter

jika janin dalam rahim mengalami kesulitan. Dalam kasus demikian, dokter cenderung

untuk merekomendasikan persalinan lebih awal untuk mencegah timbulnya masalah

lebih serius. Janin yang tidak berkembang sempurna dalam rahim ibu yang mengalami

oligohydramnion beresiko tinggi untuk mengalami komplikasi selama persalinan,

seperti asphyxia (kekurangan oksigen), baik sebelum atau sesudah kelahiran. Ibu

dengan kondisi janin seperti ini akan dimonitor ketat bahkan kadang-kadang harus

tinggal di rumah sakit (Cudleigh T, 2014).

Jika wanita mengalami oligohydramnion di saat-saat hampir bersalin, dokter

mungkin akan melakukan tindakan untuk memasukan laruran salin melalui leher rahim

kedalam rahim. Cara ini mungkin mengurangi komplikasi selama persalinan dan

kelahiran juga menghindari persalinan lewat operasi caesar. Studi menunjukan bahwa

pendekatan ini sangat berarti pada saat dilakukan monitor terhadap denyut jantung janin

yang menunjukan adanya kesulitan. Beberapa studi juga menganjurkan para wanita

dengan oligohydramnion dapatmembantu meningkatkan jumlah cairan ketubannya

dengan minum banyak air. Juga banyak dokter menganjurkan untuk mengurangi

aktivitas fisik bahkan melakukan bedrest (Al-Salami KS, 2017).

9. Prognosis oligohidramnion

a. Semakin awal oligohidramnion terjadi pada kehamilan, semakin buruk

prognosisnya.

b. Jika terjadi pada trimester II, 80-90% mortalitas (Wiknjosastro, 2015).

10. Komplikasi oligohidramnion


9
Kurangnya cairan ketuban tentu aja akan mengganggu kehidupan janin, bahkan

dapat mengakibatkan kondisi gawat janin. Seolah-olah janin tumbuh dalam ”kamar

sempit” yang membuatnya tidak bisa bergerak bebas. Malah pada kasus extrem dimana

suah terbentuk amniotic band (benang atau serat amnion) bukan tidak mustahil terjadi

kecacatan karena anggota tubuh janin ”terjepit” atau ”terpotong” oleh amniotic band

tersebut (Cudleigh T, 2014).

Efek lainnya janin berkemungkinan memiliki cacat bawaan pada saluran kemih,

pertumbuhannya terhambat, bahkan meninggal sebelum dilahirkan. Sesaat setelah

dilahirkan pun, sangat mungkin bayi beresiko tak segera bernafas secara spontan dan

teratur. Bahaya lainnya akan terjadi bila ketuban lalu sobek dan airnya merembes

sebelum tiba waktu bersalin. Kondisi ini amat beresiko menyebabkan terjadinya

infeksi oleh kuman yang berasal daribawah. Pada kehamilan lewat bulan, kekurangan

air ketuban juga sering terjadi karena ukuran tubuh janin semakin besar (Cudleigh T,

2014).

Masalah-masalah yang dihubungkan dengan terlalu sedikitnya cairan ketuban

berbeda-beda tergantung dari usia kehamilan. Oligohydramnion dapat terjadi di masa

kehamilan trimester pertama atau pertengahan usia kehamilan cenderung berakibat

serius dibandingkan jika terjadi di masa kehamilan trimester terakhir. Terlalu

sedikitnya cairan ketuban dimasa awal kehamilan dapat menekan organ-organ janin

dan menyebabkan kecacatan, seperti kerusakan paru-paru, tungkai dan lengan

(Cudleigh T, 2014).

Olygohydramnion yang terjadi dipertengahan masa kehamilan juga

meningkatka resiko keguguran, kelahiran prematur dan kematian bayi dalam

kandungan. Jika ologohydramnion terjadi di masa kehamilan trimester terakhir, hal ini

mungkin berhubungan dengan pertumbuhan janin yang kurang baik. Disaat-saat akhir
10
kehamialn, oligohydramnion dapat meningkatkan resiko komplikasi persalinan dan

kelahiran, termasuk kerusakan pada ari-ari memutuskan saluran oksigen kepada janin

dan menyebabkan kematian janin. Wanita yang mengalami oligohydramnion lebih

cenderung harus mengalami operasi caesar disaat persalinannya (Cudleigh T, 2014)

B. Konsep Kehamilan dengan Polihidramnion

1. Pengertian

11
Polihidramnion (hidramnion) adalah suatu kondisi media pada kehamilan

berupa kelebihan cairan ketuban dalam kantung ketuban yaitu lebih dari 2000 ml

ataupun juga jika indeks cairan amnion (AFI) dari pemeriksaan USG lebih besar dari

20 cm (≥ 20 cm) (Cunningham, F.G, 2014).

2. Patofisiologi
Integrasi dari aliran cairan yang masuk dan keluar dari kantung ketuban

menentukan volume cairan ketuban. Terdapat empat jalur penting yang memegang

peranan penting dalam regulasi peningkatan volume cairan amnion, yaitu urine janin,

produksi cairan paru-paru, proses menelan, penyerapan intramembranous (ke dalam

kompartemen vaskuler janin) memberikan kontribusi penting terhadap pergerakan

cairan di akhir kehamilan, faktor lain (misalnya, produksi air liur) memberikan

kontribusi minimal (Mochtar R, 2018).

Pertama urin janin merupakan sumber utama cairan amnion pada trimester ke 2

kehamilan. Saat usia kehamnilan aterm, produksi urin janin dapat mengasilakn 1000mL

dalam satu hari. Kedua tingkat osmolaritas dari urin janin secara signifikan

mempengaruhi hipotonik terhadap plasma janin dan maternal sehingga serupa dengan

cairan amnion, dan proses penyerapan intramembranous yaitu sekitar 400mL per

harinya. Sumber regulasi cairan amnion yang ketiga berasal dari pernafasan. Hampir

sekitar 350ml cairan paru paru dibentuk secara teratur pada kehamilan lanjut, yang

keempat proses menelan pada janin adalah mekanisme primer penyerapan sekitar

750ml cairan amnion per harinya. Dari proses di atas dapat dikatan yaitu terdapat dua

proses utama aliran cairan ketuban yaitu proses produksi dan juga proses reabsorpsi.

Akumulasi cairan amnion yang berlebihan biasanya berhubungan dengan penurunan

porses absorpsi yang biasa disebabkan oleh adanya gangguan proses menelan pada

12
janin, ataupun produksi yang berlebihan yang biasa berhubungan dengan produksi urin

janin (Mochtar R, 2018).

3. Etiologi

Pada polihidramnion, penyebab yang mendasari volume cairan amnion

berlebihan bisa diketahui dalam beberapa kondisi klinis dan tidak sepenuhnya dapat

diketahui pada beberapa kondisi klinis lainnya. Penyebabnya dapat meliputi (Hacker

and mooree, 2019):

a. Kehamilan kembar dengan sindrom transfusi antar janin kembar (peningkatan

cairan ketuban pada janin kembar penerima dan penurunan cairan ketuban pada

janin kembar pendonor) atau kehamilan multipel.

b. Anomali janin, termasuk atresia esofagus (biasanya berhubungan dengan fistula

trakeoesofageal), atresia duodenum, dan atresia usus lainnya.

c. Kelainan SSP dan penyakit neuromuskuler yang menyebabkan disfungsi menelan.

d. Anomali irama jantung kongenital terkait dengan hidrops, perdarahan janin-ke-ibu,

dan infeksi parvovirus.

e. Diabetes mellitus tidak terkontrol pada ibu.

f. Kelainan kromosom, trisomi 21 yang paling umum, diikuti dengan trisomi 18 dan

trisomi 13.

g. Sindrom akinesia janin dengan tidak adanya proses menelan pada janin.

4. Klasifikasi

Polihidramnion dapat dibagi menjadi 3 berdasarkan dari pemeriksaan USG, yaitu

(Mochtar R, 2018) :

a. Mild Hydramnion ( Hidramnion ringan) : apabila kantung amnion mencapai 8-11

cm dalam dimensi vertikal dan AFI mencapai 25- 29.9 cm.

13
b. Moderate Hydramnion ( Hidramnion sedang) : apabila kantung amnion mencapai

12-15 cm dalamnya dan AFI mencapai 30 – 34.9cm.

c. Severe Hydramnion ( Hidramnion berat) : apabila janin ditemukan berenang dengan

bebas dalam kantung amnion yang mencapai 16 cm atau lebih besar, dan AFI

mencapai 35cm atau lebih.

5. Diagnosis

Diagnosis dari polihidramnion dapat ditegakkan melalui pemeriksaan fisik,

pemeriksaan Laboratorium, dan pemeriksaan Ultrasonografi. (Hacker and mooree,

2019):

a. Pemeriksaan Fisik

1) Anamnesis : perut terasa lebih besar dan lebih berat dari biasa, sesak nafas, nyeri

ulu hati dan sianosis, nyeri perut karena tegannya uterus.

2) Inspeksi : Perut terlihat sangat buncit dan tegang, kulit perut mengkilat, retak-

retak kulit jelas dan kadang-kadang umbilikus mendatar. Ibu terlihat sesak dan

sianosis serta terlihat payah karena kehamilannya. Edema pada kedua tungkai,

vulva dan abdomen. Hal ini terjadi karena kompresi terhadap sebagian besar

sistem pembuluh darah balik (vena) akibat uterus yang terlalu besar.

3) Palpasi : Perut tegang dan nyeri tekan Fundus uteri lebih tinggi dari usia

kehamilan, bagian janin sukar dikenali

4) Auskultasi : Denyut jantung janin sukar di dengar.

b. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan Laboratorium merupakan pemeriksaan penunjang yang digunakan

untuk mendiagnosis beberapa kemungkinan penyebab terjadinya polihidramnion

seperti tes toleransi glukosa untuk ibu dengan diabetes mellitus, tes hidrops janin,

14
tes Kleihauer- Betke untuk mengevaluasi perdarahan janin-ibu, Karyotyping janin

untuk trisomy 21, 13, dan 18.

c. Pemeriksaan Ultrasonografi

Pemeriksaan Ultrasonografi juga merupakan pemeriksaan penunjang yang dapat

menentukan Amnion Fluid Index (AFI).Polihidramnion didefinisikan sebagai AFI

lebih dari 24 cm atau kantong tunggal cairan minimal 8 cm yang menghasilkan

volume cairan total lebih dari 2000 mL.

6. Penatalaksanaan

Prinsip penatalaksanaan hidramnion adalah untuk mengatasi

ketidaknyamanan, mengetahui penyebab dan untuk menghindari dan mengatasi

komplikasinya dan tujuan dari penatalaksanann yaitu untuk mengembalikan jumlah

dari cairan amnion dalam batas normal kembali. Penatalaksanaan hidramnion secara

sfesifik dilakukan berdasarkan penyebab utama dari terjadinya polihidramnion. Pada

hidramnion harus melakukan monitoring ketat jumlah cairan amnion (Mochtar R,

2018).

a. Anemia hidrops janin diobati dengan transfusi eritrosit, baik intravaskular atau

melalui perut janin. Hal ini mengurangi kemungkinan kegagalan kongestif janin,

sehingga memungkinkan perpanjangan kehamilan dan meningkatkan

kelangsungan hidup.

b. Jika didiagnosis adanya diabetes kehamilan, kontrol glikemik yang ketat harus

dipertahankan. Hal ini biasanya dilakukan dengan manipulasi diet dan insulin

jarang dibutuhkan.

c. Indometacin adalah obat pilihan untuk pengobatan medis polihidramnion. Hal ini

sangat efektif, terutama dalam kasus dimana kondisi ini terkait dengan peningkatan

produksi urin janin. Mekanisme aksi menjadi efek pada produksi urin oleh ginjal
15
janin, mungkin dengan meningkatkan efek dari vasopresin. Hal ini tidak efektif

dalam kasus di mana penyebab yang mendasari adalah penyakit neuromuskuler

yang mempengaruhi proses menelan janin, atau hidrosefalus. Tapi hal ini

merupakan kontraindikasi pada sindrom kembar-ke-kembar atau setelah 35

minggu, karena efek samping yang ditimbulkan lebih besar daripada manfaat

dalam kasus ini.

d. Amniosentesis direkomendasikan dalam kasus di mana indomethacin menjadi

suatu kontraindikasi, pada polihidramnion berat, atau pada pasien yang

simptomatik. Ini menjadi kontraindikasi pada ketuban pecah dini atau pelepasan

plasenta, atau korioamnionitis.

e. Induksi persalinan harus dipertimbangkan jika gawat janin berkembang.

Kehamilan di atas 35 minggu mungkin lebih aman untuk dilahirkan. Induksi

dengan ruptur buatan pada membran (ARM) harus dikontrol, dilakukan oleh dokter

kandungan dan dengan persetujuan untuk melanjutkan dengan sectio caesar jika

diperlukan.

7. Komplikasi

Komplikasi maternal yang paling sering ditemukan adalah solusio plasenta,

disfungsi uteri dan perdarahan postpartum. Pelepasan plasenta yang luas sebelum

waktunya, kadangkala terjadi mengikuti pengaliran keluar cairan amnion dalam jumlah

banyak; peristiwa ini disebabkan oleh menyempitnya daerah uterus tempat perlekatan

plasenta akibat pengosongan tersebut. Disfungsi uterus dan perdarahan postpartum

terjadi akibat atonia uteri yang disebabkan oleh distensi uterus berlebihan. Komplikasi

yang dapat terjadi pada janin adalah terjadinya malformasi janin, prematuritas dan

meningkatnya angka kematian perinatal (Mochtar R, 2018).

16
Risiko dan komplikasi amnioinfusi, termasuk emboli cairan amnion gangguan

pernapasan ibu, peningkatan tekanan rahim ibu, dan gangguan pernapasan sementara

janin. Risiko amniosentesis termasuk kehilangan janin (1-2%). Komplikasi lainnya

adalah terlepasnya plasenta, persalinan prematur, perdarahan janin-ibu, sensitisasi Rh

ibu, dan pneumotoraks pada janin. Risiko infeksijanin dapat sedikit meningkat(Mochtar

R, 2018).

C. Kehamilan Dengan Hipertensi

1. Pengertian

Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko penting pada penyakit

kardiovaskular, penyakit jantung koroner, penyakit pembuluh darah perifer, stroke

dan penyakit ginjal. Untuk menghindari komplikasi tersebut diupayakan

pengendalian tekanan darah dalam batas normal baik secara farmakologis maupun

non farmakologis (Nadar, 2015; Rani et al., 2006). Hipertensi pada kehamilan dapat

digolongkan menjadi pre-eklampsia, eklampsia, hipertensi kronis pada kehamilan,

hipertensi kronis disertai pre- eklampsia, dan hipertensi gestational (Roberts et al.,

2013).

Penyakit kardio-serebrovaskular adalah salah satu penyebab utama morbiditas

dan mortalitas, dengan angka kematian 17 juta di seluruh dunia setiap tahunnya atau

31% dari seluruh mortalitas. Di eropa, angka ini bahkan mencapai 42%. Penyakit

kardiovaskular kerap diasosiasikan dengan gaya hidup (merokok, kurangnya aktivitas

fisik, perilaku makan yang tidak sehat, dan stress) dan beberapa faktor risiko lain

seperti hipertensi, dislipidemia, obesitas, usia lanjut, riwayat penyakit kardiovaskular

pada keluarga, dan disfungsi endhothelium. Koeksistensi dari beberapa faktor risiko

akan meningkatkan risiko kardiovaskular (Turana et al., 2017; Nambiar, 2015).


17
Peningkatan tekanan darah yang tidak terlalu tinggi (high normal /

prehipertensi) telah terbukti meningkatkan insiden penyakit kardiovaskular. Insiden

penyakit kardiovaskular selama 10 tahun pada mereka yang tekanan darahnya

prehipertensi adalah 8% pada laki-laki dan 4% pada perempuan. Sehingga

disimpulkan bahwa semakin tinggi tekanan darah, semakin tinggi pula angka

kejadian kelainan kardiovaskular (Nadar, 2015). JNC 7 juga melaporkan bahwa

peningkatan tekanan darah sistolik 20 mmHg atau diastolik 10 mmHg akan

meningkatkan risiko kejadian penyakit kardiovaskular dua kali lipat (Nadar, 2015;

Burt et al., 1995). Sebaliknya penurunan tekanan diastolik 2 mmHg dapat

menurunkan penyakit jantung koroner, stroke dan transient ischemic attact (TIA)

sebesar 6% (Vassan et al., 2001). Tetapi apabila tekanan darah diastolik diturunkan

hingga < 70 mmHg dapat meningkatkan angka mortalitas (Kimm et al., 2018; Vidal-

Petiot et al., 2016; Tringali et al., 2013).

2. KlasifikasiHipertensi pada kehamilan

Hipertensi pada kehamilan apabila tekanan darahnya ≥140/90 mmHg. Dibagi

menjadi ringan-sedang (140 – 159 / 90 – 109 mmHg) dan berat (≥160/110 mmHg)

(Malha et al., 2018).

Hipertensi pada kehamilan dapat digolongkan menjadi: 1) pre-eklampsia/

eklampsia, 2) hipertensi kronis pada kehamilan, 3) hipertensi kronis disertai pre-

eklampsia, dan 4) hipertensi gestational (Roberts et al., 2013; Malha et al., 2018).

Tabel 1. Perbedaan Hipertensi kronis, hipertensi gastasional dan pre-


eklampsia/eklampsia pada kehamilan (Karthikeyan, 2015)
18
Temuan Hipertensi kronis Hipertensi Pre-eklampsia
gestasional atau eklampsia
Waktu onset <20 minggu Pertengahan ≥20 minggu
kehamilan
Proteinuria Tidak ada Tidak ada Ada
Hemokonsentasi Tidak ada Tidak ada Ada
Trombositopenia Tidak ada Tidak ada Ada
Disfungsi hati Tidak ada Tidak ada Ada
Kreatinin serum Tidak ada Tidak ada Ada
>1.2 mg/dL
Peningkatan asam Tidak ada Tidak ada Ada
urat serum
Gejala klinik Tidak ada Tidak ada Ada

3. Hipertensi Kronis Pada Kehamilan

Hipertensi kronis pada kehamilan apabila tekanan darahnya ≥140/90 mmHg,

terjadi sebelum kehamilan atau ditemukan sebelum 20 minggu kehamilan. Seringkali

merupakan hipertensi esensial / primer, dan didapatkan pada 3,6-9% kehamilan (Malha

et al., 2018). Hipertensi kronis pada kehamilan adalah hipertensi (≥ 140/90 mmHg)

yang telah ada sebelum kehamilan. Dapat juga didiagnosis sebelum minggu ke-20

kehamilan. Ataupun yang terdiagnosis untuk pertama kalinya selama kehamilan dan

berlanjut ke periode post-partum (Karthikeyan, 2015).

Peningkatan tekanan darah pada hipertensi kronis terjadi sebelum minggu ke-

20 kehamilan, dapat bertahan lama sampai lebih dari 12 minggu pasca persalinan

(Leeman et al., 2016). Hipertensi, obesitas dan usia merupakan faktor risiko hipertensi

kronis. Hipertensi kronis pada kehamilan meningkatkan risiko pre-eklampsia

pertumbuhan janin, persalinan dini, dan kelahiran dengan ceasar (Seely and Ecker,

2014)

19
Wanita hipertensi yang hamil memiliki kecenderungan mengalami pre-

eklampsia, eklampsia, sindroma HELLP, detachment plasenta, gagal hati, gagal ginjal

dan sesak nafas karena cairan pada paru (Cluver et al., 2017)

Hipertensi kronis pada kehamilan umumnya berasal dari hipertensi essensial

terlihat dari riwayat keluarganya. Tetapi bisa juga berasal dari kelainan ginjal

parenkim, hiperplasia fibromuskular atau hiperaldosteronisme hanya saja kasusnya

jarang (Tranquilli et al., 2014).

Tabel 2. Penyebab hipertensi kronis pada kehamilan (Sibai and Chames, 2018)

Hipertensi kronis berat (SBP ≥ 180 mmHg dan atau DBP ≥ 110 mmHg akan

disertai dengan penyakit ginjal, kardiomiopati, koarktasion aorta, retinopati, diabetes

(B sampai F), kolagen vaskular, sindrom antibodi antifosfolipid, pre- eklampsia.

Wanita hamil dengan hipertensi kronis berat memiliki risiko tinggi terkena stroke,

serbral hemorage, hipertesi encelopati, pre-eklampsia, serangan jantung, gagal ginjal

akut, abruptio plasenta, koagulopati intravaskular diseminata dan kematian (Sibai

and Chames, 2018).

Mayoritas wanita hipertensi kronis mengalami penurunan tekanan darah

menjelang akhir trimester pertama sekitar 5-10 mmHg mirip seperti siklus pada

wanita normal. Bahkan ada beberapa yang menjadi normal tekanan darahnya.

Kemudian tekanan darah naik kembali pada trimester ketiga sehingga mirip dengan

20
hipertensi gestasional. Tetapi hipertensi kronis dapat bertahan sampai lebih dari 12

minggu setelah persalinan (Seely and Ecker, 2014).

Wanita hipertensi kronis setelah persalinan memiliki kemungkinan terkena

komplikasi edema pulmonari, hipertensi enselopati dan gagal ginjal. Sehingga perlu

dilakukan terapi anti hipertensi yang baik untuk mengontrol tekanan darah (Sibai

and Chames, 2018).

4. Penanganan

a. Waktu hamil

Penanganan hipertensi kronis pada kehamilan (NICE, 2011)

1) Pemberitahuan bila mengonsumsi ACE inhibitor: + terdapat peningkatan

risiko gangguan kongenital. + berdiskusi memilih obat hipertensi alternative

2) Pemberitahuan bila mengonsumsi chlorothiazide: + terdapat peningkatan

risiko gangguan kongenital dan komplikasi neonatal + berdiskusi memilih obat

hipertensi alternative

3) Menjaga tekanan darah kurang dari 150/100 mmHg saat kehamilan

b. Waktu bersalin

1) Tekanan darah < 160/110 mmHg dengan atau tanpa obat anti hipertensi tidak

diperbolehkan melakukan persalinan sebelum 37 minggu kehamilan.

2) Tekanan darah < 160/110 mmHg dengan atau tanpa obat anti hipertensi setelah

37 minggu melakukan konsultasi mengenai hari persalinan.

3) Persalinan dapat dilakukan setelah kartikosteroids selesai.

21
D. Kehamilan dengan Molahidatidosa

1. Pengertian

Mola berasal dari bahasa Latin yang berarti massa, sedangkan hidatidosa berasal dari

kata hydatis (Yunani) yang berarti tetesan air. Kehamilan mola (mola hidatidosa) ialah

kehamilan yang berkembang tidak wajar yang ditandai secara histologis dengan

abnormalitas dari villi koriales yang berupa proliferasi trofoblas dan edema struma

villi.Jaringan trofoblast pada villus, berpoliferasi, dan mengeluarkan hormon yaitu

hCG dalam jumlah yang lebih besar daripada kehamilan biasa. Gambaran yang

diberikan ialah seperti buah anggur (Cunninngham. F.G, 2016).

2. Epidemiologi

Mola Hidatidosa baik dalam bentuk jinak atau ganas, banyak ditemukan di

negara Asia dan Mexico, sedangkan di negara barat lebih jarang. Angka di Indonesia

umumnya merupakan angka rumah sakit, untuk mola hidatidosa berkisar antara 1:50

sampai 1:141 dari kehamilan, sedangkan untuk koriokarsinoma 1:297 sampai 1: 1035

dari kehamilan (Cunninngham. F.G, 2016).

Biasanya penyakit ini ditemukan pada usia reproduktif (15-45 thn) dan pada

multipara. Jadi dengan meningkatnya paritas kemungkinan menderita mola lebih

besar. Selain itu penyakit ini juga ditemukan pada golongan sosio-ekonomi rendah

serta usia kehamilan dibawah 29 dan diatas 34 tahun (Cunninngham. F.G, 2016).

3. Etiologi

Penyebab mola hidatidosa belum diketahui. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan

mola hidatidosa, antara lain (Cunninngham. F.G, 2016) :

c. Faktor ovum : ovum memang sudah patologik sehingga mati, tetapi terlambat

dikeluarkan

d. Keadaan sosio-ekonomi yang rendah


22
e. Paritas tinggi

f. Kekurangan protein

g. Infeksi virus dan faktor kromosom yang belum jelas

Berbagai teori telah diajukan, misalnya teori infeksi, defisiensi zat makanan,

terutama protein tinggi. Teori yang paling cocok dengan keadaan adalah teori dari

Acosta Sison, yaitu defisiensi protein, karena kenyataan membuktikan bahwa penyakit

ini lebih banyak ditemukan pada wanita dari golongan sosio-ekonomi rendah. Akhir-

akhir ini dianggap bahwa kelainan tersebut terjadi karena pembuahan sebuah sel telur

dimana intinya telah hilang atau tidak aktif lagi oleh sebuah sel sperma yang

mengandung 23x (haploid) kromosom, kemudian membelah menjadi 46xx, sehingga

mola hidatidosa bersifat homozigot, wanita dan androgenesis. Kadang-kadang terjadi

pembuahan oleh 2 sperma, sehingga terjadi 46xx atau 46xy (Cunninngham. F.G, 2016).

Telah diketahui bahwa penyakit ini banyak ditemukan pada golongan sosio-

ekonomi rendah, umur di bawah 20 tahun dan di atas 34 tahun, dan dengan paritas

tinggi. Insiden penyakit ini dapat diturunkan dengan suatu upaya preventif berupa

pencegahan kehamilan di bawah 20 tahun dan di atas 34 tahun dengan jumlah anak

tidak lebih dari tiga. Juga disebutkan defisiensi lemak hewani dan karotene, kebiasaan

merokok, pemakaian pil kontrasepsi kombinasi merupakan faktor resiko. Secara

singkat dapat disimpulkan bahwa peran graviditas, paritas, faktor reproduksi lain, status

estrogen, kontrasepsi oral dan faktor makanan dianggap sebagai faktor resiko walaupun

masih belum jelas hubungannya (American College of Obstetricians and

Gynaecologist, 2017).

4. Klasifikasi
23
Berdasarkan ada tidaknya janin, maka mola hidatidosa diklasifikasikan sebagai:

a. Mola Hidatidosa Komplit

Angka kejadian mola hidatidosa komplit lebih sering daripada mola

hidatidosa parsial. Resiko untuk berkembang menjadi tumor trofoblas dari mola

hidatidosa komplit sekitar 20%. Mola hidatidosa komplit merupakan hasil konsepsi

abnormal tanpa disertai embrio. Ditandai gambaran sekelompok buah anggur

(Cunninngham. F.G, 2016).

Tampak villi koriales berkembang menjadi masa vesikel yang jernih. Sehingga
menyerupai sekelompok buah anggur

Villi koriales berkembang menjadi masa vesikel yang jernih. Vesikel tersebut

tumbuh besar sampai mengisi seluruh kavum uterus (Aghajan P, 2017).

24
Vesikel tersebut terdiri dari berbagai ukuran dari yang hampir tidak terlihat sampai

beberapa sentimeter diameternya. Struktur histologisnya bersifat (Cunninngham.

F.G, 2016):

1) Degenerasi hidropik dan edema stroma villi

2) Tidak adanya pembuluh darah pada villi yang edema

3) Proliferasi dari epitel trofoblas menjadi berbagai tingkatan

4) Tidak adanya fetus atau amnion

Secara singkatnya dapat disebutkan perubahan histologis yang terlihat berupa:

Pada kehamilan mola dilakukan penelitian sitogenik dan ditemukan

komposisi kromosom yang paling sering adalah 46xx, dengan kromosom

seluruhnya berasal dari ayah sehingga secara keseluruhan menggantikan kontribusi

dari ibu. Biasanya hal ini terjadi sebagai hasil dari fertilisasi telur yang kosong oleh

satu spermatozoa. Meskipun jarang, dapat juga dijumpai komposisi kromosom

46xy. Dalam hal ini, dua spermatozoa telah membuahi satu ovum yang mengalami

kekurangan kromosom (Uzelac PS, 2017).

25
b. Mola Hidatidosa Parsial

Merupakan suatu hasil konsepsi abnormal dengan disertai adanya embrio

atau janin yang cenderung untuk mati lebih awal. Hiperplasia trofoblastik yang

terjadi, lebih bersifat fokal daripada generalisata, kariotipe secara khas lebih

triploid, yaitu 69 xxy atau 69 xyy, dengan satu komplemen haploid maternal tapi

biasanya dengan dua komplemen haploid maternal. Janin secara khas

menunjukkan stigmata triploid yang mencakup malformasi kongenital multipel

dan retardasi pertumbuhan (Uzelac PS, 2017).

Hiperplasia trofoblastik bersifat fokal daripada umum. Angka kejadian

koriokarsinoma pada mola hidatidosa parsial cenderung lebih rendah. Dari 3000

kasus mola hidatidosa parsial hanya 2 kasus dilaporkan yang berlanjut menjadi

koriokarsinoma (Uzelac PS, 2017).

Struktur histologisnya bersifat (Uzelac PS, 2017) :

1) Abnormal villi. Terlihat campuran dari sel villi besar dan kecil; jumlahnya

tidak menentu. Meningkatnya inklusi pseudovilli. Kemudian akan terlihat

pembuluh darah angioma melingkari villi avaskular lainnya. stroma villi

mempunyai struktur retikular, beberapa villi bersifat fibrotik.

2) Proliferasi trofoblastik berlebihan. Lebih sedikit bila dibandingkan dengan

mola hidatidosa komplit, biasanya fokal dan kadang-kadang tidak ada.

3) Perubahan hidropik. Bersifat fokal, membesar pada trimester kedua. Pada

trimester pertama biasanya kecil, ireguler dan mempunyai villi fibrotik. Pada

mola yang telah lama terdapat sisterna yang besar, jarang terlihat pada aborsi

hidropik.

4) Adanya fetus atau bagian janin yang nekrotik atau sel merah bernukleus juga

amnion.
26
Low-power photomicrograph. Hydropic villi on left; relatively normal villi on

right. Hydropic change was not apparent grossly. Preoperatively, patient had

identifiable gestational sac and "deformed" embryo by ultrasound

Tampak gambaran hipoechoic menyerupai sarang tawon disertai adanya


jaringan janin yang normal.

5. Manifestasi Klinis

a. Perdarahan

Perdarahan uterus merupakan gejala mola hidatidosa yang paling umum

ditemui. Mulai dari sekedar spotting hingga perdarahan masif. Gejala perdarahan

biasanya terjadi antara bulan pertama sampai bulan ke tujuh dengan rata-rata

27
minggu ke 12-14. Dapat dimulai sesaat sebelum aborsi atau lebih sering dapat

muncul secara intermiten, sedikit-sedikit atau sekaligus banyak hingga

menyebabkan syok atau kematian. Sebagai akibat dari perdarahan tersebut gejala

anemia sering dijumpai terutama pada wanita malnutrisi. Efek dilusi dari

hipervolemia terjadi pada wanita dengan mola yang lebih besar. Anemia defisiensi

Fe sering ditemukan, demikian pula halnya dengan kelainan eritropoiesis

megaloblastik, diduga akibat asupan yang tidak mencukupi karena adanya mual

dan muntah disertai peningkatan kebutuhan asam folat karena cepatnya proliferasi

trofoblas. Perdarahan juga sering disertai pengeluaran jaringan mola. Darah yang

keluar berwarna kecoklatan (Coulam CB, 2017).

b. Ukuran uterus bisa lebih besar atau kecil (tidak sesuai usia kehamilan)

Pertumbuhan ukuran uterus sering lebih besar dan lebih cepat daripada

kehamilan normal, hal ini ditemukan pada setengah dari semua pasien mola. Ada

pula kasus-kasus yang uterusnya lebih kecil atau sama besarnya dengan kehamilan

normal, walaupun jaringannya belum dikeluarkan. Dalam hal ini perkembangan

trofoblas tidak terlalu aktif sehingga perlu dipikirkan kemungkinan adanya dying

mole. Uterus mungkin sulit untuk diidentifikasikan secara pasti dengan palpasi,

terutama pada wanita nullipara. Hal ini disebabkan karena konsistensinya yang

lembut di bawah dinding perut yang kaku. Pembesaran uterus karena kista theca

lutein multiple akan membuat sulit perbedaaan dengan pembesaran uterus biasa

(Coulam CB, 2017).

c. Tidak adanya aktivitas janin

Walaupun pembesaran uterus mencapai bagian atas simfisis, tidak

ditemukan adanya denyut jantung janin. Meskipun jarang, mungkin terdapat

plasenta ganda dengan kehamilan mola komplit yang bertumbuh bersamaan,


28
sementara plasenta yang satu dan janin terlihat normal. Juga walaupun jarang,

mungkin terdapat mola inkomplit pada plasenta yang disertai janin hidup (Logan

BY, 2018).

d. Eklamsia dan preeklamsia

Preeklampsia pada kehamilan mola timbul pada trimester ke-2. Eklampsia

atau preeklampsia pada kehamilan normal jarang terlihat sebelum usia kehamilan

24 minggu. Oleh karenanya preeklampsia yang terjadi sebelum waktunya harus

dicurigai sebagai mola hidatidosa (Logan BY, 2018).

e. Hyperemesis

Mual dan muntah yang signifikan dapat timbul sebagai salah satu gejala mola

hidatidosa (Uzelac PS, 2017).

f. Tirotoksikosis

Kadar tiroksin plasma pada wanita dengan kehamilan mola sering

meningkat, namun gejala hipertiroid jarang muncul. Menurut Curry insidennya

1%, tetapi Martaadisoebrata menemukan angka lebih tinggi yaitu 7,6%. Terjadinya

tirotoksikosis pada mola hidatidosa berhubungan erat dengan besarnya uterus.

Makin besar uterus makin besar kemungkinan terjadinya tirotoksikosis. Oleh

karena kasus mola dengan uterus besar masih banyak ditemukan, maka

Martaadisoebrata menganjurkan agar pada tiap kasus mola hidatidosa dicari tanda-

tanda tirotoksikosis secara aktif (Logan BY, 2018).

Mola yang disertai tirotoksikosis mempunyai prognosis yang lebih buruk,

baik dari segi kematian maupun kemungkinan terjadinya keganasan. Biasanya

penderita meninggal karena krisis tiroid. Peningkatan tiroksin plasma mungkin

karena efek dari estrogen seperti yang dijumpai pada kehamilan normal. Serum

bebas tiroksin yang meningkat sebagai akibat thyrotropin-like effect dari Chorionic
29
Gonadotropin hormone. Terdapat korelasi antara kadar hCG dan fungsi endogen

tiroid tapi hanya kadar hCG yang melebihi 100.000 iu/L yang bersifat tirotoksis

(Logan BY, 2018).

6. Patofisiologi

Ada beberapa teori yang diajukan untuk menerangkan patogenesis penyakit ini.

Pertama , teori missed abortion. Kematian mudigah pada usia kehamilan 3-5 minggu,

saat di mana seharusnya sirkulasi fetomaternal sudah terbentuk, menyebabkan

gangguan peredaran darah. Sekresi dari sel-sel yang mengalami hiperplasia dan

menghasilkan substansi-substansi yang berasal dari sirkulasi darah ibu,

diakumulasikan ke dalam stroma villi sehingga terjadi kista villi yang kecil-kecil.

Cairan yang terdapat dalam kista tersebut adalah cairan interstitial yang menyerupai

cairan ascites atau edema, tetapi kaya akan hCG (Uzelac PS, 2017).

Kedua, adalah teori neoplasma dari Park, yang mengatakan bahwa yang

abnormal adalah sel-sel trofoblas, yang mempunyai fungsi yang abnormal pula,

dimana terjadi resorpsi cairan yang berlebihan ke dalam villi sehingga timbul

gelembung. Hal ini menyebabkan gangguan peredaran darah dan kematian mudigah.

Sebagian dari villi berubah menjadi gelembung-gelembung berisi cairan jernih.

Biasanya tidak ada janin, hanya pada mola parsialis kadang-kadang ditemukan janin.

Gelembung-gelembung ini sebesar butir kacang hijau sampai sebesar buah anggur.

Gelembung ini dapat mengisi seluruh kavum uterus (Rustam Muchtar, 2018).

Pada pemeriksaan kromosom didapat poliploidi dan hampir pada semua kasus

mola susunan kromatin seksnya adalah wanita ( 46xx). Secara makroskopik, mola

hidatidosa mudah dikenal yaitu berupa gelembung-gelembung putih, tembus pandang,

berisi cairan jernih, dengan ukuran bervariasi dari beberapa millimeter sampai satu

atau dua sentimeter. Secara mikroskopis terlihat: Secara makroskopis terlihat


30
proliferasi dari trofoblas, degenerasi hidropik dari stroma villi, terhambat atau

hilangnya pembuluh darah dan strom (Rustam Muchtar, 2018)

7. Diagnosis

Diagnosis dapat dilakukan beberapa tahap sebagai berikut (Uzelac PS, 2017) :

a. Anamnesis

1) Terdapat gejala-gejala hamil muda yang kadang-kadang lebih nyata dari

kehamilan biasa

2) Terdapat perdarahan yang sedikit atau banyak, tidak teratur, warna tengguli

tua atau kecoklatan

3) Pembesaran rahim yang tidak sesuai (lebih besar) bila dibandingkan dengan

usia kehamilan seharusnya keluar jaringan mola seperti buah anggur atau mata

ikan (tidak selalu ada) yang merupakan diagnosa pasti

b. Pemeriksaan fisik

1) Inspeksi

a) Muka dan kadang-kadang badan kelihatan pucat kekuning-kuningan yang


disebut muka mola (mola face)
b) Kalau gelembung mola keluar dapat dilihat jelas

2) Palpasi

a) Uterus membesar tidak sesuai dengan usianya, terasa lembek

b) Tidak teraba bagian-bagian janin dan balotemen dan juga gerak janin

c) Adanya fenomena harmonika : darah dan gelembung mola keluar, dan

fundus uteri turun, lalu naik lagi karena terkumpulnya darah baru

3) Auskultasi

a) Tidak terdengar bunyi denyut jantung janin


b) Terdengar bising dan bunyi khas

31
4) Pemeriksaan dalam

Pastikan besarnya rahim, rahim terasa lembek, tidak ada bagian-bagian janin,

terdapat perdarahan dan jaringan dalam kanalis servikalis dan vagina, serta

evakuasi keadaan serviks.

c. Pemeriksaan penunjang (Obstetri Ginekologi FK UNPAD, 2019).

a. Laboratorium

Pengukuran kadar -hCG tidak lagi digunakan untuk menegakkan

diagnosis mola karena sudah digantikan oleh USG. Pemeriksaan serial

diperlukan untuk mendeteksi penyakit PTG yang persisten setelah pengeluaran

mola.

b. USG

Pada kehamilan mola, bentuk karakteristik yang ada berupa gambaran

seperti “badai salju“ tanpa disertai kantong gestasi atau janin. Pemeriksaan

USG sebaiknya dilakukan pada setiap pasien yang pernah mengalami

perdarahan pada trisemester awal kehamilan dan memiliki ukuran uterus yang

lebih besar daripada usia kehamilannya.

c. Uji sonde

Dengan perasat Hanifa Winkjosastro, kita masukkan sonde uterus. Jika

sonde masuk ke dalam kavum uteri tanpa tahanan dan dapat diputar 360o

dengan deviasi sonde kurang dari 10o, berarti merupakan kehamilan mola.

d. Ambiografi

Dengan menggunakan bahan radioopaque yang dimasukkan ke dalam

uterus secara transabdominal, akan memberikan gambaran radiografik yang

khas untuk mola hidatidosa. Kavum uterus ditembus dengan jarum

32
amniosentesis. Suntikan 20 ml hypague segera. Dibuat foto anteroposterior 5-

10 menit kemudian. Pola sinar X yang terjadi seperti sarang tawon, yang

ditimbulkan oleh bahan kontras yang mengelilingi gelombang-gelombang

korion. Amniografi ini sekarang sudah jarang digunakan lagi semenjak adanya

USG yang lebih mudah

8. Tatalaksana

Penatalaksanaan mola hidatidosa terdiri dari 4 tahap, yaitu (Cunningham FG, 2018) :

a. Perbaikan keadaan umum

Yang termasuk usaha ini misalnya transfusi darah pada anemia berat dan

syok hipovolemik karena perdarahan. Atau menghilangkan penyulit seperti

preeklampsia dan tirotoksikosis. Preeklampsia diobati seperti pada kehamilan

biasa, sedangkan untuk tirotoksikosis diobati sesuai protokol penyakit dalam.

b. Pengeluaran jaringan mola

Bila diagnosis telah ditegakkan, kehamilan mola harus segera diakhiri. Ada dua

cara evakuasi, yaitu: a) kuret hisap, b) histerektomi.

E. Kehamilan dengan penyakit hepatitis

1. HBsAg Pada Ibu Hamil

Pemeriksaan HBsAg pada ibu hamil dilakukan untuk mengetahui adanya infeksi

Hepatitis B. Penularan virus hepatitis B pada saat kehamilan dapat menjadi risiko tinggi

kepada janinnya untuk tertular penyakit virus yang membahayakan ini. Masa

kehamilan, terjadi perubahan yang dimulai setelah proses pembuahan sampai masa

kehamilan. Perubahan tersebut meliputi perubahan adaptasi anatomis, fisiologis, dan

biokimiawi. Pada saat perubahantu terjadi, jika ibu mengidap Hepatitis B maka janin

yang dikandungnya dapat terinfeksi virus tersebut (Noer, 2017).

33
2. Pengaruh infeksi VHB terhadap kehamilan dan janin

Infeksi VHB dalam kehamilan sering menimbulkan abortus, partus premturus

dan intrauterine deaths, hal ini terjadi terutama bila terjadi dehidrasi atau efek sistemik

yang berat. Kelahiran premature meningkat sebesar 15-35%, yang kemungkinan

disebabkan karena keadaan penyakitnya yang berat, pengaruh virus pada janin atau

plasenta. (Koff RS, 2018).

Tidak didapatkan adanya efek teratogenik maupun kondisi akut pada janin,

sehingga dianggap outcomebayi yang dilahirkan dari ibu yang terinfeksi VHB sama

dengan bayi yang dilahirkan dari ibu yang tidak terinfeksi. Permaslahan disini adalah

penularan vertikalnya saja. Ibu hamil terinfeksi VHB pada kehamilan trimester I dan II

maka penularan vertical hanya kurang dari 10%, tetapi bila infeksi VHB terjadi pada

kehamilan trimester III, penelusuran vertical menjadi lebih tinggi yaitu 76%. (Fagan

EA, 2001, Koff RS, 2018).

3. Pencegahan VHB pada Kehamilan dan Bayi

Vaksin Hepatitis B harus segera diberikan setelah bayi lahir, mengingat

vaksinasi Hepatitis B merupakan upaya pencegahan yang efektif untuk memutuskan

rantai penularan melalui transmisi maternal dari ibu kepada bayinya. Ada dua tipe

vaksin Hepatitis B yang mengandung HBsAg, yaitu, vaksin yang berasal dari plasma

dan vaksin rekombinan. Kedua vaksin ini aman dan imunogenik walaupun diberikan

pada saat lahir karena antibodi anti HBsAg tidak mengganggu respon terhadap vaksin.

(WHO,2017).

Menurut pedoman Nasional di Indonesia dan WHO merekomendasikan

sebainya HBIg dan vaksin Hepatitis B diberikan secara intra muscular dengan dosis

34
0,5ml, paling lambat 24 jam setelah persalinan untuk mendapatkan efektifitas yang

lebih tinggi. (Kemenkes, 2016).

Pemberiaan profilaksis HBIG memberikan manfaat tambahan terutama pada

bayi baru lahir dengan ibu HBsAg positif dan HBeAg positif. (WHO,2017). Pemberian

imunisasi Hepatitis B berdasarkan status HBsAg ibu pada saat melahirkan adalah:

a. Bayi yang lahir dari ibu yang tidak diketahui status HBsAgnya mendapatkan 5mcg

(0,5 ml) vaksin rekombinan atau 10 mcg (0,5ml) vaksin asal plasma dalam waktu

12 jam setelah lahir. Dosis kedua diberikan kepada umur 1-2 bulan dan dosis ketiga

pada umur 6 bulan. Ibu dengan HBsAg positif maka segera diberikan 0,5ml HBIG

(sebelum anak berusia 1 minggu).

b. Bayi yang lahir dari ibu HBsAg positif mendapatkan 0,5ml HBIG dalam waktu 12

jam setelah lahir dan 5mcg (0,5ml) vaksin rekombinan. Dosis kedua diberikan

kepada umur 1-2 bulan dan dosis ketiga pada umur 6 bulan

c. Bayi yang lahir dari ibu dengan HBsAg negatif diberikan dosis minimal 2,5 mcg

(0,25ml) vaksin rekombinan, sedangkan jika digunakan vaksin berasal dari plasma,

diberikan dosis 10mcg (0,5ml) intra muscular pada saat lahir pada usia 12 bulan.

Dosis kedua diberikan pada umur 1-4 bulan, sedangkan dosis ketiga diberikan pada

umur 6-12 bulan

d. Ulangan imunisasi hepatitis B diberikan pada umur 10-12 tahun. (Hariyono S,

2014).

F. Retensio Plasenta
35
1. Pengertian

Retensio plasenta adalah terlambatnya kelahiran plasenta selama setengah

jam setelah kelahiran bayi. Pada beberapa kasus dapat terjadi retensio plasenta

(habitual retensio plasenta). Plasenta harus dikeluarkan karena dapat menimbulkan

bahaya perdarahan, infeksi sebagai benda mati, dapat terjadi plasenta inkarserata,

dapat terjadi polip plasenta dan terjadi degerasi ganas korio karsioma. Sewaktu

suatu bagian plasenta (satu atau lebih lobus) tertinggal, maka uterus tidak dapat

berkontraksi secara efektif dan keadaan ini dapat menimbulkan perdarahan. Gejala

dan tanda yang bisa ditemui adalah perdarahan segera, uterus berkontraksi tetapi

tinggi fundus tidak berkurang (Prawiraharjo, 2016).

2. Etiologi

Penyebab retensio plasenta, (Sastrawinata, 2015) :

a. Fungsional

1) His kurang kuat (penyebab terpenting).

2) Plasenta sukar terlepas karena tempatnya (insersi disudut tuba) dan

ukurannya (plasenta yang sangat kecil).

b. Patologi

1) Plasenta akreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga memasuki

sebagian lapisan miometrium

2) Plasenta inkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga mencapai

atau memasuki miometrium.

3) Plasenta perkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta yang menembus

lapisan otot hingga mencapai lapisan serosa dinding uterus.

3. Jenis retensio plasenta, (Prawirohardjo, 2016) :


36
a. Plasenta adhesiva Adalah plasenta yang implantasi yang kuat dari jonjot korion

plasenta hingga menyebabkan kegagalan mekanisme separasi fisiologis.

b. Plasenta akreta Adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga memasuki

sebagian lapisan miometrium

c. Plasenta inkreta Adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga mencapai atau

memasuki miometrium

d. Plasenta perkreta Adalah implantasi jonjot korion plasenta yang menembus

lapisan otot hingga mencapai lapisan serosa dinding uterus.

e. Plasenta inkarserata Adalah tertahannya plasenta didalam cavum uteri,

disebabkan oleh kontriksi ostium uterus.

4. Gambaran dan dugaan penyebab retensio plasenta, (Prawirohardjo, 2016) :

Tabel 2.3
Penyebab retensio plasenta
Gejala Separasi/akreta Plasenta inkreta Plasenta akreta
parsial
Konsistensi Kenyal Keras Cukup
uterus
Tinggi fundus Sepusat 2 jari bawah pusat Sepusat
Bentuk uterus Discoid Agak globuler Discoid
Perdarahan Sedang-banyak Sedang Sedikit/tidak ada
Tali pusat Terjulur sebagian Terjulur Tidak terjulur
Ostium uteri Terbuka Kontriksi Terbuka
Separasi Lepas sebagian Sudah lepas Melekat
plasenta seluruhnya
Syok Sering Jarang Jarang sekali,
kecuali akibat
inversion oleh
tarikan kuat pada
tali pusat

5. Tanda dan Gejala Retensio Sisa Plasenta, (Yeyeh Rukiyah, 2018) :

a. Plasenta belum lahir setelah 30 menit


37
b. Perdarahan segera

c. Kontraksi uterus baik

d. Tali pusat putus

e. Inversi uterus akibat tarikan

6. Diagnosa

Penilaian klinis sulit untuk memastikan adanya sisa plasenta, kecuali apabila

penolong persalinan memeriksa kelengkapan plasenta setelah plasenta lahir.

Apabila kelahiran plasenta dilakukan oleh orang lain atau terdapat keraguan akan

sisa plasenta, maka untuk memastikan adanya sisa plasenta ditentukan dengan

eksplorasi dengan tangan, kuret atau alat bantu diagnostik yaitu ultrasonografi. Pada

umumnya perdarahan dari rongga rahim setelah plasenta lahir dan kontraksi rahim

baik dianggap sebagai akibat sisa plasenta yang tertinggal dalam rongga rahim

(Kemenkes, 2017).

7. Penanganan

a. Pada umumnya pengeluaran sisa plasenta dilakukan dengan kuretase. Dalam

kondisi tertentu apabila memungkinkan, sisa plasenta dapat dikeluarkan secara

manual. Kuretase harus dilakukan dirumah skait dengan hati-hati karena

dinding rahim relatif tipis dibandingkan dengan kuretase pada abortus.

b. Setelah selesai tindakan pengeluaran sisa plasenta, dilanjutkan dengan

pemberian obat uterotonika melalui suntikan atau peroral.

c. Antibiotika dalam dosis pencegahan sebaiknya diberikan.

38
G. Kehamilan dengan Letak Lintang

1. Pengertian

Letak lintang adalah keadaan dimana sumbu panjang anak tegak lurus atau

hampir tegaklurus pada sumbu panjang ibu (Sastrawinata, 2004).Letak lintang adalah

suatu keadaan dimana janin melintang didalam uterus dengan kepala pada sisi yang

satu, sedangkan bokong berada pada sisi yang lain (Wiknjosastro, 2018).

39
Jadi pengertian letak lintang adalah suatu keadaan dimana janin melintang

didalam uterus dengan sumbu panjang anak tegak lurus atau hampir tegak lurus pada

sumbu panjang ibu.

2. Kjlasifikasi letak lintang

Klasifikasi letak lintang menurut (Mochtar, 2012) dapat dibagi menjadi 2 macam, yang

dibagi berdasarkan :

a. Letak kepala

1) Kepala anak bisa di sebelah kiri ibu

2) Kepala anak bisa di sebelahkanan ibu

b. Letak punggung

1) Jika punggung terletak di sebelah depan ibu, disebut dorso –anterior.

2) Jika punggung terletak di sebelah belakang ibu, disebut dorso-posterior.

3) Jika punggung terletak di sebelah atas ibu, disebut dorsosuperior.

4) Jika punggung terletak di sebelah bawah ibu, disebut dorsoinferior

3. Etiologi

Menurut Wiknjosastro (2018), penyebab terjadinya letak lintang adalah :

a. Multiparitas disertai dinding uterus dan perut yang lembek

b. Fiksasi kepala tidak ada, indikasi CPD (cephalopelvic disproportion)

c. Hidrosefalus

d. Pertumbuhan janin terhambat atau janin mati

e. Kehamilan premature

f. Kehamilan kembar

g. Tumor di daerah panggul

h. Kelainan bentuk rahim (uterus arkuatus atau uterus subseptus)

i. Kandung kemih serta rektum yang penuh dan plasenta previa


40
4. Patofisiologi

Relaksasi dinding abdomen pada perut yang menggantung menyebabkan

uterus beralihke depan, sehingga menimbulkan defleksi sumbu memanjang bayi

menjauhi sumbu jalan lahir, menyebabkan terjadinya posisi obliq atau

melintang.Dalam persalinan terjadi dari posisi logitudinal semula dengan

berpindahnya kepala atau bokong ke salah satu fosa iliaka (Wiknjosastro, 2018).

5. Diagnosis Letak Lintang

Untuk menegakan diagnosa maka hal yang harus di perhatikan adalah dengan

melakukan pemeriksaan inspeksi, palpasi, auskultasi, pemeriksaan dalam

(Wiknjosastro, 2018) :

a. Inspeksi

Pada saat melakukan pemeriksaan inspeksi letak lintangdapat diduga hanya

pemeriksaan inspeksi, fundus tampak lebih melebar dan fundus uteri lebih rendah

tidak sesuai dengan umur kehamilannya.

b. Palpasi

Pada saat dilakukan pemeriksaan palpasi hasilnya adalah fundus uteri kosong,

bagian yang bulat, keras, dan melenting berada di samping dan di atas simfisis juga

kosong, kecuali jika bahu sudah turun ke dalam panggul atau sudah masuk ke

dalam pintu atas panggul (PAP), kepala teraba di kanan atau di kiri.

c. Auskultasi

Hasil yang diperoleh dari pemeriksaan auskultasi adalah denyut jantung janin di

temukan di sekitar umbilicus atau setinggi pusat.

d. Pemeriksaan dalam

Hasil yang di peroleh dari pemeriksaan dalam adalah akan teraba tulang iga,

scapula, dan kalau tangan menumbung teraba tangan, teraba bahu dan ketiak yang
41
bisa menutup ke kanan atau ke kiri, bila kepala di kiri ketiak menutup di kiri, letak

punggung di tentukan dengan adanya scapula, letak dada,klavikula, pemeriksaan

dalam agar sukar dilakukan bila, pembukaan kecil dan ketuban intak, namun pada

letak lintang biasanya ketuban cepat pecah.

e. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan

ultrasonografi(USG) atau foto rontgen dengan diperoleh hasil kepala janin berada

di samping.

6. Penanganan letak lintang

Pada pemeriksaan antenatal ditemukan letak lintang, sebaiknya diusahakan

mengubah menjadi presentasi kepala dengan versi luar. Sebelum melakukan versi luar

harus dilakukan pemeriksaan teliti ada tidaknya panggul sempit, tumor dalam panggul

atau plasenta previa, sebab dapat membahayakan janin dan meskipun versi luar

berhasil, janin mungkin akan memutarkembali. Untuk mencegah janin memutar

kembali ibu dianjurkan menggunakan korset, dan dilakukan pemeriksaan antenatal

ulangan untuk menilai untuk menilai letak janin (Wiknjosastro,2018).

H. Kehamilan dengan penyakit Asma

1. Pengertian

Asma adalah suatu kelainan berupa proses inflamasi kronik saluran napasyang

menyebabkan hiperaktivitas bronkus terhadap berbagain rangsangan yangditandai

dengan gejala episodik berulang berupa mengi, batuk, sesak napas danrasa berat di

dada terutama pada malam hari atau dini hari yang umumnya bersifatreversibel baik

dengan atau tanpa pengobatan (Wiknjosastro,2018).

42
Asma adalah penyakit yang sering memberikan komplikasi medis yang berarti

pada kehamilan. Sekitar 4-8% kehamilan memiliki komplikasi berupa asma.

Prevalensi morbiditas asma pada kehamilan terus meningkat dari tahun ke tahun,

meskipun angka mortalitasnya menurun10. Berat penyakit asma pada penderita selama

kehamilan seringkali berubah sehingga penderita memerlukan pengaturan jenis dan

dosis obat asma yang dipakai. Penelitian retrospektif menunjukkan bahwa selama

kehamilan 1/3 penderita mengalami perburukan penyakit, 1/3 lagi mengalami

perbaikan, dan 1/3 sisanya tidak mengalami perubahan (Wiknjosastro,2018).

2. Efek Kehamilan terhadap Asma

Tidak terdapat bukti klinis adanya pengaruh kehamilan terhadap asma.

Penelitian perspektif terhadap ibu hamil dengan asma memberikan hasil 12,6% pasien

dengan asma ringan mengalami eksaserbasi dan 2,3%menjalani perawatan di rumah

sakit, 25,7% pasien denganasma sedang mengalami eksaserbasi dan 6,8% menjalani

perawatan di rumah sakit, dan pasien dengan asma berat sebanyak 51,9% mengalami

eksaserbasi dengan jumlah pasien rawat di rumah sakit sebanyak 26,9%. Efek

kehamilan terhadap asma bervariasi, didapatkan 23% pasien mengalami perbaikan

gejala selama kehamilan dan 30% pasien mengalami perburukan gejala selama

kehamilan. Karena banyaknya pasien yang mengalami perburukan, ibu hamil dengan

asma harus dimonitor dengan tes APEdan KVP1 dan diobservasi gejalanya selama

kehamilan. Selain itu, terdapat peningkatan risiko serangan hingga 18 kali lipat setelah

persalinan dengan seksio sesarea dibandingkan dengan persalinan pervaginam

(Mochtar, 2012).

43
3. Efek asma dalam kehamilan

Asma yang tidak terkontrol dalam kehamilan dapat menimbulkan komplikasi

pada janin dan ibu berupa kematian perinatal, pertumbuhan janin terhambat, lahir

premature, berat badan lahir rendah, preeklamsia, perdarahan post partum, dan

peningkatan insidensi seksio sesarea, tergantung pada derajat beratnya penyakit

asma9,11. Prognosis bayi yang lahir dari ibu dengan asma terkontrol sebanding dengan

prognosis bayi yang lahir dari ibu tanpa asma. Suatu studi perspektif menunjukkan ibu

hamil dengan asma ringan ataupun sedang yang terkontrol dapat memiliki luaran ibu

dan janin yang baik (Wiknjosastro, 2018).

Pada asma berat, hipoksia janin dapat terjadi mendahului hipoksia pada ibu.

Hipoksia janin akanmenyebabkan gawat janin sebagai akibat penurunan sirkulasi

uteroplasenter dan aliran darah balik maternal. Peningkatan pH (alkali) akan

menggeser ke kiri kurva disosiasi oksihemoglobin. Hipoksemia maternal

menyebabkan penurunan aliran darah pada tali pusat, peningkatan resistensi vaskular

pulmonar dan sistemik, dan penurunan curah jantung (Mochtar, 2012)

4. Manajemen dan terapi Asma selama kehamilan

Menurut National Asthma Education and Prevention Program Expert Panel,

penanganan efektif asma pada kehamilan harus mencakup penilaian objektif fungsi

paru dan kesejahteraan janin, menghindari/menghilangkan faktor presipitasi

lingkungan, terapi farmakologi, dan edukasi pasien11. Terapi farmakologi lini pertama

yang diberikan pada serangan asma adalah agonis beta-2 kerja cepat inhalasi. Terapi

farmakologi untuk mengontrol asma intermiten tidak dibutuhkan, untuk asma persisten

ringan dapat digunakan agonis beta-2 kerja lambat inhalasi dan kortikosteroid inhalasi

dosis rendah. Untuk asma persisten sedang dapat digunakan agonis beta-2 kerja lambat

inhalasi, kortikosteroid inhalasi dosis sedang, dan teofilin oral. Dan untuk asma
44
persisten berat dapat digunakan agonis beta-2 kerja lambat inhalasi, kortikosteroid

inhalasi dosis tinggi, teofilin oral, dan kortikosteroid oral apabila dibutuhkan. Edukasi

pasien untuk menghindari faktor pencetus asma harus dilakukan untuk mengurangi

angka kejadian serangan asma selama kehamilan. Selain itu, pasien juga harus

diedukasi mengenai monitoring diri dan penanganan awal serangan asma untuk

menghindari terjadinya perburukan pada ibu dan juga janin (Wiknjosastro, 2018).

I. Kehamilan dengan Serotinus

1. Pengertian

Menurut Manuaba (2016), kehamilan lewat waktu atau yang disebut juga

kehamilan serotinus,prolonged pregnancy, atau post-term pregnancyadalah kehamilan

dengan usia kehamilan telah lebih dari 42 minggu lengkap mulai dari hari menstruasi

pertama.

WHO, dalam Kemenkes RI (2018) mendefinisikan kehamilan

serotinussebagai kehamilan dengan usia kehamilan lebih dari 42 minggu penuh (294

hari) terhitung sejak hari pertama haid terakhir.

2. Etiologi

Menurut Sastrawinata (2018), ada beberapa hal yang berpengaruh terhadap kejadian

serotinus,antara lain sebagai berikut :

a. Faktor potensial : Adanya hormon adrenokortikotropik(ACTH) pada fetusatau

defisiensi enzim sulfataseplasenta. Kelainan sistem sarafpusat pada janin sangat

berperan, misalnya pada keadaan anensefal.

b. Semua faktor yang mengganggu mulainya persalinan baik faktor ibu, plasenta

maupun anak. Kehamilan terlama adalah 1 tahun 24 hari yang terjadi

padakeadaandengan anensefal.
45
3. Faktor predisposisi

Menurut Kemenkes RI (2018) faktor predisposisi kehamilan serotinusadalah riwayat

kehamilan serotinus sebelumnya.

4. Gambaran klinis

Menurut Sastrawinata (2018) serotinitasatau postdatismadalah istilah yang

menggambarkan sindrom dismaturitasyang dapat terjadi pada kehamilan serotinus.

Keadaan ini terjadi pada 30% kehamilan serotinusdan 3% kehamilan aterm. Tanda-

tandaserotinussebagai berikut: a) menghilangnya lemak subkutan; b) kulit kering,

keriput atau retak-retak; c) pewarnaan mekonium pada kulit; d) umbilikus dan selaput

ketuban, kuku dan rambut panjang; d) bayi malas.

5. Diagnosis

Menurut Kemenkes RI (2013) diagnosis kehamilan serotinussebagai berikut:

a. UltraSonoGrafi (USG)di trimester pertama (usia kehamilan antara 11-14 minggu)

sebaiknya ditawarkan kepada semua ibu hamil untuk menentukan usia kehamilan

dengan tepat.

b. Bila terdapat perbedaan usia kehamilan lebih dari 5 hari berdasarkan perhitungan

hari pertama haid terakhir dan USG, trimester pertama, waktu taksiran kelahiran

harus disesuaikan berdasarkan hasil USG

c. Bila terdapat perbedaan usia kehamilan lebih dari 10 hari berdasarkan perhitungan

hari pertama haid terakhir dan USG, trimester kedua, waktu taksiran kelahiran

harus disesuaikan berdasarkan hasil USG

d. Ketika terdapat hasil USG trimester pertama dan kedua, usia kehamilan ditentukan

berdasarkan hasil USG yang paling awal

46
e. Jikatidakada USG, lakukan anamnesis yang baik untuk menentukan hari pertama

haidterakhir, waktu DJJ pertamaterdeteksi, danwaktu gerakan janin pertama

dirasakan.

6. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi antara lain: a) kematian janin dalam rahim; b)

akibat insufisiensiplasentakarena menuanya plasenta dan kematian neonatus yang

tinggi; c) asfiksiaadalah penyebab utama kematian dan morbiditasneonatus; d) pada

otopsi neonatus dengan serotinusdidapatkan tanda-tanda hipoksiatermasuk adanya

petekiepada pleura dan perikardiumdan didapatkan adanya partikel-partikel

mekoniumpadaparu. Secara hepatologis, kelainan plasenta yang ditemukan adalah

kalsifikasi, edema vili, pseudohiperplasipada sinsitium, degenerasifibroidpada vili,

dan miokardinfarkplasenta (Sastrawinata, 2016).

7. Kerugian dan bahaya

Menurut Manuaba (2016) kerugian dan bahaya kehamilan lewat waktu sebagai berikut

a. Janin yang kekurangan nutrisi dan oksigen akan mengalami pengrusakan diri

sendiri sehingga metabolisme jaringan lemakbawah kulit tampak tua dan keriput

(gejala janin dengan hamil lewat waktu).

b. Air ketuban yang makin kental, akan sulit dibersihkan sehingga dapat

menimbulkan gangguan pernapasan saat kelahirannya

c. Bila gangguan terlalau lama dan berat, janin dapat meninggal dalam Rahim

d. Mungkin plasenta cukup baik tumbuh kembangnya sehingga dapat memberi nutrisi

cukup dan janin menjadi besar

e. Dengan makin besarnya janin dalam rahim memerlukan tindakan operasi

persalinan
47
f. Kerugian pada ibu tidak terlalu besar, kecuali kemungkinan persalinan dengan

tindakan seperti induksi persalinan, sampai dengan seksio sesarea

8. Tatalaksana

Menurut Kemenkes RI (2013) tata laksana untuk kehamilan serotinussebagai berikut:

a. Tatalaksana Umum

1) Sedapat mungkinrujuk pasien ke rumah sakit.

2) Apabila memungkinkan, tawarkan pilihan membrane sweepingantara usia

kehamilan38-41minggu setelah berdiskusi mengenai risiko dan keuntungannya

3) Tawarkan induksi persalinan mulai dari usia kehamilan 41 minggu

4) Pemeriksaan antenatal untuk mengawasi kehamilan usia 41-42 minggu

sebaiknya meliputi non-stress testdan pemeriksaan volume cairan amnion.

5) Bila usia kehamilan telah mencapai 42 minggu, lahirkan bayi

b. Tatalaksana Khusus: tidak ada

J. Infeksi Nifas

1. Pengertian

Adalah infeksi peradangan pada semua alat genetalia pada masa nifas oleh

sebab apapun dengan ketentuan meningkatnya suhu badan melebihi 380C tanpa

menghitung hari pertama dan berturut-turut selama dua hari (Nugroho, 2018).

Adalah infeksi bakteri pada traktus genetalia, terjadi sesudah melahirkan,

ditandai kenaikan suhu sampai 380C atau lebih Selma 2 hari dalam 10 hari pertama

pasca persalinan, dengan mengecualikan 24 jam pertama (Taufan, 2018).

2. Etilogi

Organisme menyerang bekas implantasi plasenta atau laserasi akibat

persalinan (Taufan, 2018).


48
Menurut Ambarwati (2018) etiologi infeksi nifas adalah sebagai berikut :

a. Berdasarkan masuknya kuman kedalam alat kandungan

1) Ektogen (kuman datang dari luar)

2) Autogen (kuman masuk dari tempat lain dalam tubuh)

3) Endogen (dari jalan lahir sendiri)

b. Berdasarkan kuman yang sering menyebabkan infeksi

1) Streptococcus Haemolyticus aerobic

Masuknya secara eksogen dan menyebabkan infeksi berat yang

ditularkan dari penderita lain, alat-alat yang tidak suci hama dan tangan

penolong.

2) Stapilococcus aereus

Masuk secara eksogen, infeksinya sedang, banyak ditemukan sebagai

penyebab infeksi dirumah sakit.

3) Eschericia coli

Sering berasal dari kandung kemih dan rectum, menyebabkan infeksi

terbatas.

4) Clostridium welchii

Kuman aerobic yang sangat berbahaya, sering ditemukan pada abortus

kriminalis dan partus yang ditolong dukun dari luar rumah sakit.

3. Faktor predisposisi

Menurut Taufan (2018) faktor predisposisi infeksi nifas yaitu:

c. Semua keadaalh yang dalam menurunkan daya tahan tubuh, seperti perdarahan

yang banyak, preeklamsi juga infeksi lain seperti pneumonia, penyulit jantung dan

sebagainya

d. Partus lama, terutama partus dengan ketuban pecah lama


49
e. Tindakan bedah vaginal yang menyebabkan perlukaan jalan lahir

f. Tertinggalnya sisa plasenta, selaput ketuban dan bekuan darah

4. Mekanisme infeksi nifas

Menurut Nugroho (2018) mekanisme terjadinya infeksi nifas adalah sebagai

berikut :

a. Manipulasi penolong terlalu sering malakukan pemeriksaan dalam, alat yang

dipakai kurang suci hama

b. Infeksi yang didapat di rumah sakit (nosokomial)

c. Hubungan seks menjelang ersalinan

d. Sudah terdapat infeksi intrapartum : persalinan lama terlantar, ketuban pecah labih

dari enam jam, terdapat pusat infeksi dalam tubuh (lokal infeksi)

5. Bentuk infeksi nifas

Menurut Taufan (2018) infeksi nifas dibagi atas 2 golongan yaitu:

a. Infeksi yang terbatas pada perineum, vulva, vagina, serviks dan endometrium

b. Penyebaran dari tempat-tempat tersebut melalui vena-vena, jalan limfe dan

permukaan endometrium

c. Infeksi perineum, vulva, vagina dan serviks :

1) Gejalannya berupa rasa nyeri dan panas pada tempat infeksi, kadang-kadang

perih saat kecing

2) Bila belajar getah bening meradang biasanya keadaanya tidak berat, suhu

sekitar 380C dan nadi dibawah 100 per menit

3) Bila luka yang terinfeksi, tertutup jahitan dan cairan radang tidak dapat keluar,

demam bisa naik sampai 39-40 derajat selsius, kadang-kadang sisertai

menggigil

6. Pencegahan infeksi
50
Menurut Nugroho (2018) adalah sebagai berikut :

a. Pencegahan waktu hamil

1) Meningkatkan keadaan umum penderita

2) Mengurangi faktor predisposisi infeksi kala nifas

b. Saat persalinan

1) Perlukaan dikurangi sebanyak mungkin

2) Perlukaan yang terjadi dirawat sebaik-baiknya

3) Mencegah terjadinya perdarahan postpartum

4) Kurang melakukan pemeriksaan dalam

5) Hindari persalinan yang berlangsung lama

c. Masa nifas

1) Lakukan mobilisasi dini

2) Perlukaan dirawat dengan baik

3) Rawat gabung dengan isolasi untuk emngurangi infeksi nosokomial

K. Infeksi Nifas dengan Luka SC

1. Pengertian

Luka adalah suatu keadaan dimana terputusnya kontinuitas jaringan tubuh yang

dapat menyebabkan terganggunya fungsi tubuh dan mengakibatkan terganggunya

aktivitas sehari –hari (Damayanti, Pitriani, & Ardhiyanti, 2015). Luka Operasi yaitu

luka akut yang dibuatoleh ahli bedah yang bertujuan untuk terapi atau rekonstruksi

(Murtutik & Marjiyanto, 2013).

Sectio caesarea adalah suatu pembedahan yang dilakukanuntuk melahirkan

janin dengan membuka dinding perut serta dinding uterus untuk melahirkan janin dari

dalam rahim (Padila, 2015). Sectio caesarea yaitu suatupersalinan yang dibuatdimana
51
janin yang dilahirkan dengan cara melalui suatu insisi pada dinding perut dan dinding

rahimserta beratjanin diatas 500 gram (Jitowiyono & Kristiyanasari, 2017).

Perawatan luka pada pasien diawali dengan pembersihan luka

selanjutnyatindakan yang dilakukan untuk merawat luka dan melakukan pembalutan

yang bertujuan untuk mencegah infeksi silang serta mempercepat proses penyembuhan

luka (Lusianah, Indaryani, & Suratun, 2017). Perawatan pasca operasi adalah

perawatan yang dilakukan untuk meningkatkan proses penyembuhan luka dan

mengurangi rasa nyeri dengan cara merawat luka serta memperbaiki asupan makanan

tinggi protein dan vitamin (Riyadi & Harmoko, 2017).

Perawatan luka post section caesarea menurut buku standar prosedur

operasional tindakan keperawatan Politeknik Kesehatan (2018) yaitu dalam melakukan

prosedur kerja dalam pemberian perawatan luka operasipostsection caesarea dapat

dibagi menjadi tiga tahap yaitu :

a. Pra interaksi : Dimana dalam tahap ini yang dilakukan adalah mengkaji kebutuhan

ibu dalam perawatan luka operasi sc serta menyiapkan alat-alat perawatan.

b. Interaksi Tahap interaksi ini dapat dibagi menjadi tiga tahap diantaranya :

1) Tahap orientasi : Pada tahap orientasi yang dilakukan yaitu mengucapkan

salam, memperkenalkan diri perawat serta menyampaikan maksud dan

tujuan dilakukannya perawatan luka.

2) Tahap kerja Tindakan yang dilakukan pada tahap ini adalah mulai dari

mencuci tangan, menggunakan alat pelindung diri (APD), membersihkan

luka operasi dengan Nacl, sampai dengan tindakan terakhir yaitu merapikan

pasien.

52
3) Tahap terminasi merupakan fase dimana perawat mengakhiri tindakan, yang

dilakukan perawat pada saat ini adalah mengevaluasi perasaan ibu serta

membuat kontrak pertemuan selanjutnya

4) Post interaksi: Pada tahapini yang dilakukan yaitu membersihkan alat-alat,

mencucitangan serta mendokumentasikan tindakan yang sudah dilakukan

(Maternitas, 2013).

2. Tujuan perawatan lukapost sectio caesarea

Tujuan dari perawatan luka menurut Maryunani, (2018) yaitu :

a. Mencegah dan melindungi luka dari infeksi.

b. Menyerap eksudat.

c. Melindungi luka dari trauma.

d. Mencegah cendera jaringan yang lebih lanjut.

e. Meningkatkan penyembuhan luka dan memperoleh rasa nyaman.

3. Komplikasi proses penyembuhan lukapostsectio caesarea

Proses penyembuhan luka yang tidak berjalan baik karna berbagai faktor

penghambat akan menyebabkan suatukomplikasi, faktor yang bisa menjadi

penghambat suatu proses penyembuhan lukamenurut (Damayanti et al., 2015) yaitu

1) Vaskularisasi dapat memengaruhi penyembuhan luka karena luka membutuhkan

keadaan peredaran darah yang baik untuk pertumbuhan /perbaikan sel

2) Anemia dapat memperlambat suatu proses penyembuhan luka mengingat perbaikan

sel membutuhkan kadar protekin yang cukup. Oleh sebab itu seseorang yang

mengalami kekurangan kadar hemoglobin dalam darah akan mengalami suatu

proses penyembuhan luka yang lama.

53
3) Usia Kecepatan perbaikan sel berlangsung sejalan dengan pertumbuhan dan

kematangan usia seseorang, proses penuaan dapat menurunkan sistem perbaikan sel

sehingga dapat memperlambat proses penyembuhan luka section caesarea

4) Penyakit lain : Penyakit dapat mempengaruhi proses penyembuhan luka, adanya

suatu penyakit seperti diabetes mellitus dan ginjal dapat memperlambat proses

penyembuhan luka.

5) Nutrisi merupakan suatu unsur utama dalam membantuperbaikan suatu sel.

Terutama karena kandungan zat gizi yang terdapat didalamnya, seperti vitamin A

diperlukan untuk membantu proses apitelisasi atau penutupan luka serta sintesis

kolagen, vitamin B kompleks merupakan sebagai kofaktor pada sistem enzim

yangmengandung metabolismeprotein, karbohidrat, dan lemak. Vitamin C dapat

berfungsi sebagai fibroblast serta dapat mencegah adanya suatu infeksi pada luka

serta dapat membentuk kapiler-kapiler, dan vitamin K yang dapat membantu

sistensis protombin serta berfungsi sebagai zat pembekuan darah

6) Kegemukan, obat-obatan, merokok, dan stress, dapat mempengaruhi proses

penyembuhan luka. Orang yang terlalu gemuk serta banyak mengomsumsi obat-

obatan, merokok, atau stres akan mengalami proses penyembuhan luka yang lebih

lama.

4. Komplikasi Umum Pada Luka

Komplikasi umum yang terjadi dalam penyembuhan luka Menurut (Sukma

Wijaya, 2018) yaitu :

54
1) Infeksi

Invasi bakteri dapat terjadi saat trauma saat pembedahan atau terjadi setelah

pembedahan, gejala infeksi sering muncul sekitar dalam 2-7 hari setelah

pembedahan. Gejala dariinfeksi berupa kemerahan, nyeri, bengkak di sekeliling

luka, peningkatan suhu, dan peningkatan sel darah putih. Suatu cairan luka atau

eksudat yang banyakserta berbau dan berjenis purulen menandakan terjadinya

suatu infeksi, infeksi yang tidak terkontrol serta tidak segera ditangani maka akan

menyebabkan osteomyelitis, bakteremia, dan sepsis.

2) Pendarahan (Hemoragik)

Pendarahan terjadi paling sering jika kondisi pasien lemah serta adanya

penyakit penyerta oleh pasien seperti kelainan darah atau bisa karena malnutrisi

seperti kekurangan vitamin K.

3) Dehisen (Dehiscense)

Dehiscense yaitu terpisahnya lapisan kulit serta jaringan atau tepi luka tidak

menyatu dengan tepi luka yang lain, komplikasi ini dapat terjadi pada hari ke 3

sampai dengan hari ke 11 setelah cendera.

4) Eviserasi

Organ bagian dalam (viseral) dapat keluar dari permukaan luka yang terbuka ini

disebut sebagai eviserasi.

5. Langkah-langkah Perawatan Luka Post SC

Menurut Nutri (2020) cara merawat luka post SC adalah sebagai berikut :

a. Menjaga diri
55
Untuk beberapa minggu pertama setelah operasi caesar, ibu nifas perlu istirahat

untuk pemulihan. Istirahat secukupnya karena ibu post SC memerlukan waktu

untuk mengurus bayi yang baru lahir dan diri sendiri yang memerlukan pemulihan

baik secara fisik maupun secara mental.

b. Rutin untuk menggantikan perban

Luka operasi caesar awalnya akan ditutup dengan perban. Ibu post SC perlu

memperhatikan apabila ada cairan yang rembes pada perban tersebut. Bila merasa

rembesannya cukup banyak memerlukan perawatan tenaga kesehatan untuk

memeriksa luka tersebut dan mengganti perban yang baru.

c. Menjaga luka tetap kering

Setelah perban dari luka operasi caesar dibuka, perlu menjaga luka tersebut agar

tetap kering. Hal ini bertujuan agar luka tersebut tidak terinfeksi. Kurang lebih 1

minggu setelah operasi mungkin merasakan gatal pada luka operasi caesar tersebut.

Tapi tidak perlu khawatir, karena itu merupakan tanda bahwa luka tersebut sudah

mulai untuk sembuh. Seiring dengan waktu, bekas luka tersebut akan memudar.

d. Menghindari beraktivitas berat

Seperti poini pertama, sudah dijelaskan bahwa ibu postpartum memerlukan

istirahat yang cukup dalam 6 minggu pertama. Aktivitas ringan boleh dilakukan,

tetapi aktivitas yang berat seperti mengangkat benda berat, berolahraga intensif,

bahkan berhubungan intim perlu dihindari. Aktivitas-aktivitas tersebut dapat

meningkatkan tekanan perut, yang meningkatkan beban pada luka operasi. Ini

menyebabkan luka operasi lebih lama untuk sembuh, bahkan dapat membuat luka

tersebut terbuka kembali.

e. Makan-makanan bergizi dan minum cukup

56
Pertumbuhan jaringan memerlukan gizi dan cairan yang cukup. Ibu post SC perlu

mengkonsumsi makanan yang bergizi khususnya tinggi protein dan minum untuk

memenuhi cairan tubuh yang cukup. Hindarilah melakukan diet dalam fase

pemulihan karena memerlukan gizi untuk pemulihan, dan juga memproduksi ASI

bagi bayi.

f. Jaga luka agar tetap bersih

Jaga area sayatan bekas operasi caesar. Merawat luka agar tetap bersih dapat

membantu sayatan caesar lebih cepat kering.

g. Hindari berendam

Setelah persalinan caesar, ibu postpartum harus menghindari berendam dan

berenang.

L. Kehamilan dengan letak sunsang

1. Pengertian

Letak sungsang merupakan suatu letak dimana bokong bayi

merupakan bagian terendah dengan atau tanpa kaki (keadaan dimana janin

terletak memanjang dengan kepala di fundus uteri dan bokong berada di

bagian bawah kavum uteri. Letak sungsang adalah janin yang letaknya

memanjang (membujur) dalam rahim, kepala janin berada di fundus dan

bokong di bawah (Susilowati dkk, 2019).

2. Klasifikasi Letak Sungsang

Menurut Marmi (2011), ada 4 (empat) tipe letak sungsang yaitu :

a. Complete (flexed brech) : Posisi ini pada dan lutut bayi fleksi dan kaki

menutupi bokong. Tipe ini lebih sering pada multigravida.

b. Extended brech (frank breech) : Pada bayi fleksi, tetapi pada kaki ekstensi,

57
sehingga kaki berada dekat kepala, sering terjadi pada primi yang prematur.

c. Presentasi kaki, 1 atau kedua kaki di bawah bokong yaitu disebut letak bokong

kaki sempurna atau tidak sempurna kalaudisamping bokong teraba kedua kaki

atau satu kaki saja.

d. Presentasi lutut

3. Etiologi Letak Sungsang

Penyebab dari letak sungsang antara lain disebabkan oleh prematuritas

karena bentuk rahim relatif kurang lonjong, air ketuban masih banyak dan

kepala relatif besar. Hidramnion karena anak mudah bergerak, plasenta previa

karena menghalangi turunnya kepala ke dalam pintu atas panggul. Bentuk

rahim yang abnormal, kelainan bentuk kepala seperti anencepalus dan

hidrocepalus (Rukiyah dan Yulianti, 2012).

Adapun faktor-faktor penyebab letak sungsang menurut Manuaba

(2001), dapat berasal dari :

a. Sudut ibu

1) Keadaan rahim : Rahim arkuatus, Septum pada rahim, Uterus dupleks,

Mioma pada kehamilan

2) Keadaan plasenta : Plasenta letak rendah dan Plasenta previa

3) Keadaan jalan lahir : Kesempitan panggul, Defomitas tulang panggul dan

terdapat tumor menghalangi jalan lahir dan perputaran ke posisi kepala.

b. Sudut janin

Pada janin terdapat berbagai keadaan yang menyebabkan letak sungsang

yaitu :

1) Tali pusat pendek atau lilitan tali pusat

58
2) Hidrocepalus atau anensefalus

3) Kehamilan kembar

4) Hidramion atau oligohidramion

5) Prematuritas

4. Diagnosa

Diagnosa kehamilan letak sungsang menurut Marmi (2018), dapat di

tegakkan melalui beberapa pemeriksaan yaitu :

a. Pemeriksaan abdomminal

1) Letaknya adalah memanjang

a) Diatas panggul teraba massa lunak, irreguler dan tidak terasa seperti

kepala, di curigai adalah bokong. Pada presentasi bokong murni otot-

otot paha terengang di atas tulang-tulang di bawahnya, memberikan

gambaran keras menyerupai kepala dan menyebabkan keselahan

diagnosa.

b) Punggung ada di sebelah kanan dekat garis tengah. Bagian-bagian

kecil ada disebelah kiri. Jauh dari garis tengah dan belakang.

c) Kepala teraba difundus uteri, mungkin kepala sukar di raba bila

kepala ada di bawah hepar atau iga-iga. kepala lebih keras dan lebih

bulat dari pada bokong dan kadang-kadang dapat dipantulkan

(ballottement). Kalau di fundus uteri taraba masa yang dapat

dipantulkan, harus dicurigai presentasi bokong.

d) Benjolan kepala tidak ada dan bokong tidak dapat dipantulkan.

2) Denyut jantung janin

59
Denyut janin terdengar paling keras pada atau diatas umbilikus

dan pada sisi yang sama dengan punggung pada RSA (Right Sacrum

Anterior) denyut jantung janin terdengar paling keras di kuadran

kanan atau perut ibu. Kadang-kadang denyut jantung janin terdengar

dibawah umbilikus, dalam hal ini banyak diagnosa yang dibuat

dengan palpasi jangan dirubah oleh sebab itu denyut jantung janin

terdengar tidak ditempat biasa (Walsh, 2007).

b. Pemeriksaaan dalam

1) Bagian terendah teraba tinggi

2) Tidak teraba kepala yang keras, rata dan teratur dengan garis-garis sutura

dan fontanella. Hasil pemeriksaan negatif ini menunjukan adanya mal

presentasi.

3) Bagian terendahnya teraba lunak dan inreguler. Anus dan tuber

ishiadicum terletak pada satu garis. Bokong dapat dikelirukan dengan

muka.

4) Kadang-kadang pada presentasi bokong murni sacrum tertarik dibawah

dan teraba oleh jari-jari pemeriksan, ia dapat dikelirukan dengan kepala

oleh karena tulang yang keras.

5) Sacrum ada di kuadran kanan dan panggul dan diameter

bitrochanteria ada pada diameter obliqua kanan.

6) Kadang-kadang teraba kaki dan harus dibedakan dengan tangan.

c. Pemeriksaan Sinar – X

Sinar - X berguna baik untuk menegakkan diagnosa maupun untuk

menentukan perkiraan ukuran dan konfigurasi panggul ibu. Pemeriksaan

sinar – X harus dikerjakan pada semua primigravida dan pada multipara


60
yang mempunyai riwayat persalinan sukar atau bayi- bayi yang lahirkan

sebelum kecil semua, sinar – X menunjukkan dengan tepat sikap dan

posisi janin, demikian pula kalainan-kelainan seperti hydrochepalus.

d. Ultrasonografi

Pemeriksaan seksama dengan ultrasonografi akan memastikan letak

janin yang tidak normal. Letak sungsang dikenal pula dengan istilah

kelahiran bokong dengan empat kemungkinan. Kemungkinan pertama,

ditemukan bokong sempurna atau bokong kaki, jika kedua tungkai

terlipat didepan perut. Kedua, bokong murni, kalau kedua tungkai

menekuk lurus kearah depan tubuh hingga bekerja sebagai badai

mengurangi kebebasan gerak lahir. Terakhir, bokong lutut, satu atau dua

lutut menghadap jalan lahit (Wiknjosastro, 2015).

5. Komplikasi hamil letak sungsang

Posisi janin sungsang tentunya dapat mempengaruhi proses persalinan.

Proses persalinan yang salah jelas menimbulkan resiko, seperti hipoksia

sebagai penyebab tersering kematian bayi sungsang dan prolaps tali pusat

insiden 3,7% pada bayi sungsang, lebih sering pada primigravida daripada

multigravida (6% dan 3%). Lebih umum pada persalinan premature dan

presentasi inkomplet (tipe kaki menumbung presentasi bokong) (Chapman,

2006).

6. Penatalaksanaan

Menurut Chapman (2016), asuhan mandiri yang bersifat menyeluruh

dari langkah – langkah sebelumnya. yaitu :

a. Beri informasi kehamilannya dan dukungan moril.


61
b. Lakukan postural posisi knee chest serta anjurkan untuk dilaksanakan di rumah.

c. Bila diperlukan kolaborasi dengan dokter dan kapan ibu harus segera datang

ke tempat pelayanan kesehatan.

Menurut Mufdlilah (2019), langkah- langkah knee chest yaitu ibu

dengan posisi menungging (seperti sujud), dimana : lutut dan dada menempel

pada lantai, lutut sejajar dengan dada, lakukan 3 - 4 x/hari selama 15 menit,

lakukan pada saat sebalum tidur, sesudah tidur, sebelum mandi dan selain

itu juga telah melakukan posisi knee chest secara tidak langsung pada waktu

melaksanakan sholat. Syarat-syarat knee chest, yaitu:

a. Pada kelamilan 7 - 7,5 bulan masih dapat dicoba

b. Melakukan posisi knee chest 3 - 4 x/hari selama 15 menit.

c. Latihan ini hanya efektif jika usia kehamilan maksimal 35 – 36minggu.

d. Situasi yang masing longgar diharapkan dapat

e. Memberikan peluang kepada turun menuju pintu atas panggul.

f. Dasar pertimbangan kepala lebih berat dari pada bokong sehingga dengan

hukum alam akan mengarah ke pintu atas panggul.

K. Persalinan dengan gemelli

1. Pengertian

Kehamilan kembar atau gemelli adalah suatu proses kehamilan dimana

terdapat lebih dari satu janin di dalam rahim. Ibu yang yang telah diketahui

62
mengandung janin kembar perlu mendapat perhatian dan pengawasan khusus dari

segala pihak untuk mendapatkan hasil yang diinginkan yaitu kesehatan ibu dan

janinnya selama masa kehamilan hingga melahirkan (Wiknjosastro, 2017).

Ada dua jenis kembar berdasarkan dari proses terbentuknya yaitu monozigot

dan dizigot. Monozigot adalah janin kembar yang berasal dari satu sel telur

sedangkan dizigot adalah janin kembar yang berasal dari lebih dari satu telur

mewakili setiap janin kembar yang ada. Sepertiga dari keseluruhan kelahiran

kembar di dunia adalah monozigot. Kembar dizigot terjadi ketika dua telur atau

lebih yang matang secara bersamaan, setelah itu dibuahi oleh sperma. Sehingga,

kedua sel telur yang matang tadi akan dibuahi dalam waktu yang bersamaan.

Sedangkan kembar monozigot berarti satu telur matang yang dibuahi oleh sperma,

lalu membelah menjadi dua. Kondisi bayi kelak akan sangat berpengaruh dari

proses pembelahan ini. (Manuaba 2017).

Ada beberapa perbedaan antara ibu hamil tunggal dan ibu hamil kembar. Ibu

yang mengandung bayi kembar mempunyai peningkatan risiko prematur (kelahiran

pada minggu 37 atau lebih awal), tingkat mortalitas (derajat kematian) dan

morbiditas (derajat penyakit) yang tinggi, kejadian infeksi saluran kemih, frekuensi

keparahan anemia pada ibu, berat bayi rendah pada saat dilahirkan, hidramnion,

preeklampsiaeklamsia, risiko malformasi kongenital, overdistensi dan risiko

perdarahan.

2. Definisi Persalinan Normal

Menurut Varney (2007) Persalinan normal adalah serangkaian proses yang

akan diakhiri dengan mengeluarkan janin ke dunia. Proses ini dimulai dengan

kontraksi persalinan sejati, yang ditandai dengan perubahan yang signifikan pada
63
serviks dan diakhiri dengan keluarnya plasenta. Tujuan yang akan dicapai

persalinan normal adalah terciptanya keselamatan dengan resiko bahaya yang

sekecil-kecilnya untuk memastikan keberlangsungan hidup ibu dan bayinya

melalui asuhan kebidanan yang optimal dan sesuai prosedur namun dengan

intervensi seminimal mungkin untuk meningkatkan faktor kualitas dan keamanan

layanan agar selalu terjaga pada tingkat yang seoptimal mungkin. Apabila ingin

melaksanakan intervensi terhadap jalannya proses persalinan yang

fisiologis/alamiah maka pendekatan seperti ini harus ada alasan yang kuat dan

bukti manfaat untuk memastikan lancarnya proses persalinan.

3. Proses Persalinan Bayi kembar

Persalinan pada seorang wanita merupakan sebuah peristiwa alamiah yang

sudah terkonsep di dalam tubuh seorang wanita dimana didalam proses persalinan

terjadi dilatasi serviks untuk kesiapan jalur lahir bayi melalui vagina atau kelahiran

pervaginam. Normalnya kelahiran akan terjadi ketika janin sudah terbentuk

sempurna/matang dan siap untuk meninggalkan kehidupan intrauterine kepada

kehidupan ekstrauterine. Dengan kondisi janin yang siap untuk lahir maka ibu

seharusnya mampu melahirkan normal melalui jalur lahir vagina tanpa

membahayakan diri dan bayinya. Tetapi proses persalinan tetap memiliki resiko

terhadap ibu dan bayi, jadi pengawasan dan pertolongan dari praktisi persalinan

sangat penting (Bobak, 2000; Pilliteri, 2013).

4. Tahap-Tahap Persalinan

Proses persalinan bayi kembar sama seperti ketika bayi tunggal lahir, bayi

kembar akan dipantau secara ketat. Ibu akan diberi infus jika diperlukan nanti.

Sekitar sepertiga dari semua kembar dilahirkan secara normal. Jika ibu hamil
64
kembar merencanakan persalinan pervaginam, biasanya disarankan untuk memiliki

epidural untuk menghilangkan rasa sakit. karena jika ada masalah, lebih mudah dan

lebih cepat untuk membantu pengiriman ketika ibu sudah memiliki penghilang rasa

sakit yang baik. (Wiknjosastro, 2017).

Persalinan tebagi dalam 4 kala. Kala I serviks terbuka hingga pembukaan

10cm terjadi. Kala I juga disebut waktu pembukaan. Kala II juga disebut waktu

pengeluaran, karena kekuatan dorongan alami ibu (his) dan kekuatan mengejan

janin yang mendorong untuk keluar sampai terlahir. Pada kala III atau ketika

plasenta melepas dari dinding rahim dan terlahir. Kala IV atau kala evaluasi dan

pengamatan ibu dan bayi dimulai dari kelahiran plasenta selama 1 jam. Pada waktu

itu praktisi akan mengamat-amati, jika ada perdarahan postpartum (Prawirohardjo,

2018).

5. Lama Waktu Persalinan

Penentuan lama waktu persalinan normal adalah dilihat dari kategori ibu

hamil primigravida atau multigravida. Ibu hamil primigravida perkiraan waktunya

adalah 9 kala I: 12.5 jam, Kala II: 80 menit, kala III: 10 menit, kala IV: 14 jam

sedangkan ibu hamil multigravida kala I: 7 jam 20 menit, kala II: 30 menit, kala

III: 10 menit, kala IV: 8 jam. Dapat disimpulkan bahwa ibu hamil multigravida

akan memiliki kesmpatan yang besar untuk melakukan proses persalinan normal

dengan waktu yang singkat. Ada dua jenis fase pembukaan serviks: fase laten:

proses pembukaan pada tahap ini begitu lama dari 0 - 3cm, fase aktif: proses

pembukaan pada tahap ini relatif cepat, fase aktif ada tiga jenis: fase akselerasi:

pembukaan dari 3cm - 4cm terjadi selama 2 jam, fase dilatasi: pembukaan dari 4cm

- 9cm terjadi juga selama 2 jam dan fase deselerasi : pembukaan dari 9cm – 10cm

dalam waktu 2 jam. (Rukiyah, 2019).


65
L. Bendungan ASI

1. Pengertian

Bendungan ASI (Engorgement) adalah penyempitan pada duktus laktiferus,

sehingga sisa ASI terkumpul pada system duktus yang mengakibatkan terjadinya

pembekakan (Sarwono, 2018). BendunganASI adalah pembendungan ASI karena

penyempitan duktus laktiferus atau oleh kelenjar-kelenjar yang tidak d kosongkan

dengan sempurna atau karena kelainan pada puting susu, payudara yang

membengkak ini yang sering terjadi biasanya terjadi sesudah melahirkan pada hari

ketigaatau ke empat (Bahiyatun, 2018).

2. Tanda dan Gejala

Perlu dibedakan antara payudara bengkak dan payudara penuh/bendungan

ASI. Pada payudara bengkak adalah payudara udem, sakit, puting susu kencang,

kulit mengkilap walau tidak merah, dan ASItidak keluar kemudian badan menjadi

demam setelah 24 jam.Sementarapada payudara penuh/bendungan ASI adalah

payudara terasa berat ,panas, dan keras,bila ASI dikeluarkan tidak terjadi demam

(Dewi Sunarsih, 2017). Tanda dan gejala yang selalu ada adalah payudara nyeri

dan bengkak pada hari ke 3-5 postpartum, sedangkan tanda gejala yang terkadang

ada adalah kedua payudara bengak (Walyani Purwoastuti, 2015). Mastitis adalah

kelanjutan dari bendungan ASI, pada mastitis payudara ibu yang menyusui

terkena radang, membengkak, memerah, dan sakit.Jika hal semacam ini terjadi

penyusuan harus dihentikan. Pada sebagia besar kasus mastitis disebabkan oleh

statis ASI, bukan infeksi meskipun infeksi juga bias terjadi (Fraser, 2009).

Umumnya satu atau lebih bagian yang berdekatan meradang (sebagai akibat

dipaksanya ASI masuk ke dalam jaringan ikat payudara) dan tampak sebagai
66
daerah yang memisahkan antara sisi yang memerahdan sisi yang membengkak.

Jika ASI juga dipaksa masuk aliran darah, nadi, dan suhu wanita tersebut dapat

naik dan pada beberapa kasus gejala mirrip flu, yang sebagian mencakup

menggigil atau kaku. Ada atau tidaknya gejala sistematis tidak membantu

membedakan antaramastitis akibat infeksi atau non infeksi (Fraser, 2009) .

3. Penyebab

1) Posisi mulut bayi dan puting ibu salah saat menyusui.

2) Produksi ASI berlebihan.

3) Terlambat menyusui.

4) Pengeluaran ASI yang jarang.

4. Faktor yang mempengaruhi bendungan ASI

a. Frekuensi menyusui

Rentang yang optimal frekuensi menyusui adalah antara 8 hingga 12

kali setiap hari. Bayi akan berhenti menyusui bila bayi tampak kenyang

(isyarat kenyang meliputi relaksasi seluruh tubuh, tidur saat menyusu dan

melepaskan putting (Nina, 2019).

Pada bayi baru lahir akan lebih sering menyusu, rata-rata adalah 10-

12 kali atau bahkan 18 kali menyusu tiap 24 jam. Bayi yang sehat dapat

mengosongkan satu payudara sekitar 5 sampai 7 menit, sedangkan ASI dalam

lambung bayi akan kosong dalam waktu 2 jam. Pada awalnya, bayi tidak

memiliki pola yang teratur dalam meyusui dan akan mempunyai pola tertentu

setelah 1-2 minggu kemudian (Reni, 2017).

Sehingga semakin sering bayi menyusu, maka akan semakin banyak

produksi ASI dan pengeluaranASI berjalan dengan lancar. Jika seorang ibu
67
memilki kepercayaan diri yang tinggi, dia akan berusaha untuk menyusukan

payudaranya sedini mungkin, sesering mungkin dan selama mungkin pada

bayinya sehingga produksi ASI nya berlimpah dan pengeluarannya lancar.

Sebaliknya jika ibu memiliki presepsi bahwa ASI nya tidak banyak atau tidak

cukup, maka ASI yang keluar juga sedikit(Dwi, 2019)

Mengenai Bendungan ASI juga dapat terjadi dikarenakan faktor

frekuensi pemberian ASI yang tidak teratur, frekuensi dan durasi pemberian

ASI mempunyai hubungan dengan terjadinya bendungan ASI pada Ibu nifas

karena pada payudara terdapat vena limpatik yang mengalirkan produksi

air susu, jika frekuensi dan durasi pemberian ASI optimal, maka

pengosongan payudara dapat secara sempurna, aliran vena limpatik

lancar,sehingga mencegah terjadinya payudara bengkak atau bendungan

ASIpada payudara (Ardyan, 2019).

b. Kondisi Putting

Menurut Farrer (2017), kesulitan yang timbul selama proses laktasi

yaitu puting yang retak-retak, puting yang masuk ke dalam, mastitis

infektif dan laktasi yang tidak memadahi oleh karena banyak sekali

masalah yang timbul selama proses menyusui, maka perlu dilakukan

perawatan antenatal yang baik karena ASI berperan penting untuk membuat

bayi sehat dan kuat. Teknik menyusui yang tidak benar dapat

mengakibatkan puting susu menjadi lecetdan ASI tidak keluar secara

optimal sehingga mempengaruhi produksi ASI selanjutnya atau bayi enggan

menyusu (Halina, 2015).

c. Posisi menyusui
68
Menurut Sulityawati (2019), bila di posisikan dengan benar jaringan

putting susu, payudara, serta sinus lactiferous akan berada dalam rongga

mulut bayi. Putting susu akan masuk sampai sejauh langit-langit lunak

(velum platinum) dan bersentuhan dengan langit-langit tersebut.

Sentuhan ini akan merangsang reflex penghisapan. Rahang bawah bayi

menutup pada jaringan payudara, penghisapan akan terjadi, dan putting

susu ditangkap dengan baik dalam rongga mulut, sementara lidah

memberikan penekanan yang berulang-ulang secara teratur sehingga ASI

akan keluar dari duktus lactiferous.

Posisi kepala bayi yang tidak benar bisa menyebabkan hisapan bayi

yang salah, karena puting susu dan areola yang tidak masuk semua ke mulut

bayi. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya puting lecet. Terjadinya puting

lecet dapat menjadi resiko terjadinya pengeluaran ASI yang tidak maksimal

dan pembengkakan pada payudara (Anggraeni, 2015).

d. Perawatan Payudara

Kejadian bendungan ASI disebabkan karena ibu mempunyai

pengetahuan kurang tentang perawatan payudara, sehingga ibu tidak benar

dalam melakukan tindakan perawatan payudara dan waktu yang digunakan

dalam melakukan perawatan payudara yang salah sehingga menyebabkan ibu

mengalami puting susu tenggelam, bayi susah menyusu, ASI tidak keluar,

yang berakhir pada terjadinya bendungan ASI (Yuliana, 2019).

Tindakan perawatan payudara yang dilaksanakan, baik sendiri

maupun dibantu orang lain yang dilaksanakan mulai hari pertama atau

kedua setelah melahirkan. Bertujuan untuk melancarkan sirkulasi darah dan


69
mencegah tersumbatnya aliran susu sehingga memperlancar pengeluaran

ASI, serta menghindari terjadinya pembekakan dan kesulitan menyusui,

selain itu juga menjaga kebersihan payudara agar tidak mudah terkena

infeksi (Evi Rosita, 2016).

5. Cara mencegah bendungan ASI

Untuk mencegah diperlukan menyusui dini, perlekatan yang baik, dan

menyusui secara on demand. Bayi harus sering disusui. Apabila terlalu tegang,

atau bayi tidak dapat menyusu sebaiknya ASI dikeluarkan dahulu, agar

ketegangan menurun.Untuk merangsang reflek oksitosin maka dilakukan (Evi

Rosita, 2016) :

a. kompres untuk mengurangi rasa sakit

b. Ibu harus rileks

c. Pijat dan punggung belakang (sejajar daerah payudara)

d. Pijat ringan pada payudara yang bengkak (pijat pelan-pelan kearah

tengah)

e. Stimulasi payudara dan puting

f. Kompres dingin pasca menyusui, untuk mengurangioedema

g. Pakailah BH yang sesuai.

h. Bila terlalu sakit dapat dberikan obat analgetik

6. Cara mengatasi bendungan ASI

Menurut (Sarwono, 2018) penanganan bendungan air susu dilakukan

dengan pemakaian kutang untuk penyangga payudara dan pemberian analgetika,

70
dianjurkan menyusui segera dan lebih sering, kompres hangat, air susu

dikeluarkan dengan pompa dan dilakukan pemijatan (masase) serta perawatan

payudara. Kalau perlu diberi supresi laktasi untuk sementara (2 – 3 hari ) agar

bendungan terkurangi dan memungkinkan air susu dikeluarkan dengan pijatan.

Keadaan ini umumnya akan menurun dalam beberapa hari dan bayi dapat

menyusu dengan normal.

M. Konsep Dasar Anemia

11. Pengertian Anemia


Anemia merupakan kondisi berkurangnya sel darah merah (eritrosit) dalam sirkulasi
darah atau massa hemoglobi (Hb) sehingga tidak mampumemenuhi fungsinya sbagai
pembawa oksigen keseluruh jaringan. Menurut WHO (1992) anemia adalah suatu keadaan
yang ditunjukkan dengan kadar Hb lebih rendah dari batas normal untuk kelompok orang
yang bersangkutan. Anemia juga didefenisikan sebagai suatu penurunan massa sel darah
merah atau total Hb, secara lebih tepat dikatakan kadar Hb normal pada wanita yang sudah
menstruasi adalah 12.0 dan untuk ibu hamil 11.0g/Dl (Astuti & Ertiana. 2018).
Anemia adalah suatu keadaan dimana tubuh memiliki jumlah sel darah merah
(eritrosit) yang terlalu sedikit, yang mana sel darah merah itu mengandung hemoglobin
yang berfungsi untuk membawa oksigen ke seluruh jaringan tubuh (Proverawati, 2013).
Pembagian dari anemia dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu: anemia ringan bila
kadar Hb <10 gr/dl, anemia sedang bila kadar Hb 7-8 gr/dl, dan anemia berat bila kadar
Hb <6 gr/dl. Penyebab anemia bisa karena kurangnya zat gizi untuk pembekuan darah,
misalnya zat besi, asam folat dan vitamin B12. Anemia defisiensi besi adalah anemia yang
disebabkan oleh kurangnya zat besi dalam tubuh (Rahyani, Ni Komang Yuni., dkk. 2020).
Beberapa faktor yang menyebabkantimbulnya anemia defisiensi besi di antaranya
kurangnya asupan zat besi dan protein dari makanan, adanya gangguan absorpsi di usus,
perdarahan akut maupun kronis, dan meningkatnya kebutuhan zat besi pada wanitahamil,
masa pertumbuhan dan masa penyembuhan dari penyakit (Rahyani, Ni Komang Yuni., dkk.
2020).
12. Patofisiologi Anemia pada Kehamilan

71
Perubahan hematologisehubungan dengan kehamilan adalah karena perubahan
sirkulasi yang semakin meningkat terhadap plasenta dan perubahan payudara. Volume
plasma meningkat 45-65% dimulai pada kehamilan trimester II dan maksimum terjadi
pada bulan ke-9 dan meningkat sekitar 1000ml, menurun sedikit menjelang aterm serta
kembali normal setelah 3bulan partus. Stimulasi yang meningkatkan volume plasma
sepertilactogen plasma, yang menyebabkan peningkatan sekresi aldosteron. Hipervolemia,
menyebabkan terjadinya pengenceran darah, pertambahan darah tidak sebanding dengan
pertambahan plasma, kurangnya zat besi dalam makanan, kebutuhan zat besi meningkat
(Rahyani, Ni Komang Yuni., dkk. 2020).

Kehamilan

Sistem reproduksi Sistem pencernaan


Volume darah meningkat
Hyperemia/hipervolumia
Sistem pernafasan Perubahan pada kulit

Pengenceran
darah /
72
hemodilusi
Anemia

Gejala : lesu, letih , Anemia defisiensi zat Factor resiko


lemahh , lelah, lalai, besi
pucat pada bibi, Anemia megaloblastik Umur ibu, paritas,
kuku, dan telapak Anemia hipoplastik kek, infeksi penyakit
tangan Anemia hemolatik

Anemia Sedang Anemia ringan Anemia berat

Hb 7.0-9,9 g/dl Hb 10-10.9 g/dl Hb 7.0 g/dl

Tatalaksana umum Tatalaksana khusus

- Tegakkan diagnose - Lakukan pemeriksaan penunjang


- Berikan TTD berisi 60 mg besi - Tentukan penyebab anemia ,
elemental dan 250 mg asam folat berdasarkan pemeriksaan darah
ferifer lengkap dan apus darah tepi
- Di berikan 3 x 1selama 90 hari jika - Lakukan tatalaksana bersama dikter
membaik, lanjutkan samapai 42 sesialis penyakit dalam untuk
hari pasca persalinan. perawatan lebih spesifik

13. Tanda dan Gejala Anemia dalam Kehamilan


Tanda-tanda anemia pada ibu hamil diantaranya yaitu, terjadinya peningkatan
kecepatan denyut jantung karena tubuh berusaha memberi oksigen lebih banyak ke
jaringan, adanya peningkatan kecepatan pernafasan karena tubuh berusaha menyediakan
lebih banyak oksigen pada darah, pusing akibat kurangnya darah keotak, terasa lelah
karena meningkatnya oksigenasi berbagai organ termasuk otot jantung dan rangka, kulit
pucat karena berkurangnya oksegenasi, mual akibat penurunan aliran darah saluran cerna
dan susunan saraf pusat, dan adanya penurunan kualitas rambut dan kulit (Astuti & Ertiana.
2018).
73
Manifestasi klinis dari anemia defisiensi besi sangat bervariasi, bisa hampir tanpa
gejala, bisa juga gejala-gejala dasar penyakit yang menonjol, ataupun juga bisa ditemukan
gejala anemia bersama-sama dengan gejala penyakit dasarnya. Gejala-gejala dapat berupa
pusing, palpitasi (sebuah sensai ketika jantung dirasakan berdebar dapat dirasakan didada
dan juga dileher), pandangan berkunang-kunang, perubahan jaringan epitel kuku,
gangguan sistem neuromuskular, lesu, lemah, letih, disphagia atau sulit menelan, dan
pembesaran kelenjar limfa. Bila kadar Hb < gr/dl maka gejala-gejala dan tanda anemia
akan jelas (Rahyani, Ni Komang Yuni., dkk. 2020).
14. Macam-Macam Anemia dalam Kehamilan
Macam-macam anemia dalam kehamilan menurut Prawirohardjo (2009) berdasarkan
faktor penyebabnya meliputi anemia defisiensi besi, anemia megaloblastik, anemia
hipoplastik, anemia himolitik, dan anemia-anemia lain (Astuti & Ertiana. 2018).
15. Faktor resiko Anemia Defisiensi Zat Besi pada Kehamilan
Anemia selama kehamilan beresiko bagi kesehatan ibu dan janinnya karena tingginya
angka kematian ibu berkaitan erat dengan anemia. Anemia menyebabkan rendahnya
kemampuan fisik karena sel-sel tubuh tidak cukup mendapat pasokan oksigen. Anemia
meningkatkan frekuensi komplikasi pada kehamilan dan persalinan. Resiko kematian
maternal, angka prematuritas, berat badan bayi lahir rendah dan angka kematian prenatal
dapat meningkat. Perdarahan antepartum dan postpartum lebih sering berakibat fatal yang
disebabkan oleh karena wanita yang anemia tidak dapat menoleransi kehilangan darah
(Rahyani, Ni Komang Yuni., dkk. 2020).
Dampak anemia pada kehamilan dapat bervariasi dari keluhan yang sangat ringan
hingga terjadinya gangguan kelangsungan kehamilan, berupa :

a. Abortus, partus imatur atau prematur


b. Gangguan proses persalinan (inersia, atonia, partus lama, perdarahanatonis)
c. Gangguan pada masa nifas (sub involusi rahim, daya tahan terhadap infeksi dan
stress, kurang produksi ASI rendah).
d. Gangguan pada janin (abortus, dismaturitas, mikrosomia, BBLR, kematian
perinatal, bahkan kelainan bawaan) (Rahyani, Ni Komang Yuni., dkk. 2020).

Selain itu faktor resiko anemia pada ibu hamil yaitu :


a. Umur Ibu

74
Ibu hamil yangberumur kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35tahun yaitu 74,1%
menderita anemia dan ibu hamil yang berumur 20-35 tahun yaitu 50,5% menderita
anemia. Wanita yang berumur kurang dari 20 tahun atau lebihdari 35 tahun,
mempunyai risiko yang tinggi untuk hamil, karena akan membahayakan kesehatan
dan keselamatan ibu hamil maupun janinnya, beresiko mengalami pendarahan dan
dapat menyebabkan ibu mengalami anemia.
b. Paritas
Ibu hamil dengan paritas tinggi mempunyai resiko 1.454 kali lebih besar untuk
mengalami anemia di banding dengan paritas rendah. Adanya kecenderungan
bahwa semakin banyak jumlah kelahiran (paritas), maka akan semakin tinggi
angka kejadian anemia.
c. Kurang Energi Kronis (KEK)
Timbulnya masalah gizi pada ibu hamil, seperti kejadian KEK, tidak terlepas dari
keadaan sosial, ekonomi, dan bio sosial dari ibu hamil dan keluarganya seperti
tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, konsums pangan, umur, paritas, dan
sebagainya. Pengukuran lingkar lengan atas (LILA) adalah suatucara untuk
mengetahui resiko Kurang Energi Kronis (KEK) Wanita Usia Subur (WUS).
Pengukuran LILA tidak dapat digunakan untuk memantau perubahan status gizi
dalam jangka pendek. Pengukuran lingkar lengan atas (LILA) dapat digunakan
untuk tujuan penapisan status gizi Kurang Energi Kronis (KEK). Ibu hamil KEK
adalah ibu hamil yang mempunyai ukuran LILA<23.5 cm. Deteksi KEK dengan
ukuran LILA yang rendah mencerminkan kekurangan energy dan protein dalam
intake makanan sehari hari yang biasanya diiringi juga dengan kekurangan zat gizi
lain, diantaranya besi. Dapat diasumsikan bahwa bu hamil yang menderita KEK
berpeluang untuk menderita anemia (Supriyatiningsih ;2016).
d. Infeksi dan Penyakit
Zat besi merupakan unsur penting dalam mempertahankan daya tahan tubuh agar
tidak mudah terserang penyakit. Menurut penelitian, orang dengan kadar Hb <10
g/dl memiliki kadar sel darah putih (untuk melawan bakteri) yang rendah pula.
Seseorang dapat terkena anemia karena meningkatnya kebutuhan tubuh akibat
kondisi fisiologis (hamil, kehilangan darah karena kecelakaan, pascabedah atau
menstruasi), adanya penyakit kronis atau infeksi (infeksi cacing tambang, malaria,
TBC) (Anonim, 2004). Ibu yang sedang hamil sangat peka terhadap infeksi dan
75
penyakit menular. Beberapa di antaranya meskipun tidak mengancam nyawa ibu,
tetapi dapat menimbulkan dampak berbahaya bagi janin. Diantaranya, dapat
mengakibatkan abortus, pertumbuhan janin terhambat, bayi mati dalam
kandungan, serta cacat bawaan. Penyakit infeksi yang di derita ibu hamil biasanya
tidak diketahui saat kehamilan. Hal itu baru diketahui setelah bayi lahir dengan
kecacatan. Pada kondisi terinfeksi penyakit, ibu hamil akan kekurangan banyak
cairan tubuh serta zat gizi lainnya (Setiyatiningsih;2016).
e. Jarak Kehamilan
Menurut Supriyatningsih (2016) proporsi kematian terbanyak terjadi pada ibu
dengan prioritas 1-3 anak dan jika dilihat menurut jarak kehamilan ternyata jarak
kurang dari 2 tahun menunjukkan proporsi kematian maternal lebih banyak. Jarak
kehamilan yang terlalu dekat menyebabkan ibu mempunyai waktu singkat untuk
memulihkan kondisi rahimnya agar bisa kembali ke kondisi sebelumnya. Pada ibu
hamil dengan jarak yang terlalu dekat beresiko terjadi anemia dalam kehamilan.
Karena cadangan zat besi ibu hamil pulih. Akhirnya berkurang untuk keperluan
janin yang dikandungnya.
f. Pendidikan
Pada beberapa pengamatan menunjukkan bahwa kebanyakan anemia yang di derita
masyarakat adalah karena kekurangan gizi banyak di jumpai di daerah pedesaan
dengan malnutrisi atau kekurangan gizi. Kehamilan dan persalinan dengan jarak
yang berdekatan, dan ibu hamil dengan pendidikan dan tingkat social ekonomi
rendah (Supriyatningsih. 2016).
g. Kepatuhan ibu mengkonsumsi zat besi
Kepatuhan mengkonsumsi tablet zat besi di ukur dari ketepatan jumlah tablet yang
dikonsumsi, ketepatan cara mengkonsumsi tablet zat besi, frekuensi konsumsi
perhari. Suplementasi besi atau pemberian tablet Fe merupakan salah satu upaya
penting dalam mencegah dan menanggulangi anemia, khususnya anemia
kekurangan besi.
Rendahnya kepatuhan ibu minum tablet Fe disebabkan timbulnya rasa mual dan
ingin muntah. Kebosanan ibu dalam mengkonsumsi tablet Fe merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi tidak patuhnya ibu minum tablet Fe, serta rendahnya
dukungan dari lingkungan sekitar ibu hamil terutama dukungan dari suami dan
keluarga dalam memotivasi ibu agar selalu mengkonsumsi tablet Fe (Wiwit.2014)
76
16. Prognosis
Prognosis anemia defisiensi besi dalam kehamilan umumnya bervariasi baik bagi ibu
dan anak tergantung dari berat ringannya anemia serta lama waktu menderita anemia serta
penatalaksanaannya. Persalinan dapat berlangsung seperti biasanya tanpa perdarahan
banyak atau komplikasi lain pada ibu hamil dengan anemia berat yang tidak diobati dapat
menyebabkan abortus, dalam kehamilan tua dapat menyebabkan partus lama, perdarahan
postpartum, dan infeksi (WHO,2008) (Rahyani, Ni Komang Yuni., dkk. 2020).
17. Cara Menentukan Anemia pada Ibu Hamil
Cara penentuan status anemia dengan cara biokimia adalah melakukan pemeriksaan
darah untuk melihat indikator status besi, ada beberapa indikator untuk mengetahui status
besi dalam darah dengan metode biokimia atau laboratorium,di antaranya adalah ;
a. Haemoglobin (HB)
Haemoglobin adalah parameter yang di gunakan secara luas untuk menetapkan
prevalensi anemia. Garby et.al dalam Supariasa dkk(2002), menyatakan bahwa dalam
menentukan status anemia belum lengkap hanya dengan cara melihat kadar Hb, perlu
dilakukan pemeriksaan lain. Hb berperan sebagai pembawa oksigen pada sel darah
merah. Pengukuran kadar Hb dalam darah dapat dilakukan dengan dua cara yaitu;
dengan metode sahli yang sederhana dan cara yang lebih canggih yaitu metode
cyanmethemoglobin. Hb adalah senyawa yang membawa oksigen pada sel darah
merah. Kadar Hb yang rendah mengindikasikan anemia. Metode pemeriksaan Hb
yang pertama kali ditemukan yang menggunakan teknik kimia adalah metode sahli
dengan membandingkan senyawa akhir secara visual terhadap standar gelas warna.
Cara ini memungkinkan 23 kali terjadi kesalahan rata-rata dibandingkan dengan
metode yang menggunakan spektrofotometer.

b. Hematokrit
Hematokrit merupakan volume eritrosit yang dipisahkan dari plasma dengan cara
diputar di dalam tabung khusus yang nilainya dinyatakan dalam persen (%) (Supariasa
dkk,2002). Setelah di sentrafugasi, tinggi kolom sel darah merah di ukur dan
dibandingkan dengan tinggi darah penuh yang asli. Persentase massa sel darah merah
pada volume darah yang asli merupakan hematokrit. Karena darah penuh dibentuk
pada intinya oleh sel darah merah persentase sel(SDM) dan plasma, setelah sentra
fungsi presentasi sel-sel merah memberikan estimasi tidak langsung jumlah SDM/100
77
ml dari darah penuh yang pada akhirnya dapat menjadi estimasi tidak langsung kadar
Hb dalam darah (Supariasa dkk,2002).
8. Pencegahan Anemia dalam Kehamilan
Nutrisi yang baik adalah cara terbaik untuk mencegah terjadinya anemia jika sedang
hamil. Makan makanan yang tinggi kandungan zat besi (seperti sayuran berdaun hijau,
daging merah, sereal, telur, dan kacang tanah) dapat membantu tubuh menjaga pasokan
besi yang diperlukan untuk berfungsi dengan baik. Wanita hamil perlu dilakukan
pemeriksaan kadar hemoglobin pada kunjungan pertama kehamilan (Proverawati, 2011).

9. Penatalaksanaan Anemia
a. Tatalaksana umum
Menurut Kemenkes (2016) terdapat tatalaksana anemia pada ibu hamil yaitu:
1) Apabila diagnosis anemia telah di tegakkan, lakukan pemeriksaan apusan darah
tepi untuk melihat morfologi sel darah merah.
2) Bila pemeriksaan apusan darah tepi tidak tersedia, berikan suplementasi besi
dan asam folat. Tablet yang saat ini banyak tersedia di puskesmasadalah tablet
darah yang berisi 60 mg besi elemental dan 250 mg asam folat pada ibu hamil
dengan anemia , tablet tersebut dapat di berikan 2-3 kali sehari . bila dalam 90
hari muncul perbaikan , lanjutkan pemberian tablet sampai 42 hari pasca salin.
3) Apabila setelah 90 hari pemberian tablet besi dan asam folat kadar hemoglobin
tidak meningkat rujuk pasien ke pusat pelayanan yang lebih tinggi untuk
mencari penyebab anemia.
4) Untuk meningkatkan penyerapan zat besi sebaiknya Tablet Tambah Darah di
konsumsi bersamaan dengan :
a) Buah – buahan sumber vitamin c ( jeruk papaya , manga, jambu biji dll)
b) Sumber protein hewani seperti hati ikan, unggas dan daging.
c) Hindari mengkonsumsi TTD bersamaan dengan:
1. Teh dan kopi karena mengandung senyawa fitat dan tannin yang dapat
mengikat zat besi menjadi senyawa yang komplek sehingga tidak dapat di
serap.
2. Tablet kalsium ( kalk) dosis yang tinggi, dapat menghambat penyerapan
zat besi. Susu hewani umumnya mengandung kalsium dalam jumlah yang
tinggi sehingga dapat menurunkan penyera[an zat besi di mukosa usus.
78
3. Obat sakit maagh yang berfungsi melapisi permukaan lambung sehingga
penyerapan zat besi terhambat. Penyerapan zat besi akan semakin
terhambat jika menggunakan obat maagh yang mengandung kalsium.
(Kemenkes,2016)
b. Tatalaksana khusus
1) Bila tersedia fasilitas pemeriksaan penunjang, tentukan penyebab anemia
berdasarkan hasil pemeriksaan darah ferifer lengkap dan apus darah tepi.
2) Anemia mikrositik hipokrom dapat di temukan pada keadaan
a) Defisiensi besi
Lakukan pemeriksaan ferritin .apabila di temukan kadar ferritin <15 ng/ml,
berikan terapi besi dengan dosis setara 180 mg besi elemental per hari,
apabila kadar ferritin normal lakukan pemeriksaan SI dan TIBC
b) Thalassemia
Pasien dengan kecurigaan thalassemia perlu di lakukan tatalaksana bersama
dokter spesialis penyakit dalam untuk perawatan yang lebih spesifik
c) Anemia normositik normokrom dapat di temukan pada keadaan
3) Perdarahan
Tanyakan riwayat dan cari tanda dan gejala aborsi, mola, kehamilan ektopik,
atau perdarahan pasca salin.
4) Infeksi cronik
Defisiensi asam folat dan vitamin B12 , berikan asam folat 1x2 mg dan vitamin
B12 1x250 mg ;100 mg.
Transfuse untuk anemia di lakukan pada pasien dengan kondisi sebagai berikut
:
1. Kadar Hb <7 gr/dl atau kadar hematocrit <20%
2. Kadar Hb >7 g/dl dengan gejala klinis , pusing, pandangan berkunang-
kunang ( frekuensi nadi >100 X/i)

10. Tahapan Dalam Manajemen Kebidanan


Menurut Varney (1997) terdapat 7 langkah manajemen kebidanan, yang
meliputi (Kurniawati, Evi, dkk. 2022) :
a. Langkah I : Pengumpulan data dasar

79
Dilakukan pengkajian dengan pengumpulan semua data yang diperlukan untuk
mengevaluasi keadaan klien secara lengkap. Mengumpulkan semua informasi
yang akurat dari sumber yang berkaitan dengan kondisi klien.
b. Langkah II : Interpretasi data dasar
Dilakukan identifikasi yang benar terhadap diagnosa atau masalah klien atau
kebutuhan berdasakan interpretasi yang benar atas data-data yang telah
dikumpulkan. Masalah dan diagnosis keduanya digunakan karena beberapa
masalah tidak dapat diselesaikan seperti diagnosa tetapi membutuhkan
penanganan yang dituangkan dalam rencana asuhan kebidanan terhadap klien.
Masalah bisa menyertai diagnosis. Kebutuhan adalah suatu bentuk asuhan yang
harus diberikan kepada klien, baik klien tahu ataupun tidak tahu (Kurniawati,
Evi, dkk. 2022).
c. Langkah III : Mengidentifikasi diagnosa atau masalah potensial
Mengidentifikasi masalah atau diagnosa potensial lain berdasarkan rangkaian
masalah dan diagnosa yang sudah diidentifikasi. Membutuhkan antisipasi, bila
mungkin dilakukan pencegahan. Penting untuk melakukan asuhan yang aman
(Kurniawati, Evi, dkk. 2022).
d. Langkah IV : Identifikasi kebutuhan yang memerlukan penanganan segera
Langkah ini bertujuan untuk mengidentifikasi atau menentukan penanganan
guna antisipasi terhadap berbagai kemungkinan yang bisa terjadi. Pada
persalinan normal yang terdapat masalah potensial, seorang bidan harus
melakukan tindakan awal dan berkolaborasi dengan dokter kandungan guna
memperbaiki keadaan klien.
e. Langkah V : Merencanakan asuhan yang menyeluruh
Merencanakan asuhan yang menyeluruh, ditetukan oleh langkah-langah
sebelumnya. Rencana asuhan yang menyeluruh meliputi apa yang sudah
diidentifikasi dari klien dan dari kerangka pedoman antisipasi terhadap wanita
tersebut seperti apa yang diperkirakan akan terjadi berikutnya.
f. Langkah VI : Melaksanakan perencanaan (Implementasi)
Melaksanakan recana asuhan pada langkah ke lima secara efisien dan aman.
Jika bidan tidak melakukannya sendiri maka, tetap memikul tanggung jawab
untuk mengarahkan pelaksanaannya (Kurniawati, Evi, dkk. 2022).
g. Langkah VII : Evaluasi
80
Dilakukan evaluasi kefektifan dari asuhan yang sudah diberikan meliputi
pemenuhan kebutuhan akan bantuan apakah benar-benar telah terpenuhi sesuai
dengan kebutuhan sebagaimana telah didentifikasikan didalam masalah dan
diagnosa.
N. Konsep Dasar Hiperemesis Gravidarum
1. Pengertian Hiperemesis Gravidarum
Hiperemesis gravidarum adalah mual muntah yang berlebihan pada wanita hamil
sampai mengganggu pekerjaan sehari-hari karena keadaan umumnya menjadi buruk,
karena terjadi dehidrasi (Winarni. 2019).
Hiperemesis gravidarum sebenarnya lebih dikenal dengan morning sickness
namun dalam tingkat yang lebih tinggi, dimana rasa sakit yang dialami ibu hamil lebih
menyakitkan dari sekedar morning sickness pada ibu hamil biasanya (Pratiwi. 2019).
Syamsuddin, Syahril., dkk. (2018) mengemukakan mual muntah berlebihan
(hiperemesis gravidarum) merupakan salah satu komplikasi kehamilan yang
mempengaruhi status kesehatan ibu dan tumbuh kembang janin, dimana kejadian ini
dapat dideteksi dan dicegah pada masa kehamilan, mual dan muntah merupakan
gangguan yang paling sering dijumpai pada kehamilan trimester 1.
Menururt Jueckstock., dkk (2010) yang dikutip oleh Husin, Farid (2013)
hiperemesis gravidarum adalah suatu keadaan mual dan muntah pada kehamilan yang
menetap, dengan frekuensi muntah lebih dari 5 kali dalam sehari, disertai dengan
penurunan berat badan (> 5% dari berat sebelum hamil) dan dapat menyebabkan
ketidakseimbangan elektrolit dan asambasa, kekurangan gizi bahkan kematian.

2. Etiologi Hiperemesis Gravidarum


Penyebab gestosis hiperemesis gravidarum tidak diketahui dengan pasti, tetapi
diduga terdapat faktor berikut ini:
a. Psikologis, bergantung pada :
1) Apakah si ibu dapat menerima kehamilannya.
2) Apakah kehamilannya diinginkan atau tidak
b. Fisik :
1) Terdapat kemungkinan masuknya villi khorealis kedalam sirkulasi darah ibu
2) Terjadi peningkatan yang mencolok atau belum beradaptasi dengan kenaikan
human chorionic gonadothropin.
81
3) Faktor konsentrasi human chorionic gonadothropin yang tinggi :
a) Primigravida lebih sering dari multigravida
b) Semakin meningkat pada mola hidatidosa, hamil ganda, dan hidramnion
4) Faktor gizi/anemia meningkatkan terjadinya giperemesis gravidarum.
3. Gejala dan Tingkat pada Hiperemesis Gravidarum
Kesepakatan batas muntah lebih dari 10 kali dan apabila keadaan umum ibu
terpengaruh maka disebut hiperemesis (Winarni. 2019).
a. Tingkat I : Ringan
1) Mual muntah terus menerus menyebabkan penderita lemah
2) Tidak mau makan
3) Berat badan turun
4) Rasa nyeri di epigastrium
5) Nadi sekitar 100 kali/menit
6) Tekanan darah turun
7) Turgor kulit kurang
8) Lidah kering
9) Mata cekung
b. Tingkat II : Sedang
1) Mual dan muntah yang hebat menyebabkan keadaan umum penderita lebih
parah
2) Lemah
3) Apatis
4) Turgor kulit mulai jelek
5) Nadi kecil dan cepat
6) Suhu badan naik (dehidrasi)
7) Ikterus ringan
8) Berat badan turun
9) Mata cekung
10) Tensi turun
11) Hemokonsentrasi
12) Oliguri dan konstipasi
13) Asetonuria dan nafas keluar aseton
c. Tingkat III : Berat
82
1) Keadaan umum jelek
2) Kesadaran sangat menurun
3) Samnolen sampai koma
4) Nadi kecil, halus dan cepat
5) Dehidrasi hebat
6) Suhu badan naik
7) Tensi turun sekali
8) Ikterus
4. Faktor Resiko Hiperemesis Gravidarum
Menurut Pratiwi dan Fatimah (2019) faktor risiko terjadinya hiperemesis
gravidarum diantaranya :
a. Riwayat hiperemesis gravidarum baik keturunan maupun pada kehamilan
sebelumnya.
b. Hamil pertama kali/ muliparitas
c. Obesitas/ berat badan berlebih.
d. Kehamilan gemeli/ mengandung anak kembar.
e. Mengandung janin perempuan.

5. Pencegahan Hiperemesis Gravidarum


Menurut Rukiyah dan Lia Yulianti (2010) langkah pencegahan hiperemesis
gravidarum diantaranya yaitu :
a. Memberikan penerangan tentang kehamilan dan persalinan sebagai suatu proses
yang fisiologik.
b. Memberikan keyakinan bahwa mual dan kadang-kadang muntah merupakan
gejala yang fisiologik pada kehamilan muda dan akan hilang setelah kehamilan 4
bulan.
c. Menganjurkan mengubah makan sehari-hari dengan makanan dalam jumlah kecil
tetapi sering.
d. Menganjurkan pada waktu bangun pagi jangan segera turun dari tempat tidur,
terlebih dahulu makan roti kering atau biskuit dengan teh hangat.
e. Makanan yang berminyak dan berbau lemak sebaiknya dihindarkan.
f. Makanan seyogyanya disajikan dalam keadaan panas atau sangat dingin
g. Defekasi teratur.
83
h. Menghindari kekurangan karbohidrat merupakan faktor yang penting, dianjurkan
makanan yang banyak mengandung gula.
6. Penanganan Hiperemesis Gravidarum
Penangan hiperemesis gravidarum menurut Winarni (2019) sebagai berikut :
a. Pencegahan dengan informasi dan edukasi. Hiperemesis akan berkurang sampai
umur kehamilan 4 bulan.
b. Dinasehatkan tidak terlalu cepat bangun dari tempat tidur, sehingga tercapai
adaptasi aliran darah menuju susunan saraf pusat.
c. Dinasehati diet dianjurkan makan dengan porsi kecil tapi lebih sering. Makanan
menimbulkan mual dan muntah dihindari.
d. Terapi obat menggunakan sedativa ringan luminal 3x30mg (luminal stesolid,
valium) vitamin (B1 dan B6), anti muntah (mediamer B6, Drammamin, avogreg,
avomin, torcean, primperan), antasida dan anti mulas.
e. Nasehat pengobatan : hanya minum dan hindari minuman atau makanan yang
asam untuk mengurangi iritasi lambung.
f. Hiperemesis gravidarum tingkat II dan III harus dirawat inap di rumah sakit :
1) Istirahat baring
2) Isolasi dan terapiopsikologi
3) Penambahan cairan, berikan infus dekstrosa atau glukosa 5%-10% sebanyak
2-3 liter dalam 24 jam.
4) Observasi cairan yang masuk dan keluar dengan pemasangan kateter.
5) Observasi keadaan umum dan tanda vital
6) Beri obat-obatan sda.
7. Manajemen Asuhan Kebidanan
Manajemen asuhan kebidanan adalah sebuah metode dengan perorganisasian,
pemikiran dan tindakan-tindakan dengan urutan yang logis dan menguntungkan baik bagi
klien maupun bagi tenaga kesehatan (Sih Mulyati, 2017) Ada tujuh langkah dalam
menejemen kebidanan menurut Varney sebagai berikut :
a. Langkah I : Pengumpulan data dasar
Pada langkah ini, kegiatan yang di lakukan adalah pengkajian dengan mengumpulkan
semua yang di perlukan untuk mengevaluasi klien secara lengkap. (Sih Mulyati, 2017)
Data yang di kumpulakan antara lain :
1) Keluhan klien.
84
2) Riwayat kesehatan klien.
3) Pemeriksaan fisik secara lengkap sesuai dengan kebutuhan.
4) Meninjau catatan terbaru atau catatan sebelumnya.
5) Meninjau data laboratorium.
Pada langkah ini, dikumpulkan semua informasi yang akurat dari semua sumber yang
berkaitan dengan kondisi klien. Pada langkah ini bidan mengumpulkan data dasar awal
secara lengkap.
b. Langkah II : Interpretasi Data
Pada langkah ini, dilakukan identifikasi yang benar terhadap diagnosis atau masalah
klien atau kebutuhan berdasarkan interprestasi yang benar atas data-data yang telah
dikumpulkan. Kata “masalah dan diagnosis” keduanya digunakan karena beberapa
masalah tidak dapat diselesaikan seperti diagnosis tetapi membutuhkan penanganan
yang dituangkan dalam rencana asuhan kebidanan terhadap klien. Masalah bisa
menyertai diagnosis. Kebutuhan adalah suatu bentuk asuhan yang harus diberikan
kepada klien, baik klien tahu ataupun tidak tahu (Sih Mulyati, 2017)
c. Langkah III : Identifikasi diagnosis / Masalah potensial
Pada langkah ini kita mengidentifikasi masalah atau diagnosis potensial lain.
Berdasarkan rangkaian diagnosis dan masalah yang sudah terindentifikasi.
Membutuhkan antisipasi bila mungkin dilakukan pencegahan. Penting untuk melaku
kan asuhan yang aman (Sih Mulyati, 2017)
d. Langkah IV : Identifikasi kebutuhan yang memerlukan penanganan segera
Pada langkah ini yang di lakukan bidan adalah mengidentifikasi perlunya tindakan
segera oleh bidan atau dokter untuk di konsultasikan atau di tangani bersama dengan
anggota tim kesehatan lain sesuai dengan kondisi klien. (Sih Mulyati, 2017)
e. Langkah V : Perencanaan asuhan yang menyeluruh
Pada langkah ini, direncanakan asuhan yang menyeluruh yang ditentukan berdasarkan
langkah-langkah sebelumnya. Ren cana asuhan yang menyeluruh tidak hanya meliputi
hal yang sudah teridentifikasi dan kondisi klien atau dari setiap masalah yang berkaitan
tetapi dilihat juga dari apa yang akan diperkirakan terjadi berikutnya (Sih Mulyati,
2017)
f. Langkah VI : Pelaksanaan
Melaksanakan asuhan yang telah di buat pada langkah ke5 secara aman dan efisien.
Kegiatan ini bisa di lakukan oleh bidan atau anggota tim kesehatan lain. Jika bidan tidak
85
melakukan sendiri, bidan tetap memikul tanggung jawab untuk mengarahkan
pelaksanaannya (Sih Mulyati, 2017).
g. Langkah VII : Evaluasi(Sih Mulyati, 2017)
Melakukan evaluasi keefekti fan asuhan yang sudah diberikan , yang mencakup
pemenuhan kebutuhan untuk menilai apakah sudah benar terlaksana benar /terpenuhi
sesuai dengan kebutuhan yang telah teridentifikasi dalam masalah dan diagonis. (Sih
Mulyati, 2017).

O. Landasan Teori Plasenta Previa

1. Pengertian Plasenta Previa


Plasenta previa adalah plasenta yang letaknya abnormal, yaitu pada segmen
bawah uterus sehingga menutupi sebagian atau seluruh pembukaan jalan lahir
(Wiknjosastro, 2014). Plasenta previa adalah kondisi dimana plasenta berimplantasi
menutupi sebagian atau seluruh segmen bawah rahim (Sataloff dkk, 2014).
Plasenta previa merupakan plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah
Rahim demikian rupa sehingga menutupi seluruh atau sebagian dari ostium uteri
internum sehingga plasenta berada di depan jalan lahir (Prae = didepan, vias : jalan)
(Maryunani 2013).
Plasenta previa adalah suatu keadaan patologi dimana plasenta berimplantasi
pada segmen bawah uterus sehingga menutupi seluruh atau Sebagian jalan lahir (ostium
uteri internum) (Lidya A.2019).
2. Jenis-Jenis Plasenta Previa
Plasenta previa terbagi menjadi beberapa jenis berdasarkan perlengketannya
9Maryunani.2013) :
a. Plasenta previa totalis atau komplit : plasenta previa totalis atau komplit, adalah
plasenta yang menutupi ostium uteri internum.
b. Plasenta previa parsialis : plasenta previa parsialis adalah plasenta yang menutupi
sebagian ostium uteri internum.
c. Plasenta previa marginalis : plasenta previa marginalis adalah plasenta yang
tepinya berada pada pinggir ostium uteri internum.
d. Plasenta letak rendah : plasenta letak rendah adalah plasenta yang berimplantasi
pada segmen bawah Rahim sedemikian rupa sehingga tepi bawahnya berada pada
jarak lebih dari 2 cm di anggap plasenta letak normal.
86
Gambar c. Jenis-jenis plasenta

3. Patofisiologi Plasenta Previa


Segmen bawah uterus tumbuh dan meregang setelah minggu ke 12 kehamilan,
dalam minggu-minggu berikutnya ini dapat menyebabkan plasenta terpisah dan
menyebabkan terjadinya perdarahan. Perdarahan terjadi secara spontan dan tanpa
disertai nyeri, seringkali terjadi saat ibu sedang istirahat (Sataloff dkk, 2014).
Segmen bawah uterus telah terbentuk pada usia kehamilan 20 minggu. Usia
kehamilan yang bertambah menyebabkan segmen-segmen bawah uterus akan melebar
dan menipis serta servik mulai membuka. Pelebaran segmen bawah uterus dan
pembukaan servik pada ibu hamil dengan plasenta previa dapat menyebabkan
terjadinya perdarahan. Darah yang keluar berwarna merah segar, berlainan dengan
darah yang disebabkan oleh solusio plasenta yang berwarna merah kehitaman. Sumber
perdarahannya adalah robeknya sinus uterus akibat terlepasnya plasenta dari dinding
uterus atau karena robekan sinus marginalis dari plasenta. Makin rendah letak plasenta,
makin dini perdarahan terjadi karena ketidakmampuan serabut otot segmen bawah
uterus untuk berkontraksi (Wiknjosastro, 2014).
Plasenta previa dapat mengakibatkan terjadinya anemia bahkan syok, terjadi
robekan pada serviks dan segmen bawah rahim yang rapuh, bahkan infeksi pada
perdarahan yang banyak sampai dengan kematian (Manuaba, 2012).
4. Etiologi
Perdarahan tanpa alasan dan tanpa rasa nyeri merupakan gejala utama dan
pertama dari plasenta previa. Dengan bertambah tuanya kehamilan, segmen bawah
uterus akan lebih melebar lagi dan serviks akan lebih membuka. Apabila plasenta
tumbuh pada segmen bawah uterus, pelebaran segmen bawah uterus dan pembukaan
serviks tidak dapat diikuti oleh plasenta yang melekat disitu tanpa terlepasnya sebagian
plasenta dari dinding uterus, pada saat itulah mulailah terjadi perdarahan. Darahnya
87
berwarna merah segar, berlainan dengan darah yang disebabkan solusio plasenta yang
berwarna kehitam-hitaman (Lia. 2010).
Sumber perdarahannya adalah sinus uterus yang terobek karena terlepasnya
plasenta dari dinding uterus, atau karena robekan sinus marginalis dari plasenta.
Perdarahannya tidak dapat dihindarkan karena ketidakmampuan serabut otot segmen
bawah uterus untuk berkontraksi mengehentikan perdarahan itu tidak sebagaimana
serabut otot uterus menghentikan perdarahan pada kala III dengan plasenta yang
letaknya normal. Oleh karena itu, perdarahan pada plasenta previa totalis akan terjadi
lebih dini dari plasenta letak rendah yang mungkin baru berdarah setelah persalinan
dimulai (Lia. 2010).
5. Gejala dan Dampak Pada Ibu Dan Janin
Berikut gejala dan dampak plasenta previa bagi ibu dan janin dalam Maryunani
(2013) :
a. Gejala
1) Gejala-gejala dari plasenta previa antara lain, perdarahan tanpa nyeri, sering
terjadi pada malam hari saat pembentukan segmen bawah Rahim, bagian terendah
masih tinggi di atas pintu atas panggul (kelainan letak).
2) Perdarahan sebelum bulan ketujuh memberi gambaran yang tidak berbeda dari
abortus, perdarahan pada plasenta previa di sebabkan karena pergerakan antara
plasenta dan dinding Rahim.
3) Tidak jarang perdarahan pervaginam baru terjadi pada saat inpartu. Biasanya
kepala janin sangat tinggi karena plasenta terletak pada kutub bawah Rahim,
kepala tidak dapat mendekati pintu atas panggul, karena hal tersebut diatas, juga
ukuran Panjang Rahim berkurang maka plasenta previa lebih sering terdapat
kelainan letak.
b. Dampak
1) Dampak pada ibu berupa perdarahan, syok, anemia, dan endometritis pasca
persalinan dan dapat berakhir kematian.
2) Pada janin terjadi persalinan premature dan komplikasi asfiksia berat. Asfiksia
merupakan penyebab kematian bayi.
c. Gejala klinis
1) Gejala utama plasenta previa adalah pendarahan tanpa sebab tanpa rasa nyeri dari
biasanya berulang darah biasanya berwarna merah segar.
88
2) Bagian terdepan janin tinggi (floating) sering di jumpai kelainan letak janin.
3) Pendarahan pertama (frist bleeding) biasanya tidak banyak dan tidak fatal, kecuali
bila dilakukan periksa dalam sebelumnya, sehingga pasien sempat di kirim ke
rumah sakit. Tetapi perdarahan berikutnya (reccurent bleeding) biasanya lebih
banyak. Janin biasanya masih baik.
d. Pemeriksaan Inspekulo
1) Tujuannya adalah untuk mengetahui apakah perdarahan berasal dari ostium uteri
eksternum atau dari kelainan serviks dan vagina.
2) Apabila pendarahan berasal dari ostium uteri eksternum, adanya plasenta harus di
curigai.
Penentuan letak plasenta tidak langsung
a) Dapat dilakukan dengan radiografi, radio sotop dan ultrasonografi.
b) Akan tetapi pada pemeriksaan radiografi dan radiosotop, ibu dan janin
dihadapkan pada bahaya radiasi sehingga cara ini ditinggalkan.
c) Sedangkan USG tidak menimbulkan bahaya radiasi dan rasa nyeri dan cara ini
dianggap sangat tepat untuk menentukan letak plasenta.

6. Komplikasi
Ada beberapa komplikasi utama yang bias terjadi pada ibu hamil yang menderita
plasenta previa, diantaranya ada yang bisa menimbulkan perdarahan yang cukup
banyak dan fatal.
a. Oleh karena pembentukan segmen Rahim terjadi ritmik, maka pelepasan plasenta
dari tempat melekatnya di uterus dapat berulang dan semakin banyak, dan
perdarahan yang terjadi itu tidak dapat dicegah sehingga penderita menjadi anemia
bahkan syok.
b. Karena plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah Rahim dan sifat segmen ini
yang tipis mudahlah jaringan trofoblas dengan kemampuan invasinya menerobos ke
dalam myometrium bahkan sampai ke perimetrium dan menjadi sebab dari kejadian
plasenta inkreta dan bahkan sampai ke perimetrium dan menjadi sebab plasenta
akreta yang perlekatannya lebih kuat tetapi vilinya masih belum masuk ke dalam
myometrium. Walaupun biasanya tidak seluruh permukaan maternal plasenta
mengalami akreta atau inkreta akan tetapi dengan demikian terjadi retensio plasenta

89
dan pada bagian plasenta yang sudah terlepas timbulah perdarahan dalam kala tiga.
Komplikasi ini lebih sering terjadi pada uterus yang pernah seksio sesarea 3 kali.
c. Serviks dan segmen bawah Rahim yang rapuh dan kaya pembuluh darah sangat
potensial untuk robek disertai oleh perdarahan yang banyak. d. Kelainan letak anak
pada plasenta previa lebih sering terjadi. e. Kelahiran premature dan gawat janin
sering tidak terhindarkan sebagian oleh karena tindakan terminasi kehamilan yang
terpaksa dilakukan dalam kehamilan belum aterm. Pada kehamilan <37 minggu
dapat dilakukan amniosentesis untuk mengetahui pematangan paru janin sebagai
upaya antisipasi.
f. Komplikasi lain dari plasenta previa yang dilaporkan dalam kepustakaan selain masa
rawatan yang lebih lama, adalah berisiko tinggi untuk solusio plasenta (Resiko
Relative 13,8), seksio sesarea (RR 3,9), kelainan letak janin (RR 2,8), perdarahan
pasca persalinan (RR 1,7), kematian maternal akibat perdarahan (50%), dan
disseminatedI intravascular coagulation (DIC) 15,9 % (Prawirohardjo. 2013).

7. Penatalaksanaan Plasenta Previa


Adapun penatalaksanaan plasenta previa yaitu (Lia. 2010):
a. Terapi Ekspetatif
1) Tujuan terapi ekspetatif ialah supaya janin tidak terlahir premature, penderita
dirawat tanpa melakukan pemeriksaan dalam melalui kanalis servisis. Upaya
diagnosis dilakukan secara non-invasif. Pemantauan klinis dilaksanakan secara
ketat dan baik. Syarat-syarat terapi ekspetatif :
a) Kehamilan preterm dengan perdarahan sedikit yang kemudian berhenti.
b) Belum ada tanda-tanda inpartu
c) Keadaan umum ibu cukup baik (kadar hemoglobin dalam batas normal),
d) Janin masih hidup.
2) Rawat inap, tirah baring dan berikan antibiotic profilaksis.
3)Lakukan pemeriksaan USG untuk mengetahui implantasi plasenta, usia
kehamilan, profil biofisik, letak dan presentasi janin
4) Berikan tokolitik bila ada kontraksi :
a) MgSO4 4 g IV dosis awal dilanjutkan 4 g setiap 6 jam.
90
b) Nifedipin 3x20 mg/hari
c) Betamethasone 24 mg IV dosis tunggal untuk pematangan paru janin.
5) Uji pematangan paru janin dengan tes kocok (Bublle Test) dari hasil
amniosentesis.
6) Bila setelah usia kehamilan daitas 34 minggu, plasenta masih berada di sekitar
ostium uteri internum, maka dugaan plasenta previa semakin jelas, sehingga
perlu dilakukan observasi dan konseling untuk menghadapi kemungkinan
keadaan gawat darurat.
7) Bila perdarahan berhenti dan waktu untuk mencapai 37 minggu masih lama,
pasien dapat dipulangkan untuk rawat jalan (kecuali apabila rumah pasien di
luar kota dan jarak untuk mencapai rumah sakit lebih dari 2 jam) dengan pesan
untuk segera kembali ke rumah sakit apabila terjadi perdarahan ulang.
b. Terapi Aktif (Tindakan segera)
1) Wanita hamil di atas 22 minggu dengan perdarahan pervaginam yang aktif dan
benyak, harus segera ditatalaksana secara aktif tanpa memandang maturitas
janin.
2)Untuk diagnosis plasenta previa dan menemukan cara menyelesaikan persalinan,
setelah semua persyaratan terpenuhi, lakukan PDMO jika :
a) Infus/ transfuse setelah terpasang kamar dan tim operasi telah siap
b) Kehamilan > 37 minggu (berat badan > 2500 gram) dan in partu, atau.
c) Janin telah meninggal atau terdapat anomaly kengenital mayor (missal,
anensefali)
d) Perdarahan dengan bagian terbawah janin telah jauh melewati pintu atas
panggul (2/5 atau 3/5 pada palpasi luar).
Cara menyelesaikan persalinan dengan plasenta previa ialah :
c. Seksio Sesarea
1) Prinsip utama dalam melakukan seksio sesarea adalah untuk menyelamatkan
ibu, sehingga walaupun janin meninggal atau tak punya harapan untuk hidup,
Tindakan ini tetap dilaksanakan.
2) Tujuan seksio sesarea :
a) Melahirkan janin dengan segera sehingga uterus dapat segera berkontraksi
dan menghentikan perdarahan.

91
b) Menghindarkan kemungkinan terjadinya robekan pada serviks uteri, jika
janin dilahirkan pervaginam.
3) Tempat implantasi plasenta previa terdapat banyak vaskularisasi sehingga
serviks uteri dan segmen bawah Rahim menjadi tipis dan mudah robek, selain
itu, bekas tempat implantasi plasenta sering menjadi sumber perdarahan karena
adanya perbedaan vaskularisasi dan susunan serabut otot dengan korpus uteri.
4) Siapkan darah pengganti untuk stabilisasi dan pemulihan kondisi ibu.
5) Lakukan perawatan lanjut pasca bedah termasuk pemantauan perdarahan,
infeksi dan keseimbangan cairan masuk-keluar.
8. Manajemen Asuhan Kebidanan Pada Palsenta Previa
Menurut Varney (1997) terdapat 7 langkah manajemen kebidanan, yang meliputi
(Kurniawati, Evi, dkk. 2022) :
a. Langkah I : Pengumpulan data dasar
Dilakukan pengkajian dengan pengumpulan semua data yang diperlukan untuk
mengevaluasi keadaan klien secara lengkap. Mengumpulkan semua informasi
yang akurat dari sumber yang berkaitan dengan kondisi klien.
b. Langkah II : Interpretasi data dasar
Dilakukan identifikasi yang benar terhadap diagnosa atau masalah klien atau
kebutuhan berdasakan interpretasi yang benar atas data-data yang telah
dikumpulkan. Masalah dan diagnosis keduanya digunakan karena beberapa
masalah tidak dapat diselesaikan seperti diagnosa tetapi membutuhkan
penanganan yang dituangkan dalam rencana asuhan kebidanan terhadap klien.
Masalah bisa menyertai diagnosis. Kebutuhan adalah suatu bentuk asuhan yang
harus diberikan kepada klien, baik klien tahu ataupun tidak tahu (Kurniawati,
Evi, dkk. 2022).
c. Langkah III : Mengidentifikasi diagnosa atau masalah potensial
Mengidentifikasi masalah atau diagnosa potensial lain berdasarkan rangkaian
masalah dan diagnosa yang sudah diidentifikasi. Membutuhkan antisipasi, bila
mungkin dilakukan pencegahan. Penting untuk melakukan asuhan yang aman
(Kurniawati, Evi, dkk. 2022).
d. Langkah IV : Identifikasi kebutuhan yang memerlukan penanganan segera
Langkah ini bertujuan untuk mengidentifikasi atau menentukan penanganan
guna antisipasi terhadap berbagai kemungkinan yang bisa terjadi. Pada
92
persalinan normal yang terdapat masalah potensial, seorang bidan harus
melakukan tindakan awal dan berkolaborasi dengan dokter kandungan guna
memperbaiki keadaan klien.
e. Langkah V : Merencanakan asuhan yang menyeluruh
Merencanakan asuhan yang menyeluruh, ditetukan oleh langkah-langah
sebelumnya. Rencana asuhan yang menyeluruh meliputi apa yang sudah
diidentifikasi dari klien dan dari kerangka pedoman antisipasi terhadap wanita
tersebut seperti apa yang diperkirakan akan terjadi berikutnya.
f. Langkah VI : Melaksanakan perencanaan (Implementasi)
Melaksanakan recana asuhan pada langkah ke lima secara efisien dan aman.
Jika bidan tidak melakukannya sendiri maka, tetap memikul tanggung jawab
untuk mengarahkan pelaksanaannya (Kurniawati, Evi, dkk. 2022).
g. Langkah VII : Evaluasi
Dilakukan evaluasi kefektifan dari asuhan yang sudah diberikan meliputi
pemenuhan kebutuhan akan bantuan apakah benar-benar telah terpenuhi sesuai
dengan kebutuhan sebagaimana telah didentifikasikan didalam masalah dan
diagnosa.
Manajemen asuhan kebidanan dapat juga dilakukan dengan menggunakan
langkah SOAP (Maryunani. 2013):
1. Data Subjektif
Dari data subjektif yang menunjang pada kasus plasenta previa totalis yaitu
biasanya terjadi perdarahan tanpa rasa nyeri, sering terjadi pada malam hari saat
pembentukan segmen bawah Rahim.
2. Data objektif
Data objektif pada pemeriksaan pasien dengan plasenta previa totalis yaitu
Biasanya kepala anak sangat tinggi karena plasenta terletak pada kutub bawah
Rahim, kepala tidak dapat mendekati pintu atas panggul, karena hal tersebut
diatas, juga ukuran Panjang Rahim berkurang maka plasenta previa lebih sering
terdapat kelainan letak. darah biasanya berwarna merah segar.
3. Analisa
Ny....usia ....G….P.... A .... usia kehamilan .....minggu dengan plasenta previa
totalis dan anemia.
4. Penatalaksanaan
93
Penanganan masalah pada kasus plasenta previa totalis dengan Perencanaan
asuhan kebidanan pada kasus tersebut antara lain: Terapi ekspetatif jika tidak
berhasil dilakukan Terminasi Kehamilan dengan SC dan anemia pada ibu
dilakukan pemberian tablet Fe atau transfusi.

P.Landasan Teori Abortus

1. Abortus Imminens
a. Pengertian Abortus Imminens
Keguguran atau abortus adalah berakhirnya kehamilan sebelum janin dapat hidup
didunia luar, tanpa mempersoalkan sebabnya. Menurut WHO, aborsi berarti
keluarnya janin dengan berat badan janin <500 gram atau usia kehamilan STIKes
Santa Elisabeth Medan <22 minggu (Martaadisoebrata, 2017).
Abortus imminens (threatened abortion) atau keguguran mengancam adalah
keadaan dimana perdarahan berasal dari intrauterine yang timbul sebelum umur
kehamilan lengkap 20 minggu, dengan atau tanpa kolik uterus, tanpa pengeluaran
hasil konsepsi, dalam kondisi seperti ini kehamilan masih bisa dipertahankan atau
berlanjut. Gejalanya ditandai dengan perdarahan bercak hingga sedang, serviks
masih tertutup (karena pada saat pemeriksaan dalam belum ada pembukaan), uterus
sesuai dengan masa gestasi, kram perut bawah nyeri memilin karena kontraksi tidak
ada atau sedikit sekali, tidak ditemukan kelainan pada serviks (Maryunani, 2013).
b. Tanda Dan Gejala Abortus imminens
Tanda dan gejala klinis dari abortus imminens yaitu (Putri & Mudlikah. 2019):
1) Perdarahan pervaginam (bercak hingga sedang),
2) Perut terasa sedikit mulas,
3) Pada pemeriksaan luar TFU(Tinggi Fundus Uteri) masih sesuai dengan usia
kehamilan,
4) Pada pemeriksaan dalam serviks (ostium uteri) masih tertutup,
5) Pada pemeriksaan tes kehamilan urine masih menunjukkan hasil positif.
c. Etiologi Abortus Imminens
dr. Pittara (2022) dalam situs Alodokter menjelaskan penyebab abortus imminens
belum dapat diketahui secara pasti. Akan tetapi, beberapa faktor berikut dapat
meningkatkan risiko terjadinya abortus imminens:
1) Menderita infeksi bakteri atau virus, seperti rubella, ketika hamil
94
2) Mengalami cedera pada perut
3) Menderita penyakit tertentu yang tidak diobati dengan baik, seperti diabetes atau
penyakit tiroid
4) Menderita gangguan pada rahim, seperti polip rahim atau kista rahim
5) Memiliki perbedaan rhesus golongan darah antara ibu dan janin
(inkompatibilitas rhesus)
6) Mengonsumsi obat-obatan tertentu, seperti diclofenac atau misoprostol
7) Merokok
8) Mengonsumsi minuman beralkohol secara berlebihan
9) Terpapar bahan kimia tertentu, seperti logam berat atau larutan pembersih
10) Berusia lebih dari 35 tahun ketika hamil
11) Menderita obesitas
12) Mengalami kekurangan kadar hormon progesteron, karena hormon ini berperan
dalam mempersiapkan dan menguatkan dinding rahim ketika hamil.
d. Diagnosis Abortus Imminens
1) Biasanya diawali dengan keluhan perdarahan pervaginam pada umur kehamilan
kurang dari 20 minggu.
2) Penderita mengeluh mulas sedikit atau tidak ada keluhan sama sekali kecuali
perdarahan pervaginam.
3) Ostium uteri masih tertutup besarnya uterus masih sesuai dengan umur kehamilan
dan tes kehamilan urin masih positif (Prawirahardjo, 2016).
e. Penanganan Abortus Imminens
1) Penderita diminta untuk melakukan tirah baring sampai perdarahan berhenti
2) Bisa diberikan spamolitik agar uterus tidak berkontraksi atau diberi tambahan
hormone progesterone atau derivatnya untuk mencegah terjadinya abortus.
3) Obat-obatan ini walaupun secata statistik kegunaannya tidak bermakna, tetapi
efek psikologis kepada penderita sangat menguntungkan.
4) Penderita boleh dipulangkan setelag tidak terjadi perdarahan dengan pesan khusus
tidak boleh berhubungan seksual dulu sampai lebih kurang 2 minggu
(Prawirahardjo, 2016).
f. Komplikasi Abortus Imminens
Pada kasus abortus imminens, perdarahan dapat menetap selama beberapa hari
sampai minggu dan disertai nyeri di bagian anterior dan ritmik jelas seperti nyeri
95
saat bersalin, nyeri punggung bawah yang menetap disertai perasaan seperti tekanan
di panggul, atau rasa tidak nyaman yang tumpul di garis tengah suprasimpisis
disertai nyeri tekan di atas uterus. Apapun bentuk nyerinya, kombinasi perdarahan
dan nyeri mengisyaratkan prognosis yang buruk bagi kelanjutan kehamilan.
2. Abortus Inkomplit (keguguran tidak lengkap)
a. Pengertian Abortus Inkomplit
Abortus inkomplit adalah pengeluaran sebagian janin pada kehamilan sebelum 20
minggu dengan masih ada sisa tertinggal dalam uterus. Pada pemeriksaan vaginal,
servikalis terbuka dan jaringan dapat diraba dalam kavum uteri atau kadang-kadang
sudah menonjol dari ostium uteri eksternum. Pendarahan tidak akan berhenti sebelum
sisa janin dikeluarkan, dapat menyebabkan syok (Irianti, 2012).
Abortus inkomplit adalah sebagian hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri dan
masih ada yang tertinggal. Batasan ini juga masih terpancang pada umur kehamilan
kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram (Saifuddin,2009).
b. Tanda dan Gejala abortus Inkomplit
1)Setelah tejadi abortus dengan pengeluaran jaringan, pendarahan berlangsung
terus.
2)Sering cervix tetap terbuka karena masih ada benda di dalam rahim yang
dianggap corpus allieum, maka uterus akan berusaha mengeluarkannya dengan
mengadakan kontraksi. Tetapi kalau keadaan ini dibiarkan lama cerviks akan
menutup kembali (Pudiastuti, 2012).
c. Diagnosisabortus inkomplit
Pada pemeriksaan vaginitis, kanalis servikalis terbuka dan jaringan dapat diraba
dalam kavum uteri atau kadang-kadang sudah menonjol dari ostium uteri eksternum.
Perdarahan pada abortus inkomplit dapat banyak sekali, sehinggamenyebabkan syok
dan perdarahan tidak akan berhenti sebelum sisa hasil konsepsi dikeluarkan
(Indrayani.2011).
d. Patofisiologi
Proses abortus inkomplit dapat berlangsung secara spontan maupun sebagai
komplikasi dari abortus provokatus kriminalis ataupun medisinalis. Proses terjadinya
adalah berawal dari pendarahan pada desidua basalis yang menyebabkan nekrosis
jaringan diatasnya. Selanjutnya sebagian atau seluruh hasil konsepsi terlepas dari
dinding uterus. Hasil konsepsi yang terlepas menjadi benda asing terhadap uterus
96
sehingga akan dikeluarkan langsung atau bertahan beberapa waktu. Pada kehamilan
kurang dari 8 minggu hasil konsepsi biasanya dikeluarkan seluruhnya karena villi
korialies belum menembus desidua secara mendalam. Pada kehamilan antara 8 minggu
sampai 14 minggu villi koriales menembus desidua lebih dalam sehingga umumnya
plasenta tidak dilepaskan sempurna yang dapat menyebabkan banyak perdarahan. Pada
kehamilan lebih dari 14 minggu umumnya yang mula-mula dikeluarkan setelah ketuban
pecah adalah janin, disusul kemudian oleh plasenta yang telah lengkap terbentuk.
Perdarahan tidak banyak jika plasenta segera terlepas dengan lengkap
(Wiknjosastro.2010).
e. Komplikasi Abortus Inkomplit
Komplikasi Abortus menurut antara lain sebagai berikut (Sujiatini. 2009):

1). Pendarahan
Diatasi dengan pengosongan uterus dan sisa-sisa hasil konsepsi dan jika perlu
pemberian transfusi darah.Kematian yang disebabkan oleh perdarahan dapat terjadi
apabila pertolongan tidak diberikan pada waktunya.
2). Perforasi
Perforasi uterus pada kerokan dapat terjadi terutama pada uterus dalam posisi
hiperretrofleksi.Jika terjadi peristiwa penderita perlu diamati dengan teliti.Jika ada
tanda bahaya, perlu segera dilakukan laparatomi dan tergantung dari luas dan
bentuk peforasi, penjahitan luka operasi atau perlu histerektomi.Perforasi uterus
pada abortus yang dikerjakan oleh orang awam menimbulkan persoalan gawat
karena perlukaan lebih luas, mungkin pula terjadi perlukaan pada kandung kemih
atau usus. Dengan adanya dugaan terjadinya perforasi, laparatomi harus segera
dilakukan untuk menentukan luasnya cidera ,untuk selanjutnya mengambil
tindakan seperlunya guna mengatasi komplikasi.
3). Infeksi
Infeksi dalam uterus atau sekitarnya dapat terjadi tiap abortus, tetapi biasanya
ditemukan abortus inkomplit yang berkaitan erat dengan suatu abortus yang tidak
aman.
4). Syok
Syok pada abortus bisa terjadi karena pendarahan (shok hemoragik) dan karena
infeksi berat (shok endoseptik).
97
f. Penanganan Abortus Inkomplit.
1). Tatalaksana Umum (Wiknjosastro.2010):
a) Lakukan penilaian secara cepat mengenai keadaan umum ibu termasuk tanda-
tanda vital (tekanan darah, nadi, suhu, pernafasan).
b) Periksa tanda-tanda syok (dingin, pucat, takikardia, tekanan sistol kurang dari
90 mmHg). Jika terdapat syok, lakukan tatalaksana syok. Jika tidak terlihat
tanda-tanda syok, tetap perkirakan kemungkinan tersebut saat penolong
melakukan evaluasi mengenai kondisi ibu karena kondisinya dapat memburuk
dengan cepat.
c) Bila terdapat tanda-tanda sepis atau dugaan abortus dengan komplikasi, berikan
kombinasi antibiotika sampai ibu bebas demam untuk 48 jam:

1. Ampicillin 2g IV/IM kemudian 1g diberikan setiap 6 jam


2. Gentamicin 5mg/kg BB IV setiap 24 jam.
3. Metronidazole 500mg IVsetiap 8 jam
d) Segera rujuk ke rumah sakit
e) Semua ibu yang mengalami abortus perlu mendapat dukungan emosional dan
konseling kontrasepsi pasca keguguran.
f) Lakukan tatalaksana selanjutnya sesuai jenis abortus.
2) Tatalaksana Abortus Inkomplit.
Evakuasi jaringan sisa dalam uterus untuk menghentikan perdarahan dilakukan
dengan cara:
a) Kehamilan kurang dari 16 minggu Jika perdarahan ringan atau sedang dan
kehamilan usia kehamilan kurang dari 16 minggu. Gunakan jari atau forsep
cincin untuk mengeluarkan hasil konsepsi yang mencuat dari serviks. Jika
perdarahan berat dan usia kehamilan kurang dari 16 minggu. Lakukan
evakuasi isi uterus.Aspirasi vacum menual (AVM) adalah metode evakuasi
yang dianjurkan. Kuret tajam sebaiknya hanya dilakukan bila AVM tidak
tersedia. Jika evakuasi tidak dapat segera dilakukan, berikan ergometrin 0,2mg
IM (dapat di ulang 15 menit kemudian bila perlu).
Lakukan evaluasi tanda vital pascatindakan setiap 30 menit selama 2 jam.Bila
kondisi ibu baik, pindahkan ibu ke ruang perawatan.

98
b) Kehamilan lebih dari 16 minggu. Berikan infus oksitosin 20 unit dalam 500 ml
cairan intravena (garam fisiologik atau ringer laktat) dengan kecepatan 40 tetes
per menit sampai terjadi ekspulsi hasil konsepsi.Jika perlu berikan misoprostol
200 mcg per vaginam setiap 4 jam sampai terjadi ekspulsi hasil konsepsi
(maksimal 800 mcg).Pastikan untuk tetap memantau kondisi ibu setelah
penanganan9 . Lakukan evaluasi tanda vital pascatindakan setiap 30 menit
selama 2 jam.Bila kondisi ibu baik, pindahkan ibu ke ruang perawatan. 3)
Dilatasi dan Kuretase Menurut Saifuddin dalam tatalaksana dilatasi dan
kuretase dilakukan (Saifudin. 2009) :
1. Kaji ulang indikasi
2. Lakukan konseling dan persetujuan tindakan medis
3. Persiapan alat, pasien, dan pencegahan infeksi sebelum tindakan
4. Berikan dukungan emosional. Beri petidin 1-2 mg secara IM atau IV
sebelum prosedur.
5. Suntikkan 10 IU oksitosin IM atau 0,2 mg ergometrin sebelum tindakan
agar uterus berkontraksi dan mengurangi resiko perforasi.
6. Lakukan pemeriksaan bimanual untuk menentukan bukaan serviks,
besar,arah dan konsistensi uterus.
7. Lakukan tindakan aseptik/antiseptik pada vagina dan serviks
8. Periksa apakah ada robekan serviks atau hasil konsepsi di kanalis
servikalis, jika ada keluarkan dengan cunam ovum.
9. Jepit serviks dengan tenakulum pada pukul 11.00 dan 13.00. Dapat pula
menggunakan cunam ovum untuk menjepit serviks
10 Jika menggunakan tenakulum, suntikkan lignokain 0,5% 1 ml pada
bibir depan atau belakang serviks.
11. Lakukan pemeriksaan kedalaman dan lengkung uterus dengan penera
kavum uteri.
12. Lakukan kerokan dinding uterus secara sistematis hingga bersih
(terasa seperti mengenai bagian bersabut).
13. Lakukan pemeriksaan bimanual untuk menilai besar dan konsistensi
uterus.
14.Hasil evakuasi diperiksa dulu dan apabila perlu dikirim ke
Laboratorium Patologi Anatomik.
99
3. Abortus Insipiens
a. Pengertian Abortus Insipiens
Abortus nsipiens merupakan abortus yang sedang mengancam dimana kehamilan
tidak dapat dipertahankanlagi dan akan berkembang pada abortus completus atau
abortus incompletus (Putri& Mudlikah. 2019).
Abortus insipiens adalah kondisi dimana keguguran sudah berlangsung, tidak
dapat dicegah, terdapat dilatasi uterus dan biasanya terjadi dalam kurun waktu
beberapa jam saja. Kegugura initerjadi sebelum usia kehamilan mencapai 20 minggu
yang mana hasil konsepsi masih berada di dalam uterus (Sulfianti. 2022).
Abortus insipiens adalah perdarahan uterus pada kehamilan sebelum 20 minggu
dengan adanya dilatasiserviks uteri yang semakin bertambah, tetapi hasil konsepsi
masih dalam uterus. Dalam hal ini rasa perut mulas menjadi lebih sering dan kuat
serta perdarahan semakin banyak (Nugraha. 2022).
Dalam penentuan diagnosis pada kasus abortus insipiens yaitu dengan melihat
tanda dan gejala diantaranya perdarahan yang banyak (dapat berupa gumpalan),
adanya rasa nyeri dan uterus berkontraksi, adanya dilatasi serviks dan atau sampai
terjadi pecah ketuban, dan pada pemeriksaan plano test didapatkan hasil (+) atau (-)
(Sulfianti. 2022).
b. Tanda dan gejala Abortus Insipiens
Tanda dan gejala klinis dari abortus insipiens, yaitu (Putri& Mudlikah. 2019) :
1) Perdarahan pervaginam (sedang hingga banyak) dan kadang keluar gumpalan
darah
2) Perut terasa sangat mulas karena kontraksi uterus yang sering dan kuar
3) Pada pemeriksaan luar TFU sesuai dengan usia kehamilan
4) Pada pemeriksaan dalam serviks membuka
5) Pada pemeriksaan tes urine masih menunjukkan hasil positif
6) Gerak janin masih dapat dirasakan dan DJJ masih dapat terdengar meskipun
mungkin sudah mulai tidak normal.
c. Penatalaksanaan Abortus Insipiens
Penatalaksanaan abortus Insipiens dalam Anggraini, dkk (2022) yaitu :
1) Rujuk ibu hamil kepelayanan sekunder.
2) Beri informasi kontrasepsi pasca keguguran.

100
3) Beri penjelasan emungkinan risiko dan rasa tidak nyaman selama tindakan
evakuasi berlangsung.
4) Melakukan pemantauan pasca tindakan setiap 30 menit selama 2 jam. Apabila
kondisi ibu baik, segera pindahkan ke ruang rawat.
5) Melakukan pemeriksaan jaringan secara makroskopik serta mengirimkan
hasilnya untuk dilakukan pemeriksaan patologi ke laboratorium.
6) Melakukan evaluasi tanda-tanda vital, perdarahan pervaginam, jumlah produksi
urin setiap 6 jam selama 24 jam.
7) Melakukan pemeriksaan kadar haemoglobin setelah 24 jam. Apabila kadar Hb
lebih dari 8 gr/dl, maka dapat diperbolehkan rawat jalan.

d. Tahapan Dalam Manajemen Kebidanan


Menurut Varney (1997) terdapat 7 langkah manajemen kebidanan, yang
meliputi (Kurniawati, Evi, dkk. 2022) :
a. Langkah I : Pengumpulan data dasar
Dilakukan pengkajian dengan pengumpulan semua data yang diperlukan untuk
mengevaluasi keadaan klien secara lengkap. Mengumpulkan semua informasi
yang akurat dari sumber yang berkaitan dengan kondisi klien.
b. Langkah II : Interpretasi data dasar
Dilakukan identifikasi yang benar terhadap diagnosa atau masalah klien atau
kebutuhan berdasakan interpretasi yang benar atas data-data yang telah
dikumpulkan. Masalah dan diagnosis keduanya digunakan karena beberapa
masalah tidak dapat diselesaikan seperti diagnosa tetapi membutuhkan
penanganan yang dituangkan dalam rencana asuhan kebidanan terhadap klien.
Masalah bisa menyertai diagnosis. Kebutuhan adalah suatu bentuk asuhan yang
harus diberikan kepada klien, baik klien tahu ataupun tidak tahu (Kurniawati,
Evi, dkk. 2022).
h. Langkah III : Mengidentifikasi diagnosa atau masalah potensial
Mengidentifikasi masalah atau diagnosa potensial lain berdasarkan rangkaian
masalah dan diagnosa yang sudah diidentifikasi. Membutuhkan antisipasi, bila
mungkin dilakukan pencegahan. Penting untuk melakukan asuhan yang aman
(Kurniawati, Evi, dkk. 2022).
101
i. Langkah IV : Identifikasi kebutuhan yang memerlukan penanganan segera
Langkah ini bertujuan untuk mengidentifikasi atau menentukan penanganan
guna antisipasi terhadap berbagai kemungkinan yang bisa terjadi. Pada
persalinan normal yang terdapat masalah potensial, seorang bidan harus
melakukan tindakan awal dan berkolaborasi dengan dokter kandungan guna
memperbaiki keadaan klien.
j. Langkah V : Merencanakan asuhan yang menyeluruh
Merencanakan asuhan yang menyeluruh, ditetukan oleh langkah-langah
sebelumnya. Rencana asuhan yang menyeluruh meliputi apa yang sudah
diidentifikasi dari klien dan dari kerangka pedoman antisipasi terhadap wanita
tersebut seperti apa yang diperkirakan akan terjadi berikutnya.

k. Langkah VI : Melaksanakan perencanaan (Implementasi)


Melaksanakan recana asuhan pada langkah ke lima secara efisien dan aman.
Jika bidan tidak melakukannya sendiri maka, tetap memikul tanggung jawab
untuk mengarahkan pelaksanaannya (Kurniawati, Evi, dkk. 2022).
l. Langkah VII : Evaluasi
Dilakukan evaluasi kefektifan dari asuhan yang sudah diberikan meliputi
pemenuhan kebutuhan akan bantuan apakah benar-benar telah terpenuhi sesuai
dengan kebutuhan sebagaimana telah didentifikasikan didalam masalah dan
diagnosa.

R.Landasan Teori Ketuban Pecah Dini

1. Pengertian
Ketuban pecah dini (KPD) menurut Gabbe etal., (2016)didefenisikan sebagai
pecahnya ketuban sebelum waktunya. Hal ini dapat terjadi pada akhir kehamilan
maupun jauh sebelum waktunya melahirkan. KPD preterm adalah KPD sebelum
kehamilan 37 minggu. KPD yang memanjang adalah KPD yang terjadi lebih dari 12
jam sebelum waktunya melahirkan (Pulungan.,dkk. 2020).
Parry and Strauss (1998), Brian and Mercer(2003) dan Mamede dkk., (2012) dalam
Buku Ajar Ketuban Pecah dini yang ditulis Oleh dr. Ketut Surya Negara, dkk (2017)
mengemukakan ketuban pecah dini (KPD) atau Premature Rupture of the Membranes
102
(PROM) adalah keadaan pecahnya selaput ketuban sebelum terjadinya proses
persalinan pada kehamilan aterm. Sedangkan Preterm Premature Rupture of the
Membranes(PPROM) adalah pecahnya ketuban pada pasien dengan usia kehamilan
kurang dari 37 minggu.
2. Anatomi Fisiologi Ketuban
Anatomi Fisiologi Ketuban menurut (Negara.,dkk. 2017):
a. Air ketuban (Liquar Amnio) atau Tiris Dalam amnio yang diliputi oleh sebagian
selaput janin yang terdiri dari lapisan selaput ketuban (amnio) dan selaput
pembungkus (chorion) terdapat air ketuban (liquor amnio). Volume air ketuban
pada hamil cukup bulan 1000-1500 ml, warna agak keruh, serta mempunyai bau
yang khas, agak amis, cairan ini dengan berat jenis 1.007-1.008 terdiri atas 97-98%
air, sisanya terdiri atas garam anorganik serta bahan organik dan bila di teliti benar
protein ini ditemukan rata-rata 2,6% perliter, sebagian besar sebagai albumin.
Warna air ketuban ini menjadi kehijauhijauan karena tercampur meconium
(kotoran pertama yang dikeluarkan bayi dan mengeluarkan empedu).
b. Fungsi Air Ketuban
1) Melindungi janin terhadap trauma luar
2) Memungkinkan janin bergerak dengan bebas
3) Melindungi suhu tubuh janin
4) Meratakan tekanan didalam uterus pada saaat partus, sehingga servik membuka
5) Membersihkan jalan lahir jika ketuban pecah dengan cairan steril, dan akan
mempengaruhi keadaan di dalam vagina, sehingga bayi tidak mengalami infeksi
6) Untuk menambah suplai cairan janin, dengan cara ditelan atau diminum yang
kemudian dikeluarkan melalui kencing.
c. Fisiologi Selaput Ketuban
Amnion manusia dapat berkembang dari delaminasi sitotrofobulus, ketika
amnion membesar perlahan-lahan kantong ini meliputi embrio yang sedang
berkembang yang akan prolaps kedalam rongganya. Distensi kantong amnion
akhirnya mengakibatkan kontong tersebut menempel dengan bagian didalam
ketuban (interior korion), dan amnion dekat akhir trimester pertama mengakibatkan
kantong tersebut menempel dengan bagian didalam ketuban (entrior korion),
amnion dan korion walaupun sedikit menempel tidak pernah berhubungan erat dan

103
biasanya dapat dipisahkan dengan mudah bahkan pada waktu atterm, amnion
normal mempunyai tebal 0.02 sampai 0.5 mm.
3. Etiologi Ketuban Pecah Dini
Faktor yang menyebabkan kejadian ketuban pecah dini antara lain: (Aspiani & Reny,
2017) :
a. Infeksi yang terjadi secara langsung pada selaput ketuban maupun dari vagina atau
infeksi pada cairan ketuban yang bisa menyebabkan terjadinya ketuban pecah dini.
b. Servik yang inkompetensia, kanalis servikalis yang selalu terbuka karena kelainan
pada servik uteri akibat persalinan atau curetage.
c. Tekanan intra uterin yang meninggi atau meningkat secara berlebihan dapat
menyebabkan terjadinya ketuban pecah dini, misalnya:
1) Trauma: saat berhubungan badan, pememeriksaan yang dilakukan saat
kehamilan untuk memeriksa sampel air ketuban untuk mengetahui ada atau
tidaknya kelainan pada janin (amniosintesis), trauma saat berkendara.
2) Gemelli: Kehamilan kembar adalah suatu kehamilan dua janin atau lebih. Pada
kehamilan Gemelli terjadinya distensi uterus yang berlebihan sehingga
menimbulkan adanya ketegangan rahim secara berlebihan, hal ini terjadi karena
jumlahnya berlebih, isi rahim yang lebih besar dan kantung (selaput ketuban)
relatif kecil sedangkan dibagian bawah tidak ada yang menahan sehingga
mengakibatkan selaput ketuban tipis dan mudah pecah.
d. Kelainan letak
Hubungan kelainan letak dengan adalah lebih dominan pada kelainan letak
sungsang karena pada letak sungsang posisi janin berbalik, kepala berada dalam
ruangan yang besar yaitu di fundus uteri sedangkan bokong dengan kedua tungkai
yang terlipat lebih besar di paksa untuk menepati ruang yang kecil yaitu disegmen
bawah rahim, sehingga dapat membuat ketuban bagian terendah langsung
menerima tekanan intrauteri dan ketegangan rahim meningkat, sedangkan letak
lintang bagian terendah adalah bahu sehingga tidak dapat menutupi pintu atas
panggul (PAP) yang dapat menghalangi tekanan terhadap membran bagian bawah
maupun pembukaan servik (Arif & Kurnia, 2021).
e. Faktor golongan darah
Inkompatibilitas rhesus dapat terjadi jika ibu yang bergolongan darah rhesus
negatif mengandung janin yang bergolongan darah rhesus positif, perbedaan
104
golongan darah ini terjadi akibat ayah memiliki golongan darah rhesus positif.
Inkompatibilitas rhesus jarang terjadi pada kehamilan pertama. Hal ini karena ibu
hamil dengan rhesus negatif baru membentuk antibodi terhadap rhesus positif
setelah kehamilan pertama. Oleh karena itu, anak pertama ibu dengan kondisi ini
umumnya terlahir normal. Sedangkan pada kehamilan kedua dan seterusnya,
antibodi yang sudah terbentuk dalam tubuh ibu akan menyerang darah bayi dengan
golongan rhesus positif, hal ini menyebabkan sel-sel darah bayi hancur (Kids
Health, 2018).

f. Infeksi lokal pada saluran kelamin: infeksi saluran kemih (Arif & Kurnia, 2021).
g. Faktor sosial seperti: peminum minuman keras dan keadaan sosial ekonomi rendah
(Arif & Kurnia, 2021).
h. Terdapat sefalopelvik disproporsi yaitu, kepala janin belum masuk pintu atas
panggul dan kelainan letak janin, sehingga ketuban bagian terendah langsung
menerima tekanan intrauteri yang dominan (Arif & Kurnia, 2021).
4. Tanda Dan Gejala Ketuban Pecah Dini
Tanda dan gejala ketuban pecah dini menurut (Sunarti, 2017):
a. Keluarnya cairan yang berisi meconium.
Cairan dapat keluar saat tidur, duduk, berdiri atau saat berjalan. Cairan berwarna
putih, keruh, jernih dan hijau.
b. Demam
Apabila ketuban telah lama pecah dan terjadi infeksi, maka pasien akan demam.
c. Bercak darah vagina yang banyak
Plasenta previa: kondisi ini terjadi apabila plasenta berada di bagian bawah saluran
vagina dan menyebabkan jalan lahir bayi terhalang.
Pelepasan plasenta: kondisi ini terjadi apabila plasenta terlepas dari dinding uterus
sebelum atau pada saat melahirkan dan darah mengumpul di antara plasenta dan
uterus.
d. Nyeri perut
Ketuban pecah dini menyebabkan kontraksi yang mengakibatkan nyeri atau kram
pada perut.
e. Denyut jantung janin bertambah capat
DJJ bertambah cepat merupakan tanda-tanda infeksi.
105
5. Klasifikasi Ketuban Pecah Dini
Klasifikasi ketuban pecah dini dibagi atas usia kehamilan yaitu: (Ernawati, 2020)
a. Ketuban pecah dini atau disebut juga Premature Rupture of Membrane atau Prelabour
Rupture of Membrane (PROM), adalah pecahnya selaput ketuban pada saat usia
kehamilan aterm.
b. Ketuban pecah prematur yaitu pecahnya membran korioamniotik sebelum usia
kehamilan yaitu kurang dari 37 minggu atau disebut juga Preterm Premature Rupture
of Membrane atau Preterm Prelabour Rupture of Membrane (PPROM).

6. Patofisiologi Ketuban Pecah Dini


Mekanisme terjadinya KPD dimulai dengan terjadi pembukaan premature servik,
lalu kulit ketuban mengalami devaskularisasi. Setelah kulit ketuban mengalami
devaskularisasi selanjutnya kulit ketuban mengalami nekrosis sehingga jaringan ikat
yang menyangga ketuban makin berkurang, melemahnya daya tahan ketuban
dipercepat dengan adanya infeksi yang mengeluarkan enzim yaitu enzim proteolotik
dan kolagenase yang diikuti oleh ketuban pecah spontan (Manuaba, 2009).
7. Komplikasi Ketuban Pecah Dini
Komplikasi ketuban pecah dini terhadap ibu dan janin yaitu: (Sunarti, 2017)
a. Prognosis Ibu
Komplikasi yang dapat disebabkan ketuban pecah dini pada ibu yaitu infeksi saat
persalinan, infeksi masa nifas, cairan ketuban sedikit atau kering, persalinan lama,
perdarahan post partum, meningkatnya tindakan operatif obstetric (khususnya sectio
caesarea), meningkatnya angka kematian pada ibu.
b. Prognosis Janin
Komplikasi yang dapat disebabkan ketuban pecah dini pada janin itu yaitu
prematuritas (sindrom distes pernapasan, hipotermia, masalah pemberian makanan
neonatal), retinopati prematur, perdarahan intraventrikular, enterecolitis necroticing,
ganggguan otak dan risiko cerebral palsy, hiperbilirubinemia, anemia, sepsis,
prolaps funiculli atau penurunan tali pusat, hipoksia dan asfiksia sekunder pusat,
prolaps uteri, persalinan lama, skor APGAR rendah, ensefalopati, perdarahan
intrakranial, gagal ginjal, distres pernapasan, oligohidromnion (sindrom deformitas
janin, hipoplasia paru, deformitas ekstremitas dan pertumbuhan janin terhambat),
dan meningkatkan angka kematian janin.
106
8. Penatalaksanaan Medis Ketuban Pecah Dini
Penatalaksanaan medis ketuban pecah dini, yaitu: (Ratnawati, 2017)
a. Ketuban pecah dini pada kehamilan aterm atau preterm dengan atau tanpa komplikasi
harus dirujuk ke rumah sakit.
b. Bila janin hidup dan terdapat prolaps di tali pusat, ibu dirujuk dengan posisi panggul
lebih tinggi dari badannya, bila mungkin dengan posisi bersujud.
c. Jika perlu kepala janin didorong ke atas dengan dua jari agar tali pusat tidak tertekan
kepala janin
d. Jika ada demam atau dikhawatirkan terjadi infeksi saat rujukan atau KPD lebih dari
6 jam, berikan antibiotik.
e. Bila keluarga ibu menolak dirujuk, ibu diharuskan beristirahat dengan posisi
berbaring miring, berikan antibiotik.
f. Pada kehamilan kurang dari 32 minggu dilakukan tindakan konservatif, yaitu tirah
baring dan berikan sedatif, antibiotik dan tokolisis.
g. Pada kehamilan 33-35 minggu dilakukan terapi konservatif selama 24 jam lalu
induksi persalinan.
h. Pada kehamilan lebih 36 minggu, bila ada his, pimpin meneran dan akselerasi bila
ada inersia uteri.
i. Bila tidak ada his, lakukan tindakan induksi persalinan bila ketuban pecah kurang dari
6 jam dan skor pelvik kurang dari 5 atau ketuban pecah dini lebih dari 6 jam dan
skor pelvik lebih dari 5.
j. Bila terjadi infeksi, akhiri kehamilan. Mengakhiri kehamilan dapat dilakukan dengan
3 cara, yaitu:
1) Induksi Induksi adalah proses stimulasi untuk merangsang kontraksi rahim
sebelum kontraksi alami terjadi, dengan tujuan untuk mempercepat proses
persalinan.
2) Persalinan secara normal/pervaginam Persalinan normal adalah proses persalinan
melalui kejadian secara alami dengan adanya kontraksi rahim ibu dan dilalui
dengan pembukaan untuk mengeluarkan bayi
3) Sectio caesarea. Sectio caesarea adalah suatu cara melahirkan janin dengan
membuat sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan perut untuk
melahirkan janin dari dalam rahim.
9. Manajemen Asuhan Kebidanan Ketuban Pecah Dini
107
Asuhan kebidanan pada kasus ketuban pecah dini dapat dilakukan dengan
menggunakan Tujuh Langkah Manajemen Kebidanan Menurut Helen Varney dan
dalam bentuk SOAP (2002).
a. 7 Langkah Varney
1) Langkah I (Pengumpulan Data Dasar)
Pada langkah ini, di lakukan pengkajian dengan mengumpulkan semua data yang di
perlukan untuk mengevaluasi keadaan klien secara lengkap. Pada kasus KPD, data
yang di perlukan untuk di kumpulkan yaitu, data subjektif yang terdiri dari alasan
utama ibu masuk Rumah sakit,riwayat keluhan utama, riwayat menstruasi, riwayat
perkawinan, riwayat kehamilan dan persalinan yang lalu, riwayat nifas yang lalu
riwayat kehamilan sekarang, riwayat kesehatan sekarang dan yang lalu, riwayat
penyakit keluarga, riwayat sosial dan ekonomi, psikososial, dan spiritual, riwayat
KB, serta riwayat kebutuhan dasar ibu. Selain itu, data objektif pun termasuk ke
dalam asuhan kebidanan pada ibu dengan KPD yang terdiri pemeriksaan umum ibu,
pemeriksaan fisik (head to toe), pemeriksaan dalam, dan pemeriksaan inspekulo.
Terakhir yaitu pemeriksaan penunjang yang sangat membantu dalam menegakkan
diagnosisyang pemeriksaan laboratorium uji kertas nitrazin atau kertas lakmus yang
akan berubah warna menjadi biru gelap jika pelepasan yang keluar adalah cairan
amnion,kemudian pemeriksaan ultrasonografi (USG) untuk melihat jumlah cairan
amnion yang ada di dalam kavum uteri dan pemeriksaan darah untuk melihat tanda-
tanda infeksi yang terjadi pada ibu.
2). Langkah II (interpretasi data)
Pada langkah ini di lakukan identifikasi yang benar terhadap diagnosis atau masalah
dan kebutuhan klien berdasarkan interpretasi yang benar atas data-data yang telah di
kumpulkan. Data dasar yang telah di kumpulkan, diinterpretasikan sehingga dapat
merumuskan diagnosis dan masalah yang spesifik. Masalah dan diagnosis keduanya
digunakan karena beberapa masalah tidak dapat diselesaikan, seperti diagnosis,
tetapi sungguh membutuhkan penananan yang di tuangkan dalam sebuah rencana
asuhan terhadap klien. Masalah sering berkaitan dengan pengalaman wanita yang
diidentifikasi oleh bidan sesuai dengan pengarahan.
3). Langkah III (identifikasi diagnosis atau masalah potensial)
Pada langkah ini, kita mengidentifikasi masalah atau diagnosis potensial lain
berdasarkan rangkaian masalah dan diagnosis yang sudah diidentifikasi. Langkah ini
108
membutuhkan antisipasi, bila memungkinkan di lakukan pencegahan, sambil
mengamati klien, bidan dapat di harapkan bersiap-siap bila diagnosis/ masalah
potensial ini benar-benar terjadi. Pada langkah ini penting sekali melakukan asuhan
yang aman(Yulifah,2014:133).
4). Langkah IV (Menetapkan kebutuhan terhadap tindakan segera)
Tindakan segera merupakan tindakan yang di lakukan dengan cara menetapkan
kebutuhan tentang perlunya tindakan segera oleh bidan/dokter untuk konsultasikan
atau di tangani bersama dengan anggota tim kesehatan yang lain sesuai dengan
kondisi klien. Langkah keempat ini mencerminkan kesinambungan dari proses
manajemen kebidanan. Pada kasus ini persalinan dengan KPD, tindakan antisipasi
atau tindakan segera yang harus di lakukan yaitu memberikan infus cairan larutan
garam fisiologis, larutan glukosa 5-10%, induksi uterotonika dan pemberian
antibiotik.
5). Langkah V (perencanaan)
Perencanaan merupakan rencana asuhan menyeluruh yang di tentukan berdasarkan
langkah-langkah sebelumnya. Langkah ini merupakan kelanjutan manajemen untuk
masalah atau diagnosis yang telah diidentifikasi atau diantisipasi. Pada langkah ini
informasi data tidak lengkapi. Rencana asuhan kebidanan di buat berdasarkan
diagnosis kebidanan dan masalah potensial yang akan terjadi.
6) Langkah VI (pelaksanaan)
Pelaksanaan merupakan rencana asuhan menyeluruh dan di lakukan dengan efisien
dan aman. Pada langkah ini rencana asuhan menyeluruh seperti yang telah diuraikan
pada langkah sebelumnya dilaksanakan secara efisien dan aman. Perencanaan ini
dapat dilakukan seluruhnya oleh bidan atau sebagian klien atau anggota tim
kesehatan lainnya. Dalam situasi ketika bidan berkolaborasi dengan dokter untuk
menangani klien yang mengalami komplikasi, keterlibatan bidan dalam manajemen
asuhan bagi klien adalah bertanggung jawab terhadap terlaksananya rencana asuhan
bersama yang menyeluruh tersebut. Manajemn yang efisien akan menyingkat waktu
dan menghambat waktu dan menghemat biaya serta meningkatkan mutu asuhan
klien. Pelaksanaan kebidanan pada ibu bersalin dengan KPD sesuai dengan
perencanaan yang telah di buat.
7). Langkah VII (evaluasi)

109
Untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan asuhan kita berikan kepada pasien. Kita
mengacu kepada beberapa pertimbngan yaitu tujuan asuhan kebidananm efektivitas
tindakan untuk mengatasi masalah, dan hasil asuhan. Hasil yang di harapkan dari
manajemen kebidanan pada ibu bersalin dengan KPD adalah dapat di lakukan partus
secara spontan, komplikasi akibat tindakan medik dapat di atasi serta ibu dan janin
dalam keadaan baik dan sehat. Evaluasi di lakukan secara siklus dan dengan
mengkaji ulang aspek asuhan yang tidak efektif untuk mengetahui faktor mana yang
menguntungkan atau menghambat keberhasilan asuhan yang di berikan.
b. SOAP
Asuhan Kebidanan Dalam Bentuk SOAP
1) S : subjektif
Data dari pasien di dapat dari anamnesa yang merupakan langkah I varney
a). Anamnesa
b). Riwayah menstruasi
c. Riwayat kehamilan sekarang
2) O : objektif
Hasil pemeriksaan diagnostik dan pendukung lain untuk mendukung asuhan
a.) Keadaan umum ibu
b.) Kesadaran ibu
c.) Pemeriksaan head to toe
d.) Pemeriksaan dalam e. Pemeriksaan penunjang, di lakukan pemeriksaan kertas
lakmus yang akan berubah menjadi biru.
3). A : Assesment
Kesimpulan apa yang d buat dari data subjektif dan objektif tersebut merupakan
lanjah II,III,IV varney
4.) Planning atau penatalaksanaan Menggambakan pelaksanaa dari tindakan dan
evaluasi perencanaan berdasarkan assesment langkah V, IV, VII varney.

110
111
Kehamilan Ektopik Terganggu (KET)
2.1 Definisi
Kehamilan ektopik adalah kehamilan yang terjadi di luar lokasi normal
endometrium. Blastokis normalnya akan berimplantasi pada endometrium kavum uteri.
Bila blastokis tidak berimplantasi pada tempat tersebut, maka disebut kehamilan ektopik.
Kehamilan Ektopik tergangu (KET) merupakan kehamilan ektopik yang disertai dengan
gejala akut abdomen, dengan trias gambaran klasik yaitu amenore, nyeri abdomen akut
dan perdarahan pervaginam. Implantasi hasil konsepsi dapat terjadi pada tuba fallopii,
ovarium, dan kavum abdomen atau pada uterus namun dengan posisi yang abnormal
(kornu, serviks).2,3 Kehamilan ekstrauterin tidak bersinonim dengan kehamilan ektopik
karena kehamilan pada pars intersitialis tuba dan kanalis servikalis masih termasuk dalam
uterus, tetapi jelas kehamilan ektopik. Kira-kira 95% kasus kehamilan ektopik terjadi pada
tuba falopii dan kehamilan ini disebut sebagai kehamilan tuba. Kehamilan tuba tidaklah
sinonim untuk kehamilan ektopik melainkan lebih merupakan tipe kehamilan ektopik yang
paling sering dijumpai.

Gambar 1. Anatomi Organ Reproduksi Wanita

Bentuk-bentuk kehamilan ektopik yaitu kehamilan tuba, kehamilan kornu uteri,


kehamilan interstisial tuba, kehamilan servikal, kehamilan ovarial, kehamilan abdominal,
kehamilan uterus rudimenter dan kehamilan ektopik rudimenter.
Sebagian besar kehamilan ektopik berlokasi pada tuba fallopi, di pars ampularis
80%, pars ismika 12%, fimbriae 5%, dan kornual 2%. Sangat jarang terjadi implantasi
pada ovarium (0,2%), rongga perut (1,4%), kanalis servikalis uteri (0,2%), kornu uterus
yang rudimenter dan divertikel pada uterus. Terbatasnya kemampuan tuba fallopi untuk
mengembang menyebabkan kehamilan ektopik mengalami ruptur tuba sehingga dapat

109
timbul perdarahan ke dalam kavum abdomen, keadaan ini biasa dikenal dengan kehamilan
ektopik terganggu.

Gambar 2. Lokasi Kehamilan Ektopik

2.2 Epidemiologi
Angka kejadian kehamilan ektopik dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Angka
kejadian kehamilan ektopik per 1000 kehamilan yang dilaporkan di Amerika Serikat
meningkat empat kali lipat dari tahun 1970 sampai tahun 1992. Pada tahun 1992 di
Amerika Serikat angka kejadian kehamilan ektopik hampir 2% dari seluruh kehamilan.
Yang penting, kehamilan ektopik menyebabkan 10% kematian yang berhubungan dengan
kehamilan. Sedangkan di Indonesia, laporan dari Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo
Jakarta, angka kejadian kehamilan ektopik pada tahun 1987 ialah 153 diantara 4007
persalinan atau 1 diantara 26 persalinan. Di Amerika Serikat, sebagian besar wanita yang
mengalami kehamilan ektopik berumur antara 35-44 tahun dimana wanita kulit hitam
memiliki resiko 1,6 kali lebih tinggi untuk mengalami kehamilan ektopik dibandingkan
wanita kulit putih. Di Indonesia berdasarkan penelitian kehamilan ektopik di RSUP Dr.
Wahidin Sudirohusodo selama 3 tahun (1 Januari 1997- 31 Desember 1999) wanita yang
mengalami kehamilan ektopik terbanyak pada usia 26-30 tahun yaitu 44,59 %. Sedangkan
resiko untuk mengalami kehamilan ektopik yang berulang dikatakan 7-13 kali lebih besar
atau sekitar 10-25% dibandingkan wanita yang tidak pernah mengalami kehamilan
ektopik.
2.3 Etiologi

110
Kehamilan ektopik telah banyak diselidiki untuk mengetahui penyebabnya.
Berdasarkan Meta analisis dari 233 artikel dari tahun 1978 sampai 1994, Ankum dkk
melaporkan wanita yang mempunyai risiko paling besar untuk mengalami kehamilan
ektopik adalah wanita yang memiliki riwayat operasi pada tuba sebelumnya, riwayat
kehamilan ektopik sebelumnya, adanya riwayat kelainan pada tuba, dan uterus yang
terpapar diethylstilbestrol. Sedangkan wanita yang memiliki risiko yang sedang untuk
mengalami kehamilan ektopik adalah wanita dengan riwayat infeksi saluran genital, dan
berganti-ganti pasangan seksual. Dan risiko rendah pada wanita yang merokok, dan
riwayat koitus pada usia muda. Penyebab yang paling sering adalah salpingitis yang terjadi
sebelumnya akibat penyakit menular seksual seperti infeksi gonokokal, klamidia, atau
salpingitis yang mengikuti abortus septik dan sepsis puerperium.
Aktivitas mioelektrik bertanggung jawab terhadap aktivitas dalam tuba fallopi.
Aktivitas ini membantu pergerakan sperma dan ovum agar saling bertemu dan membantu
zigot menuju ke kavum uteri. Estrogen akan meningkatkan aktivitas otot polos dan
progesteron menurunkan aktivitas tersebut. Proses penuaan menyebabkan hilangnya
aktivitas mioelektrik tuba fallopi secara progresif, sehingga bisa dijelaskan terjadinya
peningkatan insiden kehamilan tuba pada wanita perimenopause. Adanya kontrol
hormonal pada aktivitas otot tuba falopii mungkin menjelaskan peningkatan insiden
kehamilan ektopik yang berhubungan dengan penggunaan mini pil, IUD, dan induksi
ovulasi.
Sekitar 2 % hingga 8 % konsepsi IVF (Invitro Fertilization) adalah daerah tuba.
Faktor predisposisi masih tidak jelas, mungkin karena penempatan embrio pada kavum
uterus terlalu diatas, refluks cairan ke dalam tuba, dan faktor kelainan tuba lainnya yang
mencegah refluks embrio kembali ke dalam kavum uterus.
The Society of Assisted Reproductive Tecnology (1993) melalui the National IVF
Registry, melaporkan insiden kehamilan ektopik per kehamilan klinis adalah 5,5 % untuk
IVF, 2,9 % untuk Gamete Intrafallopian Transfer, dan 4,5 % untuk Zygote Intrafallopian
Transfer pada tahun 1991.

111
Gambar.3 Kehamilan Ektopik

Adapun faktor-faktor yang menyebabkan kehamilan ektopik :


A. Faktor-faktor mekanis yang mencegah atau menghambat perjalanan ovum yang telah
dibuahi ke kavum uteri.
1. Salpingitis, khususnya endosalpingitis, yang menyebabkan aglutinasi lipatan
arboresen mukosa tuba dengan penyempitan lumen atau pembentukan kantong-
kantong buntu. Berkurangnya siliasi mukosa tuba akibat infeksi dapat turut
menyebabkan implantasi zigot dalam tuba fallopi. Pada laporan klasik Westrom,
wanita dengan riwayat salpingitis (yang dikonfirmasi dengan laparoskopi)
mempunyai risiko 4 kali lipat untuk menderita kehamilan ektopik. Bukti infeksi
Klamidia (antibodi dalam sirkulasi) berhubungan dengan peningkatan 2 kali lipat
risiko kehamilan ektopik.
2. Adhesi peritubal setelah infeksi pasca abortus atau infeksi masa nifas, apendisitis
ataupun endometriosis, yang menyebabkan tertekuknya tuba dan penyempitan
lumennya.
3. Kelainan pertumbuhan tuba, khususnya divertikulum, ostium assesorius dan
hipoplasia. Kelainan semacam ini sangat jarang terjadi.
4. Kehamilan ektopik sebelumnya, dan sesudah sekali mengalami kehamilan ektopik,
insiden kehamilan ektopik berikutnya akan menjadi 7 hingga 15 persen.
Meningkatnya risiko ini kemungkinan disebabkan oleh salpingitis yang terjadi
sebelumnya.

112
5. Pembedahan sebelumnya pada tuba, entah dilakukan untuk memperbaiki patensi
tuba atau kadang-kadang dilakukan pada kegagalan sterilisasi. Wanita yang pernah
mengalami pembedahan tuba mempunyai risiko kehamilan ektopik yang lebih
tinggi. Wanita dengan kehamilan ektopik yang dilakukan pembedahan konservatif
mempunyai risiko 10 kali lipat untuk mengalami kehamilan ektopik berikutnya.
6. Abortus induksi yang dilakukan lebih dari satu kali akan memperbesar risiko
terjadinya kehamilan ektopik. Risiko ini tidak berubah setelah satu kali menjalani
abortus induksi, namun akan menjadi dua kali lipat setelah menjalani abortus
induksi sebanyak dua kali atau lebih, kenaikan risiko ini kemungkinan akibat
peningkatan insiden salpingitis.
7. Tumor yang mengubah bentuk tuba, seperti mioma uteri dan adanya benjolan pada
adneksa.
8. Penggunaan alat kontrasepsi dalam rahim yang digalakkan akhir-akhir ini telah
meningkatkan insiden kehamilan ektopik. Tapi harus diingat bahwa penggunaan
IUD modern seperti Copper T tidak meningkatkan risiko kehamilan ektopik dan
malahan merupakan proteksi terhadap kehamilan. Studi yang lebih besar yang
dilakukan oleh WHO menyatakan bahwa pengguna IUD memiliki risiko kurang
dari 50 % untuk mengalami kehamilan ektopik dibandingkan dengan yang tidak
menggunakan kontrasepsi. Tetapi apabila pemakai IUD menjadi hamil maka
kehamilannya kemungkinan besar merupakan kehamilan ektopik. Sekitar 3-4 %
kehamilan pada pemakai IUD adalah ektopik.

B. Faktor-faktor fungsional yang memperlambat perjalanan ovum yang telah dibuahi ke


dalam kavum uteri
1. Migrasi eksternal ovum mungkin bukan faktor yang penting kecuali pada kasus-
kasus perkembangan duktus mulleri yang abnormal, sehingga terjadi hemiuterus
dengan kornu uterina rudimenter dan tidak berhubungan. Risiko terjadinya
kehamilan ektopik dapat pula sedikit meningkat pada wanita dengan satu oviduk
kalau saja dia mengalami ovulasi dari ovarium sisi kontra lateralnya. Kelambatan
pengangkutan ovum yang telah dibuahi lewat saluran tuba atau oviduk akibat
migrasi eksternal akan meningkatkan sifat-sifat invasif blastokis sementara masih
berada di dalam oviduk. Peristiwa ini mungkin bukan faktor yang penting dalam
proses terjadinya kehamilan ektopik pada manusia.

113
2. Refluks menstrual pernah dikemukakan sebagai penyebab terjadinya kehamilan
ektopik. Kelambatan fertilisasi ovum dengan perdarahan menstruasi pada waktu
sebagaimana biasanya, secara teoritis dapat mencegah masuknya ovum ke dalam
uterus atau menyebabkan ovum tersebut berbalik ke dalam tuba. Bukti yang
mendukung fenomena ini tidak banyak.
3. Berubahnya motilitas tuba dapat terjadi mengikuti perubahan pada kadar estrogen
dan progesteron dalam serum. Perubahan jumlah dan afinitas reseptor adrenergik
dalam otot polos uterus serta tuba fallopi kemungkinan benar menjadi
penyebabnya. Segi praktisnya tampak pada peningkatan insiden kehamilan ektopik
yang dilaporkan setelah penggunaan preparat kontrasepsi oral yang hanya
mengandung progestin. Juga dilaporkan peningkatan insiden kehamilan ektopik
sebesar 4 hingga 13 persen di antara para wanita yang pernah mendapatkan
preparat dietilstilbestrol (DES) intrauteri. Kejadian ini mungkin lebih disebabkan
oleh berubahnya motilitas tuba daripada oleh abnormalitas strukturnya.
C. Peningkatan daya penerimaan mukosa tuba terhadap ovum yang telah dibuahi. Unsur-
unsur ektopik endometrium dapat meningkatkan implantasi dalam tuba. Meskipun
para pengamat pernah melaporkan adanya fokus-fokus endometriosis dalam tuba
fallopi, namun hal ini merupakan keadaan yang jarang dijumpai.

2.4 Patofisiologi
Proses implantasi ovum yang dibuahi yang terjadi di tuba pada dasarnya sama
dengan di kavum uteri. Telur di tuba bernidasi secara kolumner atau interkolumner. Pada
nidasi yang kolumner, telur berimplantasi pada ujung atau sisi jonjot endosalping.
Perkembangan telur selanjutnya dipengaruhi oleh kurangnya vaskularisasi dan biasanya
telur mati secara dini dan dengan mudah dapat diresorbsi total. Pada nidasi interkolumner,
telur bernidasi antara dua jonjot endosalping. Setelah tempat nidasi tertutup, maka telur
dipisahkan dari lumen tuba oleh lapisan jaringan yang menyerupai desidua dan dinamakan
pseudokapsularis. Karena pembentukan desidua di tuba tidak sempurna, dengan mudah
villi korialis menembus endosalping dan masuk ke dalam lapisan otot-otot tuba dengan
merusak jaringan dan pembuluh darah. Perkembangan janin selanjutnya bergantung pada
beberapa faktor seperti tempat implantasi dan tebalnya dinding tuba.

114
Mengenai nasib kehamilan dalam tuba terdapat beberapa kemungkinan. Karena tuba
bukan tempat untuk pertumbuhan hasil konsepsi, tidak mungkin janin bertumbuh secara
utuh seperti dalam uterus. Sebagian besar kehamilan terganggu pada umur kehamilan
antara 6-10 minggu.

Gambar.4 Kehamilan Ektopik Tuba

Ruptur tuba sering terjadi bila ovum berimplantasi pada ismus dan biasanya pada
kehamilan muda. Sebaliknya ruptur pada pars interstisialis terjadi pada kehamilan yang
lebih lanjut. Faktor utama yang menyebabkan ruptur adalah penembusan villi korialis ke
dalam lapisan muskularis tuba terus ke peritonem. Ruptur dapat terjadi secara spontan
namun dapat pula karena trauma ringan seperti koitus dan pemeriksaan vaginal. 1 Akibat
dari ruptur ini akan terjadi perdarahan dalam rongga perut, kadang-kadang sedikit namun
dapat pula banyak sampai menimbulkan syok dan kematian.
Bila pseudokapsularis ikut pecah, maka terjadi pula perdarahan dalam lumen
tuba. Abortus ke dalam lumen tuba lebih sering terjadi pada kehamilan pars ampullaris.
Bila pelepasan menyeluruh, mudigah dengan selaputnya dikeluarkan dalam lumen tuba
dan kemudian didorong oleh darah ke arah ostium tuba abdominale. Pada pelepasan hasil
konsepsi yang tidak sempurna pada abortus, perdarahan akan terus berlangsung, dari
sedikit-sedikit oleh darah sehingga berubah menjadi mola kruenta. Perdarahan yang
berlangsung terus menyebabkan tuba membesar dan kebiru-biruan (hematosalping), dan
selanjutnya darah mengalir ke rongga perut melalui ostium tuba. Darah ini akan berkumpul
di kavum Douglas dan akan membentuk hematokel retrouterina.

115
Gambar.5 Ruptur Tuba pada Kehamilan Ektopik

2.5 Patologi
Dibawah pengaruh hormon estrogen daan progesteron dari korpus luteum
graviditatis dan tropoblas uterus menjadi besar dan lembek, endometrium dapat berubah
pula menjadi desidua. Dapat ditemukan perubahan-perubahan pada endometrium yang
disebut Fenomena Arias-Stella. Sel epitel membesar dengan intinya hipertropik,
hiperkromatik, lobuler, dan berbentuk tidak teratur. Sitoplasma sel dapat berlubang-lubang
atau berbusa, dan kadang-kadang ditemukan mitosis. Perubahan tersebut hanya ditemukan
pada sebagian kehamilan ektopik.
Setelah janin mati, desidua dalam uterus mengalami degenerasi dan kemudian
dikeluarkan berkeping-keping, tetapi kadang-kadang dilepaskan secara utuh. Perdarahan
yang dijumpai pada KET berasal dari uterus dan disebabkan oleh pelepasan desidua yang
degeneratif.

2.6 Gambaran Klinis


Kehamilan ektopik terganggu yang khas ditandai dengan trias klasik yaitu amenore,
nyeri perut mendadak serta perdarahan pervaginam. Gejala ini umumnya terdapat hanya
pada 50% pasien, dan kebanyakan pada pasien yang telah mengalami ruptur. Nyeri pada
abdomen merupakan keluhan yang paling sering. Dalam buku teks dengan uraian
mengenai kasus-kasus kehamilan tuba yang ruptur, haid yang normal digantikan dengan
perdarahan per vaginam yang agak tertunda dan biasanya disebut dengan istilah
“spotting”. Tiba-tiba wanita ini akan merasakan nyeri abdomen bawah yang hebat dan

116
kerapkali dijelaskan sebagai rasa nyeri yang tajam, menusuk serta seperti perasaan terobek.
Gangguan vasomotor akan terjadi yang berkisar dari gejala vertigo hingga sinkop.
Perabaan abdomen menunjukkan nyeri tekan, dan pemeriksaan pervaginam, khususnya
ketika serviksnya digerakkan, menimbulkan rasa nyeri yang hebat. Forniks posterior
vagina dapat menonjol karena adanya darah dalam kavum Douglas, dan adanya benjolan
yang nyeri tekan bisa teraba pada salah satu sisi uterus. Keluhan iritasi diafragma yang
ditandai oleh rasa nyeri pada leher atau bahu khususnya saat inspirasi mungkin terdapat
pada 50% wanita dengan perdarahan intraperitoneum yang cukup banyak. Keadaan ini
disebabkan oleh darah intraperitoneal yang menimbulkan iritasi pada saraf sensorik yang
mempersarafi permukaan inferior diafragma, khususnya saat inspirasi. Wanita tersebut
dapat memperlihatkan gejala hipotensi ketika disuruh berbaring terlentang. Pada kasus-
kasus kehamilan tuba dengan gambaran klinis tersebut diatas, diagnosis tidak sulit untuk
dibuat. Meskipun demikian, gejala dan tanda kehamilan ektopik sangat tergantung pada
lamanya kehamilan ektopik terganggu, abortus atau ruptur tuba, tuanya kehamilan, derajat
pendarahan yang terjadi dan keadaan umum penderita sebelum hamil. Hal ini
menyebabkan gambaran klinis kehamilan ektopik sangat bervariasi, dari perdarahan yang
banyak dan tiba-tiba dalam rongga perut sampai terdapatnya gejala yang tidak jelas
sehingga sukar membuat diagnosisnya.
Adapun gejala dan tanda dari kehamilan ektopik terganggu yang sering dijumpai ialah
sebagai berikut :
1. Nyeri perut
Merupakan keluhan utama pada kehamilan ektopik terganggu, yang terjadi
pada kira-kira 90-100% penderita. Nyeri bisa terjadi unilateral atau bilateral dan
bisa terjadi baik pada perut bagian bawah maupun atas. Nyeri juga bisa dirasakan
sebagai nyeri tajam, nyeri tumpul, atau kram serta bisa terus menerus atau hilang
timbul. Pada ruptur tuba, nyeri perut bagian bawah terjadi secara tiba-tiba dan
intensitasnya sangat berat disebabkan oleh darah yang mengalir ke dalam kavum
peritonei. Biasanya pada abortus tuba, nyeri tidak seberapa hebat dan tidak terus
menerus. Rasa nyeri mula-mula terdapat pada satu sisi, tetapi setelah darah masuk
ke dalam rongga perut, rasa nyeri menjalar ke bagian tengah atau ke seluruh perut
bawah. Darah dalam rongga perut dapat merangsang diafragma, sehingga
menyebabkan nyeri bahu dan bila membentuk hematokel retrouterina dapat
,menyebabkan nyeri saat defekasi.

117
2. Perdarahan pervaginam
Perdarahan pervaginam merupakan tanda penting kedua pada kehamilan
ektopik terganggu, kira-kira terjadi pada 60-80% penderita. Perdarahan biasanya
mulai 7-14 hari setelah periode menstruasi yang terlewatkan/tidak terjadi. Selama
fungsi endokrin plasenta masih bertahan, perdarahan uterus biasanya tidak
ditemukan; namun bila dukungan endokrin dari endometrium sudah tidak
memadai lagi, mukosa uterus akan mengalami perdarahan. Hal ini menunjukkan
sudah terjadi kematian janin dan berasal dari kavum uteri karena pelepasan
desidua. Perdarahan yang berasal dari uterus biasanya sedikit-sedikit, berwarna
coklat tua, dan dapat terputus-putus atau terus menerus . Perdarahan berarti
gangguan pembentukan human chorionic gonadotropin. Jika plasenta mati,
desidua dapat dikeluarkan seluruhnya.
3. Amenore
Tidak adanya riwayat terlambat haid bukan berarti kemungkinan kehamilan
tuba dapat disingkirkan. Lamanya amenore tergantung pada kehidupan janin,
sehingga dapat bervariasi. Sebagian penderita tidak mengalami amenore karena
kematian janin sebelum haid berikutnya. Hal ini menyebabkan frekuensi amenore
yang dikemukakan berbagai penulis berkisar antara 23-97%. Riwayat amenore
tidak ditemukan pada seperempat kasus atau lebih. Salah satu sebabnya adalah
karena pasien menganggap perdarahan pervaginam yang lazim terjadi pada
kehamilan tuba sebagai periode haid yang normal, dan dengan demikian
memberikan tanggal haid terakhir yang keliru. Sumber kesalahan diagnostik yang
penting ini dapat diatasi pada banyak kasus bila riwayat haid ditanyakan dengan
teliti. Sifat haid terakhir harus ditanyakan secara terinci berkenaan dengan waktu
mulainya, lamanya serta banyaknya haid dan dianjurkan pula untuk menanyakan
apakah pasien merasa bahwa haidnya abnormal.
4. Tekanan darah dan denyut nadi
Sebelum terjadi ruptur, tanda vital umumnya normal. Respon awal terhadap
perdarahan bervariasi dari tanpa perubahan tanda vital sampai bradikardi dan
hipotensi. Tekanan darah menurun (sistolik < 90 mmHg), nadi cepat dan lemah
(> 110 kali/menit), pucat, berkeringat dingin, kulit lembab, nafas cepat (> 30
kali/menit), cemas, kesadaran menurun atau tidak sadar bisa terjadi bila
perdarahan berlangsung terus dan terjadi hipovolemia yang signifikan. Stabile

118
dan Grudzinskas (1990) melaporkan dari 2400 wanita dengan kehamilan ektopik,
hampir 1-4% dalam keadaan syok.
5. Perubahan uterus
Pada kehamilan ektopik terganggu, uterus juga membesar karena pengaruh
hormon-hormon kehamilan, terutama selama 3 bulan pertama, dimana tetap
terjadi pertumbuhan uterus hingga mencapai ukuran yang hampir mendekati
ukuran uterus pada kehamilan intrauteri. Konsistensinya juga serupa selama janin
masih dalam keadaan hidup. Uterus pada kehamilan ektopik dapat terdorong ke
salah satu sisi oleh massa ektopik tersebut.
6. Tumor dalam rongga panggul (massa pelvis)
Pada sekitar 20% pasien ditemukan massa lunak kenyal pada rongga
panggul. Massa ini memiliki ukuran, konsistensi, serta posisi yang bervariasi.
Biasanya massa berukuran antara 5-15 cm, teraba lunak dan elastis. Akan tetapi,
dengan terjadinya infiltrasi tuba yang luas oleh karena darah, massa dapat teraba
keras. Hampir selalu massa pelvic ditemukan di sebelah posterior atau lateral
uterus. Timbulnya massa pelvis disebabkan kumpulan darah di tuba dan
sekitarnya. Keluhan nyeri dan nyeri tekan kerapkali mendahului gejala massa
yang ditemukan dengan palpasi.
7. Gangguan kencing
Kadang-kadang terdapat gejala beser kencing karena perangsangan
peritoneum oleh darah di dalam rongga perut.
8. Suhu tubuh
Setelah terjadi perdarahan akut, suhu tubuh bisa tetap normal atau bahkan
0
menurun. Suhu yang sampai 38 C dan mungkin berhubungan dengan
hemoperitonium dapat terjadi; namun suhu yang lebih tinggi jarang dijumpai
dalam keadaan tanpa adanya infeksi. Karena itu panas merupakan gambaran yang
penting untuk membedakan antara kehamilan tuba yang mengalami ruptur
dengan salpingitis akut; pada salpingitis akut, suhu tubuh umumnya di atas 38 0C.
9. Pada pemeriksaan dalam
Nyeri goyang porsio, menonjol dan nyeri pada perabaan dengan jari,
dijumpai pada lebih dari tiga perempat kasus kehamilan tuba yang sudah atau
sedang mengalami ruptur, tetapi kadang-kadang tidak terlihat sebelum ruptur
terjadi.

119
10. Hematokel pelvis
Pada banyak kasus ruptur kehamilan tuba, terdapat kerusakan dinding tuba
yang terjadi bertahap, diikuti oleh perembesan darah secara perlahan-lahan ke
dalam lumen tuba, kavum peritoneum atau keduanya. Gejala perdarahan aktif
tidak terdapat dan bahkan keluhan yang ringan dapat mereda. Namun darah yang
terus merembes akan berkumpul dalam panggul, kurang lebih terbungkus dengan
adanya perlengketan, dan akhirnya membentuk hematokel pelvis. Pada sebagian
kasus, hematokel pelvis akhirnya akan terserap dan pasien dapat sembuh tanpa
pembedahan. Pada sebagian lainnya, hematokel dapat ruptur ke dalam kavum
peritonei atau mengalami infeksi dan membentuk abses. Kendati demikian,
peristiwa yang paling sering terjadi adalah rasa tidak enak terus menerus akibat
adanya hematokel, dan akhirnya pasien akan memeriksakan diri ke dokter
beberapa minggu atau bahkan beberapa bulan setelah ruptur yang asli terjadi.
Kasus-kasus semacam ini merupakan kasus yang tidak khas.
Gejala KET sangat bervariasi, dari yang klasik dengan gejala perdarahan
mendadak dalam rongga perut dan ditandai adanya gejala akut abdomen sampai
gejala-gejala yang samar-samar sehingga sukar membuat diagnosa.
a. Gambaran gangguan mendadak
Peristiwa ini jarang ditemukan. Biasanya setelah mengalami
amenorea tiba-tiba penderita akan merasa nyeri yang hebat di daerah perut
bagian bawah dan sering muntah-muntah. Nyeri yang hebat dapat membuat
penderita pingsan, yang tak lama kemudian akan masuk ke dalam keadaan
syok akibat perdarahan. Selain itu juga ditemukan seluruh perut agak
membesar, nyeri tekan dan tanda-tanda cairan intraperitoneal. Pada
pemeriksaan vaginal ditemukan forniks posterior menonjol dan nyeri
goyang saat portio digerakkan, kadang-kadang uterus teraba sedikit
membesar disertai adanya suatu adneksa tumor di sebelahnya.
b. Gambaran gangguan tidak mendadak
Gambaran ini lebih sering ditemukan dan biasanya berhubungan
dengan abortus tuba atau yang terjadi perlahan-lahan. Setelah terlambat
haid beberapa minggu, penderita mengeluh rasa nyeri yang tidak terus
menerus di perut bagian bawah. Tetapi dengan adanya darah di dalam
rongga peritoneal, rasa nyeri itu akan menetap. Tanda-tanda anemia
menjadi nyata. Mula-mula perut lembek, tetapi lama-lama dapat

120
menggembung karena terjadi ileus paralitik. Terdapat tumor di sebelah
uterus (hematosalping) yang kadang-kadang bersatu dengan hematokel
retrouterina sehingga kavum Douglas sangat menonjol dan nyeri raba,
pergerakan serviks juga menyebabkan rasa nyeri. Penderita juga mengeluh
rasa penuh di daerah rektum dan merasa tenesmus, setelah seminggu
merasa nyeri biasanya terjadi perdarahan dari uterus dengan kadang-kadang
disertai oleh pengeluaran jaringan desidua.
c. Gambaran gangguan atipik
Kesulitan diagnosis biasanya terjadi pada kehamilan ektopik
terganggu jenis atipik atau menahun. Keterlambatan haid tidak jelas, tanda
dan gejala kehamilan muda tidak jelas, demikian pula nyeri perut tidak
nyata dan sering penderita tampak tidak terlalu pucat. Hal ini dapat terjadi
apabila perdarahan berlangsung lambat. Dalam keadaan demikian, alat
bantu diagnosis amat diperlukan untuk memastikan diagnosis.
2.7 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dikerjakan untuk menegakkan diagnosis
kehamilan ektopik ialah sebagai berikut:
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan Hb dan jumlah sel darah merah
Dapat diduga bahwa kadar hemoglobin turun pada kehamilan tuba yang
terganggu, karena perdarahan yang banyak ke dalam rongga perut, tapi turunnya Hb
disebabkan karena darah diencerkan oleh air dan jaringan untuk mempertahankan
volume darah. Hal ini memerlukan waktu 1-2 hari. Jadi mungkin pada pemeriksaan
Hb yang pertama, kadar Hb belum seberapa turunnya, maka kesimpulan adanya
perdarahan didasarkan atas penurunan kadar Hb pada pemeriksaan kadar Hb yang
berturut-turut. Pada kasus jenis tidak mendadak, biasanya ditemukan anemia tetapi
harus diingat bahwa penurunan Hb baru terlihat setelah 24 jam.
b. Perhitungan leukosit
Perdarahan juga menimbulkan naiknya leukosit, sedangkan pada perdarahan
sedikit demi sedikit, leukosit normal atau sedikit meningkat. Ini berguna dalam
menegakkan diagnosis kehamilan ektopik terganggu, terutama bila ada tanda-tanda
perdarahan dalam rongga perut. Untuk membedakan kehamilan ektopik dan infeksi
pelvik dapat diperhatikan jumlah leukosit, jika > 20.000 biasanya menunjukkan
adanya infeksi pelvic.

121
c. Tes kehamilan
Jaringan tropoblas pada kehamilan ektopik menghasilkan hCG dalam kadar
yang lebih rendah daripada kehamilan intrauterin normal, oleh sebab itu dibutuhkan
tes yang mempunyai tingkat sensitivitas yang lebih tinggi 2. Akan tetapi tes negatif
tidak menyingkirkan kemungkinan kehamilan ektopik terganggu karena kematian
hasil konsepsi dan degenerasi tropoblas menyebabkan produksi hCG menurun dan
menyebabkan hasil tes negatif. Permasalahan yang timbul kemudian adalah
bagaimana mendeteksi penanda kehamilan ini dengan cara klinik yang terefektif.
Tes kehamilan melalui urin merupakan slide test inhibisi aglutinasi lateks yang
paling sering dikerjakan, karena memiliki kepekaan terhadap korionik gonadotropin
yang berkisar dari 500 hingga 800 mIU per mL. Kemudahan penggunaannya dan
kecepatannya diimbangi dengan persentase kemungkinan hasil positif yang besarnya
hanya sekitar 50 hingga 60 persen pada wanita dengan kehamilan ektopik.
Kadar dkk melihat bahwa pada wanita dengan kehamilan yang normal, waktu
panggandaan rata-rata untuk kadar beta-hCG serum kurang lebih 48 jam dan nilai
normal yang paling rendah adalah 66 %. Mereka menghitung angka ini dengan
mengurangkan nilai mula-mula dengan dari nilai 48 jam dan membagi hasilnya
dengan nilai mula-mula tersebut untuk kemudian dikalikan dengan seratus sehingga
didapatkan suatu presentase. Kadar dkk mengingatkan bahwa kedua pengukuran
kadar beta-hCG harus dilakukan pada waktu yang bersamaan dan bahwa hasil-hasil
yang lebih dapat diandalkan bisa di peroleh dengan interval waktu 48 jam. Mereka
menyimpulkan bahwa kegagalan untuk mempertahankan kecepatan peningkatan
produksi beta-hCG ini bersama-sama dengan uterus yang kosong merupakan bukti
yang sangat subjektif kearah kehamilan ektopik. Lebih lanjut pakar tersebut
mengakui bahwa rancangan ini akan menunda pembedahan paling tidak selama 48
jam dan bahwa hasil tes tersebut secara keliru bisa mengidentifikasikan 15 % wanita
normal sebagai kelainan ektopik dan 13 % wanita kelainan ektopik sebagai wanita
normal.

Doubling time untuk serum beta-hCG pada kehamilan intrauterine adalah


48 jam hingga mencapai 10.000-20.000 mIU/mL. Berdasarkan penelitian tentang
doubling time, serum level beta-hCG akan meningkat paling kurang 66 % dalam 48

122
jam pada 85 % kehamilan normal. Doubling time hanya bisa digunakan pada awal
kehamilan hingga kurang dari 41 hari kehamilan.
2. Ultrasonografi (USG)
USG yang digunakan meliputi USG transabdominal dan USG transvaginal.
Diagnosis dari kehamilan ektopik dapat dibuat 1 minggu lebih cepat dengan USG
transvaginal dibandingkan dengan USG transabdominal. Pada USG transabdominal
biasanya ditemukan kavum uteri yang tidak berisi kantong gestasi, gambaran cairan
bebas serta massa abnormal di daerah pelvis. Sedangkan pada USG transvaginal
digunakan setelah satu minggu telat haid yang dikombinasi dengan pemeriksaan kadar
ß-hCG serum.4,8 Sebuah kantung gestasi merupakan tanda pada USG, yang berlokasi
pada permukaan endometrial dan tampak dengan USG transvaginal 30-35 hari setelah
menstruasi terakhir. Terlihat daerah sonolusen di tengah yang dikelilingi dengan lapisan
ekogenik tebal, yang dibentuk oleh reaksi desidual di sekeliling kantong korionik. Yolk
sac sebagai struktur yang pertama kali terlihat dalam kantong gestasi, tampak pada 5
minggu setelah menstruasi terakhir. Gerakan jantung janin pertama kali terlihat saat
umur kehamilan 5-6 minggu. Kegagalan untuk dapat melihat kantong gestasi sampai
24 hari atau lebih setelah konsepsi (38 hari atau lebih) biasanya menunjukkan adanya
kehamilan ektopik.
Saat beta-hCG mencapai 2000 mIU/mL, gestasional sac harus bisa dilihat
didalam uterus pada USG transvaginal, ketika sudah mencapai 6000 mIU/mL harus
sudah bisa dilihat dengan USG abdominal.
USG transvaginal dapat membedakan kehamilan dalam uterus atau di luar antara
lain sebagai berikut :
1. Kehamilan intrauterine (IUP) : sebuah gestational sac dengan sebuah sonolusent
center (diameter >5mm) dikelillingi oleh cincin yang tebal, konsentris dan
echogenic, terletak didalam endometrium dan mengandung fetal pole, yolk sac,
atau keduanya.
2. Kemungkinan IUP abnormal : gestational sac dengan diameter lebih besar dari
10 mm tanpa fetal pole atau dengan fetal pole tanpa aktivitas kardiak.
3. Kehamilan ektopik : sebuah struktur seperti cincin tebal, echogenik terletak
diluar uterus, dengan gestational sac yang mengandung fetal pole, yolk sac atau
keduanya.
USG Doppler memiliki sensitivitas yang lebih baik dan secara tehnik lebih cepat.
Meskipun USG tradisional dapat menunjukkan massa adneksa, Doppler dapat

123
menunjukkan bahwa massa tersebut adalah massa ektopik dengan menunjukkan adanya
aktivitas vaskular abnormal pada massa tersebut dan juga gambaran vaskular uterin
yang tenang. Perbedaan USG Doppler dan USG standar ini sangat berarti pada awal
kehamilan, dan hal ini dapat mengarah kepada pengobatan medisinalis seawal
mungkin.6,8

Gambar 6a. Gambaran USG menunjukkan Gambar 6b. Garis merah - bagian luar uterus,
kehamilan intrauterin dan kehamilan tuba hijau - uterus, kuning - kehamilan ektopik.
Cairan dalam uterus yang dilingkari warna
biru disebut dengan “pseudosac"

Gambar 6c. Gambaran detail kehamilan Gambar 6d. Kehamilan tuba dilingkari oleh
ektopik garis merah, fetal pole berukuran 4,5 mm
(diantara kursor), hijau, yolk sac-biru.

3. Kombinasi USG dengan pengukuran serum ß-hCG


Bila pada USG transvaginal ditemukan uterus yang kosong, dan kadar ß-hCG
serum 1500 mIU/ml atau lebih, maka diagnosis kehamilan ektopik dapat dipastikan
dengan tingkat akurasi hampir 100 %. Kadar dkk (1981) mengemukakan empat
kemungkinan klinik berdasarkan nilai kuantitatif ß-hCG:

124
a. Kalau nilai ß-hCG di atas 6000 mIU per ml dan kantong kehamilan terlihat di dalam
uterus lewat pemeriksaan USG abdomen, maka diagnosis kehamilan normal pada
dasarnya bisa dipastikan.
b. Kalau nilai ß-hCG di atas 6000 mIU per ml dan kavum uteri tampak kosong, maka
kemungkinan adanya kehamilan ektopik sangat besar. Keadaan ini jarang dijumpai
dalam praktek klinik sebenarnya.
c. Kalau nilai ß-hCG di bawah 6000 mIU per ml dan cincin kehamilan intrauteri jelas
terlihat, maka abortus spontan mungkin tengah terjadi atau segera akan terjadi.
Kehamilan ektopik masih menjadi suatu kemungkinan karena derajat ultrasonik
yang ada. Diagnosis keliru mengenai kantong kehamilan dalam uterus dapat saja
dibuat kalau ada bekuan darah atau silinder desidua.
d. Kalau nilai ß-hCG di bawah 6000 mIU per ml dan terlihat uterus yang kosong, tidak
ada diagnosis pasti yang dapat ditegakkan. Kegagalan untuk melihat kantong
kehamilan di dalam uterus sering terjadi pada pemeriksaan USG abdomen yang
dikerjakan sebelum usia kehamilan 5 minggu. Sayangnya usia kehamilan yang tepat
acapkali tidak diketahui pada wanita dengan suspek kehamilan ektopik. Pada kasus-
kasus ini, wanita tersebut dapat mengalami abortus atau bisa mempertahankan
kehamilannya dan kemudian terbentuk kantong kehamilan, atau dapat pula
memperlihatkan bukti yang menunjukkan adanya kehamilan ektopik.
4. Kuldosintesis
Adalah suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui apakah dalam kavum Douglas
ada darah atau cairan lain. Serviks ditarik ke arah simfisis dengan tenakulum, kemudian
sebuah jarum panjang ukuran 16 atau 18 dimasukkan lewat forniks posterior vagina ke
dalam kavum Douglas dan kemudian dilakukan aspirasi cairan yang ada di dalamnya.
Jika darah yang diaspirasi kemudian membeku, darah ini mungkin berasal dari
pembuluh darah yang mengalami perforasi bukan dari kehamilan ektopik yang
mengalami perdarahan kecuali terjadi perdarahan cepat dari tempat ruptur dan darah
dapat diaspirasi dari kavum Douglas sebelum sempat membeku.
Kuldosintesis mungkin tidak memberikan hasil yang memuaskan pada wanita
dengan riwayat salpingitis dan peritonitis pelvik, mengingat kavum Douglas
kemungkinan sudah mengalami obliterasi. Jadi, kegagalan untuk mendapatkan darah
dari kavum Douglas tidak meniadakan kemungkinan diagnosis hemoperitonium dan

125
tentu saja bukan merupakan bukti yang menentang adanya kehamilan ektopik dengan
atau tanpa ruptur.
5. Pada umumnya kadar serum progesterone pada pasien dengan kehamilan ektopik lebih
rendah dibandingkan kehamilan normal. Pada suatu penelitian yang melibatkan lebih
dari 5000 pasien dengan kehamilan trimester I , diketahui bahwa 70% dari penderita
dengan kehamilan normal mempunyai kadar progesterone lebih dari 25 ng/mL, dimana
hanya 1,5% dari penderita kehamilan ektopik yang mempunyai kadar progesterone
serum lebih dari 25 ng/mL.
Kadar progesterone serum dapat dipergunakan untuk skrining tes baik pada
kehamilan ektopik maupun pada kehamilan normal terutama apabila tidak tersedia
pemeriksaan hCG dan USG. Kadar progesterone serum yang kurang dari 5 ng/mL
mempunyai sensivitas yang tinggi adanya kehamilan yang abnormal, tetapi tidak
sampai 100%. Resiko terjadinya kehamilan normal dengan kadar progesterone serum
kurang dari 5 ng/mL kira-kira 1:1500. Karena itu pengukuran progesterone serum saja
tidak bisa dipergunakan untuk menegakkan diagnosa.
6. Kuretase uterus
Manfaat kuretase uterus adalah untuk menentukan ada atau tidaknya vili yang
menandakan adanya kehamilan intrauterin yang non viabel. Pada sebagian besar kasus,
kuretase sangat menolong jika serum progesteron kurang dari 5 ng/mL dan titer HCG
yang tidak meningkat dan kurang dari 1000 IU/L. Kuretase dan pemeriksaan hasilnya
dapat digunakan untuk mencegah laparoskopi yang tidak perlu pada pasien yang
mengalami keguguran. Dengan melarutkan hasil kuretase pada larutan salin, biasanya
menunjukkan adanya vili, tetapi tidak selalu. Hasil kuretase dalam larutan salin dapat
mengalami kesalahan sebesar 6,6 % dari pasien yang mengalami kehamilan ektopik
dan kesalahan sebesar 11,3 % pada pasien dengan kehamilan intrauterine. Karena
ketidakakuratan ini, pemeriksaan patologi dan pemantauan titer HCG sangat diperlukan
untuk konfirmasi.
7. Laparoskopi
Tehnik pemeriksaan ini memberikan sarana untuk mendiagnosis penyakit pada
organ pelvis, termasuk kehamilan ektopik. Sistem optis dan elektronik yang
disempurnakan telah mengatasi sebagian besar keberatan yang timbul dalam upaya
untuk menggunakan sonde transabdominal intraperitoneal yang dilengkapi dengan
cahaya untuk melihat organ-organ dalam panggul. Meskipun demikian, laparoskopi
yang aman dan berhasil memerlukan peralatan yang sempurna, operator yang

126
berpengalaman, ruang operasi dan biasanya tindakan anestesi seperti pada pembedahan.
Inspeksi lengkap rongga panggul mungkin tidak dapat dilakukan bila terdapat inflamasi
pelvik atau perdarahan yang baru atau sudah lama terjadi. Kadang-kadang, pengenalan
kehamilan tuba dini tanpa terjadinya ruptur sulit dilakukan dengan laparoskopi,
meskipun tuba bisa dilihat seluruhnya.4,8 Laparoskopi merupakan diagnosis definitif
pada kebanyakan kasus. Selain itu laparoskopi operatif juga digunakan sebagai jalan
untuk memindahkan massa ektopik dan sekaligus sebagai saluran untuk menyuntikkan
kemoterapi .
8. Laparotomi
Jika masih terdapat keraguan, laparotomi harus dilakukan, karena kematian akibat
kelambatan atau ketidakmampuan dalam mengambil keputusan jauh lebih tragis
daripada pembedahan yang tidak diperlukan. Angka kematian yang berkaitan dengan
pembedahan yang terbatas pada insisi suprapubik yang dilakukan secara hati-hati dan
diperbaiki kembali, adalah sangat kecil. Di samping itu, diagnosis sering dipermudah
dengan inspeksi langsung dan palpasi organ pelvis yang dimungkinkan lewat
laparotomi. Hal yang mengesankan adalah bahwa laparotomi jangan ditunda meskipun
dilakukan laparoskopi pada wanita dengan kelainan serius dalam panggul atau abdomen
yang memerlukan tindakan pasti dan segera. 4,8 Laparotomi dikerjakan bila penderita
secara hemodinamik tidak stabil, dan membutuhkan terapi definitif secepatnya 4.

127
Bagan 1. Algoritma Diagnosis Kehamilan Ektopik Berdasarkan Kadar Progesteron Serum dan ß-Hcg

2.8 Diagnosis
Diagnosis KET ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik serta
pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
Pada anamnesis biasanya didapatkan trias KET klasik yaitu: amenorea, nyeri
perut yang biasanya bersifat unilateral serta perdarahan pervaginam. Gejala tak spesifik
lainnya seperti perasaan enek, muntah dan rasa tegang pada payudara serta kadang-
kadang gangguan defekasi.
2. Pemeriksaan fisik
a. Tanda-tanda syok : tekanan darah menurun (sistolik < 90 mmHg), nadi cepat dan
lemah (> 110 kali permenit), pucat, berkeringat dingin, kulit yang lembab, nafas
cepat (> 30 kali permenit), cemas, kesadaran berkurang atau tidak sadar.
b. Gejala akut abdomen : perut tegang pada bagian bawah, nyeri tekan, nyeri ketok dan
nyeri lepas dari dinding perut.
c. Pemeriksaan ginekologi: biasanya didapatkan servik teraba lunak, nyeri tekan dan
nyeri goyang, korpus uteri normal atau sedikit membesar, kadang-kadang sulit

128
diketahui karena nyeri abdomen yang hebat, kavum Douglas menonjol oleh karena
terisi darah.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Kadar Hb, jumlah sel darah merah dan leukosit, tes kehamilan
b. USG
c. Kombinasi USG dengan pemeriksaan kuantitatif ß-hCG
d. Kuldosintesis
e. Kadar progesteron
f. Kuretase uterus
g. Laparoskopi
h. Laparotomi
2.9 Diagnosis Banding
Diagnosis banding kehamilan ektopik terganggu ialah infeksi pelvis, abortus
iminens, kista folikel, korpus luteum yang pecah, kista ovarium dengan putaran tangkai,
serta apendisitis. Penyakit-penyakit ini dapat memberikan gambaran klinis yang hampir
sama dengan KET. Perbedaan dari masing-masing penyakit tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Infeksi pelvis
Gejala yang menyertai infeksi pelvis biasanya timbul waktu haid dan jarang
setelah amenore. Gejala tersebut berupa nyeri perut bawah dan tahanan yang dapat
diraba pada pemeriksaan vagina, yang pada umumnya bilateral. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan perbedaan suhu rektal dan aksila melebihi 0,5 0C, sedangkan pada
pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis yang lebih tinggi daripada KET
serta tes kehamilan negatif.
2. Abortus iminens atau insipiens
Pada abortus iminens maupun insipiens, perdarahan umumnya lebih banyak
dan lebih merah sesudah amenore. Rasa nyeri yang muncul berlokasi di daerah
median. Sedangkan pada pemeriksaan fisik tidak dapat diraba tahanan di samping
atau di belakang uterus serta gerakan servik uteri tidak menimbulkan nyeri.
3. Ruptur korpus luteum
Terjadi pada pertengahan siklus haid dan biasanya tanpa disertai perdarahan
pervaginam, serta tes kehamilan (-).
4. Torsi kista ovarium dan apendisitis

129
Umumnya tidak ada gejala dan tanda kehamilan muda, amenore dan
perdarahan pervaginam. Torsi kista ovarii biasanya lebih besar dan lebih bulat
daripada kehamilan ektopik. Pada apendisitis tidak ditemukan tumor dan nyeri pada
gerakan serviks kurang nyata, serta lokasi nyeri perutnya di titik McBurney.
2.10 Penatalaksanaan
Prinsip umum penatalaksanaan kehamilan ektopik terganggu ialah :
1. Segera dibawa ke rumah sakit
2. Transfusi darah dan pemberian cairan untuk mengoreksi anemia dan
hipovolemia.
3. Operasi segera dilakukan setelah diagnosis ditegakkan. Jenis operasi yang
dikerjakan antara lain berupa salpingektomi yang dilakukan pada kehamilan tuba
dan oovorektomi atau salpingoovorektomi pada kehamilan di kornu. Pada
kehamilan di kornu jika pasien berumur >35 tahun sebaiknya dilakukan
histerektomi, bila masih muda sebaiknya dilakukan fundektomi. Pada kehamilan
abdominal, bila kantong gestasi dan plasenta mudah diangkat sebaiknya diangkat
saja tetapi bila besar dan susah diangkat maka anak dilahirkan dan tali pusat
dipotong dekat plasenta, plasenta ditinggalkan dan dinding perut ditutup.

Penanganan terhadap kehamilan tuba paling sering berupa salpingektomi untuk


mengangkat tuba fallopi yang koyak dan mengalami perdarahan, dengan atau tanpa
ooforektomi ipsilateral. Tujuan penanganan tersebut harus dan tetap terletak dalam
upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu. Akhir-akhir ini, penanganan terhadap kehamilan
ektopik telah berubah dari salpingektomi menjadi prosedur untuk mempertahankan
fungsi tuba. Pembedahan yang dahulunya lebih radikal akan dijelaskan pertama dan
kemudian diikuti dengan uraian mengenai teknik pembedahan yang lebih baru untuk
mempertahankan kelangsungan fungsi tuba fallopi.
1. Salpingektomi
Dalam pengangkatan tuba fallopi, dianjurkan untuk membuat eksisi
berbentuk baji yang tentu saja tidak lebih dari sepertiga luar pars interstisialis tuba
(tindakan ini dinamakan reseksi kornu), untuk memperkecil kemungkinan
terjadinya kehamilan dalam puntung tuba (jarang dijumpai) tanpa melemahkan
miometrium di tempat eksisi tersebut. Harus dihindari reseksi yang terlampau luas
agar tidak mengenai kavum uteri; kalau tidak, cacat yang ditimbulkan oleh reseksi
akan menimbulkan ruptura uteri pada kehamilan intrauteri berikutnya. Bahkan

130
dengan reseksi kornu sekalipun, kehamilan interstisial selanjutnya tidak dapat
dicegah.
2. Ooforektomi ipsilateral
Pengangkatan ovarium di sebelahnya pada saat dilakukan salpingektomi
pernah dianjurkan sebagai prosedur yang mungkin dapat memperbaiki kesuburan
penderita maupun menurunkan kemungkinan terjadinya kehamilan ektopik
berikutnya. Dengan demikian, ovulasi selalu akan terjadi dari ovarium yang paling
dekat pada tuba fallopi yang masih tertinggal. Keadaan ini mempermudah
pengambilan ovum oleh tuba dan menghindari kemungkinan terjadinya migrasi
eksterna ovum serta kehamilan ektopik yang bisa timbul akibat telur yang
peripatetik tersebut.
3. Sterilisasi
Sebelum dilakukan pembedahan eksplorasi untuk kecurigaan kehamilan
ektopik, ibu harus ditanya dahulu apakah ia menginginkan kehamilan selanjutnya.
Jika wanita tersebut sudah tidak ingin mempunyai anak lagi dan kehamilan ektopik
yang terjadi merupakan akibat tindakan kontrasepsi yang gagal, keputusan yang
diambil dokter biasanya ke arah tindakan sterilisasi. Jika diputuskan demikian, dan
keadaan pasien baik, dokter dapat mempertimbangkan histerektomi. Kalau tidak,
tubektomi biasanya dapat dilakukan dengan cepat tanpa meningkatkan risiko.
Sebaliknya, semua organ ini perlu diselamatkan sedapat mungkin pada wanita yang
masih ingin hamil lagi, sekalipun risiko kehamilan ektopik yang akan dihadapinya
pada kehamilan berikutnya cukup besar.
4. Menyelamatkan tuba fallopi
Karena adanya kemungkinan yang besar untuk terjadi kemandulan setelah
kehamilan tuba yang ditangani dengan salpingektomi, cara lain untuk mengangkat
tuba harus dipertimbangkan. Penggunaan teknik diagnostik dan prosedur
pembedahan yang lebih mutakhir untuk mempertahankan tuba yang rusak akan
memberikan hasil akhir yang lebih baik lagi dalam kehamilan berikutnya.
Beberapa tindakan bedah rekonstruksi tuba dibahas dibawah ini:
a. Salpingostomi
Teknik ini digunakan untuk mengangkat kehamilan yang kecil dengan
panjang yang biasanya kurang dari 2 cm dan terletak dalam sepertiga distal
tuba fallopi. Suatu insisi linier sepanjang 2 cm atau kurang dilakukan pada
batas antimesenterik di dekat kehamilan ektopik. Implantasi ektopik ini

131
biasanya akan menonjol keluar dari lubang insisi sehingga dapat dikeluarkan
dengan hati-hati. Tempat perdarahan dikendalikan dengan elektrokauter atau
laser, dan luka insisi dibiarkan tanpa penjahitan sampai sembuh sendiri.
b. Salpingotomi
Suatu insisi longitudinal dilakukan pada batas antimesenterik tuba
fallopi langsung di daerah implantasi ektopik. Hasil konsepsi diangkat dengan
forseps atau diisap dengan hati-hati dan tuba yang terbuka lalu diirigasi dengan
larutan ringer laktat (jangan memakai larutan salin isotonik), sehingga tempat
perdarahan dapat dikenali dan dikendalikan seperti dijelaskan di atas.
Penutupan luka yang paling dianjurkan dilakukan dengan jahitan satu lapis
memakai benang vicryl 7-0 yang dipasang satu persatu.
c. Reseksi segmental dan anastomosis
Prosedur ini dianjurkan untuk kehamilan ektopik yang mengalami ruptur
dalam bagian isthmus tuba, mengingat salpingotomi atau salpingostomi
kemungkinan akan menimbulkan jaringan parut dan selanjutnya penyempitan
lumen tuba yang kecil ini. Setelah segmen tuba terlihat, mesosalping di bawah
tuba diinsisi, dan bagian isthmus tuba yang berisikan implantasi ektopik
tersebut direseksi. Mesosalping lalu dijahit dan dengan demikian merapatkan
kembali kedua puntung tuba. Segmen tuba tersebut kemudian
dianastomosiskan satu sama lain secara berlapis dengan benang vicryl 7-0
yang dijahit satu per satu (jahitan terputus); penjahitan ini sebaiknya dilakukan
dengan pembesaran. Tiga jahitan dibuat pada tunika muskularis dan tiga lagi
pada tunika serosa yang dilakukan dengan hati-hati agar tidak mengenai lumen
tuba. Penjahitan lapisan serosa akan menambah kekuatan pada lapisan
pertama.
d. Evakuasi fimbria
Pada kehamilan tuba yang implantasinya di bagian distal diusahakan
untuk mengosongkan hasil konsepsi dengan cara ”mengurut” atau “mengisap”
implantasi ektopik tersebut dari dalam lumen tuba. Tindakan ini tidak
dianjurkan karena akan disertai dengan angka kehamilan ektopik rekuren yang
besarnya dua kali lipat bila dibandingkan dengan salpingotomi. Pada tindakan
ini juga terdapat angka pembedahan reeksplorasi yang tinggi untuk mengatasi
perdarahan rekuren akibat jaringan trofoblastik persisten.

132
KEHAMILAN EKTOPIK

Tidak terganggu Terganggu

(Observasi KE) (Curiga KET)

MRS, Rapid Test, USG Transvaginal Akut (KET) Kronik


Obs 24 jam T/N/R/Keluhan/Hb (Hemato cele)
Douglas Punctie

GS (+)

Intra Uteri

GS (-) / GS (+)
PPT (-)
Extra Uteri

GS (-) /
PPT (+)

Laparotomi/Proof
Bukan KE
Laparotomi

Bagan 2. Diagnosis dan Penatalaksanaan Kehamilan Ektopik

Methotrexate sistemik
Methotreate (MTX) adalah analog asam folat yang banyak digunakan pada
pengobatan terhadap penyakit neoplasma, psoriasis berat, dan arthritis rematoid pada
orang dewasa. MTX secara kompetitif mengikat enzim dihidrofolic acid reduktase,
sebuah enzim yang mengubah dihidrofolat menjadi tetrahidrofolat (bentuk aktif).
Tetrahisdrofolat berfungsi untuk transport 1 grup karbon selama sintetis nukleotid
purin dan thymidilate. Tanpa tetrahidrofolat sintetis DNA dan perbaikannya, dan
replikasi seluler mengalami gangguan. Proliferasi sel yang aktif seperti pada sel ganas,
sel pada sumsum tulang, sel fetal, demikian juga pada sel mukosa mulut, usus, dan
kandung kencing adalah yang paling sensitive terhadap efek dari MTX.

133
Perdarahan aktif intraabdomen adalah kontraindikasi kemoterapi. Ukuran dari
masa ektopik juga penting, Pisarska dkk (1998) merekomendasi MTX untuk tidak
digunakan jika kehamilan lebih dari 4 cm. Kesuksesan terbaik jika kehamilan kurang
dari 6 minggu, diameter massa tuba tidak lebih dari 3,5 cm, fetus telah mati, dan beta-
hCG tidak lebih dari 15.000 mIU/mL (Lipscomb and colleagues, 1999a, Stoval, 1995).
Menurut American College of Obstetrician and Gynecologists (1998), kontraindikasi
termasuk menyusui, imunodefisiensi, alcohol, penyakit hati dan ginjal, penyakit paru
aktif, dan ulkus peptikum.
Pasien yang dapat diterapi dengan MTX harus stabil secara hemodinamik, yaitu
sesuai dengan hal-hal berikut :
1. Terapi medis gagal pada 5-10 % kasus, dan lebih sering terjadi pada kehamilan lebih
dari 6 minggu atau massa tuba lebih dari 4 cm.
2. Kegagalan terapi medis memerlukan terapi lebih lanjut, baik secara medis atau
pembedahan.
3. Pada pasien rawat jalan, transportasi yang cepat harus tersedia.
4. Tanda dan gejala rupture tuba seperti perdarahan vagina, nyeri abdomen dan pleura,
lemah, pusing, atau sinkop harus dilaporkan dengan cermat.
5. Hingga kehamilan ektopik sembuh, tidak diperbolehkan melakukan hubungan
seksual, minum alcohol, atau mengkonsumsi asam folat, termasuk vitamin prenatal.

Dosis MTX :
1. Dosis tunggal : MTX 50 mg/m2 IM. Hitung kadar beta-hCG pada hari ke 4 dan 7
 Bila penurunan > 15 %, diulang tiap minggu hingga tidak terdeteksi.
 Bila penurunan < 15 %, ulangi pemberian MTX dan hitung sebagai hari pertama.
 Jika aktivitas jantung masih ada pada hari 7, ulangi pemberian MTX dan hitung
sebagai hari pertama.
 Pembedahan bila kadar beta-hCG tidak turun atau aktivitas jantung persisten
setelah 3 dosis MTX.
2. Dosis variable :
 MTX 1 mg/kgBB IM, hari 1, 3, 5, 7
 Leukovorin 0,1 mg/KgBB IM, hari 2, 4, 6, 8

134
Injeksi yang kontinyu diberikan hingga kadar beta-hCG berkurang 15 % dalam
48 jam, atau 4 dosis MTX diberikan, kemudian perminggu hingga beta-hCG tidak
terdeteksi.
Kool dan Kock (1992) mempelajari 16 penelitian yang melaporkan tentang efek
samping. Semua gejala hilang dalam 3-4 hari setelah MTX dihentikan. Efek samping
yang paling sering adalah gangguan hati (12 %), stomatitis (6 %) dan gastroenteritis (1
%). Seorang wanita mengalami depresi sumsum tulang. Laporan kasus juga
menggambarkan netropenia dan demam yang mengancam jiwa, pneumonitis akibat
induce obat, dan alopesia (Buster dan Pisarska, 1999).
Setelah linear salfingostomi, kadar beta hCG menurun hingga masa resolusi 20
hari. Pada kasus langka, setelah dosis tunggal MTX, kadar serum beta hCG meningkat
pada 4 hari pertama, kemudian menurun secara bertahap, dengan waktu resolusi 27 hari.
Lipscomb dkk (1998) mengobati 287 wanita dengan MTX dengan kesembuhan rata-
rata, yaitu level beta hCG kurang dari 15 mIU/mL, adalah 34 hari. Waktu terlama adalah
109 hari.
2.11 Komplikasi
Komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh kehamilan ektopik terganggu antara lain
berupa syok yang irreversibel, perlekatan dan obstruksi usus. Komplikasi yang lain
berupa jaringan trofoblastik persisten dan kehamilan ektopik persisten . Namun kedua
hal tersebut biasanya terjadi pada kehamilan ektopik yang belum pecah dan menjalani
terapi bedah konservatif (salpingostomi), sehingga diperlukan pemantauan yang ketat
pasca terapi.
Risiko kehamilan ektopik persisten dengan pembedahan konservatif melalui
laparotomi sebesar 5 %. Laparoskopi salpingostomi dihubungkan dengan tingginya
angka jaringan tropoblas persisten; kira-kira 15 % pasien memerlukan pengobatan
lanjutan. Risiko jaringan trofoblastik persisten sangat bermakna dengan hematosalping
berdiameter lebih besar dari 6 cm, titer HCG lebih besar dari 20.000 IU/L dan
hemoperitonium lebih dari 2000 ml. Meskipun reoperasi merupakan pengobatan
pilihan, tetapi methotrexate lebih disukai. Pengobatan profilaksis dapat diberikan
dengan memberikan dosis multipel methotrexate (1 mg/kg) atau dosis tunggal
methotrexate (15 mg/m2) dapat diberikan setelah diagnosis ditegakkan.
2.12 Prognosis
Kematian karena kehamilan ektopik terganggu cenderung turun dengan diagnosis
dini dan persediaan darah yang cukup. Pada umumnya, kelainan yang menyebabkan

135
kehamilan ektopik bersifat bilateral. Sebagian wanita menjadi steril setelah mengalami
kehamilan ektopik atau dapat mengalami kehamilan ektopik lagi pada tuba yang lain.
Selain itu, kemungkinan untuk hamil akan menurun. Hanya 60% wanita yang pernah
mengalami kehamilan ektopik terganggu dapat hamil lagi, walaupun angka
kemandulannya akan jadi lebih tinggi. Angka kehamilan ektopik yang berulang
dilaporkan berkisar antara 0 – 14,6%. Untuk wanita dengan anak yang sudah cukup,
sebaiknya pada operasi dilakukan salpingektomi bilateralis.
Setelah mengalami kehamilan ektopik, kemungkinan untuk mengandung dan
melahirkan anak sebesar 85% pada kehamilan berikutnya. Setelah 2 kali mengalami
kehamilan ektopik, risiko kehamilan ektopik berikutnya meningkat menjadi 10 kali
lipat, dan harus dipertimbangkan dalam memberikan IVF.

Solusio Plasenta
1. Pengertian

Solusio plasenta (abrubtio plasenta) adalah lepasnya sebagian atau seluruh plasenta
dimana pada keadaan normal implantasinya diatas 22 minggu dan sebelum lahirnya anak.
Solusio plasenta adalah terlepasnya plasenta yang letaknya normal pada fundus
uteri/korpus uteri sebelum janin lahir (PB POGI,1991).

Solusio plasenta adalah terlepasnya plasenta dari tempat implantasinya yang


normal pada uterus sebelum janin dilahirkan. Yang terjadi pada kehamilan 22 minggu atau
berat janin di atas 500 gr (Rustam 2002 ). Jadi definisi yang lengkap adalah : solusio
plasenta adalah sebagian atau seluruh plasenta yang normal implantasinya antara minggu
22 dan lahirnya anak (menurut buku obstetric patologi 2002).

Solusio plasenta atau abrupsion plasenta adalah pelepasan sebagian atau


keseluruhan plasenta dari uterus selama hamil dan persalinan (Chapman V,2003)

Solusio plasenta adalah suatu keadaan dalam kehamilan viable,dimana plaesnta


yang tempat implantasinya normal (pada fundus atau korfus) terkelupas atau terlepas
sebelum kala III (Achadiat,2004). Sinonim dari solusio plasenta adalah Abrupsion
plasenta.

Solusio plasenta adalah : terlepasnya plasenta dari tempat implantasinya yang


normal dari uterus,sebelum janin dilahirkan.defenisi ini berlaku pada kehamilan dengan

136
usia kehamilan (masa gestasi ) di atas 22 minggu atau berat janin diatas 500 gr. Proses
solusio plasenta dimulai dengan terjadinya perdarahan dalam desidua basalis yang
menyebabkan hematoma retroplasenter (Saefuddin AB,2006)

Solusio plasenta adalah terlepasnya plasenta dari tempat implantasinya yang


normal pada uterus,sebelum janin dilahirkan.(Sarwono prawirohardjo 2009)

Solusio plasenta adalah lepasnya plasenta dari tempat implantasinya pada korpus
uteri sebelum bayi lahir. dapat terjadi pada setiap saat dalam kehamilan. Terlepasnya
plasenta dapat sebagian (parsialis),atau seluruhnya(totalis) atau hanya rupture pada tepinya
(rupture sinus marginalis) (dr.Handayo,dkk)

2. Klasifikasi
1) Klasifikasi dari solusio plasenta adalah sebagai berikut:
a) Solusio plasenta parsialis : bila hanya sebagian saja plasenta terlepas dari tempat
perlengkatannya.
b) Solusio plasenta totalis ( komplek ) : bila seluruh plasenta sudah terlepas dari
tempat perlengketannya.
c) Prolapsus plasenta : kadang-kadang plasenta ini turun ke bawah dan dapat teraba
pada pemeriksaan dalam.
2) Solusio plasenta di bagi menurut tingkat gejala klinik yaitu :
a) Kelas 0 : asimptomatik
Diagnosis ditegakkan secara retrospektif dengan menemukan hematoma atau
daerah yang mengalami pendesakan pada plasenta. Rupture sinus marginal juga
dimasukkan dalam kategori ini.
b) Kelas 1 : gejala klinis ringan dan terdapat hampir 48 % kasus.
Solusio plasenta ringan yaitu : rupture sinus marginalis atau terlepasnya
sebagian kecil plasenta yang tidak berdarah banyak,sama sekali tidak
mempengaruhi keadaan ibu atau janinnya.
Gejala : perdarahan pervaginam yang berwarna kehitam-hitaman dan sedikit
sekali bahkan tidak ada,perut terasa agak sakit terus-menerus agak tegang,tekanan
darah dan denyut jantung maternal normal,tidak ada koagulopati,dan tidak
ditemukan tanda-tanda fetal distress.
c) Kelas II : gejala klinik sedang dan terdapat hampir 27% kasus.

137
Solusio plasenta sedang dalam hal ini plasenta telah lebih dari seperempatnya
tetapi belum sampai dua pertiga luas permukaannya.
Gejala : perdarahan pervaginan yang berwarna kehitam-hitaman,perut
mendadak sakit terus-menerus dan tidak lama kemudian disusul dengan perdarahan
pervaginam walaupun tampak sedikit tapi kemungkinan lebih banyak perdarahan
di dalam,didinding uterus teraba terus-menerus dan nyeri tekan sehingga bagian
bagian janin sulit diraba,apabila janin masih hidup bunyi jantung sukar di dengar
dengan stetoskop biasa harus dengan stetoskop ultrasonic,terdapat fetal
distress,dan hipofibrinogenemi (150 – 250 % mg/dl).
d) Kelas III : gejala berat dan terdapat hampir 24% kasus.
Solusio plasenta berat,plasenta lebih dari dua pertiga permukaannya,
terjadinya sangat tiba-tiba biasanya ibu masuk syok dan janinnya telah meninggal.
Gejala : ibu telah masuk dalam keadaan syok,dan kemungkinan janin telah
meninggal,uterus sangat tegang seperti papan dan sangat nyeri,perdarahan
pervaginam tampaknya tidak sesuai dengan keadaan syok ibu,perdarahan
pervaginam mungkin belum sempat terjadi besar kemungkinan telah terjadi
kelainan pembekuan darah dan kelainan ginjal, hipofibrinogenemi (< 150 mg/dl)
3) Berdasarkan ada atau tidaknya perdarahan pervaginam
a) Solusio plasenta ringan
Perdarahan pervaginam <100 -200 cc.
b) Solusio plasenta sedang
Perdarahan pervaginam > 200 cc, hipersensitifitas uterus atau peningkatan
tonus,syok ringan, dapat terjadi fetal distress.
c) Solusio plasenta berat
Perdarahan pervaginam luas > 500 ml,uterus tetanik,syok maternal sampai
kematian janin dan koagulopati.
4) Berdasarkan ada atau tidaknya perdarahan pervaginam
a) Solusio plasenta yang nyata/tampak (revealed)
Terjadi perdarahan pervaginam, gejala klinis sesuai dengan jumlah kehilangan
darah,tidak terdapat ketegangan uterus, atau hanya ringan.
b) Solusio plasenta yang tersembunyi (concealed)
Tidak terdapat perdarahan pervaginam, uterus tegang dan hipertonus, sering terjadi
fetal distress berat. Tipe ini sering di sebut perdarahan Retroplasental.
c) Solusio plasenta tipe campuran (mixed)

138
Terjadi perdarahan baik retroplasental atau pervaginam,uterus tetanik.
5) Berdasarkan luasnya bagian plasenta yang terlepas dari uterus
a) Solusio plasenta ringan
Plasenta yang kurang dari ¼ bagian plasenta yang terlepas. Perdarahan kurang dari
250 ml.
b) Solusio plasenta sedang
Plasenta yang terlepas ¼ - ½ bagian. Perdarahan <1000 ml, uterus tegang, terdapat
fetal distress akibat insufisiensi uteroplasenta.
c) Solusio plasenta berat
Plasenta yang terlepas > ½ bagian,perdarahan >1000 ml, terdapat fetal distress
sampai dengan kematian janin, syok maternal serta koagulopati.
3. Insiden
1) Berkisar 1% - 2% dari seluruh kehamilan (AAFP,2001)
2) Diperkirakan resiko kematian ibu 0,5% - 5% dan kematian janin 50 – 80%
(Mansjoer,2001)
4. Etiologi
Penyebab utama dari solusio plasenta masih belum diketahui dengan jelas. Meskipun
demikian,beberapa hal di bawah ini di duga merupakan factor-faktor yang berpengaruh
pada kejadiannya,antara lain sebagai berikut :
1) Hipertensi esensial atau preeklampsi.
2) Tali pusat yang pendek karena pergerakan janin yang banyak atau bebas.
3) Trauma abdomen seperti terjatuh terkelungkup,tendangan anak yang sedang di
gendong.
4) Tekanan rahim yang membesar pada vena cava inferior.
5) Uterus yang sangat kecil.
6) Umur ibu (< 20 tahun atau > 35 tahun
7) Ketuban pecah sebelum waktunya.
8) Mioma uteri.
9) Defisiensi asam folat.
10) Merokok,alcohol,dan kokain.
11) Perdarahan retroplasenta.
12) Kekuatan rahim ibu berkurang pada multiparitas.
13) Peredaran darah ibu terganggu sehingga suplay darah ke janin tidak ada.
14) Pengecilan yang tiba-tiba pada hidromnion dan gamely.

139
Factor-faktor yang mempengaruhi solusio plasenta antara lain sebagai berikut :

1) Factor vaskuler (80-90%) yaitu toksemia gravidarum,glomerulonefritis kronik,dan


hipertensi esensial. Adanya desakan darah yang tinggi membuat pembuluh darah
mudah pecah sehingga terjadi hematoma retroplasenter dan plasenta sebagian
terlepas.
2) Factor trauma.
a) Pengecilan yang tiba-tiba dari uterus pada hidromnion dan gamely.
b) Tarikan pada tali pusat yang pendek akibat dari pergerakan janin yang
banyak/bebas,atau pertolongan persalinan.
3) Factor paritas
Lebih banyak dijumpai pada multi dari pada primi. Holmer mencatat bahwa
dari 83 kasus solusio plasenta dijumpai 45 multi dan 18 primi.
4) Pengaruh lain seperti anemia,malnutrisi,tekanan uterus pada vena cava inferior,dan
lain-lain.
5) Trauma langsung seperti jatuh,kena tendang dan lain-lain.
5. Patofisiologi
1) Perdarahan dapat terjadi dari pembuluh darah plasenta atau uterus yang membentuk
hematoma pada desidua, sehingga plasenta terdesak dan akhirnya terlepas. Apabila
perdarahan sedikit, hematoma yang kecil itu hanya akan mendesak jaringan plasenta,
pedarahan darah antara uterus dan plasenta belum terganggu, dan tanda serta gejala pun
belum jelas. Kejadian baru diketahui setelah plasenta lahir, yang pada pemeriksaan di
dapatkan cekungan pada permukaan maternalnya dengan bekuan darah yang berwarna
kehitam-hitaman.
Biasanya perdarahan akan berlangsung terus-menerus karena otot uterus yang
telah meregang oleh kehamilan itu tidak mampu untuk lebih berkontraksi menghentikan
perdarahannya. Akibatnya hematoma retroplasenter akan bertambah besar,sehingga
sebagian dan seluruh plasenta lepas dari dinding uterus. Sebagian darah akan
menyeludup di bawah selaput ketuban keluar dari vagina atau menembus selaput
ketuban masuk ke dalam kantong ketuban atau mengadakan ektravasasi di antara
serabut-serabut otot uterus.
Apabila ektravasasinya berlangsung hebat,maka seluruh permukaan uterus akan
berbercak biru atau ungu. Hal ini di sebut uterus Couvelaire (Perut terasa sangat tegang
dan nyeri). Akibat kerusakan jaringan miometrium dan pembekuan retroplasenter,maka

140
banyak trombosit akan masuk ke dalam peredaran darah ibu,sehinga terjadi pembekuan
intravaskuler dimana-mana,yang akan menghabiskan sebagian besar persediaan
fibrinogen. Akibatnya terjadi hipofibrinogenemi yang menyebabkan gangguan
pembekuan darah tidak hanya di uterus tetapi juga pada alat-alat tubuh yang lainnya.
Keadaan janin tergantung dari luasnya plasenta yang terlepas dari dinding uterus.
Apabila sebagian besar atau seluruhnya terlepas,akan terjadi anoksia sehingga
mengakibatkan kematian janin. Apabila sebagian kecil yang terlepas,mungkin tidak
berpengaruh sama sekali,atau juga akan mengakibatkan gawat janin. Waktu sangat
menentukan beratnyaa gangguan pembekuan darah,kelainan ginjal,dan keadaan janin.
Makin lama penanganan solusio plasenta sampai persalinan selesai,umumnya makin
hebat komplikasinya.
2) Pada solusio plasenta,darah dari tempat pelepasan akan mencari jalan keluar antara
selaput janin dan dinding rahim hingga akhirnya keluar dari serviks hingga terjadilah
perdarahan keluar atau perdarahan terbuka. Terkadang darah tidak keluar,tetapi
berkumpul di belakang plasenta membentuk hematom retroplasenta. Perdarahan
semacam ini disebut perdarahan ke dalam atau perdarahan tersembunyi.
Solusio plasenta dengan perdarahan tersembunyi menimbulkan tanda yang lebih
khas karena seluruh perdarahan tertahan di dalam dan menambah volume uterus.
Umumnya lebih berbahaya karena jumlah perdarahan yang keluar tidak sesuai dengan
beratnya syok. Perdarahan pada solusio plasenta terutama berasal dari ibu,namun dapat
juga berasal dari anak.
6. Gejala
Beberapa gejala dari solusio plasenta adalah sebagai berikut :
1) Perdarahan yang disertai nyeri.
2) Anemia dan syok,beratnya anemia dan syok sering tidak sesuai dengan banyaknya
darah yang keluar.
3) Rahim keras seperti papan dan terasa nyeri saat dipegang karena isi rahim bertambah
dengan darah yang berkumpul di belakang plasenta hingga rahim teregang (uterus
en bois).
4) Palpasi sulit dilakukan karena rahim keras.
5) Fundus uteri makin lama makin baik.
6) Bunyi jantung biasanya tidak ada.
7) Pada toucher teraba ketuban yang teregang terus-menerus (karena isi rahim
bertambah).

141
8) Sering terjadi proteinuria karena disertai preeklampsi.
7. Doagnosa
1) Diagnosis solusio plasenta kadang sukar ditegakkan.
2) Penderita biasanya datang dengan gejala klinis :
a) Perdarahan pervaginam (80%)
b) Nyeri abdomen atau pinggang dan nyeri tekan uterus (70%)
c) Gawat janin (60 %)
d) Kelainan kontraksi uterus (35%)
e) Kelainan premature idiopatik (25%)
f) Dan kematian janin (15%)
3) Syok yang terjadi kadang tidak sesuai dengan banyak perdarahan
4) Pemeriksaan laboratorium untuk menyingkirkan diagnosis banding solusio plasenta
antara lain :
a) Hitung sel darah lengkap
b) Fibrinogen
c) Waktu prothrombin/waktu tromboplastin parsial teraktifasi untuk mengetahui
terjadinya DIC
d) Nitrogen urea/kreatinin dalam darah
e) Kleithauer-Betke test untuk mendeteksi adanya sel darah merah janin di dalam
sirkulasi ibu
f) Pemeriksaan penunjang ultrasonografi (USG) membantu menentukan lokasi
plasenta (untuk menyingkirkan kemungkinan plasenta previa). Saat ini lebih
dari 50% pasien yang diduga mengalami solusio plasenta dapat teridentifikasi
melalui USG.
g) Hematom retroplasenter dapat dikenali sekitar 2-15% dari semua solusio
plasenta. Pengenalan hematoma tergantung pada derajat hematoma (besar dan
lamanya) serta keahlian operator.
h) Pemeriksaan histologik setelah plasenta dikeluarkan dapat memperlihatkan
hematoma retroplasenter.
i) Penemuan lain yang mungkin adalah adanya ektravasasi darah ke
miometrium,yang tampak sebagai bercak ungu pada tunika serosa uterus yang
dikenal sebagai Uterus Couvelaire.
j) Secara klinis diketahui dari adanya nyeri dan tegang pada uterus.

142
k) Diagnosis banding lain perdarahan pada trimester ketiga selain plasenta previa
adalah vasa previa,trauma vaginal,serta keganasan (jarang).
8. Komplikasi
Komplikasi bisa terjadi pada ibu maupun pada janin yang dikandungnya dengan criteria :
a. Komplikasi pada ibu
1) Perdarahan yang dapat menimbulkan : variasi turunnya tekanan darah sampai
keadaan syok,perdarahan tidak sesuai keadaan penderita anemis sampai
syok,kesadaran bervariasi dari baik sampai syok.
2) Gangguan pembekuan darah : masuknya trombosit ke dalam sirkulasi darah
menyebabkan pembekuan darah intravaskuler dan diserti hemolisis, terjadinya
penurunan fibrinogen sehingga hipofibrinogen dapat mengganggu pembekuan
darah.
3) Oliguria menyebabkan terjadinya sumbatan glomerulus ginjal dan dapat
menimbulkan produksi urin makin berkurang.
4) Perdarahan postpartum : pada solusio plasenta sedang sampai berat terjadi
infiltrasi darah ke otot rahim, sehingga mengganggu kontraksi dan
menimbulkan perdarahan karena atonia uteri, kegagalan pembekuan darah
menambah bertanya perdarahan.
5) Koagulopati konsumtif, DIC: solusio plasenta merupakan penyebab
koagulopati konsumtif yang tersering pada kehamilan.
6) Utero renal reflex
7) Ruptur uteri
b. Komplikasi pada janin
1) Asfiksia ringan sampai berat dan kematian janin,karena perdarahan yang
tertimbun dibelakang plasenta yang mengganggu sirkulasi dan nutrisi kearah
janin. Rintangan kejadian asfiksia sampai kematian janin dalam rahim
tergantung pada beberapa sebagian placenta telah lepas dari implantasinya di
fundus uteri.
2) Kelainan susunan system saraf pusat
3) Retardasi pertumbuhan
4) Anemi
9. Cara Melakukan Deteksi Terhadap Kemungkinan Solusio Plasenta
1) amannesis, yakni : ibu mengeluh terjadi perdarahan disertai sakit yang tiba-tiba
diperut untuk menentukan tempat terlepasnya plasenta. Perdarahan pervaginam

143
dengan berupa darah segar dan bekuan-bekuan darah. Pergerakan anak mulai hebat
kemudian terasa pelan dan akhirnya berhenti (tidak bergerak lagi). Kepala pusing,
lemas, pucat, pandangan berkunang-kunang, ibu kelihatan anemis tidak sesuai
dengan banyaknya darah yang keluar. Kadang-kadang ibu dapat menceritakan
trauma.
2) Perika pandang (inspeksi ): pasien tampak gelisah, pasien terlihat pucat, sianosis dan
keringat dingin, terlihat darah keluar pervaginam.
3) Pada saat palpasi : didapatkan hasil fundus uteri teraba naik karena terbentuknya
retroplasenta hematoma, uterus tidak sesuai dengan kehamilan: uterus teraba tegang
dank eras seperti papan disebut uterus in bois (wooden uterus baik waktu his maupun
di luar his), nyeri tekan terutama ditempat plasenta,bagian-bagian janin sudah
dikenali,karena perut (uterus) tegang.
4) Auskultasi sulit, karena uterus tegang. Bila denyut jantung janin terdengar biasanya
di atas 140 x/menit,kemudian turun dibawah 100 x/menit dan akhirnya hilang bila
plasenta yang terlepas dari sepertiganya.
5) Pada pemeriksaan dalam teraba servik biasanya lebih terbuka atau masih tertutup.
Kalau servik sudah terbuka maka ketuban dapat teraba menonjol dan tegang,baik
sewaktu his maupun diluar his, kalau ketuban sudah pecah dan plasenta sudah
terlepas seluruhnya, plasenta ini akan turun ke bawah dan pemeriksaan disebut
prolapsus plasenta.
6) Hasil pemeriksaan umum : tekanan darah semula mungkin tinggi karena pasien
sebelumnya menderita penyakit vaskuler,tetapi lambat laun turun dan pasien jatuh
syok,nadi cepat dan kecil filiformis.
7) Pemeriksaan laboratorium : urin : protein (+) dan reduksi (-),albumin (+) pada
pemeriksaan sedimen terdapat silinder dan lekosit. Darah : hemoglobin (Hb) anemi,
pemeiksaan golongan darah, kalau bisa Cross Match Tets.
8) Pemeriksaan plasenta sesudah bayi dan plaseta lahir, maka kita harus memeriksa
plasentanya. Biasanya plasenta tampak tipis dan cekung dibagian plasenta yang
terlepas (krater) dan terdapat koagulan atau darah dibelakang plasenta yang disebut
hematoma retroplasenter.
10. Penatalaksaan
Tujuan utama pelaksanaan ibu dengan solusio plasenta,pada prinsipnya adalah anak :
1) Mencegah kematian ibu
2) Menghentikan sumber perdarahan

144
3) Jika janin masih hidup, mempertahankan dan mengusahakan janin lahir hidup

Prinsip utama penatalaksanaannya antara lain :

1) Pasien (ibu) dirawat dirumah sakit,istirahat baring dan mengukur keseimbangan


cairan.
2) Optimalisasi keadaan umum pasien (ibu), dengan perbaikan: memberikan infuse
dan transfuse darah segar.
3) Pemeriksaan laboratorium : hemoglobin, hematokrit, COT (Clot Observation
Test/test pembekuan darah), kadar fibrinogen plasma, urine lengkap, fungsi
ginjal.
4) Pasien (ibu) gelisah diberikan obat analgetika.
5) Terminasi kehamilan : persalina segera, pervaginam atau section sesarea. Yang
tujuannya adalah untuk menyelamatkan nyawa janin dan dengan lahirnya
plasenta,berjutuan agar dapat menghentikan perdarahan.
6) Bila terjadi gangguan pembekuan darah (COT >30 menit) diberikan darah segar
dalam jumlah besar dan bila perlu fibrinogen dengan monitoring berkala
pemeriksaan COT dan hemoglobin.
7) Untuk mengurangi tekanan intrauterine yang dapt menyebabkan nekrosis ginjal
(reflek utero ginjal) selaput ketuban segera dipecahkan.

Yang perlu diketahui oleh semua bidan yaitu penanganan di tempat pelayanan
kesehatan tingkat dasar ialah mengatasi syok/pre-syok dan mempersiapkan rujukan
sebaik-baiknya dan secepat-cepatnya.

Mengingat komplikasi yang dapt terjadi yaitu perdarahan banyak dan syok berat
hingga kematian,atonia uteri,kelainan pembekuan darah dan oliguria. Maka sikap
paling utama dari bidan dalam menghadapi solusio plasenta adalah segera melakukan
rujukan ke rumah sakit.

11. Rujukan

Dalam melakukan rujukan,bidan dapat memberikan pertolongan darurat dengan :

1) Memasang infus
2) Tampa melakukan pemeriksaan dalam
3) Menyertakan petugas dalam merujuk pasien

145
4) Mempersiapkan donor darah dari keluarga/masyarakat
5) Mentyertakan keterangan tentang apa yang telah dilakukan dalm pemberian
pertolongan pertama.

Section caesaria : indikasi section saesaria dapat dilihat dari sisi ibu dan /atau anak.
Tindakan section caesaria dipilih bila persalinan diperkirakan tidak akan berakhir dalam
waktu singkat (dengan dilatasi 3-4 cm kejadian solusio plasenta pada nulipara).

12. Penatalaksanaan Asuhan Ibu di Kamar Bersalin

Bidan yang bertugas dikamar bersalin rumah sakit/rumah bersalin dalam


menghadapi pasien (ibu) dengan solusio plasenta,dapat melakukan tindakan-tindakan
sebagai berikut :

1) Abservasi keadaan umum ibu sebelum partus/persalina :


a) Ukur tekanan darah,nadi,pernapasan setiap ¼ jam sekali
b) Pemberian oksigen sesuai kebutuhan
c) Mengukur banyaknya perdarahan yang keluar,periksa hemoglobin
d) Pasang infuse sesuai dengan keadaan umum ibu
e) Penyediaan darah secepatnya sebaiknya darah segar dengan jumlah yang
telah diperhitungkan dengan perkiraan kehilangan darah
f) Minta izin operasi
g) Dilakukan pemeriksaan terst pembekuan darah (COT:Clot Observation
Test)
2) Observasi keadaan umum ibu sesudah partus/persalinan,yang bertujuan untuk :
a) Mencegah agar tidak terjadi perdarahan pasca persalinan (Hemorhagi
postpartum/HPP) dengan :
1) Memasang folley kateter (kolaborasi)
2) Memasang gurita untuk penekanan pada fundus uteri
b) Mencegah infeksi.

PARTUS PREMATURUS IMMINENS (PPI)

1. DEFINISI PARTUS PREMATURUS IMMINENS (PPI)


Partus Prematurus Imminens adalah persalinan yang berlangsung pada umur
kehamilan 20 – 37 minggu dihitung dari hari pertama menstuasi terakhir (HPMT)
(ACOG, 2005). Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa bayi premature

146
adalah bayi yang lahir pada usia kehamilan 37minggu atau kurang.
Menurut Wibowo (2007), persalinan prematur adalah kontraksi uterus yang
teratur setelah kehamilan 20 minggu dan sebelum 37 minggu , dengan interval kontraksi
5 hingga 8 menit atau kurang dan disertai dengan satu atau lebih tanda berikut: (1)
perubahan serviks yang progresif (2) dilatasi serviks 2 sentimeter atau lebih (3)
penipisan serviks 80 persen atau lebih. Menurut Mochtar (2008) partus prematurus
yaitu persalinan pada kehamilan 28 sampai 37 minggu, berat badan lahir 1000 sampai
2500 gram.
Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI di Semarang tahun 2005
menetapkan bahwa persalinan preterm adalah persalinan yang terjadi pada usia
kehamilan 22-37 minggu.

2. EPIDEMIOLOGI PARTUS PREMATURUS IMMINENS (PPI)


Pemicu obstetri yang mengarah pada PPI antara lain: (1) persalinan atas indikasi
ibu ataupun janin, baik dengan pemberian induksi ataupun seksio sesarea; (2) PPI
spontan dengan selaput amnion utuh; dan (3) PPI dengan ketuban pecah dini, terlepas
apakah akhirnya dilahirkan pervaginam atau melalui seksio sesarea. Sekitar 30-35%
dari PPI berdasarkan indikasi, 40-45% PPI terjadi secara spontan dengan selaput
amnion utuh, dan 25-30% PPI yang didahului ketuban pecah dini (Harry dkk, 2010).
Konstribusi penyebab PPI berbeda berdasarkan kelompok etnis. PPI pada
wanita kulit putih lebih umum merupakan PPI spontan dengan selaput amnion utuh,
sedangkan pada wanita kulit hitam lebih umum didahului ketuban pecah dini
sebelumnya. PPI juga bisa dibagi menurut usia kehamilan: sekitar 5% PPI terjadi pada
usia kehamilan kurang dari 28 minggu (extreme prematurity), sekitar 15% terjadi pada
usia kehamilan 28-31 minggu (severe prematurity), sekitar 20% pada usia kehamilan
32-33 minggu (moderate prematurity), dan 60-70% pada usia kehamilan 34-36 minggu
(near term). Dari tahun ke tahun, terjadi peningkatan angka kejadian PPI, yang sebagian
besar disebabkan oleh meningkatnya jumlah kelahiran preterm atas indikasi (Harry
dkk, 2010).

147
3. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO PARTUS PREMATURUS IMMINENS
(PPI)

Faktor resiko PPI menurut Wiknjosastro (2010) yaitu :

a) Janin dan plasenta : perdarahan trimester awal, perdarahan antepartum, KPD,


pertumbuhan janin terhambat, cacat bawaan janin, gemeli, polihidramnion
b) Ibu : DM, pre eklampsia, HT, ISK, infeksi dengan demam, kelainan bentuk
uterus, riwayat partus preterm atau abortus berulang, inkompetensi serviks,
pemakaian obat narkotik, trauma, perokok berat, kelainan imun/resus

Namun menurut Rompas (2004) ada beberapa resiko yang dapat menyebabkan partus
prematurus yaitu :

a) Faktor resiko mayor : Kehamilan multiple, hidramnion, anomali uterus, serviks


terbuka lebih dari 1 cm pada kehamilan 32 minggu, serviks
mendatar/memendek kurang dari 1 cm pada kehamilan 32 minggu, riwayat
abortus pada trimester II lebih dari 1 kali, riwayat persalinan pretem
sebelumnya, operasi abdominal pada kehamilan preterm, riwayat operasi
konisasi, dan iritabilitas uterus.
b) Faktor resiko minor : Penyakit yang disertai demam, perdarahan pervaginam
setelah kehamilan 12 minggu, riwayat pielonefritis, merokok lebih dari 10
batang perhari, riwayat abortus pada trimester II, riwayat abortus pada trimester
I lebih dari 2 kali.
4. DIAGNOSIS PARTUS PREMATURUS IMMINENS (PPI)
Beberapa kriteria dapat dipakai sebagai diagnosis ancaman PPI (Wiknjosastro, 2010),
yaitu:
1) Usia kehamilan antara 20 dan 37 minggu atau antara 140 dan 259 hari,
2) Kontraksi uterus (his) teratur, yaitu kontraksi yang berulang sedikitnya setiap
7-8 menit sekali, atau 2-3 kali dalam waktu 10 menit,
3) Merasakan gejala seperti rasa kaku di perut menyerupai kaku menstruasi, rasa
tekanan intrapelvik dan nyeri pada punggung bawah (low back pain),
4) Mengeluarkan lendir pervaginam, mungkin bercampur darah,
5) Pemeriksaan dalam menunjukkan bahwa serviks telah mendatar 50-80%, atau
telah terjadi pembukaan sedikitnya 2 cm,
6) Selaput amnion seringkali telah pecah,

148
7) Presentasi janin rendah, sampai mencapai spina isiadika.

Kriteria lain yang diusulkan oleh American Academy of Pediatrics dan The
American Collage of Obstetricians and Gynecologists (1997) untuk mendiagnosis
PPI ialah sebagai berikut:

1) Kontraksi yang terjadi dengan frekuensi empat kali dalam 20 menit atau delapan
kali dalam 60 menit plus perubahan progresif pada serviks,
2) Dilatasi serviks lebih dari 1 cm,
3) Pendataran serviks sebesar 80% atau lebih.

Menurut Mansjoer (2000) manifestasi klinik persalinan pretem adalah:


a. Kontraksi uterus yang teratur sedikitnya 3 sampai 5 menit sekali selama 45
detik dalam waktu minimal 2 jam .
b. Pada fase aktif, intensitas dan frekuensi kontraksi meningkat saat pasien
melakukan aktivitas.
c. Tanya dan cari gejala yang termasuk faktor risiko mayor dan minor
d. Usia kehamilan antara 20 samapi 37 minggu
e. Taksiran berat janin sesuai dengan usia kehamilan antara 20 sampai 37
minggu.
f. Presentasi janin abnormal lebih sering ditemukan pada persalinan preterm.

5. PEMERIKSAAN PENUNJANG PARTUS PREMATURUS IMMINENS (PPI)


Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk mendukung ketepatan diagnosis PPI :

1. Laboratorium
 Pemeriksaan kultur urine
 Pemeriksaan gas dan pH darah janin
 Pemeriksaan darah tepi ibu
 Jumlah lekosit
C-reactive protein . CRP ada pada serum penderita yang menderita infeksi akut
dan dideteksi berdasarkan kemampuannya untuk mempresipitasi fraksi
polisakarida somatik nonspesifik kuman Pneumococcus yang disebut fraksi C.
CRP dibentuk di hepatosit sebagai reaksi terhadap IL-1, IL-6, TNF.
2. Pemeriksaan ultrasonografi
Penipisan serviks: Iams dkk. (1994) mendapati bila ketebalan seviks < 3 cm
(USG) , dapat dipastikan akan terjadi persalinan preterm. Sonografi serviks

149
transperineal lebih disukai karena dapat menghindari manipulasi intravagina
terutama pada kasus-kasus KPD dan plasenta previa.
6. PENATALAKSANAAN PARTUS PREMATURUS IMMINENS (PPI)
Beberapa langkah yang dapat dilakukan pada PPI, terutama untuk mencegah morbiditas
dan mortalitas neonatus preterm ialah:
1) Menghambat proses persalinan preterm dengan pemberian tokolitik, yaitu :
a. Kalsium antagonis: nifedipin 10 mg/oral diulang 2-3 kali/jam,
dilanjutkan tiap 8 jam sampai kontraksi hilang. Obat dapat diberikan lagi
jika timbul kontaksi berulang. dosis maintenance 3x10 mg.
b. Obat ß-mimetik: seperti terbutalin, ritrodin, isoksuprin, dan salbutamol
dapat digunakan, tetapi nifedipin mempunyai efek samping yang lebih
kecil. Salbutamol, dengan dosis per infus: 20-50 μg/menit, sedangkan
per oral: 4 mg, 2-4 kali/hari (maintenance) atau terbutalin, dengan dosis
per infus: 10-15 μg/menit, subkutan: 250 μg setiap 6 jam sedangkan
dosis per oral: 5-7.5 mg setiap 8 jam (maintenance). Efek samping dari
golongan obat ini ialah: hiperglikemia, hipokalemia, hipotensi,
takikardia, iskemi miokardial, edema paru.
c. Sulfas magnesikus: dosis perinteral sulfas magnesikus ialah 4-6 gr/iv,
secara bolus selama 20-30 menit, dan infus 2-4gr/jam (maintenance).
Namun obat ini jarang digunakan karena efek samping yang dapat
ditimbulkannya pada ibu ataupun janin. Beberapa efek sampingnya
ialah edema paru, letargi, nyeri dada, dan depresi pernafasan (pada ibu
dan bayi).
d. Penghambat produksi prostaglandin: indometasin, sulindac, nimesulide
dapat menghambat produksi prostaglandin dengan menghambat
cyclooxygenases (COXs) yang dibutuhkan untuk produksi
prostaglandin. Indometasin merupakan penghambat COX yang cukup
kuat, namun menimbulkan risiko kardiovaskular pada janin. Sulindac
memiliki efek samping yang lebih kecil daripada indometasin.
Sedangkan nimesulide saat ini hanya tersedia dalam konteks percobaan
klinis.

Untuk menghambat proses PPI, selain tokolisis, pasien juga perlu membatasi
aktivitas atau tirah baring serta menghindari aktivitas seksual. Kontraindikasi

150
relatif penggunaan tokolisis ialah ketika lingkungan intrauterine terbukti tidak
baik, seperti:

a) Oligohidramnion
b) Korioamnionitis berat pada ketuban pecah dini
c) Preeklamsia berat
d) Hasil nonstrees test tidak reaktif
e) Hasil contraction stress test positif
f) Perdarahan pervaginam dengan abrupsi plasenta, kecuali keadaan pasien
stabil dan kesejahteraan janin baik
g) Kematian janin atau anomali janin yang mematikan
h) Terjadinya efek samping yang serius selama penggunaan beta-mimetik.
2) Akselerasi pematangan fungsi paru janin dengan kortikosteroid,
Pemberian terapi kortikosteroid dimaksudkan untuk pematangan
surfaktan paru janin, menurunkan risiko respiratory distress syndrome (RDS),
mencegah perdarahan intraventrikular, necrotising enterocolitis, dan duktus
arteriosus, yang akhirnya menurunkan kematian neonatus. Kortikosteroid perlu
diberikan bilamana usia kehamilan kurang dari 35 minggu.
Obat yang diberikan ialah deksametason atau betametason. Pemberian
steroid ini tidak diulang karena risiko pertumbuhan janin terhambat. Pemberian
siklus tunggal kortikosteroid ialah:
a) Betametason 2 x 12 mg i.m. dengan jarak pemberian 24 jam.
b) Deksametason 4 x 6 mg i.m. dengan jarak pemberian 12 jam.
Selain yang disebutkan di atas, juga dapat diberikan Thyrotropin
releasing hormone 400 ug iv, yang akan meningkatkan kadar tri-iodothyronine
yang kemudian dapat meningkatkan produksi surfaktan. Ataupun pemberian
suplemen inositol, karena inositol merupakan komponen membran fosfolipid
yang berperan dalam pembentukan surfaktan.
3) Pencegahan terhadap infeksi dengan menggunakan antibiotik.
Mercer dan Arheart (2005) menunjukkan, bahwa pemberian antibiotika
yang tepat dapat menurunkan angka kejadian korioamnionitis dan sepsis
neonatorum. Antibiotika hanya diberikan bilamana kehamilan mengandung
risiko terjadinya infeksi, seperti pada kasus KPD. Obat diberikan per oral, yang
dianjurkan ialah eritromisin 3 x 500 mg selama 3 hari. Obat pilihan lainnya ialah

151
ampisilin 3 x 500 mg selama 3 hari, atau dapat menggunakan antibiotika lain
seperti klindamisin. Tidak dianjurkan pemberian ko-amoksiklaf karena
risiko necrotising enterocolitis.
7. KOMPLIKASI PARTUS PREMATURUS IMMINENS (PPI)
1) Pada ibu, setelah persalinan preterm, infeksi endometrium lebih sering terjadi
mengakibatkan sepsis dan lambatnya penyembuhan luka episiotomi. Bayi-bayi
preterm memiliki risiko infeksi neonatal lebih tinggi; Morales (1987)
menyatakan bahwa bayi yang lahir dari ibu yang menderita anmionitis memiliki
risiko mortalitas 4 kali lebih besar, dan risiko distres pernafasan, sepsis
neonatal, necrotizing enterocolitis dan perdarahan intraventrikuler 3 kali lebih
besar
2) Sindroma gawat pernafasan (penyakit membran hialin).
Paru-paru yang matang sangat penting bagi bayi baru lahir. Agar bisa
bernafas dengan bebas, ketika lahir kantung udara (alveoli) harus dapat terisi
oleh udara dan tetap terbuka. Alveoli bisa membuka lebar karena adanya suatu
bahan yang disebut surfaktan, yang dihasilkan oleh paru-paru dan berfungsi
menurunkan tegangan permukaan. Bayi prematur seringkali tidak menghasilkan
surfaktan dalam jumlah yang memadai, sehingga alveolinya tidak tetap terbuka.
Diantara saat-saat bernafas, paru-paru benar-benar mengempis,
akibatnya terjadi Sindroma Distres Pernafasan. Sindroma ini bisa
menyebabkan kelainan lainnya dan pada beberapa kasus bisa berakibat fatal.
Kepada bayi diberikan oksigen; jika penyakitnya berat, mungkin mereka perlu
ditempatkan dalam sebuah ventilator dan diberikan obat surfaktan (bisa
diteteskan secara langsung melalui sebuah selang yang dihubungkan dengan
trakea bayi).
3) Ketidakmatangan pada sistem saraf pusat bisa menyebabkan gangguan refleks
menghisap atau menelan, rentan terhadap terjadinya perdarahan otak atau
serangan apneu. Selain paru-paru yang belum berkembang, seorang bayi
prematur juga memiliki otak yang belum berkembang. Hal ini bisa
menyebabkan apneu (henti nafas), karena pusat pernafasan di otak mungkin
belum matang. Untuk mengurangi mengurangi frekuensi serangan apneu bisa
digunakan obat-obatan. Jika oksigen maupun aliran darahnya terganggu. otak
yang sangat tidak matang sangat rentan terhadap perdarahan (perdarahan
intraventrikuler) atau cedera .

152
4) Ketidakmatangan sistem pencernaan menyebabkan intoleransi pemberian
makanan. Pada awalnya, lambung yang berukuran kecil mungkin akan
membatasi jumlah makanan/cairan yang diberikan, sehingga pemberian susu
yang terlalu banyak dapat menyebabkan bayi muntah. Pada awalnya, lambung
yang berukuran kecil mungkin akan membatasi jumlah makanan/cairan yang
diberikan, sehingga pemberian susu yang terlalu banyak dapat menyebabkan
bayi muntah.
5) Retinopati dan gangguan penglihatan atau kebutaan (fibroplasia retrolental)
6) Displasia bronkopulmoner.
7) Penyakit jantung.
8) Jaundice.
Setelah lahir, bayi memerlukan fungsi hati dan fungsi usus yang normal untuk
membuang bilirubin (suatu pigmen kuning hasil pemecahan sel darah merah)
dalam tinjanya. Kebanyakan bayi baru lahir, terutama yang lahir prematur,
memiliki kadar bilirubin darah yang meningkat (yang bersifat sementara), yang
dapat menyebabkan sakit kuning (jaundice). Peningkatan ini terjadi karena
fungsi hatinya masih belum matang dan karena kemampuan makan dan
kemampuan mencernanya masih belum sempurna. Jaundice kebanyakan
bersifat ringan dan akan menghilang sejalan dengan perbaikan fungsi
pencernaan bayi.
9) Infeksi atau septikemia.
10) Sistem kekebalan pada bayi prematur belum berkembang sempurna. Mereka
belum menerima komplemen lengkap antibodi dari ibunya melewati plasenta.
Resiko terjadinya infeksi yang serius (sepsis) pada bayi prematur lebih tinggi.
Bayi prematur juga lebih rentan terhadap enterokolitis nekrotisasi (peradangan
pada usus).
11) Anemia .
12) Bayi prematur cenderung memiliki kadar gula darah yang berubah-ubah, bisa
tinggi (hiperglikemia maupun rendah (hipoglikemia).
13) Perkembangan dan pertumbuhan yang lambat.
14) Keterbelakangan mental dan motorik.
8. PENCEGAHAN PARTUS PREMATURUS IMMINENS (PPI)
a. Melakukan pengawasan hamil dengan seksama dan teratur

153
b. Melakukan konsultasi terhadap penyakit yang dapat menyebabkan kehamilan
dan persalinan preterm.
c. Memberikan nasehat tentang gizi saat kehamilan, meningkatkan pengertian KB-
interval, memperhatikan tentang berbagai kelainan yang timbul dan sgera
melakukan konsultasi, menganjurkan untuk pemeriksaan tambahan sehingga
secara dini penyakit ibu dapat diketahui dan diawasi / diobati.
d. Meningkatakan keadaan sosial – ekonomi keluarga dan kesehatan lingkungan
(Manuaba, 2008).
Partus prematurus menurut Mochtar (2008) dapat dicegah dengan mengambil
langkah-langkah berikut ini :
a. Jangan kawin terlalu muda dan jangan pula terlalu tua (idealnya 20 sampai 30
tahun).
b. Perbaiki keadaan sosial ekonomi
c. Cegah infeksi saluran kencing
d. Berikan makana ibu yang baik, cukup lemak , dan protein
e. Cuti hamil
f. Prenatal care yang baik dan teratur
g. Pakailah kontrasepsi untuk menjarangkan anak
CMV ( cytomegalo virus)

a) Definisi
Infeksi Virus Sitomegalo (Citomegalo Virus atau CMV) adalah infeksi yang
tejadi pada bayi dari ibu penderita CMV selama masa kehamilan. Dari semua
herpesvirus yang menyerang manusia, sitomegalovirus (CMV) merupakan
penyebab morbiditas dan mortalitas paling besar dan paling penting.
CMV adalah virus DNA dan merupakan kelompok dari famili virus Herpes
dan bagian dari TORCH. CMV adalah Penyakit yang disebabkan oleh
Cytomegalovirus dapat terjadi secara kongenital saat bayi atau infeksi pada usia
anak. Kadang-kadang, CMV juga dapat menyebabkan infeksi primer pada dewasa,
tetapi sebagian besar infeksi pada usia dewasa disebabkan reaktivasi virus yang
telah didapat sebelumnya. Infeksi kongenital biasanya disebabkan oleh reaktivasi
CMV selama kehamilan.
b) Penyebab

154
Infeksi CMV disebabkan oleh virus Cytomegalo, dan virus ini temasuk
golongan virus keluarga Herpes. Seperti halnya keluarga herpes lainnya, virus
CMV dapat tinggal secara laten dalam tubuh dan CMV merupakan salah satu
penyebab infeksi yang berbahaya bagi janin bila infeksi yang berbahaya bagi janin
bila infeksi terjadi saat ibu sedang hamil. Jika ibu hamil terinfeksi. maka janin yang
dikandung mempunyai risiko tertular sehingga mengalami gangguan misalnya
pembesaran hati, kuning, ekapuran otak, ketulian, retardasi mental, dan lain-lain.
c) Cara Penularan
Penularan atau tranmisi CMV ini berlangsung secara horisontal, vertikal, dan
hubungan seksual. Transmisi horisontal terjadi melalui droplet infection dan
kontak dengan air ludah dan air seni. seperti berciuman, kontak seksual, percikan
air liur, kencing yang tersentuh tangan, mata atau bagian dalam hidung atau
mulut. Sementara itu, transmisi vertikal penularan proses infeksi maternal ke janin,
sepertiga ibu hamil yang terinfeksi CMV sebelum dan selama kehamilan dapat
menularkan CMV kepada bayi yang dikandungnya melalui plasenta. infeksi CMV
timbul akibat pemaparan terhadap sekresi seviks yang telah terinfeksi melalui air
susu ibu dan tindakan transfusi darah dan transplantasi organ.
d) Penatalaksanaan
Infeksi sitomegalovirus yang ringan biasanya tidak memerlukan pengobatan,
dan akan sembuh dengan sendirinya. Jika infeksi mengancam kehidupan atau
penglihatan penderita, bisa diberikan obat anti-virus gansiklovir atau foskarnet.
Meskipun obat-obat ini memiliki efek samping yang serius dan tidak
menyembuhkan infeksi, tetapi pengobatan yang diberikan sering memperlambat
perkembangan penyakit.
Tidak ada terapi yang memuaskan dapat diterapkan, khususnya pada
pengobatan infeksi kongenital. Dengan demikian, dalam konseling infeksi primer
yang terjadi pada umur kehamilan kurang dari 20 minggu setelah memperhatikan
hasil diagnosis pranatal kemungkinan dapat dipertimbangkan terminasi kehamilan.
Terapi diberikan guna mengobati infeksi CMV yang serius seperti retinitis,
esofaginitis pada penderita dengan Acquired immunodeficiency Syndrome (AIDS)
serta tindakan profilaksis untuk mencegah infeksi CMV setelah transplantasi
organ. Obat yang digunakan untuk anti CMV untuk saat ini adalah Ganciclovir,
foscarnet, Cidofivir dan Valaciclovir, tetapi sampai saat ini belum dilakukan
evaluasi di samping obat tersebut dapat menimbulkan intoksikasi serta resistensi

155
akibat infeksi kongenital. Sampai saat ini vaksin untuk mencegah infeksi CMV
masih dalam tahap penelitian dan pengembangan. Menjaga kebersihan bagi ibu
hamil masih merupakan cara terbaik untuk melindungi bayi dalam kandungan
terhadap infeksi CMV.

Rubella

a) Definisi
Rubella, juga dikenal sebagai campak Jerman atau campak tiga hari, adalah
penyakit yang disebabkan oleh virus rubella. Nama "rubella" berasal dari bahasa
Latin, yang berarti sedikit merah. Rubella juga dikenal sebagai campak Jerman
karena penyakit ini pertama kali dijelaskan oleh dokter Jerman pada pertengahan
abad kedelapan belas. Penyakit ini sering ringan dan serangan sering berlalu tanpa
diketahui. Virus biasanya menginfeksi tubuh melalui pernapasan
seperti hidung dan tenggorokan. Penyakit ini bisa bertahan satu sampai tiga hari.
Anak-anak sembuh lebih cepat daripada orang dewasa. Infeksi ibu oleh virus
Rubella selama kehamilan bisa serius, jika ibu terinfeksi dalam 20 minggu pertama
kehamilan, anak dapat lahir dengan sindrom rubella bawaan (CRS), yang
mencakup berbagai penyakit tak tersembuhkan yang serius. Virus ini menular
lewat udara. Rubela juga biasanya ditularkan oleh ibu kepada bayinya, makanya
disarankan untuk melakukan tes Rubela sebelum hamil. Bayi yang terkena virus
Rubela selama di dalam kandungan beresiko cacat.
b) Penyebab
Penyakit ini disebabkan oleh virus Rubella, sebuah togavirus yang
menyelimuti dan memiliki genom RNA beruntai tunggal.Virus ini menyebar saat
seseorang yang terinfeksi bersin atau batuk, atau bisa juga menyebar dengan kontak
langsung dengan cairan pernapasan seseorang yang terinfeksi rubella, misalnya
lendir. Seseorang yang terkena rubella menular dari 10 hari sebelum terjadinya
ruam sampai satu atau dua minggu setelah ruam menghilang. Rubella biasanya
jarang terjadi pada masyarakat yang sebagian sudah mendapatkan vaksin MMR
saat bayi. Biasanya jika terjadi kasus rubella, umumnya menimpa pada orang
dewasa yang belum pernah mendapat vaksin MMR.
c) Gambaran Klinis

156
Biasanya menyebabkan penyakit ringan dan sebagian besar bersifat
asimtomatis. Jarang menimbulkan kematian. Gejala klinisnya adalah sebagai
berikut :
1) Ruam makopapular (95%), ruam bermula dari muka dan menyebar secara
sentripethal ke dada dan perut dan dalam satu atau dua hari menyebar ke
ekstremitas. Lesi diawali dengan ruam mukopapular merah muda kemudian
menyatu dan akhirnya menghilang dengan cepat.
2) Limfadenopati
3) Demam ringan
4) Konjungtivitis
5) Radang tenggorokan
6) Arthalgia
7) Batuk pilek
8) Transmisi infeksi paling sering terjadi pada kehamilan trimester pertama.
9) Kelainan rubella congenital yang dilaporkan, 80% kasus terjadi pada ibu
yang terpapar saat usia kehamilan 12 minggu pertama, 54% pada minggu
ke-13 dan ke-14, 25% pada akhir trimester ke-2 dan 5-6 % pada trimester
ke-3.
10) Mekanisme teratogenesis virus rubella masih belum diketahui dengan jelas.
Diduga sel yang terinfeksi rubella akan mengeluarkan substansi yang
menghambat pertumbuhan dan replikasi sel sehingga akan terlihat bayi
tumbuh dengan lambat.
11) Faktor yang menentukan akibat infeksi virus rubella pada janin belum
diketahui dengan pasti, tapi diduga berhubungan dengan :
 Waktu kehamilan saat terjadi infeksi maternal
 jumlah virus yang menginfeksi janin
 Perbedaan virulensi strain
 Kerentanan individu yang dipengaruhi etnis atau genetic.
12) Komplikasi akibat virus rubella antara lain :
 Abortus spontan
 Bayi lahir mati
 Kelahiran premature
 Abnormalitas janin

157
13) Sindrom rubella congenital, dengan angka mortalitas 5-35%, 80% anak
dengan rubella congenital menunjukkan adanya gangguan system saraf,
penonjolan fontanella anterior, letargi iritabilitas dan abnormalitas tonus
motorik. Anak dengan sindroma rubella congenital yang mencapai IQ
diatas 90 hanya 39%, 37% mengalami retardasi mental, 7% autis, 3%
mengalami gangguan kepribadian. Tuli sensorik dan gangguan penglihatan
serta terjadinya DM pada usia muda adalah diduga sebagai gejala sisa dari
sindrom ini.
d) Pengobatan Dan Pencegahan
1) Pemberian vaksin rubella sebelum kehamilan dan menunggu minimal 28 hari
untuk hamil setelah divaksinasi.
2) Pada wanita hamil yang terpapar sebaiknya dilakukan pemeriksaan serologi
3) Konseling tentang bahaya virus rubella pada bayi yaitu bias terjadi sindrom
rubella congenital
4) Bisa mempertimbangkan abortus terapeutik/medicinalis
5) Pemberian immunoglobulin pada ibu hamil yang terpapar rubella tetapi
menolak dilakukan abortus terapeutik.
6) Pengobatan simtomatik karena biasanya tidak memerlukan terapi yang
spesifik
7) Observasi terus menerus pada bayi yang dilahirkan

Herpes

a) Definisi
Herpes atau kadang disebut dengan penyakit cacar merupakan penyakit radang
kulit yang ditandai dengan pembentukan gelembung-gelembung berisi air secara
berkelompok. Penyakit Cacar atau Herpes ini ada 2 macam golongan, Herpes
Simplex dan Herpes Zoster. Keduanya sama-sama disebabkan oleh virus.
b) Penyebab
Kedua herpes ini berasal dari virus yang berbeda. Herpes zoster disebabkan
oleh virus Varicella zoster. Herpes zoster juga dikatakan penyakit infeksi pada
kulit yang merupakan lanjutan dari pada chickenpox (cacar air) karena virus yang
menyerang adalah sama. Hanya terdapat perbedaan dengan cacar air, herpes zoster
memiliki ciri cacar gelembung yang lebih besar dan berkelompok pada bagian
tertentu di badan, bisa di bagian punggung, dahi atau dada. Proses penularan herpes

158
zoster ini bisa melalui bersin, batuk, pakaian yang tercemar dan sentuhan ke atas
gelembung/lepuh yang pecah.
c) Gambaran Klinis
Gejala prodromal herpes zoster biasanya berupa rasa sakit dan parestesi pada
dermatom yang terkena. Gejala ini terjadi beberapa hari menjelang timbulnya
erupsi. Gejala konstitusi, seperti sakit kepala, malaise, dan demam, terjadi pada 5%
penderita (terutama pada anak-anak) dan timbul 1-2 hari sebelum terjadi erupsi.
Gambaran yang paling khas pada herpes zoster adalah erupsi yang lokalisata
dan unilateral. Jarang erupsi tersebut melewati garis tengah tubuh. Umumnya lesi
terbatas pada daerah kulit yang dipersarafi oleh salah satu ganglion saraf sensorik.
Erupsi mulai dengan eritema makulopapular. Dua belas hingga dua puluh empat
jam kemudian terbentuk vesikula yang dapat berubah menjadi pustula pada hari
ketiga. Seminggu sampai sepuluh hari kemudian, lesi mengering menjadi krusta.
Krusta ini dapat menetap menjadi 2-3 minggu.Keluhan yang berat biasanya terjadi
pada penderita usia tua. Pada anak-anak hanya timbul keluhan ringan dan erupsi
cepat menyembuh. Rasa sakit segmental pada penderita lanjut usia dapat menetap,
walaupun krustanya sudah menghilang.
d) Penatalaksanaan
1) Pasien diistirahatkan.
2) Terapi sistemik umumnya bersifat simtomatik. Untuk nyerinya diberi analgetik,
dapat pula ditambahkan neurotropik : vit B1, B6, B12.
3) Penting segera mengeringkan vesikel. Usahakan supaya vesikel tidak pecah
untuk menghindari infeksi sekunder, yaitu dengan bedak salisil 2%. Jika terjadi
infeksi sekunder, dapat diberi antibiotik lokal, misal salep kloramfenikol 2%.
4) Terapi triamsinolon atau prednison per oral pada pasien tua bisa menurunkan
kemungkinan neuralgia pasca herpetik. Pemberian secara oral prednison 30
mg/hari atau triamsinolon 48 mg/hari akan memperpendek masa neuralgia pasca
herpetik, terutama pada orang tua dan seyogianya sudah diberikan sejak awal
timbulnya erupsi. Indikasi lain pemberian kortikosteroid ialah untuk Sindrom
Ramsay-Hunt. Pemberian harus sedini-dininya untuk mencegah terjadinya
paralisis. Yang biasa diberikan adalah prednison dosis 3 x 20 mg/hari, setelah
seminggu dosis diturunkan secara bertahap.
5) Indikasi pemberian asiklovir pada herpes zoster :
 Pasien ≥ 60 tahun dengan lesi muncul dalam 72 jam

159
 Pasien ≤ 60 tahun dengan lesi luas, akut dan dalam 72 jam
 Pasien dengan lesi oftalmikus, segala umur, lesi muncul dalam 72 jam
 Pasien dengan lesi aktif menyerang daerah leher, alat gerak dan perineum
(lumbal-sakral)

Antivirus juga diindikasikan untuk pasien dengan defisiensi imunitas


mengingat komplikasinya, juga pada kasus yang berat. Dosis asiklovir yang
dianjurkan ialah 5 x 800 mg/hari selama 7 hari, sedangkan valasiklovir cukup 3 x
1000 mg/hari karena konsentrasi dalam plasma lebih tinggi. Antivirus paling
lambat dimulai 72 jam setelah lesi muncul merupakan rejimen yang dianjurkan.
Jika lesi baru masih tetap timbul, obat tersebut masih dapat diteruskan dan
dihentikan sesudah 2 hari sejak lesi baru tidak timbul lagi.

Varicella

a) Definisi
Penyakit ini di masyarakat dikenal dengan sebutan Cacar Air. Varicella adalah
penyakit yang disebabkan oleh virus dan sangat menular, terutama terjadi pada
anak-anak. Penyakit ini harus dibedakan dengan penyakit Cacar (Variola) yang
memiliki angka kematian cukup tinggi. Secara klinis penyakit ini ditandai dengan
adanya erupsi vesikuler pada kulit atau selaput lendir. Walaupun manifestasinya
ringan, tapi pada anak-anak yang sistem kekebalan tubuhnya belum sempurna,
penyakit ini dapat menjadi berbahaya.
b) Penyebab
Varicella disebabkan oleh Varicella Zooster Virus (VZV) yang termasuk
kelompok Herpes Virus dengan diameter kira-kira 150 – 200 nm. Inti virus disebut
capsid yang berbentuk icosahedral, terdiri dari protein dan DNA yang mempunyai
rantai ganda yaitu rantai pendek (S) dan rantai panjang (L) dan merupakan suatu
garis dengan berat molekul 100 juta dan disusun dari 162 capsomer. Lapisan ini
bersifat infeksius. Varicella Zoster Virus dapat menyebabkan varicella dan herpes
zoster. Kontak pertama dengan virus ini akan menyebabkan varicella, oleh karena
itu varicella dikatakan infeksi akut primer, sedangkan bila penderita varicella
sembuh atau dalam bentuk laten dan kemudian terjadi serangan kembali maka yang
akan muncul adalah Herpes Zoster.
c) Gambaran Klinis

160
Varicella yang terjadi pada masa kehamilan, dapat menyebabkan terjadinya
varicella intrauterine ataupun varicella neonatal. Varicella intrauterine, terjadi pada
20 minggu pertama kehamilan, yang dapat menimbulkan kelainan kongenital
seperti ke dua lengan dan tungkai mengalami atropi, kelainan neurologic maupun
ocular dan mental retardation. Sedangkan varicella neonatal terjadi apabila seorang
ibu mendapat varicella(varicella maternal) kurang dari 5 hari sebelum atau 2 hari
sesudah melahirkan. bayi akan terpapar dengan viremia sekunder dari ibunya yang
didapat dengan cara transplasental tetapi bayi tersebut belum mendapat
perlindungan antibody disebabkan tidak cukupnya waktu untuk terbentuknya
antibody pada tubuh si ibu yang disebut tranplasental antibodi.
Sebelumpenggunaan varicella zoster immunoglobin (VZIG), angka kematian
varicella neonatal sekitar 30%, hal ini desebabkan terjadinya pneumonia yang berat
dan hepatitis yang fulminan. Tetapi jika si ibu mendapat varicella dalam waktu 5
hari atau lebih sebelum melahirkan, maka si ibu mempunyai waktu yang cukup
untuk membentuk dan mengedarkan antibody yang terbentuk (transplasental
antibody) sehingga neonates jarang mendnerita varicella yang berat.
d) Penatalaksanaan
 Pengobatan yang diberikan hanya bersifat simtomatis : parasetamol bila
demam sangat tinggi. Jangan memberikan asetosal pada anak, karena
dapat menimbulkan sindrom reye.
 Pasien dianjurkan mandi dengan air dan sabun. Kalium permanganat dan
antiseptik lain tidak dianjurkan.
 Kemudian beri bedak salisil 1%. Usahakan agar vesikel tidak pecah dan
mengalami infeksi sekunder.
 Bila ada infeksi sekunder : suntikkan penisilin prokain 50.000
IU/kgBB/hari selama 3 hari atau beri amoksisilin 25 – 50 mg/kgBB/hari
peroral.
 Penderita diperiksa ulang setelah seminggu.
 Bila perlu pemberian asiklovir 200 – 400 mg 5 x sehari pada awal penyakit
selama 7 hari.

161
Toxoplasmosis

a) Definisi
Penyakit toksoplasmosis adalah infeksi yang bisa mengancam pertumbuhan
janin dan bisa menyebabkan keguguran. Semua orang bisa terkena infeksi
toxoplasma. Yang menjadi sumber infeksi toxoplasma adalah:
 Tinja / kotoran kucing
 Hewan potong yang terinfeksi
 Ibu yang terinfeksi saat hamil
 Organ / donor yang terinfeksi

Seseorang dapat terinfeksi toxoplasma jika :

 Makan sayuran / buah yang terkontaminasi tinja kucing yang terinfeksi


 Makan daging mentah / kurang matang
 Penularan dari ibu ke janin
 Transplantasi organ
 Tranfusi darah

Infeksi toxoplasmosis tidak berbahaya bila mengenai orang dewasa dan anak-
anak yang sistem kekebalanya berfungsi baik, tapi berbahaya bagi janin apabila ibu
yang sedang hamil mengalami infeksi primer (infeksi yang pertama kali sepanjang
hidupnya) atau seseorang yang mengalami gangguan sistem kekebalan tubuh.

Toksoplasmosis sering disebut sebagai salah satu penyebab terjadinya


kegagalan kehamilan, dengan berbagai jenis manifestasi klinis seperti abortus,
lahir prematur, IUGR, lahir mati dan lahir dengan cacat bawaan seperti kebutaan
(retinokoroiditis), hidrosefalus, meningoencephalitis (radang otak), tuli,
pengapuran otak,retardasi mental, kejang-kejang, dan gangguan neurologis
lainnya.

Risiko seorang ibu hamil yang terinfeksi akut dengan toksoplasma


menurunkan infeksi pada bayi bila tidak segera mendapat pengobatan sangat
variatif,. Pada kehamilan trimester pertama risiko penurunan 25 %, trimester kedua
54 % dan 65 % pada trimester ketiga.

162
b) Penyebab
Infeksi toxoplasmosis adalah infeksi yang disebabkan oleh parasit Toxoplasma
gondii yang berkembang biak dalam saluran pencernaan kucing dan ikut keluar
bersama fesesnya, terutama hidup di bak pasir tempat BAB kucing dan di tanah
atau pupuk kebun. Anda bisa terinfeksi oleh parasit ini ketika membersihkan
kotoran kucing atau memegang tanah yang terdapat feses kucing. Anda juga bisa
terkena toksoplasma karena mengonsumsi daging yang dimasak setengah matang
(dimana daging tersebut terinfeksi dengan parasit toksoplasma). Meskipun kucing
adalah tempat hidup utama parasit ini, toksoplasma juga bisa hidup pada anjing,
unggas dan hewan ternak seperti babi, sapi atau kambing.
Janin bisa terinfeksi toksoplasma melalui saluran plasenta jika si ibu terserang
toksoplasmosis ketika sedang mengandung. Infeksi parasut ini bisa menyebabkan
keguguran atau cacat bawaan seperti kerusakan pada otak dan fungsi mata.
c) Gejala Klinis
Infeksi toxoplasmosis pada anda yang berbadan sehat sangat jarang
menimbulkan gejala klinis. Demikian pula halnya apabila infeksi toxoplasmosis
terjadi pada wanita hamil. Wanita hamil yang terinfeksi toxoplasmosis tidak
menunjukkan gejala apapun hingga bayinya lahir dan diketahui terinfeksi
toxoplasmosis dari sang ibu. Toxoplasmosis pada wanita hamil dapat
mengakibatkan terjadinya infeksi kongenital pada janin, keguguran, ataupun bayi
lahir mati. Pada bayi yang lahir dan terinfeksi toxoplasmosis, 10-30% diantaranya
akan mengalami gangguan pendengaran serta 20-75% mengalami keterlambatan
dalam perkembangan. Semakin besar usia kehamilan pada saat terinfeksi
toxoplasma, maka semakin besar pula resiko terjadinya infeksi kongenital
toxoplasmosis.
d) Penatalaksanaan dan pencegahan
1) Ibu
Prognosa pada infeksi yang akut baik, kecuali pada keadaan imonosekresi
yang amat besar. Wanta hamil dengan infeksi akut dapat dirawat dengan
kombinasi pyrimethamine, asam folimik dan sulfonamide. Dosis standar
pyrimethamine adalah 25 mg/hari/oral dan 1 gr sulfadiazine peroral 4 X/hari
selam 1 tahun. Pyrimethamine adalah musuh dari asam folik dan oleh karena
itu mungkinmemberikan efek teratogenik jika diberikan pada trimester I. Asam
folimik diberikan dengan dosis 6 mg secara IM atau per oral setiap pada hari

163
yang berbeda untuk mengetahui apakah benar habisnya asam folat disebsbkan
oleh Pyrimethamine.
Spiramycin adalah ejen lainyang digunakan pada pengobatan toxoplasma
akut dan dapat diperoleh pada pusat pengontrolan penyakit di USA, ini biasa
digunakan di Eropa dan karenanya tidak ada pengawasan yang baik terhadap
kemanjuran obat ini
2) Janin
Adanya gejala infeksi pada bayi lahir harus ditangani dengan pemberian
pyrimethamine dengan dosis 1 mg/kg/hr/oral selam 34 hari, dilanjutkan dosis
0,5 mg/kg/hr selam 21-30 hari dan sulfadiazine dengan dosis 20 mg/kg per oral
selam 1 tahun. Pada saat menginjak remaja diberikan asam folimik 2-6 mg
secara IM atau oral 3 X seminggu walaupun pada saat bayi dia mendapatkan
pyrimethamine. Infeksi congenital pada bayi baru lahir bukan merupakan
infeksius, oleh karena itu tidak perlu diisolasi. Bayi baru lahir yang tiak
menunjukan infeksi dan positif antibody IgG toxoplasma spesifiknya mungkin
didapatkan dari ibunya secara transplasetal. Pada bayi yang Tidak
ditemukannya temuan yang lain yang mencurigakan terjadinya infeksi
congenital., harus dipantau, apabila tidak terinfeksi harus menunjukan adanya
penurunan titer antibody IgG terhadap toxoplasma.

Gonore / Syipilis

a) Definisi
Gonore adalah penyakit menular seksual yang disebabkan oleh Neisseria
gonorrhoeae yang menginfeksi lapisan dalam uretra, leher rahim, rektum dan
tenggorokan atau bagian putih mata (konjungtiva) dan bagian tubuh yang lain.
b) Penyebab
Gonore disebabkan oleh gonokok yang dimasukkan ke dalam kelompok
Neisseria, sebagai Neisseria Gonorrhoeae. Gonokok termasuk golongan diplokok
berbentuk biji kopi dengan lebar 0,8 u, panjang 1,6 u, dan bersifat tahan asam.
Kuman ini juga bersifat negatif-Gram, tampak di luar dan di dalam leukosit, tidak
tahan lama di udara bebas, cepat mati pada keadaan kering, tidak tahan suhu di atas
39 derajat C, dan tidak tahan zat desinfektan. Daerah yang paling mudah terinfeksi
adalah dengan mukosa epitel kuboid atau lapis gepeng yang belum berkembang
(imatur), yakni pada vagina wanita sebelum pubertas.

164
c) Gambaran klinik
1. Masa tunas sulit untuk ditemukan karena pada umumnya asimtomatik, gejala
awal bisa timbul pada waktu 7-21 hari setelah terinfeksi
2. Pada wanita, penyakit akut atau kronik jarang ditemukan gejala subjektif dan
objektifnya.
3. Infeksi pada wanita, pada mulanya henya mengenai serviks uteri
4. Keluhan: kadang-kadang menimbulkan rasa nyeri pada panggul bawah,
demam, keluarnya cairan dari vagina, nyeri ketika berkemih dan desakan
untuk berkemih.
5. Pada pemeriksaan serviks tampak merah dengan erosi dan sekret
mukopurulen, duh tubuh akan terlihat lebih banyak, bila terjadi servitis akut.
d) Pengobatan
Pada wanita hamil tidak dapat diberikan obat golongan kuinolon dan
tetrasiklin. Yang direkomendasikan adalah pemberian obat golongan sefalosporin
(Seftriakson 250 mg IM sebagai dosis tunggal). Jika wanita hamil alergi terhadap
penisilin atau sefalosporin tidak dapat ditoleransi sebaiknya diberikan
Spektinomisin 2 gr IM sebagai dosis tunggal. Pada wanita hamil juga dapat
diberikan Amoksisilin 2 gr atau 3 gr oral dengan tambahan probenesid 1 gr oral
sebagai dosis tunggal yang diberikan saat isolasi N. gonorrhoeae yang sensitive
terhadap penisilin. Amoksisilin direkomendasikan unutk pengobatan jika disertai
infeksi C. trachomatis.
e) Pencegahan
1. Tidak melakukan hubungan seksual baik vaginal, anal dan oral dengan orang
yang terinfeksi
2. Pemakaian Kondom dapat mengurangi tetapi tidak dapat menghilangkan sama
sekali risiko penularan penyakit ini
3. Hindari hubungan seksual sampai pengobatan antibiotik selesai.
4. Sarankan juga pasangan seksual kita untuk diperiksa guna mencegah infeksi
lebih jauh dan mencegah penularan
5. Pengendalian penyakit menular seksual ini adalah dengan meningkatkan
keamanan kontak seks dengan menggunakan upaya pencegahan.

165
Infeksi karena virus HIV / AIDS

a) Definisi
Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency
Syndrome (disingkat AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi (atau: sindrom)
yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi
virus HIV atau infeksi virus-virus lain yang mirip yang menyerang spesies lainnya
(SIV, FIV, dan lain-lain).
b) Penyebab
Penyebab penyakit AIDs adalah HIV yaitu virus yang masuk dalam kelompok
retrovirus yang biasanya menyerang organ-organ vital sistem kekebalan tubuh
manusia. Penyakit ini dapat ditularkan melalui penularan seksual, kontaminasi
patogen di dalam darah, dan penularan masa perinatal.
c) Gejala Klinis

Berbagai gejala AIDS umumnya tidak akan terjadi pada orang-orang yang
memiliki sistem kekebalan tubuh yang baik. Kebanyakan kondisi tersebut akibat
infeksi oleh bakteri, virus, fungi dan parasit, yang biasanya dikendalikan oleh
unsur-unsur sistem kekebalan tubuh yang dirusak HIV. Infeksi oportunistik umum
didapati pada penderita AIDS. HIV memengaruhi hampir semua organ tubuh.
Penderita AIDS juga berisiko lebih besar menderita kanker seperti sarkoma
Kaposi, kanker leher rahim, dan kanker sistem kekebalan yang disebut limfoma.

Biasanya penderita AIDS memiliki gejala infeksi sistemik;


seperti demam, berkeringat (terutama pada malam hari), pembengkakan kelenjar,
kedinginan, merasa lemah, serta penurunan berat badan. Infeksi oportunistik
tertentu yang diderita pasien AIDS, juga tergantung pada tingkat kekerapan
terjadinya infeksi tersebut di wilayah geografis tempat hidup pasien.

d) Pencegahan
Penularan HIV dari ibu ke bayi dapat dicegah melalui :
1. Saat hamil. Penggunaan antiretroviral selama kehamilan yang bertujuan agar
vital load rendah sehingga jumlah virus yang ada di dalam darah dan cairan
tubuh kurang efektif untuk menularkan HIV.
2. Saat melahirkan. Penggunaan antiretroviral (Nevirapine) saat persalinan dan
bayi baru dilahirkan dan persalinan sebaiknya dilakukan dengan metode sectio

166
caesar karena terbukti mengurangi resiko penularan sebanyak 80%.
Setelah lahir . Informasi yang lengkap kepada ibu tentang resiko dan manfaat
ASI.

Infeksi pada saluran pernapasan : TBC

a) Definisi
Tuberkulosis adalah suatu infeksi menular dan menahun dan bisa berakibat
fatal, yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium bovis
atau Mycobacterium africanum. Tuberkulosis paru kini bukan penyakit yang
menakutkan sampai penerita harus dikucilkan, tetapi penyakit kronik ini dapat
menyebabkan cacat fisik atau kematian. Penularan TB paru hanya terjadi dari
penderita tuberkulosis terbuka.
b) Penyebab : Mycobacterium tuberculosis.
c) Gambaran Klinis
1. Pada awalnya penderita hanya merasakan tidak sehat atau batuk terus
menerus dan berdahak selama 3 minggu atau lebih
2. Jumlah dahak biasanya akan bertambah banyak sejalan dengan
perkembangan penyakit. Pada akhirnya dahak akan berwarna kemerahan
karena mengandung darah.
3. Masa inkubasi berkisar antara 4 – 12 minggu.
4. Salah satu gejala yang paling sering ditemukan adalah berkeringat di
malam hari tanpa aktivitas.
5. Keluhan dapat berupa demam, malaise, penurunan berat badan, nyeri
dada, batuk darah, sesak nafas.
6. Sesak nafas merupakan pertanda adanya udara (pneumotoraks) atau cairan
(efusi pleura) di dalam rongga pleura. Sekitar sepertiga infeksi ditemukan
dalam bentuk efusi pleura.
7. Pada infeksi tuberkulosis yang baru, bakteri pindah dari luka di paru-paru ke
dalam kelenjar getah bening yang berasal dari paru-paru. Jika sistem
pertahanan tubuh alami bisa mengendalikan infeksi, maka infeksi tidak akan
berlanjut dan bakteri menjadi dorman.
8. Pada anak-anak, kelenjar getah bening menjadi besar dan menekan tabung
bronkial dan menyebabkan batuk atau bahkan mungkin menyebabkan
penciutan paru-paru. Kadang bakteri naik ke saluran getah bening dan

167
membentuk sekelompok kelenjar getah bening di leher. Infeksi pada kelenjar
getah bening ini bisa menembus kulit dan menghasilkan nanah.
d) Penatalaksanaan
1. Pencegahan :
Terdapat beberapa cara untuk mencegah tuberkulosis :
 Sinar ultraviolet pembasmi bakteri, sinar ini bisa membunuh bakteri yang
terdapat di dalam udara.
 Isoniazid sangat efektif jika diberikan kepada orang-orang dengan resiko
tinggi tuberkulosis, misalnya petugas kesehatan dengan hasil tes
tuberkulin positif, tetapi hasil rontgen tidak menunjukkan adanya
penyakit. Isoniazid diminum setiap hari selama 6 – 9 bulan.
 Di negara-negara berkembang, vaksin BCG digunakan untuk mencegah
infeksi oleh M. tuberculosis.
2. Pengobatan : "DOTS"
 Pengobatan TB paru memerlukan panduan antituberkulosis untuk
memperoleh hasil terapi yang baik dan mencegah/memperkecil
kemungkinan timbulnya resistensi.
 Antibiotik yang paling sering digunakan adalah : isoniazid, rifampisin,
pirazinamid, streptomisin; dan etambutol, isoniazid, rifampisin dan
pirazinamid dapat digabungkan dalam 1 kapsul, sehingga mengurangi
jumlah pil yang harus ditelan oleh penderita.
 Pemberian etambutol diawali dengan dosis yang relatif tinggi untuk
membantu mengurangi jumlah bakteri dengan segera. Setelah 2 bulan,
dosisnya dikurangi untuk menghindari efek samping yang berbahaya
terhadap mata.
 Streptomisin merupakan obat pertama yang efektif melawan tuberkulosis,
tetapi harus diberikan dalam bentuk suntikan. Jika diberikan dalam dosis
tinggi atau pemakaiannya berlanjut sampai lebih dari 3 bulan, streptomisin
bisa menyebabkan gangguan pendengaran dan keseimbangan.
 Panduan obat untuk orang dewasa yang dianjurkan oleh Program P2M
Puskesmas adalah sebagai berikut :
I. Panduan obat jangka panjang terdiri dari streptomisin, INH + B6, dan
pirazinamida untuk jangka pengobatan 12 bulan. Cara pemberian :

168
1. tahap intensif : pengobatan setiap hari kerja selama 4 minggu (24
kali pengobatan) berupa : streptomisin 0,75 mg, INH 400 mg, Vit.
B6 10 mg dan pirazinamida 1 gram selama 8 minggu (48 kali
pengobatan).
2. tahap berselang : pengobatan dilanjutkan 2 kali seminggu selama
48 minggu (96 kali pengobatan) dengan streptomisin 0,75 mg,
INH 700 mg, ditambah Vit. B6 10 mg.
II. Panduan obat jangka pendek terdiri dari rifampisin, etambutol, INH
dan Vit. B6 untuk jangka pengobatan 6 – 9 bulan. Cara pemberian :
1. Selama terapi, kemajuan pengobatan dipantau dengan
pemeriksaan darah dan radiologi. Selain itu perlu dilakukan
pemeriksaan fungsi hati, mengingat efek rifampisin dan INH
terhadap hati.
2. Buku-buku acuan baku hanya menganjurkan pengobatan intensif
selama 6 bulan dengan dosis yang lebih kecil. Pengobatan
berselang dengan dosis besar hanya dilakukan dengan
pertimbangan bahwa ada ketidakpatuhan penderita, atau
kesulitan dalam supervisi terapi. Akan tetapi, dengan cara itu
kemungkinan toksisitas lebih besar, terutama terhadap hati masih
perlu diteliti lebih lanjut.
3. Panduan terapi untuk dewasa : Rifampisin 450 – 600 mg, INH
300 mg, pirazinamid 1,2 – 2 gram dan etambutol 25 mg/kg BB,
semua ini diberikan selama 2 bulan, 4 bulan berikutnya :
rifampisin 450 – 600 mg dan INH 300 mg.
 Panduan untuk anak :
I. Rifampisin 10 mg/kgBB/hari, INH 10 mg/kgBB/hari, pirazinamid
15 mg/kgBB/ hari selama 2 bulan pertama
II. Dilanjutkan dengan rifampisin dan INH dengan dosis yang sama
selama 4 bulan berikutnya.
III. tahap intensif : pengobatan setiap hari kerja selama 4 minggu (24 kali
pengobatan) berupa: rifampisin 450 mg, etambutol 1 gram, INH 400
mg ditambah Vit. B6 10 mg.

169
IV. tahap berselang : pengobatan dilanjutkan 2 kali seminggu selama 22
minggu (44 kali pengobatan) berupa: rifampisin 600 mg, INH 700 mg
ditambah Vit. B6 10 mg.
 Wanita yang dalam pengobatan jangka pendek sebaiknya tidak
menggunakan pil atau suntikan KB karena keampuhan pil dan suntikan KB
dapat berkurang sehingga dapat terjadi kehamilan. § Penderita harus
diberitahu bahwa rifampisin menyebabkan warna merah pada air liur, air
mata, dan air seni.
 Pengobatan jangka pendek ini tidak boleh diberikan pada wanita hamil dan
wanita yang sedang menyusui.
 Khusus pengobatan TB pada penderita anak diperlukan kerja sama yang
baik dengan orang tua pasien karena angka drop out cukup tinggi.

Penyakit Infeksi pada saluran perkemihan saluran kencing dan ginjal

a) Definisi
Infeksi saluran kemih (ISK) adalah infeksi bakteri yang terjadi pada saluran
kemih. ISK merupakan kasus yang sering terjadi dalam dunia kedokteran.
Walaupun terdiri dari berbagai cairan, garam, dan produk buangan, biasanya urin
tidak mengandung bakteri. Jika bakteri menuju kandung kemih atau ginjal dan
berkembang biak dalam urin, terjadilah ISK. Jenis ISK yang paling umum adalah
infeksi kandung kemih yang sering juga disebut sebagai sistitis. Gejala yang dapat
timbul dari ISK yaitu perasaan tidak enak berkemih (disuria, Jawa: anyang-
anyangen). Tidak semua ISK menimbulkan gejala, ISK yang tidak menimbulkan
gejala disebut sebagai ISK asimtomatis.
b) Penyebab
ISK dapat disebabkan oleh kebiasaan yang tidak baik (kurang minum,
menahan kemih), kateterisasi, dan penyakit serta kelainan lain. serta berhubungan
dengan gonta ganti pasangan..yang kita tidak tau juga kalau pasangan itu membawa
bakteri dari pasangan lain. terutama kalau sitem ketahanan tubuh sudah berkurang,
apa saja jenis bakteri akan sangat gampang sekali masuk ke dalam tubuh selain
gaya hidup yg kurang sehat terlalu banyak mengkonsumsi vitamin c dosis tinggi,
dan mengkonsumsi kopi manis, dan susu sebagi pemicu terjadinya ISK karena
urine yg melewati saluran kemih mengandung asam urat sehingga hal ini dapat

170
memicu terjadinya batu ginjal pada saluran kemih yg dapat menyebabkan
peradangan pada saluran kantung kemih.
c) Penatalaksanaan
Pada ISK yang tidak memberikan gejala klinis tidak perlu pemberian terapi,
namun bila sudah terjadi keluhan harus segera dapat diberikan
antibiotika. Antibiotika yang diberikan berdasarkan atas kultur kuman dan tes
kepekaan antibiotika.
Banyak obat-obat antimikroba sistemik diekskresikan dalam konsentrasi
tinggi ke dalam urin. Karena itu dosis yang jauh dibawah dosis yang diperlukan
untuk mendapatkan efek sistemik dapat menjadi dosis terapi bagi infeksi saluran
kemih. Bermacam cara pengobatan yang dilakukan pada pasien ISK, antara lain:
 Pengobatan dosis tunggal
 Pengobatan jangka pendek (10-14 hari)
 Pengobatan jangka panjang (4-6 minggu)
 Pengobatan profilaksis dosis rendah
 Pengobatan supresif

Antibiotik yang sering dipergunakan untuk terapi ISK, yaitu:

1. Amoxicillin 20-40 mg/kg/hari dalam 3 dosis. Sekitar 50% bakteri penyebab


ISK resisten terhadap amoxicillin. Namun obat ini masih dapat diberikan
pada ISK dengan bakteri yang sensitif terhadapnya.
2. Kloramfenikol 50 mg/kg berat badan sehari dalam dosis terbagi 4,
sedangkan untuk bayi premature adalah 25 mg/kg berat badan sehari
dalam dosis terbagi 4.
3. Co-trimoxazole atau trimethoprim 6-12 mg trimethoprim/kg/hari dalam 2
dosis. Sebagian besar ISK akan menunjukkan perbaikan dengan
cotrimoxazole. Penelitian menunjukkan angka kesembuhan yang lebih
besar pada pengobatan dengan cotrimoxazole dibandingkan amoxicillin.
4. Cephalosporin seperti cefixime atau cephalexin 1-2 gr dalam dosis tunggal
atau dosis terbagi (2 kali sehari) untuk infeksi saluran kemih bagian bawah
(sistitis) sehari. Cephalexin kira-kira sama efektif dengan cotrimoxazole,
namun lebih mahal dan memiliki spectrum luas sehingga dapat

171
mengganggu bakteri normal usus atau menyebabkan berkembangnya jamur
(Candida sp.) pada anak perempuan.

Penyakit Jantung

a) Definisi
Serangan jantung (bahasa Inggris: Myocardial infarction, acute myocardial
infarction, MI, AMI) adalah terhentinya aliran darah, meskipun hanya sesaat, yang
menuju ke jantung, dan mengakibatkan sebagian sel jantung menjadi mati.
Penyakit jantung, stroke, dan penyakit periferal arterial merupakan penyakit
yang mematikan. Di seluruh dunia, jumlah penderita penyakit ini terus bertambah.
Ketiga kategori penyakit ini tidak lepas dari gaya hidup yang kurang sehat yang
banyak dilakukan seiring dengan berubahnya pola hidup.
b) Faktor-faktor Risiko Penyakit Jantung Koroner
1. Memasuki usia 45 tahun bagi pria.
Sangat penting bagi kaum pria untuk menyadari kerentanan mereka dan
mengambil tindakan positif untuk mencegah datangnya penyakit jantung.
2. Bagi wanita, memasuki usia 55 tahun atau mengalami menopause dini
(sebagai akibat operasi).
Wanita mulai menyusul pria dalam hal risiko penyakit jantung setelah
mengalami menopause.
3. Riwayat penyakit jantung dalam keluarga.
Riwayat serangan jantung di dalam keluarga sering merupakan akibat dari
profil kolesterol yang tidak normal.
4. Diabetes.
Kebanyakan penderita diabetes meninggal bukanlah karena
meningkatnya level gula darah, namun karena kondisi
komplikasi jantung mereka.
5. Merokok.
Resiko penyakit jantung dari merokok setara dengan 100 pon kelebihan
berat badan - jadi tidak mungkin menyamakan keduanya.
6. Tekanan darah tinggi (hipertensi).
7. Kegemukan (obesitas).

172
Obesitas tengah (perut buncit) adalah bentuk dari kegemukan. Walaupun
semua orang gemuk cenderung memiliki risiko penyakit jantung, orang
dengan obesitas tengah lebih-lebih lagi.
8. Gaya hidup buruk.
Gaya hidup yang buruk merupakan salah satu akar penyebab penyakit
jantung - dan menggantinya dengan kegiatan fisik merupakan salah satu
langkah paling radikal yang dapat diambil.
9. Stress.
Banyak penelitian yang sudah menunjukkan bahwa, bila menghadapi
situasi yang tegang, dapat terjadi arithmiasjantung yang membahayakan jiwa.
c) Penatalaksanaan
1. Tujuan pengobatan adalah :
 Dukung istirahat untuk mengurangi beban kerja jantung
 Meningkatkan kekuatan dan efisiensi kontraktilitas miokardium dengan
preparat farmakologi.
 Membuang penumpukan air tubuh yang berlebihan dengan cara
memberikan terapi antidiuretik, diit dan istirahat
2. Terapi Farmakologis :
a. Glikosida jantung
Digitalis, meningkatkan kekuatan kontraksi otot jantung dan
memperlambat frekuensi jantung.
b. Efek yang dihasillkan : peningkatan curah jantung, penurunan tekanan vena
dan volume darah dan peningkatan diurisi dan mengurangi oedema.
 Terapi diuretic, diberikan untuk memacu ekskresi natrium dan air
melalui ginjal. Penggunaan harus hati-hati karena efek samping
hiponatremia dan hipokalemia.
 Terapi vasodilator, obat-obat fasoaktif digunakan untuk mengurangi
impadasi tekanan terhadap penyemburan darah oleh ventrikel. Obat
ini memperbaiki pengosongan ventrikel dan peningkatan kapasitas
vena sehingga tekanan pengisian ventrikel kiri dapat diturunkan.
Dukungan diit : pembatasan natrium untuk mencegah, mengontrol
atau menghilangkan oedema.

173
Penyakit Asma

a) Definisi
Asma adalah suatu keadaan di mana saluran nafas mengalami penyempitan
karena hiperaktivitas terhadap rangsangan tertentu, yang menyebabkan peradangan
dan penyempitan yang bersifat sementara.
b) Penyebab
Menurut The Lung Association, ada dua faktor yang menjadi pencetus asma:
1. Pemicu (trigger) yang mengakibatkan terganggunya saluran pernafasan dan
mengakibatkan mengencang atau menyempitnya saluran pernafasan
(bronkokonstriksi) tetapi tidak menyebabkan peradangan, seperti:
 Perubahan cuaca dan suhu udara.
 Rangsang sesuatu yang bersifat alergen, misalnya asap rokok, serbuk
sari, debu, bulu binatang, asap, udara dingin dan olahraga, insektisida,
debu, polusi udara dan hewan piaraan.
 Infeksi saluran pernafasan.
 Gangguan emosi.
 Kerja fisik atau Olahraga yang berlebihan.
2. Penyebab (inducer) yaitu sel mast di sepanjang bronki melepaskan bahan seperti
histamin dan leukotrien sebagai respon terhadap benda asing (alergen), seperti
serbuk sari, debu halus yang terdapat di dalam rumah atau bulu binatang, yang
menyebabkan terjadinya:
 kontraksi otot polos
 peningkatan pembentukan lender
 perpindahan sel darah putih tertentu ke bronki yang mengakibatkan
peradangan (inflammation) pada saluran pernafasan dimana hal ini akan
memperkecil diameter dari saluran udara (disebut bronkokonstriksi) dan
penyempitan ini menyebabkan penderita harus berusaha sekuat tenaga
supaya dapat bernafas.
c) Gambaran Klinis
 Sesak napas pada asma khas disertai suara mengi akibat kesulitan ekspirasi.
 Pada auskultasi terdengar wheezing dan ekspirasi memanjang

174
 Keadaan sesak hebat yang ditandai dengan giatnya otot-otot bantu
pernapasan dan sianosis dikenal dengan status asmatikus yang dapat
berakibat fatal.
 Dispnoe di pagi hari dan sepanjang malam, sesudah latihan fisik (terutama
saat cuaca dingin), berhubungan dengan infeksi saluran nafas atas,
berhubungan dengan paparan terhadap alergen seperti pollen dan bulu
binatang.
 Batuk yang panjang di pagi hari dan larut malam, berhubungan dengan faktor
iritatif, batuknya bisa kering, tapi sering terdapat mukus bening yang
diekskresikan dari saluran nafas.
d) Penatalaksanaan
 Faktor pencetus serangan sedapat mungkin dihilangkan.
 Pada serangan ringan dapat diberikan suntikan adrenalin 1 : 1000 0,2 – 0,3
ml subkutan yang dapat diulangi beberapa kali dengan interval 10 – 15 menit.
Dosis anak 0,01 mg/kgBB yang dapat diulang dengan memperhatikan
tekanan darah, nadi dan fungsi respirasi.
 Bronkodilator terpilih adalah teofilin 100 – 150 mg 3 x sehari pada orang
dewasa dan 10 – 15 mg / kgBB sehari untuk anak.
 Pilihan lain : Salbutamol 2 – 4 mg 3 x sehari untuk dewasa
 Efedrin 10 – 15 mg 3 x sehari dapat dipakai untuk menambah khasiat
theofilin.
 Prednison hanya dibutuhkan bila obat-obat diatas tidak menolong dan
diberikan beberapa hari saja untuk mencegah status asmatikus. Namun
pemberiannya tidak boleh terlambat.
 Penderita status asmatikus memerlukan oksigen, terapi parenteral dan
perawatan intensif sehingga harus dirujuk dengan tindakan awal sebagai
berikut :
 Penderita diinfus glukosa 5% Aminofilin 5 – 6 mg/kgBB disuntikkan
i.v perlahan bila penderita belum memperoleh teofilin oral.
 Prednison 10 – 20 mg 2 x sehari untuk beberapa hari, kemudian
diturunkan dosisnya sehingga secepat mungkin dapat dihentikan.
 Bila belum dicoba diatasi dengan adrenalin, maka dapat digunakan
dulu adrenalin.

175
Penyakit DM ( Diabetes Melitus )

a) Definisi
Diabetes mellitus atau yang juga sering disebut sebagai penyakit gula dapat
diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu diabetes mellitus tipe 1 dan tipe 2.
Keduanya memiliki karakterisitik yang berbeda yang berkaitan dengan kadar
insulin dan kerja dari insulin tersebut.
 Diabetes Mellitus Tipe 1
DM tipe 1 juga disebut sebagai insulin-dependent DM karena penyakit ini
disebabkan kurangnya produksi insulin dalam tubuh. Sel beta pankreas yang
semestinya mensekresikan insulin tidak bisa menjalankan kerjanya dengan baik.
Oleh karena itu, penderita DM tipe 1 ini membutuhkan insulin dari luar supaya
dapat bertahan hidup. Selain itu, DM tipe 1 dapat muncul semenjak
penderitanya masih kanak-kanak sehingga disebut juga juvenile-onset diabetes
mellitus. Tipe 1 terjadi pada 10% kasus diabetes.
 Diabetes Mellitus Tipe 2
Berbeda dengan tipe 1, pada DM tipe 2, kadar insulinnya justru normal atau
bahkan meningkat sehingga disebut non-insulin-dependent DM. Meskipun
kadar insulin normal, sel yang menjadi target dari insulin tersebut kurang
sensitif terhadap hormon ini. Sekitar 90% kasus diabetes merupakan jenis ini.
Jika onset DM tipe 1 terjadi pada anak-anak, onset DM tipe 2 umumnya terjadi
pada orang dewasa.
Hilangnya sensitifitas sel terhadap insulin berkaitan dengan variasi genetika
dan faktor gaya hidup. Obesitas, merupakan salah satu faktor resiko terbesar
mengingat 90% penderita diabetes melitus tipe 2 merupakan orang yang
obesitas.
Beberapa studi menunjukan bahwa respon otot rangka dan hati terhadap
insulin dapat dimodulasi oleh adipokin sirkulasi (hormon yang dihasilkan oleh
sel adiposa). Misalnya, sel adiposa mensekresikan resistin, yang
mempromosikan resistansi insulin dengan mengintervensi kerja insulin tersebut.
Pada orang yang obesitas, kadar resistin ini meningkat. Selain mengeluarkan
resistin, sel adiposa juga dapat mengeluarkan adiponektin yang berfungsi untuk
meningkatkan sensitivitas terhadap insulin. Namun, pada orang obesitas,
adiponektin ini menurun.

176
b) Penalataksanaan Diabetes
Karena disebabkan oleh kurangnya kadar insulin, pengobatan pada penderita
DM tipe 1 adalah dengan injeksi insulin secara regular pada sekitar waktu makan,
pengaturan jumlah dan tipe makanan serta olahraga. Insulin tidak bisa diberikan
per oral (melalui mulut) karena insulin takan dicerna oleh enzim proteolitik di
lambung dan usus halus. Pemberian insulin dari luar ini diharapkan bisa membantu
mengatasi hiperglikemi yang terjadi karena kadar insulin dalam tubuhnya kurang.
Sementara itu, saat olahraga, otot akan mengambil glukosa yang berlebihan dalam
darah sehingga kebutuhan akan insulin berkurang.
Pada diabetes tipe 2, yang penting adalah kontrol diet dan pengurangan berat
badan. Juga, dapat diberikan beberapa obat yang membantu tubuh penderita untuk
menggunakan insulinnya sendiri secara lebih efektif dengan mekanisme sebagai
berikut.
1. Sulfonylureas, misalnya Glucotrol: menstimulasi sel beta untuk
mensekresikan lebih banyak insulin).
2. Metformin, misalnya Glucophage: menekan output glukosa dari hati.
3. Alpha glycosidase inhibitors, misalnya Precose: mengeblok enzim yang
mencerna karbohidrat kompleks, sehingga menurunkan absorpsi glukosa ke
dalam darah dari saluran pencernaan. Dengan mekanisme ini, lonjakan
kadar glukosa setelah makan dapat dihindari.
4. Thiazolidinediones, misalnya Avandia: membuat sel otot dan sel lemak
lebih reseptif terhadap insulin.
5. Incretin mimetics, misalnya Byetta: meniru incretin. Incretin merupakan
hormon yang dilepaskan oleh saluran pencernaan sebagai respon terhadap
makanan untuk mengantisipasi peningkatan gula darah. Byetta, akan
meniru hormon glucagon-like peptide 1 (GLP-1). GLP-1 dilepaskan dari
sel L di usus halus sebagai respon terhadap intake makanan dan memiliki
efek menurunkan kadar glukosa secara multipel. Sebagaimana GLP-1,
Byetta akan menstimulasi sekresi insulin saat kadar glukosa tinggi, tetapi
tidak pada saat kadar glukosa rendah atau normal. Byetta juga menurunkan
produksi glukagon yang meningkatkan glukosa serta menurunkan
pengosongan lambung. Dengan memberikan efek kenyang, intake makanan
akan berkurang sehingga dalam jangka panjang, Byetta dapat berfungsi

177
untuk menurunkan berat badan. Selain itu, Byetta juga menstimulasi
regenerasi sel beta pankreas.
6. Dipeptidyl peptidase-4 atau DDP-4 inhibitor, misalnya Januvia:
meningkatkan kadar GLP-1 endogen. GLP-1 dapat dipecahkan oleh enzim
yang disebut DDP-4. Dengan pemberian obat ini, DDP-4 akan dihambat
sehingga GLP-1 dapat bekerja dengan lebih lama. Pemanjangan masa kerja
ini dapat meningkatkan kerja insulin sampai kadar glukosa kembali normal.
Januvia juga menekan pelepasan glukosa oleh hati dan memperlambat
pencernaan.
Persalinan patologis
Persalinan patologis disebut juga dengan dystocia berasal dari bahasa Yunani. Dys atau
dusartinya jelek atau buruk, tocos artinya persalinan. Persalinan patologis adalah persalinan
yang membawa satu akibat buruk bagi ibu dan anak (Departemen of Gynekologi, 1999).
Sementara persalinan normal menurut WHO adalah persalinan yang dimulai secara spontan,
beresiko rendah padaawal persalinan dan tetap selama proses persalinan. Bayi dilahirkan secara
spontan dalam persentasebelakang kepala usia kehamilan 37 minggu sampai 42 minggu,
setelah persalinan ibu dan bayi dalamkondisi sehat (Depkes, 2002).Persalinan adalah suatu
proses pengeluaran hasil konsepsi yang dapat hidup dari uterus melaluivagina ke dunia luar
(Wikjiosastro, 2002). Sementara menurut Irene dan Margaret (2002) persalinanadalah proses
bergeraknya janin, plasenta dan membrane keluar dari uterus yang tidak disadariyang
menghasilkan affacement dan dilatasi cerviks yang menghasilkan persalinan.
Peran Karakteristik Ibu dalam Persalinan Patologis.
a. Umur.
Pada umur ibu kurang dari 20 tahun rahim dan panggul belum tumbuh mencapai
ukurandewasa. Akibanya apabila ibu hamil pada umur ini mungkin mengalami
persalinan lama atau macet,karena ukuran kepala bayi lebih besar sehingga tidak
dapat melewati panggul. Sedangkan pada umur ibuyang lebih dari 35 tahun,
kesehatan ibu sudah mulai menurun, jalan lahir kaku, sehingga rigiditas tinggi.Selain
itu beberapa penelitian yang dilakukan bahwa komplikasi penelitian yang dilakukan
bahwa komplikasi kehamilan yaitu Preeklamasi, Abortus, partus lama lebih sering
terjadi pada usia dini. Lebihdari 35 tahun akibatnya ibu hamil. Lebih dari 35 tahun.
Pada zaman dahulu akibanya ibu hamil pada usiini mungkin lebih besar anak cacat,
persalinan lama, yaitu lebih dari 12 jam pada primi para dan lebih dari 12 jam dan 8

178
jam pada multi para. Selain itu dapat mengakibatkan perdarahan karena uterustidak
berkontraksi (Depkes, 2001).
b. Paritas.
Paritas adalah jumlah anak yang dilahirkan ibu. Sampai dengan paritas tiga
rahim ibu bisakembali seperti sebelum hamil. Setiap kehamilan rahim mengalami
pembesaran, terjadi pereganganotot-otot rahim selama 9 bulan kehamilan. Akibat
regangan tersebut elastisitas otot-otot rahim tidakkembali seperti sebelum hamil
setelah persalinan. Semakin sering ibu hamil dan melahirkan, semakindekat jarak
kehamiilan dan kelahiran, elastisitas uterus semakin terganggu, akibatnya uterus
tidakberkontraksi secara sempurna dan mengakibatkan perdarahan pasca kehamilan
(Sarwono, 2005)
c. Pendidikan.
Ibu yang mempunyai pendidikan tinggi, yang bekerja di sektor formal
mempunyai akses yanglebih baik terhadap informasi tentang kesehatan, lebih aktif
menentukan sikap dan lebih mandirimengambil tindakan perawatan. Rendahnya
pendidikan ibu, berdampak terhadap rendahnyapengetahuan ibu. Untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan. Makin rendah pengetahuan ibu, makinsedikit
keiinginan memanfaatkan pelayanan kesehatan (Rukmini, 2005)
d. Perilaku Ibu.
Perilaku adalah merupakan totalitas penghayatan dan aktifitas seseorang
yangmerupakan hasil bersama baik eksternal maupun internal. Seorang ahli
pedidikan membagi perilakukedalam 3 domain: pengetahuan, sikap dan tindakan.
Bila perilaku didasari rendah pengetahuan akanlanggeng dari yang tidak didasari
pengetahuan (Rogers, 1974). Ibu hamil harus berperilaku sehat, agar kehamilan tidak
mempunyai masalah yang dapat mengakibatkan komplikasi dalampersalinan.
Adapun perilaku ibu selama hamil meliputi: kunjungan, asupan gizi, makan tablet
zat besisejak kehamilan 20 mg, senam hamil, perawatan jalan lahir, pemanfaatan
layanan kesehatan.(Syaiffudin, 2005).
Adapun yang termasuk ke dalam kegawatdaruratan maternal dan neonatal khususnya
persalinan adalah sebagai berikut :
KELAINAN HIS
a) Definisi
Keadaan dimana his tidak normal baik kekuatan, maupun sifatnya, sehingga
menghambat kelancaran persalinan yang disebabkan oleh :

179
1) Gravida tua, inersia pada multi dan grande multi

2) Faktor herediter, emosi, ketakutan memegang peranan penting

3) Salah pemberian obat seperti oxytocin dan obat penenang

4) Kehamilan post matur

Kelainan his dapat dibedakan menjadi 3 yaitu :

1) Kelainan His Hipotinik

2) Kelaiain His Hipertonik

3) His Inkoordinasi

b) Data Fokus

a. Kelainan His Hipotinik :

 Tidak ada tonus basal

 Kontraksi uterus memiliki pola gradasi normal tetapi tekanan yang ditimbulkan
oleh kontraksi uterus tidak cukup untuk menyebabkan terjadinya dilatasi serviks

b. Kelaiain His Hipertonik

 Basal tonus meningkat

 Kekacauan dalam gradasi tekanan yang ditimbulkan oleh his akibat tekanan
yang ditimbulkan oleh his dibagian tengah uterus lebih besar daripada yang
dihasilkan oleh bagian fundus dana tau adanya peristiwa asinkronisme dari
rangsang yang berasal dari kornu

c. His Inkoordinasi

1) Tidak ada sinkrinisasi pada seluruh bagian uterus

2) His tidan menimbulkan pebukaan yang esisien

3) Tonus otot tetap meningkat di luar his

c) Perencanaan Asuhan

a. Kelainan His Hipotinik

180
1) Perbaiki keadaan umum: nutrisi dan cairan

2) Dukungan / suport bidan dan keluarga

3) Kolaborasi dengan dokter (Drip akselerasi bila tidak ada kontraindikasi)

b. Kelaiain His Hipertonik

1) Oksitosin drip segera distop

2) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian penenang

3) Pada partus presipitatus tidak banyak yang dapat dilakukan, penaganan lebih
difokuskan pada komplikasi ibu dan janin

c. His Inkoordinasi

1) Suport mental

2) Stop stimulasi

3) Perbaiki kondisi: nutrisi dan cairan

4) Kelola sesuai temuan partograph

MAKROSOMIA
a) Definisi

Merupakan keadaan dimana berat janin lebih dari 4000 gram yang membutuhkan
perawatan yang lebih atau intensif dan harus selalu dipantau untuk menghindari risiko
dikemudian hari. Factor resiko terjadinya macrosomia adalah ibu dengan DM, riwayat
persalinan dengan bayi besar, factor genetic, pengaruh kecukupan gizi, bukan kehamilan
pertama.
b) Data Fokus

a. Perut lebih besar dari umur kehamilan

b. Tinggi fundus lebih tinggi dari umur kehamilan

c) Perencanaan Asuhan

a. Pantau kemajuan persalianan secara seksama

181
b. Pemeriksaan USG besarnya kepala dan tubuh janin

c. Pemeriksaan teliti tentang adanya CPD

d. Apabila panggul normal dapat dilahirkan pervaginam

e. Melakukan episiotomy apabila terjadi distosia bahu

f. Apabila terjadi CPD, dapat dipertimbangan untuk tindakan SC

PROLAPS TALI PUSAT


a) Definisi

Merupakan kondisi dimana ada tekanan tali pusat dengan ancaman kematian janin
intrauterus yang terjadi sekitar 1 dari 100 kehamilan. Ketika prolapse tali pusat terjadi, bisa
mengerut sehingga suplai darah janin terpotong. Komplikasi ini kemungkinan nyata (overt)
dan tidak (occult). Pada presentasi bokong dan letak lintang maka prolapse tali pusat tidak
terlalu berbahaya.

b) Data Fokus

a. Diagnose jelas saat gulungan tali pusat tampak di depan vulva (overt)

b. Tanda lain yang sering terabaiakan yaitu gulungan tali pusat tidak terlihat terletak di
dalam vagina di depan kepala (occult)

c) Perencanaan Asuhan

a. Segera rujuk ke rumah sakit

b. Resusitasi intra uterin selama rujukan

c. Reposisi dengan posisi sujud/berbaring bokong diganjal lebih baik VT tangan tetap di
dalam vagina mendorong bagian terendah janin

d. Bila janin masih hidup, persalinan segera dengan SC

e. Bila janin sudah meninggal, persalinan spontan kecuali letak lintang dan sungsang
dilakukan SC

182
GAWAT JANIN
a) Definisi

Merupakan reaksi janin ketika tidak memperoleh oksigen yang cukup. Penyebab gawat
janin :
a. Kurangnya aliran darah uterus sampai plasenta dalam waktu singkat

b. Kurangnya aliran darah uterus sampai plasenta dalam waktu lama

c. Kompresi atau penekanan tali pusat

d. Penurunan kemampuan janin membawa oksigen

b) Data Fokus

a. DJJ <100 kali/menit atau >180 kali/menit

b. DJJ tidak kembali normal setelah his (late decelaration)

c. Gerak menurun

d. Interpretasi Data Pada Kasus

c) Perencanaan Asuhan

Persalinan Kala I :
a. Baringkan ibu miring ke kiri, anjurkan bernafas secara teratur

b. Pasang infus dengan jarum besar (16 atau 18), berikan cairan RL/NS dengan tetesan
125cc/jam

c. Beri O2

d. Periksa djj setiap 5 menit/ setiap selesai his

e. Segera rujuk ke fasilitas PONED/PONEK

f. Dampingi ibu ketempat rujukan

g. Beri dukungan dan semangat

h. Selalu siapkan alat resusitasi

Persalinan Kala II :

183
a. Baringkan ibu miring ke kiri, anjurkan menarik nafas panjang perlahan-lahan dan
berhenti meneran

b. Pasang infus dan beri 02

c. Nilai ulang DJJ setelah 5 menit

d. Bila DJJ normal pimpin kembali persalinan dan pantau DJJ setiap selesai his

e. Pastikan ibu tidak terlentang dan tidak menahan nafas saat meneran

f. Bila DJJ abnormal rujuk ke fasilitas PONED/PONEK

g. Dampingi dan beri dukungan

h. Selalu siapkan alat resusitasi

DISTOSIS BAHU
Dalam melaksanakan pertolongan melahirkan pada distosia bahu, harus diketahui terlebih
dahulu manfaat dan petunjuk pelaksanaan maneuver – maneuver melahirkan bahu pada distosia
bahu. Sehingga bidan dapat penatalaksanaan kasus distosia bahu dengan tepat dan aman
sehingga angka kesakitan ibu dan bayi pada setiap kasus distosia bahu dapat diturunkan.
Teknik melahirkan bahu dengan teknik mcRobert adalah suatu teknik untuk melahirkan
bahu bayi. Klien dianjurkan untuk menekuk kedua lutut sejauh mungkin kearah dadanya
sehingga dapat meningkatkan diameter pintu bawah panggul.Prosedur ini meluruskan sacrum
relative terhadap vertebra lumbal diiringi rotasi simpisis searah kepala ibu sehingga
menurunkan sudut inklinasi pelvis. Pelaksaan maneuver dengan teknik mcRobert ini tidak
boleh dilakukan lebih dari 10 menit, karena dapat terjadi perlukaan pada ibu maupun bayi.
Selama melakukan maneuver ini, penekanan pada fundus dihindari karena dapat terjadi pada
pemisahan plasenta lebih awal. Teknik ini penting dikuasai bidan karena kasus distosia bahu
tidak dapat diprediksi dengan tepat sehingga seringkali menyebabkan komplikasi – komplikasi
yang mengarah pada kesakitan dan kematian ibu maupun bayinya.
Distosia bahu terutama disebabkan oleh deformitas panggul, kegagalan bahu untuk meipat
kedalam panggul (misalnya pada macrosomia) disebabkan oleh fase aktif dan persalinan kala
dua yang pendek pada multipara sehingga penurunan kepala yang terlalu cepat lahir
menyebabkan bahu tidak melipat pada saat memulai jalan lahir atau kepala telah melalui pintu
tengah panggul setelah mengalami perpanjangan kala 2 sebelum bahu berhasil melipat masuk
kedalam panggul.

184
Manfaat pelaksanaan melahirkan bahu bayi dengan manuver-manuver:
1. Setiap kasus distosia bahu dapat segera ditatalaksana sehingga angka kesakitan pada
ibu akibat trauma pada jaringan lunak dapat dikurangi.
2. Setiap kasus distosia bahu dapat segera ditatalaksana sehingga angka kesakitan bayi
akibat kerusakan pada fleksus brakialis dapat dikurangi
3. Bahu-badan yang terjebak dapat lahir dalam waktu tidak melebihi dari 10 menit.
4. Ingat! 5 menit pertama, tindakan/maneuver dipilih untuk menurunkan luka/trauma pada
ibu dan bayi.
5. Ingat! Selama 5 menit kedua, ketahuilah bahwa perlambatan lebih jauh dapat
mneyebabkan kematian, jadi tindakan yang lebih dramatik dapat dilakukan dengan
mempertimbangkan kemungkinan trauma/luka yang ditimbulkan dibandingkan dengan
kerusakan lebih berat jika tubuh bayi tidak dilahirkan dalam waktu 10 menit.
6. Angka kematian dan keakitan bayi dapat berkurang.
Data Fokus
Objektif :
a. kepala janin dapat dilahirkan tetapi tetap berada dekat vulva.
b. Dagu tertarik dan menekan perineum.
c. Tarikan pada kepala gagal melahirkan bahu yang terperangkap dibelkang simpisis
pubis.
Penanganan :
1. Pada setiap persalinan bersiaplah menghadapi distosia bahu, khususnya persalinan
dengan bayi besar.
2. Siapkan beberapa orang untuk membantu.
Buatlah episiotomi yang cukup luas untuk mengurang obstruksi jaringan lunak dan
memberi ruangan yang cukup untuk tindakan.
Dalam posisi ibu berbaring terlentang, mintalah ia untuk menekuk kedua tungkainya dan
mendekatkan lututnya sejauh mungkin kearah dadanya. Mintalah dua orang asisten untuk
menekan fleksi kedua lutut ibu kearah dada.
1. Dengan memakai sarung tangan yang didesinfeksi tingkat tinggi :
a. Lakukan tarikan yang kuat dan terus menerus kearah bawah pada kepala janin
untuk menggerakkan bahu depan dibawah simpisis pubis. Catatan : hindari tarikan
yang berlebihan pada kepala yang dapat mengakibatkan trauma pada fleksus
bhrakialis.

185
b. Mintalah seorang asisten untuk melakukan tekanan secara simultan kearah bawah
pada daerah suprapubis untuk membantu persalinan bahu.
Catatan : jangan lakukan tekanan fundus. Hal ini dapat mempengaruhi bahu kebih
lanjut dan dapat mengakibatkan ruptura uteri.
2. Jika bahu belum dapat dilahirkan :
a. Pakailah sarung tangan yang telah didesinfeksi tingkat tinggi, masukkan tangan
kedalam vagina.
b. Lakukan penekanan pada bahu yang terletak didepan dengan arah sternum bayi
untuk memutar bahu dan mengecilkan diameter bahu.
c. Jika diperlukan, lakukan penekanan pada bahu belakang dengan arah sternum.
3. Jika bahu masih belum dapat dilahirkan setelah dilakukan tindakan diatas :
a. Masukkan tangan kedalam vagina.
b. Raih humerus dari lengan belakang dan menjaga lengan tetap fleksi pada siku,
gerakkan lengan kearah dada. Tindakanini akan memberikan ruangan untuk
bahu depan agar dapat bergerak dibawah simpisis pubis.
PRESENTASI MUKA
Dagu berfungsi sebagai indicator posisi kepala. Dalam hal ini sangatlah penting untuk
membedakan posisi dagu depan, dimana dagu terletak dibagian depan pada rongga panggul
ibu, dengan posisi dagu belakang.
Sering terjadi peralinan lama. Kepala bisa lahir spontan apabila dagu anterior dan
fleksi. Presentasi muka dengan dagu posterior kepala tidak akan turun dan persalinan akan
macet.
Data Fokus
Objektif :
1. Kedudukan kepala; defleksi maksimal
2. Bagian terendah adalah muka
3. Primer; terjadi sejak masa kehamilan
4. Sekunder: terjadi pada waktu persalinan
Diagnosis:
1. Palpasi: dada teraba seperti punggung dan teraba pula bagian – bagian kecil janin dan
Djj terdengar jelas
2. VT: teraba dagu, mulut, hidung dan pinggir orbita
3. Etiologi:
4. Panggul sempit, janin besar, multiparitas, perut gantung

186
5. Tumor leher bagian depan
Faktor Predisposisi
Penyebab presentasi muka sangat banyak dan pada umumnya berasala dari faktor
apapun yang menyebabkan ekstensi atau menghalangi fleksi kepala.
a. Tumor leher janin
b. Panggul sempit
c. Bayi besar
d. Anensefalus
e. Lilitan tali pusat di leher
f. Pembesaran leher yang mencolok
g. Grande multipara dengan perut gantung (‘pendulous abdomen’)
Faktor Presdiposisinya adalah pada wanita multipara dan perut gantung. Keadaan
tersebut menyebabkan punggung bayi merosot ke depan ke arah lateral, seringkali pada
arah yang sama dengan oksiput, sehingga menambah ekstensi vertebra servikalis dan
torakalis.
Pemeriksaan
1. Pemeriksaan luar (Palapasi Abdomen)
a. Tonjolan kepala sepihak dengan bokong
b. Ditemukan sudut fabre
c. BJJ sepihak dengan bagian kecil
2. Pemeriksaan dalam
Teraba pinggir orbita, hidung, tulang pipi, mulut dan dagu.
Mekanisme Pemeriksaan Pada Persentasi Muka :
Kepala turun melalui PAPdengan sirkumferensiatrakelo-parietalis dan dengan dagu
melintang / miring.Setelah muka mencapai dasar panggul terjadi PPD, sehingga dagu memutar
kedepan dan berada di bawah arkus pubis.Dengan daerah submentum sebagai hipomoklion
kepala lahir dengan gerakan fleksi sehingga dahi, UUB, belakang kepala melewati
perineum.Setelah kepala lahir terjadi PPL dan badan janin lahir seperti pada presentasi
kepala.kalau dagu bedara dibelakang pada waktu putaran dalam dagu harus melewati jarak
yang jarak yang lebih jauh supaya dapat berada di depan. Kadang dagu tidak memutar ke depan
dan tetap berada di belakang.Keadaan ini disebut posisi mento posterior persisten dan janin
tidak dapat lahir spontan, kecuali bila janin mati atau kecil.Hal ini karena kepala sudah berada
dalam fleksi maksimal dan tidak mungkin menambah defleksinya lagi, sehingga kepala dan
bahu terjepit dalam pangguldan persalinan tidak akan maju.

187
Posisi dagu anterior
1. Jika pembukaan lengkap :
a. Biarkan persalinan spontan
b. Jika kemajuan lambat dan tidak terdapat tanda-tanda obstruksi percepat persalinan
dengan oksitosin.
c. Jika kepala tidak turun dengan baik, lakukan ekstraksi cunam forcep
2. Jika pembukaan tidak lengkap dan tidak ada tanda – tanda obstruksi :
a. Akselerasi dengan oksitosin
b. Periksa kemajuan persalinan secara presentasi vertex.
Posisi dagu posterior :
a. Jika pembukaan serviks lengkap, lahirkan dengan seksio sesarea.
b. Jika pembukaan serviks tidak lengkap, nilai penurunan, rotasi dan kemajuan persalinan. Jika
macet, lakukan seksio sesarea.
c. Jika janin mati : lakukan kraniotomi ( kalua terampil) atau seksio sesarea.
LETAK DAHI
Keadaan dimana kedudukan kepala berada antara fleksi maksimal dan defleksi maksimal,
sehingga dahi merupakan bagian terendah. Pada umumnya bersifat sementara, akan berubah
menjadi presentasi muka atau presentasi belakang kepala. Pada presentasi dahi, biasanya kepala
tidak turun dan persalinan macet. Konversi spontan kearah presentasi vertex atau muka jarang
terjadi khususnya janin mati atau kecil. Konversi spontan biasanya jarang terjadi pada janin hidup
dengan ukuran normal jika ketuban telah pecah.
1. Penyebab
a. Panggul sempit
b. Janin besar
c. Multiparitas
d. Perut gantung
e. Anensefalus
f. Tumor leher depan
2. Diagnosis
a. Palpasi: seperti letak muka, namun kepala tidak seberapa menonjol
b. Djj lebih jelas pada dada/ sebelah yg sama dgn bagian-bagian kecil
c. Pada persalina kepala tidak turun ke dalam rongga panggul terutama pada wanita
yang sebelumnya bersalin normal

188
d. Pada VT teraba sutura frontalis (bila diikuti pada ujung satu teraba UUB dan ujung
lain teraba pangkal hidung dan lingkar orbita
3. Penanganan
a. Bila terdeteksi sejak awal: SC
b. Pada kala I dibantu dengan perasat THORN, tidak berhasil: SC
c. Kala II tidak maju; SC
d. Jika janin hidup, lakukan seksio sesaria
e. Jika janin mati dan pembukaan servik :
1) Tidak lengkap, lakukan SC
2) Lengkap, lakukan kraniotomi
3) Jika tidak terampil melakukan kraniotomi, lakukan SC
4. Mekanisme Persalinan
a. Kepala masuk PAP dengan sirkumferensia maksilloparietalis, serta sutura sagitalis
melintang/miring
b. Terjadi moulage, ukuran terbesar melewati PAP
c. Dagu memutar kedepan, dengan fossa kanina sebagai hipomoklion
d. Terjadi fleksi, UUB lahir melewati perinium
e. Terjadi defleksi, mulut, dagu lahir di bawah simfisis
DISPORPOSI FETOPELVIK
Cephalopelvic disproportion (CPD) adalah suatu bentuk ketidaksesuaian antara ukuran kepala
janin dengan panggul ibu. (Reader, 2007). Seksio sesarea yaitu suatu tindakan untuk melahirkan bayi
dengan berat diatas 500 gram, melalui sayatan pada dinding uterus yang masih utuh.
Seksio sesarea yaitu suatu cara melahirkan janin dengan membuat sayatan pada dinding uterus
melalui dinding depan perut atau vagina untu melahirkan janin dari rahim (Mochtar, 1998). Jadi post
sektio caesarea dengan CPD adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk melahirkan janin melalui
sayatan pada dinding uetrus dikarenakan ukuran kepala janin dan panggul ibu tidak sesuai.
Penyempitan pintu atas panggul :
Pintu masuk panggul dianggap menyempit apabila diameter anteroposterior terpendeknya
kurang dari 10, 0 cm atau apabila diameter transfersal terbesarnya kurang dari 12 cm. diameter
anteroposterior pintu atas panggul sering diperkirakan dengan mengukur konjugata diagonal secara
manual, yang biasanya 1,5cm. dengan demikian penyempitan pintu atas panggul didefinisikan sebagai
konjugata diagonal yang kurang dari 11,5 cm.
Dengan menggunakan pelvimetriklinis dan kadang – kadang, pelvimetri radiologi, kita perlu
mengidentifikasi diameter anteroposterior paling pendek yang harus dilewati kepala janin.Kadang –

189
kadang korpus vertebra sakralis pertama bergeser kedepan sehingga jarak terpendek sebenarnya
mungkin terletak antara promontorium sacrum yang palsu (abnormal) ini dan simpisis pubis.
Wanita bertubuh kecil kemungkinan besar memiliki panggul kecil, tetapi dia juga kemungkinan
besar memiliki bayi kecil.normalnya, pembukaan servik dipermudah oleh efek hidrostatik selaput
ketuban yang belum pecah atau setelah pecah oleh persentuhan langsung bagian terbawah janin ke
serviks namun pada panggu yang sempit saat kepala tertahan di pintu atas panggu seluruh gaya yang
ditimbulkan oleh kontraksi uterus bekerja secara langsung pada bagian selaput ketuban yang menutupi
serviks yang membuka. Akibatnya, besar kemungkinan terjadinya pecah selaput ketuban.
Setelah selaput ketuban pecah tidak adanya tekanan oleh kepala terhadap serviks dan segmen
bawah uterus memudahkan terjadinya kontraksi yang inefektif. Karena itu, pembukaan lebih lanjut
berjalan sangat lambat atau tidak sama sekali.
Penyempitan pintu tengah panggul :
Hal ini lebih sering dijumpai disbanding penyempitan pintu atas panggul.Penyempitan pintu
tengah panggul ini sering menyebabkan terhentinya kepala janin pada bidang transfersal, yang dapat
menyebabkan perlunya tindakan forsep tengah atau yang sulit secsio sesaria.
Bidang obstetric di panggul bagian tengah terbentang dari batas inverior simpisi pubis, melalui
spina ischiadika, dan menyentuh sacrum denkat pertemuan antara fertebra ke 4 dan ke 5.Secara toritis,
sebuah garis tranfersal yang menghubungkan kedua spina ischiadika membagi panggul tengah menjadi
bagian anterior dan posterior.
Penyempitan pintu bawah panggul :
Hal ini biasanya di definisan sebagai pemendekan diameter intertuberosum hingga 8 cm atau
kurang.Pintu bawah panggul secara kasar dapat dianggap sebagai dua segitiga dengan diameter
intertuberosum sebagai dasar keduanya.Sisi -sisi segitiga anterior dibentuk oleh kedua ramus pubis,
dan puncaknya adalah kedua permukaan interior posterior simpisis pubis.Penyempitan pintu bawah
panggul tanpa disertai penyempitan pintu tengah panggul jarang terjadi.
Etiologi :
Menurut Hamilton (2009) CPD disebabkan oleh :
1. Panggul ibu yang sempit.
2. Ukuran janin yang terlalu sempit
Sedangkan penyebab dilakukan seksio sesarea menurut Prawirohadjo (2000) yaitu:
1. Disproporsi kepala panggul (CPD)
2. Disfungsi Uterus
3. Plasenta Previa
4. Janin Besar

190
5. Ganiat Janin
6. Letak Lintang
(Mochtar , 2008) menambahkan penyebab lain , yaitu:
1. Ruptur Uteri mengancam
2. Partus lama , Partus tak maju
3. Preeklamsi dan hipertensi
4. Mal presentasi janin
a. Letak lintang
b. Letak bokong
c. Presentasi dahi dan muka
d. Presentasi rangkap
Penatalaksanaan :
1. Persalinan percobaan.
Setelah dilakukan penilaian ukuran panggul serta hubungan antara kepala janin dan panggul
dapat diperkirakan bahwa persalinan dapat berlangsung per vaginan dengan selamat dapat
dilakukanpersalinan percobaan.Cara ini merupakan tes terhadap kekuatan his, daya akomodasi,
termasuk moulage karena faktor tersebut tidak dapar diketahui sebelum persalinan.
Persalinan percobaan hanya dilakukan pada letak belakang kepala, tidak bisa pada letak
sungsang, letak dahi, letak muka, atau kelainan letak lainnya. Ketentuan lainnya adalah umur
keamilan tidak boleh lebih dari 42 mingu karena kepala janin bertambah besar sehingga sukar
terjadi moulage dan ada kemungkinan disfungsi plasenta janin yang akan menjadi penyulit
persalinan percobaan.
Pada janin yang besar kesulitan dalam melahirkan bahu tidak akan selalu dapat diduga
sebelumnya. Apabila dalam proses kelahiran kepala bayi sudah keluar sedangkan dalam
melahirkan bahu sulit, sebaiknya dilakukan episiotomy medioateral yang cukup luas, kemudian
hidung dan mulut janin dibersihkan, kepala ditarik curam kebawah dengan hati-hati dan tentunya
dengan kekuatan terukur. Bila hal tersebut tidak berhasil, dapat dilakukan pemutaran badan bayi
di dalam rongga panggul, sehingga menjadi bahu depan dimana sebelumnya merupakan bahu
belakang dan lahir dibawah simfisis. Bila cara tersebut masih juga belum berhasil, penolong
memasukkan tangannya kedalam vagina, dan berusaha melahirkan janin dengan menggerakkan
dimuka dadanya. Untuk melahirkan lengan kiri, penolong menggunakan tangan kanannya, dan
sebaliknya. Kemudian bahu depan diputar ke diameter miring dari panggul untuk melahirkan bahu
depan.

191
Persalinan percobaan ada dua macam yaitu trial of labour dan test of labour. Trial of labour
serupa dengan persalinan percobaan di atas, sedangkan test of labour sebenarnya adalah fase akhir
dari trial of labour karena baru dimulai pada pembukaan lengkap dan berakhir 2 jam kemudian.
Saat ini test of labour jarang digunakan karena biasanya pembukaan tidak lengkap pada persalinan
dengan pangul sempit dan terdapat kematian anak yang tinggi pada cara ini.Keberhasilan
persalinan percobaan adalah anak dapat lahir sontan per vaginam atau dibantu ekstraksi dengan
keadaan ibu dan anak baik. Persalinan percobaan dihentikan apabila pembukaan tidak atau kurang
sekali kemajuannnya, keadaan ibu atau anak kurang baik, ada lingkaran bandl, setelah pembukaan
lengkap dan ketuban pecah kepala tidak masuk PAP dalam 2 jam meskipun his baik, serta pada
forceps yang gagal. Pada keadaan ini dilakukan seksio sesarea.
2. Seksio Sesarea
Seksio sesarea elektif dilakukan pada kesempitan panggul berat dengan kehamilan aterm,
atau disproporsi sephalopelvik yang nyata.Seksio juga dapat dilakukan pada kesempitan panggul
ringan apabila ada komplikasi seperti primigravida tua dan kelainan letak janin yang tak dapat
diperbaiki.Seksio sesarea sekunder (sesudah persalinan selama beberapa waktu) dilakukan karena
peralinan perobaan dianggap gagal atau ada indikasi untuk menyelesaikan persalinan selekas
mungkin sedangkan syarat persalinan per vaginam belum dipenuhi.
3. Simfisiotomi
Tindakan ini dilakukan dengan memisahkan panggul kiri dan kanan pada simfisis.Tindakan
ini sudah tidak dilakukan lagi.
4. Kraniotomi dan Kleidotomi
Pada janin yang telah mati dapat dilakukan kraniotomi atau kleidotomi.Apabila panggul
sangat sempit sehingga janin tetap tidak dapat dilahirkan, maka dilakukan seksio sesarea.
PERSALINAN SUNGSANG
Persalinan sungsang atau persalinan bokong terdiri dari :
1. Bokong komplit (complete breech/bracht)
2. Kaki (footling)
3. bokong murni (frank breech)
Persalinan sungsang dapat dilakukan dengan cara pervaginam dengan syarat :
1. Panggul luas
2. Janin: bokong murni atau bokong kaki kepala tidak tengadah
3. TBJ: 2000 g-3500 g
4. Penolong kompeten dibantu asisten yang mampu resusitasi
5. Ijin ibu/keluarga

192
Adapun fase-fase dala persalinan breech adalah :
1. Fase lambat: bokong sampai umbilikus/scapula
2. Fase cepat: umbilikus sampai mulut/hidung
3. Fase lambat: hidung sampai seluruh kepala lahir
Data Fokus yang Perlu di Kaji pada Kasus :
1. Pemeriksaan abdominal : untuk mengetahui letak dari janin
2. DJJ : digunakan untuk memastikan pemeriksaan abdominal sesuai dengan tempat
terdengarnya DJJ.
3. pemeriksaan vaginal : untuk memastikan kembali bagian terendah janin tersebut teraba
bokong atau kepala
4. Melakukan pemeriksaan sinar-X, digunakan untuk menentukan dengan tepat presentasi dari
janin dan kemungkinan kelainan lainnya.
Interpretasi Data pada Kasus :
1. Pemeriksaan abdominal
a. Letaknya adalah memanjang
b. Di atas panggul terasa massa lunak mengalir dan tidak terasa seperti kepala. Dicurigai
bokong. Pada persentasi bokong murni, otot-otot paha teregama di atas tulang-tulang
dibawahnya, memberikan gambaran keras menyerupai kepala dan menyebabkan kesalahan
diagnostic.
c. Punggung ada disebelah kanan dekat dengan garis tengah bagian-bagian kecil ada disebelah
kiri, jauh dari garis tengah dan dibelakang.
d. Kepala berada di fundus uteri
e. Tonjolan kepala tidak ada bokong tidak dapat dipantulkan.
2. Denyut Jantung janin
DJJ terdengar paling keras pada atas umbilicus dan pada sisk yang sama pada punggung.
Pada RSA ( Right Sacrum Anterior ) DJJ paling keras terdengar di kuadran kanan atas perut
ibu kadang DJJ terdengar di bawah umbilicus.
3. Pemeriksaan vaginal
a. Bagian terendah teraba tinggi
b. Tidak teraba kepala yang keras, rata dan teratur dengan garis-garis sutura dan pantenela.
Hasil pemeriksaan negative ini menunjukkan malpresentasi.
c. Bagian terendahnya teraba lunak dan ireguler. Anus dan tuberischiadicum terletak pada
satu garis. Bokong dapat dikelirukan dengan muka

193
d. Kadang-kadang pada presentasi bokong murni sacrum tertarik kebawah dan teraba oleh
jari-jari pemeriksa. Dapat dikelirukan dengan kepala karena tulang yang keras.
e. Sacrum ada di kuadran kanan depan panggul dengan diameter ghintokhantrika ada pada
diameter obligua kanan.
4. Pemeriksaan sinar-X, sinar-X menunjukan dengan tepat sikap dan posisi janin, demikian pula
kelainan-kelainan seperti hidrochepalus

Perencanaan Asuhan Kasus


a. Pimpin meneran, hingga bokong membuka vulva

b. Cara bracht

1) Setelah bokong lahir, bokong dicekam secara bracht ( kedua ibu jari sejajar panjang
paha, jari lain memegang panggul)
2) Asisten melakukan perasat Wigand M.Wingkel
3) Longgarkan tali pusat
4) Lakukan hiperlordosis, pada saat angulus skapula inferiortampak dibawah simpisis,
hingga lahir: dagu, mulut, hidung, dahi, kepala
c. Cara klassik (melahirkan bahu belakang terlebih dahulu)

1) Setelah bokong lahir, dicekam hingga seluruh bokong dan kaki lahir
2) Tali pusat dilonggarkan
3) Pegang pergelangan kaki dan tarik keatas
Bahu kiri bayi dibelakang: tarik ke kanan atas ibu
Bahu kanan bayi di belakang: tarik ke kiri atas ibu
4) Masukkan dua jari kana/kiri (sesuai letak bahu) sejajar dengan lengan, lahirkan
lengan bayi
5) Setelah bahu belakang lahir, tarik kearah bawah kontra lateral dari langkah
sebelumnya untuk melahirkan bahu depan
d. Cara Muller (melahirkan bahu depan terlebih dahulu)
1) Tarik kaki ke belakang kontra lateral dari letak bahu
2) Lakukan langkah sama untuk melahirkan bahu belakang
e. Cara lovset (tangan menjungkit)
1) Setelah bokong dan kaki lahir, pegang kedua paha dan bokong dengan kedua tangan
2) Putar badan bayi 180 derajat kearah penunjuk jari
3) Putar kearah berlawanan 180 derajat

194
PERSALINAN PRETERM
Persalinan Preterm adalah persalinan yang terjadi pada kehamilan kurang dari 37 minggu
(antara 20-37 minggu) atau dengan berat janin < 2500 gram. Masalah ini mungkin terjadi karena
Kesulitan perawatan bayi (morbiditas, mortalitas, kualitas hidup bayi)
Komplikasi medis/obstetris:
1. Perdarahan plasenta dengan pembentukan prostaglandin dan mungkin induksi stres
2. Janin mati, kelainan konsepsi atau kelainan kongenital
3. KPD,infeksi lain, bakteriuri, kolonisasi genital (infeksi akan membentuk sitokin dan
pelepasan lemak bioaktif yang nantinya membentuk prostaglandin
4. Plasentasi yang kurang baik
5. Distensi uterus (hidramnion dan gemeli), oligohidramnion
6. Riwayat pernah melahirkan prematur atau keguguran
7. Kelainan serviks yang inkompeten atau yang pendek
8. Penyakit ibu yang berat
9. Kurang gizi mengakibatkan anemia,kekurangan Zn dan asam folat
10. Penambahan berat yang kurang saat hamil
11. Anomali uterus atau fibroid
Faktor Sosial Budaya :
1. Perokok atau penyalahgunaan obat (alkohol, kokain, dsb)
2. Kemiskinan
3. Pendek kurus
4. Umur < 18 tahun atau > 40 tahun
5. Tidak/kurang mau periksa antenatal
Data Fokus yang Perlu di Kaji pada Kasus :
1. Usia Kehamilan kurang dari 37 minggu (antara 20-37 minggu) atau dengan berat janin
< 2500 gram
2. Demam/tidak?
3. Kondisi janin (jumlah, letak/presentasi, TTBJ, hidup/gawat janin/mati,kelainan
kongental, dsb) dengan USG
4. Letak plasenta perlu diketahui untuk antisipasi irisan SC
Interpretasi Data pada Kasus :
1. Kriteria
a. UK 22-36 minggu
b. His 1 kali/10 menit selama 30 detik

195
c. Dilatasi serviks >2cm, atau perubahan dilatasi dalam waktu 1 jam
d. Pendataran serviks lebih dari 50-80%
2. Pemeriksaan laboratorium
a. Darah rutin, kimia darah, golongan ABO, factor resus.
b. Urinalisis, kultur urine
c. Bakteriologi vagina
d. Amniosintesis : sulfaktan
e. Gas dan pH darah janin
3. USG untuk mengetahui :
a. Usia kehamilan
b. Jumlah janin, besar janin, aktifitas bio fisik
c. Cacad congenital
d. Letak dan maturasi plasenta
e. Volume cairan ketuban
f. Kelainan uterus.
4. CTG untuk memeriksa :
a. Kesejahteraan janin
b. Frekuensi dan kekuatan kontraksi
Perencanaan Asuhan Kasus :
Perencanaan Asuhan yang dapat diberikan pada pasien dengan kasus persalinan Preterm
adalah sebagai berikut:
a. Upaya menghentikan kontraksi uterus
1) Pada UK < 34 minggu: tokolitik berupa kortikosteroid sbg induksi maturitas paru.
2) Penundaan kelahiran sampai cukup bulan dilakukan bila:
a) UK <35 minggu
b) Pembukaan seviks <3 cm
c) Tdk ada amnionitis, preeklamsia atau perdarahan yang aktif
Tidak ada gawat janin
b. Pemantauan (jika ibu di RS/rawat inap)
1) Kolaborasi: pemberian kortikosteroid, dua (2) dosis betamethason 12 mg IM selang
12 jam (atau berikan 4 dosis deksamethason 5 mg IM selang 6 jam)
2) Steroid tidak boleh diberikan bila ada infeksi yang jelas
c. Bila persalinan berlanjut (kolaboratif di RS/rawat inap)
1) Jangan menghentikan kontraksi uterus bila:

196
a) UK > 35 mgg
b) Pembukaan serviks> 3 cm
c) Perdarahan aktif
d) Janin mati dan adanya kelainan kongenital yang kemungkinan hidup kecil
e) Adanya khorioamnionitis
f) Preeklamsia
g) Gawat janin
2) Monitor kemajuan persalinan:partograf
3) Hindari persalinan menggunakan vakum (mencegah trauma kepala/perdarahan
intarkranial)
4) Persiapkan pertolongan bayi prematur (asfiksia)
5) Rujuk segera
PERSALINAN POSTERM
Persalinan posterm adalah persalinan yang terjadi pada usia kehamilan >42 minggu. Masalah
ibu yang dapat mengakibatkan persalinan posterm
1. Serviks belum matang (70% kasus)
2. Kecemasan ibu
3. Persalinan traumatis akibat janin besar
4. Angka kejadian SC menigkat karea gawat janin, distosia, dan CPD
5. Meningkatnya perdarahan pascapersalinan, karena penggunaan oksitosin untuk
akselerasi atau induksi
Masalah janin yang dapat mengaibatkan persalinan posterm
1. Kelainan pertumbuhan janin (janin besar, pertumbuhan janin terhambat)
2. Oligohidramnion (mengkibatkan gawat janin, keluarnya mekonium, tali pusat tertekan
sehingga menyebabkan kematian mendadak)
Etiologi :

1. Kadar progesterone berlebihan atau tidak cepat turun walau kehamilan telah cukup
bulan( uterus kurang peka terhadap oksitosin )
2. Tidak terjadi peningkatan oksitosin dan reseptornya
3. Hambatan peningkatan produksi prostaglandin ( tidak ada kontraksi uterus)
4. Rasio ekstrogen atau progesterone menurun, karena berkurangnya produksi esterogen.
5. Riwayat posterm (resiko berulang 50%)
6. Kemungkinankehamilan ekstrauterine ( abdominal )

197
Komplikasi :

1. Anak besar,menyebabkan CPD


2. Oligohidramnion, dapat menyebabkan kompresi tali pusat,gawat janin sampai
kematian bayi
3. Keluarnya mekonim: menyebabkan aspirasi mekonium
Data Fokus yang Perlu di Kaji pada Kasus :
1. Usia Kehamilan ( HPHT dan TP, gerakan janin)
2. Pemeriksaan fisik ( TFU,BB)
3. Menentukan keadaan janin ( ambioskopi, USG, Tokografi )
4. Score Bishop
Interpretasi Data pada Kasus :
1. Menentukan usia gestasi
a. HPHT dan TP, gerakan janin dirasakan berkurang (<7 kali/ 20 menit )
b. Pemeriksaan fisik: TFU, BB menetap atau tidak bertambah lagi
2. Menentukan Keadaan janin
a. Amnioskopi : ada mekonium untuk waspada terjadinya asfiksia
b. USG : gerakan janin berkurang, cairan ketuban berkurang ( <2 cm pada kantung
vertical atau AFI <5 )
c. Menentukan adanya insufisiensi utero plasenter
d. Tokografi : gerakan janin <10 kali/20 menit
3. Menentukan tingkat kematangan serviks
Nilai bishop score : jika BS <6 (serviks belum matang) kematangan serviks
tidak berkolerasi dengan usia gestasi, kematangan hanya berhubungan dengan
dilatasi, pendataran dan penurunan serviks.
Perencanaan Asuhan Kasus :
1. Masuk Rumah Sakit
2. Nilai Bishop Score
BS >6 : induksi persalinan
BS <6 :
a. Pemantauan janin dengan profil biofisik, NST, CST
1) Volume ketuban normal NST reaktif : ulangi 2 kali/ minggu
2) Volume ketuban normal NST nonreaktif, CST positif : SC

198
3) Volume ketuban normal NST nonreaktif, CST negative : ulangi CST dalam 3
hari
4) Oligohidramnion ( kantung amnion <2 cm, AFI <5 ) : SC
5) Deselerasi variable : matangkan serviks, induksi persalinan
b. Pematangan serviks dapat dilakukan dengan :
1) Laminaria
2) Kateter Foley
3) Oksitosin
4) Prostaglandin ( misoprostol )
5) Relaxin
6) Pemecahan selaput ketuban
7) Bresht stimulation
3. Persalinan pervaginam
1) Ibu miring kekiri, berikan oksigen
2) Monitor DJJ
3) Induksi persalinan dengan tetes pitosin ( jika tidak ada kontraindikasi dan belum
ada tanda hipoksia intrauterine )
4) Tetes pitosin dinaikkan jangan melebihi 2 mU/ menit atau dinaikkan dengan
interval <30 menit
5) Amniotomi pada fase aktif
6) Infuse intraniotik dengan 300-500 ml NaCl hangat selama 30 menit : untuk
mengatasi oligohidramnion dan mekonium
7) Konfirmasi kesejahteraan janin ( analisa gas darah )
4. SC, jika :
1) Gawat janin ( deselerasi lambat, variebelitas, abn <5 pewarnaan mekoneum )
2) Geraka janin abnormal ( <5 kali/20 menit )
3) CST (+)
4) Berat badan >400 gram
5) Malposisi, malpresentasi
6) Partus >18 jam, bayi belum lahir
PRESENTASI PUNCAK KEPALA
Pada persalinan normal, saat melewati jalan lahir kepala janin dalam keadaan fleksi dalam
keadaan tertentu, pleksi tidak terjadi sehingga kepala defleksi. Presentasi puncak kepala disebut juga
presentasi simput terjadi bila derajat defleksinya ringan sehingga ubun-ubun besar merupaka bagian

199
terendah. Pada presentasi puncak kepala, lingkar kepala yang melewati jalan lahir adalah
sikumfrensia fronto oksiputo dengan titik perputaran yang berada di bawah sympisis adalah glabela.
Etiologi :
1. Kelainan panggul
2. Kepala berbentuk bulat
3. Anak kecil atau mati
4. Kerusakan dasar panggul

Data Fokus yang Perlu di Kaji pada Kasus :


1. Pemeriksaan abdominal ( melakukan pemeriksaan Leopold untuk menentukan
presentasi janin dan letak bagian-bagian janin )
2. Auskultasi ( DJJ )
3. Pemeriksaan vaginal ( sutura sagitalis, ubun-ubun )
4. Pemeriksaan sinar-X
Interpretasi Data pada Kasus :
Pada pemeriksaan dalam didapati UUB paling rendah dan berputar ke depan atau sesudah
anak lahir caput terdapat di daerah UUB.
a. Pemeriksaan abdominal
1) Sumbu panjang lain sejajar dengan sumbu panjang ibu
2) Di atas panggul teraba kepala
3) Punggung terdapat pada satu sisi, bagian-bagian kecil terdapat pada sisi berlawanan
4) Fundus uteri teraba bokong
5) Karena tidak ada fleksi maupun ekstensi maka tidak teraba dengan jelas adanya
tonjolan pada sisi yang satu maupun sisi yang lainnya
b. Auskultasi
DJJ terdengar paling keras di kuadran perut bawah ibu, pada sisi yang sama dengan
punggung janin
1) Pemeriksaan vaginal
a) Sutura sagitalis umumnya teraba pada diameter tranversal panggul
b) Kedua umun-ubun sama-sama dengan mudah dapat diraba dan di kenal. Keduanya
sama tinggi dalam panggul.
2) Pemeriksaan sinar-X

200
Pemeriksaan radiologi membantu dalam menegakkan diagnosis kedudukan dan
menilai panggul
Perencanaan Asuhan Kasus :
a) Usahakan lahir pervaginam karena kira-kira 75% bisa lahir spontan
b) Bila ada indikasi ditolong dengan vakum atau forcep biasanya anak yang lahir didapati
caput daerah VVB
ATONIA UTERI
Kondisi dimana myometerium tidak dapat berkontraksi segera setelah melahirkan. Atonia
uteri terjadi jika uterus tidak berkaontraksi dalam waktu 15 detik setelah dilakukan rangsangan
taktil (massage) fundus uteri, segera setelah lahirnya plasenta.
1. Data Fokus
Data subjektif
1) Masa hamil
a) Umur pasien
b) Paritas
c) Jarak kelahiran anak
d) Sosial ekonomi
e) Pekerjaan ( berat ringan aktifitas sehari-hari)
f) Pola pemenuhan kebutuhan nutrisi
g) Riwayat kesehatan reproduksi
h) Keluhan yang berhubungan dengan keadaan anemia defisiensi zat besi
2) Dilanjutkan pada waktu inpartu
a) Semangat untuk melahirkan bayinya
b) Keluhan yang berhubungan dengan kekuatan tubuh (vitalitas, keadaan
umum)
c) Perasaan lelah, pandangan mata berkunang-kunang
d) Kontraksi yang tidak teratur
Data objektif
1) Mulai masa hamil
a) Keadaan umum
b) Kesadaran
c) Vital sign
d) Tanda-tanda anemia defisiensi zat besi (konjungtiva, warna kulit, warna
ujung jari, kadar hemoglobin dan lain-lain.

201
e) Status gizi ibu hamil
f) Kenaikan berat badan
g) DJJ
2) Inpartu
a) Keadaan umum
b) Hasil pemantauan partograf
c) Proses kelahiran plasenta (spontan, dengan eksplorasi, waktu lahirnya
plasenta apakah >1 jam)
d) Apakah persalinan dengan pemantauan uterotonika
e) Pemantauan kontraksi uterus di 2 jm post partum
3) Faktor resiko
1) Riwayat uterus yang mengalami overdistensi, misal pada polihidramion,
kehamilan ganda
2) Kelahiran yang teralalu cepat atau lama
3) Paritas tinggi
4) Korioamnionitis
5) Induksi atau stimulasi persalinan
4) Pemeriksaan fisik
1) Uterus tidak berkontraksi dan lembek
2) Perdarahan segera setelah bayi lahir
Gejala dan tanda syok berat :
1. Nadi lemah dan cepat (110 x/menit atau lebih)
2. TD sangat rendah : tekanan sistolik <90 mmHg
3. Nafas cepat dengan prekwensi 30x/menit atau lebih
4. Urine kurang dari 30 cc/jam
5. Bingung, gelisah atau pingsan
6. Berkeringat atau kulit menjadi dingin dan basah
7. Pucat
1. Interpretasi Data
Apabila pada saat pemeriksaan ditemukan hasil meliputi :Uterus tidak berkontraksi,
lembek dan perdarahan segera setelah bayi lahir.

2. Perencanaan Asuhan

202
a. Bersihkan bekuan darah dan atau selaput ketuban dari vagina dan lubang serviks
b. Pastikan bahwa kandung kemih ibu kosong
c. Lakukan kompresi bimanual internal atau (KBI) selama 5 menit.
Jika muncul kontraksi uterus :
1) Teruskan KBI selama 2 menit
2) Keluarkan tangan perlahan dan pantau kala IV
d. Bila kontraksi belum muncul :
1) Anjurkan keluarga untuk membantu melakukan kompresi bimanual eksterna
(KBE)
a) Berikan ergometrin 0,2 mg IM (kontra indikasi pada hipertensi) atau
b) Ergometrin 0,125 mg IV (setengah ampul), dosis maksimal 1,25 g (5 ampul)
c) Atau misoprostol 600-1000 mcg per rectal (tablet 200 mg)
2) Pasang infus menggunakan jarum ukuran 16 atau 18 dan berikan 20 IU oksitosin
dalam 500 cc RL. Habiskan 500 cc secepat mungkin.
3) Ulangi KBI
e. Bila kontraksi sudah ada pantau ibu dengan seksama selama persalinan kala IV.
f. Bila kontraksi belum juga timbul dalam 1-2 menit, maka hal ini bukan atonia
sederhana
g. Segera rujuk, dampingi ibu ke tempat rujukan
h. Lanjutkan infus RL 500cc + 20 IU oksitosin dengan kecepatan 500 cc/ jam hingga
tempat rujukan atau hingga menghabiskan 1,5 L infuse (maksimal 60 IU oksitosin).
Kemudian berikan 125 cc/jam. Jika tidak tersedia cairan yang cukup berikan 500cc
kedua dengan kecepatan sedang dan berikan minum untuk rehidrasi.
RUPTUR UTERI
Ruptur uteri adalah robeknya dinding uterus pada saat kehamilan atau dalam persalinan
dengan atau tanpa robeknya perineum visceral.(Wiradikusumah, 2011).
Terjadinya rupture uteri pada seorang ibu hamil atau sedang bersalin masih merupakan suatu
bahaya besar yang mengancam jiwanya dan janinnya. Kematian ibu dan anak karena ruptur uteri
masih tinggi. Insidens dan angka kematian yang tinggi kita jumpai dinegara-negara yang sedang
berkembang, seperti afrika dan asia. Angka ini sebenarnya dapat diperkecil bila ada pengertian dari
para ibu dan masyarakat. Prenatal care, pimpinan partus yang baik, disamping fasilitas
pengangkutan dari daerah-daerah perifer dan penyediaan darah yang cukup juga merupakan faktor
yang penting.( Fraser, 2009).

203
Ibu-ibu yang telah melakukan pengangkatan rahim, biasanya merasa dirinya tidak sempurna
lagi dan perasaan takut diceraikan oleh suaminya.Oleh karena itu, diagnosis yang tepat serta
tindakan yang jitu juga penting, misalnya menguasai teknik operasi.
Etiologi :
Ruptur uteri dapat terjadi sebagai akibat cedera atau anomali yang sudah ada sebelumnya,
atau dapat menjadi komplikasi dalam persalinan dengan uterus yang sebelumnya tanpa parut.Akhir-
akhir ini, penyebab ruptur uteri yang paling sering adalah terpisahnya jaringan parut akibat seksio
sesarea sebelumnya dan peristiwa ini kemungkinan semakin sering terjadi bersamaan dengan
timbulnya kecenderungan untuk memperbolehkan partus percobaan pada persalinan dengan
riwayat seksio sesarea.Faktor predisposisi lainnya yang sering ditemukan pada ruptur uteri adalah
riwayat operasi atau manipulasi yang mengakibatkan trauma seperti kuretase atau
perforasi.Stimulasi uterus secara berlebihan atau kurang tepat dengan oksitosin, yaitu suatu
penyebab yang sebelumnya lazim ditemukan, tampak semakin berkurang. Umumnya, uterus yang
sebelumnya tidak pernah mengalami trauma dan persalinan berlangsung spontan, tidak akan terus
berkontraksi dengan kuat sehingga merusak dirinya sendiri(Prawirohardjo, 2008).
Patofisiologi :
Pada umumnya uterus dibagi atas 2 bagian besar corpus uteri dan servik uteri.Batas keduanya
disebut ishmus uteri pada rahim yang tidak hamil.Bila kehamilan sudah kira-kira kurang lebih dari
20 minggu, dimana ukuran janin sudah lebih besar dari ukuran kavum uteri, maka mulailah
terbentuk SBR ishmus ini.Batas antara korpus yang kontraktil dan SBR yang pasif disebut lingkaran
dari bandl.Lingkaran bandl ini dianggap fisiologi bila terdapat pada 2 sampai 3 jari diatas simpisis,
bila meninggi, kita harus waspada terhadap kemungkinan adanya ruptur uteri mengancam
(RUM).Ruptur uteri terutama disebabkan oleh peregangan yang luar biasa dari uterus.Sedangkan
uterus yang sudah cacat, mudah dimengerti, karena adanya lokus minoris resisten.Pada waktu
inpartu, korpus uteri mengadakan kontraksi sedang SBR tetap pasif dan servik menjadi lunak
(efacement dan pembukaan). Bila oleh sesuatu sebab partus tidak dapat maju (obstruksi), sedang
korpus uteri berkontraksi terus dengan hebatnya (his kuat) maka SBR yang pasif ini akan tertarik
keatas, menjadi bertambah renggang dan tipis. Lingkaran bandl ikut meninggi, sehingga sewaktu-
waktu terjadi robekan pada SBR tadi.Dalam hal terjadinya ruptur uteri jangan dilupakan peranan
dari anchoring apparrtus untuk memfiksir uterus yaitu ligamentum rotunda, ligamentum sacro
uterina dan jaringan parametra.( Wirakusumah,2011)
Tanda–tanda dan Gejala :

204
1. Dalam tanya jawab dikatakan telah ditolong atau didorong oleh dukun atau bidan, partus
sudah lama berlangsung.
2. Pasien nampak gelisah, ketakutan, disertai dengan perasaan nyeri diperut. Pada setiap
datangnya his pasien memegang perutnya dan mengerang kesakitan, bahkan meminta
supaya anaknya secepatnya dikeluarkan.
3. Pernafasan dan denyut nadi lebih cepat dari biasanya.
4. Ada tanda dehidrasi karena partus yang lama (prolonged laboura), yaitu mulut kering,
lidah kering dan halus badan panas (demam).
5. His lebih lama, lebih kuat dan lebih sering bahkan terus menerus.
6. Ligamentum rotundum teraba seperti kawat listrik yang tegang, tebal dan keras terutama
sebelah kiri atau keduannya.
7. Pada waktu datangnya his, korpus uteri teraba keras (hipertonik) sedangkan SBR teraba
tipis dan nyeri kalau ditekan.
8. Penilaian korpus dan SBR nampak lingkaran bandl sebagai lekukan melintang yang
bertambah lama bertambah tinggi, menunjukkan SBR yang semakin tipis dan
teregang.sering lingkaran bandl ini dikelirukan dengan kandung kemih yang penuh untuk
itu lakukan kateterisasi kandung kemih. Dapat peregangan dan tipisnya SBR didinding
belakang sehingga tidak dapat kita periksa. Misalnya terjadi pada asinklintismus
posterior atau letak tulang ubun-ubun belakang.
9. Perasaan sering mau kencing karena kandung kemih juga tertarik dan teregang keatas,
terjadi robekan-robekan kecil pada kandung kemih, maka pada kateterisasi ada
hematuria.
10. Pada auskultasi terdengar denyut jantung janin tidak teratur (asfiksia).
11. Pada pemeriksaan dalam dapat kita jumpai tanda-tanda dari obstruksi, seperti edema
portio, vagina, vulva dan kaput kepala janin yang besar(Prawirohardjo, 2008)

Komplikasi :
Komplikasi yang paling menakutkan dan dapat mengancam hidup ibu dan janin adalah
ruptur uteri.Ruptur uteri pada jaringan parut dapat dijumpai secara jelas atau tersembunyi.Secara
anatomis, ruptur uteri dibagi menjadi rupturauteri komplit (symptomatic rupture) dan dehisens
(asymptomatic rupture).Pada ruptur uteri komplit, terjadi diskontinuitas dinding uterus berupa
robekan hingga lapisan serosa uterus dan membran khorioamnion.Sedangkan disebut dehisens
bila terjadi robekan jaringan parut uterus tanpa robekan lapisan serosa uterus, dan tidak terjadi
perdarahan.

205
Ketika ruptur uteri terjadi, histerektomi, transfusi darah masif, asfiksia neonatus, kematian
ibu dan janin dapat terjadi.Tanda ruptur uteri yang paling sering terjadi adalah pola denyut jantung
janin yang tidak menjamin, dengan deselerasi memanjang. Deselerasi lambat, variabel, bradikardi,
atau denyut jantung hilang sama sekali juga dapat terjadi. Gejala dan tanda lain termasuk nyeri
uterus atau perut, hilangnya stasion bagian terbawah janin, perdarahan pervaginam, hipotensi.
Angka ruptur uteri pada VBAC < 1 %, pada wanita yang menjalani seksio elektif ulang
tanpa persalinan masih mempunyai risiko 0,03– 0,2 %. Dari wanita yang menjalani VBAC, angka
ruptur uteri sangat bervariasi tergantung faktor risiko yang ada. Adapun risiko ruptur uteri adalah
sebagai berikut:
1. Jenis parut uterus
2. Penutupan uterus satu lapis atau dua lapis
3. Jumlah SC sebelumnya
4. Riwayat persalinan pervaginam
5. Jarak kelahiran
6. Usia ibu
7. Demam pasca seksio
8. Ketebalan segmen bawah uterus (SBU) (Prawirohardjo,2008).

Pemeriksaan Penunjang :

1. Pemeriksaan Umum : Takikardi dan hipotensi merupakan indikasi dari kehilangan


darah akut, biasanya perdarahan eksterna dan perdarahan intra abdomen
2. Pemeriksaan Abdomen : Sewaktu persalinan, kontur uterus yang abnormal atau
perubahan kontur uterus yang tiba-tiba dapat menunjukkan adanya ekstrusi janin.
Fundus uteri dapat terkontraksi dan erat dengan bagian-bagian janin yang terpalpasi
dekat dinding abdomen diatas fundus yang berkontraksi. Kontraksi uterus dapat
berhenti dengan mendadak dan bunyi jantung janin tiba-tiba menghilang. Sewaktu
atau segera melahirkan, abdomen sering sangat lunak, disertai dengan nyeri lepas
mengindikasikan adanya perdarahan intraperitoneum
3. Pemeriksaan Pelvis : Menjelang kelahiran, bagian presentasi mengalami regresi dan
tidak lagi terpalpasi melalui vagina bila janin telah mengalami ekstrusi ke dalam
rongga peritoneum. Perdarahan pervaginam mungkin hebat (Johnson, 2005)

206
Data Fokus yang perlu dikaji pada kasus :
1. Data subjektif
a. Nyeri perut yang hebat saat ada kontraksi
b. Ibu meminta anaknya secepatnya dilahirkan
2. Data objektif
a. Ibu tampak gelisah
b. Ibu tampak ketakutan
c. His lama, kuat dan sering
d. Ligamentum rotundum teraba seperti kawat listrik yang tegan, tebal dan keras (
hipertonik)
e. SBR teraba tipis dan nyeri tekan
f. DJJ Ireguler
g. VT : portio odema, caput, pembukaan tidak maju
h. Bagian janin mudah diraba jika rupture uteri totalis
Interprestasi Data Pada Kasus :
1. Anamnesis
a. Persalinan dukun
b. Persalinan sendiri atau keluarga
c. Persalinan tenaga medis
2. Pemeriksaan fisik:
a. Keadaan fisik secara umum
b. Palpasi abdomen
c. Perkusi abdomen
d. Pemeriksaan obstetri

Penatalaksanaan :
1. Pertolongan yang tepat untuk ruptur uteri adalah laporotomi sebelumnya penderita
diberi transfusi darah atau sekurang-kurangnya infus cairan garam fisiologik/ringer
laktat untuk mencegah terjadinnya syok hipovolemik.
2. Umumyna histerektomi dilakukan setelah janin yang berada dalam rongga perut
dikeluarkan. Penjahitan luka robekan hanya dilakukan pada kasus-kasus khusus,
dimana pinggir robekan masih segar dan rata, serta tidak terlihat adanya tanda-tanda

207
infeksi dan tidak terdapat jaringan yang rapuh dan nekrosis. Histerorofi pada ibu-ibu
yang sudah mempunyai cukup anak dianjurkan untuk dilakukan pula tubektomi pada
kedua tuba (primary), sedangkan bagi ibu-ibu yang belum mempunyai anak atau belum
merasa lengkap keluarganya dianjurkan untuk orang pada persalinan berikutnya untuk
dilakukan seksio sesaria primer. (Prawirohardjo, 2008)

INVERSIO UTERI
Inversio uteri merupakan keadaan dimana fundus uteri masuk kedalam cavum uteri, dapat secara
mendadak atau terjadi perlahan (Manuaba, 2008).
Inversio uteri adalah suatu keadaan dimana bagian atas uterus (fundus uteri) memasuki cavum
uteri sehingga fundus uteri sebelah dalam menonjol ke dalam cavum uteri bahkan ke dalam vagina
atau keluar vagina atau keluar vagina dengan dinding endometriumnya sebelah luar (Sarwono
Prawirohardjo, 2009;442).
Inversio uteri adalah terbaliknya fundus uteri ke dalam cavum uteri yang dapat menimbulkan
nyeri dan pendarahan (Manuaba, 2008;171).
Inversio uteri adalah suatu keadaan dimana badan rahim berbalik, menonjol melalui serviks
(leher rahim) ke dalam atau ke luar vagina.
Pada inversio uteri bagian atas uterus memasuki cavum uteri, sehingga fundus uteri sebelah
dalam menonjol ke dalam cavum uteri. Peristiwa ini jarang sekali ditemukan, terjadi tiba-tiba dalam
kala II atau segera setelah plasenta keluar.Sebab inversion uteri yang tersering adalah kesalahan
dalam memimpin kala III, yaitu menekan fundus uteri terlalu kuat dan menarik tali pusat pada
plasenta yang belum terlepas dari insersinya. Menurut perkembangannya inversion uteri dibagi
dalam beberapa tingkat (Wiknjosastro, 2005):
1. Fundus uteri menonjol ke dalam cavum uteri, tetapi belum keluar dari ruang tersebut.
2. Corpus uteri yang terbalik sudah masuk ke dalam vagina.
3. Uterus dengan vagina semuanya terbalik, untuk sebagian besar terletak di luar vagina
Gejala-gejala inversion uteri pada permulaan tidak selalu jelas.Akan tetapi, apabila
kelainan itu sejak awal tumbuh dengan cepat, seringkali timbul rasa nyeri yang keras dan
bisa menyebabkan syok.

Predisposisi :
1. Spontan : grande multipara, atoni uteri, kelemahan alat kandungan, tekanan intra
abdominal yang tinggi (mengejan dan batuk).

208
2. Tindakan : cara Crade yang berlebihan, tarikan tali pusat, manual plasenta yang
dipaksakan, perlekatan plasenta pada dinding rahim.
3. Faktor yang mempermudah terjadinya inversio uteri :
a) Tonus otot rahim yang lemah
b) Tekanan atau tarikan pada fundus (tekanan intra abdominal, tekanan dengan
tangan, tarikan pada talipusat).
c) Canalis servikalis yang longgar.
d) Patulous kanalis servikalis.
Akibat traksi tali pusat dengan plasenta yang berimplantasi dibagian fundus
uteri dan dilakukan dengan tenaga berlebihan dan diluar kontraksi uterus akan
menyebabkan inversio uteri
Patofisiologis :

Uterus dikatakan mengalami inversi jika bagian dalam menjadi di luar saat melahirkan
plasenta.Reposisi sebaiknya segera dilakukan. Dengan berjalannya waktu, lingkaran konstriksi
sekitar uterus yang terinversi akan mengecil dan uterus akan terisi darah. Dengan adanya
persalinan yang sulit, menyebabkan kelemahan pada ligamentum-ligamentum, fasia endopelvik,
otot-otot dan fasia dasar panggul karena peningkatan tekanan intra abdominal dan faktor usia.
Karena serviks terletak di luar vagina akan menggeser celana dalam dan menjadi ulkus dekubiltus
(borok). Dapat menjadi sistokel karena kendornya fasia dinding depan vagina (mis: trauma
obstetric) sehingga kandung kemih terdorong ke belakang. Dapat terjadi uretrokel, karena uretra
ikut dalam penurunan tersebut. Dapat terjadi retrokel, karena kelemahan fasia di dinding belakang
vagina, trauma obstetrik atau lainnya, sehingga rektum turun ke depan dan menyebabkan dinding
vagina atas belakang menonjol ke depan. Dapat terjadi enterokel, karena suatu hemia dari kavum
dauglasi yang isinya usus halus atau sigmoid dan dinding vagina atas belakang menonjol ke depan.
Sistokel, uretrokel, rektokel, enterokel dan kolpokel disebut prolaps vagina.Prolaps uterisering
diikuti prolaps vagina, tetapi prolaps vagina dapat berdiri sendiri.

Gejala Klinis :

Gejala-gejala inversio uteri pada permulaan tidak selalu jelas di jumpai pada kala III persalinan
atau post partum. Akan tetapi, apabila kelainan itu sejak awalnya timbul dengan cepat maka :

1. Rasa nyeri yang hebat dan dapat menimbulkan syok. Rasa nyeri yang hebat tersebut
disebabkan karena fundus uteri menarik adneksa serta ligamentum

209
infundibulopelvikum dan ligamentum rotundum kanan dan kiri ke dalan terowongan
inversio sehingga terjadi tarikan yang kuat pada peritoneum parietal.
2. Perdarahan yang banyak akibat dari plasenta yang masih melekat pada uterus, hal ini
juga dapat berakibat syok.
3. Uterus terlihat
4. Uterus bisa terlihat sebagai tonjolan mengkilat, merah lembayung di vagina
5. Plasenta mungjin masih melekat (tampak tali pusat)
6. Pada pemeriksaan luar palpasi abdomen, fundus uteri sama sekali tidak teraba atau
teraba lekukan pada fundus seperti kawah. Kadang-kadang tampak seperti sebuah
tumor yang merah di luar vulva, hal ini ialah fundus uteri yang terbalik
7. Lumen vagina terisi massa
8. Pada pemeriksaan dalam, bila masih inkomplit maka pada daerah simfisis uterus teraba
fundus uteri cekung ke dalam.
9. Bila sudah komplit, di atas simfisis teraba kosong dan dalam vagina teraba tumor lunak
atau cavum uteri sudah tidak ada (terbalik).
Data Fokus yang dikaji :

1. Pemeriksaan umum :
a. Kesadaran menurun atau tidak sadar
b. Nadi cepat lemah (110 kali per menit)
c. Tekanan darah rendah (sistolik kurang dari 90 mmHg)
d. Nafas cepat (lebih dari 30 kali permenit)
2. Pemeriksaan fisik :
a. Pemeriksaan wajah : pucat berkeringat atau dingin
b. Pemeriksaa kulit : lembab
c. Pemeriksaan abdomen :
Fundus uteri sama sekali tidak teraba di bawah pusat atau teraba lekukan pada fundus
, tonus otot rahim yang lemah.
d. Pemeriksaan genetalia :
1) Produksi urin sedikit (kurang dari 30 kali/menit), Perdarahan bergumpal.
2) VT : Kanalis servikalis yang longgar.
a) Bila masih inkomplit maka pada daerah simfisis uterus teraba fundus uteri
cekung ke dalam.

210
b) Bila komplit, di atas simfisis uterus teraba kosong dan dalam vagina teraba
tumor lunak.
c) Kavum uteri sudah tidak ada (terbalik) (Sulistyawati,2009)
Interpretasi Data Pada Kasus :
Tampilan klinis dan diagnosis inverse uterus ditentukan oleh klasifikasi waktu dan
keparahan.
Inversi derajat pertama dapat diketahui karena fundus tidak terlihat pada introitus atau
terpalpasi pada serviks dan mungkin tidak ada tanda dan gejala.
Inversio uteri derajat dua lebih mudah diidentifikasi. Pad inversio uteri derajat tiga, uterus
tidak terpalpasi di abdomen dan pada pemeriksaan dalam, fundus yang mengalami inverse teraba
di dalam vagina atau terlihat pada introitus.Plasenta mungkin masih melekat atau sudah lepas.
Inversio derajat dua atau tiga memerlukan respon segera.
Penatalaksanaan yang diasuh :
1. Pencegahan : hati-hati dalam memimpin persalinan, jangan terlalu mendorong rahim
atau melakukan perasat Crede berulang-ulang dan hati-hatilah dalam menarik tali pusat
serta melakukan pengeluaran plasenta dengan tajam.
2. Bila telah terjadi maka terapinya :
a. Bila terjadi syok atau pendarahan, gejala ini diatasi dulu dengan infus intravena
cairan elektrolit dan tranfusi darah.
b. Untuk memperkecil kemungkinan terjadinya renjatan vasovagal dan pendarahan
maka harus segera dilakukan tindakan reposisi secepat mungkin.
c. Segera lakukan tindakan reposisi
d. Bila plasenta masih melekat, jangan dilepas oleh karena tindakan ini akan memicu
perdarahan hebat
e. Salah satu tehnik reposisi adalah dengan menempatkan jari tangan pada fornix
posterior, dorong uterus kembali ke dalam vagina, dorong fundus kea rah umbilicus
dan memungkinkan ligamentum uterus menarik uterus kembali ke posisi semula.
f. Sebagai tehnik alternatif dengan menggunakan 3-4 jari yang diletakan pada bagian
tengah fundus dilakukan dorongan ke arah umbilicus sampai uterus kembali ke
posisi normal.
g. Setelah reposisi berhasil, tangan dalam harus tetap di dalam dan menekan fundus
uteri. Berikan oksitosin atau suntikan intravena 0,2 mg ergomitrin kemudian dan
jika dianggap masih perlu, dilakukan tamponade uterovaginal dan setelah terjadi

211
kontraksi, tangan dalam boleh dikeluarkan perlahan agar inversion uteri tidak
berulang.
h. Bila reposisi per vaginam gagal, maka dilakukan reposisi melalui laparotomi
(Sulistyawati,2009).

Perawatan Pasca Tindakan :

1. Jika inversi sudah diperbaiki, berikan infus oksitosin 20 unit dalam 500 ml IV (NaCl
0,9% atau Ringer Lactat) 10 tetes/menit :
a. Jika di curigai terjadi perdarahan, berikan infus sampai dengan 60 tetes per
menit
b. Jika kontraksi uterus kurang baik, berikan ergometrin 0,2 mg atau prostaglandin
2. Berikan antibiotika proflaksis dosis tunggal :
a. Ampisilin 2 gr IV dan metronidazol 500 mg IV
b. Sefazolin 1 gr IV dan metronidazol 500 mg IV
3. Lakukan perawatan pasca bedah jika dilakukan koreksi kombinasi abdominal vaginal
4. Jika ada tanda infeksi berikan antibiotika kombinasi sampai pasien bebas demam 48
jam :
a. Ampisilin 2 gr IV tiap 6 jam
b. Gestamin 5 mg/kg berat badan IV setiap 24 setiap 24 jam
c. Metranidazol 500 mg IV setiap 8 jam
5. Berikan analgesik jika perlu (Sulistyawati,2009)

212
BENDUNGAN ASI

Bendungan ASI adalah pembendungan air susu karena penyempitan duktus laktiferi
atau oleh kelenjar-kelenjar tidak dikosongkan dengan sempurna atau karena kelainan pada
putting susu. Bendungan air susu adalah terjadinya pembengkakan pada payudara karena
peningkatan aliran vena dan limfe sehingga menyebabkan bendungan ASI dan rasa nyeri
disertai kenaikan suhu badan. (Sarwono, 2015).Pembendungan ASI adalah pembendungan air
susu karena penyempitan duktus lakteferi atau oleh kelenjar-kelenjar tidak dikosongkan
dengan sempurna atau karena kelainan pada puting susu (Buku Obstetri Williams). Bendungan
ASI adalah pembendungan air susu karena penyempitan duktus laktiferi atau oleh kelenjar-
kelenjar tidak dikosongkan dengan sempurna atau kelainan pada putting susu.
Keluhan ibu menurut Prawirohardjo, (2017) adalah payudara bengkak, keras, panas dan
nyeri. Penanganan sebaiknya dimulai selama hamil dengan perawatan payudara untuk
mencegah terjadinya kelainan.Bila terjadi juga, maka berikan terapi simptomatis untuk
sakitnya (analgetika), kosongkan payudara, sebelum menyusui pengurutan dulu atau dipompa,
sehingga sumbatan hilang. Kalau perlu berikan stilbestrol atau lynoral tablet 3 kali sehari
selama 2-3 hari untuk membendung sementara produksi ASI. Pada bendungan, payudara terisi
sangat penuh dengan ASI dan cairan jaringan. Aliran vena limpatik tersumbat, aliran susu
menjadi terhambat dan tekanan pada saluran ASI dengan alveoli meingkat. Payudara menjadi
bengkak, merah dan mengkilap.
Jadi dapat diambil kesimpulan perbedaan kepenuhan fisiologis maupun bendungan ASI
pada payudara adalah :
1. Payudara yang penuh terasa panas, berat dan keras. Tidak terlihat mengkilap. ASI
biasanya mengalir dengan lancar dengan kadang-kadang menetes keluar secara
spontan.
2. Payudara yang terbendung membesar, membengkak dan sangat nyeri. Payudara yang
terbendung membesar, membengkak dan sangat nyeri. Payudara terlihat mengkilap
dan puting susu teregang menjadi rata. ASI tidak mengalir dengan mudah dan bayi
sulit menghisap ASI sampai bengkak berkurang.
A. Etiologi Bendungan ASI
Bendungan air susu dapat terjadi pada hari ke dua atau ke tiga ketika payudara telah
memproduksi air susu. Bendungan disebabkan oleh pengeluaran air susu yang tidak lancar,
karena bayi tidak cukup sering menyusu, produksi meningkat, terlambat menyusukan,

213
hubungan dengan bayi (bonding) kurang baik dan dapat pula karena adanya pembatasan waktu
menyusui. (Sarwono, 2015)
Pada bendungan ASI payudara yang terbendung membesar, membengkak dan sangat
nyeri. Payudara terlihat mengkilap dan puting susu teregang menjadi rata. ASI tidak mengalir
dengan mudah dan bayi sulit menghisap ASI sampai bengkak berkurang.
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan bendungan ASI, yaitu:
1. Pengosongan mamae yang tidak sempurna (Dalam masa laktasi, terjadi peningkatan
produksi ASI pada Ibu yang produksi ASI-nya berlebihan. apabila bayi sudah kenyang
dan selesai menyusu, & payudara tidak dikosongkan, maka masih terdapat sisa ASI
di dalam payudara. Sisa ASI tersebut jika tidak dikeluarkan dapat menimbulkan
bendungan ASI).
2. Faktor hisapan bayi yang tidak aktif (Pada masa laktasi, bila Ibu tidak menyusukan
bayinya sesering mungkin atau jika bayi tidak aktif mengisap, maka akan
menimbulkan bendungan ASI).
3. Faktor posisi menyusui bayi yang tidak benar (Teknik yang salah dalam menyusui
dapat mengakibatkan puting susu menjadi lecet dan menimbulkan rasa nyeri pada saat
bayi menyusu. Akibatnya Ibu tidak mau menyusui bayinya dan terjadi bendungan
ASI).
4. Puting susu terbenam (Puting susu yang terbenam akan menyulitkan bayi dalam
menyusu. Karena bayi tidak dapat menghisap puting dan areola, bayi tidak mau
menyusu dan akibatnya terjadi bendungan ASI).
5. Puting susu terlalu panjang (Puting susu yang panjang menimbulkan kesulitan pada
saat bayi menyusu karena bayi tidak dapat menghisap areola dan merangsang sinus
laktiferus untuk mengeluarkan ASI. Akibatnya ASI tertahan dan menimbulkan
bendungan ASI).
B. Tanda dan gejala bendungan ASI
1. Mamae panas serta keras pada saat perabaan dan nyeri.
2. Puting susu bisa mendatar sehingga bayi sulit menyusu.
3. Pengeluaran air susu kadang terhalang oleh duktus laktifer menyempit.
4. Payudara bengkak,keras,panas.
5. Nyeri bila ditekan.
6. Warnanya kemerahan.
7. Suhu tubuh sampai 38oC

214
C. Patofisiologi
Sesudah bayi lahir dan plasenta keluar, kadar estrogen dan progesteron turun dalam
2-3 hari. Dengan ini faktor dari hipotalamus yang menghalangi prolaktin waktu hamil,
dan sangat di pengaruhi oleh estrogen tidak dikeluarkan lagi, dan terjadi sekresi prolaktin
oleh hipofisis. Hormon ini menyebabkan alveolus-alveolus kelenjar mammae terisi
dengan air susu, tetapi untuk mengeluarkan dibutuhkan refleks yang menyebabkan
kontraksi sel-sel mioepitel yang mengelilingi alveolus dan duktus kecil kelenjar-kelenjar
tersebut.
Refleks ini timbul bila bayi menyusui. Apabila bayi tidak menyusu dengan baik,
atau jika tidak dikosongkan dengan sempurna, maka terjadi bendungan air susu. Gejala
yang biasa terjadi pada bendungan ASI antara lain payudara penuh terasa panas, berat
dan keras, terlihat mengkilat meski tidak kemerahan. ASI biasanya mengalir tidak lancar,
namun ada pula payudara yang terbendung membesar, membengkak dan sangat nyeri,
puting susu teregang menjadi rata. ASI tidak mengalir dengan mudah dan bayi sulit
mengenyut untuk menghisap ASI. Ibu kadang-kadang menjadi demam, tapi biasanya
akan hilang dalam 24 jam (Wiknjosastro,2010).
D. Diagnosis
1. Cara inspeksi.
Hal ini harus dilakukan pertama dengan tangan di samping dan sesudah itu dengan
tangan keatas,selagi pasien duduk kita akan melihat dilatasi pembuluh-pembuluh balik
di bawah kulit akibat pembesaran tumor jinak atau ganas di bawah kulit.perlu
diperhatikan apakah kulit pada suatu tempat menjadi merah.
2. Cara palpasi.
Ibu harus tidur dan diperiksa secara sistematis bagian medial lebih dahulu dengan
jari-jari yang harus kebagian lateral.palpasi ini harus meliputi seluruh payudara,dari
parasternal kearah garis aksila belakang,dan dari subklavikular kearah paling distal.untuk
pemeriksaan orang sakit harus duduk.tangan aksila yang akan diperiksa dipegang oleh
pemeriksa dan dokter pemeriksa mengadakan palpasi aksila dengan tangan yang
kontralateral dari tangan si penderita.misalnya kalau aksila kiri orang sakit yang akan
diperiksa,tangan kiri dokter mengadakan palpasi(prawirohardjo,2005)
E. Pencegahan terjadinya bendungan ASI
1. Gunakan teknik menyusui yang benar
2. Puting susu dan areola mamae harus selalu kering setelah selesai menyusui
3. Jangan pakai Bra yang tidak dapat menyerap keringat

215
4. Menyusui dini, susui bayi sesegera mungkin (setelah 30 menit) setelah dilahirkan
5. Susui bayi tanpa jadwal atau ( on demand)
6. Keluarkan ASI dengan tangan atau pompa, bila produksi melebihi kebutuhan bayi
7. Perawatan payudara pasca (obserti patologi 169)
8. Menyusui yang sering
9. Hindari tekanan local pada payudara
F. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaa untuk bendungan ASI secara umum yaitu:
a. Kompreshangat payudara agar menjadi lebih lembek
b. Keluarkansedikit ASI sehingga puting lebih mudah ditangkap dan dihisap oleh
bayi.
c. Sesudahbayi kenyang keluarkan sisa ASI
d. Untukmengurangi rasa sakit pada payudara, berikan kompres dingin
e. Untukmengurangi statis di vena dan pembuluh getah bening lakukan pengurutan
(masase) payudara yang dimulai dari putin kearah korpus. Sebaiknya selama
hamil atau dua bulan terakhir dilakukan masase atau perawatan puting susu dan
areola mamae untuk mencegah terjadinya puting susu kering dan mudah
mencegah terjadinya payudara bengkak.
2. Penatalaksanaan untuk ibu yang menyusui:
a. Sebelum menyusui, pijat payudara dengan lembut, mulailah dari luar kemudian
perlahan-lahan bergerak ke arah puting susu dan lebih berhati-hati pada area
yang mengeras
b. Menyusui sesering mungkin dengan jangka waktu selama mungkin, susui bayi
dengan payudara yang sakit jika ibu kuat menahannya, karena bayi akan
menyusui dengan penuh semangat pada awal sesi menyususi, sehingga bisa
mengeringkannya dengan efektif
c. Lanjutkan dengan mengeluarkan ASI dari payudara itu setiap kali selesai
menyusui jika bayi belum benar-benar menghabiskan isi payudara yang sakit
tersebut
d. Tempelkan handuk halus yang sudah dibasahi dengan air hangat pada payudara
yang sakit beberapa kali dalam sehari (atau mandi dengan air hangat beberapa
kali), lakukan pemijatan dengan lembut di sekitar area yang mengalami
penyumbatan kelenjar susu
e. Dansecara perlahan-lahan turun kearah putting susu

216
f. Kompres dingin pada payudara di antara waktu menyusui.
g. Bila diperlukan berikan parasetamol 500 mg per oral setiap 4 jam.
h. Lakukan evaluasi setelah 3 hari untuk mengevaluasi hasilnya.
3. Penataksanaan bagi ibu yang tidak menyusui :
a. Sangga payudara
b. Kompres dingin payudara untuk mengurangi pembengkakan dan rasa sakit
c. Bila di perlukan berikan PCT 500 mg per Oral setiap 4 jam
d. Jangan di pijat atau memakai kompres hangat payudara
e. Pompa dan kosongkan payudara
4. Terapi dan pengobatan menurut prawirohardjo (2017) adalah:
a. Anjurkan ibu untuk tetap menyusui bayinya
b. Anjurkan ibu untuk melakukan post natal breast care
c. Lakukan pengompresan dengan air hangat sebelum menyusui dan kompres dingin
sesudah menyusui untuk mengurangi rasa nyeri
d. Gunakan BH yang menopang
e. Berikan parasetamol 500 mg untuk mengurangi rasa nyeri dan menurunkan panas.
f. Penanganan sebaiknya dimulai selama hamil dengan perawatan payudara untuk
mencegah terjadinya kelainan. Bila terjadi juga, maka berikan terapi simptomatis
untuk sakitnya (analgetika), kosongkan payudara, sebelum menyusui pengurutan
dulu atau dipompa, sehingga sumbatan hilang. Kalau perlu berikan stilbestrol 1 mg
atau lynoral tablet 3 kali sehari selama 2-3 hari untuk sementara waktu mengurangi
pembendungan dan memungkinkan air susu dikeluarkan dengan pijatan.

217
Konsep Dasar Menyusui

a. pengertian Menyusui

Air Susu Ibu (ASI) merupakan nutrisi alamiah terbaik bagi bayi karena

mengandung kebutuhan energi dan zat yang dibutuhkan selama enam bulan

pertama kehidupannya (Wulandari dan Handayani, 2011). ASI adalah cairan

yang dihasilkan kedua payudara ibu dengan komposisi yang spesifik dan

cocok untuk perkembangan bayi. Laktasi atau menyusui adalah keseluruhan

proses menyusui mulai dari ASI diproduksi hingga proses bayi menghisap

dan menelan ASI (Mansyur dan Dahlan, 2014).

Menurut Lowdermilk, yang dimaksud dengan breastfeeding

merupakan suatu proses atau upaya sebagai hasil dari kegiatan hormon-

hormon, refleks refleks insting dan prilaku pembelajaran menyusui bagi ibu

dan bayi. Menyusui merupakan proses pemberian Air Susu Ibu (ASI) pada

bayi oleh ibu dan merupakan kondisi yang alamiah yang dialami oleh wanita

setelah melahirkan.

b. Anatomi Payudara

Pada semua wanita yang telah melahirkan proses laktasi terjadi

secara alami. Proses menyusui mempunyai dua mekanisme fisiologis,

yaitu sebagai berikut : Selama Sembilan bulan kehamilan, jaringan

payudara tumbuh dan menyiapkan fungsinya untuk menyediakan

makanan bagi bayi baru lahir. Setelah melahirkan ketika hormon yang

dihasilkan plasenta tidak ada lagi untuk menghambatnya kelenjar

pituitary akan mengeluarkan prolaktin (hormone laktogenik). Sampai hari

ketiga setelah melahirkan, efek prolaktin pada payudara mulai bisa

dirasakan. Pembuluh darah payudara menjadi bengkak terisi darah

218
sehingga timbul rasa hangat, bengakak dan rasa sakit. Sel-sel acini yang

menghasilkan ASI juga mulai berfungsi. Ketika bayi mengisap puting,

reflex saraf merangsang lobus posterior pituitary untuk menyekresi

hormone oksitosin. Oksitosin merangsang reflex let down (mengalirkan),

sehingga menyebabkan ejeksi ASI melalui sinus laktiferus payudara ke

duktus yang terdapat pada putting. Ketika ASI dialirkan karena isapan

bayi atau dengan pompa sel-sel acini terangsang untuk menghasilkan ASI

lebih banyak. Reflex ini dapat berlanjut sampai waktu yang cukup

lama.(Saleha, 2019:58).

A. Puting Susu
B. Sel Otot: menyelubungi sel-sel pembuat
susu, berfungsi untuk
memerah ASI keluar.
C. Pembuluh: menghubungkan selsel
pembuat susu ke putting,
berfungsi sebagai selang air.
D. Areola: bagian payudara yang
berwarna gelap di sekitar putting.
E. Muara Saluran ASI: bagian bawah
(dalam) areola, tempat bertemunya pembuluh-
pembuluh sebelum ASI mengalir menuju putting.
F. Sel-sel Pembuat Susu:tempat susu dibuat.

Gambar 2. Anatomi Payudara 1


(Sumber: Coad dalam Wahyuningsih, 2018:123)

219
Gambar 4. Perubahan Payudara Sebelum Menyusui Menyusui
(Sumber: Coad dalam Wahyuningsih, 2018:124)

c. Fisiologi menyusui

Laktasi atau menyusui memilik 2 pengertian yaitu produksi dan

pengeluaran ASI. Pengeluaran ASI merupakan suatu interaksi yang

sangat komplek antara rangsangan mekanik, saraf, dan bermacam-

macam hormon (Mansyur dan Dahlan, 2014). Pengaturan hormon

dapat dibedakan menjadi 3 bagian, yaitu:

a) Pembentukan Kelenjar Payudara

1) Masa kehamilan Pada awal kehamilan terjadi peningkatan

dari duktus yang baru, percabangan-percabangan dan lobulus,

yang dipengaruhi oleh hormon- hormon plasenta dan korpus

luteum (Sukarni dan Wahyu, 2013).

2) Pada 3 bulan kehamilan Mulai pada bulan ketiga kehamilan,

tubuh wanita memproduksi beberapa hormon yang

menstimulasi munculnya ASI dalam sistem payudara, antara

lain:

220
(a) Progesteron, berfungsi mempengaruhi pertumbuhan

alveoli. Tingkatnya akan menurun sesaat setelah

melahirkan, hal ini menstimulasi produksi ASI secara

besar-besaran.

(b) Estrogen, berfungsi menstimulasi sistem saluran ASI

untuk membesar. Tingkatnya akan menurun saat

melahirkan dan tetap rendah selama menyusui.

(c) Prolaktin, berperan dalam membesarnya alveoli dalam

kehamilan.

(d) Oksitosin, berfungsi untuk mengencangkan otot halus

dalam rahim pada saat melahirkan dan setelahnya.

Setelah melahirkan, oksitosin mengencangkan otot halus

disekitar alveoli untuk mengeluarkan ASI menuju

saluran susu (Mansyur dan Dahlan, 2014).

3) Pada trimester kedua kehamilan Laktogen plasenta mulai

merangsang untuk pembuatan kolostrum (Sukarni dan Wahyu,

2013).

b) pembentukan Air Susu


Terdapat 2 refleks yang berfungsi sebagai pembentukan dan
pengeluaran 26 air susu, yaitu:
1) Rekleks prolaktin Pada saat bulan akhir kehamilan, hormon

prolaktin berperan untuk membuat kolostrum, namun

jumlahnya terbatas karna prolaktin dihambat oleh tingginya

kadar progesteron dan estrogen. Estrogen dan progesteron

sangat berkurang setelah partus dan plasenta terlepas. Refleks

prolaktin terjadi ketika isapan bayi merangsang ujung-ujung

saraf pada papilla (puting susu) dan areola yang berfungsi

221
sebagai reseptor mekanik. Rangsangan tersebut kemudian

dilanjutkan ke hipotalamus melalui medulla spinalis, sehingga

hipotalamus akan merangsang pengeluaran faktor-faktor yang

memacu sekresi prolaktin kemudian akan merangsang hipofise

anterior sehingga keluar. Hormon ini berperan penting untuk

merangsang sel-sel alveoli sehingga memproduksi air susu

(Astutik, 2014). Kadar prolaktin akan meningkat dalam

keadaan stres, anastesi, operasi, dan rangsangan puting susu

(Sukarni dan Wahyu, 2013).

Gambar 4. Refleks Oksitosin


(sumber: Roito dkk, 2016:71)

222
Gambar 6. Refleks Pengeluaran ASI
(Sumber: Roito dkk, 2016:71)

2) Reflek Letdown Rangsangan Isapan bayi akan menstimulasi

kelenjar hipofisis posterior untuk mengeluarkan oksitosin.

Hormon ini berfungsi untuk menimbulkan kontraksi diuterus

sehingga terjadi involusi dari organ tersebut. Oksitosin

memicu kontraksi dinding alveoli kemudian memeras air susu

yang telah diproduksi keluar dari alveoli dan masuk ke sistem

duktus dan selanjutnya mengalir melalui duktus laktiferus

masuk ke mulut bayi (Lowdermilk, Perry, dan Cashion, 2013).

Faktor-faktor yang meningkatkan reflek letdown adalah

melihat bayi dengan penuh kasih sayang, mendengarkan suara

bayi, mencium 27 bayi, dan memikirkan untuk menyusui bayi.

Faktor-faktor yang menghambatnya adalah stress, pikiran

kacau, bingung, takut, dan cemas (Yanti dan Sundawati, 2011).

223
c) Mekanisme menyusui

(a) Reflek Mencari/Menangkap (Rooting Reflex) Reflek ini muncul

ketika payudara ibu menempel pada pipi atau daerah sekeliling mulut

bayi. Hal ini menyebabkan kepala bayi berputar menuju puting susu

yang menyentuh pipi bayi tadi diikuti dengan membuka mulut dan

puting susu ditangkap masuk ke dalam mulut (Sukarni dan Wahyu,

2013).

(b) Reflek Menghisap (Sucking Reflex) Reflek ini muncul ketika langit-

langit mulut bayi tersentuh oleh puting. Puting susu yang sudah

masuk ke mulut dengan bantuan lidah akan ditarik lebih jauh dan

rahang menekan kalang payudara. Dengan tekanan bibir dan gerakan

rahang secara berirama, maka gusi akan menekan kalang payudara

dengan sinus laktiferus, sehingga air susu akan mengalir ke puting

susu. Kemudian, bagian belakang lidah menekan puting susu pada

langit-langit yang menyebabkan air susu keluar dari puting. Cara yang

dilakukan bayi dengan perlekatan yang benar tidak akan

menimbulkan cedera pada puting susu (Astutik, 2014).

(c) Reflek Menelan (Swallowing Reflex) Reflek ini timbul ketika mulut

bayi terisi oleh ASI, maka ia akan menelannya. Pada saat ASI keluar

dari puting, otot-otot pipi akan melakukan gerakan menghisap terus

menerus sehingga pengeluaran ASI akan bertambah dan diteruskan

dengan mekanisme menelan masuk ke lambung (Sukarni dan 28

Wahyu, 2013).

224
d. Teknik Menyusui

Teknik menyusui (laktasi) merupakan cara memberikan ASI

kepada bayi dengan perlekatan dan posisi ibu dan bayi dengan benar.

Teknik menyusui yang benar adalah cara ibu memberikan ASI kepada

bayi dengan perlekatan dan posisi ibu dan bayi dengan tepat. Teknik

menyusui yang benar diperlukan agar bayi dan ibu merasa nyaman dan

bayi bisa mendapatkan manfaat dari menyusui (Astutik, 2014).

a) Waktu dan Cara Menyusui

Waktu menyusui yang baik dapat membantu ibu untuk

mengosongkan payudara dan dapat mencegah terjadinya

bendungan ASI dan payudara bengkak. Menurut Astutik (2014)

dan Kementerian Kesehatan RI (2015) waktu dan cara menyusui

yang baik adalah sebagai berikut:

1) Ibu menyusui kapanpun bayi meminta (on demand)

2) Ibu menyusui minimal 8 kali sehari

3) Ibu menyusui minimal 5-7 menit hingga air susu berhenti

keluar atau bayi berhenti menyusu dengan melepas sendiri

isapannya

4) Bila bayi tidur lebih dari 3 jam, bangunkan, lalu susui;

5) Ibu menyusui sampai payudara terasa kosong, lalu pindah

ke payudara sisi yang lain;

6) Bila bayi sudah kenyang, namun payudara masih terasa

penuh, ibu dapat mengeluarkan ASI dengan cara diperah dan

disimpan.

225
b) Langkah-langkah Menyusui

Langkah-langkah menyusui yang benar menurut Astutik (2014),

Sulistyawati (2011) dan Kementerian Kesehatan RI (2015) adalah

sebagai berikut:

1) Pastikan tangan dalam kondisi bersih atau ibu bisa mencuci

tangan untuk lebih memastikan kebersihan tangannya untuk

menghindari kotoran dan kuman menempel pada payudara atau

bayi.

2) Keluarkan sedikit ASI kemudian dioleskan pada putting susu

dan areola sekitarnya untuk membersihkan puting susu dan areola

sebelum menyusui

3) Bayi diletakkan menghadap perut ibu/payudara

4) Ibu duduk atau berbaring dengan santai. Bila duduk, posisi

punggung ibu tegak lurus terhadap pangkuannya (bayi)

5) Bayi dipegang dengan satu lengan, kepala bayi terletak pada

lengkung siku ibu dan tidak boleh menengadah.

6) Bagian bokong bayi terletak pada lengan, ditahan dengan

telapak tangan ibu.

7) Satu tangan bayi diletakkan di belakang badan ibu dan yang

satu didepan.

8) Payudara dipegang dengan C hold dibelakang areola, tidak

menekan puting susu atau areolanya saja.

9) Perut bayi menempel pada badan ibu, telinga dan lengan bayi

terletak pada satu garis lurus.

10) Ibu menatap bayi dengan kasih sayang.

226
11) Sentuh pipi atau bibir bayi untuk merangsang rooting reflect.

12) Bayi didekatkan ke ibu dan puting susu diarahkan ke atas

menyusuri langit mulut bayi ketika mulut bayi terbuka lebar dan

lidah menjulur.

13) Putting susu dan areola masuk seluruhnya ke mulut bayi.

Usahakan sebagian besar bagian payudara masuk ke mulut bayi,

hal ini akan mempermudah bayi untuk menekan ASI keluar dari

tempat penampungan ASI di bawah payudara.

14) Setelah bayi mulai menghisap, payudara tidak perlu dipegang

atau disangga lagi;

15) Kelingking dimasukkan ke dalam mulut bayi menyusuri

langit-langit mulut bayi untuk menghentikan proses menyusui atau

bayi akan melepaskan isapannya senduru ketika sudah merasa

kenyang bahkan sampai tertidur

16) Setelah menyusui, ASI dikeluarkan sedikit kemudian

dioleskan pada puting susu dan areola sekitarnya kemudian

dibiarkan hingga kering.

B. Mastitis

a. Pengertian Mastitis

Mastitis adalah infeksi peradangan pada mamma, terutama pada

primipara yang biasanya disebabkan oleh staphylococcus aureus, infeksi

terjadi melalui luka pada putting susu, tetapi mungkin juga mungkin juga

melalui peredaran darah (Prawirohadjo, 2005 : 701).

Mastitis adalah reaksi sistematik seperti demam, terjadi 1-3

minggu setelah melahirkan sebagai komplikasi sumbatan saluran air

227
susu (Masjoer, 2001 : 324). Pada kasus mastitis ini biasanya tidak segera

ditangani, jika mastitis tidak segera ditangani menyebabkan abses

payudara yang biasa pecah kepermukaan kulit dan akan menimbulkan

borok yang besar.

Pada mastitis biasanya yang selalu dikeluhkan adalah payudara

membesar, keras, nyeri, kulit murah dan membisul (abses) dan yang pada

akhirnya pecah menjadi borok disertai dengan keluarnya nanah

bercampur air susu, dapat disertai dengan suhu badan naik, menggigil.

Jika sudah ditemukan tanda-tanda seperti ini maka pemberian ASI pada

bayi jangan dihentikan, tetapi sesering mungkin diberikan.

Mastitis adalah peradangan pada payudara terutama pada

primigravida, infeksi terjadi melalui luka pada putting susu, tetapi

mungkin juga melalui peredaran darah.

b. Etiologi Mastitis

Mastitis disebabkan oleh stasis ASI dalam duktus dan berlanjut

karena infeksi bakteri (Cadwell dan Maffei, 2011). Penyebab mastitis ASI

adalah:

a) Bendungan payudara dan Sumbatan pada saluran ASI.

b) Pembatasan frekuensi atau durasi menyusui.

c) Kenyutan yang buruk pada payudara oleh bayi.

d) Sisi yang disukai dan pengisapan yang efisien,

e) Faktor mekanis lain: Tounge tie, penggunaan dot karet, pakaian yang

ketat dan posisi tidur telungkup.

Infeksi yang terjadi biasanya disebabkan oleh bakteri

Staphylococcus aureus. Bakteri ini berasal dari mulut bayi yang masuk

228
ke dalam saluran air susu melalui robekan atau luka pada puting susu.

Menurut Mansyur dan Dahlan 35 (2014), mastitis disebabkan oleh

beberapa hal antara lain.

a) Payudara bengkak yang tidak disusui secara adekuat, akhirnya

terjadi mastitis;

b) Puting lecet akan memudahkan masuknya kuman, dan terjadinya

infeksi pada payudara;

c) Breast Holder (bra) yang terlalu ketat;

d) Ibu yang memiliki diet yang jelek (kurang nutrisi) dan kurang

istirahat akan mudah terkena infeksi.

c. Manifestasi Klinis

Gejala mastitis meliputi bengkak, nyeri seluruh payudara atau

nyeri local, kemerahan pada seluruh payudara atau hanya local, payudara

keras dan berbenjol- benjol, suhu badan meningkat, dan rasa sakit yang

umum. Menurut Wulandari dan Handayani (2011), gejala mastitis antara

lain:

a) Ibu memperhatikan adanya “bercak panas” atau area nyeri tekan yang

kuat

b) Ibu dapat merasakan bercak kecil yang keras didaerah nyeri tekan

tersebut

c) Ibu mengeluh lemah dan sakit-sakit pada otot seperti flu

d) Mengeluhkan sakit kepala

e) Ibu mengalami demam

f) Terdapat area luka yang terbatas atau lebih luas pada payudara

g) Kulit tampak kemerahan dan bercahaya (tanda-tanda akhir)

229
h) Payudara terasa keras dan tegang.

d. Patofisiologi Mastitis

Secara garis besar, mastitis atau peradangan pada payudara dapat

bersifat infektif maupun noninfektif, tetapi keduanya selalu menunjukkan

proses inflamasi (Cadwell dan Maffei, 2011). Mastitis noninfeksi berawal

dari proses menyusui yang normal, namun dikarenakan faktor-faktor

risiko tertentu dari ibu maupun bayi maka dapat menyebabkan terjadinya

gangguan pengeluaran ASI atau yang biasa disebut dengan stasis ASI.

Stasis ASI akan mengakibatkan ASI tidak dapat keluar dengan lancar dan

efektif sehingga terjadi peningkatan tekanan di dalam duktus (saluran

ASI) dan menyebabkan respon peradangan tanpa adanya infeksi bakteri

sehingga payudara ibu akan nyeri namun bagian lain tubuh ibu akan baik-

baik saja.

Peningkatan tekanan dalam duktus akan mengakibatkan payudara

menjadi tegang, sehingga sel epitel yang memproduksi ASI menjadi datar

dan tertekan, permeabilitas jaringan ikat meningkat dan memicu respon

imun. Hal ini menyebabkan respon inflamasi dan kerusakan jaringan

sehingga membuat lubang duktus laktiferus menjadi tempat masuknya

bakteri, terutama bakteri Staphylococcus aureus dan Streptococcus sp.

Mastitis yang bersifat infektif juga dapat terjadi secara langsung yaitu saat

timbul fisura/robekan/perlukaan pada putting yang terbentuk saat awal

laktasi akan menjadikan port de entry bakteri (IDAI, 2013). Puting

lecet/pecah-pecah terjadi bersamaan dengan mastitis karena kedunya

diakibatkan oleh kenyutan yang buruk pada payudara dan luka pada

puting menjadi titik awal infeksi.

230
e. Diagnosis

a) Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan tanda-tanda vital ibu yang mengalami

mastitis biasanya mengalami peningkatan suhu tubuh hingga lebih

dari 380C. Payudara biasanya berwarna kemerahan, bengkak, nyeri

tekan, lecet pada putting susu, dan terdapat nanah jika terjadi abses.

Pada abses, nyeri bertambah hebat pada payudara, kulit diatas abses

mengkilat dan bayi dengan sendirinya tidak mau minum pada

payudara yang sakit, seolah-olah dia tahu bahwa ASI tersebut

bercampur dengan nanah.

b) Pemeriksaan penunjang

Data yang mendukung pemeriksaan yang tidak dapat diketahui

dengan pemeriksaan fisik. Pada ibu nifas dengan mastitis, Menurut

WHO menganjurkan pemriksaan kultur dan uji sensitivitas pada

beberapa keadaan yaitu :

(a) Pengobatan dengan antibiotic tidak memperlihatkan respon

yang baik dalam 2 hari

(b) Terjadi mastitis berulang

(c) Mastitis terjadi di rumah sakit

(d) Penderita alergi terhadap antibiotic

Bahan kultur diambil dari ASI, putting susu harus dibersihkan

terlebih dahulu dan bibir penampung diusahakan tidak menyentuh

putting untuk mengurangi kontaminasi dari kuman yang terdapat di

kulit yang dapat memberikan hasil positif palsu dari kultur.

231
f. Prognosis

Prognosis baik setelah dilakukan tindakan kebidanan dengan

segera. Dan keadaan akan menjadi fatal bila tidak segera diberikana atau

dilakukan tindakan yang adekuat dan akan terjadi abses payudara.

g. Pengobatan

a) Farmakologi

(a) Terapi Antibiotik

Antibiotik yang tepat harus diberikan dalam jangka panjang,

dianjurkan untuk memberikan antibiotik 10-14 hari. Pemberian

jangka pendek akan menyebabkan risiko kekambuhan mastitis

yang tinggi.

(b) Terapi Simtomatik

Penanganan nyeri menggunakan analgesik, sebaiknya

memilih terapi yang tepat dan efektif sehingga dapat mengurangi

inflamasi dan nyeri. Ibu dianjurkan untuk beristirahat ditempat

tidur hingga gejala membaik. Tindakan lain yang dapat dilakukan

adalah penggunaan kompres hangat pada payudara yang dapat

mengurangi nyeri dan anjurkan ibu minum banyak.

b) Non Farmakologi

(a) Konseling suportif

Mastitis merupakan pengalaman yang sangat nyeri dan membuat

frustasi, dan membuat banyak wanita merasa sangat sakit. Selain

dengan penanganan yang efektif dan pengendalian nyeri, Ibu nifas

membutuhkan dukungan emosional. Ibu harus diyakinkan kembali

232
tentang nilai menyusui; yang aman untuk diteruskan (WHO,

2003).

(b) Kompres air hangat dingin

Pemakaian kompres panas biasanya dilakukan hanya

setempat saja pada bagian tubuh tertentu. Dengan pemberian

panas, pembuluh-pembuluh darah akan melebar

sehinggamemperbaiki peredaran darah di dalam jaringan tersebut,

aktivitas sel yang meningkat akan mengurangi rasa nyeri dan akan

menunjang proses penyembuhan luka dan proses peradangan.(

Andarmoyo, 2013)

Menurut smith dan duel (2013), kompres dingin dapat

mengurangi rasa nyeri akibat adanya pembengkakan payudara.

Hal ini kompres dingin mempunyai beberapa keuntungan yaitu

menimbulkan efek lokal analgesic, menurunkan aliran darah ke

area yang mengalami cidera, menurunkan inflamasi,

meningkatkan threshold atau ambang batas reseptor nyeri untuk

kemudian menurunkan nyeri, dan mengurangi pembengkakan

serta menyejukkan bagi kulit.

Pemberian kompres dengan air panas dilakukan sebelum

menyusui dan kompres air dingin sesudah menyusui untuk

mengurangi rasa nyeri. (Prawirohardjo, 2005)

(c) Perawatan payudara

Perawatan payudara dapat dilakukan dengan melakukan suatu

tindakan oleh ibu post partum sendiri maupun di bantu oleh orang

lain yang dilaksanakan mulai hari pertama atau kedua setelah

233
melahirkan. Gerakan perawatan merupakan cara efektif untuk

meningkatkan volume ASI dan melancarkan refleks pengeluaran

ASI. Terakhir yang tak kalah penting, mencegah pembengkakan

pada payudara (Anggraini, 2010)

(1) Pelaksanaan pengurutan payudara :

Kompres puting dengan kapas yang telah diberi baby oil /


minyak kelapa selama 3 – 5 menit, kemudian angkat dengan
cara memutar . Perhatikan apakah puting kotor, bila kotor
bersihkan kembali menggunakan kapas yang telah diberi baby
oil/ minyak kelapa.
Licinkan kedua tangan dengan minyak kelapa/baby oil 3.
Gerakan pengurutan 20–30 kali untuk tiap payudara sebanyak
2 kali sehari, bila ibu sudah memahami dapat dilakukan
dirumah dan lakukan sebelum mandi.
Pengurutan 1 : a. Tempatkan kedua telapak tangan diatas

kedua payudara

b. Arah urutan dimulai ke arah atas kemudian ke samping


(telapak tangan kiri ke arah sisi kiri, telapak tangan kanan
menuju ke sisi kanan).
c. Arah gerakan yang terakhir adalah melintang kemudian
dilepas perlahan – lahan.

d. Pengurutan 2 : Satu telapak tangan menopang payudara, sedang


tangan lainnya mengurut payudara dari pangkal menuju puting
susu.

234
e. Pengurutan 3 : Merangsang payudara dengan cara kompres kedua
payudara dengan air hangat, kemudian air dingin dan air hangat.
f. Bersihkan minyak/baby oil yang menempel pada sekitar payudara
dengan air hangat kemudian keringkan dengan handuk bagian
atas. Stimulasi refleks oksitosin pada bagian punggung ibu
dengan memijat

(2) Pijat Oketani

Menurut Jeongsug et al (2012) mengatakan bahwa nyeri

payudara pada ibu post partum dapat diakibatkan oleh adanya

gangguan aliran darah dan limfatik, sehingga dengan

pemberian pijat oketani ini mampu untuk memperlancar aliran

darah dan limfatik yang pada akhirnya mampu memberikan

efek berupa penurunan nyeri pada payudara.

Pemijatan pada payudara merupakan suatu tindakan

perawatan payudara yang dimulai pada hari pertama atau

kedua setelah melahirkan. Perawatan payudara bertujuan

untuk melancarkan sirkulasi darah dan mencegah

tersumbatnya aliran susu ibu. Selain itu menghindari

terjadinya pembekakan payudara dan kesulitan menyusui,

serta menjaga kebersihan payudara agar tidak mudah terkena

infeksi. Rahmawati (2018)

235
(3) Pijat Woolwich

Pijat Woolwich memiliki beberapa tujuan antara lain

meningkatkan refleks prolaktin dan oksitosin (let down

reflex), mencegah penyumbatan, meningkatkan produksi

ASI dan mencegah peradangan atau bendungan payudara.

Adapun manfaat pijat woolwich adalah meningkatkan

pengeluaran dan sekresi ASI, mencegah terjadinya

penyumbatan, bendungan payudara serta mastitis

(Kusumastutiet al., 2017).

(d) Seringnya menyusui dan mengosongkan payudara untuk

mencegah statis.

(e) Memakai bra dengan penyangga tetapi tidak terlalu sempit, jangan

menggunakan bra dengan kawat di bawahnya.

(f) Meningkatkan asupan cairan dan memenuhi kebutuhan gizi.

h. Pencegahan Mastitis

1) Perawatan payudara pascanatal secara teratur untuk

menghindari terjadinya statis aliran Air Susu Ibu (ASI).

2) Posisi menyusui yang diubah-ubah.

3) Menggunakan bra/BH yang menyangga dan membuka bra

tersebut ketika terlalu menekan payudara.

4) Susukan dengan adekuat.

236
Definisi Gangguan Menstruasi

Gangguan menstruasi adalah kondisi ketika siklus menstruasi mengalami


anomali atau kelainan. Hal ini bisa berupa perdarahan menstruasi yang terlalu
banyak atau terlalu sedikit, siklus menstruasi yang tidak beraturan, dan bahkan
tidak haid sama sekali.
Gangguan menstruasi merupakan keluhan yang sering menyebabkan
seorang wanita datang berobat ke dokter atau ke tempat pertolongan pertama.
Keluhan gangguan menstruasi bervariasi dari ringan sampai berat dan tidak
jarang menyebabkan rasa frustasi baik bagi penderita, keluarganya bahkan
dokter yang merawatnya. Selain menyebabkan gangguan kesehatan, gangguan
menstruasi ternyata berpengaruh pada aktivitas sehari-hari dan mengganggu
emosional si penderita. (Sarwono, 2011)
Gangguan haid adalah perdarahan haid yang tidak normal dalam hal :
panjang siklus haid, lama haid, dan jumlah darah haid. Melibatkan
hipotalamus, hipofisis, ovarium dan endometrium.
Haid dikatakan normal apabila:
1. Berlangsung antara 25-35 hari atau 21-31 hari
2. Estrogen dihasilkan oleh follikel & korpus luteum
3. Peningkatan Estrogen pada midsiklus → lonjakan LH → ovulasi
4. P dihasilkan hanya oleh korpus luteum
5. Korpus luteum ada hanya jika terjadi ovulasi
6. Umur korpus luteum ±10-14 hari
7. Fase luteal/F.sekresi ±14 hari (hampir selalu tetap)
8. Fase folikulogenesis/F.proliferasi variasi antara 7-21 hari

Etiologi Gangguan Menstruasi

237
Kelainan haid biasanya terjadi karena ketidak seimbangan hormon-
hormon yang mengatur haid, namun dapat juga disebabkan oleh kondisi medis
lainnya.
Factor penyebab gangguan menstruasi secara fisiologis adalah berkaitan
dengan umur yaitu terjadi sebelum pubertas atau dalam masa menopause,
dalam kehamilan, dalam masa laktasi maupun gangguan pada aksis
hipotalamus-hipofisis-ovarium, kelainan kongenital, gangguan system
hormonal, masalah kesuburan endometrium, penyakit-penyakit lain, terdapat
tumor di alat kelamin, terdapat penyakit menahun, ketidakstabilan emosi dan
kurang zat makanan (gangguan gizi), gangguan metabolisme,serta mempunyai
nilai gizi lebih yang berkaitan dengan status ekonomi dan pekerjaan
(Yamamoto, K, 2009).
Klasifikasi Gangguan Menstruasi
1. Kelainan Panjang Siklus
a. Amenorrhe
Amenorrhe dapat terjadi pada menopouse, sebelum pubertas,
dalam kehamilan dan dalam masa laktasi. Bila tidak menyusukan, haid
datang ± 3 bulan post partum namun bila menyusukan, haid datang pada
bulan ke-6. Amenorrhea dapat dibagi menjadi amenorrhea primer dan
sekunder. Amenorrhe primer berarti seorang perempuan belum
mengalami haid setelah usia 16 tahun7 tetapi telah terdapat tanda-tanda
seks sekunder atau tidak terjadi haid sampai 14 tahun tanpa adanya
tanda-tanda seks sekunder.
Amenorrhea biasanya terjadi pada gadis dengan underweight atau
pada aktivitas berat dimana cadangan lemak mempengaruhi untuk
memacu pelepasan hormon. Amenorrhea sekunder berarti telah terjadi
haid, tetapi haid terhenti untuk masa tiga siklus atau lebih dari enam
bulan. Amenorrhea dapat terjadi akibat gangguan pada komponen yang
berperan pada proses haid.
Langkah-langkah diagnosa bila ditemukan amenorrhea yang
harus dilakukan adalah lakukan pemeriksaan TSH karena pada keadaan

238
hipotroid terjadi penurunan dopamin sehingga merangsang pelepasan
TRH. TRH merangsang hipofise anterior untuk menghasilkan prolaktin
dimana prolaktin akan menghambat pelepasan GnRH. Namun pada satu
waktu, saat hipofise anterior terangsang secara kronik, hipofise anterior
dapat membesar sehingga meningkatkan sekresi GnRH dan
menyebabkan terjadinya pematangan folikel yang terburu-buru
sehingga terjadi kegagalan ovarium prematur. Sehingga harus
diwaspadai bila terjadi suatu tanda-tanda hipotiroid, amenorrhea dan
galaktorrhea.
Amenorrhea pada atlet dengan latihan berlebih dibutuhkan kalori
yang banyak sehingga cadangan kolesterol tubuh habis dan bahan untuk
pembentukan hormon steroid seksual (estrogen & progesteron) tidak
tercukupi. Pada keadaan tersebut juga terjadi pemecahan estrogen
berlebih untuk mencukupi kebutuhan bahan bakar dan terjadilah
defisiensi estrogen dan progeteron yang memicu terjadinya
amenorrhea. Pada keadaan latihan berlebih banyak dihasilkan endorpin
yang merupakan derifat morfin. Endorpin menyebabkan penurunan
GnRH sehingga estrogen dan progesteron menurun. Pada keadaan
stress berlebih, corticotropin releasing hormon dilepaskan, pada
peningkatan CRH, terjadi peningkatan opoid yang dapat menekan
pemebentukan GnRH.
b. Oligomenorrhea
Oligomenorrhea disebut juga sebagai haid jarang atau siklus
panjang. Oligomenorrhea terjadi bila siklus lebih dari 35 hari. Darah
haid biasanya berkurang. Oligomenorrhea biasanya berhubungan
dengan anovulasi atau dapat juga disebabkan kelainan endokrin seperti
kehamilan, gangguan hipofise-hipotalamus, dan menopouse atau sebab
sistemik seperti kehilangan berat badan berlebih.
Gejala oligomenorrhea terdiri dari periode menstruasi yang lebih
panjang dari 35 hari dimana hanya didapatkan 4-9 periode dalam 1
tahun. Beberapa wanita dengan oligomenorrhea mungkin sulit hamil.

239
Bila kadar estrogen yang menjadi penyebab, wanita tersebut mungkin
mengalami osteoporosis dan penyakit kardiovaskular. Wanita tersebut
juga memiliki resiko besar untuk mengalami kanker uterus.
Pengobatan oligomenorrhea tergantung dengan penyebab. Pada
oligomenorrhea dengan anovulatoir serta pada remaja dan wanita yang
mendekati menopouse tidak memerlukan terapi. Perbaikan status gizi
pada penderita dengan gangguan nutrisi dapat memperbaiki keadaan
oligomenorrhea. Oligomenorrhea sering diobati dengan pil KB untuk
memperbaiki ketidakseimbangan hormonal.
Komplikasi yang paling menakutkan adalah terganggunya
fertilitas dan stress emosional pada penderita sehingga dapat
meperburuk terjadinya kelainan haid lebih lanjut. Prognosa akan buruk
bila oligomenorrhea mengarah pada infertilitas atau tanda dari
keganasan.
c. Polimenorrhea
Polimenorea merupakan kelainan siklus menstruasi yang
menyebabkan wanita berkali-kali mengalami menstruasi dalam
sebulan, bisa dua atau tiga kali atau bahkan lebih. Polimenorrhea adalah
kelainan haid dimana siklus kurang dari 21 hari dan menurut literatur
lain siklus lebih pendek dari 25 hari. Bila siklus pendek namun teratur
ada kemungkinan stadium proliferasi pendek atau stadium sekresi
pendek atau kedua stadium memendek. Yang paling sering dijumpai
adalah pemendekan stadium proliferasi. Bila siklus lebih pendek dari
21 hari kemungkinan melibatkan stadium sekresi juga dan hal ini
menyebabkan infertilitas.
2. Kelainan Jumlah Darah Haid
a. Menorrhagia/Hipermenorrhea
Menorrhagia adalah pengeluaran darah haid yang terlalu banyak
(lebih dari 8 hari dan 80ml/hari) dan biasanya disertai dengan bekuan
darah sewaktu menstruasi. Etiologi menorrhagia dikelompokan dalam
4 kategori yaitu, (1) Gangguan pembekuan, (2) Disfunctional uterine

240
bleeding (DUB), (3) Gangguan pada organ dalam pelvic, (4) Gangguan
medis lainnya
b. Hipomenorrhea (kriptomenorrhea)
Hipomenorrhea adalah suatu keadan dimana jumlah darah haid
sangat sedikit (<30cc), kadang-kadang hanya berupa spotting. Dapat
disebabkan oleh stenosis pada himen, servik atau uterus. Pasien dengan
obat kontrasepsi kadang memberikan keluhan ini. Hal ini juga dapat
terjadi pada hipoplasia uteri dimana jaringan endometrium sedikit.
3. Gangguan lain terkait haid
a. Dismenorea
Dismenorea adalah gangguan ginekologik berupa nyeri saat menstruasi,
yang umumnya berupa kram dan terpusat di bagian perut bawah.Rasa
kram ini seringkali disertai dengan nyeri punggung bawah, mual
muntah, sakit kepala atau diare. Istilah dismenorea hanya dipakai jika
nyeri terjadi demikian hebatnya, oleh karena hampir semua wanita
mengalami rasa tidak enak di perut bagian bawah sebelum dan selama
haid. Dikatatakan demikian apabila nyeri yang terjadi ini memaksa
penderita untuk beristirahat dan meninggalkan aktivitasnya untuk
beberapa jam atau hari. Dismenorea dibagi menjadi dua yaitu :
1) Dismenorea primer
Dismenorea primer adalah proses normal yang dialami ketika
menstruasi. Kram menstruasi primer disebabkan oleh kontraksi
otot rahim yang sangat intens, yang dimaksudkan untuk
melepaskan lapisan dinding rahim yang tidak diperlukan lagi.
Dismenorea primer disebabkan oleh zat kimia alami yang
diproduksi oleh sel-sel lapisan dinding rahim yang disebut
prostaglandin. Prostaglandin akan merangsang otot otot halus
dinding rahim berkontraksi. Makin tinggi kadar prostaglandin,
kontraksi akan makin kuat, sehingga rasa nyeri yang dirasakan juga
makin kuat. Biasanya, pada hari pertama menstruasi kadar
prostaglandin sangat tinggi. Pada hari kedua dan selanjutnya,

241
lapisan dinding rahim akan mulai terlepas, dan kadar prostaglandin
akan menurun. Rasa sakit dan nyeri haid pun akan berkurang
seiring dengan makin menurunnya kadar prostaglandin.
2) Dismenorea sekunder
Merujuk pada nyeri saat menstruasi yang diasosiasikan dengan
kelainan pelvis, seperti endometriosis, adenomiosis, mioma uterina
dan lainnya. Oleh karena itu, dismenorea sekunder umumnya
berhubungan dengan gejala ginekologik lain seperti disuria,
dispareunia, perdarahan abnormal atau infertilitas.
b. Pre Menstrual Syndrome/Tension
Merupakan kumpulan keluhan yang umumnya dimulai datu
minggu hingga beberapa hari sebelum mulainya haid dan menghilang
sesudah haid mulai, meskipun terkadang berlangsung sampai selesai
haid.Keluhan yang sering muncul umumnya berupa iritabilitas, gelisah,
insomnia, nyeri kepala, perut kembung, mual, pembesaran dan rasa
nyeri payudara, dan lain-lain. Keluhan pada kasus berat dapat meliputi
depresi, rasa takut, gangguan konsentrasi, dan lain-lain.
Penyebabnya belum diketahui dengan jelas, tetapi salah satu faktor
yang berpengaruh adalah ketidakseimbangan antara estrogen dan
progesteron yang mengakibatkan retensi cairan dan natrium,
penambahan berat badan, serta terkadang edema.Faktor kejiwaan serta
masalah-masalah sosial juga berpengaruh. Perempuan yang mudah
mengalami premenstrual syndrome ini adalah perempuan yang lebih
peka terhadap perubahan hormonal dalam siklus haid dan factor-faktor
psikologis.
c. Perdarahan di luar menstruasi (Metroragia)
Perdarahan yang terjadi dalam masa antara 2 menstruasi
(metroragia). Pendarahan ini disebabkan oleh keadaan yang bersifat
hormonal dan kelainan anatomis. Pada kelainan hormonal terjadi
gangguan poros hipotalamus hipofisis, ovarium (indung telur) dan
rangsangan estrogen dan progesteron dengan bentuk pendarahan yang

242
terjadi di luar menstruasi, bentuknya bercak dan terus menerus, dan
pendarahan menstruasi berkepanjangan. Keadaan ini dipengaruhi oleh
ketidak-seimbangan hormon tubuh, yaitu kadar hormon progesteron
yang rendah atau hormon estrogen yang tinggi. Penderita hiposteroid
(kadar hormon steroid yang rendah) atau hipersteroid (kadar hormon
steroid yang tinggi) dan fungsi adrenal yang rendah juga bisa
menyebabkan gangguan ini. Beberapa gangguan organ reproduksi juga
dapat menyebabkan metroragia seperti infeksi vagina atau Rahim
endometriosis, kista ovarium, fibroid, kanker endometrium atau indung
telur, hiperplasia endometriosis, penggunaan kontrasepsi spiral yang
mengalami infeksi juga dapat menyebabkannya. (Sianipar, 2009).
Epidemiologi Gangguan Menstruasi
Tingginya prevalensi gangguan menstruasi disebabkan oleh berbagai
faktor seperti, stres, lifestyle, aktivitas fisik, kondisi medis, kelainan
hormonal dan status gizi.
Gangguan menstruasi merupakan masalah yang sering di alami oleh
remaja. Menurut WHO (2010)terdapat 75% remaja yang mengalami gangguan
haid dan ini merupakan alasan terbanyak seorang remaja putri mengunjungi
dokter spesialis kandungan. Siklus haid pada remaja sering tidak teratur,
terutama pada tahun pertama setelah menarche sekitar 80% remaja putri
mengalami terlambat haid 1 sampai 2 minggu dan sekitar 7% remaja putri yang
haidnya datang lebih cepat, disebabkan oleh ovulasi yang belum terjadi
(Anovulatory cycles).
Kejadian gangguan siklus mentruasi pada wanita yang mengalami
obesitas 1,89 kali lebih besar dibandingkan dengan wanita dengan status gizi
normal sedangkan subjek yang mengalami stress 2 kali lebih besar
dibandingkan dengan subjek yang tidak mengalami stress. Oligomenore
merupakan jenis gangguan siklus menstruasi yang paling tinggi terjadi pada
kelompok subjek yang mengalami obesitas (30,8%) dan pada subjek yang
mengalami stress adalah polimenore (23,1%). Obesitas dan stress merupakan
faktor yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan siklus menstruasi. Setelah

243
dikontrol dengan stress, pengaruh obesitas dalam menyebabkan gangguan
siklus menstruasi menjadi lebih kecil (OR=1; OR=2,8) (Rakhmawati, 2013).
Dismenorea adalah gangguan menstruasi terbanyak (80,0%) yang
dialami oleh pelajar perempuan maupun wanita dewasa. Pada peneitian ini.
Beberapa penelitian lain melaporkan prevalensi dismenorea sebesar
73,83%2,63,1%.
Sebesar 15,8%-89,5% perempuan dilaporkan mengalami dismenora pada
berbagai studi di dunia, dimana perempuan usia remaja memiliki angka yang
lebih tinggi.6Menurut studi yang dilakukan Zhou di sebuah universitas di
China menyebutkan bahwa 56,4% mahasiswi di universitas tersebut
mengalami dismenorea.7 Di Indonesia sendiri diperkirakan 60%– 70%
perempuan mengalami dismenorea. 8 Sebuah survey di Canada yang diikuti
oleh lebih dari 1.500 perempuan menstruasi yang dipilih acak menyebutkan
bahwa angka kejadian dismenorea sedang hingga berat terjadi pada 60%
responden, yang menyebabkan penurunan aktivitas pada 50% responden serta
absen pada sekolah atau pekerjaan pada 17% responden.19 Studi lain pada
populasi remaja perempuan di Tbilisi, 13 Georgia menyebutkan bahwa 52,07%
responden mengalami dismenorea.20 Studi dismenorea lainnya yang dilakukan
pada remaja perempuan di Kelantan, Malaysia melaporkan bahwa dismenorea
mempengaruhi konsentrasi di sekolah dan partisipasi sosial, meskipun
demikian hanya sebagian kecil remaja perempuan yang mengalami dismenorea
yang mencari pengobatan medis.5 Beberapa studi melaporkan bahwa angka
kejadian dismenorea meningkat pada perempuan dengan riwayat keluarga yang
mengalami dismenorea, merokok, indeks massa tubuh kurang dari 20,
menarche dini(sebelum usia 12 tahun), serta jarak antar menstruasi dan durasi
menstruasi yang lebih panjang. Sedangkan kontrasepsi oral, olahraga dan
menikah dilaporkan menurunkan kemungkinan dismenorea.
Pathogenesis Gangguan Menstruasi
Berbagai studi menghasilkan fakta bahwa iskemik miometrium oleh
karena kontraksi uterus yang sering dan berkepanjangan menyebabkan
dismenorea primer. Endometrium pada fase sekretori mengadung simpanan

244
besar asam arakidonat, yang akan dikonversikan menjadi prostaglandin
F2α(PGF2α), prostaglandin E2 (PGE2), dan leukotrien saat menstruasi.
PGF2αakan selalu menstimulasi kontraksi uterus dan merupakan mediator
utama dismenorea. Terapi dengan inhibitor siklooksigenase (COX) akan
menurunkan level prostaglandin dan menurunkan aktivitas kontraksi uterus.
Kontraksi otot polos uterus menyebabkan rasa kram, spasme perut bagian
bawah, nyeri punggung bawah serta persalinan atau aborsi yang diinduksi
prostaglandin. Pada perempuan dengan dismenorea primer, kontraksi uterus
selama menstruasi dimulai saat peningkatan level tonus basal(>10 mmHg),
menimbulkan tekanan intrauterus yang lebih tinggi (seringkali mencapai 150-
180mmHg dan dapat melampaui 400mmHg), terjadi lebih sering(>4-5kali/
10menit) dan tidak beritmik. Ketika tekanan intrauterus melampaui tekanan
arteri untuk periode waktu yang terusmenerus, hasil iskemi dalam produksi
metabolit anaerob merangsang neuron C tipe kecil, yang berkontribusi pada
nyeri saat dismenorea. Selain itu, PGF2α dan PGE2 dapat menstimulasi
kontraksi otot polos bronkus, usus dan vaskular, yang menyebabkan
bronkokonstriksi, mual, muntah, diare, dan hipertensi. Dismenorea primer
mulai sebelum atau bertepatan dengan onset menstruasi dan menurun secara
bertahap selama 72 jam berikutnya. Kram menstruasi terjadi intermiten,
intensitasnya bervariasi, dan biasanya berpusat di daerah suprapubik, meskipun
beberapa perempuan juga mengalami nyeri di paha dan punggung bawah.
Penurunan aliran darah ke uterus dan peningkatan hipersentivitas saraf perifer
juga berkontribusi terhadap nyeri yang terjadi. Berbeda dengan dismenorea
primer, perempuan dengan dismenorea sekunder yang berhubungan dengan
kelainan pelvis, seperti endometriosis, nyeri semakin berat sering terjadi pada
pertengahan siklus dan selama seminggu sebelum menstruasi, beserta gejala
dispareunia. Pada perempuan dengan dismenorea sekunder yang berhubungan
dengan mioma uterus, utamanya nyeri disebabkan karena menoragia, dengan
intensitas yang berkorelasi dengan volume aliran menstruasi.

245
Gambar 2.1 Pathogenesis Gangguan Menstruasi
Manifestasi Gangguan Menstruasi
Berbagai gejala gangguan menstruasi yang terlihat, antara lain:
 Perut melilit
 Nyeri punggung
 Payudara mengencang
 Sakit kepala
 Kemunculan jerawat berlebih
 Mudah lelah
 Mudah lapar
 Konstipasi
 Gelisah
 Kram perut
 Diare
 Absen Menstruasi
 Darah yang dikeluarkan berbau khas
Penyakit Gangguan Menstruasi dalam Klasifikasi Penyakit
Klasifikasi penyakit adalah penyusunan ke dalam kelompok tertentu
berdasarkan hubungan antara kelompok dengan sifat-sifat yang dimiliki.

246
Penyakit yang bermacam-macam ini memang perlu juga pengelompokkan.
Keingingan mengetahui keberadaan penyakit tidaklah harus berhenti pada
diagnosis saja. Kegiatan lain yang tidak kalah pentingnya setelah diagnosis
adalah melakukan klasifikasi (Hellen V, 2007).
International Classification of Diseases (ICD) adalah klasifikasi
diagnostik standar internasional untuk semua epidemiologi umum,
untuk penggunaan di beberapa manajemen kesehatan dan klinis. ICD
digunakan untuk mengklasifikasikan penyakit dan masalah kesehatan
lainnyadicatat pada berbagai jenis kesehatan dan catatan penting termasuk
sertifikat kematian dan catatan kesehatan. Selain itu ICD adalah suatu sistem
klasifikasi penyakit dan beragam jenis tanda, simptoma, kelainan, komplain
dan penyebab eksternal penyakit.
Dampak Penyakit Gangguan Menstruasi

Masalah yang bias muncul dengan adanya gangguan menstruasi ini yaitu :
1. Penderita gangguan menstruasi juga akan mulai mengalami gangguan
psikologi seperti perubahan mood yang cepat karena dipengaruhi oleh
tingkat stress yang dialami.
2. Kurang berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang sekitarnya
3. Timbulnya rasa malas dalam diri untuk beraktivitas

Pencegahan dan Pengobatan Gangguan Menstruasi

1. Pencegahan
a. Menyeimbangkan hormon tubuh dengan Nutrisi yang cepat diserap
dan dibutuhkan setiap sel dalam tubuh
b. Memperbaiki pola makan dengan memenuhi asupan Nutrisi yang
dibutuhkan tubuh sehingga mengurangi craving makanan yang tidak
sehat dan tidak teratur
c. Menyeimbangkan dan memperbaiki kerja sistem saraf tubuh,
termasuk di otak sehingga tidak mudah stress
d. Melancarkan pencernaan dan mengontrol nafsu makan sehinga
mencegah berat badan berlebihan

247
e. Cegah dan atasi anemia
f. Olahraga. Berolahraga dapat mengurangi nyeri haid.
g. Aktivitas seksual. Terdapat laporan bahwa kram akibat haid bisa
berkurang akibat orgasme.
h. Rasa hangat. Nyeri dan kram akibat haid bisa dikurangi dengan
berendam pada air hangat atau menempelkan kompres hangat pada
bagian abdomen.
i. Kebersihan menstruasi. Ganti pembalut setiap 4-6 jam. Hindari
menggunakan pembalut atau tampon berparfum, serta deodoran
wanita yang dapat mengiritasi bagian kewanitaan. Douching tidak
disarankan, karena dapat membunuh bakteri alami yang hidup di
vagina. Mandi seperti biasa sudah cukup (Barsom SH., et. al. 2004).
2. Pengobatan
a. Biopsi endometrium
Pada tes biopsi endometrium, dokter akan mengambil sedikit
sampel dari jaringan dinding rahim Anda. Hal ini berguna untuk
mendiagnosis adanya gangguan seperti endometriosis,
ketidakseimbangan hormon, atau adanya potensi kanker.
Endometriosis beserta kondisi-kondisi lainnya juga dapat didiagnosis
dengan prosedur laparoskopi. Pada prosedur ini, dokter memasukkan
alat kecil bernama laparoskop melalui sayatan kecil di perut, yang
kemudian diarahkan menuju rahim dan ovarium.
b. Histeroskopi
Prosedur ini menggunakan alat kecil bernama histeroskop yang
dimasukkan melalui vagina dan serviks. Dengan alat ini, dokter dapat
melihat dengan jelas bagian rahim Anda untuk mengetahui adanya
kelainan seperti fibroid atau polip.
c. USG
Tes ultrasonografi atau USG juga dapat dilakukan untuk
mendiagnosis gangguan haid. Tes USG menggunakan gelombang
suara untuk menghasilkan gambar rahim Anda.

248
d. MRI scan
e. Kuretase
f. Periksa hormone
g. Pengobatan hormon, seperti obat-obatan estrogen atau progestin,
mungkin akan diresepkan oleh dokter untuk membantu mengatasi
pendarahan berlebih saat menstruasi
h. Jika Anda mengalami rasa sakit yang luar biasa saat sedang datang
bulan, dokter akan meresepkan obat-obatan seperti ibuprofen atau
acetaminophen.
i. Penggunaan obat aspirin sangat tidak disarankan karena justru dapat
memperparah aliran darah menstruasi. Anda juga dapat mencoba
mandi air hangat atau menggunakan kompres air hangat untuk
meringankan kram perut akibat menstruasi.
j. obat-obatan hormon seperti pil KB juga dapat memperlambat
pertumbuhan jaringan rahim, serta mengurangi volume darah yang
hilang selama menstruasi.
Pemberian suplemen zat besi (Barsom SH., et. al. 2004).

Prognosis Gangguan Menstruasi

1. Adanya permasalahan pada system reproduksi yang bisa menyebabkan


derajat kesehatan menurun. Misalnya suspect kanker serviks, kanker ahim
ataupun ovarium.
2. Darah yang tertinggal atau yang tidak luruh seluruhnya bias menyebabkan
adanya penyakit lain seperti kista ataupun tumor

249
AMENORHEA

1. Pengertian
Panjang siklus menstruasi pada umumnya adalah pada interval 22
– 35 hari (dari hari ke-1 menstruasi sampai pada permulaan periode
berikutnya); lama pada umumnya 3 5 hari atau 7 – 8 hari dan dengan
jumlah darah kurang dari 80 ml. Gangguan siklus haid disebabkan
ketidakseimbangan FSH atau LH sehingga kadar estrogen dan
progesteron tidak normal. Biasanya Gangguan ini bisa berkaitan dengan
siklus menstruasi yang tidak teratur, atau gangguan dengan jumlah darah
dan menstruasi yang lama atau abnormal serta akibat sampingan yang
ditimbulkannya seperti nyeri perut, pusing, mual, atau muntah
(Sarwono, 2007). Amenore adalah keadaan tidak datang haid untuk
sedikitnya 3 bulan berturut-turut.

2. Klasifikasi
Amenore Primer : Usia 18th atau lebih belum haid
Penyebab : Adanya kelainan congenital dan kelainan genetik. Kelainan
kongenita seperti Hymen imperforate, septum vagina,
Amenore Sekunder : penderita pernah pernah Haid, kemudian tidak
dapat haidlagi.
Penyebab : Gangguan gizi, gangguan metabolisme, tumor, penyakit
infeksi, hamil,masa laktasi, menopause
3. Etiologi
Amenore Primer :

 Kelainan kromosom
 Masalah hipotalamus
 Hipofisis
 Kurangnya organ reproduksi
 Struktural abnormal pada vagina
 Disebut Hymen imperforata, yaitu selaput dara tidak berlubang.
Sehingga darah menstruasi terhambat untuk keluar. Biasanya
keadaan ini diketahui bila cewek sudah waktunya mens tetapi

250
belum mendapatkannya. Dia mengeluh sakit perut setiap bulan.
Untuk mengatasi hal ini biasanya dioperasi untuk melubangi
selaput daranya.
Menstruasi anovulatoire, yaitu rangsangan hormon-hormon yang tidak
mencukupi untuk membentuk lapisan dinding rahim, hingga tidak terjadi haid
atau hanya sedikit. Kurangnya rangsangan hormon ini menyebabkan
endometrium tidak terbentuk dan keadaan ini menyebabkan cewek tidak
mengalami masa subur karena sel telur tidak terbentuk. Pengobatannya dengan
terapi hormon.

Gambar 1. Himen Imperforata

Penyebab Amenore Sekunder


 Kehamilan
 Kontrasepsi
 Menyusui
 Stres
 Obat-obatan
 Ketidakseimbangan hormone
 Berat badan rendah
 Olahraga berlebihan
 Kerusakan tiroid
 Masalah di jaringan rahim
 Ketidakcukupan ovarium primer.

251
Gambar. Contoh penyebab amenore sekunder
Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala yang muncul diantaranya :
 Tidak terjadi haid
 Produksi hormone estrogen dan progesterone menurun.
 Nyeri kepala
 Badan lemah
Tanda dan gejala tergantung dari penyebabnya :
Jika penyebabnya adalah kegagalan mengalami pubertas, maka tidak akan
ditemukan tanda – tanda pubertas seperti pembesaran payudara, pertumbuhan
rambut kemaluan dan rambut ketiak serta perubahan bentuk tubuh. Jika
penyebanya adalah kehamilan, akan ditemukan morning sickness dan
pembesaran perut. Jika penyebabnya adalah kadar hormon tiroid yang tinggi
maka gejalanya adalah denyut jantung yang cepat, kecemasan, kulit yang hangat
dan lembab.
Sindroma Cushing menyebabkan wajah bulat ( moon face ), perut buncit, dan
lengan serta tungkai yang lurus.

Gejala lainnya yang mungkin ditemukan pada amenore :


 Sakit kepala

252
 Galaktore ( pembentukan air susu pada wanita yang tidak hamil dan
tidak sedangmenyusui )
 Gangguan penglihatan ( pada tumor hipofisa )
 Penurunan atau penambahan berat badan yang berarti Vagina yang
kering
 Hirsutisme ( pertumbuhan rambut yang berlebihan, yang mengikuti
pola pria ),perubahan suara dan perubahan ukuran payudara
Patofisologis
Tidak adanya uterus, baik itu sebagai kelainan atau sebagai bagian dari
sindrom hemaprodit seperti testicular feminization, adalah penyebab utama dari
amenore primer. Testicular feminization disebabkan oleh kelainan genetik.
Klien dengan aminore primer yang diakibatkan oleh testicular feminization
menganggap dan menyampaikan dirinya sebagai wanita yang normal, memiliki
tubuh feminin. Vagina kadang – kadang tidak ada atau mengalami kecacatan,
tapi biasanya terdapat vagina. Vagina tersebut berakhir sebagai kantong kosong
dan tidak terdapat uterus. Gonad, yang secara morfologi adalah testis berada di
kanal inguinalis. Keadaan seperti ini menyebabkan klien mengalami amenore
yang permanen.
Amenore primer juga dapat diakibatkan oleh kelainan pada aksis
hipotalamus-hipofisis- ovarium. Hypogonadotropic amenorrhoea menunjukkan
keadaan dimana terdapat sedikit sekali kadar FSH dan SH dalam serum.
Akibatnya, ketidakadekuatan hormon ini menyebabkan kegagalan stimulus
terhadap ovarium untuk melepaskan estrogen dan progesteron. Kegagalan
pembentukan estrogen dan progesteron akan menyebabkan tidak menebalnya
endometrium karena tidak ada yang merasang. Terjadilah amenore. Hal ini
adalah tipe keterlambatan pubertas karena disfungsi hipotalamus atau hipofosis
anterior, seperti adenoma pitiutari.
Hypergonadotropic amenorrhoea merupakan salah satu penyebab amenore
primer. Hypergonadotropic amenorrhoea adalah kondisi dimnana terdapat
kadar FSH dan LH yang cukup untuk menstimulasi ovarium tetapi ovarium
tidak mampu menghasilkan estrogen dan progesteron. Hal ini menandakan
bahwa ovarium atau gonad tidak berespon terhadap rangsangan FSH dan LH
dari hipofisis anterior. Disgenesis gonad atau prematur menopause adalah
penyebab yang mungkin. Pada tes kromosom seorang individu yang masih
muda dapat menunjukkan adanya hypergonadotropic amenorrhoea. Disgenesis
gonad menyebabkan seorang wanita tidak pernah mengalami menstrausi dan
tidak memiliki tanda seks sekunder. Hal ini dikarenakan gonad ( oavarium )
tidak berkembang dan hanya berbentuk kumpulan jaringan pengikat.
Amenore sekunder disebabkan oleh faktor lain di luar fungsi hipotalamus-
hipofosis- ovarium. Hal ini berarti bahwa aksis hipotalamus-hipofosis-ovarium

253
dapat bekerja secara fungsional. Amenore yang terjadi mungkin saja
disebabkan oleh adanya obstruksi terhadap aliran darah yang akan keluar
uterus, atau bisa juga karena adanya abnormalitas regulasi ovarium sperti
kelebihan androgen yang menyebabkan polycystic ovary syndrome.
Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan amenora
Pemeriksaan fisik, pemeriksaan panggul maupun tes kehamilan harus dilakukan
untuk menjauhkan dari diagnosa kehamilan. Tes darah yang dapat dilakukan
untuk mengecek kadar hormon, antara lain:

 Follicle stimulating hormone (FSH).


 Luteinizing hormone (LH).
 Prolactin hormone (hormon prolaktin).
 Serum hormone (seperti kadar hormon testoteron).
 Thyroid stimulating hormone (TSH).
Tes lain yang dapat dilakukan, meliputi:
 Biopsi endometrium.
 Tes genetik.
 MRI.
 CT scan.
Penatalaksanaan
Pengelolaan pada klien ini tergantung dari penyebab. Bila penyebab adalah
kemungkinan genetic, prognosa kesembuhan buruk. Menurut beberapa
penelitian dapat dilakukan terapi sulih hormone, namun fertilitas belum tentu
dapat dipertahankan.
Pengobatan yang dilakukan sesuai dengan penyebab dari amenorrhea yang
dialami, apabila penyebabnya adalah obesitas maka diit dan olahraga adalah
terapinya, belajar untuk mengatasi stress dan menurukan aktivitas fisik yang
berlebih juga dapat membantu. Pembedahan atau insisi dilakukan pada wanita
yang mengalami Amenorrhea Primer.
Gangguan sistem Reproduksi

Erosi Porsio
Pengertian
Erosi Porsio dewasa ini telah sangat jarang sekali di pakai pada
sumber kepustakaan, yang dimaksudkan dengan istilah ini ialah adanya
di sekitar ostium uteri eksternum suatu daerah berwarna merah, kurang

254
lebih sirkuler. Kelainan ini bukan erosi dalam arti sebenarnya, dan
bukan akibat luka atau radang akan tetai epitel torak endoservik dengan
stroma vaskuler dibawahnya tumbuh sampai diluar ostium uteri
eksternum dengan mendesak epitel tatah yang normal ditemukan
ditempat tersebut. Anggapan sekarang ialah apa yang tampak sebagai
“erosi” sebenarnya ialah servisitis kronika. (Sarwono, 2009. Hal: 282).

Erosi serviks dapat menjadi tanda awal dari kanker serviks.


Penyakit ini dijumpai pada sebagian besar wanita yang pernah
melahirkan. Luka- luka kecil maupun besar pada serviks karena partus
atau abortus memudahkan masuknya kuman-kuman ke dalam
endoserviks dan kelenjar- kelenjarnya lalu menyebabkan infeksi
menahun. (Sarwono.2009.hal:281)

Etiologi Erosi Porsio


1. Keterpaparan suatu benda pada saat pemasangan AKDR. Pada saat
pemasangan alat kontrasepsi yang digunakan tidak steril yang dapat
menyebabkan infeksi. AKDR juga mengakibatkan bertambahnya volume
dan lama haid (darah merupakan media subur untuk berkembang biaknya
kuman) penyebab terjadi infeksi.

255
2. Infeksi pada masa reproduktif menyebabkan batas antara epitel canalis
cervicalis dan epitel portio berpindah, infeksi juga dapat memyebabkan
menipisnya epitel portio dan gampang terjadi erosi pada porsio (hubungan
seksual).
3. Pada masa reproduktif batas berpindah karena adanya infeksi (cervicitis,
kolpitis).
4. Rangsangan luar maka epitel gampang berapis banyak dan porsio mati dan
diganti dengan epitel silinderis canalis servikalis.
5. Level estrogen: erosi serviks merupakan respons terhadap sirkulasi estrogen
dalam tubuh.
- Dalam kehamilan: erosi serviks sangat umum ditemukan dalam
kehamilan karena level estrogen yang tinggi. Erosi serviks dapat
menyebabkan perdarahan minimal selama kehamilan, biasanya saat
berhubungan seksual ketika penis menyentuh serviks. Erosi akan
menghilang spontan 3-6 bulan setelah melahirkan.
- Pada wanita yang mengkonsumsi pil KB: erosi serviks lebih umum
terjadi pada wanita yang mengkonsumsi pil KB dengan level estrogen
yang tinggi.
- Pada bayi baru lahir: erosi serviks ditemukan pada 1/3 bayi wanita dan
akan menghilang pada masa anak-anak oleh karena respons maternal
saat bayi berada di dalam rahim.
- Wanita yang menjalani Hormon Replacement Therapy (HRT): karena
penggunaan estrogen pengganti dalam tubuh berupa pil, krim, dan lain-
lain.
(Sarwono.2009. hal: 134)

256
6. Infeksi: teori bahwa infeksi menjadi penyebab erosi serviks mulai
menghilang. Bukti-bukti menunjukkan bahwa infeksi tidak menyebabkan
erosi, tapi kondisi erosi akan lebih mudah terserang bakteri dan jamur
sehingga mudah terserang infeksi.
7. Penyebab lain: infeksi kronis di vagina dan kontrasepsi kimia dapat
mengubah level keasaman vagina dan menyebabkan erosi serviks. Erosi
serviks juga dapat disebabkan karena trauma (hubungan seksual,
penggunaan tampon, benda asing di vagina, atau terkena spekulum).

Patofisiologi Terjadinya Erosi Porsio


Proses terjadinya erosi portio dapat disebabkan
adanya rangsangan dari luar misalnya IUD. IUD
yang mengandung polyethilien yang sudah berkarat
membentuk ion Ca, kemudian bereaksi dengan ion
sel sehat PO4 sehingga terjadi denaturasi/koalugasi
membran sel dan terjadilah erosi portio.
Erosi pada akseptor KB IUD dapat terjadi
karena benang IUD, perekatan logam polyetilen dengan posisi IUD yang tidak
benar sehinggga mempermudah terjadinya pengelupasan sel superfisialis,
dimana sifat dasarnya mudah terkelupas. Apabila lapisan sel ini terkelupas, maka
terjadilah erosi portio yang akan terjadi kronis, jika tidak didapatkan penanganan
secara segera, karena pengelupasan sel superfisialis berakibat hilangnya sumber
makanan borderline sehingga tidak mampu memperoduksi asam laktak yang
menyebabkan pH vagina akan meningkat, naiknya pH vagina akan
mempermudah kuman pathogen tumbuh.
Pasicn dengan erosi portio pada umumnya datang pada satdium lanjut,
diamana didapatkan keluhan seperti keputihan disertai darah, keputihan yang
berbau, perdarahan berkelanjutan, dan disertai metastase dimana stadium
pengobatan ini tidak memuaskan. (Pranoto,H.Ibnu.2012.hal.272)
Dari semua kejadian erosi portio itu menyebabkan tumbuhnya bakteri
patogen, bila sampai kronis menyebabkan metastase keganasan leher rahim.

257
Selain dan personal hygiene yang kurang, IUD juga dapat menyebabkan
bertambahnya volume dan lama haid darah merupakan media subur untuk
masuknya kuman dan menyebabkan infeksi, dengan adanya infeksi dapat
masuknya kuman dan menyebabkan infeksi.
Dengan adanya infeksi dapat menyebabkan Epitel Portio menipis sehingga
mudah menggalami Erosi Portio, yang ditandai dengan sekret bercampur darah,
metorhagia, ostium uteri eksternum tampak kemerahan, sekret juga bercampur
dengan nanah, ditemukan ovulasi Nabothi (kista kecil berisi cairan yang kadang-
kadang keruh). (Sarwono.2009.Hal:281).
Tanda dan Gejala
1. Serviks kelihatan normal; hanya pada pemeriksaan mikroskopik ditemukan
infiltrasi leukosit dalam stroma endoserviks. Pengeluaran sekret yang agak
putih-kekuningan
2. Disini pada porsio uteri disekitar ostium uteri eksternum tampak daerah
kemerah-merahan yang tidak dapat dipisahkan secara jelas dari epitel porsio
di sekitarnya., sekret yang dikeluarkan terdiri atas mucus bercampur nanah.
3. Sobekan pada serviks uteri disini lebih luas dan mukosa endoserviks lebih
kelihatan dari luar (ekstropion). Mukosa dalam keadaan demikian mudah
kena infeksi dari vagina. Karena radang menahun, serviks bisa menjadi
hipertrofis dan mengeras; sekret mukoporulen bertambah banyak.
4. Pada proses penyembuhan, Erosi porsio sering ditemukan ovula nobathii.
(Sarwono.2009. Hal 281)
Penanganan Erosi Porsio
Bidan menganjurkan pemeriksaan pasca persalinan (masa puerperium)
yaitu hari ke-42 (enam minggu) karena perlukaan serviks (portio uteri) setelah
persalinan dapat menjadi titik awal degenerasi ganas mulut rahim.
Mulut rahim yang luka perlu diobati dengan :
- Nitrasargenti tingtura
- Albuthyl tingtura  Menyebabkan nekrose Epitel silinderis dengan
harapan bahwa kemudian diganti dengan Epitel gepeng berlapis banyak.

258
- Dibakar dengan pisau listrik Termokauter komisasi
- Disamping itu juga dianjurkan untuk pemeriksaan Pap Smear.
(Manuaba.2010. Hal: 428)
Penyembuhan servisitis kronika sangat penting karena dapat
menghindari keganasan dan merupakan pintu masuk infeksi kea lat kelamin
bagian atas. (Manuaba.2009.Hal:63)

Ulkus Portio

Pengertian Ulkus Portio

Ulkus pada portio uteri merupakan perdarahan yang terjadi diluar haid
dengan penyebab kelainan hormonal atau kelainan organ genetalia.Perdarahan
terjadi dalam masa antara 2 haid.Perdarahan ini tampak terpisah dan dapat
dibedakan dari haid, atau 2 jenis pendarahan ini menjadi sebab-sebab
organik.Perdarahan dari uterus, tuba dan ovarium disebabkan oleh kelainan pada
serviks uteri, seperti polipus servisis uteri, erosi porsionis uteri, dan ulkus pada
porsio uteri, karsinoma servisis uteri.

Patologi

Proses terjadinya ulkus portio dapat disebabkan adanya rangsangan dari luar
misalnya IUD. IUD yang mengandung polyethilien yang sudah berkarat

259
membentuk ion Ca, kemudian bereaksi dengan ion sel sehat PO 4 sehingga terjadi
denaturasi / koalugasi membaran sel dan terjadilah erosi portio.
Bisa juga dari gesekan benang IUD yang menyebabkan iritasi lokal
sehingga menyebabkan sel superfisialis terkelupas dan terjadilah ulkus portio dan
akhir nya menjadi ulkus. Dari posisi IUD yang tidak tepat menyebabkan reaksi
radang non spesifik sehingga menimbulkan sekresi sekret vagina yang meningkat
dan menyebabkan kerentanan sel superfisialis dan terjadilah erosi portio.Dari
semua kejadian ulkus portio itu menyebabkan tumbuhnya bakteri patogen, bila
sampai kronis menyebabkan metastase keganasan leher rahim.
Schroder pada tahun 1915, setelah penelitian histopatologik pada uterus dan
ovarium pada waktu yang sama, menarik kesimpulan bahwa gangguan perdarahan
yang dinamakan metropatia hemoragika terjadi karena persistensi folikel yang tidak
pecah sehingga tidak terjadi ovulasi dan pembentukan korpus liteum. Akibatnya
terjadilah hyperplasia endometrium karena stimulasi estrogen yang berlebihan dan
terus menerus.Penjelasan ini masih dapat diterima untuk sebagian besar kasus-
kasus perdarahan disfungsional.
Pembagian endometrium dalam endometrium jenis non sekresi penting
artinya, karena dengan demikian dapat dibedakan perdarahan yang anovulatoar dari
yang uvoltoar, klasifikasi ini mempunyai nilai-nilai klinik karena kedua jenis
perdarahan disfungsional ini mempunyai dasar etiologi yang berlainan dan
memerlukan penanganan yang berbeda.Pada perdarahan disfungsional yang
ovulatoar, gangguan dianggap berasal dari faktor-faktor neuromuscular,
vasomotorik, atau hematoogik, yang mekanismenya belum seberapa di mengerti,
sedangkan perdarahan anovulatoar biasanya dianggap bersumber pada gangguan
endokrin. (Sarwono, 2005)

Gambaran klinik

Perdarahan ovulatoar

Perdarahan ini merupakan kurang lebih 10% dari perdarahan disfungsional dengan
siklus pendek (polimenorea) atau panjang (oligomenorea), perdarahan ovulatoar
perlu dilakukan kerokan pada masa mendekati haid.Jika karena perdarahan yang

260
lama dan tidak teratur siklus haid tidak dikenali lagi. Perdarahan berasal dari
endometrium tipe sekresi tanpa adanya sebab organik, maka harus dipikirkan
sebagai etiologinya :

1. Korpus luteum persistens; dalam hal ini dijumpai perdarahan kadang-


kadang bersamaan dengan ovarium membesar. Sindrom ini harus dibedakan
dari kehamilan ektopik.
2. Insifisiensi korpus luteum dapat menyebabkan premenstrual spooting,
menoragia atau polimenorea
3. Apopleksia uteri; pada wanita dengan hipertensi dapat terjadi pecahnya
pembuluh darah dalam uterus.
4. Kelainan darah; seperti anemia, purpura trombositopenik, dan gangguan
dalam mekanisme pembekuan darah.

Perdarahan anovulatoar

Stimulasi dengan estrogen menyebabkan tumbuhnya endometrium. Dengan


menurunnya kadar estrogen di bawah tingkat tertentu, timbul perdarahan yang
kadang-kadang bersifat siklis, kadang-kadang tidak teratur sama sekali. Fluktuasi
kadar estrogen ada sangkut pautnya dengan jumlah folikel yang pada suatu waktu
fungsional aktif.

Gangguan lain yang ada hubungannya dengan haid :

Premenstrual tension (Ketegangan prahaid)

Keluhan pre menstruasi terjadi sekitar beberapa hari sebelum bahkan sampai saat
menstruasi berlangsung.Gejala ini dijumpai pada wanita sekitar umur 30 sampai 45
tahun.Penyebab yang jelas tidak diketahui tetapi terdapat dugaan bahwa ketidak
seimbangan antara estrogen dan progesteron.Dikemukakan bahwa dominasi
"estrogen" merupakan penyebab dengan defisiensi fase luteal dan kekurangan
produksi progesteron.Akibat dominasi estrogen terjadi retensi air dan garam, dan
oedema pada beberapa tempat.

Gejala Pada Ulkus Portio

261
1. Adanya fluxus,
2. Portio terlihat kemerahan dengan batas yang tidak jelas,
3. Adanya kontak blooding,
4. Portio teraba tidak rata,
5. Pada perlukaan portio bisa tertutup cairan atau lendir,
6. Berwujud gumpalan- gumpalan seperti bunga kol,
7. Dapat dengan mudah berdarah atau tidak.
8. Sekret bercampur darah setelah bersenggama
9. Dapat menimbulkan pendarahan kontak atau metorarhagia.
10. Portio uterus disekitar ostium uteri eksternum tampah daerah kemerah-
merahan yang sulit dipisahkan secara jelas dan Epitel Portio.
11. Sekret juga tidak dapat bercampur dengan nanah
12. Pada ulkus sering di ketemukan ovula nobathii

Gejala kliniknya dalam bentuk :

1. Gangguan emosional- mudah tersinggung


2. Sukar tidur, gelisah, sakit kepala
3. Perut kembung, mual sampai muntah
4. Payudara terasa tegang dan sakit
5. Pada kasus yang lebih berat sering merasa tertekan

Penanganan

Pengeluaran darah pada perdarahan disfungsional sangat banyak, dalam hal


ini penderita harus istirahat baring dan diberi transfuse darah. Setelah pemeriksaan
ginekologik menunjukan bahwa perdarahan berasal dari uterus dan tidak ada
abortus incomplete, perdarahan untuk sementara waktu dapat dipengaruhi dengan
hormon steroid. Dapat diberikan :

a. Estrogen dalam dosis tinggi, supaya kadarnya dalam darah meningkat dan
perdarahan berhenti. Dapat diberikan secara intramuskulus dipriopionas
estradiol 2,5 mg, atau benzoas estradiol 1,5 mg, atau valeras estradiol 20

262
mg. keberatan terapi ini adalah bahwa setelah suntikan dihentikan,
perdarahan timbul lagi.
b. Progesteron: pertimbangan disini adalah bahwa sebagian besar perdarahan
fungsional bersifat anovulatoar, sehingga pemberian progesterone
mengimbangan pengaruh estrogen terhadap endometrium. Dapat diberikan
kaproas hidrokksi-progesteron 125 mg, secara intramuscular, atau dapat
diberikan per os sehari norethondrone 15 mg atau asetas medroksi-
progesteron (Provera) 10 mg, yang dapat diulangi. Terapi ini berguna pada
wanita dalam masa pubertas.

Dalam menghadapi masalah ulkus portio, bidan sebaiknya berkonsultasi ke


puskesmas, dokter ahli, atau rumah sakit untuk mendapatkan penanganan yang
lebih sempurna.Kepada wanita diberikan KIE untuk siap melakukan pemeriksaan
lebih lanjut.

Manajemen 7 Langkah Varney

Penerapan 7 langkah varney yang memberikan asuhan kebidanan pada klien dengan
ulkus pada portio.

I. Pengumpulan Data

Mengumpulkan data subyektif dan data obyektif berupa data fokus yang di
butuhkan untuk menilai keadaan ibu sesuai kondisinya menggunakan anamnesa,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium.

Jenis data yang dikumpulkan :

A. Data Subyektif

1) Biodata ibu dan suami

a. Nama ibu
Untuk mengetahui siapa yang akan kita beri asuhan dan lebih mudah untuk
berkomunikasi.
b. Nama suami

263
Untuk mengetahui siapa penanggung jawab saat pemberian asuhan
c. Umur ibu
Untuk mengetahui faktor resiko yang menyebabkan terjadinya perdarahan
di luar haid karena ulkus pada portio.
d. Agama ibu dan suami
Untuk mengetahui apakah ada kepercayaan dalam agamanya sehubungan
dengan perdarahan di luar haid karena ulkus pada portio.
e. Suku bangsa ibu
Untuk mengetahui dari mana asal ibu berkaitan dengan bahasa yang
digunakan untuk berkomunikasi dan kebiasaan-kebiasaan yang dianut
f. Pendidikan ibu dan suami
Untuk mengetahui tingkat pengetahuaan ibu dan suami sehingga
memudahkan dalam pemberiaan informasi dan konseling.
g. Pekerjaan ibu dan suami
Untuk mengetahui tingkat aktivitas yang dilakukan oleh ibu dan suami dan
pengaruhnya terhadap ekonomi keluarga sehingga memudahkan dalam
penanganan perdarahan di luar haid karena ulkus pada portio yang sesuai
dengan keadaan ekonomi keluarga ibu.
h. Alamat ibu dan suami
Untuk mengetahui tempat tinggal ibu dan suami serta lingkungan disekitar
tempat tinggal ibu.
i. No tlp/hp ibu dan suami
Untuk memudahkan berkomunikasi sewaktu-waktu bila ada masalah.
j. Golongan darah
Untuk mengantisipasi bila sewaktu-waktu terjadi sesuatu masalah yang
memerlukan donor.

2) Alasan datang

Untuk mengetahui keluhan yang dirasakan ibu yang dapat menunjang


diagnosa perdarahan diluar haid karena ulkus pada portio.Pasien dengan ulkus pada
portio pada umumnya datang pada stadium lanjut, dimana didapatkan keluhan

264
seperti keputihan disertai darah, keputihan yang berbau, perdarahan berkelanjutan,
dan disertai metastase dimana stadium pengobatan ini tidak memuaskan.

3) Riwayat menstruasi

Untuk mengetahui kapan pasien menarche, apakah siklus menstruasi ibu


teratur atau tidak, mengetahui lama haid dan banyaknya pengeluaran darah saat
haid, serta apakah ibu pernah mengalami dismenorhea atau tidak.

4) Riwayat perkawinan

Untuk mengetahui berapa kali ibu menikah, lama perkawinan, umur ibu saat
menikah serta apakah ibu sudah mempunyai anak atau belum.

5) Riwayat obstetri terdahulu

Untuk mengetahui jumlah anak yang dimiliki, umur kehamilan saat lahir,
apakah ada penyulit saat hamil, tempat bersalin, penolong persalinan, berat badan
bayi saat lahir jenis kelamin anak, jenis persalinan, apakah ada penyulit saat nifas,
keadaan anak sekarang serta umur anak sekarang.

6) Riwayat KB

Untuk mengetahui alat kontrasepsi apa saja yang pernah digunakan ibu
sehingga dapat mengetahui apakah perdarahan diluar haid karena ulkus pada portio
disebabkan oleh karena penggunaan alat kontrasepsi. Ulkus pada portio dapat
terjadi pada pengguna IUD.

7) Riwayat ginekologi

Untuk mengetahui apakah ibu pernah atau sedang mengalami masalah dengan
organ reproduksinya serta sejak kapan masalah dirasakan.Riwayat penyakit /
kelainan gynecology serta pengobatannya dapat memberikan keterangan penting,

265
terutama operasi yang pernah dialami. Apabila penderita pernah diperiksa oleh
dokter lain tanyakan juga hasil-hasil pemeriksaan dan pendapat dokter itu.

8) Riwayat penyakit ibu

Untuk mengetahui penyakit-penyakit yang pernah diderita ibu, apakah ibu


mempunyai riwayat penyakit tertentu terutama yang berhubungan dengan alat
reproduksi seperti infeksi, keputihan berbau dan gatal.Dalam hal ini perlu
ditanyakan apakah penderita pernah menderita penyakit berat, penyakit TBC,
penyakit jantung, penyakit ginjal, penyakit darah, DM, dan penyakit jiwa.

9) Riwayat penyakit keluarga

Riwayat penyakit keluarga perlu diketahui apakah pernah menderita tumor alat
kandungan/tidak ataupun tumor di luar alat kandungan.

10) Riwayat bio-psiko-sosial-spiritual

a) Biologis

1. Bernafas
Untuk mengetahui apakah ibu ada keluhan saat bernafas atau tidak.
2. Pola nutrisi
Untuk mengetahui status gizi ibu dan riwayat nutrisinya, pola nutrisi, jenis
dan porsi makan ibu.
3. Eliminasi
Untuk mengetahui apakah ada keluhan atau masalah dengan pola BAK
maupun BAB.
4. Istirahat dan tidur
Untuk mengetahui adakah gangguan pada pola tidur dan istirahat akibat
keluhan yang dialami.
5. Aktifitas sehari-hari
Untuk mengetahui aktifitas ibu sehari-hari, apakah ada keluhan saat
beraktivitas.

266
6. Personal hygiene
Untuk mengetahui bagaimana personal hygiene ibu apakah sudah
menerapkan hygiene yang benar atau belum.Seperti selalu mengganti celana
dalam setiap harinya dan tidak membiarkan pemakaian celana dalam yang
lembab dikarenakan dapat mengundang kuman pathogen.Oleh karena itu
kebersihan alat kelamin harus dijaga.

b) Psikologi

Untuk mengkaji psikologis klien sehubungan dengan keluhan yang dirasakan.

c) Sosial

Untuk mengetahui interaksi ibu dengan masyarakat dilingkungan yang dirasakan


pandangan masyarakat terhadap kondisi ibu dan ada tidaknya kebiasaan yang
merugikan kesehatan, serta mengetahui bagaimana pengambilan keputusan dalam
keluarga.

d) Spiritual

Untuk mengetahui bagaimana kebiasaan ibu dalam mendekatkan diri kepada tuhan
serta kepercayaan yang dianut yang berkaitan dengan kesehatan.

11) Pengetahuan

Untuk mengkaji pengetahuan ibu tentang hal-hal yang berkaitan dengan keluhan
yang dirasakan, penyebab ibu mengalami keluhan yang dirasakan, serta
pengetahuan ibu tentang cara mengatasi keluhannya.

B. Data obyektif

1) Pemeriksaan umum

a) Keadaan umum

Untuk mengetahui keadaan umum ibu, sejauh mana keluhan yang dirasakan ibu,
mempengaruhi kondisi kesehatan ibu secara umum.

b) Berat badan dan tinggi badan

267
Untuk mengetahui pertambahan BB ibu,dan mengetahui TB ibu.

c) TTV

Untuk mengetahui keadaan tekanan darah, suhu, nadi, respirasi sehubungan dengan
keluhan yang dirasakan ibu

2) Pemeriksaan sistematis dan ginekologi

a) Kepala dan leher

Kepala : Untuk mengetahui bagaimana kebersihan dan struktur rambut

Muka : Untuk mengamati pada muka apakah ada oedema / pucat

Mata : Untuk mengetahui bagaimana warna konjungtiva dan sklera

Mulut : Untuk mengetahui bagaimana keadaan mulut apakah


lembab/kering,

kemerahan/pucat

Leher : Untuk mengetahui apakah ada pembesaran kelenjar limfe,


pembesaran kelenjar tiroid maupun pembesaran vena jugularis

b) Payudara

Pemeriksaan payudara mempunyai arti penting bagi penderita wanita terutama


dalam hubungan dengan diagnostik kelainan endokrin

c) Abdomen

Untuk mengetahui apakah ada luka bekas operasi, apakah ada pembesaran perut
abnormal.

d) Anogenital

1. Inspeksi vulva – Pengeluaran cairan atau darah dari liang senggama, ada
perlukaan pada vulva, adakah pertumbuhan kondiloma akuminata, kista
bartholini, abses bartholini maupun fibroma pada labia, perhatikan bentuk

268
dan warna, adakah kelainan pada rerineum dan anus. b) Palpasi vulva –
Teraba tumor, benjolan maupun pembengkakan pada kelenjar bartholini.
2. Pemeriksaan Inspekulo, terdiri dari : a) Pemeriksaan vagina – Adakah ulkus,
pembengkakan atau cairan dalam vagina; adakah benjolan pada vagina. b)
Pemeriksaan porsio uteri – Adakah perlukaan, apakah tertutup oleh cairan/
lendir, apakah mudah berdarah dan terdapat kelainan. c) Pengambilan cairan
berasal dari ulkus vagina dan porsio uteri – Pemeriksaan bakteriologis,
pemeriksaan jamur dan pemeriksaan sitologi.
3. Pemeriksaan Dalam – Pemeriksaan dalam untuk menentukan : a) Rahim –
Bagaimana posisi rahim, besar, pergerakan, dan konsistensi rahim, apakah
ada nyeri saat pemeriksaan. b) Adneksa (daerah kanan kiri rahim) –
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggerakkan jari yang berada didalam
fornix lateral dan tangan yang ada diluar bergerak ke samping uterus. c)
Forniks posterior (kavum douglas) – Pemeriksaan ini untuk mengetahui
apakah terdapat nanah (infeksi) dan apakah forniks menonjol akibat
perdarahan kavum abdominalis.

e) Ekstremitas atas bawah

Untuk mengetahui apakah ada oedema, sianosis, pada kaki dan tangan, serta
keadaan kuku apakah kemerahan ataukah pucat.

3) Pemeriksaan penunjang

a) Pemeriksaan Swab vagina

Dapat dilakukan pemeriksaan cairan vagina untuk mengetahui penyebab dari


perdarahan karena ulkus pada portio tersebut.

1. Interpretasi data dasar, masalah dan kebutuhan

Untuk merumuskan diagnosa berdasarkan dari pengumpulan data yang diperoleh


dari klien langsung atau dari keluarga, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan
penunjang.Selain itu bertujuan untuk menentukan masalah yang dihadapi klien

269
serta segala sesuatu yang dibutuhkan klien tanpa klien sadari atau klien butuhkan.Di
sini kita menentukan diagnosa aktual, masalah, dan kebutuhan.

a. Jika dari hasil pemeriksaan, perdarahan diluar haid karena ulkus pada portio
belum dapat ditentukan secara pasti :

Diagnosa : Wanita umur …..th dengan ……… (ulkus portio)

Masalah : cemas, keputihan, bercak-bercak darah yang belum diketahui


asalnya, nyeri abdomen, perih pada vagina.

Kebutuhan : istirahat, personal hygiene, nutrisi, dukungan psikologis, informasi


tentang penyakit yang diderita

2. Identifikasi diagnosa dan masalah potensial

Diagnosa potensial : dapat terjadi Ca serviks

3. Identifikasi akan tindakan segera, konsultasi, kolaborasi dan rujukan

Mengidentifikasi berdasarkan diagnosa apakah kondisi klien memerlukan


tindakan segera, konsultasi, kolaborasi maupun rujukan. Tindakan segera yang
diperlukan biasanya seperti pemberian infuse apabila ibu mengalami perdarahan
yang berat guna mencegah ibu mengalami syok hipovolemik dan pemberian
analgetik untuk mencegah terjadinya syok neurogenik. Selain itu konsultasi dan
kolaborasi dengan dokter Sp.OG diperlukan guna membantu dalam pengambilan
keputusan yang terbaik untuk ibu. Apabila kasus ditemukan BPS, Puskesmas, Pustu
dan sarana pelayanan kesehatan lain yang tidak memiliki fasilitas yang memadai
harus dilakukan rujukan ke fasilitas yang lebih memadai.

4. Perencanaan

Untuk mengetahui apa saja yang harus direncanakan berdasarkan diagnosa masalah
dan kebutuhan klien.

270
Pada perdarahan diluar haid karena ulkus pada portio perencanaan yang bisa dibuat
antara lain:

a. Jelaskan tentang hasil pemeriksaan kepada ibu dan pendamping

Rasionalisasi : ibu dan suami harus tahu hasil dari pemeriksaan yang dilakukan
karena hasil pemeriksaan meliputi keadaan ibu yang akan memberikan ketenangan
dan rasa nyaman yang nantinya akan mempengaruhi psikologis ibu dan merupakan
salah satu hak klien yang harus dipenuhi.

b. Berikan pengobatan ulkus pada portio dengan menggunakan yodium saat


pemeriksaan speculum.

Rasionalisasi : yodium dapat membantu meringankan infeksi dan rasa nyeri yang
ibu rasakan pada vaginanya.

c. Beri KIE tentang penyebab keluhan yang dialami dan kemungkinan tindakan
yang akan dilakukan untuk menangani keluhan.

Rasionalisasi : Dengan KIE ibu dapat mengetahui penyebab keluhan yang dialami
dan kemungkinan tindakan yang akan dilakukan guna menangani keluhan ibu
sehingga ibu dan keluarga dapat mempersiapkan diri dan segala sesuatu yang
mungkin diperlukan untuk membantu menangani keluhan ibu.

d. Berikan dukungan moral/support mental kepada ibu dan libatkan pendamping.

Rasionalisasi : Diperlukan support mental untuk membantu ibu dalam menghadapi


penyakit yang diderita serta diperlukan pula peran pendamping.

e. Anjurkan dan motivasi ibu untuk menjaga personal hygiene khususnya hygiene
pada daerah genital

Rasionalisasi : Infeksi dan jamur. Oleh karena itu kebersihan alat kelamin harus
dijaga.

f. Lakukan konsultasi dan kolaborasi dengan dokter Sp.OG

271
Rasionalisasi : Apabila kasus ditemukan bidan di rumah sakit tempat ia bertugas
bidan perlu melakukan konsultasi dan kolaborasi dengan dokter Sp.OG untuk dapat
mengambil keputusan yang benar-benar tepat bagi klien.

g. Lakukan rujukan ke pelayanan kesehatan yang lebih memadai

Rasionalisasi : Apabila kasus ditemukan di BPS, Puskesmas maupun Puskesmas


Pembantu penanganan lebih lanjut dari mioma uteri ini akan didapatkan di fasilitas
yang lebih memadai seperti di rumah sakit.

5. Pelaksanaan

Untuk melaksanakan perumusan perencanaan yang telah dibuat mengacu pada


diagnosa, masalah dan kebutuhan yang sesuai dengan kondisi klien saat diberikan
asuhan.

6. Evaluasi

Untuk mengetahui hasil dari asuhan yang telah diberikan kepada klien yang
mengacu pada pemecahan masalah dan perbaiki kondisi ibu evaluasi disesuaikan
dengan pelaksanaan yang dilaksanakan.

Servisitis

1. Definisi Servisitis
Servisitis adalah infeksi pada serviks uteri. Infeksi serviks sering terjadi
karena luka kecil bekas persalinan yang tidak dirawat dan infeksi karena
hubungan seksual.
Servisitis adalah infeksi pada mulut rahim. Servisitis yang akut sering di
jumpai pada infeksi hubungan seksual sedangkan yang bersifat menahun di

272
jumpai pada sebagian besar wanita yang pernah melahirkan. Servisitis adalah
radang dari selaput lender canalis cervixalis.
Servisitis/ Endoservisitis adalah inflamasi mukosa dan kelenjar serviks
yang dapat terjadi ketika organism mencapai akses ke kelenjar servikal
setelah berhubungan seksual, aborsi, manipulasi intrauterine, atau persalinan.
2. Jenis Jenis Servisitis
a. Servisitis spesifik Servisitis spesifik merupakan radang pada serviks yang
di sebabkan oleh kuman yang tergolong penyakit akibat hubungan seksual,
beberapa kuman pathogen tersebut antara lain, Chlamydia trachomatis,
Ureaplasma urealytikum, Trichomonas vaginalis, Spesies Candida,
Neisseria gonorrhoeae, herpes 13 14 simpleks II (genitalis), dan salah satu
tipe HPV, di antara pathogen tersebut Clamydia trachomatis adalah yang
tersering dan merupakan penyebab pada hamper 40% kasus servisitis yang
di temukan di klinik menular seksual sehingga jauh lebih sering dari pada
gonorrhea. Infeksi servik oleh Herpes perlu di perhatikan karena
organisme ini dapat di tularkan pada bayi saat persalinan melalui jalan
lahir yang kadang-kadang menyebabkan infeksi Herpes sistematik serius
yang mungkin fatal.
b. Servisitis non-spesifik Servisitis non-spesifik relative lebih banyak di
jumpai karena kuman yang ringan sering di temukan sampai derajat
tertentu pada hamper setiap multipara. Walaupun juga sering di ketahui
bersamaan dengan beberapa organism termasuk bentuk koli (coli-form),
bakteroides, streptokokus, dan stafilokokus, namun pathogenesis radang
tersebut masih belum di ketahui dengan jelas. Beberapa pengaruh
predisposisi servisitis non-spesifik antara lain : trauma pada waktu
melahirkan, pemakaian alat pada prosedur ginekologi, hiperestrinisme,
hipoestrinisme, sekresi berlebihan kelenjar endoserfiks, alkalinisasi mucus
serviks, eversi congenital mukosa endoserviks. Servisitis non-spesifik
dapat bersifat akut ataupun kronik, namun sebelumnya perlu di singkirkan
kemungkinan infeksi gonokokus yang menyebabkan bentuk spesifik dari
penyakit akut.

273
1) Servisitis akut non-spesifik Servisitis ini relative jarang, sebenarnya
terbatas pada wanita pasca melahirkan dan biasanya di sebabkan
oleh stafilokokus dan streptokokus. Infiltrasi peradangan akut
sebagian besar cenderung terbatas pada mukosa superficial dari
endoserviks dan kelenjar endoserviks (endoservisitis) yang di sertai
pembengkakan serviks dan kemerahan pada mukosa endoserviks.
2) Servisitis kronik non-spesifik Servisitis kronik non-spesifik
mungkin akan mengenai paling sedikit 50% wanita pada satu saat
hidupnya. Servisitis kronik biasanya di temukan pada pemeriksaan
rutin atau karena adanya leokorea yang parah, bila keluhanya parah
diferensiasi dengan karsinoma biasanya sukar, walau dengan
kolposkopi maupun biopsy.
3. Etiologi

Servisitis sering disebabkan oleh infeksi melalui aktivitas seksual,

infeksi menular seksual yang dapat menyebabkan servisitis anatara lain :

a. Clamydia trachomatis

Merupakan penyebab penyakit menular seksual yang paling

sering, terutama pada usia muda dan remaja. Pada 16 tahun 2000 di

Amerika, di laporkan sebanyak 702.093 penderita terinfeksi

clamydia.

274
Clamydia trachomatis termasuk pathogen spesifik yang telah

menggantikan gonokokus sebagai penyebab utama radang serviko-

vaginal.

b. Gonorrhea

Gonorrhea lebih popular di masyarakat dengan sebutan

kencing nanah atau GO, yang di sebabkan oleh kuman Neisseria

gonorrhea. Kuman ini menyerang pada selaput lender antara lain

vagina, saluran kencing, dan daerah serviks.

c. Herpes simpleks II (genitalis)

Herpes simpleks II ( herpes genitalis) biasanya menginfeksi

daerah di bawah pinggang. Gejala awal yang muncul di dahului

dengan hilangnya rasa raba, di ikuti dengan pembentukan vesikel

yang terdapat pada vulva, vagina, dan serviks.

d. Human Papiloma Virus (HPV-kutil)

Human papiloma virus (HPV) merupakan infeksi yang

terjadi karena hubungan seksual, dengan pemeriksaan DNA

hibridasinya hanya 30 % yang menunjukkan manifestasi klinik,

sedangkan 70 % bersifat menahun tanpa gejala klinik.

Predisposisi infeksi virus ini antara lain : diabetes mellitus,

kehamilan dan perlukaan khususnya pada serviks. Gejalanya dapat

bervariasi, dari kutil kecil sampai sangat besar dan dengan tempat

yang bervariasi pula, yaitu vulva, vagina, 17 perineum dan sekitar

anus serta pada serviks. HPV ini juga dpat menginfeksi serviks.

275
e. Trichomoniasis

Trichomoniasis merupakan penyebab kasus servisitis yang

lebih sering di temukan di banding gonorrhea di klinik penyakit

menular seksual

Beberapa kasus servisitis di sebabkan oleh :

1). Penggunaan

kondom wanita Kondom wanita merupakan alat kontrasepsi

yang terbentuk seperti balon atau kantong yang terbuat dari lateks

tipis atau polyurethane / nitril dan di pasang dengan memasukannya

kedalam vagina. Tujuan pemakaian kondom wanita tidak terlepas

dari dua hal yaitu mencegah sperma masuk ke vagina dan

melindungi dari penyakit menular seksual, selain manfaat tersebut

alat kontrasepsi ini memiliki efek samping yaitu menyebabkan

iritasi vagina, sehingga memudahkan terjadinya infeksi.

2). Penyangga uterus (pessarium)

Penyangga uterus (pessarium) adalah alat yang di gunakan

untuk terapi pada kasus prolapsus uteri. Prinsip pemakaian

penyangga uterus (pessarium) ialah dengan mengadakan tekanan

pada dinding vagina bagian atas, sehingga bagian dari vagina 18

tersebut beserta uterus tidak dapat turun dan melewati vagina bagian

bawah. Penyangga uterus (pessarium) dapat dipakai selama

beberapa tahun, asal saja penderita diawasi secara teratur.

Penyangga uterus (pessarium) dibersihkan dan disucihamakan,

276
kemudian dipasang kembali. Periksa ulang sebaiknya dilakukan 2-3

bulan sekali, vagina diperiksa dengan speculum untuk mengetahui

dan mencegah perlukaan akibat pemakaian pessarium.

3). Alergi spermatisid pada kondom pria

Spermatisid adalah alat kontrasepsi berupa zat pembunuh

sperma sebelum sperma masuk kedalam uterus dan membuahi sel

telur, spermatisid biasanya digunakan oleh wanita, namun paling

sering dikombinasikan dengan metode lain misalnya cup atau

kondom pria. Beberapa wanita biasanya timbul efek samping berupa

alergi pada pemakaian spermatisid, alergi ini dalam bentuk iritasi

atau bias berkembang menjadi infeksi saluran kencing.

Perpaduan spermatisid dan pelumas yang sering digunakan

dengan kondom dapat memicu beberapa alergi intim, gejalanya

termasuk reaksi local, yaitu gatal, rasa sakit, bengkak, dan rasa

terbakar.

4). Paparan terhadap bahan kimia

Ekosistem vagina adalah lingkaran kehidupan yang da di

vagina, ekosistem ini di pengaruhi oleh dua factor utama yaitu

estrogen dan laktobasilus, jika keseimbangan ini terganggu, bakteri

laktobasilus akan mati dan bakteri pathogen akan tumbuh sehingga

tubuh akan rentan terhadap infeksi.

Banyak factor yang menyebabkan ketidakseimbangan

ekosistem vagina antara lain : kontrasepsi oral, diabetes mellitus,

277
pemakaian antibiotic, darah haid, cairan sperma, pembersihan dan

pencucian vagina (vaginal douching), dan gangguan hormone yaitu

pada masa pubertas, menapouse, dan kehamilan.

Servisitis sering terjadi dan mengenai hampir 50% wanita

dewasa dengan faktor resiko : perilaku seksual bebas resiko tinggi,

riwayat IMS, memiliki pasangan seksual lebih dari satu, aktivitas

seksual pada usia dini, serta pasangan seksual dengan kemungkinan

menderita IMS.

4. Patofisiologi

Peradangan terjadi pada serviks akibat kuman pathogen aerob dan

anaerob, peradangan ini terjadi karena luka bekas 20 persalinan yang tidak

di rawat serta infeksi karena hubungan seksual. Proses peradangan

melibatkan epitel serviks dan stoma yang mendasarinya. Inflamasi serviks

ini bisa menjadi akut atau kronik.

Masuknya infeksi dapat terjadi melalui perlukaan yang menjadi pintu masuk

saluran genetalia, yng terjadi pada waktu persalinan atau tindakan medis

yang menimbulkan perlukaan, atau terjadi karena hubungan seksual.

Selama perkembanganya, epitel silindris penghasil mucus di

endoserviks bertemu dengan epitel gepeng yang melapisi ektoserviks os

eksternal, oleh karena itu keseluruhan serviks yang terpajan dilapisi oleh

epitel gepeng. Epitel silindris tidak tampak dengan mata telanjang atau

secara koloposkopis. Seiring dengan waktu, pada sebagian besar wanita

terjadi pertumbuhan ke bawah, epitel silindris mengalami ektropion,

278
sehingga tautan skuamokolumnar menjadi terletak dibawah eksoserviks dan

mungkin epitel yang terpajan ini mengalami “Erosi” meskipun pada

kenyataannya hal ini bias terjadi secara normal pada wanita dewasa.

Remodeling ini bisa terus berlanjut dengan regenerasi epitel gepeng

dan silindirs sehingga membentuk zona transformasi. Pertumbuhan

berlebihan epitel gepeng sering menyumbat orifisium kelenjar endoserviks

di zona transformasi dan menyebabkan terbentuknya kista nabothian kecil

yang dilapisi epitel silindirs penghasil mucus. Di zona transformasi

mungkin terjadi infiltrasi akibat peradangan banal ringan yang mungkin

terjadi akibat perubahan pH vagina atau adanya mikroflora vagina.

5. Tanda dan Gejala Penyakit

a. Keluarnya pascakoitus. bercak darah/ perdarahan, perdarahan

b. Leukorea (keputihan)

c. Serviks kemerahan.(pemeriksaan lebih lanjut)

d. Sakit pinggang bagian sacral.

e. Nyeri abdomen bawah.

f. Gatal pada area kemaluan.

g. Sering terjadi pada usia muda dan seseorang yang aktif dalam

berhubungan seksual.

h. Gangguan perkemihan (disuria) dan gangguan menstruasi.

i. Pada servisitis kronik biasanya akan terjadi erosi, suatu keadaan yang

ditandai oleh hilangnya lapisan superficial epitel skuamosa dan

pertumbuhan berlebihan jaringan endoserviks.

279
6. Diagnosis

Diagnosis servisitis dapat ditegakkan dengan beberapa pemeriksaan, yaitu:

a. Pemeriksaan dengan speculum

1) Pada pemeriksaan inspekulo kadang-kadang dapat dilihat

keputihan yang purulen keluar dari kanalis servikalis. Kalau portio

normal tidak ada ektropion, maka harus diingat kemungkinan

gonorroe.

2) Sering menimbulkan erusio (Erythroplaki) pada portio yang

tampak seperti daerah merah menyala.

3) Pada servisitis kronik kadang dapat dilihat bintik putih dalam

daerah selaput lender yang merah karena infeksi. Bintik-bintik ini

disebabkan oleh ovulonobothi dan akibat retensi kelenjar-kelenjar

serviks karena saluran keluarga tertutup oleh pengisutan dari luka

serviks atau kerena peradangan.

b. Sediaan hapus untuk biakan dan tes kepekaan.

c. Pap smear

d. Biakan clamydia Biopsy

Beberapa gambaran patologi dapat ditemukan :

a. Serviks kelihatan normal, hanya pada pemeriksaan mikroskopis

ditemukan infiltrasi leukosit dalam stroma endoserviks.

Servisitis ini menimbulkan gejala, kecuali pengeluaran secret

yang agak putih kuning.

280
b. Porsio uteri disekitar ostium uteri eksternum, tampak daerah

kemerah-merahan yang tidak dipisahkan secara jelas dari epitel

porsio disekitarnya, secret yang dikeluarkan terdiri atas mucus

bercampur nanah.

c. Sobeknya serviks uteri disini lebih luas dan mukosa endosrviks

lebih kelihatan dari luar (ektropion), dalam keadaan demikian

mukosa mudah terkena infeksi dari vagina. Serviks bisa menjadi

hipertropis dan mengeras, secret mukopurulenbertambah

banyak, bila terjadi radang menahun.

7. Diagnosis banding

Proses awal neoplastik, lesi primer sifilis, chancroid, tuberculosis,

Granuloma inguinale. Servisitis yang berat dapat menyebabkan infertilitas

melalui deformitas dan penutupan serviks oleh eksudat yang secara

bersamaan menimbulkan lingkungan yang tidak menguntungkan bagi

sperma. Terapi pada servistis yang tidak adekuat juga dapat mengakibatkan

penyakit radang panggul.

8. Pengobatan Penyakit

Pemberian antibiotik terutama bila ditemukan gonococcus dalam

secret. Servisitis non-spesifik dapat diobati dengan rendaman dalam

Albothyl dan irigasi, namun jika servisitis tidak segera sembuh dilakukan

tindakan opertif dengan melakukan konisasi,dan jika sebabnya ektropion

dapat dilakukan amputasi.Erosion dapat disembuhkan dengan obat keras

seperti Albothyl yang menyebabkan nekrosis epitel silindris dengan harapan

281
bahwa kemudian diganti dengan epitel gepeng berlapis banyak, namun jika

radang sudah menjadi servisitis kronik pengobatanya lebih baik dilakukan

dengan jalan kauterisasi-radial dengan termokauter atau dengan krioterpi.

9. Pencegahan Penyakit

a. Jagalah kebersihan pribadi (personal hygine)

b. Setelah buang air besar keringkan genitalia eksternal dan perenium

secara menyeluruh. Bersihkan dari arah depan ke belakang setelah

berkemih dan defekasi.

c. Ganti pembalut setiap 1-4 jam setiap hari

d. Kenali pasangan seksual (riwayat menderita PMS/infeksi genetalia)

Endometritis

1. Definisi

Endometritis adalah peradangan pada endometrium, yaitu bagian internal

membran mucus pada uterus, yang diakibatkan oleh infeksi bakteri. Biasanya

infeksi bakteri tersebut diperoleh via vagina saat kopulasi ataupun pada saat partus

(Ball dan Peters, 2004).

2. Etiologi

Infeksi bakteri merupakan salah satu penyebab kejadian endometritis.

Bakteri yang bisa menyebabkan endometritis antara lain adalah Staphylococcus sp.,

Streptococcus sp., Klebsiela sp., Bacillus sp., Alkaligenes fecalis, Campylobacter

282
fetus, Trichomonas fetus, Corynebacterium pyogenes, Escherichia coli, dan

Fusobacterium necrophorum. Endometritis biasanya merupakan lanjutan dari

distokia dan/atau retensio placenta dan mungkin berhubungan dengan penurunan

tingkat involusi uteri pada waktu post partum. Hal ini biasanya berkaitan dengan

terjadinya persisten korpus luteum, karena mengarah pada kondisi self-

perpetuating, dimana tidak ada estrus untuk membantu membersihkan uterus.

Selain itu, pelaksanaan inseminasi buatan (IB) yang tidak memperhatikan

kebersihan juga sangat beresiko menjadi penyebab terjadinya endometritis (Ball

dan Peters, 2004). Menurut data dari Dirjennak (2008), tingkat kejadian

endometritis di Indonesia cukup tinggi yaitu sekitar 20 – 40%. Sebagian besar kasus

terdeteksi bergantung variasi faktor eksternal dan internal saat dilakukan metode

diagnosa.

3. Gejala Klinis

Endometritis dapat menyebabkan infertilitas yaitu berupa matinya embrio

karena infeksi bakteri, terjadinya kegagaan implantasi embrio pada uterus, dan

abortus. Endometritis menyebabkan penurunan kesuburan, memperpanjang calving

interval (CI), menurunkan nilai calving rate (CR), dan meningkatkan jumlah S/C

(service per conception) dalam jangka pendek. Sedangkan untuk jangka panjang,

endometritis dapat menyebabkan sterilitas (kemajiran) karena terjadinya perubahan

saluran reproduksi (Santosa 2002).

LeBlanc et al (2002a) mengidentifikasi endometritis klinis dengan melihat

adanya discharge purulent pada uterus atau ukuran diameter serviks sampai >7.5cm

283
setelah 20 hari setelah menghasilkan susu, atau dengan melihat adanya discharge

mukopurulen setelah 26 hari menghasilkan susu. Banyak kasus yang tidak

teridentifikasi tanpa adanya bantuan vaginoskopi. Sapi dengan endometritis klinis

antara 20 sampai 33 hari setelah menyusui menjadi 27% lebih lambat untuk

bunting, dan memiliki resiko 1.7 kali untuk mengalami kegagalan reproduksi

dibandingkan dengan sapi yang tidak menderita endometritis (Ball dan Peters,

2004).

4. Patogenesis

Infeksi endometrium biasanya merupakan hasil dari infeksi ascending dari

saluran reproduksi bawah. Dari sisi patologi, endometritis dapat diklasifikasikan

menjadi akut dan kronis. Endometritis akut ditandai dengan adanya neutrofil

diantara sel kelenjar endometrium, sedangkan endometritis kronis ditandai dengan

adanya sel plasma dan limfosit diantara sel stroma endometrium. Prekursor

terjadinya endometritis akut adalah prosedur invasif gynekologi, penyakit inflamasi

pada pelvis, dan infeksi post partus. Endometritis kronis biasanya diikuti dengan

retensi setelah partus, aborsi, atau infeksi bakteri seperti chlamiydia, tuebrculosis,

dan bacterial vaginosis (Rivlin et al. 2016).

Pada saat involusi uterus, >90% sapi memiliki mikroorganisme di dalam

uterusnya selama 2 minggu pertama, 78% antara hari ke-16 sampai 30, 50% antara

hari ke- 31 sampai 45, dan 9% antara hari ke-45 sampai 60. Sebagian besar bakteri

ini merupakan kontaminan dari lingkungan dan akan dibersihkan oleh uterus tanpa

284
merusak fertilitas. Penelitian menunjukkan T. pyogenes, Bacteroides spp,

Clostridia spp., Streptococcus spp., Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus

spp adalah bakteri yang sering ada pada kasus endometritis pada sapi. Tingginya

level progesteron akan menekan produksi mukus, kontraktilitas myometrium,

sekresi kelenjar uterus, dan aktivitas fagositosis dari neutrofil uterus sehingga pada

masa ini rentan adanya infeksi uterus (Ghanem et al. 2015). Pada kuda, bakteri

yang paling banyak diisolasi dari uterus adalah β-hemolytic streptococci dan

Eschericia coli (Rasmussen et al. 2015).

5. Diferensial diagnosa

Infeksi saluran urinari pada pediatrik, penyakit peradangan pelvis (Rivlin et

al. 2016).

6. Diagnosa

Langkah pertama untuk mendiagnosa endometritis adalah dengan cara

mengamati gejala klinis yang terjadi. Karakteristik terjadinya endometritis adalah

adanya discharge uterus purulen (>50%) setelah 21 hari post partus atau discharge

mukopurulen (50% pus, 50% mukus) setelah 26 hari post partus. Hal-hal lain yang

perlu diperhatikan adalah history dari sapi tersebut (Galvao 2011).

Langkah selanjutnya adalah mengevaluasi discharge uterus yang keluar ke

vagina menggunakan spekulum, menggunakan Metricheck tool, atau menggunakan

gloves. Ketika menggunakan salah satu metode ini, harus diperhatikan kebersihan

dari vulva untuk mencegah adanya kontaminasi pada vagina, dan sebaiknya

menggunakan lubrikan. Spekulum, Metricheck tool, atau menggunakan tangan

285
yang menggunakan gloves harus dimasukkan sampai external os cervix. Discharge

harus diambil dan dievaluasi untuk sampel sitologi (Galvao 2011).

Endometritis subklinis didefinisikan adanya >18 % neutrofil (PMN) di

sampel sitologi yang dikoleksi pada hari ke-21 sampai 33 atau >10% PMN di

sampel yang dikoleksi pada hari ke-34 sampai 47. Sampel sitologi uterus dapat

dikoleksi menggunakan cytobrush. Cytobrush adalah sikat kecil yang ditempel

pada tangkai logam yang masuk pada pipa metal dengan diameter yang sama. Alat

ini dilindungi dengan plastic sheath protector selama masuk ke dalam vagina dan

kemudian dikeluarkan setelah melewati cervix. Di badan uterus, cytobrush

dikeluarkan dan dinding tubuh ditekan-tekan sedangkan cytobrush diputar 2-3 kali.

Setelah itu, alat dimasukkan ke dalam pipa kembali dan dikeluarkan dari hewan.

Cytobrush dioleskan pada slide mikroskop dan dikeringkan menggunakan udara

sebelum diwarnai dengan pewarna Diff-Quick (Galvao 2011).

Deteksi endometritis pernah menggunakan USG dengan cara mendeteksi

cairan yang terlihat. Akan tetapi, metode ini kurang sensitif daripada sitologi

endometrium (Galvao 2011).

7. Terapi

Terapi yang dapat diberikan diantaranya:

1. terapi antibiotik sistemik

2. infusi uterus

3. pemberian estrogen untuk merangsang respon uterus terhadap infeksi

286
4. injeksi prostaglandin untuk merangsang estrus, sehingga uterus akan

dibersihkan secara natural.

Heuwieser et al. (2000) membandingkan antara terapi dengan menggunakan

infusi intrauterin polycondensated m-cresolsulphuric acid formaldehyde solution

2% sebanyak 100ml, infusi intrauterin eucalyptus compositum solution 20%

sebanyak 125ml, dan injeksi dengan prostaglandin F2α, dan didapatkan hasil bahwa

terapi prostaglandin F2α menjadi yang paling efektif dibandingkan terapi lainnya.

Administrasi antibiotik secara intra-uterine adalah alternatif lain dari penggunaan

prostaglandin F2α, jika tidak terdapat corpus luteum.

Terapi endometritis yang diberikan masih sebatas pemberian antibiotik

karena sistem imun dari sapi akan bekerja melawan bakteri kontaminan dalam

uterus. Sistem imun akan ditekan selama fase luteal, sehingga jika korpus luteum

tetap ada (presisten) pada ovarium hewan yang terkena endometritis, injeksi

prostaglandin F2α atau analognya menjadi pilihan terapi yang efektif. Pemberian

komponen estrogenik ini dilarang diberikan kepada hewan produksi atau hewan

pangan. Pemberian komponen antrimikroba uterus menjadi alternatif lain

menunjukkan efek yang baik ketika korpus luteum tidak presisten pada hewan yang

terinfeksi. Komponen antimikroba yang digunakan harus efektif melawan bakteri

patogenik di lingkungan lumen uterus dan tidak membahayakan sistem imun atau

membutuhkan widrawl time pada hewan produksi susu yang dikonsumsi manusia.

Saat ini sefalosporin memenuhi kriteria tersebut dan telah menggantikan

oksitetrasiklin. Saat ini bakteri sudah banyak yang resisten terhadap pemberian

287
oksitetrasiklin dan dosis yang digunakan jauh lebih banyak dibandingkan

cefalosporin (Sheldon 2007).

Formulasi berisi 500 mg cephapirin benzathine dalam 19 g emulsifier telah

diterima menjadi pilihan terapi untuk mengatasi endometritis klinis. Obat ini

diberikan secara intrauterin di Canada, Eropa, New Zealand, Australia, dan negara-

negara lain. Obat ini dapat meningkatkan performa reproduksi dari sapi, dan

memperbaiki fertilitas pada sapi yang pernah mengalami retensi plasenta, stillbirth,

atau keluarnya discharge pada vulva pada hari ke-13. Obat lain adalah 125 mg

ceftiofur hydrochloride dalam 10 mL suspensi steril oil-based yang dilabeli untuk

terapi mastitis klinis dapat digunakan untuk mereduksi kontaminasi bakteri, tetapi

tidak dapat meningkatkan fertilitas (Galvao 2011).

Kombinasi pemberian sefalosporin pada waktu yang sama atau setelah

injeksi prostaglandin F2α kemungkinan memberikan efek yang lebih bagus

dibandingkan dengan pemberian satu terapi saja. Prosedur ini belum mendapatkan

protokol yang disetujui walaupun sebenarnya prosedur ini tidak menyebabkan

kerusakan pada hewan. Akan tetapi, pemberian dua antibiotik sekaligus harus

sangat diperhatikan oleh dokter hewan karena akan memberikan resiko berupa

semakin banyak menghasilkan residu (Sheldon 2007).

Cara umum yang digunakan untuk mengontrol endometritis adalah dengan

memperhatikan kebersihan tempat dan fasilitas sehingga hewan dapat tidur di

permukaan yang bersih dan kontaminasi bakteri pada kulit dan rambut sedikit.

288
Formulasi pakan juga penting dalam beberapa hal. Defisiensi mikronutrisi seperti

selenium dan vitamin E dapat menghambat reaksi imun tubuh (Sheldon 2007).

Mioma Uteri

2.1 Definisi

Mioma uteri adalah neoplasma otot polos jinak yang berasal dari

miometrium, terdiri dari sel-sel jaringan otot polos, jaringan pengikat fibroid, dan

kolagen. Mioma uteri disebut juga dengan leiomioma uteri atau fibromioma uteri,

karena jumlah kolagen mereka yang cukup besar dapat menciptakan konsistensi

yang berserat maka mereka sering disebut sebagai fibroid. Mioma uteri berbatas

tegas, tidak berkapsul, dan berasal dari otot polos jaringan fibrous sehingga mioma

uteri dapat berkonsistensi padat jika jaringan ikatnya dominan, dan berkonsistensi

lunak jika otot rahimnya yang dominan. Mioma uteri merupakan neoplasma jinak

yang paling umum dan sering dialami oleh wanita. Neoplasma ini akan

memperlihatkan gejala klinis berdasarkan pada besar dan letak mioma di uterus.

2.2 Epidemiologi

Dari seluruh wanita, insiden mioma uteri diperkirakan terjadi sekitar 20% – 30%.

Mioma uteri sering ditemukan pada wanita usia reproduksi sekitar 20% – 25%,

angka kejadian ini lebih tinggi pada usia diatas 35 tahun, yaitu sekitar 40%.

Tingginya kejadian mioma uteri antara usia 35 – 50 tahun menunjukkan adanya

289
hubungan antara mioma uteri dengan hormon estrogen. Mioma uteri belum pernah

dilaporkan terjadi pada usia sebelum menarche sedangkan angka kejadian mioma

uteri pada wanita menopause hanya sekitar 10% (Hall, 2016). Ditemukan bahwa

mereka yang menarche pada usia <10 tahun beresiko mendapat penyakit reproduksi

10% lebih cepat dibandingkan dengan wanita yang memulai menstruasi pada usia

14 tahun. Menarche dini (<10 tahun) ditemukan meningkatkan resiko relatif mioma

uteri 1,24 kali sedangkan menarche lambat (>16 tahun) menurunkan resiko relatif

mioma uteri (Indarti, 2004)

Di Indonesia angka kejadian mioma uteri ditemukan 2,39% - 11,87 % dari

semua penderita ginekologi yang dirawat (Prawiroharjo, 2008). Di USA wanita

kulit hitam 3-9 kali lebih tinggi menderita mioma uteri dibandingkan wanita

berkulit putih, sedangkan di Afrika wanita kulit hitam sedikit sekali menderita

mioma uteri (Baziad, 2003). Wanita yang sering melahirkan sedikit

kemungkinannya untuk perkembangan mioma uteri dibandingkan dengan wanita

yang tak pernah hamil atau hanya satu kali hamil. Statistik menunjukkan 60%

mioma uteri berkembang pada wanita yang tidak pernah hamil atau hanya hamil

satu kali. Prevalensi meningkat apabila ditemukan riwayat keluarga, ras,

kegemukan, dan nullipara (Hoffman dkk., 2012).

2.3 Anatomi Uterus

Uterus merupakan organ yang tebal, berotot, berbentuk seperti buah pir,

sedikit gepeng kearah muka belakang dan terletak di dalam cavum pelvis antara

rektum (posterior) dan vesika urinaria (anterior). Dinding uterus terdiri dari otot

290
polos dengan ukuran panjang uterus sekitar 7-7,5 cm, lebar > 5,25 cm, dengan tebal

sekitar 1,25 cm. Berat uterus normal kurang lebih 57 gram. Pada masa kehamilan

uterus akan membesar pada bulan-bulan pertama dibawah pengaruh hormon

estrogen dan progesteron yang kadarnya meningkat. Pembesaran ini pada dasarnya

disebabkan oleh hipertrofi otot polos uterus diikuti serabut-serabut kolagen yang

ada menjadi higroskopik akibat meningkatnya kadar estrogen sehingga uterus dapat

mengikuti pertumbuhan janin. Setelah menopause, uterus wanita nullipara maupun

multipara, akan mengalami atrofi dan kembali ke ukuran pada masa predolesen.

291
Pembagian Uterus

a. Fundus Uteri (dasar rahim) : bagian uterus yang proksimal yang terletak antara kedua

pangkal tuba uterina.

b. Korpus Uteri : bagian uterus yang membesar pada kehamilan. Korpus uteri mempunyai

fungsi utama sebagai tempat janin berkembang. Rongga yang terdapat pada korpus uteri

disebut kavum uteri.

c. Serviks Uteri (leher rahim): ujung serviks yang menuju puncak vagina disebut porsio,

hubungan antara kavum uteri dan kanalis servikalis disebut ostium uteri yaitu bagian

serviks yang ada di atas vagina.

Pembagian Dinding Uterus

a. Endometrium di korpus uteri dan endoserviks di serviks uteri.

292
Endometrium terdiri atas epitel kubik, kelenjar-kelenjar, dan jaringan dengan banyak

pembuluh-pembuluh darah yang berlekuk-lekuk. Pada masa haid sebagian besar

endometrium akan dilepaskan sedangkan pada masa kehamilan endometrium akan

tumbuh menebal diikuti dengan bertambah banyaknya pembuluh darah yang diperlukan

untuk memberi makanan pada janin.

b. Miometrium (lapisan otot polos)

Otot polos di bagian dalam miometrium berbentuk sirkuler sedangkan di bagian luarnya

berbentuk longitudinal. Diantara kedua lapisan ini terdapat lapisan otot oblik yang

berbentuk anyaman. Lapisan otot polos ini merupakan bagian yang paling penting pada

proses persalinan karena setelah proses lahirnya plasenta otot-otot ini akan berkontraksi

dengan kuat guna menjepit pembuluh-pembuluh darah yang ada di sekitarnya sehingga

dapat mencegah terjadinya perdarahan post partum.

c. Perimetirum atau lapisan serosa (peritoneum viseral)

Lapisan ini terdiri dari lima ligamentum yang berfungsi untuk mengfiksasi dan

menguatkan uterus yaitu:

1. Ligamentum kardinale kiri dan kanan, yakni ligamentum yang terpenting, mencegah

supaya uterus tidak turun, terdiri atas jaringan ikat tebal, dan berjalan dari serviks dan

puncak vagina kearah lateral dinding pelvis. Didalamnya ditemukan banyak pembuluh

darah, antara lain vena dan arteria uterine.

293
2. Ligamentum sakro uterinum kiri dan kanan, yakni ligamentum yang menahan uterus

supaya tidak banyak bergerak, berjalan dari serviks bagian belakang kiri dan kanan

kearah sarkum kiri dan kanan.

3. Ligamentum rotundum kiri dan kanan, yakni ligamentum yang menahan uterus agar

tetap dalam keadaan antofleksi, berjalan dari sudut fundus uteri kiri dan kanan, ke

daerah inguinal waktu berdiri cepat karena uterus berkontraksi kuat.

4. Ligamentum latum kiri dan kanan, yakni ligamentum yang meliputi tuba, berjalan dari

uterus kearah sisi, tidak banyak mengandung jaringan ikat.

5. Ligamentum infundibulo pelvikum, yakni ligamentum yang menahan tuba fallopi,

berjalan dari arah infundibulum ke dinding pelvis. Didalamnya ditemukan urat-urat

saraf, saluran-saluran limfe, arteria dan vena ovarika.

294
2.4

Etiologi

Hingga saat ini penyebab pasti dari mioma uteri masih belum diketahui dan diduga

merupakan penyakit multifaktorial. Mioma merupakan sebuah tumor monoklonal yang

dihasilkan dari mutasi somatik dari sebuah sel neoplastik tunggal yang berada di antara otot

polos miometrium. Tumbuh mulai dari benih multiple yang sangat kecil dan tersebar pada

miometrium sangat lambat tetapi progresif. Terdapat korelasi antara pertumbuhan tumor

dengan peningkatan reseptor estrogen-progesteron pada jaringan mioma uteri, serta adanya

faktor predisposisi yang bersifat herediter, faktor hormon pertumbuhan, dan Human

Placental Lactogen. Awal mulanya pembentukan tumor adalah terjadinya mutasi somatik

dari sel-sel miometrium. Mutasi ini mencakup rentetan perubahan kromosom baik secara

parsial maupun keseluruhan. Aberasi kromosom ditemukan pada 23%-50% dari mioma uteri

295
yang diperiksa dan yang terbanyak (36,6%) ditemukan pada kromosom 7 (del(7) (q 21) /q

21 q 32).

Pengaruh hormon dalam pertumbuhan dan perkembangan mioma antara lain:

a. Estrogen

Mioma uteri kaya akan reseptor estrogen. Meyer dan De Snoo mengajukan teori

Cell nest atau teori genitoblast, teori ini menyatakan bahwa untuk terjadinya mioma uteri

harus terdapat dua komponen penting yaitu sel nest (sel muda yang terangsang) dan

estrogen (perangsang sel nest secara terus menerus). Percobaan Lipschutz yang

memberikan estrogen kepada kelinci percobaan ternyata menimbulkan tumor fibromatosa

baik pada permukaan maupun pada tempat lain dalam abdomen. Hormon estrogen dapat

diperoleh melalui penggunaan alat kontrasepsi yang bersifat hormonal.

Mioma uteri dijumpai setelah menarche. Seringkali terdapat pertumbuhan tumor

yang cepat selama kehamilan dan terapi estrogen eksogen. Mioma uteri akan mengecil

pada saat menopause dan pengangkatan ovarium. Mioma uteri banyak ditemukan

bersamaan dengan anovulasi ovarium dan wanita dengan sterilitas. Selama fase

sekretorik, siklus menstruasi dan kehamilan, jumlah reseptor estrogen di miometrium

normal berkurang. Pada mioma reseptor estrogen dapat ditemukan sepanjang siklus

menstruasi, tetapi ekskresi reseptor tersebut tertekan selama kehamilan.

b. Progesteron

Reseptor progesteron terdapat di miometrium dan mioma sepanjang siklus

menstruasi dan kehamilan. Progesteron merupakan antagonis natural dari estrogen.


296
Progesteron menghambat pertumbuhan tumor dengan dua cara yaitu mengaktifkan 17 -

Beta hidroxydesidrogenase dan menurunkan jumlah reseptor estrogen pada tumor.

2.5 Faktor Predisposisi

a. Umur

Frekuensi kejadian mioma uteri paling tinggi terjadi antara usia 35-50 tahun yaitu

mendekati angka 40%, sangat jarang ditemukan pada usia dibawah 20 tahun, sedangkan

pada usia menopause hampir tidak pernah ditemukan. Pada usia sebelum menarche kadar

estrogen rendah, dan meningkat pada usia reproduksi, serta akan turun pada usia

menopause, pada wanita menopause mioma uteri ditemukan sebesar 10%. Proporsi

mioma meningkat pada usia 3545 tahun. Penelitian Chao-Ru Chen di New York

menemukan wanita kulit putih umur 40-44 tahun beresiko 6,3 kali menderita mioma uteri

dibandingkan umur < 30 tahun. Sedangkan pada wanita kulit hitam umur 40-44 tahun

beresiko 27,5 kali untuk menderita mioma uteri jika dibandingkan umur < 30 tahun.

b. Riwayat Keluarga

Wanita dengan garis keturunan tingkat pertama dengan penderita mioma uteri

mempunyai 2,5 kali kemungkinan untuk menderita mioma dibandingkan dengan wanita

tanpa garis keturunan penderita mioma uteri. Pada wanita tertentu, khususnya wanita

berkulit hitam, angka kejadian mioma uteri lebih tinggi.

c. Obesitas

Obesitas juga berperan dalam terjadinya mioma uteri. Hal ini mungkin

berhubungan dengan konversi hormon androgen menjadi estrogen oleh enzim aromatase
297
di jaringan lemak. Hasilnya terjadi peningkatan jumlah estrogen tubuh, dimana hal ini

dapat menerangkan hubungannya dengan peningkatan prevalensi dan pertumbuhan

mioma uteri.

d. Paritas

Wanita yang sering melahirkan lebih sedikit kemungkinannya untuk terjadinya

perkembangan mioma ini dibandingkan wanita yang tidak pernah hamil atau satu kali

hamil. Statistik menunjukkan 60% mioma uteri berkembang pada wanita yang tidak

pernah hamil atau hanya hamil satu kali.

e. Kehamilan

Angka kejadian mioma uteri bervariasi dari hasil penelitian yang pernah dilakukan

ditemukan sebesar 0,3% – 7,2% selama kehamilan. Kehamilan dapat mempengaruhi

mioma uteri karena tingginya kadar estrogen dalam kehamilan dan bertambahnya

vaskularisasi ke uterus. Kedua keadaan ini ada kemungkinan dapat mempercepat

pembesaran mioma uteri. Kehamilan dapat juga mengurangi resiko mioma karena pada

kehamilan hormon progesteron lebih dominan.

2.6 Klasifikasi

• Mioma Subserosa

Mioma subserosa merupakan mioma yang tumbuh di bawah lapisan serosa uterus dan

dapat bertumbuh ke arah luar dan juga bertangkai, dapat hanya sebagai tonjolan saja,

dapat pula sebagai satu massa yang dihubungkan dengan uterus melalui tangkai.

Pertumbuhan kearah lateral dapat berada di dalam ligamentum latum, dan disebut sebagai
298
mioma intraligamen. Mioma yang cukup besar akan mengisi rongga peritoneum sebagai

suatu massa. Perlekatan dengan omentum di sekitarnya menyebabkan sistem peredaran

darah diambil alih dari tangkai ke omentum. Akibatnya tangkai semakin mengecil dan

terputus, sehingga mioma terlepas dari uterus sebagai massa tumor yang bebas dalam

rongga peritoneum. Mioma jenis ini dikenal sebagai mioma jenis mondering atau

parasitic fibroid. Jarang sekali ditemukan satu macam mioma saja dalam satu uterus.

Mioma pada serviks dapat menonjol ke dalam satu saluran servik sehingga ostium uteri

eksternum berbentuk bulan sabit. Apabila mioma dibelah maka akan tampak bahwa

mioma terdiri dari berkas otot polos dan jaringan ikat yang tersusun sebagai kumparan

(whorle like pattern) dengan pseudokapsul yang terdiri dari jaringan ikat longgar yang

terdesak karena pertumbuhan sarang mioma ini.

• Mioma intramural

Mioma intramural atau insterstisiel merupakan mioma yang berkembang di antara

miometrium dan biasanya multiple. Apabila masih kecil, mioma tidak akan merubah

bentuk uterus tetapi bila besar mioma akan menyebabkan uterus berbenjol-benjol dengan

konsistensi yang padat, uterus bertambah besar, dan berubah bentuknya. Mioma sering

tidak memberikan gejala klinis yang berarti kecuali rasa tidak enak karena adanya massa

tumor di daerah perut sebelah bawah. Mioma yang terletak pada dinding depan uterus,

dalam pertumbuhannya akan menekan dan mendorong kandung kemih ke atas, sehingga

dapat menimbulkan keluhan miksi.

• Mioma submukosa

299
Mioma yang berada di bawah lapisan mukosa uterus atau endometrium dan tumbuh

kearah kavum uteri. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan bentuk dan besar kavum

uteri. Pengaruhnya pada vaskularisasi dan luas permukaan endometrium menyebabkan

terjadinya perdarahan ireguler. Bila tumor ini tumbuh dan bertangkai, maka tumor dapat

keluar dan masuk ke dalam vagina yang disebut mioma geburt, yang harus diperhatikan

dalam menangani mioma bertangkai (mioma submukosa pedinkulata) ialah kemungkinan

terjadinya torsi dan nekrosis sehingga risiko infeksi sangatlah tinggi. Mioma submukosa

walaupun hanya kecil selalu memberikan keluhan perdarahan melalui vagina. Perdarahan

sulit dihentikan, sehingga sebagai terapinya dilakukan histerektomi. Mioma submukosa

umumnya dapat diketahui dengan tindakan kuretase, dengan adanya benjolan waktu

kuret, dikenal sebagai currete bump dan dengan pemeriksaan histeroskopi dapat diketahui

posisi tangkai tumor.

300
2.7 Manifestasi Klinis

Keluhan yang diakibatkan oleh mioma uteri sangat tergantung dari lokasi, arah

pertumbuhan, jenis, besar, dan jumlah mioma. Hanya dijumpai pada 35% – 50% saja mioma

uteri menimbulkan keluhan sedangkan sisanya tidak mengeluh apapun, terutama pada

penderita dengan obesitas. Hipermenore, menometroragia merupakan gejala klasik dari

mioma uteri. Dari penelitian multisenter yang dilakukan pada 114 penderita ditemukan 44%

gejala perdarahan, yang paling sering ialah jenis mioma submukosa, sekitar 65% wanita

dengan mioma mengeluh dismenore, nyeri perut bagian bawah, serta nyeri pinggang.

Tergantung dari lokasi dan arah pertumbuhan mioma, maka kandung kemih, ureter, dan usus

dapat terganggu, peneliti melaporkan keluhan disuri (14%) dan keluhan obstipasi (13%).

Mioma uteri sebagai penyebab infertilitas hanya dijumpai pada 2% – 10% kasus. Infertilitas

terjadi sebagai akibat obstruksi mekanis tuba falopii. Abortus spontan dapat terjadi bila

mioma uteri menghalangi pembesaran uterus, dimana menyebabkan kontraksi uterus yang

abnormal, dan mencegah terlepas atau tertahannya uterus di dalam panggul.

Berbagai keluhan penderita mioma uteri antara lain dapat berupa:

a. Massa di Perut Bawah

Penderita mengeluh merasakan adanya massa atau benjolan di perut bagian bawah.

b. Perdarahan Abnormal

Diperkirakan 30% wanita dengan mioma uteri mengalami kelainan menstruasi

berupa menoragia. Tidak ditemukan bukti yang menyatakan perdarahan ini berhubungan

dengan peningkatan luas permukaan endometrium atau karena meningkatnya insidens

301
disfungsi ovulasi. Teori yang menjelaskan perdarahan yang disebabkan mioma uteri

menyatakan terjadi perubahan struktur vena pada endometrium dan miometrium yang

menyebabkan terjadinya venule ectasia. Miometrium merupakan wadah bagi faktor

endokrin dan parakrin dalam mengatur fungsi endometrium. Aposisi kedua jaringan ini

dan aliran darah langsung dari miometrium ke endometrium memfasilitasi interaksi ini.

Growth factor yang merangsang stimulasi angiogenesis atau relaksasi tonus vaskuler dan

yang memiliki reseptor pada mioma uteri dapat menyebabkan perdarahan uterus

abnormal dan menjadi target terapi potensial. Selain itu berkurangnya angiogenik

inhibitory factor atau vasoconstricting factor dan reseptornya pada mioma uteri dapat

juga menyebabkan terjadinya perdarahan uterus yang abnormal.

Bila terjadi secara kronis maka dapat terjadi anemia defisiensi zat besi dan bila

berlangsung lama dan dalam jumlah yang besar maka sulit untuk dikoreksi dengan

suplementasi zat besi. Perdarahan pada mioma submukosa seringkali diakibatkan oleh

hambatan pasokan darah endometrium, tekanan, dan bendungan pembuluh darah di area

tumor (terutama vena) atau ulserasi endometrium di atas tumor. Tumor bertangkai

seringkali menyebabkan trombosis vena dan nekrosis endometrium akibat tarikan dan

infeksi (vagina dan kaurm uteri terhubung oleh tangkai yang keluar dari ostium serviks).

Dismenore dapat disebabkan oleh efek tekanan, kompresi, dan termasuk hipoksia lokal

miometrium.

302
c. Nyeri Perut (Pelvic Discomfort)

Mioma tidak menyebabkan nyeri dalam pada uterus kecuali apabila kemudian

terjadi gangguan vaskuler. Nyeri lebih banyak terkait dengan proses degenerasi akibat

oklusi pembuluh darah, infeksi, torsi tangkai mioma atau kontraksi uterus sebagai upaya

untuk mengeluarkan mioma subserosa dari kavum uteri, dalam hal ini sifatnya akut,

disertai dengan rasa mual dan muntahmuntah. Pada mioma yang sangat besar, rasa nyeri

dapat disebabkan karena tekanan pada saraf yaitu pleksus uterovaginalis yang rasa

nyerinya menjalar hingga ke pinggang dan tungkai bawah. Gejala abdomen akut dapat

terjadi bila torsi berlanjut dengan terjadinya infark atau degenerasi merah yang

mengiritasi selaput peritoneum (seperti peritonitis). Mioma yang besar dapat menekan

rektum sehingga menimbulkan sensasi untuk mengejan.

303
d. Pressure Effects (Efek Tekanan)

Pembesaran mioma dapat menyebabkan adanya efek tekanan pada organorgan di

sekitar uterus. Gejala ini merupakan gejala yang tak biasa dan sulit untuk dihubungkan

langsung dengan mioma. Penekanan pada vesika urinaria dapat menyebabkan

pollakisuria dan dysuria, sedangkan penekanan pada uretra dapat menimbulkan retensio

urin yang apabila berlarut-larut dapat menyebabkan hydroureteronephrosis. Tekanan

pada rektum tidak begitu besar, kadang-kadang menyebabkan konstipasi atau nyeri saat

defekasi.

Mioma intramural sering dikaitkan dengan penekanan terhadap organ sekitar.

Parasitik mioma dapat menyebabkan obstruksi saluran cerna dan perlekatannya dengan

omentum menyebabkan strangulasi usus. Mioma serviks dapat menyebabkan sekret

serosanguinea vaginal, perdarahan, dispareunia, dan infertilitas. Bila ukuran tumor lebih

besar lagi, akan terjadi penekanan ureter, kandung kemih dan rektum. Semua efek

penekanan ini dapat dikenali melalui pemeriksaan IVP, kontras saluran cerna, rontgen,

dan MRI. Abortus spontan dapat disebabkan oleh efek penekanan langsung mioma

terhadap kavum uteri.

e. Penurunan Kesuburan dan Abortus

Hubungan antara mioma uteri sebagai penyebab penurunan kesuburan masih belum

jelas. Dilaporkan sebesar 27% – 40% wanita dengan mioma uteri mengalami infertilitas.

304
Penurunan kesuburan dapat terjadi apabila sarang mioma menutup atau menekan pars

interstisialis tuba, sedangkan mioma submukosa dapat memudahkan terjadinya abortus

karena distorsi rongga uterus. Perubahan bentuk kavum uteri karena adanya mioma dapat

menyebabkan disfungsi reproduksi. Gangguan implasntasi embrio dapat terjadi pada

keberadaan mioma akibat perubahan histologi endometrium dimana terjadi atrofi karena

kompresi massa tumor. Apabila penyebab lain infertilitas sudah disingkirkan dan mioma

merupakan penyebab infertilitas tersebut, maka merupakan suatu indikasi untuk

dilakukan miomektomi.

2.8 Perubahan Sekunder Mioma Uteri

Bila terjadi perubahan pasokan darah selama pertumbuhannya, maka mioma dapat

mengalami perubahan sekunder atau degeneratif sebagai berikut (Prawiroharjo, 2008).

 Atrofi

Ditandai dengan pengecilan tumor yang umumnya terjadi setelah persalinan atau

menopause.

 Degenerasi Hialin

Terjadi pada mioma yang telah matang atau tua dimana bagian yang semula aktif tumbuh

kemudian terhenti akibat kehilangan pasokan nutrisi dan berubah warnanya menjadi

kekuningan, melunak atau melebur menjadi cairan gelatin sebagai tanda terjadinya

degenerasi hialin. Perubahan ini sering terutama pada penderita usia lanjut disebabkan

karena kurangnya suplai darah. Jaringan fibrous berubah menjadi hialin dan serabut otot

menghilang. Mioma kehilangan struktur aslinya dan menjadi homogen. Dapat meliputi

305
sebagian besar atau hanya sebagian kecil daripadanya seolah-olah memisahkan satu

kelompok serabut otot dari kelompok lainnya.

 Degenerasi Kistik

Setelah mengalami hialinisasi, hal tersebut berlanjut dengan cairnya gelatin sehingga

mioma konsistensinya menjadi kistik. Adanya kompresi atau tekanan fisik pada bagian

tersebut dapat menyebabkan keluarnya cairan kista ke kavum uteri, kavum peritoneum,

atau retroperitoneum.

Dapat meliputi daerah kecil maupun luas, dimana sebagian dari mioma menjadi cair,

sehingga terbentuk ruangan-ruangan yang tidak teratur berisi agar-agar, dapat juga terjadi

pembengkakan yang luas dan bendungan limfe sehingga menyerupai limfangioma. Dengan

konsistensi yang lunak tumor ini sukar dibedakan dari kista ovarium atau suatu

kehamilan.

 Degenerasi Lemak

Disebut juga miksomatosa yang terjadi setelah proses degenerasi hialin dan kistik.

Degenerasi ini sangat jarang dan umumnya asimtomatik. Pada mioma yang sudah lama

dapat terbentuk degenerasi lemak. Di permukaan irisannya berwarna kuning homogen

dan serabut ototnya berisi titik lemak dan dapat ditunjukkan dengn pengecatan khusus

untuk lemak.

 Degenerasi Kalkareus (Calsireus Degeneration)

Disebut juga kalsifikasi, degenerasi ini terutama terjadi pada wanita usia lanjut oleh

karena adanya gangguan dalam sirkulasi. Dengan adanya pengendapan garam kapur pada
306
sarang mioma maka mioma menjadi keras dan memberikan bayangan pada foto rontgen.

Degenerasi ini umumnya terjadi pada mioma subserosa yang sangat rentan terhadap

defisit sirkulasi yang dapat menyebabkan pengendapan kalsium karbonat dan fosfat di

dalam tumor.

 Degenerasi Merah (Kaneus)

Degenerasi ini diakibatkan oleh trombosis yang dikuti dengan terjadinya bendungan vena

dan perdarahan sehingga menyebabkan perubahan warna mioma. Degenerasi jenis ini

seringkali terjadi bersamaan dengan kehamilan karena kecepatan pasokan nutrisi bagi

hipertrofi miometrium lebih diprioritaskan sehingga mioma mengalami defisit pasokan

dan terjadi degenerasi septik dan infark. Degenerasi ini disertai rasa nyeri tetapi akan

menghilang sendiri (self limited). Terhadap kehamilannya sendiri, dapat terjadi partus

prematurus atau koagulasi diseminata intravaskuler (DIC).

Perubahan ini sering terjadi pada masa kehamilan dan nifas. Diperkirakan karena suatu

nekrosis subakut sebagai gangguan vaskularisasi. Pada pembelahan dapat dilihat sarang

mioma seperti daging mentah berwarna merah disebabkan pigmen hemosiderin dan

hemofusin. Degenerasi merah tampak khas apabila terjadi pada kehamilan muda disertai

emesis, haus, sedikit demam, kesakitan, tumor pada uterus membesar dan nyeri pada

perabaan.

 Septik

307
Defisit sirkulasi dapat menyebabkan mioma mengalami nekrosis di bagian tengah tumor

yang berlanjut dengan infeksi yang ditandai dengan nyeri, kaku dinding perut, dan demam

akut.

 Degenerasi ganas

Transformasi ke arah keganasan (menjadi miosarkoma). Terjadi pada 0,1% – 0,5%

penderita mioma uteri.

2.9 Diagnosis dan Diagnosis Banding

a. Anamnesis

Cari keluhan utama serta gejala klinis mioma, faktor risiko, serta kemungkinan

komplikasi yang terjadi. Biasanya teraba massa menonjol keluar dari jalan lahir yang

dirasakan bertambah panjang serta adanya riwayat pervaginam terutama pada wanita usia

diatas 40 tahun.

b. Pemeriksaan Fisik

Mioma uteri mudah ditemukan melalui pemeriksaan bimanual rutin uterus. Diagnosis

mioma uteri menjadi jelas bila dijumpai gangguan kontur uterus oleh satu atau lebih

massa yang licin, tetapi sering sulit untuk memastikan bahwa massa seperti ini adalah

bagian dari uterus.

c. Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium

308
Anemia merupakan akibat paling sering dari mioma. Hal ini disebabkan perdarahan

uterus yang banyak dan habisnya cadangan zat besi. Kadangkadang mioma menghasilkan

eritropoetin yang pada beberapa kasus menyebabkan polisitemia. Adanya hubungan

antara polisitemia dengan penyakit ginjal diduga akibat penekanan mioma terhadap ureter

yang menyebabkan peninggian tekanan balik ureter dan kemudian menginduksi

pembentukan eritropoietin ginjal. Imaging

 Pemeriksaan dengan USG (Ultrasonografi) transabdominal dan transvaginal

bermanfaat dalam menetapkan adanya mioma uteri.

Ultrasonografi transvaginal terutama bermanfaat pada uterus yang kecil. Uterus

atau massa yang paling besar baik diobservasi melalui ultrasonografi

transabdominal. Mioma uteri secara khas menghasilkan gambaran ultrasonografi

yang mendemonstrasikan irregularitas kontur maupun pembesaran uterus.

Gambaran tumor bentuk bulat atau bulat lonjong baik soliter maupun multipel dengan

hiperekoik homogen, dinding tegas, tanpa efek lateral dan pantulan posterior, pembuluh

darah diluar massa tumor.

309
 Histeroskopi digunakan untuk melihat adanya mioma uteri submukosa, jika mioma

kecil serta bertangkai. Mioma tersebut sekaligus dapat diangkat.

 MRI (Magnetic Resonance Imaging) sangat akurat dalam menggambarkan jumlah,

ukuran, dan likasi mioma tetapi jarang diperlukan. Pada MRI, mioma tampak

sebagai massa gelap berbatas tegas dan dapat dibedakan dari miometrium normal.

MRI dapat mendeteksi lesi sekecil 3 mm yang dapat dilokalisasi dengan jelas,

termasuk mioma (Goodwin dkk., 2009).

Diagnosis banding mioma uteri antara lain kehamilan, neoplasma ovarium, dan

adenomyosis.

2.10 Tata Laksana

Penatalaksanaan mioma uteri harus memperhatikan usia, paritas, kehamilan,

konservasi fungsi reproduksi, keadaan umum, dan gejala yang ditimbulkan. Bila kondisi

pasien sangat buruk, lakukan upaya perbaikan yang diperlukan termasuk nutrisi,

suplementasi zat esensial, ataupun transfusi. Pada keadaan gawat darurat akibat infeksi atau

gejala abdominal akut, siapkan tindakan bedah gawat darurat untuk menyelamatkan

310
penderita. Pilihan prosedur bedah terkait dengan mioma uteri adalah miomektomi atau

histerektomi.

a. Konservatif

Penderita dengan mioma kecil dan tanpa gejala tidak memerlukan pengobatan, tetapi

harus diawasi perkembangan tumornya. Jika mioma lebih besar dari kehamilan 10-12

minggu, tumor yang berkembang cepat, terjadi torsi pada tangkai, perlu diambil tindakan

operasi. Terapi konservatif dilakukan bila mioma uteri terjadi tanpa adanya keluhan dan

tanda-tanda degenerasi ganas.

b. Medikamentosa

Terapi yang dapat memperkecil volume atau menghentikan pertumbuhan mioma uteri

secara menetap belum tersedia pada saat ini. Terapi medikamentosa masih merupakan

terapi tambahan (adjuvan) atau terapi pengganti sementara dari operatif. Preparat yang

selalu digunakan untuk terapi medikamentosa adalah analog GnRHA (Gonadotropin

Realising Hormon Agonis), progesteron, androgen (danazol, gestrinon), tamoksifen,

goserelin, antiprostaglandin (NSAID), COCs (combination oral contraceptive pills),

agen-agen lain seperti gossypol dan amantadine (Chegini dkk., 2003; Parsanezhad dkk.,

2012). GnRH agonis diberikan 3-6 kali setiap bulan sekali yang dimulai pada hari ke-3

sampai 5 mentruasi dengan dosis 375 mg

intramuskuler gluteal.

311
Perempuan dengan dismenore memiliki kadar prostaglandin F2α dan E2 endometrium

yang lebih tinggi dibandingkan wanita dengan mioma uteri tanpa gejala. Dengan

demikian, pengobatan dismenore dan menoragia terkait dengan leiomioma didasarkan

pada peran prostaglandin sebagai mediator dari gejalagejala ini, sehingga penggunaan

NSAID dapat dikatakan efektif untuk penderita dengan dismenore.

c. Operatif

Terapi operatif tergantung pada:

1. Adanya keluhan gangguan haid serta komplikasinya dan atau keluhan pendesakan

organ sekitar.

2. Infertilitas post terapi GnRH agonis

3. Nyeri pelvik kronis akibat pendesakan, perlekatan, dismenore, disparunea, hemorhoid,

disuria berulang, nyeri defekasi, dan manipulasi.

4. Ketentuan:

a. Umur penderita lebih dari 50 tahun adalah TAH-BSO atau SVH tergantung kondisi

serviks.

b. Menginginkan anak dilakukan miomektomi atau enukleasi mioma baik post GnRH

agonist maupun langsung.

312
c. Pada kasus dengan gangguan haid dimana umur lebih dari 40 tahun

d. Pendekatan operatif adalah laparotomi dan atau laparoskopi

Tindakan operatif yang dapat dilakukan meliputi miomektomi, histerektomi, dan

embolisasi arteri uterus.

 Miomektomi merupakan tindakan pengambilan sarang mioma saja tanpa

pengangkatan uterus. Tindakan ini dapat dikerjakan misalnya pada mioma submukosa

dan mioma geburt dengan cara ekstirpasi lewat vagina.

 Histerektomi merupakan tindakan pengangkatan uterus yang paling umum dilakukan

pada kasus mioma uteri. Histerektomi total umumnya dilakukan dengan alasan

mencegah timbulnya mioma uteri berulang atau timbulnya karsinoma servisis uteri.

Histerektomi untuk mioma uteri dapat dilakukan secara vaginally, abdominally, atau

laparoscopically.

 Endometrial Ablation

 Hysteroscopy

313
 Embolisasi arteri uterus (Uterin Artery Embolization / UAE) merupakan injeksi arteri

uterina dengan butiran polyvinyl alkohol melalui kateter yang nantinya akan

menghambat aliran darah ke mioma dan menyebabkan nekrosis. Nyeri setelah UAE

lebih ringan daripada setelah pembedahan mioma dan pada UAE tidak dilakukan insisi

serta waktu penyembuhannya lebih

cepat (Swine, 2009).

d. Radiasi dengan radioterapi

Radioterapi dilakukan untuk menghentikan perdarahan yang terjadi pada beberapa kasus.

314
Alur Tata Laksana Mioma Uterus berdasarkan PPK OBSGYN UNUD 2015

Keluhan positif:

1. Infertilitas. Pada mioma uterus dengan keluhan infertilitas dilakukan histerosalfingografi

untuk mengetahui kavum uterus, patensi tuba, hidrosalfing, dan tanda-tanda infeksi

kronis.

2. AUB-L berupa menoragia, metroragia, dan menometroragia.

3. Komplikasi perdarahan seperti lemah, lesu, penyakit jantung, anemia, mudah infeksi,

penuruanan kinerja, dan konsentrasi.

4. Pendesakan ke organ pelviks sehingga menimbulkan gangguan seperti gangguan

berkemih dan defekasi, nyeri pelvik kronik, serta nyeri di regio suprasimfisis.

2.11 Komplikasi

a. Degenerasi ganas

315
Mioma uteri yang menjadi leiomiosarkoma ditemukan hanya sekitar 0,32% – 0,6% dari

seluruh mioma, serta merupakan 50% – 75% dari semua sarkoma uterus. Keganasan

umumnya baru ditemukan pada pemeriksaan histopatologi pada uterus yang telah

diangkat. Curiga akan keganasan uterus apabila mioma uteri cepat membesar dan apabila

terjadi pembesaran sarang mioma saat menopause.

b. Torsi (putaran tangkai)

Sarang mioma yang bertangkai dapat mengalami putaran atau torsi sehingga timbul

gangguan sirkulasi akut yang berujung nekrosis, dengan demikian terjadilah sindroma

abdomen akut, namun jika torsi terjadi secara perlahan maka gangguan akut tidak terjadi.

2.12 Prognosis

Prognosis mioma uteri dengan lesi soliter biasanya sangat baik, khususnya bila

dilakukan eksisi. Fertilitas dapat terpengaruh, tergantung dari ukuran dan lokasi mioma.

Mioma uteri sendiri jarang bertransformasi menjadi kanker. Tanda bahaya dari kanker yang

paling umum adalah tumor yang tumbuh secara cepat sehingga membutuhkan tindakan

pembedahan. Tindakan operatif histerektomi dengan mengangkat seluruh mioma merupakan

suatu tindakan kuratif. Mioma uteri yang kambuh kembali (rekurens) setelah dilakukan

miomektomi terjadi pada 15% – 40% pasien dan 60% memerlukan tindakan lebih lanjut.

2.13 Pencegahan

a. Pencegahan Primordial

316
Pencegahan ini dilakukan pada perempuan yang belum menarche atau sebelum terdapat

resiko mioma uteri. Upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan mengkonsumsi makanan

yang tinggi serat seperti sayuran dan buah.

b. Pencegahan Primer

Pencegahan primer merupakan pencegahan awal sebelum seseorang menderita mioma.

Upaya pencegahan ini dapat dilakukan dengan penyuluhan mengenai faktor-faktor resiko

mioma terutama pada kelompok yang beresiko yaitu wanita pada masa reproduktif. Selain

itu tindakan pengawasan terhadap pemberian hormon estrogen dan progesteron dengan

memilih pil KB kombinasi (mengandung estrogen dan progesteron), pil kombinasi

mengandung estrogen lebih rendah dibanding pil sekuensil, oleh karena pertumbuhan

mioma uteri berhubungan dengan kadar estrogen.

c. Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder ditujukan untuk orang yang telah terkena mioma uteri, tindakan ini

bertujuan untuk menghindari terjadinya komplikasi. Pencegahan yang dilakukan adalah

dengan melakukan diagnosa dini dan pengobatan yang

tepat.

d. Pencegahan Tersier

Pencegahan tersier merupakan upaya yang dilakukan setelah penderita melakukan

pengobatan. Pencegahan pada tahap ini berupa rehabilitasi untuk meningkatkan kualitas

hidup dan mencegah timbulnya komplikasi. Pada dasarnya hingga saat ini belum

317
diketahui penyebab tunggal yang menyebabkan mioma uteri, namun merupakan

gabungan beberapa faktor atau multifaktor.

Tindakan yang dilakukan adalah dengan meningkatkan kualitas hidup dan

mempertahankannya. Penderita pasca operasi harus mendapat asupan gizi yang cukup

dalam masa pemulihannya.

1. Endometriosis

a. Pengertian

318
Endometriosis merupakan penyakit inflamasi yang ditandai dengan tumbuhnya

jaringan abnormal dengan struktur menyerupai endometrium secara ektopik dan

memicu reaksi peradangan (HIFERI dan POGI, 2017). Definisi lain endometriosis

yang umum digunakan yaitu keberadaan kelenjar dan stroma endometrial pada lokasi

ektopik, umumnya pada peritoneum pelvis, ovarium, dan septum retrovaginalis

(Burney dan Giudice, 2012).

Berdasarkan kedalaman susukan lesi di lokasi ektopik, endometriosis sering

bermanifestasi dalam tiga bentuk, yaitu pada peritoneum atau endometriosis

superfisial, pada ovarium hingga dapat membentuk kista endometrioma, dan

endometriosis deep infiltrative atau susukan dalam (Lasmar, et al., 2012).

b. Etiologi

Penjelasan mengenai awal kemunculan jaringan endometriumekstrauterin pada

endometriosis masih belum diketahui secara pasti. Beberapa teori berbeda telah

dicetuskan oleh para ahli. Teori-teori tersebut dapat dikelompokkan menjadi teori-

teori yang menyatakan bahwa jaringan endometriosis yang muncul berasal dari

endometrium intrauterin yang berpindah ke lokasi-lokasi ekstrauterin serta teori yang

mendukung bahwa jaringan endometriosis berasal dari jaringan lain diluar uterus.

1) Menstruasi Retrograde

Teori ini merupakan prinsip tertua yang menjelaskan perjalanan penyakit

endometriosis. Seorang ahli ginekologis bernama John Sampson pertama kali

mengamati adanya pergerakan bebas darah dan bagian dari jaringan endometrium

319
dari tuba falopii menuju ke ruang peritoneum saat melakukan laparotomi pada

pasien yang sedang mengalami menstruasi (Patel, et al., 2018).

2) Metaplasia Selomik

Masa perkembangan embrio melibatkan pembentukan selom, rongga berisi

cairan yang akan mengalami perubahan morfologis dan diferensiasi untuk

membentuk janin secara sempurna. Rongga- rongga tersebut dilapisi oleh lapisan

epitel selomik (celomic epithelium) yang berasal dari lempeng mesoderm. Lapisan

epitel tersebut berperan penting dalam pembentukan organ viseral dikarenakan

kemampuannya untuk berdiferensiasi menjadi sel mesenkim yang multipoten

(Laura, et al., 2016). Epitel selomik yang tidak terdiferensiasi menjadi sel-sel

mesenkim akan bermanifestasi sebagai mesothelium pada tubuh manusia dewasa.

Terdapat dugaan bahwa endometriosis berasal dari sel-sel ekstrauterin. Teori

metaplasia selomik (coelomic metaplasia) dalam etiologi endometriosis

menyebutkan bahwa sel-sel terspesialisasi yang berada pada lapisan mesothelium

pada peritoneum visceralis dan peritoneum abdominalis dapat bertransdiferensiasi

secara abnormal atau mengalami metaplasia menjadi jaringan mirip endometrium

(Sourial, et al., 2014). Hal-hal yang dapat menginduksi terjadinya metaplasia

pada sel-sel tersebut masih belum diketahui secara pasti. Terdapat keterlibatan

sistem imun dan faktor hormonal sebagai dua hal yang dapat menstimulasi sel-sel

peritoneum normal menjadi jaringan yang menyerupai endometrium (Burney dan

Giudice, 2012).

320
3) Metastasis Limfatik dan Vaskuler

Endometriosis dapat ditemukan di bagian tubuh yang terletak jauh dari

pelvis, contohnya pada regio thoraks (Sonavane, et al., 2011). Teori metastasis

menjelaskan hipotesis bahwa jaringan menstrual berpindah dari endometrium ke

limfonodi terdekat untuk selanjutnya berhalan melalui pembuluh limfa dan vena

menuju ke bagian tubuh yang jauh (Patel, et al., 2018). Dugaan keterlibatan

persebaran melalui sistem limfatik dapat menjelaskan keberadaan jaringan

endometrium pada pembuluh limfa dan limfonodi pada beberapa penderita

(Jerman dan Hey-Cunningham, 2015).

c. Patofisiologi

1) Gangguan Hormon

Estrogen dan progesteron merupakan dua hormon yang memegang fungsi

sistem regulasi daripada jaringan endometrium, diperkirakan keduanya meregulasi

ekspresi dari ratusan gen yang berperan dalam berbagai fase siklus menstruasi

(Bulun, et al., 2012). Estradiol dan progesteron memicu perkembangan histologis

pada jaringan endometrium. Perubahan histologis akan terjadi pada jaringan

endometrium, yang terpapar estradiol dan progesteron, baik jaringan eutopik

maupun jaringan ektopik. Estrogen endogen fisiologis dalam tubuh manusia

disintesis dalam tiga bentuk utama yaitu estron (E1), estradiol atau 17β-estradiol

(E2), dan estriol (E3) (Cui, et al., 2013).

Dalam kondisi fisiologis, hormon estrogen diproduksi oleh sel folikel ovarium

321
secara siklik sepanjang siklus menstruasi (Hawkins dan Matzuk, 2010). Estradiol,

bentuk paling poten dari hormon estrogen, memegang peranan penting dalam

kemampuan sel endometrium untuk tetap bertahan dan berproliferasi secara ektopik

pada endometriosis. Menurut Bulun (2009), estradiol dapat mencapai lokasi lesi

endometriosis yang tumbuh secara ekstrauterin melalui beberapa jalur. Pertama,

estradiol yang diproduksi oleh sel folikel ovarium mencapai lokasi endometriosis

melalui sirkulasi. Kedua, enzim aromatase yang terdapat pada jaringan perifer

mendukung pengubahan androstenedion menjadi estron untuk kemudian

dikonversi lanjut menjadi estradiol dan selanjutnya estradiol menuju ke lokasi

endometriosis melalui sirkulasi. Hormon estrogen yang diproduksi diluar kelenjar

gonad dikenal sebagai estrogen ekstragonad (Bracht, et al., 2019). Ketiga,

kemampuan lesi endometriosis untuk mengubah kolesterol menjadi estradiol

karena mampu mengekspresi gen enzim aromatase.

Puncak kadar hormon progesteron terjadi pada fase luteal dalam siklus

menstruasi dan dapat menjadi penanda yang baik terhadap terjadinya ovulasi

(Marcinkowska, 2020). Kadar progesteron yang tinggi saat ovulasi berfungsi untuk

menurunkan ekspresi gen-gen yang berhubungan dengan replikasi DNA sehingga

saat siklus menstruasi memasuki awal fase sekretorik, proliferasi jaringan

endometrium dapat terhambat (Patel, et al., 2017). Pada endometriosis, terjadi

penurunan respon sel terhadap hormon progesteron. Hal ini dapat diketahui melalui

gen-gen yang berperan dalam regulasi siklus sel seperti Proliferating Cell Nuclear

Antigen (PCNA), Ki67, forkhead box protein O1 (FOXO1), dan Mitotic Arrest

322
Deficient-like 1 protein (MAD2LI), yang seharusnya menurun pada pada awal

fase sekretori pada wanita normal, mengalami peningkatan pada wanita dengan

penyakit endometriosis ringan hingga berat (Patel, et al., 2017).

Mekanisme pasti yang menjelaskan bagaimana penurunan respon sel terhadap

hormon progesteron masih belum diketahui. Pada beberapa pasien endometriosis

terjadi peningkatan ringan kadar hormon progesteron sistemik, sedangkan pasien

lainnya tidak menunjukkan perbedaan dengan kondisi normal (Patel, et al., 2017).

Sehingga, alterasi respon sel terhadap hormon progesteron pada penyakit

endometriosis disebabkan oleh faktor selain perubahan kadar hormon progesteron

sistemik. Resistensi terhadap progesteron merupakan hal yang terjadi pada

jaringan endometrium pasien dengan endometriosis, dibuktikan dengan adanya

perubahan pada ekspresi isoform reseptor progesteron PR-A dan PR-B, koaktivator

reseptor steroid, dan berbagai efektor lain yang dapat menurunkan efektivitas kerja

hormon progesterone pada sel endometrium (Patel, et al., 2017).

Selain peningkatan hormon estrogen yang berasal dari dalam tubuh, paparan

terhadap senyawa menyerupai estrogen dari luar juga merupakan salah satu faktor

yang dapat mendukung perkembangan endometriosis. Endocrine Disrupting

Chemicals atau EDC diartikan sebagai zat kimia eksogen yang dapat memberikan

pengaruh terhadap aspek apa saja dalam aksi hormon di tubuh manusia (Zoeller, et

al., 2012). Estrogen eksogen merupakan faktor potensial yang mendukung

perjalanan patogenesis endometriosis, sebagaimana dengan estrogen endogen yang

diproduksi oleh tubuh (Burney dan Giudice, 2012). Salah satu contoh EDC yang
323
dapat memicu perkembangan jaringan endometrial secara ekstra uterin adalah

2,3,6,8-tetrachlorodibenso-p-dioxin (TCDD) dan dioxin-like polychlorinated

bisphenyls (PCB) yang dibuktikan melalui penelitian pada monyet rhesus (Smarr,

et al., 2016).

Dioxin umumnya merupakan hasil samping dari aktivitas industrial, namun

juga dapat berasal dari fenomena alam contohnya erupsi vulkanik dan kebakaran

hutan. Lebih dari 90 persen paparan dioxin pada manusia terjadi melalui konsumsi

makanan, terutama daging, olahan susu, ikan, dan hasil laut (WHO, 2016).

Perlindungansumber pangan dari paparan dioxin secara langsung maupun sekunder

melalui rantai makanan perlu dilakukan untuk menghindari efek buruk yang dapat

ditimbulkan.

2) Reaksi Sistem Imun

Endometriosis merupakan sebuah kondisi inflamatorik kronik yang terjadi

berhubungan dengan adanya deposit jaringan endometrial yang tumbuh dan

berkembang secara ektopik (ekstrauterin). Dalam proses perkembangan jaringan

endometrium secara ekstrauterin, rangkaian reaksi imun dan inflamasi lokal

memegang peran penting untuk kebertahanan jaringan endometrium di lokasi

ekstrauterin. Keberadaan jaringan endometrium pada lokasi ektopik memicu reaksi

inflamasi lokal melalui rekrutmen sel- sel imun ke lokasi tersebut, sebagai respon

terhadap jaringan endometrium yang terinterpretasi sistem imun tubuh sebagai

jaringan rusak (Herington, et al., 2011). Keterlibatan reaksi inflamasi dalam

pekembangan penyakit endometriosis dibuktikan melalui kadar sitokin proinflamasi


324
IL-1β, IL-6, dan TNF-α serum pada wanita dengan endometriosis lebih tinggi

dibandingkan kelompok wanita sehat yang bertindak sebagai kontrol (Malutan, et

al., 2015). Peningkatan ekspresi protein sitokin IL-8, yang merupakan

kemoatraktan kuat terhadap sel neutrofil, juga dilaporkan meningkat pada lesi

endometriosis (Symons, et al., 2019).

Kegagalan sistem imun non spesifik (innate immune system) dalam

mengeliminasi jaringan endometrium merupakan peristiwa yang terjadi pada

endometriosis. Kegagalan ini dapat terjadidikarenakan menurunnya sitotoksisitas

sel Natural Killer (NK) dan sel limfosit T, menurunnya kemampuan fagosit sel

makrofag, dan meningkatnya jumlah sel neutrofil pada peritoneum (Herington, et

al., 2011). Selanjutnya, sitokin dan growth factor yang disekresi oleh sel-sel imun

tersebut, terdapat reaksi inflamasi yang dimediasi sistem imun yang, bersamaan

dengan lesi endometriosis, menghasilkan sitokin, growth factor, dan zat-zat

angiogenik dengan jumlah yang tinggi (Malutan, et al., 2015). Hal-hal tersebut akan

menunjang kemampuan bertahan sel endometrium secara ekstrauterin.

d. Manifestasi Klinis

Menurut pedoman (guidline) European Society of Human Reproduction and

Embryology (ESHRE) tentang manajemen endometriosis, riwayat keluhan yang

memiliki nilai guna untuk menjadi pedoman menentukan diagnosis endometriosis

diantaranya adalah dismenorea berat pada wanita infertile, dismenorea, nyeri pelvis

kronis (chronic pelvic pain), nyeri abdominopelvis, perdarahan berat saat menstruasi,

perdarahan pasca koitus dan/atau riwayat terdiagnosis kista ovarium, dispareunia


325
dalam (deep dyspaneuria), keluhan intestinal siklik (irritable bowel syndrome), dan

penyakit inflamatori pelvis (pelvic inflammatory disease) (Johnson, et al., 2017).

Adapun persentase kejadian gejala endometriosis pada penderitanya menurut

Konsensus Tatalaksana Nyeri Endometriosis adalah sebagai berikut:

Tabel 2.1: Gejala Klinis Pasien Endometriosis (HIFERI dan POGI, 2017)

Gejala Presentase (%)

Nyeri haid 62
Nyeri pelvis kronis 57
Dispareunia dalam 55
Keluhan intestinal siklik 48
Infertilitas 40

1) Nyeri Haid

Nyeri haid atau dismenorea dapat berupa kumpulan gejala seperti nyeri

abdomen, kram dan nyeri punggung (lumbago), yang berhubungan dengan

menstruasi. Nyeri haid pada penderita endometriosis terjadi akibat abnormalitas

pada kontraksi uterus dan keberadaan lesi yang memicu sensasi nyeri (Harada,

2013.

326
2) Nyeri Pelvis Kronis

Menurut European Association of Urology (EAU), nyeri pelvis kronis

atau chronic pelvic pain adalah nyeri kronis atau nyeri berkelanjutan pada

bagian tubuh yang berhubungan dengan pelvis (panggul) (Engeler, et al.,

2015). Nyeri yang dirasakan pasien dapat berupa sensasi nyeri

berkelanjutan selama enam bulan atau lebih atau berupa nyeri hilang

timbul secara siklik selama kurun waktu yang sama. Pemeriksaan fisik

lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui kondisi kesehatan tertentu yang

mendasari munculnya nyeri pelvis kronis pada pasien.

Pada endometriosis, nyeri pelvis kronis dapat muncul dikarenakan

perubahan sistem inervasi pada lokasi di sekitar lesi endometriosis (Coxon,

et al., 2018). Perubahan tersebut bervariasi tergantung pada kedalaman

susukan lesi dan letak lesi. Hal ini menjelaskan kemungkinan perbedaan

kualitas nyeri endometriosis dapat diantara pasien berdasarkan perbedaan

lokasi berkembangnya lesi. Endometrioma ovarium terinervasi secara

kurang baik dibandingkan endometriosis dengan tipe dan lokasi lainnya

(McKinnon, et al., 2012).

3) Dispareunia Dalam

Dispareunia merupakan istilah yang digunakan untuk keluhan nyeri

yang timbul saat pasien melakukan aktivitas seksual penetratif.

Dispareunia dan vaginismus selanjutnya disatukan sebagai gangguan

327
nyeri/penetrasi genito-pelvis dan tercantum dalam The Diagnostic and

Statistical Manual of Mental Disorders-5 (DSM-5) sebagai DSM-5 302.76

(F52.6): Genito-Pelvic Pain or Penetration Disorder (The American

College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG), 2019; American

Psychiatric Association, 2013).

Pengelompokan dispareunia sebagai superfisial dan dalam didasarkan

pada lokasi nyeri yang dirasakan pasien ketika terjadi penetrasi dalam

hubungan seksual (Orr, et al., 2019). Dispareunia superfisial dirasakan

pasien berupa nyeri pada introitus vagina saat awal penetrasi dan seringkali

membuat penetrasi tidak dapat dilanjutkan. Pada dispareunia dalam, rasa

nyeri sekitar rongga panggul akan dirasakan pasien saat penetrasi secara

dalam. Menurut etiologinya, dispareunia superfisial dapat disebabkan oleh

vestibulodynia, disfungsi diafragma pelvis, adanya dermatosis pada vulva,

dan sindrom genitourinaria pada wanita menopause (Orr, et al., 2019).

Dispareunia dalam merupakan salah satu tanda kardinal dari

endometriosis yang dapat ditemukan pada 55% penderita (Tabel 1). Meski

demikian, penanganan pasien dengan keluhan dispareunia dalam dengan

kecenderungan menderita endometriosis memerlukan pemeriksaan lanjut

untuk mengetahui kemungkinan penyebab lain yang tidak berhubungan

dengan endometriosis atau bahkan menjadi faktor komorbid endometriosis

(Orr, et al., 2019). Gejala dispareunia dalam yang dialami pasien

328
endometriosis timbul melalui mekanisme proliferasi serabut saraf melalui

jalur kenaikan ekspresi Nerve Growth Factor (NGF) pada lesi

endometiosis (Kajitani, et al., 2013). Selain melalui proliferasi serabut

saraf, diduga terdapat alterasi sistem sensitisasi rasa sakit dan alterasi

sistem myofasial yang terlibat (Orr, et al., 2018).

4) Keluhan Intestinal Siklik

Pasien dengan endometriosis dapat mengalami gejala-gejala

gastrointestinal, seperti nyeri pada abdomen, rasa kembung dan mual,

konstipasi, muntah, dan diare. Hal yang mungkin mendasari timbulnya

gejala tersebut yaitu fenomena hipersensitivitas viseral atau visceral

hypersensitivity. Hipersensitivitas viseral berkaitan dengan gejala

gastrointestinal merupakan perubahan sensasi pasien terhadap rangsangan

fisiologis, yang ditandai dengan kepekaan pasien terhadap peningkatan

stimulus mekanis seperti perubahan tekanan atau volume pada organ

pencernaan (Farzael, et al., 2016). Hipersensitivitas viseral dapat timbul

melalui mekanisme neuroimunologis yakni aktivasi sel mast dan pelepasan

mediator inflamasi disekitar saraf aferen perifer bagian distal,

menyebabkan peningkatan sensitivitas terhadap rangsangan mekanik dan

rasangan zat kimia seperti ATP dan bradikinin (Farzael, et al., 2016; Ek,

et al., 2015). Walaupun memiliki nilai diagnostik untuk memperkirakan

adanya endometriosis usus, gejala gastrointestinal tidak berhubungan

329
secara signifikan dengan lokasi berkembangnya lesi endometriosis (Ek, et

al., 2015).

Gejala gastrointestinal yang dirasakan pasien memungkinkan adanya

keterkaitan antara endometriosis dengan sindrom iritasi usus atau irritable

bowel syndrome. Gejala gastrointestinal dapat muncul pada penderita

endometriosis dengan atau tanpa faktor komorbid berupa sindrom iritasi

usus (Issa, et al., 2016). Keberadaan dua kondisi patologis tersebut secara

bersamaan berhubungan dengan meningkatnya rasa nyeri yang dirasakan

penderita, terutama saat sedang dalam masa menstruasi (Ek, et al., 2015).

5) Infertilitas

Infertilitas primer diartikan sebagai tidak berhasilnya suatu pasangan

unutk mendapatkan kehamilan sekurang-kurangnya dalam 12 bulan

berhubungan seksual secara teratur tanpa kontrasepsi, sedangkan

infertilitas sekunder adalah ketidakmampuan seseorang memiliki anak atau

mempertahankan kehamilannya. Infertilitas idiopatik mencakup pasangan

infertil yang memiliki hasil normal dalam pemeriksaan kesuburan yang

meliputi tes ovulasi, patensi tuba, dan analisis semen (HIFERI,

PERFITRI, IAUI, dan POGI, 2013).

Infertilitas yang dialami oleh penderita endometriosis dapat terjadi

karena berbagai faktor. Rasa sakit akibat dispareunia dapat menyebabkan

pasien menghentikan aktivitas hubungan seksual sehingga pembuahan

330
tidak terjadi (Wahl, et al., 2020). Perubahan fisiologis sistem reproduksi

yang timbul pada endometriosis juga mempengaruhi kesuburan pasien.

Kondisi inflamasi kronis menimbulkan gangguan pada proses ovulasi dan

mengurangi kualitas sperma yang sedang berada di tubuh wanita

endometriosis (Macer dan Taylor, 2012). Sementara itu, keberadaan lesi

edometriosis pada organ reproduksi, misalnya pada kasus endometrioma

ovarium, berpotensi memberikan hambatan mekanis pada pelepasan ovum

(Holoch dan Lessey, 2010).

Perubahan respon endometrium terhadap progesteron yang dihasilkan

pada fase luteal memungkinkan adanya penurunan reseptifitas pada

endometrium (Macer dan Taylor, 2012). Namun, sebuah studi dengan

perbandingan kelompok kontrol menunjukkan bahwa wanita dengan

endometriosis memiliki kemampuan implantasi normal meskipun dengan

tingkat fertilisasi yang lebih rendah (Singh, et al., 2014). Penyebab yang

lebih kuat atas kegagalan implantasi pada pasien endometriosis yaitu

ketidakmampuan embrio yang terbentuk untuk melakukan implantasi

(Gauché-Cazalis, et al., 2012), kemungkinan disebabkan oleh penurunan

kualitas gamet pembentuk sebagaimana telah dijelaskan pada bagian

sebelumnya.

e. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dapat dilakukan untuk memprediksi adanya

331
endometriosis dan menyimpulkan dugaan letak pertumbuhan jaringan

endometrium ektopik pada endometriosis di rongga pelvis.

f. Pemeriksaan Penunjang

Beberapa pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk

menegakkan diagnosis endometriosis pada wanita. Rekomendasi

pemeriksaan penunjang yang direkomendasikan oleh HIFERI dan POGI

(2017) diantaranya mencakup pemeriksaan penanda biokimiawi

(pemeriksaan IL-6, TNF-α, CA-125, caspase-3, caspase-9, dan matriks

metalloproteinase-9) dan pencitraan (ultrasonografi/USG transvaginal,

Magnetic Resonance Imaging/MRI, dan laparoskopi. Dalam penetapan

diagnosis endometriosis, laparoskopi merupakan baku emas dan dapat

ditunjang dengan hasil pemeriksaan histopatologi yang mendukung

(HIFERI dan POGI, 2017).

Penggunaan penanda biokimiawi sebagai pemeriksaan non-invasif

dalam penegakan diagnosis endometriosis didasarkan pada patofisologi

penyakit yang berkaitan dengan proses inflamasi. Sampel dapat diperoleh

dari serum atau plasma, urin, dan cairan endometrium atau cairan

menstruasi yang diambil melalui fornix posterior vagina atau serviks saat

dilakukannya pemeriksaan inspekulo (Fassbender, et al., 2015). Cairan

peritoneum juga dapat digunakan sebagai sampel untuk pemeriksaan yang

bersifat semi-invasif. Penanda biokimiawi lainnya yang tidak berkaitan

332
dengan proses inflamasi, seperti CA-125, merupakan indikator yang

digunakan untuk mendeteksi adanya massa dalam rongga pelvis serta

memiliki peran penting sebagai prediktor endometriosis pada pasien

(Karimi-Zarchi, et al., 2016).

Pencitraan lini pertama yang dapat dilakukan dalam penegakkan

diagnosis endometriosis yaitu pemeriksaan Ultrasonografi (USG)

Transvaginal (HIFERI dan POGI, 2017). Pemeriksaan Magnetic

Resonance Imaging (MRI) dikategorikan sebagai pemeriksaan lini kedua

dan bersifat lebih superior dibandingkan USG Transvaginal dikarenakan

kemampuannya yang lebih baik dalam visualisasi endometriosis deep

infiltrative (Foti, et al., 2018).

g. Diagnosis

Diperlukan penggalian informasi riwayat kesehatan dan pemeriksaan

fisik secara teliti untuk menetapkan diagnosis endometriosis pada pasien.

Dokter harus menyingkirkan kemungkinan penyebab-penyebab non-

ginekologis yang dapat melatarbelakangi munculnya keluhan utama nyeri

panggul yang muncul pada pasien, seperti masalah pencernaan atau saluran

kemih (Armstrong, 2011). Untuk mendukung tujuan tersebut, dapat

dilakukan pemeriksaan penunjang yang tepat.

Diagnosis definitif endometriosis dapat dicapai melalui pemeriksaan

histologis lesi endometriosis yang didapatkan melalui tindakan operatif

333
pengangkatan massa. Secara mikroskopis, pada lesi endometriosis dapat

ditemukan gambaran kelenjar endometrium (sel-sel epitel Müllerian, dapat

disertai atipia atau metaplasia), stroma endometrium, dan tanda-tanda

pendarahan kronis yang meliputi timbunan (laden) hemosiderin atau

adanya sel busa (foamy machrophage) (Han, et al., 2020).

Untuk menilai keparahan atau severitas penyakit, American Society

of Reproductive Medicine (ASRM) membagi endometriosis menjadi empat

derajat keparahan dengan mempertimbangkan letak, luas, kedalaman

implantasi sel endometrium ektopik, dan ukuran lesi serta ada tidaknya

perlengketan lesi pada struktur disekitarnya (Johnson, et al., 2017).

Keempat derajat keparahan endometriosis berturut-turut secara bertingkat

yaitu minimal, ringan (mild), sedang (moderate), dan berat (severe).

334
Gambar 2.1: Derajat keparahan (severitas) endometriosis (Johnson,

et al., 2017).

h. Tatalaksana

Tatalaksana endometriosis sebagai penyakit kronis terdiri atas tatalaksana

konservatif nyeri endometriosis dan tatalaksana bedah nyeri endometriosis

(HIFERI dan POGI, 2017). Dalam pemilihan tatalaksana untuk pasien, dokter

harus mempertimbangkan kondisi pasien seperti usia, ada atau tidaknya

335
massa, dan keinginan pasien untuk memiliki keturunan.

Pelaksanaan terapi konservatif endometriosis dilakukan untuk

mengurangi gejala berkaitan dengan endometriosis yang muncul pada

penderita. Terapi supresi hormon menjadi pilihan untuk mengobati

endometriosis dan meredakan gejala yang timbul pada pasien (Dunselman, et

al., 2014), mengingat bahwa hormon-hormon seperti hormon esterogen

memiliki pengaruh besar dalam perjalanan penyakit. Regimen terapi

hormonal yang dapat digunakan diantaranya pil kontrasepsi kombinasi,

progestin, agonis GnRH, danazol, inhibitor enzim aromatase, dan anti

progesteron (HIFERI dan POGI, 2017).

Prosedur pembedahan dalam tatalaksana nyeri endometriosis dapat

bersifat definitif maupun konservatif (HIFERI dan POGI, 2017). Manajemen

bedah yang bersifat konservatif diutamakan untuk pasien yang masih dalam

usia reproduktif dan ingin hamil di masa depan atau mencegah induksi

menopause dini. Sedangkan tindakan bedah yang bersifat definitif dilakukan

melalui ooforektomi bilateral untuk menginduksi menopause serta

pengangkatan uterus dan tuba falopii disertai eksisi seluruh lesi endometriosis

(HIFERI dan POGI, 2017).

336
IUFD

1. Pengertian IUFD
Kematian janin dalam rahim adalah tidak adanya tanda kehidupan janin dan
belum dikeluarkannya janin dengan sempurna dari ibunya. (Nugroho,2017)
Intrauterine Fetal Death(IUFD) atau kematian janin adalah janin yang mati
dalam rahim dengan berat badan 500 gram atau lebih atau kematian janin dalam
rahim pada kehamilan 20 minggu atau lebih. Kematian janin merupakan hasil
akhir dari gangguan pertumbuhan janin, gawat janin, atau infeksi yang tidak
terdiagnosis sebelumnya sehingga tidak diobati. (Saifudin, 2010).
The Center for Disease Control and Prevention dan The Vital Statistic
Reports kematian janin ialah janin yang meninggal setelah 19 minggu atau jika
usia gestasional tidak diketahui, berat sama dengan atau lebih dari 350 gram(
Cunningham et all, 2010)
Menurut WHO kematian janin adalah kematian janin Medan pada waktu
lahir dengan berat badan < 1000 gram. Menurut Wiknjosastro (2005)dalam buku
ilmu kebidanan,kematian janin dapat di bagi dalam 4 golongan, yaitu :
1) Golongan I : Kematian sebelum masa kehamilan mencapai 20 minggu
penuh.
2) Golongan II : Kematian sesudah ibu hamil 20 sampai 28 minggu.
3) Golongan III : Kematian sesudah masa kehamilan lebih 28 minggu.
4) Golongan IV : Kematian yang tidak dapat di golongkan pada ketiga
golongan

Etilogi IUFD

Menurut Mochtar (2004),lebih dari 50% kasus, etiologi kematian janin


dalam kandungan tidak di temukan atau belum diketahui penyebabnya dengan
pasti. Beberapa penyebab yang bisa mengakibatkan kematian janin dalam
kandungan,antara lain :

a. Perdarahan : plasenta previa dan solusio plasenta.


b. Preeclampsi dan eklampsia
c. Penyakit-penyakit kelainan darah
d. Penyakit infeksi dan penyakit menular
e. Penyakit saluran kencing
f. Penyakit endokrin : Diabetes Melitus
g. Malnutrisi

337
Factor Resiko IUFD
Faktor resiko di tinjau dari berbagai factor, yaitu factor :
1. Ibu
 Umur terlalu muda/tua 64 Ibu menikah di bawah 20 tahun dan diatas
35 tahun dan kemungkinan ibu hamil di luar pernikahan.
 Paritas Banyaknya jumlah anak dan kemungkinan masalah yang
terjadi pada anak pertama.
 Pemeriksaan antenatal (anc) Setiap wanita hamil menghadapi resiko
komplikasi yang mengancam jiwa,oleh karena itu setiap wanita hamil
memerlukan sedikitnya 4 kali kunjungan selama periode antenatal.
 Penyakit/penyulit ibu Ibu mengalami penyakit anemia,
preeklampsi/eklampsi, solusio plasenta, plasenta previa, diabetes
mellitus,resus isoimunisasi, infeksi dalam kehamilan, letak lintang.
2. Janin
 Kelainan Kongenital Kelainan congenital merupakan kelainan dalam
pertumbuhan struktur bayi yang timbul sejak kehidupan hasil
konsepsi sel telur.
 Infeksi intranatal Kuman atau virus dari vagina naik dan masuk ke
dalam rongga amnion setelah ketuban pecah. Infeksi dapat pula terjadi
walaupun ketuban masih utuh,misalnya pada partus lama dan
seringkali dilakukan pemeriksaan vagina.
3. Tali pusat
 Kelainan insersi tali pusat Dalam keadaan tertentu terjadi insersi tali
pusat plasenta battledore dan insersi velamentosa. Bahaya insersi
velamentosa bila terjadi vasa previa, yaitu pembuluh darahnya
melintasi kanalis servikalis, sehingga saat ketuban pecah pembuluh
darah yang berasal dari janin ikut pecah.
 Simpul tali pusat Kematian janin dalam rahim di akibatkan terjadinya
peluntiran pembuluh darah umblikalis, karena selei Whartonnya
sangat tipis. Peluntiran pembuluh darah tersebut yang menghentikan
aliran darah ke janin sehingga terjadi kematian janin dalam rahim.
 Lilitan tali pusat Gerakan janin dalam rahim yang aktif pada tali pusat
yang panjang besar kemungkinan dapat terjadi lilitan tali pusat.
Tanda-tanda IUFD

338
1. Janin Tidak Bergerak Ibu hamil harus peka dengan gerakan janin yang ada di
dalam rahim. Jika janin yang ada di dalam kandungan tidak bergerak sama
sekali selama 8 sampai dengan 12 jam segera bawa ke rumah sakit untuk
memeriksakan kandungannya.
2. Detak Jantung Menghilang Jika diperiksa detak jantung janin tidak ada atau
menghilang bisa dipastikan bahwa kondisi janin meninggal di dalam
kandungan. Jika janin tidak bergerak di dalam kandungan hal pertama yang
dilakukan oleh pihak medis adalah memeriksa detak jantung janin.
3. Pendarahan Hebat Ibu hamil yang mengalami pendarahan hebat bisa menjadi
suatu pertanda jika janin meninggal di dalam kandungan.
4. Kram Atau Sakit Perut Ibu yang saat hamil merasakan kram atau sakit perut
yang semakin parah dari waktu ke waktu bisa jadi kehamilannya bermasalah.
Oleh sebab itu saat kram atau sakit perut hebat ibu hamil harus segera
memeriksakan kondisi kandungannya.
Bahaya IUFD
1. Infeksi
2. Perdarahan
3. Kematian
Penanganan IUFD
1. Kuret/Vakum Tindakan kuret atau vakum bisa dilakukan jika janin yang ada di
dalam kandungan berusia 12 minggu atau kurang dari 12 minggu.
2. Obat Pelunak Jaringan Jika usia kehamilan di atas 12 minggu dokter akan
memberikan obat pelunak jaringan sehingga janin menjadi lunak dan bisa keluar
dengan sendirinya. Obat pelunak jaringan itu juga bisa membuka jalan lahir bayi
sehingga janin bisa mudah keluar. Dokter akan memeriksa rahim apakah sudah
bersih atau belum. Jika belum bersih dari sisa jaringan maka dokter akan
melakukan tindakan kuret.
3. Melahirkan Secara Normal Jika janin meninggal di dalam kandungan dan berusia
lebih dari 20 minggu dokter akan menginduksi ibu untuk bisa melahirkan secara
normal. Melahirkan secara normal bisa dilakukan jika letak janin sudah berada
di atas rongga panggul.
4. Caesar Langkah terakhir untuk mengatasi janin yang meninggal di dalam
kandungan adalah dengan operasi caesar. Hal itu dilakukan jika posisi janin tidak
mapan atau tidak berada di atas rongga panggul. Jika posisi sungsang atau oblig
mengeluarkan janin harus menggunakan bedah caesar.

Robekan Perineum

339
1. Pengertian

Luka perinium adalah perlukaan yang terjadi akibat persalinan pada bagian
perinium dimana muka janin menghadap (Prawirohardjo S,1999).Robekan
perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak jarang juga
pada persalinan berikutnya. Robekan perineum umumnya terjadi di garis tengan
dan bisa menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis
lebih kecil daripada biasa, kepala janin melewati pintu panggul bawah dengan
ukuran yang lebih besar daripada sirkumferensia suboksipito bregmatika Serabut
otot berinsersi pada tempat-tempat berikut ini: di sekitar vagina dan rektum,
membentuk sfingter yang efisien untuk keduanya, pada persatuan garis tengah
antara vagina dan rektum, pada persatuan garis tengah di bawah rektum dan pada
tulang ekor. Diafragma urogenitalis terletak di sebelah luar diafragma pelvis, yaitu
di daerah segitiga antara tuberositas iskial dan simpisis phubis. Diafragma
urogenital terdiri dari muskulus perinialis transversalis profunda, muskulus
konstriktor uretra dan selubung fasia interna dan eksterna (Cunningham, 1995).
Luka perinium, dibagi atas 4 tingkatan :

a. Tingkat I : Robekan hanya pada selaput lender vagina dengan atau tanpa
mengenai kulit perinium
b. Tingkat II : Robekan mengenai selaput lender vagina dan otot perinea
transversalis, tetapi tidak mengenai spingter ani
c. Tingkat III : Robekan mengenai seluruh perinium dan otot spingter ani

d. Tingkat IV : Robekan sampai mukosa rectum.

Tabel 1
Derajat Laserasi Daerah yang Terkena Gambar
Perineum
Derajat
Laserasi
Prineum
Laserasi perineum Robekan pada selaput lendir
derajat satu vagina dengan atau tanpa
mengenai kulit perineum

Laserasi perineum Robekan sudah mencapai


derajat dua otot perineum

340
Laserasi perineum Robekan sudah mencapai
derajat tiga otot spingter ani

perineum derajat Robekan telah mencapai


empat mukosa rektum

(Sukarni K & ZH, 2013)

2. Robekan Serviks

Robekan serviks paling sering terjadi pada jam 3 dan 9. bibir depan dan bibir
belakang servik dijepit dengan klem fenster kemudian serviks ditarik sedidikit
untuk menentukan letak robekan dan ujung robekan. Selanjutnya robekan dijahit
dengan catgut kromik dimulai dari ujung untuk menghentikan perdarahan.

3. Rupture Uteri

Ruptur uteri merupakan peristiwa yang paling gawat dalam bidang


kebidanan karena angka kematiannya yang tinggi. Janin pada ruptur uteri yang
terjadi di luar rumah sakit sudah dapat dipastikan meninggal dalam kavum
abdomen. Ruptura uteri masih sering dijumpai di Indonesia karena persalinan
masih banyak ditolong oleh dukun. Dukun seagian besar belum mengetahui
mekanisme persalinan yang benar, sehingga kemacetan proses persalinan
dilakukan dengan dorongan pada fundus uteri dan dapat mempercepat terjadinya
rupturauteri. Menurut Sarwono Prawirohardjo pengertian ruptura uteri adalah
robekan atau diskontinuitas dinding rahim akiat dilampauinya daya regang mio
metrium. Penyebab ruptura uteri adalah disproporsi janin dan panggul, partus
macet atau traumatik. Ruptura uteri termasuk salahs at diagnosis banding apabila
wanita dalam persalinan lama mengeluh nyeri hebat pada perut bawah, diikuti
dengan syok dan perdarahan pervaginam. Robekan tersebut dapat mencapai
kandung kemih dan organ vital di sekitarnya. Resiko infeksi sangat tinggi dan
angka kematian bayi sangat tinggi pada kasus ini. Ruptura uteri inkomplit yang
menyebabkan hematoma pada para metrium, kadang-kadang sangat sulit untuk
segera dikenali sehingga menimbulkan komplikasi serius atau bahkan kematian.
Syok yang terjadi seringkali tidak sesuai dengan jumlah darah keluar karena
perdarhan heat dapat terjadi ke dalam kavum abdomen. Keadaan-keadaan seperti
ini, sangat perlu untuk diwaspadai pada partus lama atau kasep. Ruptur Uteri
adalah robekan atau diskontinuita dinding rahim akibat dilampauinya daya regang
miomentrium. ( buku acuan nasional pelayanan kesehatan maternal dan neonatal

341
) Rupture uteri adalah robeknya dinding uterus pada saat kehamilan atau dalam
persalinan dengan atau tanpa robeknya perioneum visceral. (Obstetri dan
Ginekologi ).

Ruptur uteri dapat dibagi menurut beberapa cara :

a. Menurut waktu terjadinya : Ruptur Uteri Gravidarum dan waktu sedang


hamil

b. Sering lokasinya pada korpus : Ruptur Uteri Durante Partum waktu


melahirkan anak Ini yang terbanyak.
c. Menurut lokasinya:

1) Korpus uteri, ini biasanya terjadi pada rahim yang sudah pernah
mengalami operasi seperti seksio sesarea klasik ( korporal ),
miemoktomi.
2) Segmen bawah rahim ( SBR ), ini biasanya terjadi pada partus yang
sulit dan lama tidak maju, SBR tambah lama tambah regang dan
tipis dan akhirnya terjadilah ruptur uteri yang sebenarnya.
3) Serviks uteri ini biasanya terjadi pada waktu melakukan ekstraksi
forsipal atau versi dan ekstraksi sedang pembukaan belum lengkap.
4) Kolpoporeksis, robekan-robekan di antara serviks dan vagina

d. Menurut robeknya peritoneum :

1) Ruptur Uteri Kompleta : robekan pada dinding uterus berikut


peritoneumnya ( perimetrium ) ; dalam hal ini terjadi hubungan langsung
antara rongga perut dan rongga uterus dengan bahaya peritonitis.
2) Ruptur Uteri Inkompleta : robekan otot rahim tanpa ikut robek
peritoneumnya.

Perdarahan terjadi subperitoneal dan bisa meluas ke lig.latum

e. Menurut etiologinya ruptur uteri spontanea menurut etiologinya : 1) Karena


dinding rahim yang lemah dan cacat 2) Bekas seksio sesarea.
3) Bekas miomectomia.

4) Bekas perforasi waktu keratase.

f. Pembagian rupture uteri menurut robeknya dibagi menjadi :

1) Ruptur uteri kompleta.

a) Jaringan peritoneum ikut robek.

b) Janin terlempar ke ruangan abdomen.

342
c) Terjadi perdarahan ke dalam ruangan abdomen.

d) Mudah terjadi infeksi.

2) Ruptura uteri inkompleta

a) Jaringan peritoneum tidak ikut robek.

b) Perdarahan ke dalam ruangan abdomen tidak terjadi

4. Tanda Dan Gejala

a. Robekan jalan lahir

Tanda Gejala yang selalu ada

1) Pendarahan segera

2) Darah segar yang mengalir segera setelah bayi lahir.

3) Uterus kontraksi baik

4) Plasenta baik

Gejala dan tanda yang kadang-kadang ada :

1) Pucat

2) Lemah

3) Menggigil

4) Rupture Uteri : Tanda dan gejala ruptur uteri dapat terjadi secara dramatis
atau tenang.
5. Penatalaksanaan Medis

a. Penjahitan Robekan Serviks

1) Tinjau kembali prinsip perawatan umum dan oleskan larutan anti septik ke
vagina dan serviks
2) Berikan dukungan dan penguatan emosional. Anastesi tidak dibutuhkan
padasebasian besar robekan serviks. Berikan petidin dan diazepam melalui
IV secara perlahan (jangan mencampur obat tersebut dalam spuit yang
sama) atau gunakan ketamin untuk robekan serviks yang tinggi dan lebar
3) Minta asisten memberikan tekanan pada fundus dengan lembut untuk
membantu mendorong serviks jadi terlihat
4) Gunakan retraktor vagina untuk membuka serviks, jika perlu

5) Pegang serviks dengan forcep cincin atau forcep spons dengan hati–hati.
Letakkan forcep pada kedua sisi robekan dan tarik dalam berbagai arah

343
secara perlahan untuk melihat seluruh serviks. Mungkin terdapat beberapa
robekan.
6) Tutup robekan serviks dengan jahitan jelujur menggunakan benang catgut
kromik atau poliglokolik 0 yang dimulai pada apeks(tepi atas robekan)
yang seringkali menjadi sumber pendarahan.
7) Jika bagian panjang bibir serviks robek, jahit dengan jahitan jelujur
menggunakan benang catgut kromik atau poliglikolik 0.
8) Jika apeks sulit diraih dan diikat, pegang apeks dengan forcep arteri atau
forcep cincin. Pertahankan forcep tetap terpasang selama 4 jam. Jangan
terus berupaya mengikat tempat pendarahan karena upaya tersebut dapat
mempeberat pendarahan. Selanjutnya :
a) Setelah 4 jam, buka forcep sebagian tetapi jangan dikeluarkan.

b) Setelah 4 jam berikutnya, keluarkan seluruh forcep

b. Penjahitan Robekan Vagina Dan Perinium.

1) Penjahitan Robekan Derajat I Dan II, sebagian besar derajat I menutup


secara spontan tanpa dijahit.

a) Tinjau kembali prinsip perawatan secara umum.

b) Berikan dukungan dan penguatan emosional. Gunakan anastesi lokal


dengan lignokain. Gunakan blok pedendal, jika perlu.
c) Minta asisten memeriksa uterus dan memastikan bahwa uterus
berkontraksi.
d) Periksa vagina, perinium, dan serviks secara cermat.

e) Jika robekan perinium panjang dan dalam, inspeksi untuk memastikan


bahwa tidak terdapat robekan derajat III dan IV.
f) Masukkan jari yang memakai sarung tangan kedalam anus.

g) Angkat jari dengan hati-hati dan identifikasi sfingter.


h) Periksa tonus otot atau kerapatan sfingter

i) Ganti sarung tangan yang bersih, steril atau DTT

j) Jika spingter cedera, lihat bagian penjahitan robekan derajat III dan
IV.

k) Jika spingter tidak cedera, tindak lanjuti dengan penjahitan

2) Penjahitan Robekan Perineum Derajat Iii Dan IV, Jahit robekan diruang
operasi

344
a) Perbaikan rupture uterus

b) Rupture sampai serviks dan vagina

c) Rupture meluas secara lateral sampai arteria uterina

d) Rupture dengan hematoma ligamentum latum uteri

e) Penjahitan robekan uterus

Induksi Persalinan
a. Definisi Induksi Persalinan
Induksi persalinan adalah upaya melahirkan janin menjelang aterm dalam
keadaan belum ada tanda – tanda persalinan (belum inpartu) dengan kemungkinan
janin dapat hidup diluar kandungan (umur diatas 28 minggu) (Manuaba, 2008).
Induksi persalinan dimaksudkan sebagai stimulasi kontraksi sebelum
mulai terjadipersalinan spontan, dengan atau tanpa pecah ketuban. Augmentasi
adalah stimulasi kontraksi spontan yang dianggap tidak adekuat karena gagalnya
pembukaan serviks dan penurunan janin (Leveno, 2009).
Induksi persalinan adalah tindakan atau langkah untuk memulai persalinan
yang sebelumnya belum terjadi, bisa secara mekanik maupun kimiawi
(farmakologik) (Nugroho, T,2012).
b. Indikasi Induksi Persalinan
Indikasi dilakukan induksi persalinan yaitu ketuban pecah dini (KPD),
kehamilan lewat waktu, oligohidramnion, korioamnionitis, preeklampsi berat,
hipertensi akibat kehamilan, intrauterine fetal death (IUFD) dan pertumbuhan
janin terhambat (PJT), insufisiensi plasenta, perdarahan antepartum, dan
umbilical abnormal arteri doppler (Cunningham 2013, Medforth, 2014).
c. Kontraindikasi Induksi Persalinan
Kontraindikasi induksi persalinan serupa dengan meniadakan
kemungkinan persalinan spontan. Kontra indikasi pada ibu diantaranya riwayat
seksio sesarea klasik atau bedah uterus dan plasenta previa. Kontraindikasi pada
ibu juga berkaitan dengan ukuran ibu, anatomi panggul, dan beberapa penyakit
medis sepertiinfeksi herpes genital aktif. Sedangkan kontraindikasi pada janin
antara lain makrosomia, hidrosefalus, malpresentasi atau gawat janin
(Cunningham, 2013).
d. Komplikasi atau Risiko Melakukan Induksi Persalinan
Komplikasi dapat ditemukan selama pelaksanaan induksi persalinan
maupun setelah bayi lahir. Komplikasi yang dapat ditemukan antara lain : atonia
uteri, hiperstimulasi, fetal distress, prolaps tali pusat, rupture uteri, solusio

345
plasenta, hiperbilirubinemia, hiponatremia, infeksi intra uterin, perdarahan post
partum, kelelahan ibu dan krisis emosional, serta dapat meningkatkan kelahiran
sesar pada induksi elektif (Cunningham, 2013 ; Winkjosastro, 2008).
e. Persyaratan Induksi Persalinan
Untuk dapat melaksanakan induksi persalinan perlu dipenuhi beberapa
kondisi/persyaratan sebagai berikut:
1) Tidak ada disproporsi sefalopelvik (CPD)
2) Sebaiknya serviks uteri sudah matang, yakni serviks sudah mendatar
dan menipis, hal ini dapat dinilai menggunakan tabel skor bishop. Jika
kondisi tersebut belum terpenuhi maka kita dapat melakukan
pematangan serviks dengan menggunakan metode farmakologis atau
dengan metode mekanis.
3) Presentasi harus kepala, atau tidak terdapat kelainan letak janin.
4) Sebaiknya kepala janin sudah mulai turun kedalam rongga panggul
(Cunningham, 2013).
f. Metode Induksi
Ada dua cara yang biasanya dilakukan untuk memulai proses induksi,
yaitu metode farmakologis dan mekanis. Namun pada dasarnya, kedua cara ini
dilakukan untuk mengeluarkan zat prostaglandin yang berfungsi sebagai zat
penyebab otot rahim berkontraksi.
1) Secara farmakologis
a) Prostaglandin E2 (PGE2)
PGE2 tersedia dalam bentuk gel atau pesarium yang dapat
dimasukkan intravaginal atau intraserviks. Gel atau pesarium ini yang
digunakan secara lokal akan menyebabkan pelonggaran kolagen serviks dan
peningkatan kandungan air didalam jaringan serviks. PGE2 memperlunak
jaringan ikat serviks dan merelaksasikan serabut otot serviks, sehingga
mematangkan serviks. PGE2 ini pada umumnya digunakan untuk
mematangkan serviks pada wanita dengan nilai bishop <5 dan digunakan
untuk induksi persalinan pada wanita yang nilai bishopnya antara 5 – 7.
Efek samping setelah pemberian prostaglandin E2 pervaginam adalah
peningkatan aktivitas uterus, menurut American College of Obstetricians and
Gynecologists (1999) mendeskripsikannya sebagai berikut:
(1) Takisistol uterus diartikan sebagai ≥ 6 kontraksi dalam periode
10 menit.
(2) Hipertoni uterus dideskripsikan sebagai kontraksi tunggal
yang berlangsung lebih lama dari 2 menit.

346
(3) Hiperstimulasi uterus jika salah satu kondisi menyebabkan
pola denyut jantung janin yang meresahkan. Karena
hiperstimulasi yang dapat menyebabkan masalah bagi janin
bisa berkembang jika prostaglandin diberikan sebelum adanya
persalinan spontan, maka penggunaannya tidak
direkomendasikan. Kontra indikasi untuk agen prostaglandin
secara umum meliputi asma, glaucoma, peningkatan tekanan
intra - okular (Cunningham, 2013).
b) Prostaglandin E1 (PGE1)
Misoprostol atau cytotec adalah PGE1 sintetik, diakui sebagai tablet
100 atau 200 μg. Obat ini telah digunakan secara off label (luas) untuk
pematangan servik prainduksi dan dapat diberikan per oral atau per vagina.
Tablet ini lebih murah daripada PGE2 dan stabil pada suhu ruangan. Sekarang
ini, prostaglandin E1 merupakan prostaglandin pilihan untuk induksi
persalinan atau aborsi pada Parkland Hospital dan Birmingham Hospital di
University of Alabama (Cunningham, 2013).
Misoprostol oral maupun vagina dapat digunakan untuk pematangan
serviks atau induksi persalinan. Dosis yang digunakan 25 – 50 μg dan
ditempatkan di dalam forniks posterior vagina. 100 μg misoprostol per oral
atau 25 μg misoprostol pervagina memiliki manfaat yang serupa dengan
oksitosin intravena untuk induksi persalinan pada perempuan saat atau
mendekati cukup bulan, baik dengan rupture membrane kurang bulan
maupun serviks yang baik. Misoprostol dapat dikaitkan dengan peningkatan
angka hiperstimulasi, dan dihubungkan dengan rupture uterus pada wanita
yang memiliki riwayat menjalani seksio sesaria. Selain itu induksi dengan
PGE1, mungkin terbukti tidak efektif dan memerlukan augmentasi lebih
lanjut dengan oksitosin, dengan catatan jangan berikan oksitosin dalam 8 jam
sesudah pemberian misoprostol. Karena itu, terdapat pertimbangan mengenai
risiko, biaya, dan kemudahan pemberian kedua obat, namun keduanya cocok
untuk induksi persalinan. Pada augmentasi persalinan, hasil dari penelitian
awal menunjukkan bahwa misoprostol oral 75 μg yang diberikan dengan
interval 4 jam untuk maksimum dua dosis, aman dan efektif (Cunningham,
2013)
c) Pemberian oksitosin intravena
Tujuan induksi atau augmentasi adalah untuk menghasilkan aktifitas
uterus yang cukup untuk menghasilkan perubahan serviks dan penurunan
janin. Sejumlah regimen oksitosin untuk stimulasi persalinan

347
direkomendasikan oleh American College of Obstetricians and Gynecologists
(1999). Oksitosin diberikan dengan menggunakan protokol dosis rendah (1 –
4 mU/menit) atau dosis tinggi (6–40mU/menit), awalnya hanya variasi
protokol dosis rendah yang digunakan di Amerika Serikat, kemudian
dilakukan percobaan dengan membandingkan dosis tinggi, dan hasilnya
kedua regimen tersebut tetap digunakan untuk induksi dan augmentasi
persalinan karena tidak ada regimen yang lebih baik dari pada terapi yang lain
untuk memperpendek waktu persalinan (Cunningham, 2013).
Oksitosin digunakan secara hati-hati karena gawat janin dapat terjadi
dari hiperstimulasi. Walaupun jarang, rupture uteri dapat pula terjadi, lebih-
lebih pada multipara. Untuk itu senantiasa lakukan observasi yang ketat pada
ibu yang mendapat oksitosin. Dosis efektif oksitosin bervariasi, kecepatan
infus oksitosin untuk induksi persalinan dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2. 1 Regimen Oksitosin Untuk Stimulasi Persalinan

Dosis Awal Penaikkan Dosis Interval


Regimen
(mU/menit) (mU/menit) (menit)

0,5 – 1,5 1 15 – 40
Rendah
2 4,8,12,16,20,25,30 15

4 4 15
Tinggi 4,5 4,5 15 – 30
6 6 20 – 40
Sumber :(Cunningham, 2013).

Jika masih tidak terbentuk kontraksi yang baik pada dosis maksimal,
lahirkanlah janin melalui sectio caesaria. Dalam pemberian infuse oksitosin,
selama pemberian ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh petugas
kesehatan yaitu:

(1) Observasi ibu selama mendapatkan infuse oksitosin secara


cermat.
(2) Jika infuse oksitosin menghasilkan pola persalinan yang baik,
pertahankan kecepatan infuse yang sama sampai pelahiran.
(3) Ibu yang mendapat oksitosin tidak boleh ditinggal

sendiri.

348
(4) Jangan menggunakan oksitosin 10 unit dalam 500 ml (20
IU/ml) pada multigravida dan pada ibu dengan riwayat sectio
caesaria.
(5) Peningkatan kecepatan infus oksitosin dilakukan hanya
sampai terbentuk pola kontraksi yang baik, kemudian
pertahankan infus pada kecepatan tersebut.
Mekanisme kerja oksitosin akan menyebabkan kontraksi otot polos
uterus sehingga sering digunakan dalam dosis farmakologi untuk
menginduksi persalinan. Sebelum bayi lahir pada proses persalinan yang
timbul spontan ternyata rahim sangat peka terhadap oksitosin, dengan dosis
beberapa miliunit permenit intra vena, rahim yang hamil sudah berkontraksi
demikian kuat sehingga seakan-akan dapat membunuh janin yang ada
didalamnya atau merobek rahim itu sendiri atau kedua-duanya (Granner,
2008).

Oksitosin merangsang kontraktilitas uterus, oleh karena itu hormon ini


digunakan untuk memperlancar persalinan, tetapi tidak akan memulai
persalinan kecuali kehamilan sudah aterm. Didalam uterus terdapat reseptor
oksitosin 100 kali lebih banyak pada kehamilan aterm dibandingkan dengan
kehamilan awal. Jumlah estrogen yang meningkat pada kehamilan aterm
dapat memperbesar jumlah reseptor oksitosin. Begitu proses persalinan
dimulai, serviks akan berdilatasi sehingga memulai refleks neural yang
menstimulasi pelepasan oksitosin dan kontraksi uterus selanjutnya (Granner,
2008).

2) Secara mekanis
a) Kateter Foley
Kateter foley merupakan alternatif yang efektif disamping pemberian
prostaglandin untuk mematangkan serviks dan induksi persalinan. Kateter
foley diletakkan atau dipasang melalui kanalis servikalis (os seviks interna)
di dalam segmen bawah uterus (dapat diisi sampai 100 ml). Tekanan ke arah
bawah yang diciptakan dengan menempelkan kateter pada paha dapat
menyebabkan pematangan serviks. Modifikasi cara ini, yang disebut dengan
extra-amnionic saline infusion (EASI), cara ini terdiridari infuse salin kontinu
melalui kateter ke dalam ruang antara os serviks interna dan membran
plasenta. Teknik ini telah dilaporkan memberikan perbaikan yang signifikan
pada skor bishop dan mengurangi waktu induksi ke persalinan (Cunningham,
2013).

349
Penempatan kateter, dengan atau tanpa infuse salin yang
continue,menghasilkan perbaikan favorability serviks dan sering kali
menstimulasi kontraksi. Sherman dkk. (1996), merangkum hasil dari 13
percobaan dengan metode ini menghasilkan peningkatan yang cepat pada
skor bishop dan persalinan yang lebih singkat. Chung dkk. (2003) secara acak
mengikutsertakan 135 wanita untuk menjalani teknik induksi persalinan
dengan kateter foley ekstra amnion dengan inflasi balon sampai 30 ml juga
menghasilkan waktu rata-rata induksi persalinan memendek secara nyata
(Cunningham, 2013).
Adapun teknik pemasangan kateter foley yaitu sebagai berikut:
(1) Pasang speculum pada vagina
(2) Masukkan kateter foley pelan-pelan melalui servik dengan
menggunakan cunam tampon.
(3) Pastikan ujung kateter telah melewati ostium uteri internum.
(4) Gelembungkan balon kateter dengan memasukkan 30 ml
air.
(5) Gulung sisa kateter dan letakkan dalam vagina.
(6) Diamkan kateter dalam vagina sampai timbul kontraksi uterus
atau maksimal 12 jam.
(7) Kempiskan balon kateter sebelum mengeluarkannya dan
kemudian lanjutkan dengan infuse oksitosin.
b) Dilator Servikal Higroskopik (Batang Laminaria)
Dilatasi serviks dapat juga ditimbulkan menggunakan dilator
serviks osmotik higroskopik. Teknik yang dilakukan yakni dengan batang
laminaria dan pada keadaan dimana serviks masih belum membuka.
Dilator mekanik ini telah lama berhasil digunakan jika dimasukkan
sebelum terminasi kehamilan, tetapi kini alat ini juga digunakan untuk
pematangan serviks sebelum induksi persalinan. Pemasangan laminaria
dalam kanalis servikalis dan dibiarkan selama 12-18 jam, kemudian jika
perlu dilanjutkan dengan infus oksitosin (Cunningham, 2013).
c) Stripping membrane
Yang dimaksud dengan stripping membrane yaitu cara atau teknik
melepaskan atau memisahkan selaput kantong ketuban dari segmen bawah
uterus. Induksi persalinan dengan “stripping” membrane merupakan
praktik yang umum dan aman serta mengurangi insiden kehamilan lebih
bulan. Stripping dapat dilakukan dengan cara manual yakni dengan jari

350
tengah atau telunjuk dimasukkan dalam kanalis servikalis (Cunningham,
2013).
d) Amniotomi
Amniotomi atau pemecahan selaput ketuban secara artifisial
disebut juga dengan induksi bedah. Teknik ini dapat digunakan untuk
melakukan induksi atau augmentasi persalinan. Pemecahan ketuban
buatan memicu pelepasan prostaglandin. Amniotomi dapat dilakukan
sejak awal sebagai tindakan induksi dengan atau tanpa oksitosin. Pada uji
acak, Bacos dan Backstrom (1987) menemukan bahwa amniotomi saja
atau kombinasi dengan oksitosin lebih baik dari pada oksitosin saja.
Induksi persalinan secara bedah (amniotomi) lebih efektif jika keadaan
serviks baik. Amniotomi pada dilatasi serviks sekitar 5 cm akan
mempercepat persalinan spontan selama 1 sampai 2 jam, bahkan Mercer
dkk (1995) dalam penelitian acak dari 209 perempuan yang menjalani
induksi persalinan baik itu amniotomi dini pada dilatasi 1-2 cm ataupun
amniotomi lanjut pada dilatasi 5 cm didapatkan awitan persalinan yang
lebih singkat yakni 4 jam (Cunningham, 2013).
FORCEP
1. Pengertian
Forsep adalah tindakan obstetric yang bertujuan untuk mempercepat kala
pengeluaran dengan jalan menarik bagian terbawah janin (kepala) dengan alat
cunam. (Abdul Bari, 2000)
Ekstraksi Forcep adalah suatu persalinan buatan, janin dilahirkan dengan
cunam yang dipasang dikepalanya. Cunam yang umum dipakai adalah cunam
Niagle, sedang pada kepala yang menyusul dipakai cunam piper dengan lengkung
panggul agak datar dan tangkai yang panjang, melengkung keatas dan terbuka.
(Bobak, 2004 :798)
2. Jenis-jenis persalinan Estraksi forcep

Bentuk persalinan forsep dapat dibagi menjadi beberapa jenis yaitu:

a. Forcep rendah (low forcep)

Forcep yang digunakan telah dipasang pada kepala janin yang berada
sekurang-kurangnya pada Hodge III.

b. Forcep tengah (midforcep)

Pemasangan forcep pada saat kepala janin sudah masuk dan menancap
di panggul pada posisi antara Hodge II dan Hodge III.

351
c. Forcep tinggi

Dilakukan pada kedudukan kepala diantara Hodge I atau Hodge II,


artinya ukuran terbesar kepala belum melewati pintu atas panggul
dengan perkataan lain kepala masih dapat digoyang. Forsep tinggi saat
ini sudah diganti dengan Sectio Cesarea.

3. Syarat Ekstraksi Forcep

Keadaan yang menjadi syarat untuk memutuskan partus dengan ekstraksi


forcep adalah sebagai berikut :

1) Pembukaan harus lengkap

Jika pembukaan belum lengkap bibir servik dapat terjepit antara kepala
anak dan sendok sehingga servik juga bisa robek yang sangat
membahayakan karena dapat menimbulkan perdarahan hebat.

2) Ketuban sudah pecah atau dipecahkan

Jika ketuban belum pecah maka selaput janin ikut tertarik oleh forcep dan
dapat menimbulkan tarikan pada plasenta yang dapat terlepas karenanya
( solution plasenta).

3) Ukuran terbesar kepala harus sudah melewati pintu atas panggul

Kepala sekurang-kurangnya sampai di Hodge III untuk letak belakang


kepala. Supaya tidak tersesat oleh caput succedanum dalam menentukan
turunnya kepala maka toucher harus selalu di control oleh palpasi.

4) Kepala harus dapat dipegang oleh forcep

Forsep tidak boleh dipasang pada kepala yang luar biasa ukuran atau
bentuknya, seperti : premature, hidrochepal.

5) Panggul tidak boleh terlalu sempit

4. Indikasi Ekstraksi Forcep


1) Indikasi ibu
a. Persalinan distosia
i. Persalinan terlantar
ii. Ruptur uteri imminen
iii. Kala dua lama
b. Ekslampsi / pre ekslampsi
c. Profilaksis penyakit sistemik ibu
(1) Gestosis

352
(2) Hipertensi
(3) Penyakit jantung
(4) Penyakit paru-paru
d. Ibu keletihan
2) Indikasi Janin
a) Janin yang mengalami disstress
b) Presentasi yang belum pasti
c) Janin berhenti rotasi
d) Kelahiran kepala pada presentasi bokong 3) Indikasi
waktu :
a) Indikasi pinard ( 2 jam mengedan tidak lahir)
b) Modifikasi remeltz
(1) Setelah kepala di dasar panggul diberikan 5 unit oksitoksin (2)
Tunggu 1 jam tidak lahir dilakukan ekstraksi forsep
5. Kontra Indikasi Ekstraksi Forcep

Beberapa kondisi yang menjadi kontra indikasi ekstraksi forcep

yaitu :

1) Janin sudah lama mati sehingga sudah tidak bulat dan keras lagi sehingga
kepala sulit dipegang oleh forcep.

2) Anencephalus

3) Adanya disproporsi cepalo pelvic

4) Kepala masih tinggi

5) Pembukaan belum lengkap

6) Pasien bekas operasi vesiko vegina fistel

7) Jika lingkaran kontraksi patologis bandel sudah setinggi pusat atau lebih.

6. Persiapan Ekstraksi Forcep


1) Persiapan untuk ibu
a) Rambut kemaluan dicukur
b) Kandung kemih dikosongkan
c) Atur posisi lithotomi
d) Perineum dan sekitarnya di desinfeksi
e) Pasang doek steril
2) Persiapan penolong

353
a) Cuci tangan secara furbringer
b) Memakai baju steril
c) Memakai sareng tangan steril
3) Persiapan alat
a) Doek steril
b) Sarung tangan steril
c) Alat persalinan normal
d) Alat forcep
e) Alat untuk episiotomy dan menjahit
f) Kateter
g) Obat-obatan desinfektan dan uterotonika
4) Persiapan untuk bayi
a) Penghisap lendir dan alat resusitasi lainnya
b) Alat pemanas bayi

7. Komplikasi Ekstraksi Forcep

Beberapa komplikasi yang bisa terjadi pada tindakan ekstraksi

forcep yaitu:

1) Komplikasi pada ibu

a) Perdarahan yang disebabkan oleh retensio plasenta , atonia uteri serta


jahitan robekan jalan lahir yang lepas.

b) Infeksi

354
c) Trauma jalan lahir seperti terjadinya fistula vesiko vaginal, fistula
recto vaginal , fistula utero vaginal, rupture uteri, rupture serviks, dan
robekan perineum

2) Komplikasi pada bayi

a) Trauma ekstraksi forcep dapat menyebabkan cacat karena

aplikasi forcep

b) Infeksi yang berkembang menjadi sepsis dapat menyebabkan


kematian serta encephalitis sampai meningitis.

c) Gangguan susunan syaraf pusat yang dapat menimbulkan gangguan


intelektual

d) Gangguan pendengaran dan keseimbangan

Ekstraksi Vakum

a. Pengertian

Ekstraksi Vakum adalah metode pelahiran dengan memasang sebuah


mangkuk ( Cup ) vakum di kepala janin dan tekanan negatif.
(Bobak,Ledwig,Jensen, 2005, hal 799).
Ekstraksi vakum adalah suatu persalinan buatan, janin dilahirkan dengan
ekstraksi tenaga negatif (vakum) di kepalanya. (Kapita selekta
Kedokteran : 331)

b. Syarat-syarat ekstraksi vakum

1) Pembukaan lengkap atau hampir lengkap


2) Presentasi kepala, janin aterm, TBJ > 2500 g
3) Cukup bulan (tidak prematur)
4) Tidak ada sempit panggul
5) Kepala sudah masuk pintu atas panggul
6) Anak hidup dan tidak gawat janin
7) Penurunan sampai H III/IV (dasar panggul)
8) Kontraksi baik
9) Ibu kooperatif dan mampu untuk mengejan
10) Ketuban sudah pecah atau dipecahkan
11) Analgesia yang sesuai
12) Kandung kencing ibu kosong
c. Indikasi

355
1) Partus tidak maju dengan anak hidup
2) Kala II lama dengan presentasi kepala belakang
d. Kontra indikasi
1) Ruptur uteri membakat, ibu tidak boleh mengejan, panggul sempit.
2) Bukan presentasi belakang kepala, presentasi muka atau dahi
3) Kepala belum masuk pintu atas panggul
4) Pembukaan serviks tidak lengkap
5) Bukti klinik adanya CPD
6) Tidak kooperatif
e. Persiapan ekstraksi vakum
Beberapa hal yang harus disiapkan sebelum tindakan ekstraksi vakum
yaitu:
1) Persiapkan ibu dalam posisi litotomi
2) Kosongkan kandung kemih dan rektum
3) Bersihkan vulva dan perineum dengan antiseptik
4) Pasang infus bila diperlukan
5) Siapkan alat-alat yang diperlukan
f. Teknik vakum ekstraksi

Sebelum dilaksanakan teknik vacum ekstrasi harus mengetahui


indikasi ekstraksi vacum terlebih dahulu yaitu Partus tidak maju dengan
anak hidup dan kala II lama dengan presentasi kepala belakang.
Persiapan adalah sama pada ekstrksi forcipal, cup dilicinkan dengan
minyak kemudian di masukan ke dalam jalan lahir dan diletakkan pada
kepala anak. Titik yang ada pada cup sedapat-dapatnya menunjukkan ke
ubun-ubun kecil. Sedapat-dapatnya digunakan cup yang terbesar supaya
tidak mudah terlepas. Dengan 2 jari cup ditekankan pada kepala bayi sambil
seorang asisten dengan perlahan-lahan memompa tekanan sampai – 0,2
atmosfer, setelah itu dengan 1 jari kita periksa apakah tidak ada jaringan
cervix atau vagina yang terjepit. Tekanan – 0,2 atmosfer dipertahankan
selama 2 menit kemudian diturunkan sampai 0,5 atm, dua menit kemudian
diturunkan lagi sampai -0,7 – (-0.75)atm. Kita biarkan pada tekanan -0,7
atm,selama 5 menit agar caput terbentuk dengan baik. Kita pasang pengait
dan tangan kanan memegang pengait tersebut untuk menarik. Tiga jari
tangan kiri dimasukkan ke jalan lahir, untuk mengarahkan tarikan, jari-jari
telunjuk dan tengah diletakkan pada pinggir cup sedangkan ibu jari pada
bagian tengah cup, Penarikkan dilakukan pada waktu his dan si ibu disuruh
mengedan. Kadang-kadang dapat dilakukan dorongan pada fundus uteri

356
untuk memudahkan ekstraksi. Arah tarikan adalah sesuai dengan penarikan
forceps. Setelah kepala lahir cup dilepaskan dengan menghilangkan vakum

Using the vacuum device for delivery. After determining position of the
head, (A) insert the cup into the vaginal vault, ensuring that no maternal
tissues are trapped by the cup. (B) Apply the cup to the flexion point 3 cm
in front of the posterior fontanel, centering the sagittal suture. (C) Pull
during a contraction with a steady motion, keeping the device at right
angles to the plane of the cup. In
occipitoposterior deliveries, maintain the right angle if the fetal head
rotates. (D) Remove the cup when the fetal jaw is reachable.
Reprinted with permission from Damos JR, Bassett R. Chapter H: assisted
vaginal delivery. In: Advanced Life Support in Obstetrics (ALSO) Provider
Syllabus. 4th ed.
Leawood, Kan.: American Academy of Family Physicians; 2003:3–8.

g. Kegagalan vakum ekstraksi dan penyebabnya

Ekstraksi vakum dianggap gagal bila ditemui kondisi seperti berikut


ini, yaitu : kepala tidak turun pada tarikan, jika tarikan sudah tiga kali dan
kepala bayi belum turun, atau tarikan sudah 30 menit dan mangkok lepas
pada tarikan dengan tekanan maksimum.
Adapun hal-hal yang bisa menjadi penyebab kegagalan pada ekstraksi
vakum yaitu :
1) Tenaga vakum terlalu rendah
2) Tenaga negatif dibuat terlalu cepat
3) Selaput ketuban melekat
4) Bagian jalan lahir terjepit
5) Koordinasi tangan kurang baik
6) Traksi terlalu kuat
7) Cacat alat

357
8) Disproporsi sefalopelvik yag sebelumnya tidak diketahui.
h. Komplikasi dan upaya menghindarinya

Komplikasi yang bisa terjadi pada persalinan dengan bantuan


ekstraksi vakum yaitu :

1) Pada ibu : Bisa terjadi perdarahan akibat atonia uteri atau trauma, trauma
jalan lahir dan infeksi.

2) Pada janin : Aberasi dan laserasi kulit kepala, sefalhematoma yang


biasanya hilang dalam 3-4 minggu, nekrosis kulit kepala, perdarahan
intakranial (sangat jarang) jaundice, fraktur clavikula, kerusakan N VI
dan N VII.
Beberapa hal yang bisa dilakukan dalam upaya menghindari
komplikasi yaitu : pastikan indikasi dan syarat penggunaannya, penempatan
magkuk yang tepat, hindari terjepitnya jarigan lunak ibu, arah tarikan yang
benar, hindari kekuatan tarikan yang berlebihan,
koordinasikan tarikan dengan usaha mengejan, awasi
penurunan/pengeluaran dan terapkan “the rule of threes” (penghentian
tindakan)
i. Keuntungan vakum ekstraksi
Beberapa keuntungan yang didapat dari vakum ekstraksi yaitu :
1) Cup dapat dipasang waktu kepala masih agak tinggi, H III atau kurang
dengan demikian mengurangi frekuensi SC.

2) Tidak perlu diketahui posisi kepala dengan tepat, Cup dapat dipasang
pada belakang kepala, samping kepala ataupun dahi.

3) Tarikan tidak dapat terla luberat. Dengan demikian kepala tidak dapat
dipaksakan melalui jalan lahir. Apabila tarikan terlampau berat cup akan
lepas dengan sendirinya.

4) Cup dapat dipasang meskipun pembukaan belum lengkap, misalnya


pada pembukaan 8 – 9 cm, untuk mempercepat pembukaan.
5) Vakum ekstraktor dapat juga dipergunakan untuk memutar kepala dan
mengadakan fleksi kepala (misal pada letak dahi).

6) Lebih sedikit membutuhkan anastesi dibanding ekstraksi forcep.

7) Lebih sedikit trauma terhadap vagina / perineum ibu.

j. Kerugian vakum ekstraksi

358
Kerugian dari tindakan vakum ekstraksi adalah waktu yang
diperlukan untuk pemasangan cup sampai dapat ditarik relatip lebih lama
dari pada forceps (± 10 menit) cara ini tidak dapat dipakai apabila ada
indikasi untuk melahirkan anak dengan cepat seperti misalnya pada fetal
distress (gawatjanin). Selain itu alatnya relatif mahal dibanding dengan
forcep.
k. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam tindakan vakum ekstraksi 1)
Cup tidak boleh dipasang pada ubun-ubunbesar.
2) Penurunan tekanan harus berangsur-angsur.

3) Cup dengan tekanan negative tidak boleh dipasang lebih dari ½ jam.

4) Penarikan pada wakru ekstraksi hanya dilakukan pada waktu ada his dan
ibu mengejan.

5) Apabila kepala masih agak tinggi(H III ) sebaiknya dipasang cup yang
terbesar (diameter 7 cm)

6) Cup tidak boleh dipasang pada muka bayi.

7) Vakum ekstraksi tidak boleh dilakukan pada bayi premature.

l. Bahaya vakum ekstraksi

1) Terhadap ibu : Robekan bibir cervix atau vagina karena terjepit antara
kepala bayi dan cup.

2) Terhadap anak : Perdarahan dalam otak. Caput succedaneum

artificialis akan hilang dalam beberapa hari. Vakum ekstraktor dapat


juga dipergunakan untuk melahirkan kepala waktu Sectiocaecar.

Sectio Cesarea

a. Pengertian

Seksio Caesarea adalah kelahiran janin melalui insisi trans abdomen


pada uterus. (Bobak,Ledwig,Jensen, 2005, hal 801)

Sectio caesaria adalah suatu persalinan buatan dimana janin dilahirkan


melalui suatu insisi pada dinding depan perut dan dinding rahim dengan
syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram
(Sarwono, 2009)

359
Sectio Caesaria ialah tindakan untuk melahirkan janin dengan berat
badan diatas 500 gram melalui sayatan pada dinding uterus yang utuh
(Gulardi & Wiknjosastro, 2006)

b. Indikasi Seksio Cesarea 1) Indikasi ibu :


a) Plasenta previa sentralis dan lateralis.

b) Panggul sempit dimana jenis panggul dengan konjungnatavera


kurang dari 8 cm bisa dipastikan tidak dapat melahirkan dengan cara
spontan.

c) Disproporsi sepalo pelvic yaitu ketidak mampuan kepala dan


panggul.

d) Distosiaservik

e) Pre eklamsi dan hipertensi

f) Mal presentasi janin

g) Partus lama

h) Distoksiaolehkarena tumor

i) Ruptur uteri yang mengancam

j) Pertimbangan lain yaitu ibu dengan resiko tinggi persalinan, apabila


telah mengalami seksiosesaria atau menjalani operasi kandungan
sebelumnya.

2) Indikasi janin

a) Gawat Janin

b) Janin besar

c. Kontra indikasi

1) Janin mati

2) Syok, akibat anemia berat yang belum diatasi 3) Kelainan


congenital berat.

d. Jenis-jenis SC

1) Sectio cesaria transperitonealis profunda

360
Sectio cesaria transperitonealis propunda dengan insisi di
segmen bawah uterus. insisi pada bawah rahim, bisa dengan teknik
melintang atau memanjang. Keunggulan pembedahan ini adalah:

a) Pendarahan luka insisi tidak seberapa banyak.

b) Bahaya peritonitis tidak besar.

c) Perut uterus umumnya kuat sehingga bahaya ruptur uteri


dikemudian hari tidak besar karena pada nifas segmen bawah
uterus tidak seberapa banyak mengalami kontraksi seperti korpus
uteri sehingga luka dapat sembuh lebih sempurna.

2) Sectio cecaria klasik atau section cecaria korporal

Pada sectio cecaria klasik ini di buat kepada korpus uteri,


pembedahan ini yang agak mudah dilakukan, hanya di selenggarakan
apabila ada halangan untuk melakukan sectio cecaria transperitonealis
profunda. Insisi memanjang pada segmen atas uterus.

3) Sectio cecaria ekstra peritoneal

Section cecaria eksrta peritoneal dahulu di lakukan untuk


mengurangi bahaya injeksi perporal akan tetapi dengan kemajuan
pengobatan terhadap injeksi pembedahan ini sekarang tidak banyak lagi
di lakukan. Rongga peritoneum tak dibuka, dilakukan pada pasien
infeksi uterin berat.

4) Section cesaria Hysteroctomi

Setelah sectio cesaria, dilakukan hysteroktomy dengan indikasi:

a) Atonia uteri

b) Plasenta accrete

c) Myoma uteri

d) Infeksi intra uteri berat

361
Gambar: Skema Insisi Abdomen dan Rahim (Sumber: Obgyn.net)

e. Komplikasi SC

1) Pada ibu

Infeksi Puerperium (Nifas) merupakan kenaikan suhu beberapa


hari dalam masa nipas, dibagi menjadi :

a) Ringan

b) Pendarahan

c) Trauma kandung kemih akibat kandung kemih yang terpotong


saat melakukan seksiosesaria

d) Endometritis yaitu infeksi atau peradangan pada endometrium

e) Resikoruptura uteri padakehamilan

2) Pada bayi

Hipoxia, depresi pernapsan, sindrom gawat pernapasan, trauma


persalinan.

362
USG

Gambar 2.1. Alat USG

Ultrasonografi (USG) adalah alat pemeriksaan dengan menggunakan


ultrasound (gelombang suara) yang dipancarkan oleh transduser. Suara
merupakan fenomena fisika untuk mentransfer energi dari satu titik ke titik yang
lainnya. Ultrasonografi (USG) merupakan salah satu imaging diagnostic
(pencitraan diagnostic) untuk pemeriksaan alat-alat tubuh, dimana kita dapat
mempelajari bentuk, ukuran, anatomis, gerakan, serta hubungan dengan jaringan
sekitarnya. Ultrasonografi dapat mengukur kedalaman suatu benda di bawah
permukaan kulit melalui selang waktu dipancarkan sampai dipantulkan kembali
gelombang ultrasonik.

Gelombang suara ultrasound memiliki frekuensi lebih dari 20.000Hz, tapi


yang dimanfaatkan dalam teknik ultrasonography (kedokteran) hanya gelombang
suara dengan frekuensi 1-15 MHz. Ultrasound memiliki sifat dasar :

a. Sangat lambat bila melalui media yang bersifat gas, dan sangat cepat
bila melalui media padat.
b. Semakin padat suatu media maka semakin cepat kecepatan suaranya.

c. Apabila melalui suatu media maka akan terjadi atenuasi atau


pelemahan intensitas suara.
Pemeriksaan USG dilakukan oleh Dokter spesialis Kebidanan dan Kandungan untuk
kasus kandungan dan kebidanan, namun untuk kasus – kasus di luar kandungan,
pemeriksaan dilakukan oleh Dokter Spesialis Radiologi.
Kelebihan dan Kekurangan

363
USG mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan yaitu :

1. Keuntungan menggunakan USG


a. Dapat mendeteksi kelainan anatomis pada organ dengan cepat dan akurat
b. Dapat mendeteksi pembengkakan atau penyusutan organ secara detail
c. Dapat mendeteksi antara tumor ganas dan jinak
d. Dapat mendeteksi batu pada kantung empedu / ginjal dengan diameter
2mm
e. Dapat mendeteksi adanya abses (nanah) pada organ dalam tubuh
f. Dapat mendeteksi adanya cairan atau pendarahan dalam rongga tubuh
g. Untuk melakukan deteksi / kelainan pada pembuluh darah di dalam tubuh
h. Menentukan fungsi jantung secara kualitatif maupun kuantitatif
i. Menentukan adanya kebocoran dan penyempitan katub, dan sebagainya
j. Menetapkan umur kehamilan, letak ari-ari dan jenis kelamin dari janin
pada kehamilan
k. Mendeteksi kelainan pada kandungan seperti pada kista indung telur,
tumor, dan lain-lain
l. USG dapat memantau gerakan janin
m. USG dapat memantau gerakan bernapas dan pada usia kehamilan 35
minggu, janin sudah bisa merespon cahaya
n. USG memungkinkan dokter untuk merencanakan pemeriksaan lanjutan
yang lebih terarah, sehingga diagnosis dapat dilakukan lebih dini
o. Pemeriksaan USG tidak menimbulkan rasa sakit pasien
p. USG banyak digunakan untuk tuntutan dalam melakukan biopsy
(pengambilan jaringan) secara terarah di dalam organ tubuh
q. Pada bayi, USG berguna dalam menaksir otak dan saraf tunjang bayi yang
baru lahir
r. Penggunaan USG cukup aman dan tidak invasive sehingga tidak
memerlukan penerapan khusus
s. USG cukup aman digunakan berkali-kali bahkan dalam jarak waktu yang
sangat pendek
t. Pemeriksaan khas USG untuk memeriksa saluran-saluran darah
u. Gelombang USG tidak melibatkan sinar- X dan radiasi-radiasi yang lain.
2. Kerugian USG
a. Pada pemeriksaan kandung empedu dalam keadaan terisi memerlukan puasa
sekurang-kurangnya 8 jam

364
b. USG tidak dapat memeriksa organ-organ yang kurang baik memantulkan
gelombang suara frekuensi tinggi, yaitu yang berisi rongga udara seperti paru-
paru dan usus.

Bagian – Bagian Alat USG dan Fungsinya

Gambar 2.2. Bagian – Bagian Alat USG

a. Display (LCD) berfungsi untuk menampilkan gambar bagian tubuh yang


diperiksa menggunakan USG.
b. Transducer adalah komponen USG yang ditempelkan pada bagian tubuh yang
akan diperiksa, seperti dinding perut atau dinding poros usus besar pada
pemeriksaan prostat. Di dalam transduser terdapat kristal yang digunakan
untuk menangkap pantulan gelombang yang disalurkan oleh transduser.
Gelombang yang diterima masih dalam bentuk gelombang akusitik
(gelombang pantulan) sehingga fungsi kristal disini adalah untuk mengubah
gelombang tersebut menjadi gelombang elektronik yang dapat dibaca oleh
komputer sehingga dapat diterjemahkan dalam bentuk gambar.
c. Pulse controls untuk mengatur banyaknya pulsa.
d. Keyboard adalah tombol-tombol yang berisi huruf dan symbol yang digunakan
untuk mengisi identitas pasien.
e. Disk storage sebagai tempat penyimpanan data hasil pemeriksaan USG
f. Printer untuk mencetak hasil pemeriksaan USG.

365
Prinsip Kerja USG

Oscilator Transduser Objek Transduser

Monitor Receive

Gambar 2.3. Prinsip Kerja USG (Ultrasonografi)

Prinsip kerja dari USG ini sendiri menggunakan gelombang suara ultra dimana
memiliki frekuensi lebih tinggi yang berkisar antara 1 – 15 MHz (1–15 juta Hz).
Gelombang suara frekuensi tinggi tersebut dihasilkan oleh medan listrik dan kristal
piezo-electric. Generator pulsa (oscilator) berfungsi sebagai penghasil gelombang
listrik, kemudian oleh transducer diubah menjadi gelombang suara yang diteruskan ke
medium. Apabila gelombang suara mengenai jaringan yang memiliki nilai akustik
impedansi, maka gelombang suara akan dipantulkan kembali sebagai echo. Di dalam
media (jaringan) akan terjadi atenuasi, gema (echo) yang lebih jauh maka
intensitasnya lebih lemah dibandingkan dari echo yg lebih superficial. Pantulan gema
akan ditangkap oleh transducer dan diteruskan ke amplifier untuk diperkuat.
Gelombang ini kemudian diteruskan ke tabung sinar katoda melalui receiver
seterusnya ditampilkan sebagai gambar di layar monitor.

Jenis dan Tampilan Pemeriksaan USG

1. USG 2D

366
Gambar 2.4 Tampilan Citra USG 2D
USG 2 Dimensi ini mampu menampilkan gambar dua bidang yakni
memanjang dan juga melintang. USG ini menghasilkan gambar “datar” yang tidak
terlalu jelas karena terlihat hanya dari satu sisi dan biasanya sulit dipahami oleh
pasien. USG 2D ini dapat digunakan untuk melihat organ-organ internal, melihat
gerakan bayi, mengukur panjang dan berat janin, bahkan bisa untuk mendeteksi
kelainan sebesar 80–90%. Dengan USG 2 Dimensi ini kita dapat mengamati
gerakan janin akan tetapi harus mengetahui terlebih dahulu bagaimana bentuk
anatomi normal baru kemudian dapat menggambarkannya pada citra 2 dimensi.
Namun, jika dokter menemukan kecurigaan kelainan pada bayi, biasanya dokter
akan menyarankan Anda untuk melakukan USG dengan dimensi yang lebih
tinggi. Gambar hasil USG ini hanya bisa di-print. Biaya untuk USG ini paling
murah dibanding dengan USG 3D dan 4D.

3. USG 3D

Gambar 2.5. Tampilan Citra USG 3D

367
Melalui USG 3 Dimensi ini ada tambahan 1 bidang gambar lagi yang
disebut koronal. USG ini menghasilkan gambar tiga dimensi yang lebih detail
sehingga mudah dipahami oleh pasien. Yang mana Anda dapat melihat gambar
yang tampil mirip seperti aslinya. Selain melihat wajah janin di dalam kandungan,
juga dapat melihat permukaan tubuh janin tentunya dengan keadaan janin dari
posisi yang berbeda-beda. USG 3D dapat digunakan untuk melihat anatomi tubuh
janin dan mendeteksi kondisi kelainan pada janin, seperti kelainan bibir sumbing
atau bayi terlilit tali pusar. Gambar yang dihasilkan dengan USG 3D dapat
disimpan dalam CD format jpg dan dilihat di komputer. Biaya USG ini
lebih mahal dibanding dengan USG 2D. Bahkan pada generasi terakhir,
tampilan organ dalam seperti halnya jantung, otak dan lain sebagainya sudah lebih
mudah dikenali dengan potongan tomografi yaitu suatu konsep yang mirip dengan
CT Scan.

4. USG 4D

Gambar 2.6. Tampilan Citra USG 4D

USG 4D ini biasa disebut juga sebagai SD live atau real time. USG ini
paling canggih karena dapat menghasilkan gambar tiga dimensi, lebih detail,
akurat, dan tampak seperti aslinya, sehingga seperti sebuah film. Pasien dapat
melihat dengan jelas bentuk anggota tubuh, gerakan janin, dan ekspresi wajahnya,
seperti bentuk hidung bayi, gerakan sedang mengisap jempol, atau menggerakan
kaki . USG 4D ini dapat mendeteksi kelainan pada janin dengan lebih jelas, seperti
kelainan plasenta atau kehamilan ektopik. Gambar yang dihasilkan dengan USG
4D dapat disimpan dalam format jpg dan video serta dilihat di komputer. Biaya
USG ini paling mahal dbanding dengan USG 2D dan 3D.

368
5. USG Doppler

Gambar 2.7. Tampilan Citra USG 4D

Doppler Ultrasonografi (USG Doppler) saat ini sudah menjadi alat/


sarana penunjang diagnostik pilihan untuk mendiagnosa aliran darah pada
pembuluh darah. Untuk mendapatkan hasil pemeriksaan yang akurat dan efektif,
maka diperlukan keterampilan khusus dalam pemeriksaan USG Doppler,
karena ketepatan hasil diagnostik sangat menentukan tindakan dan terapi
selanjutnya yang harus dilakukan. USG Doppler memeliki kelebihan yaitu :

a. Mampu mendeteksi aliran darah dan kecepatan aliran darah dengan


efek Doppler.
b. Mampu memberikan ruang informasi tentang ukuran, bentuk dan tingkat
atau besarnya aliran darah atau gejala kelainan darah yang terjadi pada
pembuluh darah (penyempitan/ stenosis, thrombus).
c. Mampu membedakan sifat tumor ganas atau jinak berdasarkan
neo vaskularisasi.
Pemeriksaan USG yang mengutamakan pengukuran aliran darah terutama
aliran tali pusat. Alat ini digunakan untuk menilai keadaan/kesejahteraan janin.
Penilaian kesejahteraan janin meliput :
a. Gerak napas janin (minimal 2x/10 menit).

b. Tonus (gerak janin).

c. Indeks cairan ketuban (normalnya 10-20 cm).

d. Doppler arteri umbilikalis.

e. Reaktivitas denyut jantung janin.

369
Transduser pada alat USG memiliki beberapa tipe yaitu :

1. Transduser Obstetrik
Transduser tipe linier/konveks yang dapat digunakan antara 3,5-5 MHz
dengan fokus 7-9cm.
2. USG Umum
Selain USG pelvis, meliputi abdomen bagian atas pada pasien dewasa
dan pelvis, maka transduser sektor/ konveks 3,5 Mhz, fokus 7-9 cm.

3. USG Pediatrik
i. Untuk anak-anak, Transduser 5Mhz fokus 5-7cm

ii. Untuk scanning otak neonatik, transduser 7,5 Mhz

Pemeriksaan CTG (cardiotocography )


1. Pengertian CTG ( Cardiotocography )
Alat Kardiotokografi (CTG) atau juga disebut Fetal Monitor adalah alat
yang digunakan untuk memeriksa kondisi kesehatan janin. Pemeriksaan umumnya
dapat dilakukan pada usia kehamilan 7-9 bulan dan pada saat persalinan.
Pemeriksaan CTG diperoleh informasi berupa signal irama denyut jantung janin
(DJJ), gerakan janin dan kontraksi rahim. Pemeriksaan dengan CTG sangat
diperlukan pada fasilitas pelayanan persalinan.
Pemeriksaan CTG penting dilakukan pada setiap ibu hamil untuk pemantauan
kondisi janin terutama dalam keadaan:
a. Kehamilan dengan komplikasi (darah tinggi, kencing manis, tiroid, penyakit
infeksi kronis, dll)
b. Kehamilan dengan berat badan janin rendah (Intra Uterine Growth Retriction)
c. Oligohidramnion (air ketuban sedikit sekali)
d. Polihidramnion (air ketuban berlebih)
2. Syarat Pemeriksaan CTG
a. Usia kehamilan mulai 28 minggu
b. Ada persetujuan tindak medik dari pasien (secara lisan)
c. Punktum maksimun denyut jantung janin (DJJ) diketahui
d. Prsedur pemasangan alat sesuai dengan petunjuk penggunaan
e. Sebaiknya dilakukan 2 jam setelah makan.
f. Waktu pemeriksaan selama 20 menit.
g. Selama pemeriksaan posisi ibu berbaring nyaman dan tak menyakitkan ibu
maupun bayi.

370
h. Bila ditemukan kelainan maka pemantauan dilanjutkan dan dapat segera
diberikan pertolongan yang sesuai.
i. Konsultasi langsung dengan dokter kandungan
3. Indikator Pemeriksaan CTG
Pemeriksaan CTG penting dilakukan pada:
a. Ibu
1) Pre-eklampsia-eklampsia
2) Ketuban pecah
3) Diabetes mellitus
4) Kehamilan 40 minggu
5) Vitium cordis
6) Asthma bronkhiale
7) Inkompatibilitas Rhesus atau ABO
8) Infeksi TORCH
9) Bekas SC
10) Induksi atau akselerasi persalinan
11) Persalinan preterm
12) Hipotensi
13) Perdarahan antepartum
14) Berusia lanjut (>35 tahun)
b. Janin
1) Pertumbuhan janin terhambat (PJT)
2) Gerakan janin berkurang
3) Hidrops fetalis
4) Kelainan presentasi, termasuk pasca versi luar.
5) Mekoneum dalam cairan ketuban.
6) Riwayat lahir mati.
7) Kehamilan ganda.
Pemeriksaan CTG:
1) Sebaiknya dilakukan 2 jam setelah makan.
2) Waktu pemeriksaan selama 20 menit.
3) Selama pemeriksaan posisi ibu berbaring nyaman dan tak menyakitkan ibu
maupun bayi.
4) Bila ditemukan kelainan maka pemantauan dilanjutkan dan dapat segera diberikan
pertolongan yang sesuai.
5) Konsultasi langsung dengan dokter kandungan
4. Cara Kerja CTG

371
a. Persiapan pemeriksaan ctg
1) Sebaiknya dilakukan 2 jam setelah makan.
2) Waktu pemeriksaan selama 20 menit,
3) Selama pemeriksaan posisi ibu berbaring nyaman dan tak menyakitkan ibu
maupun bayi.
4) Bila ditemukan kelainan maka pemantauan dilanjutkan dan dapat segera diberikan
pertolongan yang sesuai.
5) Konsultasi langsung dengan dokter kandungan.
b. Prosedur
1) Persetujuan tindak medik (Informed Consent) : menjelaskan indikasi, cara
pemeriksaan dan kemungkinan hasil yang akan didapat. Persetujuan tindak medik
ini dilakukan oleh dokter penanggung jawab pasien (cukup persetujuan lisan).
2) Kosongkan kandung kencing.
3) Periksa kesadaran dan tanda vital ibu.
4) Ibu tidur terlentang, bila ada tanda-tanda insufisiensi utero-plasenter atau gawat
janin, ibu tidur miring ke kiri dan diberi oksigen 4 liter / menit.
5) Lakukan pemeriksaan Leopold untuk menentukan letak, presentasi dan punktum
maksimum DJJ.
6) Hitung DJJ selama satu menit; bila ada his, dihitung sebelum dan segera setelah
kontraksi berakhir..
7) Pasang transduser untuk tokometri di daerah fundus uteri dan DJJ di daerah
punktum maksimum.
8) Setelah transduser terpasang baik, beri tahu ibu bila janin terasa bergerak, pencet
bel yang telah disediakan dan hitung berapa gerakan bayi yang dirasakan oleh ibu
selama perekaman KTG.
9) Hidupkan komputer dan Kardiotokograf.
10) Lama perekaman adalah 30 menit (tergantung keadaan janin dan hasil yang ingin
dicapai).
11) Lakukan dokumentasi data pada disket komputer (data untuk rumah sakit).
12) Matikan komputer dan mesin kardiotokograf. Bersihkan dan rapikan kembali
13) Beri tahu pada pasien bahwa pemeriksaan telah selesai.
14) Berikan hasil rekaman KTG kepada dokter penanggung jawab atau paramedik
membantu membacakan hasi interpretasi komputer secara lengkap kepada dokter.
15) Paramedik (bidan) dilarang memberikan interpretasi hasil ctg kepada pasien.
Trauma BBL (Caput Succedaneum)
1. Pengertian Caput Succedaneum

372
Caput succedaneum adalah benjolan atau pembengkakan karena adanya
timbunan getah bening di kepala (pada persentasi kepala) yang terjadi pada bayi
baru lahir (Dewi, 2010). Caput succedaneum adalah oedema pada kulit kepala,
lunak tidak berfluktuasi, batasannya tidak tegas dan menyebrangi sutura dan akan
hilang dalam beberapa hari (Arwin, 2010).
Caput suksadeneum adalah pembengkakakn yang edematosa atau kadang-
kadang ekimotik dan difus dari jaringan lunak kulit kepala yang mengenai bagian
yang telah dilahirkan selama persalinan verteks. Edema pada caputsuksadeneum
dapat hilang pada hari pertama, sehingga tidak diperlukan terapi. Tetapi jika
terjadi ekimosis yang luas, dapat diberikan indikasi fototerapi untuk
kecenderungan hiperbilirubin. Kadang-kadang caput suksadeneum disertai
dengan mlding atau penumpangan tulang parietalis, tetapi tanda tersebut dapat
hilang setelah satu minggu (Julina. 2019).
1. Penyebab Caput Succedaneum
Caput succedaneum terjadi karena adanya tekanan yang kuat pada kepala
pada saat memasuki jalan lahir sehingga terjadi bendungan sirkulasi perifer dan
limfe yang disertai dengan pengeluaran cairan tubuh ke jaringan ekstraaskuler.
Keadaan ini bisa terjadi pada partus lama atau persalinan dengan vacum ekstraksi
(Julina.2019).
Caput succeedneum juga bisa timbul karena tekanan yang keras pada kepala
ketika memasuki jalan lahir sehingga terjadi bendungan sirkulasi kapiler dan limfe
disertai pengeluaran cairan tubuh ke jaringan extravasa. Benjolan caput ini berisi
cairan serum dan sering bercampur dengan sedikit darah. Benjolan dapat terjadi
sebagai akibat bertumpang tindihnya tulang kepala di daerah sutura pada suatu
proses kelahiran sebagai salah satu upaya bayi untuk mengecilkan lingkaran
kepalanya agar dapat melalui jalan lahir (Julina. 2019).
2. Tanda dan Gejala Caput Succedaneum
Menurut Dewi (2010), tanda dan gejala dari caput succedaneum adalah
sebagai berikut :
1) Oedema di kepala.
2) Terasa lembut dan lunak pada perabaan.
3) Benjolan berisi serum dan kadang bercampur dengan darah.
4) Oedema melampaui tulang tengkorak.
5) Batas yang tidak jelas.
6) Permukaan kulit pada benjolan berwarna ungu atau kemerahan.
7) Benjolan akan berkurang sekitar 2-4 hari tanpa pengobatan.
4. Penatalaksanaan Caput Succedaneum

373
Penatalaksanaan Caput Succedaneum menurut Julina (2019) yaitu :
a. Perawatan bayi sama dengan perawatan bayi normal
b. Pengawasan keadaan umum bayi
c. Berikan lingkungan yang baik, adanya ventilasi dan sinar matahari yang
cukup.
d. Pemberian ASI yang adekuat. Bidan mengajarkan teknik menyusui dengan
benar.
e. Pencegahan infeksi harus dilakukan untuk menghindari adanya infeksi pada
benjolan.
f. Berikan konseling pada orang tua, tentang :
1) Keadaan trauma yang dialami oleh bayi
2) Jelaskan bahwa benjolan akan menghilang dengan sendirinya setelah
sampai 3 minggu tanpa pengobatan
3) Perawatan bayi sehari-harimanfaat dan teknik pemberian ASI.
5. Tahapan Dalam Manajemen Kebidanan
Menurut Varney (1997) terdapat 7 langkah manajemen kebidanan, yang
meliputi (Kurniawati, Evi, dkk. 2022) :
a. Langkah I : Pengumpulan data dasar
Dilakukan pengkajian dengan pengumpulan semua data yang diperlukan
untuk mengevaluasi keadaan klien secara lengkap. Mengumpulkan semua
informasi yang akurat dari sumber yang berkaitan dengan kondisi klien.
b. Langkah II : Interpretasi data dasar
Dilakukan identifikasi yang benar terhadap diagnosa atau masalah klien
atau kebutuhan berdasakan interpretasi yang benar atas data-data yang
telah dikumpulkan. Masalah dan diagnosis keduanya digunakan karena
beberapa masalah tidak dapat diselesaikan seperti diagnosa tetapi
membutuhkan penanganan yang dituangkan dalam rencana asuhan
kebidanan terhadap klien. Masalah bisa menyertai diagnosis. Kebutuhan
adalah suatu bentuk asuhan yang harus diberikan kepada klien, baik klien
tahu ataupun tidak tahu (Kurniawati, Evi, dkk. 2022).
4) Langkah III : Mengidentifikasi diagnosa atau masalah potensial
Mengidentifikasi masalah atau diagnosa potensial lain berdasarkan
rangkaian masalah dan diagnosa yang sudah diidentifikasi. Membutuhkan
antisipasi, bila mungkin dilakukan pencegahan. Penting untuk melakukan
asuhan yang aman (Kurniawati, Evi, dkk. 2022).
5) Langkah IV : Identifikasi kebutuhan yang memerlukan penanganan
segera

374
Langkah ini bertujuan untuk mengidentifikasi atau menentukan
penanganan guna antisipasi terhadap berbagai kemungkinan yang bisa
terjadi. Pada BBL normal yang terdapat masalah potensial, seorang bidan
harus melakukan tindakan awal dan berkolaborasi dengan dokter
kandungan guna memperbaiki keadaan klien.
6) Langkah V : Merencanakan asuhan yang menyeluruh
Merencanakan asuhan yang menyeluruh, ditetukan oleh langkah-langah
sebelumnya. Rencana asuhan yang menyeluruh meliputi apa yang sudah
diidentifikasi dari klien dan dari kerangka pedoman antisipasi terhadap
wanita tersebut seperti apa yang diperkirakan akan terjadi berikutnya.
7) Langkah VI : Melaksanakan perencanaan (Implementasi)
Melaksanakan recana asuhan pada langkah ke lima secara efisien dan
aman. Jika bidan tidak melakukannya sendiri maka, tetap memikul
tanggung jawab untuk mengarahkan pelaksanaannya (Kurniawati, Evi,
dkk. 2022).
8) Langkah VII : Evaluasi
Dilakukan evaluasi kefektifan dari asuhan yang sudah diberikan meliputi
pemenuhan kebutuhan akan bantuan apakah benar-benar telah terpenuhi
sesuai dengan kebutuhan sebagaimana telah didentifikasikan didalam
masalah dan diagnosa.
a. Perlukaan kulit
Kelainan ini mungkin timbul pada persalinan yang mempergunakan alat-
alat seperti cunam atau vakum. Infeksi sekunder merupakan bahaya yang dapat
timbul pada kejadian ini. Karena itu, kebersihan dan pengeringan kulit yang
terluka perlu diperhatikan. Bila perlu dapat juga digunakan obat-obat antiseptik
lokal. Biasanya diperlukan waktu 6-8 minggu untuk penyembuhan.
b. eritema, ptekiae, abrasi, ekimosis dan nekrosis lemak subkutan
Jenis persalinan yang sering menyebabkan kelainan ini yaitu presentasi
muka dan persalinan yang diselesaikan dengan ekstraksi cunam dan ekstraksi
vakum. Kelainan ini memerlukan pengobatan khusus dan menghilang pada
minggu pertama.
c. Perdarahan subaponeurotik
Perdarahan ini terjadi di bawah aponeurosis akibat pecahnya vena-vena
yang menghubungkan jaringan di luar dengan sinus-sinus di dalam tengkorak.
Perdarahan dapat terjadi pada persalinan yang diakhiri dengan alat, dan biasanya
tidak mempunyai batas tegas, sehingga kadang-kadang kepala berbentuk
asimetris. Kelainan ini dapat menimbulkan anemia, syok, atau hiperbilirubinemia.

375
Pemberian vitamin K dianjurkan pada perdarahan ringan,dengan dosis 1-2 mg/kg
BB/hari selama tiga hari dan transfuse darah bila diperlukan.
d. Trauma m. Sternokleidomastoideus
Kelainan ini didapat pada persalinan sungsang karena usaha untuk
melahirkan kepala bayi. Kepala serta leher bayi cenderung miring ke arah otot
yang sakit dan jika keadaan dibiarkan, otot sembuh, tetapi dalam keadaan lebih
pendek dari normal. Sebelum hal itu terjadi, perlu dilakukan fisioterapi dengan
cara pengurutan setempat dan peregangan leher secara pasif ke sisi yang
berlawanan. Jika setelah 6 bulan tidak berhasil maka harus dilakukan pembedahan
korektif.
e. Caput Succedaneum
Caput succedaneum merupakan edema subcutis akibat penekanan jalan
lahir pada persalinan letak kepala, berbentuk benjolan yang segera tampak setelah
bayi lahir, tak berbatas tegas dan melewati batas sutura. Kelainan ini biasanya
ditemukan pada presentasi kepala, sesuai dengan posisi bagian yang
bersangkutan. Pada bagian tersebut terjadi edema sebagai akibat pengeluaran
serum dari pembuluh darah. Caput Succedaneum tidak memerlukan pengobatan
khusus dan biasanya menghilang setelah 2-5 hari.
f. Cephal hematoma
Istilah cephal hematoma mengacu pada pengumpulan darah di atas tulang
tengkorak yang disebabkan oleh perdarahan subperiosteal dan berbatas tegas pada
tulang yang bersangkutan dan tidak melampaui sutura-sutura sekitarnya,sering
ditemukan pada tulang temporal dan parietal. Kelainan dapat terjadi pada
persalinan biasa, tetapi lebih sering paada persalinan lama atau persalinan yang
diakhiri dengan alat, seperti ekstraksi cunam atau vakum.
Gejala lanjut yang mungkin terjadi yaitu anemia dan hiperbilirubinemia.
Kadang-kadang disertai dengan fraktur tulang tengkorak di bawahnya atau
perdarahan intra kranial.
Bila tidak ditemukan gejala lanjut, cephal hematoma tidak memerlukan
perawatan khusus. Kelainan ini dapat menghilang dengan sendirinya setelah 2-12
minggu. Pada kelainan yang agak luas, penyembuhan kadang-kadang disertai
kalsifikasi.
g. Perdarahan subkonjungtiva
Keadaan ini sering ditemukan pada bayi, baik pada persalinan biasa
maupun pada yang sulit. Darah yang tampak di bawah konjungtiva biasanya
diabsorpsi lagi setelah 1-2 minggu tanpa diperlukan pengobatan apa-apa.
Perdarahan intra kranial

376
h. Perdarahan subdural
Kelainan terjadi akibat tekanan mekanik pada tengkorak yang dapat
menimbulkan robekan falks cerebri atau tentorium cerebelli, sehingga terjadi
perdarahan. Hal ini biasanya ditemukan pada persalinan dengan disproporsi
sefalopelvik dengan dipaksakan untuk lahir pervaginam dan lebih sering
ditemukan pada bayi aterm dari pada bayi prematur.
i. Perdarahan subependimal dan intraventrikuler
Kejadian ini lebih sering disebabkan oleh hipoksia dan biasanya terdapat
pada bayi-bayi prematur.
j. Perdarahan subarakhnoidal
Perdarahan ini juga ditemukan pada bayi-bayi premmatur dan mempunyai
hubungan erat dengan hipoksia pada saat lahir.
Bayi dengan perdarahan intra kranial menunjukkan gejala-gejala asfiksia
yang sukar diatasi. Bayi setengah sadar, merintih, pucat, sesak nafas, muntah dan
kadang-kadang kejang. Bayi dapat meninggal atau hidup terus tanpa gejala-gejala
lanjut atau dengan gejala-gejala neurologik yang beraneka ragam, tergantung pada
tempat dan luasnya kerusakan jaringan otak akibat perdarahan.
Tindakan pada perdarahan intra kranial adalah sebagai berikut :
 kelainan yang membawa trauma harus dihindari dan kalau ada disproporsi
harus dilakukan sectio caesaria
 bayi dirawat dalam inkubator
 temperatur harus dikontrol
 kalau perlu diberikan tambahan oksigen
 sekret dalam tenggorokan diisap keluar
 bayi jangan terlampau banyak digerakkan dan dipegang
 kalau ada indikasinya, vitamin K dapat diberikan
 konvulsi dikendalikan dengan sedativ
 kepala jangan direndahkan, karena tindakan ini bisa menambah
perdarahan
 jika pengumpulan darah subdural dicurigai, pungsi lumbal harus
dikerjakan
 untuk mengurangi tekanan
 diberikan antibiotik sebagai profilaktik.
3. Patah tulang
a. Fraktur klavikula

377
Fraktur ini merupakan jenis yang tersering pada bayi baru lahir,yang
mungkin terjadi apabila terdapat kesulitan mengeluarkan bahu pada
persalinan. Hal ini dapat timbul pada kelahiran presentasi puncak kepala dan
pada lengan yang telentang pada kelahiran sungsang. Gejala yang tampak
pada keadaan ini adalah kelemahan lengan pada sisi yang terkena, krepitasi,
ketidakteraturan tulang mungkin dapat diraba, perubahan warna kulit pada
bagian atas yang terkena fraktur serta menghilangnya refleks Moro pada sisi
tersebut. Diagnosis dapat ditegakkan dengan palpasi dan foto rontgent.
Penyembuhan sempurna terjadi setelah 7-10 hari dengan imobilisasi dengan
posisi abduksi 60 derajat dan fleksi 90 derajat dari siku yang terkena.
b. Fraktur humeri
Kelainan ini terjadi pada kesalahan teknik dalam melahirkan lengan pada
presentasi puncak kepala atau letak sungsang dengan lengan membumbung ke
atas. Pada keadaan ini biasanya sisi yang terkena tidak dapat digerakkan dan
refleks Moro pada sisi tersebut menghilang. Prognosis penderita sangat baik
dengan dilakukannya imobilisasi lengan dengan mengikat lengan ke dada,
dengan memasang bidai berbentuk segitiga dan bebat Valpeau atau dengan
pemasangan gips. Dan akan membaik dalam waktu 2-4 minggu.
c. Fraktur tulang tengkorak
Kebanyakan fraktur tulang tengkorak terjadi akibat kelahiran
pervaginam sebagai akibat penggunaan cunam atau forceps yang salah, atau
dari simpisis pubis, promontorium, atau spina ischiadica ibu pada persalinan
dengan diproporsi sefalopelvik. Yang paling sering adalah fraktur linier yang
tidak menimbulkan gejala dan tidak memerlukan pengobatan, serta fraktur
depresi yang biasanya kelihatan sebagai lekukan pada kalvarium yang mirip
lekukan pada bola pingpong. Semua fraktur ini harus direposisi untuk
menghindari cedera korteks akibat tekanan yang terus-menerus dengan
menggunakan anesthesi lokal dalam minggu pertama dan segera setelah
kondisi bayinya stabil.
d. Fraktur femoris
Kelainan ini jarang terjadi, dan bila ditemukan biasanya disebabkan oleh
kesalahan teknik dalam pertolongan pada presentasi sungsang. Gejala yang
tampak pada penderita adalah pembengkakan paha disertai rasa nyeri bila
dilakukan gerakan pasif pada tungkai. Pengobatan dilakukan dengan
melakukan traksi pada kedua tungkai, walaupun fraktur hanya terjadi
unilateral. Penyembuhan sempurna didapat setelah 3-4 minggu pengobatan.
e. Fraktur dan dislokasi tulang belakang

378
Kelainan ini jarang ditemukan dan biasanya terjadi jika dilakukan traksi
kuat untuk melahirkan kepala janin pada presentasi sungsang atau untuk
melahirkan bahu pada presentasi kepala. Fraktur atau dislokasi lebih sering
pada tulang belakang servikal bagian bawah dan torakal bagian atas. Tipe
lesinya berkisar dari perdarahan setempat hingga destruksi total medulla
spinalis pada satu atau lebih aras (level) cerebral. Keadaan bayi mungkin
buruk sejak kelahirannya, disertai depresi pernafasan, syok dan hipotermia.
Kalau keadaannya parah dapat memburuk dengan cepat sampai menimbulkan
kematian dalam beberapa jam. Pada bayi yang selamat, pengobatan yang
dilakukan bersifat suportif dan sering terdapat cedera permanen.
4. Perlukaan susunan saraf
a. Paralisis nervus facialis
Kelainan ini terjadi akibat tekanan perifer pada nervus facialis saat
kelahiran. Hal ini sering tampak pada bayi yang lahir dengan ekstraksi cunam
Kelumpuhan perifer ini bersifat flasid, dan bila kelumpuhan terjadi total, akan
mengenai seluruh sisi wajah termasuk dahi. Kalau bayi menangis, hanya dapat
dilihat adanya pergerakan pada sisi wajah yang tidak mengalami kelumpuhan
dan mulut tertarik ke sisi itu. Pada sisi yang terkena gangguan, dahinya licin,
mata tidak dapat ditutup, lipatan nasolabial tidak ada dan sudut mulut
kelihatan jatuh. Kelainan biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa
tindakan-tindakan khusus.
b. Paralisis nervus frenikus
Gangguan ini biasanya terjadi di sebelah kanan dan menyebabkan
terjadinya paralisis diafragma. Kelainan sering ditemukan pada kelahiran
sungsang. Kelainan ini biasanya menyertai paralisis Duchenne – Erb dan
diafragma yang terkena biasanya diafragma kanan. Pada paralisis berat bayi
dapat memperlihatkan sindroma gangguan pernafasan dengan dispneu dan
sianosis. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan röntgen foto torak atau
fluoroskopi dimana diafragma yang terganggu posisinya lebih tinggi.
Pengobatan biasanya simptomatik. Bayi harus diletakkan pada sisi yang
terkena gangguan dan kalau perlu diberi oksigen. Infeksi paru merupakan
komplikasi yang berat. Penyembuhan biasnya terjadi spontan pada bulan ke-
1 samapi ke-3. (3,11,12)
c. Paralisis plexus brachialis
Kelainan ini dibagi atas :
 paralisis Duchenne – Erb, yaitu kelumpuhan bagian-bagian tubuh
yang disarafi oleh cabang-cabang C5 dan C6 dari plexus brachialis.

379
Pada keadaan ini ditemukan kelemahan untuk fleksi, abduksi, serta
memutar ke luar disertai hilangnya refleks biseps dan Moro.
 Paralisis Klumpke, yaitu kelumpuhan bagian-bagian tubuh yang
disarafi oleh cabang C8-Th 1 dari plexus brachialis. Disini terdapat
kelemahan oto-otot fleksor pergelangan, sehingga bayi kehilangan
refleks mengepal.
Kelainan ini timbul akibat tarikan yang kuat di daerah leher pada saat
lahirnya bayi, sehingga terjadi kerusakan pada plexus brachialis. Hal ini
ditemukan pada persalinan sungsang apabila dilakukan traksi yang kuat
dalam usaha melahirkan kepala bayi. Pada persalinan presentasi kepala,
kelainan dapat terjadi pada janin dengan bahu lebar.
Penanggulangannya dengan jalan meletakkan lengan atas dalam posisi
abduksi 90° dan putaran ke luar. Siku berada dalam fleksi 90° disertai
supinasi lengan bawah dengan ekstensi pergelangan dan telapak tangan
menghadap ke depan. Posisi ini dipertahankan untuk beberapa waktu.
Penyembuhan biasanya setelah beberapa hari, kadang-kadang 3-6 bulan.
d. Paralisis pita suara
Kelainan ini mungkin timbul pada setiap persalinan dengan traksi kuat di
daerah leher. Trauma tersebut dapat mengenai cabang ke laring dari nervus
vagus, sehingga terjadi gangguan pita suara (afonia), stridor pada inspirasi,
atau sindroma gangguan pernafasan. Kelainan ini dapat menghilang dengan
sendirinya dalam waktu 4-6 minggu dan kadang-kadang diperlukan tindakan
trakeotomi pada kasus yang berat.
e. Kerusakan medulla spinalis
Kelainan ini ditemukan pada kelahiran letak sungsang, presentasi muka
atau presentasi dahi. Hal ini terjadi akibat regangan longitudinal tulang
belakang karena tarikan, hiperfleksi, atau hiperekstensi pada kelahiran. Gejala
yang ditemukan tergantung dari bagian medulla spinalis yang terkena dan
dapat memperlihatkan sindroma gangguan pernafasan, paralisis kedua
tungkai, retensio urine, dan lain-lain. Kerusakan yang ringan kadang-kadang
tidak memerlukan tindakan apa-apa, tetapi pada beberapa keadaan perlu
dilakukan tindakan bedah atau bedah saraf.
5. Perlukaan lain
 Perdarahan intra abdominal
Kelainan ini dapat terjadi akibat teknik yang salah dalam memegang bayi
pada ekstraksi persalinan sungsang. Gejala yang dapat dilihat ialah adanya
tanda-tanda syok, pucat, anemia, dan kelainan abdomen tanpa tanda-tanda

380
perdarahan yang jelas. Ruptur hepar, lien dan perdarahan adrenal merupakan
beberapa faktor yang dapat menimbulkan perdarahan ini. Operasi serta
transfusi darah dini dapat memperbaiki prognosis bayi.

Trauma pada jaringan lunak

1. Perlukaan Kulit

Diagnosis : Perlukaan pada bayi timbul pada persalinan dengan cunam atau
vakum ekstraktor

Tindakan : Bersihkan daerah luka, Beri antiseptik lokal

2. Caput Suksedaneum

Pengertian : Pembengkakan pada suatu tempat dan kepala / adanya timbunan


getah bening bawah lapisan apenorose di luar periostium.

Etiologi Karena adanya tekanan pada kepala oleh janin lahir baik pada : Partus
lama, Persalinan dengan vacum ekstraksi.

caput suksedanum terjadi bila :Ketuban sudah pecah, His cukup kuat, makin kuat
his, makin besar caput suksedaneum, Anak hidup, tidak terjadi pada anak yang
mati, Selalu terjadi pada bagian yang terendah dari kepala.

Tanda / gejala : Adanya odem di kepala berwarna kemerahan, Pada perabaan


terasa lembut dan lunak, Odema melampaui sela-sela tengkorak. Batas tidak jelas,
Menghilang 2-3 hari tanpa pengobatan.

Patofisiologi : Persalinan dengan vacum forcep, Partus lama , Tekanan daerah


kepala sub periostal, Kerusakan jaringan sub periostal, Kerusakan integritas
jaringanNutrisi, Injury, Eliminasi alvi

Tindakan : Kelainan ini tidak memerlukan pengobatan khusus, biasanya


menghilang dalam beberapa hari setelah lahir.

3. Cephal hematoma

Pengertian : Pembengkakan pada kepala karena adanya penumpukan darah yang


disebabkan oleh perdarahan subperiostium.

Etiologi Tekanan jalan lahir terlalu lama pada kepala waktu persalinan, Moullage
terlalu keras, selaput tengkorak robek

381
Partus dengan tindakan :Forcep, Vacum ekstraksi, Frekuensi 0,5 – 2% dari
kelahiran hidup

Tanda / gejala : Kepala bengkak dan merah Batas jelas, Pada perabaan mula-mula
lunak, lambat laun keras. Menghilang pada waktu beberapa minggu.

Patofisiologi :Partus lama , Moulage terlalu keras, Persalinan dengan vacum dan
forcep, Tekanan daerah kepala sub periostal, Perdarahan, Kerusakan jaringan sub
periostal, Kerusakan integritas jaringan, Nutrisi, Injury, Eliminasi alvi

Tindakan : Bila tidak ada gejala lanjut, kelainan ini tidak memerlukan tindakan
khusus, karena akan menghilang dengan sendirnya setelah 3-4 bulan.

4. Trauma Muskulus Sternokleidomastoideus

Diagnosis : Minggu pertama  terdapat tumor berdiameter 1,2 cm pada muskulus


sternokleidomastoideus. Berbatas tegas, sukar digerakkan dari dasarnya. Kepala
serta leher bayi cenderung miring ke arah otot yang sakit. Akan terjadi penyembuhan
sendiri, tetapi otot menjadi lebih pendek dari normal. Tumor ini timbul akibat
perlukaan yang menimbulkan hematoma ketika melahirkan kepala bayi pada
persalinan letak sungsang.

Tindakan : Lakukan fisioterapi dengan menggerakkan kepala bayi ke kanan dan ke


kiri setiap hari 5-10 kali. Beri antiseptik lokal

Trauma pada Susunan Saraf

1. Paralisis Pleksus Brakialis

Etiologi : Akibat tarikan kuat di daerah leher saat bayi lahir sehingga terjadi
kerusakan pada pleksus brakialis.

Diagnosis :

 Paralisis Duchene – Erb Terjadi kelemahan pada lengan untuk fleksi,


abduksi serta memutar keluar disertai hilangnya refleks biseps dan moro.
Lengan pada posisi aduksi dan memutar ke dalam dengan lengan bawah
proslasi dan telapak tangan ke arah belakang
 Paralisis Klumpke Timbulnya kelemahan pada otot fleksor pergelangan
sehingga bayi kehilangan refleks mengenal. Paralisis ini jarang terjadi.

Tindakan : Rujuk ke rumah sakit untuk fisioterapi

2. Paralisis Nervus Fasialis

382
Diagnosis : - Timbul gejala separuh muka bayi tidka dapat digerakkan. Kelainan
ini terjadi akibat tekanan perifer pada Nervus fasialis saat lahir Sering terjadi pada
persalinan dengan ekstraksi cuman

Tindakan : - Bila kelainan pada saraf VIII hanya berupa edema. Biasanya sembuh
dalam beberapa hari tanpa tindakan khusus. Jika 1 minggu  tidak ada
perubahan, segera rujuk / konsultasi ke rumah sakit

3. Paralisis Nervus Frenikus

Etiologi : Kelahiran sungsang  regangan pada pleksus brakialis yang


menyebabkan regangan pada Nervus Frenikus karena jalannya bersamaan

Tindakan : - Terjadi paralisis pada Nervus Frenikus yang bersifat unilateral atau
bilateral  terjadi paralisis diafragma. Paralisis nervus frenikus biasanya
menyertai paralisis duchene – Erb dan diafragma yang terkena biasanya diafragma
kanan sehingga bila ada paralisis Duchene – Erb perhatikan pernapasan bayi. Pada
paralisis berat, bayi dapat memperlihatkan sindrome gangguan pernapasan
dengan dispne dan sianosis.

Tindakan : Rujuk ke rumah sakit

Perdarahan Intrakranial

Diagnosis : - Terdapat gejala asfiksia yang sukar diatasi Setengah sadar, merintih, Sesak
napas, Pucat, Muntah, Ada kalanya dengan kejang

Gejala neurologi yang timbul akan bervariasi, tergantung pada tempat dan luasnya
kerusakan jaringan otak yang diakibatkan oleh perdarahan tersebut.

Tindakan : - Vitamin K injeksi 12 mg/im untuk bayi aterm dan 1 mg untuk bayi preterm
Hindari manipulasi Rujuk ke rumah sakit

Patah Tulang

1. Fraktura Klavikula

Etiologi : - Bayi besar Persalinan letak sungsang dengan lengan menumbuk ke


atas Sering timbul kesulitan dalam melahirkan bahu

Diagnosis : - Timbul kelemahan pada lengan sisi yang terkena disertai


menghilangnya refleks moro pada sisi tersebut Bisa dengan palpasi dan jika
perlu dengan potret rontgen

383
Tindakan : Imobilisasi dengan menggunakan “Ransel Verband”

2. Fraktura Humeri

Etiologi : - Kesalahan teknis dalam melahirkan lengan pada persalinan kepala

Letak sungsang denganlengan menumbung ke atas

Diagnosis : - Lengan pada sisi terkena tidak dapat digerakkan disertai


menghilangnya reflek moro

Tindakan : - Imobilisasi lengan selama 2,4 minggu

Rujuk ke rumah sakit

3. Fraktura Femoris

Etiologi : - Kesalahan teknis dalam persalinan letak sungsang

Kelainan ini jarang terjadi

Diagnosis : - Imobilisasi

Rujuk ke rumah sakit

PENYAKIT JANTUNG KONGENITAL

1. Definisi
Penyakit jantung kongenital merupakan penyakit jantung yang terjadi akibat
kelainan dalam perkembangan jantung dan pembuluh darah, sehingga dapat
mengganggu dalam fungsi jantung dan sirkulasi darah jantung atau yang dapat
mengakibatkan sianosis dan asianosis. Penyakit jantung kongenital atau penyakit
jantung bawaan adalah sekumpulan malformasi struktur jantung atau pembuluh
darah besar yang telah ada sejak lahir. Penyakit jantung bawaan yang kompleks
terutama ditemukan pada bayi dan anak. Apabila tidak dioperasi, kebanyakan
akan meninggal waktu bayi. Apabila penyakit jantung kongenital ditemukan pada
orang dewasa, hal ini menunjukkan bahwa pasien tersebut mampu melalui seleksi
alam, atau telah mengalami tindakan operasi dini pada usia muda. 2,6

2. Klasifikasi
Penyakit jantung kongenital secara umum diklasifikasikan menjadi 2 tipe
yaitu kongenital asianosis dan kongenital sianosis. 2,6

a. Kelainan Jantung Kongenital Asianosis


1) Defek Sekat Atrium Tipe Sekundum

384
Sifat khusus kelainan ini adalah tidak ada sianosis, volume aliran
darah ke paru bertambah, dan shunt terletak di daerah atrium. Pada bayi,
kelainan ini sekitar 10% dari semua kelainan jantung kongenital. Pada bayi,
biasanya jarang menimbulkan keluhan, kadang-kadang ditemukan pada
pemeriksaan auskultasi rutin pada bayi, terdengar bising, dan pada
pemeriksaan radiologi dada ditemukan adanya gambaran kelainan jantung.
Menurut lokalisasi dan terjadinya ada 3 jenis, yaitu:

a) Defek sinus venosus


b) Defek sekat sekundum
c) Defek sekat primum
2) Defek Sekat Atrium Tipe Primum
Sifat khusus kelainan adalah tidak ada sianosis, volume aliran darah
ke paru lebih banyak dan shunt terletak di daerah atrium. Defek terjadi
pada sekat primum yang terletak di bagian kaudal sekat atrium. Di bagian
kaudal, sekat primum ini berbatasan langsung dengan katup mitral dan
katup trikuspidalis. Oleh karena itu, adanya defek ini sering diikuti oleh
defek katup mitral atau katup trikuspidalis karena kedua katup ini tadinya
berasal dari bantalan endokardium.

3) Defek Septum Ventrikel (VSD)


Sifat khususnya adalah tidak ada sianosis, aliran darah pada arteri
pulmonalis lebih banyak, dan shunt pada daerah ventrikel. Kelainan ini
merupakan kelainan terbanyak, yaitu sekitar 25% dari seluruh kelainan
jantung. VSD sering bersama dengan kelainan lain, misalnya trunkus
arteriosus, Tetralogy of Fallot.
4) Patent Ductus Arteriosus (PDA)
Sifat khusus adalah tanpa sianosis, aliran darah pada arteri pulmonalis
lebih banyak, dan shunt terletak antara dua arteri besar (arteri pulmonalis
dan aorta). Pada kelainan ini, duktus yang seharusnya menutup tidak
menutup yang mengakibatkan aliran darah dari ventrikel kanan ke paru-paru
melalui arteri pulmonalis bercampur dengan darah yang lain.
5) Stenosis Pulmonal
Merupakan suatu obstruksi anatomis pada jalan keluar ventrikel kanan
dan karenanya ada perbedaan tekanan antara arteri pulmonalis dan ventrikel
kanan. Obstruksi anatomis dapat terletak subvalvular, valvular, dan
supravalvular.
6) Stenosis Aorta

385
Obstruksi pada jalan keluar ventrikel kiri dan ada suatu perbedaan
tekanan antara ventrikel kiri dan aorta. Obstruksi dapat terletak sebelum
katup, pada katup, dan sesudah katup.
7) Insufisiensi Aorta
Adanya aliran diastolik melalui katup aorta yang terbuka langsung
ke dalam ventrikel kiri. Insufisiensi katup terjadi pada katup unikuspid
unikomisura, unikuspid, pada stenosis subaorta, stenosis supravalvular,
pada defek sekat ventrikel, dan pada terowongan ventrikel kiri aorta.
8) Koarktasio Aorta
Merupakan obstruksi pada aorta desendens yang lokalisasinya
hampir selalu pada masuknya duktus arteriosus. Kelainan ini cukup banyak,
dengan insiden berkisar 6% dari seluruh kelainan jantung, ada pada urutan
keempat dari kelainan jantung yang menimbulkan gejala pada masa bayi.
2. Kelainan Jantung Kongenital Sianosis
1. Kesalahan Muara Semua Vena Pulmonalis
Sifat khusus kelainan ini adalah terdapat sianosis, volume aliran darah ke
dalam pulmonal berlebih, dan shunt terletak pada daerah atrium. Kesalahan
muara semua vena pulmonalis adalah suatu muara yang abnormal dari vena
pulmonalis ke vena sistemik, yang seharusnya bermuara ke atrium kiri.
2. Tetralogy of Fallot
Sifat khusus adalah terdapat sianosis, aliran darah dari paru berkurang dan
shunt pada daerah ventrikel. Tetralogy of Fallot digambarkan dengan 4 kelainan
yaitu stenosis pulmonal, VSD, hipertrofi ventrikel kanan, dan dekstroposisi aorta
pada sekat ventrikel.
3. Transposisi Arteri Besar Komplit
Sifat khusus yaitu terdapat sianosis, aliran darah dalam pulmo berlebih,
dan shunt pada daerah atrium. Merupakan suatu keadaan dengan aorta beserta
cabang-cabang arteri koronarianya berasal dari ventrikel kanan, sedangkan arteri
pulmonalis dari ventrikel kiri. Kedua katup dari kedua ventrikel tersebut normal
dan letak anatomi vena pulmonalis dan sinus koronarius normal.
4. Ventrikel Tunggal
Sifat khusus yaitu sianosis, aliran darah dalam paru berlebih, dan shunt
pada daerah ventrikel. Pada ventrikel tidak ada sekat sama sekali, namun masih
mempunyai dua katup atrioventrikuler.
5. Sindrom Hipoplasia Jantung Kiri
Merupakan suatu kumpulan kelainan jantung yang bersifat obstruksi pada
sebelah kiri jantung dan hipoplasia ventrikel kiri. Kelainan yang termasuk dalam

386
sindrom ini adalah atresia atau hipoplasia berat dan stenosis aorta dan/atau katup
mitral dan atresi serta hipoplasi arkus aorta.
6. Atresia Trikuspid
Aliran darah dalam paru berkurang, shunt pada daerah atrium dan
ventrikel. Pada EKG dapat terlihat gambaran hipertrofi ventrikel kiri. Pada
kelainan ini, katup trikuspid tidak terbentuk sehingga tidak terdapat hubungan
langsung antara atrium kanan dan ventrikel kanan. Dengan demikian, darah
venosa harus mengalir melalui atrium kanan ke atrium kiri. Kemudian darah akan
mengalir ke aorta, dan sebagian lagi melewati defek sekat ventrikel kiri. Dari sini
darah mengalir sebagian ke aorta, sebagian lagi melewati defek sekat ventrikel
ke ventrikel kanan dan ke arteri pulmonalis.
TETRALOGY OF FALLOT (TOF)

i. Definisi
Tetralogy of Fallot (TOF) adalah penyakit jantung kongenital dengan kelainan
struktur jantung yang muncul pada saat lahir dan terjadi perubahan aliran darah di
jantung. 7

Gambar 2.5 Tetralogy of Fallot

TOF melibatkan empat kelainan jantung, yaitu:

a. Stenosis Pulmonal

387
Hal ini diakibatkan oleh penyempitan dari katup pulmonal, dimana darah mengalir
dari ventrikel kanan ke arteri pulmonalis. Secara fisiologis, darah yang sedikit oksigen
dari ventrikel kanan akan mengalir melalui katup pulmonal, masuk ke dalam arteri
pulmonalis, dan keluar ke paru-paru untuk mengambil oksigen. Pada stenosis
pulmonal, jantung harus bekerja lebih keras dari biasanya untuk memompa darah dan
tidak cukup darah untuk mencapai paru-paru.
b. Ventricular Septal Defect (VSD)
Jantung memiliki dinding yang memisahkan dua bilik pada sisi kiri dari dua bilik di
sisi kanan yang disebut septum. Septum berfungsi untuk mencegah bercampurnya
darah yang miskin oksigen dengan darah yang kaya oksigen antara kedua sisi jantung.
Pada VSD dijumpai lubang di bagian septum yang memisahkan kedua ventrikel di
ruang bawah jantung. Lubang ini memungkinkan darah yang kaya oksigen dari
ventrikel kiri untuk bercampur dengan darah yang miskin oksigen dari ventrikel
kanan.8
Jika VSD cukup besar, maka akan ada peningkatan dalam aliran darah ke paru dan
akan menyebabkan dilatasi ventrikel kiri dan arteri kiri dan akhirnya mengakibatkan
gagal jantung karena ketika ventrikel kiri menjadi melebar sesuai dengan "frank-
starling law" yaitu ketika otot jantung mengalami dilatasi maka kontraktilitas jantung
akan menurun dan jantung tidak bisa mengkompensasi lagi sehingga curah jantung
akan berkurang dan gagal jantung bisa terjadi. 9
c. Dekstroposisi dari aorta
Ini merupakan kelainan pada aorta yang merupakan arteri utama yang membawa
darah yang kaya oksigen ke seluruh tubuh. Secara anatomi jantung yang normal, aorta
melekat pada ventrikel kiri. Hal ini memungkinkan hanya darah yang kaya oksigen
mengalir ke seluruh tubuh. Pada TOF, aorta berada diantara ventrikel kiri dan kanan,
langsung di atas VSD. Hal ini mengakibatkan darah yang miskin oksigen dari
ventrikel kanan mengalir langsung ke aorta bukan ke dalam arteri pulmonalis
kemudian ke paru-paru.
d. Hipertrofi ventrikel kanan
Kelainan ini terjadi jika ventrikel kanan menebal karena jantung harus memompa
lebih keras dari seharusnya agar darah dapat melewati katup pulmonal yang
menyempit.

Obstruksi aliran darah arteri pulmonal biasanya pada kedua infundibulum


ventrikel kanan dan katup pulmonal. Obstruksi total dari aliran ventrikel kanan (atresia
pulmonal) dengan VSD diklasifikasikan dalam bentuk ekstrim dari TOF. 10

388
Darah dari kedua ventrikel dipompa ke seluruh tubuh, termasuk darah yang
miskin oksigen. Hal ini mengakibatkan bayi dan anak-anak dengan TOF sering memiliki
warna kulit biru yang disebut sianosis karena miskinnya oksigen di dalam darah. Saat
lahir kemungkinan bayi tidak terlihat biru tetapi kemudian bisa terjadi episode mendadak
yang disebut spell ditandai dengan kulit kebiruan saat menangis atau makan. 8

Epidemiologi

TOF adalah penyakit jantung kongenital yang kompleks dengan angka kejadian
sekitar 5 dari setiap 10.000 kelahiran. Penyakit jantung kongenital ini dapat dijumpai pada
anak laki-laki maupun perempuan.7

CDC memperkirakan setiap tahunnya sekitar 1.575 bayi di Amerika Serikat yang
lahir dengan TOF. Dengan kata lain, sekitar 4 dari setiap 10.000 bayi yang lahir di
Amerika Serikat setiap tahunnya lahir dengan TOF. 8

TOF mewakili 10% dari kasus penyakit jantung kongenital dan merupakan
penyebab paling umum dari penyakit jantung kongenital sianotik. Insiden terjadinya TOF
lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan.11

Prevalensi TOF terjadi pada 3-6 bayi untuk setiap 10.000 kelahiran dan
merupakan penyebab paling umum penyakit jantung kongenital sianotik. TOF
menyumbang sepertiga dari semua penyakit jantung kongenital pada pasien yang berusia
kurang dari 15 tahun. Dalam kebanyakan kasus, TOF adalah sporadis dan nonfamilial.
Kejadian pada saudara kandung dari orang tua pasien yang mengalami TOF sekitar 1-
5% dan lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan. Kelainan ini berhubungan
dengan anomali extrakardiak seperti labiaskizis dan palatum, hipospadia, kelainan
rangka dan kraniofasial. Sebuah mikrodelesi dalam kromosom 22 (22q11) telah
diidentifikasi pada pasien dengan TOF sebagai salah satu manifestasi kardiovaskular. 12,13

Etiologi

Penyebab penyakit jantung kongenital sebagian besar tidak diketahui, meskipun


penelitian genetik menunjukkan etiologi multifaktorial. Faktor prenatal yang
berhubungan dengan insiden yang lebih tinggi pada TOF termasuk rubella virus atau
penyakit virus lainnya selama kehamilan, gizi buruk prenatal, kebiasaan ibu minum
alkohol, usia ibu yang lebih dari 40 tahun, dan diabetes.8,14

Anak-anak dengan Sindrom Down memiliki insiden yang lebih tinggi untuk
terjadinya TOF. Diantara bayi dengan Sindrom Down (trisomi 21) didapatkan kejadian
jantung bawaan hampir 40% kasus banyak diantaranya kelainan umum seperti kelainan

389
atrium dan Patent Ductus Arteriosus (PDA). Namun, ada juga kondisi yang jarang terjadi
seperti defek septum atrium dan ventrikel yang besar. 8,13,14

CDC bekerja dengan peneliti lainnya untuk mempelajari faktor resiko yang dapat
meningkatkan kemungkinan memiliki bayi dengan TOF dan ditemukan beberapa hal
berikut:

1. Tingkat TOF meningkat dari tahun ke tahun.


2. Lingkungan, khususnya karbon monoksida, mungkin menjadi faktor risiko untuk
melahirkan bayi dengan TOF meskipun penelitian lebih lanjut diperlukan.
3. Adanya risiko tinggi untuk mengalami TOF antara bayi berkulit putih daripada bayi
dari ras lain.
4. Tidak ada hubungan yang kuat antara penggunaan kafein dengan ibu dan risiko TOF. 8

Patofisiologi

Biasanya sisi kiri jantung hanya memompa darah ke seluruh tubuh dan sisi kanan
jantung memompa darah hanya ke paru-paru. Pada anak dengan TOF, darah dapat
melakukan perjalanan melintasi lubang (VSD) dari ventrikel kanan ke ventrikel kiri dan
keluar ke dalam aorta. Obstruksi pada katup pulmonal dari ventrikel kanan ke arteri
pulmonalis mencegah jumlah normal darah dari yang dipompa ke paru-paru. Kadang-
kadang katup pulmonal benar-benar terhalang yang disebut pulmonal atresia.15

Pada kenyataannya, hanya dua kelainan yang diperlukan pada TOF yaitu VSD
yang cukup besar untuk menyamakan tekanan di kedua ventrikel dan stenosis pulmonal.
Hipertrofi ventrikel kanan merupakan efek sekunder dari stenosis pulmonal.dan VSD.
VSD yang paling sering pada TOF adalah tipe perimembranous di daerah subpulmonal.
Aliran ventrikel kanan adalah obstruksi saluran paling sering dalam bentuk stenosis
infundibular sebanyak 45%. Obstruksi jarang pada tingkat katup pulmonal sekitar 10%.
Sebuah kombinasi dari dua juga dapat terjadi dengan angka kejadian 30%. Katup
pulmonal atretik adalah salah satu anomali yang berat dengan angka kejadian sekitar
15%. Pada kebanyakan pasien terjadi hipoplasia pada anulus pulmonal dan arteri
pulmonal.. Cabang-cabang arteri pulmonal biasanya kecil dengan stenosis perifer.
Obstruksi pada arteri pulmonal kiri sangat umum terjadi. Right aotic arc (RAC) juga
terjadi dengan angka kejadian 25% kasus. Pada sekitar 5% dari pasien TOF dapat
ditemukan arteri koroner yang abnormal. Kelainan yang paling umum adalah cabang
anterior descending timbul dari arteri koroner kanan dan melewati saluran keluar
ventrikel kanan.16

390
Mekanisme patogenetik dari pembentukan TOF dimulai selama morfogenesis
jantung sebelum septum ventrikel ditutup dengan pembagian ejeksi aliran ventrikel kanan
ke aliran aorta transeptal dan aliran pulmonal infundibular. Ejeksi aliran ventrikel kanan
disebabkan oleh obstruksi aliran oleh katup stenosis pulmonal yang dijumpai hampir di
semua kasus. Aliran aorta transeptal melewati ventrikel yang tidak tertutup septum
sehingga mempertahankan patensi hubungan kedua ventrikel dan memperluas VSD. 17

Gejala Klinis

Bayi dengan obstruksi ventrikel kanan yang ringan, awalnya mungkin terlihat
dengan gagal jantung yang disebabkan oleh pirau ventrikel dari kiri ke kanan. Seringkali
sianosis tidak muncul pada saat lahir tetapi dengan adanya dijumpai hipertrofi ventrikel
kanan, gangguan pertumbuhan dan perkembangan pasien. Sianosis terjadi di tahun
pertama kehidupan yang dapat terlihat di selaput lendir bibir, mulut, dan kuku. Pada bayi
dengan obstruksi ventrikel kanan yang berat, aliran darah paru tergantung pada aliran
melalui duktus arteriosus. Pada saat duktus mulai menutup dalam 1 jam atau beberapa
hari kehidupan, sianosis berat dan kolaps sirkulasi dapat terjadi. Anak dengan sianosis
yang berlama-lama dan belum menjalani operasi mungkin memiliki kulit berwarna biru
kehitaman, sklera abu-abu dengan pembuluh darah membesar, dan ditandai dengan jari
tabuh.10

Salah satu manifestasi lain adalah dispnoe yang biasanya timbul saat beraktivitas.
Pada saat terjadi dispnoe, anak akan mengambil posisi jongkok untuk mengurangi
dispnoe dan anak biasanya dapat melanjutkan aktivitas fisik dalam beberapa menit. 10

Hipersianotik paroksismal merupakan masalah yang dapat dijumpai selama tahun


pertama dan kedua kehidupan. Bayi menjadi hipersianosis dan gelisah, takipnoe, dan
sinkop. Spell paling sering terjadi di pagi hari yang berkaitan dengan pengurangan aliran
darah paru yang sudah terganggu dan bila berkepanjangan mengakibatkan hipoksia
sistemik yang berat dan asidosis metabolik. Spell dapat berlangsung dari beberapa menit
sampai beberapa jam namun jarang berakibat fatal yang ditandai dengan keadaan umum
lemah dan setelah serangan pasien tertidur. Spell yang berat dapat mengakibatkan
ketidaksadaran dan kadang-kadang ditemukan kejang dan hemiparese. Bayi dengan
sianosis yang ringan lebih rentan untuk terjadinya spell karena tidak memperoleh
mekanisme homeostatis untuk mentolerir penurunan cepat saturasi oksigen arteri seperti
polisitemia.10

Diagnosis

Ada beberapa langkah diagnostik, yaitu antara lain: 18.19

391
A. ANAMNESIS
1. Dapat terdengar bising jantung pada waktu lahir.
2. Biru sejak lahir atau kemudian sesudah lahir. Sesak saat beraktifitas, squatting,
hipoksik spell yang terjadi kemudian walaupun bayi hanya mengalami sianosis
ringan.
3. Bayi dengan TOF ringan (pink fallot) biasanya asimtomatik namun terkadang
dapat menunjukkan tanda gagal jantung, seperti pada VSD besar dengan pirau
dari kiri ke kanan.
4. Pasien dengan atresia pulmonal tampak sianosis pada saat lahir atau segera
setelah lahir.
B. PEMERIKSAAN FISIK
1. Sianosis dengan derajat yang bervariasi, nafas cepat, jari tabuh.
2. Tampak peningkatan aktifitas ventrikel kanan sepanjang tepi sternum dan thrill
sistolik dibagian atas dan tengah tepi sternum kiri.
3. Klik ejeksi yang berasal dari aorta dapat terdengar. Bunyi jantung II biasanya
tunggal, keras, bising ejeksi sistolik (grade 3-5/6) pada bagian atas dan tengah
tepi sternum kiri.
4. Pada tipe asianotik, dijumpai bising sistolik yang panjang.
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium
Didapatkan kenaikan jumlah eritrosit dan hematokrit (hiperviskositas) yang sesuai
dengan derajat desaturasi dan stenosis. Pada pasien TOF dengan kadar hemoglobin
dan hematokrit normal atau rendah, kemungkinan menderita defisiensi besi.
2. Elektrokardiografi
Right axis deviation (RAD) pada TOF sianotik. Pada bentuk yang asianotik aksis bisa
normal dan terdapat pembesaran ventrikel kanan. Pada TOF asianotik terdapat
pembesaran kedua ventrikel, biasanya disertai pembesaran atrium kanan.
3. Foto toraks
a. TF sianotik
 Besar jantung bisa normal atau lebih kecil dari normal, dan corakan paru
menurun. Pada TOF dengan atresia pulmonal dapat ditemukan lapangan paru
hitam.
 Segmen pulmonal cekung dan apeks terangkat, hingga jantung mirip sepatu
boot (boot-shaped heart).
 Tampak pembesaran ventrikel kanan dan atrium kanan. Pada 30% kasus arkus
aorta berada di kanan.
b. TF asianotik

392
 Gambaran radiologinya tidak dapat dibedakan dengan gambaran VSD kecil
sampai sedang.
 Ekokardiografi : 2D dan Doppler.
 VSD perimembran infundibular besar dengan overriding aorta dapat dilihat
dengan pandangan parasternal long axis.
 Anatomi jalan keluar ventrikel kanan, katup pulmonal, annulus pulmonal, dan
arteri pumonalis beserta cabang-cabangnya dapat dilihat dengan pandangan
short axis.
 Dengan Doppler dapat dinilai pressure gradient melalui obstruksi jalan keluar
ventrikel kanan. Ekokardiografi dapat menilai kelainan arteri koroner dan juga
kelainan lain yang berhubungan misalnya, ASD, persistant left superior vena
cava.
4. Kateterisasi jantung dan angiokardiografi
Kateterisasi jantung tidak diperlukan pada TOF, bila dengan pemeriksaan
ekokardiografi sudah jelas. Kateterisasi biasanya diperlukan sebelum tindakan bedah
koreksi dengan maksud untuk mengetahui defek septum ventrikel yang multipel,
deteksi kelainan arteri koronaria, dan mendeteksi stenosis pulmonal perifer.2

Penatalaksanaan19

Penanganan tetralogy of fallot yang efektif bertujuan untuk mencegah dan


mengatasi komplikasi yang terjadi, mengatasi blue spell dan manajemen paliatif atau
koreksi pembedahan.

a. Prosedur penanganan blue spell dilakukan tergantung pada frekuensi dan tingkat
keparahan serangan hipersianosis, yaitu:
1) Penempatan bayi di perut dalam posisi lutut-dada (knee-chest position) yaitu
menempelkan lutut ke arah dada sambil memastikan bahwa pakaian bayi tidak
ketat atau posisi jongkok pada anak yang sudah bisa berjalan untuk meningkatkan
tahanan vaskuler sistemik sehingga aliran darah dari ventrikel kanan ke kiri
berkurang.
2) Pemberian oksigen
Meskipun peningkatan oksigen inspirasi tidak akan menurunkan sianosis yang
disebabkan oleh shunting intracardiac, dengan usaha diatas diharapkan hiperpnea
dapat berkurang, dan anak menjadi tenang.
3) Suntikan morfin secara subkutan dengan dosis tidak lebih dari 0,2 mg / kg.
4) Koreksi natrium bikarbonat melalui intravena dengan cepat diperlukan jika
sianosis luar biasa parah sehingga terjadi asidosis metabolik atau jika anak

393
menunjukkan kurangnya respon terhadap terapi sebelumnya (PO2 arteri kurang
dari 40 mm Hg).
5) Propanolol 0,01-0,25 mg/kg IV perlahan-lahan untuk menurunkan denyut jantung
sehingga serangan dapat diatasi. Dosis total dilarutkan dengan 10 ml cairan dalam
spuit, dosis awal/bolus diberikan separohnya, bila serangan belum teratasi sisanya
diberikan perlahan dalam 5-10 menit berikutnya.
6) Ketamin 1-3 mg/kg (rata-rata 2,2 mg/kg) IV perlahan. Obat ini bekerja
meningkatkan resistensi vaskuler sistemik dan juga sebagai sedative.
7) Penambahan volume cairan tubuh dengan infus cairan dapat efektif dalam
penganan serangan sianotik. Penambahan volume darah juga dapat meningkatkan
curah jantung, sehingga aliran darah ke paru diharapkan bertambah dan aliran
darah sistemik membawa oksigen ke seluruh tubuh juga dapat meningkat.
8) Pengukuran pH darah secara berulang dilakukan karena kemungkinan terjadi
kekambuhan asidosis dapat berlangsung cepat sedangkan pemulihan dari sianosis
biasanya cepat sekali jika pH telah kembali normal.
b. Tetralogi of fallot hanya bisa disembuhkan melalui operasi. Tujuan utama
pembedahan adalah untuk mengembalikan aliran darah ke paru-paru sehingga dapat
menurunkan hipoksia. Operasi direkomendasikan pada usia 1 tahun ke atas guna
mencegah komplikasi kembali saat dewasa nantinya.
Manajemen bedah:

1) Blalock-Taussig (BT procedure), yaitu menghubungkan arteri subklavia ke arteri


pulmonal dengan shunt. Teknik ini memungkinkan aliran darah dari arteri
subklavia ke arteri pulmonal yang dapat meningkatkan aliran darah total ke
pulmonal sehingga meningkatkan saturasi oksigen.

Gambar 2.6 Blalock-Tausig Shunt

394
2) Perbaikan total berupa penutupan VSD dan reseksi stenosis infundibular, atau
valvulotomy paru (pemasangan patch) jika dibutuhkan karena setelah prosedur
blalock-taussig seiring pertumbuhan anak, kebutuhan aliran darah pulmonal
semakin meningkat. Angka mortalitas bedah untuk perbaikan total TOF adalah
5%.
Diagnosa Banding

A. Atresia Pulmonal
Atresia pulmonal adalah kelainan bawaan dari katup paru dimana lubang katup gagal
untuk mengembangkan. Katup benar-benar tertutup sehingga menghalangi aliran
darah dari jantung ke paru-paru. Karena ini, bayi yang baru lahir berwarna biru dan
atresia pulmonal biasanya dapat didiagnosis dalam jam atau menit setelah lahir.
B. Double Outlet Right Ventricle (DORV)
Pada penyakit ini kedua arteri besar keluar dari ventrikel kanan, masing-masing
dengan konusnya. Satu-satunya jalan keluar ventrikel kiri adalah ventricular septal
defect (VSD). Posisi kedua arteri besar ini adalah bersebelahan. Gambaran klinisnya
sangat bervariasi, bergantung kepada kelainan hemodinamik, dapat mirip defek
septum ventrikel, transposisi arteri besar atau TOF. Oleh sebab itu, untuk menegakkan
diagnosisnya, tidak mungkin hanya dengan gejala klinis saja. Foto toraks juga sangat
bervariasi, mungkin terdapat kardiomegali atau tidak, dengan vaskularisasi paru dapat
bertambah, normal atau berkurang sesuai demgan ada atau tidaknya stenosis
pulmonal, EKG sebagian besar kasus menunjukan deviasi sumbu ke kanan dengan
hipertrofi ventrikel kanan.
C. Transposition of Great Artery (TGA)
Pada penyakit ini, terjadi perubahan tempat keluarnya posisi aorta dan arteri
pulmonalis yakni aorta keluar dari ventrikel kanan dan terletak di sebelah anterior
arteri pulmonalis, sedangkan arteri pulmonalis keluar dari ventrikel kiri, terletak
posterior terhadap aorta. Gejala klinis yang terpenting adalah sianosis dan gagal
jantung kongestif. Sianosis tampak sangat jelas apabila komunikasi antara sirkulasi
paru dan sistemik tidak adekuat, dan akan berkurang apabila pencampurannya baik.
Gejala timbul pada minggu pertama, dan sianosis akan menjadi progresif apabila
duktus arteriosus menutup, bayi menjadi asidosis dan terjadi gagal jantung, terutama
pada kasus dengan septum ventrikel yang besar. Bayi menjadi sesak nafas sering
mengalami pneumonia dan pertumbuhannya menjadi lambat. Pada pemeriksaan fisik,
biasanya tampak biru yang tidak bervariasi dengan menangis atau pemberian oksigen.
Bunyi jantung I terdengar normal, sedang bunyi janutng II terdengar tunggal dan keras
akibat posisi anterior-posterior pembuluh darah besar. Biasanya tidak ada bising

395
jantung dan jika ada biasanya berasal dari stenosis pulmonal atau VSD. Getaran bising
jarang terjadi.

Komplikasi

a. Hipoksia organ-organ tubuh yang kronis.


b. Polisitemia.
c. Emboli sistemik.
d. Abses otak.
e. Cyanotic spell.
Prognosis

Prognosis dari penyakit jantung bawaan ini tanpa pembedahan, angka


kematiannya adalah 95% pada usia 20 tahun. Prognosis cukup baik pada yang dioperasi
saat anak-anak. Biasanya operasi telah dilakukan sebelum usia setahun, dengan
penutupan VSD dan koreksi dari stenosis pulmonal. Kelangsungan hidup 20 tahun adalah
90-95% setelah pembedahan. Prognosis jangka panjang kurang baik bila:

a. Dioperasi pada usia dewasa yang sudah terjadi gangguan fungsi ventrikel kiri akibat
hipoksia yang lama.
b. Pasca bedah dengan residual pulmonal insufisiensi berat sehingga terjadi gagal
ventrikel kanan.
FIBROADENOMA

Fibroadenoma adalah benjolan padat yang kecil dan jinak pada payudara yang
teridiri dari jaringan kelenjar dan fibrosa.Benjolan ini biasanya ditemukan pada wanita
muda, seringkali ditemukan pada remaja putri. Fibroadenoma mammae adalah tumor
jinak yang paling sering terjadi pada wanita. Tumor ini terdiri dari gabungan antara
kelenjar glandula dan fibrosa.

Secara histologi:

 Intracanalicular fibroadenoma; fibroadenoma pada payudara yang secara tidak


teratur dibentuk dari pemecahan antara stroma fibrosa yang mengandung serat
jaringan epitel.
 Pericanalicular fibroadenoma; fibroadenoma pada payudara yang menyerupai
kelenjar atau kista yang dilingkari oleh jaringan epitel pada satu atau banyak
lapisan. Tumor ini dibatasi letaknya dengan jaringan mammae oleh suatu jaringan
penghubung.

396
 Fibroadenoma yang sering ditemukan berbentuk bundar atau oval, tunggal,
relative mobile, dan tidak nyeri. Massa berukuran diameter 1-5cm. Biasanya
ditemukan secara tidak sengaja.

Etiologi dan Epidemiologi

Penelitian saat ini belum dapat mengungkap secara pasti apa


penyebabsesungguhnya dari fibroadenoma mammae, namun diketahui bahwa
pengaruhhormonal sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dari
fibroadenomamammae, hal ini diketahui karena ukuran fibroadenoma dapat berubah
padasiklus menstruasi atau pada saat kehamilan. Perlu diingat bahwa tumor iniadalah
tumor jinak, dan fibroadenoma ini sangat jarang atau bahkan sama sekalitidak dapat
menjadi kanker atau tumor ganas.Fibroadenoma mammae biasanya terjadi pada wanita
usia muda, yaitupada usia sekitar remaja atau sekitar 20 tahun. Berdasarkan laporan dari
NSWBreats Cancer Institute, fibroadenoma umumnya terjadi pada wanita dengan usia21-
25 tahun, kurang dari 5% terjadi pada usia di atas 50, sedangkan prevalensinya lebih dari
9% populasi wanita terkena fibroadenoma. Sedangkanlaporan dari Western Breast
Services Alliance, fibroadenoma terjadi pada wanitadengan umur antara 15 dan 25 tahun,
dan lebih dari satu dari enam (15%)wanita mengalami fibroadenoma dalam hidupnya.
Namun, kejadianfibroadenoma dapat terjadi pula wanita dengan usia yang lebih tua atau
bahkansetelah menopause, tentunya dengan jumlah kejadian yang lebih kecil disbanding
pada usia muda.

Penyebab

Fibroadenoma ini terjadi akibat adanya kelebihan hormon estrogen. Biasanya


ukurannya akan meningkat pada saat menstruasi atau pada saat hamil karena produksi
hormon estrogen meningkat Fibroadeno mamammae dibedakan menjadi 3 macam:

• Common Fibroadenoma
• Giant Fibroadenoma umumnya berdiameter lebih dari 5 cm.
• Juvenile fibroadenoma pada remaja.
Gejala

 Pertumbuhan fibroadenoma mammae umumnya tidak menimbulkan rasa sakit,


hanya ukuran dan tempat pertumbuhannya yang menyebabkan nyeri pada
mammae. Pada saat disentuh kenyal seperti karet
 Benjolan mudah digerakkan, batasnya jelas dan bisa dirasakan pada SADARI
(Pemeriksaan Payudara Sendiri)

397
 Teraba kenyal karena mengandung kolagen (serat protein yan gkuat yang
ditemukan didalam tulang rawan, urat daging dan kulit).

Pemeriksaan sendiri

a. Berdiri di depan cermin, perhatikan payudara. Dalam keadaan normal, ukuran


payudara kiri dan kanan sedikit berbeda. Perhatikan perubahan perbedaan
ukuran antara payudara kiri dan kanan dan perubahan pada puting susu
(misalnya tertarik ke dalam) atau keluarnya cairan dari puting susu. Perhatikan
apakah kulit pada puting susu berkerut.
b. Masih berdiri di depan cermin, kedua telapak tangan diletakkan di belakang
kepala dan kedua tangan ditarik ke belakang. Dengan posisi seperti ini maka
akan lebih mudah untuk menemukan perubahan kecil akibat kanker. Perhatikan
perubahan bentuk dan kontur payudara, terutama pada payudara bagian bawah.
c. Kedua tangan di letakkan di pinggang dan badan agak condong ke arah cermin,
tekan bahu dan sikut ke arah depan. Perhatikan perubahan ukuran dan kontur
payudara.
d. Angkat lengan kiri. Dengan menggunakan 3 atau 4 jari tangan kanan, telusuri
payudara kiri. Gerakkan jari-jari tangan secara memutar (membentuk lingkaran
kecil) di sekeliling payudara, mulai dari tepi luar payudara lalu bergerak ke arah
dalam sampai ke puting susu. Tekan secara perlahan, rasakan setiap benjolan
atau massa di bawah kulit. Lakukan hal yang sama terhadap payudara kanan
dengan cara mengangkat lengan kanan dan memeriksanya dengan tangan
kiri.Perhatikan juga daerah antara kedua payudara dan ketiak.
e. Tekan puting susu secara perlahan dan perhatikan apakah keluar cairan dari
puting susu. Lakukan hal ini secara bergantian pada payudara kiri dan kanan.
f. Berbaring terlentang dengan bantal yang diletakkan di bawah bahu kiri dan
lengan kiri ditarik ke atas. Telusuri payudara kiri dengan menggunakan jari-jari
tangan kanan. Dengan posisi seperti ini, payudara akan mendatar dan
memudahkan pemeriksaan.
g. Lakukan hal yang sama terhadap payudara kanan dengan meletakkan bantal di
bawah bahu kanan dan mengangkat lengan kanan, dan penelusuran payudara
dilakukan oleh jari-jari tangan kiri.
h. Pemeriksaan no. 4 dan 5 akan lebih mudah dilakukan ketika mandi karena
dalam keadaan basah tangan lebih mudah digerakkan dan kulit lebih licin.

398
Patologi

 Makroskopi: tampak bulat, elastis dan nodular, permukaan berwarna putih


keabuan.
 Mikroskopi: epitel proliferasi tampak seperti kelenjar yang dikelilingi oleh stroma
fibroblastic yang khas (intracanalicular f. dan pericanalicular f.

Penegakan Diagnosa

Pada awalnya penegakan diagnosa tehadap fibroadenoma mammae ini adalah


dilakukan pemeriksaan fisik, kemudian akan dilakukan mammogram (x-ray pada
mammae) atau ultrasound pada mammae apabila diperlukan. Yang paling pasti dan tepat
dalam diagnosa terhadap fibroadenoma mammae ini adalah penggunaan sample biopsi.
Pengambilan sampel biopsi ini dapat dilakukan dengan mengiris bagian mammae atau
dengan memasukkan jarum yang kecil dan panjang untuk mengambil sampel sel
fibroadenoma tersebut.

Diagnosa terhadap FAM ini dapat dibuat dengan penggabungan penilaian klinis,
ultrasonografi dan pengambilan sampel dengan penggunaan jarum. Penilaian klinis
terhadap benjolan payudara ini harus mempertimbangkan:

Umur:

 Karsinoma: umumnya menyerang pada usia menjelang menopause


 Fibroadenoma: umumnya menyerang wanita usia di bawah 30 tahun

TREATMENT/PENGOBATAN

Terapi untuk fibroadenoma tergantuk dari beberapa hal sebagai berikut:

 Ukuran
 Terdapat rasa nyeri atau tidak
 Usia pasien
 Hasil biopsyTerapi dari fibroadenoma mammae dapat dilakukan denganOperasi
pengangkatan tumor tersebut, biasanya dilakukan general anaesthetic pada
operasi ini. Operasi ini tidak akan merubah bentuk dari payudara, tetapi hanya
akan meninggalkan luka atau jaringan parut yang nanti akan diganti oleh jaringan
normal secara perlahan.

Karena FAM adalah tumor jinak maka pengobatan yang dilakukan tidak perlu
dengan pengangkatan mammae. Yang perlu diperhatikan adalah bentuk dan ukurannya
saja. Pengangkatan mammae harus memperhatikan beberapa faktor yaitu faktor fisik dan

399
psikologi pasien. Apabila ukuran dan lokasi tumor tersebut menyebabkan rasa sakit dan
tidak nyaman pada pasien maka diperlukan pengangkatan.

Askeb Pada Ibu Dengan FibroAdenoma

a. Lakukan anamnesa dengan cermat.


b. Lakukan pemeriksaan pada payudara, perhatikan adanya benjolan, ukuran,
bentuk, dan nyeri tekan, serta apakah berstektur kenyal atau padat.
c. Beritahu kepada ibu hasil pemeriksaan.
d. Memberikan dukungan psikis, dan emosional kepada ibu.
e. Lakukan rujukan.

CYSTOSARCOMA PHYILODES

Tumor filodes di payudara, merupakan tumor yang jarang terjadi dibandingkan


dengan fibroadenoma bermula dari intralobular stroma dan jarang disebabkan oleh
fibroadenoma.Tumor filodes (sistosarkoma filoides) merupakan suatu neoplasma jinak
yang bersifat menyusup (invasive) secara local dan dapat menjadi ganas (10-15%).
Pertumbuhannya cepat dan dapat ditemukan dalam ukuran yang besar. Tumor ini terdapat
pada semua usia, tetapi kebanyakan terdapat pada usia sekitar 45 tahun. Tumor filodes
ini dapat berukuran kecil sekitar 3-4 cm, dan dapat pula dalam ukuran yang sangat besar
dan membuat payudara menjadi besar (bengkak). Beberapa bentuk lobus dan kistik
karena tumor ini disebut sistosarkoma filodes, sebuah nama yang diperolehnya lebih dari
150 tahun yang lalu, yang ditemukan oleh seorang ilmuwan Jerman bernama Johannes
Muller pada tahun 1838. Nama itu jelas salah, karena di dalamnya tidak ditemukan kista
(gelembung yang mengandung cairan) dan juga bukan suatu sarkoma (keganasan).
Meskipndemikian, memang benar bahwa strukturnya berbentuk daun (phyllon = daun).
Masalahnya, tumor paydara ini biasanya tumbuh cepat, terkadang jinak, terkadang di
batas antara jinak dan ganas dan terkadang ganas. Untuk pemeriksaan ini seluruh tumor
diperlukan, karena di berbagai tempat pada bengkak tersebut, dapat terletak berbagai
macam jaringan. Jadi, hanya dapat diatasi dengan membuang seluruh tumor.

Gambaran klinik

Tumor ini bentuknya bulat atau lonjong dengan batas yang tegas dan dapat
digerakkan (mobil). Konsistensi tumor filodes ini ada bagian yang kistik dan padat seperti
karet, tidak melekat pada kulit dan oto pectoralis serta permukaan kulit yang tegang dan
mengkilat.

Etiologi

400
Tumor ini bias berasal dari fibroadenoma selular yang telah ada dan sekarang
telah mengandung satu atau lebih komponen asal measenkima. Diferensiasi dari
fibroadenoma didasarkan atas lebih besarnya derajat selularitas stroma, pleomorfisme
selular, inti hiperkromatikdan gambaran mitosis dalam jumlah yang bermakna. Protrusio
khas massa polopoid stroma hiperplastik ke dalam kanalikuli yang tertekan menghasilkan
penampilan seperti daun yang menggambarkan istilah filodes.

SARCOMA

Sarkoma jaringan lunak adalah tumor ganas yang berasal dari jaringan
mesenchym yang terdapat pada kerangka tubuh, kepala, leher dan ekstremitas kecuali
tulang dan tulang rawan.Menurut kamus kesehatan : Sarkoma adalah tumor ganas yang
tumbuh dari jaringan ikat, seperti tulang rawan, lemak, otot, atau tulang.

Dalam kategori jaringan lunak termasuk otot, tendon, fascia, ligament, lemak,
pembuluh darah, pembuluh limfe, saraf perifer, saraf autonom, ganglion, bursa, synovia,
kartilago palpebra, kartilango telinga dan lain-lain, namun tidak termasuk tulang,
kartilago, sumsum, kartilago hidung, mamae dan jaringan lunak dalam organ.

Insidennya di Indonesia belum diketahui pasti, namun diperkirakan 1 per 100.000


penduduk dan merupakan 1% dari seluruh tumor ganas. Sekitar 60% sarkoma jaringan
lunak mengenai ekstremitas, dimana ekstremitas bawah 3 kali lebih sering daripada
ekstremitas atas. Sisanya, 30% mengenai badan dan 10% mengenai kepala dan
leher.Faktor predisposisi sarkoma jaringa lunak adalah genetika, radiasi, virus, iatrogenik
(mis. Radiasi), dan imunologi.

Pemeriksaan Klinis

A. Anamnesis

Keluhan sangat tergantung dari dimana tumor tersebut tumbuh. Keluhan utama
pasien SJL daerah ekstremitas tersering adalah benjolan yang umumnya tidak nyeri dan
sering dikeluhkan muncul setelah terjadi trauma didaerah tersebut. Untuk SJL lokasi di
visceral/retroperitoneal umumnya dirasakan ada benjolan abdominal yang tidak nyeri,
hanya sedikit kasus yang disertai nyeri, kadang-kadang terdapat pula perdarahan gastro
intestinal, obstruksi usus atau berupa gangguan neuro vaskular.

Perlu ditanyakan bila terjadi dan bagaimana sifat pertumbuhannya, keluhan yang
berhubungan dengan infiltrasi dan penekanan terhadap jaringan sekitar, dan ketuhan yang
berhubungan dengan metastasis jauh.

401
B. Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan status generalis untuk menilai keadaan umum penderita dan tanda-
tanda metastasis pada paru, hati dan tulang.
2. Pemeriksaan status lokalis meliputi:
a. Tumor primer:
 Lokasi tumor
 Ukuran tumor
 Batas tumor, tegas atau tidak
 Konsistensi dan mobilitas

402
 Tanda-tanda infiltrasi, sehingga perlu diperiksa fungsi motorik/sensorik dan
tanda-tanda bendungan pembuluh darah, obstruksi usus, dan lain-lain sesuai
dengan lokasi lesi.
b. Pemeriksaan Penunjang
1. Foto polos untuk menilai ada tidaknya inliltrasi pada tulang.
2. MRI/CT-scan untuk menilai infiltrasi pada jaringan sekitarnya
3. Angiografi atas indikasi
4. Foto thoraks untuk menilai metastasis paru
5. USG hepar/sidik tulang atas indikasi untuk menilai metastasis
6. Untuk SJL retroperitoneal perlu diperiksa fungsi ginjal.
7. Biopsi
8. Untuk kasus kasus tertentu bila meragukan dilakukan emeriksaan
imunohistokimia
PROSEDUR TERAPI
Dibedakan atas lokasi SJL, yaitu:
1. Ekstremitas
2. Visceral/ retroperitoneal
3. Bagian tubuh lain
4. SJL dengan metastasis jauh
A. Ekstremitas
Pengelolaan SJL di daerah ekstremitas sedapat mungkin haruslah dengan tindakan
“the limb-sparring operation” dengan atau tanpa terapi adjuvant (radiasi/khemoterapi).
Tindakan amputasi harus ditempatkan sebagai pilihan terakhir. Tindakan yang dapat
dilakukan selain tindakan operasi adalah dengan khemoterapi intra arterial atau dengan
hyperthermia dan “limb perfusion“.
1. SJL Pada Ekstremitas Yang Resektabel
Setelah diagnosis klinis onkologi dan diagnosis histopatologi ditegakkan secara
biopsi insisi/eksisi, dan setelah ditentukan gradasi SJL serta stadium klinisnya, maka
dilakukan tindakan eksisi luas. Untuk SJL yang masih operabel/resektabel, eksisi luas
yang dilakukan adalah eksisi dengan “curative wide margin‘: yaitu eksisi pada jarak 5 cm
atau lebih dari zona reaktif tumor yaitu daerah yang mengalami perubahan warna
disekitar tumor yang terlihat secara inspeksi, yang berhubungan dengan jaringan yang
vaskuler, degenerasi otot, edema dan jaringan sikatrik.

 Untuk SJL ukuran < 5 cm dan gradasi rendah, tidak ada tindakan adjuvant setelah
tindakan eksisi luas.

403
 oBila SJL ukuran > 5 cm dan. gradasi rendah, perlu ditambahkan radioterapi
eksterna sebagai terapi adjuvan. erlu ditambahkan
 Untuk SJL ukuran 5-10 cm dan gradasi tinggi dittambahkan radioterapi eksterna
atau brakhiterapi sebagai terapi adjuvan
 Bila SJL ukuran > 10 cm dan gradasi tinggi, pertu dipertimbangkan pemberian
khemoterapi preoperatif dan pasta operatif dilakukan pemberian radioterapi
eksterna atau brakhiterapi.
2. SJL Pada Ekstremitas Yang Tidak Resektabel
Ada 2 pilihan yang dapat dilakukan, yaitu:

Sebelum tindakan eksisi luas terlebih dahulu ditakukan radioterapi preoperatif


atau neo adjuvan khemoterapi sebanyak 3 kali. Pilihan lain adatah dilakukan terlebih
dahulu eksisi kemudiian dilanjutkan dengan radiasi pasta operasi atau khemoterapi.
Eksisi yang dapat dilakukan:

 Eksisi “wide margin” yaitu 1 cm diluar zona reaktif.


 Eksisi “marginal margin” yaitu pada batas pseudo capsul.
 Eksisi “intralesional margin” yaitu memotong parenchim tumor atau debunking,
dengan syarat harus membuang massa tumor > 50% dan tumornya harus berespon
serhadap radioterapi atau khemoterapi.
Perlu perhatian khusus untuk SJL yang tidak ada respon terhadap radioterapi atau
khemoterapi dapat dipertimbangkan tindakan amputasi.
B. SJL Di Daerah Viseral/Retroperitoneol
Jenis histopatotogi yang sering ditemukan adalah liposarkoma dan
leiomiosarkoma. Bila dari penilaian klinis/penunjang ditegakkan diagnosis SJL
viseral/retroperitoneal harus dilakukan pemeriksaan tes fungsi ginjal dan pemeriksaan
untuk menilai pasase usus. Sebelum operasi dilakukan “persiapan kolon” untuk
kemungkinan dilakukan reseksi kolon. Modalitas terapi yang utama untuk SJL
viseral/retroperitoneal adalah tindakan operasi.
Bita SJL telah menginfiltrasi ginjal dan dari tes fungsi ginjal diketahui ginjal
kontralateral dalam kondisi baik, maka tindakan eksisi luas harus disertai dengan tindakan
nefrektomi. Dan bila telah menginfiltrasi kolon, maka dilakukan reseksi kolon. Seringkali
tindakan eksisi luas yang dilakukan tidak dapat mencapai reseksi radikal karena terbatas
oleh organ-organ vital seperti aorta, vena cava, dan sebagainya, sehingga tindakan yang
dilakukan tidak radikal dan terbatas pada pseudo kapsul. Untuk kasus yang demikian
perlu dipikirkan terapi adjuvan, berupa khemoterapi dan atau radioterapi.
D. SJL Dengan Metastasis luas

404
Bila lesi metastasis tunggal masih operabel/ resektabel dapat dilakukan tindakan
eksisi, tetapi bila tidak dapat dieksisi, maka dilakukan khemoterapi dengan Doxorubicin
sebagal obat tunggal atau dengan obat khemoterapi kombinasl, yaitu Doxorublcin +
Ifosfamide, terutama untuk pasten dengan status performance yang baik.
Obat-obat kombinasi yang lain adalah :
 Doxorubicin + Dacarbazine
 CyVADIC
 Doxorubicin + Ifosfamide + Mesna + Dacarbazine
b. Ruang lingkup : Sarkoma jaringan lunak
c. Indikasi operasi
 Semua sarkoma jaringan lunak. Terapi primer sarkoma jaringan lunak adalah
eksisi luas.
d. Kontra indikasi operasi
 Keadaan umum yang buruk, tumor dengan metastasis (relative)
e. Diagnosis Banding
 Tumor ganas, Tumor jinak jaringan lunak
f. Pemeriksaan penunjang
 Darah lengkap, faal hemostasis, fungsi hati, fungsi ginjal, rontgen thorax, USG
abdomen, foto tulang, CT Scan/MRI, hasil patologi anatomi biopsi/kelenjar limfe
regional dengan atau tanpa immunohistokimia
g. Komplikasi operasi
a. Perdarahan
Bila hemostasis tidak baik, dapat terjadi perdarahan di daerah operasi. Pada insisional
biopsi tumor, mudah terjadi perdarahan. Bila perdarahan merembes dan tidak dapat
dijahit (jaringan rapuh), dilakukan penekanan dan balut tekan diatas titik perdarahan
b. Infeksi dan Nekrosis Flap
Infeksi dapat muncul bila tehnik aseptik tidak dilaksanakan dengan tepat, atau sudah ada
infeksi di daerah yang di biopsi. Nekrosis flap terjadi bila terlalu tegang atau terlalu tipis,
atau tulang menekan flap dari dalam (pemotongan tulang kurang pendek).
h. Komplikasi Operasi
 Perdarahan, Infeksi, Nekrosis
i. Perawatan Pasca Bedah
 Elevasi tungkai selama 3-5 hari untuk mencegah edema post operasi
 Drain diangkat kira-kira pada hari ke 5 bila produsi minimal
 Antibiotika diberikan selama 3-5 hari sampai drain diangkat
 Isometrik exercise esok harinya setelah operasi
Askeb Pada Ibu Dengan Kista Sarcoma Filodes

405
a. Lakukan anamnesa dengan cermat.
b. Lakukan pemeriksaan pada payudara, perhatikan adanya benjolan, ukuran,
bentuk, mobil (dapat digerakkan), berstektur kenyal atau padat dan nyeri tekan,
serta apakah kulit payudara terlihat tegang dan mengkilat.
c. Beritahu kepada ibu hasil pemeriksaan.
d. Memberikan dukungan psikis, dan emosional kepada ibu.
e. Lakukan rujukan
KANKER PAYUDARA

Kanker payudara (karsinoma payudara) adalah tumor ganas yang tumbuh di


jaringan payudara. Jenis kanker ini sering terjadi pada wanita dan tidak menutup
kemungkinan jika terjadi pada kaum pria, hanya saja kasusnya sangat jarang.

Frekuensi kasus penyakit ini relatif tinggi di negara maju dan merupakan yang
terbanyak diderita dari jenis kanker lainnya. Sedangkan di Indonesia, kanker payudara
menempati peringkat kedua setelah kanker serviks.faktor resiko apa saja yang dapat
menyebabkan seseorang terserang kanker payudara, cara melakukan deteksi dini, dan
menghindari kanker payudara serta bagaimana Anda dapat mengetahui gejala-gejala
kanker payudara.

Faktor Resiko Terserang Kanker Payudara

Penyebab kanker payudara belum diketahui secara pasti tetapi ada beberapa faktor
resiko yang memungkinkan seorang wanita terserang penyakit ini, yakni sebagai berikut:

 Riwayat keluarga yang menderita kanker payudara.


 Wanita yang belum pernah hamil dan melahirkan.
 Kehamilan pertama terjadi setelah berumur 30 tahun.
 Mendapat menstruasi pertama pada usia di bawah 12 tahun dan menopause
setelah usia 55 tahun.
 Pemakaian pil KB atau terapi sulih estrogen.
 Obesitas pasca menopause dan pemakaian alkohol.

Bahan kimia - Beberapa penelitian telah menyebutkan pemaparan bahan kimia


yang menyerupai estrogen (yang terdapat di dalam pestisida dan produk industri lainnya)
mungkin meningkatkan risiko terjadinya kanker payudara.

Perlu diingat bahwa faktor-faktor yang disebutkan di atas tidaklah selalu dapat
memicu serangan kanker payudara, namun seringkali riwayat hidup seseorang yang
terkena kanker payudara berhubungan dengan faktor-faktor tersebut.

406
Gejala-Gejala Kanker Payudara

Ada beberapa gejala kanker payudara yang dapat dilihat. Berikut adalah gejala-
gejala yang dimaksud:

 Adanya benjolan pada payudara yang dapat diraba.


 Perubahan bentuk dan ukuran payudara.
 Adanya luka di sekitar puting susu dan sekitarnya yang sukar sembuh.
 Adanya cairan (darah atau nanah-berwarna kuning sampai kehijauan) yang
keluar dari puting susu.
 Perubahan pada puting susu seperti gatal, terasa terbakar, dan tertarik ke dalam
(retraksi).
 Adanya kerutan-kerutan (seperti jeruk purut) pada kulit payudara.
 Pada stadium lanjut bisa timbul nyeri tulang, penurunan berat badan,
pembengkakan lengan atau ulserasi kulit.

Segera periksakan payudara Anda ke dokter bila timbul gejala-gejala yang telah
disebutkan agar bisa segera ditangani dengan baik. Diusahakan untuk melakukan
diagnosis dini karena kanker payudara lebih mudah diobati dan bisa disembuhkan jika
masih pada stadium awal.Untuk mendeteksi secara dini, dapat dilakukan pemeriksaan
sendiri pada payudara setiap 5-7 hari setelah masa menstruasi, dengan mammografi
(pemeriksaan dengan sinar X), atau dengan biopsi (mengangkat sedikit jaringan kelenjar
susu untuk diagnosis).

Pencegahan Kanker Payudara

Banyak faktor resiko yang tidak dapat dikendalikan. Tetapi, beberapa ahli diet dan
ahli kanker percaya bahwa perubahan diet dan gaya hidup, secara umum bisa mengurangi
angka terjadinya kanker.

Saat ini, faktor yang terbukti memegang peranan penting dalam proses terjadinya
tumor adalah hormon estrogen. Estrogen merupakan hormon kelamin sekunder yang
berfungsi untuk membentuk dan mematangkan organ kelamin wanita, termasuk
payudara, selama pubertas.

Estrogen memicu pertumbuhan dan pematangan sel di organ kelamin wanita yang
disebut sel duct. Sel duct ini kemudian akan membelah secara normal. Saat-saat
pematangan sel duct ini merupakan saat yang paling rentan bagi sel tersebut terkena
mutasi.Jika ada satu sel yang mengalami mutasi akibat faktor keturunan, radiasi, radikal
bebas, dll, maka sel tersebut dapat membelah secara berlebihan yang seterusnya akan

407
berkembang menjadi kanker.Dari sini dapat disimpulkan bahwa estrogen merupakan
salah satu faktor yang bertanggung jawab terhadap resiko terjadinya kanker payudara.

Apa yang dapat dilakukan masing-masing wanita untuk mencegah timbulnya


kanker payudara?

1. Lakukan deteksi dini (pemeriksaan sendiri) setiap bulan setelah masa haid dan
pemeriksaan klinis (mammografi dan biopsi).
2. Hindari mengonsumsi makanan yang berlemak tinggi.
3. Penggunaan obat atau alat kontrasepsi yang mengandung hormon harus atas
petunjuk dokter.
4. Menyusui bayi selama mungkin (sampai sekitar 2 tahun).
5. Banyak mengonsumsi buah dan sayur serta kedelai termasuk produk olahannya.

Kunci untuk bertahan hidup adalah mendeteksi kanker payudara sedini mungkin,
sebelum ia memiliki kesempatan untuk menyebar. Pemeriksaan payudara secara pribadi
hendaknya dilakukan dengan teratur setiap bulan, karena seorang wanita harus waspada
dalam mencari sesuatu yang tampak atau terasa mencurigakan pada payudaranya, seperti
adanya pengerasan atau benjolan.

Tidak soal seberapa kecil hasil penemuannya, ia perlu segera menghubungi dokter.
Semakin dini suatu benjolan didiagnosa, semakin besar kendali yang dimiliki wanita
tersebut terhadap masa depannya.

Askeb Pada Ibu Dengan Kanker Payudara


A. Lakukan anamnesa dengan cermat.
B. Lakukan pemeriksaan pada payudara, perhatikan adanya benjolan, ukuran,
bentuk, dan nyeri tekan, serta apakah berstektur kenyal atau padat.
C. Beritahu kepada ibu hasil pemeriksaan.
D. Memberikan dukungan psikis, dan emosional kepada ibu.
E. Lakukan rujukan.
SADANIS
Pemeriksaan Payudara Klinis (SADANIS ) Tenanga medis merupakan ujung
tombak penanggulangan kesehatan masyarakat, mempunyai kesempatan luas
menemukan tumor payudara lebih awal. Kesempatan ini mungkin terwujud, apabila pada
wanita berusia dari 40 tahun atau golongan resiko tertinggi. Pemeriksaan payudara klinis
(SADANIS) sebaiknya dilakukan sitemis dan berurutan mulai dari inspeksi sampai
palpasi sebagai berikut :

408
1. Pasien duduk melintang diatas tempat duduk periksa, pakaian dibuka setinggi
pusat dan tanggan tergantung santai. Dengan cermat diamati simetrisasi dan
perubahan bentuk kedua payudara.
2. Kedua tangan diangkat ke atas kepala, sambil mengamati simetris dan perubahan
gerakan payudara. Adanya tarik pada kulit merupkan pertanda kemungkinan
karsinoma. Untuk melihat lebih jelas tarikan pada kulit, massa tumor ditekan
diantara dua jari sambil memperhatikan kemungkinan karsinoma. Untuk lebih
jelas tarikan pada kulit, massa tumor ditekan diantara dua jari sambil
memperhatikan kemungkinan dimpling sign sebagai pertanda adanya tarikan pada
kulit yang menutupi tumor.
3. Palpasi kelenjar getah bening dilakukan dengan lengan pasien diletakan santai
diatas tangan pemeriksa.
4. Palpasi leher terutama daerah supraklavikuler dilakukan dengan leher dalam
keadaan fleksi untuk mengetahui kemungkinan pembesaran getah bening
5. Pada posisi supine, kedua payudara dipalpasi sistemis mulai dari pinggir karena
area ini lebih sering ditemukan karsinoma. sampai pada puting susu, palpasi lebih
intensif dari area kuadran lateral atas
6. Nodul lebih jelas terabadiatas kulit diusapkan sabun sambil dipalpasi. Palpasi
dilakukan dengan telapak jari yang dirapatkan. Palpasi payudara diantara dua jari
tangan lurus dihindari, karena dengan cara ini kelenjar payudara normalpun teraba
seperti masaa tumor. Kadang kadang saling menekan puting payudara diantara
dua jari keluar cairan jernih atau campur darah.
Pada keadaaan demikian dianjurkan untuk membuat sediaan sitologi imrin
basah ataupun laring Pemeriksaaan klinis payudara pada usia 20-39 tahun
dilakukan tiap 3 tahun sekali sedangkan pada usia 40 tahun atau lebih dilakukan
tiap tahun setiap 18 benjolan pada payudara harus diperkirakan adanya kanker,
sampai dibuktikan bahwa benjolan itu bukan kanker. Penggunaan Metode
pemeriksaan payudara klinis (SADANIS) atau Clinical Breast Examination
(CBE) karena metode ini mempunyai beberapa keuntungan antara lain :
1) Program CBE merupakan pemeriksaan yang sederhana, mudah,
dan hasil dapat diketahui langsung
2) Tidak memerlukan sarana laboratorium dan hasilnya segera dapat
langsung.
3) Dapat juga dilaksanakan di Puskesmas bahkan mobil keliling,
yang dilakukan oleh dokter atau bidan.
4) CBE juga dapat dilakukan untuk mendeteksi kanker payudara
dengan stadium 1 dan 2 sebesar 68% temuan, antara lain:

409
a) Deteksi dini kanker payudara menggunakan metode
pemeriksaan payudara (SADANIS) atau Clinical Breast
Examination (CBE) dan dengan mengajarkan periksa
payudara sendiri (SADARI). Pemeriksaan SADANIS ini
bertujuan untuk menemukan benjolan pada payudara
sedini mungkin agar dapat dilakukan tindakan secara dini.
Istilah – istilah yang digunakan untuk menggambarkan
Bentuk : Apakah terdapat perbedaan bentuk payudara?
b) Kulit : Seperti apa tampak kulitnya? Apakah halus,
berkerut atau berlesung?
c) Cairan puting : Apakah ada cairan abnormal yang keluar
dari puting? Cairan dijelaskan berdasarkan warna,
kekentalan, bau, dan banyaknya.
d) Massa atau benjolan : sekelompok sel yang saling
menempel. Dapat diakibatkan oleh abses, kista, tumor
jinak, atau ganas.
e) Ukuran : berapa besar (cm) massanya? Jika massa bulat,
berapa diameternya Konsistensi : seperti apa massa atau
benjolan tersebut? Apakah keras, lunak, berisi cairan, atau
mengeras?
f) Mobilitas : saat dipalpasi, apakah massa tersebut dapat
bergerak atau tetap ditempat Mobilitas biasanya
menggunakan istilah seperti tetap (tidak bergerak saat
dipalpasi) bergerak bebas (bergerak saat dipalpasi) dan
bergerak terbatas (beberapa gerakan saat di palpasi).
Tumor jinak Dan Ganas pada Vulva,vagina,Tuba,Uterus,Ovarium

Tumor atau barah (bahasa Inggris: tumor, tumour) adalah sebutan untuk
neoplasma atau lesi padat yang terbentuk akibat pertumbuhan seltubuh yang tidak
semestinya, yang mirip dengan simtomabengkak. Tumor berasal dari katatumere dalam
bahasa latin yang berarti “bengkak”.

410
Tumor ganas (kanker) Vulva
Tumor jinak Dan Ganas pada Vulva,vagina,Tuba,Uterus,Ovarium

a. Pengertian
 Vulva merupakan bagian luar dari sistem reproduksi wanita, yang meliputi labia,
lubang vagina, lubang uretra dan klitoris.
 Tumor ganas vulva adalah kanker yang tumbuh dengan cepat dan tidak terkendali
pada daerah vulva dan merusak jaringan sekitarnya.

b. Epidemologi
80-85% terdapat pada wanita baik (pasca menopause), terutama yang dalam dekade ke-7
sebagai puncak insidensi, paling tidak mengenai 30%.
c. Etiologi
Tidak banyak diketahui mengenai etiologi jenis tumor ganas ini, meskipun disebut
tentang lambatnya menarche (15-17 tahun) dan awalnya menopous (40 tahun) dalam
riwayat penyakitnya.
d. Patologi
Lesi primer sering berupa ulkus dengan tepi induratif (ulcero-granulating) atau sebagai
tumbuhan eksofitik (kutil) dengan tempat predileksi terutama di labia mayora, labia
minora, klitoris dan komisura posterior.Lesi bilateral tidaklah jarang, bahkan kedua labia
mayora dapat simetris terkena (kissing).
e. Klasifikasi
 Karsinoma selskuamosa

Karsinoma sel skuamosa berasal dari sel-sel skuamosa yang merupakan jenis sel
kulit yang utama. Kanker jenis ini biasanya terbentuk secara perlahan selama
bertahun-tahun dan biasanya didahului oleh suatu perubahan prekanker yang
mungkin berlangsung selama beberapa tahun.

411
 Istilah kedokteran yang sering digunakan untuk keadaan prekanker ini
adalah Neoplasma Intraepitel Vulva (NIV). Intraepitel artinya sel-sel prekanker
terbatas pada epitel yang merupakan lapisan permukaan pada kulit vulva. NIV
terbagi menjadi 3 kelompok, yaitu NIV1, NIV2, and NIV3. Istilah lainnya untuk
NIV adalah displasia. Tingkat keparahan perubahan prekanker mulai dari yang
terendah sampai yang terberat:
 NIV1 atau displasia ringan
 NIV2 atau displasia menengah
 NIV3 atau displasia berat
 Karsinoma in situ
 Karsinoma invasif.
 Melanoma
Melanoma berasal dari sel penghasil pigmen yang memberikan warna pada kulit.
 Sarkoma
Sarkoma adalah tumor jaringan ikat di bawah kulit yang cenderung tumbuh
dengan cepat. Sarkoma vulva bisa menyerang semua golongan usia, termasuk
anak-anak.
 Karsinoma sel basal

Karsinoma sel basal sangat jarang terjadi pada vulva, karena biasanya menyerang
kulit yang terpapar oleh sinar matahari.
 Adenokarsinoma
Sejumlah kecil kanker vulva berasal dari kelenjar dan disebut adenokarsinoma.
Beberapa diantaranya berasal dari kelenjar Bartholin yang ditemukan pada lubang
vagina dan menghasilkan cairan pelumas yang menyerupai lendir. Kebanyakan
kanker kelenjar Bartholin adalah adenokarsinoma, tetapi beberapa diantaranya
(terutama yang tumbuh dari saluran kelenjar) merupakan karsinoma sel
transisional atau karsinoma sel skuamosa. Meskipun agak jarang,
adenokarsinoma juga bisa berasal dari kelenjar keringat pada kulit vulva.

f. Faktor resiko
 Infeksi HPV atau kutil kelamin (kutil genitalis) HPV merupakan virus penyebab
kutil kelamin dan ditularkan melalui hubungan seksual.
 Pernah menderita kanker leher rahim atau kanker vagina
 Infeksi sifilis
 Diabetes
 Obesitas

412
 Tekanan darah tinggi.
 Usia
Tigaperempat penderita kanker vulva berusia diatas 50 tahun dan dua pertiganya
berusia diatas 70 tahun ketika kanker pertama kali terdiagnosis. Usia rata-rata
penderita kanker invasif adalah 65-70 tahun.
 Hubungan seksual pada usia dini
 Berganti-ganti pasangan seksual
 Merokok
 Infeksi HIV
 HIV adalah virus penyebab AIDS. Virus ini menyebabkan kerusakan pada sistem
kekebalan tubuh sehingga wanita lebih mudah mengalami infeksi HPV
menahun. Golongan sosial-ekonimi rendah.Hal ini berhubungan dengan
pelayanan kesehatan yang adekuat, termasuk pemeriksaan kandungan yang rutin.
 Neoplasia intraepitel vulva (NIV)
 Liken sklerosus
 Penyakit ini menyebabkan kulit vulva menjadi tipis dan gatal.
 Peradangan vulva menahun
 Melanoma atau tahi lalat atipik pada kulit selain vulva.
g. Gejala
Kanker vulva mudah dilihat dan teraba sebagai benjolan, penebalan ataupun
luka terbuka pada atau di sekitar lubang vagina.Kadang terbentuk bercak bersisik
atau perubahan warna.Jaringan di sekitarnya mengkerut disertai gatal-gatal. Pada
akhirnya akan terjadi perdarahan dan keluar cairan yang encer. Gejala lainnya
adalah:

 nyeri ketika berkemih


 nyeri ketika melakukan hubungan seksual.
 Hampir 20% penderita yang tidak menunjukkan gejala.

h. Stadium
Stadium Kriteria

0 Karsinoma in situ, karsinoma intraepitel seperti pada penyakit


Bowen, penyakit Paget yang noninvasive

I Tumor terbatas pada vulva dengan diameter terbesar 2 cm /


kurang kelenjar di lipat paha tak teraba, atau teraba tidak

413
membesar dan mudah digerakan (mobil), klinis tidak
mencurigakan adanya anak sebar di situ.

II Tumor terbatas pada vulva dengan diameter > 2 c, kelejar di


lipat paha ( inguinal )tidak teraba bilateral, tidak membesar
dan mobil, klinis tidak mencurigakan adanya anak sebar di
situ.

III Tumor dari setiap ukuran dengan :

1) Perluasan ke urethra, atau vagina, perineum dan anus

2) Pembesaran kelenjar lipat pada uni/ bilateral, mobil tapi klinis


mencurigakan telah terinfiltrasi oleh sel tumor.

IV Tumor dari setiap ukuran yang :

1) Telah menginfiltrasi kandung kemih, mukosa rektum, atau ke


dua-duanya termasuk bagian proksimal dari urethra

2) Telah menyebar ke tulang atau metastasis jauh.

i. Diagnosa
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala, hasil pemeriksaan fisik dan
hasil biopsi jaringan. Jika hasil biopsi menunjukkan bahwa telah terjadi kanker vulva,
maka dilakukan beberapa pemeriksaan untuk mengetahui penyebaran kanker ke
daerah lain:

 Sistoskopi (pemeriksaan kandung kemih)


 Proktoskopi (pemeriksaan rektum)
 Pemeriksaan panggula dibawah pengaruh obat bius
 Rontgen dada
 CT scan dan MRI.

j. Pengobatan
Terdapat 3 jenis pengobatan untuk penderita kanker vulva:

 Pembedahan
 Eksisi lokal luas : dilakukan pengangkatan kanker dan sejumlah jaringan
normal di sekitar kanker.

414
 Eksisi lokal radikal : dilakukan pengangkatan kanker dan sejumlah besar
jaringan normal di sekitar kanker, mungkin juga disertai dengan
pengangkatan kelenjar getah bening.
 Bedah laser : menggunakan sinar laser untuk mengangkat sel-sel kanker.
 Vulvektomi skinning : dilakukan pengangkatan kulit vulva yang
mengandung kanker.
 Vulvektomi simplek : dilakukan pengangkatan seluruh vulva.
 Vulvektomi parsi
 Eksenterasi panggul : jika kanker telah menyebar keluar vulva dan organ
wanita lainnya, maka dilakukan pengangkatan organ yang terkenal
(misalnya kolon, rektum, atau kantung kemih) bersamaan dengan
pengangkatan leher rahim, rahim, dan vagina. Untuk membuat vulva atau
vagina buatan setelah pembedahan, dilakukan pencangkokan kulit dari
bagian tubuh lainnya dan bedah plastik.
 Terapi penyinaran
 Pada terapi penyinaran digunakan sinar X atau sinar berenergi tinggi
lainnya untuk membunuh sel-sel kanker dan memperkecil ukuran tumor.
 Kemoterapi
 Pada kemoterapi digunakan obat-obatan untuk membunuh sel-sel kanker.
 Pengobatan kanker vulva tergantung kepada stadium dan jenis penyakit
serta usia dan keadaan umum penderita.
 Kanker vulva stadium 0
- Eksisi lokar luas atau bedah laser, atau kombinasi keduanya
- Vulvektomi skinning
- Salep yang mengandung obat kemoterapi
 Kanker vulva stadium l
- Eksisi lokal luas
- Eksisi lokal radikal, pengangkatan seluruh kelenjar getah bening
selangkangan dan paha bagian atas terdekat pada sisi yang sama dengan
kanker.
- Vulvektomi radikal dan pengangkatan kelenjar getah bening selangkangan
pada salah satu atau kedua sisi tubuh.
- Terapi penyinaran saja.
 Kanker vulva stadium ll
- Vulvektomi radikal dan pengangkatan kelenjar getah bening selangkangan
kiri dan kanan.
- Terapi penyinaran.

415
 Kanker vulva stadium lll
- Vulvektomi radikal dan pengangkatan kelenjar getah bening selangkangan
dan paha.
- Terapi radiasi dan kemoterapi diikuti oleh vulvektomik radikal dan
pengangkatan kelenjar getah bening kiri dan kanan.
- Terapi penyinaran.
 Kanker vulva stadium IV
- Vulvektomi radikal dan pengangkatan kolon bagian bawah, rektum, atau
kandung kemih.
- Vulvektomi radikal diikuti dengan terapi penyinaran.
- Terapi penyinaran diikuti dengan vulvektomi radikal.
- Terapi penyinaran (pada penderita tertentu) dengan atau tanpa kemoterapi
dan mungkin juga diikuti oleh pembedahan.
 Kanker vulva yang berulang
- Eksisi lokal luas dengan atau tanpa terapi penyinaran.
- Vulvektomi radikal dan pengangkatan kolon, rektum, atau kandung
kemih.
- Terapi penyinaran ditambah dengan kemoterapi dengan atau tanpa
pembedahan.
- Terapi penyinaran untuk kekambuhan lokal atau untuk mengurangi gejala
nyeri, mual, atau kelainan fungsi tubuh.
k. Pencegahan
Ada dua cara untuk mencegah kanker vulva :

 Menghindari faktor resiko yang bisa dikendalikan.


 Mengobati keadaan prekanker sebelum terjadinya kanker invasif.

Setiap wanita hendaknya mewaspadai setiap perubahan yang terjadi pada kulit
vulva dengan melakukan pemeriksaan sendiri setiap bulan.

416
Tumor ganas (kanker) Vagina

a. Pengertian
 Vagina adalah saluran terpanjang 7,5-10 cm, ujung atasnya berhubungan
denga serviks (leher rahim), sedangkan ujung bawahnya berhubungan dengan
vulva.
 Tumor ganas vagina adalah kanker yang tumbuh dengan cepat dan tidak
terkendali pada daerah vagina dan merusak jaringan sekitarnya.
b. Epidemiologi
Kanker vagina jarang terjadi, biasanya diderita oleh wanita berumur 50 tahun ke
atas.
c. Patologi
Terbanyak (hampir 99%) adalah squamous cell carsinoma, sisanya
adenokarsinoma dan embrional rhabdomiosarkoma (sarkoma botrioides).
d. Klasifikasi
 Karsinoma sel skuamosa
 Berasal dari lapisan epitelium vagina. Banyak ditemukan di vagina bagian
atas pada wanita berusia 60-80 tahun.
 Karsinoma verukosa
 Sejenis karsinoma sel skuamosa yang tumbuhnya lambat, tumbuh ke arah
rongga vagina dan tampak seperti kutil atau bunga kol.
 Adenokarsinoma
 Sering terjadi pada wanita 12-30 tahun.
 Melanoma maligna
 Berasal dari sel-sel penghasil pigmen, banyak ditemukan di vagina bagian
bawah.
 Sarkoma
 Tumbuh jauh di dalam dinding vagina. Ada beberapa jenis sarkoma, yaitu :
o Ieiomiosarkoma, menyerang wanita berusia 50 tahun ke atas
o Rabdomiosarkoma, kanker pada masa kanak-kanak (biasanya terjadi
sebelum usia 3 tahun)

417
e. Faktor Penyebab
 Usia: sebagian besar kasus kanker vagina ditemukan pada usia 50-70 tahun
 Obat hormon untuk mencegah keguguran pada wanita hamil, seperti
dietilstilbestrol.
 Infeksi HPV (Human Papiloma Virus) virus penyebab kutil kelamin yang
ditularkan melalui hubungan seksual
 Berganti-ganti pasangan
 Merokok
 Hubungan seksual untuk pertama kalinya pada usia dini.
f. Gejala
Terbentuknya luka terbuka yang bisa mengalami perdarahan dan terinfeksi.
 Perdarahan melalui vagina yang terjadi setelah berhubungan seksual.
 Terkadang dari vagina keluar cairan encer.
 Mengalami sakit saat buang air kecil.
 Sembelit dan rasa nyeri di pinggul yang menetap.
 Terasa ada benjolan.
 Nyeri ketika melakukan hubungan seksual

418
Stadium Kriteria

Karsinoma in situ, karsinoma intra epitelial (sel-sel kanker terbatas


pada epitelium vagina dan belum menyebar ke lapisan vagina
0
lainnya. Pada stadium ini kanker tidak dapat menyebar ke bagian
tubuh lainnya.

Kanker telah menyebar ke bawah epitelium tetapi masih terbatas


I pada mukosa vagina (mukosa terdiri dari 2 lapisan, yaitu epitelium
dan lamina propria atau stroma subepitel)

Tumor berukuran kurang dari 2 cm dan telah menembus ke dalam


IA
dinding kurang dari 1 mm.

Tumor lebih besar dari 2 cm dan telah menembus ke dalam dinding


IB
sedalam lebih dari 1 mm

Proses sudah meluas sampai jaringan ikat vagina,tetapi belum


II
mencapai dinding panggul maupun organ lain.

Proses telah meluas sampai ke salah satu/kedua dinding panggul


III
dan atau telah menyebar ke kelenjar getah bening.

Proses sudah keluar dari panggul kecil,atau sudah menginfiltrasi


IVA
mukosa rektum/kandung kemih

Kanker telah menyebar ke organ tubuh yang jauh misalnya paru-


IVB
paru

Diagnosa
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik. Pada
pemeriksaan panggul akan teraba adanya benjolan. Pemeriksaan lainnya yang biasa
dilakukan :
 Kolposkopi -> pemeriksaan dinding vagina dengan bantuan kaca pembesar.
 Biopsi -> pemeriksaan mikroskopik terhadap contoh jaringan vagina.
 Staging ->Staging merupakan proses penentuan penyebaran kanker, yang
penting dilakukan untuk menentukan jenis pengobatan dan prognosis penyakit.
Penilaian penyebaran kanker vagina melibatkan beberapa pemeriksaan berikut :

419
- Pemeriksaan fisik menyeluruh
- Pielogram intravena
- Barium enema
- Rontgen dada
- Sistoskopi
- Proktoskopi
- CT scan
- Skening tulang
i. Pengobatan
Terdapat 3 macam pengobatan untuk kanker vagina :
 Pembedahan
- Bedah laser
- Eksisi lokal luas : dilakuakn pengangkatan kanker dan sebagian jaringan
di sekitarnya. Untuk memperbaiki vagina bisa dilakukan pencangkoan
kulit yang di ambil dari bagian tubuh lainnya.
- Vaginektomi : pengangkatan vagina.
- Eksenterasi : pengangkatan kolon bawah, rektum atau kandung kemih,
disertai pengangkatan serviks, rahim dan vagina.
 Terapi penyinaran
 Pada terapi penyinaran digunakan sinar X dosis tinggi atau sinar berenergi tinggi
lainnya untuk membunuh sel-sel kanker dan memperkecil ukuran tumor.
 Kemoterapi
 Pada kemoterapi digunakan obat-obatan untuk membunuh sel kanker.
 Pengobatan kanker vagina tergantung kepada stadium dan jenis penyakit, serta
usia dan keadaan umum penderita.
 Kanker vagina stadium 0
- Vaginektomi
- Terapi radiasi interna
- Bedah laser
- Kemoterapi intravagina
 Kanker vagina stadium I
- Kanker skuamosa -> radiasi interna, eksisi lokal luas, vaginektomi dan
diseksi kelenjar getah bening.
- Adenokarsinoma -> vaginektomi dan pengangkatan rahim, ovarium, tuba
fallopi disertai diseksi kelenjar getah bening panggul, radiasi interna dan
eksisi lokal luas.

420
 Kanker vagina stadium II, III dan IVA
- Kombinasi radiasi interna dan eksterna
- Pembedahan
 Kanker vagina stadium IVB
- Penyinaran
- Kemoterapi
j. Pencegahan
Cara terbaik mencegah kanker vagina adalah menghindari faktor resikonya.Jaga area
kewanitaan tetap bersih dan terhindar dari infeksi jenis apapun.

Tumor ganas (kanker) Tuba

a.Pengertian
 Tuba adalah saluran yang keluar dari kornu rahim kanan dan kiri, panjangnya
12-13 cm, diameternya 3-8 mm. bagian luarnya diliputi oleh peritoneum
viseral yang merupakan bagian dari ligamentum latum.
 Tumor tuba adalah kanker yang tumbuh dengan cepat dan tidak terkendali
pada daerah tuba dan merusak jaringan sekitarnya.
b. Epidemologi
Karsinoma tuba fallopi primer termasuk jarang, merupakan tumor ganas
primer saluan genetalia perempuan yang jumlahnya paling sedikit, yaitu 0,5%
hingga 1% dari semua keganasan ginekologi. Ditemukan 1 banding 1000 kasus
operasi ginekologi abdominal, dapat dijumpai pada semua umur (dari 19-80),
dengan rata – rata puncaknya pada usia 52 tahun. Kebanyakan tumor ganas yang
timbul dalam tuba fallopi adalah penyebaran dari kanker ovarium atau
uterus.Sehingga terdapat kriteria untuk menetapkan tumor apapun sebagai tumor
primer dari tuba fallopi.Kanker harus terletak dalam tuba, dan uterus serta
ovarium harus terbebas dari karsinoma.Bila bagian lain terdapat kanker, maka
tumor dalam tuba fallopi secara histology harus benar – benar berbeda.
c. Patologi
Hsu, Taymor, dan Hertig membagi histologik tumor ini dalam 3 jenis
menurut keganasannya:

421
 Jenis papiler : tumor belum mencapai otot tuba dan difeensiasi selnya
masih baik, batas daerah normal dengan tumor masih dapat ditunjukkan.
 Jenis papilo-alveolar (adenomatosa) : tumor ini telah memasuki otot tuba
dan memperlihatkan gambaran kelenjar.
 Jenis alveo-meduler : terlihat mitosis yang atipik dan terlihat invasi sel
ganas ke dalam saluran limfa tuba.
d. Klasifikasi
Tumor ganas primer tuba fallopi yang paling sering adalah
adenokarsinoma. Tumor – tumor lain dapat berupa sarcoma seperti
leimoosarkoma, kondrosarkoma, tumor mesodermal campuran, limfoma, dan
kariokarsinoma. Semua jenis kanker ganas dalam tuba fallopi ini sangat jarang.
Tumor ganas tuba fallopi bernetastasis dengan pembuluh limfe menuju kelenjar
regional dan menyebar dengan cara bermigrasi ke dalam pelvis atau rongga
abdomen, atau mungkin berpenetrasi ke serosa dan sel – sel melepaskan diri
langsung ke dalah pelvis atau rongga abdomen.
f. Gejala
Bila terdapat tanda dan gejala yaitu rabas vagina, perdarahan abnormal
vagina atau rabas, menstruasi yang tidak teratur, dan nyeri.Kanker tuba paling
banyak ditemikan pada wanita pasca menopause, tetapi bisa juga ditemukan
pada wanita yang lebih muda.
g. Stadium

Stadium Kriteria

IA Pertumbuhan tumor terbatas pada salah satu tuba;


tidak ada ascites.

1. Tak ditemukan tumor di permukaan luar, kapsulnya


utuh.

2. Tumor terdapat di permukaan luar, atau kapsulnya


pecah atau kedua-duanya.

IB Pertumbuhan tumor terbatas pada kedua tuba;


tidak ada asites.

1. Tak ada tumor di permukaan luar, kapsulnya utuh.

422
2. Tumor terdapat di permukaan luar, atau kapsulnya
pecah, atau kedua-duanya.

IC Tumor dari tingkatan klinik 1A dan IB, tetapi ada


asites atau cucian rongga perut positif.

II Pertumbuhan tumor melibatkan satu atau dua tuba,


dengan perluasan ke panggul.

IIA Perluasan proses dan/ atau metastatis ke uterus atau


ovarium.

IIB Perluasan proses ke jaringan panggul lainnya.

IIC Tumor dari tingkat klinik IIA atau IIB, tetapi


dengan asites dan/atau cucian rongga perut positif.

III Tumor melibatkan satu atau dua tuba dengan


penyebaran kelenjar limfa intraperitoneal, atau
kedua-duanya. Tumor terbatas pada panggul kecil
dengan bukti histologik penyebaran ke usus halus
atau omentum.

IV Pertumbuhan tumor melibatkan salah satu atau


kedua tuba dengan metastasis berjarak jauh.
Bilamana didapatkan efusi pleural, harus ada
sitologi positif untuk menyebutnya sebagai tingkat
klinik IV. Begitu pula ditemukannya metastasis
keparenkim hatci.

h. Diagnosa
Untuk memastikan apakah tuba falopi tersumbat, dokter bisa menggunakan
hysterosalpingography.Pada prosedur ini, sinar X dilakukan setelah radiopaque dye
disuntikkan melalui servik.Pewarna tersebut menyebar secara cepat ke dalam rongga
rahim dan tuba falopi.Prosedur ini dilakukan dengan singkat setelah periode
menstruasi seorang wanita berakhir.Prosedur ini bisa mendeteksi gangguan struktur
yang bisa menyumbat tuba falopi.Meskipun begitu, sekitar 15% kasus,
hysterosalpingography mengindikasi bahwa tuba falopi tersumbat padahal tidak-
disebut hasil positif palsu.

423
Setelah hysterosalpingography dengan hasil normal, kesuburan tampak
sedikit meningkat, kemungkinan karena prosedur tersebut sementara waktu
memperlebar pembuluh (dilate) atau menjernihkan pembuluh pada lendir. Oleh
karena itu, dokter bisa menunggu jika seorang wanita menjadi hamil setelah prosedur
ini sebelum tes tambahan prosedur lain (disebut sonohysterography) kadangkala
digunakan untuk memastikan apakah tuba falopi tersumbat. cairan garam (saline)
disuntikkan ke dalam interior rahim melalui servik selama ultrasonografi sehingga
ruang dalam tersebut digelembungkan dan kelainan bisa terlihat.jika cairan mengalir
ke dalam tuba falopi, pembuluh tersebut tidak tersumbat.prosedur ini cepat dan tidak
memerlukan anestesi.hal ini dipertimbangkan lebih aman dibandingkan
hysterosalpingography karena hal ini tidak membutuhkan radiasi atau suntikan
pewarna.meskipun begitu, hal ini tidak akurat.
Jika kelainan di dalam rahim terdeteksi, dokter meneliti rahim dengan pipa
pelihat disebuthyteroscope, yang dimasukkan ke dalam servik ke dalam rahim. Jika
adhesion, polip, atau fibroid kecil terdeteksi, hyteroscope kemungkinan digunakan
untuk mengeluarkan atau mengangkat jaringan tidak normal, meningkatkan
kesempatan bahwawanitatersebutmenjadi hamil.
Jika bukti menduga bahwa tuba falopi tersumbat atau bahwa seorang wanita
bisa mengalami endometriosis, pipa pelihat kecil disebut laparoscope dimasukkan ke
rongga panggul melalui sayatan kecil persis di bawah pusar.Biasanya, anestesi umum
dilakukan.Prosedur ini memudahkan dokter untuk melihat rahim secara langsung,
tuba falopi, dan ovarium.Laparoscope bisa juga digunakan untuk mengeluarkan atau
mengangkat jaringan tidak normal di dalam panggul.
i. Pengobatan
Pengobatan yang utama untuk kanker tuba adalah pembedahan untuk
mengangkat kedua saluran, kedua indung telur, dan rahim disertai pengangkatan
kelenjar getah bening perut dan panggul. Pada kanker stadium lanjut, setelah
pembedahan mungkin perlu dilakukan kemoterapi atau terapi penyinaran.
Tumor ganas (kanker) Uterus

424
a. Pengertian
 Uterus adalah suatu struktur otot yang cukup kuat, bagian luarnya ditutupi oleh
peritonium sedangkan rongga dalamnya dilapisi oleh mukosa rahim, dalam
keadaan tidak hamil, rahim terletak dalam rongga panggul kecil di antara kandung
kemih dan dubur.
 Tumor uterus adalah kanker yang tumbuh dengan cepat dan tidak terkendali pada
daerah rahim dan merusak jaringan sekitarnya.
b. Etiologi
 Wanita dengan nullypara ( wanita kurang subur ).
 Etiologi secara pasti tidak diketahui
 Tetapi ada korelasi antara pertumbuhan tumor dengan peningkatan reseptor
estrogen-progesteron pada jaringan mioma uteri dan juga dipengaruhi oleh
hormone pertumbuhan.
 faktor genetic
 Resiko tinggi wanita dengan umur diatas 35 tahun
c. Klasifikasi
Jenis – jenis tumor uterus berdasarkan letaknya, yaitu :
 Ektoserviksterbagiatas:
Kista jaringan embrional : berasal dari saluran mesonefridikus wolffi terdapat
pada dinding samping ektoserviks. Kista endometriosis yang letaknya suferfisial.
Folikel atau kista nabothi yaitu kista retensi kelenjar endoserviks, biasanya
terdapat pada wanita multipara, sebagai penampilan servisitis. Kista ini jarang
mendapat ukuran besar berwarna putih mengkilat bersih cairan mucus. Kalau
kista ini membesar akan menyebabkan nyeri. Papiloma dapat tunggal maupun
multiple seperti kondiloma akuminata. Kebanyakan papiloma ini adalah sisa
epitel yang terlebih pada trauma bedah maupun persalinan.
Hemangioma ini jarang terjadi biasanya terletak pada superficial yang dapat
membesar pada waktu kehamilan yang dapat menyebabkan metroragi
 Endoserviks terdiri atas: adalah suatu adenoma maupun adenofibroma yang
berasal dari selaput lendir endoserviks. Yang tangkainya dapat panjang keluar dari
vulva. Epitel yang melapisi adalah epitel endoserviks yang dapat juga mengalami
metaplasi menjadi lebih semakin kompleks.bagian polip ini biasa menjadi
nekrosis dan mengalami perdarahan .polip ini berkembang karena pengaruh
radang maupun virus.
 Endometrium
Polip endometrium sering didapati terutama dengan pemeriksaan histeroskopi.
Polip berasal antara lain dari adnoma, adenofibroma, mioma , submukusum,

425
plasenta.insiden tidak diketahui paling sering pada perempuan berumur 30-59
tahun. Kurang dari sepertiga memperllihatkan endometrium fungsional. Bisa
memperlihatkan hyperplasia kistik. Bisa menonjol melalui serviks
Adenoma- adenufibroma yang biasannya terdiri dari epitel endometrium dengan
stroma yang sesuai dengan daur haid. Adenoma ini biasanya merupakan
penampilan hyperplasia endometrium, dengan konsistensi lunak dan berwarna
kemerah merahan . Gangguan yang sering ditimbulkan adalah metroragi sampai
menometroragi, infertilitas.Pula mempunyai kecenderungan kambuh kembali.
Mioma submukosum:sarang mioma dapat tumbuh bertangkai dan keluar dari
uterus menjadi mioma yang dilahirkan. Tumor berkonsistensi kenyal berwarna
putih
Polip plasenta: berasal dari plasenta yang tertinggal setelah partus maupun
abortus. Polip plasenta menyebabkan uterus mengalami sub-involusi yang
menimbulkan perdarahan.
 Miometrium
Neoplasma jinak ini berasal dari otot uterus dan jaringan ikat yang menumpangnya
,sehingga dalam kepustakaan dikenal juga istilah fibromioma,leiomioma, ataupun
pibroid.
Berdasarkan otopsi novak menemukan 27% wanita berumur 25 tahun mempunyai
sarang mioma, pada wanita yang berkulit hitam ditemukan lebih banyak.Mioma uteri
belum pernah terjadi sebelum menars. Setelah menopause hanya kira-kira 10%
mioma yang masih tumbuh.
d. Faktor resiko
 Usia, kanker uterus terutama menyerang wanita berusia 50 tahun keatas.
 Hiperplasia endometrium
 Terapi Sulih Hormon (TSH)
 TSH digunakan untuk mengatasi gejala-gejala menopause, mencegah
osteoporosis dan mengurangi resiko penyakit jantung atau stroke.
Wanita yang mengkonsumsi estrogen tanpa progesteron memiliki resiko yang
lebih tinggi. Pemakaian estrogen dosis tinggi dan jangka panjang tampaknya
mempertinggi resiko ini.
Wanita yang mengkonsumsi estrogen dan progesteron memiliki resiko yang lebih
rendah karena progesteron melindungi rahim.
 Obesitas
Tubuh membuat sebagian estrogen di dalam jaringan lemak sehingga wanita yang
gemuk memiliki kadar estrogen yang lebih tinggi. Tingginya kadar estrogen
merupakan penyebab meningkatnya resiko kanker rahim pada wanita obes.

426
 Diabetes (kencing manis)
 Hipertensi (tekanan darah tinggi)
 Tamoksifen
Wanita yang mengkonsumsi tamoksifen untuk mencegah atau mengobati kanker
payudara memiliki resiko yang lebih tinggi. Resiko ini tampaknya berhubungan
dengan efek tamoksifen yang menyerupai estrogen terhadap rahim.
Keuntungan yang diperoleh dari tamoksifen lebih besar daripada resiko terjadinya
kanker lain, tetapi setiap wanita memberikan reaksi yang berlainan.
 Ras
Kanker rahim lebih sering ditemukan pada wanita kulit putih.
 Kanker kolorektal
 Menarke (menstruasi pertama) sebelum usia 12 tahun
 Menopause setelah usia 52 tahun
 Tidak memiliki anak
 Kemandulan
 Penyakit ovarium polikista
 Polip endometrium.
e. Gejala
 Perdarahan rahim yang abnormal
 Siklus menstruasi yang abnormal
 Perdarahan diantara 2 siklus menstruasi (pada wanita yang masih mengalami
menstruasi)
 Perdarahan vagina atau spotting pada wanita pasca menopause
 Perdarahan yang sangat lama, berat dan sering (pada wanita yang berusia diatas
40 tahun)
 Nyeri perut bagian bawah atau kram panggul
 Keluar cairan putih yang encer atau jernih (pada wanita pasca menopause)
 Nyeri atau kesulitan dalam berkemih
 Nyeri ketika melakukan hubungan seksual.
 Tekanan abdomen (merasa penuh, bengkak atau kembung)
 Perasaan ingin buang air kecil terus menerus
f. Stadium
Tingkat Kriteria

I kanker hanya tumbuh di badan Rahim

427
II kanker telah menyebar ke leher rahim (serviks)

III kanker telah menyebar ke luar rahim, tetapi

masih di dalam rongga panggul dan belum

menyerang kandung kemih maupun rektum. Kelenjar getah


bening panggul mungkin mengandung sel-sel kanker.

IV Kanker telah menyebar ke dalam kandung kemih atau rektum


atau kanker telah menyebar keluar rongga panggul.

g. Diagnosa
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan berikut :
 Pemeriksaan panggul
 Pap smear
 USG transvagina
 Biopsi endometrium.
 Untuk membantu menentukan stadium atau penyebaran kanker, dilakukan
pemeriksaan berikut :
 Pemeriksaan darah lengkap
 Pemeriksaan air kemih
 Rontgen dada
 CT scan tulang dan hati
 Sigmoidoskopi
 Limfangiografi
 Kolonoskopi
 Sistoskopi.
h. Pengobatan
Pemilihan pengobatan tergantung kepada ukuran tumor, stadium, pengaruh
hormon terhadap pertumbuhan tumor dan kecepatan pertumbuhan tumor serta usia dan
keadaan umum penderita.Metode pengobatan:
 Pembedahan
Kebanyakan penderita akan menjalani Histerektomi (pengangkatan rahim).
Kedua tuba falopii dan ovarium juga diangkat (salpingo-ooforektomi bilateral)
karena sel-sel tumor bisa menyebar ke ovarium dan sel-sel kanker dorman (tidak
aktif) yang mungkin tertinggal kemungkinan akan terangsang oleh estrogen yang
dihasilkan oleh ovarium. Jika ditemukan sel-sel kanker di dalam kelenjar getah

428
bening di sekitar tumor, maka kelenjar getah bening tersebut juga diangkat. Jika
sel kanker telah ditemukan di dalam kelenjar getah bening, maka kemungkinan
kanker telah menyebar ke bagian tubuh lainnya.
Jika sel kanker belum menyebar ke luar endometrium (lapisan rahim), maka
penderita tidak perlu menjalani pengobatan lainnya.
 Terapi penyinaran (radiasi)

Digunakan sinar berenergi tinggi untuk membunuh sel-sel kanker.


Terapi penyinaran merupakan terapi lokal, hanya menyerang sel-sel kanker di
daerah yang disinari.

Pada stadium I, II atau III dilakukan terapi penyinaran dan pembedahan.


Penyinaran bisa dilakukan sebelum pembedahan (untuk memperkecil ukuran
tumor) atau setelah pembedahan (untuk membunuh sel-sel kanker yang
tersisa).Ada 2 jenis terjapi penyinaran yang digunakan untuk mengobati kanker
rahim:
- Radiasi eksternal : digunakan sebuah mesin radiasi yang besar untuk
mengarahkan sinar ke daerah tumor. Penyinaran biasanya dilakukan
sebanyak 5 kali/minggu selama beberapa minggu dan penderita tidak perlu
dirawat di rumah sakit. Pada radiasi eksternal tidak ada zat radioaktif yang
dimasukkan ke dalam tubuh.
- Radiasi internal : digunakan sebuah selang kecil yang mengandung suatu
zat radioaktif, yang dimasukkan melalui vagina dan dibiarkan selama
beberapa hari. Selama menjalani radiasi internal, penderita dirawat di
rumah sakit.
 Kemoterapi
 Pada terapi hormonal digunakan zat yang mampu mencegah sampainya hormon
ke sel kanker dan mencegah pemakaian hormon oleh sel kanker. Hormon bisa
menempel pada reseptor hormon dan menyebabkan perubahan di dalam jaringan
rahim.
Sebelum dilakukan terapi hormon, penderita menjalani tes reseptor hormon. Jika
jaringan memiliki reseptor, maka kemungkinan besar penderita akan memberikan
respon terhadap terapi hormonal.
 Terapi hormonal merupakan terapi sistemik karena bisa mempengaruhi sel-sel di
seluruh tubuh. Pada terapi hormonal biasanya digunakan pil progesteron.
Terapi hormonal dilakukan pada:

429
- penderita kanker rahim yang tidak mungkin menjalani pembedahan
ataupun terapi penyinaran
- penderita yang kankernya telah menyebar ke paru-paru atau organ tubuh
lainnya.
- penderita yang kanker rahimnya kembali kambuh.
Jika kanker telah menyebar atau tidak memberikan respon terhadap terapi
hormonal, maka diberikan obat kemoterapi lain, yaitu siklofosfamid,
doksorubisin dan sisplastin.
i. Pencegahan
Setiap wanita sebaiknya menjalani pemeriksaan panggul dan Pap smear secara rutin,
untuk menemukan tanda-tanda pertumbuhan yang abnormal.
Wanita yang memiliki faktor resiko kanker rahim sebaiknya lebih sering menjalani
pemeriksaan panggul, Pap smear dan tes penyaringan (termasuk biopsi endometrium).

Tumor ganas (kanker) ovarium

a. Pengertian
 Ovarium adalah organ reproduksi wanita yang bentuknya menyerupai kacang dan
tersimpan di dalam rongga pert sebelah bawah.
 Tumor ganas ovarium adalah kanker yang menyerang ovarium
b. Epidemologi
Kanker ovarium jarang ditemukan pada usia dibawah 40 tahun. Angka kejad
ian meningkat dengan makin tua, yaitu 15-16 per 100.000 pada usia 40-44 tahun, dan
paling tinggiyaitu 57 per 100.000 pada usia 70-74 tahun. Usia median saat diagnosis
adalah 63 tahun dan48% penderita berusia diatas 65 tahun. Belum ada metode
skrining yang efektif untuk kanker ovarium, sehingga 70% kasus ditemukan pada
stadium lanjut.
c. Etiologi
Ada beberapa teori tentang etiologi kanker ovarium yaitu:
 Hipotesis Incessant Ovulation
 Teori ini pertama kali diperkenalkan oleh Fathalla pada tahun 1972, yang
menyat akan bahwa pada saat terjadi ovulasi, terjadi kerusakan

430
pada sel-sel ovarium. Untuk penyembuhan luka yang sempurna
diperlukan waktu. Jika sebelum penyembuhan tercapai t erjadi lag i
ovulasi at au trauma baru, proses penyembuhan akan terganggu
dankacau sehingga dapat menimbulkan transformasi menjadi sel-sel tumor.
 Hipotesis gonadotropin
 Teori ini didasarkan pada pengetahuan dari percobaan binatang dan data
epidemiologi. Hormon hipofisis diperlukan untuk perkembangan tumor
ovarium pada beberapa percobaan pada rodentia. Pada percobaan ini
ditemukan bahwa jika kadar hormon estrogen rendah di sirkulasi
perifer, kadarhormon gonadotrofinjuga menigkat.Peningkatan kadar hormon
gonadotrofin ini ternyata berhubungan dengan makin bertambah besarnya
tumor ovarium pada binatang tersebut.Kelenjar ovarium yang telah terpapar
pada zat karsinogenik dimetilbenzatrene (DMBA) akan menjadi tumor
ovarium jika ditransplantasikan pada tikus yang telah diooforektomi, tetapi
tidak menjadi tumor jika tikus tersebut telah di hipofisektomi.Berkurangnya
resiko kanker ovarium pada wanita multipara dan wanita pemakai pil
kontrasepsi dapat diterangkan dengan rendahnya kadar gonadotrofin.
 Hipotesis Androgen
Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Rish pada tahun 1998 yang
mengatakan bahwa androgen mempunyai peran penting dalam terbentuknya
kanker ovarium.
didasarkan pada bukti bahwa epitel ovarium mengandung reseptor androge
Epitelovarium selalu terpapar pada androgenic steroid yang berasal dari
ovarium itu sendiri dan kelenjar adrenal, seperti androstenedion,
dehidroepiandrosteron, dan testosterone. Dalam percobaan invitro androgen
dapat menstimulasi pertumbuhan epitel ovarium normal dan juga sel-sel
kanker ovarium epitel dalam kultur sel.
 Hipotesis progesterone
Berbeda dengan efek peningkatan resiko kanker ovarium oleh androgen,
progesteron ternyata mempunyai peranan protektif terhadap terjadinya kank
er ovarium. Epitel normal ovarium mengandung reseptor progesteron.
Pemberian pil yang mengandung estrogen saja pada wanita pasca
menopauseakan meningkatkan resiko terjadinya kanker ovarium, sedangkan
pemberian kombinasidengan pemberian progesteron akan menurunkan
resikonya. Kehamilan, dimana
kadar progesteron tinggi, menurunkan resiko kanker ovarium. Pil kontrasep
si kombinasimenurunkan resiko terjadinya kanker ovarium.

431
 Paritas
 Penelit ian menunjukkan bahwa wanit a dengan sat u parit as yang
t inggi memilikiresiko terjadinya kanker ovarium yang lebih rendah
daripada nulipara, yaitu denga risikorelative 0,7. Pada wanita yang
mengalami 4 atau lebih kehamilan aterm, resiko terjadinyakanker ovarium
berkurang sebesar 40% jika dibandingkan dengan wanita nulipara.
 Pil kontrasepsi
 Penelitian dari center for disease control menemukan penurunan resiko
terjadinya kanker ovarium sebesar 40% pada wanita usia 20-54 tahun yang
memakai pil kontasepsi,yaitu dengan resiko relative 0,6.
 Talk
 Pemakaian talk pada daerah perineum dilaporkan meningkatkan resiko
terjadinya kanker ovarium dengan resiko relative 1,9%.
 Ligasi Tuba
Pengikatan tuba ternyata menurunkan terjadinya kanker ovarium dengan
resiko relatif 0,3. Mekanisme terjadinya efek protektif ini diduga dengan
terputusnya akses talk ataukarsinogen lainnya dengan ovarium.
d. Patologi
 Pertumbuhan tumor prime diikuti oleh infiltrasi ke jaringan sekitar yang
menyebabkan berbagai keluhan samar-samar seperti perasaan sebah, makan
sedikit terasa cepat menjadi kenyang, sering kembung, nafsu makan menurun.
Kecenderungan untuk melakukan implantasi di rongga perut merupakan ciri
khas suatu tumor ganas ovarium yang menghasilkan ascites.
 Tumor ganas ovarium merupakan kumpulan tumor dengan histiogenesis yang
beraneka ragam, dapat berasal dari ketiga dermoblast (ektodermal,
entodermal, dan mesodermal) dengan sifat-sifat histologis maupun biologis
yang beraneka ragam. Oleh sebab itu histiogenesis maupun klasifikasinya
masih sering menjadi perdebatan.
 Kira-kira 60% terdapat pada usia peri-menopausal, 30% dalam masa
reproduksi dan 10% pada usia yang jauh lebih muda. Tumor ini dapat jinak
(benigna), tidak jelas jinak tapi juga tidak pasti ganas (borderline
malignancy atau carcinoma of low-malignant potential) dan yang jelas ganas
(true malignant).
f. Faktor resiko
 usia 55 – 59 tahun
 pernah mengalami kanker payudara

432
 penggunaan metode KB pil
 nuliparitas
 infertilitas
 Riwayat keluarga yang menderita kanker payudara dan/atau kanker ovarium
 Riwayat keluarga yang menderita kanker kolon, paru-paru, prostat dan rahim
(menunjukkan adanya sindroma Lynch II).
g. Gejala
 Gejala awalnya berupa rasa tidak enak yang samar-samar di perut bagian bawah.
 Ovarium yang membesar pada wanita pasca menopause bisa merupakan pertanda
awal dari kanker ovarium.
 Di dalam perut terkumpul cairan dan perut membesar akibat ovarium yang
membesar ataupun karena penimbunan cairan.
 Pada saat ini penderita mungkin akan merasakan nyeri panggul,anemia dan berat
badannya menurun.
 Kadang kanker ovarium melepaskan hormon yang menyebabkan pertumbuhan
berlebih pada lapisan rahim, pembesaran payudara atau peningkatan pertumbuhan
rambut.
 Gejala lainnya yang mungkin terjadi:
- Panggul terasa berat

- Perdarahan pervaginam

- Siklus menstruasi abnormal


 Gejala saluran pencernaan (perut kembung, nafsu makan berkurang, mual,
munatah, tidak mampu mencerna makanan dalam jumlah seperti biasanya).
h. Stadium
Stadium Interpretasi

I Tumor terbatas di ovarium

Ia Pertumbuhan tumor ganas di satu ovarium dan tidak ada asites

Ib Tumor terbatas di kedua ovarium tanpa asites

Ic Tumor terbatas di satu atau kedua ovarium, sitologi asites/air


cucian peritoneum posirif maligma
II

433
IIa Tumor di satu atau kedua ovarium dengan pertumbuhan dalam
pelvis
IIb
Tumor di satu atau kedua ovarium dengan pertumbuhan dalam
IIc
pelvis minor dan pada pembedahan tumor terangkat
III seluruhnya

IV Tumor meluas pada jaringan pelvis lain dan pada pembedahan


tumor tidak terangkat seluruhnya
Khusus
Tumor stadium IIa atau IIb, tapi asites atau cucian peritoneum
positif sel maligma

Tumor di satu atau kedua ovarium dengan metastasis pada


peritoneum di luar panggul dan KGB retroperitoneal atau
keduanya. Tumor terbatas pada panggul kecil dengan
metastasis ke dinding usus dan omentum, dibuktikan dengan
histopatologis

Tumor pada satu atau kedua ovarium dengan metastasis jauh.


Metastasis ke hati atau adanya efusi pleura yang dibuktikan
dengan sitologi juda digolongkan stadium IV

Kasus yang tidak dilakukan laparotomi, tapi diduga karsinoma


ovarium

i. Diagnosa
Diagnosis didasarkan atas 3 gejala/ tanda yang biasanya muncul dalam perjalanan
penyakitnya yang sudah agak lanjut :
 Gejala desakan yang dihubungkan dengan pertumbuhan primer dan infiltrasi ke
jaringan sekitar,
 Gejala diseminasi/ penyebaran yang diakibatkan oleh implantasi peritoneal dan
bermanifestasi adanya ascites
 Gejala hormonal yang bermanifestasi sebagai defeminisasi, maskulinisasi
atau hiperestrogenisme, intensitas gejala ini sangat bervariasi dengan tipe
histologik tumor dan usia penderita.
 Pemeriksaan ginekologik dan palpasi abdominal akan mendapatkan tumor atau
masa, di dalam panggul dengan bermacam-macam konsistensi mulai dari yang
kistik sampai yang solid (padat). Pemakaian USG (Ultra Sono Graphy) dan

434
CTscan (Computerised axial Tomography scanning) dapat memberi informasi
yang berharga mengenai ukuran tumor dan perluasannya sebelum pembedahan.
Laparotomi eksploratif disertai biopsi potong beku (Frozen section) masih tetap
merupakan prosedur diagnostik paling berguna untuk mendapat gambaran
sebenarnhya mengenai tumor dan perluasannya seta menentukan strategi
penanganan selanjutnya.
j. Pengobatan
 Pembedahan
 Pada tingkatan awal, prosedur adalah TAH + BSO + OM + APP (optional). Luas
prosedur pembedahan ditentukan oleh insidensi dari seringnya penyebaran ke
sebelah yang lain (bilateral) dan kecenderungan untuk menginvasi badan rahim
(korpus uteri). Tindakan konservatif (hanya mengangkat tumor ovariumnya saja
: oophorektomi atau oophoro kistektomi) masih dapat dibenarkan jika tingkat
klinik penyakit T1a, wanita masih muda, blum mempunyai anak, derajat
keganasan tuor rendah seperti disgerminoma, tumor sel granulosa,
dan arrhenoblastoma atau low potential malignancy = bordeline malignancy.
 Radioterapi
 Sebagai pengobatan lanjutan umumnya digunakan pada tingkat klinik TI dan T2
(FIGO: Tingkat I dan II), yang diberikan kpada panggul saja atau seluruh rongga
perut. Pada tingkat klinik T3 dan T4 (FIGO: tingkay III dan IV)
dilakukandebulking dilanjutkan dengan khemoterapi. Radiasi untuk membunuh
sel-sel tumor yang tersisa, hanya efektif pada jenis tumor yang peka terhadap sinar
(radiosensitif) seperti disgerminoma dan tumor sel granulosa.
 Khemoterapi
 Sekarang telah mendapat tempat yang diakui dalam penanganan tumor ganas
ovarium. Sejumlah obat sitostatika telah digunakan, termasuk agens
alkylating (seperti cyclophospamide,
chlorambucil), antimetabolit (seperti Adriamisin) dan agenslain (seperti Cis-
Platinum). Penanganan paliatif tumor ganas ovarium sering menggunakan
preparat hormon progestativa.
k. Pencegahan
Beberapa faktor muncul untuk mengurangi risiko kanker indung telur, termasuk:
 Kontrasepsi oral (pil KB). Dibandingkan dengan wanita yang tidak pernah
menggunakan mereka, para wanita yang menggunakan kontrasepsi oral selama
lima tahun atau lebih mengurangi risiko kanker ovarium sekitar 50 persen, sesuai
dengan ACS.

435
 Kehamilan dan menyusui. Memiliki paling tidak satu anak menurunkan risiko
Anda mengalami kanker ovarium. Menyusui anak-anak juga dapat mengurangi
risiko kanker ovarium.
Askeb Pada Ibu Dengan Tumor vulva, vagina,tuba, uterus dan ovarium
a. Lakukan anamnesa dengan cermat.
b. Lakukan pemeriksaan pada abdomen, dan alat genitalia, serta pada tungakai.
c. Perhatikan apakah terdapat benjolan, oedema, keadaan alat genitalia,
adanya keputihan, warna, dan bau.
d. Beritahu kepada ibu hasil pemeriksaan.
e. Memberikan dukungan psikis, dan emosional kepada ibu.
f. Lakukan rujukan

436
DAFTAR PUSTAKA

Ambarwati, Diah 2018. Asuhan Kebidanan Nifas. Penerbit Nuha Medika Yogyakarta :
viii+152

Al-Salami KS, Sada KA. Maternal hydration for increasing amniotic fluid volume in
hydramnions. Bas J Surg. 2017 Sept; 59-62.

American College of Obstetricians and Gynaecologist. Medical Management of Tubal


Pregnancy ACOG Practice Bulletin No.3. American College of Obstetricians and
Gynaecologist, 2017.

Aghajan P. Gestational Trophoblastic Diseases In : Current Diagnosis and Treatment


Obstetrics and Gynecology 10th Edition edited by DeCherney AH, Nathan I,
Goodwin TM, Laufer N, McGraw-Hill, New York, 2017: 885-95.

American College of Obstetricians and Gynecologist. Washington DC. Rothenberger, S.,


Carr, D., Brateng, D., et al., 2010. Pharmacodynamics of

Bagian Obstetri Ginekologi FK UNPAD. Penyakit Trofoblas Gestasional; Obstetri


Patologi; 2019; 28-33.

Barbati A, Renzo GCD. Main clinical analyses on amniotic fluid. Acta Bi Medica Ateneo
Parmenese. 2018; 75 Suppl 1: 14-17.

Bateman, B.T., Huybrechts, K.F., Maeda, A., et al., 2015. Calcium Channel Blocker
Exposure in Late Pregnancy and the Risk of Neonatal Seizures. Obstetrics &
Gynecology. Vol 126 (2): 271.

Bartsch, E., Medcalf, K.E., Park, A.L., et al., 2016. Clinical risk factors for pre- eclamsia
determined in early pregnancy: systemic review and meta-analysis of large cohort
studies. BMJ. Vol 353: i1753.

Bilano, V.L., Ota, E., Ganchimeg, T., et al., 2014. Risk factors of pre-
eclampsia/eclampsia and its adverse outcomes in low- and middle-income
countries: a who secondary analysis. PLOS ONE. Vol 9 (3): e91198.

Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, et al. Gestational Trophoblastic Disease :
Williams Obstetrics.21th ed. Conneticut, Appleton & Lange, 2019; 835-843.

Collins, R., Yusuf, S., Peto, R., 1985. Overview of randomised trials of diuretics in
pregnancy. Br Med J (Clin Res Ed). Vol 290 (6461): 17-23.

Coutts, J., 2007. Pregnancy-induced hypertension-the effects on the newborn; in Lyall, F.


and Belfort, M., Pre-eclampsia: Etiology and Clinical Practice Ch. 33.
Cambridge University Press. Cambridge

Clonidine Therapy in Pregnancy: a Heterogeneous Maternal Response Impacts Fetal


Growth. American journal of hypertension. Vol 23 (11): 1234- 40.
https://doi.org/10.1038/ajh.2010.159.

437
Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JC, Wenstorm KD. Williams
obstetric. 22nd ed. New York. McGraw-Hill Companies, Inc; 2015

Cunninngham. F.G. dkk. 2016. “Mola Hidatidosa” Penyakit Trofoblastik Gestasional


Obstetri Williams. Edisi 21. Vol 2. EGC: Jakarta

Coulam CB, Stern JJ. Endocrine Factors Associated With Recurrent Spontaneous
Abortion, Clin Obstet Gynecol, 2017 Sept. 37(3) : 730-44.

Cudleigh T, Thilaganathan B. Obstetric ultrasound: how , why, and when. 3 rd ed. London.
Elsevier Science Limited; 2014

Hacker NF, Moore JG, Gambone JC. Essentials of obstetric and gynecology. Edinburgh.
Churchill Livingstone; 2014.

Heryani, 2018. Asuhan Kebidanan Nifas dan Menyusui. Penerbit CV.Trans Info Media
Jakarta : Viii+174

Kaplan, N.M. and Rose, D., 2010. Prehypertension and borderline hypertension.
http://www.uptodate.com/store.

Kaplan, N.M., 2015. Primary hypertension: pathogenesis in: Kaplan, N., Rose, B., Bakris,
G.L., Sheridan, A.M., Kaplan’s Clinical Hypertension, 11th ed Linppincol
William & Willkins Phylladephia. Pp: 50-121.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia., 2018. Profil Kesehatan Indonesia


Tahun2017. Kemenkes RI.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia., 2017. Keputusan Menteri Kesehatan


Republik Indonesia Nomor Hk.01.07/Menkes/659/2017 Tentang Formularium
Nasional. Diberlakukan Tahun 2018. Kemenkes RI.

Logan BY, Motyloff : Hydatidiform mole, Am J Obstet Gynecol 2018; 75:1139

Neilson JP. Fetal medicine in clinical practice. In: Ketih D, Edmons, editors. Dewhurst’s
textbook of obstetrics and gynaecology for postgraduates. 6th ed. London:
Blackwell Publishing; 1999 and 2016.

Nadar, S., 2015. Pathophysiology of hypertension in Oxford Cardiology Library


Hypertension 2nd Edition Ch 2. Oxford University Press.

National Institute for Health and Clinical Excellence (NICE), 2011. Hypertension in
pregnancy: the management of hypertensive disorder during pregnancy. Royal
College of Obstetricians and Gynaecologists. London.

Nugroho, 2018. Obstetric. Penerbit Nuha Medika Yogyakarta

O'Donnell, A., et al., 2016. Treatments for hyperemesis gravidarum and nausea and
vomiting in pregnancy: a systematic review and economic assessment. Health
Technology Assessment. Vol 20 (74).

Ogura et al., 2019. Antihypertensive drug therapy for women with non-severe
hypertensive disorders of pregnancy: a systematic review and meta-analysis.
Hypertension Research. https://doi.org/10.1038/s41440-018-0188-0.

438
Padila, 2018. Keperawatan Maternitas. Penerbit Nuha Medika Jakarta : viii+232

Pernoll ML. Benson and Pernoll’s handbook of obstetrics and gynecology. 10 th ed. New
York: The McGraw-Hill Companies; 2019

Rodeck CH, Cockell AP. Alloimmunisation in pregnancy: rhesus and other red cell
antigens. In: Chamberlain G, Steer P, editors. Turnbull’s obstetrics. 3 rd ed.
London: Churchill Livingstone; 2012;256-7.

Rustam, mochtar. 2018. Sinopsis Obstetri; obstetri fisiologi, obstetri patologi edisi ke 2.
Jakarta: EGC

Rustam Muchtar. Penyakit Trofoblas : Sinopsis Obstetri. Edisi 2, Jilid 1. Penerbit buku
Kedokteran. EGC. Hal. 238-243

Regitz-Zagrosek, V., 2018. ‘Ten Commandments’ of the 2018 ESC Guidelines for the
management of cardiovascular diseases during pregnancy. Eur Heart J. Vol
39 (35): 3269. https://doi.org/10.1093/eurheartj/ehy478Roberts, J.M.,
August, P.A., Bakris, G., et al., 2013. Hypertension in Pregnancy.

Sundawati, Dian 2018. Asuhan Kebidnan Masa Nifas. Penernit Refika Aditama Bandung
: x+138

Sumapraja S, Martaadisoebrata D. 2005. Penyakit Serta Kelainan Plasenta dan Selaput


Janin, dalam: Ilmu Kebidanan, Edisi ketiga, Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawiroharjo: Jakarta

Suherni, 2019. Perawatan masa nifas. Penerbit Fitramaya Yogyakarta :vi+162

Taufan, 2018. Patologi kebidanan. Penerbit Nuha Medika Yogyakarta

Uzelac PS, Garmet SH. Early Pregnancy Risks In : Current Diagnosis and Treatment
Obstetrics and Gynecology 10th Edition edited by DeCherney AH, Nathan I,
Goodwin TM, Laufer N, McGraw-Hill New York, 2017:259-72.

Walyani, 2018. Asuhan kebidanan masa nifas dan menyusui. Penerbit pustaka baru press
Yogyakarta : vi+208

Wiknjosastro Haanifa, Ilmu Kebidanan, YBP-SP, Jakarta, 2015

Winkjosastro H. Mola Hidatidosa ; Ilmu Kebidanan. Edisi ke-3. Jakarta. Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo; 1999 : Hal: 142, 339- 348. Arif, A., & Kurnia, E. (2021).
Hubungan Letak Janin Dengan Kejadian Ketuban Pecah Sebelum Waktunya Pada
Ibu Bersalin. Journal Of Health Science.

Aspiani, & Reny, Y. (2017). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Maternitas Aplikasi
NANDA, NIC dan NOC. Jakarta: Trans Info Media

Astuti & Ertiana. 2018. Anemia Dalam Kehamilan. Pustaka Abadi

dr. Ketut Surya Negara. 2017. Buku Ajar Ketuban Pecah Dini. Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana

Dr. Pittara. 2022. Abortus Imminens. https://www.alodokter.com/abortus-imminens

439
Ernawati, E. (2020). Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Ketuban Pecah
Dini di Rumah Sakit Umum Daerah Siti Fatimah Provinsi Sumatera Selatan tahun
2020. STIK Bina Husada Palembang.

Handayani,S. Rini dan S. Mulyati. 2017. Bahan Ajar Dokumentasi Kebidanan. Pusat
Pendidikan Sumber Daya Manusia Kesehatan: Badan Pengembangan dan
Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan

Husin, Farid. 2013. Buku 1 Asuhan Kehamilan Berbasis Bukti. Jakarta:Sagung Seto

Indrayani. Buku Ajar Asuhan Kebidanan. Jakarta: CV. Trans Info Media; 2011.

Irianti, Bayu dkk. Asuhan Kehamilan Berbasis Bukti. Jakarta : Sagung Seto.2014.

Kartikasari, M.Nur Dewi, dkk. 2022. Dokumentasi Kebidanan. Sumatera Barat: PT.
Global Eksekutif Teknologi

Kids Health. (2018). Parents. Rh Incompatibility During Pregnancy. National Institute of


Health Journal.

Kurniawati, Sevi., dkk. 2022. Dokumentasi Kebidanan. Sumatera Barat: PT. Global
Eksekutif Teknologi

Lidia A. 2019. Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: Guepedia

Manuaba, I. B. G. (2012). Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana


untuk Pendidikan Bidan (Setiawan (ed.); kedua). Jakarta : EGC

Manuaba, IBG.2007. Pengantar Kuliah Obsetri .Jakarta : EGC. Hal. 396

Manuaba. (2009). Buku Ajar Patologi Obstetri. Jakarta: EGC

Martaadisoebrata, Djamhoer 2017. Obstetri Patologi Ilmu Kesehatan Reproduksi.


Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Maryunani Anik.2013. Asuhan Kegawatdaruratan Maternal Dan Neonatal. Jakarta: CV.


Trans Info Media

Maryunani dan Eka. 2014.Asuhan Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal.


Jakarta:Trans Info Media

Nugraha, Agung Putri H S., dkk. 2022. Kupas Tuntas Seputar Asuhan Kegawatdaruratan
Maternal dan Neonatal. Rena Cipta Mandiri

Pratiwi, Arantika. M dan Fatimah. 2019. Patologi Kehamilan Memahami Berbagai


Penyakit dan Komplikasi Kehamilan.Yogyakarta:Pustaka Baru Press

Prawirohardjo S.2013. Ilmu Kebidanan. Jakrata: PT Bina Pustaka Sarwono


Prawirohardjo

Prawirohardjo, 2016. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT. Bina Pustaka

Proverawati, A. (2013). Anemia dan Anemia Kehamilan. Yogyakarta: Nuha Medika.

440
Pulungan, Pebri Warita., dkk. 2020. Ilmu Obstetri & Ginekologi Untuk Kebidanan.
Yayasan Kita Menulis

Putri, Lidia Aditama.,& Mudlikah, Siti. 2019. Obstetri dan Ginekologia. Gresik :
Guepedia

Putri, Lidia Aditama.,& Mudlikah, Siti. 2019. Obstetri dan Ginekologia. Gresik :
Guepedia

Rahyani, Ni Komang Yuni., dkk. 2020. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Patologi Bagi
Bidan. Yogyakarta: ANDI

Ratnawati, R. (2017). Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Persalinan


Sectio Caesarea (SC) di RSUD H. Badaruddin Tanjung tahun 2016. Repository,
UNISM Banjarmasin.

Saifuddin, Abdul Bari. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal. Jakarta:PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2009

Sataloff, R. T., Johns, M. M., & Kost, K. M. (2014). Miles Text Book For Midwife
(sixteenth).

Sulfianti., dkk. 2022. Gawat Darurat Maternal dan Neonatal. Yayasan kita Menulis.

Sunarti, S. (2017). Manajemen Asuhan Kebidanan Intranatal pada Ny “R” Gestasi 37-38
Minggu dengan Ketuban Pecah Dini (KPD) di RSUD Syekh Yusuf Kabupaten Gowa
Tahun 2017. Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar

Supariasa I. D.N dkk. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC

Supriyatningsih. (2016). Monograf Anemia Dalam Kehamilan Dengan Kejadian


Hiperemesis Gravidarum. Yogyakarta: LP3M UMY

Syamsuddin, Syahril., dkk. 2018 . Hubungan Antara Gastritis, Stres, dan Dukungan
Suami Pasien Dengan Sindrom Hiperemesis Gravidarum di Wilayah Kerja
Puskesmas Poasia Kota Kendari. Jurnal Pengembangan Pelayanan Kesehatan, Vol.2
No.2 , 102 Penelitian dan 107

Wiknjosastro, H. (2014). Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono.

Wiknjosastro, Hanifa. Ilmu Kebidanan Edisi Ketiga. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.2010

Winarni, Lastri Mei. 2019. Asuhan Kebidanan Patologis. NEM

Wiwit, R. (2014). Hubungan Karakteristik, Pengetahuan, dan Sikap Ibu Hamil tentang
Anemia Defisiensi Besi Dengan Kepatuhan Mengkonsumsi Tablet Besi (Fe) Di
Puskesmas Rawalo Kabupaten Banyumas. Purwokerto: UMP

Wulandari, Rr Catur Leny., dkk. 2021. Asuhan Kebidanan Kehamilan. Bandung: Media
Sains Indonesia

Saifudin, abdul..2006.buku panduan praktis pelayanan kesehatan maternal


danneonatal.jakarta:yayasan bina pustaka sarwonoprawirohardjo

441
Saifuddin AB.2008.Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Edisi Keempat. Jakarta: BP-
SP

Sarbini,amida.2013.asuhan kebidanan patologi.jakarta:EGC


Eny, Meiliya, Estiwahyuningsih. 2009.BukuSakuBidan. Jakarta : EGC

JNPK-KR. 2008. BukuAcuanAsuhanPersalinan Normal. Jakarta: Depkes RI

Prawirohardjo, Sarwono. 2002. PelayananKesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta:


Yayasan Bina Pustaka.
Iams J.D. 2004. Preterm Labor and Delivery. In: Maternal-Fetal Medicine. 5th
ed.Saunders.

Jafferson Rompas. 2004.


http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/14511Persalinanpreterm.pdf/145.30

Wiknjosastro, H. ;2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka, Sarwono


Prawirohardjo.

Oxorn Harry, dkk. 2010. Ilmu Kebidanan Patologi dan Fisiologi Persalinan (Human
Labor and Birth). Yogyakarta : YEM.

Hariadi, R. 2004. Ilmu Kedokteran Fetomaternal. Surabaya : Himpunan Kedokteran


Fetomaternal Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia.

Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.

Fadlun,Feryanto,Achmad.2012.Asuhan Kebidanan Patologis.Jakarta:Salemba Medika

Maryunani,Anik.2012. Asuhan Kegawatdaruratan Dalam Kebidanan.Jakarta :TIM

Yeyeh,Ai Rukiyah.2010.Asuhan Kebidanan Patologi.Jakarta:Trans Info Media

Obstetric,William.Jakarta

Barsom SH., et. al. 2004. Association Between Psychological Stress And Menstrual
Cycle Characteristics In Perimenopausal Women. Women's Health Issues, 2014.
DOI: 10.1016/j.whi.2004.07.006

Benson, Ralp C & Martin L. Pernol. 2009. Buku Saku Obstetri & Ginekologi. Edisi 9.
Jakarta : EGC
Berek S.J “Novak’s Gynecology”, 13th Ed. Lippincott William & Wilkins ; 2002:518.
Bou-Rabee,N. M. Marsden,J. E. dan Romero,L. A. 2004.Tippe Top Inversion as
aDissipation-Induced Instability, SIAM J. Appl. Dyn. Syst. 3, 352–377.
Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Penterjemah: Irawati,
Ramadani D, Indriyani F. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2006

442
Harahap, 2001, dalam Kurniawati D. 2008.Pengaruh Dismenore Terhadap Aktivitas Pada
Siswi SMK Batik 1 Surakarta. Available from: http://etd.eprints.ums.ac.id/2737/
Sarwono, 2011. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal Dan Neonatal,
TBS-SP, Jakarta.
Johnson, S.R., 2004. Premenstrual Syndrome, Premenstrual Dysphoric Disorder, and
Beyond: A Clinical Primer For Practitioners. Obstet Gynecol. 104: 845-859.
Moller AR. Hearing: Anatomy, Physiology, and Disorders of the Auditory System.
Burlington: Elsevier Science, 2006.
Pinel, J. P. J. 2009. Biopsikologi.Ed. 7. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Hal 557-565
Rakhmawati.2013. Hubungan Kejadian Obesitas dengan gangguan menstruasi. Jurnal
ilmiah kebidanan.

Sianipar, Olaf. 2009. Pravelensi Gangguan Menstruasi dan Faktor-faktor yang


Berhubungan pada Siswi SMU di Kecamatan Pulo Gadung Jaktim. Maj Kedokt
Indon. Vol 59 No7. Juli 2009. Hal 312

Singh et al, Indian J Physiol Pharmacol. 2008. 52(4): 389-397. Prevalence And Severity
of Dysmenorrhea: A Problem Related To Menstruation, Among First And Second
Year Female Medical Student. Available from: http://www.ijpp.com/vol52_4/389-
397.pdf
Wiknjosastro, H. 2010. Ilmu Kandungan. Edisi 2. EGC : Jakarta
Yamamoto, K., Okazaki, A., Sakamoto, Y., and Funatso, M., 2009.The Relationship
between Premenstrual Symptoms, Menstrual Pain, Irregular Menstrual Cycles, and
Psychosocial Stress among Japanese College Students.Journal of Physiological
Anthropology. 28 (3): 129 – 136.
Baziad, A. 2003. Endokrinologi Ginekologi. Edisi Kedua. Jakarta: Media Aesculapius.

Chegini, N., J. Verala, X. Luo, J. Xu, dan R. S. Williams RS. 2003. Gene expression
profile of leiomyoma and myometrium and the effect of gonadotropin releasing
hormone analogue therapy. Journal of the Society for Gynecologic Investigation.
10(3): 161-71.

Djuwantono, T. 2004. Terapi GnRH agonis sebelum histerektomi. Mioma: Farmacia.


3:38-41.

Goodwin, S. C. dan T. B. 2009. Uterin fibroid embolization. New England Journal of


Medicine. 361: 690-697

Hadibroto, H. R. 2005. Mioma Uteri. Majalah Kedokteran Nusantara. 38(3): 254259.

Hall, J. E. 2016. Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology. Edisi Ketigabelas.
Philadelphia: Elsevier, Inc.

443
Hoffman, B. L., J. O. Schorge, J. I. Schaffer, L. M. Halvorson, K. D. Bradshaw, F. G.
Cunningham. 2012. Williams Gynecology. Edisi Kedua. United States: The
McGraw-Hill Companies, Inc.

Indarti, J. 2004. Panduan Kesehatan Wanita. Jakarta: Puspa Swara.

Mardiyana, E., A. Novitasari, dan H. N. Anugrahini. 2016. Usia menarche pada pasien
mioma uteri di Poli Kandungan RSUD dr. M. Soewandhi Surabaya. Jurnal
Penelitian Kesehatan. 14(2): 75-78.

Marshall, L. M., D. Spiegelman, M. B. Goldman, J. E. Manson, G. A. Colditz, R. L.


Barbieri, dan D. J. Hunter. 1998. A prospective study of reproductive factors and
oral contraceptive use in relation to the risk of uterine leiomyomata. Fertility and
Sterility. 70(3): 432–439.

Onis, A. 2017. Clinical and Experimental Obstetrics & Gynecology. 44(5): 653803.

Parsanezhad, M. E., B. N. Jahromi, dan M. P. Nezhad. 2012. Medical

Management of Uterine Fibroids. Current Obstetrics and Gynecology Reports. 1:


81-88.

Prabowo, P. 1994. PDT Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan. Surabaya: UNAIR.

Prawiroharjo, S. 2008. Ilmu Kandungan. Edisi Ketiga. Jakarta: YBP SP.

Scott, J. R., P. J. Disaia, C. B. Hammond, W. N. Spellacy, dan J. D. Gordon. 2002.


Danforth Buku Saku Obstetri & Ginekologi. Jakarta: EGC.

SMF Obstetri dan Ginekologi Universitas Udayana. 2015. PPK Obstetrik dan
Ginekologi. Bali: Universitas Udayana.

Vollenhoven, B. 1998. Introduction: the epidemiology of uterine leiomyomas.


Baillière’s Clinical Obstetrics and Gynaecology. 12(2): 169–176.

Prawirohardjo, sarwono. 2007. Ilmu kandungan. Jakarta:Yayasan Bina Pustaka

Mansjoer,Arif.2001. Kapita Selekta Kedokteran .Jakarta : EGC

Aziz, M, F. 2006. Onkologi Ginekologi. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo:


Jakarta

Sastrawinata, S, dkk. 1998 Ginekologi Edisi 2. EGC: Jakarta


Cunningham, Leveno, dkk,2009, Obstetri Williams, Panduan ringkas edisi 21,
EGC, Jakarta.
Bobak. lowdermilk, 2005, Buku Ajar Keperawatan Maternitas, EGC, Jakarta.
Doenges,Marilynn E, 2001, Rencana perawatan maternal/bayi : Pedoman untuk
perencanaan dan dokumentasi perawatan klien,Penerbit Buku kedokteran
EGC,Jakarta.

444
http//indaahdianhusada.blogspot.com/p/forcep-Ekstraksi.html. diunduh tanggal 5 maret
2015.
http//suherna-kasmia.blogspot.com/2011/07/09/persalinan-dengan-vacumekstraksi.html.
diunduh tanggal 5 maret 2015.
Manuaba. Ida Bagus Gede, 2002, Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga
Berencana, EGC, Jakarta
Saifuddin.Abdul Bari, 2006, Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal &
Neonatal, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta.
News Letter, Integra.2016.Ultrasonografi (USG).www.integra.co.id.

Margiyani S.Si, Lenni.Sains Untuk Paramedis.Pustaka Baru Press : Yogyakarta.

Trisakti W, Dinda, dkk.2015.Makalah Praktek Diagnostik II Tentang Ultrasonografi


(USG).

445
Putra Deddy Satriya dari : Ilmu Kesehatan Anak RSUD Arifin Achmad / FK UNRI).
Upaya Mengurangi Kejadian Komplikasi Diare Akut dalam: Diare Akut Pada
Anak. Juni 2008. Diunduh dari URL: http://www.dr-deddy.com/artikel-
kesehatan/1-diare-akut-pada-anak.html

Pudjiaji AH, Hegar Badriul, Handryastuti S, dkk. Diare Akut dalam: Pedoman Pelayanan
Medis IDAI, Jilid I. Jakarta. Badan Penerbit IDAI. 2010. 58-61.

Tetralogi Fallot, Pedoman pelayanan medis kesehatan anak. Edisi 1. Jakarta. Badan
Penerbit IDAI. 2010.

Priyatno Agus dkk. Penyakit jantung bawaan Pada Anak dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan. Semarang. Bagian IKA FK UNDIP. 2011

Said M. Pneumonia dalam Buku Respirologi Anak. Edisi 1, jakarta. IDAI. 2012

Latief A dkk, Diagnosis Dan Pemeriksaan Fisik. Edisi 2. Jakarta. Sagung seto. 2003.

Lilly, Leonard S. Pathophysiology of Heart Disease 4 th ed. Philadelphia: Lippincott


Williams & Wilkins; 2007.

Rahayuningsih SE, Hubungan VSD dengan Status Gizi Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, RS Hasan Sadikin, Bandung. 201.
Diunduh dari:http://www.idai.or.id/saripediatri/pdfile/13-2-9.pdf

Sudoyo Aru dkk, Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam Jilid III, Edisi IV. Perhimpunan Dokter
Penyakit Dalam Indinesia. Departamen Ilmu Penyakit Dalam FK UI. Jakarta. 2006.

Bernstein D., Nelson Textbook of Pediatrics. Tetralogy of Fallot. Ed. 19th. p; 1524-1528.

Anik dan Eka. 2014. Asuhan Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal. Jakarta : CV.
Trans Info Media

Arif, A., & Kurnia, E. (2021). Hubungan Letak Janin Dengan Kejadian Ketuban Pecah
Sebelum Waktunya Pada Ibu Bersalin. Journal Of Health Science.

Arwin. 2010. Buku Ajar Keperawatan Maternitas. Jakarta : EGC

Aspiani, & Reny, Y. (2017). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Maternitas Aplikasi
NANDA, NIC dan NOC. Jakarta: Trans Info Media

Astuti & Ertiana. 2018. Anemia Dalam Kehamilan. Pustaka Abadi

446
Dewi. 2010. Asuhan Neonatus Bayi Dan Anak Balita. Jakarta : Salemba Medika.

dr. Ketut Surya Negara. 2017. Buku Ajar Ketuban Pecah Dini. Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana

Dr. Pittara. 2022. Abortus Imminens. https://www.alodokter.com/abortus-imminens

Ernawati, E. (2020). Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Ketuban Pecah
Dini di Rumah Sakit Umum Daerah Siti Fatimah Provinsi Sumatera Selatan tahun
2020. STIK Bina Husada Palembang.

Fauziah, Yulia. 2016. Obstetri Patologi. Yogyakarta : Nuha Medika

Handayani,S. Rini dan S. Mulyati. 2017. Bahan Ajar Dokumentasi Kebidanan. Pusat
Pendidikan Sumber Daya Manusia Kesehatan: Badan Pengembangan dan
Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan

Husin, Farid. 2013. Buku 1 Asuhan Kehamilan Berbasis Bukti. Jakarta:Sagung Seto

Indrayani. Buku Ajar Asuhan Kebidanan. Jakarta: CV. Trans Info Media; 2011.

Irianti, Bayu dkk. Asuhan Kehamilan Berbasis Bukti. Jakarta : Sagung Seto.2014.

Julina. 2019. Buku Ajar Neonatus, Bayi, Balita, Anak Pra Sekolah. Deepublish

Kartikasari, M.Nur Dewi, dkk. 2022. Dokumentasi Kebidanan. Sumatera Barat: PT. Global
Eksekutif Teknologi

Kids Health. (2018). Parents. Rh Incompatibility During Pregnancy. National Institute of


Health Journal.

Kurniawati, Sevi., dkk. 2022. Dokumentasi Kebidanan. Sumatera Barat: PT. Global
Eksekutif Teknologi

Lidia A. 2019. Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: Guepedia

Manuaba, I. B. G. (2012). Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana


untuk Pendidikan Bidan (Setiawan (ed.); kedua). Jakarta : EGC

Manuaba, IBG.2007. Pengantar Kuliah Obsetri .Jakarta : EGC. Hal. 396

Manuaba. (2009). Buku Ajar Patologi Obstetri. Jakarta: EGC

447
Martaadisoebrata, Djamhoer 2017. Obstetri Patologi Ilmu Kesehatan Reproduksi. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Maryunani Anik.2013. Asuhan PATOLOGI. Jakarta: CV. Trans Info Media

Maryunani dan Eka. 2014.Asuhan PATOLOGI. Jakarta:Trans Info Media

Nugraha, Agung Putri H S., dkk. 2022. Kupas Tuntas Seputar Asuhan PATOLOGI. Rena
Cipta Mandiri

Pratiwi, Arantika. M dan Fatimah. 2019. Patologi Kehamilan Memahami Berbagai


Penyakit dan Komplikasi Kehamilan.Yogyakarta:Pustaka Baru Press

Prawirohardjo S.2013. Ilmu Kebidanan. Jakrata: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo

Prawirohardjo, 2016. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT. Bina Pustaka

Proverawati, A. (2013). Anemia dan Anemia Kehamilan. Yogyakarta: Nuha Medika.

Pulungan, Pebri Warita., dkk. 2020. Ilmu Obstetri & Ginekologi Untuk Kebidanan.
Yayasan Kita Menulis

Putri, Lidia Aditama.,& Mudlikah, Siti. 2019. Obstetri dan Ginekologia. Gresik : Guepedia
Putri, Lidia Aditama.,& Mudlikah, Siti. 2019. Obstetri dan Ginekologia. Gresik :
Guepedia

Rahyani, Ni Komang Yuni., dkk. 2020. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Patologi Bagi Bidan.
Yogyakarta: ANDI

Ratnawati, R. (2017). Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian BBL Sectio


Caesarea (SC) di RSUD H. Badaruddin Tanjung tahun 2016. Repository, UNISM
Banjarmasin.

Saifuddin, Abdul Bari. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal. Jakarta:PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2009

Sataloff, R. T., Johns, M. M., & Kost, K. M. (2014). Miles Text Book For Midwife
(sixteenth).

Siantar, Rupdi Lumban & Rostianingsih. 2022. Buku ajar Asuhan Kebidanan
Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal. Rena Cipta Mandiri

Sudarti, dkk. 2010. Buku Ajar Dokumentasi Kebidanan. Nuha Medika : Yogyakarta

448
Sulfianti., dkk. 2022. Gawat Darurat Maternal dan Neonatal. Yayasan kita Menulis.

Sunarti, S. (2017). Manajemen Asuhan Kebidanan Intranatal pada Ny “R” Gestasi 37-38

Minggu dengan Ketuban Pecah Dini (KPD) di RSUD Syekh Yusuf Kabupaten Gowa
Tahun 2017. Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar

Supariasa I. D.N dkk. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC

Supriyatningsih. (2016). Monograf Anemia Dalam Kehamilan Dengan Kejadian


Hiperemesis Gravidarum. Yogyakarta: LP3M UMY

Syamsuddin, Syahril., dkk. 2018 . Hubungan Antara Gastritis, Stres, dan Dukungan Suami

Pasien Dengan Sindrom Hiperemesis Gravidarum di Wilayah Kerja Puskesmas Poasia


Kota Kendari. Jurnal Pengembangan Pelayanan Kesehatan, Vol.2 No.2 , 102
Penelitian dan 107

Taufan, Nugroho. 2016. Kasus Emergency Kebidanan. Yogyakarta : Nuha Medika

Wiknjosastro, H. (2014). Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono.

Wiknjosastro, Hanifa. Ilmu Kebidanan Edisi Ketiga. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.2010

Winarni, Lastri Mei. 2019. Asuhan Kebidanan Patologis. NEM

Wiwit, R. (2014). Hubungan Karakteristik, Pengetahuan, dan Sikap Ibu Hamil tentang
Anemia Defisiensi Besi Dengan Kepatuhan Mengkonsumsi Tablet Besi (Fe) Di
Puskesmas Rawalo Kabupaten Banyumas. Purwokerto: UMP

Wulandari, Rr Catur Leny., dkk. 2021. Asuhan Kebidanan Kehamilan. Bandung: Media
Sains Indonesia

Sumarah,dkk.2009.Asuhan Kebidanan pada ibu bersalin.yogyakarta:fitramaya

Chapman vicky.2003.Asuhan Kebidanan persalinan dan kelahiran.jakarta:EGC

Prawirohadjo, Sarwono. 2014. Ilmu Kebidanan Edisi Ketiga. PT Bina Pustaka Sarwono
Prawiirohardjo. Jakarta

maryunani, Anik, Puspita, Eka. 2014. Asuhan Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal.
Trans Info Media. Jakarta)

449
Nugroho, Taufan. OBSGYN Obstetri dan Ginekologi untuk Kebidanan dan Keperawatan.
2012. Nuha Medika. Yogyakarta

450

Anda mungkin juga menyukai